Ceritasilat Novel Online

Suling Naga 12

Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


betapa jahat engkau kakek gila!"
Kakek itu memandang kepadanya dan tersenyum, agaknya dia senang menyaksikan
keberanian anak perempuan itu. "Ha-ha-ha, engkau memang pemberani dan tabah, akan tetapi kurang panjang akal. Tidak tahukah bahwa semua yang kulakukan itu hanya sandiwara saja"
Kau kuajak bermain untuk menipu nenek galak itu dan ternyata aku berhasil. Ha-ha, nenek galak itu berhasil kutipu. Kita men-jadi pemain-pemain sandiwara yang baik sekali."
"Bohong!" Suma Lian berteriak marah, suaranya nyaring dan keras karena sejak tadi ia menahan-na-han kemarahannya dan baru sekarang adakesempatan untuk mengeluarkan
semua kemarahan itu. "Eng-kau sengaja menipuku! Engkau jahat, tentu engkau mempunyai niat buruk dan terkutuk! Engkau gila dan jahat, kakek jembel bau busuk! Kaubuang pa-kaianku, kau...."
"Sssttt apa kau hendak menghancurkan se-gala keberhasilan kita dengan teriak-teriak Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
336 begitu dan mengundang datangnya musuh" Aku hanya ingin menyelamatkanmu dari
pengejaran mereka tadi. Sekarang engkau telah terbebas, engkau boleh pergi ke mana engkau suka."
Suma Lian tercengang. Kakek ini tidak berbo-hong! Dan ia telah memaki-makinya, memaki-ma-ki kakek yang sudah menolongnya bebas dari tangan Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio.
Ah, benar, ia yang bodoh. Kalau saja ia tidak penuh kecurigaan tadi, sehingga kakek itu tidak terpaksa mengetuk kakinya sampai terpaksa ia terpincang-pincang tentu ia mengikuti permainan sandiwara itu dan kini dapat tertawa-tawa bersama kakek itu!
"Hemm, kiranya benar engkau!" Tiba-tiba ter-dengar suara halus dan tahu-tahu Kim Hwa Nio-nio telah muncul di situ! "Kau tua bangka telah berha-sil menipuku di sana, akan tetapi tetap saja aku da-pat menemukanmu dan kau harus menebus dosamu dengan nyawa!"
Suma Lian merasa menyesal bukan main. Kakek itu menolongnya, malah kini terancam nyawanya ka-rena kesalahannya! Kalau ia tidak marah-marah dan memaki-maki, belum tentu Kim Hwa Nio-nio dapat menemukan mereka! Maka, iapun lalu melangkah maju menghadapi Kim Hwa Nio-nio dan berkata lantang.
"Nenek, aku Suma Lian tidak mau menimpakan kesalahan kepada orang lain. Bawalah aku kembali akan tetapi jangan ganggu kakek jembel tua itu. Ka-lau engkau mengganggunya, aku akan mengadu ke-pada Hou Taijin dan minta agar dia menghukummu. Hayo bawa aku
kembali kepada Hou Taijin!"
Tentu saja Suma Lian tidak tahu betapa ketika ia menyebutkan nama marganya, kakek jembel itu nampak terkejut bukan main. Kakek itu kini malah memegang lengan Suma Lian dan memutar tubuh anak itu menahadapinya sambil bertanya, "Anak baik, apakah benar kau she (nama marga) Suma" Hayo katakan, siapa ayahmu?"
Suma Lian merasa heran, akan tetapi lalu menja-wab, "Ayahku bernama Suma Ceng Liong.
Jangan khawatir, kek. Aku akan menanggung bahwa kau takkan diganggu oleh nenek itu."
Akan tetapi kakek itu sudah tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, engkau bernama Suma Lian, puteri dari Suma Ceng Liong" Ha-ha-ha-ha-ha, heiii, Kim Hwa Nio-nio. Berani benar engkau menculik puteri keturunan keluarga para pendekar Pulau Es" Apa-kah engkau sudah bosan hidup" Hayo, mari kita yang sudah sama tuanya ini mengadu kepandaian, dan jangan ganggu seorang anak kecil!" Berkata demikian, kakek jembel itu lalu melangkah lebar menghadapi Kim Hwa Nio-nio dengan sikap meman-dang rendah sekali.
Kim Hwa Nio-nio mengerutkan alisnya, bulu-bulu kebutan di tangannya tergetar. Akan tetapi ne-nek ini tidak mau ceroboh. Ia tahu bahwa biarpun orang ini nampaknya tua renta dan jembel berbau busuk yang seperti orang gila, namun mungkin saja dia menyembunyikan kesaktian di balik kegilaan dan kemiskinannya itu. Hampir semua tokoh dunia per-silatan pernah didengarnya walaupun belum semua dijumpainya, maka ia segera bertanya, suaranya ber-wibawa, "Tua bangka bosan hidup, siapakah na-mamu?"
"Ha-ha-ha, namaku" Aku seorang pengemis tua tanpa nama. Hayo majulah, kecuali kalau takut atau kasihan melawan aku, pergilah dan jangan ganggu lagi anak perempuan ini!"
"Wirrrrr.... singgg....!" Kebutan itu menyambar dan demikian kuatnya tenaga yang Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
337 men-dorongnya sehingga tidak hanya mengeluarkan angin berdesir keras, akan tetapi juga menimbulkan suara berdesing seperti kalau senjata tajam digerakkan dengan amat kuatnya!
Kebutan itu menyambar ke-depan, bulu-bulunya saja terpecah menjadi beberapa gumpalan dan masing-masing gumpalan itu seperti ular-ular hidup mematuk ke arah jalan-jalan darah di sekitar pundak dan leher kakek jembel itu.
"Hayaaaa....! Kiranya engkau lihai seka-li....!" Kakek itu berseru dan biarpun nampak-nya terkejut dan mengagumi kehebatan nenek itu, namun tanpa banyak kesukaran dia sudah dapat menghindarkan diri dari sambaran kebutan dengan melempar tubuh ke belakang dan
berjungkir balik tiga kali.
Kembali kebutan sudah menyambar, akan tetapi kedua tangan kakek itu membuat dorongan-dorongan aneh, kemudian setelah dari kedua tangannya itu ke-luar angin yang menolak bulu-bulu kebutan dan mem-buyarkan gumpalan-gumpalan bulu itu menjadi ma-wut seperti rambut kepala wanita tertiup angin, dia membuat coretan-coretan di udara dan tahu-tahu ke-dua jari telunjuknya telah melakukan totokan-totok-an bertubi-tubi sampai sembilan kali ke arah jalan--jalan darah terpenting di tubuh nenek Kim Hwa Nio-nio!
"Ahhh....!" Nenek itu terpaksa mengeluarkan teriakan kaget dan cepat ia memutar kebutannya melindungi diri. Akan tetapi masih saja jari-jari tangan itu sempat menerobos gulungan sinar kebutan sehingga terpaksa nenek itu yang kini melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik untuk menyelamatkan dirinya.
Suma Lian yang tadinya hanya memandang be-ngong, tiba-tiba berteriak, "Hong-in Bun-hoat!"
"Ha-ha-ha, anak baik, ternyata engkau cukup cerdas!" kakek jembel itu berseru sambil menoleh dan tersenyum kepada Suma Lian. Akan tetapi ne-nek Kim Hwa Nio-nio yang merasa penasaran sudah menerjangnya lagi, membuat kakek itu tidak sempat lagi untuk senyum-senyum. Nenek itu terlampau berbahaya untuk tidak dihadapi dengan sungguh-sungguh dan kini terjadilah perkelahian yang hebat yang membuat pandang mata Suma Lian menjadi kabur saking cepatnya gerakan kedua orang tua itu.
Memang perkelahian itu hebat sekali, terjadi antara dua orang tua yang masing-masing memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Kim Hwa Nio-nio diam-diam terkejut bukan main. Ia adalah seorang ahli yang memiliki kesaktian, karena ia adalah murid dari Pek-bin Lo-sian yang sudah mewarisi ilmu dari kakek itu. Pek-bin Lo-sian selain gurunya, juga menjadi kekasihnya dan hanya karena pada akhir-akhir itu ia melakukan penyelewengan, suka bermain gila dengan laki-laki lain yang jauh lebih muda dari gurunya itu, maka di antara mereka terdapat suatu jurang pemi-sah. Dan itulah sebabnya mengapa Pek bin Lo-sian tidak memberikan Pedang Suling Naga kepadanya! Akan tetapi, ilmu kepandaian Pek-bin Lo-sian telah diwarisinya semua dan kalau dibandingkan dengan Sam Kwi yang menjadi saudara-saudara misan seper-guruan, tingkat ilmu kepandaian Kim Hwa Nio-nio ini tidak kalah tinggi, bahkan mungkin lebih matang dan lebih tangguh setelah ia memiliki ilmu memain-kan kebutannya yang amat lihai itu. Akan tetapi se-karang, dan baru sekarang, ia menemui tandingan yang demikian tangguhnya dalam diri kakek jembel tua ini! Ia merasa penasaran sekali dan nenek itu se-gera mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluar-kan semua ilmu simpanannya untuk mengalahkan lawan.
Namun, ia selalu kecelik. Semua ilmunya dapat disambut dengan amat baiknya oleh kakek Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
338 itu dan suatu kali, bahkan tangan kiri Kim Hwa Nio-nio beradu dengan tangan kanan si kakek jembel dengan kuat sekali.
"Dukkk....!" Kim Hwa Nio-nio mengerah-kan tenaganya yang sudah diperkuat dengan latihan ilmu hitam ketika ia bertapa di Pegunungan Himala-ya, maka ketika kedua tangan bertemu, tenaga yang keluar dari tangan kirinya itu dahsyat bukan main. Akan tetapi, pertemuan tenaga itu hanya membuat kakek itu mundur dua langkah sedangkan ia sendiri terhuyung ke belakang, tanda bahwa ia masih kalah kuat dalam tenaga sin-kang melawan kakek tua renta itu. Akan tetapi hal itu tidaklah begitu mengejutkan hatinya. Yang membuat ia terkejut adalah ketika ia merasa betapa tangan kirinya itu ketika bertemu de-ngan tangan kanan kakek itu, dijalari oleh hawa panas seperti bara api yang terus menyusup ke seluruh lengannya! Ia terkejut dan cepat ia mengerahkan te-naga dari dalam untuk menolak hawa panas itu, ka-rena kalau dibiarkan terus menyusup ke dalam dada-nya dapat membuat ia terluka dalam! Setelah ia berhasil menolak keluar hawa panas itu, Kim Hwa Nio-nio yang menjadi semakin penasaran dan marah itu kembali menubruk dan melancarkan serangan bertubi, suatu kombinasi antara serangan kebutan yang sudah lihai itu dengan tamparan-tamparan tangan kiri yang mengeluarkan bunyi berkerotokan, masih diselingi oleh tendangan-tendangan kedua ka-kinya.
"Lihat.... ha-ha, selama ini tak pernah ber-temu lawan, sekali bertanding menghadapi siluman perempuan yang lihai. Haiiiiitt....!" Tiba-tiba saja kakek tua renta itu nampak gembira sekali dan diapun menyambut semua serangan lawan itu dengan tangkisan, elakan, dan juga membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah ampuhnya. Biarpun dia hanya
bertangan kosong, akan tetapi setiap kali kaki atau tangannya bergerak, maka angin pukulan dahsyat sekali menyambar dan pakaian nenek itu berkibar-kibar keras! Sekali waktu, dengan tiba-tiba nenek itu menyatukan bulu kebutannya yang berubah kaku oleh tenaga sin-kangnya dan seperti sebatang pedang saja, kebutan yang bulunya bersatu dan kaku itu menusuk ke arah tenggorokan kakek itu!
"Wahhhh....!" Kakek itu terbelalak kagum dan kini tangan kirinya dengan jari tangan terbuka lalu menangkis ke arah pedang aneh itu.
"Takkkk....!" Ujung kebutan yang menjadi kaku itu bertemu dengan telapak tangan, seperti pe-dang bertemu perisai yang kuat, akan tetapi nenek itu terbelalak dan meloncat kaget bukan main. Keti-ka kebutannya tadi bertemu dengan tangan itu, ada hawa dingin seperti es.
menjalar ke dalam lengan ka-nannya dan hal inilah yang amat mengejutkan ha-tinya.
"Kiranya engkau seorang dari Pulau Es! Siapa engkau?" bentaknya dengan muka agak pucat ka-rena diam-diam ia merasa bahwa isi dadanya tergun-cang dan ia menderita luka walaupun tidak parah. -Hal ini adalah karena tadi ia bersiap siaga untuk -serangan dengan hawa panas.
Siapa tahu tiba-tiba saja sin-kang kakek itu berubah dingin seperti es. Dan tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang ahli dari Pulau Es!
"Ha-ha-ha, orang seperti engkau ini mana ada harganya untuk mengenal orang-orang bersih dari keluarga para pendekar Pulau Es" Hayo, masih hendak kaulanjutkan lagi?" tantang kakek itu.
Kim Hwa Nio-nio tahu diri. Kalau di situ ada Sai-cu Lama, tentu ia akan minta kepada kawannya itu untuk melakukan pengeroyokan. Akan tetapi, ia hanya seorang diri saja dan ia tahu bahwa kakek jembel tua renta itu masih terlampau kuat untuknya.. Maka ia lalu menjura.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
339 "Baiklah, sekali ini aku me-ngalah, akan tetapi lain kali aku tidak akan mengampuni nyawamu, jembel tua bangka!" Setelah berkata demikian, ia lalu meloncat dan lari kembali ke kota raja, diiringi suara ketawa dari kakek jembel itu.
Sejak tadi Suma Lian nonton dengan penuh perhatian akan tetapi juga penuh kekaguman.
Ketika ia mendengar ucapan Kim Hwa Nio-nio bahwa kakek itu adalah orang dari Pulau Es, ia terkejut, akan te-tapi juga terheran-heran di samping kegirangannya. Ia girang bahwa kalau memang benar kakek ini dari Pulau Es, berarti masih kerabat. Akan tetapi ia ter-heran-heran karena kalau benar dia seorang keluarga Pulau Es, kenapa begitu jorok dan tingkah lakunya seperti oranq yang miring otaknya"
"Ha-ha-ha!" kini kakek itu tertawa-tawa me-mandang kepada Suma Lian. "Iblis betina seperti itu saja berani mengganggu kita, keluarga dari para pendekar Pulau Es, sungguh tak tahu diri, ya?"
Suma Lian ikut tersenyum pula. Biarpun kakek ini tertawa tanpa disertai matanya yang nampak sayu seperti orang menderita duka, namun kata-katanya lucu. "Kek, engkau sungguh hebat sekali!"
"Kelak engkau harus lebih hebat daripada aku, anak yang baik. Namamu Suma Lian dan kau puteri Suma Ceng Liong" Ha, sungguh hebat, engkau me-mang pantas menjadi keturunan keluarga Suma!"
"Bu-beng Lo-kai, jelaskan padaku...."
"Nanti dulu! Siapa yang kauajak bicara itu" Siapa itu Bu-beng Lo-kai?"
Suma Lian tersenyum. "Siapa lagi kalau bukan engkau. Bukankah tadi nenek Kim Hwa Nio-nio bertanya namamu dan kau menjawab bahwa engkau adalah seorang Pengemis Tua Tanpa Nama (Bu-beng Lo-kai). Nah, engkau adalah Bu-beng Lo-kai."
Kakek itu nampak girang dengan julukan baru ini. Selama ini dia tidak pernah
memperkenalkan nama kepada siapapun juga sehingga dia sendiri se-perti sudah lupa kepada nama sendiri, akan tetapi sekarang dia seperti mendapatkan sebuah sebutan nama baru yang cocok dengan keadaan dirinya. Bu-beng Lo-kai (Pengemis Tua Tanpa Nama)!
"Ha-ha, Bu-beng Lo-kai" Bagus, bagus.... engkau memang anak pandai."
"Bu-beng Lo-kai, sekarang jelaskan siapa dirimu dan bagaimana engkau pandai memainkan Hong-in Bun-hoat! Dan agaknya engkau mengenal pula nama ayahku."
"Kenapa tidak" Ayahmu bernama Suma Ceng Liong itu adalah putera tunggal dari Suma Kian Bu dan Teng Siang In, bukan?"
"Benar sekali! Ah, bagaimana engkau dapat me-ngenal keluarga kami?"
"Karena Suma Kian Bu, kakekmu itu, adalah adik kandung dari mendiang isteriku yang tercinta...."
"Ah....!" Sepasang mata yang jernih itu terbelalak. "Jadi engkau.... engkau adalah suami Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
340 nenek Milana" Engkau adalah kakek Gak Bun Beng....?"
Kakek itu merangkul Suma Lian dan anak inipun merasa terharu, akan tetapi ia harus menahan kemu-akan karena hidungnya mencium bau apak, tanda bahwa kakek itu agaknya memang benar-benar telah terlantar dan tak pernah mandi, entah sejak berapa lamanya!
"Sudah lama aku mengubur nama sial itu, biar-lah mulai sekarang sampai mati, aku adalah Bu-beng Lo-kai saja," kata kakek itu dan Suma Lian semakin terharu mendengar betapa ada isak tertahan di dalam suara yang seperti keluhan itu. Kakek ini menderita batin dan kelihatan berduka sekali, pikirnya. Iapun merangkul dan memandang wajah yang tertutup rambut, kumis dan jenggot putih lebat itu, meman-dang sepasang mata yang masih bersinar tajam akan tetapi seperti tertutup awan gelap itu.
Para pembaca yang mengikuti kisah-kisah terda-hulu dari seriPENDEKAR SUPER SAKTI ATAU SULING EMAS , tentu tidak asing dengan nama ini. Gak Bun Beng! Di dalam ceritaSEPASANG PEDANG IBLIS dice-ritakan dengan jelas dan menarik tentang kehidupan pendekar ini, seorang pendekar besar yang setelah mengalami jatuh bangun akhirnya berjodoh dengan wanita yang dicinta dan mencintanya, yaitu Puteri Milana, puteri dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Puteri Nirahai. Seperti kita ketahui, mereka hidup menjauhkan diri dari istana di mana Puteri Milana pernah membantu kaisar untuk
menghadapi para pemberontak. Mereka mempunyai sepasang anak kembar, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong yang kemudian menjadi Beng-san Siang eng (Sepa-sang Garuda dari Beng-san).
Ketika nenek Milana masih hidup, Gak Bun Beng bersama isterinya, Milana, berkali-kali membujuk sepasang anak kembar itu untuk segera menikah karena mereka berdua sudah ingin sekali memondong cucu. Akan tetapi, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong tidak pernah mau menuruti permintaan orang tua mereka ini. Keduanya tak pernah dapat saling ber-pisah, jadi sukar sekali bagi mereka untuk mendapatkan isteri-isteri yang cocok. Akhirnya, puteri atau nenek Milana marah sekali dan setiap hari memarahi kedua orang putera kembarnya yang usianya sudah semakin banyak itu. Hal ini membuat Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong lalu pergi minggat meninggalkan Beng-san. Mereka merantau dan akhirnya, seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, mereka mempunyai seorang murid wanita bernama Souw Hui Lan dan ternyata wanita inilah satu-satunya wanita yang mereka cinta berdua, dan ternyata kemudian Souw Hui Lan juga mencinta mereka! Sementara itu, kakek Gak Bun Beng dan nenek Milana, untuk menghibur hati mereka yang merasa kecewa atas sikap kedua orang anak mereka itu, mengasing-kan diri di puncak Beng-san dan mereka hanya bertapa.
Kemudian, pada suatu hari, muncullah dua orang putera mereka itu bernama seorang gadis manis dan mereka menyatakan bahwa kini mereka ingin menikah dengan gadis itu, yang juga menjadi murid mere-ka! Mereka itu, kedua orang anak kembar mereka itu, hendak menikah dengan seorang gadis saja! Milana menentang keras dan hampir saja turun tangan membunuh anak-anaknya sendiri kalau saja ti-dak dicegah suaminya yang minta kepada kedua orang anak kembarnya itu untuk pergi dan mengurus sendiri saja pernikahan yang dianggapnya memalukan itu.
Sepeninggal tiga orang itu yang terpaksa meninggalkan Beng-san dengan hati tertekan, nenek Milana meninggal karena sakit. Pukulan batin yang hebat ini tak tertahankan oleh kakek Gak Bun Beng. Urusan kedua orang puteranya sudah membuat dia berduka dan kecewa sekali, dan kini dia ditinggal mati isterinya yang tercinta dalam keadaan batinnya masih menderita oleh Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
341 pukulan pertama. Dengan hati penuh duka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong mengajak murid dan calon isteri mereka runtuk berkunjung lagi ke Beng-san dan menyembahyangi jenazah ibu mereka.
Mereka minta ampun kepada jenazah ibu mereka, dan ketika mereka minta ampun kepada Gak Bun Beng, pendekar ini hanya menggeleng kepala dengan penuh duka.
"Aku tidak mencampuri lagi urusan kalian. Lakukanlah apa yang kalian suka, aku.... aku....
sudah tidak bisa berpikir lagi....tinggalkanlah aku sendiri bersama kuburan isteriku," demikian katanya setelah jenazah Milana dikubur dan sampai berbulan-bulan Gak Bun Beng hidup di dekat kuburan isterinya, tak pernah mau merawat dirinya.
Duka, kecewa dan kesengsaraan batin selalu menjadi akibat dari pada ikatan. Ikatan batin selalu mendatangkan duka nestapa. Isteriku, anakku, ha-rtaku, kedudukanku, MILIKKU.
Kalau batin sudah ikut memiliki apa yang dipunyai oleh badan, maka sekali waktu yang dimiliki itu menentangnya, tidak menurut, atau meninggalkannya, maka batin itu akan menderita, kecewa, berduka. Badan memang mem-butuhkan banyak hal untuk dipunyai, karena badan harus bertumbuh terus, mempertahankan hidupnya. -Badan membutuhkan sandang, pangan, papan, bahkan badan berhak menikmati kesenangan melalui panca indriya dan alat-alat tubuhnya. Akan tetapi, semua yang dibutuhkan badan itu, biarlah dipunyai oleh badan saja. Kalau sampai batin ikut memiliki, maka akan timbul ikatan. Segala yang dimiliki itu akan ber-akar di dalam batin, sehingga kalau sewaktu-waktu yang dimiliki itu dicabut dan dipisahkan, batin akan berdarah dan merasa nyeri, kehilangan, kecewa, ber-duka dan akhirnya mendatangkan sengsara. Batin harus bebas dari ikatan, tidak memiliki apa-apa !
Mempunyai akan tetapi tidak memiliki, itulah seninya! Yang mempunyai adalah badan, akan tetapi mengapa batin ikut-ikut memilikinya" Cinta kasih bukan berarti memiliki dan menguasai! Dan cinta kasih ini urusan batin, bukan urusan badan. Urusan badan adalah cinta asmara, nafsu berahi dan kese-nangan badaniah. Badan mengalami sesuatu yang
mendatangkan nikmat dan kesenangan, dan ini adalah urusan badan. Kalau sudah habis sampai di situ saja, memang semestinya demikianlah. Akan tetapi kalau sang aku, yaitu pikiran atau ingatan, mencatatnya dan sang aku ingin mengulanginya, ingin menikmatnya lagi, maka ini berarti batin ingin memiliki dan timbullah ikatan terhadap yang menimbulkan kenikmatan atau kesenangan itu. Dan kalau sekali waktu, kita harus berpisah dari yang telah mengikat kita, maka timbullah duka dan sengsara.
Seperti juga Gak Bun Beng dan Milana, kita selalu mengatakan dengan mulut bahwa kita mencinta anak-anak kita. Akan tetapi cinta kita itu membuat kita ingin selalu ditaati oleh anak-anak kita! Kita merasa berkuasa atas diri mereka! Kita merasa bahwa kita memiliki mereka dan berhak mengatur kehidupan mereka! Dan yang beginilah yang kita anggap cinta!
Kalau sekali waktu anak-anak kita membantah dan tidak mentaati kehendak kita, maka kita lalu kecewa, marah-marah, berduka dan mungkin saja cinta kita berubah menjadi kebencian dan sakit hati inikah yang dinamakan cinta" Bukankah cinta kita kepada anak-anak kita ini kita samakan dengan cin-ta kita terhadap binatang peliharaan atau benda-ben-da lain yang mendatangkan kesenangan bagi kita" Di dalam cinta kasih, tidak ada lagi "aku yang ingin disenangkan"! Di dalam nafsu dan kesenangan, selalu "aku" yang menonjol. Cinta kasih tidak menun-tut apa-apa untuk "aku". Cinta kasih mementing-kan orang yang dicinta, sama sekali tidak berpamrih untuk diri pribadi. Cinta kasih beginilah yang tidak -akan menimbulkan duka dan sengsara, karena tidak mengejar kesenangan untuk diri sendiri saja, yang su-dah mengikat batin, yang akan mendatangkan duka dan sengsara sebagai kebalikannya.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
342 Kurang lebih setahun kemudian, barulah Gak Bun Beng meninggalkan kuburan isteri-nya.
Akan tetapi dia telah berubah. Kakek yang tadinya merupakan seorang pertapa yang gagah per-kasa itu, yang arif bijaksana itu, kini menjadi seorang kakek jembel yang kotor sekali tubuhnya. Tak pernah mau mengurus tubuhnya, dan hidup berkeliaran se-perti pengemis yang gila. Tak seorangpun memper-dulikannya dan diapun tidak memperdulikan apa-apa lagi.
Kasihan sekali Gak Bun Beng, walaupun semua itu adalah akibat dari pada keadaan batinnya sendiri. Dia merasa kesepian. Dia merasa amat iba kepada dirinya sendiri dan dia merasa nelangsa karena mera-sa tidak ada gunanya lagi hidup di dunia, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Selama ini, yang dimilikinya sampai mengikat batinnya adalah isteri-nya dan dua orang puteranya. Akan tetapi, dua orang puteranya tidak mentaatinya, kemudian isterinya, satu-satunya orang yang masih tinggal, yang masih menjadi miliknya lahir batin, meninggalkan dirinya!
Dalam perantauan yang tidak ada tujuan ini, akhirnya dia berkeliaran di kota raja! Biarpun keadaannya sudah menjadi seorang kakek jembel yang seperti tidak waras otaknya, namun Gak Bun Beng bekas pendekar yang sudah sering menjelajah di kota raja. Dia mengenal keadaan kota raja dan masih peka oleh berita-berita yang bersimpang siur. Dia mende-ngar pula tentang keadaan yang kacau balau di istana, tentang pembesar Hou Seng yang menguasai istana dan membuat kaisar menjadi seperti boneka. Semua percakapan di jalan didengarnya dengan peka. Namun, dia hanya tertawa dan sama sekali tidak memperduli-kannya.
Sampai pada saat dia beristirahat di bawah jembatan dan melihat seorang anak perempuan berlari-lari itu. Sebelumnya, sudah ada beberapa orang yang lewat di atas jembatan itu dan mencari-cari seorang anak perempuan. Timbul perasaan iba di hatinya yang memang berwatak pendekar dan suka menolong mereka yang tertindas. Kasihan dia melihat seorang anak perempuan dikejar-kejar, apa lagi karena dia me-lihat bahwa seorang di antara pengejarnya adalah Kim Hwa Nio-nio! Dia mendengar nama ini dari orang-orang di tepi jalan, bahwa Kim Hwa Nio-nio adalah pengawal pribadi utama dari pembesar Hou Seng!
Hatinya tertarik, terutama sekali melihat betapa ge-rak-gerik nenek itu jelas memperlihatkan kelihaian-nya sebagai seorang yang memiliki ilmu kesaktian!
Kalau biasanya dia acuh saja terhadap segala peristiwa di sekelilingnya, dan andaikata ada suatu peristiwa yang membuat dia terpaksa turun tangan, maka semua itu dia lakukan dengan sembunyi-sembu-nyi tanpa diketahui orang. Akan tetapi, dia merasa kasihan kepada anak perempuan itu dan cepat dia menariknya ke kolong jembatan dan tanpa banyak cakap lagi karena waktunya hanya sempit, dia lalu menukar pakaian dan melumuri tubuh Suma Lian agar pantas menyamar sebagai seorang anak perempu-an pengemis. Dan usahanya campur tangan secara diam-diam itu berhasil. Akan tetapi pada saat dia hendak membebaskan anak itu, muncul Kim Hwa Nio-nio sehingga terpaksa dia mempergunakan ke-pandaian yang selama ini disembunyikannya saja un-tuk melindungi anak itu dan dirinya sendiri. Dan sungguh sama sekali tidak disangkanya bahwa anak itu ternyata adalah cucu keponakannya sendiri, puteri dari keponakannya, Suma Ceng Liong!
Bu-beng Lo-kai (Pengemis Tua Tanpa Nama), nama baru yang dipergunakan Gak Bun Beng, me-megang tangan anak itu dan tersenyum ramah. "Suma Lian, sekarang ceritakan kepadaku bagaimana engkau bisa sampai ke kota raja dan jatuh ke tangan orang seperti Kim Hwa Nio-nio itu."
"Yang menculik aku bukan nenek itu, kek, mela-inkan seorang pendeta Lama berjuluk Sai-cu Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
343 Lama." Anak itu lalu bercerita tentang kemunculan Sai-cu Lama di kebun rumah orang tuanya di dusun Hong-cun, menculiknya ketika ia sedang berlatih silat di bawah pimpinan neneknya. Bu-beng Lo-kai mende-ngarkan penuh perhatian.
"Nenekmu Teng Siang In tidak mampu melin-dungimu dan merampasmu kembali dari
tangan Sai-cu Lama itu" Wah, kalau begitu pendeta Lama itu tentu lihai bukan main!" kata kakek itu.
"Memang dia lihai sekali dan sekarang dia mem-bantu Kim Hwa Nio-nio menjadi kaki tangan pem-besar yang disebut Hou Taijin itu."
Kakek itu mengangguk-angguk, lalu memandang wajah anak itu. "Dan bagaimana sekarang, cucuku" Engkau sudah berada di kota raja dan sudah bebas, apakah engkau ingin pulang ke Hong-cun" Aku akan mengantarmu sampai ke luar dusunmu, lalu ku-tinggalkan di sana kalau kau ingin pulang."
"Dan engkau sendiri hendak pergi ke mana, kek?" tanya anak itu, memandang kepada orang tua itu dengan sinar mata mengandung rasa kasihan. Kakek ini demikian menderita, pikirnya.
"Aku" Ha, aku sendiri tidak tahu akan ke mana" Aku tidak punya apa-apa lagi.... di manapun menjadi tempat tinggalku. Aku tidak butuh apa-apa lagi...." Akan tetapi di dalam suaranya ini terkandung kedukaan dan keputusasaan yang men-dalam.
Merantau! Ah, betapa keinginan ini sejak lama sudah memenuhi hati Suma Lian. Sudah beberapa kali ia mengajak ayah ibunya, juga neneknya, agar ia dibawa merantau, terutama ke kota raja. Akan tetapi mereka mengatakan bahwa keadaan sekarang tidak aman dan ia masih terlampau kecil untuk melakukan perjalanan jauh. Sekarang, ia sudah berada di kota raja.
Sayang kalau ia harus pulang kembali begitu saja. Jiwa petualang bergelora di dalam hatinya.
"Kek, aku tidak mau pulang!" Tiba-tiba ia ber-kata dengan suara lantang.
"Eh?" Bu-beng Lo-kai memandang heran. "Tidak mau pulang?"
"Aku tidak mau pulang dulu, aku ingin ikut denganmu!"
"Ikut denganku?" kakek itu termenung, akan tetapi Suma Lian melihat dengan jelas perubahan pa-da wajah yang ditutupi rambut itu. Sepasang mata yang masih tajam itu kini mengeluarkan sinar, walau-pun masih redup. Ada gairah. "Ikut denganku" Hidup seperti ini"
Tanpa rumah tanpa apa-apa, seperti jembel berkeliaran dan terlantar?"
"Mengapa tidak" Bagi seorang perantau, tak perlu tempat tinggal tetap. Aku dapat tidur di mana saja. Bukankah keluarga kita, keturunan para pende-kar Pulau Es, berjiwa perantau dan tabah menghadapi segala hal" Aku dapat tidur di kuil, di hutan, di mana saja, kek."
"Tanpa pakaian indah, tidak ada uang, tidak ada kekayaan apapun?"
"Aku tidak ingin pakaian yang indah-indah, asal-kan bersih. Kebersihan perlu sekali, kek.
Bukankah seperti kata nenekku, kebersihan itu pangkal kesehat-an dan kesehatan itu pangkal kegembiraan" Bagaimana kita bisa gembira kalau kita tidak sehat, dan bagaimana kita bisa sehat kalau kita tidak bersih" Bagaimana, kakekku yang baik, bolehkah cucumu ini ikut Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
344 merantau bersamamu dan setiap ada kesempatan kau mengajarkan ilmu silat keluarga kita kepadaku?"
Ada semacam cahaya memasuki hati kakek itu. Suma Lian, anak perempuan berusia duabelas tahun ini, mendatangkan gairah hidup di dalam batinnya, membuat dia merasa bahwa dia masih dibutuhkan orang! Dia masih berguna!
"Baiklah, cucuku. Baik, kita merantau bersama."
Bukan main girangnya rasa hati Suma Lian. Ia setengah bersorak merangkul kakek itu, akan tetapi lalu menutupi hidungnya. "Ihh, engkau berbau tak enak sekali, kek. Engkau harus mandi yang bersih, mencuci rambut itu, mengikatnya dan juga berganti pakaian. Aku juga.
Hampir muntah aku kalau ter-cium bau bajuku sendiri ini!"
"Berganti pakaian" Aku tidak punya cadangan pakaian. Selimut bututku sudah menjadi pakaianmu."
"Aku akan mencarikan ganti untukmu, kek. Mari kita ke dusun atau kota terdekat, dan aku akan mencari pakaian untuk kita berdua."
Anak itu menarik tangan kakek itu dan merekapun melanjutkan perjalanan, tidak kembali ke kota raja karena mereka khawatir kalau bertemu dengan Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya. Kakek itu membawa Suma Lian ke sebuah dusun yang cukup ramai di sebelah barat kota raja dan mereka berdua berhenti di sebuah kuil tua yang kosong.
"Apakah perutmu tidak merasa lapar, kek?" tiba-tiba anak itu bertanya.
Kakek itu mengangguk. "Sejak kemarin siang aku tidak makan apa-apa," jawabnya jujur.
Harus diakuinya di dalam hati bahwa dia kadang-kadang sudah tidak perduli lagi apakah perutnya terisi atau tidak, bahkan dia sudah lupa bagaimana rasanya la-par atau kenyang itu.
Selama ini dia seperti mayat hidup saja.
"Kalau begitu, kau tinggal saja dan tunggu aku di sini, kek. Aku akan mencari makanan dan pakaian untuk kita."
Kakek itu memandang dengan alis berkerut. "Kau akan membelinya?"
Suma Lian tersenyum lucu penuh rahasia. "Kau tunggu sajalah, dan tanggung beres, kek."
Anak itu lalu berlari-larian meninggalkan kuil, diikuti pandang mata yang penuh keharuan oleh kakek tua renta itu. Mulailah pohon yang hampir mati kering itu mem-peroleh air kehidupan lagi, mulai bersemi semangat untuk hidup dan gairah. Dia merasa seolah-olah Su-ma Lian itu cucunya sendiri, cucu yang amat diharap-kan selama bertahun-tahun oleh dia dan mendiang isterinya, cucu yang tak kunjung ada dan kini tiba-tiba saja muncul seorang cucu dalam kehidupannya!
Dia tidak khawatir akan keselamatan Suma Lian. Anak itu pandai berjaga diri, dan diapun tidak perlu mengkhawatirkan munculnya Kim Hwa Nio-nio. Kuil itu berada di dekat pintu pagar dusun sebelah timur sehingga kalau ada orang muncul dari jurusan kota raja, dia akan dapat melihatnya lebih dulu sebelum orang itu dapat bertemu dengan Suma Lian yang berada di tengah dusun itu.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
345 Kurang lebih sejam kemudian, sesosok bayangan kecil berloncatan dan Suma Lian masuk ke dalam kuil itu melalui tembok belakang yang diloncatinya. Ia membawa buntalan yang cukup besar dan wajah-nya berseri-seri ketika ia menghadap Bu-beng Lo-kai di ruangan kuil tua yang lantainya sudah mereka ber-sihkan tadi.
"Makanan dan pakaian yang cukup untuk kita, kek!" kata anak itu sambil membuka
buntalannya di depan kakek itu. Bu-beng Lo-kai memandang dan mengerutkan alisnya ketika dia melihat dua buah panci yang terisi masakan-masakan dan daging, juga bakmi yang masih panas. Dan selain makanan itu, juga terdapat beberapa potong pakaian yang masih baru untuknya, juga untuk anak itu!
"Hai....! Dari mana kau memperoleh semua ini" Tak mungkin kalau engkau mengemis dan di-beri orang!" tegur kakek itu.
"Aihh, kek. Nanti saja kita bicara tentang itu. Sekarang, paling perlu mengisi perut yang sudah la-par dengan makanan ini. Dan ini seguci arak untuk-mu!" Seperti main sulap saja, Suma Lian mengelu-arkan seguci arak yang ketika dibuka tutupnya, ber-bau harum sekali, membuat kakek itu menelan air ludah saking ingin segera mencicipinya.
Kakek itu mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga dari manapun asalnya makanan itu, kini sudah berada di situ dan memang sebaiknya dimakan saja dulu, baru nanti dia akan menuntut keterangan dan kalau perlu memberi teguran keras kepada anak ini kalau benar seperti dugaannya bahwa anak ini telah melakukan pencurian!
Dan, barang curian atau bukan, kalau perut su-dah sedemikian laparnya, masakan itu luar biasa enaknya! Baru sekarang selama dia ditinggal mati isterinya, kakek itu makan sedemikian lahapnya dan enaknya. Suma Lian juga makan dengan lezat, melu-pakan bau tak sedap yang datang dari kakek itu dan dari pakaiannya sendiri. Tak lama kemudian, makan-an itu sudah mereka sikat habis dan kakek itu dengan wajah puas lalu meneguk arak dari gucinya.
"Nah, sekarang kau...."
"Nanti dulu, kek. Ketika aku pergi tadi, ada kulihat sebatang sungai kecil di belakang kuil ini.
Air-nya jernih sekali. Mari kita membersihkan badan, mandi dan berganti pakaian dulu, baru bicara. Akan lebih enak begitu. Marilah, kek!" Anak itu lalu menarik tangan Bu-beng Lo-kai yang terpaksa bang-kit berdiri sambil membawa guci araknya. Suma Lian membawa buntalan pakaian dan mereka keluar dari kuil, lalu membelok ke arah belakang kuil di mana benar saja terdapat sebuah anak sungai yang jernih airnya.
"Nah, kau mandilah dan ganti pakaianmu itu dengan pakaian ini, kek. Lihat, kupilihkan yang po-los kuning dan putih untukmu, dengan ikat pinggang biru. Tentu pantas sekali untukmu.
Dan ini minyak pencuci rambutmu. Cucilah rambutmu dan badanmu yang bersih, kek. Aku menanti di sini," katanya sambil duduk di bawah sebatang pohon besar, tak jauh dari anak sungai itu yang berada di bawah, tidak nampak dari situ.
"Kau dulu yang mandi dan bertukar pakaian. Aku nanti saja setelah engkau. Aku akan berjaga di sini sambil minum arak. Arak ini enak sekali!" kata kakek itu malas-malasan.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
346 "Baiklah, akan tetapi setelah aku selesai, engkau harus mandi dan berganti pakaian, kek.
Berjanjilah! Kakek itu hendak membantah, akan tetapi ketika melihat wajah anak perempuan itu, tak sampai hati-nya membantah. Dia mengangguk-angguk. "Baik-lah." Dan menenggak arak lagi seteguk dari gucinya, mengecap-ngecap dan menjilat-jilat bibirnya.
Suma Lian membawa satu stel pakaian berwarna biru muda dan sambil tertawa-tawa ia berloncatan menuruni tebing menuju ke sungai itu. Tak lama ke-mudian terdengar suara ia berkecimpung di dalam air sambil bernyanyi-nyanyi kecil, suara yang amat asing dan baru baginya, namun indah sekali dan menyegar-kan batinnya. Kini dia dapat tersenyum-senyum pe-nuh kegembiraan seorang diri, bukan lagi senyum untuk menyembunyikan kedukaan hatinya.
Tak lama kemudian, Suma Lian sudah berada lagi di depannya. Segar sekali wajah yang kini bersih dan putih kembali itu, rambutnya yang hitam panjang itu masih basah kuyup dan diperasnya, lalu dibiarkan terurai agar cepat kering, kedua kakinya memakai sepatu baru dan pakaian yang dipakainya itu membu-atnya nampak manis sekali.
"Nah, sekarang engkau mandi, mencuci rambut-mu dan berganti pakaian, kek!" kata Suma Lian sambil menyerahkan pakaian untuk kakek itu. Bu-beng Lo-kai memandang pakaian yang berwarna pu-tih dan kuning polos itu dengan alis berkerut, seperti seorang anak kecil memandang obat pahit yang harus ditelannya. Beberapa kali dia menggelengkan kepala-nya.
"Wah, bagaimana aku dapat memakai pakaian sebersih itu" Tentu aku akan takut duduk di tempat sembarangan, selalu harus menjaga agar pakaianku tak menjadi kotor. Wah, repot sekali kalau begitu, tidak bebas lagi aku...."
"Janji, kek. Janji harus dipenuhi, bukankah itu satu di antara sifat kegagahan?"
"Ya-ya, akan tetapi...."
"Tidak ada tapi, kek. Dan aku yakin bahwa dulu, entah kapan, pernah engkau merupakan seorang yang suka akan kebersihan, tidak seperti sekarang ini! Engkau sudah berjanji akan mandi dan berganti pakaian, kek!"
Mendengar ucapan itu, Bu-beng Lo-kai termenung teringat akan isterinya. Isterinya, Puteri Milana, ketika masih muda, sebagai isterinya, juga suka sekali akan kebersihan. Dia sering diomeli isterinya itu kalau menaruh barang di sembarangan tempat, juga isterinya itu menghendaki agar dia selalu bersih, baik badannya maupun pakaiannya. Dan diapun selalu menjaga dirinya agar bersih. Akan tetapi bertahun-tahun sudah dia hidup tanpa perduli akan apa yang dinamakan kebersihan. Bahkan tidak ada yang kotor baginya. Bukankah daun-daun kering itu juga bersih" Tanah dan lumpur itupun bersih" Akan tetapi sekarang, kata-kata dan sikap Suma Lian mengingatkan dia kembali akan kehidupannya dahulu, sebelum isterinya meninggalkannya untuk selamanya.
"Akan tetapi.... pakaian seperti ini...." Ingat, cucuku, mulai tadi aku sudah memakai nama Bu-beng Lo-kai. Ingat, apa artinya lo-kai" Penge-mis tua! Kalau aku memakai pakaian begini, mana mungkin namaku Lo-kai" Seorang pengemis tua harus mengenakan pakaian butut dan penuh tambalan, kalau tidak begitu, mana mungkin dia laku mengemis" Takkan ada orang Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
347 mau memberi sedekah!"
Tiba-tiba Suma Lian tertawa menutupi mulutnya. "Hi-hik, sudah kuduga engkau akan mengajukan alasan itu, karena itu akupun sudah siap, kek. Nah, lihat ini!" ia mengeluarkan jarum dan benang, lalu ia merobek pakaian kakek itu di sana-sini, merobek kain kuning paha celana dan memindahkan atau menembelkan robekan itu di pundak baju putih dan sebaliknya.
Ia merobek sana-sini, tambal sana tambal sini dan akhirnya pakaian itu menjadi pakaian penuh tambalan yang hanya merupakan pemindahan saja dari bagian-bagian yang dirobek tadi. Kini bajunya yang putih penuh tambalan kuning, sedangkan celana kuning penuh tambalan putih.
"Nah, pakaianmu sudah penuh tambalan, syarat bagi seorang pengemis, bukan?" Akan tetapi, betapapun miskinnya, seorang pengemis tetap berhak untuk hidup bersih. Dan karena itu, di sini masih tersedia dua stel lagi untukmu dan lima stel pakaian untukku. Setiap hari kita berganti pakaian, yang kotor akan kucuci sampai bersih, dan setiap hari kita mandi!" Kembali kakek itu termenung, teringat akan mendiang isterinya. Sama benar watak isterinya dengan anak ini, ketika isterinya masih muda. Keras, lincah, galak, pandai bicara dan juga amat suka akan kebersihan. Dia sudah kehabisan akal untuk membantah lagi dan terpaksa dia menerima satu stel pakaian yang sudah penuh tambalan itu dan menuruni tebing. Dan Suma Lian menahan ketawanya ketika ia mendengar kakek itu berkecimpung dan mendengar pula senandung yang digumamkan mulut itu.
"Yang bersih, kek! Rambutnya juga....!" ia berteriak ke arah bawah tebing.
Dari bawah terdengar suara ketawa. "Wah, eng-kau cerewet benar seperti seorang nenek tua saja!" Dan Suma Lian kembali tertawa.
Bu-beng Lo-kai membutuhkan waktu yang jauh lebih lama untuk membersihkan tubuhnya yang amat kotor, terutama rambutnya yang sudah menjadi gim-bal saling melekat itu. Akan tetapi suatu keanehan terjadi pada dirinya. Begitu dia merendam tubuhnya di dalam air dan membersihkan semua kotoran, dia merasa hatinya demikian ringan dan senang, membuat dia gembira seperti seorang anak kecil saja.
Betapa keriangan hati itu bisa didapatkan di mana saja dan kapan saja, asalkan batin tidak dipenuhi oleh segala macam persoalan yang sebenarnya hanyalah peristiwa-peristiwa yang kita jadikan persoalan sendiri! Tidak ada masalah di dunia ini kecuali hal itu dibuat menjadi masalah. Tidak ada kesusahan kecuali kejadian itu kita buat sendiri menjadi kesusahan!
Ka-lau batin tidak sibuk lagi oleh segala macam penilaian yang menimbulkan aku yang kemudian melahirkan iba diri, maka segala hal kita hadapi sebagaimana adanya, sebagai suatu kewajaran dan segala tindakan kita terhadap hal yang terjadi itu muncul dari kecerdasan akal budi, tanpa keluhan lagi. Keriangan hati akan selalu terasa oleh kita apabila batin kita bersih dari segala persoalan yang dibuat oleh pikiran. Ter-dapat dalam hal yang kecil-kecil dan remeh-remeh, karena hidup merupakan suatu berkah di mana se-gala-galanya sudah terdapat untuk kita nikmati. Di tanah, di air, di udara, di mana saja terdapat kenikmatan itu, kenikmatan hidup karena setelah batin kita bersih dari pada segala kekuasaan siaku, akan nampaklah sinar cinta kasih yang menerangi alam!
Kakek itu benar-benar mencuci rambut dan tu-buhnya sampai bersih! Dan dia nampak belasan ta-hun lebih muda ketika naik ke tebing itu, rambutnya terurai di belakang punggung, dan wajahnya yang tua nampak segar walaupun penuh dengan kumis dan jenggot putih.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
348 Nampak bersih segar dan sehat, apa lagi karena garis-garis mukanya masih memperlihat-kan bekas wajah seorang laki-laki yang tampan dan gagah.
"Nah, kau kelihatan bersih dan gagah, kek!" Suma Lian bertepuk tangan kegirangan, membuat orang yang dipuji itu merah mukanya dan untuk menghilangkan rasa kikuknya, kakek itu hendak men-jatuhkan diri duduk di atas tanah.
"Eiiiittt, hati-hati, kek!" Suma Lian meloncat dan memegang tangan kakek itu, ditariknya agar ti-dak jadi duduk. "jangan kotorkan pakaianmu dengan duduk begitu saja di atas tanah yang basah. Tuh, duduk di atas batu itu, sudah kubersihkan tadi!"
Kakek itu menarik napas panjang. "Nah, nah, sudah mulai bukan" Aku harus selalu men-jaga pakaianku agar tidak kotor. Menambah kere-potan saja!"
"Bukan begitu, kek. Kalau sudah terbiasa nanti tentu dengan sendirinya engkau tidak mau mengotori pakaianmu. Ingat, engkau tidak ingin membuat ke-dua tanganku lecet-lecet, bukan?"
"Tentu saja tidak! Ehh.... apa maksudmu dengan tangan lecet-lecet itu?"
"Ingat, akulah yang akan mencuci pakaianmu setiap hari. Kalau engkau sembarangan saja membuat pakaianmu kotor sekali, bukankah aku yang mencuci yang akan bekerja berat setengah mati, sampai kedua tanganku lecet-lecet karena harus mencuci pakaian yang kotor sekali?"
Bu beng Lo-kai tertawa. "Ha-ha-ha, engkau me-mang cerdik. Baiklah, akan kujaga pakaian ini agar tetap bersih."
"Nah, begitu barulah engkau kakekku yang baik sekali, terima kasih sebelumnya, kek!" Dan Suma Lian lalu memberi hormat kepada kakek itu dengan sikap yang lucu.
"Ah, apa yang terjadi dengan pakaianmu itu" Kenapa sekarang juga penuh tambalan?" kakek itu berseru sambil memandang ke arah pakaian yang di-pakai oleh anak itu. Pakaian itu tadi nampak indah, akan tetapi sekarang penuh tambalan walaupun hal ini tidak mengurangi kepantasan anak itu memakai-nya.
"Kek, engkau Bu-beng Lo-kai dan aku cucumu. Cucu seorang pengemis tua harus memakai pakaian tambal-tambalan juga, baru cocok!"
Kakek itu kembali tertawa dan mengangguk-ang-guk, kemudian tiba-tiba dia memandang wajah anak itu dengan sikap serius dan suaranya juga terdengar tegas, tidak main-main lagi,
"Nah, sekarang cerita-kan, dari mana engkau memperoleh makanan, arak dan pakaian ini!"
Melihat sikap kakek itu, nyali Suma Lian menjadi kecil juga. Ia menundukkan mukanya, jari-jari ta-ngannya mempermainkan ujung bajunya, kadang-ka-dang mengangkat muka
memandang, lalu menunduk kembali.
"Hayo katakan! Kau.... mencuri, ya?" bentak kakek Bu-beng Lo-kai.
Dengan pandang mata takut-takut, Suma Lian memandang kakeknya dari bawah bulu mata Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
349 sambil menundukkan muka, "Kau.. kau marah, kek....?"
"Tentu saja kalau kau membohong! Hayo kata-kan yang sebenarnya. Kau curi semua itu?"
Suma Lian mengangguk. Bu-beng Lo-kai marah atau pura-pura marah. Dia bangkit berdiri dan membanting kakinya.
"Waduh, celaka! Cucuku menjadi pencuri" Menjadi maling" Tidak, kau harus kembalikan se-mua ini kepada....." Dia tiba-tiba tak dapat me-lanjutkan kata-katanya karena teringat bahwa semua makanan tadi, juga araknya, sudah masuk ke dalam perutnya! Mana mungkin bisa dikembalikan lagi" Suma Lian yang cerdik anaknya dapat menduga isi pikirannya dan dengan suara mengandungkemenangan anak itupun berkata,
"Makanan sudah kita makan, mana bisa dikemba-likan, kek?"
"Baiklah, akan tetapi pakaian ini.... mana pakaianku yang butut tadi" Dia menjenguk ke ba-wah tebing dan kembali menjambak rambutnya. "Ce-laka, pakaian itu sudah kuhanyutkan tadi!"
"Punyaku juga, kek. Dan lagi, kalau dikembalikanpun, yang punya tentu tidak mau menerimanya, sudah kutambal-tambal...."
Bu-beng Lo-kai teringat bahwa pakaian yang su-dah dipakainya itu, selain tak dapat dilepaskan karena pakaian bututnya sudah hilang, juga sudah penuh tambalan, tak mungkin dikembalikan. "Masih ada yang baru, yang lain itu, pakaian cadangan itu harus
dikembalikan...." "Tidak bisa juga, kek. Lihat ini, dan Suma Lian memperlihatkan cadangan pakaian untuk kakek itu dan untuknya sendiri. Ternyata semuanya telah ditambal-tambal oleh Suma Lian, dilakukan ketika kakek tadi mandi dengan lamanya.
"Wah, wah....! Kau setan cilik...."
"Eh, kenapa kakek marah-marah dan memaki orang" Kata nenek, kebiasaan memaki itu tidak baik, kelak di neraka lidah akan dicabut keluar oleh malaikat...."
"Hushh! Sembarangan saja kau bicara. Apakah nenekmu Teng Siang In itu juga tidak pernah meng-ajarkan kepadamu bahwa mencuri adalah perbuatan yang amat tidak baik" Keturunan para pendekar Pulau Es bukan pencuri!"
"Aku selalu dilarang mencuri oleh ayah ibu dan nenekku, kek. Akan tetapi, apa yang kulakukan tadi adalah karena terpaksa. Dan yang kuambil pakaian dan makanannya adalah keluarga yang kaya raya, yang agaknya tidak akan merasa kehilangan apa-apa. Bukankah makanan tadi kuambil karena kita berdua kelaparan dan pakaian ini kuambil karena kita berdua amat membutuhkan" Kek, kalau kita mencuri yang mengakibatkan orang yang
kecurian itu menderita, dan barang yang kita curi itu untuk kita pakai berfo-ya-foya, itu barulah tidak benar dan...."
"Cukup! Sekali mencuri tetap mencuri! Maling tetap maling, biar yang dimaling itu batu Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
350 koral mau-pun batu permata! Mengambil barang orang lain yang bukan menjadi haknya adalah perbuatan jahat. Kita adalah keluarga pendekar, bukan keluarga ma-ling dan pendekar berkewajiban untuk menentang para penjahat, termasuk pencuri. Mulai saat sekarang kau tidak boleh mencuri lagi. Kita belajar ilmu bukan untuk menjadi pencuri. Berjanjilah, kalau tidak, terpaksa aku akan membawamu pulang ke Hong-can dan...." Kakek itu berhenti marah-marah ketika melihat betapa ada dua tetes air mata jatuh dari se-pasang mata yang memandangnya dengan penuh sesal itu. Dia menarik napas panjang. "Sudahlah, aku sudah melihat bahwa kau benar menyesal dan berto-bat. Lebih baik minta-minta untuk menolong diri sendiri kalau memang kita sudah tidak mampu be-kerja lagi, dan lebih baik mati kelaparan dari pada menjadi penjahat! Mengertikah engkau, cucuku?"
Suma Lian mengangguk. "Aku mengerti, kakek-ku yang baik."
Bu-beng Lo-kai tersenyum dan anak itupun ter-senyum lagi dan cuaca menjadi cerah.
"Nah, mari sekarang kita pergi menghadap orang yang kaucuri miliknya itu."
Suma Lian membelalakkan matanya. "Wahh....! Mana aku berani....?"
"Seorang pendekar harus berani bertanggung ja-wab. Akupun telah makan barang curian, dan me-makai barang curian, akupun harus bertanggung ja-wab. Mari, bawa aku ke rumah di mana engkau melakukan pencurian itu."
Dengan muka sebentar merah sebentar pucat, Suma Lian terpaksa membawa kakek itu ke rumah besar di mana tadi ia melakukan pencurian. Ia me-mang seorang anak yang lincah dan karena sejak kecil sudah digembleng oleh ayah ibunya dan neneknya, maka ia memiliki kelincahan dan tidak sukar baginya untuk meloncat naik ke atas tembok rumah itu, ke-mudian dengan kecepatannya ia menyusup ke dalam kamar-kamar dan dapur, mencuri makanan dan pa-kaian tanpa diketahui oleh seorangpun di antara para penghuni rumah itu.
Rumah itu besar, terlalu besar untuk ukuran dusun. Suma Lian benar. Memang rumah itu milik orang kaya raya yang takkan merasa kehilangan kalau miliknya hanya diambil sekian saja. Dan ternyata rumah itu milik keluarga bangsawan dari kota raja! Kadang-kadang, untuk mencari ketenteraman yang tak bisa mereka dapatkan di kota raja yang ramai itu, keluarga Pouw, pemilik rumah itu, pergi ke dusun di luar kota raja ini dan di rumah mereka inilah mereka tinggal. Kalau saja keluarga itu tidak kebetulan berada di situ, tentu tadi Suma Lian hanya dapat mencuri pakaian saja yang ditinggalkan di situ, akan tetapi tidak akan memperoleh makanan-makanan yang lezat, melainkan makanan sederhana yang biasa
dimasak oleh para pelayan dan penjaga rumah itu.
Para penjaga pintu, memandang kakek dan anak perempuan itu penuh keraguan ketika mereka minta untuk bertemu dengan pemilik rumah, akan tetapi karena dua orang tamu aneh ini bersih dan majikan merekapun suka menerima siapa saja yang datang bertamu, para penjaga lalu membuat laporan ke da-lam, mengatakan bahwa ada dua orang tamu yang aneh, seorang kakek tua sekali dan seorang anak perempuan yang manis, keduanya memakai pakaian bersih dan tambal-tambalan, minta diperkenankan menghadap.
"Mereka tidak memberi nama dan tidak menge-nal nama Taijin, hanya minta menghadap pemilik ru-mah," demikian penjaga itu mengakhiri laporannya. Laki-laki yang disebut Taijin itu tersenyum. Dia se-orang laki-laki yang usianya kurang lebih limapuluh tahun, berpakaian Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
351 longgar dan wajahnya membayang-kan kesabaran yang penuh wibawa.
Pemilik rumah itu adalah seorang bangsawan, bahkan dia memiliki pangkat yang cukup tinggi kare-na dia adalah seorang di antara para menteri pemban-tu kaisar! Dia pernah menjabat sebagai seorang panglima pasukan keamanan kota raja, dan kini ia menjadi seorang menteri yang mengatur tentang pen-dapatan istana, yaitu pemasukan pendapatan dari pajak dan lain-lain.
Pada waktu itu, Pouw Taijin atau dahulu pernah dikenal sebagai Pouw-ciangkun (perwira Pouw), bersama isterinya dan lima orang anak-anaknya, em-pat laki-laki dan seorang anak perempuan, sedang beristirahat di dusun itu. Akhir-akhir ini memang, dia semakin sering saja berada di dusun itu, karena keadaan di kota raja membuat dia tidak betah di gedungnya di kota raja.
Bu-beng Lo-kai dan Suma Lian disuruh masuk ke ruangan tamu oleh seorang penjaga dan belum lama mereka duduk, muncullah tuan rumah dari pintu sebelah dalam. Bu-beng Lo-kai cepat mengajak cucunya bangkit berdiri dan memberi hormat kepada laki-laki yang memandang kepada mereka denga mata terbelalak penuh keheranan itu.
"Maafkan kami kalau mengganggu," kata Bu-beng Lo-kai dan kata-katanya yang teratur menunjukkan bahwa dia bukanlah seorang gelandangan biasa saja, "cucuku ini ingin membuat pengakuan kepada tuan rumah."
Pouw Tong Ki, nama dari pembesar itu, semakin heran memandang kepada kakek tua renta dan anak perempuan itu. Dia seorang berpengalaman, dan me-lihat pakaian kakek dan anak perempuan itu yang baru akan tetapi tambal-tambalan, jelas bahwa dia pakaian itu bukan membutuhkan tambalan melainkan sengaja ditambal-tambal, dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang kang-ouw yang mem-punyai kebiasan yang aneh-aneh.
"Saya Pouw Tong Ki, pemilik rumah ini. Silah-kan kalian duduk...."
"Nanti saja kami duduk setelah cucuku membuat pengakuannya," kata Bu-beng Lo-kai dengan tegas dan diapun mencwel lengan cucunya.
Suma Lian berdiri dengan muka sebentar merah sebentar pucat. Bukan main malunya apa lagi meli-hat betapa tuan rumah itu amat ramah memandang kepadanya.
"Nona kecil yang baik, apakah yang hendak nona katakan" Katakan saja dan jangan ragu-ragu," kata-nya sambil tersenyum ramah. Sikap ini banyak me-nolong dan setelah beberapa kali menelan ludah, akhirnya Suma Lian berkata, suaranya lirih akan te-tapi cukup tegas dan jelas.
"Saya.... saya minta maaf karena tadi saya...." sukar sekali baginya untuk mengeluarkan kata-kata pengakuan itu. Mengaku menjadi pencuri! Tentu saja hal ini merupakan pukulan hebat bagi dirinya, bagi "aku" nya. Makin tinggi orang mem-bentuk gambaran tentang dirinya, semakin sukar pula baginya untuk mengenal dan mengakui kesalah-annya.
"Cucuku, apakah engkau ingin menjadi seorang pengecut?" tiba-tiba kakek itu bertanya dan ucap-an ini seperti api yang membakar dada Suma Lian!
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
352 "Saya datang untuk minta maaf dan mengaku bahwa tadi saya telah mencuri makanan yang sudah kami makan berdua, dan pakaian beberapa stel yang sudah kami pakai dan kami jadikan cadangan-cadang-an kami!" katanya dengan sikap gagah dan sepasang matanya yang jernih itu memandang kepada wajah tuan rumah tanpa mengenal takut sedikitpun!
Pouw Tong Ki nampak terkejut dan terheran-heran. "Tapi.... tapi pakaian yang kalian pakai itu bukan milik kami. Kami tidak mungkin memiliki pakaian tambal-tambalan...."
"Memang sengaja saya tambal-tambal agar sesuai dengan keadaan kami sebagai pengemis,"
jawab Suma Lian. "Maaf," sambung Bu-beng Lo-kai. "Kami sudah biasa memakai pakaian tambal-tambalan sehingga tidak enak rasanya memakai pakaian utuh tanpa tambalan."
"Ah....! Ahh....! Bukan main ji-wi (kalian berdua) ini....! Anakku harus melihat ini, harus dapat mencontoh!" Pouw Taijin bertepuk tangan dan dua orang penjaga muncul di pintu luar.
"Cepat kalian cari siocia dan minta agar datang ke sini dengan cepat!"
"Saya sudah minta maaf, kenapa harus memang-gil orang lain?" Suma Lian memprotes karena bagaimanapun juga, ia merasa tidak suka kalau perbu-atannya mencuri itu
diberitahukan kepada orang-orang lain!
"Nona, harap jangan salah duga. Yang kupang-gil adalah puteriku, puteri tunggal, dan karena pakaiannyalah yang kauambil dan kaupakai itu, bukankah sudah sepatutnya kalau ia datang sendiri menerima permintaan maaf darimu?"
Suma Lian tidak mampu membantah lagi, hanya mukanya berubah merah sekali. Ia harus menebalkan muka lagi, berhadapan dengan orang yang kini pakai-annya ia pakai! Tak lama kemudian, dari pintu da-lam muncul seorang gadis cilik yang manis, sebaya dengan Suma Lian, pembawaannya tenang sekali akan tetapi sepasang matanya membayangkan kecerdikan.


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejenak gadis cilik itu memandang kepada Bu-beng Lo-kai dan Suma Lian, lalu bertanya kepada Pouw Tong Ki, "Ayah, ada apakah ayah memanggil aku agar cepat datang ke sini dan siapa pula dua orang yang pakaiannya aneh-aneh ini?"
"Li Sian, dengar baik-baik. Ayahpun tidak mengenal kedua orang ini, akan tetapi mereka datang minta bertemu dengan kita berdua karena nona kecil ini ingin menyampaikan sesuatu kepada kita. Kepa-daku sudah disampaikan maksud kedatangannya dan dengarlah apa yang akan ia katakan kepadamu."
Nona cilik itu memandang kepada Suma Lian, memandang penuh perhatian dari rambut sampai ke sepatunya, lalu ia mengerutkan alisnya dan berkata kepada Suma Lian, "Siapakah engkau yang berpakai-an seaneh ini dan hendak menyampaikan apa?" Suaranya halus teratur, tidak galak dan mengandung ke-lembutan, akan tetapi ia agaknya terkejut dan terhe-ran-heran mendengar kata-kata ayahnya tadi.
Untuk kedua kalinya, Suma Lian mengangkat mukanya, meluruskan kepala dan
membusungkan da-danya, lalu berkata, "Aku datang ke sini untuk min-ta maaf dan untuk membuat pengakuan bahwa tadi aku telah menyelinap ke dalam rumah ini dan mencuri makanan, yaitu dua panci masakan, seguci arak dari dapur, dan dari dalam kamar-kamar aku Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
353 meng-ambil.... eh, mencuri beberapa stel pakaian untuk kakekku ini dan untukku sendiri, juga sepatu ini. Pakaian-pakaian itu sudah kutambal-tambal, jadi tidak mungkin dikembalikan seperti yang dikehendaki kakekku, juga makanan itu terlanjur kami makan habis."
Pouw Li Sian menjadi bengong, memandang ke arah pakaian Suma Lian. Ia mengenal
bajunya sen-diri yang sudah ditambal-tambal itu, juga ia menge-nal sepatunya. Akan tetapi, yang membuat ia be-ngong, kenapa anak ini, yang sudah berhasil melaku-kan pencurian tanpa diketahui, kini malah datang membuat pengakuan dan minta maaf"
"Nah, Li Sian. Engkau sendiri menjadi terheran heran mendengar pengakuannya. Sikap seperti inilah yang harus kautiru, anakku!"
"Maksud ayah.... berpakaian pengemis dan.... dan mencuri itu?"
"Bukan! Akan tetapi sikap berani mempertanggungjawabkan segala perbuatannya itulah!
Aihh, betapa akan baiknya kalau semua pejabat dapat ber-tanggung jawab seperti anak ini! Li Sian, kalau ada orang-orang seperti ini kehabisan pakaian dan kelaparan, lalu mengambil makanan dan pakaian darimu, yang bagi kita tidak ada artinya, apakah engkau rela?"
Li Sian mengerutkan alisnya yang hitam indah itu. Lalu ia menggeleng kepalanya.
"Aku tidak rela, ayah. Kalau mereka datang dan minta kepadaku, mungkin aku akan memberi lebih baik dan lebih banyak dari pada yang telah diambil-nya. Akan tetapi mencuri" Tidak, itu tidak benar dan aku tidak rela!"
"Akan tetapi, mereka sudah datang minta maaf. Lalu bagaimana pendapatmu" Kaumaafkan me-reka?"
"Aku tidak mau memaafkan orang yang mencuri karena ia tentu kelak akan mencuri lagi.
Pencurian harus dihukum dan hukumannya terserah kepada ayah. Akan tetapi kalau mengenai barang-barangku, itu kurelakan dan sekarang juga kusumbangkan ke-pada mereka, ayah."
"Bagus!" Tiba-tiba Bu-beng Lo-kai berkata de-ngan pandang mata kagum kepada puteri tuan rumah. "Itupun merupakan suatu pendirian yang gagah dan harus dihormati. Lihat, cucuku, puteri tuan rumah ini pantas kaujadikan teladan. Tegas dan adil!"
Pouw Tong Ki yang kini merasa yakin bahwa dia berhadapan dengan seorang sakti, lalu pura-pura bertanya, "Orang tua, apakah hanya itu maksud kedatangan ji-wi ke sini" Hanya untuk membuat pengakuan dan minta maaf begitu saja?"
Kakek tua renta itu kini menujukan pandang ma-tanya kepada tuan rumah dan diam-diam Pouw Tong Ki merasa terkejut dan kagum, juga jerih sekali. Sepasang mata itu dapat mengeluarkan sinar mencorong
seperti api! "Benar, akan tetapi aku setuju sekali dengan pendapat puterimu. Yang bersalah harus dihukum. Kami telah bersalah dan kami juga bukan orang yang suka menghindarkan diri dari hukuman. Nah, kami telah mengaku salah, kami telah datang, kalau mau
menjatuhkan hukuman, silahkan!"
"Baik, kami akan menghukum ji-wi dan ji-wi sudah berjanji untuk menerima hukuman itu."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
354 "Tapi hukuman itu harus adil, kalau tidak, aku akan menentangnya! Sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang keadilan, bukankah begitu, kek?" tiba-tiba Suma Lian berkata kepada tuan rumah dan iapun tegak berdiri menanti hukuman dengan sikap gagah!
"Hukuman untuk ji-wi adalah satu bulan lama-nya harus mau menjadi tamu kehormatan kami di rumah ini! Locianpwe ini akan menjadi temanku bercakap-cakap, sedangkan nona cilik ini menjadi te-man bermain dari Pouw Li Sian, anak kami ini. Lo-cianpwe, saya bernama Pouw Tong Ki, menjabat Menteri Pendapatan Istana yang sedang beristirahat di sini, harap locianpwe tidak menolak undangan kami untuk menjadi tamu kehormatan kami!"
Kakek dan cucunya itu menjadi bengong! Mana di dunia ini ada hukuman berupa menjadi tamu ke-hormatan dan menjadi sahabat" Dan tuan rumah ini ternyata seorang menteri!
Seorang "tiong-sin" menteri setia dan bijaksana seperti nampak pada si-kapnya, dan dapat mengenal dirinya maka bersikap demikian hormat.
"Bagaimana ini, kakek" Hukumannya aneh sekali!" kata Suma Lian, bingung.
"Ha-ha-ha, kita sudah berjanji dan sanggup un-tuk menerima, sekali-kali tidak baik kalau menolak-nya, cucuku."
Pouw Li Sian menjadi girang sekali dengan keputusan ayahnya dan iapun maju dan
memegang tangan Suma Lian. "Engkau anak yang aneh sekali dan aku suka kepadamu.
Namaku Pouw Li Sian. Siapakah namamu?"
"Namaku Suma Lian. Dan akupun merasa heran ada puteri seorang menteri suka bersahabat dengan seorang anak pengemis. Tidak malukah engkau bersahabat dengan aku?"
Pouw Li Sian merangkul pundaknya. "Engkau dahulu lahir telanjang seperti aku, hanya pakaian saja yang memberi sebutan-sebutan itu. Mari kita lihat kebun buah kami, kini sedang musim apel, banyak dan besar-besar. Mari kita petik!" Ia lalu menggandeng tangan Suma Lian yang mengikutinya dengan girang tanpa menoleh lagi kepada kakeknya.
"Locianpwe, mari kita bicara di ruangan dalam. Silahkan!" Pembesar itu bangkit dan mengajak kakek itu masuk ke dalam, diikuti oleh Bu-beng Lo-kai yang merasa semakin suka saja kepada laki-laki yang memiliki kedudukan tinggi akan tetapi berjiwa se-derhana itu.
Setelah mereka duduk di ruangan dalam, Pouw Tong Ki memperkenalkan isterinya kepada kakek itu, juga empat orang puteranya yang berusia dari sembilanbelas tahun sampai enambelas tahun, kakak-kakak dari Pouw Li Sian. Bu-beng Lo-kai semakin hormat kepada keluarga ini, contoh keluarga pembesar yang baik dan ramah. Sebaliknya, keluarga itu menganggap kakek yang berpakaian tambal-tambalan dan diaku sebagai tamu kehormatan oleh pembesar itu sebagai seorang kakek yang tentu berilmu tinggi. Setelah mereka mundur dan para pelayan menghidangkan minuman arak dan makanan kering, pembesar itu lalu bertanya, suaranya bersungguh-sungguh.
"Kalau saya tidak salah duga, locianpwe tentulah seorang pendekar dari keluarga Pulau Es, bukan?"
Bu-beng Lo-kai terkejut, sama sekali tidak me-ngira akan ditanya demikian. "Bagaimana Taijin dapat menduga demikian?" Dia balas bertanya sam-bil memandang tajam. Kalau penghormatan ini di-dasarkan dugaan tuan rumah bahwa dia dan cucunya keluarga para Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
355 pendekar Pulau Es, berarti bahwa penerimaan dan penghormatan keluarga ini mengan-dung suatu pamrih tertentu dan dia harus berhati-hati.
"Tadinya saya tidak menduga apa-apa, akan tetapi setelah cucumu berkenalan dengan puteriku dan mengaku bernama Suma Lian, maka timbul dugaan itu di hati saya. Bukankah nama marga Suma itu jarang sekali dan dimiliki oleh keluarga Pulau Es?"
Kakek itu menarik napas lega. Dia percaya dan memang benar ucapan pembesar ini. Nama marga Suma yang bukan merupakan keluarga Pulau Es me-mang ada, akan tetapi tidak banyak dan karena kelu-arga Pulau Es terkenal di antara para pembesar di kota raja, maka tidak mengherankan kalau pembesar ini segera dapat menduganya demikian.
"Dugaanmu memang tidak keliru, Pouw Taijin. Cucuku Suma Lian itu adalah keturunan langsung dari keluarga Pulau Es."
"Dan bolehkah saya mengetahui siapa nama lo-cianpwe yang mulia?"
"Aihh.... saya sendiri sudah lupa akan nama saya. Saya hanya orang luar dan saya hanya mempu-nyai sebutan Bu-beng Lo-kai."
Pouw Tong Ki tidak merasa kecil hati mendengar ini. Dia berpengalaman luas dan tahu apa artinya itu. Berarti bahwa kakek ini tidak mau dikenal oleh siapapun juga, dan memang banyak sekali orang-orang sakti yang ingin menyembunyikan diri dari kepandai-annya. Maka dia semakin kagum dan menduga bah-wa tentu kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Dan diam-diam diapun mempunyai harapan. Di antara lima orang anak-anaknya, justeru Li Sian seoranglah, satu-satunya anak perempuannya yang menaruh minat akan latihan silat, juga berbakat sekali. Alangkah akan girang hatinya kalau Li Sian dapat menjadi murid kakek ini, menjadi saudara seperguruan atau saudara angkat dari anak perempuan bernama Suma Lian yang mengagumkan hatinya itu!
Mereka lalu bercakap-cakap dan ternyata oleh tuan rumah bahwa kakek yang kelihatannya saja seperti seorang pengemis tua, ternyata memiliki daya tangkap yang tajam dan pengetahuan yang luas sekali. Kakek tua renta itu bahkan pandai menanggapi ketika percakapan menyinggung keadaan kaisar. Kakek itu menyayangkan sekali bahwa seorang kaisar secakap Kaisar Kian Liong itu akhirnya dapat begitu mudah diperdaya oleh seorang menteri durna seperti Hou Seng, hanya karena kaisar itu tergila-gila kepadanya dan menganggapnya penjelmaan dari seorang wanita yang pernah dicintanya.
"Kaisar merupakan mercu-suar dari pemerintah-an," demikian antara lain kata kakek tua renta ini. "kalau kaisarnya lemah, maka pemerintahanpun lemah dan hal ini menurunkan kewibawaan pemerin-tah terhadap rakyat, juga memberi angin kepada para pembesar durna untuk merajalela. Akibatnya, rakyat yang tertindas dan kalau sampai rakyat merasa tidak puas dengan suatu pemerintah, itu tandanya bahwa pemerintah itu sudah mulai rapuh dan akan mudah jatuh kalau sampai terjadi pemberontakan, karena rakyat tentu akan lebih condong membantu pemberontak dari pada pemerintah yang tidak disuka-nya. Dan kalau kaisar lemah, sudah menjadi kewajiban para menteri dan pembesar tinggi untuk mengingatkannya."
"Pendapat locianpwe memang tepat sekali. Akan tetapi celakanya, Hou Seng itu agaknya memang su-dah membuat persiapan. Selain sukar untuk membuktikan korupsinya yang hanya beberapa orang yang bersangkutan dengan kekayaan negara saja yang me-ngetahuinya, juga Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
356 dia kelihatan amat setia kepada kaisar dan bahkan kini mengumpulkan kekuatan ra-hasia untuk memperkuat kedudukannya. Menteri-menteri yang kuat disingkirkannya, baik melalui kekuasaan kaisar ataupun melalui kaki tangannya, menteri-menteri yang tidak kuat mentalnya dirangkul dengan sogokan-sogokan besar. Siapa berani menen-tangnya, tahu-tahu mati dalam keadaan amat menye-dihkan dan aneh. Seperti baru saja terjadi pada diri Pangeran Cui Muda yang kedapatan mati bersama seluruh pengawalnya di sebuah rumah pelesir, tanpa ada tanda-tanda siapa yang melakukan pembunuhan itu. Saya sendiri sudah tahu bahwa itu tentulah per-buatan orang sakti yang menjadi kaki tangan Hou Seng itu. Aihhh.... sungguh sedih sekali hatiku melihat keadaan istana. Karena itulah maka saya lebih sering berada di dusun sunyi ini dari pada di kota raja. Kalau saja orang-orang seperti Panglima Kao Cin Liong itu masih menjadi pembesar di kota raja. Ah, hanya orang-orang dengan kepandaian tinggi se-perti dialah yang akan mampu membendung kekuasa-an Hou Seng yang merajalela. Saya kira locianpwe tahu siapa adanya Panglima Kao Cin Liong itu, bukan?"
Bu-beng Lo-kai mengangguk-angguk. Tentu saja dia sudah mendengar tentang putera dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu!
"Panglima Kao Cin Liong adalah seorang di an-tara para sahabat baik saya, locianpwe.
Ketika dia masih menjabat panglima, setiap ada keruwetan di istana saya dapat mengajaknya bertukar pikiran. Akan tetapi sekarang, ah, dia sudah lama sekali meng-undurkan diri dan kini hanya menjadi seorang peda-gang rempa-rempa di Pao-teng. Betapa saya amat merindukan nasihat-nasihatnya dalam keadaan seperti ini." Pembesar itu menarik napas panjang.
Bu-beng Lo-kai makin suka kepada pembesar she Pouw ini. Kalau menteri ini sahabat baik bekas Pa-nglima Kao Cin Liong yang terkenal itu, jelaslah bahwa dia memang seorang menteri yang baik dan bijaksana, dan dia merasa gembira dapat menjadi tamunya.
"Bagaimana Taijin dapat memastikan bahwa pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan atas diri para pembesar itu adalah perbuatan kaki tangan Hou Seng?" tanyanya, ingin tahu sekali karena apa yang diceritakan oleh pembesar ini amat penting dan agak-nya masih ada hubungannya dengan pengalaman Su-ma Lian.
"Mereka yang, menjadi korban pembunuhan raha-sia itu, semua terbunuh oleh orang-orang pandai yang tidak dilihat sepak terjangnya, hanya nampak bayangannya saja. Dan menurut penyelidikan, mereka yang tewas itu semua adalah orang-orang yang me-nentang kekuasaan Hou Seng, Bahkan mendiang Pa-ngeran Cui Muda juga menentangnya karena merasa kalah bersaing dalam istana dan pangeran itu pernah menghinanya di suatu pesta."
"Lalu apa yang akan Taijin lakukan?"
"Pembunuhan-pembunuhan gelap seperti ini ti-dak boleh didiamkan begitu saja!" kata menteri itu penuh semangat. "Seolah-olah pemerintah kita terdiri dari algojo-algojo yang boleh saja saling bermusuhan dan saling mengirim pembunuh. Bagaimana kalau nanti semua pembesar memelihara jagoan-jagoan un-tuk saling bunuh. Sudah terlalu banyak jatuh korban.
Saya akan memberanikan diri menghadap kaisar dan menceritakan semua ini, dan kalau perlu saya akan temui Hou Seng dan akan saya tegur atas per-buatannya yang sewenang-wenang dan kotor itu!"
Bu-beng Lo-kai menarik napas panjang dan percakapan mereka terhenti dengan munculnya Suma Lian dan Li Sian. Mereka masuk sambil bergandeng tangan dan Suma Lian memberi Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
357 dua buah apel merah kepada kakeknya.
"Kek, Li Sian ini baik sekali kepadaku dan ke-bun apelnya penuh dengan buah apel yang manis. Ini dua buah untukmu, kek. Aku sudah kekenyang-an makan apel!"
"Hushh, bagaimana engkau menyebut namanya begitu saja" Ia puteri seorang menteri, setidaknya engkau harus menyebutnya siocia (nona)!" kata Bu-beng Lo-kai.
"Ia tidak mau, kek. Dan usia kami memang se-baya, akan tetapi aku lebih tua beberapa bulan maka ia malah menyebut enci kepadaku."
Sementara itu, Li Sian berkata kepada ayahnya. "Ayah, enci Lian ini pandai sekali! Menurut kakak--kakakku, enci Lian pandai silat dan ketika dicoba, semua kakakku kalah olehnya. Aku sendiripun da-lam lima jurus saja sudah keok! Wah, ia lihai dan juga ia pandai menulis sajak.
Sungguh seorang anak pengemis yang luar biasa, ayah. Aku menganggapnya sebagai
saudaraku sendiri!" Menteri Pouw mengangguk-angguk senang dan memandang kagum kepada Suma Lian.
"Bagus sekali kalau engkau dapat menghargai orang pandai, anakku. Ketahuilah bahwa ia adalah keturunan langsung dari keluarga Pendekar Pulau Es, tentu saja ia lihai sekali."
"Ehh" Kakek memperkenalkan keluarga kita?" Suma Lian memandang kepada kakeknya
dengan ma-ta terbelalak, seperti menegur. Kakeknya menggeleng kepala sambil tersenyum.
"Anak baik, nama keluargamu sudah amat ter-kenal di sini. Begitu engkau menyebutkan she (nama marga) Suma tadi, Pouw Taijin juga sudah dapat menduga bahwa engkau tentu keturunan dari Pende-kar Super Sakti dari Pulau Es."
"Dan engkau...." hampir saja Suma Lian memperkenalkan keadaan diri kakek itu sebagai mantu Pendekar Super Sakti, suami dari mendiang Puteri Milana yang terkenal sekali.
Kakek itu memotong, "aku adalah Bu-beng Lo-kai dan tidak ada keterangan lain sebagai tambahan."
Sunia Lian mengangguk. Saat itulah diperguna-kan oleh Pouw Tong Ki untuk menyatakan hasrat hatinya. "Locianpwe, kami mohon dengan hormat dan sangat kepada locianpwe, sudilah kiranya locianpwe memberi bimbingan kepada Li Sian, anak kami ini yang suka sekali akan ilmu silat, berbeda dengan kakak-kakaknya yang suka akan ilmu sastera.
"Benar, kek, Li Sian ini lebih berbakat dari pada kakak-kakaknya dan ia juga minta belajar silat kepadaku. Akan tetapi aku sendiri masih belajar, bagaimana mungkin memberi pelajaran" Kalau kakek mau membimbingnya, bersamaku, betapa akan se-nangnya kami berdua untuk berlatih bersama dan aku yang memberi petunjuk kepadanya."
Kakek itu tersenyum lebar akan tetapi tidak menjawab, melainkan memandang ke arah Pouw Li Sian dan dia melihat bahwa memang anak perempuan itu memiliki bakat yang baik, dapat dilihat dari gerak-geriknya. "Ha-ha, setua aku ini mana bisa menerima murid" Kalau hanya sekedar petunjuk dan bimbingan saja, tentu dengan senang hati...."
"Li Sian, cepat berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada locianpwe Bu-beng Lo-kai!"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
358 kata Pouw Tong Ki yang cerdik.
Li Sian juga seorang anak yang patuh dan cerdik. Ia sudah dapat mengerti bahwa kalau Suma Lian saja, sedemikian lihainya sehingga anak perempuan berusia duabelas tahun itu dapat mengalahkan kakaknya yang paling tua berusia sembilanbelas tahun secara mudah saja, maka apa lagi kepandaian kakek dari Suma Lian! Tentu kakek ini seorang sakti! Dan iapun pernah mendengar dongeng tentang para pendekar Pulau Es, tentang Puteri Nirahai, Puteri Milana yang pernah menjadi panglima-panglima perang kerajaan. Maka, mendengar perintah ayahnya, ia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil berkata, "Locianpwe, saya Pouw Li Sian menghaturkan terima kasih atas bimbingan locian-pwe."
Kakek itu tertawa senang. "Ha-ha-ha, keluarga Pouw sungguh pandai merendah, dan kerendahan hati selalu menguntungkan seseorang, lahir maupun batin. Bangkitlah, anak baik.
Suma Lian, ajak ia duduk, aku hanya akan memberi bimbingan, bukan mengangkat murid.
Biarlah engkau belajar bersama-sama Suma Lian."
Suma Lian merangkul sahabatnya itu dan diajak-nya duduk. Dalam percakapan berikutnya, sambil tetap menggandeng tangan Suma Lian, Li Sian ber-kata kepada ayahnya, "Ayah, aku sudah mengambil keputusan untuk belajar bersama enci Lian, baik be-lajar ilmu silat maupun ilmu baca tulis. Aku minta agar ia dan locianpwe ini suka tinggal selamanya di sini. Kalau mereka tidak mau dan akan pergi dari sini, aku akan ikut bersama mereka! Enci Lian su-dah kuanggap enciku sendiri, ayah."
Ayahnya hanya tersenyum dan memandang kepa-da Bu-beng Lo-kai yang juga hanya
tersenyum meli-hat betapa dua orang gadis cilik itu begitu bertemu terus cocok sedemikian rupa. Padahal, keduanya memiliki watak dan sifat yang berbeda, bahkan mungkin
berlawanan. Suma Lian mempunyai watak yang periang, lincah jenaka dan suka bicara, bahkan agak nakal dan ugal-ugalan. Sebaliknya, Pouw Li Sian berwatak pendiam, tidak banyak bicara, sabar namun tegas. Keduanya memang sama-sama suka kagagahan,
menentang hal-hal yang jahat, dan suka membantu orang-orang lemah. Keduanya memiliki jiwa pendekar!
Demikianlah, mulai hari itu, Bu-beng Lo-kai dan Suma Lian menjadi tamu kehormatan, bahkan diang-gap warga dari keluarga Pouw yang ramah tamah itu. Kakek itu mendapatkan sebuah kamar dekat tuan rumah, sedangkan Suma Lian tidur sekamar di kamar Li Sian.
*** Dalam percakapan-percakapannya dengan kakek Bu-beng Lo-kai, semangat Pouw Tong Ki semakin berkobar dan diapun melanjutkan rencananya yang sudah menjadi keputusan hatinya untuk menentang tindakan Hou Seng yang sewenang-wenaug. Dalam suatu persidangan dengan kaisar, selain melaporkan hal-hal yang mengenai keuangan, dia menggunakan kesempatan ini untuk melaporkan hal lain.
"Hamba mohon paduka suka mengambil perhati-an akan keadaan rakyat yang mengeluh karena ber-ulang kali terjadi pemungutan pajak liar dari para tuan tanah yang sudah memperoleh ijin langsung dari istana. Pemungutan pajak harus didasari keadilan, bukan hanya sekedar untuk mendatangkan keuntung-an bagi pemerintah. Kalau hal itu merupakan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
359 penin-dasan, maka rakyat akan mengeluh dan tidak merasa tenteram hidupnya."
Kaisar memandang kepadanya dengan alis berke-rut. Dari Hou Seng dia sudah seringkali mendengar bisikan-bisikan tentang "buruknya" menteri Pouw ini yang sering melontarkan protes ke atasan.
"Apa yang kaumaksudkan dengan keadilan dalam pemungutan pajak itu?" tanya kaisar.
"Begini, Sribaginda. Dalam memungut pajak, ha-rus diperhitungkan besar kecilnya penghasilan para petani itu secara seksama. Kalau sekali waktu hasil panen mereka amat kecil karena datangnya musim kemarau panjang atau terserang hama sehingga hasil keringat mereka itu untuk dimakan keluarga sendiri saja masih belum mencukupi, hendaknya diadakan peraturan agar para tuan tanah tidak memaksakan pemungutan pajak. Dan pemerintahpun memberi kelonggaran kepada para tuan tanah dalam hal membayar pajak. Memang tentu saja pemasukan di istana menjadi berkurang, akan tetapi hal itu disebabkan oleh bencana alam.
Biarpun pemasukan berkurang, akan tetapi semua pihak tidak mengeluh dan kalau hasil panen besar dan baik, tentu mereka suka mem-bayar pajak penuh dengan hati rela."
Kaisar Kian Liong yang tidak begitu beminat lagi untuk memperhatikan keadaan yang dianggap tidak penting itu, hanya mengangguk-angguk. "Pendapat dan usul itu baik sekali untuk diperhatikan."
"Ampun, Sribaginda yang mulia, hamba kira bahwa peraturan pajak yang diadakan
pemerintah sudah cukup baik dan adil. Kalau pemerintah ter-lampau longgar, maka mereka yang berkewajiban membayar pajak itu selalu akan mempergunakan ke-lemahan atau
kelonggaran pemerintah untuk meng-hindarkan diri dari pembayaran pajak. Tanpa tekanan, mereka itu tidak akan mau membayar!"
Ucapan yang dikeluarkan Hou Seng ini membuat Kaisar kembali mengangguk-angguk dan dia dapat melihat kebenaran dalam ucapan ini. Hatinya menja-di bimbang dan diapun memandang kepada Pouw Taijin, sinar matanya bertanya bagaimana pendapat menterinya yang terkenal pandai itu.
"Ampunkan hamba, Sribaginda yang mulia. Hambapun mengerti bahwa semua peraturan yang dikeluarkan pemerintah adalah bijaksana dan adil! Akan tetapi, biasanya, yang tidak bijaksana dan tidak adil adalah pelaksanaannya. Para petugas yang me-laksanakan peraturan, seringkali menyalahgunakan kebijaksanaan pemerintah dan mempergunakan per-aturan-peraturan itu sebagai modal untuk melakukan penindasan dan pemerasan demi kegendutan perut sendiri. Karena itu, betapa pentingnya untuk melakukan pengamatan terhadap para pelaksana atau pe-tugas itu, Sribaginda. Betapapun baiknya pemerintah dan semua peraturannya, tanpa didukung pelaksana-an yang baik oleh petugas-petugas yang setia dan jujur, maka pemerintahan takkan berhasil. Dan menurut pengamatan hamba, pada saat ini pemerintahan paduka sedang dirong-rong oleh penguasa-penguasa yang berambisi buruk dan saling bertentangan. Pembunuhan-pembunuhan terjadi di kalangan para peja-bat tingkat atas.
Ada penguasa yang memelihara tu-kang-tukang pukul untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap saingan-saingannya. Kalau pa-duka tidak segera mencegahnya, keadaan yang buruk ini dapat berlarut-larut dan semakin memburuk, Sri-baginda."
Kaisar mengerutkan alisnya dan melempar pan-dang ke arah para menteri yang duduk di dalam ru-angan sidang itu. "Benarkah sampai demikian parah sehingga ada yang saling bunuh Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
360 di antara para pem-bantuku?"
"Apa yang dilaporkan oleh Menteri Pouw itu benar, Sribaginda. Baru-baru ini malah Pangeran Cui Muda menjadi korban pembunuhan yang amat kejam, juga semua saksi mata, pengawal, dibunuh oleh pembunuh rahasia."
"Kami sudah mendengar bahwa pangeran itu te-was oleh perampok di dalam rumah pelesir,"
kata kaisar itu. "Bukan perampok, Sribaginda, karena tidak ada barang yang hilang, melainkan pembunuh bayaran yang diutus oleh seorang saingannya," kata pula Pouw Teng Ki.
Kaisar menggeleng-geleng kepala dengan alis berkerut dan pada saat itu, Hou Seng segera berkata, "Urusan itu adalah urusan yang menyangkut keaman-an dari menjadi bagian dan tugas Coa Tai-ciangkun yang menjadi kepala bagian keamanan untuk menye-lidiki dan mengurusnya, Sribaginda. Dan Coa Tai-ciangkun juga hadir, kenapa paduka tidak
menyerahkan saja kepadanya?"
Kaisar lalu menoleh ke kiri dan memandang ke-pada seorang panglima tinggi besar bermuka hitam "Bagaimana pendapatmu dalam urusan ini, Coa-ciangkun?"
Panglima tinggi besar itu memberi hormat dan terdengar suaranya yang berat dan dalam, sesuai dengan bentuk tubuhnya. "Tadinya memang hamba mengira bahwa pembunuhan atas diri Pangeran Muda itu merupakan perampokan, akan tetapi kemudian menurut penyelidikan, pembunuhan itu dilakukan orang karena dendam sakit hati urusan perempuan, Sribaginda.
Pembunuhnya berkepandaian tinggi dan tidak meninggalkan jejak, namun hamba masih terus mengutus pembantu-pembantu yang pandai untuk mencari jejaknya."
Kaisar mengangguk-angguk lega. "Bagus kalau begitu, Coa-ciangkun dan selanjutnya atur dan jagalah agar keadaan tetap aman."
"Selama ini keamanan dalam kota raja sudah terjaga dengan baik, Sribaginda. Keadaan para penghuni dan kehidupan mereka sehari-hari berjalan seperti biasa, tidak pernah ada gangguan, kecuali pencuri kecil-kecilan yang tidak berarti. Kalau ada orang merasa tidak aman di kota raja, berarti bahwa dia menyimpan kesalahan sehingga merasa tidak sedap makan tidak nyenyak tidur."
Nampak beberapa orang pembesar tinggi mena-han tawa dan tersenyum-senyum, sedangkan Hou Seng sendiri tidak menyembunyikan senyumnya yang lebar dan dengan pandang mata penuh ejekan dia memandang ke arah Pouw Tong Ki. Pouw Tong Ki dan mereka yang
menentang Hou Seng tak mampu berkata apa-apa lagi dan merasa ditertawakan. Mereka tahu bahwa panglima she Coa itu sudah dirang-kul oleh Hou Seng dan tentu saja membelanya!
Ketika persidangan itu bubaran, Pouw Tong Ki menyusul Hou Seng yang melangkah menuju ke keretanya. "Hou Taijin, saya mau bicara sebentar!" katanya dengan muka merah karena mendongkol.
Hou Seng menoleh dan melihat betapa Pouw Tong Ki melangkah lebar menghampirinya, dia tersenyum mengejek. Dua orang pengawalnya siap di belakangnya dan dia tidak takut terhadap lawan ini. "Ah, kiranya Pouw Taijin. Ada apakah?"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
361 "Hou Taijin, di depan Sribaginda saya telah gagal. Akan tetapi, demi perikemanusiaan, hentikanlah pembunuhan-pembunuhan itu! Kalau engkau hendak bersaing, lakukanlah dengan patut dan bersih, bukan dengan menggunakan tangan pembunuh-pembunuh bayaran!
Engkaulah yang menyuruh bunuh Pangeran Cui Muda!"
Hou Seng mamandang dengan mata melotot. "Tutup mulutmu yang lancang itu, orang she Pouw! Engkau melakukan fitnah keji dan aku tidak sudi bicara lagi denganmu!" Dengan marah Hou Seng melangkah lebar memasuki keretanya yang segera pergi meninggalkan halaman istana.
"Aihh, engkau telah menanamkan bibit racun yang akan tumbuh mekar dan berbahaya bagimu sendiri, kawan," kata seorang menteri tua yang kebetul-an melihat peristiwa itu. Akan tetapi Pouw Tong Ki menggerakkan pundaknya dan pergi, sedikitpun tidak merasa takut akan bayangan itu. Diapun bukan tidak tahu bahwa sikapnya terhadap Hou Seng dan pela-porannya terhadap peristiwa pembunuhan-pembunuh-an itu di depan kaisar merupakan suatu tantangan terbuka kepada Hou Seng, dan bahwa akibatnya dia akan dimusuhi oleh pembesar yang sedang mabok ke-kuasaan itu. Mungkin dia akan terancam bahaya, akan tetapi betapapun juga, dia sudah mengeluarkan segala rasa penasaran dalam hatinya. Dia telah mem-beri contoh kepada para pembesar lainnya untuk se-cara berterang menentang Hou Seng, dan hatinya merasa lega walaupun dia tahu bahwa semua usaha-nya tadi tidak berhasil. Dengan cerdiknya Hou Seng telah bersembunvi di belakang Coa-ciangkun yan memang sebagai kepala bagian keamanan paling berkuasa untuk menentukan urusan keamanan, dan Hou Seng telah lebih dahulu merebut Coa-ciangkun untuk berpihak kepadanya!
Sayang sekali bahwa Pouw Tong Ki termasuk orang yang memiliki keangkuhan. Biarpun dia tahu bahwa nyawanya terancam, namun dia tidak takut dan sama sekali tidak mau
membicarakan urusan itu dengan Bu-beng Lo-kai karena dia tidak mau mem-peroleh kesan seolah-olah dia minta perlindungan kakek sakti itu! Tidak, dia tidak akan menyeret orang lain ke dalam urusannya itu. Akan dihadapinya sendiri dan dia tidak takut! Pouw Tong Ki memang bukan orang lemah karena dia juga pernah belajar silat sampai tingkat yang lumayan sehingga dia per-nah menjadi seorang perwira tinggi.
Dan peringatan menteri tua ketika dia menye-rang Hou Seng dengan kata-kata itupun bukan hanya omong kosong belaka. Bibit racun itu memang tumbuh, dan betapa cepatnya! Memang Hou Seng mem-bawa pulang perasaan marahnya terhadap Pouw Tong Ki. Di sepanjang
perjalanan ke rumahnya, dia me-ngepal tinju dan berkali-kali memukul telapak tangan kirinya sendiri, seolah-olah Pouw Tong Ki yang di-anggapnya musuh besar itu berada di atas telapak tangan itu. Dan begitu tiba di rumah, dia menjadi gelisah, menimbang-nimbang dan merencanakan apa yang akan dilakukannya terhadap Pouw Tong Ki. Orang she Pouw itu jelas merupakan musuhnya, orang yang membencinya dan berusaha memburukkan namanya di
depan kaisar. Malam itu, Pouw Tong Ki tidur agak malam dari biasanya. Sore tadi sampai jauh malam, ia bercakap-cakap dengan Bu-beng Lo-kai dan dengan susah pa-yah dia membujuk kakek itu untuk tinggal lebih lama lagi di dalam gedungnya.
"Terima kasih atas segala kebaikan Taijin," kakek itu membantah. "Akan tetapi, kami sudah biasa hi-dup bebas merantau di dunia ini, dan kami tidak ingin membikin repot taijin lebih lama dari pada waktu yang dijanjikan...."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
362 "Ah, locianpwe tentu maklum bahwa tentang janji dan hukuman itu hanya main-main saja dari ka-mi. Biarpun sudah sebulan locianpwe dan nona Suma berada di sini, akan tetapi kami sekeluarga sudah menganggap ji-wi seperti keluarga sendiri. Terutama sekali Li Sian, bagaimana mungkin ia ditinggalkan nona Suma" Locianpwe melihat betapa akrab hu-bungan antara dua orang anak itu. Betapa Li Sian akan berduka dan merana kalau ditinggalkan."
"Kalau begitu, biarkan ia ikut merantau dengan kami!" Bu-beng Lo-kai berkata. "Suma Lian sudah berkali-kali membujukku, juga nona Pouw sudah ber-ulang kali minta agar ia kami bawa serta kalau kami terpaksa meninggalkan rumah ini."
"Membiarkan ia merantau....?" Mata pem-besar itu terbelalak dan dia membayangkan betapa anak perempuannya yang satu-satunya itu melakukan perjalanan jauh bersama kedua orang ini, memakai pakaian seperti pengemis! Makan dari sumbangan orang, dan siapa tahu mungkin harus mencuri ma-kanan! Sukar baginya dapat menerima bayangan ini. Dia seorang bangsawan! Seorang menteri! Dan dia membayangkan isterinya. Betapa akan berat hati ibu itu kalau ditinggalkan oleh puteri satu-satunya, apa lagi ditinggal merantau tak tentu tempat tujuannya. Isterinya pasti berkeberatan dan menentangnya.
Bu-beng Lo-kai tersenyum. "Tentu berat bagi
taijin, akan tetapi demikianlah keinginan puteri taijin, juga menjadi keinginan Suma Lian dan saya sendiri. Puteri taijin berbakat baik sekali dalam ilmu silat."
"Wah, saya menjadi bingung, locianpwe.... berilah saya waktu untuk memikirkan hal ini sampai besok. Harus saya rundingkan dulu dengan isteri saya.
Kembali kakek itu tersenyum. "Segala keputusan harus dilakukan tanpa ragu-ragu, taijin.
Oleh kare-na itu, besok pagi-pagi sekali kami akan pergi, dan keputusannya hanyalah, puteri taijin ikut bersama kami atau tidak. Saya harap besok sebelum kami per-gi, taijin sudah mengambil keputusan yang pasti."
Demikianlah, dengan hati berat Pouw Tong Ki membicarakan urusan anak perempuan
mereka itu dengan isterinya. "Tidak.... ah, jangan pisahkan aku darinya....!" Isterinya menangis. "Meng-apa ia harus merantau seperti seorang pengemis" Kalau mau belajar silat kepada Bu-beng Lo-kai itu, biarlah kita belikan sebuah tempat, kalau dia meng-hendakinya, kita bangunkan sebuah rumah di mana saja, dan Li Sian boleh belajar bersama Suma Lian di tempat itu. Tempat yang tertentu. Akan tetapi bu-kan merantau tanpa tujuan sebagai seorang pengemis. Aku tidak rela....!"
Tentu saja hati Pouw Tong Ki menjadi bimbang, penuh keraguan dan biarpun akhirnya dia dapat menghibur isterinya sehingga tertidur, dia sendiri masih belum dapat tidur.
Sementara itu, di sebuah kamar lain, kamar di mana Li Sian tidur bersama Suma Lian, dua orang gadis cilik itupun belum dapat tidur dan bercakap-cakap dengan suara lirih.
Mereka juga bicara tentang keberangkatan Suma Lian pada besok pagi-pagi bersama Bu-beng Lo-kai dan sejak tadi Li Sian menyatakan bahwa bagaimanapun juga, ia harus ikut bersama mereka pergi meran-tau kalau Bu-beng Lo-kai berkeras tidak dapat dibu-juk untuk tinggal lebih lama lagi di rumah keluarga Pouw.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
363 "Kalau ayah dan ibu melarang, aku akan ming-gat saja dan ikut bersama kalian!" Li Sian berkata berkali-kali.
"Ah, kurasa kalau begitu tidak benar, Li Sian, kata Suma Lian. "Aku yakin kakek tidak akan membolehkan engkau minggat dan ikut bersama ka-mi. Kakek amat memegang aturan, dan tentu dia tidak mau menyusahkan orang tuamu. Pula, kalau engkau minggat dan ikut bersama kami, kami bisa dituduh menculikmu."
"Siapa yang akan menuduh" Aku dapat bilang bahwa aku ikut dengan suka rela! Biar bagaimana-pun juga, aku harus ikut pergi!"
"Adikku yang manis, kau tentu tahu bahwa akupun tidak suka berpisah darimu, dan akulah orang pertama yang akan merasa gembira bukan main kalau engkau dapat pergi bersamaku.
Akan tetapi, cara yang kau akan pakai itu, yaitu dengan minggat, sungguh tidak
menyenangkan. Tentu akan menimbul-kan perasaan tidak enak dan tidak senang dalam hati ayah ibumu terhadap kami. Padahal, mereka sudah begitu baik terhadap kami. Tenanglah, Sian-moi, aku tadi sudah minta kepada kakek agar dia suka mem-bujuk ayahmu sehingga ayahmu akan memperbolehkan engkau ikut bersama kami dengan baik-baik."
"Tapi aku khawatir ibuku akan berkeberatan. Ah, biarlah aku akan minta keputusan mereka seka-rang juga. Aku merasa gelisah dan tersiksa kalau belum diberi keputusan dan kalian berdua akan ber-angkat besok pagi-pagi!" Li Sian lalu keluar dari dalam kamar itu, diikuti oleh Suma Lian yang meng-gandeng tangannya. Li Sian bertekad untuk mengetuk pintu kamar orang tuanya dan bertanya tentang keputusan mereka mengenai keinginannya ikut pergi merantau bersama Suma Lian.
Akan tetapi tiba-tiba Suma Lian menarik tangan-nya dan diajak bersembunyi di balik sebuah pot bu-nga besar karena gadis cilik ini melihat ada bayangan berkelebat cepat sekali, melayang turun dari atas genteng! Dan bayangan itu dengan kecepatan luar biasa telah tiba di jendela kamar Pouw Tong Ki, kemudian menggunakan kedua tangannya, sekali tarik daun jendela itupun terbuka dan tubuhnya meloncat ke dalam kamar. Yang amat mengejutkan hati Suma Lian adalah ketika ia mengenal tubuh tinggi besar dan kepala gundul itu. Sai-cu Lama!
Karena maklum bahwa pendeta jahat itu tentu mempunyai niat busuk, tanpa berpikir panjang lagi Suma Lian lalu meninggalkan Li Sian dan iapun lari mengejar. Satu-satunya keinginan adalah untuk membela Pouw Taijin yang ia tahu tidur di dalam kamar itu! Akan tetapi ia masih sempat berteriak sebelum dengan nekat meloncat ke dalam kamar itu melalui jendelanya yang sudah terbuka.
"Kakek, tolong ada penjahat....!"
Ketika kakek yang bukan lain adalah Sai-cu Lama itu tadi meloncat masuk, Pouw Tong Ki belum tidur dan begitu daun jendela terbongkar, dia sudah merasa terkejut sekali dan cepat meloncat keluar dari atas tempat tidurnya. Isterinya juga terkejut oleh gerakan ini dan terbangun.
Ketika Pouw Tong Ki melihat seorang kakek tinggi besar berperut gendut sudah meloncat masuk ke dalam kamarnya, dia mengerti bahwa tentu itu orang jahat, maka dia menyambar pedang yang tergantung didinding kamar.
"Penjahat busuk!" bentaknya dan diapun sudah menyerang dengan pedangnya, ditusukkan ke Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
364 arah dada yang telanjang karena bajunya terbuka itu.
"Krakk....!" Pedang itu tepat menusuk dada, akan tetapi saking kerasnya Pouw Taijin dan saking kuatnya dada yang ditusuk, pedang itu patah menjadi dua potong! Kakek itu memang Sai-cu La-ma yang diutus oleh Hou Seng untuk membunuh Pouw Tong Ki. Ketika tadi melihat serangan pedang, Sai-cu Lama sudah dapat mengukur kekuatan orang, maka dia berani menerima tusukan itu.
"Ha-ha, kiranya orang she Pouw ini hanya begini saja!" katanya dan tangannya menyambar.
"Desss....!" tangan yang amat kuat itu se-cara dahsyat telah menyambar dan mengenai leher Pouw Tong Ki, membuat tubuh pembesar itu ter-banting ke tepi ranjang.
"Ouhhh.... tolooongg....!" Isteri Pouw Tong Ki cepat menubruk suaminya yang menggele-tak tak bergerak lagi itu.
Pada saat itulah Suma Lian meloncat masuk. Me-lihat betapa Pouw Tong Ki telah
menggeletak ditubruk oleh isterinya, dan melihat betapa Sai-cu Lama berdiri sambil tertawa, Suma Lian lupa diri dan dia menjadi marah sekali.
"Pendeta jahanam yang jahat!" bentaknya dan iapun sudah menyerang Sai-cu Lama dengan pukulan kedua tangannya.
Sai-cu Lama terkejut dan heran, akan tetapi ket-ika dia melihat bahwa yang menyerangnya hanya seo-rang gadis cilik, apa lagi gadis itu adalah Suma Lian yang segera dikenalnya, ia tertawa dan menerima pukulan-pukulan itu dengan perutnya.
"Puk! Pukk!" Kedua tangan kecil itu menge-nai perut gendut, akan tetapi seperti mengenai benda lunak saja sehingga kedua tangan itu masuk ke dalam perut dan tak dapat ditarik kembali! "Ha-ha-ha, kiranya engkau, kuda binal cilik! Ha-ha-ha!" Dia tertawa lagi.
Pada saat itu, isteri Pouw Tong Ki menjerit. Sai-cu Lama menjadi marah. Tangan kirinya mencengkeram punggung baju Suma Lian dan ditariknya anak itu ke atas, sambil kakinya diayun ke arah kepala nyonya Pouw. Tubuh nyonya itu terkulai di samping tubuh suaminya dan tendangan itu seketika mereng-gut nyawanya!
"Braakkkk...." Daun pintu kamar itu ambrol dan masuklah seorang kakek tua renta berpa-kaian tambal-tambalan. Melihat betapa suami isteri itu telah roboh dan kini Suma Lian diangkat ke atas oleh seorang pendeta Lama berperut gendut, Bu-beng Lo-kai terkejut bukan main.
"Aahhhh, kau jahat sekali...." bentaknya dan kedua tangannya sudah bergerak ke depan dengan amat cepat. Ketika pintu jebol, Sai-cu Lama juga ter-kejut, akan tetapi melihat bahwa yang muncul hanya seorang yang sudah amat tua, dia memandang rendah. Baru setelah kedua tangan kakek itu melakukan pukulan ke arah lambung dan lehernya, dia terkejut setengah mati. Angin pukulan yang datang itu bukan hanya amat dahsyat dan kuat sekali, akan tetapi juga yang menuju ke tenggorokannya itu mengandung ha-wa panas seperti api sedangkan yang menyambar ke arah lambungnya mengandung hawa dingin seperti salju!
"Celaka....!" serunya dan terpaksa dia melepaskan cengkeramannya pada punggung Suma Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
365 Lian lalu mengerakkan ke dua tangan ke bawah untuk menangkis karena untuk mengelak sudah tidak ada kesempatan lagi sedangkan menerima pukulan-pukulan itu mengandalkan kekebalan, dia tidak berani.
"Dukk! Desss....!" Tubuh Sai-cu Lama hampir terjengkang dan dia terhuyung ke belakang, sedangkan Bu-beng Lo-kai sudah berhasil menggandeng tangan cucunya yang selamat. Pada saat itu, Li Sian berlari masuk melalui pintu yang ambrol dan melihat ayah ibunya menggeletak di atas lantai, ia menubruk mereka dan menangis.
Sementara itu Sai-cu Lama terkejut bukan main ketika tubuhnya terpental tadi dan diapun mengenal ilmu sin-kang yang panas dan dingin tadi. Kakek tua renta ini sama sekali sama sekali tak boleh disamakan dengan nenek yang dulu pernah bertempur dengannya ketika dia menculik Suma Lian. Tentu kakek ini seorang pendekar dari keluarga Pulau Es yang tangguh.
Maka diapun merasa jerih, apa lagi kamar itu terlampau sempit untuk dipakai berkelahi.
Selain itu, Hou Taijinpun sudah mempunyai rencana lain. Tu-gasnya hanya membunuh Pouw Tong Ki, kalau mungkin seluruh keluarganya, lalu pergi. Dia hanya berhasil merobohkan Pouw Tong Ki dan membunuh isterinya, tidak yakin apakah pukulannya tadi sudah cukup untuk merenggut nyawa Pouw Tong Ki. Maka diapun cepat meloncat keluar dari jendela.
Bu-beng Lo-kai tidak mengejar karena dia ingin lebih dahulu menolong Pouw Taijin dan isterinya, kalau-kalau masih dapat diselamatkan. Dia memerik-sa nyonya Pouw yang telah tewas dan ketika dia memeriksa Pouw Tong Ki, hati yang tua itu berduka sekali. Pembesar ini mengalami luka parah oleh pukulan yang amat kuat, dan napasnya sudah empas-empis. Dia hanya dapat mengurut dada Pouw Tong Ki dan menotok beberapa jalan darah untuk
menya-darkan pembesar itu.
Pouw Tong Ki membuka matanya dan melihat Bu-beng Lo-kai, dia hanya sempat berkata lirih, ".... locianpwe.... tolong.... bawa Li Sian...." dan lehernya terkulai karena dia telah menghembuskan napas terakhir.
Pada saat itu, terdengar suara gaduh di luar ka-mar dan terdengar teriakan-teriakan orang banyak, "Tangkap kakek pengemis itu! Dia pembunuh Pouw Taijin....!"
Bu-beng Lo-kai mengerutkan alisnya, memandang keluar pintu yang berlubang. Dia melihat banyak sekali orang berpakaian seragam berdatangan ke tem-pat itu dan teriakan-teriakan mereka menunjukkan bahwa mereka itu menuduh dia yang melakukan pembunuhan! Bu-beng Lo-kai tidak ingin terlibat dalam urusan ini dan banyak repot, maka dia lalu menyambar tubuh Suma Lian dan Li Sian, kemudian sekali dia menggerakkan tubuh, dia sudah membawa kedua orang anak perempuan itu meloncat keluar, kemudian melayang ke atas genteng.
"Itu dia! Dia membunuh Pouw Taijin dan menculik Pouw Siocia!" Bu-beng Lo-kai tidak tahu siapa yang berteriak, akan tetapi dengan heran dia melihat bahwa pendeta Lama gendut yang tadi berada di kamar, kini berada di antara orang-orang berpakaian seragam itu! Tahulah dia bahwa dia akan kena fitnah, maka diapun mempercepat gerakannya dan sebentar saja lenyap dari pandang mata para pengejarnya.
Kiranya orang-orang berpakaian seragam itu adalah sepasukan tentara penjaga keamanan yang dipim-pin oleh Coa Tai-ciangkun sendiri, panglima yang menjadi kepala barisan keamanan! Setelah gagal menangkap pengemis tua itu, Coa Tai-ciangkun ini lalu menangkapi seluruh sisa keluarga Pouw Tong Ki, ya-itu empat orang puteranya dan semua penghuni Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
366 ru-mah, lalu membawa mereka sebagai tahanan-tahanan, sedangkan rumah itupun diduduki sebagai rumah sitaan pemerintah!
Gegerlah kota raja oleh peristiwa yang hebat ini. Coa tai-ciangkun (Panglima Coa) segera membuat pelaporan kepala Kaisar dan juga memberi keterang-an kepada para pejabat lainnya akan jalannya peristi-wa, seperti yang memang sudah diaturnya bersama Hou Seng!
Dia menceritakan bahwa dia memperoleh lapor-an dari para penyelidiknya, bahwa diam-diam Pouw Tong Ki yang di depan kaisar pura-pura mencela orang-orang berkuasa
memelihara tukang-tukang pu-kul, di rumahnya sendiri telah menerima seorang da-tuk penjahat besar yang belum diketahui jelas siapa namanya dan apa maksudnya. Karena itu, Coa-ciang-kun menjadi curiga sekali, apa lagi ketika, menurut ceritanya, dia mendengar laporan yang mengatakan bahwa Pouw Tong Ki bertengkar dengan tamunya yang aneh itu.
Karena merasa khawatir, dia lalu memperlakukan persiapan untuk setiap saat menyer-bu tempat kediaman keluarga Pouw itu, dengan tu-duhan bahwa keluarga itu bermaksud membuat per-sekutuan dengan orang kang-ouw untuk melakukan pemberontakan! Kemudian, dia melaporkan bahwa Pouw Tong Ki dan isterinya terbunuh oleh tokoh kang-ouw yang mengenakan pakaian pengemis itu, bahkan pengemis yang diduga tentu datuk penjahat besar itu telah melarikan puteri Pouw Tong Ki. Berdasarkan pelaporan ini, maka semua keluarga Pouw yang masih hidup dijatuhi hukuman berat!
Memang, demikianlah keadaan masyarakat ma-nusia di seluruh dunia yang dibentuk oleh kita sen-diri. Yang menang pasti benar, akan tetapi yang benar belum tentu menang!
Kekuasaanlah yang menen-tukan benar atau salah, hanya kekuasaanlah yang menang dan oleh karena itu, kekuasaan ini diperebut-kan oleh seluruh umat manusia di dunia ini. Kekua-saan dalam pemerintahan, kekuasaan dalam perkumpulan, kekuasaan dalam kelompok ataupun kekuasaan dalam keluarga sendiri. Kita gandrung kekuasaan karena kita tahu bahwa kekuasaan akan membuat kita selalu benar dan menang! Dari sinilah timbulnya kesewenang-wenangan ketika kekuasaan itu disalahgunakan, dipakai demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri. Dari sini timbul konflik-konflik antara yang menang dan yang kalah, yang menindas dan yang ditindas dan konflik-konflik ini takkan pernah berhenti selama manusia masih berlumba untuk mencari kekuasaan. Memang, pengejaran kesenangan jugalah
sebenarnya yang melandasi perebutan kekuasaan itu. Dan perebutan kekuasaan ini konon menurut dongengnya sudah terjadi sejak pra sejarah, sejak dongeng di kahyangan di antara para dewata dan malaikat!
Bu-beng Lo-kai mempergunakan ilmu gin-kangnya untuk melarikan Suma Lian dan Li Sian keluar dari bahaya. Baru sekali ini semenjak dia menjadi pertapa di puncak Telaga Warna Pegunungan Beng-san bersama isterinya sampai kemudian kematian isterinya itu, dia mempergunakan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengerjakan sesuatu secara serius.
Dia kini benar-benar terlibat dan berusaha menyelamatkan dua orang anak perempuan itu.
Dan melalui keributan yang terjadi di gedung keluarga Pouw, dia berhasil melarikan dua orang anak perempuan itu keluar bahkan terus dia larikan sampai ke luar kota raja.
Li Sian menangis terisak-isak ketika akhirnya kakek itu berhenti lari. Suma Lian merangkulnya dan menghiburnya, sedangkan Bu-beng Lo-kai menarik napas panjang berkali-kali.
"Sudahlah, nona Pouw, jangan terlalu menurut-kan hati yang bersedih. Ayah ibumu tewas oleh orang yang ilmu kepandaiannya tinggi, dan karena sebelum-nya memang ayahmu telah Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
367 menitipkan engkau kepadaku, maka biarlah mulai sekarang engkau ikut ber-sama kami."
Sambil masih terisak-isak, Li Sian menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu.
Peristiwa Merah Salju 2 Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui Perjodohan Busur Kumala 20

Cari Blog Ini