Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok Bagian 16
kesembilan Sing-siok baru saja ke luar, tahu2 Loh-bi jin juga
menubruk ke arahnya. Keruan dia kaget, sedapatnya dia miringkan tubuh sambil melompat meluputkan diri dari tusukan orang
berbareng tangan kirinya tahu2 mencakar dan menangkap
pergelangantanganLoh-bijinyangpegang pedang.
Gerakan mundur sambil menyerang ini dibarengi tangan lain
melolos sebatang pedang warna hitam legam, dengan senjata di
tangan dia kelihatan beringas, teriaknya bengis: "Budak . . . . !"
belum lagi lanjut, pada saat itulah didengarnya suara ledakan
ramai disertai percikan api yang segera ber-kobar.
Waktu dia berpaling, dilihatnya kesembilan Sing-siok yang
dipimpinnya telah terjilat api, badan masih mengapung di udara, kaki tangan mencak2 gugup dan takut. Tentu saja kagetnya tidak
kepalang. Menyurut mundur sedikit, Loh-bi-jin unjuk rasa puas
kemenangan, pedang tetap menuding musuh, katanya dingin:
"Orang she Siu, kau sudah lihat bukan" Cap ji-sing siok yang kalian banggakan dalam sekejap akan menjadi setumpukan abu, dan kau
juga takkan lolos dari kematian."
Gusar Hoanthianeng bukan main, hardiknya murka: "Budak,
akan kubelah badanmu hidup2." Pedangnya bergetar turun naik, segera dia hendak menubruk maju.
Tapi Loh-bi-jin telah membentak sambil mengancam dengan
pedang, serunya: "Berdiri, dengarkan dulu bicaraku sampai habis."
Mata tunggal Hoanthianeng seperti memancarkan bara,
bentaknya gusar sekah: "Budak keparat, omong apa, lekas
katakan.' "'Baiklah kuberitahu padamu, bukankah dibelakangmu berdiri dua orang dara kembang" Cukup aku memberi tanda kepada
mereka. kaupun segera akan terjilat api dan mampus menjadi abu, tapi nona ingin kau mampus tanpa menyesal, marilah kita
bertanding sampai titikterakhirdengan pedang."
Ternyata dua puluh dara kembang masih ada dua orang yang
menganggur, delapan belas orang menghadapi sembilan Sing-siok,
dua orang lain secara diam2 telah mencegat jalan mundur
Hoanthianeng. Mendengar jerit ngeri sembilan Sing-siok yang terbakar mati itu, perasaan Hoanthianeng sudah tidak keruan, baru sekarang dia
sadar bahwa Pek-hoa-pang meluruk kemari dengan persiapan
matang. Mendengar Loh-bi-jin menantang dirinya bertandang
pedang, diam2 dia bergirang, batinnya. "Budak keparat, kau sendiri yang cari mampus." Mata tunggalnya menatap Loh bi-jin, katanya dengan menyeringai beringas: "Baik, ingin Lohu saksikan betapa tinggi ilmu pedangmu?" Sembari bicara segera tangan kanannya bergerak, pedang seketika bergetar menimbulkan bayangan
berlapis, bentaknya: "Awas!" Belum lenyap suaranya, pedang sudah bergerak secepat angin, sekaligus dia menusuk tiga kali.
Memang tidak malu kalau orang ini dulu merupakan salah satu
dari 36 panglima Hek-liong-hwe, serangan pedangnya cepat dan
keji, yang terlihat hanya bayangan hitamyang berputar menusuk.
Melihat dara2 kembang sudah sukses, besar hati Loh-bi jin lebih mantap, tanpa menyingkir ia menghardik: "Serangan bagus!"
Pedang terayun, badan bergerak mengikuti gaya pedang, serangan
Hoanthianeng yang ketat itu diterjangnya.
Sudah tentu Hoanthianeng melengak heran dan ber-tanya2:
"Memangnya budak ini ingin mampus?" Tapi pada detik yang gawat itulah, seketika dia menyadari gelagat kurang wajar. Di
tengah gerakan Loh-bi-jin yang memutar itu, pedangnya
memancarkan kemilau yang berpencar seperti puluhan banyaknya
dan sekaligus merangsak kearahnya dari berbagai arah, cahaya
yang terang itu menyilaukan matanya, sayup2 kupingnya juga
mendengar suara gemuruh, setombak sekelilingnya seperti sudah
terkurung oleh hawa pedang lawan yang dingin tajam.
Kaget dan berubah hebat air muka Hoanthianeng, puluhan
tahun dia berkecimpung di Kangouw, belum pernah dia
menyaksikan ilmu pedang sedahsyat ini.
Sudah tentu dia tidak berani ayal, untuk menyelamatkan jiwa
terpaksa dia jatuhkan diri, dengan memeluk pedang dia terus ber-guling2 setombak lebih. Cara yang ditempuhnya ini ternyata
membawa hasil. Maklum jurus yang digunakan Loh-bi-jin ini adalah "Naga
bertempur di tegalan", serangan ganas yang mematikan untuk menghadapi musuh tangguh, Hoanthianengpun tak mampu
mematahkan serangan ini, cuma cara dia meniru keledai
bergelinding di tanah ternyata berhasil menolong jiwanya, sinar pedang ternyata tidakmelukainya.
Walau jiwanya lolos dari serangan maut, tak urung keringat
dingin sudah membasahi badannya, setelah berada di luar
jangkauan cahaya pedang lawan baru dia melejit bangun terus
melayang jauh ke jalan pegunungan sana.
"Kemana kau mau lari?" damprat Loh-bi-jin. Segera iapun menubruk ke sana sepesat anak panah, selarik sinar perak
meluncur bagai naga sakti mengamuk di udara, di tengah udara
dia menyerang musuh. Sementara Hoanthianeng sendiri masih terapung di atas,
mendadak terasa hawa dingin mengancam dari belakang, kagetnya
bukan main, batinnya: "Budak ini pandai mengendalikan pedang terbang" Hati berpikir tanganpun terayun ke belakang dengan pedang membacok.
"Trang", bentrokan dua pedang mengeluarkan gema suara, bayangan merekapun seketika melorot turun. Tapi gerakan
Sinliong jut-hun (naga sakti keluar mega) yang dilancarkan Loh
bi-jin dari tengah udara ini baru setengah gerakan saja, begitu tubuh meluncur turun, cahaya pedangpun segera menyamber pula.
Sudah tentu hal ini di luar dugaan Hoanthianeng, baru saja kaki hinggap di tanah, seluruh badan seketika terbungkus pula oleh
cahaya pedang lawan, di mana mata pedang berkelebat, seketika
dia menjerit ngeri seperti bambu yang terbelah menjadi dua, tahu2
badan Hoanthianeng roboh ke dua arah, badannya terbelah
menjadi dua potong dan terkapar ditanah.
Dengan gampang para dara kembang telah membereskan
kesembilan Sing-siok, kini dengan dua jurus permainanr Tinpangkiam-thoat Loh-bi-jinq juga telah menamatkan perlawanan
Hoanthianeng. Maka kawanan Hek-liong-pang di sebelah barat
telah tertumpas habis seluruhnya.
Sementara di sebelah timur, Jianjiu-koanim Liu-siancu masih
tetap bercokol di dalam tandunya, hanya menonton tanpa
bergerak. Sementara Kongsun Siang bersama Hou-hoat-cu-cia
bersenjata lengkap siaga dalam jarak lima tombak. Sudah tentu
kalau Liusiancu benar2 mau turun tangan, Kongsun Siang berlima
takkan mampu menahannya" Tapi kenyataan sejauh ini di sebelah
timur tetap tenang dan damai.
Dalampada itu Ko-lotoasudahberhantamratusanjurus melawan
Ci Hwi-bing. Sebagai Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing memang memiliki kepandaian yang boleh dibanggakan, meski berhadapan dengan
teman lama, namun dia tidak kenal kasihan lagi, begitu sengit
pertempuran kedua orang ini, sinar pedang tampak melibat badan
masing2, kesiur angin tajam mendampar kencang, dalam jarak dua
tombak sekeliling terasa arus dingin me-nyamber2.
Tombak gantol Ko-lotoa ternyata bermain dengan hidup sekali,
aneh memang gaya tumbaknya, lain daripada yang lain, disamping
menusuk tumbaknya juga digunakan membelah, menutul,
menggaruk dan memapas, Hiat-to lawannya selalu terancam oleh
tumbaknya. Malah dua gantolan di ujung tumbaknya disamping
dapat menggantel dan menggaruk juga dapat mengunci senjata
lawan, begitu tangkas dan gesit dia memainkan tumbaknya
schingga tubuhnya seakan2 terbalut di dalam samberan angin
kencang. Dua orang teman lama dari ke 36 panglima Hek-liong-hwe
sekarang harus adu jiwa di medan laga sebagai musuh,
kepandaian merekapun sembabat, sejauh mana sukar dibedakan
siapa bakal menang dan kalah. Biarpun ratusan jurus lagi juga
sukar diakhiri. Song Tek-seng dan Thio Lam-jiang masih tetap satu lawan dua,
mereka masih bergerak lincah dan cekatan, keadaan masih sama
kuat alias setanding. Tapi jarak empat orang lawan sangat berdekatan, sama2 mengenakan pakaian hitam ketat, bersenjata
pedang panjang warna hitam beracun lagi, malah muka
merekapun sama2 kuning kaku. Lama kelamaan setelah ganti
berganti saling serang, akhirnya empat orang bersatu merangsak
kedua lawannya. Sudah tentu perkembangan ini jauh berbeda
dengan keadaan semula. Mereka berkelit kian kemari dan berputar ke sana-sini, yang
satu maju yang lain mundur silih berganti, sehingga kedua
lawannya selalu terkepung di tengah. Secara langsung dua
berhadapan dengan empat, kirikanan dan muka-belakang Song
Tek seng berdua selalu terancam senjata lawan, lebih celaka lagi karena keempat musuhnya dapat kerja sama dengan baik sekali.
Kalau orang lain menghadapi lawan yang main keroyokan,
biasanya mereka akan adu punggung untuk membendung
rangsakan musuh, jadi mereka tetap bisa satu lawan dua,
Sayang Thio Lam-jiang adalah murid Hing-sanpay,
Hing-sankiamhoat harus dikembangkan secara berlompatan,
melambung ke atas dan menyerang lawan dari atas kepala, kalau
dia harus adu punggung dengan Song Tek-seng, itu berarti dia
tidak sempat mengembangkan ilmu pedang perguruannya.
Karena itu Thio Lam-jiang tetap mainkan Hing-sankiam-hoat
sambil melompat naik turun, tapi berat bagi Song Tek-seng yang
harus menghadapi lawan dari depan. Loanbi bong-kiam-hoat Go bipay meski juga ilmu pedang lihay dan sukar diraba arah
sasarannya, tapi di bawah kepungan keempat lawannya, lama2 dia
terdesak di bawahangin. Walau ThioLamjiangselalu
memberibantuan dengan sergapannya, paling hanya sekedar
mengacaukan gerakan musuh, keadaan tetap tidak
menguntungkan seperti waktu satu lawan dua tadi. Apalagi main
lompat dan menukik dari atas paling menguras tenaga, lama2 dia
kehabisan tenaga juga. Padahal pertempuran berlangsung semakin
sengit, tapi permainan pedang Song Tek-seng dan Thio Lam-jiang
justeru semakin lemah dan kendur.
Sementara itu Ling Kun-gi sudah berhantam ratusan jurus
melawan Tokko Siu. Selama itu Lam-sat-sin berpeluk tangan di luar arena, agaknya dia menjaga gengsi, tidak mau main keroyok..
Muka kudanya tampak merengut, dengan tajam mengawasi
pertempuran. Cakar tangan Tokko Siu merangsak dengan buas dan liar, tapi
Kim-liong-jiu yang dilancarkan dengan kedua tangan Kun-gi
gerakannya saling berlawanan, terutama tangan kidalnya
menyerang lebih bagus lagi, selalu Hiat-to yang diincar,
gerakannya indah dan menakjubkan, betapapun lihay serangan
Tokko Siu selalu dipaksanya menarik kembali di tengah jalan.
Selama ratusan jurus saling serang ini, belum pernah keduanya
mengadu pukulan secara keras namun demikian mereka toh sama2
merasa bahwa tipu serangan lawan amat berbahaya dan cukup
mengejutkan siapapun yang menyaksikan.
Di tengah pertempuran seru itulah, mendadak dari arah jauh di
sana beruntun berkumandang dua kali sempritan melengking
panjang. Mendadak Tokko Siu melancarkan dua serangan cepat secara
beruntun terus menarik diri melompat ke belakang, teriaknya
dengan suara sumbang: "Berhenti!"
"Tokko-heng, apakah kau ingin aku maju sekarang?" tanya Dian Yu-hok.
"Tidak," sahut Tokko Siu.
Kun-gi juga sudah berhenti, katanya: "Loheng, masih ada
petunjuk apa?" "Anak muda, kau memang sudah mendapat warisan kepandaian
Hoanjiu-ji-lay, orang yang mampu melawan ratusan jurus dengan
Lohu tidak banyak lagi di Kangouw, tapi Lohu yakin dalam 10 jurus lagi pasti dapat merenggut nyawamu . . . . ."
"O, jadi selama ratusan jurus tadi aku masih hidup berkat
kemurahan hatimu?" ejekKun-gi.
"Waktu Lohu bersama Dian heng kemari, Hwecu telah pesan
wanti2 bahwa orang2 Pek-hoa-pang boleh dibabat habis kecuali
kau anak muda yang bernama Ling Kun-gi ini yang harus ditawan
hidup2. " Kun-gi membatin: "Agaknya Hek-liong-hwe amat
memperhatikan diriku, mungkin lantaran aku dapat memunahkan
getah beracun itu." Maka dengan tersenyum dia berkata: "Loheng berdua ingin
menawanku hidup2?" "Lohu sudah bergebrak ratusan jurus dengan kau, kudapati Capji-kim-liong-jiu dapat kau mainkan secara berlawanan dengan
tangan kirikanan sehingga banyak tipu2 seranganku terbendung di tengah jalan, baru sekarang kutahu untuk menawanmu hidup2
memang tidak mudah."
"Loheng terlalu memuji," ucap Kun-gi.
Serius sikap Tokko Siu, katanya: "Lohu bicara sebenarnya, tapi dalam 10 jurus Lohu dapat merenggut nyawamu, oleh karena itu
Lohu teringat akan satu hal."
"Loheng punya pendapat apa?"
"Kau bukan tandinganku, hal ini tak perlu di bicarakan lagi, maka lebih baik tak usah bergebrak lagi, ikutlah Lohu menemui
Hwecu saja." "Cayhe memang sangat ingin bertemu dengan Hwecu kalian,
apakah sekarang juga kita berangkat?"
Tokko Siu tertawa sambil mengelus jenggot, katanya: "Untuk menemui Hwecu tidak semudah itu, paling tidak Lohu harus
menutuk beberapa Hiat-tomu dulu baru boleh kubawa kau
menemui beliau, tapi Lohu berjanji, kau tidak akan terganggu
seujung rambutpun." "Jadi maksudmu supaya Cayhe menyerah dan rela dibelenggu?"
ucap Kun-gi. "Begitulah maksudku, cara ini bukan saja dapat melindungi
nyawamu, kami berduapun dapat menunaikan tugas pada Hwecu."
Dian Yu-hok mengangguk, tukasnya: "Omongan Tokko Siu
memang betul. Anak muda, kalau kau mau ikut, soal kematian
murid2 kami boleh tidak usah diperhitungkan lagi."
Kun-gi menengadah sambil ter-bahak2, katanya: "Sayang Cayhe belumkalah, maksudbaikkalianbiarlahkuterimadalamhatisaja."
Tatkala mereka berbicara, sementara pertempuran di arena lain
sudah terjadi banyak perubahan, Loh-bi jin dengan ilmu pedangnya yang sakti telah membelah mati tubuh Hoanthianeng Siu Eng yang
dipercayakan memimpin kesembilan Sing-siok. Sedang sembiian
Sing-siok yang kebal senjata itupun sudah terbakar menjadi abu, malah apipun telah padam. Sementara Jianjiu-koanim Liut-siancu
yang membendung arah timur, begitu terdengar suara sempritan
melengkingtinggitadisegeradia mengundurkandirisecaradiam2.
Kini tinggal Ko-lotoa yang masih berhantam sengit melawan Ci
Hwi-bing, demikian juga, empat orang berbaju hitam masih
mengepung Song Tek-seng dan Thio Lam-jiang dan baku hantam
tak kalah serunya. Di tengah tanah lapang berumput itu, tandu hitam yang biasa
dinaiki Thay-siang tetap berada di sana terjaga ketat oleh Ting Kiau dan empat rekannya.
Kongsun Siang mendahului melompat maju ikut terjun ke
medan laga, sekali tubruk, "sret", pedangnya menyerang miring dari samping ke arah Ci Hwi-bing.
Selama menghadapi Ko-lotoa masih setanding, sejak mendengar
suara sempritan tadi, perasaan Ci Hwi-bing sudah mulai kalut dan sudah timbul niatnya untuk mundur saja. Kini melihat Kongsun
Siang menubruk tiba seraya menyerang, tanpa ayal beruntun
tangannya bergerak melancarkan serangan berantai sehingga
kedua lawan dipukul mundur, mendadak kedua kaki menutul,
bagai panah meluncur tubuhnya melayang ke arah Ui liong-tong.
Dalam pada itu Loh-bi-jin juga telah menarik dara2 kembang
ketanah berumput, dara2 kembang dia suruh berpencar melindungi
tandu, sambil menenteng pedang, beruntun dua kali lompatan dia
memburu ke arena Song Tek-seng dan Thio Lam-jiang, tanpa
bersuara pedangnya lantas menyerang,
Untuk mengakhiri pertempuran secepatnya, sekali serang dia
gunakan tipu "naga sakti keluar mega", selarik sinar bagai rantai perak terbang melintang, orangnya tiba pedangpun bekerja.
Sinliong-jut-hun (naga sakti keluar mega) adalah salah satu
jurus Hwi-liong-kiam-hoat yang ampuh, kekuatannya dahsyat tiada taranya. empat laki baju hitam hanyalah tingkat Sincu yang lebih rendah dari Ui-liong-tongcu, mana mampu mereka bertahan atau
menangkisnya. Maka terdengarlah jeritan menyayatkan hati, dua
orang seketika tersapu roboh dengan badan terpapas kutung
menjadi dua tepat sebatas pinggang mereka.
Saat mana Song Tek-seng dan Thio Lam-jiang sudah terdesak di
bawah angin dan terancam bahaya, kini memperoleh pertolongan
yang sekaligus terbunuhnya dua musuh, keruan berkobar pula
semangat tempur mereka. Thio Lam-jiang menghardik seraya
melejit ke atas, pedang menabas ke salah seorang baju hitam di
depannya. Sementara Song Tek-seng berbareng juga membalik
pedang, bagai hujan badai beruntun ia menusuk tiga kali.
Melihat Tongcu mereka melarikan diri, sementara dua teman
mereka roboh binasa, kedua orang baju hitam yang tersisa ini
menjadi gugup, berbareng mereka menggertak tapi terus
melompat mundur dan lari sipat kuping.
Lembah gunung yang seluas itu, kini menjadi sepi lengang, di
Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanah lapang berumput di depan gua hanya tampak orang2 Pekhoa-pang berdiri berjajar teratur. Entah kapan empat lampu
lampion yangtergantungdiatasngaraitadipun padam.
Kongsun Siang, Song Tek-seng, Loh-bi-jin dan lain2, karena
Kungi masih berhadapan dengan kedua kakek, tanpa perintah sang
Cong-su-cia betapapun mereka tidak berani sembarang bergerak,
terpaksa mereka menonton saja dari samping.
Terlalu panjang beberapa kejadian ini dituturkan deugan kata2,
padahal kejadian hanya berlangsung dalam sekejap saja. Tokko Siu yang membujuk Ling Kun-gi tidak berhasil dan malah diejek
menjadi naik pitam. biji matanya mernancarkan cahaya dingin,
dengusnya: "Anak muda. baik-lah coba kau hadapi dulu satu dua jurus pukulanku, nanti kau akan tahu bahwa omonganku bukan
bualan belaka." Tangan bergerak langsung kepalannya menggenjot lurus kedepan.
Pukulan ini jauh berbeda dengan serangan ber-tubi2 tadi,
damparan angin yang dingin membeku tulang segera menerjang
ke depan. "Hianping-ciang,'' diam2 Kun-gi berteriak dalam hati. Cepat dia mainkan jurus Hwi-po-liu-cwan (sumber mengalir muncrat
beterbangan), dia sambut pukulan lawan dengan kekerasan. Begitu kedua tangan mereka berada, terdengarlah suara "plak", keduanya lantasberdiri dantidakbergeming lagi.
Muka Tokko Siu yang pucat memutih itu tampak berubah semu
hitam gelap, katanya: "Di bawah pukulan, Hianping-ciangku tiada lawan yang sanggup bertahan 10 jurus, sambutlah dua jurus lagi."
Kembali ia memukul dari depan, tanpa menarik telapak tangan
kanan, tahu2telapaktangankiri sudah membelahtiba.
Kun-gi kerahkan Lwekang pelindung badan, dia tertawa lantang
dan berkata: "Silakan Loheng keluarkan ilmu pukulanmu
sesukamu, coba saja Cayhe mampu melawan atau tidak?"
Berbareng ia sambut pula pukulan lawan.
Dua pukulan susulan Tokko Siu ternyata lebih dahsyat, bukan
saja tenaga pukulannya bertambah lipat, hawa dingin yang teruar dari pukulannya juga bertambah, makin lama makin dingin, waktu
pukulan ketiga dilancarkan, darahpun bisa beku rasanya.
Maka terdengar suara keras "Blang, blang", dengan tenang Kungi sambut pukulan lawan. Mata Tokko Siu yang memicing seakan2
memancarkan bara, serunya menyeringai : "Bagus sekali!"
Kedua tangan terangkat ke atas, badannya yang kurus tinggi
mendadak mendesak maju, dengan jurus Lui-tiankiau-ki (kilat dan guntur menyerang ber-sama), ia menyerang pula.
Untuk jurus serangan ini, boleh dikatakan dia hampir
mengerahkan 10 bagian tenaganya. Baru saja tangannya bergerak
dan pukulan mulai dilancarkan, gelombang dingin seketika
membanjir seiring gerak pukulannya, betapa hebat serangannya
sungguh amat mengejutkan. Begitu hebat hawa dingin ini laksana
arus dingin yang mengalir dari gunung es atau lembah salju, pohon bisa mati membeku, demikian air seketika bisa beku menjadi batu, kalau manusia bukan saja badan seketika menjadi kaku, darahpun
membeku dan napas sesak dan buntu dengan sendirinya jiwapun
melayang seketika. Di sinilah kehebatan Hian ping-ciang sehingga ilmu pukulan ini
dipandangpukulan dingin darialiran sesatyangpaling hebat.
Melihat kehebatan Hianping-ciang ternyata jauh di luar
dugaannya, wajah Kun-gi yang semula mengulum senyum kini
tampak kaget dan prihatin, pikirnya: "Lwekang orang ini begini tangguh, jika kena keserempet angin pukulannya saja jiwa pasti
seketila melayang dengan badan membeku."
Cepat ia menghirup napas, dia mulai mengerahkan kaesaktian
Bu siang sin kang untuk melindungi seluruh badan. Ia berdiri
tegak, lengan kanan tegak ke atas, kelima jari bergaya
menyanggah langit, sedang tangan kiri menjurus lurus ke bawah,
kelima jari seperti menyanggah bumi. Inilah Mo-ni-in, ilmu sakti aliran Hud yang paling hebat untuk menundukkan setan iblis.
Karena Hianping-ciang lawan memang hebat, otak Kun gi
bekerja kilat, dia yakin dalam perbendaharaan ilmu silat yang
pernah dia pelajari hanya Mo-ni-in saja kira2 cukup kuat
menghadapi Hianpingciang.
Kun-gi berdiri tegak sekukuh gunung tidak bergeming, hawa
pukulan Hianping ciang mener-jang dirinya, tapi arus yang kencang itu seketika tersiak minggir seperti arus sungai yang menerjang batu karang di tengah sungai. Sementara Tokko Siu yang
mendesak maju kini sudah berada di depan Kun-gi.
Tatkala menyadari kekuatan pukulannya yang sedahsyat itu
tersiah oleh kekuatan ilmu pelindung badan lawan, Hianping-ciang yang dipandang sebagai ilmu kebanggaannya ternyata tidak
mampu melukai pemuda ini, sudahtentudiatersengatkaget.
Tapisejauh ini dia sudah bergerak, untuk mundur sudah kepalang
tanggung dan tak sempat lagi, terpaksa dia nekat, ia kerahkan
sepenuh kekuatannya pada kedua tangan terus menepuk ke dada
Kun-gi. Kejadian laksana percikan api cepatnya, melihat Tokko Sin
sekaligus melancarkan serangan dengan kedua tangannya yang
hebat itu, arus dingin laksana curahan air terjun yang tumpah ke bawah.
Hakikatnya Lansat-sin yang sejak tadi menonton di luar arena
tidak perhatikan bahwa Tokko Siu yang mendesak maju di depan
Ling Kun-gi ini sudah menghadapi jalan buntu, tapi dia kira
memperoleh kesempatan yang baik. Segera dia kembangkan Tayna-ih-sinhoat, gerak langkah yang mengaburkan pandangan mata
orang, sekali berkelebat tahu2 dia sudah melejit ke belakang
Kun-gi, sejak tadi tenaga sudah dia simpan dan terhimpun di
lengan, kini dia angkat tangan kanan, kelima jari dan telapak
tangannya berubah biru kelam dan secepat kilat mengecap ke
punggung Ling Kun-gi. Kongsun Siang berdiri agak jauh, bukan main kagetnya melihat
kelicikan musuh yang main membokong ini, teriaknya cepat: "Awas Cong-coh."
Sekujur badan Kun-gi diliputi hawa pelindung badan, tapi dia
toh masih merasa kedinginan seperti kecebur di gudang es. Melihat tekanan berat yang aneh dan luar biasa pukulan Tokko siu sudah
menepuk tiba di depan dada, mendadak ia menggembor
sekeras2nya, tangan kanan yang terangkat lurus ke atas tahu2
membalik turun dan balas menepuk ke depan. Kebetulan pada saat
yang sama Lansat-sin Dian Yu-hok telah berada di belakangnya
dan memukuldenganseluruh kekuatan Lansat-ciang.
Begitutangan kanan menepuk, seketika Kun-gisadarbahwa Dian
Yu-hok membokongnya dari belakang, tanpa pikir tangan lagi
lantas mengebas kebelakang. Gebrakan ini dilakukan tiga orang
sekaligus dengan seluruh kekuatan dan secepat kilat.
Mo-ni-in adalah ilmu sakti penakluk setan iblis aliran Hud (
Budha ), ilmu yang tiada taranya ini merupakan lawan mematikan
yang paling telakbagi Hianping-cian dan Lansat-ciang.
Waktu melancarkan serangan dengan penuh tenaga, tak terpikir
oleh Tokko Siu bahwa Ling Kun-gi bakal balas menyerang dengan
bekal ilmu saktinya pula, maka terasa segulung kekuatan
terpendam yang tak kelihatan sekeras gugur gunung menindih
tiba. Bukan saja seluruh kekuatan Hianping-ciang yang dia
lancarkan terbendung sehingga tidak mampu dilancarkan lagi,
berbareng iapun merasa napas sesak dan hawa murni terbenti,
keruan ia terkesiap, saking gugupnya sekuatnya dia meronta terus melompat mundur. Bukan lagi mundur, bahkan badannya
terdorong mencelat setombak lebih, mulut terbuka darahpun
menyembur keluar, badan limbung hampir terjungkal roboh.
Agaknya dia berusaha kendalikan badan untuk berdiri supaya
tidak jatuh, maka setelah mundur sejauh satu tombak, langkah
kakinya masih bergerak dengan harapan dapat memberatkan
tubuh, tapi usahanya tetap sia2, setelah beberapa langkah lagi, akhirnya dia roboh terkapar. Sesaat dia masih berusaha merangkak bangun, kedua matanya mendelik menatap Ling Kun-gi, suaranya
serak, tanyanya: "Kau . . . . . . ilmu apa ini?"
Selama ini Kun-gi mematuhi pesan gurunya, jika tidak terpaksa
dan terancam bahaya dilarang sembarang menggunakan Mo-ni-in,
kali ini lantaran serangan Hianping-ciang Tokko Siu sedemikian
hebat, maka iapun kerahkan kekuatan Mo-ni-in untuk
menghadapinya. Sungguh tak pernah terbayang dalam ingatannya
bahwa perbawanya begitu dahsyat, Tokko Siu dibuatnya mencelat
setombak lebih. Dalam keadaan sekarat setelah terluka parah,
Tokko Siu masih mendongak bertanya ilmu apa yang dia gunakan
untuk melawan Hianping-clang, maka ia pun menjawab: "Cayhe menggunakan Mo-ni-in."
"Mo-ni-in. . . . . " terbeliak mata Tokko Siu, beberapa kali mulutnya berkomat-komit, mendadak napasnya memburu dan
kepalanya tergentak ke belakang, tubuhpun ambruk telentang dan
tak bergerak lagi. Dalam pada itu Lan sat-sin Dian Yu-hok yang melancarkan
Lansat-ciang membokong Ling Kun-gi dari belakang, waktu telapak tangannya hampir saja mengenai punggung orang, mendadak
dilihatnya Kun-gi mengipatkan tangan kiri ke belakang. Dalam hati ia tertawa dingin: "Seorang diri betapa tinggi kekuatanmu"
Masakah mampu melawan gabungan serangan kami berdua dari
depan dan belakang?"
Lan sat-ciang adalah ajaran sesat yang diciptakan oleh tokoh
bernama Umong, siapapun yang terkena pukulan ini akan mati
seketika dengan badan hangus, tapi Mo-ni-in yang dikerahkan Kun-gi kali ini ibarat air di dalam belanga yang sudah mendidih dan hampir beludak, kekuatannya sudah mencapai puncaknya, apalagi
dia gunakan kipatan tangan kidal, itulah ajaran tunggal yang
diciptakan Hoanjiu-ji-lay sendiri.
Ketika Lansat-sin Dian Yu-hok merasa kegirangan itulah,
mendadak terasa bahwa kipatan tangan kiri Ling Kun-gi
menimbulkan kekuatan yang tiada taranya, sekokoh tembok baja
yang tak tembus, lebih celaka lagi kekuatan lunak membaja ini
seketika juga menerjang dirinya seperti gelombang badai
dahsyatnya. Pertahanan lawan yang mampu menyerang balik ini
sungguh di luar dugaannya.
Tapi karena Lam-sat-sin terlalu yakin bila Lansat-ciang
mengenai tubuh lawan jiwa orang pasti melayang keracunan,
sudah tentu iapun tidak mau mundur meski menghadapi
perlawanan yang hebat ini, tenaga malah dipusatkan sementara
telapak tangan kanan tetap menepuk, serangan yang semula dia
arahkan punggung Ling Kun-gi sekarang malah dia ubah arahnya
memapak telapak tangan Ling Kun-gi yang mengipat ke belakang
itu. Jelas tujuannya amat keji dan jahat.
Sayang dia tidak tahu bahwa Mo-ni-in adalah ilmu mukjijat
aliran Hud yang sakti, waktu dilancarkan kekuatannya tidak
kelihatan besar, bila sudah mengadu pukulan secara telak baru
kekuatannya timbul berlipat ganda.
Setelah Lansat-sin menyadari adanya gejala tidak enak, namun
sudah terlambat, kekuatan lunak sekokoh baja itupun sudah
memukul dadanya. Lansat-ciang yang dilatihnya selama berpuluh
tahun kali ini sama sekali tak mampu dilancarkan, tahu2 terasa
sekujur badan mengejang dan bergetar, seperti orang yang
didorong mendadak tanpa kuasa dia terhuyung mundur beberapa
langkah. Melihat dia membokong Ling Kun-gi, sudah tentu Kongsun Siang
tidak berpeluk tangan, meski pertolongannya terlambat, tapi dia tetap menubruk maju, memang hatinya lagi gusar kebetulan dilihat lawan tergetar mundur, segera dia menubruk miring berbareng
pedang menusuk, Kalau dalam keadaan biasa, dengan tingkat
kepandaian Dian Yu-hok pasti dengan mudah dia dapat berkelit,
apa daya sekarang dia sudah terkena getaran pukulan Mo-ni-in
yang hebat itu, badan sendiri sudah tak kuasa dikendalikan, mana dia sanggup berkelit lagi.
"Bles", ujung pedang yang runcing gemilapan tahu2 menembus dada dari belakang. Lansat-sin hanya merasakan badan tertembus
oleh sesuatu yang dingin, matanya terbeliak, waktu menunduk,
dilihatnya ujung pedang tembus keluar dari dadanya, tampang
kudanya seketika pucat pias, teriaknya tertahan: "Siapakah yang menusuk Lohu?" Pelan2 badan menjadi lemas dan jatuh terkulai.
Dengan bebrseri tawa Loh-bi-jin menghampiri, katanya: "Hebat benar ilmu Cong-su cia."
Kun-gi malah mengerut kening, katanya: "'Mungkin Cayhe
terlalu keras memukulnya." Belum habis bicara, tiba2 ia sendiri terhuyung mundur.
Loh-bi jin kaget, tanpa hiraukan adat laki-perempuan lagi lekas dia memapah, tanyanya penuh perhatian: "Cong-su-cia, kenapa kau?"
Dilihatnya muka Kun-gi pucat dan agak gemetar pula, serunya
gugup: "Hai, lekas kalian kemari, mungkin Cong-su-cia terbokong oleh musuh?"
Ko lotoa, Song Tek seng, Kongsun Siang, Thio Lam-jiang segera
merubung datang. Kata Kongsun Siang: "Cong-su cia, cobalah kerahkan hawa
murni, di mana letaksalahnya."
Mata Ling Kun-gi terpejam, dia berdiri diam, sesaat lamanya
baru air mukanya tampak bersemu merah, pe-lahan2 dia mengirup
napas panjang dan membuka mata. Melihat Loh-bi-jin
memapahnya, sorot matanya menunjuk rasa kaget dan keheranan,
iapun merasa rikuh, katanya: "Terima kasih nona, aku tidak apa2."
Jengah Loh-bi-jin, katanya dengan mengerling: "Sebetulnya apa yang terjadi Cong su-cia?".
"Hianping-ciang Tokko Siu memang lihay sekali," demikian ucap Kun-gi," sedikit lena, badanku terembes hawa dingin, seluruh badan seketika terasa membeku . . . . "
"Sekarang sudah baik bukan?" tanya Loh bi-jin penuh perhatian.
"Untung segera aku menyadari kelalaianku, sekarang sudah
baik." Ko-lotoa menyelutuk: "Tokko Siu berjuluk Ping-sin (malaikat es), entah betapa banyak tokoh2 Kangouw yang kecundang oleh
Hianping-ciang, malam ini ia kebentur Cong coh, tamatlah riwayat kejahatannya yang kelewat takaran"
Kun-gi menoleh ke sekitarnya, tanyanya: "Musuh sudah mundur seluruhnya?"
"Mendengar suara sempritan, Liu-siancu di arah timur tiba2
mengundurkan diri, sementara kesembilan Sing-siok di sebelah
barat telah dibereskan oleh dara kembang dan terbakar menjadi
abu oleh peluru Bik-yam-tan."
Kun-gi menghelar napas lega, katanya: "Thay-siang memang
serba tahu, ramalannya tidak pernah meleset, segala gerak-gerik musuh sudah tergenggam di telapak tangannya, sungguh amat
mengagumkan." Ko-lotoa berkata: "Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing juga segera mengundurkan diri setelah mendengar suara sempritan tadi,
karena Cong-coh tidak memberi perintah, kami tidak berani
bergerak. Sukalah Cong coh segera ambil tindakan."
Kun-gi memandang ke arah Ui-liong-tong di kejauhan sana,
tampak gua itu bermulut besar dan tinggi, pintu gua terbuka lebar, seperti tiada penjagaan, keadaan gelap pekat tak kelihatan
keadaan di dalam, diam2 timbul rasa curiganya, katanya setelah
tepekur sebentar: "Ui-liong-tong adalah pusat pimpinan
Hek-liong-hwe, kalau pintunya terbuka lebar tentu ada
perangkapnya, lebih baik kita bekerja menurut pesan Thay-siang
saja." Loh-bi jin mengiakan, segera dia memberi tanda, empat dara
kembang segera pikul tandu kecil itu menghampiri. Inilah bunyi
tulisan Thay-sian dalam surat rahasianya: "Terjang ke bawah Uilionggiam, lemparkan tandu ini ke Ui-liong-tong."
Kun-gi suruh orang banyak berpencaran mencari tempat
masing2 dan mengepung Ui-liong-tong dengan ketat, sementara,
empat Hou-hoat-su-cia yang angkat tandu itu segera diayunnya
bolak-balik terus dilemparkan ku Ui liong-tong. Karena lemparan yang kuat, tandu itu meluncur kencang ke mulut Ui-liong-tong
yang menganga lebar, tertampaklah api tepercik terus terdengar
ledakan keras yang menggelegar menggetarkan bumi.
Bumi laksana gempa keras, sementara ledakan masih terus
berbunyi saling susul schingga tebing di puncak atas sana retak dan batu2 besar sama menggelindang berjatuhan tercampur
dengan padas2 yang terlempar keluar dari dalam gua, terdengar
suara jerit tangis dan pekik orang di sana-sini. puluhan tombak disekitar lembah diliputi asap dan debu yang tercampur dengan
batu yang beterbangan, jari tangan sendiri sampai tidak terlihat jelas apa lagi mengawasi teman2 yang lain.
Kiranya tandu itu berisi bahan peledak yang beratnya hampir
sekwintal, maka dapatlah dibayangkan betapa hebat daya
ledakannya, ternyata Ui-liong tong telah diledakkan hingga rata dengan tanah.
Ngarai lembah naga kuning di atas sanapun telah gugur rata
memenuhi lembah. Waktu membaca surat rahasia Thay-siang tadi sebetulnya
Kun-gi sudah mendapat firasat bahwa yang tersimpan di dalam
tandu pasti obat bakar yang amat lihay kekuatannya, baru tandu
dilempar ke dalam gua pasti menimbulkan kobaran api besar,
karena tak bisa menyembunyikan diri pasti kawanan bangsat
Hek-liong-hwe akan terjang keluar. Oleh karena itu dia suruh 8
Hou-hoat-su-cia dan 20 dara kembang berpencar mengepung
Ui-liong-tong, musuh yang lari keluar akan ditumpas atau ditawan hidup2.
Dia sudah perintahkan semua orang bersembunyi agak jauh dari
mulut gua, supaya senjata api sendiri tidak melukai mereka, tapi tak pernah terduga olehnya bahwa tandu itu membawa sekwintal
bahan peledak, betapa dahsyat kekuatannya, gua sebesar itu serta ngarai diataspun dibikin gugur dan lebur.
Begitu mendengar suara ledakan Kun-gi lantas merasakan
getaran hebat mirip gempa bumi, lembah dan ngarai seperti
berguncang, keadaan amat ga-wat sekali, lekas dia kerahkan
Lwekang serta membentak sekeras guntur: "Semua mundur!"
Walau dia berseru dengan kekuatan Lwekang yang tinggi, kalau
dalam keadaan biasa suaranya mungkin bisa terdengar cukup jauh, tapi kini gunung gugur bumi berguncang hebat, suara ledakan
masih terus berkumandang saling susul sehingga seruannya tak
terdengar sama sekali. Melihat gelagat jelek, sekali raih Kun-gi pegang tangan Ko-lotoa yang berdiri disampingnya sembari meloncat mundur sejauh
mungkin Kong-sun Siang berdiri di sebelah kiri, mulutnyapun
berteriak: "Song-heng, Thio heng, lekas mundur!" Begitu bergerak, dengan gaya serigala menubruk sekaligus dia melompat mundur
sejauhnya. Waktu dia berdiri tegak dan menoleh, batu2 sebesar
gajah sedang bergelundungan dari atas ngarai, debu beter-bangan dan batu berlompatan menguruk lembah.
Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tadi masih terdengar beberapa kali jeritan kaget dan kesakitan
di sana sini, kini kecuali batu gunung yang masih bergelindingan dengan suara gemuruh, suara orang tak terdengar lagi. Agaknya
semua orang sudah teruruk di bawah reruntuhan.
Kaget Kongsun Siang, ia coba berteriak: "Cong-coh, Cong-su-cia
. ......." Didengarnya suara Kun-gi juga sedang berteriak:
"Kongsun-heng, kau tidak apa2?"
"Ling-heng," teriak Kongsun Siang berjingkrak girang, secepat terbang dia melompat ke arah datangnya suara.
Di tanah lapang berumput agak jauh sana keadaan masih gelap
berkabut debu, tampak Ling Kun-gi tengah berjongkok, sebelah
tangannya menekan punggung Ko-lotoa, kiranya tengah
menyalurkan hawa murni ke badan orang.
Tiba di samping orang Kongsun Siang lantas bertanya: "Congcoh, kenapa, Ko lotoa?"
Sebelah tangan Kun-gi tetap tak bergerak, katanya gegetun:
"Waktu kutarik dia lompat ke belakang dada Ko-lotoa keterjang batu terbang, mungkin . . ."
Belum habis dia bicara, dilihatnya Ko-lotoa telah membuka
matanya, sinar matanya pudar, bibir bergerak mengeluarkan suara lemah, kata2nya ter-putus2.
"Terimakasih, ....Cong..... coh, akutak...,taktahan.... . lagi, Ui-liong. ... . tong. .. ... . dibelakangnyaada.. .. . ada sebuah. .. .. ..
jalanrahasia. . .. . . menembus. . . . .. '.'darah segar tahu2
menyembur keluar dari mulutnya, sehingga dia tak mampu
meneruskan kata2nya. Lekas Kongsun Siang berkata: "Ko-lotoa, tenangkan hatimu,
apakah maksudmu bahwa di belakang Ui-liong-tong ada jalan
rahasia yang tembus ke mana?"
Kun-gi lepaskan telapak tangan yang menekan punggung orang,
katanya rawan: "Dia sudah mangkat." Pelan2 dia berdiri, matanya menjelajah sekitarnya, tanpa terasa dia berkata dengan nada,
sedih: "Kongsun-heng, agaknya tinggal kita berdua saja yang masih ketinggalan hidup dalam rombongan besar kita tadi."
"Mungkin masih ada yang smpat lolos, debu masih mengepul
setebalini dansukar melihatkeadaan,"ujar Kongsun Siang.
Kun-gi menggeleng dan berkata setelah menghela napas:
"Peristiwa ini terjadiamat mendadak, kitaberdiri limatombakdi luar Ui-liong-tong, begitu melihat gelagat jelek aku segera menarik Ko-lotoa melompat ke belakang, tapi Ko-lotoa tetap keterjang batu, padahal dara2 kembang dan Houhoat-su-cia tersebar disekeliling
Uiliong-tong dalam jarak tiga tombak, mana mungkin mereka
sempat meloloskan diri" Kesembronoanku yang harus disalahkan,
sejak mula harus kuduga bila dalam tandu pasti tersimpan bahan
peledak yang amat lihay, seharusnya kusuruh semua orang berdiri lebih jauh lagi."'
Kongsun Siang berkata: "Hal ini tak bisa menyalahkan
Cong-coh, kalau Thay-siang membawa dinamit di dalam tandu
seharusnya dia jelaskan dalam surat petunjuknya, menurut
dugaanku, dinamit yang dapat menggugurkan separo gunung ini
kalau tidak sekwintal pasti ada delapan atau sembilan puluh kati beratnya, kalau memang tidak tahu menahu, umpama berdiri jauh
dan berilmu silat tinggi juga takkan sempat menghindarkan diri, apalagi menurut petunjuk kita harus menerjang masuk ke
Ui-liong-tong, bahwa Cong-coh sudah suruh mereka menyebar
sejauh tiga tombak, ini sudah cukup cermat juga." Secara langsung dia salahkan Thay-siang yang tidak
menjelaskanpersoalannyasehingga jatuhkorban sebanyakini.
Kun-gi diam sejenak tanpa bersuara, pelan2 kepalanya
terangkat dan berkata: "Kongsun heng, marilah kita berpencar memeriksa keadaan, mungkin masih ada yang cuma terluka parah
dan belum ajal, perlu segera kita menolongnya.
Kongsun Siang mengangguk, katanya: "Benar Cong-coh."
Mereka lantas berpencar ke kanan kiri dan memeriksa sekitar
Uiliong tong, debu yang beterbangan sudah mulai reda, keadaan
sudah mulai terang. Maka puluhan tombak sekeliling Ui-liong-tong bisa terlihat jelas, ternyata batu2 padas melulu yang berserakan membukit di tempat itu, keadaan sudah berubah bentuk dan tak
dikenal lagi. Pertama Kun-gi menemukan jenazah Song Tek-seng, dia sudah
berada tujuh tombak jauhnya dari Ui-liong-tong, punggungnya
tertindih batu besar dan mati tengkurap. Bergidik seram Kun-gi, diam2 ia berkata: "Song-heng, tenangkanlah dirimu dalam
istirahatmu, nanti akan kukebumikan bersama dengan kawan2
yang lain." Lalu dia maju lebih lanjut, ditemukan pula Loh-bi-jin, tadi dia berdiri tepat di mulut Ui-liong-tong, badannya gepeng tertindih batu besar yang jatuh ke bawah, hanya sebelah tangannya saja
yang kelihatan menjulur keluar, kematiannya amat mengenaskan.
Dari lengan bajunya Kun-gi mengenali Loh-bi-jin yang tertindih
di bawah batu2 ini, mengingat kebaikan orang yang telah
memapah dirinya tanpa hiraukan perbedaan laki perempuan waktu
dirinya sempoyongan setelah mengadu kekuatan dengan
Hianping-ciang Tokko Siu, sungguh ia berterima kasih dan terharu, kini bertambah lagi sedih dan pilu, kejadian baru berselang
beberapa kejap, tapi jiwa orang sudah mangkat mendahului nya.
Pada saat itulah, mendadak seorang berteriak serak di sebelah
kiri sana: "Lekas kemari, tolonglah aku!"
Cepat Kun-gi memburu ke sana seraya berteriak: "Dimana kau?"
Mendengar suara Kun-gi, agaknya terbangkit semangat orang
itu, teriaknya lebih keras: "Cong-coh, inilah aku Ting Kiau, tertindih di celah2 batu besar ini."
Belum habis dia bicara Kun-gi sudah melompat tiba, tampak
olehnya Ting Kiau tertindih di bawah sebuah batu raksasa yang
ribuan kati beratnya. Waktu batu raksasa ini menggelundung dari puncak, kebetulan membentur batu padas yang menonjol dari
dinding gunung sebelah belakang dan Ting Kiau kebetulan
sembunyi di bawah batu padas yang menonjol ini sehingga batu
raksasa tadi tidak menindihnya hancur, dia terjepit di celah2 batu tanpa bisa bergerak, hanya kepalanya saja yang menongol keluar.
"Ting-hengtidakterlukabukan?" tanyaKun-gi.
Badan Ting Kiau meringkal, sahutnya: "Hamba tidak apa2,
tempat ini kebetulan cukup untuk sembunyi, kalau tidak badanku
tentu sudah hancur lebur."
Mengawasi batu raksasa ini, Kun-gi memperkirakan batu ini ada
seribu kati beratnya, maka dia kerahkan tenaga, pelan2 kedua
tanganya menyanggah batu serta mendorongnya ke samping,
katanya: "Awas Ting-heng." Sekali gentak, batu besar itu kena digeser ke atas.
Tanpa ayal Ting Kiau memberosot keluar, katanya sambil
melompat berdiri: "Cong-coh, hamba sudah keluar."
Pelan2 Kun-gi lepaskan batu raksasa itu, katanya kemudian:
"Ting-heng, lekassamadisebentar, apakahkauterluka?"
Ting Kiau menggerakkan kaki tangannya serta menghirup napas
panjang, katanya tertawa: "Hamba baik2 saja, sedikitpun tidak terluka. . ."
"Selamat Ting-heng, syukurlah kalau tidak terluka, marilah ikut mencari yang lain mungkin ma-sih ada yang perlu ditolong."
Mereka maju terus ke sekelilingnya, tapi batu melulu yang
tertumbuk, kaki tangan manusia berserak di antara himpitan batu2, jadi sukar dibedakan jasat siapa yang telah tak berbentuk itu,
semuanya matidalamkeadaanyang mengerikan.
20 dara kembang tiada satupun yang hidup, delapan Hou-hoatsu-cia hanya Ting Kiau seorang yang selamat tiga Houhoat
ketinggalan Kongsun Siang sajayanglolosdarielmaut. Barisanyang
meluruk datang ber-bondong2 dengan mengerek panji2 segala kini
sudah tertumpas habis oleh ledakan tandu yang dibawa sendiri,
jadi bukan mati di medan laga dan gugur bersama musuh. Peledak
itupun sedianya untuk menghancurkan sarang musuh, tak nyana
orang sendiripun ikut menjadi korban. Memangnya ini sudah
suratan nasib" Lama Kun-gi berdiri di depan Ui-liong-tong, tak terbilang betapa berat perasaannya Kongsun Siang menghampiri, katanya lirih:
"Cong-coh, bagaimana kita harus bertindak lebih lanjut'?"
"Kecuali kita bertiga agaknya tiada yang hidup lagi, tugas kita sekarang yang utama adalah mengumpulkan jenazah mereka
sebrta menguburnyad."
"Cong-coh meamang benar," tibmbrung Ting Kiau, "berapa banyak yang dapat kita temukan kita kuburkan bersama supaya
mereka tenteramdialam baka."
Mereka segera bekerja keras, mengeduk liang lahat dan
mengumpulkan jenazah yang berserakan. setelah dua liang lahat
besar mereka gali, Kun-gi menghampiri jenazah Loh-bi-jin, dia
singkirkan batu besar yang menindih tubuhnya serta mengusung
jenazahnya ke dalam liang lahat, sementara Kongsun Siang dan
Ting Kiau juga sibuk menggotong jenazah dara2 kembang yang
lain, kaki tangan yang terputus berserakan di mana2 mereka
kumpulkan serta di-uruk menjadi satu.
Pada liang lahat kedua, mereka kebumikan ber-sama Song Tekseng, Ko-lotoa serta mencari pula, yang lain. semuanya dalam satu liang lahat.
Berdiri di depan pusara massal itu Kongsun Siang terlongong
sekian lamanya, katanya: "Thio-heng (Thio Lam-jiang) tadi
bersamaku waktu tandu dilempar ke dalam Ui-liong-tong, meski
tempat kami berdiri tepat di depan Ui-liong-tong, tapi jaraknya sekitar lima tombak, Thio-heng meyakinkan ilmu pedang yang
mengutamakan kelincahan mengapung di udara, Ginkangnya
cukup tinggi dan melebihi aku, bahwa jiwaku bisa selamat,
seharusnya Thio-heng pun bisa lolos dari maut, kenapa jenazahnya tidak kita temukan?"
Maklum, hubungannya dengan Thio Lam-jiang paling intim, tak
tertahan air matapun bercucuran, memikirkan nasib teman baiknya itu.
"Jangan berduka Kongsun-heng, takdir menghendaki demikian, kita terima saja musibah ini dengan lapang dada," kata Kun-gi.
"Cong-coh," ucap Ting Kiau, "bukankah Thay-siang masih ada sepucuk surat rahasia, entah apa petunjuknya" Cobalah sekarang
dibuka." ' Baru Kun-gi teringat akan hal ini, lekas dia mengeluarkan
sampul surat itu serta merobeknya, dilolos keluar secarik hertas putih dan dibebernya. begitu kertas terbeber, seketika berubah air muka Kungi.
Surat kedua yang dikatakan petunjuk ini hanya merupakan
lembaran kertas putih melulu tanpa tulisan sehurufpun. Apakah arti kertas putih po-los ini"
Tandu itu memuat bahan peledak, setelah Ui-liong-tong
diledakkan, sudah tiada lagi tugas mereka selanjutnya, jadi tidak perlu pakai petunjuk segala" Tapi bila orang banyak tidak mati
karena ledakan tadi, umpama memang tiada tugas lainnya lagi,
mestinya diberitahu ke mana dan bilamana mereka harus
berkumpul atau mundur kembali ke Ciok-sinbio untuk menunggu
perintah selanjutnya. Tanpa petunjuk, itu berarti bahwa
rombongan besar yangdipimpinnyainisudahtiada lagi,
sudahtamatseluruhnya. Rupanya Thay-siang sudah memperhitungkan bahwa
rombongan besar ini seluruhnya akan menemui ajalnya di tempat
ini. Semakin tempat gelap dapat melihat dengan terang, entah
petunjuk apa yang tertulis disurat Thay-siang?"
" Kenapa kau tidak menungguku?"
"Nona mau ke mana"
"Kau menyamar lagi bukankah ka hendak menemuka pengejaranmu?" , u n "Betul, kenapa?"
"Aku ikut, boleh tidak?"
Kun-gi tertegun, sahutnya menggeleng: "Jangan, non cant
"Suratrahasiainitanpasatuhurufpun,"kataKun-gi geram.
"Mana mungkin?" teriak Ting Kiau heran. "Tanpa petunjuk Thaysiang, ke mana kita harus berkumpul dengan rombongan yang
lain?" "Jadi kalian masih ingin menemui Thay-siang"' tanya Kun-gi sengit.
"Rombongan besar kita tertinggal kita bertiga yang masih hidup, kukira perlu segera mengadakan kontak dengan dua rombongan
yanglain,"demikianusul Kongsun Siang.
Tergerak hati Kun-gi, batinnya: "Maklumlah mereka sama
terbius oleh Bi-sinhiang-wan, jadi bahan peledak yang dipasang
dalam tandu itu melulu untuk menyingkirkan diriku seorang" Ya,
melihat taraf kepandaian yang kuyakinkan, jelas dia sendiri takkan mampu kendalikan diriku, maka bersama dengan tugas menyerbu
ke Uiliong-tong ini dia hendak membunuhku dengan kekuatan
ledakan dahsyat itu, maksudnya untuk menghindarkan bencana di
kemudian hari. Ai, demi diriku seorang, tak segan2 dia
mengorbankan jiwa orang banyak untuk mengiringi kematianku,
nenek ini sungguh kejam dan menakutkan."
Melihat Kun-gi tepekur sekian lama tanpa bersuara, Ting Kiau
lantas bertanya: "Cong-coh, Ui-liong-tong sudah hancur, apakah kita perlu kembali dulu ke Ciok-sinbin?"
Kun-gi diam saja, dari sakunya dia merogoh keluar kantong
sulam pemberian Un Hoankun tempo hari serta membuka
ikatannya dan mengeluarkan botol porselin kecil, ia menuang enam butir pil Jing-sintan sebesar kacang hijau serta diangsurkan,
katanya: "Kongsun-heng, Ting-heng, kalian masing2 telan tiga butir obat ini..."
Kongsun Siang terima tiga butir obat itu dan ditelannya tanpa
pikir, tanyanya sambil celingukan: "Apakah Cong-coh melihat gejala2 yang tidak beres?"
Ting Kau juga terima obat itu, dia sedikit ragu2, pelan2 baru
menelannya, tanyanya juga: "Cong-coh, obat apakah ini?"
Kedua orang bertanya dalam waktu yang hampir sama. Kun-gi
tertawa tawar, katanya: "Apakah kalian pernah dengar Bi-sinwan?"
Kongsun Siang melengak, katanya: "Pernah hamba dengar
cerita Suhu, Bi-sinwan adalah sejenis obat bius yang paling keras daya kerja racunnya, konon dulu kaisar Gui-bunto yang
mengembang biakannya dari daerah barat, baunya harum
semerbak, orang yang menciumnya akan mabuk, malah yang berat
bisa mati sesaat kemudian."
Terpentang kedua mata Ting Kiau, katanya dengan rasa curiga:
"Jadi obat yang Cong-coh berikan kepada hamba tadi adalah Bi-sinwan?"
Kun-gi tertawa, ujarnya: "Obat yang kalian makan tadi justeru adalah obat penawar Bi-sinwan itu."
"Obat penawar Bi-sinwan" Sejak kapan hamba terkena racun Bi-sinwan?" tanya Kongsun Siang heran.
"Kadar racun Bi-sinwan memang amat keras, orang bisa mati
bila menciumnya teramat banyak, tapi kalau dapat
memanfaatkannya dengan racikan obat lain dan dijadikan pil serta dicampur dalam makanan, maka kau akan memakannya tanpa
sadar, khasiatnya secara langsung dapat mempengaruhi daya pikir orang, memang kau kelihatan segar bugar dan jernih pikiran, tapi di luar sadarmu kau telah kehilangan tekad perlawanan dan selalu tunduk setia kepada orang yang telah memberi minum itu, sampai
mati takkan berubah haluan."
Terbeliak mata Kongsun Siang, katanya: "Maksud Cong-coh
bahwa Pek-hoa-pang telah memberi Bi-sinhiang kepada kami?"
sampai di sini tiba2 dia mangut2, katanya pula: "Betul, setelah hamba ingat2, selama dua tahun ini, peduli apapun yang dilakukan Pek-hoa-pang selalu kurasakan betul, terutama terasa bahwa
Thaysiang adalah junjungan yang maha agung dan suci, umpama
dia menghendaki hamba segera mati, hamba tidak akan ragu
membunuh diri dihadapannya."
"Dan sekarang" Bagaimana perasaan Kongsun-heng?" tanya Kun-gi.
"Sekarang perasaan hamba nyaman dan lapang, timbul rasa
curigaku terhadap Thay-siang dan Pek-hoa-pang, gerak-gerik dan
sepak terjang mereka serba misterius, bukan mustahil ada sesuatu hu-bungan rahasia dengan Hek-liong-hwe . . . . "
"Betul," timbrung Ting Kiau, "hambapun merasakan demikian, Pek-hoa-pang hanya memperalat kita semua."
Kun-gi tersenyum, katanya: "Syukurlah kalau kalian sudah
mengerti.' Kertas putih pemberian Thay-sang dia angkat dan dilambaikan
ke atas, katanya: "Surat ini tanpa tulisan sehurufpun, inilah bukti muslihatnya kalau burung kaget busurpun harus disembunyikan,
kelinci matianjing ikut hangus`
"Bahwa Thay-siang biarkan kita mati lantaran kita orang luar, tapi Ko-lotoa adalah anak buahnya yang sudah berbakti puluhan
tahun padanya, Loh-bi-jin adalah murid didik asuhannya, demikian pula ke20 dara kembang itu apa pula dosanya" Kenapa merekapun
harus ikut menjadi korban ledakan ini?"
"Ko-lotoa adalah salah satu dari tiga puluh enam panglima Hekliong-hwe, banyak rahasia pribadi Thay-siang diketahuinya, kini ada kesempatan untuk melenyapkan dia, bukankah rahasianya
selamanya takkan lagi diketahui orang" Celakalah Loh-bi-jin dan dara2 kembang itu, lantaran bersama kita dia sampai hati
mengorbankan mereka pula."
"Kenapa Thay-siang hendak membunuh kita semua?" tanya Ting Kiau tak mengerti.
"Hek liong-hwe punya tiga seksi, yaitu Hwi-liong-tong, Ui-liongtong dan Ceng-liong-tong. Pangcu Bok-tan dari Hupangcu Sbo-yok
telah diperintahkan untuk menyergap kesana dengan tugas
sendiri2, kemungkinan Thay-siang sendiripun sudah meluruk ke
sana. Rombongan kita sepanjang jalan ini kelihatan ber-bondong2, padahal hanya untuk menarik perhatian musuh dan
menggertaknya, bahwa kita berhasil menerjang tiba di depan
Ui-liong-tong ini membuktikan bahwa kita telah menggempur
segala aral rintang dari musuh yang mencegat kita, peledak yang ada di dalam tandu dan dilempar ke dalam Ui-liong-tong sehingga hancur lebur, maka orang2 seperti kita ini dirasa tidak perlu lagi, memang inilah cara sekali tepuk membunuh dua lalat." Kata
Kongsun Siang gusar: "Mendengar uraian Cong-coh, hamba
seketika sadar dan mengerti, rencanadaritujuan
Thay-siangternyataamatkeji dan kejam."
Ting Kiau menghela napas, katanya: "Lalu bagaimana rencana Cong-coh selanjutnya?"
"Selanjutnya kalian tak usah memanggil Cong-coh segala,
jabatanku sudah ikut terpendam di bawah reruntuhan ledakan
tadi," demikian ucap Kun-gi.
Ting Kiau tertawa getir, katanya: "Lalu apa yang harus kita lakukan?"
"Racun dalam tubuh kalian sudah ditawarkan, inilah kesempatan baik untuk membebaskan diri dari pertikaian ini, supaya
selanjutnya tidak diperalat lagi oleh Pek-hoa-pang, maka menurut pendapatku, lebih baik selekasnya kalian meninggalkan tempat ini saja."
"Pernah kudengar Ling-heng bilang ada dua temanmu yang
tertawan Hek-liong-hwe, kehadiranmu adalah untuk menolong
mereka, untuk ini aku dengan senang hati ingin membantu Lingheng, meski menerjang lautanapijugaakuakan membantumu."
"Nyawa hamba ini juga berkat pertolongan Cong-coh,
hambapun takkan pergi begini saja," demikian Ting Kiaupun
berkukuh pendapat. "Betapa luhur persahabatan ini, sungguh aku amat berterima kasih . . " kata Kun-gi.
Kongsun Siang menyela: "Bahwa Ling-heng tidak pandang
rendah diriku dan sudi bersahabat denganku, ini sudah
Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengangkat pamorku pula, kini Ling-heng hendak menyelundup ke
Hek-lionghwe seorang diri, meski kepandaian Ling-heng cukup
tinggi, tapi jago2 Hek-liong-hwe juga tidak sedikit jumlahnya, di samping menolong teman harus menghadapi musuh lagi,
betapapun tenaga seorang terlalu merepotkan, kalau sekarang aku tinggal pergi, memangnya terhitung persahabatan apalagi" Apapun kata dan sikap Ling-heng, aku sudah bertekad untuk mengiringi
kepergian Lingheng."
"Apa yang diucapkan Kongsun-heng merupakan isi hatiku pula,"
demikian sambung Ting Kiau. "kalau Cong-coh tidak terima
keinginankami berartipandangrendah kami berdua."
Melihat betapa besar dan teguh keinginan kedua orang ini, tak
enak Kun-gi menolaknya lagi, iapun tahu untuk meluruk ke sarang Hek-liong-hwe seorang diri terlalu terpencil, apalagi nanti harus menghadapi pertempuran sengit. Apa yang diucapkan Kongsun
Siang memang tidak salah, di samping berusaha menolong teman,
dia harus sibuk menghadapi musuh lagi, keadaan tentu serba repot dan mendesak.
Maka dia manggut dan berkata "Kalau demikian aku takkan
banyak omong lagi, cuma Hek-liong-hwe berada di sarang sendiri, bukansajakitaasingkeadaandisini, keadaanmusuhpunbutasama
sekali, sebetulnya untuk menolong teman kita bisa bekerja secara diam2 dan main sembunyi lalu menyergap pada saat lawan tidak
siaga, tapi setelah Ui-liong-tong kita hancurkan, sementara dua rombongan lain dari Pek-hoa-pang juga telah menyerbu ke Hwiliong-tong dan Ceng-liong-tong, tentu pihak Hek-liong-hwe sudah meningkatkan penjagaan, kita menyelundup ke sarang naga,
bukan saja berbahaya, setiap saat kemungkinan kita akan
menemui ajal di dalam sana."
Ting Kiau tertawa, katanya: "Pendapatku justeru sebaliknya, Uiliong-tong sudah hancur, ini kenyataan, rombongan Pangcu dan
Hupangcu masing2 menyerbu Hwi-liong-tong dan Ceng-liong-tong,
sekarang kemungkinan mereka masih dalam ajang pertempuran
sengit, marilah kita masuk secara diam2, umpama kepergok para
penjaga, tentu dengan mudah dapat kita sikat, inilah kesempatan paling baik untuk menolong teman."
Kongsun Siang manggut2, katanya: " Usul Ting-heng memang
baik, Ling-heng, hayolah jangan buang2 waktu, marilah berangkat"
Berkerut alis Kun-gi, katanya: "Usul kalian memang masuk akal, tapi kita tidak tahu di mana letak pusat markas Herk-liong-hwe, datlam waktu sesinqgkat ini, ke mana kita akan menemukannya?"
"Kenapa Ling-heng lupa," kata Kongsun Siang, "sebelum ajal bukankah Ko-lotoa bilang di belakang Ui-liong-tong ada jalan
rahasia, dia hanya mengatakan `tembus', kemungkinan jalan
rahasia di belakang Ui-liong-tong itu bisa tembus ke markas pusat Hek-liong-hwe, kenapa tidak kita coba untuk mencarinya?"
Berpikir sejenak akhirnya Kun-gi mengangguk, katanya: "Apa boleh buat, marilah kita berusaha."
"Marilah segera kita masuk," kata Ting Kiau senang.
"Nanti dulu, Ui-liong tong sudah hancur, kemungkinan jalan rahasia itupun teruruk, kita . . . ."
"Tapi mungkin juga karena ledakan ini jalan rahasia itu malah terbuka," kata Ting Kiau dengan tertawa.
"Memang mungkin," ujar Kun-gi, "Kita harus tetap hati2.
Pertama, jarak di antara kita bertiga harus tetap dipertahankan untuk menjaga segala kemungkinan. Kedua, aku akan berjalan
didepan, Ting-heng di tengah dan Kongsun-heng di belakang, jika diperjalanan terjadi sesuatu di luar dugaan, harus secepatnya
mundur, jadi aku akan jaga bagian belakang, untuk ini kalian harus perhatikan betul2."
Kongsun Siang dan Ting Kiau mengiakan, katanya berbareng:
"Ling-heng tak usah kuatir, kami mengerti." . .
"Baiklah, hayo berangkat," ujar Kun-gi, belum habis bicara ia sudah melayang ke arah Ui-liong-tong.
Ui-liong-tong atau gua naga kuning terletak di bawah ngarai,
semula merupakan gua besar yang lebar dan luas. Kini setelah
diledakkan gua itu sudah runtuh, ngarai di atasnya yang berpuluh tombak tingginya sama menguruk di depan gua, maka batu2 besar
berserakan di mana2 sehingga mulut gua yang besar itupun
hampir tersumbat. Ling Kun gi menyingsing lengan baju dan mengerahkan tenaga,
beberapa batu raksasa dia singkirkan, lalu dengan memiringkan
tubuh dia dapat menyelinap masuk ke dalam. Sudah tentu Ui-liongtong seluruhnya juga sudah ambruk dan tidak berbentuk semula,
lorongnya penuh batu dan debu, Untunglah dinding batu Ui-liongtong cukup kuat, meski banyak tempat yang ambruk, tapi bentuk
guanya masih tetap ada. Kecuali bahan peledak kiranya di dalam tandu juga tersimpan
minyak bakar, begitu meledak seketika terjadi kebakaran hebat,
kobaranapimengikutialiran minyak menjuruskearahbelakang.
Mata Kun-gi dapat melihat di tempat gelap, tapi Ting Kiau dan
Kongsun Siang yang ada di belakangnya sukar lagi menggerakkan
kaki karena gelap gulita tidak terlihat apa2, terpaksa Kun-gi
keluarkan Leliong-cu dan diangkat tinggi di atas kepala. Maka
memancarlah cahaya kemilau dari mutiara mestika itu, sejauh dua tombak dapat mereka pandang walaupun rada samar2.
Langkah Kun-gi amat pelan dan hati2, dia periksa dinding batu
dari bekas ledakan dan kebakar-an. Sudah tentu di banyak tempat kembali dia harus kerahkan tenaga untuk memindah batu besar
supaya bisa maju lebih lanjut.
Ting Kiau terus berada di belakang Kun-gi, katanya dengan
suara lirih: "Cong-coh, biarlah hamba bantu memindahkan batu2
ini." Kongsun Siang tidak mau ketinggalan. "Mari kubantu juga."
Dengan kerjasama tiga orang dapatlah wereka maju semakin
jauh, kini sudah ada di gua belakang. Ternyata Ui-liong-tong
memang amat besar dan panjang lorongnya, bercabang lagi,
tempat mereka berada terang berada di perut gunung, kalau gua
di depan rusak kena ledakan, tapi keadaan di sini hanya beberapa tempat yang gugur sebagian, beberapa deret kamar yang mereka
temukan masih terhitung utuh, tapi ada dua puluhan mayat yang
bergelimpangan tanpa luka apa2, rupanya mereka mati pengap
karena terjadi ledakan keras di depan gua tadi.
Tanpa terasa Kun-gi menghentikan langkah, katanya: "Agaknya jalan sudah buntu sampai di sini."
"Tapi Ko-lotoa bilang di sini ada lorong rahasia," ujar Kongsun Siang.
"Kalau betul ada lorong rahasia, orang2 ini tidak akan mati pengap."
"Marilahkitacari,"ajakTing Kiau.
Sementara mereka berbicara Kun-gi sudah beranjak ke arah
sebuahkamarbatudiujung kanansana.
"Ling-heng," seru Kongsun Siang tertahan, "di atas dinding ada tulisan."
Kun-gi anggkat mutiara di tangannya menyinari dinding,
memang dinding di depan pintu ada sekeping papan persegi, di
atas papan adasebarishuruf yangberbunyi "Kamarsemadidilarang masuk".
"Mungkin di sinilah biasanya Ci Hwi-bing meyakinkan ilmunya,"
ujar Ting Kiau. Tergerak hati Kun-gi, segera dia masuk ke situ. Kamar batu ini
dipasang pintu kayu, bagian dalamnya ternyata amat luas, empat
dinding sekeliling kamar ditabiri kain layar warna kuning, di ujung atas mepet dinding sana terdapat sebuah dipan yang bercat kuning pula, kasur, bantal guling dan sepreinya masih utuh. Kecuali dipan itu, tiada benda lain lagi di dalam kamar besar ini, terasa keadaan kosong melompong. Mungkin karena getaran ledakan, debu pasir
tampak berhamburan dari atap kamar.
Kongsun Siang memandang sekeliling kamar, pedang panjang
ditangan seeara iseng menyingkap kain layar di depannya. Ting
Kiau juga tidak berpeluk tangan, "sret", kipas besinyapun bekerja, layar kuning di sebelah dipan juga dia tarik sampai sobek.
Mendadak dia menjeritkaget:"Nah, disini!"
Tanpa bersuara Kun-gi mendekat, betul di dinding memang ada
bekas garis sebuah pintu.
Ting Kiau sudah mendahului maju serta mendorongnya.
Kun-gi mengira di sekitar pintu rahasia ini tentu dipasang alat rahasia, ingin mencegah Ting Kiau sudah tidak keburu, untunglah meski Ting Kiau sudah mendorong sekuat tenaga, pintu batu tetap tidak bergeming:
Kongsun Siang segera maju, dengan teliti dia periksa sekitar
pintulalumengetukdan merabasekianlamanya,akhirnyaberkabta:
"Inilahpinturahasia, kukiratidakakansalah."
"Mestinya ada tombol rahasianya untuk membuka pintu ini,
tombol tentu berada di kamar ini, marilah kita cari dengan teliti, mungkin bisa ketemu,"
"Ting heng memang benar, pintu batu rahasia terang
dikendalikan oleh alat rahasia untuk buka tutup sehingga orang
leluasa keluar masuk, seharusnya orang tidak akan mudah
menemukannya dan meninggalkan garis2 persegi yang berbentuk
pintu ini, tapi karena ledakan dahsyat tadi menimbulkan gempa
yang cukup keras dan menggoncangkan gunung ini sehingga pintu
inipun menjadi retak, kemungkinan alat2 rahasianya juga ikut
rusak karenanya." "Jadi maksudmu jalan rahasia ini sudah buntu dan tak mungkin terbuka lagi?" Ting Kiau menegas.
"Mungkin demikian," ujar Kongsun Siang.
"Kalau betul di sini ada pintu, marilah kita coba mendorongnya,"
ajak Kun-gi. "Pintu rahasia ini dikendalikan alat2 rahasia pula, setelah mengalami goncangan keras tadi, ku-kira alat2nya sudah rusak,
tenaga siapa mampu menjebolnya?" Tapi bagaimana juga Kun-gi adalah bekas atasannya, kepandaian orang juga sudah pernah
disaksikannya, maka ia berkata pula: "Kukira sukar untuk
membukanya." "Biar kucoba," ucap Kun-gi. Lalu ia menyerahkan Leliong-cu kepada Ting Kiau, katannya: "Ting-heng, kau pegang mutiara ini."
Ting Kiau terima mutiara itu, katanya kuatir: "Cong-coh, berat
pintu ini sedikitnya ada ribuan kati, kalau dikendalikan alat rahasia berarti sudah berakar dengan dinding gunung ini, bagaimana
mungkin bisa membukanya?"
Kun-gi tersenyum, katanya: "Memang sulit membuka pintu yang dikendalikan alat rahasia, tapi ucapan Kongsun-heng tidak salah, karena goncangan ledakan tadi sehingga pintu ini menunjukkan
bekas, kalau alat rahasianya sudah rusak, mungkin lebih mudah
mendorongnya terbuka."
Habis bicara segera ia melangkah setapak, telapak tangan
menahan pintu, pelan2 dia mengirup napas dan mengerahkan
tenaga mendorong sekuatnya ke depan.
Melihat dia betul2 hendak mendorongnya Kong-sun Siang
berserudarisamping:"Awas Ling-heng, janganpatahsemangat."
Kun-gi menoleh, katanya tertawa: "Tidak apa2, aku akan
mencobanya." Ting Kiau mengacung tinggi2 mutiara di atas kepalanya, dari
samping dia mengawasi gerak-gerik Ling Kun-gi, kedua tangan
orang sudah menempel pintu dan berdiri tegak tak bergeming, tapi jubah hijaunya yang longgar itu kini pelan2 mulai melembung
seperti terisi angjn, mirip balon yang penuh gas. Dalam hati diam2
dia merasa kaget dan heran, batinnya: "Usia Cong-coh lebih muda daripadaku, tapi kepandaian silat yang dibekalnya entah berapa
tingkat lebih tinggi."
Dikala Ting Kiau termenung itulah tiba2 Kun-gi menghardik
sekeras guntur menggelegar, sepenuh tenaga kedua tangan
mendorong ke depan. Maka terdengarlah suara keriat keriut makin lama semakin keras seperti ada rantai besi putus dan benda
menjeplak, pelan tapi pasti pintu batu itu mulai terdorong mundur dan terbuka.
Terbeliak mata Kongsun Siang, teriaknya kejut girang: "Tenaga saktiLing-heng sungguh tiadabandingannyadi kolong langit."
Ting Kiau juga terkesima, katanya sambil menjulur lidah: "Ilmu saktiapakah ini, Cong-coh" Begituhebatkekuatannya, pintubatuini betul2 terdorong terbuka."
Sementara itu pintu batu yang tebal dan berat itu sudah terbuka seluruhnya oleh Ling Kun-gi, pelan2 dia menarik turun kedua
tangannya, hawa murni atau tenaga dalam yang membikin
jubahnya melembung juga mulai sirna dan kempes, air mukanya
ternyata tidak berubah dan napaspun tidak memburu, katanya
kemudian sambil menghela napas panjang. "Hanya mendorong
pintu sampai terbuka, masa terhitung ilmu sakti segala?"
Ting Kiau serahkan kembali mutiara kepada Kun-gi, katanya:
"Cong-coh, hari ini hamba betul2 terbuka matanya, tapi Kungfu apakah yang barusan kau gunakan, sukalah kau memberitahu?"
"Kalau Ting-heng ingin tahu," ujar Kun-gi, "biarlah kuberitahu, Kungfu yang kugunakan tadi adalah Kim-kong-sim-hoat."
"Kim-kong-sim-hoat" Belum pernah kudengar nama ini," ajar Ting Kiau.
"Bekal kepandaian Ling-heng mendapat didikan langsung dari Put-thong Taysu, sudah tentu Kim-kong-sim-hoat merupakan
Kungfu yang hebat dari Siau-lim-pay," kata Kongsun Siang.
Di balik pintu batu kiranya adalah sebuah lorong yang gelap
gulita, tidak lebar, tiba cukup untuk dua orang berjalan sejajar.
Kungi mendahului melangkah keluar, ternyata banyak liku2 dan
bercabang pula lorong panjang gelap ini, bukan saja tidak terasa adanya bau apek dan lembab, malah hawa terasa dingin silir dan
segar. Dengan memegang mutiara Kun-gi maju terus ke depan,
kira2 20-30 tombak jauhnya, angin dingin yang meng-hembus dari
arah depan terasa semakin dingin dan kencang, kiranya mereka
sudah tiba di ujung lorong, di depan mengadang undakan batu.
Ling Kun-gi mempercepat langkah terus naik ke undakan, kira2
ratusan undak telah dilaluinya, akhirnya mereka tiba di sebuah
pintu, di luarpintu lapat2sepertiadacahayamatahari.
Diam2 Kun-gi membatin: "Mungkin sudah sampai di tempat
tujuan?" segera dia simpan mutiaranya.
Lekas Kongsun Siang memburu naik mendampinginya, katanya
lirih: "Apakah Ling-heng melihat sesuatu?"
"Tidak," kata Kun-gi, "di sini ada sebuah pintu, di luar tampak cahaya matahari, mungkin sudah ditempat tujuan, kita harus lebih hati2, jangan sampai mengejutkan pihak musuh."
Kongsun Siang mengiakan. Kun-gi lantas beranjak maju,
KongsunSiangdanTingKiau mengiringidaribelakang.
Ternyata di luar adalah sebuah lembah kecil yang luasnya
puluhan tombak, bentuk lembah ini mirip sumur, sekelilingnya
dipagari dinding gunung yang curam dan ratusan tombak
tingginya. Kalau mendongak melihat langit seperti duduk dalam
sumur melihat angkasa, langit nan biru kelihatan hanya sejengkal saja. Ternyata inilah lembah sumur ciptaan alam.
Dasar lembah ternyata datar dan tersapu bersih dan licin, di
bawah kaki tembok di kanan-kiri masing2 terpasang bangku
panjang terbuat dari balok batu. Di bawah-kaki tembok seberang
sana terdapat dua mulut gua yang terbuka lebar. Gua tidak
berpintu, keadaannya gelap tak terlihat barang apa yang ada di
dalamnya, suasana sunyi senryap tak terdengar suara apapun, dari lorong bawah tanah Ui-liong-tong sampai di sini, kini mereka
diadang oleh dua mulut goa, kedua goa ini tentu menuju ke Cengliong-tong dan Hwi-liong-tong. Kun-gi merandek, tujuannya hendak menolong orang, entah di mana Pui Ji-ping dan Tong Bunkhing
sekarang disekap" diam2 ia cemas.
Kongsun Siang melangkah maju setapak, katanya lirih: "Lingheng, kedua gua ini kemungkih-an menjurus ke Ceng-liong-tong
dan Hwi -liong-tong."
Kun-gi manggut, sesaat dia merenung, katanya kemudian: "Aku sedang berpikir, gua mana yang harus kita pilih?"
"Tujuan Cong-coh adalah menolong orang," demikian kata Ting Kiau, "kalau dalam gua yang satu tidak ketemu boleh kita keluar dan masuk ke gua yang lain, yang terang kita harus berusaha
sampai berhasil menolong orang," sembari bicara ia menudang gua sebelah kiri dan melangkah kesana. "Cong-coh, sekarang biar hamba jadi pelopornya, di dalam lorong gua ini kemungkinan
dipasang alat2 rahasia, untuk permainan ini sedikit banyak hamba pernah mempelajarinya."
Terpaksa Kun-gi biarkan orang jalan di depan, dia keluarkan
mutiaranya serta disodorkan, katanya: "Ting-heng bawalah mutiara ini, apapun kau harus hati2." '
Ting Kiau terima mutiara itu sembari berkata: "Hamba mengerti, tanggung takkan terjadi apa2." "Sret", dia keluarkan kipas besi serta membukanya untuk melindungi dada terus menyelinap
masuk ke gua sebelah kiri.
Kuatir orang mengalami bencana lekas Kun-gi mengikutinya,
Kongsun Siang tidak mau ketinggalan, ia berada di belakang Ling Kun-gi.
Mereka terus maju ke depan, setelah membelok dua kali,
keadaan lorong gua ini semakin gelap. Tapi Ting Kiau mengacung
tinggi mutiaranya di atas kepala, cahaya mutiara kemilau bagai
sinar api di tempat gelap dan dapat terlihat tempat agak jauh.
Segera Kun-gi berpesan pula: "Ting-heng, kerahkan hawa murni dan selalu siaga, jagalah kalau disergap musuh dari tempat
persembunyiannya." Ting Kiau tertawa, katanya: "Cong-coh jangan kuatir, begitu kulihat ada orang, segera akan kulumpuhkan dia lebih dulu."
Lahirnya dia bersikap riang dan tak acuh, sebetulnya iapun
maklum bahwa mereka sudah berada di sarang musuh, setiap saat
mungkin sekali menghadapi mara bahaya, setiap langkah mereka
berarti semakin dekat pada tujuan, bukan mustahil akan kesamplok dengan penjaga atau barisan ronda mu-suh. Sebagai pelopor yang
jalan di depan dengan penerangan mutiara, berarti musuh di
tempat gelap dan awak sendiri di tempat terang dan gampang
menjadi sasaran musuh. Maka sepanjang jalan setiap gerak
langkahnya amat hati2 dan diperhitungkan dengan seksama,
kipasnya dipegang kencang, mata dan kuping digunakan dengan
tajam, dengan pelan mereka terus maju ke depan.
Kira2 puluhan tombak lagi telah mereka capai, tapi tidak
kunjung tiba musuh menyergap atau rintangan apapun. Mendadak
Ting Kiau menghentikan langkah, katanya lirih: "Cong-coh, hamba rasa keadaandisini kurang wajar."
"Bagaimana pendapat Ting-heng?" tanya Kun-gi.
"Lorong di bawah tanah ini, peduli menembus ke manapun,
yang jelas merupakan tempat penting dan rahasia di pusat musuh, seharusnya dijaga dan diadakan ronda, tapi kenyataan keadaan di sini kosong dan tanpa penjaga, masa begitu cerobohnya pihak
musuh, kantidak masukakal."
Kun-gi mengangguk, katanya: "Pendapat Ting-heng betul,
akupun merasakan." Kongsun Siang menimbrung: "Mungkin rombongan Pangcu dan
Hupangcu sudah bentrok berhadapan dengan musuh, mereka tidak
sempat memikirkan keamanan lorong rahasia ini."
Kata Ting Kiau pula: "Kemungkinan Ci Hwi-bing sudah lari
kemari, tahu kita mengejarnya, maka sengaja dia memancing kita
ke sini." "Semua mungkin, tapi kita sudah berada di sini, umpama ada perangkap juga tidak perlu takut, hayo terjang saja!" demikian Kungi mendorong semangat mereka.
"Cong-coh benar," ujar Ting Kiau, "umpama sarang harimau dan kubangan naga juga harus kita terjang." Lalu dia melangkah ke depan.
Tak lama kemudian lorong berbelok ke kiri, dan tiba di ujung,
keadaan di depan ternyata lebar dan terbentang luas. Mendadak
keadaanpun menjadi terang genderang.
Ting Kiau amat cerdik dan hati2, semula dia menggremet maju
mepet dinding, begitu melihat di depan ada cahaya segera dia
menghentikan gerakan serta menggenggam kencang mutiara di
tangannya lantas mundur, katanya lirih: "Cong-coh, simpanlah mutiara ini, di depan sudah ada cahaya lampu."
Kun-gi terima mutiara itu terus disimpan.
Sementara Ting Kiau sudah bergerak pula ke depan, sekali
kelebat dia melompat ke depan mepet dinding dan melihat
keadaan di luar. Kiranya di ujung lorong gelap ini adalah sebuah ruang batu seluas puluhan tombak, tapi keadaan ruang batu ini
mirip sebuah lapangan. Karena di depan sana terdapat sepasang
pintu besi, dua gelang besi besar yang mengkilap tergantung di
tengah pintu. Pintu besi tertutup rapat, empat lampu gelas tampak tergantung di kanan kiri pintu, di bawah lampu berdiri empat busu muda yang bersenjata pedang.
Lampu itu memancarkan cahaya redup, tapi di dalam gua
Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bawah tanah yang gulita seperti ini terasa besar sekali manfaat cabaya lampu, puluhan tombak sekeliling lapangan itu menjadi
terang dan jelas. Diam2 Ting Kiau mengerut kening, menurut perhitungannya,
dari tempat bersembunyinya ini kira2 ada 12 tombak jauhnya
dengan keempat jago pedang itu, kalau untuk menyergap dan
menyerangnya secara mendadak, kecuali menggunakan panah dan
alat jepretan yang kuat, senjata apapun sukar untuk mencapai
musuh. Dalam pada itu Kun-gi juga sudah menggeremet maju, katanya
lirih: "Bagaimana keadaan di luar?"
"Agaknya kita sudah sampai tempat tujuan, ada empat orang
menjaga pintu besi itu, Cong-coh tunggu saja di sini, biar hamba yang bereskan mereka," habis bicara sebat sekali ia sudah
meluncur keluar gua dan hinggap di tengah lapangan. Batu saja
bayangannya berkelebat keluar, keempat jago pedang yang berdiri di depan pintu besi sana segera mengetahui jejaknya, seorang
lantas membentak. "berhenti!"
Gerakan Ting Kiau cepat luar biasa, di tengah bentakan orang
bayangannya sudah menerjang tiba, kira2 tiga tombak jaraknya
dari pintu besi itu, dua jago pedang berbaju hijau dikanan-kiri segera memapak kedatangannya. orang di sebelah kiri
membentak, "Darimana kau?"
Ting Kiau menghentikan langkah, dia senga-ja pura2 bernapas
ngos2an seperti habis lari kencang, lalu katanya sambil menjura:
"ParaSaudara, Cayhehendakmenyampaikan laporan. . . ."
"Apa jabatanmu?" tanya orang di sebelah kanan.
Sambil pegang kipas lempitnya Ting Kiau menjura kepada kedua
orang itu, katanya: "Cayhe Ting Kiau, Sincu dari Ui-liong-tong . . . .
" belum habis dia bicara mendadak dua bintik sinar menyamber keluar tanpa bersuara dari ujung kipasnya mengincar tenggorokan kedua orang.
Kedua jago pedang itu agaknya tidak kira kalau Ting Kiau bakal
membokong, apalagi jarakpun sangat dekat, waktu sadar elmaut
mengancam jiwa, hendak berkelit atau menangkis sudah tak
sempat lagi, kontan mereka roboh terjengkang dan jiwa melayang.
Melihat kedua temannya mendadak roboh binasa, sudah tentu
kedua orang yang lain amat ka-get dan membentak gusar:
"Keparat, berani kau main gila di sini." Sambil melolos pedang, kedua orang lantas menubruk bersama.
Ting Kiau tertawa ngakak, sambil mundur setengah tapak,
"stet", kipasnya terbentang, katanya tersenyum: "Kebetulan kalian maju bersama."
Kipas lempitnya terbikin dari batangan besi. di dalam setiap
batangan besi tersimpan jarum2 selembut bulu kerbau yang
beracun, begitu kipas terbentang dan sekali kebas, serumpun
jarum2 seketika menyamber keluar dengan bentuk membundar
mirip lingkaran kipas lempitnya itu.
Baru saja kedua jago pedang itu menubruk maju, belum lagi
kaki mereka berdiri tegak, keduanya sudah dimakan jarum terbang yang tak terhitung banyaknya itu, tanpa bersuara keduanya roboh binasa menyusul temannya.
Dengan tertawa bangga dan puas Ting Kiau lem-pit pula
kipasnya, katanya sambil bergetak tawa: "Kiranya kaum keroco yang tak becus."
Kun-gi dan Kongsun Siang segera memburu keluar. Kun-gi
pandang keempat korban itu, tanyanya; "Apakah mereka sudah mati?"
"Mereka sama kena bagian yang mematikan, racun bekerja
dengan cepat, jiwa mereka melayang seketika," demikian sahut Ting Kiau.
"Tadi kulupa memberi tahu kepada Ting-heng, kita harus
mengorek keterangandari salahsatudiantara mereka."
"Wah, ya, kenapa akupun tidak ingat," demikian kata Ting Kiau gegetun.
Kongsun Siang sedang mengawasi kedua daun pintu, katauya:
"Kalau bukan Ceng-liong-tong, tempat ini pasti Hwi-liong-tong, Tingheng terlalu cepat turun tangan sehingga mereka tidak sempat menyampaikan peringatan bahaya kepada rekan2nya, pintu besar
ini tertutup rapat, kemungkinan orang2 disebelah dalam belum
tahu kejadian di luar sini."
Ting Kiau tertawa, katanya: "Itu gampang tugas mereka berjaga di luar pintu, kalau terjadi sesuatu yang gawat sudah tentu di sini ada peralatan untuk menyampaikan peringatan bahaya, marilah
kita periksa bersama secara teliti."
Lalu dia rnendahului melangkah ke sana, dengan seksama dia
periksa kedua dinding di kanan-kiri serta tatakan tempat keempat lampu kacaditaruh, tapitiada sesuatuyangmencurigakan.
Sedang Kongsun Siang langsung menuju gelang tembaga,
gelang di sebelah kiri dia pegang terus dia putar ke kanan-kiri.
Ternyata gelang tembaga ini dapat bergerak, keruan ia girang,
serunya: "Nah, disini!"
Dia coba2 memutar ke kiri tiga kali lalu membalik putar ke
kanan tiga kali, lapat2 ia mendengar suara gemuruh dari benda2
keras yangsalinggesek dari balikpintu.
Kongsun Siang juga cerdik, segera dia lepas tangan serta
mundur, katanya lirih. "Mundur Ting-heng, kemungkinan ada
perangkap di balik pintu besi ini" Sebat sekali dia melompat
mundur sejauh dua tombak. Ting Kiau juga sudah mundur
beberapa tombak jauhnya. Sedang Kun-gi tetap berdiri di tempatnya, dengan tersenyum
dia awasi pintu besi di depannya. Betul juga tatkala Kongsun Siang dan Ting Kiau mundur, dinding di kanan-kiri kedua lapis pintu besi segera berkeresekan menimbulkan getaran keras kedua daun pintu
besi itupun pelan2 terbuka.
Keadaan di dalam gelap gulita, dari ketajaman pandangan
Kun-gi samar2 melihat seperti sebuah pekarangan. Kini pintu besi sudah terbuka lebar, tapi tiada senjata rahasia atau perangkap
apapun yang menyemprot keluar.
Kongsun Siang menghampiri Kun-gi dan berdiri di sebelahnya,
ditunggu pula sesaat dan keadaan tetap tenang2, tanpa terasa
mulutnya bersuara heran, katanya: "Ini tidak beres."
"Terasa di mana yang tidak beres,. Kongsun-heng?" tanya Ting Kiau.
"Kedua daun pintu besi ini ada dua gelang tembaga, seharusnya kedua gelang itu di putar dan digerakkan baru pintu besi bisa
terbuka, tapi tadi aku hanya memutar gelang sebelah kiri,
seharusnya malah menggerakkan alat2 perangkap dan senjata
yang menyemprot keluar."
Ting Kiau tertawa, katanya: `Mungkin secara serampangan kita
malah mengenai sasaran, gelang kiri itu memang alat untuk
membuka pintu besi, kalau kau memutar gelang kanan,
kemungkinan kitabakalterperangkap malah."
Melihat sekian lama tetap tiada reaksi apa2 dari dalam baru
Kongsun Siang mau percaya, katanya mengangguk: "Pendapat
Ting-heng memang betul."
Kun-gi tertawa, katanya: "Aku hanya tahu guru Ting-heng
bergelar Sinsincu (si kipas sakti) dan ahli mengenai ilmu bangunan dan pertarungan, tak nyana Kongsun heng ternyata juga ahli
dalam bidang peralatan perangkap dan jebakan segala."
Konsun Siang berkata: "Ling-heng terlalu memuji, guruku punya seorang teman ahli dalam bidang ilmu mekanik, dulu waktu
jayanya juga amat tersohor dikalangan Kongouw, belakangan
untuk menghindarkan pertikaian yang lebih dalam dengan para
musuhnya, terpaksa dia buron jauh ke padang pasir di luar
perbatasan, suatu ketika bersua dengan gu-ruku dan sering
ber-bincang2, waktu itu aku selalu mengiringi guru, maka tidak
sedikit manfaat yang kuperolehdaripembicaraan mereka."
Ting Kiu juga berkata dengan tertawa: "Mung-kin Cong-coh
belum tahu, walau dulu guruku malang melintang di Kangouw
dengan kipas lempit bertulang besi, tapi beliau memang benar2
berilmu silat tinggi, hakikatnya di dalam kipasnya tidak
menyembunyikan sesuatu. Konon suatu hari beliau pernah
dirugikan oleh sepasang senjata Cu-bo-cuan lawan, maka sejak itu beliau memeras otak menciptakan berbagai peralatan rahasia,
terutama dalam bidang permainan senjata rahasia, memperoleh
kemajuan pesat, pada rangka besi kipas lempitnya sekaligus beliau dapat menyimpan 36 batang senjata rahasia lembut sehingga
orang biasa tak mungkin tahu, maka beliau memperoleh julukan
"Si-Kipas Sakti", sayang hamba berotak tumpul, ajaran paling cetek dari beliaupun takberhasil kupelajari.
Kun-gi tertawa, katanya: "Umpama betul demikian, yang jelas kalian lebih tahu dalam bidang ini daripadaku", sembari bicara ia tetap menatap ke dalam, karena dia dapat melihat di tempat gelap, lapat2 masihdapatdilihatnyakeadaandidalamsana.
Di belakang pintu adalah sebuah pekarangan kecil, maju lebih
lanjut adalah undakan batu tiga tingkat, di atas undakan adalah sebuah pendopo yang agak luas, karena jaraknya agak jauh, di
dalam juga lebih gelap lagi, lapat2 hanya kelihatan meja kursi dan beberapa perabotanya saja.
Sekian lamanya keadaan tetap sunyi dan tiada reaksi apa2 dari
dalam. Kun-gi tersenyum, katanya: "Tanpa menerobos ke sarang
harimau bagaimana dapat menangkap anak harimau, kita harus
masuk ke sana, cuma harus hati2," lalu dia mendahului melangkah ke dalam.
Kongsun Siang dan Ting Kiau mengiringinya memasuki pintu
besi. Karena keadaan di dalam memang teramat gelap, terpaksa
Kun-gi keluarkan pula mutiaranya langsung menuju ke ruang
pendopo. matanya menyapu pandang sekelilingnya. Walau kini mereka
berada di dalam perut gunung, tapi peka-rangan diluar itu tak
ubahnya seperti pekarangan umumnya di rumah orang2 berada,
baru saja dia hendak melangkah lebih lanjut, tiba2 didengarnya
suara"blang" di belakang, kedua daun pintu besi itu mendadak menutup sendiri, keadaan seketika menjadi lebih gelap pula.
Sambil menoleh Kongsun Siang mendengus, jengeknya:
"Agaknya kita memang sudah masuk perangkap." Belum habis bicara, dari atas pekarangan itu tiba2 menungkrup jatuh sebuah
jala raksasa, mereka bertiga seketika terjaring di dalamnya.
Reaksi Kongsun Siang dan Ting Kiau cukup sebat, dikala jaring
raksasa, melayang turun mereka sudah sama2 mengeluarkan
senjata dan membacok. Tak nyana jala ini terbuat dari kawat2 baja murni yang kuat dan ulet, celakanya lagi pada setiap lubang atau mata jalanya dipasanyi duri2 tajam yang membengkok terbalik.
Bila meronta di dalam jala, duri bengkok itu malah akan menusuk kulit daging sehingga akan terbelenggu semakin kencang dan
kesakitan. Hanya Kun-gi yang tetap berdiri diam saja tanpa bergerak,
walau sekujur badan terjaring di dalam jala raksasa, namun
badannya paling sedikit tertusuk oleh gantolan tajam itu, akibat Kong-sun Siang ;dan Ting Kiau meronta2 sehingga badannya ikut
terluka di bagian pundak dan punggung.
Gugup dan gusar Ting Kiau, tapi apapun juga dia adalah murid
Ginsancu, begitu melihat gelagat semakin tidak menguntungkan
segera dia berhenti meronta, serunya: "Congcob, bagaimana
baiknya?" Kongsun Siang berteriak gusar: "Hek-liong-hwe bangsa tikus celurut! Kalau berani hayo unjuk tampangmu mengadu jiwa secara
jantan, main ser-gap cara licik dengan perangkap terhitung ksatria macam apa?"
Kun-gi tetap diam saja, katanya tertawa tawar: "Kongsun-heng, Ting-heng kenapa kalian terburu nafsu" Walau kita terjaring, di sini tiada orang lain, sampai pecah tenggorbokan kalian juga percuma, sekarang lebih penting tabahkan hati menghadapi kenyataan
dengan kepala dingin."'
"Hahaha! . . . . Memang jempol kau bocah bagus!" tiba2 gelak tawa keras berkumandang dari pendopo disusul keadaan menjadi
terang benderang, delapan lampu kaca muncul bersama di ruang
pendo-po. Di undakan batu sana juga muncul tiga orang. Orang di tengah adalah Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing, di kanan-kirinya diapit dua laki2 berjubah sulaman naga terbang di bagian dadanya, usia kedua orang ini di atas empat puluhan. Di kanan-kiri undakan
beruntun muncul pula delapan laki2 kekar berseragam hijau,
menghunus pedang yang berlumuran racun.
Ci Hwi-bing tertawa lantang, katanya: "Ling Kun-gi, kau dapat meluruk sampai di sini, sungguh harus dipuji, tapi kau tetap takkan lolos dari cengkeraman tanganku." Saking senang kembali dia terbahak2.
Kepala, pundak dan beberapa bagian tubuh Kun-gi sudah tentu
terancam oleh duri2 gantolan, tapi dia tetap berdiri tak bergerak, katanya dingin: "Ci Hwi-bing, kau kira orang she Ling bertiga sudah kau kurung dengan jaringmu ini?"
Ci Hwi-bing tertawa, katanya: "Memangnya kau pikir masih bisa lolos?"
Seketika terpancar sinar mata Ling Kun-gi, katanya tertawa
lantang: "Jaring besi begini, kau kira dapat berbuat apa terhadap orang she Ling?" Sambil bicara, jubah hijaunya tiba2 melembung seperti balon yang di tiup penuh berisi hawa. Karena jubahnya
melembung, maka duri2 gantolan itupun kena disanggah ke atas,
cepat sekali tangan kanannya menarik keluar sebilah pedang.
Maka terdengarlah suara mendering nyaring beruntun, di mana
sinar kemilau itu menggaris na-ik turun terus melingkar sekali, jaring kawat baja di depannya tahu2 sudah berantakan di
bobolnya, sekali lagi pedang bergerak melingkari badan, benang
jala yang terbuat darikawatbaja lemasitupunsamaberjatuhan.
Bukan kepalang kaget Ci Hwi-bing, serunya: "Pedang
ditangannya itu adalah senjata pusaka."
Laki2 baju hijau sebelah kiri menyeringai dan memberi tanda.
Maka ke delapan laki2 kekar itu serentak bersiul panjang, dari
delapan penjuru serempak nnereka menubruk ke arah Ling Kun-gi,
Pedang Kun-gi bergerak, tiga jurusan kena di bendungnya, di
mana cahaya hijau kemilau dan hawa dingin setajam pisau,
kedelapan lawan sama merasakan ayunan pedang Kun gi seperti
memba-cok ke arah mereka, sebelum cahaya pedang menyamber
tiba serentak mereka sama melompat mundur.
Ringansekali Kun-giberputarsatulingkaran, gayapedangnyapun
ikut melingkar, hanya beberapa kali gerakan ini, jala kawat yang mengurung Kongsun Siang dan Ting Kiau sudah dibabatnya rontok
ber-hamburan. Begitu keluar dari jaring berduri, dengan gemas Kongsun Siang
segera menyerbu musuh dengan gerungan murka, gayanya mirip
amukan serigala kelaparan dibantu kilat pedangnya yang ganas.
Ting Kiau juga tidak banyak omong lagi, dengan kipas terbentang segera iapun merangsak musuh.
Betapapan tinggi dan lihay ilmu pedang kedelapan laki2 itu, tapi Kongsun Siang dan Ting Kiau terlebih lihay lagi, hanya beberapa gebrak saja mereka sudah di atas angin, delapan lawan kena didesak mundur.
Kun-gi simpan pedang dan melangkah mundur, dengan
menggendong tangan dia menonton saja di luar arena.
Long-sing-kiam yang dimainkan Kongsun Siang memang aneh,
bayangannya tampak terjang sana amuk sini, gerak pedangnya
secepat kilat, setiap serangan selalu mengincar Hiat-to besar di tubuh lawan sehingga lawan susah berjaga dan sukar
menangkisnya. Sementara kipas Ting Kiau kadang2 tecbentang dan tahu2
mengatup, kalau dibuka bisa digunakan sebagai senjata tajam,
kalaudikatupkan bisadigunakanuntuk menutukdan menusuk, yang
diincar juga Hiat-to dan urat nadi lawan.
Kedua orang ini adalah jago2 silat kelas tinggi dari generasi
muda masa kini, bahwa gabungan permainan ilmu kipas mereka
ternyata begini hebat, pekarangan kecil di dalam perut gunung ini rasanya seperti dipenuhi bayangan pedang dan kipas.
Dengan kekuatan kedelapan orang bukan saja tidak mampu
menundukkan dua lawannya, malah terdesak di bawah angin,
sudah tentu kedelapan orang itupun malu dan gusar, akhirnya
mereka lupa akan kerja sama dalam barisan yang sudah teratur,
kini masing2 mengembangkan keahlian sendiri. Kejap lain delapan batang pedang dengan bayangan gelapnya sama menyambar ke
arah kedua orang. Rangsakan bersama ini tidak dibatasi oleh langkah barisan,
serangannya jauh lebih bebas dan berkembang, maka terasa
betapa hebat dan bertambah berat tekanan mereka, seketika
Kongsun Siang dan Ting Kiau berbalik terdesak ke dalam himpitan serangan lawan.
Ting Kiau menggertak gusar, kipas besi menggentak sekali, dia
luncurkan dua batang jarum berbisa, dua lawan yang terdepan
kontan ambruk tanpa mengeluarkan suara.
Tanpa terlihat luka2 pada kedua temannya dan tahu2
tersungkur binasa, keruan enam temannya mencelos. Sementara
pedang Kongsun Siang juga tidak kenal kasihan, tatkala lawan
melengak itulah, pedangnya segera bekerja, suara jeritan kontan terdengar, pedang Kongsun Siang berhasil menyunduk perut
seorang musuh, darah muncrat dan isi perutpun kedodoran.
seketika melayang jiwanya.
Dalam sekejap tiga di antara delapan musuh roboh binasa,
maka lima orang yang masih hidup menjadi ciut nyalinya, meski
kelihatan mereka masih bertempur sengit, tapi semangat mereka
sudah mengendur, rangsakanpun tidak segencar tadi.
Kipas dan pedang Ting Kiau dan Kongsun Siang sebaliknya
berkembang semakin hebat, kem-bali lima lawannya kena diserang
hingga kelabakan. Kedua orang baju hijau yang berdiri di undakan sekilas saling
pandang, maka terdengar orang di sebelah kiri membentak:
"Berhenti!" Memangnya kelima orang itu sudah terdesak di bawah angin
pula, jiwa mereka terancam setiap detik, tanpa perintah tiada yang berani mundur, kini mendengar aba2 berhenti, seperti berlomba
saja mereka saling mendahului melompat mundur.
Kongsun Siang menarik pedang, katanya tertawa dingin:
"Apakah tuan yang ingin turun gelanggang merasakan kelihayan pedang Kongsun-toayamu?"
Dengan kipasnya Ting Kiau menuding lelaki baju hijau di
sebelah kanan, katanya dengan tertawa: "Kaupun turunlah, coba rasakan permainan kipas Ting-toaya yang silir2 nyaman ini."
Lelaki baju hijau disebelah kiri menyeringai: "Haha, memangnya betapa kemampuan Long-sing-kiam dan Thiancesan kalian, berani
bertingkahdihadapan kami?"
"Hayolah jangan banyak bacot, kalau tidak percaya turunlah rasakan sendiri," jengek Kong-sun Siang.
"Ji-te," kata laki2 baju hijau sebelah kiri kepada orang di sebelah kanan, "kau turun dan bereskan mereka"
Laki2 baju hijau sebelah kanan mengiakan, sambil melangkah
turun ia melolos sebatang pedang lebar berwarna hitam, ia
menjengek: "Kalian bertiga boleh maju bersama!"
Kongsun Siang menubruk maju lebih dulu, katanya tertawa:
"Tuan amat takabur, kau turun gelanggang sendirian, sudah tentu Kongsuntoaya akan melayanimu."
Dengan sikap angkuh laki2 baju hijau itu melirik, katanya:
"Hanya kau seorang bukan tandinganku."
Kongsun Siang naik pitam, serunya: "Memangnya kau ini
tandinganku atau bukan juga belum diketahui." "Sret", pedangnya menusuk lebih dulu dari samping, maka terlihatlah cahaya kemilau ta-jam berkelebat, menciptakan tiga kelompok cahaya pedang
menusuk tiga Hiat-to di tubuh lawan. Serangan Long-sing-kiam
dilancarkan dengan gerakan kilat, malah khusus menyerang musuh
dariarahsamping, sehingga lawansering takber-jaga2.
Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Agaknya laki2 baju hijau lawan Kongsun Siang ini memang
memiliki bekal kepandaian yang mengejutkan, hanya tangan kiri
bergerak, dia keluarkan serangkum tenaga kuat yang tak kelihatan mendesak serangan pedang lawan, jengeknya dingin: "Coba
kaupun sambut sejurus serangan pedangku!" Pedangnya yang
lebar itu terayun terus membacokdariarah depan.
Gerak bacokan ini hakikatnya tidak menyerupai jurus serangan,
tapi begitu pedangnya membacok keluar, seketika terasa adanya
doronganhawadingin yangtimbuldaritajampedangnya.
Sebat sekali Kongsun Siang tarik balik pedangnya serta
menyelinap ke samping. Long-sing-poh atau langkah serigala yang dia mainkan amat gesit dan lincah, sekali berkelebat saja mestinya dia da-pat menghindarkan serangan lawan, diluar tahunya si baju hijau yang tadi berdiri di sebelah kanan ini hanya sedikit geser, pedangnya yang lebar itu tetap dengan gaya semula membacok
lurus kemuka Kong-sun Siang, Gerakannya tidak begitu cepat,
justeru karena gerakan pedangnya tidak mengalami peru-bahan,
maka bacokan pedang ini kini tinggal dua kaki saja dari badan
Kongsun Siang. Keruan tidak kepalang rasa kaget Kongsun Siang, dalam
gugupnya ia tak sempat banyak pikir, cepat dia angkat pedang
untuk menangkis dengan jurus Thianlong-som-to. "Trang", kedua pedang saling bentur dengan keras, si baju hijau tetap berdiri tidak bergiming di tempatnya, sebaliknya Kong-sun Siang merasakan
lengan kanannya kesemutan pegal dan menyurut mundur. Sejak
keluar kandang dan mengembara di Kangouw, kecuali pernah
dikalahkan oleh Ling Kun-gi, baru sekali ini dia benar2 mengalami kekalahan dan berhadapan dengan musuh tangguh.
Watak Kongsun Siang memang tinggi hati, hanya segebrak
lantas dipukul mundur, selebar mukanya seketika merah membara,
begitu mundur segera ia menubruk maju pula, beruntun dia
menyerang tiga jurus. Tiga jurus ini merupakan tipu serangan
Thianlong-kiamhoatnya yang paling lihay, sinar pedang
menyambar bagai ular sakti.
Si baju hijau hanya tertawa ejek saja, pedang lebar ikut
bergerak tiga jurus untuk membendung dan mematahkan
serangan musuh, sementara tangan kiri bergerak melancarkan tipu merebut pedang lawan, pergelangan tangan kanan Kongsun Siang
yang memegang pedang segera dicengkeramnya.
Ilmu silat orang ini ternyata amat aneh dan luar biasa,
permainannya kelihatan kasar dan sederhana, tapi setiap gerak
serangan justru mengandung tipu yang lihay dan mematikan,
terutama gerakan merebut pedang lawan, kelihatan lucu dan aneh, tampaknya kombinasi dari Kim-na-jiu dan Kong-jiu-jip-pek-yim,
ilmu menangkap dan rebut senjata dengan bertangan kosong,
Kongsun Siang didesaknya sedemikian rupa sehingga tak mungkin
melawan dengan gerakan lain.
Kalau Kongsun Siang tidak mundur, pedang di tangannya pasti
terampas oleh musuh. Bahwa tiga serangan pedang Kongsun Siang
semuanya kena dipatahkan oleh pedang lebar lawan, kini tangan
lawan yang lain juga mencengkeram ke arahnya, semua ini
membuatnya naik pitam, mendadak kakinya menendang tangan
lawan yang menjulur tiba itu.
Untunglah pada saat yang gawat itu didengarnya desiran lirih
serta didengarnya seseorang berkata ditelinganya: "Lekas mundur Kongsun-heng!"
Kongsun Siang tahu itulah suara Ling Kun-gi yang memberi
petunjuk untuk menyelamatkan diri, tapi kakinya sudah kadang
melayang, untuk ditarik turun sudah tidak mungkin, maka tangan
si baju hijau begitu tersentuh, kaki Kongsun Siang, kelima jarinya segera mencengkeram, tetap mengincar pergelangan tangan
Kongsun Siang, malah gerakannya bertambah cepat karena
dorongan tendangan kakinya sendiri.
Kongsun Siang sendiri merasa kakinya kesakitan karena
dirasakan seperti menendang batang-an besi, sementara tangan
kiri lawan sudah memegang gagang pedangnya, Kejadian terlalu
cepat dan masing2 pihak tidak sempat berpikir, tatkala itu kelima jari si baju hijau sudah tertekuk hendak memegang pedang lawan, tiba2 dirasakan sesuatu benda menyesap ke telapak tangannya,
secara otomatis ia menggegamnya dan seketika dia merasakan
kesakitan pada telapak tangannya, lekas dia menunduk dan
membuka telapak tangan, ternyata yang dia pegang bukan gagang
pedang, tapi adalah sebuah duri gantolan yang semula berada di
jaring raksasa tadi. Betapa runcing dan tajam duri gantolan yang terbuat dari besi ini, karena digenggam, ujungnya yang runcing
sudah menusuk kulit dagingnya, darah segar mengalir deras dan
menetes dari sela2 jarinya.
Sementara itu Kongsun Siang sudah melejit mundur. .
Kalem seperti tidak terjadi apa2 dan seperti tidak merasa
kesakitan, pelan2 si baju hijau angkat kepala mengawasi Ling Kun-gi: "Perbuatanmu bukan"'
Kun-gi tertawa, katanya: "Kusaksikan pedang temanku bakal
terampas orang, maka sekadar kubantu dia, kukira toh tiada
salahnya" Apalagi Cayhe tidak bermaksud melukai orang, asal tuan tidak mencengkeram dengan kencang, telapak tanganmupun
takkan terluka." "Bagus", desis si baju hijau, "babak ini belum berakhir, kini kaulah yang maju saja."
Dalam pada itu, Ci Hwi-bing dan si baju hijau di sebelah kiri
tampak sedang bicara bisik2. Lalu terdengar si baju hijau sebelah kiri berseru: "Lo-ji, kau mundur, biar aku yang menghadapi Conghou-hoat-su-ciadariPek-hoa-pang ini."
Kun-gi tertawa lantang, katanya: " Tuan mau memberi
petunjuk, sudah tentu akan kuiringi, tapi satu hal perlu kau
ketahui, kini Cayhe bukan lagi Cong-su-cia Pek-hoa-pang segala "
Si baju hijau di sebelah kiri tampak melengak heran, tanyanya:
"Mengapa kau bukan Cong-su-cia Pek-hoa-pang lagi?"
"Soal ini tiada sangkut pautnya dengan urusan sekarang, tak perlu Cayhe menjelaskan."
"Kenapa Tunheng percaya akan obrolannya?" demikian sela Ci Hwi-bing, "kalau dia bukan lagi Cong-su-cia Pek-hoa-pang, buat apa dia meluruk kemari"'
Dengan sikap sungguh2 Kun-gi berkata: "Sekali orang she Ling bilang bukan, ya tetap bukan, memangnya persoalan ini harus
diperdebatkan?" Jelilatan sinar mata Ci Hwi-bing, tanyanya: "Tentunya ada
alasannya?" "Tiada alasan apa2, yang terang Cayhe sudah bosan bekerja."
Berputar bola mata Ci Hwi-bing, katanya: "Kalau benar kau
sudah keluar dari Pek-hoa-pang, berarti tiada bermusuhan dengan Hekliong-hwe kami, asal tuan suka turunkan senjata, Hwecu ka-mi malahinginmengundangmu,untukiniakubisa menjadiperantara."
"Memang, Cayhe ingin menemui Hwecu kalian, entah cara
bagaimana Ci-tongcu hendak mempertemukan Cayhe dengan dia?"
Semakin lebar senyum Ci Hwi-bing, ucapnya. "Sebelum jelas
maksud kedatanganmu, terpaksa menyusahkanmu dulu, letakkan
senjata dan kututuk beberapa Hiat-tomu, habis itu baru kubawa
kau menghadap Hwecu."
"Cong-coh," seru Ting Kiau, "jangan kau tertipu olehnya, bukankahcara ituberarti menjaditawanan musuh?"
"Jangan salah paham Ling-lote," kata Ci Hwi-bing, "itulah salah satu prosedur bagi orang luar untuk menghadap Hwecu. Terus
terang setiap orang yang mau menghadap Hwecu, kedua
tangannya harus dibelenggu rantai emas untuk menjaga segala
kemungkinan, tapi Ling-lote adalah orang satu2nya yang ingin
ditemui Hwecu, maka aku berani ambil putusan sendiri, hanya
beberapa Hiat-tomu yang ditutuk dan kedua matamu ditutup,
dihadapan hwecu nanti mungkin aku akan disalahin malah." Kun-gi tersenyum sinis, katanya: "Terima kasih akan kebaikan Citongcu, maksud kedatanganku ini memang ingin menemui Hwecu kalian,
tapi bukan begitu caraku menemuinya."
Si baju hijau di sebelah kiri mendengus, katanya: "Orang ini begini congkak, tak usah Ci-tongcu banyak omong padanya lagi,
biar kubekuk dia dan gusur ke hadapan Hwecu."
Ci Hwi-bing mengerut kening, dengan lirih dia membisiki si baju hijau di sebelah kirinya.
Tampak si baju hijau sebelah kiri mendongak, sambil ngakak,
katanya: "Ci-tongcu tak usah kuatir, setelah dia masuk ke
Hwi-liongtong, memangnya dia bisa terbang ke langit?"
Kun-gi membatin: "Kiranya tempat ini memang benar Hwi-liongtong."
Sementara itu si baju hijau sebelah kiri telah turunkan sebatang pedang yang berbadan lebar dari pundaknya, dengan tajam ia
tatap Kun-gi, katanya dengan membusungkan dada: "Kabarnya
kau murid Hoanjiu-ji-lay, orang she Tun ingin belajar beberapa
jurus padamu." Melihat usia orang belum terlalu tua, tapi sorot matanya
ternyata mencorong terang, jelas memiliki Lwekang tinggi. Maka
dengan sabar Kun-gi berkata: "Minta belajar tidak berani, kalau tuan memang menantang berkelahi, pasti Cayhe mengiringi
keinginanmu tapi sebelum turun tangan, lebih dulu ingin Cayhe
mohon tanya siapa panggilan kalian berdua?"
"Ya, kenapa aku lupa memperkenalkan kalian," sela Ci Hwi-bing,
"inilah Hwi-liong-tong Hutongcu kita Tun Thiankhi, dan inilah komandan ronda Hwi-liong-tong Tun Thianlay."
Ling Kun-gi mengangguk, katanya: "Beruntung dapat
berkenalan disini, kalianadalah murid Thiansanpay bukan?"
Tun Thiankhi dan Tun Thianlay sama menggunakan pedang
panjang yang berbadan lebar, ter-utama setelah melihat gaya
permainan pedang Tun Thianlay tadi mirip sekali dengan jurus2
ilmu Thiansanpay, di kalangan Bu-lim hanya ilmu pedang
Thiansanpay pula yang kelihatannya sederhana tapi setiap
gerakannya mengandung intisari ilmu pedang dari berbagai aliran yang paling tinggi. Apalagi ke dua orang ini sama she Tun,
mungkin sekali adalah angkatan muda atau keponakan Thiansan
tayhiap Tay-mosintiau Tun Kui-ih.
Terlihat Tun Thiankhi menarik muka dan menjawab: "Dari aliran mana kami orang she Tun, tiada sangkut-pautnya dengan adu
pedang ini, lekas keluarkan senjatamu."
Kun-gi tertawa, katanya: "Ih-thiankiam milikku ini tajam luar biasa, membacok emas seperti mengiris tanah, memotong besi
seperti merajang sayur, kau harus hati2."
Sembari bicara, pelahan2 terloloslah sebatang pedang panjang
yang memancarkan sinar dingin kemilau.
Sekilas Tun Thiankhi pandang pedangnya, jengeknya: "Pedang itu memang amat bagus, entah bagaimana pula kemahiranmu
menggunakannya?" mendadak ia melangkah setapak, pedang lebar ditangannyapun terus membacok.
Pedang lebar ini besarnya kira2 sama dengan telapak tangan
anak kecil, bacokan lurus dari depan menandakan gerakan yang
sederhana, tidak cepat, tak kelihatan di mana letak keanehannya, tapi bacokan ini justeru membawa deru angin yang kencang
berpusar. Tidak sedikit ahli2 pedang yang pernah dihadapi Ling Kun-gi,
tapi belum pernah dia berhadapan dengan serangan pedang yang
begini hebat, diam2 ia terkejut, batinnya: "Agaknya dia sudah memperoleh ajaran murni dari Thiansankiam-hoat." Secepat
pikirannya bekerja, tangan terangkat pedangpun bergerak, dia
lancarkan jurus Liongjiau-hoat-hun (cakar naga menyingkap
mega), ujung pedang sedikit mendongakterus menyampuk ke
depan. "Trang", kedua pedang saling bentur, mendadak terasa oleh Kungi dari badan pedang lawan merembes keluar segulung tenaga
kuat sehingga pergelangan tangannya tergetar kesemutan. Kalau
orang lain, hanya sekali benturan ini tentu pedang akan tergetar lepas dari cekalannya, kini pedang Tun Thianlay malahan
tersampuk minggir oleh pedang Kun-gi.
Berubah air muka Tun Thianlay, tanpa bersuara kembali
pedangnya menabas miring. Menabas adalah gerakan miring yang
tidak mengandung gerakan variasi, tapi Kun gi sudah dapat
merasakan tabasan lawan ini membawa tenaga yang hebat.
Tanpa pikir Kun-gi melompat ke atas setinggi dua tombak.
Begitu tabasan pedangnya luput, sekaligus Tun Thianki
berputar, dengan landasan kekuatan menabas tadi, pedang
lebarnya terayun balik ke atas.
Di luar tahunya bahwa Ling Kun-gi tengah melancarkan jurus
Sinliong-jut-hun, badannya harus melambung tinggi ke atas, ketika pedang lebar itu membalik ke atas, sementara Kun-gi yang
meluncur tinggi ke atas itu mulai menukik balik, dengan kepala di bawah dan kaki di atas, yang satu menyerang turun, yang lain
menerjang naik ke atas, betapa cepatnya serang menyerang ini,
maka terdengarlah dering nyaring benturan kedua pedang, bagai
bunyipetasanrenteng, suaranyasemakin keras memekak telinga.
Cepat Tun Thiankhi mundur beberapa langkah, dilihatnya
pedang lebar miliknya yang terbuat dari baja murni yang biasanya khusus untuk mematahkan senjarta lawan, mata pedangnya kini
ternyata gumpil beberapa tempat. Mendadak ia berseru:
"'Mundur!" Segera ia putar tubuh terus lari masuk pendopo.
Ci Hwi-bing, Tun Thianlay begitu mendengar seruannya juga
lantas mengundurkan diri. Agaknya kelima laki baju hijau itupun sudah terlatih baik, gerak gerik merekapun cekatan, cepat
merekapun menghilang masuk ke dalam pendopo. Delapan lampu
kaca dipendopopun seketika padam.
Kun-gi bertiga seketika merasakan keadaan sekelilingnya gelap
gulita, orang2 yang mundur ke pendopo dalam sekejap mata saja
telah lenyap entah kemana.
Ting Kiau ingin mengudak, tapi karena Kun-gi tetap diam saja di tempatnya, makatakenakdiabertindak sendiri.
Kongsun Siang juga telah memburu maju, katanya lirih: "Musuh mundur sebelum kalah, mungkin untuk mengatur muslihat."
Kun-gi manggut2, katanya: "Ucapan Kongsun-heng masuk akal, mari coba2 kita periksa." Dengan mengacung tinggi mutiara di atas kepala dia menaiki undakan itu.
Saat itu mereka berada dalam gua di perut gunung, tapi orang2
Hwi-liong-tong telah membangun tempat ini sedemikian rupa
sehingga hampir saja mirip pekarangan dan ruang pendopo
umumnya. Tadi mereka bertempur di pekarangan, maka kini
mereka memasuki ruang pendopo.
Setelah melampaui tiga tingkat undakan batu, mereka
menyusuri serambi panjang yang lebar, tepat di depan mengadang
enam pintu batu yang diukir dengan hiasan warna warni, tapi
semua pintu terpentang lebar. Kun-gi mendahului masuk ke
pendopo, hanya beberapa langkah segera berhenti, dengan
pancaran sinar mutiara dia memeriksa keadaan pendopo itu.
Kiranya ruang pendopo atau kamar batu ini luasnya kira2 ada
sembilan tombak, kecuali sebuah meja batu panjang tepat di
tengah ruangan ada dua baris kursi batu putih disisi kanan-kirinya, tiada lainbenda lagidalampendopo ini, keadaankosong dangelap.
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 13 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 Karya Marshall Pedang Ular Mas 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama