Ceritasilat Novel Online

Siluman Goa Tengkorak 1

Siluman Goa Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


"AUTHOR: Kho Ping Hoo
TITLE: Siluman Goa Tengkorak
Pesta pernikahan yang dirayakan orang di dusun biasanya jauh lebih meriah dari pada pesta pernikahan yang dirayakan orang di kota itu. Meriah di sini bukan berarti mewahnya perayaan itu, melainkan kemeriahan yang terasa benar di dalam hati mereka yang hadir, tercermin dari wajah mereka yang berseri-seri. Pesta pernikahan di kota besar hanya merupakan pesta makan minum yang mewah dan berlebihan, kegembiraan yang timbul karena pengaruh arak yang terlalu banyak memenuhi perut sehingga arak itu menguap memenuhi benak membuat orang menjadi lupa diri. Pesta di kota hanya merupakan perlombaan memamerkan kekayaan. Akan tetapi di dusun lebih terasa keakraban dan kegotongroyongan, sehinga para tamu itu seolah-olah merasa sebagai keluarga dan sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam perayaan itu, bahkan seperti keluarga yang merayakan, bukan sekedar tamu yang datang untuk makan minum. Pesta pernikahan antara Thio Siang Ci dan The Si Kun di dusun Ban-ceng itu sungguh amat meriah. Seluruh penghuni dusun Ban-ceng ikut merayakannya. Hal ini tidak mengherankan karena keluarga yang dikenal sebagai keluarga ramah dan baik, bahkan Thio Siang Ci dikenal sebagai kembangnya para gadis cantik di dusun itu. Bahkan banyak pemuda luar dusun, sampai di kota Tai-goan, mengenal dan mendengar akan kecantikan Siang Ci. Akan tetapi yang beruntung dan berhasil memetik kembang cantik ini adalah The Si Kun, putera seorang saudagar ikan yang cukup kaya di kota Tai-goan. Seperti telah menjadi kebiasaan para penduduk Ban-ceng yang berdasarkan ketahyulan dan perhitungan, pertemuan pengantin juga dilakukan dengan dasar perhitungan dan menurut perhitungan para keluarga yang tua, pertemuan pada hari itu jatuh pada jam enam sore! Sore itu, rumah keluarga Thio sudah penuh dengan tamu dan suasana menjadi makin meriah dan gembira ketika sepasang mempelai dipertemukan di mana diadakan upacara sembahyang di depan meja leluhur. Biarpun wajah pengantin perempuan tidak dapat dilihat jelas karena tertutup oleh rumbai-rumbai atau hiasan kepala yang berjuntaian ke depan muka, namun masih dapat dilihat bentuk tubuhnya yang langsing dan padat, sebagian dari kulit leher dan kulit tangannya yang putih halus. Pengantin laki-laki juga kelihatan ganteng, wajahnya yang muda dan tampan itu nampak berseri-seri, mulutnya mengulum senyum malu-malu karena banyak sahabatnya yang mengeluarkan suara atau membuat gerakan-gerakan yang menggodanya. Sepasang mempelai itu memang merupakan pasangan yang cocok dan manis sekali. Thio Siang Ci adalah seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang cantik jelita, bagaikan bunga sedang mekar. Adapun The Si Kun adalah seorang pemuda yang usianya dua puluh tahun, tampan dan sehat dan pandai berdagang karena sejak kecil telah membantu ayahnya. Keluarganya adalah pedagang ikan, membeli ikan dari para nelayan di Sungai Fen-ho, mengumpulkan ikan-ikan itu, sebagian menjualnya ke kota Tai-goan dan sebagian pula dibuat meniadi ikan asin. Setelah sepasang mempelai selesai melakukan upacara sembahyang lalu mohon doa restu dari para anggota keluarga yang lebih tua, kemudian sekali setelah lelah menjalankan semua upacara itu mereka baru diperbolehkan duduk bersanding di tempat yang sudah dipersiapkan, para tamu mulai dengan perjamuan makan. Hari telah mulai gelap dan para pelayan mulai menyalakan lilin dan lampu-lampu yang diatur indah dan nyeni untuk menambah meriahnya suasana pesta pernikahan itu. Api lilin yang bergerak-gerak tertiup angin semilir sungguh seperti penari-penari yang sedang bergembira menari-nari. Suasana gembira ini menjadi agak bising karena para tamu kini bicara sendiri dan bermacam-macamlah yang mereka bicarakan, dari membicarakan cantik dan tampannya sepasang mempelai sampai ke urusan yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan pesta pernikahan itu. Tiba-tiba terdengar teriakan kaget dan seorang pelayan yang sedang memasang lilin di bagian luar melepaskan tempat lilin sambil berteriak tadi. Semua orang menengok dan Thio Ki, ayah mempelai wanita cepat berlari keluar. "Ada apa?" tanyanya kepada pelayannya dengan alis berkerut karena kecerobohan pelayan itu. Akan tetapi pelayan itu nampak tubuhnya menggigil dan hanya menunjuk ke arah dinding di depannya. Tuan rumah lalu mengambil sebuah tempat lilin dan mengangkat benda itu ke atas sambil mendekati dinding dan tiba-tiba mukanyapun berubah pucat ketika dia melihat sebuah gambar tengkorak merah dan agaknya, benda cair yang dipakai menggambar tengkorak itu adalah darah yang masih basah, tanda bahwa gambaran itu baru saja dibuat orang! Agaknya, pelayan tadi menyalakan lilin dekat dinding dan melihat lukisan itu, maka dia berseru kaget dan menjatuhkan tempat lilin. Thio Ki sendiripun terkejut. "Aihh...!" Para tamu berlari mendekat dan kini banyak orang mengerumuni tempat itu dan semua memandang kepada gambar tengkorak dari darah itu de-ngan muka pucat. Sudah ada tiga kali peristiwa seperti itu, ialah gambar-gambar tengkorak darah pada rumah-rumah orang, di pintu atau dinding depan dan akibatnya, pada malam harinya ada tiga orang gadis terculik! Dan sekarang, justru pada saat gadis tuan rumah merayakan hari pernikahan-nya, terdapat gambar pada dinding rumah itu! "Siluman Guha Tengkorak...!" Terdengar bi-sikan seorang tamu dan semua orang menggigil ketakutan. Nama ini, biarpun baru muncul bebe-rapa kali, telah menjadi semacam momok yang menakutkan di daerah Tai-goan dan sekitarnya. Pengantin pria, The Si Kun yang juga tertarik dan sudah mendekati dinding itu, mengepal tinjunya. Dia bukan seorang pemuda yang penakut dan lemah. Sejak semula dia sudah menduga bahwa yang membuat gambar-gambar tengkorak dan menculik gadis-gadis itu adalah segerombolan penjahat. Dan dia tidak takut karena para nelayan yang menjadi anak buahnya adalah orang-orang yang sudah biasa menghadapi kekerasan-kekerasan para penjahat dan para bajak sungai. "Biarkan dia datang! Kami akan melawannya! Bukankah begitu, kawan-kawan?" teriaknya. Belasan orang nelayan muda yang bertubuh tegap-tegap dan yang menjadi kawan-kawan pengantin pria, segera mengangkat kepalan tangan ke atas dan berteriak, "Benar, kita akan lawan dia dan akan tangkap jahanam itu!" Betapapun juga, para tamu sudah merasa ketakutan dan perjamuan itu dilanjutkan dalam suasana tegang. Para tamu lalu berpamit dan seorang demi seorang bangkit dari tempat duduk, lalu berbondong-bondong minta diri dan meninggalkan ru-mah keluarga Thio. Suasana menjadi sunyi setelah tempat itu tadinya bising dengan para tamu. Yang masih tinggal di situ hanya dua belas orang nelayan muda yang menjadi sahabat pengantin pria. Mereka ini masih tetap makan minum dengan gembira di tempat pesta yang sudah kosong itu. Sementara itu, sepasang mempelai telah meninggalkan ruangan dan mendapat kesempatan untuk mengaso dalam kamar mereka karena para tamu sudah tidak bernafsu lagi untuk menggoda sepasang mem-pelai di malam pertama itu. Seluruh keluarga Thio yang sudah memasuki kamar masing-masing tak dapat memejamkan mata karena hati mereka semua merasa tegang dan khawatir. Atas permintaan pihak tuan rumah, duabelas orang nelayan muda, teman-teman dari The Si Kun itu kini pindah ke ruangan yang berada di luar kamar pengantin. Mereka tetap dijamu di tempat itu, tempat yang ber-dekatan dengan kamar pengantin untuk menjaga kalau-kalau ada penjahat yang datang mengganggu. Setelah melihat dua belas orang laki-laki muda yang bertubuh kekar itu berada di depan kamar pengan-tin, barulah hati Thio Ki merasa lega dan diapun pergi ke dalam kamamya untuk mengaso. Namun, di dalam kamar inipun dia dan isterinya rebah de-ngan hati gelisah dan tidak dapat pulas sama sekali. Malam semakin larut dan amat sunyi. Terdengar suara anjing menggonggong dari kejauhan, suara gonggongan yang menyedihkan yang kemudian berobah menjadi suara menyeramkan. Lolong anjing berkepanjangan ini biasanya dilakukan anjing-anjing sambil mengangkat muka tinggi-tinggi ke atas memandang bulan dan orang menjadi ketakutan karena katanya saat seperti itu adalah saatnya para iblis gentayangan di permukaan bumi! Dua belas orang nelayan muda itu sudah tidak lagi makan minum, melainkan duduk di ruangan depan pengantin dengan sikap siap siaga. Pengantin pria juga tidak dapat menikmati malam pengantinnya, bahkan terpaksa dia tadi meninggalkan isterinya untuk ikut berjaga bersama kawan-kawannya. Baru setelah kawan-kawannya mendesaknya dengan sikap setengah menggoda agar dia tidak membiarkan isterinya kedinginan seorang diri dalam kamar, pengantin pria memasuki kamarnya lagi. "Aku mengandalkan penjagaan kalian di luar, sedangkan aku sendiri akan berjaga di dalam kamar," katanya. Sebagian untuk menutupi rasa malunya kepada kawan-kawannya yang tentu sudah menggodanya pada malam pertama itu. "Hayaaaa... kami mengerti, Si Kun!" kata seorang temannya. "Sudahlah, nikmati malam pengantinmu, biar kami yang berjaga di sini dan menangkap siluman itu kalau benar dia berani muncul." "Hushh!" cela seorang kawan lain. "Jangan bicara sembarangan di malam seperti ini. Dan masuklah Si Kun, engkau akan merasa aman dalam pelukan istrimu, ha-ha!" Dua belas orang itu tersenyum. "Aihh, kalian ini bisa saja menggoda orang. Siapa dapat bersenang dalam keadaan seperti ini?" The Si Kun lalu membuka pintu kamar dan masuk ke dalam, menutupkan kembali kamarnya. Isterinya juga tidak tidur, melainkan duduk di tepi pembaringan sambil menundukkan muka karena malu. Muka yang cantik memang, dan kini setelah tidak tertutup kerudung, nampak betapa sepasang pipi itu halus kemerahan. Biarpun tadinya dia merasa tegang dan khawatir, kini melihat kecantikan istrinya, Si Kun tak dapat menahan hatinya dan duduklah dia disamping isterinya, tangannya me-rangkul dan dengan lembut dia menarik muka itu untuk diciumnya. Tiba-tiba lilin yang berada di atas meja kamar itu padam. Hal ini diketahui oleh para penjaga di luar kamar, maka merekapun tertawa-tawa karena padamnya lilin dalam kamar itu membuat mereka mengira bahwa sepasang pengantin baru itu tentu merasa malu, memadamkan penerangan agar dapat mencurahkan perasaan hati mereka berdua dengan leluasa. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa terkejut rasa hati dua belas orang itu ketika tiba-tiba terdengar teriakan The Si Kun disusul suara gedobrakan di dalam kamar dan tak lama kemudian terdengar jeritan pengantin wanita, akan tetapi jeritan itu terdengar jauh dari situ! Dua belas orang itu segera menghampiri pintu kamar dan mendobraknya karena tidak ada jawaban dari dalam ketika mereka memanggil-manggil. Thio Ki dan isterinya dan seluruh penghuni rumah yang tadinya memang sudah gelisah itu keluar semua dari kamar masingmasing dan berlarian menuju ke kamar pengantin. Pintu kamar didobrak jebol dan mereka berebut masuk. Dari penerangan lampu yang dibawa oleh mereka yang masuk, nampak pemandangan yang mengerikan. The Si Kun, pengantin pria itu, dengan tubuh bagian atas telanjang, hanya menggunakan celana saja, rebah di lantai dengan leher hampir putus. Darah merah masih mengalir dari lehernya dan membasahi lantai. Pemuda ini sudah tewas, dan pengantin wanitanya tidak nampak bayangannya. Langit-langit kamar itu terbuka dan berlubang. Maka tahulah semua orang bahwa penjahat telah masuk dari atas genteng dengan membobol langit-langit kamar. Para wanita menjerit-jerit dan riuh rendah suara orang menangis. Siluman Guha Teng-korak benar-benar telah datang, menculik pengantin wanita dan membunuh pengantin pria! Gegerlah dusun Ban-ceng! Mengapakah penjahat yang selama beberapa minggu ini mengacau di daerah Tai-goan dan sekitarnya dijuluki orang Siluman Guha Tengkorak" Pertama-tama adalah karena gambar itu. Setiap kali hendak melakukan kejahatan, terutama sekali mencuri perhiasan-perhiasan yang serba mahal dan menculik gadis-gadis cantik, penjahat itu pada siang atau sore harinya selalu tentu memberi tanda gambar tengkorak darah pada pintu atau dinding rumah yang akan didatangi! Inilah yang mula-mula membuat dia dinamakan Tengkorak. Kemudian, pernah dia dikejar-kejar dan penjahat itu dapat berlari cepat seperti iblis, dan larinya menuju daerah pegunungan yang gundul, dimana terdapat penuh batu-batu besar dan guha-guha. Tempat ini dikenal dengan sebutan Guha Tengkorak, karena memang di situ terdapat banyak sekali guhaguha besar dan diantaranya memang ada guha-guha yang bentuknya seperti tengkorak. Karena inilah, maka penjahat yang telah menggegerkan daerah Tai-goan itu dinamakan Siluman Guha Tengkorak. Pemerintah daerah yang dibantu oleh para pendekar setempat telah berusaha untuk mencari dan menangkap penjahat itu, namun hasilnya sia-sia. Guha-guha itu telah diperiksa, namun tidak nampak sesuatu yang mencurigakan. Tempat itu memang berbahaya dan tandus, terdapat jurang-jurang dalam dan jalannya amat licin sehingga tidak ada orang yang pernah datang ke tempat yang tidak ada gunanya itu. Pembunuhan The Si Kun yang menjadi pengantin itu dan penculikan isterinya, yaitu Thio Siang Ci, merupakan kejahatan yang ke empat selama hampir dua bulan penjahat itu muncul. Biarpun orang belum pernah dapat melihat wajahnya karena penjahat itu pandai bergerak cepat seperti menghilang saja, namun orang-orang tahu bahwa pen-culikan-penculikan wanita dan pencurian itu dilakukan oleh orang yamg sama, yang mereka ju-luki Siluman Guha Tengkorak karena caracaranya yang sama, yaitu sebelum datang, telah memberi tanda gambar tengkorak darah dan caranya bekerja juga sama, amat cepat sehingga jarang dapat dilihat orang. Seperti terjadinya penculikan atas diri Thio Sang Ci, sungguh amat mengherankan dan menakutkan orang. Di luar kamar pengantin itu terdapat dua belas orang nelayan muda yang kuat-kuat dan yang masih berjaga, sama sekali tidak ada yang tidur. Namun, penjahat itu dapat memasuki kamar pengantin tanpa ada yang mengetahuinya-, membunuh pengantin pria yang mungkin melawan dan menculik pengantin wanita. Peristiwa itu terjadi sedemikian cepatnya sehingga yang terdengar hanya teriakan pengantin pria dan ketika kamar didobrak, penjahatnya telah lenyap bersama pengantin wanita yang diculiknya. Daerah Guha Tengkorak terletak di luar kota Tai-goan, di sebelah selatan, di lereng Pegunungan Lu-liang-san di lembah Sungai Fen-ho. Guha-guha ini selain sukar dikunjungi dan tidak pernah didatangi manusia, juga angker dan menurut penduduk yang masih percaya akan cerita tahyul, kabarnya tempat itu menjadi sarang para iblis dan arwah-arwah yang penasaran. Ada yang mengabarkan dengan sumpah betapa mereka mendengar suara-suara aneh dan menyaksikan penglihatan-penglihatan menyeramkan di daerah itu di waktu malam. Tentu saja cerita-cerita ini membuat tempat itu menjadi angker dan membuat orang semakin tidak berani mendekati. Para pendekar dan juga para komandan penjaga keamanan tahu belaka bahwa tempat itupun menjadi tempat pelarian para buronan. Bagi para penjahat yang menjadi buronan pemerintah, memang daerah itu amat baik untuk menyembunyikan diri. Guha-guha itu mempunyai banyak terowonganterowongan di bawah gunung yang sambung-menyambung sehingga sekali sang buronan lari memasuki guha yang ada terowongannya, amat sukar untuk dapat ditemukan. Juga amat berbahaya bagi si pengejar karena tempat itu memang berbahaya sekali. Daerah Guha Siluman ini hanya indah dilihat dari jauh, dari kaki bbukit, dan dapat pula dilihat dari Sungai Fen-ho kalau orang naik perahu lewat di kaki bukit itu. Dari jauh nampaklah dinding bukit yang berbatu-batu dan berlubang-lubang dengan lubang-lubang berbentuk tengkorak, seolaholah dari jauh kelihatan tengkorak-tengkorak yang dipasang berderet-deret di dinding batu karang itu. Akan tetapi, keindahan ini mengandung sesuatu yang menyeramkan, seolah-olah ada sesuatu yang mengancam mereka yang teralu lama memandang ke arah tempat itu. Para nelayan menganggap tempat ini sebagai tempat keramat dan mereka selalu menundukkan muka kalau melewati tempat ini dan tidak berani memandang langsung terlalu lama ke arah Guha-guha Tengkorak itu. Nama Siluman Guha Tengkorak menggegerkan kota Tai-goan dan daerahnya selama kurang lebih dua bulan ini karena sepak terjangnya yang amat mengerikan itu. Letak daerah Guha Tengkorak hanya tiga puluh li dari Tai-goan. Tentu saja para pendekar di kota Tai-goan merasa penasaran dan marah melihat betapa kota mereka dilanda malapetaka dengan munculnya seorang penjahat yang begitu beraninya. Perbuatan penjahat itu seolah-olah merupakan tamparan bagi mereka. Mereka, bersama pasukan penjaga keamanan kota, telah berusaha untuk mencari dan menangkap penjahat itu. Namun, penjahat itu benar-benar seperti siluman, kalau nampak bayangannya, sukar disusul dan ketika dicari di daerah Guha Tengkorak, tidak dapat ditemukan jejaknya. Sudah ada dua orang gadis cantik di kota Tai-goan diculiknya, dan beberapa orang hartawan telah dicuri barang-barang berharga berupa perhiasan-perhiasan mahal yang disimpan di dalam tempat-tempat rahasia. Di antara para pendekar yang merasa penasaran terhadap Siluman Guha Tengkorak, terdapat seorang laki-laki bernama Cia Kok Heng. Dia bekerja sebagai ahli bangunan bagian pertulangan kayu dan nama Cia Kok Heng ini cukup terkenal di kota Tai-goan sebagai seorang ahli silat, bahkan seorang pendekar karena dia adalah seorang murid lulusan perguruan Hong-kiam-pai (Perkumpulan Pedang Angin) di Tai-goan. Hong-kiam-pai ini adalah sebuah perkumpulan silat pedang yang menjadi cabang dari persilatan besar Kun-lun-pai. Ilmu Pedang Hong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Angin) adalah ilmu pedang dari Kun-lun-pai dan karena perguruan itu khusus mengajarkan ilmu pedang ini, maka tidak memakai nama Kun-lun-pai, melainkan Hong-kiam-pai. Yang menjadi anggota atau murid dari Hong-kiam-pai hanyalah orang-orang yang sudah memiliki dasar ilmu silat yang mahir dan boleh saja memiliki dasar ilmu silat dari partai lain asalkan tingkatnya sudah cukup untuk mempelajari Ilmu Pedang Hong-kiam-sut. Akan tetapi, Cia Kok Heng memang seorang murid Kun-lun-pai aseli sehingga dia memiliki dasar-dasar ilmu silat Kunlun-pai. Dengan adanya perkumpulan Hong-kiam-pai ini maka para pendekar dari semua aliran dapat bersatu dan menjadi murid atau anggota dan karena dia sendiri anggota Hong-kiam-pai, maka tentu saja Cia Kok Heng mengenal banyak pendekar yang juga menjadi anggauta perkumpulan itu. Kok Heng hidup rukun bersama isterinya dan dua orang anaknya. Dia sendiri berusia tiga puluh tahun dan isterinya berusia dua puluh tujuh tahun. Isterinya adalah seorang wanita yang amat cantik jelita dan biarpun kini telah mempunyai dua orang anak, namun kecantikannya tidak berkurang. Anak mereka, yang pertama laki-laki berusia sembilan tahun dan yang kedua perempuan berusia tujuh tahun. Hidup mereka tidak dapat dikatakan kaya, namun penghasilan Kok Heng sebagai tukang kayu yang ahli cukup untuk hidup pantas bagi keluarga itu. Cia Kok Heng bukanlah seorang ahli silat biasa saja di kota Tai-goan. Dia adalah seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan! Dan biarpun di antara mereka bertujuh dia termasuk yang paling muda, namun bukan berarti bahwa kepandaiannya yang paling rendah. Biarpun tujuh orang pendekar itu belum pernah bentrok sendiri dengan siluman yang mengacau kota mereka namun mereka menaruh perhatian dan sudah sering mereka bertujuh itu berkumpul untuk membicarakan penjahat itu. Bahkan mereka saling berdebat, ada yang percaya akan desasdesus bahwa penjahat itu lihai seperti siluman dan pandai ilmu menghilang, ada pula yang tidak percaya. Percaya dan tidak percaya mempunyai dasar yang sama. Dasarnya adalah ketidaktahuan. Hanya orang yang tidak mengerti atau tidak tahu sendirilah yang bisa menjadi orang yang percaya atau yang tidak percaya. Oleh karena itu, orang yang percaya dan yang tidak percaya sesungguhnya tidak berhak membicarakan sesuatu yang mereka percaya atau tidak percaya itu, karena keduanya sama-sama tidak mengerti atau tidak tahu. Kalau sudah tahu, maka tidak mungkin timbul percaya atau tidak percaya lagi. Sebelum manusia mendarat di bulan, gambaran tentang bulan tentu menimbulkan percaya atau tidak percaya, tergantung dari siapa yang menceritakan dan siapa yang mendengarkan. Akan tetapi sekarang, hal itu tidak lagi membutuhkan percaya atau tidak percaya. Bagaimanapun juga, anehnya, orang-orang yang percaya atau yang tidak percaya inilah, di dalam ketidaktahuan merupakan orang-orang yang paling suka untuk membicarakannya dan memperdebatkannya. Pagi hari itu, Kok Heng berangkat ke tempat pekerjaannya, di pusat kota di mana sedang diadakan pembangunan oleh kepala daerah, dengan hati agak kesal. Malam tadi isterinya berbelanja ke pasar, isterinya bertemu dengan Phang-kongcu, putera seorang pembesar yang kaya raya dan pemuda itu bersikap kurang ajar. Dengan lagak memikat, Phang-kongcu mengeluarkan kata-kata memuji kecantikannya dan mengatakan sayang bahwa wanita secantik itu hidup miskin. Demikian kata isterinya dan biarpun Kok Heng menganggap kekurangajaran mulut pemuda bangsawan dan hartawan itu merupakan pnyakit umum dan tidak begitu aneh, tetap saja hatinya diliputi rasa cemburu dan penasaran. Namun, se-bagai seorang pendekar dia mampu menenangkan batinnya dan berangkat kerja dengan wajah- agak muram. Siang hari itu dia pulang lebih pagi dari pada biasanya. Di depan rumah, dia melihat dua orang anaknya, Cia Liong dan Cia Ling, main-main dengan anak-anak tetangga. Akan tetapi, timbul keheranannya ketika melihat anak-anak itu berdiri berkerumun di depan dinding dekat pintu, memandang ke arah dinding dan menunjuk--nunjuk, nampak keheranan. Diapun cepat melangkah, mendekat dan tiba-tiba saja wajah pendekar- ini berubah merah lalu pucat, dan merah lagi. Matanya terbelalak memandang ke arah dinding yang dirubung anak-anak itu. Di atas dinding putih itu nampak jelas gambar tengkorak dan dilukis dengan darah yang masih mengkilat basah! "Ayah, apakah itu?" tanya Cia Ling. Kok Heng menggandeng tangan kedua orang anaknya, membawa mereka masuk rumah setelah dia menyuruh anak-anak lain pulang ke rumah masing-masing. Jantungnya tergetar penuh ketegangan dan hatinya lega ketika dia melihat isterinya menyongsong kedatangannya dari dalam dapur. "Eh, ada apakah" Engkau kelihatan..." Isteri-nya bertanya khawatir melihat wajah suaminya. "Tidak apa, tenanglah. Mari kita bicarakan dalam kamar, ajak anak-anak," kata suaminya. Biarpun sikap suaminya tenang, namun istri pendekar itu dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu. Mereka memasuki kamar dan Kok Heng lalu menceritakan gambar tengkorak yang dilihatnya di dinding rumah mereka. "Siluman Guha Tengkorak..." Isterinya ber-bisik, bibirnya gemetar mukanya pucat. "Jangan khawatir. Siapapun adanya badut atau penjahat itu, dia akan ketemu batunya sekarang. Aku akan mempersiapkan saudara-saudaraku untuk menghadapinya. Sudah tiba saatnya Tujuh Pendekar Tai-goan bergerak dan membasmi siluman itu," kata Kok Heng dengan penuh semangat. Sikap dan ucapan suaminya ini membuat hati isterinya agak tenang, biarpun nyonya muda itu masih saja merasa khawatir. Kok Heng lalu menulis sepucuk surat dan minta kepada seorang tetangganya untuk mengantarkan surat itu ke alamatnya. Keluarga Cia lalu makan siang dan sikap tenang pendekar itu mempengaruhi isterinya yang juga merasa tenang. Mereka melarang anak-anak mereka bermain-main di luar rumah dan karena kesal tidak boleh bermain di luar rumah Cia Liong dan Cia Ling yang mentaati kedua orang tuanya itu lalu tidur di kamar mereka pada siang hari itu. Kok Heng bercakap-cakap dengan isterinya di ruangan dalam, dan baru sekarang mereka memperoleh kesempatan untuk membicarakan ancaman itu setelah kedua orang anak mereka tertidur. Kok Heng mengambil pedangnya dan mengeluarkan pedang itu dari sarungnya untuk memeriksanya. Dia sudah bersiap dan kini dia meggantungkan pedangnya di punggung, siap setiap saat menghadapi siluman yang mengancam keluarganya itu. "Akan tetapi mengapa kita...?" isterinya bertanya dengan wajah yang agak pucat. Kok Heng memegang lengan isterinya. "Tenanglah, mukamu begini pucat. Percayalah, kami bertujuh akan dapat menghadapinya, bahkan mungkin menangkap atau membunuh siluman itu." "Tapi... mengapa kita yang diancamnya" Kita bukan orang kaya..." "Engkau tahu, isteriku. Siluman itu bukan hanya suka mencuri barang-barang berharga, bahkan suka pula menculik wanita..." Muka yang pucat itu berubah merah. "Tapi... yang diculiknya selama ini adalah gadis-gadis cantik..." Kok Heng menatap wajah isterinya dan tersenyum bangga. "Dan engkau adalah wanita yang amat cantik, yang tercantik di antara mereka." "Ah, jangan bergurau, suamiku. Aku adalah seorang wanita yang sudah mempunyai dua orang anak..." "Aku tidak bergurau. Biarpun engkau sudah menjadi ibu dari dua orang anak, akan tetapi engkau masih kelihatan amat muda dan cantik jelita. Ingat saja kekurangajaran pemuda bangsawan itu..." Tiba-tiba pendekar itu mengerutkan alisnya dan memandang wajah isterinya dengan aneh. Wajah itu menjadi semakin merah. "Si keparat itu... ah, mengapa engkau memandangku seperti itu...?" "Pemuda she Phang itu... kemarin dia meng-godamu dan hari ini siluman itu memberi tanda-nya! Hem... ada hubungan apakah di antara kedua peristiwa ini...?" "Hubungan bagaimana maksudmu?" tanya isterinya bingung. "Pemuda itu adalah putera seorang pembesar, sedangkan siluman itu... bukankah katamu dia itu seorang penjahat besar" Mana ada hubungannya...?" "Akupun merasa heran, kenapa begini kebetulan " Ah, biarlah akan kubicarakan dengan saudara-saudaraku." Jauh lewat tengah hari, menjelang sore, datanglah enam orang di rumah Cia Kok Heng. Disambut oleh tuan rumah dengan hati gembira sekali dan juga penuh perasaan lega. Bahkan nyonya rumah juga kini dapat tersenyum dan wajahnya tidak pucat lagi. Bagaimanapun juga, dengan berkumpulnya Tujuh Pendekar Tai-goan, apa yang perlu ditakuti" Tujuh orang yang terkenal dengan sebutan Tujuh Pendekar Tai-goan itu memang bukan orangorang sembarangan. Pertama adalah Cia Kok Heng sendiri yang menjadi orang termuda namun bukan-lah yang paling rendah ilmunya. Orang kedua adalah yang dikirimi surat oleh Kok Heng dan dimintai tolong untuk mengumpulkan semua saudara mereka dan datang ke tempat pendekar she Cia itu. Orang ini bernama Kwee Siu berusia empat puluh lima tahun dan dia adalah murid per-guruan Siauw-lim-pai yang lihai, dan kemudian belajar ilmu pedang pula dari Hong-kiam-pai sehingga dia masih terhitung saudara seperkumpulan dengan Cia Kok Heng. Walaupun dalam hal ilmu pedang dia masih kalah lihai dari Kok Heng ka-rena Kok Heng memang murid Kun-lun-pai, akan tetapi Kwee Siu ini memiliki kelebihan lain, yaitu ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai. Orang ke tiga adalah Louw Ciang Su, berusia empat puluh tahun, murid Butong-pai yang lihai sekali dengan senjata rantai bajanya. Orang ke empat dan ke lima adalah kakak beradik she Ciok, yaitu Ciok Lun yang berusia lima puluh tahun dan Ciok Khim berusia empat puluh lima tahun, keduanya tokoh-tokoh dari Tiat-ciang-pai (Perkumpulan Tangan Besi) yang disegani dari kota raja. Tentu saja keduanya memiliki tangan yang amnat kuat dan terlatih sehingga mahir dalam ilmu tangan besi, ha-nya bedanya kalau Ciok Lun biasa mempergunakan senjata toya, adiknya, Ciok Khim mempergunakan senjata golok. Orong ke enam adalah Siok Bu Ham, berusia empat puluh tabun, tidak berpartai dan murid seorang tosu perantau yang mahir mempergunakan senjata sepasang tombak pendek. Orang ke tujuh adalah Liu Ji, berusia empat puluh lima tahun, seorang tokoh Thian-kiam-pang, seorang ahli piauw dan pedang. Pendeknya, untuk Tai-goan dan sekitarnya, nama tujuh pendekar ini sudah terkenal sebagai orang-orang gagah yang menentang kejahatan dan seringkali membantu pmerintah untuk menghadapi penjahat lihai. Begitu enam orang saudaranya itu datang, Kok Heng lalu mengajak mereka ke depan dan mereka bertujuh memeriksa gambar tengkorak darah itu dengan teliti. Ciok Lun meraba lukisan itu dan mengerahkan sin-kangnya. Tangannya yang memiliki Ilmu Tiat-ciang (Tangan Besi) itu tergetar dan menjadi panas, lalu tercium bau amis. "Hem, darah tulen...!" gumamnya. "Mungkin bukan darah manusia," kata Kok Heng. "Setiap kali mengancam, siluman itu menggunakan lukisan tengkorak darah, dan agaknya dia menggunakan darah binatang." Louw Ciang Su, murid Bu-tong-pai, menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya. "Belum tentu. Aku pernah mendengar dahulu tentang seorang penjahat yang mempelajari ilmu hitam dan sering kali mempergunakan darah dalam surat ancamannya dan darah itu ternyata darah manusia. Entah dari mana diambilnya karena memang orang-orang macam itu sudah sedemikian jahat dan kejamnya seperti iblis." Para pendekar itu berdiam diri dan merasa ngeri juga. Yang mereka hadapi adalah seorang penjahat yang menurut kabar angin memiliki kepandaian seperti siluman, maka merekapun harus bersikap hati-hati. Mereka lalu dijamu oleh nyonya rumah dan ketika Kok Heng menceritakan tentang pemuda bangsawan Phang yang menggoda isterinya kemarin, enam orang pendekar itu mengerutkan alisnya. Lalu terdengar Liu Ji berkata, "Tidak mungkin dia! Aku mengenal pemuda Phang itu. Memang, dia seorang pemuda mata keranjang, terkenal di dunia pelacuran dan tidak segansegan untuk mempergunakan kedudukan dan hartanya untuk bisa mendapatkan dan menguasai setiap wanita yang disukainya. Akan tetapi dia belum pernah menggunakan kekerasan, apa lagi olehnya sendiri karena dia tidak becus apa-apa, bahkan tubuhnya lemah karena terlalu banyak mengobral nafsunya." Cia Kong Heng mengangguk-angguk. "Akupun mencurigai dia karena kalau dia itu lihai tentu kita sudah mengetahuinya. Akan tetapi karena kemarin dia menggoda isteriku dan hari ini siluman itu muncul maka sungguh kebetulan sekali dan mau tidak mau, menimbulkan kecurigaan." Tiba-tiba Kwee Siu, murid Siauw-lim-pai, yang juga menjadi murid Hong-kiam-pai itu mengepal tinju dan memukul meja. "Bruk!" Semua orang memandang dan orang tinggi besar ini melotot dengan muka merah. "Siapaapun adanya iblis itu, harus kita hadapi dan malam ini kalau dia berani datang, kita akan menangkap atau membunuhnya!" Aku bersumpah, kalau dia berani menjamah sehelai rambut saja isteri Heng-te, aku akan mematahkan tangannya!" Ciok Lun, orang tertua diantara mereka, menarik napas panjang. "Menghadapi seorang penjahat yang dikenal licin seperti siluman itu, yang pernah diserbu oleh pasukan dan para pendekar namun tetap dapat meloloskan diri, kita harus bersikap tenang. Bagaimana juga, seperti kebiasaannya yang sudah-sudah, dia selalu memberi peringatan atau mengancam calon korban di waktu siang atau sore, kemudian baru dia turun tangan pada malam harinya. Maka, kita masih memiliki waktu untuk bersiap siaga. Kita harus mengatur penjagaan, membagi-bagi tugas namun harus di-atur agar kita dapat saling membantu." Setelah malam tiba, Tujuh Pendekar Tai-goan itu telah mengatur siasat. Cia Kok Heng sendiri berjaga di dalam kamar, menjaga isteri dan dua orang anaknya dengan pedang tak pernah terpisah dari badannya. Kwee Siu yang tinggi besar dengan pedang di tangan menjaga di dalam ruangan di luar kamar, ditemani oleh Louw Ciang Su yang dililitkan di pinggang. Siok Bu Ham dengan sepasang tombak pendeknya menjaga di belakang rumah. Liu Ji tokoh Thian-kiam-pang itu menjaga di luar, di depan rumah sambil meronda. Adapun kedua saudara Ciok Lun dan Ciok Khim telah berada di atas. Rumah dan kamar keluarga Cia itu telah dijaga ketat, dikepung oleh para pendekar dan agaknya iblis sendiripun tidak akan mampu memasuki kamar itu tanpa diketahui dan mendapat rintangan yang amat ketat dan berat. Malam semakin larut dan suasana semakin sunyi menegangkan. Seluruh penghuni rumah itu, kecuali dua orang anak kecil yang sudah pulas, tidak seorangpun yang dapat memejamkan mata barang sejenak. Semua merasa tegang. Yang ada di dalam rumah itu hanyalah Cia Kok Heng bersama isteri dan dua anaknya, dan enam orang rekannya. Dua orang pelayan telah disuruh mengungsi sore tadi. Menjelang tengah malam, suasana sunyi itu menjadi makin lengang. Rumah keluarga Cia ini terletak agak di pinggir kota, perumahan di situ semua memiliki pekarangan dan kebun yang luas sehingga agak jauh dari tetangga. Tidak ada bulan di langit, dan cahaya laksaan bintang yang lemah mendatangkan cuaca yang remang-remang menyeramkan. Kesunyian yang mencekam itu kadang-kadang dipecahkan oleh bunyi burung malam yang mendatangkan suasana lebih menyeramkan, dan kadang-kadang terdengar bunyi lemah kelepak burung malam terbang lalu. Gonggong anjing di kejauhan menambah dalamnya kesunyian yang mencekam di hati, mengingatkan orang akan sesuatu yang tidak mereka lihat dan tidak mereka ketahui, menimbulkan dugaan-dugaan yang mendatangkan rasa gelisah dan takut. Telah beberapa kali para pendekar itu saling mengunjungi tempat penjagaan masing-masing dan juga memeriksa keluarga Cia yang masih berada di kamar. Hati mereka terasa lega dan diamdiam hati yang tegang itu mengharapkan siluman itu menjadi jerih dan tidak berani muncul melihat persiapan Tujuh Pendekar Tai-goan. Akan tetapi ketika waktu menunjukkan tepat tengah malam, terdengar bunyi burung malam dan kelepak sayapnya seolah-olah rumah keluarga Cia itu didatangi oleh burung-burung malam. Dan para pendekar mulai merasa seolah-olah mereka atau tempat itu terkepung. Terdengar suara Siok Bu Ham yang berjaga di belakang rumah batuk-batuk, batuk buatan yang biasa dilakukan orang untuk mengusir rasa serem di hati. Suara batuk-batuk ini dibalas oleh Ciok Khim yang menjaga di atas wuwungan bersama kakaknya, Ciok Lun. Mendengar suara dua orang rekannya batuk-batuk itu, hati para pendekar yang lain menjadi agak lega. Namun mereka tetap waspada karena naluri mereka yang membuat mereka peka terhadap ancaman lawan tergetar oleh sesuatu yang membuat mereka lebih waspada dan siap siaga. Tiba-tiba... "ngeonggg...!" terdengar suara nyaring disusul geraman-geraman dan gedobrakan di atas genteng rumah tetangga. Jantung mereka yang sedang tegang itu seperti copot rasanya, akan tetapi mereka segera mengenal suara itu dan di dalam batin menyumpah-nyumpah karena itu ada-lah suara dua ekor kucing yang sedang berkelahi atau sedang bercanda! Karena kebisingan dua ekor kucing yang sedang bermain cinta ini amat mmgejutkan dan tiba-tiba, perhatian para pendekar itu sejenak tertumpah kepada suara itu dan ketika perhatian dua saudara Ciok kembali kepada pen-jagaan mereka, dengan kaget mereka melihat sesosok bayangan orang tahu-tahu telah berdiri di atas wuwungan rumah keluarga Cia, hanya beberapa tombak jaraknya dari mereka! Tentu saja dua orang saudara Ciok itu terkejut dan sejenak mereka memandang bengong. Kini mereka dapat melihat jelas. Orang itu memakai pakaian dan jubah serba putih dari sutera mengkilap dan di bagian dadanya terdapat gambar tengkorak darah, yaitu lu-kisan tengkorak dari darah merah yang menetes-netes. "Iblis keparat!" Ciok Khim sudah membentak dan pendekar ini meloncat ke depan, dan menyerang orang itu dengan goloknya. Gerakannya ce-pat dan kuat, dan biarpun yang diinjaknya hanya wuwungan yang lebarnya tidak lebih dari satu kaki saja, namun Ciok Khim dapat meloncat dengan sigap dan menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi, orang itu dengan tenang saja menggerakkan tangan menyambut ke depan. "Tringgg...!" Dan mata golok yang tajam itu telah ditangkis begitu saja oleh jari-jari tangan-ya yang memakai cincin. Ciok Khim merasa betapa tangan kanannya yang memegang golok tergetar hebat, tanda betapa kuatnya tangkisan itu. Orang itupun sudah meloncat ke kanan, ke atas wuwungan melintang dengan cepat. "Siluman jahat!" Ciok Lun sudah menerjang dengan toyanya. Mula-mula toyanya menyambar ke arah kepala lawan. Ketika dengan gerakan ri-ngan dan mudah toya itu dielakkan oleh lawan dan menyambar lewat, secepat kilat toya itu sudah dilanjutkannya dengan tusukan ke arah dada, tepat ke arah tengkorak merah itu. Akan tetapi, hebat-nya, lawan itu sama sekali tidak menangkis, bah-kan seperti memasang dadanya untuk ditusuk toya yang digerakkan dengan amat kuat. "Dukk!" Toya itu tepat mengenai dada dan ternyata tusukan ini bahkan dipergunakan oleh lawan untuk meminjam tangannya dan kini tubuh itu terjengkang jauh ke belakang, membuat gerakan jungkir balik beberapa kali ketika melayang ke bawah. Sungguh gerakan yang indah, dan terutama sekali, menerima serangan tusukan toya dengan dada begitu saja menunjukkan bahwa orang itu benar-benar memiliki kekebalan yang amat kuat! "Keparat, mau lari ke mana kau?" Dua orang saudara Ciok ini mengejar dan melayang turun. Di bawah, lawan mereka itu sekali lagi berkelebat sudah lenyap! Selagi mereka kebingungan dan mencari dengan pandang matanya, mereka melihat lawan tadi sudah berada di belakang mereka, berdiri sambil bertolak pinggang! Diam-diam mereka terkejut. Lawan ini sungguh dapat bergerak seperti setan saja cepatnya. Dan kini, di bawah sinar penerangan lampu, mereka dapat melihat wajah lawan. Ternyata orang itu memakai kedok siluman tengkorak! Mereka berdua segera berteriak keras dan menyerang. Teriakan itu mereka lakukan untuk memberi tahu temanteman mereka. Akan tetapi pada saat itu, teman-teman merekapun sedang sibuk! Siok Bu Ham yang sedang berjaga di bagian belakang rumah, ketika mendengar suara kucing tadipun terkejut sekali dan tentu saja perhatiannya juga tertuju ke genteng tetangga dari mana suara hiruk-pikuk itu datang. Dan ketika dia mengembalikan perhatiannya kepada tempat di sekelilingnya, tahu-tahu di belakangnya telah berdiri seorang yang memakai topeng tengkorak, berpakaian sutera putih dan di dadanya terdapat gambar tengkorak darah! "Siluman jahanam, berani engkau datang?" bentak Siok Bu Ham dan pendekar ini segera menerjang dengan sepasang siang-kek yang sejak tadi sudah dipersiapkan. Nampak dua sinar menyambar ketika sepasang tombak pendek itu meluncur dan membuat gerakan menggunting, menyerang dari kanan kiri. Akan tetapi, yang diserangnnya dengan ringan meloncat ke belakang dan serangan berganda itupun mengenai tempat kosong. Sebelum Siok Bu Ham menyerang lagi, orang itu sudah meloncat ke depan. "Bangsat, jangan lari kau!" Siok Bu Ham membentak sambil mengejar menuju ke depan rumah. Akan tetapi bayangan itu menghilang dan ketika dia tiba di depan rumah, dia melihat Liu Ji sudah bertanding dengan seorang yang serupa dengan orang yang dikejarnya tadi. Orang bertopeng tengkorak, bertangan kosong akan tetapi lihai bukan main sehingga Liu Ji yang bersenjatakan pedang itupun terdesak hebat. Pada saat Siok Bu Ham datang, Liu Ji yang terdesak itu terkena tamparan pada pundaknya dan pendekar itu jatuh, terus menggulingkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak. Tahulah Siok Bu Ham bahwa rekannya itu tentu mempergunakan senjata rahasianya, yaitu piauw yang memang menjadi keahliannya. Tiga sinar menyambar ke arah perut, dada dan leher orang berkedok tengkorak itu. Akan tetapi orang itu tidak mengelak dan terdengar suara nyaring ketika tiga batang piauw itu mengenai sasaran, akan tetapi tiga batang piauw itu runtuh tanpa melukai siluman tengkorak itu. Melihat ini, Siok Bu Ham maklum bahwa orang itu memang kebal. Ketika melihat orang itu hendak mendesak Liu Ji yang belum sempat meloncat bangun, diapun membentak marah sambil menggerakkan sepasang tombaknya. "Siluman keparat, rasakan tombakku!" Dan diapun sudah menerjang dengan dahsyat. Siluman itu mengeluarkan suara dari hidungnya dan cepat mengelak. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liu Ji untuk meloncat bangun dan menerjang lagi dengan pedangnya, membantu Siok Bu Ham mengeroyok siluman yang lihai ini. Pundak kanannya tergores kuku dan bajunya robek, terluka sedikit akan tetapi rasanya panas dan perih sekali. Baru mengeroyok sebentar saja, dua orang pende-kar ini maklum bahwa lawan mereka sungguh amat lihai, maka mereka berduapun bersuit-suit memberi tanda kepada para teman mereka. Akan tetapi tidak ada seorangpun yang muncul. Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu, Ciok Khim dan Ciok Lun juga sedang mengeroyok seorang siluman, dan bagaimana dengan Kwee Siu dan Siu Louw Ciang Su yang berjaga di ruangan dalam, di depan kamar keluarga Cia" Sama saja! Kedua orang ini tadi juga mendengar suara bising kucing di luar rumah itu, dan tiba-tiba muncul seorang bertopeng tengkorak berjubah putih yang bagian dadanya digambari tengkorak darah. Karena orang ini berdiri di bawah lampu, mereka berdua dapat melihat jelas. Tentu saja mereka berdua kaget sekali karena munculnya siluman ini sungguh secara tiba-tiba, berbareng dengan suara ribut kucing tadi, seperti setan yang pandai menghilang saja. Akan tetapi karena mereka maklum bahwa inilah musuh yang ditunggu-tunggu, keduanya lalu menerjang ke depan dengan marah. Kwee Siu menggunakan pedangaya sedangkan Louw Ciang Su menggerakkan sabuk atau rantai baja yang dipakai sebagai ikat pinggang. Segera terjadi pertempuran seru ketika dua orang ini mengeroyok siluman itu. "Cia-hiante, hati-hati...!" Kwee Siu berseru untuk memperingatkan Cia Kok Heng. Akan tetapi Kok Heng sudah mendengar keributan di luar kamar. Diapun tidak mungkin tinggal diam saja. Dibukanya pintu kamar dan melihat betapa dua orang rekannya mengeroyok seorang bertopeng tengkorak yang gerakannya amat lihai, diapun menyuruh isterinya menjaga kedua anak mereka dan dia sendiri lalu melompat keluar dengan pedang di tangan. "Siluman keparat, engkau mengantar nyawa!" bentaknya dan diapun membantu kedua orang rekannya mengeroyok. Karena marah melihat musuh yang mengancam isterinya ini berani muncul di depannya, Cia Kok Heng segera menerjang dan menggunakan jurus paling ampuh dari Hongkiam-hoat, yaitu jurus Hui-hong-bu-liu (Angin Meniup Pohon Cemara). Jurus ini dilakukan dengan tu-sukan pada pinggang lawan, akan tetapi itu hanya merupakan gertakan betaka karena jurus itu dilanjutkan dengan sambaran pedang secara berputar mengarah kaki dan naik terus sampai ke leher. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya. Akan tetapi, betapa kaget hati Kok Heng melihat lawan itu mengeluarkan suara mendengus dan agaknya tidak memperdulikan tusukan gertakan itu dan ketika pedang menyambar dengan gerakan memutar, orang itu telah meloncat tinggi di udara sehingga jurus itupun tidak ada gunanya sama sekali. Orang itu seolah-olah telah mengenal baik jurus itu dan menggunakan kesempatan selagi meloncat, bukan hanya untuk memunahkan jurus Hui-hong-bu-liu, melainkan loncatan itu langaung disambung dengan gerakon pok-sai (salto) jungkir balik dan tahu-tahu tubuh yang jangkung itu telah meluncur dan melayang ke dalam kamar melalui pintunya yang terbuka. Tentu saja hal ini sama sekali tak pernah diduga oleh tiga orang pendekar itu yang sejenak memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi Cia Kok Heng sudah mengejar sambil membentak marah, "Siluman curang, mari hadapi pedangku!" Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tiba di dalam kamar, dia melihat isterinya telah dipanggul dalam keadaan lemas oleh siluman itu dan dua orang anaknya juga dicengkeram, kemudian siluman itu sambil tertawa mengejek meloncat keluar melalui jendela belakang! "Lepaskan isteri dan anak-anakku!" Kok Heng membentak dan mengejar, dan dua orang rekannya, Kwee Siu dan Louw Ciang Su juga membentak dan mengejar. Siluman itu tidak menemui perlawanan di belakang, karena Siok Bu Ham yang tadinya berjaga di belakang itu kini telah terlibat dalam perkelahian membantu Liu Ji di pekarangan depan rumah. Siluman itu masih menodong tubuh isteri Kok Heng dan mengempit dua tubuh anak itu ketika dia melompat naik ke atas wuwungan rumah "Lepaskan mereka!" Kok Heng yang merasa gelisah dan marah itu mengejar secepatnya. "Jahanam curang! Jangan lari!" Kwee Siu juga berteriak mengejar. "Kalau jantan lawanlah kami!" Louw Ciang Su membentak sambil meloncat pula mengejar ke atas genteng. "Kejar...!" Kok Heng berteriak lagi. "Ha-ha-ha!" Suara ketawa dari balik topeng itu terdengar menyeramkan sekali dan tiba-tiba siluman itu menggerakkan tangan kirinya yang men-cengkeram baju dua orang anak itu. Tubuh dua orang anak itu melayang ke arah Kwee Siu dan Louw Ciang Su! Tentu saja dua orang pendekar amat terkejut bukan main, juga Kok Heng lalu berteriak dengan gelisah. "Sambut anak-anakku itu...!" Untung bahwa dua orang pendekar itu benar-benar memiliki gerakan lincah. Melihat tubuh dua orang anak itu melayang ke bawah, mereka cepat- melempar senjata mereka dan membalik dan nyaris anak-anak itu terbanting remuk di atas tanah kalau tidak kedua orang pendekar itu berhasil menangkap tubuh mereka! Terdengar suara ketawa dan kini siluman itu sudah mengelak dari sambaran pedang di tangan Kok Heng yang membabat ke arah kedua kakinya. Dia meloncat ke atas, terus saja melompat jauh ke depan, turun dari atas wuwungan ke pekarangan belakang rumah tetang-ga. Tentu saja Kok Heng melakukan pengejaran sambil membentak nyaring, "Lepaskan isteriku!" -Kwee Siu agak terpincang karena ketika dia tadi menangkap tubuh Cia Liong, putera Kok Heng, terpaksa dia harus mendahului anak itu, menangkapnya dan membiarkan dirinya lebih dulu menimpa tanah. Karena ini, kakinya agaknya salah urat. Melihat ini Louw Ciang Su berkata, "Kwee-twako, sebaiknya engkau menyelamatkan kedua orang anak ini dan aku akan membantu Cia-te mengejar siluman itu!" Louw Ciang Su sudah mengambil senjata rantai bajanya lagi yang tadi terpaksa dilepaskannya ketika dia menyelamatkan Cia Ling, anak perempuan itu. "Baik!" kata Kwee Siu yang sudah merangkul dua orang anak kecil yang masih menggigil dan menahan isak tangis itu. Louw Chang Su melompat ke atas genteng dan melakukan pengejaran ke arah larinya siluman yang menculik nyonya Cia. Sambil menggandeng dua orang anak itu, Kwee Siu mengambil lagi pedangnya yang tadi dilepaskannya dan dia merasa heran mengapa empat orang rekannya yang lain tidak muncul. Hatinya terasa tidak enak dan sambil menggandeng dua orang anak itu, dia menuju ke samping rumah. Hampir saja dia berteriak keras ketika dia melihat betapa dua orang rekannya, Siok Bu Ham dan Liu Ji telah menggeletak di situ dengan badan mandi darah. Ketika dia mendekat dan memeriksa, ternyata kedua orang rekannya ini telah tewas! Sebatang tombak pendek, senjata dari Siok Bu Ham sendiri, nampak menembus dadanya, sedangkan Liu Ji tewas dengan leher hampir putus oleh pedangnya sendiri yang terletak di dekatnya! Dengan kedua kaki menggigil dan menahan tangisnya, Kwee Siu membawa Cia Liong dan Cia Ling keluar dan kembali dia mengalami guncangan batin hebat ketika melihat dua orang rekannya lagi, yaitu kakak beradik Ciok Lun dan Ciok Khim juga sudah menggeletak menjadi mayat di pekarangan depan. Dan seperti juga keadaan dua orang rekannya yang tewas di samping rumah dua orang saudara Ciok inipun tewas oleh senjata mereka sendiri. Agaknya lawan mereka yang kuat dan bertangan kosong itu telah merobohkan mereka dengan merampas senjata mereka dan mempergunakan senjata itu untuk membunuh tuannya sendiri. Melihat betapa empat orang rekan atau sahabat yang seolah-olah telah menjadi saudaranya sendiri itu tewas dalam keadaan yang demikian menyedihkan, hati Kwee Siu penuh dengan kedukaan dan kemarahan. Apa lagi dia mengingat bahwa masih ada dua orang rekannya lagi yang kini melakukan pengejaran terhadap siluman itu. Dia harus membantu mereka! Maka, dia lalu membawa dua orang anak itu kepada seorang tetangga yang menjadi panik mendengar bahwa di rumah keluarga Cia terjadi pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh Siluman Guha Tengkorak dan tetangga ini memberitahukan kepada semua penghuni rumah di sekitar tempat itu. Sebentar saja gegerlah keadaan di perkampungan itu. Akan tetapi setelah menitipkan dua orang anak she Cia itu, Kwee Siu sendiri sudah berloncatan untuk menyusul ke arah perginya siluman yang tadi dikejar oleh Cia Kok Heng dan Louw Ciang Su. Hatinya penuh dengan kekhawatiran dan juga dendam terhadap siluman yang telah membunuh empat orang saudaranya. Akan tetapi Kwee Siu tidak perlu menyusul terlalu jauh. Di dekat tembok kota dia melihat bayangan berlari terhuyung-huyung,dan ketika dia mendekati, ternyata bayangan itu adalah Cia Kok Heng yang berlari sambil terhuyung dan kedua mendekap lehernya karena dari situ bercucuran darah segar dari sebuah luka yang menganga! "Cia-hiante...! Kau kenapa...?" Kwee Siu meloncat dan menubruk sahabatnya, juga saudara seperguruan di Hong-kiam-pai. Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hatinya melihat luka di le-her pendekar she Cia itu sungguh hebat sekali dan amat mengherankan kalau Cia Kok Heng masih dapat berlari. Dan begitu melihat Kwee Siu, Cia Kok Heng sudah roboh terguling dan tubuhnya di-sambar dan dipeluk oleh Kwee Siu. "Anak-anakku... anak-anakku..." Cia Kok Heng berbisik dalam rangkulan sahabatnya itu. "Mereka sudah kuselamatkan di tetangga..." kata Kwee Siu. "Mana Louw-te...?" "Louw-twako... su... dah tewas... ahhh... Kwee-twako, bawa anak-anakku kepada suhu... cepat... ahhh..." Cia Kok Heng berbisik-bisik akan tetapi dari leherya terdengar suara mengorok. "Apa katamu, hiante" Kau bilang apa...?" Kwee Siu yang hatinya menjadi hancur itu mendekatkan telinganya ke mulut itu yang masih bergerak-gerak dan berbisik lemah sekali. Kwee Siu mendengarkan dan tiba-tiba mukanya menjadi pucat sekali, sepucat muka Cia Kok Heng yang tiba-tiba terkulai dan tewas pula! Kwee Siu tidak dapat menahan lagi tangisnya. Air matanya menetes-netes ketika dia memandang tubuh rekannya ini dan sambil menangis diapun lalu memondong tubuh yang telah menjadi mayat itu dan berlari kembali ke rumah keluarga Cia yang telah dipenuhi orang, yaitu para tetangga yang datang melayat. Mereka semua yang sudah merasa ngeri menyaksikan empat mayat di dalam rumah itu, menjadi semakin ngeri dan ketakutan katika melihat Kwee Siu datang membawa mayat Cia Kok Heng! Suasana menjadi semakin geger dan menyedihkan. Sebelum malam terganti pagi, telah tersebarlah berita yang mengejutkan itu, bahwa enam orang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan telah tewas oleh Siluman Guha Tengkorak dan isteri pendekar Cia Kok Heng telah diculik oleh siluman itu! Tentu saja berita ini menggegerkan bukan hanya seluruh Tai-goan, akan tetapi bahkan jauh di luar Tai-goan dan sebentar saja menjadi berita yang menggegerkan di dunia kang-ouw. *** Kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda itu dilarikan cepat menembus kabut di pagi hari. Akan tetapi setelah kereta itu memasuki hutan di sebelah barat daya, di sepanjang lembah Sungai Fen-ho, terpaksa larinya diperlambat karena jalannya buruk dan becek. Kwee Siu yang duduk di tempat kusir memegang cambuk dan mukanya masih pucat dan diliputi kedukaan. Di dalam kerata itu terdapat Cia Liong dan Cia Ling, dua orang anak keluarga Cia yang hancur oleh perbuatan Siluman Guha Tengkorak itu. Dua orang anak ini tidak diberi kemsempatan untuk berkabung, bahkan tidak diberi kesempatan untuk mengantar jenazah ayah mereka yang penguburannya akan diurus oleh para tetangga. Setelah terjadi peristiwa mengerikan semalam, pada keesokan harinya pagi-pagi buta Kwee Siu membawa mereka pergi dengan kereta ini. "Paman Kwee, kita hendak pergi ke mana?" tanya Cia Liong yang matanya masih merah sam-bil merangkul adiknya ketika mereka dibangunkan dari tidur di pagi buta dan diajak pergi oleh Kwee siu. Dua orang anak ini sudah tahu bahwa ayah mereka tewas dan ibu mereka dilarikan penjahat-. Tentu saja mereka berdua menangis dan selain merasa berduka juga merasa ketakutan. Akan te-tapi kedukaan hati seorang anak berbeda dengan kedukaan hati seorang tua. Anak-anak tidak me-nyimpan dendam yang berlarut-larut, tidak me-nyimpan duka sampai menembus batin. Batin kanak-kanak masih bersih dan wajar, masih kuat seperti puncak cemara sehingga biarpun digerakkkan angin ribut ke arah manapun juga, setelah angin lewat akan tegak kembali, tidak mudah patah. Tangis bagi anak-anak merupakan obat penenang yang mengusir kedukaan dari dalam batin, sebaliknya orang tua bahkan menggunakan tangis untuk memperhebat luka di hati dengan rasa iba diri yang berlebihan. "Kita pergi ke tempat kakek gurumu, ke Kuil Thian-hong-bio. Ayahmu berpesan agar aku mengantar kalian ke sana dan untuk sementara kalian tinggal di sana bersama sukong kalian..." "Aku tidak mau..." Tiba-tiba Cia Ling berkata merengek. "Aku mau tinggal di rumah bersama ibu!" Kwee Siu merangkul anak perempuan berusia tujuh tahun itu, menghiburnya. "Tentu saja, kalau ibumu sudah pulang, engkau akan tinggal di rumah bersama ibumu. Sementara kami mencari ibumu, engkau tinggal dulu bersama kakek gurumu. Ayahmu berpasan demikian, kalian harus menurut pesan ayah kalian." Akhirya dua orang itu dapat dibujuk dan dengan membawa pakaian dan barang berharga yang terdapat dalam rumah itu, Kwe Siu lalu mengantar dua orang anak itu pagi-pagi buta berangkat meninggalkan Tai-goan menuju ke kuil yang letaknya di luar kota, kira-kira tiga puluh li dari kota Tai-goan. Setelah meninggalkan kota sejauh kurang lebih sepuluh li, terpaksa Kwee Siu memperlambat jalannya kereta karena jalan itu mulai memasuki hutan dan menjadi buruk, tidak rata dan becek. Pagi itu sunyi sekali, dalam arti kata tidak ada seorangpun manusia nampak di sekeliling tempat itu. Akan tetapi suara burung-burung hutan menyambut pagi mengusir kesunyian dan mendatangkan suasana yang cerah gembira, walaupun kegembiraan itu sama sekali tidak dapat menyentuh hati Kwee Siu yang sedang dirundung kedukaan dan juga dendam membara. Diapun seorang murid Hong-kiam-pai, oleh karena itu, malapetaka yang menimpa diri Cia Kok Heng itu sungguh terasa olehnya sebagai dendam pribadi. Apalagi, seluruh saudaranya, enam orang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, telah tewas dalam keadaan mengenaskan. Jenazah Louw Ciang Supun telah ditemukan dan dibawa dari tepi jalan itu ke rumahnya. Jenazah enam orang pendekar itu kini telah berada di dalam peti, di rumah masing-masing dan ditangisi keluarga masing-masing, kecuali jenazah Cia Kok Heng karena isteri dan anak-anaknya tidak ada di dekat peti mati. "Aku harus membalas dendam ini!" Kwee Siu memegang cambuknya erat-erat dan sinar matanya berkilat. Dia akan mohon bantuan gurunya, ketua Hong-kiam-pai. Kalau para tokoh Hong-kiam-pai mendengar akan hal ini, tentu mereka takkan tinggal diam saja. Tiba-tiba Kwee Siu mengerutkan alisnya. Teringat dia akan bisikan-bisikan yang didengarnya sebagai pesan terakhir Cia Kok Heng dan hatinya menjadi bimbang dan bingung. Jalan itu makin buruk dan masuk ke bagian hutan yang makin lebat, makin gelap karena sinar matahari pagi tidak dapat menembus sepenuhnya. Tiba-tiba dua ekor kuda itu meringkik-ringkik dan nampak panik. Kwee Siu memegang kendali kuda erat-erat untuk menguasainya Kuda, seperti juga binatang-binatang lain memiliki naluri yang amat kuat. Kepekaan ini terdapat dalam diri semua makhluk hidup, sebagai pelengkap bawaan untuk memiliki kepekaan ini, namun sayang, oleh nafsu-nafsu mengejar kesenangan, oleh kesenangan-kesenangan itu sendiri yang tak pernah memuaskan hati dan selalu kurang, manusia telah merusak kepekaan diri sendiri lahir batin. Kesenangan-kesenangan untuk memenuhi nafsu keinginan sebagian besar merusak kepekaan diri lahir batin dan hal ini tidak diperdulikan manusia. Makanan-makanan yang tidak baik bagi kesehatan badanpun dimakan saja karena enak. Kebiasaan-kebiasaan yang sebenarnya merusak diri dilakukan saja karena enak dan menyenangkan. Hukum-hukum kesehatan lahir batin dilanggar demi memperoleh kepuasan nafsu keinginan. Tidak mengherankan apabila manusia kehilangan kepekaan nalurinya. Badan dan batin menjadi bebal dan dungu, hanya menjadi alat pemuas nafsu belaka. Kwee Siu masih belum curiga, hanya mengira bahwa hutan itu mungkin menakutkan dua ekor kudanya dan mungkin saja kudanya mencium bau binatang buas. Tentu saja dia tidak merasa takut dan dengan hati-hati dia mengendarai kereta itu dan menahan kendali untuk menguasai dua ekor kudanya. Tiba-tiba kedua ekor kuda itu meringkik lagi bahkan mereka mencoba mengangkat kaki depan. Kwee Siu menarik kendali kuda dan tiba-tiba seekor di antara kuda itu mengeluarkan suara memekik dan roboh. Di lehernya menancap sebatang tombak sampai menembus dan kedua kuda itu tewas seketika, berkelojotan sebentar saja. Barulah Kwee Siu terkejut dan dengan cekatan diapun meloncat turun sambil mencabut pedangnya. Matanya menatap ke depan dan bulu tengkuknya meremang ketika dia melihat sesosok tubuh melangkah perlahan-lahan menghampirinya dari depan. Seorang laki-laki jangkung yang berpakaian jubah putih dengan gambar tengkorak darah di dadanya, juga mukanya tertutup topeng tengkorak! Siluman Guha Tengkorak! Rasa takutnya lenyap ketika dia membayangkan kematian enam orang saudaranya. Dengan suara penuh dendam Kwee Siu melangkah maju menyambut siluman itu sambil memutar pedangnya. "Siluman keparat, sekarang aku akan mengadu nyawa denganmu!" Dan Kwee Siu lalu menerjang ke depan, menyerang dengan pedangnya. Siluman itu mengeluarkan suara ketawa panjang dan segera menyambut serangan itu dengan gerakan- gerakannya yang lincah dan aneh. Namun, Kwe Siu yang dikuasai dendam dan kemarahan, menerjang dengan dahsyat dan mati-matian. Sementara itu, Cia Liong dan Cia Ling, yang berada di dalam kereta, terkejut ketika kereta berhenti dan kuda meringkik-ringkik. Mereka membuka tirai dan melihat ke depan. Melihat Kwee Siu berkelahi dengan seorang berjubah putih yang mukanya menakutkan, Cia Ling menangis. Akan tetapi Cia Liong merangkulnya dan mendekap mulut adiknya. "Diam... jangan menangis, kita harus pergi dari sini..." bisik anak laki-laki itu dan mereka berdua lalu diam-diam keluar dari dalam kereta itu, berindap-indap mereka menyelinap ke belakang sambil memandang ke arah Kwee Siu yang masih berkelahi didesak hebat oleh orang bertopeng tengkorak. Kwee Siu melawan mati-matian, namun siluman itu sungguh amat lihai, terlalu lihai baginya. Apa lagi karena semua serangannya agaknya telah dikenal baik oleh lawan sehingga lawan dapat menghindarkan semua serangannya itu dengan amat mudahnya dan balasan serangan lawan itu membuat Kwee Siu terdesak dan kewalahan. Bagaimanapun juga, pendekar yang merasa dendam, marah dan penasaran ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk melawan dengan tekad bulat melawan sampai mati. Sementara itu, di lain bagian dari hutan itu, hanya dua tiga li dari tempat itu, terdapat dua orang yang sedang berburu kelinci dengan naik kuda. Mereka berdua itu nampak gembira sekali, berburu kelinci sambil bersendau gurau dengan si-kap amat mesra. Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis, dan melihat sikap mereka, se-nyum mereka, pandang mata dan kata-kata diketahui bahwa mereka adalah sepasang orang muda yang saling mencinta. Dan mereka merupakan pasangan yang amat setimpal, yang pria masih muda, antara dua puluh satu atau dua puluh dua tahun, berwajah tampan sekali, ganteng dan gagah, pakaiannya rapi, indah mewah walaupun dia bukan seorang pesolek tanpa merias muka, akan tetapi mukanya terawat baik-baik, sisiran rambutnya rapi, gelung rambutnya dihias dengan hiasan rambut terbuat dari batu kemala, pakaiannya terbuat dari pada sutera halus, sepatunya masih baru. Pendeknya, dia seorang pemuda yang amat ganteng dan gagah, pantasnya seorang pemuda terpelajar yang kaya, dan melihat cara dia menunggang kuda mengejar kelinci, dapat pula diketahui bahwa dia adalah- seorang ahli menunggang kuda. Seorang pemuda yang akan membuat setiap orang gadis yang bersua dengannya menengok sampai beberapa kali dengan pandang mata kagum! Akan tetapi, temannya yang gadis, juga merupakan seorang wanita pilihan. Usianya sebaya dengan pemuda itu, wajahnya sungguh amat cantik jelita dan gagah perkasa dengan raut muka sempurna, dengan kulit halus kemerahan tanda sehat, dengan mata yang indah berkilauan seperti mata burung hong keramat, senyumnya yang semanis madu dan suaranya yang bening merdu. Juga gadis ini memakai pakaian sutera halus yang indah, gerakannya ketika mengejar kelinci juga amat cekatan dan gagah. Seorang gadis yang cantik jelita dan gagah pula! Sungguh merupakan pasangan yang amat setimpal dan seimbang. Kalau orang mengenal siapa kedua orang muda ini, dia tentu takkan heran melihat kegagahan mereka dan mungkin orang itu akan memandang kagum atau juga mungkin lari menyembunyikan diri. Pemuda yang bertubuh tegap sedang dan berwajah tampan ini bukan lain adalah seorang pendekar yang namanya pernah menggemparkan kota raja, bahkan pernah menggegerkan seluruh dunia persilatan. Dia adalah Pendekar Sadis! Dia adalah seorang pemuda berdarah bangsawan, karena ayah kandungnya adalah seorang pangeran. Pendekar Sadis ini bernama Ceng Thian Sin, putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Ayahnya itu adalah putera kandung dari mendiang Kaisar Ceng Tung dan ibunya ada-1ah Puteri Khamila isteri Raja Sabutai. Ayahnya itu, selain pangeran, juga terkenal sebagai seorang ahli silat yang pernah menggegerkan dunia persi-latan dengan usahanya untuk menjadi Jagoan No-mor Satu Di Dunia. Yang sudah mengenal Pendekar Sadis tentu te-lah mengetahui bahwa dalam hal ilmu silat Ceng Thian Sin si Pendekar Sadis ini tidak kalah lihai dibandingkan mendiang ayahnya. Semenjak kecil dia telah digembleng oleh ayah kandungnya sendiri, bahkan kemudian dia digembleng oleh ketua Cin-ling-pai, mewarisi ilmu silat yang hebat dan Cin-ling-pai. Bukan hanya itu, dia malah mewarisi pula ilmu-ilmu mujijat dari pendekar-pendekar sakti yang masih keluarga dari Cin-ling-pai, yaitu dari pendekar sakti Yap Kun Liong dan isterinya, yaitu Cia Giok Keng. Kakek dan nenek ini menurunkan ilmu mereka kepadanya. Juga Pendekar Lem-bah Naga berkenan menurunkan ilmu-ilmu mujijat kepadanya. Di samping itu, dia masih mewarisi ilmu-ilmu peninggalan ayahnya, ilmu-ilmu aneh pe-ninggalan Bu Beng Hud-couw. Pendeknya, Ceng Thian Sin merupakan seorang pemuda gemblengan yang sukar dicari tandingannya untuk masa itu. Temannya itu, dara yang cantik jelita dan ga-gah itu, bukan pula seorang wanita sembarangan. Jauh daripada itu! Ia bahkan memiliki tingkat yang tidak jauh bedanya dengan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin. Wanita ini bernama Toan Kim Hong, juga berdarah bangsawan karena ia adalah puteri kandung dari mendiang Pangeran Toan Su Ong, seorang pangeran pemberontak yang memiliki ilmu silat yang tinggi, dan ibunya adalah seorang wanita yang telah mewarisi ilmu peninggalan Menteri Sakti The Hoo, yang bernama Ouwyang Ci. Dengan ilmu kepandaian warisan ayah bundanya yang tinggi, Toan Kim Hong pernah menjagoi dunia selatan, bahkan gadis ini menyamar sebagai seorang nenek tua, menaklukkan semua tokoh kang-ouw dan lioklim, kemudian ia sebagai seorang nenek tua diangkat dan diakuin oleh semua tokoh dunia persilatan sebagai seorang datuk selatan yang disebut Lam-sin (Malaikat Selatan). Ilmu silatnya amat hebat dan ketika ia untuk pertama kalinya bertemu dengan Pendekar Sadis, mereka mengadu ilmu dan terjadi pertandingan yang luar biasa hebatnya. Hanya dengan amat susah payah sajalah Pendekar Sadis mampu mengalahkan "nenek" itu yang kemudian menanggalkan penyamarannya, berubah menjadi seorang dara yang amat cantik jelita. Karena sumpahnya bahwa ia akan menyerahkan dirinya kepada pria yang dapat mengalahkannya, juga karena merasa saling tertarik, Kim Hong menyerahkan diri kepada Thian Sin. Keduanya semenjak itu lalu hidup bersama, merantau ke mana-mana, hidup sebagai suami istri tanpa pernikahan yang sah. Keduanya memang tidak mau saling mengikat, namun di dalam hati mereka itu terdapat ikatan cinta kasih yang amat mendalam. Dua orang ini pernah ditentang oleh para pendekar, bahkan oleh keluarga Cin-ling-pai karena sepak terjang Thian Sin yang terkenal sebagai Pendekar Sadis. Sepak terjangnya dianggap terlalu kejam dan para pendekar menentangnya. Karena berhadapan dengan keluarga Cin-lingpai, terutama sekali dengan ayah angkatnya, yaitu Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, maka Thian Sin mengalah dan tidak berani melawan. Akhirnya dia dan kekasihnya diampuni dan diapun berjanji akan membuang jauh-jauh sifatnya yang kejam terhadap para penjahat itu dan mereka berdua lalu pergi ke tempat yang terasing, yaitu di Pulau Teratai Merah. Tempat ini adalah tempat di mana dahulu mendiang Pangeran Toan Su Ong, ayah kandung Kim Hong, hidup bersama anak isterinya ketika dia menjadi buronan pemerintah karena sikapnya yang suka memberontak dan menentang kaisar. Demikianlah perkenalan kita secara singkat dengan sepasang muda-mudi yang hebat ini. Pada waktu-waktu tertentu kedua orang ini sering kali meninggalkan pulau mereka dan melakukan perjalanan di daratan besar, merantau dan melakukan petualangan bersama-sama, menikmati hidup dan bersama-sama menghadapi segala peristiwa dengan sikap sebagai sepasang pendekar yang menentang kejahatan. Pada hari itu, kebetulan sekali mereka yang hendak melakukan pejalanan pesiar ke kota Taigoan, pada waktu melewati hutan itu, timbul kegembiraan mereka untuk menangkap kelinci ketika mereka melihat beberapa ekor kelinci yang gemuk dan sehat. "Lihat kelinci di sana itu!" Mula-mula Kim Hong berseru sambil menunjuk ke depan dan mereka melihat seekor kelinci putih yang muda dan gemuk muncul dari semak-semak. "Gemuknya! Ihh, basah mulutku membayangkan dagingnya dipanggang. Tentu lezat dan sedaaappp!" Thian Sin tertawa. Mendengar suara ketawa yang tidak wajar itu, Kim Hong yang sudah menghentikan kudanya menengok dan menatap wajah kekasihnya dengan sinar mata menyelidik dan menuntut. "Kenapa kau ketawa seperti itu" Menertawakan aku?" Thian Sin tertawa makin geli. "Kim Hong, membayangkan dagingnya yang putih mulus dipanggang, menimbulkan selera seperti kalau membayangkan tubuhmu... aih, seperti ada persamaannya membayangkan antara kalian berdua..." "Tarrr...!" Pecut kuda di tangan Kim Hong meledak di dekat kepala kuda yang ditunggangi Thian Sin, membuat kuda itu meringkik kaget dan mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi. Kalau bukan Pendekar Sadis yang berada di punggungnya, tentu gerakan tiba-tiba ini akan membuat penunggangnya terlempar dari atas punggung kuda! "Porno kau! Cabul
kau!" Kim Hong memaki akan tetapi Tian Sin hanya tertawa. Mereka lalu berlumba untuk berburu kelinci. "Yang dapat lebih dulu bagian makan, yang lain bagian membersihkan dan memanggang dagingnya!" kata Kim Hong akan tetapi sambil berkata demikian, kudanya sudah meloncat ke depan dan ia sudah mengejar seekor kelinci putih yang berlari-larian ketakutan setengah mati dikejar kuda besar. Thian Sin tertawa dan tidak mau kalah. Lalu diapun membedal kudanya mengejar kelinci. Mereka berdua adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi, bahkan dapat dinamakan orang-orang sakti, akan tetapi pada waktu-waktu tertentu mereka kadang-kadang bersikap seperti kanak-kanak dan juga mereka bersikap jujur sekali. Kalau mereka menghendaki, dengan sekali gerakan tangan saja, tentu mereka akan merobohkan seekor kelinci. Akan tetapi, pikiran ini sama sekali jauh meninggalkan benak mereka yang sedang bergembira dan begurau itu dan mereka kini sungguh-sungguh mempergunakan kelincahan kuda mereka untuk berburu kelinci dan berlomba secara wajar dan jujur, sama sekali tidak berniat untuk mempergunakan ilmu kepandaian mereka. Justru di sinilah letak kegembiraannya. Mempergunakan kelincahan kuda saja berburu kelinci tanpa mengandalkan senjata atau kepandaian, sungguh bukan merupakan hal yang mudah. Kelinci- kelinci itu terlampau gesit untuk kuda yang bertubuh besar dan beberapa kali kelinci-kelinci itu menyelinap dan lenyap di dalam semak-semak atau lenyap di dalam lubang. Mereka tertawa-tawa, berebut hendak menangkap kelinci sampai mereka tidak tahu kemana kuda mereka menuju. Tiba-tiba mereka mendengar suara anak menahan tangis. Keduanya terkejut, menghentikan kuda mereka dan melihat ke depan. Di situ, seorang anak laki-laki sedang merangkul seorang anak perempuan dan berusaha mendekap mulut anak perempuan itu agar jangan menjerit atau terisak. Akan tetapi, dua pasang mata mereka itu menatap kepada dua orang penunggang kuda dengan terbelalak dan penuh rasa takut. Mereka itu adalah Cia Liong dan Cia Ling, dua orang anak yang melarikan diri dari dalam kereta yang dihadang oleh siluman itu. Ketika mereka tiba di situ dan mendengar suara dua orang penunggang kuda yang tertawa-tawa dan mengejar- ngejar kelinci, kemudian melihat mereka muncul, dua orang anak itu menjadi ketakutan, mengira bahwa yang muncul itu tentulah orang-orang jahat pula. Cia Ling sudah hampir menjerit dan menangis, akan tetapi mulutnya didekap oleh kakaknya dan kini mereka berdiri terbelalak memandang kepada dua orang penunggang kuda itu dengan ketakutan. Melihat dua orang anak kecil yang ketakutan di dalam hutan ini, sekali melompat Kim Hong sudah berada di depan mereka. Loncatannya itu memang luar biasa dan akan membuat seorang ahli silat dan seorang ahli gin-kang melongo dan kagum disertai ketakjuban. Tidak mudah meloncat dari atas punggung kuda seperti itu, tanpa mem-buat kuda itu terkejut, dan di udara membuat pok-sai (salto) sampai dua kali dan tahu-tahu meluncur turun di dekat dua orang anak itu. Seperti seekor burung terbang saja. Dan ini memang merupakan satu di antara keistimewaan gadis itu, yakni gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat. Kim Hong sudah berjongkok di depan dua orang anak itu, tersenyum dan memandang manis agar mereka tidak menjadi ketakutan. "Eh, siapakah kalian adik-adik kecil ini" Dan kenapa berdua saja di dalam hutan dan kelihatan ketakutan" Jangan takut kepadaku, aku akan menolong kalian!" Dalam keadaan seperti itu, batin anak-anak kecil lebih peka dari pada orang tua. Cia Ling memandang wajah yang cantik kemudian tiba-tiba merangkul dan menangis di atas pundak Kim Hong yang lalu memondongnya, "Ceritakan, apa yang telah terjadi" Kami akan menolongmu," kata Thian Sin yang juga sudah turun dari atas kudanya dan menghampiri dua orang anak itu. Agaknya Cia Liong juga sudah dapat mempercayai kedua orang ini yang sama sekali tidak kelihatan seperti orang-orang jahat, "Ayah kami dibunuh siluman..." "Apa...?" Thian Sin terkejut sekali dan berseru keras, membuat Cia Liong terkejut. Kim Hong mengerutkan alisnya dan merengut. "Kasarmu ini!" celanya dan iapun mendekati anak laki-laki itu, "Kenapa ayahmu dibunuh siluman dan di mana" Ceritakan, jangan takut. Kami akan melawan siluman itu!" katanya. "Ayah kami dibunuh malam tadi... dan ibu kami diculik siluman..." "Ahh...!" Kim Hong juga terkejut "Dan bagaimana kalian bisa berada di sini?" "Kami dibawa lari oleh paman Kwee Siu, naik kereta akan tetapi di jalan... di jalan... siluman itu menghadang dan sekarang berkelahi dengan paman Kwee Siu... dan kami melarikan diri..." "Di mana pamanmu itu sekarang?" Thian Sin bertanya. "Di sana..." Cia Liong menuding ke belakang. "Kim Hong, bawa mereka, aku akan ke sana!" Belum habis kata-katanya, orangnya sudah lenyap ketika Thian Sin melompat dan tubuhnya berkelebat lenyap. Kim Hong menuntun dua ekor kuda dan mendudukkan dua orang anak itu di atas punggung kuda, dan iapun menyusul ke arah larinya Thian Sin. Ketika Kim Hong tiba di tempat perkelahian itu, ia melihat Thian Sin sedang berjongkok di de-kat sesosok tubuh yang nampaknya sudah menjadi mayat. Thian Sin sedang berusaha membuat orang yang belum tewas benar itu memperoleh kekuatan dengan jalan menotok sana-sini. Iapun menurun-kan dua orang anak itu dan cepat menghampiri. "Paman Kwee..." Dua orang anak itu menangis dan mengertilah Thian Sin dan Kim Hong bahwa korban ini adalah paman yang melarikan dua orang anak itu, agaknya hendak menyelamatkan mereka dan melarikan dari bahaya, namun tetap saja bahaya maut itu datang menjemput. Akhirnya usaha Thian Sin berhasil. Orang yang dadanya luka oleh tusukan pedangnya sendiri dan pelipisnya retak karena pukulan itu menggerakkan mata dan bibirnya, kemudian dia mengeluh panjang, lalu terdengar suaranya berbisik lemah, "Si... siluman... guha... tengkorak... ahhhh... tewas semua... su... susiok..." Kwee Siu tak mampu melanjutkan kata-katanya karena lehernya terkulai dan nyawanya melayang. "Paman...!" Dua orang anak itu yang dapat menduga apa yang telah terjadi, menangis. Akan tetapi Kim Hong dapat membujuk dan menghibur mereka, membawa mereka ke dalam kereta. Ke-mudian wanita perkasa ini membantu Thian Sin untuk mengubur jenazah Kwee Siu di dalam hutan itu. Mereka berdua maklum bahwa di balik semua ini tentu terdapat rahasia, dan mereka dapat me-rasakan bahaya maut mengancam dua orang anak itu. Oleh karena itulah maka mereka tidak mau ribut-ribut, melainkan diam-diam mengubur jenazah Kwee Siu dan mengambil keputusan untuk menye-lidiki urusan ini dan selain menghukum penjahat--penjahatnya, juga berusaha menolong ibu anak--anak itu yang katanya diculik "siluman". Apa lagi mereka mendengar pesan terakhir paman dua orang anak itu tentang Siluman Guha Tengkorak! Mereka belum pernah mendengar nama ini namun mudah diduga bahwa penjahat-penjahat itu tentulah yang memakai nama Siluman Guha Tengkorak. Setelah selesai mengubur jenazah itu secara sederhana, mereka lalu menghampiri Cia Liong dan Cia Ling yang masih terisak-isak dan nampak bingung. "Anak-anak, jangan kalian khawatir. Kami akan mencari ibu kalian kami akan melindungi kalian. Sebaiknya sekarang ceritakan semuanya agar kami tahu ke mana kami harus mencari ibumu itu," kata Kim Hong dengan suara membujuk. "Sebaiknya katakan dulu, siapakah nama kalian dan siapa ayah kalian?" Thian Sin ikut bertanya sambil mengelus rambut kepala Cia Ling. Cia Liong mengusap air matanya dengan punggung tangannya. "Nama saya Cia Liong dan adik saya ini Cia Ling, ayah kami bernama Cia Kok Heng..." "She Cia...?" Thian Sin membelalak dan di dalam hatinya timbul perasaan mesra terhadap mereka. Hal ini tidaklah mengherankan. Nama keturunan Cia merupakan nama keturunan yang amat dekat di hatinya. Orang-orang she Cia dari keluarga Cia, yaitu keluarga Cia Sin Liong Pendekar Lembah Naga merupakan orang-orang yang paling dicintainya di dalam dunia semenjak dia masih kecil. Oleh karena itu, begitu mendengar bahwa dua orang anak inipun she Cia, timbul perasaan mesra terhadap mereka, walaupun dia tahu bahwa belum tentu persamaan she itu menunjukkan bahwa mereka berdua itu masih keluarga dekat dengan Pendekar Lembah Naga. Apa yang dirasakan oleh Pendekar Sadis Ceng Thian Sin ini juga dirasakan oleh kebanyakan dari kita. Timbulnya karena pengembangan dari si aku. Pementingan diri atau perhatian yang dipusatkan kepada si aku inilah yang menimbulkan rasa suka tidak suka. Si aku tidak hanya terbatas kepada pribadi belaka, melainkan dapat berkembang dan meluas menjadi keluargaku, milikku, sahabatku, golonganku, bangsaku, agamaku dan sebagainya. Jadi, sesungguhnya, si akulah yang dipentingkan atau apapun juga yang menguntungkan atau merugikan aku. Kedua orang anak kecil itupun sudah mempunyai arti yang lain bagi Thian Sin begitu dia mengetahui bahwa mereka itu bermarga Cia! Tentu sikap dan perlakuannya akan jauh berbeda andaikata mereka itu tidak bermarga Cia. Di sini sudah timbul penilaian yang membedakan, timbul pilih kasih, timbul ketidakadilan. Dan segala seuatu yang bersumber kepada pementingan si aku, baik aku sebagai diri pribadi maupun si aku yang telah berkembang, sudah pasti menimbulkan konflik dengan akunya orang lain pula. Biarpun dia sendiri tidak mengetahui dengan jelas duduk persoalannya, namun Cia Liong dapat menceritakan dengan cukup jelas. Bahwa ayahnya menerima ancaman gambar dari Siluman Guha Tengkorak di dinding luar rumah mereka, kemudian ayahnya dan lima orang sahabat ayahnya tewas oleh penyerbuan siluman itu. Kemudian bahwa mereka dibawa lari oleh Kwee Siu akan tetapi di dalam hutan itu dihadang oleh siluman. "Jadi ibumu diculik penjahat malam tadi?" tanya Kim Hong sambil mengerutkan alisnya. Sayang, anak ini tidak tahu mengapa penjahat yang dise-but Siluman Guha Tengkorak itu melakukan perbuatan yang demikian kejamnya. Ia tidak tahu apakah ia menghadapi peristiwa kejahatan biasa ataukah ada sebab-sebab permusuhan di antara si penjahat dan orang tua anak-anak ini. "Ibu dan kami dibawa terbang oleh siluman ke atas genteng, dan kami berdua lalu dilempar ke bawah, untung ada paman-paman yang menyelamat-kan kami. Akan tetapi ibu dilarikan entah ke mana," kata Cia Liong. Anak inipun menceritakan bahwa ayahnya dan enam orang paman itu adalah Tujuh Pendekar Tai-goan. "Kim Hong, kita membagi tugas sekarang. Kau bawalah mereka ini pergi dari sini, sebaiknya kautitipkan kepada keluarga yang boleh dipercaya di luar kota Tai-goan saja. Aku sendiri akan mencoba untuk mencari jejak penjahat itu, siapa tahu dia belum pergi jauh." Kim Hong mengangguk. "Baik, aku akan memakai kereta ini. Dan di mana kita akan bertemu dan kapan?" "Lewat tengah hari di tempat ini. Kita saling menanti sampai sore." Kim Hong mengangguk. Dua orang yang tadi-nya bersendau-gurau seperti kanak-kanak itu kini sama sekali telah merubah sikap. Mereka bicara singkat, bersungguh-sungguh dan agaknya hanya dengan gerak-gerik dan pandang mata saja, mereka telah mampu untuk saling mengerti. Memang, ke-dua orang yang saling mencinta ini selain perasaan cinta kasih yang mendalam satu sama lain, juga memiliki pengertian yang mendalam pula, yang membuat mereka dapat bekerja sama dengan baik dan kadang-kadang bahkan mereka merasa seolah--olah mereka terdiri dari dua badan namun satu perasaan. Kim Hong lalu mengikat kudanya di belakang kereta, kemudian membawa dua orang anak itu pergi meninggalkan hutan, menuju ke kota Tai-goan dengan maksud untuk mencari dusun di luar kota untuk memilih keluarga yang hendak dititipi dua orang anak itu untuk sementara. Sedangkan Thian Sin juga lalu meloncat ke atas pungung kudanya dan mencari-cari jejak di sekeliling tempat itu. Kadang-kadang dia meloncat dari atas kudanya, memeriksa tanah dan rumput dan akhirnya dia menemukan jejak kaki, yaitu ujung sepatu yang menginjak tanah meningalkan bekas atau jejak yang ringan sekali. Dia tahu bahwa pemakai sepatu itu adalah seorang yang memiliki gin-kang yang amat tinggi, walaupun tidak sehebat gin-kang yang dikuasai Kim Hong, namun cukup jelas menyatakan bahwa orang ini merupakan lawan yang tangguh. Maka diapun berhati-hati dan mulai mengikuti jejak itu. Sementara itu, Kim Hong telah menemukan keluarga yang dianggapnya cukup dapat dipercaya untuk dititipi dua orang anak itu. Keluarga petani itu sendiri mempunyai seorang anak kecil berusia lima tahun dan di dusun itu dia dianggap sebagai orang yang dihormati karena dia cukup pandai menulis dan terkenal sebagai orang yang jujur. Kim Hong memberinya uang, bahkan menyerahkan kereta berikut kudanya kepada petani itu dan menitipkan dua orang anak she Cia untuk selama beberapa pekan lamanya. "Jaga mereka baik-baik dan jangan biarkan mereka bermain terlalu jauh, sebaiknya bermain di dalam rumah saja. Setelah urusanku selesai, aku akan datang menjemput mereka," katanya dan kepada dua orang anak itu, Kim Hong berpesan agar mereka itu menutup mulut dan jangan menceritakan kepada siapa juga tentang urusan mereka. "Aku akan mencari ibu kalian sampai dapat." demikian ia menjanjikan. Tentu saja dua orang anak itu merasa girang dan terhibur. *** Menanti merupakan pekerjaan yang paling me-ngesalkan hati dan juga melelahkan. Waktu rasanya berhenti berjalan atau berjalan juga dengan mera-yap perlahan seperti gerak maju seekor siput. Apalagi kalau di balik penantian itu terdapat urusan yang menggelisahkan hati seperti halnya Kim Hong ketika ia menanti datangnya Thian Sin di dalam hutan, di tempat yang telah dijanjikan tadi. Kim Hong membiarkan kudanya makan rumput dan ia sendiri duduk di atas batu besar di tepi jalan. Kadang-kadang matanya ditujukan ke arah gundukan tanah yang menjdi kuburan Kwee Siu, seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan. Berada seorang diri di dekat kuburan baru itu menimbulkan rasa kesepian yang mencekam, menimbulkan bayangan pikiran yang bukan-bukan. Orang yang dikubur itu adalah seorang pendekar, yang agaknya tewas dalam tugasnya sebagai seorang pendekar, dalam usahanya menyelamatkan dua orang anak itu. Begitukah saat terakhir seorang pendekar" Tewas di tempat sunyi, tanpa ada yang mengetahui, bahkan mungkin orang she Kwee ini meninggalkan keluarga yang masih belum tahu akan kematiannya. Betapa menyedihkan! Akan seperti itu jugakah nasibnya" Nasib Thian Sin" Betapa menyedihkan. Tiba-tiba gadis itu menepuk mati seekor semut yang merayap dan menggigit punggung tangannya. Ah, kenapa ia tiba-tiba menjadi selemah itu" Kalau perlu, mati seperti yang dialami oleh orang she Kwee itu boleh saja! Kematian takkan mungkin dapat dihindarkan oleh siapapun juga, soal kapan waktunya merupakan rahasia yang tak terpecahkan dari manusia. Dan mati seperti yang dialami oleh orang she Kwe ini cukup terhormat! Sebagai seorang pendekar yang sedang melaksanakan tugasnya sebagai pendekar, yaitu menolong orang lain, melindungi yang lemah tertindas dan menentang yang kuat menindas. Kalah atau menang dengan akibat mati atau hidup hanyalah akibat dari pada perjuangan dan bukankah hidup ini perjuangan juga" Bukankah kematian mengelilingi kita setiap saat" Bukan kematian yang penting untuk direnungkan, melainkan cara dari kematian itu. Mati dalam kebenaran, mati sebagai seorang pendekar perkasa penentang kejahatan seperti orang she Kwee itu adalah kematian yang patut dibang-gakan dan dikagumi orang. Kematian itu sendiri bukan soal, melainkan suatu kewajaran. Akan tetapi dalam keadaan bagaimana seseorang mati, itulah yang penting. Andai kata yang menanti datangnya Thian Sin di tempat seperti itu bukan seorang wanita seperti Kim Hong, tentu hati wanita itu sudah menjadi kesal bukan main dan tentu akan marah-marah kepada orang yang dinanti-nantinya. Akan tetapi Kim Hong bukanlah seorang wanita cengeng. Sama sekali bukan, bahkan sebaliknya dari pada itu ia seorang pendekar wanita yang gagah perkasa yang biasa mempergunakan akal budinya dan sama sekali tidak menuruti perasaannya dalam menghadapi urusan penting dan gawat. Maka, biarpun ia telah menanti sampai matahari condong ke barat dan Thian Sin belum muncul, ia sama sekali tidak pernah mempunyai perasaan menyalahkan pemuda itu. Kepercayaannya terhadap Thian Sin sudah penuh dan tidak dapat diragukan lagi seperti juga kepercayaan pemuda itu terhadap dirinya. Ia merasa yakin bahwa kalu Thian Sin belum muncul, hal itu hanya berarti bahwa pemuda itu memang belum sempat dapat datang, dan ini berarti bahwa kekasihnya itu telah menemukan sesuatu dalam penyelidikannya! Dan, biarpun kecil sekali kemungkinannya karena ia tahu dan mengenal benar orang macam apa adanya Thian Sin, bisa saja terjadi bahwa kekasihnya itu mendapatkan halangan! Hal inilah yang dipikirkan dan setelah hari mulai gelap, kekhawatiran mulai menyelubungi hatinya. Satu-satunya jalan baginya hanya menyelidiki dan menyusul! Akan tetapi, menyelidiki jejak kaki kuda yang ditunggangi Thian Sin tidak mungkin dilakukan di malam hari, maka tidak ada jalan baginya kecuali menanti sampai terlewatnya malam itu. Malam yang tidak menyedapkan hati! Malam sunyi sepi, di dekat kuburan baru, menanti datangnya orang yang tak kunjung muncul. Untung masih ada kudanya, setidaknya merupakan makhluk yang membuktikan adanya kehidupan yang dapat bergerak, Kim Hong membuat api unggun, mencoba untuk tidur akan tetapi bayangan tentang Thian Sin tertimpa bencana menggoda pikirannya sehingga harapan satu-satunya hanyalah agar malam itu cepat berlalu dan ia dapat segera mulai menyusul kekasihnya. Malam seperti itu tentu menjadi malam yang menyeramkan dan menakutkan bagi orang lain, apalagi bagi seorang wanita yang berada di tempat sunyi seorang diri saja. Orang mudah dihinggapi rasa takut di tempat sunyi, apalagi di malam hari yang amat gelap seperti itu, lebihlebih pula kalau di situ terdapat sebuah kuburan yang baru siang tadi diisi jenazah yang mandi darah, pula kalau diketahui bahwa ada musuh yang amat tangguh dan berbahaya yang mungkin saja mengancam diri. Namun, seorang pendekar seperti Toan Kim Hong sudah dapat mengatasi rasa takut ini. Seperti para pendekar lainnya, dara ini sudah maklum apa yang menimbulkan rasa takut, maka iapun dapat meniadakan sebab timbulnya rasa takut ini. Setiap orang biar yang tidak memiliki ilmu silat seperti Kim Hong, tidak memiliki andalan untuk melindungi diri sebaiknya, dapat saja menjadi orang yang memiliki ketabahan dan ketenangan hati seperti Kim Hong! Yang perlu diselidiki adalah rasa takut itu sendiri. Apakah rasa takut itu" Dan dari mana timbulnya" Rasa takut tidak terpisah dari pada batin, karena rasa takut adalah keadaan batin itu sendiri pada saat itu. Rasa takut timbul karena ingatan membayangkan sesuatu yang akan amat tidak menyenangkan diri. Rasa takut tidak pernah terpisah dari bayangan yang diciptakan oleh pikiran yang mengingat-ingat hal-hal yang lalu dan bayangkan hal-hal yang mungkin terjadi di masa depan. Rasa takut sudah pasti merupakan pengintaian atau penjengukan masa depan yang dibayangkan itu, atau rasa takut itu tentu takut akan sesuatu yang tidak ada atau belum ada! Yang takut akan setan belum melihat setan itu sendiri, takutnya timbul karena pikiran membayangkan kemungkinan munculnya setan. Demikian pula yang takut akan bencana tentu belum tertimpa bencana itu, takut akan kematian tentu karena hal yang ditakutkan itu belum ada maka timbullah bayangan-bayangan yang mengerikan. Orang yang tidak membayangkan setan tak mungkin takut akan setan, yang tidak membayangkan kematian tak mungkin takut kematian dan sebagainya. Hal ini merupakan kenyatan yang dapat kita selidiki sendiri. Jadi jelaslah bahwa rasa takut adalah bayangan pikiran yang dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, baik pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain, kemudian pikiran menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang tidak menguntungkan diri. Timbullah rasa takut. Dan rasa takut ini sama sekali tidak ada manfaatnya bagi hidup. Bahkan rasa takut ini membuat kita kehilangan kewaspadaan, segala tindakan kita terpengaruh olehnya. Biasanya kita menghadapi rasa takut sebagai sesuatu yang terpisah dari pada batin kita. Kita ingin menghindari rasa takut, maka muncullah hiburan-hiburan untuk melupakan hal-hal yang mendatangkan rasa takut itu. Akan tetapi hal ini hanya merupakan pelarian yang sia-sia belaka. Rasa takut akan setan umpamanya, tidak mungkin lenyap hanya dengan melarikan diri dari rasa takut, dengan jalan menghiburnya, mencari teman, pergi ke tempat ramai dan sebagainya. Lain saat rasa takut itu akan muncul lagi setiap kali pikiran kita membayangkan tentang kengeriankengerian bertemu setan. Mengapa tidak kita hadapi saja rasa takut itu" Kita amati saja kalau rasa takut itu sewaktu-waktu muncul dan ini merupakan sesuatu yang teramat menarik dan teramat berharga untuk diselami dan dihayati sendiri. Kalau rasa takut muncul, baik rasa takut akan setan, rasa takut akan bencana, malapetaka, maupun rasa takut akan kematian, mengapa tidak kita hadapi saja rasa takut itu tanpa ingin melarikan diri darinya" Hadapi saja, amati saja penuh perhatian sehingga kita dapat melihat dengan sepenuhnya, dapat mengerti sepenuhnya, apa sesungguhnya rasa takut itu sehingga bukan kita yang menghindarkan diri dari rasa takut melainkan rasa takut itu sendiri yang lenyap dari lubuk hati kita" Mengapa kita tidak membebaskan diri saja dari rasa takut yang dapat menimbulkan berbagai macam akibat dalam sikap dan tindakan dalam hidup kita" Semalam suntuk Kim Hong hanya duduk bersila di dekat api unggun, tak pernah bergerak seperti patung. Hanya kadang-kadang saja kalau harus menambah kayu bakar, ia bergerak sebentar kemudian duduk lagi. Suara api membakar kayu menimbulkan suara dan menarik perhatiannya sehingga tidak mendengar suara lain dan tidak tahu bahwa ada sosok tubuh orang menyelinap di antara pohon-pohon di sekelilingnya dan ada sepasang mata mengintainya sejak tadi. Ketika itu, malam telah hampir habis dan fajar telah menyingsing di ufuk timur. Akan tetapi karena nyamuk masih belum meninggalkan tempat yang masih gelap itu, Kim Hong masih terus menyalakan api unggun dan duduk dengan tenangnya, hatinya mulai gembira melihat bahwa di sebelah timur telah mulai nampak sinar kemerahan. Ringkik kudanya yang mula-mula membuatnya waspada. Cepat ia mencurahkan perhatiannya ke sekeliling dan pandang matanya yang tajam itu menangkap berkelebatnya bayangan di balik pohon di sebelah kirinya. Kudanya mendengus-dengus dan Kim Hong mengambil sikap tenang, pura-pura tidak tahu bahwa waktu itu ada orang yang mengintainya. Mengapa orang itu mengintai saja dan tidak turun tangan sejak tadi, pikirnya. Apa-kah munculnya orang ini ada hubungannya dengan penjahat yang menculik ibu dua orang anak itu" Ataukah ada hubungannya dengan menghilangnya Thian Sin" Kalau orang itu adalah si penjahat yang suka menculik wanita, mungkin sekali dia mengintaiku untuk kemudian turun tangan menangkap dan menculikku. Akan tetapi kalau ada hubungannya dengan menghilangnya Thian Sin, kalau orang itu sudah tahu akan kelihaian Thian Sin, mungkin sekali diapun berhati-hati kepadanya. Sungguh tidak enak menanti dan menduga-duga seperti ini. Lebih baik memberi kesempatan dan memancing agar orang itu bergerak turun tangan. Api unggun mulai padam, sengaja dibiarkan saja oleh Kim Hong dan dalam duduknya, dara itu kelihatan melenggut. Kemudian ia membiarkan dirinya, diserang hawa dingin pagi, menggigil sedi-kit lalu menguap, menutupkan punggung tangan depan mulut, lalu merebahkan dirinya bersandar pada batang pohon dan tidur. Sikap dan gerakannya demikian wajar sehingga siapapun juga tentu akan menduga bahwa gadis ini merasa kedinginan dan mengantuk dan dengan mudahnya jatuh pulas ketika merebahkan diri dan bersandar pada batang pohon itu. Dan agaknya, orang yang mengintainya dari balik batang pohon itupun menduga demikian. Dia membiarkan sampai gadis itu tertidur selama setengah jam, barulah dengan gerakan kaki yang amat ringan dia keluar dari balik pohon dan menghampiri. Sejenak dia berdiri memandang wajah dan tubuh yang terlentang di depannya itu dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar kagum. Memang, melihat Kim Hong rebah terlen-tang setengah duduk bersandar batang pohon di pagi hari itu merupakan pemandangan yang indah menarik. Hati siapa takkan tergerak melihat tubuh yang padat dan matang itu setengah terlentang, dan melihat wajah yang luar biasa cantiknya itu, sedikit tertutup uraian rambut, dengan mata terpejam dilindungi bulu mata yang lentik, bibirnya kemerahan mengulum senyum, lehernya yang panjang itu nampak terbuka sehingga kulit leher putih mulus itu menantang pandang mata" Adapun Kim Hong sejak tadi sudah melihat orang dan jantungnya berdebar tegang. Orang itu adalah seorang laki-laki yang memakai sutera putih dan di dadanya terdapat lukisan tengkorak dari tinta merah atau darah, dan muka orang itu memakai topeng tengkorak pula! Sungguh mengerikan dan tentu akan menakutkan orang melihat siluman ini muncul di pagi hari buta dan di tempat sunyi seperti itu. Akan tetapi, di dalam hatinya, Kim Hong memasa geli, akan tetapi juga marah. Inikah orangnya yang telah membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan, dan sudah menculik ibu dua orang anak itu" Apakah dia ini berhasil menghindarkan diri dari pencarian Thian Sin, kemudian malah datang ke sini untuk menculiknya" Orang bertopeng itu agaknya puas memandang Kim Hong dan diapun mengangguk-angguk, lalu mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dari dalam saku bajunya. Dia melangkah dekat, lalu kertas dari dalam itu dibukanya dan begitu dia mengebutkan kertas itu, bubukan berwarna merah berhamburan ke arah muka Kim Hong! Akan tetapi, pada saat itu, Kim Hong sudah bergerak dengan amat cepatnya, meloncat dan menggunakan kakinya untuk menendang. "Wuuuttt...! Dukkk!" Tubuh orang bertopeng itu terpelanting dan terlempar ke belakang. Tentu saja siluman itu terkejut setengah mati. Sama sekali tidak pernah diduganya bahwa dara yabg cantik jelita itu, yang nampak tidur pulas, tahu-tahu dapat mengirim tendangan yang demikian cepat dan hebatnya. Dia tadi masih mampu menangkis, akan tetapi karena kurang cepat dan kurang mengerahkan tenaga, tendangan yang luar biasa kuatnya itu membuat tubuhnya terpelanting bahkan terlempar ke belakang. Akan tetapi, begitu tubuhnya terbanting, cepat orang itu sudah mampu meloncat bangun kembali! Dan dia menjadi semakin heran melihat betapa gadis itu tidak terpengaruh oleh bubuk obat biusnya! Padahal bubuk obat bius merah itu amat kuat dan sukar dilawan oleh orang yang pandai sekalipun. Dia tadi tidak melihat betapa dengan sehelai saputangan, Kim Houg mengebut bubuk merah itu dengan pengerahan sin-kang sehingga bubuk merah itu tertiup pergi dan tidak ada yang mengenai mukanya. Karena kecelik, siluman itu agaknya merasa penasaran sekali. Dia mengeluarkan gerengan marah dan tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan dan diapun sudah menyerang Kim Hong dengan dahsyat. Tangan kananya meraih ke arah leher seperti hendak mencengkeram, sedangkan jari tangan kirinya meluncur dan menotok ke arah jalan darah di pundak. Totokan ke arah pundak inilah yang bahaya karena selain "tertutup" oleh cengkeraman tangan kanan, juga yang diarah itu jalan darah yang penting dan yang akan membuat orang yang kena ditotoknya menjadi lemas takkan mampu bergerak lagi! Akan tetapi, tentu saja serangan mnacam itu bukan apa-apa bagi Kim Hong. Gadis ini sudah dapat mengukur dalam tendangannya tadi bahwa walaupun siluman ini memiliki kepandaian lumayan dan lebih dari pada penjahat-penjahat biasa, yang memiliki tubuh yang kuat, namun bukan merupakan lawan yang terlalu tangguh baginya. Oleh karena itu, Kim Hong menjadi marah dan ingin mempermainkan lawan, ingin menghajarnya, baru kemudian ia akan melucuti kedoknya dan akan memaksanya mengaku tentang peran Siluman Guha Tengkorak dan ibu anak-anak yang telah diculiknya itu. Maka, begitu serangan itu datang, ia menyambutnya dengan mudah sekali tanpa mengerahkan banyak tenaga dan kecepatan, ia telah dapat menghindarkan diri dari dua serangan itu. Ia sengaja tidak mau membalas dan membiarkan siluman itu menyerangnya secara bertubi-tubi untuk mengukur sampai di mana tingkat kepandaian lawan. Setelah ia membiarkan lawannya menyerangnya sampai belasan jurus, iapun mengerti bahwa lawan ini memiliki dasar ilmu silat campuran dan tidak dapat digolongkan sebagai seorang ahli yang sudah matang. Maka, iapun ingin menghentikan perkelahian itu dan ketika orang itu menyerangnya lagi dengan tangan kanan mencengkeram ke arah dada, serangan yang sungguh tak tahu malu dari seorang lawan pria terhadap seorang wanita, Kim Hong sudah menyelinap ke samping dan begitu kakinya melayang, ia telah menendang perut orang itu dengan keras. "Desss...!" Tubuh orang itu melayang untuk kedua kalinya, sekali ini melayang jauh dan terbanting jatuh dekat dengan kuda tunggangan Kim Hong yang menjadi kaget dan meringkik. Tendangan tadi amat keras dan biarpun Kim Hong tidak bermaksud membunuhnya, atau belum lagi, namun tendangan itu cukup hebat untuk membuat orang itu memuntahkan darah segar dari mulutnya. Akan tetapi, memang orang itu memiliki tubuh yang kuat dan tahan uji, karena begitu terbanting jatuh, dengan mulut mengeluarkan darah, dia sudah meloncat dan tahu-tahu dia sudah berada di atas punggung kuda tunggangan Kim Hong. Kuda itu-pun dibedalkannya dengan cepat sekali meninggalkan tempat itu. "Hei, badut keparat! Hendak lari ke mana engkau?" Kim Hong terkejut dan marah sekali, lalu menggerakkan kedua kakinya mengejar. Dara ini seorang ahli gin-kang dan gerakannya luar biasa cepatnya, larinya tidak kalah oleh larinya kuda. Akan tetapi karena siluman itu nampaknya jerih sekali dan tidak mau tersusul, kuda itu dibalapkannya dan dipukulinya dengan tangan terbuka sehingga kuda itu berlari amat cepat. Kim Hong terus mengejar, bukan saja hendak menangkap si penjahat melainkan juga untuk mendapatkan kembali kudanya. Kini kuda itu meninggalkan jalan dan memasuki hutan. Kim Hong tetap mengejarnya sampai si penunggang kuda itu tiba di tepi jurang, jurang yang menganga lebar dan dalam, selebar kurang lebih empat tombak. Dan Kim Hong melihat siluman itu terus saja membedalkan kudanya, bahkan membawa kudanya meloncati jurang! "Heii, jangan...!" Kim Hong berteriak karena dari jauh saja ia sudah melihat bahwa perbuatan itu merupakan tindakan nekat dan mempertaruh-kan nyawa dengan sia-sia. Jurang itu terlalu lebar untuk dapat diloncati oleh kudanya. Kuda itu kini "terbang" di atas jurang dan dengan mata terbelalak Kim Hong berhenti dan memandang, melihat betapa kaki depan kuda itu memang telah menca-pai tepi jurang di seberang, akan tetapi karena sebagian besar badannya yang belakang belum sampai, maka kuda itu terjengkang dan bersa-ma dengan penunggangnya meluncur jatuh ke da-lam jurang yang amat dalam itu! Kim Hong me-ngepal tinju dan lari ke tepi jurang, menjenguk ke bawah dan ia melihat betapa kuda dan penunggangnya terbanting-banting ke lereng bukit yang berbatu-batu, kemudian berhenti dan tidak bergerak--gerak lagi. "Keparat!" Kim Hong mendesis dan ia merasa kecewa sekali dan menyesal mengapa tidak dari tadi ia merobohkan saja orang itu agar dapat dikorek keterangan darinya. Sekarang, bukan saja penjahat itu telah mati dan tidak ada gunanya lagi, juga kudanya ikut mati. Terpaksa ia kembali ke tempat tadi dan mulailah ia mencari jejak kuda yang ditunggangi Thian Sin kemarin siang. Tidak mudah mencari jejak kuda yang sudah lewat sehari semalam. Rumput yang diinjak kuda sudah berdiri lagi dan menutupi jejak pada tanah. Untung baginya, tanah di hutan itu lembab dan hal ini membuat jejak kaki kuda itu agak tahan lama. Dengan hati-hati ia mencari, menemukan jejak kaki kuda itu dan mengikutinya dengan jalan kaki. Ia harus menemukan Thian Sin. Ia tidak percaya bahwa riwayat Siluman Guha Tongkorak akan habis begitu saja bersama jatuhnya orang tadi dengan kudanya ke dalam jurang. Kalau siluman atau penjahat itu hanya seorang seperti itu kepandaiannya, tidak mungkin orang-orang yang sudah dijuluki Tujuh Pendekar Tai-goan begitu mudah dibunuhnya. Apa lagi, tidak mungkin kalau Thian Sin sampai tidak mampu menemukannya setelah pemuda itu mencari selama sehari semalam. Tentu ada apa-apa di balik semua ini, ada kekuatan yang jauh lebih hebat dari pada sekedar penjahat bertopeng tengkorak tadi. Tanpa setahu Kim Hong, jejak kuda yang ditunggangi Thian Sin itu membawanya kepada daerah Guha Tongkorak! Ia tidak menyadari hal ini karena memang ia tidak mengenal daerah itu. Tidak ada kesempatan baginya dan juga bagi Thian Sin untuk menyelidiki keadaan Siluman Guha Tengkorak yang baru pertama kali mereka dengar dari mulut Kwee Siu ketika pendekar itu dalam keadaan sekarat. Peristiwa demi peristiwa terjadi susul menyusul demikian cepatnya. Mula-mula pertemuan mereka dengan dua orang anak-anak yang mengatakan bahwa ayah dan pamanpaman mereka terbunuh siluman dan bahwa ibu mereka terculik. Kemudian pertemuan mereka dengan Kwee Siu yang menghadapi maut. Lalu menghilangnya Thian Sin yang mengikuti jejak siluman dan tak kunjung kembali ke dalam hutan seperti yang telah mereka janjikan. Dan munculnya siluman yang mencoba untuk membiusnya, kemudian berakhir dengan kematian mengerikan bagi siluman itu sebelum Kim Hong sempat membuka rahasianya. Semua itu terjadi dalam waktu semalam saja dan kini ia telah mengikuti jejak kekasihnya. Melihat keadaan yang liar dan sunyi dari tempat ke mana jejak itu membawanya, Kim Hong mulai merasa khawatir. Agaknya ia dibawa ke tempat yang berbahaya, karena makin lama tempat itu semakin sunyi. Tak nampak ada seorangpun manusia dan ketika jejak itu tiba di tepi Sungai Fen-ho yang berbatubatu karang, jejak itupun lenyap. Tentu Thian Sin melanjutkannya dengan jalan kaki, pikirnya. Jalan itu mendaki tebing dan amat sukar dilalui manusia, apalagi kuda. Kim Hong tidak melanjutkan perjalanannya. Ia meragu, karena tidak tahu ke mana ia harus melanjutkan perjalanan. Yang berada di depannya itu merupakan jalan pendakian ke sebuah tebing yang curam dan ia tidak tahu ada apa di balik tebing atau di sebelah atas itu. Ia tidak tahu ke mana Thian Sin melanjutkan perjalanannya dan tidak dapat menduga apa yang telah terjadi setelah kekasihnya itu tiba di tempat ini. Tiba-tiba ketika ia memeriksa keadaan sekeliling dan melihat-lihat, di atas bukit kecil di sebelah kiri terdapat sebuah bangunan kuil kecil kuno yang berdiri terpencil. Agaknya sebuah kuil yang tidak dipergunakan lagi, dan mungkin saja untuk tempat tinggal seorang pertapa atau bukan tidak mungkin tempat terpencil itu menjadi tempat persembunyian penjahat! Timbul semangatnya karena ia berpendapat bahwa kalau Thian Sin tiba di sini dan melihat kuil itu tentu kekasihnya itupun akan mengunjungi dan memeriksa tempat itu sebagai langkah pertama dalam penyelidikan mengenai Siluman Guha Tengkorak itu. Kim Hong lalu mulai mendaki tebing yang amat sukar itu. Akan tetapi karena ia memiliki gin-kang yang amat hebat, ia dapat mendaki tempat itu dengan cepat dan tak lama kemudian, tanpa banyak kesukaran ia telah tiba di pekarangan kuil kuno. Akan tetapi, pekarangan itu ada bersih ada bekas sapuan di situ. Hal ini menandakan bahwa tempat itu berpenghuni! Siapa tahu penghuninya adalah penjahat yang dicari-carinya. Pikiran ini membuat Kim Hong bersikap hatihati dan iapun menyelinap dan menghampiri kuil kuno itu dari belakang. Ketika ia melihat seekor kuda ditambatkan di bagian belakang dari kuil itu, jantungnya berdebar tegang dan girang. Ia mengenal kuda itu, kuda tunggangan Thian Sin! Dihampirinya kuda itu dan ditepuk-tepuk punggungnya. Kuda itupun mengenal Kim Hong dan membelai tangan dara itu dengan mukanya. Ah, kalau saja kuda ini mampu bicara, tentu banyak yang diceritakannya dan ia tidak perlu bingung-bingung mencari tahu apa yang telah terjadi dengan Thian Sin sehingga pemuda itu tidak kembali ke hutan. "Hei, siapa yang berani mencoba mencuri kuda?" Kim Hong terkejut dan cepat membalikkan tu-buhnya. Kiranya yang menegurnya itu adalah seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun, berpakaian seperti seorang tosu, tubuhnya kurus dan kedua pipinya cekung sehingga tanpa kedok tengkorak sekalipun muka itu sudah hampir mendekati bentuk tengkorak. Tapi kakek itu jelas orang tosu, bukan orang penjahat yang memakai jubah putih bergambar tengkorak, tidak pula memakai kedok. Akan tetapi Kim Hong bermaksud mengejutkan hati pendeta itu dengan pertanyaan yang tiba-tiba datangnya. "Totiang, ke mana perginya pemilik kuda ini?" Tosu itu berjalan menghampiri dan sejenak memandang Kim Hong penuh perhatian. "Pemilik kuda ini" Ahh, apakah nona yang menjadi sahabatnya dan yang malam tadi menunggunya di dalam hutan?" Kim Hong mengangguk dan memandang tajam. "Totiang, ke mana perginya sahabatku itu" Mengapa dia tidak kembali ke hutan?" "Ah, ah, pinto telah menanti-nantimu, nona. Pinto merasa khawatir sekali akan nasib kongcu itu..." "Ada apakah, totiang" Harap suka cepat ceritakan!" Kim Hong tertarik sekali dan juga merasa khawatir. "Kemarin siang kongcu yang menjadi sahabatmu itu datang ke sini dan menitipkan kudanya ini. Kemarin dia menanyakan jalan menuju ke Guha Tengkorak." Dia berhenti sebentar dan memandang jauh ke depan dengan sinar mata kosong akan tetapi mengandung rasa takut. "Lanjutkanlah, totiang." Kim Hong mendesak tak sabar. "Pinto sudah memperingatkan bahwa tempat itu bukan merupakan tempat pesiar melainkan tempat berbahaya sekali yang tidak pernah dikunjungi orang. Akan tetapi dia membujuk pinto dan akhirnya pinto mengantarnya ke daerah itu. Ketika kami tiba di sana, pinto sudah mengajaknya untuk segera pulang saja, akan tetapi kongcu itu memaksa hendak memasuki sebuah guha besar di sana. Pinto memperingatkan dan mencegahnya, akan tetapi kongcu itu nekat memaksa, bahkan meninggalkan pesan kepada pinto bahwa dia mempunyai seorang teman wanita yang menanti di dalam hutan, dan kalau pinto bertemu dengan nona agar pinto memberitahukan semuanya. Nah, pinto tidak berhasil membujuknya dan diapun memasuki guha. Pinto menunggu di luar guha sampai malam dan dia belum juga keluar. Terpaksa pinto pulang sendirian..." Kim Hong mengerutkan alisnya. "Apakah totiang tidak menyusul dan memanggilnya?" Tosu itu nampak terkejut. "Ah, nona belum tahu rupanya. Tempat itu amat keramat dan juga berbahaya. Kalau pinto tahu bahwa kongcu itu hendak memasuki guha, tentu pinto tidak berani dan tidak mau mengantarnya. Guha-guha itu merupakan guha-guha keramat yang tak pernah di datangi manusia dan kabarnya siapa yang berani masuk guha takkan dapat keluar kembali. Mana pinto tidak berani memasukinya untuk menyusul kongcu." "Hemm, apakah totiang pernah mendengar tentang Siluman Guha Tengkorak" Di situkah sarangnya?" Tosu itu menggeleng kepala. "Pinto hanya tahu bahwa tempat seperti itu sudah pasti menjadi sarang para siluman dan iblis. Ah, pinto khawatir kalau-kalau kongcu telah mengalami hal-hal yang tidak baik dan tertimpa malapetaka di dalam guha itu..." "Totiang, kalau begitu tolong antar saya ke tempat itu!" Kim Hong yang merasa khawatir sekali itu mendesaknya. "Apa..." Nona... nona hendak menyusul ke sana?" "Benar, akan saya susul dia ke dalam guha! Habis, kalau tidak ada yang berani memasuki guha menyusulnya, bagaimana dapat menemukannya?" "Tapi itu berbahaya sekali, nona! Pinto tidak berani!" "Totiang tidak usah masuk, biar aku sendiri yang masuk!" kata Kim Hong agak jengkel melihat pendeta itu ketakutan, padahal dari gerak-gerik pendeta ini dapat menduga bahwa pendeta ini bukanlah orang sembarangan, bukan orang yang lemah. "Tapi itupun berbahaya sekali, nona. Lihat, kongcu masuk ke dalam guha dan tidak keluar lagi. Kalau sekarang nona juga masuk ke sana dan terjadi apa-apa, bukankah pinto yang menerima dosanya" Sebaiknya kalau nona minta bantuan susiok..." "Susiok" Siapa dia?". "Pinto mempunyai seorang susiok (paman guru) yang pandai melihat hal-hal jauh, pandai melihat hal-hal yang telah lampau. Susiok tentu akan dapat membantu kita memberi tahu bagaimana keadaan kongcu sekarang dan di mana dia berada." Kim Hong tidak mau mempercaya segala macam ketahyulan dan segala macam ilmu ramalan ini. Yang penting ia harus turun tangan mencari dan kalau perlu menolong Thian Sin. Tentu telah terjadi sesuatu dengan pemuda itu. "Tidak, totiang, aku mau mencarinya sendiri. Mari totiang tunjukkan di mana tempatnya. Totiang tidak usah mencampuri, aku akan mencarinya sendiri." Kakek itu menarik napas panjang dan setelah menggeleng-geleng kepalanya diapun berkata, "Siancai... orang-orang muda sekarang sungguh mem-punyai hati yang keras dan berani. Selama ini pinto hidup tenteram di sini, akan tetapi sekarang pinto melihat orang-orang muda seperti kongcu dan nona berani menempuh bahaya. Sungguh membuat hati pinto berduka dan penasaran. Marilah, nona, pinto antarkan ke daerah Guha Tengkorak." Berangkatlah mereka dan ternyata jalan yang mereka lalui sekarang jauh lebih sukar dari pada jalan menuju ke kuil kuno yang dilalui Kim Hong seorang diri tadi. Dan di sini dara perkasa itu mendapatkan kenyataan bahwa dugaannya memang benar, tosu itu bukan seorang lemah karena dapat berjalan melalui jalan yang sukar, terjal dan licin, dan untuk dapat melalui jalan seperti ini membutuhkan gin-kang yang lumayan. Maka, di tengah perjalanan mendaki tebing iapun tidak dapat menahan keinginan tahunya. "Kulihat totiang bukan seorang lemah dan juga memiliki ilmu kepandaian, kenapa totiang begitu ketakutan terhadap Guha Tengkorak" Ada apanya sih di sana?" Pendeta itu berhenti dan berpegang pada batu karang yang menonjol. "Aih, apa, sih artinya kepandaian manusia kalau harus berhadapan dengan para siluman?" Lalu dia berjalan lagi dan sekali ini dia bergerak lebih cepat, agaknya hendak meninggalkan Kim Hong atau menurut persangkaan dara itu, si tosu sengaja memperlihatkan kepandaian atau sengaja hendak mencoba dan mengujinya. Kim Hong tentu saja menganggap perjalanan itu mudah saja dan kalau ia mau, ia dapat bergerak cepat, jauh lebih cepat dari pada si tosu. Akan tetapi ia tidak mau memamerkan kepandaian dan iapun bergerak mengikuti tosu itu saja. Akhirnya, tibalah mereka di daerah berbatu-batu, di depan mereka terbentang dinding batu karang yang tinggi dan penuh dengan guha-guha yang bentuknya menyeramkan, karena banyak di antara guha guha itu yang bentuknya seperti tengkorak manusia. "Inikah Guha Tengkorak...?" Kim Hong ber-tanya, seperti kepada diri sendiri ketika melihat kakek itu berhenti bergerak dan memandang ke arah dinding karang yang tinggi dan panjang itu. Memang tempat itu amat sunyi dan kering kerontang, tempat yang terpencil dan sukar sekali didatangi. Tempat yang patut menjadi tempat sembunyi sebangsa siluman atau setidaknya para penjahat besar yang hendak menghindarkan diri dari pengejaran. "Lalu di guha yang manakah temanku itu masuk"- "Di guha yang sana itu, nona. Tapi... tapi nona jangan masuk... ah, berbahaya sekali, nona." "Bagaimana totiang tahu bahwa masuk ke sana berbahaya?" Kim Hong bertanya secara tiba-tiba dan menatap tajam wajah kakek itu. "Bukankah kongcu masuk ke sana dan tidak keluar lagi" Bagaimana kalau nona juga tidak keluar lagi?" "Sudahlah, lebih baik totiang kembali saja dan biarkan aku sendiri mencari temanku. Jadi, di guha itu masuknya?" "Benar, nona. Dan pinto akan menanti di sini..." Kim Hong sudah berloncatan menuju ke guha yang ditunjukkan oleh kakek itu. Sebuah guha yang bentuknya seperti tengkorak dan keli-hatan hitam gelap karena sinar matahari tidak dapat memasukinya. Ia bersikap waspada, mengerahkan sin-kangnya dan memasuki guha itu dengan seluruh urat syaraf tubuhnya siap siaga mengha-dapi segala kemungkinan. Di tempat seperti ini mungkin saja dipasangi alat-alat rahasia dan jebakan-jebakan, pikirnya. Akan tetapi kkhawatirannya itu tidak terbukti. Di dalam guha itu ti-dak ditemukan apa-apa. Guha yang lebar dan dalam, akan tetapi kosong dan penyelidikannya terbentur pada dinding-dinding batu guha itu. Tidak terdapat terowangan atau pintu rahasia, tidak terdapat jebakan-jebakan dan di situ ia tidak menemukan jejak Thian Sin. Dengan kecewa iapun keluar lagi dan ternyata tosu itu masih menanti di tempat yang tadi. Melihat ia muncul kembali, tosu itu cepat menghampiri. Siancai... siancai... sungguh gembira sekali hati pinto melihat nona keluar dalam keadaan selamat!" "Totiang, benarkah temanku itu masuk ke dalam guha ini?" "Benar, nona." "Tapi, tidak kutemukan apa-apa di dalamnya. Guha biasa dan tidak ada jalan tembusan. Bagaimana mungkin temanku itu lenyap begitu saja di dalamnya?" "Aih, nona, di tempat seperti ini... apakah yang tidak mungkin" Siapa tahu akan rahasianya. Yang dapat membantu dan menerangkan nona pinto rasa hanyalah susiok pinto itu seorang. Kalau nona mau, mari pinto antarkan nona ke sana menjumpainya." Hati Kim Hong mulai tertarik. Kalau ia sendiri harus mencari tanpa adanya jejak sama sekali, mana mungkin" Tempat ini penuh dengan guha-guha dan daerah ini berbatu-batu, tidak nampak sedikitpun jejak Thian Sin. Pemuda itu lenyap secara aneh di dalam guha yang biasa saja. Ataukah kakek ini yang berbohong kepadanya" Dan kakek ini menjanjikan bantuan melalui seorang susioknya yang pandai ilmu sihir. Hemm, sungguh mencurigakan, dan menarik. Ada dua kemungkinan yang menguntungkan baginya, pertama, siapa tahu kalau-kalau paman guru dari pendeta ini benar--benar sakti dan dapat memberitahu di mana ada-nya Thian Sin, ke dua, andaikata pendeta ini ber-bohong, tentu ada sebabnya dan tentu ada hubung-annya dengan lenyapnya Thin Sin. Inilah agaknya jejak satu-satunya yang harus ditelusurinya dan di-hadapinya, walaupun bukan tidak mungkin ia akan menghadapi bahaya. Untuk menolong Thian Sin, ia sanggup manghadapi bahaya yang bagaimana-pun juga besarnya. "Baiklah, totiang. Tentu saja aku mau memperoleh bantuan untuk dapat menemukan sahabatku itu. Akan tetapi aku belum mengenal totiang dan susiok dari totiang itu..." "Nama pinto Siok Cin Cu dan sudah bertahun-tahun pinto bertapa di kuil itu, hidup tenteram sampai munculnya kongcu dan nona. Adapun susiok pinto itu adalah seorang pertapa tua yang tidak lagi mau dikenal namanya, akan tetapi tentu saja nona boleh mencoba untuk bertanya kepada beliau kalau berhadapan sendiri. Beliau tidak lagi mau berurusan dengan orang luar, akan tetapi kalau pinto yang membawa nona menghadap, tentu beliau akan mau menolong nona. Hanya susiok sajalah yang akan dapat mengetahui di mana adanya teman nona itu. Marilah, nona." Kim Hong mengikutinya dan diam-diam ia berpikir. Mengapa tosu ini tidak pernah menanyakan namanya atau nama Thian Sin" Sikap ini menunjukkan sikap tidak perduli, akan tetapi di lain pihak, kakek ini mau bersusah payah mengantar mereka ke guha dan juga kini berusaha untuk menolong dengan membawanya kepada susioknya. Ini menunjukkan sikap yang sangat perduli. Dan bilamana ada sikap yang amat bertentangan ini, tentu ada apa-apanya! Atau tosu ini memang orang aneh sekali atau memang bermain sandiwara. Dan sebaiknya kalau iapun ikut saja bermain sandiwara agar dapat melihat apa yang sedang terjadi di balik layar. *** Gubuk kecil itu berada di atas bukit di balik dinding batu karang. Letaknya mengingatkan Kim Hong pada kuil tempat tinggal Siok Cin Cu, yaitu di puncak bukit dari mana dapat nampak pemandangan di bawah, sampai ke permukaan Sungai Fen-ho dengan jelasnya. Sebuah tempat penjagaan yang amat baik, seperti juga di kuil itu, pikir Kim Hong. Mereka tiba di depan gubuk kecil panjang itu menjelang sore. "Harap nona menanti sebentar di luar, pinto hendak menghadap dan membujuk susiok agar suka menerima nona. Kim Hong mengangguk, akan tetapi ketika tosu itu memasuki pintu depan pondok, ia cepat mempergunakan gin-kangnya untuk menyelinap mendekati pondok dan memasukinya dari belakang. Pondok itu kecil akan tetapi panjang dan ketika ia mendengar suara orang bercakapcakap dari ruangan dalam, ia cepat mengintai dari balik jendela. Ia melihat sebuah ruangan panjang yang gelap, dan Siok Cin Cu telah berada di situ, berlutut di atas lantai di depan seorang pendeta lain yang duduk di tempat yang gelap, hanya nampak bentuk tubuhnya saja yang jangkung dan sepasang matanya yang seperti mencorong di dalam gelap. Pendeta itu, yang dapat dikenal dari pakaiannya yang seperti jubah kebesaran, duduk bersila di atas bantalan bundar, tidak bergerak seperti arca yang menyeramkan karena matanya seperti mata harimau, atau seperti mata setan. "Susiok, harap susiok memaafkan teecu yang lancang datang menghadap. Teecu mengantar seorang nona yang sedang menghadapi kegelisahan besar karena ia kehilangan seorang sahabatnya. Teecu mohon kerelaan hati susiok untuk memberi petunjuk kepadanya." "Siancai... siancai... siancai...! Orang-orang muda yang ceroboh, terlalu mengandalkan kepandaian sendiri untuk mencampuri urusan orang lain. Sungguh berani sekali mereka itu menentang si-luman-siluman Guha Tengkorak... siancai...! Akan tetapi karena engkau telah mengajak nona itu ke sini, Siok Cin Cu, biarlah akan kucoba menolongnya. Suruh ia masuk." Setelah melibat dan mendengar ini, cepat Kim Hong meloncat keluar lagi dan jantungnya berdebar heran. Bagaimana kakek itu dapat mengetahui bahwa ia dan Thian Sin menentang siluman-siluman Guha Tengkorak" Melihat sikap Siok Cin Cu ketika menghadap tadi, keraguannya bahwa pendeta itu menipunya mulai berkurang dan mulailah ia percaya bahwa susiok dari pendeta itu boleh jadi memang memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Ketika tosu itu muncul, Kim Hong berlagak se-perti sedang melihat-lihat keadaan di bawah bukit. Ia mendapat kenyataan bahwa dari bukit itu, seperti juga dari kuil si tosu, bagian bawah dari daerah Guha Siluman dapat nampak sehingga setiap ada orang yang mendaki menuju ke tempat itu, tentu dapat terlihat dari kedua tempat ini. "Nona, sungguh beruntung sekali. Susiok mau menerimamu. Mari, nona, silakan masuk." Kim Hong mengangguk dan mengikuti tosu itu masuk ke dalam pintu depan dan begitu masuk, ia melihat betapa rumah itu di sebelah dalamnya gelap karena semua jendela tertutup. Hanya ada sedikit sinar yang menerobos masuk melalui celah-celah dinding, membuat cuaca di dalam ruangan dalam rumah itu remang-remang. "Silahkan, nona," bisik Siok Cin Cu yang memberi isyarat kepada dara itu untuk maju ketika mereka tiba di ruangan yang tadi diintai oleh Kim Hong, Kim Hong masih bersikap waspada. Seorang pendekar harus tidak pernah meninggalkan kecurigaan dan kewaspadaannya, demikianlah pelajaran yang ditekankan di dalam hatinnya sejak dahulu oleh orang tuanya. Maka, biarpun ia mulai percaya kepada Siok Cin Cu yang dianggapnya tidak mempunyai iktikad buruk, tetap saja dara perkasa ini bersikap waspada dan selalu siap menghadapi bahaya dari manapun juga datangnya. Ia memandang kepada sosok tubuh yang duduk bersila di sudut ruangan, lalu menjura kepada sosok tubuh itu. "Ah, selamat datang, nona. Silahkan duduk dan maafkan, di sini pinto tidak mempunyai kursi dan meja, terpaksa duduk diatas lantai saja. Silahkan." Sosok tubuh itu berkata tanpa bergerak. "Terima kasih, locianpwe," jawab Kim Hong yang duduk duduk bersimpuh di atas lantai dan mempergunakan tangannnya menekan lantai sambil mengerahkan sin-kangnya untuk melihat apakah lantai itu aseli ataukah ada rahasianya dan merupakan perangkap. Akan tetapi hatinya merasa lega ketika mendapatkan kenyataan bahwa lantai itu merupakan lantai batu yang tidak mongandung sesuatu yang mencurigakan. "Sekarang katakan, apakah yang dapat pinto lakukan untuk membantumu, nona?" Diam-diam Kim Hong memuji kakek itu. Biarpun ia tidak akan melihat dengan jelas, ia dapat menduga bahwa orang itu tentulah seorang pria yang sudah tua, apa lagi bukankah pria ini merupakan paman guru dari tosu Siok Cin Cu" Bagaimanapun juga, kakek ini tidak sombong, biarpun sudah jelas tahu apa yang menjadi kesulitannya, namun kakek itu masih bertanya dan tidak mendahuluinya menyombongkan pengetahuannya. "Locianpwe, saya mencari seorang sahabat saya yang hilang ketika dia memasuki sebuah guha dan saya tidak lagi menemukan jejaknya. Mohon pertolongan locianpwe untuk memberi petunjuk di mana adanya sahabat saya itu." Hening sejenak dan Kim Hong mencurahkan perhatiannya untuk mendengarkan jawaban dari sosok tubuh yang masih bersila tanpa tergerak itu. Akhirnya, setelah menanti agak lama, kakek itu menjawab. "Hemm, bukankah sahabatmu itu seorang pemuda perkasa dan berdarah bangsawan tinggi, she-nya Ceng?" Diam-diam Kim Hong terkejut. Ternyata orang ini benar-benar hebat! "Dan engkau sendiri juga berdarah bangsawan tinggi she Toan, bukan?" Kim Hong makin terkejut dan makin tertarik. "Benar, locianpwe," jawabnya dan kini ia mulai percaya bahwa ia memang berhadapan dengan seorang tua yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bahkan ia mulai memelihara harapan bahwa kakek ini benar-benar akan dapat menolongnya dan dapat memberitahukan di mana adanya Thian Sin. "Kalau begitu, engkau pandanglah ke sini, nona. Lihatlah baik-baik dan apa yang dapat nampak olehmu?" Kim Hong mengangkat mukanya memandang. Matanya terbelalak melihat sebuah wajah yang remang-remang, akan tetapi di atas kepala itu nampak sebuah sinar seperti lampu yang amat terang dan menyilaukan mata. "Engkau merasa silau, nona" Kalau silau, pejamkan matamu sejenak. Nah... begiulah, pejamkan mata dan terasa enak bukan" Enak untuk tidur. Engkau mulai mengantuk, maka tidurlah, nona. Di sini aman, aku akan melindungimu, tidurlah, nona, tidurlah dengan nyenyak." Kim Hong tadinya tidak tahu bahwa ia telah terseret oleh kekuatan yang luar biasa dan begitu ia menuruti permintaan suara itu tadi untuk memandang dan menjadi silau melihat sinar menyilaukan, ia seakan-akan telah membiarkan semangatnya dikuasai orang yang memiliki ilmu sihir! Ketika suara itu dengan lembutnya menyuruhnya memejamkan mata, otomatis iapun memejamkan matanya dan mendengar suara menyuruhnya tidur, ia seperti tidak dapat lagi menahah rasa kantuknya yang membuat matanya berat dan tak dapat dibukanya lagi. Ia ingin tidur, sungguh ingin sekali untuk tidur dan betapa nikmatnya kalau dapat tidur pulas pada saat itu! Akan tetapi, Kim Hong bukanlah seorang dara biasa. Selain memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan tenaga sin-kang amat kuat, juga ia telah hidup berdua bersama Ceng Thian Sin selama beberapa tahun ini sehingga dalam percakapan mereka kadang-kadang Ceng Thian Sin membuka rahasia tentang kekuatan sihir. Biarpun ia tidak mempelajari ilmu itu, akan tetapi ia sudah mulai mengerti akan seluk-beluknya. Oleh karena itu, ketika kekuatan sihir dari kakek itu mulai mempengaruhinya dan membelenggunya, ia terkejut dan teringat lalu mengerahkan sinkangnya untuk memberontak! Kim Hong berhasil meronta, bahkan lalu meloncat berdiri. Akan tetapi, saat ia masih sedang bersitegang melepas diri dari keadaan tidak sadar itu, tiba-tiba saja ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu kedua pundak Kim Hong telah ditotok orang. Dara perkasa ini baru dalam keadaan setengah sadar, masih terpengaruh oleh kekuatan sihir, maka biarpun nalurinya yang amat kuat itu membuat ia berusaha mengelak, namun tetap saja totokan pada pundak kirinya mengenai sasaran dan tubuhnya yang sebelah kiri seketika menjadi kehilangan tenaga seperti lumpuh. Pada saat itu, ia sudah diringkus dan dibelenggu kaki tangannya, kemudian jari tangan yang kuat menekan pundak kanannya dan habislah kekuatannya. Ia tertotok dan tidak mampu bergerak lagi! "Bagus!" katanya menekan kemarahannya. "Ternyata engkau adalah Siluman Guha Tengkorak!" Akan tetapi yang menjawabnya hanya suara ketawa saja dan tanpa dapat melawannya, Kim Hong melihat dirinya dimasukkan ke dalam sebuah karung hitam dan kemudian ia dipondong orang dan dibawa pergi dari situ. Ia tahu bahwa yang memondongnya bukan Siok Cin Cu, karena orang ini memiliki gin-kang yang jauh lebih lihai dari pada tosu itu. Kim Hong tidak tahu ke mana ia dibawa. Dari dalam karung hitam itu ia tidak dapat melihat sesuatu dan ia hanya merasa dibawa naik turun dengan cepat. Setelah lewat waktu cukup lama, akhirnya ia dikeluarkan dari dalam karung dan dilemparkan ke dalam sebuah kamar, di atas dipan, dalam keadaan tertotok dan terbelenggu kaki tangannya! Ternyata kamar itu hanya sebuah kamar yang tidak begitu besar, dari tembok tebal dan pintunya dari besi, ada lubanglubang angin di bawah dan di atas. Sebuah kamar tahanan yang amat kuat. Pintu itu sudah dikunci, akan tetapi dari jeruji yang terdapat di bagian atas pintu besi, ia dapat melihat ada orang di luar pintu. Seorang laki-laki yang berjubah sutera putih, dengan gambar tengkorak darah di dadanya dan mukanya tertutup topeng tengkorak! Tentu saja Kim Hong merasa ngeri. Bukankah siluman itu telah tewas bersama kudanya di dasar jurang" Akan tetapi, ia dapat menenangkan dirinya dan mengertilah ia bahwa Siluman Guha Tengkorak bukan hanya terdiri dari seorang penjahat saja. Hari telah menjadi malam dan kamar itu ha-nya menerima cahaya lampu yang berada di luar kamar, melalui lubang-lubang angin dan jeruji pin-tu besi. Kim Hong mengumpulkan kekuatannya dan menjelang tengah hari ia berhasil membebaskan diri dari pengaruh totokan. Setelah pengaruh totokan itu punah, dengan pengerahan sin-kang ia dapat mematahkan belenggu kaki tangannya. Akan tetapi, baru saja ia bangkit dan hendak mencari jalan keluar, terdengarlah suara mendesis-desis dan ia melihat asap putih menyembur-nyembur masuk dari lubang-lubang angin. Begitu mencium asap ini tahulah ia bahwa asap itu adalah asap yang me-ngandung racun bius! Maka iapun cepat bertiarap di atas lantai, akan tetapi tindakan ini hanya mem-perpanjang sedikit waktu saja karena akhirnya ia terpaksa menyedot asap itu dan jatuh pingsan. Malam telah larut ketika ia siuman kembali. Kamar telah bersih dari asap dan ia merasakan kepalanya agak pening, dan kaki tangannya sudah terbelenggu lagi, bahkan kini tubuhnya sudah diletakkan orang di atas dipan. Ada suara di pintu dan ketika ia menengok, ia melihat orang bertopeng tengkorak di luar pintu. "Nona, sekali lagi engkau melepaskan belenggu dan mencoba lari, hukumannya tentu berat. Asap bius itu tak mungkin nona lawan. Sebaiknya nona menyerah saja dan kami akan memperlakukan nona dengan baik-baik." Setelah berkata demikian, orang itu meninggalkan pintu. Kim Hong maklum bahwa ia terjatuh ke dalam tangan gerombolan yang lihai sekali dan iapun tahu bahwa pada saat itu ia tidak berdaya dan tidak mungkin meloloskan diri dengan kekerasan. Asap bius yang sewaktu-waktu dapat masuk melalui lubang-lubang angin itu memang tak mungkin dapat dilawan dan dihindarkan, dan biarpun tidak nampak adanya penjaga, ia tahu bahwa ada penjaga-penjaga bersembunyi dan selalu mengamati gerak-geriknya. Celaka, pikirnya. Tentu Thian Sin juga sudah tertawan oleh mereka. Tenang, ia mencela diri sendiri. Tenang! Hanya ketenangan batin sajalah satu-satunya hal yang mungkin akan dapat menolongnya dan juga menolong Thian Sin. Maka iapun lalu memejamkan mata untuk tidur agar kekuatannya dapat pulih kembali. *** Ke manakah perginya Ceng Thian Sin" Apa yang dikhawatirkan oleh Kim Hong memang benar. Pemuda itu sudah pasti akan kembali ke dalam hutan seperti yang telah dijanjikannya kepada Kim Hong kalau tidak ada hal yang membuatnya tidak mungkin melakukan hal itu. Seperti telah kita ketahui, setelah bertemu dengan Cia Liong dan Cia Ling kemudian mendengar pesan terakhir dari Kwee Siu, setelah mengubur jenazah pendekar itu, Thian Sin lalu membagi tugas dengan kekasihnya. Dia menyuruh Kim Hong menyelamatkan dua orang anak itu dan menitipkannya kepada orang di tempat aman, kemudian dia sendiri lalu mencari jejak siluman yang telah membunuh Kwee Sin. Jejak itu membawanya ke daerah Guha Tengkorak. Akan tetapi setelah tiba di kaki bukit di mana terdapat tebing Guha Tengkorak, seperti juga Kim Hong, dia melihat kuil kuno itu dan hatinya tentu saja tertarik sekali. Dia sendiri belum tahu di mana adanya Guha Tengkorak, tidak tahu bahwa daerah guha itu terdapat di atas tebing, maka diapun lalu turun dari atas punggung kudanya dan menuntun kuda itu mendaki bukit menuju ke kuil yang berdiri di puncak bukit. Ketika dia tiba di depan kuil, dia melihat seorang tosu sedang menyapu pelataran depan kuil itu. Tosu itu berhenti menyapu dan menyambut kedatangan pemuda itu dengan pandang mata heran. "Maaf totiang kalau saya mengganggu ketenteraman tempat ini," kata Thian Sin sambil menjura dengan hormat. Tosu itu membalas dengan anggukan dan kedua tangan dirangkap di depan dada. "Siancai...! Sungguh merupakan hal yang amat mengherankan melihat tempat ini kedatangan tamu seperti kongcu!" jawab tosu itu yang bukan lain adalah tosu yang kemudian mengaku bernama Siok Cin Cu kepada Kim Hong. "Bagaimanakah kongcu dapat tiba di tempat yang terasing ini dan ap-akah gerangan keperluan kongcu bersusah payah mendaki tempat ini?" "Maaf, totiang. Saya mohon petunjuk totiang tentang tempat yang dinamakan Guha Tengkorak. Saya mencari tempat itu." Tosu itu tidak memperhatikan perobahan pada wajahnya, namun pandang matanya bersinar dan tentu saja sedikit hal ini tidak terlewat dari ketajaman pandang mata Thian Sin. "Guha Tengkorak...?" "Benar, apakah totiang mengetahui tempat itu?" Kakek itu mengangguk lalu memandang kepada wajah pemuda itu dengan ragu-ragu. "Tapi... ada keperluan apakah kongcu datang ke tempat seperti itu?" "Tempat seperti itu" Apa yang totiang maksudkan" Ada apakah dengan tempat itu?" Thian Sin balas bertanya. Tosu itu nampak bingung oleh serangan kata-kata Thian Sin ini, lalu menggeleng kepala. "Tidak apa-apa, hanya... selama bertahun-tahun ini belum pernah pinto melihat ada orang mencari tempat itu, maka pinto merasa terkejut dan heran ketika tiba-tiba kongcu muncul dan mencari tempat itu." Jawaban yang teratur sekali, pikir Thian Sin. Menghadapi tosu yang pintar ini tidak ada gunanya berputar lidah, maka diapun lalu berkata, "Sesungguhnya saya hendak menyelidiki Guha Tengkorak dan hendak mencari Siluman Guha Tengkorak, totiang." Kini tosu itu nampak terkejut dan agaknya dia tidak menyembunyikan rasa kagetnya mendengar disebutnya Siluman Guha Tengkorak. Akan tetapi dia menentang pandang mata Thian Sin yang tajam penuh selidik itu, lalu menarik napas panjang. "Siancai... jangan-jangan kongcu menyangka bahwa pintolah orangnya yang terkenal dengan sebutan Siluman Guha Tengkorak!" Thian Sin diam-diam kagum akan kecerdikan orang ini dan dia semakin waspada. Dia tersenyum ramah dan berkata, "Baru saja aku mendengar nama itu, totiang, tentu saja aku tidak berani menuduh dan menduga sembarangan. Dan karena totiang juga mengenal nama itu, maka aku mohon petunjuk totiang di mana kiranya aku bisa menemukan siluman itu. Di mana dia tinggal" Apakah di Guha Tengkorak dan di mana letak guha itu?" Kakek itu kembali menghela napas. "Siapa yang tidak mendengar namanya, kongcu" Akan tetapi siapa pula yang tahu di mana tempat tinggalnya" Baru kurang lebih sebulan lamanya, pasukan kea-manan bersama banyak pendekar telah datang ke sini dan mereka mencari di daerah tebing Gu-ha Tengkorak akan tetapi tidak berhasil menemu-kan apa-apa." Thian Sin mengangguk-angguk. "Ah, jadi nama itu sudah terkenal sekali dan dicari oleh pasukan keamanan dan para pendekar, totiang?" Kakek itu mengangguk-angguk. "Mungkin begitu. Pinto sendiri yang selamanya bertapa di sini tidak tahu menahu akan hal itu. Baru setelah pasukan itu mencari di daerah ini pinto tahu bahwa semenjak dua tiga bulan ini nama itu dikenal orang. Akan tetapi apakah benar dia berada di sini, tidak seorangpun tahu. Maka, pinto rasa akan percuma saja kalau kongcu mencarinya, dan pula, amat berbahaya, kongcu." Thian Sin memandang tajam. "Kenapa berba-haya, totiang?" "Pinto sudah mendengar berita dari pasukan itu bahwa orang ini amat lihai, ilmu kepandaiannya seperti dewa... dan guha-guha itu merupakan tem-pat berbahaya, kabarnya keramat dan siapa berani memasukinya takkan dapat keluar lagi." "Aku tidak takut, totiang. Harap totiang suka menunjukkan di mana tempatnya dan kalau memang benar Siluman Guha Tengkorak berada di situ, totiang tidak usah ikut campur, biarlah aku sendiri yang akan menghadapinya." Kakek itu memandang kepada Thian Sin dari kepala sampai ke kaki, kemudian menganggukangguk. "Ah, kiranya kongcu adalah seorang pendekar muda yang gagah berani. Baiklah kalau begitu, mari pinto antar sampai di tempatnya. Akan tetapi tak mungkin membawa kuda mendaki tempat itu dan setelah tiba di sana, pinto akan segera kembali." "Terima kasih, totiang," Thian Sin berkata girang dan tosu itu menyuruh dia menambatkan kuda di belakang kuil. Berangkatlah mereka mendaki tebing yang curam itu dan akhirya Thian Sin berdiri memandang dinding batu karang yang penuh dengan guha yang menyeramkan, guha-guha yang sebagian besar berbentuk tengkorak manusia. Tempat yang amat sunyi dan tidak ada tanda-tanda bahwa di tempat itu ada manusianya. "Guha-guha itu telah diperiksa oleh pasukan akan tetapi tidak ada hasilnya," kata tosu itu dengan suara datar dan terdengar dingin. "Lalu kenapa mereka mengejar dan mencari ke tempat ini, totiang?" "Itulah, mungkin karena desas-desus bahwa orang yang mereka cari-cari itu kelihatan memasuki gua itu," kakek itu menudingkan telunjuknya ke arah sebuah guha, nomor tiga dari kiri yang juga mirip tengkorak bentuknya. "Nomor tiga dari kiri itu?" "Betul. Nah, sudahlah, pinto terpaksa harus meninggalkan kongcu seorang diri di sini. Ataukah kongcu sudah berbalik pikir dan hendak ikut turun kembali bersama pinto?" Thian Sin memaksa tersenyum. "Kalau totiang mengira bahwa aku menjadi jerih atau takut setelah mendengar cerita totiang atau setelah melihat tempat ini, totiang salah duga. Tidak, aku akan mencari Siluman Guha Tengkorak dan aku yakin pasti akan dapat menemukan dia di sini kalau memang benar di sini tempat tinggalnya." Pemuda perkasa itu melihat betapa pandang tosu itu sinar seperti orang tersinggung, akan tetapi tosu itu segera menundukkan mukanya. "Siancai, semoga kongcu tidak menemui halangan apa
Kedele Maut 12 Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pedang Iblis 23

Cari Blog Ini