Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja Bagian 23
"Tetapi beberapa kali kau menguap. Matamu jadi redup,
tidurlah anak manis"
Raden Sutawijaya merasakan sentuhan kekuatan ilmu Ki
Ageng Carangcendana sejak mereka mulai. Namun Raden
Sutawijaya tidak juga memejamkan matanya.
"Tidurlah, Sasangka. Sudah waktunya kau tidur dan tidak
akan pernah dapat bangun dengan kesadaran yang utuh"
Tetapi Raden Sutawijaya itu menjawab, "Kenapa bukan kau
saja yang tidur, Ki Ageng" Aku tidak biasa tidur di arena"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dahi Ki Ageng itupun berkerut. Ia melihat Raden
Sutawijaya masih berdiri tegak. Matanya masih tetap
memandangnya dengan tajamnya.
"Apakah ilmuku tidak mempengaruhinya?" bertanya Ki
Ageng itu di dalam hatinya.
Tetapi Raden Sutawijaya itupun justru tersenyum sambil
bertanya, "Ki Ageng, apakah Ki Ageng sudah terbiasa menjadi pemomong kanak-kanak sehingga mempunyai kemampuan
lebih untuk dapat menidurkannya?"
"Anak iblis kau. Kenapa kau menguap?" bertanya Ki Ageng.
"Sudah aku katakan, anginmu terasa semilir menyejukkan.
Sayang kita berada di arena pertarungan, sehingga aku tidak
boleh tertidur" Ki Ageng Carangcendanapun kemudian yakin, bahwa
lawannya tidak terpengaruh oleh ilmunya. Bahkan agaknya ia
telah mampu menebaknya dan berpura-pura menguap.
Kemarahan Ki Ageng Carangcendana itupun bagaikan
membakar jantungnya. Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang
Raden Sutawijaya. Tangannya yang terayun didahului dengan
sambaran angin yang tajam, yang seakan-akan menusuk
sampai ke tulang. "Agaknya orang ini memang sangat berbahaya" berkata
Raden Sutawijaya di dalam hatinya. "Ia langsung pada tataran ilmu yang tinggi seakan-akan tanpa ancang-ancang"
Sebenarnyalah Ki Ageng Carangcendana tidak merasa perlu
menjajagi ilmu lawannya. Demikian yakin akan
kemampuannya, maka Ki Ageng berniat langsung
menghancurkan lawannya dan membuatnya tidak berdaya
untuk seterusnya. Kemudian Ki Ageng akan segera dapat
membantu kawan-kawannya yang lain, karena pertarungan itu
ditentukan bukan berdasarkan atas siapa melawan siapa.
Tetapi berlima melawan berlima pula.
Tetapi ternyata Ki Ageng telah membentur kemampuan
yang tidak diduganya sebelumnya. Ternyata lawannya yang
masih terhitung muda itu tidak dapat segera dikuasainya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ayunan tangannya yang diharapkannya dapat mengakhiri
perlawanan orang yang menyebut dirinya Sasangka itu,
ternyata tidak menyentuh kening.
Raden Sutawijaya masih sempat memiringkan kepalanya
ketika ayunan tangan itu dengan cepatnya menyambar ke
arah wajahnya. Yang terasa adalah desis angin yang membuat
kulit wajah Raden Sutawijaya terasa pedih.
Namun dengan demikian Raden Sutawijayapun segera
meningkatkan ilmunya pula. Ia tidak dapat bermain-main
menghadapi orang yang memiliki kemampuan yang sangat
tinggi itu. Karena itulah, maka pertarungan di antara kedua orang
yang berilmu sangat tinggi itu dengan cepat telah menjadi
semakin sengit. Keduanya saling mendesak. Serangan dibalas
dengan serangan. Ki Ageng Carangcendana menjadi semakin marah.
Lawannya yang masih terhitung muda itu masih mampu
mengimbangi ilmunya. Serangannya di awal pertempuran
sama sekali tidak menyusutkan kesadaran dan kemampuan
lawannya itu. Bahkan lawannya itu semakin lama menjadi
semakin garang. Sementara itu, yang lainpun telah terlibat dalam
pertempuran yang sengit. Untuk sementara ternyata mereka
terikat seorang melawan seorang.
Ki Ajar Wisesa Tunggal memperhatikan pertarungan di
arena yang luas itu dengan jantung yang berdebaran. Yang
menjadi pusat perhatiannya adalah orang yang tidak berbaju,
yang menyebut dirinya Ki Ageng Carangcendana itu. Ki Ajar
Wisesa Tunggal melihat Ki Ageng mulai mengerahkan
kemampuannya. "Aneh" berkata Ki Ajar di dalam hatinya, "siapakah lawan Ki Ageng sehingga ia tidak segera dapat menundukkannya" Jika
Ki Ageng ingin bermain-main, bukanlah waktunya. Ia harus
segera mengurangi jumlah lawan, sehingga ia dapat
membantu kawannya menghadapi lawan-lawannya. Sehingga
dengan demikian, maka satu demi satu kelima orang dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
padepokan Ki Panengah itu dapat dilumpuhkan. Seperti yang
direncanakan, maka orang-orang yang dikalahkan itu akan
tetap hidup. Tetapi hidupnya tidak akan berarti apa-apa.
Bagian dalam tubuhnya akan dirusakkannya sehingga
meskipun ujud kewadagannya masih tetap utuh, tetapi ada
bagian-bagian dalam tubuhnya yang tidak dapat bekerja
dengan wajar. Dengan demikian, maka perguruan Ki
Panengah itu dengan sendirinya akan berakhir sampai disini.
Ki Gede Pemanahan yang hadir di pinggir arena itu akan dapat
melihat, apa yang sebenarnya terjadi, sehingga ia akan
berpaling dari perguruan ini ke perguruanku. Dengan demikian
segala macam bantuan itu akan mengalir dari istana Pajang ke
padepokanku. Anak-anak para pemimpin di Pajangpun akan
dikirim ke padepokanku untuk berguru dalam olah kanuragan"
Tetapi kenyataan itu ada di hadapannya. Ki Ageng
Carangcendana harus mengerahkan kemampuannya untuk
menundukkan lawannya. Bahkan ternyata Ki Ageng
Carangcendana rasa-rasanya harus berpacu dengan kawankawannya yang lain. "Apa yang terjadi dengan Ki Ageng?" pertanyaan itu selalu mengganggu jantung Ki Ajar Wisesa Tunggal.
Tetapi sebenarnyalah Ki Ageng mengalami kesulitan untuk
dengan cepat menundukkan lawannya yang terhitung masih
muda itu. Di lingkaran pertarungan yang lain, Paksi yang masih
sangat muda dibandingkan dengan lawannya itu, berloncatan
dengan tangkasnya. Dengan kecepatan yang tinggi Paksi
menghindari setiap serangan Ki Surakanda. Namun sekali-kali
Paksipun berusaha menjajagi kekuatan lawannya dengan
menangkis serangannya. Benturan-benturan kecil yang terjadi, memperingatkan Ki
Surakanda agar berhati-hati menghadapi Paksi. Paksi telah
mempermalukan Ki Semburwangi di hadapan ayahnya yang
ingin mengirimkan Paksi ke padepokannya dengan pesan
khusus. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ternyata Ki Surakanda harus mengakui tingkat kemampuan
ilmu Paksi. Anak muda itu bukan saja sekedar menghindari
serangan-serangannya. Tetapi kemudian anak muda itupun
mampu menyerang kembali. Bahkan semakin lama tidak
menjadi semakin mengendor, tetapi ketika kulitnya sudah
basah oleh keringat, anak muda itu menjadi semakin garang.
"Kau harus menerima hukumanmu" geram Ki Surakanda.
"Kau harus berada di padepokanku untuk menjalani satu
kehidupan yang tentu tidak kau senangi. Jika semula ayahmu
ingin membuatmu menjadi seorang laki-laki yang tidak ada
duanya di Pajang, maka yang akan terjadi adalah sebaliknya"
Paksi tidak menjawab. Tetapi yang sangat mengejutkan itu
terjadi. Kaki Paksi ternyata berhasil menembus pertahanan Ki
Surakanda mengatupkan mulutnya.
Ternyata Paksi mampu menggoyahkan tubuh Ki Surakanda
ketika kakinya menyentuh lambungnya.
Ki Surakanda itu harus meloncat mengambil jarak dan
memperbaiki kedudukannya sambil mengumpat. Paksi sengaja
tidak memburunya. Dibiarkannya Ki Surakanda menilai apa
yang baru saja terjadi. "Kau dapat berbangga untuk sementara, Paksi. Tetapi
jangan samakan aku dengan Ki Semburwangi"
"Kau memang tidak sama dengan Ki Semburwangi.
Kemampuanmu memang lebih tinggi. Agaknya
kekuasaanmupun lebih besar pula di padepokan Ki Ajar
Wisesa Tunggal" sahut Paksi.
"Tetapi tidak ada gunanya kau melawanku. Akhirnya kau
harus tunduk kepada kehendakku. Kepada keinginanku. Kau
harus ikut aku ke padepokan dan menjalani satu kehidupan
yang sudah kami persiapkan bagimu"
"Kenapa bukan kau saja yang ikut aku dan hidup di
padepokan ini" Mungkin kau akan menjalani satu kehidupan
yang lebih menyenangkan dari kehidupanmu di padepokanmu
itu" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Surakanda menggeletakkan giginya. Paksi memang keras
kepala. Ia sama sekali tidak nampak gentar menghadapi
keadaan yang gawat itu. Ketika keduanya kembali bertempur, maka Ki Surakanda
semakin merasakan bahwa Paksi memang berilmu tinggi.
Karena itu, maka Surakanda harus mengerahkan
kemampuannya untuk dapat menundukkan anak muda itu.
Tetapi ternyata sulit untuk dapat mengatasi Paksi.
Meskipun tataran ilmu Ki Surakanda sudah hampir sampai ke
puncak, namun Paksi masih tetap mampu mengimbanginya.
Sekali-sekali serangan Ki Surakanda memang mampu
menembus pertahanan Paksi. Kaki Ki Surakanda sempat
mengenai dada Paksi sehingga Paksi terdorong beberapa
langkah surut. Tetapi Paksi tidak memaksa diri untuk
mempertahankan keseimbangannya. Paksi justru menjatuhkan
diri dan berguling menjauhi lawannya. Ketika ia melihat
lawannya meloncat memburunya, maka Paksi itupun telah
melenting berdiri dan siap menghadapi lawannya.
Bahkan ketika Ki Surakanda menghentikan langkahnya,
Paksilah yang justru meloncat menyerang dengan cepatnya
meskipun serangannya itu tidak menyentuh sasaran.
Sebenarnyalah bahwa Ki Surakanda harus memperhatikan
kenyataan itu dengan bersungguh-sungguh, bahwa ia tidak
segera dapat mengalahkan anak muda yang bernama Paksi
itu. Ketika Ki Surakanda sempat memperhatikan Ki Ageng
Carangcendana sejenak, maka jantungnya berdesir. Tepat
pada saat ia memperhatikan orang tua tidak berbaju itu,
telapak tangan Raden Sutawijaya yang terbuka, menghantam
dada Ki Ageng di arah jantungnya.
Ki Ageng Carangcendana itu terdorong dua langkah surut,
namun keseimbangannya sempat menjadi goyah.
Tetapi lawannya tidak memburunya. Meskipun ia meloncat
maju, namun lawannya yang masih terhitung muda itu telah
menunda serangannya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Ki Ageng
Carangcendana?" bertanya Ki Surakanda di dalam hatinya. Ki Ageng Carangcendana adalah salah seorang yang
diharapkan dapat menyelesaikan lawannya dalam waktu
singkat. Kemudian ia akan dapat membantu kawan-kawannya
yang membutuhkan bantuannya. Itulah sebabnya, Ki Ajar
Wisesa Tunggal menentukan untuk membuat pertarungan
dalam kebulatan kelompok. Tetapi ternyata Ki Ageng
Carangcendana tidak segera menyelesaikan lawannya. Bahkan
lawannya yang masih terhitung muda itu telah menggoyahkan
pertahanannya. Sementara itu, kawan-kawan Ki Surakanda yang lainpun
telah bertempur dengan garangnya. Tetapi mereka telah
menjumpai lawan yang sangat tangguh. Bahkan orang yang
berhadapan dengan Pangeran Benawa tidak segera
mempercayai apa yang telah terjadi meskipun ia telah
bertempur beberapa lama. "Apakah yang sebenarnya terjadi atas diriku?" bertanya orang itu.
Lawan Pangeran Benawa adalah orang yang bertubuh kecil,
tetapi sudah ubanan. Tubuh yang kecil itu selalu saja
bergerak. Rasa-rasanya sulit untuk dapat menyentuhnya.
Tetapi Pangeran Benawa sama sekali tidak menjadi bingung
menghadapinya. Menghadapi orang yang tidak pernah
berhenti bergerak itu, Pangeran Benawa justru lebih banyak
diam. Ia berdiri saja tegak pada kedua kakinya. Lututnya
sedikit merendah. Ia hanya bergeser saja setapak-setapak
menghadapi ke arah orang bertubuh kecil yang tidak pernah
berhenti bergerak itu. Ketika orang itu mulai menyerang, maka kakinya
berloncatan ringan sekali. Kadang-kadang orang itu bergerak
seperti seekor kera. Tetapi tiba-tiba ia menggeliat dengan
kedua tangannya terjulur seperti dua buah kepala dari seekor
ular yang garang sedang mematuk-matuk mengerikan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun kaki orang bertubuh kecil itu mampu melontarkan
tubuhnya dengan sangat ringan, seakan-akan tubuhnya itu
sama sekali tidak berbobot.
Meskipun demikian, serangan-serangannya tidak segera
dapat menyentuh tubuh Pangeran Benawa yang nampaknya
seakan-akan tidak bergerak. Serangan-serangan orang
bertubuh kecil itu selalu membentur pertahanan Pangeran
Benawa yang agaknya tidak ingin menghindar.
Namun setelah benturan-benturan itu terjadi beberapa kali,
Pangeran Benawa semakin yakin, bahwa ia mampu
mengimbangi kekuatan dan kemampuan orang bertubuh kecil
yang sangat cekatan dan tangkas itu. Tekanan pertahanan
Pangeran Benawa justru pada kecepatan gerak dalam
kediamannya, karena lawannyapun mengandalkan kecepatan
geraknya pula. Orang bertubuh kecil itulah yang kemudian menjadi heran.
Serangan-serangannya selalu saja membentur pertahanan
lawannya yang nampaknya tidak terlalu banyak bergerak.
Tetapi ternyata lawannya itu mampu bergerak mengimbangi
kecepatan geraknya, sehingga setiap serangannya tidak
mampu menembus pertahanannya.
Dalam pada itu, dua orang yang lain, yang harus
berhadapan dengan Ki Panengah dan Ki Waskita, yang tidak
memakai ikat kepala itu, segera mengalami kesulitan.
Lawannya, Ki Panengah sendiri, dengan cepat mendesaknya.
"Kau tentu sudah mengetahui namaku, Ki Sanak" berkata
Ki Panengah ketika orang bertubuh tinggi besar dan berkepala
botak itu meloncat surut mengambil jarak, "tetapi aku belum mengetahui namamu"
"Apakah itu penting?"
"Aku kira memang penting" jawab Ki Panengah. "Mungkin waktu selanjutnya kita akan selalu berhubungan. Siapa tahu,
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam perbandingan ilmu semacam ini, kita akan dapat
mengambil manfaatnya. Kita akan dapat saling mengasah
sehingga kemampuan kita akan bersama-sama meningkat
semakin tajam" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jangan bermimpi. Kau tidak sedang tidur, Ki Panengah.
Kita berada di arena pertarungan. Meskipun kita tidak berniat
saling membunuh, tetapi mungkin saja tanganku di luar
sadarnya, melubangi dadamu di arah jantung, karena jarijariku tidak kalah tajamnya dengan ujung pedang"
"Jangan terlalu garang, Ki Sanak. Bukankah kita tidak
mempunyai alasan yang kuat untuk saling bermusuhan?"
"Muridmu yang bernama Paksi itu adalah sumber dari
permusuhan di antara kita"
"Persoalan anak-anak itu akan dapat diselesaikan dengan
baik tanpa melibatkan orang-orang tua seperti sekarang ini"
"Kau tentu melindungi muridmu yang sombong dan keras
kepala itu" Ki Panengah tertawa. Katanya, "Sebenarnya aku malu
kepada para prajurit yang menonton permainan ini. Orangorang tua masih harus menari-nari di gelanggang seperti
anak-anak bermain jamuran di saat bulan terang"
"Itulah sebabnya murid-muridmu juga menjadi orang-orang
sombong, karena kau sendiri juga seorang yang sangat
sombong" "Aku sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri, Ki
Sanak. Tetapi baiklah, aku hanya ingin tahu, siapa namamu"
Orang bertubuh tinggi besar dan berkepala botak itu
menggeram. Serangan-serangannya menjadi semakin garang.
Ayunan tangan dan kakinya seakan-akan telah menggetarkan
udara di seluruh arena yang luas itu. Tetapi seranganserangannya yang garang, getar udara dan pusaran angin
yang timbul karena serangan-serangannya itu sama sekali
tidak berarti bagi Ki Panengah.
"Kau belum menyebut namamu" desis Ki Panengah sambil
meloncat menghindari serangan orang berkepala botak itu.
Namun tiba-tiba saja tubuhnya berputar dengan cepat.
Tangannya terayun menyambar kening lawannya, sehingga
lawannya itu tergetar selangkah surut. Pandangan matanya
menjadi baur sesaat. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang itu justru meloncat surut untuk mengambil jarak.
Sedangkan Ki Panengah sengaja tidak memburunya.
Dibiarkannya orang itu memperbaiki kedudukannya.
Namun terdengar Ki Panengah yang melangkah
mendekatinya berdesis, "Sebut namamu, Ki Sanak. Jangan
takut, bahwa aku akan menenungmu"
"Tidak ada seorang juru tenungpun yang dapat
menenungku" geram orang itu.
"Karena itu, sebut namamu"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Dengan suara yang
bergetar iapun kemudian berkata, "Namaku Suradirga"
"Nama yang bagus" berkata Ki Panengah. "Sayang jika
nama itu menjadi cacat karena tingkah laku pemiliknya"
"Persetan. Kau tidak akan dapat mencoba mempengaruhi
aku dengan cara itu. Aku akan tetap menghancurkanmu
sekarang" Ki Panengah tidak menjawab. Tetapi ia mendesak terus,
sehingga Suradirga itu seakan-akan tidak mempunyai
kesempatan sama sekali untuk menyerang.
Dalam pada itu, seorang yang berwajah tampan dengan
kumis tipis di bawah hidungnya, harus berhadapan dengan Ki
Waskita yang berewok. Namun yang berewoknya sudah
nampak berwarna rangkap sebagaimana rambutnya yang
ubanan. Orang yang berwajah tampan itu ternyata seorang yang
berilmu sangat tinggi. Ketika ia meningkatkan ilmunya hampir
sampai ke puncak, maka telapak tangan orang itu seakanakan nampak berasap. Asap yang memancarkan udara panas
itu sempat beberapa kali menyentuh kulit Ki Waskita.
Tetapi Ki Waskita tidak menjadi gagap. Sebangsal
pengalamannya dilambari dengan ilmunya yang sangat tinggi,
menempatkannya pada kedudukan yang lebih mapan dari
lawannya yang berwajah tampan itu.
Bahkan lawannya yang tampan itu sempat menjadi gelisah.
Apapun yang dilakukan, orang tua yang bernama Ki Waskita
itu seakan-akan tidak terpengaruh sama sekali. Bahkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
beberapa kali tangan orang tua berewok itu sempat
menyentuh tubuhnya. Ketika tangan Ki Waskita menyentuh bahunya, rasarasanya di bahunya itu telah diletakkan sepikul beban yang
sangat berat, sehingga tubuh orang berwajah tampan itu
tertekan dan lututnya sedikit merendah.
Tetapi dengan cepat orang itu meloncat surut untuk
mempersiapkan dirinya serta mengambil ancang-ancang.
Dengan cepat orang itupun kemudian melenting sambil
menjulurkan kakinya ke arah dada Ki Waskita.
Tetapi Ki Waskita sama sekali tidak berusaha menghindar.
Disilangkannya kedua tangannya di dadanya, sehingga kaki
orang berwajah tampan itu telah membentur kedua tangan Ki
Waskita yang bersilang itu.
Akibatnya sangat buruk bagi orang berwajah tampan itu.
Dengan keras orang itu terlempar surut. Tubuhnya terbanting
di tanah seperti sebatang dahan yang patah dari batangnya.
Meskipun orang itu dengan cepat mencoba melenting
berdiri, namun demikian ia tegak, mulutnya masih saja
menyeringai menahan sakit pada punggungnya.
"Gila kau iblis tua" geramnya.
Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Kenapa?"
"Kau akan menyesali nasibmu yang buruk"
"Apakah nasibku buruk?"
"Tulang-tulangmu akan aku remas hingga remuk dan tidak
akan pernah dapat pulih kembali"
"Jangan begitu. Kita tidak akan saling menghancurkan. Kita hanya sekedar melakukan penjajagan"
Orang berwajah tampan itu tidak menjawab. Tetapi sambil
menggeram ia melangkah setapak demi setapak.
"Kau nampak semakin garang" desis Ki Waskita.
Orang itu tetap berdiam diri. Sambil bergeser selangkah.
Ki Waskitapun bertanya, "Siapa namamu?" "Sumirat" desis orang itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nama yang bagus. Sayang, bahwa kau berada di tempat
yang salah, sehingga tempatmu berdiri tidak sebagus
namamu" "Persetan dengan igauanmu" geram orang itu kemudian.
Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Baiklah. Kita akan
menyelesaikan penjajagan ilmu ini sampai tuntas. Tetapi
jangan takut, aku tidak akan bersungguh-sungguh"
"Aku akan membunuhmu"
Ki Waskita menarik nafas panjang. Katanya, "Jangan
dipengaruhi oleh pikiran buruk itu. Kita tidak akan saling
membunuh" "Jangan menyesali nasibmu"
Ki Waskita tidak menjawab. Ketika orang itu meloncat
menyerang, maka Ki Waskita hanya bergeser selangkah ke
samping. Tetapi serangan itu tidak mengenai sasaran.
Bahkan asap tipis yang memancarkan panas yang
mengepul dari telapak tangan orang berwajah tampan itu
sama sekali tidak berpengaruh terhadap lawannya yang
berewok itu. Dalam pada itu, Ki Ajar Wisesa Tunggal menjadi sangat
tegang. Ia berharap Ki Ageng Carangcendana dapat
mengalahkan lawannya dalam sekejap. Kemudian ia
membantu kawan-kawannya, menghancurkan lawannya
seorang demi seorang. Tetapi ternyata Ki Ageng
Carangcendana tidak segera dapat mengalahkan lawannya
yang mengaku bernama Sasangka itu. Bahkan pertempuran di
antara keduanya semakin lama menjadi semakin sengit.
"Kenapa dengan Ki Ageng Carangcendana itu?" pertanyaan itu semakin bergejolak di dalam dada Ki Ajar Wisesa Tunggal.
Hampir saja Ki Ajar itu meloncat memasuki arena. Tetapi
ketika terpandang olehnya Ki Gede Pemanahan, maka iapun
menjadi ragu-ragu. Ia menyadari, bahwa Ki Gede Pemanahan
adalah seorang yang sulit dicari tandingannya.
Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Ki Ajar Wisesa
Tunggal hanya sekedar menggeram menahan kemarahan
yang bergejolak di dalam dadanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bahkan Ki Ajar pun harus menahan kebiasaannya untuk
tidak mematuhi segala macam peraturan, paugeran dan
apalagi sekedar kesepakatan. Di dalam arena itu terdapat
seorang yang masih terhitung muda yang dapat melakukan
hal yang sama. Orang yang masih terhitung muda itu telah
mengancamnya akan menggerakkan para prajurit yang ada di
sekitar arena itu jika Ki Ajar Wisesa Tunggal melanggar
kesepakatan. "Orang gila itu sangat mengganggu perasaanku" berkata Ki
Ajar di dalam hatinya. "Gila. Semua orang sudah menjadi gila"
geram Ki Ajar Wisesa Tunggal yang hanya dapat didengarnya
sendiri. Sebenarnyalah bahwa Ki Ageng Carangcendana tidak
segera dapat mengalahkan lawannya. Bahkan lawannya yang
mengaku bernama Sasangka itu telah berani menatap
matanya tanpa terpengaruh sama sekali.
Tetapi Ki Ageng Carangcendana belum benar-benar sampai
ke puncak ilmunya meskipun tataran demi tataran ilmu itu
terus meningkat. Tetapi Ki Ageng Carangcendana sendiri sempat tidak
percaya atas kenyataan yang dihadapinya, bahwa meskipun
ilmunya sudah hampir sampai ke puncak, namun lawannya itu
sama sekali masih belum dapat ditundukkan. Bahkan
serangan-serangan orang yang masih terhitung muda itu
semakin lama menjadi semakin berbahaya.
Dalam pada itu, kegelisahan merambah jantung Ki Ageng
Carangcendana. Apalagi ketika ia adalah orang yang
mendapat kepercayaan untuk menjadi tumpuan kekuatan
kelima orang dari perguruan Ki Ajar Wisesa Tunggal itu. Tetapi ternyata Ki Ageng Carangcendana tidak segera mampu
menyelesaikan lawannya itu.
Sementara itu, Ki Surakanda yang bertempur melawan
Paksipun ternyata tidak mampu menguasai lawannya. Anak
muda itu bertempur dengan tangkasnya. Tenaga dan
kemampuannya yang tinggi, sekali-sekali membuat Ki
Surakanda harus berloncatan surut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Gila, anak ini" geram Ki Surakanda. Ternyata yang
dikatakan oleh Semburwangi tidak berlebihan dan tidak
dibuat-buat sekedar untuk menutupi kekalahannya.
Namun Ki Surakanda memiliki kelebihan dari Ki
Semburwangi. Karena itu, Ki Surakanda yakin, bahwa ia akan
dapat mengalahkan dan menguasai Paksi. Menawannya dan
membawanya ke padepokannya.
Tetapi kegelisahannyapun menjadi semakin besar ketika ia
menyadari, bahwa orang yang diandalkannya, Ki Ageng
Carangcendana masih belum mampu menguasai lawannya.
Bukan karena Ki Ageng dengan sengaja mengulur waktu.
Tetapi ia benar-benar dalam kesulitan. Jika ia mengulur
waktu, maka Ki Ageng benar-benar tidak bijaksana karena
beberapa orang yang lain justru mulai terdesak.
Jika Ki Ajar Wisesa Tunggal menentukan bahwa penjajagan
ilmu itu dilakukan dalam keutuhan dari kelima orang yang
turun ke arena dari masing-masing pihak, adalah karena Ki
Ajar berharap bahwa Ki Ageng akan dapat menyelesaikan
masalah jika yang lain mengalami kesulitan. Tetapi ternyata Ki Ageng sendiri yang dianggap memiliki ilmu tanpa tanding,
tidak dapat segera mengalahkan lawannya.
Dengan demikian, maka semua gambaran dan anganangan yang telah memenuhi kepala Ki Ajar Wisesa Tunggal
dan orang-orangnya itu mulai menjadi kabur. Mereka mulai
menjadi ragu, bahwa Pajang akan berpaling ke padepokan
mereka, bahwa para senapati akan mengirimkan anak-anak
mereka bergabung dengan perguruan mereka. Angan-angan
mereka bahwa bantuan Pajang bagi padepokan Ki Panengah
akan beralih ke padepokan Ki Ajar Wisesa Tunggalpun
semakin buram. Dalam pada itu, Ki Ageng Carangcendanapun menjadi
gelisah pula. Ia menyadari, bahwa kawan-kawannya
mengalami kesulitan. Mereka sangat mengharap bantuan Ki
Ageng Carangcendana. Tetapi Ki Ageng sendiri masih terikat
dalam pertempuran yang tidak segera dapat dimenangkan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, lawan Pangeran Benawa yang bertubuh
kecil itu benar-benar telah kehilangan kesempatan. Ia tidak
mungkin mampu menembus pertahanan Pangeran Benawa.
Bahkan jika ia mengerahkan tenaga dan kekuatannya
menyerang Pangeran Benawa, maka Pangeran Benawa justru
akan membenturnya. Orang bertubuh kecil itulah yang akan
terlempar dan kehilangan keseimbangannya.
Dalam kesulitan itu, maka orang bertubuh kecil itupun telah
meningkatkan ilmunya sampai ke puncak. Ia tidak
menghiraukan lagi akibat yang bakal terjadi. Jika lawannya
terbunuh oleh ilmu puncaknya, maka itu adalah satu
kecelakaan. "Seharusnya aku tidak membunuhnya. Tetapi membuatnya
tidak berdaya untuk selamanya" berkata orang bertubuh kecil
itu di dalam hatinya. Namun ia tidak mampu melakukannya.
Karena itu, maka tanpa menghiraukan akibatnya, bahkan
tanpa menghiraukan sepasukan prajurit yang seakan-akan
mengepung arena itu, maka orang bertubuh kecil itu tiba-tiba
menggeliat. Kedua tangannyapun menggeliat di depan
dadanya. Kelima ujung jarinya merapat sementara itu
mulutnya berdesis seperti desis ular bandotan yang marah.
Pangeran Benawa mengerutkan dahinya. Ia sadar, bahwa
lawannya telah sampai pada puncak ilmu pamungkasnya.
Karena itu, maka Pangeran Benawa itupun harus menjadi
semakin berhati-hati. Apalagi ketika ia melihat sejenis cairan yang berwarna putih gelap memercik dari ujung-ujung jarinya
yang kuncup itu. Pangeran Benawapun bergeser selangkah surut. Ia yakin,
bahwa cairan yang berwarna putih gelap itu adalah racun.
Karena itu, maka Pangeran Benawapun dengan cepat
menghisap ibu jarinya seperti kebiasaan seorang bayi yang
kehausan. Sejenak kemudian, maka keduanya telah bertempur lagi
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan sengitnya. Kedua tangan orang bertubuh kecil itu
mematuk-matuk seperti kepala seekor ular liar yang sangat
garang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pangeran Benawa harus menyesuaikan dirinya dengan
gerak lawannya. Iapun telah berloncatan pula menghindari
sentuhan tangan lawannya.
Namun akhirnya, tangan orang bertubuh kecil itu sempat
pula mematuk lengan Pangeran Benawa.
Ternyata kuku-kuku orang bertubuh kecil itu sangat tajam,
sehingga sentuhan ujung jarinya yang kuncup menyatu itu
telah melukai lengan Pangeran Benawa itu.
Pangeran Benawa meloncat beberapa langkah surut untuk
mengambil jarak. Namun orang bertubuh kecil itu tidak
memburunya. Ketika Pangeran Benawa berdiri termangumangu, maka orang bertubuh kecil itu tertawa sambil
berdesis, "Aku tidak peduli apa yang terjadi atas dirimu.
Dalam perbandingan ilmu seperti ini, dapat saja seseorang
mati terbunuh. Tetapi itu adalah satu kecelakaan. Aku tidak
sengaja membunuhmu" Pangeran Benawa berdiri tegak sambil memandang orang
itu. Sementara orang bertubuh kecil itu berkata, "Jika racun itu merasuk ke dalam urat darahmu, itu karena kelemahanmu
sendiri. Racun itu memang sudah ada di dalam kantung racun
di kuku-kukuku. Itu bukan senjata. Karena itu, aku tidak
menyalahi ketentuan, karena aku tidak bersenjata"
Pangeran Benawa memandang orang itu dengan tajamnya.
Namun kemudian Pangeran Benawa itupun berkata, "Tidak
ada orang yang menuduhmu menyalahi ketentuan. Kau sudah
berpegang kepada ketentuan itu. Karena itu, jangan gelisah.
Tidak ada yang akan menghukummu karena menyalahi
ketentuan itu" Orang bertubuh kecil itu mengerutkan dahinya. Namun
kemudian katanya, "Sayang, bahwa kau akan mati. Sebaiknya kau minta diri kepada saudara-saudara seperguruanmu.
Kepada gurumu dan kepada semua orang di sekitar arena ini"
"Untuk apa aku minta diri" Siapa yang mengatakan bahwa
aku akan mati?" "Racun itu?" "Racun yang memercik dari ujung-ujung jarimu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya. Racun itu setajam bisa ular"
"Aku sudah terlalu sering digigit ular jenis apapun. Ular dakgrama, ular gadung, ular welang, weling, dan bahkan ular
kendang dan ular bandotan. Tetapi tidak apa-apa. Jika
racunmu hanya setajam bisa ular, maka jangan cemas.
Racunmu tidak akan membunuhku"
Wajah orang bertubuh kecil itu tiba-tiba menegang.
Dipandanginya Pangeran Benawa dengan tajamnya. Namun
luka di lengan Pangeran Benawa itu kemudian telah
mengalirkan darah. Semula biru kehitam-hitaman. Namun
kemudian darah itu menjadi merah segar. Namun kemudian
darah itupun menjadi pampat kembali.
"Anak iblis kau. Kau kebal terhadap racun dan bisa?"
"Mungkin, Ki Sanak" jawab Pangeran Benawa.
Orang bertubuh kecil itupun menggeram. Tiba-tiba saja
iapun meloncat menerkam. Kedua tangannya terjulur
menggapai leher Pangeran Benawa.
Tetapi Pangeran Benawa telah bersiap menghadapi
serangan itu. Serangan yang dilakukan dengan tergesa-gesa
karena kemarahan yang menghentak-hentak di dalam dada
orang bertubuh kecil itu. Kegagalan racunnya seakan-akan
telah membuat nalarnya menjadi gelap.
Demikian kedua tangan orang bertubuh kecil itu terjulur,
maka dengan sikapnya Pangeran Benawa telah menangkap
pergelangan tangan itu, langsung diputarkannya seperti
baling-baling. Orang bertubuh kecil itu berteriak. Namun suaranyapun
kemudian terputus ketika Pangeran Benawa melepaskan orang
itu dan melemparkannya ke arah Ki Ajar Tunggal Wisesa.
Kekalahan orang bertubuh kecil itu membuat darah Ki Ajar
menggelegak. Karena itu, ketika tubuh orang itu terpelanting
menimpanya, maka Ki Ajar justru telah membentur tubuh itu
dengan kedua belah tangannya.
Terdengar orang bertubuh kecil itu berteriak lagi. Jauh
lebih keras. Namun kemudian tubuhnya terbanting jatuh di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tanah tanpa sempat menggeliat. Orang bertubuh kecil itu mati
justru karena membentur tangan Ki Ajar yang marah.
"Kau bunuh orangmu sendiri" teriak Pangeran Benawa.
"Orang itu pantas mati" geram Ki Ajar. Kemudian katanya,
"Aku akan menggantikannya"
"Tidak" Ki Kriyadamalah yang menyahut. "Kedudukannya tidak dapat digantikan oleh siapapun juga"
"Diam kau" bentak Ki Ajar Wisesa Tunggal. "Akulah yang memimpin pertarungan ini"
"Siapa yang menentukan bahwa kau pemimpin dari
pertarungan di arena ini?"
"Aku. Segala sesuatunya akulah yang menentukan"
"Tidak. Aku mengambil alih pimpinan perbandingan ilmu
ini. Minggir. Aku akan berdiri di tengah-tengah arena"
"Apa hakmu mengambil alih pimpinan pertarungan ini?"
"Sekehendakku. Aku akan berbuat menurut kehendakku
sendiri. Jika kau tidak senang, pergilah"
"Setan tua. Apakah kau ingin mati?"
Tiba-tiba saja terdengar Pangeran Benawa berteriak, "He,
Ki Lurah, siapkan prajuritmu. Perintahkan mereka menarik
senjata mereka. Jika aku memberi isyarat, perintahkan
prajuritmu mencincang orang-orang gila ini. Mereka hanya
mengotori padepokan ini saja"
"Kau tidak dapat berbuat demikian" geram Ki Ajar Wisesa
Tunggal. "Tergantung kepada sikapmu"
Ki Ajar Wisesa Tunggal mengumpat kasar. Sementara itu,
orang-orang yang bertempur di arena itu seakan-akan telah
mendapat perintah untuk berhenti.
Ki Ageng Carangcendanapun telah bergeser mengambil
jarak. Demikian pula orang yang bertubuh tinggi besar dan
berkepala botak. Orang yang berwajah tampan dan Ki
Surakanda. Bahkan Ki Carangcendanapun telah melangkah mendekati
orang yang bertubuh kecil yang terbaring diam di sebelah kaki
Ki Ajar Wisesa Tunggal. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kenapa kau bunuh orang ini" desis Ki Ageng
Carangcendana. "Ia tidak berarti lagi bagiku" jawab Ki Ajar Wisesa Tunggal.
"Orang ini sangat setia kepadamu"
"Tetapi ia sudah mempermalukan padepokan kita. Ia sudah
dikalahkan oleh bocah edan itu"
"Kita memang dihadapkan pada satu kenyataan pahit
sekarang ini. Orang-orang dari padepokan ini adalah orangorang berilmu tinggi. Kau lihat, apakah ada seorang pun di
antara kami yang turun di arena dapat menguasai lawan?"
"Kita akan memastikan diri bahwa padepokan kita lebih
berarti dari padepokan buruk ini"
"Kita tidak dapat bersikap kekanak-kanakan seperti itu"
berkata Ki Ageng Carangcendana. "Kita harus mengakui
kenyataan ini. Bahkan aku yakin bahwa Surakanda akan dapat
dikalahkan oleh anak itu. Dan aku bahkan tidak yakin bahwa
aku akan dapat memenangkan pertarungan ini dengan
lawanku yang masih terhitung muda itu"
"Ki Ageng, sejak kapan kau menjadi seorang pengecut?"
"Aku bukan pengecut. Tetapi aku adalah orang yang berdiri di atas kenyataan yang kita hadapi" Kita tidak dapat bermimpi
indah, tetapi kemudian terpelanting jatuh ke dalam kenyataan
pahit" Ki Ajar Wisesa Tunggal memperhatikan orang-orangnya
yang termangu-mangu. Sebenarnyalah ia melihat, bahwa
orang-orangnya tidak akan mampu mengalahkan orang-orang
pertama di padepokan Ki Panengah itu. Bahkan Ki Ageng
Carangcendana sudah mengakui pula, bahwa ia tidak yakin
akan dapat menang atas lawannya itu.
"Lalu apa katamu?" suara Ki Ajar Wisesa Tunggal itu
merendah. "Kita pulang. Lupakan keinginanmu untuk merebut
pengaruh padepokan ini. Lupakan Paksi yang telah menghajar
Semburwangi yang hanya dapat menyombongkan dirinya
tetapi kemampuannya sama sekali tidak berarti. Lupakan
semuanya" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wajah Ki Ajar Wisesa Tunggal menjadi tegang.
Dipandanginya orang-orangnya yang masih berdiri termangumangu. Sementara itu Ki Panengahpun melangkah mendekatinya
sambil berkata, "Segala sesuatunya terserah kepadamu, Ki
Ajar Wisesa Tunggal. Apakah kita anggap bahwa permainan
ini sudah selesai, atau kita akan meneruskannya berdasarkan
atas kesepakatan kita atau apa saja"
"Kalian telah memenangkan pertandingan ini" Ki Ageng
Carangcendanalah yang menyahut. Lalu katanya, "Seorang
korban telah cukup. Tetapi kau harus menyadari Ki Panengah,
bahwa kemenanganmu tidak berlaku untuk selamanya. Roda
pedati yang berputar, bagian-bagiannya sekali tersuruk ke
dalam lumpur, namun pada kesempatan lain akan naik ke
atas. Sedangkan yang di atas kemudian akan membenam di
dalam lumpur" "Aku mengerti" desis Ki Panengah.
"Apa katamu, Ki Ajar?" bertanya Ki Ageng Carangcendana kemudian.
"Kita pulang. Tetapi persoalan antara kedua padepokan ini masih belum tuntas"
Ki Panengah tertawa. Katanya, "Terserah kepadamu, Ki
Ajar" Tanpa menghiraukan apa-apa lagi, maka Ki Ajar itupun
telah berjalan dengan tergesa-gesa menuju ke kudanya.
Para pengikutnyapun telah mengikutinya pula. Sementara
itu Ki Ageng Carangcendana justru melangkah mendekati
Raden Sutawijaya sambil berdesis, "Kau luar biasa, Sasangka.
Tetapi yang kau lihat belum segala-galanya"
"Aku tahu. Kau belum sampai ke puncak ilmu Lintang
Wora-warimu" Ki Ageng Carangcendana mengerutkan dahinya, sementara
Raden Sutawijaya berkata selanjutnya, "Aku pernah
menghadapi ilmu Lintang Wora-wari yang mengerikan itu.
Bahkan sampai ke puncaknya"
"Kau jangan membual, anak muda"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak. Aku tidak membual"
"Siapakah yang pernah kau hadapi" Hanya ada beberapa
orang yang memiliki ilmu Lintang Wora-wari"
"Seorang pertapa dari Tlagaima"
"Kakang Resi Wiguna?"
"Ya. Telah terjadi salah paham di antara kami"
"Kau bunuh orang itu?"
"Tidak. Tiga hari kami bertempur. Di malam hari kami
berhenti. Akhirnya Resi Wiguna menghentikan pertempuran
itu" Wajah Ki Ageng Carangcendana terasa panas. Dengan
nada rendah iapun bertanya, "Kau mengembara sampai ke
Tlagaima?" "Ya" Ki Ageng Carangcendana mengangguk-angguk. Katanya,
"Itulah sebabnya, kau menghadapi ilmu Lintang Wora-wari kali ini dengan tabah. Tanpa kesan kecemasan sedikit pun. Jika
kau mampu menghadapi Kakang Resi Wiguna sampai tiga
hari, maka aku harus mengaku bahwa aku tidak akan dapat
mengalahkanmu" "Entahlah. Tetapi aku siap untuk mencobanya"
Ki Ageng Carangcendana itu tersenyum. Katanya, "Jika
demikian kau bukan murid Ki Panengah"
"Aku murid Ki Panengah. Kau kenali unsur-unsur gerak
padepokan ini" "Mungkin kau memang murid Ki Panengah. Tetapi Ki
Panengah bukan satu-satunya gurumu"
Raden Sutawijaya mengerutkan dahinya. Namun kemudian
iapun justru bertanya, "Apa bedanya?"
"Selamat, Ki Sanak" berkata Ki Ageng Carangcendana.
Sementara itu, Ki Ajar Wisesa Tunggal dan para
pengiringnya sudah meninggalkan halaman. Ki Ageng
Carangcendana tertinggal seorang diri. Tetapi iapun kemudian
minta diri dengan unggah-ungguh yang utuh. Ditemuinya Ki
Gede Pemanahan untuk minta maaf atas tingkah lakunya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku terseret arus, Ki Gede" berkata Ki Ageng
Carangcendana. "Tergantung kepadamu. Jika kau memiliki keteguhan hati,
maka kepribadianmu tidak akan tenggelam"
Ki Ageng Carangcendana mengangguk-angguk. Kemudian
iapun telah minta diri pula kepada Ki Panengah, Ki Waskita, Ki Kriyadama dan orang-orang yang berada di arena. Bahkan
sambil menepuk bahu Paksi iapun berkata, "Kau harapan bagi masa datang"
Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun
menjawab, "Terima kasih, Ki Ageng"
Ki Ageng Carangcendana tersenyum. Kepada Pangeran
Benawa, Ki Ageng itupun bertanya, "Darimana kau sadap
ilmumu" Dengan begitu mudahnya kau kalahkan Ricik yang
licin seperti belut, tetapi licik seperti ular itu"
"Ia memang ular, Ki Ageng"
"Ya. Dan kau memiliki kekebalan yang sangat tinggi
terhadap bisa dan racun"
Pangeran Benawa tidak menjawab.
Demikianlah sejenak kemudian Ki Ageng Carangcendana
itupun telah meninggalkan padepokan itu pula. Orang tua itu
berkuda sendiri, menyusuri jalan panjang menjauhi Alas
Jabung. Sekali ia masih sempat berpaling. Kemudian kudanya
dipacunya lebih cepat. Namun dalam pada itu, hatinya telah
digelitik oleh sebuah pertanyaan, "Untuk apa aku ikuti jejak Ki Ajar Wisesa Tunggal" Aku hampir kehilangan wawasan
luasnya bumi. Ternyata ada orang yang masih terhitung muda
yang dapat mengimbangi ilmu Lintang Wora-wari.
Membebaskan diri dari cengkaman kuasa ilmu itu"
Meskipun demikian, kaki kuda Ki Ageng Carangcendana
itupun masih juga mengikuti jejak kaki-kaki kuda yang berlari
lebih dahulu menjauhi Hutan Jabung itu.
Dalam pada itu, yang ditinggalkan di Hutan Jabungpun
telah bernafas lega. Para prajurit yang berada di sekitar arena itupun telah berkumpul di halaman barak mereka. Sedangkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
para cantrik telah naik ke pendapa bangunan induk
padepokan sementara di pinggir Hutan Jabung itu.
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita sudah menyelesaikan persoalan dengan padepokan Ki
Ajar itu" berkata Ki Panengah.
"Ya" Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk, "mereka
meninggalkan seorang kawannya yang terbunuh begitu saja"
"Kita akan mengurusnya" desis Pangeran Benawa.
"Ya, kita akan mengurusnya"
"Untuk sementara mereka tidak akan mengganggu kita"
berkata Raden Sutawijaya.
"Belum tentu" sahut Pangeran Benawa. "Mereka adalah
orang-orang gila. Mereka dapat berbuat di luar penalaran yang
waras. Mereka tinggalkan begitu saja seorang kawannya tanpa
berpaling sama sekali. Kematian kawannya itu sama sekali
tidak berbekas di hati mereka"
"Ya" Ki Waskita mengangguk-angguk, "mereka memang
tidak waras. Mereka dapat berbuat apa saja di luar dugaan.
Tetapi sikap Ki Ageng Carangcendana nampaknya
mengisyaratkan, bahwa mereka tidak akan bertindak tergesagesa" "Agaknya ia adalah satu-satunya orang yang waras di
lingkungan padepokan Ki Ajar Wisesa Tunggal" desis Pangeran
Benawa. "Tetapi kita tidak boleh lengah terhadapnya" sahut Raden
Sutawijaya. Pertemuan itu tidak berlangsung terlalu lama. Para cantrik
setelah mendapat beberapa pesan, diminta untuk
meninggalkan pendapa dan membantu mengurus penguburan
orang yang bertubuh pendek dan kecil yang terbunuh oleh Ki
Ajar Wisesa Tunggal sendiri ketika orang itu dilemparkan oleh
Pangeran Benawa. Dalam pada itu, pada hari itu, para prajurit tidak diminta
kembali ke pekerjaan mereka. Ketegangan yang telah
mencengkam jantung mereka harus dilepaskan. Karena itu,
maka para prajurit itupun justru diminta untuk beristirahat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di pendapa, Ki Gede Pemanahan masih berbincang dengan
Ki Panengah, Ki Waskita, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya
dan Paksi. Ki Gede masih memberikan beberapa pesan kepada
mereka, jika sesuatu yang tidak diduga telah terjadi.
Namun beberapa saat kemudian, Ki Gede itupun minta diri
untuk kembali ke Pajang. Ki Kriyadama yang berada di antara para prajurit telah
datang pula ikut melepas Ki Gede di halaman padepokan
sementara itu. Demikianlah, Ki Gede dan para pengawalnya telah
meninggalkan Hutan Jabung. Sementara para cantrik sibuk
menyelenggarakan penguburan pengikut Ki Ajar Wisesa
Tunggal yang ditinggalkan begitu saja di padepokan itu.
Hutan Jabung memang tidak terlalu jauh dari Pajang.
Karena itu, maka Ki Gede Pemanahanpun tidak terlalu lama
berada di perjalanan. Sementara itu, di istana Pajang, Sekarsari menjadi semakin
bebas keluar dan masuk istana. Para prajurit pengawal dan
para pelayan dalam tidak lagi menghentikannya dan bertanya
apa keperluannya masuk ke dalam istana. Sekarsari seakanakan mendapat ijin khusus untuk keluar dan masuk menemui
Kangjeng Sultan. Bahkan Kangjeng Sultanpun telah menentukan dimana
Sekarsari dapat menemuinya setiap saat.
Kebebasan Sekarsari keluar masuk istana itu juga membuat
Ki Gede Pemanahan semakin prihatin.
Namun kebebasan Sekarsari keluar masuk istana itu tidak
dipergunakannya untuk menemui Harya Wisaka. Bahkan rasarasanya Sekarsari menjadi semakin jarang menengok
suaminya yang berada di dalam bilik tahanan khusus di istana
Pajang. Tetapi ia justru lebih banyak bertemu dengan
Kangjeng Sultan. Tidak seorangpun yang dapat mencegahnya. Ketika
seorang prajurit masih juga menghentikan Sekarsari dan
bertanya untuk apa ia masuk ke dalam istana, maka demikian
Sekarsari melaporkannya, prajurit itu langsung dipecatnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ia tidak pantas menjadi prajurit yang bertugas di istana Pajang" berkata Kangjeng Sultan.
Setiap kali Ki Gede Pemanahan hanya dapat menarik nafas
dalam-dalam. Ketika ia berbicara dengan prajurit yang
bertugas untuk menjaga Harya Wisaka, maka prajurit itupun
berkata, "Perempuan itu menjadi semakin jarang mengunjungi Harya Wisaka"
Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Yang aku cemaskan, Sekarsari justru akan memanfaatkan
kebebasannya itu untuk kepentingan Harya Wisaka"
"Perempuan itu hampir melupakan suaminya. Bahkan
nampaknya Harya Wisaka mulai menjadi curiga. Kami sering
mendengar keduanya bertengkar jika Sekarsari datang
menengoknya" Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada berat iapun berkata, "Namun bagaimanapun juga,
jangan menjadi lengah. Harya Wisaka adalah orang yang
sangat berbahaya" "Ya, Ki Gede" prajurit itu mengangguk-angguk.
Tetapi yang kemudian didengar oleh Ki Gede Pemanahan
bukan hanya kebebasan Sekarsari masuk keluar istana serta
pertengkaran yang sering terjadi antara Sekarsari dan
suaminya jika ia datang berkunjung. Tetapi seperti yang
pernah didengarnya, seorang petugas sandi telah melaporkan
kepada Ki Gede Pemanahan bahwa Sekarsari menjadi semakin
sering berdua dengan seorang lurah prajurit, justru seorang
pelayan dalam. "Sampai sekarang, Kangjeng Sultan dan petugas-petugas
sandinya masih belum mengetahuinya" desis Ki Gede. "Jika
saja Kangjeng Sultan mengetahuinya, maka lurah pelayan
dalam yang masih muda itu tidak akan berumur panjang"
"Ternyata perempuan itu bukan seorang perempuan yang
setia. Agaknya ia berpaling dari Harya Wisaka yang ada di
penjara itu bukan karena Kangjeng Sultan. Tetapi karena lurah
pelayan dalam itu" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Perempuan bodoh" desis Ki Gede Pemanahan. "Apa
artinya seorang lurah pelayan dalam baginya. Harya Wisaka
adalah seorang yang memiliki wibawa dan pengaruh yang
besar di lingkungannya. Apalagi kemudian Sekarsari itu
seakan-akan sudah seperti seorang selir yang sangat dikasihi
oleh Kangjeng Sultan. Tetapi kenapa ia masih berhubungan
dengan seorang lurah prajurit?"
"Tetapi lurah pelayan dalam itu memang tampan, Ki Gede.
Tubuhnya yang kokoh kekar tetapi tidak nampak gemuk.
Kulitnya yang kuning keputih-putihan, kumisnya yang tipis,
senyumnya, kemudaannya"
"Sekarsari telah dibakar oleh berbagai macam nafsu
sehingga ia dapat melekat pada Kangjeng Sultan, tetapi juga
pada prajurit muda itu"
"Agaknya memang demikian, Ki Gede"
"Baiklah. Tetapi ikut awasi Harya Wisaka. Para prajurit yang bertugas menjaganya, langsung berada di bawah perintah
Kangjeng Sultan sehingga aku tidak dapat memberikan
perintah langsung kepada mereka. Yang dapat aku lakukan
hanya memberikan peringatan kepada mereka untuk berhatihati" "Baik, Ki Gede. Tetapi gerak kami sangat terbatas. Para
pelayan dalam akan merasa wewenangnya dilanggar jika kami
mencampuri tugas-tugas mereka"
"Berhati-hati sajalah"
Petugas sandi kepercayaan Ki Gede itupun kemudian telah
minta diri. Kebebasan Sekarsari di istana benar-benar tidak dapat
diganggu lagi. Ki Gede Pemanahan harus menerima kenyataan
itu dengan gelisah. Seperti biasanya, jika Kangjeng Sultan
sedang terikat dengan seorang perempuan, maka tidak
seorangpun yang dapat memperingatkannya.
Tetapi kali ini, perempuan itu mempunyai hubungan
dengan seorang yang sangat berbahaya, Harya Wisaka.
Namun Kangjeng Sultan sendiri nampaknya tidak
menghiraukan Harya Wisaka lagi. Sementara itu Harya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wisakapun menjadi keras kepala. Ia tidak mau berbicara jika
tidak dengan Kangjeng Sultan sendiri.
Kadang-kadang timbul niat Ki Gede untuk berbicara dengan
Pangeran Benawa. Kadang-kadang Kangjeng Sultan merasa
segan kepada puteranya yang sudah dewasa itu, sehingga
Kangjeng Sultan itu harus membatasi tingkah lakunya sendiri.
Tetapi nampaknya kehangatan Sekarsari benar-benar telah
membuat Kangjeng Sultan kehilangan kesempatan untuk
mempergunakan penalarannya. Bahkan Pangeran Benawapun
tidak akan dapat mengusiknya.
Karena itu niatnya itupun telah diurungkannya. Persoalan
itu justru hanya akan mengganggu ketenangan Pangeran
Benawa saja. Tetapi pertengkaran yang sering terjadi antara Sekarsari
dan Harya Wisaka nampaknya menjauhkan kekhawatiran Ki
Gede Pemanahan terhadap kelicikan Sekarsari.
Meskipun demikian, setiap kali Ki Gede memperingatkan
agar para prajurit yang bertugas tidak menjadi lengah.
Di hadapan Ki Gede Pemanahan para prajurit yang
bertugas itu menyatakan kesiapan mereka. Namun jika Ki
Gede pergi, maka merekapun telah melupakannya.
"Kita tidak berada di bawah perintah Ki Gede" berkata salah seorang dari mereka.
"Aku sudah menyampaikan kepada Ki Gede, bahwa
Sekarsari tidak lagi menghiraukan suaminya. Jika ia datang
tentu hanya sekedar memenuhi kewajiban seorang isteri.
Namun kemudian disini mereka bertengkar. Hampir saja
Sekarsari itu dicekiknya sampai mati. Jika saja kita tidak
melerainya" "Ya. Perempuan itu tentu lebih senang jika suaminya tetap berada di penjara. Ia akan dapat berbuat sesuka hatinya"
Dalam pada itu, Ki Gede Pemanahan terkejut ketika
Kangjeng Sultan tiba-tiba memanggilnya untuk berbicara
langsung hanya berdua saja, tanpa ada orang lain yang ikut
serta. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kakang, menurut Kakang, hukuman apakah yang paling
baik aku berikan kepada Harya Wisaka"
"Tetapi selama ini, hamba masih belum dapat berbicara
dengan Harya Wisaka, Sinuhun"
"Apa yang akan Kakang bicarakan dengan Harya Wisaka?"
"Bukankah kita wajib mengetahui, bobot kesalahan Harya
Wisaka. Apakah alasan-alasan yang telah mendorongnya
untuk melawan Kangjeng Sultan. Apa pula yang pernah
dilakukan, direncanakan tetapi belum sempat dilakukan.
Orang-orang yang bekerja bersamanya dan mungkin hal-hal
lain yang perlu kita dengar"
"Harya Wisaka bukan pencuri yang dapat dipaksa untuk
mengaku sudah berapa kali ia mencuri, Kakang. Jika ia tidak
mau berbicara, maka kematianpun tidak akan dapat membuka
mulutnya" "Tetapi pembicaraan kita dengan Harya Wisaka akan dapat
menentukan, setidak-tidaknya memberikan batasan tentang
bobot kesalahannya" "Itu tidak perlu. Harya Wisaka telah memberontak melawan
kekuasaanku. Kita tahu, apakah hukuman yang paling pantas
untuk seorang pemberontak"
Wajah Ki Gede menjadi tegang.
"Kakang, hukuman yang paling pantas bagi Harya Wisaka
adalah hukuman mati"
Ki Gede terkejut sehingga dipandanginya wajah Kangjeng
Sultan dengan tajamnya. Hampir di luar sadarnya ia berkata,
"Kangjeng Sultan, setiap orang sampai sekarang menyebut
Kangjeng Sultan sebagai seorang raja yang pengampun. Dua
orang utusan Harya Penangsang yang tertangkap basah di
bilik peraduan Kangjeng Sultan dengan keris Kiai Setan Kober
yang sudah terhunus itu tidak menerima hukuman mati.
Bahkan Kangjeng Sultan telah membebaskan mereka dan
membiarkan mereka kembali ke Jipang"
"Persoalannya tentu lain, Kakang. Waktu itu, aku sengaja
berniat untuk mengguncang ketahanan jiwani Harya
Penangsang" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Paduka juga sudah mengampuni Surengjurit yang
menyerang paduka selagi paduka mencoba beberapa ekor
kuda terbaik yang ingin Paduka ambil menjadi kuda
tunggangan Paduka" "Persoalannya lain lagi, Kakang. Surengjurit marah karena aku mengambil anak perempuannya tanpa setahu orang lain.
Namun akhirnya ia sama sekali tidak berkeberatan dan
membiarkan anak perempuannya berada di istana"
"Kangjeng Sultan" berkata Ki Gede Pemanahan, "hamba
adalah orang yang paling membenci Harya Wisaka. Tetapi
hamba mohon Kangjeng Sultan memerintahkan Harya Wisaka
untuk bersedia berbicara dengan hamba. Baru kemudian
hamba dapat menyampaikan pertimbangan hamba tentang
hukuman yang pantas bagi Harya Wisaka"
"Harya Wisaka sudah bersalah dua kali. Ia telah
memberontak dan kedua ia menolak berbicara dengan
Kakang. Karena itu, maka hukuman yang paling pantas
baginya adalah hukuman mati"
Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam.
Keputusan hukuman itu tentu dipengaruhi oleh hubungan
Kangjeng Sultan dengan Sekarsari. Kematian Harya Wisaka
adalah satu kepastian, bahwa Sekarsari tidak akan lari lagi dari sisi Kangjeng Sultan.
Tetapi sampai kapan Sekarsari mampu mengikat Kangjeng
Sultan dengan kehangatan sikapnya" Pada saatnya, Sekarsari
akan tidak lagi diperkenankan melewati pintu gerbang istana.
Para prajurit akan mendapat perintah untuk mencegah
Sekarsari masuk. Tetapi mungkin keputusan itu justru
dikehendaki oleh Sekarsari sendiri yang ingin membebaskan
diri dari tangan Harya Wisaka. Mungkin Sekarsari juga sadar,
bahwa pada suatu saat ia akan terlempar dari istana. Tetapi ia sudah mempunyai seorang lurah prajurit yang muda dan
tampan. Karena Ki Gede tidak segera menjawab, maka Kangjeng
Sultan itu telah mendesaknya, "Bagaimana pendapat Kakang?"
"Beri hamba waktu, Kangjeng Sultan"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau akan berbicara dengan Harya Wisaka?"
"Hamba mohon, Kangjeng Sultan memerintahkannya"
Kangjeng Sultan termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian Kangjeng Sultan itupun berkata, "Aku akan
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memanggilnya" Ki Gede Pemanahan tidak sempat menjawab. Kangjeng
Sultan itupun telah memberi isyarat kepada seorang prajurit
pengawal yang bertugas di luar ruangan.
Demikian prajurit itu masuk, maka Kangjeng Sultan itupun
memberikan perintah, "Perintahkan kepada para prajurit
pelayan dalam yang bertugas menjaga Harya Wisaka untuk
membawanya menghadap sekarang. Hati-hati. Jika orang itu
terlepas maka semuanya akan aku gantung di alun-alun
sebagai gantinya" Demikianlah, maka prajurit itupun telah menyampaikan
perintah itu kepada para prajurit yang bertugas.
Lurah prajurit yang memimpin sekelompok petugas itupun
menerima perintah itu dengan hati yang berdebar-debar.
Mereka menyadari bahwa Harya Wisaka adalah seorang yang
berilmu sangat tinggi, sehingga kemungkinan buruk dapat saja
terjadi. Karena itu, maka ketika Harya Wisaka dibawa menghadap,
maka pengawalannyapun dilakukan dengan seluruh kekuatan
yang ada. Namun Harya Wisaka tidak berusaha untuk melarikan diri.
Harya Wisaka pun sadar, bahwa jika ia mencobanya, maka
Kangjeng Sultan sendiri tentu akan turun tangan jika Ki Gede
Pemanahan tidak sedang berada di istana.
Ketika ia memasuki bilik khusus dan melihat Kangjeng
Sultan dan Ki Gede Pemanahan sudah berada di dalam, maka
dipandanginya Ki Gede Pemanahan sambil tersenyum.
Meskipun tidak terucapkan, tetapi Harya Wisaka itu
menyatakan kemenangannya. Akhirnya, ia dapat berbicara
langsung dengan Kangjeng Sultan. Tidak hanya dengan Ki
Gede Pemanahan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Harya Wisaka itupun kemudian duduk menyilangkan
kakinya sambil menyembah, "Hamba menghadap, Kangjeng
Sultan" Kangjeng Sultan memandanginya sejenak. Namun
kemudian Kangjeng Sultan itupun berkata lantang, "Dengar
Harya Wisaka, Ki Gede Pemanahan akan berbicara dengan
kau. Jawab semua pertanyaannya dengan jujur. Hasil
pembicaraanmu akan menentukan berat ringannya
hukumanmu. Semakin berbelit-belit kau menjawab
pertanyaannya, maka hukumanmu akan menjadi semakin
berat. Hukumanmu dapat lebih berat melampaui hukuman
mati" Harya Wisaka memandang Kangjeng Sultan dengan
tegang. Sementara Kangjeng Sultan berkata, "Di Pajang masih berlaku bagi mereka yang mempunyai kesalahan yang sangat
besar hukuman picis. Atau hukuman-hukuman jenis lain yang
akhirnya terhukum juga akan mati"
"Kangjeng Sultan" potong Harya Wisaka, "hamba akan
mengatakan dengan jujur apa yang telah terjadi kepada
Kangjeng Sultan. Hamba tidak mau berbicara dengan anak
petani seperti Ki Gede Pemanahan. Derajatnya terlalu rendah
bagiku untuk berbicara dengan aku"
"Harya Wisaka. Aku rendahkan derajatmu. Aku cabut
kedudukan kebangsawananmu. Sementara itu, Ki Gede
Pemanahan akan mewakili aku sehingga kedudukannya di
hadapanmu sama dengan kedudukanku"
Wajah Harya Wisaka menjadi tegang. Tetapi sebelum ia
berkata sesuatu, maka Kangjeng Sultan itu telah bangkit
berdiri dan meninggalkan ruangan itu.
"Kangjeng Sultan" Harya Wisaka itu memanggil. Tetapi
Kangjeng Sultan sama sekali tidak berpaling.
Harya Wisaka itu kemudian memandang Ki Gede
Pemanahan dengan tajamnya. Dengan geram iapun berkata,
"Kau kira aku akan tunduk kepada perintah ini. Tidak. Aku tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaanmu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun Ki Gede Pemanahan itu menjawab, "Jawabanjawabanmu itu penting artinya bagimu. Tidak bagiku.
Terserah, apakah kau akan menjawab pertanyaanpertanyaanku atau tidak. Bagiku sama saja, karena aku tidak
akan dirugikan. Aku tidak akan digantung atau bahkan
dihukum picis atau dihukum yang lebih berat atau lebih
ringan. Aku adalah orang yang bebas. Aku tidak akan
dikembalikan ke penjara"
"Persetan kau, Pemanahan. Akan datang saatnya aku
membunuhmu kelak" Ki Gede Pemanahan tersenyum. Katanya, "Kau tidak akan
sempat melakukannya, Harya Wisaka. Tetapi jika kau bersedia
menjawab beberapa pertanyaanku, kau masih mempunyai
waktu" "Aku tidak akan menjilat ludah sendiri meskipun aku akan
dihukum picis" "Aku hargai kekerasan hatimu. Tetapi aku cela
kebodohanmu" "Setan kau, Pemanahan. Aku tantang kau berperang
tanding" Ki Gede Pemanahan tersenyum. Katanya, "Bagaimana
mungkin aku melayani tantangan seorang yang sedang dalam
tahanan dan menghadapi hukuman mati?"
"Aku bunuh kau sekarang"
Harya Wisaka itupun tiba-tiba telah bangkit berdiri. Tetapi
beberapa ujung senjata dari para pengawal dengan cepat
telah terarah ke tubuhnya.
"Kau kira senjata-senjatamu itu berarti bagiku?"
Para prajurit itu termangu-mangu. Sementara Ki Gede
Pemanahanpun telah bangkit pula sambil berkata, "Bawa
Harya Wisaka kembali ke bilik tahanannya. Ia ingin berada di
dalamnya sampai hari terakhirnya"
"Persetan kau, Pemanahan"
Para prajurit itupun kemudian telah menggiring Harya
Wisaka kembali ke bilik tahanannya. Ki Gedepun mengikutinya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pula. Jika Harya Wisaka itu kehilangan akal, maka para
prajurit itu tentu akan mengalami kesulitan.
Demikian Harya Wisaka berada di dalam bilik tahanannya,
maka Ki Gedepun kembali menghadap Kangjeng Sultan untuk
memberikan laporan tentang sikap Harya Wisaka itu.
"Jika demikian, sepantasnya Harya Wisaka dihukum mati"
geram Kangjeng Sultan. "Segala sesuatunya terserah kepada Kangjeng Sultan.
Tetapi hamba mohon pelaksanaannya tidak dilakukan dengan
segera, sehingga masih mungkin terjadi perubahan"
"Jika aku sudah menjatuhkan keputusan, maka tidak akan
ada perubahan" "Jika demikian, hamba mohon Kangjeng Sultan tidak
tergesa-gesa menjatuhkan keputusan"
"Aku akan memberikan keputusan itu dalam dua tiga hari ini, Kakang"
Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Ia
memang tidak dapat terlalu banyak memohon, karena hal itu
akan dapat membuat Kangjeng Sultan justru menjadi semakin
marah. Karena itu, maka Ki Gedepun justru telah mohon diri.
Katanya, "Hamba menunggu titah Paduka. Hamba mohon diri"
"Baik, Kakang" Ki Gede Pemanahanpun segera kembali ke rumahnya.
Namun rasa-rasanya sikap Harya Wisaka itu tidak segera
dapat dilupakannya. Harya Wisaka yang sudah menjadi
tahanan itu masih sempat merendahkannya.
Tetapi Ki Gede Pemanahan tidak ingkar akan dirinya. Ia
tidak pernah menolak jika orang menyebutnya sebagai
keturunan pidak pedarakan. Keturunan rakyat kebanyakan.
Namun sebenarnyalah Ki Gede Pemanahan ingin
menghapus kesan buruk jika Kangjeng Sultan menjatuhkan
hukuman mati kepada Harya Wisaka. Orang banyak tentu
akan segera menghubungkan hukuman mati itu dengan
hubungan antara Kangjeng Sultan dengan Sekarsari. Sehingga
hukuman itu tentu akan mendapat penilaian tersendiri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
meskipun pada kenyataannya Harya Wisaka memang sudah
memberontak melawan kekuasaan Kangjeng Sultan.
Keinginannya untuk menguasai cincin kerajaan itu adalah
satu ujud dari niatnya menentang kuasa Kangjeng Sultan dan
membangun kekuasaan bagi dirinya sendiri. Berhasil atau
tidak berhasil, dengan atau tanpa cincin kerajaan itu,
sebenarnyalah bahwa Harya Wisaka menolak kuasa Kangjeng
Sultan Hadiwijaya di Pajang.
Tetapi justru karena Sekarsari sering berada di istana,
maka terutama orang-orang yang menentang kuasa Kangjeng
Sultan akan dapat mempergunakan peristiwa itu untuk
menjatuhkan wibawanya. Ketika malam turun, Ki Gede Pemanahan tidak segera
dapat tidur. Meskipun Ki Gede sudah berbaring di dalam
biliknya, namun rasa-rasanya matanya tidak mau
dipejamkannya. Bahkan sampai ayam jantan berkokok di tengah malam, Ki
Gede masih tetap belum dapat tidur sekejappun. Rasa-rasanya
bayangan hukuman mati itu tidak dapat dilepaskannya dari
angan-angannya. Seakan-akan Ki Gede melihat Harya Wisaka
itu berayun di tiang gantungan di alun-alun, disaksikan oleh
rakyat Pajang. Namun yang kemudian berteriak-teriak
meneriakkan ketamakan Kangjeng Sultan yang ingin
mengambil isteri orang yang mati di tiang gantungan itu.
Ketika lewat tengah malam, Ki Gede terlena sesaat,
bayangan itu menjadi semakin jelas. Dalam sekejap itu Ki
Gede telah bermimpi bahwa hukuman mati itu sudah
dilaksanakan. Tidak hanya seorang Harya Wisaka. Beberapa
orang Harya Wisaka telah dihukum mati. Seorang digantung,
seorang dipancung, yang lain dihukum picis sedang yang lain
lagi disapu sampai mati. Kangjeng Sultan dan Sekarsari menonton di pinggir alunalun sambil tertawa berkepanjangan.
Tetapi Ki Gede tidak dapat berbuat apa-apa.
Namun dalam pada itu, Ki Gede yang terlena sesaat itu
terkejut. Di dalam mimpi, Ki Gede melihat orang-orang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berkuda memasuki alun-alun dan langsung mengacaukan
suasana. Mereka mengayun-ayunkan pedang mereka sambil
berteriak-teriak. Tidak seorangpun tahu, siapakah orang-orang berkuda itu.
Mereka hanya memakai kain panjang dan tidak berbaju. Ikat
kepala mereka berwarna gelap sebagaimana kain panjang
mereka. Wajah-wajah mereka tidak nampak jelas, seakanakan berada di belakang tirai tipis berwarna kehitam-hitaman.
Dalam pada itu, terdengar pintu butulan diketuk orang
sehingga Ki Gede dengan serta-merta telah bangkit langsung
berdiri di sisi pembaringannya.
Ki Gede mengusap matanya. Namun ketukan di pintu
butulan itu masih terdengar.
"Siapa?" bertanya Ki Gede.
"Aku, Ki Gede. Lumintu"
Ki Gede mengenal suara itu. Salah seorang pengawal yang
bertugas malam itu di rumahnya.
Setelah membenahi pakaiannya Ki Gedepun melangkah ke
pintu butulan, mengangkat selaraknya dan membuka pintu.
"Ada apa Lumintu?" Ki Gede sudah menduga, tentu ada hal yang sangat penting, sehingga ia dibangunkan lewat tengah
malam. "Ada utusan dari istana, Ki Gede"
"Utusan dari istana" Dimana orang itu?"
"Sudah aku persilahkan duduk di pendapa. Tetapi mereka
tidak mau. Katanya, mereka hanya ingin menyampaikan
perintah kepada Ki Gede"
Ki Gede mengangguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan
menemui mereka" Ki Gedepun kemudian masuk kembali ke pembaringannya.
Dikenakannya kerisnya di punggung, kemudian Ki Gede itupun
telah keluar lewat pintu pringgitan.
Tiga orang berdiri di halaman memegangi kuda masingmasing, sehingga Ki Gede itupun berkata di dalam hatinya,
"Aku bukan sekedar bermimpi. Aku benar-benar mendengar
derap kaki kuda meskipun tidak sebanyak dalam mimpi"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Gede itupun turun ke halaman dengan jantung yang
berdebaran. Sebelum Ki Gede bertanya, seorang di antara ketiga orang
itupun berkata, "Aku, Ki Gede. Lurah Wirasana"
"O, kau Ki Lurah Wirasana. Ada apa?"
"Kangjeng Sultan memanggil Ki Gede untuk menghadap
sekarang juga" "Sekarang" Apakah ada sesuatu yang sangat penting telah
terjadi di istana?" "Ya, Ki Gede" "Apa yang telah terjadi itu?"
"Harya Wisaka melarikan diri"
"Harya Wisaka berhasil melarikan diri" Bagaimana hal itu
terjadi" Harya Wisaka berada di dalam tahanan di lingkungan
istana. Dijaga kuat oleh sekelompok prajurit yang langsung
berada di bawah perintah Kangjeng Sultan"
"Pelayan dalam yang bertugas telah terbunuh, Ki Gede.
Bahkan bukan hanya mereka, tetapi beberapa orang yang lain
yang telah berkhianat"
Wajah Ki Gede Pemanahan menjadi tegang. Kepada
seorang pengawalnya Ki Gede berkata, "Siapkan kudaku"
Sementara pengawal itu mempersiapkan kudanya, maka Ki
Gedepun telah berganti pakaian.
Sejenak kemudian, Ki Gede dan beberapa orang
pengawalnya telah berpacu ke istana bersama ketiga orang
utusan dari istana itu. Demikian Ki Gede memasuki paseban dalam, maka
beberapa orang pemimpin Pajang telah menghadap.
"Duduklah, Kakang" suara Kangjeng Sultan berat menekan.
Ki Gede itupun segera duduk di antara para pemimpin yang
telah menghadap itu. "Jika saja kau tidak menghambat keputusanku, aku sudah
menghukum mati Harya Wisaka" berkata Kangjeng Sultan
selanjutnya. "Sekarang ternyata Harya Wisaka itu melarikan diri"
"Hamba mohon ampun, Paduka"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sekarang, apa katamu?"
"Kangjeng Sultan" berkata Ki Gede Pemanahan kemudian,
"bagaimana hal itu dapat terjadi. Harya Wisaka berada di
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebuah ruangan yang sangat kuat. Dijaga oleh sekelompok
prajurit yang langsung berada di bawah perintah paduka"
"Kau akan membebankan tanggung jawab hilangnya Harya
Wisaka kepadaku?" "Tidak, bukan Sinuhun. Hamba hanya ingin tahu
bagaimana hal itu dapat terjadi"
"Tumenggung Reksapati, kau yang telah berbicara
langsung dengan seorang pelayan dalam yang terluka parah
itu, ceriterakan kepada Kakang Pemanahan, apa yang telah
terjadi" Tumenggung Reksapatipun beringsut sejengkal. Setelah
menyembah, maka iapun berkata, "Atas ijin paduka"
"Katakan" "Ki Gede" berkata Ki Tumenggung Reksapati, "Putri
Sekarsari" "Sekarsari?" bertanya Ki Gede Pemanahan.
"Memang di luar dugaan. Putri Sekarsari telah memperalat
seorang lurah pelayan dalam"
"Siapa?" "Ki Lurah Citrasemu"
"Citrasemu" ulang Ki Gede. "Seorang lurah muda yang
tampan" "Apa maksudmu?"
Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Sementara
Kangjeng Sultanpun berkata, "Ceriterakan apa yang terjadi.
Untuk apa kau katakan lurah muda itu tampan?"
"Hamba, Paduka" sahut Ki Tumenggung sambil
menyembah. Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Lurah muda dan
tampan itu tentu lurah pelayan dalam yang pernah dilaporkan
kepadanya. Ceritera Tumenggung itupun tidak meleset dari
dugaan Ki Gede Pemanahan. Lurah pelayan dalam yang muda
dan tampan itu telah dimanfaatkan habis-habisan oleh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekarsari. Kemudaannya, ketampanannya, gairahnya, tetapi
juga tenaga dan kekuasaannya. Bahkan yang terakhir adalah
nyawanya. Sekarsari berhasil membujuk lurah muda itu untuk
membawa beberapa orang bawahannya menyerang para
petugas yang menjaga Harya Wisaka di bilik tahanannya.
"Betapa bodohnya lurah itu" desis Ki Gede. "Jika ia
membantu membebaskan Harya Wisaka berarti peranannya
sudah habis. Sekarsari akan kembali kepada Harya Wisaka"
"Menurut seorang prajuritnya yang masih hidup meskipun
terluka parah, Sekarsari berjanji untuk tetap setia kepada
lurah muda itu, karena setelah dibebaskan Harya Wisaka akan
melarikan diri keluar Pajang seorang diri. Hubungannya
dengan Harya Wisaka telah menjadi sangat renggang. Harya
Wisaka sudah tidak menghendaki Sekarsari lagi karena Harya
Wisaka tahu bahwa Sekarsari tidak setia lagi kepadanya"
"Ya" sambung Kangjeng Sultan, "agaknya Sekarsari sudah tidak setia lagi kepada Harya Wisaka, karena ia telah
berhubungan dengan lurah itu"
Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam.
Untunglah bahwa Ki Tumenggung tidak menyebut bahwa
selain dengan lurah muda itu, Sekarsari telah mendapat
kebebasan keluar masuk istana.
Ternyata bahwa Sekarsari adalah seorang perempuan yang
sangat cerdik. Ia dapat memainkan peranannya dengan
sempurna. Sekarsari telah mengelabuhi banyak orang,
termasuk Ki Gede Pemanahan sendiri.
Pertengkarannya dengan Harya Wisaka setiap kali ia
mengunjunginya tentu bagian dari peran yang sedang
dimainkan. Kebenciannya kepada Harya Wisaka nampak
meyakinkan. Demikian pula sikap Harya Wisaka, yang bahkan
pernah mencoba mencekik istrinya itu.
Permainan Sekarsari yang meyakinkan itulah yang
membuatnya berhasil melepaskan Harya Wisaka.
"Setelah Harya Wisaka lepas dari bilik tahanannya, maka
lurah muda yang tampan itu dengan orangnya yang tersisa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
telah dibunuh pula oleh Harya Wisaka" berkata Ki
Tumenggung kemudian. "Apakah gejolak itu tidak sempat diketahui oleh para
petugas yang lain?" bertanya Ki Gede Pemanahan.
"Tidak, Ki Gede. Tidak ada yang mengetahui bahwa Harya
Wisaka telah berhasil membebaskan diri. Prajurit yang masih
hidup itu melihat Harya Wisaka melarikan diri bersama
Sekarsari. Sementara itu diketemukan di pintu belakang, dua
orang prajurit terbunuh. Dua orang lagi di gerbang halaman
belakang istana. Demikian keluar dari halaman istana, maka
jejak Harya Wisaka dan Sekarsaripun telah hilang"
Ki Gede Pemanahan termangu-mangu sejenak. Ia mencoba
membayangkan apa yang telah terjadi. Dua orang prajurit
yang bertugas di pintu belakang dan di gerbang halaman
istana memang tidak akan mampu menahan Harya Wisaka.
Apalagi Harya Wisaka sedang dalam keadaan terjepit.
"Kakang Pemanahan" berkata Kangjeng Sultan kemudian,
"aku menyesal bahwa aku telah mendengar permintaan
Kakang untuk menunda hukum mati itu. Bahkan sebelumnya
aku sudah berniat untuk menangkap dan menganggap
Sekarsari ikut bersalah, sehingga iapun harus dihukum. Tetapi
Kakang minta aku menundanya. Akibatnya, Harya Wisaka
dapat melepaskan dirinya"
Ki Gede memandang Kangjeng Sultan sejenak. Tetapi
kepalanyapun telah menunduk kembali.
"Karena itu Kakang, aku minta kau memimpin perburuan
ini. Aku minta Harya Wisaka dapat ditangkap, hidup atau mati.
Kakang dapat mempergunakan prajurit berapapun Kakang
perlukan. Kakang dapat mengangkat siapapun untuk menjadi
senapati dalam pasukan Kakang itu. Dua atau tiga orang atau
bahkan tidak terbatas"
"Baik, Kangjeng Sultan. Hamba akan melakukan tugas ini
sebaik-baiknya. Hamba akan mempergunakan pasukan
seperlunya dan mengangkat beberapa orang senapati pada
saatnya nanti" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku ingin tugas ini segera selesai. Karena itu, Kakang
jangan bergerak terlalu lamban"
"Sejak malam ini hamba akan bergerak. Hamba akan mulai
dengan beberapa orang prajurit sandi"
"Ingat, Kakang. Harya Wisaka mempunyai pengikut cukup
banyak. Jika ia sempat berada di tengah-tengah pengikutnya,
maka upaya untuk menangkapnya akan menjadi semakin
sulit" "Hamba, Kangjeng Sultan. Hamba akan berusaha mencari
jejaknya secepatnya"
"Baiklah. Aku serahkan usaha penangkapan ini kepada
Kakang Pemanahan" "Hamba junjung perintah Paduka" sahut Ki Gede. Namun
katanya kemudian kepada mereka yang ada di paseban dalam
itu, "Meskipun tanggung jawab penangkapan Harya Wisaka itu diserahkan kepadaku, tetapi aku minta kalian membantuku.
Terutama Ki Tumenggung Reksapati"
"Aku akan berbuat apa saja yang dapat aku lakukan untuk
membantu Ki Gede" "Nanti kita berbicara, Ki Tumenggung"
"Baik, Ki Gede"
Demikianlah Kangjeng Sultanpun menutup pertemuan yang
tiba-tiba itu, karena ada persoalan yang sangat gawat telah
terjadi. Beberapa orang pemimpin telah meninggalkan paseban
dalam. Hanya Ki Gede dan Ki Tumenggung Reksapati sajalah
yang masih tinggal. "Jadi Ki Gede pernah menghambat keputusan Kangjeng
Sultan untuk menghukum mati Harya Wisaka?" bertanya Ki
Tumenggung Reksapati. "Ya, Ki Tumenggung. Tetapi dasar perhitunganku adalah
untuk menyelamatkan nama baik Kangjeng Sultan sendiri"
"Aku sudah menduga. Bahkan Ki Gede melihat hubungan
yang tidak wajar antara Kangjeng Sultan dengan Sekarsari?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya. Ternyata Sekarsari telah mengelabuhi kita semuanya.
Bahkan Sekarsari telah merendahkan dirinya berhubungan
dengan Ki Lurah Citrasemu"
"Ya" "Lurah tampan yang bodoh itu harus mengorbankan
nyawanya. Ia membawa bawahannya untuk menyergap para
penjaga. Pertempuran itu terjadi dengan singkat. Semua
petugas terbunuh. Tetapi separo dari pengikut Ki Lurah
Citrasemu juga terbunuh. Demikian Harya Wisaka bebas,
maka yang separo itu dibunuhnya tanpa banyak perlawanan.
Tetapi seorang yang ternyata masih hidup itu sempat
memberikan kesaksiannya"
"Kenapa pertempuran yang terjadi di sekitar bilik tahanan itu luput dari perhatian para petugas yang lain?"
Ki Tumenggung Reksapati menggelengkan kepalanya
sambil berkata, "Entahlah, Ki Gede. Tetapi mungkin karena pertempuran itu hanya terjadi dalam waktu yang singkat di
tempat yang agak terasing meskipun masih di dalam
lingkungan istana" Ki Gede mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya,
"Baiklah, Ki Tumenggung Reksapati. Yang dapat aku lakukan malam ini adalah memerintahkan para petugas sandi untuk
mencari jejak. Tetapi kita tahu bahwa Harya Wisaka adalah
orang berilmu sangat tinggi"
"Aku menunggu perintah Ki Gede"
"Kita siapkan pasukan. Menurut perhitunganku, Harya
Wisaka akan segera berada di landasan kekuatannya. Jika
kekuatannya bercerai-berai namun setelah Harya Wisaka
berhasil meloloskan diri, maka ia akan dapat menghimpun
kembali kekuatannya"
"Baik, Ki Gede. Pasukanku besok saat matahari terbit sudah siap jika diperlukan"
"Terima kasih. Kita pulang sekarang. Besok aku sendiri
yang akan memimpin pencaharian ini"
"Baik, Ki Gede"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikianlah, keduanyapun segera meninggalkan istana
pulang ke rumah masing-masing.
Namun sisa malam itu bukannya waktu yang dapat
dipergunakan untuk beristirahat bagi Ki Gede Pemanahan.
Demikian ia sampai di rumahnya, maka iapun telah
memerintahkan pengawalnya untuk memanggil
kepercayaannya, Ki Lurah Surapada.
Demikian Ki Lurah itu menghadap, maka Ki Gedepun
segera memberitahukan, bahwa Harya Wisaka telah melarikan
diri dari bilik tahanannya.
"Ya, Ki Gede" "Jadi kau sudah mendengar?"
"Ya, Ki Gede. Tadi Wirasana sudah datang kemari untuk
menghadap Ki Gede. Tetapi Ki Gede sudah pergi ke istana"
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ada semacam
kebanggaan Ki Gede terhadap kepercayaannya itu. Merekapun
ternyata melakukan perintahnya dengan baik, sehingga
merekapun dengan cepat mendengar berita tentang hilangnya
Harya Wisaka. Sementara itu Ki Lurah Surapada itupun berkata lebih
lanjut, "Kami mohon maaf, bahwa kami tidak segera dapat
bertindak. Terus terang, kami yang ikut mengawasi dari jarak
jauh Harya Wisaka yang berada di dalam bilik tahanan itu
menjadi lengah, justru karena hubungan Sekarsari dan Harya
Wisaka yang nampak menjadi semakin memburuk"
"Bukan hanya kau yang telah dikelabuhi. Aku juga sudah
disesatkannya. Sekarsari dan Harya Wisaka telah berperan
dengan sangat baik dalam permainan yang mengasyikkan,
seolah-olah mereka sudah saling menjauhi"
"Yang terbodoh di antara para lurah prajurit dan pelayanan dalam adalah Citrasemu" desis Surapada.
"Kasihan orang itu. Ia harus mengorbankan nyawanya"
"Itu terjadi karena kedunguannya, Ki Gede"
"Ya. Tetapi kita tidak dapat terpaku pada sekedar
mengasihani Citrasemu"
"Kami menunggu perintah Ki Gede"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Perintahkan anak buahmu untuk mengawasi semua orang
yang diduga mempunyai hubungan dengan Harya Wisaka"
"Baik, Ki Gede"
"Jangan menunggu besok"
"Baik, Ki Gede"
Namun pembicaraan merekapun terputus. Lumintu telah
datang menghadap Ki Gede untuk memberitahukan bahwa Ki
Tumenggung Reksapati dan dua tiga orang pengawalnya
datang untuk menghadap Ki Gede.
"Persilahkan mereka naik ke pendapa"
Demikian Lumintu keluar, maka Ki Gedepun berkata, "Aku
baru saja meninggalkan paseban dalam bersama-sama Ki
Tumenggung Reksapati. Dan sekarang Ki Tumenggung telah
sampai disini" "Mungkin ada keterangan yang penting yang harus segera
disampaikan kepada Ki Gede"
Ki Gedepun kemudian telah mengajak Ki Lurah Surapada
untuk menerima Ki Tumenggung Reksapati.
Ketika Ki Gede menemui Ki Tumenggung di pringgitan,
maka iapun telah terkejut. Ia melihat Ki Reksapati itu terluka.
Namun luka itu nampaknya sama sekali tidak mengganggu Ki
Tumenggung Reksapati. "Apa yang terjadi, Ki Tumenggung?"
Ki Tumenggung Reksapati tersenyum. Dirabanya lukanya
yang sudah pampat itu sambil berdesis, "Harya Wisaka, Ki
Gede" "Harya Wisaka?"
"Ya, Ki Gede. Aku menghadap untuk menyampaikan
peringatan bagi Ki Gede, bahwa Harya Wisaka agaknya
sedang mencari Ki Gede. Nampaknya ia sangat mendendam"
Ki Gede mengangguk-angguk.
"Ketika aku pulang dari paseban, aku memang singgah
menemui pelayan dalam yang bertugas untuk mendapatkan
beberapa keterangan. Tetapi mereka sama sekali tidak dapat
membantu. Ketika aku kemudian pulang, maka tiba-tiba aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
telah dihentikan oleh Harya Wisaka yang tiba-tiba saja sudah
berdiri di tengah jalan"
Ki Gede masih mengangguk-angguk.
"Yang pertama-tama ditanyakan adalah Ki Gede. Ia
mengira bahwa yang lewat adalah Ki Gede"
"Apa katanya?"
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Harya Wisaka benar-benar ingin membunuh Ki Gede.
Karena itu, aku datang kemari untuk memberitahukan kepada
Ki Gede, bahwa Harya Wisaka masih berkeliaran"
"Kenapa Ki Tumenggung terluka"
"Harya Wisaka ingin melepaskan kekecewaannya dengan
membunuhku. Tetapi aku tidak sendiri. Aku bersama beberapa
orang prajurit. Karena itu, aku berhasil menyelamatkan diri.
Entah, apa yang terjadi jika aku kebetulan seorang diri"
"Ki Tumenggung mampu melindungi dirinya sendiri"
"Tetapi aku tahu tingkat kemampuan Harya Wisaka"
Ki Gede tersenyum, sementara Ki Tumenggungpun berkata,
"Dua orang pengawalku terbunuh. Seorang terluka parah.
Akupun terluka, tetapi aku selamat. Ketika beberapa orang
prajurit berkuda yang sedang meronda lewat, Harya Wisaka
telah melarikan diri"
Ki Gede menggeram. Katanya, "Harya Wisaka ingin
menantang aku berperang tanding. Jika aku yakin bahwa
Harya Wisaka akan berbuat jujur, aku tidak berkeberatan.
Tetapi Harya Wisaka adalah seorang yang sangat licik"
"Kita semuanya harus berhati-hati. Kangjeng Sultan juga
harus berhati-hati. Ilmunya tentu jauh lebih tinggi dari kedua orang utusan Harya Penangsang yang ditugaskan untuk
membunuh Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Jika kedua orang
utusan itu saja datang memasuki bilik Kangjeng Sultan tanpa
diketahui oleh para prajurit dan pelayan dalam yang bertugas,
apalagi Harya Wisaka jika pengamanan Kangjeng Sultan tidak
ditingkatkan" "Kau benar, Ki Tumenggung. Besok aku akan
menyampaikan kepada para petugas di istana. Tetapi
pengkhianatan Ki Lurah Citrasemu telah membuat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kepercayaan Kangjeng Sultan kepada pengawalnya agak
menurun" "Itu juga perlu segera diatasi, Ki Gede. Justru dalam
keadaan yang gawat ini"
Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Ki Lurah Surapada, jalankan perintahku. Kau tidak usah menunggu besok. Gerakkan semua orang yang berada di
bawah perintahmu untuk mengamati seluruh kota serta
rumah-rumah orang yang dianggap mempunyai hubungan
dengan Harya Wisaka"
"Baik, Ki Gede. Aku mohon diri" Kemudian kepada Ki
Tumenggung Ki Lurah itu berkata, "Silahkan, Ki Tumenggung.
Aku mohon diri" "Silahkan, Ki Lurah. Aku juga akan segera mohon diri. Aku harus segera mempersiapkan pasukanku. Aku harus berpacu
dengan Harya Wisaka"
Sejenak kemudian, maka Ki Lurah Surapada itupun telah
berpacu meninggalkan rumah Ki Gede bersama seorang
prajurit yang menyertainya. Mereka sadar, bahwa jalan-jalan
di Pajang menjadi sangat berbahaya bagi orang-orang yang
dimusuhi oleh Harya Wisaka. Tetapi betapa tinggi ilmu Harya
Wisaka, ia masih belum sempat mengumpulkan orangorangnya, sehingga Harya Wisaka itu masih sendiri. Karena itu
yang dapat dilakukannya pun sangat terbatas.
Sepeninggal Ki Lurah Surapada, maka Ki Tumenggung
Reksapatipun telah minta diri. Sekali lagi ia berpesan, agar Ki Gede berhati-hati, karena Harya Wisaka itu masih berkeliaran
di dalam kota. Sedangkan dendamnya yang terbesar justru
tertuju kepada Ki Gede Pemanahan.
"Aku mohon diri, Ki Gede. Aku harap Ki Gede juga
memperingatkan Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa.
Mereka memang berilmu tinggi. Tetapi mereka, terlebih-lebih
Pangeran Benawa, masih terlalu menuruti perasaannya saja,
sehingga agaknya keduanya kurang berhati-hati"
"Terima kasih, Ki Tumenggung. Aku akan memperingatkan
mereka berdua" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikian Ki Tumenggung Reksapati meninggalkan rumah
Ki Gede, maka ki Gedepun segera mempersiapkan dirinya
untuk pergi ke Alas Jabung.
"Sekarang, Ki Gede?" bertanya Lumintu.
"Menjelang fajar" jawab Ki Gede.
"Sebaiknya Ki Gede beristirahat, meskipun hanya sekejap"
Ki Gede tersenyum. Katanya, "Ya. Aku akan beristirahat
sebentar" Tetapi Ki Gede tidak pergi ke pembaringan. Ki Gede itu
hanya duduk saja di ruang dalam bersandar tiang.
Menjelang matahari terbit, Ki Gede bersama tiga orang
pengawalnya memacu kudanya ke Alas Jabung. Ia harus
segera memberi peringatan kepada seisi padepokan, terutama
Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Namun
sebagaimana dipesankan oleh Ki Tumenggung Reksapati, Ki
Gede Pemanahan tidak boleh meninggalkan kewaspadaan.
Dendam Harya Wisaka agaknya akan ditumpahkannya kepada
Ki Gede Pemanahan. Kedatangan Ki Gede Pemanahan di
padepokan sementara Ki Panengah sangat mengejutkan. Hari
masih terhitung pagi. Jarak dari Pajang ke Hutan Jabung
memang tidak terlalu jauh.
Demikianlah, Ki Panengah dan Ki Waskita telah menerima
Ki Gede Pemanahan di pendapa bangunan induk padepokan
sementara itu. "Kedatangan Ki Gede membuat jantungku berdebaran"
berkata Ki Panengah. Ki Gede tersenyum. Katanya, "Hanya sikap hati-hati orangorang tua" "Apa yang telah terjadi, Ki Gede?" bertanya Ki Waskita.
Ki Gede menarik nafas panjang. Katanya kemudian dengan
nada rendah, "Harya Wisaka berhasil melarikan diri dari bilik tahanannya"
"Harya Wisaka melarikan diri?" bertanya Ki Waskita dan Ki Panengah hampir bersamaan.
"Ya. Setelah berusaha dengan sangat cerdik dibantu oleh
isterinya, Sekarsari, maka Harya Wisaka berhasil"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukankah Harya Wisaka dijaga dengan ketat oleh prajurit
pilihan?" bertanya Ki Panengah.
Ki Gedepun kemudian telah menceriterakan apa yang telah
terjadi. Kebebasan Sekarsari masuk keluar istana telah
dimanfaatkannya dengan baik. Demikian pula kecantikan
wajahnya, kehangatan sikapnya dan senyumnya yang
menawan. Bahkan seorang lurah prajuritnya telah dijeratnya
dan dipakainya sebagai alasan kebebasan suaminya. Lurah
prajurit muda itu telah mati dibunuh oleh Harya Wisaka
demikian ia berhasil keluar dari bilik tahanannya.
"Hatinya terbalut oleh bulu-bulu serigala" desis Ki
Panengah. "Ki Panengah dan Ki Waskita" berkata Ki Gede Pemanahan
kemudian, "aku ingin bertemu dan berbicara dengan
Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Aku ingin memberitahukan
bahwa Harya Wisaka berhasil melarikan diri. Tetapi aku tidak
perlu berceritera hubungan Kangjeng Sultan dengan Sekarsari.
Pangeran Benawa yang sudah sering mengalami kekecewaan,
akan menjadi semakin kecewa jika ia mengetahuinya"
"Justru hatinya telah beku, Ki Gede"
Ki Gede tersenyum. Katanya, "Memang mungkin. Tetapi
sebaiknya kita tidak berbicara tentang Sekarsari"
Beberapa saat kemudian, maka Ki Panengahpun telah
memanggil Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi.
Mungkin Paksi akan terlibat juga jika Harya Wisaka mengambil
langkah terhadap padepokan itu.
Sejenak kemudian, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya
dan Paksi telah menghadap. Dengan nada tinggi Raden
Sutawijaya berkata, "Masih sepagi ini Ayah telah sampai di Hutan Jabung. Apakah ada sesuatu yang sangat penting Ayah,
sehingga Ayah sendiri harus datang kemari?"
Ki Gede mengangguk. Katanya, "Ya, Sutawijaya. Memang
ada yang penting yang harus kalian dengar. Aku sudah
menyampaikan kepada Ki Panengah dan Ki Waskita, bahwa
Harya Wisaka telah melarikan diri dari bilik tahanannya"
"Melarikan diri?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya" "Bagaimana hal itu dapat terjadi, Paman?" bertanya
Pangeran Benawa. "Itulah yang harus diselidiki" jawab Ki Gede. "Namun yang penting, padepokan ini harus berhati-hati"
"Ya, Paman" Pangeran Benawa mengangguk-angguk.
"Kangjeng Sultan menganggap aku telah bersalah, karena
aku mohon agar Kangjeng Sultan menunda keputusan
hukuman mati atas Harya Wisaka. Tetapi ternyata Harya
Wisaka telah melarikan diri"
"Ayah telah dihukum?"
"Tidak. Tetapi Kangjeng Sultan memerintahkan aku
mengembalikan Harya Wisaka hidup atau mati ke istana"
Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian iapun bertanya, "Siapa saja yang mendapat tugas
bersama Ayahanda memburu Harya Wisaka?"
"Aku diperkenankan mempergunakan pasukan seberapa
saja aku butuhkan. Sementara itu, yang pagi ini telah
menyiapkan pasukannya adalah Ki Tumenggung Reksapati"
"Apakah Ayah akan langsung mempergunakan pasukan
segelar sepapan?" "Tentu tidak, Sutawijaya. Aku harus menemukan Harya
Wisaka lebih dahulu. Jika ia berada di antara para pengikutnya dalam kekuatan yang besar, maka aku baru akan
menggerakkan pasukan"
"Apa rencana Ayah dalam waktu dekat?"
"Sekarang aku baru memerintahkan para petugas sandi
untuk mengawasi lingkungan dalam kita. Mudah-mudahan
Harya Wisaka masih belum pergi. Agaknya Harya Wisaka
masih ingin bertemu dengan aku"
"Dengan Ayah?" "Ia sangat mendendamku. Ia pernah menantang aku
berperang tanding ketika ia masih berada di dalam tahanan.
Tentu saja aku tidak melayaninya. Sekarang, setelah ia bebas,
mungkin sekali ia mencari kesempatan untuk bertemu dengan
aku" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi
mendengarkan keterangan Ki Gede itu dengan saksama.
Mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka. Namun
sekali-sekali nampak dahi mereka berkerut.
Namun dalam pada itu, Ki Waskita itupun berkata, "Ada
satu hal yang ingin aku bicarakan dengan Paksi sehubungan
dengan persoalan Harya Wisaka"
Paksi mengangkat wajahnya dan memandang Ki Waskita
sekilas. Namun iapun kembali menundukkan kepalanya.
"Paksi" berkata Ki Waskita kemudian, "apakah kau bersedia untuk pulang?"
"Pulang?" bertanya Paksi dengan nada tinggi.
"Ya. Sekedar menengok keluargamu. Ayah, ibu dan adikadikmu di rumah" "Belum lama aku pulang, Guru. Yang justru telah
menimbulkan persoalan dengan perguruan Ki Ajar Wisesa
Tunggal" "Tetapi apakah kau bersedia untuk pulang lagi dalam waktu dekat ini" Mungkin hari ini?"
Paksi termangu-mangu sejenak. Bahkan ia sempat
menduga bahwa gurunya ingin agar ia tidak berada di
padepokan karena sesuatu sebab yang agaknya ada
hubungannya dengan lepasnya Harya Wisaka.
Namun akhirnya Ki Waskita itu menjelaskan, "Paksi, maaf
jika ada kesan mencurigai ayahmu. Tetapi aku mempunyai
dugaan bahwa ayahmu mempunyai hubungan dengan Harya
Wisaka. Jika Harya Wisaka masih berada di dalam kota, maka
ia tentu akan berpindah-pindah tempat. Meskipun para
petugas sandi agaknya telah mengawasi seluruh kota dan
bahkan semua jalan keluar, tetapi Harya Wisaka adalah
seorang yang sangat cerdik dan berilmu sangat tinggi"
"Aku mengerti, Guru" sahut Paksi kemudian. "Mungkin
pada suatu saat Harya Wisaka bersembunyi di rumahku"
"Ya" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia sama sekali tidak
menjadi ketakutan karena tugas itu. Tetapi jika hal itu benar,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
maka mungkin ia harus bertengkar dengan ayahnya. Mungkin
karena ayahnya membantu Harya Wisaka. Tetapi mungkin
karena dengan demikian ayahnya justru harus ditangkap.
Agaknya Ki Waskita mengetahui kesulitan yang akan
dihadapi oleh Paksi. Karena itu, maka katanya, "Paksi, kau hanya akan bertindak jika Harya Wisaka ada di rumahmu.
Usahakan untuk menangkapnya. Meskipun Harya Wisaka itu
berilmu sangat tinggi, tetapi semoga kau mampu
mengimbangi ilmunya setelah kau berada di puncak
kemampuanmu" Paksi tidak segera menjawab. Sebuah pertanyaan masih
bergetar di dalam dadanya, "Apa yang harus aku lakukan jika ayah berusaha mencegahnya?"
Namun Pangeran Benawa yang agaknya juga menangkap
kegelisahan itu tiba-tiba saja berkata, "Aku ikut bersamamu, Paksi. Kita berdua akan melihat, apakah Harya Wisaka ada di
rumahmu atau tidak" Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Sementara Ki
Panengah berkata, "Mungkin ada baiknya juga, Pangeran.
Tetapi adalah aneh, jika Paksi menginap di rumahnya barang
satu malam dan Pangeran juga menginap di rumahnya"
"Kenapa aneh?" "Rumah tumenggung itu tidak terlalu jauh dari istana.
Seharusnya Pangeran berada di istana. Karena keadaan
sebaliknya akan dapat terjadi. Justru karena Harya Wisaka
mengetahui Pangeran ada di rumah Paksi, maka Harya
Wisakalah yang menyergap Pangeran dengan membawa
pengikut-pengikutnya yang sempat dikumpulkannya. Harya
Wisaka tentu tidak melupakan cincin yang ada pada Pangeran
itu" Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Sementara
Ki Waskita berkata, "Kecuali jika keberadaan Pangeran
Benawa di rumah Paksi diimbangi dengan kegiatan beberapa
petugas sandi yang akan mengamati rumah itu"
Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
dapat melakukannya" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nah, apa lagi" desis Pangeran Benawa.
"Agaknya memang boleh dicoba, Ayah" berkata Raden
Sutawijaya. "Jika saja kebetulan Paman Harya Wisaka ada di rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Tetapi jika Harya
Wisaka belum ada disana, meskipun ia selalu berpindahpindah tempat, ia tidak akan datang ke rumah Ki
Tumenggung. Demikian Adimas Pangeran Benawa dan Paksi
datang ke rumah itu, kaki tangan Harya Wisaka tentu sudah
menyampaikannya kepadanya"
Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Namun katanya,
"Aku mengerti. Tetapi ada baiknya malam nanti Paksi pulang.
Sementara aku menyiapkan dua tiga orang petugas sandi
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk mengawasi rumah itu secara khusus malam nanti"
Akhirnya diketemukan satu kesepakatan bahwa malam
nanti Paksi akan pulang. Tentu akan mengejutkan. Tetapi
kepulangan Paksi itu adalah salah satu usaha untuk melihat
apakah Harya Wisaka berada di rumah itu tanpa menimbulkan
gejolak keluar. Akibatnya akan berbeda jika sekelompok
prajurit mengepung rumah itu dan dengan paksa mencari
seseorang di dalamnya. Namun sebenarnyalah Paksi merasa sedih. Meskipun
demikian ia tidak dapat mengelak, bahwa ayahnya memang
pantas dicurigai mempunyai hubungan dengan Harya Wisaka.
Bahkan Paksi sendiri hampir memastikan bahwa ayahnya
memang salah seorang dari para pengikut Harya Wisaka. Jika
saja Harya Wisaka tidak melarikan diri dan sempat diperiksa,
maka salah seorang yang akan disebut namanya adalah
ayahnya. Tetapi agaknya hati Harya Wisaka benar-benar sekeras
batu, sehingga mungkin tidak sebuah namapun yang akan
disebutnya. Ki Gede Pemanahan tidak terlalu lama berada di
padepokan. Setelah memberikan beberapa pesan serta
memantapkan kesepakatan mereka, maka Ki Gede itupun
minta diri. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sutawijaya" berkata Ki Gede sebelum meninggalkan
padepokan, "mungkin kau juga akan menerima tugas khusus
nanti jika Harya Wisaka tidak segera tertangkap"
"Baik, Ayah. Aku siap melakukan apa saja"
"Bahkan seisi padepokan ini" berkata Ki Panengah
kemudian. Ki Gede tersenyum. Katanya, "Padepokan ini masih
menghadapi tugas besarnya. Karena itu, Ki Panengah dan Ki
Waskita tidak dapat meninggalkan padepokan ini. Orangorang yang tidak senang akan kehadiran padepokan ini akan
dapat mengganggunya sebagaimana dilakukan oleh Ki Ajar
Wisesa Tunggal" "Tetapi dalam keadaan yang khusus, segala sesuatunya
akan dapat ditata sebaik-baiknya"
"Terima kasih, Ki Panengah. Mungkin pada suatu saat kami
memang memerlukan bantuan Ki Panengah dan Ki Waskita"
"Kami akan melakukan apa yang dapat kami lakukan"
jawab Ki Waskita. Sejenak kemudian, maka Ki Gede Pemanahanpun telah
meninggalkan padepokan di tepi Hutan Jabung itu. Bersama
beberapa orang pengawalnya, Ki Gede memacu kudanya
menuju ke pintu gerbang kota Pajang.
Perjalanan Ki Gede tidak mengalami hambatan apa-apa.
Ketika Ki Gede singgah untuk menemui Ki Tumenggung
Reksapati di barak pasukannya, Ki Tumenggung sudah berada
di barak itu. "Pasukanku sudah siap untuk bergerak. Siang atau malam.
Kapanpun juga. Bahkan seandainya sekarang"
"Terima kasih, Ki Tumenggung" sahut Ki Gede Pemanahan.
"Aku juga sudah menghubungi prajurit dari pasukan
berkuda. Merekapun akan siap kapan saja mereka mendapat
perintah" "Aku harus menemukan persembunyian Harya Wisaka lebih
dahulu" sahut Ki Gede Pemanahan. "Tetapi aku sangat
berterima kasih atas kesigapan pasukan Ki Tumenggung
Reksapati" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami menunggu perintah Ki Gede. Sementara itu, pasukan
berkuda akan meningkatkan perondaan di dalam kota"
"Terima kasih, Ki Tumenggung. Kami akan selalu
berhubungan" Ki Gedepun kemudian meninggalkan Ki Tumenggung
Reksapati dengan kesiagaannya.
Ketika Ki Gede sampai di rumahnya, Ki Lurah Surapada sudah
menunggunya. Namun Ki Lurah itu masih belum membawa
berita yang memberikan petunjuk jejak Harya Wisaka.
"Para petugas sandi telah berada di segala sudut kota, Ki Gede. Tetapi tidak seorang pun yang melihat Harya Wisaka.
Beberapa orang yang dicurigai mempunyai hubungan dengan
Harya Wisaka telah diawasi dengan ketat. Tetapi bayangan
Harya Wisaka itu tidak dapat dilihat oleh para petugas sandi.
Sementara itu, semua jalan keluar, semua pintu gerbang dan
regol-regol butulan dinding kota juga sudah diawasi"
"Kita tidak tergesa-gesa, Ki Lurah. Mungkin Harya Wisaka
bersembunyi di rumah seseorang, sehingga dengan demikian
jejaknya seakan-akan telah hilang. Tetapi tentu saja kita tidak dapat memasuki setiap rumah yang kita curigai untuk
memburu Harya Wisaka. Beberapa orang akan merasa
terganggu, sementara tidak ada bukti apapun yang dapat
membuat orang itu dituduh mempunyai hubungan dengan
Harya Wisaka. Baiklah, Ki Lurah. Tetapi jangan berhenti
berusaha. Kangjeng Sultan telah memerintahkan untuk
menangkap Harya Wisaka hidup atau mati"
"Kami mohon restu, Ki Gede. Tetapi sebenarnyalah dalam
kota ini masih ada beberapa orang yang sebenarnya adalah
pendukung kuat Harya Wisaka, yang bersedia memberikan
perlindungan kepadanya"
"Itulah yang menyulitkan"
"Berita tentang larinya Harya Wisaka tentu tidak akan dapat disembunyikan lagi. Berita itu tentu sudah tersebar sekarang
ini. Karena itu, tidak ada salahnya jika hilangnya Harya Wisaka justru kita beritahukan kepada penghuni kota ini, tetapi
disertai dengan ancaman, siapa yang menyembunyikan dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melindungi Harya Wisaka akan mendapat hukuman yang
sangat berat. Bahkan mungkin hukuman mati"
"Berhati-hatilah" pesan Ki Gede selanjutnya. Sementara itu, Kepada Ki Lurah Surapada, Ki Gede juga memberitahukan
kesepakatan yang telah dibuat di padepokan di pinggir Hutan
Jabung itu. "Kau harus mengawasi bukan saja rumah itu. Tetapi
kemungkinan Harya Wisaka menggerakkan orang-orangnya
yang sempat dihubungi untuk menangkap Pangeran Benawa"
Ki Lurah Surapada mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah,
Ki Gede. Kami akan melakukan tugas kami sebaik-baiknya"
Hari itu memang terasa tegang bagi Ki Gede Pemanahan
dan beberapa orang pemimpin Pajang. Kangjeng Sultan
sendiri lebih banyak dicengkam oleh perasaan kecewanya
karena Sekarsari meninggalkannya justru pada saat jantung
Kangjeng Sultan sedang dibakar oleh gairah yang menyalanyala. Sementara itu, pengamanan di istanapun telah
ditingkatkan. Mungkin saja Harya Wisaka berusaha memasuki
istana dan membunuh Kangjeng Sultan selagi Kangjeng Sultan
sedang tidur. Tetapi jika Harya Wisaka itu datang ke bilik
Kangjeng Sultan yang sedang terjaga, maka Harya Wisaka
tidak akan berhasil membunuhnya, karena Kangjeng Sultan
memiliki ilmu yang sangat tinggi, yang hampir tidak ada
bandingnya. Ketika matahari menjadi semakin rendah di belahan langit
sebelah barat, maka Ki Gedepun menjadi semakin berdebardebar. Malam itu, Paksi akan pulang disertai oleh Pangeran
Benawa. Tentu akan terasa aneh oleh keluarga Ki
Tumenggung Sarpa Biwada. Tetapi mungkin Ki
Tumenggungpun sudah tahu maksud kedatangan Paksi. Dan
bahkan Ki Tumenggungpun mungkin tahu pula, bahwa itu
bukan rencana Paksi sendiri untuk pulang menengok
keluarganya. Dalam pada itu, ketika mataharipun tenggelam, maka Paksi
dan Pangeran Benawa telah bersiap-siap untuk meninggalkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
padepokannya di pinggir Hutan Jabung. Memenuhi
kesepakatan yang telah dibuat, Paksi akan pulang disertai oleh Pangeran Benawa.
"Berhati-hatilah di jalan" pesan Ki Waskita. "Ya, Guru"
jawab Paksi dan Pangeran Benawa serentak. "Kalian tahu,
bahwa Harya Wisaka adalah seorang yang berilmu sangat
tinggi" "Ya, Guru" sahut Paksi.
Keduanyapun kemudian telah minta diri pula kepada Raden
Sutawijaya, kepada Ki Kriyadama dan kepada para cantrik
lainnya serta pemimpin prajurit Pajang yang ada di Hutan
Jabung untuk membantu membangun padepokan itu.
"Apakah tidak memerlukan pengawal?" bertanya pemimpin prajurit yang bertugas di Hutan Jabung itu.
Pangeran Benawa menggeleng. Katanya, "Kami akan
berpacu kencang sekali, sehingga kami hanya memerlukan
waktu yang pendek untuk sampai ke pintu gerbang kota
Pajang" Namun Ki Waskitapun berkata, "Demikian Pangeran
memasuki pintu gerbang kota, maka Pangeran harus menjadi
lebih berhati-hati" Pangeran Benawa mengerutkan dahinya, sementara Ki
Waskitapun berkata selanjutnya, "Kemungkinan terbesar,
Harya Wisaka masih berada di dalam kota"
Sejenak kemudian, kedua orang itupun segera berpacu
meninggalkan Hutan Jabung. Gelapnya malam tidak banyak
mengganggu perjalanan mereka. Ketajaman penglihatan
mereka mampu menembus kegelapan memperhatikan jalan
yang akan mereka lalui. Mereka memang tidak mengalami hambatan di perjalanan
yang tidak terlalu lama itu. Namun seperti pesan Ki Waskita,
demikian mereka memasuki kota yang sudah menjadi sepi,
mereka menjadi semakin berhati-hati.
Keduanya sudah tidak memacu kuda mereka lagi. Berlarilari kecil kedua ekor kuda itu membawa penunggangnya ke
rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Guru memang menghendaki kita sampai di rumahmu
malam hari" berkata Pangeran Benawa.
"Ya. Jika Harya Wisaka memang bersembunyi disana, ia
tentu sudah tidur atau berbincang dengan ayah atau
bersembunyi di dalam bilik. Sehingga kesempatan untuk lari
menjadi sempit" "Mudah-mudahan kita menemukannya"
"Tetapi hamba akan mengalami kesulitan berhadapan
dengan ayah. Hamba justru berharap agar Harya Wisaka tidak
berada di rumahku" "Aku mengerti, Paksi"
Keduanyapun kemudian terdiam. Untuk beberapa saat
mereka tidak berbicara. Malam menjadi semakin dalam. Di langit, bintang
terhampar sampai ke cakrawala. Ada yang besar, ada yang
kecil. Ada yang cahayanya terang berkilat-kilat, ada yang
buram tanpa berkedip. Ketika keduanya sampai di regol halaman, maka
keduanyapun segera meloncat turun. Keduanya menuntun
kuda mereka memasuki regol halaman.
Keduanya berdiri termangu-mangu beberapa saat di
belakang pintu regol yang telah ditutup kembali. Nyala lampu
minyak di pendapa nampak redup seperti biasanya. Semuanya
nampak wajar. Tidak ada sesuatu yang berubah. Tidak pula
terasa adanya kelainan apa-apa.
Paksi menarik nafas panjang. Ia memang berharap, bahwa
Harya Wisaka itu tidak berada di rumahnya.
Beberapa saat kemudian, keduanya telah menuntun
kudanya dan mengikatnya di patok di samping pendapa.
Paksi memandang Pangeran Benawa sekilas. Namun
kemudian Paksipun melangkah ke pintu seketeng. Tetapi pintu
seketeng itu nampaknya diselarak dari dalam, sehingga Paksi
tidak dapat membukanya dari luar.
"Hamba akan mengetuk pintu pringgitan" berkata Paksi.
"Bagaimana dengan pintu seketeng yang lain?" bertanya Pangeran Benawa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Pintu seketeng ini memang selalu diselarak kedua-duanya, Pangeran"
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya,
"Terserahlah kepadamu"
Paksi termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian telah
melangkah naik ke pendapa sambil berdesis, "Marilah,
Pangeran" Paksi dan Pangeran Benawa berdiri dengan ragu-ragu di
depan pintu pringgitan. Namun kemudian Paksipun telah
mengetuk pintu itu perlahan-lahan.
Tetapi rumah itu terasa sangat sepi. Tidak ada yang
menyahut ketukan pintu Paksi, sehingga Paksipun mengetuk
pintu semakin keras. Baru kemudian terdengar suara di ruang dalam. Berbisikbisik. Namun kemudian terdengar seseorang bertanya, "Siapa di luar?"
Paksi mengenal suara itu. Suara ayahnya.
Dengan agak ragu Paksipun menyahut, "Aku Paksi, Ayah"
"Paksi?" terdengar suara perempuan.
Paksipun mengenalnya dengan baik. Agaknya ibunyapun
telah terbangun oleh ketukan pintu itu. "Ya, Ibu"
Namun terdengar suara ayahnya pula, "Jangan dibuka.
Malam telah larut" "Tetapi itu suara Paksi"
"Untuk apa ia pulang malam-malam begini?"
"Bukankah kita dapat bertanya kepadanya?"
"Aku tidak dapat menerima kedatangannya malam-malam
begini" "Tetapi ia pulang ke rumahnya sendiri"
"Aku tidak peduli. Ia harus pergi"
"Kakang" "Jangan cengeng. Anak ini sudah tidak mengenal lagi
unggah-ungguh. Hampir tengah malam enak saja ia datang"
"Ia datang ke rumahnya sendiri, Kakang. Apakah
salahnya?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak" lalu terdengar suara ayah Paksi mengeras,
"Pergilah. Datanglah esok sesudah matahari terbit. Atau
tunggulah di pendapa. Aku tidak akan membuka pintu"
"Aku Paksi, Ayah. Kenapa aku tidak pantas untuk pulang
malam ini?" Terdengar suara ayah Paksi di dalam, "Jangan buka pintu"
"Aku akan membuka pintu"
"Tidak" Ketika Paksi memasuki regol halaman rumah itu, ia masih
berharap bahwa Harya Wisaka tidak berada di rumahnya.
Tetapi sikap ayahnya itu sangat mencurigakan baginya. Ia
bahkan menduga bahwa Harya Wisaka benar-benar berada di
rumahnya sehingga ayahnya tidak dapat menerimanya.
Paksi adalah seorang anak yang patuh sejak kanak-kanak.
Perintah ayahnya selalu dilakukannya. Tetapi sejak ayahnya
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencoba memaksanya untuk berguru kepada sebuah
perguruan yang diwakili oleh Ki Semburwangi, Paksi
bergejolak. Sikap ayahnya memang sangat menyakitkan.
Kenapa ia tidak boleh masuk ke dalam rumahnya sendiri
hanya karena ia datang terlalu malam. Padahal ayahnya tahu,
bahwa ia berada di sebuah padepokan di pinggir Hutan
Jabung. Dalam ketegangan itu, Pangeran Benawa telah memberi
isyarat kepada Paksi untuk mengiakan saja perintah ayahnya,
sementara Pangeran Benawa akan pergi ke belakang rumah.
Jika Harya Wisaka ada di rumah itu, ia tentu akan pergi lewat
pintu belakang. Agaknya Paksi tanggap akan isyarat Pangeran Benawa.
Karena itu, maka Paksipun kemudian berkata, "Baiklah, Ayah.
Jika aku harus menunggu sampai esok, biarlah aku menunggu
di pendapa" "Kasihan anak itu" terdengar suara ibunya.
"Anak itu sudah tidak mau mendengarkan kata-kataku lagi.
Aku membencinya" "Ia patuh kepadamu. Ia melakukan semua perintahmu.
Bahkan pergi mencari sesuatu yang ia tidak tahu. Bahkan ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dapat berhasil. Ia pulang dengan membawa benda yang kau
inginkan" "Tetapi anak itu membawa sial"
"Tidak. Ia anak baik"
"Sudahlah, Ibu" berkata Paksi dari luar pintu, "aku akan tidur disini. Di pringgitan terdapat sehelai tikar pandan yang tebal. Di padepokan akupun tidur di sembarang tempat"
Paksi mendengar isak tangis di ruang dalam. Ia tahu ibunya
tentu menangis. Tetapi Paksi itupun kemudian duduk di atas
tikar pandan di pringgitan.
Sementara itu Pangeran Benawa telah pergi ke halaman
belakang. Ia tidak meloncati seketeng dan masuk ke
longkangan. Tetapi gandok kanan.
Sejenak kemudian, suasanapun menjadi tenang. Tidak
terdengar suara apa-apa lagi. Namun dengan sabar Pangeran
Benawa berjongkok di antara pepohonan perdu di halaman
belakang. Dalam pada itu, Paksi terkejut ketika tiba-tiba saja ia
mendengar suara ayahnya bertanya dari dalam, "Paksi,
apakah kau masih berada di pringgitan?"
Paksi memang curiga terhadap pertanyaan itu. Namun
iapun menyahut, "Masih, Ayah. Aku masih berada di
pringgitan" Ayahnyapun terdiam. Paksi tidak mendengar pertanyaan
apa-apa lagi. Tangis ibunyapun tidak didengarnya lagi. Namun
Paksi sempat bertanya di dalam hatinya, apakah adik-adiknya
tidak terbangun oleh suara-suara gaduh di ruang dalam itu.
Pertanyaan ayahnya itu agaknya sekedar untuk
mengetahui, apakah Paksi masih berada di pringgitan atau
tidak. Pertanyaan itu tentu bukannya tanpa maksud. Tetapi
Paksi justru tidak beringsut dari tempatnya. Ia masih saja
duduk bersandar dinding papan yang memisahkan pringgitan
dan ruang dalam. Telinga Paksi yang tajam telah mendengar
desir langkah kaki di belakang dinding. Ia tahu seseorang
berdiri di belakang dinding itu. Karena itu, Paksi justru sengaja
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memperdengarkan tarikan nafasnya panjang-panjang seperti
orang kelelahan. "Mudah-mudahan kuda-kuda itu tidak gaduh, sehingga
orang yang berada di dalam tidak tahu, bahwa ada dua ekor
kuda di halaman" Sejenak kemudian, Paksipun mendengar langkah menjauh
di belakang dinding. Paksipun tahu bahwa orang yang
meyakinkan kehadirannya di pendapa itu telah beranjak pergi.
Namun dengan demikian, Paksipun justru bersiap
menghadapi segala kemungkinan. Kecurigaannya justru
menjadi semakin besar, bahwa ada seseorang yang
bersembunyi di rumahnya, yang tidak boleh diketahuinya.
Kemungkinan terbesar, orang itu adalah Harya Wisaka.
Beberapa saat Paksi menunggu sebagaimana Pangeran
Benawa juga menunggu. Hampir saja Pangeran Benawa
kehabisan kesabaran. Namun tiba-tiba saja ia melihat pintu
dapur yang menghadap ke halaman belakang terbuka.
Seorang laki-laki dengan hati-hati melangkah keluar pintu.
Laki-laki itu menebarkan pandangan matanya ke
sekelilingnya. Namun ia tidak melihat sesuatu.
"Aku minta diri" desis laki-laki itu kepada seseorang yang masih berdiri di dapur.
"Berhati-hatilah. Aku akan mengurus kelinci-kelinci itu. Ia tidak akan pernah keluar lagi dari rumah ini"
"Besok biarlah dua orangku menjemputnya" berkata lakilaki itu. Pangeran Benawa segera mengenal laki-laki itu. Orang
itulah Harya Wisaka yang bersembunyi di rumah Ki
Tumenggung Sarpa Biwada. Karena itu, maka Pangeran Benawapun segera
mempersiapkan diri. Ia tidak membawa senjata yang paling
sesuai dengan tangannya, tombak pendeknya. Tetapi ia
membawa sepasang pisau belati yang dibawanya
mengembara. Jika diperlukan, maka senjata itu akan dapat
membantunya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Beberapa saat Pangeran Benawa menunggu. Jika Harya
Wisaka meninggalkan pintu dapur itu, maka Pangeran Benawa
Pendekar Pendekar Negeri Tayli 7 Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Riwayat Lie Bouw Pek 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama