Ceritasilat Novel Online

Si Rase Kumala 6

Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong Bagian 6


dunia persilatan, tambahan pula orangnya pun berhati tinggi
(sombong). Melihat pemuda itu memberi hormat dengan
membisu, marahlah dia. Dengan nada dingin, dia mendengus:
"Kau dan aku tak mempunyai hubungan apa-apa, pinto tak
berani menerima penghormatan yang besar!"
Siau Ih tertawa dingin, lalu menyurut ke belakang. Liong
Bu-ki terkejut melihat sikap kedua orang tua dan pemuda itu.
Sedang Liong Go pun menjadi tak enak.
Saat itu, si kacung membawakan dua buah dingklik, maka
Liong Bu-ki pun menyuruh kedua pemuda itu duduk.
"Tempo hari ketika dimakam Gak-ong, kalau tiada bantuan
hiantit, Go-ji tentu celaka, untuk hal itu losiu amat berterima
kasih," ujar Thiat-san-sian Liong Bu-ki.
"Orang yang sudah angkat saudara, adalah sudah jamak
bantu membantu, Locianpwe begitu sungkan, wanpwe
sungguh malu dihati," Siau Ih tersipu berbangkit menyahut.
"Ah, losiu tak menyukai peradatan, harap hiantit duduk
saja," kata tuan rumah. Kemudian jago tua itu berpaling ke
arah Gan-li Cinjin yang duduk disebelahnya, berkata: "Menilik
anak itu memiliki bakat tulang yang bagus dan pribadi yang
kuat, apabila dia dapat melatih diri, kelak pasti akan berhasil.
Sayang dia mempunyai watak ganas, hingga tentu sering
mengalami kesulitan. Entah bagaimana pendapat to-heng?"
Dengan wajah yang masih tetap membeku, Kho Goan
Thong menyahut dingin: "Dikolong dunia yang lebar ini,
banyak sekali tunas-tunas yang bagus. Oleh karena sering
mendapat kesulitan, maka harapan untuk berhasil tentu amat
kecil. Orang macam begitu, tak boleh diharap."
Sebagai sahabat lama, Thiat-sian-san Liong Bu-ki cukup
kenal akan perangai Gan-li Cinjin itu. Dia tahu karena Siau Ih
kurang menghormat, maka Gan-li Cinjin sudah memberi
penilaian begitu. Sebagai tuan rumah, dia tak mau berdebat panjang lebar.
Dengan tertawa tawar, kembali dia berpaling ke arah Siau Ih.
Dia mulai mananyai anak muda itu mengenai bermacammacam
hal di dunia persilatan. Digembleng oleh tokoh si Dewa Tertawa, Siau Ih berangkat
dewasa menjadi seorang pemuda yang lihay dalam ilmu silat
dan ilmu sastera. Apalagi setelah "dikurung" selama berbulanbulan
di Tiam-jong-san, dia telah mendapat latihan rokhani
yang cukup baik dari engkongnya. Semua pertanyaan tuan
rumah, telah dijawabnya dengan lancar dan hormat.
Sebaliknya Liong Bu-ki yang sudah lama mengasingkan diri,
sudah tentu ketinggalan zaman. Benar ia mendengar di dunia
persilatan banyak muncul jago-jago muda yang lihay, tapi
selama itu belum pernah dia menyaksikan sendiri. Kini setelah
berhadapan muka dengan Siau Ih, kesannya terhadap
pemuda itu amat memuaskan sekali.
Selain memiliki kepandaian silat yang tinggi, nyata pemuda
itu mempunyai kepribadian yang menonjol. Apa yang di
katakan Liong Go tempo hari kepadanya (Liong Bu-ki) itu,
bukan saja benar malah melebihi kenyataan.
Diam-diam jago tua itu kagum di dalam hati. Bahkan Gan-li
Cinjin Kho Goan-thong yang muring-muring itu, diam-diampun
juga terperanjat. Saking gembiranya, Liong Bu-ki terus menerus menghujani
pertanyaan pada anak muda itu. Pertanyaannya pun makin
lama makin sulit, hingga Siau Ih harus menggunakan waktu
untuk menjawab. Melihat engkongnya penuju dengan Siau Ih, Liong Go amat
gembira. Tapi diam-diam dia berdebar-debar juga
mendengarkan ujian lisan yang berat itu. Syukur saudaranya
angkat itu dapat menjawab semua pertanyaan.
Dalam pada itu, Siau Ih sendiri diam-diam mengeluh. Tak
tahu dia, bila tuan rumah akan menyudahi pertanyaannya.
Lebih berdebar lagi dia, bila nanti jago tua itu bertanya
tentang nama suhunya. Maka sembari menjawab bermacam pertanyaan itu, diamdiam
Siau Ih memutar otak bagaimana nanti dapat
menghindari pertanyaan yang menyangkut diri suhunya. Ah,
susah sekali kiranya. Untuk kegirangannya, saat itu Liong Bu-ki hentikan
pertanyaannya, dengan wajah berseri gembira tokoh itu
berpaling ke arah sahabatnya Gan-li Cinjin, ujarnya: "Memang
benar ucapan bahwa 'ombak disungai Tiang-kang itu yang di
belakang mendorong yang di muka'. Setiap zaman tentu
melahirkan tunas-tunas baru. Kini baru losiu dapat merasakan
sendiri kebenaran ucapan itu."
Berhenti sejenak, Thiat-san-sian kembali berkata:
"Pengetahuan anak itu cukup luas, walaupun kurang
pengalaman, tapi dalam usia seperti itu, kiranya sudah boleh
dipuji. Entah bagaimana ilmunya silat, tapi kurasa tentu
suhunya itu bukan tokoh sembarangan. Asal dia giat berlatih
diri, kelak pasti akan sangat gemilang. Apakah to-heng berani
bertaruh dengan aku?"
Sepasang mata Gan-li Cinjin berkilat-kilat, menantang
dingin ke arah Siau Ih, dia mendengus, ujarnya: "Kata-kata
'sangat' itu amat luas artinya. Sedang kata 'gemilang' itu, dari
dulu sampai sekarang tiada seorang yang berani mengakui.
Misalnya, kita berdua ini, nama kita sampai sekarangpun
masih belum punah, tapi adakah kita berani menganggap diri
kita ini 'sangat gemilang'" Sekalipun si Rase Kumala Shin-tok
Kek yang begitu congkak, rasanya juga tak berani menepuk
dada begitu. Maka apa yang Liong-heng ucapkan tadi, pinto
belum dapat menyetujui. Tentang bertaruh, maafkan, pinto
kurang tertarik." Thiat-san-sian hanya ganda tertawa, bantahnya: "Uraian
to-heng itu memang benar, tapi menurut pendapat losiu,
kedua kata tadi bukannya tak mungkin. Benar karena hidup
manusia itu amat terbatas, tak dapat sempurna segalagalanya.
Namun dalam bidang-bidang yang tertentu, tentu
mungkinlah mencapai prestasi yang tinggi. Pameo 'ombak
sungai Tiang-kang yang di belakang mendorong yang di
muka', tetap tak berkurang kebenarannya. Siapakah yang
berani memastikan bahwa angkatan muda itu takkan dapat
melebihi angkatan tua?"
Wajah Kho Goan-thong yang sudah keren itu, makin gelap.
Pada lain saat tampak dia berbangkit, katanya: "Ah, tiada
berguna untuk berdebat tentang urusan kecil itu. Pinto hendak
mengasoh dulu." Habis itu, dia lantas melangkah keluar.
Thiat-san-sian menggeleng dan menghela napas melihat
kelakuan sobatnya itu. Siau Ihpun terperanjat hatinya. Diam-diam dia menduga,
kepergian Gan-li Cinjin itu tentu akan mempercepat datangnya
kesulitan. Ah, lebih baik dia juga akan minta diri saja. Cepat
dia mengutik Liong Go yang duduk di sampingnya.
Liong Go mengerti maksud saudaranya angkat, maka
dengan alasan Siau Ih sejak pagi belum makan, dia minta diri
pada engkongnya. Engkongnya mengiakan dan bahkan
menyesali Liong Go yang tak memperhatikan kepentingan
sahabatnya itu. Siau Ih menghaturkan terima kasih atas kebaikan budi
orang tua itu. Setelah keluar dari ruangan itu, dapatlah Siau Ih
menghela napas longgar. "Pondok kecil itu, adalah tempat tinggalku. Biar kusuruh
mereka siapkan beberapa hidangan. Nanti malam kita
lewatkan dengan mengobrol lagi," kata Liong Go sambil
menunjuk ke arah beberapa petak rumah yang berada di
bawah kaki sebuah puncak yang tinggi.
Setiba di muka pondok itu, penjaga pintunya ternyata
adalah si anak muda yang dijumpai Siau Ih ketika bertanya
jalan pada beberapa orang disebelah bawah sana.
"Ji-yan, ayuh haturkan hormat pada Siau kongcu!" seru
Liong Go. Anak itupun menurut perintah.
Waktu masuk ke dalam ruangan, ternyata disitu selain
dirawat bersih pun penuh berhias dengan lukisan-lukisan yang
menarik. Sungguh sebuah tempat yang amat sesuai untuk
belajar. Siau Ih memuji kebersihan dan keindahan pondok itu.
Tak lama kemudian, hidanganpun segera disuguhkan.
Ternyata masakannya amat lezat dan arakpun arak pilihan.
Habis dahar, Liong Go lalu perintah Ji-yan pindahkan tempat
duduk di muka jendela. Begitu sembari menikmati arak wangi,
kedua pemuda itu mengobrol ke barat ke timur.
"Toako, tadi semakin berhadapan dengan locianpwe,
sebenarnya aku hanya kepingin lekas-lekas undurkan diri,
bukan karena lapar," kata Siau Ih.
"Mengapa?" tanya Liong Go.
Siau Ih menghela napas, ujarnya: "Bukannya maksud
siaote hendak berlaku kurang hormat terhadap orang tua,
tetapi karena kuatir dalam pertanyaan itu nanti, locianpwe
akan menanyakan asal-usul dan suhu siaote. Siaote
menyembunyi kedua hal itu, bukan karena bermaksud jahat
tapi karena sakit hati ayah bunda belum terhimpas. Hal ini
harap toako berlapang dada memaafkan."
"Rahasia pribadi yang tak boleh diceritakan pada lain
orang, rasanya setiap orang tentu mempunyai. Tapi sekiranya
siaote percaya, aku suka sekali untuk membagi kedukaan
siaote itu." Sampai disini, Siau Ih tak dapat menghindar lagi. Begitulah
dia segera menuturkan riwajat hidupnya dengan jelas.
Ketika menuturkan tentang peristiwa yang dialami ayah
bundanya, dia tak kuasa menahan air matanya lagi. Liong Go
pun turut bersedih atas kemalangan nasib anak muda itu.
Sampai sekian saat, mereka diam membisu.
"Membalas sakit hati orang tua, adalah tugas kewajiban
seorang putera. Tapi sebaiknya jangan kita bertindak secara
gegabah. Coba hiante pikirkan, peristiwa itu sudah berselang
puluhan tahun lamanya, namun tetap belum jelas. Bahkan
beberapa cianpwe yang berkepandaian tinggi turut
menyelidiki, pun tetap sia-sia. Jadi nyatalah urusan itu amat
pelik sekali. Maka dapat dipastikan, apabila salah urus,
peristiwa itu pasti akan menimbulkan kegoncangan besar
dalam dunia persilatan. Menurut pendapatku, lebih baik hiante
berlaku hati-hati dan menurut petunjuk yang diberikan oleh
kedua locianpwe itu. Percayalah, bahwa sakit hati itu pasti
akan ada akhirnya." 23. Arti Persaudaraan ?".
Siau Ih menghaturkan terima kasih atas nasehat itu. Selang
berapa jenak kemudian, Siau Ih menerangkan rencana
perjalanannya. Pertama dia akan tinggal beberapa hari di Pao-gwat-san
itu, lalu menuju ke Lo-hu-san untuk menjenguk Lo Hui-yan,
setelah itu baru pulang ke Tiam-jong-san menerima
dampratan engkongnya. Mendengar Siau Ih hendak pergi ke Lo-hu-san, Liong Go
bercekat, ujarnya: "Rencana hiante itu bagus sekali, tapi
sebaiknya perjalanan ke Lo-hu-san itu ditiadakan sajalah!"
Siau Ih ganda bersenyum, katanya: "Meskipun Peh-hoakiong
itu suatu daerah terlarang bagi kaum lelaki, tapi kita
bertiga sudah saling angkat saudara, jadi rasanya lebih dari
pantas kalau siaote menyambanginya. Apalagi ketika hendak
pulang, adik Yan pernah memberitahukan siaote, bahwa asal
lebih dahulu mencari pada seorang petani she Kau, siaote
pasti akan dapat berjumpa pada adik Yan. Jadi tak perlu siaote
masuk ke daerah Peh-hoa-kiong, harap toako jangan kuatir."
Liong Go tahu bahwa antara kedua muda-mudi itu sudah
terjalin suatu ikatan asmara yang berkesan, jadi diapun
merasa tak enak untuk mencegahnya.
Setelah meneguk habis araknya, Siau Ih mengingatkan
akan keterangan Liong Go tempo mendaki ke atas gunung tadi
pagi, bahwa Pao-gwat-san dalam beberapa hari belakangan
ini, terjadi suatu peristiwa.
"Ah, kejadian itu boleh dianggap akulah yang menjadi garagaranya
saja, ceritanya amat panjang. Sembari minumTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
minum, akan kututurkan hal itu pelahan-lahan," sahut Liong
Go. Setelah menghabiskan araknya, mulailah Liong Go
menutur: "Sepulangnya ke gunung, segera kuceritakan pada
engkong tentang munculnya kembali si Jin-mo Kiau Hoan dan
pertempuran dimakam Gak-ong itu. Engkong menerangkan,
bahwa Manusia Iblis itu tentu akan melakukan pembalasan
kepada beliau atas kekalahannya tempo hari. Dalam waktu
setahun, Kiau Hoan tentu melakukan pembalasan."
Liong Go berhenti sejenak menghirup arak, lalu
melanjutkan pula: "Bermula aku kurang percaya atas
keterangan engkong itu. Pertama letak Pao-gwat-san sini
amat pelik, kedua kali rakyat disini jarang turun gunung jadi
tak mudah dimata-matai orang. Tapi kenyataan, memang
tepat sekali dugaan engkong itu. Kira-kira setengah bulan lalu,
daerah sini telah kemasukan seorang kaum persilatan. Dua
buah keluarga pemburu yang menghuni disekitar tempat ini,
telah dibunuh dan dibakar rumahnya."
"Engkong segera menentukan bahwa yang melakukan
keganasan itu, pasti si Jin-mo. Karena tak mau menunjukkan
letak Pao-gwat-san, maka Manusia Iblis tentu membasmi
kedua keluarga pemburu itu. Engkong sangat memikirkan
kepentingan beberapa keluarga pemburu yang tersebar
tinggal disekitar daerah gunung sini. Agar jangan sampai
mereka diganas si Jin-mo, engkong menyuruh mereka sama
pindah kemari. Selanjutnya engkong telah mengambil putusan
untuk menghadapi durjana itu secara terang-terangan.
Seorang yang pernah diberi ampun tapi ternyata tak dapat
insyaf, sudah seharusnya dibasmi."
"Benar juga pada suatu hari muncullah Manusia Iblis itu.
Tapi dia belum bertindak apa-apa, melainkan sesumbar di
muka jalanan kiu-jiok-pat-poa-it-sian-thian, bahwa dalam
waktu sepuluh hari, dia akan datang untuk menghancurkan
Pao-gwat-chung. Untuk menghadapi ancaman itu, maka telah
kusiapkan penjagaan yang rapi. Tiga hari kemudian, datang
Kho Cinjin, namun engkong tak mau menceritakan hal itu
kepadanya, karena beliau tak mau lain orang terlibat dalam
urusan itu. Menurut perhitungan, besok pagi itu sudah genap
sepuluh hari, apabila terjadi suatu apa, kuharap hiante jangan
turut campur." Siau Ih tenang-tenang meneguk cawannya, kemudian
membuka mulut: "Apakah toako masih ingat tentang asal-usul
diri siaote dan bagaimana suhu telah menggembleng siaote


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu?" Liong Go terkesiap dan mengiakan.
"Bagus, bagaimanakah sepak terjang ayah angkatku si
Dewa Tertawa itu pada masa dahulu?" tanya Siau Ih.
"Beliau adalah seorang tokoh yang gigih memperjoangkan
keadilan dan kebenaran. Angkatan muda dalam dunia
persilatan sangat mengagungkannya," sahut Liong Go.
"Jadi pada hakekatnya, ayahku angkat itu memang tak mau
berpeluk tangan terhadap sesuatu yang tak adil. Sejak kecil
siaote digemblengnya, sudah tentu perangai siaote pun tak
terlepas dari ?"".."
"Hiante ?"..," tukas Liong Go.
"Toako, orang bijaksana bicara dengan otaknya, masakah
toako tak kenal pribadiku. Apalagi aku pernah bentrok dengan
iblis itu." Kembali Liong Go mencegahnya, namun dengan wajah
bersungguh Siau Ih menegaskan: "Pertempuran di makam
Gak-ong itu termasuk tugas kaum persilatan dalam rangka
membasmi kejahatan. Segala resiko, biarlah siaote yang
tanggung. Benar locianpwe (Liong Bu-ki) tak mau menerima
bantuanku, tapi urusan itu siaote sendiri yang bertanggung
jawab, tak nanti menyusahkan toako."
Masih Liong Go hendak memberi penjelasan untuk
menasehatinya, tapi Siau Ih segera menyimpangkan
pembicaraan: "Toako, sudahlah jangan plkirkan hal itu, mari
kita rayakan pertemuan kita ini dengan minum dan mengobrol
puas-puas." Liong Go terpaksa menerima cawan yang diangsurkan
pemuda itu dan meneguknya habis.
Kemudian Siau Ih menceritakan panjang lebar tentang
pengalamannya selama ini, Bagaimana dia menolong Tan
Wan, bertempur dengan Li Thing-thing, menje?nguk si Rase
Kumala dan disekap selama tiga bulan di Tiam-jong-san dan
lain-lain. Tapi ada sebuah hal yang dirahasiakan ialah tentang
pertempuran di gunung Tay-lo-san, dimana anak murid Gan-li
Cinjin telah binasa. Bukan karena dia takut terhadap Kho
Goan-thong, tapi karena dia tak mau Liong Go terlibat di
dalamnya. Hanya saja sewaktu dia menceritakan tentang
pertempurannya dengan si Wajah Kemala Tio Gun. Liong Go
tampak terperanjat. "Tio Gun itu kecuali berkepandaian tinggi, juga wajahnya
mirip sekali dengan siaote. Karena hal itulah maka siaote
hampir disangka orang sebagai tukang pengrusak wanita.
Sayang walaupun Siaote berhasil mengutungi sebelah
tangannya, bangsat itu dapat meloloskan diri."
Liong Go menerangkan bahwa sebenarnya si Wajah Kumala
itu bernama Tio Giok-gun, anak murid dari Ngo Siu-wan
Totiang. ketua Bu-tong-pay.
"Orangnya sih cerdas dan berkepandaian tinggi, hanya
sayang gemar paras cantik. Sebenarnya Ngo Siu-wan Totiang
hendak menghukumnya berat, tapi mengingat hubungan suhu
dan murid, dia tak tega dan hanya mengusirnya dari
perguruan. Sejak itu, dia pun berganti nama dengan Tio Gun
dan menurutkan kemauan hatinya. Nah, jelas sudah bahwa
rumah perguruan baik belum tentu menghasilkan anak murid
baik. Baik buruk itu tergantung dari dasar sanubarinya."
Siau Ih menanyakan kalau-kalau Liong Go kenal dengan
orang itu. Liong Go menggeleng kepala, ujarnya: "Aku tidak kenal
padanya, melainkan dengan sutenya Kin-kiong-hoan Sun Kianhin,
aku memang kenal baik. Adalah dari Sun Kian-hin, aku
mengetahui riwayat si Wajah Kumala itu."
Demikian Kedua pemuda itu mengobrol sampai jauh
malam. Tahu-tahu langit sudah muiai terang tanah. Keduanya
segera berpisah untuk beristirahat dikamar masing-masing.
Siangnya setelah habis makan, Liong Go ajak Siau Ih
berjalan-jalan diperkampungan itu. Kecuali beberapa petak
rumah pondok Soh-yap-suan, Thing-hong-simo-cu dan Khimkwat,
desa Pao-gwat-chung itu seluruhnya adalah tanah
lapang yang penuh ditumbuhi bunga-bunga.
Memang propinsi Kwitang di daerah selatan, dalam empat
musim selalu menghidangkan pemandangan alam yang
permai. Siau Ih tak putu-putusnya memuji.
"Ah, hiante terlalu memuji, masakah Pao-gwat-san menang
dengan Tiam-jong-san dengan selat Liu-hun-hiap yang
keramat dan suci itu?" sahut Liong Go.
"Indah sih indah, tapi disini lebih bebas".
"Ah, memang di rumah sendiri itu ibarat kuda lepas, kalau
tak dikekang tentu membawa maunya sendiri."
Mendengar ucapan Liong Go itu, Siau Ih agak terkesiap,
katanya: "Siaote telah mengetahui kesalahan siaote. Rindu
akan toako, telah terpenuhi. Nanti setelah mengunjungi Lo-husan,
siaote tentu segera pulang ke Tiam-jong-san untuk
menerima dampratan dan menunggu kesempatan melakukan
pembalasan dendam yang tak kunjung datang itu."
Liong Go mengangguk, serunya dengan sungguh: "Tahu
kesalahan dan dapat merobahnya, itulah orang yang
bijaksana. Dan tak pernah melupakan dendam orang tua,
itulah orang yang berbakti."
"Memang benar. Tapi kalau berlarut terlalu lama, mungkin
bukti-bukti peristiwa itu makin hilang. Kalau sampai demikian,
siaote hidup pun menanggung penasaran, mati juga tak ada
muka bertemu dengan kedua ayah bunda."
Liong Go menghiburnya: "Segala apa tak dapat lepas dari
hukum alam. Siapa menanam pasti akan memetik buahnya.
Misalnya, si Jin-mo itu. Tanpa diharap diapun muncul sendiri
kemari untuk mempertanggung-jawabkan kedosaannya. Harap
hiante jangan putus asa."
"Dalam, kamus hidup siaote, tak terdapat kata putus asa
itu. Setiap perbuatan yang benar, tentu siaote lakukan sampai
selesai. Mengenai hukum alam, uraiannya memang begitu,
namun prakteknya belum tentu bahwa perbuatan baik itu
tentu mendapat buah baik. Seperti si Jin-mo yang telah diberi
kemurahan oleh Locianpwe, sebaliknya malah memberi
kesempatan pada durjana itu untuk melanjutkan
kejahatannya. Kesimpulannya, baik buruknya hasil yang kita
petik itu, tergantung juga bagaimana tempatnya kita
menanam ?"" Liong Go agak terbeliak. "Juga nasib seperti yang di alami oleh kedua almarhum
ayahbundaku itu. Apa salah mereka terhadap orang lain"
Hanya karena mereka dilahirkan sebagai sejoli rupawan dan
budiman, maka telah menimbulkan iri hati orang. Dari iri hati
orang lalu mencelakai mereka. Menurut hukum alam,
bagaimana hendak menjelaskan" Pada hakekatnya, dunia itu
memang tidak adil," Siau Ih melanjutkan pula.
Kembali dia berhenti sejenak, lalu berkata pula: "Memiliki
hati welas asih dan menjalankan kebaikan, memang suatu hal
yang mulia. Namun kalau tidak menyesuaikan dengan waktu
dan tempat, akibatnya akan runyam sendiri."
Liong Go merenung beberapa detik, baru dia mengiakan.
Dia memuji kematangan pikiran hiantenya itu.
Siau Ih mengucapkan kata-kata merendah, lalu katanya:
"Ai, toako, karena mengobrol kita baru berjalan beberapa
puluh langkah saja. Kalau begini gelagatnya, mungkin dalam
tiga hari, siaote tak dapat menjelajahi Pao-gwat-chung ini
sampai habis." Liong Go tersadar dan buru-buru ajak hiantenya itu
lanjutkan perjalanan lagi.
Tapi belum berapa langkah mereka berjalan, tiba-tiba
terdengar lengking orang tertawa.
"Suheng, alangkah indahnya bunga ini!" seru seorang
nona. "Sumoay, tanpa ijin yang empunya, jangan gegabah
memetiknya," sahut seorang pemuda.
Membantah si gadis tadi: "Berapakah harganya setangkai
bunga, masakah si pemilik begitu sekaker?"
Rupanya kedua muda mudi itu tengah berbantah.
Siau Ih segera menanyakan mereka kepada Liong Go.
"Rasanya tentu puteri kesayangan Kho Cinjin yang bernama
Cek-i-liong-li Kho Wan-ji ?"," baru Liong Go berbisik sampai
disini, dari semak disebelah muka, berkelebat keluar seorang
gadis berbaju wungu, beserta seorang imam muda.
Nona itu berumur duapuluhan tahun dipunggung menyelip
sebatang pedang. Sedang imam itu berjubah merah.
Menampak Liong Go, nona itu menghampiri. Dengan
bersenyum-senyum ia mununjuk ke arah bunga yang
disunting dirambutnya, serunya: "Liong toako, kupetik
setangkai bungamu, apakah kau keberatan?"
Biasanya Liong Go amat sayang terhadap pohon-pohon
bunganya. Dia sendiri yang menanam dan merawat bungabunga
itu. Orang dilarang memetiknya. Dengan hobby itu,
hatinya terhibur. Sebenarnya dia kurang senang, namun
dipaksakan juga bibirnya bersenyum.
"Jika nona Yan suka, setangkai bunga tak menjadi soal!"
Nona baju ungu itu, adalah puteri tunggal dari Gan-li Cinjin
Kho Goan-thong. Kho Goan-thong mulai menjadi orang
pertapaan, ketika sudah dalam pertengahan umur.
Tigapuluh tahun berselang, dia ajak seluruh keluarga dan
anak muridnya ke pulau Cip-peng-to. Disitu dia mendirikan
istana-biara Li-cu-kiong.
Meskipun dia mempunyai banyak selir, tapi ketika berusia
lanjut baru dia memperoleh seorang puteri. Maka dapat
dibayangkan betapa kasih sayangnya terhadap sang buah hati
itu. Inilah yang menjadikan Yan-ji, seorang nona yang manja.
Karena sejak kecil tak pernah meninggalkan pulau
kediamannya, maka terhadap tata cara pergaulan, ia tak
mengerti. Waktu ayahnya pergi kedaratan Tiong-goan ia berkeras
mau ikut. Direngeki puterinya, Kho Goan-thong terpaksa
meluluskan. Mengingat puterinya sudah dewasa, maka baik jugalah
kiranya tambah pengalaman dan sekalian barangkali dia (Kho
Goan-thong) dapat mencarikan anak mantu yang sesuai
dengan puterinya itu. Wan-ji amat gembira mendapat bunga itu. Berpaling ke
arah si imam muda, berkatalah ia dengan rasa bangga: "NgoTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
suheng, bagaimana, kan sudah kukatakan bahwa Liong toako
tak nanti begitu pelit."
Si imam muda tak mau menyahuti ejekan sumoaynya,
melainkan sepasang matanya berkilat-kilat menatap Liong Go,
kemudian hidungnya mendengus dingin.
Sudah tentu Liong Go terkesiap, pikirnya: "Jangan-jangan
dia tak senang padaku karena bunga itu."
Karena memikirkan hal itu, mau tak mau wajah Liong Go
agak berobah. Sedang si imam mudapun tampak membesi
mukanya. Kesemuanya itu tak lepas dari pandangan Siau Ih. Dia tahu
bahwa antara kedua orang itu diam-diam telah terbit ganjelan.
Buru-buru dia menyela: "Toako, mengapa tak mengenalkan
siaote?" Sebagai seorang terpelajar, Liong Go malu di dalam hati
karena telah memperlihatkan tanda-tanda yang kurang
menyenangkan tadi. Segera dia tertawa terbahak-bahak,
serunya: "Kedua pihak adalah tetamu-tetamu yang mulia,
sukar aku menjadi tuan rumah."
Kemudian menunjuk kepada si nona, dia berkata: "Inilah
puteri kesayangan dari salah seorang tokoh sepuluh Datuk
Gan-li Cinjin Kho Goan-thong Totiang, nona Kho Wan-ji.
Sedang Totiang ini adalah Hwat-poan-koan Lu Wi, murid
pilihan dari Kho Cinjin. Dan ini adalah Siau Ih, adik angkatku,
harap ?".." Belum lagi Liong Go menghabiskan kata-katanya, Siau Ih
sudah segera tampil ke muka memberi hormat pada Wan-ji:
"Sungguh beruntung dapat berjumpa dengan nona dan
Totiang." Wan-ji balas memberi hormat. Menatap si anak muda,
diam-diam ia membatin: "Seorang anak muda yang gagah dan
tampan, hanya sayang sepasang alisnya memancarkan hawa
pembunuhan." Dilihati begitu rupa, Siau Ih tak senang. Apalagi dia sudah
mempunyai purbasangka terhadap anak murid Gan-li Cinjin.
Namun sedapat mungkin, dia mengendalikan perasaannya.
Hwat-poan-koan Lu Wi terpaksa membalas hormat juga.
Melihat itu, diam-diam Liong Go malu hati terhadap Siau Ih.
Masakah hanya karena setangkai bunga, dia hampir saja
kehilangan harga sebagai tuan rumah.
Tiba-tiba kedengaran Wan-ji tertawa, ujarnya: "Sewaktu di
pulau Cip-peng-to, ayah telah menceritakan bahwa alam
pemandangan di gunung Pao-goat-san sini indah bagai
lukisan. Dan memang kenyataannya begitu. Hanya saja ayah
pernah memesan bahwa setiap jengkal tanah di Pao-gwatchung
sini penuh dengan perkakas rahasia, kalau tidak diantar
tuan rumah tentu akan celaka. Oleh karena itu, sejak tiba
disini, aku tak berani keluar-keluar. Kini apakah Liong toako
senggang dan suka membawa aku berjalan-jalan!"
Sebenarnya karena masih menguatirkan kedatangan Jinmo.
Liong Go tiada mempunyai kegembiraan. Tapi untuk
jangan dikatakan kurang ramah, terpaksa dia menyahut:
"Sebagai tuan rumah, sudah sewajibnya aku menemani
keinginan nona. Hanya saja diperdesaan sini, tiada apa-apa
yang menarik, kecuali beberapa pohon dan beberapa
bangunan yang didirikan engkong. Apabila nona Wan sudah
menyaksikan, tentu akan kecewa."
"Ai, Liong toako terlalu merendah," sahut Wan-ji, kemudian
katanya kepada Lu Wi, "Ngo-suheng, mumpung tuan rumah
mempunyai kegembiraan, apalagi ada Siau-siaohiap, ayuh kita
puaskan mata." Hwat-poan-koan Lu Wi memandang Liong Go dengan
dingin. Dia hanya mengangguk tak mau menyahut apa-apa.
Namun rupanya Wan-ji tak merasa akan sikap aneh dari
suhengnya itu. Dengan riangnya, segera dia ajak Liong Go
berangkat. Sekonyong-konyong terdengarlah suitan pelahan, tapi
nadanya amat penuh hingga berkumandang sampai lama.
Liong Go dan Siau Ih terbeliak.


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebaliknya sepasang mata yang bersorot aneh dari Lu Wi
tadi, segera menatap kepada Wan-ji.
"Suhu memanggil, mungkin akan memberi perintah,"
serunya. "Ah, kesempatan bagus ini tersia-sia lagi," gerutu
Wan-ji dengan kurang puas.
"Asal nona Yan suka, lain hari masih dapat kuantar," buruburu
Liong Go membujuknya. Wan-ji mengangguk. Entah sengaja entah tidak, kembali
matanya melirik kepada Siau Ih. Setelah tertegun sejenak,
baru ia melangkah ke arah pondok Khim-kwat. Hwat-poankoan
Lu Wi mengikutinya. Setelah mereka pergi, kedengaran Liong Go menghela
napas, ujarnya : "Urusan dunia ini memang sukar diduga,
lebih-lebih kaum wanita. Menilik naga-naganya, nona tadi
rupanya ada hati pada hiante. Kalau benar begitu, urusan
pribadi hiante bakal tambah banyak lagi."
Siau Ih ganda tertawa, tiba-tiba dia berkata dengan nada
sungguh: "Benar bunga yang jatuh itu ada artinya, tapi belum
tentu air yang mengalir itu mempunyai maksud (kiasannya:
bertepuk sebelah tangan). Godaan kejahatan tak mempan
pada siaote, apalagi soal cinta, tidaklah semudah itu."
Begitulah kedua pemuda itu lanjutkan langkah. Tanpa
terasa haripun sudah mulai petang.
Habis makan malam, kembali Liong Go ajak Siau Ih duduk
diserambi muka minum arak. Sebenarnya Liong Go itu seorang
pemuda yang mempunyai didikan tinggi. Tapi dikarenakan hari
itu adalah hari penghabisan dari janji Jin-mo, jadi tak urung
dia tampak gelisah juga. Tanpa terasa waktu sudah hampir tengah malam. Suasana
di Pao-gwat-chung itu makin lelap. Langit bertabur bintang,
angin malam membawakan bau bunga, membuat tempat itu
seperti tempat dewata. Sebaliknya Liong Go merasa, justeru dalam ketenangan
itulah, alamat akan datangnya bahaya.
Siau Ih tak dapat menyelami perasaan toakonya. Belum
pernah dia merasakan ketenangan yang seperti saat itu, maka
enak-enak saja dia menikmati araknya. Akhirnya dia terpaksa
tak tega melihat kegelisahan Liong Go.
"Dimisalkan si Jin-mo datang, itu adalah suatu kejadian
jamak dalam dunia persilatan. Mengapa toako begitu gelisah"
Kewibawaan tui-hun-cap-sa-san, tak mengizinkan perasaan
semacam itu," dia membatin.
Pada lain saat, dia menduga mungkin Jin-mo Kiau Hoan itu
akan datang dengan konco-konconya yang banyak. Sekalipun
ada Gan-li Cinjin dan anak muridnya, dikuatirkan engkong
Liong Go itu tak mau meminta bantuannya. Ah, biar
bagaimana, dia (Siau Ih) akan berusaha untuk membantu
sekuat mungkin. "Toako kemarin malam telah memberi nasehat tentang
keperwiraan pada siaote, tapi mengapa kini toako sendiri
begitu gelisah" Ai, biarlah siaote menghaturkan secawan arak
pada toako, sekedar untuk penenang hati."
Liong Go tersipu-sipu malu, dan lalu mengangkat cawan
meminumnya. Siau Ih menuangkan lagi arak ke dalam cawan
Liong Go, ujarnya: "Ai, tak usah toako likat-likat ?"."
Baru dia mengucap begitu, tiba-tiba dari kejauhan
terdengar suara letusan. Siau Ih cepat loncat untuk
mengambil pedangnya yang digantungkan ditembok, tapi
ketika melihat Liong Go, ternyata toakonya itu sudah lari
keluar. Cepat Siau Ih memanggil Ji-yan dan suruh anak itu
mengikutnya. Begitu loncat keluar halaman, dilihatnya
dijalanan kiu-jiok-pat-poa-it-sian-thian sana, asap me?ngepul
mengantar ledakan batu yang muncrat ke udara. Memang
Siau Ih menduga bahwa si Manusia Iblis Kiau Hoan tentu
datang, tapi dia tak menyangka sama sekali bahwa musuh
begitu ganasnya. Liong Go tak tampak sama sekali.
Setelah memanggil Ji-yan, dengan gunakan gerak yan-cusamjo-khi, dia berloncatan menuju ke mulut jalanan itu.
Makin dekat, letusan itu makin keras bunyinya. Dari udara
berhamburan pecahan batu sebesar mangkok.
Pada lain saat, letusan itu membawa juga jeritan orang
yang mengerikan. Terang itulah tentu para keluarga pemburu
yang mengungsi di Pao-gwat-chung.
Dengan amarah yang meluap-luap, Siau Ih berlari keras
dan sebentar saja dia sudah tiba dimulut jalanan. Beberapa
jenak kemudian, Ji-yan pun menyusul datang.
Saat itu, Siau Ih melihat Thiat-san-sian Liong Bu-ki bersama
Gan-li Cinjin Kho Goan-thong berjajar berdiri kira-kira
seratusan langkah dari mulut jalanan. Di belakangnya tampak
Cek-i-liong-li Kho Wan-ji, Hwat-poan-koan Lu Wi dan Liong
Go. Siau Ih tarik tangan Ji-yan. Sekali loncat sampai satu
tombak tingginya, lebih dulu dia lemparkan Ji-yan ke muka.
Begitu anak itu tiba disebelah kedua jago tua tadi, Siau Ihpun
sudah menyusul tiba. Namun belum lagi dia sempat memberi hormat, kedua
tokoh itu sudah membentaknya: "Mundur!"
Menyusul dengan mementang kedua tangan, maka
memancarlah suatu tenaga lembek yang luar biasa beratnya,
mendorong Siau Ih berlima mundur.
Kemudian pada lain saat, terdengarlah letusan dahsyat.
Dua buah puncak bukit batu yang berada di sebelah muka,
telah meledak menghamburkan beribu-ribu pecahan batu.
Dalam hujan batu itu, tiba-tiba melesat datang lima buah
bayangan. Yang paling muka, ialah Jin-mo Kiau Hoan. Dia tetap
mengenakan pakaian warna kuning, pundaknya memanggul
sepasang senjata oh-kim-song-cat, senjata yang mirip pedang
bukan pedang, gaetan bukan gaetan. Wajahnya yang tirus
pucat, be-ringas haus darah.
Di belakangnya tampak seorang tua berwajah merah,
brewok, hidung dan mata seperti kukuk beluk, membawa
senjata tongkat besi ciang-mo-thiat-jo. Kawannya yang dua
lagi, berumur kira-kira tigapuluhan tahun, wajahnya buasbuas.
Mereka berdiri pada jarak satu tombak jauhnya. Reaksi
Kiau Hoan waktu melihat Gan-li Cinjin Kho Goan-thong berada
disitu, ialah terperanjat.
"Bukanlah saudara ini kepala pulau Cip-peng-to yang
pernah menginjak Tiong-goan?" tegurnya.
Benar Gan-li Cinjin sudah berpuluh tahun tinggal di luar
lautan sehingga seolah-olah terputus hubungannya dengan
kaum persilatan. Tapi warna jubahnya yang merah membara
itu, memang sangat istimewa sekali sehingga mudah dikenal
orang. Mendengar teguran orang, dengan sikap dan nada yang
dingin, dia menyahut: "Jika sudah tahu pinto berada disini,
mengapa tak lekas-lekas pergi ?"."
Manusia Iblis Kiau Hoan cepat menukasnya dengan sebuah
tertawa yang seram: "Kemasyhuran nama sepuluh Datuk
berkumandang sampai diseluruh pelosok, namun tak dapat
menggertak orang she Kiau ini. Pulau Cip-peng-to boleh kau
kuasai, tapi di daratan Tiong-goan sini, lain halnya!"
Seorang tokoh yang congkak macam Gan-li Cinjin mana
mau menelan sindiran begitu. Amarahnya meluap, terus
membentak garang. "Manusia yang tak kenal tingginya langit.
Kalau tak kuhajar, tentu kau belum tahu kelihayan pinto!"
Habis berkata, dia kibaskan lengan baju kanan. Serangkum
hawa panas telah menyambar ke arah Kiau Hoan. Cepat
Manusia Iblis ini surutkan dada, lalu loncat ke samping.
Serunya: "Sekarang masih terlalu pagi, aku masih belum
membereskan hutang lama. Nanti setelah itu selesai, baru
akan kuminta pelajaran!"
Gagah ucapannya itu, namun sebenarnya di dalam hati dia
sudah gentar. Ci-yang-sin-kang (lwekang positif) yang
diyakinkan Gan-li Cinjin itu, adalah penakluk dari him-hankonglat (lwekang negatif) kepunyaan Kiau Hoan. Sayang
Gan-li Cinjin tak mengetahui kelemahan itu, sebaliknya Liong
Go dan Siau Ih terang gamblang.
Thiat-san-sian Liong Bu-ki sudah menyala amarahnya.
Sebenarnya tokoh itu tak mengingat lagi permusuhannya
dengan si Manusia Iblis. Dia yakin jalanan kiu-jiok-pat-poa-itsanthian dan hutan yang tersusun seperti barisan itu, cukup
buat menahan Kiau Hoan dan kawan-kawan menyerbu masuk.
Ditambah oleh perangai Liong Bu-ki yang berhati angkuh itu,
dia melarang Liong Go untuk menceritakan hal permusuhan
itu kepada lain orang. Tapi di luar dugaan, dengan menggunakan senjata ganas
pik-li-cu, dapatlah Kiau Hoan menghancurkan benteng
pertahanan Pao-gwat-chung. Rombongan keluarga pemburu
yang mengungsi disitu, telah menjadi korban dan para
tetamupun menjadi kaget. Suatu hal yang telah membuat
Liong Bu-ki marah seperti orang kemasukan setan.
"Balas membalas dendam, adalah hal yang jamak bagi
kaum persilatan. Tapi mengapa kau telah mengganas juga
keluarga pengungsi yang tak berdosa itu?" tegurnya dengan
marah. Kiau Hoan si Manusia Iblis mendongak tertawa memanjang.
Habis tertawa, mukanya yang tirus pucat itu segera membesi,
serunya: "Dendam puluhan tahun itu, tiada sedetikpun
kulupakan. Yang tadi hanyalah selaku bunganya (rente) saja!"
"Dahulu karena kasihan, telah kuberi hidup. Siapa tahu hal
itu malah menimbulkan bencana bagi rakyat. Sekarang kalau
kau dapat terlepas, aku bersumpah tak mau jadi orang," seru
Liong Bu-ki dengan geramnya.
"Kalau dapat melaksanakan, itulah bagus. Hanya
dikuatirkan jiwamu hanya tinggal beberapa jam saja," Kiau
Hoan membalas dengan tertawa seram.
Sejak melihat cecongor si Kiau Hoan, sebenarnya Siau Ih
sudah tak sabar lagi. Tapi karena ada para cianpwe jadi dia
tak berani melancangi. Tapi demi melihat sikap Kiau Hoan yang begitu
congkaknya, dia sudah tak kuat menahan hatinya lagi. Tampil
ke muka, dia segera memberi hormat kepada Liong Bu-ki:
"Maafkan, kelancangan wanpwe."
Habis itu, tanpa menunggu jawaban orang, dia segera
membalik diri menghadapi Kiau Hoan.
"Tua bangka yang tak tahu malu. Masih ingatkah kau akan
hadiahku di Ki-he-nia dulu?" tanyanya dengan tajam.
24. Pertempuran Sadis ?".
Melihat si anak muda, kembali Kiau Hoan bercekat.
Keluhnya: "Berpuluh tahun kusiksa diri meyakinkan thou-kutimkang yang tiada lawannya di dunia, kecuali hanya ilmu
lwekang gan-li-ci dan kian-wan-sin-kang. Justeru kedua ilmu
itu, kini sama muncul keluar. Entah angin apa yang membawa
Kho Goan-thong muncul kembali ke Tiong-goan setelah absen
selama duapuluhan tahun itu" Ah, rasanya pembalasan sakit
hatiku malam ini, akan gagal ?""
Sebenarnya dia sudah putus asa, namun bagaimanapun
juga, tak rela dia menghapus begitu saja dendam yang
dikandungnya selama bertahun-tahun itu. Diam-diam dia telah
mengambil ketetapan. Dengan tertawa dingin, dia tak mau menyahuti ejekan Siau
Ih, melainkan berpaling ke arah si tua berwajah merah dan
kedua orang yang berwajah bengis.
"Inilah yang dibilang, penasaran selalu berbalas. Budak itu
ialah musuh kaum kita!" katanya dengan tertawa tajam.
Kedua orang berwajah bengis itu segera tampil ke muka.
Serempak mereka bertanya: "Apakah kau ini Siau Ih?"
"Benar. Siapa kalian ini?" sahut Siau Ih dengan tertawa
congkak. Kedengaran Kiau Hoan tertawa mengejek dan mewakili
menyahut: "Budak yang belum hilang bau pupukmu. Masakah
tokoh termasyhur Cian-chiu-wi-tho Go Ki dan Kui-chiu-sianseng
Ko Ling, kau tidak kenal. Nah, telah kuberitahukan
padamu supaya kau tak mati penasaran!"
Siau Ih belum lama turun gunung, pun Gan-li Cinjin sudah
lama tak menginjak Tiong-goan, jadi mereka dingin-dingin
saja mendengar nama kedua tokoh itu. Tetapi Liong Go
tergetar hatinya. Cian-chiu-wi-tho atau si Dewa Tangan Seribu Go Ki dan
Kui-chiu-sian-seng atau si Tangan Setan Ko Leng itu, adalah
algojo-algojo di dunia persilatan. Muncul lenyapnya tiada
berketentuan, ganasnya bukan kepalang.
Mereka sudah bertahun-tahun tak kelihatan, kini tahu-tahu
sudah masuk menjadi anggauta Thiat-sian-pang.
"Burung yang sama bulunya, tentu berkumpul bersama.
Orang-orang yang menjadi koncomu, mana ada bangsa yang
baik!" sahut Siau Ih dengan ejeknya.
Mendengar itu, si Tangan Setan Ko Leng sudah segera
bersuit nyaring terus loncat menerkam bahu Siau Ih. Siau Ih
yang tak menyangka sama sekali, sudah tentu menjadi kaget.
"Menilik jari-jarinya berwarna hitam, tentulah mengandung
racun. Kalau sampai menjamah tubuhku, pasti celaka aku ?"
Secepat kilat, Siau Ih segera bertindak. Lwekang kian-wansinkang disalurkan ke seluruh tubuh untuk menutup semua
jalan darah. Setelah itu dia rubuhkan badannya ke belakang
sedikit, lalu taburkan kedua tangannya ke atas dalam gerakan
hong-jit-ing-hun atau menyongsong matahari menyambut
awan. Si Tangan Setan tertawa mengekeh, serunya: "Di bawah
telapak tanganku, tiada pernah orang masih dapat bernapas.
Kau mau lari, heh?" Bagaikan setan menjulurkan tangan, dia robah
cengkeramannya itu menjadi gerak menekan. Bagaimanapun
lihaynya anak itu, tentu akan tertindih binasa juga. Demikian
pikirnya. Tapi di luar dugaannya, ternyata dorongan anak muda itu
telah mengeluarkan tenaga yang luar biasa dahsyatnya. Begitu
saling berbentur, dia terguncang keras. Bahu Siau Ih
berguncang dan menyurut mundur sampai empat tindak.
Bagaimana dengan si Tangan Setan" Dia terhuyung-huyung
sampai sepuluh langkah baru dapat berdiri tegak.
Semua orang yang menyaksikan pertempuran itu, kini sama
jelas. Benar kesudahannya dua-duanya sama menderita, tapi
lain penilaiannya. Yang satu memang memandang remeh,
sedang yang lain karena tergesa-gesa melindungi diri.
Yang satu jago kawakan yang terkenal, yang lain seorang
anak muda yang baru turun dari gunung. Baik kawan maupun


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawan, sama terperanjat kagum melihat kehebatan lwekang
Siau Ih. Siau Ih kala itu tampak beringas. Rambutnya agak kusut,
wajah merah padam, sepasang alisnya menjungkat ke atas.
Tiba-tiba dia tertawa nyaring, serunya: "Setiap budi, tentu
berbalas. Nah, kaupun harus menerima sebuah pukulankul!" Tangan menghantam dan melancarlah suatu tenaga yang
panas membara ke arah si Tangan Setan yang berdiri pada
jarak duapuluhan tindak itu.
Benar wajah si Tangan Setan Ko Leng masih sedingin
setan, tapi kemarahannya telah menyalur ke sepasang
matanya yang berkilat-kilat buas. Melihat lawan menghantam,
dia mendengus lalu undurkan kakinya setengah langkah dan
balikkan kedua tangannya untuk menyambut.
"Bum," kedua-duanya sama tersurut sampai tiga langkah!
"Buyung, pernah apa kau dengan si Dewan Tertawa Bok
Tong?" tiba-tiba si Tangan Setan bertanya.
"Pernah apaku, tiada sangkut pautnya dengan kau!" sahut
Siau Ih tertawa dingin. Selain terkenal sebagai algojo ganas, dulu si Tangan Setan
itu amat doyan paras cantik. Dalam beberapa tahun saja,
entah sudah berapa banyak jago kalangan putih dan hitam
serta wanita yang menjadi korbannya.
Pada masa tokoh-tokoh sepuluh Datuk itu berturut-turut
mengundurkan diri. Pemimpin-pemimpin angkatan tua dari
partai Bu-tong, Siau-lim, dan lain-lain aliran suci, telah sama
cuci tangan tak mau campur urusan dunia lagi. Dengan
kepandaiannya yang hebat itu, Ko Leng telah
bersimaharajalela semau-maunya. Tapi segala kejahatan itu
tentu akan berbalas. Pada suatu hari bertemulah dia dengan si Dewa Tertawa
Bok Tong, tokoh luar biasa yang gemar membasmi kejahatan
itu. Si Dewa Tertawa tak mau melepaskan serigala buas itu.
Si Tangan Setan kalah dan coba melarikan diri tapi tetap
dikejar mati-matian oleh Bok Tong. Akhirnya ketika kecandak
di puncak gunung Hong-san, dia telah dipukul jatuh ke dalam
lembah oleh si Dewa Tertawa.
Sejak itu, si Tangan Setan tiada kabar beritanya lagi.
Orang-orang menyangkanya sudah mati.
Tapi diluar dugaan, dari binasa sebaliknya di dasar lembah
itu dia bahkan bertemu dengan keberuntungan besar. Disitu
tinggallah seorang jago tua jahat yang karena cacad
bersembunyi ditempat itu sampai beberapa tahun. Si Tangan
Setan Ko Leng diterima menjadi murid.
Ketika untuk yang kedua kalinya muncul lagi di dunia
persilatan, Ko Leng sudah menjadi makin lihay. Tapi untuk
kekecewaannya, si Dewa Tertawa sudah tak ketahuan
rimbanya. Kala itu kebetulan Seng-si-poan Sut Cu-ping yang sangat
bernafsu untuk merajai dunia persilatan, mulai mendirikan
partai Thiat-sian-pang. Dengan perantaraan si Manusia Iblis
Kiau Hoan, Ko Leng masuk ke dalam partai itu. Dia diangkat
menjadi pemimpin gwa-sam-tong dengan pangkat hiang-cu.
Dengan menggunakan jaringan mata-mata Thiat-sian-pang
yang amat luasnya, dia coba menyirapi kabar berita musuhnya
besar itu. Namun tetap sia-sia. Karena itu, dendamnya
terhadap si Dewa Tertawa makin meluap.
Kali ini dia memenuhi undangan Kiau Hoan yang katanya
akan mencari musuh Thiat-sian-pang. Dia tak mengira kalau di
Pao-gwat-chung itu, akan berhadapan dengan Siau Ih.
Ditilik dari sikapnya, terang anak muda itu bukan anak
murid Gan-li Cinjin. Tuduhannya lalu jatuh pada si Dewa
Tertawa. Tapi jawaban yang diberikan anak muda itu, telah
membuatnya marah besar. "Bagus, karena kau hendak mewakili si tua Bok Tong, maka
akupun segera akan menyempurnakan dirimu!" serunya
mengekeh seram. Menyusul tangannya diangkat ke atas, dia
segera bersuit nyaring terus menerkam Siau Ih.
Pada saat itu, dari pembicaraan yang ditangkapnya tahulah
Siau Ih bahwa si Tangan Setan itu mempunyai dendam
permusuhan dengan ayahnya angkat. Namun dia tak sempat
berpikir macam-macam, karena harus menghindar dari
serangan orang. "Buyung, mau lari kemana kau?" seru Ko Leng melengking
marah. Dengan gerakan yang tangkas, dia segera berputar
tubuh menghadang si anak muda, terus dorongkan sepasang
tangannya menghantam. Siau Ih bersikap tenang. Begitu angin pukulan lawan
hampir mengenai bajunya, tiba-tiba dia tertawa mengejek:
"Kau kira tuanmu muda ini jeri pada cecongormu yang mirip
iblis itu?" Dengan ucapan itu, dia sudah separoh miringkan tubuh
untuk hantamkan tangan kiri ke arah lengan orang, dua buah
jari tangan kanan menusuk jalan darah ciang-thay-hiat di
bawah tetek si iblis. Cara menangkis sembari menyerang itu
dilakukan dengan cepat sekali. Ko Leng terpaksa tarik pulang
serangan dan mundur dulu, baru kemudian maju lagi.
Demikianlah keduanya serang menyerang dengan jurusjurus
yang indah dan berbahaya. Tangan Setan Ko Leng
sangat bernafsu sekali untuk menghancurkan anak muda
lawannya itu, karenanya jurus-jurus yang dilancarkan itu serba
gencar dan ganas. Tubuhnya seolah-olah terpecah menjadi
empat untuk mengurung Siau Ih dari segala jurusan.
Sepintas pandang, Siau Ih tampaknya seperti terbungkus
oleh bayang-bayang si Tangan Setan. Tapi benarkah itu"
Begitu bergebrak Siau Ih sudah merasa bahwa sekalipun ia
tak sampai kalah, pun untuk merebut kemenangan juga sukar.
Cepat dia keluarkan ilmu istimewa ajaran si Dewa Tertawa
yakni ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-poh.
Setelah kedudukannya stabil, barulah dia keluarkan ilmu
tun-yang-sip-pat-ciat untuk bertahan sembari menyerang.
Maka betapa gencar serangan lawan, dengan lenggangnya
dapatlah dia melayani. Sewaktu mencuri lubang kesempatan,
segera dia balas menyerang. Musuh menyerang empat-lima
kali, baru dia membalas satu kali.
Yang satu bernafsu, yang satu tenang. Sekejap saja
pertempuran sudah berjalan limapuluhan jurus. Ko Leng
sudah menumpahkan seluruh kepandaiannya, namun ujung
baju si anak muda itupun saja, tak mampu dia menjamahnya.
Rombongan orang-orang dari kedua pihak yang menyaksikan
pertandingan itu, sama terpikat perhatiannya.
Bermula Thiat-san-sian Liong Bu-ki mengawasi dengan
perasaan kuatir terhadap Siau Ih, tapi demi pertempuran
sudah berlangsung tigapuluhan jurus, wajahnya berseri
senyum dan mengangguk-angguk. Nyata dia puas dengan
permainan anak muda itu. Sampaipun Gan-li Cinjin Kho Goan-thong yang bermula tak
menyukai anak muda itu, kinipun agak terkesiap juga. Hwatpoankoan Lu Wi tetap berwajah dingin, sementara Liong Go
amat tegang. Tapi mungkin ketegangan Liong Go itu, masih kalah besar
dengan Cek-i-liong-li Kho Wan-ji.
Sebesar itu, belum pernah ia menyaksikan pertempuran
yang sedemikian serunya, apalagi disitu tersangkut seorang
pemuda yang ia kagumi. Maka taklah mengherankan kalau
gadis dari pulau Cip-peng-to itu sampai mengucurkan keringat
dingin. Tanpa disadari, tangannya merabah pedang. Begitu si anak
muda dalam bahaya, begitu ia segera akan menolong. Sayang
isi hati nona itu belum diketahui Siau Ih.
Sementara pada pihak musuh, Kiau Hoan lah yang paling
gelisah. Dialah yang mengajak si Tangan Setan kesitu.
Harapan bahwa malam itu dia bakal dapat menghimpaskan
sakit hatinya, ternyata makin pudar.
Si Tangan Setan Ko Leng yang diharap dapat memberi
bantuan besar itu, ternyata tak dapat berbuat apa-apa
ter?hadap Siau Ih. Dan yang paling menggetarkan hatinya,
ialah hadirnya Gan-li Cinjin Kho Goan-thong disitu. Bagaimana
kegelisahannya, dapat sudah dibayangkan!
Saat itu keadaan digelanggang pertempuran makin tegang
meruncing. Siau Ih yang melakukan siasat bertahan kini
berganti dengan siasat menyerang. Dengan serangannya
gencar dan luar biasa anehnya itu, dapatlah dia memaksa Ko
Leng mundur beberapa kali.
Ko Leng makin kalap. Dengan bersuit nyaring, dia
keluarkan seluruh kebiasaannya agar jangan sampai kalah
angin. Kini keras lawan keras, cepat tanding gesit. Barang
siapa ayal sedikit saja, pasti akan rubuh mandi darah.
Sekonyong-konyong Thiat-san-sian Liong Bu-ki meringkik
tertawa. Kemudian katanya kepada si Manusia Iblis Kiau Hoan:
"Yang mempunyai kepentingan dalam pertemuan malam ini,
ialah aku dan kau. Tapi kalau kita hanya menonton saja,
bukankah ganjil namanya" Apalagi para keluarga pemburu
yang tak berdosa itu, telah binasa ditanganmu. Lo-siu akan
minta keadilan padamu!"
"Liong loji," sahut Kiau Hoan tertawa nyaring, "telah
kukatakan tadi bahwa kematian beberapa orang pemburu itu
hanyalah sekedar bunga dari hutangmu pada beberapa tahun
yang lalu. Sekarang aku hendak menagih induk hutang itu!" "
Mundur selangkah, dia sudah siapkan sepasang oh-kim-cat
ditangan. Liong Bu-ki tertawa lalu menebarkan sebuah kipas dan
melangkah maju. Melihat kipas itu, wajah Kiau Hoan berobah,
serunya: "Liong loji, mengapa tak kau keluarkan kipasmu tuihunthiat-san yang termasyhur itu?"
Kembali Thiat-san-sian tertawa lebar, sahutnya: "Kipas
pusaka itu, telah kuberikan pada cucuku, maka losiu hanya
menggunakan kipas biasa saja, untuk menghadapimu!"
Pada lain saat, jago tua itu mengerut, lalu berkata dengan
nada dalam: "Tapi walaupun kipas ini hanya terbuat dari
bambu biasa, tetap dia akan menjadi senjata ampuh
pembasmi kawanan iblis!"
Kiau Hoan tak mau adu lidah lagi. Dengan tertawa sinis, dia
enjot tubuhnya sampai satu setengah tombak tingginya. Disitu
dia pentang sepasang oh-kim-cat. Setelah dimainkan dalam
jurus thian-mo-gong-wu, sembari bersuit nyaring, dia
meluncur menghantam kepala lawan.
Liong Bu-ki pun bersuit nyaring dan enjot tubuhnya ke
atas. Lengan baju kiri dibalikkan dalam gerak jun-hong-hud-liu
sehingga menerbitkan deru angin lwekang yang dahsyat,
menyusul dalam jurus gui-seng-tiam-goan, kipasnya
ditusukkan kejalan darah thian-tho-hiat Kiau Hoan.
Cara bertempur semacam itu, sungguh belum pernah
terjadi. Sehingga saking kagetnya, Kiau Hoan buru-buru
menangkiskan senjatanya dan sekali tubuhnya bergoyang
dalam gerak kek-cu-toa-hoan-sin atau burung dara berbalik
badan, dia buang tubuhnya berjumpalitan ke belakang. Tapi
baru sang kaki menginjak tanah, Thiat-san-sian sudah
meluncur datang dengan kebutkan kipasnya ke arah dada.
Gebrak kedua itupun dilangsungkan secara sengit.
Cian-chiu-wi-tho Go Ki yang sejak tadi berdiam diri, saat itu
tiba-tiba tertawa dan berkata kepada Gan-li Cinjin: "Ibarat
masuk ke gunung harta, tak boleh kita pulang dengan tangan
kosong. Go Ki pun ingin melayakni seorang ko-jin yang
termasyhur." Kemudian berpaling ke arah kedua kawannya, dia berseru:
"Mengapa Te tongcu berdua tak mau melemaskan urat
bermain-main dengan beberapa anak itu" Lebih enak bergerak
daripada kedinginan."
Rupanya enak sekali orang she Go itu bicara dan bertindak.
Habis berkata dia lantas mencabut tongkat besi ciang-mothiatngo dan tanpa menunggu penyahutan orang lagi, dia
segera menyerang Gan-li Cinjin. Memang Go Ki sama halnya
dengan Ko Leng, juga seorang algojo kenamaan di dunia
persilatan. Bedanya kalau dia berwajah jujur, tapi Ko Leng buruk
seperti setan, jadi orang menilai Ko Leng lebih ganas dari dia.
Tapi sebenarnya tidak demikian. Dia lebih licin dan ganas
serta tinggi kepandaiannya dari si Tangan Setan itu.
Pemimpin Thiat-sian-pang si Seng-si-poan Sut Cu-peng
telah mengangkatnya sebagai salah seorang dari ketiga
hiangcu. Sebagai hiangcu dari Loan-tong, dia amat dihormati
dan ditakuti oleh anak buah Thit-sian-pang.
Inilah yang menjadikan dia congkak tak kepalang. Maka
sekali tampil, dia segera menantang Gan-li Cinjin.
Sebenarnya Gan-li Cinjin tak tahu menahu tentang si
Manusia iblis akan menuntut balas itu. Baru setelah kedua
pihak saling berhadapan, dia jelas soalnya.
Melihat kesombongan Kiau Hoan, dia sudah tak sabar lagi.
Manusia seperti Kiau Hoan itu harus dllenyapkan saja dengan
segera. Sudah tentu kemarahannya itu seperti disiram minyak
demi dia ditantang Go Ki.
"Bangsat, kau cari mampus!" serunya dengan murka.
Begitu tongkat si Go Ki tiba, cepat dia kebutkan lengan
bajunya kiri untuk menampar senjata itu, menyusul dia
kibaskan tangan kanan menyampok ke arah lawan.
Berbareng pada saat itu, kedua orang yang dipanggil Tetongcu
itupun sudah mencabut senjata dan mencari lawan.
Senjata mereka ialah sebatang cap-sa-ciat-ko-lo-pian (ruyung
limabelas buah ruas tengkorak).
Yang satu menyerang Liong Go dan Ji-yan, yang satu
menyerbu Kho Wan-ji dan Lu Wi. Pikir mereka, keempat anak
muda itu dengan beberapa belas jurus saja, tentu akan sudah
dapat diringkus. Apa lacur" Dugaan mereka itu salah besar. Selain Ji-yan,
ketiga orang muda itu bukan daging empuk, melainkan jagojago
kelas satu juga. Satu lawan satu saja belum tentu
menang, apalagi mereka cari penyakit sendiri, satu orang cari
dua musuh. Kedua orang, she Te itu, adalah kakak beradik. Yang tua
bernama Te Cik, adiknya bernama Te Tong. Mereka menjadi
tongcu Thiat-sian-pang untuk wilayah Kwitang.
Demikianlah segera terjadi pertempuran yang seru. Desa
Pao-gwat-chung yang tenang tenteram, saat itu berobah
menjadi medan pertumpahan darah yang dahsyat. Batu-batu
pecah berhamburan, rumput-rumput siak-beriak beterbangan.
Sekarang mari kita ikuti pertempuran itu partai demi partai.
Pertama partai Wan-ji. Nona ini telah mewarisi seluruh
kepandaian ayahnya, namun karena belum pernah berkelana,
jadi belum pernah juga bertempur dengan orang, lebih-lebih


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam pertempuran sedahsyat saat itu.
Sebenarnya ketika melihat Siau Ih turun kegelanggang, ia
sudah gatal tangannya. Kini tahu-tahu Te Cik datang mencari
penyakit. Begitu ruyung tengkorak lawan melayang ke arah
kepalanya, nona itu segera melolos pedang lalu dengan kihwatso-thian dia tusukkan ujung pedang ke arah ruas kelima
ruyung tengkorak. "Tring," tahu-tahu ruyung tengkorak itu mental kembali.
Cara menolak, serangan yang digunakan Wan-ji itu sungguh
amat berbahaya namun indah bukan buatan. Tepat waktunya
tepat pula sasarannya. Mendapat hati, Wan-ji tambah bersemangat. Dia teruskan
pedangnya menusuk dada orang.
Te Cik terkejut melihat gaya serangan si nona yang tangkas
ganas itu. Buru-buru kibaskan ruyung untuk menghantam
batang pedang, berbareng itu tubuhnya mengisar kekiri,
menyusul tangannya kiri menjotos Hwat-poan-koan Lu Wi.
Sebenarnya kepandaian Te Cik itu tidak berlebih-lebihan,
tapi dia mempunyai pengalaman luas. Tahu sudah dia bahwa
serangannya itu hanya tipis kemungkinnya untuk berhasil,
namun tetap dia mencobanya juga.
Dia insyaf bahwa nona yang menjadi lawannya itu, jauh
lebih lihay dari dirinya. Apalagi disamping itu ada Lu Wi. Kuatir
dirinya akan terjepit dari muka belakang, dia lekas-lekas turun
tangan dulu. Dengan menutup kemungkinan serangan dari Lu Wi, dia
harap akan dapat kesempatan leluasa untuk mundur. Memang
bagus juga rencana Te Cik itu. Tapi siapa duga. Justeru jalan
mundur yang direncanakan itu, bakal menjadi jalan
kebinasaannya. Sebenarnya waktu sempat melirik ke arah partai Te Cik
dengan Wan-ji itu, Lu Wi menjadi lega hatinya. Te Cik hanya
begitu saja kepandaiannya, Wan-ji pasti dapat mengatasi.
Sebagai salah seorang dari kelima poan-koan (hakim) di
istana-biara Li?cu-kiong, dia tak mau mengerojok seorang
lawan yang lebih rendah kepandaiannya. Tapi demi Te Cik
secara menggelap menyerangnya, Lu Wi menjadi marah
besar. "Kawanan tikus yang tak tahu diri, kau minta lekas-lekas
mampus ya?" serunya dengan sinis. Begitu pukulan Te Cik
hampir tiba, secepat kilat dia menyurut mundur, tapi tak
kurang cepatnya pula pada lain saat dia sudah maju lagi terus
menerkam. "Cela ?"!" belum sempat mulut Te Cik melanjutkan katakatanya,
meh-bun-hiat di lengan kirinya sudah kena
dicengkeram. Separoh tubuhnya segera terasa mati,
kekuatannya lumpuh. Justeru pada saat itu Wan-ji datang membabat. Betapa dia
hendak menghindar, namun tak dapat berkutik lagi. Mulut
menjerit seram, tubuhnya segera terpapas kutung ?"..
Telah diterangkan tadi, bahwa sebenarnya Lu Wi malu
untuk main kerojok. Tapi ternyata sang sumoay terlampau
cepat gerakannya. Belum sempat dia berseru mencegahnya, tubuh Te Cik
sudah kutung. Karena kuatir kecipratan darah, buru-buru dia
lemparkan separoh tubuh Te Cik yang sudah kutung itu.
Suatu pemandangan ngeri, segera terjadi di udara. Tubuh
orang yang tinggal separoh, dengan tangan masih mencekali
sebatang ruyung, melayang di udara sembari menghamburkan
hujan darah yang berbau amis.
Secara kebetulan, kutungan tubuh itu jatuh ke tengah
gelanggang, melayang ke arah si Tangan Setan Ko Leng.
Sampai pada saat itu, Ko Leng sudah bertempur tigaratusan
jurus dengan Siau Ih. Dia sudah keluarkan seluruh
kepandaian, namun tetap belum dapat mengapa-apakan anak
muda itu. "Dalam sepuluh jurus lagi kalau belum menang, biar mati
bersama-sama, aku tetap akan mengadu jiwa," diam-diam dia
sudah mengambil ketetapan.
Baru dia berpiklr begitu, tiba-tiba dia dikejutkan dengan
jeritan seram dari Te Cik tadi. Dan belum lagi kejutnya itu
hilang, tahu-tahu ada sesosok tubuh kutung yang berbau amis
melayang ke arahnya. Sejak berkelana di dunia persilatan, tangan Ko Leng itu
sudah penuh berlepotan darah korban-korbannya. Boleh
dikata membunuh itu, sudah menjadi air mandinya
(kebiasaannya). Tapi melihat pemandangan ngeri seperti saat
itu, benar-benar baru sekali itu saja.
Dalam kagetnya, dia menyurut mundur lalu menghantam.
"Bum," separoh tubuh mayat Te Cik itu terlempar dan jatuh
ke tanah kira-kira tiga tombak jauhnya.
Dan karena menghantam itu, Ko Leng agak ayal sedikit.
Kesempatan itu tak disia-siakan Siau Ih. Dengan bersuit
panjang, Siau Ih segera lancarkan tiga buah serangan
ber?turut-turut. Tepat pada saat Ko Leng terancam dalam hujan pukulan, di
partai sana si Manusia Iblis Kiau Hoan dan Cian-chiu-wi-tho Go
Ki, pun karena terkejut menjadi kacau juga. Kini mereka
berdua hanya dapat membela diri, tak mampu balas
menyerang lagi. Lebih mengenaskan adalah si Te Tong. Dia bukan
tandingan Liong Go. Apalagi karena terpengaruh dengan
kematian kakaknya yang begitu mengenaskan, dia makin
gugup. Sekali lambat sedikit, Ji-yan segera menusuknya. Seperti
diguyur air dingin, dengan gelagapan dia kisarkan tubuh untuk
menghindar, tapi pada saat itu, kipas tui-hun-san dari Liong
Go sudah tiba. Karena cepatnya Liong Go menyerang, Te
Tong tiada kesempatan untuk menghindar lagi.
Dalam keputusan asa, dia hendak berlaku nekad mengadu
jiwa. Tapi baru hendak mengayunkan ruyungnya, tiba-tiba
dadanya terasa sakit sekali hingga putuslah jantungnya.
Kematian kedua saudara Te itu, telah berlangsung dalam
beberapa gebrak saja. Dan kini Liong Go berempat nganggur
lagi. Mereka berdiri di empat penjuru, menyaksikan
pertempuran. Karena kelabakan dirangsang oleh serangan Siau Ih yang
gencar, Ko Leng menjadi meluap amarahnya. Saat itu, Siau Ih
tengah gunakan tangan kanan menghantam kepalanya (Ko
Leng). "Nah ini suatu kesempatan bagus," demikian Ko Leng
berpikir. Demikian dia menggerung keras, tangan kiri
ditabaskan kepergelangan siku, tangan kanan dibalikkan ke
atas untuk mencengkeram tangan Siau Ih.
Dengan serangan itu, dia yakin si anak muda tentu akan
menghindar mundur, dengan demikian dapatlah dia balas
mendesak. Tapi apa yang terjadi" Di luar dugaan, Siau Ih tak mau
menghindar. Tiba-tiba dia turunkan tangan kanan tadi, berbareng itu
tangan kiri menjulur ke muka menyusup ditengah-tengah sela
kedua lengan Ko Leng, lalu secepat kilat dipentangkan.
Sungguh suatu gerak tangkisan yang amat berbahaya.
Ko Leng tersadar apa yang bakal terjadi, namun sudah
terlambat karena sepasang lengannya sudah kena disiakkan
kekanan kiri, hingga bagian dadanya tak terlindung lagi.
Sudah tentu kejutnya bukan main.
Baru hendak gerakkan tangan untuk menutupi lubang itu,
Siau Ih sudah tertawa mengejeknya.
"Setan kejam, lekas serahkan jiwamu!" serunya, sembari
rapatkan sepasang tinju. Dengan gerak liat-ciok-gui-pay atau
batu pecah nisan terbuka, secepat kilat dia menjotos ke dada
lawan. "Aukkk "..," mulut menjerit, darah menyembur dan
bagaikan layang-layang putus tali, tubuh si Tangan Setan Ko
Leng telah terlempar sampai setombak jauhnya. Algojo yang
sudah banyak berhutang darah manusia itu, kini harus
menebus dosanya dengan mati remuk dalam!
Sebaliknya saking kesima dapat membinasakan seorang
musuh yang lebih kuat dari dirinya, Siau Ih menjadi
terlongong-longong. Setelah mendengar teriak pujian dari
keempat kawannya, barulah dia tersadar. Dengan tersenyum
membalas pujian mereka, dia berpaling ke belakang untuk
melihat pertempuran di partai lain.
Ternyata kedua partai itu masih bertempur seru. Tapi yang
nyata, Kiau Hoan dan Go Ki sudah di bawah angin,
kekalahannya tinggal tunggu waktu saja. Go Ki yang tadi
berani menantang Gan-li Cinjin, kini menjadi kelabakan.
Sebenarnya diapun berkepandaian tinggi. Dalam dunia
perbegalan (penyamun), dia menduduki kelas yang tertinggi.
Dengan tongkat besi ciang-mo-thiat-ngo itu, dia pernah
menjatuhkan keempat paderi hu-hwat dari Siau-lim-si dan tiga
tokoh Cinjin dari Bu-tong-pay yang terkemuka semua.
Kemenangan itulah yang menjadikan dirinya makin
congkak. Begitu besar dia menilai dirinya sendiri sebagai jago
yang tiada terlawan, sehingga dia bernafsu keras untuk
menjajal tokoh-tokoh dari sepuluh Datuk. Maka dia tak mau
menyia-nyiakan kesempatan bagus dapat bertemu dengan
salah seorang tokoh sepuluh Datuk yang sudah lama dicari
tapi belum pernah dijumpainya itu.
Tapi begitu merasakan tangan Gan-li Cinjin, dia segera
mengucurkan keringat dingin. Nyata tokoh dari sepuluh Datuk
itu, beberapa tingkat lebih lihay dari dia. Untung Gan-li Cinjin
hanya menggunakan tangan kosong, sehingga dia masih
dapat bertahan. Coba Gan-li memakai pedang, jangan harap
dia dapat bernyawa. Pada partai lainnya, keadaan Kiau Hoan masih mendingan.
Tapi dikarenakan kegoncangan hatinya melihat Ko Leng mati,
diapun menjadi terdesak lawan. Tanpa ajak-ajakan, Kiau Hoan
dan Go Ki mempunyai rencana yang sama. Daripada mati
konyol, lebih baik ngacir lebih dulu.
25. Pria Mati, Bila Masuk
"Tidak berhasil membalas sakit hati, pun Pao-gwat-chung
tetap akan kuhancurkan!" Kiau Hoan membulatkan tekadnya.
Selagi dia berpikir begitu, disana Gan-li Cinjin telah
tutukkan dua buah jarinya ke arah jalan darah ciang-thay-hiat
Go Ki. Namun seperti tak merasa apa-apa, Go Ki kerahkan
tongkatnya untuk menghantam kepala Gan-li.
Tokoh dari pulau Cip-peng-to itu tertawa dingin. Dia tahu
lawan akan mengayak mati sama-sama. Begitu bahunya
tergetar, dia segera nyelonong ke samping.
Inilah memang yang dikehendaki Go Ki. Begitu Gan-li
hendak menyerang, dia (Go Ki) sudah mendahului enjot
tubuhnya ke atas udara. Sekali berputaran, dia sudah
melayang turun empat tombak jauhnya, terus hendak
melarikan diri. "Mau lari kemana kau?" seru Gan-li setelah mengetahui
dirinya diselomoti. Malah berbareng dengan seruannya itu,
orangnya pun sudah terbang mengejar, sembari kebutkebutkan
lengan jubahnya. Beberapa bintik sinar biru macam
ular hidup segera melayang ke arah punggung Go Ki.
Saat itu Kiau Hoan pun lancarkan beberapa serangan hebat
untuk mendesak Liong Bu-ki. Dan begitu lawan mundur, dia
terus enjot kakinya. Begitu di atas udara, matanya segera
tertumbuk akan beberapa sinar biru yang berkelip-kelip tadi.
Kejutnya bukan kepalang. "Go hiangcu, awas, senjata rahasia coa-yan-cian Kho Goanthong,
lekas membungkuk ?".."
Belum habis Kiau Hoan memberi peringatan, disana Go Ki
sudah menjerit ngeri. "Nah, rasakanlah coa-yan-cian yang akan membakar
dirimu, pengecut!" Gan-li Cinjin tertawa sinis.
Memang Cian-ciu-wi-tho Go Ki telah terkena dua batang
panah dipundaknya. Begitu menyentuh daging, coa-yan-cian
itu mengeluarkan suara letikan pelahan, lalu memancarkan
bintik-bintik sinar biru macam kunang-kunang. Memang dari
kejauhan tubuh Go Ki tampak bergemerlapan seperti berhias
bintang, tapi sakitnya bukan kepalang.
Kelihayan dari senjata panah coa-yan-cian itu, begitu
mengenai tubuh, lantas pecah membiak. Ya, hanya dalam
beberapa kejap saja, tubuh Go Ki sudah dijalari sinar kunangkunang.
Pakaiannya luar dalam, sudah habis terbakar. Hidup Go Ki
penuh berlumuran darah, tapi akhirnya diapun harus
menerima kematian yang mengerikan. Dengan mengerangerang
kesakitan, dia segera bergelundungan ke tanah untuk
memadamkan api itu. Tapi api itu memang luar biasa anehnya. Waktu
dipadamkan makin membakar dan Go Ki pun makin merintihrintih
memilukan hati. Orang-orang yang menyaksikan, sama bercekat kaget.
Dunia persilatan menyohorkan sebagai raja api, namun
kecuali Siau Ih yang pernah merasakan serangan hui-thianhwatyan (burung walet berapi) dari murid Gan-li Cinjin,
sekalipun Thiat-san-sian Liong Bu-ki yang menjadi sahabatnya
berpuluh tahun serta puterinya sendiri (Kho Wan-ji), semua
belum pernah menyaksikan kelihayan senjata panah yang
ganas itu. Saking ngerinya, Wan-ji menjadi pucat dan terus lari
menubruk sang ayah: "Ayah ?""
Gan-li memeluk puterinya. Meskipun maksudnya hendak
menghibur, tapi wajahnya yang dingin itu tetap menampilkan
kemarahan. Melihat sang kawan mengalami nasib ngeri, nyali Kiau Hoan
menjadi copot. Dia harus lekas-lekas bertindak untuk lolos.
Secepat mengambil keputusan, segera dia enjot tubuh
melayang melampaui kepala Liong Bu-ki lalu melayang turun
ke padang bunga. Jadi dia tak mengambil jalan turun gunung,
sebaliknya malah kembali masuk ke Pao-gwat-chung lagi.
Cepat dia merogoh kedalam bajunya. Tapi baru dia hendak
berpaling untuk menimpukkannya, terlintas sesuatu pada
pikirannya: "Ah, kalau seranganku ini gagal, berarti
membuang kesempatan untuk lolos. Lebih baik kuteruskan
rencana semula, menghancur leburkan desa ini!"
Ketika sekalian orang menyadari, Kiau Hoan sudah berada
sepuluh tombak jauhnya. Dengan menggerung keras, Liong
Bu-ki cepat mengejar. Tapi secepat itu pula dia segera melihat
si Manusia Iblis berulang-ulang mengayunkan tangan,
menaburkan berpuluh-puluh sinar ungu sebesar biji kacang ke
seluruh pelosok. "Celaka!" teriak Liong Bu-ki dengan gusarnya.


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bum, bum," desa Pao-gwat-chung yang sunyi tenteram
itu, segera berobah hiruk pikuk dengan berpuluh letusan
petasan. Menyusul, dahan-dahan pohon mencelat kian kemari,
batu-batu meledak berhamburan. Bumi Pao-gwat-tihung
seolah-olah ditimpah gempa yang dahsyat.
Dengan menerjang ke daerah ledakan yang amat
berbahaya itu, Kiau Hoan lari ke arah desa lain yang terletak
disebelah atas lagi, dari situ terus turun meloloskan diri.
Ketika letusan-letusan itu sirap, desa Pao-gwat-chung yang
indah seperti lukisan, sudah berobah menjadi tumpukan
puing. Yang masih tampak hanyalah beberapa batang pohon
bunga. Pondok-pondok dan barisan pohon telah hancur lebur.
Saking gusarnya, mata Liong Bu-ki sampai melotot.
Beberapa saat kemudian barulah dia dapat berkata: "Berpuluh
tahun losiu mengasingkan diri di tempat yang terpencil, toh
akhirnya tetap dikejar musuh juga. Daripada begitu, lebih baik
losiu buang sampah losiu dahulu saja dan terjun kembali ke
dunia persilatan untuk membasmi kawanan manusia jahat!"
Karena masygulnya, Liong Go dan Ji-yan, diam kesima.
Pun Gan-li Cinjin turut marah melihat perbuatan Kiau Hoan
tadi, ujarnya: "Tak kira setelah berpuluh tahun berada di luar
lautan, ternyata di Tiong-goan masih tetap banyak urusan.
Kemungkinan dalam mencari murid pinto nanti, pinto akan
berhadapan juga dengan jago-jago lihay dari kalangan hijau
(begal)!" Mendengar itu, Siau Ih terkesiap. Dia tahu murid yang
dimaksudkan Gan-li Cinjin itu, ialah orang berbaju merah
kawan Li Thing-thing yang telah dibinasakan di gunung Taylosan itu. "Aku yang membinasakan, harus aku sendiri yang
menanggung jawabkan. Rasanya tak perlu takut. Pertama, dia
ternyata galang-gulung dengan seorana wanita cabul macam
Li Thing-thing. Kedua kalinya, dialah yang lebih dulu
menggunakan tipu keji untuk menyerang dan yang ketiga
kalinya, ada Goan Goan Totiang yang menjadi saksi," diamdiam
Siau Ih berpikir. Habis itu, dia terus hendak tampil ke muka memberi
pengakuan kepada Gan-li Cinjin. Tapi tiba-tiba terlintas
sesuatu pada pikirannya. "Ah, tetapi dahulu ayahku pernah menceritakan bahwa
Gan-li Cinjin itu sering-sering membawa maunya sendiri. Kalau
karena malu dia lantas marah, bukankah akan runyam nanti"
Kiranya baik kutangguhkan saja sampai lain kali apabila
waktunya sudah mengizinkan."
Kata-kata yang sudah disiapkan dibibir tadi, ditelannya
kembali. Wajah Siau Ih pun kembali pulih tenang.
Kesemuanya itu berlangsung dalam waktu yang singkat,
hingga orang-orang tiada mengetahuinya, kecuali Liong Go.
Liong Go cukup kenal watak saudaranya angkat itu. Dia
terkejut melihat perobahan wajah Siau Ih tadi dan diam-diam
menduga anak itu tentu mengetahui persoalan murid Gan-li
Cinjin. Tanpa disadari, Liong Go menatap tajam-tajam ke arah
Siau Ih. Anak muda itupun rupanya merasa. Wajahnya
bersemu merah. lalu cepat-cepat mmeberi isyarat mata
kepada Liong Go agar jangan membuka mulut.
Liong Go makin cenderung akan dugaannya tadi. Diamdiam
dia heran melihat sikap Siau Ih, pikirnya: "Biasanya Siau
hiante itu tiada kenal takut, tapi mengapa kini dia berlaku
aneh" Jangan-jangan apa dia yang dipihak salah?"
Tapi pada lain kilas, Liong Go membantah pikirannya
sendiri. Dia kenal siapa Siau Ih itu, seorang pemuda yang
diamuk oleh rasa dendam membalas sakit hati orang tua,
namun belum pernah berlaku jahat pada lain urusan. Sampai
sekian saat, Liong Go tak dapat menemukan jawaban.
Pada saat itu, kedengaran Thiat-san-sian Liong Bu-ki
menyatakan sesalnya kepada Gan-li Cinjin: "Sebenarnya aku
sudah mengetahui hal itu, tapi memang sengaja aku tak
memberitahukan to-heng karena tak ingin mengganggu toTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
heng. Tapi ternyata urusan telah berlarut begini. Gubuk
musnah, tak punya tempat untuk melayani tetamu. Sungguh
menyesal sekali." Saking hendak menghiburnya, wajah Gan-li sampai
menampil kerut tawa yang aneh, ujarnya: "Liong-heng, kita
bukan kenalan baru melainkan sahahat karib yang sudah
berpuluh tahun. Jangan begitu sungkan. Karena turut
mengalami, sudah tentu pinto campur tangan juga. Pintopun
turut menyesal tempat istirahat yang Liong-heng bangun
bertahun-tahun itu, dalam beberapa kejap saja menjadi
musnah." Gan-li tampak berhenti sejenak. Pada lain saat air mukanya
berobah keren lagi, katanya pula: "Urusan pinto hendak
mencari murid murtad itu, tak dapat dipertangguhkan lamalama
lagi. Mungkin pinto akan agak lama tinggal di daerah
Tiong-goan. Oleh karena Liong-heng telah memutuskan
hendak aktif dalam masyarakat persilatan lagi, tentulah lain
hari kita bakal berjumpa lagi. Sekarang haripun sudah
menjelang terang, oleh karena kita masih mempunyai urusan
sendiri-sendiri, dengan ini pinto hendak minta diri."
Tanpa menunggu jawaban tuan rumah, Cinjin itu
anggukkan kepala memberi hormat lalu melesat pergi. Hwatpoankoan Lu Wi dan Cek-i-liong-li Kho Wan-ji tersipu-sipu
memberi hormat kepada tuan rumah, lalu mengikut jejak
suhunya. Dalam beberapa kejap saja, mereka sudah lenyap
dari pemandangan. Sewaktu hendak angkat kaki tadi, Kho Wan-ji mencuri
kesempatan sejenak untuk memanahkan lirikan mata ke arah
Siau Ih. Suatu lirikan yang mengandung arti dalam. Namun
pemuda yang berhati baja itu, tiada mempunyai kesan suatu
apa. Kepergian sang sahabat secara begitu mendadak itu, telah
membuat Liong Bu-ki makin berduka.
Berselang beberapa saat kemudian, dia berpaling ke arah
Siau Ih, ujarnya: "Losiu pun pernah berpuluh tahun
berkecimpung dalam gelombang dunia persilatan. Pasang
surutnya derita kesulitan, pernah losiu alami juga. Tapi tidak
seperti hari ini. Usia losiu makin loyo, sehingga tak mampu
melindungi rumah tangga, ah benar-benar memalukan."
Dengan tegas Siau Ih menyahut: "Tombak yang
diserangkan secara terang-terangan mudah dihindari, tapi
panah gelap sukar dijaga. Perbuatan pengecut dari kawanan
manusia jahat, memang sering berhasil menjatuhkan kaum
kesatria. Locianpwe, mengapa kau anggap dirimu tiada
berguna?" "Walaupun sisa hidup losiu tinggal tak berapa lama, tapi
selama hayat masih dikandung badan, losiu tentu akan
menghaturkan si Kiau Hoan itu," dengan mata berkilat-kilat
Liong Bu-ki mengikrarkan tekadnya. Setelah itu sikapnya
berobah tenang kembali. "Hian-tit, menilik pribadi dan kecerdasanmu, hari depanmu
tentu amat gemilang. Hanya sayang pada sepasang alismu itu
mencerminkan hawa pembunuhan, jadi kau tentu banyak
menghadapi kesulitan-kesulitan. Namun kalau tiada digosok,
berlian itu takkan menampakkan wajahnya yang gemilang.
Manusia kalau tak digembleng, takkan sempurna. Asal teguh
iman, pantang surut menghadapi segala coba derita, semua
tujuan pasti berhasil. Losiu tiada mempunyai suatu apa yang
berharga untuk kuberikan padamu. Hanya dengan sedikit
ucapan itulah, Losiu persembahkan pada hiantit."
Serta merta Siau Ih menjurah dan menghaturkan terima
kasih. Ujarnya: "Karena locianpwe masih mempunyai banyak
urusan, wanpwe tak berani mengganggu lebih lama dan
dengan inipun hendak mohon diri."
"Dalam keadaan begini, losiu terpaksa tak dapat menahan
hiantit. Begitu urusan disini selesai, losiu pun hendak
berkelana. Kelak apabila hiantit bertemu dengan engkongmu,
toiong sampaikan salam losiu padanya!"
Kembali Siau Ih haturkan terima kasih. Kemudian setelah
memberi selamat tinggal pada Liong Go, dia segera ayunkan
langkah. Ketika tiba di padang bunga, tampak olehnya mayat Cianchiuwi-tho Go Ki sudah terbakar menjadi abu. Juga jalanan
kiu-jiok-pat-poa-it-sian-thian itu, sudah rusak porak poranda.
Dua deret rumah kayu yang berada dipinggir karang, pun
sudah lenyap. Berpuluh-puluh sosok mayat malang melintang, ada yang
pecah kepa?lanya, ada yang jebol dadanya dan ada yang
sudah tak keruan tubuhnya. Benar Siau Ih satu waktu juga
berbuat ganas, tapi pemandangan yang disaksikan pada saat
itu, benar-benar membuatnya bergidik.
Sekeluarnya dimulut gunung, mataharipun sudah terbit.
Walaupun dijalan itu tiada tampak orang berjalan, namun dia
tak mau gunakan ilmu berjalan cepat.
?"?"" Dini hari dijalanan yang menuju ke gunung Lou-hu-san,
tampak seorang pemuda cakap tengah naik kuda dengan
pelahan-lahan. Alam pemandangan disepanjang jalan ke Lou-hu-san itu,
terkenal cantik. Walaupun Lou-hu-san di propinsi Kwitang itu
termasuk daerah beriklim sedang, namun dikala pagi hari,
hawanya pun cukup dingin.
Tampak pemuda yang berpakaian warna biru itu, tak terlalu
menghiraukan alam sekelilingnya, karena tengah sibuk kelelap
dalam lamunannya pribadi. Hal itu kelihatan dari perobahan
mimik wajahnya yang sebentar mengerut dahi, sebentar
mengilas senyum dan sebentar pula memangu muka.
Siapakah gerangan pemuda itu, kiranya pembaca tentu
sudah dapat memaklumi sendiri.
Banar, memang dialah Siau Ih yang hendak melaksanakan
hasratnya menuju ke Lou-hu-san. Menurutkan suara hatinya,
dia ingin mengadakan pertemuan empat mata dulu dengan
juwita Lo Hui-yan, sebelum kembali ke "tahanan" di Tiam-jongsan.
Kejadian singkat yang di alaminya di Pao-gwat-san itu,
telah menyadarkan pikirannya. Hanya dengan kesabaran
derita dan gemblengan lahir batin, barulah dia akan berhasil
membalaskan sakit hati orang tuanya.
Kaum muda banyak yang dihinggapi bercita-cita muluk,
melamun yang indah-indah, Siau Ih pun tak terkecuali. Dia
mempunyai lamunan sendiri akan hari depannya.
Menuntut balas, menjalankan dharma kebajikan,
mempersunting juwita idamannya, mendirikan mahligai
penghidupan yang bahagia.
Demikian lamunan yang menyelubungi lubuk pikiran anak
muda itu. Rangsangan hati itu, memerlukan tempat untuk
menyalurkan dan Lo Hui-yan adalah tempatnya yang sesuai.
Biara Peh-hoa-kiong di gunung Lou-hu-san adalah sebuah
biara wanita yang terkenal keras peraturannya. Di bawah
pimpinan ketiga perawan suci Hun-si-sam-sian yang berilmu
tinggi, daerah itu merupakan daerah terlarang bagi kaum pria.
Mereka melarang anak murid Peh-hoa-kiong menikah. Lo
Hui-yan menjadi murid kesayangan Hun-si sam-sian, jadi
diapun tunduk dengan peraturan itu.
Siau Ih telah membayangkan kesukaran-kesukaran itu,
namun dia datang dengan membawa keyakinan. Kisah roman
dikolam gunung Ki-he-nia, tetap menggores dalam kalbunya.
"Manusia tetap insan yang berperasaan ?"."
Kata-kata Lo Hui-yan itu amat membesarkan semangat
Siau Ih. Namun bila teringat akan peraturan keras dari Pehhoakiong, mau tak mau dia menjadi gelisah juga. Makin dekat
ke Lou-hu-san makin keras debar hatinya.
Derap kaki kudanya makin lambat dan akhirnya berhenti.
Siau Ih termangu-mangu lama sekali. Akhirnya dia tersadar.
Mengapa takut akan bayang-bayang sendiri" Asal Hui-yan
setuju, segala rintangan pasti akan dapat diatasi.
Semangatnya bangun kembali dan bersuitlah dia dengan
kerasnya laksana seekor ajam jago menunjuk kejantanannya.
Kuda mencongklang pula dengan pesatnya.
Lou-hu-san termasuk salah satu dari sepuluh gunung besar
di Tiongkok, yang puncaknya dapat menembus ke nirwana.
Demikian menurut anggapan kaum paderi agama Buddha itu.
Nama aseli dari gunung itu sebenarnya adalah Lo-san.
Menurut kitab Goan-ho-ci, sebelah bagian barat dari
gunung itu terus membentang ke laut. Karena bagian atas
gunung yang masuk laut itu penuh ditumbuhi hutan alangalang,
jadi tampaknya seperti terapung di laut. Itulah
sebabnya maka dinamakan Lo-hu-san (hu artinya terapung).
Menjelang sore, tibalah Siau Ih di kaki gunung tersebut.
Dilihatnya dibeberapa tempat dari kaki gunung itu terdapat
beberapa petak rumah petani.
Sekilas teringatlah dia akan pesan Hui-yan tempo hari,
supaya jika datang ke Lo-hu-san, lebih dulu mencari petani
she Kau. Nona itu telah memberikan kalung kiu-hong-giok-hu
padanya. Akhirnya dia memutuskan untuk menurut petunjuk
nona itu. Kala itu hari sudah petang. Belasan petak rumah petani itu
sudah menyalakan lampu. Pada pintu dari salah sebuah
rumah, terdapat dua larik lian (poster) menyambut
kedatangan musim semi. "Ah, setiap keluarga tengah bersuka ria merayakan Tahun
Baru, hanya aku sendiri ?". ai!" sesaat dia mengeluh, tapi
pada lain kilas dia buang pikiran itu, lalu mengetuk pintu itu.
Seorang petani berumur empatpuluhan tahun, muncul
menyambut. Demi melihat orang itu terbeliak kaget, buru-buru
Siau Ih memberi hormat dan menyatakan maksud kedatangan
mencari petani she Kau itu. Belum lagi Siau Ih habis bicara,
petani itu sudah goyang-goyang tangan seraya menunjuk
telinganya. Bermula Siau Ih terkesiap, tapi segera dia mengetahui apa
sebabnya. Petani itu orang Kwitang, jadi tak mengerti logat
bahasa daerah utara. Siau Ih tak keputusan akal, segera dia mencorat-coret
ditanah. Tapi petani itupun hanya menunjuk matanya sembari
tersenyum menggelengkan kepala. Siau Ih terpaksa pamitan.
Dari satu ke lain rumah, dia sudah mendatangi enam-tujuh
keluarga, namun hasilnya sama saja. Mereka tak dapat
sambung bicara pun buta huruf. Diam dia mengeluh.
Syukur akhirnya dia bertemu juga dengan sebuah keluarga
petani yang berasal dari lain daerah.
Menurut keterangan orang itu, petani Kau itu tidak tetap


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggal disitu. Kebanyakan dia pergi ke lain daerah dan hanya
dua-tiga kali saja pulang menjenguk rumah. Dua bulan yang
lalu, orang itu pergi hingga kini belum pulang lagi.
Siau Ih tertegun kecewa. "Jauh-jauh kongcu datang kemari, tentulah mempunyai
urusan penting. Sayang Kau-loya tak ada, sekalipun begitu,
aku bersedia melakukan perintah kongcu," kata tuan rumah
demi melihat sikap anak muda itu.
Siau Ih menjadi lega. Setelah menghaturkan terima kasih,
menerangkan bahwa maksudnya mencari orang she Kau itu
ialah hendak minta tolong supaya menyampaikan suatu berita
ke Peh-hoa-kiong. Demi mendengar itu, pucatlah seketika wajah petani itu.
Serunya sembari geleng-geleng kepala: "Maaf, kongcu, aku
tak dapat melakukannya."
"Mengapa ?".?"
"Peh-hoa-kiong di Hiang-swat-hay adalah tempat pertapaan
dari Hun-si-sam-sian, merupakan daerah terlarang bagi kaum
lelaki. Berpuluh tahun lamanya, tiada orang yang berani
melanggar. Memang pernah ada beberapa orang yang cobacoba
kesana, tapi tiada seorangpun yang kembali. Kau-loya
pun hanya membelikan barang-barang keperluan dari
beberapa anak murid Peh-hoa-kiong, namun tak berani masuk
kesitu. Mengingat kongcu orang persilatan, tentulah
memaklumi kesukaranku dan sudi memaafkan."
Siau Ih mendengarkan keterangan itu dengan merenung.
Akhirnya dia tak mau memaksa hanya menanyakan letak
jalanan menuju ke Peh-hoa-kiong itu.
Tapi untuk keherannya, kembali orang itu mengunjuk
wajah gelisah. Akhirnya terpaksa orang itu memberi
keterangan. "Hiang-swat-hay Peh-hoa-kiong terpisah hanya seratusan li
dari sini. Tempatnya mudah dicari, asal berjumpa dengan
sebuah puncak indah. Peh-hoa-kiong berada di dalam
lembahnya. Pada waktu ini lembah Hiang-swat-hay sedang
musim bunga bwe, baunya se-merbak sampai sepuluhan li,
jadi mudah dicarinya. Hanya saja, kuharap kongcu suka
berhati-hati memasuki daerah terlarang itu."
Siau Ih menghaturkan terima kasih dan minta tolong titip
kuda, karena malam itu juga dia segera hendak berangkat.
"Maaf, kongcu, sebenarnya aku suka sekali menolong
orang. Tapi dikarenakan kongcu hendak menuju ke Peh-hoaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kiong jadi aku kurang leluasa. Kiranya kongcu tentu dapat
memaklumi kesulitanku ini," kata orang itu.
Siau Ih hanya tersenyum dan segera berlalu. Tak lama
masuk ke daerah gunung, lebih dulu dia ambil buntelan yang
menggamblok dipunggung kuda, kemudian baru dia tepuk
pantat binatang itu. Meringkik keras, kuda itu mencongklang
lepas masuk kedalam hutan.
Kini bebaslah Siau Ih gunakan ilmu mengentengi tubuhnya,
menyusup ke dalam pegunungan.
Kira-kira berlari seratusan li jauhnya, tiba-tiba hidungnya
tersampok dengan angin harum. Dia cepat berhenti dan
memandang ke sekeliling. Benar juga tak berapa jauhnya
disebelah muka, sebuah puncak menonjol dalam bungkusan
kabut. Keadaan puncak itu, tepat seperti yang dilukiskan petani
tadi. Bau wangi tadi, mengunjuk bahwa daerah terlarang bagi
kaum lelaki, sudah berada di depan mata.
"Adik Yan, beratnya hatiku hendak bertemu padamu,
terpaksa aku melanggar larangan suhumu," demikian dia
berkata seorang diri, lalu lari turun ke lembah.
Tak lama kemudian, tibalah dia di sebuah mulut lembah
yang sempit. Itulah batas dari daerah terlarang Peh-hoakiong.
Setelah menenangkan hatinya yang berdebur keras,
barulah dia melangkah pelahan-lahan.
Makin masuk, hawa wangi itu makin keras. Kira-kira
sepeminum teh lamanya, tiba-tiba disebelah muka tampak ada
penerangan remang-remang.
Peh-hoa-kiong makin dekat dan jantung Siau Ih makin
berdetak keras. Kalau sampai urusan pribadinya itu menjadi
onar besar, apakah dia takkan menjadi malu pada ayah dan
engkongnya luar" Memikir akan akibat itu, keringat mengucur deras pada
dahinya. Kaki serasa berat untuk melangkah. Akhirnya setelah
meragu sekian saat, dia mendapat ketetapan hati.
"Cinta suci pantang mundur menghadapi segala rintangan.
Dan pula seorang lelaki harus berani memikul resiko atas
setiap perbuatannya ?"."
Begitu jalanan itu habis, dia segera berhadapan dengan
sebuah hutan pohon bwe. Setiap batang pohon itu, hampir
dua tombak tingginya, daunnya rindang, bunganya penuh
meratai setiap ranting. Karena pohon bwe disitu berpuluh ribu jumlahnya, jadi
hutan itu laksanakan merupakan lautan bunga bwe. Itulah
sebabnya maka lembah itu dinamakan Hiang-swat-hay atau
lautan salju wangi. Di depan hutan itu, terpancang sebuah
papan batu kumala yang berukiran tiga buah huruf
"Hiang-swat-hay"
Walaupun sudah larut malam, tapi karena langit cerah jadi
dapatlah Siau Ih memandang ke muka.
Jauh diujung hutan itu, samar-samar tampak suatu
bangunan yang dindingnya berwarna merah, atapnya hijau.
Tak salah lagi, itulah biara Peh-hoa-kiong.
26. Ujian Dari Para Wanita
Kuatir terjadi apa-apa, lebih dulu Siau Ih salurkan lwekang
kian-gun-sin-kong melindungi tubuh, baru dia masuk ke dalam
hutan. Tapi sampai diujung penghabisan ternyata tak terjadi
suatu apa. Diam-diam dia heran sendiri, mengapa tempat itu
tak dijaga sama sekali. Ujung hutan itu merupakan sebuah tanah lapang seluas
sepuluhan hektar, ditaburi dengan pasir halus. Berpuluh
tombak disebelah muka, tampak sebuah gedung mewah,
dindingnya merah atapnya hijau.
Pintunya yang lebar bercat merah. Dikanan kiri, terdapat
ciok-say (singa batu). Di atas pintu itu tergantung sebuah
papan besar yang bertuliskan tiga huruf emas
"Peh-hoa-kiong"
(istana seratus bunga). Kala itu Peh-hoa-kiong sudah diterangi lampu, namun
keadaannya sunyi sekali. Kini tibalah Siau Ih ditempat tujuan
terakhir. Tanpa banyak ragu-ragu lagi, dia segera loncat ke
atas pintu gerbang, dari itu melayang turun ke dalam. Lampu
yang terang benderang dalam biara, telah membuatnya
terkesiap. Belum lagi dia mendapat kembali ketenangannya, tiba-tiba
terdengar suara seruan yang dingin: "Siapakah yang bernyali
besar berani masuk ke Peh-hoa-kiong ini" Lekas beritahukan
nama perguruanmu, kalau memang tak sengaja, bisa diberi
ampun. Tapi kalau membandel, akan dihukum berat!"
Sekalipun sudah mengetahui apa yang akan terjadi, namun
hati Siau Ih bercekat juga. Dan belum lagi dia sempat
menyahut, angin berkesiur mengantar munculnya empat gadis
dari empat jurusan. Mereka sama berpakaian warna hitam. Kesebatannya mirip
dengan asap bergulung. Dan yang lebih mengesankan, adalah
kecantikan mereka yang amat menonjol itu.
Waktu menghampiri lebih dekat, nyata keempat nona itu
memakai pakaian seragam hitam, rambut terurai kepundak
dan pinggang masing-masing menyelip pedang. Kini mereka
sama berdiri berjajar memandang Siau Ih sambil meraba
pedang. Sepintas pandang tahulah Siau Ih bahwa mereka berempat
itu adalah dari apa yang disebut kiu-hong atau sembilan
burung cenderawasih, yakni sembilan murid kesayangan dari
Hun-si-sam-sian. Lo Hui-yan tak tampak diantara mereka.
Dalam keadaan begitu, Siau Ih tak dapat mengumpet lagi.
Dengan memberi hormat, dia menyahut: "Siau Ih murid Liuhunyan Tiam-jong-san, hendak mohon menghadap pada
Hun-si bertiga cianpwe!"
Wajah keempat dara itu terbeliak kaget, tapi pada lain kilas
mereka menguasai perobahan mukanya pula.
Siau Ih pun berlaku tenang sedapat mungkin. Dia tahu
bahwa sekalipun nama Liu-hun-yap itu telah meredakan
kemarahan mereka, namun ketegangan suasana sewaktuwaktu
dapat pecah menjadi pertempuran.
"Sebagai murid dari Tiam-jong-san, tentulah saudara
mengetahui peraturan Peh-hoa-kiong. Tapi mengapa tengah
malam buta datang kemari?" kedengaran dara yang berdiri
paling kiri sendiri berseru dengan dingin.
"Musim rontok tahun lalu karena bertempur dengan tiga
penjahat di muka makam Gak-ong, aku telah berkenalan dan
mengangkat saudara dengan salah seorang dari kiu-hong Pehhoakiong. Karena sudah berbulan-bulan tak bertemu, aku
amat merindukannya. Kumerasa perbuatanku datang kemari
pada tengah malam ini tidak pantas, maka dengan hormat
kumohon Hun-si cianpwe bertiga sudi memberi maaf sebesarbesarnya!"
Keempat dara itu memang mengetahui bahwa pemuda
yang tampan garang itu tentu anak murid dari perguruan
terkenal. Tapi setitikpun mereka tak mengira kalau anak muda
itu berani bicara secara blak-blakan begitu.
Habis tertegun, dara tadi bertanya dengan, tertawa dingin:
"Saudara mengaku kenal dengan salah seorang dari kiu-hong.
tapi entah yang manakah?"
"Lo Hui-yan!" tanpa tedeng aling-aling lagi Siau Ih cepat
menjawab. Dara itu tertawa sinis, serunya: "Apa buktinya?"
Wajah Siau Ih bertebar merah, tapi cepat berganti dengan
sikap keangkuhan "Maaf, walaupun aku ini masih muda dan dangkal
pengetahuan, tapi tetap taat akan peraturan perguruan yang
melarang bersikap sombong menghina orang ?"."
Sembari berkata itu dia merogoh keluar sebuah lencana
kumala putih. Kiu-hong-giok-hu atau pertandaan anggauta
kiu-hong diperlihatkannya.
Serunya: "Karena nona juga termasuk kiu-hong dari Pehhoakiong, tentulah kenal akan benda itu. Adik Yan telah
memberikan barang ini kepadaku selaku tanda sehidup semati
?"" " dia berhenti sejenak.
Dengan wajah mengulum senyum kenangan yang
romantis, dia tertawa pula, katanya: "Maka sebelum kembali
ke Tiam-jong-san, aku terpaksa menempuh bahaya, malammalam
masuk ke daerah terlarang ini, dengan harapan akan
dapat bertemu sebentar dengan adik Yan."
Sampai disini wajah Siau Ih berobah sungguh, ujarnya:
"Walaupun aku telah melanggar peraturan, tapi sekali-kali tak
mengandung maksud jahat, demi kehormatanku harap nona
suka mempercayai keteranganku ini."
Biasanya orang yang pernah masuk didaerah terlarang Pehhoakiong adalah kaum persilatan bebodoran. Maka betapa
kejut keempat nona itu bahwa pemuda yang dihadapan
mereka itu adalah murid dari si Rase Kumala Shin-tok Kek,
bintang cemerlang dari sepuluh Datuk. Dan lebih kaget pula
mereka sewaktu mendengar bahwa Siau Ih hendak berjumpa
dengan Lo Hui-yan, yakni suci (kakak perguruan) mereka yang
kelima. Bermula mereka masih belum percaya, tapi kalung kumala
kiu-hong-giok-hu itu menjadi saksi kuat. Memang go-suci
mereka, Lo Hui-yan, ketika diijinkan turun gunung melakukan
pembalasan sakit hati, pernah ditolong orang. Tapi keempat
gadis itu tak mengira bahwa penolong suci mereka itu,
ternyata seorang pemuda tampan yang gagah perwira.
Keempat kiu-hong itu saling berpandangan satu sama lain,
tak tahu mereka bagaimana harus berbuat. Sekonyongkonyong
terdengar suara lonceng mengalun dengan gencar.
Seketika berobahlah muka keempat dara itu. Cepat mereka
menyingkir ke samping menjadi dua rombongan.
"Suhu telah mengetahui, harap berhati-hati!" kata gadis
tadi kepada Siau Ih. "Apakah ketiga Hun-si cianpwe akan kemari?" tanya Siau
Ih. Gadis itu mengangguk dengan wajah muram. Jantung Siau
Ih berdebur keras, tapi dia segera tetapkan hatinya dan tegak
berdiri menanti apa yang akan terjadi.
Saat itu dari arah ruangan besar terdengar bunyi musik,
kemudian ruangan itu menjadi terang benderang. Enambelas
dara cantik keluar membawa alat-alat musik.
Begitu tiba ditangga, mereka lalu pecah diri menjadi dua
rombongan, berdiri dikedua samping. Menyusul muncul lagi
lima gadis berpakaian serba hitam dan mengenakan pedang.
Dandanan mereka itu persis seperti keempat dara yang
menemui Siau Ih tadi. Hati Siau Ih berguncang keras. Kelima gadis itu tentulah
anggauta kiu-hong Peh-hoa-kiong, jadi Hui-yan tentu berada
diantara mereka. Siau Ih memandang mereka dengan tak
terkesiap. Benar juga gadis nomor satu pada deretan sebetah
kiri, adalah Lo Hui-yan! Hati Siau Ih merangsang dan tak dapat dikuasai lagi
mulutnya berseru: "Adik Yan ?".."
Hui-yan pun mengetahui siapa pemuda itu, seketika
wajahnya berobah kaget, jantungnya serasa berhenti
berdetak. Sehelai rambut dibelah tujuhpun ia tak mengira,
bahwa orang yang berani masuk ke Peh-hoa-kiong itu,
ternyata pemuda yang menjadi kenangan kalbunya.
Hui-yan dapat menerka apa maksud kedatangan Siau Ih
itu, diam-diam ia merasa bahagia. Tapi demi teringat akan
peraturan Peh-hoa-kiong dan hukuman-hukuman ngeri yang
dijatuhkan pada mereka yang berani melanggar, hatinya
menjadi gelisah cemas. Seruan Siau Ih yang diucapkan dengan mesra itu, telah
menggemparkan suasana di ruangan itu.
Di biara Peh-hoa-kiong yang menjadi daerah terlarang bagi
kaum lelaki, telah terjadi adegan romantis. Hal ini benar-benar
seperti halilintar berbunyi ditengah siang hari.
Getaran kalbu, telah membuat kedua muda mudi itu kelelap
dalam saling pandang yang girang-girang cemas. Lupa
mereka, bahwa kala itu mereka sedang berada ditengahtengah
suasana yang tegang meruncing.
Tiba-tiba terdengarlah suatu seruan lirih yang amat


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpe?ngaruh: "Yan-ji, kemarilah!"
Seruan itu telah membuat Siau Ih gelagapan. Memandang
ke arah datangnya suara, entah kapan munculnya, diambang
pintu ruangan besar itu tampak tegak berdiri tiga orang wanita
setengah tua yang tampaknya masih cantik.
Mereka mengenakan pakaian indah war?na wungu muda,
kuning telur dan biru muda. Rambutnya disanggul tinggi,
wajahnya tirus, masing-masing menyelip pedang dipinggang
dan mencekal hud-tim (kebut pertapaan).
Memang apa yang diduga Siau Ih itu benar. Ketiga wanita
cantik pertengahan umur itu, adalah pemimpin dari biara suci
Peh-hoa-kiong, tiga saudara she Hun yang masing-masing
bernama Ko-shia-siancu Hun Yak-lun. Hui-yong-siancu Hun
Yak-cian dan Leng-bok-siancu Hun Yak-hwa.
Ketiga kakak beradik itu terkenal dengan sebutan Hun-sisamsian atau tiga dewi she Hun. Karena ilmu silatnya tinggi,
mereka digolongkan dalam anggauta ke sepuluh Datuk.
Dengun wajah yang sedingin es, Hun-si-sam-sian tampak
meram-meram melek, seolah-olah tak mengacuhkan pemuda
yang berada dihadapannya itu.
Sebaliknya saat itu tubuh Hui-yan kelihatan gemetar,
sedang semua anak murid Peh-hoa-kiong yang berada dalam
ruangan itu, sama tundukkan kepala tak berani bercuit.
Suasana yang hening tegang itu, menggelisahkan Siau Ih
juga. Kisah kematian ayahnya yang tragis itu, terbayang pula
dipelupuk matanya. "Kejadian yang menyedihkan itu, tak
boleh terulang lagi di depan mataku ?".."
Dengan tekad demikian, ia bersedia menolong Hui-yan dari
malapetaka. Tapi baru dia hendak melangkah maju, Hui-yan
sudah mendahului naik ke atas tangga terus menjatuhkan diri
berlutut dihadapan ketiga suhunya itu.
"Ah, celaka ?"" keluh Siau Ih dalam hati. Namun dia tak
dapat berbuat apa-apa karena terpancang oleh peraturanperaturan
disini. Hanya saja dia telah membulatkan tekadnya,
kalau Hun-si-sam-sian bertindak seperti Goan Goan Cu
terhadap mendiang ayahnya dahulu, dia tentu akan turun
tangan juga. Setelah mengambil ketetapan, darahnya yang bergolakgolak
membakar tubuhnya tadi, agak menjadi sirap tenang
pula. Tahu sudah dia bahwa urusan dalam perguruan, orang
luar tak boleh turut campur, tapi pelajaran dari nasib ayahnya
itu, telah merobah pandangannya terhadap segala peraturan
perguruan yang tak adil. "Yan-ji, kenalkah kau pada orang itu?" kedengaran wanita
baju wungu yang berdiri ditengah kedua saudaranya,
membuka mata dan bertanya dengan dingin. Sambil berkata
itu, ia menunjukkan hud-tim ke arah Siau Ih, namun mata
tetap memandang lekat pada Hui-yan.
Siau Ih merasa tersinggung dengan sikap yang menghina
itu, namun dia coba tindas perasaannya.
Hui-yan amat gelisah. Siau Ih adalah penolongnya yang
telah mengembalikan jiwanya. Lebih dari itu, anak muda itu
ternyata telah mencuri hatinya. Hati anak muda manakah
yang takkan terkenang pada saat-saat pertemuannya dengan
sang jantung hati" Tapi sebagai seorang murid, iapun tak lupa akan budi besar
dari sang suhu yang telah mendidik selama belasan tahun.
Lebih tak dapat melupakan pula ia akan peraturan yang
bengis dari perguruannya itu.
Merenung sejenak, dengan menggigit gigi, ia menyahut:
"Ya, tecu kenal padanya!"
"Hem ?"?" dengus si dewi baju wungu mengangguk,
"tuturkan perkenalan kalian dengan terus terang!"
Hui-yan makin gemetar, mendongakkan kepala ia menjerit
pilu: "Suhu ?"." Hanya begitu sang mulut dapat mengucap
karena tersumbat beserta air matanya yang membanjir.
"Kau hendak melanggar perintah suhu?" tetap Sam-sian itu
berseru dengan nada bengis.
"Tecu tak berani," seru Hui-yan dengan gemetar.
Sam-sian itu mendengus. "Kalau begitu, mengapa tak lekas-lekas bercerita" Kalau
kau tak bersalah, mengingat selama belasan tahun ini
kelakuanmu tak tercela, tentu akan mendapat keringanan.
Tapi jika tidak begitu, jangan persalahkan aku berhati kejam!"
berkata Sam-sian itu dengan nada membesi dan sejenak
menyapukan matanya yang berkilat-kilat ke arah Siau Ih.
Kesempatan terbuka bagi Hui-yan. Asal ia dapat mengatur
ceritanya begitu rupa tentu akan bebas. Tapi dia bukan
seorang nona yang temaha hidup, dan suka berbohong.
Bagaimanapun juga tak dapat ia melupakan pemuda yang
sudah menolong jiwa, mengangkat saudara dan mencuri
hatinya itu. Setiap manusia tentu ingin hidup, tapi apa guna
kehidupan itu kalau tak dapat berdampingan dengan orang
yang dicintainya" Akhirnya setelah terjadi pertarungan hebat dalam batin,
antara kebaktian terhadap budi suhu dan kecintaan terhadap
pemuda yang menolong jiwanya, ia memilih yang tersebut
belakang. Mati karena cinta, adalah bahagia.
Hui-yan pelahan-lahan mendongak, disingkapnya
rambutnya yang terurai lalu mengusap air matanya. Kemudian
dengan nada tenang, ia menuturkan pengalamannya.
Bagaimana ia bertempur dengan Teng Hiong dimakam Gakong
dan dilukainya, kemudian ditolong Siau Ih terus dibawa ke
gunung Ki-he-nia untuk berobat pada To Kong-ong. Setelah
sembuh, ia mengangkat saudara dengan Siau Ih selaku tanda
terima kasihnya, dan untuk menghindari tuduhan orang yang
bukan-bukan. "Sungguh tak nyana, sampai akhirnya ?"" berkata sampai
disini Hui-yan terhenti sejenak, wajahnya agak menyuram.
Rupanya dia tengah berusaha untuk menguasai perasaannya.
"Hal itu mungkin disebabkan karena manusia itu
mempunyai perasaan, bukan macam pepohonan. Akhirnya
tecu terjerumus dalam perangkap asmara. Namun tecu masih
tetap mengindahkan peraturan perguruan. Setelah
menimbang masak-masak, akhirnya tecu ambil putusan untuk
kembali ke Peh-hoa-kiong sebelum perangkap itu makin erat
menjerat. Namun menurut suara nurani, tecu telah
mengabaikan peraturan perguruan dan memberikannya giokhu
selaku tanda mata. Demikian penuturan tecu yang
sejujurnya." Menurut irama nada Hui-yan yang bercerita, kerut wajah
Sam-sian baju wungu itupun turut terlihat makin gelap. Habis
mendengar seluruh cerita, alis Sam-sian itu menjungkat naik,
wajahnya menampil amarah.
"Jadi kau akui telah mengadakan hubungan kasih dengan
dia"!" Gemetar tubuh Hui-yan mendengar pertanyaan suhunya
itu. Dengan suara berat dia mengiakan.
"Yan-ji, coba kau ucapkan bagian yang terakhir dari
sepuluh pantangan Peh-hoa-kiong?" Sam-sian berseru murka.
Seketika wajah Hui-yan berobah ngeri, tapi pada lain jenak,
sudah tenang kembali dan bahkan tampak tenang sekali.
Dengan nyaring dan tegas, ia mulai mengucapkan kalimat
itu: "Barang siapa anak murid kami, mengadakan hubungan
cinta dengan orang, akan menerima hukuman dipunahkan
kepandaian lebih dulu, kemudian disuruh menghabisi jiwanya
sendiri." "Kau mengaku berdosa?" tanya Sam-sian baju wungu.
"Tecu mengaku berdosa."
Sam-sian mengangukkan kepala, ujarnya pula: "Apa kau
masih ada lain perkataan lagi?"
"Tecu hanya mempunyai dua buah harapan. Pertama, tecu
amat kecewa karena belum dapat membalas budi suhu.
Kedua, setelah tecu nanti meninggal, sukalah suhu memberi
kebebasan pada Siau Ih gi-heng itu. Tecu merasa sangat
berterima kasih sekali," kata Hui-yan dengan rawan.
Sam-sian baju wungu mendengus dingin, berkata: "Sebagai
suhu, aku meluluskan permintaanmu itu."
Hui-yan tertawa pilu lalu menghaturkan terima kasih.
Berputar ke arah sam-sian baju biru dan Sam-sian baju
kuning, ia berdatang sembah: "Tecu menghaturkan selamat
tinggal pada susiok berdua."
Mau tak mau, Hun-si-sam-sian yang berwajah dingin itu,
menampil kerut haru juga. Namun dengan cepatnya mereka
dapat menguasai perobahan mimiknya.
"Kini sebagai suhu aku hendak menjalankan hukuman
perguruan," sesaat kemudian berkatalah Sam-sian baju wungu
sembari gerakkan pelahan-lahan hud-timnya ke arah Hui-yan
yang masih berlutut dihadapannya.
Siau Ih terperanjat. Dia harus bertindak cepat. Sebat sekali
ia sudah melesat ke muka ditengah Hui-yan dan Hun-si-samsian.
Menjurah memberi hormat, dia berkata: "Apakah wanpwe
boleh menghaturkan sepatah kata?" - Dalam pada itu, diamdiam
dia sudah ke?rahkan tenaga dalam untuk mendorong
pelahan-lahan kebut hud-tim sampai dua-tiga dim ke samping.
Karena tak bersiaga, Sam-sian baju wungu itu sampai
menyurut setengah tindak. Seketika meluaplah amarahnya.
Sepasang matanya berkilat-kilat.
"Jadi kau hendak mencampuri urusan Peh-hoa-kiong, Ya?"
tanyanya dengan bengis. Tindakan Siau Ih itu bukan melainkan membuat semua
orang terkejut, sampaipun Hui-yan sendiri terperanjat sekali.
Sebalik nya Siau Ih tetap tenang saja.
"Wanpwe tak berani," sahutnya dengan pelahan.
"Habis apa maksudmu tadi?" seru Sam-sian makin naik
pitam. "Wanpwe hanya hendak mengucap sepatah kata."
"Katakanlah!" Sam-sian itu tertawa dingin.
"Wanpwe Siau Ih adalah anak murid dari Lan-chui-suan
lembah Liu-hun-hiap Tiam-jong-san ?"."
"Siaocu, jangan tekebur," tukas Sam-sian dengan marah
besar, "Shin-tok Kek belum pernah menerima murid
seorangpun jua. Apa buktinya kau mengaku muridnya" Hem,
kau kira kami bertiga tak pernah turun gunung, ya" Bilang
terus terang, mungkin ada keringanan, tapi jika tidak,
bangkaimu tentu tak ada tempat berkubur!"
Menghadapi Sam-sian pemimpin biara Peh-hoa-kiong yang
tengah marah besar itu, Siau Ih bersikap tenang saja. Sembari
mengulum senyum. dia berkata: "Sukakah kiranya cianpwe
lebih dahulu memberitahukan gelaran yang mulia?"
"Aku Hun Yak-lun! murid siapakah kau ini sebenarnya?"
Kini wajah Siau Ih berobah bersungguh, ujarnya: "Apa yang
Cianpwe katakan tadi memang benar. Lan-chui-suan belum
pernah menerima murid. Tetapi engkau hanya tahu satu, tidak
mengerti dua." Memang Sam-sian baju wungu itu adalah Ko-shia-siancu
Hun Yak-lun, sedang yang berdiri dikanan kirinya adalah Huyongsiancu Hun Yak-ciau dan Leng-boh-siancu Hun Yak-hwa.
Penyahutan Siau Ih tadi telah membuat ketiga Sam-sian itu
terperanjat. Hampir saja mereka, tak dapat menguasai
kemurkaannya lagi. Bagaimana dengan Siau Ih" Sebenarnya walaupun lahirnya
tampak tenang, tetapi batin Siau Ih juga tegang sekali.
Sesaat kemudian, Siau Ih menyambung perkataannya lagi:
"Pemilik Lan-chui-suan itu, adalah engkongku luar!"
Wajah ketiga Sam-sian itu berobah seketika.
"Kalau begitu, kau ini anaknya Siau Hong dan Shin-tok
Lan?" Pertanyaan itu bagaikan sembilu menusuk hati Siau Ih.
Seperti tak bertulang, lehernya mengulai tunduk dan
menyahut dengan pilu: "Benar."
Ko-sia-siancu merenung sejenak. Tiba-tiba wajahnya
berobah membesi dan mulutnya berseru bengis: "Sebagai
keturunan dari tokoh kenamaan tentunya kau tahu akan
peraturan Pek-hoa-kiong. Dengan nekad melanggar peraturan
itu, apakah kau memang hendak menghina?"
Siau Ih bercekat. Dia insyaf betapa berbahayanya ucapan
Ko-shia-siancu itu. Sekali dia memberi penjelasan keliru, tentu
akan menerbitkan onar besar.
"Dampratan cianpwe itu, wanpwe terima dengan ikhlas.
Tapi hendaknya cianpwe jangan salah paham. Kedatangan
wanpwe kemari ini, semata-mata hanya ingin bertemu dengan
adik Yan, sebelum wanpwe kembali pulang lagi ke Tiam-jongsan.
Walaupun wanpwe mengakui adanya ikatan-hati dengan
adik Yan, namun selama itu wanpwe selalu memegang teguh
batas-batas kesopanan. Mengenai hubungan wanpwe dengan
adik Yan itu, engkong wanpwe pun sudah mengetahui.
Berdasarkan jalan yang wanpwe tempuh itu selalu suci lurus,
wanpwe baru berani datang kemari. Tapi apabila cianpwe tak
dapat memaafkan perbuatan wanpwe itu, wanpwe pun rela
menerima hukuman." Siau Ih telah menggubah kata-katanya sedemikian rupa,
tidak sombong tidak merendah dan tetap sopan. Sampai Koshiasiancu tanpa terasa anggukkan kepala selaku memuji
akan penyahutan anak muda itu. Namun pada lain kejap,
wajah siancu itu sudah berobah menjadi dingin lagi.
"Jadi kau maksudkan, engkongmu luar itu amat
memanjakan dirimu bukan?" tanyanya.
"Harap cianpwe jangan salah menafsir. Kedatangan
wanpwe kemari ini adalah dari kehendak wanpwe sendiri."
"Hem," tukas Ko-shia-siancu, "meskipun watak dari Lanchuisuan itu aneh sekali, tapi sejauh itu belum pernah
mem?bikin susah orang atau bertindak sembarangan." - Koshiasiancu berhenti sejenak, sepasang matanya yang bagus
berkilat-kilat memancar ke arah Siau Ih.
"Watak kaum persilatan selalu menjunjung budi kebaikan.
Kaum Peh-hoa-kiong pantang bohong. Aku bertiga saudara
memang benar dahulu pernah menerima budi pertolongan
dari engkongmu, budi itu sampai sekarang belum terbalas
"..," berkata sampai disini Ko-shia-siancu segera berpaling, ke
arah kedua saudaranya: "Ji-moay, sam-moay ?""."
Hu-yong-siancu Hun Yak-ciau dan Leng-boh-siancu Hun
Yak-hwa yang sejak tadi belum buka suara, kini cepat-cepat
menyahut: "Setiap budi, memang harus dibalas. Bagaimana
hendak memutuskan, terserah saja pada cici. Hanya saja,
sejak berpuluh tahun peraturan Peh-hoa-kiong itu selalu
dipegang teguh, kiranya cici tentu dapat menimbang dengan
bijaksana." 27. Pasrah Dengan Nasib .....
Mendengar itu, wajah Ko-shia-siancu agak muram. Setelah


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merenung sekian jenak, baru dia berkata pula kepada Siau Ih:
"Memang, setiap budi harus dibalas. Tapi muka Peh-hoa-kiong
pun harus diselamatkan. Kini aku hendak memberi
kelonggaran padamu untuk memilih salah satu dari syarat
yang kuajukan ini." "Wanpwe menunggu dengan hormat," kata Siau Ih.
Ko-shia-siancu tertawa dingin, ujarnya: "Syarat pertama,
tinggalkan pedangmu disini dan kau boleh bebas pulang. Yang
kedua, kalau kau mampu memecahkan barisan pedang kiukiukui-goan-kiam-tin dari Peh-hoa-kiong, bukan saja
kesalahan masuk kesini hebas, pun kedosaan murid murtad
(Hui-yan) yang berani melanggar peraturan perguruan itu,
takkan ditarik panjang lagi!"
Siau Ih bersenyum, tanyanya: .,Kalau wanpwe tak dapat
memecahkan barisan pedang itu ?".."
"Kalau begitu, akupun takkan mengambil jiwamu,
melainkan akan menyimpan kau dan muridku murtad itu
dalam penjara terpisah, kemudian mengundang engkongmu
kemari. Terlebih dulu nanti akan kujalankan hukuman pada
muridku itu, baru kuserahkan kau pada engkongmu!"
Siau Ih tertawa memanjang.
"Kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin adalah ilmu pusaka Lo-hu-san
yang menggetarkan dunia persilatan. Kalaupun wanpwe tidak
Pendekar Cengeng 5 Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung Playboy Dari Nanking 8

Cari Blog Ini