Serba Hijau Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping Bagian 1
" Serial OEY ENG si Burung Kenari
Karya: Xiao Ping Penyadur: OKT (Oey Kim Tiang)
Serba Hijau SERBA HIJAU Karya: Xiao Ping Penyadur: OKT (Oey Kim Tia
Di atas mejanya terletak sehelai surat kabar penerbitan
malam.itu. Tanpa ada maksudnya, ia membaca surat kabar
itu. Tiba-tiba ia membaca suatu berita tentang
pembunuhan. Kalau begitu, bagaimana si pembunuh dapat masuk ke
dalam kamar melakukan penyerangan itu", itu tak
mungkin! "Menurut cerita itu, setelah si korban masuk ke dalam
kamarnya itu, ia sudah lantas mengunci pintunya serta
memakai palangan besi, sudah pasti disitu tidak ada
orang yang kedua 1 I Roda kereta berputar terus di atas rel, suaranya membisingkan, iramanya begitu-begitu juga. Itulah suara yang tak menyedapkan telinga para penumpang, berisik tetapi toh dapat membuat orang merasa ngantuk dan letih.
Demikian telah terjadi dengan Kat Po yang paling "takut" naik kereta api dan mendengarkan lagu yang membosankan itu. Belum satu jam, ia sudah menyender dengan tidurnya yang nyenyak...
Malam itu, di dalam gerbong kelas tiga itu, penumpangnya hanya beberapa orang. Di luar kereta, tampak dari jendela, sang Puteri Malam seperti berlari-lari berlomba dengan kereta api itu, seperti juga ia tak sudi ketinggalan.
Lewatnya kereta yang cepat membuat apa yang tampak lenyap dengan segera, untuk diganti dengan pemandangan yang lain.
Demikian seterusnya, selama roda-roda masih berputar.
Nona In Hong duduk di sisi kiri Kat Po ia menyender dengan berdiam saja, matanya memandang keluar kereta.
Di depan mereka duduk A Poan, si detektip yang gemuk-terokmok dengan sigaret di mulutnya, yang saban-saban ia sedot dan kebulkan asapnya bergulung-gulung melayang, untuk melewatkan waktunya yang nganggur itu.
Detektip To Tjie An, sang majikan, tengah menghisap pipanya. Dia menghisap pipa karena Sherlock Holmes pun gemar menghisapnya.
Adalah Nona Hiang Kat sendiri, yang berduduk melewatkan waktunya sambil dengan tekun menyongket
2 benang wolnya, untuk membuat sebuah rompi, supaya baju itu dapat dikenakannya untuk melawan hawa dingin dari permulaan musim rontok.
Yang duduk di sisi kanan Kat Po ialah seorang muda usia baru dua puluh lebih, yang pakaiannya mewah, kedua tangannya disilangkan di depan dadanya. Ia duduk menyender dengan tenang, mirip dengan orang yang mau jatuh pulas. Dia tampan, kecuali alisnya yang kiri, buntung ujungnya, hingga itu merupakan cacadnya.
Oleh karena penumpangnya cuma beberapa gelintir, gerbong itu mempunyai banyak kursi yang lowong. Tapi si anak muda justru memilih kursi di sisi Kat Po. Hal itu membuatnya A Poan tidak puas, hingga dia jadi bercuriga.
Si gemuk ini memikir, apakah pemuda itu sangat tertarik oleh kecantikannya In Hong dan Hiang Kat, yang cantik tak ada tandingannya, atau dia berniat jahat terhadap kedua nona itu.
Akan tetapi kursi-kursi di dalam kereta itu tak bernomor, jadi setiap penumpang merdeka untuk memilih tempat duduknya, jadi A Poan tidak berhak untuk melarangnya sekali pun dialah seorang polisi. Maka terpaksa dia menguasai dirinya, untuk berdiam saja...
"Nona In, perkara ini sangat luar biasa. Kau pikir..." Itulah suaranya Tjie An, si majikan detektip, yang memecah kesunyian. Akan tetapi, belum sempat ia meneruskan, si nona sudah memotongnya.
"Tuan To, bukankah kau telah mengatakan, sesampainya di Hangchow baru kita membicarakan urusan perkara ini" " demikian In Hong. "Aku dapat bersabar menanti tibanya kereta ini di sana, baru aku ingin mendengar keteranganmu perihal duduknya perkara, yang kau katakan luar biasa."
3 "Nona In, aku memang tahu kau sabar luar biasa," kata si detektip, yang mengangkat pundaknya, "akan tetapi aku sebaliknya. Tak dapat aku bertahan dalam kesunyian di gerbong ini untuk empat atau lima jam lamanya..."
"Kalau begitu kenapa tadi, sewaktu di rumahku, kau tidak menjelaskannya" " tanya si nona.
"Aku kuatir kita nanti tak sempat menyusul ini kereta malam," jawab detektip itu.
"Nona In, itulah salah satu alasannya," A Poan campur bicara. "Majikan kami masih mempunyai satu alasan yang lainnya lagi..."
"A Poan, baiklah kau batasi kata-katamu!" sang majikan menegur serta matanya mendelik.
"Alasan apakah lainnya lagi" " si nona tanya.
"Tuan To kuatir, setelah dia menjelaskan duduknya perkara, kau nanti menampik buat turut campur dalam perkara ini," sahut si gemuk, membandel terhadap majikannya.
"Kenapakah" "
"Sebab, seperti ia telah bilang, Tuan To menganggap perkara ini sangat luar biasa, hingga dia tak sanggup memecahkannya," sahut detektip muda itu. "Di kolong langit ini, detektip yang mana juga, baik dia detektip negara maupun swasta, dia tak berdaya, tak kecuali kau sendiri, Nona In. Begitu katanya Tuan To. Maka ia hendak menyeret kau terjun ke dalam air, supaya kau nampak kegagalan, supaya orang menertawakanmu!"
"Atau dengan lain perkataan, supaya aku mendapat malu, bukankah" " In Hong tegaskan.
4 "Bukan! Bukan!" detektip To menyela. "Tak ada niatku berbuat demikian! Nona In, jangan kau dengari ocehannya A Poan!"
"Tapi, kalau sekarang kau menjelaskannya," kata In Hong, "aku masih mempunyai alasan untuk menolaknya!"
"Tidak, Nona! Sekarang sudah kasip!" si terokmok memotong.
Dia jeri terhadap majikannya, dia takut, toh dia bandel.
"Kau sudah naik kereta ini, tuan sep tidak kuatir kau bakal menampik lagi! Kau sudah naik kereta, jikalau kau benar menampik, itu saja sudah berarti kau kehilangan sebelah mukamu!"
"Kalau sekarang aku sudah kehilangan muka, bukankah dengan membatalkan perjalanan ini tetap aku telah kehilangan mukaku" "
"Itulah benar!" A Poan memastikan.
"Tidak, tidak, nona!" kata detektip To. "Detektip pandai sebagai nona, tidak nanti nona tidak berdaya menghadapi perkara ini! Mustahil perkara ini akan membuatmu hilang muka" "
Tjie An mengatakan begitu. Di dalam hatinya, tapinya, ia tahu benar, nona itu bakal kehilangan mukanya!
Di antara Detektip To dan In Hong selalu ada pertentangan, bukan si nona yang menentangnya, hanya si detektip. yang diam-diam memusuhinya. Untuk selama-Iamanya, tak dapat Tjie An melenyapkan perasaan tak puasnya itu. Dia jelas, bahkan membenci si nona. Sangat ingin dia merobohkan si nona, untuk membuatnya malu. Setelah itu, barulah ia puas. Toh, disamping rasa anti, ia tetap suka memohon bantuannya orang yang dibenci itu...
5 "Tuan To," kata In Hong, "akulah seorang wanita biasa, bukannya orang seperti yang kau puji tinggi itu, karena itu, melihat duduknya hal ini, pastilah aku bakal kehilangan mukaku! Oleh karena itu, kepalang sudah hilang muka, baiklah, tiada halangannya untuk kau memberikan penjelasanmu..."
Walau pun ia berkata demikian, si cantik bersenyum manis.
"Ah... sebelum aku menutur, nona, aku ingin bercerita dulu," kata Tjie An.
"Kira setahun berselang, pernah aku membaca sebuah cerita dalam sebuah majalah asing, tak ingat aku lengkapnya tetapi ringkasnya, cerita itu mirip dengan peristiwa ini. Ada seorang pengarang cerita sandiwara yang menulis sebuah cerita detektip, di dalam ceritanya itu dia menulis si pemegang peranan ditikam punggungnya dengan pisau belati sampai mati. Katanya itulah sebuah kamar bertembok di empat penjuru dimana penyerangan gelap itu dilakukan, kamar tanpa jendela hanya kecuali sebuah pintu serta sebuah lubang angin kecil di tembok bagian selatan dekat lelangit, lubang mana ditutup dengan jeruji besi. Di tembok selatan itu ada sebuah meja, sedangkan pintu satu-satunya itu berada di tengah-tengah tembok utara..."
In Hong mengangguk. Itulah isyarat buat si detektip melanjuti ceritanya.
Tanpa membilang apa-apa, To Tjie An meneruskan.
"Menurut cerita itu, setelah si korban masuk ke dalam kamarnya itu, ia sudah lantas mengunci pintunya serta memakai palangan besi. Sudah pasti, di situ tidak ada orang yang kedua. Dia duduk di kursi hadapi mejanya itu, menulis surat. Tiba-tiba saja ada yang menikam punggungnya. Si pengarang telah membuat ceritanya, akan
6 tetapi sia-sia belaka ia memikirkan pemecahan dari penikaman itu. Kenapa si pembunuh, ialah si penyerang gelap, dapat membokong selagi dia tidak dapat memasuki kamar yang terkunci itu" Sudah dijelaskan, kamar itu cuma mempunyai satu pintu, tanpa jendela, dan ada juga lubang angin, tetapi kecil sekali dan teraling jeruji besi. Kalau begitu, bagaimana si pembunuh dapat masuk ke dalam kamar melakuk.in penyerangannya itu" Itu tak mungkin! Toh dari dalam tak mungkin itu, ia hendak mencari kemungkinannya! Untuk itu, Si pengarang berpikir keras. Ia sampai lupa tidur dan lupa makan. Masih ia tidak berhasil. Pada suatu malam, habis minum arak, mendadak ia mendapatkan jalannya. Ia lantas menjelaskan itu pada seorang tidak dikenal, yang duduk bersama satu meja dengannya. Inilah disebabkan kegembiraannya yang meluap-luap. Malam itu, ia minum sampai sinting bersama sahabat yang tidak dikenal itu, baru ia pulang. Demikian pun kenalannya itu. Besok paginya, pengarang itu mendusin dari tidurnya. Apa celaka. Ia telah melupakan pemecahannya itu! Sia-sia belaka ia mengingat-ingatnya. Ia gagal. Lantas ia ingat si kenalan baru. Apa mau, ia tidak tahu she dan namanya orang itu. Sudah tentu, tak tahu juga ia akan alamat orang ia sudah lantas pergi mencari kenalan itu tetapi ia tidak memperoleh hasil. Beberapa hari telah lewat. Tetap si pengarang gagal. Percuma ia mengingat-ingat, memikirkan pula pemecahannya. Juga percuma ia mencari tahu tentang si kenalan baru... Pada suatu lohor, si pengarang menemui sahabatnya di dalam stasiun dari kereta di bawan tanah. Bukan main girangnya ia, hampir ia menjadi kalap. Ia berlari-lari menghampiri sahabat itu. Diluar dugaannya, orang menyangkal mengenal ia atau pernah duduk minum arak bersama-sama! Katanya, dia mendengarnya pun tidak pernah perihal rahasianya pembunuhan di dalam cerita itu. Toh ia memaksa
7 mengenalnya, ketika orang mau berlalu, ia memaksa menahannya, dengan sangat ia memohon supaya ia diberitahukan tentang pemecahannya itu. Kesudahannya orang itu gusar, dia menghajar si pengarang sampai roboh, lantas dia lari meninggalkannya. Ketika si pengarang menyusul, dia sudah lenyap, entah kemana perginya. Maka ia jadi sangat menyesal dan magsul. Dua hari ia mencari orang itu, tetap ia tidak mendapatkannya. Pada suatu malam, pulanglah si pengarang sehabis berjalan-jalan. Ia magsul dan berduka bukan main. Ia justeru mempunyai kamar yang serupa, pintunya cuma satu, jendelanya tidak ada, ada juga lubang angin yang kecil. Kamar di dalam ceritanya itu justeru kamar yang dipakai menjadi contoh atau pokok-dasar ceritanya itu. Ia memasuki kamarnya dengan sangat lesu, kepalanya tunduk. Ia mengunci pintu, lantas ia duduk di kursinya. Ia duduk terbengong, oleh karena pikirannya bekerja keras. Kamar sangat sunyi. Si pengarang sampai mendapat dengar suara napasnya sendiri. Di atas mejanya terletak sehelai surat kabar penerbitan malam itu. Tanpa ada maksudnya, ia membaca surat kabar itu. Tiba-tiba ia membaca satu berita tentang pembunuhan. Ia menjadi ketarik, heran, dan terkejut. Warta itu membilang bahwa seorang wanita tua kedapatan mati di dalam kamarnya, mati disebabkan tikaman di punggungnya, sedang kamarnya berpintu satu, tanpa jendela, ada lubang anginnya tetapi kecil. Yang aneh, pintu itu dikunci dari dalam. Maka polisi menjadi mati akal mengurusnya. Habis membaca warta itu, si pengarang berjingkrak bangun. Dia lantas berseru, 'Si pembunuh ialah kenalanku yang tidak dikenal itu, orang yang bersatu meja minum arak denganku! Dia telah menggunai cara pemecahanku itu buat melakukan kejahatannya! Oh, Tuhan?" Justeru ia berseru itu, diluar tahunya, mendadak ia ingat pula rahasia pemecahan itu. Ia berseru pula, 'Aku
8 tahu! Aku tahu sekarang! Aku ingat!' Segera ia menjemput penanya, bersiap untuk menulis, mencatat rahasia pemecahan itu. Justeru itu dengan mendadak ada pisau yang melayang masuk, nancap di bebokongnya! Maka matilah ia tanpa ia keburu selesai membuat catatannya! Demikian, ceritanya sampai di situ, tak ada akhirnya, tak tamat, hingga si pembaca harus mewakilkan dia memikiri pemecahannya itu," kata Detektip To akhirnya, dengan lesu dan penasaran.
"Waktu aku membaca cerita itu, aku menjadi tidak keruan rasa, hatiku menjadi sangat tidak puas. Selanjutnya terus aku berlangganan majalah itu tetapi belum pernah aku membaca ada tulisan yang mengenai pemecahan rahasia pembunuhan aneh itu. Tentu saja, itulah perkara tak mungkin, jadi taklah heran jawabannya pun tidak ada..:'
Kata In Hong, "Diakhirnya ceritera itu, redaksi majalah itu ada menambahkan catatan yang bunyinya, 'Ceritera ini memang dikarang tanpa ada pemecahannya.' Maka tidaklah heran, Tuan To, jawabnya tidak ada dan kau pun tak memperoleh jawaban itu!"
Berkata begitu, In Hong, si Burung Kenari, tertawa.
"Oh, Nona In!" seru si detektip, "kau pun jadinya telah pula membaca cerita tanpa akhir itu" "
Detektip ini merasa tidak senang.
In Hong mengangguk. "Ah, mengapa kau tidak menerangkannya dari siang-siang" si detektip menyesalkan. "Mengapa kau membiarkan aku membuang-buang tempo menceritakannya terus sampai tamat" "
"Bukankah kau iseng berduduk diam di dalam kereta ini" " In Hong balik menanya. "Disini orang berceritera, untuk
9 melenyapkan sang iseng, bukankah itu baik dan menyenangkan" Laginya Hiang Kat dan A Poan belum membaca ceritera itu, mereka niscaya merasa sangat tertarik!"
"Ceriteranya memang menarik tetapi tidak ada kesudahannya, itu membuat orang tidak gembira!" kata A Poan.
Dia pun sedari tadi bungkam terus mendengari sep-nya berceritera itu.
Hiang Kat sangat sabar, kuat sekali hatinya, ia tidak membilang apa-apa, ia terus tekun dengan pembuatan rompinya...
Di pojok lain dari gerbong itu ada seorang muda usia belum dua puluh tahun, dia tak bergembira sekali, saban-saban dia menarik napas panjang, tidak jauh dari tempat duduknya, sebaliknya ada seorang dengan usia hampir setengah abad umurnya yang nampak gembira sekali, maka juga dari mulutnya terdengar nyanyian menurut lagu wayang Peking, "Meminjam terangnya sinar lampu, melihat si nona boto yang manis."
Itulah irama yang dinamakan "Jie Hong San Gan".
Demikian di dalam kreta itu, jumlahnya belasan penumpang, semua dengan masing-masing sikap atau lagaknya sendiri.
Kat Po terus tidur dengan nyenyaknya. Anak muda di sisinya pun memejamkan matanya, nampaknya dia juga lagi tidur, akan tetapi sebelah tangannya tak tidur seperti kedua matanya itu, bahkan tangan ini sangat aktif, sebab tangan itu menggerayang ke saku celananya Kat Po, untuk memindahkan uang kertas si nona ke dalam sakunya
10 sendiri, perbuatannya sangat cepat dan lincah, selama mana, ia tetap berpura-pura pulas...
"Itulah hal tak mungkin," kata A Poan, setelah mereka hening sekian lama. "Sebenarnya bagaimana caranya si pembunuh memasuki kamar untuk membinasakan korbannya itu" "
Memang biasanya si terokmok ini, kalau dia mendengar sesuatu, lantas dia ingin ketahui kesudahannya, hatinya menjadi gatal"
"Aku tidak tahu," kata Detektip To. "Aku kira, kecuali Nona In Hong, tiada lain orang yang dapat memikirkannya!"
"Tidak, aku tidak dapat memikirkannya!" kata In Hong. Ia tahu orang secara tidak langsung mencemoohkannya tetapi, seperti biasanya, ia dapat bersikap tenang.
"Nona In, telah selesai ceritaku," kata Tjie An, "sekarang aku mau mulai menutur tentang peristiwa yang sangat luar biasa itu."
"Silahkan! Silahkan!"
"Inilah bukan cerita, hanya kejadian benar-benar," Detektip To memastikan, "hanya saja, duduknya kejadian sama dengan apa yang dituturkan dalam ceritaku barusan..."
"Apa" " A Poan menyela, matanya dipentang lebar.
"Apa kau maksudkan benar-benar ada orang mati ditikam di dalam sebuah kamar yang tertutup" "
"Benar!" sahut sep-nya itu. "Inilah kejadian tadi malam, di Hangchow, dalam sebuah rumah besar di dusun Sze Ta di luar kota. Orang yang tersangkut bernama Nie Tiong Siang. Dia mati tertikam punggungnya di dalam sebuah
11 kamar yang mirip dengan kamar dalam ceritaku. Karena itu aku mengundang Nona In, buat minta nona membantu memeriksanya!"
"Tuan To, janganlah membilang kau memohon bantuanku," In Hong bilang. "Katakan saja terus-terang bahwa kau mengajak aku supaya aku kehilangan muka! Itulah terlebih tepat! Tapi, aku ketarik hati dengan peristiwa itu, biarlah aku hilang muka, tidak apa! Coba kau katakan padaku korban jiwa itu orang macam apa" Adakah dia seorang penulis sandiwara" "
Justeru itu waktu, tangan si anak muda yang alisnya kutung itu meraba ke lain saku celananya Kat Po, yang masih saja tidur lupa daratan. Lagi sesusun uang kertas, yang masih baru serupa yang tadi, berpindah tempat. Seperti tadi, tangannya sebat dan lincah.
"Bukan, dia bukannya pengarang," sahut Tjie An. "Aku mau jelaskan, kamarnya itu sama dengan kamar dalam ceriteraku dan orang yang dibunuh, dibunuhnya juga dengan cara yang serupa. Yang beda tentu saja duduk kejadiannya. Nie Tiong Siang baru berumur dua puluh lima atau dua puluh enam tahun, kerjanya sebagai tabib. Baru satu tahun dia menikah atau dia menemui nasibnya yang malang itu..."
"Rupanya rumah itu miliknya sendiri" " In Hong tanya.
"Bukan. Itulah rumah ayahnya. Kamar itu dibangun oleh ayahnya untuk si ayah pakai sebagai tempat bersemadhi.
Ayah itu tengah meyakinkan pelajaran Sang Buddha. Begitu maka dibuat kamar aneh itu. Di rumah Nie Tiong Siang sendiri tidak mempunyai semacam kamar."
"Jadi dia tidak tinggal nyampur dengan ayahnya" "
12 "Ya! Tapi mengenai itu, ada soalnya sendiri. Bersama kakak kandungnya Pek Siang, Tiong Siang mencintai adik misannya, Yo Pek Giok. Pek Siang pandai bicara dan ramah, Tiong Siang sebaliknya. Dalam persaingan merebut cinta itu, Pek Siang yang menang. Dia telah bertunangan dengan Pek Giok dan bakal memilih hari untuk pernikahan mereka. Akan tetapi Pek Siang mempunyai satu cacad. Dia sangat menggemari susu-macan! Satu kali dia sudah minum, lantas melupakan segala apa! Hampir setiap malam dia minum mabuk-mabukan dengan Tjin A Hok kuasa rumah keluarga Nie. Ada kalanya mereka minum sampai pagi! Hanya A Hok tidak terlalu kuat minum, dia lekas mabuk dan tak ingat apa-apa lagi. Pek Siang kuat minum mirip penyair besar Li Tai Po di jaman Tang. Pek Giok tahu tunangannya gemar minum hanya ia tak tahu orang demikian lupa daratan. Baru beberapa hari lagi mereka akan menikah, baru ia dapat mengetahuinya. Tentu saja ia tak sudi menikah dengan raja pemabukan, ia lantas mengajukan permintaan memutuskan pertunangan mereka! Hal itu terjadi. Lewat kira tiga bulan, ia lantas menikah dengan Tiong Siang. Hal itu membuat Pek Siang malu dan gusar, apapula ia mendapat keterangan katanya saudaranya yang membeberkan cacadnya itu pada Pek Giok dan memburuk-burukkan namanya juga. Sejak itu, retaklah kerukunan kedua saudara itu, keadaan memburuk setiap hari hingga mereka akhirnya bermusuhan satu dengan lain. Tiong Siang mau menghindari dari bentrokan, dia pindah dari rumah ayahnya, dan membangun satu keluarga baru di lain rumah..."
"Aku mengerti," A Poan menyela, "Pek Siang bersakit hati, lalu dia mencelakai saudaranya, bukan" "
Detektip To menggeleng kepala.
13 "Bukan, bukan begitu," katanya. "Meskipun Pek Siang benci adik dan misannya, ia tidak mencelakai mereka itu.
Sebabnya ialah, pada dua bulan yang lalu waktu dia pergi berburu ke gunung, dia terpeleset jatuh di jurang, hingga dia mati dengan kepalanya remuk dan polonya hancur..."
"Rupanya," kata A Poan pula, "karena kematian Pek Siang itu, ayah mereka memanggil Tiong Siang kembali buat tinggal bersama seperti biasa, hanya disebabkan ini, jiwa Tiong Siang jadi melayang. Benar tidak" "
"Tidak! Ayah mereka, Nie Lin Kie tidak memanggil Tiong Siang pulang. Sebab selang setengah tahun dari pernikahan anaknya itu, Lin Kie meninggal dunia karena perdarahan di otaknyaoo."
"Jadi tegasnya," In Hong tegaskan, "selama satu tahun pernikahannya Tiong Siang dengan Pek Giok, baru setengah tahun, ayahnya mati. dan baru dua bulan, kakaknya itu mati dalam kecelakaan berburu. Lalu tadi malam itu, terjadilah pembunuhan yang tuan bilang sangat luar biasa itu! Bukankah Tiong Siang mati ditikam dari belakang di dalam kamar yang pintunya terkunci-terpalang, kamar yang pintunya cuma satu serta lubang anginnya kecil terjeruji" Benarkah begitu" "
"Benar! Di dalam satu tahun, keluarga Nie yang terdiri dari tiga jiwa itu, ayah serta dua anaknya laki-laki, mati semuanya, tak ketinggalan satu jua...," Tjie An jelaskan.
"Tiong Siang tinggal di lain rumah, apa perlunya dia berada dalam kamar ayahnya itu" " si Burung Kenari tanya.
"Itu pula soal yang terahasiakan," kata Detektip To, yang menggaruk-garuk kepalanya. "Sebelum Pek Siang mati karena kecelakaannya itu, pernah selama tiga hari dia
14 memeriksa dan menggeledah kamar aneh dari ayahnya itu, entah barang apa yang dia cari, setelah itu, selama dua malam, dia mengeram diri di dalam kamar itu juga. Dia mengurung diri di daIam kamar untuk menyalin kitab suci Mahayana. Di malam ketiga, rupanya, habis sudah kesabarannya, maka dia mogok meneruskan menyalin kitab itu. Di hari keempat pagi-pagi, dia membawa senapan dan pergi berburu. Hari itu ia tidak pulang lagi dengan masih bernyawa. Dia mati karena kecelakaan itu."
"Lalu" " tanya In Hong.
"Selang satu bulan habis kematiannya Pek Siang, mendadak Tiong Siang pulang ke rumah ayahnya dan memasuki kamar yang aneh itu."
Tjie An menerangkan terlebih jauh. "Seperti kakaknya, dia mencari sesuatu. Menyambung lagaknya itu, seperti saudaranya, dia juga mengeram diri di waktu malam, menyalin kitab Mahayana. Dia lebih sabar dan ulet daripada kakaknya. Dia menulis terus hingga dua puluh satu malam. Baru di malam yang ke dua puluh dua, dia mati tertikam secara aneh itu. Coba pikir, Nona In, bukankah itu sangat mengherankan" Sebenarnya, apakah yang kakak-beradik itu cari" Kenapa mereka mengeram diri dan menyalin kitab suci itu" Masih ada lagi yang aneh! Inilah mengenai itu kamar sendiri! Kamar itu, temboknya, lelangitnya, dan semua perabotannya diberi berwarna hijau tua seluruhnya! Bahkan pisau belati yang nancap di punggung Tiong Siang, hijau juga gagangnya! Bukankah itu membuat orang memikirnya sampai pecah otaknya" "
"Di rumah besar si orang she Nie itu masih ada siapa lagi selaku anggautanya" "
"Pertama-tama si kuasa rumah Tjin A Hok yang gemar minum arak itu. Yang lainnya ialah seorang pegawai laki15 laki. Apakah nona menyangka salah satu di antara mereka bertiga atau orang luar" "
In Hong bersenyum. "Tuan To," katanya, "kalau sekarang kita mengambil kesimpulan, bukankah itu kesimpulan sembrono" "
"Buat seorang detektip yang pandai, sekali saja dia mendengar duduknya peristiwa, dia pasti dapat memutuskan, siapa si pembunuh dan siapa bukan si pembunuh!"
Kata-kata ini bersifat mengejek. Inilah sebab si detektip mendapatkan ketikanya.
"Siapa si pembunuh, itulah soal nomor dua," A Poan turut bicara.
"Lebih baik kita memikirkan dahulu soal bagaimana caranya si pembunuh memasuki kamar itu..."
"Menurut aku, paling benar kita cari tahu dulu siapa si pembunuh itu!" kata Tjie An. "Kita harus membikin si pembunuh yang menerangkan sendiri bagaimana dia dapat masuk!"
"Tidak, tidak!" kata A Poan berkukuh. "Kita mesti selidiki dulu caranya dia masuk, baru kita bekuk padanya, kalau tidak, dia tentu selamat seumur hidupnya!"
Maka sep dan sebawahannya itu saling berdebat.
Hiang Kat terus berdiam, terus ia menyongket.
In Hong pun menoleh, memandang pula keluar jendela, melihat sinar rembulan.
Mukanya Tjie An dan A Poan menjadi sama merah.
Keduanya terus bertentangan, hanya lucunya, kemudian mereka bertukar soal, Tjie An kata arak jahat, A Poan
16 bilang arak berfaedah. Toh tetap pikiran mereka berselisih jauh...
Si anak muda, yang menarik napas panjang, yang romannya berduka, masih tetap dengan kedukaannya. Dan si penumpang yang bergembira, terus bernyanyi dengan lagunya yang berirama wayang Peking-nya. Kata-katanya tetap:
"Meminjam terangnya sinar lampu, melihat si nona boto yang manis..." Rupanya melainkan itu saja bisanya...
Si pemuda dengan alis kutung itu, selagi orang tak memperhatikannya, terus saja saban-saban berlaku baik budi memindahkan uang kertas dari saku celananya Kat Po ke sakunya sendiri. Belasan kali sudah dia merogo saku orang. Dia mau pulang ke desa, untuk menjenguk ayahnya, tetapi dia bertangan liehay, tangan itu dipestaporakan terhadap Kat Po.
Dasar setan tangan-tangan, dia tidak kenal puas. Habis uang si nona, dia mengincar arloji Omega di lengan orang. Dia hanya heran, kenapa uang kertas si nona semuanya uang yang masih baru, dan kenapa saku orang seperti tak mau tandas...
Sang jagat sudah lantas mulai bersemu putih abu-abu, roda-roda kereta pun mulai menggelincir kendor. Menampak itu, pemuda ini agak menyesal. Tapi sekarang dia insaf. Dia tahu diri. Sang tempo sudah tidak ada lagi. Dia paksa melupakan Omega. Dia pikir, mengangkat kaki jalan paling selamat! Tak sudi dia gagal dan nanti kena tercekuk!
Lantas dia berpura-pura menguap, kedua matanya pun dibuka, dikucak-kucak. Dia juga menggeliat, lalu bangun berdiri. Dia membawa sebuah tas kulit yang kecil, dengan menenteng itu dia pergi ke lain gerbong. Selekasnya kereta
17 berhenti di stasiun Hangchow, para penumpang berduyun-duyun turun dari dalam kereta.
Tjie An dan A Poan belum selesai dengan debatnya tetapi mereka mesti mengakhirkannya, untuk turun juga dari kereta.
Hiang Kat sudah rampung dengan rompinya, yang ia terus pakai. Sembari bangun bediri, ia menolak tubuh Kat Po, untuk mengasi bangun kawan itu.
"Eh, Hiang Kat, aku baru memejamkan mataku, kenapa kau mengasi aku bangun" " si sembrono menegur sahabatnya.
"Kau baru memejamkan matamu" Hm! Kau tahu, dari Shanghai kau telah sampai di Hangchow!"
" Ah, benarkah! Tapi aku belum tidur cukup..."
Tapi nona ini berjalan mengikuti In Hong semua.
Mereka keluar dari stasiun. Dengan menyewa taksi, mereka menuju ke dusun Sze Ta, ke jembatan Koan Yin Bridge.
Si anak muda dengan alis buntung berdiri diam di belakang stasiun kemana ia membawa tindakannya, di situ ada jalan yang sunyi. Ia mau periksa, berapa besar jumlah hasil sulapan tangannya. Tapi ia melongo! Sakunya kosong hingga di dasarnya! Tak ada sehelai juga uang kertasnya yang baru!
"Ah, celaka!" serunya, seorang diri. Ia merogo, merogo pula, hingga tiga kali. Tetap ia merogo dasar saku yang kosong.
"Ah! Apakah aku ketemu setan" "
Tempo rombongan In Hong tiba di Sze Ta, cahaya langit warna biru mulai berubah menjadi merah. Rupanya Sang
18 Surya muncul dari puncak gunung menyambut mereka. Di tegalan, diatas rumput terlihat sisa embun yang bergemirlapan bagaikan intan!
Satu demi satu, mereka lompat turun dari kereta. Kat Po lantas merogo sakunya. Hendak ia membayar sewa taxi.
"Hai" ia berseru. "Mana uangku" "
Sakunya, saku yang kanan kosong!
"Uangmu tentu saja berada di dalam sakumu!" kata Hiang Kat.
"Tapi benar uangku tidak ada!"
"Mungkin di saku yang lain..."
"Tidak bisa jadi! Aku ingat benar aku menaruhnya di saku kanan!"
Ia penasaran, ia merogo ke kantung bajunya. Di situ ada uangnya, yang katanya hilang itu.
"Aneh!" serunya. "Siapa yang memindahkan uangku ini?"
"Uangmu dapat pindah bukan hanya satu kali tapi sudah belasan kali!" kata In Hong. "Bahkan itu ada kemungkinan pindah terus ke saku lain orang!"
Tiba-tiba Kat Po sadar. "Aku tahu sekarang!" kata dia. "orang di sisiku itu satu pencopet!"
"Dia pindahkan uangmu, aku memindahkannya kembali," kata si Burung Kenari, sabar.
"Setiap kali dia menjemput, setiap kali aku menjemputnya pula. Demikian dia menyangka, uangmu tak habis-habisnya...!"
19 Kat Po melengak. "Ah, Nona In, kau benar seorang manusia luar biasa!" memuji A Poan. "Kau bergurau dengan si setan tangan-tangan, toh kami tidak melihatnya...!"
-oo0dw0oo- II Gedung Keluarga Nie terpisah dari jalan besar sejauh seperjalanan kaki empat atau lima menit. Itulah sebuah gedung yang besar dan kokoh, yang dikurung di empat penjuru dengan taman bunga yang luas.
Di sana telah menantikan Tjie Pit Seng, kepala sersi dari kantor polisi kota Hangchow, bersama belasan orang sebawahannya.
Di muka pintu mereka itu menyambut rombongannya Detektip To, yang terus dipimpin ke kamar tetamu.
"Tuan Tjie," Tjie An lantas perkenalkan rombongannya, "inilah sebawahanku, A Poan. Ini Nona Kat Po, ini Nona Hiang Kat, dan ini..."
Sampai disini, ia memperkeras suaranya, "Nona In Hong yang namanya sangat tersohor! Perkara bagaimana besar juga, yang membuatnya kita tidak berdaya, di matanya Nona In, itulah sama dengan dua kali dua menjadi empat! Maka juga, dengan tibanya Nona In, perkara sulit dari kematiannya Nie Tiong Siang itu pastilah bakal dapat dibikin terang di dalam tempo yang paling pendek! Maka itu, janganlah kau kuatir atau gelisah!"
20 Sembari memberi hormat pada In Hong, Pit Seng berkata, "Nona, aku sangat bersyukur dengan kedatanganmu ini, karena ternyata kau tidak memandang perjalanan jauh dan sukar, kau toh tiba di sini, untuk membantu kami. Dengan mengandal kepada kepandaian nona, semoga perkara sulit ini dapat lekas dibikin terang, supaya dapat kami menyelesaikan tugas kami kepada yang atasan. Dalam perkara ini, aku telah diberi batas waktu untuk mengurusnya, atau aku bakal dipecat dari jabatanku, atau sedikitnya aku akan turun pangkat. Coba pikir, bagaimana memalukan kalau sampai terjadi demikian atas diriku" Karenanya, setiap hari aku berduka saja. Inilah yang menyebabkan aku memohon bantuan Tuan To. Sedangkan Tuan To mengatakan padaku, kecuali kau, nona, tidak ada lain orang yang dapat memecahkan perkara ini. Dengan datangmu, nona, lekas juga akan ketahuan bagaimana nasibku nanti, hingga aku harus berterima kasih kepadamu!"
In Hong berlaku sabar mendengari orang bicara, selama itu ia memperhatikan detektip kota Hangchow itu. Pit Seng selipat lebih gemuk daripada A Poan, romannya jujur tetapi pun lebih tolol apabila dipadu dengan sebawahannya Tjie An. Itulah tanda dia bangsa tak punya guna. Hanya dibandingkan dengan To Tjie An dia memberi kesan lebih baik...
"Tuan Tjie," ia kata, "bisa atau tidak aku mengurus perkara ini, belum dapat aku pastikan dari sekarang, tetapi aku suka berjanji bahwa aku akan bekerja sungguh-sungguh membantu kau. Aku telah menerima undangan Tuan To Tjie An datang kemari, itu artinya bahwa aku bersedia buat hilang muka! Sekarang dapatkah kau mengantar aku ke kamar yang menjadi tempat kejadian perkara jiwa itu" "
21 "Baik, nona!" kata Pit Seng. "Sejak kejadian, kamar itu dibiarkan sebagaimana adanya, tidak berani aku mengganggunya."
Dengan lantas orang polisi ini mengantarkan para tetamunya ke kamar yang dimaksud itu.
Kamar itu berada di ujung sebuah lorong, atau di bagian paling barat dari gedung. Di muka pintu ada menjaga dua orang polisi. Mereka itu lantas mengangkat tangan mereka dengan berdiri tegak sekali menyambut sep mereka. Sang sep sebaliknya cuma mengangguk sedikit.
Di dalam kamar ada dua almari buku yang besar serta sebuah yang kecilan, dan sebuah dipan. Di tembok selatan ada sebuah meja tulis. Meja itu model Barat. Kursinya sebuah kursi model Barat juga.
Orang yang berduduk mendekam pada meja itu, punggungnya sebelah kiri tertancapkan sebilah pisau belati.
Pada kursi dan lantai terdapat darah, yang telah bersalin rupa.
Setelah itu semua, tidak ada isi lainnya lagi.
Kecuali meja itu, yang kuning muda, semua berwarna hijau tua, tak kecuali sepre dipan. Tembok, lelangit dan pintu, semua hijau gelap. Maka siapa masuk ke dalam situ, dia akan merasa seram.
In Hong bertindak mendekati meja. Ia melihat tangan kanan korban masih memegangi sebatang pena. Di atas meja ada sehelai kertas bersama sejilid kitab Mahayana. Kertas itu sudah bertuliskan dua puluh lebih baris surat, yang huruf-hurufnya halus. Di pojok kanan meja ada sebuah tempat hio dari kuningan, masih ada sisa hionya serta di sekitarnya ada abu hio.
22 Di ujung kiri ada sebuah lampu minyak tanah, yang apinya sudah padam. Di situ pun ada sebuah dus kecil warna hijau terisikan beberapa potong bak. Selain sebuah nampan tempat perabot tulis, yang lainnya ialah lagi tiga jilid kitab Mahayana lainnya.
Pada tembok di pinggiran pintu ada dua buah saklar listrik. Lampu listrik dipasang di dalam tembok. Hanya lampu itu, yang baru dipasang, belum dapat api, rupanya disebabkan gedung itu berada di desa yang terpisah jauh dari kota.
"Nona In, lihat," kata Pit Seng, "bukankah Nie Tiong Siang ditikam dari belakang selagi dia menulis?"
"Itulah tak dapat disangsikan lagi," sahut In Hong sambil ia tunduk mengawasi pisau belati gagang hijau itu, bahkan hijau juga bagian tajamnya, begitu pun pitanya. Pisau hampir tembus sampai di gagangnya. Itulah bukti serangan yang hebat. Hanya, pisau sedikit miring. Itulah penyerangan dari bawah, bukan dari atas.
Memeriksa ketiga almari, semua isinya ialah pelbagai macam buku, kebanyakan kitab keagamaan. Tembok di empat penjuru, semuanya tebal, kokoh dan kuat. Tak mungkin ada pintu rahasianya di situ. Ia pun memperhatikan lubang angin kecil di tembok sebelah selatan itu, bundar clan luas sekitarnya kira sekaki setengah, jerujinya lima buah. Tak dapat jeruji itu dikutik.
Kecuali angin, tak nanti orang dapat molos masuk dari situ.
Lelangit dan lantai diperiksa teliti. Juga disini tak mungkin ada alat rahasianya. Di tengah-tengah lelangit kedapatan bekas-bekas rontokan batu semennya dan bekas terpantekkan paku bengkok.
23 Paling akhir In Hong memeriksa pintu di tembok utara itu. Pintu itu kokoh dan tebal, istimewa kuatnya. Cuma sekarang ada bekas kapakan, tanda bekas dibuka dengan paksa.
Pintu itu ia pentang dan tutup dan palang beberapa kali, ia mengawasi mendelong sekian lama.
"Kau lihat, Nona In," kata Pit Seng, yang memecah kesunyian sesudah semua orang berdiam saja mengawasi gerak-gerik si nona, "pintu ini dipalang dari dalam, dapatkah orang dari luar memasukinya untuk melakukan pembunuhan" "
"Kalau pintu sudah dikunci, tiada ada orang dapat masuk ke dalam," si nona menjawab.
"Habis, nona, dari mana si pembunuh masuknya" Tak mungkin dia molos dari lubang angin yang kecil dan tertutup itu."
"Ya, tak mungkin. Dari mana pun, tak dapat orang masuk kemari!"
"Habis, bagaimana masuknya si penjahat" Laginya, mengapa dia membunuh dengan menggunakan pisau belati serba hijau itu" "
In Hong tidak menjawab. Ia terus mengawasi pintu.
"Nona, dengan cara bagaimana si pembunuh masuk ke kamar ini" " Pit Seng mengulangi pertanyaannya. "Kenapa dia tidak pakai lain macam pisau hanya pisau hijau ini" "
In Hong tetap bungkam. "Itulah justeru soal yang menyulitkan orang," kata Detektip To. "Tapi dia tak bakal menyulitkan atau merobohkan Nona In Hong! Segera Nona In akan dapat menjawab kau, Tuan Tjie!"
24 Terang Tjie An tahu si nona tidak dapat menjawab, sengaja dia mengucapkan kata-katanya itu, guna melampiaskan kejelusannya, untuk membikin si nona mendeluh...
"Nona In," tanya Pit Seng secara tolol, "Tuan To bilang kau segera akan dapat memberikan jawabanmu, benarkah?"
"Tuan Tjie, jangan tak sabaran!" Tjie An kata. "Baiklah. Kau jangan ganggu Nona In. Dia tengah memperhatikan sang pintu, untuk ditanyakan keterangannya. Segera Nona In akan menjawabmu!"
"Tuan Tjie," akhirnya In Hong menjawab juga, "peristiwa ini benar-benar aneh, sulit untuk memecahkannya. Maka itu aku rasa, tak dapat tidak pangkatmu pasti tidak bakal dapat dipertahankan lagi, kau tentunya bakal diturunkan menjadi seorang polisi agen biasa saja..."
"Oh, Tuhan!" mengeluh si gemuk dengan mukanya meringis. "Nona In, kau jadinya hendak mengundurkan diri dari perkara bunuh ini" "
"Bukan, aku bukannya hendak mengundurkan diri," sahut In Hong tenang. "Aku hanya ingin kau bersedia-sedia untuk nanti turun pangkat, buat menjadi agen polisi yang biasa saja. Dalam kenyataannya ada orang yang menghendaki kau turun pangkat..."
"Siapa" Siapakah dia itu" " tanya Pit Seng heran.
"Jadinya ada orang yang menghendaki perkara ini tak dapat dipecahkan olehmu" "
"Tak usah kita cari tahu siapa orang itu," sahut si nona, yang terus membuka pintu kamar. "Sekarang ingin aku tanya kau, pembunuhan ini bagaimana ketahuannya mula-mulanya" "
25 "Mulanya ketahuan oleh Sun Ma, bujang perempuan dari rumah ini," sahut Pit Seng.
"Seperti biasanya setiap pagi, dia membawakan sebuah nampan barang sarapan untuk majikannya, ketika ia mengetuk pintu, ia tidak memperoleh jawaban, pintu pun tidak dibukai.
Setelah beberapa kali gagal, ia lantas mengintai di liang kunci.
Untuk kagetnya, ia melihat majikannya tengah mendekam dengan pisau nancap di punggungnya serta berdarah, lantas dia berteriakan dan lari ke kamarnya Tjin A Hok untuk memberitahukan. Justeru itu waktu, A Hok lagi rebah bagaikan mayat sebab dia lagi mabuk arak, hingga dia tak dapat disadarkan. Terpaksa Sun Ma lari kepada polisi. Demikian kita jadi mendapat tahu perkara pembunuhan ini"
"Habis, bagaimana caranya kamu masuk ke dalam kamar ini" "
"Oleh karena kita tidak punya daya lain, terpaksa kita mengapak pinggiran pintu," sahut Pit Seng. "Setelah dapat memasuki tangan dan membuka palangannya, baru kita dapat membuka pintu dan masuk ke dalam kamar."
"Jadi itu berarti, semenjak Tiong Siang memasuki kamar, pintu terus terkunci, sampai saat kau membongkarnya" "
"Demikianlah, nona."
Sampai sebegitu jauh, Kat Po berdiam saja. Dia terpengaruhkan anehnya perkara. Tapi sekarang, tak dapat dia bungkam terus.
26
Serba Hijau Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"In Hong, hatiku pepat," katanya. "Di sini, aku tidak dapat membantu kau, maka aku ingin mengajak Hiang Kat pesiar ke telaga See Ouw..."
"Kalau begitu keinginanmu, kamu pergilah!" jawab In Hong, yang tidak mencegah.
Memang ia tahu, mereka itu turut juga sebab ingin melihat telaga yang kesohor itu. Laginya Kat Po bertabiat keras dan kukuh, tak dapat dia dihalang-halangi.
"Kami telah menyediakan Hotel Sin Sin untuk kamu," kata Pit Seng pada Kat Po, "maka itu, sebentar, sepulangnya, nona-nona boleh pulang langsung ke hotel itu."
"Terima kasih, Tuan Tjie!" kata Hiang Kat, yang sudah bertindak keluar.
Kat Po sebaliknya sudah sampai di serambi luar.
"Mungkinkah ada orang sembunyi lebih dahulu di dalam kamar ini, untuk menantikan datangnya Tiong Siang untuk membunuhnya" " tanya A Poan.
"Kalau begitu, bagaimana caranya dia keluar dari sini" "
In Hong tanya. "Buat keluar dari sini, si pembunuh harus mengunci dan memasang palangannya pula. Kerjaan itu mesti dilakukan dari sebelah dalam. Di sini tidak ada tempat untuk menyembunyikan diri."
"Dia dapat sembunyi di dalam almari buku atau di kolong dipan..." kata A Poan pula.
"Tak mungkin. Semua almari telah penuh berisi. Dan dipan ini, pernya rendah hampir mencapai lantai, tak dapat orang mendekam di bawahnya. Aku berani pastikan Tiong Siang mengunci dan mempalang pintu begitu lekas ia sudah
27 masuk ke dalam kamar dan itu waktu, di dalam kamar tidak ada orang yang kedua."
"Apakah tak mungkin orang lebih dulu mengikat tali pada palang pintu, yang dia tarik untuk membuka pintu dan memasukinya sesudah Tiong Siang berada di dalam, maka itu dia dapat masuk dan lantas menikam korbannya" "
"Kalau begitu, A Poan, cobalah kau menggunai tali untuk menguji teorimu ini," kata In Hong. "Mari kita membuktikannya!"
A Poan mencari tambang, akan tetapi, setelah mencoba, dia gagal. Palang pintu besi itu berat dan pula tak ada jalan untuk memasang tambangnya.
"Nah, kau lihat sendiri, A Poan, teorimu tak jalan," kata In Hong pula. "Laginya, jikalau kau menggunai tali, Tiong Siang tentunya melihat tali itu dan jadi curiga. Terang sudah, Tiong Siang berada sendirian di dalam kamarnya ini."
"Habis, bagaimana cara masuknya si pembunuh" " tanya Pit Seng. "Ya, kenapa pisaunya pun di cat hijau" "
In Hong berdiam. Ruang menjadi sepi, kecuali tertawa perlahan tetapi tawar dari Tjie An.
"Nona In, bagaimana dengan mayatnya Tiong Siang ini" " tanya Pit Seng. "Kalau dia tetap dibiarkan begini, dia bisa menjadi rusak dan bau..."
"Kau boleh pindahkan dia ke rumah sakit, untuk diperiksa dokter, setelah itu, dia boleh diserahkan pada keluarganya untuk dirawat dan dikubur."
Berkata begitu, mereka pun meninggalkan kamar itu, untuk berkumpul di ruang tamu.
28 "Tuan Tjie, aku masih membutuhkan beberapa keterangan," kata In Hong kemudian. Ia lantas menunjuk kepada sebuah potret di atas tembok.
"Foto itu foto siapa" "
"Menurut keterangan Nona Yo Pek Giok, isterinya Tiong Siang," sahut Pit Seng, "itulah foto yang diambil belasan tahun yang sudah. Orang dengan usia pertengahan itu ialah Nie Lin Kie, sedang itu dua anak umur belasan tahun yaitu Pek Siang dan Tiong Siang. Yang berdiri di belakang Lin Kie, orang yang berewokan itu, dialah Tjin A Hok yang paling dipercaya mengurus rumah."
"Tadinya aku mengira dialah anak sulung Lin Kie.
Kalau begitu, A Hok sudah bekerja belasan tahun di sini."
"Menurut Nona Pek Giok, dia malah sudah bekerja lamanya dua puluh lima tahun. Dialah seorang sebatangkara, tanpa sanak tanpa kadang, dan dia mulai masuk kerja sewaktu berumur lima belas tahun. Katanya dia pandai bekerja, orangnya jujur dan setia. Semua tetangga tahu baik, A Hok setia dan ramah tamah."
"Katanya dia gila arak setelah matinya Lin Kie dan Pek Siang. Dia memang suka minum bersama Pek Siang tetapi tidak segila yang belakangan ini"
"Dua bujang yang lainnya itu, sudah berapa lama mereka bekerja di sini" "
"Mereka itu, Sun Ma dan Tiang Kin, baru bekerja sebulan lebih."
"Sebelum mereka ini, selainnya A Hok, apakah tidak ada bujang lainnya" "
29 "Ada tiga bujang laki-laki dan empat bujang perempuan, tetapi mereka itu diberhentikan sejak sebelum matinya Pek Siang. Katanya mereka itu bandel terhadap Pek Siang dan telah membocorkan rahasia Pek Siang suka memeriksa kamar aneh itu. Sun Ma dan Tiang Kin diterima bekerja oleh A Hok setelah matinya Pek Siang."
"Sewaktu Sun Ma mengetahui kematian majikannya, Tiang Kin ada dimana" "
"Dia lagi kerja di rumah besar, lagi membersihkan kursi meja."
"Apakah kewajiban dia juga membersihkan kamar aneh itu"
"Benar. Sun Ma pernah membilangi aku bahwa beberpa kali ia pernah menyaksikan, selagi Tiang Kin bekerja di dalam kamar itu, dia suka seperti lagi mencari sesuatu."
"Menurut pendengaran sampai sebegitu jauh," A Poan turut bicara, "rupanya di dalam kamar rahasia itu ada sesuatu benda yang berharga! Kalau tidak, mengapa setiap orang ingin memasuki dan mencarinya" "
"Itulah hal yang bukannya tak mungkin. Tuan Tjie, pernahkah kau dengar keterangannya Yo Pek Giok, isterinya Tiong Siang, bahwa apakah yang dicari suaminya di dalam kamar itu" "
"Pemah aku tanya dia tetapi dia rupanya belajar menutup mulut seperti yang lainnya."
Berkata begitu, Pit Seng nampak lesu.
Tiba-tiba Tjie An menghela napas. Teranglah ia menyesal sudah mengajak In Hong. Ia pun memikir, kamar itu tentu merahasiakan sesuatu yang berharga besar. Ia
30 kuatir, selagi lain orang tidak berdaya, si nona akan berhasil. Lagi sekali ia mendengarkan helaan napasnya.
In Hong mengerling terhadap detektip itu. Ia dapat menerka kenapa orang agak menyesal.
Ketika itu Sun Ma datang dengan senenampan kuwe. Dia berumur empat puluh lebih tubuhnya sehat dan kokoh, agaknya dia jujur.
"Kaukah Sun Ma" " tanya In Hong, ramah.
"Ya, nona," menjawab bujang itu.
"Bagaimana kau melihatnya Tiang Kin seperti mencari sesuatu di dalam kamar serba hijau itu" " In Hong tanya pula.
"Sering aku mendapaikan dia bekerja di dalam kamar itu sambil mengunci pintu,'" sahut si bujang perempuan, "karena itu satu kali aku mengintai di liang kunci. Nyatanya dia bukan lagi membersihkan kekotoran hanya lagi mencari setahu apa"
In Hong mengangguk. "Tolong kau panggil Tiang Kin kemari!," pintanya.
"Baik, nona" sahut Sun Ma, yang terus bertindak pergi.
Tidak lama, ia balik bersama seorang laki-laki yang bertubuh tinggi dan besar, yang gerak-geriknya kasar, bukti bahwa dia bertenaga besar, sedang kedua matanya tajam mirip mata tikus. Dia agaknya seperti bercuriga saja, kuatir orang membokongnya...
"Kaukah Tiang Kin" " In Hong tanya.
"Ya, aku Tiang Kin!" sahut orang itu, kaku.
"Oh, begitu" " kata si nona, bersenyum. "Maaf. Aku baru sekarang ketahui kaulah Tiang Kin. Tapi, dapatkah
31 kau memberi keterangan padaku" Kenapa kalau kau bekerja di dalam kamar tulis itu selalu kau mengunci pintu" "
"Tuan Tjie telah tanyakan aku tentang itu, apakah artinya buat kau banyak tanya-tanya lagi" " jawab Tiang Kin, tak senang. " Aku minta diberi maaf, tidak dapat aku memberikan jawaban buat yang kedua kali."
"Jikalau kau begini berhemat dengan kata-katamu dalam soal ini, baiklah, akan aku tidak menanyakan lagi," kata In Hong sabar, "akan tetapi aku mempunyai satu soal yang baru, aku mengharap jawabanmu! Bukankah kau yang menikam Nie Tiong Siang" "
Jawabannya bujang itu luar biasa.
"Asal kau bisa buktikan bagaimana caranya aku masuk ke dalam kamar itu serta memberi bukti juga bahwa aku si pembunuh, akan aku mengakui akulah yang membunuh Tiong Siang!"
In Hong tidak menjadi melengak atau tidak senang hati.
Bahkan dia kagum. "Sungguh! Sungguh aku setuju dengan kejujuranmu ini!" katanya.
Bujang yang berandalan itu tidak menanti disuruh lagi, lantas dia mengundurkan diri dari kamar tetamu itu.
In Hong tidak bergusar, tidak demikian dengan A Poan.
Si terokmok ini lompat bangun dari kursinya, dia menjambak bujang itu.
"Manusia tidak tahu aturan, jangan pergi!" bentaknya.
Akan tetapi Tiang Kin mengibas tangannya. Maka, bukan saja A Poan gagal mencekuk dia, ia justeru
32 terpelanting jatuh. Ia jadi gusar sekali, ia lantas lompat bangun sambil mencabut revolvernya.
"Sabar, A Poan!" In Hong minta. "Jangan ladeni dia. Kau pandang aku, kau beri ampun padanya."
"Jikalau aku tidak memandang kau, Nona In, pasti akan aku bikin setan hidup ini kenal siapa aku!" kata si terokmok, sengit. "Sungguh manusia kasar!"
A Poan masuki senjata apinya ke sarungnya, sedang Tiang Kin sudah pergi jauh, hingga tak ada gunanya ia berkata demikian, orang toh tidak mendengarnya.
"Nona In, makhIuk itu rupanya benar si pembunuh!" kata A Poan pula, masih mendongkol.
"Mungkin," sahut In Hong. "Akan tetapi kita membutuhkan bukti buat dapat membekuk dia." ia menoleh pada Sun Ma, untuk bertanya, "Hari ini Tjin A Hok lagi mabuk atau tidak" "
"Dia hampir setiap malam mabuk dan setiap hari tidur karena mabuknya itu," sahut si bujang perempuan. "Sekarang dia lagi tidur di dalam kamarnya. Jarang dia tidak minum arak, Jarang dia tidak mabuk, tapi selagi sadar, dia terus bekerja melakukan tugasnya."
"Jam berapa setiap harinya dia tersadar" "
"Tak tentu. Umumnya mendekati sore baru dia sadar sedikit."
"Tuan Tjie, aku mau pergi ke kamar A Hok untuk melihatnya," In Hong minta pada Pit Seng.
"Buat apa kau menemui setan arak itu, Nona In" " si pembesar polisi tanya.
33 "Dia sudah bekerja dua puluh tahun lebih, dia tentu kenal baik keadaan dan segalanya di rumah ini," sahut In Hong.
"Seandainya dia tidak lagi mabuk, ingin aku memasang omong dengannya..."
"Ah!" kembali Detektip To menghela napas.
Tapi dia tahu maksudnya In Hong. Dia mau turut ke kamarnya A Hok, sebab perlu dia mengawasi nona ini.
Si Burung Kenari tidak bilang apa-apa, ia cuma mengerling kepada detektip itu.
Pit Seng memimpin In Hong semua ke petak bujang. Di dalam sebuah kamar, yang terawat baik, terlihat Tjin A Hok, si kuasa rumah, lagi rebah dengan pakaian lengkapnya di atas pembaringannya. Oleh karena gorden dikasi turun, kamar itu agak guram. Yang membuatnya orang tak enak yaitu kamar itu berbau arak yang memualkan.
In Hong bertindak masuk ke dalam kamar, sampai di tepi pembaringan. A Hok, yang penuh brewok, tidur madap ke dalam, dengkurnya terdengar keras, waktu si nona memanggil-manggil dan menggoyang-goyang tubuhnya, dia tetap tidur lupa daratan tempo si nona mencoba membaliki tubuhnya!
"Lihat, Nona In, dia tidur mirip mayat, mana dapat diajak bicara" " kata Pit Seng.
"Benar. Biar lain hari saja aku bicara dengannya."
Mereka keluar dari kamarnya kuasa rumah itu. Terus In Hong melihat-lihat lain ruangan.
Mendekati tengah hari, In Hong berniat pergi ke rumahnya Tiong Siang di jembatan Pa Shien, sejarak tiga lie, untuk menemui Yo Pek Giok.
34 Justeru itu mendadak ada suatu benda hitam bundar menyamber ke arahnya di ruang tetamu, barang mana datangnya dari kebun bunga.
Yang menjadi sasaran ialah lehernya. Ia berkelit dengan mendadak. Benda itu menyamber ke pintu, lalu jatuh di serambi. Pada pintu ada bekasnya yang cukup dalam.
Habis itu Nona In lompat keluar, untuk menjemput benda bundar itu, semacam cakram, yang bagian tebal dan pinggirannya tipis dan tajam, ukurannya empat dim bundar.
Kerongkongan orang pastilah putus kalau terkena senjata itu. Pelempar itu pula mesti bertenaga besar dan sudah terlatih, mungkin dia pun pandai silat.
"Belum setengah harian aku tiba di sini, lantas ada orang menghendaki jiwaku," kata si nona, tenang.
Justeru itu datang pula cakram yang kedua. Tengah si nona berkelit, datanglah yang ketiga, mengarah lehernya, lalu terlihat darah mengucur keluar, sebab In Hong tak keburu berkelit lagi...
"Celaka!" A Poan berteriak.
Si terokmok ini beda dari detektip To, sep-nya itu. Ia mengharap In Hong hidup, Tjie An sebaliknya, menghendaki kematiannya...
-oo0dw0oo- III Hari masih pagi ketika di tembok belakang dari berhala Touw Tee Bio, si Toa Pee Kong tanah, di ujung
35 kampung Sze Tsi di dalam desa Sze Ta, tertampak sepasang muda-mudi tengah berduduk atas sebuah bangku batu. Mereka saling mengawasi dengan mata mereka mendelong.
Si pemudi berumur kira tujuh belas tahun, bajunya biru sudah luntur, celananya biru juga, sepatunya hitam, meskipun ia seorang nona desa, ia tampak cantik dan kecantikannya tak sirna walaupun pakaiannya sederhana dan sudah tua itu.
Sepasang matanya yang besar dan jeli justeru menambah kecantikannya.
Si anak muda mengerutkan sepasang alisnya. Dia berduka seperti masanya malam itu di dalam kereta api. Karena dialah pemuda yang naik kereta berbareng bersama rombongan Detektip To.
"Siauw Hong, kau bicaralah!" kata si pemuda, hatinya tidak tenang. "Kau mau bicara apa, katakanlah. Begitu aku terima suratmu, malam-malam juga aku berangkat! Kenapa sekarang, sesudah bertemu, kau bungkam" "
"Seng Kong," kata si nona, perlahan, "melihat kedukaanmu, aku... aku jadi tidak dapat membuka mulutku. Kau... kau jangan paksa aku..."
Ia (si pemuda) juga mengerutkan alisnya.
"Aku tidak mendesak kau, Hong... Kau sendiri yang menulis dalam suratmu bahwa urusan mengenai kita berdua, bahwa kau minta aku segera datang, maka aku lantas datang. Sebenarnya, ada urusan apakah" "
Nona itu mengawasi. "Seng Kong, apakah kau... kau benar..." katanya, terputus-putus, parasnya lantas menjadi merah.
36 "Benar apa, Hong" " tanya si pemuda. "Kau bilanglah! Selama heberapa hari ini, pikiranku juga pepat sekali..."
"Apakah kau benar...," si nona berpaling ke arah seberang kali di mana ada dua ekor kambing tengah makan rumput. Kedua tangannya tanpa disengaja meremas ujung bajunya. Terang sekali bahwa ia sangat jengah.
"Apakah kau masih mencintai... aku..." "
"Ah, Siauw Hong, mengapa kau mengatakan begini" " tanya si anak muda, heran. "Bukankah kau telah ketahui sendiri bagaimana aku mencintaimu, bahkan aku telah berjanji akan menikahimu" "
"Kalau begitu, lekaslah kau nikahi aku!" kata si nona, mukanya jadi terlebih merah pula.
Si pemuda mengawasi, bengong.
"Aku belum dapat berdiri sendiri, mana bisa aku segera menikah kau" " katanya, menyesal.
"Kau harus menanti lagi satu atau dua tahun... Sudah cukup aku bekerja magang di dalam Toko Emas Ngo Kim di Sanghai dan seharusnya aku sudah mendapat kedudukan sebagai pegawai tetap, akan tetapi si direktur, guruku itu, mengatakan aku belum lulus, aku mesti magang lagi kira satu tahun. Karena itu sampai sekarang, setiap bulan, aku cuma dapat uang saku, belum memperoleh gaji, sedang uang sakunya sangat sedikit, tidak cukup buat ongkos menggunting rambut dan satu kali mandi. Jikalau aku nanti bergaji tetap, aku akan dapat beras dua karung setiap bulannya. Rupanya majikanku hendak menekan aku lagi satu tahun, supaya dia dapat menghemat dua puluh empat karung beras itu. Aku..."
"Sebenarnya itulah bukan soal...," kata si nona, matanya terus mengawasi kedua ekor kambing.
37 "Kau dari keluarga tani, ayah dan ibumu bercocok tanam, kalau nanti aku masuk ke rumahmu, dapat aku membantu orangtuamu bekerja di sawah. Tambah satu orang berarti tambah hasil pula. Aku mau hidup tanpa mengandali siapa pun juga, akan aku mengandal tenaga sendiri..."
"Kau benar, Siauw Hong. Hanya ayahmu, berapa banyakkah dia menghendaki pesalin untukmu" "
"Nah, inilah yang sulit! Orangtuaku menginginkan kau membawa beras lima belas karung..."
Ia meremas-remas pula ujung bajunya.
"Sebenarnya itulah tidak pantas, orangtua meng-anggap gadisnya sebagai barang dagangan, akan tetapi disebelah itu, ada kesulitan yang menghubunginya. Kalau tidak, tidak nanti orangtuaku mengajukan permintaannya itu..."
"Tapi, Siauw Hong, mana dapat aku menyediakan lima belas karung beras itu" "
"Aku tahu kau sendiri tidak dapat, tetapi ayahmu tentu bisa. Ayahmu bukan orang hartawan untuk Sze Ta tetapi dia mempunyai simpanan, bukan" "
"Oh, Siauw Hong, dari manakah kau mendengarnya itu" " kata si anak muda, berduka.
"Apakah kau masih belum tahu" Tiga hari yang lalu, ayahku telah kerampokan, orang telah mengangkut pergi uang dan segala apa sampai bersih! Sekarang ini keluargaku menjadi terlebih miskin daripada keluargamu... Ayah telah menulis surat padaku, menutur tentang perampokan itu, sampai dua malam aku tak dapat tidur pulas memikirkannya..."
Si pemudi terkejut. 38 "Apa" Kau kerampokan" " tanyanya, heran. Tak lagi mukanya menjadi merah, hanya menjadi pucat.
"Biasanya rampok menyateroni orang hartawan, kenapa mereka mendatangi rumahmu"
"Malam itu kira jam tiga, belasan orang jahat datang ke rumahku dan memaksa masuk," Seng Kong mengasi keterangan.
"Mereka merampas segala apa, bahkan jiwa ayah dan ibuku hampir hilang juga! Aku tidak mengerti kenapa penjahat mendatangi rumahku dan membawa pergi segala apa simpanan ,ayah ibuku selama beberapa puluh tahun..."
"Kalau begitu, betullah orangtuamu tidak dapat menyediakan lima belas karung beras itu..."
"Memang..." Si nona berdiam, airmatanya meleleh turun.
Si pemuda heran, hingga ia mau menyangka si nona menulis surat dan memanggilnya untuk memaksa meminta beras lima belas karung itu.
"Tempo aku menerima suratmu, aku menduga itulah tentu ada hubungannya dengan pertunangan kita," kata ia, lesu tetapi mengandung penyesalan.
"Benarkah karena kami kerampokan, kau jadi mencela aku terlalu miskin dan kau berniat membatalkan pertunangan kita ini" "
Siauw Hong terkejut. "Bukan! Bukan!" katanya.
Dan ia terus menangis. "Buat apa kau menangis" Kau tahu aku kerampokan dan tidak bakal sanggup menyediakan itu lima belas karung
39 beras, lantas kau menggunai ketika ini membuat sulit padaku...!"
"Oh, Seng Kong...!"
Siauw Hong menangis semakin sedih.
"Kau menangis! Apakah kau kira aku memfitnahmu" "
"Kau bicara begini rupa, apakah itu bukan penghinaan?"
"Habis, kenapa justeru kami kerampokan, kau memaksa meminta beras lima belas karung itu" Apa itu bukan namanya mempersulit" "
Nona itu masih menangis. "Benar-benar aku tidak tahu kau kerampokan," katanya. "Aku menulis surat padamu dan minta kau segera datang karena ada sebabnya yang sangat..."
"Dan apakah itu" "
"Kau kenal Thia Hong Hoan atau tidak" "
"Dialah tuan tanah terbesar dari dusun Sze Ta ini, yang sawah ladangnya ribuah bau! Dia kenapa" "
"Ayahku menggarap sawahnya, ayah berhutang lima belas karung beras! Mendadak sekarang dia minta ayah membayar pulang hutangnya itu, ayah diberi tempo hanya empat hari, jikalau tidak..."
"Kalau tidak, bagaimana" "
"Dia... dia hendak membawa aku ke rumahnya, buat dijadikan jaminan, buat nanti dijadikan gundiknya..."
Tak tahan si nona, dia menangis pula.
Dengan susah dia menambahkan, "Coba kau pikir, aku bingung atau tidak..." "
40 "Kau toh bisa membilangi dia bahwa kau sudah ditunangkan padaku" "
"Dia dengar itu, dia menerimanya dengan tertawa dingin! Katanya pertunangan kita tanpa perantara, tanpa perkenan orangtua, jadi itu tidak ada harganya! Paling belakang dia kata dengan bengis pada ayahku, "Aku beri tempo empat hari padamu untuk melunaskan hutangmu! Terserah kepadamu, kau hendak nikahkan anakmu kepada siapa juga! Jikalau lewat empat hari kau gagal, anakmu mesti menjadi gundikku!' Seng Kong, aku menulis padamu karena disebabkan ancaman Hong Hoan itu..."
"Oh, Tuhan!" si pemuda mengeluh. "Kenapa justeru disaat kami kerampokan" Jangan kata beras lima belas karung, satu karung pun tidak ada..." ia menjadi bingung sekali.
"Bagaimana sekarang..." "
"Aku pun bingung..." kata si nona, masih menangis. "Biarnya mesti mati, tak sudi aku menjadi gundiknya Hong Hoan..."
"Kau memang dapat bertahan..."
"Mana bisa" Dialah tuan tanah besar dan berpengaruh! Aku lemah..."
"Kalau begitu, kau minggatlah!"
"Minggat kemana" "
"Ke Shanghai." "Habis dimana aku tinggal di sana" "
Seng Kong berdiam. 41 "Ya, itu pun bukannya yang sempurna...," katanya kemudian. "Jadi jalannya cuma membayar lima belas karung beras itu! Hanya, kemana mesti mencarinya..." "
" Apakah kau tidak dapat jalan untuk meminjamnya" "
" Ah, minjam" Minjam kemana" "
Seng Kong bingung dan 'berduka, si nona lebih berduka pula.
Keduanya berdiam sekian lama.
"Masih ada beberapa hari lagi temponya itu" " kemudian Seng Kong tanya.
"Sebentar tengah hari," sahut si nona, lesu.
Seng Kong bingung, tetapi dia kata, "Baiklah! Nanti aku minta ayahku pergi ke rumah Keluarga Nie, untuk minta pinjam beras dari Tjin A Hok, kuasa keluarga itu."
"Tjin A Hok suka membantu atau tidak" "
"Ayahku bersahabat kekal dengannya, aku percaya dia suka membantu..."
"Kalau begitu, Seng Kong, kau pergilah lekas!"
"Ya. Kau tunggui kabarku di rumahmu!"
"Ingat, Seng Kong, beras itu mesti berada di rumah tepat di waktu tengah hari, kalau lewat, biarpun ada beras, sudah kasip..."
"Aku tahu..." Seng Kong sudah berlari-lari, dia menyahuti sambil menoleh.
Siauw Hong berjalan perlahan mengikuti tepi sungai pulang ke rumahnya.
42 Ketika itu sudah panen, masih ada sisa padi yang belum dipotong, maka kaum tani masih repot di sawah. Padinya Siauw Hong dipungut beberapa hari yang lalu, hasilnya lumayan, kalau hasiI itu dipakai membayar sawah, masih ada sisanya, tetapi, apabila dia mesti membayar hutang lima belas karung, bukan padinya akan habis semuanya, hutangnya tetap masih banyak.
Maka itu, nona ini pulang dengan hati berduka dan mendongkol, penasaran untuk kekejaman si tuan tanah. Kapan dia ingat pengaruhnya Hong Hoan, ia jadi lesu pula... Ia pun sangat berkuatir sebentar Seng Kong tak dapat membawa beras.
Tapi, mendengar suaranya Seng Kong, bahwa ayah pemuda itu sahabat kekal A Hok, ia mendapat harapan, sampai untuk sejenak, dapat ia bersenyum...
Atau mendadak, wajahnya menjadi guram pula! Kalau A Hok menolak"
" Ah...!" ia mengeluh.
Dengan tindakan berat, nona ini berjalan terus, matanya seperti tidak melihat apa-apa.
"Siauw Hong! Ie Siauw Hong!" tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita setengah umur, yang lagi bekerja di sawah.
"Siauw Hong, tahan! Lekas balik! Di tikungan itu, di depanmu, kali!"
Siauw Hong tidak dengar teriakan itu, ia jalan terus...
Nyonya itu melempar aritnya, dia lari memburu, tepat sebelah kaki si nona terangkat, untuk menindak, buat menginjak tepian kali, yang kosong, tepat dia sampai. Lantas dia menjambret, menarik baju orang!
43 "Oh, Enso Oey, terima kasih!" kata Siauw Hong kemudian, hilang kagetnya, "Kau telah menolongi aku, hampir aku tercemplung ke kali..."
Nyonya Oey itu ialah tetangganya.
"Siauw Hong, meleng jalanmu...," kata si nyonya.
"Pikiranku lagi kacau dan pepat... " sahut si nona.
"Karena urusan lima belas karung beras itu"
Siauw Hong mengangguk. "Memang, semua tuan tanah hitam hatinya!" kata Enso Oey, sengit.
"Mereka meminta sewa berat dari pihak penggarap! Thia Hong Hoan lebih hitam pula hatinya! Dia kata sawahnya lebih gemuk, dia minta uang sewa lebih banyak! Kenyataannya, sawahnya tak terlebih baik! Lebih baik kamu jangan garap sawahnya!"
"Tidak menyewa sawahnya, lantas kita tidak punya sawah untuk digarap!"
"Ya, benar susah!" kata nyonya itu. Ia insaf akan kesulitan itu.
" Apakah kau tidak mendayakannya" "
"Meski kita berdaya untuk meminjam, kita pun bingung melunasinya nanti..."
"Bukankah batas temponya sebentar tengah hari tepat" Hong Hoan mirip harimau, dia sangat jahat, kalau kau gagal, celakalah kau! Paling benar kau menyingkir saja dari sini!"
"Menyingkir kemana enso" "
44 "Kau tidak membayar, kau tidak lain, lantas orangnya Hong Hoan bakal datang mencekukmu! Jadi gundik dia, kau tetap bersengsara! Kau tak akan dipandang sebagai manusia! oleh isterinya, kau bakal dijadikan seperti kerbau atau kuda! Lihat saja buktinya Nona Heng dan Nona Kwa dari kampung depan sana - A Coen dan Sam Koh! Belum satu tahun menjadi gundik, keduanya sudah menjadi setan hidup, lalu lain tahunnya, mereka masuk kubur, akibat disiksa hebat! Maka untuk kau, minggat paling benar."
" Aku mesti minggat kemana" "
"Kalau kau suka, mari sembunyi di rumahku, buat sementara waktu..."
"Enso, kau baik sekali. Terima kasih!"
"Sekarang pergi kau pulang. Kalau kamu berhasil minjam beras, kau tetap diam di rumah, sebaliknya, apabila kamu gagal, lekas kau lari ke rumahku. Kau pergi secara diam-diam, supaya orang tidak tahu..."
Kembali Siauw Hong mengucap terima kasih. Ia tiba di rumahnya, rumah yang sangat menyedihkan.
Sudah gubuk, bocor pula. Tak ada barang bagus, semuanya perabotan butut. Ayahnya, Ie Loo Djie, dan ibunya, Sie-sie, tengah menantikan pulangnya.
Mereka menantikan dengan leher mereka seperti diulur, saking mengharap-harap.
"Bagaimana, anak Hong" " tanya Sie-sie. "Dapatkah Seng Kong menyediakan beras itu" "
Dengan berduka si nona menceritakan halnya Seng Kong kerampokan.
" Apa, dia kerampokan" " tanya Loo Djie kaget.
45 "Ya, ayah. Tapi dia lagi mencoba meminjam dari A Hok..."
" Apakah A Hok suka menolong" "
"Seng Kong percaya dia suka." Siauw Hong bicara pasti tetapi hatinya sendiri ragu-ragu .
"Oh, Thian! Oh, Dewi Koan Im, tolonglah!" Sie-sie memohon.
Sang ayah berdiam. Ia tidak menyetujui isterinya. Kalau beras didapat, terima kasih harus dihaturkan kepada A Hok. Ia pun tidak mempunyai harapan...
Lantas keluarga Ie ini menganggap sang waktu berjalan terlalu cepat. Tak sabaran mereka menantikan tibanya Seng Kong beserta berasnya! Satu jam berarti enam puluh menit, tak kurang, tapi menit-menit lewat mengikuti denyutan hati orang, mengikuti suasana...
Mereka tidak mempunyai lonceng atau arloji tetapi pohon Hoay di depan rumah mereka menjadi gantinya sang jam. Pohon itu mengasi lihat bayangannya, yang senantiasa berkisar-bayangan itu terus mendekati pohonnya, untuk nanti Ienyap sendirinya...
Serba Hijau Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siauw Hong, Seng Kong masih belum tiba...," kata Sie-sie .
"Dia tentu bakal datang lekas!" sahut si anak, yang berdiri di ambang pintu, matanya mengawasi jauh ke depan.
Sebenarnya, bayangannya Seng Kong pun belum tampak...
Loo Djie mencoba menyabarkan diri. Beda dengan istrinya, yang terus berdoa, memohon tak hentinya, Sie-sie tetap memuja, memuji kepada Dewi Koan Im...
46 Sang bayangan pohon tidak menghiraukan nyonya itu, dia terus berkisar, berkisar makin lempang, untuk sebentar rata dengan pohon dan lenyap...
" Aduh, Siauw Hong...," si ibu mengeluh kemudian.
"Tengah hari sudah tiba, Seng Kong masih belum datang juga... Bagaimana kalau si tuan tanah jahat datang..." "
"Seng Kong akan lekas datang, ibu...," sahut sang anak dara, yang sekarang suaranya menggetar. Ia tetap tidak melihat Seng Kong, sebaliknya, tampak si tuan tanah besar yang jahat Thia Hong Hoan bersama sekalian gundalnya, tengah mendatangi, lagi menyeberangi jembatan sebatang kayu tunggaL
"Sudah, Siauw Hong...," kata Ie Loo Djie bingung.
"Jangan tunggui lagi Seng Kong... Lekas kau pergi ke rumah Enso Oey!"
"Habis bagaimana dengan ayah dan ibu" " tanya si anak, berat
Ia takut orangtua itu dianiaya.
"Jangan pedulikan kami. Larilah dari jendela!" kata sang ayah.
Dengan sangat terpaksa. Siauw Hong merayap naik di jendelanya yang tak ada kacanya, untuk lari keluar. Ia mengambil jalan yang tak terlihat Hong Hoan semua.
Loo Djie dan isterinya mundur ke pojok rumahnya.
Segera juga terdengar tibanya Hong Hoan semua, sebab salah seorang gundalnya berkata nyaring: "Toaya, kami menunggu di luar! Rumah ini sangat bau!"
Sengaja dia mengatakan demikian, untuk menghina.
47 Tuan tanah besar Thia Hong Hoan mengawasi rumah orang, dia mengasi dengar suara di hidung, setelah itu, dia membuka tindakannya, akan melintasi ke ruang dalam. Segera dia menaruh kakinya di atas sebuah meja.
"Ie Loo Gu, mana kau" " dia kata. "Bagaimana dengan itu beras lima belas karung" "
Ie Loo Djie bergemetar mengawasi muka orang yang bermuram durja, sedang hatinya panas. Orang bukan memanggil ia Loo Djie, hanya "Loo Gu," artinya si kerbau tua...
"Thia Toaya," katanya, memberanikan diri, "namaku Loo Djie..."
"Aku suka panggil kau Loo Gu, habis kau mau apa" " kata si tuan tanah, bengis. Ia menekan keras kakinya, maka meja reyot itu berbunyi menangis...
"Baiklah, Thian Toaya, sesuka kau, panggil Loo Gu atau Loo Ma (kuda tua)..." kata isteri petani melarat dan tak berdaya itu, yang tubuhnya bergemetar keras. "Aku minta janganlah kau injak rusak mejaku itu..."
"Ha-ha-ha!" tertawa si hartawan, yang justeru menggunai tenaganya. Maka ringkaslah meja reyot itu!
"Aduh!" menjerit Sie-sie. "Mejaku...!" ia mau menangis tapi tidak berani mengeluarkan tangisnya.
"Ie Loo Gu, bagaimana dengan itu beras lima belas karung" " Hong Hoan tanya, suaranya bengis.
"Toaya, kami sedang mendayakannya, untuk meminjam," sahut Loo Djie. " Aku minta tempo beberapa hari lagi..."
" Aku sudah berikan tempo banyak, kau masih meminta lagi!" bentak si tuan tanah. "Tidak dapat! Jikalau tidak ada
48 beras, Siauw Hong mesti jadi jaminannya! Mana dia itu anak" "
"Dia pergi mencari pinjaman beras..."
"Hm! Terang kau suruh dia pergi sembunyi!" Hong Hoan membentak. "Mana orang-orang, lekas cari Siauw Hong!"
"Thia Toaya, jangan rampas Siauw Hong kami!" memohon Sie-sie, terus dia berlutut dan mengangguk-angguk.
" Anak itu sudah ditunangkan! Aku mohon toaya berlaku murah hati..."
" Aku mengingini beras! Siapakah menghendaki anakmu" " bentak Hong Hoan. "Maka kamu bayarlah beras itu!
Jikalau tidak ada beras, terpaksa aku membawa Siauw Hong pergi! Satu hari kamu membayar beras, satu hari dapat kamu mengajak Siauw Hong pulang! Mustahil aku akan menelannya" "
"Meski kau tidak menelan Siauw Hong, tetapi, toaya...
Oh, Thia Toaya berlakulah murah hati, kau ampuni Siauw Hong..." Sie-sie memohon pula.
"Thia Toaya, aku hutang beras, dengan beras aku akan membayarnya!" kata Loo Djie, yang akhirnya jadi panas hati.
"Tidak berhak kau merampas Siauw Hong! Mari kita pergi kepada Bapak Camat!"
" Angin busuk!" bentak si hartawan. "Kau sudah berhutang, kau masih mau menyeret tangan pembesar negeri" "
49 Dia menjambret tuan rumahnya dan menggaplok dua kali.
Mukanya Ie Loo Djie lantas menjadi merah dan bengap.
Tidak berani dia melawan.
Belum puas dengan gaplokan, Hong Hoan menjoroki orang keluar rumah!
"Hajar tua bangka tidak mau mampus ini!" perintahnya. "Dia berani mengajak aku pergi pada Camat! Hajar dia sampai mampus!"
Beberapa gundal menubruk Loo Djie, terus mereka menghujani bogem-mentah.
Sie-sie ketakutan, dia menjerit-jerit minta tolong.
Panas hati Hong Hoan, dia menghampiri si nyonya, dia menggaploknya juga dua kali!
"Kau menjerit lagi!" si hartawan mengancam. "Aku hajar mampus padamu!"
"Ya, toaya, aku tidak menjerit pula," kata Sie-sie, kesakitan, kedua tangannya membekap mukanya. "Aku minta sukalah kau berlaku murah hati, kau ampuni suamiku..."
Ada beberapa tetangganya Loo Djie, mereka menyaksikan kejadian itu, tetapi mereka jeri pada Hong Hoan, sebaliknya daripada datang menolongi atau memohonkan ampun, mereka menyingkir jauh-jauh, mereka menyembunyikan diri...
Baru hati Hong Hoan puas setelah melihat Loo Djie sudah empas-empis. Tak dapat dia melawan beberapa gundal itu.
50 "Sekarang kasi dia ampun," katanya. "Kalau Siauw Hong tidak dapat dicari, kita nanti datang pula perhitungan dengannya!"
Terus dia mengangkat kaki, diikuti sekalian kaki-tangannya itu.
Di tengah jalan mereka berpapasan dengan beberapa gundal lainnya, yang gagal mencari Nona Ie.
"Kamu berjumlah banyak dan kamu tidak dapat mencari satu nona!" kata si hartawan, mendongkol. "Tidak nanti dia lari jauh! Tidak nanti lolos dari dusun ini! Apakah kamu tidak pergi ke rumahnya si bocah Pwee Seng Kong" "
"Sudah kita mencari di sana, Siauw Hong tidak ada! Si bocah dan ayahnya yang tua juga tidak ada di rumahnya, di sana tinggal isterinya si Pwee tua lagi menenun..."
"Habis, dia lari kemana" Apakah kamu tidak pergi ke rumah Enso Oey" Dia dan Siauw Hong bersahabat erat, mungkin Siauw Hong bersembunyi di rumahnya!"
"Ke rumahnya Enso Oey, belum kami pergi..."
"Kalau begitu, dia tentu ada di sana! Mari kita lihat!"
Di ujung dusun Sze Ta, Enso Oey hidup cukupan. Dia mempekerjakan beberapa , pegawai. Rumahnya pun cukup besar. Dia tengah berdiri di ambang pintu waktu dia melihat rombongannya Hong Hoan mendatangi.
Dia lantas masuk ke dalam, menyuruh Siauw Hong, sembunyi di keranjang besar peranti menyimpan gabah.
Siauw Hong menurut, dia pergi menyembunyikan dirinya.
"Siauw Hong, jangan takut, jangan bergemetaran," Enso Oey pesan. Meski begitu, ia sendiri berhati tak tenang, suaranya tak wajar.
51 Siauw Hong diberikan sebatang pipa bambu supaya ia dapat bemapas, setelah itu, tubuhnya diuruki gabah, lantas, keranjang besar itu ditutup rapih.
Setelah itu nyonya ini lekas ke depan, untuk berduduk dengan sikap tenang, tangannya melara tali rumput. Ketika itu semua pegawai tengah bekerja di sawah, ada juga seorang bocah laki-laki dan seorang bocah perempuan usia masing-masing lima dan tujuh tahun, yang sedang memain berdua, supaya mereka jangan membuka rahasia, ia suruh mereka pergi keluar buat menangkap kupu-kupu. Bocah wanita, itu anak perempuannya yang bungsu.
"Mama mau kupu-kupu" " si anak laki-laki tanya.
"Ya, yang belang!" sahut si ibu.
"Mama, di sana ada kupu-kupu kuning yang besar!" kata si anak perempuan.
"Tidak, aku mau yang belang!" sahut si ibu, yang sengaja mempersulit anak-anaknya itu, supaya mereka berdiam lama di luar. "Siapa dapati kupu-kupu belang, dia akan dapat pakaian baru!"
Maka berlari-larilah anak-anak itu membawa tepukan.
Belum lama seberlalunya kedua anak itu, tibalah Hong Hoan dan gundal-gundalnya. Paling dulu dia suruh orang-nya mengurung rumah itu, kemudian dengan mengajak empat yang cerdik, dia bertindak memasuki rumah orang tanpa perkenan lagi.
"Eh, Enso Oey, kenapa hari ini kau tidak pergi ke sawah" " sapanya, lagu suaranya menggenggam sindiran.
"Oh, Thia Toaya!" menyambut nyonya rumah, bersenyum. " Angin apa meniup toaya kemari" " ia berpura tenang sekali pun hatinya tegang sendirinya.
52 "Kau tidak pergi ke sawah, apakah kau kedatangan tetamu" " Hong Hoan tanya tanpa menghiraukan perkataan orang.
Kembali dia menyindir. Enso Oey merasakan pipinya panas, pipi itu tentu bersemu dadu, pikirnya.
Sedangkan Hong Hoan mengawasi tajam.
"Sekarang sedang panen, siapakah sempat keluar rumah" " sahut Enso Oey. " Aku mana punya tetamu..."
" Ah, enso, kau dapat abui lain orang tetapi tidak Thia Hong Hoan!" kata Hong Hoan mendesak.
Dia tertawa dingin. "Kalau kau tidak punya tetamu, kenapa kau tidak pergi ke sawah" "
"Tadi pagi aku telah pergi ke sawah, toaya," sahut nyonya rumah. "Tadi aku merasa kurang sehat, rasanya panas-dingin, maka aku berdiam di rumah. Kau lihat, mukaku merah, rasanya panas..."
"Hm!" si hartawan tertawa menjengeki. "Mukamu merah bukan karena sakit tetapi lantaran di rumahmu ada tetamu, hingga hatimu jadi tidak tenang. Benar bukan" "
"Ah, toaya bergurau!" kata Nyonya Oey. Tapi mukanya jadi lebih merah dan hatinya pun mulai berdebaran. Dasar wanita biasa, sulit untuknya menenangkan diri.
"Taruh kata aku kedatangan tetamu, boleh apa, aku tidak bersalah, aku tidak menculik orang!"
Matanya Hong Hoan menatap tajam muka si nyonya, terus dia mengawasi ke dalam rumah.
53 "Enso Oey, aku lihat, baiklah kau omong terus-terang!" katanya selang sedetik. "Jangan kau menyebabkan aku gusar! Sebenarnya kau mempunyai tetamu atau tidak" "
Suara si hartawan mulai menjadi keras.
"Tidak ada," sahut Enso Oey.
"Jangan kau berpura-pura!" tegur Hong Hoan. "Dari wajahmu telah aku melihat di dalam rumahmu ini kau menyembunyikan seorang nona cantik! Tetapkah kau menyangkal"
"Seorang nona cantik" Tidak! Tidak! Di rumahku mana ada nona cantik" Oh, janganlah toaya berkelakar!"
"Gila!" berseru si hartawan. "Kau sengaja main gila! Kau sengaja menentang aku" Benarkah" Lekas serahkan Siauw Hong padaku, habis perkara! Apabila kau tetap berlagak pilon, awas, nanti aku geledah rumahmu! Kalau Siauw Hong kedapatan, akan aku hajar kau hidup-hidup hingga mati! Bilang! Bilang! Mana Siauw Hong" "
Enso Oey jadi berpikir keras. Kalau Siauw Hong kabur, lain perkara, tetapi ia yang suruh si nona bersembunyi di rumahnya, tak dapat ia membuka rahasia. Kalau si nona kedapatan, dia memang bisa dihajar mati. Celaka kalau begitu! Perkaranya tentu tidak ada... Ia bersangsi, mengaku atau jangan"
"Bicara! Lekas bicara!" Hong Hoan mendesak. "Mana dia Siauw Hong" "
"Toaya, aneh pertanyaanmu!" Enso Oey mengeraskan hati. "Tentu saja Siauw Hong berada di rumahnya! Buat apa dia datang bersembunyi di sini" "
Nyonya ini menjadi nekad.
54 "Kurang ajar!" akhirnya Hong Hoan berseru. "Geledah! Awas! Kau menentang aku! Kalau Siauw Hong ada di sini, mati kau akan aku hajar!"
Keempat gundalnya si hartawan lantas nerobos masuk ke dalam, untuk menggeledah. Sampai ke dalam kamar, ke dapur, ke kolong pembaringan, juga ke tumpukan padi dan kandang babi.
"Toaya, tidak ada," mereka melaporkan kemudian.
"Segala tahang nasi!"bentak si majikan. "Kamu tidak punya otak! Mustahil di rumah sekecil ini kamu tidak dapat mencari orang" "
"Memang benar tidak ada! Kalau toaya tidak percaya, silahkan toaya periksa sendiri!"
Hong Hoan penasaran, benar-benar ia mencari sendiri. Ia pun tidak memperoleh hasil, hanya ia lalu mencurigai keranjang gabah yang besar itu.
"Apakah kamu sudah periksa keranjang ini" "
"Belum." "Tahang nasi!" dia mendamprat. "Keranjang ini justeru bagus sekali dipakai menyembunyikan orang! Lekas periksa!"
Enso Oey ikut masuk, ia takut bukan main, mukanya jadi pucat, tubuhnya bergemetar, hampir ia pingsan.
"Keranjang ini penuh gabah, tak dapat orang sembunyi di dalamnya, atau dia bakal mati engap, karena itu, kami tidak periksa," kata seorang gundal.
Hong Hoan pun ragu-ragu. Memang goblok akan memeriksa itu. Akan tetapi, ia melihat muka pucat-pasi dari Enso Oey, kecurigaannya timbul. Si nyonya pun gemetaran.
55 "Hm! Hm!" ia mengasi dengan suara seram. "Enso, kau ketakutan, bukan" Bukankah benar Siauw Hong sembunyi di dalam keranjang ini" "
"Tidak... tidak...," sahut nyonya itu, suaranya gemetar.
"Hm! Hm!" Hong Hoan mengasi dengar pula suara seramnya. "Kalau tidak, mengapa kau ketakutan" Hayo, buka tutupnya keranjang ini! Periksa isinya!"
Perintah itu dilakukan. Setelah tutupnya dibuka, isinya gabah melulu.
"Ah!" serunya, kedua matanya dipentang lebar. Saking mendongkol, ia menggabruki tutupnya.
"Enso Oey!" tegurnya, "Siauw Hong tidak sembunyi di rumahmu, kenapa kau gemetaran" "
Ia tetap masih curiga. "Toaya, telah aku bilangi kau, aku lagi demam panas-dingin," kata nyonya itu perlahan, hatinya sedikit lega. "Aku lagi kedinginan, aku bukannya ketakutan..."
Muka nyonya ini pun tidak sepucat tadi.
"Kau sudah menggeledah, kau sekarang percaya aku, bukan" " tambahkan ia kemudian.
"Ya, aku percaya kau, Siauw Hong tidak ada di rumahmu," kata Hong Hoan. "Mari kita mencari ke lain tempat!"
Berkata begitu, ia bertindak keluar dengan perlahan-lahan.
-oo0dw0oo- IV 56 Sekeluarnya orang dari rumahnya, hati Enso Oey menjadi tenteram. Tapi ia mengintai, ia mau lihat, orang sudah pergi jauh atau tidak.
Baru jalan kira belasan tindak, mendadak Hong Hoan kembali. .
"Enso Oey, hendak aku tanya kau," tanya dia, "Siauw Hong tidak ada di rumahmu, dia sembunyi di mana" "
"Mana aku tahu, toaya" "sahut si nyonya. "Kalau aku tahu, tentu dari tadi aku sudah memberitahukan kau,"
"Benarkah kau tidak tahu" " kata Hong Hoan. Dia tertawa menyeringai. "Telah aku memikirnya, kecuali di rumah kau ini, Siauw Hong tidak dapat pergi ke rumah lain orang lagi!"
"Benar-benar aku..." kata Enso Oey, atau kata-katanya itu berhenti.
Tiba-tiba kedua anaknya pulang dan yang perempuan berseru, "Mama, aku dapat tangkap kupu-kupu belang! Ini dianya! Mama mesti bikinkan aku baju baru!"
"Aku juga dapat menangkap satu, mama!" berseru si anak laki-laki. "Aku juga minta dibikini baju baru!"
"Aku yang dapat lebih dulu, mama bikini aku lebih dulu!" kata si nona cilik.
"Tapi kupu-kupu encie sudah mati, punyaku masih hidup, mama harus bikini aku dulu!" kata bocah yang lelaki.
"Sudah, sudah!" kata si ibu. "Akan aku bikini kamu pakaian baru! Sekarang pergi kamu mencari lagi!"
Hong Hoan sementara itu menyeringai melihat dua bocah itu.
57 "Oh kamu menginginkan pakaian baru" " katanya.
"Bolehkah aku yang tolong bikini" "
" Apa kau juga bisa bikin baju" " tanya si anak lelaki.
"Ah, pasti tidak bisa!"
"Ya, menjahit pun kau tak bisa!" kata yang perempuan.
" Aku mempunyai banyak uang, dapat aku membelikanmu!"
"A Liok! A Cit! Lekas pergi mencari kupu-kupu!" kata Enso Oey pada anak-anaknya. "Jangan kamu kurang ajar terhadap Thia Toaya!"
Parasnya ibu itu menjadi berubah pula.
Hong Hoan mengeluarkan sesusun uang kertas, ia ulapkan itu di depan kedua anak itu.
Kata ia, "Uang ini dapat dipakai membeli sepuluh potong baju! Siapa yang bicara lebih dulu, dia yang dapat! Hayo bilang, Ie Siauw Hong sembunyi di mana" "
"Aku tidak tahu Ie Siauw Hong sembunyi di mana!" sahut si anak perempuan. " Ak tidak mau sepuluh potong bajumu! Aku cuma mau bikinan ibuku!"
"Aku juga tidak tahu Ie Siauw Hong sembunyi di mana!" kata anak yang lelaki.
"Mama melarang..."
"A Tjit!" berkata si ibu. "Sudah aku bilang, jangan kurang ajar terhadap Thia Toaya! Lekas pergi memain! Lekas pergi!"
Kembali muka si nyonya pucat, hampir dia semaput.
"Ibumu larang apa padamu" " Hong Hoan tanya, cepat.
58 "Mama melarang kami memberitahukan siapa juga yang Ie Siauw Hong disembunyikan di dalam keranjang gabah," sahut si anak yang polos. "Maka itu aku tidak mau membilangi dia sembunyi di mana..."
"Oh, kiranya di dalam keranjang gabah itu!" seru Hong Hoan. "Mari! Lekas!" dan ia mengajak gundalnya masuk pula ke dalam, ke belakang.
"Lekas singkirkan gabah itu!"
Perintah itu dilakukan. Maka Siauw Hong kena ditarik keluar!
Enso Oey jatuh ke atas kursi terus ke lantai.
"Hajar mampus Enso Oey!" Hong Hoan menitahkan. Ia sendiri menyeret Siauw Hong keluar.
Nona itu berontak berulang-ulang.
"Ini bukan urusannya Enso Oey!" teriaknya. "Kau pukul aku! Jangan pukul dia!"
"Ha, ha, ha!" Hong Hoan tertawa lebar. "Untuk menghajar mati padamu, harinya belum sampai! Nanti setelah aku bosan dan jemu, baru hari itu tiba...!"
"Toaya, Enso Oey sudah pingsan!" seorang gundal melaporkan.
"Pingsan belum berarti mampus! Dia menantang aku, tak dapat dia tidak dihajar mampus! Lekas, hajar padanya, sampai mati!"
Kali ini Thia Hong Hoan berdiri menyaksikan gundal-nya bekerja.
Tiga orang gundal yang paling kejam, yang tadi menganiaya Ie Loo Djie sampai Loo Djie tinggal matinya, menyeret tubuh Enso Oey keluar, ke latar.
59 Justeru mereka mau mengayun tangan mereka, mendadak mereka mendengar teriakan ini: "Thia Hong Hoan, jangan lari! Nenek moyangmu si tukang membinasakan okpa sudah datang!"
Hong Hoan dan orang-orangnya kaget, mereka semua lantas menoleh. Okpa berarti si jago atau hartawan jahat Mereka melihat dua orang berlari-lari mendatangi, yang satu berbaju putih, yang lain berbaju biru. Selagi mereka mendekati, terlihat tegas mereka bukannya pria hanya wanita.
"Awas!" Hong Hoan memberi perintah. "Siap untuk bertempur! Aku kira merekalah dua di antara tiga wanita yang tadi kita bicarakan! Mereka tentu Kat Po dan Hiang Kat!"
"Kat Po gagah tetapi sembrono!" kata seorang gundal, yang hidungnya merah.
"Hiang Kat berkepandaian berbatas!"
"Jangan memandang ripgan, mereka tak mudah dilayani!" Hong Hoan memperingati.
"Lekas kau bawa Siauw Hong pergi, nanti aku layani sendiri mereka itu!"
Gundal hidung merah itu mencekuk Siauw Hong, buat dibawa kabur Hong Hoan mencabut dari pinggangnya dua bilah pisau belati yang gagangnya hijau tua, yang diikatkan pita hijau tua juga. Itulah senjata istimewa untuknya untuk menempur orang. Dengan itu dia juga pandai menimpuk seperti pisau terbang dan biasanya sangat jitu.
Senjata lainnya tak dapat ia menggunainya dengan tepat. Dia tidak suka menggunai senjata api, dia larang orang-nya menggunai itu, kecuaIi beberapa diantaranya, yang menyediakannya juga.
60 Kawanan gundal, yang membekal senjata menghunus senjatanya, yang tidak, mereka pada memungut batu atau pacul dan lainnya alat pertanian dari dalam rumahnya Enso Oey. Tiga gundal, yang mau menghajar Enso Oey, mengambil palang pintu dan golok sayur. Lantas mereka semua bersiap sedia.
Pagi itu Kat Po dan Hiang Kat mau pesiar ke See Ouw, telaga Barat yang kesohor, tetapi mereka ketarik dengan panorama indah dusun Sze Tsi ini, maka mereka berjalan-jalan dulu sampai setengah harian, mereka berbicara dengan orang-orang desa, hingga mereka mendapat dengar halnya Thia Hong Hoan, sebagai okpa yang jahat sekali.
Lalu, selagi lewat di gubuk Ie Loo Djie, mereka menemukan orang tua itu yang terluka parah dan napasnya empas-empis. Dari orang tua she Ie ini, mereka memperoleh keterangan tentang penganiayaan Hong Hoan barusan, maka itu, mereka lantas lari ke rumahnya Enso Oey.
Kat Po bertabiat keras, ia sudah lari keras tetapi ia masih kurang puas. Tempo ia melihat orang berkumpul di latar, ia sudah menduga apa yang bakal terjadi, maka ia sudah lantas berteriak-teriak, hingga Hong Hoan semua mendengarnya.
Dengan begitu, mereka berdua dapat disambut dengan persiapan.
"Kat Po, mereka berjumlah besar, mereka pun bersenjata," kata Hiang Kat, yang matanya tajam. "Apakah tak perlu menggunai siasat" "
"Tak usah kita memikir daya lagi!" jawab Kat Po.
"Ketemu satu kita hajar satu, ketemu dua kita hajar dua, habis perkara! Segala kurcaci, apa yang ditakuti" "
61 "Lihat, Kat Po!" kata pula Hiang Kat. "Kau bersuara, mereka sudah siap! Lihat itu, yang satu sudah membawa lari Nona Siauw Hong!"
"Mereka toh tak dapat lari jauh!" kata Kat Po. "Naik ke langit atau masuk ke dalam tanah, akan aku kejar dia!"
Dan ia lari terus, hingga keduanya datang mendekati.
Hong Hoan mengawasi terus. Ia merasa orang sudah sampai dalam jarak pisau terbangnya, mendadak ia menimpuk dengan sebatang pisaunya yang liehay itu.
Di jarak sejauh itu, Kat Po dapat melihat gerak-gerik orang. Ia melihat datangnya huitoo, sambil berkelit, ia menanggapi, untuk menangkap menyusul mana, ia membalas menimpuk. Tapi ia bukan menyerang si okpa hanya kawanan gundalnya yang lagi berkumpul.
Lacur satu diantara ketiga algojo yang kejam. Dia menjerit dan roboh, sebab dadanya tertancap pisau belati hijau itu!
Hong Hoan sudah menimpuki huitoo yang kedua, disamping penasaran, ia memang biasa menyerang saling susul.
Kat Po dapat menangkap pula huitoo yang kedua itu, waktu ia mau pakai untuk menimpuk lagi, Hiang Kat meneriakinya, "Jangan buang! Kau tidak punya senjata, dapat kau pakai itu!" ia sadar, ia menurut. Dengan memegang senjata itu, ia lompat pada si okpa.
Naga Dari Selatan 6 Kuda Putih Karya Okt Rajawali Emas 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama