Ceritasilat Novel Online

Siluman Goa Tengkorak 3

Siluman Goa Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


tar tubuhnya dan melesat ke arah tosu itu sambil membentak, "Tosu palsu keparat!" Tubuhnya disambut oleh banyak senjata, akan tetapi gerakan tangannya yang mendorong dengan ilmu mujijat Hok-liong Sin-ciang itu sedemikian hebatnya sehingga lima orang yang senjatanya langsung bertemu dengannya itu terjengkang seperti dilanda angin ribut, tosu yang memakai topeng setan itu sudah menusukkan pedangnya ke arah dada Thian Sin. Akan tetapi sebelum ujung pedangnya mengenai dada lawan, angin pukulan dari Hok-liong Sin-ciang sudah lebih dulu menyambutnya dan tosu ini mengeluarkan pekik mengerikan ketika tubuhnya terjengkang dan terbanting sedemikian kerasnya sehingga diapun tak berkutik, pingsan dan hampir mati kalau saja tadi Thian Sin tidak menahan tenaganya! Gegerlah keadaan di ruangan atas itu. Beberapa orang tamu yang memiliki kepandaian silat sudah melangkah maju hendak membantu pihak tuan rumah, akan tetapi Sian-su memberi isyarat dan mereka itu hanya berkumpul di belakang Sian-su, dengan senjata di tangan. Sikap mereka sudah jelas hendak melindungi dan membantu Sian-su kalau Pendekar Sadis berusaha menyerang ketua agama ini! Mereka itu rata-rata telah berjanji setia kepada Sian-su, tentu saja dengan keyakinan sepenuhnya bahwa mereka akan menikmati kesenangan dunia akhirat! Pengeroyokan semakin ketat, akan tetapi Thian Sin kini sudah menjadi marah betul dia ingin segera menyerang Sian-su dan membebaskan Kim Hong, dan ulah para anggauta Jit-sian-kauw ini dengan menghalanginya, maka tiba-tiba dia mengeluarkan pekik nyaring dan membiarkan dirinya menjadi sasaran banyak senjata. Akan tetapi, bukan dia yang terluka atau berteriak kesakitan, sebaliknya malah belasan orang itu kini terbelalak dan berteriak-teriak minta dilepaskan. "Lepaskan aku...! Lepaskan aku...!" "Lepaskan... aaahhh...!" Belasan orang itu membetot-betot senjata mereka yang menempel pada tubuh Pendekar Sadis, akan tetapi makin kuat mereka membetot, semakin kuat pula senjata itu melekat! Thian Sin telah mempergunakan ilmu mujijat Thi-khi-i-beng, yaitu ilmu sin-kang yang sudah sampai di puncak keku-atannya sehingga dapat menyedot tenaga sin-kang lawan melalui senjata atau tangan yang menempel di tubuhnya. Tenaga dalam mereka itu membanjir keluar melalui gagang senjata masing-masing dan terasa tersedot oleh kekuatan yang luar biasa besarnya! Melihat keanehan ini, Sian-su dan para pengikutnya memandang dengan mata terbelalak dan pendeta siluman itu merasa tengkuknya meremang. Belum pernah selama hidupnya dia berhadapan dengan seorang yang seperti itu lihainya-. Dia pernah mendengar tentang ilmu menyedot te-naga lawan ini, akan tetapi menganggapnya ilmu itu hanya dibesar-besarkan saja dan semacam do-ngeng. Akan tetapi sekarang, walaupun tidak meng-alaminya sendiri, dia telah menyaksikan betapa anak buahnya menjadi korban ilmu mujijat itu. Dia sendiri mengerti bagaimana sebaiknya meng-hadapi ilmu menyedot yang berbahaya itu, akan tetapi dia melihat keadaan yang lebih baik dari pada harus mati-matian mencoba untuk menunduk-kan Pendekar Sadis dengan kekerasan. "Hyaaaattt...!" Tiba-tiba Pendekar Sadis me-mekik dan belasan orang yang tadinya tersedot olehnya dan yang mulai pucat mukanya dan lemah gerakan mereka untuk meronta terlempar ke kanan kiri dan jatuh terbanting di atas lantai, mengeluh dan tidak kuat untuk berdiri lagi. Mereka ini harus mengumpulkan tenaga dan hawa murni untuk memulihkan kekuatan. Dengan mata mencorong seperti mata seekor naga sakti, Thian Sin kini melangkah mnaju perlahan-lahan. Para anggauta Jit-sian-kauw yang belum roboh masih mengepungnya dan ikut bergerak melangkah, akan tetapi tidak berani terlalu dekat, muka mereka pucat dan jelas terbayang wajah mereka betapa hati mereka jerih menghadapi pendekar yang luar biasa ini. "Berhenti, Ceng Thian Sin!" Tiba-tiba Sian-su membentak. Thian Sin tersenyum mengejek. "Tidak perlu menggertakku dengan ilmu sihir-mu yang tidak manjur, siluman!" "Berhenti atau pedangku akan menembus jantungnya!" Tiba-tiba Sian-su menggerakkan sebatang pedang dengan ujung pedang itu sudah menempel pada kulit putih di dada Kim Hong yang terbuka, tepat di antara dua bukit dadanya. Melihat ini, seketika Thian Sin menghentikan langkahnya dan matanya mengeluarkan kilat. Topeng tengkorak itu tersenyum lebar, penuh ejekan. "Hemm, kau lihat, aku masih menguasaimu, Pendekar Sadis. Memang engkau hebat dan gagah perkasa, akan tetapi belum tentu aku kalah olehmu." "Pendeta jahanam! Kalau memang engkau laki-laki sejati dan jantan tulen, jangan mengancam orang yang sudah tidak berdaya karena kecurang-anmu! Hayo lawan aku sebagai laki-laki, atau kaubebaskan Kim Hong lalu melawannya tanpa kecurangan!" "Ha-ha-ha, menggunakan tenaga sedikit mungkin untuk mencapai kemenangan, itu adalah sikap cerdik dan bijaksana. Kalau engkau berkeras, aku akan bunuh wanita ini lebih dulu, berarti aku sudah menang separuh. Kecuali kalau engkau menyerah..." "Hemm, engkau hendak memaksaku untuk mengancam nyawa Kim Hong. Baik, kalau aku menyerah lalu apa yang hendak kaulakukan" Tidak urung engkau akan membunuh kami berdua juga!" Thian Sin mengepal tinjunya. "Dari pada melakukan kebodohan itu, menyerahkan diri untuk akhirnya kaubunuh juga bersama Kim Hong, lebih baik aku membiarkan kau membunuh Kim Hong lalu engkau... hemm.. Pendekar Sadis akan hidup lagi, akan menjadi paling sadis antara semua kesadisannya yang pernah dilakukannya untuk menyiksamu!" Tanpa disadarinya, pendeta siluman itu merasa betapa tengkuknya meremang dan jantungnya berdebar. Sungguh mengerikan mendengarkan ucapan dari pemuda tampan itu dan dia dapat merasakan bahwa ucapan itu bukanlah ancaman belaka. Orang ini harus dienyahkan, harus dibasmi. Kalau tidak, selama hidupnya akan terancam. "Aku bukan orang bodoh, Pendekar Sadis. Aku -berjanji, kalau engkau menyerahkan diri tanpa melawan, aku tidak akan membunuh kalian." "Katakan, apa yang hendak kaulakukan terha-dap kami kalau aku tidak melawanmu dengan kekerasan!" "Apa yang akan kami lakukan adalah urusan kami. Akan tetapi kalau engkau menyerah tanpa - kekerasan, aku atas nama Jit-sian-kauw, atas nama Dewa Kematian, aku bersumpah untuk tidak membunuh Toan Kim Hong dan Ceng Thian Sin!" Diam-diam Thian Sin mengerti bahwa kalau dia menyerah, berarti dia mempertaruhkan nyawanya dan nyawa Kim Hong. Akan tetapi, dia per-caya bahwa pendeta siluman itu tidak mungkin- akan berani melanggar sumpahnya setelah bersum-pah demi nama Jit-sian-kauw dan Dewa Kematian, apa lagi disaksikan oleh semua pengikutnya. "Sumpahmu disaksikan oleh para tamu yang hadir saat ini!" kata Thian Sin menekan. "Benar, disaksikan oleh para tamu terhormat. Kami bukan golongan pengecut yang suka melanggar janji!" kata Sian-su dengan suara dibikin gagah. "Baik, aku menyerah." Thian Sin berpendapat bahwa yang paling penting untuk saat itu adalah keselamatan dan keamanan mereka berdua. Soal nanti selanjutnya, biarlah, tentu akan ada jalan lain. "Akan tetapi, engkau harus menyingkirkan dulu Kim Hong dari sini dan biarkan ia mengaso dan jangan mengganggunya selama sehari semalam! Kalau engkau tidak mau berjanji seperti itu, sam-pai mati aku tidak mau menyerah dan kita lihat saja, siapa yang akan binasa dalam pertempuran di antara kita!" Ketua Jit-sian-kauw itu mengerti bahwa kalau pemuda itu mau menyerah, semata-mata adalah karena pemuda itu tidak ingin melihat Kim Hong mati. Dan dia sendiripun tidak berniat untuk membunuh Kim Hong. Sama sekali tidak. Dia mempunyai rencana sendiri terhadap diri Kim Hong. Dia sudah mendengar bahwa dara itu memiliki ilmu silat yang tidak kalah lihainya dibandingkan dengan Pendekar Sadis. Oleh karena itu, biarlah dia kehilangan Pendekar Sadis sebagai pembantu, asal berhasil membuat gadis lihai itu sebagai pembantunya, juga kekasihnya yang baru. Kecantikan Kim Hong sudah menarik hatinya dan diapun da-pat menguasai gadis itu dengan ilmu sihir, tidak seperti Pendekar Sadis yang kebal ilmu sihir. "Baiklah, Pendekar Sadis. Aku berjanji bahwa selain aku tidak akan membunuh kalian berdua, juga nona Toan Kim Hong akan dirawat baik--baik, dibiarkan beristirahat dan tidak akan mengganggunya selama sehari semalam. Nah, aku berjanji, disaksikan semua tamu terhormat!" Thian Sin melihat betapa Kim Hong yang masih lemas tertotok itu diangkut pergi oleh empat orang penari wanita setelah pendeta siluman itu memberikan perintahnya. Diapun lalu melemaskan tubuhnya. "Aku menyerah." "Kami masih sangsi akan ketulusanmu, maka kami terpaksa akan membelenggu kaki tanganmu." kata Sian-su. Thian Sin mengangguk dan diapun tidak memberontak dan mandah saja ketika dua orang anggauta Jit-sian-kauw mendekatinya dan membelenggu kedua tangannya ke belakang, juga kedua kakinya. Tiba-tiba, sehelai saputangan ditutupkan mukanya. Thian Sin mencium bau keras dan diapun tak sadarkan diri oleh obat bius yang amat kuat. *** Orang-orang Hong-kiam-pang merasa marah dan sakit hati sekali ketika mendengar bahwa dua orang murid mereka yang terkenal, yaitu Cia Kok Heng dan Kwee Siu, tewas di dalam langan Siluman Gaha Tengkorak. Mereka lalu mengadakan rapat darurat, memanggil semua tokoh murid mereka dan rapat itu dipimpin oleh dua orang pemimpinnya yaitu Im Yang Tosu yang menjadi ketuanya dan Bu Beng Tojin yang menjadi pembantu utama atau wakil ketuanya. Im Yang Tosu adalah seorang tosu berusia hampir tujuh puluh tahun, tubuhnya kurus dan pendek, akan tetapi wajahnya masih nampak segar dan gerakannya juga masih lincah. Tosu ini adalah tokoh Kun-lun-pai, maka tentu saja berhak untuk menjadi ketua Hong-kiam-pang yang menjadi cabang dari Kun-lun-pai. Ilmu kepandaiannya tinggi dan wataknya keras walaupun telah berpuluh tahun dia menjadi pendeta Agama To. Wakilnya yang berjuluk Bu Beng Tojin adalah seorang pendeta yang bertubuh tinggi kurus, bermata tajam dan bersikap lemah lembut dan pendiam. Akan tetapi dia merupakan seorang pembantu yang baik sekali, bahkan hampir semua urusan luar dari Hong-kiam-pang berada dalam pengawasannya. Seperti juga Im Yang Tosu, tentu saja Bu Beng Tojin ini mahir Ilmu Pedang Hong-kiam-sut, akan tetapi berbeda dari Im Yang Tosu yang mang menjadi murid yang pandai dari Kun-lun-pai, sebaliknya Ba Beng Tojin ini bukan murid Kun-lun-pai, melainkan ahli dalam pelbagai cabang ilmu silat berbagai aliran. Akan tetapi, setelah diuji oleh Im Yang Tosu sendiri, ternyata kepandaian Bu Beng Tojin ini cukup lihai, bahkan hanya sedikit di bawah tingkat Im Yang Tosu, oleh karena itu maka dia dipercaya dan diangkat sebagai pembantu utama atau boleh dibilang juga wakil ketua. Dalam banyak urusan, usul-usulnya selalu baik dan dapat diterima. Dalam menghadapi Siluman Guha Teng-korak sekalipun, Im Yang Tosu menyerahkan ke-pada wakilnya itu untuk mengatur bagaimana baiknya untuk membalas kematian dua orang murid mereka. "Sesungguhnya memang serba susah." kata Bu Beng Tojin dalam rapat itu ketika ditanyai pendapatnya. "Perkumpulan kita selalu berusaha menjauhkan diri permusuhan. Akan tetapi dua orang murid kita tewas dan tentu saja kita tidak dapat membiarkan kematian itu lewat tanpa terbalas. Cuma ada satu hal yang harus diselidiki dengan teliti, apakah benar kedua orang murid kita itu tewas di tangan orang yang berjuluk Siliman Guha Tengkorak itu." Suhengnya, Im Yang Tosu, menarik napas panjang. "Siancai...! Pinto sendiri tidak menghendaki adanya permusuhan antara Hong-kiam-pang dengan pihak manapun juga dan di dunia ini banyak terdapat orang jahat yang memenuhi pemukaan bumi. Tidak mungkin kalau Hong-kiampang lalu harus memusuhi dan berusaha membasmi semua penjahat itu. Maka kitapun tidak pernah mencampuri urusan Siluman Guha Tengkorak selama dia tidak mengganggu kita. Akan tetapi, Tujuh Pendekar Tai-goan adalah murid-murid kita, dan terutama sekali Cia Kok Heng dan Kwee Siu yang langsung adalah murid-murid pinto sendiri. Tak dapat disangkal lagi bahwa tentu Siluman Guha Tengkorak yang membunuh mereka. Bukankah isteri Kok Heng juga telah diculiknya?" Bu Beng Tojin juga menarik napas panjang. "Tidak ada akibat tanpa sebab, dan itulah hukum alam! Mungkin isteri Kok Heng terlalu cantik maka ia terculik, dan dua orang murid kita itu tewas karena mereka menggunakan kekerasan. Lalu sekarang apa yang suheng kehendaki dalam menghadapi umsan ini?" "Bukan hanya demi nafsu mendendam, sute, akan tetapi juga untuk membersihkan nama kita dan membersihkan dunia ini dari gangguan siluman itu. Kita harus serbu Guha Tengkorak dan membasmi siluman itu. Untuk ini, pinto serahkan siasatnya kepadamu." Bu Beng Tojin mengangguk-angguk. "Jangan khawatir, suheng. Aku akan membawa anak murid kita dan menyelidiki keadaan Guha Tengkorak. Suheng tenang-tenang sajalah di sini menanti berita dari kami." Demikianlah, pada malam hari bulan purnama itu, Bu Beng Tojin membawa para anak murid Hong-kiam-pang yang terkumpul sebanyak dua puluh lima orang menuju ke daerah Guha Tengkorak dan melakukan penyelidikan. Semua guha dimasuki dan diobrak-abrik. Akan tetapi mereka tidak menemukan sesuatu kecuali guha-guha kosong yang sunyi dan menyeramkan. "Kalian semua menjaga di depan guha, dan sebagian melakukan penyelidikan sambil meronda. Pinto sendiri diam-diam akan menyelinap ke belakang bukit, siapa tahu siluman itu akan melarikan diri dari jalan rahasia di belakang bukit. Kalian tidak boleh meninggalkan tempat ini sebelum pinto datang." Demikian Bu Beng Tojin berpesan kepada para murid Hong-kiam-pang, agaknya hendak menggunakan siasat menggeprak dari depan membiarkan musuh lari lewat pintu belakang dan dia sudah menanti di sana untuk menyergapnya! Para murid Hong-kiam-pang itu dengan pedang telanjang di tangan, berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan. Mereka percaya akan kelihaian ji-suhu mereka, akan tetapi bagaimanapun juga, mereka merasa ngeri juga di tempat yang sunyi menyeramkan ini. Apa lagi kalau mereka ingat betapa Tai-goan Ji-hiap, Tujuh Pendekar Tai-goan yang kesemuanya amat lihai itu tewas di tangan siluman ini! Dan ji-suhu mereka itu pergi begitu lamanya. Sampai lewat tengah malam belum juga kakek itu kembali dan mereka tidak berani meninggalkan tempat itu seperti yang dipesan oleh ji-suhu mereka. Padahal, selagi berjaga, mereka mendengar suara-suara aneh, seperti dengung suara musik suling, yang-kim dan canang dipukul, dari tempat jauh sekali, kadang-kadang seperti terdengar keluar dari jurang-jurang terbawa angin. Padahal mereka tahu bahwa di sekitar tempat itu tidak ada dusun, dan suara musik itu juga bukan musik dusun, melainkan musik halus yang biasanya hanya terdapat di kota besar. Tentu saja hal ini membuat mereka semakin ngeri karena suara itu agaknya datang dari alam lain yang didatangkan oleh siluman-siluman! Tentu saja para anak murid Hong-kiam-pang ini tidak pernah menduga sama sekali bahwa suara musik itu memang keluar dari jurang karena jurang-jurang itu merupakan "jendela" dari tempat rahasia yang berada di balik bukit guha-guha itu, di dalam bukit yang bertebing tinggi itu. Mereka tidak pernah menyangka bahwa di balik guha-guha itu sedang dilangsungkan pesta gila-gilaan, pesta yang penuh kecabulan di mana nafsu berahi diumbar dan dilampiaskan begitu seja dengan liar tanpa mengenal malu-malu lagi. Juga pada malam hari itulah Thian Sin terpaksa menyerahkan diri karena ingin menyelamatkan Kim Hong. Akan tetapi dia lengah dan tidak memperhitungkan kecerdikan ketua Jit-sian-kauw itu. Ketika dia membiarkan dirinya dibelenggu, yakin bahwa tidak ada belenggu yang akan mampu menahannya, dan selagi dia mencurahkan perhatiannya kepada para pembelenggunya, tanpa disangkanya dia telah diserang oleh Sian-su dengan menggunakan saputangan yang mengandung obat bius yang amat kuat sehingga dia pingsan. Malam itu semakin larut dan suasana menjadi makin sunyi. Di luar daerah Guha Tengkorak itu makin sunyi melengang, sedangkan di dalam tempat rabasia dari perkumpulan Jit-sian-kauw itupun sudah mulai sunyi karena para tamunya sudah mulai membawa pasangan mereka, masing-masing ke tempat monyendiri untuk dapat berasyik-masyuk tanpa terganggu. Lampulampu sudah dipadamkan dan diganti dengan lampu-lampu yang terbungkus kain berwarnawarni sehingga suasana menjadi amat romantis dan coook untuk para pasangan itu melampiaskan nafsu berahi masing-masing sesuka hati mereka. Ganti-berganti pasanganpun terjadilah dan pesta gila itu akan berlangsung sampai matahari terbit pada keesokan harinya, setelah tubuh mereka tidak mengijinkan lagi untuk melanjutkan pesta-pora pelampiasan nafsu itu. Teriakan yang amat mengejutkan para murid Hong-kiam-pang itu terjadi lewat tengah malam. Mereka mengenal suara ji-suhu mereka di balik bukit, "Anak-anak... ke sinilah dan cepat bantu pinto!" Demikian ji-suhu mereka itu berteriak-teriak dan mereka mendengar suara desir angin pukulan, tanda bahwa ji-suhu mereka itu sedang berkelahi. Dan kalau sampai ji-suhu mereka itu berteriak minta bantuan, itu tentu berarti bahwa lawannya sunguh seorang yang luar biasa lihainya. Berbondong-bondong dua puluh lima orang itu berlari ke arah tempat itu dan di bawah sinar bulan purnama yang sudah mulai condong ke bawat itu mereka melihat ji-suhu mereka benar-benar sedang bertanding melawan seorang laki-laki yang memakai topeng tengkorak dan berpakaian serba putih dengan bagian dada ada lukisannya tengkorak darah. Siluman Guha Tengkorak! Dan mereka melihat betapa ji-suhu mereka kini sedang mengadu tenaga sin-kang dengan siluman itu, dua pasang tangan mereka itu saling lekat dan saling dorong! Para murid itu berhenti dan memandang dengan bingung. Mereka semula maklum bahwa kalau ji-suhu mereka sedang mengadu sin-kang seperti itu, mereka tidak boleh mengganggu. Selain tenaga sin-kang mereka masih belum mencapai tingkat setinggi tingkat suhunya, juga campur tangan mereka dapat membahayakan keselamatan ji-suhu mereka sendiri. Maka mereka hanya mendekat dan mengepung saja, siap dengan pedang di tangan untuk membantu kalau keadaan mengijinkan. Tiba-tiba terdengar Bu Beng Tojin mengeluarkan bentakan nyaring. Dia mendorong dan... lawannya itu roboh terpental dan terpelanting. Melihat ini, para murid Hong-kiam-pang cepat menubruk ke depan dan hendak menggerakkan pedang mereka untuk menyerang tubuh orang bertopeng yang sudah roboh itu. "Tahan! Biarkan pinto menangkapnya!" teriak Bu Beng Tojin mencegah para murid itu dan kakok ini lalu menubruk ke depan, monotok beberapa jalan darah lawannya yang seketika menjadi lemas dan lumpuh. "Keluarkan belenggu dan belenggu kaki tangannya. Jangan sakiti atau bunuh dia, biar kita membawanya menghadap suheng!" Bukan main girangnya hati para murid Hong-kiam-pang melihat betapa orang bertopeng tengkorak itu telah roboh pingsan. Mereka membelenggu dan menelikungnya seperti seekor babi hendak disembelih dan beramai-ramai mereka menggotong orang tawanan ini turun dari tebing. Bu Beng Tojin melarang mereka membuka topeng yang menutupi muka orang itu. "Inikah yang dinamakan Siluman Guha Tengkorak, ji-suhu?" tanya mereka kepada Bu Beng Tojin ketika mereka beramai pulang dengan hati gmbira karena kemenangan itu. "Siapa lagi kalau bukan dia" Dia lihai sekali, hampir pinto kewalahan menghadapinya. Untung pada saat terakhir kalian muncul sehingga perhatiannya tertarik dan sedikit banyak dia merasa terkejut dan khawatir sehingga hal itu mengurangi tenaga sin-kangnya, memungkinkan pinto untuk mengalahkannya. Pantas dia mampu merajalela dan mengacau karena memang ilmu kepandaiannya luar biasa lihainya." "Susiok, kenapa kita tidak bunuh saja iblis ini agar arwah toa-suheng dan ji-suheng dapat menjadi tenang?" seorang pemuda berkata dengan sikap penasaran. Pemuda ini adalah murid Im Yang Tosu ketua Hong-kiam-pang. Ketua ini mempunyai lima orang murid, dan murid pertama dan ke dua adalah mendiang Cia Kok Heng dan Kwee Siu. Pemuda itu adalah murid ke tiga, maka dia menyebut susiok kepada Bu Beng Tojin. "Bersabarlah, kita tunggu saja keputusan dari gurumu." jawab Bu Beng Tojin. Malam sudah hampir terganti pagi ketika mereka tiba di kuil mereka, disambut oleh para murid lain yang menjadi tegang dan gembira, juga ingin tahu sekali ketika mendengar bahwa Bu Beng Tojin telah berhasil menawan Siluman Guha Tengkorak! Bu Beng Tojin melemparkan tubuh siluman itu ke atas lantai ruangan depan. Para murid Hongkiam-pang mengepung tempat itu dan sebagian lagi melapor ke dalam. Karena Im Yang Tosu sedang samadhi, maka mereka tidak berani mengganggu dan menanti sampai tosu tua itu selesai samadhinya, sementara itu mereka mendengarkan Bu Beng Tojin menceritakan pengalamannya. "Memang menggelisahkan sekali menanti malam tadi, sendirian di balik bukit itu. Akan tetapt pinto yakin bahwa penjahat itu tentu akan keluar juga. Kita telah mempergunakan siasat mengancam di depan pintu dan membiarkan harimau lolos dari belakang. Kalau pinto membawa semua murid ke belakang, tentu dia tidak akan berani keluar. Pinto sendiri barsembunyi dan membiarkan dia mengira bahwa semua orang menyerbu dari depan. Akhirnya, diapun berkelebat keluar dari balik semak--semak yang pinto kira tentu merupakan jalan rahasianya. Nah, pinto lalu menyergapnya dan pinto sama sekali tidak mengira bahwa dia memang lihai bukan main sehingga pinto tidak segera memangil kalian. Akan tetapi, masih untung bahwa akhirnya pinto berhasil..." Tiba-tiba Bu Beng Tojin menghentikan kata-katanya dan menoleh ke luar dengan sikap kaget sekali. Semua orang cepat menoleh dan juga terkejut karena tiba-tiba saja seperti munculnya setan, di pekarangan itu telah berdiri seorang yang berpakaian putih-putib dengan sulaman tengkorak darah di dadanya, dan mukanya juga mengenakan topeng tongkorak! Keadaan orang itu persis dengan siluman yang telah ditelikung dan kini rebah miring di atas lantai, hanya orang yang baru datang ini tubuhnya agak lebih kecil. Tiba-tiba siluman yang baru datang ini dengan kecepatan kilat, sama sekali tidak tersangkasangka, menyambitkan sesuatu ke arah siluman yang terbelenggu. "Tak! Tak!" Dua buah benda hitam menyambar dan mengenai punggung dan leher siluman yang terbelenggu itu. Siluman ini nampak berkelojot sedikit lalu diam dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Bu Beng Tojin dan para murid Hong-kiam-pang ketika melihat bahwa siluman tawanan itu agaknya telah tewas karena mukanya pucat sekali dan napasnyapun terhenti! Bu Beng Tojin marah bukan main. "Keparat jahanam engkau!" Dan tosu yang bertubuh tinggi kurus ini sekali bergerak sudah meloncat ke depan, dan langsung menyerang siluman yang bertubuh kecil itu. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika siluman itu berkelebat dan sejenak lenyap dari pandang matanya, lalu tiba-tiba siluman itu yang telah berada di sebelah kirinya mengirim tamparan ke arah lehernya. "Plakkk!" Bu Beng Tojin menangkis dan dia lebih kaget lagi. Tubuhnya terdorong mundur oleh tangkisan itu dan kembali siluman itu telah menyerang dengan tendangan kilat yang memaksa tosu itu untuk meloncat mundur. Kini para murid Hong-kiam-pang sudah berloncatan datang, dan mereka serentak menggunakan pedang untuk menyerang. Tadinya mereka memang bingung dan termangu-mangu melihat munculnya seorang siluman lain lagi itu, akan tetapi kini mereka sadar bahwa yang disebut Siluman Guha Tengkorak tentu merupakan gerombolan yang mempunyai banyak anggauta dan semuanya mengenakan pakaian dan topeng seperti itu. Maka merekapun sudah menerjang dengan marah. Akan tetapi, siluman itu memang lincah bukan main dan memiliki gin-kang yang luar biasa. Tubuhnya berkelebat ke sana-sini seolah-olah dapat menyelinap di antara sambaran pedang-pedang itu. Ia sama sekali tidak gugup biarpun dikeroyok banyak orang, bahkan ketika Bu Beng Tojin sendiri juga sudah terjun dan menyerangnya. "Siancai... ternyata siluman ini berani mengacau di tempat pinto!" Terdengar bentakan halus dan disusul suara mencicit seperti tikus terjepit, ada sinar menyambar amat dahsyatnya. "Eh...!" Siluman itu mengeluarkan seruan kaget, akan tetapi biarpun pedang yang digerakkan oleh Im Yang Tosu itu amat hebat, ia masih semmpat melempar tubuhnya ke belakang dan dengan cara membuat poksai (salto) sampai lima kali, ia barhasil menghindarkan diri dari serangan sinar pedang yang bertubi-tubi itu. Akan tetapi, kakek tua itu sungguh lihai bukan main permainan pedangnya karena sinar pedang itu bergulung-gulung dan dapat mengirim serangan secara terus-menerus dan sambung-menyambung. Diam-diam ketua Hong-kiam-pang itupun terkejut setengah mati. Baru sekarang ini permainan pedangnya gagal selalu biarpun dia sudah mengeluarkan jurus-jurus pilihan. Siluman itu gesit bukan main dan gerakannya lebih cepat daripada sambaran sinar pedangnya! Sementara itu, Bu Beng Tojin sudah meloncat mendekati siluman yang terbelenggu dan sekali renggut dia telah melepaskan topeng tengkorak yang dipakai oleh siluman itu. Nampaklah wajah yang tampan dari Ceng Thian Sin! "Pendekar Sadis...!" teriak Bu Beng Tojin dengah suara terkejut dan heran. "Dia adalah Ceng Thian Sin, Pendekar Sadis...!" Berkata demikian, dia meloncat ke belakang. Semua orang terkejut. Para anak buah Hong-kiam-pang sudah mendengar tentang Pendekar Sadis dan tentu saja mereka terkejut sekali mendengar bahwa orang yang menyamar sebagai Siluman Guha Tengkorak itu adalah Pendekar Sadis! Bahkan Im Yang Tosu sendiri terkejut bukan main mendengar seruan pembantunya itu sehingga serangannya terhadap siluman kedua yang tadinya gencar menjadi berkurang. Kesempatan ini digunakan oleh siluman ke dua itu untuk meloncat ke samping, menjauh dan terdengar seruannya nyaring. "Thian Sin, mari pergi!" Para anak buah Hong-kiam-pang yang ingin sekali menyaksikan sendiri wajah siluman yang oleh Bu Beng Tojin dikatakan sebagai Pendekar Sadis itu, mendekati dan merubung Thian Sin yang sudah mulai menggerakkan kedua matanya. Sambitan dua buah kerikil hitam yang mengenai jalan darahnya tadi sudah membebaskannya dari totokan, akan tetapi karena pengaruh obat bius masih membuatnya nanar, maka baru sekarang dia mulai sadar benar-benar. Begitu mendengar suara yang amat dikenalnya itu, yang mengajaknya pergi, dia merasa seolah-olah kepalanya disiram air dingin dan seketika dia menjadi sadar sepenuhnya. Dalam sedetik saja tahulah dia bahwa dia dalam bahaya, bahwa kedua kaki tangannya terbelenggu. Cepat dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang ke dalam kedua kaki tangan dan sekali dia mengerahkan tenaga itu dan menggerakkan kaki tangan, terdengar suara keras dan semua belenggu itupun patah-patah! Para anak buah Hong-kiam-pang terkejut dan merekapun tadi ragu-ragu apa yang harus mereka lakukan setelah melihat kenyataan bahwa yang menjadi Silumah Guha Tengkorak adalah Pendekar Sadis! "Siancai...! Pendekar Sadis menjadi Siluman Guha Tengkorak dan membunuhi murid Hong-kiampang" Pinto harus membuat perhitungan!" Im Yang Tosu berseru marah dan kakek ini sudah menerjang lagi ke arah siluman ke dua dengan dahsyat, dibantu oleh murid-muridnya, sedangkan Bu Beng Tojin juga sudah mencabut pedangnya dan menyerang Thian Sin. "Totiang, telah terjadi kesalahpahaman besar..." Thian Sin yang sudah meloncat bangun dan cepat mengelak ketika pedang di tangan Bu Beng Tojin menyambar, mencoba untuk membantab dan menjelaskan. "Siluman busuk, tutup mulut!" bentak Bu Beng Tojin yang juga sudah marah dan dia mempercepat permainan pedangnya, dibantu pula oleh para murid Hong-kiam-pang. "Thian Sin, tidak perlu berbantahan. Lari...!" Siluman ke dua itu kembali berteriak dan dengan gerakan kilat dia sudah merobohkan seorang pengeroyok dengan tendangannya, kemudian dia meloncat dan pergi meninggalkan tempat itu, diikuti oleh Thian Sin. "Kejar! Tangkap...!" Bu Beng Tojin berteriak dan semua orang Hong-kiam-pang yang merasa marah dan penasaran itu melakukan pengejaran. Namun, mereka tidak mampu menyusul Thian Sin dan temannya yang sudah mengerahkan gin-kang mereka dan melarikan diri secepatnya. Setelah para pengejar tidak nampak lagi, barulah mereka berdua berhenti dan siluman tengkorak yang bertubuh ramping itu membuka topengya-. "Kim Hong...!" "Thian Sin...!" Mereka berdua saling rangkul dan saling cium dengan hati penuh kerinduan dan juga kegembiraan melihat bahwa keduanya akhirnya dapat bertemu dalam keadaan selamat. Setelah puas melampiaskan rasa rindu dan gembira hati masing-masing, Thian Sin menggandeng tangan Kim Hong dan mengajaknya duduk di atas batu besar. "Nah, sekarang ceritakan bagaimana engkau tiba-tiba dapat muncul di sini dan menyamar sebagai Siluman Guha Tengkorak pula," kata Thian Sin sambil mengelus punggung tangan kekasihnya. Kim Hong lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak ia pergi mencari jejak dan menyusul Thian Sin ke daerah Guha Tengkorak sampai ia terjebak dan tertawan karena terpengaruh oleh kekuatan sihir dari Sian-su atau ketua dari perkumpulan Jit-sian-kauw atau Siluman Guha Tengkorak. Seperti kita ketahui, dara ini berada dalam keadaan tidak sadar ketika ia tersihir dan hendak dijadikan auggauta baru dalam upacara pengangkatan angauta baru, bahkan ia terpilih sebagai calon jodoh dari Sian-su sendiri! Ketika ia bertemu dengan Thian Sin di dalam sarang Siluman Guha Tengkorak, ia sama sekali tidak dapat mengenal Thian Sin karena ia berada di dalam keadaan tersihir, bahkan ketika Thian Sin mengamuk, iapun tidak tahu dan hanya memandang dengan bingung saja. Akan tetapi, ketika ia hendak dibawa pergi, diam-diam Thian Sin mengerahkan segala kekuatan batinnya, menggunakan kepandaian sihirnya untuk membebaskan dara itu dari pengaruh sihir dan biarpun perlahan-lahan, ketika ia dibawa pergi, Kim Hong mulai sadar! "Aku tidak tahu apa yang terjadi dan ketika aku sadar, aku telah berada di dalam sebuah kamar yang indah, dilayani oleh tiga orang gadis cantik sebagai dayang. Ketika aku teringat bahwa aku telah terjebak dan tertawan, aku bangkit dan melihat bahwa di luar kamar itu terdapat beberapa orang pria yang memakai pakaian dan topeng Siluman Guha Tengkorak. Aku hendak mengamuk, akan tetapi pada saat itu pintu kamar terbuka dan di luar kamar nampak laki-laki tinggi yang agaknya menjadi kepala gerombolan itu..." "Itulah ketua Jit-sian-kauw atau yang disebut dengan sebutan Sian-su!" kata Thian Sin. "Iblis itu menunjuk kepadamu yang kulihat pingsan, sambil menodongkan pedangnya di lehermu. Dia mengancam bahwa kalau aku memberontak, dia lebib dulu membunuhmu, dan diapun katanya sudah mengancammu kalau engkau memberontak, dia akan lebih dulu membunuhku. Karena engkau tidak berdaya dan dia berjanji bahwa dia tidak akan membunuh kita berdua, aku bersabar diri dan engkaupun dibawa pergi. Aku menjaga kesehatanku dengan makan setelah yakin bahwa makanan itu tidak dicampuri obat bius. Aku mulai percaya bahwa agaknya Sian-su itu tidak berniat buruk dan benar-benar hendak bersahabat dengan kita." "Hemm, dia menipumu. Dia menghendaki engkau menjadi isteri dan pembantunya." Kata Thian Sin gemas. "Akupun mendengar akan hal itu malam tadi. Seorang wanita berlari-lari masuk ke kamarku sambil menangis. Beberapa orang penjaga bertopeng tengkorak yang berada di luar kamar hendak menangkapnya, akan tetapi aku meloncat dan menghardiknya. Agaknya mereka itu takut dan membiarkan wanita itu berlutut di depan kakiku." Cerita Kini Hong makin menarik hati Thian Sin yang tidak dapat menahan keinginan tahunya lalu bertanya, "Apakah ia itu isteri mendiang Cia Kok Heng?" Kim Hong mengangguk membenarkan lalu gadis ini melanjutkan ceritanya. Wanita cantik yang usianya dua puluh tujuh tahun itu mula-mula menangis mengguguk sambil merangkul kedua kaki Kim Hong. Kim Hong mula-mula merasa heran dan menyangka bahwa ini tentu akal bulus dari parkumpulan gerombolan iblis itu untuk menjebak atau menipunya. "Enci, siapakah engkau dan kenapa engkau menangis?" akhirnya Kim Hong bertanya, memegang kedua pundak wanita itu dan menariknya bangkit duduk. Disengaja olehnya menekan pundak itu dan ia mendapat kenyataan bahwa wanita itu tidak pandai ilmu silat, dan hal ini membuat hatinya lega karena setidaknya ia yakin bahwa wanita ini tidak akan mampu menyerangnya secara menggelap. Wanita itu menyusut air matanya dun menahan isak tangisnya. "Lihiap... aku adalah seorang wanita yang paling sengsara di dunia ini..." Kembali ia menangis. Kim Hong mengerutkan alisnya. "Enci, bagaimana engkau tiba-tiba saja menyebutku lihiap" Bagaimana engkau tahu bahwa aku adalah seorang ahli silat, seorang pendekar wanita?" Wanita itu memandang keluar, ke arah orang-orang bertopeng tengkorak itu dan ia berbisik. "Mereka itu bercerita tentang Pendekar Sadis yang tertawan, juga tentang dirimu yang katanya merupakan sahabat pendekar itu dan lihai sekali, maka aku sengaja nekat lari ke sini... aku ingin memberitahukan hal penting sekali..." "Nanti dulu, enci. Siapakah engkau dan bagaimana engkau bisa sampai ke tempat seperti ini?" "Aku adalah satu di antara wanita-wanita yang berada di sini, seperti mereka ini." Ia menunjuk ke arah gadis-gadis cantik yang menjadi dayang dan yang memandang heran dan tidak mengerti. "Namaku Lu Sui Hwa den seperti juga mereka, aku adalah wanita yang diculik. Ada yang datang ke sini karena bujukan, karena dibeli, karena diculik dan aku telah diculik. Mereka semua ini terbius dan tersihir, tidak tahu lagi apa yang mereka lakukan. Akan tetapi aku tidak dibius lagi, tidak disihir lagi setelah aku dibebaskan dari pengaruh sihir oleh Pendekar Sadis, tapi... tapi akupun terpaksa mentaati kehendak mereka, melayani mereka... diperkosa, dipermainkah... ahh..." Wanita itu mendekap mukanya dan air mata mengalir dari celah-celah jari tangannya. "Tapi, kalau engkau sadar dan tidak terbius, mengapa engkau mau menurut saja, enci?" Kim, Hong menegur dan mengerutkan alisnya. "Apa dayaku" Suamiku telah mereka bunuh, dan mereka telah menculik dua orang anak-anakku. Mereka mengancam bahwa selama aku menurut, anak-anakku tidak akan dibunuh... maka aku... demi kedua anakku, aku terpaksa menyerah... hu-hu-huhhh..." "Apakah engkau nyonya Cia Kok Heng, ibu kandung Cia Liong dan Cia Ling?" Tiba-tiba Kim Hong bertanya dan wanita itu menurunkan kedua tangannya, memandang kepada pendekar itu dengan muka pucat dan mata terbelalak. Mulutnya ternganga dan sejenak ia tidak mampu menjawab, hanya memandang dengan sinar mata penuh harapan. Akhirnya ia dapat juga membuka mulut dan bicara. "Benar... benar... mana mereka" Bagaimana mereka...?" "Tenangkan hatimu. Aku menyelamatkan mereka dari tangan iblis-iblis itu, kini mereka berada di tangan yang aman." Tiba-tiba wanita itu berlutut dan mencium kaki Kim Hong. "Terima kasih... ah, terima kasih kepada Thian... terima kasih, lihiap..." Empat orang anggauta Siluman Guha Tengkorak kini berloncatan masuk ke dalam kamar itu dan hendak menyeret pergi Lu Sui Hwa atau nyonya Cia Kok Heng. "Pergi engkau dari sini, perempuan bandel!" Akan tetapi, kini Kim Hong tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Tubuhnya berkelebat dan kaki tangannya bergerak. Hanya terdengar suara orang mengaduh berturut-turut diikuti tubuh empat orang itu terlempar ke kanan kiri dan mereka roboh tanpa dapat bangkit kembali karena mereka sudah tewas oleh pukulan dan tendangan Kim Hong yang dilakukan dengan kemarahan meluap tadi. "Enci, ceritakan apa yang ingin kaukatakan tadi" Pemberitahuan penting apa?" Kim Hong mendesak cepat. "Pendekar Sadis... dia dibawa oleh mereka... menurut pembicaraan mereka yang dapat kudengar, Pendekar Sadis yang pingsan itu diberi pakaian dan topeng Siluman Tengkorak kemudian hendak diserahkan kepada Hong-kiam-pang agar diadili dan dibunuh oleh perkumpulan yang mendendam kepada Siluman Guha Tengkorak... aku dapat mendengar segalanya karena aku tidak dibius dan mereka percaya aku tidak akan berani membocorkan rahasia..." "Perempuan keparat!" Terdengar bentakan-bentakan dan lima orang bertopeng masuk. Akan tetapi Kim Hong menyambut mereka dan melayani serbuan lima orang yang menggunakan senjata tajam itu. Kini Kim Hong tidak lagi ragu-ragu karena tahu bahwa Thian Sin tidak berada di situ dan bahwa janji Siluman Guha Tengkorak sama sekali tidak dapat dipercaya. Begitu kaki tangannya bergerak, gadis cantik yang pernah menjadi datuk kaum sesat di selatan dengan julukan nenek Lam-sin ini, dalam belasan jurus saja telah membunuh empat orang lawan dan ia sudah menotok seorang anggauta gerombolan yang tubuhnya kecil, kemu-dian ia melompat keluar kamar sambil membawa tawanannya. "Enci, aku akan pergi menolong Thian Sin..." Akan tetapi pada saat itu ia mendengar suara keras disusul jeritan mengerikan. Cepat ia monengok dan terkejutlah ia. Kiranya Lu Sui Hwa atau nyonya Cia Kok Heng, ibu dari kedua orang anak itu, telah roboh dengan kepala pecah di dekat tembok. Ternyata ibu muda yang putus asa karena selain suaminya terbunuh juga dirinya telah ternoda itu membunuh diri. Kim Hong memandang dan menggigit bibirnya. "Enci, pergilah dengan tenang. Aku akan meng-hancurkan gerombolan iblis ini dan akan menyela-matkan anak-anakmu." Ia berbisik, kemudian menerjang keluar. Belasan orang anak buah perkumpulan itu mencoba untuk menghadangnya, akat tetapi dengan tamparan tangan dan tendangan ka-kinya, Kim Hong dapat membuat mereka semua cerai-berai dan membawa tawanannya meloncat ke atas genteng. "Hayo tunjukkan jalan keluar kalau engkau tidak ingin kucokel keluar matamu!" desis Kim Hong sambil meraba mata orang dengan telunjuknya. "Baik... jangan... lihiap... akan kutunjukkan..." Tawanannya itu mengeluh dengan suara gemetar dan tubuh menggigil ketika merasa betapa biji matanya diraba-raba jari! "Harap turun ke dekat menara itu, di sana ada jalan rahasia..." Kim Hong membawa tawanannya meloncat turun ke dekat menara. Dua orang anggauta gerombolan yang berjaga di situ menyerangnya dengar golok dan pedang, akan tetapi hanya dalam dua gebrakan saja Kim Hong telah membuat mereka terpelanting dan roboh pingsan. Atas petunjuk tawanan itu, ia berhasil memasuki terowongan rahasia dan akhirnya ia dapat keluar dari jalan rahasia itu sampai di balik tebing. Jalan ini adalah jalan yang diambil oleh Thian Sin ketika dia sebagai "utusan" Sian-su mengusir lima orang Bu-tong-pai. "Tunjukkan di mana adanya tempat orang-orang Hong-kiam-pang!" kembali Kim Hong membentak dan orang itu kelihatan semakin ketakutan. "Tidak... saya... tidak berani..." "Engkau lebih berani membangkang terhadap perintahku?" Kim Hong membentak dan sekali jari tangannya menotok orang itu lalu bergulingan di atas tanah sambil mengaduh-aduh. Dalam kegelisahannya akan nasib Thian Sin dan kemarahannya terhadap gerombolan itu, apa lagi setelah melihat Lu Sui Hwa membunuh diri, Kim Hong pada saat itu seperti telah berobah menjadi nenek Lam-sin lagi. Jalan darah yang ditotoknya itu adalah jalan darah yang membuat orang menderita rasa nyeri yang amat hebat sehingga seolah-olah seluruh tubuhnya bagian dalam dikeroyok ribuan semut api yang menggerogoti dagingnya! "Ampun... ampunkan saya...!" Orang itu terengah-engah dan bergulingan. "Kautunjukkan tempat itu?" Dengan suara dingin Kim Hong bertanya. Orang itu menangis saking nyerinya dan mengangguk-angguk. Barulah Kim Hong membebaskannya dari totokan yang menyiksa itu kemudian berkata, "Hayo cepat tunjukkan!" Dengan terpaksa orang itu menunjukkan kuil yang menjadi markas perkumpulan Hong-kiampang dan Kim Hong yang menyeret tubuh orang itu berlari seperti terbang cepatnya karena ia tidak ingin terlambat. Ketika ia tiba di luar pekarangan kuil ia merasa lega melihat Thian Sin masih dalam keadaan selamat dan banyak anggauta Hong-kiam-pang berkumpul di ruangan depan. Cepat ia lalu melucuti pakaian luar dan topeng orang itu dan tergesa-gesa memakai pakaian itu dan juga mengenakan topeng Siluman Tengkorak. "Demikianlah, Thian Sin," Kim Hong mengakhiri ceritanya. "Aku berhasil membuat mereka terkejut dan membebaskan totokanmu dengan dua sambitan batu kerikil yang sudah kupersiapkan. Sekarang ceritakan pengalamanmu." "Terima kasih, Kim Hong. Engkau telah menyelamatkan lagi nyawaku," kata Thian Sin sambil menciumnya. "Tentang pengalamanku, sebaiknya kuceritakan dalam perjalanan saja. Sekarang yang perlu kita harus cepat-cepat menyerbu Guha Tengkorak untuk membasmi mereka sebelum mereka sempat melarikan diri atau membunuh wanita itu." Kim Hong menyetujui dan sepasang pendekar sakti ini lalu mengerahkan gin-kang mereka untuk lari menuju ke Guha Tengkorak. Di sepanjang perjalanan, Thian Sin menceritakan pengalamannya dengan singkat. "Sian-su keparat itu memang benar hendak memegang janjinya, yaitu tidak akan membunuh kita berdua, akan tetapi dia hendak meminjam tangan orang-orang Hong-kiam-pang untuk membunuhku, kemudian dengan ilmu sihir dan obat bius-nya dia tentu akan berusaha untuk menguasai dirimu agar engkau suka membantu pekerjaannya yang terkutuk itu!" kata Thian Sin mengakhiri penuturannya. "Akan tetapi bagaimana engkau bisa berada di tangan orang-orang Hong-kiam-pang yang haus darah itu?" "Hushh, jangan kausebut haus darah. Mereka telah kehilangan tujuh orang murid, tidak aneh kalau mereka mendendam kepada Siluman Guha Tengkorak. Apa lagi kalau mereka ketahui bahwa gerombolan Siluman Guha Tengkorak memang sangat jahat dan keji, tentu sebagai pendekar-pendekar mereka itu akan menentang mati-matian. Dan aku yang berpakaian dan bertopeng seperti ini, tentu takkan mereka ampuni." "Akan tetapi bagaimana engkau sampai terjatuh ke tangan mereka?" "Sudah kukatakan tadi, aku dalam keadaan pingsan oleh obat bius. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku dan tahu-tahu aku telah berada di sana sampai kau datang. Tentu ini sia-sat Sian-su yang menyerahkan aku kepada Hiong-kiam-pang sebagai seorang Siluman Guha Tengkorak, dengan maksud agar orang-orang Hong-kiam-pang membunuhku." "Sian-su keparat itu sungguh licik, curang, keji dan amat jahat. Kalau bertemu dengannya, aku pasti tidak akan memberi ampun padanya!" Kim Hong berkata dengan nada suara marah. "Akan tetapi engkau harus berhati-hati, karena dia memiliki ilmu sihir yang cukup kuat. Jangan lengah dan pergunakan semua ilmu penolak sihir seperti yang pernah kuajarkan kepadamu kalau dia mempergunakannya," pesan Thian Sin dan Kim Hong mengangguk. Ia memang telah mempelajari cara-cara penolakan sihir dari kekasihnya itu dan kalau ia sampai pernah jatuh dalam pengaruh sihir dari ketua Siluman Guha Tengkorak, adalah ka-rena ia tidak menyangka sama sekali, tertipu oleh tosu kuil itu dan juga karena memang siluman itu memiliki kekuatan sihir yang amat kuat. *** Di dalam tempat rahasia ini perkumpulan Jit-sian-kauw itu, Sian-su mengumpulkan semua anak buah dan juga para tamunya. Sepasang mata di balik topeng itu nampak gelisah. "Para anggauta dan juga para saudara sekepercayaan semua yang mulia! Tempat pemujaan kita terancam bahaya besar! Pendekar Sadis dan pembantunya telah berkhianat dan tentu mereka itu akan datang mengacau di sini. Oleh karena itu, aku perintahkan kepada semua anggauta untuk bersikap waspada, menjaga semua jalan masuk dan memasang semua jebakan-jebakan. Dan kepada para saudara sekepercayaan, saya ha-rap sukalah mengeluarkan sedikit tenaga membantu mempertahankan tempat pemujaan kita yang keramat." Dengan cekatan Sian-su lalu membagi-bagi tugas di antara anak buahnya yang tinggal tiga puluh orang lebih banyaknya itu, memerintahkan para gadis itu bersembunyi di ruangan dalam dan tidak memperbolehkan mereka keluar. Tosu Siok Cin Cu yang menjadi pembantu utamanya, dengan pakaian Siluman Tengkorak, mewakilinya untuk mengatur para anak buah dalam melakukan penjagaan. Kemudian Sian-su membujuk para tamunya yang ber-kepandaian untuk ikut melakukan penjagaan. Dinatara para tamunya itu terdapat sepuluh orang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan mereka ini yang merasa betapa pusat kepercayaan mereka terancam oleh musuh, dengan senang hati mau membantu Sian-su. Kepercayaan yang membuta sering kali menyesatkan orang dan membuat manusia lupa bahwa segala macam agama atau kepercayaan diciptakan untuk manusia. Agama atau kepercayaan lain diadakan untuk menuntun manusia ke jalan yang dianggap benar dan baik. Jelaslah bahwa manusia-nya yang penting dan kepercayaan itu merupakan pelengkap dalam kehidupan, sebagai alat pene-rangan dan penuntun. Namun, betapa banyaknya kepercayaan yang membuta membuat para pemeluknya lupa bahwa manusianya yang penting dan mereka itu bahkan lebih mementingkan agama atau kepercayaannya, dan manusianya sendiri lalu menjadi alat belaka yang mudah saja dikorbankan demi kepercayaan atau agama itu. Dan yang memegang peran dalam hal ini adalah para pemimpinnya, para pendetanya yang mempergunakan nama agama untuk memenuhi ambisi pribadinya. Para pemeluk itu mau saja diseret ke dalam kancah permusuhan dan kebencian, bunuh-membunuh, rela berkorban untuk membunuh atau terbunuh, semua dilakukan demi nama mempertahankan agama atau kepercayaan seperti yang digembargemborkan oleh para pemimpinnya. Terjadilah keadaan yang sama sekali terbalik. Bukan lagi agama untuk manusia melainkan manusia untuk agama, bukan lagi agama sebagai alat manusia melainkan manusia menjadi alat agama. Demikian pula dengan para tamu dari ketua Jit-sian-kauw ini. Merekapun menyerahkan kepercayaan secara membuta dan di dalam penyerahan kepercayaan ini memang selalu terdapat hal-hal yang dianggap menguntungkan atau menyenangkan sebagai pendorong. Mereka, para pemeluk agama Jit-sin-kauw ini, telah menikmati ke-senangan jasmani berupa pesta-pora pemuasan nafsu--nafsu berahi, akan tetapi juga kesenangan batiniah yang berupa harapan bahwa kalau sudah mati kelak mereka akan memperoleh kesenangan karena sudah disediakan suatu tempat yang baik untuk mereka oleh Dewa Kematian yang telah mereka pujapuja dan beri korban. Kini, mereka rela untuk membela kepercayaan mereka, bahkan rela un-tuk mati kalau perlu, dengan keyakinan bahwa kematian itu akan berakhir dengan kesenangan bagi mereka. Para tamu ini sama sekali tidak tahu bahwa ketika mereka ikut berjaga dengan sibuk untuk mempertahankan "tempat pemujaan keramat" itu, di sebelah dalam kamar rahasianya, Sian-su yang dibantu oleh orang kepercayaannya, yaitu Siok Cin Cu, sedang sibuk sendiri membenahi barang-barang berharga yang amat berharga, semua dimasukkan ke dalam dua buah peti sampai penuh! "Siok Cin Cu, kita harus dapat menyelamat-kan dua peti ini lebih dulu. Pendekar Sadis dan wanita itu tidak boleh dipandang ringan. Engkau tahu ke mana harus menyembunyikan peti-peti ini kalau keadaan memaksa." "Baik, Sian-su, jangan khawatir. Akan tetapi sudah demikian berbahayakah keadaannya sehingga Sian-su perlu berkemas dan berkhawatir?" tanya tosu Siok Cin Cu itu di balik topengnya. "Berbahaya sekali sih belum, akan tetapi kita perlu waspada. Para anak buah dan para tamu dengan bantuan jebakan-jebakan mungkin akan dapat menahan Pendekar Sadis dan temannya. Akan tetapi aku khawatir bahwa Hong-kiam-pang tidak akan mau sudah dan mereka akan berusaha untuk menemukan tempat kita. Im Yang Tosu agaknya berkeras hati benar untuk menggempur kita." Siok Cin Cu menarik napas panjang. "Agaknya kita telah salah tangan membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan itu, Sian-su, sehingga menjadi berlarut-larut memancing permusuhan dengan Hong-kiam-pang." "Tidak salah tangan sama sekali. Pertama, mereka itu menentang kita. Ke dua, ada gejala-gejala bahwa di antara mereka itu megetahui rahasiaku. Mereka memang perlu dibinasakan untuk mencegah datangnya bahaya yang lebih besar." Percakapan mereka terhenti ketika terdengar suara hiruk pikuk di luar. Mereka saling pandang dan dua pasang mata di balik topeng itu tampak gelisah. Akan tetapi Sian-su menenangkan diri dan berkata, "Siok Cin Cu, engkau membawa peti ini sebuah dan aku sebuah. Engkau mengambil jalan kiri dan aku ke kanan. Engkau tahu di mana kita dapat bertemu di luar tempat ini." "Sian-su... hendak meninggalkan tempat ini" Apakah tidak menahan musuh dulu?" "Sstt, diamlah. Yang penting menyelamatkan dua peti ini baru kita pikirkan untuk menghantam musuh yang berani masuk ke sini. Mari, cepat!" kata Sian-su menyerahkan sebuah di antara dua peti hitam itu kepada Siok Cin Cu. Tosu ini menerima peti, mengangguk dan segera meloncat pergi dari kamar rahasia itu, bersimpang jalan dengan ketuanya. Memang telah terjadi pertempuran semenjak di terowongan. Seperti kita ketahui, Thian Sin dan Kim Hong menuju ke balik tebing untuk menyerbu sarang Jit-sian-kauw itu dari belakang, melalui jalan rahasia, yang telah mereka berdua ketahui. Akan tetapi sebelum menuju ke situ, Thian Sin mengajak Kim Hong untuk lebih dulu memasuki sebuah hutan kecil tak jauh dari situ. "Eh, kita ke mana?" tanya Kim Hong yang seperti juga kekasihnya telah menanggalkan pakaian dan topeng tengkorak. "Sudah kuceritakan kepadamu bahwa aku pernah terpaksa mengusir lima owang tokoh Bu-tongpai dan aku berhasil memberi tahu mereka tentang keadaanku dan minta kepada mereka untuk menanti di hutan ini. Nah, itu mereka!" kata Thian Sin ketika melihat Liang Hi Tojin keluar dari sebuah gubuk kecil bersama empat orang murid Bu-tong-pai. Cepat Thian Sin dan Kim Hong menghampiri mereka. "Siancai, siancai... sungguh tidak sabar kami menanti-nanti berita darimu, Ceng-taihiap," kata Liang Hi Tojin sambil menjura ke arah dua pendekar itu. "Dan Toan-lihiap juga sudah datang, sungguh membesarkan hati!" Thian Sin dan Kim Hong yang sudah mengenal tokoh ke dua dari Bu-tong-pai ini segera membalas penghormatan mereka berlima. "Saya menanti saat baik dan kesempatan, totiang. Dan sekaranglah saat baik itu tiba." "Kita menyerbu Guha Tengkorak" Tapi... kami tidak pernah menemui jalan masuk." "Jangan khawatir, kami sudah tahu jalannya." kata Kim Hong. "Mari ngo-wi (kalian berlima) ikuti kami." Berbondong-bondong merekapun berangkat dengan penuh semangat. Orang-orang Bu-tong-pai ini bukan hanya ingin membalas kematian Louw Ciang Su murid Bu-tong-pai, seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, akan tetapi juga mereka merasa bertugas untuk membasmi gerombolan Siluman Guha Tengkorak yang telah melakukan pengacauan dan kejahatankejahatan kejam itu. Setelah menemukan jalan masuk rahasia melalui terowongan itu, Thian Sin masuk lebih dulu, diikuti oleh Kim Hong. Barulah, di belakang dua orang pendekar ini, Liang Hi Tojin dan empat orang murid keponakannya berjalan masuk dengan pedang siap di tangan mereka. Sebagai seorang yang pernah dipertaya oleh Sian-su, Thian Sin pernah melalui terowongan ini dan rahasia jebakan terowongan ini tidak disembunyikan darinya, maka sedikit banyak dia tahu di mana adanya jebakan-jebakan itu. Sebaliknya, ketika melarikan diri dari tempat itu, Kim Hong membawa seorang tawanan yang telah memberi tahu kepadanya adanya jebakan-jebakan sehingga ia bersikap hati-hati dan juga dalam keributan itu, terowongan tidak terjaga dan tidak ada anggauta gerombolan yang menggerakkan alat rahasia jebakan. Ketika tiba di sebuah tikungan terowongan, tiba-tiba Thian Sin berseru, "Awas anak panah!" Dan hampir berbareng dengan ucapannya, dari depan dan belakang menyambar puluhan batang anak panah ke arah mereka! Akan tetapi, orang-orang Bu-tong-pai itu sudah siap dengan pedang mereka dan dengan memutar pedang, anak panah yang menyambar mereka runtuh ke atas tanah. Kim Hong dan Thian Sin menggunakan gerakan tangan mereka menangkis, dan dua batang anak dapat ditangkap oleh Thian Sin yang cepat menggerakkan tangan. Dua batang anak panah itu meluncur ke atas dan terdengarlah jeritan orang disusul jatuhnya sesosok tubuh yang tadinya bersembunyi di bagian atas dan menggerakkan alat-alat yang meluncurkan anak-anak panah itu. Orang itu tewas dengan leher dan dada tertembus dua batang anak panah yang dilemparkan oleh Thian Sin tadi. Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati tanpa memperdulikan orang yang sudah tewas itu. Mereka melangkahi mayat itu dan dengan hati-hati Thian Sin terus melangkah maju, diikuti oleh yang lain. Terowongan itu tidak begitu gelap, agak remang-remang karena ada cahaya matahari yang masuk melalui beberapa celah-celah yang berada di langit-langit torowongan. "Berhenti...!" Tiba-tiba Thian Sin berbisik dan semua orang berhenti. Tidak nampak sesuatu yang mencurigakan di situ, akan tetapi mereka melihat Pendekar Sadis memberi isyarat agar mereka berhenti, sedangkan dia sendiri melangkah ke depan sambil melirik ke sana-sini dengan penuh kewaspadan. Tiba-tiba terdengar bunyi berderit dan lantai yang diinjaknya itu terbuka, sedangkan di dalam sumur di bawah itu nampak batu-batu meruncing menanti di bawah! Akan tetapi, Thian Sin sudah mengeluarkan suara melengking dan tubuhnya mencelat ke kanan, ke arah batu karang besar dan sekali tangannya menyambar, dia telah menangkap seorang laki-laki bertopeng tengkorak dan tubuh orang itupun dilemparkannya ke dalam sumur, sedangkan dia sendiri sudah meloncat lagi ke tempat semula di mana teman-temannya berdiri memandang dengan mata terbelalak ke dalam sumur. Orang yang terlempar itu mengeluarkan suara pekik mengerikan dan tubuhnya disambut oleh batu-batu karang yang seperti golok itu dan tewas seketika. Lantai itu masih terbuka dan terpaksa mereka bertujuh lalu melompati sumur itu dan melanjutkan perjalanan lagi ke depan. Tidak ada lagi jebakan yang menghadang perjalanan mereka, akan tetapi begitu mereka keluar dari pintu rahasia, mereka sudah diserbu oleh para anak buah Siluman Guha Tengkorak yang dibantu oleh sepuluh orang tamu pemeluk kepercayaan baru itu sehingga terjadilah perkelahian yang amat seru. Liang Hi Tojin mengamuk dan empat orang murid keponakannya juga mempermainkan pedang mereka, dikeroyok oleh para anggauta gerombolan Jit-sian-kauw yang dibantu oleh sepuluh orang tamu. Melihat betapa sepak terjang Liang Hi Tojin dan empat orang murid Bu-tong-pai itu cukup tangkas dan kuat, Thian Sin dan Kim Hong lalu sama-sama meloncat ke arah dalam. "Engkau dari kiri, aku dari kanan!" kata Thian Sin dan nona itu mengangguk mengerti apa yang dikehejndaki kekasihnya. Mereka berdua sudah tahu di mana adanya kamar Sian-su, dan memang ada dua jalan yang menuju ke kamar itu, sebuah kamar yang mewah dan di mana hampir setiap malam terjadi kecabulan. Pada saat itu, seorang yang berpakaian dan bertopeng Siluman Tengkorak sedang bergegas melarikan diri keluar dari lorong sambil membawa sebuah peti hitam. Orang ini bukan lain adalah Siok Cin Cu, tosu pembahtu utama Sian-su yang bertugas menyelamatkan sebuah peti berisi barang perhiasan itu. Diam-diam tosu ini merasa heran, mengapa Sian-su tidak lebih dulu menyambut dan menahan serbuan lawan melainkan lebih mementingkan untuk menyelamatkan barang-barang berharga itu. Akan tetapi karena dia sendiri maklum betapa lihainya Pendekar Sadis, tugas ini tentu saja menggembirakan hatinya. Dia tidak perlu menghadapi lawan yang mengerikan itu dan lebih enak menyelamatkan diri membawa peti perhiasan yang dia tahu amat berharga ini. Andaikata Sian-su gagal, dia sendiri masih mempunyai sebuah peti yang akan cukup untuk dimakan selama tujuh turunan dalam keadaan mewah! Ketika dia belari melalui lorong itu, tiba-tiba dia melihat seorang wanita cantik berdiri di depan. Dia mengira bahwa tentu seorang di antara para gadis dayang dan penari yang keluar dari tempat mereka dikurung. Melihat wanita cantik ini, Siok Cin Cu tersenyum di balik topengnya. Bagaimana kalau dia membawa wanita cantik itu bersamanya" Selain untuk teman di perjalanan juga untuk menghibur hatinya! "Hei, berani engkau keluar dari ruangan itu" Hayo kau ke sini dan ikut bersamaku....!" Akan tetapi tiba-tiba Siok Cin Cu menghentikan kata-katanya setelah dia datang dekat dan mengenal wanita ini yang bukan lain adalah Toan Kim Hong! Kim Hong berdiri dengan senyum manis dikulum. Ucapan yang keluar dari balik topeng itu dikenalnya dengan baik dan senyumnya makin melebar menghias bibirnya yang merah basah dan manis ini. Ia lalu bertolak pinggang menghadang di tengah lorong. "Aihh, kiranya si pertapa Siok Cin Cu yang suci itupun mempunyai jubah dan topeng tengkorak" Totiong, tentu engkau tidak lupa kepadaku, bukan" Aku tidak pernah dapat melupakanmu dan budi totiang ketika membawaku ke susiok totiang itu sampai sekarang belum juga sempat kubalas!" Kim Hong berkata dengan nada manis dan ramah, akan tetapi sepasang matanya yang mencorong itu mengeluarkan sinar dingin yang membuat Siok Cin Cu merasa bulu tengkuknya meremang. Akan tetapi dia bukan seorang lemah. Dia adalah pembantu utama dari Sian-su dan dia telah memiliki ilmu kepandaiin tinggi. Karena maklum bahwa bicara banyak tiada gunanya dan bahwa wanita ini adalah teman dari Pendekar Sadis, maka sebelum pendekar itu sendiri muncul dia harus dapat merobohkan wanita ini. Maka dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan dia sudah menggerakkan tangan kanannya untuk mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang dari pinggangnya, lalu dia menubruk ke depan dengan serangan kilatnya! Tangan kirinya masih memeluk peti hitam di dekat dadanya. "Singgg...! Wuuuutt...!" Tusukan pedang itu luput ketika Kim Hong dengan seenaknya mengelak akan tetapi tusukan itu dilanjutkan dengan sabetan sebagai serangan selanjutnya. Gerakan tosu ini memang cukup cepat. Namun, tentu saja dia hanya merupakan lawan yang lunak dari Kim Hong yang pernah menjadi datuk berjuluk nenek Lam-sin ini. Sambil tersenyum mengejek, Kim Hong kembali mengelak. Ia tidak cepat turun tangan terhadap tosu ini karena perhatiannya tertarik kepada peti hitam yang dipeluk si kakek. Tentu terisi benda penting maka hendak dilarikan oleh tosu ini, pikirnya. Oleh karena itu, timbul niat di hatinya merampas peti ini dan memeriksa apa isinya, baru ia akan menghajar tosu palsu ini. "Hyaaaatt...!" Kembali Siok Cin Cu menyerang dengan gerakan pedangnya yang berkelebat seperti kilat menyambar itu. Kim Hong cepat mengelak ke kiri dan ketika pedang itu menusuk ke arah matanya, ia miringkan kepala dan menggunakan tangan kiri untuk menjepit ujung pedang itu dengan ibu jari, telunjuk dan jari tengah, sedangkan kaki kanannya menendang ke arah muka lawan dengan gerakan kilat. "Brettt!" Tosu itu berteriak kaget, bukan hanya karena pedangnya seperti terjepit baja dan topeng tengkoraknya robek terkena ujung sepatu gadis itu, akan tetapi terutama sekali karena pada saat itu tangan kanan gadis itu sudah bergerak dan merampas peti hitamnya! Setelah berhasil merobek topeng sehingga nampak wajah Siok Cin Cu yang agak pucat dan berhasil pula merampas peti hitam, Kim Hong tertawa dan dengan tubuh membuat jungkir balik tiga kali, ia meloncat ke belakang lalu duduk sembarangan di atas lantai, membuka peti hitam itu. Wajahnya berseri, matanya terbelalak dan mulutnya tersenyum girang ketika ia melihat isi peti yang berkilauan, terdiri dari perhiasan-perhiasan emas perak penuh batu permata yang mahal-mahal itu. Dengan wajah pucat Siok Cin Cu memandang. Dia tahu bahwa nona itu lihai bukan main dan kalau berkelahi secara berhadapan, belum tentu dia akan menang. Maka, melihat betapa gadis itu kini terpesona oleh perhiasan di dalam peti seperti seorang anak kecil tertarik oleh mainan yang bagus, diam-diam dia lalu mengambil jalan memutar, mengitari gadis dalam ruangan itu dengan pedang siap di tangan. Setelah tiba di belakang Kim Hong, tiba-tiba dia meloncat, menubruk dan menggerakkan pedangnya untuk melakukan serangan maut yang kiranya tak akan mungkin dihindarkan oleh gadis yang sedang duduk di lantai dan tertarik oleh perhiasanperhiasan itu. Akan tetapi, tanpa menoleh Kim Hong menggerakkan tangan yang sedang memegang tusuk konde kumala tadi ke belakang dan gerakan tosu itu terhenti di tengah udara! Tubuh yang sedang mengangkat pedang hendak membacok itu tiba-tiba terhenti, seperti tertahan oleh kekuatan dahsyat, pedangnya terhenti di atas kepala lalu terlepas dan jatuh ke atas lantai, kedua lututnya terkulai dan tertekuk lalu tubuhnya jatuh berlutut, kedua tangan mendekap dada di mana tusuk konde itu amblas dan memasuki dadanya tepat menusuk jantung. Diapun roboh dan hamya berkelojotan sebentar. Tewaslah Siok Cin Cu tanpa dapat bersambat lagi, matanya terbuka memandang kosong ke arah peti hitam yang terbuka di depan Kim Hong. Kim Hong meloncat bangun dan menutupkan kembali peti hitam, lalu membawa peti itu dan berloncatan menuju ke kamar pusat di mana ia mengharapkan akan dapat bertemu dengan orang yang amat dibencinya, yaitu Sian-su atau Siluman Guha Tengkorak, ketua dari Jit-siankauw. Akan tetapi ia telah kalah dulu oleh Thian Sin. Seperti juga halnya tosu Siok Cin Cu, Sian-su atau Siluman Guha Tengkorak itu melarikan diri membawa sebuah peti hitam yang dipeluknya. Akan tetapi baru saja dia meninggalkan kamarnya dan tiba di ruangan sembahyang, tiba-tiba dia berhenti berlari dan memandang ke depan dengan mata terbelalak. Pendekar Sadis telah berdiri di situ sambil bertolak pinggang dan menentang pandang mata dengan senyum mengejek dan mata mencorong penuh kemarahan! Dapat dibayangkan betapa kaget hati Siluman Guha Tengkorak melihat pendekar ini. "Ah, Ceng-taihiap...!" katanya dengan suara yang ramah sekali, suara yang mengandung kekuatan sihir untuk menundukkan hati lawan. "Aku selalu memegang janji, tidak membunuh engkau atau Toan-lihiap..." "Basus, memang engkau tidak melanggar janji. Dan akupun tidak akan membunuhmu, hanya ingin menangkapmu dan menyerahkanmu kepada para tosu Hong-kiam-pang dan Bu-tong-pai." "Pengkhianat kau!" bentak Sian-su dan diapun sudah menerjang den memukulkan tangan kanannya ke arah kepala Thian Sin. "Darrr...!" Thian Sin terkejut juga melihat sinar terang dan bunyi ledakan ketika ada benda menghantam dinding di belakangnya. Pukulan Sian-su tadi dielakkannya dan ternyata Sian-su itu tidak hanya memukul, melainkan juga melepaskan sesuatu dari kepalan tangannya ke arah kepalanya yang membentur dinding dan meledak, membuat dinding itu berlubang sebesar kepala orang. Kalau benda itu mengenai kepalanya dan meledak, tentu kepalanya yang akan pecah! Sian-su sudah menerjang lagi dengan penuh kemarahan dan karena tangan kirinya masih memeluk peti hitam, dia menggunakan pukulan tangan kanan secara beruntun dua kali dibantu oleh tendangan kakinya satu kali. "Dukk! Dukk! Desss...!" Thian Sin sengaja menangkis dua kali pukulan dan satu kali tendangan itu sambil mengerahkan tenaga keras lawan keras. Tubuhnya tergetar oleh pertemuan tenaga itu, akan tetapi juga Sian-su terdorong ke belakang sampai dua langkah dan terhuyung. Thian Sin tersenyum mengejek. "Ha-ha-ha, Siluman Guha Tengkorak! Sekarang keluarkanlah semua kepandaianmu. Mari kita lihat siapa di antara kita yang lebih kuat!" Siluman itu hanya menggeram dan kini dia sudah menerjang lagi karena Thian Sin menghalang di depannya. Tangan kanannya bukan memukul melainkan mencengkemm dan melihat betapa gerakan tangan itu berputar disertai bunyi suara mencicit nyaring, tahulah Thian Sin bahwa lawannya menggunakan ilmu pukulan yang amat keji, dan mungkin merupakan tok-ciang (tangan beracun). Akan tetapi, tentu saja Pendekar Sadis tidak takut, bahkan gentar sedikitpun tidak menghadapi cengkeraman ini. Diam-diam dia sudah merasa heran mengapa lawannya tetap memeluk peti hitam itu, padahal dalam pertemuan tenaga tadi saja siluman itu tentu sudah maklum bahwa tenaga siluman itu kalah kuat. Kalau bukan peti yang isinya amat berharga tentu siluman itu akan melepaskannya agar dapat menyerang dengan leluasa dan memper-gunakan seluruh kepandaiannya. "Wuttt... plakk...!" Tangan yang mencengkeram ke arah ubun-ubun itu dielakkan oleh Thian Sin, akan tetapi dibiarkan mengenai pundaknya dan dia telah menyambutnya dengan pengerahan tenaga Thi-khi-i-beng! "Aihhhh...!" Sian-su memekik terkejut bukan main ketika cengkeramannya yang mengenai pundak itu mengakibatkan tenaganya membanjir keluar, tersedot oleh kekuatan yang amat dahsyat dan pada saat itu, petinya telah terampas oleh Thian Sin. "Thi-khi-i-beng...!" serunya dan tiba-tiba tenaga cengkeramannya itu menghilang dan pada saat itu, dua jari tangan kirinya mencuat ke depan, ke arah kedua mata Thian Sin. Memang hebat juga ketua Jit-sian-kauw ini. Agaknya dia telah mengenal baik Thi-khi-i-beng dan tahu bagaimana caranya untuk menghadapinya. Dia telah menghentikan aliran tenaga sin-kangnya sehingga tidak sampai tersedot lagi`dan jari tangan kirinya yang menusuk ke arah sepasang mata lawan itu tentu saja tidak dapat dihadapi dengan Thi-khi-i-beng, karena sin-kang yang bagaimana hebatpun tidak mungkin dapat disalurkan melalui biji mata! Thian Sin maklum akan berbahayanya serangan lawan itu, maka diapun sudah meloncat ke belakang sambil membawa peti hitam. Akan tetapi, gerakannya itu memberi kesempatan kepada lawannya untuk meloncat ke kiri dan tiba-tiba saja siluman itu lenyap di balik sebuah tiang besar. "Siluman keparat hendak lari ke mana engkau?" Thian Sin membentak dan mengejar, akan tetapi di belakang tiang ini tidak ada apa-apanya dan si-luman itu lenyap tanpa meninggalkan jejak. Thian Sin menjadi penasaran sekali. Dia merasa yakin bahwa siluiman itu tidak meninggalkan tempat itu melalui lain jalan. Tadi hanya nampak meloncat ke belakang tiang ini dan lenyap. Maka diapun lalu menggerakkan tangan kanannya menampar ke arah tiang sambil mengerahkan tenaga. "Brakkkkk...!" Tiang yang tebal sekali itu, dua kali ukaran manusia tebalnya, pecah berantakan dan kiranya sebelah dalam tiang itu ber-lubang dan tiang itu adalah tiang palsu, bukan balok kayu melainkan papan yang dibentuk seperti tiang dan di dalamnya berlubang. Setelah pecah berantakan, nampak labang itu ke bawah. Thian Sin maklum bahwa itulah jalan rahasia yang dilalui oleh lawannya, maka tanpa ragu-ragu lagi sambil masih mengempit peti hitam, diapun meloncat ke dalam lubang yang ternyata tidak berapa dalam itu. Dia tiba di sebuah ruangan bawah dan terus meloncat ke arah pintu yang membawanya ke sebuah ruangan lain yang penuh dengan cermin. Cemin-cermin kecil yang bersambung-sambung itu mencerminkan dirinya menjadi banyak sekali. Tiap kali dia bergerak, Thian Sin melihat semua bayangannya itu ikut bergerak sehingga dia merasa seperti dikepung oleh banyak sekali orang, ada tiga puluh banyaknya, se
Pendekar Latah 7 Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen Kisah Para Pendekar Pulau Es 10

Cari Blog Ini