Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong Bagian 5
mulut Tan Wan serasa terkancing. Tubuhnya agak mengisar,
lalu pelahan-lahan menarik lengan Siau Ih. Pikirnya biarlah
sang kawan itu yang me?nyahutnya saja.
Tetapi ternyata Siau Ih pada saat itu seperti orang limbung.
Bagai patung tak bernyawa, dia terlongong-longong
memandang jauh ke sebelah muka.
Mata Goan Goan Cu yang tajam segera melihat keadaan
itu. Senyum yang menghias wajahnya tadi, serentak hilang
berganti dengan kerut yang kurang senang.
Tan Wan terkejut. Kuatir kalau terbit salah paham yang
dapat menimbulkan "salah urus", buru-buru dia melangkah
maju lalu membungkukkan tubuh selaku memberi hormat.
"Wanpwe Tan Wan dan ini sahabat Siau Ih ?"."
Belum lagi dia dapat menyelesaikan kata-katanya, Siau Ih
sudah lantas tampil ke muka. Dengan mata berkilat dan wajah
menampil duka-marah, berserulah dia dengan nada getar:
"Idzinkanlah wanpwe lebih dahulu menghaturkan dosa dan
terima kasih atas pertolongan locianpwe!" Serta merta dia
membungkukkan tubuh hingga mengenai tanah.
Sikap anak muda itu telah membuat Goan Goan Cu
terkesiap. Ujarnya dengan heran: "Pinto baru pertama kali ini
berjumpa, pertolongan apa yang telah kuberikan" Tapi menilik
sahabat kecil tadi mengatakan hendak menghaturkan dosa,
tentu masih ada keterangan selanjutnya lagi."
Siau Ih mendongak tertawa panjang.
"Locianpwe sungguh bijaksana!" serunya dengan nyaring.
Keheranan Goan Goan Cu makin menjadi-jadi.
"Kalau benar begitu, pinto bersedia mendengarkan,"
serunya dengan alis menjungkat.
Wajah Siau Ih membesi. Tiba-tiba menyurut mundur tiga
langkah, tangan kanan cepat sudah melolos pedang Thiancoatkiam. Kemudian melintangkannya ke muka dada, berserulah dia
dengan nada berat: "Sebagai seorang sakti dunia yang
namanya tergolong dalam sepuluh Datuk, tentulah locianpwe
dapat mengenal pedang wanpwe ini!"
Merasa heran dengan ucapan anak muda itu, sepasang
mata Goan Goan Cu yang aneh itu berkilat memandang ke
arah pedang yang dicekal si anak muda. Selekas
pandangannya tertumbuk akan pedang yang memancarkan
sinar hijau bening laksana air telaga namun memancarkan
perbawa yang menyeramkan itu, serentak tersurutlah Goan
Goan Cu ke belakang. "Pernah apa kau dengan si Dewa Tertawa Bok Tong?"
tegurnya dengan wajah kaget.
Tubuh lurus, kepala tegak, menyahutlah Siau Ih: "Itulah
engkong wanpwe ?""."
Goan Goan Cu, seorang imam yang sudah kuat semadhinya
hingga tak mudah terpengaruh perasaannya itu, namun mau
tak mau menjadi tersirap darahnya juga. Sepasang matanya
yang aneh itu, namun mau tak mau menjadi tersirap darahnya
juga. Sepasang matanya yang aneh itu, terbeliak.
"Jadi kau ?".."
"Wanpwe adalah Siau Ih!" tukas Siau Ih dengan melantang.
Ucapan itu telah membuat Goan Goan Cu menggigil
persendiannya. Menatap lekat-lekat, dia mengawasi anak
muda itu dari bawah sampai ke atas.
"Pernah apa kau dengan Siau Hong?" serunya beberapa
saat kemudian. Seketika wajah Siau Ih mengerut duka dan gusar. Balas
mengawasi ke arah Goan Goan Cu, dia menyahut dengan
nyaring tetap: "Orang yang locianpwe katakan itu, adalah
mendiang ayahku!" Tubuh Goan Goan Cu tampak tergetar, wajahnya berobah
sekali. Mundur lagi beberapa langkah, sepasang matanya tak
berkesip memandang ke arah si anak muda. Jelas walaupun
anak muda itu berusaha keras untuk berlaku tenang, namun
sepasang matanya tak kuasa menyembunyikan rasa kedukaan
dan kemarahannya. Tan Wan yang melihat tegas keadaan kedua orang yang
bersikap aneh itu, menjadi bingung tak keruan sendiri.
Kala itu sudah menjelang petang, cuaca mulai gelap.
Lautan api yang mengganas di dalam lembah itu masih terasa
panas membara. Walaupun tertingkah oleh cahaya api marong, wajah Goan
Goan Cu masih tetap memucat. Perobahan yang mendadak
itu, telah menggoncangkan sanubarinya.
Siau Hong, murid kesayangan yang menjadi ahliwarisnya
itu, kini sudah mempunyai keturunan. Kematian Siau Hong
benar tersebab surat fitnah, namun adanya Siau Ih di dunia
ini, suatu bukti yang cukup berbicara.
Shin-tok Lan dan Siau Hong nyata sudah melanggar
kesusilaan. Telah bertahun-tahun lamanya dia menyelidiki perkara itu
dan memang muridnya itu telah dicelakai orang, tapi siapa
yang melakukan, tetap belum jelas. Tuduhan berat memang
terjatuh pada diri Siao-sat-sin Li Hun-liong, tapi dikarenakan
belum ada bukti-bukti yang kuat, jadi diapun tak mau
sembarangan bertindak. Tempo berjalan dengan cepatnya. Belasan tahun telah
lampau dan dunia persilatanpun sudah mulai melupakan hal
itu. Namun selama peristiwa fitnah itu belum dibikin terang,
Goan Goan Cu tetap tak tenteram hatinya. Memandang ke
arah pemuda yang tegak dengan wajah penuh dendam duka
itu, pikirannya kembali terbayang akan adegan yang tragis di
biara tua di gunung Hoasan dahulu itu.
Sementara sang mata beralih memandang ke arah lautan
api di dalam selat lembah di belakangnya sana, tanpa terasa
mulutnya mengingau: "Anak murid Gan Li telah binasa secara
mengenaskan, lalu dihanguskan oleh api pula, ini ?".."
Wajah Goan Goan Cu tiba-tiba membayangkan kedukaan
hebat. Mengira imam itu terkenang akan sang ayah (Siau Hong),
Siau Ih pun seperti tersajat hatinya. Air mata yang tadi
sedapat kuasa ditahannya, kini berketes-ketes turun
membasahi leher bajunya. Tiba-tiba terdengarlah suara "bum" yang keras, serangkum
angin panas meniup datang. Goan Goan Cu, Siau Ih dan Tan
Wan terkejut lalu loncat mundur.
Hutan yang tumbuh di belakang lembah itu telah dimakan
api. Sebatang demi sebatang, pohon-pohon sama berdebumdebum
jatuh. Asap bergulung-gulung tinggi membawa bunga
api yang berhamburan di udara.
Pemandangan itu telah menggugah lamunan Goan Goan
Cu, siapa lalu mendongak dan tertawa nyaring. Sebuah
tertawa yang melengking menembus ke atas awan.
Siau Ih tercekat dan cepat-cepat beraling ke arah Goan
Goan Cu. Didapatinya wajah imam tua itu membesi dan mata
berkilat-kilat tengah memandang kepadanya.
Suatu pandangan yang berarti hingga Siau Ih menyurut
setengah langkah lalu palingkan pedang ke muka dada.
"Apakah locianpwe hendak memberi pelajaran padaku?"
tanya Siau Ih. Suatu pertanyaan yang sederhana, namun dalam telinga
Goan Goan Cu berlainan rasanya.
Sejenak agak tertegun, wajah Goan Goan Cu kembali gelap
dan dengan nada berat berseru: "Hal yang paling dijunjung
tinggi oleh kaum persilatan, ialah hubungan antara suhu dan
murid. Siau Hong adalah ahliwaris pinto satu-satunya. Kaupun
tadi membahasakan cianpwe padaku. Tapi kata-katamu itu
amat menusuk!" Wajah Siau Ih pun berobah keras, sahutnya: "Apa yang
cianpwe ucapkan itu memang benar. Tapi rasanya wanpwe
sudah banyak menerima wejangan akan hal itu. Mendiang
ayahku karena menjunjung ajaran itu, telah bunuh diri dengan
penasaran. Kemudian akibatnya, almarhum mamaku pun mati
mereras, wanpwe hidup sebatang kara. Kesemuanya itu,
adalah gara-gara dalil "hubungan suhu dan murid" itu.
Karenanya, pandangan wanpwe mengenai ajaran itu, amat
berbeda. Cianpwe adalah seorang sakti dikolong jagad,
tentulah dapat memberi kuliah ajaran padaku!"
Rendah bahasanya, namun telinga Goan Goan Cu seperti
ditusuk-tusuk jarum. Wajah berobah, sejenak dia diam
terpaku. Pada lain saat, tiba-tiba dia kedengaran menghela
napas. "Sudahlah! Walaupun kau tak menghormat pinto, tapi rasa
kesayangan itu tak dapat kehilangan sumbernya. Apalagi kau
bukan segolonganku, jadi tak dapat mempersalahkanmu.
Bagaimanapun perkembangannya nanti, pinto tetap berusaha
ke arah kebaikan!" Siau Ih membungkukkan tubuh, berseru lantang: ,,Atas
budi kecintaan cianpwe, wanpwe menjunjung tinggi. Apabila
nantinya memang ternyata mendiang ayahku itu berdosa,
wanpwe rela memikulnya!"
Goan Goan Cu tertawa rawan, ujarnya: "Hukum keadilan
itu hanyalah berlaku pada manusia yang masih hidup. Semoga
Tuhan meridhoi agar perkara dendam penasaran ini dapat
diselesaikan sebagaimana mestinya. Hitam putihnya, kelak
pasti akan ketahuan. Rasanya sang waktupun tak lama lagi
?"." Berkata sampai disini, tiba-tiba Goan Goan Cu terhenti, lalu
bertanya: "Menilik kau mengambil jalan sini, rasanya tentu
akan menuju ke Tiam-jong-san, bukan?"
Siau Ih mengiakan. "Bila menghadap kakekmu nanti, sampaikan padanya,
jangan lupa peristiwa di Siang Ceng Kiong tempo hari. Pinto
takkan mengecewakan orang dan tak mau dibikin kecewa
orang. Tak lama lagi, pinto tentu akan menemuinya untuk
mengakhiri segala budi dendam. Nah, cukup sekian, mudahmudahan
kita masing-masing selalu selamat!"
Tanpa menunggu penyahutan Siau Ih, sekali kibaskan
lengan baju, ketua biara Siang Ceng Kiong itu sudah ayunkan
tubuh menghilang dalam kegelapan.
Siau Ih terlongong-longong dilamun berbagai perasaan.
Meniupnya angin malam, telah membuat Tan Wan yang
sedari tadi terlongong mengawasi saja, menjadi tersadar. Jelas
baginya kini, bahwa antara Siau Ih dengan Goan Goan Cu
tadi, terdapat hubungan budi dan dendam yang berliku-liku.
Kini terhadap pribadi dan keperwiraan penolongnya (Siau Ih)
itu, dia makin mengindahkan sekali.
"Siau-heng, Goan Goan Totiang sudah pergi!" bisiknya
seraya menghampiri dan menepuk bahu anak muda itu.
Siau Ih menghela napas dalam. Pelahan-lahan dia
palingkan kepala: "Bertahun-tahun diharap, sekali bertemu,
hanya menambah kedukaan saja ?"."
"Segala apa harus diterima dengan lapang hati, jangan
keliwat dipikir susah-susah," Tan Wan menghiburnya.
"Untuk urusan lainnya, memang tepat begitu. Tapi
terhadap dendam ayah bunda, bagaimana aku dapat
melupakan?" Siau Ih menghela napas.
"Sejak Siau-heng menolong jiwaku, sampai sekarang
apabila kulihat Siau-heng termenung, walaupun aku turut
prihatin tapi tak berani membuka mulut. Tadi setelah Goan
Goan Cu muncul, barulah sedikit banyak siaote mengetahui
keadaan Siau-heng. Yang dikata sahabat sejati itu, adalah
susah-senang dibagi bersama. Oleh karena Siau-heng sudah
sudi menerima penghambaan siaote, maka sudilah kiranya
juga membagi kesusahan hati pada siaote!"
Melihat kesungguhan hati pemuda itu, tergeraklah hati Siau
Ih. Kemudian diapun tak segan lagi menuturkan riwajat
hidupnya dan sakit hati ayah bundanya yang kini belum juga
dapat terhimpas itu. "Adanya aku hendak pergi ke Tiam-jong-san itu, pertama
hendak menyambangi kuburan mamaku dan kedua kalinya
hendak menghadap pada engkong guna minta petunjuk untuk
menyelidiki jejak musuh," katanya.
Tan Wan tampak merenung sejenak, lalu bertanya: "Tadi
Goan Goan Totiang pun mengatakan bahwa engkong Siauheng
itu tinggal di Tiam-jong-san. Apakah beliau itu bukannya
tokoh terkemuka dari sepuluh Datuk Shin-tok locianpwe itu?"
Siau Ih mengiakan. Tan Wan menyatakan kegirangannya dapat ikut serta
menghadap tokoh yang amat dikaguminya itu.
Siau Ih menerangkan bahwa dia sendiripun baru pertama
kali itu hendak menyumpai engkongnya. Kemudian ajak
kawannya itu segera meneruskan perjalanan. Sembari
berjalan, dapatlah pembicaraan itu disambung lagi.
Tapi Tan Wan segera mengingatkan bahwa kuda mereka
masih berada dalam lembah sana.
Tampak bagaimana selat lembah itu masih menyala api dan
banyak ular-ular berbisa yang berserabutan lari
menyelamatkan diri. Siau Ih menghela napas: "Rasanya kuda kita tak dapat
tertolong lagi, apa boleh buat, kita tinggalkan sajalah!"
Begitulah dengan gunakan ilmu berjalan cepatnya,
keduanya segera lari melintasi pegunungan Lou-san itu.
Sekeluarnya dari pegunungan itu, haripun sudah menjelang
terang tanah, petani sudah mulai turun ke sawah.
Untuk jangan membuat orang kaget, terpaksa Siau Ih dan
Tan Wan berjalan biasa. Kira-kira berjalan belasan
disepanjang jalan besar, tibalah keduanya disebuah kota kecil.
Sekalipun terletak ditempat yang mencil, kota pedalaman
itu cukup ramai. Keduanya mencari hotel. Setelah dahar dan
membeli dua ekor kuda lengkap dengan rangsum kering,
sorenya mereka lanjutkan perjalanan lagi.
Dalam perjalanan itu mereka cukup menikmati
pemandangan alam yang menghibur hati. Dan singkatnya
saja, setelah belasan hari menempuh perjalanan, gunung
Tiam-jong-san yang membujur seluas tigaratusan li ditengah
propinsi Hunlam, sudah tampak di depan mata.
Kedua anak muda itu keprak kudanya cepat-cepat.
Menjelang petang, tibalah mereka di kota Tay-li-koan. Disini
mereka menginap semalam. Keesokan harinya, karena tak leluasa mendaki gunung
dengan berkuda, kedua ekor kuda mereka titipkan di hotel.
Oleh karena ingin lekas-lekas menyambangi kuburan ibunya,
maka begitu berada di luar kota yang sepi, Siau Ih segera
gunakan ilmu berlari cepat.
Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kota Tay-li-koan tak berapa jauh dari Tiam-jong-san, maka
tak berapa lama kemudian, mereka sudah berada dikaki
gunung itu. Sewaktu mendaki ke atas, ternyata gunung itu
menjulang tinggi dengan megahnya, alam pemandangan
indah permai berhiaskan hutan belantara yang lebat.
Si Dewa Tertawa telah memberikan keterangan jelas letak
tempat kediaman si Rase Kumala, tapi karena terburu-buru
dan berat merasakan akan berpisah, Siau Ih sudah tak
menanyakan jelas. Kini dihadapi dengan keadaan pegunungan
yang membentang luas, penuh dengan hutan belantara itu,
dia terpaksa tertegun. Waktu Tan Wan menyusul datang, dia lantas menanyakan
apa sebab sang kawan berhenti disitu.
"Ah, waktu turun gunung aku sudah tak menanyakan jelas
letak lembah Liu-hun-hiap kepada engkong luar. Untuk
mencari sebuah tempat pada gunung seluas begini, mungkin
tiga hari tiga malam belum tentu bertemu!" kata Siau Ih.
Tan Wan menyatakan bahwa sesuai dengan namanya,
tentulah si Rase Kumala itu berdiam disebuah lembah yang
terpencil. Asal dicari tentu ketemu.
Siau Ih mengiakan dan segera ajak kawannya menyusup ke
daerah pedalaman gunung. Namun setelah tiba jauh
dipedalaman, tetap mereka belum menemukan lembah itu.
Untuk melepaskan kekesalan hatinya, Siau Ih bersuit panjang.
Nadanya berkumandang jauh diempat penjuru. Jauh
memandang ke barisan puncak dan saluran air yang
membentang malang melintang. Siau Ih menghela napas
panjang. "Sejauh mata memandang hanya barisan gunung yang
tampak, ah, dimanakah rumahku ?"?""
Tan Wan ikut berduka dan menghiburi sang kawan.
Begitulah kedua anak muda itu, sesaat sama tegak terpaku
di atas sebuah karang buntu. Jauh disebelah bawah,
terbentang jurang yang cu?ram.
Tiba-tiba terkilas sesuatu pada pikiran Tan Wan.
"Siau-heng, telah siaote katakan tadi bahwa karena tempat
kediaman Shin-tok locianpwe itu disebut lembah, tentulah
disitu terdapat gunung dan air. Tempat kita ini sebuah karang
yang tinggi, dan di bawahnya terdapat aliran air, janganjangan
inilah Liu-hun-hiap!"
Namun Siau Ih hanya tersenyum getir dan menyatakan
bahwa Liu-hun-hiap adalah sebuah tempat kedewaan yang
indah, bukan serawan seperti ini.
Namun Tan Wan tetap membantahnya. Tempat kediaman
tokoh seperti si Rase Kumala, tentulah memilih yang sepi dan
tenteram. "Apa yang Tan-heng katakan itu memang benar. Namun
sungai jurang itu amat lebar sekali, sekalipun engkong
memiliki kepandaian sakti, rasanya sukar juga untuk
melompatinya ?""
"Tempat ini benar berbahaya, tapi sangat luas. Kalau kita
menyelidiki, mungkin ada sesuatu jalan," tukas Tan Wan
seraya menarik lengan Siau Ih diajak berjalan kesebelah kiri.
Setelah berjalan entah berapa lama, tiba-tiba Tan Wan
berseru: "Siau-heng, tu lihatlah!"
Dengan berdebar-debar Siau Ih memandang ke muka.
Pada tepi karang yang terpisah lima tombak jauhnya, tampak
ada seutas rantai besi yang sebesar telur itik. Rantai itu
menyambung sampai ke karang sebelah sana. Kedua ujung
rantai itu, dipaku pada karang.
Rantai itu tergantung di atas sungai jurang, bergontaian
kian kemari. Girang Siau Ih bukan kepalang.
Ternyata rantai itu basah dengan embun, jadi licin sekali.
Kembali Siau Ih mengerut alis berkata: "Kedua tepi karang
ini terpisah begitu jauh dan rantai ini amat licinnya. Sekali
terlepas, orang pasti akan jadi tahi-udang di dalam jurang
"..." Siau Ih terhening, memandang terkesiap pada Tan Wan.
Yang tersebut belakangan ini mengerti apa yang dipikirkan
Siau Ih. Dia tersenyum: "Harap Siau-heng jangan kuatirkan
diri siaote. Suhuku bergelar sin-seng-bu-ing (malaekat tanpa
bayangan). Siaote mendapat julukan Liok-ci-sin-bi. Bi adalah
sejenis kera, jadi amat tangkas. Jalan yang tampak berbahaya
itu, rasanya takkan mempersulit siaote!"
Siau Ih tertawa dan minta maaf, lalu menyatakan hendak
menyeberang lebih dahulu. Sekali loncat sampai tiga tombak
tingginya, dia melayang turun di atas jembatan rantai itu.
Begitu ujung kaki menginjak rantai, dengan bantuan
gerakan sepasang lengan, dia melayang turun di atas rantai.
Empat lima kali loncatan, dapatlah dia diseberang karang
sana. Itulah ilmu ginkang it-wi-tok-kiang atau sebatang rumput
alang-alang menyeberang sungai.
Diam-diam Tan Wan memuji dan malu dihati sendiri. Dia
tak berani berbuat semacam itu dan menggunakan cara lain.
Dengan sepasang tangan memegang rantai, dia merayap
ke muka. Sekalipun begitu, cukup cepat juga jalannya, persis
seperti laku kera bergelantungan.
Begitu tiba didekat tepi sana, sekali gunakan jurus ki-luntohoan atau roda berputar terbalik, dia ayunkan tubuh loncat
ke atas karang. Keringatnya berketes-ketes turun di dahi,
dadanya berkembang kempis.
"Hai, Tan-heng, caramu melintasi itu sungguh
mendebarkan sekali," kata Siau Ih.
Tan Wan mengusap keringatnya, lalu menyambut dengan
masih tersengal-sengal: "Ah, siaote tak mengira kalau rantai
itu begitu licinnya. Ketika tiba ditengah, hampir saja aku
terlepas jatuh ke bawah."
Selanjutnya jalanan yang mereka tempuh ialah "ebuah
jalan kecil. Sekira tigapuluhan tombak jauhnya, pada karang di
sebelah atas, tampak seutas jalan kecil, jadi nyata jalan kecil
itu menyusur ke atas panjang sekali.
Tiba-tiba dari karang yang tak seberapa jauh disebelah atas
sana, terdengar sebuah suara nyaring: "Besar sekali nyalimu
berani mengaduk ke Liu-hun-hiap!"
Mendengar itu Siau Ih amat girang. Belum lagi dia
menyahut, sesosok bayangan sudah muncul beberapa meter
disebelah mukanya. Seorang pemuda kira-kira berumur 26-27 tahun tegak
berdiri menghadang. Pemuda itu mengenakan baju dan celana
pendek warna hijau, alis tebal mata bundar. Dadanya lebar
kokoh, tegak bercekak pinggang.
Siau Ih buru-buru menghampiri maju dan memberi hormat,
serunya: "Mohon saudara sudi menyampaikan, bahwa anak
piatu dari orang she Siau hendak mohon menghadap."
Diambilnya sepucuk surat pemberian si Dewa Tertawa serta
batu Kumala yang pernah diberikan Siau Hong kepada Shintok
Lan selaku panjar kawin tempo dahulu. Kedua benda itu
diberikan kepada pemuda tadi.
Pemuda itu terkejut juga mendengar kata-kata "anak piatu
dari orang she Siau" tadi. Dan demi melihat kedua barang
yang diangsurkan Siau Ih, dia makin terkesiap memandang
Siau Ih. Akhirnya berselang beberapa jenak kemudian, barulah
pemuda itu menyambuti surat dan kumala, katanya sambil
mengangguk: "Sudah duapuluhan tahun majikanku tak pernah
menerima barang seorang tamu, tetapi .......
Dia terhening sejenak, memandang Siau Ih lalu berkata
pula: "Harap tuan berdua tunggu sebentar, aku hendak
melaporkan dulu!" Dengan tangkasnya, orang itu sudah lantas lari pergi.
Siau Ih dan Tan Wan kagum melihat kegesitan pemuda itu.
Sepeminum teh lamanya, pemuda itu masih belum kembali.
Siau Ih gelisah dan baru saja dia hendak mengatakan sesuatu
pada Tan Wan, tiba-tiba pemuda baju hijau sudah muncul.
"Majikanku mempersilahkan tuan berdua datang
bersamaku," kata pemuda itu sembari terus berjalan lebih
dahulu. Siau Ih dan Tan Wan dengan girang segera mengikut.
Ternyata jalan kecil itu amatlah panjangnya. Seratusan
tombak jauhnya masih belum habis, bahkan jalan itu makin
lama makin sempit dan suasananyapun makin lelap sunyi.
Menampak bahwa pada kedua tepi karang yang menjulang
tinggi itu tiada tumbuh barang sebatang rumputpun, diamdiam
Siau Ih heran. Teringat dia bagaimana tempo hari si
Dewa Tertawa mengatakan bahwa alam pemandangan di
lembah Liu-hun-hiap itu indah laksana tempat dewa.
Tiba-tiba pemuda penunjuk jalan itu membiluk disebuah
tikungan diikuti Siau Ih dan Tan Wan dengan tergopoh-gopoh.
Baru kedua pemuda itu membiluk dan mengawasi ke muka,
dilihatnya pemuda penunjuk jalan tadi sudah berdiri sambil
bersenyum di muka pintu sebuah pondok.
Ketika menghampiri datang, Siau Ih dan Tan Wan baru
mengetahui bahwa pintunya itu terbuat dari batu, lebarnya
lebih dari setombak. Pintu itu didirikan menyandar pada
karang. Di atas pintu itu terukir beberapa lukisan burung dan
bunga. Ukirannya amat indah, tampak seperti hidup. Di
pinggir pintu itu terdapat ukiran sajak:
Tempat keramat kediaman dewa di Tiam-jong-san.
Liu-hun-hiap tempat bahagia yang menembus nirwana.
Siau Ih dan Tan Wan, mempunyai kesan yang sama.
Sekalipun huruf-huruf itu hanya empat, ah, namun cukup
menggambar betapa tinggi angkuh sang penulisnya.
---ooo0dw0ooo--- 19. Si Rase Kumala Ketika pemuda penunjuk jalan itu menekan dengan jarinya,
kedua buah daun pintu batu yang berat itu terbuka pelahanlahan.
Begitu masuk, Siau Ih dan Tan Wan segera tertumbuk
dengan cahaya terang. Sebuah padang yang subur dengan rumput dan bunga
beraneka warna, terbentang dihadapan. Angin mendesir,
bunga berlomba-lomba mengadu kecantikan, batang bambu
berbaris dengan daunnya yang rindang. Di bawah tempat
yang teduh, samar-samar tertampak sebuah pondok.
Sampai pada detik itu, barulah Siau Ih percaya apa yang
diucapkan si Dewa Tertawa dahulu. Keindahan selat Liu-hunhiap
itu benar-benar seperti sebuah lukisan.
Siau Ih yakin itulah Kam-jui-suan, pondok tempat
pertapaan enkongnya Iuar si Rase Kumala Shin-tok Kek.
Membayangkan bagaimana sebentar lagi dia bakal berjumpa
dengan engkongnya yang belum pernah dilihatnya itu, hati
Siau Ih berdebar keras. Sepintas terbayanglah dia akan makam almarhum
mamanya. Sesaat tertegun, dia termangu-mangu seperti
terpaku di tanah. Juga Tan Wan pun tak luput dari kegoncangan hati. Betapa
tidak" Sejenak lagi dia bakal berhadapan muka dengan tokoh
termasyhur yang memiliki kepandaian sakti dan berperangai
aneh. Bagaimana sikap tokoh yang menggetarkan dunia
persilatan itu" Tampak kedua pemuda itu tertegun mengandung
kesangsian, tertawalah penunjuk jalan tadi, serunya:
"Majikanku tengah menunggu, harap kalian berdua ikut
padaku." Teguran itu telah membuat Siau lh berdua tersadar, buruburu
dia menghaturkan terima kasih.
Demikianlah mereka bertiga berjalan pula dengan
cepatnya. Setelah melalui padang bunga yang semerbak,
mereka segera tiba di muka sebuah pondok yang bersih.
Pondok itu terdiri dari lima buah ruangan besar kecil,
sederhana tapi cukup terawat resik. Pada pintu yang tertutup
tirai, di atasnya tergantung sebuah papan besar bertuliskan
tiga buah huruf "Kam Jui Sian" Di kedua samping pintu terdapat sepasang sajak dari
bambu, berbunyi demikian:
Bebas dari kemilikan, lepas tiada terikat, adalah laksana
salju cair di api air tertimpa matahari.
Pandangan mata yang lepas, hati nan bebas, setiap waktu
dapat menikmatl bayangan langit dipermukaan air.
Melihat itu, diam-diam Siau Ih membatin bahwa sekalipun
engkongnya itu tinggal mengasingkan diri, namun merasa
bebas lepas dari urusan duniawi. Menandakan bahwa si Rase
Kumala itu seorang pemuja keindahan hidup bebas.
Tiba di muka pondok, tiba-tiba tirai itu tersingkap dan
muncullah pula seorang pemuda bercelana pendek warna
hijau memberi hormat kepada Siau Ih berdua, ujarnya:
"Majikan kami mempersilahkan kongcu berdua masuk."
Pemuda pertama yang menjadi penunjuk jalan tadipun
segera menjajari kawannya yang baru muncul itu, tegak
berdiri di kanan kiri pintu sambil menyingkap tirai.
Setelah mengucap terima masih, Siau Ih ajak Tan Wan
melangkah masuk. Di dalam ruangan itu, terdapat sepasang
pintu angin terbuat dari batu marmer putih berlukiskan
pemandangan alam. Dibalik pintu angin itu, terdapat sebuah ruangan yang
indah. Meja kursi di itu, terbuat daripada batu kumala hijau.
Beberapa buah lukisan pelukis ternama, menghias dinding.
Sebuah tempat perapian dan tempat alat minum dan lain-lain
benda yang antik (kuno). Ruangan itu dipisahkan menjadi dua
oleh sebuah tirai berukirkan lukisan bunga.
Siau Ih dan Tan Wan masuk ke dalam lagi. Ruangan disitu
lebih menyengsamkan lagi. Sebuah meja yang terbuat dari
jalinan akar pohon yang berumur seratusan tahun, dengan di
atasnya terdapat sebuah alat khim dan empat sudut kamarnya
berjajar beberapa pohon bunga yang aneh. Sederhana
sekalipun hiasannya, namun ruangan yang cukup sedang
besarnya itu, menjadi sebuah tempat yang tenteram suci.
Di dekat dinding terbentang sebuah tempat duduk dari
kayu mahoni yang bertutupkan selembar tikar dari anyaman
jenggot naga. Disitu tengah duduk seorang yang berwajah
agung. Dilihat dandanannya, dia itu mirip dengan orang
terpelajar, usianya disekitar empatpuluhan tahun. Dia tengah
memegang sepucuk surat dan sebuah kumala, wajahnya
merenung dalam. Walaupun belum pernah bertemu muka, tapi sepintas
pandang dapatlah Siau Ih menduga bahwa orang itu tentu
engkongnya sendiri. Melangkah maju ke muka tempat duduk,
dia menjurah memberi hormat, ujarnya: "Cucu luar Siau Ih,
mengunjuk hormat pada engkong!"
Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memang orang terpelajar itu bukan lain ialah orang tua
yang telah kehilangan puterinya, kemudian mengasingkan diri
me?yakinkan sin-kang (ilmu sakti), si Rase Kumala Shin-tok
Kek. Pelahan-lahan tampak tokoh itu mengangkat kepala
sepasang matanya yang memancarkan sinar penuh perbawa,
agak dibukanya. Lebih dahulu memandang ke arah Tan Wan yang tengah
berlutut disamping pintu, baru kemudian mengalihkan
pandangannya ke arah Siau Ih, lalu berkata dengan nada
berat: "Angkatlah kepalamu ke muka!"
Siau Ih mengiakan. Demi dia mendongak, tampak si Rase Kumala
memandangnya lekat-lekat, dari ujung kaki sampai ke atas
kepala. Rupanya dia tengah mencari sesuatu pada anak muda
itu. Beberapa jenak kemudian, dia tiba-tiba ulurkan tangannya
kanan yang halus mengelus-elus kepala Siau Ih. Ujarnya
dengan didahului helaan napas: "Anak mengganti ayah, itu
sudah sewajarnya. Kau mirip benar dengan Siau Hong."
Berkata sampai disini, sepasang alisnya yang melengkung
bagai batang pedang itu tampak agak menyungkat, lalu
katanya pula: "Apa maksudmu datang kemari?"
Beberapa butir air mata menitik dari pelapuk Siau Ih,
sahutnya dengan sayu: "Menghadap pada engkong, menebar
bunga dikuburan mama dan masih lagi ?" dendam ayah
bunda yang harus dihimpaskan. Atas titah kakek Dewa
Tertawa, Ih-ji disuruh menghadap kepada engkong untuk
mohon petunjuk." Mendengar kata itu, wajah si Rase Kumala agak berobah,
menampilkan rasa benci. Dengan menganggukkan kepala dia
berkata: "Puluhan tahun tetap tak melupakan, menandakan
bahwa kau mempunyai rasa bakti terhadap orang tua. Hanya
saja "..... sejak berpisah tempo dahulu, mengapa dia si Bok
Tong itu menyembunyikan diri. Pula, mengapa baru hari ini
dia mengatakan tentang dirimu."
Tak kurang rawannya, Siau Ih menjawab: "Kata kakek
karena peristiwa mamaku itulah maka dia malu menemui
engkong ?"" Belum lagi dia selesaikan kata-katanya, si Rase Kumala
sudah menukasnya dengan sebuah tertawa nyaring. Nada
ketawanya melengking menyusur atap.
Puas tertawa, berkatalah dia dengan nada geram: "Jika
benar dia mempunyai perasaan begitu, mengapa tak dulu-dulu
membunuh diri saja?"
Benar si Dewa Tertawa itu bukan orang tuanya sendiri,
namun karena diasuh dan dirawat berpuluh tahun, rasanya
kecintaan Siau Ih terhadap orang tua itu sudah sangat
mendalam. Mendengar engkongnya seperti menyesali
perbuatan si Dewa Tertawa. Siau Ih tidak puas.
"Apa yang terjadi tempo dahulu, baik jangan diungkat lagi.
Taruh kata beliau benar bersalah karena lalai melindungi
ibuku, tapi beliau orang tua itu sudah menebus dosanya.
Belasan tahun mengasing diri di pegunungan sepi, rela
melepas kewajibannya sebagai orang persilatan, rela pula
memikul beban sukar untuk merawat dan mengasuh seorang
anak piatu. Perbuatan itu rasanya sudah cukup untuk
membayar kedosaannya. Apalagi, masih beliau mengantarkan
jenazah mamaku ke Tiam-jong-san dan bersedia untuk
menerima hukuman. Mengapa beliau tak dulu-dulu
mengemukakan perihal diri Ih-ji, rasanya engkong tentu
maklum sendiri. Maafkan, Ih-ji hendak kelepasan omong.
Manusia itu bukan dewa, bagaimanapun juga sesekali tentu
takkan terluput dari kesalahan, engkong kau ?"".."
Baru berkata sampai disini, tiba-tiba si Rase Kumala
memberi isyarat supaya Siau Ih berhenti bicara. Wajah tokoh
aneh ltu menampilkan kekerenan.
Siau Ih terkesima. Sekonyong-konyong mata si Rase Kumala menyapu ke arah
Tan Wan. Mulutnya tampak bergerak-gerak seperti hendak
mengatakan sesuatu. Tan Wan yang sejak masuk di ruangan itu terus berlutut di
belakang Siau Ih, kini buru-buru mengisut ke muka lalu
menganggukkan kepalanya berkata: "Wan-pwe Tan Wan
dengan hormat datang menghadap."
Siau Ih heran juga terhadap sikap engkongnya yang aneh
itu. Kuatir kalau terbit salah paham, buru-buru dia memberi
penjelasan. Mendengar itu tampaknya si Rase Kumala berobah
tenang lalu menyuruh kedua pemuda itu berdiri.
Siau Ih dan Tan Wan lalu mengambil tempat duduk
disebelah itu. Kembali si Rase Ktunala menatap ke arah Tan Wan dan
menanyakan siapakah suhu dari anak muda itu.
Dengan sikap menghormat sekali, Tan Wan menuturkan
asal usul dirinya. Si Rase Kumala tampak mengangguk, ujarnya: "Melihat
sikapmu dan tulang-tulangmu amat bagus, rasanya dapat
digembleng. Asal dapat melatih diri dengan disiplin keras, hari
depanmu pasti gemilang."
Siau Ih longgar perasaannya dan turut bergirang atas rejeki
sang kawan yang di "sir" (disukai) oleh engkongnya itu.
Sedangkan Tan Wan sudah lantas berbangkit dan menyatakan
kesediaannya dengan tetap: "Wanpwe dengan penuh ketaatan
sedia menerima kebaikan cianpwe dan berjanji akan belajar
sungguh-sungguh. Kelak wanpwe tentu tak bakal
mengecewakan kebaikan cianpwe itu."
Si Rase Kumala bersenyum dan menyuruhnya duduk
kembali. Kemudian dengan wajah bersungguh dia berkata
kepada Siau Ih: "Kata-kata pembelaanmu untuk si Bok Tong
tadi, meskipun kedengarannya penuh dengan ikatan budi, tapi
mengandung sifat menentang!"
Sudah tentu kejut Siau Ih yang baru saja bergirang itu,
bukan kepalang. Buru-buru dia tundukkan kepala menyahut:
"Apa yang Ih-ji ucapkan tadi adalah keluar dari setulus hatiku.
Apabila engkong menganggap hal itu menentang, Ih-ji rela
terima kesalahan." Sejenak menatap si anak muda, tiba-tiba wajah si Rase
Kumala menampil seri senyum, katanya: "Kau bersedia
menerima kesalahan, tapi tentunya kau tak mengetahui
adalah aku mempersalahkan kau atau tidak! Kukira kau tentu
sudah banyak mendengar tentang sepak terjang engkongmu
ini dahulu. Mungkin orang menganggap aku ini seorang yang
berhati dingin berwatak aneh tak mengenal budi kecintaan.
Tapi pada hakekatnya tidak begitu halnya. Benar setiap
tindakanku itu sepintas pandang hanya seperti menuruti
kepuasan hatiku saja. Namun sebenarnya setiap apa yang
kulakukan itu, telah kupertimbangkan masak-masak.
Kuadakan garis tajam mana budi mana dendam, tak nanti
kulalaikan cengli (nalar). Dan, ketahuilah bahwa aku ini
seorang yang paling menjunjung ikatan rasa kecintaan.
Ucapanmu tadi memang bersifat pembelaan, tapi keluar dari
hati sanubarimu. Manusia tetap takkan melupakan ikatan
kebaikan." Sampai disini, barulah membuktikan sendiri bahwa
engkongnya itu benar-benar seorang biasa dengan watak
yang luar biasa Kini tak berani lagi dia membantahnya.
Saat itu, mendadak si Rase Kumala angkat tangannya
memukul tiga kali dan masukkan kedua pemuda bercelana
pendek tadi. "Inilah cucuku luar Siau Ih dan ini sahabatnya Tan Wan,"
katanya sembari menuding pada Siau Ih dan Tan Wan. Kedua
pemuda bercelana pendek itu tersipu-sipu memberi hormat
dan menyebut kongcu (tuan muda) pada Siau Ih berdua.
Kemudian si Rase Kumala memperkenalkan kedua
orangnya itu kepada Siau Ih berdua.
"Dia bernama Liong-ji." katanya sambil menunjuk kepada
pemuda berparas cakap, Liong-ji artinya si Naga.
Kemudian menuding ke arah pemuda yang bermata bundar
besar, beralis tebal dia berkata: "Dia bernama Hou-ji (si
Harimau). Sejak kecil mereka berdua ikut padaku. Karena
tiada berorang tua dan tiada mempunyai she, maka ikut aku
she Shin-tok. Kamu berdua boleh membahasakan Liong-ko
dan Hou-ko pada mereka!"
Berhenti sejenak merenung, berkata pula si Rase Kumala:
"Menyambangi kuburan orang tua, adalah kewajiban anak.
Nah, kini boleh kusuruh Liong-ji dan Hou-ji membawamu
kesana." Berkata sampai disini, nada si Rase Kumala mengunjuk rasa
kekeluargaan. Siau Ih berlinang-linang air matanya. Antara engkong
dengan cucu, telah terdapat perpaduan kalbu.
Tan Wan pun ikut terharu. Untuk menyimpangkan suasana
haru itu, dia buru-buru ajak Siau Ih untuk lekas-lekas ikut
pada si Liong dan si Hou.
Kira-kira sepeminum teh lamanya berjalan melalui
beberapa tikungan di belakang pondok Kam Jui Sian, tibalah
mereka berempat di sebuah hutan bunga. Dibilang hutan
bunga karena lapangan yang cukup luasnya itu penuh
ditumbuhi ratusan batang pohon tinggi yang tengah berbunga.
Warnanya biru muda, besarnya hampir menyerupai
mangkuk, sungguh suatu jenis bunga yang aneh. Bergontaian
dihembus angin, bunga itu menebarkan bau yang harum.
Ditengah hutan bunga itu, terdapat sebuah bungalow
(Pagoda kecil) yang terbuat dari batu marmar hijau, berpayon
atap biru. Shin-tok Liong dan Shin-tok Hou berbenti di muka
hutan. Sementara dengan sepintas pandang, tahulah Siau Ih
bahwa bangunan indah itu tentulah makam ibunya. Tanpa
terasa air mata bercucuran membasahi kedua belah pipinya.
Setelah puas melepaskan kedukaannya, barulah dia
melangkah masuk menghampiri bangunan itu.
Benar juga ditengah ruangan itu, terdapat sebuah makam
dari batu marmar hijau. Di muka makam, terdapat sebuah
batu nisan bertuliskan: "Makam puteriku tercinta Lan-ji'
Tak dapat lagi Siau Ih membendung air matanya yang
membanjir turun. Segera dia masuk dan bertekuk lutut
menangis tersedu-sedu. Ratap tangis dihutan bunga nan sunyi
senyap itu, telah menimbulkan suatu suasana haru rawan.
Tan Wan, Shin-tok Liong dan Shin-tok Hou ikut-ikutan
menetes air mata. Puas menangis, Siau Ih mencabut pedang thiat-coat-kiam.
Melintangkannya di dada, dia segera mengikrarkan
sumpahnya untuk membalas dendam ayah bunda.
Habis bersumpah, digunakannya pedang itu pada jari
tengah. Beberapa titik darah menetes di muka batu nisan.
Kemudian setelah bersujud dengan khidmatnya, barulah dia
berdiri. Tan Wan segera memberi hormat.
Begitulah setelah agak lama mengelu-elu makam mendiang
ibunya, barulah Siau Ih dan kawan-kawan kembali ke pondok.
Karena berjumpa dengan cucu satu-satunya, waktu makan
siang, si Rase Kumala sengaja datang menemani. Untuk
pertama kali sejak kehilangan puteri kesayangannya, barulah
saat itu dia merasa gembira, namun pada lahirnya dia tetap
tenang. Selama makan itu, disuruhnya Siau Ih menuturkan masa
kecilnya serta pengalamannya selama turun gunung itu.
Diam-diam si Rase Kumala puas akan pengorbanan si Dewa
Tertawa mendidik anak itu. Tapi demi mendengar sampai di
bagian Siau Ih bertemu dengan Goan Goan Cu, si Rase
Kumala menyela dengan kejutnya: "Masakah ia mandah saja
menerima kata-katamu yang menusuk hati itu?"
Merenung sejenak, Siau Ih menerangkan bahwa disaat
hendak pergi, kepala biara Siang Ceng Kiong itu titip omongan
padanya, kelak dia tetap akan menyelesaikan peristiwa di
Siang Ceng Kiong tempo dahulu.
Mendengar itu, si Rase Kumala tertawa dingin, ujarnya:
"Kematian mendiang ayahmu itu, terang dicelakai orang. Tapi
siapa durjana itu, hingga kini masih belum ketahuan. Justru
inilah yang menjadikan kita, angkatan tua, merasa malu. Kini
sudah berselang puluhan tahun, namun dia (Goan Goan Cu)
masih berlagak tinggi. Yang nyata biar bagaimana juga, dia
tak terluput dari kesalahan telah menghukum murid secara
sewenang-wenang. Selebihnya, apa yang diucapkan itu
hanyalah sebagai pelabi (alasan) menutup malunya saja.''
Sebenarnya saat itu, demi melihat wajah engkongnya
menampilkan dendam kemarahan, Siau Ih sudah lantas mau
minta petunjuk untuk rencana melakukan pembalasan.
Tapi kala itu, si Rase Kumala mempunyai pikiran lain.
Ditatapnya anak muda itu lekat-lekat.
"Ibumu adalah anak perempuanku tunggal, sementara kau
adalah satu-satunya darah dagingnya. Harapanku ialah
hendak menjadikan kau seorang manusia gemblengan. Kaum
muda di kalangan persilatan, walaupun lebih dahulu belajar
ilmu silat, tapi sekali-kali tak boleh meninggalkan ilmu sastera.
Kedua hal itu, harus dituntut bersama barulah dapat dikata
sempurna jasmaniah dan rokhaniah. Yang dibilang ilmu, ialah
ilmu silat dan ilmu sastera itu. Untuk mencapai kedua hal itu,
pertama-tama harus melatih watak pribadi. Hanya saja
membentuk kepribadian itu laksana menempa emas. Beratus
kali menempanya, barulah dapat sempurna."
"Kau memiliki kecerdasan dan berbakat bagus. Apalagi
sejak kecil telah mendapat warisan seluruh kepandaian si Bok
Tong. Ibarat pisau, makin tajam makin berbahaya kalau salah
yang menggunakan, kaupun demikian juga. Setelah memiliki
ilmu silat yang tinggi, haruslah membentuk kepribadian yang
kuat. Oleh karena itu, sejak hari ini kusuruh kau tinggal di
pondok Chui-hun-lou yang berada di belakang selat ini. Tiap
hari akan kuberimu pelajaran surat. Kuberi batas waktu satu
tahun, kalau selama itu kau mematuhi apa yang telah
kutetapkan itu, kelak seluruh kepandaianku akan kuberikan
semua padamu. Kemudian kauboleh turun gunung melakukan
pembalasan. Tapi ingat, selama setahun itu, kau hanya
diperbolehkan bergerak seluas sepuluh tombak di muka
pondok itu. Apabila berani melanggar, akan menerima
hukuman berat." Siau Ih tak menyana sama sekali bahwa engkongnya
mengemukakan hal seperti itu. Benar engkongnya itu
mempunyai maksud baik, tapi dalam kebatinan Siau Ih
mengeluh. Masakah untuk membalas sakit hati orang tuanya,
Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia harus belajar sastera sampai satu tahun lamanya.
Namun demi memperhatikan wajah sang engkong
mengerut keren, dia bercekat dalam hati. Tanpa terasa, dia
tundukkan kepala dan menelan kembali kata-kata yang
sedianya hendak diajukan.
Si Rase Kumala bukan bintang cemerlang dari sepuluh
Datuk, kalau dia tak dapat membaca hati cucunya itu.
"Apakah kau merasa enggan?" tanyanya dengan berat.
Dalam kejutnya Siau Ih buru-buru mendongak dan
menyahut lantang: "Ih-ji tak berani menentang, hanya ?".."
Dia berhenti sejenak, tapi ketika hendak melanjutkan lagi
dilihatnya wajah si Rase Kumala berobah membesi, sepasang
matanya membeliak. Dengan isyarat tangan, tokoh itu segera
menukas: "Karena tiada keberatan, baik jangan banyak
omong lagi!" Habis itu, segera dia panggil Shin-tok Liong.
"Bawalah adikmu Ih ini ke Jui-hun-lou sana. Selama satu
tahun, baik mengenai pelajaran yang kutetapkan dan makan
pakainya, kaulah yang mengurus. Tapi dia dilarang keluar
seluas sepuluh tombak dari pondoknya. Apabila berani
melanggar, aku akan minta pertanggungan jawab padamu,"
katanya. Shin-tok Liong terkesiap. Dengan penuh keheranan dia
melirik ke arah Siau Ih, tapi baru saja dia berniat membuka
mulut, si Rase Kumala sudah mengisyaratkan supaya dia lekas
kerjakan apa yang diperintahnya itu.
Dengan agak mendongkol, Siau Ih berbangkit, katanya:
"Titah engkong itu, Ih-ji tak berani membantah, tapi ?"."
"Apa isi hatimu, aku cukup mengerti. Benar sakit hati orang
tua itu, harus diutamakan. Tetapi ketahuilah, bahwa kematian
ayahmu itu mempunyai sebab-akibat yang berliku-liku. Dan
lagi orang orang yang tersangkut, bukan tokoh sembarangan.
Sekali terjadi penyelesaian, tentu akan menimbulkan
kegoncangan besar yang belum pernah terjadi di dunia
persilatan. Pun pihak lawan itu dapat menyimpan rahasia itu
sebaik-baiknya. Untuk menjaga gengsi, aku tak berani
bergerak sembarangan. Harus mempunyai rencana yang
cermat, baru boleh bertindak. Selamanya aku tak mau berbuat
kalau belum mempunyai pegangan yang meyakinkan. Tentang
bagaimana sifat seluk-beluknya itu, kelak kau pasti
mengetahui sendiri. Pendek kata, pasti tak membuatmu
kecewa ?"." Tiba-tiba dengan bergelora, Siau Ih menyela: "Pihak lawan
yang engkong maksudkan itu, tentulah durjana yang
mencelakai ayah. Menurut gejala pada masa terjadinya
peristiwa itu, apakah Siao-sat-sin Li Hun-liong tiada
tersangkut?" Dengan penuh perhatian, Siau Ih menunggu jawaban yang
positif dari engkongnya. Tapi di luar dugaan, si Rase Kumala
tertawa dingin, serunya: "Bukti apa yang kau dapat
kemukakan bahwa Li Hun-liong yang melakukan hal itu?"
Pertanyaan itu telah membuat Siau Ih bungkam dalam
seribu bahasa. Sesaat kemudian kembali si Rase Kumala
menghela napas panjang. "Aku tak mau main menyangka saja, tapi harus memiliki
bukti yang kuat, baru dapat menuduh positif. Kedua song-sat
itu bukan tokoh picisan, tentu mereka tak begitu saja mandah
melihat puteranya dicelakai orang. Dan taruh kata memang
berbukti anak itu yang berbuat, juga harus diselesaikan
dengan pertandingan jiwa. Belasan tahun aku menyikap diri
ditempat yang sepi sini, bukan berarti sudah melupakan
dendam itu. Sedianya tiga tahun lagi, aku hendak turun
gunung untuk yang kedua kalinya guna menghabiskan
dendaman itu. Kini sekall pun rencana itu masih belum
berobah, namun pelakunya terpaksa harus diganti. Tugas
berat itu, kini akan kuletakkan padamu. Ah, banyak bicara
kurang bermanfaat, kuharap kau dapat melatih diri baik-baik."
Betapapun rongga dada Siau Ih penuh dengan seribu satu
pertanyaan, namun sikap engkongnya itu telah membuatnya
tak dapat berbuat apa-apa lagi. Setelah memberi hormat, dia
tinggalkan ruangan itu. Tiba di muka pintu, dia tertegun
sebentar memandang ke arah Tan Wan, kemudian berjalan
keluar mengikut Shin-tok Liong.
Tan Wan tergerak hatinya. Segera dia berbangkit dan
mengajukan permintaan pada si Rase Kumala agar diijinkan
mengawani Siau Ih. Si Rase Kumala tak mau lekas-lekas menjawab, melainkan
menatap tajam-tajam ke arah pemuda itu.
"Tak usah, biar dia seorang diri saja. Dengan begitu,
mungkin dia akan lebih berhasil melatih diri. Ih-ji amat cerdas,
tapi kurang toleransinya. Benar setingkat lebih atas dengan
pemuda kebanyakan, tapi masih jauh sempurna dari pikiran
yang bijak. Karena digembleng Bok Tong, dia tentu tergolong
jago kelas satu. Justeru inilah yang mempertebal sifat
kecongkakannya. Congkak mudah menjurus keganasan,
mudah menuruti kemauannya sendiri."
"Hal itu telah kualami sendiri. Selama bertahun-tahun
menyepi ini, pikiranku makin sadar. Oleh karena itu, banyaklah
sudah terjadi perobahan pada watak perangaiku. Apa yang
telah berhasil kucapai itu, hendak kuajarkan pada orang lain.
Mungkin kau mengira bahwa aku keliwat tawar terhadap Ih-ji,
tapi pada, hakekatnya tidak demikian. Ingatlah akan
peribahasa yang mengatakan behwa, kalau tak digosok batu
kumala itu takkan jadi barang berharga. Apa yang kelak
dicapainya, pasti amat berguna baginya."
"Wanpwe tak berani menduga yang tidak-tidak," buru-buru
Tan Wan menyatakan. "Ah, kau tentu belum yakin benar," tukas si Rase Kumala.
Diterka isi hatinya, wajah Tan Wan menjadi merah padam.
Dia tundukkan kepala tak berani bercuit.
Si Rase Kumala tertawa. "Tak usah kau resahkan hal itu. Memang bagi siapa yang
sudah mempunyai penerangan batin, tentu mengerti ceng-li
(logika). Buktinya, Liong-ji sama sekali tak kaget mendengar
perintahku tadi. Setelah sadar akan maknanya, tentulah orang
tak menganggap aku buta perasaan," kata si Rase Kumala.
Rasa mengindahkan terhadap tokoh termasyhur dari
kalangan sepuluh Datuk itu, makin besar dalam hati Tan Wan.
Serta merta dia menghaturkan maaf terhadap si Rase Kumala.
"Manusia tak luput dari kesalahan. Yang penting, ialah
dapat memperbaiki kesalahan itu. Kau mempunyai tulang
bagus. Sementara akupun belum mendapatkan calon
ahliwaris. Puteriku satu-satunya, siang-siang sudah menutup
mata. Darah keturunanku yang semena-menanya hanyalah
Siau Ih seorang. Oleh karena itu, kubermaksud hendak
menggernblengmu!" Mungkin pada saat itu, Tan Wan merasa dirinya sebagai
seorang yang paling berbahagia di atas bumi. Mengapa tidak"
Bagi orang persilatan, ilmu pelajaran silat merupakan benda
yang paling dihargakan. Bakal diangkat menjadi pewaris dari
tokoh semacam si Rase Kumala, siapa orangnya yang tidak
kegirangan setengah mati!
Namun Tan Wan bukan seorang yang mudah melupakan
budi. Terhadap suhunya yang dulu, dia belum berhasil
membalaskan sakit hati. Kalau dia sekarang berguru pada lain
orang, bukankah akan meninggalkan budi kebaikan gurunya
yang lama" Tapi kalau saat itu dia menampik kebaikan si Rase Kumala,
mungkin dia akan menyesal seumur bidup. Ah, serba sulit. Tan
Wan tundukkan kepala tiada memberi pernyataan apa-apa.
Si Rase Kumala cukup mengetahui apa yang diresahkan
anak muda itu. Mengangguk dia dengan tersenyum simpul,
serunya: "Bukankah kau mengenangkan mendiang suhumu?"
Dengan suara rawan Tan Wan mengiakan.
"Minum air, mengenangkan sumbernya, berarti tak
melupakan asal-usulnya. Itulah suatu pertanda yang baik bagi
seorang murid. Sekali aku hendak menjadikan kau, tetap akan
menjadikan sampai sempurna. Begini sajalah. Anggap saja
kau ini menjadi anak angkat dari almarhum puteriku Shin-tok
Lan, dengan begitu berarti kau tak berguru pada lain
perguruan, sedang rencanaku pun tetap berjalan. Mengenai
upacara, kita nanti pilih hari baik!"
Tersipu-sipu Tan Wan berlutut dihadapan si Rase Kumala
untuk menghaturkan terima kasihnya. Girangnya bukan
kepalang. Si Rase Kumala segera suruh Shin-tok Liong
menyediakan tempat tinggal bagi Tan Wan.
Demikianlah lembah Liu-hun-hiap yang belasan tahun hidup
cialam ketenangan, pada hari itu diliputi oleh suasana
kegirangan. Tan Wan tinggal di muka lembah, sementara Siau
Ih dibagian belakang pondok Jui-hun-lau.
---oo0dw0oo-- 20. Kekecewaan Terhadap Engkong
Tempo berjalan amat cepat sekali. Rasanya hanya dalam
beberapa kejap saja dan sang musim rontok sudah
menyerahkan tugasnya pada musim dingin. Namun musim
dingin itupun tak kuasa mengganggu pemandangan indah
permai dari lembah Liu-hun-hiap.
Memang Siau Ih bergirang atas rejeki Tan Wan yang
diterima menjadi murid engkongnya itu. Tapi dia sendiri
sebaliknya merasa sebal memikirkan nasibnya.
Bagi seorang pemuda yang biasanya hidup dalam alam
kebebasan, tentu merasa jemu disekap dalam sebuah tahanan
berupa pondok Jui-hun-lou itu. Lebih-lebih pelajaran yang
diberikan oleh engkongnya itu, adalah terdiri dari pelajaran
kitab kerokhanian yang sukar ditelaah.
Ditambah pula Shin-tok Liong yang diwajibkan mengurus
kepentingannya itu, bersikap dingin sekali. Kecuali tiap hari
membersihkan ruangan pondok, menyediakan makanan dan
mengantarkan bahan pelajaran dari si Rase Kumala,
sepatahpun Shin-tok Liong itu tak mau ngajak Siau Ih bicara.
Bermula Siau Ih masih mengharap pemuda itu dapat diajak
bercakap-cakap barang sebentar untuk melepas kesepian, tapi
tiap kali dia membuka mulut, tentu Shin-tok Liong cepat-cepat
menyahut masih ada lain kerjaan atau dinanti oleh majikannya
si Rase Kumala. Lama kelamaan Siau Ih merasa bahwa
pemuda itu memang sengaja hendak menyingkir.
Sudah tentu dalam hal itu, karena di perintah oleh
engkongnya. Akhirnya Siau Ih pun tak mau menegur sapa lagi
kepada Shin-tok Liong. Dengan begitu rasa kesepiannya pun
makin besar. Alam disekeliling pondok itu, sebenarnya indah bagaikan
sebuah lukisan. Tapi karena tiap hari memandangnya, jadi
diapun merasa bosan. Baru dua tiga bulan berjalan, Siau Ih sudah merasa seperti
dua tiga tahun lamanya. Kesunyian itu hampir saja
membuatnya kalap. Beberapa kali dia mengandung pikiran
untuk menerobos kebagian depan dari lembah bahkan
meloloskan diri sekali, namun setiap kali terbayang akan
wajah engkongnya yang berwibawa itu, hatinya menjadi
gentar. Berulang kali dia coba menekan perasaannya, namun sang
hati tetap berontak saja menginginkan kebebasan.
Pada hari itu, Siau Ih tengah berdiri di muka pondoknya.
Diam-diam dia memperhitungkan bahwa waktunya berjanji
bertemu dengan si Dewa Tertawa di gunung Ban-ke-san
sudah hampir tiba. Suatu hal yang membuatnya makin resah
gelisah. Berjam-jam lamanya dia mondar-mandir dalam pondok
mencari pikiran. Benar dia menaruh perindahan besar
terhadap pribadi engkongnya itu, namun kecintaannya
terhadap si Dewa Tertawa sudah membekas dalam.
Ah, alangkah baiknya kalau ayah angkatnya di Dewa
Tertawa itu dapat berkunjung dipondok Jui-hun-lou itu.
Akhirnya dia mengambil putusan hendak menghadap engkong
untuk mengajukan suatu permohonan.
Dengan keputusan itu, barulah hatinya dapat tenang
kembali. Dihampirinya meja tulis lalu menulis beberapa patah
perkataan di atas secarik kertas. Tulisan itu berbunyi begini:
"Rambut putih bertebaran, bersandar dipintu menjelang
harapan. Pulang sudah anakku yang mengembara" Ah,
diempat penjuru masih tetap tenang."
Dimasukkannya surat itu dalam sampul. Kebetulan saat
itupun Shin-tok Liong datang mengantar makanan siang.
Buru-buru dia menyambuti kiriman itu sembari menghaturkan
terima kasih atas jerih payah orang.
Teguran itu telah membuat Shin-tok Liong terkesiap karena
sudah sebulan lebih Siau Ih tak berbicara padanya. Biasanya
pemuda itu (Siau Ih) bermuram durja, mengapa hari ini dia
tampak berseri wajahnya"
"Siaote hendak minta bantuan, entah apakah Liong-koko
sudi membantu?" Kembali Shin-tok Liong terkesiap. Pertolongan apa yang
diminta oleh pemuda itu" Tak berani gegabah menyanggupi,
Shin-tok Liong hanya memandang ke arah Siau Ih sembari
mendengus. "Apa yang siaote hendak mohon itu, bukanlah suatu yang
sukar, melainkan hendak minta Liong koko menyampaikan
surat ini kepada engkong," buru-buru Siau Ih menjelaskan.
Shin-tok Liong menghela napas longgar, lalu menyahut:
"Ah, tak jadi apa, tentu kukerjakan.
Begitulah setelah Siau Ih menerimakan suratnya, Shin-tokLiong pun segera berlalu. Sesore itu, Siau Ih menunggu
dengan hati berdebar. Biasanya menjelang magrib tentu Shintok
Liong datang menghantar makanan, tapi anehnya kala itu
dia tak kunjung muncul. Siau Ih makin gelisah. Untunglah tak lama kemudian
tampak sesosok bayangan berkelebat tiba di muka pondok.
Baru Siau Ih hendak turun dari loteng, atau Shin-tok Liong
sudah muncul dihadapannya.
"Liong koko, apa kabar?" tanyanya dengan tergesa-gesa.
Dengan tertawa Shin-tok Liong mengeluarkan sepucuk
sampul dan diberikan kepada Siau Ih. Hati anak muda itu
makin berdebar keras. Begitu menerima sampul, dia tak mau
lekas-lekas membuka melainkan menatap lekat pada Shin-tok
Liong. Rupanya Shin-tok Liong mengerti apa yang dimaukan
pemuda itu. Buru-buru dia menerangkan bahwa dia tak
mengetahui apa isi surat dari majikannya itu.
Dengan berdebar-debar, Siau Ih membuka sampul.
Selembar surat warna biru muda, bertuliskan perkataan
Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebagai berikut: "Selama tiga bulan kau belajar, ternyata tidak mendapat
suatu apa. Setiap hari pikiranmu melamun, apakah sebabnya"
Telah kusuruh Hou-ji mencari Bok Tong, dalam waktu singkat
tentu akan dapat bertemu padamu. Jangan keliwat dipikirkan.
Adanya kusuruh kau belajar, ialah supaya kau dapat
melatih watak pribadian, otak terang pikiran tenang. Jangan
suka melamun, jangan meraikirkan yang tidak-tidak. Disitulah
kau baru dapat berhasil. Demikianlah permintaanku. Camkan benar-benar."
Walaupun bakal berjumpa dengan ayahnya angkat si Dewa
Tertawa, namun Siau Ih masih belum puas karena dendam
ayah bundanya belum diketahui bilamana akan diusahakan.
"Kutahu bahwa engkong bermaksud baik terhadap diriku
tapi mengapa soal itu tidak dijalankan saja setelah nanti
pembalasan sakit hati ayah bunda itu selesai" Dengan cara
begini, apakah engkong itu tidak keliwat dingin terhadap
diriku?" ujarnya dengan geram.
Shin-tok Liong menaruh simpati terhadap pemuda itu,
namun karena sudah diperintah oleh majikannya, diapun tak
dapat berbuat apa-apa. Beberapa saat kemudian, dia
tinggalkan pondok itu lagi. Lama Siau Ih berdiri tertegun
seorang diri. Tiba-tiba dia mendapat pikiran, ujarnya sendiri: "Dendam
ayah bunda adalah suatu kewajiban besar. Dengan
memerintahkan begini, entah bilamana engkong dapat
menyelesaikan pembalasan sakit hati itu. Dari pembicaraannya
tempo hari, nyata engkong juga menaruh dendam terhadap
kedua Song-sat itu. Juga dalam penyelidikan masa itu, terang
Siao-sat-sin Li Hun-liong itu tak terlepas dari dakwaan.
Engkong menghendaki bukti yang kuat baru mau bertindak.
Ah, mengapa aku tak mau nyerempet bahaya sedikit,
tinggalkan tempat ini untuk melakukan penyelidikan. Asal
berhasil menemukan bukti, biar engkong memarahi, tapi
rasanya aku sudah dapat menunaikan kewajibanku sebagai
anak terhadap orang tua ?"."
Namun pada lain kilas, dia berpikir sendiri: "Rencana tadi
memang bagus, tapi bagaimana caraku untuk menerobos dari
pintu batu selat Liu-hun-hiap itu" Bukankah pintu itu dijaga
oleh Liong koko ?""
Kembali Siau Ih gelisah hatinya. Beberapa kali dia naik
turun loteng memikirkan daya yang sempurna, namun sia-sia
jua. Baru ketika menjelang jauh malam, dia mendapat
ketetapan hati. "Dalam surat tadi engkong mengatakan kalau Hou koko
tengah menuju ke Ban-ke-san, jadi yang menjaga pintu selat
hanyalah Liong koko seorang. Tadi kuperhatikan dia agak
menaruh simpati padaku, ah, asal aku dapat mengomonginya
?""." Memikir sampai disini, kembali hatinya bergoncang keras.
Teori sih bagus, tapi bagaimana kenyataannya nanti,
wallahualam. Keesokan harinya, dia menunggu kedatangan Shin-tok
Liong dengan penuh harapan. Begitu pemuda itu mengantar
makanan, Siau Ih segera menuturkan hasratnya. Begitu
meluap rangsangan hatinya itu, hingga tak kuasa lagi dia
menahan kucuran air matanya.
Shin-tok Liong seorang pemuda yang cerdas dan mendapat
gemblengan dari si Rase Kumala. Tapi dikarenakan dia tak
pernah turun gunung, jadi hatinya masih jujur, tak kenal akan
kepalsuan dunia. Tergerak hatinya melihat penderitaan Siau
Ih. Diam-diam diapun menganggap perbuatan majikannya (si
Rase Kumala) itu kelewat bengis terhadap cucunya sendiri.
Setelah merenung beberapa saat, akhirnya dipandangnya
wajah anak muda yang basah dengan air mata itu.
"Baiklah, biar bagaimana aku sedia membantu hiante.
Segala kesalahan, aku yang menanggung. Tapi Hou-te sudah
mencari Bok-lo-sian-ong dan tak lama lagi, beliau tentu sudah
tiba kemari. Kalau hiante pergi terlalu lama, tentu akan dibuat
pikiran oleh kedua cianpwe itu," kata Shin-tok Liong dengan
nada tetap. Mendengar itu serta merta Siau Ih memberi hormat selaku
terima kasihnya. "Ih hiante, ketahuilah apa sebabnya aku suka memberi
bantuan padamu. Pertama, aku ketarik akan rasa baktimu
terhadap orang tua. Kedua, semasa hidupnya bibi Lan itu
memperlakukan kami baik sekali. Adalah demi untuk
kepentingan mendiang, aku hendak membalas budi. Ai, bila
kau hendak berangkat?"
"Kupikir malam nanti juga," sahut Siau Ih.
Shin-tok Liong mengiakan dan menyatakan supaya anak
muda itu berhati-hati dan lekas-lekas pulang kembali. Setelah
itu, dia ngeloyor pergi lagi.
Saking girang mendapat kesanggupan itu, Siau Ih sampai
mengucurkan air mata. Begitulah ketika malam tiba, dengan melalui jendela, dia
loncat turun terus lari keluar menuju ke mulut lembah. Ketika
tiba didekat pondok Kiam Jui Suan, dilihatnya ruangan pondok
itu masih terang lampunya, lapat-lapat kedengaran suara sang
engkong menerangkan suatu pelajaran pada Tan Wan.
Siau Ih tak berani berayal, pun jeri untuk menerbitkan
sesuatu suara yang menimbulkan kecurigaan engkongnya.
Dengan berindap-indap, dia menyusup ke dalam semak-semak
pohon bunga. Dengan jalan cara begitu, setengah jam lamanya barulah
dia dapat tiba dimulut lembah. Pintu batu yang berdaun dua
itu, ternyata tampak terbuka sedikit, tapi cukup untuk
dimasuki tubuh orang. Betapa girang dan rasa syukurnya
terhadap bantuan Shin-tok Liong, sukar dilukis. Tanpa berayal
lagi, dia segera menyusup keluar.
Berada di luar, dia sejenak berhenti untuk menghela napas
longgar. Kemudian lalu gunakan ilmu berlari cepat, berlarian
disepanjang jalanan sempit menuju jembatan rantai besi yang
menghubung lembah itu dengan dunia luar.
Sekeluarnya dari lembah yang berbahaya itu, pertamatama
dia menuju ke kota Tay-li-seng untuk mengambil kuda
yang dititipkan dirumah penginapan tempo hari. Untuk
kegirangannya, kedua ekor kuda itu masih ada bahkan
tambah gemuk dan segar. Setelah memberi uang pengganti
ongkos perawatan pada jongos, dia segera mencongklang
menuju ke selatan. Walau hatinya amat lapang karena dapat menghirup alam
yang bebas lagi, namun pikirannya masih tetap tertindih.
Dengan berbagai jalan, dia coba mendekati beberapa
kalangan persilatan, tetapi tetap tak berhasil mendapatkan
keterangan siapakah pembunuh ayahnya itu.
Satu-satunya hasil yang diperolehnya selama dalam
perjalanan tanpa arah tujuan itu, ialah pengalaman. Kini
terbukalah matanya, bahwa dunia persilatan itu penuh
pergolakan, tak setenang seperti yang disangkanya.
Orang tak boleh hanya mengandalkan akan ilmu silat saja,
tapi juga kecerdasan. Jadi mengapa sebuah partai persilatan
besar macam Thiat-sian-pang beberapa kali kalah dengan dia,
adalah hanya karena kebetulan saja.
Kesal memikirkan usahanya yang sia-sia, teringat dia akan
saudaranya angkat Liong Go. Dalam hal pengalaman, dia
mengaku kalah dengan pemuda itu. Maka dia mengambil
keputusan akan minta bantuannya. Segera dia menuju ke
propinsi Hok-Kian. Begitulah setelah mengadakan perjalanan selama sepuluh
hari, menjelang magrib dia tiba di sebuah kota kecil
dikabupaten Jiok-kiang-koan. Kalau melanjutkan perjalanan ke
arah tempat penyeberangan sungai Jiok-kiang, terang tengah
malam baru sampai, maka lebih baik dia bermalam di kota
kecil itu saja. Kota kecil yang dapat disamakan dengan desa itu, hanya
terdiri dari dua-tigapuluh perusahaan yang sederhana. Disitu
hanya terdapat sebuah rumah penginapan yang kamarnya
diperuntukkan tidur beberapa orang.
Sebenarnya Siau Ih enggan untuk menginap disitu, tapi apa
boleh buat, toh dia tak perlu tidur. Hidangan disitupun hanya
terdiri dari ayam goreng dan telur rebus saja.
Selagi dia menikmati hidangannya, tiba-tiba dia melihat ada
seorang tua diantara umur limapuluhan tahun tengah
memandang ke arahnya. Orang itu duduk tak berapa jauh dari
tempatnya. Didapatinya orang tua itu masih sehat gagah,
teristimewa sepasang matanya berkilat-kilat macam orang
yang berisi (ahli silat).
"Mengapa dia memandang begitu rupa padaku?" Siau Ih
bertanya dalam hati. Justru dia baru berpikiran begitu, orang tua itu sudah
bersenyum dan menegur: "Saudara tentu bukan orang sini,
bukan?" Siau Ih terkesiap, sahutnya: "Benar, cayhe berasal dari
Siamsay. Tapi rasanya lotiang sendiri juga dari lain daerah."
Orang tua itu mengiakan dan menerangkan bahwa dia
berasal dari Khay-hong. Kemudian dengan masih memandang
lekat-lekat pada Siau Ih, dia menanyakan apa keperluan
pemuda itu datang kesitu.
Pertanyaan itu telah menimbulkan rasa kecurigaan Siau Ih,
namun dengan tak mengunjukkan perasaannya, dia
mengatakan kalau hanya akan tinggal semalam, karena sudah
kemalaman. Orang tua itu mengangguk, ujarnya: "Menilik sikap saudara
ini, tentulah bukan orang sembarangan, rasanya pasti tak
senang menginap ditempat semacaam ini. Kalau tak buat
celahan, sukalah menginap dirumah losiu saja!"
Kecurigaan Siam Ih makin menjadi. Namun karena dia
memang gemar akan petualangan, dia menerima tawaran itu.
Orang tua itu minta dikenalkan namanya.
"Aku Siau Ih dan siapakah nama yang mulia dari lotiang?"
sahut Siau Ih. Orang tua itu bernama Song Jin-kiat, kemudian dia segera
ajak Siau Ih pulang kerumahnya. Siau Ih tak mau main
sungkan, suatu hal yang membuat orang tua itu girang,
membayari rekening makan Siau Ih dan terus ajak pemuda itu
menuju ke arah barat. Setelah membelok beberapa kali, tibalah mereka disebuah
perkampungan yang bersih. Disitu terdapat sebuah gedung
dengan halamannya yang luas sekali. Si orang tua
mengatakan bahwa itulah rumahnya.
Siau Ih rnakin curiga, pikirnya: "Seorang yang memiliki
rumah halaman yang begitu luas dan bagus, mengapa
keluyuran ke tempat rumah makan murah?"
Tiba digedung itu, dari pintunya yang bercat hitam, segera
muncul dua orang budak yang menyambuti kuda sang tamu.
Dengan mengulum senyum, Song Jin-kiat ajak Siau Ih masuk
ke dalam. Segera disuruhnya menyediakan hidangan.
Sewaktu dahar, secara berbelakar Jin-kiat berkata;
"Saudara Siau, kau pasti merasa heran segala apa sudah
tersedia dirumah, tapi aku masih keluyuran dirumah makan
sekotor itu. Ini tak lain, karena setempo aku sudah bosan
dengan hidangan dirumah dan sesekali kepingin jajan-jajan."
Keterangan itu makin menambah kecurigaan Siau Ih. Orang
apakah gerangan tuan rumah itu dan apakah maksudnya dia
mengundangnya kesitu" Diperhatikannya bagaimana Song Jinkiat
itu kerap kali menatapnya lekat-lekat, namun dia purapura
tak mengetahui. Sebaliknya Song Jin-kiat pun tahu apa yang dikandung
tetamunya itu. Ujarnya dengan tertawa: ,,Saudara Siau,
meskipun kita baru berkenalan, tapi sudah seperti sahabat
lama. Losiu hendak memperkenalkan isteri dan anakku, agar
kelak, persahabatan kita dapat lebih erat."
Tanpa menunggu jawahan orang, Song Jin-kiat segera
suruh bujang untuk memanggil isteri dan anaknya.
"Aneh benar, dia baru berkenalan, mengapa bersikap
begitu?" Siau Ih menimbang dalam hati.
Pada lain saat, masuklah seorang wanita yang bersolek
secara menyolok sekali. Usianya diantara tigapuluhan tahun.
Sikapnya agak genit, lebih-lebih sinar matanya mengunjuk
bahwa ia itu seorang perempuan yang cabul.
Di belakangnya mengikut seorang pemuda diantara umur
duapuluhan tahun. Walaupun parasnya cakap, tapi sikapnya
tidak simpatik. Kepalanya menunduk, wajahnya kurang
senang. Begitu melangkah masuk dan melihat Siau Ih, nyonyah
rumah itu segera berobah wajahnya. Belum lagi Siau Ih habis
herannya, tiba-tiba terdengar Song Jin-kiat tertawa sinis. Siau
Ih makin terkesiap. "Saudara Siau, kuperkenalkan, inilah isteriku Tian-si!"
Wanita itu sudah dapat menguasai perasaan kagetnya, lalu
bersenyum kepada Siau Ih selaku memberi hormat. Pemuda
itu buru-buru membalas hormat.
"Dan ini puteraku Song Wan," kata tuan rumah seraya
menunjuk kepada pemuda murung tadi.
Aneh benar Song Wan itu. Walaupun Siau Ih memberi
hormat padanya, tapi dia seolah-olah tak melihatnya, sampai
kelopak, matanya yang sejak tadi ditutup, pun tak dibukanya.
Sudah tentu Siau Ih merasa heran.
"Ai, anakku itu memang jarang bergaul, jadi kurang tahu
adat, harap dimaafkan," kata Song Jin-kiat.
Siau Ih betul-betul berhadapan dengan rumah tangga gila.
Ayah dan anak tidak akrab, suami isteri tidak sepadan. Disitu
tentu terselip sesuatu. Dan puncak keanehannya, ialah
mengapa orang she Song itu mengundangnya bermalam
disitu. Song Jin-kiat segera perintah bujangnya untuk mengganti
hidangan dengan arak. Secara luar biasa ramahnya, dia
berkali-kali menuang arak kecawan Siau Ih. Namun pemuda
itu sudah mulai curiga dan tak mau minum terlalu banyak.
Menjelang tengah malam, akhirnya Siau Ih menyatakan tak
kuat lagi minum dan ingin beristirahat. Tuan rumah sendirilah
yang mengantarkannya kekamar tulis.
Setelah berada seorang diri, Siau Ih dapatkan kamarnya itu
walaupun sebuah kamar tulis, namun hiasan disitu tak karuan
juntrungannya. Siau Ih membuat penilaian terhadap diri tuan
rumah. Kalau dia itu seorang durjana, wajah dan gerak-geriknya
tentu tak sedemikian ramah dan baik. Namun kalau dikata Jinkiat
itu seorang terpelajar, sikapnya agak kasar blak-blakan
Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti orang persilatan. Tetapi orang persilatan yang jujur,
juga tak begitu aneh gerak-geriknya. Pusing Siau Ih
memikirkannya. Waktu sudah mengunjuk pukul dua malam, namun Siau Ih
masih belum dapat tidur. Tiba-tiba di atas genteng
ruangannya, terdengar derap kaki yang enteng sekali. Buruburu
lilin dipadamkan, diambilnya pedang, terus loncat keluar
dari jendela. Di luar suasana amat gelap. Langit tiada berembulan hanya
diterangi oleh ribuan bintang. Sekalipun begitu, mata Siau Ih
yang celi segera dapat melihat bahwa kira-kira sepemanah
jauhnya terdapat sesosok tubuh menyusup masuk ke dalam
halaman. Tapa berayal lagi, dia segera memburu.
Rupanya bayangan itu sudah paham seluk beluk gedung
itu. Langsung dia menuju ke sebuah ruangan. Dari
gerakannya, Siau Ih mengetahui bahwa orang itu tinggi
ilmunya ginkang. Tapi dilihat dari gerak geriknya, terang kalau
bukan orang baik-baik. Dengan gunakan ginkang pat-poh-kam-sian, Siau Ih cepat
sudah menyusul masuk, namun orang tadi sudah lenyap.
Didapatinya halaman disitu, diatur dengan indah.
Diantara ruangan-ruangan yang dibangun pada tembok,
terdapat ada yang masih memancarkan penerangan. Dan
menyusul, terdengar gelak tertawa halus dari ruangan itu.
Sekali loncat, Siau Ih segera menghampiri.
Mendapat warisan pelajaran dari si Dewa Tertawa, sudah
tentu ginkang Siau Ih amat tinggi. Sekalipun malam amat
sunyi, namun sedikitpun dia tak mengeluarkan suara apa-apa.
Loncat ke atas genteng, dia segera kaitkan sepasang kaki ke
atas serambi lalu bergelantungan melongok ke dalam
ruangan. Dari cahaya lilin besar yang menerangi, nyata ruangan itu
merupakan sebuah kamar yang indah hiasannya. Didekat
dinding terdapat sebuah ranjang kayu bercat merah.
Di atas ranjang duduk seorang wanita yang berpakaian
amat tipis. Sementara di muka ranjang, berdiri seorang lelaki
mengenakan pakaian ringkas warna hitam.
---ooo0dw0ooo--- 21. Tersangka Pemetik Bunga
Walaupun orang itu menghadap kesebelah sana, namun
dari potongan tubuhnya, dapatlah Siau Ih menentukan kalau
dia itu tentu seorang gagah. Wanita itu bukan lain ialah isteri
Song Jin-kiat yang masih muda itu. Nyata wanita itu sedang
mengadakan pertemuan dengan seorang gendaknya
(kekasih). Dengan tingkah genit dan aleman sekali, wanita itu
memijat lengan si orang berpakaian hitam, ujarnya: "Gila
benar, waktu aku bertemu padamu tengah berbincangbincang
dengan si tua bangka tadi, hampir saja aku menjerit
kaget. Kalau lain kali kau berbuat begitu lagi, aku tak mau
kenal padamu lagi." "Aku bercakap-cakap dengan dia" Ai, kau ini bagaimana
to?" sahut orang itu dengan herannya.
Tian-si tertawa mengikik, serunia: "Kau seperti kura di
dalam perahu (pura-pura tidak tahu). Masakah mataku buta
?"..!" Rupanya lelaki itu sudah tak tahan lagi melihat tingkah laku
jantung hatinya yang genit. Segera dia memeluk wanita itu
dan merayunya. Adegan itu telah menimbulkan amarah Siau
Ih. Segera dia ambil putusan untuk menyikat manusia
binatang itu. Tapi belum lagi dia sempat bergerak, atau di ruangan itu
segera terdengar orang tertawa keras, lalu disusul dengan
hamun makian: "Orang she Siau, waktu makan malam lohu
sudah mengetahui kedokmu. Sekarang jangan banyak cincong
lagi, ayuh keluar terima kematian!"
Kejut Siau Ih bukan kepalang. Berpaling ke arah datangnya
suara itu, nyata yang meriaki itu ialah Song Jin-kiat. Orang tua
itu tegak berdiri ditengah halaman sembari mencekal
sepasang senjata tun-kang-tian-hiat-kwat atau senjata
penutuk jalan darah terbuat dari baja murni.
Sebenarnya Siau Ih sudah tak dapat mengendalikan
kemarahannya, tapi serta merasa ada sesuatu yang kurang
beres, terpaksa dia bersabar untuk melihat perkembangan.
Sebagai sambutan dari makian Song Jin-kiat tadi, dari
dalam kamar Tian-si terdengar suara ketawa sinis, menyusul si
orang berpakaian hitam sudah loncat keluar kehalaman.
Tanpa banyak ini itu lagi, Jin-kiat segera menyambutnya
dengan tusukkan ji-liong-hi-cu ke arah kedua mata lawan.
Dengan perdengarkan ketawa mengejek, orang itu
berputar diri untuk menghindar. Dan adalah karena dia
berputar tubuh, maka Siau Ih segera dapat melihat
tampangnya. Astagafirullah ?"
"Mengapa dikolong dunia ini terdapat orang yang berwajah
mirip dengan aku!" Siau Ih mengeluh kaget.
Pada saat itu, Song Jin-kiat susuli pula serangannya ke arah
pundak orang, namun dengan sekali gerak, kembali orang itu
dapat memaksa tuan rumah menusuk angin. Jin-kiat makin
naik pitam. Sembari menurunkan tubuh, dia maju menusuk ke
dada lawan dengan jurus kim-cia-than-hay atau jarum emas
menyusup ke laut. Kali ini si orang berpakaian hitam mulai naik darah. Begitu
menyurut mundur, dia sudah melolos sebuah jwan-pian yang
berkilat keemasan. Sebelum Jim-kiat sempat melancarkan
serangan yang keempat, dia sudah mendahului menyabet
jwan-pian ke arah kepalanya.
Jin-kiat tak berani menangkis. Kaki kiri mengisar ke
samping, tangan kanan mendorong ruyung lawan, disusul
tangan kiri menutuk jalan darah ciang-thay-hiat di dada.
Namun si orang berbaju hitampun tidak lemah. Tertawa
dingin, tubuhnya berputar ke kiri. Begitu tusukan lawan di
bawah ketiaknya, dia kirim sabetan ruyung ke muka orang.
Sudah tentu Jin-kiat kaget sejengah mati. Syukur dia dapat
loncat ke belakang. Sekalipun begitu, sabetan ruyung yang
mengenai badannya itu, cukup membuatnya meringis.
Song Jin-kiat jeri terhadap kelihayan lawan yang mahir ilmu
lwekang, namun dalam keadaan marah, dia tak mau pikirkan
ini itu lagi. "Aku atau kau!" serunya sembari menyerbu lagi.
Orang itu hanya tertawa dingin. Ternyata selain ilmunya
tinggi, pencuri isteri orang itupun amat ganas. Jin-kiat sangat
bernafsu lekas-lekas membunuhnya, tapi sebaliknya, setelah
lewat jurus yang ke tigapuluh, dia malah menjadi kalang
kabut. "He, he, setan tua, sebelum fajar, akan kukirim kau
keakhirat!" bangsat itu tertawa mengejek dan lalu robah
gerakannya. Ruyung diputar seru, hingga Jin-kiat seperti
terkurung dalam beberapa lapisan bayangan.
Jin-kiat makin payah. Kekalahannya sudah tinggal soal
waktu saja. Tubuhnya berhias beberapa luka berdarah. Isteri
diganggu, suami akan dibunuh.
Dalam marahnya, Jin-kiat menjadi kalap: "Bangsat, aku
hendak mengadu jiwa padamu!"
Saat itu si orang berpakaian hitam tengah melancarkan
serangan suan-hong-soh-swat, untuk menghantam
pundaknya. Namun tak mau menghindar, Jin-kiat malah
melangkah maju. Dengan kalap dia tusukkan sepasang
senjatanya kelambung lawan.
Kenekadan itu telah membuat si orang berpakaian hitam
terkejut. Buru-buru dia sedot dadanya ke belakang, namun tak
urung pakaiannya rowak dan di bawah lambungnya tertusuk
sampai lima dim lukanya. Hal itu membuatnya marah besar.
Dengan menggerung keras, dia merangsek keras. "Trang,"
tahu-tahu sepasang tun-kong-tiam-hiat-kwat kepunyaan Jinkiat,
telah melayang terlepas ke atas udara. Kim-liong-joantha
atau naga mas menyusup ke pagoda, adalah jurus susulan
yang dilancarkan si orang berpakaian hitam untuk memberesi
Jin-kiat. Tapi belum lagi ruyung mengenai ubun-ubun kepala Jinkiat,
tiba-tiba terdengar suara bentakan: "Tahan!"
Sebenarnya saat itu Jin-kiat sudah tak berdaya kecuali
menjerit seram, tapi demi ruyung agak kendor jalannya,
cepat-cepat dia buang tubuhnya ke belakang untuk
menghindar. Sedangkan si orang berpakaian hitampun segera
berputar ke arah datangnya suara gangguan tadi.
Di bawah talang, tampak berdiri seorang pemuda yang
berpakaian hijau. Pada tangan kanan pemuda itu mencekal
sebatang pedang berkilat-kilat, sedang tangan kirinya
menjinjing sesosok tubuh wanita.
Wanita itu bukan lain ialah Tian-si, isteri Jin-kiat yang
serong itu. Dari wajahnya yang pucat dan tangan terkulai,
nyata wanita itu sudah tak bernyawa.
Memang pemuda itu ialah Siau Ih adanya. Dan demi
tampak bagaimana wajahnya yang keren itu, ialah
menampilkan hawa pembunuhan, si orang berpakaian hitam
menjadi terkesiap. Lebih-lebih ketika didapatinya bahwa pemuda itu mirip
sekali dengan dia. Tapi kekagetan itu segera berobah menjadi
kemarahan besar, demi tampak siapa wanita itu.
"Siapa kau ini?" bentaknya dengan keras.
"Alcu adalah malaekat pencabut nyawa!" sahut Siau Ih
dengan tertawa dingin. "Ia menunggumu di akhirat."
Dengan marahnya si orang berpakaian hitam melejit ke
muka. Ruyung dihantamkan dalam jurus jin-hong-soh-lok-yap,
sembari tangan kirinya menyambar tubuh Tian-si dari cekalan
Siau Ih. Siau Ih mendengus. Tubuh mengisar, tangan mengangkat
mayat Tian-si untuk menangkis ruyung, serunya: "Kau tak
menghormat kedatanganku, akupun akan mengembalikan
kebaikanmu itu!" Pedang Thian-coat-kiam ditusukkan ketenggorokan orang.
Sedemikian cepat serangannya itu, hingga membuat si orang
berpakaian hitam menjadi terbeliak kaget. Buru-buru dia
surutkan kepala terus loncat mundur.
Dia cepat, tapi Siau Ih lebih gesit. Karena ternyata sebagian
kulit kepala orang itu telah terpapas dengan Thian-coat-kiam.
"Bangsat, itu baru sedikit hajaran, yang lihay nanti akan
segera menyusul!" seru Siau Ih.
Kaget, getar dan marah memenuhi dada si orang
berpakaian hitam yang berdiri tegak seperti patung itu.
Sebaliknya kini Jin-kiat baru terbuka matanya. Dia insyaf
akan kekeliruannya menduga Siau Ih sebagai pemuda lacur.
Siapa tahu pemuda itulah yang telah menolong jiwanya.
"Saudara Siau, maafkan segala kekhilafanku, kini yang
perlu jangan lepaskan bangsat itu!" seru Jin-kiat.
"Jangan kuatir, Song toako. Kalau tak dapat melenyapkan
bebodoran ini aku malu melihat matahari!" sahut Siau Ih.
Orang berpakaian hitam itu tertawa nyaring, serunya
dengan geram: "Aku si Wajah Kumala Tio Gun, selalu
menghimpas segala dendam. Kau berani mengadu biru, tentu
akan kucincang menjadi bakso!"
"Bagus, aku yang menjadi bakso atau kau yang mnejadi
frikadel!" sahut Siau Ih sembari lemparkan mayat Tian-si,
kemudian melangkah maju. Jerih akan ketangkasan si anak muda tadi, si Wajah Kumala
setapak semi setapak melangkah mundur. Siau Ih tertawa
sinis, serunya: "Kemana saja kegaranganmu tadi. Mengapa
main mundur saja?" Ejekan itu telah membangkit kemarahan si Wajah Kumala.
"Baik, lihat saja nanti siapa yang jantan?"
Ruyung terus diangkatnya dan dihantamkan ke arah kepala
Siau Ih. Pemuda itu mundur selangkah, serunya dengan
tawar: "Bangsat cabul, meskipun dosamu tak berampun, tapi
aku tetap suka mengalah sampai lima jurus!"
Tio Gun menjawabnya dengan serangan kedua yang
ditujukan ke arah perut orang, tapi dengan sebuah loncatan
kembali Siau Ih dapat menghindar. Serangan kedua luput, si
Wajah Kumala teruskan dengan sebuah tutukan ke pantat
lawan. Sebenarnya Siau Ih akan menangkap hidup-hidup bangsat
itu, untuk diserahkan pada Song Jin-kiat, agar dirinya bersih
dari tuduhan. Tapi demi melibat keganasan penjahat itu, nafsu
pembunuhannya berkobar. Untuk menghindari dari kejaran ruyung, Siau Ih pijakan
kaki kiri ke atas kaki kanan dan dengan meninjau tenaga
pijakan itu, dia melambung lagi setinggi tiga tombak. Disitu
dia berjumpalitan. Dengan kaki di atas kepala di bawah, dia
melorot turun sembari putar pedangnya untuk membacok Tio
Gun. Serangannya tak tercapai, tahu-tahu Tio Gun merasa
kepalanya tersambar hawa dingin. Hendak menghindar, sudah
tak buru. Benar, bangsat pengrusak wanita itu berkepandaian
tinggi, tapi hari itu dia ketemu dengan batunya.
Satu-satunya jalan ialah berlaku nekad. Dengan kerahkan
seluruh lwekangnya ke arah tangan, dia putar jwan-pian
gencar sekali untuk menangkis.
"Trang, trang," menyusul dengan gemerincing beradunya
senjata tajam, Siau Ihpun sudah melayang turun ke bumi.
Sedang si Wajah Kumala pun tak kurang cekatnya, sudah
loncat ke samping. Benar dengan begitu dia terhindar dari
maut, tapi jwan-piannya sudah kutung menjadi dua.
Siau Ih lintangkan pedang ke dada. Menatap ke arah Tio
Gun, dia berseru sambil tertawa sinis: "Dapat menghindari
seranganku jun-u-lian-bian, nyata kau mempunyai modal juga.
Tapi karena tadi telah kujanjikan pada malaekat maut untuk
mengantarkan kau, jadi pertempuran ini masih harus
dilanjutkan lagi!" Han-hoa-tho-lui atau bunga memantulkan kuntum, Siau Ih
sudah lantas maju menusuk ke dada orang. Dengan gebrakan
pertama tadi, tahulah Siau Ih bahwa si Wajah Kumala itu tak
boleh dibuat main-main. Oleh karenanya dalam serangan
berikutnya, dia menyerang dengan sungguh-sungguh.
Sebaliknya karena jwan-pian sudah kutung, semangat si
Wajah Kumala pun menjadi kuncup. Apalagi demi pemuda
lawannya maju pula dengan serangan yang dahsyat, dia tak
berani adu kekerasan lagi. Tapi baru dia loncat menghindar ke
samping, Siau Ih mengejarkan pedangnya dengan jurus hui-siinghong yang disapukan ke arah perut.
Kembali si Wajah Kumala terbirit-birit menghindar. Namun
laksana bayangan, Siau Ih memburu terus dengan serangan
Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang gencar. Jarak mereka amat dekat, jadi si Wajah Kumala
sudah tak dapat lari lagi.
Tapi pada saat itu, sekonyong-konyong wajah Tio Gun
membesi dan perdengarkan tertawa sinis. Sesaat pedang Siau
Ih hampir mengenai, secepat itu si Wajah Kumala sudah
lantas gerakkan tangannya kiri. Serangkum hujan sinar perak
segera menabur ke arah tubuh Siau Ih.
Siau Ih kaget bukan kepalang, cepat dia tarik pulang
pedang dan menyurut ke belakang. Sembari kerahkan
lwekang untuk menutup seluruh jalan darah ditubuhnya, dia
putar thian-coat-kiam gencar-gencar untuk menangkis
serangan senjata gelap dari lawan. Benar tiada sebuah senjata
gelap lawan yang mengenai tubuhnya namun tak urung dia
menjadi keripuhan juga. Sejak turun gunung, kecuali berhadapan dengan wanita
cabul Li Thing-thing yang lihay, baru pertama kali ini dia
dibikin kelabakan oleh seorang musuh. Amarahnya berkobar,
nafsu membunuh orang menyala-nyala.
Didahului oleh sebuah suitan yang melengking, Siau Ih
loncat ke atas untuk menghantam musuh. Tepat pada saat itu,
si Wajah Kumala pun loncat maju untuk melancarkan dua
buah serangan, jwan-pian ditutukkan ke arah pergelangan
tangan lawan, sementara tangan kiri menghantam sekeraskerasnya.
Siau Ih kisarkan lengannya kanan untuk menghindari
tutukan pian, lalu tangannya kiri maju menangkis. "Plak,"
terdengar dua buah tangan beradu keras. Dengan
berjumpalitan, Siau Ih turun ke bumi. Sedangkan si Wajah
Kumala menjadi jungkir balik beberapa kali baru dapat berdiri
tegak lagi. Kini baru terbukalah mata penjahat cabul itu, bahwa selain
memiliki pedang pusaka pemuda lawannya itu juga memiliki
ilmu kepandaian yang tinggi. Seketika semangatnya padam,
nyalinya runtuh dan keinginan untuk melarikan diri segera
timbul. Tapi belum lagi dia dapat melaksanakan rencananya, Siau
Ih sudah merangsang maju lagi. Apa boleh buat, terpaksa dia
melayani. Hanya saja pertempuran kali ini memasuki babak
baru. Mengetahui berhadapan dengan penjahat yang tangguh,
Siau Ih terpaksa keluarkan ilmu pedang lui-im-kiam-hwat dan
gerakan kaki ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-poh, dua buah
ilmu ajaran si Dewa Tertawa yang pernah menggemparkan
dunia persilatan. Seketika itu juga, dua tombak sekeliling
tempat itu, seperti dipenuhi oleh sinar pedang.
Si Wajah Kumala yang sudah jeri, kini makin ketakutan.
Untung jwan-piannya itu masih dapat digunakan. Satusatunya
harapannya ialah akan mencari kesempatan untuk
lolos. Halaman kecil yang berada di belakang gedung Song
Jin-kiat itu, ternyata menjadi berisik sekali dengan deru
sambaran pedang Thian-coat-kiam.
Sesuai dengan namanya lui-im-kiam-hwat atau ilmu pedang
halilintar menyambar, maka halaman itu menjadi bising
dengan suara dahsyat. Song Jin-kiat yang menyaksikan
permainan itu, menjadi melongo kaget.
Sampai pada jurus yang ke limapuluh, rasanya si Wajah
Kumala sudah mengeluarkan habis seluruh kepandaiannya
untuk melayani, namun dia seperti masih dikurung oleh empat
buah bayangan Siau Ih yang merangsang dari empat jurusan.
Beberapa lubang tusukan pedang, telah membuat pakaiannya
hitam itu rompang-ramping.
Diam-diam dia mengeluh. Kalau berjalan duapuluhan jurus
lagi dia tak mampu keluar dari kepungan si pemuda, dia pasti
bakal celaka. Apa boleh buat, dia terpaksa merobah caranya
bertempur, dari menyerang menjadi bertahan.
"Hai, belum lama bertempur mengapa kau jadi lembek?"
seru Siau Ih yang tahu akan keadaan lawan. Dan habis itu, dia
perhebat serangannya. "Hem, karena rencanaku sudah dlketahui, lebih baik aku
mengadu jiwa pikir si Wajah Kumala. Tiba-tiba permainannya
berganti, dari bertahan menjadi menyerang.
"Bagus, ini baru menarik. Tapi bagaimanapun juga, jangan
harap kau dapat kabur!" Siau Ih tertawa mengejek.
Tio Gun tak mau adu lidah, dia seolah-olah menulikan
telinga mendengar ejekan perruda itu. Untuk menumpahkan
kemarahannya, dia pusatkan perhatian untuk menyerang
bagian-bagian yang fatal (mematikan) dari lawan.
Sebaliknya Siau Ih makin gembira untuk mengoloknya.
Dengan mendengus, dia putar pedangnya bukan untuk
menusuk tubuh lawan tapi hendak mencari jwan-pian saja.
Sudah tentu si Wajah Kumala menjadi kelabakan setengah
mati. Dia tak berani beradu dengan pedang pusaka thian-coatkiam,
tapi kalau dia menyingkirkan jwan-pian, pedang itu
tentu menyusup maju untuk menusuk tubuhnya. Ai, runyam
ini. Maka tak mengherankanlah, belum sampai duapuluh jurus,
si Wajah Kumala sudah mandi keringat dingin.
Kini pikiran untuk meloloskan diri, sudah lenyap dari otak
Tio Gun. Benar-benar kali ini dia bertemu dengan batunya.
Pemuda lawannya itu, tangguh, cerdas dan ganas.
"Aku hendak mengadu jiwa padamu!" akhirnya dia berseru
dengan kalap terus menghantamkan ruyung ke arah kepala
lawan. Siau Ih tertawa, dengan jurus thay-kong-tiau-hi dia
tangkiskan pedangnya. "Trang," letikan bunga api
berhamburan dan jwan-pian si Wajah Kumala kembali
terpapas kutung beberapa centi.
Sekalipun demikian, orang itu masih terus maju
merangsang. Karena kekalapannya itu, untuk beberapa saat
Siau Ih terpaksa bertahan sembari sesekali lancarkan
serangan. Berjalan sepuluhan jurus lagi, terdengarlah berulang kali
senjata beradu dan makin lama jwan-pian Tio Gun makin
pandak. Akhirnya sebatang ruyung yang panjang hampir tiga
meter itu, kini hanya tinggal beberapa centi saja. Tiba-tiba
Siau Ih tarik pulang pedang dan melintangkannya ke muka
dada. "Bangsat cabul, kini tibalah saatnya kau harus
menyerahkan jiwamu!" serunya dengan seram.
Keadaan si Wajah Kumala pada saat itu, tak keruan
macamnya. Rambut kusut masai, pakaiannya compangcamping,
wajahnya pucat, sepasang matanya melotot buas. Si
Wajah Kumala sudah berobah menjadi si wajah sengsara.
Dengan tenangnya, Siau Ih melangkah maju. Terpisah
antara dua meter, dia ajukan pedang ke muka untuk menusuk
dada Tio Gun. Sekonyong-konyong si Wajah Kumala
menghindar ke samping, berbareng itu tangannya kanan
menaburkan senjata gelap ke arah Siau Ih.
Sebenarnya itu bukan senjata rahasia, melainkan sisa
ruyung yang sudah tinggal remuk tangkainya. Oleh karena
tahu bahwa dia tak nanti dapat lolos, maka dia mengambil
putusan untuk gugur bersama.
Maka waktu Siau Ih menarik pulang pedangnya tadi, diamdiam
dia sudah himpun lwekangnya. Dan begitu Siau Ih maju
menyerang, dia segera menyambutnya dengan sebuah
sambitan dahsyat. Kesalahan Siau Ih terletak karena terlalu congkak,
meremehkan lawan yang dikiranya sudah tak berdaya itu.
Jaraknya begitu dekat, dan kutungan jwan-pian itu berjumlah
banyak. Dalam kagetnya, Siau Ih coba berusaha menghindar, tapi
sudah terlambat. Syukur masih dapat gerakkan tangan kiri
untuk melindungi tubuh, namun sekalipun begitu tak urung
pundaknya termakan juga oleh beberapa kutungan besi.
Sakitnya sampai menusuk ke tulang. Saking gusarnya, dia
membabat sekuat-kuatnya dan kutunglah lengan kiri si Wajah
Kumala. Pundak Siau Ih terkena sambitan besi dan lengan si Wajah
Kumala terpapas kutung itu, terjadi dalam waktu yang
bersamaan. Rupanya si Wajah Kumala itu seorang jago yang
keras hatinya. Dengan menahan sakit, begitu melihat Siau Ih agak
tertegun, dia terus loncat mundur dan lari tunggang langgang.
Sudah tentu Siau Ih tak menduga akan terjadi hal itu. Waktu
dia tersadar, si wajah Kumala pun sudah tak ketahuan
bayangannya. Saat itu Song Jin-kiat datang menghampiri menghaturkan
maaf, tapi Siau Ih memberi isyarat supaya dia jangan bicara
dulu. Setelah menyarungkan pedang, diperiksalah lukanya
tadi. "Astaga, Siau-kongcu terluka?" seru Jin-kiat dengan kaget.
Siau Ih tak mau menyahut. Hatinya penuh kemengkalan.
Pertama karena dituduh sebagai tukang pengrusak rumah
tangga, kedua untuk pertama kali itu dia terluka dalam
pertempuran dan ketiga karena lawan dapat melarikan diri.
Setelah didapatinya luka dipundaknya itu tak berat, maka
setelah dibalut dengan kain, ia memberi hormat pada tuan
rumah lalu loncat ke halaman luar.
Song Jin-kiat melongo melihat kelakuan pemuda itu. Buruburu
dia mengejar, tapi ketika tiba di halaman luar, ternyata
Siau Ih sudah mencongklangkan kudanya tanpa pamit.
Jin-kiat tahu bagaimana perasaan anak muda itu. Diamdiam
dia menyesal tak terhingga. Namun karena pemuda itu
sudah pergi, terpaksa dia masuk kembali ke dalam gedung.
Malam di daerah Kwitang itu, walaupun terletak di daerah
selatan, namun pada malam itu amat dingin hawanya. Siau Ih
tak menghiraukannya, tengah malam buta dia terus berkuda
menuju ke Jiok-kiang. Dia tak mau masuk kota hanya mencari
sebuah rumah makan di luar kota.
Habis beristirahat sejenak, dia mengitari kota, langsung
menuju ke gunung Tay-tong-san. Oleh karena hanya
seratusan li jaraknya, jadi menjelang sore dia sudah
menampak gunung itu menjulang dengan megahnya.
Kala tiba dikaki gunung, haripun sudah magrib. Puncak
gunung itu sudah berselimutkan awan hitam. Baru dia hendak
mulai mendaki, tiba-tiba dia berpikir: "Benar pegunungan ini
tak seberapa luasnya, tapi puncak Pao-gwat-san itu tentu
berada ditempat yang sepi. Daripada berjeri payah mencari,
lebih baik cari tempat bermalam di sekitar daerah sini saja.
Pagi-pagi mencari rasanya lebih leluasa."
Walaupun di pegunungan itu amat gelap, namun dengan
memiliki lwekang tinggi dapatlah Siau Ih berjalan dengan
leluasa. Belum jauh masuk ke daerah pegunungan, dia segera
memilih sebuah hutan yang terletak di tepi jalan untuk
beristirahat. Singkatnya saja malam itu tak terjadi suatu apa dan
keesokan harinya, mulailah dia melanjutkan pendakiannya.
Pegunungan Tay-tong-san termasyhur sebagai gunung
yang indah dan megah didaerah Kwitang. Batu-batunya yang
aneh beraneka warna mendaki, Siau Ih mengharap mudahTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
mudahan dapat bertemu dengan seseorang untuk ditanyai
keterangan letak puncak Pao-gwat-san itu.
Namun entah sudah berapa lamping gunung dan tikungan
yang dilaluinya, tetap dia belum bersua dengan orang.
Haripun sudah hampir siang. Diam-diam Siau Ih menjadi
heran, jangan-jangan dia tersesat.
Dia berhenti sejenak untuk memandang kesekeliling tempat
itu. Jalanan disebelah muka, makin menaik dan makin
berbahaya. Satu-satunya hal yang diperolehnya, ialah ditepi
jalanan gunung masih terdapat bekas reruntuh bangunan
rumah. Pikirnya: "Kalau begitu aku tak tersesat. Yang nyata,
sebelum aku tiba, disini tentu terjadi sesuatu peristiwa
sehingga orang-orang yang mendiami tempat ini sama pindah.
Entah apakah peristiwa itu, ya?"
Sekilas dia tiba pada dugaan, jangan-jangan jalanan itu
akan langsung menuju kedesa Pao-gwat-chung. Ah, biar
bagaimana lebih baik dia lanjutkan mendaki terus.
Dibeberapa tempat, kembali dia melihat bekas-bekas
runtuhan bangunan rumah, namun anehnya tempat
disekeliling itu tetap tiada kelihatan barang seorang pendu-duk
Diam-diam dia menjadi kuatir juga. Untunglah saat itu, jauh
disebelah muka sana, dilihatnya ada asap mengepul. Girang
Siau Ih bukan kepalang. ---ooo0dw0ooo--- 22. Penilaian Para Tokoh Tua
Jalanan ke atas makin sukar, berkuda tidak dapat,
menggunakan ilmu ginkang pun tak leluasa. Jadi terpaksa dia
berjalan sembari menuntun kudanya. Dengan demikian
menjelang tengah hari, barulah dia dapat mencapai tempat
berasap itu. Disitu ternyata adalah sebuah dataran karang yang luasnya
beberapa puluh tombak, serta tingginya beberatus tombak.
Ditengah-tengahnya terdapat sebuah jalanan kecil tiba cukup
untuk dijangkah seseorang. Dikanan kiri jalan itu, berdiri
sebaris kira-kira beberapa belas rumah kayu. Diserambi muka
rumah itu, tampak ada beberapa orang lelaki berpakaian hijau
sedang membakar daging. Derap kaki kuda Siau Ih itu, telah membuat terkejut
mereka. Jelas kelihatan bagaimana kejut wajah mereka demi
melihat kedatangan anak muda itu. Mereka saling
berpandangan. Sementara pada saat itu, Siau Ih pun sudah
tiba dihadapan mereka. Dengan memberi hormat, dia
bertanyakan jalanan. Tiba-tiba seorang lelaki tampil ke muka. Setelah
memandang lekat-lekat ke arah Siau Ih, dia bertanya dengan
keren: "Pegunungan ini amat luas, entah tempat manakah
yang saudara cari itu?"
"Pao-gwat-chung," sahut Siau Ih.
Mendengar itu si orarg lelaki menyurut mundur setengah
langkah. Untuk beberapa saat dia mengawasi Siau Ih baru
kemudian membuka mulut pelahan-lahan: "Pao-gwat-chung
tak berapa jauh dari sini. Tapi entah siapakah nama saudara
ini dan siapakah yang hendak saudara cari itu?"
Hormat sekalipun nadanya, tapi sebenarnya tidak pantas.
Siau Ih tenang-tenang saja. Dia duga orang-orang itu tentu
ada hubungannya dengan Pao-gwat-chung.
"Tentulah saudara. mempunyai hubungan dengan desa
Pao-gwat-san itu. Aku bernama Siau Ih, kawan karib dari
Liong-siao chungcu, harap saudara. membawa aku kesana,"
sahutnya dengan ramah.
Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memang kawanan orang lelaki itu adalah penduduk Paogwatchung. Mendengar keterangan Siau Ih, orang tadi
tampak tenang wajahnya. Dia menyatakan bahwa setiap
tetamu yang berkunjung harus menunggu dulu sebentar guna
dilaporkan. Habis itu, dia menyalakan semacam benda. Benda itu
meletus dan memancarkan asap warna biru ke udara.
Anehnya sekalipun ditiup angin, asap itu tetap membubung
tinggi. Tak lama kemudian, dari mulut jalanan kecil itu muncul
seorang anak muda sekira berumur enam-tujuhbelas tahun.
"Ji-yanko tolong laporkan pada siao-chungcu, ada seorang
Siau kongcu datang berkunjung," kata si orang lelaki tadi.
Anak muda memberi hormat, lalu dengan tangkas sekali
pergi. Memang sejak turun gunung, banyak sekali Siau Ih
menjumpahi pengalaman-pengalaman yang aneh-aneh, tapi
tingkah laku yang disaksikan saat itu, barulah untuk pertama
kali itu dia mengalaminya.
Kira-kira sepeminum teh lamanya, dari arah jalanan
disebelah sana terdengar sebuah suara nyaring: "Maaf, aku
terlambat menyambut kedatangan siaote!"
Sesosok tubuh melesat dan muncullah Liong Go, saudara
angkat tunggal hati dari Siau Ih. Siau Ih tersipu-sipu memberi
hormat dan minta maaf karena tak memberi kabar lebih
dahulu. Liong Go menyatakan kegirangannya dapat bertemu lagi
dengan pemuda itu. Dari dandanan Siau Ih, tahulah Liong Go
bahwa pemuda itu tentu habis menempuh perjalanan jauh.
Buru-buru dia ajak Siau Ih naik ke atas.
Selama berjalan menyusur jalanan kecil yang menaik ke
atas itu, Siau Ih dapatkan bahwa jalanan itu setengahnya
memang dibuat oleh orang. Batu karang yang melingkungi di
kedua samping, menjulang tinggi sampai ratusan meter. Pun
disamping kecilnya, jalanan itu berliku-liku sukar didaki.
Siau Ih menduga, rupanya jalanan itu memang sengaja
dibuat begitu untuk menjaga kedatangan musuh. Dalam pada
kagum terhadap tokoh Liong Bu-ki (engkong Liong Go) yang
telah merencanakan penjagaan sedemikian rapinya, pun Siau
Ih mempunyai perasaan lain terhadap jago tua itu.
Sewaktu Thiat-san-sian Liong Bu-ki masih belum
mengundurkan diri dari medan persilatan, kepandaiannya
termasyhur amat sakti hingga dapat digolongkan dengan
kesepuluh Datuk. Terutama tokoh itu terkenal dengan sepak
terjangnya budiman dan bijaksana dalam memperlakukan
kawan dan lawan. Tapi setelah mengundurkan diri, tokoh itu
lebih suka menuntut penghidupan yang aman tenteram.
Siau Ih membandingkan keadaan Pao-gwat-san itu dengan
selat Liu-hun-hiap. Thiat-san-sian Liong Bu-ki yang begitu
cermat menjaga musuh dan si Rase Kumahle yang lepas
bebas segala-galanya. Suatu perbedaan yang amat menyolok
sekali. Diam-diam dia makin menghargai pribadi engkongnya
itu. Saat itu Liong Go mulai kendorkan langkahnya. Ternyata
pemandangan disekeliling tempat itu, jauh berbeda dari tadi.
Kecuali penuh dengan liku-liku dan persimpangan yang ruwet
seperti jaring laba-laba, pun jalanan itu sepintas pandang
seperti tak dapat dijalani orang.
Tengah Siau Ih tertegun, Liong Go berpaling kebelakang
dan tersenyum: "Hante, mulut jalanan sudah tak jauh, ini
adalah jalanan yang terakhir dari Kiu-jiok-pat-poa-it-sian-thian
(sembilan liku delapan tikungan), memang amat rumit."
"Hebat benar susunan jalan kiu-jiok-pat-poa-it-sian-thian
itu. Kalau tiada toako yang menunjukkan, siaote pasti
tersesat," sahut Siau Ih.
Menerangkan Liong Go lebih jauh: "Jalanan pelik ini tanpa
disengaja telah diketemukan engkong. Bermula beliau tak
menaruh perhatian. Setelah mengundurkan diri, baru dia
teringat tempat ini. Untuk menjaga pembalasan kaum
penjahat yang binasa ditangannya, maka engkong telah
pindahkan seluruh keluarganya kemari. Tempat ini ternyata
sangat mencil sekali, hingga kecuali beberapa kenalannya
yang akrab, tiada seorangpun yang mengetahui tempat
peristirahatan engkong di Pao-gwat-san sini ?".."
Menutur sampai disini, Liong Go berhenti sejenak,
wajahnya menampil kedukaan. Suatu hal yang tak lepas dari
pandangan Siau Ih, siapa lalu buru-buru berkata: "Sekalipun
toako tak mengatakan, siaotepun sudah mengetahui."
"Apa" Hiante sudah mengetahui?" tanya Liong Go.
"Sekalipun tak tahu jelas, tapi sewaktu memasuki gunung
ini, siaote telah melihat beberapa runtuhan rumah. Kedua kali,
selama dalam pendakian itu, siaote tak pernah berjumpa
dengan barang seorangpun jua. Siaote menduga tentu terjadi
sesuatu peristiwa kalau tiada bencana alam, pasti perbuatan
orang. Tapi menilik bekas-bekas runtuhan itu, teranglah bukan
bencana alam. Sewaktu bertemu dengan beberapa saudara
tadi, wajah mereka agak cemas, jadi siaote menduga pasti
telah terjadi sesuatu "..."
Siau Ih berhenti sejenak, lalu melanjutkan pula: "oleh
karena siaote sudah seperti saudara kandung, maka haraplah
toako memberitahukan sejelasnya."
Liong Go menghaturkan terima kasih, ujarnya: "Meskipun
hiante tak mau menerangkan siapa gurumu, namun aku telah
mengetahui bagaimana kepandaian hiante itu. Mendapat
seorang pembantu seperti hiante, rasanya aku seperti
menerima kunjungan malaekat dari langit."
Siau Ih kemalu-maluan. "Ai, hiante tak usah sungkan, kita toh sudah seperti
saudara sendiri. Peristiwa yang kuhadapi itu, sebenarnya tak
hebat, namun karena engkong amat berhati-hati, jadi
tampaknya seperti peristiwa besar. Dan kejadian itu, rasanya
pun tak asing bagi hiante," kata Liong Go.
"Benarkah itu?" Siau Ih menegas, kemudian bertanya pula:
"Apakah dia si Kiau Hoan?"
Liong Go menyahut bahwa disitu bukan tempatnya untuk
bicara, ia ajak Siau Ih membelok ke jalanan di sebelah kanan.
Selama itu, Siau Ih selalu memperhatikan keadaan
disekelilingnya, namun pada akhirnya dia merasa pusing tak
ingat lagi akan belat-belit jalanan yang dilaluinya tadi.
Baru saat itu dia mengakui bahwa jalanan kiu-jiok-pat-poaitsian-thian itu benar-benar merupakan pertahanan yang
kokoh. Tiba diujung jalan, mereka berhenti. Liong Go memandang
ke arah dinding karang yang penuh dengan batu-batu yang
menonjol itu. Kemudian dia ulurkan tangan menekan pada
sebuah batu. Seketika terdengar bunyi batu roboh yang amat gemuruh.
Tapi tiada tampak perobahan apa-apa. Waktu Siau Ih masih
dalam keheranan Liong Go berputar ke belakang dan
menepuk bahunya: "Hiante, jalanan keluar, berada diujung
sana, mari ikut aku!"
Siau Ih mengikut Liong Go yang melangkah ke arah jalanan
di sebelah muka. Setelah tujuh-delapan kali berbelok-belok,
tibalah mereka diujung buntu. Disitu terdapat cahaya
penerangan. Membelok keujung karang, tak jauh disebelah
muka tampak ada sebuah pintu batu yang kecil. Di atasnya
terdapat tumbuhan rotan. Sekeluarnya dari pintu itu, Siau Ih baru dapat menghela
napas longgar. Masa itu adalah dalam musim dingin, tapi hari
itu amat cerahnya, langit bersih dari gangguan awan.
Liong Go menerangkan bahwa sebenarnya jalanan kiu-jiokpatpoa-it-sian-thian itu taklah begitu mengherankan. Asal
sudah biasa tentu mudah berhilir mudik. Setelah itu dia
menghampiri ke sebuah rumpun rotan dan menekannya
pelahan-lahan. Seketika terdengar suara gemuruh pula dan pintu besi
itupun tertutup sendiri. Kemudian menunjuk pada sebuah
hutan yang luas dtsebelah muka, Liong Go menerangkan
bahwa di belakang hutan itulah terdapat pondoknya.
Memandang ke arah hutan itu, kembali Siau Ih kagum.
Selain lebat, pun setiap pohon yang tumbuh dihutan itu
besarnya rata-rata sepemeluk tangan orang. Waktu
diperhatikan lebih lanjut, nyatalah barisan pohon itu seperti
diatur menurut bentuk suatu barisan perang. Kembali dia
menanyakan hal itu kepada Liong Go.
"Sepertinya hal dengan kiu-jiok-pat-poa-it-sian-thian, pun
hutan itu memang diatur oleh engkong. Dimana letak
keindahannya, akupun tak dapat menerangkan dengan jelas.
Kita hanya dapat menurut petanya saja."
Siau Ih tak habisnya memuji kelihayan Thiat-san-sian Liong
Bu-ki. Untuk itu Liong Go hanya menghela napas, ujarnya:
"Memang harus diakui bahwa engkong itu selain seorang yang
berbakatpun memiliki pengalaman yang luas. Mendiang
ayahkupun keturunan darahnya, cerdas dan tangkas. Sayang
beliau sudah keburu menutup mata dalam usia muda.
Sebaliknya aku ini, tiada berguna. Belasan tahun engkong
mendidik, namun aku tetap begini saja, sungguh memalukan."
Siau Ih menghiburnya dengan mengatakan bahwa
toakonya itu terlalu merendah hati. Memang kaum muda tak
terluput dari kecongkakan, tapi kalau dibandingkan dengan
tokoh-tokoh angkatan tua, mereka masih belum menempil.
Pokok asal giat, kesempurnaan itu pasti akan dapat dicapai.
Diam-diam Liong Go merasa heran melihat perobahan
saudaranya angkat itu. Bgaimana seorang pemuda yang
tempo hari begitu sombong congkak, kini ternyata dapat
mengucapkan beberapa falsafat yang tinggi.
Dalam pembicaraan selanjutnya, Siau Ih minta agar
diperkenalkan engkong Liong Go. Saking asyiknya mereka
ber?cakap-cakap itu, tahu-tahu sudah memasuki hutan itu.
Kiranya sepeminum teh lamanya, mereka keluar dari hutan
itu. Di sebelah luar hutan itu, terbentang sebuah tanah lapang
yang amat luas. Empat penjuru dikelilingi oleh puncak gunung
yang menjulang tinggi. Di kaki gunung itu, masih ada dua buah rentetan rumah
kayu. Di depan rumah itu kelihatan beberapa orang lelaki
berpakaian ringkas. Mereka tampak bicara dengan berisik,
entah apa yang dipercakapkannya itu. Yang nyata wajah
mereka itu mengunjuk ketegangan. Oleh karena barisan
rumah itu diatur sedemikian rupa, jadi tengah-tengahnya
seperti merupakan sebuah pintu masuk.
Ketika Liong Go dan Siau Ih tiba, orang-orang itu sama
berhenti bicara dan memberi hormat pada Liong Go. Liong Go
hanya ganda tertawa membalas salam.
Memasuki pintu alam itu, Siau Ih disuguhi oleh suatu
pemandangan yang mempesonakan. Sebuah tanah lapang
yang penuh ditumbuhi rumput hijau dan beraneka bunga.
Hutan bambu, tumbuh di sana-sini.
Di bawah naungan barisan gunung, tampak beberapa
rumah. Alam pemandangan disitu, mempunyai selera
keindahan lain dari alam di Tiam-jong-san. Siau Ih terhibur
hatinya. "Pemandangan disini, benar-benar merupakan sebuah
taman sorga di luar dunia," pujinya.
Liong Go hanya tertawa saja dan mengucapkan beberapa
kata merendah. Yang satu memuji yang lain merendah. Kedua
pemuda itu bercakap-cakap dengan gembira sekali.
Tiba-tiba Liong Go teringat bahwa Siau Ih tentunya belum
makan siang. Waktu berjalan ditengah-tengah padang bunga
itu, Liong Go menunjuk ke arah sebuah hutan bambu,
katanya: "Itulah pondok Soh-yap-suan, tempat peristirahatan
engkong." Memang disana terdapat beberapa puluh batang bambu
yang rindang daunnya. Di belakangnya, ada beberapa petak
rumah. Kala itu tampak ada seorang anak berpakaian putih,
tengah masuk ke dalam pondok sembari membawa sebuah
ikat pinggang kumala. Tiba-tiba Liong Go berhenti, dia seperti
teringat sesuatu. "Ai, aku benar-benar linglung, hampir lupa memberitahukan
siaote. Beberapa hari yang lalu seorang sahabat lama dari
engkong telah datang kemari dan tinggal disini beberapa hari.
Locianpwe itu selama ini tinggal di luar lautan, jarang
berkunjung ke daratan Tiong-goan. Entah apa sebabnya,
mendadak dia datang kemari beserta beberapa orang anak
muridnya. Rupanya dia mempunyai urusan penting. Orang tua
itu beradat aneh, sombongnya bukan main. Kecuali dengan
engkong dan satu dua tokoh persilatan, dia tak mempunyai
kenalan lain lagi. Siaote pasti tahu siapa dia, ialah salah satu
tokoh dari sepuluh Datuk yang bernama Gan-li Cinjin Kho
Goan-thong. Sejak beliau datang kemari, kerjanya tak lain
hanya bercakap-cakap sepanjang hari dengan engkong. Nanti
apabila hiante menghadap engkong, tentu akan berjumpa
juga dengan orang tua itu."
Mendengar nama orang itu, Siau Ih menjadi terkesiap. Si
orang lelaki berpakaian merah yang membantu Li Thing-thing
untuk mencelakai dirinya di lembah gunung Tay-lo-san itu,
adalah murid dari Gan-li Cinjin Kho Goan-thong. Tanpa
disadari, timbullah rasa dendam pada wajah Siau Ih. Melihat
itu diam-diam Liong Go terkejut.
"Celaka, jangan-jangan Siau-hiante ini pernah bentrok
dengan Kho Cinjin itu," pikir Liong Go. Dia makin mengeluh,
demi teringat akan sepak terjang pemuda itu jika menuntut
balas terhadap seseorang musuh.
"Harap toako jangan kuatir, siaote pasti takkan berbuat
kurang hormat," kata Siau Ih menghibur toakonya.
Sabar nada ucapan itu kedengarannya, namun tak urung
Liong Go berjengit juga. Dia kenal bagaimana watak Siau Ih
itu. Entah bagaimana kini pemuda itu dapat mengendalikan
diri begitu rupa. Tapi demi dia memperhatikan kesungguhan
wajah saudaranya angkat itu, diam-diam iapun memuji sikap
anak muda itu. Pada lain saat, keduanya segera menuju kepondok Sohyapsuan. Tiba di muka pondok itu, Liong Go minta Siau Ih
menunggu di luar dulu, biar dia masuk melapor. Tak berapa
lama kemudian, Liong Go keluar dan mengundang Siau Ih
masuk. "Kho Cinjin juga berada di dalam," bisik Liong Go.
Siau Ih tahu juga kemana jatuhnya perkataan Liong Go
yang terakhir itu. Segera dia menyahut dengan tersenyum:
"Toako jangan kuatir. Kalau berhadapan dengan seorang
cianpwe, biar bagaimana juga, siote pasti tak berani berlaku
Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kurang adat." Demikian kedua pemuda itu segera melangkah masuk.
Pondok Soh-yap-suan hanya terdiri dari dua buah ruangan
yang bersih. Ruang maka penuh berhiaskan buku-buku dan
lukisan-lukisan. Seorang kacung segera menyingkap tirai dari
mempersilahkan kedua pemuda itu masuk.
Di atas sebuah dipan yang berdiri dekat dinding, tampaklah
duduk dua orang tua. Yang seorang bertubuh tinggal besar,
berwajah bersih. Sedang satunya seorang iman tua bertubuh
kecil kurus. Jubahnya berwarna merah, wajahnya amat
congkak. Tahulah Siau Ih bahwa yang duduk bersila itu tentu tokoh
termasyhur masa silam, Thiat-san-sian Liong Bu-ki. Sementara
imam tua itu, pasti tokoh yang dikatakan Liong Go, yakni Ganli
Cinjin Kho Goan-thong yang tinggal di pulau Cip-peng-to.
Dengan khidmat, Siau Ih menjurah memberi hormat,
serunya: "Wanpwe Siau Ih menghaturkan hormat pada
cianpwe!" Memang orang tua yang duduk bersila itu, ialah Liong Buki.
Pelahan-lahan kedua matanya dipentang dan disapukan ke
arah pemuda itu. Wajahnya menampil seri senyum dan
dengan suara ramah dia berkata: "Usah banyak peradatan,
inilah Kho Cinjin." Kesan mengenai peristiwa di gunung Tay-lo-san itu, masih
segar dalam ingatan Siau Ih, namun dia tak mau dikata
kurang hormat terhadap Kho Goan-thong. Buru-buru dia
menjurah ke arah Cinjin itu selaku menghaturkan hormat,
namun mulutnya tak mengatakan sepatah perkataan apa-apa.
Gan-li Cinjin Kho Goan-thong, menempati tingkatan atas di
Istana Yang Suram 14 Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Wanita Iblis 22
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama