Ceritasilat Novel Online

Bergelut Dalam Kemelut Takhta 5

Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 5


"Hamba, Tuan Putri. Prajaka saat ini berada di luar. Hamba menitipkan kepada seorang emban."
"Bawalah masuk. Aku ingin melihat seperti apa wujudnya."
Pradhabasu beringsut mundur sambil merapatkan kedua telapak tangannya. Ia lakukan itu hingga pada jarak yang dirasa pantas untuk berdiri dan dilanjutkan dengan melangkah mundur.
Di halaman luar, bocah remaja yang sedang bermain dengan angan-angannya segera menghambur melihat Pradhabasu. Di ruang pergaulan yang demikian terbatas oleh keterbatasan yang dimiliki bocah remaja itu, hanya Pradhabasu orang yang dikenalnya dan merupakan satu-satunya orang yang memberinya rasa aman dan tidak akan membiarkan siapa pun mengganggunya. Pradhabasu melambaikan tangan kepada emban gemuk yang telah menolongnya menjaga remaja itu, yang dibalas dengan cara serupa dan malah ditambahi oleh senyum yang berlepotan.
Memang selalu demikian sikap emban gemuk itu bila berhadapan dengan orang yang cocok di hatinya, sesuai hasrat dan angan-angannya sebagai seorang gadis yang bermimpi tentang indahnya hidup bersama dengan seorang suami, merajut jala asmara di mahligai rumah tangga. Emban gemuk yang masih gadis itu mulai cemas dengan usianya yang terus merayap, namun masih juga belum menemukan jodohnya.
Pandangan mata Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri jatuh ke wajah Sang Prajaka yang selalu bergayut di lengan Pradhabasu. Desir amat tajam mengombak dalam dada Gagak Bongol manakala melihat wujud raut muka anak keturunan Mahisa Kingin yang telah mati di tangannya.
Senopati Gajah Enggon berusaha untuk tak larut, sementara Patih Daha Gajah Mada manggut-manggut.
"Sang Prajaka," Ratu Rajapatni memanggil.
Bocah remaja yang memiliki wajah amat khas itu, raut muka yang dengan lugas menunjukkan cacat jiwa keterbelakangannya sama sekali tidak menanggapi panggilan itu. Bocah itu mengarahkan pandangan matanya ke satu titik dan tak pernah beranjak. Tanduk sepasang menjangan yang menghiasi dinding menjadi perhatiannya.
192 Gajah Mada Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri amat maklum. Yang menyebabkan Pradhabasu sangat terkejut adalah ketika Ratu Rajapadani turun dari dampar tempat duduknya. Melihat apa yang dilakukan Ratu Gayatri, Patih Arya Tadah bergegas bangkit mendampinginya. Ratu Gayatri mendekat yang ternyata menyebabkan Prajaka memandangnya dengan tatapan mata paling aneh. Pradhabasu bergegas memeluk bocah remaja itu, memberikan kepadanya ketenteraman.
"Jangan takut," berkata Ibu Ratu Rajapatni dengan amat sejuk.
Perbawa yang dimiliki Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri benar-benar luar biasa, bahkan Pradhabasu tercengang melihatnya karena seingat Pradhabasu itulah pertama kalinya Sang Prajaka tidak menolak ketika seseorang berniat berakrab-akrab. Prajaka tidak menolak ketika Ibu Ratu meraih dan memeluknya, menyebabkan Pradhabasu menjadi salah tingkah, apalagi keadaan bocah itu dan pakaian yang dikenakan sangat dekil dan kotor, baunya juga tidak enak di hidung.
Dengan berdiri dan menatap Gagak Bongol, Ratu Rajapatni Gayatri mempersiapkan diri berbicara.
"Pantaslah Pradhabasu mengatakan bocah ini tidak akan mampu mengajukan tuntutan. Aku sependapat dengan Pradhabasu, keterbelakangan Prajaka memang tidak mampu mengajukan tuntutan. Bahkan karena keterbelakangannya, Prajaka tidak akan memahami arti kematian ayah dan ibunya. Itu sebabnya, amat pantas dan sepadan apabila Pradhabasu mengajukan tuntutan macam itu kepada Gagak Bongol."
Gagak Bongol yang merapatkan tangannya dalam sikap menyembah sedang berada di puncak kebingungannya. Gagak Bongol akan bicara, tetapi tak satu kalimat pun yang keluar dari mulutnya.
"Bagaimana, Gagak Bongol" Kalimat balasan macam apa yang kausiapkan menjawab tuntutan yang diajukan Pradhabasu" Kalau kau merasa tak mampu, dengan senang hati aku akan mewakilimu memungut bocah ini sebagai anakku."
Gugup Gagak Bongol menyembah.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Gagak Bongol. "Apa yang menjadi permintaan Adi Pradhabasu menurut hamba bukan sebuah hukuman, Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 193
tetapi merupakan anugerah tiada tara. Dengan senang hati hamba akan menganggap Prajaka sebagai anak hamba. Hamba akan mengasihi Prajaka dengan sepenuh hati."
"Meski keadaan bocah itu seperti itu?" balas Ratu Gayatri.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Gagak Bongol mantap.
Senyum Ratu Gayatri berlepotan teka-teki.
"Mengasuh Sang Prajaka jauh lebih sulit daripada bertarung melawan musuh, dan Pradhabasu telah berhasil melaksanakan tugas itu dengan amat baik. Kelak kita akan melihat apakah Gagak Bongol akan bisa memerankan tugasnya sebagai seorang ayah dan sekaligus ibunya, atau gagal."
Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri tersenyum, dan ia satu-satunya yang berhasil tersenyum di ruangan itu. Arya Tadah tidak mampu mengalihkan pandangannya dari wajah Sang Prajaka sambil berusaha keras menemukan keyakinan, benarkah Gagak Bongol menganggap hal itu sebagai anugerah. Bukan pekerjaan yang gampang untuk mengasuh bocah yang memiliki cacat jiwa macam itu.
Padahal, Gagak Bongol benar-benar menganggapnya sebagai
anugerah. Sekian tahun Gagak Bongol dibayangi rasa bersalah, kali ini tiba-tiba mendapat kesempatan untuk menebus kesalahan itu dengan memungut keturunan Mahisa Kingkin sebagai anak meski keadaan bocah itu tidak waras, cacat pada jiwanya.
Bhayangkara Gagak Bongol beringsut mendekat dan memerhatikan keadaan Sang Prajaka dengan lebih cermat. Yang tampak di matanya tak hanya wujud bocah itu yang memang menyedihkan, namun lebih jauh terlihat jelas betapa berat beban yang disangga Pradhabasu dalam mengasuhnya, mengerjakan sebuah tugas yang mestinya bukan tugasnya karena orang yang memiliki kewajiban mengerjakan tugas itu telah tumpas dirampas hidupnya. Gemetar Bhayangkara Gagak Bongol beringsut makin mendekat sambil menjulurkan tangannya. Gagak Bongol bermaksud berakrab-akrab dengan bocah itu. Namun, yang tak diduga oleh Gagak Bongol adalah apa yang dilakukan Sang Prajaka, 194
Gajah Mada yang tiba-tiba mengayunkan tangannya mencakar wajahnya. Gagak Bongol terhenyak amat kaget.
"Gila," Gagak Bongol meletupkan umpatannya dalam hati.
Gajah Mada terkejut. Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri tersentak, demikian pula dengan Mahapatih Arya Tadah. Senopati Gajah Enggon terhenyak kaku, terperangah oleh kejadian yang tak terduga itu. Gagak Bongol yang tidak menyangka hal itu akan terjadi merasakan perih di kulit wajahnya. Di antara rasa kaget dari semua yang hadir, hanya Pradhabasu yang tak kaget. Pradhabasu seorang yang tersenyum, amat lugas senyum yang ia umbar tanpa tedheng aling-aling. Pradhabasu yang amat mengenal bagaimana perilaku keponakannya tidak kaget lagi bocah itu sanggup melakukan hal itu.
Gagak Bongol merasa kebenaran apa yang dikatakan oleh Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri, setidaknya demikian Gagak Bongol mendadak merasa, bertempur melawan musuh mungkin jauh lebih mudah dari upaya menguasai bocah itu.
Bekas Bhayangkara Pradhabasu yang merasakan bagaimana sulitnya mewarisi tugas yang ditinggalkan mendiang adik kandung dan sahabat akrabnya tentu tak akan bisa melupakan hari-hari yang amat sulit itu.
Prajaka memiliki cacat jiwa, lasak, dan terus bergerak. Adakalanya ia berbicara seperti burung tanpa henti, tetapi juga bisa membeku seperti batu, bergantung bagaimana suasana warna hatinya. Jika hatinya sedang tidak tenang, Prajaka tidak mengenal rasa sakit dengan kecenderungan melukai diri sendiri. Dalam menghadapi sakit, Sang Prajaka tak pernah menangis seolah mati rasa terhadap rasa sakit dalam bentuk apa pun.
Luka berdarah tak menyebabkan bocah itu menangis, raut muka Sang Prajaka bahkan dengan lugas menunjukkan bagaimana ia terheran-heran melihat munculnya benda cair berwarna merah dari tubuhnya. Rasa heran itu bahkan berujung pada niat untuk melukai lagi. Maka betapa pontang-panting Pradhabasu mencegah niat bocah remaja itu dan berusaha meyakinkan apa yang ia lakukan itu sangat berbahaya.
Benar kata Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri, mengasuh Prajaka bisa lebih sulit dari bertempur di medan perang. Mengasuh Sang Prajaka Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 195
jauh lebih sulit dari melaksanakan tugas sehari-hari sebagai Bhayangkara.
Jenis pekerjaan berat itu mestinya tak perlu ada jika orang tua kandungnya masih hidup. Kasih sayang yang tulus dan hanya bisa diberikan orang tua kandung merupakan jawaban terhadap keadaan cacat jiwa itu. Akan tetapi, Gagak Bongol memang telah berketetapan hati akan menebus kesalahannya. Apabila benar Pradhabasu akan menyerahkan bocah itu, Gagak Bongol merasa telah siap lahir dan batin menerimanya.
Tak jelas apa sebenarnya yang mengusik benak Sang Prajaka. Remaja itu menggeram, matanya jelalatan liar, dan memeluk leher Pradhabasu dengan sangat erat. Pradhabasu berusaha keras menenangkannya. Hanya pelukan yang diberikan Pradhabasu yang merupakan obat paling mujarab menenangkan remaja itu. Karena hanya sejenak kemudian, terbukti Sang Prajaka kembali tenang.
"Tuan Putri," Pradhabasu memecah keheningan sambil merapatkan masing-masing telapak tangannya dalam sikap menyembah.
Ratu Rajapatni Biksuni yang kembali duduk memberinya
kesempatan untuk berbicara melalui isyarat tangannya.
"Hamba merasa keperluan hamba menghadap kali ini telah
terwadahi. Oleh karena itu, hamba mohon izin meninggalkan pertemuan ini," berkata Pradhabasu.
Dari tempat duduknya, Patih Daha Gajah Mada merasa desir tajam merayapi permukaan jantungnya. Patih Daha Gajah Mada benar-benar tidak mengira Pradhabasu bersungguh-sungguh dengan niatnya menyerahkan Prajaka kepada Gagak Bongol. Demikian juga Mahapatih Amangkubumi Arya Tadah, menyimpan perasaan serupa dengan Gajah Mada. Untuk beberapa saat Ratu Biksuni Gayatri terdiam tak berbicara.
Dengan berpamitan seperti itu, Pradhabasu benar-benar mengabaikan tawaran yang ia berikan untuk kembali bergabung dan mengabdi menjadi bagian dari pasukan yang pernah ditinggalkannya, Bhayangkara.
Di tempat duduknya Gagak Bongol kebingungan dalam upayanya menerka, bagaimana warna hati Pradhabasu yang sebenarnya.
Ketika semua yang hadir di ruang itu merasa persoalan yang diajukan Gagak Bongol masih belum tuntas, sikap Ratu Gayatri tak kalah mengagetkan. Ratu Gayatri tersenyum dan malah mengangguk.
196 Gajah Mada "Silakan, Pradhabasu, aku izinkan kau meninggalkan tempat ini,"
jawab Ratu Gayatri. Arya Tadah, Patih Daha Gajah Mada, Senopati Gajah Enggon, dan Bhayangkara Gagak Bongol sendiri, semua dilibas pesona sihir saat sebelum beringsut meninggalkan ruang pertemuan itu Pradhabasu menyempatkan memeluk Sang Prajaka. Dipeluknya bocah itu dengan erat, dibusainya kepala Prajaka dengan penuh penghayatan dan perasaan.
Terlihat sangat lugas betapa sebenarnya Pradhabasu mengalami kesulitan berpisah dari keponakannya.
Merinding Gajah Mada melihat bocah remaja bernama Prajaka itu kebingungan dan agaknya dililit cemas yang luar biasa bakal berpisah dari orang yang selama ini memberikan cinta dan perlindungan kepadanya.
Akhirnya, Pradhabasu merasa telah tiba waktunya melepas pelukan Prajaka. Tanpa banyak bicara dan dengan wajah yang membeku Pradhabasu beringsut mundur menuju pintu. Setelah menyembah diarahkan kepada Ratu Gayatri, Pradhabasu berdiri dan membuka pintu.
Ketika Pradabasu telah berada di luar adalah bersamaan dengan suara meraung yang amat dikenali. Seperti binatang, Prajaka melolong meneriakkan kecemasannya. Sang Prajaka yang tiba-tiba mampu berpikir, didorong oleh rasa cemas terhalang oleh pintu yang telah tertutup, sebuah pintu yang tebal yang ia tidak tahu bagaimana cara membukanya.
Namun, Pradhabasu memang telah bulat dengan rencana yang telah dirancang. Untuk sebuah tugas yang ia bebankan di pundak sendiri, Pradhabasu membutuhkan keleluasaan gerak sambil memberi pelajaran kepada Gagak Bongol. Menghadapi musuh di medan pertarungan memang jauh lebih mudah daripada menghadapi Sang Prajaka.
Pradhabasu yakin Gagak Bongol tidak akan mampu menghadapi bocah itu.
Saat Pradhabasu menyusur lorong di samping kanan, emban
bertubuh gemuk yang telah menolong menjaga Prajaka menghadangnya.
"Mana bocah itu?" bertanya emban itu.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 197
"Kau tak perlu repot lagi," Pradhabasu menjawab. "Aku telah menitipkannya kepada orang yang tepat."
Emban itu mencuatkan alisnya, wajahnya agak janggal karena perempuan itu sebenarnya tak memiliki alis. Rambut alisnya hanya beberapa helai saja.
"Siapa orang yang tepat itu?" tanya emban gemuk itu.
"Gagak Bongol."
Emban itu terkejut. "Gagak Bongol?" ulangnya.
"Ya, kenapa?" balas Pradhabasu.
16 Matahari memanjat makin tinggi dan cemerlang. Demikian garang matahari memberikan sinarnya hingga nyaris tak ada satu jengkal pun wilayah Wilwatikta yang luput darinya. Panas terik itu pula yang menyebabkan Karpa pilih bertelanjang dada sambil berjalan mondar-mandir dengan pandangan mata tertuju pada rumah yang ia jaga. Lalu oleh alasan yang lain, demi upah yang diterimanya, Karpa berubah menjadi anjing yang dengan galak akan menyalak apabila ada orang yang akan melangkahi wilayahnya, menjadikan Karpa bukan lagi Karpa.
Setidaknya perubahan yang terjadi hanya dalam semalam sangat mengagetkan, batas antara Karpa kemarin dan Karpa hari ini sungguh sangat berbeda.
198 Gajah Mada Pedukuhan Daleman berada pada jarak antara Antawulan dan Jombang yang bisa ditempuh tidak lebih dari seperdelapan hari dengan berkuda. Berada di tepi jalan utama yang menghubungkan dengan Kabuyutan Mojoagung dan melintasi Majasari serta Majawarna. Di sudut jalan yang menikung Karpa tinggal. Dulu Karpa hidup dengan istri dan seorang anaknya, tetapi kini Karpa hidup sendiri.
Dengan jalan hidupnya yang menyedihkan macam itu para tetangganya merasa kasihan. Silih berganti mereka datang menghibur agar Karpa tidak merasa kesepian. Seperti bersepakat, para tetangga mencukupi apa yang ia butuhkan. Hal itu dilakukan karena Karpa terbukti telah berniat nglalu, 156 yang untung ketahuan dan dapat diselamatkan.
Karpa telah kehilangan semangat hidup. Ia tak bergairah dan tak mau melakukan apa pun. Cinta yang terbawa mati istri dan anaknya menyebabkan Karpa tidak lagi melihat untuk apa harus hidup.
Para tetangga, terutama Banjar dan istrinya menghibur, menye-mangatinya, mengajaknya melakukan banyak hal mulai dari sekadar berbincang sampai mengolah sawah kembali. Akhirnya, ketika waktu berlalu rona wajah Karpa kembali memerah. Tubuh kurusnya kembali berkeringat. Keramahannya kembali muncul dan hidup kembali setelah sekian lama ia lebih senang membungkam diri.
Namun, kali ini perubahan yang terjadi pada Karpa terasa aneh, janggal, dan menyakitkan. Banjar merasa Karpa memang tak tahu diri.
Apa yang dilakukan Karpa juga terasa aneh bagi beberapa orang tetangga dekatnya. Siapa pun tahu Karpa orang yang tidak pelit. Ia akan mempersilakan siapa pun yang akan mengambil sayuran yang tumbuh liar di pekarangannya. Dengan senang hati Karpa akan mempersilakan mereka yang akan memetik kelapa atau mengambil buah nangka. Akan tetapi, kali ini Karpa benar-benar membuat para tetangga terheran-heran.
Karpa yang dihadapi seperti bukan Karpa yang mereka kenal. Karpa yang baik telah berubah menjadi Karpa yang amat jahat.
"He, mau ke mana kamu?" Karpa menghardik ketika Banjar
melintas halaman dan masuk ke pekarangannya.
156 Nglalu, Jawa, bunuh diri
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 199
Banjar kaget. Padahal ia, Banjar.
"Aku butuh beberapa rebung!" jawab Banjar.
"Tidak boleh! Bukankah kau sendiri punya di pekaranganmu?"
garang Karpa menjawab. Banjar terkejut. Kekagetannya melebihi mendadak dipatuk ular.
Bahkan lebih mengagetkan dari ledakan petir yang menyalak ketika langit demikian bersih tak ada selembar mendung sekalipun. Pesonanya menyebabkan mulut Banjar terbungkam.
Belum lagi Banjar merasa yakin, Karpa menghardiknya, "Pergi sana."
Banjar mengayun langkah menjauh seperti bukan kehendak yang berasal dari kedalaman otaknya, alisnya mencuat dan keningnya mengerut. Rasa penasaran dan kecewa yang mendalam menyertai langkah kakinya yang terayun pulang. Istrinya yang tengah hamil memandangnya dengan bingung.
"Baru kemarin aku membantunya membenahi pawonnya yang
miring akan ambruk, aku bahkan menyumbang beberapa batang bambu.
Ia belum sempat mengucapkan terima kasih, ehhh, kini istriku butuh rebung, ia menghardikku seolah aku ini pengemis. Keterlaluan Kang Karpa. Benar-benar keterlaluan dia."
Belakangan ketika Banjar mulai tenang dan justru mampu berpikir, dengan segera rasa heran itu beranjak menuju ke rasa tersinggung yang memancing datangnya amarah. Istrinya yang sedang sibuk di dapur terkejut melihat wajah suaminya yang tertekuk berlipat-lipat. Matanya melotot akan lepas dari kelopaknya.
"Ada apa?" tanya Murti.
Banjar tak mampu berkata apa pun. Banjar memerlukan mengisi tenggorokan dengan minum air dari kendi. Dituangkannya air dari kendi itu langsung ke mulut tanpa putus sampai berlepotan di sekujur tubuhnya.
Mendidih hatinya terbaca dari raut mukanya yang berubah menjadi berangasan. Dalam kemarahannya sebenarnya Banjar butuh penyaluran, namun Banjar tak tahu bagaimana cara melampiaskan.
200 Gajah Mada Dulu ketika masih bujang, bila dilibas amarah Banjar bisa menyalurkan melalui membanting apa saja, membanting pintu atau membanting peralatan dapur yang terbuat dari gerabah. Akan tetapi, sejak ia beristri cara menyalurkan amarah macam itu harus dikendalikan.
Ia tidak ingin tampak sebagai suami yang buruk di mata istrinya.
Demikian besar cinta Banjar kepada istrinya menyebabkan ia harus rela melepas beberapa kebiasaan buruk, seperti kegemarannya minum tuak bahkan bermain dadu. Cinta Murti kepadanya dan demikian pula sebaliknya menyebabkan Banjar mengubah diri habis-habisan. Murti merasa suaminya adalah suami paling baik di dunia, benar-benar suami yang layak ia banggakan. Banjar merasa senang istrinya beranggapan seperti itu.
"Kenapa, Kang?" Murti kembali bertanya. "Apa yang menyebabkan Kang Banjar demikian marah?"
Banjar duduk di dingklik panjang. Itulah satu-satunya tempat duduk yang ada di dapur sederhana yang warnanya dikuasai serba hitam karena pekat jelaga. Napasnya mengayun bagai ombak laut selatan yang bergerak susul-menyusul. Banjar mengalami kesulitan untuk menenangkan diri.
"Kang Karpa tidak tahu diri," jawabnya setelah amat bersusah payah.
Murti terkejut. Ia amat mengenal pergaulan suaminya dengan Karpa, tetangga sebelahnya. Hubungan itu demikian dekat melebihi hubungan tetangga atau sahabat.
"Aku benar-benar tak habis mengerti, Kang Karpa akan bisa bersikap seperti itu. Kurang apa aku selama ini" Jika ia tidak makan kita mengirimi makan. Kemarin aku menyumbang tenaga membantunya membenahi pawonnya yang nyaris ambruk dengan perasaan ikhlas.
Ketika anak istrinya mati disambar petir di sawah, aku yang menolongnya menguburkan. Ketika di hutan ia nyaris diserang macan, akulah yang cancut taliwanda 157 menolong, ketika musim paceklik kemarin ia tak punya apa-apa, aku juga yang menolong. Kini, giliran kita butuh rebung, ia 157 Cancut taliwanda, Jawa, mengambil tindakan, berbuat dan mengatasi Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 201
menghardik aku seperti menghardik anjing. Mau ke mana kamu, aku jawab aku butuh rebung. Ia mengusirku, pergi, pergi sana jangan dekat-dekat rumahku."
Murti segera mengerutkan kening sambil mengelus perutnya yang telah berisi calon jabang bayi berusia enam bulan. Perutnya cukup besar untuk usia kehamilannya itu.
"Kang Karpa berubah seperti itu?"
Napas Banjar mengayun. "Ya," jawabnya. "Keracunan pohung pandesi 158 orang itu."
"Ya sudah, kalau tak boleh, bukankah kita sebenarnya juga bisa memperoleh dari pekarangan kita sendiri. Rebungnya tidak berasal dari jenis bambu petung tidak apa-apa asal rebung," kata Murti.
Pawon itu menjadi senyap, hening, dan hitam. Langes 159 berasal dari perapian melekat di semua benda. Pada bagian atap hitamnya bahkan melebihi pantat wajan. Asap dari kayu yang menyala terasa pedih di mata. Akan tetapi, perhatian Banjar dan istrinya tetap terpusat pada tetangganya.
"Tidak ada gunanya aku bertetangga dengan Kang Karpa. Akan aku balas apa yang diperbuatnya. Jangan dikira aku tidak bisa melakukan hal yang sama."
Makin mencuat alis Murti.
"Tetapi, kenapa Kang Karpa berubah seperti itu. Tentu ada sebabnya, jangan-jangan kamu melakukan perbuatan yang menyebabkan ia kesal seperti itu," berkata Murti.
"Aku memikirkannya sejak tadi," suaminya membalas. "Aku sudah berusaha mengingat-ingat, tetapi tak ada perbuatanku yang pantas menjadi penyebab Kang Karpa berbuat seperti itu. Terakhir kemarin aku bahkan masih guyonan dengan orang itu."
158 Pohung pandesi, Jawa, jenis ketela pohon yang sangat beracun 159 Langes, Jawa, jelaga
202 Gajah Mada Murti menyentuh telapak tangan suaminya dan membawanya
mengelus-elus perutnya yang besar. Apa yang dilakukan Murti itu dengan telak melarutkan amarah suaminya. Murti yang mendekat dan menempatkan diri ke pelukan suaminya menjadi pemicu jebolnya tanggul kemarahan. Bagaimanapun ada sebuah pertanyaan yang belum tersedia jawabnya. Banjar tak yakin sahabatnya bersikap demikian tanpa ada sebabnya. Pasti ada penyebabnya.
Suara ketukan di pintu rumahnya mendorong Banjar bangkit. Murti bergegas mengintip.
"Siapa?" tanya Banjar.
"Ini aku, Wilang," terdengar jawaban.
"Ke dapur saja," jawab Murti.
Banjar dan istrinya terheran-heran melihat wajah Wilang yang merah padam. Segera Banjar dan istrinya saling lirik bertukar pandang. Ketika Banjar merasa butuh menyalurkan kemarahannya, bagai tersita gelegak dadanya melihat Wilang, tetangga sebelah juga yang juga dalam keadaan sebagaimana dirinya.
"Ada apa?" tanya Murti.
Napas Wilang tersengal. Laki-laki yang masih muda, bertubuh hitam legam itu wajahnya benar-benar tertekuk-tekuk berlipat, matanya memerah tanda tengah meredam marah. Wilang ternyata mengalami kesulitan menjawab pertanyaan Murti yang sebenarnya pertanyaan sederhana itu.
"Kamu kenapa, Wilang?" tanya Banjar. "Kamu keracunan bunga kecubung atau bagaimana?"
"Aku akan membunuh orang."
Betapa terperanjatnya Banjar sebagaimana istrinya yang tak kalah kaget. Banjar sampai lupa pada kemarahannya sendiri.
"Apa?" balas Banjar.
"Aku mau bunuh orang. Kuminta Kang Banjar menjadi saksi atas apa yang akan aku lakukan. Aku benar-benar marah dan akan membunuh orang."
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 203
"Siapa yang akan kaubunuh?" tanya Banjar lagi.
Kembali Wilang tersengal-sengal. Dengan serakah ia menenggak air kendi yang diserahkan Murti kepadanya. Wilang tak cukup minum air kendi itu, tetapi juga mengguyurkan ke kepalanya sampai basah kuyup seperti orang mandi. Dengan apa yang dilakukan itu, Wilang merasa gemuruh dadanya agak mereda.
"Kamu akan berurusan dengan Kitab Kutaramanawa," Banjar
mengingatkan. "Aku tidak peduli. Aku tak takut menghadapi Kutaramanawa. Aku tak takut dihukum penjara seumur hidupku asal aku membunuh orang itu."
Banjar menggeleng, matanya makin tajam membalas tatapan mata Wilang yang nyaris lepas dari kelopaknya. Bila Wilang tak mampu mengendalikan diri, boleh jadi akan lepas bulatan mata itu dari kelopaknya.
"Kamu akan membunuh Kang Karpa?" tanya Murti tiba-tiba.
Pertanyaan Murti itu mengagetkan Wilang sekaligus mengagetkan suaminya.
"Hah, kok tahu kalau aku akan membunuh Karpa?"
Murti termangu diam di sebelah suaminya yang terbelalak. Mulut Banjar terbuka dengan raut muka yang mewakili kekagetannya.
"Kamu akan bunuh Kang Karpa?"
"Ya," jawab Wilang tegas.
"Aku setuju," jawab Banjar. "Bunuh saja orang itu, kemaki 160dan sombong. Kalau kamu berniat membunuhnya, bunuh saja. Aku setuju, aku juga ingin merobek mulutnya. Ayo lakukan saja, kudukung."
Banjar bersemangat dalam memberi dukungan, sikapnya yang demikian malah mengagetkan Wilang. Wilang yang ternyata marahnya lebih cepat mereda duduk di dingklik, menempatkan diri menyebelahi 160 Kemaki, umpatan Jawa, tak tahu diri
204 Gajah Mada Banjar. Ruangan itu tebungkam sejenak ketika masing-masing merasa ada yang janggal, ada yang tidak pada tempatnya.
"Ada apa dengan Kang Karpa?" Banjar berbisik lunglai.
Wilang menoleh menyerahkan raut wajahnya.
"Jadi, kamu juga sedang marah kepada Kang Karpa?" tanya Wilang.
"Ya," jawab Banjar.
"Kalau kamu, apa sebabnya?"
Dengan singkat namun jelas, Banjar menceritakan bagaimana sikap tetangga sebelah itu kepadanya.
"Aku berusaha keras mencari jawabnya, caranya dengan mencari kesalahanku. Rupanya bukan hanya aku yang diperlakukan tidak manusiawi. Kamu juga."
"Ya. Aku juga," jawab Wilang.
"Kalau kau, kenapa" Penyebabnya apa?"
"Aku berniat pinjam garu161 dan singkal.162 Aku harus menyiapkan sawahku untuk ditanami. Aku yang sudah telanjur masuk ke dalam rumahnya dihardik, diumpat, dan didorong-dorong keluar, diusir dari pagar rumahnya. Kalau aku berani masuk lagi ke halamannya, ia mengancam akan meludahiku."
"Begitu?" "Ya." Lalu hening. Semua penasaran, sulit memahami. Perubahan sikap dan perilaku Karpa benar-benar terlampau mengagetkan.
"Ada apa sebenarnya?" Murti berdesis.
Lagi-lagi ternyata bukan hanya Banjar dan Wilang yang dikagetkan oleh sikap Karpa yang berubah. Melihat Banjar dan istrinya sedang 161 Garu, Jawa, alat meratakan tanah setelah dibajak 162 Singkal, Jawa, alat untuk membajak tanah Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 205
berbincang dengan Wilang, Dwarastha yang melintas di jalan depan rumah mereka segera membelok. Akan tetapi, berbeda dengan Banjar dan Wilang, Dwarastha memiliki jawaban meski terasa masih samar.
"Kalian kaget oleh sikap Karpa?" tanya Dwarastha langsung pada persoalan.
Banjar dan Wilang kaget. "Ya," jawab mereka serentak.
Murti memerhatikan dua mata Dwarastha. Murti mengira
Dwarastha sedang mengarahkan pandangan mata kepadanya, ternyata tidak. Pandangan mata Dwarastha ternyata tertuju kepada Banjar. Mata yang tidak searah itu memang membingungkan.
"Ada orang yang bersembunyi di rumah Karpa. Itu yang
menyebabkan Karpa berubah. Karpa harus melindungi orang itu dari siapa pun."
Banjar dan Wilang terbelalak. Hening terjadi sedikit lebih lama.
"Siapa yang disembunyikan Kang Karpa?"
"Aku tak tahu," jawab Dwarastha. "Aku tertarik ingin menge-tahuinya karena mendengar bayi menangis. Aku penasaran bayi siapa yang menangis keras di rumah Kang Karpa itu. Tetapi aku diusir, dimaki-maki dituduh tak tahu diri mengintip rumah orang. Aku bahkan dilempar batu mengenai kakiku. Sampai sekarang belum sembuh. Kalau ada kesempatan akan kubalas dengan nyrampang163 kakinya menggunakan kayu yang besar."
Banjar yang meraba dada nyaris lupa dengan amarahnya, pun Wilang dengan semangat membunuh telah lupa dengan kesumat amarahnya.
Yang tersisa sekarang tinggal rasa heran, rasa ingin tahu yang amat besar terhadap siapa sosok yang sedang bersembunyi di rumah Karpa. Bayi siapa yang menangis, seperti apa wajahnya"
"Kausempat tahu, orang yang bersembunyi di rumah Kang Karpa?"
163 Nyrampang, Jawa, melempar dengan senjata 206
Gajah Mada "Tidak, aku hanya menduga dia perempuan. Bayi yang menangis itu anaknya. Mungkin selain perempuan itu ada lelaki lain yang juga bersembunyi, aku tak tahu."
Banjar berpikir keras, terlihat itu dari keningnya yang mengerut dan tatapan matanya yang jatuh ke satu arah, apalagi Banjar meleng-kapinya dengan melekatkan telunjuk ke kening. Banjar jelas berpikir dengan isi keningnya, sama sekali berbeda dengan Wilang yang mengelus-elus dengkul. Wilang memang tidak sedang berpikir, meski ia penasaran.
"Orang yang bersembunyi itu yang memaksa Kang Karpa berubah sikapnya?" ucap Banjar.
"Ya," jawab istrinya. "Aku yakin begitu. Mungkin karena upah atau mungkin karena ancaman, atau mungkin pula secara suka rela Kang Karpa melakukan, misalnya memang karena niat melindungi."
"Terus, apakah ada hubungannya dengan apa yang saat ini terjadi di istana?" tambah Banjar yang keluar dari mulutnya seperti begitu saja.
Apa yang dilontarkan Banjar menyebabkan Wilang njondil, kaget!
Akan tetapi, dengan segera Banjar membantah sendiri kemungkinan macam itu. Apa yang terjadi kali ini bukan peristiwa sembilan tahun yang lalu, peristiwa getir yang memang tak mungkin dilupakan. Para prajurit yang berubah menjadi perampok menguras isi rumahnya dengan dalih mencari Jayanegara.
Padahal beberapa saat sebelumnya, dengan riuh Banjar bercerita bagaimana pemakaman raja dilangsungkan. Banjar menuturkan kisah itu sebagai oleh-oleh telah mengunjungi kotaraja di hari yang benar-benar tepat, hari terjadinya pembunuhan yang menimpa Raja Majapahit.
"Kenapa harus ada orang yang bersembunyi di rumah Karpa?"
tanya Banjar. Perlahan sekali Wilang menggeleng. Sebaliknya, untuk menjawab pertanyaan yang mencemaskan itu Dwarastha menyipitkan mata sejenak.
Rasa cemas Dwarastha ternyata sebangun dengan apa yang mengendap di benak Banjar.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 207
"Yang melakukan pembunuhan terhadap Sri Baginda adalah Rakrian Tanca. Ia telah dibunuh oleh Patih Daha Gajah Mada. Namun, siapa tahu di belakang Tanca ada komplotan yang merancang pembunuhan itu. Kenapa harus ada orang sembunyi di wilayah kita. Maksud jahat apakah yang dibawa orang itu karena bukankah hanya orang jahat yang menyembunyikan diri dan menyembunyikan kejahatannya?" tanya Dwarastha.
"Kita harus tahu siapa orang yang bersembunyi di rumah Karpa,"
kata Banjar. "Ya, aku sependapat." Wilang menegas. "Kita datangi rumah Karpa sekarang juga dan kita paksa ia mengaku menyembunyikan siapa. Kalau tidak mau mengaku, aku yang akan membuka paksa mulutnya."
Murti membalik tubuh dan mengarahkan perhatiannya ke rumah Karpa. Di sana Karpa benar-benar berubah menjadi anjing. Lebih gila lagi, Karpa melengkapi diri dengan senjata. Sebuah pedang panjang diayun-ayunkan.
"Aku mendengar anak menangis," berbisik Murti.
Tiga lelaki di depannya segera menelengkan telinga. Lamat-lamat dari rumah Karpa memang terdengar suara bayi menangis.
"Aku dengar suara itu," bisik Banjar.
"Aku juga," tambah Wilang.
"Rupanya ada sesuatu yang disembunyikan oleh Kang Karpa, dan itulah yang menyebabkan ia berubah perangai seperti itu," berkata Banjar.
Banjar dan istrinya saling pandang, sementara Wilang yang menatap wajah Dwarastha sedikit bingung, merasa tidak yakin pandangan mata Dwarastha ditujukan kepadanya. Mata juling itu salah satu mengarah kepadanya sementara yang satu lagi tidak tertuju kepadanya. Membelah ke antara mereka, suara bayi menangis itu terdengar amat jelas. Suaranya bahkan sangat melengking. Secara kasat mata, Karpa terlihat bingung oleh suara tangis itu. Dengan jelas bahasa tubuhnya menampakkan rasa cemas bila ada yang mendengar suara tangis itu. Menyembunyikan benda 208
Gajah Mada mungkin bisa, namun tak mungkin menyembunyikan suara kecuali dengan menyumpal sumber suara itu.
"Apakah Kang Karpa telah melakukan tindakan kejahatan?"
pertanyaan itu meletup dari mulut Murti.
Pertanyaan itu rupanya cukup mengagetkan karena kemungkinan itu ada.
"Kang Karpa menculik anak orang?" tambah Murti.
"Ya, siapa tahu Kang Karpa berbuat gila. Kang Karpa mungkin melakukan, ia merasa kesepian butuh teman."
Larut kemarahan yang semula menggejolak dalam hati Banjar.
Demikian pula dengan Wilang, kemarahannya lenyap entah ke mana.
"Aku akan mengintip," kata Dwarastha tiba-tiba.
Semua saling pandang. "Kalian sibukkan Kang Karpa, aku akan mengintip siapa yang berada di rumah itu dari arah belakang."
"Baik," jawab Banjar.
Apa yang dilakukan oleh tak sekadar Banjar, tetapi Wilang dan istrinya ikut, benar-benar membuat Karpa merasa tidak senang.
"Kalian mau apa?" lantang suara Karpa dalam menghardik.
"Aku hanya ingin bertanya, sepertinya telingaku mendengar suara tangis bayi."
Berubah wajah Karpa. "Tidak ada. Tak ada bayi menangis. Telingamu sedang rusak. Mana ada suara bayi menangis."
"Itu," jawab Wilang meski suara bayi menangis itu telah lenyap.
"Mana" Tidak ada," jawab Karpa amat garang. "Kalian jangan mengada-ada. Tidak ada suara apa pun. Meski aku sudah tua, aku tidak mendengar suara apa pun."
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 209
"Tadi aku mendengar," Banjar menambah sambil bersikap seolah-olah akan melewati pemilik rumah.
Namun, Karpa segera melintangkan parangnya. Sikapnya benar-benar galak, menunjukkan betapa ia akan menggunakan parang itu apabila ada yang memaksa diri masuk ke wilayah kekuasaannya.
"Siapa sebenarnya orang yang kausembunyikan di rumahmu, Kang Karpa?" tanya Wilang langsung pada persoalan.
Pertanyaan macam itu mengagetkan Karpa, terbungkam seketika mulutnya. Apalagi, Wilang bukan jenis orang yang memiliki lidah lentur.
Wilang jenis orang yang suka bicara blak-blakan tanpa tedheng aling-aling.
"Sembilan tahun yang lalu pedukuhan kita pernah diobrak-abrik prajurit kaki tangan Ra Kuti karena dikira menjadi tempat persembunyian Sri Baginda, apakah kauingin peristiwa itu terulang kembali, Kang Karpa"
Apalagi, hari ini Sri Baginda telah mangkat dibunuh Ra Tanca. Siapa tahu orang yang kausembunyikan di rumahmu itu kaki tangan Ra Tanca.
Kalau benar, pedukuhan kita bakal mengalami celaka karena ulahmu."
Pertanyaan itu benar-benar mengagetkan Karpa dan membuatnya gelisah.
"Pergi kalian, jangan ada yang mendekati rumahku. Awas."
Namun, Banjar bergeming di tempatnya dengan Murti menempatkan diri beku di belakangnya. Wilang sama sekali tak menggeser arah pandangnya dari pintu rumah Karpa. Wilang bahkan mulai berjalan mondar-mandir.
"Ayolah, Kang Karpa," kata Murti. "Selama ini Kang Karpa adalah tetangga yang baik, kita semua bersaudara. Kalau ada masalah, janganlah hanya Kang Karpa yang menyangga masalah itu. Bagilah dengan kami semua."


Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Makin membeku wajah Karpa, makin terbungkam mulutnya. Apa yang diucapkan Murti itu dengan telak menyodok ulu dadanya, menempatkan Karpa pada suatu kesadaran betapa ternyata sulit bersandiwara, sangat sulit melakukan sesuatu yang tidak sejalan dengan isi hatinya.
210 Gajah Mada Dalam pada itu di belakang rumah Karpa, Dwarastha telah
menempatkan diri dengan baik. Melalui sebuah lubang ia berhasil melihat sesuatu yang membuatnya layak terbelalak, benar-benar mengagetkan karena melibatkan Karpa, tetangganya. Di ruang belakang rumah itu, seorang perempuan cantik terikat erat pada tiang dan tak mungkin baginya meloloskan diri tanpa bantuan orang lain. Bayi laki-laki dengan usia belum genap setahun berusaha membuka pakaian yang dikenakan perempuan itu untuk bisa menyusu.
"Gila, apa yang dilakukan Kang Karpa pada perempuan itu. Siapa pula orang itu?" tanya Dwarastha dalam hati pada diri sendiri.
Dwarastha merasa tak bisa membiarkan keadaan tak lazim itu.
Dwarastha segera bertindak. Dengan amat berhati-hati Dwarastha berusaha mengakali pintu belakang itu supaya bisa terbuka. Akhirnya, setelah menggunakan sebuah pengungkit kayu, pintu yang tertutup itu bisa terbuka. Perempuan yang terikat erat di tiang saka itu jelalatan melihat ada orang yang masuk dan menolongnya. Cekatan Dwarastha membuka ikatan perempuan itu.
"Terima kasih," ucap perempuan itu dengan segala kecemasannya.
Dengan gugup perempuan itu memeluk anaknya dan membusai
kepalanya. "Kamu siapa" Dan kenapa Kang Karpa menyekapmu?"
Akan tetapi, perempuan itu kesulitan menyebut namanya. Apa yang dilakukan bahkan mengagetkan Dwarastha. Dengan bergegas perempuan itu berkemas.
"Tunggu dulu, kamu akan ke mana" Kamu siapa?"
Perempuan itu tak menjawab. Ia memilih menyalurkan gugup dan cemas yang membelitnya dengan bersiap-siap meninggalkan tempat itu.
Demikian terpesonanya Dwarastha pada keadaan yang dihadapinya sampai tidak mampu melakukan apa-apa. Ketika kesadarannya kembali pulih, Dwarastha bergegas menyusul dan mengikuti dari belakang.
"Sebenarnya kamu siapa" Kenapa Kang Karpa menyekapmu?"
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 211
Dengan segenap kecemasannya, perempuan itu sedikit memperlebar langkah kakinya. Akan tetapi, kain yang dikenakannya tidak memungkinkan ia melakukan itu kecuali perempuan itu mau menarik lebih tinggi dan menampakkan betisnya. Akhirnya, perempuan itu berhenti.
"Aku harus ke kotaraja, ke mana arahnya?" tanya perempuan itu.
Dwarastha termangu beberapa jenak dalam memandangnya. Di mata Dwarastha perempuan itu terlihat amat cantik. Sebenarnyalah perempuan itu memang memiliki wajah yang cantik. Kecemasan yang melibas dan tubuhnya yang agak kotor tak bisa menyembunyikan kecantikannya. Untuk beberapa saat lamanya Dwarastha amat tersita perhatiannya oleh kecantikan perempuan itu.
"Namaku Dyah Menur, Kakang," ucap perempuan itu dengan
sangat gugup. "Aku minta maaf lupa berterima kasih Kakang telah membebaskan aku. Sekarang tolong tunjukkan ke mana arah balik ke kotaraja. Aku harus ke kotaraja."
Dwarastha mengerutkan kening, kedalaman otaknya belum terpusat ke jawaban yang harus diberikan. Dwarastha masih bingung, tak bisa memahami bagaimana Karpa terlibat dalam persoalan amat aneh.
Mengapa Karpa yang ia kenal sangat baik itu bisa menculik dan menyekap orang. Orang yang disekap itu memiliki wajah yang sangat cantik. Meski memiliki seorang anak, perempuan itu terlihat lugas kecantikannya.
"Jawablah pertanyaanku, Adi Dyah Menur," Dwarastha mendesak.
"Kenapa tetanggaku menyekapmu, bagaimana ceritanya?"
Dyah Menur merasa cerita yang dimilikinya amat panjang dan tidak mungkin dituturkan dalam waktu singkat, apalagi bersamaan dengan itu telinganya mendengar sesuatu yang mencemaskan, suara derap kuda.
"Aku tidak punya waktu, tunjukkan kepadaku, ke mana arah kembali ke kota Majapahit?"
Namun, Dwarastha tidak segera menjawab pertanyaan itu. Ia merasa pertanyaan yang diajukan lebih penting untuk segera mendapat jawaban.
Perempuan bernama Dyah Menur itu akhirnya merasa tidak ada manfaatnya menunggu jawaban. Suara derap kuda itu amat ia pahami 212
Gajah Mada apa artinya, amat ia pahami siapa penunggangnya. Pilihan yang ia punya hanyalah dengan segera menghindar dari orang yang datang itu meski yang berada di depannya merupakan ladang. Perempuan itu balik arah dan bergegas berlari.
Dwarastha yang terkejut segera mengejarnya, bahkan meraih tubuh perempuan itu memaksanya berhenti.
"Kau belum menjawab pertanyaanku," kata Dwarastha.
"Aku tak punya waktu untuk bercerita," jawab perempuan itu.
"Orang-orang yang datang berkuda itu akan mencelakai aku. Lebih baik kembalilah dan selamatkan tetanggamu. Sekarang, tunjukkan ke mana arah kotaraja."
Dwarastha bagaikan orang yang siuman dari keadaan tidak sadar.
Telinganya menangkap derap beberapa ekor kuda dengan jelas dan memberinya bibit cemas yang dengan segera tumbuh dan mekar. Akan tetapi, dalam pandangannya perempuan itu juga membutuhkan pertolongan. Setidaknya ia membutuhkan petunjuk ke mana arah yang harus diambil untuk menuju kotaraja.
"Ikuti aku," kata Dwarastha.
Dwarastha yang bermata juling itu benar-benar menjadi dewa penolong bagi perempuan cantik beranak satu bernama Dyah Menur itu. Dwarastha bahkan cekatan mengambil alih bebannya. Dwarastha mengulurkan tangan menawarkan menggendong bayinya. Adakah bayi itu memahami keadaan memang mencemaskan sehingga ia diam tak menangis" Dengan langkah sama lebarnya, Dyah Menur mengikuti ke mana gerak langkah laki-laki yang menolong itu. Saat mana melintasi pekarangan tetangga, Dwarastha memerlukan memerhatikan keadaan dengan saksama. Manakala keadaan dirasa aman Dwarastha membawa Dyah Menur berjalan mengendap-endap.
Adalah dalam pada itu, mungkin telah menjadi takdir Karpa bakal mengalami nasib malang semalang-malangnya ketika lima ekor kuda yang berderap melintasi pedukuhan itu membelok ke pekarangan rumahnya. Orang-orang itu berwajah garang dan masing-masing Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 213
bersenjata. Empat orang bersenjata pedang panjang menggantung di pinggang sementara salah seorang melilitkan cambuk di pinggang pula.
Cambuk itu bukan jenis cambuk untuk menggembala ternak di sawah, tetapi benar-benar cambuk yang dirancang sebagai senjata. Terdapat semacam gelang-gelang besi yang melingkar di juntai cambuk itu.
Banjar dan istrinya berdiri bersandar pagar sementara Wilang yang ternyata seorang pengecut menempatkan diri di belakang pasangan suami istri itu.
Lima orang berkuda itu berloncatan turun dari kudanya.
"Ini rumah Karpa" Siapa yang bernama Karpa?" bertanya salah seorang dari mereka yang memiliki kumis melintang.
Ternyata Karpa yang demikian garang kepada tetangga itu lenyap garangnya berhadapan dengan orang-orang bersenjata itu. Menilik pakaiannya, mereka bukan prajurit, tetapi dari senjata yang menggantung di pinggang terlihat jelas mereka orang yang sering berurusan dengan perkelahian dan barangkali tak segan-segan membunuh orang. Banjar dan istrinya serta Wilang yang berdiri membeku di belakang mereka mulai menelan rasa cemas.
"Ya. Ini rumahku. Aku yang bernama Karpa," jawab Karpa.
Kelima orang itu memusatkan perhatiannya kepada Karpa. Sikapnya agak lunak.
"Mana perempuan dan anaknya itu?" tanya salah seorang dari mereka. "Kami harus membawanya pergi dari tempat ini. Tempat ini tidak aman lagi baginya."
"Ada," jawab Karpa. "Ia aku ikat di belakang."
Banjar dan istrinya serta Wilang makin membeku ketika salah seorang dari mereka memandang dengan tatapan amat tidak bersahabat kepada mereka. Banjar yang tergoda ingin tahunya terpaksa membatalkan niat untuk melihat siapa orang yang disembunyikan di rumah Karpa yang agaknya seorang perempuan dengan anaknya, yang bisa ditandai dari tangisnya yang melengking sangat keras. Laki-laki garang itu 214
Gajah Mada mengacungkan senjatanya meminta Banjar menjauh dan tidak ikut campur terhadap apa yang terjadi.
Kecemasan Banjar sebagian yang lain tertuju kepada Dwarastha.
Bisa jadi ia berada dalam bahaya bila kepergok orang-orang yang tampaknya tak akan merasa sungkan membunuh itu. Apa yang diduganya ternyata benar, dari dalam rumah itu terdengar teriakan-teriakan. Namun, bukan Dwarastha yang layak dicemaskan. Menilik suaranya, yang menghadapi masalah justru Karpa.
"Mana dia" Mana perempuan itu?"
Di dalam bilik bagian belakang rumahnya, Karpa seperti orang tolol.
"Lhoh, kok tidak ada?" letupnya seperti orang bodoh.
Lima orang lelaki garang itu benar-benar menampakkan
kegarangannya yang menyebabkan Karpa menjadi sangat cemas.
"Mana dia?" bentak salah seorang dari mereka dengan amat keras.
Karpa menjadi demikian gugup. Karpa tidak kuasa mengendalikan diri ketika hasrat kencingnya tidak tertahan dan membasahi celananya, membasahi kakinya dan membasahi tanah tempat berpijak kakinya.
"Tadi dia ada di sini! Aku mengingkatnya di tiang saka, pintunya kukunci rapat dan tak mungkin dibuka," jawabnya dengan amat terbata.
"Tetapi, sekarang mana?" bentak seorang lainnya lagi.
Karpa benar-benar ketakutan, apalagi ketika salah seorang dari mereka telah melekatkan senjata ke lehernya. Karpa amat takut kalau pedang panjang itu terayun ke lehernya, putus hubungan antara kepala dan tubuhnya. Lebih ketakutan Karpa saat salah seorang dari mereka mengurai cambuk dan mengayunkannya dengan ayunan sandal pancing yang menimbulkan suara meledak. Bisa diyakini, bila ayunan cambuk itu mengenai wajahnya, tentu akan berakibat sangat buruk.
Salah seorang dari lima orang lelaki garang itu menggelandang Karpa keluar melalui pintu belakang. Ayunan kaki orang itu menyebabkan Karpa terjengkang dan bergulingan. Tendangan orang itu tak hanya Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 215
mengenai dadanya yang menyebabkan Karpa mengalami sesak napas, tetapi juga mengenai mulutnya menyebabkan darah dan ludah muncrat.
Karpa bahkan merasa giginya tanggal satu. Karpa menggeliat sambil mengaduh ketika ayunan cambuk menyengat punggungnya, menyisakan rasa pedih yang luar biasa.
"Ampun, ampuni aku," Karpa melolong.
"Mana perempuan yang dititipkan itu, ha" Kamu sembunyikan di mana?"
Namun, salah seorang dari rombongan berkuda itu rupanya mampu membaca jejak. Semula ia memerhatikan pintu yang menyisakan jejak dibuka paksa, pandang matanya lalu tertuju pada dua jejak kaki melintas pagar, jejak yang tenggelam pada tanah gembur itu mengarah menjauh dari tempat itu.
"Aku menemukan jejak baru, mereka belum lama pergi. Jejak kaki dua orang. Rupanya ada orang lain yang mungkin menolongnya."
Perhatian orang-orang itu segera tertuju pada jejak-jejak kaki yang diyakini pasti milik orang yang mereka cari.
"Ikuti jejak ini, mereka belum jauh," teriak pimpinan mereka.
Karpa yang malang belum lolos dari kemalangannya karena
rombongan orang itu memaksanya ikut. Karpa jatuh bangun dan adakalanya harus merangkak-rangkak karena orang-orang itu benar-benar kecewa dengan arah kekecewaan tertuju kepada Karpa.
Banjar dan Wilang memandang dengan cemas. Jejak kemarahan mereka kepada Karpa kini berubah menjadi mencemaskannya. Kini mereka mengetahui perubahan sikap Karpa ada penyebabnya. Lebih dari itu, Karpa benar-benar berada dalam bahaya. Jika orang-orang itu tidak bisa menguasai diri, Karpa bisa mati.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Wilang.
"Kumpulkan semua orang, terutama lelaki. Suruh mereka membawa senjata terutama anak panah, kita hadapi lima orang itu. Kita menang banyak dan jangkauan. Aku akan mengikuti mereka dari jauh."
216 Gajah Mada "Baik," jawab Wilang yang dengan segera melaksanakan perintah itu.
Banjar masuk ke dalam rumah diikuti istrinya. Dari dalam sebuah kotak kayu yang tergeletak di bawah tempat tidurnya, Banjar mengeluarkan gendewa dan endong penuh dengan warastra. Banjar tidak pernah membayangkan akan menggunakan anak panah itu untuk manusia. Selama ini sasaran bidik senjatanya berupa harimau atau binatang liar yang mengganggu kebunnya. Namun, agaknya kini harus digunakan senjata itu untuk menyelamatkan Karpa, tetangganya. Karpa yang sering membuatnya jengkel. Banjar rupanya masih harus menyesuaikan diri dengan jenis senjata yang menjadi andalannya itu.
Banjar melepas pakaiannya dan hanya mengenakan cawat agar bisa bergerak lincah dan gesit.
"Kang, mereka orang-orang yang berbahaya," istrinya yang amat cemas dan gelisah mengingatkan.
Banjar membalas tatapan mata istrinya.
"Aku sudah terbiasa menggunakan anak panah ini menghadapi keadaan yang lebih sulit. Aku pernah menghadapi tiga ekor harimau garang sekaligus dan sanggup merobohkan mereka. Aku harus menyelamatkan Kang Karpa yang berada di dalam bahaya. Tenanglah, dan bersembunyilah di rumah Paman Sambi. Ceritakan kepadanya apa yang terjadi supaya Paman Sambi bisa ikut membantu."
"Baik, Kakang," jawab Murti.
Bergegas perempuan yang sedang hamil dengan perut membesar itu berlari di jalan setapak melaksanakan petunjuk suaminya. Meski perutnya besar ternyata tidak mengurangi kegesitannya dalam berjalan bergegas.
Banjar yang telah mengenakan pakaian ringkas yang menjadi ciri penampilan khasnya ketika berburu di hutan sejenak tersita perhatiannya oleh lima ekor kuda yang ditinggalkan pemiliknya. Di benak Banjar muncul pertanyaan, gagasan apa yang bisa dilakukan terhadap kuda-kuda itu. Apabila binatang itu diusir pergi tentu akan membuat Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 217
pemiliknya kebingungan. Namun, Banjar pilih menunda gagasan itu.
Karpa yang berada dalam bahaya membutuhkan pertolongannya.
Banjar berlari kencang. Ia lakukan itu sambil menunduk. Gesit sebagaimana umumnya pemburu binatang buas di hutan, Banjar melompati pematang dan galengan tanpa beban. Setelah beberapa saat telinganya menangkap jejak lima orang bersenjata itu dari umpatan-umpatannya yang terdengar di udara, juga jerit kesakitan saat Karpa harus menghadapi ayunan tangan orang-orang berwajah kejam dan beraut muka kelam itu.
"Mereka ke arah sana," ucap Banjar untuk diri sendiri setelah menemukan jejak kaki.
Adalah Karpa yang tidak ingat bermimpi apa semalam hingga harus menemui keadaan macam itu. Wajah lelaki itu berantakan berdarah-darah karena yang dihadapi adalah orang yang tak menyimpan rasa kasihan meski mukanya merah penuh darah.
"Kalau sampai perempuan itu hilang, aku jamin kamu akan
kehilangan nyawa dengan kepala terpenggal terpisah dari tubuhmu."
Karpa merasa dirinya telah habis.
"Aku sudah menjaganya, pintu belakang rumahku telah kukunci rapat. Aku sama sekali tidak mengira perempuan itu bisa lolos padahal tubuhnya telah aku ikat erat," ucap Karpa dengan amat terbata.
Namun, lima orang berwajah galak itu tak peduli terhadap kilah apa pun yang diucapkan Karpa. Di mata mereka yang ada hanya perempuan itu telah hilang. Karpa yang menerima upah cukup banyak tidak bekerja dengan baik. Kalau perempuan itu tidak tertangkap, mereka berencana benar-benar akan menghabisi Karpa.
Namun, salah seorang dari lima orang itu memiliki kemampuan membaca sisa jejak dengan baik. Ia mampu melihat apa yang orang lain tidak melihat, ia membaui jejak seolah bau udara yang mengalir bisa ditandainya. Hanya dengan membaui udara bisa mengetahui seseorang berada di mana.
218 Gajah Mada "Mereka belum jauh, perempuan dan seorang laki-laki," kata orang itu.
"Bagaimana ada laki-laki menolong perempuan itu?" tanya
pimpinan kelima orang itu.
"Aku tak tahu. Aku benar-benar tidak tahu ada orang yang masuk ke rumahku dan mengeluarkan perempuan itu," Karpa menjawab.
Jawaban Karpa yang demikian menyebabkan orang yang bertanya itu tidak merasa puas. Itu sebabnya, sekali lagi Karpa terjengkang oleh hantaman kakinya.
Sebenarnyalah tak seberapa jauh di depan, namun tak terlihat karena tingginya semak perdu yang menghalang, Dwarastha pontang-panting berusaha menyelamatkan Dyah Menur. Dari teriakan-teriakan yang terdengar dan dari ayunan cambuk yang meledak, Dwarastha bisa mengukur orang-orang yang memburu di belakangnya makin dekat.
Dyah Menur yang akhirnya merasa bergantung pada pertolongan lelaki itu terus mengikuti langkah kakinya dari belakang.
Di perempatan kecil Dwarastha berhenti untuk berpikir.
"Bagaimana?" tanya Dyah Menur.
Dwarastha akhirnya merasa telah menemukan cara untuk mengakali keadaan.
"Kamu terus lurus, aku akan menyesatkan orang-orang itu. Jika kautemukan pohon randu alas yang ambruk, bersembunyilah di baliknya, di sana kedukan tanah akan menyembunyikanmu."
"Anakku" Bagaimana dengan anakku?"
"Biar aku yang bawa. Cepat, mereka makin dekat."
Dyah Menur merasa tidak punya pilihan lain kecuali menuruti gagasan yang diajukan Dwarastha. Dengan sedikit menaikkan kain panjang yang dikenakan, Dyah Menur berlari. Namun, Dyah Menur tak merasa tenang hatinya karena anaknya berada di tangan orang itu, orang yang meski telah menolongnya, tetapi belum diketahui siapa.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 219
Dwarastha yang pilih membelok meninggalkan jejak yang nyata di tanah yang gembur dan menerobos ladang jagung. Dengan sengaja Dwarastha bahkan menggerak-gerakkan tanaman jagung itu. Umpan yang diberikan termakan, lima orang laki-laki garang yang memburunya melihat ulahnya.
"Itu mereka," teriak salah seorang dari mereka yang bersenjata cambuk.
"Kejar." Melihat buruannya, lima orang itu berlarian. Keadaan yang demikian mestinya segera dimanfaatkan Karpa, yang bebas tidak lagi digelandang untuk segera melarikan diri. Akan tetapi, Karpa yang malang merasa kakinya lumpuh. Wajahnya benar-benar berantakan, tidak ada sebagian pun yang tak berdarah. Pakaian yang dikenakan robek di beberapa tempat, jejak ayunan cambuk yang menghajar punggungnya.
Bagaikan orang yang mendadak lumpuh, Karpa terduduk
meringkuk diam di tempatnya. Beruntung Karpa karena beberapa jenak kemudian Banjar telah sampai di tempat itu dan bergegas menolongnya.
"Mana orang-orang itu?" tanya Banjar.
Bahkan untuk menjawab, Karpa tak punya sisa tenaga.
Banjar bertindak cekatan. Karpa segera dipindahkan dari tempat itu. Beralas daun pisang Karpa dibaringkan miring di balik pohon saman yang tumbang diterjang angin. Karpa menatap wajah Banjar dengan tatapan mata amat aneh.
"Maafkan aku," ucapnya lirih.
"Aku masih boleh minta rebung di kebunmu, bukan?" tanya Banjar dengan niat jauh dari bersungguh-sungguh.
"Boleh, ambil semuanya."
Banjar mencermati keadaan.
"Tetaplah berada di sini. Wilang sedang minta bantuan, aku akan mengikuti mereka. Tetapi sebenarnya siapa perempuan yang kausembunyikan itu?"
220 Gajah Mada Karpa meringis kesakitan.
"Kau mendengar pertanyaanku?"
Untuk pertanyaan itu Karpa mengangguk.
"Ya," jawabnya. "Semalam aku kedatangan tamu. Dengan upah besar tamu itu menitipkan seorang perempuan dengan anaknya. Yang aku ketahui namanya Dyah Menur, istri seorang bangsawan istana. Aku tak tahu apa persoalannya, hanya itu."
Wajah Banjar berubah tegang.
"Istri seorang bangsawan?" ulangnya.
"Ya," jawab Karpa.
"Baiklah, bertahanlah. Aku akan mengejar orang-orang itu. Salah besar bila mereka merasa bisa berbuat seenaknya di tempat ini."
Dengan gesit sebagaimana layaknya seorang pemburu, Banjar mengejar orang-orang yang telah berbuat kejam kepada tetangganya itu. Hanya saja, kali ini Banjar tidak menempatkan harimau atau babi hutan sebagai buruannya, tetapi orang-orang bersikap kasar berwajah garang itu amat mungkin salah berurusan dengannya.
Adalah dalam pada itu, dengan jantung berlarian kencang Dyah Menur telah menemukan tempat yang disepakati. Di depannya melintang pohon randu alas yang ambruk yang ternyata memang benar menyembunyikan sebuah lekukan tanah yang bisa digunakan untuk bersembunyi.
Dengan segala gelisah dan cemasnya, apalagi bila teringat anaknya, Dyah Menur menunggu waktu yang terus bergerak berlalu. Waktu ia rasakan merayap amat lambat.
"Anakku, bagaimana dengan anakku?" letupnya.
Kemalangan Dyah Menur rupanya masih harus berlanjut. Seekor ular sekepalan lengan meringkuk tak jauh darinya. Ular itu dari jenis mematikan. Bila ular itu menggigit seekor sapi yang sebesar apa pun sapi itu, dijamin sapi itu pasti mati, apalagi yang hanya perempuan ringkih seperti dirinya.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 221
Namun, ketakutan menumbuhkan keberanian. Ketika ular itu merayap makin mendekat, ular itu tidak menduga sasaran yang akan dipatuk melakukan sesuatu yang tak pernah dibayangkan. Dyah Menur masih memiliki kesadaran dan kekuatan meraih bongkahan batu sebesar kepalanya. Dengan sekuat tenaga perempuan malang itu mengayunkannya. Ular itu mungkin meremehkan orang di depannya dan terlambat untuk menghindar. Batu besar itu jatuh tepat menimpa kepalanya, berkelejotan ular itu menjelang kematian yang akan menjemputnya.
"Kakang, kenapa aku harus mengalami nasib seperti ini" Kenapa kaubiarkan Menur mengalami keadaan seperti ini, Kakang?" keluh perempuan itu tanpa menyebut nama.
Dyah Menur masih mengarahkan pandangan matanya pada ular itu sambil matanya jelalatan mencari-cari barangkali masih ada ular lainnya di tempat itu. Napas perempuan itu tersengal, berlarian susul-menyusul. Satu tarikan napas dilepasnya disusul oleh tarikan napas berikutnya .
Waktu dirasakannya sangat lambat dalam bergerak. Dyah Menur memusatkan perhatiannya melalui telinga. Akhirnya, Dyah Menur benar-benar meyakini telinganya menangkap suara orang berlari. Dyah Menur yang bangkit dan mengintip dari balik pohon randu alas yang tumbang berhasil menangkap gerak belukar yang bergoyang. Dyah Menur berharap-harap cemas.
"Orang yang menolongku itu?" harapnya.
Sejenak kemudian lelaki itu memang muncul. Dyah Menur merasa amat lega, apalagi ketika berhasil mendekap anaknya. Dilumurinya bocah itu dengan air mata yang tak habis-habisnya. Diciuminya bocah itu hingga tandas. Melihat bayinya akan menangis, Dyah Menur berusaha menenangkannya.
"Kuasai dirimu, jangan menangis. Nanti anakmu malah menangis.
Kita akan ketahuan bersembunyi di sini," ucap Dwarastha.
Dyah Menur memenuhi permintaan Dwarastha. Dengan sekuat
tenaga ia berusaha menguasai diri, apalagi saat dari kejauhan ia mendengar suara umpatan-umpatan dari orang-orang yang mengejarnya.
222 Gajah Mada "Mereka akan menemukan tempat ini?" tanya Dyah Menur cemas.
"Aku tidak tahu, tetapi sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Di sana ada gua yang bisa kita manfaatkan untuk bersembunyi," jawab Dwarastha.
Dyah Menur tak menolak dan mengikuti langkah Dwarastha. Akan tetapi, ada sesuatu yang menghentikan langkah kaki laki-laki itu.
"Kau membunuh ular?" tanya Dwarastha.
"Ya," jawab Dyah Menur. "Ular itu nyaris mencelakakan aku."
Dengan merayap dan mengendap-endap Dwarastha membawa
Dyah Menur ke tempat lain yang lebih aman, sebuah gua yang tersamarkan karena semak belukar yang menutupi mulutnya. Dyah Menur cemas apabila gua itu ditempati ular, tetapi dengan segera rasa herannya mencuat. Gua itu tampaknya sering ditempati menilik terdapat tikar dan bahkan peralatan memasak di tempat itu. Gua itu bahkan tampak bersih, sebuah sapu juga ada di tempat itu.
"Aku sering berada di sini," ucap Dwarastha melihat perempuan itu terheran-heran.
Dyah Menur segera duduk bersandar dinding. Dengan segala kecemasan yang membuncah Dyah Menur memeluk anaknya. Barangkali menyadari keadaan sedang gawat, bayi itu diam dan tidak rewel. Bayi itu mendongak ketika suara teriakan-teriakan orang yang kalap itu terdengar, bahkan pada jarak yang cukup dekat.
"Mereka tak akan menemukan tempat ini. Tenanglah," ucap
Dwarastha. Dyah Menur mengangguk. Sebenarnyalah lima orang lelaki garang itu benar-benar kalap melihat orang yang dikejarnya lenyap. Salah seorang dari mereka yang punya kemampuan melacak jejak kebingungan ketika terhadang sebuah sungai dangkal.
"Sial," umpatnya.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 223
"Bagaimana?" tanya pimpinannya.
"Aku kehilangan jejak. Orang itu menyeberang sungai, tetapi entah di bagian mana ia menyeberang."
Suara dua ekor burung gagak yang melengking keras seperti meledek. Salah seorang dari orang-orang itu demikian marahnya yang ia salurkan dengan berteriak lebih keras. Upayanya berhasil, pasangan burung gagak itu kaget dan seketika terbang menjauh. Burung gagak itu merasa suaranya memang buruk, namun burung gagak itu lebih terkejut melihat kenyataan ternyata ada suara yang lebih buruk lagi dari suara mereka.
Akan tetapi, orang yang berteriak keras itu seketika terbungkam ketika sesuatu menyengat pundaknya menyebabkan ia terhenyak dan tersungkur. Apa yang terjadi pada orang itu mengagetkan teman-temannya. Mereka segera berloncatan dan mencoba memahami apa yang terjadi.
"Kenapa denganmu?" tanya temannya.
Sakit yang luar biasa dirasakan orang itu yang dengan segera jatuh terduduk. Empat orang yang lain terkejut melihat sebuah anak panah telah menancap di pundak orang itu. Mereka amat terkejut melihat panah itu tiba-tiba telah berada di pundak temannya, sama sekali tidak diketahui kapan anak panah itu melesat datang.
Tiba-tiba terdengar suara gendewa ditarik tertekuk.
"Ada orang melepas anak panah, awas," salah seorang dari mereka berteriak.
Dengan segera empat orang yang tersisa mencabut senjata masing-masing. Di tengah ladang dengan beraneka tumbuhan yang rimbun, amat sulit bagi mereka untuk menerka dari mana datangnya anak panah.
Namun, hanya sejenak kemudian terdengar suara berdesing lagi dan getar gendewa menjadi pertanda sebuah anak panah telah dilepas dan membelah udara.
Seorang lagi dari lima orang itu yang terhenyak. Orang yang melepas anak panah itu tentu memiliki kemampuan bidik yang tinggi menilik 224
Gajah Mada korban kedua terluka pada bagian yang sama dengan korban pertama.
Luka itu tidak mematikan, tetapi sangat melumpuhkan.
"Gila," umpat pimpinan rombongan itu sambil merunduk.
Dua orang yang lain segera bersembunyi di balik pohon.
"Dari arah mana?" tanya salah seorang dari mereka.
"Dari arah belakangmu," jawab seorang yang lain.
"Kau melihatnya?" tanya yang seorang lagi.
"Tidak, tetapi anak panah berasal dari arah sana."
Lalu hening. Yang terdengar hanya suara cenggeret yang bersahutan.
Binatang yang termasuk dalam keluarga belalang itu ada di mana-mana.
Sayap dan tubuhnya yang berwarna hijau tersamarkan di antara dedaunan.
Cenggeret juga burung gagak di kejauhan benar-benar tak peduli dengan apa yang terjadi di tempat itu. Bahkan daun-daun dan ranting, termasuk ular besar seukuran lengan yang bergayut di dahan tidak peduli.
Dua anak panah telah menggapai korbannya. Banjar hanya seorang penduduk pedukuhan itu. Pekerjaan sehari-harinya hanyalah berladang dan berburu di hutan. Akan tetapi, kemampuannya berburu dengan menggunakan anak panah membuatnya amat terampil. Banjarlah orang yang menyebabkan lima orang itu kalang kabut. Di antara mereka, dua orang bahkan sudah jatuh, lumpuh tak bertenaga.
"Aduh, mati aku," terdengar suara kesakitan.
"Tolong aku, cabut anak panah ini, panas," terdengar suara kedua.
Namun, tiga yang lain merasa berada dalam bahaya, tak mungkin bagi mereka untuk keluar dari bayangan pohon karena bila itu mereka lakukan, anak panah akan menyambar. Meski Banjar memang tidak bisa melihat orang-orang itu karena terhalang pohon, ia bisa menandai di arah mana sasarannya. Banjar yang mendekat bahkan mampu menangkap percakapan yang terjadi.
"Kenapa Bhayangkara berada di sini?" terdengar ucapan dari balik pohon.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 225
Banjar termangu berpikir. Banjar merasa ada yang aneh.
"Bhayangkara?" balas yang lain.
"Yang punya kemampuan macam ini hanya pasukan Bhayangkara,"
tambah orang di balik pohon.
"Celaka kita. Rupanya apa yang kita lakukan terendus oleh Bhayangkara?"
Banjar segera sampai pada sebuah simpulan, "Orang-orang itu mengira aku Bhayangkara. Orang-orang itu pasti melakukan kejahatan karena cemas perbuatannya sampai diketahui oleh pasukan Bhayangkara.
Aku harus merobohkan mereka semua, satu demi satu. Orang-orang itu jelas melakukan tindakan kejahatan."
Banjar mempersiapkan diri. Dari balik bayangan pohon yang melindungi dirinya, tali langkap dengan anak panah terpasang siap dilepas. Banjar mengarahkan anak panahnya ke sebuah kaki yang terlihat jelas. Ketika anak panah itu dilepas maka terjengkang pemilik kaki itu.
Jeritnya amat mengaduh-aduh. Pemilik betis itu tentu merasa sakitnya tak alang kepalang, jauh lebih sakit dari apabila panah itu membelah otak karena andaikata membelah otak pasti langsung mati tidak harus melalui sakit yang luar biasa.
"Aduh kakiku! Kakiku kena! Keparat bangsat biang laknat, siapa pengecut yang melakukan perbuatan ini?"
Tiga orang korban telah jatuh, menyebabkan dua sisanya menjadi panik. Apa yang terjadi itu meraka yakini sebagai ulah orang Bhayangkara.
Tak ada orang yang mempunyai kemampuan bidik luar biasa macam itu kecuali bagian dari pasukan amat khusus bernama Bhayangkara. Tak hanya kemampuan melepas anak panahnya yang nggegirisi, kemampuan melempar pisau tak kalah terukur dari melepas anak panah.
Salah satu dari dua yang tersisa adalah pimpinannya dan seorang lagi yang menggunakan cambuk sebagai senjata. Mereka merasa tak ada gunanya menghadapi lawan berjenis pengecut yang beraninya hanya bersembunyi. Bagaikan bersepakat tiba-tiba mereka melenting dan berguling untuk kemudian berlari sekencang-kencangnya. Akan tetapi, 226
Gajah Mada Banjar benar-benar pemburu yang sangat terlatih dan trengginas terampil.
Waktu yang ia butuhkan untuk memasang anak panah, lalu menarik dan melepasnya amat cepat. Salah satu dari kedua orang yang berusaha melarikan diri itu ambruk. Dengan amat telak Banjar mampu melukai betisnya. Lumpuh pula orang itu, orang yang bersenjata cambuk.
Banjar berlari kencang mengejar sambil kembali memasang anak panahnya, tetapi calon korban terakhir telah lenyap terlindung oleh semak dan perdu. Tidak ada gunanya melepas anak panah dalam keadaan macam itu.
Empat orang lelaki berwajah garang itu terperanjat ketika melihat orang yang telah melumpuhkan mereka adalah lelaki yang semula mereka temui di rumah Karpa. Lelaki itu ternyata bukan bagian dari pasukan Bhayangkara. Menilik pakaian yang dikenakan, lelaki pemegang anak panah itu jelas hanya seorang pemburu. Celakanya, mereka yang dijadikan sasaran dan meskipun yang dihadapi hanya seorang pemburu, terbukti mereka bisa dilumpuhkan.
Banjar memerhatikan orang-orang itu.
"Siapa sebenarnya kalian?" bertanya Banjar.
Empat orang yang lumpuh tak berdaya itu, dua orang terluka dengan warastra menancap di pundaknya dan dua orang lagi terluka di betisnya tak mampu menjawab pertanyaan itu. Mereka saling pandang dengan segala kebingungan di hati. Sama sekali tidak mereka duga, yang melumpuhkan mereka ternyata hanya seorang pemburu.
"Apa yang kalian lakukan di pedukuhan kami?" Banjar kembali bertanya.
Empat orang yang ambruk itu tak ada yang menjawab, namun derajat cemas mereka makin meningkat ketika dari kejauhan terdengar suara riuh. Sebenarnyalah orang-orang sepedukuhan Daleman telah mendengar apa yang terjadi. Semua lelaki keluar dari rumah masing-masing dengan senjata apa saja. Para pemuda yang gemar berburu di hutan membawa langkap lengkap dengan anak panahnya sementara sebagian yang lain membawa pedang. Aneh-aneh saja senjata yang Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 227
dijinjing keluar ketika penduduk pedukuhan itu tersinggung oleh adanya orang yang berniat jahat di pedukuhan mereka. Ada yang membawa pedang panjang, ada yang membawa pisau, biar pendek pisau tetap merupakan senjata, lalu ada pula yang membawa tali. Entah bagaimana cara menggunakan tali untuk berkelahi. Mungkin maksudnya tali itu akan digunakan untuk menjerat atau mengikat. Empat orang lelaki garang yang tertinggal itu mendadak sadar betapa mereka telah melakukan kesalahan meremehkan penduduk pedukuhan itu. Apalagi, ketika satu demi satu pemilik suara berlarian itu muncul dan menjadikan mereka sebagai tontonan.
"Apa yang terjadi?" bertanya seorang laki-laki bernama Sambi yang menjadi tokoh paling disegani di pedukuhan itu.
Orang-orang yang lain hanya memerhatikan apa yang terjadi.
"Pertanyaan itu baru kuajukan, Paman Sambi," jawab Banjar.
"Mereka belum menjawab pertanyaanku, tetapi tampaknya mereka orang-orang jahat menilik mereka cemas bila perbuatannya sampai ketahuan pasukan Bhayangkara. Yang aku yakini, seorang perempuan dengan seorang anaknya yang masih bayi disekap di rumah Kang Karpa.
Perempuan itu menurut Kang Karpa, istri seorang bangsawan istana.
Tidak jelas oleh alasan apa mereka menyekapnya."
Ki Sambi memerhatikan orang-orang yang bergelimpangan itu.
"Anak panahmu beracun?" tanya Ki Sambi.
"Beracun, Paman," jawab Banjar sekenanya.
Jawaban itu membuat para korbannya gelisah. Ki Sambi tersenyum karena ia tahu persis Banjar tidak menggunakan racun.
"Terus, bagaimana dengan perempuan yang disekap itu?"
Banjar memiliki jawabnya.
"Sangat mungkin Dwarastha menolongnya."
"Dwarastha?" tanya Ki Sambi.
"Ya." 228 Gajah Mada Terlihat ada perubahan di wajah Ki Sambi, semacam kecemasan.
Namun, Ki Sambi tidak berniat berboros-boros dengan waktu yang ada.


Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Semua menyebar, cari Dwarastha dan perempuan itu."
Adalah sungguh sangat beralasan bila Ki Sambi merasa cemas. Itu karena Ki Sambi mempunyai catatan tersendiri atas Dwarastha. Di dalam gua yang terlindung di balik lebatnya semak dan perdu, Dwarastha memandang Dyah Menur dengan tatapan aneh, lehernya naik turun.
Sejauh umurnya yang mendekati empat puluh tahun, laki-laki itu masih belum juga beristri. Hal itu karena tidak seorang pun perempuan yang mau diperistri olehnya. Dwarastha mempunyai catatan buruk terhadap perempuan.
Di hadapannya, perempuan yang sedang menyusui itu sungguh amat cantik. Pemandangan indah yang mengganggu pengendalian nafsunya itu demikian menarik, menyendal-nyendal simpul syaraf hasratnya. Itu sebabnya, tanpa tanda-tanda apa pun Dwarastha melakukan perbuatan yang tidak terduga. Dipeluknya perempuan itu dari belakang.
Betapa terperanjat Dyah Menur menghadapi perbuatan itu.
"Gila, apa yang kaulakukan?" Dyah Menur meletup.
"Jadilah istriku, meski sekali saja. Aku merindukan dan sangat ingin.
Sekali saja layanilah keinginanku," jawab Dwarastha sambil menyeringai.
Dyah Menur benar-benar panik ketika lelaki yang semula ia anggap sebagai dewa penolong itu bahkan bertindak lebih jauh dari sekadar menyeringai. Dwarastha menjadi mata gelap. Kecantikan perempuan itu membuatnya kehilangan akal waras yang minggat entah ke mana.
Betapa gugup Dyah Menur melihat Dwarastha melucuti diri sendiri dan betapa gugup Dwarastha melucuti diri sendiri. Pekerjaan yang sangat mudah itu mendadak berubah menjadi tidak mudah.
"Jangan, tolong jangan lakukan itu," Dyah Menur meminta.
"Ahh, bukankah kau sudah pernah melakukan. Kaupunya anak.
Anggap saja ini upahku yang telah menyelamatkan dirimu dari orang-Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 229
orang yang bermaksud jahat itu," ucap Dwarastha dengan liur menetes.
Akal warasnya benar-benar sudah minggat entah ke mana.
Dyah Menur gugup. Apalagi, ketika dengan beringas Dwarastha yang setengah telanjang itu menubruknya. Dengan beringas berlepotan nafsu Dwarastha bermaksud menjejalkan diri ke dalam perempuan itu.
Akan tetapi, dengan segera betapa tersentak laki-laki bernama Dwarastha.
Mula-mula Dwarastha bingung.
"Apa yang kaulakukan padaku?"
Dyah Menur tidak menjawab. Dyah Menur menjauhkan diri dengan beringsut sambil mendekap erat anaknya yang menangis. Dwarastha memerhatikan diri sendiri dan mencoba meneliti dari arah mana darah yang mengucur amat deras.
"Kau menggunakan apa?" tanya Dwarastha.
Dyah Menur menunjukkan benda yang dipegangnya, benda
bernama cundrik itu berdarah.
"Kau membunuhku," ucap Dwarastha panik
Dwarastha layak panik karena cundrik itu melukai lengannya dan memutuskan otot penggerak jari tangannya sekaligus pembuluh darah di luka itu. Darah mengucur deras dan tak mungkin dihentikan, apalagi bila mengingat cundrik yang merupakan senjata khusus untuk perempuan itu dilumuri racun yang mematikan yang terbuat dari berbagai jenis racun. Seorang empu pembuat cundrik tidak puas hanya dengan racun warangan, racun itu masih dicampur dengan bisa ular bandotan, bisa ular weling, dan bisa ular sendok.
"Kenapa kau membunuhku?" suara Dwarastha terdengar amat
memelas. "Aku hanya meminta kau melayaniku. Aku layak meminta imbalan itu setelah pertolongan yang kuberikan kepadamu. Tetapi, mengapa pertolongan itu kaubalas dengan cara ini?"
Terhuyung-huyung Dwarastha dan ambruk oleh kepanikannya.
Dwarastha amat sadar dirinya tak akan tertolong, pintu kematian akan segera terbuka untuknya. Dyah Menur merasa jantungnya berdenyut 230
Gajah Mada amat kencang, itulah untuk pertama kalinya ia melukai orang dan sangat mungkin menjadi penyebab kematiannya. Dan itulah juga untuk pertama kalinya ia melihat orang sekarat di ambang kematian. Di hadapannya kini seorang lelaki tengah bersiap diri mengembuskan tarikan napas terakhir.
"Tolong, tolooooong," Dyah Menur menjerit sekeras-kerasnya.
Dan pertolongan itu datang di saat yang tepat. Dyah Menur benar-benar tidak ingin menyaksikan kematian itu. Ia ingin berpaling membuang wajah, tetapi tidak bisa memutar leher balik arah. Beruntung Dyah Menur, seorang lelaki menerobos masuk dan menolongnya.
17 Temaram senja yang datang setelah ingar-bingar yang terjadi sejak kemarin hingga siang belum lepas jejaknya. Setidaknya kegelisahan itu memang amat pantas memberangus isi hati Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri. Meski telah pasrah menjadi seorang biksuni yang mestinya tidak lagi terikat dengan urusan duniawi, tetapi meninggalnya Jayanegara adalah sebuah kenyataan. Sebagai biksuni masih harus menjabat sebagai ratu adalah sebuah kenyataan, sebagaimana kemelut yang dihadapi anak-anaknya adalah sebuah kenyataan. Gayatri adalah seorang biksuni, tetapi ia masih juga seorang ibu yang harus mencemaskan anak perempuannya.
"Sebenarnya apa yang terjadi padamu, Maharajasa?" tenang dan sangat sejuk suara wanita yang telah tidak memiliki rambut karena dibabat habis itu.
Hanya Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa yang kali ini menemani ibunya. Anak bungsu Raden Wijaya itu menunduk tidak berani Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 231
menengadah. Akan tetapi, kali ini Dyah Wiyat memang harus bicara blak-blakan karena ibundanya memintanya bicara jujur tanpa satu bongkahan persoalan pun yang ditutupi. Oleh karena merasa ada yang tak berjalan sebagaimana mestinya, Rajapatni harus memanggil anaknya dan mengajaknya berbicara hanya berdua dari hati ke hati.
"Sebenarnya apa yang menjadi ganjalan hatimu, Maharajasa?" Ratu Biksuni bertanya dengan suara sejuk.
Ratu Rajapatni bahkan melengkapi kasih sayangnya dengan
mengelus-elus rambut panjang Maharajasa. Isi dada Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa mengombak. Jika dipantaskan berteriak, perempuan yang tidak lagi disebut gadis itu ingin berteriak sekeras-kerasnya. Mungkin jika diizinkan pergi ke tengah sawah yang tidak ada siapa pun di sana, atau di tengah hutan yang para binatangnya tidak peduli karena mereka juga berteriak, Maharajasa ingin sekali menjerit sekeras-kerasnya. Namun, oleh karena Dyah Wiyat adalah Maharajasa, ia tak mungkin melakukan itu. Sebagaimana oleh karena Dyah Wiyat adalah Rajadewi anak raja, sama sekali tak pantas berbuat sesuatu yang hanya layak dilakukan oleh orang yang bukan bangsawan. Untuk pertanyaan sesederhana itu, Dyah Wiyat tak mampu menjawab.
"Atau, adakah laki-laki lain yang mendahului bersembunyi di benakmu, Dyah Wiyat anakku?" Ratu memancing ke persoalan yang amat peka.
Lagi-lagi Maharajasa bingung. Yang bisa ia lakukan hanya merapatkan kedua telapak tangannya dalam sikap menyembah.
"Baiklah," lanjut Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri. "Kalau memang kausulit menjawab, Ibu punya dua pilihan yang akan memudahkan kamu menjawab. Kalau ya, mengangguklah, kalau tidak, menggelenglah.
Mudah bukan?" Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa memejamkan mata.
"Selama ini ada nama lelaki yang telanjur menempati hatimu?"
Dyah Wiyat merasa tidak punya pilihan lain. Dua pilihan yang disediakan itu, jika ya, ia diminta mengangguk atau jika tidak, ia diminta menggeleng, salah satu harus dijawabnya tanpa bisa menolak.
232 Gajah Mada Dyah Wiyat mengangguk. Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri menghirup napas panjang serasa hendak dipenuhinya paru-parunya yang tua dengan segenap udara yang ada di ruang itu. Ibu Ratu akhirnya mendapatkan keyakinan setelah memperoleh jawaban itu dari anaknya sendiri bahwa memang telah ada nama lain yang menempati relung hati Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa. Seketika kesadaran itu menyeruak.
Ibu Ratu tiba-tiba merasa cemas andaikata melakukan kekeliruan. Apabila di sepanjang hidupnya Dyah Wiyat tidak merasa bahagia, sebagian dari kesalahan dirinyalah yang harus menanggung karena perjodohan itu terjadi atas prakarsanya.
"Jadi, telah ada seorang laki-laki yang mencuri hatimu, Wiyat?" Ratu Biksuni bertanya.
Betapa sulitnya mengangguk. Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa merasa leher penyangga kepalanya amat kaku.
"Siapa lelaki itu, Dyah Wiyat?" tanya ibundanya.
Dyah Wiyat kembali memejamkan mata.
"Ayolah, anakku," berkata Ibu Ratu. "Marilah berbicara dari hati ke hati tanpa ada ganjalan apa pun. Ungkapkan rahasia hatimu agar Ibu tahu. Apabila sekiranya Ibu telah melakukan kesalahan, barangkali masih ada langkah yang bisa dibenahi. Jangan kaupendam bebanmu, Dyah Wiyat. Katakan siapa nama laki-laki yang telah mencuri hasrat hidupmu itu."
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa akhirnya menggeleng kepala. Sisa tenaga yang ada tersalurkan melalui gelengan kepala itu.
"Tak ada gunanya lagi, Ibu," ucapnya perlahan. "Bahkan andai ia masih hidup pun tak mungkin ada tumpahan restu dari Ibunda Ratu.
Bahkan tak ada gunanya untuk dikenang meski hamba memendam beban lebih dari sebelas tahun lamanya sejak hamba masih amat remaja."
Mencuat alis Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri mendengar jawaban itu.
"Kenapa?" Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 233
Maharajasa tidak menjawab, namun kepalanya kembali menggeleng dengan lemah. Meski lemah amat mempertegas jawabannya.
"Sebutlah namanya agar Ibu bisa membaca warna perasaanmu."
Di luar dugaan Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri yang sebenarnya juga di luar dugaan Dyah Wiyat sendiri, ia tersenyum. Rekah senyum yang pahit dan terasa amat getir, apalagi saat dari kelopak mata perempuan cantik yang kini telah menjadi istri Raden Kudamerta itu jatuh basah air mata yang gemerlapan. Perempuan cantik melakukan apa pun tetap terlihat cantik. Perempuan cantik cemberut terlihat cantik, menangis meratap-ratap gemerlap air matanya membuatnya cantik, apalagi tersenyum maka senyumnya menjadikannya amat cantik.
"Apakah Ibu mengenal orang yang mencuri hatimu itu?"
Maharajasa mengangguk. Tangannya kembali merapat di depan mulut.
"Apakah ia seorang bangsawan?"
Maharajasa menggeleng. "Ia tinggal di Majapahit?"
Maharajasa kembali menggeleng lemah.
"Ia tinggal jauh sekali. Sangat jauh di awang-awang, di balik biru langit di balik mega mendung. Bumi ini bahkan tak lagi menjadi tempat berpijak kakinya. Tak ada gunanya lagi mengenang namanya meski pemilik nama itu telah menjadi hantu abadi yang selalu menyelinap di keadaan apa pun, ketika tidur dan ketika sadar."
Betapa terperanjat Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri mendengar jawaban yang amat menyayat itu, apalagi ketika tatapan mata Dyah Wiyat tampak kosong tak bercahaya.
"Orang yang mencuri hatimu itu sudah mati?" tanya Ibu Ratu Biksuni.
Dyah Wiyat tidak merasa ragu untuk menganggukkan kepala.
Bahkan merasa tidak menanggung beban lagi untuk menyebut nama, 234
Gajah Mada apalagi pemilik nama itu telah kembali menghadap Hyang Widdi, tak lagi berada di antara orang-orang yang masih bernyawa. Orang itu adalah Rakrian Tanca, pemilik nama yang demikian dibenci di seluruh wilayah Majapahit. Rakrian Tanca, siapa yang tidak membencinya setengah mati.
Seorang Rakrian bernama Tanca yang dianugerahi sebutan sebagai Dharmaputra Winehsuka yang ternyata tidak tahu diri. Para Rakrian, tidak hanya dirinya, semua dibenci. Ra Kuti dibenci karena makarnya, Ra Semi di Lasem dibenci juga karena pemberontakan yang dilakukannya, demikian pula dengan Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, Ra Pangsa, dan Dharmaputra Winehsuka Ra Tanca yang menyempurnakan titik didih kebencian itu karena telah lancang membunuh Sri Jayanegara. Apakah ada ketidakbencian terhadap orang yang lancang membunuh raja"
"Ra Tanca?" Ibu Ratu Rajapatni menyebut sebuah nama dengan amat ragu.
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa tidak menjawab pertanyaan itu.
Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri yang kemudian terkejut manakala menyadari pertanyaan yang dilontarkan itu benar adanya karena kalau bukan nama itu maka Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa pasti menggeleng menolaknya. Pandangan mata Dyah Wiyat yang jatuh di satu titik pada lembaran pintu ruang itu serta sama sekali tak menggeser ke arah lain meyakinkan Ibu Ratu dugaan terhadap nama itu benar adanya.
"Jadi, benar Rakrian Tanca" Dharmaputra Winehsuka Rakrian Tanca?" Biksuni Gayatri mempertegas.
Amat perlahan Maharajasa mengangguk. Perlahan sekali, tetapi betapa meredup cara Dyah Wiyat menjatuhkan pandangan matanya ke satu titik di tubuh gupala yang tak pernah letih memanggul gada, sebagaimana ia tak pernah letih berjongkok. Gupala itu apabila bernyawa, ia akan menjadi pendengar yang baik. Namun, karena gupala yang memegang gada itu terbuat dari batu maka lembaran telinganya tidak bakalan membuatnya terkejut meski petir meledak di dekat telinganya.
Gupala itu juga tidak akan bangkit dan menari meski gamelan berirama slendro ditabuh demikian riuh.
Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri masih digerayangi rasa kaget.
Ia butuh waktu lama untuk bisa mengendapkan rasa kaget yang melibasnya.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 235
"Ra Tanca," desis Ratu Gayatri.
Pertanyaan itu dengan segera menyeruak, tidak peduli meskipun Gayatri seorang biksuni yang mestinya terbebas dari urusan duniawi.
Kenapa harus Ra Tanca, kenapa hati anaknya harus tertambat pada orang yang telah membunuh raja. Silau oleh apakah Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa sampai tertarik kepada Rakrian Tanca, lelaki yang telah beristri yang dalam pandangan negara termasuk penyakit yang harus ditumpas karena di dalam dirinya hidup subur bibit makar yang terbukti kumat meski telah diampuni dan meski waktu berlalu sembilan tahun kemudian. Apa yang dahulu sangat diinginkan Ra Kuti, yang amat bernafsu menghabisi Jayanegara, yang tak bisa tuntas meski telah digelar perang yang harus dibayar ribuan nyawa kandas, bahkan harus ditebus dengan nyawa Ra Kuti sendiri, Ra Tanca berhasil membayar keinginan Ra Kuti hanya dengan sekali tikam tanpa harus didukung pasukan dengan kekuatan segelar sepapan.
"Kenapa harus Ra Tanca?" akhirnya gumpalan pertanyaan itu terlontar juga dari mulut Ibu Ratu.
Jangankan Ibu Ratu, bahkan Dyah Wiyat merasa tak habis mengerti.
Kenapa harus Ra Tanca dan mengapa demikian sulit baginya untuk mengalihkan perhatian kepada lelaki lain, apalagi bila ditilik dari mana pun Raden Kudamerta yang sekarang menjadi suaminya adalah lelaki yang sempurna. Perkawinannya dengan lelaki gagah perkasa itu menyebabkan banyak gadis patah hati. Kurang apa Raden Kudamerta, ia seorang bangsawan, ia gagah dan tampan. Sama sekali tak ada apa-apanya Ra Tanca dibanding Raden Kudamerta. Apa yang menarik pada diri Ra Tanca itu sehingga sedemikian menyita perhatiannya, apalagi kemudian terbukti Ra Tanca telah membunuh raja. Ra Tanca juga tidak memiliki kesetiaan karena telah melupakannya dengan mengawini wanita lain.
Sebagian dari waktunya terbuang sia-sia dengan mengangankan seorang lelaki yang telah menjadi milik orang lain.
"Sejauh mana hubunganmu dengan Ra Tanca?" tanya Ibu Ratu dengan segala kecemasannya.
Ibu Ratu, meski ia seorang biksuni, tetap saja ia seorang ibu dan ibu mana pun warna kecemasannya sama. Kegadisan adalah kehormatan 236
Gajah Mada dan apa arti seorang gadis tanpa kehormatan. Ibu mana pun kecemasannya sama, cemas apabila dalam bergaul anaknya kebablasan. Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri tidak sanggup membayangkan kehormatan itu tidak lagi melekat pada diri anaknya, menghilang bersama raibnya Dharmaputra Winehsuka Rakrian Tanca. Lalu, kebanggaan macam apa yang bisa ia persembahkan kepada Raden Kudamerta"
Untuk pertanyaan itu Dyah Wiyat tidak menjawab, lagi pula untuk urusan itu yang masuk dalam jenis urusan pribadi tak perlu dijawab.
Apa yang kulakukan dengan tubuhku adalah urusanku karena tubuhku adalah milikku, demikian kilah para gadis dalam membela diri, sebuah kilah yang tidak bisa lagi didebat. Adakah Dyah Wiyat akan menggunakan kilah itu" Bahkan andai yang bertanya adalah ibundanya, tak akan dijawabnya pertanyaan itu. Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa menggeleng, dan itu merupakan jawaban yang sangat bias. Jawaban itu bisa berarti tidak, namun gelengan kepala itu juga bisa berarti tidak mau memberi jawaban.
Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri akan mengejar anak perempuannya dengan mempertajam pertanyaan itu, tetapi dengan segera Ibu Ratu terdampar di hamparan pertanyaan bak padang yang lebih luas lagi, yaitu untuk apa jawaban pertanyaan itu harus dikejar" Bagaimana apabila jawaban anak perempuannya itu berkesanggupan meluluhlantakkan hatinya, membuatnya terpuruk amat kecewa"
"Bagaimana sikap suamimu?" Ratu Gayatri menemukan cara
mengorek lewat cara melingkar.
Dyah Wiyat yang memandang seperti tidak memandang itu
menengadah dan menjatuhkan tatapan matanya langsung ke mata ibunya.
"Suamiku?" balas Dyah Wiyat dengan mengerutkan kening.
"Suamimu marah mendapatkan keadaanmu?"
Dyah Wiyat merasakan pertanyaan itu aneh. Dyah Wiyat sangat paham, yang dimaksud ibunya adalah apabila ia telah kehilangan kehormatan karena telah dicuri oleh Rakrian Tanca. Andaikata itu benar dan oleh karenanya tiba-tiba Dyah Wiyat tersenyum agak sinis, apakah Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 237
hak Raden Kudamerta mempersoalkannya. Kekuatan derajat yang dimiliki Raden Kudamerta tak cukup untuk digunakan mempersoalkan masalah itu. Dyah Wiyat anak raja, anak kandung Raden Wijaya, Raja Majapahit yang gung binatara, 164 sementara Kudamerta hanyalah pewaris kekuasaan Pamotan, penguasa wilayah yang kecil saja. Ketika berniat menjamah, Raden Kudamerta harus menyembah lebih dulu. Hubungan suami isteri harus bergantung pada dirinya, apakah Dyah Wiyat akan berkenan atau tidak, bukan karena hubungan suami istri. Jadi, apa hak Raden Kudamerta mempersoalkan hal itu"
"Akan seperti itukah diriku?" bertanya Dyah Wiyat ketika menunduk.
Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri memang layak cemas. Memandang jauh ke depan, Ratu Rajapatni merasa seperti melihat gumpalan mendung, apalagi ketika pada siang sebelumnya di ruang itu pula Patih Daha membeberkan beberapa temuan yang layak memacu detak denyut jantungnya. Raden Cakradara sebagaimana Raden Kudamerta adalah para pria sempurna yang menjadi pilihannya, yang disodorkan nama-nama itu kepada dua anaknya dengan setengah memaksa. Untuk nama Raden Cakradara tidaklah terlalu menimbulkan masalah. Sri Gitarja bisa menerima sosok lelaki itu sebagai calon suami yang memang ia mimpikan.
Sedikit agak rumit dengan Raden Kudamerta karena kini terbukti Dyah Wiyat menyimpan nama lain, nama yang tak masuk akal karena apalah yang bisa diharap dari seorang Ra Tanca, pemberontak pembunuh raja yang mempunyai istri itu. Persoalan yang sebagaimana dilaporkan Patih Daha Gajah Mada, ternyata rumit dan menjanjikan kekacauan apabila tidak diatasi dengan baik dan bijaksana.
Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri memejam mata, tetapi dalam memejam itu Ratu Gayatri laksana memutar ulang percakapan yang terjadi pada siang sebelumnya. Di tempat itu pula percakapan yang hanya berlangsung berdua setelah pasewakan kecil yang juga menghadirkan Mapatih Arya Tadah dan Senopati Gajah Enggon usai. Pembicaraan empat mata itu juga atas keinginan khusus Gajah Mada yang tak ingin 164 Gung binatara, Jawa, raja besar berwibawa 238
Gajah Mada isi pembicaraan itu diketahui orang lain. Dalam kesempatan itu, Patih Daha Gajah Mada tidak merasa ragu untuk mengutarakan keterangan yang ia miliki.
"Kudamerta sudah mempunyai istri?" bertanya Ratu Gayatri dengan tatapan amat terbelalak.
Patih Daha Gajah Mada merapatkan kedua telapak tangannya, pandangan mata pemuda berbadan kekar itu sama sekali tidak ragu membalas tatapan Ratu Gayatri.
"Kamu yakin akan hal itu?"
Gajah Mada mengangguk. "Hamba, Tuan Putri," jawab Gajah Mada. "Keterangan yang hamba peroleh itu benar adanya. Raden Kudamerta memiliki seorang istri."
Ratu Gayatri merasakan gangguan pada matanya. Apa yang dilihat berkunang-kunang ditambah ribuan bintang bertaburan. Namun, dengan sekuat tenaga Ibu Ratu Gayatri berusaha menguasai diri. Sebagai seorang biksuni, Ibu Ratu amat terlatih soal bagaimana menguasai diri, yang biasanya tersalurkan dalam pemusatan semadi. Soal yang sedang dihadapi anaknya tak seharusnya mengganggu kepasrahan jiwanya. Apa yang diceritakan Patih Daha Gajah Mada itu pada dasarnya bisa menimpa siapa saja.
"Mengapa baru sekarang kausampaikan keterangan penting itu, Patih Daha Gajah Mada?" tanya Ratu Gayatri dengan suara amat lirih nyaris tak terdengar.
Akan tetapi, Gajah Mada bisa menangkap pertanyaan itu dengan sangat jelas.
"Hamba memperolehnya baru saja, Tuan Putri."
Hening memberangus ruangan itu. Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri tidak bisa mengelak. Ternyata ada rasa ngilu di ulu hatinya.
Kecewa itu menjalar makin merebak dan melontarkan sebuah pertanyaan, mengapa Kudamerta menyembunyikan hal itu" Lebih ngilu lagi ulu hati Ibu Ratu ketika menyadari sebuah hal, perkawinan Raden Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 239
Kudamerta dengan orang lain yang terjadi lebih dulu itu menempatkan Dyah Wiyat dengan amat telak sebagai istri kedua.
"Siapa perempuan istri Raden Kudamerta itu?" kembali Ibu Ratu melepaskan pertanyaan dengan nada suara amat lirih.
Ibu Ratu memejamkan mata.
"Hamba belum mendapat nama perempuan itu, Tuan Putri," Gajah Mada menjawab. "Saat ini hamba sedang menugasi Adi Pradhabasu untuk menelusuri keterangan itu. Adi Pradhabasu pemilik keterangan awal itu, Tuan Putri."
"Pradhabasu?" gumam Ibu Ratu.
"Hamba, Tuan Putri. Hamba juga telah meminta Adi Pradhabasu untuk mencari hubungan antara rangkaian kejadian yang terjadi semalam hingga siang ini."
Ibu Ratu Rajapatni Gayatri masih memejamkan matanya dan
sebagian besar perbincangannya dengan Patih Daha Gajah Mada, ia lakukan dengan cara seperti itu.
"Apakah menurut Pradhabasu, Raden Kudamerta mempunyai
anak?" Pertanyaan yang dilontarkan Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri itu tidak lagi mewakilinya sebagai biksuni, namun mutlak mewakili warna hatinya sebagai ibu sekaligus ratu yang mencemaskan masa depan Majapahit. Apabila Raden Kudamerta mempunyai anak dan ternyata Dyah Wiyatlah yang diangkat menjadi ratu dan bila Dyah Wiyat tidak memiliki keturunan maka bisa terjadi perampokan terhadap takhta.
"Bagaimana, Gajah Mada" Apakah Raden Kudamerta yang
menurutmu sudah memiliki istri itu juga mempunyai seorang anak?"
Gajah Mada amat memahami warna kecemasan yang membalut
jantung dan hati Ratu Rajapatni. Kecemasan itu memang sangat layak.
Hanya berlangsung sehari setelah pergeseran takhta itu terjadi, kekacauan pun terjadi. Takhta adalah kue yang diperebutkan, warisan yang diincar banyak pihak, baik yang merasa berhak secara langsung bahkan pihak-240
Gajah Mada pihak yang sebenarnya tak berhubungan sama sekali. Belum lagi sepenginang waktu bergeser sejak Jayanegara mati terbunuh, telah terjadi pembunuhan di sana sini yang merupakan tanda-tanda, baik secara langsung atau tak langsung terhadap adanya perebutan warisan itu.
Padahal, yang diperebutkan adalah takhta, pemegang kekuasaan tertinggi atas negara.
Kematian-kematian itu sangat berselubung teka-teki, terutama kematian Panji Wiradapa. Ia hanya seorang prajurit berpangkat rendahan, tetapi memiliki pengaruh amat besar terhadap Raden Kudamerta. Apalagi berdasar pendalaman yang dilakukan oleh telik sandi yang ditugasi Gajah Mada, Panji Wiradapa mempunyai kaitan dengan sebuah peristiwa di masa silam yang benar-benar harus diwaspadai.
Adalah Brama Ratbumi, sang tangan kanan Mahapati atau yang juga disebut Ramapati, jahat dan kejamnya minta ampun. Boleh dikata kejahatan yang dilakukan Brama Ratbumi bahkan melebihi kejam dan culasnya Ramapati. Kekejian Ratbumi tergambar dari beberapa pembantaian keji yang ia lakukan melebihi perintah yang ia terima dari Mahapati. Ketika Mahapati dihukum mati, Brama Ratbumi hilang dari muka bumi. Perintah pun dijatuhkan untuk memburunya, tetapi seiring hari-hari yang terus bergerak, Ratbumi tidak berhasil ditemukan. Bahkan, tidak banyak orang yang masih mengingat namanya. Hanya para korban atau orang-orang yang dirugikan secara langsung atau tak langsung yang tak bisa menghapus wajah Brama Ratbumi dari mimpi-mimpi mereka.
Setelah sekian lama, nama Panji Wiradapa muncul. Mantan telik sandi dari pasukan Bhayangkara mengendusnya. Gajah Mada yang telah memperoleh laporan memberi perintah untuk terus mengamati orang itu untuk meyakinkan bahwa orang itu benar-benar Ratbumi, tangan kanan Mahapati. Sayangnya, Panji Wiradapa keburu mati terbunuh. Akan tetapi, penelusuran terhadap Brama Ratbumi menemukan jejak baru, jejak yang memang lebih mengagetkan.
"Keterangan yang hamba peroleh dari Adi Pradhabasu demikian adanya, Tuan Putri. Benar Raden Kudamerta memiliki seorang anak, laki-laki."
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 241
Cemas Ibu Ratu terwakili dari mata yang semula memejam itu kini terbuka. Patih Daha Gajah Mada segera menyembah.
"Gajah Mada," ucap Ibu Ratu sangat perlahan. "Kekuasaan yang kini berada di tanganku sungguh sangat membebani pilihan hidup yang kuambil di usia tua ini. Aku seorang biksuni, aku tidak boleh menjadi ratu dan sesegera mungkin harus melepas kekuasaan dan kuserahkan.
Akan tetapi, memilih satu di antara Sri Gitarja dan Dyah Wiyat sungguh harus melalui pertimbangan yang tak sekadar matang, sungguh lebih jauh dari itu. Sekali lagi, Patih Daha Gajah Mada, telah terbukti dulu kau menanam jasa yang demikian besar pada negara ini. Untuk kali ini sekali lagi aku percayakan kepadamu untuk menguaknya. Laporanmu nantinya akan menjadi pertimbangan dalam aku menentukan siapa yang akan menggantikan Anakmas Prabu Jayanegara. Sidang bahkan harus dibuka kembali melibatkan tak hanya para Ratu."
Sigap Gajah Mada memberikan sembahnya. Tugas yang sangat berat itu telah digenggam dan siap untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Maka demikianlah, dengan jelas dan gamblang Patih Daha Gajah Mada melaporkan apa yang terjadi, siapa saja orang yang terbunuh dan kemungkinan kepentingan apa saja yang berada di belakang rentetan kejadian itu. Tegas dan penuh keyakinan Patih Daha Gajah Mada menyebut, apa yang terjadi itu merupakan tanda-tanda terjadinya perebutan kekuasaan. Di belakang Raden Cakradara ada pihak yang bermain, ingin menunggangi dan manfaatkan Raden Cakradara.
"Orang-orang yang terbunuh itu adalah orang-orang Raden
Kudamerta?" Ibu Ratu bertanya.
"Benar, Tuan Putri," jawab Gajah Mada tegas.
"Pelakunya orang-orang yang berkepentingan menempatkan Raden Cakradara menjadi raja?" Ratu menambahkan.
"Terlalu pagi untuk mengambil simpulan demikian, Tuan Putri.
Akan tetapi, hamba akan berusaha sekuat tenaga mencari jawabnya sebagaimana perintah yang telah hamba terima."
"Aku percayakan hal itu kepadamu, Gajah Mada."
242 Gajah Mada Betapa tidak nyaman manakala dalam keadaan dirinya telah menjadi biksuni masih saja terganggu oleh urusan duniawi. Menjadi ratu mengendalikan negara dan menjadi biksuni adalah dua sisi yang berbeda, namun dua sisi yang berbeda itu tidak bisa dihindari dan semua harus dijalani. Dalam kedudukannya sebagai ratu dan ibu, Gayatri tak bisa menghindari kekecewaannya. Raden Kudamerta, sang menantu, menyembunyikan salah satu sisi hidupnya yang ternyata telah memiliki seorang istri dan bahkan anak. Hal itu membuatnya kecewa. Dan kini di hadapannya, anak bungsunya, Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa juga membuatnya kecewa.
"Wiyat," Ibu Ratu mencuri perhatian anaknya yang pikirannya sedang hilang melayang entah ke mana.
Dyah Wiyat yang seperti sedang melamun itu menoleh.
"Hamba, Ibu Ratu," jawabnya.
"Ibu punya pertanyaan untukmu, jawablah dengan jujur."
Dyah Wiyat segera mempersiapkan diri sambil berusaha menebak bagaimana warna hati ibunya. Adakah pengakuan yang ia berikan menyebabkan ibunya marah" Namun, Dyah Wiyat berpegang teguh pada keyakinannya, Ibu Ratu adalah seorang ibu yang akan mengalirkan maaf dan ampunan apa pun kesalahan yang diperbuatnya. Apalagi, Ibu Ratu adalah biksuni yang terbebas dari kemarahan yang sebenarnya tidak lebih dari warna hati yang semu. Kemarahan adalah warna hati yang menyesatkan.
"Apakah Dyah Wiyat ingin Rajadewi Maharajasa yang terpilih menjadi ratu menggantikan Anakmas Prabu Jayanegara?"
Dyah Wiyat memandang ibunya lebih lekat. Dyah Wiyat segera merasa, apa yang disampaikan ibunya merupakan pertanyaan terberat yang harus ditimbang amat matang dalam menjawabnya. Akan tetapi, bukankah telah lama sekali Dyah Wiyat mempersiapkan diri menyediakan jawaban bila pertanyaan itu diajukan kepadanya.
Keadaan terakhir yang berkembang tidak terduga juga menjadi pertimbangan tersendiri yang menyebabkan Dyah Wiyat tak merasa ragu menjawab pertanyaan Ibu Ratu.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 243
"Hamba, Ibu Ratu," jawabnya. "Sikap hamba sekarang berubah.
Hamba ingin, hambalah yang dipilih menjadi ratu memimpin negeri ini."
Jawaban itu, jawaban yang demikian lugas dilontarkan Dyah Wiyat ternyata sanggup mengagetkan ibunya. Yang duduk di dampar kencana itu bukan lagi biksuni yang mestinya tidak perlu terkaget-kaget oleh jawaban yang bersifat duniawi, namun rupanya jawaban Dyah Wiyat itu masih menyisakan sengatan, atau laksana petir yang meledak menggemuruh yang membelah udara menjadi guntur menggelegar ketika langit sedang begitu cerahnya. Terbelalak dan cukup lama Ratu Gayatri memandang anaknya.
"Semula memang hamba tidak bermimpi, Ibu," tambah Dyah Wiyat.
"Hamba tak ingin hamba yang diangkat menjadi ratu. Di sisi lain, sebelah hamba ada Mbakyu Sri Gitarja yang lebih tua dari hamba. Mbakyu Gitarja lebih berhak memimpin negeri ini didampingi Kakang Raden Cakradara.
Akan tetapi, melihat perkembangan keadaan sekarang, hamba justru terpanggil oleh tugas berat itu. Di hadapan Ibu Ratu Gayatri junjungan sesembahan hamba, hamba berjanji akan melaksanakan tugas dengan baik. Hamba akan menjawab perbuatan orang-orang yang berniat memperebutkan takhta dan kekuasaan itu dengan cara yang benar.
Hamba akan memegang dan menjalankan kekuasaan itu dengan cara Raden Wijaya, menggunakan cara trah Rajasa. Hamba tak akan berbagi kekuasaan meski dengan suami hamba."
Ketika angin tiba-tiba bergerak menyebabkan jendela ruang itu berderit maka derit itu menimbulkan getar yang menggema di ruang itu. Ibu Ratu Gayatri terkesima oleh jawaban anaknya yang tidak terduga.
Panji Tengkorak Darah 2 Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek Pendekar Cacad 3

Cari Blog Ini