Ceritasilat Novel Online

Serba Hijau 2

Serba Hijau Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping Bagian 2


Hilang dua buah pisaunya, Hong Hoan tidak takut, dari seorang gundalnya yang berdiri paling dekat dengannya, ia merampas sebatang thie-cio. Tepat Kat Po tiba, ia menyambut dengan tusukan besi berujung lancip itu yang gagangnya bertekuk dua melindungi ugal-ugalannya.
62 Kat Po berkelit, lalu menikam. Maka lantas keduanya bertarung. Bahkan segera mereka berkutat seru. Si nona menyangka, dalam dua atau tiga jurus saja, ia bakal merobohkan lawan, tak tahunya orang tangguh sekali. Ia menang di atas angin, akan tetapi untuk merobohkannya, ia masih memerlukan tempo. Lalu ia menjadi repot, sebab beberapa gundal saban-saban menggunai ketika untuk membokongnya, untuk mereka membantu toaya mereka. Hal ini membuatnya mereka kedua belah pihak menjadi sama unggulnya.
Pertempuran itu dapat diketahui oleh penduduk kampung, perlahan-lahan mereka itu datang berkumpul, untuk menonton. Tentu saja mereka memernahkan diri jauh-jauh. Mereka mengharapi kedua nona menang tetapi mereka jeri kepada okpa itu dan sekalian gundalnya.
Hiang Kat berlaku cerdik. Ia tidak menceburkan diri dalam pertempuran itu, ia hanya menonton. Tapi ia berpikir.
Sambil memasang mata, ia memikir untuk dapat merampas senjatanya salah seorang musuh. Ia tidak membekal senjata seperti Kat Po. Ia telah memikir juga untuk menggunai siasat, guna memencar pemusatan lawan. Ia tidak mau berlaku sembrono seperti kawannya.
Seorang gundal melihat si nona berbaju putih berdiam saja. Dia bersenjatakan sebatang tongkat besi. Diam-diam dia menghampiri nona itu, yang dia pandang tidak mata. Hiang Kat melihat orang mendekati, ia berdiam saja. Ia berlagak pilon.
Segera penjahat itu datang dekat, segera ia mengemplang!
Tepat senjata turun, tepat Hiang Kat berkelit dengan sebelah kakinya menggeser ke samping, sedang kakinya
63 yang lain diangkat untuk dipakai menendang. Dan ia mengenai kempungan penyerangnya. Itulah tipu silat ajarannya In Hong.
"Aduh!" si penjahat itu berteriak, tubuhnya roboh, tongkatnya terlepas.
"Aduh!" ia bersuara pula, berkoseran di tanah sambil memegangi perutnya.
Hiang Kat berlaku sebat. Ia lompat memungut senjata orang sambil berbareng dengan tangannya yang lain menjemput dua biji batu. Baru sekarang ia lari ke arah medan pertempuran. Ia menimpuk seorang gundal yang bertangan kosong.
Dia itu gusar, dia berkelit, terus dia lompat menghampirkan, untuk meninju...
Si nona tidak menangkis, hanya sambil berkelit, dia kerjakan tongkatnya.
" Aduh!" penjahat itu menjerit, sedang tubuhnya roboh tak berdaya.
Kejadian itu membikin gusar delapan atau sembilan gundal lainnya, berbareng mereka maju, untuk mengepung nona ini.
Hiang Kat menyambut mereka dengan menimpuk dengan sebuah batunya yang penghabisan, setelah itu ia membalik tubuh, untuk lari. Tentu saja, karena ia lari, ia lantas dikejar. Ia menyaksikan hasilnya itu dengan merasa puas. Ini justeru siasatnya guna menolongi Kat Po supaya Kat Po tidak dikepung terus-menerus.
Para gundal itu ada yang larinya keras dan kendor, yang larinya keras maju paling depan. Selain ingin menghajar si
64 nona, mereka hendak merampas pulang tongkat besi kawannya.
Hiang Kat tidak lari keras. Ia separuh menanti, sebab itulah siasatnya. Ia menunggu sampai seorang menyandak padanya, mendadak ia lompat ke samping, kembali sebelah kakinya diangkat, dipakai menendang. Hanya dengan satu kali menjerit, musuh itu terjungkal ke dalam kobakan yang berlumpur di sisinya!
Pengejar yang lainnya terkejut, serempak mereka berhenti berlari. Barulah sekarang Hiang Kat maju menghampirkan mereka. Selagi ia mendapat hati, mereka itu merasa jeri dan risi.
Hiang Kat tidak segagah In Hong atau Kat Po, akan tetapi menghadapi lawan biasa saja, ia cukup tangguh, sedangkan sekarang, hati mereka itu sudah jadi ciut. Dengan mainkan tongkat besinya, dengan lekas ia bisa menghajar tumpang siur kepada mereka itu, hingga di situ tinggal Hong Hoan bersama dua orang gundalnya yang paling kejam yang masih mengepung Kat Po.
Menjadi senggang, Kat Po lantas juga menang unggul lagi. Dengan lekas, tetapi dengan saling susul, ia berhasil melukai kedua gundalnya si okpa. Mereka itu roboh karena dada dan pundaknya masing-masing belajar kenal dengan huitoo hijau.
Hong Hoan licik, meski belum kalah, ia lantas lompat, untuk terus membuka langkah panjang.
"Jahanam, kemana kau mau lari!" Kat Po membentak. Ia mengejar.
Hiang Kat turut mengejar juga.
Hong Hoan bertubuh besar tetapi dia dapat lari keras, tak dapat dia segera kecandak kedua nona.
65 "Sudah, Kat Po," kata Hiang Kat sambil mengejar. "Baik kita menggunai akal..."
"Tidak!" sahut si kawan, sengit. "Sebelum membekuk dia, belum aku puas!"
Maka ia mengejar, mengejar terus! Hong Hoan pun kabur terus-terusan!
Si Okpa lari ke arah bukit. Di sini dia dapat lari keras, tak peduli tempat sukar dilalui. Segera ia sampai di lereng. Kat Po mau mengejar terus, tetapi di kaki bukit, dia ditahan Hiang Kat.
"Sudah, Kat Po! Kita jangan mengejar terus, nanti kita kena ditipu dia!"
"Dia mempunyai tipu apa" " kata Kat Po. "Dia tak dapat kembali, di depannya bukit tinggi! Dia mau kabur kemana lagi. Jangan cegah aku, kemana dia lari, akan aku kejar! Penduduk sini harus ditolong dari gangguan jahanam ini!"
"Hm! Hm!" Hong Hoan mengasi dengar suara menghina.
Dia memungut batu dan menimpuk.
Dia menimpuk beberapa kali, sampai salah satu batu hampir mengenai si nona yang bertabiat keras itu.
Kat Po melepaskan cekalannya Hiang Kat, ia lari naik. Terpaksa, kawan itu turut menyusul.
Hong Hoan benar cerdik. Ia menggunai siasat. Ia berdiri ,diam, saban-saban ia menimpuk. Hanya, tak pernah ia berhasil, dan ia juga tidak dapat menghalangi-halangi kedua nona itu mendaki terus. Hal ini membuat otaknya bekerja pula. Begitulah ia lari turun ke lain arah. Ia memilih jalan kecil, yang mirip buli-buli.
Itulah lembah. 66 Kat Po mengejar terus, Hiang Kat mengikutinya.
Lewat di selat, mereka berada di sebuah tanah datar yang luas. Habis itu baru jalan sempit lagi. Di sebelah depan ada terlihat beberapa toosu, atau imam, melihat Hong Hoan lari, mereka lari mendahului.
Makin lama jalan itu makin sempit. Hong Hoan sering-menoleh ke belakang, kadang-kadang ia menyambit dengan batu. Sedangkan beberapa toosu itu sudah lantas menyembunyikan diri di antara pohon-pohon besar.
Kat Po lari keras, Hiang Kat mengikutinya. Di depan mereka, Hong Hoan berlari-lari terus.
Tiba-tiba Kat Po merasa menginjak tempat yang tak keras. Ia terkejut. Ia tahu, itulah liang perangkap, yang kaum pemburu biasa pakai untuk menjebak binatang liar. Ia sadar sesudah kasip. Tidak ampun lagi, tubuhnya terjeblos. Baru sekarang perangkap itu tertampak tegas.
Hiang Kat kaget, hingga ia berteriak. Justeru itu, muncullah beberapa toosu itu, yang mengambil sikap mengurung. Ia lantas mengenali satu diantaranya, ialah si penumpang kereta api yang sebelah alisnya buntung.
Pemuda itu memegang sebatang pisau belati. Dia pula yang sampai terlebih dulu pada si nona dan segera menyerang.
Hiang Kat berkelit, hendak ia membalas menyerang, atau lain imam sudah menyerang padanya. Maka di dalam tempo pendek, ia lantas kena dikurung imam-imam itu.
Kat Po terjeblos dengan tidak kurang sesuatu apa, ia melainkan kaget. Ketika kakinya menginjak dasar lobang, itulah ia berada di tempat suram. Karenanya jatuhnya itu ia selamat, akan tetapi, jiwanya segera terancam bahaya besar. Itulah karena di suatu pojok, di sana ada seekor harimau
67 loreng tengah mengawasi ia dengan muka bengis dan mata mencorong!
Lubang jebakan itu dalam atau tinggi tiga tombak lebih, lebarnya juga tiga tombak lebih dan panjangnya dua tombak lebih. Untuk mengampar rumput di atasnya, dipasang dua potongan kayu palangan dengan alas tikar dan lainnya. Itulah bukan jebakan istimewa buat menangkap si nona hanya memang dipasang guna penjagaan oleh Thia Hong Hoan, yang menempati gunung itu, yang hendak memperkuat sarangnya. Raja hutan itu kebetulan saja terjeblos sendirinya tadi malam.
Tadi pagi-pagi, Thia Hong Hoan bicara dengan keponakannya, ialah si pemuda dengan alis kutung sebelah, yang bernama Thia An Teng, yang baru kembali dari Kwan- gwa.
Keponakan itu membicarakan pengalamannya di dalam kereta api, ialah ia mencopet uang si nona tetapi uangnya lenyap. Ia memberi lukisan tentang rombongan nona-nona itu.
Hong Hoan luas pendengarannya, maka tahulah ia bahwa itulah rombongan In Hong. Ia sangat cerdik, ia dapat memikir jauh, maka harimau itu ia tidak bunuh atau angkat naik, hanya membiarkannya berada di dalam lubang perangkap itu.
Hong Hoan telah memikir buat memancing In Hong, untuk itu, ia sudah mengutus orangnya, siapa tahu, belum lagi In Hong makan umpan, Kat Po yang datang mengantarkan diri sendiri. Tak apalah, pikirnya, ikan besar tidak datang, ikan kecil pun lumayan. Ia percaya, si ikan besar juga akan jadi barang hidangannya si raja hutan...
Harimau itu terperanjat melihat ambruknya ampar diberikuti munculnya seorang manusia, hanya sebentar saja
68 dia mengawasi, lantas dia mendekam, terus dia menggoyang-goyang ekornya sambil mengasih dengar derumannya yang maha dahsyat! Itulah tanda bahwa dia lagi bersiap sedia untuk menerkam!
-oo0dw0oo- V In Hong berdarah karena kuping kirinya kena keserempet cakram yang tajam itu. Syukur ia cuma lecet saja.
Itulah sebab ia cuma lecet saja. Itulah sebab ia tidak menyangka akan menyusul serangan yang ketiga kali itu.
"A Poan, jangan kaget!" ia kata pada si terokmok, yang menjadi kaget sekali dan bingung luar biasa. "Aku cuma pecah kulitku sedikit."
" Aku kaget melihat darah," kata si detektip muda. Ia berkuatir buat keselamatan si nona terhadap siapa ia berkesan baik sekali.
"Keluarnya darah bukan selalu berarti luka parah," berkata si nona sambil ia merogo sakunya, mengeluarkan satu kotak kecil mirip kotak sigaret, yang terbuat dari baja tak berkaratan, di dalam situ ada delapan buah peles kecil terisi pelbagai macam obat.
Dengan sebat nona ini mencuci lukanya dan mengobatinya dengan obat merah. Inilah yang pertama kali ia memakai obat itu, yang senantiasa tersedia dan terbawa-bawa.
"Syukur nona tidak terluka parah," kata Pit Seng.
69 "Cuma lecet di telinga, tidak ada bahayanya sama sekali!" kata Tjie An, yang menalangi si nona menjawab.
Tapi suaranya sangat tawar, tandanya dia menyesal luka itu ringan, sedang pengharapannya ialah si nona terbinasa atau sedikitnya terluka parah.
"Apakah si penjahat sudah kabur" " A Poan tanya.
"Dia kabur dengan melompati tembok pekarangan," sahut Pit Seng. "Dialah seorang dengan tubuh jangkung-kurus dengan pakaian hitam gelap, usianya pertengahan. Dari atas tembok dia masih menimpuk aku, tetapi karena jaraknya jauh, dia gagal."
" Apakah kau melihat tegas wajahnya" " A Poan tanya pula.
"Tidak. Terpisahnya kita sangat jauh satu dari lain."
"Nona In, bagaimana penglihatanmu" " si gemuk tanya In Hong. " Adakah penyerangan gelap ini hubungannya dengan perkara pembunuhannya Tiong Siang" "
"Aku tidak tahu. Mengenai perkara ini, kita masih meraba-raba dalam kegelapan," sahut In Hong.
Ketika itu seorang polisi datang masuk, melaporkan pada Tjie Pit Seng, "Ada seorang petani she Pwee bersama anaknya laki-laki nama Seng Kong mohon bertemu dengan Tjin A Hok."
"Ijinkan mereka bertemu sendiri," Pit Seng bilang.
"Ya. Telah aku menyuruh Sun Ma yang mengantarkan."
"Apakal1 A Hok suka thenemui mereka" " In Hong tanya.
Agaknya ia ketarik hati dengan kabaran itu.
70 "Kata Sun Ma, A Hok lagi mabuk dan tidur, dia tidak dapat menemui siapa juga. Dia menyuruh itu dua orang datang lagi sebentar sore. Tapi mereka mendesak ingin lantas bertemu, katanya merekalah sahabat-sahabat erat dari A Hok. Sun Ma kewalahan, maka dia menyuruh mereka menantikan di kamar dapur sampai nanti Hok mendusin sendiri."
"Kalau begitu, dapatkah kau menolong memperhatikan pertemuan mereka itu nanti" " In Hong minta. "Kau mesti bekerja secara diam-diam."
"Baik, nona," sahut agen polisi itu, yang terus mengundurkan diri.
"Nona In," kata Pit Seng, "kau memperhatikan mereka itu, adakah itu karena ada sangkut pautnya dengan perkara ini" "
"Memang itu nampaknya perkara remeh, dengan urusan ini tidak ada hubungannya," sahut si nona, "akan tetapi ada kalanya perkara remeh suka ada sangkut pautnya dan dapat menjadi suatu endusan. Tuan Tjie, sekarang aku ingin bicara dengan Nona Yo Pek Giok isterinya Nie Tiong Siang."
"Oto telah tersedia, nona, mari aku temani kau," sahut detektip kota Hangchow itu. "Dari sana kita nanti pergi ke restoran Hu Pin untuk bersantap tengah hari."
Pembesar polisi ini sangat ramah tamah.
Rumahnya Nie Tiong Siang di jembatan Pa Hsien rumah tembok berundak tiga. Di muka pintu tergantung merek nama dan pekerjaannya, "Ie-seng Nie Tiong Siang" .
Dialah seorang tabib. Merek nama itu memakai air emas.
71 Selagi oto In Hong memasuki pekarangan rumah, Yo Pek Giok kebetulan lagi keluar.
"Nona Yo, kau hendak pergi kemanakah" " Pit Seng tan ya.
"Aku justeru mau pergi mencari kau, tuan," sahut si nyonya. "Aku ingin tanya, sampai kapan jenazah suamiku dapat dirawat" "
"Besok pagi kau dapat melakukan itu, nona. Kau pergi saja ke rumah sakit!"
"Terima kasih! Kau tahu sendiri, tertahan terlalu lama, tubuh suamiku itu bisa rusak."
Pit Seng mengangguk membenarkan.
"Nona," katanya kemudian, "kami ingin bicara sebentar denganmu."
"Ada apa lagi" " tanya Pek Giok. Ia agak tak sabaran.
"Bukankah aku telah memberikan segala keterangan yang kau butuhkan" Kau toh belum berhasil menangkap pembunuh suamiku itu" "
Detektip itu mengangguk. "Benar," sahutnya. "Bahkan masih belum diketahui siapa si pembunuh. Karena itu, aku ingin bicara pula denganmu." ,
"Silahkan masuk!" nyonya rumah mengundang.
Nampaknya dia terpaksa. In Hong melihat rumah berperabot sederhana. Sebuah kamar menjadi kamar periksa, sama sederhananya. Semua beda seperti langit dengan bumi apabila dipadu dengan rumah ayahnya Tiong Siang.
72 "Nona Yo, inilah Nona In Hong yang berkenamaan," Pit Seng mengajar kenal. "Aku mengundang Nona In untuk memecahkan perkara gelap ini, dari itu, si nona ingin bicara dengan kau..."
"Nona In Hong" " kata Pek Giok, yang wajah berdukanya nampak heran. "Ya, pernah aku dengar seorang sanakku di Shanghai bicara tentang Nona In..."
"Nona Yo," In Hong lantas menanya. "Setelah kau dan suamimu pindah dari rumah besar kemari, apakah sering-sering kamu pergi ke rumah besar itu" "
"Tidak, nona, tidak sama sekali," sahut Pek Giok, "kecuali mertuaku memanggil kami, baru kami pergi."
"Setelah mertuamu meninggal, apa kamu suka juga pergi ke sana" "
"Setelah upacara penguburan, belum pernah kami pergi."
"Kalau begitu, setelah Nie Pek Siang meninggal karena kecelakaan dalam perburuan, rumah besar itu menjadi tidak ada tuan rumahnya. Bukankah sudah seharusnya kamu pulang ke rumah besar atau sedikitnya sering pergi meniliknya" "
"Kami jemu dengan rumah besar itu, kami telah bersumpah tak sudi tinggal pula di sana!" sahut Pek Giok, keras suaranya. "Untuk mengurus di sana, ada kuasa yang bernama Tjin A Hok, karena itu, tak usah kami memusinginya lagi.
Begitulah kami jadi sangat jarang pergi ke sana."
" A Hok sering sekali mabuk hingga lupa daratan, dia tidur saja, dapatkah dia melakukan tugasnya dengan baik"
73 Katanya dia cuma tahu makan tetapi tidak mengurus sesuatu."
"Mengenai dia, tak dapat kami berbuat apa-apa," Pek Giok menerangkan.
"Sebelum menutup mata, mertuaku sudah menunjuk dalam surat wasiatnya bahwa rumah besar itu harus dikuasai Pek Siang, Tiong Siang dan A Hok bertiga. Di dalam tempo dua tahun, rumah itu dilarang dijual, maka itu, A Hok bekerja atau tidak, dia berhak buat mengurusnya selama dua tahun itu, kami tak dapat mengganggu-gugatnya. Dia pun tak dapat diusir.
Sejak matinya Pek Siang, sulit kami berurusan dengan A Hok.
Dia selalu mabuk. Buat bicara dengannya kami mesti memesan Sun Ma atau Sun Ma saja yang tolong menyampaikan, atau kami meninggalkan sehelai surat. Kami merasa sulit tetapi apa boleh buat."
"Dalam hal apa saja kamu berhubungan dengan A Hok" "
"Kami minta beras dan uang, atau lainnya lagi."
"Apakah dia menyerahkan beras dan uang kepada kamu" "
"Ya. Dia suruh Sun Ma yang membawakan. Kalau ada bicara, Sun Ma juga yang mewakilkannya. Pergaulan A Hok dengan Pek Siang tawar, sebaliknya dengan Tiong Siang. Kalau Pek Siang dan Tiong Siang berselisih, dia selalu berpihak pada Tiong Siang."
"Sekarang dia mabuk selalu, tidakkah itu dapat melalaikan kepentingan kamu" "
74 "Ya!" Pek Giok mengangguk. "Akan tetapi karena dia pengurus rumah yang baik, kami membiarkan dia minum terusan."
"Apakah Nie Lin Kie seorang tuan tanah besar" " In Hong menanya pula.
"Ya, dialah seorang tuan tanah besar, hanya satu tahun sebelumnya, dia telah jual semua tanahnya. Dia pernah membuka apotik di Shanghai."
"Nie Lin Kie pernah menimbun banyak sekali obatan Barat, karena itu dia telah memperoleh sangat banyak untung," Pit Seng turut bicara.
"Oh! Sudah dia menghisap petani, dia menghisap juga orang sakit!" kata In Hong. "Bukankah surat wasiatnya disimpan pada pengacara" "
"Tidak. Surat wasiat terdiri dari tiga buah copy, masing-masing dipegang selembar oleh Pek Siang, Tiong Siang dan A Hok," sahut Pek Giok.
"Sudikah kau memberitahukan aku bunyinya itu" "
"Oh, tidak, tidak..." kata Pek Giok, terkejut. "Itulah urusan pribadi kami, tak dapat kami memberitahukan orang luar .."
"Nona Yo," Pit Seng membujuk, "kalau kau memberitahukan kami isinya, itu berarti kau membantu kami mempercepat memecahkan perkara sulit ini."
"Tidak, tidak! Harap soal ini jangan disebut-sebut pula!"
Sampai di situ, Tjie An menghampirkan nyonya itu dekat sekali, untuk berkata dengan sangat perlahan, "Aku To Tjie An, detektip kepala dari polisi Shanghai." ia memperlihatkan surat-surat keterangannya.
75 "Kau boleh beritahukan itu secara rahasia padaku, akan aku jamin keselamatannya, keselamatanmu juga. Sebenarnya, apakah yang kamu cari di dalam kamar serba hijau itu" "
"Kami tidak mencari apa-apa!" sahut nyonya janda Nie Tiong Siang.
Bukan saja dia tidak mau memberitahukan bunyinya surat wasiat, bahkan dia menyahut dengan suara keras.
"Habis, apakah artinya menyalin kitab itu" " tanya si detektip tak putus asa.
"Itu juga urusan pribadi kami, aku menolak untuk menjawabnya!" kata si nyonya, yang menjadi tidak sabaran sekali.
Ketemu batunya, Detektip To balik ke kursinya, untuk mengeluarkan pipanya, untuk menyedotnya dengan perlahan-lahan. Dengan begitu ia mau mencegah kejengahannya.
"Nona Yo," kata In Hong, "kau membangun suatu rumah tangga sendiri, rupanya praktek suamimu sepi, bukankah" "
"Benar. Itulah sebabnya kami meminta uang dan beras ke rumah besar," sahut Pek Giok terus-terang.
"Tentang rumah aneh itu, apakah itu dicat hijau sejak semulanya?" In Hong tanya pula.
"Benar begitu. Menurut keterangan mertuaku, warna hijau dapat membantunya meyakinkan agama, untuk melenyapkan pelbagai pikiran lainnya."
Ketika itu Sun Ma muncul. Lantas dia kata, "A Hok menyuruh aku membawa ini uang, katanya buat ongkos perawatan jenazah dan penguburannya."
76 Da lantas meletaki setumpuk uang kertas di atas meja.
"Sun Ma, apakah A Hok sudah mendusin" " In Hong tanya.
"Benar, dia sudah sadar," sahut si bujang perempuan.
"Aku telah memberitahukan dia bahwa jenazah sudah dibawa ke rumah sakit, bahwa orang polisi yang menjaganya sudah ditarik pulang. Begitu dia menyuruh membawa uang ini."
"Dia telah menemui ayan dan anak she Pwee itu atau tidak" "
"Aku beritahu dia bahwa seorang sahabatnya ingin bertemu padanya, dia menggeleng-geleng kepala, katanya di dalam keadaan seperti itu, tak dapat dia menemui sahabatnya yang mana juga. Maka dia suruh sahabatnya she Pwee itu pulang, katanya lain hari sesudah dia sadar betul, nanti dia sendiri pergi menjenguk sahabatnya itu."
"Habis, bagaimana dengan si orang she Pwee" "
A Poan, Pit Seng dan Tjie An heran si nona menanyakan segala urusan remeh itu.
"Orang she Pwee dan anaknya itu tidak mau pergi, bahkan tanpa menanti diundang, mereka pergi ke kamarnya A Hok. Justeru itu, A Hok sudah minum pula. Kata si empee Pwee sambil memberi hormat, 'A Hok, sudah lama kita tidak bertemu! Apakah kau baik-baik saja" ' Tapi A Hok, seperti orang sinting, menyiram mukanya empee Pwee dengan araknya, dan dia mendorong ayah dan anaknya itu keluar kamarnya, terus dia menyuruh Tiang Kin mengusirnya," Sun Ma berkata sambil mempetahkan.
"Kalau A Hok sudah sadar, baiklah, selagi dia sadar, hendak aku menemukannya!" kata In Hong.
77 "Nona In," kata Pek Giok, "meski pun A Hok pemabukan, dia sangat setia, kalau maksudnya hendak menanyakan urusan surat wasiat, itulah percuma. Aku berani memastikan bahwa dia bakal menolak!"
"Nona In, lebih baik kau jangan bicara dengannya," Sun Ma pun berkata.
"Ketika aku menemui dia, dia lagi menenggak araknya dari mangkuk besar, dia sudah minum tiga atau empat kati, sekarang dia tengah mabuk keras!"
"Nona In," kata Pit Seng, "baik kita tunggu sampai dia sadar pula, sekarang mari kita pergi ke kota untuk bersantap dulu!"
Detektip ini ramah ..tamah, manis-budi terhadap tetamunya. Maka berangkatlah mereka dengan oto mereka.
Selagi oto berjalan, In Hong tanya Pit Seng, "Apakah kau kenal baik keluarga Nie itu ayah dan anak-anaknya dan sering berhubungan" "
"Tidak, aku tidak kenal mereka," sahut Pit Seng.
"Mengenai mereka, aku cuma ketahui dari pendengaran saja. Setelah terjadi peristiwa ini, barulah aku memasuki gedungnya."
"Aku tidak mengerti," kata A Poan, "apa sih yang berada, yang berharga, di dalam kamar serba hijau itu" Kenapa orang pada masuk ke situ, mengunci pintu dan menggeledahnya, mencari sesuatu" Apakah artinya pekerjaan menyalin kitab Mahayana itu" Aku tidak mengerti, kenapa Nie Tiong Siang diserang hingga hilang jiwanya selagi ia mencari apa-apa dan menyalin kitab suci itu" Dan Yo Pek Giok, kenapa dia tak sudi mengasi keterangan tentang isinya surat wasiat mertuanya itu" Bukankah itu berarti bantuan untuk polisi" Aku tidak
78 mengerti, kenapa kamar itu dicat serba hijau" Aku tidak mengerti, kenapa si penjahat memakai pisau belati cat hijau juga" Aku tidak mengerti, kenapa si penjahat bisa masuk ke dalam kamar dan membunuh Tiong Siang" Aku tidak mengerti..."
"A Poan, terlalu banyaklah tidak mengertimu itu!" detektip To memotong. Sep-nya itu tidak sabaran.
"Lebih baik kurangan sedikit menggunai otakmu, sebentar di rumah makan, kau dahar lebih banyak!"
-oo0dw0oo- VI Lembah dimana Kat Po terjeblos dalam lubang jebakan ialah lembah Hu Lu, dan bukitnya bukit Kao Ping. Di dalam lubang itu, satu pertempuran segera terjadi pertempuran yang ganjil, sebab manusia melawan binatang.
Itulah terjadi disebabkan si raja hutan menyerang terlebih dahulu. Si nona main berkelit saja, setiap kali diterkam, dia lompat ke kiri atau ke kanan, guna menghindarkan diri dari sang maut.
Di lain pihak, Hiang Kat sudah lantas dikurung oleh beberapa imam serta si pemuda beralis buntung, yang muncul untuk menyerangnya. Sulit buat nona ini memukul mundur musuh-musuhnya itu atau lolos dari kepungan.
Sementara itu Thia Hong Hoan, yang tadinya lari melewati lubang perangkap dengan jalan mutar ke pinggirannya, sudah kembali ke tepian perangkapnya itu dengan tindakan ayal-ayalan.
79 Setibanya, dia berdiri di tepian, mengawasi ke dalam lubang. Maka ia melihat si raja hutan, dalam murkanya, beberapa kali gagal menerkam mangsanya.
"Binatang tolol! Belum pernah aku menyaksikan binatang setolol ini!" kata dia, separuh mengejek si nona, yang kena perangkapnya.
Sesudah beberapa kali gagal, macan loreng itu menghampirkan Kat Po dengan satu tindak demi satu tindak, mulutnya dibuka seraya memperdengarkan suaranya yang menyeramkan, dan romannya sangat menakuti.
Kat Po memasang mata tajam. Ia menghadapi kesulitan.
Kalau ia diterkam dari dekat, sukar buat berkelit. Buat lompat naik ke atas, tinggi tiga tombak lebih, juga sukar bukan main, itu bahkan tak mungkin. Paling sulit ialah lubang itu tidak cukup lebar untuk ia bergerak dengan leluasa.
Syukurnya ia masih mencekal pisau belati hijau itu, meskipun itu sebenarnya bukan senjata yang tepat buat melayani seekor raja hutan. Ia boleh bersyukur atas nasihat Hiang Kat tadi. Kalau ia menimpukkan huitoo itu buat kedua kalinya, sekarang ia tentunya bertangan kosong sama sekali.
Selagi si harimau maju terus, Kat Po pun mundur terus. Ia mundur ke pojok kanan. Dasar binatang, harimau itu tidak maju terus. Rupanya dia sudah merasa cukup, mendadak ia berlompat menerkam.
Kat Po sudah sedia. Ia berkelit ke samping. Masih ada luang tempat buat ia menyingkir. Hanya kali ini, keduanya berada lebih dekat satu pada lainnya daripada tadi-tadinya.
80 Pula kali ini dengan terpisahnya mereka dekat, untuk pertama kalinya, Kat Po menggunai huitoo. Setelah berkelit, ia membalas menyerang. Ia menikam!
Harimau itu menggeram kesakitan, cepat ia berbalik cepat dia mengulur sebelah kakinya. Kat Po berkelit dengan cepat, tidak urung lengannya kena ditowel, maka pecahlah kulitnya dan mengalirlah darahnya.
"Binatang tolol! Binatang tak mau mampus!" terdengar pula suaranya Hong Hoan dari atas liang. "Kenapa seorang manusia saja tak mampu kau terkam" "
Lalu ia memungut beberapa butir batu, bersedia akan membantu binatang tolol itu...
Kesakitan bekas tertikam, harimau itu menjadi gusar sekali. Maka dia menerkam berulang kali. Hingga Kat Po repot berlompatan setiap kali ia diterkam. Sekarang ia dapat tambahan kesukaran.
Mendadak Hong Hoan menimpuk ia dengan batu.
Syukur ia melihatnya dan bisa berkelit. Apa celaka, batu itu mengenai punggung si raja hutan, yang lagi menerkam. Maka dia jadi semakin gusar.
"Hong Hoan, okpa sangat jahat!" Kat Po mencaci.
"Jikalau dapat aku keluar dari lubang ini satu detik juga tak akan aku kasi kau tinggal hidup!"
"Katanya kau liehay ilmu ringan tubuhmu, kau lompatlah!" Hong Hoan menantang sambil mengejek. "Kenapa kau tidak mau lompat naik" Hayo lompat! Hm! Kau tak mampu, bukan" Kau tahu, segera kau bakal jadi santapan tengah hari dari raja hutan ini, untuk lewat beberapa jam, kau bakal jadi tainya..."
81 Hiang Kat sementara itu masih terus dikepung. Syukur ia bersenjatakan toya besinya itu. Dengan lewatnya sang tempo, dapat ia menggunai siasat. Begitulah, ketika ia dapat merobohkan satu diantaranya, terus ia merabuh yang lainnya.
Baru sekarang kawanan imam itu lari tunggang langgang. Tapi yang satunya kabur sambil meniup suitan tidak hentinya. Maka di lain saat, Hiang Kat melihat munculnya kira dua puluh orang lain, yang berseragam hitam, semuanya memegang senjata, munculnya dari pelbagai arah di kirinya bukit.
Itulah ancaman baru. Ia tidak menyangka, musuh banyak kawannya. Ini pun menyulitkan ia menolongi Kat Po. Ia bahkan mesti mencari jalan buat meloloskan diri. Perlu ia mendapat bala bantuan.
Juga di mulut lembah terlihat dua puluh orang lain, yang berdiam menjaga, semua bersenjata. Ia jadi memikirkan, dari mana datangnya orang-orang dengan seragam hitam itu. Rupanya di sana ada suatu jalan rahasia.
Kalau mereka bisa datang dari sana, kenapa ia tidak dapat keluar sana juga" Dengan keluarnya mereka dari sana, di sana tentu kosong, tidak ada lagi yang jaga.
Orang-orang dengan seragam itu terus mendatangi, sikapnya mengurung.
Justeru itu terdengar suaranya Thia Hong Hoan:
"Kawanan tolol! Kenapa kamu bertujuh tidak dapat mengalahkan Hiang Kat" Buat apa kamu membunyikan suitan" Kamu mendatangkan malu! Segala kantung nasi!"
Hong Hoan lagi mempersulit Kat Po ketika ia mendengar suitan, maka ia muncul. Justeru kawanan imam itu lari ke arahnya, sekalian saja ia damprat mereka itu.
82 Si alis buntung dan kawan-kawannya berdiam saja.
Semuanya sudah terluka, ada yang ringan, ada yang parah.
"Kamu juga bangsa tolol!" Hong Hoan mempuasi hati terhadap rombongan yang berseragam itu. "Siapa menyuruh kamu meninggalkan jagaan kamu" Masih kamu tidak mau lekas kembali. ke tempat kamu masing-masing! Buat membekuk seorang perempuan buat apa mesti pakai begitu banyak tenaga" Lekas pergi! Seorang diri dapat aku membekuk padanya!"
Seorang jangkung kurus dan dua orang gemuk lari balik ke tempatnya sembunyi tadi, tetapi yang lainnya, yang hatinya panas, tidak menelad contoh, hanya sekarang mereka berhenti mendekati Hiang Kat.
Hiang Kat mendengar semua itu. Ia merasa pasti, di tempat rombongan seragam hitam itu mesti ada jalan keluar.
Maka ia lantas lari ke sana.
Hong Hoan melihat orang lari ke kiri, ia pun lari, untuk menghadang. Ia lantas menyerang.
Saking terpaksa, si nona melayaninya.
Hiang Kat tahu, dengan dapat menandingi Kat Po, okpa ini liehay, dia bukanlah lawannya. Maka baru beberapa jurus, ia lompat mundur, ia lari pula.
"Hm! Kau mau menyingkir kemana?" Hong Hoan perdengarkan ejekannya, sembari dia mengejar.
Orang-orang dengan seragam hitam itu pada berdiri menonton. Belum lari berapa jauh, Hiang Kat kecandak. Dengan berani, Hong Hoan mengulur tangannya, guna
83 menjambak belakang leher si nona. Ia menganggapnya orang berkepandaian biasa saja, maka orang lari pergi.
Hiang Kat kembali menggunai tipu dayanya. Justeru lehernya disambar, justeru ia berkelit sambil lompat ke samping. Hoang Hoan sedang lari keras, tak dapat dia menahan diri, tubuhnya maju ke depan.
Tepat itu waktu, si nona mendupak kempolan lawan. Maka musuh terjerunuk jatuh. Tapi okpa itu lekas lompat bangun. Hanya ketika itu, Hiang Kat kembali sudah lari mendaki.
Benarlah di situ ada sebuah jalan kecil, terang itu jalan separuh buatan manusia. Si jangkung kurus tadi, yang kepalanya botak, terlihat lagi menjaga di belakang sebuah batu besar. Melihat si nona mendatangi, dia menjoroki batu-batu besar dan kecil, guna menyambut, buat menghajar.
Tidak dapat Hiang Kat menghindari diri seluruhnya. Jalanan sempit, sulit buat ia berkelit jauh. Terpaksa ia mandah mengasi dirinya terhajar batu yang kecil, ia berkelit dari batu yang besar. Dengan menahan sakit sedikit, ia berlompat naik.
Si jangkung kurus bersenjatakan kapak, dia lompat keluar dari tempatnya sembuyi, dia menyambut dengan kapaknya.
Hiang Kat berkelit, terus ia menghajar dengan tongkat besinya. Musuh kurang gesit, dia terhajar, maka robohlan tubuhnya. Maka Hiang Kat lari terus di jalanan kecil itu.
Sekarang si nona berada di tempat yang tinggi. Letaknya itu cukup dekat dengan lubang perangkap. Ketika ia menoleh, ia melihat Kat Po tengah menikam lehernya si raja hutan.
84 Di lain pihak, seorang jahat yang bertubuh besar, yang muncul di sisi lubang jebakan, justeru mengangkat sebuah balok palangan, untuk dipakai menimpuk nona yang lagi mati-hidup menempur raja hutan itu.
Dalam kaget, Hiang Kat tidak berdaya. Tak ada kesempatan untuk mencegah orang itu atau menolongi Kat Po.
Pula ia melihat, Hong Hoan kembali lagi mengejar padanya.
Terpaksa, ia lari terus. Orang di tepi lubang jebakan itu cuma tenaganya besar, dia tolol dan kecil nyalinya. Disaat dia mau mengejar Kat Po, Kat Po justeru menikam si harimau. Saking nyerinya, raja hutan itu meraung sambil berlompat tinggi. Ia menjadi kaget dan ketakutan, ia melemparkan baloknya dan memutar tubuh, untuk lari kabur.
Celaka harimau itu. Dia berlompat tinggi, dia jatuh parah. Pula dia ketimpa balok itu. Maka dia rebah tanpa daya lagi.
Kat Po sebaliknya dapat lompat berkelit. Justeru adanya balok, si nona menjadi dapat jalan untuk naik ke atas. Ia angkat balok itu dan memasang berdiri, terus ia memanjatnya. Di dalam tempo yang pendek, ia sudah berada di atas, di tanah datar.
Lekas juga ia melihat Hiang Kat lagi dikejar Hong Hoan. Tak dapat ia menyusul mereka itu. Maka ia mengawasi keletakan. Dengan begini, dapat ia beristirahat. Ia sangat letih habis melayani harimau, taruh kata ia musti menempur Hong Hoan, ia akan mudah dikalahkan.
Hiang Kat, yang lari terus, merasa jalan kecil mulai mudun ke bawah. Ia tidak mau berhenti berlari. Tapi inilah


Serba Hijau Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

85 kebetulan untuknya. Ia justeru lari ke arah Kat Po. Maka di-dalam tempo pendek, keduanya berkumpul menjadi satu.
"Kat Po, lihatlah di sana!" kata Hiang Kat, tangannya menunjuk. "Bukankah itu kelenteng" Lihat di lereng di dekat situ, bukankah itu dua orang berlari-lari" Mungkin di sana ada jalan keluar, kalau tidak, tidak nanti Hong Hoan memasang orang di sana! Mari kita ambil jalan itu!"
Nona ini berbicara dalam bahasa rahasia, yang cuma diketahui Kat Po dan In Hong. Itulah bahasa mereka di saat mereka perlu menggunakannya.
"Kalau menuruti tabiatku, tak ingin aku memberi hidup setengah hari saja pada kawanan okpa!" kata Kat Po, juga dengan bahasa rahasia.
"Sabar, Kat Po," Hiang Kat membujuk. "Lambat-laun, pasti kita berhasil menumpas mereka itu yang perlu sekarang ialah kita menyingkir dari sini. Kita harus keluar dari kurungan, agar mereka tak sempat memperangkap kita pula."
"Baik, Hiang Kat," kata Kat Po sabar. "Memang, hari ini aku sudah kehabisan tenaga untuk bertempur pula..."
Hiang Kat lantas mengajak saudaranya ini mengangkat kaki.
Hong Hoan tidak mengejar terus melihat kedua nona berkumpul menjadi satu. Ia mengerti, seorang diri tak dapat ia melawan mereka berdua.
Hiang Kat berdua maju terus. Untung bagus untuk mereka, dua orang berbaju hitam, yang menjaga posnya, mengangkat kaki dengan diam-diam.
Mereka jeri. Sudah Hiang Kat gagah, sekarang dia ada bersama Kat Po, yang bisa keluar dari lubang harimau.
86 Mereka kabur ke kelenteng dan mengunci pintunya rapat-rapat!
Tidak lama, tibalah Hiang Kat berdua di sebuah terowongan, yang dapat muat hanya tubuh seorang gemuk.
Maka bagi mereka bukanlah soal untuk dapat melewatinya.
Terowongan itu panjang juga. Keluar dari situ, mereka tapinya belum keluar dari daerah pegunungan itu. Mereka berada di dalam sebuah lembah.
Di situ, di satu pojokan, mereka mendapatkan sebuah rumah batu, yang pintu dan jendelanya tertutup semua. Rumah itu tanpa penghuni.
"Hiang Kat, ini bukannya jalan keluar," kata Kat Po, masgul sekali. "Marilah kita kembali... Terpaksa kita mesti terjang penjagaan itu..."
Hiang Kat menurut. Ketika mereka keluar terowongan, mereka terperanjat. mereka melihat delapan atau sembilan puluh orang berkumpul menjadi satu, diantaranya ada Thia Hong Hoan. Terang mereka itu sudah mengumpul diri.
Dua orang, yang mengenakan stelan jas wama hijau, melihat kedua nona muncul, sudah lantas menembak dengan senapan. Syukur peluru mengenai batu gunung.
"Celaka, Kat Po!"mengeluh Hiang Kat. "Sekarang tak dapat kita serbu mereka! Jumlah mereka besar dan mereka juga memiliki senjata api!"
Lagi suara " dar, dor" dua kali seperti tadi, peluru melayang dengan bersuara nyaring di atasan kepala mereka.
87 "Ah!" seru Hiang Kat. "Nyata mereka mempunyai empat buah senapan! Mari kita kembali ke rumah tadi, untuk berlindung di sana! Di sini berbahaya!"
Kat Po menurut. Maka mereka lari balik. Pintu depan dari rumah batu dirantai. Hiang Kat merusaknya dengan kemplangan toyanya. Setelah masuk ke dalam mereka mengunci dengan mempalangnya dari dalam.
Di dalam, rumah batu itu luas. Bahkan di dalam sebuah kamar kedapatan dua peti peluru, sebuah senapan dan sebuah kantung peranti berburu yang berisikan tujuh buah perkisong berisi, peranti menembak burung, dan dua buah perkisong lainnya untuk berburu binatang kaki empat.
Kat Po lantas menggondol kantung itu, sedang senapannya ia isikan dengan dja buah perkisong. Ia pergi ke depan, untuk membuka sebuah jendela, untuk mengintai keluar. Segera juga ia melihat orang mulai muncul dari tikungan bukit.
Seorang, yang berpakaian cara Barat, berlari-lari turun dari jalan kecil di atas bukit, tangannya mencekal sebuah revolver, begitu dia datang cukup dekat rumah batu, begitu dia menembak dua kali.
Kat Po mendongkol, ia mengincar, lalu menarik pelatuk senapannya.
"Dar!" demikian satu suara, lantas orang itu terhuyung jatuh, karena sejumlah mimis tepat mengenai kepalanya. Dia roboh sejarak lima puluh kaki dari rumah batu, senjatanya masih di tangannya.
Setelah itu, Kat Po menembak pula ke arah orang-orang yang berkumpul di lereng. Mereka itu kaget melihat seorang kawannya roboh, maka mereka kaget pula atas datangnya tembakan yang kedua kali ini, semuanya lantas mundur,
88 tapi diantaranya ada yang terkena mimis, syukur tidak hebat.
Mereka lantas pada mengambil tempat sembunyi.
Kat Po mengisi pula senapannya, siap sedia menembak lagi
Hiang Kat menggeledah rumah itu. Dia balik pada Kat Po dengan mengasi tahu di situ tidak ada senapan lainnya.
"Ini sebuah pun sudah cukup!" kata Kat Po.
"Di sini ada banyak peluru tetapi buat lain macam senapan dan buat revolver," kata Hiang Kat. "Kau sudah menembak dua kali, kau masih mempunyai sisa beberapa buah 1agli "
"Masih ada tujuh biji!" sahut Kat Po.
"Kalau begitu, berlakulah hemat," Hiang Kat pesan.
"Kalau tidak sangat terpaksa, jangan kau menembak."
"Coba kau memeriksa lagi, mungkin ada senapan lainnya dan Browning," menyuruh Kat Po.
Hiang Kat menurut. Kali ini ia memeriksa teliti. Di situ ada sepuluh kamar, setiap kamarnya ada persediaan stelan jas.
Kamar-kamar lainnya ialah ruang istirahat, ruang makan dan dapur. Tegasnya itulah sebuah villa yang lengkap sempurna. Lebih-lebih dua buah kamar tidur, dalam satu diantaranya ada potretnya Thia Hong Hoan. Jadi itulah kamarnya si okpa sendiri.
Di dalam situ ada belasan piring besi semacam cakram yang tajam serta sejilid buku daftar keanggautaan tersimpan di dalam laci meja. Hiang Kat tidak tahu apa perlunya piring besi itu. Sekarang ia menduga, kecuali menjadi
89 hartawan dan okpa, Thia Hong Hoan juga merangkap pemimpin serombongan penjahat, dan bukit ini menjadi sarangnya.
Di dalam seluruh rumah itu tidak kedapatan lain senjata api, hanya di kamarnya Hong Hoan ada duabelas pisau belati hijau yang berpita hijau juga, ada obat merah serta segulung kain pembalut luka, juga sebuah lampu senter dan sekaleng roti kering. Ketika ia kembali kepada Kat Po dari jendela ia melihat kawanan penjahat lagi kasak-kusuk "Kat Po, di sini tidak ada senjata api lainnya," kata ia "Lenganmu terluka, mari aku pakaikan obat dan balut dulu."
Tadi aku menempur harimau, aku kena dicakar," kata Kat Po. "Sekarang aku merasa lukaku nyeri sekali."
Hiang Kat lantas mengobati luka orang. Itulah goresan lima buah kuku, syukur tidak dalam.
Selama itu, dua orang penjahat, yang berpakaian jas, sudah menembak pula hingga lima kali. Mereka meng-gunakan rifle. Sebuah peluru hampir mengenai dahi Kat Po, hingga dia menjadi gusar sekali, lalu dua kali dia membalas menembak.
"Eh, Kat Po!" kata Hiang Kat. "Kembali kau menghamburi tembakan! Kau tahu, berapa lagi sisa pelurumu" "
"Lima!" sahut si aseran. " Aku gusar, aku lupa!"
"Sudah, jangan menghamburi lagi! Tinggalkan buat saat sangat perlu!"
"Aku berdahaga. Ada air atau tidak" "
"Aku sudah periksa, air minum tidak ada, juga tidak ada air lainnya," sahut Hiang Kat. "Ada juga air dalam sebuah
90 kwali tetapi berbau minyak. Maukah kau minum itu serta dahar sedikit biskuit" "
"Aku tidak mau!" Kat Po menggeleng kepala.
Sementara itu Hong Hoan bersama tujuh kawannya, yang semua mengenakan stelan jas, tengah berbicara. Ia tanya, apa mereka itu ingat berapa biji pelurunya senapan mereka peranti berburu burung.
Hong Hoan mempunyai delapan orangnya yang paling dipercaya. Merekalah yang biasa memakai jas, yang pandai menggunai pelbagai macam senjata api. Mereka itu yang beberapa hari yang lalu, dengan memimpin delapan puluh kawannya, pergi merampok ke kota-kota dan dusun dekat-nya. Mereka semua terpecah dalam empat rombongan.
Hari itu baru saja mereka pulang. Satu di antara mereka itu yang menembak Kat Po tapi dia kena ditembak si nona.
Maka itu, mereka jadi tinggal bertujuh.
" Aku tidak ingat betul, mungkin tinggal kira-kira sepuluh biji," sahut seorang.
"Jangan-jangan masih seratus lebih," kata yang lain. Dia memegang sebuah rifle.
"Tak mungkin demikian banyak," kata orang yang ketiga, yang mencekal sebuah Browning. "Paling juga tinggal tujuh atau delapanbelas biji."
"Bukan, paling juga tinggal sembilan biji!" kata orang yang keempat. Karena itu, tak tentulah pengiraan mereka.
"Celaka!" kata Hong Hoan, mendongkol. "Kalau begitu, dapat mereka itu menduduki villa kita! Bagaimana dapat kita menyerbunya" " ia pun masgul
"Tadi ada tiga puluh orang lebih, kenapa mereka berdua tak dapat dipegat" " kata seorang.
91 "Sebab tiga puluh orang lebih itu dogol semuanya!"
"Bagaimana dengan peluru kamu" " Hong Hoan tanya.
Empat orangnya menggunai dua macam senapan, satu peranti tentara berkuda, yang lail1buat tentara berjalan kaki.
"Tiga Browning kami, isinya tinggal delapan biji," kata yang tiga, yang menjawab terlebih dahulu. Empat kawan lainnya menjawab bahwa peluru mereka tinggal tujuh biji.
"Kalau begitu, kalau mereka merangsak, mungkin sulit kita membelai pos kita ini..." kata Hong Hoan.
"Tak mungkin. Menyerbu memang sukar, tetapi bertahan, mesti kita dapat!" kata seorang.
"Tadinya kenapa kamu tidak menyimpan terpisah peluru di dalam kuil" " Hong Hoan sesalkan.
"Tadinya kita cuma menguatirkan ada penyerbuah atas sarang kita," sahut seorang. "Aku pikir, di rumah batu itu, dapat kita bertahan lama. Siapa tahu datang mereka ini berdua, yang mendudukinya, hingga kita mesti menyerbu tempat sendiri..."
"Dasar celaka! Ada senapan, tidak ada pelurunya!" kata Hong Hoan, masgul dan mendongkol "Sengaja aku membangun kelenteng itu, buat mengabui mata orang andaikata ada orang pesiar kemari, siapa tahu justeru Kat Po dan Hiang Kat yang datang! Sekarang rahasia kita terbuka, karena itu, biar bagaimana, mereka berdua tidak dapat diijinkan keluar lagi dari sini!"
"Jangan kuatir, Thia Toako!" kata kawan-kawan itu.
"Kita berjumlah besar, mustahil mereka berdua dapat menerobos keluar" "
"Harap saja..."
92 Waktu matahari mulai doyong ke barat, datanglah ketua muda mereka, Tiat Hoei Poan. Dialah yang pandai menggunai senjata rahasia mirip cakram itu.
"Eh, Lao Tiat, apakah kau sudah tahu segala apa" "Hong Hoan tanya.
"Ya," sahut ketua muda itu, yang tubuhnya jangkung kurus dan kulitnya rada hitam. Ia asal penjahat dari Kwan-gwa, tak tahu orang she dan namanya, sebab kepandaian menggunai cakram, dia dijuluki Tiat Hoei Poan, si Piring Terbang.
"Lao Tiat, kau pergi ke rumah Nie, untuk membinasakan In Hong, apakah hasilnya" " Hong Hoan tanya.
" Aku berhasil!" sahut Lao Tiat atau si Tiat Tua.
"Mulanya dua kali aku gagal. Ketiga kalinya, terkenalah lehernya. Kalau dia tidak mati lantas, mestinya dia terluka parah! Karena itu, dia tidak mengejar aku, hingga aku pun tidak dapat memancing dia datang kemari."
"Kenapa kau baru pulang" Kau tahu, di sini orang sangat membutuhkanmu!"
"Aku pulang lambat karena aku bersantap dan mandi dulu," sahut Lao Tiat. "In Hong pasti sudah tidak berdaya, tinggal Kat Po dan Hiang Kat. Kalau kita kurung mereka di sini dalam satu atau dua hari mereka bakal mati sendirinya..."
"Mereka gagah, mana bisa mereka mati dalam satu-dua hari" "
"Itulah sebab aku tahu itu, di rumah kita tidak ada barang makanan dan air minum pun tidak ada setetes jua! Maka itu tak usahlah kamu kuatir atau berduka!"
93 "Bagus kalau benar begitu!" kata Hong Hoan, yang hatinya menjadi lega. "Sekarang Lao Tiat, tugas di sini aku serahkan padamu, aku mau pulang dulu!"
"Pergilah!" kata ketua muda itu. "Serahkan segala apa di sini, aku tanggung dua nona itu tidak bakal dapat nerobos pergi!"
"Tapi, Lao Tiat, malam ini masih ada dua pekerjaan lain," kata Hong Hoan, yang terus membisiki pembantunya itu.
" Aku mengerti!" kata Lao Tiat. "Nah, kau pulanglah sekarang! Aku tahu di rumahmu ada si nona cantik dan kau sudah seperti semut dalam kwali panas! Benar, bukan" "
Hong Hoan mengangkat pundak, terus dia ngeloyor pergi.
Sementara itu Kat Po terus berjaga-jaga, dengan lewatnya sang waktu, kerongkongannya terasa makin kering... Ia merasa sangat tersiksa. Sejak tadi minum secangkir teh hijau di rumah keluarga Nie, belum pernah mereka minum pula, sedang begitu, mereka sudah berlari-lari jauh dan berkelahi hebat, lebih-lebih Kat Po. Kalau Hiang Kat dapat bersabar dan diam saja, tidak demikian dengan si aseran.
" Aku haus! Aku haus sekali!" teriaknya.
"Mau tidak kau minum air berbau minyak itu" " Hiang Kat tanya. "Kalau kau mau, nanti aku ambilkan..."
"Tidak! Siapa mau minum air bau minyak" " sahut Kat 1'O. "Hiang Kat, kau mau minum atau tidak" "
" Aku tidak sehaus kau," sahut Hiang Kat, yang sebenarnya pun berdahaga sangat.
"Kenapa kau tidak mau minum air berbau minyak itu" "
94 "Aku mau menanti sampai kau memerlukannya. Air itu sedikit sekali, itulah berharga untukmu. Aku sendiri masih dapat bertahan..."
"Ah, Hiang Kat, pergilah kau minum itu! Aku tidak!"
Berkata begitu, Kat Po sampai lupa berjaga-jaga, kepalanya nongol ke luar.
"Dar!" ia mendengar, lalu peluru mendesing lewat di dekatnya, menghajar tembok!
" A was, Kat Po!" Hiang Kat memberi ingat. "Kenapa kau melongok ke luar" Syukur tembakan penjahat itu tidak tepat!"
Kat Po gusar sekali. Mana ia lagi sangat berdahaga.
Maka lupalah ia akan dirinya.
"Dar! Dar!" ia menembak dua kali, terus-menerus.
"Hai, Kat Po!" Hiang Kat berteriak.
"Oh, Hiang Kat, maaf!" kata si aseran itu. "Aku lupa!
Lain kali aku tidak akan menembak lagi secara sembarangan..."
"Berapa sisa pelurumu" "
"Tinggal tiga...!"
"Ah...!" Hiang Kat mengeluh, terus ia berdiam.
Kat Po dengan lekas mengisi pula senapannya, ia bersiap lagi.
Sang waktu lewat terus. Kedua nona berdahaga bukan main. Habis mengeluarkan terlalu banyak keringat, zat air mereka berkurang, maka berkurang juga zat garamnya. Kedua zat itu berarti kelemahan tubuh mereka.
95 "Hiang Kat," kata Kat Po kemudian. " Aku tidak mati di mulut harimau dan tidak mati karena peluru, aku bakal mati karena haus..."
"Itu sebab kau sudah kehilangan zat air dan zat garammu," kata Hiang Kat. Maka ia lari ke dapur. Ia terpaksa mengambil dua cangkir air yang berbau minyak itu, ia campuri sedikit garam. Inilah pengetahuan yang ia peroleh dari In Hong, yang suka berbicara di waktu-waktu tempo mereka yang luang.
Ketika ia kembali ke depan Kat Po sudah rebah tak berdaya, dia sudah pingsan. Maka lekas-lekas ia mencekoki dua cangkir air itu. Meski demikian, kawan itu tidak segera mendusin.
Di pihak penjahat, mereka melihat tidak ada senapan nongol di jendela.
"Mari kita menyerbu!" kata seorang diantaranya, yang berbaju hijau. "Mungkin telah terjadi sesuatu atas diri mereka itu. Lihat, senjatanya tidak ada!"
"Ya, mari kita serbu!" kata seorang yang lain.
Tapi yang lainnya ragu-ragu.
" Aku titahkan kamu berempat maju!" kata si baju hijau.
Dia tidak mau maju sendiri tetapi memerintahkan empat kawannya, yang pandai menimpuk dengan hui-too.
"Kamu telah mewariskan kepandaiannya Thia Toaya, pergi kamu maju secara diam-diam kamu bokong mereka!"
Empat orang bandit itu saling mengawasi, tubuh mereka tidak bergerak.
"Inilah perintah!" teriak si baju hijau, bengis. " Aku titahkan kamu!"
96 Dengan terpaksa, empat orang itu bertindak pergi.
Mereka maju dengan berhati-hati. Selagi mendekati rumah, mereka tidak melihat atau mendengar gerakan apa-apa dari dalam situ. Lantas mereka lari ke arah rumah batu itu, yang sebenarnya menjadi sarang mereka.
Ketika Hiang Kat mendapat tahu ada penjahat menyerbu, satu diantaranya sudah datang dekat sekali, sejarak sepuluh kaki, terus penjahat itu menimpuk!
"Aduh!" teriak si nona, yang di arah dadanya.
Si baju hijau melihat empat kawannya dapat mendekati gedung tanpa sesuatu gerakan, dia menitahkan sepuluh orang maju bersama. Mereka ini pun pandai menggunai huitoo. Dia ingin mereka ini membantu yang di depan itu. Memangnya Hong Hoan telah mengirim bala-bantuan. Sepuluh orang bandit itu berlari-lari maju.
-oo0dw0oo- VII Hiang Kat tidak terkena huitoo. Ia menjerit saking kaget karena terbokong, karena tahu-tahu orang sudah datang dekat. Selama itu, ia repot mendayakan supaya Kat Po sadar. Ia berkelit mengasi huitoo lewat di atasan kepalanya.
Tempo si penjahat menimpuk buat kedua kalinya, ia sudah membungkuk, untuk menyambar senapannya seraya terus menjatuhkan diri ke samping jendela, untuk bersikap sedia.
97 Penjahat itu berani, dia maju terus. Justeru dia berdiri di muka jendela, untuk melihat ke dalam, justeru kepalanya disambut gagang senapan. Maka kontan dia roboh terjengkang dengan kepalanya pecah, tubuhnya tak berkutik lagi!
Hiang Kat terus memasang mata. Ia melihat tiga penjahat lainnya lagi mendatangi. Ia mengmcar, terus menembak!
"Dar!" Seorang penjahat roboh. Dua yang lainnya terkena mimis yang berhamburan, kaget dan kesakitan, mereka menjerit dan lari balik!
Melihat demikian, yang sepuluh, yang lagi mendatangi itu, turut lari balik juga!
"Tolol! Tolol!" si baju hijau berseru berulang-ulang.
"Segala babi! Segala bangkai hidup! Kenapa kamu bukan maju terus hanya lari" "
"Mereka bersenjata api, kami tidak, percuma kami maju...," kata seorang yang terluka. "Kenapa kau bukan menitahkan mereka yang bersenapan dan berpistol hanya menugaskan kami" "
Jawaban itu membungkamkan si baju hijau dan kawan-nya yang bersenjata api.
"Nanti aku yang maju!" katanya kemudian, terpaksa.
"Sesudah aku masuk, akan aku undang kamu masuk bersama!" ia lantas berlari-lari pergi. Tapi ia tidak terus menyerbu. Ia hanya mencari sebuah tempat alingan. Di sini ia berhenti, lalu mengincar ke jendela dan menembak! ia pandai tetapi kurang teliti, peluru mengenai kusen, lewat sedikit di atasan kepala si nona. Ia penasaran, maka ia
98 menembaki pelurunya yang kedua, yang penghabisan. Juga ini kali ia gagal, maka itu, ia menjadi malu dan bingung.
Dua kali Hiang Kat ditembak, ia mendongkol juga.
Dengan sebat ia mengincar, dan, "Dar!"
Tanpa menjerit lagi, si baju hijau roboh, kepalanya pecah. Tepat peluru menghajarnya.
Kawanan penjahat menjadi takut, semua jeri hatinya.
Cuma mereka, yang memegang senapan, menjadi gusar.
"Jangan kamu maju, jangan buang jiwa secara kecewa!" kata Lao Tiat. "Mereka itu bakal mati karena tidak minum air..."
Maka sunyilah kedua belah pihak.
Serba Hijau Hiang Kat mengisikan pelurunya yang terakhir, tinggal sebuah. Ia tetap waspada, akan tetapi hatinya berduka dan berkuatir. Kat Po tetap belum mendusin. Bagaimana kalau saudara ini tak sadar buat seterusnya"
Oleh karena ia lagi memasang mata, tidak dapat ia memegang nadi atau memeriksa jantungnya kawan itu. Tinggal satu kali lagi ia dapat menembak! Bagaimana setelah itu"
Bagaimana kalau musuh menyerbu" Pula, ia pun sangat berdahaga. Bagaimana apabila ia juga roboh kehausan sebagai Kat Po"
Hiang Kat menutup jendela dan memalangnya. Dengan pertolongan lampu senter, ia pergi ke belakang. Terpaksa ia pun minum seteguk. Dalam hausnya yang sangat, ia tidak sampai mencium bau minyak. Sebaliknya, ia merasa itu sedap sekali, ia memandangnya sebagai air tawar, hingga tak berani ia minum lebih banyak...
99 Habis minum, nona ini kembali ke jendela. Ia membuka dengan perlahan, ia mengintai ke luar. Ia melihat kawanan bandit juga menggunai lampu senter, menyuluhi ke pelbagai arah.
Lalu ia turut menyenter, untuk melihat ada penjahat yang menghampirkan secara diam-diam atau tidak. Ia mendapat kenyataan seorang penjahat lari menjemput senapan kawannya yang mampus itu.
Di dalam kuil, Tiat Hoei Poan dan beberapa kawannya yang lain tengah bersantap malam. Beberapa kawan yang diperintah menjaga terus untuk menjaga kalau-kalau si nona keluar dan nerobos kabur.
Penjahat yang dikemplang Hiang Kat itu tidak mati. Dia hanya pingsan. Setelah sekian lama itu, perlahan-lahan dia mendusin. Ketika dia melihat si nona lagi berjaga-jaga, tak berani dia berpura mati...
Hiang Kat mengawasi ke udara, pikirannya kacau, akan tetapi ia mencoba berlaku tenang.
Penjahat yang rebah itu mengintai. Beberapa kali ia mau lompat, buat menyerang, saban-saban ia gaga!. Ia masih mempunyai huitoo, ia sangsi menggunainya, kuatir tidak mengenai tepat pada si nona.
Dengan lampunya, Hiang Kat menyuluhi Kat Po.
Saudara itu masih berdiam saja. Ia lantas menghampirkan. Di sisi kawan itu, ia berjongkok membaliki belakang pada jendela. Ia meraba nadi Kat Po tetapi tidak merasai apa-apa.
Si penjahat melihat orang meninggalkan jendela, ia merayap bangun dengan berhati-hati. Ia mengintai di muka jendela sekali. Ia melihat nona itu, dengan terus menyalakan lampu senternya, masih terus meraba lengan
100 Kat Po. Ia girang sekali. Inilah ketikanya yang baik. Tapi ia bukan menimpuk. Ia kuatir ia gagal. Maka ia merayap naik di jendela. Ia mau membokong si nona dengan tikaman. Ia pikir itulah cara yang paling sempurnaf.
Hiang Kat akhirnya dapatmenemui juga nadi Kat Po. Ia terus memegangi, untuk memeriksa denyutannya.
Di belakang ia, si penjahat sudah berhasil melewati jendela. Dia mulai berindap-indap menghampirkan, tindakannya diangkat dan diturunkan dengan sangat perlahan, sedang tangannya mencekal erat huitoo, guna ditancapkan di punggung orang.
Hati Hiang Kat sedikit lega. Nadi Kat Po berdenyut tak terlalu lemah, selingannya cepat dan kendornya berimbang. Ia percaya, tak lama lagi kawan itu akan mendusin.
Sementara itu si penjahat sudah datang cukup dekat.
Dia berindap dengan tangannya diangkat naik.
Kawan penjahat lainnya di atas bukit masih saja menggunai lampu senternya. Mereka kuatir musuh mereka, kedua nona itu, nanti kabur. Mereka juga menyuluhi ke rumah batu, ke arah jendela. Kalau mereka menyuluhi dengan tepat, sinar terang masuk ke dalam rumah.
Tiba-tiba Hiang Kat mengangkat kepalanya, lantas ia menjadi kaget. Pada tembok ia melihat bayangan orang berdiri dengan tangan terangkat, bayangan itu bergerak maju. Ia kaget karena ia tahu, itulah tentu penjahat, yang berhasil menyelundup masuk ke kamarnya. Tapi ia tidak takut, hatinya tenang dan tabah. Ia terus berlagak pilon.
Tepat si penjahat maju menikam padanya, mendadak ia berkelit seraya memutar tubuh, sambil bangun berdiri, ia menyamber tangan orang yang mencekal senjata itu.
101 Ketika itu sinar lampu senter pindah ke lain arah, kamar jadi gelap pula. Tapi dua orang ini, Hiang Kat dengan si penjahat sudah lantas berkutat. Si nona mau membela diri dengan merampas senjata, si penjahat mau melepaskan diri untuk mengulangi tikamannya.
Penjahat itu memegang huitoo dengan tangan kanan, tangan kirinya merdeka, selagi ia meronta, tangan kirinya itu meraba ke pinggangnya, untuk mengambil huitoo yang lainnya.
Dengan tangan kanan terus meronta, dengan tangan kiri ia hendak menyerang.
Akan tetapi Hiang Kat cerdik. Sulit untuk ia merampas pisau si penjahat. Maka ia ingat untuk menggunai lain siasat.
Mendadak ia menyerang dengan kepalan kirinya. Dua kali saling susul ia meninju perut si penjahat itu.
"Aduh!" si penjahat berteriak. Saking nyeri, lupa ia dengan niatnya menikam. Hiang Kat meninju buat ketiga kalinya. Kali ini ia menghajar dada orang. Tubuh penjahat itu terpental
Justeru itu masuk lagi sinar lampu sorot. Terlihat si penjahat mental membentur tembok, kepalanya mengenai kusen jendela sebelah kanan, di situ dia duduk menyender tanpa berdaya.
Dengan sebat Hiang Kat mengambil baterenya, buat menyuluhi. Ia percaya penjahat itu tak akan dapat bangun pula.
Lekas-lekas ia menyuluhi ke seluruh ruang, juga ke luar jendela. Ia kuatir ada kawannya penjahat itu. Kembali ia berhati lega.
102 Penjahat itu cuma bersendirian, Ia lantas menyusut keringat di dahinya.
Sementara itu Kat Po mulai mendusin. Dengan lantas ia berteriak kehausan. Dengan lekas Hiang Kat mengasi minum pula pada kawannya itu.
Ketika itu kembali ada sinar lampu sorot. Kawan penjahat melihat satu kepala orang nongol di jendela. Mereka menyangka kepada kepalanya Hiang Kat. Tidak ayal lagi, mereka menembak, sampai empat kali beruntun. Sebuah peluru mengenai kepala si penjahat, maka selanjutnya penjahat ini tak akan bernapas pula!
"Eh, Hiang Kat, kenapa kau tidak membalas menembak" " tanya Kat Po.
Dia sadar dan heran. "Peluruku tinggal satu, kita harus berhemat," sahut kawan itu. "Biar mereka itu menembaki sesukanya."
Dengan berlindung pada tembok, mereka berdua tak usah kuatir nanti kena tertembak. Habis itu, keadaan terus sunyi. Bahkan sampai fajar tiba, tidak ada tembakan lagi dari pihak penjahat.
Kat Po masih lemah, tenaganya belum seluruhnya pulih. Bersama Hiang Kat, ia makan biskuit dengan minum air yang berminyak itu... Tapi persediaan makanan dan air itu tidak cukup buat sehari itu.
"Bagaimana besok" " Hiang Kat tanya.
"Apakah kau sangka aku berat meninggalkan rumah ini" " Kat Po membaliki. "Hari ini mesti kita bisa menerobos keluar! Kita harus minum teh wangi, bukannya ini air bau!"
"Mereka mempunyai senapan, untuk menyerbu, kita tidak mempunyai harapan..." kata Hiang Kat. "Lewat hari
103 ini, teh wangi tidak ada, air berminyak ini habis! Pula tubuhmu masih lemah, kau tidak dapat menggunai tenagamu..."
Kat Po berdiam. Sampai tengah hari, tetap sunyi pada kedua belah pihak.
Pihak penjahat sudah menghamburkan isi senapannya, sisa mereka ialah tiga buah revolver dengan delapan isinya.
Dengan senjata api itu, mereka tidak dapat menembak lebih jauh dari jarak dua puluh kaki lebih. Maka mereka mengambil sikap berjaga saja. Dengan begitu, sampai lohor, mereka tetap dalam kesunyian.
Kapan sang gelap datang, habis sudah biskuit dan airnya Kat Po dan Hiang Kat...
-oo0dw0oo- VIII Pagi-pagi In Hong duduk meloneng di jendela hotelnya, matanya mengawasi telaga See Ouw yang indah. Tapi ia bukan tengah menikmati panorama yang permai itu. Ia justeru lagi berpikir keras. Ia baru seperti disadarkan setelah munculnya Tjie Pit Seng bersama A Poan dan Tjie An.
"Eh, mana nona-nona Kat Po dan Hiang Kat" " tanya si detektip muda yang gemuk.
"Mereka belum kembali," sahut In Hong singkat.
"Mereka belum kembali sejak kemarin pagi setelah meninggalkan rumah Keluarga Nie" " A Poan menegaskan. Dia heran.
104 In Hong mengangguk. "Rupanya mereka tersesat di See Ouw hingga mereka tak dapat jalan pulang!" kata Tjie An, tawar.
"Pemahkah kau mendengar telaga See Ouw dapat menyesatkan orang" " tanya In Hong, dingin.
"Kalau begitu, mungkin mereka terpeleset di bukit dan jatuh dengan tubuh hancur-lebur!" kata pula Tjie An. "Kalau tidak, tentu mereka sudah pulang!"
Detektip ini tidak cuma menyindir, ia malah menyumpahi.
"Tentunya mereka terpincuk keindahan telaga," A Poan bilang.
"Nona In, bagaimana pandanganmu mengenai perkara aneh ini" " Pit Seng tanya si Burung Kenari. Ia hanya memikirkan perkara sulit itu yang mengenai kedudukannya yang ia takut turun pangkat...
"Masih jauh!" sahut In Hong.
"Sama jauhnya bumi dengan rembulan!" Tjie An menambahkan. Tak mau ia melewati setiap saat untuk menyindir.
"Tuan Tjie," In Hong tanya, "ketika Nie Lin Kie menutup mata karena otaknya pendarahan, kau pergi menyaksikan atau tidak" "
"Hm! Hm!" Detektip To menyela. Dia tertawa dingin.
"Orang mati sakit, buat apakah polisi datang melihatnya" Nona In, kenapa kau menimbulkan soal ini" "
In Hong sabar sekali, dapat ia tak menghiraukan lagak si detektip.
"Tidak, nona," sahut Pit Seng. " Aku tidak menghadiri."
105 "Tempo Nie Pek Siang jatuh mati tengah berburu itu, kau juga pergi melihat atau tidak" " In Hong tanya lagi.
"Juga tidak, nona"
"Sebelumnya Nie Pek Siang jatuh mati, dia tidak mengabarkan, karena itu, Tuan Tjie tidak dapat menyaksikan kematiannya," Tjie An nimbrung.
Kembali ia memperluas kejelasannya.
"Siapakah yang mula pertama menemui mayatnya Nie Pek Siang" " tanya In Hong.
"Pek Siang berburu di bukit Chiu Lien Shan, dia jatuh hingga ke kaki bukit," Pit Seng menerangkan. "Yang pertama menemukannya ialah penduduk kampung, yang terus mengabarkan kepada polisi. Aku cuma melihat ia di kamar mayat dengan batok kepalanya sudah pecah serta tubuhnya mandi darah."
"Bagaimana kamu mengenalnya dia Nie Pek Siang dan bukannya Nie Tiong Siang" " In Hong tanya pula.
"Senapan yang diketemukan ada terukirkan namanya Nie Pek Siang. Bajunya juga terterakan tiga huruf namanya.
Bahkan di dalam saku bajunya ada beberapa helai kartu namanya. Paling belakang koankee Tjin A Hok, si kuasa rumah, mengakui dialah majikan mudanya. Kami tidak menyangsikan Tiong Siang sebab Tiong Siang pun masih hidup dan dia telah melihat sendiri mayat saudaranya itu."


Serba Hijau Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, kalau begitu," kata In Hong menghela napas, "benar-benar bumi itu terpisah sangat jauh dari sang rembulan... Tuan Tjie, aku berniat pergi ke kampung Sze Tsi di desa Sze Ta."
"Ke rumah Keluarga Nie" " tanya Tjie An.
106 "Bukan. Aku ingin menjenguk si orang tua she Pwee serta Seng Kong."
Dengan menggunai keretanya Pit Seng, In Hong pergi ke kampung Sze Tsi itu. Untuk menyampaikan rumah, mereka berjalan kaki.
Dari luar sudah terdengar tangisan yang mengharukan yang terdengar dari dalam rumah. Belum lagi mereka masuk, dari dalam sudah keluar seorang polisi desa. Dia nampak heran melihat kedatangan rombongan ini.
"Tuan, kau datang begini cepat" " tanyanya.
"Baru saja aku menyuruh seorang rekan naik sepeda pergi untuk meneleponmu..."
"Untuk urusan apakah" " tanya Pit Seng, heran.
"Tadi malam jam tiga, empee Pwee dibunuh mati perampok..."
" Ah! Dia toh tidak kaya, dia kena dirampok" " tanya Cie, tambah heran.
"Beberapa hari yang lalu, empee Pwee telah kerampokan hingga habis-habisan," si polisi menerangkan, "tetapi tadi malam, dia disateroni pula. Mulanya seorang jahat lompat masuk dari jendela kamar tidur. Empee Pwee mendusin, dia membuat perlawanan. Nyonya Pwee bersama Seng Kong lari keluar rumah, bersembunyi di belakang. Ketika suasana reda dan mereka kembali, masuk ke dalam, di waktu mereka menyuluhi, empee Pwee kedapatan sudah mati dengan terluka. Baru saja mereka mau menangis saking kaget, mendadak datang pula lima penjahat. Tanpa banyak mulut, mereka membunuh Seng Kong, lalu mengubrak-abrik segala barang dan perabotan di dalam rumah dan ngeloyor pergi. Itulah Nyonya Pwee yang lagi menangis..."
107 "Sungguh kejam!" kata Pit Seng, mengerutkan alis.
"Sudah merampok membunuh pula!"
"Tadi tengah malam, Enso Oey juga didatangi belasan perampok," si orang polisi menerangkan terlebih jauh. "Enso Oey dirampok habis-habisan, syukur di sana tidak ada perkara jiwa."
"Memangnya di dusun ini sering terjadi perampokan" " tanya In Hong.
"Sangat jarang," sahut orang polisi itu. "Penduduk sini rata-rata melarat. Yang hidupnya mendingan juga tak ada bendanya yang berharga untuk dirampok. Benar di sini ada beberapa hartawan tetapi mereka itu selamat, mereka dapat membela diri karena mereka memiliki senjata api. Keluarga Nie umpamanya mempunyai revolver dan senapan. Bahkan tuan tanah besar Thia Hong Hoan mempunyai sejumlah tukang pukulnya. Maka juga, aku pun heran sekali..."
"Mari kita masuk, untuk melihat!" A Poan mengajak.
In Hong bertindak masuk. Yang pertama terlihat ialah mayatnya seorang muda menggeletak di tanah. Ia mengenali, inilah si anak muda yang naik kereta bersamanya yang nampaknya sangat berduka. Dia ditikam dada kirinya dan pisau belatinya masih nancap pada lukanya itu.
Duduk di kursi kayu di dekat si mayat si pemuda ialah seorang wanita tua yang lagi menangis sedih itu.
In Hong menghampirkannya, untuk menghiburkan, untuk membujuki. Ia pandai bicara hingga, dari bersedih, nyonya itu menjadi gusar.
108 "Ketika suamimu pulang dari rumah Keluarga Nie, apakah ia tidak membilang apa-apa" " In Hong tanya kemudian.
Nyonya itu berpikir sebentar. "Ada," sahutnya selang sesaat. "Katanya semua penggarap tanahnya tuan tanah kena tertindas hidupnya dan terperas..."
"Apakah masih ada lagi kata-kata lainnya" "
"Katanya penggarap tanah kalah dengan anjingnya tuan tanah!"
"Ada lagi atau tidak" "
Nyonya itu berpikir pula.
"Dia katanya Tjin A Hok, kuasa rumah Keluarga Nie, biasanya seorang yang sabar dan halus budi-pekertinya, akan tetapi sekarang dia jadi kasar dan kurang ajar. Dia menyiram suamiku dengan arak, terus suamiku diusir! Sama sekali dia tidak ingat bahwa suamiku sebenarnya sahabat karibnya. Maka itu suamiku pulang dengan mendongkol setengah mati..."
"Masih ada lagikah" "
Nyonya itu mengingat-ingat pula.
"Tidak. Cuma suamiku berduduk saja di dalam rumah, berulang-ulang dia mengatakan aneh, aneh..."
"Nona In, lihat," berkata A Poan, "Dadanya Empee Pwee ditikam dengan pisau belati hijau yang berpita hijau juga! Nampaknya dia bertempur seru dengan perampok."
In Hong masuk ke kamar sebelah. Ia melihat, benar dadanya Empee Pwee tertancapkan pisau belati hijau.
"Senjata ini sama dengn senjata yang ditemukan di rumah hijau, yang dipakai menikam Tiong Siang," katanya.
109 "Tidak salah lagi, Tiong Siang dibunuh rampok!" kata A Poan.
"Jadinya penjahat pun hendak merampas harta besar di dalam kamar itu!" kata Tjie An.
"Hanya bagaimana caranya penjahat memasuki kamar itu" " tanya Pit Seng.
Semua orang berdiam. Itulah pertanyaan yang membuat orang sakit kepala.
"Tuan Tjie," kata In Hong kemudian, "Kau tolong urus kedua mayat ini serta terus bertindak untuk mencari si orang jahat. Aku mau jalan sebentar melihat pemandangan di dalam desa ini..."
Tak lama seberlalunya si nona, Detektip To juga keluar dengan alasan serupa. Ia lantas menguntit si nona. Ia bukan mau jalan hanya ia mencurigai nona itu mau menyelundup masuk ke kamar rahasia Keluarga Nie...
In Hong berjalan perlahan di jalan desa yang kecil. Di kiri dan kanannya ada orang-orang tani yang lagi bekerja di sawah. Lantas ia mendengar pembicaraan di antara mereka itu.
Semua nampak penasaran dan mendongkol. Mereka kata tuan tanah besar Thia Hong Hoan sangat jahat dan telah bersekongkol dengan pembesar setempat.
Tanpa menghiraukan mereka, In Hong menuju ke rumah Enso Oey. Dari nyonya itu ia memperoleh banyak keterangan.
"Kemarin tengah hari Hong Hoan dapat mencari Siauw Hong yang aku sembunyikan di dalam gabah," kata nyonya itu.
110 " Aku roboh pingsan, sesudah mereka pergi, baru aku mendusin. Aku rebah di pelataran sana. Aku melihat dua nona yang masing-masing mengenakan baju putih dan baju biru, mungkin mereka Nona-nona Kat Po dan Hiang Kat yang kau maksudkan, tengah bertempur dengan orang-orangnya Thia Hong Hoan. Akhirnya gundal-gundalnya Hong Hoan tidak dapat bertahan, mereka lari tumpang siur. Nona-nona itu tidak mau mengerti rupanya, mereka mengejar. Kemana mereka itu kabur atau pergi, Hong Hoan kena kecandak atau tidak, selanjurnya aku tidak tahu..."
Sekarang In Hong ketahui sebabnya Kat Po dan Hiang Kat tidak pulang.
"Bagaimana dengan Ie Loo Djie yang dianiaya Hong Hoan itu" " ia tanya kemudian.
"Baru saja aku melongoknya," sahut Enso Oey. "Dia belum mati tetapi napasnya sudah tinggal satu kali tarik saja, tentu kematiannya sudah tidak jauh lagi..."
"Kau dirampok, nyonya, kau merasa aneh atau tidak" "
"Ya, aku heran. Tapi lebih heran ialah Keluarga Pwee. Dua kali mereka dirampok dan yang paling belakang, mereka ayah dan anak dibinasakan juga. Aku kira...!"
Nyonya itu mendadak menghentikan kata-katanya.
In Hong dapat menerka, maka ia tolong meneruskan, "Kau tentu menduga perampokan itu ada hubungannya dengan urusan jodohnya Siauw Hong dengan Seng Kong. Si nona diculik supaya Seng Kong tidak dapat menebusnya dengan beras lima belas karung itu. Demikian juga sebab kematiannya Seng Kong sendiri."
"Benar, benar!" kata Enso Oey. "Kau benar, Nona In!"
111 "Bagaimana dengan itu beberapa gundal yang dihajar roboh Kat Po dan Hiang Kat" "
"Kemudian mereka dibawa pergi kawan-kawannya yang datang kembali."
"Di mana rumahnya Thia Hong Hoan" "
Enso Oey memberikan keterangannya.
"Ie Siauw Hong itu bagaimana macamnya" " tanya pula In Hong.
"'Dia bertubuh sedang, tidak tinggi dan tidak kate," sahut Enso Oey. "Dia biasa merawat rambutnya dengan dua jalinan. Dia mempunyai muka potongan telur, romannya cantik, kedua matanya yang hitam jeli sekali. Di pipi kirinya ada sebuah tai lalat hitam yang kecil. Eh, Nona In, apakah kau juga segagah Nona Kat Po dan Nona Hiang Kat dan tak takuti Hong Hoan" "
Nyonya ini menanya demikian karena ia melihat In Hong bertubuh kecil langsing dan lemah gemulai.
In Hong bersenyum. "Bersama-sama Kat Po dan Hiang Kat, aku biasa menyeterukan manusia jahat," sahutnya sabar. "Kami tak peduli mereka okpa atau pembesar rakus..."
"Benarkah, nona" " tanya si nyonya, heran. "Coba nona kasi lihat padaku salah satu kepandaianmu..."
In Hong tertawa. Nyonya ini jenaka.
"Kau ingin lihat yang macam apa" " tanyanya.
"Kepandaian untuk membasmi okpa!" sahut si nyonya.
"Nah, apa kau lihat itu seekor burung gereja di atas pohon hoay itu" " kata In Hong. "Burung itu tukang makan
112 padi, dialah perusak petani, dia sama dengan seorang okpa..."
Ia membungkuk, akan menjemput sebiji batu kecil, ketika ia berbangkit pula, tangannya terus terayun.
Kesudahannya itu ialah burung gereja itu jatuh mati!
Bukan main kagumnya Enso Oey.
"Oh, nona!" ia berseru. "Tak mimpi aku bahwa kau begini liehay!"
Lalu ia berbisik di telinga nona itu, "Kau tahu suamiku, Oey Tay Lek. Dia berani tetapi tolol. Ketika habis kami kerampokan, suamiku menguntit mereka itu. Dia mau tahu kemana pulangnya kawanan perampok itu. Dia menguntit sampai tiga puluh lie lebih, sampai di sebuah gunung. Karena malam dan gelap, tak tahu dia tempat itu apa namanya dan gunung itu gunung apa. Hanya selagi pulang, dia meninggalkan tanda. Tadi pagi dia mengajak sejumlah rekan kampungnya pergi mencari gunung itu..."
"Kalau begitu, suamimu itu tidak tolol, dia berani bahkan cerdik!" In Hong memuji.
"Nah, lihat itu, nona!" tiba-tiba si nyonya berseru sambil menunjuk. "Itulah mereka pulang!"
In Hong berpaling. Ia melihat serombongan orang tani lagi mendatangi.
Dalam tempo yang pendek, Oey Tay Lek sampai di rumahnya. Ia masuk ke dalam bersama-sama sekalian kawannya itu.
"Bagus kamu pulang!" kata Enso Oey. "Di sini ada Nona In!" ia lantas perkenalkan suaminya itu dengan In Hong.
113 Tapi segera ia menanya, " Apakah kamu berhasil mencari gunung itu" "
"Tidak!" sahut Tay Lek, mendongkol. " Aku meninggalkan tanda-tanda dengan menyongkel tanah di jalanan, tetapi tadi ternyata, ada yang masih ada, banyak yang sudah lenyap, sia-sia belaka aku mencari ke timur dan ke utara!"
"Bagaimana kau tahu bahwa kau menuju ke timur dan ke utara" " In Hong tanya.
"Itulah sebab tadi malam ada rembulan sebelah, maka itu aku jadi mengenal arah," sahut Tay Lek.
"Apakah tandamu di tengah jalan itu" "
"Aku membuat tapak jalak. Kalau belok ke kanan aku membuat bundaran, kalau ke kiri, segi tiga. Di kaki gunung, aku membuat satu bundaran besar, di dalamnya aku menambah dengan coretan tapak jalak."
"Kalau begitu, serahkan urusan perampokan itu padaku," kata In Hong kemudian. "Nanti aku mencarinya dengan mengikuti petunjuk tandamu itu. Sekarang aku minta kau melakukan sesuatu, ialah kau catat semua petani yang pernah jadi korban perampokan dan penindasan Thia Hong Hoan, catat nama dan alamat mereka biar terang. Mereka itu perlu mendapat penggantian kerugian dan Thia Hong Hoan mesti dihukum!"
"Oh, Nona In!" kata Tay Lek kagum. "Benarkah kau mempunyai kekuasaan sedemikian besar..."
" Akan aku coba!" sahut In Hong
"Nona In liehay sekali!" kata Enso Oey. "Dia dapat menimpuk seekor burung gereja!"
"Burung gereja apa" " tanya Tay Lek heran.
114 In Hong tidak menanti lama, ia pamitan, ia terus pergi, akan mengikuti arah dan petunjuknya Tay Lek. Ia menduga tentunya Kat Po dan Hiang Kat, karena mengejar orang jahat, telah kena dikurung mereka itu.
Detektip To terus memasang mata, akan tetapi tempo ia melihat orang bukan lagi pesiar, buat menyaksikan keindahan alam, terpaksa ia pulang dengan mendongkol dan lesu...
In Hong berjalan terus. Ia menggunai tempat empat sampai lima jam akan mencari gunung yang disebutkan Tay Lek itu. Toh ia gagal. Ia pulang sesudah magrib. Ia lantas mengasah otak. Ia mengambil keputusan akan pergi ke rumah Hong Hoan.
Thia Hong Hoan terperanjat waktu ia tengah berduduk di kamarnya datang orang-orangnya mengabarkan Nona In Hong mohon bertemu.
"Nona In Hong" " katanya. "Bukankah dia si nona dengan pakaiannya serba kuning dan romannya cantik" "
"Benar." "Dia datang bersama siapa" "
"Toh si Lao Tiat bilang nona itu kena terhajar kepalanya, kalau dia tidak mati, dia tentu terluka parah! Kenapa sekarang dia tidak mati atau luka" " kata Hong Hoan, berduka.
" Ada juga lukanya tetapi kecil sekali. Aku lihat telinganya ditempel..."
"Itulah tidak berarti! Tak berarti meski dia hilang sebelah telinganya itu!"
"Dia mau diketemui atau tidak" "
115 "Tak dapat dia tidak diketemukan! Dia dapat nerobos masuk! Hanya sukar. Orang kita yang bersenjata api tidak ada di sini. Aku sendiri bukan lawannya. Lao Tiat dapat menimpali dia tetapi Lao Tiat pun tidak ada..."
"Habis, dia mau diketemukan atau tidak" " orang itu mendesak.
Dia menjadi takut In Hong nanti menyerbu.
"Kau mau paksa aku mati" " bentak Hong Hoan. "Kau beri ketika untukku berpikir..."
Hanya sebentar, okpa ini mendapat akal. Ia lantas memberi petunjuknya dan suruh orangnya itu bekerja. Ia menambahkan, "Dengan jalan ini pasti kita akan dapat membinasakan In Hong. Kalau dia mati, kita semua hidup senang dan merdeka buat selama-lamanya!"
" Apakah dia mau makan umpan" Maukah dia mengikuti aku" " orang itu tanya.
"Menyerbu api pun dia tidak takut, mustahil dia tidak mau turut kau" " Hong Hoan membaliki. "Asal ia turut kau, dia akan masuk perangkap!"
Pengikut itu mengundurkan diri.
Tiba di luar, di pintu samping, ia berkata dengan hormat, "Nona In, majikanku lagi kedatangan tetamu, dapat dia menyambut sendiri pada nona. Silahkan nona turut aku masuk ke dalam untuk menemuinya!"
In Hong lagi menanti sambil berduduk. Ia lantas berbangkit.
"Silahkan nona ikut aku ke kamar tetamu," kata pula si gundal
In Hong mengikuti jalan di sebuah lorong panjang, melihat sebuah pekarangan dalam sampai di sebuah kamar.
116 Rumah Hong Hoan besar dan indah dapat bersaing dengan rumah Keluarga Nie tetapi para penggarapnya tinggal di gubuk reyot dan bocor.
"Mana dia ruang tetamu kamu" " In Hong tanya.
"Segera kita akan sampai," sahut gundal itu. "Rumah ini besar sekali. Kalau kita jalan dari samping sana, tak usah memakan tempo begini lama. Mari!"
In Hong mengikuti terus. Lagi sebuah lorong. Selagi melewati sebuah kamar di sisi kiri, mendadak gundal itu lompat masuk ke dalamnya dan pintunya segera digabruki, ditutup dan dikunci. Menyusul itu, dengan suara berisik, pintu lorong itu pun dikunci!
Untuk sedetik, In Hong terperanjat. Tahulah ia bahwa ia telah dijebak. Ia berani dan berpengalaman. Segera ia mendapatkan ketenangannya. Maka lantas ia melihat kelilingan, akan memperhatikan lorong itu, yang panjang dan sempit. Ia hanya belum tahu, di bagian maha ada perangkapnya.
Lorong itu panjang dua puluh kaki lebih, lebarnya tiga kaki, dan tingginya sepuluh kaki. Di kiri dan kanan, setiap lima kaki, ada tempat lilin dengan masing-masing sebatang lilinnya yang dinyalakan. Di betulan tempat ia berdiri, di kiri kanan tembok, rupanya ada tambahan baru, yang menambah terangnya ruangan. Di kirinya itu ialah kamar kemana barusan pengantarnya menghilang. Di kamar dengan dua lubang angin di atasnya, tertutup dengan dua buah daun pintu. Di ujung kiri ada lorong lainnya tapi pintu di situ pun sudah ditutup. Jadi ia telah terkurung di dalam lorong itu.
In Hong menduga di sini ia mau dibikin mati, hanya entah caranya.
117 Tiba-tiba ia mendengar suara nyaring dari pintu.
Kiranya dua pintu angin itu telah terbuka. Di situ muncul kepalanya seorang yang bundar mirip cecer, yang tangan kirinya memegang sebuah benda hitam. Di jarak dua puluh kaki Iebih, In Hong tidak dapat melihat tegas.
"In Hong, berdiri tetap di tempat di mana kau berdiri!
Jangan bergerak meskipun satu tindak! Kalau tidak, akan aku menembakmu!" Itulah suaranya Thia Hong Hoan. Dia tidak suka memakai senjata api, tak pernah dia menyediakan itu, tetapi sekarang dia mencekalnya sebuah! Hanya itulah senjata api palsu! Dia hanya menggertak. Terus dia tertawa mengejek.
"Kau benda apa" " tanya In Hong tawar.
" Apa" Benda" Akulah manusia! Aku Thia Hong Hoan!"
"Kau manusia" Tak mirip sedikit jua!" kata In Hong, tetap dingin.
Mukanya Hong Hoan menjadi merah padam. Hebat hinaan itu.
"Inilah ruang tetamu kamu" " In Hong tanya.
"Inilah tempat piranti aku menembak mampus musuhku!" sahut Hong Hoan. "Kau boleh liehay sekali tetapi tidak nanti kau lolos dari tembakanku! Aku dapat menembak seratus kali tanpa meleset sekali juga!"
Jawaban itu sudah cukup bagi In Hong untuk mendapat tahu di situ tidak ada lubang jebakan atau perangkap lainnya.
Hanya di lorong semacam itu tidak ada tempat untuk orang bersembunyi atau berlindung. Biar bagaimana, itu pun sebuah perangkap yang sangat jahat.
118 In Hong tahu ia sekarang menjadi bulan-bulannya Hong Hoan. Akan tetapi ia tetap tenang.
"In Hong, mau apa kau datang kemari" " Hong Hoan tanya. "Apakah kau kira aku dapat dibuat permainan" "
"Tapi kaulah manusia sangat jahat! Kaulah okpa yang setiap orang berhak membunuhnya!" In Hong jawab, berani.
"Sengaja aku datang kemari untuk membuat perhitungan denganmu!"
"Hm!" Hong Hoan menghina. "Kematianmu sudah ada di depan mata, kau masih berani usilan urusan tuan besarmu!"
Berkata begitu, okpa itu mengulapkan kedua tangannya. Maka dua buah benda hijau melesat ke arah dada si nona.
In Hong berkelit, tangannya menanggapi. Ia memegang dua buah pisau hijau.
Tapi Hong Hoan menyerang terus. Dia benar liehay, setiap serangannya berbahaya.
Mata In Hong berkunang-kunang, silau karena sinar hijau itu. Terpaksa ia menempel tubuhnya ke tembok kiri.
"In Hong!" kata Hong Hoan. "Biar bagaimana, kau tak dapat terus berkelit dari senjataku ini!"
Dan dia menimpukkan pula dua batang huitoo hijau itu.
In Hong berkelit. Huitoo itu nancap di tembok. Itulah bukti tenaga besar dari si okpa.
Oleh karena si nona menempelkan diri di sebelah kiri, arah timpukan Hong Hoan menjadi sedikit kurang tepat. Dia mengambil dari kanan akan tetapi lubang angin tidak
119 membentang seluruhnya, dengan sendirinya dia pun bergerak kurang leluasa.
Lagi dua golok terbang menyamber, terpisah dari lubuhnya In Hong cuma kira dua dim. Itulah berbahaya. In Hong tahu, kalau lagi sekali orang menyerangnya, mungkin ia bakal terkena telak. Ia lantas mundur dua kaki. Ia tidak bebas karenanya, tetapi siasat ini dapat mengacau incaran law an.
Lagi-lagi Hong Hoan menimpuk. Benar seperti dugaan In Hong, huitoo nancap tepat di tempat dimana ia barusan berdiri. Walau pun demikian, ia tetap terancam bahaya. Ia tidak dapat membalas menyerang, karena ia tidak membekal senjata api. Dibalik itu ia heran okpa itu tidak menggunai senapan atau revolver.
Hong Hoan penasaran sesudah ia gagal berulang-ulang.
Ia lantas menggunai siasat. Disamping ia sendiri turut menyerang, ia menyuruh beberapa orangnya membantui ia.
Dengan serangan beruntun-runtun itu, saling susul, ia ingin mengacaukan pikiran si nona, agar dia tidak dapat menguasai diri lagi.
Selagi terancam bahaya itu, In Hong mendapat pikiran.
Lantas ia menggunai huitoo di tangannya, untuk memadamkan lilin di dekatnya. Dengan sebat ia menyamber lilin-lilin lainnya.
Di dalam tempo yang pendek, ia membikin lorong menjadi gelap petang, hingga musuh sukar melihatnya.
SebaIiknya, ia dapat melihat lubang angin dari mana orang menyerangnya itu.
Hong Hoan menyesal dan mendongkol. Gagal siasatnya ini. Dengan tidak melihat orang, tidak dapat ia menyerang
120 terlebih jauh, sia-sia belaka ia bakal mengorbankan, atau membuang-buang huitoonya.
Di dalam lorong itu, In Hong juga tidak berdiam saja. Ia pergi ke pintu dan mencoba menggempurnya. Ia melompat sambil menggunai samping pundaknya. Hanya baru satu kali, pintu tidak terdobrak terbuka, melainkan terdengar suaranya yang keras dan berisik.
Si okpa terkejut. "Kursi meja, lekas!" ia berteriak. "Lekas ganjel pintu ini!
Pakai barang apa saja! Tak dapat dia lolos!" ia memberi titah, ia sendiri lantas pergi ke kamar sebelah, terus ke kamarnya sendiri.
Di sana ia menghampirkan Siauw Hong, si nona "berkepala batu," yang tidak sudi mengiringi kehendaknya. Ia samber tubuh si nona, buat diangkat, buat dibawa lari ke istal di dalam kebun bunga, untuk menarik keluar seekor kuda.
Maka dilain saat, dengan menunggang binatang itu, bersama si nona tawanannya itu, ia sudah kabur sekeras-kerasnya di jalan pegunungan.
Di antara orang-orangnya Hong Hoan ada seorang yang merasa dirinya pintar, selagi kawan-kawannya menumpuk segala rupa barang, untuk menutup pintu, ia sendiri pergi mengambil minyak tanah, ia siram itu kepada kursi meja itu lalu menyulutnya, membikin api menyala!
Penjahat ini hendak membakar In Hong, ia tidak pikir api dapat merembet ke lain bagian gedung itu dan dapat membikin gedung yang indah itu menjadi musnah tanpa sebab!
121 Di dalam gedung itu ada isterinya Hong Hoan dan beberapa bujang, mereka kaget mendapatkan api berkobar-kobar, dalam ketakutan, mereka berlomba mengambil uang dan barang-barang berharganya masing-masing, untuk Juga berlomba lari keluar dari gedung itu!
Sesudah api berkobar, si penjahat yang mendapat pikiran menggunai tipu daya api itu menjadi kaget. Sudah tentu, kawan-kawannya pun kaget sekali. Mereka pun terpaksa menyingkir. Akan tetapi mereka mendapat satu pikiran. Dengan se'rempak mereka merampok, mengambil barang-barang berharga yang mereka dapat bawa, untuk dibawa kabur!
Maka, tanpa pertolongan, gedungnya Hong Hoan itu berkobar-kobar terus...
-oo0dw0oo- IX Pada pagi itu maka A Poan si detektip muda yang gemuk itu mendapatkan Nona In Hong seperti biasanya duduk menyender di jendelanya, duduk dengan tenang, mulutnya menghembuskan napasnya dengan perlahan, guna melegakan hati.
"Nona In," kata ia, "di luaran tersiar berita bahwa tadi malam kau mati terbakar di gedungnya Thia Hong Hoan..."
"Bukankah kabar itu kau peroleh dari Detektip To" " In Hong tanya.
"Benar," sahut A Poan. "Kemarin ia melihat kau sampai sore belum pulang juga, dengan menggunakan otonya Tuan Tjie, seorang diri dia pergi ke Sze Tsi mencari kau. Di sana,
122 katanya, ada orang memberitahukan dia kabar kematianmu itu.
Ketika dia pergi ke tempat kejadian, benar-benar dia menyaksikan gedungnya Hong Hoan sudah menjadi puing yang masih mengepulkan sisa asap."
"Mungkin berita itu disiarkan salah seorang gundalnya Thia Hong Hoan," kata si nona, tenang. "Sebelum gedung itu menjadi abu, aku sudah mengangkat kaki dari situ."
Nona ini lantas menguturkan pengalamannya di rumah Hong Hoan dimana ia menghadapi si okpa licin yang menggunai tipu daya untuk menjebak dan mengurungnya.
"Itulah hebat, nona!" kata A Poan, kaget dan heran.
"Kau sudah terkurung di dalam itu, api pun berkobar, habis bagaimana caranya kau meloloskan dirimu" "
" Aku memang telah terkurung" kata In Hong pulang.
"Pintu depan dan belakang sudah ditutup rapat, tak dapat aku menggempurnya. Selagi bahaya mengancam itu, aku ingat pintu kiri kemana tadi penjahat yang mengantarku menyingkirkan diri. Segera aku lari ke pintu itu. Benar pintu dikunci tetapi tidak diganjal seperti dua pintu depan dan belakang itu, aku menggempurnya. Dan aku berhasil. Rupanya disaat kacau itu, mereka melupakan pintu itu. Itulah kamar peranti menyimpan arak. Tapi di situ aku tidak melihat pintu lainnya. Sementara itu, api belum sampai ke situ, maka aku tidak lantas terancam bahaya terbakar. Sebaliknya daripada pintu, di situ ada sebuah jendela kaca yang berdaun dua. Aku naik ke atas sebuah guci, aku menolak daun jendela. Tak dapat aku membukanya. Jendela itu dipalang dari luar. Tapi aku mesti keluar. Aku menggunai kekerasan. Dengan satu dupakan, dapat aku membikin daun jendela menjeblak terbuka. Dari
123 dalam kamar arak itu aku lompat keluar. Sebuah lorong membawa aku sampai di sebuah pekarangan dalam yang terkurung tembok tinggi. Di situ aku mendapat hawa segar, yang membuat hatiku pun lega. Di ujung situ ada kamar dapur, di depan kamar dapur itu ada sebuah pohon pek yang besar. Tanpa bersangsi pula, aku panjat pohon itu, dengan begitu aku bisa naik ke atas tembok. Melihat ke bagian luar, aku mendapati sawah dan tegalan yang lebar. Di situ aku lompat turun, maka di situ bebaslah aku dari angkara murka sang api."
Panji Wulung 5 Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Raden Banyak Sumba 2

Cari Blog Ini