Ceritasilat Novel Online

Suling Mas 16

Suling Mas Seri Bukeksiansu 02 Karya Kho Ping Hoo Bagian 16


untuk bekal di perjalanan! Buatlah pulau perlindungan bagimu, berjuanglah segera penuh bijaksana. Apabila engkau bersih dari noda dan bebas dari dosa
engkau akan mencapi sorga, alam para Ariya! Berapa lama hidup ini" Tanpa terasa engkau sudah menghampiri Raja Kematian.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Tiada akan ada tempat untuk istirahat di perjalanan
dan engkau belum menyiapkan suatu perbekalan!"
Suara itu merayu dan seperti menghimpit perasaan Lu Sian.
Tidak kuat ia menahan lebih lama lagi, maka sambil berlutut di depan kakek itu ia berteriak.
"Orang tua... aku mengaku kalah. Kau bunuhlah aku, tak perlu menyiksaku dengan kata-kata....!" Lu Sian lalu menangis tersedu-sedu.
Nyanyian kakek itu seakan-akan mendengungkan semua teguran dan peringatan yang keluar
dari mulut puteranya tadi dan karenanya membuat hatinya makin hancur. Teringatlah ia akan kesesatan hidupnya dan sadarlah ia betapa rindu ia akan kehidupan yang wajar dari manusia biasa dalam sebuah keluarga bahagia, selama ini.
Suara yang-khim terhenti. Dengan gerakan tenang kakek
itu menyandangkan alat musiknya di pundak lalu berkata,
"Terasa tersiksa karena sadar akan dosa-dosanya adalah baik. Yang sudah lalu sudahlah, biarlah perbuatan jahat tidak diulangi lagi. Biasakan diri tidak menyenangi perbuatan jahat.
Penderitaan dalam hidup adalah buah daripada perbuatan
jahat yang menjadi pohon tanaman kita sendiri. Orang yang bersengsara, bukankah engkau yang disebut Tok-siauw-kwi"
Tiada permusuhan di antara kita, mengapa kau datang-datang menyerangku dan kini minta kubunuh?"
Lu Sian mengangkat muka memandang, akan tetapi tidak
kuat ia menentang pandang mata kakek itu lama-lama, maka ia menunduk lagi dan tetap berlutut, "Semua orang di dunia kang-ouw memusuhiku, mengapa kau tidak" Sudahlah, tak
perlu bermain-main denganku, orang tua. Kau terlalu sakti bagiku, aku mengaku kalah. Lekas kauturunkan tangan maut menghabisi riwayatku, aku pun sudah bosan hidup!"
Akan tetapi kakek itu tertawa perlahan. "Mengatasi kemarahan dengan kesabaran, mengatasi kebencian dengan
kasih sayang, mengatasi kesombongan dengan kerendahan
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
hati, mengatasi kebohongan dengan kebenaran, mengatasi
kejahatan dengan kebajikan. Ah, Tok-siauw-kwi, penyesalan menyesak dadamu, itu tandanya kesadaran sudah mulai
muncul. Tumpahkanlah penyesalanmu dalam pengakuan agar
tidak menyesak dada dan menjadi lapang untuk kau bertobat."
Kini Lu Sian memandang penuh perhatian kepada kakek itu dan naiklah sedu sedan di kerongkongannya ketika timbul dugaan hatinya. "Kau... kau... Bu Kek Siansu...?"
Kakek itu tersenyum dan mengangguk. "Kau tahu bahwa aku bukan musuhmu, bukan musuh siapapun juga. Anak baik, bersediakah kau kembali ke jalan terang?"
Suara ini demikian tenang dan penuh rasa kasih sayang,
seakan-akan suara seorang ayah sendiri yang penuh perasaan iba, Lu Sian menjadi terharu lalu menubruk kaki orang tua itu dan menangis.
Kemudian berceritalah Lu Sian, menceritakan semua
pengalamannya yang membuat ia dimusuhi semua orang
kang-ouw, semua perbuatannya dalam mengabdi kepada
nafsu-nafsunya. Tanpa malu-malu dan secara terang-terangan ia bukakan semua isi hatinya kepada kakek ini. Ia bercerita tentang Kwee Seng, tentang Tan Hui, dan tentang partai-partai persilatan besar yang pernah ia datangi. Ia mengaku telah mencuri kitab-kitab di Siauw-lim-pai, di Go-bi-pai, mencuri pedang di Hoa-san-pai.
Lu Sian bercerita penuh perasaan sesal sambil menangis
dan pada akhir ceritanya ia muntah darah dan roboh pingsan di depan kaki Bu Kek Siansu yang mendengarkan penuh
kesabaran dan pengertian. Kemudian Lu Sian merasa seakanakan ia dituntun ke tempat terang, keluar dari tempat yang amat gelap. Dalam keadaan seperti mimpi ia merasa seperti terbang di antara awan yang menyelubunginya, dan
terngianglah di telinganya suara Bu Kek Siansu yang tenang dan sabar.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Jauhi segala permusuhan. Jangan layani mereka yang memusuhimu.
Bertobat berarti menghentikan semua perbuatan yang keliru. Kampung halaman merupakan tempat yang paling aman."
Ketika Lu Sian sadar kembali, ia mendapatkan dirinya di tempat tadi, akan tetapi Bu Kek Siansu sudah tidak ada di situ.
Hanya suara kakek itu masih terus bergema di telinganya.
Teringat akan ayahnya, akan Beng-kauw dan kota raja Nan-cao, teringat ketika ia masih kecil ikut ayahnya merantau.
Terbayanglah ia akan istana di bawah tanah yang menjadi tempat rahasia Beng-kauw. Tempat itukah yang disindirkan oleh Bu Kek Siansu dalam nasihatnya" Lu Sian bangkit berdiri, tubuhnya terasa lemah dan dengan terhuyung-huyung wanita yang selama bertahun-tahun ini menimbulkan banyak geger di dunia kang-ouw, kini pergi dengan hati perih dan pikiran hampa.
"Kek, apa maksudmu dengan jatuh ke atas?"
"Mereka itu orang-orang yang telah naik menempati
kedudukan, akan tetapi makin tinggi kedudukan mereka,
makin jahatlah sepak terjang mereka. Yang kuat mempergunakan kekuatannya untuk menindas yang lemah.
Yang pintar mempergunakan kepintarannya untuk menipu
yang bodoh. Yang bodoh dan lemah memang jatuh ke bawah
akan tetapi yang kuat dan pintar itu bukankah berarti jatuh ke atas" Ada dua macam kejahatan, akan tetapi secelaka-celakanya jatuh ke bawah, lebih sialan lagi yang jatuh ke atas, ha-ha-ha!"
Bu Song sejak kecil dijejali filsafat, maka ia dapat
menangkap arti kata-kata sulit kakek itu. "Kek, jadi menurut keyakinanmu,
tidak perlu kita menempuh ujian dan
menduduki pangkat?" "Kalau kau ikut-ikut jatuh ke atas...." "Kau keliru sama sekali, Kek. Kalau semua orang terpelajar seperti engkau ini pendiriannya, hanya mengeluh dan menangis, menyanyikan
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
sajak-sajak kosong, meratapi nasib rakyat dan memaki-maki kelaliman para pembesar, apakah akan jadinya" Keadaan
takkan berubah baik, bahkan makin memburuk. Kita harus
bergerak. Kita harus bekerja dan berusaha memberantas
semua yang buruk, mempergunakan kekuasaan dan kebisaan
kita masing-masing! Bahkan dengan kepandaian kita, kita harus dapat menempati kedudukan yang memungkinkan kita
menggunakan kekuasaan kita merubah segala hal yang tidak patut. Kek, apakah artinya menghafal sepuluh ribu ujar-ujar baik tanpa melakukannya dalam hidup" Lebih baik mengetahui satu saja akan tetapi betul-betul dijalankan dalam hidup."
Tiba-tiba kakek itu memandang dengan mata terbelalak.
Maboknya seperti hilang seketika dan ia memegang pundak Bu Song sambil bertanya, "Kau... kau siapa...?"
"Sudah kukatakan tadi, Kek, namaku Liu Bu Song." Pemuda ini tidak mau menggunakan she ayahnya, karena nama Kam Si Ek terlampau terkenal di kota raja, maka ia sengaja
menggunakan she ibunya. "Kau... lain daripada yang lain. Kau masih muda,
semangatmu besar. Kau... murid siapakah?"
"Guruku yang terhormat, yang memberi bimbingan kepada saya sejak kecil adalah Kim-mo Taisu."
"Ahhh...! Kiranya dia gurumu! Kalau begitu pantas saja kau bicara besar, kiranya kau seorang ahli silat pula yang dapat mengandalkan
kepandaian kasar itu utuk mencari kedudukan!" "Harap kau orang tua jangan salah duga. Suhu hanya mengajarkan ilmu sastera kepadaku, sama sekali aku tidak pernah mempelajari ilmu silat. Aku benci ilmu itu yang hanya dipergunakan untuk saling bunuh."
Sejenak kakek itu memandang penuh keheranan, kemudian
ia merangkul pundak Bu Song. "Bagus! Kalau begitu kaulah orangnya yang patut mewarisi suling emas!"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Apa, Kek" Apa maksudmu?" "Orang muda, pernahkah kau mendengar nama sastrawan Ciu Bun?" Bu Song menggeleng kepala.
"Kalau nama kakakku Ciu Bun yang amat terkenal saja kau tidak pernah dengar apalagi namaku. Aku adalah Ciu Gwan Liong, adiknya. Akan tetapi biarpun nama kami berdua kau tak pernah dengar, tentu kau sudah mendengar nama besar Bu
Kek Siansu." Bu Song mengangguk. "Aku pernah mendengar Suhu
menyebut-nyebut nama kakek sakti itu."
"Tentu saja. Gurumu mana bisa menjadi begitu lihai kalau tidak bertemu dengan Bu Kek Siansu" Ketika itu di puncak Thai-san, secara kebetulan gurumu dan kami berdua
menerima anugerah dari Bu Kek Siuansu. Gurumu menerima
petunjuk ilmu silat, sedangkan kami orang-orang sastrawan yang lemah, menerima kitab sajak ini dan suling emas.
Kitabnya diberikan kepadaku ini dan suling emasnya berada di tangan kakakku Ciu Bun. Akan tetapi terpaksa kami berdua pisah. Kerajaan jatuh bangun, para sastrawan tidak mendapat penghargaan sama sekali. Selain itu juga ternyata suling emas dan kitab ini tidak hanya berguna bagi para sastrawan
menghibur diri dan menenangkan hati, malah dijadikan
perebutan para tokoh kang-ouw! Kami dikejar-kejar terutama sekali kakakku sehingga terpaksa kakak Ciu bun melarikan diri dan bersembunyi di pulau kosong di Lam-hai. Kami berdua sudah bersepakat untuk mempertahankan kitab dan suling, dan telah bersepakat pula kelak memberikan kepada orang yang kami pandang tepat. Nah, pilihanku jatuh kepadamu, orang muda. Tidak salah lagi, apalagi engkau murid Kim-mo Taisu. Ah, Thian agaknya sengaja mengirim kau ke sini untuk membebaskan aku daripada tugas menyimpan kitab ini.
Kausimpanlah kitab ini baik-baik, dan kelak, kaucarilah kakakku di Pek-coa-to di Lam-hai, kau perlihatkan kitab ini tentu suling emasnya akan diberikan kepadamu. Kau minta
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
petunjuk dari padanya, kedua benda pusaka itu kelak amat berguna bagimu. Lekas simpanlah...!" Kakek itu memasukkan kitab kecil di tangan cepat-cepat ke dalam saku baju Bu Song sebelah
dalam. "Lindungi kitab ini dengan taruhan nyawamu...!" Tergesa-gesa kakek itu memberi pesan ini dan tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Kiranya tujuh orang berkuda tadi sudah kembali lagi dan kini mereka meloncat turun dari atas kuda, lalu langsung menghampiri sastrawan tua Ciu Gwan Liong dan Bu Song. Sastrawan itu masih duduk bersila akan tetapi Bu Song sudah bangkit berdiri melihat tujuh orang itu datang dengan sikap mengancam. Si
Komandan bermuka hitam lalu langsung menyerbu Ciu Gwan
Liong dan menangkap leher bajunya, ditariknya ke atas
dengan amat mudah sehingga tubuh kakek sastrawan itu
tergantung. "Ah, kiranya kau tua bangka pengemis inilah sastrawan Ciu Gwan Liong! Hayo mengakulah, bukankah kau Ciu Gwan
Liong?" "Aku benar she Ciu bernama Gwan Liong," jawab kakek itu dengan suara angkuh biarpun keadannya amat terhina seperti itu.
"Kalian ini anjing-anjing
peliharaan yang hanya mengandalkan sisa makanan pembesar negeri, mengapa
bersikap begini kasar dan tidak sopan terhadap orang tak bersalah?"
"Wah, mulut besar! Hayo ikut kami menghadap Taijin! " Si Muka Hitam lalu melemparkan tubuh kakek itu kepada anak buahnya yang menerima tubuh kakek itu sambil tertawa-tawa.
Di lain saat tubuh kakek itu sudah direbahkan tertelungkup melintang di atas punggung kuda seperti segulung tikar.
"Mana ada aturan begini?" Bu Song melangkah maju menegur Si Muka Hitam. "Dengan alasan apakah kalian menangkap orang secara sewenang-wenang?"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Hushh! Kau pemuda tolol jangan ikut campur! Tidak tahu bahwa kami adalah alat negara?" bentak Si Muka Hitam marah sekali.
Bu Song sama sekali tidak takut, ia malah melangkah maju dan berkata dengan suara keras, "Justeru karena kalian alat negara seharusnya menggunakan peraturan dan hukum
kesopanan! Bukankah negara itu diatur dengan hukum dan
alat-alat negara adalah penegak hukum" Hanya perampok
saja yang menindas dan menangkap orang tanpa kesalahan
dan kalian sebagai alat negara seharusnya malah memberantas tindakan seperti itu. Hayo bebaskan kakek yang tidak bersalah itu, kalau tidak, aku akan melaporkan kalian kepada pembesar negeri di kota raja, tentu kalian akan
dipecat dan dihukum! "
Sesaat Si Muka Hitam tercengang sampai melongo. Benarbenar belum pernah selama hidupnya ia melihat orang berani berkata-kata seperti itu terhadapnya. Kemudian ia tertawa bergelak dan sekali kakinya bergerak perut Bu Song sudah tersambar tendangan keras yang membuat tubuh Bu Song
terpelanting dan bergulingan.
"Ha-ha-ha, kau boleh melapor, ha-ha! Justeru yang
menyuruh tangkap sastrawan ini adalah pembesar negeri,
tolol!" Bu Song masih penasaran dan tendangan itu biarpun
membuatnya jatuh terguling akan tetapi tidaklah amat nyeri, maka ia sudah cepat bangun kembali.
"Kalau begitu pembesar negeri yang menyuruhmu itu
sewenang-wenang!" bentaknya pula. Si Muka Hitam tertawa dan juga penasaran. Tendangannya amat keras dan ia
terkenal sebagai seorang yang kuat. Bagaimana orang muda ini masih sanggup bangun dan malah kini membuka mulut
menegur pembesar negeri"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Kau menentang?" bentaknya dan kini tangan kanannya bergerak memukul, menyambar ke arah muka Bu Song.
Pemuda ini melihat jelas pukulan menyambar. Ia kaget dan berusaha mengelak, akan tetapi mukanya bertemu dengan
pukulan kiri yang menyusul.
"Dessss!" Pukulan ini keras sekali dan membuat matanya berkunang dan pada saat itu sebuah tinju yang amat keras telah menghantam dadanya, membuat tubuhnya terjengkang
dan terbanting keras. Tujuh orang itu tertawa-tawa, akan tetapi diam-diam Si Muka Hitam heran dan kaget sekali
melihat betapa pemuda itu sudah bangun lagi dengan cepat, seakan-akan tidak merasakan pukulan-pukulannya yang
dilakukan dengan pengerahan tenaga itu! Diam-diam ia
menaruh curiga dan memandang pemuda yang luar biasa kuat menahan pukulan itu yang sudah berdiri tegak lagi, kemudian ia memerintahkan anak buahnya untuk naik kuda dan
membawa pergi tawanan mereka. Diam-diam ia merasa jerih juga terhadap pemuda aneh itu.
Akan tetapi baru saja ketujuh orang itu meloncat ke atas kuda sambil tertawa-tawa, suara ketawa mereka berubah
menjadi jerit-jerit mengerikan dan mereka semua termasuk Si Muka Hitam terlempar dari atas punggung kuda dan ketika Bu Song memandang, ternyata mereka bertujuh sudah putus
nyawanya. Darah mengucur dari leher mereka seperti
sekawanan lembu dipotong lehernya.
Dua bayangan melompat keluar dari balik pohon dan
mereka ini langsung menghampiri kakek sastrawan dan
menolongnya turun dari atas punggung kuda. Dua orang laki-laki ini berkepala gundul, berpakaian ringkas dengan lengan pendek, usia mereka empat puluh tahun lebih dan agaknya mereka adalah sebangsa hwesio.
"Saudara Ciu Gwan Liong harap jangan khawatir. Mari kami kawal Saudara menghadap ketua kami. Biar ada seratus
anjing-anjing macam mereka tentu akan kami basmi semua."
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Ciu Gwan Liong mengangkat kedua tangan memberi
hormat. "Kehormatan besar! Akan tetapi siapakah Ji-wi Suhu ini dan siapa pula ketua kalian" Aku tidak ada urusan dengan ketua kalian."
"Kami dari Hui-to-pang, dan ketua kami mengundang
Saudara untuk diajak berunding."
"Ha-ha-ha, berunding?" Sastrawan tua itu tertawa bergelak.
"Kalian orang-orang kang-ouw di mana-mana sama saja!
Orang lemah macam aku ini mana dibutuhkan kalau tidak
karena sebuah kitab kuno" Ji-wi Losuhu ketahuilah bahwa kitab yang dicari-cari itu tidak ada padaku. Aku bersumpah, kitab itu tidak ada padaku!"
Dua orang gundul itu saling pandang, kemudian seorang
diantara mereka berkata sambil tertawa dingin, "Kami hanya melakukan perintah membawa Saudara menghadap Pangcu
(Ketua) kami." "Ji-wi (Tuan Berdua) adalah pendeta-pendeta yang
mengutamakan kebajikan, mengapa kini menggunakan kekerasan memaksa orang untuk ikut?" Tiba-tiba Bu Song mendekati dan membela kakek itu. "Bukankah dalam kitab sucimu terdapat ujar-ujar Nabi Buddha bahwa seorang bhikku (pendeta) biarpun masih muda asal ia mentaati ajaran Sang Buddha, ia akan menerima penerangan dunia seperti bulan purnama terbebas awan" Kalau dua orang pendeta seperti Ji-wi sudah menggunakan kekerasan, membunuh orang dan
memaksa kakek ini untuk ikut, bukankah itu sudah melanggar segala hukum agama kalian sendiri dan berarti memupuk
dosa?" Dua orang hwesio itu saling pandang, muka mereka
berubah merah dan sinar mata mereka menjadi bengis.
Melihat pemuda yang telah diserahi kitab ini kembali
mencampuri urusan secara berani mati untuk membelanya,
sastrawan tua itu cepat-cepat berkata, "He sastrawan muda yang gila! Kau mau mengikuti ujian, pergilah dan jangan usil
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
mencampuri urusan orang lain! Terhadap Ji-wi Losuhu ini, aku sanggup mengatasi, tidak membutuhkan bantuanmu. Hayo
pergi, sikapmu memualkan perutku!"
Bu Song terkejut dan heran. Masa kakek ini begini tak kenal budi, dibela malah balas memaki" Akan tetapi kemudian ia ingat bahwa kakek ini telah menyerahkan kitab kepadanya dan agaknya kitab itu yang kini diperebutkan, maka ia lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata,
"Orang tua, kalau begitu biarlah kita berpisah. Harap kau orang tua suka menjaga diri baik-baik." Kemudian ia melempar pandang penuh teguran kepada dua orang hwesio
itu dan membalikan tubuhnya, melangkah hendak pergi dari situ.
Akan tetapi tiba-tiba Bu Song roboh terguling ketika sebuah tangan seorang hwesio bergerak ke depan dan menyentuh
pundaknya. Bukan main kuat tangan itu sehingga tanpa dapat dicegah lagi Bu Song terpelanting.
"Nanti dulu, orang muda. Kau pun harus ikut kami!" "Hei, apa-apaan ini" Ji-wi Suhu kalau mau mengajak aku
mengunjungi ketua kalian boleh saja, mari kita berangkat biar aku berunding atau berdebat dengannya. Akan tetapi orang muda ini tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini. Aku tidak sudi kalau pergi bersama dia!"
"Dia sudah melihat kami hendak pergi bersamamu, maka ia tak boleh hidup lagi. Kalau dia tidak boleh ikut, biar dia kita tinggalkan!" jawab seorang hwesio dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak. Sebuah benda bersinar terang menyambar ke arah Bu Song dan pemuda yang tanpa disadarinya sendiri telah memiliki pandang mata yang kuat dan tajam itu dapat melihat sebatang golok kecil melayang menuju ke arah
lehernya! Akan tetapi karena ia tidak pernah memperlajari bagaimana cara orang mengelak dari ancaman seperti itu, ia menjadi bingung dan pada saat itu, dari arah yang
berlawanan, menyambar sebuah benda kecil yang dengan
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
kecepatan kilat melayang dan membentur hui-to (golok
terbang) itu. "Cringg!" Golok itu runtuh di atas tanah terpukul oleh sebuah benda yang hanya sebuah batu kerikil saja.
Dua orang hwesio itu mengangkat muka dan ternyata tak
jauh dari situ telah berdiri seorang kakek tua yang kedua kakinya lumpuh dan berdirinya di atas kedua tongkat yang dipegangnya. Kedua kakinya bersila. Bu Song tentu saja
mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Kong Lo Sengjin, kakek yang menjadi paman dari ibu gurunya! Biarpun ia tidak pernah menyukai kakek ini yang ia anggap kasar, galak, aneh dan ganas, namun kini ia harus mengakui bahwa kakek ini telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman golok terbang tadi.
"Kong-lo Sengjin! " Seorang di antara dua hwesio itu membentak. "Kembali kau hendak memusuhi Hui-to-pang!
Belum lama ini seorang saudara kami kaubujuk membunuh
isteri Kim-mo Taisu dan kaubiarkan ia tewas di tangan Kim-mo Taisu!"


Suling Mas Seri Bukeksiansu 02 Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha-ha, salahnya sendiri dia tidak kuat melawan Kim-mo Taisu!" "Kau yang mengkhianatinya, kau berjanji hendak menghadapi Kim-mo Taisu. Sekarang ternyata kau malah
menarik Kim-mo Taisu menjadi sekutumu. Kau curang dan
sekarang apalagi yang hendak kaulakukan kepada kami?"
"Hwesio-hwesio tengik. Kau ini orang-orang apa berani bicara seperti itu kepadaku" Aku datang melarang kalian membunuh pemuda ini, dan tentang Ciu Gwan Liong, dia akan ikut
bersamaku, bukan bersama kalian! Hayo lekas menggelinding pergi dari sini!"
"Kong Lo Sengjin orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi kami tidak!"
Bentakan ini disusul gerakan kedua tangan mereka dan
tampaklah sinar berkelebatan. Kiranya banyak sekali golok
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
terbang telah menyambar dan melayang ke arah tubuh kakek lumpuh itu bagaikan hujan. Hebat memang kepandaian yang merupakan keistimewaan tokoh-tokoh Hui-to-pang ini. Sinar terang golok-golok kecil itu sampai menyilaukan mata,
mengeluarkan suara angin besar dan selain cepat melebihi anak panah terlepas dari busur, juga amat kuat karena
digerakkan dengan pengerahan tenaga lwee-kang tinggi. Bu Song yang menonton dari samping merasa ngeri karena ia
selain silau memandang sinar berkelebatan, juga tidak tahu bagaimana seorang manusia dapat menyelamatkan diri dari bahaya yang demikian hebatnya. Tujuh orang penunggang
kuda yang lihai-lihai tadi seketika tewas, karena diserang sebuah hui-to setiap orang dan dia sendiri kalau tidak
tertolong Kong Lo Sengjin, tentu telah disembilih golok terbang. Apalagi sekarang kakek lumpuh itu sekaligus diserang dengan hui-to yang sedemikian banyaknya. Mana mungkin
menyelamatkan diri" Ia sudah membayangkan betapa kakek
itu akan roboh dengan tubuh tersayat-sayat menjadi beberapa potong daging kecil-kecil!
Akan tetapi kali ini serangan golok-golok terbang itu
ditujukan kepada Kong Lo Sengjin, seorang kakek sakti yang berilmu tinggi. Memang kakek ini pun terkejut melihat
hebatnya serangan kedua orang hwesio itu, dan maklum
bahwa benda-benda terbang itu amat kuat dan berbahaya,
tidak mungkin dapat ia halau dengan kedua lengan kosong belaka. Namun kakek ini segera mengayun tubuhnya dan
kedua tongkat yang menggantikan kedua kaki itu kini diputar-putar di sekeliling tubuhnya, berubah menjadi segulung sinar yang melingkar-lingkar.
Terdengar suara trang-tring-trang-tring tiada hentinya dan amatlah indah pemandangan di waktu itu. Sinar-sinar
berkeredepan itu yang melayang ke arah kakek lumpuh, kini berpencaran seperti bintang-bintang jatuh dan suara nyaring yang terdengar karena bertemunya golok-golok terbang
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
dengan kedua tongkat seakan-akan menimbulkan semacam
musik yang aneh. Akhirnya habislah puluhan batang golok yang menjadi
bekal kedua orang tokoh Hui-to-pang itu. Mereka berhenti melemparkan golok terbang dan berdiri dengan mata
mendelik memandang lawan. Akan tetapi kini Kong Lo Sengjin pun sudah kehilangan tongkatnya dan tampak ia duduk bersila di atas tanah. Kedua tongkat yang tadinya mewakili kedua kaki dan kemudian dipergunakan untuk menangkisi golok-golok terbang itu ternyata telah hancur menjadi beberapa potong, menggeletak di depan kakinya yang lumpuh. Ternyata semua golok terbang dapat ditangkis akan tetapi kakek itupun kehilangan sepasang tongkatnya yang menjadi rusak.
Bu Song kaget dan mengira bahwa kakek itu terluka.
Biarpun ia tidak pernah merasa suka kepada kakek itu, dan tadi hatinya berdebar keras mendengar percakapan antara mereka tentang pembunuhan yang dilakukan atas diri ibu
gurunya yang ternyata merupakan persekongkolan antara
kakek lumpuh itu dan orang Hui-to-pang, namun melihat
kakek itu tak berdaya agaknya, ia merasa kasihan dan
melangkah mendekati. "Locianpwe, apakah kau terluka" Sungguh tak tahu malu kedua hwesio itu, mengeroyok seorang tua yang lumpuh
dengan golok terbang!"
Kong Lo Sengjin tertawa. "Aku hanya kehilangan kedua tongkatku, akan tetapi tidak mengapa, ada engkau di sini yang menggantikannya. Hayo, anak tolol, kau Bantu kakekmu mengantar mereka ke neraka!"
Bu Song kaget sekali. "Apa... apa maksud Locianpwe...?"
Akan tetapi tiba-tiba tubuh kakek itu bergerak, mencelat ke atas dan sebelum Bu Song tahu apa yang hendak dilakukan kakek itu, tubuh itu telah menyambar dan tahu-tahu telah berada di atas punggungnya! Kedua kaki yang lumpuh itu
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
bergantungan dari atas kedua pundaknya dan ternyata kakek itu sudah menduduki tengkuknya!
"Hayo bawa aku mendekati mereka!" teriak Kong Lo Sengjin. Tahulah kini Bu Song maksud kakek itu. Ia hendak dijadikan semacam kuda tunggang karena kakek itu lumpuh dan tidak dapat berjalan! Tentu saja ia merasa tidak suka, apalagi kalau disuruh bertempur, akan tetapi tiba-tiba ia merasa tubuhnya terdorong ke depan dan tanpa dapat ia
tahan lagi kedua kakinya sudah melangkah cepat ke depan.
Kiranya kakek sakti itu menggunakan tenaga saktinya untuk memaksa dan mendorongnya.
Kedua orang hwesio Hui-to-pang itu pun marah melihat
hui-to-pang mereka tidak berhasil tidak berhasil merobohkan Kong Lo Sengjin, hanya merusak sepasang tongkatnya. Akan tetapi mengingat bahwa kakek lumpuh itu kehilangan
senjatanya, mereka menjadi besar hati dan segera menerjang maju, menyerang Kong Lo Sengjin dan tentu saja karena Bu Song tidak terluput pula dari serangan-serangan!
Dapat dibayangkan betapa kecut hati Bu Song. Ia merasa
angin menyambar-nyambar dari depan dengan dahsyatnya.
Akan tetapi Kong Lo Sengjin juga sudah bergerak, kedua
tangannya menyambar-nyambar ke depan dan bukan main
hebat dan dahsyatnya angin pukulan yang keluar dari tangan dan lengan bajunya. Begitu kakek lumpuh ini memutar kedua tangannya,
lawan-lawannya terdesak mundur dan mengeluarkan seruan kaget.
"Ha-ha-ha, kalian hendak lari ke mana?" Kong Lo Sengjin berseru dan tubuhnya sampai hampir tergantung dari leher Bu Song saking besarnya nafsu menjatuhkan kedua lawannya
yang selalu melompat menjauhkan diri. Beberapa kali kakek itu menepuk kepala Bu Song sambil menghardik, "Hayo cepat kejar mereka, tolol!" Akan tetapi Bu Song yang tidak mempunyai nafsu untuk berkelahi, hanya bergerak seenaknya saja, hanya menurutkan dorongan yang memaksa tubuhnya
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
mendoyong ke depan atau ke kanan kiri dan melakukan
langkah kalau terpaksa saja.
Ternyata bahwa kedua orang hwesio itu hanya istimewa
dalam penggunaan hui-to saja. Dalam pertandingan tangan kosong, mereka bukanlah lawan Kong Lo Sengjin yang
memiliki sin-kang jauh lebih kuat daripada mereka. Semua serangan mereka, baik yang ditujukan kepada tubuh kakek itu maupun yang mereka arahkan kepada Bu Song membalik oleh dahsyatnya angin gerakan kedua lengan kakek lumpuh.
Mereka menyadari hal ini, maka setelah melawan dengan
susah payah selama puluhan jurus, keduanya lalu melompat dan melarikan diri.
"Tolol, kejar mereka!" Kong Lo Sengjin menjambak-jambak rambut Bu Song. Akan tetapi Bu Song tidak mau, bahkan
berdiri tegak. "Saya tidak bisa lari secepat mereka, pula apa gunanya saya mengejar mereka, Locianpwe?"
"Hayo kejar mereka, kalau tidak kuhancurkan kepalamu!"
Kong Lo Sengjin membentak lagi.
Akan tetapi Bu Song tidak
menjawab, melainkan memandang ke kiri dan berseru. "Celaka, Kakek itu
menggantung diri!" Amat cepat gerakan Kong Lo Sengjin. Tubuhnya sudah
mencelat dari atas pundak Bu Song dan dalam keadaan
melayang ini ia sekali sambar sudah memutuskan tali
gantungan dan melempar tubuh Ciu Gwan Liong ke atas
tanah, sedangkan dia sendiri pun sudah bersila di dekatnya.
"Tua bangka sialan!" Kong Lo Sengjin mengomel, akan tetapi ia tidak pedulikan kakek sastrawan yang sudah megap-megap itu, melainkan cepat ia memeriksa semua pakaian Ciu Gwan Liong dan mengeluarkan isi sakunya. Akan tetapi benda yang dicari-cari, kitab itu, tidak ada. Kong Lo Sengjin menjadi marah, ia mencengkeram kedua pundak kakek yang sudah
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
sekarat itu, mengguncang-guncang dan mengangkat tubuhnya sambil berseru,
"Di mana kitab itu" Hayo katakan, di mana kitab itu?"
Suaranya amat menakutkan dan penuh ancaman.
"Locianpwe, jangan siksa dia. Lihat dia sudah payah..."
"Tidak peduli! Hei , Ciu Gwan Liong, hayo bilang, di mana kitab itu kausembunyikan" Demi iblis, kalau tidak mengaku, kusiksa kau biar mati perlahan-lahan!"
"Locianpwe..." Bu Song sudah hampir saja mengaku dan menyerahkan kitab itu karena ia tidak tahan menyaksikan kakek yang lemah itu tersiksa, akan tetapi pada saat itu Si Sastrawan tua sudah membuka mata dan berkata lemah.
"Kitab itu kuberikan... kepada... Kim-mo Taisu..." Setelah berkata demikian, kakek itu menjadi lemas dan ketika Kong Lo Sengjin
melepaskannya, ia telah tewas! Bu Song menundukkan mukanya dan menarik napas panjang.
"Biarkan aku mengubur jenazahnya..." katanya perlahan, lalu ia memungut sebatang golok besar dari pinggang mayat seorang di antara tujuh penunggang kuda tadi. "Dan mayat mereka juga..." tambahnya.
"Huh, bocah kurang pekerjaan engkau ini. Eh, mana
Gurumu" Dan mengapa engkau berada di sini?"
"Saya diutus oleh Suhu untuk menempuh ujian di kota raja, Locianpwe. Adapun Suhu sendiri sudah meninggalkan gunung untuk membalas dendam kematian Subo."
Kong Lo Sengjin termenung sejenak. "Kau buatkan
sepasang tongkat untukku. Hayo lekas! Aku harus segera
pergi dari sini!" Bagi Bu Song, lebih lekas kakek itu pergi lebih baik, maka tanpa membantah ia lalu naik ke atas pohon, memilih dua batang cabang pohon dan menebangnya dengan golok.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Setelah membuangi ranting dan daunnya, ia menyerahkan
sepasang tongkat itu kepada Kong Lo Sengjin. Kakek ini
menerima sepasang tongkat dan sekali menggerakkan
tubuhnya, ia sudah "berdiri" di atas kedua tongkat itu.
"Kau dengar baik-baik! Menurut Kakek sastrawan ini, kitabnya diserahkan kepada Suhumu. Hal ini berarti Suhumu akan dimusuhi dan dicari orang seluruh kang-ouw. Maka kau harus tutup mulut, jangan bicarakan hal itu kepada siapapun juga. Awas kalau, kau membongkar rahasia ini, aku akan
datang dan menghacurkan kepalamu, mengerti?"
"Mengerti, Locianpwe."
Kong Lo Sengjin tersenyum dan mengangguk-angguk,
kemudian ia melesat pergi dengan kecepatan yang membuat Bu Song kagum dan bengong. Tapi ia lalu tak memperhatikan lagi kakek itu dan segera mulai dengan tugasnya mengubur mayat Ciu Gwan Liong dan mayat ke tujuh orang penunggang kuda tadi. Matahari telah terbenam ke langit barat ketika ia menyelesaikan tugasnya, kemudian sambil menggendong
bungkusan pakaiannya, ia melanjutkan perjalanannya, melangkahkan kaki menuju ke tembok kota raja.
Untung pintu gerbang belum tertutup dan tergesa-gesa ia memasuki kota raja yang amat asing baginya. Kagum ia
melihat gedung-gedung besar akan tetapi juga hatinya kecut ketika ia menyaksikan para pengawal dan orang-orang
berpakaian seperti tujuh orang penunggang kuda yang
mayatnya ia kubur tadi menjaga di tiap pintu gerbang gedung-gedung besar itu. Dengan bertanya-tanya, mudah saja ia
mencari rumah penginapan Liok-an yang berada di ujung kiri jalan raya, dekat pintu gerbang kotaraja sebelah barat. Rumah penginapan Liok-an ini tidak besar, dan huruf Liok-an yang terpancang di atas papan depan rumah itu sudah tua. Karena hari sudah menjelang gelap, Bu Song merasa tidak sopan
mencari tempat sahabat atau kenalan gurunya, maka ia lalu memasuki rumah penginapan itu dan minta kamar kepada
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
seorang pelayan tua yang menyambutnya. Losmen ini kecil dan miskin, maka tidak banyak tamunya dan dengan mudah
Bu Song mendapatkan sebuah kamar. Kemudian kepada
pelayan tua ia bertanya tentang seorang pengurus rumah
gadai bernama Ciu Tang yang katanya tinggal di sebelah kiri losmen itu.
"Ciu Tang" Memang ada, dan sore hari begini rumah gadai sudah tutup. Rumahnya di sebelah belakang losmen ini.
Apakah Kongcu hendak menemuinya?"
"Benar, Lopek. Akan tetapi besok pagi-pagi saja. Saya harap kau suka mengantar saya ke sana."
Pelayan itu senang dengan sikap dan kata-kata pemuda
yang sopan ini, maka ia segera menyatakan kesanggupannya.
Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi ia sudah diantar
pelayan itu ke sebuah rumah dalam lorong kecil dekat losmen.
Setelah bertemu dengan orang yang dicarinya, pelayan itu meninggalkannya.
Ciu Tang seorang setengah tua yang tinggi kurus,
berjenggot panjang akan tetapi terpelihara dan pakaiannya biarpun tidak mewah cukup rapi. Bu Song cepat memberi
hormat dan berkata, "Maafkan kalau kedatangan saya mengganggu Paman.
Saya Liu Bu Song dan kedatangan saya adalah atas kehendak Suhu yang membawakan sebuah surat untuk Paman." Ia mengeluarkan surat Kim-mo Taisu dan menyerahkannya
kepada laki-laki berjenggot itu.
Begitu menerima surat dan membaca nama pengirimnya,
Ciu Tang cepat-cepat mengangkat kedua tangan memberi
hormat dan wajahnya berubah penuh hormat. "Ah, kiranya hiante ini murid tuan penolong kami Kim-mo Taisu" Silakan duduk, silakan..."
Bu Song menghaturkan terima kasih dan mereka duduk di
atas bangku menghadapi sebuah meja bundar bentuknya. Ciu
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Tang membuka sampul surat dan membaca sambil merabaraba jenggot dan mengangguk-angguk. Kemudian ia melipat surat dan menyimpannya dalam saku baju. "In-kong (Tuan Penolong) sudah mengatakan halmu hendak mengikuti ujian dan mengingat akan budi yang dilimpahkan in-kong kepada kami,
maka saya akan berusaha sedapat mugkin menolongmu, Hiante."
Bu Song cepat-cepat memberi hormat dan berkata, "Terima kasih atas kesanggupan Paman, dan saya mohon petunjuk."
Orang yang bernama Ciu Tang itu menarik napas panjang.
"Aahhh, dengan adanya perang terus-menerus, perebutan kekuasaan dan penggantian pemerintahan, nasib kita kaum terpelajar sungguh celaka! Karena keadaan tidak pernah
aman, maka para pembesar jarang ada yang jujur, bertindak menindas dan korup. Dalam hal ujian juga sama saja. Setiap tahun banyak yang mengikuti ujian, namun yang berhasil dan lulus hanyalah mereka yang dapat menyuap dengan banyak
emas! Namun, saya mengenal kepala bagian ujian, yaitu
Pangeran Suma Kong. Biarpun belum tentu beliau sudi
memandang muka saya, namun setidaknya tentu Hiante akan mendapat perhatiannya dan tidak akan dilewatkan begitu
saja." "Banyak terima kasih, Paman. Sungguh budi Paman amat besar."
"Ah, jangan bicara tentang budi, Hiante. Kalau mau bicara tentang budi, maka gurumulah yang telah melimpahkan budi kepada kami sekeluarga. Kalau tidak Gurumu, tidak hanya perusahaanku bangkrut, akan tetapi mungkin kami serumah tangga sudah binasa semua!" Lalu tuan rumah itu bercerita betapa dahulu ketika ia diganggu gerombolan penjahat di kota raja dan anak perempuannya hendak dirampas, ia telah
ditolong oleh Kim-mo Taisu yang membasmi gerombolan itu sehingga keluarganya selamat dan perusahaannya biarpun
kecil masih dapat berjalan sampai sekarang.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Bu Song lalu diperkenalkan dengan nyonya rumah yang
amat ramah dan tiga orang anak laki-laki belasan tahun yang semua merupakan anak-anak terpelajar pula. Puteri sulung keluarga itu sudah menikah dan tinggal di kota An-sui.
Selanjutnya Bu Song diminta tinggal di rumah keluarga Ciu Tang sambil menanti pembukaan waktu ujian.
Memang benar apa yang diceritakan Ciu Tang kepada Bu
Song. Pada waktu itu, yang menjadi kepala bagian ujian
adalah Pangeran Suma Kong, seorang pangeran yang
menggunakan kedudukannya untuk mencari keuntungan
besar bagi dirinya sendiri. karena dia masih terhitung warga dengan keluarga Raja Cou Muda, maka kekuasaannya besar
juga dan biarpun tindakannya yang korup ini bukan rahasia lagi, namun tidak ada yang berani mengganggunya. Karena ia hanya memperhatikan para pelajar pengikut ujian yang
sanggup memberi sogokan besar, maka hasil ujian itu tentu saja bukan didasarkan atas baik buruknya tulisan atau pandai tidaknya si pengikut, melainkan didasarkan atas besar kecilnya uang sogokan! Tentu saja Pangeran Suma Kong bukan
seorang sembrono. Dia tentu lebih senang kalau mendapatkan penyogok yang memang pintar, karena meluluskan seorang
pengikut yang terlalu bodoh juga merupakan hal yang
mendatangkan resiko besar baginya. Maka setiap diadakan ujian, dia sendiri selalu memeriksa hasil para pengikut.
Kurang lebih sebulan setelah Bu Song tiba di kota raja, ujian diadakan. Dengan hati berdebar Bu Song mengikuti ujian dan alangkah girang hatinya ketika ia mendapat kenyataan betapa mudah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam
kertan ujias, dan betapa mudah judul-judul yang harus ia buat dalam karangan. Pada masa itu, ujian didasarkan kepada
pengetahuan filsafat-filsafat dan ujar-ujar dari kitab-kitab kuno. Karena Bu Song memang menggemari hal ini, tentu saja hampir semua telah hafal olehnya dan dengan mudah saja ia memenuhi syarat dan dapat menjawab dengan memuaskan
dalam bentuk tulisan yang indah. Ciu Tang bukanlah seorang
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
kaya raya. Memang ia pun memberi uang sogokan untuk
membela Bu Song, akan tetapi dibandingkan dengan
penyogok-penyogok lain, jumlahnya terlalu kecil. Akan tetapi karena Ciu Tang seringkali menjadi "perantara" bagi para penyogok yang tiap tahun membanjiri kota raja, dia sudah dikenal oleh pangeran Suma Kong dan inilah yang memberi harapan kepadanya karena dalam suratnya ia mengaku bahwa Liu Bu Song adalah seorang keponakannya sendiri!
Seperti biasa terjadi tiap tahun, hasil ujian itu menghancurkan harapan puluhan, bahkan ratusan pelajar
yang semula datang ke kota raja penuh harapan. Mereka
dinyatakan gagal dalam ujian! Bertahun-tahun waktu terbuang sia-sia mempelajari puluhan ribu huruf, menghafal ratusan sajak, menelan ribuan bait ujar-ujar kuno! Hanya beberapa puluh orang yang dinyatakan lulus, yaitu mereka yang
membawa bekal cukup tebal. Di antara mereka yang
dinyatakan tidak lulus termasuk nama Liu Bu Song!
"Luar biasa!" Bu Song berseru heran dan menyesal ketika mendengar pengumuman itu. "Semua pertanyaan dapat saya jawab dan semua sajak dan karangan saya tulis sebaiknya dalam waktu paling cepat!"
"Tidak aneh... sama sekali tidak aneh!" kata Ciu Tang sambil menggerak-gerakkan tangan. "Kita tidak punya banyak emas, itulah sebabnya kau tidak lulus, Hiante. Saya menyesal sekali, dan merasa malu hati terhadap inkong Kim-mo Taisu, akan tetapi apa mau dikata, saya bukanlah orang kaya..."
"Harap Paman Ciu Tang jangan sesalkan hal itu!" Cepat Bu Song berkata menghibur. "Suhu sendiri sudah tahu akan hal ini dan sama sekali bukan kesalahan Paman. Saya yakin
bahwa Paman sudah cukup memperjuangkan dan biarpun
saya tidak lulus, tetap saja saya takkan melupakan budi kebaikan Paman. Hanya saya merasa penasaran dan heran,
mengapa orang-orang terpelajar seperti mereka yang duduk di atas itu sampai hati melakukan hal-hal yang demikian
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
memalukan" Tadinya saya kira hanya ilmu kepandaian bu
(silat) saja yang dapat dipergunakan orang untuk kejahatan, siapa orangnya tidak akan merasa heran dan bingung
memikirkan betapa orang-orang yang mempelajari segala
macam keindahan seni seperti melukis dan membuat sajak, menulis halus, dapat melakukan hal-hal yang hanya patut dilakukan seorang penjahat!"
"Sekarang bagaimana, Hiante" Kemana Hiante hendak
pergi" Apakah hendak kembali kepada inkong Kim-mo Taisu?"
Bu Song termenung. Ke mana" Gurunya pergi entah ke
mana dan entah bila kembalinya. Dan untuk apa kembali ke puncak gunung" Tidak ada siapa-siapa di sana, yang ada
hanya kuburan Eng Eng! Yang ada hanya kenangan penuh
duka. Mencari ibunya! Ya, dia akan mencari ibunya, akan merantau ke mana saja. "Saya akan pergi, Paman. Besok saya pergi, entah kemana belum dapat saya katakan..."
Ciu Tang merasa kasihan kepada pemuda ini. "Liu-hiante, kalau kau suka tinggal di sini, biarlah kau membantu
perusahaanku. Bukan pekerjaan yang layak untuk seorang
pelajar seperti engkau, akan tetapi lumayanlah sambil menanti kesempatan diadakan ujian lain tahun."
Akan tetapi sama sekali Bu Song tidak tertarik lagi. Ia menggeleng kepala dan menjawab, "Terima kasih, Paman.
Akan tetapi saya lebih suka merantau..."
Pada keesokan harinya, pagi sekali Bu Song sudah siap
hendak berangkat. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda
berhenti di depan rumah Ciu Tang dan seorang laki-laki
berpakaian gagah turun dari kuda, menghampiri pintu dan langsung bertanya kepada Bu Song yang duduk di luar
bersama Ciu Tang. "Apakah di sini tinggal seorang pelajar bernama Liu Bu Song?" Bu Song cepat bangkit berdiri dan menjura. "Saya sendiri bernama Liu Bu Song."
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Orang itu memandangi Bu Song penuh perhatian, lalu balas menjura. "Saya di utus sama Suma-ongya menyerahkan sepucuk surat." Ia mengeluarkan surat itu yang terbungkus sebuah sampul yang gagah tulisannya.
"Ah, kiranya dari Suma-ongya...! Liu-hiante lekas sambut surat ongya dengan penghormatan selayaknya!" Berkata demikian, Ciu Tang menarik tangan Bu Song untuk
menjatuhkan diri berlutut di depan utusan itu dan menerima surat sambil berlutut!
"Silakan Tuan mengambil tempat duduk dan minum sedikit arak kami yang hangat," Ciu Tang menawarkan.
Orang itu memberi hormat dan berkata, "Terima kasih, saya ada keperluan lain. Hanya saya mendengar pesan Ongya
tadi

Suling Mas Seri Bukeksiansu 02 Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa orang muda ini amat diharapkan kedatangannya menghadap secepatnya!" Ia menjura lagi lalu keluar dan meloncat ke atas kudanya. Terdengar derap kaki kuda menjauhi rumah itu.
Ciu Tang menarik tangan Bu Song berdiri. Pemuda itu
masih bengong karena ia merasa kurang senang harus
menerima surat secara itu, seperti menerima maklumat raja saja!
"Lekas buka dan baca, Hiante. Siapa tahu engkau
mendapatkan keistimewaan, karena surat dari Suma-ongya
tentu hanya ada hubungannya dengan hasil ujianmu. Lekas buka dan baca!" Suara Ciu Tang gemetar penuh ketegangan.
Akan tetapi Bu Song tenang-tenang saja. Jari-jarinya tidak gemetar ketika ia membuka sampul surat itu dan mencabut keluar sehelai kertas tipis halus yang penuh tulisan indah.
"Pangeran Suma Kong tertarik akan tulisan pengikut ujian Liu Bu Song dan
memerintahkan kepadanya datang
menghadap secepatnya ke istana untuk diberi tugas
pekerjaan." Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Wah, kionghi..., kionghi... (selamat..., selamat), Liu-hiante!" seru Ciu Tang kegirangan.
Akan tetapi Bu Song tidaklah segembira Ciu Tang.
Sesungguhnya bukan pangkat dan kedudukan yang ia
harapkan dari hasil ikut ujian ini, apalagi kalau kedudukan itu ia dapatkan seperti seorang pengemis menerima sedekah! Apa sesungguhnya yang menjadi tujuannya mengikuti ujian, dia sendiri pun tidak tahu. Semenjak kecil dahulu, ia mempelajari ilmu kesusasteraan adalah karena memang ia suka membaca dan menulis, suka membaca sajak-sajak dan kitab-kitab kuno tentang filsafat hidup. Dan kini ia mengikuti ujian hanya untuk mentaati perintah suhunya. Di samping ini, memang ia pun tahu bahwa semua orang mengejar ilmu kepandaian bun
akhirnya untuk mengikuti ujian dan mendapat gelar siucai, sungguhpun ia sendiri tidak pernah mengerti apakah artinya mendapatkan gelar itu. Agaknya oleh karena ia tidak suka mempelajari ilmu silat itulah yang membuat ia lebih condong memperdalam ilmu sastera.
"Paman Ciu, mengapa Paman memberi selamat kepadaku"
Bagiku sendiri, aku belum tentu suka menerima penawaran ini."
"Hah" Bagaimana ini, Liu-hiante" Diberi tugas pekerjaan oleh Suma-ongya, hal ini merupakan penghormatan yang
amat tinggi! Belum tentu ada seorang di antara seratus yang memiliki nasib sebaik ini. Apalagi kalau di ngat bahwa kau dinyatakan tidak lulus ujian!"
"Justeru itulah, Paman, yang membuat hatiku menjadi dingin. Kalau aku dinyatakan tidak lulus, mengapa diberi pekerjaan" Kalau Pangeran itu tertarik akan tulisanku,
mengapa pula aku tidak lulus?"
"Ah, engkau masih saja belum dapat melihat kenyataan, Liu-hiante. Suma-ongya tertarik hatinya melihat tulisanmu yang indah lalu ingin memberi pekerjaan, itu berarti jodoh dan memang bintangmu sedang terang. Adapun tentang tidak
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
lulusmu dalam ujian, itu adalah karena kurang syaratnya.
Mengapa hal seperti itu masih diherankan pula?"
Bu Song mengangguk. "Sungguh, Paman. Aku sudah dapat melihat kenyataan, kenyataan yang amat pahit, kenyataan menyedihkan yang membuat aku enggan bekerja pada
seorang pembesar yang demikian tidak adilnya. Aku akan
pergi saja sekarang juga, Paman."
Ciu Tang melompat bangun dan memegangi lengan
pemuda itu, mukanya berubah pucat. "Liu-hiante... memang saya tidak berhak memaksamu..., akan tetapi apakah kau
hendak merusak apa yang pernah dilindungi Suhumu?"
"Apa maksudmu, Paman?"
"Keselamatan keluargaku pernah satu kali diselamatkan Suhumu dan untuk itu aku selamanya takkan melupakan budi Suhumu. Akan tetapi kalau sekarang engkau pergi, berarti keselamatan keluargaku akan hancur. Suma-ongya tentu
takkan mau menerima penolakanmu begitu saja. Penolakanmu akan dianggap sebagai penghinaan dan karena aku sudah
mengakuimu sebagai keponakanku sendiri, tentu saja
kemarahannya akan ditimpakan kepada diriku sekeluarga."
"Ah, begitukah...?" Bu Song menjatuhkan diri duduk di atas bangku dengan tubuh lemas. Tentu saja ia tidak menghendaki hal itu terjadi.
"Kalau Hiante suka memenuhi undangan dan perintah
Suma-ongya, berarti kau telah mengulang perbuatan mulia Suhumu dan telah menolong kami sekeluarga, karena sedikit banyak diterimanya engkau di sana memberi muka terang
kepadaku. Untuk itu sebelumnya saya menghaturkan banyak terima
kasih!" Setelah berkata demikian, Ciu Tang menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu.
Bu Song cepat-cepat dan sibuk mengangkat bangun tuan
rumah itu dan ia berkata, "Harap Paman jangan bersikap
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
seperti ini. Baiklah, saya akan pergi menghadap Suma-ongya sekarang juga dan marilah Paman menemaniku."
"Tentu saja! Tentu saya antar! Tunggu saya berganti pakaian, dan kau pun harus mengenakan pakaian yang paling rapi, Hiante?" Seperti seorang anak kecil menerima hadiah Ciu Tang berlari-lari memasuki ramahnya dengan wajah amat
gembira. Bu Song menarik napas panjang, termenung sejenak, lalu
mengangkat kedua pundaknya dan membuka bungkusan
untuk berganti dengan pakaiannya yang bersih. Tak lama
kemudian keduanya telah berangkat menuju ke istana
Pangeran Suma Kong. Di sepanjang jalan, Ciu Tang
mengangkat dadanya tinggi-tinggi dan setiap kali ada seorang kenalan bertanya, ia menjawab dengan suara dikeraskan,
"Pergi mengantar keponakanku yang diterima menjadi pembatu Suma-ongya!"
Bu Song yang dapat melihat dan mengenal watak manusia
dari pelajaran di kitab-kitabnya, hanya tersenyum dan diam-diam ia merasa kasihan kepada orang baik yang berwatak
lemah ini. Betapapun juga, ia merasa amat kagum ketika ia diterima oleh penjaga dan dibawa masuk ke ruangan depan istana
yang megah itu. Semua perabot serba indah dan mewah, juga bersih mengkilap. Pada dinding bergantungan lukisan-lukisan yang amat luar biasa, dihias tulisan-tulisan yang luar biasa indahnya pula. Bukan main, pikir Bu Song. Samar-samar ia masih teringat bahwa ketika kecil dahulupun rumah ayahnya merupakan sebuah gedung besar, namun tidaklah sehebat ini.
Istana ini penuh dengan benda-benda seni yang menggetarkan hati setiap orang sastrawan yang suka akan hasil karya yang indah-indah seperti itu.
Mereka disuruh menanti di ruangan depan, yaitu ruangan
tamu, karena menurut penjaga, Sang Pangeran masih belum bangun dari tidurnya! Akan tetapi, agaknya maklum bahwa
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
mereka adalah orang-orang yang diundang oleh Pangeran,
maka tak lama kemudian seorang pelayan keluar membawa
teh wangi yang hangat! Bu Song tak dapat diam di atas bangku. Ia menoleh ke
sana ke mari mengagumi dan membaca sajak-sajak pasangan yang menghias dinding, juga kadang-kadang menengok keluar untuk menikmati keindahan taman bunga yang mengelilingi istana itu. Jauh di samping, agak ke belakang, melalui sebuah pintu berbentuk bulan, ia dapat melihat kolam ikan dengan air mancur tinggi. Air itu memecah di atas dan karena matahari pagi sudah mulai bersinar, tampaklah air itu menjadi beraneka warna seperti pelangi. Bukan main!
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh langkah seorang dari luar dan ternyata dia adalah seorang pemuda yang berpakaian
indah dan berwajah tampan, berusia dua puluh tahun lebih, pakaiannya seperti sastrawan pula, akan tetapi begitu
bertemu pandang, Bu Song di dalam hatinya mendapat kesan tak menyenangkan. Pada pandang mata itu, dan bentuk
hidung itu, membayangkan sesuatu yang tidak baik. Ia tidak tahu siapa adanya pemuda berpakaian mewah ini, maka ia
duduk saja dengan tenang.
Tidak demikian dengan Ciu Tang. Melihat pemuda ini,
segera ia bangkit berdiri menyambut maju dan begitu pemuda itu memasuki ruangan, ia segera menjura dengan dalam
sehingga tubunya terlipat dua, mulutnya berkata penuh
hormat. "Suma-kongcu, selamat pagi....! Harap kongcu selalu dalam sehat gembira!"
Pemuda itu berhenti dan membalas penghormatan yang
berlebihan itu dengan anggukan kepalanya. "Ah, bukankah kau Paman Ciu Tang yang membuka pegadaian di dekat
losmen Liok-an" Ada apa pagi-pagi ke sini, dan siapakah Saudara ini?"
Biarpun kata-katanya ramah, namun mengandung ketinggian hati. Ciu Tang menengok dan berkedip kepada Bu
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Song, memberi isyarat supaya pemuda itu bangkit berdiri lalu memperkenalkan, "Begini, Kongcu. Keponakan hamba ini, Liu Bu Song, mengikuti ujian dan agaknya menarik perhatian
Suma-ongya maka kini dipanggil menghadap."
Terpaksa Bu Song mengangkat kedua tangan dan memberi
hormat selayaknya menurut kesopanan. Pemuda itupun hanya mengangguk, akan tetapi matanya memandang Bu Song
penuh perhatian. Ia melihat pemuda sederhana itu tubuhnya tinggi besar dan membayangkan tenaga kuat, namun sikapnya sederhana dan sewajarnya, sama sekali tidak memperlihatkan sikap congkak seperti biasa seorang terpelajar, juga tidak membayangkan sikap menjilat seperti orang-orang macam Ciu Tang. Diam-diam putera pangeran ini tertarik dan senang hatinya. Ia benci melihat pemuda-pemuda yang tinggi hati, akan tetapi lebih benci lagi melihat mereka yang suka
menjilat. Pemuda ini adalah putera Pangeran Suma Kong. Namanya
Suma Boan dan dia bukanlah seorang pemuda yang tidak
terkenal. Mungkin lebih terkenal daripada ayahnya, karena pemuda ini selain suka bergaul dengan rakyat, juga ia terkenal seorang pemuda yang pandai ilmu silat. Kesukaannya
memang mempelajari ilmu silat dan entah berapa banyaknya guru silat yang pernah mengajarnya dan juga pernah ia
robohkan. Setiap ia mendengar ada seorang guru silat baru, ia tentu mendatanginya dan mengajaknya pibu. Kalau ia kalah, dia memberi hadiah banyak dan minta diajar ilmu yang telah mengalahkannya, akan tetapi kalau guru silat itu kalah, jangan harap guru silat itu dapat membuka perguruannya. Wataknya peramah dan pandai bergaul, akan tetapi sayang sekali,
pemuda bangsawan ini pun seorang mata keranjang yang
suka mengganggu wanita cantik mengandalkan kedudukan
dan kepandaiannya. Akhir-akhir ini kepandaiannya melonjak cepat sekali. ia menemukan seorang guru yang benar-benar hebat, yaitu Pouw-kai-ong yang sudah kita kenal! Raja
Pengemis she Pouw itu menjadi guru Suma Boan sehingga
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
pemuda bangsawan ini memiliki ilmu silat tinggi dan ia bahkan di dunia kang-ouw mendapat julukan Lui-kong-sian (Dewa
Geledek), sebuah julukan yang diberikan orang untuk
mengangungkannya dengan maksud menjilat!
"Saudara Liu, apakah kau selain pandai bun juga pernah mempelajari silat?" dengan sikap seperti seorang kenalan lama Suma Boan bertanya, matanya mengincar tajam.
Bu Song menggeleng kepalanya. "Tidak pernah, Kongcu.
Seorang terpelajar yang tahu bahwa penggunaan kekerasan adalah tidak baik, untuk apa belajar silat" Saya tidak pernah mempelajarinya."
Suma Boan tersenyum mengejek dan pandangannya kini
merendahkan. "Memang jarang ada Bun-bu-coan-jai (pandai silat dan sastera) sekarang ini!" Ia berjalan keluar lalu berhenti dekat sebuah arca singa barong. "Kalian lihat, apakah kepandaian seperti ini tidak ada gunanya?" Tangannya menangkap leher arca itu dan sekali ia berseru, singa-singaan itu terlontar ke atas, lebih tiga meter tingginya, kemudian ia sambut lagi kini terletak di atas telapak tangannya! Lengan dan tubuhnya tergetar tanda bahwa ia mengerahkan
tenaganya, kemudian sekali ia menggerakkan tangan, arca itu terlempar ke depan dan roboh terguling di atas tanah.
"Hebat... sungguh luar biasa kekuatan Suma-kongcu...!" Ciu Tang bersorak, bukan hanya terdorong sikapnya suka
merendah dan menjilat, akan tetapi betul-betul ia kagum.
Singa-singaan dari batu sebesar itu tentulah amat berat.
"Bagaimana, Saudara Liu?" Suma Boan bertanya, tidak pedulikan pujian Ciu Tang.
"Tenaga Suma-kongcu benar-benar luar biasa. Saya kagum sekali."
Agaknya putera bagsawan itu cukup merasa puas
mendengar ini. Bu Song memang seorang pemuda yang
pandai membawa diri. Tanpa menjilat pun ia sanggup untuk
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
menyesuaikan diri dan menyenangkan hati orang lain. Suma Boan lalu berteriak memanggil beberapa orang penjaga yang menjaga di gerbang pintu luar. Empat orang penjaga berlarian datang, siap menangkap atau memukul siapa saja atas
perintah putera majikan mereka. Akan tetapi kali ini tidak ada pekerjaan pukul-memukul bagi mereka.
"Kalian angkat singa-singaan ini dan kembalikan di tempatnya semula!" kata Suma Boan, kemudian sambil menepuk-nepuk telapak tangan menghilangkan debu ia
melangkah lebar memasuki taman di samping istana dan
lenyap ke dalam pintu berbentuk bulan.
Empat orang penjaga itu saling pandang. "Bagaimana bisa pindah ke sini?" Seorang diantara mereka mengomel.
Ciu Tang tertawa dan memberi keterangan. "Baru saja Suma-kongcu mempermainkannya dan melontarkan ke atas
seperti sebuah singa kertas saja."
Empat orang itu menggoyang-goyang kepala dan seorang
di antara mereka mengomel perlahan, "Ah, kenapa tidak dikembalikan sekalian ke tempat semula?" Biarpun mengomel, mereka lalu menghampiri singa-singaan batu itu dan berempat mereka mengerahkan tenaga. Singa barong dari batu hanya bergoyang-goyang saja, akan tetapi tidak dapat terangkat oleh mereka!
Ciu Tang meleletkan lidahnya saking kagum. "Empat orang tak mampu mengangkatnya, tapi Suma-kongcu dapat
memainkannya dengan sebelah tangan. Benar-benar seperti dewa!"
"Apa anehnya" Beliau memang Lui-kong-sian, tentu saja kami berempat tidak boleh dibandingkan dengan sebelah
lengannya! Hayo kita mencari beberapa orang kawan lagi
untuk membantu!" Empat orang itu lalu berlarian keluar.
"Hebat...!" Ciu Tang lalu memasuki kembali ruangan tamu.
Akan tetapi Bu Song sejenak memandang singa-singaan batu.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Baginya sukar untuk dipercaya bahwa sebuah benda yang
tidak kuat diangkat empat orang, dapat dimainkan dengan sebuah tangan saja. Memang ia sudah terlalu sering
menyaksikan kesaktian-kesaktian tinggi seperti gurunya dan juga orang-orang seperti Kong Lo Sengjin. Dibandingkan
dengan kesaktian yang diperlihatkan gurunya, permainan
Suma-kongcu itu hanyalah permainan kanak-kanak. Akan
tetapi ia tidak percaya kalau kongcu itu benar-benar
sedemikian kuatnya. Dengan hati ingin tahu ia lalu
menghampiri singa-singaan batu itu, mengulurkan tangan
kanan menangkap leher singa-singaan batu lalu menggerakkan tangan sambil mengerahkan tenaga. Singa
barong batu itu tergeser dan terlempar sejauh dua meter!
Bu Song tersenyum, lalu ia mengikuti C iu Toan masuk ke dalam ruangan tamu. Ternyata empat orang penjaga tadi
hanya main-main, mungkin untuk menyenangkan hati Sumakongcu, pikirnya. Kalau para penjaga itu mau, jangankan empat orang, satu orang tentu sanggup mengembalikan
singa-singaan itu di tempat asalnya. Bu Song sama sekali tidak tahu bahwa di dalam dirinya terdapat tenaga yang luar biasa pula, tenaga yang terhimpun oleh latihan-latihan samadhi dan pernapasan. Akan tetapi ia tidak tahu akan hal ini dan tidak pandai mempergunakan tenaga sakti yang terhimpun ini.
Hanya kadang-kadang secara kebetulan saja, seperti tadi tenaga sakti itu memperlihatkan diri tanpa ia sengaja. Ketika ia tadi mengerahkan tenaga, secara kebetulan saja jalan darahnya terbuka sehingga tenaga sakti dapat menerobos
dalam lengannya, maka mudah saja baginya untuk melemparkan singa-singaan itu. Andaikata tidak secara
kebetulan tenaga sakti itu dapat menerobos ke dalam
lengannya, tentu ia tidak akan mampu menggerakkan singa-singaan batu yang beratnya lebih dari limar ratus kati itu!
Pada saat itu, seorang pelayan mucul dan mereka dipanggil menghadap ke ruangan samping di mana Pangeran Suma
Kong akan menerima mereka. Mereka mengikuti si pelayan
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
dengan hati berdebar. Masih terdengar oleh Bu Song teriakan-teriakan kaget dan di luar, "Eh, kenapa singa-singaan ini sudah pindah lagi lebih jauh" Tadi tidak di sini!" Ia tersenyum menganggap para penjaga yang kini datang delapan orang itu seperti badut-badut yang melawak untuk menyenangkan hati majikan, atau seperti anjing yang merunduk-runduk dan
menggoyang-goyang ekor di depan majikan.
Menghadapi seorang pembesar yang berpakaian serba
indah dan bermuka keren, Bu Song bersikap hormat. Di antara pelajaran-pelajaran dalam kitab, orang harus menghormat pembesar dan ini merupakan kewajiban seorang bijaksana.
Pembesar mewakili pemerintah, maka harus dihormati
selayaknya. Maka ia pun ikut berlutut ketika melihat Ciu Tang menjatuhkan diri berlutut ketika pembesar itu mucul di kuti oleh dua orang pengawal.
Agaknya Pangeran Suma Kong juga senang hatinya melihat
Bu Song, maka ia lalu mengumumkan bahwa Bu Song
diterima bekerja membantunya, sebagai seorang yang
mengurus semua surat-surat, membuatkan surat-surat pengumuman, mencatatkan harta yang masuk dan keluar,
juga membantu pangeran itu mengurus perpustakaan negara yang menjadi salah satu tugas Pangeran Suma Kong.
Bu Song demikian menarik hati pangeran itu sehingga ia
malah diperintahkan tinggal di dalam istana, mendapatkan sebuah kamar di sebelah belakang, yaitu di bagian kamar-kamar pelayan dan pegawai. Bu Song menerima dengan
ucapan terima kasih, kemudian ia diperbolehkan mengantar pulang Ciu Tang yang menjadi girang bukan main.
Demikianlah, mulai saat itu Bu Song menjadi pegawai
Pangeran Suma Kong. Ia bekerja dengan giat dan rajin
sehingga Pangeran Suma Kong merasa suka kepadanya.
Setelah pemuda ini membantunya, segala pembukuan dan
catatan beres, bahkan ia mulai mendapat pujian dari rekan-rekannya tentang kerapian surat-surat yang terkirim dari
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Pangeran Suma. Selain rajin, juga Bu Song pandai membawa diri, ke atas tidak menjilat, ke bawah tidak menekan. Semua pelayan suka belaka kepadanya, bahkan Suma-kongcu yang
terkenal galak itupun suka kepada Bu Song dan seringkali di waktu malam kalau Bu Song menganggur, Suma Boan suka
mengajaknya mengobrol di taman, bermain catur atau
membuat syair. Dalam dua hal ini, Suma Boan boleh berguru kepada Bu Song, akan tetapi Bu Song selalu bersikap
merendah, dalam bermain catur sengaja membuat permainan menjadi seru dan banyak ia mengalah. Hal ini ia lakukan bukan sekali-kali untuk menjilat, melainkan untuk mencegah putera majikan itu menjadi tak senang hati.
Agaknya masa depan Bu Song sudah dapat dipastikan baik
dan sesuai dengan cita-cita gurunya kalau saja tidak terjadi beberapa hal yang tak terduga-duga. Setelah hampir dua
tahun Bu Song bekerja di situ, dengan hati kecut ia mendapat kenyataan betapa pangeran itu seorang yang amat korup.
Mengumpulkan harta kekayaan untuk diri sendiri dengan cara yang amat tercela. Tidak hanya dengan cara menerima
sogokan dalam ujian, namun ia masih menggelapkan uang
yang seharusnya masuk ke istana raja. Belum lagi sogokan-sogokan dari para pembesar rendahan jika menghendaki
sesuatu yang memerlukan kewibawaan dan kekuasaan
Pangeran Suma. Ini semua masih ditambah pajak-pajak paksa dipungut dari petani-petani di luar kota raja, yaitu mereka yang mengerjakan sawah pangeran itu yang luasnya sukar
diukur! Malam itu terang bulan. Bulan purnama terapung di langit biru yang bersih dari awan. Indah sekali sinar menyinari jagad, dan lebih indah lagi di taman bunga di istana Pangeran Suma Kong. Suasana seperti ini amat romantis dan tentu akan
mendatangkan rasa gembira dalam hati semua orang,
terutama orang muda. Akan tetapi tidak demikian dengan Bu Song. Semenjak tadi ia duduk termenung di dalam taman
bunga yang sunyi. Di sudut taman itu, di bagian yang sunyi
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
dan jauh. Terdapat sebuah pondok yang disebut Pondok
Merah karena dicat merah. Sebuah pondok kecil di bawah
lambaian daun-daun pohon berbunga. Ia termenung dengan
hati duka. Ia mulai merasa bosan dengan kehidupan di istana Pangeran Suma. Apalagi kalau ia ingat akan semua keadaan di situ, akan sifat dari majikan yang amat korup. Tak dapat disangkal bahwa ia amat disayang oleh majikannya, disayang sebagai seorang pegawai yang cakap, disuka oleh para
pelayan sebagai seorang teman kerja yang rendah hati dan peramah. Akan tetapi keadaan itu sungguh berlawanan
dengan hatinya. Biarpun bukan dia yang makan semua uang tidak halal itu, akan tetapi ia merasa seakan-akan membantu orang berbuat jahat. Andaikata Pangeran Suma seorang
perampok atau maling, maka dialah menjadi anak buah atau kaki tangannya! Alangkah rendahnya! Dan semua itu ia
lakukan hanya untuk makan enak dan pakaian bagus" Atau
untuk hari depan yang gemilang"
Dalam duka Bu Song teringat kepada Eng Eng. Tak terasa
lagi dua butir air mata menitik turun dari sepasang matanya yang terasa panas. Kalau Eng Eng tidak mati, tentu ia pulang kepada Eng Eng. Lebih baik hidup sebagai petani di gunung di samping Eng Eng tersayang. Dan kenangannya berlarut-larut sehingga ia lupa keadaan. Diambilnya sebuah suling yang belum lama ini dibuatnya, suling bambu yang jarang ia tiup.
Karena malam itu sudah larut dan suasana di istana pangeran sudah amat sunyi, ia mulai meniup sulingnya.
Getaran suara suling keluar dari getaran hatinya. Teringat ia akan Eng Eng,maka otomatis ia lalu meniup suling itu mainkan lagu kesukaan Eng Eng. Lagu yang iramanya
merayu-rayu kalbu. Lagu tentang keluh-kesah dan tangis
setangkai kembang yang kekeringan, mengeluh dan meratap menanti datangnya hujan yang tak kunjung tiba, menanti
tetesnya air embun yang akan memberi air kehidupan
padanya. Berkali-kali lagu ini ia mainkan dan suasana malam indah itu berubah mengharukan. Suara jengkerik di bawah


Suling Mas Seri Bukeksiansu 02 Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
rumput dan katak di empang seketika berhenti, seakan-akan mereka ini pun terpesona oleh suara suling yang merayu-rayu.
Bulan purnama seakan-akan bergoyang-goyang di angkasa,
seakan-akan ikut merana dan rindu kekasih, mencari dan
mulai bergerak mengejar kekasihnya yang tak kunjug tiba, kadang-kadang menangis menyembunyikan muka di balik
segumpal awan hitam. Sambil bersuling itu Bu Song menatap bulan yang bergerak di antara awan, dan menjelang berakhirnya lagu, ia
mendengar suara berkeresek di depan, maka ia mengalihkan pandang ke depan. Suara sulingnya perlahan-lahan melambat dan akhirnya terhenti, matanya bengong memandang ke
depan, serasa mimpi. Mimpikah dia" Ataukah benar-benar Eng Eng yang datang itu, turun melalui sinar bulan purnama, berpakaian seperti seorang dewi kahyangan" Wanita yang kini melangkah demikian ringan, demikian lembut seakan-akan
tidak menginjak tanah, seakan-akan melayang dibawa sinar bulan mendekatinya, memiliki wajah lembut seperti Eng Eng.
Matanya yang lebar bersinar lembut, hidungnya yang kecil mancung di atas mulut yang kecil mungil, muka yang manis dengan dagu meruncing. Itulah wajah Eng Eng! Akan tetapi pakaian itu! begitu indah, begitu mewah. Hanya seorang dewi kahyangan saja berpakaian seperti itu. atau seorang puteri istana. Lihat rambutnya! Alangkah indahnya sanggul rambut itu. dihias dengan hiasan rambut emas permata yang
berkilauan terkena sinar bulan. Puteri istana!
Berdebar jantung Bu Song dan teringat akan ini cepatcepat ia bangkit berdiri. Tak salah lagi. Tentu dia itu puteri majikannya. Sudah hampir dua tahun dia bekerja di situ, dan sudah terlalu sering ia mendengar dari para pelayan bahwa Pangeran Suma Kong mempunyai dua orang anak. Yang
pertama adalah Suma Boan yang selama ini bersikap cukup baik
kepadanya, bahkan seperti menjadi sahabatnya sungguhpun di dalam hati ia tidak suka kepada pemuda
bangsawan itu karena ia cukup mendengar tentang sepakTiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
terjangnya yang memuakkan, yaitu mengganggu anak bini
orang! Adapun anak ke dua Pangeran Suma adalah seorang
gadis yang menurut para pelayan cantik seperti bidadari, terpelajar dan halus budi pekertinya, dihormati dan dikasihi semua pelayan, seorang gadis yang sopan santun dan
karenanya tak pernah melanggar peraturan dan belum pernah pula selama itu berjumpa dengan dia. Seorang gadis yang katanya bernama Suma Ceng. Agaknya tidak salah lagi. Inilah gadis itu! raut wajahnya memang mirip Eng Eng, akan tetapi Eng Eng sudah mati, tak mungkin hidup kembali.
Dengan langkah lemah gemulai, sikap tenang sekali dan
mata selalu tertuju kepada Bu Song, gadis itu kini menaiki tangga pondok dan menghampiri Bu Song yang sudah duduk
kembali dengan tubuh lemas dan dada berdebar. "Kau... yang bernama Liu Bu Song, pegawai ayah yang baru...?"
Suara itu! Merdu dan bening seperti suara Eng Eng pula!
Bu Song menjadi panik dan ia memaksa kedua kakinya yang lemas untuk berdiri lagi, menghadapi gadis itu lalu menjura dengan
hormat. Akan tetapi mulutnya tak mampu mengeluarkan kata-kata, hanya matanya yang menatap tajam.
Dua pasang mata bertemu pandang, saling mengikat dan
saling menjenguk isi hati masing-masing. Lama sekali mereka hanya berdiri berhadapan dan bengong saling pandang,
disaksikan dan ditertawai oleh bulan purnama yang geli
melihat kecanggungan kedua orang muda itu. Sinar bulan
purnama memang penuh racun asmara dan begitu pandang
mata kedua orang muda ini bersilang, bertautlah kedua hati mereka yang membuat keduanya berdebar jantungnya,
gemetar tubuhnya dan menggigil kakinya.
"Maaf... maafkan saya, Siocia (Nona)... memang betul saya Liu Bu Song seorang pegawai rendah biasa saja..."
Bagaikan baru sadar dari mimpi gadis itu tersenyum. Gigi putih tersinar bulan berkilat menyambar jantung Bu Song membuat pemuda ini sedetik memejamkan matanya, tak kuat
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
menyaksikan segala keindahan ini. Gadis itu memang benar Suma Ceng. Seperti juga Bu Song, sudah lama ia mendengar tentang diri Bu Song yang selalu dipuji-puji oleh para pelayan.
Dipuji ketampanannya, dipuji keramahan dan kelembutannya, dipuji kepandaiannya. Dan tadi, mendengar tiupan suling, membuat ia seperti mimpi turun dan keluar dari kamarnya, memasuki taman dan memaksa kedua kakinya melangkah ke
arah suara suling. Hikmat sang bulan dan sang malam indah membuat ia seperti mabok.
"Benar sekali cerita mereka...." "Apa maksud Siocia...?"
Akan tetapi Suma Ceng menoleh ke arah bulan sehingga
mukanya tersinar penuh, dan gadis ini berbisik seperti kepada bulan, "Benar sekali... sopan, halus, rendah hati..." "Maaf, Siocia. Bolehkah saya mengetahui..." "Aku adalah Suma Ceng atau... Ayah, Ibu dan Kakakku menyebutku Ceng Ceng begitu saja. Liu Bu Song Twako, hebat benar kepandaianmu
menyuling. Seperti lagu dari sorga..."
Akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang
berdiri di depannya adalah puteri majikannya, Bu Song sudah menjura dengan dalam dan berkata, "Kiranya Suma-siocia.
Maafkan kalau saya berlaku kurang hormat dan berani
mengganggu Siocia dengan suara sulingku yang buruk..."
"Ah, jangan terlalu merendah. Selama hidupku belum pernah aku mendengar suara suling seperti tadi. Twako,
maukah kau memainkan lagu tadi lagi untukku...?"
"Siocia..., mana saya berani..." Siocia, tidak pantas bagi saya berada di sini... saya... saya..."
"Tidak mengapa. Siapa yang akan menyalahkanmu" Aku yang datang karena tertarik oleh suara sulingmu. Liu-twako, lagu apakah yang kaumainkan tadi?"
"Lagu.... Setangkai Kembang Kekeringan..." "Ahhhh...!
Pantas begitu mengharukan. Twako, mengapa kau berduka
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
dan menyanyikan lagi seperti itu" Tadi aku sampai
meruntuhkan air mata mendengarnya..."
"Siocia..." Mereka kembali berpandangan dan keduanya tak dapat mengeluarkan kata-kata dan kembali dalam pandang
mata itu mereka seakan-akan sudah mengenal masingmasing. Seakan-akan dalam pandang mata itu mereka sudah mengikrarkan janji, saling bertukar hati, bertukar kasih. Suma Ceng menundukkan muka lebih dulu. Mukanya menjadi merah sekali, giginya yang kecil-kecil menggigit bibir bawah, ujung matanya yang tajam meruncing itu melempar kerling ke arah Bu Song,
lalu naik sedu-sedan setengah tawa dari
kerongkongannya dan gadis itu membalikkan tubuh, terus
berlari kecil meninggalkan pondok, berlari-lari cepat sekali kini dan sebentar saja lenyap di balik pintu bulan.
Bu Song bengong. Peristiwa tadi seperti mimpi. Ia
menjambak-jambak rambutnya dan diam-diam menyumpahi
hatinya. Mengapa hatinya begitu tertarik" Mengapa hatinya begitu penuh cinta birahi" Gadis itu adalah puteri majikannya!
Dan dia hanyalah seorang juru tulis, seorang pegawai biasa!
Dan gadis itu selain cantik jelita, puteri bangsawan yang kaya raya, pandai, dan juga melihat caranya berlari cepat itu tentulah seorang gadis yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi! Seperti seekor kumbang merindukan bulan! Dengan langkah lemas Bu Song lalu menyeret kedua kakinya, kembali ke kamarnya yang berada jauh dari pondok kecil taman bunga itu. Semalam suntuk ia tidak dapat tidur, gelisah dan resah, rindu dan risau sehingga pada keesokan harinya ia bekerja dengan muka pucat dan baru pada hari itu ia merasa betapa pekerjaannya berat dan tidak lancar.
Semenjak terjadi pertemuan di malam itu, dua orang muda itu merasa tersiksa hidupnya. Bu Song mengerahkan kekuatan batinnya dan menonjolkan akal sehatnya, memaksa hati
mengakui bahwa tak mungkin dia mencinta seorang gadis
seperti Suma Ceng. Persamaan wajah gadis itu dengan Eng
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Eng sama sekali bukanlah alasan untuk ia membuta.
Kenyataan memisahkan mereka jauh, sejauh bumi dan langit.
Suma Ceng adalah puteri seorang pembesar tinggi yang
tinggal dalam istana, berkedudukan tinggi dan seorang
bangsawan terhormat, masih keluarga raja! Dan dia" Dahulu memang ayahnya jenderal. Akan tetapi sekarang" Dia hanya seorang yang hidup sebatang kara, seorang pelajar yang tidak lulus, seorang yang menerima budi Pangeran Suma Kong
seperti seorang pengemis kelaparan menerima sumbangan
seorang kaya. Seorang pegawai rendahan, seorang pegawai biasa. Tidak mungkin terjadi! Andaikata gadis bangsawan itu tertarik oleh suara sulingnya, tak mungkin sudi merendahkan diri bergaul dengan seorang pegawai rendah seperti dia.
Belum lagi kalau ketahuan Sang Pangeran, tentu dia akan dihukum berat.
Juga Suma Ceng semalam itu dan malam-malam
berikutnya tak dapat tidur nyenyak. Wajah pemuda bersuling itu terbayang terus, suaranya yang halus dan sopan itu
mengiang terus di telinganya, sepasang mata lebar tajam yang terhias alis berbentuk golok itu seakan-akan terus membayanginya. Namun gadis ini pun mengerti bahwa tak
mungkin ia dapat membiarkan dirinya bergaul dengan seorang pegawai ayahnya! Tak mungkin berjodoh dengan seorang
pekerja biasa. Ayahnya tentu akan marah sekali, juga
kakaknya. Kadang-kadang Suma Ceng menangis kalau
teringat akan hal ini, kalau teringat betapa kelak ia tentu akan dijodohkan dengan seorang laki-laki bangsawan yang belum tentu dicintanya, bahkan yang mungkin dibencinya.
Namun, cinta adalah perasaan yang aneh, yang amat besar pengaruh dan kekuasaannya. Cinta kasih mengalahkan segala macam perasaan lain, bahkan mengalahkan akal budi dan
kesadaran, membuat orang seakan menjadi buta dan nekat, siap untuk menyerbu lautan api. Cinta merupakan api yang menyala indah, menari-nari dan meliuk-liuk menimbulkan
warna yang cerah dan indah, membelai-belai dan melambaiTiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
lambaikan tangan kepada orang-orang yang sudah terkena
hikmatnya sehingga mereka itu melangkahkan kaki makin
mendekati tanpa menyadari bahwa bahaya mengancam
mereka. Baru akan terbuka mata mereka, baru akan sadar
pesona mereka, setelah terlambat dan hanya penyesalan yang tinggal, penyesalan dan luka hangus terbakar.
Akan tetapi, seperti juga api, cinta dapat mendatangkan kesenangan
dan kebahagiaan hidup, mendatangkan kehangatan dan mendorong semangat, menimbulkan keindahan dan kenikmatan hidup. Asal orang pandai
menggunakannya. Asal orang dapat menguasainya. Cinta itu indah. Cinta itu nikmat. Cinta itu anugerah. Bagi mereka yang dapat
menguasainya. Akan tetapi cinta itu pangkal
malapetaka. Cinta itu pangkal sengsara dan pangkal derita.
Bagi mereka yang mabok dan lemah, yang menjadi permainan cinta. Cinta antara pria dan wanita memang memiliki dua sifat yang bertentangan seperti juga segala benda di dunia ini.
Namun manusia tetap lebih kuat, asal pandai membawa diri, pandai dan kuat menguasai nafsu liar ganas seperti kuda hutan. Bahagialah orang muda yang pandai menguasainya,
sebaliknya kasihanlah mereka yang menjadi permainannya.
Asal ingat saja bahwa CINTA KASIH dan NAFSU BIRAHI
adalah dua sifat yang jauh berbeda akan tetapi bermuka
kembar! Bermuka sama sehingga sukar bagi orang muda
untuk memperbedakannya. Karena keliru mengenal inilah
yang suka membawa malapetaka. Nafsu birahi disangka cinta, maka terseretlah ia ke jurang kehancuran.
Demikianlah pula dengan Bu Song dan Suma Ceng.
Keduanya mabok oleh gelora cinta sehingga semua pengertian tentang perbedaan tempat mereka, pengertian tentang tidak adanya kemungkinan bagi mereka untuk berjodoh, hancur
lebur dan terlupa sama sekali. Hanya tujuh hari mereka dapat bertahan. Malam ke delapan, lewat tengah malam, Bu Song tak dapat menahan dirinya dan ia sudah berada di dalam
pondok kecil di ujung taman, meniup sulingnya.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Seakan-akan suara suling itu dapat menembusi kamarnya
yang amat rapat, Suma Ceng yang juga tidak dapat menahan dirinya lagi sudah menyelinap keluar dan berlari-lari memasuki taman, terus menuju ke ujung taman, ke pondok dari mana kini terdengar jelas alunan suara suling. Terengah-engah, bukan karena lari tadi melainkan karena debar jantung yang menggelora, Suma Ceng tiba di depan pondok. Suara suling terhenti karena Bu Song sudah mendengar kedatangannya.
Pemuda itu berlari keluar, mereka berhadapan dan seperti tak kuat menghadapi daya tarik besi sembrani yang memancar
dari keduanya, mereka saling tubruk dan saling rangkul!
"Aku tahu kau akan datang..." "Aku pun tahu kau menanti di sini..."
Hanya itu ucapan mereka sebagai pengganti pernyatan
bahwa masing-masing tahu hati masing-masing, tahu bahwa mereka saling mencinta. Sambil bergandeng tangan mereka memasuki pondok merah, duduk di atas bangku di mana tadi Bu Song termenung dan menyuling.
Bu Song merasa seakan-akan Eng Eng hidup kembali. Ia
takut akan kehilangan lagi, seperti seorang kanak-kanak pernah kehilangan benda mainan tersayang kini takut kalau yang telah ketemu akan hilang lagi, didekapnya erat-erat.
Suma Ceng sebaliknya juga masih sadar bahwa sekali waktu ia akan kehilangan pemuda yang telah merampas hatinya ini, pemuda yang sudah merenggut kasih sayangnya. Kesadaran
inilah yang membuat gadis itu nekat, menyerahkan diri
dengan tulus ikhlas kepada pemuda yang takkan mungkin
menjadi miliknya ini. Keduanya mabok lupa, dan tanpa mereka sadari mereka menyerahkan diri kepada nafsu berahi. Nafsu birahi seperti pusingan air yang amat kuat. Sekali orang terseret, akan dibawa berpusing dan tenggelam, makin lama makin dalam dan takkan timbul kembali, sebelum... mati!
Hanya bulan dan kadang-kadang malam gelap sunyi yang
mengetahui. Hanya pondok merah di ujung taman menjadi
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
saksi bisu akan pertemuan-pertemuan dua orang muda yang mabok nafsu dibuai gelora cinta kasih. Nafsu saudara loba, dituruti makin menjadi, diberi sedikit ingin banyak, di kuti sehasta ingin sedepa. Pertemuan dan hubungan dilanjutkan.
Mesra. Akhirnya tiba saatnya yang membuktikan bahwa segala
sesuatu di dunia ini tidaklah kekal adanya. Bahwa kesenangan di dunia ini tiada lain hanyalah keindahan-keindahan yang dibentuk sekelompok awan di angkasa raya. Sewaktu-waktu akan buyar kehilangan bentuk oleh tiupan angin. Bahkan
banyak kalanya buyar dan berubah menjadi awan menghitam yang buruk menakutkan!
Malam itulah terjadinya. Malam yang takkan terlupa oleh Bu Song maupun oleh Suma Ceng. Malam yang gelap tiada
bulan tiada bintang, atau lebih tepat, malam yang terselimut awan. Malam yang dingin. Namun di dalam pondok merah itu yang ada hanyalah terang dalam dua hati yang berpadu kasih, yang ada hanyalah panas dalam dua tubuh yang dicekam
nafsu birahi! Sesosok bayangan berkelebat di depa pondok. Gerakannya
cepat dan gesit sekali. bayangan itu mendekam di ujung
pondok, menanti. Seperti biasa, Bu Song menggandeng
tangan kekasihnya dan berdua mereka bergandengan tangan menuju ke pintu bulan. Sampai di situlah Bu Song megantar kekasihnya. Kemudian sejenak saling rangkul, saling cium sebagai salam perpisahan malam itu.
Tiba-tiba bayangan yang sejak tadi mengikuti mereka,
meloncat dan memukul muka Bu Song. Bu Song terhuyung
dan roboh. Suma Ceng menjerit tertahan Suma Boan sudah
berdiri di depan mereka dengan mata melotot!
"Lekas kembali ke kamarmu!" bentak Suma Boan kepada adiknya yang berlari sambil terisak menangis.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Bu Song merangkak bangun, akan tetapi ia roboh kembali
ketika kaki Suma Boan menendang dadanya. Kemudian putera pangeran itu mencengkeram rambutnya dan menyeretnya ke
belakang istana, seperti seorang jagal menyeret seekor domba dibawa ke penjagalan.
"Bedebah! Anjing tak kenal budi!" Suma Boan memaki bekas sahabatnya.
Bu Song diam saja. Pikirannya mengakui kesalahannya,
akan tetapi hatinya memberontak. Hatinya tidak mau
mengakui salah. Ia dan Ceng Ceng saling mencinta. Apa
salahnya" Di belakang istana, Suma Boan memanggil seorang
pengawal. Ia mendorong tubuh Bu Song sampai terkapar di atas tanah. "Ikat dia pada pohon itu!" perintahnya.
Pelayan itu menyeringai. Ia mengenal Bu Song dan ia tidak tahu mengapa majikannya marah-marah kepada pegawai
muda ini. Akan tetapi Bu Song bukanlah sahabat para
pengawal. Pengawal-pengawal adalah orang-orang yang
mengutamakan kekerasan dan kekuatan. Seorang pemuda
lemah tukang pegang pena dan kertas tentu saja bukan
golongan mereka dan mereka menganggapnya rendah.
Dengan kasar ia menarik lengan Bu Song, menelikungnya ke belakang lalu medorong pemuda itu ke arah pohon. Kemudian mengikat kedua tangan Bu Song ke belakang pohon itu
dengan sehelai tambang yang besar dan kuat. Hampir patah rasanya tulang lengan Bu Song. Ia merasa betapa sambungan tulang pundaknya sakit-sakit dan hampir terlepas. Namun sedikit pun tidak pernah terdengar keluhan dari mulutnya. Dia seorang pemuda yang tahan derita, daya tahannya luar biasa berkat gemblengan yang tak diketahuinya sendiri dari
suhunya, Kim-mo Taisu. "Hayo, sekarang kau mau bicara apa" Keparat kurang ajar!" Suma Boan melangkah maju dan "plak-plak-plak!"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
kedua pipi Bu Song ditampar sekerasnya sampai kepala Bu Song bergoyang-goyang ke kanan kiri.
"Suma-kongcu, bicara apa lagi" Aku dan dia saling
mencinta, kalau itu kau anggap bersalah, bunuhlah, aku tidak takut mati."
"Setan...!" Suma Boan marah sekali, tangan kanannya memukul dada dan tangan kiri menghantam ke arah perut. Bu Song maklum akan hebatnya pukulan yang melayang datang.
Ia tidak takut mati, akan tetapi ngeri juga membayangkan rasa nyeri dipukul maka otomatis hawa sakti di tubuhnya berkumpul ke arah dada dan perut.
"Dukk! Duukk!" Dua pukulan hebat itu tentu akan menghabiskan nyawa orang. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya hati Suma Boan ketika pukulannya bertemu dengan kulit yang keras sehingga pukulan-pukulan itu membalik.
Namun Bu Song menjadi sesak napasnya dan terengah-engah.
"Jaga dia di sini sampai pagi, kalau banyak cakap boleh pukul mukanya tapi jangan dibunuh!" akhirnya Suma Boan meludahi muka Bu Song dan pergi dari tempat itu. Pengawal itu tertawa ha-ha-hi-hi lalu duduk bersandar batu karang hiasan di belakang istana.
Kiranya Suma Boan melaporkan kepada ayahnya tentang
peristiwa semalam. Tentu saja Pangeran Suma Kong menjadi kaget bukan main dan marah sekali. "Keparat, anak setan tidak mengenal budi orang! Bunuh saja dia! Siksa biar tahu rasa!" Kemudian pangeran ini melangkah lebar menuju ke kamar anaknya, Suma Ceng.
Waktu itu matahari telah bersinar terang. Suma Boan
menuju ke belakang istana dan makin gemas hatinya melihat Bu Song terikat di pohon itu. Alangkah tenang wajah pemuda itu, pikirnya. Sedikitpun tidak memperlihatkan ketakutan. Si Pengawal cepat bangkit berdiri ketika melihat majikannya muncul.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"A Piauw, urusan dengan bedebah ini adalah urusan antara dia dan aku. Hanya engkau yang menjadi saksi. Tak perlu kaubicarakan dengan orang lain. Kalau ada yang tanya, bilang saja bahwa kau tidak tahu. Mengerti?" "Baik, Kongcu."
Bu Song mengangkat mukanya memandang Suma Boan,
lalu berkata, "Suma-kongcu, kau benar, urusan ini adalah urusan antara engkau dan aku. Seperti kukatakan malam tadi, kalau kau menganggap aku telah melakukan sesuatu yang
salah dan kau akan menghukumku, lakukanlah. Aku bersedia kaubunuh, akan tetapi jangan kaupersalahkan dia."
"Tutup mulut!" bentak Suma Boan yang mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari saku bajunya. "A Piauw, kau ambil secawan arak!"
Pengawal itu tadinya bingung. Untuk menghukum seorang
lawan, mengapa harus mengambil secawan arak" Akan tetapi ia tidak berani membantah, berlari cepat meninggalkan tempat itu dan kembali lagi membawa sebuah cawan yang terisi arak setengah lebih.
Suma Boan membuka bungkusannya,
menuangkan sedikit bubuk hitam ke dalam cawan. Arak yang tadinya berwarna merah itu lalu berubah menjadi hitam dan mengeluarkan uap! Tahulah Si Pengawal bahwa arak itu diberi racun. Ia menyeringai heran. Untuk membunuh lawan,
mengapa tidak sekali pukul atau bacok saja dengan senjata"
Mengapa harus menggunakan arak beracun"
"Bu Song, alangkah inginku menggunakan tanganku sendiri untuk memukulimu sampai pecah kepala dan dadamu, atau
menggunakan sebatang golok mencincang hancur tubuhmu.
Akan tetapi mengingat bahwa engkau pernah melayani aku, pernah menjadi seorang yang kuanggap orangku dan
sahabatku, biarlah kau menebus dosamu dengan minum
racun. Akan tetapi jangan kira bahwa kau akan cepat terbebas dari racun ini. Tidak! Racun ini akan menggerogoti ususmu sedikit demi sedikit, dan kau akan mati dalam keadaan
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
menderita, biar kau mendapat kesempatan untuk menyesali dosa-dosamu! A Piauw, minumkan arak itu padanya!"
A Piauw yang ingin menyenangkan hati majikannya,
mengejek, "Heh-heh, orang muda. Silakan minum anggur pengantin..."
"A Piauw tutup mulutmu! Apa kau minta kupecahkan
kepalamu!" A Piauw kaget sekali, tidak mengerti mengapa majikannya begitu marah. Adapun Bu Song tersenyum pahit mendengar ejekan itu, ejekan yang amat tepat. Ia tidak
minum anggur pengantin bersama Suma Ceng, melainkan
minum arak beracun untuk menemui maut! Ia menengadah
dan membuka mulutnya. Akan tetapi A Piauw yang
mendongkol oleh bentakan majikannya, menjambak rambut
Bu Song dengan tangan kiri, menarik kepala itu ke belakang, lalu dengan tangan kanan ia menuangkan arak beracun itu ke dalam mulut Bu Song.
Bu Song merasa kerongkongannya seperti dibakar dan
kepalanya pening karena bau arak itu menyengat hidung.
Akan tetapi tanpa takut ia menelan arak itu ke dalam
perutnya. Kemudian dengan menundukkan mukanya ia
menanti datangnya rasa nyeri yang akan mengerogoti ususnya seperti yang dikatakan Suma Boan tadi. Aneh, sama sekali tidak ada rasa nyeri itu sungguhpun di dalam perutnya mulai bergerak-gerak seperti banyak hawa di situ dan terdengar suara tiada hentinya seperti air mendidih.
Suma Boan yang merasa amat benci mengingat perbuatan
Bu Song dengan adiknya, menanti pemuda itu menderita nyeri yang luar biasa. Akan tetapi ia heran. Bu Song sama sekali tidak mengeluh, sama sekali tidak menahan nyeri yang hebat, bahkan kelihatan tenang-tenang saja. Pangkal lengannya yang di telikung ke belakang dan semalam terasa nyeri seakan-akan terlepas sambungannya, kini malah sudah membaal dan tidak terasa apa-apa lagi. Suma Boan menanti sampai lama, sampai matahari naik tinggi dan Bu Song kelihatan lemah oleh lelah,
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
lapar dan haus. Namun sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa racun itu bekerja dan mengamuk di dalam perut Bu
Song. Suma Boan merasa penasaran dan menyuruh
pembantunya menelanjangi tubuh atas Bu Song agar pemuda itu tersiksa oleh terik panas matahari. Memang niatnya ini berhasil dan Bu Song menggeliat-geliat disengat sinar
matahari. Namun pemuda itu tetap saja membungkam, tak
pernah mengeluh, tak pernah minta ampun dan tidak pernah minta minum.
Menurut perhitungan Suma Boan, orang yang minum racun
tadi, tentu umurnya takkan lewat setengah hari. Namun
sampai matahari condong ke barat. Bu Song masih segar
bugar biarpun amat menderita. Hal ini membuat Suma Boan menjadi penasaran dan marah sekali. Ia mengeluarkan
sebatang cambuk dan mulailah ia mencambuki tubuh atas
yang tak berbaju itu. Dada, leher, dan muka Bu Song sampai penuh jalur-jalur merah dan biru dan darah mulai bercucuran keluar. Namun tetap saja Suma Boan sendiri yang kehabisan tenaga saking lelahnya. Ia telah mencambuki sampai seratus kali dan kini Bu Song tampak menggantung pada pohon itu, agaknya pingsan.


Suling Mas Seri Bukeksiansu 02 Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kaujaga dia malam ini. Hendak kulihat apakah besok pagi dia masih dapat bertahan hidup. Kalau malam nanti dia
mampus, tetap jaga dia. Besok pagi bawa pergi mayatnya,"
kata Suma Boan kepada pembantunya.
Setelah melepaskan pandang untuk terakhir kalinya dengan senyum mengejek, Suma Boan lalu memasuki istana ayahnya.
Kebetulan sekali seorang pengawal mencarinya karena
ayahnya memanggil. Setelah ayah dan anak ini bertemu,
mereka berunding. "Aku sudah matangkan perjodohan adikmu dengan Perwira Muda Kiang. Sekarang baiknya perjodohan itu dipercepat.
Besok kau pergilah kepada keluarga Kiang dan menyampaikan surat desakanku agar pernikahan dapat dilangsungkan dalam
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
bulan ini atau selambatnya bulan depan. Aahhh, sungguh
menggelisahkan hati benar anak perempuan itu! Kalau tidak ingat bahwa hanya dia seorang anakku perempuan, lebih baik melihat dia mati di depanku!"
"Ayah, sudah ada jalan terbaik mengapa berpikir demikian"
Moi-moi masih terlalu muda dan harus diakui bahwa Bu Song memang tampan dan sikapnya menarik hati. Yang berdosa
besar adalah Bu Song. Tentu dia yang memikat Moi-moi
sehingga terjerumus...."
"Bagaimana dia" Bagaimana keparat jahanam itu" sudah kaubikin mampus?" Suma Boan mengangguk. "Malam nanti tentu dia mati. Aku membiarkan dia mati dalam keadaan
menderita untuk menebus dosanya!"
Malam itu gelap gulita. Apalagi di bagian belakang istana, karena malam itu semua pelayan atau pengawal dilarang
memasuki kebun itu. Keluarga Suma tentu saja ingin
menyimpan peristiwa itu, tidak ingin membiarkan orang luar tahu akan hubungan yang terjadi antara puteri Suma dengan seorang pegawai rendahan!
A Piauw si pengawal itu makan dan minum arak di bawah
pohon. Ia dikirim oleh seorang pengawal lain atas perintah Suma Boan. Sambil minum arak A Piauw memandang ke arah
tubuh yang masih lemas tergantung pada batang pohon.
Diam-diam ia merasa amat kagum pada pemuda lemah itu.
Seorang pemuda sastrawan yang tentu saja bertubuh lemah, akan tetapi sedikit pun tidak mengeluarkan rintihan atau keluhan, padahal ia telah diberi minum racun yang merusak usus dan dicambuki sampai seratus kali oleh Suma-kongcu yang terkenal mempunyai tangan yang kuat sekali! A Piauw menggeleng-geleng kepala. Kalau tidak melihat dengan mata kepala sendiri, tentu ia tidak akan sudi percaya. Mana ada seorang pemuda lemah dapat menahan segala derita tanpa
mengeluh satu kalipun"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Angin malam bertiup dan daun-daun pohon bergoyang. A
Piauw menarik leher bajunya ke atas. Entah mengapa, ia
merasa bergidik. Sudah matikah pemuda itu" Berpikir
demikian, ia bangkit berdiri dan menghampiri tubuh Bu Song.
Muka itu masih tunduk, akan tetapi ketika ia mendekat, Bu Song mengangkat muka. Sepasang matanya masih bersinar
tajam. A Piauw mundur lagi dan makin serem. Pemuda ini
bukan orang sembarangan, pikirnya. Bagaimana kalau sampai besok pagi belum mati" Ah, terserah Kongcu saja pikirnya.
Tugasnya hanya menjaga dan apa sukarnya menjaga seorang yang sudah setengah mati dan terikat pada pohon"
Kembali angin membuat daun-daun pohon bergoyang.
Akan tetapi pohon di mana Bu Song terikat, terlampau keras goyangnya. Keadaan amat gelap dan lampu gantung yang
berada di atas kepala A Piauw, tergantung pada batu karang.
A Piauw menjadi curiga dan mendekati Bu Song. Akan tetapi matanya terbelalak ketika melihat Bu Song sudah terlepas dari ikatan, dan seorang kakek merangkul pundaknya.
"Heee...! Apa... siapa..." Hanya sekian saja A Piauw mampu mengeluarkan kata-kata karena tubuhya seolah-olah menjadi lumpuh seketika dan ia roboh seperti kain basah jatuh dari sampiran. Ia tak mampu bergerak maupun mengeluarkan
suara, hanya matanya melotot menyaksikan betapa kakek itu berkelebat pergi sambil mengempit tubuh Bu Song.
Penolong Bu Song itu bukan lain adalah Kim-mo Taisu.
Kakek ini bermaksud mencari dan mengunjungi muridnya.
Siang tadi ia mendengar dari Ciu Tiang akan nasib baik Bu Song yang di terima menjadi pegawai Pangeran Suma Kong.
Diam-diam Kim-mo Taisu menjadi tidak senang hatinya. Ia sudah mendengar siapa adanya Pangeran Suma Kong,
seorang bangsawan tinggi tukang korup. Ia khawatir kalau-kalau Bu Song akan menjadi rusak setelah menjadi kaki
tangan pembesar koruptor itu. Maka sengaja malam itu ia pergi menyelidiki dan memasuki kompleks istana Pangeran
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Suma Kong melalui tembok belakang. Dan kebetulan sekali ia melihat betapa muridnya terikat pada pohon dengan tubuh bekas siksaan, maka ia cepat menolongnya dan membawanya pergi keluar dari tembok kebun istana.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Ciu Tang ketika
Kim-mo Taisu datang lagi membawa tubuh Bu Song yang
lemah dan masih pingsan. Cepat ia membantu dan setelah
tubuh pemuda itu dibaringkan, Kim-mo Taisu segera
memeriksanya. Lega hati kakek ini ketika mendapat kenyataan bahwa muridnya tidak menderita luka hebat, hanya luka di kulit saja. Akan tetapi melihat keadaannya, hatinya menjadi panas. Siksaan itu keterlaluan sekali dan kalau saja muridnya tidak memiliki hawa sakti dalam tubuh dan memiliki daya tahan yang luar biasa, tentu Bu Song sudah mati. Kakek ini sama sekali tidak tahu bahwa Bu Song malah telah diberi racun minum racun hebat yang untung sekali tidak
membunuhnya karena tubuh Bu Song sudah kebal setelah
pemuda ini menghabiskan obat sarang burung rajawali hitam.
Setelah diberi minum obat penguat, dalam waktu satu jam saja Bu Song sudah siuman. Ia membuka matanya dan
memang tadi ketika tertolong, ia dalam keadaan sadar. Cepat ia turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kim-mo Taisu yang menjaganya di situ. Kakek ini
memberi isyarat kepada Ciu Tang untuk keluar dari kamar, kemudian ia menutup daun pintu dan menyuruh muridnya
duduk kembali di pembaringan. "Ceritakan apa yang terjadi padamu," kata guru ini dengan pandang mata tajam.
Bu Song menjadi rikuh sekali, merasa malu dan tidak enak hati. Gurunya ini juga bekas calon mertuanya. Bagaimana hatinya akan merasa enak kalau bercerita bahwa dia
mengadakan hubungan dengan puteri Pangeran Suma,
ketahuan dan dihajar seperti itu" Bukankah gurunya akan menganggapnya seorang laki-laki hina dan rendah, bahkan mungkin dianggapnya dia seorang pemuda hidung belang
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
atau mata keranjang" Akan tetapi, untuk berbohong terhadap suhunya ia tidak mau, maka sambil menundukkan mukanya ia berkata.
"Suhu, murid selayaknya menerima kematian. Agaknya Suhu telah membuang tenaga sia-sia dengan menolong murid yang murtad dan berdosa. Teecu (murid) akan menceritakan segalanya secara terus terang dan andaikata Suhu menjadi marah dan lalu menghukum atau membunuh teecu, teecu
akan menerima dengan hati rela." Kemudian ia menceritakan semua pengalamannya, semenjak ia turun gunung pergi ke
kota raja, tentang pertemuannya dengan Kakek Kong Lo
Sengjin, tentang ujian dan kemungkinan tentang peristiwa antara dia dan Suma Ceng.
"Suhu, teecu telah berdosa. Teecu telah kehilangan kekuatan batin, tidak kuasa menghindarkan diri daripada perbudakan nafsu seperti yang diajarkan Suhu. Teecu tidak berdaya, bertemu dengan Suma Ceng membuat teecu ingat
kepada Eng Eng dan segala sesuatu tidak dapat teecu
hindarkan lagi. Teecu menerima salah dan terserah kepada hukuman Suhu." Bu Song menutup ceritanya sambil
menundukkan muka. Kim-mo Taisu mendengarkan semua penuturan muridnya
dengan termenung. Terbayanglah segala pengalamannya
dengan wanita. Dia pun banyak mengalami malapetaka dan
penderitaan karena cinta. Dalam cinta kasih, ia selalu
mengalami kegagalan dan kesialan! Mengapa hal yang buruk itu agaknya menurun kepada muridnya" Akan tetapi, ada hal yang membuat ia penasaran dan marah sekali ketika
mendengar cerita muridnya. Yaitu tentang Kong Lo Sengjin tentang percakapan antara Kong Lo Sengjin dan tokoh-tokoh Hui-to-pang. Kiranya yang menyuruh bunuh isterinya adalah Kong Lo Sengjin, paman isterinya sendiri! Kiranya pamannya yang terlalu besar nafsunya akan kedudukan dan kemuliaan dunia itu telah sengaja membangkitkan amarah dalam hatinya
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
dengan jalan menyuruh bunuh isterinya dan melakukan fitnah bahwa yang menyuruh bunuh adalah musuh-musuhnya!
"Bu Song, setelah engkau mengalami banyak penghinaan dari orang-orang yang memiliki kepandaian silat, apakah engkau masih menganggap bahwa ilmu silat adalah rendah
dan tidak patut dipelajari oleh orang budiman?"
Bu Song diam saja, tidak dapat menjawab. Memang banyak
sudah kenyataan menimpa dirinya hanya karena ia seorang lemah.
"Andaikata engkau dahulu belajar ilmu silat dariku, apa kaukira Suma Boan berani menyiksamu" Bahkan mungkin
Suma Ceng dapat menjadi jodohmu karena tidak ada orang
berani melarangmu! Ilmu adalah ilmu, baik itu ilmu silat (bu) ataukah ilmu surat (bun). Ilmu tetap ilmu, titik. Tidak bisa dibilang baik maupun buruk. Semua benda di dunia ini tidak punya sifat baik atau pun buruk. Yang ada hanya wajar, sudah semestinya begitu, tidak baik tidak buruk. Baik buruknya tergantung kepada si manusia yang memanfaatkannya.
Karena sesungguhnya, istilah baik dan buruk adalah ciptaan manusia sendiri. Baik buruknya tergantung dari manusia, kalau dipergunakan untuk kebaikan maka itulah ilmu yang baik. Kalau dipergunakan untuk kejahatan, maka buruklah ilmu itu! Seperti halnya semua anggota tubuh, misalnya mulut.
Mulut tetap mulut, tidak baik tidak buruk. Kalau dipergunakannya hanya untuk menjadi jalan masuknya makan minum yang enak-enak dan menjadi jalan keluarnya maki-makian, ucapan kurang ajar, fitnah dan tipu, maka buruklah mulut itu! Akan tetapi kalau dipergunakan menjadi jalan masuk minum yang sehat dan jalan keluar omongan yang
baik-baik bagi manusia lain, maka baiklah mulut itu!"
Kim-mo Taisu bicara penuh semangat dan Bu Song
mendengarkan sambil menundukkan mukanya, namun dengan
penuh perhatian. Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Kau dahulu menganggap silat itu ilmu kasar untuk
berkelahi dan membunuh orang atau melukainya, maka kau
membencinya. Apakah ilmunya yang berkelahi, melukai atau membunuh orang" Bukan! Melainkan orangnya! Biarpun tak
pandai silat, apakah tak dapat berkelahi atau membunuh
orang" Sebaliknya kalau dipergunakan baik, maka ilmu silat amat berguna. Misalnya, untuk menjaga diri daripada hinaan orang-orang yang merasa dapat berbuat semaunya karena
kekuatannya, untuk menolong orang-orang yang mengalami
penindasan dari orang-orang jahat, dan masih banyak sekali hal-hal baik yang hanya dapat dilakukan dengan sempurna oleh orang-orang yang pandai ilmu silat. Sekarang kita
meninjau ilmu bun (sastra). Kau melihat sendiri keadaan di kota raja. Siapakah yang duduk di istana, menjadi pembesar-pembesar yang berkekuasaan dan berpengaruh besar" Mereka ini tergolog orang pandai sastra, orang-orang pintar dan terpelajar. Akan tetapi, apakah mereka menggunakan
kepandaiannya itu untuk kebaikan" Memang ada, akan tetapi hanya beberapa gelintir manusia saja! Yang terbanyak,
kepandaiannya itu hanya untuk melakukan kejahatan yang
lebih kejam daripada membunuh orang dengan bacokan
pedang! Kepintarannya dipergunakan untuk "memintari" orang lain yang bodoh. Kaulihat, kalau ilmu bun dipergunakan untuk kejahatan, apakah boleh kausebut bahwa ilmu bun itu jahat dan buruk?"
Bu Song mengangguk-angguk. "Dahulu pun teecu sudah pernah Suhu beri wejangan seperti sekarang ini sehingga di dalam lubuk hati teecu sudah ada pengertian seperti itu.
Namun teecu tidak percaya oleh karena tadinya teecu mengira bahwa orang terpelajar yang mempelajari filsafat hidup dari kitab-kitab kuno tentulah menjalani hidup menurut jejak seorang kuncu (bijaksana/budiman). Maka teecu lebih
condong mempelajari bun daripada bu. Akan tetapi siapa kira, setelah teecu berada di sini, teecu muak! Semua kata-kata Suhu benar belaka."
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Jadi, sekarang kau mau menjadi muridku, murid ilmu silat?"
Bu Song menjatuhkan diri berlutut. "Kalau Suhu masih percaya kepada teecu, kalau Suhu mau memberi pelajaran
ilmu silat, berarti teecu menerima anugerah yang tiada
bandingannya. Tentu saja teecu akan merasa berterima kasih sekali."
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Baru kali ini semenjak bertahun-tahun Kim-mo Taisu dapat tertawa lagi. "Alangkah lucunya! Padahal di dalam dirimu telah terkumpul segala dasar ilmu silat yang hebat! Berlatih setahun kau akan memperoleh hasil sepuluh tahun, berlatih dua tahun akan memperoleh hasil dua puluh tahun! Sekarang mari kita berangkat ke istana Pangeran
Suma. Kalau mereka memandang rendah kepadamu, kita
bawa kekasihmu itu dengan kekerasan dan kalau perlu, kita bunuh Suma Kong dan puteranya, Suma Boan yang sudah
menyiksamu! Pembesar-pembesar korup yang seperti lintah darat, yang telah menghisap darah rakyat sampai perutnya gendut, sudah sepatutnya dibunuh!"
Bu Song menubruk kaki suhunya. "Tidak..., jangan, Suhu...
ampunkan teecu , jangan Suhu lakukan hal itu...!"
"Hemm... !" Suara Kim-mo Taisu menjadi dingin sekali.
"Kalau kau masih selemah ini, mana patut menjadi pendekar"
Seorang pendekar harus berani mengambil tindakan, harus berani berbuat apa saja, kalau perlu kekerasan, asal semua tindakannya itu beralaskan kebenaran dan keadilan!"
"Bukan sekali-kali teecu berlemah hati. Tidak, Suhu.
Hanya... teecu menghormat dan menghargai rasa cinta kasih teecu dan Ceng Ceng. Tidak mau teecu memaksakan cinta
secara itu, apalagi membawa lari seorang gadis, puteri
pangeran pula. Akan ke mana larinya nama baik Suma Ceng"
Teecu amat mencintanya, tak mungkin teecu berani
melakukan hal itu, mencemarkan nama baiknya selama hidup.
Juga tentang ayah dan kakaknya, kalau kita membunuh
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
mereka, bagaimana jadinya dengan nasibnya" Teecu teringat kepada Subo..."
Lemaslah seluruh tubuh Kim-mo Taisu mendengar ini.
Muridnya mengingatkan ia akan nasib Khu Gin Lin, puteri bangsawan yang menjadi isterinya. Seperti juga kekasih
muridnya ini, mendiang isterinya itu adalah puteri pangeran yang sekeluarganya terbasmi dan terbunuh. Ia menarik napas panjang.
"Sesukamulah. Agaknya kau seperti aku, siap menderita karena cinta..." "Teecu bersumpah takkan menjatuhkan hati cinta kepada wanita lagi, Suhu." "Ha-ha-ha-ha! Patah hati"
Begitu pula aku dahulu, tapi nyatanya..." "Tidak teecu betul-betul bersumpah, selama hidup teecu tidak akan mencin..."
"Hushhh! Tak perlu bersumpah. Tidak ada yang melarang manusia untuk bercinta muridku. Bahkan Tuhan sendiri pun tidak. Cinta itu anugerah, bahkan hidup ini baru berarti kalau di si dengan cinta. Akan tetapi, bukan cinta yang digelapkan oleh nafsu. Kelak engkau akan mengerti sendiri!" Kakek itu menarik napas panjang karena teringat akan pengalamannya sendiri di waktu muda. Sampai kini pun ia merasa bahwa cinta kasihnya yang sejati adalah pada diri Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian, ibu muridnya ini. Mungkin karena inilah maka ia
menganggap Bu Song seperti puteranya sendiri, dan ada
perasaan sayang amat besar dalam hatinya terhadap pemuda ini.
Mereka tidak lama berada di rumah Ciu Tang. Malam itu
juga, menjelang fajar, Kim-mo Taisu mengajak muridnya pergi dan keluar dari kota raja. Kim-mo Taisu maklum bahwa kalau terlalu lama mereka berada di situ, sudah tentu Ciu Tang akan ikut menderita celaka.
Semenjak saat itu, mulailah Bu Song diajar ilmu silat.
Seperti ketika ia mempelajari ilmu surat, pemuda ini amat tekun dan penuh perhatian. Dan baru terbukalah matanya
bahwa sesungguhnya di dalam dirinya selama ini ia telah
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
memiliki tenaga sakti yang hebat! Beberapa hari kemudian di dalam sebuah hutan, ia duduk bersila di depan suhunya yang juga duduk bersila. Ia disuruh mengatur napas dan
mengumpulkan semangat seperti yang ia latih sejak kecil. Dan seperti biasa, kalau sudah begitu ia akan merasa ada hawa panas berkumpul di pusar.
"Tarik napas dalam-dalam dan tekan hawa panas itu agar naik ke dadamu." Terdengar suara gurunya.
Bu Song yang memejamkan mata menurut kata-kata
gurunya ini, namun hawa panas yang berkumpul di sekitar bawah pusar itu sukar sekali ditekan naik. Tiba-tiba ia merasa betapa tangan suhunya menempel pada pusarnya dan dari
telapak tangan suhunya itu keluar getaran hawa yang luar biasa kuatnya. Meminjam tenaga ini ia berusaha lagi dan kali ini berhasil. Hawa panas yang merupakan segumpal tenaga itu bergerak naik ke dada, membuat dadanya sesak dan ia
terengah-engah hendak muntah.
"Bernapas pula perlahan akan tetapi gunakan perhatian agar hawa jangan turun kembali. Setelah itu, dorong hawa itu ke arah pundak kanan."
Demikianlah, sedikit demi sedikit Kim-mo Taisu melatih
muridnya sehingga akhirnya, dalam waktu beberapa hari saja, Bu Song sudah berhasil menggunakan kekuatan untuk
mendorong hawa panas itu mengitari tubuhnya, ke mana pun ia kehendaki. Dengan totokan-totokan yang tepat Kim-mo
Taisu "membuka" jalan darah tubuh muridnya, kemudian mulailah ia mengajarkan langkah, kuda-kuda, dan pukulan.
Memang betul apa yang diucapkan Kim-mo Taisu. Dalam
diri Bu Song sudah terdapat tenaga sin-kang yang amat kuat serta semua dasar ilmu silat tinggi memang sudah ia pelajari melalui huruf-huruf yang membentuk sajak-sajak dan ujar-ujar yang sengaja dahulu diselip-selipkan oleh Kim-mo Taisu dalam pelajaran ilmu sastera. Kini setelah dilatih prakteknya, tentu saja Bu Song cepat sekali dapat menangkap serta didorong
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
bakatnya yang luar biasa, sebentar saja ia dapat menguasai setiap gerakan yang betapa sulit pun.
Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 2 Rahasia Lukisan Kuno Seri Pendekar Cinta Karya Tabib Gila Gelang Kemala 1

Cari Blog Ini