Ceritasilat Novel Online

Suling Naga 20

Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 20


584 mereka, hidup atau mati!" bentak Coa-ciangkun dan pengepungan itu diperketat. Sim Houw dan Bi Lan terkejut dan hendak membantah bahwa mereka bukanlah pemberontak. Namun mereka tahu bahwa akan sia-sia saja mereka membantah, dan pula, perlu apa membantah terhadap perwira ini" Kini nampak oleh mereka betapa para perwira dan perajurit Bangsa Han yang membantu kerajaan Mancu memang meru-pakan lawan yang cukup tangguh, juga
perajurit yang mengepung tempat itu amat banyak.
Hebat sekali sepak terjang Lie Tek San. Biarpun dia sudah terluka di tiga tempat dan baru saja diobati, kini dia mengamuk seperti harimau terluka. Berkali-kali mulutnya mengeluarkan teriakan-teriakan dah-syat, disambung kata-kata makian. Basmi semua anjing penjilat Mancu!"
Terseret oleh sepak terjang Lie Tek San yang penuh semangat, Sim Houw dan Bi Lan juga meng-amuk. Akan tetapi dua orang ini masih selalu berja-ga-jaga agar jangan sampai mereka membunuh lawan. Biarpun lawan amat banyak, namun berkat ilmu ke-pandaian mereka yang tinggi, terutama sekali Sim Houw, mereka mampu merobohkan lawan tanpa membunuh
mereka, hanya melukai saja. Dan para perajurit gentar sekali menghadapi sinar pedang Ban-tok-kiam dan sinar senjata pedang berbentuk suling Liong-siauw-kiam. Kalau sinar pedang Ban-tok-kiam amat mengerikan karena mengandung hawa yang kadang-kadang panas dan kadang-kadang dingin, maka sinar pedang Suling Naga itupun membuat mereka gentar karena setiap kali bertemu dengan senjata lawan, seperti halnya Ban-tok kiam, tentu senjata lawan patah atau terlempar!
Melihat kehebatan tiga orang itu yang membuat kepungan anak buahnya kocar-kacir, bahkan para perajurit menjadi gentar dan tidak ada yang berani mendekat, Coa-ciangkun terkejut bukan main. Kalau saja dia tahu bahwa Lie Tek San kini dibantu dua orang pendekar sakti itu, tentu tadi dia mengerahkan sedikitnya duaratus orang perajurit! Kini, untuk minta bala bantuan sudah tidak keburu lagi, maka diapun tidak mendesak anak buahnya ketika belasan orang pembantunya sudah roboh terluka dan tiga orang yang dikepung itu kini melarikan diri ke dalam kegelapan malam. Dia hanya mencatat dalam lapor-annya bahwa Sim Houw dan Can Bi Lan, dua nama yang sudah dikenalnya ketika terjadi bentrokan antara para pendekar dengan para pembantu Hou Seng dulu, kini telah menjadi pemberontak, bersekutu dengan Lie Tek San!
Sementara itu, Lie Tek San yang mengenal jalan mengajak dua orang pendekar yang telah menyelamat-kannya itu untuk melarikan diri ke sebuah perkam-pungan besar yang berada di balik bukit. Hari telah pagi ketika mereka tiba di perkampungan itu dan dari cara penduduk perkampungan itu berpakaian, tahulah Sim Houw bahwa itu adalah perkampungan suku Bangsa Hui! Sebagian besar kaum pria suku Bangsa Hui ini mengenakan sorban putih pada kepa-lanya dan semua orang Hui, hanya sebagian kecil saja yang tidak beragama Islam.
Mereka adalah sekelompok suku bangsa yang bahasanya hanya sedikit berbeda dengan Bangsa Han, bahkan segalanya tidak berbeda dengan Bangsa Han, kecuali agama mereka.
Suku Bangsa Hui tersebar di daerah utara yang amat luas, sampai ke sudut-sudut barat utara Propinsi Sin-kiang dan sudut timur utara Propinsi Mongol dan Mancuria, Suku Bangsa Hui terkenal sebagai peternak-peternak, pejagal-pejagal dan terkenal pula pandai membuat masakan yang lezat. Akan tetapi di samping itu, juga mereka terkenal sebagai pejuang-pejuang yang gagah dan gigih. Di mana-mana nampak mereka itu bangkit menentang
penjajah Mancu dan banyak pula yang membantu perjuangan Bangsa Han secara terbuka dalam usaha mengusir penjajah Mancu.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
585 Kedatangan Lie Tek San yang menjadi sahabat para penduduk perkampungan Hui itu
disambut me-riah dan setelah diperkenalkan, juga Sim Houw dan Bi Lan disambut dengan penuh kehormatan. Mereka bertiga dianggap sebagai tamu-tamu agung dan me-nerima hidangan yang serbaneka dan lezat dan ter-utama sekali daging domba. Diam-diam Sim Houw dan Bi Lan kagum sekali melihat mereka. Mereka adalah suku bangsa yang ramah, yang taat beragama, namun berjiwa patriotik dan gagah, walaupun dalam hanyak hal, terutama sekali kebudayaan dan pendidikan, mereka agak terbelakang dan kehidupan mereka sebagian besar sebagai kelompuk nomad yang suka berpindah-pindah mencari daerah yang subur.
Mereka bertiga disambut oleh para pimpinan suku bangsa Hui dan Lie Tek San bercakap-cakap dengan mereka, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Sim Houw dan Bi Lan. Yang dibicarakan adalah me-ngenai perjuangan dan dalam percakapan ini sepasang pendekar itu mendengar banyak sekali hal yang sebelumnya tak pernah mereka ketahui. Tentang kegagah an para pejuang, tentang perjuangan mereka yang mulia. Kalau tadinya Sim Houw dan Bi Lan menganggap para pejuang tiada bedanya dengan para pen-dekar, kini setelah mendengar keterangan Lie Tek San, mereka dapat melihat betapa terdapat perbedaan besar sekali.
"Perjuangan para pendekar dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, dalam membela kaum lemah tertindas dan menentang kejahatan, hanya memiliki daerah yang amat sempit.
Para pendekar hanya meng-urus masalah perorangan yang tidak begitu besar artinya bagi bangsa dan tak mungkin para pendekar menyelesaikan masalah perorangan yang teramat ba-nyak. Permusuhan dan dendam pribadi terjadi di mana-mana dan biarpun para pendekar turun tangan mempertahankan kebenaran dan keadilan namun ke-jahatan takkan pernah berakhir. Keadaan kacau-balau dan munculnya kejahatan itu terjadi karena kaadaan, maka yang perlu dirubah adalah keadaan itu sendiri. Perjuangan para pendekar hanya seperti usaha me-ngurangi atau melenyapkan rasa nyeri, akan tetapi sebaliknya usaha kami para pejuang adalah melenyap-kan penyakitnya!" demikian antara lain Lie Tek San berkata penuh semangat, dan para pemimpin suku Bangsa Hui mengangguk-angguk mengerti dan mereka memandang kepada Lie Tek San penuh kagum.
Akan tetapi Sim Houw dan terutama sekali Bi Lan, merasa biagung. "Lie-enghiong, apakah bedanya antara keduanya itu?" tanya Bi Lan penasaran ka-rena mendengar betapa tindakan para pendekar tidak dihargai seperti tindakan para pejuang.
Lie Tek San tersenyum. "Besar sekali bedanya. Keadaan masyarakat bagaikan orang sakit yang tentu saja menderita nyeri karena penyakitnya. Kalau hanya rasa nyeri itu saja yang dilenyapkan, tanpa meng-obati penyakitnya, maka rasa nyeri itu hanya akan lenyap untuk sementara saja dan akan muncul kem-bali. Sebaliknya, kalau penyakitnya yang diobati, begitu penyakitnya sembuh, otomatis rasa nyeri itu-pun akan lenyap. Bukankah demikian?"
"Apa hubungannya urusan penyakit dengan urus-an sepak terjang para pendekar?" Bi Lan mendesak karena masih belum mengerti.
"Can-lihiap (pendekar wanita Can), biarpun engkau memiliki ilmu kepandaian tinggi, agaknya belum begitu luas pengetahuanmu sehingga belum dapat menangkap apa yang kumaksudkan. Para pendekar bertindak menolong sesama manusia, berarti hanya mengurus masalah perorangan yang kecil saja dan selama hidupnya takkan pernah dia mampu
menyela-matkan seluruh manusia dari pada tekanan kejahatan. Akan tetapi para pejuang bertindak menolong negara, menolong bangsa dan rakyat pada umumnya. Rakyat kita Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
586 terjajah, tertindas dan hidup dalam kemelaratan dan kesengsaraan karena diperas dan ditindas oleh penjajah, dan dari keadaan inilah timbul banyak per-buatan yang menyeleweng dari pada kebenaran. Kami kaum pejuang bergerak untuk menyembuhkan penya-kit ini, penyakit tertindas penjajah. Sekali penjajah lenyap dan rakyat kita hidup merdeka, keadaan menjadi adil dan makmur, maka kejahatanpun akan berkurang atau lenyap dengan sendirinya. Kalau para pendekar hanya menolong perorangan, maka para pejuang menolong seluruh rakyat dan bangsa, bahkan menolong pula anak cucu bangsa kita. Mengertikah engkau sekarang, lihiap?"
Bi Lan menjadi bengong. Baru sekarang ini ia mendengar tentang persoalan yang demikian besarnya, menyangkut seluruh rakyat, menyangkut bangsa. Ia hanya mengangguk, pada hal masih banyak hal yang meragukan hatinya karena belum dapat dimengertinya benar.
"Karena itu, banyak sekali para pendekar yang dianggap sebagai pendekar besar dan budiman, na-mun sebenarnya mereka itu kosong, bahkan banyak pula yang menyeleweng tanpa mereka sadari karena mereka sama sekali tidak memperhatikan tentang kesengsaraan rakyat seluruhnya, hanya memperhati-kan kesengsaraan perorangan bahkan yang tidak ada artinya."
Sim Houw mengerutkan alisnya, merasa tidak setuju mendengar orang gagah ini mencela para pen-dekar besar yang budiman. "Maaf, Lie-enghiong, setahuku, para locianpwe yang gagah perkasa selalu hidup melalui jalan kebenaran. Siapa yang tidak mendengar akan sepak terjang yang gagah dari kelu-arga Pulau Es misalnya, atau keluarga Istana Gurun Pasir, juga keluarga besar Siauw-lim-pai dan lain-lainnya?"
"Keluarga Pulau Es?" Lie Tek San menarik napas panjang dan mengerutkan alisnya. "Siapa yang tidak tahu bahwa mereka adalah keluarga para pen-dekar yang gagah perkasa dan sakti"
Akan tetapi, semua orangpun tahu bahwa mereka itu condong untuk memihak penjajah Mancu! Bahkan di dalam darah mereka terdapat darah keluarga kerajaan Man-cu! Mana bisa mereka dibandingkan dengan para pejuang yang siap setiap saat mengorbankan nyawa untuk negara dan bangsa" Tidak, bagaimanapun ju-ga, aku tidak dapat mengagumi keluarga Pulau Es! Siapa tidak tahu betapa isteri pertama dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es adalah seorang puteri Mancu, bahkan seorang panglima terkenal yaitu Puteri Nirahai, dan puteri merekapun menjadi panglima terkenal yaitu Puteri Milana" Dan isterinya yang ke dua, yaitu Nenek Lulu juga seorang berdarah Mancu! Keturunan mereka memiliki darah Mancu dan beta-papun gagahnya mereka itu, tentu mereka setia kepa-da Mancu dan membela penjajah yang menindas rakyat kita. Bangsa Han dari suku-suku bangsa lain-nya!" Lie Tek San bicara penuh semangat. Sim Houw dan Bi Lan mendengarkan dengan mata terbe-lalak. Baru
sekarang mereka mendengar ada orang gagah yang terang-terangan berani mencela keluarga Pulau Es!
"Bagaimana dengan keluarga Istana Gusan Pa-sir?" Bi Lan bertanya, suaranya menantang, ingin melihat apakah pejuang itu berani mencela keluarga kedua gurunya.
"Hemmm, tidak banyak bedanya. Bukankah pu-tera tunggal mereka, pendekar Kao Cin Liong, pernah menjadi seorang panglima kerajaan Mancu?"
"Akan tetapi sekarang dia sudah mengundurkan diri!" Bi Lan membantah.
Lie Tek San mengangguk-angguk dan tersenyum. "Maaf, lihiap, bukan maksudku untuk secara mem-babi-buta mencela para pendekar. Mereka adalah orang-orang sakti yang Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
587 mengagumkan. Akan tetapi sayang bahwa mereka itu hanya tertarik oleh urusan pribadi.
Kalau saja orang-orang sakti seperti mereka itu memikirkan nasib rakyat dan bersama-sama maju menentang penjajah, tentu pemerintah penjajah akan segera dapat dihancurkan dan rakyat kita terbebas dari pada cengkeramannya! Memang benar bahwa akhirnya pendekar Kao Cin Liong mengundurkan diri, akan tetapi kapankah keluarga itu menentang penjajah"
Tidak pernah! Bahkan mereka itu, para pendekar yang gagah perkasa itu, baru-baru ini melakukan suatu kesalahan besar sekali ketika mereka membasmi kaki tangan pembesar Hou Seng!"
"Ahhh....!"!" Sim Houw dan Bi Lan terke-jut dan berbareng mereka mengeluarkan seruan kaget sambil menatap wajah pejuang itu. Adapun para pimpinan suku Bangsa Hui sejak tadi hanya mende-ngarkan saja, kadang-kadang mengangguk-angguk membenarkan ucapan Lie Tek San. "Kebetulan sekali kami berdua juga membantu para pendekar membas-mi kaki tangan Hou Seng yang amat jahat itu! Kena-pa perbuatan itu dianggap suatu kesalahan besar?"
Kembali pejuang itu menarik napas panjang. Mencela para pendekar bukan merupakan tugas yang menyenangkan, akan tetapi harus dia lakukan untuk membangkitkan semangat mereka yang dianggapnya melempem. "Dipandang secara umum, memang per-buatan menentang dan membasmi kaki tangan Hou Seng itu benar dan gagah, akan tetapi kalau dikait-kan dengan kepentingan perjuangan rakyat yang hen-dak membebaskan diri dari cengkeraman penjajah, maka perbuatan para pendekar itu sungguh merupa-kan suatu kesalahan besar yang amat merugikan perju-angan."
"Eh, bagaimana mungkin bisa demikian?" Bi Lan penasaran.
"Lihiap, kami sudah menyelidiki keadaan Hou Seng. Dia seorang pembesar yang korup dan beram-bisi, dia memelihara jagoan-jagoan yang terdiri dari datuk-datuk sesat yang lihai. Dia meryuruh jagoan-jagoannya untuk menculik dan membunuh para pembesar yang
menentangnya. Semua perbuatannya itu sungguh amat menguntungkan perjuangan rakyat.
Bukankah dengan demikian, kedudukan kerajaan Mancu menjadi semakin lemah" Hou Seng merupakan penyakit yang menggerogoti dari dalam, melemahkan pemerintah penjajah.
Biarpun aku pribadi amat membencinya, namun perbuatannya itu justeru menguntungkan kita, merusak pihak lawan. Seyogia-nya dia itu dibiarkan saja, biar dia merusak keduduk-an kerajaan penjajah, biar terjadi saling hantam di kalangan mereka sendiri. Akan tetapi, para pendekar muncul, membasmi kaki tangan Hou Seng, dan kea-daan di istana kerajaan menjadi aman dan bersih kembali, yang berarti memperkuat kerajaan dan kami para pejuang yang rugi. Di dalam diri Hou Seng kami seolah menemukan pembantu yang amat berharga.
Mengertikah sekarang ji-wi yang gagah?"
Sim Houw dan Bi Lan saling pandang dan mem-ang mereka mulai mengerti. Kiranya
perjuangan membutuhkan pemikiran yang mendalam. Perjuangan harus mengesampingkan perasaan dan urusan pribadi dan semua harus ditujukan demi kepentingan perju-angan rakyat itu sendiri. Betapa besar dan mulianya! Memang jauh lebih besar dari pada sikap dan tindakan para pendekar yang hanya memikirkan nasib orang yang dihadapinya dan ditolongnya. Betapa kecil bantuan kepada perorangan ini kalau dibandingkan degan perjuangan yang mengingat akan nasib rakyat jelata!
Akan tetapi, Sim Houw adalah seorang pendekar yang luas pengetahuannya dan dalam pemikirannya sudah banyak pula dia membaca dan merenungkan permasalahan dunia dan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
588 kehidupan manusia pada umumya, maka menghadapi perbandingan antara pejuang dan
pendekar, dia melihat perbedaan lain yang membuat para pendekar nampak lebih unggul baginya. Diapun melihat betapa Bi Lan amat tertarik dan dia tidak akan merasa heran kalau gadis yang masih muda itu lebih mudah terseret dan terjun dalam perjuangan dan untuk menyadarkan gadis itu, dia harus mengemukakan pendapatnya sekarang juga.
"Akan tetapi maafkan saya, Lie-enghiong. Saya juga melihat kesalahan besar sekali dilakukan orang dalam perjuangan, yang membuat tindakan pejuang-pejuang menjadi tidak murni lagi."
Lie Tek San memandang tajam, akan tetapi mu-lutnya tersenyum tanda kelapangan hatinya.
"Tidak ada gading yang tidak retak, tidak ada manusia tanpa cacat, Sim-taihiap. Akan tetapi apakah kesalahan itu?"
"Kalau sebagian besar perbuatan para pendekar menentang kejahatan dan menolong orang-orang lemah tertindas timbul ari dorongan hati pada saat dia melihat ketidakadilan itu, pada saat itu perdekar bertindak memberantas kejahatan tanpa pamrih, sebaliknya tindakan para pejuang merupakan tindakan yang telah direncanakan dan diatur untuk jangka waktu yang lama dan panjang. Dan biasanya, di dalam tindakan berencana ini, terdapat pamrih untuk diri sendiri walaupun nampaknya mereka berjuang untuk membela rakyat. Bukankah perjuangan itu bermaksud mengalahkan pemerintah penjajah yang lama dan bukankah perjuangan itu bercita-cita untuk menang dan kalau sudah menang, para pejuang tentu saja memperoleh kekuasaan dan kedudukan" Nah biasanya, walaupun ketika pejuang-pejuang itu masih melakukan perjuangan cita-cita mereka murni dan ditujukan untuk membebaskan rakyat jelata dari penindasan, akan tetapi kalau sudah memperoleh kemenangan dan para pejuang itu memperoleh kedudukan dan kekuasaan, mereka menjadi lupa diri. Mereka akan mabok kemenangan, mabok kekuasaan dan ha-nya menjejali diri sendiri dengan kesenangan yang mereka anggap sebagai hasil dan upah dari perjuang-an mereka."
Para pimpinan suku Bangsa Hui atu saling pan-dang, dan Lie Tek San mengangguk-angguk dan menarik napas panjang, wajahnya nampak berduka dan khawatir. "Ah, engkau telah membuka dan me-nelanjangi kekotoran manusia dalam perjuangan. Sim taihiap! Akan tetapi tak dapat disangkal akan kebenaran ucapanmu itu. Memang terdapat perbeda-an antara kemenangan pendekar dan kemenangan pejuang. Kemenangan pendekar terhadap musuhnya tidak mendatangkan suatu keuntungan maka tidak akan menyelewengkan hati pendekar itu, dan sebalik-nya kemenangan pejuang memang dapat mendatang-kan pahala besar yang mudah menyelewengkan hati manusia yang lemah. Akan tetapi, kiranya tidak semua manusia seperti itu. Dan kita akan menjadi manusia yang berbahagia kalau teringat akan kele-mahan itu sehingga penyakit itu tidak akan meng-hinggapi batin kita. Mudah-mudahan saja kita tidak akan seperti mereka yang kelak dimabok oleh keme-nangan dan kekuasaan."
Setelah bercakap-cakap dan berjanji kepada Lie Tek San bahwa mereka akan berpikir tentang perju-angan setelah menyelesaikan urusan pribadi mereka, Sim Houw dan Bi Lan
meninggalkan perkampungan suku Bangsa Hui dan mendapat petunjuk dari mereka tentang letak Istana Gurun Pasir yang mereka cari.
*** Istana Gurun Pasir terletak di tengah-tengah gurun pasir, di suatu daerah yang aneh karena di tengah-tengah gurun pasir yang luas itu terdapat se-bidang tanah yang subur! Istana tua itu Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
589 terpencil jauh dari pedusunan dan biarpun mereka lihai, Sim Houw dan Bi Lan tentu akan mengalami kesukaran menemukan tempat ini sungguhpun Bi Lan pernah mendapat
keterangan yang cukup jelas dari subonya, kalau saja mereka tidak memperoleh petunjuk dari suku Bangsa Hui.
Suami isteri sakti yang tinggal di istana tua dan kuno itu kini sudah menjadi seorang kakek dan nenek yang usianya sudah lanjut. Kakek Kao Kok Cu yang namanya pernah
menggemparkan dunia persilatan sebagai Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, kini telah menjadi seorang kakek yang usianya hampir delapan-puluh tahun. Walaupun dia masih nampak gagah dan sehat, namun dia sudah jarang sekali keluar dari istana tua itu, kecuali untuk keluar ke kebun merawat tanaman sayuran sambil menikmati hawa segar dan sinar matahari yang menyehatkan. Isterinya yang du-lu merupakan seorang pendekar wanita yang lihai, kinipun sudah menjadi seorang nenek berusia kurang lebih tujuhpuluh lima tahun.
Meteka berdua hidup di tempat terpencil dan sunyi itu. Masa gemilang kehidupan mereka telah lalu. Dulu mereka adalah sepasang suami isteri yang gagah perkasa dan disegani kawan ditakuti lawan, akan tetapi kini mereka hanya sepasang kakek dan nenek yang sudah menjauhkan diri dari keramaian dunia, makin hari semakin lemah dan tua dimakan usia dari dalam. Yang menemani mereka hanyalah sepasang suami isteri berusia empatpuluh tahun lebih, dari suku bangsa Mongol peranakan Han, yang menjadi pelayan dan membantu pekerjaan di kebun dan di rumah. Tanah di daerah itu memang subur, bahkan terdapat sumber airnya sehingga kehidupan empat orang ini cukup makan dari tumbuh-tumbuhan yang mereka tanam sendiri. Untuk keperluan barang lain, mereka dapat memperolehnya dari pedagang-peda-gang keliling di balik bukit, atau bertukar barang de-ngan penghuni dusun di balik bukit.
Agaknya suami isteri tua renta itu memang hanya menanti saat panggilan Tuhan saja dan mereka memi-lih tempat sunyi ini dari pada kota yang ramai. Ber-kali-kali putera tunggal mereka, Kao Cin Liong minta agar ayah dan ibu ini suka ikut tinggal bersama kelu-arganya di kota, namun kakek dan nenek itu tidak mau, sudah terlanjur betah tinggal di tempat yang sunyi itu. Biarpun keduanya sudah tua, untuk men-jaga kesehatan, mereka tidak perrah lupa untuk mela-tih otot-otot tubuh mereka di samping duduk bersa-madhi untuk mempersiapkan diri menghadapi kehi-dupan lain di alam baka.
Ketika mereka tiba di puncak bukit dan melihat istana tua itu di kejauhan, di tengah-tengah gurun pasir, mereka memandang kagum bukan main. Seperti dalam dongeng saja. Sebuah istana yang dari jauh nampak indah sekali, berdiri megah di tengah-tengah padang pasir yang luas dan mati. Dan di sekitar istana itu nampak nyata tumbuh-tumbuhan yang segar dan kehijauan. Benar-benar mentakjubkan.
"Mari kita cepat ke sana!" Bi Lan berteriak girang, membayangkan bahwa ia akan segera bertemu dengan kakek dan nenek yang telah menjadi guru-gu-runya dan yang telah
menyelamatkannya dari maut ketika ia keracunan oleh ilmu-ilmu yang sengaja dia-jarkan secara keliru dan menyeleweng oleh Bi-kwi, sucinya.
Sim Houw tersenyum, maklum akan ketegangan dan kegembiraan hati gadis itu. Dia sendiri merasa tegang, akan tetapi bukan gembira melainkan khawa-tir. Istana kuno itu demikian megah dan nama besar suami isteri sakti itu membuat dia merasa seolah-olah kedatangannya akan merupakan gangguan terhadap kehidupan mereka yang tenteram seperti kehidupan sepasang dewa. Dia khawatir kalau-kalau Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya akan merasa terganggu oleh kunjungannya dan dia merasa terasing. Namun dia menghibur diri Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
590 sendiri. Bagaimanapun juga, kunjungannya ini hanya untuk mengantar Bi Lan, dan bukankah Bi Lan merupakan murid dari mereka"
Saking gembiranya dan besar keinginannya untuk segera dapat bertemu dengan suhu dan subonya. Bi Lan mengerahkan tenaganya dan berlari cepat menuju ke istana itu, menuruni bukit. Kedua kakinya berge-rak cepat ketika berlari di atas pasir dan Sim Houw mengikutinya sambil tersenyum, terbawa oleh kegem-biraan Bi Lan. Sebentar saja Bi Lan sudah tiba di depan istana, di dalam pekarangan depan yang penuh dengan tanaman bunga beraneka ragam dan warna. Seorang laki-laki berbangsa Mongol dengan wajah di-ngin sedang mencangkul, membuangi rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar bunga-bunga itu.
Laki-laki itu adalah pelayan di istana itu dan dia sama sekali tidak menengok ketika Sim Houw dan Bi Lan memasuki pekarangan. Wajahnya tetap dingin seperti arca, sehingga Bi Lan yang tadinya ingin me-negurnya dan bertanya, tidak jadi membuka mulut, hanya memandang dengan penuh harapan ke arah pintu depan istana itu yang nampak terbuka sebagian.
Sinar matanya berseri gembira ketika yang diharapkannya muncul. Seorang kakek dan seorang ne-nek, keduanya sudah sangat tua akan tetapi wajah mereka masih nampak segar dan tubuh mereka masih lurus, muncul dari dalam pintu, melangkah ke luar dan berdiri di serambi.
"Suhu! Subo....!" Bi Lan berseru dan cepat ia lari naik ke atas serambi dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek dan nenek itu. Sim Houw melihat betapa kakek dan nenek itu berdiri tegak dengan sikap agung dan berwibawa, maka dia pun cepat mengikuti Bi Lan dan menjatuhkan diri berlutut pula di depan mereka.
"Suhu dan subo, teecu datang berkunjung," kata Bi Lan dengan suara mengandung
kegembiraan dan keharuan. "Suhu dan subo selama ini dalam sehat saja, bukan?"
Kakek dan nenek itu diam saja dan sampai bebe-rapa lamanya mereka hanya mengamati Bi Lan dan Sim Houw dengan penuh perhatian. Akhirnya terde-ngar nenek Wan Ceng berkata, suaranya lembut akan tetapi dingin dan tidak terkandung kegembiraan se-perti yang diharapkan Bi Lan.
"Bi Lan, keluarkan Ban-tok-kiam dan berikan kepadaku."
Diam-diam Bi Lan terkejut bukan main. Dahulu, biasanya sikap subonya terhadap dirinya amat ramah dan manis, bahkan terkandung rasa sayang di dalam kata-katanya kalau bicara kepadanya. Ia masih ingat benar. Akan tetapi kenapa kini di dalam suara subo-nya terkandung nada yang dingin dan seperti orang marah. Akan tetapi ia tidak membantah.
"Baik, subo." Dikeluarkannya Ban-tok-kiam dari dalam buntalan pakaiannya dan dengan kedua tangan, diserahkannya pedang pusaka itu kepada subonya. Ketika melakukan ini, ia menengadah dan memandang wajah subonya penuh perhatian. Kembali ia terkejut. Wajah subonya itu kelihatan tidak senang! Juga wajah Suhunya yang biasanya penuh kesabaran dan kecerahan agak muram.
Tanpa memandang lagi kepada muridnya, nenek Wan Ceng mencabut Ban-tok-kiam dari sarungnya, lalu mendekatkan pedang itu kepada hidungnya. Ia mengerutkan alisnya dan berkata dengan galak. "Hemm, Ban-tok-kiam ternoda darah yang masih baru! Can Bi Lan, Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
591 darah siapa yang menodai Ban-tok-kiam dan kenapa engkau mempergunakannya un-tuk membunuh orang?"
Gadis itu terkejut dan cepat memberi hormat. "Harap subo sudi mengampuni teecu.
Sesungguh-nya, belum lama ini teecu mempergunakan Ban-tok-kiam dalam perkelahian.
Teecu terpaksa mempergu-nakannya karena lawan berjumlah banyak dan cukup kuat."
"Hemm, masih ingatkah engkau apa pesanku ketika meminjamkan Ban-tok-kiam
kepadamu?" kembali suara nenek itu terdengar melengking tinggi tanda kemarahan hatinya.
"Teecu masih ingat, subo," kata Bi Lan, jantung-nya berdebar tegang dan merasa tidak enak, tidak mengira bahwa kunjungannya diterima dengan kema-rahan oleh suhu dan subonya, tidak seperti yang dibayangkannya semula, yaitu melihat suhu dan subo-nya menerimanya dengan gembira. "Subo memesan agar pedang pusaka itu teecu pergunakan untuk men-jaga diri dan hanya mempergunakan kalau keadaan terdesak dan teecu berada dalam bahaya."
"Hemm, bagus kalau kau masih ingat. Apakah ketika engkau mempergunakan Ban-tok-kiam baru-baru ini, engkau juga dalam ancaman bahaya?"
Ditanya demikian, Bi Lan menjadi bingung. Seje-nak ia melirik ke arah Sim Houw yang juga menun-dukkan muka dengan hati merasa tidak enak. "Maaf, subo. Teecu tidak terancam bahaya, akan tetapi ada orang lain yang terancam bahaya dan teecu harus me-nolongnya. Dia dikepung banyak anak buah pasukan yang dipimpin oleh perwira-perwira yang lihai. Akan tetapi teecu berani bersumpah bahwa Ban-tok-kiam tidak teecu pergunakan untuk membunuh, hauya melukai ringan saja...."
"Cukup. Nenek Wan Ceng membentak. "Biar hanya luka sedikit, kalau terkena Ban-tok-kiam, kau-kira akan dapat hidup mereka itu tanpa kauberi obat?"
Dengan penuh semangat karena mengharapkan agar sekali ini ia dibenarkan kedua gurunya, Bi Lan berkata, "Dia adalah seorang pendekar perkasa, seo-rang pejuang yang gagah berani bernama Lie Tek San. Teecu melihat dia dikeroyok di dekat Tembok Besar, maka teecu turun tangan membantunya."
"Lie Tek San pemberontak dari Siauw-lim-pai itu?" tanya Kao Kok Cu.
"Benar, suhu!" kata Bi Lan gembira karena gu-runya ternyata mengenal nama besar pejuang itu.
"Hemm, kiranya bocah ini malah sudah membantu pemberontak!" Tiba-tiba nenek Wan Ceng berseru marah, mengejutkan Bi Lan dan Sim Houw. "Dan orang muda ini tentulah yang bernama Sim Houw dan berjuluk Pendekar Suling Naga. Benarkah?"
Sim Houw terkejut dan cepat memberi hormat, lalu memandang wajah nenek itu.
"Benar sekali, locianpwe, saya bernama Sim Houw...."
"Dan berjuluk Pendekar Suling Naga?" nenek itu menyambung.
"Hal itu adalah karena saya suka mempergunakan senjata Pedang Suling Naga, maka orang-Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
592 orang menyebut saya demikian." Sim Houw mengaku.
"Bi Lan, semenjak kita saling berpisah, kami banyak mendengar hal-hal buruk tentang dirimu! Dan sekarang aku melihat kenyataan sendiri bahwa bukan saja engkau telah meninggalkan kesusilaan, akan tetapi juga engkau telah menggunakan Ban-tok-kiam unn-tuk membunuh banyak orang, dan engkau bahkan telah menjadi seorang pemberontak."
"Subo....!" Bi Lan berseru kaget.
"Diam!" bentak nenek Wan Ceng, kini tidak lagi menyembunyikan kemarahannya. "Kami dahulu telah keliru sangka terhadap dirimu, sehingga kami bersusah payah menyembuhkan dan mendidikmu. Kiranya engkau tetap menjadi murid yang baik dari Sam Kwi, tindakanmu memang seperti golongan hi-tam. Engkau membantu sucimu yang jahat itu, bahkan
membantunya berhadapan dengan keluarga Pulau Es yang gagah perkasa! Sungguh kami merasa ikut malu bukan main. Nah, katakan, tidak benarkah engkau dan Pendekar Suling Naga ini membantu su-cimu yang berjuluk Bi-kwi itu melakukan kejahatan dan melawan keluarga Pulau Es" Jawab!"
"Teecu memang membantu suci Bi-kwi, subo, akan tetapi.... teecu membantunya hanya karena suci kini sudah sadar dan menjadi orang baik. Teecu bukan membantu ia melakukan kejahatan, melainkan melindunginya dari ancaman. Teecu sama sekali tidak menggunakan Ban-tok-kiam untuk kejahatan itu...."
"Hemmm, karena keteledoranmu menjaga Ban-tok-kiam, pedang pusaka ini terjatuh ke tangan Sai-cu Lama sehingga Teng Siang In menjadi korban Ban-tok-kiam! Bi Lan, sungguh aku kecewa dan menye-sal sekali telah mengambilmu sebagai murid. Maka, sekarang engkau sudah datang dan membawa Ban-tok-kiam yang sudah ternoda, aku akan mencabut
kepan-daian yang pernah kuberikan kepadamu. Bersiaplah engkau!"
Nenek itu lalu menggerakkan tangannya untuk menotok ke arah pundak Bi Lan. Totokan itu meng-arah jalan darah pusat dekat leher dan kalau terkena tentu gadis itu akan menjadi lumpuh dan kehilangan semua tenaga dalamnya, bahkan mungkin membaha-yakan
keselamatan nyawanya. "Dukkk....!" Totokan nenek itu, yang tidak berani dielakkan atau ditangkis oleh Bi Lan, kini ter-tangkis oleh tangan Sim Houw. Dia tadi terkejut sekali dan melupakan segalanya, menangkis totokan maut itu untuk melindungi Bi Lan.
Nenek Wan Ceng melangkah mundur, matanya mencorong ditujukan kepada Sim Houw
yang masih berlutut. Tangkisan tadi menyadarkan nenek Wan Ceng betapa kuat tenaga sinkang yang dipergunakan pemuda itu untuk menangkisnya tadi. Ia menjadi marah, merasa ditantang.
"Sim Houw, Pendekar Suling Naga, berani engkau mencampuri urusan antara aku dan muridku sendiri. Apakah engkau menantangku?"
"Maaf, locianpwe, saya masih belum begitu gila untuk berani menantang locianpwe. Akan tetapi, ka-lau locianpwe berkeras untuk menghukumnya, biar-lah saya saja yang mewakilinya.
Hukumlah saya, locianpwe, karena selama ini ia hanya mengikuti jejak saya. Sayalah yang bertanggung jawab, sayalah yang bersalah dan locianpwe boleh menghukum atau mem-bunuh Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
593 saya, akan tetapi mohon bebaskan Lan-moi."
Sikap dan suara Sim Houw demikian tegas dan mantap sehingga nenek itu terbelalak tidak percaya. "Engkau menyerahkan diri untuk menggantikan Bi Lan, dan engkau tidak akan melawan?" tanyanya heran.
"Saya bersumpah tidak akan melawan. Hukumlah saya sebagai pengganti adik Bi Lan."
"Hemm, kalau begitu agaknya memang benar engkau yang menjadi biang keladinya sehingga murid kami menjadi jahat dan menyeleweng. Nah, terima-lah hukumannya!"
Akan tetapi sebelum nenek Wan Ceng melancar-kan pukulan yang lebih hebat dari pada tadi, tangannya telah disentuh suaminya. "Perlahan dulu, aku ingin bicara dengannya," kata kakek Kao Kok Cu yang lengan kirinya buntung itu. Wan Ceng meman-dang heran. Biasanya, suaminya sudah tidak mau perduli lagi dengan semua urusan dan kalau sekarang dia mencampuri, itu berarti bahwa suaminya sebenar-nya merasa sayang kepada Bi Lan, murid mereka yang hanya setahun berguru kepada mereka itu. Maka ia pun melangkah mundur, membiarkan suaminya yang agaknya akan menghadapi sendiri dua orang muda itu.
Kao Kok Cu melangkah perlahan ke depan. "Orang muda, bangkitlah, aku ingin bicara denga-nmu," katanya lirih, namun suaranya penuh wibawa yang memaksa Sim Houw untuk bangkit dan dengan sopan dia mengangkat muka memandang wajah kakek itu. Dia merasa kagum dan tunduk melihat seorang kakek yang biarpun lengan kirinya buntung dan
pa-kaiannya sederhana, namun penuh dengan wibawa yang amat kuat ini. Wajah kakek itu nampak bersih dan terang, sepasang matanya seperti mata naga saja, lembut namun mencorong penuh kekuatan.
"Pendekar Suling Naga Sim Houw, apamukah Can Bi Lan ini?"
Ditanya demikian, Sim Houw menjawab dengan sopan, "Bukan apa-apa, locianpwe, hanya teman -seperjalanan. Saya mengantarnya untuk mencari Istana Gurun Pasir karena ia hendak mengembalikan Ban-tok-kiam."
"Kalau bukan apa-apa, mengapa engkau hendak berkorban diri, rela dihukum bahkan dibunuh untuk menyelamatkannya?"
Wajah Sim Houw menjadi merah dan beberapa kali dia melirik ke arah Bi Lan yang masih menun-dukkan mukanya. Menghadapi seorang tokoh seperti Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir ini, tentu saja dia harus berterus terang. Berbohongpun tidak akan ada gunanya, dan dia berpendapat bahwa sekaranglah saatnya dia berterus terang kepada Bi Lan pula, sebelum terlambat, yaitu sebelum seorang di antara mereka atau keduanya tewas di tangan suami isteri yang sakti ini.
"Locianpwe, terus terang saja, saya rela berkorban nyawa untuk melindunginya karena saya amat mencintanya."
Mendengar ucapan itu, kakek dan nenek itu saling pandang, dan ketika mereka memandang kepada Bi Lan, mereka melihat betapa gadis itu makin menun-duk, akan tetapi tetap saja ada dua butir air mata mengalir turun di sepanjang pipi Bi Lan. Gadis itu merasa terharu bukan main mendengarkan pengakuan Sim Houw. Dia memang sudah dibisiki sucinya, Bi-kwi, Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
594 bahwa Sim Houw mencintanya, akan tetapi betapapun ia memancing pengakuan Sim Houw, selalu gagal dan orang muda itu tak pernah menyatakan cintanya melalui mulut. Baru sekarang Sim Houw membuat pengakuan, di depan suhu dan subonya, de-ngan suara lantang.
Hal ini mendatangkan kegem-biraan, kelegaan akan tetapi juga keharuan hatinya sehingga walaupun ia sudah menundukkan mukanya, ia tidak dapat menahan beberapa butir air mata mengalir turun.
Kakek itu lalu mundur selangkah dan dengan sepasang mata yang mencorong, dia
memperhatikan Sim Houw. Pandang matanya yang tajam dapat me-lihat bahwa orang muda ini benar-benar "berisi", mudah saja nampak oleh pandang matanya yang tajam dalam sikap dan pandang mata pemuda itu.
"Demi cinta engkau berani melindungi Bi Lan. Aku sudah pernah mendengar akan nama besarmu. Karena itu, ingin aku melihat apakah benar engkau mencintanya, dan sampai di mana pembelaanmu terhadap Bi Lan. Engkau majulah dan lawan aku, baru aku akan
mempertimbangkan nanti apakah engkau cukup berharga untuk melindungi Bi Lan. Nah, ber-siaplah untuk melayani aku bertanding, orang muda!"
Sim Houw mengerti. Sikap Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir ini tidaklah mengherankan karena ba-nyak tokoh persilatan yang sakti memiliki kelemahan terhadap ilmu silat. Agaknya kakek inipun ingin menguji kepandaiannya, dan kalau memang merasa bahwa dia memiliki kepandaian cukup, kakek itu tentu akan merasa sayang untuk membunuh atau mencabut kepandaiannya dan mungkin sekali mereka akan dapat mengampuni Bi Lan. Jadi nasib Bi Lan diten-tukan oleh perlawanannya terhadap kakek sakti itu.
"Baiklah, locianpwe, saya mentaati perintah!" berkata demikian, Sim Houw juga melangkah mun-dur sampai ke pekarangan yang luas di bawah seram-bi itu, dan dia sudah mencabut senjatanya, yaitu Liong-siauw-kiam atau Pedang Suling Naga, dipegang dengan tangan kanannya dan dia berdiri dengan sikap hormat menanti lawannya yang melangkah lambat menuruni anak tangga itu ke serambi.
Kini kedua orang itu sudah saling berhadapan, keduanya tidak memasang kuda-kuda, seperti halnya dua orang yang hendak bertanding ilmu silat. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa keduanya bukanlah ahli silat sembarangan dan tidak lagi memerlukan kuda-kuda yang khusus. Setiap posisi merupakan kuda-kuda yang baik bagi mereka, karena dari segala posisi mereka dapat saja melakukan gerakan silat, baik membela diri maupun menyerang.
Sejak tadi, Bi Lan sudah mengangkat muka dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. Ia tahu benar betapa lihainya kakek berlengan bun-tung sebelah itu. Bagaimanapun juga, Sim Houw pasti bukan lawannya dan timbul perasaan ngeri dan takut dalam hatinya.
Maka, melihat betapa keduanya sudah berdiri dan siap untuk saling serang, tiba-tiba ia mengeluarkan suara tertahan dan iapun meloncat turun dari keadaan berlutut tadi tahu-tahu ia sudah berdiri di antara Sim Houw dan Kao Kok Cu, lalu ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhunya sambil menangis!
"Suhu....ah, suhu.... jangan suhu me-nyerang Sim-toako. Lebih baik suhu bunuh saja teecu-.
Dia tentu akan tewas di tangan suhu dan teecu.... teecu tidak mungkin dapat hidup tanpa dia suhu. Teecu.... mencintanya.... ah, teecu mencinta-nya...." Bi Lan menangis tersedu-sedu di depan kaki kakek itu. Sim Houw berdiri dengan muka pucat dan kedua kakinya menggigil.
Benarkah apa yang didengarnya itu" Benarkah itu Bi Lan yang mengaku cinta padanya di Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
595 depan kakek itu" Tanpa malu-malu menyatakan cinta kepadanya, bahkan menangis karena khawatir dia akan terbunuh dalam pertandingan ini" Ingin dia merangkul Bi Lan, ingin dia menghiburnya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani melakukan hal itu di depan kakek dan nenek yang nampaknya masih marah itu.
"Siapa akan membunuh orang" Anak bodoh, minggirlah dan biarkan aku menguji kepandaian Pendekar Suling Naga. Setelah itu, kalian berdua boleh pergi," kata Kao Kok Cu. Mendengar ini, bukan main girangnya hati Bi Lan dan iapun cepat mundur dan berdiri di pinggiran untuk menonton. Ia percaya bahwa suhunya akan memegang teguh janjinya, tidak akan membunuh Sim Houw"
Tanpa disengaja, ia berdiri di dekat Wan Ceng yang juga sudah turun dari serambi, dan melihat subo-nya, Bi Lan berbisik, "Subo, teecu bersumpah bahwa kami berdua tidak pernah menyeleweng, tidak pernah melakukan kejahatan."
Nenek Wan Ceng melirik kepadanya dan menjawab lirih, suaranya masih dingin.
"Hemm, akan tetapi apa yang kami dengar ten-tang dirimu tidak seperti yang kaukatakan ini, Bi Lan."
"Subo, untuk setiap persoalan, teecu dapat menjawab dan memberi penjelasan. Setidaknya teecu berhak untuk membela diri, Subo, dari segala berita yang dijatuhkan kepada teecu."
"Sudahlah, nanti saja kita bicara lagi," kata nenek itu yang memperhatikan dua orang yang sudah mulai bergerak saling mendekati. Bi Lan memandang ke arah Sim Houw dari Kao Kok Cu yang sudah sa-ling mendekati, Sim Hoaw memegang sulingnya, kakek itu seperti biasa, tidak memegang senjata apa-pun kecuali kedua ujung lengannya. Melihat betapa gagahnya Sim Houw, dan betapa gurunya itu sudah nampak tua dan lemah, agak berkurang
kekhawatiran di hati Bi Lan. Ia tidak khawatir kalau Sim Houw akan melukai gurunya. Ia mengenal benar siapa Sim Houw, tahu benar akan kebaikan hati Sim Houw dan
kegagahannya. Jelas bahwa pendekar itu tidak akan mau melukai kakek yang tua renta itu.
"Engkau mulailah, orang muda!" kata Kao Kok Cu.
Tadinya Sim Houw merasa sungkan untuk men-dahului, akan tetapi mendengar ucapan kakek itu yang dianggapnya sebagai perintah, diapun lalu meng-gerakkan sulingnya dan berkata, "Baik, locianpwe, saya mulai menyerang!" Berkata demikian, suling itu berkelebat dan menotok ke arah pundak kiri yang tak berlengan itu!
Kakek itu tersenyum dan cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan pundaknya.
Orang muda ini cerdik sekali, pikirnya, agaknya dapat menduga bahwa justeru lengan baju kiri tanpa isi itulah yang berbahaya, maka dalam serangan pertama itu dia menyerang pundak kiri yang berarti melemahkan bagian yang berbahaya dan kuat! Sambil meloncat ke belakang, kaki kakek itu melayang dengan ten-dangan yang amat cepat dan tidak terduga datangnya dari samping menyerong ke arah lambung Sim Houw. Namun pemuda ini sudah dapat mengelak dengan baik, bahkan sulingnya sudah berkelebat lagi menotok ke arah lutut dari kaki yang menendang. Kao Kak Cu sudah menarik kembali kakinya dan kini tangan kanannya
menampar dengan amat dahsyatnya dari atas, mengarah ubun-ubun kepala Sim Houw dan hampir berbareng, ujung lengan baju kiri me-nyambar dari bawah, menotok ke arah ulu hati pe-muda itu dengan kecepatan luar biasa.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
596 Sim Houw terkejut, akan tetapi dia tidak menjadi gugup. Sudah diduganya bahwa kakek itu meru-pakan lawan yang amat lihai, maka sejak tadipun dia sudah tidak berani memandang ringan, selalu waspada dan siap siaga setiap urat syarafnya menghadapi se-rangan yang aneh dan hebat.
"Takkkk....!" Sulingnya menangkis tangan yang menampar dari atas, sedangkan totakan ujung lengan baju kiri itupun disampoknya dengan tangan kirinya sambil memutar tubuh.
Kini sulingnya ber-ubah menjadi sinar bergulung-gulung, mengeluarkan bunyi menderu lalu melengking seperti ditiup, men-datangkan angin keras dan hawa yang panas. Sim Houw mulai mengeluarkan kepandaiannya, memain-kan sulingnya dengan ilmu gabungan dari Koai-liong-kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman dan Ilmu Pedang Suling Emas). Kedua ilmu ini telah digabung dan menjadi ilmu yang dinamakan Liong-siauw-kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) dan cocok sekali dimainkan dengan pedang suling naga itu sebagai pengganti sepasang senjata yang sudah dikembalikannya kepada keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, yaitu sebatang suling emas dan sebatang pedang pusaka Koai-liong-kiam.
"Bagus....!" Nenek Wan Ceng sampai memuji dan memandang kagum sekali ketika ia
melihat sinar bergulung-gulung seperti seekor naga menga-muk di sekeliling tubuh suaminya.
Belum pernah ia melihat ilmu pedang sehebat itu, apa lagi ditambah dengan suara melengking seolah-olah ada orang yang sedang meniup suling dengan amat pandai dan mer-dunya.
Juga kakek Kao Kok Cu merasa kagum bukan main. Orang ini masih muda, akan tetapi telah me-nguasai ilmu yang demikian tingginya! Demikian he-batnya ilmu pedang yang dimainkan dengan suling- itu. Suaranya merupakan serangan tenaga khi-kang melalui suara,
menggetarkan jantung dan membuyar-kan pencurahan perhatian lawan, anginnya juga me-ngandung hawa panas yang dahsyat dan dapat mem-bingungkan lawan, sedangkan suling aneh itu dapat dipergunakan untuk menotok, akan tetapi juga membacok dan menusuk seperti pedang. Di tangan pe-muda itu, suling itu bergerak dengan gulungan sinar seperti seekor naga bermain-main di angkasa. Kakek- itu segera terdesak oleh sinar bergulung-gulung itu dan hanya karena dia telah memiliki ilmu yang ma-tang dan mendarah daging maka dia dapat mengenal atau menangkis dengan tepat pada saat terancam ba-haya. Beberapa kali usahanya untuk melilit pedang atau suling itu dengan ujung lengan baju kiri tak pernah berhasil karena begitu terlilit begitu pula terlepas seolah-olah benda berupa suling atau pedang itu licin seperti tubuh ular. Karena terdesak, kakek itu lalu merobah gerakannya dan kini dia mainkan ilmu silatnya yang paling ampuh, yaitu Sin-liong Ciang"hoat (Ilmu Tangan Naga Sakti).
Barulah keadaan mereka seimbang. Sim Houw terkejut bukan main ketika melihat ka-kek buntung itu memainkan ilmu silat yang luar biasa kuatnya. Dia merasa seperti menghadapi tembok benteng baja yang amat kuat, sukar ditembus oleh sinar senjatanya, bahkan setiap kali sulingnya bertemu dengan lengan atau lengan baju kiri, tangannya terasa panas dan lengannya tergetar. Bergidik dia membayangkan ada kekuatan sin-kang sehebat itu. Setelah lewat limapuluh jurus, tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara melengking dan tiba-tiba tubuhnya seperti rebah memanjang, seperti seekor naga saja, dan begitu bergerak, tangan kanannya me-ngeluarkan angin pukulan yang luar biasa dahsyatnya. Sim Houw berusaha
mempertahankan dengan tang-kisan putaran sulingnya, namun tenaga itu mendorong
terlampau dahsyat. Itulah ilmu sakti Sin-liong-hok-te yang hanya dapat dilakukan dengan sempurna oleh seorang yang berlengan sebelah! Sim Houw yang mempertahankan diri, tetap saja terdorong ke bela-kang dan terhuyung-huyung! Kalau kakek itu berniat jahat dan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
597 mendesak, agaknya sukar baginya untuk menyelamatkan diri. Dengan demikian, jelaslah bah-wa dengan ilmu terakhir itu, kakek Kao Kok Cu masih menang satu dua tingkat dibandingkan Sim Houw yang kalah tenaga dalam dan kalah pengalam-an.
"Orang muda, engkau hebat dan tidak mengece-wakan berjuluk Pendekar Suling Naga!" kata kakek Kao Kok Cu sambil melangkah mundur tiga langkah, berarti dia mengakhiri
pertandingan itu. Bukan main girang dan lega rasa hati Sim Houw. Diapun cepat menyimpan suling,
menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Terima kasih banyak saya haturkan atas kemurahan hati locianpwe yang telah memberi petunjuk kepada saya."
Kakek itu menarik napas panjang dan menoleh kepada isterinya yang juga memandang kepadanya dan mengangguk. Tanpa kata, suami isteri yang sudah saling mengenal lahir batin ini bermufakat bahwa seorang pemuda yang berilmu demikian tinggi dengan sikap demikian rendah hati seperti Sim Houw, agak-nya sukar dipercaya kalau sampai melakukan
penye-lewengan dan kejahatan!
Bi Lan juga sudah mendekati Sim Houw dan ber-lutut di sebelah pemuda itu, hatinya lega dan girang bukan main. "Suhu, terima kasih bahwa suhu tidak melukai Sim-toako."
Kakek itu kini tersenyum dan kembali menarik napas. "Siancai.....! Semoga Tuhan akan mem-berkahi kalian dalam cinta kasih kailan. Mari kita masuk ke dalam dan bicara di dalam.
Agaknya ba-nyak hal-hal yang perlu dibicarakan dan dibikin te-rang."
"Benar," kata Wan Ceng. "Akupun mulai ragu-ragu apakah benar Bi Lan telah melakukan penyele-wengan yang mengecewakan hatiku."
Sim Houw merasa girang sekali, menghaturkan terima kasih dan bangkit berdiri bersama-sama Bi Lan. Ketika bangkit, tanpa disengaja, tangan kiri Bi Lan menyentuh tangan kanan Sim Houw dan otoma-tis kedua tangan itu saling genggam dan mereka ber-dua mengikuti kakek dan nenek itu masuk ke dalam istana dengan saling berpegang dan bergandeng ta-ngan.
Beberapa kali mereka menoleh saling pandang yang memancing senyum penuh bahagia di kedua mulut mereka.
Mereka dibawa masuk oleh kedua orang tua itu ke dalam ruangan yang luas dan indah walaupun pera-bot di dalam ruangan itu sederhana. Di sudut terda-pat rak senjata dan sebuah almari penuh dengan bu-ku-buku dan di tengah-tengah ruangan terdapat meja kursi terukir dari kayu hitam yang kuno. Mereka ber-empat duduk di sekeliling meja itulah dan Bi Lan merasa betapa tubuhnya ditelan oleh kursi yang besar dan cekung itu. Ia merasa dirinya kecil lahir batin di tempat yang megah namun kuno ini, apa lagi di depan suhu dan subonya yang baru saja tadi marah kepadanya, bahkan kini agaknya hendak minta kete-rangan secara serius darinya.
Tak lama setelah mereka duduk, muncul seorang wanita Mongol yang memasuki ruangan itu menghi-dangkan minuman teh. Setelah wanita yang mukanya dingin seperti arca, persis sikap pria Mongol yang tadi bekerja di pekarangan, nenek Wan Ceng yang merasa penasaran itu mulai dengan pertanyaannya.
"Bi Lan, terus terang saja, kami berdua yang tinggal di tempat sunyi ini baru saja menerima Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
598 kunjungan dari selatan dan kami mendengar banyak hal yang membuat kami ikut merasa prihatin, terutama ketika kami mendengar tentang sepak terjangmu yang membuat kepalaku pening dan hatiku kecewa, juga me-nyesal sekali."
Bi Lan terseryum memandang wajah subonya. Betapa ia merindukan wajah ini, akan tetapi sekarang ia harus bersikap sungguh-sungguh. "Subo, kenapa subo belum apa-apa sudah mempercayai berita ten-tang diri teecu" Seperti teecu katakan tadi, setiap persoalan tentu teecu dapat menjawab dan memberi penjelasan sampai subo dan suhu mengerti benar bahwa semua akibat itu ada sebabnya dan sebabnya bukanlah karena penyelewengan atau kejahatan teecu. Teecu amat menghormat dan menyayang suhu dan subo, mana mungkin berani
melakukan perbuatan jahat" Dan andaikata teecu menyeleweng dan ber-buat jahat, mana teecu berani datang menghadap ke sini?"
Kakek Kao Kok Cu tersenqum dan mengangguk-angguk. "Memang benar juga pendapat Bi Lan ini...."
"Sekarang, jawablah pertanyaanku dengan kete-rangan yang jujur dan sejelasnya, baru aku akan menilai apakah engkau bersalah atau tidak," kata nenek Wan Ceng. "Aku mendengar bahwa Ban-tok-kiam dipergunakan orang untuk membunuh Teng Siang In, isteri mendiang paman Suma Kian Bu. Ba-gaimana bisa demikian kalau Ban-tok-kiam kuserahkan
kepadamu?" Bi Lan mengangguk. "Teecu tidak berdaya ketika Sai-cu Lama merampas Ban-tok-kiam dari tangan teecu, subo. Sai-cu Lama, amat lihai dan kepandaian-nya terlampau tinggi bagi teecu sehingga pedang pu-saka itu dapat dirampasnya dan kemudian dia pergu-nakan untuk membunuh locianpwe itu. Akan tetapi ketika para pendekar menghadapi komplotan Sai-cu Lama, teecu dan Sim-toako membantu dan kami berhasil merampas kembali Ban-tok-kiam.
Teecu mengaku salah bahwa Ban-tok-kiam sampai dirampas orang, akan tetapi hal itu terjadi bukan karena kele-ngahan, melainkan karena kebodohan dan kelemahan teecu yang tidak mampu menandingi Sai-cu Lama."
Diam-diam Bi Lan merasa heran mendengar subo-nya menyebut paman kepada tokoh
keluarga Pulau Es itu. Ia tidak tahu bahwa nenek Wan Ceng adalah cucu tiri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, sehing-ga biarpun usianya lebih tua dari pada mendiang Su-ma Kian Bu, ia harus menyebut pendekar itu paman.
"Sekarang jelaskan bagaimana engkau membela dan melindungi sucimu yang bernama Bi-kwi, yang amat jahat itu. Bukankah ia dahulu bahkan telah menyelewengkan pelajaran silat padamu sehingga engkau hampir menjadi gila dan terancam maut" Aku mendengar bahwa Bi-kwi itu amat jahat, lebih jahat dari pada Sam Kwi, akan tetapi mengapa engkau malah membelanya, bahkan engkau telah membantu-nya ketika iblis betina itu berkelahi melawan Suma Ciang Bun dan muridnya, berarti engkau membantu seorang jahat melawan keluarga para pendekar Pulau Es. Nah, apa alasanmu?"
"Subo, biarpun teecu pernah menjadi murid Sam Kwi dari sejak kecil dididik oleh datuk-datuk sesat, namun semenjak menjadi murid suhu dan subo, teecu sudah dapat membedakan antara baik dan buruk. Apa lagi setelah teecu bertemu dengan Sim-toako yang selalu membimbing teecu, teecu tidak pernah mem-bantu kejahatan. Biarpun suci sendiri, karena ia ja-hat, pernah menjadi lawan dan musuh teecu. Kalau teecu membela dan melindungi, adalah karena suci Bi-kwi telah insyaf dan mengubah kehidupannya menjadi orang baik-baik. Ia Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
599 diserang oleh Hong Beng dan gurunya karena salah paham saja. Mungkin me-reka itu mengira bahwa suci masih tetap jahat, akan tetapi teecu sendiri menyaksikan bahwa suci sudah bertaubat. Kalau orang sudah menyesali kesalahan-nya dan ingin bertaubat, apakah kita harus merdesak-nya sampai ia tidak dapat memperbaiki kesalahannya lagi, subo?" Bi Lan lalu menceritakan tentang keadaan Bi-kwi, betapa Bi-kwi telah bertemu dengan seorang pemuda tani yang dicintanya dan cinta itulah yang telah mengubah watak dan sifat kehidupan Bi-kwi.
Demi menyelamatkan kekasihnya itulah dia di-peras dan dipaksa oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin, tokoh tokoh Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai sehingga Bi-kwi membantu mereka menghadapi Suma Ciang Bun. Semua ini ia ceritakan dengan sejelasnya, seperti yang pernah ia dengar dari Bi-kwi sendiri.
"Demikianlah, subo. Ketika teecu melindunginya, ia berada dalam keadaan yang sama sekali tidak ber-salah dan tidak melakukan kejahatan, dan teecu hanya membela kebenaran, dari manapun datangnya tanpa pilih bulu. Kalau hal itu subo anggap bersalah dan hendak menghukum teecu, maka teecu hanya dapat menyerahkan diri." Bi Lan menutup
keterangannya Nenek Wan Ceng saling pandang dengan suaminya. Diam-diam mereka terharu juga
mendengar penuturan Bi Lan tentang Bi-kwi. Suami isteri ini tahu apa artinya cinta dan mereka percaya bahwa cinta kasih akan mampu merobah watak seorang manusia, dari keadaan yang jahat menjadi baik, cinta kasih mampu menghidupkan kembali kepekaan hati yang tadinya beku dan mati. Mereka mendengar semua tentang Bi Lan dan Ban-tok-kiam dari kunjung-an dua orang secara berturut-turut. Pertama kali datang Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, mengunjungi mereka dan dari suami isteri inilah mereka mendengar tentang kematian Teng Siang In. yang menjadi korban pedang pusaka Ban-tok-kiam, dan betapa puteri tunggal suami isteri keluarga Pulau Es diculik pula oleh orang yang menggunakan Ban-tok-kiam membunuh Teng Siang In. Kemudian, datang pula. Gu Hong Beng mengunjungi mereka dan pemuda murid Suma Ciang Bun ini mengabarkan tentang diculiknya cucu mereka, Kao Hong Li, oleh seorang yang bernama Ang I Lama juga dari Hong Beng mereka mendengar tentang penyelewengan mu-rid mereka, yaitu Can Bi Lan.
Hong Beng yang pe-nuh cemburu dan iri hati itu menceritakan kepada suami isteri tua itu betapa Bi Lan melakukan penye-lewengan bukan saja main gila dengan Pendekar Su-ling Naga, bahkan Bi Lan dan Sim Houw telah mem-bantu iblis betina Bi-kwi, dan menentang keluarga Pulau Es!
Kini, setelah mendengar penuturan Bi Lan, suami isteri ini dapat menarik kesimpulan bahwa memang terjadi salah paham antara Bi Lan berdua Sim Houw dengan Suma Ciang Bun dan muridnya, Gu Hong Beng.
Setelah saling pandang dan memberi persetujuan dengan isyarat mata, Wan Ceng lalu mewakili suami-nya berkata kepada Bi Lan. "Sekarang kami ,mengerti setelah mendengar keteranganmu, Bi Lan. Akan te-tapi, kalian sudah terlanjur mendatangkann kesan buruk kepada keluarga Pulau Es. Karena itu engkau harus menebusnya dengan perbuatan yang akan dapat membersihkan namamu, Bi Lan. Ketahuilah bahwa cucu kami, puteri tunggal anak kami Kao Cin Liong, yang bernama Kao Hong Li, telah diculik orang yang mengaku bernama Ang I Lama. Kauwakililah kami, karena kami sudah terlalu tua untuk melakukan per-jalanan jauh. Wakili kami dan cari Hong Li sampai dapat! Kalau engkau berhasil mengembalikan Hong Li kepada orang tuanya, maka baru aku mau mengaku engkau sebagai muridku lagi."
Bi Lan terkejut. Tugas yang amat berat karena ia tidak tahu ke mana anak itu dibawa pergi Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
600 penculik-nya, dan iapun tidak mengenal siapa Ang I Lama. Akan tetapi, Sim Houw yang berada di dekatnya me-nyentuh lengannya dan berbisik, "Terimalah saja tugas itu, Lan-moi, kita cari bersama."
Mendengar bisikan ini, Bi Lan merasa besar hati-nya dan dengan penuh semangat iapun berkata, "Ba-iklah, subo dan suhu, teecu akan mencari, sampai dapat menemukan kembali adik Kao Hong Li. Teecu baru akan datang menghadap suhu dan subo kalau teecu sudah berhasil dengan tugas itu dan teecu mahon doa restu dari suhu berdua subo.
"Baiklah, Bi Lan. Kami membekali doa restu dan mudah-mudahan engkau akan berhasil.
Sekarang berangkatlah kalian," kata nenek Wan Ceng.
Akan tetapi Bi Lan tidak bangkit, bahkan memberi hormat sambil berlutut, diikuti pula oleh Sim Houw yang menjatuhkan diri berlutut di depan kakek dan nenek itu. Dua orang kakek dan nenek itu bang-kit berdiri, mengira bahwa dua orang muda itu ber-lutut untuk memberi hormat dan berpamit, akan te-tapi ternyata tidak demikian karena Bi Lan berkata dengan suara penuh permohonan.
"Ada satu permohonan dari teecu kepada suhu dan subo, harap saja suhu dan subo dapat mengabul-kan permohonan teecu ini."
Wan Ceng tersenyum. "Katakanlah."
"Seperti suhu dan subo mengetahui, teecu hidup sebatangkara, tidak ada orang tua, tanpa keluarga. Ketiga suhu Sam Kwi telah tewas dan bagi teecu, suhu dan subo merupakan pengganti orang tua. De-mikian pula dengan Sim-toako yang sudah yatim piatu dan tidak ada keluarga. Oleh karena itu, kami berdua mohon agar suhu dan subo yang sudi menjadi wali kami dan mengesahkan dan merestui perjodohan antara kami."
Diam-diam Sim Houw merasa girang dan bangga sekali. Gadis ini selain mencintanya juga bersung-guh-sungguh dan demikian tabah membicarakan per-soalan jodoh itu tanpa lebih dulu bertanya kepadanya. Akan tetapi, apa yang diucapkan gadis itu memang amat
disetujuinya, bahkan dia akan merasa berbaha-gia, kalau kelak kakek dan nenek sakti itu mau mengesyahkan perjodohan antara mereka!
Kakek Kao Kok Cu dan Wan Ceng saling pandang dan kakek itu mengangguk sambil
tersenyum. Dia dapat melihat cinta kasih berpancar dari wajah dan sinar mata kedua orang muda itu, maka tidak ada lagi halangan bagi mereka untuk berjodoh, apa lagi karena tidak ada keluarga mereka yang dapat dimintai persetujuan. Akan tetapi Wan Ceng yang cerdik segera menjawab.
"Tentu saja kami berdua suka sekali menjadi wali dan mengesahkan perjodohan kalian yang saling mencinta. Akan tetapi, ingat, kalian mempunyai tu-gas penting, oleh karena itu, laksanakan dulu tugas itu, baru kalian datang ke sini dan kami akan menga-bulkan permintaan kalian."
Bukan main girangnya hati Bi Lan. Berkali-kali ia memberi hormat dan menghaturkan terima kasih. Juga Sim Houw menghaturkan terima kasih kepada kedua orang tua itu. Akan tetapi ketika mereka hendak berpamit, tiba-tiba terdengar suara nyaring di luar istana itu.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
601 "Kao Kok Cu dan Wan Ceng....! Apakah kalian masih hidup?"
Tentu saja empat orang itu merasa terkejut sekali mendengar suara yang mengandung tenaga khi-kang yang amat kuat itu, sehingga suara itu memasuki is-tana dan sampai ke ruangan itu membawa gema yang kuat. Wan Ceng mengerutkan alisnya. Sukar men-duga siapa adanya orang yang berani menyebut nama-nya dan nama suaminya begitu saja itu! Hatinya merasa tidak senang, maka ia mendahului suaminya dan berkata kepada Bi Lan dan Sim Houw,.
"Kalian keluarlah dan lihat siapa orang kasar yang datang itu!"
Nenek ini dahulu ketika muda memang berwatak keras. Mendengar ada orang berteriak-teriak di luar memanggil namanya dan nama suaminya ia merasa tidak senang dan merasa tidak perlu keluar sendiri menyambut, maka ia wakilkan kepada Bi Lan dan Sim Houw. Ia tahu bahwa muridnya itu, terutama sekali Sim Houw, telah memiliki kepandaian yang amat lihai sehingga patut mewakilinya menghadapi orang yang bagaimanapun juga.Bi Lan dan Sim Houw cepat berlari keluar dan ketika mereka tiba di luar istana, keduanya tersenyum lebar dengan hati lega ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang hwesio tua renta yang mereka kenal baik. Orang itu bukan lain adalah Tiong Khi Hwesio! Seperti kita ketahui, Tiong Khi Hwesio memimpin para pendekar muda menghadapi komplot-an Sai-cu Lama, maka tentu saja Bi Lan dan Sim Houw mengenal baik pendeta ini.
Sebaliknya, Tiong Khi Hwesio juga mengenal dua orang muda itu. Dia tersenyum ramah dan menu-dingkan telunjuknya kearah mereka, "Eh-eh, kira-nya kalian berdua juga berada di sini?"
Sim Houw cepat menghampiri hwesio itu dan memberi hormat, sementara itu Bi Lan sambil tertawa cepat masuk kembali ke dalam istana menemui suhu dan subonya. Dari luar ruangan ia sudah berteriak, "Suhu....! Subo....! Yang datang adalah locianpwe Tiong Khi Hwesio!"
Akan tetapi kakek dan nenek itu tidak mengenal nama Tiong Khi Hwesio dan mereka saling pandang dengan heran. Hanya saja, mendengar bahwa yang datang adalah seorang hwesio, mereka lalu melangkah keluar bersama Bi Lan untuk melihat siapa hwesio yang menyebut nama mereka begitu saja.
Ketika Kao Kok Cu dan Wan Ceng tiba di luar istana, mereka berdua memandang kepada hwesio tua yang berkepala gundul dan berjubah kuning itu. Mereka termangu, tidak mengenal hwesio tua itu. Hwesio yang bermulut sinis, senyum yang mengarah ejekan, sepasang mata yang tajam, mencorong dan tubuh yang masih nampak tegap dan membayangkan kekuatan.
Di lain pihak, Tiong Khi Hwesio memandang ke-pada kakek dan nenek itu, kemudian melangkah lebar menghampiri, wajahnya berseri dan terutama sekali matanya ditujukan kepada nenek Wan Ceng, kemu-dian dia merangkap kedua tangan ke depan dada seperti orang berdoa.
"Omitohud....! Terima kasih kepada Sang Buddha bahwa hari ini pinceng masih
berkesempatan untuk bertemu dengan Wan Ceng! Ahhh, Wan Ceng, engkau kini telah


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi seorang nenek yang tua, namun masih nampak kelincahanmu dan kegagahan-mu!
Suara itu menggetar penuh perasaan. Betapa tidak akan terharu rasa hati kakek hwesio ini berte-mu dengan wanita yang di waktu mudanya dulu pernah menggetarkan kalbunya, seorang wanita yang se-benarnya adalah saudaranya sendiri, seayah berlainan ibu!
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
602 Wan Ceng terkejut sekali dan melangkah maju mendekat, memandang tajam penuh perhatian dan penuh selidik. "Siapakah engkau...." Aku.... aku tidak mengenal hwesio seperti engkau ini...." tanyanya ragu.
"Hemmm, Si Jari Maut telah menjadi seorang hwesio, sungguh mengagumkan sekali!" Tiba-tiba terdengar suara Kao Kok Cu berkata dan Wan Ceng memandang kepada hwesio itu dengan mata terbe-lalak.
"Kau.... kau.... Wan Tek Hoat....?" Akhirnya ia berseru, suaranya gemetar dan tiba-tiba saja kedua matanya menjadi basah.
Hwesio tua itu mengejap-ngejapkan matanya yang juga menjadi basah dan dia mengangguk-angguk. "Bertahun-tahun aku sudah menjadi hwesio dan na-ma pinceng adalah Tiong Khi Hwesio."
"Aihh.... Tek Hoat.... Tek Hoat.... siapa dapat mengira bahwa engkau telah menjadi se-orang pendeta" Mengapa pula demikian" Dan di mana adanya adik Syanti Dewi?"
Tiba-tiba sepasang mata hwesio itu yang tadinya berseri, kini menjadi muram dan sejenak dia menundukkan kepalanya dan mengerahkan tenaga untuk menahan rasa nyeri yang tiba-tiba menusuk jantung-nya. Hanya sebentar saja dia terpukul, kemudian dia sudah dapat mengangkat mukanya lagi memandang kepada nenek Wan Ceng.
"Sudah beberapa tahun lamanya ia meninggalkan aku, meninggalkan dunia, dan sejak itu pula pinceng menjadi hwesio...."
Kalimat ini cukup bagi Wan Ceng. Ia dapat membayangkan apa yang terjadi dan hal ini memancing datangnya air mata yang lebih banyak lagi. Ia dapat mengerti bahwa tentu Wan Tek Hoat yang amat mencinta isterinya, yaitu Syanti Dewi, menjadi patah semangat dan masuk menjadi hwesio untuk menghibur dirinya.
"Tek Hoat, kasihan kau....! Syanti Dewi, kenapa engkau begitu kejam meninggalkan dia?"
Suasana menjadi hening dan mengharukan, akan tetapi hanya sebentar karena suara ketawa kakek Kao Kok Cu memecahkan keheningan dan membuyarkan keharuan. "Ha-ha-ha, kalian seperti dua orang anak kecil saja yang cengeng! Tiong Khi Hwesio, marilah masuk, kita bicara di dalam. Kunjunganmu sekali ini pastilah membawa berita yang amat penting. Sim Houw dan Bi Lan, kalianpun masuk kembali, kita se-mua bicara di dalam."
Ucapan dan sikap Kao Kok Cu ini menolong Tiong Khi Hwesio dan Wan Ceng yang tadi dilanda keharuan. Hwesio itu tertawa dan Wan Ceng juga cepat menghapus air matanya dan sikap mereka telah menjadi biasa kembali ketika mereka melangkah ke dalam istana tua itu Setelah mereka semua duduk mengelilingi meja besar di ruangan di mana tadi Sim Houw dan Bi Lan bercakap-cakap dengan suami-isteri tua itu, Kao Kok Cu segera bertanya, "Tiong Khi Hwesio, banyak yang dapat kita bicarakan dalam pertemuan ini karena sudah puluhan tahun kita saling berpisah. Akan tetapi kami kira yang terpenting untuk didahulukan adalah urusan yang jauh-jauh kaubawa ke sini. Ada kepen-tingan apakah yang mendorongmu datang dari tem-pat yang demikian jauhnya" Engkau datang dari Bhutan, bukan?"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
603 Tiong Khi Hwesio menggeleng kepala. "Tidak di Bhutan lagi. Sudah bertahun-tahun pinceng bertapa di Pegunungan Himalaya, dekat Tibet. Dan memang ada hal yang amat penting yang pinceng bawa dari Tibet. Pinceng mengunjungi kalian sebagai utusan dari para pendeta Lama di Tibet." Hwesio itu ber-henti dan memandang kepada kakek dan nenek itu dengan penuh perhatian. Ada bermacam perasaan terkandung dalam pandang mata itu, keraguan, juga kekhawatiran dan perasaan iba.
"Para pendeta Lama di Tibet?" Kao Kok Cu bertanya heran. Kurasa tidak pernah ada hubungan antara kami dengan mereka!"
"Heran!" kata pula nenek Wan Ceng "Aku bahkan tidak pernah bertemu dengan pendeta-pendeta Lama di Tibet. Kepentingan apakah yang membuat mereka menyuruh seorang seperti engkau untuk datang ke tempat sejauh ini, Tek Hoat?" Nenek Wan Ceng merasa kikuk dan enggan untuk menyebut saudaranya ini dengan sebutannya yang baru, yaitu Tiong Khi Hwesio!
Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang. "Se-buah tugas yang sungguh tidak enak bagi pinceng, akan tetapi karena pinceng juga ingin sekali berjumpa dengan kalian, maka tugas ini pinceng lakukan. Ma-salahnya bukan lain adalah mengenai putera kalian, yaitu Kao Cin Liong...."
"Ada apa dengan dia?" Nenek Wan Ceng bertanya dengan suara penuh kegelisahan.
"Dia bersama isterinya telah membunuh seorang pendeta Lama yang sama sekali tidak berdosa, hanya karena mereka menyangka bahwa Lama itu tentu se-orang jahat karena menjadi sute dari mendiang Sai-cu Lama."
"Ahh! Apakah pendeta itu bernama Ang I Lama?" Wan Ceng bertanya cepat.
"Eh, kiranya engkau sudah tahu?" Kini Tiong Khi Hwesio yang memandang heran.
"Tentu saja aku tahu!" Wan Ceng berkata dan suaranya terdengar marah. "Dan jangan katakan bah-wa orang yang bernama Ang I Lama itu demikian suci dan tidak berdosa seperti yang kaukira, Tek Hoat. Aku tahu mengapa anakku dan mantuku mem-bunuhnya. Dia telah menculik Kao Hong Li, cucuku! Tentu anak dan mantuku melakukan pengejaran ke sana dan dalam perkelahian memperebutkan Hong Li, mereka telah membunuhnya!"
"Omitohud....!" Tiong Khi Hwesio berseru dengan kaget sekali. "Akan tetapi, pinceng sudah lama mengenal Ang I Lama, juga para pendeta Lama menanggung bahwa dia adalah seorang pertapa yang sudah bertahun tidak keluar dari guhanya, dan tidak mungkin sama sekali kalau dia melakukan penculikan terhadap cucu kalian!"
"Jangan katakan tidak mungkin, Tiong Khi Hwe-sio," kata Kao Kok Cu dengan sikap dan suara tenang. "Ingat bahwa Ang I Lama adalah sute dari Sai-cu Lama yang baru saja dibasmi komplotannya, bahkan engkau yang memimpin para pendekar muda membasminya. Bukan tidak mungkin dia menden-dam dan melakukan penculikan itu, karena anakku juga
merupakan seorang di antara mereka yang ikut menentang Sai-cu Lama."
"Wan Tek Hoat!" kata nenek Wan Ceng. "Eng-kau sudah lama mengenal Ang I Lama, akan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
604 tetapi aku telah mengenal Kao Cin Liong sejak dia kulahir-kan! Dia dan isterinya tidak mungkin membunuh seorang pendeta Lama yang sama sekali tidak ber-dosa! Apakah engkau lebih percaya kepada pendeta Lama itu dari pada kepada keluarga kami?"
Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. "Omitohud.... betapa sukarnya urusan ini. Pinceng sendiri tidak tahu harus berpendapat bagaimana. Memang serba salah...."
"Wan Tek Hoat, apakah setelah engkau menjadi hwesio dan menjadi tua bangka, engkau kehilangan semua kecerdikanmu yang dulu kaubanggakan?" Nenek Wan Ceng kini berkata sambil tersenyum mengejek. "Urusan begitu mudah kenapa engkau buat menjadi sukar"
Apakah ada yang menyaksikan -perkelahian antara anak dan mantuku dengan Ang I Lama yang membuat pendeta Lama itu tewas?"
"Tidak ada. Dua orang pendeta Lama menemukan Ang I Lama dalam keadaan hampir mati dan Ang I Lama hanya meninggalkan pesan dengan menyebut dua nama, yaitu Kao Cin Liong dan isterinya."
"Hemm, dan hal ini kaujadikan pegangan bahwa anak dan mantuku yang membunuh Ang I Lama tan-pa dosa?"
"Sebelum terjadi pembunuhan itu, beberapa wak-tu sebelumnya, anak dan mantumu itu telah menda-tangi para pendeta Lama untuk menanyakan di mana adanya Ang I Lama. Anak dan mantumu mencari Ang I Lama dan tak lama kemudian, Ang I Lama tewas dengan
meninggalkan pesan nama anak dan mantumu. Bukankah hal itu sudah jelas?"
"Kurang meyakinkan. Aku percaya bahwa anak mantuku membunuh Ang I Lama, akan
tetapi jelas bukan membunuh orang tak berdosa, melainkan mem-bunuh penculik cucuku.
Apakah hal itu salah" Tentu saja anak dan mantuku membela anak mereka! Dan satu hal lagi menunjukkan kebodohanmu, Wan Tek Hoat. Yang menjadi orang tertuduh adalah anakku dan mantuku, akan tetapi kenapa engkau keluyuran ke sini" Bukankah lebih mudah kalau engkau datangi saja Cin Liong dan menanyakan hal itu" Bukankah engkau sudah mengenalnya dan su-dah tahu pula di mana tempat tinggalnya?"
Menghadapi serangan kata-kata yang marah itu, Tiong Khi Hwesio tersenyum dan dia memandang kepada nenek itu dengan penuh kagum. Sudah tua renta, namun nenek ini mengingatkan dia akan seo-rang gadis yang lincah, jenaka dan galak, yaitu ketika Wan Ceng masih seorang gadis. Agaknya selama puluhan tahun ini, Wan Ceng masih mempertahankan wataknya yang keras!
"Jangan salah mengerti, Wan Ceng. Para pendeta Lama mengenal baik Kao Cin Liong ketika dia masih menjadi panglima, dan merekapun tahu bahwa dia adalah putera tunggal Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Karena itu, mereka merasa sungkan kepada kalian, dan akupun berpikir bahwa lebih baik kalau urusan ini kusampaikan saja kepada kalian dari pada aku harus menegur sendiri Kao Cin Liong. Lihat, aku jauh-jauh ke sini karena merasa sungkan, juga kangen kepada kalian."
"Memang urusan ini agak ruwet," kata Kao Kok Cu. "Kami dapat menghargai sikapmu dan sikap para pendeta Lama yang masih menghargai kami orang-orang tua. Akan tetapi, kami merasa yakin bahwa andaikata Cin Liong benar membunuh Ang I Lama, tentu hal itu Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
605 dilakukan karena ada hal yang amat memaksa, dan tentu dengan alasan kuat sekali. Anak-ku bukanlah pembunuh kejam yang membunuh pen-deta yang tanpa dosa. Hal ini hendaknya engkau yakin, Tiong Khi Hwesio. Sekarang, biarlah kubebankan tugas menerangkan perkara ini kepada Bi Lan dan Sim Houw pula. Kalian dengarlah baik-baik." Kakek itu memandang kepada dua orang muda itu yang mendengarkan dengan penuh perhatian dan si-kap
menghormat. "Kami siap melakukan perintah suhu," kata Bi Lan.
"Kalian berdua sudah mendengar sendiri apa yang dibawa oleh Tiong Khi Hwesio. Tadinya kami men-dengar bahwa cucu kami diculik Ang I Lama, dan kini dari Tiong Khi Hwesio kami mendengar bahwa Ang I Lama dibunuh oleh Kao Cin Liong dan iste-rinya tanpa dosa.
Maka, kalau kalian meninggalkan tempat ini untuk mencari dan menemukan kembali Kao Hong Li, kalian kunjungilah rumah Kao Cin Liong di Pao-teng, dan selidiki persoalan ini baik-baik. Temui mereka dan tanyakan apa yang telah terjadi. Sukurlah kalau Hong Li sudah dapat ditemu-kan oleh orang tuanya, sehingga kalian tidak banyak repot. Kalau belum, cari Hong Li sampai dapat dan juga kami ingin mendengar laporanmu kelak tentang sebab Ang I Lama dibunuh mereka, kalau benar hal itu terjadi. Nah, sekarang berangkatlah kalian!"
Bi Lan dan Sim Houw lalu minta diri dari tiga orang tua sakti itu, dan meninggalkan Istana Gurun Pasir dengan cepat. Mereka melakukan perjalanan tanpa bicara, keduanya nampak berlari cepat sambil termenung sehingga menjelang malam, pada senja hari, mereka telah berhasil melewati gurun pasir per-tama dan tiba di lereng sebuah bukit yang sudah ba-nyak ditumbuhi pohon di samping banyak pula batu-batu besar dan guha-guha lebar. Mereka berhenti di sebuah guha yang besar dan melepaskan buntalan masing-masing, lalu duduk melepaskan lelah.
Sunyi sekali di situ. Lebih sunyi lagi terasa oleh Bi Lan karena sejak meninggalkan Istana Gurun Pa-sir, temannya seperjalanan itu tidak pernah bicara, hanya nampak berlari cepat di sampingnya seperti orangmelamun. Ia melirik ke arah Sim Houw, meli-hat betapa laki-laki itupun duduk termenung, menun-dukkan muka dan sukar melihat bagaimana bentuk wajahnya karena cuaca sudah mulai remang-remang. Beberapa kali, seperti juga tadi ketika mereka berdua lari, Bi Lan menggerakkan bibir untuk bicara, namun lehernya seperti tercekik rasanya dan tak sepatahpun kata keluar darimulutnya. Ia menelan ludah bebe-rapa kali dan memperkuat hatinya, lalu memaksa diri berkata.
"Sim-toako....!" Betapa sukarnya kata itu keluar dari mulutnya sehingga terdengar seperti bi-sikan saja. Namun jelas nampak olehnya betapa Sim Houw terkejut mendengar suaranya, seolah-olah ia tadi telah menjerit keras, bukan hanya berbisik.
"Lan-moi, ada apakah....?" Dia bertanya, menoleh, bahkan lalu mendekat dengan menggeser duduknya.
Tiba-tiba saja Bi Lan yang sejak tadi merasa tegang dan penuh harapan, merasa seolah-olah meledak dan ledakan itupun menjadi tangis! Segala macam perasaan girang, terharu, bercampur dengan kekhawatiran, harapan dan kekecewaan sejak pemuda itu mengaku cinta kepadanya sampai tadi pemuda itu melakukan perjalanan tanpa bicara sepatahpun kata, tercurah keluar bersama air matanya dan iapun me-nangis terisak-isak, menyembunyikan mukanya di dalam kedua lengan yang memeluk lutut kaki yang diangkatnya. Tubuhnya terguncang-guncang karena isaknya.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
606 Tentu saja Sim Houw menjadi terkejut bukan main dan tangannya kini sudah menyentuh pundak Bi Lan dan suaranya terdengar penuh perasaan kha-watir ketika dia berkata, "Moi-moi, engkau kena-pakah" Kenapa engkau menangis, Lan-moi" Apa-kah yang telah terjadi"
Sakitkah enggkau?" Bi Lan tidak dapat menjawab karena tangisnya membuat ia tersedu-sedu dan sukar untuk dapat mengeluarkan kata-kata. Sim Houw agaknya tahu akan hal ini maka dia tidak mendesak, membiarkan gadis itu menangis sampai segaia yang mengganjal hatinya mencair.
Akhirnya tangis itupun mereda dan Bi Lan mulai mengangkat mukanya, menyusuti air matanya dan kadang-kadang ia memandang kepada pemuda itu dengan sepasang mata basah dan merah.
"Bi Lan moi-moi, engkau kenapakah" Sakitkah engkau?" kembali Sim Houw bertanya
setelah gadis itu tidak tenggelam ke dalam isak tangisnya lagi.
Bi Lan mengangguk. "Toako, aku memang sakit...." jawabnya dan legalah hatinya bahwa kini, setelah menangis, kata-katanya menjadi lancar.
Sim Houw mengerutkan alisnya dan mencoba untuk memandang dengan penuh perhatian di dalam cuaca remang-remang itu. "Sakit" Sakit apakah, Lan-moi?"
"Sakit.... hati! Hatiku yang sakit."
"Ehhh?" Sim Houw terbelalak heran. "Sakit hati" Bagaimana rasanya?" Dengan sungguh-sung-guh dia memperhatikan, mengira bahwa gadis itu menderita semacam penyakit yang tidak dikenalnya.
"Rasanya?" Bi Lan menelan kembali senyum-nya karena merasa geli. "Rasanya.... aku ingin marah-marah, ingin mengamuk dan menangis saja."
"Ahhh....?" Sim Houw masih belum mengerti dan menjadi bingung. "Dan kau sudah
menangis tadi...." "Ya, akan tetapi belum marah-marah, masih be-lum mengamuk."
Kini Sim Houw baru agak mengerti. Kiranya ada sesuatu yang membuat gadis ini merasa mendongkol dan marah, pikirnya. Dan mengertilah dia apa arti-nya sakit hati tadi, bukan penyakit badan, melainkan penyakit perasaan.
"Akan tetapi, ada.... apakah, moi-moi?"
"Siapa yang tidak sakit hatinya, toako" Sejak meninggalkan istana, engkau diam saja seperti patung, atau seolah-olah menganggap aku bukan manu-sia lagi melainkan patung hidup yang tak dapat bicara. Kenapa engkau bersikap demikian, mendiamkan aku sampai hampir sehari lamanya" Engkau sungguh kejam!"
Baru Sim Houw mengerti dengan jelas sekarang dan diam-diam hatinya lega, akan tetapi mukanya juga menjadi merah karena dia merasa semakin salah tingkah. Lalu dengan suara lirih dan gemetar dia berkata, "Lan-moi, kau maafkanlah aku, Lan-moi. Sama sekali aku Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
607 bukan menganggap engkau patung, akan tetapi aku.... ah, terus terang saja, aku.... tidak berani bicara, Lan-moi. Semua yang terjadi di istana itu.... semua bagiku bagaikan sebuah mimpi yang amat indah dan aku takut, kalau-kalau mimpi itu akan buyar dan aku akan sadar kembali dan mimpi itu akan lenyap kalau aku bicara. Aku .... sungguh aku tadi ingin sekali bicara, akan tetapi se-tiap kali menggerakkan bibir, aku merasa takut dan seperti tercekik leherku.
Kaumaafkanlah aku, moi-moi."
Bi Lan memandang kepada Sim Houw dan pemu-da itupun memandangnya. Mereka saling pandang di antara keremangan senja sehingga hanya dapat melihat bentuk muka masing-masing. Bi Lan merasa heran sekali. Mengapa keadaan pemuda itu sama benar dengan keadaan dirinya ketika mereka melakukan perjalanan tadi" Iapun ingin sekali bicara, na-mun amat sukar mengeluarkan kata-kata!
"Bagaimana sekarang, toako" Apakah masih takut untuk bicara?" tanyanya, setengah menggoda.
"Tidak, moi-moi. Kalau kuingat, memang aku bodoh sekali. Kenyataan yang demikian indahnya membuat aku mabok dan seolah-olah aku tidak percaya akan kenyataan itu. Setelah kini kita bicara, aku tidak takut lagi. Maafkan aku."
Kembali hening, keduanya seolah tidak tahu ha-rus berbuat apa, harus bicara apa. Terutama sekali Sim Houw. Jantungnya berdebar penuh ketegangan yang luar biasa, yang tidak dikenal sebelumnya, akan tetapi dia tidak mengerti mengapa demikian. Agaknya Bi Lan yang lebih tabah dalam menghadapi keadaan yang menegangkan dan membuat mereka merasa canggung itu.
"Toako...." "Ya, Lan-moi?" "Toako, aku ingin sekali mengetahui apakah semua pernyataanmu di depan suhu dan subo itu be-nar-benar keluar dari lubuk hatimu" Apakah engkau bicara sejujurnya ketika itu?"
Pernyataan yang bagaimana, moi-moi?" Sim Houw bertanya, hanya untuk mencari ancang-ancang atau batu loncatan. menghadapi pertanyaan itu, kare-na sesungguhnya dia dapat mengerti apa yang dimak-sudkan gadis itu.
Bi Lan mengerutkan alisnya. Kenapa sekarang orang yang selama ini dianggap sebagai sepandai-pandainya orang, lihai bijaksana dan cerdik pandai, men-dadak saja berubah menjadi orang yang tolol"
"Pernyataanmu bahwa engkau cinta padaku. Be-narkah itu, toako, atau hanya kaujadikan alasan saja untuk menjawab desakan suhu dan subo?"
"Lan-moi, tentu saja benar! Sama benarnya de-ngan pengakuanmu bahwa engkau cinta padaku. Bagaimana mungkin engkau masih meragukan cintaku kepadamu, moi-moi?"
"Tentu saja aku ragu-ragu. Kenapa selama ini, selama kita berkenalan bahkan melakukan perjalanan bersama, mengalami hal-hal yang menegangkan ber-sama, engkau tidak pernah menyatakan cintamu, baik dalam perbuatan atau dengan ucapan" Kenapa, toako" Apakah Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
608 cintamu itu baru timbul ketika kita berada di Istana Gurun Pasir?"
"Tidak, moi-moi! Aku cinta padamu sejak kita pertama kali bertemu!"
"Kalau begitu, kenapa selama ini engkau diam sa-ja, toako" Kenapa engkau agaknya hanya menyim-pan saja perasaan cintamu di dalam hati, bahkan se-perti hendak merahasiakannya terhadap diriku" Kenapa?"
Sim Houw sudah siap sekarang dengan jawaban-nya. Dia mengangkat muka, memandang bentuk wa-jah yang nampak dalam keremangan cuaca itu. "Ka-rena aku selama ini menjadi pengecut terhadap cinta-ku sendiri, moi-moi. Aku tidak berani mengaku, bahkan aku selalu menyangkal akan adanya kemungkinan bahwa engkau mencintaku. Aku takut! Karena takut gagal maka aku lebih suka merahasiakan perasaan cintaku...."
"Kau takut kalau-kalau cintamu tidak kubalas?"
"Tidak, moi-moi. Bahkan aku selalu merasa bah-wa tak mungkin engkau cinta padaku. Aku takut kalau-kalau aku akan kehilangan engkau, takut kalau aku mengaku cinta, engkau lalu menjauhkan diri dariku."
"Sim-toako, engkau kuanggap secerdik-cerdiknya orang, akan tetapi dalam hal ini engkau sungguh bo-doh. Apakah engkau tidak dapat melihat perasaan hatiku terhadap dirimu dalam setiap pandang mataku, kata-kataku dan perbuatanku?"
"Memang ada sekali waktu nampak olehku bah-wa engkau seperti mencintaku, namun semua itu kusangkal, kuanggap hanya khayalku belaka, karena tidak patut bagi seorang gadis sepertimu ini mencinta seorang laki-laki seperti aku."
"Ihhh....! Kenapa, toako" Kenapa tidak patut?"
"Moi-moi, engkau adalah seorang gadis yang ma-sih muda belia, usiamu baru sembilanbelas tahun, sedangkan aku aku sudah hampir setengah baya...."
"Aduh kasihan, ratap seorang kakek-kakek....!" Bi Lan menggoda. "Sim-toako, mengapa engkau begitu merendahkan diri" Berapa sih usiamu maka engkau mengatakan bahwa engkau sudah separuh baya?"
"Usiaku sudah tigapuluh empat tahun!"
"Hemm, bagiku engkau belum tua, tentu saja le-bih tua dariku. Dan di dalam cinta, apakah ada batas usia?"
"Selain usiaku jauh lebih tua darimu, hampir dua kali lipat, juga aku seorang laki-laki sebatangkara, tidak memiliki apa-apa. Kuanggap diriku sama sekali tidak berharga untuk menjadi jodohmu, moi-moi. Karena perasaan itulah maka aku selalu diam dan
merahasiakan cintaku. Akan tetapi di istana gu-run pasir, dihadapan dua orang locianpwe yang sakti dan bijaksana itu, bukan hanya sekedar menolongmu, aku merasa bahwa aku harus berterus terang sebagai seorang laki-laki yang berani mengaku dan bertang-gung jawab atas segala perbuatan dan ucapannya."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
609 "Aih, kasihan sekali engkau, toako. Aku.... dapatkubayangkan betapa engkau menderita....
dan aku sendiri, aku sudah tahu sejak lama bahwa engkau cinta padaku, koko...."
"Ah" Engkau sudah tahu?"
Bi Lan mengangguk. "Aku diberitahu oleh suci Ciong Siu Kwi. Ia mengatakan bahwa engkau cinta padaku, hal itu baginya mudah terlihat. Aku menjadi girang sekali, aku menjadi bahagia sekali, koko, apa lagi kalau melihat tingkahmu yang salah langkah.... aku tahu bahwa sejak lama engkau cinta padaku."
"Anak nakal....!" Sim Houw yang merasa gembira bukan main lalu tiba-tiba merangkul leher Bi Lan dan seperti sudah selayaknya, tahu-tahu Bi Lan sudah rebah di pangkuannya dan mereka saling peluk. Sejenak mereka diam, Bi Lan menyandarkan kepalanya di dada pria yang dicintanya itu. Ia merasa aman tenteram, merasa berbahagia dan puas, dan keduanya seperti terbuai dan terpesona oleh kenyataan yang indah itu, bahwa keduanya saling mencinta, bahwa tubuh mereka saling merindukan seperti juga hati mereka.
Sambil membelai rambut kepala gadis itu yang terlepas dari sanggulnya dan terurai di atas dadanya, Sim Houw berkata, "Moi-moi, engkau sudah tahu bahwa aku cinta padamu, akan tetapi aku.... ah, aku selalu ragu-ragu, hampir tidak percaya bahwa seorang gadis seperti engkau dapat jatuh cinta padaku. Sekarangpun aku masih merasa terheran-heran bagai-mana engkau dapat cinta padaku, moi-moi."
Bi Lan membuka matanya memandang, sinar matanya berseri dan mulutnya yang berbibir merah basah itu tersenyum. "Sejak dulu aku cinta padamu, koko. Aku sudah tidak mempunyai sanak keluarga lagi, bahkan guru-guruku jauh dariku. Sam Kwi jauh dari hatiku karena mereka jahat, sedangkan suhu dan subo di Istana Gurun Pasir juga jauh. Aku su-dah tidak mempunyai orang tua, tidak mempunyai kakak atau adik, tidak berkeluarga. Karena itu, da-lam dirimu aku menemukan semuanya itu. Bagiku engkau adalah pengganti orang tua, pengganti guru, juga pengganti kakak, keluarga, dan juga kekasin hatiku."
"Tapi.... tapi kenapa justeru aku yang kau. pilih?"
Senyum di bibir Bi Lan melebar. Perasaan halus seorang wanita membuat ia merasa bahwa tentu kekasihnya ini meragukan karena tahu bahwa ada bebera-pa orang pemuda pilihan yang juga cinta kepadanya. Mengapa ia memilih Sim Houw dan bukan seorang di antara mereka"
"Karena engkau tidak hanya memkirkan diri sen-diri, koko. Engkau selalu memikirkan kepentingan-ku dan meniadakan kebutuhanmu sendiri. Engkau tidak pencemburu (seperti Hong Beng, pikirnya) dan engkau tidak mengkhayal dan memikirkan wanita lain (seperti Kun Tek, pikirnya) walaupun engkau pernah kecewa dan patah hati karena wanita. Cintamu kepa-daku murni dan engkau hanya ingin melihat aku ber-bahagia. Karena semua itulah, juga karena aku ter-tarik kepada pribadimu, kepada wajahmu, kepada perangaimu, kepada....
segala-galamu, maka aku cinta padamu."
Dihujani pujian-pujian itu, Sim Houw terharu sekali dan tanpa disadarinya lagi dia menunduk, mendekatkan mukanya dan entah siapa yang mulai lebih dahulu, akan tetapi tahu-tahu mereka saling dekap dengan erat dan bibir mereka saling kecup dengan mesra sampai lama, sampai mereka akhirnya menyu-dahi ciuman itu dengan napas terengah-engah. Bu-kan terengah karena kehabisan napas, melainkan terengah karena mereka merasa tubuh mereka Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
610 panas diingin dan darah dalam tubuh mereka berdesir dan bergolak. Suara seperti rintihan keluar dari leher Sim Houw dan dia menyembunyikan. mukanya pada leher yang berkulit putih mulus dan hangat itu, di antara rambut yang membelai mukanya seperti benang-be-nang sutera hitam. Sementara itu, dengan tubuh menggigil, Bi Lan memejamkan matanya, menggelin-jang dan jantungnya berdebar, tubuhnya tiba-tiba saja terasa lemas dan dari kerongkongannya juga ke-luar suara seperti merintih halus.
Sampai agak lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, sampai tiba-tiba telinga keduanya menangkap suara yang keluar dari dalam perut Bi Lan.
Suara berkeruyuknya perut yang menuntut isi! Mendengar ini, keduanya sadar dari keadaan yang asyik masyuk itu, akan tetapi biarpun hatinya merasa agak geli, Sim Houw cukup bijaksana untuk diam saja dan pura-pura tidak mendengar. Bahkan dia lalu mempergunakan kekuatan sin-kangnya menekan pada perutnya sendiri sehingga terdengarlah suara berkeruyuk yang sama dengan tadi, hanya yang ini lebih nyaring!
Bi Lan yang tadi merasa canggung dan malu, ke-tika mendengar keruyuk ke dua dari perut Sim Houw, lalu tertawa. "Hi-hik, ada lumba nyanyi dalam perut kita, koko....!"
Sim Houw juga tertawa dan buyarlah suasana asyik masyuk tadi dan mereka berdua tersadar.
Walaupun mereka kini merenggangkan diri dan suasana masih mesra, sentuhan tangan mereka masih mengandung getaran asmara, namun mereka tidak lagi diku-asai berahi seperti tadi.
Mereka bangkit berdiri. Sim Houw memegang kedua lengan gadis itu. Mereka berdiri saling berhadapan, dekat sekali dan Sim Houw mencium dahi Bi Lan, lalu berkata, suaranya halus dan menggetarkan kasih sayang amat besar. "Lan-moi, mulai sekarang kita harus berhati-hati.
Kita harus dapat berjaga diri, jangan sampai terjadi kebakaran...."
"Eh" Maksudmu?"
"Tadi ketika kita saling berciuman, aku hampir kebakaran...."
Bi Lan tersenyum dan menahan suara ketawanya. Wajahnya menjadi merah sekali. Untung cuaca sudah mulai gelap sehingga ia tak perlu menyembunyikan kemerahan wajahnya.
"Aku tahu, karena itu, sebelum kita menikah de-ngan sah, sebaiknya kalau kita berhati-hati, jangan terlalu dekat agar tidak terjadi kebakaran dan pelanggaran."
"Baiklah, koko.... Bi Lan mengangguk dan semakin kagum terhadap kekasihnya itu.
Demikian kuatnya! Kuat lahir batin.
"Semua itu kita lakukan demi kebahagiaan kita sendiri di kemudian hari, bukan, Lan-moi?"
"Engkau benar."
Mereka lalu membuat api unggun, dan Sim Houw berhasil menangkap dua ekor ayam hutan.
Daging dua ekor ayam hutan inilah yang mengisi perut mere-ka sebelum mereka akhirnya beristirahat di dalam guha itu, tubuh mereka dihangatkan oleh api unggun. Dunia nampak amat indah bagi mereka, bahkan kea-daan dalam guha yang demikian sederhana, di bawah Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
611 sinar api unggun, tidur di atas tanah berbatu yang kasar, bau tanah mentah, semua itu nampak amat in-dahnya.
Keindahan terletak di dalam batin. Batin yang berbahagia membuat segala sesuatu nampak indah menyenangkan, segala penglihatan nampak indah, segala pendengaran menjadi merdu, segala makanan menjadi lezat. Batin yang berbahagia mendatangkan sorga, sebaliknya batin yang keruh mendatangkan neraka. Apapun nampak tidak menyenangkan bagi batin yang keruh.
Batin menjadi keruh karena pikiran selalu sibuk berceloteh. Sayang bahwa kita selalu menjejali pikir-an dengan segala macam persoalan sehingga pikiran tiada hentinya bekerja keras dan sibuk, oleh karena itu, batin tak pernah menjadi bening.
Sim Houw dan Bi Lan yang baru saja mendapat sinar cinta, untuk sejenak pikiran mereka tidak sibuk dan batin mereka tidak menjadi keruh. Akan tetapi hanya sebentar saja karena setelah mereka selesai makan dan kini duduk bersila menghadapi api unggun, pikiran mereka mulai bekerja lagi mengingat-ingat akan hal yang telah lalu.
"Sungguh kita beruntung sekali bahwa keadaan berakhir dengan baik di Istana Gurun Pasir,"
kata Sim Houw. "Kalau aku teringat betapa tadinya subo-mu sudah marah sekali kepadamu, dan betapa suhu dan subomu agaknya sudah tidak percaya kepadamu, sungguh aku masih merasa ngeri. Kalau mereka menghendaki, tidak akan sukar bagi mereka untuk menghukum kita, bahkan membunuh kita sekalipun."
"Akan tetapi aku tetap percaya akan kebijaksana-an mereka, koko. Yang menggemaskan adalah orang yang memburukkan namaku di depan suhu dan subo, dan agaknya aku tahu siapa orangnya!"
Sim Houw memandang wajah kekasihnya. Dia-pun dapat menduga siapa orangnya, akan tetapi dia tidak mau mendahului Bi Lan. "Siapakah dia, Lan--moi?"
"Siapa lagi kalau bukan Gu Hong Beng?"
Sim Houw pura-pura kaget. "Kenapa engkau menyangka dia?"
"Di antara tuduhan-tuduhan yang dilontarkan subo kepadaku, terdapat tuduhan bahwa kita telah melakukan perbuatan yang melanggar susila. Siapa lagi orangnya yang akan menyangka kita berbuat de-mikian kecuali Gu Hong Beng yang dipenuhi perasa-an cemburu dan iri itu"
Dia bersama gurunya yang mendesak dan menyerang kita, dan dialah yang me-nuduh kita secara membuta membela suci Ciong Siu KWi. Maka aku yakin tentulah dia yang telah mem-burukkan namaku di depan suhu dan subo."
Sim Houw menarik napas panjang, maklum mengapa kini pemuda yang gagah perkasa itu, murid dari seorang tokoh keluarga Pulau Es, yang tadinya merupakan seorang sahabat yang setia dan baik dari Bi Lan, kini berubah memburukkan nama Bi Lan. Dia tahu bahwa pemuda itu jatuh cinta kepada Bi Lan, namun ditolak oleh kekasihnya ini, dan agaknya Hong Beng merasa iri hati dan cemburu. Diam-diam dia merasa kasihan karena dia maklum bahwa orang pertama yang tersiksa oleh cemburu bukan lain ada-lah diri orang yang cemburu itu sendiri.
"Sudahlah, biarkan saja kalau memang benar dia yang memburukkan namamu. Mungkin Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
612 memang dia menyangka kita membela sucimu secara membuta, mungkin dia mengira bahwa kita telah menyeleweng dari pada kebenaran. Yang penting, kita yakin benar bahwa kita tidak menyeleweng, bahwa kita telah berbuat benar. Kini kita harus mencurahkan segala perhatian kita untuk mencari adik Kao Hong Li. Dan sesuai dengan pesan suhu dan subomu, sebaiknya kita langsung saja menuju ke kota Pao-teng untuk mengunjungi keluarga locianpwe Kao Cin Liong."
Bi Lan menyatakan persetujuannya dan mereka-pun tidak lagi membicarakan tentang Hong Beng.
*** Dengan hati -berat oleh kegelisahan dan kedukaan, suami isteri pendekar Kao Cin Liong dan Suma Hui terpaksa meninggalkan Tibet dan daerah Himalaya.
Mereka telah gagal menemukan puteri mereka walaupun mereka telah berhasil menjumpai pertapa yang berjuluk Ang I Lama. Mereka masih menggunakan waktu berbulan-bulan untuk melakukan pencarian di daerah itu, namun tak pernah dapat menemukan jejak puteri mereka.
Jejak satu-satunya hanyalah bahwa puteri mereka diculik oleh seorang berjuluk Ang I Lama dan ternyata kakek pertapa itu tidak menyembunyikan puteri mereka! Ke mana lagi me-reka harus mencari"
Akhirnya Kao Cin Liong berhasil membujuk iste-rinya yang kini menjadi kurus dan pucat karena selalu merasa gelisah dan berduka memikirkan puteri mere-ka yang hilang, untuk pulang saja ke Pao-teng.
"Jelas bahwa tidak ada jejaknya di barat ini," katanya kepada isterinya. "Sebaiknya kita pulang saja karena siapa tahu kalau adik Suma Ciang Bun dapat menemukan jejak di sana."
Merekapun melakukan perjalanan pulang ke Pao-teng dengan hati berat. Mereka merasa lelah lahir batin ketika mereka tiba kembali di rumah mereka, dan kedukaan mereka ditambah lagi oleh kekecewaan karena Suma Ciang Bun yang sudah lama menanti mereka di situ
mengabarkan bahwa diapun gagal da-lam penyelidikannya.
"Aku telah melakukan penyelidikan ke delapan penjuru berpusat dari Pao-teng, akan tetapi tidak seorangpun pernah melihat kakek berjubah merah membawa seorang anak perempuan tigabelas tahun.
Agaknya, penculik itu dapat membawa Hong Li keluar dari Pao-teng dan pergi jauh tanpa ada yang melihatnya. Orang itu tentu lihai sekali." Suma Ciang Bun menerangkan ketika begitu tiba di rumah dan bertemu dengannya, encinya, Suma Hui, mengajukan pertanyaan padanya. "Dan bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian?"
Suma Hui lemas tak mampu bercerita, dan Kao Cin Liong yang menceritakan kepada adik isterinya itu tentang kegagalan mereka menemukan Hong Li jauh di daerah Himalaya dan Tibet sana. Suma Ciang Bun ikut merasa kecewa dan berduka, dia mengepal tinju.
"Keparat manakah yang telah berani melakukan penculikan ini" Aku hanya menanti
kembalinya Hong Beng dari Gurun Pasir, dan aku akan menga-jaknya untuk mencari lagi, entah ke mana."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
613 "Muridmu itu belum kembali?" Suma Hui ikut bicara. "Kenapa demikian lamanya" Jangan-jangan dia tidak berhasi menemukan Istana Gurun Pasir."
"Tidak mungkin. Sebelum berangkat sudah kube-ri gambaran yang jelas tentang letak tempat itu dan jalan mana yang harus diambil untuk dapat menca-painya dengan mudah," kata Kao Cin Liong.
"Kalau begitu, aku khawatir kalau terjadi sesu-atu dengannya," kata Suma Ciang Bun.
"Sudah terlalu lama aku menanti kalian kembali di sini, dan sekarang, aku akan menyusul Hong Beng dan bersa-ma dia mencari keponakanku itu sampai dapat."
Suami isteri itu tidak mencegah, bahkan mereka tidak mampu mengeluarkan pendapat.
Dalam keada-an gelisah dan duka, mereka seperti kehabisan akal, tidak tahu apa yang harus mereka perbuat. Tidak tahu harus ke mana mencari puteri mereka, kepada siapa harus bertanya atau minta bantuan.Dalam keadaan duka dan putus asa, orang berada dalam keadaan kosong atau bening. Sayang bahwa keheningan itu merupakan keheningan di luar sadar, keheningan sebagai akibat terseret oleh duka, keheningan yang lumpuh. Pada hal, justeru kita amat membutuhkan keheningan, karena dari sumber atau dasar keheningan dan kekosongan inilah kita dapat memandang dengan penuh kewaspadaan! Batin kita tidak pernah
mengendap, tidak pernah kosong dan hening, selalu penuh dengan prasangka, pendapat dari keinginan. Karena itu, panca indera kita tidak pernah bekerja dengan sempurna dan hidup, melainkan hanya bergerak karena dorongan batin yang sarat oleh be-ban itulah. Kalau batin sudah berprasangka, mana mungkin pandang mata kita dapat memandang dengan waspada dan awas" Semua panca indera kehilangan kepekaannya karena selalu diselubungi oleh prasang-ka, pendapat, atau keinginan. Kita tidak lagi melihat kenyataan apa yang ada, melainkan selalu ingin meli-hat sesuatu seperti yang kita kehendaki, yang kita inginkan sehingga segala kenyataan, kalau tidak co-cok dengan keinginan kita, nampak buruk, bahkan amat mengganggu mata. Demikian pula dengan pen-dengaran, penciuman, perasaan dan semua alat tubuh yang sudah menjadi budak dari pada nafsu kita. Hi-langlah semua ketajaman dan kepekaan yang pernah kita miliki ketika kita masih kanak-kanak, ketika pikiran kita belum sarat oleh beban, ketika "aku" kita belum membesar dan merajalela menguasai selu-ruh diri lahir batin. Lihatlah mata orang yang baru saja bangun tidur, ketika pikirannya masih mengen-dap, akan nampak sinar mata yang bening dan cemer-lang. Namun, begitu batinnya disibukkan kembali oleh isi pikiran yang bermacam-macam, lenyap pula keheningan mata, kembali menjadi muram dan ham-pa, hanya dipermainkan suka duka, puas kecewa. Ha-nya melihat benda-benda yang disuka atau tidak disu-ka, mendengarkan dengan dasar senang dan benci, mata seolah-olah menjadi buta dan tidak pernah me-lihat segala sesuatu seperti keadaan yang sebenarnya, seperti apa adanya.!
Ada pula orang yang ingin mempertajam kembali panca indera, melahirkan kembali
kepekaannya de-ngan jalan membius diri dengan candu dan obat-obat pembius lainnya.
Memang, untuk sesaat baban akan menjadi kosong dan bebas, dan panca indera akan bebas pula sehingga kita akan dapat menikmati kea-daan apa adanya, akan nampak betapa indahnya se-tangkai bunga, sehelai daun, sekelompok awan, atau wajah seorang manusia, indah tanpa batasan antara bagus dan jelek, indah yang bukan berarti bagus. Telinga akan menangkap suara-suara yang luar biasa indahnya, bukan bagus melainkan seperti apa adanya dengan segala nada dan iramanya, dengan segala ga-ungnya, gemanya, antara kosong dan isi dari serangkaian suara itu. Akan tetapi, semua itu hanya ditim-bulkan oleh keadaan kosong atau hening yang dipaksakan, yang timbul karena pembiusan! Bagaikan orang minum anggur, baru Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
614 menjilat percikannya saja. Dan akibatnya, orang akan menjadi kecanduan, orang akan selalu lari kembali kepada obat bius untuk dapat memasuki alam yang indah itu lagi! Dan kalau sudah begitu, maka hal itu menjadi kesenangan dan seperti biasanya, untuk mengejar kesenangan orang rela berkorban apapun juga, dalam hal ini, mengorbankan tubuhnya yang menjadi rusak oleh pengaruh obat bius.
Dapatkah kita memasuki keindahan itu tanpa ban-tuan obat bius" Pertanyaan ini berarti, dapatkah kita membersihkan semua debu yang mengotorkan batin kita" Dapatkah kita membuang semua beban pikiran kita" Dapatkah kita membiarkan pikiran hening dan kosong tanpa mengisinya dengan segala kesibukan yang bukan lain adalah si aku yang ingin segala itu" Dapat atau tidaknya, mari kita MENG-AMATI saja. Mengamati diri sendiri, pikiran sendiri, batin sendiri. Kita amati tanpa menentangnya, tanpa berusaha menenangkan atau mengosongkannya, kare-na kalau ada usaha mengosongkannya, berarti TI-DAK KOSONG.
Kalau kita berusaha membuatnya hening, itu berarti bahwa batin kita tidak hening lagi karena terisi kesibukan INGIN HENING. Dapatkah kita mengamati saja, tanpa pro dan kontra, seperti nonton sandiwara yang terjadi di dalam pikiran kita, tanpa komentar" Yang ada hanyalah pengamatan, bukan "aku" yang mengamati, karena kalau aku yang mengamati, tentu karena aku ingin batin ini hening, aku ingin begini dan begitu. Jadi, yang ada hanya pengamatan, yang ada hanya kewaspadaan.
Kao Cin Liong dan isterinya adalah orang-orang gagah perkasa, pendekar-pendekar budiman, namun mereka juga manusia-manusia biasa dengan segala kelemahannya. Mereka tak dapat menghindarkan diri dari pada ikatan, dan ikatan dengan puteri meraka-lah yang membuat mereka kehilangan akal, membuat mereka berduka sekali ketika puteri mereka itu dipi-sahkan dari mereka. Mereka kehilangan akal, tak sedap makan tak nyenyak tidur, selalu gelisah dan akhirnya keduanya bersepakat untuk meninggalkan ru-mah lagi, pergi mengunjungi Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun, di luar kota Cin-an. Kepergian mereka mengunjungi Suma Ceng Liong itu, selain untuk menghibur diri, juga untuk mengabarkan ten-tang kehilangan puteri mereka agar Suma Ceng Liong yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu dapat membantu mereka mencari Hong Li, atau setidaknya minta pendapatnya.
Gu Hong Beng melakukan perjalanan seorang diri dengan cepat. Dia telah meninggalkan gurun pasir dan kini tiba di luar sebuah dusun yang letaknya di sebelah utara Tembok Besar.
Tidak jauh dari tembok itu karena tadi, ketika dia menuruni sebuah bukit, dia telah melihat tembok itu melingkar-lingkar seperti seekor naga di antara pegunungan di selatan.
Melihat sebuah dusun yang berada di tempat terpencil ini, hati Hong Beng tertarik sekali.
Siapa tahu dia bisa mendapatkan arak atau makanan di dalam dusun itu, pikirnya. Setiap hari makan bekal makanannya, yaitu roti kering dan daging kering, amat men-jemukan. Juga dia ingin sekali minum arak setelah berpekan-pekan hanya minum air saja.
Selagi dia hendak memasuki dusun itu melalui pintu gerbangnya yang rusak tiba-tiba dia mende-ngar teriakan suara wanita. Hong Beng melihat seo-rang laki-laki berbangsa Mongol sedang memondong tubuh seorang gadis Mongol dan agaknya gadis inilah yang tadi
mengeluarkan teriakan. Hanya teriakan pendek karena kini gadis itu tak dapat berteriak lagi.
Sebuah tangan pemondongnya menutup mulutnya dan biarpun gadis itu meronta-ronta, namun sama sekali ia tidak mampu melepaskan diri dari pelukan laki-laki yang bertubuh besar itu, bagaikan seekor kijang dicengkeram seekor harimau yang buas. Orang Mongol itu lari keluar dari dusun, langkahnya lebar dan agaknya dia telah menculik gadis itu tanpa ada yang mengetahuinya.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 15 Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 18

Cari Blog Ini