Ceritasilat Novel Online

Si Kumbang Merah 3

Si Kumbang Merah Ang Hong Cu Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


Sebelum Kui Hong pulang ke Cin-ling-san, para murid terbagi menjadi dua kelompok yang memilih dua orang ini, akan tetapi setelah gadis itu pulang, banyak di antara para murid yang condong memilih gadis puteri ketua itu menjadi pangcu (ketua) yang baru! Maka, ketika kakek Cia Kong Liang menyuruh para murid memilih dan mengajukan calon ketua terdengarlah teriakan-teriakan yang menyebut tiga nama.
"Gouw Kian Sun!"
"Tang Cun Sek!"
"Nona Cia Kui Hong?"!"
Demikianlah terdengar para murid meneriakkan nama calon masing-masing. Mendengar disebutnya nama Cia Kui Hong itu, Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, saling pandang. Mereka tidak menyangka bahwa ada sebagian murid yang memilih puteri mereka sebagai calon ketua baru! Akan tetapi karena mereka berada pada suatu upacara pemilihan, tentu saja mereka tidak dapat menyatakan sesuatu dan suara dari para murid pada saat seperti itu mempunyai hak dan kekuasaan. Mereka hanya memandang kepada puteri mereka yang juga kelihatan terkejut mendengar namanya disebut-sebut sebagai calon ketua! Akan tetapi iapun hanya tersenyum saja karena merasa tidak enak kalau menolak begitu saja. Iapun sudah tahu akan peraturan pemilihan seperti ini, harus tunduk kepada suara banyak, dan yang berhak menentukan adalah suara terbanyak. Kalau ia menyatakan penolakannya, sama saja dengan melanggar peraturan yang sudah diadakan oleh perkumpulannya sendiri, atau sama saja dengan mengkhiat hati Cin-ling-pai. Namun, gadis yang cerdik ini diam-diam membayangkan bagaimana kalau ia menjadi ketua, terikat oleh tugas dan kewajiban. Diam-dim ia merasa ngeri dan alam benaknya telah diaturnya bagaimana agar ia dapat mengatasi hal itu. Iapun sudah mengenal Gouw Kian Sun yang dipanggilnya su-siok, seorang yang setia epada Cin-ling-pai, pandai dan juga bijaksana.
Dan dara inipun tahu bahwa calon ke dua, Tang Cun Sek, adalah orang yang didukung oleh kakeknya, juga mempunyai banyak pendukung di antara para murid Cin-ling-pai, dan biarpun ia sendiri belum membuktikan, ia mendengar bahwa Tang Cun Sek adalah orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Bahkan menurut keterangan kakeknya, pemuda tinggi besar bermuka putih itu memiliki tingkat kepandaian silat yang tidak berada di bawah tingkat ayahnya atau ibunya! Sungguh hal ini sukar untuk dapat dipercayanya. Ayahnya adalah murid dari mendiang Siangkiang Lojin, seorang di antara Delapan Dewa, sedangkan ibunya adalah puteri tunggal Pendekar Sadis, kong-kongnya yang sakti dan neneknya yang juga tidak kalah saktinya! Kalau benar Tang Cun Sek ini memiliki tingkat kepandaian seperti ayahnya atau ibunlya, tentu dia lihai bukan main dan mudah diduga bahwa tingkat kepandaian susioknya, Gouw Kian Sun yang menjadi calon pertama itu tidak akan mampu mengalahkannya. Tentu saja diam-dlam Kui Hong condonlg memilih susioknya yang sudah dikenal benar wataknya. Setelah ia bicara dengan ayah ibunya tentang Tang Cun Sek, ternyata bahwa agaknya ayah ibunya juga tidak begitu setuju kalau orang ini menjadi ketua baru, akan tetapi ayah ibunya juga merasa sungkan terhadap kakeknya.
"Kami sendiri belum pernah membuktikan sampai di mana kelihaiannya," demikian antara lain Cia Hui Song menjawab pertanyaan puterinya tentang Tang Cun Sek. " Akan tetapi ketika dia mohon menjadi murid Cin-ling-pai, sikapnya amat baik dan tidak ada alasan bagiku untuk menolaknya. Dan dia memang berbakat sekali karena semua ilmu silat Cin-ling-pai, yang bagaimana sukarpun, dapat dikuasainya dengan baik. Dan diapun amat tekun belajar, bahkan paling menonjol dalam hal ketekunannya."
"Dan bagaimanapun juga, harus kami akui bahwa sikapnya amat baik. Dia pendiam, tidak banyak cakap, dan tidak banyak ulah, bahkan rajin pula bekerja. Tidak ada alasan bagi kami untuk merasa kecewa atau tidak suka kepadanya."
"Dan agaknya memang ayah amat suka kepada pemuda itu. Entah mengapa kakekmu itu sering memanggilnya, dan bahkan hanya Tang Cun Sek yang diperkenankan memasuki pondoknya, kemudian bahkan mengharuskan murid itu yang melayani kakekmu." kata Hui Song.
"Ayah dan ibu, agaknya kakek sudah condong memilih dia sebagai ketua baru, bahkan kakek pernah mengatakan kepadaku bahwa murid itu patut menjadi jodohku. Hemm, agaknya kakek sudah suka bukan main kepada Tang Cun Sek itu."
Ayah dan ibunya saling pandang dan tersenyum. "Tentang itu, terserah kepadamu, anakku," kata Ceng Sui Cin. "Ayahmu dan aku memang sudah ingin sekali mempunyai mantu dan cucu, akan tetapi tentang jodohmu, kami menyerahkan sepenuhnya kepada pilihanmu. Andaikata kakekmu, ayah dan ibumu sudah menyukai seorang calon suamimu, kalau engkau sendiri tidak suka dan tidak setuju, siapapun tidak akan dapat memaksamu."
Mendengar ucapan ibunya itu, Kui Hong lalu merangkul dan mencium pipi ibunya dengan hati yang girang dan terharu. Ucapan ibunya itu saja sudah menunjukkan betapa besarnya cinta kasih ayah dan ibunya kepadanya. "Terima kasih, ibu. Semoga saja aku akan menemukan seorang jodoh yang akan menyenangkan hati kita semua, termasuk hati kakek pula."
Kini hati Kui Hong merasa tidak enak. Yang diajukan oleh para murid Cin-ling-pai hanya dua orang saja, tiga dengannya. Dan di antara dua orang itu, agaknya Tang Cun Sek yang lebih unggul. Apakah ia harus memperebutkan kedudukan ketua dengan Tang Cun Sek" Pada hal, ia sama sekali tidak ingin menjadi ketua! Membiarkan Tang Cun Sek menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru" Hal inilah yang diragukan, karena ia belum tahu benar bagaimana watak orang baru itu. Bahkan ayah dan ibunyapun belum mengenal wataknya dengan baik. Ia mendekati ibunya dan berbisik.
"Ibu, bagaimana ini" Aku tidak ingin menjadi ketua. Apakah kita harus membiarkan Cun Sek itu menjadi ketua baru" Apakah susiok Gouw Kian Sun mampu mengalahkannya dalam ujian ilmu silat?"
Ibunya juga berbisik kembali kepadanya. "Dengar, Kui Hong. Terus terang saja, aku masih belum percaya kepadanya. Kalau memang dia seorang murid yang baik, tentu dia tidak mengandalkan kepandaian dari luar untuk merebut kemenangan dan menduduki jabatan ketua! Tentu dia akan mengalah dan membiarkan susiokmu Gouw Kian Sun untuk menjadi ketua baru. Maka, lihat saja baik-baik dan kalau perlu engkau harus menjadi penghalang agar dia tidak menjadi ketua dengan jalan kekerasan atau mempergunakan kepandaian silat yang datang dari luar Cin-ling-pai. Mengertikah engkau?"
Kui Hong mengangguk dan pada saat itu terdengar suara kakek Cia Kong Liang, lantang berwibawa, "Apakah hanya tiga orang itu yang dijadikan calon oleh para murid?"
Terdengar para murid Cln-ling-pai menjawab berbareng seperti sarang lebah diusik, semua membenarkan pertanyaan ketua lama itu. Akan tetapi tiba-tiba di antara para tamu, nampak seorang laki-laki bangkit berdiri dari kursinya. Dia seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, dan dia adalah seorang di antara para wakil Bu-tong-pai.
"Maaf, Cia Lo-cian-pwe (orang tua gagah Cia). Bolehkah kami mengajukan pertanyaan karena walaupun bukan anggauta Cin-ling-pai namun kami hadir disini sebagai saksi."
Kakek Cia Kong Liang tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Tentu saja boleh. Silakan!"
"Lo-cian-pwe, apakah yang berhak menjadi calon ketua hanya murid atau anggauta Cin-ling-pai saja" Bagaimana kalau ada orang luar yang hendak masuk menjadi calon dan mehghadapi ujian, ingin menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru?"
Kakek Cia Kong Liang memperlebar senyumnya. "Sungguh aneh pertanyaan itu, orang muda yang gagah. Kurasa tidak ada perkumpulan silat di dunia ini yang akan membolehkan orang luar menjadi ketua mereka. Dan kamipun tidak terkecuali. Tentu saja yang berhak menjadi calon ketua hanyalah seorang murid Cin-ling-pai."
"Maaf, Lo-cian-pwe," kata lagi orang itu. "Sudah bertahun-tahun kami mengenal Cin-Iing-pai, dan banyak murid-murid utama Cin-1ing-pai kami kenal sebagai pendekar-pendekar budiman. Saudara Gouw Kian Sun juga kami kenal sebagai seorang Cin-1ing-pai yang gagah perkasa dan sudah selayaknya kalau dia terpi1ih menjadi calon ketua. Juga nona Cia Kui Hong, sudah sepatutnya pula menjadi calon karena ia adalah seorang puteri Cia Pang-cu. Akan tetapi orang ke tiga yang namanya disebut tadi, Tang Cun Sek, sama seka1i tidak kami kenal. Apakah dia seorang anggota Cin-1ing-pai?"
Mendengar pertanyaan ini, berkerut kening Tang Cun Sek dan hanya Kui Hong, yang agaknya memperhatikan perubahan pada wajahnya. Gadis itu melihat betapa sinar mata Cun Sek seperti mengeluarkan api ditujukan kepada si pembicara.
"Tang Cun Sek memang seorang anggota baru," kata kakek Cia Kong Liang. "Baru empat tahun dia menjadi murid Cin-1ing-pai, maka diapun berhak untuk menjadi calon ketua."
"Empat tahun?" Orang Butong-pai itu berseru heran. "Lo-cian-pwe, bagaimana mungkin seorang murid yang baru empat tahun mempelajari ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, dapat diangkat menjadi ketua" Tentu ilmu silatnya belum ada artinya sama sekali!"
"Tidak biarpun dia baru empat tahun menjadi murid Cin-ling-pai, namun sebelumnya dia telah menguasai banyak macam ilmu silat tinggi. Kalau dia tidak memillki kepandaian tinggi, bagaimana mungkln dia dipilih?" Agaknya kakek itu ingin rnenyudahi percakapan itu, maka diapun segera berseru dengan suara lantang, "Tiga orang calon yang terpilih supaya maju dan naik ke atas panggung!"
Yang muncul lebih dahulu adalah Tang Cun Sek. Karena seperti para murid Cin-ling-pai lainnya diapun berdiri di bawah panggung maka kini dia meloncat ke atas panggung yang tingginya sekepala orang itu. Agaknya dia memang hendak memperlihatkan kepandaiannya karena ketika dia meloncat, seperti terbang saja tubuhnya melayang naik jauh lebih tinggi dari panggung itu, berjungkir balik tiga kali sebelum dia turun ke atas panggung.
Agaknya untuk minta maaf atas perbuatannya yang seperti memamerkan kepandaian ini, begitu kedua kakinya turun, dia langsung menjatuhkan diri berlutut di depan kakek Cia Kong Liang, memberi hormat kepada kakek yang terhitung kakek gurunya itu.
Cia Kong Liang memandang dengan wajah berseri, "Cun Sek, bangkitlah dan berdirilah di tengah panggung agar dikenal oleh semua tamu."
Akan tetapi Cun Sek tidak segera bangkit berdiri, melainkan cepat memberi hormat kepada Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin yang disebutnya suhu dan subo. Barulah dia bangkit dan mundur sampai ke tengah panggung, kemudian membalik dan menghadap ke arah para tamu sambil menjura dan bersoja (memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap depan dada). Para murid yang menjagoinya bertepuk tangan menyambut kehadiran orang muda tinggi besar ini. Para tamu yang melihat seorang pemuda berusia tiga puluh tahunan, bertubuh tinggi besar bermuka putih, tampan dan gagah, matanya mencorong, diam-diam memandang kagum.
Sementara itu, Gouw Kian Sun juga meloncat ke atas panggung, meloncat biasa saja lalu menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada suhu dan suhengnya. Berbareng dengan itu, Kui Hong juga melangkah maju, berlutut di dekat susioknya.
"Suhu dan suheng. Sesungguhnya, teecu tidak berani maju dengan lancang untuk menjadi calon ketua, akan tetapi teecu didorong oleh para anggauta Cin-ling-pai yang memilih teecu."
Kui Hong yang berlutut di sampingnya cepat berkata, cukup keras untuk didengar semua orang, "Susiok, mengapa begitu" Engkaulah satu-satunya orang yang tepat untuk menggantikan ayah kalau ayah mengundurkan diri!"
"Kian Sun! Kui Hong, bangkitlah dan berdiri di tengah panggung untuk memperkenalkan diri kepada para tamu!" terdengar kakek Cia Kong Liang berseru dengan suara nyaring.
Kian Sun dan Kui Hong bangkit dan berdiri di tengah panggung seperti yang dilakukan Cun Sek, dan para murid Cin-ling-pai yang me:ndukung mereka menyambut dengan tepuk tangan dan sorak sorai.
Kembali terdengar suara kakek Cia Kong Liang yang menyuruh tiga orang calon yang terpilih itu untuk duduk dan dengan lantang dia memberitahu kepada para tamu dan para murid Cin-ling-pai bahwa kini akan dimulai pemilihan ketua baru. Pertama-tama, ketiga orang calon itu diharuskan memperlihatkan keahlian mereka dalam Ilmu Silat Cin-ling-pai untuk dinilai. Para penilainya, selain kakek Cia Kong. Liang sendiri, juga Cia Hui Song sebagai pangcu, dan tujuh orang murid tertua yang menjadi suheng dan sute ketua.
"Calon ketua Tang Cun Sek, perlihatkan kemampuanmu!" terdengar kakek Cia Kong Liang berseru. Pemuda tinggi besar itu bangkit berdiri, berjalan ke tengah panggung, memberi hormat ke arah kakek itu bersama para wasit, kemudian menjura ke arah para tamu dan mulailah dia bersilat. Dia menggerakkan tubuhnya dan memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, sebuah di antara ilmu-ilmu silat yang ampuh dari Cin-ling-pai. Ilmu ini memang indah sekali, dan kini dimainkan dengan gerakan sempurna, juga dengan pengerahan tenaga sakti yang membuat setiap gerakan tangan atau kaki pemuda itu mengeluarkan suara angin mencuit, dan terasa oleh para tamu betapa ada angin menyambar-nyambar dari arah panggung. Diam-diam Kui Hong sendiri terkejut bukan main karena ia dapat pula merasakan sambaran angin itu dan tahulah gadis ini bahwa Tang Cun Sek memang seorang yang amat tangguh! Ia mengikuti semua gerakan pemuda itu dan biarpun permainan Silat Thai-kek Sin-kun itu amat hebat, namun ia masih dapat melihat suatu kekakuan atau ketidakwajaran, menunjukkan bahwa ilmu silat itu sudah "berbau" ilmu silat lain yang menjadi dasar gerakan pemuda itu. Hanya dalam pandangan mata seorang ahli sajalah hal ini akan dapat nampak. Ia tahu bahwa para wasit yang terdiri dari kakeknya, ayahnya dan para supek dan susioknya, yang kesemuanya adalah ahli-ahli Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, tentu akan dapat melihatnya pula. Hanya saja, kenyataan ini dapat menimbulkan dua macam tanggapan, pertama adalah tanggapan bahwa Thai-kek Sin-kun yang dimainkan pemuda itu menjadi bertambah indah dan ampuh. Dan diam-diam Kui Hong harus mengakui bahwa ilmu silat Thai-kek Sin-kun yang dimainkan pemuda itu memang hebat sekali, biarpun ia sendiri tidak melihat kemajuan dalam segi keindahannya karena "berbau" dasar ilmu silat lain, namun gerakannya cepat dan mengandung angin pukulan yang hebat. Pemuda ini akan menjadi lawan yang amat tangguh, pikirnya dan kini dia percaya akan keterangan kong-kongnya bahwa Cun Sek ini memiliki tingkat kepandaian yang sebanding dengan ayah dan ibunya. Harus diakuinya sendiri bahwa andaikata ia belum digembleng secara keras oleh kakeknya dan neneknya di Pulau Teratai Merah, ia sendiri bukanlah tandingan anggota baru Cin-ling-pai ini.
Tiba-tiba Cun Sek merubah ilmu silatnya dan dia kini memainkan ilmu silat Thian-te Sin-ciang, satu di antara ilmu silat yang amat tangguh dari perguruan Cin-ling-pai. Seperti juga Thai-kek Sin-kun tadi, ilmu inipun dalam pandangan Kui Hong berbau gerakan ilmu asing walaupun harus diakuinya bahwa gerakan-gerakan pemuda itu cepat sekali dan semua pukulannya mengandung tenaga yang kadang bertentangan, ciri khas ilmu silat Thian-te Sin-kun, tenaganya kadang keras kadang lunak.
Berturut-turut, Cun Sek memainkan sebagian dari ilmu-ilmu silat yang lain seperti San-in Kun-hwat, dan bahkan Im-yang Sin-kun yang merupakan ilmu simpanan dari ketua lama Cia Kong Liang. Kini mengertilah Cia Hui Song dan isterinya bahwa diam-diam ayahnya telah mendidik pemuda itu dengan ilmu silat simpanan ini. Bukan itu saja, bahkan yang terakhir, pemuda itu menghunus sebatang pedang. Semua orang merasa silau ketika ada sinar emas berkilat dan pemuda itu sudah memainkan ilmu pedang Siang-bhok-kiam-sut, ilmu pedang yang paling rahasia dari Cin-ling-pai dan yang hanya diajarkan kepada murid-murid tingkat tertinggi saja! Dan pedang yang dipergunakan itu bukan lain adalah Hong-cu-kiam, pedang yang dapat digulung, pedang pusaka milik kakek Cia Kong Liang. Kembali Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, saling pandang dan mereka mengerti bahwa pemuda ini benar-benar telah dipilih oleh ayah mereka. Tentu kakek itu yang mengajarkan ilmu pedang itu dan memberikan pedang Hong-cu-kiam pula!
Kui Hong sendiri merasa betapa perutnya panas. Ia adalah cucu tunggal dari kong-kongnya sebelum adik tirinya, Cia Kui Bu, terlahir. Dan kong-kongnya itu tidak pernah meminjamkan pedang pusaka itu kepadanya! Sekarang, tahu-tahu kakeknya telah memberikan atau meminjamkan pedang itu kepada pemuda ini. Dan kembali ia mengerutkan alisnya, maklum benar betapa tangguhnya pemuda ini dengan pedang pusaka Hong-cu-kiam itu. Semua tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh dunia persilatan, mengangguk-angguk dan kagum ketika melihat betapa sinar emas itu bergulung-gulung mengelilingi tubuh pemuda itu yang telah lenyap ditelan gulungan sinar emas! Tiba-tiba sinar itu lenyap dan nampaklah pemuda yang gagah itu berdiri tegak dengan pedang telah melingkari pinggangnya, memberi hormat ke empat penjuru dan disambut sorak sorai dan tepuk tangan dari para pendukungnya, juga dari sebagian para tamu yang merasa kagum. Pemuda itu dengan anggunnya lalu berlutut memberi hormat kepada Cia Kong Liang, kemudian kepada Cia Hui Song dan isterinya, baru dia mundur di tepi panggung dan duduk bersila dengan sikap sopan. Tang Cun Sek memang seorang pemuda yang pandai membawa diri. Orangnya gagah, dengan wajah tampan ganteng berkulit putih, tubuhnya tinggi besar sehingga pantaslah dia menjadi seorang pendekar.
Kakek Cia Kong Liang nampak gembira melihat sambutan semua orang terhadap pemuda yang disukanya itu. Dia menyukai Cun Sek memang, dan hal ini tidak dapat disalahkan. Memang pemuda itu pandai sekali mengambil hati, bukan dengan menjilat-jilat, melainkan dengan sikapnya yang amat sopan dan baik. Belum pernah selama menjadi murid Cin-ling-pai dia memperlihatkan sikap yang tercela. Selain tampan dan gagah, juga dia pantas menjadi murid kebanggaan Cin-ling-pai, dan menurut penglihatan Cia Kong Liang pemuda itu pantas pula menjadi cucu mantunya, menjadi suami Cia Kui Hong! Karena itulah maka selama ini dia sendiri menggembleng pemuda itu dengan ilmu-ilmu silat simpanannya, bahkan menyerahkan pedang pusakanya Hong-cu-kiam kepadanya. Bukankah pemuda itu calon ketua Cin-ling-pai dan calon cucu mantunya" Sudah sepatutnya mewarisi pedang pusakanya itu.
"Sekarang calon ketua Gouw Kian Sun, perlihatkan kemampuanmu!" terdengar kakek ini berkata. Gouw Kian Sun adalah muridnya sendiri, murid Cin-ling-pai yang paling pandai tentu saja tanpa memperhitungkan Cun Sek.
Gouw Kian Sun maju, memberi hormat kepada Cia Kong Liang sebagai gurunya, kemudian kepada Cia Hui Song dan isterinya sebagai suheng dan juga ketua Cin-ling-pai, dan dengan sikap tenang diapun lalu melangkah ke tengah panggung. Setelah memberi hormat kepada para penonton, diapun mulai bersilat.
Seperti juga yang dipertontonkan oleh Tang Cun Sek tadi,ia memainkan semua ilmu silat Cin-ling-pai walaupun tidak semua jurus dikeluarkan, hanya dipilih jurus-jurus yang paling baik saja. Permainannya mantap dan menunjukkan kemahiran dan kematangan. Walaupun kecepatannya tidak seperti yang dipertontonkan Cun Sek tadi, juga sambaran angin pukulannya tidak sedahsyat pemuda tadi, namun semua yang ahli dalam ilmu silat Cin-ling-pai maklum bahwa inilah ilmu silat Cin-ling-pai yang aseli. Di sudut hatinya, kakek Cia Kong Liang sendiri harus mengakui bahwa permainan silat Gouw Kian Sun itu memang sudah mendekati kesempurnaan, gerakan-gerakannya mantap dan matang dan dia bukan tidak tahu bahwa gerakan silat Cun Sek tadi berbau percampuran gerakan silat asing. Namun karena dia condong untuk memilih Cun Sek yang dipercayanya akan mampu memimpin Cin-ling-pai dengan baik dan memajukan perkumpulan itu, maka diapun memberi nilai lebih tinggi kepada pemuda itu.
Berbeda dengan Tang Cun Sek yang tadi menutup demonstrasi silatnya dengan permainan Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum), kini Gouw Kian Sun menutup permainannya dengan permainan tongkat pasangan yang disebut Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga). Dalam ilmu menggunakan senjata inipun gerakan Kian Sun mantap dan jelas dia merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Cia Hui Song sendiri diam-diam memuji kemajuan sutenya ini. Ketika pria berumur empat puluh tahun itu berhenti bersilat, para pendukungnya bertepuk tangan memuji, termasuk Kui Hong yang bertepuk tangan paling keras dan panjang! Secara terang-terangan gadis ini mendukung susioknya itu.
Akan tetapi, suara kong-kongnya sudah menyebut namanya dan dia diharuskan memperlihatkan kemampuannya bersilat sebagai seorang di antara tiga orang calon ketua yang dipilih oleh para anggota Cin-ling-pai.
"Kong-kong, haruskah aku maju pula" Bukankah sudah jelas bahwa ilmu silat susiok tadi jauh lebih baik dan aseli" Susiok Gouw Kian Sun yang paling cocok dan tepat untuk menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru menggantikan ayah kalau ayah mengundurkan diri!" Suaranya lantang didengar semua orang dan kakeknya mengerutkan kening.
"Cia Kui Hong," kakeknya berkata dengan suara yang lantang pula. "Menurut pemilihan para anggota, setiap calon harus maju dan memperlihatkan kemampuannya. Setelah itu baru diadakan pertandingan untuk menentukan siapa di antara para calon yang paling pandai sehingga tepat untuk menjadi ketua yang baru. Nah, perlihatkanlah kemampuanmu!"
Kui Hong menghela napas panjang. Ia sudah mengenal watak kakeknya. Keras hati. Kakeknya ini sudah menganggap bahwa Tang Cun Sek yang paling tepat untuk menjadi ketua karena memang dianggapnya paling baik. Dan agaknya kakeknya sudah demikian yakin akan kemenangan Tang Cun Sek! Tidak, ia yang akan menentangnya, bukan menentang kehendak kakeknya, melainkan menggagalkan pemuda itu menjadi ketua Cin-ling-pai! Kalau perlu, ia sendiri akan turun tangan dan menjadi pengganti ayahnya! Tentu saja ia harus mampu mengalahkan Tang Cun Sek dan ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya karena ia maklum betapa lihainya pemuda pilihan kakeknya itu. Kalau pemuda itu berhasil memenangkan pemilihan ketua dan menjadi ketua baru, tentu kakeknya akan melanjutkan niatnya menjodohkan pemuda itu dengannya. Memang harus ia akui bahwa Cun Sek seorang pemuda yang tampan, gagah dan pandai ilmu silatnya, baik pula sikapnya. Akan tetapi entah mengapa, ada sesuatu pada diri pemuda itu yang tidak disukainya. Ia sendiri tidak mengerti mengapa dan apa sesuatu itu gerangan.
Ketika Kui Hong bangkit dan berjalan ke tengah panggung, para pendukungnya menyambutnya dengan tepuk tangan yangmeriah. Juga para tamu banyak yang bertepuk tangan, terutama sekali para undangan. Memang Kui Hong kelihatan cantik bukan main. Ia mengenakan celana biru dan baju merah muda, dengan sabuk berwarna kuning keemasan. Rambutnya digelung ke atas dan dihias tusuk sanggul dari emas berbentuk burung Hong dengan mata intan. Mulutnya tersenyum manis sekali, matanya tajam bersinar. Gadis berusia sembilan belas tahun ini bagaikan kembang sedang mekar semerbak mengharum. Bukan hanya nampak cantik jelita, akan tetapi juga gagah sekali. Ketika ia memberi hormat kepada para tamu, semua orang tersenyum dan yang tua mengangguk-angguk, yang muda bertepuk tangan. Sepasang mata Cun Sek juga menyinarkan api penuh kagum, dan diam-diam dia membayangkan betapa akan senangnya kalau dia dapat menjadi ketua Cin-ling-pai dengan gadis jelita itu duduk di sampingnya sebagai isterinya!
Sambil mengamati gadis yang sejak kepulangannya ke Cin-ling-pai telah membuatnya tergila-gila itu, Tang Cun Sek mengenang keadaan dirinya dan riwayatnya sendiri. Dia tidak pernah mengenal ayah kandungnya sendiri. Ketika dia sudah dapat mulai berpikir, dia mengajukan pertanyaan kepada ibunya mengapa dia memiliki she (nama keturunan) Tang, pada hal "ayahnya" seorang hartawan she Thio. Ibunya dengan terus terang menceritakan bahwa ketika ibunya menikah dengan hartawan Thio, ia telah menjadi seorang janda yang masih amat muda, baru berusia dua puluh tahun, sedangkan Cun Sek berusia tiga tahun. Ibunya melahirkan ketika berusia tujuh belas tahun, masih muda sekali. Mengenai ayah kandungnya, dengan sepasang alis berkerut ibunya bercerita begini:
"Ayah kandungmu seorang she Tang. Namanya aku tidak tahu karena dia tidak pernah mengaku, akan tetapi dia seorang yang sakti, dan dia memperkenalkan julukannya sebagai Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) dan akupun bukan isterinya. Dia". dia memaksaku dengan ancaman mati sehingga aku terpaksa melayaninya. Selama tiga bulan dia sering datang ke kamarku di malam hari dan setelah aku mengandung, diapun meninggalkan aku, dan hanya meninggalkan benda ini agar kelak engkau mengenalnya. Inilah benda itu," demikian cerita ibunya sambil menyerahkan sebuah benda kecil yang selalu disimpan olehnya secara rahasia dan tak pernah terpisah dari tubuhnya. Benda itu sebuah mainan berbentuk seekor kumbang merah terbuat dari emas dan permata. Hanya itulah yang diketahuinya tentang ayah kandungnya.
"Orangnya tampan sekali, dan pandai merayu, tubuhnya sedang, akan tetapi dia seperti iblis, datang dan pergi seperti pandai menghilang saja," demikian kata ibu kandungnya.
Sejak berusia tiga tahun, dia hidup di rumah gedung Thio Wan-gwe. (Hartawan Thio) yang dipanggilnya ayah karena memang merupakan ayah tirinya. Agaknya ayah tirinya tidak mau mengakuinya sebagai anak sendiri, sehingga ibunya terpaksa memberinya nama keturunan Tang, yaitu nama keturunan jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita) yang juga she Tang.
Sebagai putera keluarga kaya raya, walaupun hanya anak angkat, dia hidup serba kecukupan, mewah dan dimanja. Namun, sejak kecil Cun Sek memiliki kecerdikan yang lebih dari anak-anak biasa. Dia mempelajari kesusasteraan dengan amat tekun, akan tetapi setelah berusia sepuluh tahun, dia mempergunakan banyak uang yang diperoleh dari ibunya untuk belajar ilmu silat! Diam-diam dia menanam bibit dendam kebencian kepada orang yang oleh ibunya disebut Ang-hong-cu, ayah kandungnya sendiri karena orang itu setelah memperkosa ibunya dan ibunya mengandung dia, lalu meninggalkan ibunya begitu saja! Karena ibunya selalu menuruti permintaannya, dan Cun Sek menghamburkan banyak sekali uang, dia dapat mempelajari banyak macam ilmu silat dan dia memang berbakat sekali sehingga dia dapat menguasai bermacam ilmu silat.
Akan tetapi, ada suatu kelemahan dalam diri pemuda yang cerdik dan berbakat, juga penuh semangat ini. Semenjak berusia enam belas tahun, dia sudah mulai memperhatikan wanita. Bukan sekedar memperhatikan, bahkan dia mulai terangsang kalau bertemu wanita cantik. Ayah tirinya mempunyai lima orang selir dan di antara mereka, ada dua orang selir yang masih amat muda, berusia delapan belas tahun. Dua orang selir ini mulai bermain mata dengan Cun Sek yang berusia enam belas tahun. Hal yang sukar untuk dihindarkanpun terjadilah! Cun Sek dan dua orang selir muda itu mulai bermain cinta. Dua orang selir itu yang menjadi "guru" Cun Sek dan membuat dia seolah-olah seekor kuda yang terlepas dari kendali, menjadi liar dan menjadi seorang pengumbar nafsu yang tidak ketulungan lagi!
Akhirnya, persaingan dan kebencian antara selir membuat hubungan itu diketahui oleh Thio Wan-gwe yang mendapat bisikan dari selir yang lain. Dan Cun Sek tertangkap basah! Ayah tirinya marah sekali dan Cun Sek diusirnya!
Pemuda inipun memiliki harga diri yang tinggi. Merasa bahwa dia memang bukan anak kandung hartawan itu, maka diapun pergi sambil membawa banyak sekali emas permata yang diperoleh dari ibunya yang memanjakannya. Mulailah Tang Cun Sek bertualang, bebas seperti seekor burung di udara! Dengan hartanya yang banyak, dia mencari guru demi guru silat yang pandai, mempelajari pelbagai llmu silat, baik dari golongan putih maupun dari gerombolan hitam. Disamping itu, diapun mengumbar nafsunya, berkecimpung dalam dunia kesenangan bersama wanita-wanita pelacur. Dan diapun menjadi seorang kongcu hidung belang yang kaya raya dan yang menghambur-hamburkan uang untuk dilayani para wanita cantik dan menerima pelajaran silat dari guru-guru yang pandai.
Akhirnya diapun mulai bosan dengan pergaulannya dalam dunia pelacuran itu dan melanjutkan kehausannya akan ilmu silat sampai dia pergi mengunjungi guru-guru yang pandai di puncak-puncak gunung, mengangkat guru kepada siapa saja yang dia anggap memiliki kepandaian tinggi. Tang Cun Sek, berkat pengetahuannya yang luas melalui bacaan, pandai membawa diri dan banyak sudah orang-orang pandai dunia persilatan menganggap dia sebagai seorang calon pendekar budiman maka merekapun tidak segan untuk mengajarkan ilmu silat mereka kepada pemuda ini. Bahkan, ketika mendengar tentang Cin-ling-pai, Tang Cun Sek dalam usia dua puluh enam tahun datang menghadap pimpinan Cin-ling-pai untuk menjadi murid perkumpulan silat yang besar dan terkenal itu.
Demikianlah riwayat yang dikenang kembali oleh Tang Cun Sek ketika dia mengamati gadis cantik di panggung itu. Tentu saja dia menyimpan riwayat ini sebagai rahasia pribadinya. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Tang Cun Sek seorang pemuda yatim piatu yang suka mempelajari ilmu silat tinggi, dan karena sikapnya memang amat baik, sopan dan halus, pandai membawa diri, pandai menyenangkan hati orang lain melalui sikap dan tutur sapanya, diapun diterima menjadi anggauta Cin-ling-pai dan ikut mempelajari ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai. Demikian pandainya dia menyenangkan hati orang sehingga kakek Cia Kong Liang sendiri sampai terpikat dan berkenan mengajarkan ilmu-ilmu simpanan Cin-ling-pai kepada pemuda ini.
Kini Kui Hong sudah mulai bersilat. Seperti dua orang calon sebelumnya, Kui Hong juga memainkan ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai. Ia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya karena ia ingin melebihi Cun Sek dalam segala-galanya! Dalam hal ilmu silat Cin-ling-pai, tentu saja sebagai keturunan ketua Cin-ling-pai, ia sudah menguasai semua ilmu dengan baik. Akan tetapi dibandingkan dengan Gouw Kian Sun, ia tentu saja kalah matang karena susioknya itu sudah menguasai ilmu-ilmu itu selama puluhan tahun, dan terutama sekali karena setiap hari Gouw Kian Sun mempraktekkannya untuk melatih para murid Cin-ling-pai. Akan tetapi, karena gadis ini baru saja langsung digembleng oleh kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, maka ia memperoleh kemajuan hebat dalam hal sin-kang dan gin-kang sehingga gerakan tubuhnya bagaikan kilat menyambar-nyambar. Kecepatan gerakannya melebihi kecepatan Cun Sek dan hal ini memang disengaja oleh Kui Hong untuk mengurangi kesan baik yang diperoleh Cun Sek dalam pameran silatnya tadi. Tubuh gadis ini sukar diikuti pandangan mata. Tubuhnya berkelebat-kelebat menjadi bayangan warna-warni, merah biru, kuning dan angin menyambar-nyambar ke semua penjuru karena dorongan tangan dan tendangan kakinya. Para penonton sampai terpesona karena memang apa yang diperlihatkan Kui Hong itu amat indah dan amat hebat pula. Cun Sek sendiri terpesona dan dia semakin tergila-gila kepada gadis itu.
Setelah memainkan beberapa macam ilmu silat Cin-ling-pai. Kui Hong lalu mencabut sepasang pedang pemberian neneknya, yaitu Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang berwarna hitam sehingga nampak dua gulung sinar hitam. Dan gadis ini segera memainkan kedua pedangnya itu dengan ilmu pedang Hok-mo Siang-kiamsut yang dipelajarinya dari neneknya! Bukan main hebatnya ilmu pedang ini. Terdengar suara mengaung-ngaung tinggi rendah dan diseling suara berdesing-desing dan yang nampak hanyalah dua gulungan sinar hitam yang menyeramkan dan dahsyat sekali. Tidak aneh karena ilmu pedang ini adalah ilmu dari nenek gadis itu yang bernama Toan Kim Hong. Di waktu mudanya, Toan Kim Hong ini sudah terkenal dengan menyamar sebagai seorang nenek berjuluk Lam Sin, termasuk seorang di antara tokoh-tokoh dan para datuk aneh di empat penjuru dunia!
Semua murid Cin-ling-pai memandang bingung. Permainan sepasang pedang itu tidak mereka kenal sama sekali! Biarpun amat hebat, namun jelas bukan ilmu silat Cin-ling-pai, maka mereka saling pandang dengan heran walaupun mereka merasa kagum sekali. Baru dimainkan sendirian saja sudah dapat dilihat jelas betapa ampuh dan kuatnya ilmu sepasang pedang itu, membuat orang merasa jerih. Setelah selesai bersilat pedang pasangan dan memberi hormat kepada penonton, semua tamu bertepuk tangan memuji. Banyak di antara tamu yang tidak hafal akan ilmu-ilmu Cin-ling-pai dan mengira bahwa ilmu bermain sepasang pedang itupun merupakan ilmu dari Cin-ling-pai. Melihat sambutan meriah yang diberikan para tamu kepada cucunya, Cia Kong Liang menggapai dan memanggil cucunya itu. Setelah Kui Hong duduk di dekatnya, dia menegur.
"Kui Hong, kalau tidak salah, engkau memainkan ilmu pedang dari nenekmu di Pulau Teratai Merah! Itu bukan ilmu dati Cin-ling-pai!" Teguran itu mengandung nada yang tidak senang. Memang sejak dahulu tokoh Cin-ling-pai ini tidak begitu suka kepada Pendekar Sadis dan isterinya, terutama isteri Pendekar Sadis yang tadinya seorang datuk sesat!
Akan tetapi Kui Hong adalah seorang gadis yang keras hati pula, dan ia tidak akan mengalah terhadap siapapun juga kalau merasa bahwa ia benar. Mendengar teguran kong-kongnya itu, iapun berkata, walaupun suaranya lirih, namun tegas.
"Kong-kong, siapapun tahu bahwa permainan Tang Cun Sek tadi tidak asli dan berbau ilmu silat dari luar, akan tetapi kong-kong tidak menegur atau mencelanya. Aku sengaja memperlihatkan Hok-mo Siang-kiam agar dia tahu bahwa akupun mempunyai ilmu lain di luar ilmu-ilmu Cin-ling-pai aseli."
Kakek itu mengenal watak cucunya ini, maka dia menghela napas panjang, lalu berkata lantang, "Tiga orang calon ketua sudah memperlihatkan kepandaian masing-masjng! Ternyata ketiganya memiliki tingkat yang sudah tinggi dan matang dalam ilmu-iimu silat Cin-ling-pai. Oleh karena itu, untuk menentukan siapa yang paling pandai di antara mereka, akan diadakan pertandingan antara mereka. Pertama kali akan berhadapan calon pertama dan ke dua, yaitu Tang Cun Sek dan Gouw Kian Sun!"
Dua orang itu memberi hormat lalu menuju ke tengah panggung. Sebelum pemilihan itu dimulai, mereka sudah menerima petunjuk dari ketua Cin-ling-pai bahwa pertandingan itu diadakan menurut pilihan kedua calon yang berhadapan, dengan tangan kosong ataukah dengan senjata. Dan mengingat bahwa semua calon adalah anggota keluarga perguruan sendiri, maka tentu saja mereka harus dapat menjaga agar jangan sampai melukai lawan dengan parah, apa lagi sampai membunuhnya. Pertandingan macam ini membutuhkan keahlian dan kemampuan yang mendalam, yaitu mengenai sasaran tanpa mendatangkan luka parah.
Dengan sikapnya yang memang selalu menyenangkan, Tang Cun Sek memberi hormat kepada lawannya yang terhitung susioknya sendiri, bahkan susiok ini pula yang lebih banyak membimbingnya dalam latihan ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai, kemudian berkata, "Susiok, maafkan kalau hari ini teecu memberanikan diri menjadi calon lawan susiok karena terpaksa dipilih sebagai calon. Teecu menyerahkan kepada susiok cara apa yang susiok pilih." Ucapan ini memang halus dan sopan, namun tidak urung mengandung nada menantang dan bahkan memandang rendah kepada sang paman guru sehingga pemuda itu bersikap mengalah dan mempersilakan susiok itu memilih cara pertandingan. Dia seolah-olah hendak melayani saja.
Gouw Kian Sun memandang tajam, lalu menarik napas. Diapun bukan seorang bodoh. Dia tahu bahwa suhunya, ketua lama, condong berpihak dan memilih pemuda ini, dan diapun tahu bahwa pemuda ini, sebelum menjadi murid Cin-ling-pai, telah memiliki ilmu silat yang tinggi. Biarpun pada mulanya dja menaruh curiga dan tidak mengerti mengapa pemuda yang sudah pandai ini mau menjadi murid Cin-ling-pai, akan tetapi melihat betapa suhunya menyayang pemuda ini, diapun menghilangkan kecurigaannya.
"Cun Sek, kita adalah orang sendiri, tidak perlu mempergunakan senjata. Engkau ataupun aku yang menjadi ketua, apa bedanya" Mari kita mulai, dengan tangan kosong saja."
"Tahan dulu!" Tiba-tiba Cia Kong Liang berseru keras dan dia menyuruh seorang murid Cin-ling-pai mengambil dua batang mouw-pit (pena bulu) dan tinta bak. Kemudian dia berkata kepada dua orang calon ketua itu. "Agar lebih mudah menentukan siapa pemenangnya, kalian pergunakanlah mouw-pit yang sudah dicelup tinta untuk saling serang. Pada akhir pertandingan, siapa yang lebih banyak terkena goresan atau totokan hitam pada pakaiannya, dia yang kalah."
Baik Cun Sek maupun Gouw Kian Sun menerima baik perintah ini, apa lagi memang tidak akan enak terasa dalam hati kalau sampai mereka saling melukai. Betapapun pandainya mereka, kalau sampai terjadi pertandingan yang seimbang baik kekuatan maupun kemahiran ilmunya, bukan tidak mungkin mereka takkan mampu mengendalikan diri dan kesalahan tangan melukai lawan. Dengan mouw-pit mereka dapat menotok atau mencoret pada bagian tubuh yang tertutup pakaian, biarpun tidak menotok keras, cukup kalau sudah menodai bagian pakaian itu sebagai bukti bahwa mereka berhasil saling melukai.
Pertandingan itupun dimulai. Karena mouw-pit itu hanya sejengkal panjangnya, dan dijepit di antara jari tangan yang terkepal, maka pertandingan itu lebih menyerupai pertandingan tangan kosong. Mereka berdua kini berhadapan, kedua tangan terkepal dan menjepit mouw-pit di masing-masing tangan, memasang kuda-kuda yang sama, yaitu kuda-kuda dari ilmu silat Thian-te Sin-ciang.
"Silakan, susiok!" kata Cun Sek. Ucapan ini juga nampaknya saja dia menghormati susioknya agar menyerang lebih dahulu, padahal mereka berdua sama tahu bahwa dalam hal pertandingan semacam ini, seperti halnya latihan saja karena masing-masing mempergunakan ilmu silat yang sama, siapa menyerang lebih dahulu memiliki titik kelemahan.
Gouw Kian Sun mengeluarkan seruan keras sebagai isarat penyerangannya dan Cun Sek mengelak sambil membalas dan mulailah keduanya serang menyerang mempergunakan ilmu silat Thian-te Sin-ciang. Mereka bertanding dengan pengerahan tenaga dan kepandaian sehingga nampak seru sekali. Mereka saling serang dan mengganti ilmu-ilmu silat mereka. Bagi para ahti silat Cin-ling-pai, nampak betapa setiap kali lawannya mendesak dan dia berada dalam ancaman pukulan atau lebih tepat colekan mouw-pit, Cun Sek tidak segan-segan untuk mempergunakan suatu gerakan yang menyimpang atau bukan gerakan ilmu silat Cin-ling-pai. Suatu gerakan reflek untuk menghindarkan diri dari serangan dan dalam gerakan ini, secara otomatis ilmu yang lain dari ilmu-ilmu Cin-ling-pai yang dikuasainya keluar! Akan tetapi demikian cepat gerakan kedua orang jagoan ini sehingga kalau bukan ahli silat Cin-ling-pai, hal ini tidak akan nampak. Bahkan para murid Cin-ling-pai yang beJum mencapai tingkat tertinggi juga tidak dapat membedakannya. Hanya Cia Kong Liang, Cia Hui Song, Ceng Sui Cin, Cia Kui Hong, dan beberapa orang murid kepala saja yang dapat mengetahuinya.
Seperti telah ditentukan dalam peraturan adu kepandaian itu, setelah sebatang hio (dupa biting) yang pada awal pertandingan tadi dinyalakan kini habis terbakar, pertandingan dihentikan dan para wasit menghitung jumlah noda yang terdapat di pakaian masing-masing. Tentu saja dengan mudah dapat dilihat bahwa pada pakaian Gouw Kian Sun lebih banyak terdapat noda dan coretan. Hal ini berarti bahwa dia telah kalah. Diam-diam Gouw Kian Sun mengerutkan alisnya. Mulailah dia merasa tidak suka kepada Cun Sek, bukan karena iri, bukan karena dia dinyatakan kalah, melainkan dia melihat betapa murid keponakan itu ternyata seorang yang amat curang dan licik. Dia tadi melihat Cun Sek banyak mempergunakan jurus ilmu silat lain yang dibaurkan dengan jurus ilmu silat Cin-ling-pai, dan bukan itu saja kelicikan pemuda itu. Juga dia tadi melihat betapa setiap menyerangnya, pemuda itu menggerak-gerakkan kedua mouw-pitnya sedemikian rupa sehingga tinta bak dari ujung bulu pena itu memercik dan menodai pakaiannya! Percikan yang membuat noda pada pakaiannya itu bukan seluruhnya disebabkan tepatnya serangan kedua mouw-pit di tangan Cun Sek, melainkan sebagian besar karena percikan itulah. Dari hal ini saja dapat diketahui betapa curangnya pemuda itu. Tentu saja dalam pengumpulan noda pada pakaian lawan, Cun Sek memperoleh kemenangan yang banyak.
Dengan sikap gembira, kakek Cia Kong Liang mengumumkan bahwa pemenangnya adalah Tang Cun Sek, calon ketua nomor satu dan kini akan diadakan pertandingan antara calon nomor satu dan calon nomor tiga. Untuk itu, Cun Sek diharuskan berganti pakaian yang bersih, karena pakaiannya sudah berlepotan noda hitam.
Sementara menanti calon lawannya berganti pakaian, kesempatan itu dipergunakan oleh Kui Hong untuk mendekati kong-kongnya. Ia tahu bahwa kalau Tang Cun Sek sampai dapat menjadi calon ketua yang memperoleh banyak pendukung, bahkan kini mampu mengalahkan Gouw Kian Sun, hal itu adalah karena dukungan kakeknya ini.
"Kong-kong," bisiknya dan hanya kakeknya seorang yang dapat mendengarnya. "Kenapa kong-kong membolehkan Cun Sek itu melakukan kecurangan" Dia menggunakan banyak jurus di luar ilmu silat Cin-ling-pai ketika melawan susiok Gouw Kian Sun, bahkan dia menodai pakaian Gouw-susiok dengan percikan-percikan dari mouw-pitnya."
Kakeknya memandang kepadanya dan menjawab dalam bisikan pula. "Kui Hong, hal itu menunjukkan kecerdikannya. Dialah yang paling tepat untuk memimpin perkumpulan kita, dapat menambah ragamnya ilmu silat kita. Kiranya engkau tidak perlu lagi maju, cucuku. Untuk apa seorang wanita menjadi ketua" Kalau engkau menjadi isterinya, itu baru tepat."
Kui Hong tidak menjawab, melainkan menjauhkan diri dari kakeknya dengan muka cemberut. Sialan, pikirnya. Kakeknya sudah benar-benar dipengaruhi oleh Tang Cun Sek sehingga sudah bertekad bulat untuk mendukung pemuda itu menjadi ketua Cin-ling-pai. Bukan itu saja, malah agaknya bertekad untuk menjodohkan pemuda itu dengannya. la segera melakukan persiapan untuk bertanding melawan pemuda yang cerdik itu. Kecerdikan harus dihadapidengan kecerdikan, kelicikan harus dilawan dengan kelicikan pula, pikir gadis yang cerdik ini.
Tidak lama kemudian, dua orang muda itu sudah berada di tengah panggung, saling berhadapan. Kalau Tang Cun Sek berdiri dengan gagahnya, dengan pakaian baru yang bersih, berwarna serba hijau, warna kesukaan pemuda ini, dengan kedua tangan memegang sebatang mouw-pit yang sudah dibasahi bulu-bulunya dengan tinta bak, Kui Hong berdiri tegak dengan senyum mengejek dan hanya tangan kanannya saja yang memegang sebatang mouw-pit, sedangkan tangan kirinya kosong tidak memegang apapun, bahkan bertolak pinggang. Para tamu dan para anggota Cin-ling-pai menyambut mereka dengan tepuk tangan dan dengan hati berdebar tegang. Tentu saja keinginan kakek Cia Kong Liang untuk menjodohkan Cun Sek dengan Kui Hong sudah bocor dan diketahui kebanyakan murid Cin-ling-pai, maka kini mereka semua memandang penuh perhatian. Harus mereka akui bahwa kedua orang yang kini saling berhadapan sebagai calon lawan itu, keduanya calon ketua Cin-ling-pai yang kuat, memang serasi sekali. Dalam pakaiah barunya, Cun Sek nampak ganteng dan gagah perkasa, wajahnya yang berkulit putih itu tampan sekali. sebaliknya, Kui Hong juga nampak cantik jelita dan gagah perkasa, apalagi ia tersenyum-senyum manis.
Melihat betapa Kui Hong hanya membawa sebuah mouw-pit di tangan kanannya, terdengar Ceng Sui Cin, ibunya, berseru, "Kui Hong, engkaupun harus memegang dua buah mouw-pit seperti Cun Sek!"
Akan tetapi Kui Hong menengok kearah ibunyadan berkata lantang sehingga terdengar oleh semua orang, "Tidak perlu, ibu. Sebuah mouw-pit saja sudah cukup!"
Melihat dan mendengar ini, Cun Sek merasa tidak enak sekali, merasa dipandang rendah oleh gadis itu. Diapun cukup maklum bahwa gadis ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan, tidak boleh disamakan dengan Gouw Kian Sun tadi. Dia melihat ketika gadis itu berlatih silat dikeroyok oleh lima orang suhengnya, namun gadis itu masih tetap unggul. Karena itu, biar dia merasa dipandang rendah, dia tidak berani mengurangi mouw-pitnya. Dia harus dapat menundukkan gadis ini, harus dapat mengalahkannya, karena dengan demikian, ,bukan saja dia akan dapat menjadi ketua Cin-ling-pai di mana dia memperoleh kekuasaan dan nama besar, akan tetapi juga besar harapannya untuk dapat mempersunting gadis yang diidamkannya itu. Akan tetapi, untuk menutupi perasaan tidak enak itu, diapun berkata dengan sikap sopan.
"Suci, harap suci suka mempergunakan dua buah mouw-pit, walaupun dengan sebuah mouw-pit saja, tentu saya tidak akan mampu mengalahkan suci (kakak seperguruan),"
Kui Hong tersenyum. Memang pemuda ini pandai membawa diri. Biarpun pemuda ini jauh lebih tua darinya, namun menyebutnya "suci" sebagai tanda bahwa pemuda itu mengakuinya sebagai kakak seperguruan karena memang tentu saja Kui Hong lebih dulu menjadi murid Cin-ling-pai. Hal ini saja sudah menunjukkan kerendahan hati. Namun Kui Hong tidak hanya mendengarkan ucapan yang sopan itu, melainkan lebih memperhatikan sinar mata pemuda itu. Sinar mata itu mencorong dan sama sekali tidak menunjukkan kerendahan hati, melainkan mengandung penuh kecerdikan dan ke1icikan. Dia hanya berpura-pura, pikirnya, hanya beraksi seperti pemain sandiwara yang ulung. Ia berhadapan dengan seorang yang lihai dan berbahaya sekali, maka ia haruslah berhati-hati, pikir Kui Hong.
"Sudahlah, saudara Tang Cun Sek, tidak perlu bersungkan-sungkan. Aku lebih senang menggunakan sebatang mouw-pit saja, engkau boleh menggunakan dua batang atau lebih kalau kaukehendaki!"
Wajah Cun Sek menjadi merah. Gadis ini, bagaimana juga, terlalu sombong dan memandang rendah kepadanya. Untuk memenangkan hati gadis seperti ini, haruslah lebih dulu menundukkan kesombongannya dengan jalan mengalahkannya. Barulah ada harapan untuk menundukkan hatinya, pikir pemuda yang sudah banyak pengalamannya dalam mengenal watak wanita ini.
"Baiklah, suci, kalau engkau menghendaki demikian. Marilah, silakan suci mulai, saya sudah siap melayanimu, suci!"
Kui Hong tersenyum lagi. Tentu saja ia maklum akan akal ini yang mempersilakan agar ia menyerang lebih dulu dan hal ini berarti bahwa kedudukannya lebih lemah.
"Lihat seranganku!" bentaknya dan ia pun mulai menyerang dengan kecepatan kilat, tangan kirinya yang tidak bersenjata itu menampar ke arah kepala pemuda itu dari samping, disusul tangan kanannya yang menotokkan mouw-pitnya ke arah dada. Biarpun serangan dengan sebuah jurus Thai-kek Sin-kun yang sudah amat dikenal oleh Cun Sek, akan tetapi karena serangan itu dilakukan dengan kecepatan luar biasa dan mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat, Cun Sek cepat mengelak sambil meloncat ke belakang, lalu maju lagi dari samping untuk membalas serangan gadis itu dengan totokan kedua mouw-pitnya dari kanan kiri. Kui Hong harus mengakui kelincahan lawannya yang dapat demikian cepatnya melakukan serangan balasan. Namun iapun mengelak dan menyerang lagi.
Terjadilah serang menyerang yang amat seru, lebih seru dari pada pertandingan pertama tadi karena kini keduanya mengerahkan seluruh kecepatan gerakan mereka sehingga tubuh mereka lenyap bentuknya berubah menjadi bayangan hijau dan bayangan merah dan biru dari pakaian Kui Hong. Mereka berdua saling desak, kadang-kadang mengubah ilmu silat mereka yang segera dikembari oleh lawan dan mau tidak mau Tang Cun Sek harus mengakui dalam hatinya bahwa gadis ini benar-benar amat berbahaya. Biarpun mouw-pitnya hanya sebuah saja, namun tangan kanan gadis itu menyambar-nyambar mengancam seluruh tubuhnya dengan totokan-totokan yang akan membuatnya lumpuh! Dia harus mengakui bahwa dalam hal kecepatan, dia masih kalah oleh Kui Hong, juga dalam ilmu silat kalah matang karena tentu saja gadis itu lebih mahir memainkan ilmu silat nenek moyangnya. Hanya dalam hal tenaga sin-kang saja dia mampu mengimbangi kekuatan Kui Hong. Karena memang kalah cepat, maka biarpun dia memegang dua batang mouw-pit dan gadis itu hanya memegang sebatang, dalam waktu singkat saja sudah ada lima goresan hitam pada bajunya, sedangkan dia hanya baru dapat menggores sebanyak dua kali, itupun di ujung baju Kui Hong. Kalau diteruskan seperti ini, tentu dia akan kalah! Pada hal, dia harus dapat mengalahkan gadis ini. Harus! Kalau dia tidak dapat mengalahkannya, berarti akan sia-sia belaka usahanya selama empat tahun ini.
Mulailah Cun Sek mempergunakan akalnya yang tadi telah membuat dia berhasil menang dengan mudah dari Gouw Kian Sun, yaitu dengan jalan menggetarkan kedua ujung mouw-pitnya sehingga tinta dari bulu-bulu mouw-pit di kedua tangannya jtu memercik dan mengenai pakaian Kui Hong! Dalam satu kali serangan saja dengan kedua batang mouw-pit, biarpun kedua mouw-pit itu tidak dapat menyentuh baju Kui Hong, namun dari percikan tinta itu baju Kui Hong ternoda lebih dari lima tempat! Memang inilah saat yang dinanti-nanti oleh Kui Hong. Ia sama sekali tidak menjadi marah ketika melihat pemuda itu sudah mulai menjalankan siasatnya yang licik. Iapun menggerakkan tangan kirinya ke dalam saku bajunya dan mengeluarkan sebotol tinta bak! Dan kini, iapun menggetar-getarkan ujung mouw-pitnya yang hanya sebatang itu, setelah mencelupnya ke dalam botol tinta bak yang sudah ia buka tutupnya. Tentu saja bulu mouw-pit yang basah itu lebih mudah memercik, bahkan sampai jauh dan tanpa dapat dihindarkan lagi, banyak sekali noda-noda hitam menghias baju Cun Sek! Pemuda ini terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa gadis itu menyembunyikan sebotol tinta bak di saku bajunya. Kiranya gadis itu memang telah siap siaga dan pantas saja hanya mempergunakan sebatang mouw-pit, kiranya tangan kiri memang dipersiapkan untuk memegangi botol penuh tinta itu! Dia berusaha untuk menggetarkan kedua mouw-pitnya agar lebih banyak lagi pakaian Kui Hong terkena percikan tinta. Akan tetapi bagaimanapun juga, perang percikan tinta ini dimenangkan oleh Kui Hong yang mouw-pitnya selalu basah, sedangkan sepasang mouw-pit di tangan Cun Sek mulai kering! Pakaian Cun Sek sudah penuh noda hitam, dua atau tiga kali lipat lebih banyak dari pada noda pada pakaian Kui Hong. Pemuda itu menjadi gugup dan mendohgkol bukan main.
Pada saat Cia Kong Liang menyerukan agar pertandingan dihentikan karena hio sudah terbakar habis, Kui Hong menyiramkan sisa tinta bak itu kepada lawannya. Cun Sek mencoba untuk mengelak, akan tetapi tetap saja sebagian mukanya, lehernya dan dadanya berlepotan tinta hitam!
Kini kemarahan Cun Sek membuat dia lupa diri, lupa akan topeng sopan santun yang selama empat tahun ini dikenakan pada mukanya. Dengan mata melotot dia memandang kepada Kui Hong dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka gadis itu sambil membentak marah, suaranya lantang terdengar oleh semua orang. "Engkau".. engkau?" gadis curang! Engkau telah bertindak licik dan curang! Engkau gadis kurang ajar!"
Kui Hong tersenyum mengejek dan begitu kedua tangannya bergerak, nampak sinar hitam berkelebat dan tahu-tahu di tangan kanan dan kiri telah nampak sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam! "Betulkah?" jawabnya mengejek. "Aku curang dan licik sedangkan engkau jujur dan bersih, ya" Apa yang kaulakukan ketika engkau melawan susiok Gouw Kian Sun tadi" Apa pula yang kaulakukan kepadaku tadi ketika engkau mulai kalah" Engkau yang curang dan licik sejak melawan susiok, aku hanya mengimbangimu saja! Sekarang, kau mau apa" Kalau tidak terima, boleh kita mencoba dengan senjata, siapa yang lebih unggul di antara kita!" Berkata demikian, gadis itu lalu menggerakkan sepasang pedangnya, membuat kuda-kuda dan gerakan ilmu pedang Hok-mo Siang-kiam yang amat dahsyat.
Melihat ini, Cun Sek menjadi semakin marah. "Kau berani menggunakan ilmu silat bukan dari Cin-ling-pai" Calon ketua macam apa kau ini?"
Kembali Kui Hong tersenyum mengejek, dalam hatinya girang karena pancingannya mengena. "Ahai?"! Manusia tak tahu diri! Engkau bilang aku menggunakan ilmu silat bukan dari Cin-ling-pai" Kaukira ilmu silat yang kaumainkan itu Cin-ling-pai murni" Hemm, bocah sombong! Aku adalah keturunan ketua Cin-ling-pai, aku mempelajari ilmu silat Cin-ling-pai sejak kecil! Aku jauh lebih mahir dalam ilmu silat Cin-ling-pai dari pada engkau yang baru empat tahun belajar disini. Aku memperlihatkan Hok-mo Siang-kiam untuk menunjukkan kepadamu bahwa bukan hanya engkau yang mahir ilmu-ilmu silat lain. Sekarang, engkau mengajak bertanding dengan apa, kulayani! Dengan ilmu silat Cin-ling-pai aseli tanpa kaucampur-campur seperti cap-jai" Atau dengan ilmu silat lain" Aku siap! Keluarkan senjatamu!"
Metihat keributan itu, para tamu dan para murid Cin-ting-pai memandang dengan hati tegang, tidak ada yang berani mengeluarkan suara atau mencampuri. Cia Hui Song dan isterinya saling pandang dan bersikap tenang, pura-pura tidak tahu saja. Suami isteri ini, walaupun tidak membenci Tang Cun Sek yang pandai membawa diri dan menyenangkan hati, namun mereka juga tidak tertarik atau suka sekali kepada pemuda yang mereka anggap penuh rahasia itu. Merekapun melihat kecurangan yang dilakukan pemuda itu tadi terhadap Gouw Kian Sun, maka pembalasan yang dilakukan puteri mereka tidak membuat mereka menjadi marah. Akan tetapi, melihat betapa ayahnya marah, Cia Hui Song menjadi tidak enak hatinya dan diapun ikut berdiri ketika ayahnya bangkit berdiri.
"Kalian hentikan keributan itu!" bentak Cia Kong Liang kepada mereka.
"Kui Hong, mundurlah engkau!" Cia Hui Song juga melanjutkan seruan ayahnya.
Mendengar seruan kedua orang tua itu, Kui Hong menggerakkan pundaknya, lalu memandang kepada Tang Cun Sek dengan sikap mengejek dan berkata, "Ah, sayang kong-kong dan ayah melarangku. Untung bagimu tidak sampai berkenalan dengan sepasang pedangku Penakluk Iblis ini!" Iapun menyarung kembali sepasang pedangnya. Wajah Cun Sek akan nampak merah padam kalau saja sebagian tidak tertutup tinta hitam. Dia maklum bahwa dirinya telah menjadi bulan-bulan penghinaan dan dipermainkan oleh Kui Hong di depan banyak orang. Kalau dia nekat berusaha membalas dan menyerang gadis itu, selain belum tentu dia menang, juga tentu semua orang membela gadis itu. Maka diapun membalikkan tubuhnya, menghadapi Cia Kong Liang dan memberi hormat lalu berkata pendek, "Teecu hendak membersihkan noda hitam dan bertukar pakaian!" Tanpa menanti jawaban, diapun melompat turun dari atas panggung dan berkelebat cepat menghilang, menuju ke kamarnya untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
Kini, banyak di antara para murid Cin-ling-pai yang berbalik pilihan. Tadinya, mereka yang memilih Tang Cun Sek sebagai calon ketua adalah para murid yang tertarik dan suka kepada murid baru ltu yang menjajikan akan mengajarkan ilmu-ilmu silat yang tinggi, lebih tinggi dari pada ilmu-ilmu Cin-ling-pai kalau dia menjadi ketua. Para murid Cin-ling-pai adalah orang-orang yang berjiwa gagah. Mereka memang senang sekali mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi, akan tetapi mereka paling membenci perbuatan yang licik dan curang. Kini, mereka semua mendengar betapa Cia Kui Hong membongkar rahasia kecurangan pemuda itu ketika tadi melawan Gouw Kian Sun, maka merekapun mulai tidak suka kepada pemuda itu dan pilihan mereka kini ditujukan kepada Cia Kui Hong.
"Hidup nona Cia Kui Hong!"
"Ia ketua baru yang paling tepat!"
Mereka bersorak-sorak dan kakek Cia Kong Liang tidak dapat membantah lagi bahwa memang dalam pertandingan tadi, Kui Hong memang telah mendapatkan kemenangan mutlak. Dia tidak mengira bahwa gadis itu mau mencalonkan diri menjadi ketua, dan tidak mengira gadis itu tidak tertarik kepada Cun Sek, bahkan menentangnya. Diam-diam dia merasa heran. Cun Sek demikian baiknya, mengapa tidak mendapatkan dukungan" Dia hanya menarik napas panjang dan hanya mengangguk-angguk ketika para anggota juri menghadap padanya, termasuk puteranya sendiri, untuk menyatakan bahwa yang keluar sebagai pemenang dalam pemilihan ketua baru itu adalah Cia Kui Hong.
"Sudahlah, memang sudah ditentukan oleh Thian bahwa Cin-ling-pai harus mempunyai seorang ketua wanita, cucuku sendiri, Cia Kui Hong!"
Para murid Cin-ling-pai menyambut dengan tepuk tangan dan sorak gembira ketika ketua mereka, Cia Hui Song, berdiri di atas panggung dan mengumumkan bahwa ketua baru yang akan menggantikan dia adalah puterinya sendiri, Cia Kui Hong yang keluar sebagai pemenang. Cia Hui Song minta kepada para undangan untuk menjadi saksi bahwa kini Cin-ling-pai dipimpin oleh seorang ketua baru, yaitu nona Cia Kui Hong! Untuk diperkenalkan kepada para tamu, Kui Hong dipanggil ayahnya untuk tampil di atas panggung.
Kui Hong menghampiri ayahnya di atas panggung dengan pakaian masih berlepotan tanda-tanda hitam, disambut tepuk tangan meriah. oleh para anggota Cin-ling-pai.
Pada saat itu, seorang murid yang diutus oleh Cia Kong Liang untuk memanggil Tang Cun Sek agar hadir dalam pengangkatan ketua baru itu, karena kakek ini masih mengharapkan agar pemuda itu dapat menjadi wakil ketua atau pembantu ketua agar dapat mendekatkan antara pemuda itu dengan cucunya, datang melapor dengan suara keras bahwa Tang Cun Sek tidak berada di dalam kamarnya, bahkan semua pakaiannya juga tidak ada!
"Dia". dia berani minggat"..?" Kakek itu berseru marah, lalu menjatuhkan diri terduduk di atas kursi, wajahnya agak pucat, dan dia mengeluh, ?"" ahh, apakah semua yang kulakukan selalu salah belaka?"
Kui Hong cepat berlutut di dekat kakeknya, "Kong-kong, sesungguhnya kong-kong tidak bersalah. Kong-kong bermaksud baik sekali, baik untuk kemajuan Cin-ling-pai ataupun untuk mencarikan jodoh bagiku. Akan tetapi, kong-kong tertipu oleh topeng domba yang dipergunakan seekor srigala. Naluri kewanitaanku lebih peka, kong-kong, sehingga dalam pertemuan pertama itupun aku sudah merasa tidak suka kepadanya. Dia pandai membawa diri dan mengambil hati sehingga bukan kong-kong saja yang terpikat, bahkan ayah ibu dan para saudara Cin-ling-pai tidak ada yang menyangka bahwa dia seorang yang berhati palsu. Sudahlah, tidak perlu disesalkan lagi, kong-kong, yang penting kita masih untung dapat menyelamatkan Cin-ling-pai dari tangan orang luar yang tidak mempunyai iktikad baik!"
Wajah kakek itu nampak berduka sekali. " Ah, akan tetapi pedang pusaka Hong-cu-kiam telah kuberikan kepadanya dan kini dibawa pergi?" "
"Biarlah, kelak aku yang akan mencarinya, merampas kembali Hong-cu-kiam dari tangannya dan membunuh dia karena telah berani menipumu, kong-kong. Harap kong-kong tidak berduka, karena bukan kita saja yang tertipu oleh muka manis dan sikap yang baik. Bahkan kakek dan nenek. di Pulau Teratai Merah yang demikian lihainya masih dapat kebobolan dan juga kemasukan orang jahat yang berhasil mewarisi ilmu-ilmu Pulau Teratai Merah bahkan juga telah minggat dan melarikan pusaka Gin-hwa-kiam dari sana." Gadis itu lalu dengan singkat bercerita tentang sim Ki Liong, keturunan musuh besar yang berhasil menyelundup ke Pulau Teratai Merah dan diterima menjadi murid oleh Pendekar sadis dan isterinya! Memang ada hasilnya cerita itu bagi kakek Cia Kong Liang. Agaknya terhibur juga hatinya mendengar betapa suami isteri yang demikian sakti seperti Pendekar Sadis dan isterinya dapat pula dikelabuhi oleh muka manis.
Setelah pesta pemilihan ketua itu selesai dan para tamu pulang dengan membawa cerita menarik dan kesan mendalam tentang pemilihan yang ricuh itu, Cia Kui Hong menerima kedudukan sebagai ketua Cin-ling-pai dengan resmi. Kakeknya sendiri yang memimpinnya untuk bersumpah setia kepada Cin-ling-pai dan dalam kesempatan ini, Kui Hong dengan resmi pula mengangkat susioknya, Gouw Kian Sun, menjadi wakil ketua dan mewakilinya dalam semua urusan kalau ia sedang tidak berada di Cin-ling-pai.
"Sesungguhnya, jiwaku tidak banyak bedanya dengan ayah dan ibu," katanya kepada kedua orang tuanya itu, juga di depan kakeknya. "Aku suka merantau dan tidak betah untuk tinggal di sini, dipusingkan urusan perkumpulan. Aku melihat bahwa susiok lebih tepat untuk menjadi ketua, bahkan susiok pula yang selama ini mengurus Cin-ling-pai ketika ayah tidak aktip. Akan tetapi karena dalam pemilihan itu terpaksa aku turun tangan untuk menyelamatkan Cin-ling-pai dan terpilih menjadi ketua, biarlah aku akan bertanggung jawab. Akan tetapi, untuk dapat mengurusnya dengan baik, dan demi kemajuan Cin-ling-pai, maka aku wakilkan kepada susiok Gouw Kian Sun!"
Tidak ada yang menentang pendapat dan keputusan ini. Nama Gouw Kian Sun memang merupakan nama yang cukup berwibawa dan disuka oleh para anggota Cin-ling-pai. Mereka yang tadinya mendukung Tang Cun sek adalah karena terpikat oleh janji muluk-muluk dari pemuda itu dan kini mereka yang tadinya mendukung, berbalik menjadi benci kepada pemuda itu yang ternyata selain curang dan licik, juga pengecut tidak berani mempertanggungjawabkan perbuatannya malah melarikan diri tanpa pamit!
Gouw Kian Sun tentu saja girang sekali karena dia memang seorang murid Cin-ling-pai yang amat mencintai perkumpulan itu. Seolah-olah seluruh kehidupannya tergantung kepada perkumpulan Cin-ling-pai di mana dia dibesarkan, dimana dia tinggal dan mengalami suka duka dalam hidupnya. Sampai berusia empat puluh tahun, Gouw Kian Sun juga masih hidup membujang belum menikah. Kini, sebagai seorang calon ketua, tentu saja dia dapat mencurahkan seluruh kemampuannya untuk memajukan Cin-ling-pai dan di bawah pimpinannya, dapat diharapkan Cin-ling-pai akan mengalami perubahan dan kemajuan pesat.
Setelah Kui Hong menjadi ketua Cin-ling-pai, ia merundingkan dengan susioknya yang menjadi wakil ketua, minta nasihat dari ayah ibunya dan juga dari kakeknya, dan dimulainyalah mengadakan perubahan-perubahan kepada perkumpulan mereka itu. Pengalaman pahit dengan menyelundupnya Tang Cun Sek menjadi peringatan bagi mereka agar lebih berhati-hati.
Sebulan sesudah itu, Cia Hui Song, dan isterinya, Ceng Sui Cin, meninggalkan Cin-ling-san untuk melakukan perjalanan ke Pulau Teratai Merah di selatan. Pertama untuk mengunjungi ayah ibu Ceng Sui Cin, yaitu Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Toan Kim Hong, dan ke dua untuk merayakan kembali kedamaian yang mereka dapatkan setelah Kui Hong pulang ke Cin-ling-san.
Tak lama kemudian, setelah melihat bahwa keadaan perkumpulan Cin-ling-pai mulai teratur dengan baik di bawah pimpinan Gouw Kian Sun sebagai wakil ketua, Kui Hong sendiri lalu berpamit dari kakeknya untuk pergi merantau. Kakek Cia Kong Liang tak dapat menahan cucunya, apalagi karena cucunya ingin memenuhi janjinya untuk mencari Tang Cun Sek, merampas kembali Hong-cu-kiam dan menghukum murid murtad itu.
Semenjak peristiwa yang terjadi di Cin-ling-pai itu, peristiwa susul-menyusul yang mendatangkan banyak guncangan batin baginya, kakek Cia Kong Liang tidak lagi menyembunyikan diri di dalam kamarnya. Kini dia keluar dan menyumbangkan tenaganya untuk menjadi penasihat dari muridnya, Gouw Kian Sun yang kini menjadi ketua. Dan banyak perubahan terjadi pada dirinya yang sudah banyak mengalami kekecewaan itu. Dia menjadi penyabar sekali, pandangannya menjadi luas dan dalam, karena mulai menghilangkan rasa keakuannya yang dulu amat besar dan kuat itu.
Kekerasan watak kakek itu kini hampir lenyap, terganti kesabaran dan kewaspadaan yang mengagumkan. Kekerasan watak memang dibentuk oleh besarnya rasa keakuan. Pikiran menciptakan gambaran tentang diri sendiri, sedemikian besar dan agungnya sehingga diri sendiri selalu benar, selalu tepat, selalu baik dan semua ini membentuk kekerasan karena merasa benar sendiri.
*** Dua bayangan yang berkelebat di luar kuil Siauw-lim-si itu bergerak amat cepatnya. Kuil itu sendiri memang berdiri ditempat yang sunyi, di luar kota Yu-shu, kurang lebih sepuluh kilometer di luar kota, di tepi Sungai Cin-sha antara Pegunungan Heng-tuan-san di Propinsi Cing-hai selatan. Kuil itu merupakan kuil kuno yang cukup besar, dengan pekarangan luas sekali dan kebun belakang kuil juga merupakan kebun yang luas, di mana para hwesio kuil itu menanam sayur-sayuran.
Ketua kuil Siauw-lim-si itu bernama Ceng Hok Hwesio, seorang pendeta yang usianya sudah lanjut, sekitar tujuh puluh tiga tahun. Hwesio tua ini memiliki tubuh yang tinggi besar, mukanya agak kehitaman, dan terkenal sebagai seorang hwesio yang berilmu tinggi dan berwatak jujur dan berdisiplin, karenanya nampak keras. Karena kedisiplinannya, maka semua hwesio yang tinggal di kuil itupun merupakan pendeta-pendeta yang berdisiplin, dan hal ini terbukti dari adanya penjagaan yang ketat di sekeliling kuil itu dan di sudut-sudut terdapat hwesio yang berjaga, bahkan ada pula yang meronda di malam yang dingin sekali itu.
Siapakah dua bayangan yang berkelebat bagaikan dua ekor burung dengan gerakan yang luar biasa cepatnya itu" Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Pemuda itu berusia dua puluh dua tahun, bertubuh sedang akan tetapi dadanya bidang dan tegap. Wajahnya yang bulat berkulit putih, membuat alisnya yang tebal nampak hitam sekali, matanya agak sipit dengan sinar yang terang. Sebuah wajah yang tampan dan sikapnya lembut dan tenang membayangkan kegagahan. Pakaiannya sederhana saja, rambutnya digelung ke atas dan diikat dengan pengikat rambut dari sutera biru. Pemuda itu bernama Pek Han Siong, keturunan dari keluarga para pimpinan perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) di daerah Kong-goan Propinsi Secuan. Perkumpulan ini adalah perkumpulan atau perguruan silat yang gagah perkasa. Keluarga Pek ini turun temurun merupakan ketua dari Pek-sim-pang, bahkan pendiri Pek-sim-pang yang bernama Pek Khun adalah pendiri dari perkumpulan itu. Mendiang Pek Khun merupakan seorang ahli silat aliran Siauw-lim-pai, oleh karena itu, mudah diduga bahwa Pek-sim-pang adalah sebuah perguruan silat yang sumbernya dari ilmu silat Siauw-lim-pai. Mendiang Pek Khun digantikan oleh puteranya yang bernama Pek Ki Bu, kemudian, putera Pek Ki Bu yang bernama Pek Kong menggantikan ayahnya menjadi ketua Pek-sim-pang. Pek Kong inilah ayah kandung dari Pek Han Siong, pemuda yang kini nampak bergerak dengan cepatnya bersama seorang gadis diluar tembok pagar kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu.
Ketika Pek Han Siong masih berada dalam kandungan ibunya yang bernama Souw Bwee, anak dalam kandungan ini sudah menimbulkan kegemparan karena ramalan dari para pendeta Lama di Tibet bahwa anak dalam kandungan itu adalah seorang Sin-tong (Anak Ajaib) yang kelak akan menjadi seorang Dalai Lama atau pemimpin agama di Tibet yang besar. Para pendeta Lama mula-mula minta dengan horrnat dan sopan agar kelak anak yang terlahir itu diserahkan kepada rnereka untuk dididik rnenjadi calon seorang guru besar dunia. Tentu saja keluarga Pek merasa keberatan sehingga mereka menentang kehendak para pendeta Lama. Hal ini rnenimbulkan pertikaian dan permusuhan. Karena para pendeta Lama di Tibet mempunyai banyak orang sakti, maka seluruh keluarga Pek bersama para murid dan anggota Pek-sim-pang melarikan diri mengungsi menjauhi daerah Tibet dan akhirnya menetap di Kong-goan, di Propinsi Secuan.
Namun para pendeta Lama masih terus melakukan pengejaran. Untuk menghindarkan pengejaran inilah maka Pek Kong mengajak isterinya melarikan diri dan bersembunyi. Anak itu terlahir dan tepat seperti yang diramalkan para pendeta Lama di Tibet, anak itu laki-laki dan di punggungnya terdapat sebuah tanda berwarna merah. Untuk menyelamatkan anak yang diberi nama Pek Han Siong itu, kakek buyutnya yang ketika itu masih hidup, yaitu Pek Khun, lalu membawa pergi Han Siong dari asuhan ayah ibunya. Sebagai gantinya, kakek Pek Khun kebetulan menyelamatkan seorang bayi laki-laki yang dibawa ibunya membunuh diri di lautan. Kakek itu berhasil menyelamatkan bayi itu akan tetapi ibu anak itu tewas, dan menyerahkan bayi itu kepada cucunya, Pek Kong dan isterinya menjadi pengganti Han Siong!
Pek Han Siong dilarikan kakek buyutnya dan setelah merawatnya selama tujuh tahun, akhirnya dia membawa cucu buyutnya itu ke kuil Siauw-lim-si di dekat Yu-shu itu, menitipkannya kepada Ceng Hok Hwesio ketua kuil itu yang masih terhitung murid keponakannya sendiri. Pek Han Siong hidup di dalam kuil itu dan secara kebetulan sekali dia bertemu dengan sepasang suami isteri yang sakti, yang melakukan pertapaan atau menerima hukuman atas dosa mereka telah melakukan perjinahan atau menikah secara tidak sah. Hukuman itu adalah hukuman kurung selama dua puluh tahun! Akan tetapi, karena mereka itu sakti, setiap saat kalau mereka kehendaki, mereka dapat saling bertemu tanpa ada seorangpun yang mengetahuinya atau mampu mencegah mereka. Dua orang sakti yang menjadi suami isteri itu bernama Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, keduanya merupakan keturunan dari datuk-datuk sesat yang pernah menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun yang lalu.
Di bawah bimbingan suhu dan subonya yang sakti. Pek Han Siong memperoleh kepandaian yang hebat bukan main. Ilmu-ilmu silat tinggi telah dikuasainya, dan diapun menerima pedang pusaka Kwan-im Po-kiam dari kedua orang gurunya. Bukan hanya itu, akan tetapi kedua orang gurunya itu menjodohkan murid tunggal mereka itu dengan puteri mereka yang lenyap diculik orang ketika masih kecil! Hubungan kedua orang sakti ini menghasilkan seorang anak perempuan yang diberi nama Siangkoan Bi Lian! Maka,murid yang kini telah menjadi seorang pemuda yang tangguh itu diberi tugas untuk mencari puteri mereka sampai dapat, dan mengajaknya ke kuil Siauw-lim-si untuk menghadap mereka. Puteri mereka itu, Siangkoan Bi Lian, sejak masih bayi mereka titipkan kepada sebuah keluarga Cu di dusun yang berada di kaki gunung, tak jauh dari kuil itu. Akan tetapi dua orang suami isteri sakti itu tidak memperkenalkan diri sebagai ayah ibu kepada Bi Lian, melainkan kadang-kadang mereka datang berkunjung sebagai guru karena mereka mulai mendidik Bi Lian dengan dasar-dasar ilmu silat.
Pada suatu hari, ketika Bi Lian berusia enam tahun, di dusun itu terjadi keributan. Pertempuran hebat antara datuk-datuk sesat membuat dusun menjadi geger, banyak orang dusun tewas, termasuk keluarga Cu yang dititipi Bi Lian. Akan tetapi Bi Lian lenyap dan Siangkoan Ci Kang bersama Toan Hui Cu tidak berhasil menemukan anak mereka yang lenyap tanpa bekas itu.
Demikianlah, setelah Han Siong tamat belajar dari mereka, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu bersepakat untuk menarik pemuda murid mereka ini menjadi calon mantu mereka, dan memberi tugas kepada Han Siong untuk mencari puteri mereka yang hilang itu sampai dapat dan mengajaknya menghadap mereka di kuil Siauw-lim-si. Pada waktu itu, Han Siong berusia dua puluh tahun dan sudah belasan tahun Bi Lian lenyap dari dusun. Oleh karena itu, tentu saja bukan merupakan tugas yang ringan bagi Han Siong untuk dapat menemukan gadis itu karena tidak ada sedikitpun petunjuk kemana perginya gadis itu dan siapa pula yang membawanya pergi.
Dua tahun lamanya Han Siong merantau, mengalami banyak sekali peristiwa yang hebat dan menarik dan dalam perantauannya inilah secara kebetulan sekali dia bertemu dengan Bi Lian yang masih mempergunakan nama keluarga Cu! Semua pengalaman Han Siong semenjak lahir sampai pertemuannya dengan Cu Bi Lian diceritakan dalam kisah Pendekar Mata Keranjang bagian pertama.
Kini, tiba-tiba saja dia muncul kembali, bersama seorang gadis. Gadis itu berusia kurang lebih dua puluh tahun, raut wajahnya manis sekali. Tubuh gadis itu ramping, kulitnya putih mulus, rambutnya yang hitam panjang digelung keatas, dihias tusuk konde perak. Sepasang matanya tajam bersinar-sinar, hidungnya mancung dan kecil, mulutnya berbentuk menggairahkan dengan bibir yang selalu merah membasah, mukanya berbentuk bulat telur dan terdapat sebuah tahi lalat di dagunya. Siapakah gadis manis ini" Ia bukan lain adalah Cu Bi Lian, atau yang sebetulnya she Siangkoan! Ia berhasil ditemukan Han Siong dan diajak berkunjung ke kuil itu, berkunjung kepada suami isteri sakti yang dikenalnya sebagai gurunya di waktu ia masih kecil, sama sekali ia tidak pernah mimpi bahwa kedua orang gurunya itu sebetulnya adalah ayah dan ibu kandungnya sendiri!
Apa yang telah terjadi kepada diri gadis ini ketika ia berusia enam tahun di dusun itu" Ternyata ia telah terjatuh ke dalam tangan dua orang datuk sesat yang pada waktu itu amat ditakuti di dunia kang-ouw, yaitu yang berjuluk Pak-kwi-ong (Raja Setan Utara) dan Tung-hek-kwi (Setan Hitam Timur), dua di antara Empat Setan yang namanya menggetarkan kolong langit karena kelihaian mereka dan juga tindakan mereka yang aneh-aneh, kadang-kadang tanpa mengenal perikemanusiaan sama sekali. Dua orangdatuk sesat inilah yang mengamuk di dusun itu, membunuh banyak tokoh kang-ouw dan banyak orang dusun termasuk keluarga Cu yang oleh Bi Lian dianggap sebagai keluarganya yang sesungguhnya. Bi Lian menarik perhatian dua orang datuk sesat itu dan iapun diambil sebagai murid. Dua orang datuk itu mewariskan seluruh ilmu-ilmunya yang hebat kepada gadis ini dan Bi Lian menjadi seorang gadis dewasa yang selain tinggi ilmu silatnya, juga berwatak aneh, berani, galak, dan tidak mengenal ampun kepada musuh-musuhnya. Karena itu, di dunia kang-ouw namanya segera menonjol dan ia dijuluki Thiat-sim Sian-li (Dewi Berhati Besi) saking keras wataknya.
Di dalam kisah Mata Keranjang bagian pertama diceritakan tentang pengalaman gadis yang lihai ini sampai akhirnya kehilangan kedua gurunya yang tewas saling bunuh dalam perkelahian karena berbeda pendapat mengenai diri murid mereka yang tersayang itu. Yang seorang ingin menjodohkan Bi Lian dengan seorang tokoh pemberontak, akan tetapi Bi Lian tidak mau dan guru ke dua membelanya. Akhirnya keduanya tewas setelah mereka saling serang dengan hebatnya. Bi Lian merasa sakit hati terhadap para pemberontak itu dan dalam usaha menentang para pemberontak inilah ia bertemu dengan Pek Han Siong, bekerja sama menghancurkan pemberontak bersama pendekar lainnya, dan berkenalan. Pek Han Siong segera dapat menduga bahwa inilah puteri dari kedua orang gurunya, gadis yang telah dijodohkan dengan dia! Dia lalu memperkenalkan diri sebagai murid dari Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang oleh Bi Lian dianggap sebagai dua orang gurunya ketika ia masih kecil sehingga merekapun seakan-akan masih terhitung suheng dan sumoi! Dan setelah pemberontak itu dapat ditindas, Han Siong berhasil mengajak Bi Lian untuk berkunjung ke kuil Siauw-lim-si diluar kota Yu-shu itu untuk menghadap suhu dan subonya itu.
Demikianlah, pada malam hari itu, dua bayangan itu berkelebat dengan amat cepatnya dan kini mereka berdiri di luar pagar tembok kuil Siauw-lim-si.
"Suheng, hari sudah malam begini, apakah baik untuk mengunjungi suhu dan subo?" tanya Bi Lian ketika mereka berhenti di luar pagar tembok kuil Siauw-lim-si.
"Kita lihat saja nanti, kalau suhu dan subo bersedia menerima kita malam ini juga, kita langsung menghadap, kalau andaikata mereka tidur, kita akan menanti di dalam kuil untuk menghadap besok pagi."
" Akan tetapi, mengapa kita harus masuk lewat pagar tembok" Bukankah lebih baik masuk melalui pintu gerbang dan mengetuknya kalau sudah ditutup, suheng?"
"Ah, aku belum bercerita padamu, sumoi. Suhu dan subo adalah orang-orang?" hukuman yang berada dalam kurungan di kuil ini."
"Ahhh ?".?" Gadis itu terrcengang, "Orang hukuman" Bagaimana".." Apa kesalahpn mereka" Dan bagaimana pula mereka dahulu dapat mengunjungi aku dan melatih ilmu silat?"
"Sumoi, sebaiknya kalau hal itu engkau dengar sendiri dari suhu dan subo karena aku".. aku tidak berhak untuk menceritakannya. Marilah, aku sudah dua tahun meninggalkan mereka dan aku sudah rindu sekali untuk bertemu dengan mereka." Berkata demikian, Han Siong lalu menggerakkan kedua kakinya, tubuhnya meloncat ke atas pagar tembok, diikuti oleh Bi Lian yang gerakannya lebih lincah lagi. Memang ia seorang gadis yang lincah sekali, sebaliknya Han Siong pendiam dan tenang, padahal kalau diadakan perbandingan dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh) tentu saja Han Siong yang menerima gemblengan dari subonya seorang ahli ginkang yang hebat, jauh lebih pandai daripada Bi Lian. Gerakan mereka sedemikian cepatnya sehingga walaupun pagar tembok itu terjaga oleh para hwesio, tidak ada seorangpun di antara para penjaga itu melihat berkelebatnya dua bayangan yang memasuki kuil lewat pagar tembok belakang.
Han Siong yang bertahun-tahun tinggal di kuil itu tentu saja sudah hafal sekali akan keadaan di dalam kuil. Dia menjadi penunjuk jalan berada di depan, dan Bi Lian mengikuti di belakangnya. Dengan mudah saja Han Siong mengambil jalan yang tersembunyi sehingga tidak pernah kepergok oleh seorangpun hwesio dan mereka kini tiba di luar sebuah kamar yang tertutup jendela dan daun pintunya. Inilah kamar kurungan di mana biasanya subonya berada, tempat hukuman bagi subonya!
Dengan hati-hati Han Siong mengetuk daun pintu kamar itu, kemudian daun jendela, namun tidak ada jawaban dari dalam. Ketika dia mengintai, kamar itu gelap dan sunyi. Bahkan ketika dia menempelkan telinganya pada papan daun jendela, dia tidak mendengar bunyi pernapasan manusia di dalamnya. Kamar itu kosong!
"Bagaimana, suheng?" tanya Bi Lian yang mengikuti gerak-gerik pemuda itu.
"Ini kamar subo, akan tetapi kamar ini sekarang kosong. Jangan-jangan subo sedang keluar. Mari kita ke kamar tahanan suhu saja."
Mereka lalu pegi ke bagian lain dari kuil itu, jauh ke ujung kiri dan tak lama kemudian Han Siong sudah berada di luar sebelah kamar lain yang juga tertutup daub jendela dan pintunya. Akan tetapi ada sedikit cahaya yang menerobos keluar dari celah-celah daun jendela, tanda bahwa di dalam kamar itu ada lilin bernyala. Gembira rasa hati Han Siong karena hal ini menandakan bahwa suhunya berada di dalam kamar itu.
Diketuknya daun pintu itu perlahan. Tidak ada jawaban dari dalam. Diketuknya lagi dan diapun berseru lirih, "Suhu ?"! Suhu, ini teecu yang datang mohon menghadap suhu!"
Kini. terdengar suara gerakan di dalam kamar itu, kemudian terdengar suara teguran dari dalam yang amat mengejutkan hati Han Siong. "Omitohud! Siapa berani mengganggu pinceng di tengah malam buta begini?"
Tentu saja Han Siong terkejut karena dia mengenal suara yang berat dari Ceng Hok Hwesio, ketua Siauw-lim-si yang amat galak itu. Ketua inilah yang telah memberi hukuman kepada suhu dan subonya! Biarpun Ceng Hok Hwesio selalu bersikap baik kepadanya, bahkan hwesio tua ini pula yang mendorongnya untuk mempelajari kesusasteraan melalui kitab-kitab agama yang kuno, namun Han Siong selalu merasa hormat dan segan kepada hwesio tua yang amat keras menjaga peraturan ini. Dia merasa serba salah. Dia sudah terlanjur mengeluarkan suara dan hwesio tua itu sudah tahu bahwa di luar ada orang, maka tidak mungkin lagi dia mundur. Apakah hwesio tua itu sedang mengadakan kunjungan kepada suhunya" Di malam buta begini" Sungguh aneh. Akan tetapi dia harus cepat menjawab karena hwesio tua itu sedang menanti dengan tidak sabar.
"Losuhu, maafkan saya. Saya adalah Pek Han Siong ?"," jawabnya.
Hening sejenak dalam kamar itu. Kemudian terdengar suara yang berat itu, "Pek Han Siong ?"" Ah, engkau telah kembali" Apakah engkau mencari suhumu, Siangkoan Ci Kang?"
Girang rasa hati Han Siong mendengar suara yang berat itu tidak mengandung kemarahan. "Benar sekali, Lo-suhu! Bolehkah saya menghadap suhu?"
Kembali hening sejenak. "Baiklah, akan tetapi pinceng mendengar gerakan dua orang. Siapa kawanmu?"
Han Siong sating pandang dengan Bi Lian. Kakek yang berada di dalam itu ternyata memiliki pendengaran yang amat tajam, "Saya datang bersama seorang murid suhu dan subo yang lain, losuhu. Ia bernama?" Cu Bi Lian, juga ingin menghadap suhu dan subo."
"Seorang wanita?" Suara itu seperti terkejut, kemudian disambungnya cepat-cepat, "Siancay?" biarlah, kalian masuklah, pintu kamar ini tidak terkunci."
Han Siong memberi isyarat kepada Bi Lian dan keduanya membuka daun pintu lalu masuk ke dalam kamar itu. Bi Lian memandang penuh perhatian sedangkan Han Siong menutupkan kembali daun pintu dari dalam. Seorang hwesio tua sekali duduk bersila di tengah ruangan kamar itu, kamar yang kosong dan di sudut kamar terdapat sebuah meja di mana berdiri sebatang lilin yang bernyala. Beberapa batang lilin lain yang tidak bernyala menggeletak di atas meja.
Han Siong mengajak Bi Lian menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio yang duduk bersila di atas lantai itu, lantai dingin tanpa tilam! Dan Han Siong merasa teharu. Baru dua tahun terlewat, akan tetapi ketua kuil itu kelihatan sudah sangat tua sekarang, tua keripuatan dan mukanya yang kehitaman itu, yang biasanya nampak segar, kini nampak layu dan lesu. Sinar matanya bahkan diliputi kedukaan.
"Losuhu, saya dan sumoi mohon maaf kalau mengganggu losuhu. Akan tetapi, dimanakah adanya suhu" Juga subo tadi tidak ada di dalam kamar tahanannya. Dimanakah mereka?"
Sejenak sepasang mata yang nampak sayu, kini kehilangan kegalakannya dan kekerasannya yang dahulu, yang ada hanya tinggal sinar kejujurannya, mengamati Han Siong dan Bi Lian.
"Han Siong, coba nyalakan dua batang lilin lagi, biar agak terang. Mata pinceng sudah tidak begitu awas lagi....." katanya lirih. Hati pemuda itu terharu dan diapun cepat menyalakan dua batang lilin di atas meja. Kini kakek itu mengamati mereka dan diam-diam merasa terkejut sekali melihat wajah gadis yang datang bcrsama Han Siong. Betapa miripnya wajah itu dengan wajah Toan Hui Cu! Teringat akan Toan Hui Cu, hatinya seperti diremas dan diapun memejamkan kedua matanya, merangkapkan kedua tangan di depan dada dan berkata lirih, "Omituhud". semoga diampuni semua dosa pinceng."
"Losuhu, sudilah kiranya losuhu menceritakan di mana adanya suhu dan subo sekarang." kata pula Han Siong, merasa tidak enak melihat kedukaan yang membayang di wajah kakek itu.
Kakek itu membuka matanya dan menarik napas panjang. "Kalian duduklah yang enak. Kebetulan sekali kalian datang selagi pinceng bingung mencari siapa yang kiranya patut untuk menerima pencurahan penyesalah hati pincehg yang selama ini pinceng sembunyikan. Kalian berdualah yang paling tepat menerima dan mendengarkannya. Benar, terutama engkau, Han Siong. Dengarkan baik-baik pengakuan pjnceng, pengakuan seorang yang berdosa besar!"
"Losuhu ?".!" Han Siong membantah dengan terkejut sekali, akan tetapi kakek itu mengangkat tangan kirinya ke atas.
"Diamlah, Han Siong, dan kaudengarkan saja pengakuan pinceng ini."
Han Siong yang duduk bersila menutup mulut dan menundukkan mukanya, sedangkan Bi Lian mengamati kakek itu dengan hati tertarik. Tentu ia akan mendengarkan cerita yang amat menarik, pikirnya. Kakek ini sungguh aneh, akan tetapi melihat mukanya yang tua itu, sepasang mata yang redup dan sayu, akan tetapi mengandung sinar kejujuuran dan juga kekerasan itu membuat ia merasa suka kepada kakek tua renta itu.
"Kurang lebih dua puluh satu tahun yang lalu, sepasang orang muda datang ke kuil ini menghadap pinceng. Usia mereka seperti kalian berdua, masih muda, yang pria tampan dan yang wanita cantik. Mereka itu adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Mereka membuat pengakuan yang mengejutkan hati pinceng. Siangkoan Ci Kang mengaku sebagai putera tunggal mendiang Siangkoan Lojin yang berjuluk Si Iblis Buta, seorang datuk sesat. Adapun Toah Hui Cu bahkan mengaku sebagai puteri mendiang Raja dan Ratu Iblis, sepasang raja datuk sesat yang menggemparkan dunia kang-ouw itu. Mereka sengaja menghadap pinceng untuk minta diterima menjadi hwesio dan nikouw, karena mereka berdua merasa telah berbuat dosa dan untuk mencuci darah keturutan mereka yang amat jahat. Pinceng menerima karena melihat betapa mereka itu mempunyai niat yang tulus ikhlas." Sampai di sini kakek itu berdiam sejenak. Han Siong merasa kagum sekali kepada suhu dan subonya. Biarpun keduanya keturunan datuk-datuk sesat yang seperti iblis, namun keduanya agaknya menyadari kekeliruan orang tua mereka bahkan hendak menebus dosa dengan masuk menjadi pendeta! Diam-diam Bi Lian yang hanya samar-samar saja ingat kepada kedua orang gurunya itu, juga merasa kagum dan bersimpati. Ia sendiripun sejak kecil menjadi murid dua orang datuk sesat, namun ia sama sekali tidak sudi mengikuti jejak mereka sebagai orang jahat. Sama sekali tidak! Ia benci kepada perbuatan jahat dan menentang mereka yang suka bertindak sewenang-wenang dan jahat.
"Ketika itu, pinceng yang sudah puluhan tahun tidak pernah membayangkan wanita, tiba-tiba saja menjadi lemah dan seperti kemasukan iblis dalam diri pinceng. Pinceng...... tergila-gila kepada Toan Hui Cu!"
Terkejut sekali hati Han Siong mendengar ini. Kalau saja kakek itu tidak membuat pengakuan sendiri, pasti dia tidak akan percaya! Bi Lian menatap wajah kakek itu, sepasang matanya memandang tajam penuh selidik.
Ceng Hok Hwesio menghela napas panjang. "Batin pinceng masih lemah, mudah dimasuki kotoran. Pinceng tertarik oleh kecantikan Toan Hui Cu dan pinceng menyatakan perasaan ini. Ia menolak pinceng! Kemudian..... kiranya ketika masuk menjadi nikouw, di luar pengetahuannya, Toan Hui Cu telah mengandung akibat hubungan cintanya dengan Siangkoan Ci Kang. Hubungan di luar nikah! Kesempatan ini pinceng pergunakan untuk membalas dendam kepada Toan Hui Cu karena telah tnengecewakan pinceng dan menolak perasaan hati pinceng yang sesungguhnya hanyalah gejolak nafsu binatang belaka. Dan membalas dendam kepada Siangkoan Ci Kang karena iri hati dan cemburu yang juga merupakan hafsu pementingan diri sendiri yang merasa dikecewakan. Maka, pinceng lalu menjatuhkan hukuman kepada mereka, hukuman kurung selama dua puluh tahun dalam kamar kurungan terpisah!"
"Aih, betapa kejinya!" tiba-tiba Bi Liar berseru. marah, matanya berapi-api memandang kepada hwesio tua itu. "Losuhu sebagai seorang hwesio tua sungguh tidak pantas sekali melakukan perbuatan, yang demikian kejamnya terhadap mereka! Mula-mula tergila-gila kepada seorang wanita muda, kemudian karena tidak mendapat tanggapan lalu membalas dendam dan menghukum meteka sampai dua puluh tahun! Tidak malukah losuhu kepada diri sendiri?"
"Sumoi.....!!" Han Siong berseru kaget sekali mendengar ucapan yang nadanya amat mencela dan merendahkan ketua kuil itu!
Akan tetapi kakek itu tersenyum, lalu merangkap kedua tangan di depan dada, memejamkan kedua matanya dan berkata, "Omitohud....., terima kasih, nona. Makian dan celaan sungguh terasa sebagai obat pelunak rasa perih karena penyesalan pinceng. Pinceng memang layak dimaki, bahkan dipukul atau dibunuh kalau perlu. Pinceng akan menerimanya dengan senang hati sekali......"
Mendengar ini, Bi Lian menutup mulutnya dan memandang heran, juga bingung. Ia menoleh kepada Han Siong yang mengedipkan mata dan memberi isyarat kepadanya agar suka menahan diri. Karena Han Siong ingin sekali tahu ke mana perginya suhu dan subonya, maka diapun mendesak dengan hati-hati kepada kakek yang masih memejamkan kedua matanya itu.
"Lalu bagaimana kelanjutannya, losuhu?" Kakek itu membuka matanya, masih tersenyum ketika memandang kepada Bi Lian, dan pandang matanya juga lembut, sama sekali tidak membayangkan kemarahan biarpun tadi dimaki dan ditegur dengan keras oleh gadis itu.
"Ketika engkau pergi meninggalkan kuil, hukuman mereka itu tinggal dua tiga tahun lagi, Han Siong. Akan tetapi pada suatu hari pinceng menyadari dan menginsafi dosa yang pinceng lakukan. Sayang kesadaran itu timbul setelah pinceng begini tua. Pinceng lalu memanggil mereka, membebaskan mereka dari sisa hukuman itu, dan di depan mereka pinceng mengakui semua dosa pinceng, dan menyatakan bahwa pinceng menjatuhi hukuman pada diri pinceng sendiri dengan hukuman kurungan di kamar ini sampai mati"
"Ahhh..... !" Han Siong berseru dan tercengang, akan tetapi Bi Lian bersungut-sungut.
"Hemm, masih terlalu ringan! Mereka yang tidak berdosa harus menjalani hukuman selama hampirduapuluh tahun! Kalau losuhu, melihat usia losuhu yang sudah tua sekali, tentu hanya tinggal beberapa tahun saja....."
"Sumoi....!" kembali Hong Siong menegur gadis itu.
Kembali kakek itu tersenyum dan mengangkat tangannya. "Biarkan saja, Han Siong! Pinceng malah girang karena gadis ini mewakili mereka untuk mengutuk pinceng. Sungguh pinceng selama ini merasa menyesal sekali, apalagi ketika dikeluarkan dari sini, mereka berdua itu sama sekali tidak mengutuk pinceng. Biarlah nona ini mewakili mereka untuk mengutuk pinceng....! Mereka memang tidak berdosa. Setelah pinceng mendengar akan pengalaman mereka. Mereka memang saling mencinta, sama-sama menderita dengan nasib yang hampir sama. Apakah dosa hubungan antara dua orang yang saling mencinta" Pinceng yang didorong nafsu iblis, nafsu binatang. Bahkan bukan mereka saja yang menderita, anak mereka yang tidak bersalah apapun, ikut pula menderita akibat perbuatan pinceng yang kotor......"
"Anak mereka......! Ah, suhu dan subo mempunyai anak dan bagaimana dengan anak mereka itu?" Kini Bi Lian bertanya sambil menatap tajam wajah Ceng Hok Hwesio yang masih tersenyum. Mendengar ini, berdebar rasa hati Han Siong. Bi Lian bertanya tentang anak itu, tentang dirinya sendiri! Dan hwesio tua itupun sama sekali tidak pernah mimpi bahwa yang bertanya itu adalah anak itu sendiri, anak dari dua orang hukuman itu! Han Siong merasa serba salah. Tentu saja dia tidak mungkin mencegah kakek itu bercerita atau melarang Bi Lian bertanya. Pertanyaan sudah diajukan dan dengan jantung berdebar penuh ketegangan Han Siong hanya dapat memandang dan mendengarkan, menanti jawaban Ceng Hok Hwesio.
"Anak mereka itu" Ah, anak yang malang itu ikut pula menjadi korban dosa yang pinceng lakukan terhadap kedua orang tuanya. Anak itu perempuan dan karena mereka tidak ingin membiarkan anak mereka hidup dalam kurungan pula, mereka lalu menitipkan anak itu ke dusun di kaki gunung. Akan tetapi...... Omitohud..... semoga dosa pinceng dapat diampuni ....... anak itu kabarnya dilarikan penjahat setelah keluarga yang mereka titipi itu dibunuh pehjahat....."
Bi Lian meloncat bangun berdiri dan wajahnya pucat, matanya terbelalak ketika ia membentak Ceng Hok Hwesio dengan pertanyaan yang mengejutkan hati kakek tua itu. "Katakan! Siapa nama anak perempuan mereka itu" Hayo katakan atau....... demi Tuhan, kubunuh kau!"
"Sumoi......!" Han Siong juga bangkit berdiri, siap mencegah kalau sampai gadis itu benar-benar hendak membunuh ketua Siauw-lim-si itu.
Akan tetapi, Ceng Hok Hwesio masih saja bersikap tenang dan tersenyum, seolah-olah dia memang mengharapkan ada orang membunuhnya untuk menghukum dosanya yang membuat dia terbenam dalam penderitaan karena penyesalan.
"Sungguh pinceng tidak tahu siapa namanya. Kalau engkau hendak membunuh pinceng, silakan, nona, pinceng tidak akan menghdarkan diri....., silakan.....!"
"Sumoi......!" Han Siong kembali menegur. Bi Lian yang masih pucat itu kini menoleh dan berhadapan dengan Han Siong. "Suheng engkau..... engkau tentu tahu.....anak.... anak itu..... ia.....?"
Sinar matanya penuh pertanyaan dan bibirnya gemetar, tidak mampu lagi mengeluarkan suara. Tanpa suarapun, Han Siong maklum apa yang menjadi dugaan hati gadis itu. Diapun mengangguk.
"Benar, sumoi. Engkaulah anak itu..... engkau adalah puteri suhu, dan subo yang dititipkan kepada keluarga Cu itu".. "
Bi Lian terbelalak, mengeluarkan jeritan melengking tinggi dan tubuhnya sudah bergerak, didahului tangannya yang menyambar ke depan, menghantam kea- rah ubun-ubun kepala Ceng Hok Hwesio yang masih duduk bersila dan tersenyum, memandang tanpa berkedip. Akan tetapi, pukulan itu bertemu dengan tangan Han Siong yang lunak, yang sudah menangkis pukulan itu mendorong tubuh Bi Lian mundur.
"Sumoi, tenanglah. Kalau engkau membunuhnya, berarti engkau mengoper dosanya.....! Jangan, sumoi, demi Tuhan, jangan lakukan itu....!"
Bi Lian mencoba untuk meronta, akan tetapi Han Siong memegangi kedua lengannya. "Lepaskan! Suheng, dia telah mencelakakan kedua orang tuaku, menyiksa ayah dan ibuku! Aku harus membunuhnya!"
"Omitohud.... jadi nona ini adalah puteri mereka" Ya Tuhan, Han Siong lepaskan dia, biar ia membunuh pinceng. Omitohud...... akhirnya........ akhirnya hukuman yang adil datang. Lepaskan biar ia membunuhnya. Anak baik, kau bunuhlah pinceng...... kaubunuhlah pinceng...... " Hwesio itu kini menangis terisak-isak dan berbisik-bisik minta dibunuh.
Han Siong tetap mencegah Bi Lian, "Ingat, sumoi, suhu dan subo, yaitu ayah dan ibumu, tentu akan marah dan berduka sekali kalau mendengar engkau membunuh losuhu ini. Mereka saja yang menerima hukuman itu, tidak pernah mencela, tidak pernah mengutuk. Setidaknya engkau harus bertanya dulu kepada mereka. Mari, sumoi, mari kita temui mereka ayah ibumu...... "
"Ayah" Ibu" Di mana.... di mana.... mereka...... ?" Gadis itu tergagap-gagap, matanya terbelalak, mukanya pucat sekali.
"Losuhu, tolong beritahu, di mana adanya suhu dan subo kini?"
Dengan kepala tunduk, masih menangis, Ceng Hok Hwesio berkata, "Mereka...... mereka..... di Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas), di puncak Heng-tuan-san ujung timur..... tapi, tapi..... biarkan dulu ia membunuhku, Han Siong..... aku mohon padamu, bjarkan ia membunuh pinceng...."
Akan tetapi Han Siong tidak memperdulikan kakek itu, menarik tangan Bi Lian dan membawanya keluar dari kamar itu. Masih terdengar keluh kesah dari kakek itu yang minta dibunuh di antara tangisnya, akan tetapi Han Siong terus mengajak sumoinya keluar. Di luar kamar, mereka bertemu dengan banyak hwesio yang tadi terkejut mendengar jerit Bi Lian. .Ketika mereka tiba di depan kamar, mereka mendengar tangis Ceng Hok Hwesio dan tentu saja para hwesio ini menjadi terkejut dan terheran,akan tetapi tidak berani memasuki kamar yang dijadikan tempat hukuman atau pertapaan oleh ketua mereka itu.
Ketika para hwesio itu melihat seorang pemuda dan seorang gadis keluar dari kamar itu, tentu saja mereka segera menghadang, dan bersikap penuh curiga. Akan tetapi Han Siong segera memperkenalkan diri. "Para suhu dan suheng apakah lupa kepadaku" Aku adalah Pek Han Siong......"
"Ah, Han Siong...... "
"Sute....." Para hwesio itu kini mengenalnya akan tetapi Han Siong tidak ingin banyak bicara dengah mereka. Dia menggandeng tangan sumoinya dan berbisik, "Mari kita pergi, sumoi..... !" Dan diapun mengajak sumoinya untuk meloncat dan beberapa kali berkelebat saja, mereka telah menghilang di kegelapan malam. Para hwesio hanya dapat memandang dengan mata terbelalak penuh kagum.
Mereka melanjutkan perjalanan didalam kegelapan malam, hanya diterangi sejuta bintang di langit. Karena perjalanan mendaki Pegunungan Heng-tuan-san merupakan perjalanan yang sukar dan berbahaya, maka mereka hanya berjalan perlahan-lahan.
Tiba-tiba Bi Lian Berhenti.
"Marilah, sumoi....."
Akan tetapi Bi Lian tidak bergerak dan mencoba untuk menatap tajam wajah pemuda itu melalui kegelapan.
"Suheng....." Dari suaranya dapat di ketahui bahwa gadis itu menahan tangisnya. Memang sejak keluar dari kuil tadi, hanya dengan kekerasan hatinya saja Bi Lian tidak tersedu-sedu atau terisak-isak walaupun kedua matanya sudah basah dan kadang-kadang ada air mata menetes keatas pipinya. Pikirannya menjadi kacau tidak karuan. Ia membayangkan mereka yang pernah dianggapnya sebagai ayah dan ibu kandungnya, yaitu suami isteri Cu Pak Sun yang terbunuh oleh mendiang kedua orang gurunya yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Lalu ia membayangkan dan mencoba untuk mengingat-ingat wajah kedua orang yang menjadi gurunya, yang datang di waktu malam dan memberi bimbingan ilmu silat kepadanya. Seorang pria yang gagah perkasa, akan tetapi buntung lengan kirinya sebatas siku dan seorang wanita yang cantik jeilta akan tetapi selalu wajahnya pucat. Mereka begitu baik kepadanya, bahkan wanita yang menjadi subonya itu setiap kali datang dan pergi selalu mencium kedua pipinya dan pria berlengan buntung sebelah yang menjadi suhunya itu selalu mengelus-elus kepalanya penuh kasih sayang! Jadi mereka itu adalah ayah dan ibu kandungnya!
"Ya" Kenapa, sumoi?" tanya Han Siong, hatinya tidak enak karena tadi dia berkeras melarang sumoinya membunuh Ceng Hok Hwesio.
"Suheng, katakan terus terang, apakah selama ini, sejak pertemuan pertama antara kita, engkau sudah tahu siapa diriku?"
Han Siong mengangguk, akan tetapi lalu teringat bahwa cuaca gelap dan belum tentu anggukannya kelihatan oleh gadis itu. "Aku tahu, sumoi. Suhu dan subo sudah memberi tahu kepadaku siap namamu, yaitu Bi Lian dan mempergunakan nama keluarga Cu. Ketahuilah, sumoi. Aku memang diutus oleh suhu dan subo untuk mencarimu. Selama dua tahun aku mengembara, tidak tahu harus mencari ke mana sampai pada suatu hari itu kita kebetulan saling berjumpa dan begitu melihat, aku".. aku sudah merasa tegang karena wajahmu mirip sekali dengan wajah subo. Ketika mendengar namamu, maka aku menjadi yakin."
"Tapi, kenapa kau diam saja, suheng" Kenapa kau tidak memberitahu kepadaku bahwa sebenarnya aku adalah anak kandung mereka?"
"Aku khawatir engkau tidak percaya, sumoi. Maksudku, membawamu menghadap mereka dan biarlah engkau mendengar, dari mereka sendiri. Tidak kusangka, kita bertemu dengan losuhu Ceng Hok Hwesio sehingga rahasia itu kauketahui?" "
Mereka- melanjutkan perjalanan dan karena Kim -ke -kok ( Lembah Ayam Emas) itu berada di puncak paling ujung, dan perjalanan dilakukan lambat, baru setelah terang tanah mereka dapat melanjutkan perjalanan dengan cepat, maka pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, barulah mereka tiba di lembah itu. Tidak sukar mencari suami isteri itu setelah mereka berdua tiba di lembah, karena baru saja mereka memasuki lembah yang subur itu, mereka melihat dua titik hitam dari atas depan yang makin lama menjadi makin besar dan akhirnya nampak dua sosok tubuh manusia berlari cepat menyongsong meraka.
Tanpa disadari, tangan Bi Lian mencari dan memegang lengan kanan Han Siong dan pemuda ini merasa betapa jari tangan gadis itu dingin gemetar .
Seperti yang diduganya, dua sosok tubuh itu setelah tiba di depannya bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu! Mereka menyongsong sambil tersenyum gembira dan dari jauh Siangkoan Ci Kang sudah berseru, "Heiiii".., bukankah itu engkau, Han Siong?"..?"
Ketika mereka sudah berhadapan, Toan Hui Cu tersenyum. "Kami sudah menduga bilhwa yang datang tentu engkau?" " Tiba-tiba ia berhenti dan matanya terbelalak mengamati wajah Bi Lian.
Juga Siangkoan Ci Kang tiba-tiba memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya berubah pucat, suaranya gemetar ketika dia berkata, "Han Siong, ini..... ia ini?""
Toan Hui Cu seperti besi terbetot besi sembrani, melangkah maju menghampiri, ".. ..kau?" kau?". " Ia tidak mampu melanjutkan karena takut kalau-kalau ia salah kira.
Akan tetapi suaminya berteriak, "Pasti ia! Wajahhnya itu".. ah, serupa benar denganmu, Hui Cu. Ia Bi Lian?" !!"
"Kau". kau Bi Lian".?" Dengan suaraa bercampur isak Toan Hui Cu berkata, kedua lengannya dikembangkan.
Sejak tadi Bi Lian sudah memandang kedua orang itu dengan air mata bercucuran dan kini ia tidak dapat menahan dirinya lagi, ia lari menubruk Toan Hui Cu dan dirangkulnya wanita itu.
"Ibuuuuu ?""., engkau ibuku?"". !"
"Bi Lian anakku?"". ah, Bi Lian?"" !"
Kedua ibu dan anak itu berangkulan dan Hui Cu mendekap puterinya sambil tersedu-sedu.
"Bi Lian?" ya Tuhan, syukurlah engkau selamat dan dapat bertemu kembali dengan kami, anakku ?"?"
Bi Lian melepaskan rangkulan ibunya, lalu lari menubruk kaki ayahnya.
"Ayah?"". !"
" Anakku?"" !" Dengan tangan kanannya Siangkoan Ci Kang membelai kepala gadis itu, pria yang sakti dan gagah perkasa ini tidak mampu menahan basahnya kedua matanya. Hui Cu merangkul lagi puterinya dan mereka bertiga saling berangkulan dalam suasana yang penuh keharuan dan kebahagiaan.
Kemudian Siangkoan Ci Kang menghampiri Han Siong yang sejak tadi juga sudah menjatuhkan diri berlutut di depan suhu dan subonya dan hanya memandang pertemuan itu dengan mulut tersenyum menahan keharuan hatinya yang merasa ikut berbahagia. Siangkoan Ci Kang yang buntung lengan kirinya itu menyentuh kepala muridnya dengan penuh perasaan syukur dan berterima kasih. "syukur bahwa engkau berhasil menemukan anak kami, Han Siong."
Imbauan Pendekar 8 Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cacad 8

Cari Blog Ini