Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Rase Terbang 4

Kisah Si Rase Terbang Soat-san Hui-hauw Karya Chin Yung Bagian 4


Aku terus memperhatikan setiap gerik-geriknya, dan hari ini akhirnya aku berhasil juga
menemukan sesuatu.' Njonya Ouw tak lekas-lekas menunjukkan kelemahan Biauw Tayhiap yang
dilihatnya, sebaliknya ia menanyakan kepada suaminya, gerak-tipu atau serangan apa dari ilmu
silat Biauw Tayhiap yang dianggap paling lihay oleh Ouw It To."
"Ouw It To mengatakan, bahwa hal itu sangat sukar, karena banyaknya serangan-serangan
yang lihay, ia menyebutkan berapa macam dan antaranya terdapat satu yang lazim disebut 'Te
Liauw Kiam Pek Ho Su Sit'. Kata nyonya Ouw, 'Justeru pada gerak serangan yang kau sebutkan
paling akhir itu kelemahannya.' Keterangan ini lebih mencengangkan lagi bagi Ouw It To, yang
telah mengalami sendiri, betapa dahsyatnya, betapa sempurna serangan tersebut. Menurut
pendapatnya, justeru gerak serangan itu yang paling tak memungkinkan musuh merebut
kemenangan. Serangannya halus tetapi sangat bertenaga dan dapat berubah secepat kilat,
bahkan, bila perlu, bisa segera berubah menjadi gerakan pembelaan diri yang tak mungkin
ditembuskan." "Dengan tertawa nyonya Ouw menjelaskan, 'Memang, jika tidak diperhatikan dengan sangat
seksama, apalagi dilihat dari depan, tak mungkin terlihat cacadnya, karena ilmu silatnya sendiri
memang tak bercacad. Tetapi aku telah melihat, bahwa setiap kali akan menggunakan gerak tipu
itu, punggungnya bergerak sedikit, bagaikan ia merasa gatal, dan gerak-geriknya jadi agak
terganggu, tak selincah biasanya.' Lagi-lagi Ouw It To kurang percaya. Isterinya tak menghiraukan
sikap ragu itu, dan menyatakan, bahwa hari itu ia telah dua kali melihat kelemahan tersebut.
Dikatakannya selanjutnya, bahwa keesokan harinya, bila saja ia melihat lagi Kim Bian Hud'
memperlihatkan kelemahannya, ia akan batuk-batuk, dan ia menyuruh Ouw It To segera
menggunakan kesempatan itu untuk mendesak dengan kerasnya. 'Kujamin, bahwa ia akan
melontarkan pedangnya dan menyerah kalah, jika pada kesempatan demikian kau menyerangnya
dengan pukulan 'Pat Hong Cong To,' kata nyonya Ouw sebagai penutup uraiannya."
"Ouw It To jadi sangat girang. 'Tipumu bagus sekali!' ia memuji. Sesudah mendengar
pembicaraan itu, sebenarnya aku harus memberitahukan 'Kim Bian Hud' supaya ia bisa berjagajaga.
Tapi mukaku masih sakit, akibat ditinju olehnya. Dia memang pantas mendapat kekalahan,
pikirku." "Pertandingan yang dilakukan pada keesokan harinya adalah pertandingan hari ke-lima.
Bengkak pada mukaku masih belum hilang. Hari itu pun aku menonton pertandingan dengan
berdiri di pinggiran. Di waktu pagi, Ouw Hujin tidak batuk-batuk, karena pada pagi itu 'Kim Bian
Hud' tidak mempergunakan pukulan tersebut. Di waktu makan tengah-hari, selagi menuang arak
di cawan suaminya, nyonya itu memberi isyarat dengan kedipan mata dan aku mengerti, bahwa
dengan isyarat itu, ia ingin menganjurkan suaminya memancing 'Kim Bian Hud', supaya dia
mengeluarkan pukulan itu. Ouw It To menggeleng-gelengkan kepalanya, seperti mau
mengatakan, bahwa ia merasa tidak tega. Melihat jawaban suaminya, Ouw Hujin menunjuk
putera mereka dan kemudian merobohkan kursi yang diduduki anak itu, sehingga dia jatuh dan
menangis keras. Aku dapat menebak maksud nyonya itu. Ia mengunjuk kepada suaminya, bahwa
jika sang suami binasa, anak itu akan tidak punya ayah lagi. Mendengar tangisan putra mereka,
barulah perlahan-lahan Ouw It To mengangguk.
"Pada lohornya, mereka Im-itempur pula. Sesudah lewat beberapa puluh jurus, Ouw It To
menyerang hebat. Tiba-tiba terdengar suara batuk-batuknya Ouw Hujin. Alis Ouw It To berkerut,
sebaliknya dari maju, ia mundur. Memang benar, pada detik itu, 'Kim Bian Hud' telah
menggunakan pukulan 'Te Liauw Kiam Pek Ho Su Sit'. Sebenarnya aku tidak mengenal pukulan
itu. Tapi waktu semalam mendengari pembicaraan antara kedua suami-isteri itu, aku telah melihat
Ouw Hujin menjalankan jurus tersebut beberapa kali. 'Mata nyonya itu sungguh Iihay,' pikirku.
Kalau Ouw It To menyerang menurut siasat yang sudah didamaikan, dia pasti sudah memperoleh
kemenangan. Tapi pada saat terakhir, ia mengurungkan niatannya.
Mungkin sekali ia menghargai 'Kim Bian Hud' dan merasa tidak tega untuk mencelakainya. Juga
mungkin ia merasa, bahwa dengan dibantu orang, biarpun menang, kemenangan itu tidak boleh
dibuat bangga. Mendadak kuingat pesan Ouw It To kepada isterinya, supaya kalau putera mereka
sudah besar, sang isteri harus mendidik agar putera itu mempunyai hati yang keras dan tidak
seperti ayahnya yang pada detik terakhir, sering merasa tak tega untuk turun tangan.
"Beberapa saat kemudian, anak itu sekonyong-konyong menangis keras. Kutahu, bahwa dia
menangis karena dicubit lengannya oleh sang ibu. Di antara suara tangisan dan suara beradunya
senjata, mendadak terdengar pula suara batuk-batuknya Ouw Hujin. Hampir berbareng, Ouw It To
merangsek dengan jurus Pat Hong Cong To. Dengan sekali berkelebat, goloknya sudah mengunci
gerakan pedang 'Kim Bian Hud'.
"Biauw Jin Hong berada dalam kedudukan berbahaya. Pukulan 'Te Liauw Kiam Pek Ho Su Sit'
baru keluar separuh. Menurut jurus itu, pedangnya yang dicekel di tangan kanan menikam miring,
dengan tangan kirinya dikebaskan, seperti gerakan burung ho yang tengah mementang kedua
sajapnya. Tapi Ouw It To mendahului. Sebelum kedua tangan 'Kim Bian Hud' di pentang, ia sudah
membacok ke lengan kiri dan lengan kanannya. Dalam keadaan begitu, bukankah kedua lengan
Kim Bian Hud' pasti akan menjadi korban golok"
"Tapi ilmu pedang 'Kim Bian Hud' sudah dilatih sampai sesempurna-sempurnanya. Pada detik
yang sangat berbahaya, kedua lengannya mendadak dibengkokkan dan ujung pedang berbalik
menyambar ke dadanya sendiri. Ouw It To terkesiap, karena ia menduga, bahwa 'Kim Bian Hud'
mau membunuh diri sendiri sebab kalah bertanding. 'Biauw-heng!'teriaknya.Ia tak tahu, bahwa
pada hari pertama, 'Kim Bian Hud' sudah mematahkan ujung pedang, sehingga menjadi tumpul.
Pada waktu ujung pedang menyambar dadanya, ia mengerahkan lweekang, sehingga pedang itu
terpental balik tanpa melukainya. Karena gerakan itu sangat luar biasa dan juga sebab Ouw It To
justeru lagi mau membujuk supaya ia tidak membunuh diri, maka waktu pedang itu berbalik
menghantam dirinya, Ouw It To sama sekali tidak bersiap sedia dan tahu-tahu ujung pedang
sudah menyentuh 'Sin Cong Hiat' di dadanya.
'"Sin Cong Hiat' adalah salah satu hiat yang terpenting dalam tubuh manusia. Begitu tertotok,
badan Ouw It To lemas dan ia roboh terguling. Cepat-cepat 'Kim Bian Hud' membangunkannya
seraya berkata, 'MaafV Ouw It To tertawa. 'Kiam hoat Biauw heng sungguh lihay dan aku merasa
takluk,' katanya. 'Kalau bukan lantaran Ouw heng menyayang aku, jurus itu pasti tak akan
berhasil,' kata 'Kim Bian Hud'. Mereka menghampiri meja dan minum tiga cawan arak. Sesudah itu
Ouw It To tertawa terbahak-bahak. Sekonyong-konyong ia mengangkat goloknya dan menggorok
lehernya dan ia mati sambil berduduk.
"Aku jadi seperti orang kesima. Aku mengawasi Ouw Hujin yang paras mukanya tenang-tenang
saja. 'Biauw Tayhiap, tunggulah sebentar,' katanya. Aku ingin menyusui anakku sekali lagi.'
Sehabis berkata begitu, ia masuk ke dalam kamar. Kira-kira semakanan nasi, ia keluar pula
dengan mendukung puteranya yang lalu dicium keras-keras. 'Biauw Tayhiap, dia sudah kenyang,'
katanya sambil tertawa. Sambil mengangsurkan anak itu kepada 'Kim Bian Hud', ia berkata pula,
'Sebenarnya aku telah berjanji pada suamiku untuk memelihara anak ini sampai menjadi orang.
Tapi selama lima hari ini, aku mendapat kenyataan, bahwa Biauw Tayhiap seorang kesatria yang
luhur pribudinya. Sesudah kau meluluskan untuk memelihara anak ini, aku dapat membebaskan
diri dari tugas yang sangat berat, dari penderitaan yang harus dipikul selama dua puluh tahun.'
"Sehabis berkata begitu, ia menyoja beberapa kali kepada 'Kim Bian Hud'. Tiba-tiba tangannya
menyambar golok Ouw It To dan lalu menggorok lehernya. Ia lalu duduk di kursi di samping
mayat suaminya dan mencekel tangan suami itu erat-erat. Beberapa saat kemudian, tubuhnya
terkulai, bersandar pada tubuh sang suami dan tidak berkutik lagi.
"Aku tak tega untuk melihat terus pemandangan yang menyayatkan hati itu. Aku memutar
kepala ke jurusan lain. Sementara itu, bagaikan patung Biauw Tayhiap mendukung putera Ouw It
To yang sedang pulas nyenyak dan yang pada bibirnya tersungging senyuman."
Demikian penuturan Po Si.
Seluruh ruangan sunyi senyap. Jago-jago yang hadir di situ adalah orang-orang yang berhati
keras, tapi mendengar ceritera tentang kebinasaan suami-isteri Ouw It To, mereka merasa sangat
terharu. Sekonyong-konyong kesunyian dipecahkan oleh suara wanita, "Po Si Taysu, mengapa
ceriteramu agak berbeda dengan apa yang didengar olehku?"
Semua orang mengawasi ke arah wanita itu, yang bukan lain daripada Biauw Yok Lan. Waktu
Po Si berbicara, perhatian segenap hadirin ditujukan kepadanya, sehingga masuknya si nona ke
dalam ruangan itu tidak diketahui oleh siapa pun jua.
"Mungkin sekali, karena sudah lama, ada beberapa bagian yang sudah tidak begitu diingat
loolap," kata Po Si. "Bagaimana ceriteranya ayah nona?"
"Sebagian besar dari penuturan ayah cocok dengan apa yang dikatakan Taysu," kata si nona.
"Hanya pada bagian meninggalnya Ouw pehpeh dan Ouw Pehbo yang tidak sama."
Paras muka Po Si lantas saja berubah. "Hm!" ia mengeluarkan suara di hidung, tapi tidak
menanya terlebih jelas. "Biauw Kouwnio, bagaimana ceritera ayahmu?" tanya Tian Ccng Bocn.
Nona Biauw tidak menjawab. Ia mengeluarkan sebuah kotak sulam dan mengambil sebatang
hio wangi yang lalu disulut dan ditancap di hiolo. Sesaat kemudian semua orang mengendus bau
yang sangat harum. Dengan paras muka angker, Biauw Yok Lan berkata, "Semenjak aku kecil, saban kali bertemu
dengan musim dingin, ayah selalu berduka. Biarpun aku menggunakan rupa-rupa cara untuk
menggembirakan hatinya, ia tetap bersedih. Selama beberapa hari menjelang tahun baru, ayah
selalu berdiam dalam sebuah kamar di mana dipuja dua buah Sin Wi (papan nama dari orang yang
sudah meninggal dunia). Pada Sin Wi yang satu tertulis, "Leng Wi (tempat kedudukan yang
angker) dari saudara angkatku Ouw It To Tayhiap," sedang pada Sin Wi yang lain tertulis, "Leng
Wi dari giso Ouw Hujin." Di samping meja sembahyang itu bersandar sebilah golok yang sudah
berkarat. "Pada hari-hari itu, ayah selalu memerintahkan tukang masak memasak macam-macam sayur
untuk sembahyangan dan waktu bersembahyang ia menuang puluhan cawan arak. Mulai tanggal
dua puluh dua bulan dua belas, terus lima hari beruntun, setiap malam ia minum puluhan cawan
arak itu yang diatur di samping meja sembahyang. Sehabis minum, ia sering menangis sedih.
"Aku sering menanya, siapakah Ouw pehpeh itu" Tapi ayah selalu menggelengkan kepala. Pada
tahun itu, ayah mengatakan, bahwa usiaku sudah cukup dewasa dan ia lalu menceriterakan hal
pibu dengan Ouw pehpeh. 'Ayah memberitahu, bahwa Ouw pehpeh telah membinasakan ayahnya Tian sioksiok. Karena
dalam menghadapi orang luar, keluarga Biauw, Hoan dan Tian selalu bersatu-padu, maka,
walaupun memandang rendah sepak terjangnya Tian sioksiok, tapi demi persahabatan dalam
dunia Kang Ouw, ayah terpaksa mencari Ouw pehpeh untuk diajak pibu. Jalan pertandingan itu
telah diceriterakan cukup terang oleh Po Si Taysu.
"Dengan beruntun-runtun ayah dan Ouw pehpeh sudah bertanding empat hari lamanya. Makin
lama bertempur, mereka makin saling mengindahkan dan masing-masing pihak sungkan turunkan
tangan jahat. Pada hari ke-lima, karena melihat kelemahan ayah pada punggungnya, Ouw pehbo
memberi isyarat dengan batuk-batuk dan Ouw pehpeh segera mendesak dengan menggunakan
jurus 'Pat Hong Cong To'. Jurus itu telah berhasil mengalahkan ayah. Menurut katanya Po Si
Taysu, ayah berhasil merebut kemenangan dengan menggunakan pukulan yang luar biasa. Tapi
menurut ayah, kejadiannya bukan begitu. Sepanjang keterangan ayah, begitu lekas Ouw pehpeh
merangsek dengan 'Pat Hong Cong To', ia sudah tidak berdaya lagi dan segera meramkan mata
untuk menunggu kebinasaan. Tapi tiba-tiba Ouw pehpeh melompat mundur. 'Biauw-heng"
katanya, 'ada suatu hal yang tidak dimengerti olehku.' Ayah bersenyum dan balas menanya, Aku
sudah kalah, kau mau tanya apa lagi"'
"Kata Ouw pehpeh, Aku sudah melayani kiam hoatmu dalam ribuan jurus dan sedikit pun aku
tidak menemui bagian yang lemah. Tapi mengapa sebelum kau menjalankan jurus 'Te Liauw Kiam
Pek Ho Su Sit', punggungmu bergerak dan agak menaik, sehingga isteriku dapat melihat
kelemahanmu"' Ayah menghela napas dan menjawab, 'Waktu mengajar ilmu silat pedang
kepadaku, sianhu (mendiang ayahku) berlaku sangat keras terhadapku. Waktu aku berusia sebelas
tahun, selagi ayah mengajar jurus itu, tiba-tiba punggungku digigit kutu busuk. Punggungku gatal,
tapi aku tidak berani menggaruknya. Jalan satu-satunya ialah menggerak-gerakkan otot-otot di
punggungku untuk coba mengusir kutu itu. Tapi makin lama rasa gatal jadi makin hebat. Beberapa
saat kemudian, sianhu telah melihat gerakan-gerakanku yang aneh dan ia menganggap, bahwa
aku tidak bersungguh hati. Dengan bengis, ia memukul aku. Mulai waktu itu, setiap kali mau
menggunakan jurus 'Te Liauw Kiam Pek Ho Su Sit', aku merasa punggungku gatal dan
menggerak-gerakkannya. Mata hujin sungguh awas."'
"Ouw pehpeh tertawa. 'Dengan mendapat bantuan isteriku, tidak boleh dianggap aku
memperoleh kemenangan,' katanya. 'Sambutlah!' Seraya berkata begitu, ia melontarkan goloknya
kepada ayah. 'Ayah menyambuti golok itu dengan perasaan heran, karena ia tak tahu apa maksudnya Ouw
pehpeh. Seraya mengambil pedang ayah, Ouw pehpeh berkata, 'Biauw heng, setelah bertempur
empat hari, kau dan aku sudah saling mengenal ilmu silat masing-masing. Begini saja, kita
bertanding lagi dengan aku menggunakan Biauw Kee Kiam Hoat (ilmu pedang keluarga BiauwJ
dan kau menggunakan Ouw Kee To Hoat (ilmu golok keluarga Ouw). Dengan demikian, tak perduli
siapa yang menang, siapa kalah, nama tidak mendapat kerugian.'
"Ayah lantas saja mengerti maksudnya. Sedari seratus tahun lebih yang lalu, semenjak
beberapa turunan, keluarga Biauw dan keluarga Ouw telah bermusuhan. Sebelum bertempur,
ayah dan Ouw pehpeh belum pernah mengenal satu sama lain. Antara mereka pribadi sebenarnya
tidak ada permusuhan apa pun jua. Kakekku telah meninggal dunia di lain tempat dan ayah Tian
Kui Long sioksiok meninggal dunia dengan mendadak. Menurut desas-desus dalam kalangan Kang
Ouw, mereka berdua telah dibinasakan oleh Ouw It To. Tapi ayah masih tetap tidak percaya. Kali
ini, atas ajakan keluarga Hoan dan Tian, ayah pergi ke Congciu untuk mencegat dan menantang
Ouw It To. Tujuan pencegatan itu adalah untuk membalas sakit hati orang tua. Tapi di samping
tujuan itu, ayah juga telah mengambil keputusan untuk menanyakan benar-tidaknya desas-desus
kepada Ouw pehpeh sendiri.
"Belakangan,ternyata memang benar, bahwa kakekku dan Tian kongkong telah dibinasakan
oleh Ouw pehpeh. Meskipun ayah menyayang Ouw pehpeh sebagai seorang gagah yang lurusbersih,
sakit hati orang tua tentu saja tidak bisa tidak dibalas. Tapi ayah pun tidak ingin
permusuhan antara keempat keluarga berlarut-larut dan terus menyeret-nyeret anak-cucu. Maka
itu, jika mungkin, ia ingin sekali membereskan permusuhan yang sudah berjalan lebih seabad itu.
Maka itulah, usul Ouw pehpeh untuk saling menukar senjata disambut dengan girang oleh ayah,
karena usul itu cocok dengan keinginan hatinya. Dengan penukaran senjata itu, andaikata ayah
yang menang, maka ia mengalahkan Biauw Kee Kiam Hoat dengan Ouw Kee To Hoat. Kalau Ouw
pehpeh yang menang, ia mengalahkan Ouw Kee To Hoat dengan Biauw Kee Kiam Hoat. Dengan
demikian, menang-kalah hanya mengenai pribadi dan tidak bersangkut dengan ilmu silat kedua
keluarga. "Sesudah saling menukar senjata, mereka lantas saja bertempur lagi. Pertandingan hari itu
berbeda dengan empat hari yang lalu, sebab biarpun kedua-duanya ahli silat kelas utama, senjata
mereka bukan yang biasa digunakan dan mereka pun belum dapat menyelami jurus-jurus yang
harus digunakan. Sungguh tak mudah untuk mereka berkelahi dengan menggunakan ilmu silat
pihak lawan yang baru didapat selama berlangsungnya pertandingan dalam empat hari. Menurut
katanya ayah, pertempuran itu adalah yang terhebat dalam pengalamannya. Ouw pehpeh
kelihatannya seperti seorang kasar, tapi sebenarnya ia seorang yang cerdas luar biasa. Ia bersilat
dengan Biauw Kee Kiam Hoat secara lincah sekali, seolah-olah ia sudah mempelajarinya selama
beberapa tahun. Otak ayah tidak secerdas Ouw pehpeh. Untung juga, ia sudah mahir dalam
menggunakan delapan belas rupa senjata dan di waktu kecil, ia pernah belajar ilmu silat golok.
Maka itu, meskipun baru berkenalan dengan Ouw Kee To Hoat, ia masih dapat melayani Ouw
pehpeh secara berimbang."
"Kira-kira tengah-hari mereka mulai menggunakan pukulan-pukulan yang berat dan gerakgerakan
jurus-jurus itu makin lama jadi makin perlahan. 'Biauw-heng,' tiba-tiba Ouw pehpeh
berkata, 'Pit Bun Tiat San To masih terlalu cepat, sehingga kurang bertenaga.' Ayah bersenyum
dan berkata, 'Terima kasih atas petunjuk itu.' Mereka bertempur terus dengan memusatkan
seluruh perhatian dan menggunakan Seantero kepandaian. Tapi jika jurus salah sepihak ada yang
kurang tepat, mereka saling memberi petunjuk dengan setulus hati."
"Ratusan jurus kembali lewat. Makin lama mereka makin paham akan ilmu silat yang asing itu
dan gerak-gerakan mereka jadi makin licin. Melihat kelihayan Ouw pehpeh, ayah jadi berkuatir,
karena ia merasa, bahwa jika pertandingan berlangsung terus dalam tempo lama, mungkin sekali
ia akan dijatuhkan. Maka itu, ia lantas saja mengambil keputusan untuk mengubah siasat.
Beberapa saat kemudian, ia menyerang dengan jurus 'Houw In Ki Lok' (Awan Turun Naik).
Menurut Ouw Kee To Hoat, dalam jurus itu, lebih dahulu golok menyabet ke bawah dan kemudian
baru ke atas. Tapi ayah sengaja mengubahnya, yaitu, lebih dahulu ia menyabet ke atas dan
kemudian baru ke bawah."
"Ouw pehpeh terkejut. Baru saja ia berteriak, 'Salah!' ayah sudah membentak, Awas golok!' dan
goloknya menyabet ke atas. Menurut Ouw Kee To Hoat, sabetan pertama itu harus ke bawah.
Kalau ayah berhadapan dengan lain lawan, lawan itu mungkin akan dapat mengelakkan
serangannya. Tapi Ouw pehpeh yang memang sudah biasa menggunakan Ouw Kee To Hoat,
sama-sekali tidak pernah menduga, bahwa jurus itu diubah jalannya. Ia gugup dan golok ayah
sudah menggores lengan kirinya!"
"Semua penonton mengeluarkan seruan kaget. Bagaikan kilat Ouw pehpeh menendang dan
ayah terguling di tanah, tak bisa bangun lagi. Ternyata, titik Keng Bun Hiat, di pinggangnya, sudah
tertendang. Hoan Pangcu, Tian siangkong dan yang lain-lain memburu untuk menolong. Ouw
pehpeh melemparkan pedangnya, kedua tangannya bekerja, melontarkan orang-orang itu yang
mau coba mendekati ayah. Sesudah itu, ia membangunkan ayah dan membuka jalan darah yang
tertotok. 'Biauw-heng,' katanya sambil tertawa, 'jurus gubahanmu sungguh lihay. Tapi dalam
setiap jurus dari Ouw Kee To Hoat mengandung jurus susulan, sedang dalam jurus gubahanmu
tidak terdapat pukulan susulan itu. Sesudah kau menyabet dua kali, pada pinggangmu terbuka
lowongan.'" 'Ayah tidak bisa menjawab, karena pinggangnya sangat sakit. 'Kalau kau tidak menaruh belas
kasihan, lengan kiriku tentu sudah putus,' kata pula Ouw pehpeh. 'Hasil pertandingan pada hari ini
dapat dikatakan seri. Pergilah mengaso, besok kita bertanding lagi.' Sambil menahan sakit, ayah
berkata, 'Ouw-heng, memang benar dalam bacokan itu, aku sudah berlaku agak sungkan. Tapi,
kau juga menaruh belas kasihan. Jika tidak, tendanganmu itu tentu sudah mengambil jiwaku. Ouw
heng, dengan melihat cara-caramu, tak bisa jadi kau sudah membinasakan ayahku secara
menggelap. Katakanlah dengan sesungguhnya, Cara bagaimana ayahku mati"' Pada paras muka
Ouw pehpeh tiba-tiba terlukis perasaan heran. 'Bukankah aku sudah memberitahukan kau secara
terang-terangan"' katanya. 'Jika kau tidak percaya dan mau meneruskan pertempuran, aku tidak
bisa berbuat lain daripada mengiring kemauanmu.'"
"Ayah terkejut. 'Kau sudah memberitahukan kepadaku"' ia menegas. 'Lagi kapan"'Sekonyongkonyong
Ouw pehpeh memutar badan dan sambil menuding salah seorang, ia berkata dengan
suara terputus-putus, 'Kau ... kau ...!' la hanya dapat mengeluarkan dua perkataan 'kau'. Sesudah
itu, kedua lututnya lemas dan Ia roboh terguling. Hati ayah inencelos. Cepat-cepat ia
membangunkannya. Muka Ouw pehpeh berubah pucat. 'Bagus .! Bagus ... kau ...,' katanya dan .
kepalanya terkulai, ruhnya berpulang ke alam baka."
"Bukan main kagetnya ayah. Seorang yang begitu gagah dan begitu kuat badannya, tak
mungkin binasa karena luka yang begitu kecil. Sambil memeluk badan Ouw pehpeh, ayah
memanggil-manggil, 'Ouw heng ...! Ouw heng!' Perlahan-lahan pada muka Ouw pehpeh muncul


Kisah Si Rase Terbang Soat-san Hui-hauw Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sinar ungu dan ayah lantas saja tahu, bahwa ia mati karena racun yang sangat hebat. Cepat-cepat
ayah menggulung tangan baju Ouw pehpeh. Ternyata, luka itu sudah mengeluarkan darah hitam
dan lengannya bengkak hebat. Ouw pehbo kaget dan duka. Ia melemparkan puteranya yang
sedang didukung, mengambil golok yang tadi digunakan ayah dan menelitinya. Ayah tahu, bahwa
pada golok itu sudah ditaruh racun."
"Melihat ayah berdiri termenung tanpa mengeluarkan sepatah kata, Ouw pehbo berkata dengan
suara perlahan, 'Biauw Tayhiap, golok itu dipinjam dari salah seorang kawanmu. Suamiku tak tahu
golok ini beracun dan kau pun tentu tak tahu. Kalau tahu, kalian berdua tentu tak sudi
menggunakan senjata itu. Ini memang sudah nasib, kita tak bisa menyalahkan siapapun jua.
Sebenarnya aku sudah berjanji dengan suamiku untuk memelihara anak kita sampai menjadi
orang. Tapi dalam lima hari ini, aku mendapat kenyataan, bahwa Biauw Tayhiap adalah seorang
kesatria, maka sesudah kau menyanggupi untuk memelihara anak itu, aku boleh membebaskan
diri dari tugasku dan boleh tak usah bercapai-lelah selama duapuluh tahun.' Sehabis berkata
begitu, ia menggorok lehernya sendiri dengan golok itu dan rochnya mengikut sang suami
berpulang ke alam baka."
"Itulah ceritera ayah yang telah dituturkan kepadaku. Tapi penuturan itu sangat berbeda
dengan penuturan Po Si Taysu. Biarpun sudah lama dan orang tak dapat ingat seluruhnya, tapi
perbedaannya tidak mungkin begitu besar. Apakah sebabnya?"
Po Si menggelengkan kepala. "Pada waktu itu ayahmu sedang bertempur dan tengah
memusatkan seluruh perhatiannya dalam pertandingan itu," katanya. "Memang mungkin,
penglihatannya tidak begitu tegas seperti orang yang menonton."
Biauw Yok Lan hanya mengeluarkan suara "hm," ia segera menunduk dan tidak mengatakan
suatu apa lagi. Sekonyong-konyong terdengar suara seorang, "Ceritera kalian berdua dan tidak bersamaan
sebab ada seorang yang sengaja berjusta."
Semua orang kaget dan mengawasi ke arah suara itu. Ternyata, yang bicara adalah seorang
pelayan yang pada mukanya terdapat tanda bekas bacokan golok. Po Si dan Biauw Yok Lan adalah
tamu, maka, walaupun pelayan itu kurang ajar, mereka merasa sungkan untuk segera mengunjuk
kegusaran. Di antara orang-orang itu, Co Hun Ki-lah yang paling kasar dan semberono. Dialah
yang membentak, "Siapa yang berjusta?"
"Siauwjin (aku yang rendah) seorang yang sangat rendah, siauwjin tidak berani bicara,"
jawabnya. "Kalau ceriteraku tidak benar, kau boleh bicara," kata nona Biauw.
"Kejadian yang tadi dituturkan oleh Taysu dan Kouwnio telah disaksikan olehku sendiri,"
katanya. "Kalau kalian ingin mendengar penuturanku, siauwjin bersedia untuk bicara." Tiba-tiba Po
Si berbangkit. "Kau menyaksikan dengan matamu sendiri?" bentaknya.
"Siapa kau?" "Siauwjin mengenali Taysu, tapi Taysu tidak mengenali siauwjin," jawabnya.
Paras muka Po Si berubah pucat. "Siapa kau?" bentaknya pula.
Sebaliknya daripada menjawab, pelayan itu mengawasi nona Biauw dan berkata, "Kouwnio,
siauwjin kuatir, bahwa penuturan yang ingin diberikan oleh siauwjin tak bisa dituturkan
seluruhnya." "Mengapa?" tanya Yok Lan.
"Sebab, baru bicara separuh, jiwa siauwjin mungkin sudah melayang," jawabnya.
Nona Biauw berpaling ke arah Po Si. 'Taysu," katanya, "dalam pertemuan kita di hari ini, kaulah
yang menjadi tetuanya. Kau adalah seorang cianpwee dari Rimba Persilatan dan kau mempunyai
nama serta kedudukan yang tinggi. Maka itu, sepatah kata saja dari mulutmu, sudah cukup untuk
melindungi jiwa orang itu."
Po Si tertawa dingin. "Nona Kiauw, jangan kau mengangkat-angkat aku," katanya.
"Soal mati atau hidupnya siauwjin sama sekali tak menjadi soal," kata pelayan itu. "Yang
dikuatirkan siauwjin ialah penuturan ini akan tidak bisa dituturkan sampai pada akhirnya."
Biauw Yok Lan mengerutkan alis. Sesaat kemudian, sambil menunjuk papan tui lian yang
kedua, ia berkata, "Coba turunkan papan itu."
Pelayan itu tidak mengerti maksud si nona, tapi ia menjalankan perintah itu dan kemudian
menaruhnya di hadapan nona Biauw. "Coba kau lihat," kata Yok Lan, "di atas papan itu tertulis
huruf-huruf, 'Tah Pian Thian Hee Bu Tek Chiu 'Kim Bian Hud". Itulah gelar dari ayahku. Peganglah
papan itu dan kau boleh bicara dengan tak usah kuatir apa pun jua. Siapa yang menyerang kau
berarti dia tidak memandang ayah."
Semua orang saling mengawasi. Mereka mengakui, bahwa dengan 'Kim Bian Hud' sebagai
pelindung, tak ada orang yang akan berani mencelakai dirinya.
Paras muka pelayan itu berubah girang. Ia tertawa dan dengan tertawanya itu, tanda bekas
bacokan golok bergerak-gerak. Ia berdiri tegak dan sambil memeluk papan tui lian itu, kedua
matanya menyapu ke seluruh ruangan.
Po Si sendiri sudah kembali ke kursinya dan sambil mengawasi pelayan itu, ia mengingat-ingat
peristiwa kebinasaan Ouw It To pada dua puluh tujuh tahun berselang. Tapi sesudah mengasah
otak beberapa lama, ia masih belum juga dapat menebak siapa adanya orang itu.
"Lebih baik kau bicara sambil berduduk," kata nona Biauw
"Biar siauwjin berdiri saja," kata pelayan itu. "Bolehkah aku menanya, bagaimana dengan
putera yang ditinggalkan oleh suami-isteri Ouw It To toaya?"
Biauw Yok Lan menghela napas. "Sesudah Ouw pehpeh dan Ouw pehbo meninggal dunia, thiathia
(ayah) sangat berduka," katanya. "Sesudah mengawasi jenazah mereka beberapa lama, ia
berlutut delapan kali dan berkata, 'Ouw heng, toaso, legakanlah hati kalian. Aku pasti akan
memelihara putera mu sebagaimana mestinya.' Sehabis memberi janjinya, ia segera memutar
badan untuk mengambil anak itu. Tapi anak itu sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi!
Ayah terkejut, buru-buru ia menanyakan orang-orang yang berada di situ. Tapi mereka pun, yang
menumplek Seantero perhatian kepada peristiwa kebinasaan Ouw pehpeh dan Ouw pehbo, tidak
memperhatikan anak itu. Ayah segera mengajak mereka untuk mencarinya. Sekonyong-konyong
di belakang rumah terdengar suara tangisan bayi yang nyaring sekali. Dengan girang ayah segera
berlari-lari ke belakang. Apa mau, luka pada pinggangnya akibat tendangan Ouw pehpeh, tidak
terlalu enteng. Begitu ia menggunakan tenaga, kedua lututnya lemas dan ia roboh terguling.
Beberapa orang segera membangunkannya dan memapahnya ke belakang rumah. Tapi anak itu
sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya. Apa yang dilihat mereka ialah darah, kain kuning
pembungkus bayi dan topi di atas tanah."
"Di belakang rumah penginapan itu mengalir sebuah sungai dan dari belakang rumah, darah
bertetesan terus sampai ke pinggir sungai. Menurut dugaan, anak itu telah dibunuh orang dan
mayatnya dilemparkan ke dalam sungai. Ayah kaget tercampur gusar. Ia mengumpulkan semua
orang dan menyelidiki dengan teliti, tapi tidak bisa mendapat keterangan apa pun jua. Hal ini
mendukakan sangat hatinya dan sampai sekarang ayah masih selalu memikirinya. Ia bersumpah
akan mencari pembunuh anak itu. Tahun itu aku lihat ia menggosok pedang dan ia
memberitahukan aku, bahwa ia harus membunuh satu manusia lagi, yaitu manusia yang telah
membinasakan puteranya Ouw pehpeh dan Ouw pehbo. Aku coba menghibur dengan
mengatakan, bahwa mungkin sekali anak itu telah ditolong orang. Ayah tidak percaya. Ia berdoa
agar dugaanku tidak meleset Hai! ... Aku mengharap ia masih hidup. Pernah ayah mengatakan
begini kepadaku, 'Lan-ji, aku menyintai kau lebih daripada aku menyintai jiwa sendiri. Tapi
andaikata Langit memperbolehkan aku menukar kau dengan putera Ouw pehpeh aku lebih suka
kau mati, asal saja putera Ouw pehpeh bisa terus hidup.'"
Air mata pelayan itu berlinang-linang. "Kouwnio," katanya dengan suara parau, "Roh Ouw toaya
cukup angker, ia tentu akan berterima kasih terhadap ayahmu dan kau sendiri"
Ie koankee semula menduga, bahwa dia adalah pelayan yang dibawa oleh Biauw Yok Lan. Tapi
dilihat dari sikapnya dan didengar omongannya, orang itu kelihatannya bukan pelayan si nona.
Baru saja ia mau mengajukan pertanyaan, pelayan itu sudah mulai dengan penuturannya.
"Pada duapuluh tujuh tahun berselang, aku bekerja sebagai pesuruh, sebagai tukang
menyalakan api, di dapur dari sebuah rumah penginapan di kota Congciu. Pada musim dingin
tahun itu, bencana menimpa keluargaku. Tiga tahun yang lalu, ayahku meminjam lima tahil perak
dari seorang hartawan di kota itu. Dengan bunga berbunga lagi, selama tiga tahun, pinjaman itu
yang tadinya lima tahil sudah jadi empatpuluh tahil. Hartawan itu menangkap ayah yang mau
dipaksa menulis surat perjanjian untuk menjual ibuku guna dijadikan gundik. Ayahku tentu saja
menolak dan ia dipukul setengah mati oleh anjing-anjingnya hartawan itu. Sepulangnya di rumah,
ayah lalu berdamai dengan ibu. Mereka mengerti, bahwa jika hutang itu tidak dilunaskan sampai
buntut tahun, empatpuluh tahil akan menjadi delapanpuluh dan seumur hidup, mereka tak akan
mampu membayarnya. Karena tak ada jalan lain, kedua orang tuaku sebenarnya mau membunuh
diri, tapi mereka tidak tega meninggalkan aku. Demikianlah, ayah, ibu dan anak hanya bisa
memeras air mata sambil berpelukan. Di waktu siang, aku bekerja di rumah penginapan, saban
malam aku pulang untuk menjaga ayah dan ibuku, supaya mereka tidak mengambil jalan yang
pendek." "Pada suatu malam, rumah penginapan itu menerima banyak tamu yang terluka. Kami jadi
repot sekali dan majikanku tidak mempermisikan aku pulang. Pada keesokan harinya, datanglah
Ouw It To toaya yang baru saja mendapat seorang putera. Untuk merawat bayi itu, Ouw toaya
memerlukan banyak air panas dan pemilik rumah penginapan kembali menahan aku. Karena
memikiri ayah dan ibuku, aku sudah memecahkan beberapa mangkok dan digapelok beberapa kali
oleh majikanku. Sesudah masak air, aku bersembunyi di samping dapur dan menangis dengan
perlahan. Kebetulan Ouw toaya pergi ke dapur dan ia mendengar tangisanku. Ia segera
menanyakan sebab-musababnya. Karena paras muka Ouw toaya angker dan bengis, aku tidak
berani bicara. Makin ia mendesak, makin hebat aku menangis. Belakangan, sesudah ia bicara
dengan suara lemah lembut, barulah aku berani menuturkan bahaya yang tengah dihadapi."
"Ouw toaya gusar bukan main. 'Hartawan itu sungguh kejam,' katanya. 'Sebenarnya aku harus
mengambil jiwanya, tapi sebab aku sendiri mempunyai urusan penting, maka aku tak sempat
untuk berhitungan dengan dia. Sekarang biarlah aku memberikan seratus tahil perak kepadamu.
Kau pulanglah dan menyerahkannya kepada ayahmu. Katakan kepadanya, bahwa dengan uang itu
ia bisa membayar hutang dan lebihnya dapat digunakan untuk ongkos hidup. Lain kali, jangan
meminjam uang lagi dari hartawan kejam.' Semula aku menduga, bahwa ia hanya berguyon. Tak
dinyana, benar-benar ia mengambil lima potong goanpo dan menyerahkannya kepadaku. Tapi aku
tentu tidak berani lantas menerimanya. 'Hari ini aku mendapat anak,' kata Ouw toaya. 'Aku
menyintainya dan dengan mengukur perasaanku sendiri, kedua orang tuamu juga tentu sangat
menyintai kau. Ambillah uang ini dan pulanglah sekarang. Aku akan memberitahukan majikanmu,
bahwa akulah yang menyuruh kau pulang dan dia pasti tidak berani banyak rewel."
'Aku masih mengawasinya dengan mata membelalak dan jantungku memukul keras. Aku tak
tahu apa yang harus diperbuat.
Sambil bersenyum Ouw toaya mengambil selembar kain, membungkus lima potong perak itu
dan kemudian mengikatnya di punggungku. Anak tolol,' katanya seraya tertawa dan menendang
pinggulku perlahan-lahan, 'lekas pergi!' Bagaikan orang linglung aku pulang dengan berlari-lari dan
memberitahukan kejadian itu kepada kedua orang tuaku. Kami bertiga girang setengah mati,
untuk beberapa saat kami saling berpelukan seperti orang edan. Kami hampir tak mau percaya,
bahwa di dalam dunia ada orang yang begitu mulia hatinya. Sama saja seperti dalam mimpi. Ayah
dan ibuku buru-buru pergi ke rumah penginapan untuk menghaturkan terima kasih dengan
berlutut Tapi Ouw toaya menolak penghaturan terima kasih itu. Ia menggoyang-goyangkan
tangannya dan mengatakan, bahwa ia tak suka menerima pernyataan terima kasih yang begitu
berat. Dengan manis budi, ia mendorong kami bertiga."
"Selagi kami mau berangkat pulang, tiba-tiba terdengar suara tindakan kaki kuda dan beberapa
penunggang kuda tiba di rumah penginapan itu. Mereka adalah musuh-musuhnya Ouw toaya.
K.uena merasa kuatir, aku lalu mempersilakan kedua orang tuaku pulang lebih dahulu, sedang aku
sendiri ingin menyaksikan kesudahan pertempuran itu. Kupikir, budi Ouw toaya sangat besar.
Kalau ia memerlukan bantuanku, biar diperintah masuk ke dalam air atau api, aku pasti tak akan
menolak. "Kulihat 'Kim Bian Hud' Tayhiap dan Ouw toaya minum arak sambil beromong-omong.
Kecintaan Ouw toaya terhadap puteranya telah dituturkan oleh Po Si Taysu. Tapi ia sama-sekali
tak tahu, bahwa perbuatan si tabib yang mendengari pembicaraan suami-isteri Ouw dari kamar
sebelah, semuanya diincar oleh seorang pesuruh kecil yang bekerja di dalam dapur rumah
penginapan itu." Tiba-tiba Po Si berbangkit dari kursinya. Sambil menuding ia membentak, "Siapa kau" Siapa
yang menyuruh kau datang kemari untuk bicara yang tidak-tidak?"
Dengan paras muka tenang, pelayan itu menjawab, 'Aku bernama Peng Ah Si. Aku mengenal
Giam Ki, seorang tabib, tukang mengobati luka terpukul. Tapi si tabib Giam Ki tentu saja tidak
mengenali Peng Ah Si, pesuruh kecil, tukang menyalakan api di dapur."
Mendengar perkataan "Giam Ki," paras muka Po Si berubah pucat. Lapat-lapat ia ingat, bahwa
pada duapuluh tujuh tahun berselang, di dalam rumah penginapan, ia memang pernah bertemu
dengan seorang pesuruh kecil yang pakaiannya kotor. Tapi karena tidak memperhatikan, ia
sekarang sudah tak ingat lagi, bagaimana macamnya pesuruh itu. Dengan sorot mata gusar dan
membenci, ia menatap wajah Peng Ah Si.
Sementara itu, Peng Ah Si sudah melanjutkan penuturannya, "Di tengah malam kudengar suara
tangisan Ouw toaya. Dengan rasa berkuatir, aku pergi ke depan kamarnya. Tiba-tiba kulihat
bayangan manusia di jendela kamar sebelah. Orang itu berdiri tanpa bergerak, ia rupanya sedang
memasang kuping. Aku bercuriga dan lalu mengintip dari cela-cela pintu kamar. Ternyata, orang
itu Giam Ki adanya dan dia sedang mendengari pembicaraan suami-isteri Ouw dengan
menempelkan kupingnya di papan kamar. Baru saja kuingin memberitahukan hal itu kepada Ouw
toaya, Ouw toaya sendiri sudah keluar dari kamarnya dan pergi ke kamar Giam Ki dan bicara
panjang-lebar. Pembicaraan itu tidak pernah disebut-sebut oleh Po Si Taysu. Aku sendiri tak tahu
apa sebabnya." "Ouw toaya bicara panjang-lebar dan sebagian tidak dimengerti olehku. Tapi aku tahu, bahwa
Ouw toaya telah minta bantuannya, supaya pada keesokan harinya ia pergi menemui Biauw
Tayhiap untuk menjelaskan beberapa soal. Soal-soal itu adalah soal-soal besar yang sangat
penting. Sebenarnya tak tepat untuk Ouw toaya untuk meminta bantuan seorang liar, tapi karena
Ouw Hujin baru melahirkan anak dan juga karena Ouw toaya beradat berangasan, sehingga jika ia
memberi penjelasan sendiri kepada pihak lawan, ia pasti akan bertengkar dengan Hoan Pangcu
dan Tian siangkong dan akhirnya ia mesti bertempur juga, maka, sebab tak ada jalan lain, ia
terpaksa meminta bantuan Giam Ki untuk menyampaikan perkataannya. Tadi Po Si Taysu
mengatakan, bahwa Ouw toaya telah menyuruhnya untuk menyampaikan surat kepada 'Kim Bian
Hud' dan akan diberi hadiah besar. Keterangan itu tidak benar. Cobalah pikir, menyampaikan surat
adalah tugas yang sangat enteng. Perlu apa orang memberi hadiah besar kepada tukang bawa
surat" Mungkin sekali Po Si Taysu sekarang sudah lupa perkataan Ouw toaya, tapi aku sendiri
masih tetap ingat" Mendengar sampai di situ, semua orang tahu, bahwa pada sebelum menjadi pendeta, Po Si
Taysu bernama Giam Ki. Melihat sikap kedua orang itu, mereka yakin, bahwa antara Po Si dan
kebinasaan Ouw It To mempunyai sangkut-paut yang sangat rapat dan dalam keterangan yang
diberikan Po Si terdapat bagian-bagian yang tidak benar. Mereka ingin sekali mendengar
penjelasan Peng Ah Si yang akan membuka sebuah rahasia. Akan tetapi, mereka pun berkuatir,
bahwa jika Peng Ah Si benar-benar membuka rahasia besar yang membuat Po Si menjadi malu,
dalam gusarnya, pendeta itu bisa turunkan tangan jahat dan di antara mereka, tak satu pun yang
dapat menandinginya. Biarpun di belakang hari 'Kim Bian Hud' bisa membalas sakit hati, tapi kalau
Peng Ah Si sudah binasa, rahasia yang sangat menarik itu akan turut dikubur di liang kubur.
Sedang semua orang berkuatir akan keselamatannya, Peng Ah Si sendiri bersikap tenangtenang
saja. Sesudah berhenti sejenak, ia melanjutkan penuturannya,
"Waktu Ouw toaya bicara dengan Giam Ki, aku berdiri di luar jendela kamar Giam Ki. Aku bukan
mau mencuri dengar pembicaraan Ouw toaya. Aku sudah berbuat begitu, sebab kutahu, bahwa
tabib itu, yang menjadi anjingnya si hartawan yang menghina kedua orang tuaku, bukan manusia
baik-baik. Oleh karena itu, kukuatir Ouw toaya kena ditipu olehnya. Waktu itu aku masih kecil dan
pengertianku sangat terbatas, sehingga apa yang dikatakan Ouw toaya tidak dapat dimengerti
seluruhnya olehku. Tapi setiap perkataannya terus tercatat dalam otakku dan tidak bisa dilupakan
lagi. Belakangan, sesudah besar, kumengerti maksud pembicaraan itu. Pada malam itu, Ouw toaya
minta bantuan Giam Ki untuk menyampaikan tiga rupa hal. Pertama, asal-mula permusuhan
antara keluarga Ouw, Biauw, Hoan dan Tian. Kedua, sebab-musabab dari kebinasaan ayahnya
'Kim Bian Hud' dan ayah Tian siangkong. Ketiga, soal kotak besi dan golok komando dari Cwan
Ong." Hampir serentak semua orang menengok ke arah kotak besi dan golok itu yang ditaruh di atas
meja. Rasa ingin tahu dalam hati mereka jadi makin besar.
Peng Ah Si melanjutkan penuturannya, "Sebab-musabab dari permusuhan antara keluarga
Ouw, Biauw, Hoan dan Tian tadi sudah diceriterakan oleh Biauw Kouwnio. Tapi di dalam itu masih
terselip suatu rahasia besar yang tidak diketahui oleh orang luar. Rahasia itu dimulai pada jaman
Cwan Ong Engciang tahun kedua, tahun It Yu, atau menurut perhitungan pemerintah Boan, Sun Ti
tahun kedua. Pada waktu itu, leluhur keluarga Ouw, Biauw, Tian dan Hoan telah berjanji, bahwa,
jika pemerintah Boan tidak menjadi roboh, rahasia itu baru boleh dibuka sesudah berselang
seratus tahun, yaitu pada tahun It Yu. Tahun It Yu ialah tahun Kian Liong ke-sepuluh dan dari
waktu itu sampai sekarang, sudah berselang tiga puluh tahun lebih. Maka itulah, pada dua puluh
tujuh tahun berselang, waktu Ouw toaya bicara dengan Giam Ki, batas waktu seratus tahun sudah
lewat dan rahasia tersebut sudah boleh dibuka."
"Rahasia itu benar-benar hebat Apa sebabnya" Sebabnya ialah, pada waktu kalah perang di Kiu
Kiong San, Cwan Ong sebenarnya tidak mati!"
Pernyataan itu sangat menggemparkan. Hampir semua orang serentak berbangkit dan serentak
bertanya, "Apa?" Yang terus berduduk di kursi hanyalah Po Si yang rupanya sudah tahu rahasia
itu. "Kukatakan, 'Cwan Ong tidak mati,' kata pula Peng Ah Si. "Tapi ia dikepung musuh yang
berjumlah sangat besar dan tidak dapat meloloskan diri. Ketiga wisu, Biauw, Hoan dan Tian, telah
menerjang turun dari gunung untuk meminta pertolongan, tapi bala bantuan tak kunjung datang.
Sementara itu tentara musuh makin mendesak, sehingga Seantero sisa pasukan Cwan Ong
menghadapi bahaya kemusnaan. Dalam putus harapan, Cwan Ong mengangkat golok
komandonya dan mau menggorok leher, tapi keburu dicegah oleh wisu she Ouw, yang bergelar
'Hui Thian Ho Li'. Si orang she Ouw sangat cerdik dan dalam bahaya, ia dapat memikir suatu tipu.
Dari antara mayat-mayat tentara, ia memilih mayatnya seorang tentara yang tinggi dan besar
tubuhnya bersamaan dengan Cwan Ong. Mayat itu lalu dipakaikan pakaian kebesaran Cwan Ong
dan pada lehernya digantungkan cap kekuasaan raja muda itu. Sesudah itu, ia membacok-bacok
muka mayat, sehingga tak dapat dikenali lagi. Akhirnya, dengan menggendong 'mayat Cwan Ong',
ia pergi ke markas besar tentara Ceng dan menakluk. Ia mengaku sudah membinasakan Cwan
Ong dan menyerahkan jenazah raja muda itu untuk meminta hadiah. Pahala itu bukan main
besarnya. Panglima perang Ceng yang bertugas pun bisa naik pangkat mendapat hadiah dari
jungjungannya. Maka itu, jangankan memang sebenarnya ia tidak ragu-ragu, sedangkan andaikata
ia masih bersangsi, ia tentu akan coba menghilangkan rasa sangsi itu. Demikianlah panglima
perang Boan lantas saja menerima baik pengakuan 'Hui Thian Ho Li' dan membubarkan tentara
yang mengepung Kiu Kiong San. Dengan menyamar sebagai rakyat biasa, Cwan Ong yang tulen
dengan mudah dapat meloloskan diri. Hai! ... Cwan Ong tertolong, tapi 'Hui Thian Ho Li' sendiri
lantas saja menghadapi bahaya besar."


Kisah Si Rase Terbang Soat-san Hui-hauw Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dalam menjalankan tipu itu, 'Hui Thian Ho Li' sangat menderita. Dalam kalangan Kang Ouw,
orang-orang gagah sangat mengutamakan 'kesatriaan' dan 'pribudi'. Untuk menolong majikannya,
'Hui Thian Ho Li' bukan saja harus menekuk lutut di hadapan musuh, tapi juga harus menerima
cacian sebagai manusia hina-dina yang sudah menjual majikan untuk mendapat pangkat. Nama
'Hui Thian Ho Li" telah menggetarkan kolong langit Saban kali namanya disebut orang-orang Dunia
Persilatan selalu mengacungkan jempolnya. Tapi sekarang ia harus menodai nama baiknya yang
telah dipupuk hidup. Pengorbanan ini sepuluh kali lipat lebih sukar daripada melakukan perbuatanperbuatan
kesatria." "Sudah menakluk kepada Gouw Sam Kwi, ia terus naik pangkat sehingga menjadi teetok Berkat
kecerdikan, kegagahan dan kepandaiannya, ia mendapat kepercayaan besar dari Gouw Sam Kwi.
Tapi selama itu, diam-diam ia membulatkan tekad untuk membalas sakit hati terhadap Gouw Sam
Kwi, sebab pembesar itulah yang sudah menggagalkan usaha Li Cwan Ong. Kalau ia mau
membunuh Gouw Sam Kwi, ia dapat melakukannya dengan mudah sekali. Tapi ia seorang berakal
budi dan tentu saja tidak mau bertindak secara begitu sembrono. Selama beberapa tahun, dengan
hati-hati dan dengan diam-diam, ia menjalankan tipunya. Di satu pihak, ia bertindak untuk
membangkitkan kecurigaan kaisar Boan terhadap Gouw Sam Kwi, sedang di lain pihak, ia bekerja
untuk mengganggu ketenteraman hati pembesar itu, supaya pada akhirnya, mau tidak mau, Gouw
Sam Kwi harus memberontak. Atas bujukannya, Gouw Sam Kwi mengumpulkan tentara dan
membeli kuda-kuda perang di propinsi Inlam, tapi diam-diam, ia melaporkan gerak-gerik Gouw
Sam Kwi itu kepada kaisar Boan. Tentu saja kaisar menjadi curiga dan segera menyelidiki.
Tindakan-tindakan kaisar selalu diincar olehnya dan ia melaporkannya kepada Gouw Sam Kwi."
"Demikianlah, dalam beberapa tahun saja, kedudukan Gouw Sam Kwi sudah terdesak begitu
rupa, sehingga ia tak dapat tidak memberontak. Waktu itu daerah sclatan-tengah bergoncang
hebat, dan tenaga pemerintah Boan sangat berkurang. Itulah saat yang sangat baik untuk Cwan
Ong merebut pulang negara. Andaikata pemberontakan Gouw Sam Kwi gagal dan usaha Cwan
Ong juga tidak berhasil, sedikitnya Gouw Sam Kwi akan terbasmi. Maka itu, menurut pendapat
'Hui Thian Ho Li', tipu yang sedang dijalankannya banyak lebih bermanfaat daripada kalau ia
hanya membunuh Gouw Sam Kwi seorang.
"Waktu tiga saudara angkat Biauw, Hoan dan Tian datang di Kun Beng untuk membunuh Gouw
Sam Kwi, tipu 'Hui Thian Ho Li' sudah hampir berhasil. Maka itulah, pada detik yang sangat
berbahaya, ia segera muncul dan menolong Gouw Sam Kwi, sehingga percobaan itu menjadi
gagal. "Tahun itu, tanggal lima belas bulan ketiga, ia mengundang ketiga saudara angkatnya untuk
membuat pertemuan dan minum arak di tepi telaga Tinti. la berniat untuk membuka rahasia,
untuk memberitahukan segala tipu-dayanya. Tapi di luar dugaan, sebelum ia sempat berceritera,
pada waktu ia lengah, tiba-tiba ia diserang oleh ketiga saudara angkatnya. Serangan bokongan itu
dilakukan sebab ketiga saudara tersebut, merasa jeri akan kepandaiannya yang tinggi. Pada waktu
mau menghembuskan napasnya yang penghabisan, sambil mengucurkan air mata, ia berkata,
'Sayangi Sungguh sayang, tipuku telah gagal seanteronyal' Sesudah berdiam sejenak, dengan
suara lemah ia berkata pula, 'Goansweeya berada di Ciok Bun Kiap____"'
"Dengan berkata begitu, ia ingin memberitahukan, bahwa Li Cwan Ong pada waktu itu sedang
menyamar sebagai pendeta di kuil To Cu Si, gunung Kiap San, disterik Ciok Bun Koan, dengan
menggunakan nama Hong Thian Giok Hweeshio.
"Cwan Ong berumur panjang. Ia hidup sampai pada bulan kedua, tahun Kahsin, pada
pemerintahan Kaisar Khong Hi dan meninggal dunia pada usia 70. Dalam memimpin angkatan
perang, Cwan Ong menggunakan nama Hong Thian Ciang Gi Taygoanswee. Namanya sebagai
orang pertapaan ialah Hong Thian Giok dan huruf 'giok' berasal dari huruf 'ong' yang ditambah
dengan satu titik." Sehabis mendengar ceritera Biauw Yok Lan, semua orang menganggap, bahwa 'Hui Thian Ho
Li' manusia jahat. Tak dinyana, dalam hal itu bersembunyi sebuah rahasia besar. Mereka kaget
tercampur heran dan mereka kelihatannya belum percaya keterangan Peng Ah Si.
Melihat kesangsian orang, Peng Ah Si berpaling kepada nona Biauw dan berkata, "Menurut
penuturanmu, pada tanggal lima belas bulan ketiga, putera 'Hui Thian Ho Li' telah menemui ketiga
pamannya dan bicara lama dengan mereka dalam sebuah kamar dan waktu ketiga orang itu keluar
dari kamar, mereka membunuh diri. Biauw Kouwnio, soal apakah yang telah dibicarakan mereka
dalam kamar itu?" 'Apakah yang dibicarakan bukan soal tipu-daya 'Hui Thian Ho Li'?" Yok Lan balas menanya.
"Bukankah kau ingin maksudkan, bahwa dalam kamar itu, putera 'Hui Thian Ho Li' telah membuka
rahasia dan menceriterakan penderitaan ayahandanya?"
"Benar," jawabnya. "Kalau ketiga orang itu tidak merasa menyesal, bahwa mereka telah
membinasakan saudara angkatnya yang tidak berdosa, cara bagaimana mereka bisa membunuh
diri-sendiri" Sesudah mendengar keterangan putera 'Hui Thian Ho Li', mereka baru tahu, bahwa
bukan saja mereka sudah membunuh seorang yang putih-bersih, tapi juga sudah menggagalkan
suatu usaha besar yang sudah hampir berhasil. Rasa menyesal mereka adalah sedemikian besar,
sehingga mereka merasa tidak dapat menebus dosa, jika mereka tidak membunuh diri. Tapi pada
waktu itu Cwan Ong masih hidup, sehingga rahasia tidak boleh bocor. Walaupun kepada orangorang
yang paling dipercaya, mereka tak dapat memberitahukan rahasia itu. Apa yang harus
disayangkan, ialah, meskipun mereka orang-orang yang mempunyai kesetiaan dan pribudi tinggi,
mereka semberono dan ceroboh. Bahwa mereka telah membinasakan 'Hui Thian Ho Li' karena
salah paham, sudah merupakan suatu kesalahan hebat. Tapi pada waktu membunuh diri, sekali
lagi mereka membuat kesalahan besar. Mereka tidak memesan anak-anak dan murid-murid
mereka untuk tidak coba membalas sakit hati kepada putera 'Hui Thian Ho Li'. Inilah yang
dinamakan kesalahan berlapis kesalahan, sehingga, sebagai akibatnya, turun-temurun keempat
keluarga itu jadi bermusuhan."
Di dalam kamar, putera 'Hui Thian Ho Li' telah memberitahukan ketiga pamannya, bahwa
rahasia itu baru dapat dibuka pada tahun It Yu, yaitu seratus tahun kemudian. Biar bagaimana
panjang pun jua usianya Cwan Ong, pada waktu itu ia tentu sudah meninggal dunia. Manakala
rahasia tersebut dibocorkan terlalu siang, pemerintah Ceng bisa mengadakan penyelidikan dan
jiwa Cwan Ong bisa terancam. Rahasia besar itu hanya diketahui oleh turunan keluarga Ouw.
Turunan keluarga Biauw, Hoan dan Tian tetap tinggal gelap. Waktu turunan keluarga Ouw tiba
pada Ouw It To Ouw toaya, batas waktu seratus tahun sudah lewat, sehingga oleh karenanya,
Ouw toaya berani meminta pertolongan Giam Ki untuk menyampaikan rahasia itu kepada Biauw
Jin Hong. "Hal yang kedua adalah sebab-musabab dari kebinasaan ayah 'Kim Bian Hud' dan Tian
siangkong. Belasan tahun yang lalu, kedua orang tua itu bersama-sama pergi ke Kwan Gwa dan
telah lenyap dengan begitu saja. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan nama
mereka telah menggetarkan dunia Kangouw. Maka itu diduga pasti, bahwa mereka telah
dibinasakan oleh seseorang yang berkepandaian tinggi juga. Apa mau, waktu itu Ouw toaya
justeru berada di Kwan Gwa dan dengan mengingat, bahwa keluarga Ouw adalah musuh turunan
keluarga Biauw dan Tian, maka siapa pun jua tentu akan menduga, bahwa Ouw toayalah yang
sudah membunuh mereka. Beberapa kali 'Kim Bian Hud' dan Tian siangkong pergi ke Kwan Gwa
untuk menyelidiki. Tapi mereka bukan saja tidak bisa mendapat keterangan apa-apa, bahkan Ouw
toaya pun tidak dapat dicari. Karena tidak berdaya, 'Kim Bian Hud' sudah sengaja memakai gelar
'Tah Pian Thian Hee Bu Tek Chiu' untuk dirinya, supaya Ouw toaya menjadi gusar dan mau
menemuinya. Ouw toaya mengerti maksudnya, tapi ia tidak meladeni. Diam-diam ia sendiri
berusaha untuk mencari kedua orang tua itu. Menurut keinginannya, sesudah berhasil, barulah ia
mau menemui 'Kim Bian Hud' untuk mencuci bersih tuduhan yang dijatuhkan atas dirinya."
"Langit selalu memberkahi usaha manusia yang sungguh-sungguh. Sesudah mencari-cari
beberapa tahun, Ouw toaya akhirnya mendapat keterangan jelas mengenai nasibnya kedua orang
tua itu. Waktu itu Ouw Hujin hamil. Ia asal Kanglam dan begitu mengandung, ia ingin sekali
pulang ke kampung asalnya. Maka itu, kedua suami-isteri lantas saja berangkat ke Selatan.
Setibanya di Tong Koan Iim-ii, lebih dahulu Ouw toaya bertempur melawan orang she Hoan dan
she Tian dan kemudian barulah ia bertemu dengan 'Kim Bian Hud'. Pesan yang ia minta Giam Ki
menyampaikan kepada Biauw Jin Hong adalah begini, Kalau 'Kim Bian Hud' ingin mencari jenazah
mendiang ayahnya, ia bisa membawanya ke tempat itu sesudah mengantarkan isterinya. Dengan
melihat jenazah, Biauw Jin Hong akan tahu, cara bagaimana ayahnya menemui kebinasaan. Oleh
karena kedua orang tua itu mati dalam cara yang agak memalukan, maka Ouw toaya merasa
kurang enak untuk memberitahukan dengan mulutnya sendiri. Maka itu, sebaiknya biar 'Kim Bian
Hud' dan Tian siangkong yang melihat dengan mata sendiri."
"Hal ketiga, mengenai golok komando Cwan Ong. Dalam golok itu bersembunyi rahasia dari
harta karun yang tidak mungkin disebutkan berapa besar harganya. Harta itu meliputi perak,
emas, batu pertama, mustika dan sebagainya dalam jumlah yang tidak bisa dihitung berapa
banyaknya." Pada paras muka semua orang lantas saja terlihat rasa heran yang sangat besar. "Jika kalian
dengar pesan Ouw toaya kepada Giam Ki, kalian tentu tak akan merasa heran lagi," kata pula
Peng Ah Si. "Begitu lekas Cwan Ong memukul pecah kota Pakkhia, sanak-keluarga dan menterimenteri
kerajaan Beng lantas saja menakluk. Mereka itu kaya-raya. Cwan Ong segera
mengeluarkan pengumuman, bahwa untuk mendapat pengampunan, mereka harus menyerahkan
harta. Dalam beberapa hari saja, emas, perak dan lain-lain sudah bertumpuk bagaikan gunung.
Belakangan pada waktu Cwan Ong mundur dari Pakkhia, ia memerintahkan seorang panglima
kepercayaannya untuk menyembunyikan harta itu di suatu tempat yang aman, supaya dapat
digunakan untuk keperluan angkatan perang di hari kemudian."
"Tempat penyimpanan harta dilukiskan dalam sebuah peta, akan tetapi kunci untuk mencari
harta itu terletak pada golok komando tersebut. Pada waktu kalah perang di Kiu Kiong San, Cwan
Ong menyerahkan peta dan golok kepada 'Hui Thian Ho Li' dan sesudah 'Hui Thian Ho Li'
dibinasakan, peta dan golok itu jatuh ke dalam tangan ketiga adik angkatnya. Tapi tak lama
kemudian, kedua barang itu dirampas pulang oleh puteranya 'Hui Thian Ho Li'."
"Sesudah berebutan selama seratus tahun, golok komando dipegang oleh keluarga Tian dari
Thian Liong Bun, sedang peta jatuh ke dalam tangan keluarga Biauw. Akan tetapi, baik Tian
maupun Biauw sama sekali tak tahu adanya rahasia itu dan itulah sebabnya mengapa mereka tak
berusaha untuk mencarinya. Yang tahu rahasia itu hanyalah turunan she Ouw, tapi mereka pun
tidak berdaya sebab tidak memiliki golok dan peta.
"Dengan membuka rahasia kepada 'Kim Bian Hud', Ouw toaya ingin supaya Biauw Jin Hong
menggali harta tersebut untuk menolong sesama manusia dan kalau bisa, menggunakannya untuk
mengusir penjajah Boan dan merampas pulang tanah air kita."
"Ketiga hal itu penting semuanya. Maka itu, ia merasa heran, mengapa sesudah diberitahukan,
Biauw Jin Hong masih juga mau bertempur dengannya. Sampai pada waktu mau menghembuskan
napasnya yang penghabisan, Ouw toaya belum dapat memecahkan teka-teki itu. Apakah 'Kim Bian
Hud' bukan kesatria tulen" Entahlah. Apakah 'Kim Bian Hud' tidak percaya pemberitahuan itu"
Entahlah." Berkata sampai di situ, Peng Ah Si menghela napas panjang.
To Pek Swee yang sedari tadi terus mendengari tanpa membuka mulut, tiba-tiba berkata, "Aku
tahu mengapa Biauw Jin Hong tetap mau bertanding dengan Ouw It To. Tapi untuk sementara
aku tak mau bicarakan hal itu. Sekarang aku mau tanya, perlu apa kau datang ke sini?"
Itulah pertanyaan yang ingin diajukan oleh semua orang.
"Aku datang untuk membalas sakit hatinya Ouw toaya," jawabnya.
"Membalas sakit hati?" menegas To Pek Swee. "Terhadap siapa?"
Peng Ah Si tertawa dingin. "Terhadap manusia yang sudah mencelakai Ouw toaya," jawabnya.
Paras muka Biauw Yok Lan berubah pucat-pasi. "Hanya sayang ayahku belum datang kemari,"
katanya dengan suara perlahan.
"Bukan, bukan terhadap ayahmu," kata Peng Ah Si dengan lepat "Orang yang mencelakai Ouw
toaya bukan 'Kim Bian Hud', tapi seorang yang dahulu menjadi sinshe tukang mengobati luka-luka
kepukul dan sekarang berubah menjadi pendeta. Dia sekarang dikenal sebagai Po Si!"
Po Si berbangkit dan tertawa terbahak-bahak. "Bagus!" serunya. "Kalau kau mempunyai
kepandaian, turun tanganlah sekarang juga!"
'Aku sudah turun tangan," kata Peng Ah Si dengan tenang. "Terhitung dari hari ini, jiwamu
tidak lebih panjang daripada tujuh hari dan tujuh malam lagi."
Semua orang kaget, lebih pula Po Si. Tapi biarpun hatinya ketakutan, mulutnya mencaci,
"Binatang, apakah yang bisa diperbuat olehmu terhadapku?"
"Bukan saja kau, tapi semua orang, lelaki, perempuan, tua dan muda yang berada di sini juga
tak akan bisa melewati tujuh hari dan tujuh malam!" teriak Peng Ah Si dengan suara bernapsu.
Semua orang terkesiap " ada yang berbangkit dari tempat duduknya, ada pula yang
mengawasi Peng Ah Si dengan mata membelalak.
'Apa kau menaruh racun dalam air teh dan makanan kami?" tanya Po Si dengan gusar.
"Mana bisa kau mampus begitu enak?" katanya dengan suara mengejek. "Kau bakal mati
perlahan-lahan, mati kelaparan."
"Mati kelaparan?" menegas Co Hun Ki, To Pek Swee dan The Sam Nio dengan berbareng.
"Benar," jawabnya dengan adem. "Di puncak ini sebenarnya tersedia makanan yang cukup
untuk sepuluh hari. Sekarang, sebutir beras pun sudah tak ada lagi. Semuanya sudah dilemparkan
ke bawah gunung olehku!"
Pernyataan itu disambut dengan teriakan tertahan. Po Si melompat dan menyengkeram tangan
kiri Peng Ah Si. Dia tidak melawan, sedang pada bibirnya tetap tersungging senyuman dingin. Co
Hun Ki dan Ciu Hun Jang mendekati, siap-sedia untuk menyerang jika Peng Ah Si melawan.
Dengan tersipu-sipu Ie koankee masuk ke belakang dan tidak lama kemudian, ia keluar lagi
dengan paras muka pucat "Taysu," katanya dengan suara gemetar. "Semua beras, kerbaukambing,
ayam-bebek dan sayur-mayur yang berada di sini semua sudah di lemparkan ke bawah
gunung!" "Buk!" Co Hun Ki meninju dada Peng Ah Si yang lantas saja muntahkan darah Tapi ia tetap
bersenyum dingin. "Apakah dalam gudang makanan dan di dapur tidak ada manusianya?" tanya Po Si dengan
mendongkol. 'Ada tiga orang, tapi mereka semua diikat oleh bangsat itu," jawabnya. "Hai! ... Waktu kedua
setan kecil itu membikin ribut di ruangan ini, kita semua keluar untuk melihatnya. Tak dinyana, itu
merupakan tipu memancing harimau keluar dari gunung. Biauw Kouwnio, semula kami
menganggap, bahwa dia adalah orangmu yang dibawa olehmu kemari."
Biauw Yok Lan menggelengkan kepala "Bukan," katanya. "Sebaliknya aku sendiri menduga,
bahwa dia adalah pengurus rumah dari perkampungan ini."
"Apakah tak ada makanan yang ketinggalan?" tanya Po Si.
Ie koankee menggoyang-goyangkan kepalanya.
Dengan gusar Co Hun Ki mengangkat pula tinjunya.
"Co toaya, tahan!" kata nona Biauw. "Dia masih memeluk nama ayahku. Dia tidak boleh
diganggu oleh siapa pun jua."
Tinju itu berhenti di tengah udara. Sambil mengawasi si nona dengan mata merah, Co Hun Ki
berkata, "Kita semua bakal mampus dalam tangannya Mengapa ... mengapa kau____"
"Soal mati-hidup merupakan suatu soal, soal yang barusan dikatakan olehku merupakan lain
soal," kata si nona. "Dia telah melemparkan semua makanan ke bawah gunung dan oleh karena
perbuatannya itu, kita semua menghadapi kebinasaan. Tapi dia pun akan mati bersama-sama kita.
Kalau seseorang berani melakukan suatu perbuatan tanpa menghiraukan jiwa sendiri, dia tentu
mempunyai alasan teguh untuk melakukannya. Po Si Taysu, Co toaya, hidup atau mati adalah
takdir. Kita bingung pun tiada gunanya. Paling benar kita membiarkan dia bicara terus, supaya kita
bisa menimbang-nimbang, apa benar kita pantas mati di sini."
Si nona bicara dengan suara tenang dan ramah-tamah, tapi entah bagaimana, suara itu
mempunyai pengaruh yang sangat besar. Po Si segera melepaskan cengkeramannya, sedang Co
Hun Ki pun kembali pada kursinya.
"Peng Ya, kau ingin kita semua mati kelaparan," kata Yok Lan. 'Apakah kau bisa
memberitahukan, sebab-musabab dari perbuatanmu itu" Bukankah dengan berbuat begitu, kau
ingin membalas sakit hatinya Ouw It To pehpeh?"
"Panggilan 'Peng Ya' (Paduka Tuan Peng) tak dapat diterima olehku," kata Peng Ah Si. "Seumur
hidup, aku selalu menggunakan istilah 'Ya' untuk orang lain, tapi orang lain belum pernah
menggunakan panggilan itu terhadapku. Biauw Kouwnio, bahwa Ouw toaya sudah menghadiahkan
perak kepadaku dan menolong jiwa serumah-tanggaku, aku merasa sangat, sangat berterima
kasih. Tapi di samping itu masih ada lain hal yang membuat aku lebih-lebih merasa berterima
kasih. Apakah itu" Hm____Semua orang memanggil aku sebagai si A Si yang kepalanya budukan.
Semua orang menghina aku. Hanyalah Ouw toaya yang memanggil aku 'saudara kecil' dan ia
mendesak supaya aku memanggilnya dengan menggunakan istilah 'toako'."
"Seumur hidup, aku, Peng Ah Si, selalu dihina orang. Hanyalah Ouw toaya seorang yang
mengatakan, bahwa di dalam dunia pada hakekatnya tidak ada manusia tinggi atau manusia
rendah. Semua sama. Dalam mata Langit, semua manusia adalah sama. Mendengar perkataan itu,
kedua mataku seperti baru melek sesudah buta belasan tahun. Sesudah mendengar itu, kedua
mataku melihat sinar yang terang. Hanya dalam sehari aku bertemu dengan Ouw toaya. Tapi di
dalam hati, aku sudah menganggap ia sebagai anggauta keluarga sendiri."
"Selama beberapa hari Ouw toaya bertanding dengan 'Kim Bian Hud', tanpa ada keputusannya.
Selama beberapa hari itu aku tentu saja berkuatir akan keselamatan Ouw toaya. Belakangan, Ouw
toaya binasa sebab racun golok, dan Ouw Hujin pun membunuh diri. Kejadian itu telah disaksikan
dengan kedua mataku sendiri dan tak dapat aku melupakannya. Giam tayhu, pada hari itu tangan
kirimu menenteng peti obat-obatan, sedang dalam buntalanmu yang digendong di punggungmu,
terdapat belasan potong perak. Bukankah benar begitu" Hari itu kau mengenakan baju kulit
kambing dan memakai tudung warna kuning. Bukankah begitu?"
Muka Po Si jadi pucat pasi, tangan kanannya yang mentekcl biji-biji tasbih kelihatan
bergemetaran. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia mengawasi Peng Ah Si dengan mata
membelalak. "Kemarin malamnya, Ouw toaya dan 'Kim Bian Hud' tidur seranjang," Peng Ah Si melanjutkan
penuturannya. "Dengan berdiri di luar jendela, tabib Giam mendengari pembicaraan mereka. Dari dalam kamar
'Kim Bian Hud' mengirim tinju, sehingga hidung Giam tayhu bocor dan mukanya berdarah-darah.
Menurut pengakuannya, sesudah dipukul, ia pergi tidur. Tapi dalam pengakuan itu ada sesuatu
yang tidak disebutkan. Dengan mata sendiri aku melihat, bahwa sebelum tidur, lebih dahulu ia
melakukan serupa pekerjaan. Pekerjaan apa" Dari dalam peti obat-obatan, ia mengeluarkan
semacam obat cair yang lalu dipoleskan pada golok dan pedang yang digunakan Ouw toaya dan
'Kim Bian Hud'. Waktu itu aku masih anak-anak, baru berusia belasan tahun. Aku tak tahu, bahwa
ia sedang melakukan perbuatan terkutuk. Sesudah Ouw toaya meninggal dunia, barulah aku
mendusin, bahwa Giam tayhu telah melabur racun di atas kedua senjata itu. Dia mengharap
supaya Ouw toaya dan Biauw Jin Hong mati bersama-sama. Giam tayhu, oh Giam tayhu, isi
perutmu sungguh beracun!"
"Bahwa dia mengharapkan kebinasaan 'Kim Bian Hud', dapatlah dimengerti. Dia tentu mau
membalas sakit hati, sebab dipukul. Tapi dengan Ouw toaya, dia sama sekali tidak bermusuhan.
Mengapa dia melabur juga racun di pedangnya Biauw Jin Hong" Aku terus memutar otak untuk
menjawab pertanyaan. Hm ... tak bisa salah lagi, manusia itu ingin memiliki kotak besi Ouw toaya.
"Giam tayhu mengatakan, bahwa ia tak tahu apa isinya kotak besi itu. Justa! Dia tahu! Pada
waktu Ouw toaya menyerahkan kotak besi itu kepada Hujin, ia menuang semua isinya di atas


Kisah Si Rase Terbang Soat-san Hui-hauw Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meja " Mutiara dan barang permata. Adikku,' kata Ouw toaya, 'dengan kepandaian yang dimiliki
olehmu, jika kau memerlukan uang, dengan mudah kau bisa mengambil emas-peraknya pembesar
rakus atau hartawan kejam. Tapi kalau perbuatan itu dilakukan terlalu sering, suatu kesalahan
mungkin l.ik akan dapat dilakkan. Aku . . aku ...,' Mendengar perkataan suaminya, Hujin berkata,
toako, legakanlah hatimu. Manakala terjadi sesuatu atas dirimu, aku akan memusatkan seluruh
perhatianku guna memelihara anak kita. Dengan menjual perlahan-lahan barang-luung permata
ini, ibu dan anak bisa hidup cukup untuk seumur hidup. Aku tidak akan bertempur lagi dengan
orang dan tidak akan Mencuri lagi. toako, bagaimana pendapatmu"' Seraya tertawa besar Ouw
toaya berkata, 'Bagus!' Ia mengambil sejilid kitab dan berkata pula, 'Kitab ini adalah Kun Keng To
Po (Kitab Ilmu Silat Tangan Kosong dan Ilmu Silat Golok), yang ditulis dengan tangan oleh
leluhurku.' Hujin bersenyum. 'Bagus sungguh!' katanya. 'Seluruh kepandaian 'Hui Thian Ho Li'
tertulis dalam kitab ini. Sungguh pandai kau menyembunyikan, sehingga aku sendiri sampai tak
tahu.' Ouw toaya tertawa terbahak-bahak. 'Menurut pesan leluhurku, kitab itu boleh diturunkan
kepada anak lelaki, tidak boleh diturunkan kepada anak perempuan, boleh diturunkan kepada
keponakan, tidak boleh diturunkan kepada isteri,' katanya. Itulah sebabnya mengapa ilmu silat
golok itu dinamakan Ouw Kee To Hoat' Hujin berkata, 'Nanti, sesudah anak kita mengenal surat,
aku akan menyerahkan kitab itu kepadanya. Aku berjanji tidak akan mencuri belajar.' Ouw toaya
menghela napas. Ia memasukkan pula barang-barang itu ke dalam kotak besi yang ditaruh di
bawah bantal kepala Hujin. Belakangan, sesudah Hujin membunuh diri, cepat-cepat aku masuk ke
kamarnya. Tapi di luar dugaan Giam tayhu sudah lebih dulu berada di situ dan tangannya
mendukung bayi Ouw toaya."
"Dengan hati berdebar-debar, buru-buru aku bersembunyi di belakang pintu. Tangan kiri Giam
tayhu memeluk anak itu, sedang tangan kanannya menarik keluar kotak besi dari bawah bantal.
Sesudah menekan keempat sudut dan bagian bawah kotak, tutup kotak lantas saja terbuka
sendirinya. Dengan satu tangannya ia mengangkat barang-barang permata itu, satu demi satu,
sedang ilernya menetes di lantai. Karena tak puas dengan hanya menggunakan satu tangan, ia
lalu menaruh bayi itu di lantai dan kemudian mengambil Kun Keng To Po yang lalu dibulak-balik
lembarannya. Karena tidak didukung lagi, anak itu menangis. Giam tayhu kuatir orang
mendengarnya dan ia lalu menarik selimut dan menutupi si bayi, dari kepala sampai di kaki."
'Aku kaget bukan main, sebab anak itu bisa mati mengap. Mengingat budi Ouw toaya, aku
segera mengambil keputusan untuk merebut anak itu. Tapi aku masih kecil, tidak mengerti ilmu
silat dan bukan tandingan Giam tayhu. Tiba-tiba kulihat palang pintu yang bersandar di tembok.
Indap-indap aku mengambilnya dan indap-indap pula, aku mendekati tabib itu. Kemudian, aku
menghantam batok kepalanya dengan palang pintu itu.
'Aku menghantam dengan Seantero tenaga dan tanpa mengeluarkan suara, Giam tayhu
terguling. Barang permata yang dipegangnya berhamburan di lantai. Cepat-cepat aku membuka
selimut dan mendukung anak itu. Kutahu, bahwa semua orang yang berada di situ adalah musuhmusuhnya
Ouw toaya. Jalan satu-satunya ialah membawa anak itu pulang ke rumah dan
menyerahkannya kepada ibuku untuk dirawat. Aku juga tahu; bahwa kitab ilmu silat itu sangat
penting dan tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Maka itu aku segera membungkuk dan
mengambilnya dari tangan Giam tayhu. Di luar dugaan, dalam kedaaan pingsan, dia masih
mencekelnya erat-erat. Dengari bingung aku membetotnya. 'Brett!' dua lembarannya tersobek dan
tetap tercekel dalam tangan si tabib. Tiba-tiba di luar terdengar suara ribut-ribut. Itulah suara
Biauw Jin Hong dan beberapa orang yang coba mencari anak itu. Buru-buru aku lari ke belakang
dan kabur dari pintu belakang."
"Semenjak hari itu sehingga hari ini, aku tidak pernah bertemu lagi dengan Giam tayhu. Tak
dinyana, sekarang ia sudah menjadi pendeta. Apakah ia ingin menebus dosa " dosa yang
bertumpuk-tumpuk" Dengan bantuan dua lembar kitab ilmu silat itu, ia memiliki kepandaian tinggi
dan memperoleh nama besar dalam kalangan Kang Ouw. Ia rupanya menganggap bahwa di dalam
dunia tak seorang pun tahu asal-usulnya. Ia sama-sekali tak pernah mimpi, bahwa orang yang
dahulu menghantam batok kepalanya dengan palang pintu, sampai sekarang masih hidup di dalam
dunia. Giam tayhu, coba kau memutar badan, supaya semua orang dapat melihat bekas luka di
batok kepalamu. Tanda itu adalah akibat pukulan dari si tukang menyalakan api di dapur."
Perlahan-lahan Po Si berbangkit. Semua orang mengawasinya sambil menahan napas. Mereka
menduga p.isti, bahwa pendeta itu akan menyerang. Tapi di luar dugaan, ia Ininya menyebut,
"Omitohud," dan kemudian berduduk lagi. "Selama dua puluh tujuh tahun, aku tak tahu siapa
yang sudah memukul kepalaku," katanya dengan suara perlahan. "Hari ini teka-teki telah
terpecahkan." Semua orang merasa heran Mereka tidak menduga, bahwa Po Si akan mengakui kebenarannya
ceritera Peng Ah Si. "Tapi bagaimana nasibnya anak itu?" tanya Biauw Yok Lan.
"Baru saja aku lari keluar dari pintu belakang, di belakangku sudah terdengar bentakan, 'Hei,
buduk! Bawa kembali anak itu!'" kata Peng Ah Si. "Aku tak meladeni dan lari makin keras. Orang
itu mencaci dan mengubar dan dalam sekejap, ia sudah mencekel lenganku untuk merampas anak
itu. Aku bingung. Aku menggigit belakang tangannya, sehingga berdarah."
"Guruku!" memutus Co Hun Ki.
Tian Ceng Bun melirik dan ia merasa menyesal, tapi tak berguna lagi karena perkataan itu
sudah keluar dari mulutnya. Ia merasa sangat tidak enak sebab semua orang mengawasinya
dengan sorot mata menanya.
"Tak salah, orang itu memang Tian siangkong adanya," kata Peng Ah Si. "Sampai sekarang di
belakang tangannya masih terlihat tanda bekas luka akibat gigitan. Tapi ia tentu tak akan
memberitahukan orang, siapa yang menggigitnya dan mengapa tangannya sampai digigit."
Tian Ceng Bun, Whi Su Tiong, Co Hun Ki dan Ciu Hun Yang saling mengawasi. Di dalam hati,
mereka mengakui, bahwa memang benar Tian Kui Long belum pernah menceriterakan hal gigitan
itu. 'Aku menggigit secara nekat, tanpa memperdulikan keselamatan jiwaku' kata pula Peng Ah Si.
"Biarpun berkepandaian tinggi, Tian siangkong tak kuat menahan gigitan itu, mukanya berubah
pucat pasi. Ia menghunus pedang dan membacok mukaku, kemudian membacok pula lenganku,
sehingga putus. Dalam gusarnya ia menendang, sehingga tubuhku terbang dan tercebur ke dalam
sungai. Meskipun satu lenganku sudah putus, lengan yang satunya lagi tetap memeluk erat-erat
putera Ouw toaya." 'Ah!" Biauw Yok Lan mengeluarkan teriakan perlahan.
"Begitu tercebur, aku pingsan," Peng Ah Si melanjutkan penuturannya "Waktu tersadar, aku
rebah di atas sebuah perahu. Aku mengerti, bahwa jiwaku telah ditolong orang. Anak! Anak!'
teriakku. Seorang wanita tertawa seraya berkata, Akhirnya dia tersadar juga. Anakmu ada di sini.'
Aku mendongak dan melihat, bahwa putera Ouw toaya sedang disusui oleh wanita itu.
Belakangan baru kutahu, bahwa aku baru tersadar sesudah berada di perahu itu enam hari enam
malam lamanya. Aku tahu, bahwa aku sudah berada jauh dari kampung halamanku. Sebab kuatir
musuh Ouw toaya mencelakai anak itu, aku tak berani pulang. Didengar keterangan Biauw
Kouwnio, Biauw Tayhiap sendiri menganggap, bahwa anak itu sudah mati."
"Benar," kata si nona. "Kalau begitu, ia masih hidup. Bukankah begitu" Kalau ia tahu, ayah
pasti akan merasa girang sekali. Di mana dia sekarang" Bolehkah kau mengantarkan aku untuk
menemuinya?" Ia bicara dengan menggunakan istilah "anak". Di lain saat ia ingat, bahwa untuk
puteranya Ouw It To, "anak" itu sebenarnya sudah berusia dua puluh tujuh tahun, lebih tua
sepuluh tahun daripada usianya sendiri. Mengingat begitu, paras mukanya lantas saja bersemu
dadu. "Tak dapat lagi," jawab Peng Ah Si. "Orang-orang yang berada di sini tak akan bisa turun
dengan masih bernyawa"
"Thia-thia pasti akan datang kemari untuk menolong kita," kata nona Biauw. "Sedikit pun aku
tak kuatir." 'Ayahmu dikenal sebagai seorang yang tiada tandingannya di dalam dunia," kata Peng Ah Si.
"Tapi yang dipukul, dirobohkan olehnya, hanyalah manusia, manusia biasa. Meskipun
berkepandaian tinggi, ia tentu tak akan bisa merobohkan puncak gunung yang tingginya berlaksa
tombak." 'Apakah anak itu yang menyuruh kau melakukan perbuatan ini?" tanya Biauw Yok Lan.
Peng Ah Si menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak! ... Tidak! ..." serunya. "Anak itu seorang
kesatria, tiada bedanya seperti mendiang ayahnya. Kalau ia tahu tipu-dayaku yang sangat beracun
ini, ia pasti akan mencegah."
"Bagus sekali!" bentak Co Hun Ki. "Kalau begitu kau pun tahu, bahwa perbuatanmu sangat
beracun." "Bagaimana anak itu, apa dia orang baik?" tanya Yok Lan. "Siapa namanya" Apa ilmu silatnya
tinggi" Apa pekerjaannya?"
Semenjak kecil, setiap tahun ia menyaksikan ayahnya menyembahyangi suami-isteri Ouw It To
dan setiap kali bersembahyang, "Kim Bian Hud" selalu mengatakan rasa menyesalnya, bahwa ia
tidak dapat memelihara anak itu.
Peng Ah Si menghela napas dan menjawab, "Biauw Kouwnio, jika aku tidak membakar
tambang, hari ini kau bisa bertemu dengannya."
"Apa?" menegas si nona.
"Ia telah berjanji untuk bertemu dengan majikan perkampungan ini," menerangkan Peng Ah Si.
"Pertemuan itu akan dilakukan pada waktu ngo si (antara jam 11 dan 1 siang). Sekarang waktu itu
sudah hampir tiba dan mungkin sekali ia sudah berada di bawah puncak ini."
Semua orang terkesiap. "Soat San Hui Ho?" seru mereka hampir berbareng.
"Benar," jawabnya. "Ia bernama Ouw Hui, bergelar 'Soat San Hui Ho', putera mendiang Ouw It
To, Ouw toaya." Sesudah mendengar riwayat Ouw It To, semua orang merasa kagum. Sekarang, setelah
mengetahui, bahwa "Soat San Hui Ho" putera Ouw It To, mereka ingin sekali bisa berjumpa
dengan pemuda itu. Mengingat, bahwa majikan perkampungan itu telah mengundang banyak jago
untuk menghadapinya, maka mungkin sekali si Rase Terbang tidak kalah gagahnya dari mendiang
ayahnya. "Celaka!" tiba-tiba Biauw Yok Lan berteriak. "Pembantu-pembantu yang diundang oleh majikan
perkampungan ini dan ayahku belum datang. Jika bertemu dengan Soat San Hui Ho di kaki
gunung, mereka pasti akan bertempur. Ayahku tak tahu, bahwa dialah putera Ouw pehpeh.
Bagaimana kalau ayah membunuh dia?"
Peng Ah Si tertawa tawar. "Biarpun Biauw Tayhiap bergelar 'Tah Pian Thian Hee Bu Tek Chiu',
kurasa tak gampang ia bisa membunuh Ouw siangkong." Karena di mukanya terdapat tanda bekas
bacokan golok yang sangat panjang, maka begitu tertawa, otot-ototnya tertarik dan mukanya
kelihatan sangat menyeramkan.
Sesudah berdiam sejenak, ia berkata lagi, "Hari ini Ouw siangkong ingin datang untuk
bertanding dengan Biauw Tayhiap guna membalas sakit hatinya. Tapi karena sudah menyaksikan
sendiri kecintaan antara Ouw It To Ouw toaya dan Biauw Tayhiap dan juga karena kutahu, bahwa
kebinasaan Ouw toaya sebenarnya tidak dikehendaki oleh Biauw Tayhiap, sebisa-bisa aku sudah
coba mencegahnya Tapi ia tetap pada pendiriannya dan tak mau mendengar segala bujukanku.
Belakangan, di kaki gunung kulihat Giam tayhu. Aku segera menguntit dia kemari dan akhirnya
membakar tambang dan membuang semua makanan supaya kita semua bisa mati kelaparan
bersama-sama Dengan berbuat begini, aku ingin membalas budi Ouw toaya yang sangat besar."
Semua orang saling mengawasi. Mereka merasa, bahwa kalau Po Si mesti mati kelaparan, hal
itu memang sepantasnya saja sebagai pembalasan dari kejahatannya. Tapi, bahwa mereka, yang
tak bersangkut-paut dengan peristiwa itu, harus mati bersama-sama, sungguh-sungguh harus
dibuat penasaran. Melihat sikap bermusuhan dari orang-orang itu, Po Si segera berbangkit dan membentak, "Hari
ini kita semua berada di dalam satu perahu dan kita semua harus mencari daya-upaya untuk turun
dari gunung ini. Penjahat itu ...."
Belum habis perkataannya, seekor merpati putih tiba-tiba terbang masuk ke dalam ruangan itu
dan hinggap di atas meja 'Ah! Putih, kau pun turut datang kemari," kata nona Biauw, yang
lantas saja mendekati dan memegang burung itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa pada sebelah
kaki merpati itu terikat selembar benang. Ia lalu menariknya dan benang itu ternyata sangat
panjang, sebab sesudah menarik beberapa lama, belum juga kelihatan ujungnya Dengan heran, ia
terus menarik. Tian Ceng Bun menghampiri dan membantu. Sesudah benang itu tertarik beberapa
puluh tombak, tarikannya berubah berat, seperti juga ada serupa benda yang diikatkan pada
ujungnya "Kita ketolongan!" kata Yok Lan dengan girang.
"Bagaimana kau tahu?" tanya semua orang dengan serentak.
"Merpati putih ini adalah kesayangan keluargaku," j awabnya. "Ayah sering membawa-bawanya
untuk menyampaikan warta dari satu ke lain tempat. Aku merasa pasti, sekarang ayah sudah
berada di kaki gunung dan pada ujung benang ini diikatkan serupa benda yang dapat menolong
kita" Paras muka Peng Ah Si berubah pucat. Seraya menggeram, ia melompat untuk memutuskan
benang itu. Tapi In Kiat yang berdiri di dekatnya sudah mendahului dan lalu mendorongnya,
sehingga roboh di lantai.
"Cici, hati-hati jangan sampai benang itu putus," kata Tian Ceng Bun.
Yok Lan mengangguk dan menarik terus.
Biarpun halus, benang itu sangat kuat. Makin lama, benda yang ditarik mereka jadi makin
berat, tapi benang itu tetap tidak menjadi putus. Sesudah menarik lagi beberapa lama, nona
Biauw kelihatannya capai. "Biauw Kouwnio, kau mengasolah," kata To Cu An. "Biar aku yang
menariknya." Seraya berkata begitu, ia menyambuti benang itu dari tangan si nona.
Sementara itu, Whi Su Tiong, Co Hun Ki, Lauw Goan Ho dan beberapa orang lain sudah keluar
dari pintu untuk melihat penolong apa yang diikatkan pada ujung benang. Sesudah menarik lagi
beberapa lama, di luar pintu sekonyong-konyong terdengar sorak-sorai dan hampir berbareng, To
Cu An dan Tian Ceng Bun merasa tarikannya enteng. Semua orang segera memburu keluar.
Mereka lihat Whi Su Tiong dan Co Hun Ki berdiri di pinggir tebing dengan kedua tangan bergerakgerak
tak hentinya, seperti sedang menarik sesuatu. Ternyata, pada ujung benang terikat
selembar tambang yang agak kasar dan sesudah tambang itu ditarik habis, pada ujungnya terikat
pula tambang yang lebih kasar lagi.
Semua orang kegirangan. Dengan cepat mereka mengikat ujung tambang di badan pohon
siong yang tumbuh di tepi tebing.
"Mari kita turun, biarlah aku yang turun lebih dahulu," kata Lauw Goan Ho. Seraya berkata
begitu, ia mencekel tambang dan ingin segera menyerosot ke bawah.
"Tahan!" bentak To Pek Swee. "Enak saja kau! Kalau kau turun lebih dahulu, kau bisa main
gila." Lauw Goan Ho mendelik. "Bagaimana maunya kau?" tanyanya dengan aseran.
To Pek Swee terkejut. Ia lantas saja ingat, bahwa setiap orang yang berada di puncak itu
mempunyai kepentingan pribadi dan saling tidak mempercayai. Siapa jua pun yang turun lebih
dahulu, yang lain tentu hercuriga. Maka itu, ditanya begitu ia tak dapat menjawab.
"Biarlah orang-orang perempuan turun lebih dahulu," kata Co Hun Ki. "Untuk kita, orang-orang
lelaki, diundi saja"
"Begini saja," kata Him Goan Hian. "Orang Thian Liong Bun, Eng Ma Coan dan Peng Thong
Piauw Kiok turun bergiliran, satu demi satu. Yang lain saling menjaga. Dengan begitu, kita tak
usah takut ada yang main gila"
"Begitu pun baik," kata Whi Su Tiong. "Po Si Taysu, pulangkanlah kotak besi itu." Sambil
berkata begitu, ia menghampiri Po Si dan mengangsurkan tangannya
Pada waktu menghadapi bahaya, semua orang hanya memikiri soal mati-hidupnya. Sekarang,
sesudah bahaya lewat, mereka ingat lagi kepada mustika yang luar biasa itu. Semula mereka
hanya tahu, bahwa di dalam kotak besi itu terdapat sebuah mustika luar biasa dalam Rimba
Persilatan. Mengapa benda itu dianggap sebagai mustika dan mengapa dikatakan luar biasa,
mereka tak tahu. Sesudah mendengar keterangan Peng Ah Si, bahwa golok komando itu
mempunyai sangkut-paut dengan harta karun Cwan Ong, barulah mereka mengerti
keluarbiasaannya dan mereka jadi mata merah. Sepanjang ceritera, sesudah Cwan Ong masuk di
kota Pakkhia, seorang jenderalnya yang bernama Lauw Cong Bin telah memeras sanak-keluarga
dan menteri-menteri kerajaan Beng dan emas permata yang didapat bertumpuktumpuk bagaikan
gunung. Tak lama kemudian Cwan Ong kalah perang dan harta itu tak ketahuan lagi kemana
perginya. Sekarang terdapat harapan, bahwa dari golok komando itu, orang bisa dapat mencari
harta karun tersebut. Maka itu, bagaimana orang tak jadi mata merah"
Po Si tertawa dingin. "Loolap ingin mengajukan satu pertanyaan," katanya "Apakah kemuliaan
dan kemampuan Thian Liong Bun, sehingga kamu mau mengangkangi golok mustika ini" Thian
Liong Bun sudah memegangnya hampir seratus tahun. Adalah sepantasnya saja jika sekarang
golok ini menukar majikan."
Whi Su Tiong terkejut. Dengan serentak (n Kiat, Co Hun Ki dan Ciu Hun Jang bergerak dan
berdiri di samping Whi Su Tiong.
Po Si tertawa terbahak-bahak. 'Apa kamu mau berkelahi?" tanyanya. "Dahulu, dengan
menggunakan golok, Thian Liong Bun mendapat mustika. Hari ini, di ujung golok Thian Liong Bun
kehilangan mustika. Adil, itulah ingat adil."
Whi Su Tiong gusar bukan main. Kalau menuruti napsunya, ia tentu sudah menerjang untuk
membinasakan pendeta tua itu. Tapi karena tahu Po Si berkepandaian tinggi, ia tak berani
bergerak Bukan saja tidak berani maju, ia bahkan mundur beberapa tindak karena diawasi Po Si
dengan sorot mata bagaikan kilat.
Untuk beberapa saat, puncak itu diliputi kesunyian yang menakuti.
Sekonyong-konyong, Khim Ji, pelayan Biauw Yok Lan, menuding ke bawah seraya berteriak,
"Siocia, lihat! Siapa itu?"
Semua orang terkejut dan pergi ke tepi tebing untuk menyelidiki. Mereka lihat seorang lelaki
yang mengenakan pakaian putih sedang memanjat tambang bagaikan seekor kera.
"Biauw cici, apa itu ayahmu?" tanya Ceng Bun.
Yok Lan menggelengkan kepala. "Bukan, ayah tak pernah mengenakan pakaian putih,"
jawabnya. Sementara itu, orang itu sudah datang makin dekat.
"Hei! Siapa kau?" teriak Ie koankee.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa yang sangat nyaring, begitu nyaring sehingga puncak dan
lembah seolah-olah tergetar.
Melihat Po Si berdiri di tepi jurang dengan kedua tangan memegang kotak besi, diam-diam Whi
Su Tiong menarik tangan Co Hun Ki dan memberi isyarat sambil menuding punggung pendeta itu.
Co Hun Ki mengangguk sedikit, sebagai tanda, bahwa ia sudah mengerti maksud paman gurunya.
Dengan serangan membokong, Po Si pasti akan dapat dilontarkan ke bawah tebing. Biarpun ia
memiliki kepandaian yang sepuluh kali lipat lebih tinggi, kalau jatuh ke bawah, ia pasti tak akan
bisa menyelamatkan jiwa. Sesudah Po Si binasa, kotak besi itu yang tentu tak akan rusak, bisa
dicari dengan perlahan. Demikianlah, sesudah saling mengangguk, dengan berbareng Whi Su
Tiong dan Co Hun Ki melompat ke punggung Po Si dan memukul dengan sekuat tenaga. Sesaat
itu, Po Si berdiri kira-kira satu kaki dari pinggir tebing dan Seantero perhatiannya ditujukan kepada
orang yang sedang memanjat tambang. Ia tak pernah menduga, bahwa dirinya akan dibokong
orang. Maka itulah, ia kaget tak kepalang ketika dengan mendadak ia merasa sambaran angin di
punggungnya. Pada detik bencana, ia masih keburu menggunakan ilmu Tiat Pan Kio dan badannya


Kisah Si Rase Terbang Soat-san Hui-hauw Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiba-tiba rebah ke depan.
Tiat Pan Kio adalah serupa ilmu yang sangat lihay untuk menolong diri dari serangan senjata
rahasia. Senjata rahasia biasanya menyambar cepat, sehingga, kadang-kadang orang yang
diserang tidak keburu berkelit atau melompat. Dalam keadaan begitu, dengan ilmu Tiat Pan Kio, ia
merebahkan badannya, yang dibikin kaku bagaikan mayat, ke belakang dengan kedua kaki tetap
menancap di tanah. Dengan demikian, senjata rahasia itu akan lewat di atas tubuhnya Makin
tinggi ilmunya seseorang, makin dekat tubuhnya kepada tanah. Ilmu itu dinamakan Tiat Pan Kio
sebab kaki bagaikan besi (tiat), badan kaku seperti papan (pan) dan tubuh rebah seakan-akan
jembatan (kio). Tapi Tiat Pan Kio yang digunakan Po Si agak berbeda dengan yang biasa.
Sebaliknya daripada rebah ke belakang, yaitu rebah celentang, ia rebah ke depan, rebah
tengkurup, sehingga sebagian badannya berada di tengah udara, di luar tebing.
Dalam serangan itu, Whi Su Tiong dan Co Hun Ki menggunakan seantero tenaganya Melihat si
pendeta tidak bersiap-siaga, mereka kegirangan, tapi hampir pada detik itu juga, hati mereka
mencelos sebab mereka sudah memukul angin. Whi Su Tiong yang berkepandaian lebih tinggi
dapat menolong diri. Dengan berjumpalitan, ia berhasil melompat ke samping. Tapi Co Hun Ki
menyelonong terus dan "bluss!" tubuhnya roboh ke dalam jurang!
Semua orang berteriak. Dengan tangan memegang tasbih, Po Si berkata, "Omitohud! Takdir! ...
sudah takdir." Tian Ceng Bun roboh pingsan dan To Cu An buru-buru membangunkannya. Yang
lain mengawasi ke bawah, mengawasi tubuh Co Hun Ki yang tinggi-besar melayang ke
kuburannya! Mendadak, mendadak saja, si baju putih menggaetkan kedua kakinya kepada tambang, tangan
kirinya menolak tembok puncak dan bagaikan orang main ayunan, tubuhnya terbang ke arah Co
Hun Ki. Waktu dan tenaga yang digunakan semua tepat. Dengan sekali menjambret, ia sudah
menyengkeram punggung Co Hun Ki.
Di luar dugaan, dengan suara "bret!" baju Co Hun Ki lobek, badannya terlepas dari
cengkeraman si baju putih dan terus melayang ke bawah. Hal ini sudah terjadi sebab tubuh Co
Hun Ki sangat berat, ditambah lagi dengan tenaga jatuhnya yang sangat hebat. Hampir
berbareng, kedua kaki si baju putih juga terlepas dari tambang dan badannya sendiri jatuh ke
bawah. Pada detik yang sangat, sangat berbahaya, tangan si baju putih kembali menjambret dan
ia berhasil menangkap kaki kanan Co Hun Ki. Dengan mata membelalak, semua orang mengawasi
kedua orang itu yang terus melayang ke bawah. Dengan tambang berada dalam jarak kira-kira
setombak, biarpun si baju putih berkepandaian lebih tinggi lagi, ia pasti tak akan bisa menolong
jiwanya. Untuk menolong sesama manusia, ia mesti korbankan jiwa sendiri!
Di luar dugaan, tangan kanannya mendadak terangkat dan seperti orang menyabetkan senjata,
ia menyabet tambang itu dengan tubuh Co Hun Ki.
Ketika itu Co Hun Ki sudah berada dalam keadaan lupa-ingat. Begitu menyentuh tambang,
kedua tangannya segera menyengkeram tambang itu. Bagaikan seorang yang kelelep tiba-tiba
bertemu dengan sebatang rumput, ia mencekel tambang mati-matian. Dalam waktu biasa, tenaga
Co Hun Ki tak cukup besar untuk menahan tenaga jatuhnya dua orang dari tempat yang begitu
tinggi. Tapi dalam menghadapi kebinasaan, entah dari mana, tenaganya bertambah berlipat ganda
Di lain saat, tambang itu terayun ke kiri dengan dua tubuh manusia yang menggelantung.
Dengan meminjam tenaga tambang, si baju putih mengerahkan lweekang pada pinggangnya.
Tubuhnya lantas saja terangkat naik dan tangan kirinya segera mencekel tambang itu. Sambil
menepuk pundak Co Hun Ki, ia berbisik, "Naiklah ke atas."
Mendengar bisikan itu, Co Hun Ki tersadar. Cepat-cepat ia menarik tambang dengan kedua
tangannya dan memanjatnya dengan menggunakan Seantero tenaga.
Semua orang yang berdiri di tepi menyaksikan kejadian itu sambil menahan napas.
Tak lama kemudian Co Hun Ki sudah tiba di atas dan In Kiat bersama Ciu Hun Jang segera
bantu mengangkatnya. "Siapa orang yang pakai baju putih itu?" tanya mereka dengan berbareng.
Sesudah meredakan napasnya yang tersengal-sengal, Co Hun Ki menyahut, "Orang gagah itu
minta aku menyampaikan kepada kalian, bahwa 'Soat San Hui Ho' Ouw Hui sudah tiba di tempat
ini." Semua orang yang sudah dipengaruhi oleh kejadian barusan, mencelos hatinya. "Celaka!" teriak
seorang sambil lari masuk ke dalam gedung. Tanpa memikir panjang-panjang, yang lainnya turut
memburu ke pintu. Apa mau, To Pek Swee, Lauw Goan Ho dan Whi Su Tiong tiba di mulut pintu
dengan berbareng dan karena mereka berlomba-lomba dengan penuh ketakutan, maka setibanya
di mulut pintu, mereka saling dorong seperti anak kecil. Co Hun Ki dan To Cu An berebut mau
menolong Tian Ceng Bun yang pingsan dan sekali lagi mereka hampir-hampir bertempur. Dalam
sekejap orang-orang "gagah" yang tadi berkumpul di luar pintu sudah tak kelihatan matahidungnya
lagi. Ie koankee dan Khim Ji yang mengiring Biauw Yok Lan dan berjalan paling
belakang, hampir-hampir tidak dapat pintu.
Dengan tergesa-gesa Him Goan Hian menutup pintu, sedang In Kiat lalu mengambil palang dan
memalangnya keras-keras. Karena kuatir belum cukup kuat, To Pek Swee buru-buru mengambil
sepotong balok yang lalu digunakan untuk mengganjal pintu.
Ketika itu Tian Ceng Bun sudah tersadar. '"Soat San Hui Ho' belum pernah mengenal dia,
mengapa kalian jadi begitu ketakutan?" katanya
Whi Su Tiong mengeluarkan suara di hidung. "Hm! ... Belum pernah mengenal kita?" ia
menegas. "Ayahmu dan ayahnya adalah musuh besar. Apa kau kira dia akan mengampuni
jiwamu?" "Sesudah kita melukai Peng Ah Si, dia pasti tak mau sudah," menyambung Lauw Goan Ho.
Mendadak To Cu An mendongak dan berkata, "Kita sudah mengunci pintu, apa dia tidak bisa
datang dari atas?" "Benar," kata Whi Su Tiong. "To siheng, sebaiknya kau naik ke genteng dan menjaga di atas."
To Cu An tertawa dingin. "Whi susiok berkepandaian tinggi," katanya. "Paling benar Whi susiok
yang menjaga di utas."
Sekonyong-konyong terdengar suara gedubrakan yang sangat keras dan ... palang pintu patah,
kedua daun pintu terbuka lebar! Seraya mengeluarkan teriakan ketakutan, semua orang kabur ke
belakang dan di lain saat, ruangan yang besar itu sudah tiada manusianya.
Semula, setelah mendengar ceritera Peng Ah Si, mereka ingin sekali bertemu muka dengan
putera Ouw It To. Tapi sesudah menyaksikan kelihayan "Soat San Hui Ho" dan mengingat, bahwa
sedikit-banyak mereka mempunyai permusuhan dengan keluarga Ouw, nyali mereka berubah ciut.
Perasaan takut sangat menular. Melihat yang satu kabur, yang lain ikut-ikutan. Orang-orang itu
yang biasanya sangat galak sekarang seolah-olah tikus-tikus yang diubar kucing.
Ie koankee coba mencari Po Si untuk minta bantuannya, tapi sesudah dicari di sana-sini,
pendeta itu tak kelihatan bayang-bayangannya. "Cujin (Majikan) telah menyerahkan
perkampungan ini dalam pengurusanku," pikirnya. "Biarpun mesti mati, aku haruslah menjaga
mukanya" Ia mendekati Yok Lan dan berkata dengan suara perlahan, "Nona, pergilah ke kamar Hujin dan
bersembunyi dalam kamar rahasia di bawah tanah bersama-sama Hujin. Rahasiakanlah hal ini
terhadap siapa pun jua. Orang-orang yang berada di sini, tak satu pun berhati baik. Biar aku
sendiri yang menemui 'Soat San Hui Ho'." Si nona melirik The Sam Nio dan Tian Ceng Bun.
"Bolehkah aku membawa kedua cici itu?" tanyanya
Ie koankee menggelengkan kepala "Tidak," jawabnya. "Mereka bukan orang baik. Nona dan
Hujin adalah orang-orang yang berharga ribuan emas. Tak usah nona memperdulikan orang lain."
"Apakah kau bisa menahan orang she Ouw itu, jika dia mau membunuh dan membakar?" tanya
pula Yok Lan. Sambil mencekel gagang golok yang tergantung di pinggangnya, Ie koankee menjawab dengan
suara parau, "Hari ini aku akan mengorbankan jiwa untuk membalas budinya Cujin. Aku hanya
berdoa supaya Hujin dan nona tidak kurang suatu apa."
Sesudah memikir sejenak, si nona berkata, "Sebaiknya kita berdua, aku dan kau, yang
menemui dia." Ie koankee jadi bingung. "Biauw Kouwnio, apakah kau tidak dengar perkataan pendeta itu?"
tanyanya. 'Ayahmu, Biauw Tayhiap, dan dia mempunyai permusuhan besar. Jika kau jatuh ke
dalam tangannya, maka____"
Yok Lan bersenyum dan berkata, "Sedari mendengar ceritera ayah mengenai Ouw pehpeh, aku
selalu mengharap-harap supaya anak itu masih hidup di dalam dunia dan juga, mengharap-harap,
supaya pada suatu hari aku akan bisa bertemu dengannya. Kalau hari ini aku tidak bisa bertemu
dengan dia, maka aku akan merasa menyesal seumur hidup." Suara si nona lemah lembut, tapi
penuh dengan tekad yang tak dapat diubah lagi.
Ie koankee kagum bukan main. Ia merasa, bahwa biarpun tidak bisa silat, nona Biauw tak malu
menjadi puterinya "Kim Bian Hud". Membandingkan dengan nona yang lemah itu, orang-orang
yang mempunyai gelaran-gelaran hebat, tapi yang sudah mabur seperti kawanan tikus, dengan
sesungguhnya mempunyai muka yang sangat tebal. Tadi ia merasa sangat ketakutan. Tapi
sekarang, sesudah menyaksikan sikap si nona yang sedemikian tenang, sebagian besar rasa
takutnya telah menghilang. Ia segera menuang dua cangkir teh dan berjalan keluar dengan diikut
Yok Lan. "Kami tidak dapat menyambut Ouw toaya dari tempat jauh, harap dimaafkan!" seru Ie
koankee. Ia memberi hormat dengan membawa secangkir teh.
Ketika itu, si baju putih berdiri menghadap keluar dengan badan agak membungkuk di samping
sebuah meja, entah sedang mengerjakan apa Begitu mendengar seruan Ie koankee, ia memutar
badan dan ia kaget karena melihat seorang wanita yang cantik dan ayu.
Yok Lan pun kaget sebab melihat seorang pemuda yang menyeramkan. Muka Ouw Hui penuh
berewok kasar dan kaku, rambutnya tebal dan tidak tersisir, seperti juga segunduk rumput. Sedari
kecil ia sudah menanam rasa kasihan terhadap putera Ouw It To, tapi di luar dugaan, orangnya
begitu kasar dan ganas kelihatannya. Tapi sejenak kemudian, ia berkata dalam hatinya, "Ouw It
To pehpeh juga mempunyai paras muka yang sangat angker, sehingga dapatlah dimengerti kalau
puteranya beroman bengis. Ah, aku sendiri yang sudah membayang-bayangkan secara keliru." Ia
merangkap kedua tangannya dan berkata seraya membungkuk, "Siangkong, selamat bertemu."
Pada waktu naik ke puncak itu, "Soat San Hui Ho" Ouw Hui bersiap-sedia untuk melakukan
pertempuran mati-matian melawan orang-orang yang berada di situ. Maka itu, ia heran ketika
ternyata, bahwa yang menyambutnya hanyalah seorang wanita cantik. "Tipu apa yang sedang
dijalankan oleh mereka?" tanyanya di dalam hati. Ia membalas hormat dan berkata, "Aku yang
rendah bernama Ouw Hui. Bolehkah aku mendapat tahu she nona yang mulia?"
Buru-buru Ie koankee memberi isyarat dengan kedipan mata, supaya Yok Lan menyebutkan
she palsu. Tapi si nona seperti juga tidak mengerti maksud orang dan segera menjawab, "Ouw
siheng, kita adalah sahabat turunan, hanya kita belum pernah bertemu muka. Aku she Biauw."
Ouw Hui terkejut, tapi paras mukanya tidak berubah. "Pernah apakah nona dengan 'Kim Bian
Hud' Biauw Tayhiap?" tanyanya
Ie koankee bingung, dengan tangan bergemetaran ia menarik tangan baju si nona yang tetap
tidak memperdulikannya. '"Kim Bian Hud' adalah ayahku," jawabnya dengan tenang.
Ouw Hui mendongak dan tertawa terbahak-bahak. "Sungguh beruntung! Sungguh beruntung
aku bisa bertemu dengan nona," katanya. "Tapi mengapa ayah nona tidak muncul untuk menemui
aku?" Ie koankee mencekel gagang golok sebab kuatir pemuda itu menyerang. Waktu ia melirik, nona
Biauw masih tenang-tenang saja. "Gila sungguh!" pikirnya "Dalam menghadapi musuh besar, ia
memperlihatkan muka sendiri."
"Ayah belum tiba," jawab si nona. "Kalau ia tahu, bahwa Ouw siheng adalah putera
sahabatnya, biarpun ada urusan yang bagaimana besar pun jua, ia tentu buru-buru datang untuk
bertemu dengan Ouw siheng."
Ouw Hui heran. "Nona sendiri sudah tahu asal-usulku, tapi mengapa ayahmu masih belum
tahu?" tanyanya. "Aku tahu sebab tadi kudengar penuturan sahabatmu, Peng kun (tuan Peng)," jawabnya.
"Aha! Peng sisiok juga berada di sini?" seru pemuda itu. "Mana dia?"
Ie koankee terkejut. Ia menengok ke sana-sini, tapi Peng Ah Si tidak kelihatan bayangbayangannya.
Apa yang dilihatnya hanya darah yang belum kenng. "Mungkin waktu semua orang
memperhatikan merpati yang membawa benang, dia kabur dari puncak ini," pikirnya "Dia adalah
tuan penolong Ouw Hui, sehingga kalau sampai terjadi sesuatu atas dirinya, bencana yang bakal
menimpa akan lebih hebat lagi."
Melihat Ie koankee mengawasi darah, paras muka pemuda itu lantas saja berubah. 'Apa itu
darah Peng sisiok?" tanyanya dengan suara keras.
"Benar," jawab Ie koankee.
Semenjak ditinggal oleh kedua orang tuanya, Ouw Hui dipelihara oleh Peng Ah Si dan di antara
mereka terdapat kecintaan seperti antara bapak dan anak. Maka, dapatlah dimengerti kalau
jawaban Ie koankee mengejutkan sangat hatinya. Dengan sekali melompat, ia menyengkeram
lengan kanan Ie koankee. "Di mana ia?" bentaknya. 'Apa ... apa sudah terjadi atas dirinya?"
Ie koankee merasakan kesakitan hebat di lengannya yang seperti juga dijepit dengan gelang
baja. Sambil menggigit gigi ia menahan sakit, sehingga keringat sebesar-besar kacang muncul
pada dahinya. Paras mukanya pucat-pasi dan ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata.
"Ouw siheng jangan bingung," kata Yok Lan dengan suara lemah lembut. "Peng sisiok berada di
sana." Seraya berkata begitu, ia menuding sebuah kamar samping di sebelah timur.
Ouw Hui segera melepaskan cekelannya dan dengan beberapa lompatan saja, ia sudah berada
di depan pintu yang lalu ditendangnya, sehingga terpental. Ia lihat Peng Ah Si rebah di ranjang
dengan napas tersengal-sengal. "Sisiok, bagaimana keadaanmu?" tanyanya dengan girang.
"Tak apa-apa, jangan kuatir," jawabnya dengan suara lemah
Pemuda itu mendekati dan mendapat kenyataan, bahwa muka paman itu pucat bagaikan
kertas. Rasa girangnya yang barusan lantas saja berubah menjadi rasa kuatir. "Sisiok, siapa yang
melukai kau?" tanyanya.
"Kalau mau diceriterakan sangat panjang," sahutnya. "Kalau tidak ditolong Biauw Kouwnio, aku
tidak akan bisa bertemu lagi dengan kau."
Ternyata, pada waktu semua mang memburu keluar dari toathia (ruangan tengah) karena
dalangnya merpati yang membawa benang, Biauw Yok Lan dan Khim Ji menggunakan kesempatan
itu untuk membawa Peng Ah Si ke sebuah kamar kosong di samping gedung. Belakangan Po Si
coba mencarinya untuk dibinasakan, tapi tidak bisa diketemukan.
Sebab tengah menghadapi bahaya, dia tidak keburu mencari terlebih teliti dan oleh karena
begitu, jiwa Peng Ah Si ketolongan.
Mendengar keterangan sang paman, Ouw Hui manggut-manggutkan kepala dan lalu
mengeluarkan sebutir yowan merah dari sakunya. Sambil memasukkan pel itu ke dalam mulut
sang paman, ia berkata, "Sisiok, telanlah dahulu obat luka ini."
Sesudah Peng Ah Si menelannya, hatinya agak lega dan lalu kembali ke ruangan tengah Sambil
menyoja dengan membungkuk, ia berkata, "Biauw Kouwnio, terima kasih atas pertolonganmu
kepada Peng sisiok."
Nona Biauw buru-buru membalas hormat. "Peng siya adalah seorang mulia dan siauwmoay
merasa sangat kagum," katanya. "Bantuan itu tak cukup berharga untuk dibicarakan."
Ouw Hui bersenyum dan menyapu seluruh ruangan dengan matanya yang tajam. Tiba-tiba ia
lihat lian kayu yang huiul hurufnya ditulis oleh Biauw D|in Hong dan ia merasa heran karena lian
itu bersandar di meja, sedang lian yang satunya lagi tergantung di tengah tembok (lian biasanya
sepasang dan dinamakan "tui lian").
Ia bersenyum dan lalu membacanya dengan suara nyaring,
"Dalam bahaya besar hanya mengandalkan sebatang pedang,
Ribuan emas datang hanya dengan sekali melemparkan dadu."
Ia menceguk teh dan berkata, "Huruf-huruf yang ditulis ayahmu sangat indah dan angker.
Walaupun bukan seorang pintar, aku ingin menyambut dengan sepatah dua patah. Kuharap kau
jangan mentertawai aku."
Nona Biauw mengangguk seraya menyahut, "Bagus! Aku merasa beruntung bisa menerima
pelajaran dari siangkong." Di dalam hati ia merasa girang, sebab biarpun kelihatannya kasar, Ouw
Hui ternyata dapat mengeluarkan kata-kata seorang terpelajar.
Sambil tertawa Ouw Hui menepuk tembok dan sebatang paku yang menancap di dinding lantas
saja menonjol keluar! Ia lalu menjepitnya dengan jempol dan jari tengah dan dengan
menggunakan sedikit tenaga, paku itu sudah tercabut.
Ie koankee mempunyai pengalaman luas dalam dunia Kang Ouw, tapi belum pernah ia
mendengar ceritera tentang kekuatan jari tangan yang begitu hebat. Dengan menggunakan paku
itu, Ouw Hui lalu menulis huruf-huruf di atas sebuah meja persegi dan setiap coretan masuk di
papan kira-kira setengah cun dalamnya. Meja itu terbuat daripada kayu merah yang sangat keras
dan bahwa Ouw Hui dapat berbuat begitu, dengan sesungguhnya merupakan kejadian luar biasa
dalam Rimba Persilatan. Kalau Ie koankee, sebagai seorang ahli silat, terpesona oleh tenaga jari tangan pemuda itu, Yok
Lan mengagumi huruf-huruf yang ditulisnya, yang berbunyi seperti berikut,
"Sedari lahir tulangnya bukan tulang sembarang orang,
Belum berkumis sudah menjadi seorang taytianghu, *)
Dalam menghadapi bahaya hanya mengandalkan sebatang pedang,
Ribuan emas datang hanya dengan sekali melempar dadu.
Janganlah nyanyikan lagu kedukaan,
Dunia ini hanya merupakan sebuah impian."
Menulis sampai di situ, ia berhenti dan mendongak mengawasi genteng untuk memikirkan dua
baris yang berikutnya. Tiba-tiba Yok Lan berkata, "Di empat penjuru mengikat persahabatan. Dalam pertemuan, tanya
dahulu, kawan atau lawan."
"Benar," kata pemuda itu sambil tertawa. Sesudah selesai menulis, ia mengulangi dengan suara
kagum, "Di empat penjuru mengikat persahabatan. Dalam pertemuan, tanya dahulu, kawan atau
lawan." "Dari tempat jauh Ouw siheng datang di sini, tapi menyesal di gedung ini tak ada makanan
untuk menjamu kau," kata si-nona. "Khim Ji, ambillah arak."
"Majikan rumah ini telah berjanji untuk bertemu dengan aku pada waktu ngo si, tapi mengapa
dia masih belum muncul?" tanya Ouw Hui.
"Karena ada urusan penting, ia turun ke bawah dan sampai sekarang belum kembali," jawab si
nona. "Untuk pelanggaran janji itu, siauwmoay terlebih dahulu ingin meminta maaf."
Melihat sikap dan mendengar perkataan nona Biauw, bukan main rasa herannya Ouw Hui.
"Kata orang, keluarga Biauw, Hoan dan Tian terdiri dari jago-jago lihay," katanya di dalam hati.
"Tapi mengapa semua lelaki bersembunyi dan mereka mengajukan seorang wanita lemah untuk
menghadapi aku" Nona ini sedikit pun tidak mengunjuk rasa takut. Apakah ia memiliki ilmu silat
sangat tinggi yang sengaja disembunyikan?"
Selagi ia bersangsi, Khim Ji sudah keluar dengan sebelah tangan menyangga sebuah nampan,
yang terisi sebuah poci arak dan cangkir. Ia menaruh nampan itu di atas meja dan sambil
menuang arak ke cangkir, ia berkata seraya tertawa, "Ouw siangkong, ayam, bebek, ikan, daging,
sayur dan bebuahan di puncak ini semuanya telah dilemparkan ke bawah oleh Peng siya-mu.
Maaf. Kami hanya bisa menyuguhkan kau secawan arak putih."
Sehabis berkata begitu, Khim Ji mengangsurkan nampan dan pada detik nampan itu berada di
antara Ouw Hui dan Yok Lan, tiba-tiba pemuda itu mengangkat tangan kirinya dan mendorong
nampan tersebut ke arah pundak si nona. Dorongan itu sangat enteng, tapi disertai tenaga dalam,
sehingga jika tidak dilawan dengan tenaga dalam jua, orang yang tersentuh seperti juga ditusuk


Kisah Si Rase Terbang Soat-san Hui-hauw Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senjata tajam. Yok Lan yang tidak mengerti ilmu silat hanya mengangkat kedua tangannya dalam
gerakan biasa untuk mendorong balik nampan itu.
Ie koankee terkesiap. Ia tahu, bahwa kepandaiannya masih kalah terlalu jauh dan andaikata ia
mau coba menolong, pertolongan sudah tidak keburu lagi. "Celaka!" ia mengeluarkan seruan
tertahan. Pada detik yang sangat berbahaya, bagaikan kilat tangan Ouw Hui menyambar dan menjepit
nampan itu dengan kedua jarinya. Gerakannya tepat sekali dan nampan tertahan pada saat
menyentuh pakaian si nona. Yok Lan sama sekali tak pernah mimpi, bahwa barusan, dari hidup ia
menuju ke kebinasaan, dan dari kebinasaan, ia hidup kembali.
"Ayahmu adalah seorang yang ilmu silatnya tiada tandingan dalam dunia ini, tapi mengapa ia
tidak mengajar ilmu itu kepada nona?" tanya Ouw Hui.
"Karena ayah ingin mengakhiri permusuhan yang sudah berjalan lebih seabad," jawabnya. "Ia
telah mengambil keputusan untuk tidak mengajar Biauw Kee Kiam Hoat kepada siapa pun jua"
Ouw Hui terkejut, sehingga cawan yang sudah diangkatnya berhenti di tengah udara. Sesaat
kemudian, barulah ia menceguk isi cawan itu. "Biauw Jin Hong! Oh, Biauw Jin Hong! Kau sungguh
pantas mendapat gelar Tayhiap!" serunya
"Kuingat ceritera thia-thia mengenai pertemuannya dengan ayahmu," kata si-nona. "Waktu itu,
ayahmu mengundang ayahku untuk minum arak. Ada orang menasehati supaya ayah berjaga-jaga
akan kemungkinan ditaruhnya racun di dalam arak. Kata ayah, 'Ouw It To adalah seorang gagah
pada jaman ini. Tak mungkin ia melakukan perbuatan serendah itu.' Hari ini aku menyuguhkan
arak dan Ouw siheng pun sudah minum tanpa ragu-ragu. Apa kau tidak kuatir diracuni?"
Ouw Hui tertawa dan mengeluarkan sebutir pel merah dari mulutnya 'Ayahku binasa karena
diakali orang," katanya. "Jika tidak berhati-hati, bukankah aku seorang tolol" Yowan ini dapat
memunahkan segala rupa racun. Tapi sekarang, sesudah mendengar perkataan nona, aku jadi
malu dan merasa bahwa pemandanganku sempit sekali." Sehabis berkata begitu, ia menuang pula
secawan arak yang lalu diceguk sehingga kering.
"Di gunung ini tidak ada makanan untuk minum arak," kata Yok Lan. "Siauwmoay merasa malu,
karena tidak bisa menyuguhkan siheng secara selayaknya. Orang jaman dahulu minum arak
sambil membaca kitab Hansu. Siauwmoay ingin menabuh Hankhim untuk menggembirakan
siheng, tapi kukuatir siheng akan menertawai."
Ouw Hui girang. "Bagusi" serunya "Cobalah, cobalah! Aku ingin sekali mendengar lagu-lagu
merdu yang ditabuh nona."
Tanpa menunggu perintah, Khim Ji segera masuk ke dalam dan keluar dengan membawa
sebuah khim yang lalu ditaruh di atas meja Ia pun segera menyulut sebatang hio wangi dan
menancapkannya di hiolo. Yok Lan menabuh lagu "Sian Ong-Sian Ong." Sesudah memetik beberapa saat, ia menyanyi,
"Hari yang mendatang diliputi kesukaran, Mulut membakar, lidah kering, Hari ini penuh
kebahagiaan, Ramai-ramai bergembira-ria, Gunung tinggi-tinggi, Cico menari-nari, Dewa Ong
Kiauw, Menghadiahkan sebutir yowan."
Sampai di situ ia berhenti menyanyi, tapi suara khim berkumandang terus. Ouw Hui tahu,
bahwa yang dinyanyikan si nona adalah sajak "Sian Cay Heng," sebuah sajak yang melukiskan
pembicaraan antara tuan rumah dan tamu dalam sebuah perjamuan di jaman dahulu. Semenjak
ahala Han dan Gui, sajak itu sudah jarang dikenal orang. Sungguh tak dinyana, dalam usahanya
untuk membalas sakit hati di kali ini, ia mendengar sajak yang tua itu. Empat kalimat yang di
depan melukiskan ajakan tuan rumah supaya tamunya minum arak, sedang empat kalimat yang
belakangan ialah pemberian selamat panjang umur dari pihak tamu. Tadi Ouw Hui mengulum
yowan (pel) untuk memunahkan racun. Dalam nyanyian itu kebetulan terdapat kata-kata "cico"
(rumput lengci yaitu rumput dewa) dan "yowan."
Sambil mengawasi sebatang pedang yang tergantung di dinding, Ouw Hui berkata, 'Ada arak,
ada nyanyian. Ada khim tidak bisa tidak ada pedang." Seraya berkata begitu, ia mengambil senjata
itu dan menghunusnya. Hawa dingin menyambar dari badan pedang yang berkilau-kilauan dan ia
tahu, bahwa senjata itu senjata mustika
Ia segera menuang secawan arak dan kemudian, dengan tangan kiri mencekel cawan dan
tangan kanan memegang pedang, ia mulai menari-nari sambil menyanyikan lagu seperti berikut,
"Hanya sayang tangan bajuku pendek,
Lenganku terbuka dan kedinginan,
Kumalu tak punya sesuatu.
Untuk membalas Tio Soan"
Nyanyian itu berarti, bahwa si tamu merasa malu tidak bisa membalas budi tuan rumah, karena
ia sangat miskin dan tak punya sesuatu yang berharga (tangan baju pendek dan lengan
kedinginan berarti miskin).
Mendengar jawaban dari sajak "Sian Cay Heng" juga, Yok Lan jadi girang. "Dia ternyata 'Bun Bu
Siang Coan' (mahir ilmu surat dan ilmu silat)," katanya di dalam hati. "Jika thia-thia tahu, bahwa
Ouw pehpeh mempunyai putera yang begitu pintar dan gagah, ia tentu akan bersyukur." Karena
hatinya senang, sambil bersenyum si nona lalu menyanyi pula,
"Rembulan menyelam, Bintang Pak Tauw naik, Sahabat di ambang pintu, Lapar tidak keburu makan,"
Sajak itu berarti, bahwa karena kunjungan seorang sahabat, ia jadi begitu bergirang sehingga
ia lupa makan, biarpun perutnya sangat lapar.
Sambil bersilat, Ouw Hui segera menyambungi,
"Kesenangan terlalu sedikit,
Kejengkelan terlampau banyak,
Bagaimana melupakan kedukaan" Tabuh-tabuhan, arak dan nyanyian.
Pat Kong dari Hoaylam, Luar biasa, Mengendarai kereta enam naga,
Pesiar di angkasa." Empat kalimat yang belakangan adalah untuk memberi selamat panjang umur kepada tuan
rumah dan merupakan jawaban pada sajak tuan rumah yang lebih dahulu.
Sesudah menyanyi, sambil melontarkan pedang ke udara, Ouw Hui menceguk arak dan
kemudian menangkap gagang pedang yang melayang turun. Tiba-tiba terdengar suara "cring!"
dan si nona pun berhenti memetik khim. Mereka berdiri berhadapan dan saling memberi hormat.
Ouw Hui lalu memasukkan pedang ke dalam sarung dan menggantungnya kembali di dinding.
"Karena tuan rumah belum pulang, biarlah besok kudatang lagi," katanya sambil menuju ke kamar
samping di sebelah timur dengan tindakan lebar. Ia keluar lagi dengan menggendong Peng Ah Si
dan sesudah membungkuk kepada Yok Lan, segera bertindak ke arah pintu. Si nona
mengantarnya sampai di ambang pintu. Dengan sekali berkelebat, pemuda itu sudah mulai
merosot turun dari tambang yang menggelantung.
Yok Lan berdiri terpaku dan bagaikan linglung, ia mengawasi gunung yang tertutup salju.
"Siocia, apa yang dipikir olehmu?" tanya Khim Ji. "Masuklah. Di sini dingin sekali."
'Aku tak dingin," jawabnya. Ia pun tak tahu, apa yang dipikirnya Sesudah didesak dua kali lagi,
barulah ia memutar badan dan kembali ke gedung dengan tindakan perlahan.
Di ruangan tengah sudah berkumpul banyak orang " orang-orang yang tadi bersembunyi.
Begitu Yok Lan masuk, mereka berbangkit dan berebut mengajukan pertanyaan.
"Apa dia sudah pergi ?"
"Apa yang dikatakan dia ?"
"Kapan dia kembali ?"
'Apa dia datang untuk membalas sakit hati!'"
"Siapa yang dicari dia?"
Di dalam hati, si nona memandang mereka sebagai manusia-manusia rendah yang bernyali
tikus. Dalam menghadapi bahaya, mereka kabur dan meninggalkan seorang wanita untuk
menghadapi musuh. Maka itu, ia menjawab dengan suara dingin. "Ia tidak mengatakan apa pun
jua." 'Aku tak percaya," Po Si. "Kau telah menemani dia laa sekali. Biar bagaimana pun juga, mesti
ada sesuatu yang dinyatakan olehnya."
Sambil menunjuk meja, Yuk Lan berkata, 'Apa yang ingin dikatakan olehnya sudah ditulis di
atas meja itu." Tulisan itu siang-siang sudah dilihat Po Si yang merasa tidak enak waktu membaca kalimat
yang berbunyi, "Dalam pertemuan. tanya dahulu kawan atau lawan" Mendengar jawaban Yuk Lan
ia tidak berani membuka mulut lagi.
Melihat paras muka orang-orang itu yang penuh rasa takut di dalam hati si nona lantas saja
timbul ingatan untuk menggertak mereka. "Menurut katanya saudara Ouw itu, kedatangannya
adalah untuk membalas sakit hati karena ayahnya telah dibunuh orang," katanya. "Hanya sayang,
musuh telah menyembunyikan diri. Sekarang ia menjaga di kaki gunung untuk membinasakan
Suling Emas Dan Naga Siluman 16 Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Pendekar Cengeng 7

Cari Blog Ini