Ceritasilat Novel Online

Anak Pendekar 21

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 21


nyaring, kedengarannya suara seorang perempuan. Kulihat wajah
Tan Khu-seng berubah, mendadak dia menarik pedang serta
membentak, 'Enyahlah kau', tapi dia pergi mendahului aku.
"Sudah tentu tak berani aku memikirkan peti, rasanya ingin
punya sayap bisa lekas terbang jauh menyelamatkan diri, tak
sempat mengobati luka di mukaku sambil menahan sakit aku lari
sipat kuping. Waktu aku tiba di lekuk gunung, sayup-sayup
kudengar suara benturan senjata tajam, kudengar ada orang
berhantam di dalam lembah."
Mendadak Tong-cin-cu bertanya, "Siapakah yang bergebrak" Apa
kau pernah melihatnya?"
"Lukaku saja tidak sempat ku-obati, mana sempat aku peduli
pertempuran orang lain" Denting senjata berkumandang dari
lembah, sementara aku lari ke atas gunung, hanya mendengar
suara tidak melihat orangnya."
Sekian pengakuan Kiat Hong. Orang banyak beranggapan dalam
peristiwa itu masih terselubung peristiwa yang lain pula, kejadian
amat ganjil dan patut dicurigai. Namun siapa pun tak berani
sembarangan membuka mulut. Setelah hening sejenak, Lui-tin-cu
membuka suara, "Kalau demikian, yang berusaha mencelakai sesama saudara
seperguruan bukan Tan Khu-seng, tapi sebaliknya adalah Ho Lok."
Tong-cin-cu berkata, "Ayah Ho Lok atau sute-ku Tong-hian-cu
belakangan berhasil menemukan dua kacung keluarga Boh yang
masih hidup, menurut kesaksian mereka dengan mata kepala sendiri
melihat Ho Lok dibunuh oleh Tan Khu-seng."
Segera Kim Tiok-liu tampil bicara, "Tapi menurut keterangan Kiat
Hong, dia hanya menemukan kacung keluarga Boh yang terluka
parah, mayat Ho Lok tak pernah ditemukan."
Kiat Hong ikut bicara, "Biarlah kujelaskan lagi. Keluarga Boh
membawa lima kacung, seorang sudah dibunuh orang, dua orang
terluka parah dalam keadaan sekarat, dua orang lagi yang terluka
agak ringan kubunuh. Tak mungkin kacung keluarga Boh yang lain
menyaksikan Tan Khu-seng membunuh Ho Lok."
Kim Tiok-liu berkata, "Apalagi kalau betul H o Lok terbunuh oleh
Tan Khu-seng, kacung itu pantasnya menyebut she dan nama, serta
mencaci maki Tan Khu-seng, tapi Kiat Hong hanya mendengar
mereka hanya memaki 'rampok laknat' saja."
"Apakah kesaksian Kiat Hong dapat dipercaya, sementara kita
kesampingkan dulu," demikian kata
Tong-cin-cu. "Dalam pengakuan tadi pernah kubilang mendengar
ada orang bergebrak di dalam lembah, siapa tahu saat itulah Tan
Khu-seng membunuhnya di sana"
"Meski demikian," ujar Lui-tin-cu, "Tan Khu-seng bertindak
setelah dia tahu Ho Lok berusaha membunuh dia, untuk membela
diri pantas kalau dia membunuh Ho Lok." Penjelasannya ini teiah
memberi muka kepada Tong-cin-cu, hadirin pun bisa menerima
alasan tepat ini. Tong-bing-cu menghela napas lega, batinnya, "Yang diketahui
Kiat Hong ternyata hanya sebagian kecil dari peristiwa itu, rasanya
tak perlu aku khawatir dan menduga yang tidak-tidak. Hehe, saksi
hidup tidak ada, apa sulitnya mendebat kesaksiannya itu?" Maka
sebelum membuka suara dia tertawa dingin tiga kali.
"Tong-bing toheng," seru Lui-tin-cu gusar, "kenapa kau tertawa?"
"Lui-locianpwe, aku tidak menertawakan kau, aku hanya merasa
peristiwa ini agak menggelikan."
"Soal apa yang menggelikan?" tanya Lui-tin-cu.
Tong-bing-cu tidak langsung menjawab, tapi dia menoleh dan
bertanya kepada Kim Tiok-liu, "Kim tayhiap, apa kau percaya
keterangan Kiat Hong?" Sikap dan mimiknya tampak sinis, seperti
menghina. "Aku sendiri tiada permusuhan dengan kedua pihak, tapi untuk
membongkar duduk perkara sebenamya dari peristiwa ini, tak boleh
kita hanya mendengar keterangan sepihak. Apakah keterangan Kiat
Hong betul atau bohong belaka memang masih merupakan tanda
tanya, tapi keterangannya tetap harus diperhatikan."
"Kalau aku merasa, bila kita bandingkan keterangan Kiat Hong
dengan keterangan Tong-hian-cu suheng, maka persoalan itu
sendiri rasanya teramat ganjil dan lucu. Kiat Hong adalah murid
murtad Siau-lim-pay, perampok jahat yang banyak melakukan
kekejaman, tolong tanya, patutkah orang serendah ini dijajarkan
dengan suheng-ku?" Kiat Hong segera berteriak lantang, "Betul, dahulu aku memang
banyak berbuat jahat, sekarang aku sudah menyesal dan bertobat.
Oleh karena itu aku menjadi sadar dan tak tega melihat Tan Khuseng
kalian fitnah, biar jiwaku berkorban aku rela menjadi saksi
demi kebersihan juga untuk menebus dosaku."
Tong-bing-cu berkata, "Lalu siapa bisa menjadi saksi bahwa
keterangan itu benar?"
"Tan Khu-seng!" teriak Kiat Hong.
"Menurut aturan," selaTong-cin-cu menampilkan kedudukannya
sebagai ciangbunjin, "Tan Khu-seng adalah terdakwa, kau
membantu dan membela dia, mana mungkin dia menjadi
pembelamu pula. Adakah orang lain yang bisa menjadi saksi
kejadian itu?" "Tadi sudah kubilang," seru Kiat Hong berjingkrak gusar, "yang
menyaksikan aku masuk ke kuil kuno itu, kecuali Tan Khu-seng,
yang lain sudah mampus."
Tiba-tiba Kim Tiok-liu bertanya, "Ada sebuah hal ingin aku tanya
kepada toheng." "Soal apa?" tanya Tong-cin-cu. Kim Tiok-liu berkata, "Mohon
tanya, kecuali Tong-hian-cu yang sudah mati, masih adakah orang
lain yang pernah melihat kedua orang saksi hidup yang menuduh
Tan Khu-seng sebagai pembunuh Ho Lok?" "Tidak ada," sahut
Tong-cin-cu. Maka Kim Tiok-liu tertawa dingin, "Bagus, kalau kalian
beranggapan hanya dapat percaya keterangan orang perguruan
kalian sendiri, tak perlu aku bertanya lebih lan-jut."
Memang hati sudah jengkel, maka Lui-tin-cu menimbrung, "Betul,
kalau betul demikian, kalian boleh menjatuhkan tuduhan dan
hukuman menurut aturan perguruan, buat apa harus mengundang
sekian banyak orang, bermuka-muka mau menegakkan keadilan
segala." Lekas Tong-cin-cu berkata dengan lebih sabar, katanya, "Locianpwe
salah paham, bukan aku hanya percaya keterangan sepihak,
tapi sesuai apa yang dikatakan Kim tayhiap, yaitu untuk
membuktikan apakah keterangan Kiat Hong tadi boleh dipercaya."
Kim Tiok-liu berkata, "Kecuali Tan Khu-seng yang masih hidup,
keterangannya tadi jelas tiada saksi lain, bagaimana kau akan
menyelidiki persoalan ini?"
"Betul, karena tiada saksi, terpaksa kita hanya bisa menilai
keterangan itu menurut kebiasaan umum. Keterangan Kiat Hong
pertama menyimpang dari kenyataan, kedua dia pun sudah terkenal
jahat dan bejat, sampah persilatan, terus terang aku tak berani
mempercayai keterangannya"
"Dia tidak punya permusuhan atau sakit hati dengan Ho Lok,
juga tidak pernah menerima budi kebaikan Tan Khu-seng, menurut
apa yang dijelaskan tadi mukanya malah dilukai separah itu oleh
Tan Khu-seng. Lalu kenapa dia harus membual dan mengarang
cerita bohong itu, membela kepentingan Tan Khu-seng malah?"
demikian debat Lui-tin-cu.
"Hal itu hanya bisa ditanyakan kepada Kiat Hong," kata Tong-cincu,
"tapi umpama aku yang bertanya kepadanya,.dia pasti takkan
bicara sejujurnyaV Kiat Hong gusar serunya, "Apa yang kukatakan"' kalian tidak mau
percaya, buat apa aku bersusah payah memutar lidah?"
"Kim tayhiap," tiba-tiba Tong-bing-cu menyela, "ada sepatah kata
entah patut tidak kukatakan?" Dingin sikap Kim Tiok-liu, katanya
"Kau penuduh dalam peristiwa ini, lalu soal apa yang tidak patut kau
katakan?" Tong-bing-cu berkata perlahan, "Menurut pendapatku, mungkin
ada sementara orang hendak membantu Tan Khu-seng
membebaskan dirinya dari dosanya, Kiat Hong tahu maksud tujuan
orang itu, karena dia sudah terlanjur melakukan banyak kejahatan,
apa salahnya kalau dia tambah satu dosa dan pengakuan. Kalau dia
membantu orang itu, maka orang itu pasti akan membantu dia
minta pengampunan kepada pihak Siau-lim."
Kang Siang-hun menjadi gusar, serunya, "Kau berkata demikian,
berarti menuduh aku menyuruh Kiat Hong memberikan
keterangannya itu. Hmm, rasanya aku tak- perlu bersikap sopan
lagi, kau mengukur seorang kuncu dengan hati seorang siaujin."
Merah padam muka Tong-bing-cu, katanya, "Apa Kang-jikongcu,
kau... kau memakiku sebagai siaujin (orang rendah)?"
Apa yang terkandung dalam hati Kim Tiok-liu dilontarkan oleh
muridnya, hatinya lega dan bersorak geli. Sengaja dia biarkan
muridnya bicara baru dia pura-pura menyentaknya, "Siang-hun
kenapa kau kurang ajar terhadap orang tua, hayo maju minta maaf.
Tong-bing toheng, mundku ini pemarah dan kasar, kalau bicara
tidak kenal sopan santun, sudilah kau pandang mukaku, harap tidak
berkecil hati." "Tak usahlah," jengek Tong-bing-cu malu, "mana berani aku
menerima permohonan maaf murid Kim tayhiap."
Ting Tiau-bing menimbrung bicara, "Tong-bing toheng tidak usah
marah, Siang-hun siheng kau pun tak usah jengkel. Kedatangan kita
di sini untuk memecahkah persoalan bukan untuk ribut mulut, betul
tidak" Bicara tentang pengakuan Kiat Hong betul atau hanya isapan
jempol belaka, aku punya saksi lain untuk membuktikan apakah
keterangan tadi bualan belaka."
"O, kau punya saksi?" seru Tong-cin-cu.
"Ada orang hendak membunuh Kiat Hong untuk menutup
mulutnya. Kami beberapa orang pun hampir saja ikut celaka."
Diam-diam Tong-cin-cu kaget, tapi sengaja dia bertanya, "O, ada
kejadian itu, siapakah dia?"
"Siapa lagi, perempuan siluman Sin Jit-nio yang terkenal ahli
racun di Kangouw." Hadirin menjadi geger setelah mendengar nama Sin Jit-nio, maka
ramailah suasana. "Apakah perempuan siluman itu ada hubungan dengan kasus
ini?" "Siapa yang mengundangnya untuk ikut melibatkan diri dalam
kasus ini?" Lui-tin-cu segera berseru meredakan suasana, katanya, '"Mohon
hadirin tenang, biarkan Ting tayhiap memberikan keterangannya."
Ting Tiau-bing berkata, "Semula kami menggusur Kiat Hong
pulang ke Siau-lim-si, setelah turun dari Kong-tong-san, hari kedua
di tengah jalan kami lantas kepergok dengan perempuan siluman
itu...." Ting Tiau-bing melanjutkan, "Waktu itu kami beristirahat di
sebuah kedai minum di pinggir jalan, perempuan siluman itu tiba
seperti bayangan setan, mendadak muncul di depan kami lantas
menyebar racunnya. Untung Kang-kongcu menghadang di depan
Kiat Hong, gerak pedangnya pun amat cepat, hanya sekali tabas,
rambut kepalanya tertabas sebagian, untung berhasil
menggebahnya lari ketakutan."
Sengaja Tong-cin-cu bertanya, "Kenapa kalian tidak membekuk
perempuan siluman itu?"
Kang Siang-hun menyela dengan muka murka, "Senjata gelap
perempuan siluman itu tidak mengenai Kiat Hong, malah mengenai
tubuhku. Untuk merawat aku terpaksa paman Ting membiarkan
perempuan keparat itu melarikan diri." Lalu dari dalam kantong dia
merogoh keluar tiga batang bwe-hoa-ciam yang hitam legam.
Tiga batang bwe-hoa-ciam ini dia buntal dengan sapu tangan lalu
diserahkan kepada Lui-tin-cu, katanya, "Lui-cianpwe, kau orang tua
luas pengalaman. Tolong kau periksa dan buktikan apakah jarum ini
betul adalah senjata rahasia tunggal perempuan laknat itu."
Setelah memeriksa dengan seksama, Lui-tin-cu berkata, "Betul,
inilah bwe-hoa-ciam milik Sin Jit-nio yang dilumuri lima jenis racun,
hanya dua keluarga dalam dunia ini yang bisa menggunakan senjata
rahasia jenis ini, keluarga lain adalah keluarga Tong dari Sujwan.
Tapija-rum beracun keluarga Tong berwarna merah, sementara
jarum perempuan siluman itu berwarna hitam. Bila seseorang
terkena jarum racun keluarga Tong, dalam duabelas jam kulit badan
akan berubah merah darah, meski memiliki lwekang setinggi langit
dan punya obat yang mujarab sekali pun juga susah diobati, jiwa
pasti melayang. Tapi jarum racun perempuan siluman ini lebih lihay
lagi, dalam enam jam, jiwa akan melayang dengan badan hitam.
Jikalau toheng berdua tidak percaya, boleh kau ambil ketiga jarum
ini dan mencobanya."
Tong-cin-cu menyengir tawa, katanya, "Apa yang diucapkan
Kang-siheng dan Lui-locianpwe juga sudah membuktikan kebenaran
jarum itu, mana pinto berani menaruh curiga?"
Maka Kang Siang-hun melanjutkan, "Untung Ting tayhiap
membawa Bik-ling-tan yang dibuat dari Thian-san-soat-lian, dengan
besi sembrani menyedot keluar ketiga batang jarum itu. Walau
demikian, aku harus bersemadi enam jam lamanya baru pulih
seperti sedia kala. Karena itulah kedatangan kami tadi terlambat."
Ting Tiau-bing menyambung, "Letak kedai minum itu hanya
seratus li dari sini, yang menjadi pemilik kedai itu juga menyaksikan
perempuan siluman itu mengganas, bukti ada saksi juga ada, kurasa
sudah lengkap bukan?"
Tong-bing-cu menenangkan diri, katanya tawar, "Apa yang
dikatakan Ting tayhiap dan Kang-kongcu sudah tentu kupercaya,
tapi tuduhan untuk membunuh orang menutup mulut kurasa terlalu
dipaksakan." Kang Siang-hun gusar, serunya, "Perempuan siluman itu tidak
bermusuhan dengan kami, kedatangannya jelas hendak
membokong Kiat Hong, apalagi kalau tidak ingin menutup
mulutnya?" "Kiat Hong kelewat banyak melakukan kejahatan, musuhnya
banyak, kejadian itu biasa, siapa tahu dulu dia pernah berbuat salah
terhadap perempuan itu, maka dia datang menuntut balas?"
"Dulu memang pemah aku berkenalan dengan perempuan sundal
itu, tapi saat itu dia juga sedang melakukan kejahatan, mana
mungkin aku bermusuhan dengan dia?"
"Mungkin kau punya musuh lain yang mohon bantuannya
membunuh kau?" desak Tong-cin-cu.
"Sembilan di antara sepuluh orang yang bermusuhan dengan aku
adalah kaum pendekar, aku yakin mereka takkan sudi minta
bantuan perempuan siluman itu," debat Kiat Hong.
Giliran Tong-bing-cu mendesak, "Tapi kau pasti pemah
melakukan hitam makan hitam?"
"Ya, sepersepuluh sisa dari yang kukatakan tadi, memang
mereka musuh dari kalangan hitam. Tapi aku tahu, mereka tidak
satu pun yang setimpal untuk mohon bantuan perempuan siluman
itu." Kang Siang-hun tertawa dingin, "Urusan sudah cukup jelas,
kecuali membunuh untuk menutup mulut, apa pula alasannya?"
Berubah air muka Tong-bing-cu, katanya, "Kang-jikongcu,
apakah omonganmu tidak terlalu keras. Baiklah, anggap aku
percaya bahwa dia memang hendak menutup mulut orang, tolong


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanya siapakah biang keladi yang menyuruhnya melakukan
kejahatan itu" Apakah perempuan itu pemah mengatakan?"
Kang Siang-hun berseru gusar, "Mana dia mau mengatakan?"
"Kalau demikian, siapa berani memastikan bahwa perbuatannya
itu ada sangkut pautnya dengan kasus ini?" debat Tong-bing-cu.
Tong-bing-cu berdiri di atas panggung sambil menyeringai sinis,
mendadak didengarnya seorang gadis berteriak, "Ayah!"
Begitu gadis ini muncul, Kim Tiok-liu melenggong, Beng Hoa
terkejut dan girang, sementara Tong-bing-cu kaget dan berubah air
mukanya. Yang memasuki arena bukan lain adalah puteri Kim Tiok-liu, Kim
Bik-ki. Begitu dekat Kim Bik-ki lantas berlari ke arah ayahnya, seraya
berteriak, "Ayah, kau harus menuntut balas bagiku."
"Membalas apa?" tanya Kim Tiok-liu kaget.
"Serahkan perempuan siluman itu kepadaku!" sebelum menjawab
pertanyaan ayahnya, begitu dekat Kim Bik-ki lantas menuding Tongcincu dan Tong-bing-cu. Terkejut dan bingung Tong-cin-cu dibuatnya, tapi masih pandai
berpura-pura, katanya, "Perempuan siluman yang mana?"
Kim Bik-ki berteriak lantang, "Kecuali Sin Jit-nio, perempuan
siluman siapa lagi?"
Berkerut alis Tong-cin-cu, katanya, "Nona Kim, kau minta orang
kepadaku, apa maksudmu" Kami juga sedang mencari perempuan
siluman itu." "Kau ini tidak pura-pura pikun?" damprat Kim Bik-ki, "Kau,
bukankah perempuan siluman itu berada di Jing-hi-koan kalian" Kau
sebagai ciangbunjin, berani kau bilang bukan kau yang melindungi
dia dan menyembunyikannya di sana?"
Tong-cin-cu pura-pura kaget, teriaknya, "Kau... apa katamu?"
"Sin Jit-nio perempuan siluman itu sembunyi di dalam Jing-hikoan,
kalian, berani mungkir?" teriak Kim Bik-ki.
"Apa, betulkah kejadian itu?" teriak Tong-cin-cu pula. "Aku berani
bersumpah, hakekatnya aku tak pernah melihat perempuan siluman
itu." "Sebagai ciangbunjin Kong-tong-pay tak berani aku bilang kau
bersekongkol dengan perempuan siluman itu, tapi kehadirannya di
Jing-hi-koan pasti mendapat persetujuanmu. Kalau tidak, mana
mungkin dia bersembunyi di dalam biara kalian?"
"Aku sudah bersumpah. Kim tayhiap, tentu kau percaya bahwa
aku bukan orang yang suka berbohong bukan?" teriak Tong-cin-cu.
"Anak Ki," terpaksa Kim Tiok-liu campur bicara, "jangan kurang
ajar terhadap orang tua. Tong-cin totiang adalah ciangbunjin, kalau
dia bilang tidak tahu, ya tidak tahu. Soal ini mungkin ada latar
belakangnya, coba kau saja yang bicara."
Sorot mata Hadirin banyak yang ditujukan ke arah Tong-bing-cu,
dalam Kong-tong-pay kedudukannya hanya di bawah Tong-cin-cu,
kalau soal itu tiada sangkut pautnya dengan sang suheng, tentu ada
hubungannya dengan dia. Ternyata Tong-bing-cu mengeraskan kepala, katanya, "Soal ini
pun di luar tahuku."
Lui-tin-cu berkata perlahan, "Hadirin harap tidak gelisah, apa
yang terjadi sebetulnya biarlah nona Kim saja yang menjelaskan di
depan kita." Maka Kim Bik-ki berkata, "Tiga hari yang lalu aku tiba di Kongtongsan hendak mencari ayah. Di tengah jalan aku bertemu
dengan perempuan siluman itu, tak sempat menyingkir aku akhirnya
ditangkap olehnya." "Kenapa dia menangkap engkau?" tanya Tong-cin-cu.
"Dari mulutnya aku tahu bahwa dia pernah berusaha membunuh
Kang-suheng, tapi tidak berhasil. Cepat atau lambat kejadian ini
pasti diketahui ayah, maka dia menawanku untuk dijadikan sandera,
untuk mengancam ayah. Setelah menangkap aku, dia membawaku
ke Kong-tong-san." "Kau bilang dia mengurungmu di Jing-hi-koan, apakah kau
pemah melihat tojin penghuni biara kami?" tanya Tong-cin-cu.
"Aku dicekoki Hap-kut-san hingga tak bisa berkutik, menjelang
masuk ke Jing-hi-koan dia menotok hiatto-ku pula. Baru pagi tadi
aku melarikan diri, baru aku tahu beberapa hari ini aku dikurung di
dalam Jing-hi-koan."
"Kalau betul kau terkena racun perempuan siluman itu, mana
mungkin kau bisa melarikan diri?" tanya Tong-cin-cu.
"Wajar kalau kau heran," ujar Kim Bik-ki. "Mungkin mimpi pun
kalian tak pemah menduga bahwa seseorang telah memberikan
obat penawarnya kepadaku."
"Nona Kim, kau terhindar dari malapetaka, belum sempat aku
ikut girang karena kau selamat. Memangnya kau kira aku senang
kau tertimpa malang" Tapi aku ingin tahu, siapakah orang yang
memberi obat pemunah itu" Apa aku boleh tahu?"
"Terima kasih atas perhatianmu," ucap Kim Bik-ki sinis. "Siapa
orang itu tiada sangkut pautnya dengan kasus di sini, kau tidak
perlu tahu, aku pun tidak akan memberi tahu kepadamu. Orang itu
bilang, bila saatnya sudah tiba dia akan muncul sendiri. Kau boleh
tunggu saja." Sudah tentu Tong-cin-cu dan Tong-bing-cu merasa khawatir dan
was-was, hadirin pun menduga-duga. Hanya Kim Tiok-liu dan Luitincu saja yang sudah menduga siapakah tokoh misterius itu.
Sudah tentu Beng Hoa juga sudah menduga bahwa orang itu
adalah maling nomor satu sejagat Kwi-hwe-thio adanya.
Seperti diketahui, kemarin malam dengan kelihayannya Kwi-hwethio
telah menyiapkan sebungkus obat palsu yang bentuknya mirip
dengan obat penawar asli milik Sin
Jit-nio. Sin Jit-nio mengira dia beruntung karena obat
penawarnya tidak sampai terebut musuh, di luar tahunya, di waktu
dia bicara dengan Kwi-hwe-thio yang menyamar Tong-bing-cu,
sakunya sudah digerayangi dan obat penawarnya sudah ditukar.
'"Mana perempuan siluman itu?" tanya Lui-tin-cu.
"Aku tidak tahu," sahut Kim Bik-ki. "Waktu aku keluar tiada orang
merintangi aku, aku tidak tahu perempuan siluman itu lari ke
mana." Lega hati Tong-bing-cu, batinnya, "Sin Jit-nio berhati kejam,
otaknya pun cerdik, begitu melihat gelagat jelek dia lantas kabur
entah ke mana. Kalau dia tidak tertawan musuh, aku punya akal
untuk cuci tangan dari persoalan ini.
Setelah menarik napas, dia berkata, "Suheng, kelihatannya dalam
perguruan kita ada anasir-anasir khianat yang perlu diberantas."
Tong-cin-cu seperti sadar, katanya tertawa getir, "Nona Kim,
kalau kau tidak mau memberi tahu, ya sudah. Bahwa kau terkurung
dalam biara kami, sungguh aku amat menyesal dan mohon maaf
kepadamu." "Memangnya minta maaf sudah cukup?" jengek Kim Bik-ki.
"Kenapa perempuan siluman itu bersembunyi dalam biara kalian,
apa kau ingin cuci tangan?"
"Nona Kim, kuharap bicaramu tahu ukuran. Kau bilang demikian,
berarti kau menuduh aku bersekongkol dengan perempuan siluman
itu?" "Hatimu sendiri yang tahu." "Anak Ki, jangan kurang ajar. Tongbing
totiang, mohon maaf, bocah ini tidak pandai bicara. Tapi dia
penasaran setelah tertimpa malang, karena ingin membongkar
kasus sebenarnya, tak heran kalau dia bersikap kasar."
Tong-cin-cu bersikap amat menyesal, katanya, "Dalam Jing-hikoan
terjadi seperti apa yang dialami nona Kim, sungguh
membuatku menyesal dan sakit hati. Bagaimana duduk
persoalannya sekarang aku belum jelas, tapi sebagai Kong-tong
ciangbun aku hams bertanggung jawab. Kim tayhiap, akulah yang
pantas mohon maaf kepada kalian ayah dan anak."
Kim Tiok-liu menyingkir tidak mau menerima pemberian hormat
orang, katanya, "Mohon maaf, kukira tidak perlu, tapi aku mohon
kepada ciangbun supaya memberikan jawaban tegas dan
memuaskan." Tong-cin-cu bermuka-muka, katanya setelah menghela napas,
"Pohon besar ada dahannya yang kering dan patah, Kong-tong
menerima ratusan murid bukan mustahil ada yang murtad."
Kang Siang-hun yang masih mendongkol segera menimbrung,
"Sumoay-ku ditawan perempuan siluman itu dan disekap di dalam
Jing-hi-koan, ini bukan perkara kecil, apa kau kira seorang muridmu
mampu melakukan...." belum selesai dia bicara, Kim Tiok-liu telah
mencegahnya. Sebetulnya dia masih akan bilang, "Kalau dia tidak
punya tulang punggung, memangnya dia bernyali'besar", tapi
hadirin sudah maklum ke mana arah perkataannya.
Tong-cin-cu batuk-batuk, sikapnya tetap pura-pura sedih dan
menyesal, katanya, "Aku kurang keras mendidik murid, kelalaianku
ini memang patut dihukum. Tapi aku memang tidak tahu menahu
tentang kejadian ini."
Lebih lanjut Tong-bing-cu juga berkata, "Menilai kejadian, kurasa
seperti yang dikatakan suheng. Ada seorang murid murtad yang
bersekongkol dengan perempuan siluman itu di luar tahuku dan
ciangbun suheng, nona Kim menjadi korbannya."
Kim Bik-ki sudah buka mulut hendak mendebat, mendadak
sebuah suara berkata dingin, "Pandai benar kau melimpahkan
persoalan kepada orang, beruntun kau menggunakan cara yang
sama, kurasa kali ini sudah tidak manjur lagi." Itulah suara yang tadi
bersuara Tong-cin-cu anggap tidak dengar, tanyanya kepada Kim Bik-ki,
"Nona Kim, kau masih ingin bicara?"
Dalam hati Kim Bik-ki bersorak girang, katanya tertawa, "Apa
yang ingin kukatakan orang sudah mewakili aku, apa kau tidak
mendengar?" Merah muka Tong-cin-cu, katanya, "Aku sudah bilang aku akan
memikul tanggung jawab. Nona Kim tak usah khawatir, kau disekap
di dalam biara kami, aku pasti menyelidikinya sampai tuntas." Lalu
dia pura-pura memanggil Tay-ciok Tojin dan menyuruhnya
menyelidiki kasus ini, padahal kasus kematian Giok-hi-cu sampai
sekarang belum lagi terbongkar, sudah tentu kasus ini pun takkan
mungkin bisa diselesaikan.
Di saat hadirin menduga-duga, suara orang yang berbicara dalam
perut berkumandang pula, "Sudahlah, jangan pura-pura, kalau betul
kau mau menyelidiki kasus ini, pertama kau harus mengompes
keterangan sute-mu Tong-bing-cu." Kali ini suaranya cukup keras
dan jelas, maka Tong-cin-cu tak mungkin pura-pura tidak
mendengar. "Siapa itu?" sentak Tong-cin-cu gusar. "Kalau berani, tampil ke
depan dan bicara berhadapan."
Orang itu berkata, "Betul, memang sudah tiba saatnya aku tampil
ke depan dan bicara di hadapan umum. Pertama aku akan
menuding orang yang bersekongkol dengan perempuan siluman itu
bukan lain adalah Tong-bing-cu yang siap mewarisi jabatan
ciangbun Kong-tong-pay ini."
"Membual belaka!" teriak Tong-bing-cu. "Keluarlah kau, mari
bicara berhadapan." Suaranya keras, sikapnya gugup, mukanya beringas. Orang
banyak sudah melihat betapa gugup dan panik.
Di saat hadirin celingukan ingin melihat siapa yang akan tampil
ke depan, dua orang murid Kong-tong berlari tergesa-gesa dengan
napas tersengal, teriaknya, "Lapor ciangbun, celaka...."
"Apa yang celaka," sentak Tong-cin-cu.
Kedua murid itu berkata, "Kami tidak menemukan kedua siluman
perempuan itu, tapi kami menemukan Tay-ya toheng tertotok
hiatto-nya disembunyikan di gua gunung-gunungan." Kedua murid
ini adalah yang ditugaskan mengusut perkara bersama Tay-ciok
Tojin. Tay-ya Tojin yang mereka katakan adalah murid Tong-bing-cu
yang bertugas jaga di biara.
Tong-cin-cu seperti memperoleh angin, katanya, "Nah, pasti ada
penjahat yang menyelundup di dalam biara kita."
Orang yang pandai bicara dengan perut sudah tampil ke depan,
katanya dengan bergelak tawa, "Betul, akulah yang menyaru Tay-ya
Tojin tapi penjahatnya bukan aku." Kali ini dia tidak bicara
menggunakan perut, suaranya mendadak berubah, mirip suara
perempuan. Karuan hadirin menjadi gempar, ada beberapa murid Kong-tong
segera merubung maju hendak menangkap Tay-ya Tojin palsu yang
bertubuh kecil pendek ini.
Maka terdengarlah suara berde-buk beruntun, beberapa murid
Kong-tong itu terpental jatuh. Hadirin tidak sedikit yang mempunyai
kepandaian tinggi, beberapa orang lantas bersorak, "Can-ih-cappwetiat yang bagus." Beberapa murid Kong-tong itu adalah pilihan di antara ratusan
murid Kong-tong yang lain, namun ujung baju orang pun tidak bisa
disentuhnya, satu per satu sudah tersengkelit jatuh. Kalau jago-jago
silat banyak yang kaget, sudah tentu murid-murid Kong-tong itu pun
menjadi jeri, tiada yang berani maju lagi.
"Sret" Tong-bing-cu mencabut pedang, siap melabrak maju,
namun hatinya pun agak jeri, dalam hati dia mengharap entah siapa
mau maju membantu dirinya.
Tak nyana Lui-tin-cu sudah berkata, "Orang ibi menyaru murid
perguruan kalian memang tidak pantas, tapi kalau dia berani
menampilkan diri menjadi saksi, perbuatannya ini pasti ada
sebabnya maka kuanjurkan biarlah dia bicara lebih dulu baru nanti
kita putuskan bersama."
Memangnya Tong-bing-cu waswas bila dirinya bukan tandingan
orang ini, pamornya akan runtuh habis-habisan. Terpaksa dia
masukkan pula pedangnya sambil berkata, "Baik, memandang muka
Lui-cian-pwe marilah kita dengar ocehannya."
Orang itu tertawa dingin, katanya, "Aku belum bicara, bagaimana
kau tahu kalau aku mengoceh?"
Lui-jin-cu gugup, serunya, "Betul... betul... lekas kau katakan
saja." Orang itu tetap bersikap kalem, katanya, "Sebelum aku bicara,
aku ingin minta hadirin siapa yang mau membantu aku?"
Tong-bing-cu tertawa dingin, jengeknya, "Agaknya kau belum
kapok juga, menyaru melakukan kejahatan, belum kami
menghukummu, ada muka kau minta bantuan segala?"
"Tong-bing-cu, tak usah khawatir, aku tidak akan minta
bantuanmu," ucap orang itu, "tapi bantuan yang kuminta ini
tujuannya untuk kepentingan ciangbun suheng-mu sendiri."
Tong-cin-cu kaget, katanya, "Ucapanmu aneh kedengarannya,
.iku punya persoalan apa perlu kau minta bantuan orang untukku?"
Orang itu berkata, "Bukankah kau ingin membekuk Sin Jit-nio?"
"Betul, memangnya kenapa?" tanya Tong-cin-cu.
"Terus terang saja, bukan saja Sin Jit-nio adalah musuh nona
Kim, dia pun musuh besarku. Selama menjelang kentongan kelima
dia kukejar sampai Toan-hun-gay, karena terpojok dan tiada jalan
melarikan diri, saking ketakutan dia terjerumus ke dalam jurang.
Sayang waktu itu cuaca sudah terang tanah, aku harus lekas
pulang, maka tiada kesempatan mencarinya. Tapi aku yakin
umpama tidak mampus, pasti dia terlu-ka parah, bila siapa sudi
membantu aku mencarinya, umpama tak dapat membekuknya
hidup-hidup, paling tidak mayatnya dapat ditemukan di sana."
Karuan hadirin kaget dan me-Ienggong mendengar ceritanya.
Maklum Sin Jit-nio adalah ahli racun nomor satu di jaman ini, kecuali


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepandaian menggunakan racun, kungfunya juga tinggi, namun
mendengar cerita orang ini ternyata Sin Jit-nio tidak berani
bergebralcmela-wan dia, tidak heran kalau orang banyak merasa
heran. "Apa betul ucapanmu?" teriak Tong-cin-cu tertahan.
"Benar atau tidak, dalam satu jam bisa dibuktikan. Kalau
sekarang kalian pergi ke Toan-hun-gay dan mencarinya pasti bisa
menemukan jejaknya."
Tio It-bu guru silat kenamaan dari Jiangciu segera mengajukan
diri, serunya lantang, "Baiklah, aku percaya ucapanmu, biar aku
yang memeriksa ke sana."
Ting Tiau-bing ikut bicara, "Tio-suhu, biar aku menemani
engkau." Kecuali itu ada beberapa guru silat dan beberapa orang juga ikut
beramai-ramai. Tong-cin-cu menenangkan diri, sedapat mungkin dia
mempertahankan wibawanya sebagai ketua sidang, tanyanya
kepada orang itu, "Maksudmu kau menuduh Tong-bing-cu ada intrik
dengan perempuan siluman itu?"
"Banyak sekali tuduhan yang akan kuajukan, kalau dibandingkan,
kasus ini hanya sampingan saja yang tidak begitu penting artinya."
"Soal apa pula yang akan kau ajukan?" tanya Tong-cin-cu.
"Aku akan menjadi saksi dalam kasus itu, aku pun akan membela
dan membersihkan nama baikku sendiri."
Berubah rona muka Tong-cin-cu, katanya, "Membela dirimu
sendiri" Kau... siapa kau?"
Lui-tin-cu menepuk paha, serunya, "Betul, urusan sudah sejauh
ini, selanjutnya tak perlu kau takut orang tahu wajah aslimu."
Orang itu mengangguk, katanya, "Betul, sekarang sudah tiba
saatnya aku kembali pada wajah asliku." Bicara sampai "wajah
asliku", perlahan dia mencopot gelung kepala dan mengusap
mukanya yang dirias, tampaklah wajah aslinya.
Karuan hadirin melongo kaget. Ternyata orang ini adalah
perempuan. Siapa pun tidak menduga orang misterius ini ternyata seorang
perempuan, malah gadis yang tampak cantik dan anggun.
Kecantikannya berbeda dengan kecantikan gadis umumnya, kalau
keayuan seorang gadis diibaratkan sekuntum kembang di musim
semi, maka kecantikannya ibarat rembulan di musim rontok, kalau
kecantikan gadis remaja membuat hati siapa pun merasa hangat,
tapi kecantikan perempuan ini justru membuat hati orang dingin,
sebab dia cantik tapi wajahnya' kaku dingin, siapa pun yang melihat
wajahnya pasti akan merasakan sesuatu yang berbeda.
Kejadian memang aneh, di bawah tatapan tajam perempuan
cantik berwajah dingin ini, ternyata Tong-bing-cu seperti
berhadapan dengan setan, sekujur badan gemetar. Orang yang tak
jauh di pinggirnya malah mendengar giginya ber-kerutukan karena
menggigil. Sekonyong-konyong beberapa orang berteriak bersama, "He,
bukankah dia puteri Boh tayhiap?"
Perlu diketahui, puteri tunggal Koan-tiong Tayhiap Boh It-hang
yang bernama'Boh Le-cu dahulu diakui sebagai perempuan tercantik
di seluruh Bulim, kini meski usianya sudah menanjak empatpuluh
namun masih tetap kelihatan keayuannya. Memang hadirin tidak
banyak yang pernah melihatnya dulu, tapi juga tidak sedikit. Setelah
ada orang mengenali dan berteriak, mereka yang semula masih
pangling segera juga bersorak membenarkan.
Perlahan Boh Le-cu membalikkan badan menghadap ke bawah
panggung, perlahan dia berkata, "Betul, aku adalah mempelai
perempuan yang akan menikah delapan-belas tahun lalu." Lalu dia
tertawa dingin serta berkata kepada Tong-bing-cu, "Kau tidak
mengira bahwa aku belum mati, ternyata masih hidup bukan?"
Tong-bing-cu menenangkan pikiran dan gejolak hati, katanya
menyengir, "Boh-siocia, kau bisa pulang dengan selamat, sungguh
kejadian yang patut dibuat girang."
Dalam hati diam-diam dia membatin, "Kasus yang terjadi
delapan-bclas tahun yang lalu, aku sendiri tidak menampilkan diri,
entah berapa banyak yang diketahui olehnya, kalau tidak banyak
mungkin aku masih bisa berdebat dengan dia, jikalau dia sudah
tahu jelas, ai, apa boleh buat, terpaksa aku bertindak biar
menyerempet bahaya sesuai rencana yang telah diatur bersama Hay
Lan-ja." Sejak Tong-cin-cu mengumumkan rapat besar ini dibuka, dalam
setengah hari beruntun terjadi beberapa peristiwa yang cukup
mengecilkan dan menarik perhatian. Giok-lu-cu terbokong mati,
munculnya I teng Hoa dan tertangkapnya Kiat Hong dengan
pengakuannya, tapi kalau dibandingkan kejadian yang tadi,
munculnya Boh Le-cu ini lebih menggemparkan dan menggetarkan
sanubari banyak orang. Maklum kalau beberapa orang lain itu
hanyalah pelengkap dari kasus sebenarnya, tapi Boh Le-cu ini justru
primadona yang disangka mati kini muncul kembali.
Selama delapanbelas tahun ini, ke manakah dia menyembunyikan
diri" Walaupun tidak mati, kenapa selama ini tak pemah muncul
membongkar duduk persoalan" Tan Khu-seng tahu tidak bahwa dia
masih hidup" Setelah terjadi kegemparan, berbagai pertanyaan
muncul di benak orang-orang.
Boh Le-cu berhadapan dengan Tong-bing-cu, katanya dingin,
"Apa betul kau segirang itu" Kau kira para saksi dalam kasus ini
sudah mati seluruhnya, namun kemunculanku ini mungkin akan
membuatmu kecewa Oh ya tadi kau pemah memfitnah Tan Khuseng
merampok dan kemaruk paras ayu, memfitnah dia berbuat
serong serta membawaku minggat. Kau kira setelah urusan
berselang delapanbelas tahun, waktu itu aku sudah keracunan,
tentu sudah lama mati dan tiada orang bisa menjadi saksi, maka
Tan Khu-seng dengan mudah kau fitnah tanpa kuasa membela diri,
betul tidak?" Merah padam muka Tong-bing-cu, katanya "Kasus seaneh ini
telah terjadi, waktu itu tidak heran kalau tersiar berita-berita yang
merugikan berbagai pihak, kami sendiri tidak tahu duduk perkara
sebenarnya, mungkin kami terlalu percaya oleh desas-desus itu.
Sebetulnya engkau adalah menantu keponakanku, sudah tentu aku
tidak ingin desas-desus itu menjadi kenyataan. Sekarang tolong kau
buktikan bahwa desas-desus dahulu itu hanyalah kabar angin
belaka." Setelah ada kesaksian Kiat Hong, pelaku utama dari kasus itu
mengunjukkan dirinya pula, maka Tong-bing-cu tidak berani
menyinggung dua kacung keluarga Boh seperti yang dikatakan oleh
Tong-hian-cu sebagai saksi hidup.
Sekarang Tong-bing-cu tidak berani bersikap keras seperti
terhadap Kiat Hong tadi, menuding keterangan Boh Le-cu tidak
boleh dipercaya. Namun hadirin banyak yang maklum bahwa nada
ucapannya itu sedikit banyak masih mencurigai Boh Le-cu.
Boh Le-cu menyeringai dingin, katanya, "Aku bisa memberikan
bukti kepadamu, sekarang biar kujelaskan duduk persoalan
sebenarnya dari kasus ini kepada hadirin."
Seluruh hadirin tutup mulut menahan napas, sehingga suasana
menjadi hening. "Untuk membeber kasus ini, aku harus bercerita sejak kematian
ayahku," demikian tutur Boh Le-cu kalem. "Waktu ayah meninggal,
tahun itu baru berusia empatpuluh delapan, belum genap limapuluh
sudah meninggal. Padahal dia meyakinkan lwekang tinggi, boleh
dikata pada masa jayanya, apakah kalian tidak merasa kematiannya
agak ganjil?" Maka ramailah pertanyaan yang diajukan dari berbagai pihak,
"Iya, sebelumnya tak terdengar Boh tayhiap sakit, mendadak
meninggal dunia, kejadian memang patut dicuri-gai."
Tapi ada juga yang bilang, "Boh tayhiap dikebumikan dengan
upacara kebesaran, waktu itu tidak sedikit para sahabat yang
menjenguk wajahnya yang terakhir, keluarganya juga bilang dia
sedang...." "Biarlah Boh-siocia sendiri yang menjelaskan," tukas Lui-tin-cu.
"Dari nada bicaramu terasa kejadian itu ada latar belakang yang
tidak diketahui orang luar. Tolong jelaskan bagaimana kematian
ayahmu?" Boh Le-cu mengertak gigi, desisnya, "Ayahku mati karena diracun
orang." Kembali hadirin gempar. Lui-tin-cu berjingkrak kaget, serunya,
"Siapa yang meracun ayahmu, apa kau tahu?"
"Ibu tiriku," sahut Boh Le-cu.
Setelah Boh' It-hang meninggal, istri mudanya menjual seluruh
harta peninggalan suaminya dan diserahkan kepada puteri tirinya
sebagai pe-salin. Waktu itu kejadian ini mendapat pujian pelbagai
pihak, semua memuji ibu tiri yang satu ini bajik dan bijaksana.
Belakangan setelah puteri tirinya dijemput calon suaminya maka dia
pun pulang ke rumah keluarganya. Karena keluarga Boh tidak punya
famili dekat, setelah dia pergi, tak pemah kembali ke Bi-ti, juga
tiada orang memberi tahu beritanya.
Lui-tih-cu agak heran, katanya, "Sungguh tak nyana, pemah aku
menyangka Boh-hujin adalah ibu tiri yang lain dari yang lain."
Boh Le-cu menghela napas, katanya, "Perempuan siluman itu
memang pandai bermuka-muka, jangan kata sanak kadang
terkelabui olehnya, semua menyangka dia orang baik, ayahku
sendiri sampai menjelang ajalnya juga mengira dia orang baik, istri
sejati." "Menjelang mati dia tidak tahu, jadi di saat dia hampir
meninggal, apakah dia sudah tahu?" tanya Lui-tin-cu.
Boh Le-cu berkata, "Kukira dia sudah tahu. Tapi bagaimana
sebetulnya istri keduanya dia masih dikelabui."
Lui-tin-cu dan Kim Tiok-liu bertanya bersama, "Orang macam
apakah dia sebenarnya?"
Dari samping Tong-cin-cu juga mengajukan satu pertanyaan,
"Kenapa kau mengira ayahmu mungkin indah tahu, apakah di saat
hampir ajalnya dia memberi tahu kepadamu?" Pertanyaan ini
sebetulnya dia ?jukan mewakili sang sute. Dalam hatinya bersama
Tong-bing-cu berpikir, "Boh lt-hang terkena racun, menjelang
ajalnya baru dia sadar, waktu itu pasti dia sudah sukar bicara, entah
berapa banyak yang diketahui lalu dia memberi tahu kepada
puterinya." Boh Le-cu berkata, "Pertanyaan belakangan akan
kutundajawaban-nya. Sekarang biar kuberi tahu kepada orang
banyak, siapa sebenarnya ibu tiriku itu."
Suara berisik di bawah panggung seketika sirap, suasana kembali
hening, setiap hadirin pasang telinga.
Kalem suara Boh Le-cu, "Ibu tiriku itu bernama Han Ji-yan, dia
pura-pura dari keluarga hartawan besar yang terkenal, tidak pandai
main silat. Padahal dia adalah sumoay perempuan siluman Sin Jitno,
keahliannya menggunakan racun tidak lebih rendah dari Sin Jitnio."
Mendengar ibu tirinya adalah sumoay Sin Jit-nio, hadirin tersirap
kaget, tak nyana ceritera yang diungkapkan Boh Le-cu selanjurnya
justru lebih mengejutkan lagi, sehingga Lui-tin-cu juga dipaksa
memasang telinga mendengarkan sambil melongo.
Lebih lanjut Boh Le-cu berkata, "Kecuali menjadi istri muda
ayahku, dia masih punya kedudukan lain yaitu gendak rahasia ayah
Ho Lok yaitu Tong-hian-cu."
Berubah air muka Tong-cin-cu, katanya, "Nona Boh, ucapanmu
itu tidak boleh sembarang diucapkan. Khalayak ramai sudah tahu
bahwa di saat setengah umur, Tong-hian sute kematian istrinya,
maka dia masuk agama menjadi imam. Dari sini dapat dibayangkan
betapa besar cinta kasihnya terhadap sang istri. Setelah menjadi
imam, dia amat keras menjaga diri dan mematuhi aturan, hai ini
diketahui banyak murid-murid."
Boh Le-cu berkata dingin, "Tapi kematian istrinya juga dia yang
membunuh, bersekongkol dengan Han Ji-yan. Tapi rahasia ini
putera-nya yang bernama Ho Lok itu juga tidak tahu. Pepatah
bilang, hewan sejenis selalu berkumpul jadi satu, kalau Han Ji-yan
bisa bermuka-muka menjadi seorang ibu tiri bijaksana, apa
susahnya kalau Tong-hian-cu pura-pura menjadi murid agama yang
saleh?" Membesi muka Tong-bing-cu, serunya, "Tong-hian-cu ayah dan
anak sudah meninggal, nona Boh jangan kau kira setelah orang
mati tiada saksi, maka boleh kau menjelekkan namasuheng-ku.
Ketahuilah, secara tidak langsung keburukan itu juga menghina
ayahmu yang sudah mati itu."
"Justru karena mengingat keburukan keluarga pantang tersiar di
luar, maka selama ini belum pernah kubicarakan dengan orang lain.
Hingga hari ini, aku didesak oleh keadaan, terpaksa aku beberkan
seluruh kejadian sebenarnya."
Lui-tin-cu berkata, "Bagaimana kau bisa tahu semua rahasia itu"
Kau punya bukti?" Boh Le-cu berkata perlahan, "Aku menyimpan sepucuk surat
cinta tulisan Tong-hian-cu yang ditujukan kepada Han Ji-yan,
mohon Lui-cianpwe dan Kim tayhiap memeriksanya."
Tong-cin-cu masih dapat menguasai diri, sedapat mungkin dia
bersikap tenang, tapi wajah Tong-bing-cu kelihatan pucat pias. Di
dalam hati dia berdoa semoga surat ini tidak menjelekkan namanya.
Setelah menerima surat itu Lui-tin-cu membacanya sekali, rona
mukanya tampak kelam, lalu dia sodorkan kepada Kim Tiok-liu dan
berkata, "Kelihatannya memang benar gaya tulisan Tong-hian-cu."
Perlu diketahui, untuk mengundang Lui-tin-cu dan Kim Tiok-liu
menjadi hakim dalam rapat besar kali ini, untuk menarik simpati dan
kepercayan mereka, semalam dia pernah memperlihatkan suratsurat
yang menyangkut kasus ini kepada mereka. Surat-surat itu tak
berbeda dengan yang dikirimkan kepada ciangbunjin Thian-san-pay
Teng King-thian. Dalam arsip itu terdapat laporan Tong-hian-cu dari hasil
penyelidikannya kepada ciangbunjin, termasuk keterangan lisan
yang dia jadikan surat dari kedua kacung keluarga Boh yang
dikatakan masih hidup. Langkah Tong-cin-cu ini sebetul-nya untuk membantu sang sute
menjerumuskan Tan Khu-seng. Sungguh tak pernah terpikir olehnya
bahwa sekarang terbalik menjadi alat pemukul yang fatal hingga
pihaknya dirugikan malah.
Setelah.Kim Tiok-liu membaca dia serahkan kepada ciangbunjin
Kong-tong-pay Tong-cin-cu, katanya, "Tong-cin totiang silakan kau
saja yang menentukan keasliannya." . " Tahu dirinya tak mungkin
mendebatnya, terpaksa Tong-cin-cu mengangguk, katanya, "Betul,
inilah gaya tulisan Tong-hian sute."
Waktu Tong-cin-cu membaca surat, tanpa terasa Tong-bing-cu
mendekat ikut membaca. Padahal Tong-cin-cu tidak memanggilnya
namun dia maju sendiri, soalnya seumpama maling yang ketakutan
bila perbuatannya ketahuan, dia berusaha menyembunyikan sikap
dan tingkah lakunya. Dalam keadaan terdesak dan gugup, orang
banyak sudah melihat tindak tanduknya yang tidak normal, namun
hadirin hanya mengangguk saja.
"Syukurlah ternyata tidak menyangkut diriku tapi kalau diusut,
sesungguhnya aku tak terlepas dari kecurigaan," demikian batin
Tong-bing-cu was-was, tangannya berkeringat, hati berdebar-debar.
Dalam keadaan seperti ini sepatah kata pun tak berani dia bicara
lagi. Sekian saat siapa pun tiada yang bicara, melihat wajah mereka


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelam dan prihatin, orang-orang di bawah panggung menduga
urusan tentu amat gawat dan ruwet namun tiada yang tahu apa isi
surat itu. Cukup lama kemudian baru Lui-tin-cu memecahkan kesunyian,
"Boh-siocia, bagaimana surat ini bisa jatuh ke tanganmu?"
Boh Le-cu berkata, "Waktu ayahku keracunan malam itu, aku
seperti mendapat firasat jelek, sudah kentongan ketiga namun aku
tak bisa tidur. Mendadak sayup-sayup aku seperti mendengar jeritan
ayah, bergegas aku lari ke kamar tidur ayah, terdengar di tengah
rintihannya, ayah berkata, 'Apa, surat apa, aku belum pernah
melihat. Aneh kenapa tidak lekas kau memanggil tabib memeriksa
sakitku, kau justru mencari sepucuk surat yang tak berarti, apa sih
maksudmu"' Waktu itulah kudengar Han Ji-yan mendadak tertawa
dingin." Boh Le-cu berdiri terpana seperti mengenangkan kejadian masa
lalu, rasa kaget, sedih dan pilunya kumat lagi. Katanya, lebih lanjut,
"Biasanya Han Ji-yan bersikap arif dan terbuka, kalau bicara tidak
pemah keras dan selalu ramah, senyum selalu dikulum, tapi tawa
dinginnya itu membuat bulu kudukku berdiri, jelas berbeda dari
kebiasaannya. Aku amat kaget, tanpa menghiraukan aturan,
langsung aku menerjang ke dalam kamar. Di saat aku melangkah
masuk itulah, sempat kudengar ayah memaki, 'Aku sudah mengerti
sekarang, kau perempuan jalang.'
"Entah karena tidak ingin diketahui olehku, begitu melihat aku
masuk, ayah lantas tutup mulut. Tapi dari tatapan matanya
kepadaku, aku merasakan karena kedatanganku yang tak terduga
ini, ayah menampilkan rasa khawatir, takut dan ngeri.
"Demikian pula Han Ji-yan berpura-pura gelisah dan gugup,
serunya, 'Nak, coba lihat, ayahmu sudah sakit begini, pikiran pun
hampir kabur, namun mulutnya masih juga mengoceh, aku bingung
dan tidak tahu apa yang dia katakan.'
"Ternyata ayah juga pura-pura seperti mendadak sadar,
memegang tanganku dia berkata, 'Barusan apa yang kukatakan"'
Aku tahu kedudukanku amat berbahaya, tak berani aku bilang telah
mendengar pembicaraan mereka tentang surat itu, maka aku hanya
bilang aku seperti mendengar kau sedang memaki ibu. Dengan
sikap penasaran dan minta belas kasihan, Han Ji-yan berkata, 'Aku
sendiri tidak mengerti dalam hal apa aku pernah berbuat salah
sehingga tidak memuaskan ayahmu, sehingga dia tega memaki aku
sebagai perempuan jalang.'
"Sengaja ayah menghela napas, katanya, 'Aai, aku memang
gegabah, kenapa mulutku jadi ngoceh tak karuan! Le-ji, agaknya
keadaanku sudah tak mungkin disembuhkan iagi, ibumu seorang
baik, bila aku meninggal dunia, kau harus patuh pada nasihatnya.'
Mulut berkata demikian, sementara tangan yang memegang
tanganku menulis 'tidak' di telapak tanganku dengan ujung jari
telunjuknya. "Biasanya ayah amat tabah, cerdik dan banyak akalnya, sungguh
tak nyana dia tertipu oleh perempuan jalang itu. Tapi aku pun
paham usaha ayah di dalam keadaan seperti itu, dia tahu
penyakitnya tak mungkin sembuh, setelah dia mati, aku pasti sukar
melawan perempuan keparat itu, maka untuk menyelamatkan
jiwaku terpaksa dia harus pura-pura dan mengaku bahwa dirinya
sudah pikun. "Mungkin perempuan keparat itu tidak mengira dalam keadaan
seperti itu, ayah masih punya cara memberi kisikan kepadaku,
mungkin dia kira ayah masih kepincut olehnya, sebelum ajal
berpesan kepada puterinya dari hati yang tulus, maka rona
mukanya tampak lebih baik, katanya, 'Lekas, lekas kau panggil tabib
untuk memeriksa ayahmu.' "Ayah menghela napas, katanya, 'Tak usahlah.' Di telapak
tanganku dia menulis lagi, 'Tanya Lau-ma'. Agaknya untuk menulis
tiga huruf di telapak tanganku itu, dia sudah mengerahkan tenaga
terakhir, habis menulis kepalanya menjadi lunglai, napas pun putus.
"Ibarat maling yang ketakutan sendiri setelah melakukan
pencurian, untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah,
setelah ayah meninggal dia tetap mengundang tabib terpandai dari
kota Bi-ti untuk memeriksa keadaan ayah. Dia bilang kematian ayah
amat mendadak, maka dia ingin tahu sebab musabab kematian
ayah. Entah racun apa yang dia gunakan, ternyata tabib pandai itu
tak berhasil menemukan penyebab kematiannya, dia hanya
menduga ayah terburu nafsu dalam latihan lwekang sehingga
jantungnya tidak kuat dan mati seketika. Selanjutnya, lahirnya Han
Ji-yan masih banyak melakukan kebaikan-kebaikan lain, dengan
upacara besar dia mengubur ayah, bagaimana dia menjual harta
peninggalannya dan diserahkan kepadaku sebagai pesalin
pernikahanku. Semua ini orang banyak sudah tahu. Terpaksa aku
pura-pura berterima kasih kepadanya supaya dia tidak curiga
kepadaku." Boh Le-cu melanjutkan ceritanya, "'Secara diam-diam, hari kedua
aku bertanya kepada Lau-ma. Lau-ma adalah ibu inang ibu
kandungku, .nnat setia terhadap kami ibu beranak, setelah ibu
meninggal dia pandang aku sebagai cucunya sendiri. I >alam
keluarga kami hanyalah dia -.i-orang yang sejak mula sudah melihat
kemunafikan Han Ji-yan, tidak jarang dia memberi peringatan
kepadaku supaya tidak percaya ocehan perempuan keparat itu.
"Lau-ma amat berduka, katanya, 'Sebetulnya aku ingin
menyerahkan surat itu kepada ayahmu, sayang ayahmu tidak
percaya kepadaku, malah dia mencaci maki aku. Tapi untung aku
tidak membuang surat itu.' Surat yang dia serahkan kepadaku ialah
tulisan tangan Tong-hian-cu yang ditujukan kepada Han Ji-yan itu."
Lui-tin-cu bertanya, "Bagaimana Lau-ma bisa menemukan surat
itu, apa kau pemah tanya dia?"
"Sudah tentu kutanyakan dengan jelas. Dia bilang, 'Siocia, apa
kau masih ingat orang asing yang beberapa hari lalu datang mencari
Han Ji-yan itu, kebetulan ayahmu berangkat ke luar kota, hari kedua
baru pulang.' "Aku bilang, 'Hal itu aku tahu, katanya suruhan dari keluarganya.'
Memang orang suruhan keluarga Han Ji-yan setiap tahun datang"
beberapa kali, maka aku tidak merasa heran.
"Lau-ma berkata pula, 'Kau tidak heran, aku justru tak habis
mengerti- Pernahkah kau perhatikan, orang-orang utusan
keluarganya jarang terdiri dari orang yang sama" Tapi aku selalu
memperhatikan dan ingat betul, selama tiga tahun ini hanya ada
satu orang pernah datang dua kali, enam kali yang lain selalu orangorang
yang tidak pernah kita kenal.'
"Aku berkata, 'Keluarganya adalah keluarga besar, mungkin
pembantunya amat banyak maka setiap kali mengutus orang yang
berbeda. Hal ini tidak perlu dibuat heran. Lekas kaujelaskan saja
bagaimana kau memperoleh surat itu"'
"Lau-ma berkata, 'Malam itu cuaca mendung, hawa dingin.
Tengah malam aku terjaga bangun, aku ingat ada beberapa
pakaianyang belum kubawa masuk, maka aku bangun membenahi
pakaian yang telah kucuci tadi siang. Tengah malam, mungkin
sudah kentongan ketiga, mendadak kudengar Han Ji-yan seperti
mengumam sendirian di dalam kamar. Memangnya aku sudah
curiga padanya, kini hatiku lebih tertarik lagi, maka diam-diam aku
merunduk ke bawah jendelanya mengintip ke dalam.' Sejak kecil
Lau-ma sudah bekerja di keluarga kakek, belakangan dia menjadi
inang ibu kandungku pula, bila kakek mengajar silat kepada ibu dia
pun ikut berlatih, maka ginkang-nya terhitung cukup mahir.
"Lau-ma bicara lebih lanjut, 'Kulihat Han Ji-yan sedang membaca
surat ini, mungkin bukan hanya sekali dia membaca surat ini, tak
tahan dia tertawa sendiri, lalu menggumam. Hmm, walau aku tidak
tahu apa isi surat itu, tapi melihat tingkah lakunya, seperti
perempuan cabul menerima surat cinta kekasih liarnya yang
menjanjikan suatu pertemuan gelap.'
"Waktu itu aku belum membuka dan membaca surat ini, kataku,
'Lau-ma, jangan kau berkata sekotor itu. Akhirnya bagaimana"'
Sebetulnya aku tidak mengira bahwa Han Ji-yan seperti apa yang
dikatakan Lau-ma, tak nyana setelah membaca surat itu, baru aku
tahu bahwa surat itu memang surat cinta. Surat cinta sih sudah
umum dan maklum, celakanya surat ini berisi rencana keji pula."
"Kalau betul surat itu begitu penting dan rahasia, pantasnya Han
Ji-yan menyimpannya secara rahasia. Kenapa bisa jatuh ke tangan
Lau-ma?" "Lau-ma melanjutkan ceritanya, 'Perempuan keparat itu bolakbalik
membaca surat ini. Setiap kali membaca selalu tertawa lebar
sambil menggumam, 'Muslihat bagus, betul-betul muslihat bagus!'
Pada saat itulah, entah karena jejakku di luar jendela ketahuan,
tawanya mendadak berhenti, bentaknya,' Siapa di luar"' Tahu-tahu
dia menerobos keluar dari jendela.'
'"Aku mendekam di pojok tembok, bernapas pun tak berani.
Tengah hatiku bingung dan khawatir bila diriku ketahuan,
bagaimana baiknya" Melabrak serta membongkar kedoknya, atau
mencari alasan lain mengelabuinya" Belum sempat aku mengambil
keputusan, mendadak terasa angin berkesiur, dia melesat lewat dari
sampingku. Biasanya dia pura-pura tak pandai main silat, baru saat
itu aku tahu gerak-geriknya ternyata begitu hebat.'
"Di pojok tembok ada tumpukan batu sehingga pandangannya
terhalang, tapi bila dia mau berhenti sejenak dan memeriksa dengan
seksama pasti jejakku ketahuan. Tapi anehnya, dia seperti tidak
curiga bila di pojok tembok ada orang menyembunyikan diri,
langsung dia meluncur ke gunung-gunungan di lengah kebun sana.
Setibanya di atas gunung-gunungan dia celingukan sekian lama lalu
menyelinap masuk ke gua gunung-gunungan memeriksa dengan
teliti. Setelah tidak menemukan apa-apa, setelah keluar dia
menggumam sendiri, 'Apakah suara ingin menghembus daun, aku
salah mendengar" Ya, pasti aku terlalu banyak curiga dan was-was,
tak mungil m ada orang lari secepat itu.' Dari nada bicaranya,
kedengarannya dia mendengar suatu suara yang mencurigakan atau
menemukan jejak pejalan malam. Aku sendiri sedang
memperhatikan gerak-geriknya, maka aku pun tidak tahu kalau ada
orang lain. "Hari kedua, seperti pagi biasa-nya aku membersihkan kamar
tidur-nya, kudapati rak buku berentakan."
Sampai di sini Boh Le-cu memberikan keterangan tambahan,
"Ayahku suka membaca. Koleksi bukunya amat banyak, jadi bukan
hanya rak buku saja yang penuh bertumpuk buku, di atas lantai
juga sering bertumpuk berbagai jenis buku.
"Aku ingin menata kembali buku-buku yang berserakan itu, tapi
dia bilang, 'Buku milik loya jangan disentuh, kau cukup menyapu
lantai dan membersihkan meja saja.'
"Waktu aku membersihkan belakang rak buku, mendadak
kudapati di pinggir setumpukan buku-buku terdapat sebuah liang
tikus, di mulut liang seperti ada secarik kertas. Dilihat dari
lipatannya, mirip selembar kertas surat. Aku tidak tahu apakah surat
itu yang selama ini dibaca oleh dia. Di saat dia tidak menaruh
perhatian aku memungut dan menyembunyikannya.
"Menurut dugaanku, mungkin sudah menjadi kehendak Yang
Kuasa, sehingga perbuatan jahat dan muslihat perempuan keparat
itu terbongkar. Agaknya waktu malam itu dia mendengar suara
orang di luar jendela, karena tergesa-gesa, dia menyelipkan surat
itu di salah satu buku di atas rak buku. Di luar tahunya kertas surat
itu dibawa tikus ke sarangnya. Untung tikus hanya menggigit robek
ujung lipatannya saja, tulisan di atas kertas masih utuh dan lengkap,
sehuruf pun tidak kurang.
"Setelah mendengar cerita Lau-ma, baru aku membuka lipatan
surat itu serta membacanya. Baru aku tahu dan sadar, perempuan
keparat ini jauh lebih jahat dari yang kuduga semula. Posisiku
mungkin jauh lebih berbahaya dari apa yang dikhawatirkan oleh
ayah." Sejauh ini dia bercerita, apa isi surat itu tetap tidak diceritakan
oleh Boh Le-cu. Kang Siang-hun sudah tidak sabar lagi, segera dia
bertanya, "Boh-Iihiap, apa sih isi surat itu, bolehkah kau
menjelaskannya?" Dari tangan Kim Tiok-liu, Boh Le-cu menerima balik surat itu,
sorot matanya ditujukan kepadanya dan Lui-tin-cu.
Tapi pandangan Kim Tiok-liu ditujukan kepada Tong-cin-cu,
katanya, "Mohon tanya kepada ciangbun. Apakah di sini hadir
pejabat pemerintah?"
Merah muka Tong-cin-cu, katanya, "Dari kalangan pemerintah
kami hanya mengundang wakil komandan Gi-lim-kun Auwyang Ya.
Malam itu Auwyang Ya hilang secara misterius, aku percaya yang
hadir sekarang tidak ada orang-orang dari pemerintahan."
Sebetulnya dia tahu kalau Hay Lan-ja sudah datang, sudah tentu dia
tidak berani mengatakan. Lui-tin-cu berkata, "Urusan sudah terlanjur sejauh ini, umpama
ada cakar alap-alap di sini, kukira tak usah khawatir dan takut. Nona
Boh katakan saja." Boh Le-cu meremas surat itu, katanya, "Ayah sudah meninggal
delapanbelas tahun, aku tak perlu takut bila orang banyak tahu
tentang hal ini. Di masa hidupnya, ayah pernah menjadi anggota
laskar rakyat yang secara rahasia menentang pemerintah. Dengan
pemimpin laskar rakyat di Ki-lian-san yaitu Tiok Siang-hu beliau
adalah saudara angkat, punya hubungan erat dengan Yap Bo-hoa,
pemimpin laskar rakyat di Jwan-ciok. Orang luar tiada yang tahu
rahasia ini, tapi aku yakin Kim tayhiap tentu sudah tahu."
"Betul. Aku bisa menjadi saksi, kawan-kawan dari laskar rakyat
sampai sekarang masih berterima kasih akan bantuan yang tak terhingga
besarnya dari ayahmu."
Boh Le-cu berkata lebih lanjut, "Kaum Bulim hanya tahu bahwa
ayahku seorang hartawan kaya raya, padahal seluruh harta benda
itu bukan seluruhnya milik pribadinya, sebagian besar adalah dana
yang diperoleh dari berbagai pihak untuk modal usaha Dengan kata
lain, ayah berusaha mencari keuntungan untuk menyokong gerakan
laskar rakyat." "Ada satu bukti yang sudah nyata, tapi belum kau jelaskan," timbrung
Kim Tiok-liu. "Menurut apa yang kutahu, setiap kali laskar
rakyat kurang sandang pangan, tidak cuma sekali ayahmu
mengeluarkan harta miliknya untuk menambal kekurangan itu."
Boh Le-cu menjelaskan lebih lanjut, "Ada dua tugas ayah dalam
membantu gerakan laskar gerilya. Pertama adalah mendukung
langsung, kedua menjadi kurir bagi setiap orang-orang gagah yang
berjiwa patriot dalam perjalanan ke pangkalan lewat Bi-ti. Karena itu
dia dijuluki Siau-beng-siang. Orang luar hanya tahu dia berjiwa bajik
dan royal, namun siapa tahu kalau dia bekerja untuk kepentingan
rakyat jelata. "Hartawan Bulim hanya untuk menutupi kedok utama gerakan
ayah sehingga tugasnya bisa berjalan lancar. Semula dia mengira
pihak pemerintah tidak akan curiga kepadanya, tak nyana kepala
alap-alap musuh sudah tahu akan rahasianya, malah di sampingnya
telah menanam mata-mata." Sampai di sini dia mengacungkan surat
di tangannya, serta menambahkan perlahan, "Mata-mata di samping
ayahku bukan lain adalah penerima surat ini, yaitu istri muda
ayahku Han Ji-yan adanya.
"Setelah dia menikah dengan ayahku, pemah terjadi kawalan
ran-fum yang dikirim ke pangkalan gerilya kena begal di tengah
jalan. Selanjutnya terjadi pula beberapa pembegalan iringan ransum
yang dikirim ayah ke pangkalan. Tidak sedikit orang-orang gagah


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang gugur dalam menjalankan tugas. Tapi entah dengan cara apa
perempuan keparat itu mengelabui dan mengaburkan pandangan
ayah, ternyata sedikit pun ayah tidak menaruh curiga kepadanya.
Setelah dia merasakan sendiri akibat dan menjelang ajalnya, baru
dia sadar akan kekejamannya. Tapi apakah ayah tahu kalau dia
mata-mata musuh, aku pun tidak tahu. Karena saat itu ayah sudah
tidak mampu dan tiada kesempatan menjelaskan langsung kepada
aku." Boh Le-cu menyeka airmata seraya menghela napas, lalu
melanjutkan, "Menjelang ajalnya, mungkin ayah sudah tahu kalau
perempuan keparat itu adalah mata-mata. Tapi dia pasti tidak tahu
masih ada seorang mata-mata lagi, mata-mata yang lebih besar
dengan peranan yang lebih membahayakan, karena mata-mata ini
adalah besannya." Wajah Tong-bing-cu pucat pasi seperti mayat, gumamnya,
"Kurasa peristiwa ini banyak yang patut dicurigai."
Boh Le-cu tertawa dingin, katanya, "Apa pula yang masih harus
dicurigai" Bukankah ciangbun su-heng-mu sudah mengakui bahwa
surat ini benar tulisan tangan Tong-hian-cu?"
"Hanya berdasar sepucuk surat, kurasa belum kuat untuk
menuduhnya sebagai mata-mata. Bukan mustahil ada orang yang
meniru gaya tulisannya, begitu pandai ia meniru sehingga gaya
tulisannya amat mirip hingga susah dibedakan kepalsuan-nya,"
demikian Tong-bing-cu. Boh Le-cu menyeringai dingin, "Jadi menurut katamu, aku telah
memfitnah dia" Kapan aku pernah melihat gaya tulisan Tong-hiancu"
Lau-ma seorang buta huruf, apa alasan dia mencari orang untuk
meniru gaya tulisan Tbng-hian-cu. Jelas bahwa surat ini dia
temukan di kamar Han Ji-yan, lalu apa pula yang harus dicurigai?"
Mulut Tong-bing-cu tertutup, tak berani buka suara lagi.
Tong-cin-cu menghela napas panjang, katanya, "Mimpi pun tak
pernah terbayang olehku bahwa Tong-hian sute bisa melakukan
perbuatan seperti itu. Lepas dari persoalan apakah ada orang
memalsu gaya tulisannya, tapi dia memang patut dicurigai.
Walaupun dia sudah mati sekian tahun, aku tetap akan
membongkar kasus ini secara tuntas." Sekarang dia hanya berusaha
supaya dirinya tidak terlibat, mana berani membantu Tong-bing-cu
bicara" Tapi mendengar dia berjanji membongkar perkara ini, orang
banyak sudah merasa sebal dan hilang kepercayaan kepadanya.
Lui-tin-cu berkata perlahan, 'Tak perlu diusut atau dibongkar
segala, silakan saja nona Boh bicara, urusan pasti dapat dimengerti.
Sekarang silakan kaujelaskan isi dari surat itu kepada hadirin."
Maka Boh Le-cu tarik suara, "Surat ini merupakan bukti bahwa
Tong-hian-cu menyuruh Han Ji-yan menjadi mata-mata. Ternyata
sejak lama dia sudah bersekongkol dengan pihak kerajaan. Tokohtokoh
laskar gerilya yang pernah mampir ke rumahku semua dicatat
dalam daftar hitam oleh Han Ji-yan lalu secara rahasia diserahkan
kepada Tong-hian-cu. Di dalam suratnya ini, Tong-hian-cu memuji
kerjanya yang teliti dan berhasil baik, supaya dia mengulur benang
lebih panjang untuk mengail ikan lebih besar. Dia tidak setuju
rencana Han Ji-yan yang akan meracun ayah terlebih dini.
Belakangan Han Ji-yan salah paham, dia mengira surat ini jatuh di
tangan ayah, maka dia buru-buru turun tangan, namun kejadian ini
merupakan rangkaian kejadian yang lain.
"Dalam surat juga dibicarakan tentang diriku. Dia menganjurkan
Han Ji-yan mendesak ayah supaya aku lekas menikah, bila aku
sudah menjadi menantunya, urusan akan lebih mudah diselesaikan.
Perempuan keparat itu pun lebih mudah memperdaya ayah.
"Hm, setelah membaca surat itu, baru aku sadar, pernikahan itu
ternyata juga mengandung muslihat, tak heran Han Ji-yan amat
ngotot mendesak pernikahanku ini, padahal semula ayah tidak
pernah menaruh perhatian kepada Ho Lok."
Sampai di sini, tanpa sadar dia melirik ke arah Tan Khu-seng, lalu
diam-diam menghela napas. Ternyata cita-cita ayahnya semula
hendak menjodohkan puterinya dengan Tan Khu-seng.
Orang banyak merinding setelah mendengar kisah panjang ini,
baru sekarang mereka paham kenapa nona Bohjbtlang
kedudukannya serba sulit dan berbahaya setelah melihat surat itu.
Ternyata posisinya memangjauh lebih buruk dari yang diduganya
semula. Ayahnya sudah terbunuh, di rumah jelas dia akan hidup
dalam suasana cemas, kalau menikah berarti harus hidup di rumah
musuh besar. Kim Tiok-liu yang sejak tadi jarang bicara mendadak berkata,
"Nona Boh, banyak terima kasih akan bantuanmu, kau telah
membongkar teka-teki yang tersetubung mi, kini biarlah aku pun
memberi tahu satu hal kepadamu.
"Bicara terus terang, para sahabat dari laskar rakyat juga sudah
menaruh curiga, bahwa di dalam rumahmu kemungkinan ada matamata
musuh, sayang sukar diketahui iapa mata-mata yang
memegang peranan penting ini.
"Beruntun terjadi peristiwa di luar dugaan, akhirnya disadari oleh
I ui a kawan, semua yang ditimpa musibah adalah kawan-kawan
yang pernah mampir ke rumahmu, ditam-li.ih ransum dirampas,
maka orang-"m.ing semakin curiga. Suatu ketika
Tiok Siang-hu memanggil Yap Bok-hoa untuk membicarakan hal
ini secara rahasia, aku pun hadir dalam pembicaraan itu.
"Terhadap ayahmu semua orang menaruh kepercayaan seratus
persen, tapi untuk bertindak secara hati-hati, mereka memutuskan
untuk tetap mengelabui ayahmu, di luar tahu ayahmu mereka
melakukan penyelidikan. Bila penyelidikan berhasil dengan baik,
baru ayahmu akan diberi tahu.
"Untuk ini Tiok Siang-hu mengundang seorang temannya, minta
dia membantu menyelidiki perkara ini, orang ini juga teman baikku,
aku sudah mendapat persetujuannya hari ini boleh memberi tahu
kepada para hadirin. Dia bukan lain adalah maling sakti nomor satu
sejagat yaitu Kwi-hwe-thio."
Boh Le-cu mengangguk paham, katanya, "O, pantas, malam itu,
Han Ji-yan keparat itu mendengar ada orang di luar, kiranya dia
yang bertandang ke rumahku. Orang itu pasti Kwi-hwe-tio bukan?"
KimTiok-liu mengangguk, katanya, "Betul, hari itu ayahmu masuk
kota dan bermalam di sana, itu pun rencana yang diatur Kwi-hwethio,
dialah yang menyuruh teman ayahmu memanggilnya untuk
melakukan suatu perjalanan luar kota.
"Malam itu Kwi-hwe-thio datang ke rumahmu, walau ginkang-nya
waktu itu tidak sesempurna sekarang tapi dalam Bulim
kepandaiannya sudah termasuk kelas tinggi, tak nyana jejaknya
tetap ketahuan oleh Han Ji-yan. Begitu Han Ji-yan mengejar keluar,
terpaksa dia menyingkir. Malam itu tidak banyak yang dia peroleh
hanya tahu siangnya ada-orang mengirim surat kepada Han Ji-yan.
Dia pun mendengar tawa Han Ji-yan yang ganjil, tapi tidak
mendengar gumaman yang dikatakan. Dari pembantu rumah tangga
keluargamu dia mendapat tahu bahwa keluarga orang tua Han Jiyan
mengirim orang mengantar surat, orang itu sudah tentu tak bisa
dibandingkan dengan Lau-ma, jelas mereka percaya apa yang
dikatakan majikan perempuannya, mimpi pun mereka tidak mengira
kalau majikannya berbohong.
"Beberapa hal itu memang patut dicurigai, tapi Kwi-hwe-thio
belum berani memastikan bahwa Boh-hu-jin adalah mata-mata. Dia
pun tidak tahu, mungkin tak pernah menduga, bahwa tokoh Kongtongpay seperti Tong-hian-cu, besan dari Boh tayhiap ternyata juga
seorang mata-mata. Terpaksa hari kedua, dia meninggalkan Bi-ti,
pulang dulu ke Ki-lian-san, apa yang dilihat dan didengarnya dia
laporkan kepada Tiok Siang-hu. Lalu berunding lebih lanjut, langkah
apa yang harus mereka lakukan. Tak nyana beberapa hari kemudian
setelah dia pulang ke Ki-lian-san, berita kematian Boh tay-hiap
secara mendadak tersiar sampai di sana
"Tak lama kemudian Ho Lok datang menjemput calon istrinya, di
tengah jalan mengalami musibah pula, mempelai perempuan
lenyap, mempelai laki-laki terbunuh secara aneh."
Lebih lanjut Kim Tiok-liu berkata, "Kalau kita rangkai beberapa
kasus serba aneh ini menjadi satu, mau tidak mau timbul
kecurigaanku, apakah kasus satu dengan yang lain itu tiada
hubungannya" Oleh karena itu, meski seluruh murid-murid Kongtongpay menuduh Tan Khu-seng sebagai murid pengkhianat,
sebagai pembunuh, sementara Tan Khu-seng tutup mulut, tapi aku
percaya bahwa dalam peristiwa ini dia tidak berdosa. Di samping itu,
selama delapanbelas tahun ini Kwi-hwe-thio juga tetap menyelidiki
peristiwa ini, sayang sekali banyak tenaga pikiran telah terbuang
namun belum berhasil dia menyingkap tabir rahasia ini. Akan tetapi
walau kasus ini belum terbongkar, namun penyelidikan
menunjukkan kemajuan ke titik terang. Titik terang ini dapat
membuktikan analisaku bahwa Tan Khu-seng tidak berdosa. Hm,
karena itulah aku tidak peduli bila orang nanti menuduh aku pilih
kasih, di dalam persoalan ini aku membela Tan Khu-seng."
Akhir katanya dia tujukan kepada Tong-cin-cu dan Tong-bing-cu.
Sebagai ciangbun Kong-tong-pay, merah padam muka Tong-cincu.
Kecuali kaget, malu dan serba runyam, keadaan Tong-bing-cu
lebih menyedihkan, dia lebih panik dan ngeri dibanding sang
suheng. Tadi Kim Tiok-liu sudah menyatakan selama delapanbelas
tahun ini Kwi-hwe-thio terus menyelidiki peristiwa ini, malah sudah
menemukan banyak titik terang untuk membongkar kasus gelap ini.
Titik terang itu mencakup bahan keterangan apa saja" Sesuai
keterangan Kiat Hong atau ada penemuan lain" Sejauh ini,
kesaksian Boh Le-cu belum menyinggung dirinya, kalau dilanjutkan
mungkin melibatkan dirinya
Agaknya Lui-tin-cu sudah tertarik oleh sikap dan mimik Tongbingcu yang kelihatan gelisah dan tidak tenang, lalu katanya
dengan nada mengandung arti, "Hm, sungguh mimpi pun tak
pernah aku berpikir Tong-hian-cu dari perguruan kalian ternyata
bersekongkol dengan pihak kerajaan, mata-mata yang membunuh
orang-orang sebangsanya sendiri. Semoga tiada persoalan atau
kejadian lain yang lebih menggi-riskan lagi. Nona Boh, menilai
posisimu yang amat berbahaya waktu itu, sungguh patut dipuji
bahwa kau bisa menghadapinya dengan tabah. Silakan lanjutkan
ceritamu." Boh Le-cu berkata lebih lanjut, "Sayang sekali ayah terlalu
percaya oleh hasutan perempuan keparat itu.
Sebetulnya dia punya kesempatan melihat surat ini, namun
lantaran percaya kepada istri.mudanya, sehingga Lau-ma yang setia
kepadanya malah dicaci makinya, maka surat ini pun tak berani
ditunjukkan kepadanya"
Setelah mendapatkan surat itu, setelah berusaha, Lau-ma
mendapat kesempatan yang baik berhadapan langsung dengan Boh
It-hang di kamar bukunya "Surat ini dia simpan dalam lengan baju
dan pergi menemui ayah. Dia buta huruf, tidak tahu apa isi surat
itu, di samping khawatir dugaannya meleset. Secara diam-diam dia
mengambil surat itu, perbuatannya ini menurut hukum keluarga
dianggap melanggar tata tertib, kalau langsung diserahkan dia
khawatir mendapat kemarahan dari sang majikan. Maka dia lebih
dulu memancing sikap dan mendengar nada pembicaraan ayah.
Dikatakan kemarin ada orang datang memberi surat kepada Han Jiyan,
dituturkan pula dia mendengar suara tawa aneh Han Ji-yan
setelah membaca surat itu. Dia bertanya kepada majikan apa
melihat juga surat itu, malah dia pun memberi saran bila kelak ada
orang mengantar surat lagi, apa perlu diterima dan disimpan dulu
supaya langsung diserahkan kepada majikan untuk diperiksa" Tak
nyana mendengar laporannya, Boh It-hang bergelak tawa malah,
dikatakan bahwa dia sudah pikun dan linglung.
Setelah tertawa sikapnya berubah keren serta mencaci Lau-ma,
'Kalau tidak mengingat kau adalah inangnya ibu Boh Le-cu dulu, kau
berani menaruh kecurigaan terhadap majikan baru, kau bisa
kupecat dari rumah ini.' Boh Le-cu melanjutkan, "Sungguh kasihan, kesetiaan Lau-ma
justru mendapat imbalan tak sepantasnya dari ayah. Karena dicaci
maki, Lau-ma ketakutan dan tak berani menyerahkan surat itu.
Pernah juga timbul keinginannya hendak mengembalikan surat itu di
tempat semula, untung tidak dia lakukan namun memutuskan untuk
menyimpannya dan diserahkan kepadaku. Aih, tak nyana dua hari
kemudian, begitu pulang ayahku lantas mendapat celaka. Lau-ma
belum sempat menemuiku seorang diri, malah aku yang
mencarinya. "Setelah melihat surat ini, aku makin kebingungan tak tahu
bagaimana harus berbuat. Aku berunding dengan Lau-ma, walau dia
buta huruf, tapi dalam menghadapi persoalan justru jauh lebih
tabah dan berpengalaman. Dia bilang, 'Siocia, betapapun kau tidak
boleh punya sikap, tindak tanduk dan mimik yang menunjukkan
bahwa kau menaruh dendam kepada perempuan jalang itu. Jikalau
dia memaksa kau segera menikah, kau menurut saja, tipu dibalas
tipu, kau boleh berangkat ke rumah keluarga Ho lebih dulu.'
"Aku amat kaget dan marah, kataku, 'Mana mungkin aku
menikah dengan musuh besar.' Lau-ma bilang, 'Siapa yang
menyuruh kau menikah dengan musuh, maksudku supaya lolos dari
mulut harimau lebih dulu. Perempuan sundal itu amat keji, kau dan
aku jelas bukan tandingannya, malah pandai bermain sandiwara,
kemungkinan sedikit banyak dia sudah menaruh curiga terhadapmu.
Jikalau dia menyuruh kau menikah dan tidak tunduk akan
perintahnya, maka dia akan menduga bahwa kau sudah tahu
rahasianya Apa dia tidak akan segera bertindak keji terhadapmu"'
"Aku jadi sadar, 'Betul, aku akan pura-pura tunduk perintahnya,
membebaskan diri dari belenggu perempuan jalang itu, di tengah
jalan melarikan diri.' Lau-ma bilang, 'Belum tentu harus melarikan
diri. Dari ayahmu pernah aku mendengar, katanya ciangbunjin
Kong-tong-pay Tong-biau Cinjin orangnya baik, jujur dan bijaksana.
Karena menghargai Tong-biau Cinjin maka dia mau menikahkan kau
dengan anak murid Kong?-tong-pay. Setiba di Kong-tong-san kau
boleh berusaha menemui dia dan membongkar muslihat ini di
hadapannya.' Aku bilang, 'Mungkin Tong-biau Cinjin tidak mau
percaya omonganku.' Lau-ma berkata, 'Tiba saatnya kau boleh
bekerja menurut keadaan. Umpama jalan ini tidak bisa
dilaksanakan, kau masih punya cara lain. Walau aku tidak pernah
bersekolah tapi aku tahu, menurut adat, orang yang tertimpa
kesusahan harus berkabung selama tiga tahun. Dengan alasan
berkabung ini kau bisa menolak pernikahanmu dilaksanakan dalam
waktu dekat.' Apa yang dipikirkan Lau-ma dan bahan yang diberikan
kepadaku memang serba lengkap, maka aku memutuskan bertindak
menurut pesannya. "Sesuai dugaan, tak lama setelah penguburan selesai, Han Ji-yan
lantas mendesak keluarga Ho untuk segera menyambut mempelai
perempuan. Hal ini memang rencana Tong-hian-cu, sudah tentu
cepat sekali mereka sudah memperoleh jawaban. Lalu ditentukan
Ho Lok sendiri yang akan datang menjemput. Tapi sebelumnya juga
sudah dibicarakan, hanya menjemput aku ke rumah keluarga Ho,
dengan alasan keluarga Ho akan menjaga aku sebagai puteri
sebatang kara yang sudah yatim piatu ini. Setelah aku berada di
rumah keluarga Ho, kelak gampang mencari hari dan tanggal yang
baik untuk melangsungkan upacara nikah. Janji mereka memang
serba muluk, sehingga sanak keluarga merasakan betapa bijaksana
ibu tiriku. "Aku sudah punya keputusan sendiri. Meski ada beberapa jalan
cara dapat kutempuh, namun aku sudah memutuskan untuk


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melarikan diri di tengah jalan, membatalkan rencana semula untuk
menemui Tong-biau Cinjin dan membongkar rahasia muslihat ini.
Rasa benciku terhadap musuh keluarga sudah merasuk, meski
hubunganku dengan Ho Lok memang terbatas sebagai calon suami
saja, namun rasa dendamku terhadapnya tak terlukiskan dengan
kata-kata "Setelah rencana kami atur, di saat menunggu kedatangan Ho
Lok itu, sebuah peristiwa lain telah terjadi. Peristiwa ini baru
menyangkut Tah Khu-seng."
Perkara makin jelas, kini hadirin sudah percaya dan yakin bahwa
Tan Khu-seng terfitnah dalam kasus ini. Tapi peranan apa yang
dilakukan Tan Khu-seng dalam kasus ini, orang banyak masih belum
jelas. Maka mendengar Boh Le-cu sang primadona mulai
membicarakan Tan Khu-seng, maka orang-orang menaruh
perhatian, dari cerita inilah mereka akan memperoleh jawaban,
kenapa Tan Khu-seng tidak mau membela diri meski difitnah dan
tidak mau memberi penjelasan apa pun.
Boh Le-cu beristirahat sejenak, lalu katanya lebih lanjut, "Tiga
hari sebelum Ho Lok datang menyambutku, orang yang tempo hari
datang mengirim surat terakhir itu datang lagi. Tapi kali ini dia tidak
bisa bertemu dengan Han Ji-yan. Sebelum dia menginjakkan
kakinya di depan rumahku, dia sudah dicegat dan menjadi tawanan
Lau-ma. "Sepenuh hati Lau-ma berpikir dan bekerja demi keselamatanku,
dia khawatir keluarga Ho punya muslihat keji hendak membuatku
masuk jaring, maka beberapa saat menjelang keluarga Ho datang
menjemputku, sengaja dia mondar-man-dirdi mulut gunung, jalan
yang pasti dilewati kalau menuju ke rumahku. Dia ingin mencari
kesempatan untuk membekuk utusan Tong-hian-cu. Apa yang
dikhawatirkan ternyata bukan angan-angan kosong belaka. Hari itu
apa yang dia tunggu akhirnya datang.
"Langsung Lau-ma menyambut orang itu dan katanya, 'Majikan
mengutusku kemari menyambut kedatanganmu. Tempo hari
kedatanganmu membuat siocia curiga, maka beliau bilang tidak
enak menerimamu di rumah. Aku tahu kau bukan orang dari
keluarganya, kau urusan Tong-hian-cu benar tidak?"
"Orang itu ragu-ragu katanya, 'Apa majikan sudah menjelaskan
kepadamu"' Lau-ma tertawa katanya, 'Kalau majikan tidak memberi
tahu dari mana aku tahu asal-usulmu" Majikan berpesan supaya kau
serahkan saja surat itu kepadaku.'
Orang itu kelihatan bimbang, lalu mencari tahu apa hubungan
Lau-ma dengan Han Ji-yan. Lau-ma tahu kalau banyak bicara
rahasianya bisa terbongkar, maka dia bersikap tegas katanya, 'Kau
tak usah banyak tanya, aku pun takkan menjelaskan kepadamu.
Jikalau kau masih tidak percaya, aku bisa memberi tahu satu rahasia
kepadamu.' Lalu dia menjelaskan sedikit rahasia surat yang dia kirim
tempo hari, terpaksa orang itu percaya kepadanya.
"Maka setengah berbisik orang itu berkata, 'Yang kubawa hari ini
adalah pesan lisan, harus dijaga rahasianya, pantang diketahui
orang lain.' Maka dia bawa Lau-ma menyelinap ke dalam hutan. Di
tengah hutan lebat baru orang itu memberi tahu kepada Lau-ma
pesan apa yang dia bawa. "Secara diam-diam Tong-hian-cu dan anaknya sudah
mengundang bantuan, di tengah jalan siap membunuh Tan Khuseng,
namun mereka juga berjaga bila rencana ini gagal, maka Han
Ji-yan diminta bantuannya.
"Untuk menghindari kecurigaan, menurut rencana Han Ji-yan
semula, setelah aku dijemput keluarga Ho dia akan mencari alasan
pulang ke rumah orang tuanya, setelah berselang beberapa lama
baru akan berbulan madu; dengan Tong-hian-cu. Tapi Tong-hian-cu
tidak setuju akan rencananya ini. Dia minta kepada Han Ji-yan
sebagai ibu tirinya mengantarkan anak tirinya sehingga sampai di
rumah besannya, ini untuk menjaga bila Tan Khu-seng tak berhasil
dibunuh oleh bantuan yang diundang, dia masih bisa membantu
dengan racunnya. Mereka yakin Tan Khu-seng takkan menduga dan
siaga terhadap tindakannya.
"Lau-ma melenggong sejenak, lalu bertanya, 'Kenapa kau
mencelakai Tan Khu-seng"' Orang itu seperti tertegun, katanya,
'Apa kau belum tahu"' Untung dia belum sadar kalau Lau-ma
menipu dirinya, akhirnya dia menjelaskan persoalannya.
Hadirin sudah mereka dalam hati rahasia apa yang akan
dikatakan, tapi setelah mendengar sendiri dari mempelai perempuan
yang dahulu tersangkut sendiri dalam kasus ini mau tidak mau
hadirin amat kaget dan berdebar-debar.
Terdengar Boh Le-cu meneruskan kisahnya, "Orang itu tetap
tidak mengira kalau Lau-ma sedang mengorek keterangannya,
setelah bimbang sebentar, akhirnya dia memberi tahu.
"Orang itu berkata, 'Kalau kau sudah tahu kenapa majikanmu
membunuh Boh It-hang, pantasnya juga maklum kenapa Tong-hiancu
ayah dan anak hendak membunuh Tan Khu-seng.'
"Lau-ma terkejut, tanyanya, 'Jadi secara rahasia Tan Khu-seng
juga menjadi anggota laskar gerilya"'
"Orang itu berkata, 'Apakah dia sudah menjadi anggota, kami
tidak tahu. Tapi kami sudah tahu dia punya banyak kawan dari
laskar gerilya. Jikalau dia menjadi ciangbun Kong-tong-pay,
umpama tidak berani menentang pemerintah ke-rajaan secara
terang-terangan, betapapun akan merugikan kepentingan kerajaan.
Kau harus tahu Ho Lok dan Tan. Khu-seng dijuluki Kong-tong-siangsiu,
ciangbunjin yang akan datang kalau tidak jatuh ke tangan Tan
Khu-seng pasti Ho Lok. Kalau Tan Khu-seng tidak disingkirkan,
mana mungkin Ho Lok bisa hidup tenteram"'
"Lau-ma bertanya lebih lanjut, 'Memangnya kenapa kalau Ho Lok
yang menjadi ciangbun"'
"Orang itu tertawa akan kebodohan Lau-ma, katanya, 'Masih
harus tanya, sudah tentu bekerja demi kepentingan pemerintah
kerajaan.' "Lau-ma bertanya lagi, 'Tadi kau bilang Ho Lok sudah
mengundang bantuan, siapa yang diundang"'
"Orang itu menjawab, 'Ah, kenapa kau ingin tahu rahasia ini"'
"Lau-ma menjawab, 'Aku mewakili majikan. Jikalau bantuan itu
berkepandaian tinggi, beliau tentu lebih lega. Bila usahanya gagal,
dengan datangnya bantuan lihay, berarti Tan Khu-seng tetap dapat
diatasi. Kalau sebaliknya, aku jadi khawatir majikan bisa terluka oleh
pedang Tan Khu-seng. Pernah aku dengar kiamhoat Tan Khu-seng
kabarnya nomor satu atau dua di dalam Kong-tong-pay.'
"Kelihatannya orang itu percaya bahwa Lau-ma setia kepada
majikannya, maka dia berkata, 'Yang kutahu ada tiga orang. Orang
pertama adalah begal besar yang terkenal di Kangouw bernama Kiat
Hong, dua orang lagi... (dia merendahkan suaranya) adalah jago
kosen dari Gi-lim-kun.' "Lau-ma bertanya lagi, 'Siapakah kedua jago kosen Gi-lim-kun
itu"' "Kali ini orang itu tidak mau menjawab. Mungkin pertanyaan Lauma
bertubi-tubi sehingga dia tersentak sadar, katanya, 'Mendapat
bantuan ketiga jagoan lihay ini, kurasa majikanmu boteh berlega
hati. Kenapa kau ingin tahu sejelas ini"'
"Lau-ma tahu dia tidak mau menerangkan lagi; maka dia tertawa
lebar, katanya, 'Bukan aku mengkhawatirkan perempuan keparat
itu, tapi aku khawatir akan keselamatan sio-cia. Syukur kau sudah
memberi banyak keterangan, aku, aku boleh....'
"Belum habis dia bicara, saking kaget orang itu berjingkrak
seraya membentak, 'Keparat ternyata kau ini mata-mata.' Setelah
mencabut pedang segera dia melabrak dan hendak membunuh Lauma.
"Menurut cerita Lau-ma, orang itu pandai memainkan Lian-hoantohbing-kiam-hoat dari Kong-tong-pay, permainan ilmu pedangnya
sudah cukup tinggi. Maka dapat diduga dia pasti salah seorang
murid kepercayaan Tong-hian-cu.
"Akan tetapi meski dia murid kesayangan Tong-hian-cu,
betapapun dia bukan tandingan Lau-ma yang sudah berlatih
puluhan tahun. Semula dia ingin membunuh Lau-ma, akhirnya
malah Lau-ma yang membunuhnya."
Sampai di sini cerita Boh Le-cu, Tong-cin-cu dan Tong-bing-cu
yang berada di atas panggung sama-sama terkejut, wajah mereka
berubah. Tapi hadirin tertarik oleh cerita Boh Le-cu sehingga tiada
yang memperhatikan perubahan air muka mereka
Diam-diam Tong-cin-cu sang ciangbunjin Kong-tong-pay ini
membatin, 'Ternyata begitulah kejadiannya tak heran Tay-ci hilang
tanpa jejak. Jadi Tong-bing sute mengelabui aku selama ini."
Sementara Tong-bing-cu di samping kaget, hatinya pun senang
dan lega, pikirnya, "Ternyata Tay-ci terbunuh hanya oleh seorang
inang tua keluarga Boh. Syukurlah sejauh ini mereka tetap tidak
tahu asal-usul Tay-ci sebenarnya."
Perlu dijelaskan, orang yang diutus Tong-hian-cu mengirim kabar
secara lisan itu bernama Jik Tay-ci, tapi Jik Tay-ci bukan murid
Tong-hian-cu, tapi murid preman Tong-bing-cu. Terhadap Jik Tay-ci,
Tong-bing-cu lebih menghargai daripada Tay-ciok Tojin yang
sekarang menjadi muridnya yang tertua Waktu itu Jik Tay-ci sudah
lulus dan berkelana di Kangouw, karena murid preman tidak perlu
menetap di Jing-hi-koan tapi setiap tahun diharuskan pulang
menemui gurunya. Terakhir kali dia diutus oleh Tong-hian-cu dan
tidak pernah pulang lagi, Tong-bing-cu sudah menduga bahu a dia
telah gugur menunaikan tugas, namun selama ini belum pernah
dengar berita yang sesungguhnya. Selama delapanbelas tahun ini,
tak urung dia kebat-kebit bila mengingat nasib muridnya ini; entah
terjatuh di tangan musuh dan telah dikorek keterangannya. Kini
setelah mendengar murid kesayangannya itu sudah mati baru lega
hatinya. Setelah habis mengisahkan kasus panjang ini, Boh Le-cu
menghela napas panjang, katanya, "Kesetiaan Lau-ma terhadapku,
budi kebaikan dan pertolongannya terhadapku selama hidup jelas
tak mampu ku-balas. "Sementara aku tidak bercerita menurut urutan peristiwa, tapi
lebih dulu akan menceritakan Lau-ma telah gugur secara ksatria
karena aku. Setelah Han Ji-yan menyerahkan aku kepada Ho Lok,
sesuai rencana semula, dengan alasan mau pulang ke rumah ayah
bundanya, seluruh pembantu rumah tangga kami dibubarkan, hanya
ketinggalan Lau-ma seorang. Kuduga dia sudah menaruh curiga
terhadap Lau-ma, maka dia ditahan hendak mengompes
keterangannya. "Mungkin Lau-ma sudah tahu maksud hatinya, tapi Lau-ma tidak
mau melarikan diri. Untuk membalas sakit hati ayah, aku pun telah
lolos dari lobang jarum, maka tanpa pikir panjang dia melabrak
perempuan keparat itu, sayang sekali usahanya tidak berhasil malah
dia sendiri yang gugur di tangan perempuan keparat itu. Setelah
kejadian itu secara diam-diam aku pernah pulang ke rumah
mendapat tahu akan kematian Lau-ma. Harus dikasihani demi
membela aku Lau-ma mati tanpa liang kubur yang layak. Tapi waktu
aku mencari perempuan keparat itu hendak menuntut balas
ternyata aku gagal menemukan dia."
Hadirin ikut menyesal, gemas dan penasaran. Hanya Tong-bingcu
seorang yang merasa lebih lega.
Setelah hadirin agak tenang, Lui-tin-cu berkata, "Nona Boh,
kembalilah ke persoalan utama, bagaimana kelanjutannya?"
Maka Boh Le-cu melanjutkan, "Malamnya waktu Lau-ma pulang,
dia memberi tahu tentang rencana mereka yang akan membunuh
Tan Khu-seng, barulah setahap aku lebih paham muslihat mereka.
"Semula aku tidak jelas apakah dalam muslihat ini Ho Lok bekerja
sama dengan ayahnya, kini baru tahu betapa kejam dan culas hati
Ho Lok, ternyata tidak kalah dibanding bapaknya Ayah beranak
merencanakan muslihat ini bersama, bukan saja hendak membunuh
kami ayah dan anak, mereka pun hendak melenyapkan Tan Khuseng
yang menjadi saudara seperguruan sendiri.
"Rencanaku pribadi akan melarikan diri di tengah jalan, setelah
tahu muslihat mereka terpaksa aku harus mengubah total
rencanaku. Di tengah jalan aku harus mencari kesempatan memberi
tahu Tari Khu-seng tentang rencana keji mereka.
"Tapi aku tak pemah mendapat kesempatan. Sepanjang jalan Ho
Lok boleh dikata tak pernah berpisah dengan Tan Khu-seng, sebagai
calon istri Ho Lok sudah tentu tak leluasa aku mendekati Tan Khuseng
apalagi bicara langsung empat mata.
"Hari demi hari berlalu, sudah tiga hari menempuh perjalanan,
aku tetap tak mendapat kesempatan bicara dengan Tan Khu-seng.
Kawanan rampok yang sudah dipersiapkan Ho Lok, setiap saat akan
muncul membunuh Tan Khu-seng. Apakah yang harus kulakukan"
"Hari ketiga kami singgah di sebuah kuil kuno, padahal hari
belum petang, namun Ho Lok beralasan di depan jauh dari kota dan
desa, mungkin tiada tempat bermalam malam ini. Maka dia usulkan
bermalam di kuil ini, orang-orang dianjurkan beristirahat lebih dini
dari biasanya. "Sudah tentu timbul rasa curigaku. Mungkin mereka sudah
berjanji akan bergerak malam ini" Aku memutuskan, apa pun ^ang
terjadi aku akan berusaha memancing Tan Khu-seng ke tempat lain.
"Kira-kira menjelang kentungan ketiga, diam-diam aku bangun
mengintip ke kamar di mana mereka tidur bersama. Kulihat Tan
Khu-seng belum tidur, dia duduk melamun mengawasi api yang
menyala di depannya, entah apa yang sedang dipikirnya. Sementara
Ho Lok sudah, meringkuk dan mendengkur. Diam-diam girang
hatiku, inilah kesempatan baik, maka perlahan aku menyobek kertas
jendela. "Tak nyana pada saat itulah, Ho Lok dan Tan Khu-seng
berjingkrak bersama seraya membentak, 'Siapa"' Seketika aku sadar
bahwa Ho Lok hanya pura-pura tidur. Dia ada janji dengan orang,
mana mungkin bisa tidur nyenyak.
"Syukur aku sudah memikirkan akal kedua, dengan lirih aku
berkata, 'Kudengar suara orang berjalan, lekas kalian kejar kawanan
bangsat itu.' "Ho Lok bersuara heran, katanya, 'Kenapa aku tidak mendengar"
Hei, kembalilah, kau jangan mengejar seorang diri.'
"Waktu itu aku belum tahu kalau dia berjanji dengan Kiat Hong
untuk menculik aku, aku harus ditinggalkan di dalam kuil, baru dia
punya kesempatan menjadi seorang pahlawan yang berhasil
menyelamatkan istrinya. "Dengan gugup H o Lok berlari keluar mengejar aku, terpaksa
Tan Khu-seng ikut keluar. Aku sengaja berpura-pura mengayun
langkah lebih cepat, menjerit kesakitan dan berteriak, 'Aduh,
bangsat keparat, berani kau melukai aku dengan amgi. Jangan lari
kau.' "Aku tahu ginkang Tan Khu-seng lebih tinggi dibanding Ho Lok,
kalau dia mengira aku terkena amgi pasti akan mengejarku lebih
cepat untuk menolongku. Saat mana jarakku dengan mereka
mungkin ada seratusan langkah, malam gelap mereka tidak melihat
keadaan sekitarnya. Ho Lok sendiri juga tidak menduga kalau aku
bermain sandiwara. Sambil mengejar dia berteriak-teriak, 'Apa kau
terluka" Lekas kembali biar kuobati lukamu.'
"Sesuai dugaanku, Tan Khu-seng tiba lebih dulu."
Sampai di sini dia berdiri termenung, kejadian malam itu seperti
terbayang kembali di depan mata. Wajah Boh Le-cu yang semula
kaku dingin, entah kenapa tanpa terasa bersemu merah.
Seperti angin lalu Tan Khu-seng melayang tiba, beberapa
langkah lagi dia sudah di sampingnya.


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu cepat Boh Le-cu berlari, namun jantungnya berdetak lebih
cepat lagi. Walaupun sudah seperjalanan tapi sepanjang jalan ini dia naik
kereta, hanya waktu turun dan naik kereta saja baru dia beradu
muka dan pandang dengan Tan Khu-seng, sementara Tan Khu-seng
tidak berpisah dengan Ho Lok Dia pun berusaha menghilangkan kecurigaan, maka selama tiga
hari perjalanan itu, belum pernah dia melihat wajah Tan Khu-seng
dengan cermat apalagi berbicara padanya.
Sekarang pertama dia melihat jelas tampangnya. Oh, Tan Khuseng
ternyata adalah pemuda tampan, gagah dan mempunyai
kepandaian tinggi. Seumur hidup, baru pertama kali ini dia berduaan dengan lakilaki
yang belum pernah dikenalnya. Semula ayahnya ada maksud
menikahkan puteririya kepada pemuda yang satu ini. Aih, kenapa
jodoh selalu mempermainkan orang, jikalau semula ayahnya
bersikap tegas dan kukuh pada pendapat semula, maka nasibnya
pasti akan berubah seratus delapanpuluh derajat.
Namun saat itu mukanya merah jantungnya berdebar, bukan
karena dia menyadari benih cintanya telah mulai bersemi tapi
lantaran kedudukannya sekarang, entah bagaimana dia harus mulai
bicara dengan Tan Khu-seng.
Karena hati berdebar, langkahnya tidak tetap, perasaan menjadi
gundah, mendadak kakinya tersaruk entah apa hingga dia
sempoyongan hampir saja terjungkal jatuh. Tapi keadaannya juga
mirip orang yang terluka parah.
Lekas Tan Khu-seng meraih dan memapahnya, tanyanya, "Nona
Boh, kau kenapa" Bagian mana yang terluka?"
"Aku tidak terluka, aku menipu kalian," Boh Le-cu berkata
perlahan, Tak Khu-seng melenggong, matanya terbuka lebar seperti tidak
percaya apa yang didengarnya barusan.
"Jangan tanya kenapa aku berpura-pura, lekas kau ikut aku lari."
Tan Khu-seng bimbang dan curiga, dia malah menghentikan
langkah, katanya, "Sebentar Ho-toako akan menyusul tiba, kenapa
kau tidak menunggunya?"
Saking gelisah Boh Le-cu membanting kaki, tanpa menghiraukan
pantangan adat dia maju menarik lengan bajunya, katanya, "Justru
aku takut dilihat olehnya, maka kita harus pergi ke tempat yang
lebih jauh. Percaya kepadaku. Lekas lari, lekas."
Tan Khu-seng tertegun, seperti ingat sesuatu, kali ini dia terima
ditarik lari oleh Boh Le-cu. Beberapa kejap kemudian Ho Lok makin
jauh ketinggalan, bayangannya sudah tidak kelihatan lagi.
Mereka lari memasuki sebuah lembah pegunungan. Boh Le-cu
memperhitungkan waktu cukup banyak untuk bicara menjelaskan
persoalan kepada Tan Khu-seng sebelum Ho Lok menyusul datang,
baru dia berhenti. "Ho Lok hendak membunuh kau, kau tahu tidak?"
Tan Khu-seng kaget sekali, katanya, "Ho Lok seumpama saudara
kandungku sendiri, kenapa dia hendak membunuhku?"
"Dia sudah membunuh ayahku, kau masih mengira dia orang
baik?" kata Boh Le-cu. Tan Khu-seng kaget, katanya, "Dia...
bukankah dia suamimu" Kenapa membunuh mertua sendiri?"
Boh Le*-cu mengertak gigi, katanya, "Dia adalah musuhku juga
musuhmu. Bukan hanya musuhku dan musuhmu, juga musuh kaum
pendekar yang berjiwa patriotik."
Tan Khu-seng menenangkan diri, katanya, "Nona Boh, apa
maksudmu?" Karena khawatir Ho Lok keburu tiba, Boh Le-cu hanya
menjelaskan secara singkat, beberapa bagian yang penting dia
tuturkan kepada Tan Khu-seng.
Kejadian amat mendadak, bukan Tan Khu-seng tidak percaya apa
yang dikatakan Boh Le-cu, tapi kalau dia harus percaya Ho Lok dan
ayahnya adalah mata-mata musuh, betapapun dia tidak berani.
Sesaat lamanya hatinya bimbang, perasaan hambar.
"Tan Khu-seng, lekas kau mengambil keputusan. Kalau kau mau
membantu aku membunuhnya untuk menuntut balas, jikalau kau
tidak berani membunuhnya lekas kau melarikan diri saja Dia
mengundang bala bantuan yang iihay untuk membunuh kau. Aku
yakin kejadian akan berlangsung malam ini."
Sampai di sini mereka bicara, mendadak dilihatnya Tan Khu-seng
menatap ke tempat jauh berdiri melongo seperti tidak
memperhatikan perkataannya. Saking gelisah Boh Le-cu
membanting kaki, katanya, "Seorang laki-laki harus berani
mengambil keputusan tegas, apalagi yang kau pikir sekarang?"
Tan Khu-seng bersuara heran, katanya, "Nona Boh, mungkin dugaanmu
benar, aku seperti mendengar pertempuran dari dalam
kuil." "Pasti bantuan yang diundangnya itu sedang mengganas di sana.
Ai, sayang aku tak mampu menolong beberapa pembantu rumah
tanggaku yang setia itu."
Tan Khu-seng berpikir, "Kalau pembunuh itu bukan undangan Ho
Lok, pantasnya aku segera pulang membantu Ho Lok melabrak
mereka, menolong pembantu keluarga Boh." Mendadak dia teringat
sesuatu, tanyanya, "Siapa pembantu yang diundang Ho Lok" Apa
kau tahu?" "Aku hanya tahu satu di antaranya, yaitu begal tunggal yang
terkenal di Kangouw bernama Kiat Hong, dua orang lagi katanya
adalah jago kosen dari Gi-lim-kun."
Tan Khu-seng tersentak sadar, katanya, "O, jadi betul ada Kiat
Hong di antaranya." Boh Le-cu heran mendengar perkataannya, pikirnya, "Apakah Ho
Lok sudah pernah mengajak Kiat Hong bekerja sama?" Belum
sempat dia bertanya, Ho Lok sudah datang.
Sambil mendatangi Ho Lok berteriak, "Nona Boh, apa kau
terluka?" Boh Le-cu belum tahu bagaimana sikap dan keputusan Tan Khuseng,
terpaksa sementara dia menahan diri, sahutnya, "Untung aku
tidak apa-apa." "Hayolah kita lekas pulang," ujar Ho Lok. "Aku melihat musuh
menyerbu kuil kuno itu."
Boh Le-cu berkata, "Wajau tidak terluka, tapi aku tidak dapat
berjalan." Ho Lok berpura-pura gugup, katanya, "Tan-sute, ginkang-mu
lebih baik. Lekas kau pulang dulu menolong orang. Nona Boh, mari
kubim-bing kau." Tan Khu-seng berjiwa pendekar, pikirnya, "Kawanan rampok ini
tentu ingin merebut pesalin nona Boh, aku tak boleh berpangku
tangan membiarkan mereka membunuh orang yang tak berdosa."
Mengingat menolong orang lebih penting, tanpa pikir segera ia
berlari lebih dulu. " Setelah Tan Khu-seng pergi, Ho Lok bersikap
tenang malah, katanya sambil menyengir tawa, "Kalian sudah cukup
lama berada di sini bukan, apa saja yang kalian bicarakan?"
Tercekat hati Boh Le-cu, katanya pura-pura jengkel, "Apa sih
maksudmu, dia membantu aku mengejar maling, aku sendiri
kehabisan tenaga, memangnya aku senang berkelakar?"
"Soalnya kau begini ayu rupawan, aku khawatir teman baikku itu
merebut calon istriku. Eh, aku hanya berkelakar saja, tak usah kau
marah." Boh Le-cu menarik muka, katanya, "Kawanan perampok sudah
datang, kau tidak menghalau mereka malah berkelakar. Aku tak bisa
lari cepat, lekas kau bantu Tan Khu-seng menolong orang."
"Mana aku tega meninggalkan kau seorang diri di sini. Hm, kalau
benar kau tak mampu jalan, biar kau kugendong saja."
"Tidak, tidak!" seru Boh Le-cu malu. "Jangan begitu."
Ho Lok tertawa, katanya, "Meski belum resmi, kita bakal suami
istri, kenapa masih malu-malu segala?" Sambil bicara dia maju
menarik tangannya. Mendadak Boh Le-cu melompat berdiri, telapak tangan bagai
golok membelah batok kepala Ho Lok, berbareng jari tangan kanan
menotok Hian-kit-hiat di dadanya
Serangan sererripak telapak tangan dengan totokan jari adalah
ajaran tunggal keluarga Boh, tapi Ho Lok sudah siaga dan bersiap
diri, sekali lompat dia berkelit lalu membentak, "Bagus, ternyata kau
sudah bersekongkol dengan Tan Khu-seng hendak membunuh
suami." Karena serangannya tak berhasil, "Sref" Boh Le-cu mencabut
pedang, bentaknya, "Mulut anjing takkan tumbuh gading, baiklah
aku bicara terus terang saja, aku akan menuntut balas kematian
ayahku." Ho Lok menangkis Ceng-kong-kiam Boh Le-cu, wajahnya
membesi hijau, bentaknya, "Kau membual apa, apa sangkut
pautnya kematian ayahmu dengan aku?"
Boh Le-cu tak mau banyak bicara, bentaknya, "Kau sendiri tahu."
Melihat sorot mata orang yang mengandung kebencian,
merinding Ho Lok dibuatnya. "Mungkinkah dia sudah tahu rahasia
kami ayah dan anak?" demikian dia membatin.
Kiamhoat Ho Lok memang setingkat lebih tinggi dari Boh Le-cu,
namun yang satu menyerang dengan penuh dendam untuk
menuntut balas kematian sang ayah, yang lain merasa dirinya
bersalah sehingga permainannya tidak tenang. Karena serangan
Boh Le-cu yang gencar, Ho Lok hanya mampu menjaga diri saja.
"Pasti kau mendengar isu, lekas ceritakan, biar kujelaskan,"
teriak Ho Lok sambil menangkis pedang orang. Tapi "Cret" lengan
bajunya tertabas oleh pedang lawan. Melihat gelagat tidak
menguntungkan, segera Ho Lok bersuit nyaring dua kali. Boh Le-cu
menduga Ho Lok memanggil temannya, maka serangannya lebih
gencar. Sayang kepandaiannya memang lebih rendah, kini dari
bertahan Ho Lok balas mencecar sehingga pertahanannya lebih
kuat, tenaga Boh Le-cu hendak dikurasnya sampai habis.
Tak lama setelah suitan Ho Lok, betul juga'muncullah dua orang.
Melihat mereka mengenakan seragam perwira, Boh Le-cu berpikir,
"Kedua orang ini pasti jago kosen Gi-lim-kun yang diundangnya
untuk membantu itu."
Boh Le-cu tidak menghiraukan mati hidupnya. Peduli jago kosen
yang datang hanya dua atau empat, bukan saja tidak hendak
melarikan diri, serangannya makin gencar dan ingin adu jiwa malah.
Sambil me-ngertak gigi, dia mengembangkan permainan pedang
untuk gugur bersama. Perwira menengah yang berjalan di depan.tampak kaget dan
heran, katanya tertawa, "Suami istri muda ada persoalan, apa boleh
dibicarakan secara damai, kenapa main tangan, he?"
Perwira rendah di belakangnya juga berteriak, "He, kelihatannya
bukan main-main." Sebetulnya ucapan perwira menengah di depan itu pun hanya
olok-olok saja, tujuannya untuk mengen-dorkan perhatian Boh Le-cu
kepada mereka. Tiba-tiba didengarnya jerit kesakitan, ternyata
pundak Ho Lok terluka oleh serangan pedang, darah-mengalir
deras. Pada saat itulah perwira yang di depan merogoh sekeping mata
uang tembaga, dengan dua jarinya menjentik. "Trang" pedang
panjang Boh Le-cu ditimpuk jatuh.
Perwira itu bergelak tawa, katanya, "Sudahlah, suami istri
berkelahi, aku sih tidak ingin campur. Ho-heng lekaslah bujuk
istrimu." Dia mengira setelah kehilangan senjata, perkelahian ini pun akan
berhenti. Tak nyana Boh Le-cu membabi buta tak memikirkan
keselamatan sendiri, dengan beringas dia menubruk maju mengajak
adu pukulan dengan Ho Lok. "Biang" pundak Ho Lok yang terluka
dipukulnya, saking kesakitan Ho Lok menjerit seperti babi
disembelih. Ho Lok amat gusar, dampratnya, "Perempuan sundal, kejam
betul!" Pedang diputar, dengan gagang pedang dia menyodok
berbareng meninju dengan tangan lainnya. Gagang pedang tepat
kena ulu hati Boh Le-cu, tinjunya mengenai perut. Tenaganya
memang lebih besar, karuan Boh Le-cu kesakitan dan roboh
pingsan. Sayup-sayup didengarnya perwira itu berkata, "Wah, Ho-heng,
terlalu berat pukulanmu. Jangan-jangan kau pukul mampus istrimu
sendiri. Lekas kau periksa keadaannya."
Ho Lok berkata gemas, "Biarkan, dia mampus juga tidak jadi soal."
Perwira lain tertawa, katanya, "Lho, kenapa tidak menaruh
kasihan sedikit pun, kau tega membunuh istri secantik ini?"
"Kalian tidak tahu," ucap Ho Lok, "perempuan keparat ini sudah
tahu rahasia kita,, sekarang dia menganggap aku sebagai
pembunuh ayahnya. Tak usah hiraukan dia mati atau hidup, mari
kita pikirkan bagaimana menghadapi Tan Khu-seng."
Perwira menengah itu berkata, "Baiklah, mari kita pancing Tan
Khu-seng kemari. Kau dan istrimu pura-pura kami lukai, lekaslah
kau berkelahi dengan kami."
Boh Le-cu sudah bertahan sekuat tenaga supaya bisa mendengar
lebih banyak pembicaraan mereka, sayang dia tidak kuat lagi,
kesadarannya semakin kabur dan akhirnya tak mendengar apa-apa
lagi. Boh Le-cu menceritakan kejadian malam itu dengan jelas dan
menurut keadaan sebenarnya. Dia hanya tidak menyinggung
bagaimana perasaan hatinya di waktu dia bertemu dan berhadapan
muka pertama kali dengan Tan Khu-seng. Sampai di sini ceriteranya
mendadak berhenti. Kang Siang-hun lantas bertanya, "Bagaimana kelanjutannya?"
Boh Le-cu memandang Tan Khu-seng, katanya, "Waktu itu aku
sudah pingsan, kejadian selanjutnya kuserahkan kepada Tan Khuseng
untuk berceritera." "Betul," seru Lui-tin-cu. "Nona Boh sudah bicara, apa pula yang
kau khawatirkan?" Tan Khu-seng masih terpekur, kelihatannya masih sukar
mengambil keputusan. Boh Le-cu berkata perlahan, "Aku tahu kau harus menepati
janjimu kepada mendiang gurumu, tapi aku juga tahu janjimu itu
ada satu pengecualian."
"Kau percaya bahwa gurumu bisa mengekang anasir jahat dan
rendah perguruannya supaya mereka tidak bersekongkol dengan
pihak kerajaan sehingga Kong-tong-pay dijerumuskan ke jurang
kenistaan. Kau bersumpah bila hal seperti ini tidak terjadi kau rela
memikul dosa mengkhianati perguruan, untuk selamanya tidak akan
membuka rahasia ini, entah gurumu hidup atau mati. Sekarang
gurumu dan Tong-hian-cu sudah meninggal, tapi kejadian yang
tidak ingin kau lihat mungkin tak bisa dihindarkan lagi,
kenyataannya malah akan terjadi, kalau keadaan memang sudah
mendesak, gurumu memberi izin kepadamu untuk membeber
persoalan. Sekarang sudah tiba saatnya, lalu kapan kau baru mau
bicara?" Kata-katanya jelas, meski Tong-hian-cu sudah mati, tapi tokohtokoh
Kong-tong-pay yang masih hidup sekarang ini masih ada yang
menempuh jalan yang ditempuh Tong-hian-cu.
Setelah mendengar kesaksian Kiat Hong, lalu mendengar kisah
Boh Le-cu, kaum pendekar yang hadir sedikit banyak sudah merasa
curiga namun belum yakin. Tapi setelah hal ini ditegaskan oleh Boh
Le-cu, hadirin menjadi gempar, serta merta penglihatan mereka


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertuju ke arah Tong-cin-cu.
Berubah muka Tong-cin-cu, katanya, "Nona Boh, ucapanmu itu
tidak boleh sembarangan dikatakan. Memang aku pernah setuju
mengundang wakil komandan Gi-lim-kun Auwyang Ya untuk
menghadiri pertemuan besar ini, tapi mana boleh kau lantas bilang
aku bersekongkol dengan pihak kerajaan, apalagi dikatakan ada niat
menentang gerakan kaum pendekar?"
"Bukan kau yang kumaksud, yang kukatakan tadi juga bukan soal
yang kau katakan." "Lalu apa yang kau maksudkan?"
"Persoalan akhirnya pasti dapat dibikin jelas, dan orang yang
tahu seluk beluknya pasti akan tampil bicara, persoalan ini biar dia
yang mengatakan, sekarang aku hanya ingin bicara satu hal yang
kuketahui." "Baiklah, silakan katakan."
Di saat Tong-cin-cu berdebat dengan Boh Le-cu, Tong-bing-cu
yang tahu dan insyaf akan dosa, tak berani bicara. Kini rona
mukanya tampak lebih jelek lagi.
"Salah satu dari dua perwira yang malam itu diundang Ho Lok
adalah tamu undangan yang diundang oleh seorang dari perguruan
kalian. Sekarang mereka belum muncul tapi yakinlah tak lama lagi
mereka pasti unjuk diri."
Lekas Lui-tin-cu bertanya, "Apakah kau sudah tahu siapakah
kedua perwira itu?" "Waktu itu aku tidak tahu, belakangan sudah tentu aku tahu.
Seorang adalah Auwyang Ya, seperti yang dikatakan ciangbunjin
Kong-tong-pay tadi. Delapanbelas tahun yang lalu jabatannya masih
rendah, tapi sekarang sudah menjadi wakil komandan Gi-lim-kun."
Orang banyak sudah tahu pertemuan besar anggota Kong-tongpay
yang diadakan hari ini, yang mengundang Auwyang Ya adalah
Tong-bing-cu, maka orang banyak sama berpikir, "O, jadi sejak
lama mereka memang punya hubungan erat."
"Lalu siapa seorang yang lain?" tanya Lui-tin-cu.
"Seorang yang lain punya asal-usul lebih besar, dia bukan lain
adalah kepala atau atasan Auwyang Ya sendiri."
"Ha," seru Lui-tin-cu kaget, "jadi komandan Gi-lim-kun Hay Lanja?"
Boh Le-cu mengangguk, katanya mengulang, "Betul, komandan
Gi-lim-kun yang sekarang, Hay Lanja."
Lui-tin-cu melongo sesaat, akhirnya berseru, "Wah, kalau betul
demikian, pasti tidak salah."
Tong-bing-cu kebat-kebit, tanyanya memancing, "Apanya yang
betul?" "Yang membokong tianglo kalian Giok-hi-cu tadi pasti Hay Lan-ja
adanya. Di antara cakar alap-alap yang kosen dari pihak kerajaan,
hanya dia yang memiliki kemampuan sehebat itu. Aku memang
sudah pikun, kenapa sejak tadi tidak teringat akan dirinya"
"Dugaan lo-cianpwe pasti tidak meleset," demikian ucap Tongcincu, "tapi pembunuh itu sampai sekarang belum sempat kita
bekuk." "Ciangbun tak usah gelisah," demikian ucap Lui-tin-cu. "Nona
Boh tadi sudah bilang kedua orang ini takkan lama pasti muncul.
Aku percaya dia tidak akan sembarangan omong. Kita tunggu saja
buktinya. Sekarang silakan Tan Khu-seng melanjutkan cerita
kejadian malam itu."
Tong-cin-cu berkata, "Aku sih lebih cenderung untuk mengetahui
lebih dulu siapa seseorang dari pihak kami itu?"
Boh Le-cu menjawab, "Kalau sekarang kukatakan, ciangbun tentu
menganggap aku hanya main duga saja, lebih baik tunggu saja
setelah Auwyang Ya muncul, kurasa belum terlambat. Bukan
mustahil mereka sendiri yang akan membongkar rahasia ini."
Tahu bahwa dirinya akhirnya pasti harus mengunjuk wajah
aslinya, sikap dan mimik Tong-bing-cu ternyata tidak gelisah, gugup
dan takut seperti tadi. Dengan muka mem-besi dia tutup mulut tidak
memberi tanggapan, biar orang banyak menduga sendiri. >,
Kim Tiok-liu berkata, "Pohon besar ada dahari yang kering dan
patah, tak heran kalau perguruan kalian yang besar dengan anggota
sebanyak itu terdapat beberapa orang murid yang menempuh jalan
Tong-hian-cu. Ciangbun tak usah khawatir bahwa kami akan
menarik dirimu untuk mempertanggungjawabkan persoalan ini."
Sejak mula Kim Tiok-liu sudah melihat ada perbedaan antara
Tong-cin-cu dengan Tong-bing-cu, walau dalam kasus ini bukan
mustahil Tong-cin-cu sudah tahu, tapi kemungkinan dia tidak
bersekongkol dengan Tong-bing-cu. Kemungkinan besar karena dia
diancam dan ditekan oleh Tong-bing-cu. Perkataan Kim Tiok-liu
sengaja untuk menenteramkan dan sekaligus Memberikan jaminan
kepada Tong-cin-cu. Lega hati Tong-cin-cu, katanya, "Baiklah, Tan Khu-seng, orang
banyak mengharap kau membongkar kasus lama ini, bolehlah kau
ceritakan." Tan Khu-seng menghela napas panjang, katanya, "Delapanbelas
tahun lamanya, yang kuharapkan hanya dapat menjaga nama baik
perguruan, sungguh tak nyana bakal terjadi pertemuan besar hari
ini, sehingga Giok-hi-cu tay-susiok yang amat sayang kepadaku juga
gugur di tangan cakar alap-alap. Urusan sudah terlanjur sejauh ini,
aku memang tidak boleh tutup mulut lagi.
"Memang mimpi pun aku tidak menduga bahwa Ho Lok hendak
membunuhku, tapi sebelum kejadian, bukannya aku tidak tahu.
Menjelang keberangkatanku menemani Ho Lok pergi ke Bi-ti
menjemput calon istrinya, seseorang diam-diam telah memberi
kisikan kepadaku. Orang ini adalah maling sakti nomor satu di jagat
ini, yaitu Kwi-hwe-thio. "Dia memberi tahu satu berita, katanya begal besar yang
Badai Awan Angin 32 Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Memanah Burung Rajawali 23

Cari Blog Ini