Ceritasilat Novel Online

Suling Naga 5

Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


Karena sejak kecil hidup di dalam masyarakat dan dunia yang tergila-gila kepada nilai, maka agaknya sudah kita anggap wajar kalau kita selalu beru-saha untuk menonjolkan diri. Kalau tidak menonjol, kita merasa rendah diri, merasa hampa dan hina, me-rasa bodoh dan tidak diperhatikan. Karena sejak ke-cil sekali kita diperkenalkan dengan pujian dan cela-an, maka sejak kecil sekali pula kita berusaha untuk menonjolkan diri, untuk menarik perhatian orang-orang lain, hanya karena kita sudah haus akan nilai, haus akan pujian.
Kalau diri sendiri sudah tidak memungkinkan adanya penonjolan dan penghargaan orang lain atau pujian atau kekaguman, maka kita lalu membonceng kepada kepintaran anak kita, atau teman segolongan kita, atau juga suku atau bangsa kita, bahkan banyak kita lihat penonjolan diri seseorang membonceng ke-pada burung perkututnya, atau mobilnya, atau bahkan membonceng kepada senjata pusaka, atau batu cincin istimewa yang tidak dimiliki orang lain.
Se-mua itu nampak jelas kalau kita mau membuka mata mengamati keadaan diri sendiri lahir batin dan meng-amati keadaan sekeliling kita.
Demikian pula halnya dengan Bi-kwi. Wanita ini tadinya merasa iri kepada Bi Lan dan membencinya. Hal itu karena penonjolan ke-aku-annya tersinggung, karena ia merasa kalah oleh Bi Lan. Akan tetapi sekarang, karena kekhawatiran akan terkalahkan oleh sumoinya itu dalam ilmu silat terbukti bahwa ialah yang lebih unggul, ia yang dapat menguasai sumoi-nya, perasaan iri itupun menipis dan terganti pera-saan bangga dan puas!
Setelah merasa bahwa dua orang muridnya itu ki-ni cukup boleh diandalkan untuk
melaksanakan tugas mereka, Sam Kwi memanggil mereka menghadap. "Bi-kwi dan Siauw-kwi, kami merasa puas dengan kemajuan kalian dan besok kalian kami perkenankan untuk turun gunung dan mulai dengan tugas kalian. Dan untuk kepergian kalian besok pagi, malam ini kami ingin makan bersama kalian sebagai ucapan se-lamat jalan dan selamat bekerja.
Lekas kalian persiapkan untuk pesta kita," kata Iblis Akhirat dan dua orang wanita itu Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
121 tersenyum girang lalu membuat persiapan untuk membuat masakan. Untuk keperluan ini, di tempat tinggal mereka itu terdapat segala ma-cam bumbu masak. Sayur-mayur tinggal ambil di la-dang belakang dan keperluan daging dapat dicari se-ketika di dalam hutan. Tak lama kemudian, tiga orang kakek itu bersama dua orang muridnya sudah duduk menghadapi bangku-bangku kasar dan makan bersama. Sam Kwi nampak gembira sekali. Iblis Akhirat yang pendek bundar itu banyak tertawa gem-bira, memuji-muji dua orang muridnya. Bahkan Raja Iblis Hitam dan Iblis Mayat Hidup yang biasanya pendiam, malam itupun nampak tertawa-tawa. Hari telah mulai gelap ketika mereka mengakhiri malam bersama itu dan tiba-tiba Iblis Akhirat mengeluarkan sebuah guci arak yang disimpannya sendiri. Guci itu berwarna merah dan dia berkata.
"Bi-kwi dan Siauw-kwi, sebelum kita menyelesaikan pesta ini dan pergi beristirahat, kami bertiga ingin memberi ucapan selamat jalan kepada kalian dengan masing-masing dari kita menghidangkan satu cawan arak!"
Bi Lan mengangkat muka memandang kakek itu, alisnya berkerut akan tetapi mulutnya tersenyum. "Akan tetapi, suhu tahu bahwa teecu tidak pernah minum arak! Kalau suci memang biasa minum, akan tetapi teecu...."
Tiba-tiba Bi-kwi tertawa dan dengan ramah dan gembira berkata, "Sumoi, apa salahnya sekali-kali mencobanya" Apa lagi kalau suhu-suhu kita yang menghadiahkan, harus kita terima."
Tiga orang kakek itu sejak tadi memang sudah minum arak, wajah mereka sudah menjadi merah dan sinar mata mereka yang tertimpa sinar lampu berki-lauan. "Benar kata Bi-kwi, Siauw-kwi. Engkau ha-rus menerima ucapan selamat jalan kami melalui arak!" Iblis Akhirat menuangkan arak dari gucinya itu ke dalam dua buah cawan arak, lalu memberikan dua cawan itu kepada Bi-kwi dan Bi Lan. "Dan pula arak ini bukan arak yang keras, melainkan halus dan lezat, harum dan manis. Minumlah!"
Bi-kwi sambil tersenyum sudah minum cawannya, sekali tenggak habislah arak itu memasuki perut melalui tenggorokannya. Bi Lan merasa tidak enak ka-lau menolak, maka ia pun minum arak itu sampai ha-bis. Memang benar kata Iblis Akhirat. Arak itu tidak terlalu keras, harum dan agak manis.
Kini Raja Iblis Hitam dan Iblis Mayat Hidup masing-masing menyuguhkan secawan arak.
Tanpa ragu lagi Bi-kwi meminumnya, diikuti oleh Bi Lan. Akan tetapi setelah menghabiskan tiga cawan arak itu, Bi Lan memejamkan mata, merasa kepalanya be-rat dan agak pening.
Dan tiba-tiba saja Iblis Akhirat menubruknya dari belakang dan sebelum gadis yang sama sekali tidak curiga ini maklum apa yang terjadi, gurunya itu telah menotok jalan darah di kedua pun-daknya dan iapun menjadi lemas, kaki tangannya tak dapat digerakkannya lagi.
"Suhu, apa yang suhu lakukan ini?" ta-nyanya heran ketika kini Raja Iblis Hitam yang ting-gi besar itu sudah memondong tubuhnya.
Tiga orang kakek itu tertawa dan Bi Lan melihat betapa Bi-kwi tidak pusing seperti ia. Akan tetapi sucinya itu bangkit berdiri dan memandang kepada guru-guru mereka dengan alis berkerut. Anehnya, sucinya itu juga memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kebencian, mengingatkan ia akan sikap sucinya pada waktu yang sudah-sudah.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
122 "Ha-ha-ha, Siauw-kwi. Engkau belum menjadi Iblis Cilik yang sesungguhnya sebelum menjadi milik kami. Malam ini kau harus melayani kami bertiga, baru engkau benar-benar lulus ujian dan menjadi mu-rid kami yang baik seperti Bi-kwi."
Bi Lan terbelalak. Biarpun ia kurang pengalaman dan kurang pergaulan, namun nalurinya membisikkan apa arti ucapan gurunya itu. Ia sudah tahu akan ke-adaan sucinya, yang selain menjadi murid terkasih, juga sucinya itu kadang-kadang tidur dengan guru-gurunya! Karena sudah terbiasa oleh watak Sam Kwi dan Bi-kwi yang aneh-aneh, maka iapun tidak perduli.
Akan tetapi sekarang, agaknya tiga orang gurunya yang seperti iblis itu hendak mengorbankan dirinya pula!
"Tidak....! Tidak....!" Ia berseru dengan perasaan ngeri. "Aku tidak mau! Sampai matipun aku tidak mau!"
Tiga orang kakek itu saling pandang, kemudian Iblis Akhirat tertawa dan baru sekali ini Bi Lan mendengar suara ketawa itu sebagai suara yang amat menyeramkan dan baru sekarang ia melihat betapa wajah tiga orang kakek itu mengerikan dengan sinar mata mereka yang menakutkan pula. Baru sekarang ia melihat betapa buruk dan jahatnya tiga orang gu-runya ini.
"Heh-heh-heh, Siauw-kwi. Sikapmu begini sung-guh tidak pantas, seolah-olah engkau bukan murid kami saja! Sekali waktu, sebagai seorang wanita, engkau tentu akan mengalami hal itu, dan tidak ada kehormatan yang lebih besar dari pada melayani gu-ru-gurumu seperti Bi-kwi!"
"Tidak! Aku lebih baik mati! Suhu bertiga boleh bunuh aku, akan tetapi aku tidak sudi....!"
Bi Lan berteriak-teriak dan berusaha untuk meronta, akan tetapi tangannya tak dapat ia gerakkan. Dalam kengerian dan rasa takutnya, juga ia merasa heran dan tak dapat dimengerti mengapa tiga orang suhu-nya yang tadinya menyayangnya seperti cucu sendiri, kini tahu-tahu berobah seperti tiga ekor serigala yang hendak menerkamnya. Hampir ia tidak percaya dan meragukan apakah ia tidak berada dalam sebuah mimpi buruk.
"Engkau tidak akan mati, akan tetapi melayani kami malam ini, mau atau tidak mau!" tiba-tiba Raja Iblis Hitam membentak dan hal ini juga mengejutkan hati Bi Lan. Di dalam suara ini lenyaplah semua ge-taran kasih sayang seperti yang biasa ia rasakan dari guru-gurunya ini, yang ada hanya getaran nafsu yang menjijikkan.
"Tinggal pilih, melayani kami dengan suka rela atau harus kami perkosa!" bentak pula Iblis Mayat Hidup dan sepasang mata kakek kurus kering ini yang biasanya sudah mencorong itu kini bertambah seperti ada api menyala di dalamnya.
Bi Lan terkejut bukan main, mukanya pucat dan kedua matanya tanpa disadarinya menjadi basah oleh air mata. Ia tidak melihat jalan keluar dan ia sudah tidak berdaya. Kini terbukalah matanya dan baru ia tahu bahwa tiga orang gurunya itu benar-benar bu-kan manusia lagi, melainkan tubuh-tubuh yang sudah dirasuki roh-roh jahat yang tidak segan melakukan kejahatan dalam bentuk apapun juga.
"Ha-ha-ha, tak perlu menangis, Siauw-kwi. Ka-mi hanya akan memberi suatu kehormatan kepada-mu, membuatmu dewasa. Sepatutnya kau berterima kasih, bukan menangis. Dan yang dikatakan mereka tadi benar. Mau tidak mau engkau harus melayani kami malam ini. Tentu saja kami menghendaki eng-kau melayani kami dengan suka rela. Kami beri wak-tu selagi kami memuaskan diri minum arak untuk mempertimbangkan. Kalau engkau tetap menolak, Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
123 terpaksa kami akan melakukan kekerasan dan hal itu sungguh amat tidak menyenangkan,"
kata Iblis Akhirat sambil tersenyum, akan tetapi bagi Bi Lan, senyumnya tidak ramah lagi melainkan seperti iblis menyeringai. "Bi-kwi, bawa ia ke dalam kamar dan jaga baik-baik sampai kami bertiga selesai minum. Dan heh-heh, jangan khawatir, engkaupun akan mendapat bagian dari kami!"
Bi-kwi mengangguk dan mencengkeram pung-gung baju Bi Lan, lalu dijinjingnya tubuh Bi Lan se-perti orang menjinjing seekor keledai yang akan di-sembelih. Bi-kwi nampak diam saja karena mengha-dapi peristiwa yang akan menimpa diri sumoinya, ia tadi termenung dan berpikir keras. Tentu saja ia ti-dak perduli kalau sumoinya diperkosa oleh ketiga orang guru mereka, tidak perduli apa yang akan me-nimpa diri sumoinya yang tidak disukanya. Akan tetapi, di dalam menghadapi setiap peristiwa, Bi-kwi selalu memperhitungkan dan mencari kalau-kalau ada hal yang akan dapat menarik keuntungan bagi diri-nya sendiri. Ia membayangkan bahwa kalau sumoi-nya sampai diperkosa oleh tiga orang gurunya, maka mulai saat itu sumoinya telah menduduki tempat yang lebih tinggi lagi, menjadi kekasih tiga orang gu-runya. Dan sebagai seorang wanita yang sudah ba-nyak pengalamannya dalam mengenal watak pria da-lam hal ini, ia membayangkan betapa setelah mem-peroleh yang baru dan yang muda, tiga orang guru-nya tentu akan mengesampingkan dirinya. Dengan demikian, maka dalam mengambil hati guru-gurunya, ia akan kalah pula oleh sumoinya! Jadi, kalau su-moinya sampai menjadi korban Sam Kwi, walaupun pada mulanya ia merasa puas bahwa sumoi itu men-derita malapetaka itu, namun pada akhirnya sumoi-nya yang akan mendapat keuntungan dan ia malah menderita rugi! Maka ia lalu membayangkan hal sebaliknya dan mencari kemungkinan agar ia mem-peroleh keuntungan sebanyaknya dari hal sebaliknya itu.
Sumoinya sekarang adalah seorang yang cukup lihai, mungkin hanya kalah sedikit olehnya, kalah dalam hal ilmu baru Sam Kwi Cap-sha-kun itu saja. Dengan demikian berarti bahwa sumoinya dapat menjadi pembantunya yang amat berharga, menjadi pembantunya yang tenaganya boleh diandalkan. Dan ia merasa betapa perlunya tenaga seperti itu. Sudah banyak ia mencari pembantu, bahkan Tee Kok ketua Ang-i Mo-pang dapat ditarik menjadi
pembantu-nya, akan tetapi kepandaian orang itu bersama keku-atan anak buahnya belum dapat diandalkan benar. Kalau ia dapat menguasai sumoinya, kalau sumoinya mau
membantunya dengan sungguh-sungguh dalam usaha merampas kembali Liong-siauw-kiam, tentu hasilnya lebih dapat diharapkan.
Dengan kasar ia lalu melemparkan tubuh sumoi-nya yang tak mampu bergerak itu ke atas pemba-ringan, lalu iapun duduk di dekatnya. "Hemm, da-patkah kau membayangkan apa yang akan dilakukan oleh tiga orang tua bangka itu terhadap tubuhmu" Tubuhmu yang muda dan mulus itu akan digeluti, akan dinodai dan dipermainkan sampai mereka berti-ga puas!
Setelah mereka selesai engkau sudah akan rusak sama sekali dan tidak mungkin dapat dipulih-kan kembali! Engkau akan merasa terhina, muak dan jijik, akan tetapi setiap kali mereka menghendaki, engkau harus merangkak kepada mereka, seperti anjing kelaparan!
Senangkah hatimu membayang-kan itu semua?"
Air mata sudah jatuh berderai dari kedua mata Bi Lan ketika ia mendengar ucapan sucinya itu. Ia ti-dak mampu mengeluarkan suara, hanya menggeleng kepala berkali-kali dengan perasaan ngeri terbayang pada wajahnya. Akan tetapi, ia tahu bahwa sucinya tidak akan mau menolongnya, maka percuma sajalah andaikata ia akan minta tolong juga. Agaknya
pikir-annya ini dapat diduga oleh Bi-kwi.
"Hayo katakan! Hayo bilang bahwa kau minta tolong padaku!"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
124 Bi Lan berbisik, "Tidak ada gunanya. Engkau tentu bahkan akan mengejekku. Engkau tentu girang melihat keadaanku, engkau tentu puas karena melihat aku yang kaubenci ini mengalami penderitaan he-bat...."
"Hemmm, belum tentu," kata Bi-kwi. "Lihat sumoi macam apa engkau ini, baru aku akan meng-ambil keputusan. Tak perlu kusangkal, memang aku tidak suka kepadamu, sumoi, karena kehadiranmu hanya merugikan aku. Akan tetapi, kalau saja engkau dapat berguna bagiku, tentu saja aku tidak ingin melihat engkau celaka. Ada budi ada balas, tentu engkau mengerti, bukan?"
"Apa.... apa maksudmu?"
"Maksudku, kalau engkau mau melakukan sesua-tu untukku, tentu akupun mau melakukan sesuatu untukmu. Ada budi ada balas!"
"Apa yang harus kulakukan dan apa yang akan kaulakukan?"
"Misalnya, engkau berjanji untuk membantuku mati-matian dan sekuat tenaga untuk merampas Liong siauw-kiam, kemudian membantuku sampai aku berhasil menjadi bengcu...."
"Bukankah itu tugas kita?"
"Tadinya memang begitu, akan tetapi kalau eng-kau mau berjanji melakukan itu untuk aku, bukan untuk suhu, nah, misalnya engkau mau berjanji me-lakukan itu, mungkin aku mau membebaskan totok-anmu dan mengajakmu lari sekarang juga."
Berdebar rasa jantung di dalam dada Bi Lan. Ini-lah satu-satunya kesempatan. Dan menjanjikan se-perti yang diminta sucinya itu bukan berarti berjanji untuk melakukan hal-hal yang tak disukainya.
"Baiklah, suci, aku berjanji."
"Sumpah?" "Sumpah!" "Baik, tanpa janji dan sumpah sekalipun, kalau engkau mengingkari, setiap waktu aku akan dapat membunuhmu," kata Bi-kwi dan iapun cepat mem-bebaskan totokan dari tubuh Bi Lan, kemudian mengajak sumoi itu untuk diam-diam melarikan diri melalui jendela. Tiga orang kakek yang menaruh ke-percayaan sepenuhnya kepada Bi-kwi, tidak menduga sama sekali dan mereka masih enak-enak minum arak sambil main tebak jari untuk menentukan siapa pe-menang pertama, ke dua dan ke tiga yang berhak menggauli Bi Lan lebih dahulu.
Setelah minum arak cukup banyak, arak yang ta-di disuguhkan Bi Lan, tidak mengandung racun atau pembius, melainkan arak yang tua dan amat keras sehingga tadi Bi Lan yang tidak biasa minum arak itu menjadi pening dan setengah mabok. Tiga orang kakek itu lalu sambil tertawa-tawa masuk ke dalam dan menghampiri kamar Bi Lan dengan harapan bahwa murid mereka itu akan menyambut mereka de-ngan suka rela sehingga mereka tidak perlu
memper-gunakan paksaan, seperti yang terjadi pada Bi-kwi dahulu.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
125 Dapat dibayangkan betapa heran dan juga marah hati mereka ketika melihat betapa kamar itu sudah kosong. Bi-kwi maupun Siauw-kwi tidak nampak bayangannya lagi! Tanpa mencaripun tahulah mereka bahwa kedua orang murid itu telah pergi tanpa pamit. Mereka lalu duduk berunding.
"Tidak mungkin Siauw-kwi membebaskan sendiri totokannya. Aku yang melakukan totokan dan dalam waktu sedikitnya tiga jam ia tidak akan dapat bebas, kecuali kalau ada yang membebaskannya," kata Raja Iblis Hitam penasaran.
"Dan yang dapat membebaskannya hanyalah Bi-kwi, satu-satunya orang yang berada di sini."
"Akan tetapi Bi-kwi tidak akan mengkhianati kita."
"Mungkin Bi-kwi hanya iri dan tidak ingin meli-hat kita mendekati sumoinya, maka ia membebaskan-nya dan mengajak sumoinya pergi tanpa pamit me-laksanakan tugas mereka."
"Itu lebih tepat. Mereka tentu akan melaksana-kan tugas mereka dan mereka hanya ingin menghin-darkan apa yang kita kehendaki malam ini."
"Akan tetapi bagaimana kalau mereka benar-be-nar mengkhianati kita" Habislah harapan kita dan hancurlah semua jerih payah kita."
"Ah, kita tidak perlu bingung," akhirnya Iblis Akhirat berkata."Hanya ada dua hal yang akan ter-jadi. Pertama, mereka tidak berkhianat dan hanya menghindarkan maksud kita terhadap Siauw-kwi. Kalau benar demikian dan mereka kelak pulang, ma-sih belum terlambat untuk mendapatkan Siauw-kwi yang manis. Ke dua, kalau benar mereka itu berkhi-anat, kita cari mereka dan kita bunuh mereka."
"Bagus, dan kita sudah terlalu lama menganggur di sini, mari kita pergi mencari mereka dan menye-lidiki apa yang mereka lakukan."
Demikianlah, pada keesokan harinya, tanpa ter-gesa-gesa, tiga orang kakek iblis itupun turun dari Thai-san untuk mencari dua orang murid mereka.
*** Dengan cerdik Bi Lan dapat mengambil Ban-tok-kiam ketika ia diajak pergi oleh sucinya malam itu, dengan alasan bahwa ia hendak kembali sebentar mengambil pakaiannya. Bi-kwi menanti di bawah puncak tanpa curiga dan dengan menyembunyikan pedang itu di balik bajunya, Bi Lan mengikuti suci-nya yang membawanya lari menuju ke selatan.
Perjalanan ini mendatangkan kegembiraan besar di dalam hati Bi Lan. Sejak kecil, dalam usia sepu-luh tahun, ia telah ikut bersama Sam Kwi yang mem-bawanya tinggal di gunung-gunung dan di tempat-tempat sunyi. Jarang Bi Lan memperoleh kesempat-an bergaul dengan orang lain dan ia hanya mengenal keadaan dunia melalui cerita tiga orang gurunya dan sucinya saja. Paling banyak, ketika ia masih ikut su-hu-suhunya, ia melihat dusun-dusun dan bertemu dengan penduduk dusun dan pegunungah yang hidup sederhana. Oleh karena itu setelah kini melakukan perjalanan bersama Bi-kwi, memasuki kota-kota be-sar, Bi Lan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
126 merasa gembira sekali, gembira dan pe-nuh keliaranan memandangi rumah-rumah besar di dalam kota, toko-tokonya dan keramaian kota. Mulai teringat pulalah kehidupan di dunia ramai yang ditinggalkan semenjak ia berusia sepuluh tahun itu.
Kenyataan yang mengejutkan hati Bi Lan adalah ketika ia melihat kerusakan-kerusakan dan bekas kehancuran sebagai akibat pemberontakan-pemberon-takan di selatan, juga ia harus menahan perasaannya ketika ia dan sucinya memasuki kota-kota besar, ia melihat betapa pandang matakaum pria yang dituju-kan kepada ia dan sucinya, hampir semua mengan-dung kekurangajaran dan nafsu berahi yang menjijik-kan. Ia melihat seolah-olah kaum pria itu, sebagian besar, memiliki mata serigala yang melihat kelenci-kelenci montok lewat di depan hidung mereka!
Bi Lan adalah seorang gadis berusia tujuhbelas tahun lebih. Walaupun pengalamannya dengan kaum pria dapat dikata nol, akan tetapi naluri kewanitaan-nya dapat menangkap semua pandang mata kaum pria itu yang membuat gadis ini selain heran juga terkejut dan tidak enak, merasa canggung dan ngeri, seolah-olah dikepung bahaya. Akan tetapi, jauh di dalam batinnya terdapat pula suatu perasaan aneh, perasaan bangga dan senang yang dengan keras ditutupnya. Ia tidak tahu bahwa semua perasaan wanita, semenjak ia dewasa, sama dengan perasaannya itu. Sudah men-jadi watak pria yang sesuai dengan naluri dan kejan-tanan mereka untuk tertarik apa bila melihat wanita muda yang cantik, dan pandang mata mereka selalu akan menempel pada penglihatan itu seperti bubuk-bubuk besi menempel pada semberani sehingga pan-dang mata mereka mengandung kekaguman dan kemesraan.
Dan justeru naluri alamiah wanita ada-lah butuh akan kekaguman dari kaum pria ini. Tidak ada wanita yang tidak merasa bangga, dan senang dikagumi pandang mata pria, walaupun hukum-hu-kum kesopanan dan kesusilaan memaksa wanita itu pura-pura tak senang, atau bahkan marah, atau seti-daknya akan menyimpan rasa bangga dan senang ini jauh di dalam hatinya sendiri sebagai suatu rahasia pribadinya. Inilah sebabnya mengapa wanita paling mudah jatuh menghadapi rayuan-rayuan mulut manis dan para pria petualang asmara mempergunakan kelemahan wanita ini untuk menjatuhkannya dengan rayuan-rayuan dan pujian-pujian.
Bi-kwi mengajak Bi Lan memasuki Propinsi Yunan di selatan. Pada waktu itu,
pemberontakan telah dapat dipadamkan dan Propinsi Yunan sudah menjadi tenang dan tenteram kembali. Rakyat di daerah itu yang paling parah menderita akibat pe-rang pemberontakan, telah kembali ke daerah ma-sing-masing. Yang kehilangan rumah kini mulai membangun kembali dari bawah dan biarpun masih nampak bekas reruntuhan akibat perang, namun agak-nya para penghuninya sudah merupakan peristiwa menyedihkan itu dan tidak lagi terbayang ketakutan pada wajah mereka.
Pada suatu pagi, tibalah dua orang wanita itu di kota Kun-ming yang merupakan kota terbesar di Propinsi Yunan. Karena dalam perjalanan itu Bi-kwi memilih jalan terdekat, maka jarang mereka melewati kota besar, hanya dusun-dusun dan kota-kota kecil, maka begitu memasuki kota besar Kun-ming di se-latan ini, Bi Lan memandang penuh kekaguman. Ia masih ingat bahwa keluarga orang tuanya juga datang dari Yunan selatan. Ketika
perjalanannya membawa-nya tiba di Propinsi Yunan, mendengar suara perca-kapan orang-orang di dusun-dusun yang dilewati-nya saja sudah mendatangkan keharuan di hatinya, mendatangkan keyakinan bahwa memang ia berasal dari Yunan. Ia mengenal betul logat bahasa daerah Yunan, walaupun ia sendiri kini sudah berlogat lain, namun logat bahasa selatan itu tidak asing baginya, bahasa orang tuanya, bahasanya ketika ia masih kecil.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
127 Hari itu masih pagi, akan tetapi jalan-jalan raya di kota Kun-ming sudah ramai oleh mereka yang pergi ke pasar-pasar. Banyak toko yang masih tutup, akan tetapi toko-toko yang sudah buka merupakan penglihatan yang mendatangkan kagum dam heran di hati Bi Lan. Berkali-kali ia bertanya kepada Bi-kwi arti tulisan-tulisan yang terpampang di depan toko--toko atau rumah-rumah besar sehingga Bi-kwi menghardiknya untuk diam karena ia merasa jengkel harus menerangkan sejak tadi arti tulisan-tulisan yang hanya merupakan nama-nama dari toko yang mereka lewati atau kata-kata reklame toko untuk menarik langganan. Memang Bi Lan seorang gadis buta huruf, ia hanya puteri seorang petani yang tidak sempat
menyekolahkannya, dan sejak berusia sepuluh tahun ia ikut dengan Sam Kwi, tiga orang datuk sesat yang sama sekali tidak perduli akan pendidik-annya, bahkan menganggap bahwa melek huruf me-rupakan hal yang tidak ada gunanya bagi wanita! Akan tetapi Bi-kwi sempat mempelajari baca tuiis walaupun hanya secara sederhana.
Ketika mereka melewati sebuah rumah makan besar yang sudah buka, hidung mereka
dilanggar bau masakan yang sedap dan perut mereka segera mem-beri isyarat bahwa sejak kemarin siang mereka belum makan apa-apa. Bi-kwi memberi isyarat kepada sumoinya dan merekapun melangkah ke arah restor-an itu.
Bi Lan tersenyum girang. "Wah, kalau yang ini tak perlu kauceritakan, suci. Aku tahu bahwa di sini tentu dijual makanan enak."
Mau tak mau Bi-kwi tersenyum juga. "Engkau memang gadis tolol. Tak perlu banyak bertanya, lihat saja dan kau tentu akan mengerti sendiri."
Seorang pelayan menyambut dua orang tamu ini dan wajahnya tersenyum gembira ketika dia melihat bahwa tamu-tamunya adalah dua orang wanita yang cantik-cantik dan manis-manis.
Dia memandang dengan sinar mata penuh selidik. Seorang wanita berusia tigapuluh tahunan, berpakaian mewah dan in-dah, sinar matanya genit, wajahnya manis dan ber-tambah cantik oleh riasan muka, seorang wanita yang matang dan menarik. Orang ke dua adalah seorang yang jelas merupakan seorang gadis yang baru mekar, berpakaian sederhana sekali, bahkan mukanya tanpa bedak, akan tetapi kulit muka itu jauh lebih halus dan mulus dibandingkan dengan wanita pertama, dan bentuk tubuh gadis belasan tahun itu demikian ram-ping seolah-olah pinggangnya dapat dilingkari empat jari tangan si pelayan.
"Selamat pagi, nona-nona. Apakah ji-wi hendak sarapan?"
Bi-kwi mengangguk. "Silahkan masuk, ji-wi siocia, silahkan duduk." Pelayan itu membawa mereka ke sebuah meja di su-dut, di mana para pelayan dan pengurus rumah ma-kan dapat melihat mereka dengan jelas, sebaliknya tempat ini menyenangkan hati Bi-kwi karena di sini ia dapat duduk sambil melihat ke semua penjuru, juga ke arah jalan raya di depan restoran. Tidak ba-nyak tamu di restorau itu sepagi ini. Hanya ada lima meja yang terisi, di antara tigapuluh lebih meja di ruangan yang cukup luas itu. Bi-kwi lalu memesan makanan dan minuman. Bi Lan tak pernah membuka mulut, membiarkan sucinya yang memesan makanan apa saja karena ia tidak tahu harus memilih apa. Akan tetapi ia teringat akanminuman dan berbisik.
"Suci, aku minum teh saja, teh panas."
Mendengar ini, pelayan itu tersenyum lebar dan memandang kepada Bi Lan sambil
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
128 mengangguk. "Kami terkenal dengan teh kami yang harum, nona."
Bi-kwi mengangkat mukanya dan memandang wajah pelayan itu. Sinar matanya menyambar seperti dua batang anak panah dan muka yang tadinya me-nyeringai dalam senyum ramah itu segera berobah dan si pelayan menunduk dan membungkukkan tu-buhnya. Dia terkejut melihat sepasang mata yang jeli itu seperti berapi, dan tahu bahwa wanita itu marah, maka dia tidak berani lagi bersikap main-main.
"Apakah arakmu juga sebaik tehmu?" tanya Bi-kwi ketus.
Pelayan itu membungkuk-bungkuk. "Tentu, tentu.... nyonya, arak kami...."
"Brakk!" Bi-kwi menggebrak meja sehingga pe-layan itu terkejut. Bi Lan menahan
ketawanya kare-na geli melihat sikap sucinya dan pelayan itu.
"Suci bukan nyonya, masih nona," katanya ka-rena ia dapat menduga mengapa sumoinya marah-marah disebut nyonya.
"Oh.... eh.... nyo.... nona, maafkan saya melihat si pelayan menjadi gagap gu-gup, Bi Lan tertawa. Suara ketawanya bebas lepas, tanpa menutupi mulutnya karena ia memang tak pernah diajar sopan santun seperti orang-orang kota, seperti wanita-wanita yang dianggap sopan menutupi mulut kalau tertawa. Hal ini tentu saja menarik perhatian para tamu lain yang duduk di situ dan me-rekapun menengok, lalu ikut tersenyum melihat beta-pa seorang gadis, agaknya gadis dusun, tertawa begitu gembira.
"Sumoi, diam kau!" Bi-kwi mendesis dan Bi Lan menahan ketawanya. "Dan kau jangan cerewet dan ceriwis!" bentak Bi-kwi kepada si pelayan. "Cepat sediakan teh panas, arak baik dan nasi, da-ging panggang dan dua mangkok sayur yang paling enak!"
Kini pelayan itu tidak berani banyak lagak lagi. Dia membungkuk-bungkuk. "Baik, nona, baik, no-na...."
Akan tetapi saking gugupnya, ketika dia meninggalkan meja itu dan menghampiri meja pengurus untuk melaporkan pesanan, dia lupa berapa banyak sayuran yang dipesan Bi-kwi, maka dengan muka ke-cut terpaksa dia menghampiri lagi meja dua orang wanita itu. Hal ini tak lepas dari perhatian Bi Lan yang merasa betapa orang ini lucu sekali.
"Maaf, nona. Tadi.... pesanan sayurnya berapa banyak?"
Bi-kwi sudah hampir menghardiknya, akan tetapi didahului oleh Bi Lan yang membentak dengan wa-jah tersenyum geli. "Dua mangkok!" Bentaknya nyaring, mengejutkan si pelayan dan kembali mena-rik perhatian para tamu. Setelah si pelayan pergi, Bi-kwi mengomel kepada sumoinya.
"Tak perlu engkau tertawa dan berteriak-teriak seperti itu. Apakah kau ingin menarik perhatian orang-orang?"
"Maaf, nyo.... eh, nona.... Bi Lan me-nirukan suara dan gaya si pelayan sehingga Bi-kwi terpaksa menyeringai gemas. Bi Lan adalah seorang gadis yang pada hak dasarnya memiliki dasar watak gembira dan lincah jenaka. Kalau tadinya ia bersikap aneh, hal itu adalah karena Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
129 ulah sucinya yang mem-beri pelajaran yang menyesatkan sehingga pikirannya bingung dan agak berobah. Akan tetapi setelah ia menerima pengobatan dari Pendekar Naga Sakti dan isterinya, dan sembuh sama sekali dari pengaruh hawa beracun, dasar wataknya itupun muncul kemba!i. Maka, setelah ia berada di dalam kota dan merasa gembira dapat melihat daerah asalnya, kegembiraan-nya timbul dan melihat ulah pelayan yang demikian lucu, iapun segera menggodanya.
Tak lama kemudian, pelayan itu datang membawa makanan dan minuman yang dipesan, dan Bi Lan segera menikmati hidangan itu. Memang nikmat, ka-rena selama ini di puncak Thai-san, ia makan masakannya sendiri dan masakan sucinya yang sederhana sekali, asal sudah diberi garam, cukuplah. Dengan lirikan ujung matanya, Bi Lan melihat betapa seorang pemuda yang duduk di sudut ruangan itu, sejak tadi kadang-kadang melirik ke arah mejanya.
Pemuda ini belum tua benar, paling banyak duapuluh tahun. Seorang pemuda yang berwajah cerah dan tampan, namun amat sederhana, baik perawatan muka dan rambutnya yang dikuncir tebal itu maupun pakaian-nya yang hanya terbuat dari kain kasar berwarna biru dan sepatunya dari kulit. Pemuda itu makan bakmi dengan sumpitnya, dan cara makannya juga sopan, tanda bahwa pemuda itu bukan orang yang suka ugal-ugalan walaupun pakaiannya tidak
menun-jukkan bahwa dia seorang terpelajar. Di atas meja-nya terdapat sebuah buntalan yang agak panjang, mungkin terisi pakaian dan ini saja menandakan bah-wa pemuda itu tentu seorang pendatang dari luar kota pula, bukan penduduk di situ dan agaknya dia baru saja masuk kota, terbukti dari bekal pakaian yang masih dibawanya, seperti juga Bi Lan dan Bi-kwi sendiri yang menaruh buntalan pakaian mereka di atas meja. Juga Bi Lan melihat betapa sucinya be-berapa kali mengerling ke arah pemuda itu dan ka-rena inilah sebetulnya maka ia menjadi tertarik dan ikut-ikut melirik. Dari sikap sucinya, ia dapat men-duga bahwa sucinya sudah kambuh pula penyakitnya, yaitu penyakit mata keranjang. Tentu sucinya naksir pemuda tampan itu, pikirnya dan kembali ada pera-saan tidak enak menekan hatinya. Sejak dahulu, me-lihat watak sucinya, ia merasa muak dan tidak se-nang. Akan tetapi karena hal itu adalah urusan pri-badi sucinya, iapun pura-pura tidak tahu dan tidak ingin mencampurinya pula.
Tiba-tiba seorang pelayan berseru, "Celaka, dia datang lagi.... !" Dan mendengar seruan ini, pengurus restoran menjadi pucat wajahnya, dan se-mua pelayan juga nampak gugup
ketakutan. Pengu-rus restoran yang kurus itu lalu mengambil uang dari laci mejanya dan menyembunyikannya di bawah tum-pukan bungkusan bumbu-bumbu masakan. Beberapa
orang tamu yang melihat hal itu menjadi heran, dan ada juga yang menjadi khawatir karena tentu akan terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan.
Tak lama kemudian, di depan pintu restoran itu sudah muncul seorang laki-laki. Dengan sudut mata-nya, Bi Lan dan Bi-kwi melirik. Laki-laki itu usianya kurang lebih empatpuluh tahun, tubuhnya nam-pak tegap dan kokoh kuat. Akan tetapi yang menyolok adalah pakaian laki-laki ini yang terbuat dari kain yang berwarna serba merah! Lebih menyolok lagi adalah sepasang golok yang dijadikan satu dan masuk dalam satu sarung, tergantung di pinggang kirinya. Di jaman itu, membawa senjara tajam secara demiki-an menyolok merupakan hal yang aneh, karena pe-merintah sudah lama melarang membawa sen-jata tajam di tempat umum. Hal ini saja menunjuk-kan bahwa tentu orang berpakaian serba merah ini adalah seorang jagoan.
Laki-laki baju merah itu memiliki sepasang mata yang lebar dan sikap yang galak. Begitu tiba di de-pan pintu, matanya lalu menyapu ruangan restoran, melihat ke arah para tamu yang Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
130 hanya enam meja itu, dan agak lama pandang matanya berhenti pada meja Bi Lan.
"Hemmm, rakyat hidup sengsara dan kekurang-an, kurang makan kurang pakaian, dan kalian enak-enak makan lezat di sini. Sungguh tidak tahu peri-kemanusiaan! Hayo seorang menyumbang seharga makanan yang dipesannya!"
Tentu saja ucapan dan sikap laki-laki ini mendatangkan bermacam reaksi di kalangan para tamu. Ada yang memandang marah, ada yang ketakutan dan suasana menjadi tegang.
Pengurus restoran yang kurus itu tergopoh-gopoh lari menghampiri laki-laki baju merah yang sudah melangkah memasuki restor-an, tangannya membawa segenggam uang dan dia
membungkuk-bungkuk di depan laki-laki itu.
"Harap si-cu (orang gagah) jangan mengganggu para tamu kami. Kemarin dulu, kedatangan si-cu menimbulkan kepanikan dan kalau terus-menerus begini, tamu-tamu dan langganan kami akan takut untuk makan di restoran kami. Harap si-cu maafkan kami dan suka meninggalkan tempat kami, ataukah si-cu ingin makan minum" Mari silahkan...."
"Diam!" hardik orang baju merah itu. "Dan jangan mencampuri urusanku!"
"Tapi, si-cu, ini adalah tempat kami, tempat ka-mi mencari nafkah.... harap si-cu suka menerima sedikit sumbangan ini. Biarlah kami atas nama para tamu menyerahkan sumbangan ini. " Si kurus itu dengan tangan gemetar lalu memberikan segenggam uang itu kepada si baju merah. Si kurus melihat se-genggam uang itu dan karena uang itu hanya terdiri dari uang kecil, marahlah dia.
"Aku bukan pengemis!" bentaknya dan sekali tangan kirinya bergerak, dia sudah
mencengkeram baju si pengurus restoran bagian dadanya, mengang-kat tubuh orang itu dan sekali lempar, tubuh si ku-rus itu terjengkang dan terbanting, uang kecil segeng-gam itu jatuh berhamburan di atas lantai. Tentu saja peristiwa ini amat mengejutkan semua tamu.
Tiga orang tamu pria yang duduk paling depan, merasa takut dan cepat-cepat mereka membayar har-ga makanan ke meja pengurus yang kini sudah melangkah ketakutan dan kembali ke belakang mejanya tanpa memunguti uang yang berhamburan tadi, ke-mudian tiga orang itu hendak melangkah keluar dari restoran. Akan tetapi tiba-tiba orang baju merah itu sudah menghadang mereka dan memalangkan lengan kanannya depan pintu.
"Bayar dulu kepadaku seharga makanan kalian itu, baru kalian boleh keluar dari sini,"
katanya. "Akan tetapi kami sudah bayar makanan kami. Kalau engkau hendak minta sumbangan, seharusnya kepada pemilik restoran, bukan kepada kami!" kata seorang di antara tiga orang itu, sikapnya agak berani karena mereka bertiga dan pengacau itu hanya se-orang saja.
"Aku minta kepada pemilik restoran atau tidak adalah urusanku, kalian tidak perlu mencampuri. Aku datang untuk minta pajak kepada kalian, kalau tidak mau beri, terpaksa aku akan mengeluarkan lagi makanan dan minuman yang tadi kalian makan!"
Ucapan ini biarpun berupa ancaman akan tetapi dianggap tak masuk akal, maka tiga orang itu berke-ras menolak. "Engkau sungguh mau enak sendiri saja!" seorang di antara mereka mencela.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
131 Tiba-tiba si baju merah itu bergerak. Cepat se-kali gerakannya dan tahu-tahu tiga orang itu telah dipukul dan ditendangnya, masing-masing satu kali dan tepat mengenai perut mereka bagian atas, bawah ulu hati. Keras sekali pukulan dan tendangan itu, mengguncangkan pencernaan mereka dan tanpa da-pat dicegah lagi, tiga orang itu lalu muntah-muntah dan semua makanan yang tadi mereka makan benar saja keluar semua!
"Masih belum mau bayar?" bentak si baju me-rah. Tiga orang itu dengan menahan rasa nyeri dan ketakutan, terpaksa merogoh saku dan membayar kepada si baju merah sebanyak yang mereka bayar kepada pengurus restoran tadi. Tamu-tamu lain dari tiga meja berikutnya, cepat membayar harga makan-an dan tanpa banyak membantah merekapun mem-bayar kepada si baju merah ketika mereka keluar dan terhadang oleh si baju merah. Kini tinggal pemuda yang duduk sendirian dan dua orang wanita yang masih melanjutkan makan minum.
Bi Lan sejak tadi merasa betapa perutnya panas. Ingin sekali ia bangkit dan memberi hajaran kepada si baju merah itu. Akan tetapi ia selalu dididik oleh Sam Kwi dan Bi-kwi agar tidak mencampuri urusan orang lain kalau tidak menyangkut diri sendiri. Biar ada orang membunuh atau menyiksa orang lain, ka-lau hal itu tidak merugikan diri sendiri, tidak perlu dicampuri, demikian pelajaran yang diterimanya. Bi-arpun kini ia merasa marah sekali terhadap si baju merah, pelajaran itu yang sudah meresap di hatinya membuat Bi Lan menahan kemarahannya.
Apa lagi karena ia melihat betapa sucinya tetap makan minum seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu di tempat itu. Dan anehnya, ketika melirik ke arah pe-muda itu ia melihat pemuda itu juga masih makan bakminya, perlahan-lahan seolah-olah pemuda itu se-ngaja berlambat makan bakminya dan memberi ke-sempatan kepada dua orang gadis itu untuk selesai lebih dulu dan membayar lebih dulu! Akan tetapi Bi Lan melihat betapa sucinya juga melakukan hal yang sama, seolah-olah sucinya ingin melihat pemu-da itu selesai lebih dulu dan sucinya ingin menjadi tamu yang paling akhir meninggalkan tempat itu.
Karena dua meja yang dinanti-nantinya itu agak-nya sengaja memperlambat makan mereka, akhirnya si baju merah menjadi kehabisan sabar. Sejak tadi dia menanti sambil
mengumpulkan uang hasil pemerasannya itu ke dalam sebuah kantong kecil. Dia du-duk di atas meja paling depan dan memandanq kepa-da pemuda dan dua orang gadis yang masih enak-enak makan minum seolah-olah dunia ini amat tenteram dan penuh kedamaian! Si baju merah menjadi tidak sabar. Dengan langkah lebar dia masuk ke dalam ruangan itu dan karena meja Bi kwi dan Bi Lan berada lebih dekat dari pada meja pemuda itu, maka si baju merah berhenti dekat meja mereka, kedua matanya yang lebar itu melotot memandang kepada Bi-kwi dan Bi Lan secara bergantian. Akan tetapi dia tidak jadi marah ketika melihat bahwa dua orang wanita itu ternyata lebih cantik dari pada keti-ka dilihatnya dari depan tadi.
Tiba-tiba Bi Lan yang sejak tadi merasa marah dan mendongkol kepada si baju merah berkata dengan suara lantang, "Suci, masakan di restoran ini cukup lezat, akan tetapi sayang, ada lalat merah yang mengotorkan tempat ini. Sungguh menjijikkan!"
Tiba-tiba terdengar tepuk tangan dan pemuda yang duduk sendirian itu mengomel seorang diri, "Tepat sekali, lalat merah memuakkan!"
Tentu saja si baju merah menjadi marah karena dia tahu bahwa yang dinamakan lalat merah itu ten-tu dirinya. Akan tetapi dia malah tersenyum me-nyeringai dalam kemarahannya dan berkata, "Dua nona manis, kalian tidak perlu membayar pajak ke-padaku, cukup kalau kalian masing-masing memberi ciuman di bibirku, masing-masing tiga kali. Bagai-mana?" Dia Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
132 terkekeh secara kurang ajar sekali.
Bi Lan melihat api bernyala di kedua mata sucinya dan kalau tadi ia marah kepada si baju merah, kini ia merasa khawatir. Tak dapat diragukan lagi, kalau sucinya bangkit dan turun tangan, tentu si baju merah ini akan mati dalam keadaan mengerikan. Ia sudah mengenal kekejaman hati sucinya kalau sedang marah dan pada saat itu, sucinya marah seka-li. Maka ia mendahului sucinya, bangkit berdiri dan menghadapi si baju merah tadi.
Melihat Bi Lan bangkit, si baju merah tertawa girang. "Heh-heh, nona manis. Engkau yang akan memberi ciuman lebih dulu" Bagus, aku senang sekali!" katanya dan diapun
meruncingkan bibirnya yang hitam kasar dan tebal.
"Plakk! Inilah ciumanku!"
"Aduhhh.... !" Laki-laki itu terpelanting ketika pipinya terkena tamparan tangan Bi Lan. Dia merasa seolah-olah kepalanya pecah, demikian kuat-nya tamparan itu tadi. Tahulah dia bahwa gadis itu memiliki kepandaian maka berani menamparnya. Kemarahan membuat dia lupa akan rasa nyeri di pi-pinya yang sudah membengkak merah, hampir sama dengan warna pakaiannya.
"Keparat! Berani engkau memukul aku" Tidak, tahu bahwa aku seorang tokoh Ang-i Mo-pang?" bentak laki-laki itu dan dia sudah mencabut keluar sepasang goloknya.
Tentu saja Bi Lan sudah mendengar nama per-kumpulan Ang-i Mo-pang (Perkumpulan Iblis Baju Merah), karena sucinya pernah bercerita bahwa per-kumpulan itu telah ditaklukkan oleh sucinya dan bahkan menjadi pembantunya. Akan tetapi mengapa ada orang mengaku tokoh Ang-i Mo-pang dan berani bersikap kurang ajar terhadap sucinya" Akan tetapi pada saat itu, orang baju merah itu sudah mengge-rakkan sepasang goloknya, diputar-putarnya sepasang golok itu di atas kepala, dengan muka beringas dan sikap mengancam dia hendak menyerang Bi Lan.
Pada saat itu nampak cairan putih menyambar ke arah muka si baju merah yang tidak sempat mengelak dan tahu-tahu mukanya sudah kena siram kuah bakso yang panas. Dia gelagapan dan melangkah mundur, mengusap mukanya dan terutama matanya yang terasa pedih itu dengan lengan baju, lalu memandang ke kanan. Kiranya yang menyiram mukanya dengan kuah bakso dari mangkok itu adalah seorang pemu-da yang tadi duduk sendirian makan bakmi di meja sebelah dalam. Sepasang mata orang berpakaian merah itu mendelik.
Kemarahannya memuncak. Baru kemarahan terhadap gadis di depannya yang telah menampar mukanya saja belum terlampiaskan, kini muncul lagi seorang pemuda yang begitu berani mati menyiram mukanya dengan kuah bakso. Apa lagi ketika dilihatnya bahwa pemuda ini biasa saja, seo-rang pemuda yang usianya belum ada duapuluh ta-hun, berpakaian sederhana berwarna biru, tubuhnya sedang-sedang saja dan wajahnya bersih dengan ku-lit putih sehingga nampak cukup tampan. Tidak ada apa-apanya yang istimewa, juga tidak
membayangkan seorang yang terlalu kuat atau yang memiliki ilmu silat tinggi. Agaknya, pemuda itu tadi ketika melihat si baju merah mengeluarkan golok dan hendak menyerang Bi Lan, sudah bangkit dari tempat duduk-nya, tangan kanan masih memegang sepasang sumpit dan tangan kiri menyambar mangkok bakso yang sudah dimakannya dan tinggal kuahnya, lalu bangkit menghampiri laki-laki itu dan menyiramkan kuah bakso.
"Kau.... kau.... keparat bosan hidup!" bentak si tokoh Ang-i Mo-pang dan kini goloknya yang Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
133 kanan sudah menyambar ke arah kepala pemuda itu. Bi Lan yang sejak tadi memandang dengan he-ran atas keberanian pemuda itu, kini terkejut. Akan tetapi ia tidak mau mencampuri karena ia melihat betapa pemuda itu bersikap tenang sekali. Ketika golok itu menyambar ke arah kepalanya, pemuda itu sama sekali tidak nampak takut atau hendak meng-elak, sebaliknya malah mengangkat tangan kanannya yang memegang sumpit dan dengan sepasang sumpit itu dia menyambut sambaran golok.
"Wuuuuttt.... !" Golok menyambar.
"Trakkk.... !" Sepasang sumpit itu menyam-but dan tahu-tahu sudah menjepit golok secara cepat dan luar biasa sekali. Tahu-tahu golok itu telah dije-pit oleh sepasang sumpit dan tidak bergerak lagi! Si baju merah terkejut bukan main karena tiba-tiba go-loknya terhenti gerakannya. Dia cepat mengerahkan tenaga membetot, namun sia-sia belaka. Goloknya seperti telah dijepit jepitan baja yang amat kuat dan sama sekali tidak mampu dia menggerakkan golok itu, apa lagi melepaskannya dari jepitan. Barulah dia dapat menduga bahwa seperti juga gadis cantik itu, si pemuda inipun ternyata bukan orang sembarangan.
Akan tetapi dasar wataknya memang sombong, dia tidak mau mengerti akan kenyataan ini, dan bahkan merasa penasaran. Golok di tangan kirinya juga menyambar, dengan cepatnya dia telah menggerak-kan golok kiri itu untuk menusuk perut si pemuda baju biru. Pemuda itu kembali tidak mengelak, akan tetapi tiba-tiba mangkok di tangan kirinya digerak-kannya ke depan dan tepat memukul pergelangan tangan kiri lawan. Demikian cepat gerakannya se-hingga sebelum golok itu menyambar, pergelangan tangan tokoh Ang-i Mo-pang sudah dihantammangkok itu.
"Dukk!" Si baju merah mengeluarkan seruan kesakitan dan golok itu terlepas dari tangan kirinya.
"Mundurlah kau, kami tidak minta bantuanmu!" Tiba-tiba Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi berseru dengan suara dingin. Pemuda itu agaknya terkejut mende-ngar suara dingin ini dan dia menarik kembali sepa-sang sumpitnya, lalu melangkah mundur dan menjura ke arah dua orang gadis itu. "Maafkan saya," kata-nya, lalu dia kembali ke mejanya, melanjutkan makan bakminya yang belum habis! Pemuda itu bersikap seolah-olah tidak terjadi sesuatu.
"Hemmm, kau masih bengong di situ, tidak lekas berlutut" Kau harus mencium lantai sampai tiga kali dan minta ampun, baru aku akan membiar-kan engkau pergi dari sini!" kata Bi Lan dengan sikap galak dibuat-buat.
Akan tetapi, orang yang mengaku tokoh Ang-i Mo-pang itu agaknya tidak biasa dikalahkan orang sehingga beratlah baginya untuk mengakui kekalah-annya. Apa lagi harus berlutut menciumi tanah dan minta ampun kepada seorang gadis muda! Dia tadi memang sudah merasakan kehebatan pemuda itu dan mungkin kalau dilanjutkan pertempuran, dia akan kalah.
Akan tetapi gadis ini belum mengalahkannya, baru tadi menamparnya dan hal ini tidak menunjuk-kan bahwa gadis ini lihai. Untung bahwa pemuda li-hai itu sudah kembali ke tempat duduknya dan agaknya tidak mencampuri urusan itu. Dia kini memperoleh
kesempatan melampiaskan kedongkolan hatinya kepada gadis ini, sekalian membalas tamparan yang membuat pipinya biru membengkak. Dia memang merendahkan tubuhnya, akan tetapi bukan untuk ber-lutut, melainkan untuk menyambar golok kirinya yang tadi terlepas dan jatuh di lantai. Kini dengan kedua batang golok di kedua tangan, orang itu lalu menyerang Bi Lan kalang-kabut senerti seekor babi buta. Tentu saja dengan mudah Bi Lan mengelak ke kanan kiri karena baginya, gerakan orang itu ma-sih terlalu lambat.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
134 Bi Lan maklum bahwa kalau berhadapan dengan sucinya, tentu orang ini takkan selamat, tentu akan tewas atau setidaknya akan tersiksa dan terluka parah atau menderita cacad sdama hidup. Dia memang tidak suka kepada orang yang jahat, kejam dan ber-tindak sewenang-wenang mengandalkan kepandaian-nya ini dan sudah selayaknya kalau orang ini dihajar.
Akan tetapi, jangan sampai terjatuh ke tangan suci-nya yang amat kejam. Dia merasa ngeri juga mem-bayangkan apa yang akan terjadi dengan orang ini kalau terjatuh ke tangan sucinya.
Oleh karena itu, ia mendahului sucinya menghajar orang ini agar cepat pergi dan terhindar dari kekejaman tangan sucinya.
Sepasang golok itu menyambar-nyambar dengan ganasnya. Akan tetapi, hanya dengan gerakan kedua kakinya. Bi Lan dapat menghindarkan semua sambar-an golok dan tiba-tiba kedua kakinya bergerak bergantian dan terdengarlah seruan kaget si baju merah disusul suara sepasang golok berkerontangan terlempar ke atas lantai. Kemudian, sekali tangan Bi Lan meluncur ke depan, ke arah pundak orang itu, terde-ngat suara "krekk" disusul jeritan orang itu yang kemudian terjengkang ke atas lantai dengan tulang pundak patah!
"Nah, manusia sombong, pergilah cepat dan jangan ulangi lagi kejahatanmu memeras orang yang sedang makan di restoran!" kata Bi Lan.
Orang itu memandang kepada Bi Lan dengan mata terbelalak. Baru sekarang agaknya dia sadar bahwa seperti juga pemuda itu, gadis ini lihai bukan main, sama sekali bukan tandingannya. Maka diapun merayap bangun, memegangi pundak kanan yang patah
tulangnya dengan tangan kiri, sekali lagi memandang melotot kemudian membalikkan tubuh me-nuju ke pintu sambil berseru, "Tunggu pembalasan Ang-i Mo-pang!"
"Heii, berhenti kamu!" Tiba-tiba terdengar suara Setan Cantik, suaranya melengking dan me-ngandung rasa dingin menyusup tulang sehingga kem-bali pemuda sederhana yang kini sudah menyelesai-kan bakminya itu memutar bangku dan menghadapinya, melihat apa yang akan terjadi.
Si baju merah juga kaget dan menghentikan langkahnya di ambang pintu, lalu memutar tubuhnya menghadapi dua orang gadis itu. Dia sudah kalah, mau apa lagi dua orang gadis itu"
Setan Cantik masih duduk di atas bangkunya dan dua batang golok milik si baju merah yang tadi terle-pas dari tangannya kini berada di depan kaki itu. Dengan kaki kirinya yang bersepatu merah, Bi kwi mencokel sebatang golok dan begitu wanita itu menggerakkan kakinya, golok itu terlempar dan jatuh berkerontangan ke depan kaki si tokoh Ang-i Mo-pang.
"Kamu sudah berdosa terhadapku, hayo cepat tinggalkan tangan kananmu!" bentak Setan Cantik dengan suara dingin.
Laki-laki baju merah itu memandang dengan mata terbelalak, belum mengerti apa maksud wanita cantik itu. "Apa.... apa maksudmu....?" tanya-nya, masih penasaran, marah akan tetapi juga jerih.
"Ambil golok itu dengan tangan kirimu dan bun-tungi tangan kananmu, baru kau boleh pergi membawa nyawa tikusmu dari sini," kata pula Si Setan Cantik. Orang itu terbelalak dan mukanya menjadi pucat.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
135 "Suci, kurasa tidak perlu begitu!" Bi Lan juga berkata dengan hati ngeri mendengar tuntutan sucinya.
"Diam! Kau anak kecil tahu apa!" bentak sucinya kepada Bi Lan yang tak dapat berkata apa-apa lagi karena tentu saja ia tidak mau ribut dengan sucinya hanya untuk membela orang yang jahat dan kurang ajar itu. Sementara itu, pemuda yang nonton tidak memperlihatkan apa-apa pada wajahnya yang tetap tenang itu.
Si baju merah itu memandang dengan muka ber-obah merah sekali, akan tetapi kemudian menjadi pucat lagi. Dia merasa terhina dan marah bukan ma-in, akan tetapi juga maklum bahwa kalau dia menyerang lagi, sama saja dengan membunuh diri. Maka dia lalu mendengus tanpa menjawab, lalu membalikkan tubuhnya lagi. Akan tetapi dengan gerakan yang cepat bukan main, Ciong Siu Kwi atau Si Setan Can-tik itu sudah menyambar golok ke dua dari atas lan-tai, kemudian sekali tangannya bergerak, golok itu meluncur ke depan, ke arah tokoh Ang-i Mo-pang yang hendak pergi itu.
"Crakkk.... cappp....!" Golok itu me-luncur seperti kilat, menyambar dan mengenai lengan kiri si baju merah, dan setelah membabat putus le-ngan itu sebatas siku, golok masih meluncur terus dan menancap pada daun pintu!
"Aduhhhh....!" Si baju merah menjerit dan terhuyung-huyung, lalu membalik dan
memandang ke arah buntungan lengannya di atas lantai, kemu-dian memandang kepada lengan kirinya yang tinggal sepotong dan sambil menjerit panjang dia lalu melari-kan diri dari tempat itu, meninggalkan darah yang berceceran di sepanjang jalan.
Tentu saja peristiwa ini mengejutkan pengurus restoran dan para pelayan, juga nampak banyak orang nonton di luar restoran itu walaupun mereka hanya berani nonton dari jauh ketika tadi mendengar ada orang berpakaian merah memeras para pengunjung restoran. Akan tetapi Setan Cantik tidak memperdu-likan semua itu, malah meneriaki pelayan untuk menambah arak dan menambah satu kilo daging bebek panggang! Wanita ini nampak tenang saja hanya satu kali melempar pandang ke arah pemuda yang juga masih duduk di tempatnya tanpa mengelu-arkan sepatah katapun atau sikap yang merasaheran . Diam-diam Bi-kwi mendongkol melihat pemuda itu yang bersikap tak acuh, seolah-olah perbuatannya tadi tidak hebat dan tidak ada apa-apanya untuk dikagumi.
Melihat para pelayan sibuk dan kelihatan bingung ketakutan memandang ke arah potongan lengan di dekat ambang pintu, Bi Lan lalu berkata kepada me-reka, "Harap kaiian tidak menjadi bingung. Kami sedang menanti kembalinya orang tadi bersama ka-wan-kawannya!"
Akan tetapi, pengurus restoran itu lalu menghampiri mereka dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bi-kwi dengan tubuh gemetar dan muka pucat. "Harap ji-wi lihiap suka mengampuni kami...."
Bi-kwi mengerutkan alisnya dan sinar matanya menyambar ke arah muka pengurus restoran itu. "Sekali lagi kau menyebut lihiap, kau akan kubu-nuh!"
Tentu saja pemilik restoran itu terkejut bukan main dan menjadi semakin ketakutan.
"Sebut nona kepada suciku," kata Bi Lan yang maklum bahwa ancaman sucinya tadi bukan ancam-an kosong belaka. Sucinya menganggap semua pen-dekar di dunia persilatan sebagai Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
136 manusia-manusia sombong dan sebagai musuh-musuhnya, maka sebutan lihiap (pendekar wanita) yang selalu dimusuhinya merupakan penghinaan bagi dirinya.
"Siocia.... harap sudi memaafkan saya.... kami.... kami tidak berani tinggal di sini lebih lama lagi.... ijinkanlah kami pergi dari, tempat ini...."
Kembali Bi-kwi yang menjawab dengan suara kaku, "Siapa yang berani meninggalkan tempat ini akan kubuntungi lengannya juga seperti orang tadi!"
Bi Lan cepat mendekati pengurus restoran itu, seorang laki-laki berusia hampir limapuluh tahun. "Lopek (paman tua), dengarlah baik-baik. Suci hen-dak tinggal di sini sebentar untuk menunggu kemba-linya orang tadi yang tentu akan membawa teman-temannya. Kalian semua tenang-tenang sajalah dan layani permintaan suci. Jangan ada yang keluar dari sini kalau tidak mau celaka."
"Tapi.... tapi.... dia tadi adalah orang dari perkumpulan Ang-i Mo-pang, aduh akan celaka kita semua...."
"Diam dan kembali ke tempatmu!" Bi Lan kini menghardiknya karena gadis inipun merasa jengkel melihat kecengengan orang itu. Dihardik demikian, kuncup rasa hati si pengurus restoran dan diapun bangkit, lalu melangkah kembali ke tempat duduk-nya dengan muka tunduk, sedangkan para pelayan berkumpul di belakangnya dengan muka pucat. Akan tetapi, mereka melayani pesanan Bi-kwi dengan cepat.
"Aku minta bebek panggang seperti itu!" tiba tiba terdengar pemuda tadi berseru, suaranya lembut akan tetapi nadanya sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia gentar atau heran.
Pengurus restoran dan para pelayan tentu saja khawatir sekali dan diam-diam memaki pemuda yang tidak tahu diri itu. Bagaimana kalau nona-nona ga-lak itu marah dan membuntungi lengannya atau membunuhnya" Akan tetapi anehnya, dua orang gadis itu sama sekali tidak memperdulikan sikap pe-muda itu. Hanya Bi Lan yang mengerling dan meli-hat betapa pemuda itu juga mengerling kepadanya, iapun cepat-cepat mengalihkan pandang matanya. Diam-diam Bi Lan juga menduga-duga siapa ada-nya pemuda yang lihai itu, dan mengapa pemuda itu agaknya memang sengaja hendak menunggu kelan-jutan dari peristiwa ini. Akan tetapi, Bi Lan juga tidak ambil perduli dan iapun makan bebek pang-gang bersama sucinya.
Mereka bertiga masih makan dengan santai ketika terdengar suara ribut-ribut di luar pintu restoran.
"Inilah restorannya."
"Dan itu potongan lengan A Pai!"
Muncullah tiga orang laki-laki berpakaian serba merah. Yang paling depan adalah seorang laki-laki berusia hampir enampuluh tahun, bertubuh tinggi kurus bermuka pucat dan di punggungnya tergantung sepasang golok melintang. Dua orang lain bertubun tinggi besar dan mereka memegang sebatang pedang terhunus dengan sikap galak. Akan tetapi, begitu mereka memasuki restoran, melangkahi lengan bun-tung yang menggeletak di atas lantai lalu meman-dang ke arah Bi-kwi, tiga orang itu terbelalak.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
137 "Ciong-siocia....!" Kakek tinggi kurus mu-ka pucat itu berseru.
Bi-kwi masih duduk saja dan kini ia memandang kepada tiga orang itu dengan sinar mata penuh seli-dik lalu terdengarlah suaranya yang dingin menyeramkan, "Hemmm, kalian datang untuk membela lengan buntung itu dan menebusnya dengan kepala kalian?"
Mendengar suara ini, tiba-tiba kakek itu bersama dua orang temannya menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bi-kwi. "Siocia.... ampunkan kami.... ah, siapa tahu bahwa Siocia malah yang ber-ada di sini" Sungguh pertemuan ini merupakan ber-kah dari langit, karena siapa lagi yang akan menolong kami selain Siocia?"
Si Setan Cantik memandang dengan alis berkerut. "Tee Kok! Seorang anak buahmu berani kurang ajar kepadaku dan kini kau datang malah hendak minta tolong" Omongan apa ini"
Hayo katakan dulu sia-pa pemilik lengan itu dan bagaimana anak buahmu sampai tidak mengenal aku?"
"Itulah, Siocia. Dia bukan anak buah kami, dia anak buah orang yang baru datang sebulan yang la-lu. Dia datang dan menalukkan saya, kemudian me-maksa untuk mengambil alih kedudukan ketua Ang-i Mo-pang, dia bersama belasan orang anak buah-nya yang menguasai keadaan. Orang tadi adalah se-orang di antara mereka."
Bi-kwi mengangguk-angguk. "Hemmm.... begitukah" Siapa dia?"
"Dia tidak pernah memperkenalkan nama, bah-kan teman-temannya juga tidak tahu siapa namanya, akan tetapi memakai julukan Thian-te Siauw-ong dan minta disebut Siauw-ong!
Akan tetapi ilmu kepan-daiannya amat hebat, Siocia."
"Apakah dia masih muda?" tanya Bi-kwi sam-bil menengok ke arah pemuda yang masih duduk di tempatnya semula. "Semuda dia itu?" Ia menu-ding ke arah pemuda itu.
Kakek tinggi kurus muka pucat itu adalah Tee Kok, ketua Ang-i Mo-pang yang lihai! Seperti kita ketahui, kakek ini telah menjadi pembantu Bi-kwi dan dia bersama seluruh anggauta Ang-i Mo-pang telah menjadi pembantu Bi-kwi, maka tadi Bi Lan merasa heran melihat ada orang mengaku tokoh Ang-i Mo-pang berani kurang ajar terhadap sucinya. Setelah
mendengar penuturan kakek itu, baru-lah Bi Lan tahu mengapa terjadi hal yang aneh itu.
Kiranya orang yang lengannya dibuntungi sucinya tadi bukan anggauta aseli dari Ang-i Mo-pang, melainkan pendatang-pendatang baru yang mengambil alih kedudukan pimpinan di perkumpulan iblis itu.
Tee Kok mengangkat muka memandang pemuda itu."Masih muda, akan tetapi tidak semuda itu. Usianya kurang lebih tigapuluh tahun."
"Hemm, pria-pria muda sekarang ini memang be-sar kepala, sombong dan berlagak. Pangcu, aku akan segera menemui laki-laki sombong Thian-te Siauw-ong itu, akan tetapi lebih dulu, aku minta engkau suka memberi hajaran kepada laki-laki muda yang jumawa ini!" Kembali ia menuding ke arah pemuda itu.
"Suci, perlu apa mencari perkara" Dia tidak bersalah apa-apa." Bi Lan menegur sucinya karena ia khawatir kalau pemuda yang sama sekali tidak berdosa itu celaka di tangan sucinya.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
138 "Siauw-kwi, diamlah kau! Orang ini telah ku-rang ajar sekali, sombong memamerkan sedikit ke-pandaiannya kepada kita, perlu dihajar. Hendak kuli-hat apakah kepandaiannya juga sebesar kesombong-annya! Kalau dia mampu mengalahkan Ang-i Mo-pangcu, biarlah
kuampuni karena kesombongannys itu beralasan. Akan tetapi kalau dia kalah, biarlah dia membawa mati kesombongannya itu. Pangcu hajar dia sampai mati!"
Tee Kok adalah ketua Ang-i Mo-pang, perkum-pulan yang tentu saja termasuk golongan sesat. Na-ma perkumpulannya saja Perkumpulan Iblis Baju Merah! Dan Tee Kok sendiri adalah bekas anggauta perkumpulan Hek-i Mo-pang yang terkenal ganas dan jahat. Maka, kini mendengar perintah Bi-kwi yang ditakutinya itu, dia tersenyum menyeringai, bangkit berdiri dan dengan pandang mata meman-dang rendah dia menghampiri pemuda yang masih duduk dengan tenang itu. Bagi orang yang sudah biasa melakukan kejahatan seperti Tee Kok, perintah untuk menghajar orang tentu saja dianggap amat me-nyenangkan. Pertama, dia sendiri memang berwatak sadis dan memperoleh nikmat dari menyiksa orang lain. Ke dua, dia memperoleh kesempatan untuk memenuhi perintah orang yang ditakutinya dan
me-nyenangkan orang itu. Ke tiga, dia mengharapkan bantuan Bi-kwi untuk menentang musuh yang merampas kedudukannya, maka kini dia harus lebih du-hulu membuat jasa.
"Orang muda, bangkit dan majulah untuk mene-rima hajaran dariku, heh-heh!" Tee Kok berkata sambil terkekeh dan diapun sudah melolos sepasang goloknya. Dia bermaksud untuk menyiksa orang ini, tidak segera membunuhnya karena hal ini tentu akan makin
menyenangkan hati Si Setan Cantik.


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bi-kwi memang memandang dengan wajah ber-seri. Sama sekali bukan karena kegirangan hatinya akan melihat betapa pembantunya itu menyiksa dan membantai pemuda itu. Tidak, ia bukan orang yang demikian tolol. Dari gerakan pemuda tadi, ia cukup dapat menduga bahwa pemuda itu bukan orang yang begitu mudah untuk dikalahkan. Dan inilah yang
menggembirakan hatinya. Ia akan melihat tontonan yang amat menarik, perkelahian yang seru dan mati-matian.
Sebaliknya, Bi Lan nonton dengan hati gelisah dan alis berkerut. Gadis ini sama sekali tidak me-nyetujui akan sikap dan tindakan sucinya. Pemuda itu sama sekali tidak berdosa, bahkan kalau tadi pemuda itu maju menentang si baju merah, bukankah hal itu menunjukkan bahwa pemuda itu membela ia dan sucinya" Kenapa hal itu dianggap suatu ke-sombongan dan kekurangajaran oleh sucinya yang kini demikian kejam untuk menyuruh orangnya
mem-bunuh pemuda itu" Tidak, ia tidak setuju dan diam-diam gadis inipun sudah siap untuk mencegah dan melindungi pemuda itu apa bila perlu. Ia kini, tidak perlu berpura-pura takut kepada sucinya lagi. Memang, ia sudah berjanji untuk membantu sucinya, akan tetapi bantuan yang terbatas pada perampasan pusaka Liong-siauw-kiam dan usaha sucinya untuk menjadi beng-cu. Itu saja. Ia tidak akan membantu sucinya dalam hal lain, dan jelas tidak akan memban-tu sucinya melakukan kejahatan-kejahatan seperti apa yang akan dilakukannya terhadap pemuda ini.
Pemuda itu bangkit berdiri, tangan kanannya ma-sih memegang sepasang sumpit. Melihat Tee Kok dan dua orang temannya yang berpakaian merah-merah, diapun melirik ke arah Bi Lan dan berkata, "Eh, seekor lalat merah diusir pergi, malah datang tiga ekor!"
Karena merasa bahwa pemuda itu bicara dengan menyangkut dirinya yang menjadi orang pertama yang menggunakan istilah lalat merah, Bi Lan mena-han senyumnya, akan tetapi ia Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
139 segera berkata kepada sucinya, "Suci pernah bilang bahwa ketua Ang-i Mo-pang yang menjadi pembantunya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Kalau kini mampu mengalahkan pemuda yang tak terkenal ini dengan sepasang goloknya, sungguh itu namanya nama be-sar yang tidak sesuai dengan kenyataannya."
Bi-kwi mengerutkan alisnya dan menoleh kepa-da sumoinya dengan sikapmarah. Ia merasa tidak pernah memuji-muji kepandaian Tee Kok di depan sumoinya dan tahulah ia bahwa sumoinya itu sengaja menggunakan taktik mengangkat lalu membanting, yaitu pura-pura memuji Tee Kok untuk menjatuhkannya. Dan memang taktiknya itu berhasil. Ketika melihat Bi Lan, Tee Kok tidak mengenal siapa wanita muda cantik yang duduk dengan Bi-kwi yang dita-kutinya itu. Akan tetapi kini gadis itu menyebut suci kepada Bi-kwi. Maka, kini mendengar pujian tentang kelihaiannya, dia tertawa bergelak dan cepat menyimpan kembali dua buah goloknya dan menghadapi pemuda itu dengan tangan kosong saja sam-bil
tersenyum lebar kepada Bi Lan! Melihat ini, Bi kwi mengerutkan alis makin dalam dan sama sekali tidak setuju, akan tetapi iapun diam saja.
Bagaimanapun juga, Tee Kok marah kepada pemuda itu yang jelas memakinya sebagai lalat merah, Baiknya, kemarahannya itu disiram oleh kesenangan -hati dipuji oleh seorang gadis cantik yang menjadi sumoi Bi-kwi, maka kini dia dapat menghadapi pe-muda itu dengan senyum lebar.
"Orang muda, majulah dan mari kau berkenalan dengan kaki tanganku yang sudah gatal-gatal karena beberapa hari lamanya tidak pernah menghajar orang, heh-heh!" katanya dengan sikap jumawa sekali.
Pemuda itu tersenyum. "Seekor lalat merah su-dah kehilangan sengatnya, tinggal suaranya saja mengiang membisingkan."
Tentu saja Tee Kok menjadi semakin marah. "Bocah keparat! Kalau begitu aku tidak hanya akan menghajarmu, akan tetapi juga akan membunuhmu!"
Baru saja dia berhenti bicara, tubuhnya sudah menubruk ke depan dengan gerakan cepat dan kuat. Ke-dua lengannya dikembangkan dan menyerang dari kanan kiri, seperti seekor harimau yang menubruk domba. Tee Kok memang ingin menerkam dan me-nangkap pemuda itu pada kedua pundaknya, karena dia yakin bahwa begitu dia berhasil mencengkeram pundak dan mencengkeram jalan darah di kedua pundak, pemuda itu tentu takkan mampu berkutik lagi.
Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak tergesa-gesa menghadapi serangannya. Pertama-tama, sepa-sang sumpit yang tadi dipegang di tangan kanan, kini dia selipkan dulu di ikat pinggang. Setelah itu, baru-lah dia menghadapi serangan lawan sementara kedua lengan lawan sudah dekat sekali dan kedua tangan Tee Kok dengan jari-jari tangan terbuka sudah hampir menyentuh kedua pundaknya. Tiba-tiba kedua tangan pemuda itu dari bawah bergerak naik dan kedua lengannya sudah menangkis dua lengan lawan dari bawah, dan begitu menangkis keluar, kedua ta-ngan itu dilanjutkan ke depan menghantam dada.
"Dukk....!" Dada kanan kiri ketua Ang-i Mo-pang terdorong oleh kedua tangan pemuda itu sehingga tubuhnya terjengkang ke belakang. Dia terbanting roboh dan terbatuk-batuk keras karena isi dadanya seperti rontok terkena dorongan kedua tangan tadi. Dia merasa marah dan malu bukan main.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
140 Pemuda itu hanya mempergunakan gerakan yang biasa saja, menangkis dari dalam kemudian mendo-rong dari dalam seperti itu hanya merupakan gerak-an-gerakan dasar yang dipelajari oleh semua orang yang berlatih silat. Akan tetapi hebatnya, justeru gerakan sederhana ini telah berhasil merobohkannya dan dia terbatuk-batuk seperti orang terserang penyakit mengguk, sampai terpingkal-pingkal.
Bi Lan yang masih duduk di atas kursinya mengejek. "Eh, pangcu. Engkau ini datang mau menghajar orang ataukah mau demonstrasi caranya orang batuk-batuk?"
Pengurus restoran dan para pelayan yang menonton sejak tadi dengan hati penuh rasa takut, hampir tak dapat menahan ketawa mereka. Akan tetapi de-ngan sekuat tenaga mereka menahan ketawa dan bersembunyi di balik meja dan kursi.
Tee Kok bangkit dengan muka merah dan mata melotot. Dalam segebrakan saja dia telah dirobohkan dan dibikin malu. Akan tetapi, orang yang berwatak sombong selalu mengagulkan diri sendiri dan memandang rendah orang lain. Dia menganggap bahwa kekalahannya tadi hanya terjadi karena dia meman-dang rendah saja. Pemuda itu tadi merobohkannya bukan dengan ilmu silat yang hebat, hanya dengan gerakan sederhana dan andaikata dia tidak meman-dang rendah dan tidak bertindak sembrono dalam penyerangannya, tak mungkin pemuda itu akan mam-pu merobohkannya. Demikianlah pendapat orang yang selalu
mengagulkan diri sendiri dan sikap ini jelas merugikan diri sendiri, membuat dia bertindak ceroboh.
"Bocah keparat, bersiaplah untuk mampus!" teriaknya dan dia sudah mencabut lagi sepasang goloknya. Dia tidak dapat tersenyum-senyum lagi sambil melirik ke arah Bi Lan seperti tadi.
Sepasang mata-nya ditujukan kepada pemuda itu dan di dalam pan-dang matanya memancar nafsu membunuh. Akan tetapi pemuda baju biru itu hanya memandangnya dengan sikap tenang dan tahu-tahu sepasang sumpit tadi sudah berada di tangannya, kini di kedua ta-ngan, masing-masing sebatang sumpit bambu kecil itu.
Golok kanan menyambar disusul golok kiri, yang kanan menabas ke arah leher sedangkan yang kiri menusuk perut. Semua orang yang menonton perke-lahian itu, kecuali Bi-kwi, dan juga Bi Lan yang ma-sih terus siap melindungi pemuda itu kalau perlu, merasa ngeri dan membayangkan bahwa tak lama lagi pemuda itu tentu akan roboh menjadi mayat dengan tubuh tidak utuh lagi.
Akan tetapi, terjadilah keanehan. Sepasang golok di tangan Tee Kok itu, sekian kali menyambar ke arah tubuh pemuda itu, selalu terhenti di tengah ja-lan dan ditarik kembali seolah-olah ketua Ang-i Mo-pang itu tidak tega melukai tubuh si pemuda baju biru! Dan sebagai lanjutan dari sikap tidak tega ini, kakek kurus pucat itu menyerang semakin hebat saja dan semakin marah walaupun semua serangan-nya itu kemudian terhenti pula.
Hanya Bi-kwi dan Bi Lan yang tahu apa yang telah terjadi dan mereka berdua terkejut, juga Bi-kwi merasa terheran-heran dan Bi Lan merasa kagum se-kali. Sama sekali bukan karena Tee Kok merasa ti-dak tega melukai pemuda itu, melainkan dia terpaksa menahan
serangannya karena kalau dilanjutkan, bukan lawannya yang terbacok atau tertusuk golok, melainkan dia sendirilah yang akan celaka. Kiranya, setiap kali dia menyerang, baik dengan golok kanan maupun kiri, sebelum senjatanya itu mengenai tubuh lawannya, tiba-tiba saja sebatang sumpit telah menghadang dan mengancam dekat sekali dengan jalan darah di pergelangan tangan, siku maupun bawah pangkal lengan sehingga kalau dia meneruskan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
141 serangannya itu, sebelum senjata menyentuh tubuh lawan yang menjadi sasaran, terlebih dulu ujung sum-pit itu akan menotok jalan darahnya! Ke manapun juga dia menyerang, selalu saja sumpit-sumpit itu membayanginya dan mendahului setiap serangannya. Tentu saja hal ini membuat Tee Kok terkejut, kehe-ranan dan juga penasaran lalu menjadi marah bukan main sehingga setiap kali dia terpaksa menarik goloknya lalu dia menyerang lagi dengan lebih ganas! Namun sama saja, agaknya pemuda itu memiliki ge-rakan yang jauh lebih cepat lagi sehingga sumpit-sumpitnya selalu menodong ke arah jalan darah yang akan melumpuhkan lengan Tee Kok kalau serangan-nya dilanjutkan.
Bi-kwi sejak tadi juga nonton perkelahian itu dan diam-diam wanita inipun merasa heran dan pe-nasaran sekali. Ia mengenal tingkat kepandaian Tee Kok. Biarpun tidak terlalu tinggi dan ia sendiri da-lam waktu kurang dari sepuluh jurus saja akan mam-pu merobohkannya, akan tetapi melihat perkelahian itu, ia tahu bahwa kalau pemuda baju biru itu mau, dalam segebrakan saja sumpitnya tentu akan mampu melakukan totokan dan merobohkan Tee Kok.
Ia memperhatikan dan ingin mengenal ilmu silat yang dimainkan pemuda itu agar ia akan mengetahui dari perguruan mana pemuda itu. Namun, pemuda itu bergerak sembarangan saja dan agaknya malah tidak bersilat, hanya kedua lengannya yang selalu bergerak cepat melakukan penodongan dengan sumpit-sumpit-nya itu melenggak-lenggok macam dua ekor ular saja. Tentu semacam Ilmu Silat Ular, pikirnya, akan tetapi dari cabang manakah" Sebagai seorang tokoh sesat yang berpengalaman, dan sudah banyak bertanding, melawan orang-orang dari berbagai partai persilatan, Bi-kwi banyak mengenal ilmu-ilmu silat dari dunia persilatan. Akan tetapi kini ia mendongkol sekali karena ia sungguh harus mengaku bahwa ilmu silat yang dimainkan pemuda baju biru itu sama sekali tidak dikenalnya.
Sebetulnya, hal itu tidak mengherankan karena ilmu silat yang dimainkan pemuda itu bukanlah ilmu silat biasa, melainkan ilmu silat yang sumber atau asalnya dari keluarga para pendekar Pulau Es! Pe-muda itu bukan lain adalah Gu Hong Beng, putera tunggal mendiang Gu Hok, tukang kayu di Siang-nam yang tewas oleh Bong-ciangkun komandan Siang-nam itu. Seperti telah kita ketahui, Gu Hok dan isterinya tewas, akan tetapi putera tunggal me-reka yang bernama Gu Hong Beng dan pada waktu itu baru berusia sebelas tahun, diselamatkan oleh pendekar Suma Ciang Bun, seorang pendekar dari keluarga Pulau Es. Anak itu kemudian menjadi murid Suma Ciang Bun. Selama hampir delapan ta-hun lamanya Hong Beng
digembleng dengan keras dan tekun oleh Suma Ciang Bun. Karena dia me-mang berbakat baik sekali, maka kini dia telah men-jadi seorang murid yang telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es dengan baiknya. Menghadapi Tee Kok yang menyerangnya dengan sepasang golok, Hong Beng mainkan ilmu yang sebenarnya bersumber pada Ilmu Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang menjadi satu di antara ilmu-ilmu keluarga para pendekar Pulau Es, akan tetapi dimainkan de-ngan sepasang sumpit. Tentu saja Bi-kwi tidak me-ngenal ilmu itu!
Kini, setelah lewat belasan jurus dan semua serangan Tee Kok dapat dihentikannya dengan todong-an sumpit yang siap menotok jalan darah, mendahului kalau serangan golok dilanjutkan, tiba-tiba Hong Beng menggerakkan tubuhnya dengan cepat sekali dan mereka yang nonton perkelahian itu melihat betapa permainan sepasang golok itu menjadi kacau balau, tidak sempat menyerang lagi melainkan diputar-putar untuk melindungi tubuhnya. Hal ini adalah karena tiba-tiba sepasang mata Tee Kok seperti ber-kunang-kunang rasanya, melihat betapa sepasang sumpit bambu itu berobah menjadi ratusan batang banyaknya. Tiba-tiba saja ada sebatang sumpit ber-ada di depan matanya, siap menusuk matanya, lalu tiba-tiba saja menempel pada telinga, hidung, leher, dada dan bagian-bagian anggauta tubuh lain yang amat berbahaya. Sekali saja sumpit itu ditusukkan, biarpun hanya terbuat dari pada bambu Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
142 kecil, tentu dapat menewaskannya.
Tiba-tiba terdengar Hong Beng mengeluar-kan suara ketawa tertahan dan tahu-tahu tu-buh Tee Kok tak bergerak lagi, berdiri dalam sikap hendak menyerang. Tubuh itu kaku, matanya melotot, golok kanan diangkat tinggi-tinggi dan golok kiri siap menyapu kaki lawan. Kiranya tubuhnya telah tertotok dua kali berturut-turut dan akibatnya, tubuh itu menjadi kaku seperti sebuah arca yang -lucu.
Hong Beng tidak berkata apa-apa lagi, lalu berjalan kembali ke kursinya dan duduk sambil minum araknya, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Melihat ini, wajah Bi-kwi berobah merah sekali. Pe-muda itu memang terlalu besar kepala, pikirnya. Memang lihai, dan berhasil mengalahkan Tee Kok secara mutlak, akan tetapi di depannya bersikap begi-tu acuh, sungguh menggemaskan. Bi-kwi menggerak-kan tangannya, dua kali menepuk pundak dan pung-gung Tee Kok. Tubuh yang tadinya kaku itu roboh terpelanting, akan tetapi dapat bergerak lagi dan kini Tee Kok yang sudah yakin akan kehebatan pemuda itu, tak berani banyak lagak lagi hanya mengharapkan agar Bi-kwi dapat membalaskan kekalahannya.
Setelah membebaskan totokan tubuh Tee hok, Bi-kwi lalu menoleh kepada Hong Beng, sejenak memandang pemuda yang sedang minum itu dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak.
Sinar putih halus me-nyambar ke arah telinga kiri pemuda itu.
Tentu saja sebagai murid searang pendekar Pulau Es, Hong Beng tahu akan serangan gelap ini, serang-an benda kecil yang agaknva ditujukan untuk melukai daun telinganya. Diapun tahu bahwa penyerangnya adalah wanita cantik yang suaranya kadang-kadang dapat dingin seperti es itu, sinar matanya kadang-ka-dang tajam menusuk dan panas membara, kadang-kadang lembut dan dingin sejuk, yang oleh ketua Ang-i Mo-pang disebut Ciong Siocia. Hong Beng ti-dak mengelak, melainkan menggerakkan sebelah tangannya seperti orang hendak menggaruk-garuk kepala dan pada saat tangannya menuju ke kepala itulah dia menangkap benda kecil itu dengan ibu jari dan telunjuknya. Dan betapa kagumnya melihat bah-wa benda yang dijadikan senjata rahasia itu hanyalah sebatang biting pencokel gigi! Kalau tidak memiliki tenaga sin-kang yang kuat dan juga kepandaian tinggi, tak mungkin
mempergunakan benda sekecil dan seri-ngan itu sebagai senjata rahasia yang ampuh !
"Terima kasih," katanya seperti kepada diri sendiri. "Akan tetapi gigiku belum ada yang berlubang, tidak membutuhkan tusuk gigi!"
Yang dapat melihat semua ini hanyalah Bi-kwi dan Bi Lan dan kedua orang wanita ini tentu saja menjadi makin kagum. Akan tetapi Bi-kwi semakin marah dan ia sudah melangkah hendak menantang pemuda itu. Bi Lan agaknya maklum akan niat suci-nya, maka lebih cepat lagi ia melangkah dan mengha-dang di depan sucinya, berkedip dan berkata, "Suci, janjimu tadi tidak boleh kaulanggar sendiri, hal itu akan mencemarkan nama besarmu. Selain itu, bukan-kah di sana menanti tugas yang lebih penting, untuk membantu Ang-i Mo-pang?"
Sejenak, dengan kemarahan meluap, Bi-kwi me-nentang pandang mata adiknya. Kemudian iapun ter-ingat bahwa tadi ia berjanji bahwa kalau pemuda itu mampu mengalahkan Tee Kok ia akan mengampuni pemuda itu. Kini Tee Kok benar-benar telah dikalah-kan, kalau kini ia turun tangan membunuh pemuda itu, berarti ia melanggar janjinva sendiri. Memang menurut wataknya, ia tidak perduli akan segala ma-cam janji. Tidak dikenal kehormatan di dunia kaum sesat! Akan tetapi, melihat adiknya seperguruan menentang, dan mengingat bahwa pemuda itu meru-pakan lawan yang tidak boleh dipandang ringan, se-dangkan kini Ang-i Mo-pang Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
143 menanti ia turun ta-ngan terhadap orang yang mengambil alih kedudukan dengan kekerasan, maka sebaiknya memang kalau ia melepaskan pemuda ini. Ia menarik napas panjang dan mendengus.
"Biarlah kuampunkan dia untuk kali ini. Lain kali kalau dia berani kurang ajar lagi dan bersikap som-bong di depanku, tentu kepalanya yang kini kutitip-kan kepadanya akan kuambil!" Ia lalu mengibaskan lengan bajunya dan keluar dari rumah makan diikuti oleh Bi Lan. Pengurus restoran dan para pelayan tidak berani menghalangi biarpun dua orang wanita itu agaknya lupa untuk membayar harga makanan dan minuman. Bagaimanapun juga, dua orang wanita itulah yang telah mengusir orang berpakaian merah tadi, dan juga yang menaklukkan orang-orang Ang-i Mo-pang yang datang kemudian. Tee Kok yang sudah tidak berani berlagak lagi, cepat menjadi penunjuk jalan, mengajak Bi-kwi dan Bi Lan untuk menemui orang yang telah mengambil alih kedudukannya sebagai ketua Ang-i Mo-pang.
Hong Beng hanya tersenyum mendengar ucapan Bi-kwi tadi. Dia lalu bangkit, memanggil pengurus rumah makan itu. "Hitung sekalian dengan makanan dan minuman kedua orang nona tadi. Agaknya karena sibuk mereka lupa membayar, biarlah aku yang mem-bayarnya sekalian."
"Si-cu tidak usah membayar, kami bahkan merasa bersyukur bahwa si-cu kebetulan berada di sini tadi...." kata pengurus rumah makan.
Akan tetapi Hong Beng berkeras membayar harga makanan dan minuman. "Kalian sudah menderita banyak kaget dan rugi, juga harus menyingkirkan benda itu, bagaimana aku tega untuk tidak memba-yar harga makanan?"
Setelah membayar harga makanan, Hong Beng, cepat meninggalkan restoran itu karena dia meng-ambil keputusan untuk membayangi dua orang gadis tadi yang agaknya hendak
membantu Ang-i Mo-pang yang diambil alih oleh golongan lain. Tentu akan terjadi hal yang amat seru, pikirnya.
Hong Beng selama beberapa tahun terakhir ini bersama gurunya tinggal di satu di antara puncak-puncak Pegunungan Koa-li-kung, di tepi Sungai Me-kong yang sunyi. Lembah Sungai Me-kong ini amat subur dan di tempat sunyi itu mereka berdua hidup dengan tenteram, mencurahkan perhatian pada latihan silat. Kadang-kadang Hong Beng ditinggal seorang diri oleh gurunya dan ketika untuk terakhir kalinya, beberapa bulan yang lalu gurunya pulang dari perantauan, Suma Ciang Bun menyatakan bahwa muridnya itu sudah belajar lebih dari cukup.
"Segala macam ilmu hanya dapat matang dan sempurna kalau dipergunakan dalam
kehidupan," demikian antara lain Suma Ciang Bun berkata kepada muridnya. "Selain mematangkan ilmu dengan prak-tek menempuh kehidupan yang keras ini, juga apa gunanya engkau bersusah payah mempelajari ilmu-ilmu silat dariku kalau tidak dipergunakan"
Peng-gunaan ilmu inilah yang terpenting, dan baik buruk-nya penggunaannya tergantung sepenuhnya kepada-mu. Aku memberi sebuah tugas kepadamu, Hong Beng. Sanggupkah
engkau melaksanakan tugas yang berat ini?"
Hong Beng yang berlutut di depan suhunya itu menjawab dengan tegas. "Teecu sanggup melaksa-nakan segala perintah suhu yang bagaimana berat-pun."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
144 "Baik, aku percaya padamu. Selama engkau ikut aku merantau, tentu engkau sudah mengenal keadaan dunia pada umumnya dan engkau tentu dapat ber-hati-hati dan menjaga diri. Ilmu baca tulis, sedikit banyak engkau telah menguasainya dan hampir semua ilmu silatku telah kuajarkan padamu. Ingat, engkau adalah murid keluarga para pendekar Pulau Es. Se-bagai murid Pulau Es, engkau harus dapat menjaga keharuman nama keluarga Pulau Es dan di manapun engkau berada, engkau harus menjadi pendekar sejati. Tugas yang kuserahkan padamu ini berat sekali kare-na engkau harus pergi ke kota raja dan menyelidiki kehidupan seorang perdana menteri."
Biarpun dia memiliki watak tenang dan pembera-ni, juga pendiam, mendengar ucapan suhunya itu, Hong Beng tertegun juga. Menyelidiki seorang per-dana menteri di kota raja" Ini hebat! Melihat be-tapa muridnya terkejut akan tetapi tetap diam saja, Suma Ciang Bun merasa girang dan kagum.
"Hong Beng, selama bertahun-tahun ini pemberontakan terjadi di mana-mana. Memang, kami keluarga Pulau Es tidak mau melibatkan diri dengan urus-an pemerintahan. Akan tetapi bagaimanapun juga, pemberontakan-pemberontakan itu membuat kehidupan rakyat menjadi sengsara. Setiap kali terjadi pemberontakan dan perang saudara, yang mengalami pukulan paling hebat adalah rakyat jelata. Dan aku sendiri merasa heran. Dahulu, bahkan sebelum menjadi kaisar, Kian Liong merupakan seorang pemimpin yang amat bijaksana dan baik.
Sekarangpun nampak betapa kaisar ini mendatangkan banyak kemajuan, Akan tetapi, menurut kabar yang kutangkap, akhir-akhir ini Kaisar Kian Liong dipermainkan oleh seo-rang yang kabarnya dapat mempengaruhi kaisar sehingga dari seorang kuli biasa, orang itu terus diberi kenaikan pangkat dan akhirnya dicalonkan menjadi seorang perdana menteri. Hal ini bagiku mencuriga-kan dan tidak wajar. Nah, inilah tugas yang hendak kuserahkan padamu. Pergilah ke kota raja, selidiki keadaan seorang pembesar yang dicalonkan sebagai perdana menteri.
Dia bernama Hou Seng. Selidiki mengapa kaisar dapat jatuh ke dalam kekuasaan orang yang bernama Hou Seng ini dan kalau perlu bertin-daklah untuk membasmi segala macam sebab yang menimbulkan adanya kelemahan dalam kendali peme-rintahan Kaisar Kian Liong."
Pemuda itu mendengarkan dengan penuh perha-tian, lalu mengangguk dan menjawab,
suaranya te-nang dan tegas, "Teecu akan melakukan semua perintah dan petunjuk suhu."
Kembali pendekar itu merasa kagum terhadap muridnya. Dia tahu bahwa tugas ini berat dan asing bagi muridnya yang pengalamannya hanya ketika diajaknya merantau itu saja. Bahkan bagaimana ma-camnya kota rajapun muridnya itu belum pernah melihatnya. Akan tetapi, sikap muridnya de-mikian tenang menghadapi tugas seberat itu. Diam-diam selain kagum, diapun merasa kasihan dan kha-watir. Memang, tugas ini amat penting bagi kepen-tingan rakyat jelata dan perlu pula bagi muridnya sendiri untuk menggembleng diri dan
memperdalam pengalaman hidup sebagai seorang pendekar. Akar tetapi, kota raja menjadi pusat di mana terdapat orang-orang pandai dari segala macam golongan.
"Hong Beng, untuk tugas ini, sebaiknya engkau mencari susiokmu (paman gurumu) yaitu adikku yang bernama Suma Ceng Liong yang kini bersama keluarganya tinggal di kota Thian-cin. Atau lebih baik lagi engkau mencari ci-huku (kakak ipar) ber-nama Kao Cin Liong yang bersama keluarganya ting-gal di kota Pao-teng. Dari mereka itu engkau mung-kin sekali akan memperoleh keterangan yang jelas tentang orang bernama Hou Seng itu. Apalagi ci-hu Kao Cin Liong adalah bekas seorang panglima kera-jaan. Justeru setelah dia mengundurkan diri timbul kekacauan dan muncul seorang bernama Hou Seng itu."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
145 Setelah menerima hanyak nasihat dari suhunya, juga menerima bekal sekantong uang dengan pesan bahwa kalau dia kehabisan bekal dan tidak terpaksa sekali, jangan sampai merugikan orang lain dengan perbuatan yang jahat, melainkan terus terang saja minta bantuan kepada kuil-kuil atau kepada harta-wan-hartawan yang dermawan, akhirnya pergilah pemuda itu meninggalkan puncak di Pegunungan Koa-li-kung di daerah selatan Hu-nan. Dalam
perjalanan ini, ketika melewati daerah Siang-nam, tidak lupa dia singgah di kuburan ayah ibunya, yaitu di luar kota Siang-nam di mana dia dahulu dibantu oleh gurunya mengubur jenazah mereka.
Semalam suntuk dia duduk bersila di depan kuburan besar terisi jenazah ayah bundanya itu, tidak menangis atau berduka. Semenjak menjadi murid pendekar Suma Ciang Bun, pemuda ini sudah dijejali banyak pengertian tentang kehidupan dan sudah bi-asa membuka mata melihat kenyataan-kenyataan se-hingga tidak mudah dipengaruhi oleh bayangan-ba-yangan dan emosi-emosi yang membuat orang mudah berduka. Semua peristiwa yang lalu telah pula ber-lalu, demikian batinnya berbisik. Dia mengunjungi makam dan berdiam semalam suntuk di situ hanya untuk menghormati peninggalan ayah dan ibunya. Apa lagi, pembunuh-pembunuh ayah ibunya telah dibalas oleh gurunya, sehingga dia tidak mempunyai dendam atau sakit hati lagi.
Harus diakuinya bahwa perantauan seorang diri, terpisah dari gurunya, merupakan hal yang berat dan kadang-kadang menggelisahkan. Akan tetapi ada sa-at-saat di mana dia merasa bahagia dan gembira, merasa bebas tidak terikat oleh apapun juga, hidup sendirian seperti seekor burung yang terbang bebas -lepas di udara!
Demikianlah sedikit tentang diri Hong Beng. Pada pagi hari itu, dia tiba di Kun-ming dan tanpa disengaja dia memasuki restoran dan melihat Bi-kwi dan Bi Lan kemudian terlibat dalam peristiwa dengan orang-orang Ang-i Mo-pang. Dia belum pernah men-dengar tentang perkumpulan itu, akan tetapi dari nama perkumpulan itu dia dapat menduga bahwa Ang-i Mo-pang tentulah sebuah perkumpulan penja-hat. Rasa heran dan ingin tahu apakah hubungan antara dua orang gadis cantik dan lihai seperti yang dijumpainya di restoran itu dengan perkumpulan se-sat membuat dia ingin sekali membayangi mereka.
Dia bersikap hati-hati sekali karena dia maklum bahwa dua orang wanita itu memiliki ilmu kepandai-an tinggi. Diapun tidak ingin mencampuri urusan mereka, hanya ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya dengan dua orang gadis itu. Ada sesuatu pada diri dua orang gadis itu, terutama pada diri ga-dis yang disebut Ciong Siocia, amat menarik hati Hong Beng.
Selama ini, belum pernah dia merasa tertarik kepada seorang wanita. Sejak kecil dia hidup dengan gurunya dan belum pernah dia melihat guru-nya berdekatan dengan wanita, bahkan sikap gurunya terhadap wanita amat dingin. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi dirinya dan diapun belum pernah me-rasa tertarik kepada wanita. Kalau sekali waktu, ke-tika dia menjelang dewasa, ada perasaan tertarik ini kalau dia bertemu dengan seorang gadis dalam perja-lanannya bersama suhunya, maka perasaan ini segera ditekannya karena dia malu terhadap gurunya. Tentu saja andaikata gurunya itu memiliki sikap pria wajar terhadap wanita, agaknya diapun tidak akan menekan perasaan itu. Dan kini, begitu dia melaku-kan perjalanan seorang diri, dia bertemu dengan se-orang wanita yang amat menarik hatinya, yaitu Bi-kwi! Dalam pandangannya Bi-kwi merupakan seo-rang wanita yang matang, yang amat menarik semua gerak-geriknya, berwibawa, dan ada sesuatu yang membuat dia merasa kasihan. Sesuatu itu mungkin garis-garis di antara kedua mata wanita itu, yang
membayangkan suatu kepahitan hidup yang mengha-rukan hati Hong Beng. Gadis ke dua yang jauh lebih muda itupun manis sekali, akan tetapi dalam pan-dangan Hong Beng gadis itu Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
146 masih kekanak-kanakan, masih mentah.
*** Sebetulnya apakah yang telah terjadi dengan perkumpulan Ang-i Mo-pang" Seperti kita ketahui, perkumpulan itu adalah sebuah perkumpulan penja-hat yang dipimpin oleh Tee Kok sebagai ketuanya. Tee Kok adalah seorang bekas anggauta Hek-i Mo-pang yang dahulu terkenal sebagai perkumpulan sesat yang ditakuti orang. Tee Kok mengumpulkan bebe-rapa orang kawan bekas anggauta Hek-i Mo-pang, kemudian ditambah lagi dengan anak buah baru yang terdiri dari orang-orang dari dunia hitam, dia mendirikan Ang-i Mo-pang. Tidak kurang dari limapuluh anak buahnya dan semua anak buah Ang-i Mo-pang memakai pakaian serba merah. Kemudian mun-cul Bi-kwi yang menaklukkan dan mengalahkan Tee Kok. Akan tetapi wanita ini tidak mau menjadi ke-tua perkumpulan itu, melainkan menarik perkumpul-an itu sebagai pembantu-pembantunya. Semenjak ditalukkan Bi-kwi, perkumpulan itu malah menjadi semakin kuat, dan anak buahnya selalu bertambah. Dalam hal menerima anak buah baru, Tee Kok ber-sikap hati-hati sehingga dia dapat memilih anak buah yang benar-benar seorang yang selain memiliki kepandaian, juga memiliki setia kawan dalam dunia hitam.
Akan tetapi, sebulan yang lalu, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki muda, berusia tigapuluhan tahun, berpakaian seperti pemuda hartawan dan sasterawan, membawa pengikut sebanyak lima orang. Begitu muncul, pemuda yang mengaku bernama Bhok Gun ini segera menyatakan kehendaknya untuk menggantikan Tee Kok menjadi ketua Ang-i Mo-pang!
Tentu saja mula-mula orang ini dianggap gila. Akan tetapi begitu pernyataan ini berakhir dengan perkelahian, Tee Kok dan semua pembantunya kalah dengan mudah oleh Bhok Gun!
"Kalau aku mau, apa sukarnya membasmi kalian semua" Akan tetapi aku tidak ingin membunuh ka-lian karena aku melihat bahwa Ang-i Mo-pang kelak akan menjadi
perkumpulan besar, bahkan yang terbe-sar, di bawah pimpinanku. Mulai sekarang aku menjadi Pangcu, dan Tee Kok menjadi pembantuku. Si-apa yang tidak setuju boleh maju melawan aku!"
Demikianlah, mulai hari itu, sebulan yang lalu, pemuda yang bernama Bhok Gun itu menjadi ketua Ang-i Mo-pang! Tee Kok menjadi pembantunya, ber-sama lima orang yang datang bersama Bhok Gun. Dan pada pagi hari itu, seorang di antara lima pem-bantu Bhok Gun melakukan pemerasan di restoran itu dan orang yang bernasib sial ini bertemu dengan Bi-kwi yang menyebabkan buntungnya sebelah le-ngannya. Melakukan pemerasan merupakan hal biasa saja bagi Ang-i Mo-pang, maka mendengar betapa orang yang telah menjadi rekannya itu dibuntungi orang lengannya di restoran ketika dia sedang "be-kerja", Tee Kok cepat mengajak lima orang anak buah untuk menyerbu ke restoran. Tak disangkanya bahwa yang dikerjakan oleh rekan barunya itu adalah Ciong Siocia yang amat ditakutinya.
Dapat dibayangkan betapa gemparnya para an-gauta Ang-i Mo-pang ketika mereka melihat Tee Kok pulang bersama dua orang wanita dan seorang di an-tara mereka adalah Ciong Siocia! Kini di sarang mereka terdapat dua orang pandai yang tentu akan saling
memperebutkan kedudukan dan tentu akan terjadi pertentangan yang seru! Karena mereka se-mua tahu akan kelihaian Ciong Siocia, juga akan kelihaian ketua baru Bhok Gun, mereka tidak akan berpihak, dan hanya menanti siapa di antara keduanya itu yang akan keluar sebagai pemenang.
Memasuki sarang di mana perkumpulan berpu-luh orang berpakaian seragam merah, Bi Lan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
147 merasa agak khawatir juga, karena ia merasa seolah-olah me-masuki sebuah hutan penuh dengan srigala buas yang berkeliaran. Tidak demikian dengan Bi-kwi. Wanita ini sudah pernah menaklukkan Ang-i Mo-pang dan ia merasa yakin bahwa Tee Kok dan seluruh
anggauta perkumpulan itu tidak akan berani mengeroyoknya dan ia hanya akan menghadapi pendatang baru itu saja. Maka ia melangkah memasuki perkampungan Ang-i Mo-pang yang berada di luar kota Kun-ming dengan tenang, bahkan mendahului Tee Kok ketika mereka memasuki gedung utama yang tentu didiami oleh ketua baru itu.
Seorang di antara anak buahnya sendiri sudah ce-pat memberi kabar kepada Bhok Gun tentang da-tangnya Tee Kok bersama dua orang wanita, bahkan anak buah yang buntung lengannya dan yang berada di situ pula setelah mengalami pengobatan, juga ce-pat mengintai dan cepat pula lari kembali ke dalam ruangan besar di mana ketuanya sedang duduk menanti.
"Pangcu, benar siluman perempuan itu yang da-tang!" katanya dengan tubuh gemetar.
Pria muda itu tersenyum dan tetap duduk di atas kursi yang diberi warna merah pula. Dia sendiri mengenakan pakaian mewah, bukan pakaian merah se-perti para anggautanya. Pakaian seorang sasterawan muda yang kaya raya. Dan semenjak Bhok Gun menjadi ketua, ruangan yang luas inipun penuh dengan tulisan-tulisan dan lukisan-lukisan indah, bergantung-an di dinding. Ruangan itupun bersih dan rapi, sama sekali tidak dapat disamakan dengan dahulu sebelum dia datang, ruangan itu kotor dan hanya penuh de-ngan senjata-senjata dan alat-alat penyiksa.
Begitu memasuki ruangan itu, Bi-kwi melihat perobahan besar ini, perobahan yang mencengangkan hatinya. Ia sendiri suka akan kebersihan dan kein-dahan, karena itu iapun selalu pesolek dan pakaian-nya selalu bersih dan indah. Dan pada saat itu ia mendengar suara halus seorang laki-laki, "Kalian semua mundurlah, aku akan menyambut kedatangan nona Ciong yang terhormat!"
Tentu saja tadi ketua baru ini sudah mendengar bahwa yang muncul itu adalah Ciong Siocia yang sebelumnya sudah didengarnya sebagai seorang wanita sakti yang telah menaklukkan Ang-i Mo-pang sebelum dia muncul di situ. Dan mendengar pula bahwa ternyata yang diganggu anak buahnya justeru Nona Ciong itulah!
Ketika Bi-kwi dan Bi Lan memasuki ruangan itu, Tee Kok mengikuti dari belakang dengan jantung berdebar tegang. Diapun maklum bahwa di antara dua kekuasaan ini tentu akan terjadi persaingan dan kalau disuruh memilih, tentu saja dia memilih Bi-kwi. Nona ini benar menganggap dia anak buahnya sebagai pembantu dan taklukan, akan tetapi tidak menuntut kedudukan ketua, bahkan jarang pula datang ke Kun-ming, hanya kalau ada kepentingan saja baru minta bantuan Ang-I Mo-pang. Sebaliknya, orang she Bhok itu ingin mutlak menguasai Ang-i Mo-pang dan men-jadi ketua, bahkan tinggal di situ walaupun dia tidak mengenakan pakaian merah.
Sementara itu, mendengar suara laki-laki itu, Bi-kwi lalu mengangkat muka memandang dengan pe-nuh selidik. Seorang pria yang usianya kurang lebih tigapuluh tahun, seorang pemuda yang sudah masak, dengan sinar mata tajam dan penuh pengertian, na-mun sinar mata itupun liar mengandung kecerdikan, bergerak-gerak terus ke sana-sini. Wajahnya peso-lek dan tampan, dengan mulut yang selalu tersenyum manis. Kulit muka itu tentu dibedaki tipis, rambut-nya yang panjang hitam itu mengkilat karena minyak, dan pakaiannya baru dan indah, pakaian sasterawan dari sutera putih yang dihias warna biru dan merah di sana-sini.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
148 Sepatunya yang tinggipun baru mengki-lap. Seorang pria yang sungguh tampan dan pesolek, yang akan mudah menjatuhkan hati wanita.
Di lain pihak, Bhok Gun juga mengamati dua orang wanita yang memasuki ruangan dengan sikap tenang itu. Diapun terpesona melihat kecantikan Bi-kwi. Seorang wanita yang sudah matang, usianya tentu sekitar tigapuluh tahun, wajahnya cantik manis, pakaiannya mewah.
Tentu ini yang disebut Ciong Siocia oleh Tee Kok dan para anggauta Ang-i Mo-pang. Akan tetapi, matanya yang sudah berpengalam-an itu melirik pula ke arah Bi Lan dan diam-diam diapun terpesona oleh dara yang biarpun pakaiannya sederhana, namun dia tahu merupakan dara yang menggairahkan, bagaikan setangkai bunga sedang mu-lai mekar dan belum disentuh lebah atau kupu-kupu yang nakal.
Setelah dua orang wanita itu tiba di depannya, Bhok Gun lalu bangkit berdiri dan menyambut me-reka dengan sikap hormat. Dia menjura kepada mereka dan berkata dengan suara halus dan senyum ramah gembira, "Selamat datang di perkumpulan kami Ang-i Mo-pang, ji-wi siocia (dua orang nona)!"
Bi Lan adalah seorang gadis yang pada hakekat-nya berwatak gembira dan ramah, maka menghadapi sikap tuan rumah yang tersenyum-senyum ramah dan hormat, ia tidak dapat menahan dirinya untuk tidak membalas penghormatan itu dengan mengangkat kedua tangan di depan dada. Akan tetapi, Bi-kwi hanya mengerutkan alisnya. Biarpun hatinya tertarik oleh gaya laki-laki yang ganteng ini, namun karena ia sedang marah mencari orang yang berani meng-ambil alih kedudukan di perkumpulan itu, diam saja dan hanya memandang tajam penuh selidik.
Tee Kok yang merasa tidak enak segera berkata! sambil berdiri berlindung di belakang Bi-kwi, "Bhok Pangcu, ini adalah Ciong Siocia.... eh, pelindung kami.... dan Siocia ingin menemui pangcu dan ingin bicara...."
Bhok Gun memperlebar senyumnya dan kembali menjura kepada Bi-kwi. "Sudah kuduga dari tadi bahwa nona tentulah Ciong Siocia. Silahkan duduk dan mari kita bicara dengan baik." Pemuda tampan itu mempersilahkan dengan tangannya, akan tetapi Bi-kwi tetap berdiri tegak, bahkan kini berkata de-ngan suara lantang dan ketus, walaupun suara itu di-bikin bernada merdu.
"Selamanya aku hanya mengenal Tee Kok sebagai Pangcu (Ketua) Ang-i Mo-pang! Siapakah engkau yang datang menyambut aku dan sumoi?"
Diam-diam Bhok Gun tertegun. Kiranya gadis muda yang sederhana itu adalah sumoi dari Ciong Siocia. Kalau begitu berarti dia akan menghadapi dua orang wanita yang lihai dan dia harus berhati-hati. Akan tetapi wajahnya tetap tersenyum ramah dan dia mengangguk dengan tubuh membungkuk ke-tika menjawab.
"Aku bernama Bhok Gun dan melihat Ang-i Mo-pang kurang kuat, aku bermaksud untuk memper-kembangkannya menjadi sebuah perkumpulan yang paling kuat di dunia. Untuk dapat menjadi perkum-pulan yang hebat, tentu saja Ang-i Mo-pang harus dipimpin orang yang mampu, yang pandai, tidak se-kedar memiliki beberapa ilmu pukulan seperti Tee Kok.
Maka aku datang dan mengambil alih kepe-mimpinan."
"Hemm, kau sungguh lancang! Apakah tidak tahu bahwa Ang-i Mo-pang mempunyai
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
149 seorang pelindung" Tanpa persetujuanku, bagaimana engkau dapat menjadi pangcu baru?"
Bhok Gun tersenyum dan kembali menjura. "Maaf, Siocia. Kalau begitu setelah kini kita saling berhadapan, biarlah aku minta persetujuanmu!" Bi-kwi tersenyum mengejek.
Bagaimanapun juga, sikap ketua baru yang ramah dan selalu hormat itu menyenangkan hatinya. Kalau benar orang ini memi-liki kepandaian yang tinggi dan dapat menjadi pem-bantunya, hemm, tentu jauh lebih menyenangkan dari pada mempunyai pembantu seperti Tee Kok yang sudah tua dan buruk rupa itu, apa lagi memang ilmu silat Tee Kok tak dapat terlalu diandalkan.
"Tidak begitu mudah! Menjadi ketua Ang-i Mo-pang berarti menjadi pembantuku, dan aku harus membuktikan dulu apakah kau pantas menjadi pem-bantuku."
Semua orang memandang dengan hati tegang. Tibalah saatnya yang menegangkan kini.
Gadis sakti itu, yang ditakuti semua anggauta Ang-i Mo-pang, telah mengeluarkan tantangannya. Akan tetapi, Bhok Gun sama sekali tidak kelihatan jerih dan masih ter-senyum-senyum ketika melangkah maju ke tengah ruangan yang luas itu, lalu berdiri tegak dan menja-wab, suaranya halus namun ramah dan tegas.
"Silahkan, Siocia. Engkau akan mendapat kenya-taan bahwa bagaimanapun juga, aku tidak dapat di-samakan dengan Tee Kok. Harap saja engkau suka menaruh kasihan kepadaku dan tidak menurunkan tangan kejam."
"Kita lihat saja nanti!" kata Bi-kwi sambil melangkah menghampiri pemuda itu.
"Suci, hati-hati...." bisik Bi Lan karena gadis ini melihat betapa sikap pemuda itu amat te-nangnya, dan sikap ini saja membayangkan bahwa pemuda itu tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga demikian yakin akan kekuatan-nya sendiri.
Bi-kwi hanya tersenyum mendengar peringatan sumoinya. Iapun bukan orang bodoh dan melihat si-kap pemuda tampan mewah ini iapun melihat betapa pemuda ini memiliki sikap yang amat tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, seperti yang juga dimiliki pemuda di restoran tadi dan ia dapat menduga bahwa orang inipun tentu amat lihai. Ma-ka begitu berhadapan, ia mengeluarkan seruan me-lengking dan menyerang dengan dahsyatnya memain-kan jurus dari Ilmu Hek-wan Sip-pat-ciang dari Raja Iblis Hitam.
"Haiiittt....!" Lengan Bi-kwi meluncur ke depan dengan cengkeraman ke arah dada lawan.
Bhok Gun dengan sikap tenang melangkah mundur untuk menghindarkan diri, akan tetapi tiba-tiba dia mengeluarkan seruan kaget ketika lengan gadis itu mulur memanjang dan masih melanjutkan cengkeram-annya dengan hebat. Lengan Bi-kwi mulur dan bertambah panjang tidak kurang dari setengah meter!
Terpaksa Bhok Gun menangkis dengan cepat ka-rena hampir saja dadanya kena
dicengkeram. "Dukk....!" Keduanya merasa betapa lengan mereka tergetar dan Bi-kwi sudah melanjutkan se-rangan-serangannya dengan mempergunakan Ilmu Silat Hek-wan Sip-pat-ciang yang lihai itu. Namun, ketua Ang-i Mo-pang yang baru itu selalu dapat meng-hindarkan diri sambil berkali-kali mengeluarkan se-ruan kaget dan heran. Agaknya dia mengenal jurus-jurus ini karena dia dapat menghindarkan diri dengan gerakan yang amat tepat.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
150 Bi-kwi merasa penasaran dan iapun cepat menye-lingi serangan dengan jurus-jurus Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapanbelas Jurus Lutung Hitam) dengan tendangan-tendangan istimewa Pot-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin) dari Iblis Akhirat. Kembali Bhok Gun mengeluarkan seruan heran akan tetapi yang merasa semakin penasaran adalah Bi-kwi karena pemuda itu kembali dapat menghindarkan diri dengan baik sekali dari serangan-serangannya, baik yang dilakukan dengan jurus Hek-wan Sip-pat-ciang maupun tendangan-tendangan Pat-hong-twi. Pemuda itu seperti telah mengenal semua gerakannya sehingga dapat
menghindarkan diri dengan tepat sekali. Dengan gemas ia lalu mengeluarkan Ilmu Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Putuskan Otot) dari Iblis Mayat Hidup. Kedua tangannya mengeluarkan suara berdesing karena iapun sudah mengerahkan te-naga Kiam-ciang yang amat dahsyat itu.
"Ehhh....!" Bhok Gun berseru kaget sekali dan dia meloncat mundur. Sudah belasan jurus dia diserang dan dia hanya mengelak dan menangkis terus.
"Nona, kausambutlah ini!" bentaknya dan kini dia balas menyerang. Kini giliran Bi-kwi yang mera-sa heran dan kaget karena serangan-serangan pemuda itu mengandung dasar ilmu silat yang dimilikinya, bahkan terkandung unsur-unsur semua ilmu silat yang dipelajarinya dari tiga orang gurunya. Ia mengelak sambil berloncatan dan balas menyerang. Sampai kurang lebih limapuluh jurus mereka saling serang dan akhirnya Bhok Gun meloncat ke belakang.
Golok Bulan Sabit 13 Pendekar Sejagat Seri Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 11

Cari Blog Ini