Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 22
terkenal di Kangouw bernama Kiat Hong sudah muncul di jalan yang
harus kami tempuh dalam perjalanan menuju ke Bi-ti. Menurut hasil
penyelidikannya, kemungkinan besar dia hendak merampok pesalin
nona Boh. "Sebagai begal besar, Kiat Hong sering melakukan perampokan
dan pembunuhan, hal ini tak perlu dibuat heran. Tapi nona Boh
adalah calon istri Ho Lok, yakin hal ini pasti sudah diketahui
olehnya, bahwa dia berani menepuk lalat di kepala harimau hal
inilah yang membuatku heran.
"Waktu itu Kwi-hwe-thio menjelaskan, masih ada yang lebih
mengherankan, berita tentang Kiat Hong hendak merampok pesalin
nona Boh berhasil dia korek dari seorang teman golongan hitam
lainnya, semula orang ini hendak mengajak Kiat Hong melakukan
kerja lain, yaitu merampok pedagang obat-obatan dari Kwan-gwa,
tapi Kiat Hong berkata, rejeki besar yang akan diperolehnya puluhan
lipat lebih besar dari hasil perampokan para pedagang obat-obatan
itu, maaf aku tak bisa memberi bantuan padamu. Orang itu juga
tahu ada tamu misterius yang mengunjungi Kiat Hong dua hari lalu,
waktu dia tanya siapa tamunya itu, Kiat Hong tidak mau
menjelaskan. Waktu ditanya apakah tamu itu yang mengajaknya
melakukan kerja besar itu, dia hanya tertawa saja tanpa menjawab.
"Tapi orang itu melihat sembilan titik lubang kecil di atas dinding
kamar Kiat Hong, sebagai begal yang berpengalaman, sekali lihat
lantas tahu bahwa lubang itu bekas tusukan senjata tajam.
"Kwi-hwe-thio berkata, 'Teman Kiat Hong dari golongan hitam ini
juga temanku, dia menceritakan kejadian ini kepadaku, aku pun
pernah memeriksa ke tempat kediaman Kiat Hong, waktu itu Kiat
Hong sudah berangkat, rumahnya kosong. Maka aku memeriksa
dengan teliti, aku amat curiga, itulah bekas tusukan pedang dari
Lian-hoan-toh-bing-kiam dari Kong-tong-pay.'
"Kwi-hwe-thio bertanya kepadaku, 'Ada berapa orang Kong-tongpay
yang mahir menggunakan Lian-hoan-toh-bing-kiam"' Kujawab
hanya Tong-bing susiok, aku dan Ho'Lok. Bulan ini Tong-bing susiok
tidak pernah turun gunung, maka hanya Ho Lok saja yang patut
dicurigai. "Waktu itu Kwi-hwe-thio sudah menyatakan rasa curiganya,
apakah Ho Lok takut aku merebut warisan ciangbun, maka dia
meminjam tangan Kiat Hong hendak membunuhku" Tapi aku tidak
percaya." Tan Khu-seng berkisah lebih lanjut, "Setelah mendapat
jawabanku, Kwi-hwe-thio melanjutkan penyelidikannya mengikuti
jejak Kiat Hong, dijalan yang menuju ke Bi-ti dia menemukan
jejaknya. Setelah beberapa kejadian dirangkai dan dianalisa maka
Kwi-hwe-thio berpendapat rejeki besar yang dikatakan Kiat Hong,
kemungkinan besar adalah hendak merampas pesalin yang dibawa
nona Boh. Kalau hanya merampas pesalin tidak jadi soal, bukan
mustahil dalam peristiwa ini masih ada muslihat keji, yaitu Ho Lok
bersekongkol dengan dia hendak membunuh aku.
"Aku berterima kasih akan perhatian cianpwe ini kepadaku, tapi
dalam hati aku berpendapat dia terlalu banyak curiga, betapapun
waktu itu aku tidak percaya bahwa Ho Lok bersekongkol dengan
perampok hendak membunuh aku.
"Setelah kejadian baru aku tahu, muslihat yang mereka rancang
ternyata jauh. lebih besar dan kejam dari yang dicurigai Kwi-hwethio.
Mereka hendak membunuhku bukan lantaran aku sebagai
penghalang Ho Lok mewarisi jabatan ciangbun, tapi tujuan utama
adalah akan membawa dan menjadikan Kong-tong-pay kami
sebagai organisasi gelap pembantu kerajaan memusuhi kaum
pendekar. Di belakang Ho Lok masih ada Hay Lan-ja dan Auwyang.
Ya. Latar belakang ini sebelum kejadian ternyata belum diketahui
oleh Kwi-hwe-thio. "Agaknya Kwi-hwe-thio tahu jalan pikiranku, katanya, 'Aku tahu
kau takkan percaya, umpama betul kau tidak mau percaya, kuharap
kau tidak memberitahukan apa yang kukatakan kepadamu kepada
Ho Lok.' Setelah aku berjanji kepadanya baru dia pergi dengan rasa
lega." Kisah selanjutnya mulai memasuki bagian yang menyangkut Tan
Khu-seng sendiri. "Malam itu nona Boh membongkar muslihat Ho Lok, walau hatiku
terguncang setelah mendengar penuturannya, namun aku masih
setengah percaya, belakangan setelah Ho Lok datang dia mendesak
aku lekas pulang menolong orang, kupikir menolong orang lebih
penting. Umpama yang dikatakan nona Boh betul, paling Ho Lok hanya
akan membunuh aku, bersama Ho Lok yakin dia tidak akan
mengalami apa-apa. Peduli kawanan rampok itu betul undangan Ho
Lok, aku ingin membuktikan apakah mereka mampu membunuh
aku. "Dalam perjalanan pulang ke kuil kuno itu aku sempat melihat
dua bayangan hitam berlari bagai terbang, kelihatannya adalah
rampok yang baru saja mengganas di dalam kuil. Sayang jaraknya
terlalu jauh, kedua orang itu agaknya tidak melihat diriku. Untuk
menolong orang aku tak sempat mengejar kedua penjahat itu.
"Menjelang sampai di kuil kuno itu, aku mendengar jeritan
pembantu keluarga Boh. Ternyata rombongan pertama dari
kawanan penjahat tadi adalah dua orang yang kulihat di luar itu.
Mereka adalah Hay Lan-ja dan Auwyang Ya.
"Mungkin karena tidak menemukan nona Boh dan aku di dalam
kuil kuno itu, bayangan Ho Lok juga tidak kelihatan, maka mereka
hanya melukai dua orang lalu bergegas lari ke luar.
"Belum lama mereka pergi, rampok lain yang diundang Ho Lok
datang pula. Orang ini adalah Kiat Hong yang menjadi saksi tadi.
Waktu aku memasuki kuil itu, kebetulan dia sedang mengganas.
"Pengalaman Kiat Hong di dalam kuil itu serta bagaimana
keadaan di sana, tadi sudah dituturkan oleh Kiat Hong, kurasa tak
perlu aku menceritakan lagi.
"Setelah terluka oleh pedangku, takut aku membunuh dia, tanpa
kuminta dia sudah mengaku bahwa kedatangannya atas petunjuk
Ho Lok, mohon aku mengampuni jiwanya.
"Baru aku percaya apa yang dikatakan Kwi-hwe-thio memang
benar dan nyata, demikian pula yang diucapkan nona Boh juga
betul. Pada saat itulah sayup-sayup kudengar pula benturan senjata
rahasia, kudengar pula suitan Ho Lok yang dikerahkan dengan
Thoan-im-jip-bit, lwekang tingkat tinggi yang tidak mampu
dilakukan sembarang orang.
"Mengkhawatirkan keselamatan nona Boh, aku tak sempat
membereskan Kiat Hong. Lekas aku berlari ke arah lembah gunung
itu. Tampak sandiwara tengah berlangsung, sayang sekali waktu itu
aku tidak sadar bahwa mereka sedang bersekongkol bermain
sandiwara" Ketika Tan Khu-seng tiba di lembah itu, dilihatnya Ho Lok sedang
bergebrak dengan dua perwira. Kedua perwira itu sudah tentu
adalah Hay Lan-ja dan Auwyang Ya
Hay Lan-ja pura-pura tidak tahu kalau Tan Khu-seng sudah
datang, bentaknya, "Ho Lok, jangan melindungi saudara
seperguruan, lekas mengaku saja, jangan bodoh, sia-sia kau
berkorban untuk dia."
"Aku tidak tahu undang-undang raja apa yang pernah kulanggar,
soal apa aku harus mengaku?" demikian teriak Ho Lok.
"Kau masih pura-pura," bentak Hay Lan-ja. "Tan Khu-seng
bersahabat dengan kawanan pemberontak, kami sudah mendapat
bukti-bukti. Kau adalah sahabat baik dan saudara seperguruannya,,
memangnya kau tidak tahu?"
"Hm,' menurut pendapatku, bukan dia tidak tahu, kukira dia pun
sehaluan dengan Tan Khu-seng malah," demikian Auwyang Ya ikut
mengejek.- Ho Lok pura-pura gugup, kaget dan takut serta penasaran,
teriaknya, "Aku betul-betul tidak tahu Tan Khu-seng pergi ke mana,
aku tak tahu apa yang pemah dia lakukan."
Hay Lan-ja tertawa dingin, "Mertuamu Boh It-hang dan Tan Khuseng
sute-mu itu adalah pengkhianat yang melawan pemerintah
kerajaan. Hm, kalau bilang kalian tidak sehaluan, setan pun takkan
percaya. Kalau kau tidak menyerahkan Tan Khu-seng dan tidak mau
memberi penjelasan, terpaksa kau yang akan kami bekuk untuk
mempertanggungjawabkan tugas kami."
"Betul," seru Hay Lan-ja, "dia sehaluan dengan Tan Khu-seng,
berani melawan lagi, bila kita membunuh pasti tidak keliru."
Ho Lok pura-pura marah, bentaknya nekad, "Seorang laki-laki
tidak mau dihina secara semena-mena, murid Kong-tong-pay juga
pantang menyerah membuang senjata. Jangan harap aku menyerah
dan dibekuk: Baiklah, kalian menuduh aku sehaluan dengan Tan
Khu-seng, baiklah, berontak ya berontak, memangnya kalian mau
apa?" Mendengar percakapan pura-pura ini, Tan Khu-seng yang berhati
jujur dan setia kawan, yang semula memang hanya sedikit curiga,
menjadi goyah pendapatnya. Hatinya bimbang dan ragu. Dia
celingukan kian kemari, tapi tidak melihat bayangan Boh Le-cu,
maklum dia turun dari lereng sambil sembunyi-sembunyi, maka
tidak melihat Boh Le-cu yang sedang tergeletak di tanah. Dia
mengharap Boh Le-cu tampil ke depan membongkar musr lihat
mereka, namun Boh Le-cu yang diharapkan tidak muncul karena
sudah menggeletak terluka oleh kekejian Ho Lok.
Kalau Boh Le-cu tidak menghilangkan rasa curiganya, maka olokolok
Hay Lan-ja sudah meyakinkannya.
Didengarnya Hay Lan-ja sedang berkata, "Hm, Ho Lok, kau mau
berontak" Kenapa tidak kau pikir. Pertama, kau mampu
mengalahkan kami?" Dengan sengit Ho Lok melawan sambil menjawab ketus, "Kalah
juga akan kulabrak kalian."
Hay Lan-ja tidak menghiraukan ocehannya, katanya lebih lanjut,
"Kedua, tidak jadi soal kalau kau mampus, apa kau tega
membiarkan istrimu yang cantik molek itu ikut mampus
bersamamu" Dia sudah ter-totok hiatto-nya olehku, dalam satu jam
kalau totokannya tidak kubebaskan pasti mampus. Lekas kau
menyerah saja." Sampai di sini Tan Khu-seng sudah tidak tahan lagi, dia yakin apa
yang dilihatnya lebih mantap daripada yang didengar. Segera dia
mengambil keputusan, langsung dia melompat keluar sambil
menerjang turun ke lembah. Melihat kedatangannya Ho Lok purapura
kaget, teriaknya panik, "Tan-sute, kawanan cakar alap-alap ini
hendak menangkap kau. Jangan pedulikan aku, lekas kau lari saja."
"Sret" Tan Khu-seng mencabut pedang, teriaknya, "Seorang lakilaki
berani berbuat berani bertanggung jawab. Memang aku sering
mengadakan kontak dengan pemberontak seperti yang mereka
katakan, kalau kalian mampu boleh tangkap aku. Urusan tiada
sangkut pautnya dengan suheng-ku ini."
Sudah tentu Ho Lok tidak mau mundur, terpaksa mereka
berdampingan melawan kedua musuh. Menurut rencana semula,
sejak permulaan Ho Lok harus bertekad bertempur melawan musuh
meski harus adu jiwa, sehingga Tan Khu-seng menaruh simpati dan
terharu kepadanya hingga tidak curiga dan siaga terhadap dirinya.
Karena pura-pura nekad dan adu jiwa, kelihatannya serangan
pedang Ho Lok amat ganas padahal tidak dilandasi tenaga yang
mampu melukai lawan. Maka dalam pertempuran ini boleh dikata
Tan Khu-seng seorang diri harus melawan keroyokan kedua jago
kosen Gi-lim-kun itu, malah dia selalu melindungi Ho Lok pula.
Padahal dinilai kepandaian mereka waktu itu, kalau Tan Khu-seng
bertanding melawan Hay Lan-ja saja mungkin lebih unggul sedikit,
namun dikeroyok dengan Auwyang Ya jelas dia bukan
tandingannya. Akan tetapi dia sudah tidak memikirkan keselamatan
diri sendiri, mau tidak mau Hay Lan-ja berdua juga kebat-kebit
dirangsak oleh Lian-hoan-toh-bing-kiam-hoat yang dilancarkan
dengan tekad bulat untuk gugur bersama musuh.
Harapan Tan Khu-seng sudah tentu lekas mengakhiri
pertempuran, mengalahkan kedua cakar alap-alap ini, baru akan
menolong membuka totokan hiatto di tubuh Boh Le-cu. Ternyata
lawan teramat tangguh, ini di luar perhitungannya. Setelah puluhan
gebrak hatinya mulai gelisah, padahal pertempuran jago kosen
mana boleh lengah sedikit pun" Ho Lok melihat kesempatan baik ini,
dari belakang mendadak dia melancarkan bokongannya
Cerita Tari Khu-seng ini memuncak pada adegan paling tegang
mendadak dia berhenti. Walau orang banyak sudah tahu akhirnya
dia selamat dan segar bugar sampai sekarang, tapi mendengar
dalam pertempuran sengit itu dia dibokong oleh Ho Lok, tak urung
jantung hadirin berdebar tegang, telapak tangan berkeringat dingin.
Beberapa orang malah bertanya, "Bagaimana selanjurnya?"
Boh Le-cu berdiri, katanya perlahan, "Kejadian selanjutnya, biar
aku yang melanjutkan. "Karena aku pingsan, Ho Lok mengira kalau tidak mampus aku
pasti terluka parah. Maka seluruh perhatian mereka tujukan untuk
menghadapi Tan Khu-seng, terhadapku mereka tidak berjaga atau
memperhatikan lagi. "Memang lukaku waktu itu tidak ringan untung tidak seketika
mampus. Lebih untung lagi aku siuman di kala Tan Khu-seng
terancam bahaya. "Aku pura-pura masih pingsan, dengan lwckang sim-hoat ajaran
ayah aku menghimpun tenaga. Pada saat itulah aku melihat Ho Lok
sedang membokong Tan Khu-seng dari belakang.
"Sebetulnya tenagaku belum terhimpun meski hanya satu bagian,
tapi entah dari mana datangnya tenaga, mendadak aku melompat
berdiri, dengan pedang aku pun menusuk punggung Ho Lok,
pedang panjangku amblas menembus dadanya"
Mendengar nadanya yang tegas dingin seperti merasakan pedang
panjangnya yang menembus dada Ho Lok itu, hadirin menghela
napas lega, namun tidak sedikit pula yang merinding. Ternyata
dendam dan sakit hati memang mengerikan.
Mendadak Boh Le-cu tertawa nyaring tapi bernada pilu, katanya,
"Sekarang sudah jelas duduk perkaranya bukan, yang membunuh
Ho Lok bukan Tan Khu-seng tapi aku. Siapa yang beranggapan
langkahku salah, siapa saja boleh menuntut balas kematian Ho Lok
kepadaku, soal ini tidak ada sangkut pautnya dengan Tan Khuseng."
Sorot matanya yang dingin dari wajah Tong-cin-cu beralih ke
wajah Tong-bing-cu. Tong-cin-cu tidak ingin bicara, Tong-bing-cu tidak berani bicara,
seluruh murid-murid Kong-tong-pay tiada yang mau bicara.
Sesaat kemudian Lui-tin-cu berkata, "Kalau demikian duduk
perkaranya, apa yang dinamakan kasus pembunuhan sesama
saudara seperguruan yang dilakukan Tan Khu-seng kurasa boleh
dinyatakan hanya merupakan fitnah belaka tanpa bukti nyata.
Selanjurnya Tan Khu-seng bebas dari tuduhan bukan?"
Tong-cin-cu menghela napas seperti apa boleh buat, katanya
kemudian, "Aih, sungguh tidak nyana begitu rumit seluk beluk
perkara ini. Tan Khu-seng memang terfitnah dalam kasus ini. Maka
perkara mencuci nama baik perguruan segala selanjutnya kuhapus
dan tidak boleh diungkit kembali."
"Tidak, kasus yang menimpa Tan Khu-seng boleh dianggap
selesai," demikian seru Kim Tiok-liu dingin, "tapi mencuci nama baik
perguruan kalian kurasa masih belum berakhir."
"Betul," Lui-tin-cu mendukung. "Nona Boh dan Tan Khu-seng
Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah menjelaskan duduk perkara sebenarnya, namun masih ada
sementara persoalan yang belum kumengerti."
Tong-cin-cu berkata loyo, "Dalam perguruan kami terjadi
peristiwa yang memalukan ini sungguh amat menyedihkan, maaf
aku tiada semangat mengusut perkara ini lebih lanjut. Mohon kalian
mewakili aku saja." "Baiklah," seru Kim Tiok-liu. "Ingin aku tanyakan kepada Tanheng,
kenapa kau baru pulang gunung setelah tiga bulan
kemudian?" Seperti diketahui, sejak peristiwa itu Tan Khu-seng tidak pernah
muncul, waktu itu dianggap menghilang sekian lama maka dia
dituduh merampok dan menculik. Sekarang Kim Tiok-liu sudah tahu
sebab apa dia menghilang maka meski tahu sengaja dia bertanya,
maksudnya memberi kesempatan supaya dia memberi penjelasan.
Ternyata Boh Le-cu yang mewakilinya memberi penjelasan,
"Akulah yang menjadi penyebabnya. Aku terluka parah, terpaksa dia
harus menjaga dan merawat aku. Apalagi dia sendiri juga terluka,
walau tidak separah lukaku, tapi lukanya tidak enteng."
Setelah itu dia melanjutkan kejadian selanjutnya setelah
membunuh Ho Lok, baru hadirin lebih jelas, malam itu boleh dikata
mereka benar-benar lolos dari lubang jarum, betapa berbahaya
keadaan mereka waktu itu, sungguh mengerikan.
---ooo0dw0ooo--- BOH LE-CU yang semula pingsan mendadak melompat bangun
serta menusuk Ho Lok sampai mampus, kejadian ini jelas di luar
dugaan Hay Lan-ja dan Auwyang Ya. Karuan mereka kaget dan
panik, permainan kalut konsentrasi juga buyar. Tan Khu-seng
mengambil keuntungan ini, mendadak pedangnya membalik "cras"
dia melukai Auwyang Ya, kembali "cret" lengan kiri Hay Lan-ja pun
tertusuk luka oleh pedangnya.
Tapi kepandaian Hay Lan-ja memang lebih unggul dibanding
Auwyang Ya, waktu pedang Tan Khu-seng melukai dirinya, telapak
tangannya pun berhasil mendarat di tubuh Tan Khu-seng. Punggung
Tan Khu-seng sudah tergores luka oleh pedang Ho Lok, kini
ditambah luka pukulan, maka keadaannya boleh dikata lebih parah
dibandingkan Hay Lan-ja. Tapi yang terluka paling parah memang Boh Le-cu. Setelah
pedangnya amblas di punggung Ho Lok, seluruh tenaga yang ada
pun habis, begitu Ho Lok roboh terkapar, matanya pun berkunangkunang
menyusul dia pun tersungkur jatuh.
Sekilas dia masih sempat melirik ke sana, di tengah sambaran
sinar pedang dan bayangan telapak tangan, lengan baju Hay Lan-ja
basah dan berwarna merah darah, namun langkah Tan Khu-seng
juga dilihatnya sempoyongan. Boh Le-cu masih agak sadar, dia tahu
pertempuran menjelang gugur bersama, saat segenting ini maka dia
menggigit bibir, kembali dia mengerahkan sisa tenaga mencabut
pedang dari punggung Ho Lok seraya berteriak serak, "Jangan
lepaskan kedua anjing alap-alap ini."
Padahal Boh Le-cu hanya menggertak, tapi Hay Lan-ja tidak tahu
keadaannya yang sudah loyo. Maklum barusan dia saksikan Ho Lok
ajal ditusuk pedangnya, ini membuktikan bahwa perempuan yag
saru ini tadi hanya jatuh pingsan saja. Sementara luka-luka
Auwyang Ya cukup parah, saat itu tak mampu bertempur lagi.
Sudah tentu Hay Lan-ja tidak berani bertempur seorang diri, apalagi
melawan keroyokan Tan Khu-seng dan Boh Le-cu, terpaksa dia
melarikan diri sambil menyeret Auwyang Ya.
"Sungguh berbahaya," diam-diam Boh Le-cu mengucap syukur
setelah bayangan Hay Lan-ja tidak kelihatan lagi. Rasa lega seketika
membuat tubuhnya lunglai dan jatuh pingsan lagi. Ketika sadar
dirinya sudah berada di dalam sebuah gua.
Didapatinya kelima peti pesalin yang dibawanya juga sudah
dipindahkan di dalam gua itu. Ternyata pingsannya itu cukup lama,
dua hari dua malam kemudian baru dia terjaga. Di saat dia pingsan
itu Tan Khu-seng membawanya ke dalam hutan dan menemukan
gua ini. Walau dia juga terluka namun tanpa menghiraukan jiwa
sendiri dia menggendong Boh Le-cu ke gua ini, tak lupa kelima peti
berisi emas perak dan perhiasan itu pun digotong ke dalam gua ini.
Dengan koyo penyambung nyawa buatan Kong-tong-pay dia
mengobati luka-luka Boh Le-cu, dengan sisa tenaga murninya dia
mengurut dan memijat sehingga jalan darah di tubuhnya berjalan
lancar dan normal. Selama dua hari dua malam itu boleh dikata dia
menjaga dan merawat dengan tekun dan telaten tanpa makan tidur
sehingga jiwa Boh Le-cu tertolong. Waktu Boh Le-cu sadar, Tan
Khu-seng sendiri yang sudah kehabisan tenaga malah jatuh sakit.
Untungnya orang-orang yang mencari Ho Lok setelah
menemukan mayatnya semua menyangka kedua muda mudi ini
sudah lari ke tempat jauh hingga tidak memeriksa tempat sekitar
kejadian. Maka mereka bisa menetap di gua itu dengan tenteram
dan aman. Kalau Tan Khu-seng jatuh sakit, luka-luka Boh Le-cu
ternyata makin sembuh maka sekarang ganti Boh Le-cu yang
merawat dan meladeni dia makan.
Walau saat itu merupakan kehidupan yang paling sengsara dalam
hidupnya, hari-hari yang tegang penuh bahaya, tapi kalau sekarang
Boh Le-cu mengenangnya kembali, hatinya masih merasa manis
mesra. Karena dalam kesusahan itu dia dan Tan Khu-seng saling
bantu, papah memapah, tanpa terasa bibit cinta mulai bersemi di
dalam sanubari mereka. Maka dalam benaknya, hari-hari di kala
mereka bersama itu merupakan kehidupan paling bahagia. Tapi
sayang sekali belakangan....
Perasaannya menjadi kecut, dengan nanar dia menatap Tan Khuseng.
Tan Khu-seng melengos tidak berani balas menatapnya. Tapi
yang menyambut sorot matanya adalah pandangan Lui-tin-cu dan
Kim Tiok-liu yang penuh kagum dan lega.
"Nona Boh," kata Lui-tin-cu, "bagaimana selanjurnya?"
Seperti tersentak sadar dari mimpinya, Boh Le-cu seperti ingat
dirinya sedang bercerita di depan orang banyak, terpaksa dia
menekan gejolak perasaannya, mimpi indah, mesra dan hangat itu
dia simpan dalam sanubarinya, katanya lebih lanjut, "Mungkin kami
belum ditakdirkan mati, dua bulan kemudian keadaan kami sudah
lolos dari marabahaya, keadaan kami sudah mulai pulih.
"Tapi masih ada satu tugas harus segera kami bereskan, yaitu
bagaimana dengan lima peti pesalin itu"
"Aku tahu di antara pesalin itu sebagian besar bukan milik
keluarga Boh kami, memang ada sebagian peninggalan ayah,
namun aku tak ingin membawanya lagi. Waktu itu aku memutuskan
untuk menyerahkan seluruh pesalin itu kepada laskar gerilya.
"Sudah tentu keadaan kami waktu itu tak mungkin unjuk diri.
Lalu bagaimana cara menyerahkan harta benda itu" Akhirnya Tan
Khu-seng yang mendapat akal.
"Dia menyelundup ke Bi-ti, memberi tahu orang yang biasa
menjadi kurir antara ayah dengan laskar gerilya, tengah malam
diam-diam dia masuk ke rumah orang itu serta meninggalkan
sepucuk surat." Sampai di sini cerita Boh Le-cu, maka di antara orang banyak
mendadak seperti terdengar suara satu orang. Terdengar dia
berkata lantang, "Aku adalah kurir yang selalu mengadakan kontak
antara laskar gerilya dengan Boh It-hang delapanbelas tahun yang
lalu. Baru sekarang aku tahu, orang yang malam itu meninggalkan
sepucuk surat tanpa nama di rumahku adalah Tan Khu-seng."
Menyusul dia yang bercerita tentang surat itu kepada hadirin,
"Dalam surat itu dijelaskan bahwa dana yang diperlukan untuk
laskar gerilya yang dulu dititipkan di keluarga Boh sekarang
disimpan dalam sebuah gua, aku disuruh ke sana mengambilnya.
Dalam surat itu dilampiri sebuah gambar peta yang menerangkan di
mana lokasi gua itu. Waktu itu aku masih bimbang, khawatir musuh
mengatur rencana hendak menjebak aku. Tapi demi kepentingan
laskar rakyat terpaksa aku memberanikan diri menempuh bahaya
pergi memeriksa ke sana. Betul juga di dalam gua aku menemukan
lima peti penuh berisi emas perak dan barang berharga lain yang
tak ternilai. Selama delapanbelas tahun ini, aku dan kawan-kawan
gerilya amat berterima kasih dan selalu ingat kebaikannya, kami
selalu berdoa semoga lekas tahu dan dapat bertemu dengan dia
serta menyatakan terima kasih. Baru sekarang kami tahu duduk
perkara sebenarnya." Lalu dia naik ke atas panggung menyatakan
terima kasih kepada Tan Khu-seng dan Boh Le-cu.
Boh Le-cu berkata, "Itu pantas kulakukan, kalau tidak bukankah
aku bakal jadi manusia rendah yang mencaplok harta besar yang
amat diperlukan laskar gerilya."
Orang itu berkata, "Tapi nilai harta yang kau serahkan kepada
kami, sudah melampaui harta yang kami titipkan kepada
keluargamu." Boh Le-cu meneruskan ceritanya, "Malam itu aku dan Tan Khuseng
bersembunyi di sekitar gua, setelah kami saksikan kelima peti
pesalin itu betul-betul dibawa pergi oleh para sahabat dari laskar
rakyat baru dengan rasa lega kami meninggalkan tempat itu. Hari
kedua aku pun berpisah dengan Tan Khu-seng."
Lui-tin-cu menghela napas panjang, katanya memuji, "Kalian
memang dua orang dermawan dan sosial. Sekarang persoalan
sudah jelas. Siapa lagi dapat memfitnah Tan Khu-seng merampok
dan menculik paras ayu?"
Dari bawah panggung seseorang mendadak tertawa dingin,
katanya perlahan,'"Walau ada saksi dalam perkara ini, tapi
perkaranya baru jelas separo bukan?" Maksud dari "jelas separo"
adalah tentang harta, namun menculik paras ayu memang masih
patut dicurigai. Pembicara ini adalah seorang murid Tong-bing-cu.
Kalau gurunya sudah tidak berani bcrcuit di atas panggung, di
bawah ternyata dia masih berani mengoceh.
Tidak sedikit hadirin yang mendongkol dan marah mendengar
ocehannya, tapi semua juga maklum, sepasang muda-mudi selama
tiga bulan hidup bersama dalam gua di atas gunung yang sepi,
betapapun sukar mereka mencuci bersih kecurigaan orang. Untuk
menjaga nama baik Boh Le-cu, mereka yang sudah siap mencaci
maki akhirnya tutup mulut.
Tapi Boh Le-cu mendengar juga ocehan murid Tong-bing-cu itu,
tampak alisnya berdiri, katanya, "Lui-locianpwe, Kim tayhiap,
kuharap kalian suka menjadi saksi." Sembari bicara dia menarik
lengan baju sebelah kanan. Di lengan kanannya yang putih bersih
tampak sebuah tahi lalat sebesar kacang warna merah darah.
Itulah Siau-kiong-soa pertanda kesucian seorang gadis yang
masih perawan. Lekas Lui-tin-cu membantu dia menurunkan lengan
baju, katanya, "Nona Boh suci bersih, kenapa kau hiraukan ocehan
manusia rendah bermulut anjing."
Kim Tiok-liu berkata, "Sebetulnya Ho Lok tidak terhitung sebagai
suami nona Boh lagi, dengan siapa dia suka menikah terserah
kepada pilihannya, siapa pun tidak berhak mencampuri."
Wajah Boh Le-cu yang dingin kaku seketika bersemu merah,
dalam hati dia membatin, "Sayang delapanbelas tahun yang lalu aku
dan Tan Khu-seng tidak punya keberanian untuk saling menyatakan
isi hati." Kenangan lama seperti terjadi di depan mata. Adegan yang
paling tidak bisa dia lupakan adalah saat-saat menjelang
perpisahannya dengan Tan Khu-seng.
Setelah berkumpul tiga bulan, kesehatan mereka sudah pulih,
harta sudah diserahkan kepada laskar gerilya, maka tiba saatnya
mereka harus berpisah. Tanpa bicara mereka turun gunung,
keduanya menggigit bibir tanpa bicara, menahan gejolak perasaan
dan airmata yang hampir menetes.
Tanpa terasa mereka sudah berada di kaki gunung, akhirnya Tan
Khu-seng hampir tidak kuat mengucap dua patah kata, "Sampai
bertemu." Melihat Tan Khu-seng akan pergi meninggalkan dirinya,
Boh Le-cu sudah tidak kuat menahan diri lagi.
Begitu pula perasaan Tan Khu-seng waktu itu mungkin sama
dengan dirinya, tanpa sadar tangan mereka saling genggam.
Boh Le-cu tak kuasa membendung airmatanya, katanya terisak,
"Apakah betul kita bisa bertemu lagi?"
Tan Khu-seng berkata serak getir, "Aku tidak tahu, ai, agaknya
kita harus pasrah pada nasib saja."
Boh Le-cu menghela napas, katanya, "Selama kita berkumpul tiga
bulan ini, bagi perasaanku adalah saat yang paling menderita tapi
juga paling bahagia dan manis, selama hidup aku tidak akan
melupakannya Tan Khu-seng berkata, "Aku pun tidak melupakan. Sayang sekali
masa silam yang manis bagai madu ini takkan terulang kembali."
Seperti tersayat perasaan Boh Le-cu, tak. tahan diri,
menjatuhkan diri dalam pelukan Tan Khu-seng.
Tan Khu-seng menyeka airmata-nya, katanya, "Nona Boh, aku
tahu maksud hatimu. Bukan aku berhati baja, seperti kau, aku pun
tidak ingin berpisah. Tapi sayang nasib telah menentukan jalan
hidup kita, kita harus berpisah kecuali...."
"Kecuali apa?" Tan Khu-seng menggelengkan kepala, katanya menghela napas,
"Tapi mulut orang amat menakutkan, apakah kita bisa tidak
menghiraukan kecurigaan orang" Kecuali yang kumaksud
sebetulnya hanya angan-angan kosong belaka."
Dia tidak menjelaskan apa arti kata yang akan diucapkan, tapi
Boh Le-cu sudah mengerti. Memang di luar orang tentu sudah
gempar membicarakan kasus ini, dalam keadaan seperti ini, mana
mungkin mereka terangkap menjadi suami istri"
Boh Le-cu berkata perlahan, "Aku bisa menunggu hingga kasus
ini dibikin terang dan dibongkar di hadapan umum."
Tan Khu-seng tertawa getir, katanya, "Aku justru tak berani
mengharapkan yang muluk-muluk, jangan kata orang lain tidak
akan mau percaya keterangan kita, mungkin aku pun takut
membongkar kenyataan ini di depan umum, ai, hari yang kau
harapkan mungkin takkan bisa kau dapatkan."
Dugaan Tan Khu-seng tidak keliru, setelah dia pulang ke gunung,
karena tuduhan "membunuh saudara seperguruan" dia lantas
dipecat dan diusir dari perguruan. Tapi ada juga yang meleset dari
dugaannya Dia mengira, selama hidup perkara ini takkan terungkap,
tapi kali ini persoalan telah dibikin terang dan umum pun telah tahu
duduk perkaranya. Tapi apakah saat yang dihar rapkan Boh Le-cu
ini tidak terlambat"
Diam-diam dia melirik memperhatikan Tan Khu-seng, dilihatnya
Tan Khu-seng tunduk seperti memperhatikan sesuatu. Entah apakah
dia juga sedang memikirkan persoalan yang sedang dia renungkan.
"Tan-heng, kini giliranmu untuk melanjutkan cerita," demikian
ucap Kim Tiok-liu. "Relakah kau mengisahkan rahasia pribadimu
yang selama delapanbelas tahun ini kau sembunyikan?"
Tan Khu-seng menghela" napas, katanya, "Kejadian yang dulu
paling tidak diinginkan oleh unsu (guru yang berbudi) sudah terjadi,
kurasa tiada halangannya kukisahkan."
Setelah Tan Khu-seng berceri-tera, baru orang banyak
mengetahui kenapa gurunya yaitu ciangbunjin
Kong-tong-pay yang terdahulu Tong-biau Cinjin merelakan
muridnya dihukum dan dipecat serta diusir dengan tuduhan yang
membuat penasaran. ---ooo0dw0ooo--- TIGA BULAN setelah kejadian, Tan Khu-seng yang menghilang
mendadak pulang. Tentu saja semua saudara seperguruannya
menjadi gempar, tiada yang tidak menaruh curiga kepadanya.
Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untuk mempertahankan nama baik perguruan, terpaksa Tan
Khu-seng tutup mulut terhadap segala pertanyaan yang diajukan
para saudara seperguruannya, dia hanya mau bicara dengan
gurunya saja. Setelah mendapat laporan muridnya, lama dan lama sekali Tongbiau
Cinjin tidak bicara, akhirnya dia menghela napas, ujarnya,
"Muridku, mungkin gurumu terpaksa akan membuatmu susah."
Ternyata Tong-biau Cinjin serba salah, demi keadilan umum juga
untuk kebenaran pribadi. Untuk keadilan umum, pertama dia takut
bila kenyataan kasus ini terbongkar dan diketahui orang luar nama
besar Kong-tong-pay yang sudah ditegakkan ratusan tahun akan
runtuh. Jikalau keputusannya tidak-tepat, kemungkinan akan
menimbulkan kemarahan kaum pendekar dan laskar rakyat, yang
akan datang ke Kongtong-san menuntut keadilan.
Tapi bagaimana dia harus mengambil keputusan supaya urusan
tidak berabe, terhadap golongan atau perguruan yang tidak secara
terbuka menentang pemerintah kerajaan mungkin tidak akan
banyak pengaruh, namun bagi pihak Kong-tong-pay sendiri hal ini
justru sukar diselesaikan. Karena Kong-tong-pay sejak berdiri tidak
mempunyai undang-undang untuk menghukum murid yang
berkhianat. Sudah menjadi tradisi Kong-tong sejak berdiri hingga sekarang,
tidak pernah mencampuri urusan pemerintahan, tidak pernah
melibatkan diri dalam berbagai pertikaian dan perbuatan apa pun.
Sejak kerajaan Ceng mulai berkuasa selama seratus tahun lebih ini
mereka bertahan tidak menentang juga tidak mendukung
kebijaksanaan pemerintah kerajaan. Beberapa cosu dari generasi
yang terdahulu hanya menuntut murid mereka khusus mempelajari
kungfu, tentang hubungan pribadi mereka, entah bersahabat
dengan kaum pendekar yang menentang kerajaan atau
berhubungan baik dengan kalangan pejabat, mereka bebas memilih
jalan dan arahnya sendiri. Lantaran itulah, selama ratusan tahun
Kong-tong-pay tidak pernah bentrok dengan kedua pihak yang
bertentangan ini. Tong-hian-cu bersekongkol dengan Hay Lan-ja membunuh
Koantiong Tayhiap Boh It-hang yang terkenal sebagai penentang
kerajaan paling gigih. Menurut tata tertib perguruan Kong-tong-pay,
ciangbunjin boleh mengatakan dia bersalah, juga boleh memberi
peringatan kepadanya supaya selanjutnya tidak membantu pihak
kerajaan. Tapi tidak boleh menuduhnya sebagai murid pengkhianat.
Apalagi secara diam-diam Tan Khu-seng juga pemah membantu
pihak laskar gerilya, bila menurut tata tertib perguruan yang keras,
dia pun patut mendapat teguran pedas.
Sikap Tong-biau Cinjin sendiri sebenarnya lebih cenderung ke
pihak laskar gerilya tapi dia bertindak bukan karena perbuatan Tan
Khu-seng, tapi berdasarkan tradisi perguruan untuk menjatuhkan
hukuman, hal ini jelas berbeda dari kebiasaan. Apalagi dia masih
mengkhawatirkan sesuatu. Kekhawatiran itu adalah jikalau dia ingin membela muridnya yang
terfitnah, maka dia harus menjelaskan duduk persoalan yang
sebenarnya. Selanjutnya melaksanakan kewibawaan dan kekuasaan
seorang ciangbunjin, melanggar tradisi menentukan sendiri undangundang,
menghukum Tong-hian-cu yang secara diam-diam menjadi
antek kerajaan. Langkah ini bisa dilakukan karena ciangbunjin punya hak
menegakkan undang-undang baru. Tapi kalau langkah ini dia
lakukan berarti telah menentukan sikap, Kong-tong-pay di bawah
pimpinannya selanjutnya menentang pemerintah kerajaan. Bila
sudah menentukan sikap, maka akibatnya bisa dibayangkan.
Selanjutnya Kong-tong-pay harus bermusuhan dengan pemerintah
kerajaan dan itu berarti dia akan membawa dan mendatangkan
mala petaka besar yang berkepanjangan bagi Kong-tong-pay,
seluruh murid Kong-tong-pay takkan bisa hidup tenteram sepanjang
masa. Untuk melakukan langkah ini diperlukan keberanian yang besar.
Tong-biau Cinjin justru tidak punya keberanian yang diperlukan ini.
Karena langkah dan perbuatannya ini berarti mengubah hakekat
dari seluruh tradisi yang sudah turun temu-run dari Kong-tong-pay.
Kecuali keberanian besar juga harus memiliki keuletan dan
ketabahan luar biasa. Tong-biau Cinjin ternyata tidak memiliki
syarat-syarat dari tuntutan ini.
Demi umum atau pribadi Tong-biau Cinjin serba khawatir, kecuali
kedua alasan di atas dia pun tidak tega membuat sute-nya Tonghiancu hancur nama dan tamat riwayat.
Dalam hal ini ada latar belakang yang tidak diketahui orang.
Soalnya dia harus mematuhi pesan gurunya, yaitu mengayomi sutenya
yang satu ini, selama hidupnya harus menjaga dan
membimbing sute-nya. Gurunya Giok-king Cinjin bersahabat baik dengan ayah Tonghiancu. Suatu ketika mereka bertemu dengan musuh tangguh dan
terkepung. Untuk melindungi Giok-king Cinjin, ayah Tong-hian-cu
terluka parah dan tak tertolong lagi. Maka Giok-king Cinjin merasa
wajib mendidik, mengasuh dan membesarkan anak yatim piatu dari
sahabatnya itu, wajar kalau dia terlalu sayang padanya. Tong-biau
Cinjin lebih tua belasan tahun dari Tong-hian-cu, waktu dia mewarisi
kedudukan ciangbun Tong-hian-cu belum dewasa. Maka menjelang
ajalnya Giok-king Cinjin berpesan kepada muridnya Tong-biau Cinjin
untuk menjaga sute-nya yang masih kecil ini.
Setelah Tong-biau Cinjin menjelaskan rasa khawatir dan
kesulitannya kepada Tan Khu-seng, tanpa terasa dia melelehkan
airmata juga, katanya, "Kau adalah muridku yang paling kusayang,
sebetulnya tidak patut dan tidak tega menindak kau, namun
sekarang aku ingin mohon maaf kepadamu."
Apa pula yang bisa dikatakan Tan Khu-seng setelah gurunya
memutuskan demikian" Terpaksa dia berlutut, katanya dengan
airmata bercucuran, "Terlalu berat ucapan suhu, nama besar
perguruan lebih utama, baik' buruk nama seseorang tidak jadi soal
dikorbankan. Tecu menerima apa pun putusan dan kehendak suhu."
Cukup lama Tong-biau Cinjin memeras otak, baru dia
menjelaskan rencananya. Tong-biau Cinjin berkata, "Tong-hian dan Tong-bing menuntut
kepadaku supaya menghukum kau dengan tuduhan membunuh
sesama saudara seperguruan, sudah tentu aku tidak akan menerima
tuntutan mereka begitu saja. Tapi untuk menenteramkan suasana,
terpaksa aku menggunakan alasan sendiri, akan kukatakan kau
harus memikul dosa karena tidak becus menunaikan tugas
melindungi keselamatan sesama saudara perguruan. Resminya kau
kupecat dan diusir dari perguruan, namun dalam sanubariku kau
tetap adalah muridku yang paling baik."
Karena akan diusir dan dipecat dari perguruan, betapa sedih hati
Tan Khu-seng. Tapi berbalik dia harus membujuk dan menghibur
gurunya supaya tidak bersedih, "Suhu mendapat jaminan itu,
umpama tecu harus dihukum lebih berat lagi juga rela. Khawatirnya
para saudara seperguruan mungkin akan menentang kebijakan suhu
yang dirasa kurang adil dan terlalu membela tecu."
Tong-biau Cinjin tertawa getir, katanya, "Karena aku tidak bisa
memberi penjelasan selayaknya terpaksa bertindak secara
serampang-an. Memang putusanku yang seram-pangan ini akan
menimbulkan rasa tidak puas seluruh murid-murid lain. Maka aku
memutuskan setelah kasus ini kuselesaikan dengan caraku yang
serampangan itu, aku pun akan mengundurkan diri menyerahkan
jabatan ciangbun ini kepada orang lain. Orang akan memberi
tanggapan akan langkahku ini karena menganggap kurang keras
menegakkan disiplin perguruan, tapi kau kan mengerti, memang
aku amat menyesal, tapi hanya terhadap dirimu saja."
"Jangan suhu bilang demikian, karena diriku suhu ikut terlibat
dan akulah yang wajib memikul segala akibat ini. Entah suhu
hendak menyerahkan jabatan ciangbun kepada siapa?"
"Kau tak usah khawatir, aku tidak akan menyerahkan kepada
Tong-hian-cu atau Tong-bing-cu, aku sudah siap menyerahkan
kepada ji-sute Tong-cin-cu. Walau kemampuannya biasa, tetapi
hatinya lebih baik, setia dan jujur, kuyakin dia tidak akan berbuat
sewenang-wenang." "Aku akan memberi peringatan kepada Tong-hian-cu bahwa aku
telah tahu rahasianya, aku pun akan memberi tahu seluk beluk
persoalan kasus ini secara singkat kepada Tong-cin sute yang akan
kuserahi jabatan. "Selama aku masih hidup, yakin mereka tidak akan berani
bertingkah, tapi aku akan memberi wejangan dan peringatan
kepada mereka, bila aku sudah mati, bila mereka tidak patuh pada
pesanku, siapa mengulangi kesalahan Tong-hian-cu lagi, aku akan
memberi ijin kepadamu untuk membongkar kasus ini di depan
umum. Mereka yang kumaksud perlu ditegaskan, termasuk Tongbingcu." Tan Khu-seng berhati bajik, dia tidak menceritakan bagaimana
sikap gurunya terhadap Tong-cin-cu dan Tong-bing-cu di hadapan
orang banyak. Tapi orang banyak tahu bahwa Tong-cin-cu yang
sekarang menjabat ciangbun sebetulnya bukan tidak tahu menahu
adanya kasus yang memalukan ini. Tong-cin-cu sendiri juga
memaklumi hal ini, maka hatinya menjadi bimbang, apa perlu
dikemukakan Tong-bing-cu yang sudah dia ketahui. Didengarnya
Tan Khu-seng sudah menghela napas dan melanjutkan, "Sungguh
tak nyana, setelah suhu dan Tong-hian susiok meninggal dunia, hari
ini aku dipaksa untuk pulang ke Kong-tong-san menjelaskan duduk
persoalan sebenarnya dari kasus ini, sekarang aku mohon kepada
ciangbun untuk menyelidiki siapa sebenarnya orang yang
menempuh kesalahan Tong-hian susiok dan berkomplot dengan Hay
Lan-ja?" Mendadak Tong-bing-cu berkata dingin, "Tan Khu-seng;
sekarang kau belum menjadi ciangbun, mana boleh kau
menegakkan keadilanmu sendiri."
Tan Khu-seng gusar, serunya, "Hay Lan-ja membunuh Giok-hi
tianglo, apa tidak pantas kita menuntut balas kepadanya?"
"Itu dua persoalan yang berlainan. Apa benar Giok-hi tianglo
terbunuh oleh Hay Lan-ja masih perlu penyelidikan, paling hanya
boleh dikata dia patut dicurigai. Umpama benar dialah pembunuh
Giok-hi tianglo, persoalan hanya bisa dibereskan dengan Hay Lan-ja
sendiri, umpama ada murid Kong-tong-pay yang punya hubungan
dengan dia, juga tidak melanggar aturan perguruan. Apalagi orang
yang dituduh ini belum tentu ada. Kau menuntut ciangbun
mengusut orang yang berkomplot dengan Hay LanTja, bukankah
kau bermaksud menarik panjang urusan dan mencari gara-gara?"
Mendadak Tong-cin-cu berkata, "Kalian tak perlu perang mulut,
aku ada omongan." Sikapnya keren dan serius, agaknya dia hendak
menegakkan wibawa seorang ciangbunjin.
Tan Khu-seng berkata, "Tecu tunduk, mohon ciangbun memberi
petunjuk." Tong-bing-cu tampak membeku diam tanpa ekspresi, entah apa
yang sedang dipikir. Tong-cin-cu batuk-batuk, katanya perlahan, "Pertemuan besar
perguruan kita hari ini, sebetulnya untuk menyelesaikan dua
persoalan besar. Pertama, mengusut kembali kasus lama Tan Khuseng
yang dituduh membunuh sesama saudara seperguruan.
Kedua, adalah memilih pejabat ciangbun yang baru. Sekarang kasus
Tan Khu-seng sudah beres, dosa-dosanya sudah tercuci bersih,
adalah pantas kalau sekarang menerimanya kembali ke dalam
perguruan, putusanku ini entah siapa yang menentang?"
Sebagian besar murid-murid Kong-tong-pay menyambut dengan
sorak sorai, tiada seorang pun yang menentang. Dalam suasana
yang riang gembira ini, Tong-bing-cu yang amat membenci Tan
Khu-seng tidak berani bicara lagi.
Setelah meredakan sorak sorai orang banyak, baru Tong^cin-cu
melanjutkan pidatonya, "Kalau tiada orang menentang, berarti Tan
Khu-seng diterima kembali sebagai anggota kita, itu berarti dia
punya hak dicalonkan sebagai pewaris ciangbun kita. Waktu
permulaan tadi aku sudah mengusulkan Tong-bing sute sebagai
calon pewaris,, belakangan Giok-hi tianglo mengusulkan supaya Tan
Khu-seng dicalonkan sebagai pewaris juga, apakah ada orang lain
yang mengajukan calon ketiga?"
Setelah pertanyaan diulang tiga kali dan ditunggu tanpa jawaban
maka Tong-cin-cu berkata lebih lanjut, "Baiklah, sekarang harap
seluruh anggota seperguruan memutuskan bersama memilih siapa
pewaris yang menjabat ciangbunjin kita Aku sendiri sudah tidak
becus jadi pemimpin, maka banyak urusan besar yang sejauh ini
belum diputuskan biarlah pejabat ciangbun yang baru nanti
mengurusnya." Tujuan amat jelas, yaitu seluruh tanggung jawab dari persoalan
selanjutnya akan diserahkan dan biar dipikul oleh ciangbun yang
akan terpilih nanti. Sungguh menggelikan, Tong-bing-cu yang sudah begitu ingin jadi
ciangbun kini seperti orang hukuman yarig sudah divonis hukuman
mati. Betapapun dia berusaha menenangkan diri, bagi yang
menaruh perhatian pasti melihat sorot matanya yang penuh dendam
dan keben-cian. Saat mana. dia membatin, "Rase tua ini memang
licik dan licin, lahirnya dia pura-pura jadi orang baik yang terang
jelas dia hendak meminjam tangan Tan Khu-seng hendak
membunuh aku." Sekarang rnulai babak pemilihan, akhirnya sesuai yang sudah
diduga orang banyak sudah tentu juga sudah diduga oleh Tongbingcu. Tong-cin-cu menyuruh orang banyak minggir dan mundur supaya
di tengah gelanggang terdapat tanah kosong yang cukup luas, lalu
dia berseru lantang, "Seluruh murid perguruan Kong-tong-pay, siapa
mendukung Tong-bing-cu menjabat ciangbun yang akan datang
dipersilakan berdiri."
Ternyata tiada satu pun murid. Kong-tong-pay yang bergerak
atau melangkah keluar termasuk muridmurid Tong-bing-cu sendiri.
Tay-ciok yang menjadi muridnya terbesar pun terima jadi kura-kura
yang mengkeretkan kepala.
Sesaat kemudian Tong-cin-cu kembali berseru, "Murid-murid
Kong-tong dengarkan, siapa mendukung Tan Khu-seng menjadi
pejabat ciangbun kita silakan maju."
Kali ini ternyata menjadi ramai, belum habis Tong-cin-cu bicara,
murid-murid Kong-tong-pay seperti berlomba dan takut ketinggalan
saja bergegas melangkah keluar berdiri di gelanggang' kosong tadi.
Hanya murid-murid Tong-bing-cu sendiri yang menjadi rikuh dan
serba susah untuk ikut beranjak keluar namun jumlahnya juga
hanya beberapa gelintir. Tong-cin-cu menghela napas, katanya, "Tan sutit, kuucapkan
selamat bahwa secara bulat kau didukung sesama saudara
perguruan menjadi pewaris ciangbun yang akan datang. Mulai saat
ini, kau adalah ciangbun kita yang baru."
Tan Khu-seng berkata, "Bahwa aku diterima kembali menjadi
anggota perguruan, bagiku sudah lebih dari cukup. Jabatan
ciangbun terus terang tak berani kuterima. Susiok, usiamu belum
lanjut kuharap kau menjabatnya untuk dua tahun mendatang."
Tersipu Tong-cin-cu menggoyang tangan, katanya, "Putusan
sudah ditetapkan secara bulat oleh seluruh anggota, mana boleh
kau menghibahkan jabatan secara pribadi?"
"Tan Khu-seng," seru Lui-tin-cu, "kaulah yang dijadikan tumpuan
Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harapan orang banyak, kuharap kau tidak menolak."
Tan Khu-seng masih ingin menolak, mendadak Boh Le-cu
berkata, "Tan Khu-seng bukan soal kau tidak mau jadi ciangbun,
apakah dendam kematian gurumu kau pun tidak ingin
membalasnya?" Tan Khu-seng terbeliak kaget, serunya, "Kau... apa katamu,
maksudmu dendam kematian Giok-hi tay-susiok?" dia mengira salah
dengar. "Tidak. Bukan Giok-hi tianglo yang kumaksud, maksudku adalah
gurumu Tong-biau Cinjin. Kematian Giok-hi-cu memang tidak jelas,
demikian pula kematian suhumu. Tahukah kau bagaimana kematian
gurumu?" Karuan hadirin menjadi gempar, Tan Khu-seng berteriak kalap,
"Bagaimana kematian guruku?"
"Mati diracun orang," sahut Boh Le-cu.
Setelah menyerahkan jabatan ciangbun kepada sute-nya Tongcincu, belum ada dua tahun, tahu-tahu Tong-biau Cinjin meninggal
dunia, waktu itu usianya baru menanjak enampuluh. Bagi seorang
yang memiliki kungfu tinggi, dalam usia enampuluh tahun meski
tidak terhitung pendek umur, bolehlah dianggap setengah umur.
Oleh karena itu begitu berita kematiannya tersiar, kaum Bulim
menjadi kaget, kasihan dan menyayangkan, semua menganggap
kematiannya amat mendadak, namun tiada orang curiga kalau
kematiannya itu ada sebab lain atau terbunuh.
Satu bulan sebelum kematiannya, Lui-tin-cu pernah bertemu
dengan dia. Waktu itu mereka mendiskusikan ilmu silat hingga
beberapa hari lamanya. Tong-biau Cinjin tidak menunjukkan gejala
tidak sehat badannya, kini setelah mendengar pernyataan Boh Lecu,
terbayang oleh Lui-tin-cu keadaan Tong-biau Cinjin terakhir kali
mereka bertemu, timbul rasa curiganya, lekas dia bertanya, "Nona
Boh dari mana kau tahu?"
"Aku pernah berkunjung sekali ke Kong-tong-san. Waktu aku
datang, kebetulan adalah menjelang terbunuhnya Tong-biau Cinjin."
Tong-bing-cu tertawa dingin, jengeknya, "Aku yakin murid-murid
Kong-tong-pay kami tidak seluruhnya gentong nasi, nona Boh kau
seorang diri dapat menyelundup ke Jing-hi-koan, siapa pun sukar
percaya omonganmu." Boh Le-cu berkata, "Tidak lama setelah aku berpisah dengan Tan
Khu-seng, suatu hari aku bertemu dengan maling sakti nomor satu
sejagat Kwi-hwe-thio. Dia mengajarkan ilmu rata rias dan bicara
dengan perut, maka aku menyamar seorang tosu cilik menyelundup
ke dalam Jing-hi-koan."
Orang banyak tadi menyaksikan dua macam kepandaiannya, tadi
dia mencampurkan diri di tengah gerombolan murid-murid Kongtongpay, berbicara dengan perut, namun tiada orang yang tahu.
Tak heran kalau dahulu dia pernah menyelundup ke Jing-hi-koan
tanpa ketahuan. Boh Le-cu bicara lebih lanjut, "Bukan tidak ada orang yang tahu
akan penyamaranku, ada dua yang melihat aku, yaitu orang yang
menggunakan racun dan seorang lagi adalah orang yang hendak
mencegah orang itu turun tangan tapi tidak berhasil."
Lui-tin-cu bertanya, "Orang yang berusaha mencegah itu pasti
orang Kong-tong-pay, siapa dia?"
Boh Le-cu berpikir sejenak katanya, "Kuharap lebih baik kalau dia
sendiri yang mengatakan."
Tapi kenyataan orang itu tidak mau atau berani menampilkan
diri. Rasa kaget dan duka Tan Khu-seng belum hilang, dengan napas
memburu dia bertanya, "Tolong kau beri tahu, siapa orang yang
menggunakan racun?" Boh Le-cu mengangkat kepala, mendadak dia menuding,
katanya, "Orang ini jauh di ujung langit dekat di mata. Nah itu dia
sudah datang." Orang banyak menoleh arah
yang dituding, tampak Ting Tiau-bing dan guru silat dari Jiangciu
Tio It-bu sedang menggusur seorang perempuan setengah baya
masuk ke arena. Kim Bik-ki kontan berteriak, "Ayah, perempuan inilah yang
menganiaya puterimu."
Sesuai petunjuk Boh Le-cu, Ting Tiau-bing dan Tio It-bu turun ke
bawah Toan-hun-gay, memang benar di dasar jurang itu mereka
menemukan Sin Jit-nio yang terluka.
Perlahan Boh Le-cu berkata, "Perempuan jahat inilah yang
membunuh Tong-biau Cinjin dengan racun, orang yang
mengundangnya kemari dahulu adalah orang yang mengundangnya
kali ini." "Siapa dia?" desak Tan Khu-seng.
"Jauh di ujung langit, dekat di mata," ucap Boh Le-cu.
Belum habis Boh Le-cu bicara, mendadak terdengar Tong-cin-cu
mengerang tertahan menyusul Tong-bing-cu mengeluarkan seringai
tawa yang menggiriskan. Sejak tadi Tong-bing-cu berdiri di belakang
Tong-cin-cu, di saat perhatian orang banyak tertuju ke arah Ting
Tiau-bing dan Tio It-bu yang menggusur Sin Jit-nio, secepat kilat
mendadak dia turun tangan, mencengkeram kuduk dan jalan darah
penting di punggung Tong-cin-cu.
Boh Le-cu sudah siaga dan waspada, bersiap menghalangi
Tongbing-cu membokong Tan Khu-seng, tapi tak tersangka bahwa
yang dibo-kong malah Tong-cin-cu. Tan Khu-seng gusar dan kaget.
"Sreet" pedang dicabut dia membentak gusar, "Tong-bing-cu, kau
berani memberontak dan kurang ajar kepada pimpinan. Lepaskan
tanganmu!" Tong-bing-cu menyeringai dingin, katanya, "Siapa suruh kalian
memojokkan aku ke jalan buntu" Hehe, Tan Khu-seng, dengarkan,
berani kau maju selangkah, segera kumampuskan Tong-cin-cu.
Upacara serah terima jabatan ciangbun belum dilaksanakan secara
resmi, sampai detik ini Tong-cin-cu tetap menjabat ciangbun, kalau
kau tidak menghiraukan jiwanya, maka kaulah yang harus
bertanggung jawab memikul dosa kematiannya."
Tanpa digertak juga Tan Khu-seng tidak berani mempertaruhkan
jiwa Tong-cin-cu. Saking gusar, bola matanya mendelik merah
padam, namun dia tak berani bertindak, pedang pusaka
disarungkan kembali. Telapak tangan Tong-bing-cu menekan hiatto besar di punggung
Tong-cin-cu, sementara dia sendiri berdiri membelakangi sebuah
tiang, katanya, "Lui-locianpwe, Kim tayhiap, kuharap kalian memberi
maaf dan sabar. Aku tahu, cukup angkat sebelah tangan kalian
mampu menamatkan jiwaku, tapi sebelum aku gugur Tong-cin-cu
pasti mampus lebih dulu. Hehe, hanya untuk melaksanakan langkah
sepele ini, kalian tentu percaya bahwa Tong-bing-cu masih mampu
melakukan bukan?" Bila dia mengerahkan tenaganya, bila hiatto
mematikan terpukul, maka Tong-cin-cu pasti mati seketika. Lui-tincu
dan Kim Tiok-liu tahu hal ini bukan gertakan.
Lui-tin-cu marah besar, makinya, "Setua ini belum pernah aku
melihat manusia rendah sejahat engkau, kehadiranmu di dunia
persilatan menjatuhkan pamor Kong-tong-pay, sungguh
memalukan." Mau memaki boleh memaki, tapi apa yang bisa dilakukan"
Tong-cin-cu juga amat gusar, teriaknya, "Kalian tidak usah
menghiraukan jiwaku, aku rela gugur bersama dia." Walau dia rela,
tapi kaum persilatan yang mampu membunuh Tong-bing-cu mana
mau melakukan" Terpaksa Tong-cin-cu menghela napas, katanya, "Aku amat
menyesal kenapa tidak sejak tadi membongkar dosa dan
kejahatannya." "Sekarang juga boleh kau katakan," jengek Tong-bing-cu.
"Sebetulnya sejak mula aku sudah tahu kalau dalam kasus ini
Tan Khu-seng memang terfitnah. Dulu waktu Tong-hian-cu
membawa pu^ lang jenazah anaknya, aku dan Tong-bing-cu yang
memeriksa lebih dulu jenazah Ho Lok, kematiannya disebabkan
tusukan telak dari punggung, ini membuktikan apa yang dikisahkan
nona Boh tadi memang tidak salah, dialah yang membunuh Ho Lok.
Tapi hari kedua waktu jenazah itu diperlihatkan di depan umum,
jenazah Ho Lok ternyata bertambah tujuh lubang tusukan, sekali
pandang orang akan tahu bahwa luka-luka itu bekas permainan
Lian-hoan-toh-bing-kiam dengan jurus Jit-sing-poan-gwat itu."
Itulah salah satu bukti kenapa Tan Khu-seng pun ikut dicurigai.
Sekarang kasusnya sudah terbongkar, namun dari kesaksian
beberapa orang tadi, hal ini belum ada yang menjelaskan. Tadi Boh
Le-cu mengaku telah membunuh Ho Lok, namun sementara orang
tetap curiga, menyangka dia mewakili orang lain, namun karena
orang banyak lebih cenderung kepadanya dan Tan Khu-seng maka
orang banyak merasa Ho Lok memang setimpal menerima kematiannya.
Kini baru orang banyak sadar dan mengerti, "Ternyata
Tong-bing-cu yang membuat bekas luka di jenazah Ho Lok dengan
jurus Jit-sing-poan-gwat itu. Sungguh pikun, kenapa tidak ingat
pada dirinya." Tong-bing-cu menyeringai dingin, katanya, "Betul, memang aku
yang melakukan, hanya aku dan Tan Khu-seng dalam Kong-tongpay
yang mampu melancarkan jurus itu, aku yakin orang tidak akan
curiga kepadaku. Waktu itu Tong-hian-cu tidak setuju jenazah
puteranya dimasak, namun untuk menfitnah Tan Khu-seng, akhirnya
dia berhasil kubujuk. Ciangbun suheng, aku sudah maklum kalau
kau tahu perbuatanku, terima kasih selama ini kau menyimpan
rahasia ini." Tong-cin-cu. gusar bukan main, katanya, "Semua gara-gara
sifatku yang egois, di bawah ancaman dan. tekanan mereka,
ternyata aku lupa bahwa aku ini manusia beribadat, manusia yang
bertakwa kepada Thian, sekarang menyesal pun sudah terlambat."
Walau tidak dijelaskan, orang banyak sudah tahu, apa yang
dimaksud dengan diancam dan ditekan adalah adanya
persekongkolan antara Tong-hian-cu dan Tong-bing-cu, kekuasaan
mereka berdua di dalam kalangan Kong-tong-pay jauh lebih besar
dari ciangbun suheng-nya sen-diri. Karena takut dibunuh, dan Tongcincu ingin sekali menduduki jabatan ciangbun, terpaksa dia tunduk
dipermainkan mereka Tong-cin-cu berkata lebih lanjut, "Aku menjadi ciangbun, namun
hanya menjadi boneka mereka belaka Tapi tak pemah terbayang
olehku, Tong-bing-cu, dia ternyata begitu keji dan culas, bukan' saja
memfitnah Tan Khu-seng, dia-berani bersekongkol dengan penjahat
membunuh suheng-ku Tong-biau Cinjin.
"Secara diam-diam dia mendatangkan Sin Jit-nio, disembunyikan
dalam Jing-hi-koan. Malam itu ke-pergok olehku. Kenapa dia
mengundang perempuan jahat itu" Walau aku ini ceroboh namun
dapat kute-bak maksudnya, pasti untuk mencelakai jiwa orang.
Ternyata sudah terlambat, waktu aku membujuk dan menasihatinya
saat itulah perempuan jahat itu turun tangan. Belum habis aku
bicara perempuan jahat itu sudah keluar dengan menyeringai
berkata kepadaku, .'Kalau Tong-bing-cu tidak bilang kau ini masih
ada gunanya, sejak mula kaulah yang kubunuh lebih dulu. Hm, kau
baik hati, silakan kau saja yang membereskan mayatnya. Hahaha,
mayat siapa" Kurasa kau tidak perlu tanya, siapa lagi kalau bukan
suheng-mu Tong-biau Cinjin.'
"Bergegas aku berlari ke luar, mendadak kulihat bayangan
seorang tosu kecil dengan gerakan aneh, sebelum aku melihat jelas
wajahnya, bayangannya sudah lenyap. Tapi aku sempat mendengar
perkataannya, 'Malapetaka atau rejeki hanya manusia sendiri yang
mengundangnya. Kau tidak begitu bpdoh, mau baik atau ingin jahat
terserah padamu sendiri.' Baru sekarang aku tahu, orang yang
pernah memberi petuah baik itu ternyata nona Boh."
Boh Le-cu berkata, "Tujuanku menyelundup ke Jing-hi-koan
adalah untuk menghadap Tong-biau Cinjin- dan melaporkan
kejadian sebenarnya, siapa tahu aku terlambat sehari, Tong-biau
Cinjin keburu dibunuh perempuan jahat itu, maka harapanku
terpaksa kualihkan kepada Tong-cin-cu, kuharap dia dapat
menegakkan keadilan."
Malu dan menyesal campur aduk dalam benak Tong-cin-cu,
katanya, "Bukan saja aku tidak mampu menegakkan keadilan, aku
malah ikut terjerumus dalam intrik mereka. Selama delapanbelas
tahun ini aku diperalat oleh kawanan penjahat ini. Karena
kesalahanku, aku patut menerima imbalan setimpal, tapi aku
penasaran kalau mati di tangan murid durhaka ini."
Seperti tertawa tidak tertawa, Tong-bing-cu terbahak-bahak,
katanya, "Ciangbun suheng, baru sekarang kau ingat mati, apa tidak
ter- " lambat" Kau kan tahu, siaute mana tega membiarkan kau
mampus?" Ternyata setelah melontarkan isi hatinya, Tong-cin-cu sudah
memutuskan akan menggetar putus urat nadi di badan untuk gugur
secara jantan. Ternyata Tong-bing-cu sudah meraba maksudnya,
begitu dia selesai bicara, langsung dia totok beberapa hiatto di
tubuhnya.- Tan Khu-seng berkata, "Tong-cin susiok, tak perlu kau menyesali
dirimu sendiri. Memang kau banyak melakukan kesalahan, namun
selama delapanbelas tahun ini kau tetap menjunjung tinggi aturan
leluhur. Kong-tong-pay tidak kau bawa ke jurang kenistaan.
Berdasarkan hal ini, kesalahanmu kurasa boleh diampuni.
Bagaimana pikiran orang lain aku tidak tahu, tapi aku tetap
menganggapmu sebagai orang tua yang patut dihormati." Sampai di
sini mendadak dia membentak, "Tong-bing-cu, menimbang dosa
kesalahanmu kau patut dihukum mati. Sekarang kuberi kesempatan
terakhir, bebaskan Tong-cin susiok, aku beri kebebasan kepadamu
untuk enyah dari sini. Asal selanjutnya kau bertobat, membina diri
menjadi manusia baik, walau kau diusir dari perguruan, kuharap
dapat menikmati hari tuamu dengan tenteram."
Kim Tiok-liu berkata, "Bagimu syarat ini sudah cukup baik dan
longgar, seperti apa yang dikatakan nona Boh, malapetaka atau
selamat, hanya kau sendiri yang menentukan, terserah bagaimana
keputusanmu." Tak nyana Tong-bing-cu menyeringai dingin, katanya,
"Mungkinkah ada urusan semudah itu, tawanan harus dibebaskan,
aku dipecat dan diusir dari perguruan lagi."
Lui-tin-cu murka, serunya, "Memangnya apa lagi kehendakmu?"
Tong-bing-cu membisu tak mau bicara Bukan dia kehabisan akal,
tapi lantaran apa yang dia inginkan dalam keadaan seperti ini, dia
tahu cuma keinginan kosong belaka, orang banyak pasti takkan
menyetujui kehendaknya Tapi Tong-cin-cu sudah dibekuknya
sebagai sandera, dia pikir dirinya harus sudah mengakhiri persoalan
tapi bagaimana persoalan ini harus berakhir.
Tengah dia kebingungan tak tahu bagaimana harus bertindak,
mendadak seorang berseru lantang, "Biar aku yang mewakili Tongbingrcu
menjawab pertanyaan kalian."
Waktu orang banyak menoleh, dari lereng gunung di seberang
sana muncul seorang perwira, bukan lain yaitu komandan Gi-lim-kun
yang paling berkuasa, Hay Lan-ja. Kini dia mengenakan seragam
kebesarannya, tapi orang banyak masih mengenal wajahnya sebagai
kacung dapur yang tadi mencelakai Giok-hi-cu.
Siapa pun tidak menduga bahwa Hay Lan-ja berani tampil di
depan umum. Suasana seketika menjadi hening, napas orang
banyak menjadi tegang dan berat. Tapi hanya sekejap mendadak
gerungan marah hadirin serentak menggetarkan bumi, paling besar
reaksi datang dari murid-murid Kong-tong yang ingin menuntut
kematian tianglo mereka, demikian pula kaum pendekar yang hadir
Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tak sedikit yang sudah mencabut senjata
Hay Lan-ja bergelak tawa, katanya, "Mau berkelahi ya" Kuharap
hadirin bertindak dengan kepala dingin. Kenapa otak kalian tidak
berpikir, kalau tanpa persiapan dan yakin menang apakah seorang
diri aku berani berdiri di sini bicara dengan kalian?"
Dia berdiri di lereng seberang, bicara sambil bertolak pinggang,
gerungan ratusan murid Kong-tong ternyata tak bisa menekan suara
suaranya. Pada saat itulah kaki tangannya yang sudah hadir dan
mencampurkan diri di antara hadirin berlompatan keluar sambil
menghunus senjata. Mereka adalah orang-orang dari kawanan
penjahat dan golongan hitam.
Situasi menjadi tegang. Hay Lan-ja berkata pula dengan tertawa,
"Dengarkan dulu penjelasanku, kalau memang ingin berkelahi, nanti
belum terlambat." Lui-tin-cu membentak, "Baiklah, hadirin harap bersabar. Hay Lanja
kau ingin omong apa lekas katakan" Seruannya mendengung ke
lereng seberang hingga telinga Hay Lan-ja hampir pekak.
Mencelos hati Hay Lan-ja, pikirnya, "Lwekang tua bangka ini
agaknya tidak lebih rendah dari aku, untung aku sudah siap.
Menghadapi tua bangka ini dan Kim Tiok-liu saja, mungkin aku
takkan kuat melawan."
Dengan santai Hay Lan-ja berkata, "Kalau kalian berani main
kekerasan, mungkin seluruhnya bisa mampus di sini. Jangan kira
aku hanya menggertak, biar kujelaskan. Aku sudah memendam
bahan peledak di beberapa tempat di bawah lapangan ini, asal
kutimpukkan panah api, kalian akan mampus seluruhnya dalam
ledakan dahsyat itu."
Tong-cin-cu berjingkat sadar, teriaknya, "Tong-bing-cu, kau
keparat jadah ini ternyata kau kelabui aku, bersekongkol dengan
Hay Lan-ja mengatur muslihat sekeji ini."
Ternyata orang-orang jahat yang diundang atas nama Tong-bingcu
selama dua malam ini tidak tinggal di Jing-hi-koan, mereka
melarang murid-murid Kong-tong bercampur dengan mereka,
namun ada juga yang melihat mereka menggotong buntalanbuntalan
entah barang apa, membawa cangkul, sekop dan alat-alat
pertanian lainnya bergerak di * waktu malam. Waktu itu tidak tahu
mereka sedang melakukan perbuatan apa, baru sekarang mereka
tahu orang-orang itu menanam dinamit dan bahan peledak lain di
sekitar lapangan ini. Seruan Tong-cin-cu sekaligus membuktikan bahwa ancaman Hay
Lan-ja bukan gertakan sambal, karuan hadirin kaget, marah, panik,
mereka pun kehilangan akal tak tahu bagaimana menghadapi situasi
genting ini. Tong-bing-cu bergelak tawa, katanya, "Itulah rencana yang
sudah kuatur bersama Hay tayjin, kalau - tidak terpaksa tidak akan
digunakan. Siapa suruh kalian memaksaku bertindak begini."
Tong-cin-cu balas mengancam, "Kalau dinamit itu meledak, kau
sendiri pun takkan hidup."
Tong-bing-cu terbahak-bahak, katanya, "Jiwaku seorang ditukar
dengan jiwamu sudah tidak rugi, apalagi masih sekian banyak orang
ikut mampus, bukan saja untung, aku pun merasa bangga mati
bersama jago-jago nomor satu Bulim." Lahirnya dia berkata
demikian, padahal hatinya amat takut. Kalau pembicaraan damai tak
tercapai, dia tahu betapa culas hati Hay Lan-ja, bukan mustahil
dirinya pun akan dikorbankan.
Setelah puas tertawa, Hay Lan-ja berkata, "Bukan hanya
lapangan ini saja, di atas gunung aku pun sudah memendam harta
karun. Kalau tidak percaya, nah coba lihat. Yang Kek-beng,
perlihatkan pusakamu."
Tampak di atas puncak di belakang Jing-hi-koan muncul
beberapa belas bayangan orang. Yang jadi pemimpin dan memberi
petunjuk belasan orang itu adalah gembong iblis Yang Kek-beng. Di
bawah pimpinannya lekas sekali orang-orang itu sudah mendorong
keluar dua meriam yang diarahkan ke lapangan.
Hay Lan-ja tergelak-gelak, serunya, "Kalian sudah melihat jelas
bukan" Umpama ledakan di tanah lapang itu tidak
mampu'mengganyang habis kalian, sisanya yang masih hidup akan
menjadi mangsa meriam di atas itu."
Semula hadirin masih bimbang mendengar gertakan bahwa tanah
lapang ini penuh ditanami dinamit, kini melihat kedua meriam itu
hadirin menjadi gempar. Peledak hanya bekerja sekali, tapi meriam
itu bisa dibidikkan berulang kali. Dalam persiapan berlapis ini, boleh
dikata Hay Lan-ja sudah menguasai situasi dan seluruh hadirin akan
terjaring. Saking murka, Lui-tin-cu membentak, "Berani kau menggunakan
cara sekeji ini menghadapi kami, terhitung orang gagah macam
apa" Kalau berani kemarilah bertanding satu lawan satu."
Hay Lan-ja tergelak-gelak, katanya, "Lui-locianpwe, di sini kaulah
yang berusia paling tua, kenapa bicara seperti anak-anak. Aku
sedang bertugas menunaikan tugas kerajaan, kau kira aku
membuka panggung luitay" Kalau kau ingin bertanding, boleh
kuijinkan kau seorang diri melarikan diri dulu turun gunung, setelah
tugasku di sini beres, boleh kita tentukan waktu untuk bertanding."
Serasa meledak dada Lui-tin-cu, saking marah dia tidak
bisa.bicara malah. Kim Tiok-liu membentak, "Hay Lan-ja apa sebetulnya
kemauanmu" Katakan saja!"
"Nah, kan begitu. Kalau berkelahi kalian akan mampus konyol,
lebih baik terima saja syaratku. Thian Yang Kuasa mahapengasih,
aku pun tidak tega banyak membunuh yang tidak berdosa. Asal
kalian mau menerima dua syaratku, kejadian hari ini boleh dianggap
tidak ada.'-' "Apa kedua syaratmu?" desak Kim Tiok-liu.
"Persoalan Kong-tong-pay juga persoalanku, maka soal pertama
yaitu mengangkat Tong-bing-cu menjadi ciangbunjin Kong-tongpay.
Siapa di antara murid-murid Kong-tong-pay berani menentang,
aku yang akan mewakili Tong-bing-cu membunuhnya."
Kim Tiok-liu tertawa dingin, katanya, "Jadi kau sendiri ingin
menjadi tay-ciangbunjin Kong-tong-pay, begitu?"
Hay Lan-ja tertawa lebar, katanya, "Itu urusanku dengan pihak
Kong-tong-pay, Kim tayhiap tak usah turut campur."
"Lalu apa syarat kedua?" tanya Kim Tiok-liu.
Kalem suara Hay Lan-ja, katanya, "Kau tahu aku sedang dinas
dan menunaikan tugas kerajaan, beberapa buronan pemerintah
yang selama ini menentang kebijaksanaan kerajaan harus kubekuk
sebagai pertanggungjawaban kerjaku."
"Siapa buronan pemerintah yang kau maksud?" tanya Kim Tiokliu.
"Kalau menilai hadirin yang ada di sini, tidak sedikit yang pemah
melakukan pemberontakan, namun aku hanya menuntut tiga orang
saja. Mereka harus ikut aku ke kota raja. Meski jumlahnya tidak
banyak, tapi asal bisa memberi laporan tugas saja."
"Siapa tiga orang yang kau maksud?" tanya Kim Tiok-liu.
"Pertama adalah Tan Khu-seng, dia bekerja untuk keluarga Boh
mencari dana serta berusaha berontak. Kedua adalah Boh Le-cu,
ayah dan anak bekerja sama melakukan kegiatan mata-mata,
bapaknya sudah mati tapi dia tidak lepas dari tanggung jawab.
Orang ketiga adalah murid Tan Khu-seng yang bernama Beng Hoa.
Dia pemah membantu pihak gerilya di Siau-kim-jwan membunuh
dan melukai pejabat pemerintah, aku harus membekuknya pula."
"Cukup tiga orang saja" Kukira masih ada," jengek Kim Tiok-liu.
Hay Lan-ja terbahak-bahak, katanya, "Aku tahu kau adalah
teman baik Leng Thiat-jiau dan Beng Goan-cau, tapi saat ini aku
tidak memasukkan kau sebagai buronan pemerintah, anggaplah aku
memberi muka kepadamu."
"Terima kasih akan budi luhurmu, tapi orang she Kim tidak sudi
menerima kebaikanmu."
"Terima atau tidak terserah padamu, maksudku sudah
kuutarakan, kita tidak perlu memperbincangkan soal lain. Aku hanya
ingin bertanya, kalian terima syaratku tidak?"
Tan Khu-seng berkata, "Biar aku dan Beng Hoa menyerahkan
diri, kami guru dan murid tak boleh menyebabkan orang banyak ikut
menanggung akibat." "Tidak," seru Lui-tin-cu. "Kenapa kau percaya obrolan keparat
ini" Siapa tahu kalau dia menipu kalian, nanti kembali lagi
menghadapi orang banyak?"
"Kalian boleh pikirkan lebih dulu, syaratku itu sudah terlalu
longgar. Hehehe, apakah kalian ingin gugur seluruhnya?" jengek
Hay Lan-ja. Menerima kalah demi keselamatan orang banyak, atau nekad
melawan gugur bersama" Pertanyaan yang sukar segera
diputuskan. Memang bagi kaum ksatria, sembilan di antara sepuluh,
tidak gentar berkorban. Bila diri. sendiri gugur tidak jadi soal, celaka
kalau orang lain juga harus ikut berkorban, maka siapa pun tak
berani mengambil keputusan.
Hay Lan-ja mendapat angin, dia mendesak, "Baiklah, kuberi
waktu setengah sulutan dupa, kalian boleh berunding."
Kalau para pendekar tiada yang memberi reaksi, adalah kambratkambrat
Hay Lan-ja segera meninggalkan lapangan rumput itu
berlari ke arah lereng. Hanya Tong-bing-cu saja yang tak bisa lari,
tapi karena ciangbun suheng-nya sudah dijadikan sandera, Hay Lanja
juga sudah menguasai situasi, hatinya pun tidak gugup lagi.
Masih ada lagi satu orang dari pihak Hay Lan-ja yang tidak bisa
melarikan diri, yaitu Sin Jit-nio.
Karena dikejar Boh Le-cu semalam, saking ketakutan dia terjun
ke dalam Toan-hun-gay hingga jatuh luka parah. Waktu Ting Tiaubing
menggiringnya kemari, keadaannya sudah kembang kempis.
Tapi Iwekang-nya cukup tinggi, walau kembang kempis dia masih
kuat mempertahankan hidupnya. Kini setelah menggeletak sekian
lama di tanah, dia sudah siuman dan agak sadar, melihat kambrat
Hay Lan-ja berbondong-bondong lari ke lereng sana, mengingat
dirinya masih berada di cengkeraman musuh, saking gugup segera
dia berteriak, "Hay Lan-ja, kau hanya memikirkan mati hidup Tongbingcu tanpa mengingat kesela-matanku?"
Hay Lan-ja agak kesal dan kurang senang terhadap perempuan
ini, karena orang bersikap acuh dan tidak hormat kepadanya,
sengaja dia pura-pura lalai, mendengar teriakannya baru dia tertawa
lebar, katanya, "Ah, kan urusan kecil, kenapa gugup" Memangnya
mereka berani membunuh engkau" Kalau kau ketakutan, baiklah,
kau boleh kemari. Ting Tiau-bing, dengar tidak, bebaskan dia."
Lui-tin-cu gusar, dampratnya, "Kau hanya mengajukan dua
syarat, kenapa bertambah?"
"Membebaskan Sin Jit-nio bukan termasuk dalam syarat. Kau
harus sadar, sekarang kau yang minta damai padaku, wajar kalau
kalian membebaskan orang-orangku yang terluka dan tertawan,
kalau tidak, apa setimpal bicara soal damai segala?"
Hay Lan-ja berlagak sebagai pihak pemenang, sikap dan tingkah
lakunya amat tengik, karuan Lui-tin-cu berjingkrak-jingkrak gusar,
dia sudah bertekad hendak melabrak Hay Lan-ja tanpa
menghiraukan segala akibatnya. Tiba-tiba dilihatnya Boh Le-cu
memberi kedipan mata serta menggelengkan kepala.
Walau Lui-tin-cu punya watak berangasan, tapi jahe makin tua
makin pedas, dia bukan seorang gegabah. Setelah memperhatikan
sikap Boh Le-cu seketika dia sadar pikirnya, "Tadi dia sudah bilang
bahwa Hay Lan-ja pasti akan muncul di sini. Mungkinkah dia sudah
menduga akan kejadian hari ini dan sudah mempunyai akal
menghadapinya" Kalau gegabah aku bisa menggagalkan urusan
besar, biarlah Hay Lan-ja mabuk kepayang." Maka dia tidak banyak
bicara lagi. Setelah Lui-tin-cu tutup mulut, ganti Ting Tiau-bing angkat
bicara, "Perempuan jahat ini adalah pembunuh Tong-biau Cinjin,
aku tak berhak membebaskan dia. Bagaimana harus
menghukumnya, terserah kepada ciangbunjin Kong-tong-pay saja."
Karena terpaksa Tan Khu-seng harus membebaskan pembunuh
gurunya, hatinya amat penasaran.
Tapi sekilas pikir, dibanding ratusan jiwa orang lain, hal ini
memang merupakan urusan kecil saja. Apalagi Sin Jit-nio dalam
keadaan luka parah, bila dilepas belum tentu dia bisa hidup.
Mendadak Hay Lan-ja membentak lantang, "Batas waktu sudah
hampir tiba. Tan Khu-seng, kau mau membebaskan orangku tidak?"
Berdiri alis Tan Khu-seng, katanya sambil mengertak gigi,
"Baiklah, biarlah perempuan jahat ini hidup beberapa hari lagi.
Lepaskan dia." Ting Tiau-bing dongkol dan gemas, setelah membebaskan
totokan Sin Jit-nio dia membentak, "Baiklah, lekas enyah."
Sin Jit-nio merangkak bangun, dia mematahkan dahan pohon
sebagai tongkat, dengan tertatih-tatih dia beranjak ke lereng
gunung sana, setiba di pinggir Hay Lan-ja dia berkata dingin, "Hay
Lan-ja, kiranya kau pun punya rasa bajik."
Hay Lan-ja berkata, "Bila selanjutnya kau mau membantu aku
melaksanakan tugas, jangan khawatir, aku tidak akan melupakan
kebaikan-. mu. Kali ini kau terluka aku sendiri ikut merasa tidak
enak. Inilah obat mujarab dari istana untuk menyembuhkan luka
dalam, lekas kau telan."
Setelah menerima sebutir pil, legalah hati Sin Jit-nio, dengan
tawar dia menyatakan terima kasih. Mentari sudah doyong ke barat,
hari sudah lewat lohor. Mendadak Hay Lan-ja membentak, "Batas
waktu sudah lewat, kalian sudah selesai berunding tidak?"
Orang banyak diam saja, tiada satu pun yang buka suara.
Kim Tiok-liu akhirnya berkata, "Kenapa kau gugup malah" Kan
masih ada beberapa kejap lagi." Melihat sikapnya dia seperti punya
akal untuk menanggulangi keadaan., Tan Khu-seng berkata, "Kim
tayhiap, dia membuka harga dan mengajak tawar menawar, apa
salahnya kalau kita membayarnya kontan saja?"
Kim Tiok-liu menegas, "Maksudmu...."
"Kita terima satu syaratnya, biar aku dan Beng Hoa menyerahkan
diri." "Tan Khu-seng," Boh Le-cu berkata dengan tertawa, "terima
kasih kau mewakili aku memikul tanggung jawab, padahal dalam
permainan catur ini kita di pihak pemenang, kenapa kau
menggunakan langkah yang melemahkan posisi malah?"
Tan Khu-seng melenggong, katanya, "Aku tidak tahu kau punya
perhitungan apa, Sehingga kau mampu , membalikkan situasi."
Boh Le-cu tertawa katanya, "Bukan aku punya perhitungan"
mujijat tapi masih ada satu biji catur yang belum berjalan."
Hay Lan-ja membentak, "Dupa sudah habis terbakar, kalian
belum juga memberi jawaban, terpaksa aku bertindak dan tidak
kenal sungkan lagi."
Tan Khu-seng kebat-kebit, katanya, "Nona Boh, langkah catur
yang kau maksud...."
Dalam hati Boh Le-cu juga sedang berpikir, "Kenapa dia belum
juga tiba?" Mendadak didengarnya Hay Lan-ja berteriak heran dan melompat
ke atas batu besar, mengulur leher seperti memandang sesuatu.
Begitu menoleh Boh Le-cu lantas berseru girang, katanya, "Coba
kau lihat, siapa yang datang."
Tampak dua bayangan orang sedang berlari cepat bagai terbang
dari arah Toan-hun-gay. Lekas sekali orang banyak sudah melihat
jelas. Kedua orang ini mengenakan seragam perwira kerajaan. Tan
Khu-seng kenal satu di antaranya adalah wakil Hay Lan-ja yaitu
Auwyang Ya. Dia melihat jelas seorang perwira lain menyeretnya.
Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tan Khu-seng tidak kenal perwira ini, tapi melihat ginkang-nya yang
bagus seketika dia teringat dan sadar, teriaknya berjingkrak girang,
"He, itu kan Kwi-hVve-thio?"
Betul memang Kwi-hwe-thio. Tampak dia menanggalkan kedok
mukanya, terus berseru lantang, "Maaf tuan-tuan sekalian, aku
datang terlambat." Hay Lan-ja gusar, makinya, "Keparat, kau maling kurcaci ini juga
berani mempermainkan aku."
"Betul, aku ini maling cilik, malah aku membawa hasil curianku
untuk menyerahkan diri kepada kau pembesar anjing ini. Hasil
curianku kali ini bukan benda berharga, cuma wakil komandan Gilimkun Auwyang Tayjin."
Di bawah cengkeraman, Auwyang Ya seperti kambing yang
diseret dan menurut saja tanpa meronta atau berontak.
Kini orang banyak baru terbuka pikirannya, ternyata hilangnya
Auwyang Ya karena menjadi tawanan Kwi-hwe-thio.
Tay-ciok Tojin yang malam itu membawa Auwyang Ya naik
gunung berpikir, "Tak heran waktu itu aku hanya mendengar sekali
jeritan Auwyang Ya, begitu menoleh sudah kehilangan jejaknya. Aku
memang bodoh, kenapa tidak sejak mula terpikir maling sakti ini
yang membuat gara-gara." Maklum siapa tidak tahu Kwi-hwe-thio
adalah maling sakti nomor satu di seluruh jagat, gin-kang-nya juga
nomor satu di dunia. Hay Lan-ja membentak, "Lekas kau bebaskan Auwyang Ya."
Kwi-hwe-thio tertawa, katanya, "Hay-tayjin, kau ingin aku
mempertanggungjawabkan perbuatanku, aku juga ingin Auwyangtayjin
.mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hadirin sekalian,
Auwyang-tayjin ini selain seorang pembesar yang punya pangkat
tinggi, dia masih punya dua jabatan. Pertama, sebagai teman baik
Tong-bing-cu, kedua, inilah salah satu pembunuh mantan
ciangbunjin Kong-tong-pay, Tong-biau Cinjin. Dia inilah yang
menjadi penghubung sehingga Tong-bing-cu terbujuk dan terima
menjadi antek kerajaan. Dia ini pula yang menjadi kurir sehingga
Sin Jit-nio terjun dalam kasus yang rumit ini. Kerja sama tiga orang
ini mencelakai jiwa Tong-biau Cinjin. Sekarang aku akan
menyerahkan dia kepada Tan Khu-seng yang menjadi ciangbunjin
baru Kong-tong-pay. Hehehe, Auwyang-tayjin, apa yang kukatakan
betul bukan?" Auwyang Ya berkata, "Aku sudah jatuh di tangan kalian, tiada
yang harus kukatakan. Kuharap kalian tidak menyiksaku lagi, segala
dosa dan perbuatan itu kuakui."
"Tidak, aku ingin kau bicara terus terang. Apakah kau pun ikut
membunuh Tong-biau Cinjin?" desak Kwi-hwe-thio.
"Betul, atas perintah Hay-jong-ling, aku membawa Sin Jit-nio ke
atas gunung, kuminta dia membantu Tong-bing-cu. Aku sudah
mengaku, biarkanlah aku mati saja."
Hay Lan-ja gemas dan mendongkol melihat Auwyang Ya yang
loyo dan patah, namun dia tetap harus membelanya, segera dia
membentak, "Aku tidak punya tempo berdebat dengan maling cilik
ini, tidak lekas kau bebaskan dia, segera akan kubuat kalian
mampus seluruhnya." "Apa betul" Dengan cara apa kau akan membunuh kami?" ejek
Kwi-hwe-thio. Karena Kwi-hwe-thio tadi tidak hadir, Hay Lan-ja mengira dia
tidak tahu, maka dia menjelaskan sekali lagi, "Tanah lapang ini
sudah kuku-rung dengan peledak yang terpendam, bila panah api
kusambitkan, seluruhnya akan meledak bersama"
Mendadak Kwi-hwe-thio tertawa besar.
"Kau tertawa apa?" bentak Hay Lan-ja.
"Aku geli karena kau sedang bermimpi, kau kira dinamit yang kau
pendam itu bisa meledak?"
Hay Lan-ja berjingkrak kaget, walau dia tidak percaya ucapan
Kwi-hwe-thio, tak tahan dia bertanya, "Kenapa tidak bisa meledak?"
"Kau punya undang-undang raja, aku pun punya cara kerjaku
sendiri. Rahasia kerja kaumku ini, mana boleh dibicarakan dengan
orang" Kalau ingin tahu kau harus memberi imbalan, kalau aku puas
baru akan kujelaskan kepadamu."
Berubah hijau rona muka Hay Lan-ja, pikirnya, "Dinamit itu aku
sendiri yang memendam, selama ini aku sendiri yang menjaga di
sekitar sini, umpama betul dia seorang maling lihay,.merhangnya
dia mampu mencuri seluruh dinamit itu."
Setelah menghibur diri perasaannya sedikit longgar, segera dia
membentak pula, "Omong kosong, kau kira aku percaya
gertakanmu?" Kwi-hwe-thio menyeringai sinis, katanya, "Pantasnya aku yang
berucap demikian kepadamu. Hehehe, kau punya dinamit, punya
meriam segala, bukankah kau yang menggertak kami" Apa yang
kukatakan adalah kenyataan, malah kau kira gertakan. Hm, kalau
tidak percaya, nah boleh kau coba saja."
"Sial, aku bicara dengan kau, batas waktu sudah lewat. Aku
hanya ingin tanya, Kim tayhiap dan Lui-cianpwe, apakah kalian
menerima dua syaratku tadi?"
Lui-tin-cu dan Kim Tiok-liu bertukar pandang, lalu mewakili kaum
pendekar, Lui-tin-cu menjawab, "Kau ingin kami menyerah
kepadamu, pergilah bermimpi di siang hari bolong." Ternyata dari
sorot mata Kim Tiok-liu, dia sudah tahu bahwa perkataan Kwi-hwethio
dapat dipercaya. Usianya sudah delapan-puluh, dalam Bulim
kedudukannya sebagai Bu-tong Tianglo amat disegani kaum
persilatan, bicara sekasar ini baru pertama kali ini. Tak heran kaum
muda menjadi gempar dan menyambut dengan sorak sorai.
Membesi hijau muka Hay Lan-ja, katanya, "Kalian percaya
ocehan maling keparat ini, baiklah, jangan menyesal. Bila dinamit
meledak, kulit dan tulangmu pun tak berbekas, menyesal pun sudah
terlambat." Kim Tiok-liu tertawa, katanya, "Kwi-hwe-thio sudah menantang
kau untuk mencobanya, kami juga sudah memberi jawaban. Tapi
kau masih mai.n gertak segala, apa kau tidak terlalu cerewet
jadinya?" "Baik. Sebelum ajal kalian tidak akan bertobat, baiklah biar kalian
buktikan apakah ucapanku gertakan belaka," sembari bicara Hay
Lan-ja mengayun sebelah tangannya. Sebatang panah berapi segera
meluncur ke arah dia memendam dinamit.
"Blang" ledakan memang terjadi, tapi tidak seperti yang
diharapkan Hay Lan-ja terjadi ledakan dahsyat yang
mengguncangkan bumi. Tampak jalur-jalur asap warna-warni
menjulang tinggi ke angkasa seperti kembang api yang gemerlapan,
ramainya seperti dalam suasana hari raya saat penduduk kota
melepas kembang api di angkasa raya.
Waktu Hay Lan-ja menimpukkan panah apinya, kambratkambratnya
yang berada di sekitar lereng segera menjatuhkan diri,
ada yang mendekam ada yang tiarap, ada pula yang bersembunyi di
balik pohon atau batu. Kini mereka berdiri dan memandang ke langit
dengan melongo, seperti orang banyak yang terpesona melihat
indahnya kembang api berpesta di udara.
Kwi-hwe-thio berkata, "Tan-heng, aku tahu hari ini kau akan
menjabat ciangbun baru, maka sengaja kubelikan kembang api
untuk menyemarakkan suasana. Hay-tayjin, terima kasih akan
bantuanmu, kau mewakili aku si maling kecil melepas kembang api."
Di tempat itu memang betul ada dua bungkus peledak yang
ditanam sendiri oleh Hay Lan-ja, tapi di luar tahunya, waktu bahanbahan
peledak itu disimpan dalam Jing-hi-koan, bahan-bahan
peledak itu ditukar oleh Kwi-hwe-thio. Hay Lan-ja memang ceroboh
dan terlampau takabur, yakin rencananya pasti berhasil, maka tidak
memeriksa ulang bahan-bahan yang sudah disiapkan.
Karuan gusar Hay Lan-ja seperti kebakaran jenggot, bentaknya,
"Kwi-hwe-thio, jangan takabur, dinamit tak mau meledak, aku masih
punya meriam untuk menghadapi kalian."
Tiba-tiba Kwi-hwe-thio menarik muka, katanya sinis, "Kuharap
kau tidak sembarangan main-main dengan meriam itu."
"He, kau takut menghadapi meriamku?" Hay Lan-ja menyeringai
sadis. "Meski kalian berlutut minta ampun juga tidak akan kuampuni
lagi. Yang Kek-beng, bidik meriam, tembak!"
Di luar dugaan, jawaban Yang Kek-beng tidak terdengar. Padahal
belasan orang yang menguasai meriam di puncak gunung itu di
bawah pimpinannya. Karuan Hay Lan-ja tambah murka, teriaknya, "Jangan hiraukan
setan kecil itu. To Tiau, kau yang memimpin sekarang, tembak!" To
Tiau adalah jago tembak meriam yang diajak dari kota raja.
"Hay-tayjin," teriak To Tiau gelagapan, "aku... ini... ini...."
"Takut apa?" damprat Hay Lan-ja, "paling sudah dikerjai si
maling dan takkan berbunyi saja, ayo siap, tembak. Kalau
membangkang, ku-penggal kepalamu."
To Tiau tak berani bercuit lagi, dalam hati dia membatin, "Bila
tembakan tidak berbunyi, kan Yang Kek-beng yang bertanggung
jawab, tiada sangkut pautnya dengan aku." Maka dia segera
memberi aba-aba kepada rekan-rekannya untuk menembakkan
meriam. Siapa tahu meriam memang menggelegar, namun pelurunya
tidak ditembakkan ke luar, tapi meledak di dalam tabungnya, karuan
meriam itu hancur berantakan. To Tiau seketika mati terkena
pecahan besi meriam, demikian pula beberapa orang di sekitarnya
menjadi korban. Hay Lan-ja sendiri juga terperosok jatuh oleh
getaran dahsyat ledakan itu, tanah yang berhamburan mengotori
kepala, muka dan sekujur badannya, mata pun hampir tak bisa
dibuka lagi. Kwi-hwe-thio terbahak-bahak, serunya, "Tidak mendengar
nasihat orang, rugi di depan mata. Hay Lan-ja, terlalu pagi kau
menghibur diri, untung meriammu hanya merontokkan beberapa
bulu badanmu." Ternyata setengah jam yang lalu, Kwi-hwe-thio yang menyamar
mendadak muncul bersama wakil komandan Gi-lim-kun Auwyang Ya
di dalam hutan di mana belasan orang yang membawa meriam
menyembunyikan diri. Dengan alasan memeriksa persiapan, mereka
memeriksa meriam. Di luar tahu orang dia merusak pelatuk lalu
membuat sedemikian rupa sehingga peluru meriam itu meledak di
dalam bila pelatuknya ditarik. Maksud hati mau membunuh orang,
ternyata jiwa sendiri melayang percuma.
Sesuai pesan Kwi-hwe-thio, Auwyang Ya disuruh memberi tahu
kepada Yang Kek-beng tentang pengalamannya lenyap secara
misterius malam itu, sebetulnya dia menghilang menurut keinginan
sendiri karena dia mengemban tugas rahasia lainnya. Teman
sejawat dari Gi-lim-kun ini adalah pembantu yang baru datang
diutus oleh Hay Lan-ja. Kedudukan Auwyang Ya di dalam Gi-lim-kun hanya di ba'wah Hay
Lan-ja, sudah tentu Yang Kek-beng tidak berani banyak tanya
tentang tugas rahasia yang diembannya, apalagi waktu sudah
mendesak, dia pun tidak berani meninggalkan tempat tugasnya
untuk bertanya kepada Hay Lan-ja, apakah betul Auwyang Ya
ditugaskan memeriksa barisan meriam yang dipimpinnya.
Tapi pembaca tentu heran, kenapa Auwyang Ya mau tunduk
akan perintah Kwi-hwe-thio" Kiranya Kwi-hwe-thio memiliki
semacam ilmu totok yang aneh dan ajaib, siapa yang ditotok
dengan caranya itu, di dalam badan seperti dirambati ribuan semut,
linu dan pegal, tulang belulang juga seperti hampir copot,-betapa
berat siksaan yang dialaminya. Dengan totokan jenis lain Kwi-hwethio
dapat menghilangkan derita ini sementara waktu, namun
sebelum totokan itu dibebaskan sembarang waktu masih bisa
kumat, bila kumat rasanya memang tak terlukiskan. Dengan cara
itulah Kwi-hwe-thio membuat Auwyang Ya takluk, perlawanannya
habis, terpaksa dia tunduk apa saja yang diperintahkan Kwi-hwethio.
Setelah melihat Auwyang Ya muncul dan pengiringnya ternyata
adalah Kwi-hwe-thio, Yang Kek-beng lantas sadar bahwa dirinya
telah ditipu oleh Kwi-hwe-thio, peledak yang ditanam di sekeliling
lapangan ternyata tiada satu pun yang bekerja, maka dia yakin
bahwa meriam yang dikuasai ini pasti juga sudah dikerjai oleh
maling sakti itu. Khawatir hal ini diusut oleh Hay Lan-ja, maka
secara diam-diam dia kabur tanpa pamit.
Peluru meledak di dalam tabung, meriam hancur, belasan orang
men- . jadi korban, komandan Gi-lim-kun
Hay Lan-ja sendiri juga tergetar jungkir balik, gugup, kaget dan
panik serta gusar, orang-orang gagah di tanah lapang bersorak
girang dan bertepuk riuh rendah.
Bersamaan dengan ledakan yang menggetarkan bumi di atas
lereng itu, mendadak di atas panggung terjadi pula tragedi yang tak
terduga oleh seluruh hadirin. Ternyata Tong-cin-cu dan Tong-bingcu
sama-sama mengeluarkan jeritan yang menyayat hati.
Ternyata di saat perhatian orang sedang tertuju pada perdebatan
Hay Lan-ja dengan pihak Tan Khu-seng, hadirin menjadi tegang
karena akan ditembak meriam, diam-diam Tong-cin-cu telah
mengumpulkan hawa muminya, dia berhasil menjebol hiatto-nya
yang tertotok oleh Tong-bing-cu.
Bukan Tong-bing-cu tidak tahu kalau sang suheng mahir
menjebol totokan di badannya, hanya dia tidak menduga bahwa
sang suheng bisa membebaskan diri dalam waktu sesingkat itu,
apalagi hiatto penting yang mematikan di punggung sang suheng
dikuasai olehnya, umpama totokan hiatto-nya sudah bebas, yakin
dia tetap takkan berani melawan. Oleh karena itu, dia tidak begitu
waspada dan siaga. Di luar tahunya bahwa Tong-cin-cu sudah
bertekad untuk gugur bersama dan sedang menunggu kesempatan
baik untuk adu jiwa. Saat yang ditunggu Tong-cin-cu akhirnya tiba juga. Di saat
meriam meledak, di tengah suara gemuruh itulah mendadak Tongcincu beraksi. Dengan sikunya dia kerahkan seluruh tenaganya
menyodok tepat ulu hati Tong-bing-cu. Tong-bing-cu berdiri terlalu
dekat di belakangnya, sodokan telak menggetar pecah jantungnya.
Tapi Tong-bing-cu juga menggerung sambil melontarkan
pukulannya, telapak tangannya memang mengincar hiatto besar di
punggung sang suheng, karuan isi perut, dada Tong-cin-cu
dipukulnya hingga hancur. Maka kedua orang sama-sama
mengeluarkan jeritan yang mengerikan, keduanya terguling jatuh
dari atas panggung. Tong-cin-cu masih mampu mengerahkan sisa
tenaganya mencekik leher Tong-bing-cu serta menindihnya.
Ternyata Tong-bing-cu juga sempat meloloskan pedang dan
menusuk perut suheng-nya.
Tragedi mengenaskan berlangsung cepat di luar dugaan. Kim
Tiok-liu dan beberapa orang yang tak jauh dari tempat kejadian pun
tidak menduga serta tak sempat memberi pertolongan. Bergegas
Tan Khu-seng memburu maju menarik Tong-cin-cu. Dilihatnya mata
Tong-bing-cu mendelik, lidahnya menjulur keluar, jiwanya putus,
kematiannya amat mengerikan.
Sekali tendang Tan Khu-seng menyingkirkan mayat Tong-bingcu.
Segera ia keluarkan obat penolong untuk sang susiok. Dengan
terputus-putus Tong-cin-cu masih bisa bicara, "Tan Khu-seng, aku...
aku amat menyesal, memang aku yang salah terhadapmu, kau...
maukah kau memaafkan aku?"
"Susiok, jangan berkata demikian, sekarang aku lebih
menjunjung pribadimu."
Tong-cin-cu tersenyum lega, katanya, "Baik... baiklah, kau mau
memaafkan aku, aku lega berangkat ke alam baka."
"Tidak, jangan, lukamu bisa diobati, jangan susiok berpikiran
Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang tidak-tidak." "Tidak, aku tahu aku takkan bisa hidup lagi. Musuh terbesar
perguruan kita adalah Hay Lan-ja, bukan saja dia biang keladinya
sehingga kau menderita delapanbelas tahun, dia pula biang keladi
pembunuh gurumu. Tak usah kau repot mengurusi aku, himpunlah
tenagamu untuk menuntut balas." Suaranya makin lirih, pada akhir
katanya, napas pun berhenti.
Sedih dan pilu hati Tan Khu-seng, namun setetes airmata pun
tidak mengalir. Dia menekan1 rasa dukanya, katanya, "Susiok, aku
akan mematuhi pesanmu." Perlahan dia membaringkan jenazah
Tong-cin-cu, lalu mencabut pedang menerjang maju.
Baku hantam telah berlangsung. Kambrat-kambrat Hay Lan-ja
tidak sedikit jumlahnya,.dengan dipimpin beberapa pentolan
penjahat mereka mengamuk di bawah tekanan orang-orang gagah
yang bergabung dengan ratusan murid Kong-tong-pay. Hay Lan-ja
sempat menghasut dan menghimbau mereka dengan teriakannya
yang lantang, "Kalian mau bekerja untukku, aku tidak akan
melupakan kalian. Mau pangkat, mau harta, setelah tugas selesai
kau boleh memilihnya sendiri."
Akan tetapi kawanan penjahat itu sebagian besar atas undangan
Yang Kek-beng, tanpa berjanji namun dalam hati mereka sama
berpikir, "Seorang laki-laki tidak mau dirugikan, tahu gelagat adalah
orang yang bijaksana. Hay Lan-ja sendiri seperti manusia lempung
yang belum tentu bisa selamat sampai di seberang. Betapa kental
hubungan Yang Kek-beng dengan dia, ternyata minggat tanpa
menghiraukan orang lain, buat apa aku mempertaruhkan jiwa untuk
dia?" Dalam sekejap mata, tujuh atau delapan dari sepuluh orang
telah kabur tanpa pamit. Yang masih tinggal hanyalah anak buah
dan antek Hay Lan-ja yang setia dan beberapa penjahat yang
kemaruk harta dan pangkat.
Kwi-hwe-thio membebaskan hiatto Auwyang Ya, katanya,
"Syukur kau mau dengar petunjukku, sesuai janji aku ampuni
jiwamu, enyahlah." Pertempuran tengah berkecamuk, meski Kwi-hwe-thio sudah
mengampuni dirinya tapi dia takut kalau dilabrak oleh murid Kongtongpay, terpaksa dia mengeraskan kepala berlari ke arah
rombongan Hay Lan-ja. Hay Lan-ja langsung menyambut dengan bentakan, "Bagus ya
perbuatanmu!" Auwyang Ya kaget, katanya gemetar, "Jongling harus maklum,
aku... aku tertawan dan terpaksa."
Jaring dan perangkap yang direncanakan Hay Lan-ja gagal garagara
ulah Kwi-hwe-thio, amarahnya dialihkan kepada Auwyang Ya.
Sambil mendengus dia memaki, "Sia-sia aku mengangkat kau jadi
pembantu-ku, takut mati kemaruk hidup, untuk apa kau kembali
kepadaku?" Telapak tangan terayun, "Prak" dia tabok batok kepala
Auwyang Ya hingga pecah dan binasa. Sampai mati Auwyang Ya
tidak pernah menduga, musuh mengampuni jiwanya, ternyata dia
mati justru di tangan orang sendiri.
Benci Hay Lan-ja kepada Kwi-hwe-thio bukan main, bentaknya,
"Maling busuk, kalau berani jangan lari!" Dengan kesehatan
tubuhnya dia menubruk ke arah Kwi-hwe-thio.
Kwi-hwe-thio cengar-cengir, ejeknya, "He, apa kau ini wangi"
Kurasa kau lebih busuk dari najis di dalam kakus. Hehehe, kau
sudah tahu aku ini maling kecil, sedangkan kau pembesar tinggi,
aku bangga dikejarolehmu. Kalau aku ajak berlomba lari dan
mencuri milik orang, berani kau melawan aku?" Sambil mengolokolok
dia berlompatan kian kemari di sekitar tubuh Hay Lan-ja.
Ginkang Hay Lan-ja memang kalah, mana mampu dia
menangkapnya. Mendadak seseorang membentak menggelegar, "Kau ingin
bertanding silat, hayolah lawan aku. Kalau berani jangan lari!"
Sepasang tangan beradu, "Biang" ledakan keras sekali. Kwi-hwethio
yang sudah menyingkir puluhan langkah merasa pekak
telinganya. Kwi-hwe-thio melelet lidah, katanya tertawa, "Hay Lan-ja kau
bertemu tandingan. Maaf ya, aku tidak menemani kau lagi."
Ternyata lawan yang adu pukulan dengan Hay Lan-ja bukan lain
adalah tianglo Bu-tong-pay Lui-tin-cu.
Dalam sekejap itu, kedua orang ini tercekat hatinya. Hay Lan-Ja
membatin, "Usia tua bangka ini sudah delapanpuluh, ternyata
memiliki tenaga sebesar ini." Lui-tin-cu juga berpikir, "Usiaku
memang sudah lanjut, kalau tigapuluh tahun lebih muda, keparat ini
mana mampu melawan sepuluh jurus seranganku."
Bergegas Tan Khu-seng memburu datang, bentaknya, "Hay Lanja,
delapanbelas tahun yang lalu kau gagal membunuhku, hari ini
kau datang sendiri, tak perlu aku susah payah mencarimu."
Hay Lan-ja berkata angkuh, "Bagus, kalau kau ingin membuat
perhitungan, hayo maju sekalian. Hehe, seorang tianglo Bu-tongpay,
seorang lagi adalah ciangbunjin baru Kong-tong-pay, umpama
orang she Hay mati di tangan kalian juga patut membanggakan
diri." Padahal dia tahu Lui-tin-cu takkan mau mengeroyok dirinya
dengan Tan Khu-seng, tapi sengaja dia mengolok untuk membatasi
mereka, tujuannya supaya Tan Khu-seng berjanji melawan dirinya
satu lawan satu. Tan Khu-seng memang berkata, "Lui-locianpwe, keparat ini
adalah musuh besar perguruan kami, aku akan menuntut balas
kematian Giok-hi tianglo, mohon kau menyerahkan dia kepadaku." "
Gairah tempur Lui-tin-cu sedang menyala, dengan tertawa dia
berkata, "Bangsat ini menantang aku, kalah menang belum ada
ketentuan. Bagaimana kalau kau tunggu sebentar?"
Kim Tiok-liu tertawa, katanya, "Lui-locianpwe, kau sudah rpenang
sejurus, kenapa bilang belum ada kalah dan menang. Bertanding
boleh dihentikan setelah saling tutul dan jamah, menuntut balas
sebaliknya, bertempur hingga gugur, maka membalas dendam lebih
utama bukan" Kau sudah menang sejurus, sekarang memang giliran
Tan Khu-seng." Lui-tin-cu bergelak tawa, katanya, "Ya, aku memang pikun. Kalau
tidak kau katakan, aku jadi tidak perhatikan bahwa aku sudah
menang sejurus. Tapi kau adalah temanku, omonganmu tak masuk
hitungan, Hay Lan-ja bisa menganggap kau membela aku. Aku ingin
Hay Lan-ja mengakui hal ini, apakah dalam gebrakan tadi dia sudah
kalah sejurus olehku?"
Hay Lan-ja penasaran, tapi musuh tangguh di depan mata, tak
berminat dia perang mulut dengan Lui-tin-cu, terpaksa dia berkata,
"Locianpwe sudah tua tapi masih gagah perkasa, orang she Hay
betul-betul amat mengagumimu. Gebrakan tadi memang kau yang
menang." Maka Lui-tin-cu mengundurkan diri sambil berkata dengan
tertawa, "Bagus, kau mengaku kalah, puaslah hatiku. Tan Khu-seng,
silakan kau membuat perhitungan dengan dia."
"Tunggu sebentar," mendadak Hay Lan-ja membentak.
"Masih ada persoalan apa lagi, lekas katakan," bentak Tan Khuseng.
Hay Lan-ja berkata, "Kita harus bicara lebih dulu, kau hanya
menuntut balas bagi Kong-tong-pay, itu berarti pertempuran ini
tiada sangkut pautnya dengan orang luar?"
Tan Khu-seng tertawa dingin, katanya, "Kau takut aku minta
bantuan pihak lain begitu" Legakan hatimu, untuk menuntut balas
sakit hati, aku pantang mendapat bantuan orang luar."
Kim Tiok-liu ikut bicara, "Jangan lupa, kau adalah musuh
bersama kaum persilatan, kalau Kong-tong-pay tidak menuntut
balas kepadamu, aku pribadi pun takkan memberi ampun
kepadamu. Sekarang pihak Kong-tong-pay yang akan membuat
perhitungan dengan kau, aku tidak akan ikut mengusikmu." "
Lega hati Hay Lan-ja, kalau Kim Tiok-liu dan Lui-tin-cu tidak turut
campur, orang lain tidak perlu ditakuti, maka dia bertanya pula,
"Kong-tong-pay punya ratusan murid, kalian akan maju
mengeroyokku, atau bertempur satu lawan satu?"
Tan Khu-seng gusar, semprotnya, "Aku tidak akan
mengeroyokmu, tapi kau takkan kami biarkan pergi dari sini. Kalau
aku mati di tanganmu, murid-murid Kong-tong-pay masih wajib
menuntut balas kepadamu, tapi mereka juga akan melawanmu satu
per satu." Hay Lan-ja menegas, "Apakah ini ucapanmu sebagai ciangbunjin
yang memberi perintah kepada murid-murid Kong-tong-pay?"
"Betul. Apa pula yang kau khawatirkan?"
Kini lega benar hati Hay Lan-ja, katanya tertawa lebar, "Bagus,
ucapan seorang kuncu laksana kuda dilecut. Jangan kau menyesal."
Maklum walau Hay Lan-ja tidak yakin dirinya pasti menang, namun
setelah mendengar janji Tan Khu-seng, timbul setitik harapan dalam
benaknya. "Kau kira aku seperti tampangmu yang tidak bisa dipercaya"
Hayo maju, serahkan batok kepalamu."
"Undangan kematian raja akhirat entah akan diserahkan kepada
siapa?" Sembari bicara mendadak Hay Lan-ja melompat melambung
ambil mementang jari tangan seperti kipas mencengkeram tulang
pundak Tan Khu-seng. Itulah gaya bertempur untuk gugur bersama, juga cara
menempuh kemenangan dengan sedikit pengorbanan. Maklum
tulang pundak punya arti yang amat penting bagi setiap insan
persilatan, kalau tulang pundak dicengkeram hancur, kepandaian
setinggi langit juga takkan berguna lagi. Bila lawan berhasil dibuat,
cacat, mungkin juga Hay Lan-ja sendiri mengalami luka yang cukup
berat, asal jangan terluka di tempat yang penting, Tan Khu-seng
jelas takkan mampu menyelamatkan jiwanya lagi, sisa murid yang
lain, tidak masuk hitungan Hay Lan-ja
Baru saja dimulai, hadirin sudah ditarik tegang urat syarafnya.
Lui-tin-cu yang sudah punya pengalaman tempur puluhan tahun
terkejut. Tapi dalam sekejap itu pula, situasi sudah berubah.
Rangsakan kilat Hay Lan-ja teramat cepat, namun perlawanan Tan
Khu-seng ternyata setindak lebih cepat. Tampak tubuhnya setengah
berputar, matanya melirik ke samping, pedang panjang di
tangannya bagaikan kilat tahu-tahu ditusukkan ke depan mengincar
urat nadi lawan tanpa menghiraukan cengkeraman jari lawan yang
mengancam tulang pundaknya. Bergerak belakangan tapi serangan
balasannya ternyata telak mengancam urat nadi musuh.
Tanpa kuasa Lui-tin-cu bertepuk tangan sambil berseru memuji,
"Bagus, jurus Hian-ciau-hoat-soa."
Tan Khu-seng melawan serangan musuh dengan serangan
balasan sekaligus memaksa lawan menyelamatkan diri lebih dulu,
sergapan Hay Lan-ja punah di tengah jalan. Tapi kepandaian Hay
Lan-ja juga tidak lemah, pergelangan memuntir dengan jurus Huhohoan-hun, dengan gayanya yang bagus dia menyangga sikut
lawan, meski hanya gerakan kosong, tapi sekarang mendadak
gerakan ini menjadi sungguh-sunggguh. Jikalau Tari Khuseng.
terlena dan tidak berjaga, dengan Sfau-kin-na-jiu-hoat dia
balas menyergap menelikung dan mematahkan lengan Tan Khuseng,
kelihatan kosong tapi dapat diubah menjadi serangan berisi.
Tangan kiri menyangga, tangan kanan menyusul dengan pukulan Pikwaciang. Dia gunakan cara bertempur yang dipratekkan Tan Khuseng,
jurus ini juga memaksa musuh menyelamatkan diri lebih dulu.
Pertempuran jago kelas tinggi memang saling merebut kesempatan
dengan serangan lihay yang berbahaya, sedikit lena fatal akibatnya.
Tan Khu-seng melayani serangan lawan sambil melancarkan
serangan balasan, pedangnya bergerak secara lincah memutar balik
melontarkan jurus Jun-hun-kan-can, menusuk tulang rusuk kanan
lawan. Beberapa gerakan dilaksanakan bersama, cepatnya sukar
ditangkap pandangan mata. Tak sedikit ahli pedang yang hadir,
semua bersorak memuji. "Sret" jurus Jun-hun-kan-can Tan Khu-seng mendadak berubah
menjadi Pek-hong-koan-jit, cahaya pedang mendadak berubah
menjadi bianglala, ujung pedang yang berkilauan tahu-tahu sudah
mengancam tenggorokan Hay Lan-ja. Sepasang telapak tangan Hay
Lan-ja menyongsong miring ke depan.
Hadirin menjadi bingung dan heran. Permainan pedang Tan Khuseng
seganas itu, memangnya Hay Lan-ja berani melawan dengan
ilmu Khong-jiu-jip-pek-to?"
Belum habis pikiran orang bekerja, gerakan kedua orang yang
sama menubruk ke depan itu ternyata tidak saling tumbuk, entah
kenapa tusukan pedang Tan Khu-seng ternyata mengenai tempat
kosong, sudah tentu telapak tangan Hay Lan-ja juga tidak mampu
menyentuh pakaiannya. Ternyata sepasang tangan Hay Lan-ja sekaligus dapat
melancarkan dua permainan ilmu yang berbeda, satu keras yang
lain lunak, keduanya dengan tenaga yang berbeda sehingga
menjadikan tenaga tuntunan yang luar biasa, seperti dua arus air
besar yang mendadak bertemu dan berpusar. Bagi seorang yang
berkepandaian agak rendah, mendadak menghadapi tenaga pusaran
yang menyeretnya, mungkin sudah terperosok ke dalam pusaran
kencang itu, meski berhasil menguasai tubuh, senjatanya pasti
terlepas. Tapi lwekang Tan Khu-seng setanding dengan lawan, tapi
mendadak menghadapi jurus permainan yang aneh ini, tak urung
ujung pedangnya bergetar miring beberapa senti.
Dalam tubruk menubruk secara langsung ini, keduanya sudah
bertukar serangan pedang dan telapak tangan. Meski adu
kepandaian dengan pertaruhan jiwa, namun cara bertempur mereka
penuh perhitungan. Dalam sekejap puluhan jurus telah lewat,
sejauh ini sekejap mereka berkutat lalu berpencar mundur. Tapi
bagi para ahli silat yang hadir, setiap jurus permainan mereka justru
teramat lihay dan berbahaya, sedikit lena akibatnya dapat
membawa jiwa ke jurang kematian. Tapi puluhan jurus telah
berlalu, kedua jago ini belum pernah bentrok dengan kekuatan.
Tampak sinar pedang berkembang makin besar, bayangan telapak
tangan pun beterbangan, bagi pandangan seorang yang berilmu
agak rendah, mereka seperti sedang berlatih.
Beberapa jurus permulaan, orang banyak berpendapat; dengan
cepat Tan Khu-seng pasti dapat mengalahkan lawannya, baru
setelah melihat kelanjutan pertempuran ini orang banyak merasa
kaget dan khawatir. Mereka maklum kalau tanpa bekal kepandaian
yang tinggi, mana mungkin Hay Lan-ja mencapai kedudukan tinggi
seperti sekarang. Jikalau Tan Khu-seng kalah, siapa lagi murid
Kong-tong-pay yang mampu menandinginya"
Di tengah pertempuran sengit itu, mendadak permainan pedang
Tan Khu-seng mengalami perubahan total, sinar perak seperti
mengiris bumi, sinar perak menyambar di angkasa, di. tengah sinar
pedang yang berbelit-belit itu, bayangan tubuhnya ikut berpindah
dari satu tempat ke tempat lain. Demikian pula cahaya pedang yang
menari-nari, mendadak di kanan tahu-tahu di kiri, sering berkumpul
tapi juga berpencar, bergolak laksana mega mengamuk atau naga
terbang di angkasa. Kejap lain meski hanya dua orang yang sedang
berhantam di tengah arena, namun penonton di luar gelanggang
seperti menonton pertempuran besar ratusan orang. Pedang pusaka
di tangan Tan Khu-seng berlapis-lapis, seolah-olah puluhan batang
pedang tajam memberondong tiba dari per-bagai arah menusuk ke
arah Hay Lan-ja. Melihat perkembangan ilmu pedang Tan Khu-seng, baru orang
banyak tidak merasa khawatir bagi Tan Khu-seng. Tapi karena
tertarik dan terpesona, hadirin lupa bersorak memberi pujian
kepadanya. Walau tiada suara tapi bukan hening lelap. Orang-orang yang
Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menonton pertempuran sengit kedua jago yang berlaga ini hanya
mereka yang di tanah lapang, padahal orang sebanyak itu tak
mungkin seluruhnya berjubel menjadi satu di satu tempat yang
tidak muat untuk dijejali sekian banyak orang, maka penonton
hanyalah tokoh-tokoh silat dari berbagai perguruan yang diundang
dan murid-murid termuka Kong-tong-pay.
Lebih banyak murid Kong-tong-pay dan sebagian tamu-tamu
yang berdarah panas, sedang sibuk mengganyang kambrat-kambrat
Hay Lan-ja, sudah tentu termasuk penjahat-penjahat yang kemaruk
harta dan pangkat. Penjahat undangan Yang Kek-beng sebagian besar sudah
melarikan diri, maka orang-orang di pihak Hay Lan-ja tidak banyak
lagi sisanya, sebagian besar murid Kong-tong-pay lebih dari cukup
untuk menumpasnya, meski tidak sedikit pula korban yang jatuh di
pihak Kong-tong-pay. Permainan Tan Khu-seng makin mendesak, lambat laun yang
kelihatan hanya sinar pedang tak terlihat bayangan orang. Hay Lanja
masih bertahan melawan sekuat tenaga, namun hadirin sudah
melihat posisinya makin terdesak di bawah angin.
Bara sekarang Hay Lan-ja merasa kaget, hatinya menyesal
bahwa penilaiannya terhadap Tan Khu-seng ternyata keliru.
Memang selama delapanbelas tahun ini Hay Lan-ja sudah
berhasil meyakinkan Tay-Iik-eng-jiau-kang, dibanding delapanbelas
tahun lalu kepandaiannya entah maju berapa lipat" Tapi selama
delapanbelas tahun ini Tan Khu-seng juga tidak menganggur,
tujuhpuluh dua jurus Lian-hoan-toh-bing-kiam-hoat ajaran Kongtongpay murni telah diyakinkan dengan sempurna, berdasarkan
kecerdasan dan bakatnya, dalam ilmu warisan ini telah dia perbaiki
dan diselami lebih mendalam sehingga tak sedikit tercipta jurusjurus
baru yang lebih matang dan lihay, dibanding cikal bakal Kongtongpay yang ratusan tahun lalu menciptakan ilmu pedang ini,
rasanya juga tidak kalah.
Kepandaian kedua orang ini, kira-kira setanding pada
delapanbelas tahun yang lalu, delapanbelas tahun kemudian, kedua
pihak mencapai kemajuan pesat, namun kalau dinilai secara
keseluruhan, Tan Khu-seng ternyata sekarang setingkat lebih tinggi.
Setelah pertarungan berjalan tigaratus jurus, Hay Lan-ja baru
insaf bahwa dirinya tiada harapan mengalahkan lawannya, harapan
satu-satunya ialah gugur bersama Tan Khu-seng. Tapi kalau langkah
berbahaya ini juga gagal, berarti jiwa sendiri akan amblas seketika,
sementara lawan dapat dilukai, atau tidak belum bisa diramalkan.
Di saat Hay Lan-ja gundah dan bimbang sukar mengambil
keputusan, apa perlu dia menggunakan jurus terakhir yang
berbahaya bagi kedua pihak itu, permainan pedang Tan Khu-seng
mendadak menunjukkan lubang kelemahan. Padahal saat itu dia
sedang melancarkan Hun-mo-sam-bu. Jurus Hun-mo-sam-bu ini
satu jurus tiga gerakan, berpencar menusuk tiga sasaran yang
mematikan di tubuh lawan, tapi dia hanya menggunakan dua
gerakan, gerakan terakhir yang menyerang bagian bawah di tubuh
musuh ternyata menjadi lambat setengah detik sehingga tak
mampu mencapai sasaran, secara langsung keterlambatan ini justru
membuka pertahanan sendiri.
Kenapa Tan Khu-seng sampai menunjukkan kelemahan
pertahanannya" Ternyata dalam detik yang menentukan itu dia
mendengar sebuah suitan panjang dari tempat jauh.
Saat itu sebagian besar murid Kong-tong dan kaum pendekar
banyak yang sibuk mengganyang kambrat-kambrat Hay Lan-ja,
suasana gegap gempita, bentakan, teriakan dan jerit kesakitan
campur aduk dari berbagai penjuru, sementara penonton di tanah
lapang semuanya terpesona menyaksikan jalannya pertandingan ini
dengan tegang, maka tiada yang menghiraukan apa arti dari suitan
panjang itu, meski mendengar juga tidak tahu suitan siapa dan apa
maksudnya. Tapi begitu mendengar suitan panjang itu, berdegup jantung Tan
Khu-seng. Kalau orang lain tidak bisa membedakan, tapi sekali
dengar dia lantas tahu itulah suitan Boh Le-cu.
Kalau tidak sedang menghadapi bahaya tentu ada persoalan
genting dan pelik yang perlu dibicarakan dengan dirinya, kalau
tidak, tidak mungkin Boh Le-cu mengeluarkan suitan panjang itu"
Walau dia belum menerima cinta Boh Le-cu, namun di dalam relung
hatinya yang paling dalam, sejak pertemuan dulu menganggapnya
Kampung Setan 11 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Pendekar Sadis 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama