Ceritasilat Novel Online

Anak Pendekar 10

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 10


akan menemuimu. Dia lebih menekankan supaya sepanjang jalan
kau tidak bertemu. Dia bilang kalau kau tidak percaya akan
pesannya, ada kemungkinan kau akan menghadapi bencana."
Nyo Hoa manggut tidak memberi tanggapan. Dia tahu apa
maksud pesan itu. Pemilik kedai berkata lebih lanjut, "Temanmu itu adalah orang
yang sudah lama kukagumi, tak pernah disangka olehku kemarin
aku bisa melihatnya Sayang aku tidak tahu namanya, kau boleh
memberi tahu kepadaku?"
Nyo Hoa heran, katanya, "Sudah lama kau mengaguminya" Jadi
dia sudah lama ternama di daerah Tibet ini" Siapakah dia" Kenapa
kemarin kau tidak tanya langsung kepadanya?"
"Dia seorang maling yang punya kepandaian luar biasa, bintang
penolong keluarga miskin orang-orang Tibet kami," demikian tutur
pemilik kedai. "Sering aku mendengar kisah tentang darinya, tapi
lantaran tidak pernah melihatnya, kesempatan baik kemarin
kuabaikan lagi, tapi kudengar dia tidak suka orang tahu siapa
dirinya, aku khawatir salah tanya, maka tak berani aku tanya
kepadanya." "Kenapa dikatakan sebagai bintang penolong orang-orang
miskin?" tanya Nyo Hoa.
Pemilik kedai mengisi penuh secangkir teh susu, katanya dengan
tertawa, "Kau kan teman baiknya, kok tidak tahu?"
"Terus terang, aku pun baru kenal beberapa hari. Dia tidak
pernah menceritakan pengalaman hidupnya, nama pun tidak
diberitahukan kepadaku."
"Betul, sepak terjang temanmu itu memang aneh. Bahwa dia
mau membantu kau pasti kau pun seorang baik, biarlah kuceritakan
kepadamu." "Sejak dua tahun yang lalu dia muncul di daerah Tibet kami ini.
Tidak lama di sana-sini terdengar berita munculnya maling sakti.
Banyak keluarga raja, hartawan, tuan tanah atau pemilik peternakan
yang kehilangan barang, tapi banyak pula keluarga-keluarga miskin
yang hidup serba kekurangan, begitu bangun tidur esok harinya
menemukan kepingan uang perak di bawah bantalnya"
"Maling sakti ini tidak melulu menolong keluarga miskin yang
tidak punya uang. Ada sebuah keluarga, yang lelaki bekerja sebagai
penggembala ternak dari sebuah peternakan. Suatu hari datang
serombongan serigala, untung dia sempat naik pohon hingga
jiwanya selamat, tapi ada belasan kambingnya yang dimakan
serigala Pemilik ternak menghajar serta menuntut ganti rugi
padanya, sudah tentu dia tidak mampu mengganti maka pemilik
ternak lantas merebut puterinya katanya untuk menjadi pelayan,
sebagai ganti rugi. "Pemilik ternak memang terlalu, belakangan maling sakti telah
mengantar puterinya itu kembali ke rumah.
"Hari kedua setelah puteri orang itu direbut, waktu pagi itu dia
membuka pintu ternyata puterinya sudah berdiri di ambang pintu.
Puterinya bercerita dia bermimpi telah ditolong oleh malaikat, haik
mega dibawa pulang, hanya sekejap tahu-tahu sudah tiba di depan
rumah. Waktu itu baru terang tanah, begitu menurunkan dia, dia
lantas menoleh ingin melihat wajah malaikat yang menolongnya tapi
bayangannya sudah tidak kelihatan lagi. Dalam kolong langit ini
jelas tiada manusia yang berbuat sehebat itu, maka dia mengira
malaikat yang menolongnya Tapi ayahnya tahu pasti maling sakti
itulah yang telah menolong keluarganya."
"Apakah pemilik ternak tidak mengusut perkara itu lebih lanjut?"
"Memang akan kulanjurkan. Tidak lama setelah puterinya pulang,
pemilik ternak malah mengutus orangnya minta maaf kepadanya
serta memberi ganti rugi sepuluh tahil perak karena perabot
rumahnya rusak. Betulkah pemilik peternakan yang jahat dan kejam
berbalik baik hati" Semua orang mereka-reka.
"Tak lama kemudian salah seorang centeng peternak itu waktu
pulang kampung menceritakan, ternyata malam itu si peternak telah
kehilangan sesuatu. Coba terka ternyata maling sakti sudah
mencukur gundul rambut kepalanya, hari kedua waktu bangun tidur
baru dia tahu. Lalu menemukan ancaman maling sakti, jikalau tidak
minta maaf kepada pegawainya, jiwanya akan dicabut. Sungguh
kasihan peternak itu, sepuluh tahil perak soal kecil, celakanya dia
menjadi gundul, selama berbulan-bulan dia tidak berani keluar
menemui orang." Nyo Hoa tertawa geli, katanya, "Sungguh menyenangkan. Cuma
hukuman terlalu ringan untuk peternak yang kejam dan jahat itu."
"Banyak lagi kebaikan dan pertolongan yang pernah dilakukan
maling sakti itu kepada masyarakat, namanya semakin harum dan
selalu menjadi bahan pembicaraan orang. Biar kuceritakan pula satu
kejadian. Dia ternyata pandai menyamar, setiap kali muncul dengan
bentuk berbeda Tapi dia paling suka menyaru laki-laki tirus yang
kotor dan dekil, lebih jorok dari pengemis umumnya. Bila ketemu
para budak atau tukang pukul dari keluarga kaya yang biasanya
hanya menghina dan menindas rakyat kecil, maka orang itu pastiakan
dihajar dan dipermainkan sampai dia merasa puas, yang
celaka adalah majikan si tukang pukul itu pun akan tertimpa
kemalangan. Maka selama dua tahun ini, para budak atau tukang
pukul dari orang-orang kaya itu tidak berani lagi menindas rakyat
kecil." "Apakah dia tidak pernah memperhatikan orang baik"
Umpamanya * terhadap orang-orang yang suka jualan kecil-kecilan
seperti dirimu ini."
"Kau pernah dengar dia makan tidak bayar bukan" Beberapa
bulan belakangan ini memang sering kudengar beberapa peristiwa
habis makan tidak bayar, kebanyakan memang dia yang melakukan.
Tapi cara dia mempermainkan pedagang kecil ini berbeda dengan
mempermainkan tukang-tukang pukul. Kedai-kedai atau warungwarung
makan yang pernah mengalami kejadian itu, belakangan
pasti menerima imbalan yang luar biasa."
"Imbalan yang luar biasa bagaimana?"
"Malamnya dia pasti membayar berlipat dari rekening makanan
yang pernah dia makan. Ada orang bilang dia sengaja
mempermainkan orang untuk mencoba hatinya, bagi yang berhati
baik pasti akan mendapat rejeki." .
Dari beberapa cerita kejadian ini, maka Nyo Hoa yakin
bahwa.laki-laki tirus itu pasti maling nomor dua, namun lega juga
hatinya. Pikirnya, "Peduli salah satu yang mana dari kedua
locianpwe itu yakin memang sengaja mau menggodaku saja. Walau
aku tidak tahu apa sebabnya dia mempermainkan aku." Setelah
kenyang, segera Nyo Hoa mohon diri. Bukan saja tidak mau dibayar,
pemilik kedai malah menyiapkan sepotong ransum kering untuk
bekal Nyo Hoa di perjalanan.
Sebelum Nyo Hoa berangkat pemilik kedai berpesan, "Engkoh
cilik, setelah kau melewati pegunungan Tongkala, ke depan lagi
adalah padang rumput Lugong. Di sana ada sebuah peternakan
besar milik peternak jahat yang kuceritakan itu. Maka sepanjang
jalan kau harus hati-hati. Lalu dia banyak memberi penjelasan seluk
beluk perjalanan yang akan dilewati Nyo Hoa. "terima kasih akan
petunjukmu. Aku akan hati-hati." Segera Nyo Hoa naik kuda terus
berpisah dengan pemilik kedai.
Hari kedua dia memasuki pegunungan Tongkala. Salju
beterbangan di angkasa, hawa di pegunungan teramat dingin.
Lwekang Nyo Hoa cukup tangguh maka dia tidak takut kedinginan.
Maju lebih jauh mendadak terasa hawa di sini agak hangat, sayupsayup
didengarnya suatu suara seperti semburan sesuatu, Nyo Hoa
keheranan segera dia putar kudanya menuju* ke arah datangnya
suara, ternyata dia menemukan sumber air yang menyemprot
deras. Di daerah Tibet memang banyak terdapat sumber air panas yang
menyemprot deras sehingga menimbulkan pemandangan yang
menakjubkan. Nyo Hoa tidak pernah melihat pemandangan seindah
ini, sesaat dia berdiri melongo, pikirnya, "Di pinggir sumber air yang
hangat ini, aku bisa tidur nyenyak menghilangkan
Tapi dia tidak bisa tidur. Soalnya elang lapar yang terbang di
angkasa berputar-putar siap mengintip mangsanya. Waktu itu dia
sudah hampir pulas, mendadak seekor elang besar menukik turun,
untung dia belum pulas. Mungkin elang ini sudah kelaparan, Nyo
Hoa disangkanya mayat, menukik turun hendak mematuk batok
kepalanya. Nyo Hoa menggeliat hingga elang itu kaget, terbang ke
udara serta berputar-putar pula sekian lamanya.
Nyo Hoa dongkol juga geli, maka dia pura-pura tidur tidak
bergerak sekian lamanya. Elang itu terpancing, waktu dia menukik
turun, mendadak Nyo Hoa mencabut pedang menimpuknya. Kontan
elang itu jatuh dengan tubuh ditembus pedang.
Nyo Hoa tertawa ringan, katanya sendiri, "Malam ini aku bisa
makan lezat dari daging elang bakar ini." Setelah dicabut bulunya
dia panggang burung elang itu di pinggir sumber air, malam itu dia
makan jauh lebih kenyang dari biasanya.
Habis makan dia sudah siap tidur, mendadak di depannya di
tempat jauh seperti ada percakapan orang. Lekas Nyo Hoa
mendekam mendengarkan suara. Didengarnya seorang berkata,
"He, kenapa hawa di sini mendadak hangat."
Nyo Hoa melenggong, dia seperti kenal suara orang ini.
Seorang lagi berkata, "Lo-ting, memang nasibmu selalu baik."
Suara orang ini lebih dikenal oleh Nyo Hoa, karena dia bukan lain
adalah Ting Tiong-ai. Yang dipanggil Lo-ting bertanya, "Bernasib baik bagaimana?"
"Tanpa tujuan kita menemukan Pek-ing-cwan (Sumber elang
putih) yang hangat ini."
"Memangnya aku sudah kedinginan sampai gigi berkerutuk,
syukurlah, nanti aku akan mandi air panas, mandi keramas untuk
menghilangkan sebal."
"Iya, kenapa kita selalu kebentur urusan sial. Aku ketemu
pemuda yang berkepandaian tinggi. Kau ke-bentrok dengan copet,
tidak sedikit barangmu yang dikuras olehnya."
"Milik pribadiku dikuras tidak jadi soal, celakanya dokumendokumen
penting itu pun dicopetnya pula. Tolong kau bantu aku
mencari tahu, jago golongan hitam yang mana mahir
menggerayangi kantong orang?"
"Setelah mendengar penjelasanmu, sepanjang jalan ini aku telah
menimang-nimang, aku yakin yang menguras kantong pasti maling
nomor satu Kwi-hwe-thio adanya."
Seketika Nyo Hoa sadar, Lo-ting yang satu ini bukan lain adalah
pemimpin rombongan pedagang yarg tiga hari lalu menghajar lakilaki
tirus itu. "Tak heran maling sakti memperingatkan aku supaya
tidak seperjalanan dengan mereka. Sekarang dia bersama Ting
Tiong-ai, sudah pasti dia pun cakar alap-alap," demikian batin Nyo
Hoa. "Kalau benar dia itu Kwi-hwe-thio, maka barang-barang itu tiada
harapan lagi. Wah, aku kehilangan dokumen penting, dosaku amat
besar, bagaimana baiknya, Ting-toako tolong kau bantu aku mencari
jalan keluarnya." "Kau tidak usah khawatir. Kang Pob pemilik peternakan di depan
sana akan membantumu. Umpama benar Kwi-hwe-thio yang
mencuri dokumen itu, dia harus memberitahukan ke beberapa
tempat itu. Asal kita lebih cepat tiba di Lhasa, urusan masih bisa
ditolong. Setiba di Lhasa aku akan bantu kau."
"Terima kasih. Teng-tayjin siapakah pemuda berkepandaian
tinggi yang bentrok dengan kau?" Orang she Ting ini agaknya
penjilat besar, setelah Teng Tiong-ai menyatakan sedia membantu,
panggilan Teng-toako kini dia uban menjadi Teng-tayjin.
"Bocah itu she Nyo bernama Hoa. Kau tahu atau pernah
melihatnya?" "Hari itu aku juga bertemu pemuda she Nyo, entah orang yang
sama." Lalu dia gambarkan wajah Nyo Hoa.
"Ya, benar, memang pemuda itu, bagaimana sikap pencopet itu
kepadanya?" Setelah mendengar penjelasan orang she Ting, Teng
Tiong-ai terpekur, katanya, "Aneh kalau begitu."
"Apanya yang aneh?" tanya orang she Ting.
"Kalau pencopet itu betul Kwi-hwe-thio, sepantasnya dia
sehaluan dengan pemuda she Nyo itu. Kenapa dia pun mencuri
barang-barang bocah itu" Mungkin sengaja bermain sandiwara?"
"Bocah itu kelihatan gugup, kurasa bukan main-main."
"Pemuda itu kehilangan barang apa?"
"Entah. Tapi aku sudah suruh orang melapor kepada Kang Poh.
Asal melihat dua orang yang mencurigakan ini, Kang Poh pasti akan
bantu kita menghadapinya."
Teng Tiong-ai geleng-geleng, katanya, "Kang Poh mana mampu
menghadapi bocah itu. Kepandaian sejati Kwi-hwe-thio mungkin
bukan tandingan bocah itu, tapi kecepatan larinya nomor satu di
dunia. Kang Poh mana mampu menangkapnya."
Orang she Ting berkata, "Teng-tayjin tidak tahu, belakangan ini
Kang Poh mengundang dua orang kosen dari Bit-cong. Kepandaian
kedua orang kosen ini katanya tidak lebih rendah dari Thian-thay
Siangjin." Teng Tiong-ai membatin, "Kepandaian Thian-thay Siangjin masih
di bawahku, umpama kepandaian kedua jago Bit-cong memang
lebih tinggi, juga belum tentu kuat menghadapi bocah itu."
Orang she Ting berkata lebih lanjut, "Kau tahu, Kang Poh paling
gemar mengoleksi" tiga macam barang, yaitu golok pusaka, wanita
cantik dan kuda bagus. Tahun lalu memperoleh seekor kuda
jempolan, manusia yang larinya tercepat di dunia ini juga pasti tak
akan dapat mengejarnya. Umpama tak berhasil menangkap bocah
dan maling itu, sedikitnya bisa menguntit jejaknya."
Jalan sambil mengobrol, tanpa terasa mereka sudah muncul di
pengkolan gunung. Tampaklah sumber air yang menyembur deras
itu. Orang she Ting terpesona, katanya, "Wah, indah benar
panorama di sini, hawanya hangat lagi, rasanya aku ingin tinggal di
sini saja." "Jangan lupa, aku masih harus lekas tiba di Lhasa," ucap Teng
Tiong-ai. "Lekas kau mandi, istirahat sejenak terus berangkat lagi."
Tiba-tiba orang she Ting berteriak, "Eh aku seperti mencium
daging panggang." "Memangnya kau sudah kelaparan" Di sini mana ada daging
panggang" He, memang iya, aku juga mencium daging panggang."
Belum habis mereka bicara, mendadak Nyo Hoa sudah melompat
keluar di hadapan mereka.
Orang she Ting berjingkrak kaget, teriaknya, "Nah, betul bocah
ini." Nyo Hoa pencet hidung sendiri, berkata sambil menyengir, "Tak
heran aku mencium bau busuk yang memualkan, kiranya kalian
bangsat busuk ini." Teng Tiong-ai mengeraskan kepala, segera dia keluarkan boankoanpit, katanya, "Anak bagus, aku memang ingin membuat
perhitungan dengan kau."
Nyo Hoa tertawa, katanya, "Memang aku khawatir kau tidak
datang." Pedang panjang di tangannya bergerak laksana lembayung
dengan jurus Liong-bun-ko-long, bergerak belakangan tiba lebih
dulu, sepasang potlot besi Teng Tiong-ai kena di-sampuknya pergi,
gerakan pedangnya belum lagi berhenti, terus memapas miring.


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Teng Tiong-ai berputar dengan tumit kakinya, sepasang
potlotnya bergerak miring, pertahanan depan dadanya terbuka
lebar, gerakannya ini melanggar pantangan bergebrak. Karuan
orang she Ting menggerutu, "Sia-sia orang she Teng diangkat
menjadi ketua Ngo-koan, kenapa baru satu gebrak permainannya
sudah kacau balau" Mungkin hatinya sudah jeri melawan musuh
yang pernah mengalahkan dia. Hmm, kali ini dia bisa lebih celaka."
Nyo Hoa cukup mendalam pengetahuan ilmu silatnya, siapa pun
tercekat melihat cara bertempur Teng Tiong-ai, namun dia menduga
bahwa musuh berani senekad ini pasti mempunyai pegangan yang
diandalkan. Betul juga, sepasang potlot Teng tiong-ai sudah melesat
dengan gerakan Pek-ho-liang-ji (Bangau putih pentang sayap),
potlot kiri menyeret, potlot kanan menuntun. Potlot kiri menotok
Hong-hu, Giok-cu dan Coat-bun tiga hiatto besar. Potlot kanan
mengincar Kim-hoan, Ciok-sek dan Kui-ciang, juga tiga hiatto yang
menjurus ke urat nadi. Padahal letak keenam hiatto ini berpencar
bukan dalam satu garis. Ahli totok umumnya, sekaligus menyerang
dua hiatto yang berlainan letaknya saja sukar, apalagi dalam satu
jurus sepasang potlot harus menotok enam hiatto. Waktu
melabraknya di Siau-kim-jwan tempo hari Nyo Hoa tidak melihat
Teng Tiong-ai mampu melancarkan ilmu totok yang lihay ini. Bagi
Nyo Hoa sendiri juga baru pertama kali melihat dan menghadapi
permainan potlot yang sekaligus melancarkan totokan serumit ini.
Ternyata setelah Teng Tiong-ai dikalahkan Nyo Hoa tempo hari,
dia pergi ke Siamsay bertandang ke rumah keluarga Lian Kam-iin
yang ahli totok juga. Kepada tokoh ilmu totok ini dia tukar menukar
pengalaman, saling isi dan koreksi, jadi kedua pihak barter ilmu
totok dari kedua keluarga mereka.
Kepandaian ilmu totok keluarga Lfan turun temurun diwariskan
kepada anak cucunya, mereka sudah memperoleh gelar keluarga
ilmu totok nomor satu sejagat. Ilmu warisan keluarga mereka
adalah Su-pit-tiam-pat-meh (Empat pot lot menotok delapan nadi).
Tigapuftih tahun yang lalu ayah Kim Tiok-liu yaitu Kim Si-ih hampir
dikalahkan oleh Su-pit-tiam-pat-meh keluarga Lian ini. Tapi Su-pittiampat-meh harus dimainkan dua orang. Kalau seorang hanya
mampu mengembangkan Siang-pit-tiam-su-meh. Teng Tiong-ai
barter ilmu totok dengan Lian Kam-lin walau kedua pihak samasama
menyatakan tidak akan menyembunyikan kemampuan
masing-masing, kenyataan di dalam praktek, keduanya
merahasiakan inti pelajaran ilmu totok mereka, karena itu Teng
Tiong-ai sekarang dengan sepasang potlotnya hanya bisa menotok
sepasang urat nadi mengincar enam hiatto. Namun demikian,
kemampuannya sekarang sudah lebih maju dibanding sebelumnya,
tidak heran Nyo Hoa kaget dan mencelos hatinya.
Melihat Nyo Hoa seperti tidak kenal permainan ilmu totoknya,
Teng Tiong-ai amat girang, dia kira kali ini dia pasti dapat membalas
kekalahan tempo hari. Tak nyana perubahan selanjutnya ternyata
jauh di luar perhitungan.
Di tengah sambaran pedang dan tusukan sepasang potlotnya itu,
terdengarlah dering suara ramai, bayangan orang mendadak
berpencar. Teng Tiong-ai memang tidak ter-luka, namun ujung
potlot kirinya gumpil. Ternyata Nyo Hoa pandai melihat gelagat. Jurus Liong- bu nkolong
yang juga bernama Liong-bun-sam-tiap-long, seluruhnya
mengandung tiga golongan tenaga Nyo Hoa sudah melancarkan
serangannya tapi tenaga belum tersalurkan, maka sengaja dia purapura
tertipu untuk balas menipu lawan. Bila sepasang potlot lawan
terlanjur dilancarkan, baru dia kerahkan tenaga sungguh bagai
gelombang samudera yang mengamuk, kontan sepasang potlot
Teng Tiong-ai tersampok pergi.
Bila kedua orang ini saling labrak pula, walau Nyo Hoa belum
kenal permainan sepasang potlotnya, namun dia mengembangkan
Bu-beng-kiam-hoat yang selalu mengikuti gerak perubahan lawan,
maka keadaan seperti tempo hari, betapapun rumit dan lihay gerak
perubahan potlot orang, Nyo Hoa tetap dapat mematahkan dengan
mudah, dia tetap unggul di atas angin. Namun dalam waktu singkat
tidak mudah dia memperoleh kemenangan. Lama kelamaan orang
she Ting yang menonton di pinggir gelanggang, makin tenteram dan
mantap perasaannya. Teng Tiong-ai tidak serunyam yang dia
bayangkan tadi, setelah pikirannya jernih dia tidak bermaksud
melarikan diri lagi. "Teng-toako, jangan gugup, biar aku membantumu" demikian dia
berteriak-teriak, tapi kakinya tetap di tempat, tapi dia juga bukan
hanya main gertak. Kepandaian orang she Ting memang terbatas,
hanya dalam bidang amgi saja dia lebih unggul dari orang lain. Dia
sudah menggenggam tiga batang bor beracun sepanjang lima dim,
setiap ada peluang dia lantas timpukkan secara beruntun.
Sudah tentu tidak mudah dia melukai Nyo Hoa dengan senjata
rahasianya. Dengan Ih-sing-hoan-wi, Nyo Hoa berkelit dari bor
pertama, lalu pedangnya mengetuk dia singkirkan bor kedua, sigap
sekali gagang pedangnya menumbuk, bor ketiga pun dipukulnya
jatuh. Bor terakhir menyerempet badannya baru dipukul jatuh
merupakan ancaman yang paling berbahaya. Tapi bor kedua yang
disampok jatuh Nyo Hoa juga hampir mengenai jidat Teng Tiong-ai,
karuan Teng Tiong-ai kaget.
Maka Teng Tiong-ai membentak, "Lo-ting, jangan pakai amgi
yang beracun." Dia tahu kemahiran orang she Ting menimpukkan
senjata rahasianya. Tapi lawannya ini terlalu tangguh, bila senjata
rahasia beracun tidak mengenai musuh, celaka bila melukai dirinya.
Jengah muka orang she Ting, selanjutnya dia tidak menggunakan
amgi yang beracun. Beruntun dia menghamburkan berbagai senjata
rahasia, ada batu bclirang, toh-kut-ting, kong-piau, besar kecil dan
lain-lain, semua memberondong ke arah Nyo Hoa Kepandaian
menimpuk senjata rahasia orang ini memang amat mahir dan luar
biasa. Padahal Nyo Hoa lagi berhantam sengit dengan Teng Tiongai,
tapi setiap amgi-nya itu seperti punya mata saja, selalu hanya
menyerang Nyo Hoa, tidak sampai melukai Teng Tiong-ai.
Karena harus pecah perhatian supaya tidak terkena senjata
rahasia, karuan Nyo Hoa terdesak di bawah angin, sementara
sambaran amgi semakin gencar dan banyak.
Akhirnya Nyo Hoa naik pitam, serunya, "Mutiara sebesar beras
juga ingin memancarkan cahaya, biar terbuka mata kalian."
Mendadak sinar pedang seperti meledak, terdengar suara "Tring,
tring" yang ramai secara beruntun, semua amgi yang
memberondong ke arah tubuhnya mendadak terpental balik ke
berbagai penjuru. Lekas Teng Tiong-ai menyilangkan kedua
potlotnya, hanya menyerang sejurus lalu melompat mundur.
Kali ini Nyo Hoa menggunakan gerakan khusus untuk
mematahkan amgi dari Bu-beng-kiam- hoat. Permainan pedang
untuk mematahkan senjata rahasia itu merupakan cipta-an Thio
Tan-hong, perubahannya rumit sekali. Bila dipraktekkan harus
mengikuti perkembangan mengubah permainan, jadi tidak boleh
bergerak hanya mengikuti aturan permainan belaka. Sejak
meyakinkan Bu-beng-kiam-hoat, baru pertama kali ini Nyo Hoa
mempraktek-kannya. Pertama kali digunakan adalah wajar kalau kurang sempurna dan
banyak kelemahannya. Teng Tiong-aj memanfaatkan kesempatan,
sepasang potlotnya menyelonong tiba dengan satu jurus serangan
telak, "Breeet" pot lot kirinya berhasil menggaris robek pakaian Nyo
Hoa dan menggores luka kulit dagingnya.
Tapi meski kepandaian amgi orang she Ting cukup lfliay,
betapapun tarafnya masih belum tingkat tinggi. Meski gerak pedang
Nyo Hoa yang khusus mematahkan senjata rahasia tidak sempurna,
juga cukup berkelebihan untuk menghadapinya. Amgi jatuh
berserakan sehingga Teng Tiong-ai sendiri juga ikut kerepotan
dibuatnya, sehingga dia tidak mampu meneruskan sergapannya,
padahal saat Nyo Hoa mematahkan serangan senjata rahasia
merupakan peluang baik untuk dia melancarkan serangan potlotnya.
Karena harus menyelamatkan Birj itulah Teng Tiong-ai harus
melompat mundur juga, namun seba-kong-piau menyambar lewat
menyerempet jidatnya, kedua pihak sama terluka kulitnya saja,
namun tidak membawa pengaruh apa-apa. Ilmu pedang Nyo Hoa
jelas lebih maju, hebat dan menakjubkan lagi, orang she Ting
takkan mampu membantunya lagi, maka runtuh semangat tempur
Teng Tiong-ai. Nyo Hoa membentak, "Kalau berani jangan lari, ingin aku melihat
apa saja kemampuan kalian." Segera dia menubruk maju seraya
mengembangkan ilmu golok kilat dalam permainan pedang. Hanya
belasan jurus, Teng Tiong-ai sudah terkurung dalam sinar
pedangnya. Sudah tentu Teng Tiong-ai kaget dan gugup, orang she Ting
tersirap pucat, segera dia memutuskan untuk angkat langkah
seribu, apalagi sisa amgi-nya tidak banyak lagi. Maka dia tidak
menghiraukan keselamatan Teng Tiong-ai, terus lari lebih dulu.
Kuda merah Nyo Hoa sedang makan rumput, namun Teng Tiongai
masih berhantam sengit dengan Nyo Hoa, diam-diam orang she
Ting merunduk ke arah kuda merah, pikirnya hendak merebut kuda
ini untuk melarikan diri.
Tapi Nyo Hoa selalu pasang mata dan telinga, mendadak dia
membentak, "Mau apa kau?"
Orang she Ting sudah dekat di pinggir kuda merah, dia bergelak
tawa, katanya, "Orang she Nyo, kalau berani carilah aku di Lhasa,
maaf aku tidak temani kau di sini."
Di luar tahunya, selama setengah bulan ini kuda merah sudah
jinak dan tunduk kepada Nyo Hoa, mendengar bentakan Nyo Hoa,
dia seperti mendapat firasat orang di dekatnya ini mengandung
maksud kurang baik, sudah tentu dia tidak mau dinaiki musuh
majikannya. Begitu orang she Ting memburunya, dia segera angkat
kaki depannya menendang. Orang she Ting tidak kena, segera dia meloloskan golok,
bentaknya gusar, "Binatang berani membangkang, biar kubunuh
kau." Khawatir kudanya direbut orang, sedikit terpencar perhatian Nyo
Hoa. Mumpung ada kesempatan Teng Tiong-ai mendesak maju
untuk mundur, dengan sengit dia menyerang sejurus, lalu melompat
ke luar kalangan. Khawatir Nyo Hoa mengejar dan menyerangnya
pula, langsung dia menjatuhkan diri terus menggelinding ke bawah
lereng. Lereng penuh salju, tubuhnya meluncur ke bawah lebih
cepat dari orang mengembangkan ginkang.
Nyo Hoa tidak bisa sekaligus membereskan dua musuh, terpaksa
dia biarkan Teng Tiong-ai lolos, katanya sambil membalik badan,
"Bagus, kalau berani hayolah turun tangan, bunuhlah dia, biar nanti
aku pun sembelih kau." Dia bicara dengan gelombang suara yang
ditekan dengan Iwekang, suaranya tidak keras namun setajam
jarum baja menusuk gendang telinga. Orang she Ting seperti
ditusuk sembilu jantungnya, waktu menoleh baru dilihatnya Teng
Tiong-ai lari menjatuhkan diri ke lereng sana, sementara Nyo Hoa
sedang berlari kencang menubruk dirinya.
Saking kagetnya, serasa terbang arwahnya, mana berani melukai
kuda Nyo Hoa, lekas dia lari sipat kuping. Ginkangnya kalah dari
Teng Tiong-ai, apalagi melawan Nyo Hoa. Sambil lari pontangpanting
sempat juga dia timpukkan amgi beracun, namun mana
mampu dia melukai Nyo Hoa"
Nyo Hoa membentak, "Diberi tidak membalas kurang hormat.
Besi rongsokan tak berharga kau berikan kepadaku, nih kubalas
sekeping uang." Dua jarinya menjentik, mata uang itu meluncur
secepat meteor, mata uang itu dengan tepat mengenai Te-cong-hiat
di bawah tumit kakinya. Nyo Hoa segera menyeretnya, katanya dengan tertawa, "Tadi
kedengaran kau ingin mandi, sekarang keinginanmu akan
kukabulkan." Padahal semburan air itu menyemburkan air berwarna kehitaman
mengkilap, jelas mengandung minyak, panasnya cukup membuat
telor matang dalam dua detik, airnya juga masih mendidih, air
gunung yang mengandung belerang lagi, bila orang diceburkan ke
dalam air ini maka dapatlah dibayangkan akibatnya.
Sengaja Nyo Hoa jinjing orang she Ting ke pinggir air supaya
melihat jelas keadaan sumber air itu. Karuan mukanya seketika
pucat pias, badan pun gemetar, lekas dia minta ampun kepada Nyo
Hoa. Demi menyelamatkan jiwa, terpaksa orang she Ting menjawab
setiap pertanyaan Nyo Hoa.
Ternyata lelaki ini bernama Ting Tiau-tang, salah seorang kepala
barisan penjaga anak buah Sat Hok-ting, sengaja dia ditugaskan
menyamar jadi pedagang bersama sekelompok anak buahnya Atas
perintah Sat Hok-ting mereka berangkat ke Lhasa dengan
menyamar, untuk mengirim dokumen penting kepada walikota yang
berkuasa di kota Lhasa Setiba di Lhasa mereka harus bertugas di
sana sementara waktu. Bekerja sesuai keperluan setempat di bawah
pimpinan walikota Khawatir di tengah jalan kepergok laskar gerilya
maka mereka menyamar sebagai pedagang.
Bagaimana situasi Lhasa belakangan ini, Nyo Hoa berhasil
mengorek beberapa penjelasan dari mulut orang she Ting ini.
Diketahui pula walikota bayangan urusan ke-rajaan Ceng yang
berkuasa dengan hanya beberapa wisu anak buah Sat Hok-ting
bernama Tio Ting-lok. Jabatan sipil, namun Tio Ting-lok s seorang
panglima perang berpengalaman di medan laga.
Dia punya tiga pembantu bernama Wi To-ping yang
berkepandaian silat tinggi, salah seorang dari tiga wisu kosen dari
istana raja. Dua orang lagi adalah Lau Ting-ci dan Yap Kok-wi yang
pernah dikalahkan Nyo Hoa.
Yang memimpin .pemerintahan di Lhasa adalah Dalai Hwehud
(Budha Hidup) atau Lama. Lama yang berkuasa ini sekarang baru
berusia duabelas tahun, maka kekuasaan sebenarnya berada di
tangan Mi-lo-kak-so salah seorang Lama besar atau ketua dari para
hu-kau (pelindung agama). Gelar Mi-lo-kak-so kalau diterjemahkan
dalam bahasa Han menjadi Khong-wi Hoatsu. Tio Ting-lok dan Wi
To-ping sudah berserikat di dalam memegang tampuk pemerintahan
dengan Khong-wi Hoatsu, selama beberapa tahun mereka bisa
berdampingan secara aman dan tenteram, malah di dalam
melaksanakan kebijaksanaan pemerintah kerajaan di daerah Tibet
ini, tidak sedikit bantuan Khong-wi Hoatsu.
Setelah tahu keadaan di Lhasa, Nyo Hoa berkata, "Baik, sekarang
aku tanya yang terakhir, apa isi dokumen Sat Hok-ting yang kau
bawa itu?" Agaknya Ting Tiau-tang sudah menduga akhirnya akan ditanya
soal ini, katanya, "Dokumen itu amat penting, mana berani aku
membukanya" Nyo Hoa manyeringai dingin, katanya, "Percakapanmu dengan
Teng Tiong-ai di tengah jalan tadi terdengar seluruhnya. Aku tahu
bahwa kail tahu apa isi dokumen itu. Bicaralah terus terang,
sebetulnya tanpa mendengar pengakuanmu aku juga sudah tahu.
Tapi aku ingin menguji apakah kau berlaku jujur apa tidak
terhadapku. Bila sepatah kata kau berbohong, akan kulempar kau
ke dalam air supaya mandi air panas."
Ting Tiau-tang membatin, "Agaknya dia sehaluan dengan
pencopet itu, bukan mustahil memang sudah melihat isi dokumen
itu maka sengaja dia menguji aku." Demi keselamatan jiwa sendiri
terpaksa dia paparkan seluruh rahasia yang dia ketahui.
"Bicara terus terang, dokumen itu aku tidak pernah melihatnya


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi intinya Sat-tayjin pernah memberi tahu kepadaku, hal ini untuk
menjaga bila dokumen itu hilang di tengah jalan, aku tetap dapat
menyampaikan pesannya itu secara lisan." Setelah memberi
penjelasan Ting Tiau-tang lalu membicarakan isi dokumen itu,
"Itulah surat rahasia Sat-tayjin untuk Tio Ting-lok, dalam surat itu
beliau berpesan untuk tiga persoalan."
"Tiga persoalan apa?"
"Pertama supaya dia menghasut Khong-wi Hoatsu. Dengan
alasan demi keutuhan Ui-kau mereka, mengerahkan pasukan
menyerbu ke Jinghay, menghancurkan Pek-kau Lama Karena
menurut laporan yang diterima Sat-tayjin, Pek-kau Hoat-ong yang
bercokol di Cau-hoat, secara diam-diam memberi dukungan kepada
sisa laskar gerilya yang hijrah dari Siau-kim-jwan."
Waktu dirinya berada di Jik-tat-bok, Leng Thiat-jiau pernah
membicarakan hal ini dengan dirinya, maka Nyo Hoa membatin,
"Leng Thiat-jiau dan Siau Ci-wan ternyata memang pandai, gerakgerik
musuh ternyata sudah dalam pengamatannya" Maka dia
bertanya "Dan persoalan kedua?"
"Sat-tayjin mendapat kabar, bahwa lima suku bangsa di Tibet
dan Wikiang telah menandatangani perjanjian berserikat dengan
pihak Leng Thiat-jiau, satu sama lain harus saling bantu. Sementara
suku bangsa lain masih belum jelas apakah sudah berkomplot
dengan mereka, tapi diduga tidak lama lagi, banyak lagi yang akan
berserikat dengan mereka Masih ada tiga bangsa terbesar di
Wikiang, Le-ciangkun diwajibkan untuk menghadapi mereka Dua
suku bangsa lagi di Tibet, pihak kerajaan tak enak mengerahkan
pasukannya maka secara rahasia Teng-tayjin memberi pesan untuk
Wi To-ping, untuk membekuk dan menggusur kedua kepala suku
bangsa ini ke kota raja."
Nyo Hoa membatin, "Cara ini memang keji dan jahat. Pihak
laskar gerilya pasti tidak akan membiarkan kawan serikatnya
tertimpa malang. Tak heran Teng Tiong-ai menduga, setelah Kwihwethio dan Li-ma-cu mencuri dokumen itu dia harus mondarmandir
untuk menyampaikan berita penting ini." Lalu tanyanya pula,
"Dan -persoalan ketiga apa?"
"Yang ketiga adalah harus membekuk Beng Goan-cau."
Nyo Hoa kaget, katanya, "Kalian sudah tahu Beng Goan-cau
sembunyi di mana?" "Beng Goau-cau merupakan salah satu yang beroperasi ke Lhasa,
waktu dia lewat Cau-hoat, pihak kami sudah menemukan jejaknya.
Beng Goan-cau merupakan salah satu tangan kanan Leng Thiat-jiau
yang terpercaya, kedudukannya penting, berilmu silat tinggi, Haytayjin
dari Gi-lim-kun dan Sat-tayjin mengutus jago-jagonya untuk
membekuk Beng Goan-cau. Rombongan pertama adalah Lau Ting-ci
dan Yan Kok-wi, wisu dari bayangkari. Rombongan kedua adalah
wakil komandan Gi-lim-kun Ma Gun dan Ciu Jan."
"Dan kalian adalah rombongan ketiga. Begitu?" jengek Nyo Hoa
dingin. Ting Tiau-tang menyengir kuda, katanya rikuh, "Kepandaianku
yang cakar kucing ini, mana berani dijajarkan dengan mereka" Kami
hanya diutus untuk membantu Wi To-ping menyudutkan Khong-wi
Hoatsu, menghasut dan mengancamnya sehingga dia terpaksa
menuruti kehendak kami, Nyo-siauhiap, jikalau kau ampuni jiwaku,
aku tidak berani pergi ke Lhasa lagi."
"Memangnya kau berani main-main di hadapan Beng tayhiap,
kau berani tidak pergi ke Lhasa adalah urusanmu, aku tidak perlu
tahu." "Nyo-siauhiap, apa yang kutahu sudah kujelaskan kepadamu,
tiada sepatah kata pun-yang bohong, kau bisa membebaskan aku
bukan?" "Kenapa terburu nafsu, tunggu sebentar," jengek Nyo Hoa.
Ternyata saat itu lapat-lapat dia mendengar derap lari kuda di
kejauhan. Nyo Hoa pasang telinga sejenak, dia tahu ada dua orang
menunggang kuda dilarikan ke atas gunung. Beberapa kejap lagi,
percakapan kedua orang ini pun sudah dapat didengarnya.
"Orang yang akan kita sambut pasti berada di atas gunung ini,"
kata seseorang. Yang lain berkata, "Kau duga demikian karena kedua ekor kuda
yang kita temukan tadi" Kedua kuda itu satu mati yang lain terluka,
bukan mustahil kuda orang lain."
"Lo-heng, sudah berapa tahun kau menjadi pembantu dalam
peternakan, ternyata kau masih belum bisa membedakan beberapa
jenis kuda dari berbagai tempat itu." "Aku mana bisa dibanding kau
yang ahli dalam bidang ini" Mohon petunjukmu."
"Seekor yang bertubuh kecil kurus tapi kelihatan gagah dan kekar
itu adalah kuda kelahiran Siau-kim-jwan. Tahukah kau Teng-tayjin
itu datang dari Siau-kim-jwan?"
"Lalu yang mati itu?"
"Itulah kuda kelahiran Thio-keh-gau. Menurut yang diketahui,
kuda tinggi tegap berkepala besar seperti itu sering digunakan
dalam pasukan perang."
"Kalau demikian, dua orang yang kehilangan kuda ini
kemungkinan adalah Teng-tayjin dan Ting Tiau-tang."
"Pasti tidak salah."
Nyo Hoa bertanya perlahan di pinggir telinga Ting Tiau-tang,
"Apakah kudamu mati waktu naik ke atas gunung" Kenapa?"
"Dari mana kau tahu?" balas tanya Ting Tiau-tang heran. "Waktu
kami naik gunung, kebetulan keben-tur salju gugur, untung hanya
gunung gugur yang tak seberapa, hanya kuda kami yang mati dan
luka parah, kami berdua syukur tidak kurang suatu apa." Ternyata
dia belum mendengar percakapan dua orang yang mendatangi.
Sekarang kedua orang ini sudah lebih dekat, maka percakapan
mereka sudah terdengar. "Jikalau berhasil menemukan dan menyambut mereka pulang,
tentu tidak kecil pahala kita," terdengar berkata lagi.
"Kemarin jikalau majikan kita tidak menangkap seorang gadis
belia, hari ini pasti datang sendiri. Padahal ini memangnya bakal
menjadi bagian kita."
"Siapa gadis itu; apa kau tahu?"
"Kabarnya puteri Kim Tiok-liu."
"Maksudmu Kim Tiok-liu jago pedang nomor satu itu?"
"Siapa bilang bukan. Karena itu setelah majikan tahu asalusulnya,
beliau merasa serba susah, tak tahu bagaimana dia harus
bertindak." Karuan Nyo Hoa terperanjat mendengar kabar buruk Kim Bikin,
jantungnya seperti hendak melonjak keluar.
Sekarang Ting Tiau-tang juga sudah mendengar suara derap
kuda, wajahnya seketika menampilkan rasa girang.
Sekali tepuk Nyo Hoa hancurkan sebuah batu, lalu berkata,
"Jangan kau kira kedatangan penolong, nanti kau harus dengar
petunjuk, anggaplah aku sebagai temanmu. Kalau berani
membangkang, kepalamu bakal remuk seperti batu ini." Lalu dia
membuka hiatto Ting Tiau-tang, Karena ketakutan Ting Tiau-tang
mengiakan berulang kali. Kedua orang itu sudah berada di pengkolan gunung, mendengar
ringkik kuda Nyo Hoa, lekas mereka angkat kepala, dilihatnya kuda
merah itu sedang makan rumput, maka mereka berteriak girang,
"Nah,itu disana."
"He, he, yang di atas itu apakah Teng-tayjin dan Ting-tayjin?"
Nyo Hoa berbisik di telinga Ting Tiau-tang, "Bersikaplah wajar,
kalau sengaja kau memperlihatkan sikap yang membuat mereka
curiga, umpama tidak segera kubunuh kau, tulang pundakmu akan
kuremas biar hancur."
Ting Tiau-tang segera melompat berdiri, teriaknya, "Betul, aku
adalah Ting Tiau-tang."
Setelah dekat, kedua orang itu melompat turun terus memberi
hormat. Melihat Nyo Hoa masih sedemikian muda, tidak mirip Teng
Tiong-ai yang sudah ternama sebagai kepala Ngo-koan, mereka
merasa heran, tanyanya, "Tuan ini"."
Nyo Hoa segera menjawab, "Aku adalah pembantu Ting-tayjin,
kami ketemu salju gugur, kuda Teng-tayjin dan kudaku mati dan
terluka, tinggal kuda Ting-tayjin saja yang selamat Kami tersesat di
tengah gunung, untung kami temukan sumber air di sini sehingga
tidak kedinginan." "Mana Teng-tayjin?" tanya kedua orang itu.
"Dia, dia?" Ting Tiau-tang gelagapan.
Lekas Nyo Hoa menyambung, "Teng-tayjin terburu nafsu, dia
bilang daripada menunggu di sini lebih baik aku pergi mencarinya.
Ting-tayjin tidak berhasil membujuknya. Kira-kira dua jam yang lalu,
seorang diri dia turun gunung mencari orang kalian." Sampai di sini
matanya melirik ke arah Ting Tiau-tang.
Tiga tahun yang lalu Ting Tiau-tang pernah menjadi tamu Kang
Poh, lapat-lapat masih kenal kedua orang ini memang kepercayaan
Kang Poh,. tapi dia tahu kepandaian kedua orang ini teramat rendah
maka hatinya amat kecewa. Segera dia mengikuti nada Nyo Hoa,
katanya, "Teng-tayjin terlalu mengagulkan kepandaian sendiri,
kubujuk supaya dia tidak menempuh bahaya, dia bilang tidak takut,
suruh kami tidak usah menguatirkan keselamatannya."
Menyusul Nyo Hoa menyambung lagi, "Teng-tayjin meninggalkan
kuda ini untuk keperluan kami bila diperlukan. Katanya dua hari
kemudian, bila dia tetap tidak kembali, kami dianjurkan turun
gunung juga. Sebelum pergi Teng-tayjin malah membidik jatuh
seekor elang besar, kami sudah menghabiskan separo, perut sudah
kenyang." Kedua orang itu kaget, katanya, "Wah, inilah elang salju yang
ganas, harimau pun bukan lawannya." Ternyata mereka percaya
akan obrolan Nyo Hoa. Kedua orang ini sudah sekian hari hanya makan ransum kering,
mumpung dapat ganti menu maka mereka pun tidak sungkan. Dari
tangan Nyo Hoa mereka terima sisa daging elang panggang itu
serta dimakan dengan lahap.
Dari samping Ting Tiau-tang mengawasi mereka makan, katanya,
"Kurasa seperti sudah kenal muka kalian."
"Agaknya Ting-tayjin pelupa," ucap laki-laki berbadan kurus.
"Tiga tahun yang lalu, waktu kau bertamu ke tempat kami,
bukankah aku pernah menyambutmu" Aku bernama Sona, dia
bernama Lidi." "Oh iya, aku ingat sekarang. Eh, bagaimana keadaan majikan
kalian?" tanya Ting Tiau-tang.
"Baik-baik saja. Sebetulnya majikan akan menyambut sendiri
kedatangan kalian, secara kebetulan beberapa hari yang lalu beliau
terbentur suatu perkara yang runyam."
"Perkara runyam .apa?" Ting Tiau-tang menegas.
Lidi tertawa, katanya, "Ting-tayjin tentu sudah tahu kegemaran
majikan kami. Siapa kira gadis yang diincarnya kali ini seumpama
bakpao yang panas sukar ditelan."
"Siapakah gadis itu?" tanya Ting Tiau-tang.
"Puteri jago pedang nomor satu di dunia Kim Tiok-liu."
Nyo Hoa sudah tahu, maka dia tidak merasa kaget atau heran.
Sebaliknya Ting Tiau-tang terbeliak kaget, serunya, "Puteri Kim
Tiok-liu bagaimana bisa jatuh ke tangan kalian?"
"Semula pihak kami tidak tahu siapa dia, karena seorang diri
menempuh perjalanan. Kami berhasrat menangkapnya untuk
dipersembahkan kepada majikan. Gadis itu memang tidak malu
sebagai puteri Kim Tiok-liu, beberapa orang kami dihajarnya babak
belur malah." "Kalau dia begitu libay, cara bagaimana kalian bisa
membekuknya?" tanya Nyo Hoa.
Sona membusungkan dada, katanya, "Kami pakai akal. Majikan
banyak membuka restoran di sepanjang jalan itu, kami yakin dia
akan menginap di salah satu penginapan atau makan di restoran,
maka di dalam air minumnya kami campur dengan Bong-han-yok."
"Belakangan bagaimana kalian bisa tahu kalau dia puteri Kim
Tiok-liu?" tanya Nyo Hoa.
"Dia sendiri yang bilang," kata Lidi.
Sona melanjutkan, "Gadis ini masih muda tapi lwekang-nya amat
tangguh, orang lain akan pulas sehari penuh segera setelah minum
obat bius itu, kami menunggang kuda kilat membawanya ke. rumah
majikan, hanya setengah hari dia siuman. Dia mengancam bila
berani mengusik seujung rambutnya, ayahnya pasti akan
membunuh kami habis-habisan."
"Semula majikan tidak ambil perhatian, dengan tertawa dia
tanya, "Gadis manis, kenapa suka membual, siapa sih ayahmu?"
Gadis itu menjawab lantang, "Ayahku adalah jago pedang nomor
satu di seluruh dunia, Kim Tiok-liu."
"Karuan majikan kaget, kebetulan datang dua orang tamu dari
kota, kedua tamu ini kenal gadis itu memang benar puteri Kim Tiokliu,
maka majikan menyekapnya."
"Siapakah kedua tamu itu?" tanya Nyo Hoa.
Sona sudah buka mulut, namun Lidi segera mengedipkan mata
kepadanya, katanya, "Pergaulan majikan kami amat luas, kedua
tamu itu baru pertama kali datang, kami tidak tahu siapa mereka."
Diam-diam Nyo Hoa perhatikan, dilihatnya Lidi mengedipkan
mata kepada temannya, maka dia menduga kedua orang ini
mungkin menaruh curiga terhadap dirinya, maka dia tidak tanya
lagi. Sehabis makan Lidi menggeliat lalu berdiri, katanya, "Hayolah
kita berangkat lebih dini. Tapi kita berempat, kuda hanya tiga ekor,
bagaimana menempuh perjalanan?"
Sona berkata, "Saudara cilik, kau menunggang dengan aku saja"
Lalu tangannya menarik Nyo Hoa. Mendadak tubuhnya setengah
jongkok serta menarik Nyo Hoa ke pundaknya terus dibanting.
Ternyata Sona seorang ahli gulat, jurus yang dilancarkan adalah
jurus Jian-jiu-sek andalannya
Ting Tiau-tang terkejut. Kejadian di luar dugaannya, cukup
sejurus Jian-jiu-sck ternyata Nyo Hoa sudah terbeku k. Ting Tiautang
girang bukan main, lekas dia melolos golok memburu maju
hendak memenggal kepala Nyo Hoa. Tak nyana sebelum dia
bergerak, keadaan ternyata sudah berubah.
Didengarnya Nyo Hoa berkata dingin, "Tak usah pakai empat
ekor kuda, tiga ekor juga sudah kelebihan." "Bluk" yang terbanting
bukan Nyo Hoa, sebaliknya Sona. Pengalaman Nyo Hoa memang
masih cetek, namun taraf kepandaiannya entah berapa lipat lebih
dari Sona, mana mungkin dia kecundang" Sebelum Sona
membantingnya dia sudah menotok Ki-ti-hiat Sona malah.
Kebetulan Lidi sudah memburu tiba sambil angkat pecut terus
memukul. Karena kaget lekas Ting Tiau-tang masukkan kembali
goloknya ke dalam sarungnya
Nyo Hoa tertawa, katanya, "Kau pun rebah saja" Ujung pecut
orang dipegangnya terus melompat tinggi ke depan, sebelum Lidi
lepaskan gagang pecutnya, lehernya sudah ter-jirat oleh pecut
sendiri, karuan ia jatuh pingsan.
Lekas Ting Tiau-tang berteriak, "Nyo-siauhiap, barusan aku ingin
membantumu, jangan kau salah paham."
Nyo Hoa tertawa dingin, bentaknya, "Terima kasih, berdirilah di
pinggir saja" Sembari bicara satu tangan satu dia kempit Sona dan
Lidi, katanya tertawa, "Lahir batin kalian teramat kotor, silakan
kalian mandi biar bersih."
Sudah tentu Sona dan Lidi meratap minta ampun. Nyo Hoa
seorang bajik, tujuannya hanya menggertak saja, dengan gelak


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tawa dia lempar mereka serta menotok biatto pelemasnya, katanya,
"Jiwa kalian akan kuampuni bila kalian bicara jujur."
Sona dan Lidi mengiakan. "Nona Kim itu disekap di mana?" tanya Nyo Hoa.
"Di dalam Hiong-eng-kek," sahut Sona.
Nyo Hoa ambil ranting pohon diserahkan kepadanya, katanya,
"Gambarkan petanya supaya kuperiksa, penjelasannya juga harus
terperinci. Jangan kira aku gampang dipermainkan, bila aku bekerja
menurut gambar tidak berhasil, aku akan kembali kemari
membuang kalian ke dalam sumber air panas itu."
Sona bimbang setengah percaya namun sikapnya kelihatan takut,
katanya, "Terima kasih kau tidak membunuh kami. Siaujin mana
berani berbohong." "Memangnya kau berani. Ketahuilah, yang kugunakan adalah
totokan Jong-jiu-hoat, dalam jangka tiga hari kalian tidak akan bisa
bergerak. Apalagi setelah tiga hari, walau kalian bisa bergerak
jikalau tidak memperoleh obat penawarku, setengah tahun
kemudian jiwa kalian bakal terancam." Sampai di sini, mendadak
kedua tangan bekerja, geraham kedua orang dia pencet hingga
mulut terbuka lebar, dengan gerak cekatan Nyo Hoa jejalkan sebutir
pil obat ke dalam mulut mereka.
Obat itu amis dan getir, begitu masuk mulut lantas lumer dan
tertelan. Meski merasa jijik kedua orang ini ketakutan, mereka duga
pil obat yang dijejalkan ke mulut mereka oleh Nyo Hoa pasti obat
beracun. "Kadar racun yarg kalian telan barusan memang tidak terlalu
lihay, setengah tahun kemudian baru akan kumat Tapi bila mulai
kumat kalian akan tersiksa empatpuluh sembilan hari baru perut
pecah membusuk dan mati. Maka sebelum setengah tahun kalian
harus menerima obat penawarnya dari tanganku."
Lalu Nyo Hoa membuka totokan hiano Sona, dengan ranting kayu
Sona mulai melukis di atas tanah berpasir lalu memberi penjelasan
secara terperinci. Perlu diketahui Kang Poh adalah hartawan paling besar di Tibet
timur, rumah kediamannya dibangun semegah istana raja di taman
bunga juga dibangun gardu, gedung berlubang dan panggung
sembahyang, segala bentuknya seperti bangunan megah di
Kanglam, batu yang digunakan membangun gunungan dalam taman
itu pun didatangkan dari Kahglam, Hiong-eng-kek tersembunyi di
tengah dua gunungan, kalau tidak tahu seluk beluk daerah itu sukar
menemukan tempatnya. "Hohan, peta sudah kugambarkan," demikian ucap Sona, "tidak
sukar kau menemukan Hiong-eng-kek, tapi kuharap jangan kau
menempuh bahaya." "Kenapa?" tanya Nyo Hoa.
"Di dalam dan di sekitar Hiong-eng-kek dipasangi banyak alat
rahasia dan perangkap."
"Alat rahasia apa?"
"Hanya majikan yang tahu rahasia itu, hamba orang rendah tidak
tahu jelas." "Katakan saja apa yang kau ketahui."
"Kabarnya ada panah beracun, papan jeplakan, manusia
tembaga, dinding berlapis dan banyak lagi alat rahasia lain. Hiongengkek adalah daerah terlarang, tempat itu dibangun majikan dan
beberapa pekerja, tiada orang lain yang tahu. Hohan,
kepandaianmu memang tinggi, namun seorang diri, kurasa,
kurasa"." Tak usah kau khawatir. Ingat hanya aku yang bertanya dan kau
harus menjawab," demikian bentak Nyo Hoa. Diam-diam dia amat
geli dalam hati melihat betapa takutnya kedua orang ini setelah dia
jejal pil obat yang dia pelintir dari daki badannya.
Nyo Hoa berkata, "Siapakah kedua tamu yang kenal puteri Kim
tayhiap itu?" Sekarang giliran Lidi menjawab, "Majikan memanggil mereka Matayjin
dan Ciu-tayjin, sikapnya amat hormat, agaknya mereka punya
jabatan tinggi di kalangan pemerintahan."
Nyo Hoa lantas mcnotok Yang-ko dan Im-wi, dua hiatto besar di
tubuh mereka sehingga tubuh mereka lumpuh separo. Hanya lengan
kanan saja yang dapat bergerak. Nyo Hoa meninggalkan sekantong
ransum yag cukup untuk makan tiga hari.
Dalam perjalanan Nyo Hoa merias dirinya menjadi seorang lakilaki
setengah umur dan menyamar jadi pengikut Ting Tiau-tang.
Ting Tiau-tang menunggang seekor kuda, seekor lagi digandeng.
Nyo Hoa tetap menunggang kuda miliknya di belakang, setelah
menempuh perjalanan cukup jauh dengan laju yang cukup cepat.
Ting Tiau-tang harus berganti kuda tunggangan baru bisa
menandingi kecepatan lari kuda Nyo Hoa. Sudah tentu Ting tiautang
tidak berani melarikan diri.
Nyo Hoa mengajaknya menempuh perjalanan tanpa istirahat, dua
hari satu malam mereka melintasi padang rumput yang luas,
sebelum magrib hari ketiga tak jauh di bawah gunung di depan sana
kelihatan deretan rumah-rumah penduduk bergen teng hijau
bertembok merah di antara pepohonan yang hidup subur menghijau
permai. Ting Tiau-tang berkata, "Di depan itulah taman kembang Kang
Poh, Nyo-siauhiap, kau?" Dia kira setelah berada di sini betapapun
besar nyali Nyo Hoa pasti akan berpisah dengan dirinya.
Tak nyana Nyo Hoa hanya berkata tawar, "Ting-tayjin, aku belum
ingin berpisah dengan kau. Hayo turun."
Ting Tiau-tang kaget, katanya, "Nyo-siauhiap, kau sudah tahu
letak dari Hiong-eng-kek, aku tidak akan membocorkan rahasiamu.
Anak buahku pasti sudah tiba di tempat Kang Poh, mereka tahu aku
tidak punya pengikut seperti dirimu, celakalah kau kalau
penyamaranmu terbongkar."
"Kusuruh kau turun, dengar tidak?" bentak Nyo Hoa
Apa boleh buat, Ting Tiau-tang segera melorot turun. Kedua
tangan Nyo Hoa bekerja, dia tepuk kepala kedua ekor kuda hingga
mampus seketika, mayatnya diseret ke dalam semak belukar, lalu
katanya, "Kau berkuda dengan aku, akan kuanjurkan bagaimana
kau nanti harus bicara."
Setiba di tempat kediaman Kang Poh, hari sudah petang. Sesuai
pesan Nyo Hoa, Ting Tiau-tang bilang di tengah jalan kepergok salju
gugur, syukur terhindar dari petaka. Pengikutnya ini adalah wisu
anak buah Ting Tiong-ai, mati hidupnya sukar diramalkan, maka
wisu yang selamat ini ikut dia kemari.
Nyo Hoa terlalu berani mengarang cerita bohong ini. Jikalau Ting
Tiong-ai sudah berada di sini, maka bualannya pasti terbongkar
seketika, tapi Nyo Hoa yakin, tanpa kuda tunggangan, badan terluka
lagi, Ting Tiong-ai pasti takkan lebih cepat sampai di sini.
Penjaga pintu kenal baik dengan Ting Tiau-tang, maka dia tidak
menaruh curiga kepada bualannya, lalu membawanya masuk. Nyo
Hoa ikut di belakang. Sebelum mereka masuk ruang tamu, Kang
Poh yang mendapat laporan sudah menyongsong keluar. Melihat
orang-orang yang ikut Kang Poh keluar bukan saja tiada Teng
Tiong-ai, anak buah Ting Tiau-tang juga tidak ada, mungkin Kang
Poh terburu-buru keluar menyambut sehingga belum sempat
memberi tahu mereka. Untuk masuk ruang tamu harus melewati undakan batu sebanyak
dua tigapuluhan undakan, Kang Poh melangkah turun dan berkata,
"Ting-tayjin tentu banyak capek dan kaget, maaf bila
penyambutanku kurang sempurna, silakan masuk, kita minum
beberapa cangkir untuk menenteramkan hati."
Mendadak dari belakang rombongan, dua orang memburu turun,
mereka bukan lain adalah Ma Gun dan Ciu Jan. Ma Gun menegur
lebih dulu, "Lo-ting, kabarnya kalian tercegat salju gugur,
bagaimana keadaan Ting Tiong-ai?"
Ciu Jan sebaliknya tertegun, mendadak dia berteriak, "Lo-ting,
dari mana kau bawa pengikutmu ini" Agaknya aku sudah kenal."
Kang Poh bukan seorang gegabah, segera dia sadar pengikut
Ting Tiau-tang tidak sepantasnya berlaku kurang ajar, lekas dia
menyurut mundur, tapi juga sudah terlambat.
Begitu Ciu Jan habis bicara, Nyo Hoa sudah melompat dengan
gerakan Ui-hou-ciong-siau, di kala tubuhnya melambung ke atas,
kakinya menendang sehingga Ting Tiau-tang jatuh terguling ke
bawah undakan. Laksana burung elang menerobos hutan, di tengah
udara Nyo Hoa membalik tubuh dari atas membalik turun
mencengkeram ke arah Kang Poh. Kepandaian Kang Poh tidak
lemah, ilmu gulatnya amat lihay, mendadak dia gunakan Hong-tiamthau,
kedua tangan bcrbalik mencengkeram pergelangan tangan
Nyo Hoa Di belakang Kang Poh berdiri seorang kepercayaannya, tak
sempat melolos golok, kontan dia menggenjot dengan tinjunya
Dalam waktu yang sama Ma Gun dan Ciu Jan melompat ke undakan
sambil melolos senjata. "Biang" tinju orang kepercayaan Kang Poh
dengan telak mengenai punggung Nyo Hoa, tapi bukan Nyo Hoa
yang terpukul roboh, justru penyerangnya sendiri yang terpental
jatuh terguling-guling. Selama setahun Nyo Hoa menggembleng diri dalam Ciok-lin, ilmu
pedangnya sudah sempurna, Iwc-kang-nya pun setaraf dengan
tingkat pelajaran ciptaan Thio Tan-hong, kalau hanya untuk
menghadapi pukulan seorang yang memiliki tenaga kasar jauh
berkelebihan. Apalagi Nyo Hoa gunakan Can-ih-cap-pwe-tiat,
Iwekang tingkat tinggi, mana penyerangnya itu mampu
menahannya" Makin keras pukulan, tenaga yang kembali pun makin
keras, setiba di bawah undakan orang itu pun pingsan.
Justru gerakan menangkap terbalik yang dilancarkan Kang Poh
itu lebih lihay, kedua pergelangan tangan Nyo Hoa berhasil
dipegangnya, tapi begitu dia memegang pergelangan tangan Nyo
Hoa, seketika dia rasakan gelagat tidak menguntungkan dirinya.
Karena yang dipegangnya seperti bukan pergelangan tangan
manusia, tapi lebih mirip dua tongkat besi yang dingin dan keras
sehingga jari tangan sendiri yang mencengkeram kesakitan. Saking
kaget, lekas Kang Poh lepas pegangannya, tapi Nyo Hoa tertawa
dingin, jengeknya, "Sekarang rasakan juga Kim-na-jiu-hoat-ku ini."
Gerakannya secepat kilat, belum habis dia bicara, lawan sudah
tercengkeram olehnya Baru saja Ma Gun dan Ciu Jan melompat tiba di undakan, dengan
Hun-kin-joh-kut-jiu-hoat dia kerahkan sedikit tenaganya menelikung,
seketika Kang Poh menjerit kesakitan. Nyo Hoa membentak, "Siapa
tidak hiraukan jiwa Kang Poh, boleh maju."
Baru sekarang Ma Gun dan Ciu Jan tahu dengan siapa mereka
berhadapan, karuan mereka berjingkrak gusar, dampratnya, "Bagus,
kiranya kau bocah keparat ini."
Nyo Hoa menyeringai tawa, katanya, "Betul, aku memang ingin
membuat perhitungan dengan kalian, kawanan cakar alap-alap ini."
Kang Poh berteriak dengan suara serak, "Kalian jangan bergerak,
damai sajalah." Nyo Hoa tertawa, katanya "Nah kan begitu, marilah kita barter
secara adil." "Barter secara adil bagaimana?" tanya Kang Poh.
"Bebaskan puteri Kim tayhiap baru kubebaskan dirimu. Satu tukar
satu, adil bukan?" "Baiklah," ucap Kang Poh setelah berpikir sejenak, "tapi untuk
membebaskan nona Kim itu aku sendirilah yang harus
mengeluarkan dia dari kurungan."
"Boleh, aku ikut dengan kau, memangnya kau bisa berbuat apa
di tanganku," ucap Nyo Hoa. Sebelah tangan mencengkeram
punggung leher Kang-Poh yang gempal, sebelah tangannya lagi
mengancam punggungnya. Bila terjadi sesuatu yang mencurigakan,
cukup Nyo Hoa kerahkan tenaga, jantungnya akan tergetar pecah
dan jiwa pun melayang. Sambil menyeringai Nyo Hoa membentak, "Suruh mereka berdiri
di tempatnya, jangan banyak gerak sampai kita keluar lagi." Lalu dia
gusur Kang Poh ke dalam. Mendadak dilihatnya dua Lama berkasa
merah berdiri di bawah pohon besar yang letaknya di pengkolan
mulut jalan, seperti mayat yang kaku, pucat menakutkan, tak
bergerak, namun bola matanya melotot menatap Nyo Hoa
Di samping wajah pucat menguning seperti malam, ternyata
pelipis kedua Lama ini menonjol, itulah tanda khas bagi setiap jago
silat yang berhasil meyakinkan Iwekang sesat yang telah sempurna
Tapi sandera di tangan Nyo Hoa dia tidak perlu takut Tak nyana
kedua Lama ini ternyata berani bertindak. Di luar dugaan Lama yang
bertindak lebih dulu ini bukan menyerang Nyo Hoa, tapi pukulanya
mendarat di tubuh Kang Poh.
Yang menyerang Nyo Hoa adalah Lama yang berdiri di sebelah
kiri, bila Nyo Hoa menggusur Kang Poh tiba di depan mereka,
mendadak dia menyelinap ke samping seperti memberi jalan, tak
nyana mendadak telapak tangannya didorong ke dada Kang Poh.
Tergentak oleh tenaga pukulan keras ini, tanpa kuasa Nyo Hoa
tersurat dua langkah, tangan yang memegang dan mengancam di
badan Kang Poh tergetar lepas. Kejadian memang aneh, Kang Poh
yang terpukul langsung oleh telapak tangan si Lama ternyata tidak
terluka, dia hanya terhuyung beberapa langkah serta berputar satu
kali terus disambar oleh Lama yang lain terus menyingkir.
Perlu diketahui kepandaian aliran Mi-ciong dari Tibet bersumber
dari Thian-tiok, ajarannya berbeda dengan ilmu silat di Tionggoan
umumnya. Kedua Lama ini jago ko-sen dari Mi-ciong, seorang
bergelar Sekari dan yang lain Seto. Yang memukul Kang Poh tadi
adalah Sekan. Pukulan Sekan memang ditujukan kepada Kang Poh, namun
tenaga pukulannya justru tersalur ke tubuh Nyo Hoa, ilmu yang
dilancarkan ini dinamakan Kek-bu-coan-kang (Memukul lembu dari
balik bukit), maka Kang Poh yang terkena langsung oleh pukulan itu
tidak apa-apa, sebaliknya Nyo Hoa malah yang terpukul mundur
oleh kekuatan pukulan orang.
Begitu pukulan Sekan berhasil memukul mundur lawan, sebat
sekali Seto bergerak menarik Kang Poh ke pinggir, berbareng dia
copot kasa merah di tubuhnya, laksana segumpal mega merah
kasanya itu menindih kepala Nyo Hoa.
Kontan Nyo Hoa menusuk dengan pedang, terdengar suara
mendesis ramai, kasa merah itu seketika berlubang belasan
banyaknya tapi masih berkibar di atas kepala Nyo Hoa, seperti tidak
takut menghadapi pedang pusakanya. Gebrakan kedua pihak
dilancarkan dalam waktu singkat seperti kilat berkelebat, sehingga
yang kelihatan hanya sinar putih yang terbungkus oleh gumpalan
mega merah. Kang Poh sudah bebas, dengan gusar dia bertanya, "Siapa orang
ini?" Ting Tiau-tang tidak tahu asal-usul Nyo Hoa, maka dia tidak
dapat menjawab pertanyaan Kang Poh, tapi dia tahu bahwa pemuda
ini adalah orang yang pernah mengalahkan Si-ceng, Si-to dan Ngokoan
di Siau-kim-jwan. Kecuali itu dia hanya tahu bocah ini she Nyo,
tapi Nyo Hoa sendiri yang memperkenalkan diri, betul atau tidak
pun tidak pasti. Apalagi yang teringat olehnya adalah urusan yang
amat penting dan harus diberitahukan kepada Kang Poh, maka
persoalan penting harus dibicarakan lebih dulu.
Yang ingin disampaikan kepada Kang Poh adalah bahwa Nyo Hoa
sudah tahu rahasia Hiong-eng-kek. Tapi sebelum dia sempat
menyebut nama Hiong-eng-kek, mendadak dadanya sakit dan
panas, seketika dia jatuh tak mampu melanjutkan perkataannya.


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia tahu apa?" tanya Kang Poh. Mendadak dilihatnya Ting Tiautang
roboh seperti tonggak kayu berdentam di atas tanah.
Seorang busu di samping Kang Poh memburu maju meraba
hidung, segera dia berteriak, "Wah celaka, Ting-tayjin sudah mati."
Busu ini semula seorang begal besar dari kalangan hitam,
pengetahuannya cukup lumayan, melihat Ting Tiau-tang mati secara
aneh, segera dia menyangka orang rersambit oleh senjata rahasia
musuh, lekas dia sobek pakaian di depan dada, di bagian ulu hati
memang menancap sebatang bwe-hoa-ciam.
Seketika dia mengkirik dan merinding, teriaknya pula, "Ada matamata.
Awas ada pembunuh gelap"." Sebelum bicara habis seperti
keadaan Ting Tiau-tang tadi, mendadak dia merasa kesakitan,
sebatang toh-kut-ting ternyata menembus tenggorokannya.
Karuan anak buah Kang Poh geger dan kacau balau, terdengar
senjata rahasia menyambar kian kemari, agaknya penyambit gelap
itu tidak ingin membunuh banyak orang, maka sambaran amgi yang
banyak ini hanya melukai beberapa orang dan memadamkan obor.
Penyambit amgi hanya seorang, tapi amgi menyambar kian
kemari selebat hujan. Hanya sekejap seluruh obor yang menyala
sudah tertimpuk padam. Malam itu tiada rembulan, keadaan
menjadi gelap gulita, dalam jarak lima tombak bayangan orang
samar-samar. Kejut dan girang hati Nyo Hoa, dia tahu seorang kosen sengaja
membantu dirinya. Musuh terlalu banyak, hanya dengan cara
demikian baru bisa menolong Nyo Hoa meloloskan diri. Karena
keadaan mendadak menjadi gelap, siapa pun tak berani
sembarangan bergerak. Mendadak Seto merasakan sebuah
bayangan melesat dari sampingnya, khawatir Nyo Hoa melarikan
diri, kontan dia ayun kasanya menggulung ke luar. Bayangan itu
menjerit, "Jangan, aku".", namun kasa Seto sudah menggulungnya
pergi hingga terbanting keras, kaki tangan di sebelah atas.
Bayangan hitam ini ternyata Chi Jan adanya
Cepat Ma Gun memperingatkan, "Jangan ribut, berdiri di tempat
masing-masing, sulut lagi obornya." Sebagai wakil komandan Gi-limkun,
ternyata dia memang punya bakat jadi pimpinan.
Di sebelah kanan, Kang Poh juga berbisik, "Mana orangku."
Begitu dia bersuara, amgi segera memberondong ke arahnya
Untung Kang Poh sembunyi di belakang Sekan. Sekan pandai
mendengar suara membedakan senjata, "Cring" beruntun tiga kali
dia jentik jatuh tiga potong toh-kut-ting.
Ma Gun putar cambuknya rapat, maka terdengar suara
gemerisik, segenggam bwe-hoa-ciam telah dipukulnya rontok
berhamburan di tanah. Ma Gun tertawa pongah, jengeknya,
"Melukai orang dengan amgi terhitung orang gagah macam apa.
Hm, memangnya kau mampu berbuat apa terhadapku." Belum habis
dia bicara, mendadak terasa sejalur angin melesat tiba, sebatang
amgi mendadak sudah berada di depan mukanya, cambuknya
ternyata tidak mampu merintangi, lekas Ma Gun gunakan Hongtiamthau. Yang menyerang tiba ini sebatang kong-piau, jidatnya
keserempet sehingga darah mengalir deras. Saking terkejut Ma Gun
berteriak, syukur dia sempat berkelit, kalau tidak kong-piau itu pasti
sudah menancap di mukanya. Ternyata penimpuk amgi memang
seorang ahli, sebatang kong-piau yang berat bobotnya dia campur
dalam bwe-hoa-ciam, ternyata tidak mengeluarkan banyak suara,
seperti timpukan bwe-hoa-ciam saja. Setelah kong-piau tiba pada
jarak dekat baru Ma Gun menyadari jiwanya terancam.
Melihat wakil komandan Gi-lim-kun pun cidera, sudah tentu anak
buah Kang Poh takut bila dirinya menjadi sasaran amgi. Maka tiada
seorang pun yang berani bersuara. Sudah tentu tiada seorang pun
yang berani menyulut api menyalakan obor.
Di tengah keributan itulah, diam-diam Nyo Hoa sudah
menyelinap pergi, tapi dia tidak rela tinggal pergi begitu saja.
Apalagi dia sudah tahu letak dan seluk beluk Hiong-eng-kek.
Ketegangan masih meliputi orang-orang yang diteror oleh sambitan
amgi, mumpung ada kesempatan kenapa tidak sekarang dia pergi
menolong orang, demikian batinnya
Sesuai petunjuk yang digambarkan Sona dia bergerak ke arah
timur, di mana letak Hiong-eng-kek. Tapi bergerak di tempat gelap,
betapapun cukup memakan waktu, apakah dia bisa mencapai
Hiong-eng-kek sebelum anak buah Kang Poh memburu tiba sukar
diramalkan. Tak lama kemudian, tampak obor sudah mulai menyala
di bagian sana, agaknya anak buah Kang Poh yang tersebar di
tempat lain sudah memburu datang.
Satu hal membuat Nyo Hoa kaget dan girang adalah kecuali
barisan obor yang bergerak di bagian selatan itu, di arah yang
berlawanan dengan letak Hiong-eng-kek ternyata berkobar si jago
merah yang menyala semakin besar, asap hitam bergulung-gulung
menjulang ke angkasa, jelas seseorang telah melepas api, entah
rumah apa yang dibakar. Sayup-sayup didengarnya seseorang berteriak, "Wah, celaka;
tolong, istal kuda terbakar."
Kuda adalah salah satu yang digemari Kang Poh, koleksi kudanya
tidak terhitung banyaknya. Istal yang terbakar justru tempat di
mana dia memelihara kuda-kuda pilihannya yang tidak ternilai
harganya. Mendengar istal terbakar, karuan gugupnya bukan
kepalang, bentaknya berjingkrak, "Kalian masih me-lenggong saja"
H ayo, lekas padamkan api." Di bawah kerumunan anak buahnya
yang berkepandaian tinggi, obor sudah menyala terang benderang
pula, maka tak perlu dia takut diserang amgi. Hiong-eng-kek penuh
dipasangi alat rahasia, orang luar takkan mudah masuk ke sana,
maka dia tidak perlu khawatir keadaan di Hiong-eng-kek, lebih
penting memadamkan api yang menjilat istal kudanya
Kalau Kang Poh memperhatikan kudanya, sebaliknya Ma Gun
memperhatikan puteri Kim Tiok-liu, sambil mengerutkan alis dia
berbisik, "Kang-sianseng, Hiong-eng-kek juga harus dijaga"
Sambil berjalan Kang Poh berkata, "Tak usah khawatir. Orang
luar pasti takkan bisa masuk ke sana."
"Aku tahu, tapi musuh yang datang malam ini bukan lawan
semba-rangan, apa salahnya berlaku hati-hati. Bukan soal kebetulan
kita berhasil membekuk puteri Kim Tiok-liu, jikalau dia tertolong
orang, kelak kau akan terancam oleh bapaknya Sat-congkoan dan
Hay-tayjin tentu akan marah-marah kepada kita."
Bahwa Kim Tiok-liu diam-diam membantu pihak gerilya
menentang kerajaan, sejak lama sudah diketahui oleh Sat-congkoan
dan Hay-jong-ling, tapi karena kungfunya terlalu menakutkan, jagojago
kosen yang diutus menangkapnya tiada yang pernah kembali,
kalau mengerahkan pasukan besar, terlalu membesarkan persoalan,
apalagi sebelum bertindak bila berita sudah tersiar hasilnya tentu
nihil. Maka pihak kerajan tidak berani bertindak gegabah.
Tanpa sengaja anak buah Kang Poh dapat menawan puteri Kim
Tiok-liu. Kebetulan Ma Gun dan Ciu Jan berada di tempatnya, sudah
tentu girangnya bukan main, tapi mereka harus menyelesaikan
urusan dinas ke Lhasa, khawatir di tengah jalan terjadi sesuatu yang
tidak diharapkan mereka tidak berani mengurus Kim Bik-ki. Maka dia
mengusulkan kepada Kang Poh supaya Kim Bik-ki dikurung saja di
Hiong-eng-kek, bila urusan dinas mereka di Lhasa beres, dengan
pasukan besar akan mengawal Kim Bik-ki di dalam kereta pesakitan
ke kota raja Dengan menyandera Kim Bik-ki akan lebih mudah
menghadapi Kim Tiok-liu. "Berhati-hati memang lebih baik. Silakan Seto taysu bersama Matayjin
dan Ciu-tayjin memeriksanya ke sana."
Sekan berkepandaian lebih tinggi, dia merasa di bawah
pengawalannya akan lebih aman, maka hanya. Seto seorang yang
diutus kesana. Kang Poh kira orang luar takkan mudah masuk ke
daerah H iong-eng-kek, di luar tahunya, saat itu Nyo Hoa sudah naik
ke atas H iong-eng-kek. Letak istal yang terbakar itu di sebelah utara taman, luasnya ada
beberapa hektar, sedang Hiong-eng-kek terletak di bagian tenggara,
arahnya terbalik, jaraknya pun jauh. Tapi cahaya api kebakaran di
kejauhan, ternyata sedikit membantu Nyo Hoa sehingga dia lebih
jelas menentukan arah. Sesuai gambar yang pernah dilihatnya,
akhirnya dia menemukan gunungan yang kedua itu. Hiong-eng-kek
terapit oleh kedua gunungan ini, kedua sayap bangunannya malah
bergantung di atas dinding karang, jadi letak bangunan loteng itu
bergantung di udara. Tapi mulut yang terletak di celah-celah apitan
batu gunung itu seketika membuat Nyo Hoa berdiri melenggong.
Di belakang mulut masuk ini dia menemukan sebuah galian tanah
yang dalam, sebuah batu bundar sebesar meja menggeletak di
dalam lubang, di pinggir galian tertumpuk pasir yang masih
bergerak turun. Kelihatannya batu besar itu baru saja terjatuh ke
dalam galian ini. Nyo Hoa menduga galian ini pasti merupakan salah satu jebakan,
maka dia menduga pasti seseorang sudah mendahului tiba di sini
dan menyentuh alat rahasianya
Walau dia menduga ada seorang kosen membantu, namun hanya
dugaan belaka. Apa betul seseorang telah mendahului dirinya
namun belum diketahui dia lawan atau kawan. Maka dia hanya
mengharap tapi juga mempersiapkan diri menghadapi keadaan
paling buruk. Begitu memasuki daerah kosong yang terapit oleh kedua
gunungan, cahaya api di kejauhan sudah terhalang oleh gunungan,
sehingga keadaan sekitarnya gelap gulita Nyo Hoa kertak gigi,
mengembangkan ginkang dia merambat naik ke atas gunungan,
mendadak dia melejit melambung, tangannya meraih lantas terus
melompat masuk ke dalam Hiong-eng-kek.
Begitu dia berdiri di atas lantai, baru dia menemukan sebuah
lubang di lantai loteng beberapa kaki di sebelah kakinya. Diam-diam
Nyo Hoa bersyukur dalam hati. Terpikir olehnya bahwa jebakan ini
semula pasti tertutup, perangkap tak mungkin dibiarkan terbuka
sehingga musuh yang datang menemukan rahasianya
Dengan perlahan dia terus maju ke dalam, anehnya Hiong-engkek
yang penuh dipasangi jebakan dan alat rahasia ternyata dalam
keadaan tenang dan sunyi. Tapi Nyo Hoa tetap berlaku hati-hati,
setelah melewati serambi, ternyata dia tidak mengalami hambatan
atau bahaya Akhirnya dia,tiba di depan sebuah pintu, terasa kakinya
menginjak sesuatu, waktu dia.membungkuk dan mengambil,
ternyata sebatang panah pendek, masih banyak lagi senjata rahasia
berbagai jenis berserakan di atas lantai, dipunguti pun akan
menghabiskan banyak waktu. Makin terkejut dan heran Nyo Hoa
dibuatnya, namun dia menabahkan hati, pintu didorongnya,
ternyata keadaan tetap tenang tiada alat rahasia bergerak.
Apakah Kim Bik-ki masih dikurung di dalam kamar ini" Nyo Hoa
tidak tahu apakah kamar ini untuk menyekap orang, entah dijaga
tidak" Khawatir ada penjaga, dia tidak berani memanggil Kim Bik-ki.
Tapi sebelum mendorong pintu dia menempelkan telinga di dinding
mendengarkan keadaan di dalam. Tiada suara apa pun,
kelihatannya tiada penghuninya
Sebetulnya Nyo Hoa sudah ingin mundur saja, tidak memeriksa di
dalam. Tapi mengingat sekian banyak senjata rahasia yang
berserakan pasti ada sesuatu yang patut dicurigai, karena ini
tangannya segera mendorong daun pintu. Walau tidak menghadapi
rintangan alat rahasia namun sikap Nyo Hoa tetap hati-hati, pedang
pusaka dia genggam untuk menjaga segala kemungkinan, di tempat
gelap dia perlahan maju. . "Tring" dua kali ujung pedangnya menyentuh benda keras yang
mengeluarkan suara nyaring. Dari sentuhan itu terasa oleh Nyo Hoa
pedangnya menyentuh rantai besi. Kenapa di lantai ada rantai"
Apakah rantai yang semula membelenggu Kim Bik-ki" Apakah Kim
Bik-ki sudah ditolong orang" Atau disekap di kamar lain" Berbagai
pertanyaan bergejolak dalam hatinya Di saat Nyo Hoa bertanyatanya
dalam hati itulah mendadak terasa sambaran angin senjata
tajam yang menyerang tiba, dari tempat gelap sebilah golok baja
mendadak membacok kepalanya
Untung pedang Nyo Hoa sudah terpegang di tangan, reaksinya
pun cepat. Sambil membuang badan ke pinggir, pedangnya
bergerak dengan jurus Tui-toan-beng-gwat, dari bawah menepis
miring ke atas memunahkan jurus lawan.
Penyerang itu bersuara heran, agaknya kaget dan heran
menyaksikan reaksi Nyo Hoa yang lihay ini. Tapi serangannya tidak
menjadi kendor, sebelum pedang pusaka Nyo Hoa membentur golok
baja, tajam goloknya mendadak dipelintir ke atas naik dari kiri turun
dari kanan, bergerak belakangan namun mengincar sasaran lebih
dulu, sekaligus dia melancarkan tigapuluh enam jurus bacokan
golok. Permainan golok orang ini ternyata jauh lebih cepat dari
permainan pedang Nyo Hoa Nyo Hoa kembangkan Bu-beng-kiam-hoat yang berhasil disclaminya
sendiri, di tempat gelap dia hanya mendengar suara
membedakan arah, tanpa bersuara dia layani rang-sakan permainan
golok kilat yang lihay. Selama mengembara belum pernah Nyo Hoa menghadapi lawan
yang mampu melancarkan serangan golok kilat selihay dan secepat
ini. Agaknya orang itu juga belum pernah mendapat lawan yang
tangguh dan berilmu pedang begitu menakjubkan. Kedua pihak
sama-sama kaget dan heran, namun siapa pun tidak berani bicara
supaya tidak memecah perhatian.
Hanya sekejap kedua orang ini sudah saling labrak timapuliih
tujuh jurus, pedang dan golok hanya sekali saling bentur. Nyo Hoa
rasakan telapak tangannya tergetar perih namun golok orang itu
gumpil sedikit Walau hanya sekejap senjata bentrok sekali saja
namun dalam serang menyerang sekejap itu kedua pihak sudah
melancarkan serangan yang lihay dan mematikan, berarti kedua
pihak pernah menghadapi saat-saat genting dan berbahaya. Siapa
sedikit lena kemungkinan kepala bisa terpenggal di atas loteng itu,
atau badan tertusuk oleh senjata lawan.
Nyo Hoa lebih unggul karena permainan pedangnya yang banyak
variasi, tapi golok lawan ternyata masih lebih cepat daripada
permainan pedangnya, Iwekang-nya juga setingkat lebih tinggi.
Di tengah pertarungan sengit itu, mendadak pedang Nyo Hoa
menyerang titik kelemahan lawan, lawan harus menyelamatkan diri,
tak tahunya lawan menggerakkan goloknya laksana angin, betapa
cepat serangan goloknya sungguh sukar dibayangkan. Walau Nyo
Hoa menyerang titik kelemahan lawan, namun gerak golok lawan
ternyata lebih cepat lagi sudah membacok tiba.
Untung reaksi Nyo Hoa amat cekatan, begitu merasa angin
menyambar, kontan dia menjatuhkan diri rebah di lantai, dengan
jurus Ki-hwe-liau-thian dia bikin arah golok lawan serong ke pinggir
terus menggelinding pergi.
Dalam kamar itu gelap gulita, lima jari tangan sendiri pun tidak
kelihatan. Nyo Hoa sembunyi di belakang sebuah saka besar, napas
pun ditahan-tahan. Orang itu juga takut disergap Nyo Hoa, maka
dia pun tidak berani bersuara. Keduanya menahan napas saling
tunggu serta memperhatikan gerak-gerik lawan.
Hanya Sebentar mereka saling tunggu, mendadak di bawah
loteng seseorang berteriak, "Lho, celaka, alat-alat rahasia di Hiongengkek agaknya telah dirusak orang."
Nyo Hoa tahu itu suara Seto. Ma Gun lantas berkata, "Apakah
Hiong-eng-kek tidak dijaga" Celaka kalau puteri Kim Tiok-liu
ditolong orang. Hayo lekas periksa ke atas."
Percakapan mereka di atas loteng walau perlahan tapi Nyo Hoa
dan orang itu memiliki lwekang tinggi, maka pendengaran mereka


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih tajam, sekarang baru mereka tahu bahwa lawan berkelahinya
barusan bukan komplotan Kang Poh.
Kebetulan Ma Gun sedang ayun tangan menimpuk sebatang
panah berapi hendak minta bantuan orang banyak, mendadak
dilihatnya sesosok bayangan melejit tinggi di udara laksana burung
elang, panah api sambitannya baru saja meluncur sudah ditabas
jatuh ke tanah pula. Menyusul Nyo Hoa pun sudah melompat ke bawah, kebetulan
turun tak jauh dari tempat Seto, kontan Seto membentak, "Kurcaci,
kiranya kau bocah keparat ini." Kasa merah terayun terus menyabat
ke atas kepala Nyo Hoa. Nyo Hoa tidak banyak suara, pedang segera bergerak dengan
jurus Sam-coan-hoat-lun, dalam waktu yang sama menusuk tiga
sasaran berbahaya di tubuh Seto terbagi atas, tengah dan bawah.
Jurus pedang ini teramat lihay, namun di bawah kebutan kasa Seto,
entah kenapa Nyo Hoa seperti kehabisan tenaga, hasrat besar
tenaga kurang, walau pedang tidak sampai terampas, namun
putaran sinar pedangnya tertekan turun oleh lawan.
Bahwa Nyo Hoa hanya datang dengan seorang teman saja, lega
hati Ma Gun dan Ciu Jan. Ma Gun memperingatkan, "Jaga senjata
rahasianya." Pecut panjang di tangannya diputar kencang sehingga
sekujur badannya seperti terlindung rapat, dia mencegat maju lebih
dulu. Laki-laki yang memukul jatuh panah berapi itu melengak sekilas,
bentaknya, "Membunuh kawanan keroco seperti kalian kenapa
harus pakai amgi." Sebelum habis bicara, orangnya sudah menubruk
tiba, goloknya bekerja laksana kilat, punggung golok menindih
ujung pecut, begitu tangan membalik golok meluncur naik menepis
jalan cambuk memapas jari-jari tangannya. Tidak pernah Ma Gun
saksikan permainan golok selihay dan seganas ini, dalam kagetnya
lekas dia membuang tubuh ke belakang seraya putar cambuk di
atas kepalanya, "Cras" ujung cambuknya tertabas kutung oleh golok
kilat lawan. Beruntung dia menjatuhkan badan terus menggelinding
jauh baru batok kepalanya tidak terpenggal.
Ciu Jan baru memburu tiba, melihat keadaan rekannya, kagetnya
bukan kepalang. Belum sempat dia menghentikan langkah, laki-laki
itu sudah memapak maju, goloknya membelah batok kepalanya.
Kepandaian Ciu Jan masih di bawah Ma Gun, senjatanya juga golok
tebal, sebisanya dia angkat golok menangkis, "Trang" goloknya
mencelat terbang. Golok laki-laki itu masih membacok turun
memenggal sebelah lengah kiri Ciu Jan, kontan dia jatuh pingsan.
Laki-laki itu lantas membentak, "Adik cilik, biar aku belajar kenal
betapa lihay kepandaian Mi-ciong dari Lama bangsat ini."
Baru saja Nyo Hoa mundur, laki-laki itu sudah menyerbu tiba
dengan deru goloknya yang membacok tiga kali. Seto menggulung
dan menekan kasanya, mendadak terasa gerakan tangannya
menjadi enteng, ternyata kasa besarnya itu sudah tertabas menjadi
enam lembar, potongannya beterbangan di udara, di tangannya
tinggal secuil kecil saja.
Laki-laki itu bergelak tertawa, katanya, "Nah kain itu buat kau
menutup rasa malumu. Lekas enyah dari sini."
Sudah tentu Seto tak berani banyak omong lagi, segera dia
angkat kaki dari tempat itu. Laki-laki itu juga tidak mengejar, segera
dia raih lengan Nyo Hoa terus ditariknya berlari secepat angin.
Mereka melompati tembok terus memanjat gunung di belakang
rumah. Dari tempat tinggi mereka masih melihat kobaran api masih
belum padam suara kuda dan keributan orang-orang yang
menolong kebakaran masih terdengar nyata.
"Adik cilik, masih ada temanmu yang ketinggalan di sana?" tanya
laki-laki itu. "Aku datang seorang diri,"sah ut Nyo Hoa.
Orang itu heran, katanya, "Lalu siapa yang melepas api?"
"Memangnya aku juga ingin tanya, apa bukan kau?"
"Aku datang sendirian. Begitu tiba langsung menuju ke Hiongengkek." "Terima kasih akan pertolonganmu tadi," kata Nyo Hoa.
Orang itu heran, katanya, "Kapan aku pernah menolong kau?"
"Jadi yang menimpuk padam obor, membunuh Ting Tiau-tang itu
bukan kau?" "Selama hidup aku tak pernah menggunakan amgi. Coba kau
tuturkan pengalamanmu."
Setelah mendengar ceritera Nyo Hoa, orang itu berkata, "Orang
yang memiliki kepandaian menggunakan amgi selihay itu tidak
banyak dalam dunia ini, kuduga pasti perbuatan Jian-jiu-koan-im."
"Siapa itu Jian-jiu-koan-im?" tanya Nyo Hoa.
"Kau tahu Koan-tang Tayhiap Utti Keng?"
"Pernah kudengar."
"Jian-jiu-koan-im Ki Seng-in adalah istri Utti Keng. Entah kenapa
dia berada di tempat ini" Hm, ya, mungkin dia belum tahu kalau
suaminya sudah pergi ke Sinkiang, maka dia ingin mencariku."
Sejak menghadapi permainan golok orang tadi Nyo Hoa sudah
curiga, setelah bercakap-cakap sekian lama Nyo Hoa lebih jelas lagi
tentang asal-usul orang ini. Maka jantungnya berdebar-debar,
namun dia bersikap wajar, tanyanya, "Jadi alat rahasia di Hiongengkek kau yang merusaknya?"
"Juga bukan. Mungkin seorang temanku, tapi juga belum pasti."
Nyo Hoa menatapnya lekat, tanyanya, "Kau, siapa kau?"
Laki-laki itu tertawa, katanya, "Kuterangkan kepadamu tidak
menjadi soal. Aku ini buronan pemerintah kerajaan, aku dicap
kepala rampok bagi yang berwenang. Aku she Beng bernama Goancau."
Padahal Nyo Hoa sudah menduga orang ini adalah Beng Goancau,
tapi setelah mendengar orang menyebut namanya, tak
urungjantung-nya berdegup tambah cepat, wajahnya seketika
pucat. Beng Goan-cau kaget, tanyanya, "Adik cilik, kenapa kau?"
Nyo Hoa tenangkan hati, katanya dengan tawa paksa, "Tidak
apa-apa. Ternyata kau ini Beng tayhiap, maaf aku berlaku kurang
hormat." "Adik cilik ilmu pedangmu amat bagus. Gurumu pasti seorang
kosen pada jaman ini, entah siapa dia" Siapa namamu?"
Nyo Hoa tertawa getir, katanya, "Murid tidak becus seperti aku
ini tak ingin membikin jatuh nama perguruan, lebih baik tak usah
kusebut nama beliau. Aku sendiri seorang keroco, buat apa Beng
tayhiap harus tahu siapa aku ini?"
"Lote, kenapa kau merendahkan diri" Mungkin gurumu berpesan
supaya kau tidak menyebut namanya kepada orang luar supaya
jejaknya tidak diketahui orang?"
Hati Nyo Hoa kalut dan gundah, sehingga dia tidak perhatikan
ucapan Beng Goan-cau namun matanya menatap mendelong, rona
mukanya berganti-ganti dari pucat menjadi merah lalu berubah
menghijau. Karuan Beng Goan-cau kaget, katanya, "Saudara cilik, kenapa
kau" Mungkin terlalu capek, istirahat sebentar?"
Nyo Hoa lantas duduk bersimpuh. Beng Goan-cau maju ke sana,
telapak tangan diulur menekan punggungnya.
"Apa yang kau lakukan?" bentak Nyo Hoa mendadak.
Meski merasa kurang senang, namun Beng Goan-cau
menjelaskan, "Bantu kau memulihkan tenaga."
"Kau minggir, aku tidak mau terima bantuanmu," tukas Nyo Hoa
ketus. Karuan Beng Goan-cau menye-ngir kuda, terpaksa dia menyingkir
ke samping. Menyaksikan sambil memeluk dada. Tak lama
kemudian tampak uap putih mengepul dari kepala Nyo Hoa,
wajahnya yang pucat makin segar bersemu merah. Sebagai ahli silat
selintas pandang Beng Goan-cau lantas tahu yang diyakinkan Nyo
Hoa adalah lwekang aliran mumi. Diam-diam dia memuji dalam hati,
di samping ilmu pedangnya lihay dan tinggi, hvekang ternyata juga
cukup tangguh meski latihannya belum sempurna. "Hoa-ji murid
Toan Siu-si dan Tan Khu-seng, entah sudah tamat belum
pelajarannya, usianya mungkin sebaya dengan pemuda ini. Semoga
anakku itu pun memiliki kepandaian setaraf bocah ini," demikian
batin Beng Goan-cau. Mimpi pun tidak terpikir olehnya bahwa
pemuda di depannya ini memang puteranya.
Tengah Beng Goan-cau melamun, Nyo Hoa sudah selesai semadi
lalu melompat berdiri, katanya, "Beng Goan-cau, orang memuji
golok kilatmu tiada bandingan di kolong langit, aku ingin mohon
pengajaran ilmu golokmu."
Nyo Hoa memanggil langsung namanya, mengajaknya berduel
lagi, karuan Beng Goan-cau meleng-gong. Semula dia kira pemuda
ini mabuk, namun setelah melihat sikapnya yang gagah dan garang,
segar bugar lagi, jelas bukan lagi nge lantur. Karuan hatinya kurang
senang, katanya dingin, Teman-teman Kangouw terlalu mengagulkan
diriku, aku sendiri tidak berani terima. Adik cilik, ilmu pedangmu
teramat lihay, aku mengaku kalah saja."
Nyo Hoa mendengus, jengeknya, "Jangan bicara melawan nurani
sendiri. Di dalam Hiong-eng-kek, aku sudah kau kalahkan sejurus.
Apa betul kau rela mengalah kepadaku?"
Beng Goan-cau agak berang, katanya, "Nah kita kan sudah
bertanding, kenapa harus diulang lagi?"
"Pertarungan di Hiong-eng-kek, belum selesai aku akan
melanjutkan sampai ada ketentuan kalah dan menang."
Dongkol tapi juga geli menghadapi kebandelan pemuda ini, Beng
Goan-cau berkata, "Anak muda, jangan diburu keinginan saja. Jadi
lantaran kalah sejurus maka kau ingin menuntut balas begitu" Hm,
bukan sengaja aku ingin tepuk dada, tokoh-tokoh lihay kenamaan di
kolong langit ini, entah betapa banyak yang pernah kalah oleh
golokku, mereka paling rriampu melawan delapan sepuluh jurus,
kau sebaliknya dapat bertahan hingga setanding dengan aku. Aku
mengaku kalah lantaran usiamu lebih muda, kau pantas menjadi
angkatan muda. Jikalau kau memaksa berduel dengan akibatnya
akan terjadi dua kemungkinan."
"Dua kemungkinan bagaimana?" tanya Nyo Hoa.
"Kau ingin menundukkan aku supaya mendapat nama bukan"
Maka untuk kemungkinan pertama ini adalah aku mengalah sejurus
supaya kau tercapai keinginanmu. Tapi aku tidak senang terhadap
pemuda yang terlalu gila hormat dan sombong untuk merebut
nama, oleh karena itu aku tidak akan memberi kelonggaran."
"Memangnya aku tidak ingin kau memberi kelonggaran dan kau
pun jangan memberi kelonggaran kepadaku," jengek Nyo Hoa
tawar, Beng Goan-cau melengak, tanyanya, "Apa maksudmu?"
"Tiada maksud apa-apa. Cukup asal kau tabu, aku pun takkan
mengalah kepadamu. Pedang golok tidak bermata, bila kau
mengalah sejurus kepadaku, kemungkinan jiwamu bakal melayang.
Bila sampai hal itu terjadi, menyesal pun sudah terlambat, jangan
kau salahkan aku." Meski pemuda ini terlalu juma-wa dan kasar, namun Beng Goancau
merasa senang akan sikapnya yang blak-blakan, katanya
setelah tergelak-gelak, "Senjata memang tidak bermata Baiklah, biar
kujelaskan kemungkinan kedua" Dia tatap Nyo Hoa sesaat lalu
menggelengkan kepala "Bagaimana kemungkinan kedua" Kenapa tidak lekas
kaujelaskan?" "Kemungkinan kedua ialah, kau ingin ternama akibatnya justru
sebaliknya, jiwa sendiri menjadi korban."
Nyo Hoa mengigit bibir lalu katanya "Kalau bukan kau mampus,
pasti aku yang mati. Akibat ini sudah kuduga sebelumnya dan itu
pula keinginanku. Tak usah kau memperingatkan."
Beng Goan-cau kaget, umbul rasa curiganya, katanya, "Jadi
hake-katnya kau bukan ingin bertanding, tapi ingin adu jiwa dengan
aku?" "Betul, kalau aku bukan tanding-anmu, biar aku mati di bawah
golokmu." "Aku tak punya permusuhan dan dendam sakit hati dengan kau,
kenapa harus berduel" Apa sebabnya?" tanya Beng Goan-cau.
Ruwet pikiran Nyo Hoa mendadak dia kertak gigi serta berseru
lantang, "Apakah harus bermusuhan" Aku ingin membunuhmu
karena kau ini sampah persilatan."
Beng Goan-cau berdiri terbeliak, selama hidupnya baru pertama
kali ini dia dimaki orang sebagai sampah persilatan. "Berdasarkan
apa kau menuduh aku sampah persilatan?" Tak urung berkobar
amarah Beng Goan-cau. "Kau tahu sendiri." jengek Nyo Hoa
Beng Goan-cau berdiri kebingungan. "Hanya cakar alap-alap yang
menjadi antek kerajaan saja yang berani memaki aku sampah
persilatan. Tapi kenapa dia berusaha menolong puteri Kim Tiok-liu
itu?" demikian batinnya Betapapun cerdik dan luas pengalamannya
sesaat dia kebingungan dan tidak habis mengerti. ,
"Jangan mengulur waktu. Hayo-lah mulai!" bentak Nyo Hoa
"Lote," seru Beng Goan-cau ber-gelak tawa, "kau yang ingin
membunuhku, bukan aku yang ingin membunuhmu, kenapa aku
harus mengalah?" Nyo Hoa kertak gigi, bentaknya, "Awas!"
Begitu bergebrak segera dia lancarkan serangan pedang yang
mengajak lawan gugur bersama. Pedangnya menggulung naik ke
atas menggaris dada Beng Goan-cau.
Beng Goan-cau menatap gerak ujung pedangnya, mendadak dia
menghardik, "Ilmu pedang keji!" Belum habis dia bicara, goloknya
yang bergerak belakangan sudah tiba lebih dulu, membacok tulang
pundak kanan Nyo Hoa. Serangan ini akan memaksa Nyo Hoa
menyelamatkan diri lebih dulu. Walau sudah bertekad gugur
bersama musuh, tapi bagi insan persilatan yang memiliki
kepandaian tinggi, secara reflek dia akan mempertahankan diri bila
jiwanya terancam bahaya. Tanpa merasa dia mengubah gerakan,
badan berbalik langkah berputar, pedangnya menukik dari atas ke
bawah menabas lutut Beng Goan-cau. Dalam gebrakan ini serangan
berbahaya kedua pihak secara langsung telah dipunahkan oleh
serangan balasan lawan, namun pedang dan golok mereka tidak
beradu. Padahal betapa berbahaya detik-detik yang berlalu itu. Beng
Goan-cau yang sudah kenyang bertempurpun mau tidak mau
merasa kaget. Kaki Nyo Hoa melangkah secara lincah, dalam melancarkan
serangan, setiap jurus pedangnya selalu mengincar hiatto
mematikan di tubuh lawan. Beng Goan-cau sebaliknya, karena
bimbang dan tidak tahu maksud tujuan Nyo Hoa, tak sempat dia
bertanya lagi. Nyo Hoa menyerang dengan serangan pedang segencar itu
tujuannya bukan ingin membunuh Beng Goan-cau. Dia dipaksa dan
tidak bisa tidak harus bekerja sekuat tenaga. Maklum golok kilat
Beng Goan-cau lebih cepat dari gerak pedangnya, lwekang-nya lebih
tinggi juga. Nyo Hoa juga tahu diri, dia tahu dirinya takkan mampu
membunuh Beng Goan-cau, apa boleh buat, terpaksa dia berjuang
untuk gugur bersama. Beng Goan-cau memang tidak malu disebut sebagai jago golok
nomor satu di dunia. Betapapun keji permainan pedang Nyo Hoa,
gerakan pedangnya selalu diungguli oleh kecepatan gerak goloknya.
Bicara soal jurus, serangan ilmu pedang Nyo Hoa memang lebih
bagus, ada beberapa jurus serangan pedang Nyo Hoa terpaksa
harus dilawan dengan seluruh kemahiran ilmu golok Beng Goan-cau
baru dapat dipatahkan. Beruntung pengalaman tempur Nyo Hoa
jauh ketinggalan dibanding Beng Goan-cau, kalau tidak jelas sukar


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia mengatasinya. Tanpa terasa pertempuran sudah mencapai seratus jurus, rasa
letih sudah melanda perasaan Beng Goan-cau, namun dia kertak
gigi. Mendadak dia menggertak, sekaligus melancarkan tigapuluh
enam jurus bacokan. Dalam rangsakan golok kilatnya ini mana Nyo
Hoa mampu balas menyerang" Dalam sibuknya dia pun tidak
hiraukan lagi gerak pedangnya menggunakan jurus apa, secara
reflek pedangnya melintang terus menggaris, terdengar benturan
secara beruntun amat nyaring, Nyo Hoa mundur enam langkah baru
berdiri tegak, pergelangan tangannya kesakitan. Golok Beng Goancau
ternyata tidak kurang suatu apa namun pedang Nyo Hoa tidak
mampu dibenturnya jatuh. Bu-beng-kiam-hoat yang diyakinkan Nyo Hoa memang sakti
mandraguna Jikalau lawannya jago biasa, maka ilmu pedangnya
takkan bisa memperlihatkan keistimewaannya Tapi makin tangguh
lawan yang dihadapi, permainan pedangnya semakin hebat dan
menakjubkan. Kadang kala cukup sekali ayun tangan saja ternyata
sudah berhasil menangkis golok kilat Beng Goan-cau, padahal
gerakan ini pun secara reflek mengikuti serangan golok lawan, di
dalamnya mengandung intisari termurni dari ilmu pedang tingkat
tinggi, hal ini tidak disadarinya sama sekali. Bagi pandangan Beng
Goan-cau, jurus yang digunakan Nyo Hoa barusan seperti Tiap-juihuceng dari Siong-san-pay, namun juga mirip Ko-kek-som-som dari
Ceng-seng-pay, ada beberapa bagian mirip Tat-mo-bian-pia dari
Siau-lim-pay, secara telak dan bagus sekali menutup seluruh titik
kelemahan yang ingin diserbu oleh Beng Goan-cau, sehingga lawan
tak tahu atau kehabisan akal untuk melontarkan serangannya.
Tujuan Beng Goan-cau hanya ingin memukul jatuh pedangnya,
kalau terpaksa biarlah dia terluka sedikit, tapi tak pernah timbul
keinginannya hendak membunuhnya Karena pertahanan lawan
sekokoh itu, maka terpaksa Beng Goan-cau memperlambat
permainan goloknya Meski tidak berhasil memukul jatuh pedang lawan, sebetulnya
Beng Goan-cau di pihak yang unggul. Bertempur dengan cara
demikian, tak perlu khawatir beradu senjata, dia dapat menguras
tenaga lawan. Padahal Iwekang Beng Goan-cau entah berapa
banyak lebih unggul dari Nyo Hoa, akhirnya juga pasti berhasil
memukul jatuh senjatanya Setelah mantap dengan strategi ini, Beng Goan-cau membentak,
"Anak muda aku tidak ingin melukai kau, lekas lempar pedang dan
mengaku kalah!" "Mati pun tidak takut, kenapa khawatir terluka?" hardik Nyo Hoa
"Kalau mampu boleh kau bunuh aku, aku akan bertempur sampai
titik darah terakhir."
Beng Goan-cau geleng kepala pura-pura marah, mendadak dia
membentak, "Anak bagus, nah terimalah kematianmu!" Sinar golok
berkelebat, kali ini dia menyerang lebih cepat lagi. Sekaligus dia
membacok empatpuluh sembilan jurus, Nyo Hoa mundur tujuh
langkah, telapak tangannya kesakitan, pedang hampir tak kuat
dipegangnya lagi. Tapi dia tetap bandel, begitu empatpuluh
sembilan jurus serangan golok Beng Goan-cau berakhir, pedangnya
terayun balas merangsak. Maka terdengar benturan nyaring secara beruntun lagi. Beng
Goan-cau kembangkan golok kilat pula. Pedang Nyo Hoa tak mampu
balas menyerang, terpaksa dia bertahan saja. Kali ini secara
berantai Beng Goan-cau menyerang lebih banyak lagi, enampuluh
empat jurus. Waktu Nyo Hoa mundur lima langkah, dia baru
menangkis dua-puluh lima bacokan, maka dia tahu kali ini dirinya
jelas takkan kuat melawan lagi, mendadak dia kertak gigi, pedang
pusaka diputarnya membundar terus balas membacok, pedang
digunakan sebagai golok, kali ini dia melancarkan jurus ilmu golok
dari keluarga Beng. Meski lagi bertarung sengit, namun panca indera Beng Goan-cau
masih bekerja secara tajam. Di saat Nyo Hoa mengubah permainan
itulah, tiba-tiba didengarnya dari arah hutan dalam ada langkah kaki
orang mendatangi. Beng Goan-cau lantas membentak, "Siapa?" Dia
kira komplotan Nyo Hoa yang datang.
Sejak mula dia mengatasi permainan Nyo Hoa dengan .golok
cepatnya, walau permainan pedang Nyo Hoa amat menakjubkan
namun dia sekokoh gunung yang tak tergoyahkan, maka saat dia
tidak bersiaga Nyo Hoa mampu balas menyerang, mana dia lebih
menaruh perhatiannya kepada orang yang mendatangi. Sungguh
mimpi pun tak pernah terpikir olehnya bahwa pemuda ini mendadak
juga bisa melancarkan ilmu golok keluarga Beng, apalagi dari
permainan pedang mendadak berubah serangan tipu golok, maka
lebih tidak terduga. Bu-beng-kiam-hoat merupakan dasar kepandaian Nyo Hoa,
sekarang dia ubah permainan pedang menjadi gerakan golok,
apalagi dia sudah menyelami inti ajaran golok . keluarga Beng itu,
meski masih belum melebihi Beng Goan-cau. Kalau pedang
mengutamakan lincah dan enteng, golok justru mengutamakan
cepat, deras dan ganas. Dengan pedang sebagai golok,
kecepatannya memang hampir menyamai Beng Goan-cau namun
kekuatannya terpaut terlalu jauh. Jikalau hal ini terjadi pada orang
lain yang tiada sangkut pautnya, Nyo Hoa melancarkan kepandaian
istimewa lawannya, jelas jiwa sendiri akan dikorbankan secara
percuma. Untuk mematahkan golok kilat Nyo Hoa, Beng Goan-cau
cukup bergerak tiga jurus dua gerakan.
Tapi di saat perhatian sedikit terpencar itulah, mendadak Beng
Goan-cau melihat lawan melancarkan ilmu golok yang telah
diselami-nya selama hidup ini, mau tidak mau tergetar hatinya,
hatinya menjadi hambar dan kosong, sudah tentu dia jadi lupa dan
tak sempat lagi mematahkan serangan itu, malah gerak reflek untuk
membela diri pun sudah dilupakan sama sekali.
Beng Goan-cau berteriak kaget, "Kau, siapa kau?"
"Sret" pedang Nyo Hoa pun sudah membacok tubuhnya.
Dari dalam hutan berlari tiga orang. Di saat Nyo Hoa lancarkan
bacokan pedangnya itulah ketiga orang ini berteriak hampir
bersama. Sebuah suara merdu seorang gadis berteriak, "Nyo-toako, lekas
berhenti, dia ayahmu!" Gadis ini bukan lain adalah Kim Bik-ki, nona
yang selalu dirindukan dan berusaha hendak ditolongnya dari Hiongengkek. Sebuah suara lagi terdengar gugup dan khawatir, "Hoa-ji, kenapa
kau melupakan pesanku, dia ayah kandungmu!"
Mendengar suara Kini Bik-ki, Nyo Hoa sudah tertegun. Tap" suara
orang kedua ini amat menggetar sanubarinya pula. Orang kedua ini
adalah ji-suhu-nya Toan Siu-si. Selama tiga tahun ini, jejaknya
susah dicari, entah guru berbudi ini sudah mati atau masih hidup.
Bahwa Nyo Hoa menggunakan golok kilat melawan Beng Goancau
adalah pesan Toan Siu-si. Tapi Toan Siu-si juga berpesan hanya
mengalahkan Beng Goan-cau, dilarang melukainya. Tapi bacokan
pedangnya sekarang telah melukai Beng Goan-cau.
Seorang laki-laki setengah umur juga berteriak, "Beng tayhiap,
dia itu puteramu!" Orang ini berlari lebih cepat, namun juga
terlambat selangkah. Orang ini adalah maling sakti yang diketemvkan Nyo Hoa siang
tadi, dia bukan lain adalah sahabat karib Beng Goan-cau yaitu Kwihwethio. Dua belas tahun yang lalu Beng Goan-cau pernah titip
sepucuk surat kepadanya supaya diserahkan kepada Hun Ci-lo,
semoga Hun Ci-lo mau menyerahkan putera mereka kepadanya.
Begitu melihat Nyo Hoa melancarkan Beng-keh-to-hoat, Beng
Goan-cau lantas tahu kalau pemuda ini adalah puteranya. Karena itu
setelah dia mendengar seman Kwi-hwe-thio, meski jantungnya
berdegup kencang, semua pukulan batin yang dialaminya tidak
separah Nyo Hoa. Maka bacokan Nyo Hoa yang mengenai tubuhnya
sedikit pun tidak dirasakan sakit.
"Dia adalah ayahmu" tiga patah kata yang keluar dari mulut Toan
Siu-si dan Kim Bik-ki laksana guntur menggelegar di telinga. Nyo
Hoa tidak tahu apa yang terjadi, tapi dia yakin gurunya yang
berbudi dan kekasihnya pasti tidak akan membohongi dirinya.
Sesaat dia meienggong seperti arwah telah lepas dari raganya,
pikirannya kosong, rasa dingin menjalar di sekujur badan, pikiran
dan darah dalam tubuhnya seperti beku seketika. Mendadak dia
merasa pandangan berkunang-kunang, dunia seperti mau terbalik,
badannya lemas dan sempoyongan lantas ambruk kc depan. Rasa
sakit luar biasa merangsang dadanya, rasa sakit itu lekas sekali
sudah berubah linu menjalar ke sekujur badan. Telinganya sempat
mendengar jeritan Kim Bik-ki dan Toan Siu-si, namun sekejap lain
mendadak apa pun tak terdengar lagi.
Ternyata waktu Nyo Hoa ambruk ke depan kebetulan membentur
ujung golok Beng Goan-cau, ujung golok tepat menghunjam ulu
hatinya. Perubahan yang terjadi secara mendadak dan di luar
dugaan ini berlangsung dalam waktu singkat. Baru saja pedang Nyo
Hoa membacok Beng Goan-cau dia sendiri pun lantas ambruk ke
depan. Bahwa ujung goloknya menusuk uluhati puteranya, Beng Goancau
mendadak tersentak kaget dan berteriak, "Hah, Hoa-ji", lekas
dia ulur tangannya memapah Nyo Hoa. Nyo Hoa rebah dalam
pelukannya, namun dia sendiri juga sudah dipapah oleh Toan siu-si
dan Kwi-hwe-thio. "Jangan bergerak, jangan bergerak!" teriak Toan Siu-si.
Waktu Kim Bik-ki memburu tiba, dilihatnya sekujur badan Beng
Goan-cau berlepotan darah, tapi masih bisa bersuara. Nyo Hoa
malah memejamkan kedua matanya, mukanya pucat lesi. Golok
baja yang terpegang di tangan kanan Beng Goan-cau masih
menghunjam dadanya tidak berani dicabut. Jantung Kim Bik-ki
serasa hendak melompat keluar dari rongga dadanya. Saking kaget
dia berdiri menjublek, bertanya pun tidak berani.
Lekas Toan Siu-si totok beberapa hiatto di tubuh Nyo Hoa, itulah
ilmu totok tunggal keluarganya, dapat mencegah darah mengalir
terlalu banyak dari badan Nyo Hoa. Setelah hiatto tertotok baru
perlahan dia mencabut golok baja itu, dari samping Kwi-hwe-thio
juga sudah mempersiapkan diri, lekas dia taburkan Kim-jong-yok di
permukaan luka-luka Nyo Hoa Sebagai maling sakti nomor satu,
Kim-jong-yok atau puyer luka-lukanya ini juga nomor satu di dunia
ini, obat sakti ini basil curiannya dari Khong-tong-pay.
"Untung miring sedikit, tidak mengenai jantung," ucap Toan Siusi
menghela napas lega, namun mukanya amat prihatin.
"Dia, dia bagaimana" Masih bisa hidup?" tanya Kim Bik-ki
gemetar. Toan Sia-si menjawab, "Lukanya teramat parah, untung
badannya kekar sehat. Obat Thio-heng amat manjur lagi, jiwanya
mungkin bisa diselamatkan."
Sedikit lega hati Kim Bik-ki, namun dari nada bicara Toan Siu-si
masih agak diragukan apakah Nyo Hoa bisa disembuhkan, masih
tanda tanya, terserah kepada Yang Maha Kuasa. Kim Bik-ki berdoa
demi keselamatannya. Sekian lama Beng Goan-cau masih berdiri terlongong, mendadak
dia berteriak seperti kesetanan, "Lepaskan aku, biar aku periksa
keadaan Hoa-ji!" Lekas Kwi-hwe-thio membujuk, "Beng tayhiap, lukamu sendiri
tidak ringan, jangan terlalu emosi, mari biar kububuhi obat."
Beng Goan-cau berteriak, "Sungguh menyesal kenapa aku dulu
berpisah dengan Ci-lo, sebagai ayah aku tak pernah bertanggung
jawab kepada kehidupan anak Hoa. Hari ini aku mendapat pelajaran
yang setimpal. Sungguh aku menyesal kenapa bukan Hoa-ji saja
yang membunuhku, kenapa justru aku yang membunuhnya malah."
"Beng tayhiap," bujuk Kwi-hwe-thio, "kau tidak bersalah. Hoa-ji
tidak mati." "Apa benar tidak mati" Biar kulihat, biar kuperiksa." Tapi dia
sendiri tak mampu lagi bergerak maju memeriksa keadaan Nyo Hoa.
Dalam keadaan gugup, lega dan gelisah, dia meronta dari pegangan
Kwi-hwe-thio, tapi mendadak dia jatuh pingsan.
Toan Siu-si menghela napas, katanya, "Salahku kenapa aku
datang terlambat Thio-heng, bagaimana keadaan Beng tayhiap?"
Kwi-hwe-thio juga menghela napas, katanya, "Lukanya lebih
ringan daripada Nyo Hoa, dikhawatirkan batinnya tidak bisa
tenteram hingga mempengaruhi kesehatannya. Tidak sukar untuk
menolongnya tapi aku khawatir dia tidak akan bisa merawat lukalukanya
dengan tenang, dia pasti menguatirkan mati hidup
puteranya." "Itu urusan belakang, sekarang kita tolong mereka dulu."
Bahwa mati hidup Nyo Hoa masih dikhawatirkan, sudah tentu
perasaan Kim Bik-ki tidak karuan.
---ooo0dw0ooo--- ENTAH berapa lamanya, Nyo Hoa seperti mayat hidup yang
rebah di dalam kuburan. Lamat-lamat mulai pulih kesadarannya,
namun keadaan sekeliling masih terasa gelap. Di kala masih
setengah sadar, hidungnya mencium bau wangi, seseorang seperti
berada di dekatnya, telapak tangan yang halus basah mengusap
mukanya, suaranya lembut, "Syukurlah, Hoa-ko kau sudah siuman.
Coba buka matamu, lihatlah siapa aku?"
Menyusul sebuah suara yang sudah dikenalnya berkata serius
dan bernada welas asih, "Hoa-ji, jangan kau banyak pikiran. Beng
tayhiap adalah ayahmu."
Pelan-pelan Nyo Hoa membuka mata, seperti siuman dari impian
buruk, hatinya masih diliputi keraguan. Terasa dirinya rebah di atas
ranjang, di kamar masih ada dua orang. Yang duduk di sampingnya
adalah Kim Bik-ki, duduk di pinggir ranjang adalah ji-suhu-nya Toan
Siu-si. Tapi dia tidak melihat Beng Goan-cau. Setelah senang,
kembali tenggelam perasaan Nyo Hoa. Pikirannya ruwet, tidak tahu
bagaimana duduk perkara, tapi dia yakin impian buruknya ini akan
lekas berakhir. "Mana Beng tayhiap?" dengan suara bergetar dia bertanya.
"Hoa-ji," ucap Toan Siu-si, dia kira Nyo Hoa masih bimbang, "kau
harus percaya kepadaku, selanjutnya kau harus memanggil Beng
tayhiap ayah. Dan sejak kini kau bukan lagi Nyo Hoa tapi Beng Hoa.
Hoa-ji, tahukah kau, jiwamu direnggut balik oleh ayahmu. Ayahmu
punya sebatang jinsom tua pemberian Koan-tang Tayhiap Utti Keng,
dia sendiri tidak mau makan, seluruhnya diberikan kepadamu."
Mendengar penjelasan Toan Siu-si, kembali perasaan Nyo Hoa
hambar, kaget dan curiga. Kenapa Beng Goan-cau mendadak
menjadi ayahnya" Memangnya cerita Nyo Bok waktu di Siau-kimjwan
itu kenyataan" Kalau benar dia pun akan malu menjadi putera
Beng Goan-cau. Demi menolong jiwanya, Beng Goan-cau rela menyerahkan obat
mujarab yang dapat menyembuhkan luka-luka sendiri untuk dirinya,
dari nada perkataan gurunya, apakah Beng Goan-cau sendiri tidak
akan" tak berani Nyo Hoa membayangkan.
Beng Goan-cau adalah ayahnya, hal ini tidak perlu diragukan lagi,
apakah perbuatan ayah bunda betul atau salah, itu persoalan lain,
tapi bila dirinya membunuh ayah kandung sendiri, bagaimana dia
hidup di dunia fana ini" "
Kim Bik-ki seperti tahu perasaannya, katanya lembut, "Kau tak
usah gelisah, luka-luka ayahmu tidak separah kau, keadaannya tidak
perlu dikhawatirkan lagi". Tapi gurumu mengharap dia bisa merawat
luka-lukanya dengan perasaan tenteram, maka kalian dipisah di dua
kamar." Legalah hati Beng Hoa, dia menoleh mengawasi gurunya. Kim


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bik-ki memang tidak membohongi dia, tapi ada beberapa bagian
yang sengaja tidak diceritakan. Luka-luka Beng Goan-cau memang
lebih ringan, tapi keadaan penyakitnya sekarang justru lebih berat.
Dari sorot mata Beng Hoa, Toan Siu-si tahu apa yang ingin
ditanyakan pemuda ini, katanya, "Hoa-ji, jangan kau bicara.
Mumpung ada kesempatan sekarang, akan kuceritakan kisah ayah
bundamu. Sejak kecil mereka adalah anak-anak yang tumbuh
bersama hingga menjadi sepasang kekasih. Mereka sudah punya
rencana tidak lama lagi akan menikah. Sayang sekali keadaan
menjadi kacau, peperangan berkecamuk, sehingga mereka harus
berpisah dan pernikahan itu pun dengan sendirinya tertunda"."
Setelah mendengar kisah yang menyedihkan itu baru Beng Hoa
menyadari duduk perkara sebenarnya. Jadi tidak sesuai yang
diceritakan Nyo Bok, malah dia yang telah merayu ibunya, sehingga
mau menikah dengan dia, dengan alasan kekasihnya sudah
meninggal di medan perang.
Toan Siu-si menghela napas, katanya, "Sekarang kau sudah
paham bukan" Bukan salah ayahmu, juga bukan salah ibumu.
Penjajah bangsa kitalah penyebab dari semua kesengsaraan dan
penderitaan ini, bencilah kepada orang yang telah menipu ibumu."
Berlinang airmata Beng Hoa, tak tertahan pecah tangisnya,
ratapnya, "Ibu, sungguh sengsara hidupmu. Aku ini anak yang tidak
berbakti, anak yang tidak berguna. Beberapa tahun ini aku pandang
bangsat itu sebagai ayah, hampir saja aku membunuh ayah
kandung sendiri." Kim Bik-ki menyeka airmatanya dengan sapu tangan sutera
kembang, katanya, "Yang sudah lalu, biarlah menjadi kenangan,
sekarang kalian ayah dan anak sudah berkumpul, sepantasnya
dibuat gembira, kenapa menangis malah?"
"Beberapa hari lagi bila ayahmu sudah lebih baik, pergilah kau
menemuinya. Sekarang akan kuceritakan sebuah kisah lain,"
demikian ujar Toan Siu-si.
Beng Hoa sadar, katanya, "Iya, ji-suhu, aku ingin tanya Hari itu
kau terluka parah bersama sam-suhu, kukira, kukira......."
Toan Siu-si tertawa, katanya, "Kau kira kami sudah mati semua?"
"Waktu itu aku jatuh pingsan, kejadian selanjurnya tidak tahu
lagi. Ji-suhu, agaknya setelah bencana itu kau memperoleh rejeki
malah. Tapi kenapa setelah aku siuman, kalian tidak kutemukan
lagi" Mana sam-suhu" Beliau tidak apa-apa bukan?"
"Sam-suhu-mu juga masih segar bugar. Seperti diriku, lukalukanya
pun sudah sembuh. Tapi dia belum berani sembarangan
unjuk diri di depan umum, maka kali ini hanya aku yang kemari."
"Bagaimana sih sebetulnya kejadian hari itu?" tanya Beng Hoa.
Sebelum Toan Siu-si bicara, seseorang mendorong pintu melangkah
masuk, katanya dengan tertawa, "Syukurlah Bcng-lotc sudah sadar.
Hari itu aku merebut kudamu, apa kau masih salahkan aku" Hehe,
untung aku naik kudamu itu sehingga banyak menghemat tenagaku
sehingga keburu ke Lhasa memberi kabar, lalu cepat kembali pula
bertemu dengan ayahmu di sini." Orang ini bukan lain maling sakti
nomor satu, Kwi-hwe-thio.
"Thio-toasiok," sapa Kim Bik-ki. "Apakah Beng tayhiap sudah
lebih baik?" Kwi-hwe-thio adalah sahabat baik Beng Goan-cau, selama
beberapa hari ini tanpa kenal lelah dia merawat luka-lukanya
"Lebih baik dari kemarin," sahut Kwi-hwe-thio, "dalam mimpi pun
dia mengigau puteranya, tadi juga minta aku memapahnya kemari
mau menengok keadaan Beng-lote, mana berani aku
membangunkan dia." Toan Siu-si tertawa, katanya, "Kebetulan Hoa-ji tanya kejadian di
Hutan Batu itu, kedatanganmu kebetulan, kau saja yang ceritakan."
Lalu menambahkan, "Hoa-ji, Thio-toako inilah yang hari itu
menolong aku dan sam-suhu-mu."
Kwi-hwe-thio berkata, "Musim semi tahun itu, aku bertemu
dengan ayah Beng-lote di Stau-kim-jwan, lalu aku berangkat ke
Ciok-lin untuk menyambangi sam-suhu-mu. Maksudku untuk tahu
keadaan kalian guru dan murid, bila pulang akan kuceritakan
kepada ayahmu." Waktu dia memasuki Ciok-lin, kebetulan dilihatnya Yang Kekbeng
dan Auyang Ya saling papah keluar dari Ciok-lin.
"Aku tidak tahu kalau mereka terluka parah, tahu bukan
tandingan mereka, lekas aku menyembunyikan diri Wah, sungguh
sayang, kalau aku tahu keadaan mereka, tentu tidak sukar
membunuh mereka." Toan Siu-si berkata, "Untung kau tidak membunuhnya."
"Kenapa?" tanya Kwi-hwe-thio heran.
"Kalau kau bunuh mereka, bagaimana bisa menuntut balas
dengan kedua tanganku sendiri," ujar Toan Siu-si tertawa.
Beng Hoa menyela, "Auwyang Ya keparat itu juga pernah
memukulku sekali. Suhu, sakit hari ini, mohon kau izinkan murid
menuntut-balaskan kepadanya."
Kim Bik-ki tertawa, katanya, "Kalau mau menuntut balas sakit
hati suhu, kau harus merawat lukamu lebih dulu."
Maka Kwi-hwe-thio melanjutkan ceritanya, "Melihat kedua
Pendekar Bodoh 5 Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Sang Megatantra 6

Cari Blog Ini