Ceritasilat Novel Online

Senopati Pamungkas Dua 4

Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 4


KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Mahapatih jangan salah mengerti.
"Mengundurkan diri bukan berarti melepaskan jabatan dan derajat yang mulia. Biarlah nanti Baginda sendiri yang melakukan, jika Baginda menghendaki.
"Menyurutkan diri tanpa melepas jabatan, agar para prajurit tidak bertanya-tanya.
"Dalam tata krama tugas, disebutkan bahwa para prajurit dan senopati bisa mengundurkan diri untuk sementara. Seperti mereka yang kematian istrinya, bisa minta izin tidak melakukan tugas."
Kali ini tombak berbisa yang ditusukkan. Setelah yakin ikan menelan umpan dan tak bisa menghindar.
Palapa Karya HALAYUDHA terlonjak. Kaget, sewaktu Mahapatih Nambi menubruk.
Hanya karena kedua kakinya tak bisa digerakkan untuk menghindar, tubuhnya masih tetap tertahan.
Kedua tangannya bersiaga.
Sekali tenaga Mahapatih mengenai, ia juga balas menghantam.
Dugaannya ternyata keliru jauh.
Mahapatih Nambi menubruk untuk memeluk.
"Terima kasih, Paman...."
Suara yang mengharukan. Menyayat bagi siapa yang mendengar.
Halayudha pun terharu. Dalam arti yang lain. Tadinya ia menyangka bahwa Mahapatih Nambi akan murka.
Tersinggung karena dianjurkan mengundurkan diri tanpa kehilangan pangkat. Meskipun tata krama keprajuritan menyebutkan hal itu, akan tetapi biasanya hanya dilakukan para prajurit. Bagi para senopati, apalagi mahapatih, tak perlu secara khusus meminta izin untuk tidak mengikuti tugas.
Sudah dengan sendirinya bisa begitu.
Tadinya Halayudha menduga bahwa kemurkaan Mahapatih Nambi karena mengetahui strategi yang dipakai Halayudha. Bahwa dengan mengundurkan diri secara sementara, hubungan Mahapatih akan makin jauh. Tali kekuasaan yang saling menghubungkan akan terputus untuk sementara.
Garis komando bisa berjalan tanpa kehadirannya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ini berarti secara resmi memberikan kesempatan munculnya senopati yang lain.
Namun Mahapatih Nambi menanggapi dari sisi yang berbeda.
Bahwa dengan mengundurkan diri sementara, Mahapatih tidak akan kehilangan muka kalau terjadi sesuatu yang melangkahi kekuasaannya.
Halayudha sama sekali tidak menduga bahwa mempersoalkan kehormatan ternyata menjadi bagian penting taktiknya. Selama ini kepekaan dan rasa antara pengikut Sri Baginda Raja dan pengikut Baginda yang dipertentangkan.
Ternyata ada hal lain yang bisa menjadi sangat peka.
Soal kehormatan! Soal merasa terhormat dan tidak.
Soal tata krama, soal unggah-ungguh. Mahapatih Nambi tak ingin kehilangan muka sebagai mahapatih.
Ini hebat! Setidaknya bagi Halayudha. Selama ini ia bisa menahan diri, merasakan kehormatan yang kurang atau justru menyembunyikan. Dan menganggap tidak perlu tata krama menyembah dan menghormat.
Baginya tak berbeda terlalu banyak.
Tetapi ternyata mempunyai makna luar biasa bagi Mahapatih Nambi!
"Paman Halayudha ternyata sangat bijaksana...."
Mahapatih Nambi merenggangkan rangkulannya.
"Dengan melakukan palapa ing karya, beristirahat dari tugas, tak akan menjadi masalah lagi bagi diriku.
"Juga merupakan gugatan kepada Baginda secara tidak langsung.
"Sekali lagi terima kasih, Paman...."
"Sumangga, Mahapatih...."
"Paman sungguh luar biasa. Sama-sama mengerti tata krama keprajuritan, tetapi tak pernah terpikirkan apa yang Paman usulkan."
"Kebetulan saja hamba teringat, Mahapatih.
"Dengan palapa ing karya, akan menjadi jelas. Apakah Baginda atau Putra Mahkota kemudian hari akan memanggil kembali secepatnya atau tidak.
"Jika secepatnya, berarti Baginda sangat membutuhkan Mahapatih."
"Bila tidak?" KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bila tidak, berarti Baginda atau Putra Mahkota menghormati wewenang Mahapatih untuk beristirahat."
"Aku akan memulai malam ini juga."
"Barangkali saja Mahapatih perlu menunggu sampai Baginda selesai di sanggar pamujan. Masih ada waktu bagi Mahapatih merenung kembali."
"Rasanya ini sudah merupakan jalan terbaik."
"Merenung kembali dalam artian jika Mahapatih menganggap terbaik, senopati lain yang langsung di bawah Mahapatih bisa mengikuti jejak."
Kening Mahapatih berkerut.
"Senopati yang lain"
"Apakah ini bukan berarti pengunduran diri sementara secara besar-besaran?"
"Begitulah, Mahapatih.
"Untuk lebih memberi keyakinan bahwa tindakan Mahapatih tidak sendirian." "Apakah tidak ada tuduhan kraman?"
Halayudha mendesis. "Sama sekali tidak. "Semuanya diatur dalam tata krama tugas prajurit. Tata krama resmi bagi keprajuritan Keraton Majapahit yang disahkan oleh Baginda.
"Tidak menyalahi titik dan koma.
"Maaf, Mahapatih, hamba sekadar mengingatkan kembali. Bahwa prajurit hanya mengenal tata krama keprajuritan. Bagi penduduk biasa, bisa menunjukkan ketidaksukaannya dengan berjemur diri di alun-alun.
"Bagi para pendeta, bisa menuliskan kidungan sindiran.
"Bagi para gundik, bisa membunuh diri.
"Bagi para pemberontak, bisa mengangkat senjata.
"Prajurit menjadi sangat istimewa tugasnya, sehingga tak bisa menunjukkan perasaannya dengan cara-cara yang dipakai orang lain.
Selain palapa ing karya. "Kalau Mahapatih tidak keberatan, hamba yang pertama akan mengikuti langkah Mahapatih."
Mahapatih Nambi mengangguk.
"Karena izin untuk itu datang dari Mahapatih, dengan ini resmi hamba, Senopati Halayudha yang bertugas di dalem, memohon izin.
Semoga Mahapatih Nambi berkenan mengabulkan keinginan hamba."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Mahapatih Nambi mengangguk.
"Kululuskan permintaanmu, Senopati Halayudha.
"Kembalilah bertugas jika aku memanggilmu."
"Sembah terima kasih atas kebaikan Mahapatih."
Halayudha merasa geli. Juga ketika mengantarkan Mahapatih Nambi sambil digendong oleh prajuritnya.
Begitu masuk kembali ke kamarnya, pikirannya cepat bekerja keras.
Dalam waktu singkat akan terjadi perubahan besar.
Para senopati yang setia pada Mahapatih akan mengambil istirahat.
Yang kemudian disusul Mahapatih.
Biar bagaimanapun, akan menimbulkan keguncangan dalam Keraton.
Pada situasi seperti itu, ia bisa masuk kembali.
Mengisiki Putra Mahkota bahwa Mahapatih menempuh jalan keras untuk tidak mengindahkan perintah Putra Mahkota. Bahwa dalam hatinya, Mahapatih tidak menyetujui penyerahan kekuasaan dari Baginda.
Dalam situasi seperti sekarang ini, gelitikan kecil ini akan mudah dipercaya.
Yang menjadi perhitungan Halayudha sekarang ini hanyalah bagaimana cara menyampaikan kepada Putra Mahkota.
Jaraknya menjadi jauh. Karena kini ada Barisan Padatala yang secara langsung ke depan.
Yang keculasannya sudah dibuktikan dengan bubuk pagebluk yang meminta banyak korban.
Secepat Halayudha mencari jalan keluar, secepat itu pula menemukan.
Jalan untuk bertemu dengan Barisan Padatala adalah dengan mengirimkan kitab yang dulu disalin dari Pendeta Syangka.
Seolah ia menemukan kitab pusaka para pendeta dari Syangka.
Halayudha tersenyum sendiri dalam hati.
Dengan memberikan kitab pusaka, dirinya akan mudah diterima.
Sambil lalu akan diceritakan bahwa ia setengah dipaksa Mahapatih Nambi untuk palapa ing karya. Seperti juga para senopati yang lain.
Berita ini akan segera sampai ke telinga Putra Mahkota.
Atau Permaisuri Indreswari.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Alangkah gampangnya menguasai jika Mahapatih Nambi dan pengikutnya yang setia tersingkir. Sekarang ini tak ada yang menghalangi. Tak ada calon kuat untuk memegang jabatan mahapatih.
Selain dirinya. Halayudha mengusap bibirnya.
Ketika ia berusaha keras, yang ditemui malah halangan dan hambatan. Ketika ia mengendurkan diri, justru kesempatan itu datang.
"Inilah nasib. "Nasib baik hanyalah saat yang tepat memanfaatkan kesempatan. Itu bedanya dengan nasib buruk.
"Hanya orang yang selalu bersiap mampu menangkap kesempatan.
"Sebelum bulan bersinar kembali esok malam, kesempatan itu di tanganku. Di tangan manusia kutung yang pincang!"
Telapak Siladri MAHA SINGANADA tak sempat menyaksikan rembulan Palguna. Di tengah pertarungan tadi, mendadak saja ia merasa lemas. Pikirannya melayang, tak seirama dengan kemampuan tenaganya. Gerakannya menjadi kacau, dan sebelum mengetahui apa yang terjadi, tanah yang diinjak serasa lenyap.
Dalam keadaan antara sadar dan tidak, Singanada merasa dilepaskan dari puncak bukit.
Melayang-layang, mengapung.
Setiap kali bibirnya ingin meneriakkan sesuatu, yang terjadi malah bertambah sesak.
Dibesarkan di tanah seberang, Singanada mengetahui bahwa dirinya berada dalam bahaya karena pengaruh racun tertentu. Ketika usaha melawan dirasakan sia-sia, dibiarkannya tubuhnya terseret arus.
Yang sedikit membuat Singanada heran ialah bahwa pancaindranya masih bekerja secara sempurna. Masih didengarnya suara orang jatuh, teriakan Gendhuk Tri. Masih dilihatnya bayangan yang datang dan pergi, yang menyeretnya, membawa ke suatu tempat.
Hanya saja bibirnya terasa tebal dan matanya mengantuk.
Singanada membiarkan tubuhnya diangkut dan diletakkan di suatu ruangan yang dijaga ketat.
Baru kemudian perlahan mengatur pernapasannya.
Tak ada yang terganggu. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hanya saja kembali rasa kantuk yang luar biasa menyeretnya ke arah kelelapan. Beberapa kali Singanada berusaha melawan, akan tetapi beberapa kali gagal.
Hanya pikirannya yang masih bisa berjalan.
Sambil menutup matanya, Singanada memperkirakan apa yang terjadi. Ketika muncul tiga tokoh yang kakinya bergelang, dalam pertempuran yang singkat, hidungnya mencium semacam bau apak.
Bau yang berasal dari bubuk yang dilemparkan secara bersamaan oleh ketiga lelaki bergelang kaki.
Bubuk itulah penyebabnya.
Telinganya masih sempat mendengar disebutnya bubuk pagebluk.
Yang diketahui oleh Singanada bukan dari namanya. Ada bau apak yang dikenali semasa masih di tanah seberang. Bau apak-manis racun putih halus yang menyebar ke udara.
Racun semacam itu juga dijumpai di Keraton Caban, di tanah Campa.
Hanya kehebatannya tidak seperti yang dilihat sekarang ini. Bubuk putih di wilayah Caban membuat seseorang hilang ingatan dan limbung, akan tetapi tidak mematikan seketika.
Agaknya ketiga orang yang maju ke medan perang itu telah berhasil membuat ramuan yang luar biasa. Sehingga siapa pun yang menghirup bisa mati seketika. Atau paling tidak hilang seluruh tenaganya.
Beberapa saat kemudian, ada langkah mendatangi. Singanada tak bisa menggerakkan anggota badannya. Setiap kali menutup mata, tubuhnya kembali serasa berayun-ayun di awan.
Akan tetapi pendengarannya masih bisa berjalan sempurna.
"Ini bukan Upasara, walau wajahnya sama jeleknya," terdengar suara di atasnya. Singanada mengenali sebagai suara Putra Mahkota.
"Kami yakin bahwa Upasara tak akan bisa lolos."
"Bapa Pendeta, saya juga mau percaya setelah melihat tubuhnya."
"Kalaupun bisa lolos, hidupnya akan sangat tergantung pada bubuk pagebluk ini. Setiap kali ia akan mencari bubuk dahsyat ini. Karena semua saraf dan darahnya telah teracuni. Hanya bisa dipuaskan dengan bubuk ini, sampai kemudian tak memerlukan lagi." "Cerita itu aku sudah dengar.
"Bosan aku mendengarnya.
"Yang belum aku dengar, di mana mayat Upasara" Kalau ia bisa lolos, kira-kira ke mana" Seberapa daya tahannya?"
Terdengar jawaban dari salah seorang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Mayatnya akan ditemukan dalam lima hari. Hamba yakin, tubuhnya akan ditemukan sebentar lagi. Karena menghirup bubuk pagebluk, apalagi kami terang-terangan melemparkan ke arahnya, seluruh kemampuannya akan lenyap. Diperlukan waktu lama untuk bisa memulihkan kembali. Itu pun pasti sudah akan ketagihan.
"Dan pancaindranya akan menuntun ke kami bertiga, yang masih menyimpan bubuk lainnya.
"Sekali terkena bubuk ini, seumur hidup akan tergantung pada kami.
Sampai sekarang belum ada yang bisa lolos dari cengkeraman neraka.
"Sungguh tepat Paduka memberi nama bubuk pagebluk."
Singanada mendelik. Bubuk semacam itu, tak salah lagi berasal dari jenis tumbuhan tertentu yang sangat gawat. Pada ramuan yang hanya beberapa lembar dedaunan atau putiknya, bisa membuat nikmat. Akan tetapi memang makin lama makin membuat ketagihan dan tergantung.
Di tanah Campa bubuk semacam ini memang dikenal luas.
Menjadikan para sambiwara, para pedagang, lalu-lalang di seluruh jagat dengan keuntungan yang luar biasa.
Seperti dugaannya semula, tiga orang yang dipanggil sebagai bapa pendeta ini mampu menciptakan ramuan yang luar biasa pekat dan ganas.
Singanada menyadari bahwa keadaannya sekarang ini lebih parah dari yang diperkirakan. Karena, kalau benar yang diutarakan, dirinya terpengaruh oleh bubuk pagebluk sepanjang hidupnya.
Setelah pengaruh sekarang ini berkurang, seluruh tubuhnya bakal dijalari ingin merasakan kembali.
Bubuk yang paling jahat yang pernah dikenalnya.
Sekarang justru dirinya yang terkena.
"Bagaimana dengan perawan yang satunya?"
"Keadaannya lebih parah, Paduka. Karena aneh sekali, tenaga dalamnya justru membantu mencairkan bubuk pagebluk." .
Singanada menduga pastilah yang dibicarakan itu Gendhuk Tri. Tak mungkin Permaisuri Rajapatni.
"Paduka... "Ini saat terbaik melatih ilmu silat tenaga dalam. Upasara atau Rajapatni hanya soal waktu. Hamba bertiga jauh-jauh datang dari Syangka untuk membawa bubuk pagebluk ini.
"Marilah, Paduka, kita tidak perlu memikirkan hal ini lebih lama."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Baik. "Sementara itu jalankan terus ramuan bubuk pagebluk yang tak terlalu ganas, agar semua menjadi tergantung kepada kita. Ingat, aku sendiri yang menentukan siapa yang menerima seberapa...."
"Sembah bagi Paduka...."
Lalu terdengar langkah kaki meninggalkan.
Singanada terbaring. Merasa kalah. Hancur. Sia-sia. Kenapa aku tidak mati seperti Cebol Jinalaya saja"
Bagaimana dengan Gendhuk Tri" Seberapa jauh ia lebih parah"
Kenapa tubuhnya lebih memungkinkan bubuk itu bekerja sempurna"
Kembali rasa kantuk menyeretnya. Perasaan melayang dari puncak gunung mengganggunya. Bayangan demi bayangan yang serba aneh muncul dari angannya. Tangannya serasa berjalan sendiri, kepalanya lepas dan menertawakannya.
Antara igauan dan lamunan, Singanada melihat sesosok mendekat.
Tangannya bergerak, entah cepat entah lambat, akan tetapi dua penjaga yang berada di depan mendelik dan tak bergerak.
Sosok tubuh itu mendekat ke arah Singanada.
Sebelum Singanada menyadari, pipinya telah dijepit. Sebutir buah yang sangat pahit dijejalkan hingga ke pangkal lidahnya. Ketika ia akan terbatuk, tangan yang keras menutup mulutnya.
"Jangan bergerak, jangan mengerahkan tenaga. Biarkan buah itu masuk ke dalam tubuh dan larut dalam darah.
"Dalam sepenanak nasi, tenagamu akan kembali untuk jangka waktu satu putaran terbit dan tenggelamnya matahari.
"Baik sekali bagimu kalau kau segera meninggalkan tempat ini."
Tubuh Singanada menggigil.
"Tanganmu sangat kasar, bagai batu gunung."
"Pergilah, Singanada! Selamatkan dirimu!
"Jangan memikirkan Gendhuk Tri atau orang lainnya. Yang penting kamu selamat. Keraton sedang dalam bahaya mengancam yang luar biasa.
"Pengaruh bubuk pagebluk sudah menyebar."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Siapa kamu?" "Karena kamu menyebut tanganku seperti batu, panggil aku Siladri.
"Aku tak punya banyak waktu."
"Tunggu! "Kenapa kamu tolong aku?"
"Sebab kamu ksatria.
"Keraton membutuhkan ksatria.
"Jaga diri baik-baik, Singanada. Jangan memikirkan orang lain lebih dulu."
Dengan gerakan lembut sosok itu bergerak.
Seorang prajurit yang menjenguk masuk, sekali kena pukulan langsung tertunduk, jatuh.
Kurungan Pagebluk SINGANADA menggerung keras.
Akan tetapi suaranya setengah tertahan.
Ada beberapa keinginan yang akan diteriakkan. Ia seperti mengenal Siladri. Baik gerakan tangannya ketika memukul, atau bahkan caranya berjalan.
Ilmu itu sangat dikenalnya.
Melihat kemampuannya, jelas ilmu silatnya bukan dari golongan sembarangan. Malah kentara sekali dilatih dengan teratur.
Lalu kenapa menolongnya"
Seperti yang dikatakan tadi, dirinya "seorang ksatria dan Keraton membutuhkan ksatria?" Kalau demikian Siladri adalah tokoh dari Keraton. Tak bisa tidak.
Bahwa ia bisa masuk menerobos dengan leluasa menunjukkan tak mungkin dari kelompok di luar Keraton. Kalau benar begitu, kenapa kelihatannya tidak sependapat dengan Putra Mahkota atau bahkan Baginda"
Kenapa membantunya secara diam-diam"
Kelompok mana lagi" Apa hubungannya dengan Upasara Wulung" Kelihatannya juga cukup kenal. Bahkan Gendhuk Tri pun dikenalnya. Setidaknya kalau diingat bahwa tadi ia mengatakan agar tidak memikirkan orang lain lebih dulu.
Yang penting bisa meloloskan diri.
Singanada makin kuatir. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bagaimana keadaan Gendhuk Tri saat ini"
Apakah ia lebih parah lagi dan akan lebih tergantung kepada bubuk pagebluk yang kini telah menguasai Keraton" Yang telah disisipkan dalam jamuan Keraton"
Benar-benar gawat! Hanya dengan bubuk yang tak seberapa, seluruh Keraton bisa dikuasai. Dan ini langsung diperintah oleh Putra Mahkota.
Celaka! Ah! Singanada merasa bisa menggerakkan tangannya. Benar saja. Kini jari-jarinya bisa digerakkan. Bisa direnggangkan. Bahkan ketika coba diangkat, ternyata bisa.
Hanya kemudian jatuh kembali.
Singanada segera memusatkan perhatiannya. Kalimat petunjuk Siladri yang serba pendek dan tergesa diikuti dengan cermat.
Ia tak akan membuat gerakan apa-apa.
Untuk memudahkan buah pahit yang dijejalkan ke dalam mulutnya larut di dalam darah.
Sejenak Singanada merasakan perbedaan. Pengaruh buruk yang menyeretnya ke dalam kantuk mulai surut. Kini matanya bisa dibuka dengan lebar, bisa melihat benda-benda lebih jelas. Tak ada lagi perasaan gamang atau seperti terayun-ayun dari puncak gunung. Tak ada lagi pikiran dan tubuh melambung seperti ketika di tengah samudra.
Menunggu sepenanak nasi, Singanada menjadi kuatir kalau-kalau ada penjaga yang datang. Namun sebisa mungkin ditenangkan hatinya.
Benar saja. Segera dirasakan kesegaran tubuhnya. Sewaktu tenaga dalamnya disalurkan, bisa berjalan leluasa.
Ini hebat! Pengaruh bubuk pagebluk bisa dilawan!
Bisa dimusnahkan. Meskipun hanya dalam jangka waktu terbitnya matahari. Hanya dalam waktu sehari-semalam. Kalau ia tak bisa segera menemukan Siladri yang menjejalkan buah pahit, ia akan ketagihan lagi. Akan hilang seluruh kemampuannya.
Singanada tak berpikir panjang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Segera ia pulihkan tenaganya, digerakkannya semua anggota tubuhnya. Begitu merasa menguasai tenaganya, Singanada segera melangkah ke luar. Keluar dari ruangan, mengendap-endap menuju bagian lain.
Tak terlalu sulit menemukan jalan keluar, karena Singanada sedikit banyak hafal mengenai keadaan Keraton.
Hanya saja langkahnya tertahan.
Apa gunanya meloloskan diri seorang diri"
Bagaimana mungkin meninggalkan Gendhuk Tri seorang diri"
"Kalau bisa menolongku, pastilah Siladri bisa juga menolong Gendhuk Tri. Pasti sekarang sudah diusahakan.
"Tapi rasanya aku tak bisa meninggalkan perawan suci itu sendirian.
Lagi pula untuk apa aku melarikan diri" Meskipun hanya hidup sehari-semalam, untuk apa bersembunyi"
"Jalan yang terbaik adalah menemui pendeta-pendeta jahanam itu.
Kalau bisa membunuh mereka atau memaksa mereka menyembuhkan Gendhuk Tri, barangkali ada gunanya sisa hidupku ini."
Singanada memandang ke arah lain.
"Siladri, aku menempuh jalanku sendiri."
Singanada berbalik. Kembali ke dalam Keraton. Mengendap-endap mencari tempat persembunyian Gendhuk Tri. Akan tetapi geraknya terlalu terbatas, karena penjagaan sangat ketat.
Dua kali Singanada memaksa prajurit yang ditemui untuk mengatakan di Gendhuk Tri. Bukan jawaban yang diterima, akan tetapi pelototan mata yang segera dibungkam.
Tak ada jalan lain. Menelusuri satu demi satu.
Memasuki ruangan-ruangan satu demi satu.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekurangnya di mana banyak penjagaan, di situ Singanada mengendap-endap masuk.
Empat ruangan ternyata tak ada apa-apanya.
Ketika mencoba ruangan yang kelima, Singanada menahan diri. Kali ini penjagaan sangat ketat. Sehingga Singanada, di luar kebiasaannya, melewati jalan berputar. Lalu memakai pakaian prajurit Keraton dan mengintip dari balik gerbang.
Darahnya berdesir lebih cepat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Karena yang berada di dalam adalah orang-orang yang dicarinya.
Semuanya berkumpul. Putra Mahkota berada di tengah lingkaran dengan telanjang dada. Di sekelilingnya, agak jauh, duduk ketiga pendeta dengan telanjang dada pula.
Di lingkaran yang agak jauh, para prajurit siap siaga.
"Paduka telah bersiap...."
"Mulailah!" Ketiga pendeta Syangka mengangguk, menyembah, lalu berdiri.
Masing-masing telapak tangan bersentuhan.
"Ilmu yang kami turunkan ini adalah ilmu pusaka negeri Syangka.
Ilmu yang dikenal dengan nama ilmu Kekal Abadi, atau ilmu Langgeng Bareng Jagat. Selama jagat masih tergelar, selama itu pula ilmu ini masih berlaku.
"Dasar-dasar ilmu ini adalah perubahan Sepuluh Wajah atau Dasamuka.
"Sebelum kami bertiga memulai, kami ingin mengutarakan siapa Dasamuka."
"Itu aku sudah tahu."
"Paduka tak boleh menyela.
"Sebab apa yang Paduka ketahui salah."
Singanada merasa aneh bahwa ada cara mengajarkan ilmu dengan disaksikan begini banyak orang. Dalam pengawalan ketat. Tapi bukan itu yang dipikirkan. Singanada hanya memikirkan bagaimana bisa meloncat masuk dan menerjang ketiganya! Untuk meminta paksa obat penangkal atau memusnahkan ketiganya.
"Dasamuka dikenal sebagai roh jahat.
"Padahal beliau adalah tokoh yang kekal abadi. Hidup bersama jagat.
Tanpa menitis seperti Wisnu, yang dipuja di tanah Hindia.
"Dasamuka adalah roh yang sejati.
"Ia membunuh gurunya, mengawini anaknya. Karena yang bisa kekal abadi tak terikat oleh pengaruh jagat yang sifatnya sementara.
"Paduka siap mendengarkan kidungan?"
Putra Mahkota mengangguk.
Adalah roh kekal abadi KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
hidup bersama jagat raja tak kenal ikatan sementara
jiwanya melampaui zaman orang bodoh menyebut durhaka
padahal sesungguhnya durhaka dan berdharma hanya sementara orang sakit menyebut culas
padahal sesungguhnya tak ada bedanya untuk keabadian Dasamuka bisa kalah, sementara
Tapi tak bisa mati, ia abadi
Segala bisa Segala jadi Tak ada yang menghalangi Tidak juga Dewa atau Dewi!
Pertarungan Syangka-Hindia
SINGANADA mengusap wajahnya. Sekuat mungkin menahan dirinya.
Kalau biasanya, mengikuti adatnya, ia pasti sudah menggebrak maju.
Akan tetapi, sekali ini, justru ketika keselamatannya tinggal sehari-semalam, hatinya menjadi lebih tenang.
Sebagai senopati yang lahir dan besar di tanah seberang, Singanada bisa melihat lebih jernih apa yang sekarang terjadi.
Kehadiran tiga pendeta dari tanah Syangka merupakan kelanjutan usaha tlatah Syangka menanamkan pengaruh dan kekuasaannya atas tanah Jawa. Tak jauh berbeda dengan ketika Sri Baginda Raja Kertanegara mengirimkan kedua orangtua nya ke tanah Campa.
Bedanya hanyalah Sri Baginda Raja mengirimkan para senopati, sementara Syangka mengirimkan para pendeta.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hal ini bisa terbaca jelas.
Sebab Pendeta Sidateka telah berhasil menanamkan pengaruhnya yang kuat kepada Putra Mahkota. Maka segera disusul pendeta-pendeta lain yang sangat mungkin tingkatannya lebih hebat. Bahkan kemudian memperlihatkan kehebatan bubuk pagebluk.
Salah satu yang diajarkan adalah ilmu Kekal Abadi yang bersumber dari Dasamuka.
Bagi Singanada ilmu silat bukan soal yang dipertentangkan.
Akan tetapi bahwa para pendeta Syangka berdatangan dan diterima secara resmi, bisa membuka medan pertarungan baru. Karena selama ini, selama ratusan tahun, terjadi permusuhan yang luar biasa antara pendeta dari Syangka dan pendeta dari tlatah Hindia. Bahkan dalam babon ajaran, kitab antara keduanya bermusuhan.
Adalah sesuatu yang menyedihkan jika terjadi di tanah Jawa. Karena tanah Jawa akan menjadi ajang peperangan antara Syangka dan Hindia.
Dengan mudah Singanada bisa melihatnya sebagai kemunduran.
Justru karena selama ini ia dibesarkan dalam tradisi Keraton Singasari yang mengumbar gagasan ke tlatah seberang. Yang mengirimkan para senopati ke segala penjuru jagat.
Kelahiran dan kehadirannya di tanah Campa dalam mengirimkan Dyah Tapasi antara lain justru untuk mengikat tali persaudaraan dengan Keraton Caban. Yang menemukan hasilnya tatkala pasukan Tartar gelombang kedua mau menyerbu kembali.
Yang bisa ditahan di tanah Campa.
Dengan jalan perundingan ataupun peperangan.
Hal yang sama yang dilakukan oleh Maha Singa Marutma ke Keraton Mon di tlatah Burma. Atau Senopati Anabrang ke tlatah Melayu.
Suatu kebesaran yang tiada taranya.
Keunggulan prajurit Singasari atas pasukan Tartar yang mampu menaklukkan seluruh jagat, menjadi buah bibir dan kidungan yang agung di negara yang bernaung dalam kebesaran Sri Baginda Raja.
Sungguh menyedihkan justru sekarang ini pendeta dari Syangka meminjam tanah Jawa untuk medan pertarungan.
Sebab jika para pendeta Syangka mulai muncul, bisa dipastikan bahwa sebentar lagi para pendeta dari tanah Hindia juga akan berdatangan.
Paling tidak salah satu tokoh utama yang masih menyembunyikan diri, yaitu Kiai Sambartaka, akan muncul kembali. Dengan berbagai
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
upaya, halus atau kasar, Kiai Sambartaka akan membendung dan menggempur pengaruh dari Syangka.
Bibit persemaian itu menjadi subur karena suasana dalam Keraton sedang berantakan. Perpecahan yang terjadi sekarang ini adalah perpecahan tingkat atas.
Antara Baginda dan Putra Mahkota.
Kalau perpecahan ini berhasil digunakan oleh para pendeta Syangka dan pendeta dari Hindia, habislah sudah keutuhan dan kejayaan Keraton.
Dalam memperhitungkan situasi semacam ini, Singanada boleh bertepuk dada karena merasa mengetahui lebih luas. Bukan sesuatu yang berlebihan. Ia dididik dalam tradisi memikirkan hubungan dengan tata pemerintahan seberang.
Dan yang tak habis membuatnya dongkol ialah ternyata Putra Mahkota menerima begitu saja ajaran dan kehadiran para pendeta Syangka.
Masalahnya kemudian ialah bagaimana mencoba memberitahukan keadaan yang sebenarnya. Tanpa harus diterima dengan prasangka.
Sebersit gagasan mulia muncul di benak Singanada untuk mengorbankan diri memberitahukan hal ini.
Namun juga sangat disadari bahwa sebelum usahanya berhasil, ia sudah menjadi korban.
Bagi Dasamuka salah itu belakangan
dosa itu perhitungan sementara
sebab yang kekal dan abadi
bisa apa saja norma dan tata krama itu belenggu
ibarat kata bendungan yang harus dipecahkan bagi Dasamuka kemenangan adalah segalanya
sebab tak pernah bisa dikalahkan
sepanjang segala zaman! KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Putra Mahkota menirukan dengan cermat. Tubuhnya yang gemuk bergerak-gerak, mengikuti irama kidungan.
Singanada mendongak ke langit.
Bulan mulai bergeser ke barat.
"Paduka bisa mengerti?"
"Sepenuhnya." "Tata krama hanyalah belenggu, hanyalah bendungan yang harus dimusnahkan. Kalau Paduka mempunyai keinginan, harus dilaksanakan. Pengerahan tenaga, melepaskan pukulan, tak boleh ditahan. Dalam latihan ataupun dalam pertarungan.
"Senjata bisa keris, pedang, tombak, kantar, atau bubuk pagebluk.
"Tak ada beda. "Paduka bisa mengerti?"
"Sepenuhnya." "Sekarang latihan memukul dengan tenaga dasar."
Tiga prajurit yang berdiri di pinggir lapangan ditarik maju. Putra Mahkota menggerakkan kedua tangan secara bersamaan. Diiringi teriakan keras bagai jeritan hewan, pukulan itu terarah ke prajurit yang berdiri tegap.
Seketika itu ambruk. Muntah darah tak bangun lagi.
Singanada meringis. "Pukulan Dasamuka tak bisa dikerahkan dengan kedua kaki sebagai kuda-kuda. Paduka harus mempergunakan satu kaki."
Latihan kedua dijajal. Kembali dua prajurit menjadi korban.
"Dalam latihan dan pertarungan sejati tak dibedakan."
"Aku mengerti."
Sampai di sini Singanada tak bisa menahan diri. Ia berkerumun di antara para prajurit yang mulai minggir ketakutan. Dengan harapan bisa dipanggil maju ke depan.
Hanya saja ketika ia mendekat terdengar suara berbisik di telinganya.
"Bukan sekarang saatnya."
"Siladri..." "Jangan maju sekarang, Singanada."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Singanada menggeleng. "Aku tak bisa menahan diri."
Mendadak terdengar teriakan keras.
"Siapa berani berbisik"
"Maju!" Maha Singanada maju sambil berjongkok.
Duduk bersila di tempat yang agak gelap. Semua prajurit memandangi dengan cemas.
"Tampangmu pengecut, wajahmu ketakutan.
"Sungguh tak pantas untuk latihanku."
Singanada menunduk. Bukan takut dikenali, akan tetapi menenteramkan darahnya yang mendidih.
"Pilih yang lain, aku masih mau berlatih."
Dua prajurit diarak ke depan.
Gemetar di tengah perjalanan. Merunduk. Sehingga terpaksa diseret.
Singanada menunggu kesempatan.
Sekali ini ia akan menyambar maju.
Tapi seorang prajurit yang lain menariknya. Singanada terkesiap, karena ternyata Siladri.
"Pengecut macam kamu sebaiknya jadi makanan harimau.
"Pergi sana. Bandel."
Hanya karena Siladri beberapa kali mengejapkan mata, Singanada mengikuti tarikan yang menyeretnya.
Sampai jauh di pinggir. "Pergilah, Singanada.
"Ada waktunya membalas rencana. Gendhuk Tri masih aman."
Sengatan Berahi TELAPAK tangan yang keras bagai batuan yang menggenggam Singanada masih tetap mencekal kencang.
"Apa maumu, Siladri?"
"Gendhuk Tri dalam keadaan aman untuk sementara," ulang Siladri berbisik.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kita harus menemukan Upasara dan Permaisuri Rajapatni. Dengan bersatu kalian bisa melawan Barisan Padatala."
Siladri melepaskan cekalan dan menjauh.
Di luar kori, Singanada tertinggal sendiri.
Banyak pertanyaan yang mengganjal.
"Hampir saja kamu kukira musuh terbesarku, Senopati Agung. Cara jalanmu sama."
Dugaan itu terlontar begitu saja. Singanada tak yakin apakah itu dugaan
yang tepat atau tidak. Sejak ia kembali ke tanah Jawa, tak begitu banyak tokoh yang dikenal. Paling hanya beberapa nama. Makanya ia heran sekali kalau ada orang yang mirip dengan yang pernah dikenal. Mestinya ia bisa tahu.
Siladri tokoh utama dalam Keraton. Jelas.
Bisa keluar-masuk dan menyamar sebagai prajurit. Peta permasalahannya tahu persis. Bahwa Gendhuk Tri dalam keadaan aman, dan Upasara serta Permaisuri Rajapatni masih belum ditemukan.
Agaknya juga cukup sakti, karena memiliki buah pahit yang untuk sementara bisa membuat tawar pengaruh bubuk pagebluk.
Singanada menduga bahwa Siladri tak mengetahui di mana Upasara berada. Apakah berada dalam tawanan, ataukah meloloskan diri. Itu sebabnya ia memberi saran agar segera meninggalkan tempat.
Barangkali terpikir bahwa Upasara bisa meloloskan diri, dan berada entah di mana dalam keadaan ngengleng alias linglung.
Saat itu Upasara memang bingung.
Gayatri yang tertidur nyenyak, mendadak menarik tubuh Upasara.
Merangkul kencang. Mendekatkan kepala Upasara ke dada Gayatri.
Seolah seorang ibu yang ingin menyusui anaknya yang sudah kehausan.
"Yayi..." "Peluk aku, Kakang. Rengkuh aku sepuasmu, Kakang...."
Upasara bergidik. Dalam bayangannya, Gayatri adalah wanita yang suci, dengan sorot mata jernih dan senyum tersembunyi. Tak pernah memperlihatkan perasaan yang sesungguhnya secara wadak. Kalau tadi menggenggam tangan Upasara, diartikan sebagai luapan dari kerinduan yang tak bisa dibendung lagi.
Namun hanya sebatas itu. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tidak seperti sekarang ini.
Upasara tidak menduga buruk. Justru akal sehatnya bekerja cepat.
Kini ia makin yakin bahwa Gayatri terkena pengaruh bubuk beracun, walau hanya sepersekian hirupan.
Pengaruh itu menyebabkan Gayatri berani mengutarakan apa yang terpendam dalam hatinya. Apa yang selama ini disembunyikan bisa muncul secara berlebihan.
Dan karena saat-saat terakhir perasaan Gayatri sedang hanyut dalam kerinduan, yang mendesak ke luar adalah nafsu berahi. Desakan berahi yang memanas.
Upasara tak menduga bahwa bubuk beracun itu mengandung bahaya ganda.
Dalam dosis kecil mampu membuka simpul-simpul perasaan.
Menghilangkan rasa sungkan, rasa malu, rasa yang ditutup-tutupi.
Dalam dosis besar keinginan itu sedemikian membesar sehingga bisa membunuh dirinya sendiri.
Anehnya bubuk ini secara langsung tidak menimbulkan luka dalam sebagaimana racun yang lain. Kalau racun atau bisa tertentu, bagian yang terkena dapat segera ditandai. Sehingga untuk mengobati dapat mengerahkan tenaga dalam ke bagian itu. Akan tetapi bubuk putih ini langsung terlarut ke dalam darah. Larut menjadi satu.
"Kakang..." Upasara berusaha melepaskan pelukan Gayatri.
"Kakang mengemohi aku"
"Apakah aku menjijikkan?"
Upasara pernah tahu ada semacam dedaunan yang tumbuh di Perguruan Awan, yang bisa membuat mabuk kepayang, bisa menghilangkan ingatan sementara dan membuat orang menjadi lebih berani. Tak jauh berbeda dengan minuman keras. Dedaunan semacam ini banyak digunakan oleh para
Petani agar giat menggarap sawah, atau prajurit yang menuju medan perang agar lebih berani, atau mereka yang biasa malu-malu kalau ingin bermain asmara.
Dalam soal mempengaruhi sama persis. Namun bubuk putih ini ternyata diramu lebih dahsyat lagi. Karena selain mengendurkan saraf, sekaligus juga mematikan. Sehingga mereka yang terkena pengaruhnya, mengetahui apa yang diperbuat tapi tidak sepenuhnya sadar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Perbedaan yang kedua ialah bahwa pengaruh dedaunan yang memabukkan itu hanya sebentar, sementara pengaruh bubuk dalam tubuh Gayatri seperti menyentak datang dan pergi berkali-kali.
Kini Upasara merasakan bahwa seluruh tubuh Gayatri basah oleh keringat. Basah dan membanjir, memberikan bau apak yang manis.
Bahkan keringat pun terkena pengaruh bubuk putih.
Meresap ke seluruh tubuh.
Upasara bersila. Kedua tangannya cepat menempel di tengah dada dan perut Gayatri. Tanpa dipengaruhi pikiran-pikiran yang merangsang dirinya.
Perlahan tenaga dalamnya masuk, menerobos pori-pori, mencari hawa nadi yang bergetar. Ke arah itulah Upasara mendorong keras, mencarikan jalan keluar tenaganya.
Tujuannya hanya satu. Kalau bubuk itu bisa larut sampai ke keringat, berarti sebagian terserap di situ. Dan bagian itulah yang didorong ke luar.
Dalam sekejap saja seluruh tubuh Gayatri benar-benar basah. Cairan dalam tubuh dipompa ke luar dengan dorongan tenaga murni. Bagi Upasara hal ini bukan pekerjaan yang sulit.
Penguasaan tenaga dalamnya untuk dikerahkan dengan perlahan atau cepat, ke bagian mana, bisa dilakukan dengan enteng. Seperti menuntun jalan pikiran atau menggerakkan anggota tubuh. Dan dalam hal ini perlawanan dari tenaga dalam Gayatri boleh dikatakan tidak ada.
Tetapi juga tidak berarti bahwa penyembuhan bisa secepat yang dikehendaki. Sebab kalau cairan tubuh Gayatri didorong ke luar semua, tubuhnya akan mengering. Bisa mati bagian-bagian kulit dan sarafnya.
Kalau terus-menerus dilakukan, Gayatri bisa mati kehabisan cairan tubuh.
Maka Upasara menempuh jalan aman.
Setiap kali mendorong semua keringat Gayatri berhasil, ia berhenti sejenak, mengelap dengan kain yang melekat pada tubuh Gayatri. Tak bisa lain karena tak ada barang lain. Tubuhnya sendiri telanjang dada, tanpa kain.
Setelah itu ia menimba air sumur dengan menggunakan setagen Gayatri. Lalu dengan setengah paksa dijejalkannya air ke bibir Gayatri.
Baru kemudian air di dalam tubuh Gayatri didorong ke luar lagi.
Dua kali Upasara melakukan, ternyata ada hasilnya.
Gayatri seolah mendusin dari kelelapan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kakang..." "Ya. Yayi..." "Kakang tidak kurang ajar padaku?"
"Tidak, Yayi. "Kakang hanya berusaha menyembuhkan Yayi...."
Kekuatiran Gayatri bisa dimengerti. Kini tubuhnya terbaring di bangku kayu. Setagennya telah lepas. Kain yang rangkap melibat tubuhnya sebagian telah lepas. Hanya ditutupkan begitu saja. Dalam keadaan antara sadar dan tidak, bisa saja muncul pikiran yang tidak-tidak.
"Yayi harus minum banyak sekali.
"Agar air tubuh Yayi bisa saya dorong ke luar.
"Ceritanya banyak dan panjang. Nanti akan Kakang ceritakan semua."
Gayatri mengangguk. Rasa dingin karena keringat kini sepenuhnya terasa. Juga telapak tangan Upasara di belahan dada dan di bagian pusar. Ada hawa enak, nyaman, yang menerobos masuk, mengalir bersama darahnya dan menyebabkan keringatnya bagai disuntakkan ke luar.
"Kakang... Aku tak tahan."
Upasara menarik kembali tenaganya.
Dan mengelap tubuh Gayatri.
Mendadak Gayatri merebut kain yang masih menempel di tubuhnya.
"Aku bisa melakukan sendiri."
Upasara berpaling ke arah lain.
Walau sebenarnya tidak perlu.
Karena ruangan sangat gelap tanpa cahaya. Tak bisa melihat ujung hidungnya sendiri. Hanya saja irama dan desiran darah yang bergolak serta udara panas dari sela-sela hidung bisa menjadi pertanda bahwa tanpa melihat langsung, gelora berahi itu tak bisa ditutupi secara sempurna.
Kidungan Pamungkas AKAN tetapi karena batin Upasara bersih dari niatan yang nakal, demikian juga Gayatri, keduanya dengan cepat bisa menguasai diri kembali.
"Kita coba kembali, Yayi?"
"Tubuhku sangat lemas.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tapi kalau Kakang anggap baik, silakan...."
Tangan Upasara bergerak. Kali ini tidak ke pusar atau belahan dada, melainkan menutup bibir Gayatri. Yang hampir saja berteriak karena kaget.
Baru kemudian Gayatri sadar bahwa ada langkah kaki menuju ruangan pustaka raja.
Ini hebat! Ketika pintu terbuka, tampak bayangan tubuh seorang wanita memasuki ruangan pustaka raja sambil membawa obor penerangan.
Upasara mendelik. Karena yang datang adalah Permaisuri Indreswari.
Berbagai pertanyaan serentak mengentak Upasara dan Gayatri.
Ruangan pustaka raja tidaklah luas. Lebih banyak untuk tempat penyimpanan kitab-kitab yang dituliskan pada kain sutra, kulit binatang, maupun dedaunan. Semuanya tersimpan dalam kotak yang dibuat dari kayu cendana. Semua disusun, menyita hampir sebagian besar ruangan.
Satu-satunya tempat yang luang hanyalah di bagian bangku kayu di mana Upasara dan Gayatri bersembunyi. Tempat yang biasanya digunakan Baginda untuk membaca atau menembang.
Jika Permaisuri Indreswari melangkah masuk, mereka berdua pasti segera ketahuan.
Karena tak mungkin mencari persembunyian lain. Kalaupun Upasara melayang dan menempel di langit-langit, jejak yang ditinggalkan sangat mudah terbaca. Apalagi ada bongkaran tanah dan bangku kayu yang basah oleh keringat.
Bagi Upasara dan Gayatri, bukan masalah utama kalau dianggap mencuri tahu mengenai kitab-kitab yang hanya diperuntukkan Baginda.
Akan tetapi diketahui berada dalam ruangan dan berdua-dua, sementara Gayatri hanya mengenakan kain yang mirip selimut, bisa memorak-porandakan cerita yang ada.
Apalagi yang mengetahui adalah Permaisuri Indreswari!
Bahwa tanpa melihat langsung cerita yang berkembang di luaran sangat menyakitkan hati, Gayatri sejak awal sudah mengetahui. Apalagi ditangkap basah"dan benar-benar basah seperti sekarang ini.
Sebenarnya ada pertanyaan lain yang muncul.
Yaitu kenapa Permaisuri Indreswari di tengah malam seperti ini memasuki kamar pustaka raja. Bahkan para emban atau prajurit jaga


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
yang baru masuk mengabdi sudah tahu adalah larangan utama bagi siapa saja untuk masuk ke pustaka raja atau sanggar pamujan.
Selain Baginda sendiri. Barang siapa berani mendekati saja sudah bisa didakwa melanggar tata aturan Keraton.
Tapi pertanyaan itu tenggelam dengan sendirinya.
Permaisuri Indreswari tak mungkin nantinya akan disalahkan memasuki kamar pustaka raja. Karena bisa saja beralasan mendengar suara di dalam, dan kemudian masuk. Permaisuri Indreswari dengan mudah mengatakan curiga dengan adanya suara di dalam karena saat itu Baginda sedang berada di sanggar pamujan. Berarti ada orang lain.
Para prajurit jaga akan membenarkan semua kalimat Permaisuri Indreswari.
Upasara menarik tubuh Gayatri.
Menempel erat di tubuhnya. Tangan kanannya memeluk Gayatri, sementara tangan kirinya menggantung. Satu gerakan tangan kiri akan mampu menyeret Permaisuri Indreswari masuk atau terlontar ke luar melewati halaman.
Gayatri bersandar di punggung Upasara.
Menunggu. Bayangan tubuh Permaisuri Indreswari bergerak. Cahaya obor yang dibawa tergoyang oleh tubuhnya sendiri.
Berhenti. Mengawasi tumpukan peti kayu cendana. Perlahan membuka salah satu peti, dan tangannya mengambil salah satu gulungan kitab yang ada.
Cepat menutup peti kembali.
Dan berbalik. Berbalik! Gayatri menutup matanya. Napasnya mendengus lega. Permaisuri Indreswari hanya berada di bagian ujung. Mengambil satu gulungan lalu melangkah ke luar.
"Aku sudah periksa. Di dalam tak ada apa-apa.
"Lanjutkan penjagaan, karena banyak musuh."
"Sendika dawuh dalem, sang Prameswari Agung..."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Jawaban para prajurit jaga terdengar serempak dan hormat. Lalu terdengar langkah menjauh.
Sunyi lagi. "Mbakyu Ayu Indreswari sudah tahu keadaan di dalam ruangan ini.
Sudah hafal di mana disimpan kitab apa. Sehingga hanya perlu melangkah masuk dan mengambil apa yang diinginkan.
"Sungguh kurang ajar."
"Tenang, Yayi...."
Gayatri melepaskan diri dari rangkulan Upasara.
"Bagaimana aku bisa tenang"
"Sudah jelas Mbakyu Ayu Indreswari mengambil kitab pusaka yang tak boleh disentuh oleh siapa pun. Dengan cara sembunyi-sembunyi, seolah ingin memeriksa, sehingga prajurit jaga pun dikelabui.
"Ini benar-benar keterlaluan.
"Yang selama ini dianggap permaisuri paling berbakti, paling suci, diam-diam melakukan tindak dursila."
Gayatri menuju ke arah depan. Ke tumpukan peti kayu cendana.
"Yang diambil kitab yang berisi Kidungan Pamungkas."
Upasara menunggu sampai Gayatri dekat.
Dan berbisik. "Bagaimana Yayi tahu?"
"Saya tahu, Kakang."
"Bukankah ini hanya untuk Baginda?"
Gayatri menghela napas. "Sekarang ini hanya untuk Baginda. Iya.
"Tapi sebelum ini, kitab-kitab itu milik Sri Baginda Raja. Dan kami semua putri-putrinya diberi izin untuk mempelajari. Aku sendiri yang mengatur kitab mana diletakkan di mana.
"Semua kitab ini peninggalan dari leluhur sebelum Sri Baginda Raja.
Ditambah dengan yang ditulis Sri Baginda Raja.
"Aku tahu, bukan mencuri tahu, Kakang."
"Maaf, Yayi... "Kalau tidak mengetahui, mana mungkin Yayi bisa mematahkan kidungan Senopati Halayudha...."
Gayatri terdiam. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Lama. Lalu, "Kakang, aku benar-benar takut, cemas.
"Selama ini ruang pustaka raja tak pernah dimasuki siapa pun. Akan tetapi secara diam-diam Halayudha bisa masuk kemari. Dan kini Mbakyu Ayu Indreswari juga leluasa mengambil begitu saja.
"Aku cemas sekali, Kakang.
"Keraton kita tak tersisa lagi."
Upasara mengangguk. "Pada zaman Ayahanda Sri Baginda Raja, banyak kitab yang diizinkan untuk diketahui para senopati. Bahkan Kitab Bumi disebarkan secara luas. Akan tetapi semua di bawah pengawasan yang ketat.
"Tidak main curi seperti sekarang ini.
"Kalau ini bukan pertanda kekacauan, apa lagi?"
Upasara membiarkan Gayatri mengumbar emosinya.
Sesaat. "Maaf, Kakang. "Aku tak bisa menahan diri. Betapapun aku putri Keraton dan permaisuri. Aku tak bisa membiarkan hal ini berlalu begitu saja.
"Maaf, Kakang. "Kakang jangan tersinggung kalau kukatakan aku permaisuri Baginda.
"Adalah kewajibanku untuk menjaga kebesaran Baginda.
"Bukan karena beliau guru laki yang harus kusembah, tapi beliau adalah raja."
Suara Upasara serak. "Tak apa, Yayi. "Kalau Yayi menghendaki, sekarang ini juga kita ambil kembali."
Upasara memandang Gayatri.
"Yayi sudah baik?"
"Lebih baik dari tadi, Kakang."
"Kalau begitu Yayi tunggu sebentar. Kakang akan merebut kembali."
"Tunggu dulu! KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tunggu, Kakang! Kenapa Mbakyu Ayu Indreswari justru mengambil kitab Kidungan Pamungkas} Itu bukan kitab yang luar biasa.
"Kenapa bukan Kidungan Para Raja, kalau ia mengharapkan putranya segera memegang takhta?"
Enakkan Hatimu, Adimas DALAM banyak hal Upasara mendalami berbagai kitab. Sejak kecil dididik dalam tradisi Keraton yang bukan hanya mempelajari kitab kanuragan, melainkan juga kitab-kitab yang berisi tata krama dan cara-cara mengatur
pemerintahan. Akan tetapi sejauh ini, dirinya lebih mendalami kitab ilmu silat, terutama Kitab Bumi. Boleh dikatakan hafal setiap lekuk-liku cara mengidung. Maka tidak bisa segera menghayati kenapa Gayatri mempertanyakan Permaisuri Indreswari yang mengambil Kidungan Pamungkas dan bukan kitab Kidungan Para Raja.
"Pasti ada yang istimewa, Yayi.
"Kalau tidak, di tengah malam seperti ini Permaisuri Indreswari tak perlu datang kemari."
"Semua kitab yang ada di sini istimewa, Kakang."
Upasara tersipu. "Yang membuat saya bertanya-tanya, kenapa justru Kidungan Pamungkas yang diambil.
"Kitab itu tak berisi sesuatu yang istimewa mengenai kekuasaan, mengenai asal-usul keturunan, mengenai tata cara menggempur musuh, ataupun mengenai berlatih tenaga dalam. Itulah sebabnya susunannya berada di luar.
"Kalau hanya datang untuk mengambil itu, sebenarnya bisa kapan saja
tanpa diketahui. "Ini aneh." Upasara merasakan betapa Gayatri tetap bagian dari Keraton yang utuh. Segala kecemasan dan kebanggaannya berhubungan dengan Keraton.
"Kakang..." "Ya, Yayi..." "Kakang tidak marah kalau saya minta sesuatu?"
Upasara memberanikan diri menggenggam tangan Gayatri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gayatri sengaja tak menghindar.
"Kakang tidak marah?"
"Tidak." "Kakang, malam ini malam milik kita berdua. Ditakdirkan menjadi milik kita.
"Hanya saja kita tak bisa berkurung di sini.
"Kakang tidak marah kalau kita pergi dari sini?"
"Tidak." "Saya ingin kembali ke kamar prameswaren.
"Kakang tidak marah?"
"Tidak." Gayatri merapikan kainnya. Mengikat dengan setagen.
Lalu berjalan. Upasara mendampingi. Di sisi jendela, Upasara mendorong dengan telapak tangan tanpa menyentuh. Jendela merenggang, dan sesaat kemudian Upasara sudah berada di luar, sementara jendela tertutup kembali.
Hanya dengan satu totolan kaki, tubuh Upasara dan Gayatri melesat ke bangunan dalam. Melewati beberapa emban dan penjaga, keduanya menyusup ke dalam kamar.
Untuk pertama kalinya Upasara masuk ke kamar seorang wanita.
Yang menampar hidungnya pertama kali adalah bau harum. Dan angin dingin yang masuk dari sela-sela jendela bagian atas.
Sebuah ranjang tidur yang indah.
Sangat indah. Ditata apik. Resik. Kelambu sutra menutupi seluruhnya.
"Ini kamarku, Kakang.
"Kamar yang menemani hari-hariku."
Upasara mengangguk. Berdiri kikuk. "Kakang tunggu sebentar di sini.
"Saya akan menjemput Mbakyu Ayu Tribhuana...."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Barangkali sudah berada di dalam," jawaban Upasara pendek dan menggeser kakinya ke depan. Siap melindungi Gayatri kalau terjadi segala sesuatu.
Gayatri melengak. Kamarnya hanya satu ruangan. Bagaimana mungkin ada orang di dalamnya, selain mereka berdua"
Bagi Upasara terlalu mudah mengetahui ada orang lain. Dari dengus tarikan napas dengan mudah bisa diketahui asalnya dari ranjang peraduan yang tertutup tirai.
Benar dugaannya. Tirai terungkap. Upasara menunduk, bersila, dan menghaturkan sembah.
Gayatri hampir tak percaya. Kakaknya yang sulung duduk bersila di ranjang. Pandangannya luruh, tenang, dan bahagia, sementara bibirnya sedikit sekali menyimpan senyuman.
"Baik-baik saja, Adimas Upasara?"
Siraman air suci yang segar seakan mengguyur seluruh badan Upasara. Sambutan yang dirasa begitu hangat, ramah, membuyarkan semua kekuatirannya.
Jauh dalam hatinya Upasara merasa sangat tidak enak. Datang ke kamar peraduan Gayatri. Lebih tidak enak lagi karena mengetahui ada Permaisuri Tribhuana di dalam.
Jalan pikiran Upasara ialah apa yang dikatakan Permaisuri Tribhuana mengenai hubungan mereka berdua selama ini" Tidak enak sekali, karena justru seakan tidak menghormati sedikit pun bahwa Gayatri masih mempunyai kakak tertua.
"Atas restu Permaisuri Tribhuana...."
"Enakkan hatimu, enakkan dudukmu.
"Aku tahu bahwa kalian berdua akan datang kemari. Maka aku mendahului kemari. Supaya tidak banyak waktu terbuang.
"Nimas Ayu, dandanlah yang baik.
"Rasanya kurang menghormati Adimas Upasara...."
Permaisuri Tribhuana turun dari ranjang peraduan. Menutup tirai.
"Maafkan adikmu ini, Mbakyu Ayu...."
Gayatri segera masuk ke balik tirai.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sejenak Permaisuri Tribhuana memandang Upasara yang menunduk.
Dari ujung rambut ke ujung kaki. Upasara merasa seperti telanjang di bawah sorot mata Permaisuri Tribhuana.
Yang terngiang di telinga Upasara adalah sebutan Adimas Upasara, cara penyebutan yang menerima kehadiran. Menyambut dengan baik.
Sangat bersikap kekeluargaan, walaupun tidak berlebihan.
"Aku mendengar begitu banyak berita sejak kemarin.
"Sejak kalian berdua hilang bersama, aku sudah tahu ke mana kalian akhirnya akan pergi. Menemuiku.
"Adimas Upasara, kamu kuanggap bukan orang lain.
"Adalah salah kalau aku memberikan kesempatan pada adik kandungku untuk berduaan denganmu. Sebagai sesama permaisuri, aku tak mengizinkan orang lain menggandeng bayangan tubuh Permaisuri Rajapatni.
"Tetapi sejauh ini, aku mengerti siapa diri Adimas.
"Aku percaya penuh kepada Adimas Upasara."
Upasara mengakui bahwa sebutan mahalalila bagi Permaisuri Tribhuana adalah sebutan yang sangat tepat. Apa yang diucapkan tepat, pas, tanpa basa-basi dan sanjungan atau merendahkan yang diajak bicara.
"Kenapa Rajapatni ingin mencariku"
"Ingin memperkenalkan ksatria yang telah dikenal jagat?"
Upasara menceritakan secara singkat kejadian terakhir, di mana Permaisuri Indreswari masuk ke pustaka raja dan mengambil kitab Kidungan Pamungkas.
"Memang ganjil. "Kidungan Pamungkas tidak berisi sesuatu yang istimewa. Kalau dibaca selintas. Sewaktu Sri Baginda Raja masih memegang kebijakan, hanya Kidung Paminggir yang telah begitu direstui untuk dibaca kerabat Keraton.
"Adimas Upasara lebih mengetahui kenapa."
"Serba sedikit, Permaisuri Tribhuana...."
"Serba sedikit"
"Semua memang serba sedikit. Tak ada yang mengetahui sedalam-dalamnya. Kidung Paminggir ditulis dan disusun oleh Eyang Sepuh, dan membuat Sri Baginda Raja Murka. Karena intinya mengisyaratkan munculnya seorang paminggir, seorang yang tidak mempunyai darah keturunan, bakal memegang kendali Keraton di masa yang akan datang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Itu yang terbaca. "Perintah larangan Sri Baginda Raja diketahui secara luas. Namun dalam Kidungan Para Raja, Sri Baginda Raja justru menuliskan bahwa roh raja bisa bersemi dalam dada setiap prajurit dan ksatria.
"Bukankah sedikit membingungkan"
"Ah, kenapa kita bicara seperti ini, Adimas?"
Permaisuri Rajapatni membuka tirai. Kini muncul dengan dandanan yang anggun, ayu, membuat Upasara tak berani melirik.
"Karena Mbakyu Ayu paling bijaksana dan mengetahui."
"Itu anggapan yang keliru.
"Semakin membaca kidungan, semakin banyak yang tidak diketahui."
Permaisuri Rajapatni bersila di bawah.
Berseberangan dengan Upasara.
Permaisuri Tribhuana duduk di pinggir ranjang.
"Mudah-mudahan Baginda menangkap wangsit, menangkap ilham yang sejati di sanggar pamujan."
Akhir kalimatnya benar-benar menggambarkan pengharapan.
Kidung Mahamanusia PERMASURI TRIBHUANA menunduk, bersama dengan Permaisuri Rajapatni. Lamat, samar, keduanya menembangkan kidungan secara bersamaan.
Atas nama Sri Baginda Raja
yang menguasai tanah Singasari
disusun Kidungan Pamungkas
atas perkenan pribadi Sri Baginda Raja
dan kemurahan hati yang bijak
semata-mata karena Sri Baginda Raja
sebagai manusia manusia ialah manusia bukan Dewa, bukan penjelmaan Dewa
manusia mempunyai raga KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
manusia mempunyai jiwa keduanya menjelma menjadi manusia manusia menjadi mahamanusia
jika mengagungkan manusia
bukan Dewa bukan gerhana bukan nirwana manusia bukan hewan bukan tumbuhan bukan cairan maha manusia bisa berkaca
melihat dirinya mahamanusia bisa berkata dan mendengarnya menghadapi diri melihat batin yang sejati
dalam hidup sejati mahamanusia bertatap muka dengan Dewa
yang sebenarnya entah di mana
mahamanusia menguasai jagat seisinya mahamanusia hidup di akhir peradaban di zaman pamungkas KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
zaman yang telah selesai bagi kehidupan ketika mahamanusia lahir mengagungkan manusia adalah kodrat jagat menjadi maha manusia adalah kodrat jagat mengagungkan manusia bukan menyatu dengan Dewa
mengagungkan manusia adalah menjadi maha manusia
atas perkenan Sri Baginda Raja
yang menguasai Keraton seisinya
Kidungan Pamungkas disusun
untuk memuja manusia bukan Dewa bukan raja bukan nirwana bukan gerhana bukan raga bukan jiwa sebab maha manusia sudah segalanya.... Kedua permaisuri mengakhiri dengan menyembah.
Upasara masih tak bergerak.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Semoga Sri Baginda Raja mengampuni putrinya yang telah lancang membaca kidungan di depan orang lain."
Kembali keduanya menyembah.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Adimas Upasara, apa yang Adimas rasakan?"
"Hamba tak begitu paham tentang tata krama, Permaisuri Tribhuana.
Agaknya memang bukan ajaran ilmu silat atau berlatih pernapasan."
"Kidungan Pamungkas, kalau ditilik dari tembangan yang disajikan, masih dekat dengan saat-saat Kidungan Para Raja. Kalau dilihat dari pilihan kata-kata bukan tidak mungkin ditulis Eyang Mpu Raganata.
"Kalau pada awalnya ditulis atas perkenan Sri Baginda Raja, berarti Sri Baginda Raja turut membaca sejak huruf pertama.
"Adimas, saya pernah sowan Kanjeng Rama dan menanyakan dimasukkan ke dalam deretan apa Kidungan Pamungkas ini.
"Kanjeng Rama mengatakan bisa di mana saja. Bisa di bagian tata cara pemerintahan, ilmu silat, atau tembang dolanan, permainan anak-anak.
"Memang ganjil. "Di saat-saat terakhir Sri Baginda Raja hanya memusatkan pada penulisan Kidungan Para Raja. Sampai akhir hayatnya, sebelum kembali ke keabadian yang sempurna.
"Akan tetapi kidungan ini juga sempat diperhatikan."
Permaisuri Tribhuana menggerakkan tangannya.
"Kalau tak banyak yang bisa menangkap isinya, untuk apa Dara Petak mengambilnya"
"Untuk kitab yang biasa-biasa, Dara Petak tak mampu memahami.
Apalagi Gemet...." Masih terasa kegetiran yang tak terhapuskan. Permaisuri Tribhuana tetap menyebut Dara Petak, dan bukan Permaisuri Indreswari.
"Nimas Ayu, apakah Keraton sedang ketamuan seseorang?"
"Rasanya yang muncul hanyalah para pendeta dari tanah Syangka."
"Saya tak melihat adanya hubungan dengan tanah Syangka.
"Ataupun tanah Hindia.
"Atau tanah Turkana...."
Sampai di sini, Permaisuri Tribhuana memandang Upasara selintas.
Cukup bagi Upasara untuk merasakan sesuatu yang mengganjal.
"Rasanya hamba sudah cukup lama.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Mohon perkenan Permaisuri Tribhuana dan Permaisuri Rajapatni untuk mengundurkan diri."
Permaisuri Tribhuana menghela napas.
"Malam ini meskipun angin segar, tapi alam seperti bergegas. Dan beringas. Semua memanfaatkan saat-saat Baginda berada di sanggar pamujan.
"Adimas Upasara Wulung.
"Adimas ksatria sejati, senopati Keraton. Menjadi tanggung jawab Adimas untuk membantu tegaknya wibawa Keraton, dalam keadaan apa pun.
"Seperti juga kami semua."
"Kehormatan bagi hamba, Permaisuri Tribhuana."
"Terima kasih, Adimas.
"Nimas Ayu, Kakang-mu akan meninggalkan prameswaren. Apakah ada yang ingin Nimas Ayu katakan tanpa kudengar?"
"Apa bedanya, Mbakyu Ayu"
"Mbakyu Ayu sudah saya anggap pengganti kedua orangtua sejak masih kanak-kanak. Rasanya tak ada yang bisa saya sembunyikan dari Mbakyu Ayu.
"Kakang Upasara..."
Udara di dada Upasara tertahan.
"Kakang tahu aku masih keracunan bubuk putih?"
"Dengan dua atau tiga kali pengobatan rasanya akan segera bersih kembali, Yayi.
"Kakang hanya menunggu kalau Yayi sudah merasa sehat."
"Sekarang sudah."
Upasara mengangguk. Bersiap. Permaisuri Rajapatni tersenyum tipis.
Permaisuri Tribhuana memandang ke arah lain.
"Saya tak mau Kakang menyembuhkan seketika. Supaya suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi. Supaya Kakang tetap mengingat bahwa saya masih penyakitan, dan Kakang mau datang menolong."
Kali ini Permaisuri Tribhuana yang tersenyum tipis sekali.
"Kakang berjanji?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara mengangguk. "Kakang, aku menyimpan pakaian untuk Kakang. Aku menyambung dengan tanganku sendiri. Sekarang Kakang bisa mengenakan. Maukah, Kakang?"
Busana Kanendran UPASARA mengangguk. Seperti juga ia mengangguk terhadap semua permintaan Permaisuri Rajapatni.
Tapi sekali ini membuatnya terbengong.
Melongo. Banyak kejadian yang membuat Upasara kikuk tak bisa berbuat apa-apa. Yang seperti ini sama sekali tak pernah diduga.
Dari peti yang berbau harum, Permaisuri Rajapatni mengeluarkan semua isinya. Semua permata, pakaian kebesaran, sebelum mengambil pakaian Upasara.
Saat itu Upasara berpikir bahwa pakaian yang disiapkan untuknya diletakkan di bagian bawah, agar tak mudah diketahui orang lain.
Meskipun boleh dikata tak ada emban yang diizinkan menyentuh debu dalam peti busana.
Sewaktu sudah diangkat, Upasara masih menduga bahwa bukan yang disodorkan itu yang harus ia pakai.
Pakaian yang luar biasa. Warna dasar hitam, dengan renda-renda emas di ujung lengan, di bagian leher.
"Yayi..." "Pakai saja... Nimas Ayu sudah menyiapkan sejak puluhan tahun yang lalu."
Permaisuri Tribhuana ikut mendandani Upasara.
Menggelung rambutnya, memakaikan kain secara tepat pada goresan kecil-kecil yang ada. Mengenakan sabuk besar yang bertatahkan berlian.
"Yayi..." "Kakang seperti narendra...''
Seumur hidup, Upasara tak pernah mengenakan pakaian kebesaran seperti sekarang ini. Apalagi busana narendra, busana raja!
Mimpi pun tak pernah. "Ah! "Siapa sangka dengan busana kanendran ini Adimas tak kalah gagah dari Gemet atau bahkan Baginda?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Yayi..." "Inilah impian yang mewujud, Kakang.
"Impianku tentang Kakang."
"Ya, tapi..." "Kenakan, Kakang! "Sebagai kenangan padaku."
Upasara menggeleng-geleng.
"Yayi..." "Aku menyimpan pakaian yang sepadan dengan yang Kakang kenakan. Suatu hari nanti kita akan memakai bersama. Sekarang Kakang pakai sendiri."
"Ya, tapi..." "Biarlah Kakang melangkah dari kamar ini seperti kenangan yang kumiliki."
Upasara benar-benar mati kutu.
Tak bisa menolak. Tak bisa mengelak. Apalagi Permaisuri Rajapatni begitu bersungguh-sungguh, dan Permaisuri Tribhuana merapikan hampir di semua tempat. Termasuk membetulkan keris yang bertatahkan permata. "Yayi..."
"Berangkatlah, Kakang. Rembulan sudah hampir tak bersisa lagi."
Air mata Permaisuri Rajapatni menetes.
Air mata Permaisuri Tribhuana menggenang.
Upasara menyembah. Berjalan menuju pintu dengan langkah kaku.
Gerahamnya beradu. Permaisuri Rajapatni meneriakkan kata batinnya. Menahan.
Mengerem. Menjeritkan agar Upasara kembali.
Atau setidaknya menoleh. Tapi Upasara berlalu. Membuka pintu dengan gagah. Dan sebelum pintu betul-betul terbuka lebar, tubuhnya melesat dan pintu tertutup kembali.
Melewati bayangan pepohonan, Upasara meloncati dinding bagian belakang. Menyusup di antara prajurit jaga.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hanya karena tidak biasa dengan pakaian kebesaran yang dikenakan, geraknya jadi serba tanggung. Kuatir kainnya sobek atau kotor, Upasara berjalan seperti biasa.
Dalam bayangannya hanya ada satu tujuan. Mencari tempat yang aman untuk segera menukar pakaian. Menyimpan pakaian kebesaran, dan menggantinya dengan yang biasa dikenakan sehari-hari.
Kembali menjadi Upasara Wulung.
Seorang ksatria. Tangan Upasara masih memegang, menelusuri pakaian itu dari atas hingga ke bawah. Kalau tidak mengenakan busana kanendran ini, semua yang dialami siang sampai dini hari ini pastilah impian.
Betapa tidak. Bisa berdua bersama Gayatri.
Bercerita banyak sekali. Mengantarkan dan masuk ke dalam kamar peraduan.
Diterima dengan hangat oleh Permaisuri Tribhuana.
Pengalaman yang tak pernah akan tertindih oleh pengalaman lain sampai tujuh turunan berikutnya.
Upasara terlelap dalam pikirannya sehingga tanpa sadar berpapasan dengan barisan prajurit.
Sebelum sempat bereaksi, para prajurit menyembah hormat padanya.
Upasara mengangguk dan berjalan menjauh.
Walau merasa geli dan risi, Upasara tak bisa menanggalkan begitu saja. Celakanya, langkahnya yang asal-asalan justru membawanya ke tempat yang lebih banyak prajuritnya.
Yang semuanya kembali membungkuk hormat.
"Dengan segala hormat, silakan masuk ke dalam, Gusti Pangeran...."
Barulah Upasara sadar bahwa yang dikenakannya adalah pakaian kebesaran yang biasa dipakai oleh para pangeran. Atau setingkat dengan Putra Mahkota.
Karena tak bisa melepaskan diri, Upasara masuk. Mengikuti prajurit yang bertugas mengantarkan para tamu yang datang.
Hatinya bercekat ketika dipersilakan duduk di barisan depan, pada kursi prada, kursi warna emas.
Lebih bercekat lagi karena yang di sebelahnya ialah Pangeran Jenang, yang mengangguk hormat padanya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Adalah kehormatan besar berada di sebelah Pangeran Jenang," kata Upasara perlahan.
"Kehormatan yang sama, Pangeran..."
Pangeran Jenang tidak melanjutkan kalimatnya.
Dalam hatinya juga bingung. Begitu banyak pangeran di tanah Jawa ini. Nyatanya begitu.
Hampir semua pembesar datang.
Sebelum matahari bersinar sempurna.
Agak di luar dugaan bahwa ada pasewakan agung yang diselenggarakan dini hari. Tapi Upasara tak banyak mengikuti.
Pikirannya hanya bagaimana segera melepaskan diri dari kerumunan yang begini banyak, untuk menjelajah ke dalam Keraton mencari tahu di mana Singanada dan Gendhuk Tri tertawan.
Bersama dengan iringan genderang dan trompet serta gamelan panjang, semua yang hadir menunduk, menyembah.
Putra Mahkota Bagus Kala Gemet memasuki ruangan. Dengan pakaian kebesaran serta mengenakan mahkota. Diiringi para senopati, dinaungi payung kebesaran.
"Hari ini, ingsun, Sri Sundarapandya Adiswara, pemegang tunggal kekuasaan Majapahit dan seisinya, memerintahkan para kawula untuk mendengarkan sabda ingsun.
"Bahwa mulai pagi tadi, ketika sang surya keluar dari peraduannya, Baginda Kertarajasa Jayawardhana menitiskan wahyu Keraton ke tangan ingsun.
"Unjuk kesetiaan ditandai dengan sembah kalian, semua hambaku, serta minum tuak beras bersama-sama...."
Para pelayan segera menghidangkan bumbung bambu yang berisi tuak beras, untuk ditenggak satu demi satu.
Upasara berada di urutan depan untuk menerima pertama kali.
"Tahan! "Tuak beras itu sudah diracuni bubuk pagebluk!"
Singanada, teriak Upasara dalam hati.
Kepalanya miring ke kiri, ke arah datangnya suara.
Benar saja, di kejauhan tampak Maha Singanada sedang meloncat maju meninggalkan prajurit yang mengeroyoknya.
"Perintah Baginda Sundarapandya harap dipenuhi...."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kali ini Pendeta Resres yang berkata dengan perlahan tapi mengandung ancaman. Pendeta Wacak dan Taletekan juga melakukan gerakan yang sama.
"Para pengacau akan sirna...."
"Omong kosong! "Lihat diriku! Senopati Maha Singanada. Masih berdiri tegak, gagah, tak terluka sedikit pun. Bubuk pagebluk dari tanah Syangka tak lebih hanyalah bedak bagi pipi ledhek Keraton yang binal. Untuk ksatria macam aku, tak ada artinya.
"Tapi rencana perjamuan ini busuk."
Tantangan Raja SINGANADA melangkah dengan gagah, sesuai dengan pembawaannya. Rambutnya yang tergerai dibiarkan beriapan terkena angin malam. Matanya memandang nyalang.
Siap menyabung nyawa. Upasara tidak segera menemukan jalan keluar harus berbuat bagaimana. Menahan pemunculan Singanada sama juga dengan membuka kedoknya sendiri. Itu tak menjadi soal. Akan tetapi dengan begitu berarti perang tanding terbuka. Namun membiarkan Singanada menempuh bahaya sendirian juga bertentangan dengan jiwanya. Adalah sesuatu yang kurang diperhitungkan jika pada saat semacam ini Singanada muncul dan mengeluarkan
tantangan. Bahwa Singanada lama dan besar dalam perantauan bisa dimengerti dari sikapnya yang kurang mengenal tata krama. Akan tetapi sekali ini membangkitkan perlawanan seluruh Keraton.
Tak mungkin Bagus Kala Gemet, yang merasa baru menerima wangsit untuk menduduki takhta, membiarkan kekurangajaran di depan matanya.
Ketika tidak resmi diadakan upacara pemberian gelar dan ada senopati yang diduga tidak mau datang, tanpa ampun lagi disikat.
Apalagi seperti sekarang ini.
Sekelebat Upasara juga melihat bahwa Singanada tak mempunyai jalan keluar yang lain.
Ini berarti tak bisa terhindarkan lagi perang tanding yang tak seimbang.
Pada saat begitu, Upasara tak bisa berdiam diri.
Di luar dugaan Upasara, Bagus Kala Gemet mengangkat tangannya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Agaknya ada seekor hamba sahaya yang tidak diundang datang ke perjamuan.
"Sebagai raja, aku ingin mengetahui apa yang terjadi. Majulah, prajurit
kecil. Apa maumu?" Yang mendengar ucapannya melengak.
Tak menyangka sama sekali bahwa Singanada akan ditanggapi.
Dengan mengangkat satu tangan saja semua senopati dan Barisan Padatala bisa menyerang habis.
Ini juga menunjukkan bahwa pemegang kekuasaan tertinggi ingin menunjukkan sikap yang berbeda, sekaligus menjelaskan kekuasaannya.
"Kalau kamu kurang puas dengan pesta yang tak memperhitungkanmu, silakan bersembah di depanku. Dengan kebesaran hatiku, kuizinkan kamu menikmati hidangan Keraton.
"Kalau kamu mau menantang aku sebagai sesama ksatria, hari ini juga aku hadapi.
"Kalau ada yang ingin kamu minta, katakan maumu!"
Tantangan yang sama gagahnya.
Singanada sendiri kelihatan tak menduga akan adanya sergapan jawaban seperti itu.
Jalan pikirannya yang sederhana tak menemukan alasan bahwa sebenarnya kehadirannya bukan tidak diperhitungkan. Yang menyebut dirinya Sri Sundarapandya Adiswara bisa memperhitungkan bahwa pada saat upacara akan muncul para pembangkang.
Meskipun sebenarnya yang lebih diperhitungkan adalah pemunculan Upasara Wulung, yang dianggap satu-satunya orang yang bisa mengganggu di kelak kemudian hari.
Justru upacara ini selain untuk memperlihatkan siapa dirinya dan kekuasaannya juga untuk menyikat habis semua lawan atau yang dianggap tidak mengakui kebesarannya.
Bahwa Singanada yang muncul, tak terlalu menjadi perhatian.
Dari kisikan para pendeta Syangka, keadaan tubuh Singanada saat ini tidak cukup kuat. Kalaupun bisa bebas dari pengaruh bubuk pagebluk, itu hanya sementara sifatnya.
Kalau itu berarti harus melakukan pertarungan "sesama ksatria" juga tak terlalu membahayakan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dalam soal siasat semacam ini, Upasara maupun Singanada tak berbeda jauh. Keduanya tidak melihat bahwa di balik ucapan-ucapan sudah tersedia jawaban yang direncanakan dengan cermat, dengan perhitungan yang matang.
"Aku menerima tantanganmu.
"Rajamu menerima tantangan.
"Katakan apa maumu!"
Singanada menggerung. "Kembalikan Gendhuk Tri!"
"Hanya itu" "Kamu akan segera mendapatkannya...."
Gerakan dagu yang kecil membuat prajurit di sebelahnya mengangguk dan menyembah hormat sebelum melangkah ke dalam.
"Temui, ambil, dan bawa...."
Singanada tetap berdiri. "Aku ingin Gendhuk Tri dibawa kemari...."
"Itu berlebihan. "Kamu mengganggu pesta ini, dan tak mempunyai jiwa ksatria sedikit nun Takut diperdayai... Kamu berhadapan dengan Raja junjungan yang sabdanya didengarkan semua orang waras...."
Sejenak Singanada ragu. "Datang dan temui Gendhuk Tri.
"Baginda telah memberi kesempatan yang bagus, anak muda...."
Senopati Agung beringsut maju, menyembah sebelum berkata.
"Baik. "Tapi kita masih akan saling bunuh, Senopati Agung...." ,
"Seusai pesta ini, tantanganmu tetap kuterima."
Upasara menghela napas perlahan.
Ia merasa bersyukur bahwa pertarungan besar bisa terhindar. Walau gagah perkasa, Singanada tak mungkin menghadapi sendirian. Entah kenapa, Upasara merasa dekat dengan Maha Singanada. Ada semacam jiwa ksatria yang gagah yang bergema sama dengan hatinya. Ada pengabdian sempurna kepada Keraton Singasari. Lebih dari itu semua, Upasara merasa bahwa kini Gendhuk Tri telah mempunyai pendamping yang tepat.
Singanada mengangguk. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ia melangkah ke dalam, mengikuti para prajurit yang mendahului. ...
Suasana kembali seperti sediakala.
"Mari kita lanjutkan," kata Putra Mahkota dengan penuh wibawa.
"Kalau kalian ragu apakah tuak ini dicampuri bubuk pagebluk, biarlah aku yang mulai...."
Tangan kanan Putra Mahkota Bagus Kala Gemet meraup bumbung kayu dari tangan Upasara dan segera menenggak habis.
Semua yang hadir mengikuti.
Upasara sendiri mendapat ganti bumbung yang lain.
Hanya saja keraguan masih ada. Maka ketika menenggak, dengan satu sentakan, bumbung yang isinya tumpah itu bisa kembali ke tempatnya ketika ditarik dari bibirnya.
Bukan karena apa. Upasara hanya sedikit gentar dengan bubuk pagebluk. Yang membuatnya berjaga-jaga justru karena seumur hidupnya ia tak biasa menenggak tuak. Dari jenis apa pun.
Dalam hal semacam ini Ngabehi Pandu tak pernah memberi kelonggaran sedikit pun.
"Sekarang lebih jelas semuanya.
"Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, sebagai pewaris takhta yang ditunjuk dan dipilih Dewa Maha dewa, sekarang ini segala urusan Keraton di bawah pengetahuan dan izinku.
"Tak ada yang lain. "Malam ini juga, Mahapatih Nambi diterima keinginannya untuk mengaso sementara dari tugas-tugas keprajuritan. Bagi yang ingin mengajukan permohonan yang sama, tak usah menunggu besok.
"Keadaan Keraton sekarang kuat dan sentosa.
"Dewa selalu memberkati.
"Kalau ada yang masih tetap bisa ditata dengan baik, ingsun pribadi yang akan menjelaskan.
''Ingsun yang bertanggung jawab.
"Tak ada yang lain...."
Suaranya keras dan bulat.
Pandangannya menyapu ke seluruh ruangan.
"Malam ini juga ingsun pribadi tidak berkeberatan bila Paman Senopati Agung dan seluruh keluarganya ingin meninggalkan Keraton yang mengibarkan panji Keraton ke tanah sabrang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ingsun katakan di sini, malam ini, agar tidak ada lagi suara-suara di belakang hari yang mempertanyakan.
"Itu tak akan terjadi dalam tata pemerintahan yang sekarang."
Upasara merasa seluruh ruangan sunyi, senyap.
Seakan nyamuk pun takut mengganggu kebisingan.
Untuk pertama kalinya selama mengabdi di Keraton baru sekarang ini Upasara mendengar sabda Raja yang dilontarkan secara terbuka, sebagaimana apa adanya. Tidak dibungkus dengan kata-kata yang mempunyai makna penghalus.
Penyingkiran Mahapatih Nambi sudah diduga, akan tetapi tidak secepat ini. Juga caranya mempersilakan Senopati Agung untuk segera meninggalkan Keraton.
Tokoh yang begitu dihormati Baginda, diusir begitu saja.
Gigi Upasara berderak menahan gusar.
Pakaian kebesaran yang dikenakan terasa panas, pengap, dan membuat tak enak dipakai.
Raja Niratma SENOPATI AGUNG menunduk. Bahunya gemetar menahan rasa gusar. Hanya dalam waktu beberapa kejap saja. Lalu melakukan sembah dengan hormat.
"Bila memang Baginda Muda berkenan, saya akan segera berangkat sebelum fajar tiba.
"Mohon doa restu Baginda Muda...."
Jawabannya hanyalah anggukan pendek.
"Ini bagus, tetapi salah.
"Senopati Agung, bagaimana kamu menyebut dengan panggilan Baginda Muda" Apakah hatimu masih ragu mengakui sebagai Baginda Raja" Kenapa pakai sebutan Muda?"
Suara yang terdengar sangat kenes, manja, tanpa memedulikan tata krama karena menyebut begitu saja. Juga tak begitu terpengaruh dengan keadaan sekitar, di mana yang hadir hampir semua bangsawan dan pembesar.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun suara itu terdengar jelas, tak ada yang berusaha melirik.
Juga Upasara yang berada di deretan depan, karena kuatir menyinggung perasaan Raja Muda.
"Itu bagus tetapi salah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Senopati Agung, Baginda menyebut dirinya dengan ingsun, yang berarti aku yang besar, yang hebat. Bagaimana mungkin kamu bisa begitu sembrono terhadap keponakanmu sendiri"
"Tidak pantas kamu menyebutnya sebagai Raja Muda.
"Yang lebih pantas ialah Raja Niratma...."
Kali ini semua yang hadir menoleh tanpa kecuali ke arah datangnya suara.
Kalau tadinya merasa bahwa Senopati Agung dipersalahkan, kini keadaan berbalik. Dengan mengatakan sebagai Raja Niratma sama juga menyebut sebagai raja yang tidak mempunyai jiwa!
Bagaimana mungkin ada suara yang begitu kurang ajar"
Siapa yang berani berkata semacam itu"
Lebih mengejutkan lagi karena suara itu berasal dari seorang yang tubuhnya tinggi-besar, akan tetapi wajahnya tampak aneh. Karena bagian alis dipoles lebih hitam dan melengkung, sementara rambutnya digelung seperti wanita.
Dan kalau diperhatikan lebih jelas, tokoh yang seperti muncul secara tiba-tiba ini seakan tak menghiraukan semua mata yang memandang ke arahnya. Malah kemudian mengeluarkan kipas yang berukiran, untuk dikebut-kebutkan.
Alis Upasara sedikit berkerut.
Sekian lama ia malang-melintang di dunia persilatan, tak pernah menduga adanya seorang tokoh lelaki yang berdandan seperti wanita.
Yang bisa masuk dalam daftar undangan, dan agaknya cukup mengetahui hubungan antara keponakan dan paman. Antara Baginda dan Senopati Agung.
Meskipun rada sembarangan, kalimatnya yang menyebut "raja tanpa jiwa" sangat tepat. Seorang keponakan yang berani mengusir pamannya, yang tak mungkin dilakukan oleh Baginda sendiri, apalagi namanya kalau bukan manusia tanpa jiwa"
"Kalau ingsun raja tanpa jiwa, kamu manusia macam apa?"
"Jangan marah. "Baru akan menjabat jadi raja nanti saat matahari terbit, kok sekarang sudah marah-marah" Nanti kamu disebut Raja Momo...."
Benar-benar rada kelewatan tokoh yang satu ini.
Momo bisa berarti marah, bisa pula berarti congkak. Tapi bisa pula berarti gila.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Menghina secara terang-terangan semacam ini, benar-benar keterlaluan. Akan tetapi sampai sejauh ini tak ada prajurit kawal pribadi yang bergerak. Juga Barisan Padatala masih bersikap menunggu.
"Raja Momo, kamu menanyakan siapa diriku"
"Sungguh lucu. Pantas saja kamu tidak mengenalku. Ketika kamu masih menjadi air kencing, aku sudah mendiami keraton ini. Aku tahu kamar mana yang bau wangi dan mana yang bau apak.
"Apa betul di antara penggede di sini tak ada yang mengenalku?"
Pendeta Resres terbatuk perlahan.
Dari hidungnya terdengar udara yang disedot keras.
"Kakek tua, apa urusanmu datang kemari?"
"Ladlahom, seayu aku begini kamu panggil kakek tua" Aku bukan kakek dan aku belum tua. Kamu manusia mana" Pesuruh Raja Momo ini"
"Ladlahom, bagaimana kamu bisa dua kali menyebut dua kali salah?"
Pendeta Wacak mengulurkan tangannya, mendorong tubuh lelaki berpakaian wanita yang hanya menggerakkan kipasnya untuk menolak.
"Mana yang lainnya"
"Kenapa kalian tidak maju bersamaan saja?"
Sebagian yang hadir merasakan bau kipas yang wangi menusuk hidung. Bau kayu cendana yang menjadi sangat tajam.
Bagi Upasara bukan hanya bau wangi yang menyengat, akan tetapi juga sentakan tenaga dalam yang sangat kuat. Dalam hati Upasara menduga-duga siapa gerangan tokoh yang ganjil ini. Gerakannya sangat terbatas, dan belum dikenali asal-usulnya.
Pendeta Taletekan beringsut maju.
"Tadi kalian senopati yang diunggulkan dari tlatah Syangka itu"
Tingkat gelang kaki kalian masih belum pantas untuk menjadi senopati perkasa.
"Rasa-rasanya kalian masih harus belajar banyak untuk tidak kurang ajar."
Senopati Agung mendongak.
"Apakah yang datang turun gunung ini Mahamata Puspamurti?"
"Ladlahom. "Kamu masih mengenali siapa aku"
"Tolong katakan kepada orang Syangka yang kakinya bergelang ini agar menyingkir jauh-jauh dariku."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara sedikit heran. Sebutan mahamata adalah sebutan untuk seorang nenek. Padahal kini yang dihadapi jelas-jelas laki-laki walaupun berdandan sebagaimana wanita. Puspamurti berarti berbadan bunga, sementara yang dilihat tak keruan ujung-pangkalnya.
Tetapi Upasara bisa menangkap penyebutan "turun gunung". Berarti Puspamurti ini berasal dari perguruan di daerah pegunungan. Sejauh Upasara bisa mengenali, ksatria yang berasal dari gunung yang turun ke gelanggang selama ini hanyalah Tiga Pengelana Gunung Semeru. Tiga ksatria yang pernah dikenal dengan ilmu memainkan gerakan kaki yang luar biasa-sesuatu yang menjadi tradisi kuat bagi mereka yang sumber ilmu silatnya dari pegunungan.
"Raja Muda, tuak yang kamu sajikan tak enak di tenggorokanku.
Sungguh menyesal jauh-jauh aku datang hanya untuk minuman seperti ini.
"Campuran bubuk pagebluk yang disebut-sebut orang gila tadi juga terlalu kecil ukurannya...."
Bicaranya terdengar ngawur.
Satu kejap mengusir para pendeta dari Syangka, di kejapan berikutnya
membicarakan soal tuak. "Tak apa. "Tak apa. "Ladlahom sekali. Kamu sebenarnya tampan, Raja Momo, hanya saja kamu ini agak membosankan."
Tiga pendeta dari Syangka tak menunggu komando lagi. Setelah menyembah dengan gerakan cepat, ketiganya mengurung Puspamurti.
"Percuma kalian bertiga datang ke tanah Jawa untuk memamerkan gelang kaki yang buruk itu.
"Kalau kalian mau mengandalkan ilmu silat, cara mengatur napas saja masih susah. Kalau mau mengandalkan bubuk pagebluk, yang bakal terkena lebih banyak.
"Mundur saja...."
Kipas bergerak. Dengan gerakan genit dan manja.
Bau wangi kembali menyambar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dan bersamaan dengan itu ketiga pendeta dari Syangka terdorong mundur satu tindak.
Terdengar seruan tertahan.
Apa yang dipamerkan Mahamata Puspamurti memang luar biasa.
Juga dalam pandangan Upasara.
Terutama bukan karena kekuatan yang besar, akan tetapi cara Puspamurti mengatur tenaga. Empasan dari kipas kayu bisa menghantam bagian kaki. Yang disebut "bergelang buruk".
Bisa jadi memang itulah sasaran yang diarah.
Karena Puspamurti melihat bahwa bagian kaki adalah bagian yang terlemah dari ketiga pendeta tersebut.
"Mana itu Kidungan Pamungkas yang dijanjikan"
"Raja Momo, mana ibumu?"
Boleh dikatakan hanya Upasara, selain yang bersangkutan, yang mengetahui bahwa kitab Kidungan Pamungkas diambil oleh Permaisuri Indreswari.
Ternyata ada hubungannya dengan tokoh ganjil satu ini.
"Setiap kali ia berjanji mau memberikan lelaki muda yang gagah, tetapi tiap kali yang diberikan lelaki pengecut. Padahal di sini ada yang memenuhi seleraku.
"Anak muda, kamu pangeran dari mana?"
Upasara melengak. Sama sekali tak menyangka bahwa dirinya akan ditunjuk sebagai lelaki yang "memenuhi" selera.
Puspita Gatra BAGI Upasara kekagetan dipilih oleh Mahamata Puspamurti bukan sesuatu yang luar biasa. Selama ini boleh dikatakan ia sangat akrab dengan Dewa Maut, yang sejak daya asmaranya tidak kesampaian lalu memutuskan hidup dengan seorang bocah lelaki.
Upasara sangat mengenal ilmu tangkas telengas Dewa Maut. Akan tetapi jauh dalam hatinya, Upasara justru merasa welas, merasa simpati yang dalam atas penderitaan Dewa Maut.
Yang berbeda hanyalah, Puspamurti dipanggil nenek karena berpakaian seperti kaum wanita.
"Mana itu permaisuri sipit... Kenapa ia tak pernah menceritakan ada lelaki begitu tampan penuh pesona... Ladlahom. Ladlahom..."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pasti yang dimaksudkan adalah Permaisuri Indreswari. Berarti memang
orang dalam. Upasara merasa bahwa Permaisuri Indreswari lebih dari yang diduganya, mampu membangkitkan kembali jago silat yang selama ini tidak muncul ke tengah gelanggang.
"Kalau hanya itu urusannya, hamba akan segera menghaturkan buat Bunga dari Segala Bunga..."
"Ah, Halayudha. Kamu juga lebih suka bicara.
"Kalau sudah tahu seleraku, kenapa perlu tunggu waktu...?"
"Segera sesudah pasewakan ini...."
Dari cara menghormatnya, semua yang hadir menyadari bahwa Puspamurti memang sering berhubungan dengan orang dalam. Bagi Upasara yang sedikit aneh hanyalah, kenapa Raja Muda tampak begitu kaget dengan pemunculan Puspamurti. Malah memberi kesan tidak mengenalnya.
Upasara memang tak bisa segera menebak apa yang sesungguhnya terjadi di balik pemunculan para tokoh ini. Yang diketahui hanyalah bahwa Raja Muda sudah mulai mengumpulkan ksatria yang mau bergabung dengannya. Di samping itu, secara diam-diam Permaisuri Indreswari juga menyusun kekuatan. Kalau tadinya diduga satu kubu, bukan tidak mungkin ada sesuatu yang lain. Apalagi kaitannya dengan permintaan akan Kidungan Pamungkas. Yang secara tergesa diambil oleh Permaisuri Indreswari.
"Senopati Halayudha salah tebak," kata Upasara dengan suara sedikit diserakkan. "Yang diminta adalah Kidungan Pamungkas... yang telah diambil oleh Permaisuri Indreswari, akan tetapi sampai sekarang belum diserahkan...."
Puspamurti mengangguk. "Kamu benar.... Siapa nama gurumu?"
Upasara tahu bahwa Halayudha mengetahui kehadirannya. Akan tetapi agaknya Halayudha sengaja menahan diri. Kejapan matanya bisa diketahui.
"Saya yang rendah hanyalah seorang raden yang mendapat kehormatan untuk sowan..."
"Ladlahom. "Tak mungkin. Bagaimana kamu bisa tahu bahwa aku perlu kitab itu?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Gusti Permaisuri yang mengatakan. Dan mengambil kitab itu secara pribadi...."
Puspamurti mengejapkan matanya.
"Suaramu jelek. "Nafsuku jadi turun.
"Aku paling tidak suka suara yang jelek seperti suaramu, raden kecil yang memakai pakaian kebesaran.
"Tapi apa kamu tahu tentang kitab itu?" "Kitab yang tidak berisikan ilmu kanuragan...."
"Salah." Upasara menggigit bibirnya bagian bawah karena geram.
"Kitab tentang manusia...."
"Salah. "Aku makin tidak suka padamu. Selain suaramu jelek, otakmu juga tumpul."
Puspamurti menggoyangkan kipas kayu di tangannya.
"Berpuluh tahun Baginda Raja bisa merampungkan ratusan kitab yang tiada artinya. Hanya satu kitab yang benar-benar menyelamatkan manusia, di jagat dan di kelak kemudian hari. Itulah Kidungan Pamungkas!
"Kalian tak pernah tahu.
"Ladlahom.." Kepalanya menggeleng. Mendadak kipasnya melengkung ke depan, menyambar ke arah hadirin yang mengelilingi. Terasa tusukan logam yang menyambar.
Upasara menahan napas di dadanya, akan tetapi kemudian bersama dengan yang lain seperti terhuyung-huyung.
"Puspita Gatra...."
Desis suara Halayudha membuat Upasara sadar.
Puspita Gatra adalah sebutan untuk sesuatu yang berbunga di bagian ujung. Itu adalah nama jurus yang baru saja dimainkan oleh Puspamurti.
Sejauh Upasara bisa mengingat apa yang pernah diajarkan oleh gurunya ketika masih di ksatrian, ada beberapa nama perguruan yang mengembangkan sendiri ilmunya yang pantas dicatat dan perlu diingat, walau ajaran itu sendiri sudah tak ada lagi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Saat itu Ngabehi Pandu hanya menyebutkan sekilas adanya ajaran yang menggunakan rangkaian bunga yang diperdalam. Tokoh terakhir yang muncul memamerkan ilmu jurus bunga sudah lama lewat dan tak muncul lagi.
Siapa sangka kalau saat ini seperti bangkit kembali dari kubur.
"Kamu kenal jurus ini, Halayudha?"
"Begitu saja yang saya ketahui...."
"Ladlahom. "Memang hanya satu jurus saja. Bunga tak akan berbunga dengan warna dan bentuk yang lain. Kalau sudah berbunga di ujung apa lagi yang diperlukan?"
Halayudha mengangguk pelan.
Puspamurti menyeret kipasnya. Berjalan ke arah dalam. Dua prajurit yang mencoba menghalangi, atau menghadang di depannya, tersingkir seperti ditebas.
Tak ada yang menghalangi.
Kecuali Maha Singanada yang membopong Gendhuk Tri.
Keduanya berpapasan. Akan tetapi dalam jarak dua tombak, tubuh Singanada seperti didorong dengan keras. Jalannya menjadi sempoyongan.
"Badut tua!" Makian Singanada membuat Puspamurti menghentikan langkahnya.
"Kamu memaki aku?"
"Jelas. "Siapa lagi kalau bukan kamu yang pantas disebut badut tua?"
Kipas yang tadi diseret tiba-tiba saja terulur. Dan Singanada seperti kena tendang dadanya, terdorong ke belakang. Terdengar jeritan lirih.
Gendhuk Tri yang terbopong lunglai mengeluarkan seruan kesakitan.
Mau tak mau Upasara menggeser kakinya.
"Raden tanpa nama, kamu mau menjajal ilmuku?"
"Saya bergerak karena takut...."
"Suaramu jelek, otakmu tumpul, nyalimu juga cecurut.
"Tapi kenapa langkahmu tetap, dua tindak ke samping kanan"
Kenapa tangan kirimu kamu turunkan?"
"Sok tahu. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kenapa di tanah Jawa ini kalau sudah tua menjadi pikun dan merasa paling tahu?"
Singanada berdiri tegak. Siap menghadapi gempuran baru.
Akan tetapi kembali tubuhnya seperti disentakkan di belakang oleh tenaga yang besar. Sebelum menyadari apa yang terjadi, Gendhuk Tri yang berada dalam bopongannya terlepas.
Meluncur ke bawah. Halayudha bergerak cepat.
Tubuhnya yang memang berada dalam jarak dekat, bisa membungkuk, mengambil Gendhuk Tri sebelum menyentuh lantai. Lalu perlahan diangsurkan ke arah Upasara Wulung.
Upasara bersikap tenang ketika menerima Gendhuk Tri, yang sebelum bisa dibopong sempurna, sudah direbut kembali oleh Singanada.
"Jangan sentuh. "Ini milikku...."
Upasara mundur dua tindak.
Kembali Puspamurti menggerakkan kipasnya. Kali ini untuk diletakkan di pundaknya yang bergerak-gerak.
"Halayudha, ilmumu boleh juga.
"Tapi raden kecil ini juga boleh.
"Harusnya kalian berdua menjadi mahapatih, pastilah Keraton akan aman dan kuat. Tak perlu orang yang kakinya bergelang.
"Mereka hanya main bubuk racun anak-anak...."
Halayudha mencoba menebak angin sedang bertiup ke arah mana.
Bagaimana reaksi Baginda" Apakah membiarkan Puspamurti berbuat seenaknya ataukah perlu dihentikan segera"
Akan tetapi ketika melirik, hatinya mencelos.
Baginda tak memberikan reaksi apa-apa. Bahkan tubuhnya seperti tak bisa berdiri dengan tegak. Kakinya bergoyang-goyang.
"Selamatkan Baginda!"
Halayudha mengangkat kedua tangannya, dan dengan cepat meloncat ke tengah ruangan. Memberi aba-aba para senopati untuk membentuk barisan yang mengelilingi Baginda.
Kalau saja ada yang mengamati perubahan Halayudha, bisa mengeluarkan seruan kagum. Betapa tidak, kalau dengan enteng bisa meloncat seakan mata kakinya yang hancur tak ada pengaruhnya lagi!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pendeta Manmathaba REAKSI Halayudha sangat cepat.
Nalurinya sebagai senopati, sebagai prajurit kawal Keraton yang setiap saat berada dalam lingkungan keamanan dan ketenteraman, bisa membaca cepat situasi yang buruk.
Begitu melihat ada yang tidak wajar pada Baginda, seketika itu juga bereaksi. Dan menentukan langkah, mengambil keputusan.
Inilah kelebihan Halayudha dari senopati mana pun.
Pada saat semua serba bimbang, serba ragu dan menunggu, tanpa ayal lagi Halayudha muncul sebagai pemimpin. Mengambil alih komando.
Namun juga kalah cepat. Karena ketiga pendeta Syangka sudah menggulung diri, dan melindungi Baginda. Kini nampak jelas bahwa ketiga pendeta Syangka sejak semula telah menyiapkan diri. Bahkan beberapa prajurit langsung berada di bawah komando mereka.
Siap menghadang ke arah Halayudha dan yang berdiri di belakangnya.
"Tak ada aba-aba perintah selain dari Baginda," terdengar suara dingin. "Halayudha, mundur, sebelum kamu hancur...."
Upasara segera bisa melihat bahwa yang bersuara mempunyai wibawa besar. Karena ketiga pendeta Syangka pun segera mundur dan memberikan hormat yang dalam.
"Saya berdiri di sini atas nama Baginda dan Permaisuri, memerintahkan semua yang ada untuk memenuhi perintah, untuk mendengarkan sabda Baginda...."
Halayudha menyedot udara keras beberapa kali dari lubang hidungnya.
Matanya tak berkedip ketika Permaisuri Indreswari muncul dan mengangguk ke arah pembicara.
"Semua kata dan perintah Pendeta Manmathaba adalah perintahku.
Harap dipatuhi!" Tanpa diperintah kedua kalinya, semua prajurit dan senopati segera menyembah dan meletakkan senjata.
Hanya Halayudha yang tetap berdiri.
Matanya melirik ke arah Upasara.
"Upasara, atas nama Keraton, aku mohon bantuanmu...." Lalu berpaling ke arah Pendeta Manmathaba.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Rupanya Bapa Pendeta selama ini menyembunyikan diri dan menyuruh ketiga muridnya menyebarkan bubuk racun. Sekarang, karena merasa perlu mempengaruhi takhta, menampakkan diri.
"Aku bukan anak kemarin sore, Manmathaba.
"Dengan menguasai Baginda yang terkena pengaruh minuman pagebluk-mu, kamu pikir kamu bisa menikam kami semua"
"Tak segampang itu. "Di mana ada Manmathaba, di situ ada Manmathabaribu...."
Singanada mendesis. Ia tak begitu paham lekuk-liku Keraton yang penuh dengan intrik dan perebutan kekuasaan serta pengaruh. Ia tak begitu peduli. Namun sekali ini ia merasa bahwa situasinya sangat gawat.
Munculnya Pendeta Manmathaba, sebagai pemimpin para pendeta dari tlatah Syangka, menjelaskan bahwa keinginan mereka untuk menanamkan pengaruh tidak akan berhenti begitu saja. Juga tidak menempuh jalan perlahan.
Dilihat dari sebutannya, Manmathaba disejajarkan dengan Dewa Kama. Yang merupakan Dewa segala Dewa bagi pendeta Syangka.
Berarti juga penguasa paling tinggi di antara semua pendeta Syangka yang berada di tanah Jawa sekarang ini.
Agaknya Halayudha juga mengetahui hal ini.
Maka ia menyebutkan, "di mana ada Manmathaba, di situ ada Manmatharibu". Gelaran Manmatharibu adalah gelaran musuh besar Dewa Kama, yang bisa juga diartikan Dewa Syiwa.
Dua dewa yang selalu bertarung dipakai sebagai penjelasan oleh Halayudha untuk menentang.
Halayudha bukan hanya secara langsung menarik garis pemisah antara kawan dan lawan, antara Manmathaba dengan Manmatharibu, akan tetapi sekaligus memberi isi pertentangan.
Bahwa sekarang ini baik Baginda maupun Permaisuri Indreswari berada dalam pengaruh bubuk pagebluk, yang antara lain disisipkan ke dalam tuak beras.
Upasara memuji Halayudha.
Kelicikan dan cara berpikirnya serta bertindak yang serba rumit itu menemukan tempat yang pas di saat kritis.
Dengan satu kalimat, secara jelas ia menarik semua yang setia kepada Baginda untuk bergabung dengannya.
Hanya saja kali ini posisinya agak kurang menguntungkan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Karena Baginda baru saja menerima permintaan pengunduran diri Mahapatih Nambi. Namun perintah-perintah Baginda tak bisa ditarik begitu saja oleh orang lain, selain Baginda sendiri.
Di saat begini, justru Baginda seperti berdiri mematung.
Memandang sekitar tanpa bereaksi.
Upasara sendiri sudah merasa ada sesuatu yang tak beres. Hanya tidak menduga bahwa ramuan bubuk kecil yang dicampur dalam minuman masih mempunyai reaksi yang sangat keras. Sejak munculnya Puspamurti yang mengeluarkan kata-kata kasar, Upasara menyadari adanya reaksi lamban dari Baginda.
Kalaupun Puspamurti sangat berhubungan erat dengan Permaisuri Indreswari, Baginda yang ini tak begitu saja menerima kata-kata kasar.
Karena pribadinya, perasaan keakuannya, ingsun-nya, sangat pribadi.
Upasara mengusap bibirnya.
Pada situasi yang menyangkut masalah Keraton, apalagi dengan masuknya kekuasaan dari Syangka, ia tak bisa berdiam diri. Ajakan Halayudha tergema sebagai panggilan kepada jiwa prajuritnya. Jiwa pengabdian kepada Keraton yang sedang berada dalam bahaya.
Semua dendam atas perlakuan buruk dari Baginda selama ini surut dengan sendirinya. Pun melihat bahwa Gendhuk Tri masih lemas dan tak sadarkan diri.
Matanya melirik ke arah Singanada, dan mengangguk.
Singanada meloncat ke tengah.
Kini Halayudha, Upasara Wulung dengan pakaian kebesaran pangeran, dan Singanada berdiri berjajar.
"Halayudha, apakah kamu menentang perintahku?"
"Duh, Gusti Permaisuri, seujung rambut dipecah seribu pun hamba tak punya niatan ke arah itu.
"Kalau hamba harus mundur, sekarang ini hamba ingin mundur dan masuk ke tanah.
"Hamba hanya mendengar sabda dari Baginda..."
Permaisuri Indreswari memandang putranya.
"Anakku, raja yang dipatuhi, perintahkan Halayudha mundur...."
Baginda memandang kiri-kanan.
Pandangan kosong. Tangannya mengilap karena keringat.
"Basmi para pemberontak...."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Manmathaba menggerakkan tangan. Ketiga pendeta Syangka segera bergerak menyerang Halayudha, yang dengan suara dingin menangkis gagah. Belum terjadi benturan, Pendeta Manmathaba mengibaskan tangannya.
Halayudha mengeluarkan seruan keras, sambil berjumpalitan.
Upasara sendiri merasakan bahwa uluran tangan Manmathaba mengandung tenaga yang sangat kuat. Tenaga yang membelit. Seolah tangannya berubah menjadi empat atau delapan, yang secara serentak memeluk tubuh Halayudha di sembilan jalan udara.
Bahwa Manmathaba lebih hebat ilmunya dari ketiga pendeta Syangka mudah diduga. Kepemimpinan memang didasarkan atas kemampuan ilmu silat.
Akan tetapi bahwa jenis pukulannya jauh berbeda dari yang selama ini dikenal, itu termasuk luar biasa.
"Selamatkan Baginda...."
Sambil jungkir-balik, Halayudha masih sempat memberi komando.
Seketika itu juga Senopati Agung dan pengikutnya bangkit mengangkat senjata.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak bisa dicegah lagi. Kini terdiri atas dua pasukan yang siap bertarung.
Upasara bergerak cepat. Sewaktu Manmathaba menggempur Halayudha, ia segera menggeser kakinya. Tangannya terulur untuk menarik Baginda.
Ketiga pendeta Syangka bergerak menghalangi dengan gerakan yang sama.
Upasara mengerahkan tenaganya di tangan kiri, dengan memutar keras, ketiga pasang tangan yang menghadang disampok sekaligus.
Membarengi dengan itu, satu langkah ke depan, tangan kanan Upasara menarik tubuh Baginda.
Manmathaba mengeluarkan pekikan keras. Dua tangannya terulur ke arah Upasara ketika tubuhnya melayang, meninggalkan Halayudha.
Belitan kekuatan menjulur dari delapan penjuru, menjadi enam belas, 32, semuanya mencengkeram.
Upasara mengegos dengan menggeliatkan tubuhnya. Telapak tangan kiri yang terbuka memapak ke depan.
Manmathaba mengeluarkan ejekan di hidung.
Tangan Upasara diterima. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bahkan digenggam dan siap dipelintir keras.
Ini gawat. Dengan satu tangan menarik tubuh Baginda, perhatian Upasara terpecah. Apalagi ia tak akan mengorbankan Baginda.
Perang Terbuka MANMATHABA selain sakti juga bisa menebak jalan pikiran Upasara.
Dan mengetahui bagaimana menggunakan ilmunya. Dengan cengkeraman kuat tak nanti Upasara bisa meloloskan diri.
Perhitungan yang matang. Hanya saja Upasara yang sekarang ini bukan Upasara yang bisa dikalahkan dalam satu-dua gebrakan. Mengetahui tangan kirinya seakan tenggelam dalam belitan tangan-tangan kuat, Upasara mengendurkan tenaganya. Sehingga Manmathaba seakan meremas kapas yang kosong.
Menggenggam udara. Tapi Manmathaba tidak menghiraukan itu. Bahkan tangannya seakan bisa memutari tangan Upasara. Membelit seakan akar tumbuhan yang liat.
Pakaian kebesaran Upasara di bagian lengan hangus terbakar.
Ini hebat. Pameran penggunaan tenaga dalam yang dilatih sempurna.
Sehingga Puspamurti yang berada di kejauhan berteriak,
"Ladlahom! "Manmathaba ini boleh juga."
Upasara merasa tangannya bagai dibelit dan tenaganya diisap habis, sementara lengan bajunya hangus.
Upasara melepaskan pegangan tangan kanannya, dan mengubah tenaga dalamnya menjadi gelombang yang menghantam balik.
Manmathaba tersenyum. Tubuhnya berdiri kukuh. Dorongan gelombang itu menyelinap, menggempur, akan tetapi seakan tak mempengaruhi belitan kekuatannya. Yang mencengkeram makin dalam.
"Bahaya!" Teriakan Puspamurti tenggelam dalam teriakan keras Manmathaba.
"Putus!" KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sentakan yang dahsyat disertai jungkir-balik ke atas membuat semua yang ada di balai Keraton tertahan geraknya. Bahkan Senopati Agung memalingkan wajahnya ke arah lain.
Halayudha sendiri menggerung keras dan meloncat ke atas, memapaki Manmathaba.
Apa yang terjadi sesungguhnya memang pertarungan tenaga dalam yang luar biasa. Manmathaba merasa bisa menguasai Upasara dengan tenaga belitan. Dengan menyentakkan keras, ia berharap tangan kiri Upasara lepas dari bahunya. Atau sekurangnya seluruh otot dan uratnya putus.
Itu yang diharapkan. Dan merasa berhasil. Hanya di luar dugaannya yang tertarik bukannya tangan Upasara melainkan sisa-sisa lengan baju!
Yang terlepas dari bahu seolah dipotong secara sempurna.
Sebenarnya Upasara sudah merasa bahwa langkah awal yang dimulai keliru, ketika membiarkan dirinya dalam terkaman dan belitan lawan.
Ternyata Manmathaba sangat menguasai tenaga membelit yang perkasa.
Empasan gelombang tenaga dalamnya seperti terkuras, akan tetapi tak berhasil menembus atau menggoyahkan.
Maka Upasara hanya berpikir mendorong tangannya ke depan, mendahului menyerang begitu belitannya mengendur.
Ini yang membuat Puspamurti berteriak bahaya.
Karena siapa yang tenaganya lebih dulu mengenai sasaran, ia terbebas. Akan tetapi yang terlambat, akan mengalami sesuatu yang tidak diinginkan.
Dan dilihat dari posisi serta belitan tangan, jelas Manmathaba bisa mencapai sasaran lebih dulu!
Akan tetapi ilmu Manmathaba ternyata tidak menyerang ke dalam, melainkan mencabut.
Saat itulah Upasara kembali mengosongkan tenaganya secara sempurna.
Sehingga Manmathaba hanya mampu menarik lengan baju!
Di tengah udara, Halayudha kembali mundur terkena sabetan tenaga Manmathaba.
Senopati Agung maju setindak.
"Kamu tak apa-apa...?"
"Tidak, Senopati Agung....
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Hamba mohon, jangan terjadi pertumpahan darah lebih besar."
Upasara menarik tangan kanannya, dan Baginda seperti terseret maju, ke arah perlindungan Senopati Agung dan prajurit kawalnya.
Pendeta Manmathaba meloloskan gelang emas di kakinya yang bersusun.
"Luar biasa sekali. "Ksatria mana dan siapa namamu?"
"Aku prajurit Keraton Singasari.
"Namaku yang rendah Upasara Wulung."
"Tidak percuma nama besar itu.
"Tapi jangan harap kamu bisa keluar dari tempat ini dengan selamat.
Hari ini kami semua sudah siap memusnahkan siapa yang menghalangi.
"Aku secara pribadi tertarik dengan ilmu silatmu. Akan tetapi agaknya kita tak mempunyai waktu banyak."
"Pendeta Manmathaba, kamu salah perhitungan.
"Dalam keadaan seperti sekarang ini, Keraton masih di bawah kebijaksanaan Baginda. Putra Mahkota akan memegang kekuasaan mulai besok ketika matahari terbit.
"Kamu tak bisa mempercepat jalannya matahari, tak bisa memacu kemauan Dewa."
Puspamurti tertawa keras.
"Kamu pandai dan hebat.
"Aku mulai suka kamu, Upasara."
"Puspamurti, akan kita atur nantinya.
"Jangan ikutan pertarungan ini."
Suara Senopati Agung keras dan berpengaruh.
Ia sama sekali tak ingin melibatkan Puspamurti dalam pertarungan terbuka ini. Karena dengan melihat selintas adatnya yang aneh dan kemampuan ilmunya yang juga tak bisa dikatakan sembarangan, bisa sangat merepotkan.
Akan tetapi justru kalimatnya keliru.
Karena malah memancing kemarahan Puspamurti.
"Siapa yang bisa menghalangi aku"
"Tidak ada. "Tidak juga Dewa. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Manusia adalah mahamanusia.
"Baca Kidungan Pamungkas agar kamu tahu itu. Ladlahom Singanada meletakkan Gendhuk Tri di salah satu sudut. Ia melangkah ke depan dan siap terjun ke dalam gelanggang.
"Aku tak ada urusan dengan Keraton.
"Manmathaba, kamu berikan obat pemusnah, dan aku akan meninggalkan tempat ini. Kalau tidak, mari kita mati bersama."
Permaisuri Indreswari mengangkat tinggi tangannya. Telunjuknya menuding dan suaranya melengking.
"Apakah kalian, para prajurit Keraton, sudah sedemikian kurang ajarnya sehingga tak mematuhi perintahku"
"Apakah aku tidak ada harganya lagi"
"Dengarkan, para prajurit semua! Dengarkan aku!"
Teriakannya seakan tak mendapat perhatian sama sekali.
Tidak juga dari Senopati Agung yang tetap berdiri.
Mendadak tubuh Permaisuri Indreswari terhuyung-huyung.
Keringatnya bercucuran, napasnya tersengal-sengal.
"Pengkhianat ini telah meracuni Permaisuri!"
Teriakan Halayudha yang mengguntur mengubah situasi dengan cepat. Kini semua prajurit Keraton bersiaga. Menghunus senjata dan mengepung Manmathaba serta ketiga pendeta Syangka dan beberapa prajurit yang setia kepadanya.
Untuk kedua kalinya, Upasara memuji kecerdikan Halayudha.
Tokoh yang satu ini memang luar biasa.
Nalurinya sebagai prajurit, nalurinya untuk memenangkan dirinya tak ada yang lawan.
Jelas bahwa di antara semua pembesar Keraton, hanya Permaisuri Indreswari yang tidak terpengaruh oleh pengaruh bubuk pagebluk.
Kalau tindakannya sedikit ganjil, itu karena kemauannya. Semua dilakukan dalam keadaan sadar sepenuhnya.
Kalau sekarang tubuhnya bergoyang, itu terutama karena pukulan batin yang menyakitkan. Sebagai permaisuri yang diterima dan resmi menjadi ibu bagi Putra Mahkota, kekuasaannya sangat besar sekali.
Bahkan bisa melampaui Baginda, dalam tugas sehari-hari.
Sekarang untuk pertama kalinya, perintahnya tak ada yang mematuhi.
Tidak satu pun! KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Guncangan perasaan yang hebat ini hanya mungkin dirasakan oleh mereka yang terbiasa dengan kekuasaan, dengan kepatuhan mutlak yang selalu mengelilingi.
Kekagetan yang lebih menyakitkan dari pukulan apa pun.
Dengan cerdik, Halayudha memanfaatkan situasi dengan mengatakan bahwa Permaisuri Indreswari terkena pengaruh minuman beracun.
Penjelasan seperti ini lebih mudah ditangkap oleh semua prajurit.
Di sinilah keunggulan Halayudha.
Perang Tertunda HALAYUDHA tak membiarkan kesempatan yang sudah berada di tangannya. Dengan gagah ia memandang sekeliling, maju setindak ke arah Pendeta Manmathaba.
"Pendeta dari negeri seberang, selama ini kamu dan semua anak buahmu mengabdi kepada Permaisuri Yang Mulia. Tak ada alasan untuk tidak mendengarkan perintahnya.
"Kalau kalian menghendaki pertarungan, sekarang ini juga darah akan tumpah semuanya. Kalau memang itu yang kalian kehendaki, anggukkan kepala, dan kita bertarung.
"Akan tetapi jika keinginan kalian menjaga Permaisuri serta Putra Mahkota yang sebentar fajar akan menduduki takhta, akan lain soalnya.
"Tinggal pilih, jangan ragu.
"Agar semuanya jelas, siapa berdiri di mana dan apa maksudnya.
Ketahuilah, apa pun yang kalian inginkan, kami semua bisa melayani."
Upasara menahan geretakan di rahangnya.
Jalan pikirannya tak bisa menebak apa yang dimaksudkan Halayudha. Tak bisa mengetahui apa yang direncanakan. Justru dengan menyebut "agar semuanya jelas, siapa berdiri di mana dan apa maksudnya", sikap Halayudha sendiri menjadi kabur.
Beberapa saat sebelumnya, dengan sangat jelas Halayudha mengajak Upasara dan Singanada bertarung menghadapi Manmathaba dan ketiga pembantunya. Bahkan sudah menggebrak. Lalu kemudian jadi berubah.
Menawarkan perdamaian dengan cara yang tak merendahkan dirinya.
Malah memberikan kesan gagah.
Kalau Upasara tak menangkap maksudnya, Singanada lebih lagi. Ia malah menjadi tidak mengerti harus bagaimana. Membela siapa dan melawan yang mana.
Dua ksatria yang perkasa itu memang bukan tandingan bagi Halayudha untuk siasat semacam ini.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan sangat mudah, Halayudha bisa membalik sikapnya seperti membalik telapak tangannya sendiri.
Saat pertama, ia merasa perlu mengajak semua ksatria dan senopati berpihak ke arahnya karena ancaman Manmathaba. Saat berikutnya, ia menyadari bahwa ia bisa mengambil keuntungan lebih jika berada di antara keduanya. Dengan perhitungan, siapa pun yang bertarung akan habis-habisan, dan terlalu besar risikonya. Sementara hasil akhir juga tak terlalu menguntungkan bagi dirinya.
Pedang Golok Yang Menggetarkan 12 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 3

Cari Blog Ini