Ceritasilat Novel Online

Senopati Pamungkas Dua 30

Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 30


Yang pertama, ilmunya memang terdiri atas berbagai aliran yang bisa dikuasai dengan baik. Semakin serabutan jalannya pertarungan, semakin menjadi kembangan yang dikuasai.
Yang kedua, dalam pertarungan semua lawan semua, imbangan kekuatan akan terbagi. Jika dirinya menyatroni satu lawan yang terdesak, berarti lebih cepat bisa melenyapkan lawan.
Toh tak akan ada yang menyesali kalau Halayudha bersikap demikian. Tak akan ada yang menyalahkan bersikap demikian. Tak akan ada yang menyalahkan mengambil keuntungan dengan mengeroyok.
Walau sebenarnya Halayudha tak peduli sebutan apa yang dilekatkan pada dirinya.
Jurus pertama sudah langsung menyeret Gendhuk Tri dan Pangeran Hiang. Gerakan Kangkam Galih yang menyambar, menorehkan dua jurus yang berbeda. Bisa dibayangkan betapa kuatnya, kalau kesiuran sabetan itu saja bisa membuat sebatang dahan yang cukup besar terpotong. Dan bisa membeset kulit Nala.
Jauh jaraknya, tapi irisan anginnya saja sanggup melukai kulit!
Bisa dibayangkan kalau berada dalam jangkauan tikaman.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri ataupun Pangeran Hiang tak merasakan sesuatu yang baru dalam tikaman Halayudha. Bahwa Kangkam Galih memang istimewa itu sudah diketahui. Pedang sakti itu sedemikian tajamnya sehingga seolah bisa memutuskan kekuatannya sendiri. Tapi pengerahan tenaga yang bisa memotong dahan atau melukai kulit Nala, sebenarnya sama dengan pukulan jarak jauh yang digunakan Gendhuk Tri.
Yang bisa terasakan ketika krenteg atau niatan memukul itu muncul.
Siasat lain yang tak terlihat segera adalah, dengan mengerahkan serangan pada Gendhuk Tri serta Nyai Demang, Ngwang mempunyai kesempatan menggebrak langsung.
Nyatanya demikian. Mada mendengus bagai gajah disodok tolak-nya, langit-langit mulutnya. Karena yang digempur pertama adalah Nyai Demang.
Yang tak cukup bersiaga. Nyai Demang menjerit kaget. Tubuhnya menelungkup di atas tubuh Klobot dan segera bergulingan menyingkir jauh. Jeritan itu sebenarnya berasal dari rasa sakit yang ngilu di pinggang. Seketika bagian pinggang ke bawah menjadi mati untuk digerakkan dan menimbulkan ngilu.
Satu-satunya yang terlintas adalah menyelamatkan Klobot.
Itu sebabnya Nyai Demang memeluk Klobot dan bergulingan di tanah.
Untuk satu gebrakan ini Nyai Demang bisa menyelamatkan diri. Akan tetapi ini semua sepersekian dari tarikan napas saja. Karena kini justru lebih berada di ambang bahaya.
Apa artinya jika bisa bergerak lagi"
Apa artinya jika Klobot justru berada dalam dekapannya dan tak bisa lepas"
Satu sabetan pedang bisa menembus dua tubuh tanpa bisa dielakkan.
Dalam melancarkan serangan, Ngwang memakai cara yang juga dipakai Halayudha. Serangannya tidak hanya satu arah. Bersamaan dengan menyambar pinggang Nyai Demang dengan tungkai, kedua tangannya terbuka lebar.
Tasbih di tangannya terayun di udara.
Dengan gerakan menyendal, tali yang menyatukan biji tasbih lepas, menyambar ke berbagai penjuru.
Termasuk ke Gendhuk Tri yang berusaha membebaskan diri dari tikaman pedang sakti.
Termasuk Pangeran Hiang, yang berteriak nyaring.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Awas!" Lengan baju kutung Pangeran Hiang memapak maju sabetan, sedang lengan yang berisi tangan menjotos ke arah tebaran tasbih.
Bahwa Pangeran Hiang memilih menghadapi sabetan dengan lengan kutung, menunjukkan bahwa baginya lebih utama menyelamatkan mereka yang digempur Ngwang, dibandingkan dengan mengamankan dirinya.
Bisa dikatakan begitu. Walau sebenarnya bukan perhitungan asal-asalan.
Pangeran Hiang tak nanti bisa ditaklukkan oleh Halayudha dengan satu-dua jurus saja. Meskipun hanya dengan satu tangan, meskipun Halayudha memiliki Kangkam Galih.
Halayudha sendiri tahu bahwa memaksakan kemenangan dengan sangat cepat atas diri Pangeran Hiang atau Gendhuk Tri boleh dikatakan mustahil.
Tingkatan Gendhuk Tri atau Pangeran Hiang jauh di atas Nyai Demang yang bisa dilumpuhkan seketika.
Halayudha memusatkan perhatiannya.
Tak ingin terkecoh hal kecil. Walaupun Ngwang seolah berada di pihaknya dengan membungkam Nyai Demang, tidak berarti akan membantu menghadapi Gendhuk Tri serta Pangeran Hiang.
Jelas bahwa Ngwang pun akan menimba untuk kemenangannya sendiri.
Semua terbaca jelas oleh Halayudha.
Maka ketika Ngwang mengangkat tangannya, dan biji tasbih lepas dari ikatannya, Halayudha melepaskan Kangkam Galih ke atas. Kedua tangannya terbuka mengemposkan tenaga mendorong pecahan tasbih.
Langkah Merendah BIJI TASBIH yang memencar pecah di tengah udara dan seketika mengeluarkan bau harum yang mulek, menusuk sekaligus memadat.
Sangat berbahaya bagi yang mengisap secara telak.
Sentakan tali oleh Ngwang memang dimaksudkan sebagai tenaga pendorong bagi biji tasbih yang bisa pecah, yang di dalamnya berisi bubuk wangi, bubuk sirep.
Ditambah dengan tenaga dorongan, asap wangi itu bisa menyebar seketika.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Apalagi Halayudha juga menambahkan dengan tenaga dorongan ke arah yang sejajar dengan dorongan Ngwang. Yang tidak mengarah kepada dirinya.
Halayudha bahkan merasa perlu melepaskan Kangkam Galih ke tengah udara, agar pengerahannya bisa sempurna. Karena Halayudha menyadari bahwa aji sirep Ngwang memang luar biasa beracun, dan belum ada yang bisa mengatasi. Satu-satunya jalan hanyalah memperkecil kemungkinan terkena.
Gendhuk Tri, dalam batas tertentu, merasa paling beruntung.
Sabetan beruntun dari Halayudha tertunda, karena Kangkam Galih dilepas ke udara. Ada kesempatan bagi Gendhuk Tri untuk memukul arah pedang hitam, dan satu tangan lagi meraih punggung Nyai Demang, yang kaku menelungkup tanpa reaksi.
Pada saat yang sama tadi, Pangeran Hiang juga melontarkan pukulan, dengan arah yang berbeda dari dorongan Ngwang, dan terutama Halayudha.
Kalau tokoh-tokoh lain menyadari kehebatan dan keganasan sirep wangi Ngwang, Pangeran Hiang boleh dikatakan lebih menyadari kemungkinan yang tak terpikirkan. Aji sirep wangi Ngwang mempunyai beberapa kekhususan penggunaan. Ada yang mempengaruhi dalam sekejap, ada yang bisa menghilangkan pikiran, ada yang menjadi gangguan sepanjang usianya jika diisap kuat, menerobos paru-paru dan terbawa darah.
Dalam perang habis-habisan semacam ini, Ngwang pasti mengeluarkan simpanannya yang terakhir.
Dengan serangan ini, Ngwang memang ingin bergegas sepenuhnya dan bisa segera menguasai medan. Tidak dalam artian meraih kemenangan seketika, akan tetapi pijakannya lebih kokoh dibandingkan yang lain. Karena Ngwang sebenarnya sudah bisa memperhitungkan keunggulannya.
Selama ini dirinya terus-menerus hanya memikirkan bagaimana memecahkan rangkaian ajaran dalam Kitab Bumi. Akan tetapi, ketika jurus-jurus yang diciptakan dijajal di Tanah Jawa, ternyata masih kagok. Kitab Bumi telah mengalami beberapa perkembangan.
Keunggulan mutlak Ngwang tak bisa diraih secara total.
Keunggulan lain yang terasakan berdasarkan pengamatan, hanyalah caranya mengentengkan tubuh dengan ngleyang. Melayang dengan kecepatan sesuai kekuatan lawan.
Ini membuatnya unggul, akan tetapi bukan cara untuk meraih kemenangan. Apalagi lawan yang dihadapi bisa dengan cepat membaca keunggulannya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Maka yang segera disebarkan adalah senjata andalannya.
Menggunakan sirep wangi, dibarengi dengan pengucapan mantra.
Pengaruh bau wangi yang keras akan segera terasakan hasilnya.
Lawan akan terjebak dan mudah diarahkan.
Keinginan yang paling mungkin ini ternyata bisa dipatahkan.
Untuk sementara. Kalau tenaga sendalan, ditambah dorongan, ditambah lagi gesekan dorongan tenaga dalam Halayudha, mampu menyebarkan asap wangi, kini seperti memadat kembali oleh tenaga dalam Pangeran Hiang.
Pipi Mada mengempot, menggelembung, dan melesak melihat gumpalan asap yang bergerak dan mendadak terhenti.
Mada boleh dikatakan beruntung. Karena sering langsung terlibat dalam pertarungan-pertarungan kelas utama. Itu pula yang menyebabkan perkembangannya dalam ilmu silat maupun ilmu lain mengungguli ksatria satu angkatan.
Kali ini pun Mada tak bisa menyembunyikan rasa takjubnya.
Asap adalah benda yang sangat ringan, tipis, dan segera menyatu dengan angin. Apalagi kalau diembuskan. Akan tetapi ternyata bisa ditahan Pangeran Hiang.
Pameran tenaga dalam yang sempurna.
Mada menahan napasnya, memantapkan pengerahan tenaga dalam.
Dalam hal ini, Mada belum bisa memberitahu Nala maupun Naka.
Mereka bertiga berada dalam jarak yang cukup jauh dari ledakan tasbih, akan tetapi masih ada rembesan bau wangi.
Yang membuat Nala dan Naka seakan tak menginjak tanah. Seperti tersedot ke atas.
Nala tampak tak bisa menguasai diri. Sabetan angin pedang yang menggores di kulitnya seperti melepuh, mengeluarkan darah. Tanpa iringan teriakan mengaduh, tubuh Nala terjatuh ke bawah.
Dalam olengnya, Naka masih bisa mundur dengan terhuyung-huyung.
Mada mengerahkan tenaga dalam untuk melawan sekuatnya.
Tangannya menggandeng Naka. Desakan agar Naka mengatur pernapasan tak bisa segera diutarakan, karena takut dirinya sendiri bocor dan mengisap sirep wangi.
Luar biasa pengaruh sirep wangi.
Nala seakan mandi darah. Luka yang ada melebar dan meroyak.
Seakan asap ganas itu mempercepat proses kematian.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Lebih luar biasa apa yang dilakukan Pangeran Hiang.
Ini dirasakan Gendhuk Tri maupun Halayudha serta Ngwang.
Dengan pertimbangan yang berbeda.
Dalam pandangan Halayudha, tenaga dalam Pangeran Hiang ternyata mampu dikendalikan menjadi tenaga keras, sekaligus juga lembut. Yang terakhir ini terbukti ketika melawan tenaga dorongan darinya ataupun dari Ngwang, tetapi tetap mampu menahan bergeraknya asap.
Dalam pandangan Ngwang, pangeran yang dipuja ini telah menemukan kuncian yang luar biasa, sehingga penguasaannya sedemikian sempurna. Penguncian yang seakan khusus diciptakan Pangeran Hiang untuk membungkam ilmu Ngwang.
Mirip dengan pandangan Ngwang maupun Halayudha, Gendhuk Tri bisa merunut lebih jauh sumbernya. Ketika Pangeran Hiang melontarkan pukulan tadi, kedua kakinya jinjit, terangkat tumitnya, sehingga tubuhnya lebih tinggi. Akan tetapi lututnya tertekuk, dengan dada menutup.
Itulah langkah merendah, sikap nggandul, sikap menggantung.
Dengan cara menggantung inilah Pangeran Hiang mampu mementahkan berkembangnya asap.
Kalau Ngwang menduga Pangeran Hiang menemukan kuncian, bagi Gendhuk Tri ini memang jawaban yang sempurna dari Langkah Karawitan yang dulu dipelajari bersama. Pangeran Hiang menemukan bahwa irama permainan dalam karawitan adalah irama yang nggandul, yang menggantung. Tidak selesai dengan habis.
Demikian pula dengan langkah yang merendah.
Pada saat mengangkat tumit tinggi-tinggi, seolah tubuhnya memanjang. Akan tetapi tekukan lutut itulah yang lebih menurunkan ketinggiannya.
Demikian pula halnya dalam pengerahan tenaga.
Kalau pukulan kerasnya diadu lawan keras, asap sirep justru lebih menyebar ke segala arah. Lebih cepat dan lebih ganas. Tapi Pangeran Hiang menggunakan langkah merendah, dengan penguasaan irama pengerahan yang nggandul, keras tidak, lunak pun tidak.
Berada setengah-setengah.
Tanpa disadari, Pangeran Hiang sebenarnya telah masuk dan inti kekuatan karawitan. Langkahnya yang kagok, hitungan irama yang berbeda, merupakan cerminan sikap dalam kehidupan sehari-hari.
Sesuatu yang tak mampu dipahami oleh Gemuka.
Oleh utusan sebelumnya. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bahkan oleh Ngwang sekalipun.
Yang menciptakan ilmu secara khusus untuk menghancurkan ajaran dari Kitab Bumi.
Ini yang luar biasa! Pencerahan Pangeran Hiang terjadi justru ketika ia rumangsuk tanpa batas, tanpa beban. Ketika menenggelamkan diri, dan merasakan ikatan tali persaudaraan dengan Upasara adalah bagian dari proses yang wajar.
Yang dicarinya selama ini.
Persaudaran. Bukan kemenangan. Gendhuk Tri menggertak maju, mengambil posisi ke dekat Nyai Demang. Ketika satu tangan mengolengkan Kangkam Galih dan satu tangan menarik tubuh Nyai Demang, dan masih sempat menangkap kehebatan langkah merendah Pangeran Hiang, Gendhuk Tri tak mau terpaku. Karena menyadari bahwa bahaya berantai dengan bahaya lain masih akan susul-menyusul.
Asap wangi memang sangat berbahaya, akan tetapi serangan berikutnya bisa sama bahayanya. Karena bisa jadi tidak hanya ada satu atau dua rangkaian serangan biji tasbih. Bisa jadi ini sekadar untuk menyerap perhatian. Untuk disusul serangan yang lain.
Baginya Kangkam Galih lebih menakutkan. Karena Halayudha bisa memainkan secara gila-gilaan. Menyabet secara beringasan tanpa memedulikan keselamatannya, sudah cukup untuk membuyarkan.
Karena selama ini belum ada yang bisa menindih ketajaman dan kesaktian Kangkam Galih.
Dengan kemampuannya membaca jalannya pertarungan, Gendhuk Tri menggertak maju. Menyusup ke tengah pertarungan. Satu tangan meraih pundak Nyai Demang dan menariknya, serta mendorong ke tempat yang lebih aman, dan tangan lain bersiaga.
Ini berarti Gendhuk Tri mengibarkan bendera, menerjang arah badai.
Dengan mendahului menggertak ke arah Halayudha, Gendhuk Tri terbuka dan bisa menjadi sasaran Halayudha maupun Ngwang. Atau juga Pangeran Hiang!
Mana Serangan, Mana Pancingan
HALAYUDHA terkeduk murkanya.
Nekat atau sekadar cari mati, nyatanya Gendhuk Tri mampu membuat oleng jatuhnya Kangkam Galih sehingga Halayudha
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
memerlukan jungkir-balik untuk bisa menggenggam kembali dengan sempurna. Pada saat yang sama, Gendhuk Tri malah merangsek maju.
Masuk ke jangkauan sabetan pedang.
Sambil membalik tubuh, Halayudha melakukan tebasan memotong dengan kedua tangan mencekal gagang pedang.
Kekuatannya berlipat. Gendhuk Tri seakan tidak merasakan datangnya tebasan yang sangat berbahaya.
Kedua kakinya menendang maju.
Beriringan. Di antara sabetan Kangkam Galih!
Halayudha selalu dua kali siaga jika menghadapi Gendhuk Tri.
Pertarungan demi pertarungan selama ini menyadarkan bahwa di balik ilmunya yang makin tinggi, kegesitan Gendhuk Tri makin berlipat, sementara jurus-jurus yang dimainkan juga makin ganjil. Kalau tidak melorot ke bawah kaki lawan, menyusup menginjak pundak atau kepala, juga serba tak terduga.
Seperti yang dilakukan sekarang ini.
Akal yang paling miring pun susah menerima kenyataan, justru Gendhuk Tri yang menyongsong datangnya Kangkam Galih, dengan kaki. Dengan balutan kain.
Sementara satu tangan kosong bersiaga, dan satu tangan mengamankan Nyai Demang.
Tak kurang dari Ngwang yang mengeluarkan desisan.
Untuk sepersekian kejap Ngwang merasa bahwa sirep wanginya telah mengubah keberanian Gendhuk Tri menjadi sepuluh kali lipat. Sehingga tidak melihat adanya bahaya selain maju menerjang.
Rasanya mustahil tanpa dorongan pengaruh aji sirep, kalau sampai Gendhuk Tri berani mengentak dengan tendangan.
Di antara sabetan pedang.
Mada tak bisa menahan diri.
Sejak pertama tadi darahnya sudah terlibat dalam pertarungan. Ada getaran yang sama yang rumangsuk dalam dirinya, yang membuatnya tak sabar diri.
Kalau selama ini masih bisa menahan diri dan berada di kejauhan, kini merangseknya Gendhuk Tri membuatnya tak mampu menahan diri untuk maju menerjang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan mengepalkan kedua tinjunya, tubuhnya berguling ke tengah.
Menjotos Halayudha di bagian lambung. Dengan menggelundung, Mada memakai cara tercepat untuk sampai ke tengah pertarungan. Loncatan yang bagaimanapun cepatnya, akan mudah dikenali Halayudha.
Dengan menjotos ke arah lambung, Mada melihat itulah satu-satunya peluang ketika dua tangan Halayudha mencekal pedang.
Agak sulit bagi Mada untuk menyelamatkan Gendhuk Tri. Dan Mada sadar tidak berpikir sejauh itu. Apa yang ada dalam batinnya hanyalah melakukan sesuatu untuk mencegah sesuatu yang mengerikan.
Dorongan yang ada padanya adalah dorongan yang murni, tanpa berniat menyejajarkan dirinya dengan yang tengah berlaga.
Perasaannya akan mengutuk dirinya sepanjang sisa hidupnya kalau sampai Kangkam Galih membelah tubuh Bibi Tri, tanpa dirinya berbuat sesuatu.
Dengan menggelundungkan diri, Mada terjun ke lautan pertarungan.
Sementara itu Pangeran Hiang yang sudah merasakan keganasan Kangkam Galih dengan korban sebelah tangannya menahan napas.
Kalau tulang tangan bisa putus tandas, apa artinya kain yang hanya selembar" Apa artinya kaki Gendhuk Tri, atau bagian tubuhnya"
Berbeda dari Mada, Pangeran Hiang memusatkan diri sepenuhnya pada kemungkinan yang bisa terjadi mendadak, dengan harapan masih bisa turut campur.
Tanpa terasa lengan bajunya yang buntung, yang tadi melambai-lambai, menjadi kaku tegang dan terangkat.
Di bagian lain, Nyai Demang tidak mengetahui apa yang tengah terjadi. Sejak menarik Klobot dan melindungi, Nyai Demang hanya merasakan ngilu dan mati rasa bagian pinggang ke bawah.
Kalau kemudian merasakan sesuatu, hanyalah tubuhnya yang tertarik ke atas, terdorong ke arah samping dengan masih memeluk Klobot.
Nyai Demang tidak mengetahui bahwa nyawa Gendhuk Tri bagai seutas rambut. Juga setelah berada di tempat yang tak terjangkau serangan dan sabetan, Nyai Demang masih belum sadar benar.
Sorot matanya masih mencari-cari.
Halayudha mencelos. Bukan tidak menyangka Gendhuk Tri akan senekat ini, akan tetapi rasa hatinya mengatakan bahwa di balik serangan ini tersembunyi jebakan yang tak diduganya.
Permainan macam apa lagi"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kalah atau menang masih panjang memang.
Tapi pikiran harus gesit, cepat, lebih dari sambaran pedang yang berkelebat.
Perhitungan inilah yang mengacak dalam benak Halayudha.
Serangan mendadak dan berani dari Gendhuk Tri, memang memancing Mada. Tapi, kalau benar Gendhuk Tri berada dalam bahaya, kenapa Pangeran Hiang bersikap menunggu"
Ataukah Pangeran Hiang yakin bahwa Gendhuk Tri sebenarnya memiliki andalan tertentu yang bisa membebaskan tebasan pedang"
Atau bahkan lebih jauh dari itu, Pangeran Hiang menunggu reaksi dirinya, dan kalau sesuai dengan perhitungan, dirinya masuk dalam jebakan yang sudah diperhitungkan.
Halayudha tak mau mengambil risiko yang konyol.
Apalagi dirinya belum bisa mengawasi apa yang akan dilakukan Ngwang.
Makanya Halayudha menarik kembali pedangnya, dengan gerakan sedikit memiringkan arah pedang. Ketika itulah pukulan Mada menyentuh lambung dan membuatnya sedikit miring.
Kain Gendhuk Tri robek karena sambaran angin. Namun dengan kain selendang yang berkibaran, seperti tetap bisa menutup tubuh. Hebat Gendhuk Tri. Dengan sekali gertak maju, mampu menggagalkan serangan Halayudha, bisa membebaskan Nyai Demang dan Klobot. Dua tujuan utama.
Gendhuk Tri menggerakkan seluruh tubuhnya. Tenaganya menggelegak. Bagai gumpalan air bendungan yang menyentak bersamaan.
Langkah ragu dan gerak mundur Halayudha merupakan peluang besar untuk menyudutkan. Sebab setiap langkah menjadi berarti untuk susunan dan bangunan serangan yang berikutnya.
Dua ujung selendangnya mematuk paksa ke arah Halayudha yang sudah telanjur terdesak satu tindak. Salah satu ujung selendang menggulung Kangkam Galih dan berusaha membetot.
Lagi-lagi pameran keberanian yang gila.
Kalau tadi merangsek dengan kain dan kaki, kini melibat dan membetot dengan selendang.
Sementara Mada menemukan ruangan kosong, tubuhnya terus menggelundung, terus berputar dengan kedua jotosan yang menghantam sekenanya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bisa dimengerti kalau Mada sampai bergulingan di bawah. Dorongan tenaga dalam serta nafsunya yang demikian besar, belum sepenuhnya bisa dikuasai. Sehingga dirinya masih hanyut dalam gelombang tenaganya sendiri.
Apalagi sekarang ini, untuk pertama kali gelombang tenaganya yang melabrak tidak menemukan sasaran.
Karena Halayudha juga tidak meladeni.
Bukan karena menganggap sepi. Melainkan karena melihat bahwa serangan mendadak, keras, dan nekat yang dilontarkan Gendhuk Tri menjadi lebih berbahaya dengan satu gerakan ringan yang tiba-tiba dan mengejutkan.
Nyai Demang yang kini bisa menyaksikan dengan saksama, bibirnya membuka. Kalau tadi karena belum memahami apa yang terjadi, kini karena mengakui dan memuji keberanian serta kehebatan Gendhuk Tri.
Serangannya mencerminkan ajaran Kitab Air, yaitu serangan terangkai, mbanyu mili, atau seperti air mengalir. Satu serangan berakhir disusul serangan berikutnya. Dengan tenaga yang terpadu antara serangan pertama dan kedua, dan seterusnya.
Kalau dalam tendangan tengah yang nekat Gendhuk Tri berhasil menggoyahkan Halayudha, serangan kedua dilancarkan dengan tenaga lembut. Hebat dan tajam Kangkam Galih, akan tetapi kalau dilibat selendang dengan tenaga lembut, keampuhannya bisa teredam.
Ketajamannya menjadi berkurang karenanya.
Ini sangat dimungkinkan karena serangan Gendhuk Tri sekarang ini mengandung tenaga dalam yang tergabung, yaitu tenaga dalam tanah air. Bisa keras menggumpal, tapi juga terus mengalir.
Halayudha tak akan bisa dikalahkan di bawah sepuluh jurus, akan tetapi sekarang menjadi sangat geter, berdebar juga.
Makin disadari keampuhan Gendhuk Tri, makin tersisa pertanyaan bagaimana mungkin Gendhuk Tri mampu menyatukan serangan yang bersungguh-sungguh dengan serangan yang sebenarnya lebih bersifat menggertak.
Sedikit-banyak ini ada kaitannya dengan apa yang diperlihatkan Klobot ketika menyerang dirinya.
Klobot. Klobot merupakan kunci untuk memahami.
Baru sekarang disadari bahwa kenekatan Gendhuk Tri menyerang dengan tendangan sebenarnya pancingan pembuka. Serangan yang sebenarnya ialah libatan selendang. Cara mengerahkan tenaga seperti yang diperlihatkan Klobot dengan jurus Kakang Kawah. Hanya karena
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
dimainkan Gendhuk Tri, pengerahan itu mendekati tingkat sempurna.
Ditambah sodokan pukulan Mada, Halayudha menjadi repot.
Menjadi lebih mendebarkan lagi ketika tubuh Pangeran Hiang menggeliat dan menyampok.
Halayudha benar-benar bercekat.
Kepet Banaspati ALIH-ALIH dari melanjutkan menggempur, Halayudha malah menarik diri Mengurung dalam pertahanan.
Karena Pangeran Hiang sudah melayang masuk ke pertarungan.
Berarti juga Ngwang. Nalurinya mengatakan begitu.
Sebagian benar, sebagian lebih benar.
Pangeran Hiang menggebrak maju, karena melihat bahaya yang tak disadari siapa pun yang ada dalam pertarungan, kecuali Ngwang. Asap sirep wangi yang memadat, yang tak bisa buyar oleh tepisan angin, untuk sementara tak berbahaya.
Akan tetapi begitu menggumpal bagai pasir, Ngwang menyentak.
Seluruh kekuatannya tertumpah penuh.
Menebarkan kembali. Pasir-pasir sirep menyambar.
Lembut mematikan. Satu titik saja masuk ke mata, akibatnya bisa kehilangan penglihatan dengan cara yang sangat menyakitkan. Apalagi kalau menerobos kulit.
Ngwang tidak berhenti dengan satu gerakan.
Rangkaian serangannya yang lain muncul tanpa sungkan-sungkan, apalagi sudah jelas bahwa Pangeran Hiang membuyarkan rangkaian serangan sirep wangi.
Yang tak diduga oleh Halayudha ialah jatuhnya sambaran keras yang mengeluarkan bunyi gemeretak. Menyambar tepat di antara lehernya.
"Kepet banaspati...'"
Seruan Nyai Demang tidak berarti banyak untuk menyelamatkan posisi Halayudha.
Yang segera tahu bahwa sabetan ke arah lehernya berasal dari kepet atau kipas. Yang bahannya terbuat dari logam tipis tajam, sehingga menimbulkan bunyi kemeretek. Sambaran yang mengincar ke arah
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
batas leher ini yang menyebabkan Nyai Demang meneriakkan "kepet banaspati".
Sebab banaspati adalah sejenis hantu yang berbentuk kepala, tanpa anggota tubuh yang lain. Dengan sebutan itu Nyai Demang ingin menggaris bawahi bahwa kepala Halayudha yang menjadi sasaran.
Tidak banyak artinya karena Halayudha sudah mengalami langsung apa yang diteriakkan.
Justru ketika posisinya tersudut, dan Kangkam Galih terlilit selendang Gendhuk Tri.
Tajam dan culas seperti apa pun, Halayudha tak bisa memahami kenapa Ngwang justru menyerang ke arahnya sebagai sasaran yang pertama.
Halayudha memang memperhitungkan bahwa Ngwang juga lawan yang bakal dihadapi secara mati-hidup.
Tetapi bukan pada serangan pertama seperti ini.
Ngwang memang tidak mengikuti jalan pikiran Halayudha.
Atau yang lainnya. Dengan cabar, atau gagalnya serangan asap wangi, juga setelah diubah menjadi gumpalan pasir, Ngwang memutuskan segera mengakhiri pertarungan untuk memperoleh kemenangan mutlak.
Lawan pertama yang tak dipilih adalah Pangeran Hiang.
Bukan karena segan, akan tetapi sejak Pangeran Hiang menunjukkan pukulan membekukan asap sirep, Ngwang menjadi jeri.
Yang bisa dipilih Gendhuk Tri atau Halayudha.
Gendhuk Tri saat ini justru sedang kuat pemusatan pikiran dan kekuatan batinnya. Libatan selendangnya menunjukkan hal itu.
Jadi wajar jika yang dipilih Halayudha yang sedang terdesak. Dengan mencelakai Halayudha, berarti tinggal satu langkah ke arah Gendhuk Tri, yang sebenarnya dengan libatan selendang, tenaga dalamnya sudah menyatu dengan Halayudha.
Apa yang terjadi pada Halayudha, mempunyai getar yang sama pada Gendhuk Tri.
Bahwa Nyai Demang bisa menangkap cepat apa yang dilakukan Ngwang, sebenarnya bukan sesuatu yang luar biasa. Nyai Demang boleh dikatakan sangat menguasai ilmu dari negeri Tartar. Bahkan sejak pertama kali, kitab-kitab pusaka yang dibawa Kiai Sangga Langit telah dipelajari, sebelum sebagian disalin.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Apalagi kini yang memainkan adalah Ngwang, yang justru memakai pengertian-pengertian yang ada di Tanah Jawa. Karena ilmunya memang khusus diciptakan untuk mematahkan ilmu dan ajaran Kitab Bumi.
Ada dua pilihan bagi Halayudha.
Menjatuhkan diri menghindari sambaran kipas dalam serangan banaspati, yang berarti melepaskan Kangkam Galih. Atau menyelamatkan diri dengan cara lain, tetap dengan melepaskan Kangkam Galih yang membuatnya tertahan.
Halayudha tidak melakukan dua-duanya.
Justru sebaliknya. Tangan kirinya mencakar ulu hati Ngwang, dan pedangnya menebas ke arah pinggang. Sementara selendang Gendhuk Tri menyambar, menggulung dengan pelintiran ke arah leher.
Ngwang meleletkan lidahnya.
Tubuhnya terjungkal-balik, berkelojotan, dan kipas banaspati balik menyambar ke arah lehernya.
Mada yang masih bergulingan, membebaskan diri dengan melompat ke udara. Tubuhnya gemetar, giginya berkelutukan.
Pandangannya tak bisa menerjemahkan apa yang sesungguhnya terjadi dalam waktu yang singkat. Ada bahaya yang mengancam bagi Ngwang, sekaligus Halayudha. Tapi juga bisa berarti Gendhuk Tri.
Bagi Ngwang, karena jelas sambaran Kangkam Galih sepenuhnya tertuju ke arahnya.
Bagi Halayudha, karena sambaran selendang yang membersit dari pedang membelit ke arah leher.
Bagi Gendhuk Tri, Mada tidak yakin benar yang mana, hanya saja terasakan bahwa seluruh pertahanan Gendhuk Tri ternganga.
Hanya Pangeran Hiang yang menyadari bahaya maut bagi Ngwang lebih besar dan mengancam daripada bagi kedua yang lain.
Kalau tadi tubuhnya melayang untuk menepis pasir beracun, kini dilanjutkan dengan gerakan yang lain. Lengan kosongnya mendesak Ngwang untuk menyingkir.
Apa yang baru saja terjadi dalam kejapan terakhir memang sulit diduga.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Halayudha sendiri baru merasakan betapa ganasnya irisan kepet yang memotong ke arah lehernya. Tepat di bagian pangkal. Kesempatan untuk membuang diri dilakukan harus benar-benar bisa merata. Sebab
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
kalaupun kepalanya terbebas dari tebasan, arah kipas bisa berubah. Ini sama buruknya.
Akan tetapi pada saat itu, Halayudha merasa bahwa libatan selendang Gendhuk Tri melonggar. Mencair. Sehingga dengan cepat Halayudha menarik, sementara tangan kiri mendahului dengan serangan. Saat itu kalau Gendhuk Tri mengedut dengan selendang, bagian tubuh Halayudha yang mana pun akan dengan mudah terkena serangan.
Namun Gendhuk Tri tidak menyerang Halayudha.
Tidak melanjutkan serangan.
Melainkan mengubah menyerang ke arah Ngwang. Inilah yang dilihat Pangeran Hiang!
Ngwang lebih berada dalam bahaya besar.
Karena gempuran dua arah.
Kalau Mada tidak sepenuhnya bisa memahami perubahan itu, bukan salah atau kekurangannya. Gendhuk Tri sendiri merasa ada tenaga lain yang menggerakkan arah serangan. Tenaga yang berasal dari dalam tubuhnya.
Sewaktu selendangnya bisa melihat Kangkam Galih yang hampir menewaskan dirinya, Gendhuk Tri mengerahkan tenaga lembut. Ketika membarengi dengan tenaga bumi, dorongan itu tertarik ke arah tenaga panas yang dikerahkan Ngwang.
Masih belum jelas sepenuhnya bagi Gendhuk Tri. Apakah tarikan tenaga itu berawal dari tenaga panas yang lebih kuat dari Ngwang, ataukah nuraninya yang mengatakan lebih baik menggempur Ngwang.
Pertimbangan itu bukannya tidak ada.
Akan tetapi kalau dinalar, terlalu besar risikonya melepaskan Halayudha begitu saja. Bisa-bisa Halayudha malah balik menyerang secara licik.
Kelebatan jalan pikiran Gendhuk Tri terpupus.
Suara kemeretek kepet Ngwang menyambar ke segala penjuru. Yang paling repot adalah Pangeran Hiang.
Paling repot dan paling celaka.
Karena tubuh Pangeran Hiang melayang dengan kekuatan penuh untuk menolong Ngwang.
Padahal serangan itu datang dari Ngwang.
Pendita sakti yang banyak akal serta tipu muslihatnya ini tak mempunyai jalan lain untuk menyelamatkan diri, selain menyabetkan
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
kipas secara sama rata. Dan Ngwang bukannya tidak menyadari bahwa pada saat-saat terakhir ternyata Pangeran Hiang berusaha menolongnya. Dorongan ujung lengan kutung, dibalas dengan sabetan kipas logam tipis yang tajam.
Hanya dengan cara itu ia bisa meloloskan diri.
Serangan kemenangan darinya yang mendadak berubah terbalik, sungguh tak pernah diperkirakan. Bagaimana mungkin Gendhuk Tri dan Halayudha bisa menyatu pikirannya untuk balik menggempurnya"
Kalau ini permainan sebelumnya, alangkah sempurnanya manusia Tanah Jawa ini.
Tak ada manusia lain yang mampu memahami.
Sebenarnya tak bisa dikatakan bahwa Gendhuk Tri bersekutu dengan Halayudha. Semuanya bisa terjadi, karena kekuatan tenaga dalam Gendhuk Tri yang kini berbeda dari sebelumnya. Inti tenaga dalam Gendhuk Tri merupakan perpaduan tenaga tanah atau tenaga bumi dengan tenaga air. Sementara Halayudha memakai tenaga bumi. Unsur yang sama, tenaga bumi dalam tubuh Gendhuk Tri dan Halayudha bisa menyatu.
Kepet Kemamang KARENA memancarkan getar yang sama, tenaga yang mempunyai sifat dan sumber sama lebih mungkin menyatu daripada bertentangan.
Ini tidak dipahami Ngwang. Yang tidak mengetahui asal-usul Kitab Bumi, dan bagaimana hubungannya dengan Kitab Air. Yang bahkan pada tingkat awal dulu, Gendhuk Tri pernah memainkan bersama Maha Singanada.
Atau bahkan berlatih bersama Halayudha!
Hal yang bisa dengan cepat disadari Pangeran Hiang. Yang menemukan inti ajaran dengan menciptakan Enam atau Tujuh Langkah Karawitan. Di mana iramanya memang berbeda dan terasa ganjil bagi yang tidak masuk ke dalam jiwa karawitan.
Pangeran Hiang mampu menyelami. Makanya bisa memahami kemungkinan serangan Halayudha dan Gendhuk Tri menyatu.
Itu yang menyebabkannya bergerak cepat.
Tapi itu juga yang menyebabkannya masuk ke dalam tusukan maut.
Karena Ngwang melepaskan kepet banaspati, dan lempengan-lempengan kipas terlepas. Lempengan besi tipis yang mengeluarkan bunyi kemeretek itu lepas, dan menyebar dengan tenaga penuh ke segala penjuru.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Termasuk ke arah Pangeran Hiang.
Yang sebenarnya cukup memaklumi kemungkinan itu. Sangat memaklumi, justru karena Pangeran Hiang datang ke Tanah Jawa dengan perahu Siung Naga Bermahkota yang dilengkapi senjata rahasia beraneka ragam. Hanya saja Pangeran Hiang tidak menduga sama sekali bahwa Ngwang akan mempergunakan itu untuk membela diri setelah mengetahui dirinya melayang untuk menolong.
Dan sesungguhnya tidak perlu melakukan itu.
Belum perlu. Ngwang masih bisa meloloskan diri dengan merendahkan tubuhnya yang selalu berjarak dengan cara menggulung tubuhnya secara bulat.
Atau sebaliknya, memancal bumi dan melayang dengan tenaga ngleyang kabur kanginan, mengikuti getaran angin.
Dengan cara seperti ini Ngwang bukan hanya berhasil meloloskan diri, tetapi juga bisa memancing lawan mengejar, dan pada saat itu ikatan kipasnya dibuka.
Selain jauh lebih bertenaga dan lebih terarah sasarannya, juga lebih tak terduga. Karena Halayudha dan Gendhuk Tri merasa sedikit di atas angin.
Dan yang lebih penting lagi bagi Pangeran Hiang, dirinya tidak masuk perangkap!
Ataukah justru ini yang dikehendaki Ngwang"
Karena merasa Pangeran Hiang sudah memusuhi, atau tak bisa diajak bersama-sama menaklukkan Tanah Jawa seisinya"
Apa pun alasannya, bagian kipas itu menghunjam ke arahnya.
Mada mendengar pekik kematian.
Ada darah muncrat. Membasahi tubuhnya juga.
Seseorang telah terkena lempengan kipas dari logam tipis itu.
Mengena tepat. Pandangannya belum bisa menangkap secara utuh. Karena perhatiannya masih tertuju ke arah jalannya pertarungan ketimbang bersikap menjaga diri. Makanya tidak bisa mengikuti secara cermat apa yang tengah berlangsung.
Tidak berarti Mada tidak bisa menangkap bayangan yang melabrak masuk. Hanya saja tidak bisa segera mengenali, karena bayangan itu seperti sangat aneh. Seperti Upasara Wulung, tokoh yang diam-diam sangat dihormati, yang seolah memiliki sayap.
Nyai Demang memeluk Klobot erat-erat, dan bibirnya menjadi kering.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Yang masuk ke medan pertarungan memang Upasara Wulung.
Tampak aneh di mata Mada, tetapi tidak di mata Nyai Demang. Karena Upasara menggendong Cubluk, yang disampirkan di pundaknya.
Upasara muncul dalam keadaan terdesak.
Itu yang membuat Nyai Demang kering bibirnya. Bukan karena ucapan bahwa Upasara selama ini tak akan melibatkan diri dalam pertarungan, sesuatu yang agak tidak masuk akal kalau dipertahankan sekarang ini.
Melainkan karena saat ini Upasara Wulung masih bergulat dengan maut. Kondisi Cubluk yang tersampir di pundaknya tak jauh berbeda dari ketika berangkat ingin menemui Mpu Tanca.
Bahkan boleh dikatakan lebih menguatirkan lagi.
Cubluk dalam keadaan kelewat gawat.
Satu-satunya dewa penolong yang bisa menahan merambatnya bercak hitam hanyalah tenaga dalam Upasara. Perawatan yang membutuhkan pemusatan pikiran sepenuhnya. Sedikit saja alpa saat bercak menyerang, habislah nyawa Cubluk. Barangkali perjalanan yang panjang dan penuh kehati-hatian menyebabkan kondisi Cubluk makin merosot.
Sementara Upasara sendiri, begitu kembali ke Perguruan Awan disambut dalam pelukan pertarungan mati-hidup.
Dengan memanggul Cubluk yang tak bisa dilepaskan begitu saja.
Kalau tidak, pastilah tidak dipanggul seperti sekarang ini, menyeruak ke dalam pertarungan ganas yang setiap gerakan menggariskan kematian.
Adalah bahaya yang tak terperikan membawa Cubluk ke medan yang mempercepat kematian bagi siapa saja.
Apalagi kemunculannya justru saat Ngwang melepaskan kipas besinya.
Hanya Gendhuk Tri yang mengetahui bahwa Upasara mau tak mau akan muncul pada saatnya. Nalurinya sebagai ksatria sejati, dorongannya sebagai manusia yang tak bisa dipisahkan dari keadaan sekelilingnya, akan memaksanya keluar. Meskipun tengah bergulat dengan kematian, dengan nyawa Cubluk sekalipun, Upasara tetap Upasara yang tak pernah bisa memikirkan hanya dirinya sendiri.
Gendhuk Tri makin sadar siapa lelaki yang didampinginya selama ini.
Ksatria sejati, lelananging jagat yang dengan kepala tegak menghadapi bahaya untuk menolong sesama, tetapi juga masih manusia biasa yang keras menolak menemui Permaisuri Rajapatni.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Lelaki sejati. Upasara Wulung. Kakang Upasara! Hanya saja Gendhuk Tri merasa pemunculan kali ini bukan saat yang tepat. Gendhuk Tri merasa yakin bisa mengatasi pertarungan, dengan cara apa pun, meskipun harus mengerahkan seluruh kemampuannya.
Upasara bisa sedikitnya menunggu sampai situasi lebih jelas. Atau seperti yang disindirkan Halayudha.
Barangkali Upasara memang baru saja datang.
Barangkali sudah sejak tadi.
Tetapi sifat mencari keuntungan untuk kepentingan diri sendiri bukanlah sifat Upasara. Lagi pula tak ada saat yang tepat untuk ikut bertarung.
Sampai kapan pun situasi tetap mengandung bahaya dan tak menentu. Terutama bagi Cubluk.
Cubluk yang murni, gadis kecil yang matanya bagai mata rusa.
Yang berpandangan jernih.
Entah kenapa emosi Gendhuk Tri memuai dan merayap liar. Bisa jadi karena beban pikirannya selama ini menjadi lepas dari ketegangan dengan munculnya Upasara Wulung.
Seolah Upasara adalah penyelesai segalanya.
Padahal Mada saja mengetahui bahwa siapa pun di antara ksatria utama, tak akan menyelesaikan seorang diri.
Upasara Wulung berdiri tegak.
Tangan kanannya mengurut lembut punggung Cubluk, sementara bibirnya berkomat-kamit seakan membisikkan sesuatu yang menenteramkan hati.
Ditantang dengan penghinaan yang paling buruk sekalipun, tak akan membuat Upasara muncul. Akan tetapi ketika mengetahui bahwa jiwa Pangeran Hiang terancam bahaya, kakinya menjejak bumi. Tubuhnya bergerak cepat, dua tangannya membuka, dan serta-merta memancarkan hawa keras, panas, menyambar ke arah kipas Ngwang yang membuka.
Menjadikan pecahnya senjata rahasia sebagai kekuatan kepet kemamang, yaitu mengubah arah semua serangan ke bagian pangkal kepala menjadi kekuatan api.
Kemamang adalah salah satu dari sebelas hantu yang menampilkan diri dalam bentuk api menyala. Tanpa pemberitahuan Nyai Demang
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
yang meneriakkan nama kepet banaspati, Upasara sudah menangkap arah dan maksud serangan. Makanya dengan sama mudahnya bisa mengubah menjadi serangan api.
Dengan mengubah menjadi kepet kemamang, arah luncuran lempengan kipas tidak hanya mengarah ke leher, melainkan menyebar ke segala penjuru, seperti berkobarnya api.
Kelihatannya perbedaannya kecil, akan tetapi sangat besar artinya bagi para jago silat. Terutama bagi Pangeran Hiang yang untuk sepersekian kejap bisa menyelamatkan diri.
Perubahan arah yang sekejap, memberi cukup waktu untuk mengubah jalan hidupnya dari kematian.
Sebaliknya yang terjadi pada diri Naka.
Tidak tepat benar demikian. Karena kalaupun tidak diubah, lempengan kipas itu tetap akan memutuskan lehernya. Hanya arahnya yang berubah dan menembus tepat di tengah dadanya.
Pekikan kematian dan muncratnya darah segar, yang menyadarkan Mada bahwa maut sudah mulai menggerayangi satu demi satu.
Dan agaknya tak akan berhenti.
Halayudha sudah mengangkat tinggi-tinggi Kangkam Galih.
Memindahkan dari tangan kanan ke tangan kiri. Pandangannya liar menyapu.
Pangeran Hiang melirik ke Upasara dalam kejapan pandangan mata yang cepat, sebelum bersiaga. Tangannya yang masih utuh terkepal dengan siku tertekuk.
Tega Lara... DALAM putaran pertama, yang paling menderita adalah Ngwang.
Pendita Tartar yang memiliki beberapa keunggulan, dan tidak terlalu kalah dalam bidang yang lain, ternyata ditabrakkan pada dinding kekalahan.
Satu-satunya lawan yang bisa dijungkirbalikkan hanyalah Klobot.
Selebihnya, dirinya yang menjadi korban.
Semua senjata andalan yang dikeluarkan ternyata sia-sia. Pecahan tasbih yang memancarkan bau wangi penyirep tak banyak gunanya.
Hanya mampu membuat barisan prajurit kawal Keraton, serta Raja Jayanegara, dan Mahapatih tidak melakukan perlawanan.
Pecahan tasbih yang merupakan salah satu dari senjata andalannya yang bisa membungkam seluruh petarung, bisa dimentahkan oleh
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pangeran Hiang. Bahkan juga bagian kedua yang berbentuk pasir, musnah begitu saja.
Kemudian kipas logam tipis yang biasa menyodet leher hingga memutus kepala, dengan rahasia terbesar bisa dilepas sebagai senjata rahasia, juga tak banyak berbicara. Kalaupun ada hasilnya, hanyalah menjatuhkan seorang prajurit yang sama sekali tak dikenal.
Keunggulannya dalam bermain silat dengan tendangan maut hanya mengenai Nyai Demang, yang juga boleh dikatakan tidak bersiaga.
Apa yang diharapkan bisa menjadikan kemenangan besar, ternyata membuahkan kesia-siaan.
Ini semua masih harus ditambah bahwa hubungannya dengan Pangeran Sang Hiang makin rapuh. Makin patah arang.
Dan kini posisinya sudah tersudut. Tak bisa mundur atau mengelak lagi. Karena ketahuan bahwa lepasan kipasnya termasuk untuk menghajar Pangeran Hiang.
Lautan dendam, murka, kebencian, menggelegak di seluruh pembuluh. Wajahnya tampak membeku, kering terbakar nafsu. Hangus oleh amarah.
Bibir Ngwang mendesis bagai jeritan barisan ular yang dilindas derap kaki kuda.
Dari kejauhan, Nyai Demang menahan napas.
Pergolakan batin Ngwang bisa dirasakan. Dalam hubungan dengan Pangeran Hiang, Ngwang dua kali dipermalukan. Pertama, saat pemutusan hubungan tali kandungan, punahnya rasa persaudaraan.
Kedua, ketika tadi Ngwang melepas lempengan kipas tipis, justru pada saat Pangeran Hiang bergerak menolong.
Ini tak berbeda jauh dari apa yang menjadi budaya di mana Nyai Demang hidup. Peribahasa kata, hubungan Pangeran Hiang dengan Ngwang masih bersifat tega larane, ora tega patine. Tega melihat sakit, tapi tidak tega membiarkan mati.
Dengan kata lain, meskipun sudah putus hubungan persaudaraan, Pangeran Hiang masih tetap tak akan membiarkan Ngwang mati mengenaskan.
Gondok, kesal, dongkol, berdentuman dalam dadanya.
Dengan demikian pengaruh sirep Ngwang menjadi pudar. Kuncian yang membuat Raja, Jabung Krewes, serta para prajurit membisu tak sadarkan diri, menjadi buyar.
Bersamaan dengan itu, terdengar suara-suara. Para prajurit terbangun dan dalam bingungnya lebih membuat kegaduhan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sementara Mahapatih Jabung Krewes bahkan terjatuh dari dahan di mana ia tertidur.
Hanya Raja yang merasa lebih tenang.
Berpegangan di dahan, menggelantung, sambil melihat ke bawah.
Melihat begitu banyak ksatria yang tampak aneh, melihat prajurit kawalnya serabutan tak berirama dalam barisan.
"Rama Ingkang Sinuwun..."
Teriakan Klobot yang menggema lebih dulu.
Nyai Demang mendongak ke atas. Dan bercekat karena memang yang dilihatnya tak lain dan tak bukan adalah Raja Majapahit. Raja yang bergelantungan di atas pohon.
Hal lain yang tak terduga ialah dengan teriakan Klobot, Cubluk yang berada di pundak Upasara Wulung menggeliat.
"Rama..." "Ya, saya di sini, Anak Ayu.... " Jawaban Upasara Wulung terdengar antara haru dan berpengharapan. Haru melihat wajah Cubluk yang pasi, berpengharapan karena setelah sekian lama bibir pucat itu terkancing rapat kini membuka. Biarpun sangat lirih.
Cubluk menggeleng. Jakun Upasara turun dan tertahan.
"Rama..." Suara Cubluk lirih. Gendhuk Tri mendekat. Rapat. Upasara menahan napas. Cubluk menyebutkan "rama", akan tetapi yang dimaksudkan bukan dirinya.
"Rama Ingkang Sinuwun. Hamba menghaturkan sembah pangabekti.
Mudah-mudahan diterima di telapak kaki Sinuwun..."
Klobot melepaskan diri dari rangkulan Nyai Demang.
Bersujud di tanah. Cubluk ikut melorot. Perlahan Upasara menurunkan ke tanah, sementara Gendhuk Tri berjaga, karena Halayudha masih memainkan pedang dari tangan kiri ke tangan kanan. Karena Ngwang masih menggeletar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Perlahan sekali Upasara menurunkan Cubluk, akan tetapi gadis kecil itu seakan tak menyimpan tenaga sedikit pun. Sehingga begitu kakinya menyentuh tanah, seluruh tubuhnya ambruk seperti selembar kain.
Nyai Demang mengeluarkan suara tertahan.
Klobot masih bersujud. Mendadak Nyai Demang berteriak keras.
"Katakan sesuatu kepada mereka berdua.
"Agar tak perlu bersujud seperti itu.
"Katakan!" "Ingsun tak kenal siapa kalian.
"Untuk apa menerima sembah sungkem seperti ini."
Nyai Demang benar-benar gusar.
Masih bagus ada yang menghormat begitu dalam. Tapi masih bisa bertingkah. Tenaga Nyai Demang tersalur ke tangan. Siap memukul.
Hanya saja pinggangnya masih kaku dan menimbulkan rasa sakit.
"Raja, bersabdalah, agar Klobot dan Cubluk bisa mengakhiri sembah mereka."
Gendhuk Tri bersuara keras, akan tetapi sikapnya sangat hormat.
Bersila dan menyembah. "Kalian orang perguruan mursal, perguruan rusak. Sejak kapan ada raja diperintah?"
Belum habis suaranya, terdengar bunyi keras.
Pohon sebesar dua pemeluk condong, karena bagian bawahnya kena tebas.
Luar biasa. Halayudha hanya menggerakkan Kangkam Galih dan angin kesiurannya mampu menggores dalam. Dengan sekali sabet. Ketika Halayudha mengayun untuk kedua kalinya, disusul sekali lagi, pohon raksasa itu benar-benar roboh.
Menimbulkan suara keras yang memekakkan telinga.
Raja Jayanegara melayang turun.
Masih dengan senyum yang keras.
Mada meloncat, dan menubruk cepat.
Hingga keduanya bergulingan.
"Baik, baik, berdirilah kalian berdua." Suara yang serak tertahan terdengar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Klobot menyembah lagi, dan kini bersila.
Cubluk ditarik kembali oleh Upasara. Dipanggul di pundak. Lehernya tertekuk, seolah memang tak memiliki sisa kekuatan sedikit pun.
Apa yang dilakukan Mada, tak mungkin bisa dilakukan orang lain.
Dengan menubruk, Mada menyelamatkan Raja. Tapi juga sekaligus membuat Raja terjatuh. Dan saat itu terdengar suara mengiyakan.
Masih menjadi tanda tanya, apakah itu perintah Raja, ataukah suara Mada yang menirukan. Namun siapa pun yang berbicara telah menyebabkan, terutama Cubluk, merasa tenang dalam rangkulan Upasara.
Bisa dibayangkan betapa ruwetnya persoalan, jika Raja tetap tak mau mengatakan sepatah kata pun.
Mahapatih Jabung Krewes segera maju melindungi.
Tapi belum lima langkah tubuhnya terjungkal kaku. Setiap kali Halayudha menggerakkan tangannya, tiga atau lima prajurit jatuh keras.
"Jangan mengacaukan suasana.
"Di sini hanya para ksatria yang berhak berdiri."
"Halayudha!" Mada segera menarik Raja menjauh.
Setengah menyeretnya. "Tidak akan terulang dua kali!" teriak Raja gusar.
"Maaf, Raja Sesembahan.
"Para ksatria sedang mengadu ilmu."
"Kamu kira Ingsun ini siapa atau apa?"
Raja mengentak, dan tubuh Mada terlempar kembali ke tengah pertarungan.
Ngwang mendesis. Klobot berlutut. Nyai Demang mendampingi. Tangan kanan Upasara masih mengurut punggung Cubluk dengan lembut. Dengan getaran kasih yang mengalir dari seluruh jemarinya.
Hanya Pangeran Hiang yang berdiri kaku.
Ngwang sedang merencanakan sesuatu.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Anak Raja, Cucu Halayudha
GENDHUK TRI merasa serba susah.
Kalau mengikuti adatnya, meskipun pikirannya terpantek pada Cubluk, tangannya yang jail bisa mempermainkan Raja. Akan tetapi kalau itu dilakukan, bisa melukai hati dan perasaan Cubluk serta Klobot sekaligus.
Membiarkan Raja mengumbar kesombongan, membuat darahnya mendidih. Yang dalam pertarungan penentuan, bisa mengganggu.
"Klobot, berdiri yang gagah!
"Di sini Halayudha. "Eyangmu. "Memerintahmu."
Klobot ragu. "Kalau kamu putra Tenggala Seta, kamu adalah cucuku.
"Sekarang kamu telanjang agar semua mata bisa melihat plananganmu, kelelakianmu."
Ganjil, seakan tak keruan juntrungannya omongan Halayudha bagi yang tidak memahami.
"Hamba menunggu perintah Rama Ingkang Sinuwun..."
"Kamu ini bagaimana"
"Kalau kamu cucu Halayudha, mana mungkin putra Raja"
"Tapi begitu juga tak apa.
"Asal kalian tak mengganggu.
"Kami sedang menentukan siapa yang paling unggul.
"Minggir!" Tangan Halayudha bergerak. Kangkam Galih berpindah dari tangan kiri ke tangan kanan. Desiran anginnya mengiris tajam.
Mada bersila di kaki Raja.
Di antara para prajurit kawal raja, Mada boleh dibilang sangat dekat, walau bukan prajurit yang kinasih, atau dicintai, atau diistimewakan.
Bahkan boleh dikatakan biasa-biasa saja. Bahkan dikirim ke Daha sebagai tanda dibuang.
Namun Mada adalah prajurit sejati.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Apa pun perlakuan yang diterima, semuanya dijalani dengan tulus, dengan ikhlas dan rasa bahagia.
Hanya sekarang ini tak pernah bisa mengerti kenapa Raja bersama Mahapatih menuju ke Perguruan Awan. Dan belum-belum sudah temangsang, tersangkut di pohon. Alangkah aib dan hinanya.
Maka kini Mada ingin melindungi sepenuhnya.
Segala kehormatan dan pengabdiannya dipertaruhkan. Siapa pun yang bermaksud kurang ajar apalagi mencelakai, akan dihadapi dengan taruhan jiwa-raga.
Dadanya membusung. Terisi penuh udara keprajuritan.
Raja memandangi sekitar dengan tajam. Dirinya pernah berkelana ketika Kuti memberontak. Masuk ke semak belukar. Tapi tidak dengan cara seperti ini. Di mana semua yang ada tegak berdiri, tidak menoleh, tidak menyapa ke arahnya.
Sungguh suatu kehinaan yang nista yang dioleskan ke wajahnya.
Halayudha pernah membuatnya berlutut.
Akan tetapi tidak di alam terbuka.
Mendadak berkelebat bayangan aneh dalam pikiran Raja. Selalu bisa muncul kelebatan pemikiran yang lain. Seperti ketika mendadak ingin mengangkat Praba Raga Karana menjadi permaisuri.
Yang kini membuat pikirannya berkelebat adalah Klobot serta gadis kecil di pundak Upasara Wulung.
"Klobot, dan kamu gadis kecil, mari kemari.
"Ingsun mau melihat lebih dekat."
Suaranya biasa. Tetapi pengaruhnya terasa. Klobot berjalan laku dodok, setengah merangkak ke depan. Demikian juga Cubluk yang menggeliat di pundak Upasara.
Upasara tak bisa berbuat lain, selain laku dodok juga, agar Cubluk di pangkuannya merasa melakukan hal yang sama.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat yang tepat! Ngwang melihat adanya kesempatan terbaik.
Sakti seperti tujuh dewa, mempunyai nyawa rangkap tujuh, tak nanti Upasara bisa lolos dari tangannya. Dengan sekali sergap, Ngwang akan memperoleh kemenangan.
Saat yang tepat. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tetapi juga membuat Ngwang ragu.
Gendhuk Tri bisa menyambar dengan nekat. Sementara Pangeran Hiang mungkin juga tak akan membiarkan begitu saja.
Kecuali kalau dirinya memiliki senjata rahasia.
Kedua tangan Ngwang masuk ke dalam pakaian yang gedombrongan.
Menganyam seblak, semacam sapu pembersih, yang terbuat dari helai rambut yang telah disusupi racun ganas. Dengan menyentak dan melepaskan mendadak ratusan rambut, pasti ada yang menyangkut dan menyusup.
Saat yang tepat! Tinggal melaksanakan. Tangan Ngwang gemetar. Tubuhnya yang tak menyentuh tanah turun beberapa jari.
Pangeran Hiang melirik. Bersamaan dengan Halayudha.
Semua napas seperti tertahan.
Karena masing-masing dapat menduga kemungkinan yang bisa muncul secara sangat tiba-tiba. Bisa memperkirakan serangan yang sedang direncanakan.
Klobot terus ngesot ke depan.
Dalam jarak lima tombak berhenti, bersila, dan menyembah.
Juga Cubluk dalam pangkuan Upasara Wulung.
"Tidak semua bibir di jagat ini berani memanggil Ingsun dengan sebutan rama.
"Tidak juga Dewa di langit ketujuh.
"Tapi kalian berani menyebut.
"Dari mana asal kalian dan kenapa kalian berada di sini?"
Dari mata Cubluk yang kuyu menetes air.
Hangat tapi pedih. Mulut Klobot terkunci. "Barangkali kalian memang salah satu dari putraku yang begitu banyak dan tak kukenali.
"Barangkali juga anak yang berkeliaran dan biasa bermimpi paling ganjil.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalau kalian benar putraku, ikat tangan semua yang ada di sini.
Paksa mereka menyembah kepada Ingsun"
Perintah yang paling gila yang pernah didengar Nyai Demang.
Tapi Klobot menyembah dalam.
"Sendika dawuh, Rama Ingkang Sinuwun..."
Klobot membalik. Menarik tangan Upasara ke belakang.
"Menyembah, Rama Wulung!
"Rama Wulung harus menyembah!"
Upasara mendongak ke arah langit.
Helaan napasnya terdengar berat.
"Bagaimana mungkin mengikat tangan sekaligus memerintahkan menyembah"
"Sudah begini susahkah manusia mengucapkan kata-kata?"
Tangan Upasara yang berada di belakang bergerak. Menyembah.
Tubuhnya sedikit membungkuk, pundaknya tertarik ke atas. Jabung Krewes yang pertama bereaksi. Tangannya seperti akan bergerak, sebelum lututnya bisa lurus. Tenaga tangan yang dirangkapkan mengalir, memancar bagai sinar. Lurus menghantam Raja, tepat di bagian ulu hati.
Raja menahan kekuatan di perutnya.
Akan tetapi apa yang dialami tak berbeda banyak.
Pangeran Hiang sedikit mengerutkan alisnya. Agak di luar dugaannya bahwa Upasara akan bertindak seperti itu. Rasa-rasanya agak kasar dan tak mungkin dilakukan seorang yang selama ini dikenalnya.
Pangeran Hiang sadar ucapan Upasara tentang "seorang yang diikat tangannya sekaligus disuruh menyembah" merupakan puncak kejengkelan. Siapa pun yang mendengar bisa sebal akan kesewenang-wenangan perintah yang tak mungkin bisa dilaksanakan. Akan tetapi sekali lagi tetap tersisa pertanyaan, kenapa Upasara bisa melakukan hal itu"
Pertanyaan kecil ini menjadi sangat penting bagi Pangeran Hiang untuk bisa memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi di Tanah Jawa ini. Bagaimana perilaku yang hidup dalam diri para ksatria sehingga mereka kondang, dikenal di seluruh jagat.
Salah satunya seperti yang diperlihatkan Upasara Wulung.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ksatria yang berbakti, yang mengabdi sepenuh jiwa-raga tanpa mengharapkan imbalan sedikit pun baik pangkat maupun derajat, yang akan menerima penghinaan dengan kepala tunduk, tapi ada saatnya juga bisa memperlihatkan sikap yang kasar.
Yang masih menjadi pertanyaan Pangeran Hiang, apa yang menyebabkan Pangeran Upasara menjadi kasar" Apa yang menyebabkan Upasara begitu gusar"
Upasara mampu menguasai pergolakan emosi, perasaan, dengan sikap pendita. Pastilah ada sesuatu yang lebih mendasar yang membuat Upasara melepaskan tenaga membungkam.
Gadis kecil di pangkuannya"
Mungkin. Tapi kalau itu sebabnya, pasti sejak tadi sudah dilakukan.
Agar tak mengganggu jalannya pertarungan" Mungkin.
Tapi kalau itu sebabnya, apa bedanya dengan Halayudha"
Pertanyaan kecil yang mengasyikkan. Karena bisa menyelam jauh ke dalam. Hanya saja bukan sekarang saatnya. Karena Upasara sudah membalik, memanggul gadis kecil itu.
Sementara Halayudha mulai teratur napasnya.
Tangan Ngwang sepenuhnya masuk ke saku.
Angin berhenti mengalir. Seakan tak ada napas. Pertarungan Perjaka SITUASI lengang tak berlangsung lama.
Boleh dikatakan lebih lama mata berkejap atau kilat menyambar.
Begitu Upasara tegak, begitu pedang bergerak dari tangan kanan ke tangan kiri, begitu pula Halayudha sudah melancarkan serangan.
Yang bergerak bersamaan adalah Gendhuk Tri.
Dalam membaca situasi, Gendhuk Tri bisa bergerak cepat. Kalau menunggu sedikit saja, pertarungan pasti akan terserap kepada Upasara. Baik Halayudha maupun Ngwang, lebih ngincim, mengancam, Upasara. Yang saat ini justru sedang direpotkan dengan memanggul Cubluk.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Serangannya memotong kemungkinan gebrakan yang diduga bakal dilancarkan Halayudha begitu Raja berhasil dibungkam. Namun ternyata pada saat yang bersamaan, Halayudha juga bergerak.
Kalau tadi keduanya bersatu menggempur Ngwang, sekarang pertarungan justru berawal dari Halayudha dengan Gendhuk Tri. Hanya bedanya, Halayudha tidak memilih satu lawan. Kejemawaannya terlihat jelas. Cakaran tangan kiri kembali mengarah ke Ngwang, sementara sabetan pedangnya ke arah Gendhuk Tri maupun Nyai Demang.
Nyai Demang memang paling lemah posisinya. Keunggulannya membaca situasi yang sedang berlangsung seakan tak ada gunanya.
Sementara ilmu silatnya tak seberapa dibandingkan para jawara yang terkemuka. Beban lain, jalan pikirannya masih ngacak tidak menentu.
Baik karena kehadiran kembali Pangeran Hiang, ataupun memprihatinkan Klobot yang kini berada di tempat jauh darinya. Masih harus ditambah bagian bawah tubuhnya tak bisa digerakkan leluasa.
Sabetan pedang Halayudha bisa melukai, meskipun hanya sambaran anginnya. Dua-tiga kali Halayudha menebas, tubuh Nyai Demang bisa menjadi daging cincang, tanpa pernah tersentuh pedang.
Apa yang bisa dilakukan hanyalah bergulingan, menggulung diri.
Namun tak urung pundaknya terasa panas, dan kekakuan di pinggang mulai merayap ke atas.
Yang pertama terasa kaku adalah tengkuknya.
Celaka berat, pikirnya. Kalau keadaannya makin parah, dirinya akan menjadi beban bagi Upasara maupun Gendhuk Tri. Tak ubahnya dengan Cubluk.
Dalam keadaan terjepit, Nyai Demang mengertakkan gigi. Dirinya tak mau menjadi si lumpuh yang tak berguna. Apalagi menjadi halangan.
Rasa bersalah dalam hatinya tak bisa dihapus, jika itu berkelanjutan.
"Mada, kamu maju!"
Suara Nyai Demang lebih memerintah dari meminta.
Anehnya, Mada seperti mendengar panggilan yang sudah ditunggu.
Kedua tangannya terkepal, dan mulai menggeliat. Getaran tubuhnya mengguncang medan pertarungan. Sebuah persiapan pengerahan tenaga dalam, yang bagi Halayudha tak perlu memakai waktu dan sikap khusus seperti itu.
Perhitungan Nyai Demang, meskipun kedengarannya asal-asalan, sebenarnya mempunyai akar yang kuat. Lejitan pikirannya masih mampu mengambil jarak dari persoalan yang ada.
Dan menemukan jalan keluar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan melihat, di antara sekian orang yang bertarung, dirinya yang paling lemah. Bukan kebetulan kalau keadaan dirinya berbeda dari yang lain.
Dirinya sudah berkeluarga.
Sementara yang lainnya, rasanya masih perjaka tulen.
Selama ini Upasara Wulung tak pernah berhubungan dekat dengan wanita. Bahkan hubungannya yang menyatu dalam batin dengan Permaisuri Rajapatni, sebenarnya tak lebih dari sentuhan tangan. Tidak sampai hubungan badani. Daya asmara masih tersimpan murni.
Demikian juga halnya dengan Gendhuk Tri. Meskipun usianya sudah jauh melewati masa remaja, Gendhuk Tri malah boleh dikatakan bersikap dingin jika berhubungan dengan para ksatria. Satu-satunya keikhlasan menyerahkan pilihan adalah kepada Maha Singanada. Tapi itu pun baru terbatas menyatakan kesediaan, ketika kemudian ksatria gagah berani itu mengorbankan diri menggantikan posisi Upasara.
Tokoh yang lain, rasanya demikian juga.
Halayudha, meskipun menurut kabar pernah berhubungan dengan Dewi Renuka di masa remaja, sekarang malah tidak memiliki apa-apa.
Barangkali demikian juga halnya dengan Pangeran Hiang. Meskipun resminya memiliki calon permaisuri Putri Koreyea, tetapi menurut kabar cerita, Putri Koreyea menderita sakit parah sejak dinikahi resmi.
Tak jauh berbeda dari Ngwang.
Gelaran pendita pastilah diterapkan dengan benar.
Itu sebabnya Nyai Demang kemudian meneriakkan nama Mada. Yang dari sisi ini, bisalah dianggap tetap perjaka.
Kemungkinan perhitungan Nyai Demang bisa keliru, dan itu akan bisa dibuktikan dengan siapa yang lebih dulu tertindih.
Akan tetapi lepas dari tepat atau meleset sedikit, teriakan Nyai Demang ada gunanya. Dengan masuknya Mada ke dalam pertarungan, seakan membebaskan Mada dari "kewajiban" menunggui Raja yang kaku, di samping untuk sementara sodokannya mempunyai pengaruh terhadap gerakan Halayudha.
Dilihat sepintas memang kurang masuk akal.
Mada hanyalah prajurit biasa. Sementara Halayudha adalah mahapatih. Dari segi penguasaan ilmu silat, Mada boleh dikatakan masih bau pupuk bawang di ubun-ubunnya, sementara Halayudha sudah terlalu kenyang dengan berbagai ilmu. Dari segi taktik dan strategi, Mada hanya mengenal satu garis lurus, sementara Halayudha dengan lingkaran dan cabang-cabang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Akan tetapi dalam dua jurus awal, Mada bahkan mampu mengimbangi Halayudha. Sabetan ganas Kangkam Galih yang selama ini selalu menyembelih dan dihindari lawan-lawannya, bisa disusupi Mada.
Bahkan beberapa kali sikunya menyerempet dada.
Kepercayaan diri Nyai Demang tumbuh lagi. Apa yang membersit dalam alam pikirannya ternyata tidak sepenuhnya keliru. Meskipun Nyai Demang tidak tahu persis bahwa hubungan Mada dengan Halayudha memang berbeda dari yang biasa.
Hubungan antar manusia, hubungan sesama mahamanusia, meniadakan jarak pangkat dan derajat, serta penguasaan ilmu. Karena Halayudha dalam banyak hal bisa merasa cocok dan terjawab oleh Mada. Begitu juga sebaliknya.
Sentuhan persamaan getaran inilah yang membuat Mada seolah bisa menebak apa yang dilakukan Halayudha. Bahkan sejak pergelangannya berputar, Mada bisa mengetahui arahnya.
Memasuki jurus ketiga, benar-benar suatu keajaiban.
Halayudha bahkan bisa didesak Mada, dan hanya melayani Mada.
"Paduka keliru, bukan ditahan di perut, tapi sedikit ke bawah."
"Tutup mulutmu!"
"Tak bisa. "Paduka jangan memaksa.
"Lambung diserang, tapi jidat tak boleh tertutup. Getarkan seperti ketika Paduka mendorong tenaga Bibi Jagattri. Dorongan tenaga memaksa."
Halayudha makin blingsatan.
Pemusatan pikirannya menjadi buyar tak menentu.
Masuk di tataran kebimbangan, Mada makin bisa menguasai jalan pikiran. Dan terus mengatakan apa yang sebaiknya dilakukan, dan apa yang sebaiknya jangan dilakukan.
Halayudha menggerung keras.
Bukan Halayudha kalau kena didikte begitu saja. Tekanan yang berat justru memberikan perlawanan yang lebih dahsyat lagi. Gerungan keras disertai auman membuat Kangkam Galih tergetar. Karena secara mendadak Halayudha mengubah cara bersilatnya. Mengubah total.
Kangkam Galih digigit! Sodokan Mada tertahan. Matanya membelalak. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Nalarnya tak bisa menerima bagaimana pedang sakti yang kelewat tajam itu digigit. Bukan hanya tidak bisa dilakukan untuk menyerang, tapi sangat membahayakan dirinya.
Apalagi Halayudha menarik kedua tangannya.
Menggebuk Mada dengan pedang yang tergigit.
"Mundur!" Teriakan Nyai Demang terlambat.
Pundak Mada kena gempur, hingga tubuhnya terbalik bagai kena dorongan keras dari depan dan tarikan kuat dari belakang. Akibatnya terpuntir.
"Balik!" Kalimat Nyai Demang tidak jelas. Tetapi sebenarnya Mada bisa menangkap apa maunya. Bahwa Halayudha menukar cara berpikir dan cara bersilatnya. Membalikkan jalan pikiran yang ada. Kalau pedang biasa dipegang, kini digigit. Kalau tangan untuk memukul, kini ditelikung sendiri. Kalau tenaga dikerahkan sewaktu memukul, kini justru disimpan.
Mada yang terjebak. Penguasaan jalan pikirannya menjadi keliru.
Itu sebabnya kena sampok.
Kalaupun Mada sadar, tak bisa segera mengubah diri. Karena sampokannya mengena cukup keras. Dan membuat pandangannya berkunang-kunang.
Napasnya menjadi sesak. Hanya karena Halayudha kemudian mengarah kembali ke Gendhuk Tri dan Nyai Demang, Mada terhindar.
Pasangan Tanah air HALAYUDHA harus menukar kembali cara bersilatnya. Karena kalau menghadapi Gendhuk Tri memakai cara yang sama, belum-belum Kangkam Galih akan menyobek bibirnya sendiri.
Itulah Halayudha. Yang mampu mengubah pribadi dalam waktu beberapa kejap.
Itulah mahamanusia. Yang dalam sikap Halayudha adalah manusia yang tak mengenal baik-buruk, benar-salah, atas-bawah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan demikian pertarungan kembali seperti di bagian awal, sebelum masuknya Mada.
Ngwang tengah ngleyang, menyambar bagai angin, ke arah Upasara, dengan dua tangan masih tersimpan di saku. Baru di tengah perjalanan, tangannya terangkat ke luar dan menyapu dengan seblak, atau kemucing bertangkai panjang yang pada bagian ujungnya diikatkan segepok rambut. Rajutan dalam saku telah selesai sejak tadi. Ngwang sedang mencari saat yang tepat untuk menyergap. Hanya saja dalam hal ini, Gendhuk Tri yang lebih dulu mengambil peranan.
Dengan memegang seblak, tangan Ngwang terlihat lebih panjang.
Seblak itu bisa menjulur setengah panjang tangannya. Ditambah cara bergeraknya yang cepat, serta pengerahan kemampuannya yang terakhir, angin bahaya tercium seketika.
Yang belum terduga lagi, terutama karena seblak itu ternyata bisa dipendekkan, seperti ketika berada dalam saku pakaiannya yang gedombrangan.
Tangan kanan Upasara masih mengelus punggung Cubluk. Tangan kirinya menangkis keras, membelit dengan putaran. Memutar pergelangan tangan Ngwang yang memegang senjata. Kalau Ngwang mampu menggerakkan sedikit saja pergelangan tangan, berarti rambut seblak-nya. akan menusuk masuk ke kulit tangan Upasara. Dan itu kemungkinan besar sangat bisa terjadi, dengan risiko yang tinggi bagi Upasara.
Seolah adu keras dengan mengorbankan kekuatan.
Tapi Ngwang menarik diri. Dengan mudah Ngwang menghindari benturan tenaga. Benturan yang menguntungkan justru ditolak. Karena Ngwang mengincar Cubluk. Seluruh serangannya tertuju ke arah itu.
Dalam hal ini Ngwang sebenarnya tidak terlalu cerdik. Malah boleh dikatakan menjadi sangat hati-hati. Jelas dalam benturan tenaga, Ngwang menang secara materi. Akan tetapi nyalinya telanjur keder dengan nama besar Upasara Wulung. Yang ketika dalam keadaan terluka masih mampu mengimbanginya. Apalagi kini kekuatan Upasara seperti menyatu.
Walau tetap tak sempurna, karena menjaga Cubluk.
Titik lemah ini yang digempur habis-habisan. Kedutannya mengarah ke Cubluk, sementara tangannya yang kosong mencuri kesempatan menyambar, dan kakinya merobek serta merobohkan pertahanan Upasara.
Napas Mada naik-turun. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ia tak bisa berbuat apa-apa, karena pikirannya seakan blong, jebol entah ke mana. Cara Halayudha mengubah pribadinya, watak bertarungnya, susah dipahami sehingga masih menjadi gangguan.
Jalan pikirannya sederhana.
Ketika mencoba merenungkan apa yang berlangsung, yang muncul justru kemungkinan yang lain.
Mengenai cara bertarung Upasara, Gendhuk Tri, bukan hanya Halayudha.
Sebenarnya kedudukan yang bertarung sekarang ini sangat aneh. Di satu pihak jelas ada Upasara Wulung, Gendhuk Tri, serta Nyai Demang.
Kalau mereka bersatu, akan merupakan kekuatan utama. Sementara lawan yang dihadapi, Halayudha berdiri sendiri. Ngwang di pihak lain lagi. Serta Pangeran Hiang yang bisa dikatakan berdiri sendiri.
Kalau saja dirinya bisa membuat semua yang ada mengeroyok atau paling tidak menghadapi Ngwang, pertarungan akan lebih cepat berakhir.
Atau bahkan, misalnya saja, menghabisi Halayudha.
Mada menarik-narik rambutnya karena kesal. Karena menyadari penuh bahwa jalan pikirannya terlalu ngayawara, terlalu dibuat-buat dan berbeda dari kenyataan yang ada.
Karena kini Pangeran Hiang menyerbu ke arah pertarungan melawan Halayudha. Kelihatannya sekilas seperti mengeroyok bersama Gendhuk Tri, akan tetapi pada suatu saat keduanya juga saling bertempur sendiri.
Ini baru pertarungan yang paling ganjil yang pernah dilihat Mada.
Selama ini matanya selalu menyaksikan dua atau tiga kubu secara jelas terbedakan. Namun sekarang justru terpecah-pecah.
Bahkan Upasara Wulung serta Gendhuk Tri tidak berada dalam tempat yang sama.
Bukankah keduanya bisa bersatu-padu, sebagai pasangan yang tanpa tanding"
Bukankah tubuh anak perempuan kecil di pundak Upasara bisa dititipkan sementara ke Nyai Demang"
Yang membuat Mada heran sebenarnya bukan pertanyaan itu sendiri.
Melainkan bahwa di balik pertanyaan itu pasti ada jawabannya. Kalau sampai mereka berdua tak perlu bersatu, kalau sampai gadis kecil itu digendong, pasti ada penyebabnya. Yang masih gelap baginya, tapi tidak bagi yang bersangkutan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sama dengan keadaan dirinya sendiri saat ini. Sehubungan dengan perintah Patih Tilam untuk menangkap Upasara Wulung. Benarkah seperti yang diutarakan, meneruskan peranan sebagai perantara wangsit, suara dari kegaiban, ataukah ada sesuatu yang lain"
Atau juga Raja yang tertegun seperti seonggok kayu tua.
Atau seperti dirinya yang keletihan karena mencoba memahami dan menandingi Halayudha yang dengan enak bisa mencla-mencle, tanpa kepribadian.
Mada mengibaskan pikirannya yang meliar tanpa bisa diarahkan kepada sesuatu yang lebih bermanfaat.
Karena pertarungan makin meninggi. Gempuran Ngwang yang bertubi-tubi, memaksa Upasara memindahkan tubuh Cubluk dari pundak kiri ke pundak kanan. Kadang kala bahkan perlu memutar tubuhnya, sehingga Cubluk berada dalam gendongannya. Kadang seperti diemban di bagian depan.
Dalam pertarungan seperti ini terlihat jelas bahwa Upasara bisa mengungguli Ngwang. Sekurangnya Ngwang tak bisa berbuat banyak.
Serangannya ke arah kuda-kuda Upasara sudah lama ditarik. Karena Ngwang mengetahui kekuatan utama Upasara justru pada pijakan kaki.
Yang kukuh, keras, tak tergoyahkan. Benturan keras lawan keras hanya membuat tubuhnya melesak ke dalam tanah, tak bisa mengambang.
Namun keunggulan tak menghasilkan apa-apa untuk menandai kemenangan. Karena Ngwang bisa melayang pergi dan datang, menyambar dan mengeleyang, sementara gerakan Upasara sangat terbatas. Lebih mengandalkan keunggulan tenaga dalam, dan kesiagaannya untuk mengambil risiko.
Nyai Demang yang terbebas dari serangan untuk sementara, hanya bisa membuat perhitungan dalam hati. Bahwa daya gempur Ngwang yang menggunakan seblak tak berbeda dengan ketika menggunakan kipas. Serangan banaspati, serangan dengan arah memenggal leher masih terlihat. Kadang diseling atau ditambahi dengan kedutan lampor, di mana ujung-ujung rambut berdiri tegak dan menjadi keras menyapu, seakan teriakan ratusan bocah. Yang mengakibatkan Cubluk tergerak mengikuti arah gerakan seblak.
Ini termasuk jurus yang paling berbahaya bagi Upasara. Karena Ngwang mempergunakan keunggulan untuk mempengaruhi Cubluk.
Lampor adalah jenis hantu yang dipercaya muncul siang hari dan mengajak anak-anak pergi. Sekali muncul, lampor bisa menarik puluhan anak. Dalam dongengan yang dipercaya, anak-anak sangat tertarik dan akan mengikuti tanpa peduli orang tuanya menahan dengan tangis ataupun jerit.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Inilah yang diketahui Nyai Demang. Justru karena Ngwang mampu memahami kekuatan semacam itu, ditambah dengan penguasaannya akan ilmu sirep.
Inilah bahaya yang sesungguhnya. Karena Upasara pun tak mampu menahan gerakan Cubluk.
Ternyata Ngwang berhasil.
Tubuh yang selama ini diam tertidur, bergerak mengikuti arah yang dituding Ngwang. Diseling dengan jurus yang mengandalkan sirep cepet, sejenis dengan lampor yang keluar sore hari-yang berarti tenaga pancingan hawa dingin, Ngwang mulai bisa memaksakan gerakan Upasara.
Yang walaupun gagah perkasa dan bisa mengimbangi Ngwang, akan tetapi tak bisa membiarkan Cubluk bergerak begitu saja. Tangan dan kaki Cubluk yang lemah, yang bergerak mengikuti gerakan Ngwang, hanya membuat Upasara makin repot melindungi. Gerakannya menjadi makin keras, tetapi sekaligus terseret makin cepat. Baik menghindarkan serangan ataupun membalas.
Bermain cepat justru sangat dikehendaki oleh Ngwang. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki masih sedikit lebih unggul. Dengan memaksa main cepat, Ngwang berusaha menguras tenaga Upasara Wulung.
Bertambah lima belas jurus, Ngwang makin maju setapak demi setapak. Ujung rambut seblaknya beberapa kali menyapu Upasara, dan mulai membuat gurat-gurat kecil melepuh di kulit tangannya. Yang mengganggu pemusatan kekuatan karena rasa gatal dan panas menyatu.
Apalagi Upasara tak ingin tangannya yang tergurat itu menyentuh Cubluk, karena kuatir memindahkan racun yang ada.
Upasara terpontang-panting. Sangat tidak imbang. Karena dirinya bukan hanya melindungi Cubluk. Malah boleh dikatakan gerakan Cubluk yang merepotkan dirinya.
Sepenuhnya Cubluk berada dalam kontrol Ngwang.
Meraga Sukma dan Merogoh Sukma
GAWAT! Sangar! Karena keunggulan Ngwang juga dilihat Halayudha.
Halayudha bisa memperhatikan dengan saksama. Menghadapi serangan Gendhuk Tri maupun Pangeran Hiang, Halayudha masih bisa
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
memaksa mereka mundur-maju tanpa pernah berani beradu dengan Kangkam Galih. Kedua lawan Halayudha seperti main petak umpet, setiap kali berhasil mendesak maju, jadinya malah mundur kembali begitu Halayudha menerabas asal-asalan dengan Kangkam Galih.
Baik Pangeran Hiang maupun Gendhuk Tri mencari saat yang aman untuk menyusup maju.
Tetapi kesempatan seperti itu tidak mudah diperoleh.
Melihat Upasara mulai terdesak, Halayudha menggerung keras.
Mempercepat irama dan tempo serangannya. Tebasannya kiri-kanan makin tajam dan cepat. Putaran pergelangannya makin tak terkendalikan.
Yang menjadi makin sulit ditebak ialah permainan silat Halayudha. Di satu pihak, rangkaian serangan seperti permainan jago pedang panjang dari negeri Jepun yang menebas paksa dalam pertarungan jarak pendek, pada pihak berikutnya, rangkaian dari negeri Cina. Yang lebih mengandalkan serangan berjarak dan hanya kalau perlu merangsek maju.
Gerakan mengentengkan tubuh, berjumpalitan, ataupun menyusup, dalam rangkaian berikutnya berubah menjadi merapat, seolah mau menekuk habis Upasara berikut Cubluk sebagaimana gulat Tartar.
Masih harus ditambah dengan kembangan kaki yang berasal dari ajaran tanah Hindia.
Mengagumkan. Terlebih bagi Nyai Demang yang mempelajari serba sedikit. Semua yang dimainkan Halayudha mendekati titik kesempurnaan. Apalagi setiap perubahan gerak bisa berlangsung dalam satu tarikan napas.
Inilah keunggulan Halayudha, yang tak dimiliki oleh yang lain yang tengah bertarung mati-hidup sekarang ini.
Nyai Demang menyesali. Menyesali suara hati yang meminta Mada maju ke tengah gelanggang.
Sekarang akibatnya justru lebih buruk.
Kehadiran Mada malah menyebabkan Halayudha bisa menemukan cara mengubah permainan silatnya sekaligus mengubah penampilannya.
Yang kini diteruskan dengan sadar.
Mada mengelus dadanya. Menahan batuk yang menyedak.
Bahwa Halayudha pernah mempelajari segala aliran ilmu silat dengan tekun, bisa diterima. Akan tetapi bisa memainkan segalanya dengan
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
penuh penghayatan atau rumangsuk, itu benar-benar luar biasa baginya. Karena itu justru hal yang tak mungkin dilakukan.
Pertanyaan Mada: Apakah mahamanusia yang sejati justru seperti ini"
Manusia yang tidak mempunyai pribadi"
Mata Mada memandang nyalang.
Apa yang dilihat dimasukkan ke dalam kekuatan batinnya. Untuk menemukan jawaban dari apa yang menggelisahkan. Untuk diakurkan dengan kekuatannya sendiri.
Kekuatan batinnya yang akan menjawab.
Tubuh Mada menggeletar. Napasnya berdengusan tergesa. Bagai tertimpa beban yang berat.
Mada tak bisa menghentikan, meskipun setengah sadar batinnya memperingatkan bahwa sekarang bukan saat yang tepat mencari tahu hal itu. Karena yang akan menjawab adalah yang merasakan getaran yang sama.
Itu berarti bisa Upasara Wulung, Gendhuk Tri, atau Halayudha. Siapa pun yang berusaha menjawab, seperti memecah pemusatan kekuatan batinnya.
Itu berarti Upasara atau Gendhuk Tri.
Karena Halayudha mampu menukar diri.
Mengabaikan getaran yang ada, saat tidak memerlukan.
Mada mengerem kemauannya, hingga dadanya sakit dan pandangannya kabur. Mada keras kepala. Membiarkan rasa sakit makin tak tertahankan.
"Jangan menarik sukma yang sudah didatangkan."
Itulah suara Upasara Wulung.
Berarti sebagian kekuatan inti Upasara terpecah lagi, di saat menghadapi situasi yang kritis.
"Sukma sejati adalah kekuatan, adalah kehidupan.
"Ngraga sukma berarti menjadikan raga sebagai sukma. Menyatukan raga dengan sukma. Sedangkan ngrogoh sukma berarti membuat sukma keluar.
"Tak ada bedanya, jika tak dibedakan.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak ada samanya, jika nyatanya berbeda.
"Paman Jaghana tidak akan turun ke jagat ini, kalau sekadar merogoh sukma. Paman Jaghana, badaniah dari sukma."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Mada menggerung makin keras.
Bibirnya mendesis. Rasa sakit di dadanya melenyap. Matanya bisa menemukan pandangan kembali.
Tapi apa yang dilihatnya membuat darahnya berhenti berdesir.
Setiap kali pedang berpindah tangan, kesiuran angin mengiris tajam.
Guratan luka di punggung tangan Upasara makin melebar. Darah menetes dan kadang muncrat seirama dengan sentakan gerakannya.
Kini serangan Halayudha juga mengarah langsung ke Upasara, seperti telah diperhitungkan Gendhuk Tri.
Saat yang tepat sekali. Saat kekuatan Upasara terpecah banyak. Melindungi Cubluk, berhubungan dengan Mada, dan entah apa lagi.
Saat di mana Ngwang mengedutkan seblak-nya ke arah Cubluk, sementara kakinya terjulur ke depan menendang dada Upasara.
Gerakan membungkuk bagai udang, mengempos seluruh kekuatan dalam satu genjotan.
Satu lontaran tenaga penuh disertai teriakan keras.
Nyai Demang memekik. Klobot menjerit, untuk pertama kalinya menutup mata. Klobot tidak tahu persis apa yang terjadi akan tetapi merasa kengerian melewati ambang kemampuannya.
Pangeran Hiang tersedak melihat perubahan yang mendadak. Bukan hanya perubahan Halayudha mengalihkan sasaran ataupun caranya bersilat, melainkan juga perubahan menyeluruh dalam penampilannya.
Seolah ada beberapa Halayudha yang setara yang mampu memainkan gaya Jepun, Tartar, Cina, India. Membuat tersedak, karena ketika Pangeran Hiang berusaha meruket, merangkul kencang dengan gulatan, Halayudha melabrak dengan kekuatan yang sama.
Sesaat Pangeran Hiang merasa Halayudha kena jebak.
Karena Pangeran Hiang menggulat dengan lengan yang kosong.
Sehingga Halayudha akan terjeblos.
Nyatanya tidak. Dengan keluwesan tenaga air, Halayudha meluncur bebas. Tebasan Kangkam Galih mampu mengutungkan lengan baju yang kosong!
Kosong! Lengan baju kosong yang tidak bertenaga bisa disabet hingga putus!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan cara yang sama ketika menyabet putus lengan Pangeran Hiang!
Menebas benda keras atau benda lembut, Halayudha tetap sama saktinya! Kangkam Galih makin perkasa.
Pada saat yang bersamaan dengan itu, Gendhuk Tri yang tengah berjumpalitan di udara menyongsong maju. Gendhuk Tri satu-satunya yang mempunyai peluang terbesar untuk masuk lebih dalam.
Dengan gerakan seakan menyambar Cubluk, yang bisa dilontarkan ke tengah udara untuk diselamatkan. Batin Gendhuk Tri mengisyaratkan hal ini, dan Gendhuk Tri yakin bahwa Upasara bisa menangkap getaran kemauannya ini.
Upasara memang menangkap kemauan Gendhuk Tri. Dan menganggap bahwa cara ini yang lebih baik. Bagaimanapun, keselamatan Cubluk makin terimpit bahaya.
Sekurangnya dengan berada dalam lindungan Gendhuk Tri, keselamatannya tidak berada dalam titik kritis.
Upasara menggerakkan pundaknya, seiring dengan tubuh Gendhuk Tri melayang.
Ngwang bersorak kegirangan.
Juga Halayudha! Percakapan batin Upasara Wulung dengan Gendhuk Tri seakan bisa terbaca jelas. Meskipun barangkali dari beberapa perkiraan, kemungkinan gerakan berikutnya memang bisa diduga.
Itu sebabnya Ngwang meloncat tinggi sambil melakukan tendangan berputar. Kemungkinan datangnya Gendhuk Tri akan disambut sentakan kekuatan utuh.
Kalaupun Gendhuk Tri tumbuh sayap dan bisa terbang, masih perlu waktu untuk berkelit.
Sementara tendangan maut telah masuk.
Sedangkan Halayudha memilih cara yang aman.
Cukup dengan memutar pergelangan tangan, sehingga arah tusukan bisa mendua. Bisa menembus dua tujuan, dua tubuh sekaligus. Baik Upasara maupun Gendhuk Tri akan terkena sodetan. Kalau satu menghindar, yang lainnya pasti kena. Kalau dua-duanya terkena, tak membuat tenaga Halayudha perlu dikerahkan lebih besar.
Nyai Demang tak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi.
Mada menggigit bibirnya hingga berdarah.
"Rama Wulung..."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Klobot menjerit lirih. Pangeran Hiang menunduk. "Telah berakhir...."
Air, Rembulan, Api, Matahari
NYAI DEMANG menyebut nama Dewa Yang Mahadewa dalam batinnya. Pasrah.
Memang segera berakhir. Dalam pengertian yang berbeda.
Gendhuk Tri memang meloncat ke tengah udara. Melayang dengan tangan terkembang. Upasara memang menggerakkan pundaknya.
Tetapi, yang tak terbaca adalah bahwa Gendhuk Tri tidak melayang ke arah Cubluk, yang tetap berada di pundak Upasara.
Hubungan batin keduanya telah mencapai titik keseimbangan pengertian yang berhubungan lebih halus dari apa yang ditunjukkan oleh gerakan Halayudha.
Gendhuk Tri melayang turun.
Dengan tangan bersidekap di dada. Dengan mata tertutup.
Dengan tubuh tetap tegak.
Bersamaan dengan Upasara yang mengempos seluruh kemampuannya. Jurus demi jurus yang diciptakan dengan inti kekuatan tanah air, kini teruji sempurna seluruhnya.
Sewaktu dua serangan ganas dari dua jurusan yang berbeda dengan kembangan yang sangat berbeda menggempur keras bersamaan, tenaga dalam Upasara mengumpul, berdenyar-denyar melalui seluruh pembuluh dalam tubuhnya menggelegak di bawah semua kulitnya.
Begitu Gendhuk Tri melayang turun dengan sikap semadi, Upasara menggebrak maju.
Mada seakan diarifkan, bisa mengetahui, bahwa Gendhuk Tri maupun Upasara Wulung sebenarnya sudah menyatu. Kekuatan tanah air, bukan lagi merupakan gabungan kekuatan Gendhuk Tri ditambah Upasara Wulung.
Melainkan dalam diri Upasara ada kekuatan tanah dan sekaligus kekuatan air. Demikian juga halnya dengan Gendhuk Tri. Secara sendiri-sendiri, bisa memainkan tenaga tanah dan tenaga air sekaligus.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bahkan dalam bentuknya yang sekarang, dengan bersemadi, Gendhuk Tri seakan memindahkan tenaga dalamnya ke dalam tenaga dalam Upasara. Tanpa menggerakkan tubuh.
Sewaktu Kangkam Galih yang lebih dulu menebas, Upasara malah menyongsong. Siku kirinya ditekankan ke bawah.
Tepat ke arah pedang! Dengan bertumpu pada kekuatan pedang yang bergerak, tubuhnya miring sebagaimana pedang, dan ikut terdorong bergerak. Gerak yang teramat sulit, karena kekuatan bertumpu pada bidang yang sangat sempit dan tipis. Apalagi poros pijaknya adalah siku!
Gerakan ini menyatu dengan ayunan tubuh mengikuti arah pedang.
Seolah Upasara yang masih tetap merangkul Cubluk bermain dalam lingkaran. Walau sebenarnya Upasara berusaha membebaskan diri dari kekuatan yang menekan.
Gerakan ini sekaligus meloloskan diri dari gempuran Ngwang yang melayang di atas dengan kedutan seblak maupun tendangan kaki lurus yang mengarah ke dada.
Pada saat yang bersamaan dengan itu tubuh Cubluk dilontarkan ke bawah, dijepit di antara kaki Upasara, sehingga kedua tangannya leluasa membalas serangan.
Gerakan tangannya tetap perlahan, bisa diikuti dengan pandangan mata oleh yang melihatnya.
Gerakan yang sangat sederhana.
Telapak tangan Upasara menengadah-membuka, kemudian berubah miring-menepis.
Itu saja. Membuka ke arah Ngwang yang melayang di atas, dan menepis dengan pinggir tangan mengetuk pergelangan tangan Halayudha.
Tubuh Ngwang yang melayang di atas seakan kena tenaga dongkrakan besar dari bawah. Seolah muntahan semburan gunung berapi yang menjotos keras, dan sekaligus bagai tarikan bumi terbelah ketika telapak tangan Upasara miring.
Akibatnya hebat. Tenaga dalam yang dikerahkan sepenuhnya, yang membuat Upasara dan Gendhuk Tri bagai satu tarikan napas, dirasakan oleh Ngwang bagai sambaran angin beliung.
Tubuh Ngwang terpuntir. Tidak terputar, tapi terpuntir.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hanya bagian-bagian tertentu yang berputar. Kaki ke arah dalam dan kepala ke arah luar. Mengeluarkan suara keras rontoknya tulang dan otot-otot.
Padahal beberapa kejap sebelumnya Ngwang hanya mengira bahwa Gendhuk Tri tak jadi menerima tendangannya, tanpa menyangka bahwa Upasara bisa menghindari tebasan Kangkam Galih. Apalagi balas menyerang, dengan tenaga mendorong, memuntir, dan kemudian mengempaskan.
Selebihnya udara sekitarnya mengental, pandangannya tertutup, dan bumi yang diinjaknya amblas.
Keunggulannya tidak menginjak bumi berubah menjadi malapetaka.
Karena pengerahan tenaga dalamnya di bagian pusar menjadi macet.
Dengan sisa-sisa tenaga terakhir, Ngwang mengentakkan kedua tangannya, meraup apa saja yang bisa. Dan melampiaskan seluruh kekuatannya dengan mencengkeram keras.
Entakan tenaga terakhir. Sebagai balas dendam. Kalau bisa meledak bersama korban, ia sedikitnya bisa terhibur.
Tubuh Upasara, atau hanya tangan atau kaki, akan remuk dalam genggamannya.
Apalagi kalau gadis kecil.
Hasilnya pekikan menyayat yang panjang dan menyakitkan telinga.
Sehingga Nala bergoyangan tubuhnya. Nala sadar dari pengaruh sirep dan kekuatan lawan, tetapi seketika itu pula terlelap kembali.
Barangkali memang hanya Nala yang berada dalam medan pertarungan, tetapi sama sekali tak bisa mengikuti apa yang terjadi.
Bahkan tidak sadar sama sekali.
Nyai Demang menutup telinga, dan membuat gerakan agar Klobot mengikuti. Sebenarnya tanpa disuruh pun, reaksi pertama Klobot ketika mendengar jeritan Ngwang yang menyayat adalah menutup telinga.
Mada sendiri terbengong dan untuk sementara pendengarannya menjadi mati.
Kejutan yang sama dirasakan oleh Halayudha. Ketika menebas dengan Kangkam Galih, ia tak menduga bahwa Upasara akan menyongsong. Dengan cara meletakkan berat badannya pada siku yang bertumpu di pedangnya. Dewa yang memiliki langit pun belum tentu berani mengambil risiko berat ini.
Nyatanya Upasara bisa melakukan dengan tepat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sebelum kagetnya lenyap, pergelangan tangannya kena tetak sisi telapak tangan Upasara yang mematikan pergelangannya. Sehingga pegangannya lepas.
Kangkam Galih terlepas! Ini sungguh-sungguh luar biasa.
Dalam satu jurus, Upasara membalik kemenangan. Dengan menghancurkan Ngwang, sekaligus melukainya, dan mendepak Halayudha.
Dua-duanya jago utama. Pendekar silat yang setara ilmunya dengan Upasara.
Ngwang paling menderita. Ketika terkena gempuran dan tubuhnya amblas serta pandangannya lenyap, tangannya meraup sekenanya dan mengerahkan kekuatan terakhir. Tak tahunya yang kena diraup adalah Kangkam Galih!
Dua tangan yang mengerahkan tenaga sepenuhnya untuk diadu dengan Kangkam Galih.
Pedang sakti yang selalu haus darah.
Teriakan yang memanjang bagai membelah langit dan menyayat menggambarkan kengerian yang tak tertanggungkan.
Apa yang sesungguhnya dimainkan oleh Upasara Wulung sebenarnya merupakan jurus kelima ilmu ciptaannya. Yang diberi nama Tirta Candra Geni Raditya. Dalam arti lahiriah kata-kata itu mengandung pengertian air, bulan, api, serta matahari.
Pengertian yang lebih dalam dari itu adalah penggunaan unsur-unsur tenaga itu secara keseluruhan, tapi bisa diurai satu per satu. Sebutan Tirta Candra Geni Raditya biasanya untuk menggambarkan keputusan dalam tata hukum yang adil, lurus, luar-dalam.
Teliti seperti air dalam memeriksa, lembut seperti rembulan dalam menanya, jatuhnya putusan seperti api, dan semuanya jelas seperti di bawah matahari.
Dalam jurus yang diciptakan Upasara, semuanya diwujudkan dengan pengerahan tenaga tanah air. Menggelombang dengan tenaga air ketika seluruh tubuhnya tertumpu pada pedang, lembut mengikuti irama ayunan, dan panas membara menggertak atas serta samping.
Kesemuanya dilakukan dengan jejeg-bener, lurus dalam pengertian irama memainkannya tak berbeda dengan irama gending, di mana penekanan keras, lembut, cepat, lambat sangat menentukan hasil yang dicapai.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kalau meleset sedikit saja, gending tidak lagi nyamleng, tidak pas mengena, bisa buyar semuanya. Dalam serangan tadi, jika tenaga bertumpu dalam putaran pedang, sambil memiringkan tubuh melesat, semuanya bisa berantakan. Tubuh Upasara akan terpotong menjadi dua, karena Kangkam Galih yang tipis leluasa melibasnya.
Hasilnya memang luar biasa.
Ngwang berkelojotan, tubuhnya meregang bergulingan dengan darah terus memancar dari kedua tangan yang terbelah.
Sebaliknya, Halayudha terlempar satu langkah.
Akan tetapi Halayudha tidak berhenti di situ saja. Sekali terlempar jauh, segera membal balik. Lebih ganas, lebih beringas.
Tangannya meraih Kangkam Galih dan menebas keras.
Tubuh Ngwang masih berkelojotan.
Meskipun telah terpisah. Terpisah. Pisah. Pedang dan Tanah air TERPOTONG. Potong. Terputus. Putus. Terobek. Robek. Gendhuk Tri merasa sangat mual. Dengan cara yang tidak mengenal perikemanusiaan, Halayudha memotong-motong bagian demi bagian tubuh Ngwang Tangan yang sudah lepas disabet, ditebas, dengan miring, dengan tusukan lurus.
Jari-jari yang masih meregang dikutungi satu demi satu.
Mengerikan. Halayudha makin buas. Makin kalap. Semua bagian tubuh yang masih tersisa disodet, ditetas, dicacah-cacah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tahan...!" Teriakan Gendhuk Tri berlanjut dengan langkah yang limbung.
Bagaimanapun Ia tak tega melihat cara Halayudha yang menjadi sangat buas dan mengerikan. Bahkan tanpa latar belakang cerita mengenai Maha Singanada yang terpoteng-poteng itu pun, apa yang dilihatnya di luar batas kemanusiaan.
Nyai Demang menutupi mata Klobot sambil memejamkan matanya sendiri.
Mada menggigil. "Duh, Dewa... "Duh, Dewa..." Pangeran Hiang mengerang bagai binatang terluka. Tangannya terentang kencang.
Halayudha berteriak keras, merasa terganggu oleh erangan Pangeran Hiang. Seluruh wajahnya telah berubah. Rambutnya menjurai, bercak darah memercik di seluruh wajah. Tangannya penuh darah merah yang masih menetes-netes.
Tapi yang paling mengerikan adalah matanya yang hanya menyisakan warna putih mendelik.
Bibirnya membuka. Meskipun tidak melihat sempurna, Halayudha langsung mengarahkan Kangkam Galih ke Pangeran Hiang.
Pangeran Hiang bersiaga. Adalah Nyai Demang yang bergerak lebih dulu. Melompat ke depan dengan bergulingan.
Kedua tangannya terentang.
Menghadang di depan Halayudha.
"Jangan...!" Keberanian Nyai Demang yang nyaris seperti membunuh diri, karena menempatkan diri di depan Kangkam Galih yang siap ditebaskan.
Kepala Halayudha miring ke kiri dan kanan, mengawasi sekitar dengan mata yang hanya terlihat warna putih seluruhnya.
Tudingan Kangkam Galih beralih ke Mada ketika ia bergerak.
Mada jadi mematung. Kangkam Galih bergetar. Menuding ke arah Raja. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ke arah Upasara. Ke arah Gendhuk Tri. "Kudengar kidungan Kangkam Galih.
"Tebas semuanya!"
Teriakan Halayudha mengguntur keras.
Sementara dengan terseok-seok, dengan menyeret tubuh, Nyai Demang berusaha menghadang.
Pangeran Hiang berusaha menghalangi. Gerakan kecil darinya membuat Halayudha menebaskan pedangnya.
"Nyai..." "Jangan... "Jangan lakukan, Halayudha."
"Nyai..." Pangeran Hiang berusaha lebih keras,
"Nyai tak perlu menghadang di depan.
"Persoalan saya dengan Halayudha, biarlah saya selesaikan sendiri.
"Terima kasih atas perhatian dan keprihatinan Nyai Demang yang tetap tak berubah."
Dua pasang mata bertatapan.
Nyai Demang merunduk. Dahinya menyentuh tanah. "Kudengar bisikan kidungan pedang.
"Kemenangan. "Kemenangan. "Masih terus kudengar.
"Ya, aku Halayudha akan melakukan kidungan yang sebenarnya ini.
Kidungan Pedang Tak Terkalahkan."
Kedua tangan Halayudha menggenggam kencang Kangkam Galih.
Upasara perlahan membaringkan Cubluk di sampingnya. Mengelus dada Cubluk sesaat. Gerakan yang sangat lembut, kecil, membuat Halayudha menggertak.
Kangkam Galih-nya menyambar.
Upasara menutup tikaman angin dengan tangannya.
Tergurat luka melingkar. Melingkar dari ujung ke ujung.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dan meneteskan darah. Sambaran yang sama sebenarnya terjadi ketika Upasara menangkis.
Yaitu tertuju kepada Pangeran Hiang yang berusaha menarik perhatian Halayudha ke arah lain.
Dan akibatnya sama. Bahkan lebih parah. Karena ketajaman angin Kangkam Galih membuat Pangeran Hiang tak mampu berdiri. Kedua kakinya, sedikit di atas lutut, tergores luka.
Melingkar. Benar-benar menggetarkan.
Kangkam Galih menjadi sedemikian sakti sehingga luka yang ditinggalkan berupa lingkaran. Seolah pedang itu mengiris dua kaki Pangeran Hiang dari arah depan dan belakang, temu gelang.
Padahal hanya dengan satu sabetan.
Mada menahan napas. "Paduka..." Belum selesai kalimatnya, Kangkam Galih tertuju ke arahnya. Bagai ada pancaran tenaga yang meneruskan ujung pedang. Menusuk pundak Mada. Seketika itu juga mengucurkan darah segar.
Seakan Kangkam Galih menjadi panjang dan bisa menembus.
Kalaupun hanya angin, kekuatannya benar-benar sudah menyatu dengan jiwa Halayudha.
Tanah air memiliki api, rembulan, dan matahari di mana ada samudra dan gunung, di situ tanah air tanah air bisa mengatas namakan
kemenangan peperangan takhta derajat pangkat harta wanita segalanya KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
atas nama tanah air segalanya menjadi bisa dan boleh dan benar tanah air adalah asmara berpasangan tanah air adalah kasih memberi berbakti menerima berbagi tanah air yang sesungguhnya...
... Kidungan Gendhuk Tri terputus karena Halayudha menebaskan Kangkam Galih dengan sodetan.
Seakan ingin memotong lidah Gendhuk Tri dengan paksa.
Yang terkunci untuk melanjutkan kata-kata kidungan.
Gendhuk Tri masih duduk. Masih bersemadi. Ketegangan meninggi. Justru ketika Halayudha terdiam.
Pengaruh kidungan Gendhuk Tri"
"Kudengar kidunganku sendiri.
"Pedang adalah segalanya.
"Inilah pusaka yang sejati.
"Inilah pusaka yang sejati.
"Kemenangan yang nyata."
Tanah air adalah sukma yang menjelma KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam raga tanah air adalah raga yang menjelma dalam sukma tanah air adalah mahamanusia
mengatasi manusia takhta Dewa Dewa ... Pedang Tanpa Dosa HALAYUDHA menudingkan Kangkam Galih ke arah lain. Tepat berhenti di jidat Nyai Demang.
"Aku Halayudha. "Bukan Gemuka yang bisa kalian akali dengan kidungan, tembang, atau apa saja. Kalian kira aku bisa dipengaruhi dengan cara hafalan lirik-lirik tanpa makna itu"
"Aku lebih mendengar suara pedang yang menggetarkan dan membuatku merasa jantan. Menjadi lelaki yang sejati."
Halayudha menggerakkan pergelangan tangannya, ujung Kangkam Galih bergeser menoreh ke arah sanggul Nyai Demang hingga terlepas.
Gendhuk Tri tak bisa menahan diri. Kedua tangannya terulur, pukulan menggelombang menghantam seketika. Halayudha mengeluarkan suara dingin. Dengan membalikkan tubuh, Halayudha balik menerjang ke arah Gendhuk Tri.
Tenaga yang menghantamnya dilawan. Dihadapi dengan dada terbuka. Kangkam Galih menyibak masuk. Gendhuk Tri meloncat minggir, selendang mematuk.
Bret, wreek! Ujung selendang terputus. Tubuh Gendhuk Tri terpental sempoyongan. Berguling-guling ketika Halayudha membenamkan Kangkam Galih.
Setiap kali ditusukkan amblas ke tanah. Meskipun demikian Halayudha bisa menarik kembali dengan enteng dan kembali
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
menebaskan. Kangkam Galih berubah bagai tombak, bagai keris, bagai cundrik, yang membuat Gendhuk Tri menghindar, menggelepar bagai ikan kehabisan air.
Mada tak tahan. Bersamaan dengan Pangeran Hiang, Mada menggertak maju, menggunakan kerisnya dan keris Nala. Walaupun semua terluka, terobosan kidungan Gendhuk Tri membuat Halayudha yang mata putihnya bergerak-gerak, seperti menginjak bumi lagi. Bukan semata-mata kena pengaruh Kangkam Galih. Tapi ternyata juga tak gampang.
Dengan mengeluarkan suara dingin, Halayudha membabat. Menebas rata ke semua arah. Keris di tangan Mada kutung seketika, tubuhnya terlempar terkena sabetan angin yang membekaskan garis merah sepanjang wajahnya. Pangeran Hiang berjongkok. Satu pukulan menghantam pundak Halayudha hingga oleng.
Sampai dengan sepuluh jurus. Halayudha bisa ditindih. Akan tetapi sambaran Kangkam Galih benar-benar luar biasa. Tak ada yang berani mendekat.
Pertarungan tidak imbang kembali berulang.
Mada melirik ke arah Upasara. Yang duduk bersila memunggungi pertarungan. Yang dari kepalanya mengepulkan asap lurus ke atas.
Keluarnya asap dari ubun-ubun Upasara dalam bentuk yang menyentak-nyentak. Setiap kali seperti satu embusan. Tidak berurutan sebagaimana biasanya orang yang melatih tenaga dalamnya.
Upasara memang tidak sedang melatih tenaga dalamnya.
Justru sebaliknya. Karena keadaan tubuh Cubluk menjadi gawat tak menentu. Ketika memelorotkan tubuh Cubluk ke bawah dan mengepit di antara kakinya, sementara tangannya melancarkan pukulan Tirta Candra Geni Raditya, denyut nadi kehidupan Cubluk tak terganggu. Upasara mampu menggunakan tenaga lembut menahan Cubluk. Sehingga kalaupun bergeser ke arah pundak kiri, pindah ke pundak kanan, menempel di punggung, atau kembali ke dada, tak ada perubahan apa-apa yang mempengaruhi.
Memang penyakit yang diderita Cubluk bukan itu.
Melainkan mengalir atau berpindahnya bercak hitam, yang sebenarnya berasal dari tenaga dalam kotor Halayudha.
Ketika tengah membalik tubuh tadi, keteg-nadi kehidupan-Cubluk menjadi tersendat. Maka Upasara segera berlutut dan berusaha menerobos masuk melalui tenaga dalamnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tidak gampang. Karena Cubluk pada dasarnya tidak begitu menghendaki penyembuhan, dan karena tubuhnya masih terlalu ringkih, terlalu lemah dibandingkan dengan tenaga dalam Upasara.
Sehingga harus sangat hati-hati dan perlahan. Sedikit saja mendesak dan takarannya berlebihan, Cubluk bisa lebih menderita.
Tanah air bukan pedang keris, tombak, bindi, gada
bukan semua gegaman pedang kemenangan hanya bila diperlukan sebab kekuatannya terbatas
pada tangan kalau lebih percaya kekuatan pedang
apa artinya kekuatan tanah air
di mana kasih dan kekuatan mahamanusia...
Halayudha menanggapi dengan tertawa lebar. Kini sepenuhnya dirinya menguasai pertarungan. Dengan mendesak maju kiri-kanan, Halayudha bisa mempermainkan lawan-lawannya.
Bahkan dengan pangkal pedangnya, berhasil mengetok pundak kanan Pangeran Hiang.
Tubuh Pangeran Hiang terhuyung rebah.
Pada saat jatuh, Pangeran Hiang memaksakan tenaganya, dan menubruk ke arah Halayudha. Tangan kiri yang menjadi satu-satunya tumpuan menepiskan kemungkinan penyerangan yang masuk. Kakinya terangkat ke atas.
Selangkangan Halayudha kena tendang, hingga terbanting, dan jalannya terseok-seok. Akan tetapi itu makin berarti memaksa Halayudha mengerahkan seluruh dendamnya.
"Demi langit dan bumi, pedang lebih kuasa dari semuanya!"
Kangkam Galih dipegang erat dengan tangan kanan, menempel di pundak, sebelum ditebaskan. Membabat keras, tajam, lurus, dengan sepenuh tenaga.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pangeran Hiang membuang tubuh sekuatnya, namun tak urung pinggang dan punggungnya mengucurkan darah. Gendhuk Tri yang berada di sebelahnya terguncang angin pukulan, sehingga sanggulnya terlepas, dan sebagian rambutnya terbabat putus.
Nyai Demang yang berlutut terkena sambaran angin yang membuat pundak hingga tangannya mengucurkan darah. Yang lebih parah lagi karena sabetan Halayudha menggunakan serangan lab laban atau banjir menghantam tanggul penghalang, sehingga gelombang serangan menyebar ke segala arah. Sisi kiri rambut Nyai Demang ikut terpapas.
Jurus yang sama juga menyambar Mada.
Mada tak tahu serangan mana mengenai dirinya, akan tetapi hidungnya mengucurkan darah. Agak aneh karena seakan angin serangan bisa menerobos lubang hidungnya.
Gempuran Halayudha menggunakan gelombang lab laban dipergunakan dengan perhitungan yang cerdik. Halayudha sudah berada pada tingkat yang menguasai ilmunya secara sempurna.
Menghadapi sekian banyak lawan, dengan menggunakan gelombang serangan banjir menghantam tanggul, seakan banjir mempunyai perhitungan bagaimana menjebol tanggul penahan. Tidak asal melabrak begitu saja. Inilah kelebihan Halayudha, sehingga tak perlu memaksakan diri dengan jurus seperti Banjir Bandang Segara Asat, yang terlalu memaksakan risiko bagi dirinya.
Mada tidak menghapus cucuran darah dari hidungnya. Sebaliknya dari mundur, Mada justru maju menghadang.
"Paduka keliru. "Paduka tak perlu merasa dibebani dosa tak berampun. Tenggala Seta sudah menerima. Sejak pertama telah mengenal Paduka sebagai ayahnya, sebagai orang yang dihormati. Tenggala Seta menerima kenyataan Paduka korbankan. Bahkan merasa bahagia. Paduka tak perlu merasa sangat berdosa dengan membunuh dan mengorbankan anak tunggal.
"Dewi Renuka ikut bersalah.
"Paman Sepuh Dodot Bintulu ikut bersalah.
"Bukan hanya Paduka."
Halayudha terhenti. Mendongak ke langit. Tawanya menggelegar. "Mada! Kamu ingin memakai taktik menggoyahkan pikiranku" Kamu mau memakai cara yang sama untuk mengacaukan tekadku" Kamu keliru, Mada.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kamu tak mengenal aku.
"Tak mengenal siapa Halayudha yang sebenarnya.
"Aku adalah mahamanusia. Aku tak terpengaruh oleh dosa. Tak dibebani penyesalan. Tak memiliki rasa yang memberati seperti yang kalian rasakan.
"Tenggala Seta anakku atau bukan, tak ada bedanya.
"Klobot cucuku atau bukan, tak ada bedanya.
"Yang kubunuh sekarang kamu, atau Raja, atau bukan, tak ada bedanya.
"Yang ikut menanggung dosa Gajah Mahakrura, atau Renuka, atau setan belang, aku juga tak peduli. Aku mahamanusia, tanpa beban seperti Dewa atau manusia.
"Pedang inilah bahasa yang mengerti apa mauku. Sekarang, di sini, dengan Kangkam Galih, tak ada yang akan bisa membelokkan pikiran dan perasaanku. Kalau kamu bisa mengungguliku, aku menyerah.
Kalau tidak, bersiaplah mengakui kekuasaan mahamanusia.
"Aku tak akan menyesal membunuh kalian semua. Tidak juga merasa berdosa. Walau kemenangan ini hanya bukti kecil dari keunggulan mahamanusia.
"Singkirkan pikiran itu, Mada.
"Upasara boleh menembangkan kidungan selangit tentang keluhuran tanah air. Tetapi bagiku, pedang lebih berbicara."
Jurus Melempar Bintang HALAYUDHA memutar tubuhnya. Kembali gelombang jurus lab laban menyapu keras. Nyai Demang terpental ke tengah udara sambil masih mendekap Klobot yang terkunci bibirnya sejak menyaksikan cipratan darah yang mengingatkannya akan malapetaka yang pernah dialami.
Mada sendiri tersungkur, karena angin tebasan menghantam lutut dan persendiannya.
Hanya Gendhuk Tri yang terbebaskan, dengan memutar tubuhnya secara bulat dan penuh. Sementara Pangeran Hiang terdongak, kepalanya seperti disentak dari belakang.
Arus pukulan itu juga menghantam Upasara.
Saat itu Upasara membalik.
Telapak tangan kanannya masih menempel di tubuh Cubluk, menahan agar nadi keteg tetap bergetar, sementara tangan kiri
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
membuka. Dengan posisi setengah berlutut, Upasara mengirimkan tenaga pukulan ke depan.
Menyongsong serangan Halayudha.
Dalam keadaan terdesak, Upasara memainkan jurus yang sangat biasa. Tangan kiri ke depan, mendepak dengan kekuatan penuh sebagaimana yang ada dalam ajaran Kitab Penolak Bumi. Sedangkan gerakan pukulan Upasara boleh dikatakan bagian dalam Kitab Bumi, yang terdiri atas Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Hanya bedanya, gebrakan itu tak sepenuhnya bersandar pada kekuatan bintang, sebagaimana yang diajarkan dengan memperhatikan keadaan sekitar.
Karena kekuatan bumi sekitar tempat berada, keadaan dirinya jelas tidak mendukung ke arah pengerahan tenaga.
Pukulan Upasara Wulung lebih mirip dengan apa yang disebut sebagai "adoh lintang binalang kayu, cepak cupete tangeh kenane".
Yaitu seperti orang yang melempar bintang di langit dengan kayu, panjang atau pendek lemparannya tetap tak akan mengenai sasaran.
Pendekar Pemetik Harpa 30 Panji Wulung Karya Opa Tusuk Kondai Pusaka 12

Cari Blog Ini