Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long Bagian 4
perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang siap meledak
dalam dirinya. Karena ketika dia bergerak sedikit, badannya menyentuh kulit
halus, Membuat dia mempunyai pikiran bahwa tulang belulangnya
pasti akan putus berantakan Sun Put Ce sudah tahu siapa yang
berada di sampingnya. Dia tidak berani bergerak lagi. Hanya degup jantungnya yang
berdebar-debar terdengar jelas, Tetapi biarpun dia tidak berani
bergerak, lawannya justru bergera. Sebuah kaki yang halus dan
hangat menopang di atas dengkulnya, Dengan cepatnya pasti terjadi
reaksi. Sun Put Ce percaya, gadis yang ada di sampingnya juga
telanjang bulat. Dia adalah seorang laki-laki berusia dua puluh delapan tahun Dia
masih belum tahu, apakah orang lain pernah mengalami hal yang
sama" Apakah dalam keadaan seperti ini ada laki-laki yang dapat
menolak" Dan andaikata dia tidak menolak tapi membiarkan semuanya
terjadi, apa akibatnya kelak" Rasanya setiap orang dalam saat
seperti ini akan teringat harga dirinya, nama besar perguruannya,
kehormatan lawan jenisnya dan bagaimana menyelesaikan akibat
yang akan terjadi. Namun, sebagian besar justru akan melakukan
lebih dahulu baru berpikir.
Banyak sekali hal di dunia ini kalau baru pertama kali
melakukannya akan terasa ngeri. Umpamanya, tubuh telanjang yang
saling bersentuhan, bau keringat yang dapat tercium, disertai
keharuman dari bagian lain seperti rambut tubuh lawan jenisnya,
Kegugupan yang tidak dapat digam-barkan dengan jelas.
Namun Sun Put Ce adalah laki-laki sebenarnya, Dia juga
mempunyai kebutuhan yang sama dengan orang lain, yang paling
mengerikan justru dalam seumur hidupnya dia belum pernah melihat
perempuan telanjang, Sun Put Ce sulit mengendalikan dirinya.
Tubuhnya bergetar dalam kobaran api nafsu birahi, sebuah
tangan yang lembut kembali menempel di bagian perutnya. Badai
yang dibawa sepasang tangan ini terlalu dahsyat, Sun Put Ce hampir
tidak sadarkan diri. "Apakah kau tidak menyayangi kesalahan pertemuan yang
kebetulan ini?" Tiba-tiba gadis itu bertanya, Sun Put Ce merasakan
sukmanya terpanggil kembali oleh suara yang merdu itu.
"Sayang..." sahutnya lirih, dia berhenti sebentar untuk mengatur
nafasnya yang masih memburu, "Tapi saya ingin tahu kesalahan
siapa ini?" tanya Sun Put Ce.
"Apakah kesalahanku?" tanya gadis itu.
"Maksudmu saya yang bersalah?" tanya Sun Put Ce kembali.
"Arak aku yang sediakan, kau juga mabuk karena aku meloloh
dirimu secara kelewatan. Aku tidak menyalahkan dirimu kalau kau
mengatakan aku yang bersalah," kata Bwe Mei. Dia membalikkan
tubuhnya dan berhadapan dengan Sun Put Ce.
Dua gumpal bukit yang ranum menempel di dadanya, Sebuah
pengalaman yang sulit dilukiskan! Dia melihat sinar matanya yang
bergairah, memperlihatkan dengan jelas keinginan dalam hatinya.
Sun Put Ce hampir tidak tahan melihat sinar mata seperti itu, dia
memeluk Bwe Mei erat-erat. Orang yang baru pertama kali
mengalaminya, bagaimana dapat melukiskan perasaan yang
berkecamuk pada saat itu.,." Khayalan dan kenyataan yang dialami
diri sendiri tentu jauh berbeda.
Setiap laki-laki yang menginjak usia dewasa, pasti ingin
merasakan gairah yang ditimbulkan bila memeluk seorang
perempuan cantik. Siapa pun tidak akan dapat menggenggam
perasaan yang sebenarnya.
Apalagi di saat ada seorang perempuan cantik yang benar-benar
berada dalam pelukannya, pasti perasaan ingin tahu bagaimana
perasan hatinya saat itu hilang lenyap bersama gelora yang
bergelombang. Sun Put Ce sendiri rasanya mulai mengerti namun tak kuasa
menerangkannya, sedangkan Bwe Mei menunjukkan sikap jinakjinak
merpati. Mungkin sikap antara mau dan malunya malah
membuat laki-laki itu tambah penasaran.
Pada hakekatnya, sebelum melanjutkan, dia harus memikirkan
setiap kemungkinan. Namun sulitnya adalah mengendalikan perasan
yang berkecamuk dalam dada itu. Di depan matanya tampak kulit
yang halus dan mata yang memancarkan gairah mengundang,
Bagaimana Sun Put Ce sanggup menahan diri"
Dia mengkertakkan gigi sekuatnya. Meskipun tubuh Bwe Mei
mulai melakukan gerakan. Biarpun berapa banyak pahlawan yang
jatuh dalam sedetik ini, Sun Put Ce tiba-tiba diingatkan oleh sebuah
nama.... Fang Tiong Seng! Kemudian bayangan yang lain pun
berputaran Wajah Mo Put Chi, wajah Hu Put Chi, wajah Kwe Po
Giok...! Tentu saja dia juga teringat dirinya sendiri, dia adalah Sun Put Ce.
Seorang manusia yang tidak boleh dianggap tidak berakal sama
sekali, Dia mendorong tubuh yang halus dan hangat itu sekerasnya,
hampir saja Bwe Mei terbanting dari tempat tidur.
Sun Put Ce bangkit dari ranjang, dia meraih pakaiannya segera,
Perubahan seperti ini, meskipun laksaan kali peristiwa yang sama,
mungkin tidak lebih dari tiga orang yang sanggup melakukannya,
Tapi... Sun Put Ce ternyata bisa! Perubahan yang langka itu,
ternyata dialami juga oleh Bwe Mei.
Hal pertama yang dirasakannya adalah terhina dan dipandang
rendah. Namun dalam sekejap, pikirannya sadar, Dia tidak dapat
menyalahkan Sun Put Ce, malah harus berterima kasih kepadanya,
Dia tidak seharusnya marah, bahkan harus menaruh hormat
kepadanya. Bwe Mei menarik nafas panjang.
"Anak murid Fang Tiong Seng memang berbeda dengan umum,"
katanya. "Bwe kouwnio.... Apa sebetulnya yang telah terjadi?" tanya Sun
Put Ce seperti baru terjaga dari sebuah mimpi yang menyeramkan.
"Apalagi kalau bukan takaran minummu yang kelewat rendah,"
kata Bwe Mei seraya mengembangkan sebuah senyuman.
"Sebetulnya saya memang tidak kuat minum Apakah kita
sudah...?" Kata-katanya tidak dapat dilanjutkan karena jengah.
"Belum...." sahut Bwe Mei.
"Saya minta maaf...." kata Sun Put Ce.
"Aku tidak menyalahkan dirimu," sahut Bwe Mei cepat.
"Mengapa kau tidak menyalahkan diriku?" tanya Sun Put Ce.
"Karena kau tidak termasuk laki-laki yang jahat," sahut Bwe Mei.
"Lihat perempuan langsung bergairah, apakah saya termasuk
orang baik?" tanya Sun Put Ce tidak mengerti.
"Laki-Iaki yang dapat menghentikan tindakan pada saat seperti
ini, mana boleh dianggap bukan orang baik-baik?" sahut Bwe Mei
dengan wajah tersipu. Sun Put Ce sendiri tidak mengerti, bagaimana dirinya dapat
terlepas dari jerat yang begitu ketat" Matanya beralih pada tempat
tidur. Tangan yang halus dan pundak yang terbuka masih
menyembul dari balik selimut. Kekuatan apakah yang menyadarkan
dirinya tadi" Sekarang, kembali sinar mata yang penuh gairah menatapnya,
Ditambah lagi gerakan kepala yang menawan ketika mengibaskan
rambutnya. Sun Put Ce tahu, dia harus segera meninggalkan tempat
ini. Bila tidak, dia sendiri juga tidak yakin akan dapat melepaskan diri
sekali lagi. -oooo0oooo- Malam, di keremangan pegunungan terlihat kunang-kunang
beterbangan. Sebuah jalan kecil memanjang dari bawah bukit
menembus hutan siong. Di atas jalan kecil itu ada sebuah tandu bergerak. Tandu itu tidak
seberapa besar, tetapi yang menggotongnya justru empat orang
laki-laki bertubuh kekar, Tadinya terdengar suara percakapan dari
dalam tandu itu. Namun sejak masuk ke dalam hutan siong, suara
percakapan sudah tidak terdengar lagi, dengan demikian, berarti
dalam tandu itu berisi dua orang.
Tiba-tiba, sebuah bayangan hitam yang panjang hinggap di atas
tandu tersebut, Seperti seekor kelelawar yang besar, orang ini
mengenakan topeng. Seluruh tubuhnya hitam pekat, hanya
sepasang mata yang terlihat dari lobang penutup mukanya.
Dia tertawa dingin, Dengan satu kali injakan, atap tandu itu
amblas ke dalam, Terdengar suara berderak, Sepasang laki-laki dan perempuan
loncat keluar, Yang perempuan sangat cantik, yang laki-laki tinggi
kurus. Tampangnya juga cukup bagus.
Kedua orang ini duduk di dalam tandu yang sama. Dari sini sudah
dapat terlihat jelas, betapa akrabnya hubungan sepasang laki-laki
dan perempuan itu. Ketika menghambur keluar dari tandu, kedua
orang itu melayangkan sebuah pukulan serentak.
Maksudnya agar manusia yang mengganggu acara itu dapat
terhalau segera, Siapa sangka, manusia bertopeng itu sudah dapat
menduga akan adanya serangan ini, dia langsung meloncat mundur
sebanyak tiga depa. Sinar rembulan menembusi hutan siong dan bersinar di muka
manusia bertopeng tersebut, MenimbuIkan bintik-bintik seperti
orang yang terkena penyakit cacar. laki-laki dan perempuan yang
menghambur dari dalam tandu itu berdiri berkacak pinggang.
Wajahnya menampilkan sinar amarah, "Siapa kau?" teriak yang
laki-laki. "Orang yang ingin mengadu ilmu!" sahut si manusia
bertopeng. Sepasang laki-laki dan perempuan itu, baru memperhatikan
bahwa manusia bertopeng itu menggenggam sebatang pedang yang
agak mirip golok. Bentuk tubuh pedang itu pipih dan tidak lebar
Namun di ujungnya ada sedikit lekukan seperti golok, "Kalau kau
ingin mengadu ilmu... tentunya kau sudah mencari keterangan siapa
kami ini?" tanya laki-laki tinggi kurus itu.
"Tanpa mengetahui identitas dirimu, mengadu ilmu apa gunanya"
Kau adalah Kiang Pak It Cheng Hong, Dia adalah perempuan yang
menyaru menjadi buruk rupa untuk menguji dirimu, Kao kie...." kata
manusia bertopeng tadi sambil tertawa dingin.
It Cheng Hong tertawa terbahak-bahak.
"Siapa pun tahu, Kiang Pak It Cheng Hong sudah mati di tangan
Cu lao thaiya di pinggir pantai lautan Timur." serunya.
Manusia bertopeng itu ikut tertawa terbahak-bahak.
"Permainan seperti itu mungkin masih bisa mengelabui orang lain,
tapi tidak bisa lepas dari mataku!" katanya.
"lt Cheng Hong tidak mati" Atau sudah mati hidup kembali?"
tanya Kao Kie dengan gaya seakan benar-benar tidak tahu.
"Karena kehadiran Toa Tek To Hun telah menimbulkan badai
dalam dunia persilatan daerah Tionggoan, banyak jago kelas satu
dan dua yang hatinya berkebit-kebit. Mereka terus gelisah kapan
dirinya yang akan menjadi korban selanjutnya, Nah.... siluman
manusia yang cerdik menemukan akal bagus.
Dia meminjam tangan Cu lao thaiya dan pura-pura mati Manusia
yang sudah mati toh tidak berharga lagi bagi Toa Tek To Hun...!"
sahut manusia bertopeng itu.
It Cheng Hong dan Kao Kie saling lirik sekilas, ternyata di dunia ini
susah menutupi hal yang sebenarnya. Mereka terus menganggap
bahwa kejadian ini tidak ada pihak ketiga yang tahu.
Rupanya Kao Kie adalah perempuan berwajah buruk yang
memberikan Bi jin sim kepada It Cheng Hong, Dia sengaja
menyamar untuk menguji hati laki-laki itu, It Cheng Hong tentu saja
tidak menyukai perempuan berwajah buruk, tetapi dia memerlukan
benda pusaka itu. Dia ingin merebutnya. Biarpun si perempuan tampil dengan wajah
aslinya, tetap saja It Cheng Hong bermaksud merebut benda pusaka
tersebut. Kao Kie sangat menyukai It Cheng Hong, Tentu sulit untuk
menjelaskan alasannya. Percintaan antara laki-laki dan perempuan memang sulit diuraikan
dengan kata-kata, lagipula cinta yang dapat dijelaskan pasti nilainya
terbatas, Kao Kie mengikuti lt Cheng Hong sampai pesisir di lautan
Timur, dia melihat laki-laki itu pura-pura mati. Setelah semua orang
sudah meninggalkan tempat itu, baru dia bangun kembali, It Cheng
Hong menghargai kesetiaannya, mereka berdua meninggalkan laut
Timur, Dia melihat laki-laki itu pura-pura mati.
Setelah semua orang sudah meninggalkan tempat itu, baru dia
bangun kembali. It Cheng Hong menghargai kesetiannya, mereka
berdua meningalkan lautan timur. Kemudian merencanakan untuk
menetap di Si Pak, duIu mereka takut tidak terkenal, sekarang
malah merasakan menjadi orang terkenal itu sangat menakutkan.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya It Cheng hong
"Kau tidak perlu tahu!" sahut manusia bertopeng itu.
"Mengapa?" tanya Kao Kie gantian.
"Kau setelah bertanding denganku, tahu atau tidak tahu, tiada
artinya lagi bagi kalian," sahut manusia bertopeng.
"Sombong benar!" bentak It Cheng Hong "Cu lau thaiya saja
masih bukan tandingannya. Hanya karena dia ingin menghindari Toa
Tek To Hun, baru terpaksa pura-pura kalah dan mati di tangan
orang tua itu. Namun setelah mengetahui indentitas diri mereka, toh masih
berani mencarinya untuk bertanding, dapat dibuktikan bahwa
manusia bertopeng itu juga bukan orang biasa. Senjata keduanya
sudah ditangan. Para pemikul tandu mundur ke samping.
Melihat kenyataan saat sekarang, orang yang berani
menggunakan kata-kata mengadu ilmu melawan mereka, mungkin
tidak ada lagi, kecuali Toa tek To Hun. Tetapi mereka belum pernah
mendengar Toa Tek To Hun menggunakan topeng penutup muka.
Meskipun manusia ber topeng ini bukan Toa Tek To Hun, tapi
pedang yang digunakannya justru sama dengan orang itu.
Bentuknya panjang pipih, warnanya hitam mengkilap. Pedang It
Cheng Hong dan Kao Kie sudah terhunus. Manusia bertopeng itu
meraba pedangnya dengan tangan kiri. Mereka berdua langsung
dapat menerka bahwa dia adalah seorang manusia kidal.
Mereka tidak dapat melihat wajah dan mimik muka manusia
bertopeng itu. Tapi dari caranya meraba pedang, It Cheng Hong dan
kao Kie segera dapat merasakan hawa pembunuhan yang tebal.
Daun-daun pohon saling melambai-lambai seakan setanpun
menyambut siapa saja yang akan tergeletak hari ini. Pikiran It Cheng
Hong dan Kao Kie terus berputar. Mereka tidak dapat menebak siapa
orang di Bulim yang menggunakan kata-kata
"mengadu ilmu" untuk mengajak para jago bertanding.
It Cheng Hong turun tangan lebih dahulu, Kao Kie pun tidak
ketinggalan terlalu lama. Sinar pedang berkelebat menutupi manusia
bertopeng, keadaan ini membuat kedua orang itu makin percaya diri,
Selain Toa Tek To Hun atau Tang hai sin sian, siapa yang sanggup
melawan kedua orang itu sekaligus"
Entah sejak kapan, pedang manusia bertopeng juga telah
dihunuskan, sinarnya berkelebat menembus kilatan pedang kedua
orang itu, cara bertempurnya mirip dengan Toa Tek To Hun.
"Tang! Tang! Ting! Ting!"
Terdengar suara beradunya pedang, bukan pedang kedua orang
itu melayang, juga belum terlihat ada bekas luka memanjang di
kening mereka, Mungkinkah manusia bertopeng ini Toa Tek To Hun"
Rasanya tidak mungkin, Tapi mungkin saja kalau sejak
Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedatangannya ke daerah Tionggoan.
Dia belum bertanding dengan dua orang jago kelas satu sekaligus,
Dan malam ini adalah kejadian untuk pertama kalinya bahwa dia
tidak dapat membunuh lawan dalam kurang dari satu jurus!
Kedua orang itu meloloskan diri dari serangan manusia bertopeng,
mereka meloncat mundur sebanyak lima depa. Setelah saling
pandang sejenak, kemudian mulai menyerang Iagi. Manusia
bertopeng itu sudah pasti bukan Toa Tek To Hun.
Langkah kakinya kurang teratur, hawa pembunuhan yang
dipancarkan oleh pedangnya juga kurang tebal. Pedangnya
mengeluarkan sinar "Ting! Tang!"
Dua kali dentingan suara, Bagian perut dan dada pakaian It
Cheng Hong dan Kao Kie terkoyak, Bahkan ada luka memanjang
pada perut It Cheng Hong, meskipun tidak terlalu parah, darah segar
mengalir dengan deras. Kao Kie terpana, Wajah It Cheng Hong
sepucat pedangnya sendiri.
Manusia bertopeng itu bukan Toa Tek To Hun. Tetapi jurus yang
digunakan dan pedangnya justru sama dengan orang itu. Apakah
manusia bertopeng ini masih mempunyai hubungan dengan Toa Tek
To Hun" Apakah ada manusia lain yang sanggup melukai kedua jago
kelas satu itu dalam jurus kedua selain Toa Tek To Hun sendiri"
It Cheng Hong dan Kao Kie tidak habis pikir Tapi mereka
menganggap, manusia bertopeng ini memang pantas mengajak
mereka bertanding. ilmu gabungan kedua orang itu jauh lebih tinggi
dari Chao Hui Feng, Chi Siong Kiam Kek ataupun Lie Cheng Hong.
Di bawah ancaman kematian, It Cheng Hong dan Kao Kie
menggunakan tenaga sepenuhnya. Mereka berusaha keras,
serangan yang dilancarkan kedua orang itu bukan main hebatnya, lt
Cheng Hong dan Kao Kie tentu saja tidak ingin mati konyol begitu
saja. Pedang manusia bertopeng berkelebat berapa kali, mereka tidak
sempat menghitungnya lagi, mereka hanya tahu.... setiap kali
pedang itu berkelebat, waktu kematian pun semakin dekat.
Sinar rembulan menyinari wajah mereka yang menyeramkan,
Sinar mata mereka lebih menyiratkan sinar terkejut, mereka sadar
sulit untuk meloloskan diri dari pertarungan ini.
Sekali pedang menyambar kemudian masuk kembali ke dalam
sarung, Tubuh It Cheng Hong dan Kao Kie terhuyung-huyung.
Mereka bertahan sekuatnya, tangan masih ingin digerakkan untuk
balas menyerang, namun dalam waktu lima detik keduanya rubuh di
tanah. Nafas masih belum berhenti. Darah segar mengalir dari
kening. "Bagaimana jurus ilmu silatku menurut kalian?" tanya manusia
bertopeng dengan nada menyindir.
Kao Kie memandangnya dengan mata terbelalak.
"Kau adalah Cap..!" Kata-katanya tidak sempat di teruskan,
Tubuhnya kaku bersama tubuh It Cheng Hong yang jalan selangkah
lebih cepat daripadanya. Manusia bertopeng itu menarik nafas panjang, pedangnya
menyambar ke kanan dan kiri, Keempat laki-laki pemikul tandu
rubuh dengan tubuh mandi darah.
"Tujuh jurus setengah!" kata manusia bertopeng itu. Entah katakata
tujuh jurus setengah itu membawa kesenangan atau kepiluan
dalam hatinya. Dengan tujuh jurus setengah dapat membunuh It Cheng Hong
dan Kao Kie sudah termasuk manusia langka, Namun Toa Tek To
Hun belum pernah menggunakan lebih dari tiga per empat jurus...!
Rembulan bersinar menerangi atap rumbia dan rumah bambu.
Dahan dan pohon bunga melambai tertiup angin. Bwe Mei
mendorong pintu bambu, langkahnya diperlahankan agar tidak
menerbitkan suara bising. Bayangan tubuhnya merupakan bayangan
terindah di antara bunga-bunga yang ada di sekitar tempat itu.
"Siapa?" Terdengar suara yang berat berkumandang dari dalam
rumah itu. "Memangnya siapa lagi?" sahut Bwe Mei.
"Kreekk!" Suara deritan pintu mengiringi tubuh gemulai gadis itu
masuk ke dalam, Di atas tempat tidur terbaring seorang Iaki-laki.
Usianya belum terlalu tinggi Sekitar tiga puluhan, mungkin karena
bersandar di tempat tidur, jadi kelihatannya lebih tua dari umur
semestinya. Di dalam rumah tercium bau obat-obatan. Di samping tempat
tidur ada dua buah kayu penopang kaki, Hal ini menunjukkan bahwa
laki-laki yang bersandar di tempat tidur itu tidak bisa jalan tanpa
bantuan alat tersebut. "Ada kemajuan?" tanya Bwe Mei. Dia sama sekali tidak
menyalakan penerangan. Laki-laki di atas tempat tidur itu menarik
nafas. "Pernahkah kau mendengar kalau penyakit seperti ini cepat
sembuh?" Dia balik bertanya kepada Bwe Mei.
"Untuk orang yang mengalami Cao hue jit mo (Salah melatih ilmu
silat sehingga darah mengalir secara terbalik, malah ada "pembuluh
nadi yang putus dan menjadi lumpuh total), kau tidak termasuk
parah sekali...." kata Bwe Mei.
"Meskipun tidak terlalu parah, tapi seumur hidup ini juga jangan
harap bisa mengembalikan keadaan semula," kata laki-laki itu
sembari menghela nafas. "Aku paling tidak suka mendengar nada pesimis seperti itu!" kata
Bwe Mei. Laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku Cap sa thai po, Kiau Bu Suang juga tidak ingin
mengucapkannya," sahutnya dengan wajah sendu.
Keheningan menyelimuti ruangan itu. Dari arah gunung
berkumandang ratapan burung hantu, Setelah sekian lama, dia
memandang ke arah Bwe Mei.
"Mengapa tidak duduk?" undangnya.
Bwe Mei tidak bergerak, Dia tetap berdiri di samping tempat tidur.
"Apakah kau sudah memberitahukan beberapa teman baik
saya..?" tanya Kiau Bu Suang.
"Memberitahukan soal apa?" Bwe Mei mencibirkan bibirnya.
"Bahwa aku sudah menjadi manusia cacat," sahut Kiau Bu Suang.
"Kau pernah mengatakan, bahwa selain aku, kau tak ingin
bertemu dengan siapa pun!" kata Bwe Mei dengan nada dingin.
"Aku memang pernah berkata begitu," Kiau Bu Suang
mengakuinya. "Apakah kau mengharapkan mereka datang menjengukmu?"
tanya Bwe Mei cepat-cepat.
Kiau Bu Suang menggelengkan kepaIanya.
"Tidak! Tidak! Teman yang bagaimana baik pun, tetap tidak
kuharapkan kedatangannya, Aku tidak ingin penderitaanku ikut
mereka rasakan, Tetapi mereka harus tahu bahwa aku, Kiau Bu
Suang sudah tercoret namanya dari Bulim," kata laki-laki di atas
tempat tidur itu. "Apa perlu?" tanya Bwe Mei.
"Kau pasti mengerti, kalau aku diam-diam meninggalkan dunia
kangouw tanpa ada kabar berita, mungkin kawan-kawan baikku
akan menduga bahwa aku sudah tiada di dunia ini," sahut Kiau Bu
Suang. "Aku pernah bertemu dengan dua orang kawan baikmu, mereka
sangat ingin tahu di mana kau berada, tapi aku tidak
mengatakannya, Aku hanya menceritakan sedikit tentang keadaan
dirimu saat ini. Mereka tampaknya khawatir," kata Bwe Mei.
Suasana dalam rumah bambu itu hening kembali, mereka seakan
tenggelam dalam pikiran masing-masing...
"Apakah ada peristiwa besar yang terjadi di Bulim akhir-akhir ini?"
tanya Kiau Bu Suang, "Tentu saja ada! Tetapi walaupun-peristiwa besar apa atau
bagaimana, semua pasti ada hubungannya dengan Toa Tek To
Hun," sahut Bwe Mei.
Kiau Bu Suang menegakkan tubuhnya, dia mengambil sebuah
cawan di meja samping, dan menuang air putih untuk dirinya
sendiri. "Peristiwa besar apa?" tanyanya kemudian.
"Toa Tek To Hun tidak henti menghunus pedang!" kata Bwe Mei.
Kiau Bu Suang tidak bersuara.
"Jumlah korbannya sudah dua puluh sembilan orang!" kata Bwe
Mei selanjutnya. Cangkir di tangan Kiau Bu Suang bergetar hebat, isinya tumpah
dan membasahi baju Bwe Mei.
"Maaf!" kata Kiau Bu Suang dengan tangan menopang pada meja
seakan ingin berusaha berdiri. Bwe Mei membimbingnya bersandar
kembali, dia mengeluarkan sebuah sapu tangan untuk mengusap
bajunya yang basah. "Mengapa kau masih selalu sungkan terhadapku?" tanya Bwe Mei.
Hubungan mereka memang sudah akrab sekali, kalau bicara
dengan nada yang lebih kasar, hanya belum melewati malam
pengantin saja. Sejak Kiau Bu Suang mengatakan dirinya mengalami
Cao hue, dia sibuk mencari obat dan tabib terkemuka untuk
mengobatinya, sementara itu, dia juga tidak henti mencari jejak Toa
Tek To Hun. Nama Cap sa tai po memang amat terkenal, bahkan jauh lebih
terkenal daripada Tionggoan taihiap Fang Tiong Seng, Di dalam
daftar nama korban yang diincar Toa Tek To Hun, tidak mungkin
namanya tidak tertera. Jika Toa Tek To Hun hendak mencarinya, pasti dia sudah datang
dari kemarin-kemarin, Kalau sampai hari ini bayangannya pun belum
tampak, kemungkinan besar Toa Tek To Hun sudah mendapat kabar
tentang penyakit Cao hue yang diderita Kiau Bu Suang.
Kalau dilihat dari keadaan sekarang, penyakit yang diidap oleh
Kiau Bu Suang termasuk rejeki atau bencana"
"Masih ada peristiwa besar apa lagi?" tanya laki-laki itu.
"Aku sudah mengatakan, bahwa peristiwa sebesar apa pun, pasti
ada hubungannya dengan Toa Tek To Hun," kata Bwe Mei.
Kiau Bu Suang tentu percaya keterangan ini, Toa Tek To Hun
adalah segulungan badai Dan ia adalah badai terbesar yang pernah
melanda kaum Bulim di Tionggoan.
"Kau tentu kenal It Cheng Hong dan Kao Kie?" Bwe Mei
melontarkan pertanyaan yang sebetulnya tidak perlu dijawab lagi.
"Tentu! Yang satu terkenal dengan ginkangnya. Yang satu lagi
terkenal dengan jurus pedangnya, di antara kedua orang itu,
semuanya patut dijadikan sasaran oleh Toa Tek To Hun," kata Kiau
Bu Suang. "Keduanya sudah tewas!" ujar Bwe Mei datar.
"Mati bersama?" tanya Kiau Bu Suang.
"Ya! Bahkan dengan luka panjang di kening," Bwe Mei
menjelaskan. "Prangg!!!" Cangkir di tangan Kiau Bu Suang terlepas, pecahan
kacanya berantakan kemana-mana.
"Apa yang terjadi dengan dirimu hari ini?" tanya Bwe Mei heran,
Kiau Bu Suang sendiri juga tidak mengerti.
"Cao hue tidak bedanya dengan terserang angin jahat. Sejak kena
penyakit yang satu ini, tanganku sering kesemutan dan kebal, Lebihlebih
tangan di sebelah kiri. Tadi aku lupa memindahkan cangkir dari
tangan kanan ke tangan kiri, sedangkan tangan ini gemetar terus,"
kata Kiau Bu Suang seakan memberi penjelasan kepada gadis itu.
Bwe Mei memunguti pecahan kaca dalam kegelapan, mata Kiau
Bu Siang memancar aneh, tetapi Bwe Mei sama sekali tidak
melihatnya. Keheningan kembali menyelimuti rumah tersebut, Di luar
terdengar angin berhembus, Bayangan sinar rembulan menari-nari
lewat jendela. "Selama kedatangannya di daerah Tiong-goan, baru kali ini aku
mendengar Toa Tek To Hun menghadapi dua orang sekaligus," kata
Kiau Bu Suang. "Betul, Namun kali ini dia memerlukan lebih dari satu jurus untuk
membunuh It Cheng Hong dan Kao Kie," kata Bwe Mei.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Kiau Bu Suang heran.
"Karena di tubuh kedua orang itu, ada luka yang lain," sahut Bwe
Mei. Kiau Bu Suang memejamkan matanya.
"Bagi Toa Tek To Hun, ini pasti merupakan kekecualian," kata
Kiau Bu Suang. "Siapa pun yang melihat mayat kedua orang itu, pasti akan
mempunyai pendapat," kata Bwe Mei sambil tertawa getir.
"Pendapat mereka belum tentu masuk akal..." sahut Kiau Bu
Suang. "Mengapa?" tanya Bwe Mei menatap laki-laki itu tajam.
Mata Kiau Bu Suang tetap terpejam.
"Kau mungkin bisa mengeluarkan pendapat tentang siapa saja,
Tapi terhadap Toa Tek To Hun, pendapatmu belum tentu tepat,"
katanya. "Menurut apa yang dilihat oleh beberapa orang jago kelas dua,
kalau ditilik dari keadaan mayat kedua orang itu, orang yang
membunuh mereka pasti memerlukan sedikitnya di atas lima jurus
baru dapat merobohkan kedua orang itu.
Hal ini juga ramai dipergunjingkan, orang-orang yang bermata
tajam dan mempunyai ilmu cukup tinggi rata-rata yakin bahwa yang
membunuh kedua orang itu bukan Toa Tek To Hun," kata Bwe Mei
menjelaskan kembali. Kiau Bu Suang membuka matanya dan menatap gadis itu.
"Amei.... Bagaimana pendapatmu sendiri?" tanyanya.
"Orang ini pasti bukan Toa Tek To Hun!" sahutnya yakin.
"Kenapa?" tanya Kiau Bu Suang dengan pandangan menyelidik.
"Jejak kaki Toa Tek To Hun selalu rapi dan teratur selamanya
begitu, disini tempat terlihat dari bekas pertarungan antara
pembunuh itu dengan It Cheng Hong dan Kao Kie, jejak yang
tertinggal ternyata acak-acakan. Berarti orang tersebut bukan Toa
Tek To Hun," kata Bwe Mei mengeluarkan pendapatnya.
"Hanya itu teorimu?" tanya Kiau Bu Suang kurang percaya.
"Toa Tek To Hun sudah membunuh hampir tiga puluh orang.
Belum pernah ada luka lain di depan," kata Bwe Mei.
"Apalagi?" "Luka di kening It Cheng Hong dan Kao Kie juga tidak mirip sekali
dengan bekas luka yang selalu ditinggalkan Toa Tek To Hun," kata
gadis itu melanjutkan penjelasan tentang apa yang terpikir olehnya.
"Di mana letak perbedaannya?" tanya Kiau Bu Suang, Angin
kencang berhembus, Meninggalkan kegigilan di tubuh, nada suara
Kiau Bu Suang juga terdengar sendu.
"Bukankah aku pernah mengatakan perihal ranting pohon yang
diberikan kepada Fang Tiong Seng taihiap oleh Toa Tek To Hun?"
Bwe Mei mengingatkan kembali.
"Iya. Aku ingat kau pernah menceritakannya," sahut Kiau Bu
Suang. "Gerakan pedang Toa Tek To Hun selalu mengandung "makna
pedang", sedangkan dalam gerakan pedang pembunuh itu tidak ada.
Ada hal lain yang mungkin penting," kata Bwe Mei.
"Apa?" "Dari bekas luka kedua orang itu, dapat terlihat mereka mati
dalam waktu yang tidak bersamaan, Berarti gerakan pedang yang
membunuh mereka tidak dilancarkan sekaligus. Kalau Toa Tek To
Hun yang melakukannya, aku yakin hal ini tidak mungkin terjadi!"
kata Bwe Mei yakin.
Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kiau Bu Suang termangu-mangu sejenak, - "ltu juga belum pasti!
Tulang perempuan dan laki-laki memang berlainan Kau tidak bisa
memastikan sesuatu dari mayat kedua orang itu saja. Umpamanya,
mayat yang mati tenggelam, Kalau perempuan pasti menjadi pucat
seperti kertas. Dan laki-laki justru menjadi kehitaman warna
mukanya," sahut Kiau Bu Suang tidak sependapat.
Bwe Mei tidak percaya teori ini. Malah dia membenci pendapat
Kiau Bu Suang itu. Memang setiap orang selalu berkeras tentang
pendapatnya masing-masing, dan tidak suka kalau pendapatnya
tidak diterima oleh si lawan bicara.
"Apakah kau bertemu dengan Sun Put Ce?" Tiba-tiba Kiau Bu
Suang bertanya, Bwe Mei menganggukkan kepalanya.
"Aku juga melihat Bok lang kun dan dayang Cui thian, mereka
memberikan ranting pohon kepada Toa Tek To Hun. Setelah itu
mereka mencari penginapan untuk membahasnya," kata Bwe Mei.
"Bagaimana pendapatmu tentang dayang Cui thian itu?" tanya
Kiau Bu Suang. Bwe Mei merenung sejenak, dia merasa sedikit aneh.
"Mengapa kau bisa menanyakan tentang perempuan itu?" Bwe
Mei berbalik bertanya pada laki-laki yang bersandar di atas tempat
tidur, Wajah Kiau Bu Suang tidak menunjukkan perasaan apa-apa.
"Tidak.... Aku hanya sekedar ingin tahu," katanya, Bwe Mei
berpikir lagi beberapa detik.
"Tampaknya dia sangat setia terhadap Tang hai sin sian," sahut
gadis itu. "Dia akan setia terhadap siapa saja yang menjadi majikannya,"
tukas Kiau Bu Suang. "Apa maksud perkataanmu itu?" tanya Bwe Mei bingung, Kiau Bu
Suang hanya menggelengkan kepalanya.
"Sebetulnya juga tidak ada maksud apa-apa," sahutnya.
Perasaan Bwe Mei terhadap laki-laki itu memang dalam, tapi
pengertian tentang isi hatinya justru tidak terlalu dalam. Dia hanya
merasakan bahwa Kiau Bu Suang agak aneh malam ini.
-oooo0oooo- Malam.... Kapal dewa layar pancawarna tetap bergerak melaju, karena
tubuh kapal itu sangat besar, ombak yang sedang-sedang saja tidak
akan begitu terasa. Pada saat itu, lampu-lampu di kapal Tang hai sin
sian bersinar terang. Dari kabin dapat terdengar suara deburan ombak, Suara layar
berkepak-kepak, suara kapal melaju berdesir, di dalam kabin justru
tidak terdengar suara sedikit pun.
Tang hai sin sian duduk di atas tempat tidurnya yang indah,
wajahnya kelam, ia sedang merenung. Bahkan sudah merenung
sejak tadi. Tidak ada seorang pun yang tahu apa yang sedang
dipikirkannya. Andaikata ada yang dapat mengetahui apa yang
sedang terpikir olehnya, orang itu pasti akan terkejut setengah
mati... Jilid 7 Biarpun wajahnya kelam atau bergembira. penampilannya tetap
mirip seorang dewa! Dia berdiri dari tempat tidurnya, Dari dalam
lemari dia mengeluarkan sebuah kotak besar. Ketika kotak itu di
buka, dia menatap isinya dengan tarikan nafas berulang kali, Di
dalam kotak itu terdapat sebilah pedang.
Sebilah pedang yang indah sekali. Menatap pedang yang pernah
menjadi senjatanya malang melintang di Bulim selama puluhan
tahun, perasaannya menjadi bersemangat. Dia bagaikan melihat
teman baiknya atau pelayannya yang paling setia.
Pedang mendapat kebanggaan dari tuannya, dari orang mendapat
nama dari pedang. Dia pernah menganggap pedang itu sebagai
nyawanya. Dalam bahaya yang bagaimana besar pun, pedang itu
seperti dewa penolong baginya. Setiap kali menghadapi suatu
pertarungan asalkan pedang itu tergenggam di tangan, dia akan
percaya diri sepenuhnya. Sekarang, rasa percaya diri bangkit kem-bali, Dia merasa gagah
sekali, Sreet!! Suara hunusan pedang terdengar. Kilau-kemilau
terpancar Ruangan kabin itu bagai diseimuti sinar keperakan.
Tiba-tiba suara keras berdentang, Pedang itu terjatuh ke lantai,
Dalam perasaannya, suara berdentang itu lebih mirip sebuah
keluhan, tentunya keluhan dari pedang tersebut.
Dia memandang pedang yang terjatuh dengan gaya termangumangu.
Wajahnya yang kelam berubah jadi pilu, Siapa yang dapat
mengetahui perasaan hatinya saat ini" Mungkin hanya satu orang di
dunia ini yang bisa mengetahuinya. Tapi orang itu bukan Siau kiong
cu yang teramat disayanginya, Lebih tidak mungkin lagi kalau orang
itu adalah Kwe Po Giok. -oooo0oooo- Kapal dewa itu sangat besar, Mungkin hanya sebuah kapal besar
biasa. Kapal itu terlihat mengapung di atas lautan tanpa batas,
Hidup manusia pun tidak berarti banyak. Maka dari itu, orang yang
sudah berlayar berbulan-bulan, biasanya akan mencari kesenangan
dengan cara gila-gilaan. Ada yang mengatakan para pelaut adalah
kuda binal yang sukar dikendalikan
Oleh sebab itu, di atas kapal perlu berbuat sesuatu untuk
mengurangi kesenjangan. Harus ada sesuatu yang dilakukan sebagai
hiburan Siau kiong cu senang menghias bunga, Mungkin ini
merupakan jalan terbaik untuk mengusir kesepian dan kekesalan di
atas kapal. Namun bagi orang yang tidak mempunyai jiwa sabar dan tekun,
pekerjaan menghias serta merangkai bunga merupakan pekerjaan
yang hanya membuang waktu dengan sia-sia. Mungkin pekerjaan
seperti ini hanya dapat dilakukan oleh kaum perempuan.
Setiap kali Siau kiong cu merangkai bunga, para dayang pun
segan memperhatikan di sampingnya, karena Siau kiong cu bisa
merangkai bunga selama dua jam. Para dayang menertawakan
keluguannya, para pengawal menertawakan keisengannya,
sebetulnya bila mereka tidak menertawakan dirinya lugu atau iseng,
mereka tentunya bukanlah dayang dan para pengawal. Apa
sebabnya" Karena mereka pasti tidak tahu maksud Siau kiong cu di
balik merangkai bunga tersebut!
Mungkin hanya ada satu orang yang mengerti yaitu dayang Cui
thian. Dia sering diam-diam memperhatikan Siau kiong cu merangkai
bunga, Akhirnya rangkaian bunga itu selesai juga. Dia menolehkan
kepalanya. Tertampak olehnya Kwe Po Giok sedang memperhatikan
dengan gaya terpesona. Pemuda itu seakan bukan memperhatikan saja, otaknya juga ikut
berpikir. Oleh karena itu, para dayang dan pengawal sering
menertawakan dirinya di belakang, ia dianggap terlalu lemah lembut
seperti seorang perempuan. Apalagi mempunyai kesenangan
terhadap rangkaian bunga, Mereka juga tidak dapat disalahkan
orang-orang yang kedudukannya hanya dayang dan para pengawal
tentu tidak mengerti mengapa Kwe Po Giok bisa menyenangi
pekerjaan seorang perempuan itu!
Siau kiong cu memperdengarkan suara yang merdu, Tiba-tiba,
bunga yang telah dirangkai dengan indah, ditumpahkannya kembali
Dia mulai merangkai sekali lagi Kwe Po Giok sama sekali tidak
bertanya mengapa dia harus mengulangi sekali lagi rangkaian bunga
tersebut. Dia hanya memperhatikan dengan seksama dan penuh
perhatian Tidak ada kesan tidak sabar atau kesal di wajahnya.
Apakah karena Siau kiong cu terlalu cantik" Apakah gadis yang
sedang merangkai bunga merupakan pemandangan yang menawan"
Kalau jawabannya iya, maka Siau kiong cu tidak akan menganggap
dirinya istimewa. Tiba-tiba Siau kiong cu tertawa kembali dengan
suara yang lebih keras. "Ternyata kau memang cukup cerdas Ayah menyuruh kau
memperhatikan aku merangkai bunga, kau pun memperhatikan
dengan seksama dan bahkan tak pernah mengeluh, malahan sudah
beberapa malam berturut-turut," kata gadis itu.
"Saya masih mempunyai kesabaran memperhatikan beberapa
malam lagi. Sayangnya hari Chong Yang sudah semakin dekat,"
sahut Kwe Po Giok. Dalam kabin terjadi keheningan Di luar jendela,
laut dan langit bagai berpadu.
"Berapa lama lagi hari Chong Yang tiba?" tanya Siau kiong cu.
"Paling banyak tiga atau empat hari lagi," sahut bocah cerdas itu.
Alis mata Siau kiong cu bergerak.
"Kalau begitu mengapa ayahku belum memerintahkan kapal ini
berbalik haluan?" tanya gadis itu seperti kepada dirinya sendiri.
Kwe Po Giok terpana. "Apakah tujuan kapal ini sekarang bukan ke arah pelabuhan
Tionggoan?" Dia malah balik bertanya, Siau kiong cu menggelengkan
kepalanya. "Bukan!" sahutnya.
Apakah masih ada berita yang mengejutkan lagi bagi Kwe Po
Giok" sebenarnya dia memang terkejut, bahkan pada saat itu juga
dia menghambur keluar, Siau kiong cu mengikuti di belakangnya.
Matahari menyorot ke dalam kabin. Tempat tidur yang indah kuat
bergerak seiring deburan ombak. Tempat ini adalah kabin Tang hay
sin sian. Semua perabotan masih pada tempatnya. Pedang panjang
yang indah juga masih tergeletak di dalam kotak, Tang hay sin sian
malah tidak ada lagi dalam kabin itu. Seorang dayang sedang
menyapu, Seorang pelayan tua sedang merapikan barang-barang
yang berserakan. Siau kiong cu menerobos masuk, Bagi gadis tersebut, ini bukan
kebiasaannya, Dia menarik tangan pelayan tua yang sedang
merapikan kamar itu. Siau kiong cu tidak pernah sekasar ini
sebelumnya, Pelayan itu tampak tercengang.
"Siocia!" panggilnya dengan gugup.
"Mana ayahku?" tanya gadis itu. wajahnya kelihatan cemas.
"Loya sudah berangkat dengan perahu kecil," sahut pelayan itu
takut-takut. "Mengapa kau tidak melaporkan sejak tadi?" tanya Siau kiong cu
dengan wajah menunjukkan kemarahan
"Cu jin yang memerintahkan, Cu jin tidak ingin kalian
menyaksikan pertarungan berdarah itu," sahut pelayan tua itu
menjelaskan "Kepergiannya adalah untuk memenuhi janji, tapi mengapa
pedangnya malah ditinggalkan?" tanya Kwe Po Giok,
"Lweekang (tenaga dalam) dan Kiam sut (Jurus pedang) Cu jin
sudah sempurna, walaupun hanya sekuntum bunga atau pun
selembar daun, sudah dapat dijadikan senjata untuk melukai orang.
Untuk apa perlu membawa pedang?" sahut pelayan tua itu
tersenyum. Siau kiong cu tidak mengeluarkan suara, Kwe Po Giok
memperhatikan pelayan tua dengan tenang, sinar matanya seakan
ingin menembusi tubuh pelayan tua tersebut pelayan tua itu
mengelakkan diri dari tatapan Kwe Po Giok.
Dia mengambil pedang yang tergeletak di atas meja dan
dihaturkannya kepada pemuda itu, Kwe Po Giok tidak menerimanya,
Mungkin karena dia merupakan bocah ajaib.
Pelayan tua itu menghaturkan pedang Tang hay sin sian
kepadanya, bukan kepada Siau kiong cu. Hal ini terasa janggal
baginya. Mungkin karena dirinya bocah ajaib itulah, dia dapat
merasakan kejanggalan melebihi orang lain.
Dia tetap belum menerima pedang itu, Dia hanya menatap tajam
Selain suara sapu yang digerakkan dayang cilik itu, di dalam kabin
masih terdapat hawa panas yang tidak dapat dimengerti.
Hawa ini juga bukan sembarangan orang dapat merasakannya,
Seperti halnya bila sinar matahari tidak dapat menembusi kamar ini
lagi, maka kabin ini akan lembab selamanya.
"Dia orang tua masih meninggalkan pesan apa?" tanya Siau kiong
cu memecahkan kesunyian. "Cu jin berpesan agar siocia merangkai bunga setiap hari untuk
ditunjukkan kepada Kwe kongcu, sampai dia merasa bosan, baru
boleh berhenti," kata pelayan tua itu tersenyum.
Tangis dan tawa itu hampir sama, ada yang sejati dan ada yang
berpura-pura. Ada yang keras dan ada yang lirih, kenyataan ini
hanya dapat dilihat oleh orang yang berotak cerdas. Apakah tawa
atau tangis yang sejati" Apakah tawa kesedihan atau tangis
kegembiraan"Kwe Po Giok sudah dikenal sebagai bocah ajaib pada
usia tiga tahun, Tangannya tiba-tiba terulur, dia merenggut kerah
baju pelayan tua itu. Siau kiong cu terkejut. Dayang cilik yang sedang menyapu pun,
sampai menghentikan gerakkannya, Tentu saja pelayan tua itu pun
ikut terkesiap, Dalam hatinya bahkan terselip rasa hormat.
"Katakan atau tidak!" bentak Kwe Po Giok.
Pelayan tua itu berusaha setenang mungkin.
"Apa yang Kwe kongcu minta hamba jelaskan?" Dia seakan tidak
mengerti maksud bocah cerdas itu.
"Biarpun ilmu Cianpwe sudah mencapai taraf kesempurnaan tapi
lawannya kali ini juga merupakan makhluk ajaib, Dia sudah
memenangkan pertarungan hampir sebanyak tigapuluh kali, Cianpwe
seharusnya lebih berhati-hati menghadapinya, Di balik peristiwa ini
pasti ada suatu misteri," kata Kwe Po Giok.
"Misteri apa?" tanya pelayan tua itu sambil tertawa getir.
"Rahasia ini hanya engkau yang tahu. Bila kau tidak mau
mengatakannya, maka aku akan membunuhmu, Setelah itu aku
akan menerima kematianku sendiri dengan membenturkan kepala ke
dinding kabin ini!" kata Kwe Po Giok dengan wajah serius.
Siau kiong cu dengan sendirinya sudah dapat membayangkan bila
semua itu benar-benar terjadi, pelayan tua itu memandang
terkesiap. Wajah yang semula tenang berubah pucat seperti
selembar kertas. Tiba-tiba dia menangis tersengguk-sengguk.
Tangisan pelayan tua itu menyiratkan arti yang dalam, dari wajah
yang tersenyum lalu berubah begitu pilu, tentu menjelaskan bahwa
apa yang bakal terjadi adalah suatu tragedi. Oleh sebab itu, Siau
kiong cu pun ikut mengalirkan airmata.
Rembulan bersinar penuh, membuat ruangan di rumah keluarga
Fang terang benderang, Namun, di wajah setiap orang ada
segumpalan kabut. Cemas, tegang, namun tidak ada satu pun yang
membuka suara, Seakan semua pembicaraan telah selesai dan tidak
tersisa lagi, pembicaraan mengenai apa pun saat ini akan terdengar
seperti bualan atau omong kosong.
Selain Fang Tiong Seng yang berhasil menghindar dari maut,
masih ada Mo Put Chi, Sun Put Ce, Bok lang kun, dan dayang Cui
thian, masih ada lagi beberapa pengikut setia yang tetap berada di
dalam ruangan Jin gie tong.
Hati mereka sangat tertekan, bagaikan seorang dokter ahli dan
pada saat itu ada pasien tergeletak parah di hadapan mereka,
namun tiada daya untuk membantu. Mungkin begitulah perasaan
orang-orang yang hadir di tempat itu. Ada juga sebagian orang yang
bahkan belum pernah merasakan keadaan demikian selama
hidupnya. Namun, di antara mereka paling tidak ada dua orang yang masih
menyimpan setitik harapan. Harapan bagaikan matahari, di kala kita
berdiri berhadapan dengannya, bayangan kita malah berada di
belakang, Biarpun kita telah kehilangan segala sesuatu, tetapi tetap
masih tersisa sedikit harapan dalam hati.
Siapakah salah satu di antara kedua orang yang menyimpan
segaris harapan itu" Orang itu semestinya adalah Bok lang kun,
Tiba-tiba Fang Tiong Seng berdiri dari kursi singanya.
Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudah datang!" teriak pendekar besar tersebut, pada saat yang
bersamaan sebuah suara yang dingin menyahut dari arah luar.
"Mana orangnya?" Siapa lagi kalau bukan Toa Tek To Hun.
Kalah menangnya pertarungan kali ini, sama juga dengan mati
hidupnya para pendekar kaum Bulim di Tionggoan, juga merupakan
pertarungan ketinggian ilmu antara Fu sang dan Tionggoan.
Menurut pandangan orang-orang yang selalu mengikuti tindaktanduk
dan kejadian besar dalam dunia Bulim, paling tidak mereka
menganggap Fang Tiong Seng sendiri sudah mempunyai persiapan
yang cukup matang. Hal ini bukan karena Fang Tiong Seng pernah luput dari kematian,
tetapi disebabkan oleh keinginan untuk membalas kekalahan.
Dayang Cui thian maju untuk memberi hormat.
"Cu jin sudah sejak tadi menunggu di pegunungan sebelah Barat
di luar perkampungan," katanya memberi penjelasan Dia
mengatakan hal itu kepada Toa Tek To Hun, tapi pandangannya
justru menatap Fang Tiong Seng.
Toa TekTo Hun membalikkan tubuhnya.
"Aku berangkat sekarang juga!" Kata-katanya belum selesai,
orangnya malah sudah berada di pekarangan. Suara langkah kakinya
sama sekali tidak terdengar, namun jejak langkahnya yang rapi
meninggalkan kesan yang dalam bagi setiap orang yang hadir dalam
ruangan itu. Ruangan itu sunyi senyap, Seluruh harapan bertumpu di
pegunungan sebelah Barat, orang-orang yang hadir masih tetap
berdiam di Jin gie tong, tapi hati mereka sudah terbawa langkah Toa
Tek To Hun ke pegunungan sebelah Barat.
Setelah begitu lama tidak ada yang bersuara, akhirnya Fang Tiong
Seng menarik nafas panjang.
"Mengapa dia tidak mengijinkan kita pergi untuk melihat
pertarungan tersebut" Bagaimana hati kita tidak menjadi tegang
kalau hasilnya tidak diketahui oleh mata kepala sendiri?" kata Fang
Tiong Seng dengan suara pilu.
"Karena dia membunuh bukan untuk dipamerkan," sahut dayang
Cui thian. Fang Tiong Seng menganggukkan kepala tanda mengerti. Air
muka dan maksud yang tersirat dari dayang Cui thian, hanya
seorang yang paham secara keseluruhan.
Fajar baru mulai menampakkan diri, di daerah pegunungan
sebelah Barat, Rembulan sudah lama tenggelam. Daun dan
rerumputan dipenuhi embun yang berkilauan. Sebelum hari menjadi
terang, kegelapan tidak akan bertahan lama. Namun, bagi Tang hay
sin sian, penantiannya bagai seumur hidup.
Dalam keadaan biasa, orang mungkin akan menikmati udara yang
baru berganti itu, hawa yang sejuk tentu akan menyamankan hati.
Tetapi dalam keadaan gelisah seperti saat itu, siapakah yang
sanggup menikmati keindahan gunung yang menghijau, air yang
mengalir jernih" Ini merupakan pertarungan hidup atau mati. pertarungan yang
tidak dapat dihindarinya, oleh karena itu, dia terpaksa menunggu
dengan sabar, Bahkan matanya hampir tidak pernah berkedip, Saat
itu, ada seseorang yang mendaki ke atas gunung....
Tang hay sin sian hanya melirik sekilas, Langkah kaki yang
berirama dan teratur, musuh besar telah datang memenuhi janji.
Mereka berhadapan kira-kira dalam jarak lima langkah, Dalam sinar
mata keduanya telah tersirat rasa hormat dan pengertian yang
dalam. "Beberapa hari yang lalu aku telah menerima "makna pedang"
pada ranting pohon Siong, Hari ini Toa Tek mendapat kesempatan
bertarung dengan Siansing, merupakan kebanggaan bagiku,
Meskipun siapa yang mati atau hidup, Dalam hidup Toa Tek ini tidak
akan pernah menyesal," kata laki-laki berpakaian hitam itu.
"Aku hanya berharap Siansing bisa mengabulkan sebuah
permintaanku," kata Tang hay sin sian dengan wajah berwibawa.
"Silahkan kemukakan!" sahut Toa Tek To Hun tidak kalah serius.
Di mataTang hay sin sian ada tekad yang kuat dan semacam
perintah yang tak dapat ditolak.
"Pertarungan kita hari ini, baik siapa yang menang ataupun siapa
yang kalah, aku harap Siansing berjanji bila berhasil hidup, harus
meninggalkan Tionggoan untuk selamanya!" kata Tang hay sin sian.
Laki-laki setengah baya ini benar-benar seorang yang berbudi,
Dalam menghadapi bahaya yang demikian besar, dia tetap
mementingkan manusia sebangsanya, Sifat orang yang satu ini,
bahkan lebih terhormat dari Fang Tiong Seng di mata musuhnya.
Bagi seorang pahlawan, kematian toh hanya terjadi satu kali.
Toa Tek To Hun merasakan hatinya bergetar, manusia disegani
bukan kegalakannya, tapi karena wibawa yang dipancarkannya.
"Dapat mengadakan pertarungan dengan Siansing, berarti
keinginanku sudah terpenuhi, bila Toa Tek berhasil meraih
kemenangan dan tetap hidup, aku berjanji akan kembali ke Fu sang
dan tidak akan menginjakkan kaki lagi ke daerah Tionggoan untuk
selamanya!" jawab sang lawan dengan nada sungguh-sungguh,
"Terima kasih atas janjimu tadi, Darah sudah tumpah terlalu
banyak, Aku tidak ingin ada darah kaumku yang mengalir lagi!" kata
Tang hay sin sian dengan sinar mata hormat.
Tangan Toa Tek To Hun meraba gagang pedang, Caranya
menggenggam pedang, membuat orang yang melihatnya yakin,
meskipun pedang dipatahkan atau tangan yang dibuntungkan,
keduanya tetap tidak terpisahkan. Oleh karena itu, pedang semacam
ini memang hanya pantas dipadukan dengan tangan seperti milik
Toa Tek To Hun. Tang hay sin sian tidak bergerak.
"Silahkan keluarkan pedang!" kata Toa Tek To Hun.
"Pedang sudah terhunus sejak tadi!" jawab Tang hay sin sian. Dia
mengulurkan tangan kanan yang disembunyikan di belakang.
Sebuah pedang pendek tergenggam di jarinya, sinar yang
dipancarkan oleh pedang pendek itu sangat menyolok mata. Pedang
ini juga mendapat sebutan Ciang tiong kiam yang berarti pedang
dalam genggaman. Toa Tek To Hun tampak terpana.
"ltu pedang yang hendak kau gunakan untuk bertarung dengan
aku?" tanyanya dengan perasaan kurang percaya. Pedangnya sendiri
panjang sekali, hampir dua puluh kali lipat dari pedang yang
tergenggam di tangan lawannya.
"Panjang bukan merupakan kepastian untuk memenangkan yang
pendek, Ada belum pasti memenangkan yang tiada," kata Tang hay
sin sian. Toa Tek To Hun merenung sejenak.
"Betul!" sahutnya kemudian.
"Siansing bisa mengerti maksudku ini, berarti Siansing maklum
bahwa aku melawan Siansing dengan pedang pendek ini bukan
berarti meremehkan ilmu Siansing, Harap jangan tersinggung!" kata
Tang hay sin sian. Toa Tek To Hun kembali merasa hatinya bergetar. Dengan wajah
kereng dia menatap lawannya.
"Aku mengerti!"
Kedua orang saling berhadapan. Matahari mulai bersinar, hati
justru semakin kelam... Di atas laut matahari pun telah naik tinggi. Sinar pagi menyebar,
pandangan terasa silau, Namun siapa yang ingin memandang lautan
yang indah di pagi hari"
Kapal dewa masih terus bergerak di atas lautan biru. Di dalam
kabin masih terlihat lampu penerangan bersinar. Siau kiong cu, Kwe
Po Giok dan pelayan tua masih ada di dalam kabin milik Tang hay
sin sian. Mereka telah berdiam diri begitu lama.
Di atas kapal tidak terlihat lagi keceriaan dan senyuman manis
seperti biasanya. Keheningan, ketegangan, kecemasan seakan
menyelimuti kapal dan isinya.
Pelayan tua duduk terhenyak dengan air mata bercucuran,
berkali-kali terlihat dia menguruti dada untuk melegakan
perasaannya. Tapi mungkinkah"
"Beberapa hari Kongcu memaksa saya bicara, tapi mati pun saya
tidak mau mengatakan apa-apa. Namun sekarang, tanpa diminta
saya tetap akan membicarakannya," kata orang tua itu dengan
wajah pilu. Kwe Po Giok menatapnya dengan pandangan tak
percaya. "Mengapa kau harus mengatakannya sekarang?" tanya bocah itu.
Pelayan tua menatap matahari yang baru terbit, Tiada keindahan
yang dapat dirasakan olehnya.
"Karena hari ini adalah hari Chong Yang," sahutnya tanpa
menoIeh. "Sebetulnya Thia ada rahasia apa?" tanya Siau kiong cu khawatir
Kerutan di wajah pelayan tua itu seperti bertambah banyak dan
dalam hanya jangka waktu dua hari saja. Kesedihannya tidak dapat
ditutupi lagi. "llmu pedang yang Cu jin latih sangat dalam. Dia berusaha
mencapai taraf kesempurnaan, salahnya dia terlalu memaksa diri,
Dua tahun yang lalu, Cu jin mengalami Cao hue jit mo. Tenaga
dalam yang dilatihnya selama empat puluh tahun lebih musnah
begitu saja, Saat ini, pedang panjang yang ditinggalkan itu tidak sanggup
dihunusnya lagi. Setiap kali dia mencobanya, setiap kali pedang itu
terjatuh ke lantai," kata pelayan tua itu sambil sekali-sekali
menghapus airmata yang berderai.
Tiada hal yang lebih mengejutkan lagi bagi Kwe Po Giok dan Siau
kiong cu. Meskipun sejak semula sudah ada firasat buruk, mereka
tetap tidak menyangka begini kejadian yang sebenarnya, Seorang
yang sudah kehilangan tenaga dalam yang dilatihnya selama
empatpuluh tahun, pergi menghadapi Toa Tek To Hun seorang diri,
akibatnya apa sama sekali tidak berani dibayangkan oleh kedua
orang itu. Tubuh Siau kiong cu yang kecil bergetar. Kwe Po Giok secara
diam-diam mengatupkan rahang, tangannya terkepal kencang. Sinar
mata mereka terpaku pada pedang panjang yang telah membuat
Tang hay sin sian terkenal. Pedang ditinggal, orangnya sudah pergi.
Benar-benar bermaksud meninggalkan nama yang telah dipupuk
selama puluhan tahun. "Meskipun demikian, Cu jin tetap ingin menemui Toa Tek To Hun.
Sebab hanya dia yang dapat meredakan ambisi di hati orang itu,
Biarpun dia tidak mencari Toa Tek To Hun, orang itu pasti akan
mencarinya, Cu jin lebih rela mati daripada dilihat orang sebagai
seorang jompo yang tidak bisa apa-apa lagi," sahut pelayan tua
dengan wajah semakin kelam.
Toa Tek To Hun tiba-tiba menghunus pedangnya, Sejak dulu dia
selalu menghunus pedang dengan hati yakin dan kecepatan penuh,
Baginya, kalah berarti mati.
Cahaya yang terpancar dari pedang terpadu dengan sinar
keperakan dari matahari. Laksana hujan cahaya yang deras, tapi
akibatnya sama sekali tidak sama dengan bayangan Toa Tek To
Hun. Pedangnya sudah masuk kembali ke dalam sarung.
Menghadapi Tang hay sin sian bahkan jauh lebih mudah daripada
menghadapi ketiga puluh korbannya yang lain. Benar-benar di luar
dugaannya, Tang hai sin sian belum mencabut pedang pendeknya,
Ciang tiong kiam masih terlilit dalam sarungnya.
Rupanya guratan kesedihan yang terpancar dari sinar matanya
karena dia sudah tahu bahwa hari ini pasti akan menghadapi
kematian, Wajah Toa Tek To Hun pucat bagai sinar matahari yang
bersinar. "Kau adalah manusia yang telah cacat. Mengapa kau tetap ingin
menghadapi aku" Mengapa kau tidak mengatakannya sejak
semula?" tanya Toa Tek To Hun pilu.
Tang hay sin sian tertawa getir.
"Dapat bertemu langsung dengan dirimu," merupakan suatu hal
yang patut dibanggakan, karena sejak semula aku yakin kau bukan
orang jahat, Lagipula, demi keselamatan bangsaku, mati pun aku
rela. Bagaimana aku harus mengatakannya kepadamu?" Selesai
berkata, tubuh Tang hay sin sian rubuh ke tanah dan tidak bergerak
lagi. Orang yang bijaksana tentu mengerti bahwa kematian hanyalah
tidur panjang, Tanghay sin sian pasti mengerti Di wajahnya masih
tersungging sebuah senyuman kepuasan.
Toa Tek To Hun bagaikan sebuah patung, Dia berdiri terpaku di
samping mayat Tang hay sin sian. Lama sekali... bayangan tubuhnya
yang dibuat oleh sang matahari makin menciut, Tiba-tiba dia tertawa
seperti orang gila. Sembari tertawa, matanya tidak henti menatap pedang panjang di
tangannya. Pedang yang telah memberikan sekian banyak
kemenangan. Dia telah lama berteman dengan pedangnya itu, tapi
selama ini dia belum pernah merasa benci kepada pedangnya seperti
hari ini. Toa Tek To Hun meraung keras.
"Takk!!!" Pedang itu telah terputus menjadi dua bagian pedang panjang
dengan sejarah ratusan kemenangan Dilemparkannya pedang itu ke
tanah, matanya sama sekali tidak menoleh lagi sekejap pun.
Dia berlutut di hadapan jenazah Tanghay sin sian, orang yang
berbudi Iuhur, pasti akan melakukan hal yang sama, Manusia yang
sudah mencapai kepuasan dan rela berkorban seperti Tanghay sin
sian, mungkin tidak ada duanya lagi di dunia ini.
Selama ini Toa Tek To Hun selalu merasa dirinya adalah seorang
pendekar besar, seorang pahlawan bagi negaranya, Hari ini,
matanya telah terbuka, dia tidak lebih dari seorang pembunuh
bayaran yang berdarah dingin. Dia menyembah jenazah Tang hay
sin sian sebanyak tiga kali Wajahnya terbayang awan kelabu.
"Kau tidak usah khawatir, meskipun aku bukan seorang pendekar
besar seperti dirimu, tapi setidaknya Toa Tek To Hun adalah seorang
laki-laki sejati permintaan terakhirmu akan kukabulkan. Aku akan
meninggalkan Tionggoan dan tidak akan kembali untuk selamanya!"
ucapnya dengan suara lirih namun mengandung kepastian yang
dalam. Senyum di wajah Tang hay sin sian seakan makin mengembang,
"Tidak akan kembali untuk selamanya! Tidak akan kembali untuk
selamanya!" Kumandang kata-kata Toa Tek To Hun terus terdengar
sampai bayangan tubuhnya menghilang.
Di pegunungan sebelah Barat, Keadaan cuaca tetap sama. Hanya
bertambah sedikit sejuk dengan adanya angin yang berhembus.
Bayangan Toa Tek To Hun sudah tidak terlihat.
Tang hay sin sian masih rebah di tanah dengan luka memanjang
di keningnya. Darah segar memercik di mana-mana, pada saat itu,
ada sebuah bayangan berkelebat. Sebuah topeng menutupi
wajahnya. pakaiannya berwarna hitam. Di bahunya tergantung
sebuah bungkusan yang panjang, mungkin isinya adalah sebatang
pedang. Dia menghampiri tubuh Tang hay sin sian, Tangannya meraba ke
bagian jantung, tiba-tiba sebuah tawa yang ringan terdengar dari
bibirnya. Apakah dia menertawakan nama kosong Tang hay sin sian"
Mungkin jawabannya hanya dia sendiri yang tahu, Ketika matanya
menangkap kutungan pedang hitam milik Toa Tek To Hun, dia
tertawa sekali lagi.
Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kali ini secara terang ia menunjukkan kepuasan hatinya karena
dia merupakan orang satu-satunya yang menonton pertarungan
tersebut justru karena dia telah melihat semuanya, mendengar
seluruhnya, dia baru dapat tertawa dengan senang.
Dia tahu, masa kecemerlangannya telah tiba. Menggantikan
kedudukan Tang hay sin sian yang dianggap dewa kaum manusia
itu, Sebelum meninggalkan tempat itu, dia memandang sekali lagi
pada tubuh Tang hay sin sian yang telah kaku, tentu saja Toa Tek
To Hun harus tetap menjadi kambing hitamnya.
Kematian seorang pendekar besar, tentu tidak sama dengan nama
keroco. Di daerah pegunungan bagian Barat, datang lagi dua orang
yang lain, mereka seperti tidak percaya dengan pandangan mata
mereka sendiri, terlebih-lebih Bok lang kun.
Masih lumayan Sun Put Ce. Setelah terkejut sekejap, dia tidak
bersuara lagi, tetapi, meskipun mulutnya tidak mengucapkan
sepatah kata pun, di dalam pikirannya mungkin sedang berkecamuk
rasa gelisah. "Kau percaya?" tanya Bok lang kun.
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Aku juga tahu, kau tidak mungkin percaya dengan penglihatan
kita," kata Bok lang kun selanjutnya.
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya sekali lagi. Bok lang kun
kebingungan melihat tingkahnya.
"Sebetulnya kau percaya atau tidak?" tanyanya.
"Percaya," sahut Sun Put Ce.
Bok lang kun menarik nafas.
"Sun lao te, kata-katamu seakan membuatku pusing tujuh
keliling," katanya. "Aku memang tidak bisa bicara," sahut Sun Put Ce.
"Tapi kau kan bisa berpikir," kata Bok lang kun dengan nada
kurang puas. Sun Put Ce tidak memberikan jawaban, Bok lang kun
mengedarkan matanya ke sekeliling tubuh Tang hay sin sian . "
"Aku mempunyai satu pendapat, bila dia menggunakan pedang
panjang yang membuatnya terkenal, pasti akhirnya tidak akan
menjadi seperti ini, bukan..."
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
Bok lang kun merenung sejenak.
"Tetapi... mengapa dia tidak menggunakan pedang panjangnya"
Apakah dia terlalu meremehkan lawannya?" pertanyaan laki-laki itu
seperti ditujukan untuk dirinya sendiri Sun Put Ce diam kembali.
"Betapa harus disayangkan bila seorang pendekar besar pada
zamannya harus mengalami kematian di tangan seorang asing yang
datang dari Fu sang, Tampaknya malah tidak lebih dari sepuluh jurus
mereka bergebrak," kata Bok lang kun sambil menenangkan
perasaannya yang masih goncang.
Sun Put Ce menatap jejak kaki yang melingkar di sekitar mayat
Tang hay sin sian dengan pandangan terpesona.
"Tampaknya kau mempunyai pendapat tersendiri mengenai
sepuluh jurus yang kukatakan tadi?" tanya Bok lang kun setelah ikut
melirik sekilas. Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Apakah kau juga percaya bahwa Tang hay sin sian mati dalam
sepuluh jurus?" tanya Bok lang kun kembali
Sekali lagi laki-laki itu menggelengkan kepalanya, Bok lang kun
merasa sedikit kesal. Dia tidak tahu dirinya bukan orang pertama
yang mempunyai perasaan demikian terhadap Sun Put Ce.
"Kelihatannya kau mempunyai kebiasaan menggeleng-gelengkan
kepala!" katanya menyindir.
"Tidak!" sahut rekannya.
"Kalau kau tidak percaya Tang hay sin sian mati dalam sepuluh
jurus, Coba katakan pendapatmu, dalam berapa jurus dia rubuh?"
tanya Bok lang kun makin kesal.
Sun Put Ce merenung sejenak, Kemudian dia menarik nafas
panjang. "Setengah jurus!" Akhirnya dia menjawab juga.
Bok lang kun terkejut sekali, Matanya hampir keluar karena
mendelik Dia sangat menghormati Tang hay sin sian. Meskipun dia
tidak seperti orang lain yang menganggap orang itu seperti dewa.
Karena dia tahu, hanya orang bodoh yang latah terhadap ka-takata
orang lain, sedangkan orang yang cerdik akan mempunyai
tanggapannya sendiri Bok lang kun mencibirkan bibirnya.
"Apakah kau tidak melihat jejak kaki di tanah itu?" tanyanya
dengan suara dingin, Sun Put Ce justru menganggukkan kepalanya.
"Justru saya sudah melihat jelas jejak kaki di tanah baru berani
memberikan kesimpulan!" katanya tegas.
"Kalau kau memang sudah lihat, bagaimana kau bisa mengatakan
tidak percaya" jejak kaki yang banyak itu terang-terangan sudah
menandakan bahwa kedua orang itu pernah bergebrakan paling
tidak sebanyak sepuluh jurus," kata Bok lang kun.
Sun Put Ce tidak bersuara lagi.
"Penyakitmu yang kalau bicara suka setengah-setengah ini benarbenar
bisa membuat orang muntah darah karena kesal!" bentak Bok
lang kun. "Saya tahu," sahut Sun Put Ce tenang.
"Kalau tahu justru harus dirubah!" kata Bok lang kun dengan nada
lebih lunak. "Baik!" sahut Sun Put Ce kembali.
"Kalau dilihat dari jejak kaki yang tertinggal kedua orang itu pasti
pernah bergebrak sebanyak sepuluh jurus. Bagaimana
pendapatmu?" tanya Bok lang kun.
"Saya sudah memberikan pendapat tadi," sahut Sun Put Ce
dengan wajah tidak menunjukkan perasaan.
"Tetap yakin setengah jurus?" tanya Bok lang kun dengan mata
terbelalak. "Betul!" sahut Sun Put Ce serius.
"Berdasarkan apa?" tanya Bok lang kun kurang puas.
Sun Put Ce tidak pernah marah, persoalan apa pun dihadapinya
dengan kepala dingin. Seakan waktu yang tersisa baginya selalu
lebih banyak dari orang lain.
"Jejak kaki!" katanya.
Bok lang kun merasakan dadanya hampir meledak.
"Apakah kau masih belum melihat dengan jelas jejak kaki di
tanah. jejak yang begitu banyak sudah dapat dipastikan hasil
gebrakan kedua orang itu!" teriaknya marah.
"Tidak! Masih ada jejak kaki orang ke-tiga," sahut Sun Put Ce
setenang biasanya. Bok lang kun terpana, Dia segera memeriksa sekali lagi jejak kaki
di tanah itu. Lama sekali dia termenung, kemudian dia mengalihkan
pandangan ke arah rekannya.
"Sun Laote, aku merasa kau sangat pintar," katanya seraya
menghela nafas. "Terima kasih," jawab Sun Put Ce.
"Tapi agak menakutkan," lanjut Bok lang kun.
"Saya menakutkan?" Baru kali Sun Put Ce merasa heran.
"Tidak salah! Dari sikapmu yang hanya melihat tapi tidak bicara.
Kau menyimpan dugaanmu dalam hati. Kalau melihat
kelambananmu bila sedang melakukan sesuatu, sungguh merupakan
suatu kebalikan," kata Bok lang kun.
"Ada orang yang mengatakan, orang yang cerewet seperti sebuah
kapal yang bocor. Manusia sejenis ini selalu dijauhi teman," sahut
Sun Put Ce. Bok lang kun terpana, Dia menggelengkan kepalanya berulang
kali. "Tidak disangka hari ini aku menambah pengalaman!" katanya.
Sun Put Ce menatap tubuh Tang hay sin sian yang terbujur kaku,
"Bagaimana kalau kau katakan tentang jejak kaki tiga orang yang
berbeda itu?" tanya Bok lang kun.
"Kalau pendapat saya salah, harap jangan ditertawakan," sahut
Sun Put Ce. "Mana mungkin..." kata Bok lang kun.
"Di antara ketiga jejak kaki itu, ada seorang yang memakai sepatu
yang depannya berbentuk lebar. Semacam sandal jepit dengan tali di
atasnya, itu adalah jejak kaki Toa Tek To Hun," ujar Sun Put Ce
menjelaskan. "Betul! Sepatu macam itu disebut Cui can cu. Hanya orang negara
Fu sang yang memakainya!" kata Bok lang kun sependapat.
"Jejak kaki kedua ada tercetak huruf "Hok", itu pasti sepatu Tang
hay sin sian, Kalau kau tidak yakin, coba kau buka sepatu itu dari
kakinya dan cocokkan," kata Sun Put Ce.
"Tidak usah! Aku mempercayai kata-katamu," sahut Bok lang kun.
"Jejak kaki orang ketiga lebih panjang, Mungkin panjangnya ada
kira-kira sejempol," lanjut Sun Put Ce menjelaskan Bok lang kun
memperhatikan sekejap, "Benar.... Kemungkinan besar orang ini
bertubuh tinggi dan berperawakan tegap, Mungkinkah orang itu
adalah teman yang dibawa oleh Toa Tek To Hun" Tapi setahuku,
orang ini kemana-mana selalu sendirian," kata Bok lang kun tak
habis pikir. "Tentu saja Toa Tek To Hun selalu bergerak sendirian dan orang
seperti Tang hay sin sian juga tidak mungkin mengajak teman
Lagipula, orang yang mempunyai kaki besar, belum tentu
perawakannya juga pasti tinggi besar. Seperti orang yang bertubuh
pendek, juga ada sebagian yang mempunyai kaki dan tangan yang
besar," sahut Sun Put Ce.
Bok lang kun merenung sejenak, Memang dia tidak dapat
membantah kebenaran kata-kata Sun Put Ce, sebetulnya banyak
orang yang berperawakan tinggi besar, tapi bentuk kaki dan
tangannya justru kecil-kecil.
Dan ada lagi orang yang kerdil, tapi telapak tangan dan kakinya
malah besar Dia menatap ke arah Sun Put Ce. Orang ini selalu
mempunyai pendapat yang masuk akal.
Pandangan Sun Put Ce mengarah ke perkampungan keluarga
Fang di kejauhan, Di dalam hati keduanya berkecamuk perasaan
yang berbeda. Tentu saja, hanya mereka yang mengetahuinya.
"Orang yang memberikan nama Put Ce padamu, barulah dapat
disebut orang yang matanya belum terbuka," kata Bok lang kun.
Sun Put Ce tidak mengeluarkan suara. Bok lang kun juga belum
dapat mengerti orang itu sepenuhnya, karena Sun Put Ce tidak
pernah memperdulikan penilaian orang terhadap dirinya.
Meskipun menerima caci maki atau pun pujian, dia tidak pernah
menunjukkan reaksi apa-apa. Sun Put Ce adalah seorang laki-laki
yang istimewa. Panas terasa membara. Di ruangan besar keluarga Fang hawa terasa menyengat,
meskipun tiga buah jendela yang besar-besar terbuka lebar. Luka di
kening Fang Tiong Seng semakin jelas. Dia duduk di atas kursi
singanya. Sun Put Ce dan Bok lang kun baru kembali Bok lang kun adalah
seorang tamu, Dia duduk di kursi yang telah disediakan. Mo Put Chi
dan Hu Put Ciu duduk kiri kanan Fang Tiong Seng, Sun Put Ce
berdiri di hadapannya dan melaporkan apa yang telah dilihatnya
tadi. Dayang Cui thian duduk di sisi Bok lang kun. Air mata masih
menitik terus. Kekecewaan dan kesedihan memenuhi hati setiap
orang yang hadir, tidak ada satu pun yang menemukan cara terbaik
untuk memulai pembicaraan supaya suasana tidak begitu
mencekam. Hanya isak tangis dayang Cui thian yang seakan menjadi musik
pengantar kepiluan hati mereka, rasanya dia ingin mengungkapkan
kekesalan dan kesedihan hatinya.
"Cu jin adalah manusia yang sakti, toh masih bisa dikalahkan oleh
Toa Tek To Hun. Oleh karena itu aku yakin, Toa Tek To Hun tidak mungkin
melawannya sendirian, jejak kaki orang ketiga itu pasti merupakan
bukti bahwa dia membawa seorang pendam-ping," kata Cui thian
dengan tersendat-sendat. Setiap orang sependapat dengan pandangan dayang Cui thian,
Hanya Sun Put Ce dan Bok lang kun yang tidak setuju, Tetapi pada
saat itu mereka tidak mengatakan apa-apa karena takut melukai hati
dayang Cui thian. "Toa Tek To Hun pasti merasa agak jeri mendengar nama besar
Tang hay sin sian, jadi dia mengajak seorang pembantu untuk
bersama-sama menghadapinya. Kita juga mempunyai banyak jago
yang ternama, mengapa kita tidak mengajak mereka bergabung
agar Toa Tek To Hun dapat dibasmi?" kata Hu Put Chiu
mengeluarkan pendapatnya.
Ruangan menjadi hening seketika, setiap orang sibuk dengan
pikiran masing-masing, Fang Tiong Seng bangkit dari kursinya.
wajahnya kusut, Terlihat jelas bahwa hatinya sedang dalam keadaan
tertekan. "Di Tionggoan pasti ada seorang jago yang dapat mengatasi Toa
Tek To Hun!" katanya dengan nada sendu.
"Pasti ada!" sahut Mo Put Chi lantang, Fang Tiong Seng menarik
nafas panjang, Terlihat bayangan kekecewaan di wajahnya.
"Orang seperti Tang hay sin sian yang begitu tinggi ilmunya,
ternyata hanya menggunakan sebatang pedang pendek melawan
Toa Tek To Hun. Meskipun orang tua itu menemui ajalnya, tapi
dapat dikatakan sulit mencari tandingannya lagi," kata pendekar
besar tersebut. "Cayhe rasa Tang hay sin sian tidak menggunakan pedang
panjang pasti ada alasan tertentu," kata Bok lang kun mengeluarkan
pendapatnya, perkataan ini membuat perhatian semua orang terarah
kepadanya. Teori yang tampak gamblang ini ternyata tidak ada yang
terpikirkan sejak tadi, "Perkataan Bok lang kun taihiap ada benarnya, Tetapi pendek
pedang belum tentu tidak dapat mengalahkan pedang panjang, Hal
ini mengandung arti yang dalam, Maksudnya yang penting bukan
senjatanya tapi orang yang menggunakannya, Bila ilmu orang itu
cukup tinggi maka senjata apa pun digunakannya tidak lagi menjadi
persoalan Tang hay sin sian tidak menggunakan pedang panjangnya
memang mempunyai banyak alasan yang dapat kita kemukakan.
Mungkin dia merasa ilmunya sudah mencapai taraf kesempurnaan
sehingga untuk melawan seorang Toa Tek To Hun saja tidak perlu
menggunakan pedang yang membuatnya terkenal itu," kata Fang
Tiong Seng mengambil kesimpulan
"Apa yang suhu katakan memang benar, Tanghay sin sian terlalu
yakin dengan ilmunya sendiri Siapa tahu dia akan mengalami
kejadian seperti ini," sahut Hu Put Chiu.
"Tampaknya kaum Bulim yang ilmunya tinggi memang banyak,
tapi siapa yang dapat setepat suhu dalam mengambil tindakan?"
kata Mo Put Chi. Wajah Bok lang kun memerah. Dia tidak suka nada bicara seperti
itu. Namun dia tidak membantah sementara itu, dayang Cui thian
seperti tidak mendengarkan perkataan manusia di sekitarnya, Dia
tenggelam dalam kesedihannya sendiri.
Terhadap kata-kata apa yang baru saja didengarnya, meskipun
dirinya sangat menghormati Tang hay sin sian dan kurang menyukai
Fang Tiong Seng, alasan untuk membantah memang tidak ada.
Penjelasannya sangat sederhana.
Maksud kedua orang tadi, meskipun Fang Tiong Seng mengalami
Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kekalahan dari Toa Tek To Hun, tapi dia tetap hidup segar bugar
sampai saat ini, Tang hay sin sian juga kalah, meskipun namanya
lebih terkenal dari Fang Tiong Seng, tapi dia tidak berhasil luput dari
kematian Fang Tiong Seng juga merasa kata-kata muridnya agak
keterlaluan. Dia mendelikkan mata lebar-lebar kepada kedua orang
tersebut. "Aku yang menjadi guru kalian sudah mengalami kekalahan,
meskipun masih tetap hidup, tidak ada satu pun yang patut dijadikan
kebanggaan! Tang hay sin sian memang mati, tapi kemungkinan
besar Toa Tek To Hun membawa begundalnya untuk mengeroyok
orang sakti tersebut," katanya dengan nada dingin.
Bok lang kun serta merta menganggukkan kepala berkali-kali.
Fang Tiong Seng memang bukan jago biasa, Dia adalah seorang
pendekar yang terkenal berbudi dan bijaksana, Dia dapat tetap
hidup sampai sekarang, sudah merupakan rejeki besar bagi kaum
Bulim. "Siapkan segala keperluan penguburan bagi Tang hay sin sian!"
perintahnya. Para murid dan anak buahnya serentak mengiakan
Kesibukan pun terlihat di rumah itu.
-oooo0oooo- Rumah makan ini mempunyai nama yang cukup terkenal di kota
tersebut, Bok lang kun tidak pernah melewatkan setiap penginapan
atau pun restoran yang ternama, dia merasa kehidupan seorang
manusia harus dinikmati sebaik mungkin.
Kalau manusia memang tidak dapat hidup tanpa makan atau pun
minum, mengapa selagi masih ada kesempatan tidak digunakan
secara baik-baik" Rumah makan yang mempunyai nama memang banyak, Namun
belum tentu semua bisa memasak hidangan yang terkenal dari
setiap daerah, Mereka mempunyai keistimewaan masing-masing.
Kecuali di kota raja. Semua yang kita inginkan dapat ditemui di
sana. Barang siapa yang sudah terbiasa keluar masuk restoran, pasti
akan mampu mengenali dan membedakan cita rasa setiap masakan
yang disajikan. Hati Bok lang kun sedang tertekan, dia duduk di restoran kelas
satu dalam kota. Dipilihnya tempat duduk yang menghadap ke pintu masuk, Dia
minum dan makan sendirian, mungkin suasana hati yang sedang
galau mempengaruhi seleranya, Dia merasa semua yang tersaji di
hadapannya tawar dan tidak enak.
Tiba-tiba tampak Sun Put Ce masuk dari pintu. Bok lang kun
melambai-lambaikan tangannya. Sun Put Ce entah sedang
memperhatikan apa, dia tidak melihat gapaian tangan Bok lang kun
Laki-laki itu menduga tentu ada yang menarik perhatian Sun Put Ce,
bila tidak, tak mungkin wajahnya begitu kebingungan Mungkin telah
terjadi sesuatu yang di luar dugaannya.
Entah apa sebabnya, Bok lang kun kurang menyukai murid
perguruan Fang Tiong Seng, Hanya terhadap Sun Put Ce,
pandangannya agak lain. Dia tidak dapat mengemukakan alasan
yang tepat. Mungkin dia menyukai Sun Put Ce karena orang itu tidak banyak
bicara, bukankah ada pepatah yang mengatakan, daripada banyak
bicara lebih baik diam, sedikit bicara asal yang penting saja. Dari sini
dapat dibuktikan bahwa untuk berbicara saja bukan hal yang mudah
dilakukan. Bok lang kun melemparkan sebuah uang perak dan mengikuti
langkah Sun Put Ce yang baru saja meninggalkan restoran itu.
Mungkin dia sedang mencari seseorang tapi tidak dapat
menemukannya lalu berganti arah, Bok lang kun merasa penasaran,
Tidak biasanya Sun Put Ce bertingkah seaneh itu.
Dia mempercepat langkahnya, Sun Put Ce sudah sampai di
tikungan jalan, Dalam perguruan Fang Tiong Seng, Sun Put Ce
adalah murid yang tidak menonjol. Namun Bok lang kun percaya,
justru orang itu yang paling cerdas. Dengan kecepatan langkahnya,
dalam sekejap ia sudah dapat menyusul Sun Put Ce. Matahari mulai
tenggelam. Di atas langit tampak warna-warna bercahaya.
Pemandangan di luar perkampungan pada saat matahari
tenggelam, mempunyai keindahan tersendiri Bok lang kun ingin
melambaikan tangannya dan memanggil Sun Put Ce. Rasanya tidak
baik menganggap Sun Put Ce seorang yang tidak berakal. Dia
enggan mengacaukan maksud yang terkandung dalam hati rekannya
itu. Tanpa disangka-sangka, laki-Iaki itu membalikkan tubuhnya dan
mengisyaratkan dengan tangan agar dia mendekat dengan diamdiam.
Bok lang kun semakin kagum terhadap orang itu. Kalau bicara
tentang ilmu silat, Sun Put Ce masih jauh dibandingkan dengan
dirinya. Tapi reaksinya terhadap keadaan sekelilingnya ternyata lebih
cepat daripada Bok lang kun. Pada umumnya, seseorang yang
mempunyai naluri yang kuat, Bila reaksinya kurang cepat, berilmu
tinggi pun tiada gunanya.
Bok lang kun sudah sampai di sampingnya. Dia mengulurkan
badan mendekati ke arah telinga rekannya itu.
"Apa yang kau temukan?" bisiknya, Sun Put Ce menggelengkan
kepalanya, "Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Bok lang kun
semakin heran. Mata Sun Put Ce memandang jauh ke depan, Seperti
seekor elang yang mengincar seekor kelinci Bok lang kun tidak saja
mengagumi Sun Put Ce. Dia juga menganggap dia rada aneh, dulu Bok lang kun adalah
seorang Bulim bengcu dari aliran hitam. Setelah Toa Tek To Hun
datang ke Tionggoan untuk meraja-lela, dia percaya mereknya
terpaksa harus diturunkan. Tetapi dia ingin sekali dapat bertemu
sekali dengan orang itu dan mengadu ilmu.
Tentu saja dengan maksud berbagai pengalaman supaya bisa
menjajaki sampai mana tingginya ilmu Toa Tek To Hun. Dengan
demikian, kemungkinan besar dia bisa mencari titik kelemahan orang
itu. Namun selamanya Toa Tek To Hun tidak pernah bermain-main,
Bila orang itu tidak menahan serangannya, terpaksa ia harus
mengorbankan diri. "Saya melihat seseorang yang membawa pedang panjang," kata
Sun Put Ce memecahkan keheningan.
"Apakah kau kira setiap orang yang membawa pedang panjang
pasti Toa Tek To Hun?" tanya Bok lang kun.
"Saya juga melihat sepasang kaki," sahut Sun Put Ce.
Bok lang kun ingin tertawa, Bila kaki yang dilihat Sun Put Ce tidak
memakai rantai emas, tentu merupakan sepasang kaki yang
bentuknya aneh sehingga menarik perhatiannya.
"Sepasang kaki yang bagaimana?" tanya Bok lang kun tersenyumsenyum.
Mata Sun Put Ce kembali memandang ke arah kejauhan di
depannya. "Semestinya merupakan salah satu dari kaki yang meninggalkan
jejak di pegunungan sebelah Barat," gumam laki-Iaki yang dianggap
aneh itu. Bok lang kun terpana, Dia memperhatikan Sun Put Ce sekian
lama. Dia merasa selain cerdas, dia juga termasuk makhluk ajaib.
"Meskipun mata saya salah lihat, Dan kau menganggapnya saya
seperti makhluk ajaib, saya juga tidak akan perduli," kata Sun Put
Ce. Bok lang kun hampir tertawa terbahak-bahak. Rekannya ini
seakan bisa membaca pikirannya saja, Dia semakin kagum terhadap
laki-laki itu. "Tahukah kau" Meskipun kau adalah makhluk ajaib, tapi kau
cukup menyenangkan," kata Bok lang kun.
"Apakah kau tidak merasa bahwa dirimu sudah banyak berubah?"
tanya Sun Put Ce. "Rasa rendah diri paling mudah merubah watak seseorang," sahut
Bok lang kun sambil menarik nafas.
"Mengapa kau harus merasa rendah diri?" tanya Sun Put Ce.
Bok lang kun menundukkan kepalanya, Wajahnya terlihat sendu.
"Aku adalah seorang Bulim bengcu, meskipun dari hek to. Tapi
ketika seorang pembunuh bayaran dari Fu sang membunuhi para
jago di Tionggoan, aku malah menyembunyikan diri," sahut laki-laki
itu sambil menghela nafas sedih.
Sun Put Ce ikut menarik nafas.
"Aku tahu kau memandang rendah diriku. Memang kenyataannya
orang yang rendah diri adalah orang yang merasa dirinya rendah,"
kata Bok lang kun. "Saya tidak mempunyai maksud demikian." sahut Sun Put Ce.
"Apa yang kau maksudkan memang sulit diterka," kata Bok lang
kun kembali "Kau salah!" sahut Sun Put Ce. "Sejak semula memang aku telah
berbuat kesalahan, Aku sebetulnya tidak boleh menjadi seorang
kepala perampok, Lebih-lebih tidak pantas menjadi seorang Bulim
beng-cu!" kata Bok lang kun.
"Sebetulnya di dalam dunia Bulim masih ada orang yang lebih
menggemaskan darimu," sahut Sun Put Ce.
"Siapa?" tanya Bok lang kun tidak mengerti.
"Orang yang menghianati kaumnya sendiri," sahut Sun Put Ce.
Bok lang kun terkejut. "Siapa yang mengkhianati kaumnya sendiri?" tanyanya.
Sun Put Ce tidak menjawab, Mimik wajahnya aneh sekali, kecuali
dirinya sendiri, siapa pun tidak ada yang dapat menebak perasaan
hatinya, Dia berlari ke arah depan. Bok lang kun mengikuti di
belakangnya. Bok lang kun menganggap bila Sun Put Ce diangkat
menjadi Bulim bengcu, tentu akan jauh lebih terkenal dari pada
dirinya, Dunia Bulim akan mengalami perubahan yang dahsyat.
Setelah berlari kurang lebih dua li, mereka menangkap suara
pembicaraan dan tertawa yang terkekeh-kekeh dari dua orang, Sun
Put Ce memberi isyarat dengan gerakan tangan, Bok lang kun
benar-benar terpana. ia memang tidak dapat melebihi Sun Put Ce.
Kedua orang itu menyelinap ke dalam hutan. Di dalamnya
terdapat banyak pohon besar berusia ribuan tahun, jumlahnya
banyak sekali. Mereka bersembunyi di balik sebuah pohon besar
yang terlindung dari pandangan kedua orang itu.
Bok lang kun menatap ke depan, matanya hampir melonjak
keluar, Sun Put Ce tetap tidak menunjukkan perubahan apa-apa. Di
hadapan mereka ada dua orang laki-laki, Salah seorang di antaranya
sangat terkenal. Dia adalah Raja tinju dari Mo Pak.
Gelarnya Hong Be (Kuda gila), Bok lang kun hanya pernah
bertemu dengan orang itu satu kali, namun dia tak akan lupa untuk
selamanya. Tidak ada satu orang pun yang tahu nama aslinya, Mungkin
karena gelar Hong Be terlalu besar sehingga nama aslinya tidak
pernah diingatnya lagi. Yang satunya lagi merupakan seorang
manusia yang mengenakan sebuah topeng hitam, yang terlihat
hanya kedua bola mata dan bibirnya saja. Seluruh pakaiannya juga
berwarna hitam, Di tangannya tergenggam sebuah pedang dengan
bentuk aneh. "Pedangmu memang mirip Toa Tek To Hun. Tapi penampilanmu
justru seratus persen barang lokal," kata Hong Be dengan nada sinis.
Manusia bertopeng itu mendengus dingin.
"Mengapa kau mengikuti Tuan besarmu sampai ke tempat ini?"
tanya Hong Be setelah tidak mendengar jawaban dari orang
tersebut, "Mengadu ilmu!" sahut manusia bertopeng itu ketus.
Hong Be tertawa tergelak-gelak, Kemudian dia menatap seluruh
tubuh manusia bertopeng itu dari atas kepala sampai ke kaki.
"Apakah tawamu sudah selesai?" tanya manusia bertopeng itu
kembali. "Kau ingin meniru Toa Tek To Hun. Mengail di air keruh?" kata
Hong Be dengan nada sindiran, Manusia bertopeng malah tertawa
terkekeh-kekeh. Dia tidak menjawab perkataan Hong Be.
"Meskipun kau ingin meniru Toa Tek To Hun, tapi masih ada satu
hal yang tidak dapat ditiru olehmu!" kata Hong Be.
"Apa itu?" tanya manusia bertopeng itu dengan nada tajam.
"Sesuatu yang tidak pernah berubah, Langkah kakinya yang
teratur," kata Hong Be tersenyum sinis. Manusia bertopeng
tampaknya terpaksa mengakui kelemahannya ini.
"Hanya dengan melihat gerakan dan suaramu, aku bisa menduga
kau tentunya seorang jago kelas satu dalam dunia Bulim, Namun
aku tidak mengerti mengapa kau harus menyamar sebagai Toa Tek
To Hun?" tanya Hong Be.
"Untuk selamanya kau tidak akan mengerti" sahut manusia
bertopeng. "Paling tidak aku mengerti satu hal," kata Hong Be.
"Apa yang kau mengerti?" tanya manusia bertopeng sambil
menatap tajam pada lawan bicaranya.
"Kau ingin mencelakai Toa Tek To Hun.... Kau bermaksud
menimpakan seluruh kesalahan ini atas dirinya!" kata Hong Be
dengan nada yakin. Manusia bertopeng itu kembali mendengus
dingin. "Sayangnya terkaanmu hanya benar separuh," sahut manusia
bertopeng itu. "Yang separuh lagi?" tanya Hong Be penasaran.
"Aku memang bermaksud menimpakan kesalahan kepada
seseorang, tapi bukan Toa Tek To Hun!" kata lawan bicaranya.
Hong Be termangu-mangu sejenak.
"Makmu bau! Sudah terang-terangan kau ingin mencelakakan Toa
Tek To Hun! pedang yang kau gunakan mirip dengan pedangnya.
Sejak dulu di Tionggoan belum pernah tersiar berita ada seorang
jago yang menggunakan pedang seperti itu," sahut Hong Be merasa
dirinya didustai. "Bicara dengan manusia yang tidak berpendidikan memang susah.
Kau toh tidak akan mengerti. Untungnya aku datang dengan maksud
mengadu ilmu, bukan mengadu mulut!" seru manusia bertopeng itu
tak sabar lagi. Hong Be marah sekali Wajahnya merah padam.
"Makmu kurang ajar! Baik! Kita lihat pedang siapa yang lebih
tajam!" teriaknya dengan suara keras.
"Trang!!!" Pedang sayap camar salju berkilau Hong Be telah dihunus,
Rambutnya yang berwarna pirang dan acak-acakan disertai wajah
yang panjang, dan suara tertawanya yang meringkik, membuat
Hong Be persis seperti seekor kuda. Sungguh sebuah gelar yang
tepat! Manusia bertopeng hitam itu tetap menggenggam pedang hitam
berikut sarungnya dengan tangan kanan. Dengan demikian dapat
diketahui bahwa manusia tersebut menghunus pedang dengan
tangan kirinya. Dia adalah seorang kidal, Kecuali orang yang baru
menginjakkan kaki untuk pertama kali ke tanah Tionggoan, mestinya
banyak orang yang mengenal siapa pendekar yang biasa bertangan
kidal. Sedikit hembusan angin gunung, bertiup semilir menggidikkan hati
orang yang berada di sekitar tempat itu.
"Mengapa kau belum menghunus pedangmu?" tanya Hong Be
dengan suara tajam. Manusia bertopeng masih berdiri terpaku Bok lang kun dan Sun
Put Ce diam-diam menarik nafas, Dari sikapnya, mereka dapat
menebak bahwa Hong Be belum pernah bertemu dengan Toa Tek
To Hun.
Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang itu ingin menyamar sebagai pembunuh bayaran tersebut,
tentu tindakannya juga dibuat semirip mungkin.Toa Tek To Hun
tidak pernah menghunus pedang sebelum langsung menyerang. Dan
sudah pasti sekali pedang terhunus, dalam sekelebatan musuhnya
roboh ketanah! Sun Put Ce memandang sepasang kaki manusia bertopeng
dengan seksama, sedangkan Bok lang kun memperhatikan tangan
kiri dan pedangnya. Sulit dikatakan apa maksud pandangan kedua
orang itu, Namun bagaimana pun mereka yakin bahwa manusia
bertopeng inilah yang datang ke pegunungan sebelah Barat untuk
menyaksikan pertarungan antara Toa Tek To Hun dan Tang hay sin
sian. Hong Be juga dapat merasakan hawa pembunuhan yang
terpancar dari diri manusia bertopeng itu. Dia tidak mengucapkan
kata-kata lagi. Secepat kilat pedangnya disapu ke depan. Pedang di
tangan manusia bertopeng itu juga berkelebat, Gerakannya memang
mirip dengan Toa Tek To Hun, tapi Sun Put Ce dan Bok lang kun
masih bisa melihat dengan jelas.
Serangannya memang cukup cepat, paling tidak itulah anggapan
Hong Be. Dia mencoba menangkis serangan manusia bertopeng itu,
tapi dalam sedetik saja dia menyadari dirinya kurang cepat.
Dalam keadaan seperti ini, dia dapat menilai serangan dirinya
masih belum bisa mengenai manusia bertopeng itu, sedangkan
serangan dari orang tersebut sudah dekat dan tidak bisa ditahan
olehnya, Dia berusaha keras untuk menggeser tubuhnya sedikit ke
samping, Namun hal itu juga masih kurang cepat dilakukannya
"Ceeeeppp!" Lengan kirinya telah tertembus oleh pedang lawan. Pada saat itu
Hong Be sama sekali tidak gila, Dia sadar sepenuhnya, Dia
mengeluarkan serangannya yang paling ganas. Selama
berkecimpung di dunia Bulim, dia hanya pernah menggunakan jurus
tersebut satu kali, yaitu ketika menghadapi lima orang musuh
tangguh. "Trang! Trang!"
Dua kali suara itu terdengar, serangannya yang paling ampuh pun
tetap dapat dihindari manusia bertopeng itu. Dia sadar dirinya masih
belum dapat menandingi orang tersebut Sekali pedang di tangan kiri
manusia bertopeng berkelebat Pedang sayap camar salju berkilauan
milik Hong Be terpelanting.
"Ting!" Melayang jauh dan terjatuh ke tanah. Di saat menjelang
kematiannya, Hong Be mengamuk kalang kabut, Dia meninju dan
menyerang dengan telapak tangannya secara serampangan, namun
hasilnya tetap sia-sia. Dia menangis menggerung, ratapannya mirip
seekor kuda yang disembelih. Darah segera muncrat dari keningnya,
orangnya pun rubuh ke tanah.
Sun Put Ce dan Bok lang kun sama-sama berpikir, kalau manusia
bertopeng itu memang bukan bermaksud mencelakai Toa Tek To
Hun, mengapa gerakannya dilakukan persis seperti orang itu"
Lagipula mengapa dia tidak mau mengakuinya"
"Keluar!" bentak manusia bertopeng itu. Bok lang kun menatap
Sun Put Ce sejenak, "Cepat pergi!" serunya, "Kau tidak bisa berbuat apa-apa," kata
Bok lang kun. "Dua tetap lebih baik daripada satu!" sahut Sun Put Ce keras
kepala. "Dua juga masih bukan tandingannya," kata Bok lang kun sambil
menarik nafas panjang. "Kalau sudah tahu dua saja masih tidak bisa mengalahkannya,
kau suruh aku lari sendiri?" tanya Sun Put Ce dengan suara sinis.
"Aku masih bisa mengimbangi sesaat, Kau lari dan cari
pertolongan," kata Bok lang kun.
"Gerakanmu lebih cepat daripada saya. Kau yang lari mencari
pertolongan," sahut Sun Put Ce berkeras.
"Kau benar-benar tidak mengerti soal mati hidup, Apakah kau
sudah bosan hidup lebih lama lagi?" bentak Bok lang kun.
"Betul!" sahut Sun Put Ce ngotot.
"Mengapa?" tanya Bok lang kun.
Sun Put Ce tidak menyahut.
"Kau harus menjelaskan dulu kepadaku!" kata Bok lang kun
kembali. "Bencana besar!" sahut Sun Put Ce.
"Aku tidak mengerti, Kau jangan mengoceh yang tidak-tidak!"
kata Bok lang kun. Terdengar suara manusia bertopeng itu
mendengus. "Bok lang kun! Apakah kau merasa jeri?" tanya manusia
bertopeng itu tajam tanpa menoleh.
Jilid 8 "Kalau kau sendiri tidak merasa takut, mengapa topengmu tidak
dilepaskan?" sindir Bok lang kun.
"Jika kau bisa mengalahkan pedang di tanganku, tentu kau akan
melihat wajah ini dengan jelas!" sahut manusia bertopeng itu.
Bok lang kun keluar dari persembunyiannya.
"Sun Put Ce! Lekas lari!" Dia masih sempat menoleh kepada
rekannya. "Tidak!" sahut Sun Put Ce tegas. Kata "tidak" nya jelas-jelas sulit
dirubah menjadi "iya", Persis seperti kata "iya" nya yang juga sulit dirubah menjadi
"Tidak". "Kalau kau ingin mengetahui sebuah rahasia besar, maka kau
harus cepat pergi dan mengintip ke dalam rumah kayu kecil," bisik
Bok lang kun. Sun Put Ce terpana mendengar ucapan rekannya.
"Rumah kayu kecil yang mana?" tanyanya heran.
"Rumah kayu kecil yang membuat kita membalikkan tubuh pun
sulit," sahut Bok lang kun.
Wajah Sun Put Ce berubah. Kata-kata ini kalau diucapkan kepada
orang lain tentu akan bingung. Hanya Sun Put Ce yang mengerti. Di
dunia ini mana ada rumah kecil yang untuk membalikkan tubuh saja
sulit" Tetapi Sun Put Ce mengerti bahwa kata-kata ini adalah sebuah
ungkapan, Pada saat itu, Bok lang kun sudah berjalan mendekati
manusia bertopeng itu. "Kau harus cepat-cepat pulang. Bila tidak, rahasia itu tidak akan
kau ketahui untuk selamanya," katanya sambil tidak henti
melangkahkan kaki. "Rahasia apa?" tanya Sun Put Ce mengiring di belakangnya.
"Rahasia mengapa Toa Tek To Hun harus membunuh jago-jago di
Tionggoan!" kata Bok lang kun dengan mata mendelik.
Hati Sun Put Ce bergetar. Kata-kata ini mungkin juga sebuah
tipuan agar Sun Put Ce mau meninggalkan tempat itu. Bok lang kun
tidak ingin dia membuang nyawa secara sia-sia. Sun Put Ce tentu
tidak menganggap penting nyawa sendiri. Tetapi dia juga tahu Bok
lang kun tidak ingin ada orang yang lain ikut dalam pertarungan
tersebut, bila tidak konsentrasinya bisa terpecah.
Bok lang kun menatap Hong Be. Dia menatap tubuh yang mulai
kaku itu, yang merupakan jago kelas satu, tidak disangka bisa
menemui ajal di Tionggoan dalam tiga jurus saja.
Hanya dengan tiga jurus bisa membunuh Hong Be, manusia
bertopeng ini memang cukup pantas menyaru sebagai Toa Tek To
Hun. Tatapan mata Bok langkun beralih kepada manusia bertopeng
yang masih berdiri tegak membelakanginya. Kini dia telah berbalik
menghadapinya. Dua pasang mata bertemu. Diam-diam dia dapat menebak siapa
manusia bertopeng di hadapannya, mengapa dulu dia tidak pernah
mendengar orang ini menggunakan tangan kiri" seseorang yang
sudah terbiasa menggunakan tangan kanan, bila ingin merubah
menjadi tangan kiri, tentu harus belajar dari awal. Sebelum mulai
melatih diri, tentu tidak menjadi persoalan, seperti seorang yang
menggunakan sumpit. Bila sejak pertama dia belum pernah meng-gunakannya, maka
dimulai dari tangan kiri atau kanan sama saja. Lain halnya dengan
orang yang sudah terbiasa, bahkan akan lebih sulit daripada orang
yang sama sekali belum bisa.
Dengan melihat gerakan manusia bertopeng tersebut ketika
membunuh Hong Be, hatinya sudah mempunyai perhitungan Tang
hay sin sian yang dihormatinya telah mati, dan mati sebagai
pengorbanan bagi kaum Bulim, Bok lang kun seketika sadar bahwa
kematian pendekar sakti tersebut merupakan intrik dari manusia
bertopeng ini. Namun dia tidak dapat menjelaskannya kepada Sun Put Ce.
Manusia berdarah dingin di hadapannya tentu tidak akan
melepaskan orang itu bila dia menyebut rahasianya sekarang, Tapi
dia percaya dengan kecerdasan Sun Put Ce, cepat lambat dia juga
bisa mengetahui semuanya.
"Bila kau tidak pergi ke rumah kayu kecil itu untuk melihat rahasia
besar, maka kau akan menyesal seumur hidup!" kata Bok lang kun
dengan tegas, Dia merasa orang yang tangannya berlumuran darah
seperti dirinya barulah patut mati.
"Saya pergi!" sahut Sun Put Ce. kata-kata ini seakan bukan keluar
dari mulutnya. Dia membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat
itu. "Tidak boleh pergi!" bentak manusia bertopeng.
Sun Put Ce bukan saja tidak berhenti, malah dia mempercepat
larinya, Manusia bertopeng ingin menahan dirinya, sebab orang itu
sudah mengetahui bahwa yang membunuh Hong Be bukan Toa Tek
To Hun. Rahasia ini tidak boleh bocor. Tapi Bok lang kun
menghadang di depannya. "Setelah membereskan dirimu, aku masih bisa mengejarnya!" kata
manusia bertopeng itu sambil tertawa dingin.
"Kalau kau memang tidak bermaksud jahat terhadap Toa Tek To
Hun, siapa yang ingin kau celakai sebenarnya?" tanya Bok lang kun
mengalihkan perhatiannya.
"Kau sudah tidak memiliki kesempatan untuk mengetahui rahasia
ini!" sahut manusia bertopeng itu sinis.
"Meskipun kau dapat mengalahkan Hong Be dalam tiga jurus, aku
masih mempunyai keyakinan dapat menahan seranganmu sebanyak
sepuluh jurus!" kata Bok lang kun.
"Tidak mungkin sebanyak itu!" sahut manusia bertopeng dengan
nada yakin. "Kaum Bulim sedang dilanda kekacauan, Kau mempunyai ilmu
yang begini tinggi, mengapa tidak mau membantu membasmi Toa
Tek To Hun, malah menyamar sebagai dirinya, Bukankah bila kau
berhasil mengalahkan manusia berdarah dingin itu, namamu akan
melambung. Apa pun yang kau inginkan pasti akan kau dapatkan.
Kekuasaanmu pun tidak kepalang tanggung, Kaum Bulim pasti
sepakat mengangkat dirimu sebagai Bulim bengcu, Sekali pancing
dapat dua ekor ikan besar," kata Bok lang kun menyayangkan
pendirian manusia bertopeng itu.
"Kau kira dengan mengulur waktu, aku tidak dapat mengejar
bocah itu" pikiranmu terlalu dangkal!" kata si manusia bertopeng
sambil mendengus, Bok lang kun segera menghunus pedangnya.
"Dalam hal ini saja kau tidak dapat menandingi Toa Tek To Hun!"
"Apa maksudmu?" tanya manusia bertopeng itu berang.
Toa Tek To Hun memang ganas kalau sudah turun tangan, tapi
dia tidak pernah merendahkan derajatnya sendiri, Lebih-lebih dia
tidak akan pernah menyembunyikan kepala menyurutkan ekor. Dan
yang paling penting, bila sekali gerakannya tidak dapat membunuh
sang musuh, dia tidak akan mencarinya kembali," kata Bok lang kun.
"Yang kau maksud pasti Fang Tiong Seng!" sahut manusia
bertopeng. "Betul!" kata Bok lang kun.
Manusia bertopeng itu mengeluarkan suara tawa yang datar. Dia
tidak mengatakan apa-apa. Tangannya yang menggenggam sarung
pedang semakin erat, Tangan Bok lang kun juga menggenggam
pedangnya kencang-kencang, Kalau tangan lawannya bergerak, dia
juga sudah siap membalas serangan.
Orang seperti dia tidak begitu takut menghadapi kematian,
apalagi dia memang sudah mengakui kalau kedua tangannya penuh
lumuran darah. Orang yang tidak takut mati, biasanya kematian
justru tidak begitu berani mendekatinya.
Kematian sebetulnya agak mirip dengan halilintar. suaranya
menakutkan, tapi bahaya yang sebenarnya justru tindakan yang
menyusul di balik gemuruh tersebut, Bok lang kun memperhatikan
tangan kiri lawan dengan penuh perhatian.
Sinar pedang manusia bertopeng itu berkelebat, pedang di tangan
Bok lang kun juga bergerak. Kedua orang itu seakan ingin
menggunakan kecepatan untuk menundukkan lawannya, sayangnya
Bok lang kun masih kalah dua detik. Tetapi kecepatannya sudah
jauh melebihi Hong Be. Pedang di tangan manusia bertopeng bergerak tiga kali berturutturut.
Bok lang kun kelabakan menghadapinya. Pada saat genting
itu, Bok lang kun dapat melihat gerakan yang dikeluarkan lawannya
agak mirip gaya lukisan Tiongkok, Juga mirip rangkaian bunga pada
setiap perubahannya. Maknanya sangat dalam seharusnya bukan digunakan untuk
membunuh orang, Dari pandangannya ini, sudah dapat dibuktikan
bahwa ilmunya jauh melebihi Hong Be. Tapi biar bagaimana pun Bok
lang kun berusaha melawan, tetap masih bukan tandingan manusia
bertopeng tersebut. Juga tidak bisa melebihi banyaknya jurus yang
dikatakan tadi. Sinar pedang berkelebat tujuh kali, Pada jurus kedelapan, dia
menggeram, keningnya terdapat jalur memanjang. Darah pun
mengalir dengan deras. Pedang di tangan manusia bertopeng telah
masuk kembali ke dalam sarungnya, Tubuh Bok lang kun
sempoyongan. Tanpa harus menunggu lebih lama lagi, dia rubuh di
samping tubuh Hong Be. Manusia bertopeng memandang dua mayat yang terbujur di
hadapannya. Dia mendongakkan wajah dan tertawa terbahak-bahak
Kecuali Toa Tek To Hun, tidak! Orang itu sudah tidak masuk dalam
hitungan. Di dalam dunia sekarang ini, dia sudah ada tandingannya lagi,
Umur Toa Tek To Hun tidak mungkin lebih lama dari dirinya, Tibatiba
sebuah suara yang merdu berkumandang dari dalam hutan.
"Bagaimana kalau dengan delapan jurus tadi kau melawan Toa
Tek To Hun?" Pertama-tama manusia bertopeng itu agak terperanjat Setelah
merenung sebentar, dia menolehkan kepalanya.
"Rupanya...." kata-katanya tidak jadi diteruskan.
Orang yang datang juga mengenakan sebuah topeng, Wajah
setiap orang yang paling mudah dikenali adalah mata dan bentuk
hidungnya. Kedua orang ini menggunakan penutup yang hanya
terlihat kedua buah bola mata dan bentuk bibir.
Dengan demikian, kalau bukan orang yang saling mengenal
dengan akrab, tidak mudah menebak wajah siapa yang tertutup di
balik topeng tersebut. Sun Put Ce yang bermaksud pergi melihat rumah kayu kecil,
membatalkan niatnya dan kembali lagi setelah setengah perjalanan
Dia merasa nada suara perempuan bertopeng itu tidak asing, namun
pada saat itu ia belum berhasil mengetahui siapa orangnya.
Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata-kata yang belum sempat diselesaikan oleh laki-laki bertopeng
itu telah ditukas oleh lawan jenisnya.
"Toa Tek To Hun belum pernah menggunakan tangan kiri!"
katanya, Laki-laki bertopeng itu tidak menjawab.
"Bagaimana membandingkan setengah jurus dengan delapan
jurus?" lanjut perempuan itu. Laki-laki bertopeng itu hanya
mendengus sebagai jawaban.
"Kau belum bisa mencapai tingkatannya sudah merasa begitu
bangga," sindir perempuan itu kembali.
"Aku hanya bermaksud mengadu ilmu, salahnya sendiri bila belum
dapat menandingi diriku!" sahut laki-laki bertopeng itu agak ketus.
"Dalam delapan jurus bisa membunuh Bok lang kun, memang
sudah terhitung luar biasa, Namun orang yang akan kau hadapi
mungkin jauh lebih menakutkan daripada Toa Tek To Hun," kata
perempuan tersebut. "Bagaimana kau bisa menduga bahwa ilmu orang itu lebih tinggi
dari pada Toa Tek To Hun?" tanya si laki-laki bertopeng.
"Kalau ilmunya lebih rendah, apakah dia pantas mengundang Toa
Tek To Hun datang ke Tionggoan" Rasanya pembunuh bayaran ini
bukan membunuh untuk imbalannya saja," sahut perempuan
bertopeng. Tubuh laki-laki bertopeng tampak bergetar sedikit. Hati Sun Put
Ce semakin tertekan. Dia menundukkan wajahnya dengan pilu,
Ketika kepalanya didongakkan kembali Kedua manusia bertopeng itu
telah meninggalkan tempat tersebut dengan mengambil arah yang
berlawanan. Sun Put Ce sadar ilmunya tidak mungkin dapat mengejar kedua
orang tersebut, dia melangkah perlahan menuju mayat Bok lang
kun. Laki-laki itu adalah bekas Bulim bengcu dari Hek to. Tetapi
dalam pandangan Sun Put Ce saat itu, wajahnya sama sekali tidak
menunjukkan kebengisan. Di dunia ini banyak manusia yang dianggap orang suci, namun
penampilannya terlalu menakutkan Ada juga manusia yang rupanya
buruk, namun sedap dipandang. Oleh karena itu, ada orang yang
buruk rupa tapi menyenangkan ada lagi manusia yang
penampilannya baik, namun dibenci oleh banyak kalangan.
-oooo0oooo- Bwe Mei adalah seorang gadis yang polos. Namun dia bijaksana
dan cerdas, Manusia yang cerdas dapat mengetahui segala hal,
Manusia yang bijaksana dapat menilai seseorang, Dia kembali ke
rumah kayu dengan hati-hati. Setiap kali dia datang ke rumah itu,
dia pasti meyakinkan dirinya bahwa tidak ada orang lain yang
mengikutinya. Ketika masuk ke dalam rumah, dia juga sangat memperhatikan
keadaan ruangan dalam. Dia akan meneliti dengan seksama kalaukalau
ada musuh yang mengincar kekasihnya, lagipula dia selalu
merasa banyak laki-laki itu tidak tulus mencintainya.
Hal ini sudah lama dicurigainya, Namun bagaimana pun, dia tidak
dapat menghilangkan kecurigaannya itu.
Dia berjalan menuju ke dalam kamar. Ketika langkah kakinya
bergerak sampai di luar jendela, dia mendengar suara yang aneh
berkumandang dari dalam. Dia mengurungkan maksudnya masuk ke
kamar, dia mempertajam pendengarannya, Suara-suara yang
terdengar itu pasti akan segera dimengerti oleh orang yang sudah
menginjak dewasa. Desahan nafas yang memburu, cekikikan tawa
yang genit. Biarpun Bwe Mei adalah seorang gadis suci, dia juga
segera bisa menangkap apa yang tengah terjadi di dalam kamar
tersebut. Di dalam dunia ini memang banyak hal yang perlu dibuktikan
dengan mata kepala sendiri, tidak boleh sembarangan dengar dari
pihak ketiga saja. Bwe Mei merasa keringat dingin mengalir dari
kening dan kedua belah tangannya.
Kemudian hatinya terasa panas membara. Mungkinkah seorang
yang terkena Cao hue jit mo bisa melakukan hal itu" Meskipun
seorang yang belum punya pengalaman, juga tentu akan tahu orang
lumpuh tidak akan sanggup melakukannya!
Pikirannya yang polos ingin sekali mengetahui apakah dengan
sekali gerakan pedang dia dapat membunuh kedua orang yang tidak
tahu malu itu" Suara semilir angin yang meniup dedaunan seakan
tenggelam oleh kecabulan laki-laki dan perempuan dalam kamar
tersebut. Suara deruan nafas dan deritan tempat tidur membuat Bwe Mei
seakan meledak Suara itu adalah suara wajar, yang sering terdengar
oleh kita, Apalagi bagi orang yang sudah berumah tangga. Tapi bagi
pendengaran Bwe Mei, suara itu lebih menakutkan daripada geledek
yang menggelegar. Sampai sekian lamanya dia berdiri mematung di luar jendela itu.
bukan ingin menikmati suara yang menyebalkan, tapi sibuk
memikirkan cara untuk mengenyahkan kedua orang tersebut,
Hatinya ragu. Bila dugaannya tidak meleset, laki-laki itu selama ini telah
mendustainya, dia pasti pura-pura lumpuh, Dan apabila
keampuhannya hanya palsu, tiga orang Bwe Mei pun tidak akan
sanggup melawannya, Belum lagi perempuan yang belum diketahui
siapa olehnya. Mungkin dia juga mempunyai ilmu yang cukup tinggi, Bukankah
dengan menunjukkan diri sama artinya dengan membuang nyawa
secara percuma.,." Kemudian suara dalam kamar itu lenyap, Suasana hening
seketika, hanya desahan keletihan yang sayup-sayup masuk ke
dalam telinganya. "Apakah tua bangka itu masih bisa melakukannya?" Tiba-tiba
terdengar suara yang sangat tidak asing baginya.
"Tubuh kurus seperti papan gilasan, Bila musim dingin hanya
berkerumung selimut," jawab yang perempuan.
Bwe Mei mengkertakkan giginya, Dia berusaha menahan perasaan
hatinya yang tidak karuan, Ternyata dirinya telah dikelabui orang
begitu lama. Dia benci sekali kepada laki-laki itu. Dia juga
memandang rendah yang perempuan. Di samping itu, Bwe Mei juga
menyesali dirinya sendiri. Meskipun sampai saat ini, dirinya belum
ternoda oleh orang tersebut.
"Laki-laki harus gagah, perempuan harus genit. Kata-kata ini
memang tidak salah. Tua bangka itu telah kesemsem dengan
dirimu," kata laki-laki dalam kamar itu.
"Kata-kata ini jangan terlalu cepat di-ucapkan!" sahut yang
perempuan. "Mengapa?" tanya sang lelaki.
"Aku selalu merasa kalau tua bangka itu agak menakutkan," kata
yang perempuan menjawab pertanyaan laki-laki itu.
"Menakutkan?" tanyanya heran.
"Betul! Kepalsuannya terlalu menakutkan." sahut yang
perempuan. "Kalau menurut pendapatmu, bagaimana aku dapat mengalahkan
dirinya?" tanya yang laki-laki.
"Kecuali kalau kau dapat membunuh Bok lang kun dalam satu
jurus. Baru kau bisa menghadapinya, ilmunya jauh lebih tinggi dari
orang itu," sahut yang perempuan.
Tentu saja perbandingan delapan jurus dengan satu jurus sangat
jauh, kata-kata memang mudah diucapkan, melaksanakannya yang
sulit. "Hanya aku yang bisa mewujudkan impianmu itu," kata
perempuan itu kembali dengan nada suara yang manja.
Semangat laki-laki itu seperti bangkit kembali.
"Betul! Hanya kau yang bisa!" serunya gembira.
"Bagaimana kau menyampaikan rasa terima kasihmu?" tanya yang
perempuan. "Pokoknya aku akan selalu melayani dengan cara yang paling kau
sukai," sahut laki-laki dalam kamar itu, Mendengar perkataan itu,
tanpa sadar Bwe Mei mendengus dingin, Biarpun suara itu ringan
sekali, tetap tidak dapat luput dari pendengaran kedua orang itu.
Kecuali bila mereka sedang berada pada puncaknya kenikmatan
hubungan gelap yang mereka lakukan.
"Siapa di luar?" bentak laki-laki di dalam kamar itu dengan nada
tajam. Bwe Mei sadar, jangan kata dua-duanya, satu saja dia belum
dapat menandingi ia tidak ingin mengunjukkan diri, dengan sekuat
tenaga dia berlari. Paling tidak orang itu memerlukan sedikit waktu
untuk berpakaian, namun ternyata dugaannya salah.
Baru dia berlari beberapa langkah, sudah terdengar susulan dari
arah belakang, Rupanya orang itu sejak tadi sudah merapihkan
dirinya, Dia menolehkan kepala memandang, Terlihat bayangan
seorang laki-laki dengan pakaian hitam, Di pundaknya tersampir
secarik kain berwarna hitam, Dari kejauhan tampaknya seperti
seekor kelelawar besar. Ingin sekali dia menghentikan langkah kaki dan membunuh
penghianat itu. Namun kesadarannya dengan cepat mengisiki
hatinya. Dia tidak boleh mengikuti kemauannya yang tidak mungkin
tercapai Bila dirinya mati di tangan orang ini, maka untuk selamanya
arwahnya tidak akan dapat tenang.
Tadinya dia pernah mendekati Sun Put Ce. Malahan dia
memberikan sebuah dompet untuknya, laki-laki itu adalah orang
yang serius, dia begitu setia terhadapnya hanya karena dia telah
memberikan sebuah dompet yang tidak berharga.
Mana mungkin dia terpikir kalau gadis itu hanya memperalatnya"
Dia justru benar-benar mencintai laki-laki bajingan ini, Terpikir
olehnya bahwa Toa Tek To Hun pasti akan mencari kekasihnya itu.
Bwe Mei mencari seribu akal untuk menyelamatkan kekasihnya.
Dia tahu kalau Kwe Po Giok dan Sun Put Ce mendapat tugas
untuk mencari Tanghay sin sian, Dia juga percaya di dalam Bulim
saat ini, hanya pendekar sakti itu yang dapat menandingi Toa Tek
To Hun. Demi laki-laki ini, dia rela menipu perasaan Sun Put Ce.
Dengan harapan, bila suatu hari Toa Tek To Hun mencari
kekasihnya, kedua orang itu bisa membujuk Tang hay sin sian
melindunginya, Akibatnya malah di luar dugaan.Tang hay sin sian
pun belum dapat menandingi iblis Fu sang itu.
Jarak antara kedua orang itu semakin mendekat Manusia
bertopeng itu berteriak dengan suara ramah.
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 10 Legenda Kematian Karya Gu Long Cinta Bernoda Darah 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama