Ceritasilat Novel Online

Sukma Pedang 10

Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long Bagian 10


kesan yang ditampilkan adalah seorang laki-laki setengah baya yang
penuh pengertian. Sungguh mengherankan manusia sejahat dirinya
ternyata dapat tersenyum begitu lembut dan enak dipandang,
Apakah manusia demikian yang disebut Serigata berbulu domba"
"Apa bedanya kalau kalian memang sudah mengerti maksud
hatiku," kata Fang Tiong Seng.
"Sun Put Ce adalah orang baik, Berbeda dengan diri mu. Dia tahu
kalau dirinya tidak sanggup membunuhku, dia juga tidak bisa
membantuku Karena dia tahu, aku juga belum tentu bisa
memecahkan jurus ketiga-belas bangau terbangmu. Oleh sebab itu,
dia hanya mempunyai satu jalan yang harus ditempuh," sahut Kwe
Po Giok. "jalan apa?" tanya Fang Tiong Seng.
"Jalan kematian," sahut Kwe Po Giok.
"Tapi dia kan tidak mati?" kata Fang Tiong Seng.
"Pada waktu itu, dia sengaja menyodorkan tenggorokannya ke
arah pedangku, untung saja aku cukup sigap sehingga menariknya
segera, Tapi tak urung ia terluka cukup parah juga," sahut Kwe Po
Giok. "Apakah dia bermaksud menerima kematian saat itu?" tanya Fang
Tiong Seng. "ltu merupakan jalan terbaik bagi pikirannya. Sekarang, kau juga
hanya mempunyai satu pilihan," kata Kwe Po Giok.
Kedua orang itu sama-sama menghunus pedangnya, pertarungan
antara tokoh nomor satu dan dua di Bulim. Bagi perasaan Fang
Tiong Seng, pertarungan itu tentu berbeda dengan pertarungan
yang dialami selama ini. Dia yakin, sebelum ajal, Tang hay sin sian
pasti sudah merencanakan segala sesuatu.
"Pikiranmu terlalu berbelit-belit. Tapi ada beberapa bagian yang
tepat juga. Namun, ada satu hal yang kau lupa," kata Fang Tiong
Seng. "Apa itu?" tanya Kwe Po Giok. "Bahwa aku bukan Sun Put Ce!"
sahut Fang Tiong Seng ketus.
Kwe Po Giok tidak menjawab. Dia langsung menyerang. Hunusan
pedang kedua orang itu sangat cepat, Seakan deretan nama mereka
seharusnya seimbang, Tapi, kalau diperhatikan dengan seksama.
pedang Fang Tiong Seng memang lebih cepat beberapa kejapan
mata dari pada-Kwe Po Giok, karena pemuda itu telah terluka.
Fang Tiong Seng berteriak nyaring, Sekali pedangnya berkelebat
Baju lengan kiri Kwe Po Giok terkoyak. Dia mundur sebanyak lima
langkah. Fang Tiong Seng tidak mau kehilangan kesempatan yang
baik itu. Dia menusuk sekali lagi. Kwe Po Giok terpaksa meloncat
mundur lagi. Sekarang jaraknya tinggal tiga langkah dari jurang yang dalam itu.
Pada saat yang berbahaya itu, suara kibaran baju mendesir di
udara. seseorang melayang turun di dekat mereka, Kepala orang itu
tertunduk ke bawah, Dia seakan segan menatap wajah orang yang
di hadapannya Orang yang datang, ternyata Sun Put Ce yang Kwe
Po Giok sendiri sulit menyangkal bahwa dia juga seorang Sin tong,
Wajah Fang Tiong Seng berubah hebat, "Untuk apa kau datang ke
tempat ini?" tanyanya marah.
"Mohon jangan membunuh Siau Kwe!" sahut Sun Put Ce.
"Seharusnya aku yang menuruti perintahmu atau kau yang harus
mendengar apa kataku?" tanya Fang Tiong Seng dengan mata
mendelik. "Dengan kejahatan memuaskan diri sendiri Bagaimana menghalau
ombak besar di tengah lautan, Meskipun ombak itu berhasil dihalau,
di belakang akan datang lagi segulung ombak yang lebih tinggi. Di
dunia ini tidak ada manusia yang benar-benar nomor satu. Di atas
gunung masih ada gunung lainnya, Teecu harap Suhu mau
merenungkannya sekali lagi," kata Sun Put Ce.
Fang Tiong Seng tertawa dingin, "Kalau kau mau terjun ke dalam
jurang itu, baru dapat dianggap dirimu tulus, Mungkin aku akan
mempertimbangkannya kembali," katanya.
"Mati untuk seorang sahabat, Sun Put Ce tidak akan
mengernyitkan dahi sedikit pun, Mohon Suhu tidak mengingkari
janji," sahut Sun Put Ce.
"Sun Put Ce, maling tua itu tidak dapat dipercaya!" teriak Kwe Po
Giok panik. "Kwe siaute, kau pergilah!" kata Sun Put Ce.
"Apakah kau mengira dia akan melepaskan diriku selamanya?"
tanya Kwe Po Giok. "lya," sahut Sun Put Ce.
"Menaruh harapan pada seorang iblis, memberi kepercayaan
kepada seekor harimau yang sedang kelaparan Sun Put Ce, ternyata
kau masih belum sadar siapa manusia itu," kata Kwe Po Giok.
"Suhu.... Fu tam cianpwe (Nama asli Tang hay sin sian) telah cao
hue jit mo, namun dia masih memiliki kemauan untuk berkorban
demi dunia Bulim, jasa sebesar itu akan dikenang pendekar
Tionggoan selamanya, sedangkan Kwe siaute adalah ahli waris
tumpuan harapannya, Apalagi dia juga menitipkan Siau kiong cu
yang sudah yatim piatu. Harap Suhu memandang muka orang tua
yang sudah meninggal itu dan melepaskan Kwe siaute," Sun Put Ce
memohon kepada Suhunya dengan wajah memelas.
Pada saat ini, rencana Fang Tiong Seng sudah hampir rampung,
cita-citanya yang ingin menguasai dunia Bulim sudah tampak di
depan mata. Mana mungkin dia rela melepaskannya hanya karena
permohonan murid terakhir itu.
Adat Kwe Po Giok sendiri sangat keras dan angkuh, Dia tidak akan
meminta belas kasihan orang lain walaupun hal ini menyangkut
hidup mati dirinya, Tadinya, dia mengira bahwa kepandaiannya
sudah sanggup menandingi Fang Tiong Seng, ternyata jarak mereka
masih terpaut jauh. "Sun Put Ce, mari kita mengadu nyawa dengannya!" teriak Kwe
Po Giok tiba-tiba.ucapannya selesai, orangnya juga langsung
menyerang, Sun Put Ce tahu, saat ini Siau Kwe tidak mungkin
sanggup menandingi Suhunya, seandainya dia tidak perduli, pemuda
itu pasti akan mati. Dan apabila dia turut campur, dia merasa
bersalah kepada Fang Tiong Seng.
Meskipun dia mengerti Fang Tiong Seng bukan manusia baik-baik,
Dia tidak dapat berpikir banyak lagi Nyawa Kwe Po Giok sedang
terancam, Dia segera melayang ke udara dan membantu pemuda
tersebut. Sinar mata Fang Tiong Seng menyiratkan hawa pembunuhan
yang tebal, Dia ingin menyelesaikan persoalan ini dengan cepat,
jangan sampai ada yang mengetahui kalau dia membunuh muridnya
sendiri. Manusia yang berambisi terlalu tinggi, mungkin otaknya juga
sudah mulai tidak waras, Fang Tiong Seng segera menghentakkan
kaki dan menyerang kedua orang itu.
Tusukan pedang yang tajam menikam paha Kwe Po Giok, secepat
kilat ditariknya kembali pedang memutar mengarah ke Sun Put Ce,
Tapi dia lebih beruntung, dia sempat berkelit. Hatinya masih berat
untuk bertarung dengan gurunya sendiri Dia hanya berharap agar
Fang Tiong Seng mau mengerti dan sadar serta melepaskan Kwe Po
Giok, Nasibnya sendiri tidak begitu diperdulikan.
Kwe Po Giok kembali terdesak, Sun Put Ce berusaha membantu
sekuat tenaga, Fang Tiong Seng semakin gencar menusuk ke arah
kedua orang itu, Mereka mengelak ke sana ke mari. Sekali lagi Fang
Tiong Seng menikam, Kwe Po Giok sudah berada di sudut jurang,
Keseimbangannya goyah, Sun Put Ce mencoba menarik
tangannya, Akibatnya malah semakin runyam. Kedua-duanya jatuh
tergelincir ke dalam jurang yang mempunyai aliran sungai deras.
Fang Tiong Seng menatap ke dalam jurang tersebut Dia masih
menanti beberapa lama, Tapi kedua orang itu tidak terlihat timbul
dari sungai Sekarang dia baru yakin. Dunia ini tidak lama lagi akan
berada di bawah cengkeraman tangannya.
Bulim memang sangat luas, Aliran partai yang ada juga amat
banyak, Tapi, tidak mungkin ada seorang pun yang dapat
mengalahkannya lagi. Dia menengahkan kepala ke atas langit
Suara tawanya yang terbahak-bahak menggema di sekeliling
pegunungan tersebut. -ooo0ooo- Bagian Dua puluh Tiga Siau kiong cu tidak sabar lagi menunggu. Dia pergi menemui Bwe
Mei. Mereka memang tahu bahwa Sun Put Ce dan Kwe Po Giok pergi
memenuhi janji, tapi entah di mana tempatnya,
Kedua gadis itu tadinya merupakan saingan, Sekarang tidak ada
permusuhan sedikit pun di antara mereka.
"Bwe Mei.... Apa yang harus kita Iakukan?" tanya Siau kiong cu.
Bwe Mei juga kebingungan Dia tidak tahu harus berbuat apa.
Tetapi, dia harus dapat menemukan jawaban bagi Siau kiong cu.
Sebetulnya, apapun yang hendak dilakukan oleh seseorang, sampai
pada waktu yang sangat terdesak barulah terpikirkan.
"Siau kiong cu... Kwe siaute sangat cerdas, Sun Toako juga
banyak pengalaman, mereka saling bahu membahu, rasanya tidak
mungkin terjadi apa-apa." sahut Bwe Mei menenangkan Lu ji.
"Bwe ci, dapatkah kau menduga siapa lawan mereka?" tanya Siau
kiong cu dengan wajah cemas.
Bwe Mei menggelengkan kepalanya.
"Meskipun aku juga tidak tahu, namun melihat kemurungan Kwe
Po Giok akhir-akhir ini, aku dapat membayangkan berapa tingginya
ilmu yang dimiliki lawan," kata Siau kiong cu selanjutnya.
"Betul, dengan gabungan kedua orang itu, berapa banyaknya
tokoh di Bulim yang sanggup menandingi saat ini?" sahut Bwe Mei.
Tepat pada waktu itu, terdengar ada seseorang yang mengetuk
pintu, Bwe Mei segera membukakannya, Yang datang adalah Fang
yen yang bekerja sebagai pelayan di gedung keluarga Fang Tiong
Seng. "Ada urusan apa Fang lopek berkunjung ke tempat kami?" tanya
Bwe Mei dengan pandangan menyelidik.
Di mata orang tua itu masih tersisa genangan air mata.
"Aku datang untuk memberitahukan sesuatu hal kepada Kouwnio
dan Siau kiong cu," katanya.
"Memberitahukan soal apa?"
"Murid perguruan Loya, Sun Put Ce dan Kwe siaute mengadakan
perjanjian dengan Tokku peng dan muridnya untuk bertarung di
dermaga tua di luar kota. Tokku Peng dan muridnya tewas bersama,
Namun Kwe siaute dan Sun Put Ce terluka parah dan jatuh
tergelincir ke dalam jurang, Sampai sekarang mayat mereka belum
ditemukan," kata Fang yen menjelaskan.
Bwe Mei merasa seakan ada batu besar yang membentur
kepalanya, tetapi Siau kiong cu hanya terkejut sesaat. Tidak lama
kemudian, dia sudah tenang kembali.
"Fang lopek.... Apakah kau pergi ke tempat itu dan
menyaksikannya dengan mata kepala sendiri?" tanyanya.
"Tidak, Sun Put Ce pernah memberitahukan bahwa dia dan Kwe
Po Giok akan bertarung dengan kedua guru dan murid tersebut
Setelah menunggu sekian lama, aku melaporkannya kepada majikan.
Loya segera berangkat ke tempat tersebut, namun tetap terlambat
satu langkah," sahut Fang yen dengan wajah sendu.
"Kalau memang sudah terlambat satu langkah, mengapa Loyamu
bisa mengetahui bahwa Kwe Po Giok dan Sun Put Ce terluka parah
jatuh tergelincir ke dalam jurang" Dia toh tidak menyaksikannya
sendiri," tanya Siau kiong cu yang berotak cerdik itu.
"Hal ini dapat diduga dari apa yang dilihat Loya di dermaga tua
tersebut," kata Fang yen.
"Apa yang dilihat Loyamu di dermaga itu?" tanya Siau kiong cu.
"Loya melihat mayat Tokku Peng dan muridnya ada di tepi jurang,
sedangkan Sun Put Ce dan Kwe Po Giok tidak terlihat sama sekali.
Loya telah mencari di sekeliling tempat itu, namun tetap tidak
terlihat bayangan mereka, dengan demikian Loya menduga mereka
tergelincir ke dalam jurang," sahut Fang yen.
"Meskipun uraianmu cukup masuk akal, tapi belum tentu mereka
sudah mati," kata Siau kiong cu.
"Betul. Hamba juga berharap mereka bukan terjatuh ke dalam
jurang, tapi hanya mendapat luka dan sudah meninggalkan tempat
tersebut," sahut Fang yen sambil menganggukkan kepalanya.
"Apakah Loyamu yang memerintahkan kau datang
memberitahukan hal ini kepada kami?" tanya
Bwe Mei dengan air mata berlinang.
"Betul, Loya berpesan, keadaan kalian sangat berbahaya. Apalagi
kalau tinggal di luar tanpa ada yang menjaga, Lebih baik, untuk
sementara kouwnio berdua tinggal di gedung keluarga Fang, Dengan
demikian lebih aman," kata pelayan tua itu.
"Terima kasih! Yang paling penting sekarang adalah mencari
orang yang hilang, Fang lopek, apakah kau dapat menunjukkan
jurang di mana mereka terjatuh?" tanya Bwe Mei dengan suara
sendu. "Tentu saja, Tapi Loya mengharap kedua kouwnio datang ke
gedung keluarga Fang lebih dahulu, Soal mencari mereka, Loya akan
membantu sekuat tenaga," sahut Fang yen.
"Siau kiong cu, mari kita pergi bersama Fang lopek," ajak Bwe
Mei. *** Orang yang dicari tidak ketemu, Bwe Mei menangis sepanjang
hari. Siau kiong cu menasehati gadis itu supaya jangan terlalu
bersedih, Kalau Sun Put Ce dan Kwe Po Giok memang sudah mati,
paling tidak ada mayatnya sebagai bukti. Siau kiong cu tetap yakin
kedua orang itu masih hidup.
Bwe Mei sangat kagum terhadap pendirian Siau kiong cu.
Tampaknya dia tidak begitu khawatir dengan keadaan Kwe Po Giok,
Pendapat seperti itu mungkin saja, tapi tidak tentu tepat.
Bwe Mei tidak sanggup membuat pikirannya begitu terbuka
seperti Siau kiong cu. Oleh karena itu, ketika malam hari gadis itu
sedang mandi, dia tidak dapat menahan diri lagi. Dia keluar lagi
mencari kedua orang tersebut Biasanya Siau kiong cu tidak
menyalakan lampu sehabis mandi.
Dia takut ada yang mengintip. Tapi kali ini tidak seperti biasanya,
Dia malah menyalakan tiga buah lilin yang besar. Keadaan dalam
kamar mandi jadi terang benderang. Bentuk tubuhnya terlihat jelas.
Sepasang mata seperti maling mengintai dari balik kegelapan Siau
kiong cu tidak mengenakan apa-apa lagi, Mata itu dapat
memandang dengan puas. Mengapa Siau kiong cu merubah
kebiasaan" Apakah dia sekarang tidak takut kalau dirinya diintip"
Tengah malam Bwe Mei baru kembali Siau kiong cu sudah pulas di
atas tempat tidur, Bwe Mei menggelengkan kepalanya, Dia
menganggap gadis itu benar-benar masih ke kanak-kanakan.
Malam sudah larut. Di tengah hutan sunyi sekali. Ada sekumpulan kabut tipis yang
melayang di atas tanah. Mungkin semua orang sedang terlelap
dalam alam mimpi, Hanya Fang Tiong Seng yang belum tidur, Dia
sedang berlatih ilmu silat.
Kadang-kadang sambaran pedangnya menimbulkan suara
menderu. Dia mulai berhasil menyelami inti sari ilmu pedang
peninggalan Tang hay sin sian, Hatinya senang sekali, dia semakin
giat berlatih. Dia tahu kalau ingin menguasa dunia kangouw, maka dia harus
banyak latihan, Keyakinannya terhadap ilmu pedang Tang hay sin


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sian semakin dalam. Karena sejak mempelajari ilmu pedang
tersebut, tidak ada satu tokoh pun yang dapat menahan lima jurus
serangannya, sedangkan Kwe Po Giok dapat bertahan sebanyak
tujuh jurus. Hal ini membuktikan bahwa ilmu pedang Tang hay sin
sian memang tidak boleh diremehkan.
Pada saat itu, dari balik kabut yang tipis muncul seseorang, Fang
Tiong Seng menatap dengan seksama, wajahnya berubah seketika,
Orang yang baru datang ternyata Toa Tek To Hun.
Bertemu sekali lagi dengan orang yang dianggap sudah mati,
sungguh menimbulkan perasaan yang tidak enak. Dia tahu yang
dilihatnya bukan hantu. Sebab, meskipun ginkang Toa Tek To Hun
sangat tinggi, namun ketika dia melayang turun dengan bantuan
selembar daun, dia tetap menerbitkan sedikit suara.
"Apakah Toa Tek To Hun yang datang?" tanya Fang Tiong Seng.
"Mungkinkah yang ini juga palsu?" sahut Toa Tek To Hun sambil
mendengus dingin. "Rupanya kau memang tidak mati!" kata Fang Tiong Seng.
"Kalau aku mati, siapa yang akan membereskan dirimu?" sahut
Toa Tek To Hun datar. Fang Tiong Seng tersenyum lebar.
"Toa Tek To Hun.... Bagaimana kau bisa hidup kembali?"
tanyanya. "Hal ini mempunyai kaitan yang dalam dengan ilmu ninja dari
negara kami. pedangmu memang menusuk dadaku dengan tepat.
Namun pada saat yang paling kritis, aku masih sempat
mengeluarkan ilmu andalan kami, yaitu menutup jalan pernafasan
sehingga mati untuk sementara," sahut Toa Tek To Hun.
"Tapi... aku sudah menguburmu di dalam tanah?" Fang Tiong
Seng tidak begitu percaya dengan keterangan itu.
"Betul. Karena jalan pernafasan itu tertutup, Denyut nadi pun
akan terhenti untuk beberapa lama, Setelah hidup kembali, aku
mendobrak peti dan keluar. Selama ini aku berada di sekitar sini
merawat luka. Gerak-gerikmu tidak lepas dari pengawasanku," kata
Toa Tek To Hun. Fang Tiong Seng menggelengkan kepala sambil menarik nafas.
"Toa Tek To Hun.... Tidak kau seharusnya datang kemari,"
katanya. "Tidak seharusnya datang?" tanya Toa Tek To Hun.
"Betul. Kalau aku menjadi dirimu lebih baik aku segera pulang ke
kampung halaman," kata Fang Tiong Seng.
"Mengapa?" tanya Toa Tek To Hun.
"Dulu kau bukan tandinganku, apa lagi sekarang," kata Fang
Tiong Seng. "Kalau aku berani datang, berarti keyakinanku di atas tujuh
bagian," sahut Toa Tek To Hun.
"Bila keyakinanku tidak di atas sembilan bagian, aku tidak akan
mencoba-coba," kata Fang Tiong Seng.
"Kau dan aku jangan disamakan, Kalau membunuh dirimu,
Kemarahan di hati ini tidak bisa reda, Lagipula aku merasa bersalah
kepada Tang hay sin sian locianpwe," sahut Toa Tek To Hun.
"Kalau memang demikian, lebih baik kau mati saja," kata Fang
Tiong Seng sinis. "Kematian bagi kita yang berkecimpung di dunia persilatan, bukan
hal yang mengherankan lagi, Lagipula merupakan sebuah kewajiban
untuk menunaikan bakti pada negara, Semboyan hidup kami adalah
berani berkorban bagi majikan!" sahut Toa Tek To Hun.
"Siapa cu jin mu sekarang?" tanya Fang Tiong Seng,
"Tang hay sin sian Pu Tam Cing," sahutnya.
Fang Tiong Seng sampai termangu-mangu mendengar jawaban
Toa Tek To Hun. Ternyata dia rela menjadi bawahan Tang hay sin
sian, Hal ini membuatnya semakin kagum kepada almarhum Tang
hay sin sian. Hati seorang budak atau pun bawahan sangat sulit
dimengerti. Berani mati demi majikan merupakan persoalan yang
patut dikagumi. "Hari ini aku baru tahu, kau bukan manusia!" kata Toa Tek To
Hun. "Betul. Dan aku akan mengajakmu menjelajahi duniaku," sahut
manusia jahat itu. Toa Tek To Hun menggenggam pedangnya eraterat.
Matanya menatap dingin, wajahnya tidak menampilkan
perasaan gentar sedikit pun, pedang Fang Tiong Seng sejak tadi
sudah terhunus. Mereka saling menatap dengan tajam, kemudian,
terlihat pedang di tangan Toa Tek To Hun berkelebat.
Saat itu, dia baru menyadari bahwa Fang Tiong Seng memang
susah dicari tandingannya lagi. perubahan gerakannya sangat
mengejutkan pedang di tangan Toa Tek To Hun yang biasanya
hanya menyerang sekali lalu masuk kembali ke dalam sarung tidak
terlihat kali ini. "Trang.,, trang., trang.,.!" Tujuh kali Toa Tek To Hun menyerang
berturut-turut, Dia mengerahkan seluruh kepandaiannya, Fang Tiong
Seng terkejut juga melihat kenekatan orang itu. sekarang dia baru
tahu, ketika bertarung dengannya tempo hari, Toa Tek To Hun
belum mengeluarkan jurus andalannya.
Rahasia kepandaian seseorang, pasti tidak akan ditonjolkan
kecuali pada saat yang genting, Fang Tiong Seng berteriak nyaring.
pedangnya menyambar ke samping, kemudian membentur pedang
di tangan Toa Tek To Hun. "Trang!"
Manusia Fu sang merasa tangannya kesemutan. Tenaganya
lenyap seketika, Fang Tiong Seng menggunakan kesempatan itu
dengan sebaik-baiknya. Tanpa menunda lebih lama, dia menyabet
sekali lagi, Leher Toa Tek To Hun tertembus oleh pedang itu.
Darah segar menyembur ke mana-mana, Tubuh Toa Tek To Hun
menyusul rubuh. Tangannya tetap menggenggam pedang erat-erat.
Sampai mati pun, dia tidak mau melepaskan pedangnya.
Kematiannya yang pertama juga terjadi di tangan manusia jahat
ini. Tapi banyak orang yang merasa gembira, karena dia merupakan
manusia yang tadinya membunuhi jago-jago kelas satu di
Tionggoan, sedangkan kematiannya kali ini, patut disesalkan. Sebab,
sejak dia menerima baik permintaan Tang hay sin sian, hatinya
merasa terpukul, Dia berani mengakui kesalahannya dan berjanji
untuk tidak membunuh lagi. Dia bagaikan seorang penjahat yang
masuk dalam pintu Budha untuk menyucikan diri.
Sekarang, boleh dibilang kematiannya adalah demi memenuhi
janji kepada Tang hay sin sian, Dia ingin membalas kebaikan
manusia sakti itu. Dia bangga mati dalam cara demikian. Sekali lagi
Bwe Mei mencari Sun Put Ce dan Kwe Po Giok yang hilang tanpa
kabar berita, Dia tidak dapat disamakan dengan Siau kiong cu.
Tanpa Sun Put Ce, hidupnya kehilangan sebuah tempat menyandar,
seandainya mereka sudah mati, dia tetap ingin melihat mayat
mereka sebagai bukti. Tanpa menemukan mayat kedua orang itu,
dia tetap optimis. Di dunia ini banyak orang yang hidup dalam penderitaan. Karena
apa pun yang dilakukan, pikiran mereka selalu menuju ke arah putus
asa dan kecewa. Bwe Mei menyusuri pegunungan sejauh sepuluh li.
Sampai ke ujungnya yang sempit dan berakhir buntu, Dia kembali
lagi. Dia tidak berhasil menemukan jejak apa pun dari kedua orang
tersebut Baik sehelai sapu tangan atau pun sepasang sepatu,
Berhari-hari dia melongok ke dalam sungai. Apabila Sun Put Ce atau
pun Kwe Po Giok mati tenggelam, tentu pada suatu hari mayat
mereka akan mengapung ke atas permukaan air.
Dengan berderai air mata, dia naik kembali ke atas dermaga tua.
Ada seseorang yang sedang berlatih ilmu di dalam hutan kecil, Baru
saja dia bermaksud membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat
itu, tapi sudah terlambat Kalau saja pikirannya tidak sedang kalut
sehingga perhatiannya terpecah, dia pasti masih sempat
meninggalkan tempat itu tanpa diketahui orang tersebut.
Orang itu ternyata hanya mempunyai sebelah lengan juga. Dia
adalah Chow Ai Giok, Sekarang, mereka masing-masing mempunyai
alasan untuk saling membenci "Kadang-kadang dunia ini sangat
sem-pit," kata Chow Ai Giok.
"Tepat. sebetulnya aku tidak ingin bertemu denganmu," sahut
Bwe Mei. "Tampaknya sudah merupakan takdir yang kuasa," kata Chow Ai
Giok. "Kau selamanya tidak mau mengoreksi diri, mengapa nasibmu
bisa menjadi demikian?" sahut Bwe Mei.
"Meskipun aku telah kehilangan sebelah lengan, namun masih
sanggup membunuhmu, percaya tidak?" tanya Chow Ai Giok.
"Aku juga mempunyai pikiran yang sama," sahut Bwe Mei.
"Kau juga sanggup membunuhku?" tanya Chow Ai Giok
menganggap kata-kata itu lelucon terbesar yang pernah
didengarnya, "Tapi aku sama sekali tidak ingin saling membunuh,
tujuanku kemari adalah untuk mencari orang," sahut Bwe Mei.
"Sebetulnya aku juga tidak ingin membunuhmu, aku hanya
menginginkan sebelah kakimu saja," kata Chow Ai Giok.
"Mengapa kau tidak pernah menyerah?" tanya Bwe Mei.
"Karena apa pun yang kulakukan harus ada tambahannya," kata
Chow Ai Giok sinis. "Sayang sekali kau tidak tahu bahwa kesempatan itu hampir tidak
ada," sahut Bwe Mei.
Tiba-tiba Chow Ai Giok menggenggam pedangnya erat-erat. Dia
menggunakan tangan kiri, Bwe Mei juga menggunakan tangan yang
sama. Siapa pun tidak ada akan saling merugikan, Bwe Mei menarik
nafas panjang. "Kalau kita harus bertarung lagi, rasanya menyedihkan juga amat
lucu. Apakah kau tidak mempunyai anggapan demikian?" tanyanya.
Pedang Chow Ai Giok menyambar Bwe Mei segera menghindar
Dengan gerakan yang tidak kalah cepat, dia membalas.
"Trang!" Kedua pedang beradu sedetik.
Chow Ai Giok menjerit, pedangnya telah terlepas dari tangan,
Ternyata luka di bahunya baru saja sembuh. Kalau menggunakan
tenaga besar masih terasa sakit, Lagipula dia belum lama belajar
menggunakan pedang dengan tangan kiri, Hasilnya belum
sesempurna Bwe Mei. Mana mungkin dia dapat menandinginya.
Pedang Bwe Mei menempel di lengan kirinya. Wajah Chow Ai Giok
pucat pasi, Namun dia masih bisa berteriak dengan galak....
"Mengapa tidak kau bunuh?"
"Bukan aku tidak mau membunuhmu perbuatanmu sungguh keji.
Seratus kali mati pun masih belum cukup untuk menebusnya,
Namun, bila melihat nasib yang dialami kau dan aku, tampaknya kita
memang sependeritaan" kata Bwe Mei.
"Siapa yang sependeritaan denganmu?" tanya Chow Ai Giok.
"Kau!" sahut Bwe Mei.
Pedangnya yang tadi menempel di lengan kiri Chow Ai Giok
ditariknya kembali Dia melengos kemudian meninggalkan tempat
tersebut. "Kau masih memiliki seorang laki-laki yang melindungimu
sedangkan aku adalah sekuntum mawar yang telah layu," kata Chow
Ai Giok. "Laki-laki yang kumiliki itu entah masih hidup atau sudah mati,
Mungkin dia sendiri yang tahu," sahut Bwe Mei tanpa menghentikan
langkah kakinya, Jilid 18 TAMAT Chow Ai Giok terpana, Dia menghampiri Bwe Mei dengan tergesagesa,
Gadis itu mengira Chow Ai Giok masih tidak mau sudah, dia
berdiri di tempatnya semula untuk bertarung kembali.
"Mengapa kau begitu panik" Aku tidak bermaksud apa-apa,
Katamu tadi, Sun Toa-ko menghilang?" tanya Chow Ai Giok.
Bwe Mei menganggukkan kepalanya.
"Bagaimana bisa menghilang?" tanya Chow Ai Giok penasaran.
"Kau tentunya gembira sekali," sahut Bwe Mei ketus.
"Mengapa?" tanya Chow Ai Giok.
"Banyak manusia di dunia ini yang senang melihat penderitaan
orang lain. Apalagi kalau penderitaan orang itu melebihi dirinya,"
kata Bwe Mei. Tanpa disangka, Chow Ai Giok menggelengkan kepalanya.
"Bwe Mei.,., Meskipun aku seorang manusia busuk, tapi aku tetap
tidak mengharapkan kematian Sun Toako," sahutnya.
Bwe Mei menatap Chow Ai Giok. Pada saat itu, semua dendam
dan kebencian tak setitik pun tertinggal lagi di hati mereka.
"Sebetulnya aku memang perempuan busuk, Kiau Bu Suang juga
pernah berkata demikian." kata Chow Ai Giok acuh tak acuh.
Bwe Mei memandangnya dengan termangu-mangu.
"Kau tidak percaya bukan?" tanya Chow Ai Giok.
Bwe Mei tetap tidak bersuara.
"Semasa hidupnya, Kiau Bu Suang pernah menyatakan bahwa
diriku hanya lebih bersih dari perempuan penjaja diri di rumah
hiburan," kata Chow Ai Giok selanjutnya.
"Dia benar-benar pernah berkata seperti itu?" tanya Bwe Mei
dengan mata terbelalak. "Untuk apa aku berbohong padamu?" sahut Chow Ai Giok.
"Dia benar-benar bukan manusia," kata Bwe Mei kesal.
"Tepat, Dan laki-laki yang bukan manusia itu ternyata pernah
meniduri aku sebanyak tiga kali," sahut Chow Ai Giok.
Mata Bwe Mei mendelik semakin lebar.
Dia seakan ingin melihat dengan tegas, apakah Chow Ai Giok
masih waras" Apakah dia tidak terserang semacam penyakit lupa
ingatan" Bagaimana dia bisa mengucapkan kata-kata seperti itu"
Chow Ai Giok tertawa lebar. Tampaknya dia sedang
menertawakan dirinya sendiri.
"Apakah kau anggap diriku sangat jalang?" tanyanya.
"Tidak! pukulan batin yang kau terima terlalu hebat," sahut Bwe
Mei. "Sebetulnya kami sama-sama jalang, Dia mempermainkan aku
seperti perempuan penjaja diri, sedangkan aku menganggapnya
seperti seekor ayam jantan, Pokoknya, apabila seorang perempuan
sudah pernah melakukannya satu kali, dia tidak akan perduli untuk
kedua atau ketiga kalinya," kata Chow Ai Giok.
Bwe Mei sama sekali tidak menyahut. Dia yakin, apabila Chow Ai
Giok tidak mengalami tekanan mental seberat itu, dia pasti tidak
akan mengucapkan kata-kata semacam itu. Tiba-tiba Chow Ai Giok
menarik nafas panjang lagi.
"Meskipun dia begitu keji, begitu tidak menghargai diriku, tapi
setelah dia mati, aku masih sering memikirkannya."
"Manusia memang mempunyai perasaan," sahut Bwe Mei.
"Sebetulnya aku sudah hamil, lalu aku memutuskan untuk
menggugurkannya secepat mungkin, Tapi sekarang pendirianku
sudah berubah," kata Chow Ai Giok.
"Kau tidak jadi menggugurkan kandunganmu?" tanya Bwe Mei.
"Hm.... Mengapa harus digugurkan" Anak toh tidak bersalah.
Lagipula sebagian darinya adalah milikku," kata Chow Ai Giok.
"Betul, seharusnya kau memang tidak boleh menggugurkan
kandunganmu, Lagipula terlalu berbahaya," sahut Bwe Mei.
"Aku merasa bersalah padamu," kata Chow Ai Giok.
"Mengapa kau tiba-tiba bisa mengucapkan kata-kata seperti itu?"
tanya Bwe Mei hampir tidak percaya, sifat Chow Ai Giok sangat
keras. Tidak biasanya dia mau mengakui kesalahannya terhadap
seseorang. Mungkin dia lebih baik mati daripada harus minta maaf
kepada orang lain. Hal ini membuktikan bahwa perempuan itu sudah
berubah.

Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tahukah kau, entah berapa banyak musibah dan penderitaan
yang telah kualami, baru membuat diriku sadar kalau selama ini aku
sangat berdosa terhadap kalian?" katanya.
"Yang sudah berlalu tidak usah diungkit kembali. Aku harap kau
akan membesarkan anak itu dengan baik-baik," sahut Bwe Mei.
"Aku sangat iri kepadamu. Tapi untuk selanjutnya aku tidak akan
menyusahkan dirimu lagi," kata Chow Ai Giok.
"Hal apa yang membuat kau iri kepadaku?" tanya Bwe Mei.
"Cinta Sun Toako kepadamu sangat dalam. Dla setia, baik hati,
selamanya tidak akan berpaling, Bukankah laki-laki semacam ini
yang selalu didambakan kaum perempuan?" kata Chow Ai Giok.
"Tetapi dia menghilang, Lagipula tampaknya lebih banyak bahaya
daripada selamat. Coba kau bayangkan.,., Terjatuh ke dalam jurang
seperti ini, apakah masih ada harapan untuk hidup?" sahut Bwe Mei.
"Bwe Mei.... Aku juga membantu mencarinya," kata Chow Ai Giok.
"Ai Giok.... Mengapa kau tidak tinggal bersama kami saja?" tanya
Bwe Mei seraya menggenggam tangannya dengan lembut.
"Aku?" Chow Ai Giok menggelengkan kepalanya dengan keras,
"Tidak! Aku bukan perempuan baik-baik, Siau kiong cu pasti sebal
melihatku. Sudahlah! perempuan semacam aku tidak mungkin ada
yang mengasihani," kata Chow Ai Giok.
"Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Kalau kau bersedia,
kapan saja kau boleh datang ke tempat kami. sebetulnya nasib kita
bertiga sama-sama buruk. Siau Kwe juga menghilang," sahut Bwe
Mei. "Mari! Aku temani kau mencari kedua orang itu," kata Chow Ai
Giok. "Aku justru merasa mereka tidak mungkin sudah mati."
"Mudah-mudahan apa yang kau katakan akan menjadi
kenyataan," sahut Bwe Mei pelan.
-ooo0ooo- Bagian Dua puluh Empat Siau Kwe belum mati Sun Put Ce juga sama. Pada saat terdesak di
pinggir jurang, Sun Put Ce mengulurkan tangannya untuk menolong
Kwe Po Giok, Namun dia tetap tidak tega turun tangan terhadap
Fang Tiong Seng. Manusia jahat itu menyerang mereka sekali lagi,
sehingga kedua-duanya jatuh tergelincir ke dalam jurang tersebut.
Sebetulnya, seratus kali mati pun, Fang Tiong Seng masih belum
cukup menebus dosanya, Kalau pada saat itu Sun Put Ce jatuh
seorang diri ke dalam jurang, sudah dipastikan dia akan mati.
Karena Sun Put Ce tidak bisa berenang, Untung saja ada Kwe Po
Giok. Pemuda itu menarik leher bajunya erat-erat. Sun Put Ce diajak
menyelam ke dalam air dan menyelamatkan diri dengan cara itu.
Oleh karena itu, Fang Tiong Seng menunggu sekian lama tapi ia
tidak melihat mereka timbul kembali, Kwe Po Giok sengaja
menimbulkan kesan seakan mereka mati tenggelam. Setelah
berenang cukup jauh, Kwe Po Giok menarik Sun Put Ce naik ke
daratan untuk merawat luka. Tentu saja, perut Sun Put Ce sudah
dipenuhi air. Dengan susah payah, baru berhasil Kwe Po Giok
menyelamatkan dari kematian.
Sekarang luka mereka sudah sembuh. Untuk membuktikan suatu
persoalan, mereka terpaksa menggali pasir di tepi sungai. Sun Put
Ce terus menggali Lubang itu sudah cukup dalam, Mungkin setinggi
seorang manusia dewasa, Tapi tidak berhasil menemukan apa pun.
Sun Put Ce mengusap keringatnya yang bercucuran.
"Po Giok... Apakah tempatnya tidak salah?" tanya Sun Put Ce.
"Tidak!" sahut Kwe Po Giok.
"Apakah harus menggali sampai dalam sekali?" tanyanya,
"Tidak, Tapi tidak terlalu dangkal juga."
"Mengapa harus demikian dalam?" tanya Sun Put Ce.
"Mungkin takut ada anjing yang menggali lalu memakannya,"
sahut Kwe Po Giok tenang-tenang. Sejak tadi, memang lebih banyak
Sun Put Ce yang menggali daripada dia.
"Coba kau lihat, apakah sekarang sudah cukup dalam?" tanya Sun
Put Ce. Siau Kwe menghampiri Dia menaksir-naksir sejenak.
"Pada waktu itu, aku mengintip dari jarak kurang lebih sepuluh
depa, Aku hanya mengira-ngira dalam otak," sahutnya.
"Thian! persoalan ini bukan main-main. Mana boleh kau asal
mengira saja?" Sun Put Ce hampir kehabisan akal menghadapi
pemuda itu. "Pokoknya di sekitar tempat ini. Rajinlah sedikit. Coba kau gali lagi
lebih lebar, Pasti akan kau temukan apa yang kuceritakan itu," kata Kwe Po
Giok, Dia duduk kembali di atas sebuah batu besar dan memikirkan
masalahnya sendiri. Sun Put Ce menggali kembali. Pekerjaan seperti ini selalu menjadi
bagiannya, tapi dia tetap tidak mengeluh.
"Lao Sun, coba kau tebak, bagaimana keadaan Lu ji dan Bwe Mei
saat ini?" tanya Kwe Po Giok.
Tiba-tiba Sun Put Ce berhenti menggali.
"Kau tidak membantu menggali, aku tidak perduli Tapi jangan
bikin kacau pikiran orang!" sahut Sun Put Ce kesal.
"Sudahlah! Kau teruskan saja pekerjaan itu," kata Kwe Po Giok.
"Tapi begitu kau mengungkit kedua gadis itu, aku sudah tidak
mempunyai semangat untuk menggali lagi," sahut Sun Put Ce.
"Mana boleh tidak menggali. Bukankah kau ingin membuktikan
apakah Toa Tek To Hun benar-benar sudah mati" Apakah kau tidak
ingin mengetahui apakah Fang Tiong Seng benar-benar mempunyai
kemampuan membunuh orang tersebut?" kata Kwe Po Giok.
"Kepingin sih kepingin, tapi aku lelah sekali, apalagi tidak makan
sejak semalam. Apakah kau tidak dapat menggantikan aku menggali
sejenak?" "Tahukah kau mengapa aku terus-terusan memintamu yang
menggali pasir itu?" tanya Kwe Po Giok.
"Karena perutmu lebih lapar dari aku?"
"Bukan begitu, Aku menyuruh kau menggali adalah untuk
kebaikanmu sendiri," kata Kwe Po Giok.
"Untuk kebaikanku?" Sun Put Ce tidak mengerti maksudnya.
"Betul. Kau tidak dapat tenang. Selalu berpikir yang tidak-tidak,
Aku tidak akan seperti dirimu, Oleh sebab itu, aku menyuruhmu
menggali sendiri, Aku tidak ingin otakmu terlalu banyak berpikir,"
kata Kwe Po Giok. "Tapi, meskipun tanganku bekerja, otakku juga terus berpikir,"
sahut Sun Put Ce. "Kalau memang demikian, biar aku membantumu menggali
sejenak." Kwe Po Giok tidak pernah menggali tanah, Sejak kecil, dia hanya
tahu belajar membaca dan menulis, Orang tuanya bukan orang
biasa, Mereka adalah keturunan pendekar Dia selalu dimanjakan,
apalagi sebagai putra tunggal. Oleh sebab itu, dia tidak pernah
melakukan pekerjaan kasar semacam ini.
Sun Put Ce beristirahat sambil memperhatikan pemuda itu
menggali. Dalam hatinya dia berpikir, apabila menggali seperti cara
Siau Kwe, mungkin sampai hari terang kembali juga tidak akan
mendapat hasil apa-apa. "Lao Sun, tahukah kau mengapa aku begini tenang?" tanya Kwe
Po Giok. "Mungkin inilah perbedaan antara manusia biasa dengan Sin
tong," sahut Sun Put Ce.
"Bukan, Aku pernah bertengkar dengan Lu ji. Menghilangnya kita
dapat dijadikan bahan untuk menguji kesetiaannya. Aku ingin tahu
apakah dia mencemaskan diriku?" kata Kwe Po Giok,
"Memang ini sebuah kesempatan yang baik untuk mengujinya,
sebetulnya apa yang jadi pokok pertengkaran kalian?" tanya Sun Put
Ce. Tiba-tiba Kwe Po Giok menghentikan pekerjaannya.
"Nih! Kau gali sendiri," katanya.
"Baik," sahut Sun Put Ce. Dia mengambil sekop dari tangan Kwe
Po Giok dan mulai menggali "Kau belum menjawab pertanyaanku"
"Kau ini kadang-kadang pandai berpura-pura!" teriak Kwe Po
Giok. "Aku berpura-pura?" tanya Sun Put Ce kebingungan.
"Apakah kau tidak tahu, sikap Lu ji terhadapmu?" Kwe Po Giok
tersadar. Dia tidak melanjutkan kata-katanya. Kalau sampai dia
menjelaskan berarti dia membocorkan keburukannya sendiri, Juga
merendahkan derajat Sin tong,
Tetapi Sun Put Ce sudah mengerti Sebenarnya dia juga sudah
merasakan hal tersebut perhatian seorang gadis terhadap seorang
laki-laki, pasti bukan tanpa maksud apa-apa.
"Siau Kwe, seandainya ada peristiwa seperti itu, tetap bukan
kesalahanku," kata Sun Put Ce.
"Kau tidak merayunya?" tanya Kwe Po Giok.
Dia masih tetap menganggap dirinya seorang pemuda sempurna,
Apabila bukan Sun Put Ce yang merayu Siau kiong cu, gadis itu tidak
akan berpaling muka, Tanpa disangka-sangka,
Sun Put Ce marah sekali mendengar pertanyaan itu.
"Seorang laki-laki sejati boleh dibunuh, tapi tidak boleh dihina!"
Sekop di tangannya dibanting ke atas pasir, padahal Siau Kwe
tahu dia bukan orang semacam itu. Dia tidak berkata apa-apa lagi,
Dia mendekati lubang galian tersebut. Rasanya sudah cukup dalam,
tapi tidak terlihat sedikit pun tanda-tanda mayat Toa Tek To Hun.
"Lao Sun. Tahukah kau mengapa Lu ji kesal terhadapku?"
tanyanya. Sun Put Ce terpana. "Mana mungkin dia kesal terhadap seorang Sin tong?"
Kwe Po Giok menarik nafas panjang, Tatapan matanya
memandang jauh ke depan. "Mungkin aku memang perlu mengoreksi diri," katanya.
"Apa yang perlu dikoreksi?" tanya Sun Put Ce.
"Jangan sepanjang hari terus menyebut diri sendiri Sin tong!"
sahut Kwe Po Giok sendu. Sekali lagi Sun Put Ce terpana, jawaban Kwe Po Giok sama sekali
di luar dugaannya. Bagi Kwe Po Giok, perkataan tersebut merupakan
perkataan yang paling memalukan yang pernah diakui selama
hidupnya, Tapi dia tahu, Sun Put Ce tidak akan menertawakannya,
Kwe Po Giok saat itu persis seperti Mo Put Chi tempo hari, Mati pun
tidak mau mengakui kalau Sun Put Ce lebih pintar daripadanya.
"Siau Kwe.... Apakah harus menggali lebih dalam lagi baru dapat
menemukan mayat Toa Tek To Hun?" Sun Put Ce segera
mengalihkan pokok pembicaraan.
"Buat apa menggali lagi" Orang itu sudah hidup kembali!" Tibatiba
terdengar seseorang menyahut.
Hati kedua orang itu tercekat. Suara itu tidak asing lagi di telinga
mereka, kepala mereka menoleh serentak Fang Tiong Seng berdiri
dalam jarak lima langkah di tempat itu.
Sun Put Ce berdiri terpaku. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia
adalah seorang murid yang setia dan berbakti justru karena terlalu
jujur, sehingga tempo hari dia bermaksud mati di bawah pedang
Siau Kwe. Dan karena tidak jadi mati, dia sempat mendengar dan
melihat semua tingkah laku Fang Tiong Seng yang menggidikkan
hati. Sejak itulah, kata-kata "Suhu" tidak sanggup diucapkan lagi
olehnya, Kalau sampai ia memanggil maka perbuatan itu
bertentangan dengan hati kecilnya. Kwe Po Giok dan Sun Put Ce
memandangnya dengan termangu-mangu, Fang Tiong Seng tidak
pernah membayangkan kejadian ini, Paling tidak, dia mengira Sun
Put Ce akan berlutut dihadapannya,
"Sun Put Ce!" teriak Fang Tiong Seng. "Ternyata kau berani
kurang ajar terhadap Insu (Guru yang berbudi)?"
Sun Put Ce sama sekali tidak bergerak, Sebetulnya, dalam hati
laki-laki itu sedang berkecamuk berbagai perasaan, Dia kecewa,
sedih, marah, menyesal pertemuan ini membuat dia serba salah. Dia
tidak memiliki keinginan untuk menyebut suhu lagi, namun dia juga
tidak mempunyai keberanian untuk melawan.
Kwe Po Giok melihat Sun Put Ce tidak menjawab. Dia juga tidak
mengatakan apa-apa. Dua pasang mata menatap Fang Tiong Seng
dengan tajam. Laki-laki itu balas menatap mereka, Selama ini, Fang
Tiong Seng tidak menganggap mereka akan berani menatapnya
dengan sinar mata demikian. Namun malam ini, cahaya mata
mereka sangat aneh, membuat perasaannya jadi tidak enak.
"Sun Put Ce!" bentak Fang Tiong Seng marah.
Murid bungsunya tetap tidak memperlihatkan reaksi apa-apa.
Tiba-tiba Kwe Po Giok tertawa terbahak-bahak. Fang Tiong Seng
belum pernah ditertawakan seperti itu. Apalagi nada tawa itu
sungguh tidak sedap didengar, perasaannya semakin kalut
"Anak haram!" bentak Fang Tiong Seng tanpa memperdulikan
kedudukannya lagi, "Apa yang kau tertawakan?"
"Sun Put Ce adalah muridmu yang paling jujur, bukan?" tanya
Kwe Po Giok. Fang Tiong Seng tidak menjawab Dia tahu maksud pemuda itu.
"Dia juga merupakan murid yang perangainya paling sabar. Toh
dia saja tidak sanggup menahan lagi sifat binatangmu, Mengapa kau
harus memanggilnya terus menerus?" sindir Kwe Po Giok.
"Anak haram! Menggelinding kau ke sana!" teriak Fang Tiong
Seng sambil menunjukkan ke arah batu besar dekat sungai.
"Tidak perlu! Fang Tiong Seng, di dalam hati kami, kau hanya
seorang pecundang yang licik, Kau boleh juga disebut penjual
negara. Aku ingin tanya kepadamu, di mana mayat Toa Tek To
Hun?" "Kupendam di tempat lain," sahut Fang Tiong Seng sambil tertawa
sinis. "Bukankah waktu itu kau kubur di tempat ini?" tanya Kwe Po Giok.
"Tidak salah! sayangnya aku sendiri juga tertipu," kata Fang Tiong
Seng, "Tertipu" Orang mati masih bisa menipu?" tanya Kwe Po Giok
kurang percaya. "Dia belum mati. Pada waktu itu dia menggunakan semacam ilmu
sihir, ilmu yang dapat menipu pandangan mata. Dia hanya pura-pura
mati saja, Setelah aku meninggalkan tempat ini, dia bangun kembali
dengan mendobrak peti," kata Fang Tiong Seng.
"Ternyata ada kejadian seperti itu. Bagaimana kau bisa tahu"
Apakah kau sudah membuktikannya dengan mata kepalamu
sendiri?" tanya Kwe Po Giok.
"Tepat! Bahkan telah terjadi pembunuhan untuk kedua kalinya,"
sahut Fang Tiong Seng. "Apakah kau juga yang membunuhnya?" tanya Kwe Po Giok.
"Tidak salah!" "Mungkinkah kali ini dia pura-pura mati lagi?" tanya Kwe Po Giok.
"Di dunia ini tidak keberuntungan sebanyak itu," sahutnya.
"Malam ini kau datang untuk membunuh kami?" tanya Kwe Po
Giok. "Kau berkeras memakai kata "kami", Maksudmu tentu ingin
memecah belah hubunganku dengan dia bukan" Apakah akan
berhasil?" sahut Fang Tiong Seng ketus.
"Apakah kau kira kekaguman hati Lao Sun masih belum berubah?"
tanya Kwe Po Giok tak mau mengalah.
"Put Ce.... Di depan orang luar, kehormatan kita guru dan murid
harus dijaga," kata Fang Tiong Seng dengan suara lembut. Sun Put Ce ingin
mengucapkan sesuatu, tapi tenggorokannya seperti tercekat sesuatu


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga tidak sanggup bicara. Dia juga tidak tahu bagaimana harus
membuka mulut di hadapan Fang Tiong Seng.
"Put Ce... ingatkah kau pada suatu musim dingin kau terjatuh ke
dalam sungai. Kau kedinginan setengah mati, hampir saja nyawamu
melayang karena peristiwa itu?" tanya
Fang Tiong Seng membangkitkan kenangan lama.
"lngat," sahut Sun Put Ce. Dia tidak mungkin melupakan kejadian
itu. "Masih ingatkah kau siapa yang menolongmu saat itu?" tanya
Fang Tiong Seng tersenyum manis.
"Suhu yang menyelamatkan diriku," sahut Sun Put Ce. Tiba-tiba
dia menjatuhkan diri di hadapan Fang Tiong Seng.
Kwe Po Giok menjadi panik melihat perbuatannya.
"Lao Sun, apa yang kau hutangi sudah kau bayar lunas. Karena
kau sudah dua kali hampir mati demi dirinya, Pertama, ketika kau
lolos dari ancaman pedangku, Kedua, dia mendesak kau jatuh
tergelincir ke dalam jurang, jangan mau dibohongi orang jahat
tersebut!" teriaknya cemas.
Fang Tiong Seng menghunus pedangnya, Dia menyerang Kwe Po
Giok bertubi-tubi. Sun Put Ce masih berlutut di atas tanah, sikapnya
bukan berarti tidak mengkhawatirkan keadaan Siau Kwe, Hal ini
karena dia tidak dapat melupakan kejadian dulu sama sekali, Dia
sedikit bingung. Lagipula rasa setianya terhadap sang guru memang
dalam sekali, Untuk mengubah sifat seseorang memang tidak mudah, Namun,
Kwe Po Giok panik sekali, pengetahuannya akan pendirian seseorang
bertambah maju. Apa yang terlihat hampir berhasil, belum tentu
benar sampai waktunya tiba. ilmunya juga sudah jauh lebih tinggi
dari sebelumnya,karena ketika dia terjatuh ke dalam jurang tempo
hari, sambil merawat luka, mereka saling bertukar pikiran tentang
ilmu peninggalan Tang hay sin sian, Tadinya dia mempunyai
harapan dalam hati bahwa tidak lama lagi mereka akan sanggup
mengalahkan Fang Tiong Seng, Siapa tahu kejadiannya dapat
berakhir seperti ini. Dia bukannya takut kalah, Tapi kalah atau menang dalam
pertarungan antara dirinya dengan manusia yang satu ini akan
membawa pengaruh besar bagi dunia Bu-lim. Dia tahu Fang Tiong
Seng belum sempat menyelami semua ilmu rangkaian bunga Lu ji,
namun dia seorang manusia yang sangat berbakat dalam ilmu silat
otaknya juga sangat cerdas.
Kwe Po Giok sendiri terpaksa mengakui dalam hati kalau Fang
Tiong Seng lebih cerdas daripadanya ataupun Sun Put Ce. Hal ini
terbukti dari caranya menghadapi Sun Put Ce saat ini.
Fang Tiong Seng menyerang tiga kali berturut-turut, Kwe Po Giok
terdesak mundur sebanyak tiga depa. Fang Tiong Seng seakan tidak
memberi kesempatan baginya untuk memperbaiki kedudukan, Dia
menikam lagi tujuh kali, Tubuh Kwe Po Giok sudah ada luka
beberapa tusukan. Bahkan tampaknya luka itu cukup dalam.
"Sun Put Ce, kau manusia tolol! Kau anak kura-kura! Setelah aku
mati nanti, dia tetap akan membunuhmu. Dia sengaja melunakkan
hatimu karena dia tidak yakin dapat mengalahkan kita berdua!"
teriak Kwe Po Giok panik.
Fang Tiong Seng tidak membiarkan dia bicara terlalu banyak,
Dalam tiga serangan berikutnya, Kwe Po Giok tertusuk sekali lagi,
Dia terjatuh di atas tanah. Sun Put Ce tetap berlutut, tapi dia
berusaha mencegah Fang Tiong Seng melanjutkan serangannya
terhadap Kwe Po Giok. "Suhu, harap jangan dilanjutkan lagi," katanya,
Pang Tiong Seng tidak menoleh, namun dia tidak berani
menyerang lagi, sikapnya tenang-tenang saja. Seakan dia yakin,
sampai kapan pun Sun Put Ce tidak akan berani menikamnya dari
belakang. "Put Ce, Suhu menamakan kau demikian agar kau lebih waspada
bila terjun di dunia persilatan, bukan mengharap kau benar-benar
tidak mempunyai akal budi," sahut Fang Tiong Seng.
"Suhu tidak dapat berhenti membunuh?" tanya Sun Put Ce.
"Sun Put Ce, kejadian sudah sampai tahap seperti ini, kau masih
berharap dia berubah menjadi orang baik, Harapanmu selamanya
tidak akan menjadi kenyataan, mengerti?" sahut Kwe Po Giok tajam.
"Siau Kwe.... Aku mengerti," kata Sun Put Ce.
"Kentut busuk yang kau mengerti! Kau hanya ingin dirimu menjadi
orang yang paling berbakti dan setia di dunia ini, Apakah supaya
namamu terkenal" Coba kau Iebarkan mata, manusia macam apa
dia itu?" teriak Kwe Po Giok kesal.
Dia hampir menangis menghadapi sikap Sun Put Ce. Kalau bisa,
rasanya dia ingin membunuh laki-laki itu untuk melampiaskan
kedongkolan hatinya. "Siau Kwe, biar bagaimana dia tetap Suhuku, Dia yang
membesarkan diriku," sahut Sun Put Ce.
Kepala Kwe Po Giok rasanya mau meledak mendengar kata-kata
itu. "Aku tidak memungkiri jasanya terhadapmu Tapi apa yang dia
perbuat masih belum cukup untuk menebus dosanya selama ini."
Sahutnya. "Siau Kwe... Suhu memang punya kesalahan. Manusia mana yang
tidak mempunyai kesalahan sama sekali. Apalagi dia Suhuku," kata
Sun Put Ce berkeras. Siau Kwe pusing tujuh keliling, Dia hampir putus nafas. Dia adalah
Sin tong. Dalam hal ini pandangannya lebih tepat dari Sun Put Ce,
apalagi dia merupakan penonton.
"Put Ce, coba kau papah dia. Apakah lukanya parah?" tiba-tiba
Fang Tiong Seng memberi perintah.
"Sun Put Ce, berdiri di tempat, jangan mendekat!" teriak Kwe Po
Giok cemas, Sun Put Ce seperti orang bodoh, Dia tidak mendengar
perkataan Kwe Po Giok, Fang Tiong Seng memasang wajah muram.
"Orang muda zaman sekarang tidak tahu menghormati yang tua.
sebetulnya tadi Suhu tidak tega melukai dia, tapi bocah itu memang
perlu diajar adat sedikit," katanya.
Sun Put Ce percaya penuh pada apa yang dikatakannya. Dia
mendekati Siau Kwe, Tepat pada saat itu, bayangan berkelebat sinar
pedangnya menyilaukan mata.
"Lao Sun, di belakang?" Kepandaian Sun Put Ce sudah amat
tinggi. Lagipula reaksinya cepat, dia segera berkelit ke samping
untuk menghindar. "Cep! Cep!" Tak urung bagian bahunya terluka juga, Tubuhnya mencelat
sejauh satu depa lebih, Dia terjatuh ke atas tanah, Pedangnya sudah
tergenggam di tangan, Darah mengalir dengan deras dari lukanya,
Dia menatap Fang Tiong Seng dengan terkesima.
"Sun Put Ce.... Kau benar-benar goblok! Bagaimana dapat tertipu
oleh kata-kata-nya?" teriak Kwe Po Giok.
Pemuda itu meringis kesakitan Saking kesal, dia menghentakkan
kakinya berkali-kali ke atas tanah, Dia tidak sadar, gerakannya itu
membuat lukanya semakin lebar. Sun Put Ce terkejut, kecewa,
menyesal, marah, juga sedih, Semuanya membaur menjadi satu, Dia
hampir tidak dapat percaya, Suhunya, Fang Tiong Seng dapat
sejahat itu" Dia benar-benar sulit menerima kenyataan tersebut.
Kepercayaan dan rasa hormat yang telah dipupuk selama
berpuluh tahun hancur dalam sekejap, Memang sulit diterima! Bagi
orang lain, dia memang sangat tolol, Tapi ini merupakan
kelebihannya, juga kekukuhan hatinya terhadap sesuatu.
"Suhu.... Kau benar-benar telah menjadi gila?" tanya Sun Put Ce.
Fang Tiong Seng berdiri dengan wajah kaku, Dia tidak menjawab.
siasatnya belum berhasil, malah melucutkan topengnya sendiri. Dia
juga menimbang dalam hati, apakah perlu membunuh Sun Put Ce"
peristiwa sudah terlanjur terjadi, Apakah masih perlu
mempertimbangkannya lagi"
Tentu saja, karena dia baru sadar Sun Put Ce begitu setia
kepadanya. Rasanya sayang membunuh murid sebaik itu. Memiliki
seorang murid yang setia, lebih baik dari sepasukan kaum keroco,
Sampai sekarang, Fang Tiong Seng masih percaya kepada Sun Put
Ce. Tampaknya kesetiaan murid yang satu ini sulit dicari
penggantinya. Murid yang begitu setia, lagipula berilmu demikian
tinggi, bukan saja sayang apabila dibunuh, namanya pun akan jadi
buruk bila tersebar di luaran bahwa seorang guru membunuh
muridnya, Sebuah senyuman menghias di bibirnya.
"Put Ce, meskipun Suhu belum gila, Tapi akhir-akhir ini memang
pikiran sedang kalut," katanya dengan suara lembut.
"Lao Sun, jangan dengarkan ocehannya. Apakah serangannya tadi
tidak cukup keji" Apakah perbuatannya masih tidak dapat
membangunkan mimpimu yang indah?" teriak Kwe Po Giok.
Bahu Sun Put Ce sakit sekali. Tapi rasa sakit dalam hatinya jauh
lebih nyeri dari luka luar.
"Coba Suhu jelaskan perbuatan Suhu tadi?" katanya.
Fang Tiong Seng menarik nafas panjang. Dia sungguh pandai
bersandiwara. "Suhu memang bersalah, Tapi sebetulnya aku tidak tega turun
tangan terhadap murid yang kuasuh sejak kecil. Namun bocah itu
terus mengacau, Dia bermaksud mengadu domba kita guru dan
murid, Suhu sangka kau akan bekerja sama dengannya menghadapi
aku," sahutnya dengan suara sendu.
"Sun Put Ce, akhir-akhir ini bukan saja aku mau tidak mau harus
mengakui kecerdikanmu, demikian juga Bwe Mei, Lu ji, Mo Put Chi
dan manusia busuk itu. Tapi, apa yang terjadi denganmu malam
ini?" tanya Kwe Po Giok dengan maksud memperingatkan.
"Hanya karena aku adalah muridnya, sedangkan kau bukan,"
sahutnya. "Justru karena aku bukan muridnya, maka aku melihat lebih jelas,
Apa yang dilakukannya sekarang hanya sandiwara, jangan
dengarkan lagi, Kalau tidak, kita berdua akan mati tanpa kubur,"
kata Kwe Po Giok tajam. Sun Put Ce tidak menyahut Dia memandang Fang Tiong Seng
dengan seksama, sebaris demi sebaris masa lalu lewat di benaknya,
Gurunya memang bukan manusia semacam itu. Lalu kejadian yang
ada di hadapannya sekarang, apakah suatu kenyataan atau hanya
sebuah mimpi buruk" Kalau nyata, mengapa Suhunya dapat berubah
sedemikian rupa" Fang Tiong Seng berjalan ke arah Sun Put Ce.
"Put Ce, mari kita pulang!" katanya lembut.
Sun Put Ce masih memandang terus.
Fang Tiong Seng merasa harus mempergunakan kesempatan
dengan sebaik-baiknya, jangan sampai muridnya berubah pendirian.
Sun Put Ce sendiri merasa serba salah, Meskipun bahu dan hatinya
masih sakit, Dia tetap harus mengakui bahwa Fang Tiong Seng
masih merupakan seorang guru yang menanam budi besar
kepadanya. Tiba-tiba, pedang di tangan Fang Tiong Seng menyerang kembali.
Dalam keterkejutan Kwe Po Giok menyambut. Karena dia tahu, Fang
Tiong Seng tidak main-main lagi, Menyerang dan diserang adalah hal
yang jauh berbeda. Orang yang berani mulai menyerang pasti mempunyai keyakinan
yang besar sedangkan pihak yang diserang belum tentu, Memang
Kwe Po Giok sudah bertekad, Dia tahu Fang Tiong Seng pasti tidak
akan melepaskannya sampai kapan pun.
Seandainya dia hanya bermaksud mengambil hati Sun Put Ce, dia
tidak akan menyusahkan Kwe Po Giok. Tapi suatu waktu niat hatinya
tetap akan dilaksanakan. "Sret!!!" Pinggang Kwe Po Giok tersayat cukup dalam, pemuda itu
mencelat sejauh beberapa tombak Nafasnya tersengal-sengal. Dia
marah, kecewa dan kesal Mengapa Sun Put Ce mau mendengar
kata-katanya" Sampai lama dia tidak sanggup berkata apa-apa.
"Apalagi yang akan kau jelaskan kali ini?" tanya Sun Put Ce
dengan nada berat. "Pemuda ini terlalu licik, Suhu tidak akan melepaskannya. Bila
tidak, dia akan mengajarmu berbuat jahat," kata Fang Tiong Seng.
"Dengan kedudukanmu, kau boleh menyerang seorang boanpwe
(Generasi muda) dengan diam-diam?" tanya Sun Put Ce datar.
"Ditinjau dari usia, dia memang tergolong boanpwe. Tapi dia
sudah mewarisi ilmu peninggalan Tang hay sin sian yang masih lebih
tua daripada aku. Dengan demikian dia tidak dapat digolongkan
muda lagi!" kata Fang Tiong Seng.
Kwe Po Giok menatap tajam ke arah Sun Put Ce. Dia ingin tahu
apakah sampai saat ini dia masih belum sadar dari khayalannya..."
"Kalau aku ikut kau pulang, apakah kau mau berjanji tidak akan
menyulitkan Siau Kwe lagi..?" tanya Sun Put Ce.
"Hmm..." Fang Tiong Seng seakan berat meluluskan permintaan
tersebut Dia merenung sejenak, "Put Ce, dengan memandang
dirimu, biarlah aku melepaskannya, Tapi aku harap lain kali dia
jangan mencoba memecahkan hubungan kita lagi." Akhirnya dia
menyetujui. "Siau Kwe, kau pulanglah. Aku memutuskan untuk mengikut Suhu
pulang," kata Sun Put Ce.
Kwe Po Giok hampir tidak percaya, seorang yang berotak cerdas
seperti Sun Put Ce ternyata tetap mempercayai maling tua itu
meskipun bukti sudah di depan mata, Dia kesal sekali. Hanya
matanya saja yang diarahkan kepada mereka berdua, Tidak sepatah
kata pun yang diucapkannya.
"Put Ce... Mari kita berangkat," kata Fang Tiong Seng.
Jaraknya dengan Sun Put Ce tinggal tiga langkah, Baru saja
perkataannya selesai dia membalikkan tubuh seakan ingin
meninggalkan tempat tersebut Tapi, tiba-tiba tubuhnya membalik
kembali. Gerakannya secepat kilat sinar pedangnya menyilaukan
mata. Tusukannya mengarah kepada Sun Put Ce. Kwe Po Giok sendiri
terpana. Dia sama sekali tidak menduga kalau Fang Tiong Seng
masih mengandung maksud buruk kepada muridnya. Dia mengira
hanya dirinya akan jadi sasaran. Sun Put Ce juga tidak dapat
percaya kalau gurunya sejahat itu.
Tidak percaya kalau gurunya adalah manusia berdarah dingin,
Dalam kepanikan dia mencoba berkelit. Kwe Po Giok baru tersadar.
Dia bermaksud memperingatkan, tapi sudah terlambat. "Creppp!!!
Creppp!!!" Leher dan dada Sun Put Ce telah tertusuk oleh pedang
Fang Tiong Seng. Kalau saja dia tidak mundur selangkah, pasti urat leher dan tulang
dadanya telah tersayat putus, justru karena gerakan Kwe Po Giok
yang sedikit tadi, dia mengira akan diserang oleh pemuda itu, maka
tenaganya jadi berkurang.
Oleh sebab itu, dia benci sekali kepada Kwe Po Giok, sedangkan
pemuda itu sendiri seperti mendapat keberuntungan karena kejadian
itu. Dia hanya melirik sekilas kepada Sun Put Ce. Tampaknya lukaluka
itu tidak seberapa parah, Dia tertawa mengejek....
"Hai, murid yang berbakti, murid yang setia.... ikutlah
bersamanya. Dia tentu akan mengantarmu pulang ke rumah, Asal
kau tahu saja, rumah yang dimaksudkan adalah rumah yang jauh di
alam sana," sindirnya.
Air mata Sun Put Ce mengalir seperti sebuah sungai yang deras.
Dia tidak dapat menahan kepiluan hatinya. Dia merasa sedih melihat
kekejaman dan sifat jahat Fang Tiong Seng, Dia juga merasa malu,


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akhirnya dia juga terjaga juga dari mimpi panjangnya, untuk
seorang murid, kesetiaannya sulit dicari tandingannya lagi.
Bagaimana dia tidak menangis melihat tingkah Suhunya" Bagaimana
dia tidak kecewa terhadap orang yang begitu dihormatinya selama
ini" Setelah mempertimbangkan matang-matang, Dia tetap ingin
membunuh Sun Put Ce. Anak buahnya yang lain tidak ada satupun
yang berilmu setinggi yang satu ini. Dia juga sangat setia, Tapi Sun
Put Ce juga merupakan anak murid yang paling jelas dengan segala
perbuatan busuknya selama ini. Meskipun dia setia, meskipun dia
lebih berbakti lagi, derajatnya sebagai Suhu sudah jatuh di mata
murid tersebut. Fang Tiong Seng telah bertekad untuk membasmi
semua manusia yang mengetahui rahasianya, Termasuk Sun Put Ce.
Dengan demikian, dia dapat memulai suatu kehidupan baru
sebagai pendekar tanpa bandingan, Semua orang akan menaruh
rasa hormat kepadanya, sedangkan kebusukannya sudah terkubur
bersama orang-orang yang akan dibunuhnya. Dia tidak dapat
membiarkan hidupnya menjadi tenang karena masih tersisa orangorang
yang akan membongkar perbuat annya.
"Lao Sun, apakah kau tetap akan pulang bersamanya?" Kwe Po
Giok baru sanggup membuka mulut.
Sun Put Ce bangkit dari atas tanah.
"Kesabaranku sudah sampai batasnya!" sahutnya.
"Seharusnya sejak tadi kau membuka matamu, Kalau saja kau
menurut perkataanku tentu kau tidak perlu terluka di tangannya,"
kata Kwe Po Giok. "Siau Kwe, mari kita mengadu nyawa dengannya," ajak Sun Put
Ce. "ltu baru betul! Sayang sekali, tadinya kita mempunyai keyakinan
diatas tujuh bagian Karena kau mengacaukan segalanya, sekarang aku tidak begitu
yakin lagi," bisik Kwe Po Giok.
"Siau Kwe, aku bersalah padamu," sahut Sun Put Ce.
Mereka saling melirik sekilas, Sun Put Ce berdiri di bagian kiri,
Kwe Po Giok di bagian kanan. Mereka tampaknya telah bersiap
mengadakan pertarungan. Meskipun Fang Tiong Seng telah berhasil
melukai kedua orang itu, namun sebelum benar-benar bertarung, dia
tidak berani terlalu senang dahulu, Dia tidak yakin pasti akan
menang. Kalau tidak, mengapa dia harus menjalankan siasat agar
kedua orang itu terluka"
"Ringkikan kuda senada dengan seruling!" Tiba-tiba Kwe Po Giok
berteriak. Dalam waktu yang sama, mereka bersiap menyerang,
Tergopoh-gopoh Fang Tiong Seng mengibaskan tangannya meminta
mereka bersabar sebentar.
"Tunggu dulu, ada yang ingin kukatakan !" teriaknya.
Reaksi Sun Put Ce kali ini sangat berbeda. Tanggapannya sangat
cepat. Dia sama sekali tidak ingin mendengar ocehan Fang Tiong
Seng lagi. "Kau sudah membunuh Lian hu sehingga Toa Suheng menjadi
gila, Kau merayu dayang Cui thian agar membunuh ji suheng, Hu
Put Chiu. Tatkala perempuan itu tidak memberikan manfaat apa-apa
lagi kepadamu, kau bunuh dia. Kemudian kau semakin mengganas,
keinginanmu membunuh semakin kuat, Lian lian juga telah kau
bunuh, Termasuk Toa pei suthay dari Cui goat si dan kedua
muridnya. Masih ada Hiat Eng, Kiau Bu Suang, Hua Can lei, Seebun
Cu Yap serta Tokku Peng dan lain-lainnya. Daftar dosamu terlalu
panjang bila diuraikan satu persatu!" katanya.
Sebelum ajal, Kiau Bu Suang masih tidak tahu siapa dia. Dia
hanya tahu dayang Cui thian sering memanggilnya si Papan gilasan.
Bahkan dia menaikkan lengan baju agar kulitnya yang masih
kencang terlihat. Hal ini membuat Kiau Bu Suang semakin tidak
mengerti, padahal yang ditunjukkannya adalah lengan palsu.
Fang Tiong Seng terpana mendengar kata-kata Sun Put Ce. Bagaimana
dia bisa tahu seluruh rahasianya" sebetulnya hal ini yang
membuat Sun Put Ce tidak dapat menahan diri lagi, Tadinya dia
ingin mencari alasan terbaik untuk dirinya sendiri, mengapa Fang
Tiong Seng sampai melakukan semua kejahatan itu"
Mungkin dengan demikian, dia dapat memaafkan gurunya, Tapi
sekarang tidak lagi, Dia sudah mengerti kalau manusia yang satu ini
tidak mempunyai alasan yang masuk akal. Dia melakukan semua
perbuatan itu untuk kepentingan dirinya sendiri, Dia juga sudah
tahu, Fang Tiong Seng rela melakukan apa saja untuk mencapai
angan-angan. "Kau ingin berkata apa lagi?" tanya Sun Put Ce.
Fang Tiong Seng mengibaskan tangannya sekali lagi. Mungkin
maksudnya tidak ada lagi yang perlu diucapkan. Mungkin karena
semua alasan yang sudah disiapkan di ujung bibir telah disindir lebih
dahulu oleh Sun Put Ce. Dia juga sudah kehilangan akal untuk
menipu kedua orang itu. "Jalan yang terbaik bagimu adalah menghabiskan nyawa sendiri!"
kata Kwe Po Giok. Sun Put Ce juga sependapat dengannya. Namun apabila Fang
Tiong Seng mau melakukan saran Kwe Po Giok, tentu namanya
bukan Fang Tiong Seng lagi. Dia sudah mulai menyerang. Dia tidak
tahu apa arti "Ringkikan kuda senada dengan seruling" yang
diucapkan Kwe Po Giok. Mungkin juga sebuah syair atau tanda yang telah disepakati
kedua orang itu. Dia sama sekali tidak menyangka kalau itu adalah
nama sebuah jurus ampuh peninggalan Tang hay sin sian yang
diajarkan lewat rangkaian bunga Siau kiong cu.
Memang gadis itu pernah menjelaskan bahwa jurus-jurus tersebut
mempunyai nama yang indah dan aneh, seperti "Bunga seruni
bermekaran sepanjang tahun" "Malam merayap" atau Dua pasang
mata saling memandang". sedangkan kata-kata yang diucapkan oleh
Kwe Po Giok tadi tidak pernah didengarnya.
Dia tidak tahu, ketika kedua orang itu merawat luka di sebuah
tempat persembunyian mereka telah mengubah semua nama-nama
jurus rangkaian bunga itu. Kedua orang itu memang sudah terluka,
tapi bukan luka yang terlalu parah, serangan mereka sangat aneh,
Yang satu bersifat lunak, yang satu lagi bersifat keras. Bila gerakan
yang satu lurus, maka yang lainnya miring, Kadang keras, kadang
lunak. Kadang lurus, kadang miring, pedang berkelebat di antara
bayangan manusia. Manusianya sendiri kadang-kadang berkelebat di
antara pedang. Fang Tiong Seng mulai merasakan kehebatan "Ringkikan kuda
senada dengan seruling" mereka, Ketiga orang itu mempertahankan
diri mati-matian, Kwe Po Giok dan Sun Put Ce sudah menyerang
sebanyak lima belas kali. Mereka juga sudah menerima sembilan kali
serangan Fang Tiong Seng. Tiba-tiba, tanpa perjanjian apa-apa,
kedua belah pihak menghentikan serangannya. Fang Tiong Seng
perlu mempertimbang-kan sekali lagi, Sun Put Ce dan Kwe Po Giok
juga perlu mempertimbangkan sekali lagi.
Fang Tiong Seng baru tahu, apabila Sun Put Ce tempo hari
mengeluarkan seluruh kepandaiannya, pasti dia tidak akan terjatuh
ke dalam jurang, Sun Put Ce sengaja mengalah kepadanya,
sebetulnya dia memang tidak tega turun tangan terhadap Suhunya.
Kwe Po Giok dan Sun Put Ce saling melirik. Mereka masih belum
dapat mengukur sampai di mana tingginya ilmu silat Fang Tiong
Seng, Laki-laki itu benar-benar licik. Kalau saja lawannya seorang
yang tidak berpikiran luas, tentu sudah terjerat oleh perangkap yang
dipasang olehnya, Kwe Po Giok dan Sun Put Ce tidak mungkin
tertipu lagi. Oleh karena itu, Sun Put Ce berteriak....
"Tengah malam lonceng berbunyi, janji bertemu di atas kapal!"
Kata-kata "kapal" belum selesai diucapkan kedua orang itu sudah
maju serentak, Manusia bergerak, pedang berkelebat. Manusia di
antara pedang, pedang di antara manusia, Pedang dan manusia sulit
dibedakan Manusia serta pedang berpadu satu.
"Tengah malam lonceng berbunyi, janji bertemu diatas kapal".
Bagi Fang Tiong Seng, ucapan itu bagai sebaris puisi yang entah
digubah oleh pujangga mana. Namun akhirnya dia sadar, ucapan itu
mengandung arti yang dalam. Sebab dia merasa, serangan yang
dikeluarkan kedua orang itu semakin lama semakin berbahaya.
Kedua orang itu berkelebat di antara terpaan angin dan sinar
menyilaukan yang diterbitkan oleh pedang-pedang di tangan.
Mereka menyerang tujuh belas kali berturut-turut. sedangkan Fang
Tiong Seng baru membalas tigabelas kali. Dia seakan ingin
menemukan titik kelemahan Sun Put Ce dan Kwe Po Giok dengan
menyerang secara lambat. Karena dia tahu, ketika dia bersama Lian lian menahan Kwe Po
Giok ataupun Siau kiong cu, mereka tidak mengeluarkan semua inti
sari ilmu pedang yang ditinggalkan oleh Tang hay sin sian, Lagi-pula,
dia tidak tahu apakah Kwe Po Giok pernah mendapat didikan
langsung dari orang tua itu ketika tinggal di atas kapal.
Fang Tiong Seng memang tua-tua keladi, Tebakannya hampir
benar. Tapi bukan Kwe Po Giok yang mendapat didikan dari Tang
hay sin sian, Yang sebenarnya adalah orang tua yang memiliki ilmu
sakti itu meninggalkan amanat untuk Sun Put Ce, yaitu lewat Bok
lang kun yang meletakkannya dalam peti mati yang kelak akan
dipakai oleh Fang Tiong Seng apabila meninggal.
Bok lang kun adalah Bengcu dari aliran hekto. Tapi dia merupakan
tokoh yang berotak cerdik. Sejak pertama dia sudah curiga terhadap
rencana jahat Tionggoan taihiap tersebut. Hal itu dikatakannya
dalam surat yang ditujukan kepada Sun Put Ce. Selain itu, dia juga
meninggalkan ilmu jurus ampuh. Rupanya sebelum memenuhi janji
dengan Toa Tek To Hun, Tang hay sin sian pernah mencari Bok lang
kun. Meskipun dia adalah Bengcu dari aliran hekto, tapi jiwanya
masih bersikap pendekar. Dari penyelidikannya, Tang hay sin sian merasa Bok lang kun
lebih dapat diandalkan apabila dibandingkan dengan dayang Cui
thian. Dia juga mempunyai pengalaman yang jauh lebih banyak
dibandingkan Kwe Po Giok atau Sun Put Ce.
Oleh karena itu, dia mengajarkan lima buah jurus ampuh kepada
Bok lang kun. Apabila keadaan tidak dapat dipertahankan lagi, dia
harus segera melatih diri untuk melawan Toa Tek To Hun atau orang
yang menyuruhnya, Tang hay sin sian sudah menduga bahwa ada
tokoh berilmu tinggi yang mendalangi Toa Tek To Hun.
Karena orang itu baru pertama kali menginjakkan kaki di tanah
Tionggoan ini. Dia tidak mungkin tahu tokoh-tokoh kelas satu yang
harus dibunuh apabila tidak ada petunjuk dari orang lain, Tang hay
sin sian juga berpesan, Bok lang kun juga boleh mewariskan ilmu
yang diajarkannya kepada seseorang yang dapat dipercaya.
Pada saat itu, Tang hay sin sian belum begitu memperhatikan Sun
Put Ce. Adalah Bok lang kun sendiri yang mengambil keputusan
untuk mewariskannya kepada laki-laki itu, Sebab pada waktu itu, dia
sudah membuktikan bagaimana besarnya jiwa Sun Put Ce.
Sejak membaca tulisan peninggalan Bok lang kun, Sun Put Ce
sudah tahu semuanya. Apalagi dengan kejadian yang bertubi-tubiSeperti menghilangnya dayang Cui thian kemudian Lian lian. Hatinya
sudah curiga kalau Fang Tiong Seng yang melakukan semua itu.
Tapi pada dasarnya dia memang murid yang setia dan berbakti,
tanpa menyaksikan dengan mata dan kepala sendiri, dia belum
percaya guru yang membesarkannya sejak kecil bisa berubah
sejahat itu. Sun Put Ce telah kehilangan sebelah lengannya, Untung saja
otaknya cerdas, sehingga inti sari ilmu peninggalan Tang hay sin
sian dapat diselami dalam waktu tidak lama, Apalagi dengan adanya
Bwe Mei sebagai penambah semangat belajar
"Trang!" Sekali lagi kedua pihak mencelat sejauh tiga langkah lalu
menghentikan pertarungan. sebetulnya gerakan itu memang
merupakan langkah penutup jurus "Ringkikan kuda senada dengan
seruling" tapi Fang Tiong Seng tidak mau menunggu serangan
mereka selanjutnya. Karena hal itu berarti dia sudah kalah selangkah, Seperti orang
bermain catur, siapa yang menyerang lebih dahulu pasti lebih kuat
kedudukannya. Tanpa menunda waktu lagi, pedang dan orangnya
maju sekaligus. Kali ini tampaknya Kwe Po Giok dan Sun Put Ce rada kelabakan
menghadapinya. Tigapuluh kali sabetan dilancarkan Fang Tiong Seng
dengan gencar, Bahu Kwe Po Giok tertusuk satu kali. Paha kiri Sun
Put Ce juga tersayat sedikit.
"Matahari terbenam petani pulang!" teriak Kwe Po Giok.
Kata-kata itu juga gubahan mereka sendiri jurus yang satu ini
terlebih aneh dari yang tadi. Kedua orang itu tidak menyerang
ataupun menangkis. Mereka seperti sedang berjalan dengan
lenggang lenggok, persis seperti seorang petani yang baru pulang
dari sawah. Pertarungan mereka makin lama makin menakjubkan, Gerakan
yang dikeluarkannya makin lama makin aneh. Kadang-kadang keras
dilawan dengan kekerasan Suara semilir angin menderu, sinar-sinar
pedang menyilaukan mata. Kadang-kadang lembut dilawan dengan
kelembutan juga, Mereka tidak seperti orang yang sedang bertarung
tapi tampaknya sedang belajar menari.
Kedua belah pihak berusaha sekuat tenaga memenangkan
pertarungan Karena malam ini merupakan malam penentuan Apakah
Fang Tiong Seng yang akan merajai dunia Bulim atau Kwe Po Giok
dan Sun Put Ce yang akan menjadi pendekar pembela negara" Tapi
satu hal yang pasti, siapa pun yang kalah, tentu tidak dapat
meninggalkan tempat itu dalam keadaan hidup.
Fang Tiong Seng tidak dapat bersabar lagi, serangannya makin
gencar. pedang di tangannya seperti sedang mengamuk Siau Kwe
terkena lagi dua tusukan, Sun Put Ce juga tertusuk satu kali. Lukaluka
terlihat di sekujur tubuh kedua orang itu.
Untung saja bukan luka yang terlalu dalam, apalagi ditambah
dengan ketekadan dalam hati, rasa perih yang ditimbulkan oleh luka
itu tidak diperdulikan lagi.
Bagaimana dengan Fang Tiong Seng"
Rupanya dia juga mengalami luka. Belakang lehernya tampak
mengucurkan darah. Baju di bagian dadanya juga terkoyak beberapa
lubang. Namun luka di dadanya hanya goresan pedang kedua orang
itu saja, sama sekali tidak menghkawatirkan.
Pertarungan tetap berlangsung. Luka di tubuh Kwe Po Giok dan
Sun Put Ce semakin cepat bertambah sedangkan luka di tubuh Fang
Tiong Seng juga semakin banyak, Tampaknya kekuatan mereka
seimbang. Masih sulit menentukan siapa yang akan keluar sebagai
pemenang, Namun apa bila Fang Tiong Seng hanya melawan satu
orang saja, mungkin salah satu dari kedua orang itu sudah lama
tergeletak. Tepat pada saat itu, tiga orang perempuan melangkah perlahan
dari balik kabut, Yang pertama adalah Siau kiong cu. pakaiannya
sangat tipis, kerah lehernya rendah, memperlihatkan sebagian
payudaranya yang ranum, Yang kedua adalah Bwe Mei. sedangkan
yang terakhir adalah Chow Ai Giok.
Pertarungan antara kedua belah pihak berhenti segera, Mereka
menatap kearah ketiga perempuan yang baru datang itu. Sun Put Ce
dan Kwe Po Giok merasa hal itu di luar dugaan, Bagaimana ketiga
perempuan yang tadinya saling bersaing itu dapat datang dalam


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

satu rombongan" Tapi melihat sikap mereka yang tidak bermusuhan,
hati kedua orang itu menjadi agak tergetar, juga menambah
keyakinan dalam hati mereka.
Mata Fang Tiong Seng juga terarah pada mereka, Namun
pandangan matanya mengerling beberapa kali, lalu terhenti pada
salah satu dari perempuan tersebut Siau kiong cu dapat merasakan,
mengapa pandangan itu tertuju kepadanya. Angin malam yang
berhembus membuat gaunnya melambai-lambai.
Bagian payudaranya yang menyembul memberi pemandangan
yang indah dan menarik, Dia laksana seorang dewi khayangan yang
turun dari langit. Dalam otak Fang Tiong Seng terbayang kembali
tubuh telanjang yang diintipnya dalam kamar mandi, Kulit yang
halus dan memerah, Bersih dan berkilauan laksana mutiara, Sinar
mata Fang Tiong Seng berubah menjadi liar.
Rasanya berat menarik diri dari pemandangan yang menawan itu.
Diam-diam dia mengakui, semua kelebihan seorang perempuan ada
pada diri Siau kiong cu. Dia percaya, setiap laki-laki yang pernah
memandang tubuh yang indah itu, pasti akan berusaha mati-matian
untuk mendapatkannya, Dia benar-benar seorang perempuan
istimewa di antara perempuan yang lainnya.
"Apakah Ongsun hendak pulang?" teriak Kwe Po Giok.
Kata-kata itu dikutip dari salah satu syair perpisahan seorang
tokoh zaman lampau. Kwe Po Giok sengaja mengambil kata-kata itu
untuk nama jurus terakhir ilmu pedang Tang hay sin sian. Kedua
orang itu bergerak serentak Meskipun di tubuh mereka terdapat
banyak luka sehingga gerakan mereka menjadi kurang leluasa,
namun serangan kali ini malah lebih ganas dari yang sebelumnya.
Tentu saja Fang Tiong Seng menanggapi dengan cepat Sinar
pedangnya bagaikan bunga api yang berpijar, serangannya seperti
seekor banteng mengamuk. Sekarang dia baru mengeluarkan jurus andalannya, Dalam sekali
serang, perut Kwe Po Giok telah tersayat dada Sun Put Ce juga
tergores cukup dalam. Kedua orang itu mencelat mundur tiga
langkah, Tubuh mereka sempoyongan Belum lagi sempat
menegakkan diri, Fang Tiong Seng dan pedangnya sudah hampir
tiba. Siau kiong cu menjerit kecil, tubuhnya gontai Fang Tiong Seng
menengok ke arahnya. Dia tampak terpana. Bayangan gadis itu yang
telanjang kembali berputar di-angan-angannya. pandangan matanya
terpaku, pedang di tangannya berhenti di udara. Sekejap kemudian
dia bagai tersadar. Dia cepat-cepat menenangkan hatinya, namun
sudah terlambat... Dalam sekali kedipan mata, pedang Sun Put Ce mengarah lurus di
hadapannya, Dia panik sekali, dari arah samping Kwe Po Giok juga
sedang melayang ke tempatnya berdiri. pedang yang pertama
amblas ke dadanya. pedang yang kedua menusuk bagian
pinggangnya yang kanan sampai tembus ke pinggang bagian kiri.
Sebuah pemandangan yang menggidikkan hadir di hadapan mata
mereka, Fang Tiong Seng tampaknya ingin tertawa terbahak-bahak,
namun wajahnya hanya dapat meringis. Darah menyembur ke
mana-mana. Mengapa dia hendak tertawa" Apakah dia
menertawakan dirinya sendiri yang terjebak oleh gerakan seorang
perempuan" Atau dia ingin menertawakan kebodohannya yang
menyia-nyiakan kemenangan yang sebetulnya akan diperolehnya"
Pedang Kwe Po Giok belum ditarik keluar. Ketiga perempuan itu
menahan perasaan yang membaur didalam hati. Mereka sudah
melihat dengan jelas, sebetulnya apa yang dipelajari Sun Put Ce
lebih banyak dari Kwe Po Giok, namun dia tetap memberikan
kesempatan untuk membunuh Fang Tiong Seng kepadanya, pertama
karena dia memang bukan orang yang suka menonjolkan diri.
Kedua, dia mungkin tidak tega turun tangan sendiri.
"Bagus....! Bagus sekali!" Suara Fang Tiong Seng tersendatsendat,
Tubuhnya lunglai. Apakah kata-katanya mengandung maksud bahwa mereka pandai
sekali mengambil kesempatan pada saat dirinya lengah" Atau suatu
pujian bahwa ilmu kedua orang itu benar-benar sangat bagus"
Mungkin tidak ada orang yang tahu maksud sebenarnya.
Sun Put Ce telah menguburkan mayat Fang Tiong Seng. Dia
masih berusaha menenangkan perasaannya juga mencoba
meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua yang dialaminya hanya
sebuah mimpi buruk. Sampai di manakah tingginya ilmu silat Fang Tiong Seng"
Mungkin tidak ada yang pernah tahu. sebetulnya kemenangan yang
diperoleh Sun Put Ce dan Kwe Po Giok hanya kebetulan saja, Apabila
pikiran orang itu tidak sedang bercabang, apakah mereka sanggup
membunuhnya" Kalau Kwe Po Giok yang ditanyakan, jawabannya pasti bisa. Tapi
kalau pertanyaan ini diajukan kepada Sun Put Ce, dia pasti berani
mengakui tidak. Kwe Po Giok mencoba bertanya kepada Lu ji, mengapa Fang
Tiong Seng bisa begitu terpesona memandangnya" Gadis itu hanya
memberikan jawaban yang samar-samar. Apakah dia sengaja
menarik perhatian Fang Tiong Seng"
Apakah dia sejak lama sudah mengetahui bahwa ada orang yang
mengintipnya ketika mandi" Kalau tidak, mengapa dia sengaja
menyalakan lilin besar sehingga bentuk tubuhnya dapat terlihat
jelas" jawaban ini juga tidak akan diketahui untuk selamanya,
Namun, Siau kiong cu berbuat satu hal yang berada di luar
dugaan Sun Put Ce, Bwe Mei, Chow Ai Giok, terlebih-lebih Kwe Po
Giok, Dia mengeluarkan uang sebanyak seribu tail untuk menebus
diri Siau lok yang bekerja di rumah hiburan Pek Hua lau, perkataan
yang sudah diucapkannya pasti akan ditepati.
Masih ada satu persoalan yang patut dikemukakan Dia tidak ingin
segera menikah dengan Kwe Po Giok, Dia ingin memastikan diri
untuk beberapa lama. Kwe Po Giok seharusnya mengerti apa yang
dimaksudkan Siau kiong cu tidak ingin lagi mendengar dia
membanggakan diri sebagai Sin tong.
Bagi Sun Put Ce, Fang Tiong Seng masih merupakan guru yang
berbudi dia memakamkannya dengan upacara sederhana, Kwe Po
Giok sudah pergi, demikian juga Siau kiong cu. Mereka sangat
membenci Fang Tiong Seng dan tidak sudi menggabungkan diri
dalam upacara tersebut. Sebetulnya Chow Ai Giok juga sama, Karena Fang Tiong Senglah
yang membunuh Kiau Bu Suang, Namun dia tidak meninggalkan
tempat itu. Dia hanya berdiri di sudut dan memperhatikan Sun Put
Ce dan Bwe Mei membakar kertas sembahyang Bwe Mei adalah
gadis penuh pengertian. Meskipun dia juga tidak pernah suka
kepada Fang Tiong Seng, namun Sun Put Ce adalah calon suaminya.
Dia harus mengikuti apa yang dilakukannya.
Setelah upacara sederhana itu selesai, Bwe Mei menghampiri
Chow Ai Giok dan duduk di sampingnya. perempuan itu bersandar di
sebatang pohon dan melamun.
"Chow cici.... Kalau kau tidak keberatan kau boleh tinggal di
rumah kami, Setidaknya sampai anakmu lahir," kata Bwe Mei.
"Terima kasih, Bwe moi. Aku tidak ingin merepotkan kalian.
Lagipula jalan hidup kita telah terpaut demikian jauh. Aku tidak mau
kejelekan diriku mempengaruhi kalian," sahutnya.
"Kalau boleh aku ingin mengusulkan sesuatu," kata Sun Put Ce
sambil berjalan ke depan mereka, Dia sempat mendengar
percakapan kedua perempuan itu.
"Apa itu, Sun Toako.,.?" tanya Bwe Mei.
"Aku mengerti maksud Chow kouwnio, Memang setiap manusia
harus mempunyai kebebasan dalam rumah sendiri, tanpa diganggu
pihak lain. Aku akan mencari sebuah rumah yang letaknya tidak jauh
dengan tempat tinggal kita. Dengan demikian, apabila ada apa-apa,
kita bisa saling menjaga, Bagaimana pendapat Chow kouw-nio?"
sahut Sun Put Ce. Chow Ai Giok sangat terharu, Dia pernah berbuat jahat kepada
dua orang ini. Tapi bukan saja mereka sudah menghapuskan semua
dendam dalam hati, bahkan bersedia menolong dirinya.
"Terserah bagaimana anggapan yang terbaik dari Sun Toako, Siau
moi hanya mengikuti. Mulai sekarang kita sudah seperti saudara,
Harap Sun Toako jangan memakai embel-embel kouwnio lagi di
belakang namaku. Bwe moi juga boleh memanggil aku cici," sahut
Chow Ai Giok dengan nada lembut.
Bwe Mei saling pandang dengan Sun Put Ce. Gadis itu merasa
gembira bahwa akhirnya mereka bisa menyelesaikan persoalan yang
terjadi di antara mereka dengan baik, Dia menyetujui pendapat Sun
Put Ce. "Sun Toako.... Mari kita berangkat sebentar lagi matahari akan
terbit. Kita akan memulai hidup baru, Cepat laksanakan kata-katamu
tadi," katanya. Mereka berjalan beriringan dengan wajah riang. Sinar keemasan
dari ufuk Timur mulai menampakkan diri.
-ooo0ooo- Bagian Dua puluh Lima Musim semi telah tiba. Bunga-bunga berwarna warni bermekaran
di mana-mana, Daunnya yang hijau melambai-lambai.Pada saat
seperti ini banyak pelancong yang berdatangan dari daerah, Cuaca
pada musim semi memang paling segar. Angin bertiup semilir.
Matahari tidak terlalu terik. pemandangan alam membuat manusia
terpukau. Di telaga See 0uw. Perahu-perahu dengan hiasan-hiasan indah hilir mudik, Terlihat
beberapa gadis penjual bunga sedang menawarkan dagangannya.
Mereka menjinjing dua buah keranjang di tangan kiri dan kanan,
Kepalanya diikat dengan selendang, Ada beberapa yang memakai
selendang berwarna merah muda, ada juga yang berwarna kuning
jeruk dan ada pula yang memakai selendang ungu, Gaun-gaun
sederhana melambai-lambai tertiup angin nakal, Sungguh suatu
pemandangan yang indah. Sejak kematian Fang Tiong Seng, dunia Bulim tenang kembali
tidak ada gejolak yang meresahkan hati rakyat, Setiap jalanan
ataupun gang kecil dipenuhi para penjaja dan anak-anak yang
sedang bermain. Suasana terlihat riang gembira.
Pada saat itu, seorang gadis dengan wajah cantik jelita mendekati
tepian sungai. Dia berjalan kearah sebuah perahu yang tampak
kekar dan kokoh. "Lopek.... Apakah perahumu ini disewakan..?" tanyanya.
Orang tua itu menoleh, Dia terkesima memandang gadis di
hadapannya. Seumur hidup ini dia sudah banyak melihat
perempuan-perempuan cantik, Apalagi pada musim pesiar seperti
ini. Tapi gadis yang ada di hadapannya ini memang mempunyai
kelebihan tersendiri Dia yakin gadis itu pasti bukan keturunan orang biasa. Setidaknya
kaum bangsawan atau mungkin juga turunan seorang pendekar
besar. Tapi orang tua itu merasa heran juga. Mengapa gadis
secantik itu berani berpesiar seorang diri?"
"Betul, Siocia (nona), Perahu ini memang disewakan Apakah
Siocia ingin mendayung sendiri atau ditemani Lopek?"
"Terima kasih, Aku minta Lopek membawaku mengelilingi telaga
ini. Cuaca sangat cerah. pemandangan pun demikian indah," sahut
gadis itu. Tukang perahu itu segera mengiakan, Dia melepaskan tali
penambat perahu tersebut. Dibantunya gadis itu naik ke atas, Dan
dia mulai mendayung. "Apakah Siocia berasal dari sekitar tempat ini?" tanya tukang
perahu penasaran. "Tidak. Aku berasal dari Pak hay," sahut gadis tersebut.
"Oh.... Jauh sekali... Siocia hanya seorang diri?" tanya si tukang
perahu. "Betul. Kebetulan aku baru saja mengunjungi seorang teman yang
rumahnya tidak seberapa jauh, Karena cerita teman itu pula, maka
aku tertarik dan ingin melihat keindahan telaga See Ouw ini," sahut
gadis itu yang ternyata Siau kiong cu adanya.
Tukang perahu itu menganggukkan kepalanya, Dalam hati dia
terus bertanya-tanya. Mengapa temannya tidak menemani dia
berpesiar" Laki-laki atau perempuan temannya itu" Siau kiong cu
mengedarkan pandangannya ke sekeliling telaga, Banyak sekali
perahu-perahu di sana. Ada juga kapal yang agak besar. Suara tawa
dan nyanyian berkumandang sampai perahu yang ditempati Siau
kiong cu. Gadis itu mendengarkan dengan seksama, Dia merasa ingat
dengan lagu itu. Bibirnya bergerak-gerak menirukan. Suaranya
merdu namun perlahan Dia terbawa keindahan lagu tersebut.
Musim chun telah tiba. Rakyat bersorak menyambutnya.
Anak-anak memetik bunga-bunga,
Yang perempuan mengambilnya untuk penghias kepala,
Musim chun telah tiba. Hati bak bunga yang bermekaran,
Cinta pun mulai bersemi. Harapan akan menjadi kenyataan....
"Apakah cinta akan menjadi kenyataan?" Terdengar suara
seseorang di sampingnya. Siau kiong cu terkejut. Dia menolehkan kepalanya, Hatinya
tergetar melihat orang itu. Seorang pemuda berwajah tampan dan
kulit tubuh berwarna kecoklatan karena tersinar matahari. Baju yang
dikenakannya adalah pakaian yang biasa dipakai oleh kaum nelayan.
Bibirnya menyunggingkan sebuah senyum kedewasaan.
Dia adalah Kwe Po Giok! Jodohkah artinya" Kalau tidak, mengapa mereka bisa kebetulan
bertemu di telaga See Ouw ini" Atau ada yang mengatur pertemuan
itu" Rupanya Siau kiong cu baru saja mengunjungi Sun Put Ce dan
Bwe Mei yang sudah menikah, Dan entah bagaimana, setelah Siau
kiong cu berlalu, Kwe Po Giok juga tiba-tiba ingin mendatangi kedua
orang itu. Dia tahu mereka akan menikah, tapi pada saatnya hampir
tiba, Sun Put Ce tidak berhasil menemui mereka.
Dari pemberitahuan Sun Put Ce, Kwe Po Giok mengetahui bahwa
Siau kiong cu sedang berpesiar di telaga See 0uw. Dia segera
menyusulnya. Tukang perahu yang sedang mendayung tersenyumsenyum
Rupanya mereka mengadakan perjanjian untuk bertemu di
tempat. "Apakah hatimu masih ragu ter...?" tanya Kwe Po Giok, Siau kiong
cu menggelengkan kepalanya, Kwe Po Giok cerah seketika, .... Aku
tinggal di sebuah perkampungan nelayan, Maukah kau tinggal
bersama disana?" tanyanya.
Lagi lagi Siau kiong tersipu, Namun dia anggukkan kepalanya.
Langit makin membiru. Suara nyanyian berkumandang. Bungabunga
memang sedang bermekaran, demikian pula hati mereka.
Kini, pikirnya dalam hati, Siau kiong cu sendiri tidak tahu harus
berkata apa, wajahnya tertunduk malu, Kwe Po Giok sudah berubah.
penampilannya lebih matang dan dewasa. Dia ingin membuktikan
keraguan hatinya tempo hari.
"Apa yang kau lakukan selama ini?" tanyanya.
"Lu ji.... Aku mencari nafkah, Hidupku tenang sekali sekarang,
Tidak ada yang membebani pikiran lagi kecuali dirimu. Tunggu
dulu...." Siau kiong cu tidak mengerti mengapa dia menghentikan katakatanya.


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata Kwe Po Giok loncat ke perahu gadis itu. Dia
meminta tukang perahu membawa perahunya ke tepian telaga,
Dengan demikian, dia jadi bebas berbicara dengan Siau kiong cu.
"Nah.... Kita lanjutkan kembali," kata-nya. "Bagaimana
keadaanmu belakangan ini, Lu ji?" tanyanya dengan penuh
perhatian. Siau kiong cu tersipu. Siau Kwe telah dewasa, Waktu enam bulan
ternyata bisa merubah sikap seseorang.
"Aku baru saja mengunjungi Sun toako dan Bwe ci. sebelumnya
aku bersembahyang di kuburan ayah," sahutnya.
Tamat Pendekar Misterius 3 Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo Golok Halilintar 5

Cari Blog Ini