Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
429 keindahan yang dilihatnya.
"Sim-toako.... benarkah engkau hendak mengantar aku?"
Sim Houw mengangguk, tersenyum. "Tentu saja benar."
"Tapi.... aku hanya akan mengganggu wak-tumu...."
"Sama sekali tidak, Lan-moi. Aku tidak mempu-nyai pekerjaan apa-apa, tidak mempunyai tugas se-suatu, bahkan tidak mempunyai tempat tinggal. Kemanapun aku pergi, sama saja. Di mana-mana adalah tempat tinggalku. Perjalanan itu amat berbahaya dan hatiku tidak rela membiarkan engkau pergi seorang diri menempuh bahaya sebesar itu."
"Akan tetapi.... kenapa, toako" Kenapa engkau hendak bersusah payah untukku" Kenapa?"
Ingin sekali Sim Houw mengatakan seperti yang juga diharapkan oleh Bi Lan, bahwa untuk Bi Lan dia mau melakukan apa saja karena dia mencinta ga-dis itu. Akan tetapi Sim Houw menahan mulutnya dan tidak mau mengatakan hal seperti itu. Tidak, dia tidak akan membuka rahasia hatinya kepada Bi Lan sebelum dia yakin benar bahwa Bi Lan juga men-cintanya dan akan menerima dan membalas cintanya.
"Lan-moi, engkau masih bertanya lagi kenapa" Bukankah kita sudah menjadi sahabat yang baik" Bukankah kita sudah sama-sama mengalami hal-hal yang hebat, bahkan sama-sama menghadapi bahaya maut di tangan Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawan mereka" Setelah apa yang kita alami bersama itu, bagaimana mungkin sekarang aku membiarkan engkau pergi menempuh bahaya melaku-kan perjalanan ke luar Tembok Besar"
Dan akupun hidup seorang diri, tidak mempunyai tempat tinggal, jadi, tiada salahnya kalau aku menemanimu pergi ke utara sampai engkau tiba di tempat yang kaucari, bukan?"
Bi Lan merasa kurang puas dengan jawaban itu, akan tetapi karena hatinya terlalu gembira mendengar keputusan Sim Houw yang hendak mengantarnya mencari Istana Gurun Pasir, iapun tersenyum gembira kini.
"Ah, terima kasih, Sim-toako, engkau sungguh baik sekali kepadaku. Ah, bagaimana aku akan dapat membalas semua kebaikanmu" Engkau pernah me-nolongku, bahkan engkau
membantu aku mendapat-kan kembali Ban-tok-kiam yang dirampas Sai-cu La-ma, dan
sekarang engkau hendak mengantarkan aku mencari subo dan suhu di gurun pasir! Ahh, betapa senangnya hatiku. Tadinya aku sudah bingung. Bi-arpun subo sudah memberi gambaran tentang jalan menuju ke tempat itu, aku masih bingung dan aku.... aku takut!"
Sim Houw tersenyum melihat kegembiraan gadis itu. Hatinya juga dipenuhi oleh perasaan girang yang belum pernah dirasakannya selama ini. Melihat gadis itu demikian gembira mendatangkan perasaan nyaman di hatinya. Kalau saja selamanya dia dapat membuat gadis itu bergembira selalu!
"Lan-moi, ucapanmu itu membuat aku merasa lucu, Engkau takut" Aihh, selama ini aku mengenalmu sebagai seorang gadis perkasa yang tidak mengenal takut! Sungguh aneh dan lucu mendengar engkau berkata bahwa engkau takut."
"Sungguh, toako, Aku tidak berbohong. Aku ketakutan, bukan takut akan ancaman orang Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
430 tertentu, bukan takut akan bahaya. Melainkan takut.... eh, aku merasa begitu sunyi dan terpencil, seperti seekor semut di tengah-tengah daun yang hanyut di tengah sungai. Aku takut akan kesepian itu sendiri, toako."
Sim Houw nengangguk-angguk. Ketakutan se-perti itu pernah pula dia rasakan. Kesepian, merasa hidup sendirian dan tidak dibutuhkan oleh siapa-siapa lagi! Betapa mengerikan itu.
"Aku mengerti, Lan-moi. Marilah kita berangkat sebelum hari menjadi gelap. Kita harus mencari tem-pat istirahat yang baik malam ini karena kita terlalu lelah setelah semua pengalaman dan perkelahian yang menegangkan itu. Kita tidak perlu tergesa-gesa, melainkan harus dapat menikmati perjalanan ini, menikmati semua keindahan alam yang tentu berlainan dengan keadaan tempat-tempat yang pernah kita kun-jungi. Dan waspada akan bahaya di tempat asing itu. Mari kita berangkat."
Dengan wajah berseri keduanya lalu berjalan berdampingan, menuju ke utara, melalui jalan yang sunyi itu. Akan tetapi kini mereka tidak merasa sunyi lagi. Bahkan sinar matahari nampak cerah sekali, dan awan-awan di angkasa membentuk gambar-gambar yang menarik, seperti sekelompok domba yang berja-lan perlahan-lahan menuju ke timur dalam suasana yang begitu bersih, jernih dan gembira.
*** Wanita itu menangis seorang diri, terisak-isak dan tersedu-sedan di dalam pondok tua di tepi jalan yang sunyi itu. Sudah berjam-jam ia menangis seo-rang diri, pundaknya terguncang-guncang dan kadang-kadang tangisnya terdengar menyedihkan.
Ia seorang wanita yang cantik, usianya tigapuluh dua tahun. Sebetulnya ia mengenakan pakaian yang indah, dari sutera yang mahal dan mewah, dengan hiasan-hiasan rambut dan tubuh terbuat dari pada emas permata. Akan tetapi pakaian yang indah itu kini kusut dan bahkan kotor karena beberapa hari tidak pernah diganti. Rambutnya yang panjang hitam itu terlepas dari sanggulnya, riap-riapan menutupi sebagian mukanya. Di dekatnya, terletak di atas lan-tai, nampak sebuah pedang dalam sarung pedang yang indah.
Ia bukan wanita sembarangan, melainkan seorang wanita yang memiliki ilmu silat tinggi.
Jarang ada orang dapat menandinginya. Ia seorang wanita kosen dan lihai. Akan tetapi, sekarang ia berada dalam kedukaan dan ketika ia menangis seperti itu, nampak betapa bagaimanapun juga, ia hanya seorang perem-puan yang lemah tak berdaya dan membutuhkan per-lindungan!
Wanita itu adalah Ciong Siu Kwi atau yang dike-nal dengan julukan Bi-kwi (Iblis Cantik).
Seperti telah kita ketahui, gerakan wanita ini dengan semua sekutunya telah mengalami kegagalan dan hanya berkat pengampunan yang diberikan oleh Bi Lan atau Siauw-kwi (Iblis Cilik) sajalah maka ia sendiri dapat keluar dari pertempuran itu dengan selamat. Sekutu-nya telah hancur, semua orang yang bekerja sama dengannya telah tewas dalam pertempuran melawan para pendekar. Guru-gurunya, Sam Kwi, tewas se-mua, juga Bhok Gun, kekasihnya yang terakhir, tewas. Demikian pula orang-orang sakti seperti Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio tewas di tangan para pendekar.
"Uuhhhh....hu-hu-huhhh....!" Ciong Siu Kwi menangis terisak-isak. Ia bukan menangisi mereka itu. Sama sekali tidak. Bagaimanapun juga, permainan cintanya dengan Bhok Gun Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
431 hanya merupa-kan petualangannya saja. Tidak ada rasa cinta di dalam hatinya terhadap Bhok Gun atau siapapun juga ia, wanita ini belum pernah mencinta orang, arti kata yang sesungguhnya. Permainan cintanya dengan pria-pria seperti yang sudah-sudah, hanyalah merupakan pelampiasan nafsu belaka. Juga tidak ada rasa cinta terhadap Sam Kwi, tiga orang gurunya yang juga memperlakukan sebagai kekasih.
Cintakasih tidak mendatangkan duka. Cintakasih tidak membelenggu batin. Cintakasih itu bebas dan wajar, seperti sinar matahari yang menghidupkan se-gala yang berada dalam sentuhannya, menghidupkan dan membahagiakan, sama sekali tanpa pamrih untuk
kepentingan atau kesenangan diri sendiri. Se-baliknya, nafsu berahi, seperti segala macam nafsu, menimbulkan ikatan, membelenggu. Dan tentu saja menimbulkan derita karena ikatan berarti ketergan-tungan. Kita menggantungkan kesenangan batin ter-hadap sesuatu atau seseorang dan kalau gantungan itu terlepas, tentu kita akan jatuh dan kita menderita duka.
Ikatan itu dapat saja berupa ikatan terhadap kekasih, keluarga, harta benda, kedudukan, bahkan ikatan terhadap suatu cita-cita. Dan yang suka meng-gantungkan diri, mengikatkan diri adalah si aku, ciptaan pikiran. Pikiran menciptakan aku yang selalu ingin senang, pikiran menimbulkan ikatan terhadap segala sesuatu yang menyenangkan si aku, dan kalau terjadi kegagalan dan perpisahan sehingga terlepas ikatan itu, maka pikiran pula yang tenggelam ke da-lam duka. Si aku selalu condong untuk membesarkan iba diri, pementingan diri pribadi, karena dasarnya adalah pengejaran terhadap kesenangan pribadi dan pelarian terhadap hal-hal yang dianggap tidak menye-nangkan.Siu Kwi tidak menyedihi kematian orang-orang itu. Tidak ada ikatan dalam batinnya terhadap mere-ka. Guru-gurunya, Bhok Gun dan yang lain-lain itu baginya hanya berupa alat belaka, untuk mencapai idaman hatinya, cita-citanya. Kehilangan alat-alat itu tidak mendatangkan duka, karena dapat saja ia mencari alat-alat lain. Akan tetapi, yang menimbul-kan duka adalah hancurnya semua cita-citanya. Habislah segala-galanya. Gagal semuanya dan rasa kece-wa dan iba diri membuatnya berduka sehingga ia, seorang wanita perkasa yang biasanya amat keras hati, kini menangis dan air matanya mengalir deras tanpa dapat dibendungnya. Ia sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi yang dicengkeram duka. Ia merasa ham-pa, kosong dan tidak ada artinya hidup ini baginya. Hatinya nelangsa dan terasa kesepian yang mengeri-kan mencekam hatinya.
Apa lagi kalau diingat betapa ia telah kalah oleh Bi Lan! Gadis itu adalah sumoinya, bahkan lebih dari itu, dapat dibilang muridnya karena ialah yang membimbing dan melatihnya sejak awal. Bah-kan ia telah menyelewengkan pelajaran silatnya untuk mencelakakan Bi Lan. Akan tetapi, Bi Lan tidak mati, tidak celaka, bahkan memperoleh ilmu-ilmu yang hebat.
Membanding-bandingkan keadaan diri-nya dan Bi Lan membuat perasaan hatinya tertusuk dan terasa nyeri sekali. Tertusuk rasa kecewa dan iri hati. Anak yang hampir gila itu kini malah menjadi seorang pendekar, menjadi seorang tokoh baik yang menonjol, dan bahkan dibela oleh para pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir!
Penilaian secara otomatis menimbulkan perban-dingan keadaan diri sendiri dengan orang lain dan muncullah ketidakpuasan, bahkan putus harapan. Ki-ta selalu merasa kurang, selalu merasa betapa buruk keadaan kita karena kita menilai dan membanding-kan. Dan kalau sudah ada penilaian dan perbandingan, tentu saja tidak ada yang sempurna di dunia ini.
Hasil pemikiran tentu saja tidak sempurna karena pi-kiran merupakan suatu sumber kekacauan dari konflik-konflik dan pertentangan-pertentangan antara ba-ik buruk, untung rugi dan sebagainya. Bagi orang yang tidak menilai, tidak membandingkan, melainkan
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
432 memandang dan mengamati segala sesuatu tanpa pe-nilaian, tanpa perhitungan untung rugi, akan nampak bahwa tidak ada yang tidak sempurna pada alam semesta ini! Bagaimana mungkin hasil dari ulah dan perbuatan kita akan sempurna kalau kita sendiri penuh dengan benci, iri, dan pementingan diri sendiri"
Siu Kwi menangis tersedu-sedu. Mengingat akan keadaan Bi Lan yang dianggapnya hidup penuh kebahagiaan, ia merasa betapa ia tidak punya apa-apa lagi. Ia merasa kesepian dan takut untuk melanjutkan hidup, merasa tidak kuat untuk memulai hidup baru. Mengapa hid?pnya begini sengsara dan serba mengecewakan" Mengapa ia seakan-akan dikutuk"
Keti-ka hatinya mengeluh demikian, ada bisikan pada hati nuraninya yang membuat Siu Kwi menghentikan ta-ngisnya, mukanya pucat dan sepasang matanya yang menjadi membengkak dan merah karena tangis itu kini sayu memandang jauh ke depan, merenungkan segala kehidupannya yang lalu. Nalurinya membisik-kan bahwa hidupnya yang lalu penuh dengan penye-lewengan dan kejahatan. Sebagai manusia, tentu saja ia mempunyai kesadaran dan pengertian tentang baik buruk. Akan tetapi, selama kejahatan yang dilaku-kannya itu mendatangkan hasil baik dan mendatang-kan kesenangan, ia tidak perduli dan seperti lupa bahwa yang dilakukan adalah jahat. Barulah, setelah perbuatan jahat itu mendatangkan suatu malapetaka yang menimpa diri, timbul penyesalan! Walaupun penyesalan itu belum tentu berarti mendatangkan perasaan bertaubat, melakukan lebih condong menye-sali kegagalan atau malapetaka itu!
Akan tetapi, Siu Kwi merasa benar-benar menye-sal mengapa ia membiarkan dirinya terseret ke dalam kejahatan. Timbul keinginan hatinya untuk mengu-bah cara hidupnya,
meninggalkan dunia sesat dan mencontoh jahn yang ditempuh oleh sumoinya. Akan tetapi bagaimana caranya" Jalan apakah yang harus diambil" Namanya sudah menjadi rusak dan kiranya tidak ada seorangpun manusia di dunia ini, kecuali mereka dari golongan sesat pula, yang akan mempercayanya dan mau menerimanya. Akan tetapi kalau ia bergaul lagi dengan golongan sesat, maka sejarah akan terulang. Ia tentu akan bergelimang kejahatan lagi dan ia sudah merasa takut untuk menderita akibatnya yang amat buruk, seperti yang dirasakannya sekarang.
Pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan memang dapat menimbulkan kepalsuankepalsuan dalam batin kita. Kalau kita TAHU bahwa kita ber-buat baik, maka pengetahuan ini saja sudah menyem-bunyikan suatu pamrih di balik perbuatan kita itu. Tahu tentang kebaikan tentu saja dirangkai dengan tahu bahwa kebaikan itu membuahkan suatu keuntungan!
Sebaliknya,tahu tentang kejahatan di-sertai pengetahuan bahwa perbuatan jahat itu mem-buahkan keburukan dan kerugian kepada kita. Dengan demikian, kita BERUSAHA
untuk melakukan kebaikan, tentu saja karena tahu bahwa hal itu akan mendatangkan keuntungan bagi kita. Kita memaksa diri tidak mau melakukan kejahatan dengan
pengeta-huan bahwa hal itu akan mencelakakan kita sendiri. Jelaslah bahwa pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan ini dapat mendorong kita untuk menjadi munafik, untuk menjadikan perbuatan kita palsu dan tidak wajar!
Tentu saja bukan maksud kita untuk mengabai-kan pengetahuan tentang baik dan jahat. Akan tetapi kita harus mengenal dasar dari perbuatan kita sendiri, mengenal watak-watak palsu kita sendiri dengan cara pengamatan terhadap diri sendiri, setiap kali kita berbuat, setiap kali kita bicara, setiap kali kita berpikir. Amat jauh bedanya antara perbuatan baik yang kita sadari dengan perbuatan apapun juga yang kita lakukan dengan dasar cinta kasih! Jika ada sinar cinta kasih menerangi sikap dan perbuatan kita, maka perbuatan itu wajar, kita lakukan tanpa penilaian baik ataukah buruk dan yang sudah pasti sekali, sega-la perbuatan yang dilakukan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
433 dengan dasar cinta kasih, seperti matahari menyinarkan cahayanya, seperti bu-nga menyiarkan keharuman dan keindahannya, seperti ibu menyusui anaknya, maka perbuatan itu adalah suci!
Ketika Siu Kwi sedang terombang-ambing dalam lamunannya sendiri, mulai timbul rasa penyesalan terhadap segala perbuatannya yang sudah-sudah, dan timbul pula keinginan untuk mengubah jalan hidup-nya, meninggalkan kesesatannya, tiba-tiba ia mendengar suara seorang laki-laki bernyanyi. Suara itu lantang dan bersih, kadang-kadang tersendat suaranya seperti tertahan sesuatu, dan lagunyapun lagu dusun yang sederhana sekali, seperti orang membaca sajak saja.
"Alangkah cantiknya duniaku!
Langit biru terhias awan bergumpal-gumpal
Itulah atap rumahku! Pohon-pohon berdaun hijau
berbunga aneka warna Itulah dinding rumahku! Tanah segar dengan babut rumput hijau
Itulah lantai rumahku....!"
Siu Kwi membelalakkan kedua matanya. Hatinya tersentuh. Ada kesederhanaan dan
keaselian dalam suara itu. Kewajaran yang indah walaupun isi nya-nyian itu teramat sederhana. Dan suara itu begitu wajar dan segar, membayangkan bahwa penyanyinya tentulah berada dalam kebahagiaan.
Siu Kwi yang tadi merasa sengsara, jauh dari kebahagiaan yang didambakannya, menjadi tertarik sekali. Tangisnya terlupa, terhenti dengan sendirinya dan sejak tadi ia terbawa hanyut oleh suara nyanyian.
Suara itu masih bernyanyi, mengulang-ulang kata-kata itu akan tetapi tidak menjemukan, seperti suara burung-burung pagi berkicau dengan riang. Ia bang-kit berdiri, membereskan pakaiannya yang kusut, juga rambutnya yang awut-awutan dalam keadaan setengah sadar karena gerakan itu hanya terjadi ka-rena kebiasaan, kemudian ia keluar dari dalam pon-dok tua dan berjalan menuju ke arah suara nyanyian. Wajahnya masih agak pucat, bekas-bekas air mata masih nampak di kedua pipinya. Matanya masih ke-merahan dan agak membengkak.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
434 Isaknya kadang-kadang masih mengguncang dadanya, seperti gema tangisnya tadi. Ia berjalan perlahan ke arah suara.
Pria itu berusia antara duapuluh lima tahun. Dia tidak berbaju, hanya memakai sebuah celana dari kain kasar yang berwarna hitam. Celana panjang itu digulungnya sampai ke lutut dan di sana-sini ternoda lumpur. Badan yang tidak tertutup baju itu memperlihatkan otot-otot yang berkembang dengan bagusnya, bergerak-gerak ketika kedua lengannya mengayun cangkul.
Tubuh yang tegap itu nampak penuh dengan tenaga. Wajahnya sederhana saja, bersih dan penuh kejantanan. Pria itu mencangkul tanah ber-lumpur sambil bernyanyi, suara
nyanyiannya kadang-kadang tersendat kalau cangkulnya terayun dan menghunjam tanah basah di depan kakinya. Bunyi "crok-crok!" cangkulnya seirama dengan nyanyian-nya dan agaknya suara itu menjadi pengiring nyanyi-annya yang sederhana. Pria itu memusatkan perhati-annya dengan sepenuhnya kepada tanah yang dicang-kulnya dan ini merupakan suatu keharusan. Kalau tidak, cangkulnya dapat menghantam batu atau menyeleweng, ke arah kakinya sendiri. Akan tetapi ada yang lebih dari pada itu, yalah rasa cinta terhadap apa yang dikerjakannya! Dan rasa cinta inilah yang mendatangkan ketekunan, mendatangkan
pencurahan perhatian, sepenuhnya. Dan sepatutnya, kita semua mencontoh pemuda itu, yaitu : melakukan segala pekkerjaan dengan perasaan cinta terhadap apa saja yang kita kerjakan!
Dan kalau sudah begitu, kita bekerja tanpa mengharapkan apa-apa, karena di da-lam pekerjaan itu sendiri kita sudah menemukan suatu kebahagiaan besar. Adapun hasil pekerjaan itu hanyalah merupakan akibat saja dari pekerjaan kita, merupakan bunga dan buah dari pada pohon yang kita tanam.
Siu Kwi memandang ke arah pria itu dengan terpesona. Sampai lama ia berdiri seperti patung mengamati pria itu, mengikuti seluruh nyanyiannya, meng-ikuti setiap gerak kaki tangannya.
Biasanya, ia memandang rendah kepada orang-orang yang bekerja ka-sar, apa lagi seorang petani miskin dan kotor seperti pria itu! Seorang pria yang tentu saja tidak terpela-jar, bodoh dan juga lemah, hanya memiliki tenaga ka-sar saja, bukan ahli silat! Biasanya, terhadap seorang pria mencangkul sawah seperti ini, ia tentu sama se-kali acuh, menengokpun tidak sudi. Akan tetapi se-karang, ia terpesona!
Ada keindahan tersendiri yang khas pada tubuh pria itu. Wajahnya yang sederhana, tubuhnya yang tegap, nyanyiannya, semua itu nampak begitu riang dan cerah, seperti burung yang berkicau sambil ber-lompatan dari dahan ke dahan, seperti sinar matahari pagi itu. Ah, dia tentu seorang yang berbahagia, pi-kir Siu Kwi. Dan iapun ingin sekali tahu. Bagaimana ia akan bisa memperoleh kebahagiaan" Bagaimana pula pria petani sederhana ini dapat hidup demikian bahagia, walaupun bergelimang kesederhanaan, lum-pur kotor dan mungkin kemiskinan" Pada hal pria itu jelas seorang yang amat sederhana, bodoh hanya seorang petani biasa!
Siu Kwi melangkah maju menghampiri sampai ia tiba di tepi sawah. Pemuda yang sedang mencang-kul itu belum juga melihat kedatangannya. Ini saja biasanya cukup untuk menjengkelkan hati Siu Kwi yang merasa tidak diperhatikan, pada hal jarak antara ia dan pemuda itu hanya beberapa meter saja.
"Heii, bung! Aku ingin bertanya sedikit pada-mu." Akhirnya Siu Kwi berkata dan biarpun tidak ada kemarahan di hatinya terhadap pemuda itu, ka-rena sudah menjadi kebiasaannya, suaranya terdengar lantang dan juga galak.
Pria petani itu nampak terkejut. Tak disangka-nya akan ada seorang wanita datang Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
435 menegurnya dan ketika dia menengok, dia menjadi semakin terkejut sehingga sampai beberapa lamanya dia hanya bengong saja memandang, menoleh ke arah Siu Kwi dengan cangkul masih dalam genggaman kedua tangan. Ten-tu saja, melihat seorang wanita dengan pakaian indah dan sedemikian cantiknya kini berdiri di depan-nya dan mengajak dia bicara, merupakan suatu peng-alaman yang amat mengejutkan dan mengherankan bagi petani itu.
Tentu saja dia menjadi bengong dan tak mampu mengeluarkan jawaban.
Siu Kwi mengerutkan alisnya. Biasanya, melihat pertanyaannya tidak segera dijawab orang, tentu akan membuat ia marah sekali. Akan tetapi aneh, sekali ini tidak. Ia seperti dapat mengerti bahwa pria ini terheran-heran dan terkejut, sehingga melihat orang itu bengong, ia merasa geli sendiri.
"Heii, bung! Apakah engkau tuli ataukah gagu sehingga tidak mendengar dan tidak dapat men-jawab?"
Barulah pemuda petani itu nampak semakin gu-gup. Ia menurunkan cangkulnya, demikian keras dan canggung sehingga cangkul itu menimpa lumpur yang memercik ke atas dan mengenai dagunya! Melihat ini, Siu Kwi menjadi semakin geli dan tanpa disadari-nya, wanita itu tersenyum lebar dan iapun tidak sa-dar betapa senyumnya ini membuat wajahnya manis sekali.
"Uh, maaf....!" kata pemuda itu, mencoba untuk membungkuk sebagai tanda penghormatan.
"Nyonya.... eh, nona.... tadi bertanya apakah?" Sikap yang canggung dan suara yang lantang itu saja sudah mendatangkan kegembiraan di hati Siu Kwi. "Aku belum bertanya," jawabnya,
"akan te-tapi aku ingin bertanya sedikit padamu dan maafkan kalau aku mengganggu pekerjaanmu." Siu Kwi mera-sa heran sendiri mendengar sikap dan bahasanya. Ia seolah-olah mendengar suara orang lain bicara melalui dirinya. Belum pernah ia se "ramah" dan se
"sopan" ini terhadap orang lain, apa lagi hanya seorang pria petani.
Pemuda itu tentu saja mengira bahwa tentu nona kota ini hendak bertanya jalan, atau menanyakan du-sun di sekitar tempat itu, maka dia menjawab, "Bo-leh saja kalau nona mau bertanya. Apakah yang no-na tanyakan?"
"Yang ingin kutanyakan adalah : Apakah engkau berbahagia?"
Petani muda itu melongo. Sama sekali tidak per-nah disangkanya dia akan menerima pertanyaan se-perti itu. "Apa...." Ehh....... aku...." Bahagia" Ah, aku tidak tahu, nona."
Pemuda ini terlalu polos dan jujur, kalau mengatakan tidak tahu, tentu benar-benar tidak tahu, atau tidak mengerti apa yang ia tanyakan. Ia mengangguk yakin. "Engkau tentu seorang yang hidup bahagia. Ya, aku yakin engkau tentu berbahagia!"
Akan tetapi pemuda itu tidak yakin. "Bahagia" Apa sih bahagia itu, nona?"
Kini Siu Kwi yang bengong. Apa sih bahagia itu" "Bahagia.... ya, bahagia, hidupnya senang dan tenteram, aman makmur penuh damai...."
Pemuda itu mengangguk-angguk. "Itukah yang dinamakan bahagia?"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
436 "Begitulah.... atau mungkin aku keliru, en-tahlah."
Pemuda itu memandang bingung. "Bagaimana pula ini" Kalau nona sendiri tidak tahu dengan je-las, apa lagi aku. Aku tidak pernah mendengar kata itu dan akupun tidak membutuhkan kebahagiaan itu."
Siu Kwi membelalakkan kedua matanya. Tidak membutuhkan kebahagiaan! Pemuda
sederhana ini tidak membutuhkan kebahagiaan! Sedangkan ia yang berenang di dalam kemewahan begitu rindu dan butuh akan kebahagiaan karena merasa tidak bahagia, karena merasa nelangsa dan berduka. Agaknya itulah jawabannya. Pemuda itu berbahagia di dalam kese-derhanaannya, berbahagia karena tidak butuh bahagia lagi. Dan iayang berduka, merasa ditinggalkan ke-bahagiaan, maka ia amat membutuhkan kebahagiaan! Kalau saja ia tidak berduka, kalau saja ia dapat me-nikmati segalanya seperti pemuda ini, tentu iapun tidak akan butuh kebahagiaan karena sudah berbaha-gia!
"Ya, tentu engkau berbahagia, karena engkau bekerja sambil bernyanyi-nyanyi gembira.
Engkau tentu seorang yang hidup berbahagia," katanya lagi, memandang wajah dan tubuh pemuda itudengan kagum.
Pemuda itu mengerutkan alis sejenak, lalu mengangguk-angguk pula. "Boleh jadi. Aku dapat meli-hat semua keindahan pagi ini, dapat mendengarkan kicau burung yang gembira, melihat bunga-bunga dan pohon-pohon, mencium keharuman tanah yang ku-cangkul, dapat
menghirup udara segar dengan bebas, kalau lapar dapat makan dan kalau haus dapat mi-num, memiliki pekerjaan. Mau apa lagi?"
Siu Kwi semakin tertarik dan memandang kagum. Bukan kagum dan bukan seperti biasanya tertarik oleh laki-laki karena dorongan nafsu berahi. Bukan sama sekali. Sekali ini, ada sesuatu yang aneh terjadi di dalam hatinya. Ia merasa tertarik dan kagum ka-rena ia melihat betapa laki-laki yang berlepotan lumpur ini lebih utuh sebagai manusia dari pada dirinya sendiri. Laki-laki ini jauh lebih berarti dalam kehi-dupan ini. Ia seperti melihat mutiara gemerlapan di dalam lumpur. Seorang pemuda yang amat polos, jujur terbuka, bersih seperti batu kemala yang belum digosok, nampak kasar dan biasa saja namun mengandung keindahan yang amat berharga di dalamnya. Ja-waban pemuda itu merupakan suatu pelajaran yang tak ternilai harganya, walaupun pemuda itu tidak se-ngaja hendak mengajarkan sesuatu kepadanya.
Memang demikianlah. Guru berada di mana-ma-na kalau saja kita mau membuka mata lahir batin dan mau mengamati segala sesuatu di dalam dunia ini, di luar dan di dalam diri sendiri, secara seksama dan waspada. Melayangnya sehelai daun kering dari atas pohon karena patah dari tangkainya, sudah dapat merupakan suatu pelajaran tentang hidup dan mati. Dalam mempelajari dan mengerti tentang hidup, tak perlu mencari guru dalam bentuk seorang manusia, karena kehidupan adalah sesuatu yang bergerak terus. Kehidupan adalah suatu kenyataan yang kita hayati sendiri. Sedangkan apa yang dapat diajarkan oleh se-orang guru hanyalah pengetahuan mati tentang kehi-dupan. Jawaban pemuda petani itupun dapat meru-pakan suatu pembukaan rahasia tentang kebahagiaan. Dia sudah dapat menerima segala sesuatu yang ada sebagai suatu kenikmatan hidup. Dia TIDAK MEN-CARI SESUATU
YANG TIDAK ADA PADANYA! Karena itulah dia tidak merasa kekurangan apa-apa, dia
tidak mengejar apa-apa. Kalau sudah begitu, tentu saja tidak ada kekecewaan, tidak ada iri, tidak ada kebutuhan akan sesuatu dan tidak ada duka. Dan kalau sudah begini, tentu saja dia tidak membutuh-kan kebahagiaan, karena kebutuhan akan kebahagiaan muncul apabila kita Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
437 merasa bahwa kita tidak bahagia!
Kalau semua orang seperti pemuda petani itu, tentu tidak akan ada kemajuan! Demikian orang membantah. Mungkin dia benar! Akan tetapi, apa-kah yang kita namakan kemajuan itu" Kita men-dambakan kemajuan, kita mengagung-agungkan ke-majuan. Akan tetapi apakah sebenarnya kemajuan itu" Model celana dipotong pendek, lalu panjang la-gi, lalu pendek lagi, panjang lagi. Sempit, lalu long-gar, sempit lagi. Itukah kemajuan" Benda-benda dibikin modern agar LEBIH MENYENANGKAN. jadi, kemajuan berarti pengejaran sesuatu yang dianggap lebih menyenangkan! Itukah kemajuan" Dan sampai di mana kita sekarang ini maju" Sudah maju-kah" Sudah sampai di batas manakah"
Matahari menyinarkan cahayanya yang cerah. Bu-rung-burung berkicau di pohon-pohon.
Bunga-bunga mekar semerbak harum. Sejak jutaan tahun yang lalu sudah begitu, dan terus begitu. Semua itu tidak mengejar kemajuan, melainkan bertumbuh dengan wajar. Apakah keadaan alam seperti itu dapat kita katakan tidak maju"
Pikiran yang didorong oleh keinginan untuk men-cari kesenangan yang lebih, tidak mungkin berdaya cipta (creative). Tidak akan menjadikan kita bijaksa-na dan cerdas. Sebaliknya, pikiran yang selalu me-ngejar kesenangan yang lebih akan menjadi licik penuh akal, kejam dan tak pernah puas. Perbaikan ke-adaan tentu terjadi karena manusia mempergunakan akal budi yang memang sudah ada padanya sejak la-hir. Keburukan hidup menghadapi alam, akan men-dorong manusia mempergunakan akal budinya untuk mengatasi segala kesukaran. Daya cipta akan berkem-bang secara wajar, demi kesejahteraan hidup, bukan demi pergejaran kesenangan.
Selagi Siu Kwi termenung karena jawaban pemu-da tani itu, tiba-tiba pemuda itu nampak gelisah. "Nona, harap kau cepat bersembunyi di balik pohon dan semak-semak itu. Cepat, di sana datang tiga orang pemuda berandalan. Mereka baru sepekan ber-keliaran di sini, dan mereka itu pemuda-pemuda dari kota yang berandalan. Cepat, bersembunyilah, nona, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan."
Siu Kwi sadar dari lamunannya dan ia menengok. Benar saja, dari jauh nampak tiga orang laki-laki yang agaknya bicara sambil bergurau dan tertawa-tawa. Akan tetapi mereka masih terlalu jauh untuk dapat didengar apa yang mereka bicarakan dan untuk meli-hat orang-orang macam apa adanya mereka. Kalau menurut wataknya yang biasa, tentu saja Siu Kwi akan memandang rendah segala pemuda beran-dalan seperti itu. Akan tetapi sekali ini memang ter-jadi hal yang aneh dalam hati Ciong Siu Kwi. Men-dengar ucapan pemuda petani itu, ia tidak membantah, melainkan cepat-cepat pergi bersembunyi di ba-lik semak-semak tak jauh dari tempat itu, di tepi jalan dekat pohon besar.
Makin dekatlah tiga orang laki-laki yang keluyur-an sambil bersendaugurau itu dan akhirnya mereka tiba di tepi sawah di mana pemuda petani itu sudah melanjutkan pekerjaannya yang tadi, yaitu mencang-kul tanah. Tiga orang pemuda iseng itu sejak tadi memang sudah merasa bosan karena tempat itu sunyi dan kini melihat pemuda yang sedang mencangkul tanah, timbul kegembiraan mereka. Mereka menemu-kan seorang yang dapat dijadikan bahan olok-olok dan keberandalan mereka.
"Hei, lihat itu si tolol bekerja keras!" teriak orang pertama yang kepalanya besar dan kedua te-linganya kecil seperti telinga tikus.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
438 "Ha-ha-ha, kusangka dia tadi seekor kerbau yang sedang meluku sawah!" teriak orang ke dua, orang ini kurus kering seperti berpenyakitan.
"Kaukira apa" Apa sih bedanya si tolol dengan seekor kerbau" Hei, tolol! Coba tirukan suara ker-bau, bagaimana?" teriak orang ke tiga yang gendut. Mereka itu tiga orang pemuda yang melihat pakaian-nya saja dapat diketahui bahwa mereka itu adalah orang-orang kota! Padahal, merekapun tadinya orang-orang dari dusun tak jauh dari situ, hanya su-dah lama mereka tinggal di kota dan ketularan ke-sombongan orang-orang kota yang memandang rendah kepada para petani yang miskin. Kini mereka mem-perolok seorang pemuda petani, padahal mereka lahir di rumah-rumah keluarga petani.
Pemuda yang sedang mencangkul itu sudah men-dengar bahwa tiga orang pemuda itu adalah pemuda berandalan yang sudah sepekan suka melakukan hal-hal yang buruk, memperlihatkan kenakalan mereka mendatangkan keributan dan perkelahian, juga keka-cauan. Oleh karena itu dia bersikap tidak perduli dan pura-pura tidak mendengar saja.
Tiga orang pemuda itu mendongkol juga karena olok-olok mereka sama sekali tidak dilayani.
Mereka selalu memperoleh kegembiraan dari olok-olok mere-ka, baik kalau yang dihina itu melawan maupun keta-kutan. Akan tetapi pemuda petani itu diam saja, menganggap mereka seperti angin saja! Marahlah mereka.
"Hei, tolol! Apakah kamu tuli atau gagu?"
"Hayo naik ke sini, kau harus bersihkan sepatu kami dengan baik!"
"Kalau tidak, akan kuhajar kamu! Hayo naik ke sini!"
Akan tetapi, pemuda itu tetap diam saja, hanya melirik sedikit dan di dalam hatinya dia mengambil keputusan bahwa kalau tiga orang itu berani masuk ke sawahnya, dia akan melawan mereka, akan mem-buat mereka berenang di sawahnya dan minum air lumpur!
"Hayo naik kamu, pengecut! Naik ke sini biar kuhajar kau sampai minta-minta ampun!"
teriak pula tiga orang pemuda itu sambil mencak-mencak dengan marah. Mereka tidak berani memasuki sawah karena takut kalau sepatu dan pakaian mereka men-jadi kotor. Akan tetapi pemuda petani itu tetap diam saja dan melanjutkan pekerjaannya mencangkul dengan tekun.
"Kurang ajar! Serang dia dengan batu kata seorang dari mereka dan mereka bertiga kini mencari batu-batusebesar kepalan tangan dan menyambitkan batu-batu itu ke arah pemuda petani. Pemuda petani itu berusaha untuk menangkis dan mengelak, akan tetapi masih ada batu yang mengenai kepalanya sam-pai timbul benjolan besar. Tiga orang pemuda itu tertawa-tawa. Mulai giranglah hati mereka karena mereka dapat menghajar pemuda petani itu. Mereka akan menghujankan batu sampai pemuda itu roboh dan minta-minta ampun!
Melihat keadaan pemuda petani itu, hati Siu Kwi merasa khawatir. Ia sudah marah sekali terhadap tiga orang pemuda berandalan dan kalau ia mau, se-kali menggerakkan tangan saja ia akan dapat membu-nuh mereka dan hal itu tentu sudah dilakukannya sejak tadi kalau saja tidak terjadi perubahan besar dalam hati Siu Kwi. Kini ia keluar dari balik semak-semak dan berseru dengan suara yang sengaja dibikin agar terdengar seperti suara orang ketakutan.
"Jangan sambiti dia.... ah, jangan sakiti dia....!"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
439 Tiga orang pemuda itu terkejut dan menoleh he-ran. Akan tetapi wajah mereka menjadi terang ber-seri dan mulut mereka menyeringai nakal ketika me-reka melihat bahwa yang berseru itu adalah seorang wanita yang demikian cantik manisnya! Mereka me-rasa tercengang dan tidak pernah menduga sama seka-li bahwa di tempat sunyi itu mereka akan dapat ber-temu dengan seorang wanita secantik itu! Tentu saja mereka menjadi girang sekali karena mereka su-dah membayangkan kesenangan yang akan mereka dapat dari wanita itu.
"Ahhh....! Tidak mimpikah aku?" teriak si gendut.
"Benarkah di depanku ada wanita secantik bidadari?"
"Luar biasa sekali! Petani tolol busuk itu mempunyai seorang pacar yang begini cantiknya!"
kata si kepala besar. "Hati-hati, kawan. Jangan-jangan ia ini seorang siluman!" kata si kurus kering.
Siu Kwi merasa heran sekali atas perubahan yang terjadi pada dirinya. Kenapa ia tidak marah dan membunuh mereka ini" Dahulu, jangankan sampai menggoda dengan nada menghina, baru memandang secara kurang ajar saja, kalau ia tidak suka kepada laki-laki itu, tentu akan dibunuhnya seketika!
"Dia tidak bersalah apa-apa, kenapa kalian menganggunya?" Hanya itu saja yang ia katakan, itupun dengan nada meminta agar para pemuda itu jangan mengganggu si petani.
Sementara itu, pemuda petani itu terkejut bukan main melihat munculnya wanita cantik itu dari balik semak-semak. Dia tahu bahwa tiga orang pemuda berandalan itu tentu tidak akan mau melepaskan wanita itu begitu saja. Karena khawatir kalau gadis itu menderita dari gangguan mereka yang kurang ajar, pemuda petani itu segera melangkah keluar dari dalam sawah, lalu cepat menghampiri mereka dan ber-diri di depan gadis itu dengan sikap melindungi.
Kuharap kalian tidak mengganggu gadis ini. Kami adalah orang-orang yang tidak pernah mengganggu kalian, maka kuminta dengan sangat agar kalian tidak mengganggu kami," kata pemuda itu dengan sikap tenang.
Melihat pemuda yang bertelanjang dada dan berlepotan lumpur ini kini berani melindungi wanita itu, tiga orang pemuda berandalan menjadi marah sekali.
"Petani busuk, mampuslah!" bentak si perut gendut dan dia sudah menyerang dengan pukulan keras menyambar ke arah muka si pemuda petani.
"Desss....!" Pemuda petani itu tidak me-ngira bahwa dia akan dipukul, maka dia tidak sempat menangkis dan mukanya kena dipukul. Pukulan ini tepat mengenai batang hidungnya, maka segera nam-pak darah keluar dari lubang hidungnya.
"Plakkk....!" Karena marah, si pemuda petani membalas dan tangannya yang menampar me-ngenai pipi si gendut. Tubuh si gendut terpelanting. Tamparan itu demikian kerasnya sampai membuat matanya berkunang dan kepalanya berdenyut-denyut, ditambah rasa panas dan pedih di pipinya. Dua orang temannya segera maju mengeroyok.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
440 Pemuda petani itu mengamuk. Kini dia dikero-yok tiga, dan tiga orang pemuda berandalan itu seperti tiga ekor serigala yang mengeroyok seekor an-jing pemburu yang melawan mati-matian. Akan teta-pi karena pemuda petani itu tidak pandai silat, hanya mengandalkan kekuatan tubuh yang tahan pukulan dan tenaga besar semangat berkobar, dia menjadi bu-lan-bulanan pukulan dan tendangan tiga orang penge-royoknya. Biarpun demikian, sungguh dia bertubuh kuat dan biarpun dihujani pukulan dan dikeroyok, dia masih sempat berteriak.
"Nona, cepat kaupergilah dari sini!"
Siu Kwi memandang dengan penuh kagum. Pe-muda petani itu kini menjadi seorang yang kega-gahannya tidak kalah oleh para pendekar manapun juga. Bahkan mungkin lebih gagah, pikirnya. Kalau seorang pendekar berani membela orang lain, dia mengandalkan kepandaian silatnya dan senjatanya. Akan tetapi, pemuda ini membelanya mati-matian, pada hal pemuda sederhana ini tidak pandai silat. Bahkan dalam hujan pukulan itu dia masih minta kepadanya untuk menyelamatkan diri. Dia benar-benar merasa gembira karena selama hidupnya baru sekaranglah dia bertemu dengan seorang pria yang membelanya mati-matian tanpa pamrih sedikitpun juga! Biasanya, di dalam kehidupannya yang lalu, kalau ada pria membelanya, maka di balik pembelaan itu tentu mengandung pamrih tertentu. Seperti Bhok Gun misalnya.
Para pria yang bersikap baik kepada-nya tentu mengharapkan imbalan jasa. Akan tetapi pemuda petani ini sama sekali tidak! Mereka tidak saling mengenal, dan pemuda itu jelas tidak mengha-rapkan apa-apa, bahkan minta agar ia pergi secepat-nya. Keharuan, suatu perasaan aneh yang baru per-tama ini dikenal Siu Kwi, menyelubungi hatinya dan iapun cepat pura-pura melarikan diri. Akan tetapi ia cepat menyelinap kembali, tanpa diketahui mereka, dan bersembunyi di balik pohon tak jauh dari tempat perkelahian itu terjadi, mengintai dengan hati penuh kagum dan khawatir.
Pemuda tani itu benar-benar hebat! Biarpun tubuhnya menjadi bulan-bulan pukulan dan tendang-an sehingga dada yang bidang itu, juga lengannya, menjadi matang biru, bahkan mukanya juga benjol-benjol, namun dia pantang menyerah. Seperti seekor harimau terbuka dia mengamuk terus, tidak sedikit-pun keluhan keluar dari mulutnya. Sebaliknya, setiap kali dia membalas dan mengenai tubuh lawan, tentu pengeroyok yang kena dipukul atau ditendang berteriak kesakitan lalu memaki-maki dan membalas de-ngan serangan membabi buta. Dari keadaan perke-lahian itu saja sudah dapat dinilai watak masing-ma-sing.
Pemuda petani itu bertubuh kuat sehingga akhirnya tiga orang lawan yang mengeroyoknya dan lebih banyak memukulnya itu menjadi kewalahan sendiri. Mereka lalu mencabut pisau belati dan mengepung dengan wajah beringas seperti serigala haus darah. Melihat berkilatnya tiga buah pisau belati di tangan mereka, Siu Kwi mengerutkan alisnya. Pemuda petani itu tentu akan celaka kalau ia tidak turun ta-ngan, pikirnya. Jari-jari tangannya memungut tiga butir batu kerikil dan tiga kali tangannya terayun ke depan.
Tiga orang pemuda yang sudah mencabut pisau belati itu tiba-tiba mengeluarkan pekik kesakitan, pisau mereka terlepas dari tangan dan untuk beberapa detik lamanya mereka tidak mampu bergerak. Ke-sempatan ini dipergunakan oleh pemuda tani, yang tidak tahu mengapa mereka melepaskan kembali pi-sau-pisau mereka, untuk maju menghajar mereka dengan pukulan-pukulan keras.
Tiga orang pemuda itu jatuh bangun dan sema-ngat mereka sudah buyar sama sekali. Mereka masih ketakutan karena tanpa sebab mereka tadi merasa ta-ngan mereka nyeri bukan main, Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
441 pisau mereka terlepas dan mereka tidak mampu bergerak. Teringatlah me-reka akan wanita cantik tadi dan kembali timbul du-gaan bahwa wanita itu tentu siluman dan kini mem-bantu si pemuda petani. Maka, tanpa dikomando lagi, mereka bertiga lalu melarikan diri tunggang
-langgang! Pemuda petani itu berdiri memandang mereka sampai bayangan mereka lenyap di antara pohon-po-hon. Dia lalu menyeka darah dari hidung dan bibir-nya yang pecah-pecah, menggunakan punggung ta-ngan yang juga matang biru membengkak. Setelah tiga orang lawannya pergi, baru dia merasa betapa se-luruh tubuhnya sakit-sakit dan diapun agak terhu-yung menghampiri pohon besar di tepi jalan.
"Ah, kau terluka...."
Hampir saja pemuda petani itu menerjang dan menyerang Siu Kwi yang muncul dengan tiba-tiba dari balik batang pohon besar. Dia sudah melupakan wanita itu yang disangkanya tentu sudah melarikan diri ketakutan dan tidak akan kembali lagi ke tempat itu.
"Ah, kau....?" serunya kaget, juga girang bukan main. Kukira engkau sudah pergi jauh dari tempat ini, nona. Dengan hati merasa lega sekali pemuda tani itu lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput, karena tubuhnya kini terasa lelah bu-kan main, tenaganya seperti hampir habis.
Siu Kwi cepat berlutut di dekatnya. "Ah, tubuh-mu luka-luka semua, babak bundas.... ah, tentu nyeri sekali...." katanya dan dengan lembut jari-jari tangan wanita itu menyentuh dada, pundak dan pangkal lengan yang memar dan matang biru.
Sentuhan-sentuhan lembut itu seperti obat yang amat nyaman terasa oleh pemuda tani.
Biarpun usia-nya sudah duapuluh lima tahun, akan tetapi dia be-lum pernah menikah, bahkan jarang bergaul dengan wanita. Dan kini, tiba-tiba muncul seorang wanita yang luar biasa cantiknya berdekatan dengannya, me-nyentuh tubuhnya dengan lembut. Jantung pemuda itu berdebar keras sekali dan hal ini mudah nampak oleh Siu Kwi sehingga wanita inipun diam-diam me-rasa girang sekali. Ia sudah berpengalaman, sudah mengenal banyak pria dan tahu akan keadaan seorang pria. Maka mudah saja ia mengetahui bahwa pria dusun inipun amat tertarik kepadanya dan bahwa pendekatannya membuat pemuda itu berdebar jantungnya.
Anehnya, sekali ini ia merasa demikian girang dan bangga akan kenyataan ini!
"Luka-lukamu ini perlu dirawat. Aku biasa me-rawat luka, marilah kuantar engkau pulang dan akan kurawat luka-lukamu.... ahhh...." Tiba-tiba Siu Kwi teringat dan mukanya berubah pucat dan iapun bangkit dan melangkah mundur.
Pria petani itu sudah merasa girang mendengar bahwa wanita cantik itu akan ikut dia pulang dan akan merawat luka-lukanya, akan tetapi terkejut me-lihat perubahan sikap wanita itu.
Diapun bangkit berdiri, memandang penuh selidik.
"Ada apakah, nona?"
"Kau....ah, tentu di rumahmu ada isteri dan keluargamu yang akan merawatmu...." kata Siu Kwi, memandang penuh pertanyaan dan dengan hati gelisah. Mengapa dia tidak ingat akan hal itu" Seorang pria sedewasa ini, apa lagi hidup di dusun,sudah tentu pria ini sudah menikah dan mungkin sudah mempunyai beberapa orang anak! Hatinya seperti ditusuk-tusuk. Kalau Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
442 dulu, ia tidak akan perduli apakah seorang laki-laki itu berkeluar-ga atau tidak, mau atau tidak padanya. Kalau ia suka, dengan halus maupun kasar ia tentu akan memiliki pria itu, atau membunuhnya. Akan tetapi sekarang, ia ragu-ragu, khawatir dan berduka membayangkan-bahwa laki-laki ini tentu sudah beristeri!
Pemuda petani itu tersenyum. Senyumnya cerah, wajar dan sehat. "Nona, aku belum pernah menikah. Di rumahku hanya tinggal aku dan ayahku seorang. Ibuku sudah lama meninggal."
Merasa bagaikan sebongkah batu dilepaskan dari hatinya yang tertindih, Siu Kwi ingin sekali merang-kul dan mencium pemuda itu. Namun aneh lagi. Ia merasa malu melakukannya, dan ia menahan gejolak perasaannya itu. "Aih, kalau begitu baru aku berani ikut denganmu dan merawat luka-lukamu."
Karena pertanyaan wanita itu, kini si pemuda petani juga memandang ragu. Masih nonakah wanita ini ataukah sudah nyonya" Kiranya sukar dipercaya kalau masih nona, karena usianya sudah tidak begitu muda lagi walaupun kecantikannya membuat ia nampak jauh lebih muda.
Setidaknya, tidak lebih muda darinya dan wanita seusia ini tak mungkin masih pe-rawan.
"Dan bagaimana dengan engkau sendiri, nona.... atau.... nyonyakah?"
Luar biasa sekali! Siu Kwi merasa mukanya pa-nas dan ia tentu akan terheran-heran kalau dapat melihat betapa kulit mukanya berubah kemerahan seperti seorang perawan yang tersipu malu! Heran sekali ia, mengapa ia merasa begini malu dan cang-gung ditanya oleh pemuda ini apakah ia masih gadis ataukah sudah menikah" Tentu saja akan tidak enak sekali kalau ia mengaku masih gadis, karena usianya sudah tidak pantas untuk itu.
"Aku.... aku seorang janda yang ditinggal mati suamiku, beberapa tahun yang lalu. Semenjak itu, aku hidup seorang diri saja...."
"Ahh....! Maafkan pertanyaanku kalau aku telah menyinggung perasaanmu dan
mendatang-kan kembali kenangan yang menyedihkan," kata pe-muda itu, agak terkejut.
Siu Kwi tersenyum, manis sekali.
"Hal itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu, kesedihan sudah lama meninggalkan hatiku.
Akan tetapi, aku ingin mengetahui siapakah namamu dan di mana rumahmu?"
"Aku she Yo bernama Jin, tinggal berdua dengan ayah di dusun sebelah selatan itu." Dia menudingkan telunjuknya ke arah selatan di mana nampak dari situ sekelompok rumah dusun.
"Namamu Jin (Welas Asih), pantas engkau ber-hati mulia, mau membela dan menolong aku yang sama sekali tidak kaukenal. Aku she Ciong, namaku Siu Kwi dan lempat tinggalku tidak tetap karena aku sudah tidak memiliki keluarga lagi."
Pemuda dusun yang bernama Yo Jin itu meman-dang dengan sinar mata mengandung iba dan dia menggeleng kepala. Akan tetapi.... apakah sama sekali tidak mempunyai anggauta keluarga" Orang tua, saudara-saudara...."
Akan tetapi Ciong Siu Kwi menggeleng kepala dan ia memang tidakberbohong. Ia sendiri sudah tidak mempunyai sanak keluarga sama sekali ketika dipungut oleh Sam Kwi. "Aku Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
443 hidup sebatangkara, seorang diri saja di dunia yang luas ini. Aihh, kenapa kita bercakap-cakap saja, engkau perlu dirawat. Mari kuantar engkau pulang."
Siu Kwi lalu memegang lengan pemuda itu dan membantunya bangkit berdiri. Melihat betapa wanita itu memegang lengannya, kembali jantung Yo Jin tergetar dan diapun masih merasa ragu-ragu. Seorang wanita secantik ini, sudah menjanda dan nampak begitu mewah pakaiannya, hendak menggandengnya!
"Tapi, nyonya...."
"Hemm, Yo Jin. Aku sudah memperkenalkan bahwa namaku Siu Kwi, bukan?"
"Baiklah,.... adik Kwi. Aku.... aku masih sangsi apakah mungkin seorang seperti engkau ini merawatku....?"
Senang hati Siu Kwi disebut Kwi-moi (adik Kwi) walaupun ia yakin bahwa ia lebih tua dari pemuda itu. Diapun sengaja menyebut toako (kakak) untuk mengimbangi sebutan Yo Jin dan untuk menghormati pemuda dusun itu. Kenapa tidak, Jin-toako" Eng-kau sudah menolongku, menyelamatkan aku dari gangguan tiga pemuda berandalan itu. Budimu ter-lampau besar dan sudah sepatutnya kalau aku kini merawatmu, sekedar untuk membalas kebaikanmu dan menyatakan terima kasihku. Akan tetapi.... tentu saja aku tidak berani memaksa kalau engkau tidak sudi dirawat oleh seorang janda yang hidup merana dan kesepian Di dalam kalimat ter-akhir itu terkandung isak dan inipun bukan pura-pura karena memang hati Siu Kwi merasa sedih sekali membayangkan hatinya yang sedang kesepian dan merana itu menderita pukulan karena ditolak oleh Yo Jin. Ia merasa kagum dan suka sekali kepada pemuda ini. Bukan sekedar nafsu berahi yang mendorongnya. Entah bagaimana, melihat sikap pemuda ini yang melindungi dan membelanya mati-matian tanpa pamrih, ia merasa aman sentausa berada di sam-ping Yo Jin. Perasaan sepi lenyap.
"Aih, mana mungkin aku menolak uluran tangan-mu, Kwi-moi" Mari, marilah kita pulang."
"Pulang?" Seperti dalam mimpi Siu Kwi meng-ulang kata yang terdengar amat luar biasa itu, amat asing namun amat indahnya.
"Ya, pulang! Bukankah engkau tadi mengajak-ku pulang" Ke rumahku, rumah ayahku."
"Pulang....?" Kembali Siu Kwi mengulang kata itu, kata yang baginya mengandung makna yang asing dan indah, seolah-olah "pulang" merupakan sebuah tempat milik mereka berada, sebuah sarang yang aman sentausa, yang nyaman dan penuh keda-maian.
Ayah Yo jin adalah seorang kakek petani yang bertubuh tinggi besar, berwatak jujur dan dia me-nyambut pulangnya puteranya dengan alis berkerut. Tentu saja dia merasa heran bukan main melihat anaknya pulang bersama seorang, wanita cantik ber-pakaian mewah yang menggandengnya. Mereka nam-pak demikian mesra! Akan tetapi perasaan heran ini menjadi kekagetan dan kekhawatiran ketika dia melihat betapa muka anaknya itu matang biru dan bengkak-bengkak. Baru dia mengerti setelah Yo Jin menceritakan bahwa dia diganggu dan dikeroyok oleh tiga orang pemuda kota yang berandalan itu dalam membela Ciong Siu Kwi yang hendak diganggu.
"Nyonya.... eh, adik Ciong Siu Kwi mene-mani aku karena ia hendak merawat luka-lukaku, Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
444 ayah. Aku tidak dapat menolak maksud baiknya itu."
Ayahnya mengangguk-angguk dan menatap wajah wanita ini dengan tajam penuh selidik.
Pandang mata itu membuat Siu Kwi merasa kikuk sekali, akan te-tapi ia hanya menundukkan mukanya.
"Mari, Jin-toako, kucuci luka-luka itu, karena kalau didiamkan saja dan terkena kotoran dapat membengkak dan berbahaya," katanya halus kepada Yo Jin. Pemuda itu mengangguk dan mulailah Siu Kwimerawatnya. Ia mencuci luka-luka itu, dengan jari-jari tangan menyentuh halus ia menggosok bagian yang bengkak, menaruh obat pada bagian yang memar dan matang biru. Entah mana yang lebih manjur, obat yang dipergunakan Siu Kwi ataukah sentuhan jari-jari tangannya, akan tetapi Yo Jin merasa betapa kenyerian di tubuhnya lenyap seketika. Mau rasanya dia dipukuli orang setiap hari kalau sesudah itu dira-wat oleh jari-jari tangan wanita cantik ini! Karena dia memang jujur, maka suara hatinya ini tak dapat ditahannya.
"Wah, aku sungguh beruntung!" katanya, Ayahnya sudah meninggalkan mereka yang berada di ruangan samping.
"Beruntung" Kenapa?" tanya Siu Kwi, ingin tahu sekali.
"Ya, beruntung telah dipukuli orang sampai babak belur dan matang biru."
Siu Kwi memandang heran. "Eh" Betapa aneh-nya!"
"Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin aku akan mendapatkan perawatanmu seperti ini?"
Siu Kwi merasa betapa jantungnya berdebar. Ingin ia merangkul pemuda itu, akan tetapi hal itu tidak dilakukannya. Ia harus bersikap biasa, ia tidak menuruti lagi segala kehendak hatinya seperti yang sudah-sudah. Namun ia tidak dapat terbebas dari perasaan jengah sehingga mukanya berubah kemerahan.
"Jin-toako, masih sakitkah bekas pukulan dan tendangan itu?"
"Tidak, sama sekali sudah lenyap. Sentuhan tanganmu yang lembut mengusir semua rasa nyeri," jawab Yo Jin sungguh-sungguh.
"Senangkah engkau kurawat begini?"
"Senang sekali! Mau rasanya aku setiap hari menerima pukulan asal engkau yang
merawatnya." Siu Kwi memandang penuh perhatian. Bersandiwarakah pemuda ini" Apakah dia sebenarnya seorang laki-laki yang pandai merayu hati wanita dan kini berpura-pura sebagai seorang pemuda dusun yang bodoh" Tidak, dia merasa yakin bahwa pemuda ini bukan seorang perayu, melainkan seorang yang amat jujur. Apa yang diraskannya, apa yang dipikirkannya, langsung saja keluar melalui mulutnya. Dan ia mera-sa betapa ada suatu kegembiraan besar memenuhi dadanya.
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan nyaring di luar rumah dan ayah Yo Jin memasuki Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
445 ruangan itu dengan wajah membayangkan kekhawatiran besar. "Mereka bertiga datang bersama Lui-kongcu putera kepala dusun di timur! Ah, Yo Jin, engkau mencari gara-gara saja. Bagaimana baiknya sekarang?"
Yo Jin mengerutkan alisnya dan diapun bangkit. Sedikitpun dia tidak merasa takut.
"Ayah, mereka itu pengacau-pengacau tak tahu malu. Kalau mereka berani datang untuk membikin ribut di sini, biarlah aku akan menghajar meereka lagi." Berkata demikian, dengan sikap gagah Yo Jin lalu melangkah keluar.
"Toako, berhati-hatilah...." Siu Kwi berseru dan iapun sudah bangkit dan memegang lengan pemu-da itu.
Yo Jin menoleh. "Lebih baik engkau jangan keluar, jangan memperlihatkan diri. Biar aku yang menghadapi mereka."
"Tapi.... tapi engkau akan dikeroyok lagi, dipukuli...."
Yo Jin tersenyum dan untuk beberapa detik lama-nya tangannya menggenggam tangan wanita itu. "Tak perlu dirisaukan! Bukankah di sini ada engkau yang akan mengobati semua bekas pukulan?" Dia lalu melepaskan tangannya dan cepat keluar karena orang-orang itu sudah berteriak-teriak lagi.
Siu Kwi berdiri bengong dan mulutnya tersenyum, wajahnya berseri. Ia merasa seperti seorang gadis remaja yang baru pertama kali jatuh cinta! Akan tetapi ia segera
mengkhawatirkan keadaan Yo jin dan iapun cepat mengintai dari balik pintu.
Ternyata tiga orang pemuda berandalan itu, setelah melarikan diri. Segera pergi menghadap Lui-kongcu (tuan muda Lui), putera dari kepala dusun tempat asal tiga orang pemuda itu.
Mereka memang berkawan dengan putera kepala dusun yang terkenal mata keranjang.
Mereka memuji-muji kecantikan wanita yang menjadi pacar seorang pemuda petani di dusun selatan sehingga Lui-kongcu tertarik sekali. Apa lagi mendengar betapa tiga orang pemuda itu yang diang-gap sebagai anak buahnya, telah dihajar babak-belur oleh pemuda itu karena memperebutkan wanita cantik, Lui-kongcu merasa penasaran. Mengandalkan kedudukan ayahnya, dia memang sudah biasa merajalela dan suka membikin kacau, menekan para pendu-duk yang tentu saja takut kepadanya mengingat akan kedudukan ayahnya, yaitu kepala dusun Lui.
Ketika Yo Jin muncul diikuti oleh ayahnya yang memandang khawatir, Lui-kongcu sudah menyambut-nya dengan dampratan. "Monyet inikah yang telah lancang tangan berani memukuli tiga orang pemuda dusun kami?" Dia membentak sambil menudingkan telunjuk kanannya ke arah muka Yo Jin. "Siapakah namamu?"
Yo Jin tidak mengenal pemuda yang bertubuh jangkung kurus dan berwajah tampan akan tetapi angkuh ini. Akan tetapi tadi ayahnya sudah memberi tahu bahwa tiga orang pemuda berandalan itu datang bersama Lui-kongcu putera kepala dusun timur.Maka dia dapat menduga tetu pemuda tampan jangkung berpakaian mewah ini putera kepala dusun itu.
"Maaf, bukan aku yang memukuli dan mengeroyokku. Aku hanya membela diri saja.
Namaku adalah Jin she Yo...."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
446
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus, Yo Jin. Aku adalah Lui-kongcu, putera kepala dusun kami di timur. Engkau telah berani kurang ajar terhadap kami, hayo cepat berlutut minta ampun!"
Bukan watak Yo Jin untuk merendahkan diri karena takut. Dia tidak merasa besalah, maka diapun tidak takut terhadap siapa juga. "Lui-kongcu, sudah kukatakan bahwa aku tidak bersalah, maka diapun tidak takut terhadap siapa juga. "Lui-kongcu, sudah kukatakan bahwa aku tidak bersalah. Merekalah yang terkenal sebagai pemuda-pemuda berandalan yang suka membikin kacau. Sebaiknya kalau Lui-kongcu sebagai putera kepala dusun, menghukum mereka agar mereka tidak lagi menjadi berandalan-berandalan yang suka mengacau ke kampung-kampung."
"Tutup mulutmu! Engkau berani membantah dan melawan aku, ya?" bentak Lui-kongcu marah sambil melangkah maju mendekati Yo Jin. "Hayo lekas berlutut!"
"Aku tidak bersalah apa-apa, kenapa harus berlutut?" jawab Yo Jin dengan sikap tenang dan alis berkerut, pandang mata tajam ditujukan kepada wajah kongcu itu.
"Engkau melawanku?" Lui-kongcu membentak, lalu membuat gerakan memasang kuda-kuda dengan gagah dan membentak, "Haiiiit....!" Lalu tubuhnya menerjang ke depan, tangannya yang dikepal memukul bertubi-tubi.
Yo Jin menyangka bahwa anak kepala dusun ini akan memukulnya, dan dia pun merasa sungkan untuk membalas, maka dia menangkis sedapatnya. Karena tidak membalas, dan karena dia masih lelah, beberapa pukulan mengenai tubuhnya, dan tentu saja terasa nyeri karena mengenai bagianyang memar dan masih biru. Lui-kongcu melanjutkan serangannya sambil berteriak-teriakseperti lagak seorang jagoan tulen.
Karena kesakitan, Yo Jin lalu melawan. Dia membalas dengan pukulan tangan kanan yang mengenai dada Lui-kongcu sehingga tubuh si jangkung ini terpelanting! Kiranya, hanya lagak saja seperti jagoan. Memang dia pernah belajat silat, akan tetapi orang seperti dia mana ada ketekunan belajar secara sungguh-sungguh" Dia belajar hanya untuk berlagak, makayang dihafalnya hanyalah pemasangan kuda-kuda dan gerakan-gerakan yang nampak indah, namun karena dia tidak tekun mempelajari dasar-dasarnya, maka semua gerakannya itu kosong belaka, bagaikan bungkusan indah yang tidak ada isinya. Maka, begitu Yo Jin membalas, diapun terkena pukulan dan terpelanting. Melihat demikian, tiga orang pemuda berandalan itupun maju mengeroyok. Tentu saja Yo Jin yang masih belum pulih kesehatannya, dan masih lelah itu, harus menerima hajaran empat orang pengeroyoknya, dipukul dan ditendang sampai babak belur. Namun, dengan gigih dia membela diri dan melawan, sedikitpun tidak pernah mengeluh.
"Heiii, jangan berkelahi! Jangan pukuli anakku....!" Ayah Yo Jin yang melihat puteranya dipukuli orang lalu maju untuk melerai, akan tetapi ia disambut oleh pukulan-pukulan yang membuat ia roboh terpelanting pula!
Melihat itu, Siu Kwi lalu keluar dari tempat persembunyiannya. "Tahan, jangan berkelahi!"
Mendengar suara perempuan, empat orang pengeroyok itu menghentikan amukan mereka dan Lui-kongcu memandang bengong ketika dia melihat seorang wanita muda yang amat cantik jelita berdiri di situ. Tiga orang pemuda berandalan itupun memandang an mereka Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
447 segera mengenal wanita itu.
"Kongcu, itulah pacarnya yang cantik!"
Lui-kongcu tidak perlu diberitahu lagi karena matanya yang berminyak sudah melahap kecantikan yang berada di depan matanya dan diapun sudah dapat menduga bahwa tentu wanita ini yang menjadi gara--gara keributan itu, yang diperebutkan dan dia tidak menyalahkan anak buahnya kalau tergila-gila kepada wanita ini. Memang cantik jelita!
"Yo Jin, aku akan mengampunimu kalau engkau mau memberikan pacarmu ini kepadaku, setidaknya kupinjam dia untuk beberapa malam lamanya!" kata Lui-kongcu tanpa malu-malu lagi.
Dapat dibayangkan betapa panas rasanya hati Yo jin. Dia sudah jatuh cinta kepida Siu Kwi dan kini mendengar kata-kata yang tidak sopan dan kurang ajar itu, yang ditujukan kepada Siu Kwi, tentu saja dia menjadi marah. "Lui-kongcu, andai kata ia itu pacar-ku, tunanganku atau isteriku, tentu takkan kuserahkan kepadamu, dan akan kuhajar engkau yang berani bersikap kurang ajar! Akan tetapi sayang, ia hanya seorang sahabat baru dan seorang tamuku yang ter-hormat."
Mendengar jawaban ini, Lui-kongcu dan tiga orang pemuda berandalan itu saling pandang. Si gen-dut, seorang di antara tiga pemuda berandalan itu, berseru tak percaya.
"Kau bohong! Kalau bukan pacarmu, kenapa engkau membelanya sampai mati-matian?"
"Hemmm, orang-orang macam kalian ini tentu me-rasa heran, akan tetapi orang-orang sopan tentu me-ngerti bahwa sudah sepatutnya kalau seorang pria menghormati wanita, membelanya dan bukan seperti kalian yang hendak menghinanya dan mempermainkannya!"
"Ha-ha-ha, bocah petani dusun tolol! Orung macam engkau mau memberi kuliah kepadaku"
Kalau ia bukan apa-apamu, sudah, mundur kau dan jangan turut campur!" kata Lui-kongcu yang diam-diam merasa jerih juga melihat kenekatan Yo Jin yang agaknya tidak mengenal takut dan sakit. Ia menghampiri Siu Kwi dan tersenyum menyeringai sambil memasang aksi.
"Nona cantik, marilah engkau ikut bersamaku. Aku adalah Lui-kongcu, putera kepala dusun di timur yang kaya raya. Engkau tentu akan mengalami kesenangan kalau ikut bersamaku.
Jadilah tamuku yang terhormat dan kita bersenang-senang bersama. Marilah, manis!" Dia mengulur tangan hendak meme-gang tangan Siu Kwi. Agaknya, pemuda ini selalu yakin bahwa setiap orang perempuan tentu akan tun-duk dan memyambut ajakannya dengan girang.
Wanita mana yang dapat menolaknya" Dia masih muda, tam-pan dan gagah, kaya raya dan ayahnya menjadi kepala dusun yang hidupnya seperti seorang raja kecil saja di dusunnya!
Sudah terlalu banyak wanita yang tunduk kepadanya, seperti kerbau dicocok hidungnya kalau dia merayu dan mengajak mereka.
Siu Kwi ingin sekali tampar menghancurkan ke-pala Lui-kongcu itu. Akan tetapi ia masih terus sadar dan teringat bahwa ia kini harus menjadi seorang yang baru sama sekali, tidak boleh lagi mempergunakan il-munya untuk mengulangi lagi kehidupan sesat dan kejam seperti yang sudah-sudah. Akan tetapi, tentu saja ia tidak dapat memadamkan kemarahan yang berkobar di dalam dadanya melihat sikap anak kepala dusun itu.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
448 "Tidak, aku tidak mau pergi ke mana-mana, ti-dak mau pergi meninggalkan Jin-toako yang membu-tuhkan perawatanku. Kalian pergilah dari sini dan jangan membikin kacau!"
Lu-kongcu tertawa dan membelalakkan matanya. "Aih, kenapa begitu, nona manis" Apakah engkau lebih suka tinggal di sini, di tempat yang kotor dan amat tidak pantas bagimu ini" Dan lihat si tolol Yo Jin ini, seorang petani busuk yang kotor dan bo-doh. Tidak patut sama sekali engkau bersahabat dengan orang tolol macam ini. Untuk menjadi bu-jangmupun, dia belum pantas!"
Siu Kwi menjadi marah bukan main. "Huh, toa-ko Yo Jin ini adalah seorang laki-laki sejati.
Dia seri-bu kali lebih baik dari pada kamu dan kawan-kawan-mu. Pergilah dan jangan menganggu kami lagi!"
Mendengar ucapan ini, Lui-kongcu menjadi ma-rah. Mukanya merah sekali. Pemuda dusun itu seri-bu kali lebih baik dari dia" "Hajar mampus petani busuk ini, baru kularikan gadis tak tahu diri itu!" katanya dan diapun sudah menyerang Yo jin dengan marah, dibantu kawan-kawannya. Dan kini, mereka mencabut pisau yang sudah mereka persiapkan lebih dulu.
"Jin-toako, kaupukul mereka sampai puas!" tiba-tiba Siu Kwi berkata. "Cepat hajar mereka, toako!"
Tentu saja Yo Jin terheran mendengar seruan itu, akan tetapi dia menjadi semakin heran dan girang melihat betapa empat orang pemuda yang mengeroyoknya itu tiba-tiba saja
menghentikan gerakan-gerak-an mereka dan ketika dia memukul mereka, empat orang itu sama sekali tidak melawan, tidak menangkis atau mengelak. Dia tidak tahu bahwa dengan gerak-an yang luar biasa cepatnya, Siu Kwi telah membuat mereka untuk sementara lumpuh dengan sambitan-nya, mempergunakan kerikil-kerikil kecil sekali. Enak saja Yo Jin membabat mereka dengan kaki tangannya, memukul dan menendang sampai mereka itu
tergu-ling-guling. Ketika pengaruh totokan sudah hilang dan mereka mampu bergerak kembali, mereka sudah menjadi ketakutan.
Lui-kongcu bangkit berdiri, sempoyongan dan memandang kepada Yo Jin dan Siu Kwi bergantian, kemudian dia memandang kepada ayah Yo jin dan ber-kata sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Siu Kwi, "Ia seorang siluman! Ya, seorang siluman betina yang jahat dan akan menghancurkan keluargamu!" Setelah berkata demikian, Lui-kongcu
melari-kan diri diikuti tiga orang pemuda berandalan. Tadi, tiga orang pemuda itu sudah menceritakan betapa mereka mengalami hal yang aneh ketika mencabut pisau sehingga mereka dihajar oleh Yo Jin. Sekarang, kembali mereka mengalami hal yang sama dan juga Lui-kongcu mengalaminya. Maka, mereka semua condong percaya kepada dugaan pemuda berandalan kepala besar bahwa agaknya Yo Jin dibantu siluman, dan siapa lagi kalau bukan perempuan cantik itu si-lumannya"
"Mereka sungguh kurang ajar!" bentak Yo Jin marah ketika mendengar wanita yang telah menjatuh-kan hatinya dimaki siluman.
"Biarkan mereka pergi, Jin-toako. Mereka adalah anak-anak yang masih bodoh dan hanya mengandal-kan kedudukan orang tua dan kekayaan saja. Wah, luka-lukamu lecet kembali, mari kuberi obat lagi."
"Baik, Kwi-moi dan terima kasih atas kebaikan-mu." Dua orang muda itu hendak masuk Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
449 kembali ke dalam rumah. "Nanti dulu!" Tiba-tiba terdengar ayah Yo Jin membentak. Orang tua ini sungguh amat terpengaruh oleh kata-kata yang ditinggalkan oleh Lui-kongcu. Pada jaman itu, memang semua orang amat percaya akan tahyul, percaya akan siluman-siluman yang suka
mendatangkan gangguan terhadap kehidupan manusia, percaya pula akan dewa-dewa
pelindung dan segala macam tahyul lagi. Mendengar ucapan Lui-kongcu, ayah inipun terkejut dan sejak tadi dia sudah menga-mati Siu Kwi penuh perhatian. Seorang wanita yang amat cantik, dengan pakaian mewah dan perhiasan emas permata yang mahal-mahal. Dan wanita seperti itu mau mendekati puteranya, seorang petani biasa! Dan pula, wanita itu muncul begitu tiba-tiba. menga-ku tak memiliki keluarga, tak memiliki rumah tinggal. Mana mungkin ini" Seorang wanita gelandangan tidak sekaya ini, apa lagi secantik ini. Dan mengapa Yo Jin tiba-tiba saja menjadi begitu nekat membela-nya sehingga anak itu bahkan berani menentang seorang putera kepala dusun" Agaknya anaknya itu sudah tergila-gila kepada siluman ini, yang tentu saja telah mempergunakan ilmunya untuk menundukkan Yo Jin. Puteranya itu walaupun sudah berusia dua-puluh lima tahun, akan tetapi dia yakin masih seorang perjaka tulen dan menurut dongeng, siluman memang suka mengubah diri menjadi seorang
perempuan can-tik untuk menghisap sari tenaga dari tubuh seorang perjaka! Dan menurut dongeng, seorang perjaka yang terpikat oleh siluman, akan mati kehabisan darah, bahkan keluarganya juga akan ikut tertimpa malapetaka!
Mendengar bentakan ayahnya dan kini melihat betapa ayahnya memandang dengan mata terbelalak kepada Siu Kwi, Yo Jin merasa heran. "Ada apakah, ayah?"
"Tidak boleh.... nona ini tidak boleh mema-suki rumah kita....!" Lalu orang tua itu menjadi ketakutan ketika teringat bahwa seorang siluman amat sakti dan akan mampu membunuhnya hanya dengan pandang matanya, dan juga amat kejam, maka cepat dia menjura kepada Siu Kwi. "Nona, harap maafkan kami.... harap suka mengasihani seorang tua seperti aku, seorang duda yang hidup berdua de-ngan anakku Yo Jin. Harap kau suka memaafkan ka-mi dan jangan.... jangan menjadikan anakku korban.... carilah korban lain, masih banyak ter-dapat perjaka di dusun ini dan dusun-dusun lain-nya...."
Biarpun Yo Jin dan Siu Kwi terheran-heran mendengar ucapan yang tersendat-sendat itu, mereka berdua maklum apa yang dimaksudkan oleh orang tua itu. Kakek itu menuduh Siu Kwi siluman!
"Ayah....! jangan begitu...."
"Lopek, aku mengerti apa yang kaumaksudkan. Engkau menuduh aku seorang siluman
betina, bukan-kah begitu?" kata Siu Kwi, suaranya terdengar dingin menusuk. Wanita ini memang marah bukan main. Gatal-gatal kedua tangannya. Ia telah diusir, bahkan dituduh seorang siluman. Kalau dulu, bebe-rapa hari yang lalu saja, tak mungkin ia dapat meng-ampuni orang yang berani mengusirnya dan menuduh-nya siluman. Tentu ia akan membunuh orang itu. Akan tetapi, ia kini hanya merasa marah dan juga berduka sekali. Ayah pria yang menjatuhkan hatinya kini mengusirnya dan menuduhnya siluman.
Kakek itu menjura. "Maafkan.... maafkan kami...."
Siu Kwi tidak dapat menahan kesedihannya. Ia terisak lalu berlari pergi.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
450 "Kwi-moi....! Tunggu, jangan tinggalkan aku, Kwi-moi....!" Yo Jin berteriak dan me-ngejar.
"Yo Jin, berhenti kau!" Ayahnya menghardik. Selama ini, Yo Jin hanya hidup berdua dengan ayah-nya, maka tentu saja dia amat menyayang ayah ini dan mentaatinya. Kini, mendengar bentakan ayahnya, dia seperti tertahan oleh sesuatu yang amat kuat, ber-henti berlari, menoleh dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Ayah...., Kwi-moi....!" Dan pemuda inipun terguling, pingsan. Setelah mengalami penge-royokan sampai dua kali, menerima gebukan-gebukan yang amat banyak, dan hanya sentuhan dan sikap Siu Kwi saja yang menguatkan hatinya sehingga dia dapat bertahan, kini dia tidak dapat menahan pukul-an batin melihat ayahnya menuduh kekasihnya itu siluman dan Siu Kwi pergi meninggalkannya!
*** "Orang she Yo, sungguh besar sekali nyalimu! Engkau membiarkan anakku yang kurang ajar itu untuk memukul dan melukai Lui-kongcu, putera ke-pala dusun timur! Sungguh, engkau membikin malu aku yang menjadi kepala dusun di sini!" kata kepala dusun Tong kepada kakek Yo. Dia menerima penga-duan dari rekannya, kepala dusun Lui dan karena me-rusa malu hati terhadap rekannya, maka dia cepat memanggil kakek Yo datang menghadap dan mene-gurnya dengan keras. "Sekarang juga Yo Jin harus menyerahkan diri agar dapat kuantarkan kepada kepala dusun Lui untuk menerima hukuman!"
Tentu saja kakek Yo terkejut mendengar ini dan dia cepat-cepat memberi hormat. "Mohon beribu ampun dan kebijaksanaan Tong-thungcu," katanya. "Sesungguhnya anak saya Yo Jin sama sekali tidak bersalah, akan tetapi dia terbujuk oleh siluman betina. Untung bahwa saya telah berhasil mengusir siluman betina itu dan menyelamatkan anakku dari ancaman malapetaka."
Kepala dusun itu tertegun. "Siluman...." Apa maksudmu?"
Kakek Yo lalu menceritakan tentang munculnya siluman betina yang menyamar sebagai seorang wanita cantik sehingga menjadi perebutan antara anaknya dan Lui-kongcu dan terjadi perkelahian. Akan tetapi, anaknya itu terbujuk oleh siluman dan dalam keadaan tidak sadar.
"Kalau terlambat sedikit saja saya mengusir siluman itu, tentu anakku telah mati. Siluman itu sudah saya usir, dan harap Tong-thungcu suka membu-juk Lui-thungcu agar mengampuni anak saya yang sebenarnya tidak salah karena berada dalam pengaruh siluman dan tidak sadar."
"Ah, jangan mencari alasan dengan cerita yang
gila!" bentak kepala dusun Tong. "Siapa mau percaya omonganmu" Hayo bawa Yo Jin ke sini, atau-kah aku harus ke sana sendiri untuk menangkapnya?"
"Ah, Tong-thungcu tidak percaya" Marilah, ha-rap dilihat sendiri keadaan anak saya yang sampai sekarang masih belum sadar benar," kata kakek Yo. Kepala dusun itu merasa heran dan diapun segera mengikuti kakek Yo, dikawal oleh tiga orang anak buahnya.
Setelah tiba di dalam rumah kakek Yo, kepala dusun Tong melihat betapa Yo Jin benar-benar bera-da dalam keadaan sakit dan tidak sadar. Pemuda itu berbaring demam gelisah di atas Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
451 pembaringan di da-lam kamarnya. Mukanya merah sekali, tubuhnya panas dan pemuda itu mengigau, memanggil-manggil "Kwi-moi!" berkali-kali.
"Nah, begitulah keadaannya, thungcu. Yang dipanggilnya itu adalah nama siluman itu. Maka harap Tong-thungcu suka mengasihaninya dan suka mem-bujuk Lui-thungcu." Kakek Yo dengan suara mohon dikasihani minta kebijaksanaan kepala dusun Tong sambil menyerahkan bungkusan yang terisi seluruh simpanan uangnya kepada pembesar itu.
Mula-mula kepala dusun itu berpura-pura menolaknya. Akan tetapi, melihat bahwa isi buntalan itu cukup banyak, diapun menyuruh pengawalnya untuk menerima bungkusan itu sambil berkata, "Sebenarnya, berat bagiku untuk memenuhi permintaanmu. Aku merasa malu hati kepada rekanku, kepala dusun Lui. Akan tetapi, melihat keadaan anakmu, aku percaya dan biarlah saya akan membicarakan hal ini dengan dia."
Kakek Yo merasa girang dan berterima kasih, dan sambil membungkuk-bungkuk dia
mengantar kepala dusun itu meninggalkan rumahnya sampai di luar pe-karangan. Dia rela kehilangan semua simpanannya asal anaknya tidak ditangkap.
Kakek Yo benar-benar percaya bahwa anaknya sakit karena berdekatan dengan siluman.
Hawa si-luman yang menimbulkan sakit panas itu, maka dia-pun mengundang seorang dukun untuk menyembuh-kan puteranya. Dukun itu seorang tosu yang suka mempelajari ilmu klenik dan sang tosu, dengan biaya yang cukup besar tentunya, segera melakukan sem-bahyangan di situ, menggunakan darah anjing dipercik-percikkan di empat penjuru rumah, berkemak-ke-mik membaca mantera dan dengan rambut riap-riapan dan pedang di tangan dia berjalan pula mengitari ru-mah sampai tujuh kali. Akhirnya dia meninggalkan rumah kakek Yo sambil mengantongi hadiah yang cukup banyak, juga sebungkus masakan yang lezat.
Akan tetapi, penyakit Yo Jin tidak menjadi sem-buh, bahkan setelah lewat tiga hari, keadaannya menjadi semakin payah. Dan pada malam hari ke tiga itu, setelah kakek Yo tertidur nyenyak saking lelah-nya, sesosok bayangan hitam berkelebat di atas gen-teng rumah itu. Bayangan itu melakukan pengintaian dari atas genteng, membuka genteng di atas kamar Yo Jin dan ia mendekam sambil mengintai ke dalam kamar. Dilihatnya Yo Jin rebah terlentang dengan muka merah akan tetapi kurus sekali, dan pemuda itu bergerak gelisah ke kanan kiri dengan gerakan lemah.
"Kwi-moi.... Kwi-moi.... jangan tinggalkan aku.... Kwi-moi...." Demikianlah dia mengigau berkali-kali, mengulang-ulang nama itu dengan bisikan-bisikan lemah.
"Ohhh....!" Bayangan itu terisak dan mena-ngis. Bayangan itu adalah Siu Kwi dan iapun cepat melayang turun dan memasuki kamar Yo Jin. Ditubruknya Yo Jin dan dirangkulnya tubuh yang panas itu.
Yo Jin membuka kedua matanya dan melihat wa-jah orang yang dirindukannya, diapun merangkul. "Kwi-moi....!"
"Jin-toako! Aihh.... toako, kau kenapa-kah....?"
"Kwi-moi, tangan tinggalkan aku lagi...." pemuda itu mengeluh lemah.
"Tidak, tidak ah,.... betapa bodohku telah meninggalkanmu." Ia mencium dahi pemuda Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
452 itu. "Hemm, badanmu panas. Engkau demam." Cepat -Siu Kwi memeriksa keadaan Yo Jin dan wanita yang pandai dan banyak pengalaman ini maklum bahwa pemuda itu terserang demam karena luka-lukanya yang tidak terawat kini membengkak dan keracunan! Cepat ia bekerja, mencuci luka-luka itu dan menaruh-kan obat luka yang selalu dibawanya, dan juga me-nyuruh Yo Jin menelan dua butir pel kuning. Setelah menelan pel, Yo Jin tidur pulas dengan kepala di atas pangkuan Siu Kwi.
Siu Kwi duduk di tepi pembaringan, mengelus-elus rambut dikepala Yo Jin yang kusut. Ia meman-dangi wajah yang kurus itu dan tak terasa dua butir air mata menetes turun, keluar dari kedua matanya. Hatinya diliputi keharuan yang amat mendalam. Se-lama tiga hari ini, ia sendiri tersiksa sekali. Ia berkeliaran di hutan-hutan dan gunung-gunung, mencoba untuk melupakan Yo Jin, namun tidak berhasil sama sekali. Makin dilupakan, makin teringat dan selama tiga hari ini ia hampir tidak makan dan tidak tidur sama sekali. Akhirnya, iapun tidak kuat dan memak-sa diri kembali ke dusun itu dan di waktu malam te-lah menggelapkan dusun, iapun mendatangi rumah pria yang dicintanya untuk menengok dengan diam-diam.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat Yo Jin ternyata dalam keadaan sakit yang cukup payah. Dan lebih terharu lagi ketika ia men-dengar igau pemuda itu dalam sakitnya. Baru ia tahu bahwa sepeninggalnya, Yo Jin jatuh sakit dan terus mencari-cari dan memanggil-manggilnya!
"Ah, Jin-toako.... aku cinta padamu.... aku cinta padamu...." bisiknya berkali-kali dan ia mendekap kepala di pangkuannya itu seperti men-dekap sebuah mustika yang takkan pernah dilepaskan-nya lagi.
Karena ia sendiri selama tiga hari kurang tidur, setelah kini bertemu kembali dengan Yo Jin, bahkan pemuda itu tertidur di pangkuannya, hati Siu Kwi merasa demikian tenteram sehingga iapun memejam-kan matanya, bersandar pada dinding dan dengan ke-pala pemuda itu masih di atas pangkuannya, iapun tertidur pulas.
Seperti itulah keadaan mereka ketika pada keesokan harinya kakek Yo memasuki kamar anaknya. Dia berdiri terpukau di ambang pintu, terbelalak, bahkan sempat menggosok mata dengan punggung tangan beberapa kali seperti tidak percaya akan penglihatan-nya sendiri.
Perempuan siluman itu telah berada da-lam kamar anaknya!
Agaknya kehadiran kakek ini cukup untuk membangunkan Siu Kwi. Ia membuka matanya dan meli-hat kakek itu di ambang pintu kamar, ia segera ter-ingat akan keadaannya. Wajahnya menjadi merah sekali dan dengan lembut ia menurunkan kepala Yo Jin dari atas
pangkuannya. "Aku.... aku datang untuk mengobati Jin-toako yang ternyata terserang demam karena luka-lukanya," katanya lirih kepada kakek Yo. Kakek Yo masih tidak mampu bersuara. Ada perasaan marah akan tetapi juga takut terhadap perempuan di depan-nya.
Pada saat itu, Yo Jin juga terbangun. "Kwi-moi keluhnya dan ketika dia membuka mata dan melihat Siu Kwi telah berada di dekat pembaringan, dia cepat menangkap tangan gadis itu.
"Ah, Kwi-moi, benarkah engkau ini" Engkau telah datang kembali?" tanyanya dengan suara gemetar.
Siu Kwi meremas tangan pemuda itu. "Aku da-tang untuk mengobatimu, Jin-toako.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
453 "Ah, terima kasih, Kwi-moi. Aku sudah sembuh! Melihat engkau datang saja aku sudah sembuh sama sekali. Lihat, aku sudah bisa duduk!" Seperti seorang anak kecil yang kegirangan, pemuda itu bangkit duduk walaupun dengan tubuh yang masih lemas. Hati Siu Kwi merasa terharu bukan main.
Kakek Yo tidak dapat menyangkal bahwa anaknya benar-benar kelihatan sembuh. Akan tetapi, hal ini bahkan memperkuat dugaannya bahwa Siu Kwi ten-tulah seorang siluman tulen yang sengaja membuat Yo Jin sakit dan kini kembali untuk mengobati Yo Jin agar dia dapat percaya! Akan tetapi, untuk me-nuduh demikian, dia tidak berani. Pertama, diapun ingin melihat anaknya sembuh dulu, dan ke dua, dia mulai merasa ngeri dan takut terhadap Siu Kwi.
"Kwi-moi, jangan kau pergi lagi, Kwi-moi...." kata Yo Jin sambil menggenggam tangan wanita itu.
"Tidak, Jin-toako. Aku kembali uutuk menemani-mu dan merawatmu sampai sembuh."
"Sampai sembuh dan engkau akan pergi lagi" Tidak, Kwi-moi, engkau tidak boleh pergi, selamanya, dari sampingku!" Genggaman tangan Yo Jin sema-kin erat seolah-olah dia benar-benar merasa khawatir kalau-kalau wanita itu akan pergi lagi.
Siu Kwi memandang ke arah kakek Yo. "Kalau saja Yo-lopek mau mengijinkannya."
"Ayah, biarkan Kwi-moi di sini. Aku.... aku tidak dapat hidup tanpa ia, ayah!" Yo Jin berkata dengan suara lantang dan nekat. Sikap ini sungguh membuat Siu Kwi terharu sekali dan kembali dua titik air mata runtuh dari matanya yang berlinang-linang. Pemuda ini belum pernah menyatakan cinta, akan tetapi setiap katanya, setiap pandang mata, sela-lu penuh dengan sinar cinta yang mendalam.
Kakek itu menghela napas dan memutar otaknya. Dia tentu saja tidak setuju, akan tetapi tidak berani mengaku terus terang di depan siluman itu. Akhirnya dia memperoleh akal dan berkata,
"Baiklah, biar ia merawatmu sampai engkau sembuh. Setelah engkau sembuh, baru kita bicara tentang itu." Setelah ber-kata demikian, kakek Yo lalu meninggalkan kamar itu.
Setelah kakek itu memberi perkenan, bukan main lega dan girang rasa hati Siu Kwi. Ia melepaskan tangan Yo Jin dan berkata, "Nah, sekarang engkau ha-rus tidur lagi. Aku akan membuatkan bubur untuk-mu, engkau harus makan yang banyak, selalu minum obat, dan banyak tidur...."
"Akan tetapi, aku ingin bercakap-cakap denganmu, Kwt-moi...."
"Hsshhh, belum waktunya mengobrol. Ingat, aku perawatmu dan kau harus mentaati semua per-mintaanku!" Ia mengangkat telunjuknya seperti orang mengancam, dengan sikap yang manja dan ge-nit saking girang hatinya.
Yo Jin tertawa. "Baiklah, baiklah. Aku akan mentaatimu dan menutup mulutku."
"Heii, jangan ditutup terus. Tidak enak kalau kau kelihatan marah dan tidak mau mengajak bicara padaku." Mereka tertawa dan di dalam suara ketawa mereka terkandung keriangan.
Keadaan hatinya saja sudah merupakan obat yang amat mujarab bagi pe-nyakit Yo Jin.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
454 Selama tiga hari, Siu Kwi merawat Yo Jin dengan amat tekunnya. Ia juga mencucikan pakaian Yo Jin. Kakek Yo tetap tidak mau dibantunya dan bahkan tidak membolehkan Siu Kwi mencucikan pakaiannya yang kotor! Pendeknya, dia tidak mau bersentuhan dengan siluman! Juga segala yang dimasak oleh Siu Kwi, kakek itu tidak mau menyentuhnya. Dia selalu makan di luar, di rumah teman-teman atau di warung nasi selama Siu Kwi berada di rumahnya.
*** Ketahyulan membuat orang dapat melakukan hal- yang amat bodoh. Ketahyulan muncul kalau orang mudah percaya kepada diri sendiri, tidak mau melihat kenyataan yang ada melainkan dipermainkan oleh khayal, mengagungkan hal-hal yang dianggap aneh dan berada di luar pengertian mereka. Jelaslah bahwa ketahyulan adalah suatu kebodohan dan orang dapat melakukan segala hal yang tidak masuk akal.
Kakek Yo masih tebal perasaan takut terhadap setan-setan, sebagai akibat dari
ketahyulannya. Menghadapi kehadiran Siu Kwi, dia percaya sepenuhnya bahwa wanita itu adalah siluman. Banyak hal yang dianggapnya cukup menjadi bukti bahwa Siu Kwi adalah siluman. Pertama, asal-usulnya yang tidak jelas, kemunculannya begitu saja. Ke dua, kecantikannya yang menyolok dan betapa orang yang secantik dan sekaya itu, melihat kemewahan pakaiannya, dapat ja-tuh cinta kepada anaknya, seorang pemuda tani du-sun. Ke tiga, kepandaiannya mengobati. Ke empat, kemunculannya kembali yang aneh, tahu-tahu berada di dalam kamar! Sungguh seperti setan!
Karena rasa takutnya, kakek Yo lalu melaporkan kembalinya Siu Kwi kepada kepala dusun Tong secara diam-diam dan mendengar bahwa di rumah kakek Yo telah datang siluman yang ditakuti itu, kepala dusun Tong cepat memberi kabar kepada kepala dusun Lui. Terjadilah persekongkolan antara kakek Yo dan ke-dua orang pejabat itu untuk bersama-sama
mengha-dapi siluman Si tosu dusun lalu dihubungi dan tosu inilah yang mendatangkan tosu-tosu lain, tokoh-tokoh yang akan membuat dua orang kepala dusun itu sendiri terkejut setengah mati kalau mengenal mereka karena para tosu itu adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-Liuw (Agama Teratai Putih) dan Pat-kwa-kauw (Agama Segi Delapan) yang condong ke arah golongan sesat dan terkenal pula sebagai pemberontak-pemberontak.
Setelah mereka yang bersekongkol itu mengada-kan pertemuan mengatur siasat, kakek Yo lalu men-dapat tugas untuk membawa Yo Jin ke rumah kepala dusun Lui yang menjadi sarang pertemuan mereka. Mereka akan melihat gelagat dulu sebelum mengguna-kan kekerasan karena menurut para tosu, siluman da-pat memiliki kesaktian yang sukar dikalahkan.
Demikianlah, setelah Yo Jin kelihatan sembuh benar, ayahnya lalu mengajaknya untuk pergi menghadap ke rumah kepala dusun Lui. "Kita harus pergi ke sana, anakku. Memang, dengan bijaksana kepala dusun Lui telah memaafkanmu, akan tetapi yang memintakan maaf adalah aku. Kalau engkau sendiri yang datang menghadap dan minta maaf, tentu dia akan lebih senang hatinya dan selanjutnya, kita tidak akan mengalami gangguan lagi."
Siu Kwi mendengarkan percakapan itu dan ia mengerutkan alisnya. "Jin-toako, kuharap engkau berhati-hati menghadapi orang-orang seperti Lui-kongcu itu. Orang-orang seperti itu Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
455 tidak mudah melupakan kekalahan dan selalu menaruh dendam, dan mereka mungkin akan menggunakan siasat untuk menjebak-mu. Kurasa lebih baik kalau engkau tidak pergi ke sana."
Yo Jin tadinya sudah siap mengikuti ayahnya. Mendengar ucapan Siu Kwi, dia menjadi ragu-ragu. "Kurasa benar juga pendapat Kwi-moi, ayah. Meng-apa aku harus menghadap ke sana kalau aku tidak bersalah apa-apa terhadap mereka" Pula, mereka su-dah diam saja, berarti sudah tidak ada apa-apa. Kuha-rap saja Lui-thungcu tidak jahat seperti puteranya dan dapat menyadari kesesatan puteranya dan dengan kesadaran itu memaafkan aku. Kalau aku muncul, jangan-jangan dia malah menjadi marah kembali dan melakukan tindakan yang tidak menguntungkan.
Tentu saja kakek Yo kecewa bukan main dan hati-nya mendongkol. Puteranya itu selalu taat kepadanya, akan tetapi setelah siluman itu mencengkeram dan menguasainya, kini berani membangkang terhadap perintahnya.
"Yo Jin....," bentaknya marah. Dia hanya berani memarahi anaknya, sedangkan terhadap Siu Kwi, dia memandangpun tidak. "Selama ini engkau seorang anak penurut, akan tetapi sekarang engkau berani membantah kehendak ayahmu! Baik, engkau boleh tidak menurut kepadaku, akan tetapi selamanya eng-kau tidak perlu mentaati aku lagi!" Berkata demi-kian, kakek itu lalu memutar tubuh dan keluar.
"Ayah....!" Yo Jin berseru dengan kaget, cepat dia lari keluar mengejar ayahnya. Setelah tiba di luar dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya. "Ayah, maafkan aku, bukan maksudku untuk membantah...."
"Cukup, cepat berganti pakaian dan ikut aku ke rumah Lui-thungcu atau.... jangan sebut aku ayah lagi!"
Tentu saja Yo Jin tidak berani membantah. Dia masuk lagi ke dalam kamar dan berganti pakaian sambil berkata kepada Siu Kwi, "Kwi-moi, kauma-afkan aku. Aku terpaksa pergi sebentar ikut ayah. Dia marah dan kau tentu maklum bahwa aku tidak mungkin menentang kehendaknya."
Siu Kwi tersenyum sabar. "Aku mengerti, toako. Pergilah, aku akan menanti kembalimu di sini dengan sabar hati."
Lega rasa hati Yo Jin mendengar dan melihat si-kap Siu Kwi itu dan diapun segera pergi bersama ayahnya, meninggalkan dusun mereka yang terletak di sebelah selatan itu untuk berkunjung kepada kepa-la dusun Lui di dusun sebelah timur. Di sepanjang perjalanan itu, kakek Yo memperoleh kesempatan untuk menasihati anaknya. Dia memperingatkan anaknya tentang bahaya yang mengancam dirinya ka-lau semakin akrab dan dekat dengan wanita cantik yang menjadi tamu mereka.
"Sadarlah engkau, anakku," demikian dia menu-tup nasihatnya yang agaknya tidak
diperdulikan oleh Yo jin, didengarkan tanpa dijawab. "Engkau sudah berada dalam cengkeramannya, engkau sudah dibikin mabok oleh hawa siluman. Masih untung bahwa se-lama ini engkau belum timur bersama siluman itu, ka-rena kalau hal itu terjadi, akan celakalah engkau. Sa-dar dan mundurlah sebelum terlambat, anakku."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
456 Biarpun Yo Jin maklum bahwa ayahnya membujuknya untuk menjauhi Siu Kwi terdorong oleh rasa sayang karena ayahnya tidak ingin melihat dia celaka, akan tetapi hatinya terasa panas dan tidak enak mendengar betapa ayahnya yakin bahwa Siu Kwi adalah seorang siluman.
"Ayah, sudah beratus kali kukatakan bahwa Ciong Siu Kwi bukan seorang siluman,
melainkan se-orang wanita yang patut dikasihani, yang berhati mulia."
"Tapi tosu itu...."
"Persetan dengan tosu tahyul itu, ayah! Dengar, ayah. Sudah beberapa lama aku mengenal Siu Kwi dan belum pernah satu kalipun ia melakukan hal yang bukan-bukan. Ia selalu sopan dan merawatku dengan teliti dan tekun. Ia suka kepadaku, hal itu amat ku-harapkan dan nampaknya begitu, dan aku.... cinta padanya, ayah, akan tetapi selama ini belum per-nah ia memperlihatkan perasaannya dengan perbuat-annya yang melanggar susila. Ia seorang wanita baik-baik, ayah, seorang wanita yang sudah banyak men-derita."
Kakek itu mengerutkan alisnya. Agak ragu-ragu juga hatinya setelah mendengar ucapan anaknya itu. Memang tidak ada bukti nyata bahwa Siu Kwi seo-rang siluman. Akan tetapi keganjilan-keganjilan yang terjadi bersama kemunculannya ia meragu dan hanya menggeleng kepala. Biarlah, biarlah Lui-thungcu yang akan menangani persoalan ini. Dia su-dah berunding dengan kepala dusun itu. Ajakannya kepada puterannya untuk menghadap kepala dusun Lui ini juga termasuk pelaksanaan dari rencana mere-ka. Dia harus mengajak Yo Jin ke sana agar para tosu sakti yang sudah berada di rumah Lui-thungcu dapat mengobati dan membersihkan diri Yo Jin dari hawa siluman itu. Hal ini akan lebih mudah kalau dilakukan sewaktu Yo Jin tidak berada di rumah.
Ayah dan anak ini disambut oleh kepala dusun Lui yang didampingi Lui-kongcu dan juga dua orang tosu tua yang memegang tongkat. Tosu pertama me-makai pakaian yang longgar berwarna putih dan di dadanya terdapat lukisan bunga teratai putih di atas dasar biru yang berbentuk bulat. Tosu ini usianya sudah tujuhpuluhan tahun, mukanya merah sekali seperti berdarah dan tangannya memegang sebatang tongkat berbentuk naga berwarma hitam.
Tubuhnya kecil kurus seperti tulang-tulang dibungkus kulit saja. Adapun tosu ke dua, tinggi besar dan perutnya gendut. Pakaiannya berwarna kuning dengan lukisan pat-kwa (segi delapan) di dadanya, Berbeda dengan tosu pertama yang rambutnya digelung ke atas, tosu ke dua ini rambutnya dibiarkan riap-riapan dan karena rambutnya sudah putih semua, maka nampaklah dia seperti seorang yang suci. Juga dia memegang tong-kat hitam berbentuk ular, lebih kecil dari pada tong-kat tosu pertama. Tosu ke dua ini bermuka pucat kekuningan, seperti orang berpenyakitan.
Begitu menghadap kepala dusun ini, kakek Yo yang di tengah perjalanan tadi sudah memberi tahu kepada anaknya apa yang diakukan kalau sudah berhadapan dengan kepala dusun Lui, menyentuh lengan anaknya memberi isyarat.
Yo Jin mengerutkan alisnya. Begitu menghadap kepala dusun itu dan melihat betapa kepala dusun memandangnya dengan sinar mata marah, terutama sekali Lui-kongcu yang jelas sekali kelihatan marah kepadanya dan memandangnya penuh kebencian, hatinya sudah merasa menyesal mengapa dia datang ke tempat ini. Akan tetapi, untuk menyenangkan hati ayahnya, dia lalu melangkah maju dan memberi hor-mat kepada kepala dusun itu bersama puteranya, sam-bil berkata dengan suara lantang.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
457 "Lui-thungcu dan Lui-kongcu, mentaati perintah ayah, maka saya datang menghadap ji-wi untuk mo-hon maaf atas segala hal yang telah terjadi antara saya dan Lui-kongcu."
Ayah dan anak yang biasanya dihormati orang dan diagungkan seperti keluarga raja kecil itu, mengerutkan alis lebih dalam karena mereka merasa tidak puas melihat sikap Yo Jin.
"Kenapa tidak dari dulu engkau datang mohon maaf?" bentak Lui-kongcu dengan suara marah.
Yo Jin menoleh kepada ayahnya. Sikap pemuda itu sama sekali tidak diduganya, karena menurut ayah-nya, keluarga Lui sudah memaafkannya, akan tetapi mengapa Lui-kongcu masih bersikap demikian keras" Dia melihat ayahnya hanya menunduk, maka dia lalu mengangkat muka menentang pandang mata Lui-kongcu. Dilihatnya kongcu itu memandang kepadanya de-ngan sikap yang amat angkuh. Bangkitlah rasa pena-saran di dalam hati pemuda ini.
"Saya baru saja sembuh dari sakit, dan baru hari ini ayah mengajak saya datang ke sini,"
jawabnya, singkat dan suaranya juga sama sekali tidak merendah.
"Brakkk!" Tangan kepala dusun Lui mengge-brak meja di depannya. "Yo Jin, engkau sungguh seorang pemuda yang keras kepala! Di depan kami engkau berani bersikap seperti ini" Hayo lekas ber-lutut!"
Wajah Yo Jin menjadi marah karena penasaran. Ayahnya kembali menyentuh lengannya.
"Anakku, taatilah perintah Lui-thungcu."
Akan tetapi Yo Jin tidak mau. "Tidak, ayah. Aku tidak bersalah, mengapa aku harus berlutut min-ta ampun dan mohon dikasihani" Tidak, aku mau pulang saja!"
Berkata demikian, Yo Jin lalu membalikkan tu-buhnya dan melangkah pergi tanpa pamit dari depan kepala dusun itu.
"Eh, bocah laknat, berani kau kurang ajar kepadaku" Kembali kau!" bentak kepala dusun itu de-ngan marah.
"Henmm, Yo Jin, kembalilah kau!" tiba-tiba terdengar suara parau dan yang mengeluarkan ucapan ini adalah tosu bermuka merah, tokoh Pek-lian-kauw itu. Dia berkata sambil menggerakkan tangan kiri ke arah Yo Jin Dan terjadilah keanehan! Tiba-tiba saja Yo Jin yang sudah melangkah pergi itu menghen-tikan langkahnya, menoleh dan memutar tubuh lalu kembali ke depan kepala dusun Lui! Pemuda itu sendiri terkejut bukan main. Mendengar suara parau tadi, seolah-olah ada kekuatan aneh yang memaksa-nya, bahkan kemauannya seperti membeku dan kedua kakinya, seluruh tubuhnya bergerak sendiri di luar kehendaknya Dia kini berdiri di depan kepala dusun itu, berdiri tegak dan mukanya menunjukkan kekerasan hatinya yang enggan tunduk. Kembali tokoh Pek-lian-kauw itu menggerakkan tangan kirinya seperti orang me-lambai.
"Yo Jin, berlututlah di depan Lui-thungcu!"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
458 Sungguh luar biasa sekali. Yo Jin tidak sudi berlutut, akan tetapi tiba-tiba saja kakinya terasa lemas dan diapun jatuh bertekuk-lutut! Terdengar kakek Pek-lian-kauw itu terkekeh girang.
Yo Jin mengang-kat mukanya memandang, dan terkejut melihat beta-pa sepasang mata kakek itu mencorong seperti mata kucing.
"Kau.... kau.... bukan manusia, kaulah yang siluman!" bentaknya dan suara ini baru bisa dikeluarkannya setelah dia menguatkan hatinya dan memaksa mulutnya untuk meneriakkan kata-kata ini.
"Bocah kurang ajar kau!" bentak Lui-thungcu sambil menggapai empat orang perajurit pengawal yang berjaga tak jauh dari situ. "Hajar dia!"
"Ha-ha, tak perlu pakai banyak orang, Lui-thungcu. Biar pinto yang menghajarnya!" yang bicara adalah kakek tokoh Pat-kwa-kauw yang bertubuh tinggi besar itu dan sebelum si kepala dusun menja-wab, tangan kirinya sudah menyambar ke depan. A-ngin yang kuat sekali keluar dari gerakan tangan itu dan tubuh Yo Jin terpelanting seperti didorong oleh tenaga yang amat keras! Pemuda itu terkejut, mencoba bangkit kembali, akan tetapi setiap kali tosu Pat-kwa-kauw itu menggerakkan tangan, diapun terban-ting dengan keras. Sampai beberapa kali Yo Jin jatuh bangun dan terbanting keras di atas lantai, berguling-an di depan kepala dusun Lui dan puteranya yang ter-tawa girang melihat betapa musuh yang dibencinya itu kini menjadi bulan-bulan kesaktian dua orang ka-kek itu.
Sementara itu, kakek Yo terkejut sekali melihat betapa anaknya disiksa. Diapun cepat maju berlutut di depan kepala dusun Lui. "Lui-thungcu, maafkan anakku. Perjanjian antara kita tidak begini! Harap jangan pukul lagi puteraku!"
Kepala dusun Lui menjadi marah. "Usir tua bangka yang tidak mampu mengajar anak ini keluar dan penjarakan Yo Jin!"
Empat orang pengawal itu maju, memegang le-ngan kakek Yo dan menariknya bangun.
Kakek itu menjadi marah sekali.
"Aturan mana ini" Kita berjanji untuk bersama-sama menghadapi siluman, akan tetapi mengapa anak-ku disiksa dan aku diusir" Lui-thungcu, apakah eng-kau sudah melupakan perjanjian antara kita....?"
"Usir dia! Seret dan pukul agar dia tidak banyak cerewet lagi!" bentak kepala dusun Lui.
Memang benar bahwa kakek Yo pernah bersekutu dengannya untuk menghadapi siluman yang berada di rumah ke-luarga Yo, Akan tetapi, kepala dusun itu yang kini dibantu oleh dua orang kakek tosu yang sakti, masih tidak melupakan dendamnya ketika puteranya dipukuli Yo Jin sehingga pulang dengan muka bengkak-bengkak. Kakek Yo hanya melaporkan tentang ada-nya siluman dan dia akan membasmi siluman itu ber-sama dua orang tosu sakti. Kakek Yo tidak dibutuh-kannya sama sekali, bahkan perlu dihajar karena kelu-arga Yo pernah menghina puteranya.
Kini kakek Yo menjadi marah. Dia meronta dan melepaskan pegangan, mengamuk dan
memukul ro-boh seorang pengawal. Akan tetapi tiga orang penga-wal itu mengeroyoknya dan tubuhnya yang tua dihu-jani pukulan. Kakek Yo yang tinggi besar dan biasa bekerja berat dan kasar ini, melawan mati-matian dan ternyata tubuhnya memang kuat. Empat orang pe-ngawal Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
459 itu sampai kewalahan untuk dapat menang-kap dan menyeretnya keluar.
"Ha-ha, biar aku yang melemparnya keluar kata tosu Pit-kwa-kauw yang membiarkan Yo Jin yang tadi terbanting-banting itu kini mendekam lemas dan pusing, lalu dia turun dari atas kursinya, meng-hampiri kakek Yo. Kakek Yo yang sudah menjadi marah sekali,
menyambutnya dengan pukulan keras!
"Dukk!" tongkat berbentuk ular itu menotok dan seketika tubuh kakek Yo roboh lemas.
Kembali tongkat itu bergerak, mengungkit dan seperti orang melempar kulit pisang menggunakan sebatang tong-kat, sekali tangannya bergerak, tubuh kakek yang tinggi besar itu terlempar keluar pintu dan terbanting roboh dengan keras sekali di luar pintu!
Kakek Yo merangkak bangun, dari mulut dan hidungnya keluar darah. Totokan tongkat yang me-ngenai dadanya tadi membuat dadanya terasa seperti akan pecah dan kekuatan dalam tubuhnya habis. Dia merangkak, tertatih-tatih bangkit.
"Ayahhh...." Yo Jin berteriak melihat be-tapa ayahnya disiksa. Akan tetapi, empat orang pe-ngawal itu telah menangkapnya, mengikat kedua le-ngannya ke belakang dan menyeretnya dari ruangan itu untuk dijebloskan dalam kamar tahanan.
"Ayah peringatkan Kwi-moi....!" Yo Jin masih sempat berteriak dan teriakan ini didengar oleh kakek Yo. Kini baru kakek Yo teringat akan semua ucapan puteranya, betapa jahatnya keluarga Lui dan betapa Siu Kwi adalah seorang wanita yang amat baik, seorang janda yang patut dikasihani dan yang agaknya saling mencinta dengan Yo Jin. Timbul penyesalan di dalam hatinya dan kakek ini maklum kini bahwa per-lakuan keluarga Lui kepada dia dan puteranya adalah karena Lui-kongcu ingin mendapatkan wanita cantik itu! Wanita itu bukan siluman dan kini terancam bahaya! Dia merasa menyesal sekali telah memusuhi Siu Kwi dan dialah yang mendorong puteranya se-hingga kini Yo Jin ditangkap dan Siu Kwi terancam bahaya. Penyesalannya mendatangkan kekuatan baru pada diri kakek ini dan biarpun dia telah menderita luka parah di dalam tubuhnya, namun dia masih mampu mengeluarkan tenaga terakhir untuk berlari pulang secepatnya.
Tenaga kakek Yo habis ketika dia tiba di depan rumahnya dan diapun roboh terguling. Pada saat itu, Siu Kwi yang melihat dia pulang berlari-lari sendirian saja, sudah cepat keluar menyambut. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Siu Kwi melihat kakek itu roboh dan mukanya cepat sekali, napasnya terengah-engah dan dari mulut dan hidungnya keluar darah.
Cepat ia berlutut an ketika ia mengangkat tubuh atas kakek itu untuk didudukkan, wanita ini terkejut. Dengan pengalaman dan kepandaiannya, ia dapat melihat bahwa kakek ini telah menderita luka dalam yang amat hebat dan tidak akan dapat disembuhkan lagi! Kakek ini telah menerima serangan orang yang menggunakan ilmu kepandaian tinggi, mungkin totokan atau tamparan. Hatinya mulai merasa gelisah, apalagi karena Yo Jin tidak pulang bersama kakek itu.
"Yo-lopek, kau kenapakah" Apa yang telah terjadi dan mana Jin-toako?"
Kakek itu membuka mulut untuk bicara, akan tetapi yang keluar hanya suara menggelogok diikuti tumpahan darah! Siu Kwi cepat menekan bagian dada kakek itu dan menotok beberapa jalan darah. Kakek itu kini berhasil mengeluarkan suara.
YO Jin.... ditangkap.... Lui-thungcu.... dua tosu sakti....aaahhh...." kakek itu menghentikan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
460 kata-katanya, matanya terbelalak, lalu terpejam dan kepalanya terkulai lemas.
Siu Kwi maklum bahwa kakek itu telah tewas. Ia mengangkat tubuh kakek itu dan
membawanya ke dalam rumah. Setelah merebahkan mayat itu di da-lam kamar kakek Yo, ia lalu melompat keluar dan seperti terbang saja Siu Kwi sudah berlari menuju ke dusun timur.
Hatinya gelisah sekali, akan tetapi juga marah. Yo Jin ditangkap dan ayahnya dibunuh!
Hari telah sore ketika Siu Kwi tiba di dusun ti-mur dan ia langsung mencari rumah kepala dusun, Setelah tiba di depan pintu gerbang pekarangan rumah besar itu, Siu Kwi langsung saja masuk. Dua orang penjaga menghadangnya dan dua orang ini se-nyum-senyum kurang ajar ketika melihat bahwa tamu yang datang adalah seorang wanita cantik.
"Nona hendak mencari siapakah?" tanya seorang di antara mereka sambil melintangkan tombaknya de-ngan lagak galak, namun sinar matanya seperti hen-dak menelanjangi wanita yang berdiri di depannya.
"Apakah ini rumah kepala dusun Lui?"
"Benar," jawab orang ke dua yang perutnya gen-dut.
"Dan kalian ini penjaga-penjaga di sini?" Siu Kwi bertanya lagi. Dua orang itu mengangguk.
Siu Kwi menahan diri agar tidak sembarangan membunuh orang. Kepala dusun itulah yang harus dihadapi, bu-kan segala macam penjaga rendahan. Maka ia lalu melangkah maju lagi untuk masuk ke dalam rumah itu, mencari kepala dusun Lui.
"Hei, nona, tunggu dulu!"
"Kau tidak boleh masuk begitu saja! Beritahu-kan nama dan keperluan, dan kami akan lebih dulu melapor ke dalam!"
Siu Kwi memandang kepada dua orang penjaga yang sudah melintangkan tombak di
depannya itu. Kesabarannya hilang dan ia membentak, "Pergilah!" Kedua tangannya dipentang seperti orang membuka daun pintu dan tubuh dua orang penjaga itupun
ter-pelanting ke kanan kiri dan terguling-guling sampai jauh!
Siu Kwi tidak memperdulikan lagi dua orang yang merangkak bangun dengan mata
terbelalak dan kepala nanar itu, dan ia terus melangkah maju sampai ke ruangan depan. Lima orang pengawal mengejar ke-luar ketika mendengar suara ribut-ribut dan mereka tadi sempat melihat betapa dua orang rekan mereka terguling-guling dan seorang wanita cantik berjalan memasuki ruangan itu. Cepat mereka mengepung wa-nita itu.
"Aku tidak mau berurusan dengan kalian. Suruh kepala dusun Lui keluar, atau aku akan mencarinya sendiri dan menyeretnya keluar!" kata Siu Kwi, suaranya dingin sekali karena ia sudah marah. Kalau saja ia masih Siu Kwi sebulan yang lalu, tentu ia tidak akan banyak cakap lagi dan membunuh lima orang ini. Jaga dua orang penjaga tadi tentu kini tak dapat bangun lagi. Akan tetapi sekarang ia men-jaga diri dengan ketat agar jangan sampai ia semba-rangan saja membunuh orang.
Tentu saja lima orang pengawal itu tidak sudi memenuhi permintaannya. Mereka tadi sudah meli-hat betapa wanita ini merobohkan dua orang rekan-nya, hal ini saja sudah menunjukkan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
461 bahwa wanita ini datang sebagai musuh majikan mereka. Betapapun juga, lima orang pengawal ini masih memandang ren-dah kepada Siu Kwi. Mereka yang sudah mengepung itu langsung mengulurkan tangan dan menubruk, se-perti hendak berlumba menangkap dan memeluk pe-rempuan cantik itu.
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 21 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pendekar Remaja 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama