Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
"Lan-moi, sebetulnya sejak semula aku ingin mencegah engkau berkelahi dengan Hong Beng dan gurunya, akan tetapi engkau dan Hong Beng demiki-an bernapsu untuk berkelahi. Ketika para tosu Pek-lian-kauw muncul, kesempatan baik muncul dan aku mengajak engkau pergi.
Aku pikir bahwa tidak se-mestinya kita melayani Hong Beng dan gurunya hanya salah paham Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
523 dengan kita." "Salah paham apa" Hong Beng menghinaku!" bentak Bi Lan marah.
Sim Houw tersenyum. "Dia marah-marah karena salah paham, Lan-moi. Pertama, bantuan kita terha-dap Ciong-lihiap menimbulkan salah paham sehingga dia menyangka kita membela pihak yang jahat. Ke-mudian yang ke dua, dia melihat keadaan kita dan kembali dia salah kira, menyangka yang bu-kan-bukan. Dia bukan sengaja menghina, melainkan bertindak sembrono karena salah sangka dan karena cemburu...."
"Kenapa mesti cemburu" Aku bukan pacarnya, bukan kekasihnya, bukan apa-apanya! Sudah dua kali dia mengulang perbuatannya yang didorong oleh cemburu buta itu. Pertama kali ketika aku terluka dan Cu Kun Tek mengobati punggungku, Hong Beng juga menjadi
cemburu dan menyerang Kun Tek ka-lang-kabut seperti orang gila. Kemudian tadi....
hemmm, dia kira aku ini siapa" Aku bukan apa-apa-nya, dia tidak berhak untuk cemburu!"
Sim Houw menarik napas panjang. Diam-diam dia merasa kasihan kepada Hong Beng.
Tahulah dia bahwa Hong Beng pernah tergila-gila kepada Bi Lan dan agaknya karena cintanya ditolak, Hong Beng menjadi sakit hati dan cemburu. Memang hal itu buruk sekali, akan tetapi dia tidak terlalu menyalahkan Hong Beng yang masih muda itu.
"Karena engkau menolak cintanya maka dia sakit hati dan cemburu, Lan-moi."
"Apa dia akan memaksa bahwa aku harus mem-balas cintanya" Phuhh, memang wataknya buruk sekali. Orang lain yang kutolak cintanya tidak ma-rah-marah dan cemburu macam dia!"
Sim Houw tertarik sekali. "Siapakah dia itu, Lan-moi?"
Bi Lan sedang panas hatinya terhadap Hong Beng dan sedang merasa penasaran karena diajak pergi melarikan diri oleh Sim Houw, maka tanpa berpikir panjang lagi ia menjawab,
"Kun Tek juga menyata-kan cintanya kepadaku dan kutolak!" Tiba-tiba dara itu berhenti bicara karena ia teringat bah-wa Kun Tek masih terhitung paman Sim Houw, wa-laupun usia Sim Houw belasan tahun lebih tua dari pemuda Lembah Naga Siluman itu.
Akan tetapi Sim Houw tersenyum, tidak nampak kaget karena memang diapun sudah pernah mendu-ganya. "Lan-moi, dua orang pemuda gagah perkasa dan pilihan telah menyatakan cinta kepada dirimu. Akan tetapi kenapa engkau menolak keduanya?"
Bi Lan mengerutkan alisnya. "Habis, kalau aku tidak mempunyai perasaan cinta terhadap mereka, apakah aku harus menerima seorang di antara me-reka?"
Sim Houw menggeleng kepalanya. "Tentu saja tidak, Lan-moi. Tetapi.... apakah selama ini eng-kau tidak pernah jatuh cinta kepada seseorang?"
Bi Lan melupakan kemarahannya dan ia terse-nyum. "Agaknya nasibku sama dengan
engkau, Sim--ko. Seperti juga engkau yang selama ini tidak pernah jatuh cinta lagi kepada seorang gadis, akupun tidak pernah jatuh cinta kepada seorang pria. Agaknya ada persamaan antara kita. Kalau engkau sekali waktu jatuh cinta kepada seorang wanita, mungkin sekali akupun akan jatuh cinta kepada seorang pria, siapa tahu?" Dan gadis itupun lari mendaki bukit di de-pan dengan cepat. Sim Houw tertegun sejenak, lalu menggeleng kepala dan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
524 mengejar. Dia sungguh tidak mengerti akan sikap Bi Lan. Gadis itu amat menarik hatinya, amat dicintanya sejak pertama kali bertemu. Bi Lan dianggapnya memiliki watak yang amat aneh, dan mungkin keanehan watak gadis inilah yang me-rupakan satu di antara daya tarik gadis itu baginya. Kadang-kadang demikian mudah membaca isi hati Bi Lan, seperti membaca sebuah kitab terbuka saja. Akan tetapi ada kalanya, sikap Bi Lan merupakan teka-teki yang amat sulit baginya, sukar dimengerti. Kadang-kadang timbul harapannya karena dia meli-hat tanda-tanda bahwa Bi Lan sayang dan cinta ke-padanya, akan tetapi dia masih meragukan hal ini. Mungkin seorang gadis remaja seperti Bi Lan dapat jatuh cinta kepadanya" Bi Lan telah menolak cinta kasih pemuda-pemuda hebat yang sebaya dengan gadis itu. Kalau pendekar-pendekar muda seperti Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek saja ditolak cintanya, apa lagi seorang laki-laki yang sudah tua seperti dia! Usianya sudah tigapuluh empat atau tigapuluh lima tahun, sedangkan usia Bi Lan baru delapan belas tahun. Dia dua kali lebih tua dari gadis itu, pantas menjadi pa-mannya! Mungkinkah gadis muda seperti Bi Lan yang menolak dua orang pendekar perkasa dan muda seperti Hong Beng dan Cu Kun Tek, dapat men-cinta seorang tua seperti dia" Sukar untuk dapat di-percaya dan hal inilah yang membuat hati Sim Houw senantiasa meragu dan dia takut untuk menyatakan cinta kasihnya. Takut kalau-kalau pernyataan cinta-nya hanya akan memisahkan dia dari Bi Lan. Biarlah tidak menyatakan cinta, disimpannya sebagai rahasia-nya sendiri saja asalkan dia dapat berdekatan terus dengan Bi Lan. Dia telah tergila-gila kepada Bi Lan, mencinta Bi Lan dengan seluruh batin dan badannya, sampai ke rambut-rambutnya, dan baru sekaranglah dia mencinta wanita lain setelah dulu cintanya dito-lak oleh Kam Bi Eng.
Dilihatnya bayangan Bi Lan sudah sampai di puncak bukit itu, maka diapun segera mengerahkan tena-ganya untuk mempercepat larinya mengejar gadis itu. Mereka sudah tiba di perbatasan utara dan Sim Houw sudah mendengar bahwa daerah tembok besar ini selain sunyi dan liar, juga amat berbahaya karena siapa yang dihadang oleh orang-orang jahat di daerah ini, jangan harap akan bisa mendapatkan pertolongan dari orang lain karena tempat itu sunyi.
*** Bekas Panglima Kao Cin Liong yang kini menjadi seorang saudagar rempa-rempa di kota Pao-teng, di- kenal oleh hampir semua orang di kota itu. Bukan hanya dikenal sebagai seorang pedagang yang berhasil, melainkan juga sebagai seorang dermawan yang se-lalu membuka kedua tangan untuk menolong orang lain yang kesusahan, juga terkenal sebagai seorang bekas panglima dan seorang pendekar yang berilmu tinggi. Apa lagi di kalangan dunia persilatan. Semua orang kang-ouw tahu belaka siapa adanya Kao Cin Liong, karena dia adalah putera dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Juga isterinya amat terkenal, karena Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.
Seperti telah kita ketahui, Kao Cin Liong yang kini berusia limapuluh tahun dan Suma Hui yang berusia empatpuluh tahun itu, hanya mempunyai seo-rang anak saja, yaitu anak perempuan berusia tigabe-las tahun yang diberi nama Kao Hong Li. Mudah saja diduga bahwa Hong Li tentu saja memiliki ke-pandaian silat yang luar biasa. Ayah dan ibunya ada-lah pendekar-pendekar kenamaan yang sakti, maka tentu saja sejak anak ini masih kecil, ia telah digem-bleng oleh kedua orang tuanya sehingga ketika usia-nya tigabelas tahun, ia telah menjadi seorang anak perempuan yang lincah dan lihai bukan main. Sukar mencari seorang dewasa, biar pria sekalipun, yang akan mampu mengalahkan gadis cilik ini. Bahkan mereka yang ilmu silatnya tanggung-tanggung saja, jangan harap akan mampu menandingi Hong Li. Di dalam usianya yang baru tigabelas tahun, Hong Li sudah nampak cantik. Mudah dilihat bahwa iaakan menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan menarik dalam waktu Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
525 beberapa tahun lagi. Tubuhnya tinggi langsing dan padat, penuh dengan tenaga terlatih.
Ma-tanya yang membuka wajahnya nampak cerah. Mata itu paling indah. Lebar dan jeli, bagaikan telaga yang bening. Sikapnya lincah, jenaka, akan tetapi galak. Hal terakhir ini mungkin timbul karena sebagai anak tunggal, tentu saja ada sedikit kemanjaan dalam hati-nya. Apa lagi kesadaran bahwa ayah ibunya adalah pendekar-pendekar sakti yang dikagumi dan dihor-mati orang sedikit banyak mendarangkanketinggian hati. Ayah ibunya tidak menghendaki hal ini dan tentu saja mereka tidak suka kalau anak tunggal mereka tinggi hati atau manja, akan tetapi karena mere-ka menganggap Hong Li masih terlalu kecil dan kurang pengalaman, maka sedikit ketinggian hati dan kemanjaan itu mereka anggap sebagai hal lumrah yang kelak tentu akan hilang sendiri kalau jiwa pendekar sudah menjadi dasar batin Hong Li.
Peradaban dan kebudayaan kita telah membentuk diri kita seperti keadaannya sekarang, yaitu gila hor-mat dan haus akan pujian! Semenjak kecil kita dije-jali kebiasaan untuk mengagungkan nilai-nilai, menge-jar nilai-nilai. Anak-anak kecil dipuji kalau melaku-kan hal-hal yang dianggap baik dan menyenangkan, dicela kalau sebaliknya. Di sekolahpun para murid diajar untuk memperebutkan nilai-nilai. Kemajuan mereka diukur dengan nilai-nilai.
Karena itu, kita berangkat besar dengan pengertian bahwa kita amat memerlukan nilai-nilai baik dalam kehidupan ini, dan betapa senangnya menerima pujian-pujian, betapa tidak menyenangkan menerima celaan-celaan. Kita menjadi orang-orang yang munafik dan palsu, menge-jar pujian-pujian dengan segala cara. Kita selalu ingin memamerkan segi-segi yang dipandang baik oleh orang lain dalam diri kita, hanya untuk mengejar pujian. Kita berangkat dewasa menjadi manusia yang gila pu-jian dan gila hormat.
Tidak mengherankan kalau Hong Li tidak terke-cuali. Ia berangkat besar seperti anak-anak lain yang selalu haus akan pujian dan selalu ingin memamerkan kepandaiannya, ingin menonjolkan keistimewaan yang ada pada dirinya dan yang tidak terdapat pada diri orang lain.
Seperti orang-orang tua yang hidup di alam kita ini, Kao Cin Liong dan Suma Hui juga tidak terkecuali, selalu mengajarkan kepada anak tunggal me-reka tentang kebaikan agar anak mereka selalu berbu-at kebaikan dan menjadi "orang baik", selalu men-jauhkan perbuatan-perbuatan yang dianggap jahat dan tidak baik. Seperti juga orang-orang tua lain dalam kehidupan kita ini, mereka ingin membentuk anak mereka, seperti membentuk sebuah boneka dari tanah liat, agar menjadi sebaik-baiknya, tentu saja menurut pandangan mereka yang juga menjadi pandangan masyarakat, menjadi pandangan umum sesuai dengan kebudayaan dan peradaban kita.
Akan tetapi, dapatkah kebaikan diajarkan, dipelajari dan dilatih" Segala yang dapat dipelajari dan dilatih adalah sesuatu yang mati, dan sesuatu yang diusahakan untuk dimiliki tentu mempunyai dasar sebagai pamrih. Kalau kita berbuat kebaikan dengan pamrih, setelah mempelajari dan melatihnya, apakah itu dapat dinamakan kebaikan lagi, ataukah bukan sekedar cara dan usaha untuk mendapatkan pamrih itu, yang dapat saja berupa pujian, kepuasan hati, pa-hala batiniah dan sebagainya" Kebaikan yang SE-NGAJA DILAKUKAN
dengan kesadaran bahwa kita melakukan perbuatan baik, jelas bukan kebaikan lagi namanya, melainkan suatu usaha. Dan seperti usaha-usaha lainnya, kalau sampai usaha itu gagal mendatangkan hasil, tentu akan mengecewakan. Misalnya, orang yang menolong orang lain kemudian orang yang ditolongnya itu tidak membalas kebaikan-nya bahkan merugikan, tentu akan merasa sakit hati dan kecewa. Orang yang melakukan kebaikan, ke-mudian tidak menerima pujian bahkan dicela, tentu akan marah dan kecewa! Jelaslah bahwa kebaikan-Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
526 kebaikan seperti itu, yang dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa yang dilakukan itu adalah kebaikan, bukan kebaikan lagi namanya, melainkan hanya seke-dar cara untuk menyenangkan hati sendiri memetik buahnya kelak!
Betapa jauh bedanya dengan perbuatan yang dilakukan berdasarkan cinta kasih. Perbuatan ini digerakkan oleh perasaan sayang, perasaan iba, tanpa pa-mrih apapun juga untuk diri sendiri, merupakan perbuaran spontan yang wajar. Bukan lagi dinamakan kebaikan karena si pelaku tidak mengingat lagi apa-kah perbuatannya itu baik ataukah tidak baik. Yang ada hanyalah kewajaran, tanpa pamrih, dan dalam perbuatan seperti ini maka sinar cinta kasih akan me-neranginya.
Betapa lucu namun amat menyedihkan melihat betapa kita berlumba-lumba untuk menjadi orang baik dengan menyebar segala perbuatan palsu, seolah-olah kebaikan dapat dicapai melalui kepalsuan dan kemu-nafikan. Lihat betapa bangsa-bangsa berlumba di dunia ini untuk membicarakan dan mencapai perda-maian dengan senjata di tangan! Kalau ada sinar cinta kasih menerangi batin, maka tanpa diusahakan sekalipun, kedamaian tentu sudah ada, karena takkan mungkin terjadi perang! Kalau ada cinta kasih di dalam batin, maka kita tidak perlu melakukan perbu-atan yang kita anggap baik lagi, karena setiap perbuatan kita yang berdasarkan cinta kasih adalah suci!
Pada suatu sore, terdengar sorak dan tepuk tangan sekumpulan anak-anak di kebun rumah besar keluarga Kao Cin Liong. Mereka adalah belasan orang anak-anak laki-laki dan perempuan yang berkumpul di kebun itu, mengagumi Hong Li yang sedang bermain silat pedang. Memang indah sekali permainan itu. Hong Li baru saja menerima oleh-oleh sebatang pe-dang yang indah dari ayah ibunya yang baru saja kembali dari kota raja. Sebatang pedang yang mewah, bukan pedang pusaka, namun terbuat dari baja yang baik, bentuknya kecil dan cocok untuk dimainkan seorang anak perempuan, gagangnya terukir indah dan pedang itu sendiri putih bersih berkilau seperti perak. Sarung pedangnya juga penuh dengan ukiran bunga dan kupu-kupu beraneka warna, amat halus dan indah ukirannya. Dan kini, Hong Li bermain pedang itu di dalam kebun, disaksikan dan dikagumi oleh belasan orang anak-anak.
Mereka itu adalah te-man-teman bermain Hong Li, anak-anak tetangga. Memang, dalam hal ini Kao Cin Liong dan isterinya bersikap bebas, tidak seperti orang-orang tua lain yang memperhitungkan derajat dan kedudukan dalam memilih teman-teman untuk anak-anak mereka. Biar-pun Cin Liong dan Suma Hui adalah suami isteri pendekar yang lihai sekali, bahkan Kao Cin Liong seorang bekas panglima yang terpandang, dan kini mereka hidup berkecukupan, namun mereka membiarkan anak perempuan mereka bergaul bebas dengan anak-anak tetangga. Dalam hal membiarkan anaknya ber-gaul bebas, Kao Cin Liong dan Suma Hui memang menyimpann dari kebiasaan umum. Biasanya, orang-orang tua akan
melarang anak perempuan mereka ber-gaul bebas, apalagi setelah berusia tigabelas tahun, usia remaja menjelang dewasa. Agaknya, watak me-reka sebagai pendekar-pendekar yang biasa hidup berkelana dan bebas yang membuat mereka tidak berkeberatan melihat anak perempuan mereka bergaul dengan anak siapa saja, laki-laki maupun perempuan.
Bagaimanapun juga, anak-anak itu bersikap sopan terhadap Hong Li dan menyebutnya siocia (nona), tentu hal ini mereka lakukan karena melihat betapa semua orang menghormati Hong Li sebagai keluarga jagoan dan keluarga kaya pula.
"Bagus....! Bagus sekali....!"
"Kao-siocia seperti bidadari sedang menari!
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
527 "Lihat, pedang itu seperti naga putih melayang-layang....!"
Pujian-pujian ini keluar dari mulut anak-anak yang
sedang menonton Kao Hong Li memamerkan pedang barunya dan juga ilmu silatnya yang memang hebat. Sekecil itu, ia sudah pandai sekali bersilat pedang, bukan hanya indah dipandang, namun di dalamnya mengandung kekuatan-kekuatan yang akan mengejutkan seorang ahli sekalipun. Tidaklah mengherankan kalau diingat bahwa Hong Li sudah berlatih Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang dipelajarinya dari ibunya, ilmu pedang yang
merupakan satu di antara ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es. Apa lagi ia sudah menguasai dasar-dasar gerakan ilmu pilihan dari Istana Gunung Pasir, yaitu ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat (Naga Sakti). Biarpun gerakan pedangnya belum matang benar, dan tenaga sin-kang yang mendorongnya belum dapat dibilang terlalu kuat, namun gerakan-gerakan itu selain indah, juga baik sekali, karena dilatih sejak ia masih kecil.
Setelah Hong Li berhenti bermain silat pedang dan sinar yang bergulung-gulung dari pedangnya lenyap, anak-anak itu betepuk tangan memuji.
"Ilmu pedang yang jelek sekali!"
Suara ini melengking tinggi mengatasi kegaduhan anak-anak itu sehingga terdengar oleh mereka semua. Tentu saja semua anak itu terkejut dan menengok, sedangkan Hong Li juga menengok ke kanan dengan alis berkerut, hatinya mendongkol mendengar ada orang
mengatakan ilmu pedangnya jelek, pada hal semua anak di situ bersorak memuji. Ketika anak-anak itu menoleh dan memandang kepada seorang kakek yang tiba-tiba saja berada di situ tanpa mereka ketahui kedatangannya, mereka merasa heran dan tidak tahu siapa adanya kakek berkepala gundul yang memakai jubah lebar berwarna merah darah ini. Akan tetapi Hong Li sudah banyak mendengar dari kedua orang tuanya tentang tokoh-tokoh aneh di dunia kang-ouw, tentang pendeta-pendeta dan pertapa-pertapa yang memiliki ilmu kepandaian yang hebat, dan betapa di antara para kakek atau nenek yang berpakaian seperti pendeta itu terdapat pula tokoh-tokohnya yang sesat. Maka, melihat munculnya kakek gundul ber-jubah merah ini, Hong Li memandang dengan hati agak khawatir, tidak tahu apakah kakek ini seorang baik ataukah jahat, kawan ataukah lawan dari ayah ibunya. Akan tetapi, mendengar betapa begitu munc-ul kakek itu sudah mencela ilmu pedangnya, agaknya tidak mungkin kalau kakek ini merupakan kawan ayah ibunya.
"Kakek tua, siapakah engkau yang berani mencela ilmu pedangku?" tanyanya dengan alis berkerut dan pedang barunya masih berada di tangan kanan. Ia mengelebatkan pedangnya dan terdengar suara berdesing diikuti sinar pedang berkilat.
Kakek itu tertawa, suara ketawanya juga me-lengking tinggi dan halus. "Ha-ha-ha, bukan hanya ilmu pedangmu, juga pedangmu itu jelek sekali, Ha-ha!"
Tentu saja Hong Li menjadi semakin marah. Pedangnya itu adalah pedang baru oleh-oleh ayah bundanya dan pedang itu sejak kemarin menjadi pusat kekaguman teman-temannya, akan tetapi sekarang dikatakan jelek sekali oleh kakek ini! Ia memandang dengan sinar mata mencorong penuh penasaran dan kemarahan, dan diam-diam ia memperhatikan kakek itu.
Seorang kakek yang usianya enampuluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka halus dan gerak-gerik lembut, sepasang matanya bening dan seperti mata wanita dengan bulu mata Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
528 yang panjang melen-gkung. Tak dapat disangkal, wajah kakek berkepala gundul ini meninggalkan bekas wajah seorang laki-laki yang tampan sekali.
"Kakek pendeta, engkau ini hwesio dari manakah" Kalau ada keperluan dengan orang tuaku, da-tang saja lagi besok pagi karena mereka sedang per-gi.."
"Omitohud.... aku tahu bahwa mereka sedang pergi membeli rempa-rempa di seberang su-ngai. Aku datang bukan untuk mereka, melainkan untuk nonton permainan pedangmu yang jelek."
Hong Li menjadi marah sekali. Alisnya yang hitam panjang berkerut, sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar berkilat dan mukanya menja-di kemerahan. "Engkau ini kakek pendeta yang som-bong dan jahat. Apa salahku maka engkau datang datang hendak menghina aku?"
"Ha-ha, aku tidak menghina, melainkan hendak nonton ilmu pedang yang jelek."
"Kalau begitu, apakah engkau berani menghadapi pedangku dan ilmu pedangku yang jelek ini?"
"Omitohud, tentu saja aku berani. Ilmu pedang-mu dan pedangmu itu tidak ada artinya, hanya patut untuk pamer dan berlagak saja."
Bukan main marahnya Hong Li mendengar ucap-an pendeta berjubah merah itu. Sejak kecil ia hanya melihat orang-orang bersikap hormat dan kagum ter-hadap keluarganya, apa lagi terhadap ilmu silat ke-luarganya. Dan sekarang, kakek kurus ini menghina ilmu silatnya dan berani menantangnya.
"Kakek sombong, kalau begitu hadapilah pedang-ku ini!" bentaknya dan sekali melompat ia telah menghampiri kakek pendeta itu dengan pedang ditodongkan.
"Ha-ha, bocah lucu, engkau menodongku dengan setangkai bunga mawar?" tiba-tiba kakek itu berkata sambil tertawa dan tangannya membuat gerakan ke arah pedang dan.... Hong Li, dan belasan orang anak itu, terbelalak ketika melihat betapa yang ber-ada di tangan Hong Li memang benar setangkai bunga mawar, bukan pedang yang tadi dimainkan dengan indahnya!
Akan tetapi, Hong Li adalah keturunan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Ibunya adalah cucu Pendekar Super Sakti, maka tentu saja ia segera dapat mengerti bahwa kakek pendeta jubah merah ini telah main-main dan mempergunakan ilmu sihir. Hanya sebentar saja ia terkejut dan terbelalak, lalu ia mengerahkan sin-kangnya, memaksa diri untuk ber-tahan dan tidak hanyut oleh kekuatan sihir.
"Yang kutodongkan adalah pedang baruku! Sia-pa bilang bunga mawar?" bentaknya dan iapun menggerak-gerakkan pedangnya. Karena tentu saja tenaga batinnya belum kuat benar, matanya melihat betapa yang berada di tangan kanannya itu berubah-ubah, kadang-kadang nampak sebagai pedang, lalu berubah menjadi setangkai bunga lagi. Namun, ia menjadi nekat, bunga atau pedang, tetap saja ia per-gunakan untuk menyerang kakek kurus itu!
Dalam penglihatan belasan orang anak itu, nam-pak lucu sekali melihat Hong Li menyerang kakek itu kalang kabut dengan menggunakan setangkai bu-nga mawar! Akan tetapi, kakek itu Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
529 sendiri kagum bukan main. Anak ini tidak mengecewakan menjadi cucu buyut Pendekar Super Sakti dan ilmu pedangnya memang hebat bukan main. Hatinya semakin tertarik dan suka kepada Hong Li. Menghadapi serangan-serangan gadis cilik itu, ia mempergunakan kecepatan gerakannya, tubuhnya melayang-layang dengan ringah dan lembutnya, seperti berubah menjadi sehelai bulu yang bergerak ke sana-sini, selalu luput dari terkaman ujung pedang yang dimainkan Hong Li.
"Anak baik, engkau berjodoh dengan Ang I Lama, marilah ikut dengan pinceng!" tiba-tiba belasan orang anak itu mendengar suara ini yang diikuti oleh bunyi ledakan keras. Semua anak ketakutan karena tempat itu berubah menjadi lautan asap. Mereka tak dapat melihat, bahkan mereka terpaksa mundur karena asap itu tebal sekali dan menakutkan. Ketika asap itu per-lahan-lahan melayang pergi, anak-anak itu menjadi bingung karena mereka tidak melihat Hong Li dan kakek pendeta jubah merah tadi. Mereka berdua telah lenyap tanpa
meninggalkan bekas, seolah-olah ikut terbang pergi bersama asap tebal. Tentu saja anak-anak ini menjadi ketakutan dan bingung. Mereka berlari-larian pulang sambil menangis melapor kepada orang tua masing-masing tentang peristiwa lenyapnya Kao Hong Li bersama kakek pendeta gundul berjubah merah. Para pelayan keluarga Kao yang mendengar laporan inipun menjadi bingung dan ketakutan. Kea-daan menjadi gempar dan semua orang mencari-cari ke mana perginya Hong Li, namun tidak dapat mene-mukan jejak anak itu yang lenyap seperti berubah menjadi asap.
Keadaan menjadi semakin geger ketika Kao Cin Liong dan Suma Hui pulang dari perjalanan mereka ke seberang sungai untuk membeli rempa-rempa. Dua pekan sekali suami isteri itu memang pergi sendiri membeli barang dagangan. Ketika mereka mendengar akan peristiwa aneh yang mengakibatkan lenyapnya anak tunggal mereka, tentu saja sepasang pendekar ini menjadi terkejut dan marah. Mereka menggunakan kepandaian mereka untuk melakukan pengejaran dan pencarian. Akan tetapi, sampai semalam suntuk me-reka mencari tanpa hasil dan akhirnya, menjelang pagi pada keesokan harinya, dengan lemas mereka pulang ke rumah.
Suma Hui menahan tangisnya, akan tetapi kedua matanya merah dan wajahnya
membayangkan kedukaan dan kegelisahan yang mendalam. Akan te-tapi Kao Cin Liong nampak tenang saja, walaupun tentu saja dia juga merasa bingung dan gelisah.
"Tenangkan hatimu," katanya kepada isterinya karena dia tidak tega melihat wajah isterinya demikian penuh duka dan kegelisahan. "Setidaknya kita boleh merasa yakin bahwa anak kita masih dalam keadaan selamat. Kalau penjahat atau siapa saja yang menculiknya itu berniat buruk, tentu hal itu sudah dilaku-kannya, tidak perlu bersusah-susah melarikannya."
Suma Hui dapat mengerti pendapat ini. Memang, kalau penjahat itu hendak membunuh Hong Li, tidak perlu dibawa pergi. Akan tetapi, siapa yang menculik Hong Li" Dan kenapa" Mereka berdua lalu mendatangi anak-anak yang menyaksikan peristiwa itu dan kagetlah hati mereka ketika mendengar bah-wa sebelum Hong Li dan kakek jubah merah itu le-nyap berubah menjadi asap, terdengar kakek itu ber-kata, "Anak baik, engkau berjodoh dengan Ang I Lama, marilah ikut dengan pinceng!"
Keterangan ini tentu saja amat penting bagi mereka. Jelaslah bahwa pendeta berkepala gundul yang berjubah merah itu adalah Ang I Lama dan dialah yang telah melarikan Hong Li.
Kata "berjodoh" yang dipergunakan pendeta itu dapat berarti berjodoh untuk menjadi muridnya, akan tetapi juga untuk maksud yang cabul dan jahat. Mereka berdua tahu betapa banyaknya orang-orang jahat dan keji yang menyembunyikan kejahatannya di balik
kedudukan atau pakaian. Betapa banyaknya pencuri-pencuri dan perampok-perampok besar Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
530 bersembunyi di balik pa-kaian seorang pembesar, penjahat-penjahat kejiberse mbunyi di balik pakaian pendeta-pendeta.
"Ang I Lama...." Suma Hui mengulang nama itu sambil mengepal tinju. "Siapakah dia dan mengapa dia melakukan hal ini kepada keluarga ki-ta?" Ia memandang suaminya dengan harapan sua-minya akan mengenal nama itu. Akan tetapi sejak tadi Kao Cin Liong juga mengerutkan alisnya dan memeras ingatannya, akan tetapi dia merasa tidak pernah mengenal nama itu. Maka, menjawab perta-nyaan isterinya, diapun menggeleng kepalanya.
"Aku tidak pernah mengenal nama itu, akan tetapi untung bahwa dia meninggalkan sebuah nama. Karena dia seorang pendeta Lama, maka di mana lagi dia berada kalau bukan di Tibet?"
Tiba-tiba Suma Hui menepuk meja di depannya. "Brakkk....! Ah, tentu saja!"
"Apa.... maksudmu?" suaminya bertanya sambil memandang penuh perhatian.
Isteri itu memandang suaminya. "Tentu ada hubungannya dengan Sai-cu Lama! Kita ikut membasmi komplotan Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama dan sekarang muncul seorang
pendeta Lama lainnya yang menculik anak kita. Apakah kaupikir tidak ada hubungannya antara kedua orang pendeta Lama itu?"
Suaminya mengangguk-angguk. "Sangat boleh jadi, akan tetapi kita tidak mengenal. Ang I Lama itu dan tidak tahu di mana dia berada. Kurasa satu-satunya jalan untuk mencarinya adalah ke Tibet. Di sana tentu kita akan memperoleh keterangan jelas di mana adanya Ang I Lama."
"Memang agaknya hanya itu jalannya dan mari-lah kita pergi sekarang saja. Aku tidak tahan berdi-am di rumah lebih lama lagi memikirkan nasib anak kita...." Dan kini Suma Hui tak dapat menahan membanjirnya airmata. Melihat ini, suaminya lalu mendekatinya dan merangkulnya. Memecah bendung-an air mata itu dan Suma Hui menangis tersedu-seda di dada suaminya yang membiarkannya mengangis untuk melampiaskan segala perasaan marah, khawa-tir dan duka yang sejak malam tadi ditahan-tahannya.
Setelah kedukaan Suma Hui mereda, suami isteri ini lalu cepat-cepat berkemas untuk menyediakan bekal perjalanan mencari anak mereka ke Tibet! Perjalanan yang amat jauh dan makan banyak waktu.
Selagi mereka sibuk, datanglah tamu yang tidak mereka duga-duga. Dua orang tamu datang dan me-reka ini bukan lain adalah Suma Ciang Bun dan Gu Hong Beng! melihat adiknya, datang lagi perasaan duka di hati Suma Hui dan iapun menubruk adiknya sambil menangis.
Tentu saja Suma Ciang Bun terkejut sekali meli-hat ulah encinya. Encinya, setahunya, adalah seorang wanita yang keras hati dan tabah bukan main, lebih tabah dari pada dia sendiri. Kalau sekarang encinya sampai bersedih dan menangis seperti itu, apa lagi melihat betapa sepasang mata encinya sudah beng-kak-bengkak bekas banyak tangis, dia khawatir tentu telah terjadi hal yang luar biasa dan hebat sekali.
"Enci Hui, engkau kenapakah" Apa yang telah terjadi sehingga engkau menjadi begini berduka?" Karena encinya menangis semakin sedih, Suma Ciang Bun mengangkat muka Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
531 memandang cihunya (kakak iparnya) dengan alis berkerut.
Kao Cin Liong merangkul isterinya dan dengan lembut menarik tubuh isterinya dari Suma Ciang Bun, lalu mengajak duduk. "Tenanglah dan kebetulan sekali Ciang Bun datang.
Mungkin dia dapat mem-bantu." Mendengar ini, Suma Hui menghentikan tangisnya dan memandang kepada adiknya.
"Hong Li telah diculik orang....!"
Tentu saja Ciang Bun terkejut sekali. "Ah! Sia-pa penculiknya dan kapan terjadinya"
Bagaimana dia berani melakukan hal itu?"
Kao Cin Liong yang lebih tenang segera memberi keterangan kepada adik iparnya. "Kemarin sore, ketika kami berdua pergi membeli rempah-rempah di seberang sungai dan Hong Li berada seorang diri di rumah, datang penculik itu. Dia seorang pendeta Lama yang berjuluk Ang I Lama, dan dia menculik Hong Li denganmempergunakan ilmu sihir seperti yang kami dengar dari anak-anak yang menemani Hong Li pada waktu itu." Lalu dengan singkat na-mun jelas, Kao Cin Liong menceritakan tentang per-istiwa penculikan itu seperti yang didengarrya jari anak-anak.
"Ang I Lama....?" Suma Ciang Bun meng-ulang nama itu sambil mengerutkan alis.
"Bun-te, apakah engkau mengenal nama jahanam itu?" tanya Suma Hui penuh harapan.
Suma Ciang Bun yang sudah banyak melakukan perantauan itu termenung. "Seperti pernah kude-ngar nama itu,akan tetapi entah di mana dan kapan. Nama itu jarang muncul di dunia kang-ouw...."
Pada saat itu Kao Cin Liong melihat betapa Gu Hong Beng, murid adik iparnya itu, memandang dengan sinar mata bercahaya. "Hong Beng, apakah engkau mengenalnya?" Dia bertanya. Suami isteri ini pernah mengenal Hong Beng, bahkan bersama pemuda ini dan para pendekar lainnya, pernah mem-bantu untuk menghancurkan persekutuan yang meu-dukung Thai-kam Hou Seng.
"Ang I Lama.... apakah tidak ada hubungannya dengan Sai-cu Lama....?" Hong Beng berkata.
"Akupun berpendapat demikian," Suma Hui ber-kata, "akan tetapi, di manakah adanya Ang I Lama dan mengapa dia melakukan hal ini kepada kami?"
"Ahhh....! Sekarang aku ingat, enci Hui!" kata Suma Ciang Bun. "Aku pernah mendengar na-ma Ang I Lama dan tentu saja ada hubungan antara dia dan Sai-cu Lama, karena Ang I Lama adalah se-arang di antara para pimpinan pendeta Lama di Ti-bet. Akan tetapi....
menurut yang pernah kude-ngar, Ang I Lama termasuk pendeta Lama yang ber-sih dan tidak sudi melakukan kejahatan, apa lagi menculik keponakanku Hong Li."
"Siapa tahu hati orang" Mungkin saja dia mendendam atas kematian Sai-cu Lama, karena bukankah mereka sama-sama dari Tibet dan sama-sama pendeta Lama" Mungkin atas dasar dendam itulah, dan mengingat bahwa kami berdua juga membantu usaha menghancurkan persekutuan Sai-cu Lama, maka kini Ang I Lama datang membalas dendam dengan cara yang curang, yaitu menculik dan melarikan anak ka-mi," kata Suma Hui.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
532 "Benar, akan tetapi kita harus bertindak hati-hati, enci. Hal ini harus diselidiki lebih dulu secara cer-mat agar jangan sampai enci menuduh orang yang tidak berdosa."
"Tentu saja. Sekarangpun kami sedang berkemas untuk segera berangkat ke Tibet,
melakukan penye-lidikan tentang Ang I Lama itu!"
"Perjalanan yang amat jauh dan sukar," kata Suma Ciang Bun.
"Jangankan baru ke Tibet, biar Ang I Lama melarikan diri ke neraka sekalipun, pasti akan kami kejar sampai dapat!" kata Suma Hui dengan gemas.
"Kalau begitu, biarlah kita membagi tugas," kata Suma Ciang Bun. "Enci dan cihu mencari ke Tibet, dan aku akan mencari di sekitar sini. Siapa tahu yang namanya Ang I Lama itu masih bersembunyi di dekat dan di sekitar daerah ini. Sedangkan Hong Beng biar-lah ke Istana Gurun Pasir untuk melapor."
"Eh" Ada urusan apa ke sana?" Kao Cin Lion bertanya sambil memandang heran mendengar bahwa adik iparnya itu hendak menyuruh muridnya mengun-jungi tempat kediaman orang tuanya yang jarang di-kunjungi orang. Dia sendiri merasa tidak suka kalau ketenangan dan ketenteraman kehidupan ayah ibunya terganggu.
Suma Cang Bun menarik napas panjang. "Sebe-narnya kedatanganku ini untuk melapor kepada cihu tentang perbuatan sumoimu."
"Sumoiku" Sumoi yang mana?" Cin Liong ber-tanya heran.
"Bukankah cihu mempunyai seorang sumoi" Murid Sam Kwi yang diambil murid oleh ayah ibu-mu."
"Ah, maksudmu gadis yang bernama Can Bi Lan itu" Mengapa ia" Bukankah ia pantas sekali men-jadi murid ayah ibuku karena sepak terjangnya meng-hadapi persekutuan Sai-cu Lama membuat kagum?"
"Ia telah melakukan penyelewengan sekarang! Bayangkan saja, ia membela dan membantu Bi-kwi yang melakukan kecabulan dan membunuhi banyak pemuda. Padahal, Bi-kwi bekerja sama dengan tosu-tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw untuk menge-royokku sehingga nyaris aku tewas di tangan mereka. Bi Lan itu telah mempergunakan pedang pusaka ibu-mu, Ban-tok-kiam untuk bersekongkol dengan tosu-tosu jahat itu, melakukan kejahatan, dan membela Bi-kwi. Dan dalam hal ini, ia dibantu pula oleh Pen-dekar Suling Naga yang lihai."
Mendengar ini, Kao Cin Liong mengerutkan alis-nya. "Hemm, berbahaya sekali kalau begitu.
Iamembawa po-kiam (pedang pusaka) dari ibuku, kalau dipergunakan secara keliru, akan merusak nama baik keluarga kami." Suma Hui diam saja tidak berani memberi komentar karena menyangkut nama baik keluarga suaminya.
"Sayang kita harus pergi ke Tibet untuk mencari anak kita, kalau tidak tentu kita dapat mencarinya dan meminta kembali pedang pusaka itu," kata Suma Hui dengan hati-hati karena ia khawatir kalau sua-minya akan membatalkan niatnya mencari Hong Li untuk mencari Bi Lan berhubung dengan terancam-nya nama baik keluarganya.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
533 "Biarlah seya yang akan pergi menghadap Kao-locianpwe di Istana Gurun Pasir, untuk melaporkan tentang penyelewengan Can Bi Lan dan sekalian mengabarkan tentang diculiknya adik Kao Hong Li oleh Ang I Lama," kata Hong Beng dengan cepat.
"Ah, kalau begitu baik sekali!" Suma Hui ber-seru girang, memandang kepada suaminya. Cin Liong juga mengangguk dan memandang kepada Hong Beng dengan sinar mata berterima kasih. Tak di-sangkanya bahwa kehidupannya yang selama ini te-nang dan tenteram, dalam satu hari saja berubah menjadi keruh, penuh dengan persoalan yang men-datangkan duka dan kekhawatiran.
Biarpun baru pagi hari itu bertemu, mereka terpaksa harus berpisah lagi pada siang harinya karena mereka harus mulai dengan tugas masing-masing. Kao Cin Liong dan Suma Hui berangkat menuju ke Tibet untuk mencari Ang I Lama dan puteri mereka, sedangkan Suma Ciang Bun pergi mencari jejak pen-deta Lama yang melarikan keponakannya. Hong Beng sendiri juga berangkat menuju ke utara, untuk berkunjung ke Istana Gurun Pasir menghadap Pen-dekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya. Kedu-kaan dan kekhawatiran terbayang di wajah mereka, terutama sekali di wajah Kao Cin Liong dan Suma Hui.
Di dalam hati yang selalu mengejar kesenangan, pasti akan sering kali dikunjungi oleh kesusahan. Tidak mungkin merangkul suka tanpa menyentuh duka, karena suka dan duka adalah sama. Sama-sama menjadi ciptaan pikiran sendiri. Yang mengandung suka atau duka bukanlah si peristiwa, melainkan pi-kiran kita sendiri dalam menanggapi peristiwa yang terjadi. Kalau kita menghadapi segala macam peris-tiwa seperti apa adanya tanpa menghendaki lain, tanpa menjangkau kesenangan atau mengelak kesu-sahan, maka yang ada hanyalah kewajaran yang tidak mendatangkan duka apapun. Seperti orang mengha-dapi panas terik matahari, tanpa mengeluh kita lalu mempergunakan akal budi untuk berteduh, dan se-perti orang menghadapi malam gelap dan dingin, kita pun tidak mengeluh melainkan mempergunakan ke-bijaksana untuk membuat penerangan di dalam gelap dan
mempergunakan sarana untuk berlindung dari kedinginan. Tanpa susah atau senang dan kalau sudah begitu, di dalam kegelapan maupun kepanasan malam dan siang kita dapat melihat keindahan di luar penilaian.
*** Kao Hong Li membuka kedua matanya dan ia merasa seperti dalam mimpi. Ia terbangun dan tidak menggerakkan badan terlebih dahulu. Setelah mem-buka kedua matanya, anak yang cerdik ini memutar otaknya,mengingat-ingat. Ia lalu teringat akan per-istiwa aneh yang dialaminya. Mula-mula yang ter-ingat olehnya adalah ketika ia bermain silat pedang di antara kawan-kawannya, di dalam kebun, disam-but pujian para kawannya. Lalu munculnya kakek gundul berjubah merah yang lalu melawannya. Tiba-tiba terdengar ledakan itu, dan nampak asap tebal, dan tubuhnya melayang-layang di antara asap yang membuat ia merasa seperti terbang di angkasa, di an-tara awan-awan. Lalu iapun lemas tak ingat apa-apa lagi. Ia diculik!
Ingatan inimengejutkannya. Ia telah dilarikan oleh kakek aneh itu! Kini Hong Li, masih belum menggerakkan tubuhnya, mulai memperhatikan kea-daan sekelilingnya. Ia rebah terlentang di atas sebu-ah dipan kayu yang keras dan kasar dan dipan itu terletak di sudut ruangan ini. Sebuak kamar dari empat dinding yang berlumut dan kotor, dengan da-un pintu rusak terbuka di sebelah kanan. Tidak kecil juga tidak berdaun di sebelah kanan. Tidak nampak ada orang di situ, hanya ia sendiri saja di atas dipan. Ia telah dilarikan oleh kakek itu Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
534 ke sini, pi-kirnya. Entah di mana ini. Kakek yang aneh dan sakti itu tidak ada. Inilah kesempatan baik baginya untuk melarikan diri.
Hong Li mulai menggerakkan kaki tangannya. Lega rasa hatinya karena kaki tangannya dapat dige-rakkan dengan mudah dan ketika ia bangkit duduk, kepalanyapun tidak terasa pening. Ia dalam sehat. Dicarinya pedangnya. Tidak nampak di situ. Ia lalu dengan hati-hati turun dari pembaringan itu, perla-han-lahan agar jangan mengeluarkan suara, lalu ber-indap-indap melangkah menuju ke pintu yang daun-nya terbuka lebar karena memang sudah bobrok itu. Agaknya di luar, senja telah mendatang, namun ma-tahari masih meninggalkan sisa cahayanya sehelum dia menghilang sama sekali. Dengan hati-hati Hong Li mengintai ke luar.
Tidak ada orang. Dan di luar sana nampak pohon-pohon lebat. Sebuah hutan! Ia berada di dalam sebuah rumah tua, agaknya bekas kuil, di dalam sebuah hutanlebat. Ia harus cepat melarikan diri!
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara orang, suara yang halus dan sudah pernah didengar, suara Ang I Lama yang menculiknya! "Aha, anak baik, engkau sudah bangun?"
Hong Li cepat membalikkan tubuhnya dan ter-nyata kakek itu berada di dalam kamar itu!
Pada hal tadi tidak nampak seorangpun di situ. Ah, tentu kakek ini telah mempergunakan ilmu sihirnya pula, pikirnya. Hong Li menjadi marah dan ia meraba-raba pinggangnya, lupa bahwa tadi sia-sia saja ia mencari pedangnya, pedang barunya yang indah.
"Aha, mencari pedangmu" Inilah pedangmu, terimalah!" Dia mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubah merahnya dan menyerahkan kepada Hong Li. Gadis cilik itu cepat menyambar pedangnya, pe-dang barunya, lalu mengambil sikap untuk menye-rang.
"Anak baik, untuk apa engkau mencari pedang-mu?"
"Untuk membunuhmu, kakek jahat!" bentak Hong Li dan iapun menggerakkan pedangnya, me-nyerang dengan marah dan dengan pengerahan selu-ruh tenaganya.
"Ha-ha, pedang itu tidak ada gunanya, sudah kukatakan ini kepadamu. Lihat, kauboleh tusuk pe-rutku ini, aku takkan menangkis atau mengelak."
Hong Li menerjang maju, menggerakkan pedang-nya untuk menusuk ke arah perut. Ia melihat kakek itu berdiri tegak saja, membiarkan perutnya ditusuk! Ketika ujung pedangnya hampir menyentuh jubah merah, Hong Li menahan tenaganya dan bahkan menghentikan tusukannya. Tidak bisa ia menusuk begitu saja perut orang yang tidak melawan! Tidak mungkin ia melakukan pembunuhan dengan hati di-ngin seperti itu.
"Oho, kenapa tidak kau lanjutkan tusukanmu?" kakek itu tertawa.
"Lawanlah, jangan diam saja!" bentak Hong Li.
Kakek itu terbelalak, memandang heran, lalu tertawa. "Ha-ha, keturunan keluarga Pulau Es dan Gu-run Pasir memang aneh luar biasa. Nah, aku mela-wan sekarang, hendak kutangkap kepalamu dan akan kubuktikan betapa pedangmu itu tidak ada guna-nya!"
Kakek itu kini menggerakkan kedua tangannya, hendak mencengkeram kepala Hong Li dari kanan kiri. Melihat ini, gadis cilik itu menyuruk ke depan, mendahului dengan tusukan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
535 pedangnya ke arah perut. Kini ia tidak ragu-ragu lagi menusuk karena bukan-kah musuh menyerangnya dengan hebat pula. Kalau ia tidak mendahului, tentu kepalanya akan remuk oleh kedua tangan yang kuat itu.
"Wuuutt.... krekkk....!"
Kao Hong Li terkejut bukan main. Pedangnya telah menusuk perut, akan tetapi rasanya seperti me-nusuk segumpal baja saja dan pedangnya kini patah-patah menjadi tiga potong! Ia membuang gagangnya dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak, dan melihat betapa kakek itu tersenyum-senyum dan memandang sambil mengejek, ia marah sekali dan dengan nekat kini ia menyerang dengan kedua tangan-nya yang terkepal.
"Heh-heh-heh, engkau setan cilik yang nakal!" Dan kini Hong Li mengalami hal yang membuatnya sema-kin terkejut dan heran. Tubuhnya terhalang sesuatu yang tidak nampak, seolah-olah ada tenaga yang me-nahannya dari depan sehingga gerakannya terhalang dan ia tidak dapat mendekati kakek itu! Betapa kuatnya ia menerjang, selalu ia bertemu dengan te-naga itu dan tubuhnya bahkan terdorong ke belakang. Setelah beberapa kali mencoba dan tidak berhasil, akhirnya Hong Li berdiri diam dan hanya menatap kakek itu dengan sinar mata tajam dan penuh kema-rahan. Ia tahu bahwa kakek itu sakti sekali dan ia tidak berdaya, namun Hong Li tidak merasa takut sedikitpun juga.
"Kakek jahat, engkau pengecut besar!" tiba-tiba ia membentak.
Kakek itu yang sedang tersenyum, tiba-tiba menghentikan senyumnya dan memandang kepadanya de-ngan alis berkerut dan ada kemarahan membayang pada mata yang tajam mencorong itu. "Hemm. setan cilik, kenapa engkau berani memaki aku pengecut besar?"
"Kalau engkau bukan pengecut, tentu engkau tidak akan memusuhi aku, seorang anak kecil!
Ka-lau engkau memang gagah dan memiliki kepandaian, tentu engkau akan menantang ayahku atau ibuku, bukan menculik dan melarikan diriku. Beranimu hanya mengganggu anak kecil, akan tetapi terhadap ayah dan ibuku, engkau melarikan diri sampai terkencing-kencing.
Huh, pengecut besar tak tahu malu!"
Akan tetapi kini kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, dan engkau setan cilik amat gagah berani, sungguh mengagumkan sekali. Engkau memang ber-jodoh dengan pinceng, anak baik.
Namamu Kao Hong Li, bukan" Heh-heh, dan aku bernama Ang I Lama. Engkau lihat sendiri, kepandaianku setinggi langit dan engkau beruntung sekali dapat ikut bersa-maku!"
"Huh, kepandaianmu tidak ada artinya kalau engkau berani melawan ayah dan ibuku!" Hong Li berseru mengejek, pada hal di dalam hatinya ia meragu apakah ayah dan ibunya akan mampu menandingi kakek yang selain lihai ilmu silatnya, juga lihai ilmu sihirnya ini.
Menurut penuturan ibunya, kakek bu-yutnya yang bernama Suma Han berjuluk Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, selain sakti juga memiliki ilmu sihir yang amat hebat.
Juga nenek Teng Siang In, isteri dari paman kakeknya yang ber-nama Suma Kian Bu dijuluki Pendekar Siluman Kecil, memiliki juga kekuatan sihir. Sayang ibunya sendiri tidak pernah mempelajari ilmu sihir dan hanya ahli dalam hal ilmu pawang ular yang pernah ia pela-jari sedikit itu.
Karena kakek itu hanya tertawa saja dan tidak menjawab, Hong Li lalu bertanya, suaranya masih terdengar ketus akan tetapi sedikitpun ia tidak memperlihatkan perasaan takut, "Kakek Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
536 jahat, eng-kau bernama Ang I Lama, seorang pendeta yang mestinya melakukan kebaikan di dunia ini. Akan te-tapi kenapa engkau menculik aku tanpa sebab?"
"Ha-ha, sebabnya karena aku suka kepadamu, Kao Hong Li. Engkau akan menjadi muridku dan menemani hidupku yang sunyi."
"Hemm, kakek jahat, ke mana engkau hendak membawaku?" Hong Li mulai merasa ngeri, mem-bayangkan bahwa ia selanjutnya harus hidup bersama kakek mengerikan ini.
"Ke mana lagi kalau tidak ke Tibet?"
"Tidak, aku tidak mau!" kata Hong Li. "Biar engkau akan membunuhku sekalipun, aku tidak sudi menjadi muridmu, tidak sudi ikut bersamamu!" Setelah berkata demikian, Hong Li lalu meloncat ke-luar dari ruangan itu melalui pintu yang terbuka. Ia bermaksud melarikan diri dengan nekat.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara kakek itu berkata di depannya, "Hong Li, aku di sini!"
Dan tahu-tahu kakek itu telah menghadang di depannya. Hong Li menengok dan dengan mata terbelalak me-lihat bahwa kakek tadi masih berada di dalam ruang-an itu. Bagaimana mungkin kakek itu berubah men-jadi dua orang" Ia lalu memutar tubuh ke kiri un-tuk melarikan diri melalui lorong di depan kamar, akan tetapi kembali terdengar suara kakek itu.
"Hong Li, aku berada di sini!" Dan di depan-nya kembali sudah menghadang kakek itu.
Ketika ia menengok, ternyata kakek yang berada di dalam ka-mar maupun yang pertama kali menghadangnya masih berada di tempat masing-masing. Dengan demi-kian, kini ada dua orang kakek yang sama! Ia memutar tubuh lagi dan kembali melihat munculnya seorang kakek lain yang sama sehingga sebentar saja ia sudah dikepung oleh banyak orang kakek yang sama!
Hong Li dapat menduga bahwa ini tentu permainan sihir, maka dengan nekat ia menerjang ke depan. "Ha-ha-ha, anak keras kepala berhati baja. Engkau memang nakal!" Dan tiba-tiba Hong Li merasa banyak tangan menangkapnya sehingga ia tidak mam-pu bergerak lagi.
Kemudian, kakek itu mengikat kaki tangannya dengan ikat pinggang, lalu memondong tubuhnya dan melemparkannya pula ke atas dipan yang tadi dan sama sekali tidak mampu berge-rak karena ikatan kaki tangannya itu kuat sekali. Dan kini ia melihat bahwa kakek yang tadinya banyak itu kembali menjadi seorang saja.
Kakek itu berdiri di dekat dipan, menyeringai. "Heh-heh, bagaimana, anak nakal. Apakah engkau sekarang sudah menyerah dan mau ikut bersamaku dengan suka rela?"
"Tidak sudi!" Hong Li membentak, masih ga-lak walaupun kaki tangannya tidak mampu bergerak lagi.
"Engkau memilih mati?"
"Ya! Aku tidak takut mati!" kata Hong Li dengan gagah. Kakek itu memandang kepada Hong Li dengan sinar mata-penuh kagum.
"Bagaimana kalau sebelum mati kusiksa dulu" Engkau berani menghadapi siksaan?"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
537 "Tak perlu cerewet lagi! Mau bunuh, mau siksa, terserah, akan tetapi aku tidak sudi menyerah!"
"Huh, bocah tak tahu disayang! Biar kuberi engkau waktu semalam lagi untuk berpikir panjang. Besok aku datang lagi dan kalau engkau tetap menolak, aku akan menyiksamu sampai engkau merasa menyesal telah dilahirkan di dunia ini!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat kakek itupun lenyap dari situ.
Hong Li rebah seorang diri dan setelah kakek itu pergi, barulah ia merasa ngeri membayangkan betapa ia akan disiksa sampai mati pada besok hari kalau ia tidak mau menyerah. Tidak, ia harus dapat melarikan diri, pikirnya. Ia tidak sudi menyerah, juga tidak ingin mati konyol. Mulailah ia berusaha menggerak-kan kaki tangannya untuk melepaskan ikatan, namun sia-sia saja. Ikatan itu terlalu kuat sehingga kedua kaki tangannya sama sekali tidak mampu berkutik. Ia teringat kepada ayah ibunya dan tak terasa lagi, dua titik air mata membasahi pelupuk matanya. Se-karang, setelah ditinggalkan kakek itu, ia mulai me-rasa ketakutan. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya kalau ia membayangkan siksaan yang tak -dapat ia perkirakan. Kakek itu terlalu kejam, terlalu jahat. Entah siksaan apa yang akan diterimanya. Ka-lau ia dibunuh seketika, hal itu tidak ditakutinya, akan tetapi kalau ia disiksa perlahan-lahan, sungguh hal ini amat menakutkan. Akan tetapi menyerah men-jadi murid kakek itu" Tidak, ia tidak sudi! Kakek itu terlalu jahat. Dan kalau ia menolak, ia akan di siksa sampai mati. Tidak, ia belum ingin mati, tidak mau mengalami derita siksaan.
Sampai lewat tengah malam, Hong Li diombang-ambingkan oleh perasaan takut dan benci kepada. kakek itu. Menyerah salah, menolak juga salah. Ia bingung sekali dan kalau saja sejak kecil ia tidak di-gembleng sehingga memiliki semangat dan kegagahan, tentu anak yang baru berusia tigabelas tahun ini su-dah menangis atau menjerit-jerit. Akan tetapi tidak, Hong Li hanya diam saja, hanya ada beberapa butir -air mata membasahi pipinya dan ia menggigit bibir-nya untuk mencegah tangis dan jeritannya.
Tiba-tiba ada gerakan di pintu. Jantung di dalam dada Hong Li berdebar penuh ketegangan.
Apakah kakek jahat itu sudah akan memulai dengan siksa-annya pada hal malam belum lewat" Hong Li mera-sa betapa seluruh bulu di tubuhnya meremang saking ngerinya, Akan tetapi, yang muncul bukanlah kakek Ang I Lama yang dibencinya, melainkan seorang wanita cantik! Usia wanita itu sebaya dengan ibunya akan tetapi pakaiannya mewah sekali.
Tubuhnya tinggi ramping dan rambutnya digelung ke atas de-ngan dihias permata dan emas yang indah. Pakaian-nya dari sutera tipis berwarna merah muda dan biru. Biarpun usianya tentu ada empatpuluh tahun, namun wanita itu masih nampak muda, dengan sepasang mata yang lebar dan tajam. Begitu memasuki kamar dan melihat Hong Li memandangnya, wanita itu menaruh telunjuk di depan mulutnya sebagai tanda agar Hong Li tidak mengeluarkan suara berisik. Hong Li diam saja, memandang dengan heran, akan tetapi juga dengan penuh harapan. Mudah diduga dari si-kapnya bahwa kedatangan wanita asing ini tentu bermaksud baik terhadap dirinya.
Ketika wanita itu menghampiri pembaringan. Hong Li mencium bau yang harum seperti bunga ma-war dan begitu wanita itu tersenyum kepadanya, ia merasa suka sekali. Seorang wanita cantik dan ramah, dan tentu datang untuk menolongnya, pikirnya.
"Bibi, engkau siapakah?"
"Sstttt....!" Wanita itu mendesis lirih. "Aku datang untuk menolongmu, akan tetapi aku harus Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
538 dapat mengalahkan dulu Ang I Lama...."
Hong Li memandang terbelalak, kagum. "Dapat-kah engkau mengalahkan dia, bibi?"
tanyanya, pe-nuh keraguan mengingat akan kesaktian pendeta La-ma yang menculiknya itu.
"Tidakkah labih baik bibi membebaskan aku, lalu kita melarikan diri selagi dia tidak berada di sini?"
Wanita itu menggeleng kepalanya. "Engkau tidak tahu siapa Ang I Lama. Dia akan mengejar dan akhir-nya aku harus berhadapan dengan dia pula. Tidak, aku harus lebih dulu mengalahkan dia, baru aku akan dapat membebaskanmu. Engkau bernama Kao Hong Li, ayahmu Kao Cin Liong putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan ibumu cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, bukan?"
Hong Li mengangguk, tidak merasa heran kalau wanita ini mengenal ayah ibunya, karena ia tahu bah-wa nama ayah dan ibunya terkenal sekali di dunia kang-ouw.
"Aku suka dan kagum kepadamu. Engkau tabah dan berani, engkau keturunan para pendekar dan keluarga yang amat terkenal. Dan aku akan mengha-dapi Ang I Lama dengan taruhan nyawa untuk me-nolongmu. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kalau aku minta engkau ingat akan pertolonganku dan membalas budi, bukan?"
Kembali Hong Li mengangguk. Kalau wanita ini menandingi Ang I Lama dengan
mempertaruhkan nyawa untuk menolongnya, tentu saja ia berhutang budi dan nyawa
kepadanya. "Aku akan berterima kasih sekali, bibi."
Wanita itu tersenyum. Manis sekali kalau tersenyum. "Apa gunanya terima kasih untukku"
Dengar, Hong Li. Aku akan menandingi Ang I Lama dan kalau berhasil mengalahkannya, aku akan membebaskanmu. Akan tetapi, untuk itu aku minta engkau berjanji bahwa engkau akan mengangkat aku sebagai ibu dan guru."
"Eh, mengapa sebagai ibu?" Hong Li terheran.
"Aku.... aku merindukan seorang anak dan engkau pantas menjadi anak angkatku, Hong Li.
Nah, maukah engkau?"
"Menjadi anak angkat dan murid?"
"Bukan itu saja. Engkau harus berjanji mengangkat aku sebagai ibu dan guru, kemudian juga bahwa selama lima tahun engkau akan hidup bersamaku, mempelajari ilmu dan menemani aku sebagai ibu angkatmu."
Hong Li merasa bimbang. Permintaan yang aneh-aneh. Akan tetapi wanita ini hendak mempertaruh-kan nyawa menolongnya dan kalau benar dapat mengalahkan Ang I Lama, memang wanita ini patut menjadi gurunya. Juga apa salahnya mengangkat seorang wanita baik yang menyelamatkannya sebagai ibu"
"Hanya itu?" ia bertanya lagi.
"Hanya itu, juga engkau harus berjanji bahwa selamanya, melindungi aku dari gangguan dan se-rangan siapapun juga."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
539 Tentu saja permintaan terakhir ini tidak berat, bahkan tanpa diminta sekalipun, siapa yang tidak akan melindungi dan membela ibu angkatnya dari serangan orang lain" Kembali ia mengangguk.
"Baiklah, aku berjanji...."
"Hong Li, urusan ini bukan main-main, melainkan persoalan hidup atau mati bagiku, juga menyang-kut kebahagiaan hidupku selanjutnya, karena itu, tidak cukup engkau berjanji.
Bersumpahlah!" Kembali Hong Li terkejut. Selamanya belum pernah ia bersumpah dan permintaan wanita ini agar ia bersumpah mengejutkannya dan membuatnya bim-bang. Akan tetapi hanya untuk sebentar saja. Janji dan sumpahnya untuk sesuatu yang baik, apa salah-nya kalau ia akan diselamatkan dan ditolong oleh wanita ini.
"Baikiah, subo (ibu guru). Saya bersumpah ka-lau subo dapat membebaskan aku dari tangan Ang I Lama, aku akan mengangkatmu sebagai ibu dan juga sebagai guru, dan aku akan membela dan melindungi-mu dari gangguan siapapun juga!"
Wanita itu nampak girang bukan main, mem-bungkuk dan mencium pipi Hong Li dengan bibirnya. "Anakku sayang, muridku yang hebat! Kau tunggu saja, agar jangan mendatangkan curiga, sementara engkau rebah dalam keadaan terikat dulu. Aku akan menghadang Ang I Lama di luar dan aku akan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaianku untuk
mengalahkannya." Setelah berkata demikian, wanita itu meloncat dan lenyap dari dalam kamar itu.
Hong Li termenung. Hatinya diliputi kebim-bangan. Memang, dari gerakannya ketika meloncat atau menghilang tadi, ia dapat mengetahui bahwa wa-nita yang belum diketahui namanya itu memiliki ke-pandaian tinggi. Akan tetapi, mampukah wanita itu mengalahkan Ang I Lama yang demikian saktinya" Apa lagi kalau diingat bahwa Ang I Lama memiliki ilmu sihir, ia bergidik. Andaikata wanita cantik itu memiliki ilmu silat tinggi seperti ibunya dan mampu menandingi Ang I Lama dalam perkelahian, akan tetapi bagaimana kalau kakek Tibet itu memperguna-kan ilmu sihir" Kalau wanita itu sampai kalah dan tertawan, terluka atau bahkan terbunuh, ia akan me-rasa semakin menyesal karena berarti bahwa kemati-an wanita itu adalah karena membelanya!
Waktu terasa merayap lambat sekali bagi Hong Li yang tenggelam dalam ketegangan sejak muncul-nya wanita cantik itu. Ia bahkan terkejut ketika muncul Ang I Lama dari pintu. Kakek itu menje-nguknya lalu tertawa melihat betapa ia masih rebah terlentang dengan kaki tangan terikat.
"Ha-ha-ha, sudah cukupkah engkau merenungkan nasibmu" Nanti kalau, matahari mulai memasukkan sinarnya melalui jendela itu, aku akan datang dan minta keputusanmu, apakah engkau mau menyerah ataukah memilih mati tersiksa. Ha-ha-ha!" Ang I Lama lalu keluar lagi sambil tertawa.
Tiba-tiba perhatian Hong Li tertarik oleh suara yang terdengar dari luar kamar itu. Terdengar suara gedebugan dan gerakan orang berloncatan, disusul bentakan Ang I Lama, "Sin-kiam Mo-li, berani engkau menyerangku?"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
540 Lalu terdengar jawaban yang mendebarkan hati Hong Li karena ia mengenal suara wanita cantik tadi "Ang I Lama, tinggalkan tempat ini dan biarkan aku yang mengurus Kao Hong Li karena ia berjodoh untuk menjadi anak angkatku!"
"Ha-ha-ha, Sin-kiam Mo-li, apakah engkau hendak mengantar kematianmu maka berani mencampuri urusanku" Nah, terimalah kematianmu!" Kembali terdengar suara gedebugan dan Hong Li dengan mata terbelalak dan hati berdebar penuh ketegangan dan kekhawatiran mendengar gerakan orang yang sangat ringan dan cepat. Juga terdengar suara berdesing-desing. Ia menduga bahwa yang bersenjata pedang itu tentulah Sin-kiam Mo-li karena bukankah julukannya itu sudah menunjukkan bahwa wanita itu merupakan seorang ahli pedang. Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Berpedang Sakti), julukan yang mengerikan. Kenapa wanita secantik dan sebaik itu dijuluki Iblis Betina, pikir Hong Li dengan penasaran. Diam-diam ia berdoa agar wanita itu memperoleh kemenangan dalam perkelahian yang terjadi di luar kamar itu.
Tak lama kemudian, di antara suara gerakan orang bersilat itu, terdengar seruan Ang I Lama,
"Kiam-sutmu hebat juga. Akan tetapi lihat, apakah ini?" Dan terdengarlah suara ledakan-ledakan yang mengejutkan hati Hong Li karena anak itu maklum bahwa tentu pendeta Lama itu telah mempergunakan ilmu sihirnya. Ia memandang khawatir sekali ke arah pintu dan melihat asap putih mengepul di luar pintu itu. Celaka, pikirnya, mampuskah Sin-kiam Mo-li menghadapi ilmu sihir yang aneh itu"
Akan tetapi, terdengar suara ketawa lembut wa-nita itu. "Hemm, Ang I Lama, permainan sihirmu ini merupakan permainan kanak-kanak bagiku." Kembali terdengar suara gedebugan, disusul suara Ang I Lama berteriak seperti orang kesakitan.
"Ahhhh. engkau benar lihai....!" Dan suara perkelahian itupun terhenti, tanda bahwa di luar kamar tidak ada lagi orang berkelahi.
Hong Li sampai merasa pedas pada matanya ka-rena sejak tadi ia memandang ke arah pintu dengan mata terbelalak, tak pernah berkedip, dengan hatitegang. Ia tidak tahu bagaimana kesudahan perkela-hian itu, akan tetapi mendengar suara-suara mereka tadi, ia merasa yakin bahwa penolongnya tidak ka-lah walaupun pendeta Tibet itu mempergunakan ilmu sihir.
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dugaannya terbukti kebenarannya ketika ia mendengar langkah kaki halus dan muncullah Sin-kiam Mo-li di ambang pintu. Sinar lampu yang tidak begitu cerah menimpa wajah yang nampak cantik itu dan wanita itu tersenyum.
"Subo, kau menang....! Hong Li berseru dan wanita itu semakin girang. Sejak bersumpah, anak ini telah menyebutnya subo! Ia lalu melangkah menghampiri dipan. "Subo, bagaimana engkau bisa melawan ilmu sihirnya"
Wanita itu memperlebar senyumnya. "Sihir me-rupakan permainan kanak-kanak bagiku, Hong Li. Lihat ini!" ia menggerakkan kedua tangannya ke arah tangan dan kaki Hong Li dan.... ikatan pada pergelangan tangan dan kaki anak itupun putus-putus dan Hong Li bebas seketika!
Dengan girang dan kagum sekali Hong Li bangkit dari pembaringan, kemudian, sebagai seorang anak angkat dan murid yang tahu diri, ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki wanita itu. "Subo, terima kasih atas pertolonganmu!"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
541 Sin-kiam Mo-li merangkul Hong Li dan mengangkatnya bangun. Hong Li memandang
wanita itu de-ngan wajah berseri. "Ah, subo tentu lihai sekali mempergunakan pedang-pedang itu." ia menudingkan ke arah sepasang pedang yang berada di punggung Sin-kiam Mo-li.
Sebatang pedang pendek dan seba-tang pedang panjang. "Mengingat akan julukan subo, Sin-kiam Mo-li, tentu subo merupakan ahli pedang yang hebat!"
Wanita itu mengangguk-angguk. "Hong Li, eng-kau takkan kecewa menjadi anak angkat dan murid-ku."
Tiba-tiba teringatlah Hong Li bahwa ia sudah bersumpah mengangkat guru dan ibu kepada wanita ini, dan selama lima tahun ia akan ikut dengan wanita ini, bahkan berjanji akan membela dan melindungi-nya kelak selama hidupnya. Teringatlah ia akan orang tuanya sendiri dan tiba-tiba saja ia menjadi bingung.
Sin-kiam Mo-li memiliki pandang mata yang ta-jam. Ia melihat kebimbangan menyelimuti wajah anak itu, maka iapun bertanya sambil mengerutkan alisnya, "Ada apakah, Hong Li?"
Hong Li adalah seorang anak yang berwatakjujur. Ia memandang wajah gurunya dan berkata,
"Su-bo, tiba-tiba saja aku teringat kepada ayah ibuku. Memang benar bahwa aku telah berjanji dan bersum-pah kepadamu, dan aku juga akan memenuhi janjiku, selain mengangkatmu sebagai ibu dan guru, juga ikut bersamamu selama lima tahun dan kelak aku akan membela dan melindungimu. Akan tetapi, subo ha-rus tahu bahwa orang tuaku tentu kehilangan aku dan kini mencari-cariku. Bagaimana kalau subo mem-bawa aku lebih dulu pulang untuk berpamit kepada orang tuaku" Aku pasti akan memenuhi janjiku, aku hanya tidak ingin membuat mereka berkhawatir dan berduka."
Akan tetapi Sin-kiam Mo-li menggeleng kepala-nya. "Hong Li, permintaanmu ini tentu saja tidak mungkin dapat kupenuhi. Bayangkan saja. Kalau kita bertemu dengan ayah ibumu, apakah engkau kira mereka akan mengijinkan aku pergi membawamu" Dan aku tidak ingin bentrok dengan mereka karena memperebutkan engkau, Hong Li.
Hong Li dapat mengerti akan alasan subonya. "Akan tetapi, bagaimana kalau pada suatu hari ayah ibuku dapat menemukan kita, subo?"
"Mungkin saja, karena mereka orang-orang yang lihai. Dan kalau terjadi hal itu, tentu mereka akan memaksa untuk membawamu pergi, dan aku akan mempertahankan. Kalau sudah begitu, aku hanya mengharapkan kebijaksanaanmu dan kejujuranmu juga kesetiaanmu akan janji dan sumpahmu."
"Jangan khawatir, subo" kata anak perempuan itu dengan sikap gagah. "Aku sudah berjanji dan bagiku, janji adalah kehormatan. Seorang gagah lebih mengutamakan kehormatan daripada nyawa. Dan aku yakin bahwa ayah dan ibu juga tidak ingin melihat anak mereka menjadi seorang pengkhianat yang melanggar sumpahnya sendiri!"
"Bagus, anakku yang baik, muridku yang hebat kelak engkau akan amat berguna bagiku. Aku girang sekali telah menolongmu, Hong Li. Mari ikutlah aku, kita pulang."
"Pulang?" Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
542 "Ya, pulang." Sin-kiam Mo-li tersenyum. "Kau kira aku tidak mempunyai tempat tinggal"
Marilah, dan engkau akan merasa senang sekali tinggal di rumahku, eh, sekarang menjadi rumah kita."
Akan tetapi, ternyata bahwa mereka harus melakukan perjalanan sampai puluhan hari untuk dapat tiba di tempat tinggal Sin-kiam Mo-li, karena tempat itu berada di tepi Sungai Cin-sa di kaki Pegunungan Heng-tuan, di tapal batas sebelah barat dari Propinsi Secuan!
*** Dengan melakukan perjalanan yang cepat dan jarang berhenti, Kao Cin Liong dan Suma Hui akhir-nya tiba juga di Lhasa, di kota terbesar daerah Tibet itu, tempat yang menjadi pusat dari pemerintahan para Dalai Lama, dan juga menjadi pusat para pende-ta Lama. Tempat ini dianggap keramat oleh para pendeta Lama dan oleh seluruh rakyat di Tibet.
Kao Cin Liong adalah seorang yang sudah banyak pengalaman. Ketika dia menjadi seorang panglima kerajaan, dia pernah memimpin pasukan sampai di Tibet, dan sebagai seorang panglima, dia amat dikenal di jaman itu. Maka, kini dia memasuki daerah Tibet tanpa merasa asing. Isterinya, Suma Hui yang belum pernah melihat kota Lhasa, memandang penuh kagum dan diam-diam merasa khawatir. Tembok kota Lha-sa demikian kokoh kuat, dan istana yang menjadi pu-sat para pendeta Lama itu demikian megah, besar dan indah. Kalau puterinya berada di dalam istana itu, bagaimana ia akan mampu mengeluarkannya" Akan tetapi.
ketenangan suaminya menimbulkan kembali kepercayaan diri dan keyakinannya bahwa mereka berdua pasti akan dapat menemukan dan membawa pulang puteri mereka tercinta, anak tung-gal mereka.
Para pendeta Lama yang menjadi pimpinan di si-tu, banyak di antaranya yang mengenal bekas Panglima Kao Cin Liong dan merekapun menyambut kun-jungan suami isteri itu dengan hormat dan ramah. -Suami isteri pendekar itu tidak mau menceritakan kehilangan anak mereka, dan mereka hanya mengata-kan bahwa mereka mempunyai urusan pribadi yang penting dengan seorang pendeta Lama berjuluk Ang I Lama.
"Mohon petunjuk para suhu apakah di sini terdapat seorang suhu yang berjuluk Ang I Lama, karena kami berdua sengaja datang dari jauh untuk mencari-nya, untuk suatu urusan pribadi yang penting antara suhu Ang I Lama dan kami," demikian antara lain Kao Cin Liong menyatakan keperluan kunjungan mereka di tempat suci itu.
"Omitohud.... aneh sekali kalau ada tamu mencari Ang I Lama untuk urusan pribadi, karena setahu kami, sudah hampir dua tahun Ang I Lama mengasingkan diri dan tidak pernah berurusan de-ugan dunia luar. Akan tetapi kalau taihiap ingin mengetahui tempat tinggalnya, Ang I Lama kini berada di dalam guha di puncak Bukit Biruang Putih, tidak jauh dari sini."
Suma Hui tidak dapat menahan keinginan tahu-nya. Setelah suaminya mengucapkan terima kasih atas keterangan itu, iapun bertanya, "Cu-wi losuhu, kalau tidak salah, suhu Sai-cu Lama juga berasal dari
sini, bukan?" Mendengar pertanyaan ini, para pendeta Lama saling pandang dan muka mereka menjadi kemerahan. "Omitohud....!" Seorang di antara mereka menjura ke arah Suma Hui. "Semoga Sang Buddha mengampuni kami. Memang benar, lihiap, Sai-cu Lama berasal dari sini. Akan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
543 tetapi dia murtad dan untung ada Tiong Khi Hwesio yang menolong kami dan
menundukkannya. Sahabat kami Tiong Khi Hwesio sudah mengunjungi kami beberapa hari yang lalu dan sudah menceritakan bahwa dia berhasil melenyapkan Sai-cu Lama berkat bantuan para pendekar dan di antara mereka yang membantu untuk membas-mi komplotannya termasuk ji-wi. Karena itu, dalam kesempatan ini, pinceng mewakili saudara kami sekalian menghaturkan terima kasih kepada ji-wi."
Kao Cin Liong dan isterinya cepat membalas penghormatan itu, dan bekas panglima itu merasa tidak enak melihat sikap para pendeta Lama yang menjadi kikuk ketika disebut nama Sai-cu Lama yang dianggap mengotorkan nama para pendeta Lama di Tibet.
"Harap cuwi losuhu memaafkan kami. Isteriku menyebut nama Sai-cu Lama karena kami menduga bahwa ada hubungan antara Sai-cu Lama dan Ang I Lama." Dengan ucapan ini, Cin Liong sengaja memancing keterangan tentang kedua orang pendeta Lama itu.
"Omitohud.... dugaan ji-wi memang tepat sekali, Ang I Lama adalah sute dari mendiang Sai-cu Lama, akan tetapi biarpun mereka itu saudara seperguruan, sungguh perbedaan antara mereka seperti bumi dengan langit. Sai-cu Lama menyeleweng dari pada kebenaran dan tersesat mengingkari ajaran-ajaran agama, sebaliknya Ang I Lama adalah seorang yang benar-benar taat kepada agama, bahkan selalu prihatin dan bertapa untuk mencari penerangan dan kedamaian."
Akan tetapi, keterangan bahwa ada hubungan saudara seperguruan antara kedua pendeta Lama itu, menambah keyakinan hati suami isteri itu bahwa mereka telah menemukan jejak yang benar. Tentu Ang I Lama menculik puteri mereka karena hendak mem-balas dendam atas kematian suhengnya, Sai-cu Lama pikir mereka. Mereka tahu bahwa dendam dapat saja membutakan mata batin manusia, dan bukan tidak mungkin kalau Ang I Lama yang katanya tekun bertapa itu tidak dapat menahan dendam sakit hati-nya.
Setelah memperoleh keterangan dan petunjuk tentang tempat tinggal atau tempat bertapa Ang I Lama, suami isteri pendekar itu lalu menghaturkan terima kasih dan meninggalkan istana para pendeta Lama di kota Lhasa itu, dan dengan cepat mereka mendaki bukit yang bernama Bukit Biruang Putih karena dari jauh memang bentuknya seperti seekor biruang. Di musim dingin, puncak itu diliputi salju sehingga nampak seperti seekor biruang putih, dan di musim panas, masih nampak putih karena puncaknya adalah batu kapur yang gundul.
Hari telah siang ketika suami isteri itu akhirnya tiba di depan guha besar, sebuah guha di puncak bu-kit kapur dan guha itu sudah memakai pintu kayu buatan manusia. Sunyi sekali di situ dan pemandang-an alam dari depan guha memang amat indahnya. Dari situ nampak kota Lhasa, bahkan istana para pendeta Lama juga nampak dari situ, kelihatan seperti mainan saja, namun amat indahnya. Suma Hui ber-keringat karena ketegangan hatinya. Ia membayangkan akan dapat menemukan puterinya di dalam gua itu, maka hatinya tegang bukan main. Masih selamat-kah puterinya" Dan akan mampukah ia dan suaminya merampas kembali puteri mereka kembali"
Menurutkan dorongan hatinya, ingin Suma Hui menerjang dan menghancurkan pintu guha itu, namun suaminya yang maklum akan keadaan hati isterinya, menggeleng kepalanya memberi isyarat, lalu dia sen-diri mendekati pintu kayu yang tertutup dan berkata dengan suara menghormat tidak keras akan tetapi karena dia mengerahkan khi-kangnya, maka suara itu dapat menembus daun pintu ke dalam guha.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
544 "Locianpwe Ang I Lama, maafkan kalau kami datangmengganggu . Kami suami isteri Kao Cin Liong dan Suma Hui dari jauh di timur datang ber-kunjung untuk bertemu dan bicara dengan locian-pwe!"
Keheningan menjawab suara Kao Cin Liong. Suami isteri itu menanti sampai beberapa lama, namun tidak ada jawaban. Mereka saling pandang dan ke-marahan nampak di wajah Suma Hui. Wanita ini melangkah mendekati pintu dan tanpa dapat dicegah suaminya lagi, ia menggedor pintu itu.
"Dor-dor-dorrr....!" Daun pintu itu tergun-cang, lalu ia berteriak, suaranya nyaring sekali.
"Ang I Lama, engkau telah menculik puteri kami! Keluarlah dan kembalikan puteri kami kepada kami atau aku akan menghancurkan daun pintu guha ini!"
Kini segera terdengar suara dari balik pintu itu, Omitohud.... apakah dosa pinceng maka hari ini kejatuhan fitnah yang keji ini....?"
Daun pintu terbuka dari dalam dan muncullah seorang kakek yang berpakaian serba kuning dengan jubah lebar berwarna merah. Kakek ini usianya seki-tar enampuluh tahun, bertubuh tinggi kurus, dengan sepasang mata yang tajam namun lembut sinarnya, dan wajahnya yang nampak sabar dan tenang. Dengan langkah lambat dia keluar pintu guha dan menghadapi suami isteri itu dengan sinar mata mengan-dung keheranan. Sejenak matanya memandang kepada suami isteri itu penuh selidik, kemudian dia berkata lagi.
"Omitohud, tadi pinceng mendengar bahwa ji-wi adalah Panglima Kao Cin Liong dan isterinya Suma Hui. Benarkah itu?"
"Saya bukan panglima lagi, locianpwe. Benar saya adalah Kao Cin Liong dan ini isteriku Suma Hui. Kami datang dari Pao-teng, sengaja untuk mencari dan menemui locianpwe.
"Omitohud.... sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagi pinceng. Sayang pinceng tidak dapat menyambut dengan kehormatan, akan tetapi, ada urusan penting apakah maka ji-wi jauh-jauh datang mencari pinceng?"
Suma Hui sudah tidak sabar lagi. Tadi ketika kakek itu muncul, ia mengharapkan kakek itu akan disertai Hong Li. Akan tetapi anak itu tidak nampak, maka ia merasa khawatir sekali.
"Bukankah engkau yang berjuluk Ang I Lama?" tiba-tiba ia bertanya dengan sikap ketus.
Sikapnya ini membuat kakek itu memandang heran, akan tetapi dengan lembut dia
mengangguk. "Benar sekali."
"Kalau begitu, jangan berpura-pura lagi dan cepat bawa keluar anak kami Kao Hong Li dan serahkan kembali kepada kami!"
Kini kakek itu memandang kepada mereka berdua dengan sinar mata penuh keheranan, dan melihat betapa mereka berdua juga memandang kepadanya penuh selidik.
"Omitohud, jadi yang pinceng dengar tadi bukan hanya mimpi" Semula pinceng mendengar bahwa ji-wi datang untuk bicara dan karena sudah bertahun-tahun pinceng bertapa, pinceng Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
545 terpaksa tidak mela-yani. Lalu terdengar fitnah keji itu yang memaksa pinceng keluar.
Apakah artinya ini" Pinceng sama sekali tidak pernah menculik puteri ji-wi atau puteri siapapun juga. Bahkan selama dua tahun ini baru se-karanglah pinceng keluar dari dalam guha ini."
Suami isteri itu saling pandang dengan alis berkerut. Sungguh tidak mereka sangka mereka akan mendengar jawaban seperti ini. Sama sekali tidak menyenangkan! Kalau benar bukan pendeta Lama ini yang menculik Hong Li, berarti mereka telah melakukan perjalanan jauh dengan sia-sia. Bukan itu saja, juga harapan mereka untuk dapat menemukan kembali anak mereka di situ menjadi buyar, dan di samping itu mereka akan meraba-raba di dalam kegelapan karena tidak tahu siapa penculik itu dan di mana adanya puteri mereka.
"Ang I Lama, tak perlu engkau membohongi kami! Mana mungkin ada orang tinggal di dalam guha selama bertahun-tahun, tanpa makan dan minum. Kalauengkau tidak pernah keluar, berarti engkau tidak pernah makan minum dan hal itu saja membuk-tikan
kebohonganmu!" teriak Suma Hui tak sabar, ngeri membayangkan bahwa benar-benar
pendeta ini bukan penculik Hong Li.
"Omitohud, selama hidup pinceng tidak pernah berbohong. Lihat, lihiap, setiap dua tiga hari sekali ada murid Lama yang datang mengantar makanan dan minuman, ditaruhnya di luar daun pintu. Itu kiriman pagi tadi belum kuambil. Biasanya, pinceng hanya mengeluarkan tangan untuk mengambil makanan atau minuman sekedar untuk menghidupkan badan ini."
Pendeta Lama itu menuding ke dekat pintu, dan benar saja. Di situ nampak sebuah baki terisi beberapa potong roti, madu dan air dalam botol.
Kao Cin Liong menjura. "Maaf, locianpwe, ha-rap diketahui bahwa kami berdua berada dalam kea-daan penuh kekhawatiran dan kedukaan. Anak tunggal kami diculik orang yang menurut anak-anak yang menyaksikannya, penculik itu adalah seorang pendeta berjubah merah yang mengaku bernama Ang I Lama, dan menurut keterangan mereka, bentuk muka dan tubuhnya cocok dengan keadaan locianpwe. Penculik itu berilmu tinggi dan
mempergunakan ilmu sihir ketika melarikan anak kami. Mendengar nama itu kami jauh-jauh dari Pao-teng, melakukan perjalanan berbulan-bulan, menyusul ke sini. Setelah bertemu dengan locianpwe dengan penuh harapan akan bertemu dengan anak kami, tentu saja jawaban locianpwe itu mengecewakan sekali dan kami tidak dapat percaya begitu saja."
Kakek pendeta itu mengangguk-angguk. "Pinceng dapat mengerti dan dapat merasakan kecemasan ji-wi. Dari rumah yang amat jauh ji-wi membawa harapan untuk dapat
menemukan kembali puteri ji-wi di sini, tentu saja ji-wi tidak mau menerima begitu saja kenyataan yang akan meghancurkan harapan ji-wi. Nah, pinceng persilahkan ji-wi untuk menggeledah ke dalam guha ini dan mencari puteri atau jejak puteri ji-wi.
"Biar aku yang memeriksa ke dalam dan kau menjaga di sini!" kata Suma Hui mendahului suaminya. Cin Liong tahu bahwa isterinya masih belum percaya kepada Ang I Lama dan takut kalau-kalau pendeta itu melarikan diri, maka diapun mengangguk.
Dengan hati penuh ketegangan, juga harapan, Suma Hui lalu memasuki guha itu. Sebuah guha yang cukup lebar dan di dalamnya bersih sekali, mendapat-kan cukup hawa, bukan hanya dari pintu yang kini terbuka, juga dari lubang-lubang di bagian atas yang memasukkan hawa dan cahaya matahari. Lantainya dari batu yang halus dan bersih, dan di dalamnya hanya terdapat sebuah dipan kayu bertilam kasur tipis, kitab-kitab agama, tasbeh dan alat-alat Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
546 sembahyang. Suma Hui meneliti guha itu penuh perhatian, bahkan memeriksa keadaan lantai dengan teliti sekali, mencari jejak puterinya, juga mencari kalau-kalau di situ terdapat alat-alat rahasia dan tempat tersembunyi. Namun, ia tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, juga tidak menemukan jejak atau tanda-tanda bahwa puterinya pernah berada di tempat itu.
Saking kecewa dan bingungnya, kedua mata Suma Hui basah air mata ketika ia keluar dari dalam guha itu. Bagaikan seekor harimau betina kehilangan anaknya, ia meng-hadapi Ang I Lama dengan sikap marah dan ia membentak.
"Ang I Lama, aku tidak menemukan anakku di dalam guha. Tentu engkau telah
menyembunyikan di tempat lain. Hayo kau mengaku dan kembalikan anakku, kalau tidak aku akan memaksamu agar meng-aku!"
"Omitohud.... pinceng tidak pernah mencu-lik puteri ji-wi dan pinceng tidak berbohong.
Lihiap sudah menggeledah guha pinceng. Lalu apa lagi yang harus pinceng lakukan untuk meyakinkan hati ji-wi bahwa pinceng tidak pernah menculik puteri ji-wi?"
"Semua saksi mengatakan bahwa engkaulah penculiknya!" Suma Hui membentak marah. Ia mengharapkan sekali bahwa kakek inilah penculiknya, ka-rena kalau bukan kakek ini, lalu siapa dan ke mana ia harus mencari anaknya" Perjalanan dari rumahnya ke Tibet merupakan perjalanan yang amat jauh dan sukar, dan ia tidak mau melihat perjalanannya ini sia-sia belaka.
"Omitohud...., sungguh luar biasa sekali. Semua saksi mengatakan bahwa pinceng yang melakukan penculikan itu. Akan tetapi pinceng tidak melaku-kannya. Mengapa pinceng harus melakukan perbuatan jahat itu" Pinceng tidak pernah bermusuhan dengan siapapun, apa lagi dengan ji-wi," kata kakek itu sambil menarik napas panjang.
"Maafkan kami, locianpwe," kata Cin Liong de-ngan sikap yang masih hormat. "Bukankah locianpwe masih saudara seperguruan dari mendiang Sai-cu La-ma?"
"Mendiang....?" Wajah pendeta itu nampak terheran.
"Dia telah tewas ketika berkomplot dengan pengkhianat dan mengacau di kota raja, dan kami membantu para pendekar yang menghancurkan komplotannya. Nah, hal ini agaknya
merupakan alasan yang cukup kuat andaikata locianpwe melakukan balas-dendam dengan menculik anak kami."
"Omitohud....! Tentang kematian suheng Sai-cu Lama pun baru sekarang pinceng dengar, bagaimana pinceng dapat mendendam" Sungguh me-nyedihkan bahwa dia meninggal dunia dalam keada-an penuh dosa. Biarpun pinceng benar sutenya, namun di antara kami tidak pernah ada hubungan, lahir ataupun batin. Andaikata pinceng sudah tahu akan kematiannya sekalipun, pinceng tidak akan mendendam kepada siapapun juga. Hanya Thian yang
me-nentukan kematian seseorang. Ji-wi atau siapapun juga tidak mungkin dapat membunuh seseorang tanpa kehendak Thian, Hanya Thian yang membunuh atau menghidupkan
seseorang." "Tak perlu banyak alasan kosong! Siapa tidak tahu bahwa diantara para Lama jubah marah terdapat banyak yang menyeleweng" Jubah pendetamu, kepala gundulmu, dan pertapaanmu hanya untuk ke-dok saja, menutupi semua keburukan yang dapat kau lakukan. Ang I Lama, para saksi itu adalah sekumpulan anak yang masih bersih dan jujur. Mereka tidak mungkin Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
547 membohong. Mereka melihat sendiri betapa penculik itu adalah seorang pendeta yang berjubah merah, dan pendeta itu mengaku bernama Ang I Lama! Engkau hendak menyangkal, terpaksa aku menggunakan kekerasan!" Berkata demikian, Suma Hui yang sudah menjadi marah sekali karena cemas tidak berhasil menemukan jejak puterinya, segera menggerakkan tubuhnya, menyerang dengan hebatnya.
Serangan wanita ini amat hebat dan dahsyat karena ia sedang marah dan ia merasa yakin bahwa kakek yang diserangnya inilah penculik puterinya, maka be-gitu menyerang ia sudah menggunakan sebuah jurus dari Cui beng Pat-ciang (Delapan Pukulan Pengejar Roh). Melihat datangnya serangan dahsyat ini, terde-ngar Ang I Lama mengeluh dan kakek inipun cepat meloncat ke belakang. Tubuh kakek ini demikian ringannya seolah-olah dia dapat terbang saja dan ketika pukulan itu datang dengan hawa pukulan yang amat kuat, tubuhnya terdorong ke belakang seperti sehelai kapas yang dipukul saja!
Melihat pukulan pertamanya tidak mengenai sa-saran, Suma Hui sudah menerjang lagi, melanjutkan-nya dengan serangan-serangan yang dahsyat, kini mempergunakan tenaga Hui-yang Sin-kang yang me-ngeluarkan hawa panas. Kakek itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mengatur langkah-langkah ajaib untuk menghindarkan semua pukulan dan ketika se-rangkaian pukulan itu lewat tanpa mengenai tubuhnya, diapun berseru dengan nada sedih.
"Omitohud.... apakah ilmu-ilmu dari kelu-arga Pulau Es hanya untuk membunuh orang yang tidak bersalah?"
Mendengar keluhan ini, Suma Hui merasa disindir, akan tetapi ia menjadi semakin marah dan penasaran.
"Singgg....! Nampak sinar berkelebat, sinar yang menyilaukan mata dari sepasang pedang yang sudah dicabut oleh wanita perkasa itu. "Ang I Lama, untuk menemukan kembali puteriku, aku berani menghadapi siapa saja dan membunuh siapa sa-ja!" bentaknya dan iapun kini menyerang dengan sepasang pedangnya!
Ang I Lama meloncat ke belakang dengan gerakan seperti seekor kera dan diapun mengeluh,
"Omitohud.... lihiap terlalu mendesak! Kegelisahan dan kedukaan telah membuat lihiap menjadi mata gelap."
Suma Hui tidak perduli dan mendesak terus dengan pedang-pedangnya. Kakek itu bersilat dengan gerakan-gerakan lucu, seperti seekor kera, akan tetapi dia berhasil berloncatan menyelinap di antara gulungan kedua sinar pedang. Memang Ang I Lama adalah seorang ahli silat Sin-kauw-kun (Silat Kera Sakti) yang amat lihai. Diapun memiliki sepa-sang pedang dan menjadi ahli bermain siang-kiam, akan tetapi menghadapi amukan Suma Hui, jelas bahwa dia selalu mengalah, dan tidak mau memper-gunakan sepasang pedangnya walaupun serangan-serangan wanita sakti itu amat berbahaya bagi keselamatan dirinya.
Menghadapi desakan sepasang pedang yang demi-kian lihainya seperti sepasang pedang di tangan Suma Hui yang memainkan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis), satu di antara il-mu-ilmu keluarga Pulau Es yang amat hebat, mana mungkin hanya mengelak saja" Untuk menyelamat-kan dirinya, terpaksa Ang I Lama harus membalas serangan lawan untuk membendung gelombang serangan Suma Hui. Akan tetapi dia
membalas bukan dengan maksud mencelakai lawan, melainkan sekedar menahan desakan lawan, dengan cengkeraman-cengke-raman keras untuk merampas pedang dan totokan-Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
548 totokan untuk melumpuhkan tubuh lawan.
Ketika sepasang pedang Suma Hui mendesak he-bat, tiba-tiba dengan gerakan aneh, tubuh kakek pen-deta itu menyelinap dan berada di belakang tubuh wanita itu, tangan kanannya menyambar ke arah teng-kuk untuk melakukan totokan. Akan tetapi, Suma Hui membalik dan pedangnya menyambar, membabat ke arah lengan yang diulur ke arah tengkuknya tadi. Sinar pedang berkelebat dan Ang I Lama tidak sem-pat lagi untuk mengelak dan walaupun dia sudah me-narik kembali lengannya, tetap saja pedang itu me-nyambar ke arah lengannya dan.... "crokkk....!" setengah dari lengan itu terbabat buntung!
"Hui-moi, jangan....!" Kao Cin Liong berseru kaget dan meloncat ke depan, memegang lengan iste-rinya dan menariknya lembut agar isterinya menahan dirinya.
"Omitohud, sungguh berbahaya....!" kata kakek itu dan diapun memandang lengan kanannya yang ternyata masih utuh, akan tetapi lengan bajunya yang buntung setengahnya. Kiranya kakek ini, da-lam saat terakhir ketika pedang membabat, masih sempat menarik lengannya di dalam lengan baju se-hingga yang terbabat buntung hanya lengan bajunya saja!
Melihat kenyataan itu, diam-diam Cin Liong terkejut dan girang. Girang karena ternyata isterinya tidak jadi membikin cacat pendeta yang belum tentu berdosa ini, dan terkejut karena maklum bahwa ka-kek ini sungguh sakti, sudah dapat membuat lengan-nya mulur dan mengkeret. Ilmu seperti itu dapat membuat lengan mulur sampai dua kali panjang le-ngan itu, dan dapat membuat lengan itu memendek sampai setengahnya, seperti yang dilakukan kakek ta-di untuk menyelamatkan lengannya dari babatan pe-dang.
Sudahlah, Hui-moi. Agaknya memang locianpwe ini tidak bersalah karena sejak tadi dia mengalah terus menghadapi serangan-seranganmu. Kalau bukan dia yang melakukan, berarti ada orang lain yang mem-pergunakan namanya. Aku yakin bahwa locianpwe Ang I Lama tidak akan tinggal diam saja namanya dipergunakan orang lain untuk melakukan kejahatan terhadap kita sehingga mendatangkan fitnah pada-nya.
Suma Hui juga mengerti bahwa agaknya memang bukan kakek ini yang menculik puterinya.
Kalau me-mang kakek ini memiliki dendam terhadap ia dan su-aminya, tentu kakek ini akan melakukan perlawanan, mengingat bahwa tingkat kepandaian kakek ini mung-kin lebih tinggi dari tingkatnya. Akan tetapi kakek ini selalu mengalah, tidak balas menyerang dan selalu bersikap lembut. Hal ini membuat hatinya menjadi semakin gelisah dan berduka. Tak terasa lagi, dua matanya menjadi basah dan air mata jatuh menuruni kedua pipinya yang agak pucat.
Wanita ini menderita kesengsaraan batin semenjak puterinya, yang meru-pakan anak tunggal itu, lenyap diculik orang.
"Habis, ke mana kita harus mencari anak kita....?" Suaranya terdengar demikian memelas, menggetar dan lirih, kedua matanya yang merah dan basah itu ditujukan kepada suaminya dengan pandang mata yang penuh duka sehingga suaminya merasa ter-haru dan kasihan sekali. Dia sendiri tidak tahu harus mencari ke mana, maka pertanyaan penuh kegelisah-an itupun tidak dapat dijawabnya.
"Omitohud.... kenapa ada orang tega me-misahkan ibu dari anaknya" Sungguh merupakan per-buatan yang amat kejam. Pinceng dapat mengerti akan kedukaan dan kebingungan hati ji-wi. Karena pinceng juga ingin sekali membantu, maka dapakah ji-wi memberitahukan, siapa kiranya musuh-musuh ji-wi yang paling besar?"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
549 Kao Cin Liong menggeleng kepala. "Kami me-rasa tidak mempunyai musuh-musuh,
locianpwe, akan tetapi tentu saja ada orang-orang yang membenci ka-mi di luar pengetahuan kami. Semenjak saya meng-undurkan diri dari jabatan saya sebagai panglima, kami hidup sebagai pedagang dan tidak mencampuri urusan kang-ouw. Kecuali ketika kami membantu para pendekar untuk menghancurkan komplotan Sai-cu Lama yang mengacau di kota raja."
"Nah, itulah, komplotan itulah. Siapakah di an-tara mereka selain mendiang suheng Sai-cu Lama" Siapakah yang menjadi kelompak pimpinan mereka?" Pendeta itu bertanya dan memandang dengan alis berkerut, penuh perhatian.
"Ada banyak di antara mereka, akan tetapi yang menjadi pimpinan terpenting hanya beberapa orang," jawab Kao Cin Liong sambil mengingat-ingat. "Me-reka adalah Raja Iblis Hitam, Iblis Akhirat, Iblis Mayat Hidup...."
"Sam Kwi (Tiga Iblis)?" tanya Ang I Lama.
"Benar, locianpwe. Sam Kwi bersama murid me-reka yang berjuluk Bi-kwi. Kemudian ada lagi Kim Hwa Nio-nio dan muridnya yang bernama Bhok Gun. Itulah mereka yang menjadi komplotan dan pembantu Sai-cu Lama."
Ang I Lama mengangguk-angguk, sepasang alis-nya berkerut dan tangan kirinya meraba-raba dagu-nya. "Apakah mereka semua tewas dalam pertempur-an itu?"
"Semua tewas, kecuali Bi kwi, murid Sam Kwi."
"Hemmm, apakah tidak mungkin ia yang melaku-kan penculikan itu?"
Cin Liong menggeleng kepala. "Kiranya tidak mungkin. Kalau ia mendendam, tentu tidak dituju-kan kepada kami, karena kami hanya membantu saja para pendekar yang
menghancurkan komplotan itu. Pula, tidak mungkin ia dapat menyamar sebagai locianpwe, karena ketika melakukan penculikan, menurut saksi, yaitu anak-anak yang menyaksikan, penculik itu menggunakan ilmu sihir dan lenyap diantara gumpalan asap tebal."
"Sihir" Hemmm.... Kakek itu lalu duduk bersila dan seperti orang bersamadhi, akan tetapi kulit di antara kedua alisnya berkerut, tanda bahwa dia tenggelam di dalam pemikiran yang mendalam.
Karena merasa tidak perlu lebih lama berada di tempat itu, Cin Liong lalu menggandeng tangan isterinya yang nampak sedih itu, meninggalkan tempat itu, menuruni bukit perlahan-lahan. Dia harus pulang dulu, baru dari rumah nanti mencari jejak puteri mereka. Juga, dia mengharapkan hasil penyelidikan Suma Ciang Bun, selain itu juga ingin mendengar bagaimana dengan pendapat orang tuanya di Istana Gurun Pasir yang dilapori oleh Gu Hong Beng, murid Suma Ciang Bun.
*** Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
550 Rumah itu tidak besar, merupakan rumah dengan dua buah kamar besar dan tiga kamar dibagian belakang yang menjadi tempat tinggal para pelayan, dua buah ruangan dan sebuah gudang. Kecil akan tetapi nampak indah sekali karena bangunannya dibuat secara artistik, gentengnya merah dan tembok rumah itu sendiri di cat hijau, hampir tersembunyi di antara daun-dan pohon yang besar. Pohon-pohon yang tumbuh disekeliling rumah itupun bukan pohon liar, melainkan diatur tumbuhnya,dan terdiri dari pohon-pohon yang asing dan jarang terdapat di daerah pegunungan Heng-tuan-san itu.
Rumah itu berdiri di lereng paling bawah, masih merupakan kaki pegunungan kaki
pegunungan Heng-tuan"san. Tanah disekeliling rumah itu subur sekali karena sungai Cin-sa mengalir di bagian belakang rumah itu, hanya beberapa ratus meter saja jauhnya. Karena daerah itu merupakan daerah tapal batas Propinsi Secuan, dan jauh dari jalan raya, maka keadaannya amat sunyi. Sunyi dan indah. Dusun terdekat berada sejauh belasan li dari situ.
Itulah tempat tinggal anita cantik yang berjuluk Sin-kiam Mo-li. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Sin-kiam Mo-li, wanita cantik yang bersikaphalus menarik itu, kini telah menjadi guru Kao Hong Li. Seperti kita ketahui, Sin-kiam Mo-li telh berhasil merampas Kao Hong Li dari tangan penculiknya yang mengaku bernama Ang I Lama, kemudian Hong Li berjanji untuk berguru dan mengaku ibu kepada Sin-kiam Mo-li, ikut bersama wanita itu selama lima tahun. Bahkan Hong Li telah disuruh bersumpah!
Ketika ia pertama kali tiba di tempat tinggal gurunya yang juga menjadi ibu angkatnya, Hong Li merasa gembira sekali, melihat betapa tempat itu amatlah indahnya. Rumah itu kecil mungil dan dari jauh, ketika mereka tiba di bawah kaki gunung, rumah itu nampak jelas, seperti rumah boneka yang berwarna-warni, dikelilingi pohon-pohon besar yang indah pula, juga diantara pohon-pohon itu terdapat banyak sekali tanaman bunga yang beraneka ragam dan warna. Akan tetapi, ketika mereka mulai mendaki bukit, rumah indah itu lenyap tertutup pohon-pohon yang amat banyak dan mereka mendaki melalui lorong-lorong yang amat sulit dikenal kembali karena bentuknya yang aneh-aneh dan banyak pula yang sama. Lorong-lorong di antara pohon-pohon besar itu juga sering-kali membelok, bahkan tikungannya ada pula yang seperti berbalik ke arah yang berlawanan. Di sana-sini lorong itu putus dan di depannya hanya nampak jurang lebar menganga, ada pula yang tiba-tiba saja di depan jalan terdapat kolam pasir yang bentuknya aneh, sama sekali tidak ditumbuhi tanaman. Ada pula lapangan rumpur yang hijau dan nampak segar, akan tetapi gurunya memperingatkan agar ia jangan menginjak lapangan rumput itu. Tadinya Hong Li mengira bahwa gurunya
melarangnya agar jangan merusak rumput hijau segar itu, akan tetapi kemudian gurunya memberi tahu bahwa menginjak tempat itu sama saja dengan bunuh diri! Banyak tempat, tempat yang tidak boleh diinjak, bahkan ada pula tanaman-tanaman yang memiliki bunga-bunga indah akan tetapi gurunya me-larang ia menyentuh bunga dan daun tanaman itu.
Tangannya akan melepuh keracunan, kata gurunya.
Sungguh tempat yang indah akan tetapi aneh dan menyeramkan. Akan tetapi setelah mereka tiba di rumah mungil itu, hati Hong Li tertarik dan ia senang sekali menerima sambutan tiga orang pelayan yang usianya rata-rata tigapuluh tahun, pelayan-pelayan wanita yang rata-rata berwajah cantik dan berpakaian bersih rapi.
"Ini adalah anak angkat, juga muridku," kata Sin-kiam Mo-li kepada mereka,
memperkenalkan Hong Li. Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
551 "Aih, siocia, engkau manis sekali!" kata yang berbaju merah.
"Siocia, yang baik, kami akan melayanimu dengan penuh kasih sayang!" kata yang berbaju hitam,
"Siocia, siapakah namamu?" tanya yang berbaju putih.
Hong Li memandang mereka seorang demi seo-rang dengan penuh perhatian. Mereka itu berwajah cantik, tidak seperti pelayan dari dusun, dan pakaian mereka yang rapi itu seperti pakaian seragam. Celana mereka baru, akan tetapi baju mereka, yang mempunyai potongan yang sama, berbeda warnanya. Rata-rata mereka bersikap ramah, akan tetapi yang
meng-herankan, sikap mereka lincah dan sepasang mata me-reka tajam, gerak-gerik mereka menunjukkan bahwa mereka bukanlah wanita-wanita bodoh yang lemah. Sebelum ia
menjawab, gurunya sudah bicara lagi.
"Hong Li, mereka inilah pelayan-pelayan yang juga menjadi teman kita dan penghuni tempat ini. Nama mereka mudah dilihat dari pakaian mereka. Ini Ang Nio (Nona Merah), dan ini Pek Nio (Nona Pu-tih) dan Hek Nio (Nona Hitam). Kalian ketahuilah bahwa siocia (nona) ini adalah Kao Hong Li. Ia belum tahu akan keadaan tempat tinggal kita, maka hari ini kalian ajaklah ia berjalan-jalan dan kalau aku be-lum memerintahkan, jangan membuka rahasia tentang tempat ini. Belum waktunya dan bisa berbahaya. Nah. aku mau beristirahat. Layanilah Hong Li seba-iknya." Setelah berkata demikian, Sim-kiam Mo-li meninggalkan muridnya yang segera diajak oleh tiga orang pelayan itu untuk melihat lihat keadaan di da-lam rumah itu. Ketika Hong Li diajak masuk ke da-lam, ia menjadi kagum dan juga bingung. Kagum karena rumah itu mewah dan memiliki perabot rumah yang serba indah dan mahal, penuh dengan lukisan--lukisan mahal, pot-pot bunga kuno yang antik, juga lantainya ditutup permadani tebal. Akan tetapi yang membuat ia merasa bingung adalah ketika ia harus berputar-putar untuk memeriksa kamar itu yang wa-laupun tidak berapa besar namun berlika-liku dan memiliki lorong-lorong di antara pot-pot bunga dan perabot rumah. Gurunya mendiami kamar pertama dan ia memperoleh kamar ke dua yang selama ini di-biarkan kosong, sedangkan tiga orang pelayan itu tinggal di kamar belakang. Anehnya, ia harus ditun-tun oleh Ang Nio ketika melihat-lihat di dalam rumah itu.
"Jangan pandang ringan keadaan dalam rumah ini, nona. Tanpa petunjuk kami, nona takkan dapat me-masuki kamar sendiri," kata Ang Nio melihat beta-pa Hong Li mengerutkan alisnya karena harus ditun-tun.
"Ah, masa" Kenapa tidak bisa?"
"Keadaan di dalam rumah ini telah diatur oleh toanio (nyonya besar) menurutkan garis-garis pat-kwa (segi delapan), penuh dengan alat-alat rahasia sehing-ga kalau ada orang luar berani masuk, selain dia ter-ancam oleh jebakan-jebakan, juga sukar baginya untuk mencari jalan keluar."
Hong Li tidak percaya. Tiga orang pelayan itu lalu membiarkan ia mencari jalan sendiri dan benar saja! Jalan yang diambilnya itu buntu, kalau tidak terhalang meja kursi, pot bunga, tentu menjadi tertutup oleh sebuah pintu yang ketika dibukanya membawanya ke bagian lain yang sama sekali tidak disangkanya. Ia mencoba untuk mencapai pintu kamar yang diberikan kepadanya, namun selalu gagal! Dan ketika ia melihat sebuah kursi besar meng-halang antara ia dan pintu itu, ia menggeser kursi itu dengan hati girang. Kalau kursi itu disingkirkan, tentu Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
552 ia dapat langsung saja menghampiri pintu itu dan berarti menang! Akan tetapi, begitu kursi dige-ser, terdengar suara dan tahu-tahu dirinya telah ber-ada dalam sebuah kurungan besi!
Tiga orang pela-yan itu menghampiri sambil tertawa-tawa.
"Sudahlah, nona," kata Pek Nio sambil mengge-rakkan alat rahasia dan kurungan itupun terlipat dan lenyap, sedangkan kursi kembali ke tempatnya semula. "Masih untung engkau terjebak dalam kurungan, ka-rena di sini terdapat jebakan yang lebih berbahaya lagi. Mari, kita tunjukkan semua rahasia dalam rumah ini agar engkau dapat bergerak dengan bebas."
Mau tidak mau Hong Li kini percaya bahwa rumah yang nampak mungil tidak berapa besar ini pe-nuh dengan alat rahasia daa diatur sedemikian rupa sehingga orang luar jangan harap akan dapat masuk, atau kalau sudah masuk jangan harap akan dapat ke-luar kembali. Tiga orang pelayan itu menerangkan sejelasnya dan Hong Li memang memiliki otak yang cerdas sekali. Dalam waktu sehari saja ia sudah me-ngenal semua rahasia di dalam rumah itu dan ia me-rasa kagum sekali, semakin kagum terhadap gurunya atau ibu angkatnya. Dari pengaturan rumah ini saja sudah dapat diketahui bahwa Sin-kiam Mo-li memang amat lihai.
Akan tetapi, ternyata bahwa jalan menuju ke ru-mah gurunya itupun tidak dapat didatangi orang se-cara mudah! Jalan itu mengandung rahasia yang lebih rumit dari pada rahasia di dalam rumah dan bi-arpun dari kaki gunung sudah dapat dilihat rumah mungil di lereng itu, jangan harap bagi orang luar untuk dapat menemukannya! Dia akan tersesat dan hanya berputar-putar di antara pohon-pohon, atau kalau dia salah langkah, dia akan tewas dalam keada-an mengerikan. Dan diam-diam Hong Li amat cemas, untuk dapat mengenal jalan naik turun dari rumah itu ke kaki gunung, ia harus mempelajarinya sampai lebih dari sepekan barulah ia dapat turun dan naik sendiri tanpa ditemani pelayan. Dan ternyata bahwa jalan dari kaki gunung menuju ke rumah itu melalui lorong di antara pohon-pohon yang diatur menurut garis-garis pat-kwa yang amat rumit.
Semenjak tiba di tempat itu bersama gurunya, Hong Li mulai dilatih ilmu silat oleh Sin-kiam Mo-li. Tidak begitu sukar bagi Sin-kiam Mo-li untuk meng-ajarkan ilmu-ilmunya yang tinggi karena gadis cilik itu memang sudah memiliki dasar yang baik sekali. Sebagai cucu keluarga pendekar besar, sejak kecil ia memang sudah mempelajari dasar-dapat ilmu silat tinggi, bahkan ilmu silatnya sudah demikian lihainya sehingga orang dewasa yang ilmu silatnya tanggung-tanggung saja jangan harap akan mampu menandingi-nya.
Hong Li merasa suka tinggal di tempat yang in-dah itu, apa lagi sikap gurunya dan tiga orang pelayan itupun amat ramah kepadanya. Hannya ada satu hal yang membuat ia merasa tidak suka, yaitu tempat itu jauh dari tetangga. Dusun terdekat letaknya belasan li dari situ. Kadang-kadang ia merasa kesepian dan merindukan kehadiran anak-anak lain yang dapat di-jadikan teman. Pada suatu pagi, Sin-kiam Mo-li memanggilnya. Hong Li cepat datang menghadap.
"Hong Li, mari kau ikut aku melihat tontonan yang mengasyikkan.
"Tontonan apakah, subo?" Hong Li bertanya dengan girang mendengar bahwa ia diajak nonton sesuatu yang mengasyikkan. Disangkanya bahwa gu-runya tentu akan mengajaknya ke sebuah dusun atau kota untuk nonton pertunjukan dan hal ini merupa-kan suatu perubahan yang segar dan penghibur kese-piannya. Akan tetapi gurunya mengajaknya menuju ke kebun belakang di mana terdapat sebuah menara dari bambu di mana subonya suka berdiam diri untuk berlatih siu-lian. Menara itu tidak mempunyai anak tangga, dan biasanya Sin-kiam Mo-li hanya memper-gunakan ilmunya, meloncat seperti burung terbang melayang menuju ke atas Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
553 menara di mana terdapat sebuah panggung tertutup dari papan.
"Subo, bagaimana aku dapat naik ke sana?" Hong Li bertanya ragu ketika subonya menunjuk ke menara itu dan mengatakan bahwa mereka akan "nonton" dari sana. Biarpun Hong Li sudah berla-tih gin-kang sejak kecil dan tubuhnya memiliki keri-nganan dan kegesitan yang mengagumkan, namun kalau disuruh meloncat setinggi itu, ia masih belum mampu.
"Kelak engkau harus bisa melompat ke atas. Sekarang marilah kubantu engkau!" Wanita cantik itu lalu menyambar lengan kiri Hong Li dan mereka lalu meloncat ke atas. Baru mencapai setengahnya lebih, tubuh Hong Li tentu akan meluncur turun kembali kalau saja gurunya tidak menariknya ke atas dan Hong Li merasa seperti terbang dan tahu-tahu mereka sudah tiba di depan pondok atau panggung tertutup di atas menara itu.
Dari tempat setinggi itu, Hong Li dapat melihat ke kaki gunung dan nampaklah lorong kecil berlika--liku yang menuju ke sebuah dusun di kaki gunung. Pernah ia datang ke dusun itu ketika ia berlatih me-lewati lorong yang penuh rahasia itu.
"Hong Li, lihat ke sana itu. Kita akan melihat tontonan yang menggembirakan!" kata wanita can-tik itu dengan suara gembira dan wajahnya berseri, sepasang matanya berkilauan tajam.
Hong Li yang sudah ingin bertanya tontonan apa yang dimaksud-kan subonya, kini
memandang ke arah yang ditunjuk subonya dan iapun dapat melihat mereka itu. Ada lima orang nampak kecil-kecil dari atas itu, dan mere-ka sedang merayap perlahan-lahan menuju ke rumah mereka. Kini lima orang itu telah tiba di luar daerah mereka, mulai berhadapan dengan pohon-pohon yang sudah diatur menjadi deretan pertama dari benteng pohon-pohon yang penuh rahasia. Nampak dari atas betapa lima orang itu seperti sedang berunding, ke-mudian berpencar mengambil jalan sendiri-sendiri. Agaknya mereka tahu bahwa jalan menuju ke rumah itu tidak mudah, maka mereka berpencar mencari jalan sendiri-sendiri.
Melihat gerakan mereka yang lincah dan ringan, mudah diduga bahwa lima orang itu bukan orang-orang sembarangan.
"Subo, siapakah mereka?" tanya Hong Li tanpa mengalihkan pandangannya dari lima orang itu. Dari tempat ia berdiri, mudah dilihat gerakan lima orang itu. Biarpun mereka berpencar, karena dari tempat tinggi itu mereka nampak kecil, maka pandang mata-nya dapat mengikuti gerakan mereka dengan jelas.
"Mereka adalah lima ekor tikus yang agaknya su-dah bosan hidup dan mencari mati di sini,"
jawab subonya dengan suara mengandung kegembiraan. Hong Li terkejut dan kini ia menoleh dan memandang kepada subonya. Wanita cantik itu nampaknya gem-bira sekali, sepasang matanya berseri mengikuti ge-rakan lima orang di bawah sana.
Pendekar Latah 4 Pembalesan Seri Oey Eng Si Burung Kenari Karya Siao Ping Kemelut Di Cakrabuana 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama