Ceritasilat Novel Online

Bergelut Dalam Kemelut Takhta 6

Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 6


Jawaban anaknya sungguh mencemaskan, tetapi sebenarnya juga menjanjikan. Ibu Ratu melihat dalam banyak hal Dyah Wiyat memang memiliki sifat dan sikap yang lebih menonjol dari kakaknya. Dyah Wiyat bisa bersikap tegas, mampu memilih secara tegas satu di antara banyak pilihan yang berada dalam kedudukan tak ubahnya malakama. Sifat dan sikap yang demikian lebih mandiri dan amat sesuai untuk menjadi pemimpin.
244 Gajah Mada Akan halnya Gitarja, tak memiliki sifat dan sikap seperti itu. Tingkat ketergantungan Sri Gitarja sangat tinggi. Ketika Sri Gitarja yang dipilihnya, nantinya Raden Cakradaralah yang menjalankan tugas-tugas anaknya itu. Raden Cakradara boleh jadi akan mengambil alih kekuasaan anaknya. Padahal, di belakang Raden Cakradara ada pihak-pihak yang berebut kuasa. Tengara dari perebutan itu adalah pembunuhan-pembunuhan yang sedang terjadi.
"Bagaimana bila pertanyaan yang sama aku ajukan kepada Gitarja, apa jawaban anakku yang satu itu?" bertanya Ratu Gayatri dalam hati.
Apabila semula Dyah Wiyat tidak menganggap takhta sebagai kedudukan yang diharapkannya, kini ia merasa memiliki alasan untuk mendapatkan kedudukan itu. Terhadap Sri Gitarja, Dyah Wiyat sangat menyayangi kakak perempuannya itu. Untuk rasa hormat, rasa cinta, dan sayangnya terhadap Sri Gitarja, dari sejak dini ia tak pernah berangan-angan soal dampar kencana. Takhta telah menjadi takdir Gitarja karena ia lahir lebih dulu dari dirinya. Dalam aturan yang tidak tertulis, anak yang lebih tua lebih memiliki hak daripada dirinya yang muda. Akan tetapi, apabila dirinya yang ditunjuk menjadi ratu menggantikan kakaknya, Dyah Wiyat akhirnya dengan bulat siap akan menerima tugas berat itu.
"Apa salahnya aku yang diangkat menjadi ratu," kata Rajadewi dalam hati. "Dengan aku menjadi ratu, aku tidak akan berbagi dengan Raden Kudamerta atau dengan siapa pun. Aku akan menjadi ratu yang mandiri dan tidak akan memberi peluang suamiku menjadi raja bayangan.
Merupakan kekeliruan bila meremehkanku. Aku bisa menjadi seperti Putri Shima yang terkenal itu."
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 245
18 Kuda hasil curian itu dipaksa membalap kencang bagaikan
kekurangan waktu, penunggangnya terus mengayunkan cambuknya meski kuda itu telah memperlebar ayunan kakinya. Di langit bintang-bintang gemerlapan, sebagaimana kunang-kunang tidak ubahnya bintang-bintang itu, ribuan jumlahnya mengombak di hamparan padi.
Melewati jalan memanjang yang membelah bulak sawah itu, kuda hitam itu membalap kencang. Namun, burung-burung bence yang melayang di langit tak merasa harus kaget melihat kuda yang berderap kencang itu. Pun dua ekor burung rajawali yang terbang membubung sangat tinggi di langit, hanya memerhatikan sekilas. Dua burung dengan sayap lebar itu lebih memusatkan perhatiannya pada keheningan malam. Burung itu juga tak sedang bekerja mencari mangsa, terbang yang dilakukannya tidaklah menyita tenaga karena hanya sekadar membentangkan sayap.
Angin deras dari depanlah yang menyebabkan dua burung berukuran besar itu melayang. Oleh keadaan itu burung rajawali bahkan bisa tidur sambil melayang.
Pun riuhnya katak yang bersahutan di genangan air, tidak perlu terlalu lama membungkam mulut. Demikian kuda yang dipacu seperti dikejar setan itu lewat maka suaranya yang riuh terdengar kembali. Riuh katak bersahutan itu tetap terjadi meski sebenarnya justru menjadi petunjuk arah bagi ular yang memburunya. Ular sanca tak cukup memangsa satu atau dua bahkan sampai sepuluh ekor. Seratus ekor katak pun belum mencukupi rasa laparnya. Ular sanca bahkan tak hanya memangsa katak, tikus dan ular lain pun ditelannya. Ular sanca yang berukuran lebih besar bahkan sanggup menelan seekor kambing.
Setelah melewati bulak panjang dan jalanan berliku, penunggang kuda yang merasa kekurangan waktu itu memasuki pedukuhan yang bisa dibilang terpencil. Pedukuhan itu dikelilingi sawah di empat penjuru angin, juga dikelilingi oleh rimbunnya pohon bambu yang amat rapat, 246
Gajah Mada menjadikan secara alami pedukuhan itu terlindung dari dunia luar.
Pedukuhan itu hanya memiliki sebuah pintu masuk. Untuk memasuki dan keluar hanya lewat sebuah gerbang, yaitu dari sebelah selatan. Jalan keluar dari arah lain di sisi utara telah ditutup rapat dengan pohon bambu pula.
Penunggang itu memperlambat derap kuda tunggangannya. Dari mulutnya lalu terdengar siulan panjang yang rupanya merupakan isyarat minta izin masuk. Warna siulan dengan nada yang amat khas itu diterima yang dibalas dengan siulan sewarna. Tak ada pintu gerbang yang harus terbuka karena memang tidak ada pintu gerbang. Akan tetapi, jangan harap bisa memasuki pedukuhan itu tanpa izin karena anak panah pasti akan menyambar orang yang memaksa masuk tanpa izin.
"Siapa?" terdengar suara teriakan ketika penunggang kuda itu melintas.
"Bramantya," jawab penunggang kuda itu sambil mempercepat kembali laju kudanya membelah jalanan yang membelah pedukuhan itu.
Hanya terdapat empat buah rumah di pedukuhan itu, dan semua bukan rumah yang bagus. Namun, empat rumah itu berukuran besar dan disangga kayu jati pilihan. Ke rumah yang paling besar penunggang kuda itu mengarah. Suara kuda yang datang itu rupanya memang sudah ditunggu. Bergegas orang itu keluar.
"Apa yang terjadi" Mana pula yang lain?" tanya orang itu.
Penunggang kuda bernama Bramantya itu berdebar-debar.
Kedatangannya di pedukuhan itu membawa beban yang sungguh berat.
Ia sangat mengenali orang yang akan ditemuinya yang tidak segan-segan menghadiahinya gamparan sebagai upahnya gagal melaksanakan tugas, padahal tugas itu hanya jenis tugas yang ringan saja. Tak pernah disangkanya tugas yang hanya ringan saja itu kandas di tangan pemburu.
Di pedukuhan Daleman ia terantuk batu padas keras. Sambaran-sambaran anak panah yang ia kira dilepas oleh pasukan Bhayangkara menyebabkan upaya menjemput perempuan bernama Dyah Menur gagal. Ia bersama anak buahnya bahkan kocar-kacir salang tunjang.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 247
Bramantya meloncat turun dari kudanya dan bergegas mengikat tali kendali kuda itu ke batang kayu yang memang disiapkan untuk keperluan itu.
"Apa yang terjadi?" kembali orang yang menyongsongnya itu bertanya.
Amat mencuat alis orang itu. Tangan kanannya memelintir kumisnya yang tak seberapa banyak, hanya beberapa helai saja.
"Aku minta maaf, Kakang Rangsang Kumuda," jawab Bramantya.
"Aku tak berhasil. Ada kejadian tak terduga-duga yang menghambat tugasku mengambil Dyah Menur dan anaknya. Aku bahkan tak tahu bagaimana nasib teman-temanku. Mungkin mereka terbunuh, mungkin pula ditawan dan kuda-kuda dirampas. Hanya aku yang berhasil meloloskan diri dan harus berjalan kaki untuk kembali ke tempat ini.
Itulah sebabnya, aku baru tiba. Untunglah aku berhasil mendapatkan kuda dengan mencuri milik seorang penduduk."
Mencuat lagi alis Rangsang Kumuda.
"Apa yang terjadi?" orang itu bertanya didorong oleh rasa tidak sabarnya.
"Semua karena ulah Bhayangkara. Ada Bhayangkara di sana yang membuat aku dan anak buahku tidak bisa berbuat apa-apa. Anak panah berhamburan bagaikan hujan yang turun di Gunung Kawi," jawab Bramantya.
Rangsang Kumuda merasa bagaikan tertampar wajahnya. Pipinya menebal dan getar bibirnya menunjukkan rasa sakit yang muncul.
Jawaban Bramantya sangat mengagetkannya. Segera kecemasannya menyeruak. Kehilangan Dyah Menur benar-benar membuatnya cemas.
"Bhayangkara, mereka ada di Daleman?"
"Benar, Kakang Rangsang," jawab Bramantya.
Rangsang Kumuda berjalan mondar-mandir sambil tangannya
memegang kening, menjadi pertanda ia sedang berpikir menggunakan apa yang ada dalam keningnya. Bramantya yang gelisah mengelus-elus 248
Gajah Mada dadanya, menjadi pertanda kegelisahannya berasal dari kedalaman dadanya. Anjing terdengar menyalak di kejauhan, entah warna hati macam apa yang terwakili oleh suara yang nglangut itu. Bisa jadi karena anjing itu sedang menahan berahi sementara lawan jenis tidak kunjung datang, kekasih hati yang didambakan belum ditemukan.
"Kauyakin, Bhayangkara berada di sana?"
"Sangat yakin, Kakang Rangsang."
"Bagaimana kamu bisa merasa yakin," Rangsang Kumuda mengejar.
"Kami yang berjumlah lima orang dibikin kocar-kacir oleh anak panah yang dilepas. Satu per satu kami berjatuhan. Sekarang cobalah Kakang Rangsang berpikir, siapa orang yang memiliki kemampuan macam itu selain Bhayangkara" Bahkan kaki yang menyembul sedikit dari balik batang kayu bisa digapai, siapa pemanah yang sanggup melakukan selain Bhayangkara?"
Rangsang Kumuda menjadi bingung. Dyah Menur baginya
merupakan simpul yang sangat penting untuk menggapai satu tahapan yang harus dilaluinya. Dengan menguasai perempuan cantik itu, Rangsang Kumuda bisa mengendalikan keadaan. Kini Dyah Menur terlepas. Di belakang lepasnya Dyah Menur tersaji kemungkian buruk karena Bhayangkara pasti mengendus jejak ulahnya. Dyah Menur pasti akan bercerita apa yang terjadi dan menimpanya, sekaligus membuka jati dirinya yang tersamar di balik nama Rangsang Kumuda yang bukan nama sebenarnya karena di balik nama yang sekarang digunakan terdapat nama lain, nama yang telah bulukan dan jamuran bersama berlalunya waktu dan bahkan telah dianggap mati.
"Bodoh sekali, kenapa hal itu bisa terjadi?" Rangsang Kumuda meledak.
"Justru aku yang mestinya bertanya kepada Kakang Rangsang, kenapa pasukan Bhayangkara berada di sana" Amat mungkin Kakang Rangsang yang bocor, bekerja tidak cermat. Janganlah Kakang Rangsang menyalahkan aku dan anak buahku, kami tiba di pedukuhan Daleman dalam keadaan di sana ada Bhayangkara yang menunggu dan kemudian menyergap kami. Boleh dikata, Kakang justru menjerumuskan kami."
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 249
Orang yang disebut dengan panggilan Kakang Rangsang Kumuda itu terdiam beberapa saat masih sambil memegangi keningnya. Setelah mengingat-ingat, Rangsang Kumuda merasa yakin tak mungkin terjadi kebocoran. Perjalanan yang ia tempuh membawa Dyah Menur dilakukan malam hari, tak ada seorang pun yang tahu. Jika benar di Daleman ada Bhayangkara, tentulah karena sebuah kebetulan yang luar biasa.
"Tidak mungkin bocor," ucapnya tegas.
"Nyatanya ada Bhayangkara di sana, bagaimana itu bisa terjadi?"
Rangsang Kumuda makin cemas. Sejauh ini apa yang diangankan dirancang dengan baik dan telah diperhitungkan hingga ke bagian yang sekecil-kecilnya. Akan tetapi, boleh jadi bangunan mimpinya akan runtuh porak-poranda yang ditimbulkan oleh hal amat remeh dan tak terduga.
Dyah Menur yang tak lagi berada dalam genggaman tangannya akan menyebabkan hancurnya mimpi yang dibangun secara keseluruhan.
Persoalan kecil dan sepele kalau tidak dikelola dengan baik bisa menjadi persoalan besar, ibarat kriwikan dadi grojokan. 165
"Kita serbu saja tempat itu!" Bramantya mengajukan usul.
Rangsang Kumuda mengerutkan kening. Lalu menggeleng perlahan.
"Bodoh sekali melakukan itu dan Dyah Menur pun tidak berada di sana," kata Rangsang Kumuda. "Dyah Menur pasti berusaha bertemu dengan suaminya dan itu berarti ia akan menempuh perjalanan ke kotaraja. Kita hanya memiliki kesempatan itu. Kita cegat ruas jalan dari Daleman menuju kotaraja. "
Rangsang Kumuda tak mau membuang waktu, sebuah isyarat segera dilepas. Ketika anak panah sanderan membubung memanjat langit, seisi pedukuhan itu seperti dibangunkan dari tidur. Beberapa penghuninya yang sedang lelap dan beberapa orang di antaranya sedang bermain dakon bergegas bangkit. Beberapa jenak kemudian, belasan orang berkumpul di halaman bangunan yang ditempati Rangsang Kumuda.
Sebelum menyampaikan apa keperluannya, Rangsang Kumuda
mengedarkan pandangan matanya memerhatikan satu per satu. Ada 165 Kriwikan dadi grojokan, peribahasa Jawa yang berarti persoalan kecil apabila dibiarkan bisa membesar dan menyulitkan.
250 Gajah Mada belasan anak buahnya yang berkumpul, yang semua siap digerakkan untuk keperluan apa saja dan ke mana pun.
"Malam ini ada pekerjaan yang harus kalian kerjakan," Rangsang Kumuda berkata. "Perempuan yang aku ceritakan kepada kalian terlepas dan harus kita tangkap kembali. Perhitunganku, Dyah Menur akan berusaha masuk ke kotaraja malam ini pula, mungkin dengan pengawalan Bhayangkara. Kita cegat mereka menjelang pintu gerbang, yaitu pintu gerbang utara dan ruas jalan menjelang Purawaktra. Kita lakukan itu dengan baris pendhem. Karena pasukan Bhayangkara yang kita hadapi, kita hanya bisa mengandalkan serangan dadakan menggunakan anak panah."
Tak ada pertanyaan apa pun yang diajukan, namun penghuni pedukuhan yang tersamarkan di balik rimbun bambu itu cekatan dalam menerjemahkan perintah. Tak berapa lama kemudian belasan ekor kuda berderap membelah malam. Penduduk pedukuhan yang terletak di seberang bulak hanya bisa menebak rombongan siapakah yang melintasi wilayah mereka. Akan tetapi, pada umumnya mereka meyakini orang-orang berkuda itu pasti para prajurit Majapahit yang nganglang menjaga keamanan. Derap kuda-kuda yang diyakini para prajurit justru memberikan ketenteraman, tetapi tak bagi bocah-bocah kecil yang meringkuk di pelukan ibunya.
"Siapa itu, Ibu?" tanya seorang bocah.
"Hantu," jawab ibunya. "Hantu yang akan menculik bocah yang tidak segera tidur."
Jawaban itu menyebabkan bocah itu bergegas memejamkan mata.
Akan tetapi, bocah yang belum lepas dari air susu ibunya itu justru mengalami kesulitan untuk menggapai mimpi. Makin memejam mata, bola matanya justru makin terpicing. Ketika ia berhasil tidur bukanlah tidur yang nyenyak menyenangkan. Hantu terbang berbentuk bola api justru mengejarnya meski ia telah bersembunyi di kolong tempat tidur, juga mengejarnya meski ia telah terjun ke kolam penuh air. Untung seekor ikan menolong dengan menerkam bola api itu, tetapi ikan itu yang kemudian beralih memburunya. Dengan sekuat tenaga bocah itu Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 251
berenang dan berusaha mentas, celaka dialami bocah itu karena ikan itu berhasil menggapai kakinya. Terbangun dari tidur adalah pertolongan yang membebaskan dari kejaran api dan ikan yang punya banyak gigi.
Barisan orang berkuda yang menempuh perjalanan dengan maksud khusus itu terus berderap membelah malam. Menjelang kotaraja mereka memecah diri menjadi dua kelompok. Satu kelompok dipimpin Rangsang Kumuda mengarah lurus ke Purawaktra, separuh yang lain membelok ke kiri melintas jalan menuju Candi Brahu. Untuk masuk ke kotaraja tentu harus melewati dua ruas jalan utama itu. Dyah Menur yang dikawal oleh Bhayangkara atau siapa pun tidak mungkin lolos dan bisa melintasi tempat itu. Kecuali apabila Dyah Menur atau orang yang
membimbingnya memilih jalan yang lebih jauh dan melingkar dan memasuki gerbang kotaraja melalui pintu sebelah timur.
Menjelang masuk pedukuhan terakhir Rangsang Kumuda memilih tempat itu untuk pencegatan dengan menenggelamkan diri di balik lebat ladang jagung. Maka bernasib sial pemilik ladang jagung itu nantinya karena orang-orang yang punya niat tertentu itu tak segan-segan memangsa jagung muda tanpa harus dibakar semata-mata oleh alasan supaya perut mereka terganjal. Apalagi kuda-kuda mereka juga kelaparan.
Kuda-kuda yang disembunyikan di ladang jagung itu memberi sumbangan kerusakan yang lebih parah pada tanaman jagung yang masih muda itu.
"Yang lain boleh tidur, dua orang menjaga bergiliran."
Perintah itu dilaksanakan dengan baik. Dengan saksama dan penuh perhatian dua orang dari rombongan itu mengamati keadaan. Perhatian mereka tertuju ke arah ruas jalan yang memanjang dari barat ke timur.
Andaikata di seberang bulak ada kuda melintas, suaranya akan langsung bisa ditandai. Apabila siang hari semua akan terlihat jelas, orang yang akan datang dari kejauhan terlihat jelas.
Sementara itu, pada waktu yang nyaris bersamaan, separuh anak buahnya yang tersisa melakukan hal serupa. Sebuah ruas jalan menuju pintu gerbang utara melalui candi bentar Waringin Lawang dijaga ketat.
Dalam remang malam bayangan pintu gerbang yang terbuat dari bata 252
Gajah Mada merah itu menjulang tinggi setinggi pohon kelapa. Pohon beringin yang tumbuh di sebelahnya juga menjulang tinggi menjadi sarang berbagai burung sekaligus menjadi sarang hantu. Ada sekitar lima puluh ekor monyet yang berkeliaran di tempat itu yang memakan apa saja menyebabkan pemilik ladang paling dekat tempat itu kebingungan. Tak mungkin mengusir monyet-monyet dari tempat itu karena mereka memiliki sebagian sifat manusia, mengeroyok!
"Agar jangan lolos, jangan semua tidur. Lakukan penjagaan dua orang secara bergantian."
"Aku pilih tidur dulu, aku menjelang pagi saja."
"Aku juga," tambah yang lain.
"Jangan tidur semua," bentak orang pertama.
Sang waktu terus bergerak membelah malam. Adalah pada saat itu pula, Patih Daha Gajah Mada yang ditemani Gajah Enggon menatap wajah Raden Kudamerta yang menampakkan raut wajah kebingungan.
Wajah seperti maling yang kepergok.
19 Raden Kudamerta baru saja melompat turun dari kuda ketika dengan begitu tiba-tiba Gajah Mada langsung menjemputnya. Wajah suami Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa terkejut bagai orang yang amat kaget terpergok melakukan tindakan yang tidak terpuji.
"Raden Kudamerta baru dari mana?" tanya Gajah Mada.
Pertanyaan itu demikian menohok, menyebabkan Raden Kudamerta tidak bisa menjawab. Dengan tatapan yang aneh pula Raden Kudamerta Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 253
membalas tatapan mata Gajah Enggon. Raden Kudamerta yang berbalik mendapatkan para prajurit penjaga pendapa wisma dalam sikap berbaris.
Di pendapa, api obor bergerak menari meliuk-liuk diterjang angin. Dari lima lampu obor yang dinyalakan, hanya tiga yang masih bertahan.
"Apakah luka Raden sudah sembuh?" Gajah Mada melanjutkan.
Raden Kudamerta berusaha keras mengendalikan diri. Keutuhan daya pikirnya segera pulih manakala menyadari yang mengajukan pertanyaan itu hanya Gajah Mada yang dari derajat berada jauh di bawahnya. Jadi, mengapa harus gugup.
"Untuk apa kalian berada di sini?" bertanya lelaki tampan yang tentu merasa belum sembuh dari rasa sakit di bagian dadanya itu.
"Kami akan mengajukan beberapa pertanyaan, meminta keterangan dari Raden untuk menelusuri jejak-jejak pembunuhan dan bahkan untuk menemukan siapa orang yang berniat membunuh Raden. Orang yang melempar pisau itu memang tidak bisa ditanyai lagi, namun di belakangnya ada orang yang mendalangi. Untuk mengetahui siapa orang yang mendalangi rencana pembunuhan terhadap Raden Kudamerta itulah, Raden harus menjawab beberapa pertanyaan yang kami ajukan."
Raden Kudamerta yang termangu mendadak menahan nyeri yang menyengat. Raden Kudamerta jelas sedang kesakitan. Adalah aneh dalam keadaan yang demikian masih sempat-sempatnya ia pergi berkuda. Baru pulang dari mana Raden Kudamerta dan untuk keperluan apa"
"Luka Raden masih berdarah?" Gajah Enggon yang mengajukan pertanyaan.
Raden Kudamerta mengangguk.
"Dalam keadaan yang demikian, Raden pergi berkuda" Tentu urusan penting yang menyebabkan Raden seperti tak punya pilihan lain?"
"Raden dari mana dan untuk keperluan apa?" Gajah Mada
menambah. Pertanyaan-pertanyaan itu menyebabkan Raden Kudamerta makin bingung sekaligus merasa tidak senang. Akan tetapi, Raden Kudamerta 254
Gajah Mada tak mungkin mengelak sebagaimana tak mungkin menganggap lencana kepatihan dan selempang samir yang melekat di pakaian Gajah Mada itu tidak ada artinya.
"Ayo masuk, kita bicara di dalam."
Gajah Mada tak menolak tawaran itu dan menempatkan diri di belakang Raden Kudamerta. Pimpinan pasukan Bhayangkara
melambaikan isyarat tangan yang tertuju kepada para prajurit penjaga keamanan wisma kediaman Dyah Wiyat, yang berbaris untuk
membubarkan diri. Itulah hari pertama sekaligus malam yang pertama Raden Kudamerta menjadi suami Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa. Melihat keadaannya, Gajah Mada dengan segera menerka malam yang mestinya indah itu sebenarnya muram sedikit hitam. Ke manakah Raden Kudamerta pergi atau dari menemui siapa. Gajah Mada bahkan telah memiliki gambaran jawabnya. Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa memang layak kecewa melihat kenyataan sesungguhnya atas laki-laki yang kini menjadi suaminya itu.
Di ruang tengah yang hanya dihampari babut permadani, Raden Kudamerta mempersilakan tamu-tamunya duduk. Raden Kudamerta mengedarkan pandangan mata yang jatuh ke seorang prajurit penjaga pintu bagian tengah dan seorang emban yang duduk meringkuk menunggu perintah. Emban itu menempatkan diri siap untuk diperintah atau menjawab apabila Raden Kudamerta bertanya sedang berada di mana istrinya. Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa sedang tidak di tempat untuk memenuhi panggilan Ibu Ratu.
Emban itu cekatan untuk satu hal, tanpa diperintah ia menyiapkan minuman untuk disuguhkan kepada tamu.
"Silakan bertanya, aku akan menjawab sejauh yang aku tahu."
Gajah Mada dan Gajah Enggon saling lirik.
"Sejak kapan Raden berhubungan dengan Brama Ratbumi?" amat langsung Gajah Mada menohok dengan pertanyaannya.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 255
Dengan cermat dan saksama Gajah Mada berusaha menebak
perubahan wajah Raden Kudamerta. Gajah Mada berharap pertanyaan itu akan menyebabkan menantu Ratu Gayatri itu terkejut dan langsung berubah pucat. Akan tetapi, keinginan Patih Daha itu tidak menjadi kenyataan. Raden Kudamerta memang kaget, tetapi perubahan raut wajah mewakili rasa herannya karena nama itu belum pernah dikenalnya.
"Siapa?" balas Raden Kudamerta.
"Brama Ratbumi, Raden," Gajah Enggon membantu memberinya tekanan.
"Kalian pikir aku mengenal nama itu?" balas Raden Kudamerta.
"Aku tidak tahu siapa nama yang kalian maksud."
Gajah Mada menarik simpulan, agaknya Raden Kudamerta tidak mengenal nama Brama Ratbumi Rajasa. Bila yang diajukan adalah nama lain yang digunakan Ratbumi, mungkin Raden Kudamerta langsung mengerti siapa yang dimaksud.
"Kalian datang menemuiku untuk menanyakan nama yang belum aku kenal. Siapa Brama Ratbumi?"
"Brama Ratbumi Rajasa adalah nama lain dari orang yang amat Raden kenal. Ia mempunyai nama lain Panji Wiradapa," Gajah Mada mempertegas.
Kali ini Raden Kudamerta benar-benar kaget. Perubahan raut mukanya terlihat jelas kalau ia terkejut. Tentu nama Panji Wiradapa dikenalnya dengan baik. Kematian Panji Wiradapa itu bahkan memunculkan dendam yang tidak tahu ke mana ia harus menyalurkan.
Belum lagi satu masalah itu terurai, tiba-tiba Gajah Mada datang dengan membawa keterangan yang belum dipahami sepenuhnya. Orang yang ditempatkannya sebagai paman itu ternyata memiliki nama Brama Ratbumi.
"Paman Panji menyembunyikan nama itu?" Raden Kudamerta
bertanya. 256 Gajah Mada "Ya, nama aslinya Brama Ratbumi," jawab Gajah Mada.
Raden Kudamerta merasa membutuhkan waktu beberapa saat
lamanya untuk memahami kenyataan yang mengagetkan itu.
"Lalu, apa pula yang disembunyikan Paman Panji di balik nama itu?" tambah Raden Kudamerta.
"Jadi, Raden Kudamerta belum pernah mendengarnya?" Gajah Mada kembali menegas.
Raden Kudamerta menggeleng pendek, namun tegas.
"Raden masih ingat sepak terjang Mahapati?"
"Ramapati atau Mahapati, semua orang tak mungkin melupakan.
Ia mengadu domba mulai dari Tuban hingga Lumajang, menjadi penyebab jatuhnya korban dari Ranggalawe, Sora sampai Nambi. Mulut Mahapati sangat beracun. Itu yang aku ingat dari sosok Mahapati.
Sedemikian parah racunnya sampai berkemampuan menimbulkan perang," jawab Raden Kudamerta.
Sebenarnya layak apabila Raden Kudamerta tidak pernah
mendengar sepak terjang Mahapati atau Ramapati karena Raden Kudamerta datang ke Majapahit belum terlalu lama sementara perang yang terjadi antara Majapahit dengan Lumajang sudah berjalan lama.
Bahkan, telah berada di wilayah belasan tahun yang lalu. Akan tetapi, ternyata Raden Kudamerta memiliki pemahaman yang baik terhadap peristiwa itu. Maka terasa amat aneh bila Raden Kudamerta tidak sadar sedang berimpitan pada jarak yang amat dekat dengan salah satu pelaku yang mendorong terjadinya perang antara Majapahit dan Lumajang itu.
Demikian dekatnya karena Panji Wiradapa adalah Ratbumi.
"Apa kaitan Mahapati dengan Ratbumi?" Raden Kudamerta
menekan. "Panji Wiradapa adalah Brama Ratbumi, sedang Brama Ratbumi adalah tangan kanan Mahapati, orang kedua setelah Mahapati atau Ramapati yang paling dicari karena sepak terjangnya yang tak bisa diampuni," Gajah Enggon menjawab.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 257
Jawaban itu rupanya mempunyai kekuatan yang sangat besar untuk memaksa Raden Kudamerta terbungkam mulutnya. Jawaban itu bahkan menyebabkan Raden Kudamerta mendadak menjadi pucat, mulutnya pun bergetar gemetar, bahasa wajah yang dengan amat jelas dibaca oleh Gajah Mada dan Gajah Enggon.
"Bagaimana, Raden?" tanya Gajah Mada.
"Paman Panji Wiradapa, ternyata orang itu?"
"Benar," Gajah Mada menjawab tegas. "Kalau aku tak salah menebak, apakah kini ada sesuatu yang Raden cemaskan."
"Aku mencemaskan sesuatu?" Raden Kudamerta membalas
pertanyaan itu dengan membalikkan pertanyaan.
"Mungkin Raden mencemaskan istri Raden?" Gajah Mada kembali bertanya seolah melepas pertanyaan serampangan.
Namun, pertanyaan itu menyebabkan isi dada Raden Kudamerta diguncang amat keras. Kekagetannya tak mungkin disembunyikan. Pucat pasi Raden Kudamerta dicecar dengan pertanyaan yang sama sekali tidak terduga itu. Bukan hanya wajahnya yang mewakili menampakkan isi kepalanya, tetapi juga dari tangan kirinya yang gemetar buyutan.
Yang tak kalah terkejut adalah Gajah Enggon. Ia memandang Gajah Mada tak berkedip. Mulutnya sedikit terbuka. Hanya sejenak waktu yang dibutuhkan Enggon mengambil keputusan untuk manggut-manggut.
Amat perlahan senopati pimpinan pasukan Bhayangkara itu menoleh, berusaha membelejeti raut muka pewaris wilayah Pamotan yang ternyata menyembunyikan rahasia yang demikian besarnya. Ia telah beristri, benar-benar sebuah pelecehan yang tak terampuni. Dengan beristri macam itu berani-beraninya mengawini Sekar Kedaton"
"Raden Kudamerta punya istri?" Gajah Enggon mengulang
pertanyaan itu. Raden Kudamerta benar-benar terbungkam mulutnya. Ia tak punya kekuatan untuk menjawab pertanyaan itu sekaligus dibelit oleh rasa kaget, bagaimana mungkin Gajah Mada bisa mengetahui rahasia itu, rahasia yang bahkan semut pun tidak tahu.
258 Gajah Mada "Kepergian Raden baru saja meski sebenarnya masih berada dalam keadaan sakit terluka adalah untuk bertemu dengan istri Raden, bukan"
Bagaimana" Apakah Raden berhasil bertemu dengannya?"
Pertanyaan yang terlalu langsung itu betapa sulitnya dijawab. Yang bisa ia lakukan hanyalah menggeleng lunglai.
"Maksud Raden, Raden tidak berhasil menemukannya?" Gajah Mada mengejar lebih tajam.
Raden Kudamerta mengangguk.
"Tunggu dulu," Gajah Enggon menyela. "Jadi, Raden Kudamerta mengawini Tuan Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa dalam keadaan yang demikian" Raden Kudamerta menyembunyikan sebuah kenyataan bahwa sebenarnya ia sudah beristri dan menempatkan Tuan Putri Sekar Kedaton hanya sebagai istri kedua?"
Betapa hening akibat yang ditimbulkan oleh pertanyaan Gajah Enggon, yang dengan sangat telak menyudutkan Raden Kudamerta ke tempat paling pojok. Tanpa berkedip pimpinan pasukan Bhayangkara itu mengarahkan pandangan matanya kepada laki-laki gagah yang menjadi kembang bibir para gadis itu.
"Ibu Ratu Gayatri sudah tahu," dengan mendadak Gajah Mada menambah.
Gajah Enggon kaget, Raden Kudamerta terkejut.
"Aku yang memberi tahu Tuan Putri Ratu Rajapatni. Di mata Biksuni, Dyah Wiyat hanya tersandung takdir. Namun, dalam cara pandangku, ke depan Majapahit akan menghadapi kekacauan apabila Tuan Putri Dyah Wiyat yang terpilih dan tidak memiliki keturunan. Bisa jadi akan terjadi perubahan arah garis keturunan, yang tidak punya hak bisa saja merebut menguasai takhta. Aku yakin, apabila Raden Kudamerta tidak menyadari hal itu adalah karena di belakang Raden ada orang yang bernama Panji Wiradapa. Orang itu yang mendalangi."
Betapa pucat Raden Kudamerta. Mulutnya tergembok tak bisa mengeluarkan kalimat apa pun. Tetapi juga betapa nyaris meledak isi Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 259
kepala Senopati Gajah Enggon melihat Dyah Wiyat dibohongi. Senopati Gajah Enggon merasa dirinyalah yang telah ditipu sampai pada titik nadir.
"Bagaimana dengan Sekar Kedaton Dyah Wiyat?" Gajah Enggon bertanya. "Apakah Sekar Kedaton juga mengetahui suaminya ternyata telah beristri?"
Gajah Enggon tidak mampu menguasai diri. Ia demikian marah.
Padahal jika ditelisik, tidak jelas apakah hak yang ia miliki sehingga harus sedemikian marah. Gajah Enggon bangkit dan berjalan mondar-mandir.
"Ternyata di Majapahit ini ada orang yang berani menipu Sekar Kedaton."
Raden Kudamerta tak mampu menjawab pertanyaan itu. Gajah Mada yang ikut menunggu jawabannya tak kunjung memperoleh.
"Urusan itu, biarlah diselesaikan sendiri oleh Raden Kudamerta,"
Gajah Mada berbicara. "Kemarahanmu itu bukan wilayahmu, bukan urusanmu. Jadi, biarlah Raden Kudamerta yang menyelesaikan. Apabila Tuan Putri Gayatri mengizinkanmu untuk dan menyuruhmu
menghukum mati Raden Kudamerta atas kebohongannya, hal itu menjadi wilayahmu. Untuk saat ini belum."
Gajah Enggon yang berjalan mondar-mandir itu hanya bisa
menghela napas geram, namun tak bisa berbuat apa-apa. Apa yang dikatakan Gajah Mada benar. Ia memang tak punya hak untuk marah.
Gajah Enggon akhirnya duduk kembali dan menempatkan diri di belakang Gajah Mada. Namun, Gajah Enggon tidak bisa menipu, wajahnya secara lugas menampakkan kejengkelannya. Gajah Enggon tidak mampu menerima kenyataan salah seorang Sekar Kedaton ditipu seekor bulus. Laki-laki yang mengawininya ternyata seekor bulus yang punya tanda-tanda gemar mempermainkan perempuan.
"Jadi, selama ini Raden mengenal Panji Wiradapa, tetapi sama sekali tak mengenal Brama Ratbumi?" Gajah Mada berbicara lebih mengarah.
Raden Kudamerta mengangguk.
260 Gajah Mada "Aku hanya mengenalnya sebagai Paman Panji Wiradapa, tidak lebih dari itu. Aku sama sekali tidak tahu kalau di belakang namanya ada nama lain dengan masa lalunya yang kelam," jawab Raden Kudamerta.
"Raden mengetahui, untuk alasan apa seseorang membunuhnya?"
Raden Kudamerta membekukan diri beberapa saat lamanya.
Namun, temanten baru itu tak menemukan arah yang jelas atas siapa orang yang begitu berkepentingan memberangus nyawa Panji Wiradapa walau Raden Kudamerta tak bisa mengelak, dengan perilaku dan sifatnya yang kasar Panji Wiradapa pasti banyak memiliki musuh.
Raden Kudamerta akhirnya menggeleng.
"Paman Panji Wiradapa mungkin tidak disukai orang. Kata-katanya kasar dan menyakiti. Mungkin pula Paman Panji memiliki banyak musuh.
Namun, aku sungguh-sungguh tidak mampu menebak atau
membayangkan, siapa yang telah menghabisi nyawanya," jawab Raden Kudamerta.
Gajah Mada tidak mengalihkan pandangan matanya. Demikian besar perbawa yang dimiliki Gajah Mada menyebabkan Raden Kudamerta merasa risih dan tak mampu berlama-lama bertatapan mata dengannya.
Raden Kudamerta mengalihkan pandangan matanya ke arah lain.
"Kalau Klabang Gendis?" Gajah Mada mengejar.
"Aku membawanya dari Pamotan sebagai pengawal. Ia menjadi prajurit sejak di Majapahit. Ketika pendadaran yang ia lakukan usai, Klabang Gendis tetap menjadi pengawalku. Kasihan Klabang Gendis karena ia masih muda."
Gajah Mada melirik Gajah Enggon, yang dilirik sedang sibuk meredakan diri.
"Panji Wiradapa orang yang dekat dengan Raden. Pun Demikian dengan Klabang Gendis, prajurit yang masih berusia muda belia itu juga dekat dengan Raden. Adakah kedekatan itu yang menyebabkan mereka terbunuh, tidakkah Raden merasa hal itu?"
Raden Kudamerta membalas pandangan mata Patih Daha Gajah Mada, namun tidak dijawabnya pertanyaan itu karena Raden Kudamerta tahu Gajah Mada memiliki jawabnya.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 261
"Bagaimana dengan Kinasten dan Arya Surapati, Raden juga mengenal nama-nama itu?" Gajah Mada kembali mengajukan pertanyaan.
Raden Kudamerta sama sekali tidak berniat menyembunyikan sesuatu.
"Mereka bagian dari pasukan Jalapati. Kinasten berasal dari Pudaksari sedang Arya Surapati berasal dari Kedurus, dua-duanya tak jauh dari Pamotan. Itu sebabnya, aku meminta mereka untuk menjadi pengawalku," jawab Raden Kudamerta.
"Raden Kudamerta sudah mendengar nasib mereka?" Gajah Mada menekan.
Raden Kudamerta mengangguk, "Sudah."
"Itu berarti dua orang lagi yang punya kedekatan dengan Raden dibunuh. Apa yang terjadi, Raden" Pihak mana yang begitu berkepentingan menghabisi Raden" Satu per satu orang yang dekat dengan Raden dibantai, terakhir siang tadi, Raden menjadi sasaran bidik. Untung Raden bisa diselamatkan."
Tidak mudah menjawab pertanyaan yang diajukan Gajah Mada. Di kedalaman hatinya, Raden Kudamerta mempunyai sebuah dugaan, namun dugaan itu sungguh tak enak ditelan. Sungguh tak nyaman menuduh pihak lain berbuat itu untuk menguasai takhta agar jangan sampai jatuh kepadanya. Dengan demikian, pihak mana yang mendalangi, dengan mudah bisa ditebak ke mana arahnya.
Namun, Raden Kudamerta juga tidak mungkin lupa, Panji
Wiradapalah orang yang mendorong-dorong, setiap waktu siang dan malam, untuk membangun usaha tak kenal waktu, bahkan dengan menggunakan cara apa pun untuk bisa menguasai takhta. Apalagi, kemungkinan untuk itu terbuka lebar setelah terbuka pembicaraan perjodohan antara dirinya dengan Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa.
Demikian bernafsu Panji Wiradapa serasa Panji Wiradapalah orang yang berkeinginan menjadi raja. Sekarang terbuka mata Raden Kudamerta, pantaslah apabila Panji Wiradapa bersikap demikian karena dia adalah 262
Gajah Mada Brama Ratbumi, orang yang paling dicari setelah Mahapati tamat hidupnya dihukum mati.
"Punya gambaran, Raden?" bertanya Gajah Mada.
"Aku kembalikan pertanyaan itu kepadamu, Gajah Mada,"
jawabnya. "Jika kau memiliki jawabnya, baik yang telah dipastikan maupun masih berupa dugaan, tolong kaubagikan kepadaku agar aku bisa memahami keserakahan macam apa sebenarnya yang terjadi yang menyebabkan korban-korban berjatuhan itu."
"Sayang sekali, aku belum memperoleh, Raden," jawab Gajah Mada.
"Sekarang tolong jawab pertanyaanku yang terakhir, apakah benar sebagaimana aku menduga, Raden baru pulang dari menemui istri Raden?"
Kembali Raden Kudamerta mengalami kesulitan untuk berbicara.
Akan tetapi, Raden Kudamerta tak berniat mengelak. Pembicaraannya dengan Gajah Mada sudah terlampau jauh, ibarat menyeberang sungai telah telanjur basah dan tidak mungkin kembali maka diseberanginya sekalian. Masalahnya hanyalah soal waktu, cepat atau lambat rahasia yang disimpannya dengan rapat itu akan terbuka. Kelak Dyah Wiyat pasti akan tahu. Bila karena ketidakjujurannya itu ia harus menjalani hukuman maka akan diterimanya dan dijalani hukuman itu tanpa penolakan sama sekali. Dihukum mati pun akan dijalani.
"Aku tidak menemukannya," jawab Raden Kudamerta amat datar.
Gajah Mada memandang Raden Kudamerta sangat lama. Kali ini dilakukannya tanpa bicara.
Angin kembali berembus deras menggoyang daun-daun pepohonan. Lampu obor yang menyala menerangi hanya tinggal satu karena yang lain kehabisan minyak. Meski angin berembus deras, udara dirasakan gerah oleh Raden Kudamerta. Keringat bagai diperas dari tubuhnya, menyebabkan pakaian yang dikenakan basah kuyup. Sungguh amat berbalikan dengan Gajah Mada yang merasa udara biasa-biasa saja.
Agaknya suasana hatilah yang menyebabkan Raden Kudamerta mandi keringat seperti itu.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 263
"Aku bahkan tidak tahu bagaimana nasibnya. Di mana ia sekarang aku tidak tahu."
Gajah Mada dan Gajah Enggon saling pandang. Dari sikapnya tergambar amat jelas, Raden Kudamerta amat cemas.
"Aku punya sebuah pertanyaan, Raden," Gajah Enggon angkat bicara.
Raden Kudamerta membalas pandangan mata Gajah Enggon.
"Bagaimana awal perkenalan Raden dengan Panji Wiradapa. Atau, barangkali adakah hubungan antara Panji Wiradapa dengan perempuan yang menjadi istri Raden Kudamerta?"
Gajah Mada merasa pertanyaan itulah yang akan ia lontarkan.
Karena Gajah Enggon sudah melontarkannya, Gajah Mada mempersiapkan diri dengan baik. Raden Kudamerta merasa tidak lagi ada gunanya menutup-nutupi. Raden Kudamerta yang menahan nyeri menempatkan diri bersandar pada tiang saka. Melihat itu Gajah Mada bergegas membantunya. Luka di dada itu sebenarnya telah pampat setelah dilakukan perawatan, tetapi perjalanan berkuda yang dilakukan Raden Kudamerta menjadi sebab darah keluar lagi.
Raden Kudamerta mempersiapkan diri untuk bercerita. Gajah Mada dan Gajah Enggon juga mempersiapkan diri untuk menyimak. Akan tetapi, apa yang diinginkan oleh Gajah Mada dan Gajah Enggon agaknya harus tertunda oleh sesuatu yang lebih menyita perhatian. Suara anak panah sanderan yang membubung memanjat ke langit lebih memerlukan perhatian. Apalagi, anak panah sanderan itu dilepas berganda.
Gajah Mada dan Gajah Enggon saling pandang.


Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Agaknya pembicaraan ini harus dihentikan dulu, Raden," berkata Gajah Mada dengan suara berat.
Raden Kudamerta ikut bangkit dan dilakukannya itu dengan tertatih.
Sekali lagi anak panah sanderan terdengar melengking tinggi.
Agaknya orang yang melepas warastra itu sangat tak sabar dan segera membutuhkan jawaban. Gajah Enggon bergegas menuju halaman sambil 264
Gajah Mada menyalakan ujung anak panahnya pada api obor yang menyala di pendapa. Anak panah yang telah dipasang pada gendewa dan kemudian dilepas tidak sekadar memberikan jawaban yang melengking tinggi, tetapi sekaligus nyala api yang ikut membubung memanjat langit.
"Apa yang terjadi, Gajah Mada?" bertanya Raden Kudamerta.
"Kami belum tahu, Raden. Kami mohon pamit."
Gajah Mada dan Gajah Enggon tidak mau membuang-buang waktu.
Dengan cukat trengginas dua prajurit pilihan dan pilih tanding itu melompat ke atas punggung kuda dan melesat membelah malam berkabut tebal.
Di kejauhan, anak panah berapi yang membubung tinggi menjadi petunjuk ke mana mereka harus pergi.
Raden Kudamerta cukup lama termangu memandang regol wisma yang terasa masih asing. Bagaimana tidak, sejak hari itu, tepatnya sejak menjadi suami Rajadewi Maharajasa, ia harus ikut tinggal di istana kiri.
Istana yang selama ini ditempati oleh Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa.
Raden Kudamerta merasa dada kirinya nyeri dan ngilu. Apa yang ia perbuat dengan berkuda ketika keadaannya belum sembuh benar merupakan tindakan ceroboh. Darah kembali mengalir dari luka yang belum kering benar.
Raden Kudamerta berbalik untuk tertegun. Sosok yang berdiri membeku di depannya yang membuatnya tertegun.
Hening merampok menyebabkan mulut Raden Kudamerta
terbungkam tidak mampu berbicara apa pun ketika api obor terakhir yang kehabisan minyak juga ikut padam menyempurnakan senyap itu terasa sangat pekat. Andai ada jarum yang jatuh maka akan terdengar jelas suaranya. Untunglah mendung di langit timur menyibak memberi peluang pada bulan untuk menerangi mayapada, menyebabkan Dyah Wiyat bisa melihat jelas suaminya sebagaimana Raden Kudamerta bisa melihat jelas wajah istrinya.
"Aku mendengar semuanya," ucap Dyah Wiyat dengan suara amat datar.
Raden Kudamerta merasa sebuah alugora menerjang dadanya.
Terbungkam mulutnya tak tahu harus berbicara apa.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 265
Seolah menganggap persoalan yang dibicarakan bukan persoalan yang terlalu penting, Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa melangkah turun ke halaman. Pandangan matanya segera tertuju pada bintang-bintang di bentangan nabastala. Dulu ketika akal dan daya pikirnya masih belum berjalan, Dyah Wiyat terganggu oleh pertanyaan yang ia ajukan kepada ibundanya tentang berapa jumlah bintang.
"Berapa jumlahnya, Ibu?" tanya Dyah Wiyat.
Gayatri yang ketika itu masih belum berpikir akan menjadi biksuni dan juga belum mendapat anugerah gelar Rajapatni mengelus-elus rambutnya.
"Ibu belum pernah menghitungnya, Wiyat," jawab Gayatri.
"Bagaimana cara menghitungnya?" Dyah Wiyat mengejar didorong rasa ingin tahu yang tak bisa ditahan.
"Untuk menghitung berapa jumlah bintang harus terbang."
Kala itu, bagaimana bisa terbang adalah persoalan yang sangat menyita ruang perhatiannya. Melihat burung yang terbang tinggi menyebabkan Dyah Wiyat sangat ingin bisa melakukannya karena tentu sangat menyenangkan bisa melihat hamparan tanah, rumah-rumah dan pepohonan, serta sungai dan sawah dari ketinggian. Tentulah indah sekali.
Itu sebabnya kepada siapa pun, Dyah Wiyat selalu bertanya, adakah orang yang bisa terbang.
Kini cara pandang Dyah Wiyat berbeda lagi. Bintang-bintang gemerlapan di langit adalah gambaran arwah manusia yang telah mati, yang menatap bumi dengan segala kerinduan. Bila bintang itu seorang ayah atas anak-anaknya, atau suami atas istri yang dicintai maka gemerlap cahayanya mewakili kerinduan hatinya pada istri dan anak-anaknya.
Dalam memandang langit yang gemerlapan terutama di gugusan bimasakti, Dyah Wiyat bertanya, di mana gerangan bintang yang mewakili ayahandanya. Atau, di sisi mana gerangan bintang yang mewakili saudara tuanya yang baru saja tewas dibunuh, dan di mana gerangan bintang yang mewakili sang pembunuh berada.
266 Gajah Mada Di langit belahan timur ada bintang dengan cahaya kebiruan. Dyah Wiyat tak percaya bintang berwarna biru itu Ra Tanca.
"Mungkin yang itu," kata hati Dyah Wiyat terhadap bintang dengan warna merah menyala bagai intan ditimpa cahaya.
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa yang bersedekap berbalik.
"Boleh tahu siapa nama istrimu itu, Kakang?" tanya Dyah Wiyat.
Raden Kudamerta sungguh bingung, tak tahu bagaimana cara menjawab.
"Atau, akan kausembunyikan istrimu itu selamanya dariku?"
Raden Kudamerta menyeringai. Darah yang keluar dari lukanya menyebabkan pakaian yang dikenakannya menjadi merah, padahal lembaran kain yang dikenakan berwarna putih. Akan tetapi, Dyah Wiyat tak merasa iba. Dyah Wiyat tidak merasa terpanggil untuk segera memberikan pertolongan. Rahasia yang disembunyikan laki-laki itu, rahasia yang kini bukan rahasia lagi, bahwa ia telah beristri saat mengawini dirinya, sungguh merupakan pelecehan yang tak akan terampunkan.
"Aku anak raja," kata Dyah Wiyat. "Aku bahkan bisa menjadi ratu di negeri yang besar ini, yang kebesarannya jauh melebihi kebesaran Pamotan. Aku bisa seperti Ratu Shima yang sanggup memenggal tangan adiknya yang bersalah. Aku juga bisa menjatuhkan hukuman mati kepada suamiku sendiri. Aku anak raja. Aku dikawini oleh seorang lelaki yang telah beristri. Adakah pelecehan yang melebihi seperti yang aku alami kali ini, Raden Kudamerta?"
"Aku minta maaf, Dyah Wiyat. Aku tak berniat menyembunyikan hal itu. Aku bahkan ingin meluruskan perkawinan ini sejak awal, tetapi aku tidak punya pilihan," jawab Raden Kudamerta.
"Siapa nama perempuan itu?" Dyah Wiyat mengejar.
"Dyah Menur Hardiningsih," jawab Raden Kudamerta.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 267
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa memejamkan mata untuk
menghayati lebih cermat warna perasaan macam apa yang sedang ia rasakan. Sungguh sama sekali tak ada perasaan marah sebagai bias rasa cemburu. Yang ada hanya perasaan tersinggung karena dikawini oleh orang yang menyembunyikan belang karena ternyata memiliki istri bahkan seorang anak.
Amat sinis senyum yang mencuat di bibir Dyah Wiyat, menempatkan Raden Kudamerta mengalami kebingungan tak mampu
menerjemahkan apa artinya. Dyah Wiyat yang kembali menengadah mengarahkan pandangan matanya pada bintang di sudut langit yang memiliki warna kemerahan. Betapa gelisah Dyah Wiyat karena tak berhasil menemukannya meski mencari-cari di mana bintang itu berada.
Padahal, ia telah telanjur beranggapan bintang itu peralihan roh Rakrian Tanca.
Dyah Wiyat membalikkan tubuh dan dengan langkah perlahan naik ke undak-undakan yang membawanya ke ruang tengah istananya.
Langkah yang semula perlahan itu berubah menjadi bergegas. Dengan amat yakin Dyah Wiyat meninggalkan Raden Kudamerta termangu sendiri di halaman. Raden Kudamerta jatuh terduduk. Ia tak lagi peduli andaikata rahasia yang terbongkar itu akan membawanya ke gantungan.
Ia juga tak peduli meski dari lukanya darah mengalir deras.
Dan tak seorang pun yang peduli ketika Raden Kudamerta makin kehilangan kesadaran, matanya berkunang-kunang. Kesadaran itu makin menjauh, menjauh dan kunang-kunang yang terbang beriak di keningnya makin banyak. Dalam makin kabur tatapan matanya masih sempat muncul raut wajah orang yang dirindukannya, seorang perempuan dengan anak lelaki dalam gendongannya.
268 Gajah Mada 20 Gajah Mada melecut kudanya agar berderap makin cepat karena isyarat anak panah sanderan yang membubung memanjat langit meminta tanggapan cepat. Isyarat yang dilepas benar-benar mengabarkan keadaan yang gawat. Ke arah barat ia mengarahkan laju kudanya, di sana terlihat sekali lagi dan sekali lagi panah berapi membubung memanjat angkasa.
Pintu gerbang Purawakta telah dibuka lebar untuknya, juga untuk para prajurit yang terpanggil oleh isyarat khusus itu. Dengan tidak mengurangi kecepatan, Gajah Mada melintas disusul oleh Senopati Gajah Enggon dengan kecepatan sama. Di pintu gerbang Purawaktra, Gajah Enggon menyempatkan memberi perintah kepada para prajurit yang sedang melaksanakan tugas jaga.
"Separuh dari kalian jangan diam saja!" teriaknya.
Ada sekitar lima belas orang prajurit yang sedang menjaga pintu gerbang dan baru saja terbangun, hiruk pikuk yang membangunkan mereka. Perintah yang telah diberikan tidak bisa segera dijawab karena masih belum memahami ada apa. Akan tetapi, manakala sekali lagi empat orang prajurit yang dari ciri-ciri pakaiannya berasal dari kesatuan Bhayangkara melintasi pintu gerbang Purawaktra dan apalagi saat mana sekali lagi anak panah sanderan berapi membubung ke angkasa, para prajurit penjaga regol itu segera sadar terhadap apa yang harus dikerjakan.
"Ikuti mereka, separuh tinggal," seseorang terdengar memberi perintah.
Nun di sana, pertempuran yang sangat tidak berimbang berlangsung dengan sengit. Kejadian bermula ketika serombongan prajurit yang baru saja melaksanakan tugas nganglang mengelilingi pedukuhan-pedukuhan di luar dinding kotaraja berniat kembali ke dalam dinding istana melalui pintu Purawaktra. Jumlah mereka sepuluh orang, jumlah yang cukup Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 269
banyak dengan persenjataan yang memadai karena masing-masing bersenjata pedang panjang dan anak panah.
Rangsang Kumuda dan anak buahnya yang bersembunyi di balik rimbunnya ladang jagung memerhatikan pergerakan mereka dengan cermat. Bayangan prajurit yang kembali dari perjalanan meronda dan menjaga ketenteraman itu tampak jelas karena bulan yang baru muncul telah memanjat makin tinggi.
"Mereka para prajurit Bhayangkara," Bramantya yang berada pada jarak dekat dengan Rangsang Kumuda memberinya bisikan.
Namun, Rangsang Kumuda punya pandangan yang lebih awas. Ia bisa segera mengambil simpulan, orang-orang berkuda itu bukan prajurit dari kesatuan pasukan khusus Bhayangkara. Rangsang Kumuda tahu persis cara berkuda orang-orang itu tak sama dengan kebiasaan berkuda Bhayangkara yang tidak pernah berada dalam jarak sangat rapat. Lebih dari itu, pasukan Bhayangkara tidak bersenjata trisula bergagang tongkat panjang. Pasukan Bhayangkara hanya mengenal tiga jenis senjata, yaitu anak panah, pisau terbang, dan pedang panjang.
"Dyah Menur tidak bersama mereka. Biarkan mereka lewat."
"Bagaimana Kakang Rangsang bisa tahu?" Bramantya bertanya dengan heran.
"Aku tahu karena Dyah Menur tak bisa berkuda," jawab Rangsang Kumuda.
"Kita apakan mereka?"
"Jangan. Kita tidak boleh berurusan dengan mereka. Keberadaan kita di sini untuk mencegat Dyah Menur, bukan untuk urusan lain."
Namun, Rangsang Kumuda mempunyai kehendak tidaklah berarti semua akan berjalan sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Setiap kali ada rombongan orang lewat, anak panah segera direntang, disiagakan membidik sasaran. Setidaknya sudah ada tiga kali orang yang lewat. Orang yang melintas terakhir sungguh bernasib sial. Ia hanya seorang penduduk biasa yang berniat masuk kotaraja menjelang malam. Ia lakukan itu setelah 270
Gajah Mada menempuh perjalanan jauhnya sebagai pedagang. Setelah kulakan berbagai hasil pertanian yang ia angkut ke kotaraja menggunakan dua buah pedati, ia sendiri mendahului pulang dengan berkuda.
Kesialan orang itu karena ia dirampok habis-habisan. Semua uang dan perhiasan yang dibawa dilucuti, juga keris dengan pendok emas yang sebenarnya tak lebih dari penunjang penampilan agar semua orang tahu ia orang yang kaya. Rangsang Kumuda memberangusnya tanpa ampun. Masih untung saudagar bernama Ki Hanggawura itu dibiarkan hidup dan harus meringkuk di ikatan tali.
Rangsang Kumuda mengangkat tangan kanan sebagai isyarat kepada segenap anak buahnya untuk jangan mengganggu. Akan tetapi, salah seorang dari mereka tidak punya kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri, setidaknya terhadap keinginan bersin. Bersin itulah yang mengagetkan para prajurit yang lewat setelah perjalanan nganglang yang mereka lakukan.
"Berhenti," teriak pimpinan rombongan itu.
Melihat perkembangan yang tak terduga itu, Rangsang Kumuda merasa tidak punya pilihan lain. Itu sebabnya, sebuah perintah segera dijatuhkan.
"Hujan!" teriaknya keras sekali.
Yang dimaksud dengan hujan adalah hujan anak panah yang
langsung dilepas berhamburan. Malang bagi rombongan prajurit yang tidak mempunyai kesempatan cukup dari serangan dadakan itu. Sebuah anak panah menerjang dada seorang prajurit, membuka pintu gerbang sekaratnya karena anak panah itu tepat menggapai jantung. Prajurit itu terjengkang jatuh dan masih ditambah nasib buruknya karena kuda yang ditunggangi kehilangan kendali dan menambahkan tendangan melalui kaki belakangnya.
"Awas serangan. Berlindung," terdengar teriakan di antara mereka.
Rombongan prajurit itu berloncatan turun, tetapi hujan anak panah yang susul-menyusul menghajar mereka. Jerit kesakitan meledak dari mulut salah seorang yang mendadak merasa pantatnya ditembus anak Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 271
panah. Lengking kesakitan meledak pula dari mulut prajurit yang dihajar dua batang anak panah sekaligus mengenai dada dan paha. Ambruk prajurit itu dengan lolong kesakitan yang mengagetkan dua anjing yang tengah menggonggong di kejauhan. Terbungkam mulut anjing itu yang segera berlarian untuk mengetahui suara apa yang menyaingi gonggongannya.
"Bunuh semua," Rangsang Kumuda kembali memberi perintah.
"Jangan beri ampun, semua harus dibunuh."
Rangsang Kumuda tak lagi mempersoalkan kecerobohan anak
buahnya yang bersin dan menyebabkan terbukanya pertempuran itu.
Nafsu membunuh yang begitu menggelegak tergambar jelas dari umpatan dan perbuatan, seolah ia memiliki alasan untuk melakukan.
Dengan sangat terampil Rangsang Kumuda yang sebenarnya telah kakek-kakek itu melepas anak panah. Baru saja selesai anak panah dilepas, anak panah berikutnya dilepas dan begitu anak panah terlepas, anak panah berikutnya lagi melekat di busur yang segera direntang.
Pun demikian dengan Bramantya yang selalu menempatkan diri di sisi orang itu. Bramantya memiliki keterampilan mengobral murah anak panah di endong yang berada di punggungnya. Bramantya ikut memberi sumbangan kepanikan kepada sasaran yang dibidiknya, apalagi Bramantya lebih mengarahkan anak panah itu pada kuda-kuda tunggangan para prajurit yang menjadi liar tak terkendali. Kuda-kuda itu berlarian yang mengarah lurus ke Purawaktra.
Dari sepuluh orang, lima orang lumpuh dalam serangan dadakan itu. Lima yang tersisa memberikan perlawanan mati-matian dengan tak kalah beringas. Hujan anak panah dibalas dengan hujan anak panah.
Mula-mula rombongan prajurit itu kesulitan menerka dari mana datangnya anak panah, tetapi balasan yang mereka lakukan ternyata tidak sia-sia.
Jerit melengking yang terdengar dari seberang menjadi pertanda pihak yang melakukan penyergapan juga terluka. Jerit yang terdengar lagi juga merupakan pertanda jatuhnya korban lagi.
"Wirota, lepas sanderan," terdengar teriakan.
272 Gajah Mada Prajurit yang memiliki nama Wirota itu bagai tersadarkan untuk bertindak.
"Lindungi aku," teriaknya.
Wirota yang tengah tengkurup sambil melepas bidikan dan berada di tempat terbuka segera bangkit dan berlari kencang berbelok-belok untuk mengambil jarak. Akan tetapi, cahaya bulan yang makin benderang cukup jelas menerangi tubuhnya, menjadikan dirinya sasaran bidik yang mudah digapai.
Hujan panah yang dilakukan para prajurit yang terjebak susul-menyusul dan beruntun karena tak hanya sebatang setiap kali lepas. Salah seorang prajurit bahkan mampu melepas tiga batang sekaligus dalam sekali lepas. Jerit yang kembali meledak dari balik batang pohon jagung menjadi tanda upayanya berhasil menggapai sasaran. Namun, prajurit bernama Wirota itu ternyata tak berhasil lolos dari bidikan. Anak panah yang berhasil menembus betisnya menyebabkan ia terjungkal.
Akan tetapi, Wirota masih memiliki sisa tenaga untuk melaksanakan tugasnya. Anak panah jenis sanderan yang sanggup memberikan suara melengking sampai pada jarak amat jauh disiapkan. Dengan sekuat tenaga anak panah itu dilepas yang segera disusul dengan anak panah berikutnya.
Anak panah itu terdengar oleh prajurit yang menjaga pintu gerbang Purawaktra yang dengan segera menanggapi dengan melepas anak panah sanderan berapi sebagai balasan dan pemberitahuan. Berita yang dikirim telah diterima dan akan segera ditanggapi.
Wirota kembali mempersiapkan diri, anak panah sanderan
berikutnya telah ia siapkan dan sekali lagi permintaan bantuan yang amat mendesak itu melejit ke langit membelah udara. Tanggapan balasan yang terdengar dari Purawaktra dicerna dengan penuh perhatian oleh Rangsang Kumuda.
"Bunuh mereka, jangan sampai bantuan datang menyelamatkan mereka. Serbu!" teriak Rangsang Kumuda.
Orang-orang yang semula berniat melakukan pencegatan terhadap perjalanan Dyah Menur itu sigap melaksanakan perintah dengan sebaik-Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 273
baiknya. Dari lebatnya ladang jagung mereka keluar dengan pedang teracung. Serangan yang mereka berikan setelah berhasil mengurangi jumlah lawan sungguh sangat merepotkan para prajurit yang akan kembali masuk ke dalam kota.
Wirota ternyata hanya butuh waktu sekejap untuk menyalakan batu titikan yang segera disulutkan ke ujung anak panah sanderan berapi yang lantas dilepas memanjat langit. Anak panah susulan itulah yang merangsang Gajah Mada yang kini yang berkuda bersama Gajah Enggon bagaikan kekurangan waktu, melecut kaki kudanya agar berderap kian kencang yang membawanya seperti terbang.
Anak panah berapi itu membelah angkasa makin lama makin tinggi untuk kemudian sampai ke titik puncak lalu kehilangan daya dorong dan kembali menukik ke bumi. Wirota memerhatikan lintasan anak panah itu sambil dengan sangat gugup berusaha menyelamatkan diri dari hujan anak panah yang tertuju kepada dirinya. Wirota berguling sambil mematahkan gagang anak panah yang menancap di betis. Warastra itu tak mungkin dicabut, cara untuk mengeluarkan hanya dengan mendorong tembus ke permukaan yang lain.
Jerit kesakitan Wirota adalah karena menahan nyeri yang tak terkira.
Namun, upaya yang dilakukannya berhasil. Dengan sisa tenaganya, ia melepas ikat kepalanya untuk membalut luka yang mengucurkan darah segar. Usai apa yang ia lakukan, tak berarti selesai. Wirota harus menjemput dua orang bersenjata pedang yang berlarian mendekatinya.
Dua batang anak panah yang dilepasnya menyebabkan dua orang itu terjungkal hanya untuk mati sia-sia. Anak panah Wirota tepat menggapai jantungnya. Namun, Wirota segera ambruk. Luka di betis itu sangat menyulitkan. Dengan luka seperti itu, Wirota bahkan tak bisa berjalan.
Pertempuran yang terjadi yang kali ini tidak lagi saling melepas anak panah benar-benar menyulitkan tiga prajurit yang tersisa berhadapan dengan jumlah yang lebih banyak. Seorang terbantai dengan segera disusul oleh seorang lain. Seorang lagi yang tersisa berusaha memberikan perlawanan sekuat tenaga, namun ayunan pedang yang membelah punggung menyebabkan prajurit itu terkapar.
274 Gajah Mada "Cepat tinggalkan tempat ini," Rangsang Kumuda memberi
perintah. Bersamaan dengan derap kuda yang datang mendekat, yang agaknya jumlah mereka cukup banyak dan bisa memberikan kesulitan, mendorong Rangsang Kumuda bertindak cepat. Hanya sejenak setelah itu, derap kuda yang meninggalkan suara khas juga meninggalkan jejak kematian. Rangsang Kumuda segera lenyap karena malam tak hanya berwarna hitam, namun mendung tebal yang sedang melintas menutupi bulan juga memberinya gelap yang membutakan.
Adalah Gajah Mada dan Senopati Gajah Enggon yang akhirnya tiba di tempat itu, tak ikut menikmati pertempuran karena perkelahian amat berdarah dengan jumlah korban yang tidak sedikit itu telah berakhir.
Dari sepuluh orang prajurit, yang tersisa hanya Wirota.
"Apa yang terjadi?" bertanya Gajah Mada.
"Patih Daha?" Wirota segera mengenali orang yang berdiri di depannya.
"Ya. Ini aku," jawab Gajah Mada.
"Kami baru pulang dari nganglang. Kami diserang dengan dadakan,"
Wirota menjawab dengan berusaha keras menahan nyeri.
"Siapa yang menyerang?" tanya Gajah Enggon.
"Kami tidak tahu."
Gajah Enggon segera menyalakan batu titikan dan menjadikan sebatang anak panah sanderan sebagai obor. Dengan bantuan cahaya obor itu, Gajah Enggon segera memeriksa dan ternyata dari mereka yang bergelimpangan itu tidak seorang pun yang masih hidup. Para prajurit Majapahit bisa dikenali dari pakaiannya, sebaliknya pihak yang melakukan serangan dadakan bisa dikenali dari pakaian yang berbeda.
Gajah Enggon mendadak mendongakkan kepala. Sesuatu singgah ke telinga dan membutuhkan perhatiannya dengan segera. Setelah merasa yakin dari mana suara itu berasal, Gajah Enggon bergegas menyibak lebatnya ladang jagung. Seorang yang ternyata ia kenal dengan baik meringkuk dengan tangan terikat dan mulut disumpal dengan kain.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 275
"Paman Hanggawura?"
Gajah Enggon segera menolong pedagang hasil bumi yang tinggal tidak jauh dari Balai Prajurit bahkan sering dikunjunginya itu.
"Aku baru pulang, tiba-tiba mereka menyergapku. Semua yang kubawa tidak bersisa, mereka merampoknya."
"Siapa mereka?" tanya Gajah Enggon lagi.
"Aku tak tahu, namun mereka di sini mencegat seorang perempuan.
Itu yang aku dengar dari percakapan mereka."
Gajah Mada datang mendekat. Gajah Mada terkejut melihat siapa orang yang berusaha berdiri dengan tertatih sambil berusaha melepas tali yang masih mengikat pada bagian kakinya.
"Paman Hanggawura" Apa yang terjadi pada Paman?"
Gajah Enggon yang mewakili membalas pertanyaan itu, "Paman Hanggawura dicegat dan dirampok. Menurut Paman Hanggawura yang mendengar percakapan di antara mereka, orang-orang itu berada di sini untuk mencegat perjalanan perempuan yang akan masuk ke kotaraja."
Gajah Mada mencuatkan alis.
"Perempuan?" "Benar," jawab Hanggawura. "Aku dengar itu dari pembicaraan yang terjadi."
Gajah Mada mendadak diam dan meminta Gajah Enggon untuk
tidak berbicara karena akan mengganggunya dalam berpikir. Gajah Mada berjalan hilir mudik sambil memerhatikan jalan panjang membelah sawah yang memanjang ke barat, menjauh dari pintu gerbang Purawaktra.
Hanya beberapa jenak setelah kedatangan Patih Daha Gajah Mada dan Gajah Enggon, rombongan prajurit berkuda datang menyusul.
Sepuluh orang prajurit, semua dari kesatuan Bhayangkara, tetapi merupakan wajah-wajah baru. Namun, di antara mereka terdapat Gagak Bongol.
276 Gajah Mada "Pelakunya belum jauh, cepat kejar mereka," Senopati Gajah Enggon melepas perintah.
Namun, Gajah Mada tidak sependapat dengan perintah itu.
"Jangan," ucap Gajah Mada tegas. "Saat ini ada sekelompok orang bagian tak terpisahkan dari pelaku perbuatan ini yang sedang melakukan baris pendhem di ruas jalan menjelang memasuki pintu gerbang utara.
Jumlah mereka mungkin sekitar lima sampai sepuluh orang. Gagak Bongol, kaukembali ke bangsal kesatrian Bhayangkara dan siagakan pasukan untuk melakukan penyergapan. Gajah Enggon, kau memimpin langsung penyerbuan terhadap mereka. Yang sudah berada di sini, urus semua yang terjadi di sini. Bawa mayat-mayat ini ke Balai Prajurit untuk dilakukan pemeriksaan, siapakah mereka."
Tidak menunggu diulang, Gagak Bongol melompat ke atas kuda dan segera berderap balik arah. Gajah Enggon terbungkam karena benar-benar terheran-heran.
"Bagaimana kautahu ada sekelompok orang berada di sana?" Gajah Enggon melontarkan rasa penasarannya.
Gajah Mada menebarkan pandangan menyapu semua wajah dan
kesibukan. "Begitu Tuanku Jayanegara mangkat," kata Gajah Mada, "terjadi peristiwa-peristiwa aneh. Ada beberapa pembunuhan dan sekarang ditambah dengan pencegatan yang dilakukan pada sekelompok prajurit.
Semua peristiwa itu berkaitan, bukan peristiwa yang terjadi terpisah-pisah dan tidak ada hubungannya. Kenapa aku menebak di menjelang pintu gerbang utara ada orang yang melakukan baris pendhem, sebenarnya bisa ditebak dengan mudah, pastilah ada hubungannya dengan Raden Kudamerta."
Gajah Enggon terheran-heran, "Raden Kudamerta?"
"Orang-orang itu sebenarnya berniat mencegat perjalanan seorang perempuan yang akan masuk kota, siapa perempuan itu" Aku menduga, ia istri Raden Kudamerta. Kenapa perempuan itu begitu penting dan harus dihalang-halangi jangan sampai lolos masuk ke kotaraja, pertanyaan Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 277
itu akan kita peroleh jawabnya nanti. Untuk masuk kotaraja dari arah barat hanya lewat pintu gerbang kotaraja bagian barat dan utara. Itu sebabnya, pencegatan tak hanya terjadi di sini, tetapi juga ruas jalan ke pintu utara. Nah, Gajah Enggon, jadi menunggu apa lagi?"
Gajah Enggon menyusul melompat ke atas punggung kuda,
mengejar Patih Daha Gajah Mada yang telah berderap lebih dulu.
Kesibukan segera terjadi di tempat itu. Perintah untuk mengambil kereta kuda dijatuhkan untuk mengangkut mayat-mayat yang jumlahnya lebih dari sepuluh orang. Pertolongan segera diberikan kepada Wirota dan Ki Hanggawura.
21 Istana yang kini menjadi kediaman Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani atau Sri Gitarja tidak kalah megah dari istana utama kediaman raja yang kini kosong karena telah ditinggalkan penghuninya untuk selama-lamanya. Berbeda dengan istana kiri yang menjadi kediaman Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa yang suram, denyut kebahagiaan lebih terasa di istana sayap kanan. Suasana berkabung akibat surutnya Prabu Jayanegara bukan berarti istana kanan tak begitu banyak dalam menyumbang air mata. Namun, karena Sri Gitarja benar-benar merasa sangat bahagia dalam menikmati bulan madunya bersama lelaki yang didambakan, menjadikan istana kanan lebih bercahaya. Di hari kakaknya terbunuh adalah juga hari ia bersuamikan lelaki yang selama ini dimimpiharapkan. Sungguh sangat berbeda dengan istana kiri yang dihuni Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa. Pada malam pertama Dyah Wiyat dikawini oleh seorang laki-laki, tepat di hari itu pula suaminya 278
Gajah Mada terbukti telah beristri dan menempatkannya hanya sebagai istri kedua.
Hari perkawinannya adalah hari pelecehan.
Raden Cakradara masih terpicing meski sang istri telah lelap dalam pelukan tangan kanannya. Suara yang sangat mirip burung bence, tetapi jelas bukan suara asli burung itu menyebabkan ia merasa gelisah. Karena suara melengking nglangut mirip suara anak ayam, tetapi dengan lengkingan panjang itu merupakan sebuah isyarat yang ditujukan untuknya.
Orang yang melepas suara mirip burung bence itulah yang membuat hatinya gelisah. Setidaknya sejak menjelang senja, Raden Cakradara merasa kehilangan orang itu dan tidak diketahui apa yang dilakukan.
Sepak terjang yang mungkin dilakukan orang itu yang membuat ia gelisah, bukan apabila ada pihak yang membahayakannya. Raden Cakradara layak merasa gelisah. Pembunuhan yang sambung-menyambung pada sehari sebelumnya sangat mungkin merupakan ulahnya. Amat mungkin orang itu yang mendalangi. Apa yang beberapa hari lalu diucapkannya masih terngiang-ngiang.
"Kewajibanku untuk mengamankan kepentinganmu jangan sampai ada yang mengganggu. Sejak dini aku melihat Raden Kudamerta telah mempersiapkan diri dan berupaya keras agar kekuasaan nanti jatuh ke tangannya. Menghadapi hal itu, Paman tidak akan tinggal diam. Paman akan menghancurkan kekuatan itu. Paman akan menggerogoti sedikit demi sedikit dan bila perlu anak panah atau ayunan pisau akan diarahkan ke dadanya. Demi takhta dan kedudukan sebagai raja, kau harus bisa mengesampingkan hubungan pribadimu dengan Kudamerta. Janganlah kau merasa kehilangan apabila Raden Kudamerta nanti terbunuh. Untuk keperluan itu telah aku siagakan kekuatan untuk melakukannya."
Ancaman yang dilontarkan kini menjadi kenyataan. Pembunuhan bersambung terjadi yang semua mengarah ke Raden Kudamerta, bahkan terakhir suami adik iparnya itu menjadi sasaran bidik pisau terbang yang diayunkan tepat mengarah ke jantung. Untung Raden Kudamerta terselamatkan dan ayunan pisau meleset sejengkal. Kalau ayunan pisau itu tepat menghunjam ke sasaran, habis riwayat Raden Kudamerta.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 279
Untuk yang ke sekian kali, suara melengking mirip burung bence itu terdengar lagi, amat menyayat seperti sedang kesakitan.
"Paman Pakering Suramurda memanggilku," Raden Cakradara
berkata untuk diri sendiri.
Akhirnya, setelah Raden Cakradara merasa benar-benar yakin istrinya tertidur yang terbaca itu dari dengkurnya yang halus maka dengan berjalan mengendap-endap menantu Ratu Gayatri itu keluar dari biliknya.
Udara bersih di halaman tanpa batas pandang karena tidak ada kabut yang mengganggu, apalagi tepat pada arahnya bulan menyemburatkan cahayanya dengan sangat murah. Raden Cakradara tidak sekadar turun ke halaman, tetapi langsung menuju ke kandang kuda karena dari sanalah isyarat yang ditujukan untuknya itu berasal. Benar seperti yang ia duga, Pakering Suramurda memang menunggu seperti tidak sabar.
"Ada apa, Paman?" tanya Raden Cakradara ditujukan kepada perawat kudanya.
"Malam ini jangan tidur," balas Pakering Suramurda dengan suara setengah berbisik.
"Kenapa, Paman?"
"Aku melihat ada gerakan yang cukup besar yang entah apa penyebabnya. Ada isyarat-isyarat anak panah sanderan berupa permintaan bantuan yang dilepas dari luar dinding kotaraja bagian barat.
Kulihat pula Patih Daha Gajah Mada dan pimpinan pasukan
Bhayangkara yang sedang menemui Raden Kudamerta menjawab isyarat itu, lalu berkuda ke barat. Aku sedang mengirim orang untuk mengetahui apa yang terjadi di sana."
Raden Cakradara melangkah lebih dekat lagi dan memerhatikan kuda-kuda kesayangannya telah dipindahkan pula ke kandang khusus di belakang istana kanan. Dalam hal merawat kuda, menjaga kebugaran kuda itu, dan menjaga kesehatannya, Raden Cakradara benar-benar merasa puas dan tak kecewa pada hasil kerja Pakering Suramurda.
Sedemikian larut Raden Cakradara mengarahkan pandangan
matanya kepada kakak kandung ibunya itu dengan rasa cemas. Terhadap 280
Gajah Mada Pakering Suramurda, Raden Cakradara memang merasa ada yang layak ditakutkan. Amat bisa diyakini, pamannya berada di belakang pembunuhan-pembunuhan itu. Pakering Suramurda yang bertubuh kurus tidaklah seperti apa yang tampak karena di belakangnya terdapat sebuah jaring kekuatan yang telah disiapkan sedemikian rupa yang bahkan bisa digerakkan untuk berbagai keperluan, seperti penyerbuan dan penculikan. Jaringan itu berasal dari para prajurit pilihan yang saat ini tersebar di berbagai kesatuan kecuali Bhayangkara.
"Paman Pakering," kata Raden Cakradara, "kuminta sebaiknya segera Paman hentikan apa yang Paman lakukan. Cara yang Paman lakukan terlalu menyolok serta kasar. Orang yang paling bodoh pun bisa tahu pembunuhan-pembunuhan itu berniat menghalangi Raden Kudamerta. Semua orang mengarahkan pandangannya kemari karena secara lugas terlihat akulah orang yang paling berkepentingan terhadap takhta."
Pakering Suramurda menghela tarikan napas amat panjang. Tarikan napas itu mungkin mewakili penyesalannya terhadap kegagalan yang terjadi atas pembunuhan yang diarahkan kepada Raden Kudamerta.
Tarikan napas panjang itu mungkin juga atas nama rasa jengkelnya terhadap keputusan yang diambil Ratu Rajapatni Gayatri yang semula telah berniat akan mengangkat Sri Gitarja sebagai ratu, tetapi kemudian membatalkannya karena hasutan Gajah Mada.
Raden Cakradara tak mampu menebak, apakah yang disembunyikan Pakering Suramurda di balik wajahnya yang datar saja itu.
"Untuk jangan mengganggumu, Raden Kudamerta seharusnya
mati," Pakering Suramurda meletupkan kejengkelan hatinya.
"Kalau itu terjadi, keinginan Paman supaya aku mendampingi istriku menjadi ratu tidak akan menjadi kenyataan. Tuan Putri Ratu Gayatri akan melihat aku yang mendalangi. Hal itu justru akan mendorong Tuan Putri Ratu memutuskan mengangkat Dyah Wiyat. Kalau itu yang terjadi, apakah Paman juga akan merencanakan pembunuhan terhadap Dyah Wiyat" Tolong hentikan semua yang Paman lakukan itu. Jika akan dilakukan pemeriksaan dan pasti hal itu akan dilakukan maka dengan Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 281
terpaksa aku akan menjawab tidak tahu-menahu. Bila perbuatan Paman terbongkar, Paman yang harus menanggung akibatnya sendiri. Jangan seret aku."
Pakering Suramurda tidak menjawab, namun menelan kata-kata keponakannya yang terasa sangat pahit di tenggorokan. Dalam hati, Pakering Suramurda mengakui rangkaian peristiwa yang terjadi benar-benar telah sejalan sebagaimana yang diharap. Apabila ada yang meleset itu hanya soal arah bidik yang meleset, seharusnya ayunan pisau terbang itu menghunjam tepat ke jantung yang akan menyebabkan korbannya ambruk menggelepar dan merasakan kesakitan yang amat sangat saat nyawanya oncat dari tubuhnya.
Di sisi lain, Pakering Suramurda mengakui kebenaran ucapan keponakannya. Rangkaian pembunuhan itu sangat merugikan Raden Cakradara. Perhatian segenap kawula Majapahit dengan sendirinya terarah kepadanya dengan tudingan yang teramat sulit untuk dibantah, Raden Cakradara mendalangi pembunuhan terhadap Kudamerta untuk mencegah jangan sampai takhta jatuh padanya karena siapa pun yang menjadi ratu, suaminya akan menjadi raja. Kerakusan Raden Cakradara menjadi penyebab ia kehilangan kendali dan menjadi liar melampaui batas kepatutan.
"Apa pun cara pandangmu terhadapku, Cakradara," ucap Pakering Suramurda. "Apa yang aku lakukan adalah untukmu. Kaupunya kesempatan menjadi raja. Bila Sri Gitarja tidak mampu menjalankan tugasnya karena ia hanya seorang perempuan yang sempit langkah kakinya, akan terbuka peluang sangat lebar kekuasaan tertinggi itu akan jatuh ke tanganmu."
Telah berulang kali Raden Cakradara mendengar ucapan pamannya itu nyaris tak bisa dihitung. Hasutan pamannya itulah yang akhirnya menyentuh simpul nafsu atas kekuasaan.
"Dengar kata-kataku, Cakradara," berkata Pakering Suramurda.
"Mumpung istrimu sedang sangat terlena, kamu harus segera menanamkan pengaruhmu kepada Sri Gitarja. Janganlah lagi bicara soal waktu, cepat atau lambat kekuasaan itu akan jatuh ke tangan istrimu.
282 Gajah Mada Kamu akan gigit jari apabila sebilah anak panah diarahkan dengan istrimu berada di sasaran bidiknya. Raden Kudamerta atau pendukungnya pasti akan melakukan."
Peringatan yang dilepas Pakering Suramurda itu seperti serampangan. Namun, Raden Cakradara tak mungkin mengabaikannya.
"Kamu harus berusaha keras, jabatan sebagai raja harus jatuh ke tanganmu."
Pakering Suramurda mengakhiri ucapannya dengan berjalan
menjauh menuju halaman, membiarkan Raden Cakradara membeku berdiri di bawah siraman candra. Namun, hanya sejenak kemudian Raden Cakradara berjalan lemah lunglai kembali ke dalam istana. Raden Cakradara sama sekali tak menyadari sejenak setelah ia beranjak, seseorang yang mengintip dan bahkan mendengarkan pembicaraan itu secara utuh bergegas meninggalkan tempat itu pula.
Gesit orang itu yang kemudian berlari ke arah pohon sawo. Gesit mirip seekor kera ketika memanjat dahan dan mengayun ke ranting untuk bisa menggapai tinggi tembok dan akhirnya melenting ke luar dinding.
Orang dengan kegesitan macam itu jelas seorang prajurit.
Namun rupanya, tak hanya orang itu yang ikut menguping
pembicaraan yang terjadi. Ketika dengan lunglai Raden Cakradara melangkah, orang yang bersembunyi di balik dinding yang lain juga bergegas melangkah. Ayunan kakinya tidak mungkin membawanya bergegas karena ia mengenakan kain panjang.
Manakala Raden Cakaradara kembali masuk ke biliknya, ia masih mendapati istrinya tidur dengan lelap, matanya terpejam dengan dengkur yang halus. Cakradara merasa yakin, selama ia pergi menemui pamannya di kandang kuda, Sri Gitarja tetap pulas.
Dengan perlahan Raden Cakradara membaringkan diri untuk
menyusul istrinya tidur. Namun, Raden Cakradara mengalami kesulitan untuk tidur. Apa yang diucapkan pamannya terngiang-ngiang di kepalanya, menjadi ganjal penghalang benaknya untuk beristirahat.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 283
"Demi takhta dan kedudukan sebagai raja, kau harus bisa
mengesampingkan hubungan pribadimu dengan Kudamerta. Janganlah Kau merasa kehilangan apabila Raden Kudamerta nanti terbunuh. Untuk keperluan itu telah aku siagakan kekuatan untuk melakukannya."
22 Dipimpin langsung oleh Senopati Gajah Enggon, penyergapan terhadap orang- orang yang melakukan beris pendhem di ruas jalan menjelang pintu gerbang utara itu disiagakan. Di dalam pasukan kecil berkekuatan lima belas orang itu terdapat mantan Bekel Gajah Mada yang kini menjadi pemangku jabatan Patih di Daha. Gagak Bongol yang mulai siang sebelumnya harus disibukkan mengurus anak angkatnya, memegang busur dengan anak panah dalam jumlah cukup berada di punggungnya. Bhayangkara Jayabaya yang berada dalam rombongan itu pula tak ikut berbicara, namun ia bersiaga menjalankan perintah apa pun yang akan diberikan kepadanya.
Sejenak setelah menunggu terdengar suara orang berlari kencang.
Orang itu adalah telik sandi yang melaksanakan tugas pengintaian untuk menemukan di mana orang-orang yang melakukan pencegatan itu berada.
"Bagaimana?" bertanya Senopati Gajah Enggon.
"Mereka di tikungan Randu Pitu. Berkekuatan sekitar lima belas orang. Amat mungkin orang-orang yang semula melakukan pencegatan di barat Purawaktra telah bergabung di sana. Dengan mudah aku bisa menemukan mereka karena ada asap dari perapian yang dibuat. Nyala api memang bisa disembunyikan, tetapi tidak asapnya."
284 Gajah Mada "Kamu melihat mereka menyembunyikan kuda-kuda?" tanya Gajah Enggon lagi.
"Ya," jawab prajurit yang menempatkan diri sebagai cucuk lampah itu.
Senopati Gajah Enggon berbalik dan memandang Gajah Mada, menunggu apa pendapat pendahulunya yang pernah memimpin pasukan Bhayangkara itu.
"Dengan jumlah sebanyak itu, mereka pasti tidak akan menanggapi ancaman untuk menyerah. Serbu mereka, tetapi harus ada yang tertangkap hidup-hidup untuk dimintai keterangan. Jawaban atas siapa yang bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan yang terjadi akan kita peroleh di sana," kata Gajah Mada.
"Baik, Kakang."
Dengan tidak membuang waktu, Senopati Gajah Enggon mengatur rencana. Di atas tanah ia membuat denah apa adanya.
"Mereka berada di Randu Pitu, tepat di pertigaan yang dengan jalan membujur ke utara selatan dengan satu ruas jalan ke timur yang terhubung dengan pintu gerbang utara. Pasukan yang ada aku pecah menjadi dua, bagian pertama menyerbu mereka dari arah utara dan timur dengan hujan anak panah biasa dan anak panah berapi untuk bisa menerangi mereka. Serangan dari arah utara akan menyebabkan mereka bergegas melarikan diri ke selatan, serangan dari utara ini aku yang akan mengendalikan secara langsung. Di selatan separuh pasukan dipimpin oleh Kakang Gagak Bongol dengan menempatkan diri di Padas Payung.
Hujan anak panah akan menyebabkan mereka tak punya pilihan selain kembali dan berbelok melewati jembatan gantung ke arah hutan Puringan. Pasukan yang dipimpin oleh Kakang Gagak Bongol harus bisa memaksa mereka balik arah, sejalan dengan itu aku akan bergerak ke jembatan lewat jalan pintas. Di jembatan gantung itulah aku akan menyelesaikan mereka. Apabila mereka tidak membelok menuju jembatan gantung ke Puringan, lepas sanderan berapi ganda. Kita jepit mereka di ruas jalan antara Randu Pitu dan Padas Payung, cukup jelas?"
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 285
Pertanyaan yang dilontarkan Gajah Enggon tidak ada yang
membalas. Dengan demikian berarti semua memahami rencana yang disusun itu. Gajah Mada tersenyum tak bisa menyembunyikan kekaguman dan rasa bangganya. Pilihan terhadap Gajah Enggon untuk mengendalikan pasukan Bhayangkara benar-benar pilihan yang tepat.
"Tunggu apa lagi" Kita bergerak."
Dengan cekatan rombongan pasukan Bhayangkara itu membelah diri menjadi dua kelompok. Separuh dipimpin oleh Gagak Bongol, memutar balik arah mengambil jalan yang meski agak jauh bisa mengarah ke tempat yang harus dituju tanpa diketahui pihak lawan. Akan halnya Gajah Enggon karena jaraknya cukup dekat tidak membawa kuda-kudanya, semua disembunyikan cukup jauh dari ruas jalan utama.
Jarak antara pintu gerbang utara menuju pertigaan Randu Pitu bukanlah jarak yang jauh, namun juga bukan jarak yang dekat bila ditempuh dengan jalan kaki. Dari pintu gerbang utara yang bermuara ke ruas jalan menuju Jati Pasar dan ke Lapangan Bubat akan membelok ke barat hingga menabrak jalan yang melintang dari utara ke selatan, tempat itulah yang disebut Randu Pitu karena di sana pernah tumbuh tujuh pohon randu. Pohon itu tinggal dua batang, namun orang masih menyebut tempat itu sebagai Randu Pitu, bukan Randu loro. Sementara itu, di arah selatan terdapat tebing yang curam. Tebing itu memayungi lembah dari matahari sore. Itulah sebabnya, tebing itu disebut Padas Payung.
Apa yang dikatakan telik sandi benar adanya. Dalam siraman cahaya candra terlihat asap yang membubung pertanda di tempat itu ada orang yang membuat api. Api itu dibutuhkan untuk membakar ketela yang banyak ditanam di tempat itu.
Gajah Mada tak memberi saran apa pun karena dalam hal merancang serangan atau penyerbuan, Gajah Enggon banyak sekali memiliki gagasan dan pengalaman.
"Kita kuasai ruas jalan ke timur dan ke utara. Kita giring mereka ke selatan," kembali perintah diberikan oleh Gajah Enggon.


Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

286 Gajah Mada Demikian rapi baris pendhem yang dilakukan Gajah Enggon dan segenap anak buah yang dipimpinnya, yang ketika mendekati sasaran tak lagi dilakukan dengan berjalan mengendap-endap, namun dilakukan dengan cara merayap. Dengan demikian, tak ada pohon yang bergoyang, yang kalaupun bergoyang tidak akan menumbuhkan kecurigaan karena semua pohon bergoyang diterpa maruta 166 yang sedang berembus dengan deras.
Di tempat itu Rangsang Kumuda terpaksa memendam rasa jengkel kepada anak buahnya yang dianggap melakukan kecerobohan. Akan tetapi, anak buahnya yang telah bersin saat baris pendhem yang menjadi penyebab keberadaan mereka kepergok menjadi salah seorang yang mati.
Jadi, tak ada gunanya mengumpat menyerapahinya. Namun, Rangsang Kumuda benar-benar tidak ingin kehilangan pengawasannya pada dua ruas jalan menuju kotaraja itu. Tiga orang dari anak buahnya yang tersisa masih ditugasi mengawasi ruas jalan ke Purawaktra meski bergeser jauh ke arah barat. Apabila Dyah Menur terlihat melintas, harus dilakukan penghadangan.
Rangsang Kumuda berkeinginan berteriak keras untuk membuang bebannya, namun tiba-tiba terdengar sebuah suara, suara sepele dan tak terlampau keras, hanya saja jenis suara sepele itu mampu mengundang kemarahannya.
"Bajingan bangsat. Siapa yang kentut itu?" teriak Rangsang Kumuda.
Salah seorang anak buahnya yang kentut tak menyangka, suara yang muncul dari belahan pantatnya itu bisa menimbulkan masalah. Justru karena itu dengan rapat ia menyembunyikan diri. Bila dituduh, ia masih punya jari untuk diarahkan kepada temannya yang lain yang juga sama-sama punya pantat.
"Siapa yang kentut itu?" kembali terdengar suara teriakan.
Para anak buah Rangsang Kumuda sangat mengenal tabiat
pimpinannya. Oleh alasan yang sebenarnya sepele Rangsang Kumuda bisa melakukan hal yang tak terduga, kali ini hanya sekadar kentut.
166 Maruta, Jawa Kuno, angin
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 287
Namun, kentut dengan suara keras itu memang meledak di saat yang tidak tepat, di tempat yang juga tidak tepat. Rangsang Kumuda merasa seperti diledek.
"Kaupernah mendengar siapa pemilik suara itu?" tanya Gajah Mada kepada Gajah Enggon dengan amat berbisik.
"Belum, Kakang," jawab Gajah Enggon.
"Agaknya orang itu pimpinannya. Ia begitu marah hanya karena masalah kentut," tambah Gajah Mada lagi.
"Ya. Tetapi, mungkin baunya busuk sekali," jawab Gajah Enggon.
Gajah Enggon nyaris tak bisa menyembunyikan rasa geli. Namun, pimpinan pasukan Bhayangkara itu sadar, suara sekecil apa pun yang ditimbulkannya bisa menjadi penyebab kegagalan penyerbuan.
Suara anjing terdengar menggonggong di kejauhan. Para anjing itu menyalak karena melihat rombongan berkuda yang kemudian merapat di Padas Payung. Suara anjing bukannya mereda, namun makin riuh berbalas di sana sini. Di langit bertabur bintang terdengar dua kali lengkingan yang berasal dari burung rajawali. Membaca keadaan itu, Rangsang Kumuda menjadi gelisah. Rangsang Kumuda yang memiliki banyak perbendaharan pengalaman itu merasa keadaan tidak wajar.
"Kita tinggalkan tempat ini, cepat," Rangsang Kumuda mendadak melepas perintah yang mengejutkan setelah sekali lagi dari langit terdengar suara melengking burung rajawali.
Rangsang Kumuda tahu, burung rajawali bukanlah jenis burung yang banyak bersuara. Apabila burung rajawali berteriak seperti itu, menjadi pertanda ia melihat sesuatu di bawah. Dan itu menjadi petunjuk cuma-cuma bagi Rangsang Kumuda. Tak perlu ragu lagi, perintah segera dijatuhkan. Akan tetapi, perintah itu juga menjadi pendorong bagi Gajah Enggon untuk segera memainkan perannya.
"Hujan!" teriak Gajah Enggon.
Rangsang Kumuda dan anak buahnya benar-benar terkejut ketika hujan anak panah terarah kepada mereka. Pasukan Bhayangkara dalam 288
Gajah Mada jumlah kecil itu bergegas menerjemahkan rencana yang telah disusun.
Batu titikan dengan segera dibenturkan untuk membuat nyala api. Anak panah sanderan berapi yang dilepas susul-menyusul sangat berguna menerangi sasaran, menjadikan anak buah Rangsang Kumuda kalang kabut berlarian ke arah kuda masing-masing.
"Cepat tinggalkan tempat ini," teriak Rangsang Kumuda.
Dengan gesit Rangsang Kumuda memberi contoh dengan
melenting ke atas kuda dan tepat sebagaimana perhitungan Gajah Enggon, rombongan orang-orang tak dikenal itu mengambil arah menuju selatan.
"Serang!" perintah Gajah Enggon.
Serangan secara langsung dengan secepat-cepatnya itu didasari kepentingan harus ada yang bisa ditangkap hidup-hidup dan dimintai keterangan. Untuk menjamin keberhasilannya, Gajah Enggon merasa harus berbuat langsung tidak hanya sekadar berteriak menyalurkan perintah. Dengan anak panah terarah, Gajah Enggon berlari dan menghamburkan serangan beruntun.
Rangsang Kumuda melihat kekacauan luar biasa yang dihadapi anak buahnya yang berusaha sekuat tenaga meloncat ke atas punggung kuda karena hujan warastra yang demikian deras susul- menyusul tiada henti.
Salah seorang dari mereka telah berhasil duduk di atas kuda, namun nasibnya sial karena sebatang anak panah, kali ini anak panah dengan ujung berapi menerjang punggungnya.
Ambruk orang itu dengan api yang dengan segera membakar
pakaiannya. Tak mampu menahan sakit oleh anak panah yang menancap di punggungnya dan sengatan api yang membakar punggungnya, korban berkelejotan menyita perhatian temannya. Perhatian yang terampas itu segera dimanfaatkan oleh Gajah Enggon untuk melepas serangan yang lebih tajam. Dua kali Gajah Enggon merentang busur, dua korban tak bisa menghindar untuk jatuh dan sekarat.
Bentuk pertempuran segera berubah dengan cepat karena Bhayangkara tidak mau membuang waktu dan jangan sampai orang-orang Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 289
tak dikenal itu melarikan diri. Pertarungan dengan saling melepas warastra itu dengan segera berubah ke bentuk mirip perang brubuh, pertarungan satu demi satu dengan jumlah yang tak berimbang. Dengan jumlah lebih banyak Bhayangkara lebih bisa memainkan keadaan.
Bagi Rangsang Kumuda, yang paling penting kali ini adalah bagaimana cara menyelamatkan diri. Anak buahnya menjadi korban dan tertangkap, semua bukan hal yang perlu dirisaukan. Bahkan andaikata mereka dihukum mati sekalipun, ia merasa tak keberatan. Akan tetapi, Rangsang Kumuda yang berniat melarikan diri menyusul anak buahnya ke selatan menyempatkan melompat turun dan memungut dua butir batu sekepalan tangan. Dengan sekuat tenaga batu sekepalan itu diayunkan ke sasaran, ke arah salah seorang penyerbu yang agaknya pemimpinnya.
Orang yang berada dalam sasaran bidiknya adalah Gajah Enggon.
Mungkin Rangsang Kumuda memang memiliki kemampuan bidik luar biasa, atau barangkali ia sedang mujur. Batu besar itu mengayun sangat deras tanpa Gajah Enggon menyadari. Malang Gajah Enggon, batu sekepalan tangan itu menghantam kepala. Gajah Enggon terhenyak, namun masih berusaha berdiri tegak. Namun, waktu yang diperlukan Gajah Enggon hanya sejenak untuk kehilangan kesadaran.
Gajah Enggon ambruk di depan Gajah Mada.
"Tangkap semua yang tertinggal," Gajah Mada mengambil alih kendali.
Separuh dari orang-orang tak dikenal itu terjebak dalam
pertempuran yang tidak bisa dihindari. Separuh yang lain dengan begitu tergesa seolah tidak memiliki banyak waktu berusaha menyelamatkan diri.
Gajah Mada segera memeriksa Gajah Enggon yang tidak sadarkan diri. Bagai mayat membeku, Gajah Enggon terkulai. Gajah Mada menggoyang kepalanya untuk merangsang supaya Gajah Enggon segera sadar, namun yang terjadi malah benjolan sebesar telur muncul di kepalanya.
290 Gajah Mada "Rawat Gajah Enggon. Salah seorang membawa kembali ke istana.
Cepat!" Gajah Mada memberikan perintah.
Cekatan seorang Bhayangkara menerjemahkan perintah itu. Salah seorang dari para Bhayangkara menangkap salah satu kuda yang menjadi liar tanpa terkendali. Tubuh Gajah Enggon diangkat ke atas kuda. Sejenak kemudian kuda yang membawa Gajah Enggon dan seorang Bhayangkara berderap menuju ke kotaraja.
"Hentikan pertempuran," tiba-tiba Gajah Mada berteriak dengan amat keras. "Aku, Patih Daha Gajah Mada memerintahkan untuk menghentikan pertempuran."
Demikian besar perbawa yang dimiliki Gajah Mada, pertempuran sengit itu berhenti dengan masing-masing berloncatan mengambil jarak dan tetap berada dalam kesiagaan tertinggi.
"Aku menawarkan kepada kalian untuk menyerah. Kalau tawaran ini kalian tolak, aku akan menjamin kalian semua akan mati. Bagaimana?"
lantang suara Gajah Mada menyebabkan ciut nyali anak buah Rangsang Kumuda.
Anak buah Rangsang Kumuda saling pandang antara mereka sendiri.
Tak disangka oleh Gajah Mada, tak disangka pula oleh para Bhayangkara yang lain, orang-orang itu tiba-tiba meletakkan senjata. Tak ada perlawanan lagi.
"Aku menyerah," berkata salah seorang dari mereka.
"Aku juga," "Untuk apa aku mengabdi kepada Rangsang Kumuda, aku juga menyerah."
Tidak seorang pun dari sisa-sisa anak buah Rangsang Kumuda yang mencoba mempertahankan harga diri. Semua meletakkan senjata dengan tanpa beban. Mantan Bekel Gajah Mada melihat, orang-orang itu bahkan merasa senang diberi kesempatan menyerah.
"Tiga orang menjaga mereka, kita lanjutkan rencana yang telah disusun Gajah Enggon," Gajah Mada kembali memberi perintah.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 291
Cukat trengginas pasukan khusus Bhayangkara yang tak berkurang jumlahnya kecuali naas yang menimpa Gajah Enggon, melaksanakan perintah yang dijatuhkan Patih Daha Gajah Mada. Sebagaimana siasat yang sudah dibuat, diperkirakan orang-orang yang menyelamatkan diri itu akan melarikan diri melintas jembatan gantung ke arah hutan Puringan. Dengan memintas jalan, Gajah Mada dan para Bhayangkara akan tiba lebih dulu di jembatan gantung itu.
Rangsang Kumuda dengan lima orang anak buahnya yang tersisa berpacu tak ubahnya orang yang ketakutan dikejar harimau. Akan tetapi, betapa terperanjat orang-orang yang berniat mencegat Dyah Menur itu ketika mendapati jalan yang melintas ke Padas Payung terhalang oleh kayu yang melintang. Rangsang Kumuda dengan segera merasa curiga, isyarat tangan kanannya yang diangkat tinggi menjadi pertanda bagi anak buahnya untuk berhenti.
"Tadi kita lewat sini, bukan?" tanya Rangsang Kumuda.
"Ya," Bramantya yang menjawab.
"Tadi belum ada pohon ambruk, bukan?"
Bramantya tidak menjawab, namun hujan anak panah yang
menjawab. Anak panah sanderan dengan suara amat melengking melintas amat dekat, hanya sejengkal di sebelah telinganya, menyebabkan Rangsang Kumuda merasa jantungnya hampir terlepas dari ikatan otot-ototnya. Apalagi, sejenak kemudian anak panah berhamburan ke arah mereka.
"Balik arah," Rangsang Kumuda menjatuhkan perintah.
Rangsang Kumuda benar-benar kaget sekaligus merasa penasaran.
Rangsang Kumuda tidak bisa memahami bagaimana orang-orang Bhayangkara bisa memergoki apa yang ia lakukan.
"Hanya Bhayangkara yang bisa melakukan itu," gumam Rangsang Kumuda.
Dengan memacu kudanya makin cepat dengan cara merangsang melalui ujung tali kendali yang dilecutkan ke arah kaki kuda, Rangsang 292
Gajah Mada Kumuda yang berada paling depan memimpin perjalanan melarikan diri dengan membelok ke jalan kecil menuju Puringan. Di belakangnya, teriakan-teriakan yang diobral oleh Gagak Bongol dan anak buahnya menjadi petunjuk yang jelas bagi Rangsang Kumuda bahwa ia dan anak buahnya sedang dikejar beramai-ramai.
Setelah dua kali melewati jalan membelok, Rangsang Kumuda kini dihadang oleh sebuah jembatan gantung, yang tak mungkin dilintasi bersama-sama. Jembatan gantung yang diikat dengan tali temali itu hanya bisa dilewati kuda satu per satu. Namun, untuk yang ke sekian kalinya betapa terkejut Rangsang Kumuda oleh kenyataan yang benar-benar tak terduga. Anak panah sanderan membawa api melesat membubung tinggi, menjadi peringatan baginya dan anak buahnya.
"Aku, Patih Daha Gajah Mada," terdengar sebuah teriakan. "Aku minta kepada kalian semua untuk menyerah. Letakkan senjata, kalian semua bakal selamat, atau kalian boleh mempertahankan keyakinan kalian dan kami menjamin anak panah kami yang tak terkira jumlahnya akan mengantar kalian ke pintu gerbang kematian."
Nama Gajah Mada merupakan jaminan bahwa apa yang diucapkan bukan hal yang main-main, menyebabkan Rangsang Kumuda cemas.
Para anak buahnya yang merasa terjebak dari segala penjuru itu bingung.
Mereka tidak tahu harus melakukan apa. Kemungkinan yang tersisa hanyalah menunggu bagaimana sikap pimpinannya. Apabila Rangsang Kumuda memerintahkan menyerah, mereka siap akan menyerah.
Sebaliknya, apabila Rangsang Kumuda memerintahkan untuk melawan, mereka ragu apakah akan melakukannya.
Apa yang kemudian terjadi dan mengagetkan mereka adalah
tindakan yang dilakukan Rangsang Kumuda yang dengan tiba-tiba meloncat dari kudanya kemudian ambyur ke sungai.
Perbuatan Rangsang Kumuda itu luput dari perhatian Gajah Mada dan anak buahnya karena terhalang oleh semak dan perdu. Akan tetapi, perbuatan itu pula yang mendorong anak buah Rangsang Kumuda mengambil keputusan.
"Aku menyerah," salah seorang berteriak.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 293
"Aku juga," tambah yang lain.
Seorang Bhayangkara segera melepas anak panah sanderan berapi yang jatuh di antara orang-orang tidak dikenal itu, yang dengan demikian menerangi sikap yang mereka ambil, apakah mereka benar-benar berniat menyerah atau tidak.
Gajah Mada memerhatikan wajah-wajah tak dikenal yang berada di depannya satu per satu. Tidak seorang pun pemilik wajah itu yang berani membalas. Semua menundukkan kepala. Wajah-wajah sangar dan galak itu amat berbalikan ketika kini berada di depan Gajah Mada. Tidak seorang pun dari mereka yang berani memelintir kumis, apalagi bertolak pinggang atau membentak-bentak dengan suara keras. Padahal di hadapan orang yang lebih lemah, mereka amat galak melebihi anjing yang paling galak.
"Siapa pemimpinnya?" bertanya Gajah Mada dengan suara tenang.
Orang-orang itu saling pandang.
"Siapa yang menjadi pimpinan dan harus aku tanyai?" ulang Gajah Mada.
Akhirnya, semua menoleh pada Bramantya.
"Pimpinan kami bernama Rangsang Kumuda. Ia ambyur ke sungai."
Jawaban itu mengagetkan Gajah Mada dan dengan segera
memerhatikan air yang demikian deras di sungai.
"Benar begitu" Ada yang melarikan diri dengan ambyur ke sungai?"
Patih Daha Gajah Mada mengalihkan pertanyaannya kepada yang lain.
"Benar, Ki Patih," jawab dua orang secara bersamaan.
Gajah Mada mengedarkan pandangan matanya.
"Jayabaya, kemarilah."
Bhayangkara Jayabaya yang tak banyak bicara kaget saat namanya dipanggil. Dengan bergegas Jayabaya mendekat.
"Ikat mereka semua dan bawa ke istana, lalu sesegera mungkin kamu lakukan pemeriksaan, apa sebenarnya yang mereka lakukan, siapa 294
Gajah Mada pemimpinnya dan apa latar belakangnya. Apabila menurutmu masuk akal dan mungkin, kejar pimpinannya yang ambyur ke sungai itu. Hasilnya sesegera mungkin kaulaporkan. Aku mendahului kembali ke istana. Aku mencemaskan keadaan Gajah Enggon."
Sigap Jayabaya menjawab, "Baik, Kakang Gajah, aku kerjakan."
Patih Daha Gajah Mada memang layak mencemaskan keadaan
Gajah Enggon. Batu sekepalan tangan menghajar keningnya. Kejadian itu mungkin membahayakan nyawanya. Hanya sejenak setelah itu suara kuda yang berderap demikian kencang menggema dan memantul-mantul ke segala penjuru.
23 Gajah Mada bergegas naik ke pendapa Balai Prajurit dan menuju kerumunan para prajurit yang mengelilingi Gajah Enggon. Senopati pimpinan pasukan khusus Bhayangkara itu masih terbaring tanpa daya.
Hantaman batu itu benar-benar mampu merampas kesadarannya. Waktu telah bergeser cukup lama, tetapi Gajah Enggon belum juga sadar dari pingsannya. Kematian memang bisa menimpa siapa saja dan melalui kejadian apa saja, tetapi Gajah Mada layak merasa cemas apabila Gajah Enggon tak bisa diselamatkan. Baginya, Gajah Enggon tak sekadar seorang sahabat.
"Bagaimana keadaannya?" bertanya Gajah Mada.
Pertanyaan itu ditujukan kepada Nyai Lengger, seorang tabib perempuan yang memiliki kemampuan nyaris menyamai Ra Tanca.
Perempuan yang diyakini kelak akan melayani banyak orang setelah pesaingnya mati itu bergegas dipanggil untuk menolong Gajah Enggon.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 295
Berbagai daya dan upaya telah dilakukan, namun Gajah Enggon tetap diam, bergolek terkulai tanpa daya.
Nyai Lengger bangkit dan menempatkan berdiri di depan Gajah Mada. Suara Nyai Lengger terdengar lembut dan amat santun.
"Aku sudah berusaha sekuat tenaga, Ki Patih," jawabnya. "Namun, masih saja Senopati Enggon seperti ini. Tak ada luka yang luar biasa pada tubuhnya. Tetapi oleh karena batu itu mengenai kepala, padahal kepala berisi otak, aku tidak tahu apakah Ki Gajah Enggon akan bisa pulih keadaannya."
Gajah Mada mengedarkan pandangan matanya ke kerumunan
prajurit yang tak bisa menahan rasa ingin tahu.
"Kalian semua bubar," Gajah Mada memberi perintah kepada mereka.
Para prajurit yang menggerombol itu membubarkan diri, hanya menyisakan seorang yang masih tetap berdiri dengan tanpa berkedip memandangi Gajah Enggon yang membeku.
"Gajah Geneng?" Gajah Mada berdesis.
Gajah Mada nyaris tidak mengenali wajah Gajah Geneng yang telah berubah. Sebagai prajurit telik sandi Bhayangkara, Gajah Geneng memang mampu mengubah wajah dan penampilan seenaknya. Dalam melaksanakan tugasnya menjadi mata-mata, Gajah Geneng bahkan bisa mengubah diri dalam wujud pengemis, pemilik suara yang memelas dalam meminta-minta.
"Apa yang terjadi pada Kakang Gajah Pradamba?" tanya Gajah Geneng.
"Ada orang mencurigakan yang melakukan pencegatan terhadap orang-orang yang lewat di barat Purawaktra dan di Randu Pitu. Gajah Enggon terkena lemparan batu di bagian kening yang dilakukan oleh pimpinan orang-orang itu," Patih Daha Gajah Mada menjawab.
Wajah Gajah Geneng terlihat cemas. Ia layak cemas karena masih memiliki kenangan buruk yang amat mirip dengan apa yang kini dialami 296
Gajah Mada Gajah Enggon. Salah seorang tetangga di kampung halamannya mengalami naas terkena lemparan batu di keningnya. Tetangga yang bernama Gandrang itu muntah berkali-kali dan kemudian pingsan.
Beberapa hari kemudian bahkan mati.
Gajah Geneng mendekat dan memberikan bisikan ke telinga Gajah Enggon, "Bangunlah, Kakang Gajah Enggon. Senopati pimpinan pasukan Bhayangkara tidak boleh seperti ini."
Akan tetapi, bisikan itu tak berjawab. Gajah Enggon tetap membeku, matanya tetap terpejam. Tak hanya Gajah Geneng yang cemas, Gajah Mada melebihi kecemasannya.
Gajah Mada berniat mengajukan beberapa pertanyaan kepada Gajah Geneng, tetapi derap kuda yang masuk ke halaman Balai Prajurit lebih menyita perhatian. Bhayangkara Gagak Bongol dan Bhayangkara Jayabaya meloncat turun bersusulan. Namun, masih ada lagi orang yang memacu kudanya sangat kencang dan berbelok masuk ke halaman Balai Prajurit. Bhayangkara Macan Liwung datang pula menyusul setelah seharian tak kelihatan batang hidungnya.
Perjodohan Busur Kumala 25 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Harpa Iblis Jari Sakti 28

Cari Blog Ini