Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 8
Kakang Cakradara juga menyembunyikan wajah lain, wajah yang melekat sekarang ternyata hanya topeng."
Mengombak tegang Dyah Wiyat.
352 Gajah Mada "Suamimu juga menempatkanmu sebagai istri kedua?" tanya Dyah Wiyat.
Sekar Kedaton istana kanan menggeleng.
"Tidak," jawab Sri Gitarja. "Namun, aku tidak yakin Kakang Raden Cakradara benar-benar mencintaiku."
Dyah Wiyat amat penasaran. Bibirnya agak bergetar ketika balas bertanya.
"Kenapa?" "Raden Cakradara mengawiniku bukan karena aku, singgasanalah yang justru menarik perhatiannya."
"Singgasana?" Dyah Wiyat mengulang.
"Ya. Singgasana."
"Bagaimana bisa?" adiknya mengejar.
"Sebagaimana kamu yang mencuri dengar pembicaraan suamimu, aku juga melakukan hal itu. Semalam ketika suamiku meninggalkan aku, aku mengikutinya. Ia menemui pekatik kuda yang ternyata pamannya.
Bayangkanlah, Dyah Wiyat, untuk alasan apa paman kandung suamiku menyamar menjadi pekatik kuda segala, padahal ia seorang bangsawan dari Singasari. Pembunuhan yang terjadi beruntun bersamaan dengan hari mangkatnya Sang Prabu, ternyata paman suamiku yang mendalangi."
Terbelalak mata Dyah Wiyat.
"Tujuannya?" "Untuk menjamin Raden Cakradara menjadi raja melalui mengawini diriku, semua pesaing dan ancaman terhadap itu disingkirkan. Korban adalah orang-orang yang berhubungan dengan suamimu. Terakhir suamimu dilempar pisau. Di belakang semua itu dalangnya paman suamiku. Pakering Suramurda namanya."
Dyah Wiyat terbungkam mulutnya.
"Begitu." Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 353
"Itu sebabnya, aku telah bulat pada sebuah keputusan, yang aku harap Adi tak menolak," lanjut Sri Gitarja.
"Keputusan apa?"
"Kau saja yang menjadi ratu."
Amat hening, bahkan udara pun berhenti mengalir. Dyah Wiyat yang terkejut berlanjut ke membeku. Perlahan Dyah Wiyat membuka tangannya untuk memberikan pelukan pada kakaknya. Sri Gitarja membalas pelukan itu dengan amat ikhlas seperti adiknya yang juga amat ikhlas. Pandangan mata Dyah Wiyat terbaca betapa ia sulit percaya pada apa yang diucapkan kakaknya.
"Aku ikut prihatin dengan apa yang menimpa Kangmbok."
"Aku juga prihatin dengan apa yang menimpamu. Tentu menyakitkan sekali mengetahui suamimu ternyata sudah beristri. Kau sudah tidur berdua dengannya?"
Pertanyaan yang membelok tajam itu menyebabkan Dyah Wiyat bingung.
"Belum," jawabnya. "Kangmbok bagaimana?"
Sri Gitarja tidak menjawab, wajahnya tersipu.
"Sudah?" adiknya mengejar.
Tetap saja Sri Gitarja tidak mau menjawab. Pendapat yang diberikan justru mengagetkan.
"Kalau kau mau, kau bisa membatalkan perkawinanmu!"
Dyah Wiyat yang menunduk itu perlahan menengadah memerhatikan wajah kakaknya. Untuk beberapa jenak Dyah Wiyat mengunyah pendapat itu. Akan tetapi, Dyah Wiyat menggeleng.
"Tidak," jawab Dyah Wiyat. "Aku tak mungkin melakukan itu. Aku panutan bagi segenap kawula Majapahit. Aku tak mungkin memberi contoh yang aneh. Boleh jadi apa yang aku alami kali ini memang sudah menjadi takdirku. Tak perlu ada yang disesali karena perkawinan itu 354
Gajah Mada telah menjadi kehendak Ibu Ratu. Lagi pula, apa kata orang mendengar hari ini aku kawin esoknya berpisah?"
Miris Sri Gitarja mendapat jawaban itu. Dari awal Dyah Wiyat memang telah mengisyaratkan penolakannya, tetapi kerabat keluarga seperti menyudutkannya tanpa memberi kesempatan untuk menolak.
Manakala sekarang telah terbukti Raden Kudamerta ternyata menyembunyikan hidung belang, semua itu bukan kesalahannya. Semua orang dulu memojokkannya, kini semua orang akan melihat pilihan sempurna yang mereka sodorkan itu ternyata bukan emas mengilat, tetapi loyang yang muram. Merekalah yang bersalah.
"Soal ular yang akan mematukmu?" Sri Gitarja membelokkan persoalan.
"Ular itu lambang adanya pihak yang berperilaku seperti ular," jawab Dyah Wiyat.
Sri Gitarja menempatkan diri menunggu Dyah Wiyat melanjutkan.
"Seorang laki-laki tampan berkuda, aneh karena lelaki tampan itu membawa bayi, berarti lelaki tampan itu seorang perempuan yang sedang menyamar. Orang itu mengirimku sekeranjang buah mangga yang ternyata menyembunyikan ular. Siapa pun orang itu jelas sedang menghendaki kematianku. Ketika keranjang dibuka, tiga ekor ular beracun siap mematukku, seekor di antaranya bahkan jenis bandotan yang bisa melenting. Untung aku sempat menghindar."
Raut muka Sri Gitarja terlihat cemas.
"Siapa pelakunya?"
"Seorang perempuan yang pasti amat membenciku. Orang yang punya alasan untuk melakukan itu."
"Siapa?" Sri Gitarja mengejar.
"Nama perempuan itu Dyah Menur. Istri Kakang Kudamerta.
Hanya orang itu yang memiliki alasan kumaksud. Aku mengetahui nama itu dengan mencuri dengar pembicaraan antara Kakang Gajah Mada dengan suamiku."
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 355
Hening merayap menemani Sri Gitarja dan adiknya yang saling berbagi rasa kecewa. Sri Gitarja amat kecewa pada suaminya yang menyimpan rencana amat jahat, sebaliknya Dyah Wiyat sangat kecewa pada suaminya yang tidak jujur. Akan tetapi, bagaimana harus menuntut kejujuran suaminya bila Dyah Wiyat sendiri menyimpan rahasia asmaranya dengan Rakrian Tanca.
"Menghadapi persoalan Kakang Raden Cakradara, sikap Kangmbok Sri Gitarja bagaimana?" tanya Dyah Wiyat.
"Aku tak tahu, masalahnya aku mencintai Kakang Raden Cakradara.
Aku akan berusaha menerima keadaan apa adanya. Sejauh yang aku dengar, aku masih punya penilaian yang baik atas suamiku. Rencana menjarah singgasana itu lebih dilakukan pamannya daripada Kakang Raden Cakradara. Namun karena suamiku mengetahui rencana itu, tetapi tak melakukan pencegahan, suamiku bisa dianggap terlibat. Itulah sebabnya, aku benar-benar yakin, kamu lebih pantas menjadi ratu daripada aku. Aku sampaikan ini dengan ikhlas. Kamu harus menerimanya, Dyah Wiyat. Hanya kamu yang bisa menyelamatkan takhta dari penjarahan."
Dyah Wiyat memandang kakaknya dengan tatapan mata terharu.
Dyah Wiyat bahkan tak mampu mencegah matanya untuk berkaca-kaca.
Air mata itu bahkan runtuh bergulir di pipinya. Gitarja tak membiarkan adiknya larut, segera dipeluknya Dyah Wiyat yang membalas dengan lebih erat.
"Bukan aku yang menentukan, Kangmbok," kata Dyah Wiyat.
"Apabila para Ibu Ratu menunjuk aku sebagai pengganti Kakang Sri Jayanegara, akan kulaksanakan tugas itu dengan sepenuh hati. Soal para suami kita, suamimu dan suamiku, tak perlu menunggu waktu."
"Untuk kita sampaikan kepada para Ibu Ratu?"
"Ya," jawab Dyah Wiyat tegas.
Rajadewi Maharajasa yang duduk di pembaringan menyempatkan mengelus-elus tangan Gajah Enggon.
"Ayolah, Kakang Gajah Enggon, bangunlah. Bila Kakang Gajah Enggon pulih dan sadar, aku akan menjadikan Kakang Gajah Enggon sebagai suamiku."
356 Gajah Mada Terbelalak Sri Gitarja melihat dan mendengar apa yang diucapkan adiknya. Ucapan itu terlalu sembrono. Dayang Sumbi termakan kata-katanya sendiri melalui ucapan yang sangat sembrono macam itu. Dayang Sumbi menantang siapa pun yang mau mengambilkan gulungan benang yang jatuh akan dijadikan suaminya. Tak disangka, anjingnya yang mengambil gulungan benang itu.
Namun, Dyah Wiyat tersenyum. Dyah Wiyat sadar tengah bercanda.
"Menurutku, lebih baik aku bersuamikan Kakang Enggon daripada keadaanku sekarang," ucap Dyah Wiyat.
"Jangan sembrono, Wiyat. Kamu nanti akan termakan ucapanmu.
Jika Gajah Enggon menagih janjimu, bagaimana?"
Dyah Wiyat tertawa. 30 Majapahit menggeliat. Nyaris semua penduduk kotaraja
memenuhi panggilan yang dilepas melalui suara kentongan dengan isyarat khusus, juga isyarat anak panah sanderan yang beberapa kali dilepas melesat menerobos langit. Tua, muda, laki-laki, dan perempuan terpanggil menjadikan makam Antawulan tumplek blek berjejal-jejal seperti tidak memberi ruang yang cukup. Para perempuan sibuk di dapur darurat yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan makan. Istana bahkan tidak mengeluarkan bahan makanan apa pun yang dibutuhkan.
Gula, beras, daging, sayuran, dan buah-buahan berasal dari sumbangan.
Tidak ada yang memberi perintah, masing-masing menggagas atas apa yang mesti dibawa. Di antara para perempuan ada yang membawa Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 357
mangga, mentimun, dan nangka, dan mereka yang bahu-membahu membangun candi tak perlu khawatir atas isi perutnya. Yang menyebabkan heboh dan riuh rendah adalah ketika sebuah pedati penuh buah maja datang. Buah maja itu sumbangan dari seorang penduduk pemilik pekarangan yang penuh tanaman maja. Apalagi buah maja yang besarnya sekelapa itu matang semua.
Semangat bekerja itu makin makantar-kantar ketika Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri berkenan menengok. Cinta dan hormat segenap kawula kepada Ratu terbaca dari sikap mereka yang serentak bersimpuh di tempat masing-masing ketika Biksuni Gayatri turun dari tandu.
"Tidak perlu bersimpuh," kata Ratu Gayatri. "Aku izinkan kalian berdiri. Ayo berdiri semua. Kalian sedang berada di makam Antawulan, tidak sedang menghadap di istana. Silakan bekerja dengan hati senang."
Kehadiran Ratu Gayatri yang mendapatkan pengawalan cukup kuat memberi dorongan semangat kepada semua orang yang bekerja. Gagak Bongol bekerja keras. Gajah Mada merasa riang melihat Gagak Bongol mengendalikan pembangunan candi itu sambil membawa anak
angkatnya. Entah pendekatan macam apa yang dilakukan Gagak Bongol sehingga bocah lasak bernama Sang Prajaka itu berhasil ditundukkan.
Ikut memberikan sumbangan tenaganya, Raden Cakradara terlihat pula. Pun demikian dengan Raden Kudamerta yang sebenarnya belum layak melakukan apa pun karena luka di dadanya. Akan tetapi, Raden Kudamerta benar-benar tak ingin berpangku tangan. Ia melakukan sebatas yang mampu dilakukan. Di sudut lain Raden Cakradara tak segan-segan membantu mengangkat batu yang nantinya akan dipotong-potong sesuai kebutuhan. Patih Daha Gajah Mada tahu, baik Raden Cakradara maupun Raden Kudamerta tak bisa bekerja dengan tenang. Kehadiran Patih Daha mengamati pembuatan candi menyebabkan dua bangsawan dari Singasari dan Pamotan itu tidak nyaman.
Raden Cakradara memang layak gelisah. Ulah Pakering Suramurda berimbas pada dirinya. Hal itu membuatnya tidak tenteram. Sementara Raden Kudamerta merasa bagai menunggu waktu untuk dihukum mati.
Cepat ataupun lambat Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri pasti memanggil 358
Gajah Mada untuk meminta pertanggungjawaban perbuatannya yang telah melakukan penipuan yang terbukti telah memiliki istri ketika mengawini Sekar Kedaton Dyah Wiyat.
Biasanya hubungan antara Raden Cakradara dan Raden Kudamerta berjalan akrab. Akan tetapi, rangkaian peristiwa yang terjadi menyebabkan mereka mengambil jarak dan bahkan tidak saling bertegur sapa.
Melibatkan diri membantu mengusung bata merah, Raden Kudamerta terlihat tak banyak bicara. Pun demikian dengan Raden Cakradara yang ikut sibuk memecah batu telah berubah menjadi patung batu.
Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri tidak terlalu lama datang dan menyaksikan pendarmaan anak tirinya di Antawulan. Serentak semua memberikan penghormatan ketika Ratu Rajapatni memutuskan meninggalkan tempat itu dipikul menggunakan tandu dan dikawal oleh sekitar sepuluh orang prajurit bersenjata lengkap, tak hanya pedang yang menggantung di pinggang, tetapi juga satu endong penuh anak panah di punggung.
Bahwa Sri Jayanegara memang telah mangkat, itu bukan berarti jarum waktu juga ikut berhenti. Manakala para kawula memusatkan perhatian ke tanah makam Antawulan, bukanlah berarti kegiatan keprajuritan berhenti. Matahari mengaduk udara menjadi makin panas dan memanjat makin tinggi ketika segenap prajurit yang menempati bangsal masing-masing keluar menuju alun-alun. Setiap hari jatuh di Soma Manis adalah waktu untuk melakukan geladi lengkap yang dilakukan seluruh kesatuan yang ada tanpa kecuali.
Tiada hari tanpa geladi, kemampuan berperang harus dilatih terus-menerus dan berkesinambungan. Tanpa ada latihan akan mengurangi kemampuan bertempur dan melemahkan kekuatan dan kewaspadaan.
Berdasar cara berpikir seperti itulah Patih Daha Gajah Mada memberi saran pada senopati agung yang dijabat oleh Jayanegara untuk dilakukan geladi perang secara berkesinambungan secara terus-menerus, dalam waktu yang rapat. Geladi masing-masing bregada dilakukan sepekan sekali, sementara latihan gabungan yang melibatkan semua kesatuan dilakukan sebulan sekali.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 359
Untuk sementara sebagaimana diputuskan oleh Sri Jayanegara, tidak ada lagi pangkat temenggung. Untuk memimpin masing-masing bregada dikendalikan oleh prajurit berpangkat senopati.
Berbeda dengan kesatuan lain yang memiliki jumlah prajurit demikian banyak, sebaliknya pasukan khusus Bhayangkara yang juga dipimpin oleh prajurit berpangkat senopati jumlahnya tidak banyak.
Gajah Mada yang merancang dan melatih pasukan khusus itu bahkan tidak sependapat bila jumlahnya lebih dari seratus orang. Ketika melakukan penyelamatan Sri Jayanegara hingga ke Bedander, kekuatan pasukan itu bahkan tak lebih dari dua puluh orang.
Meski jumlahnya kecil dan ramping, secara pribadi orang-orang yang terpilih menjadi bagian pasukan Bhayangkara memiliki keterampilan luar biasa, kemampuan menghadapi tekanan yang bahkan tak lumrah manusia. Dipimpin oleh Senopati Gajah Enggon didampingi Gagak Bongol, pasukan khusus Bhayangkara memiliki kemampuan yang nggegirisi.169 Untuk mengasah kemampuan bidik, setiap hari selalu diselenggarakan latihan mengayun pisau dan melepas bidikan anak panah.
Teriakan-teriakan dalam geladi yang dilakukan di alun-alun depan istana, suara derap kuda dan bende yang ditabuh berderap ditambah sangkakala yang melengking terdengar jelas sampai ke Antawulan. Akan tetapi, geladi perang yang demikian telah menjadi santapan sehari-hari.
Latihan perang tidaklah berarti negara berada dalam bahaya. Latihan perang itu bahkan untuk menjamin keutuhan negara. Karena bukan merupakan peristiwa yang luar biasa geladi perang itu tak lagi menjadi tontonan. Bila ada yang begitu lahap memerhatikan geladi perang itu tentulah orang yang berasal dari luar kotaraja.
Semua orang bekerja dengan giat dan penuh semangat, keringat diperas dari tubuh dan jiwa yang sehat, bahu-membahu. Para perempuan bekerja dengan perasaan riang gembira. Bagi para gadis, inilah juga saat yang tepat untuk bertemu dengan pria yang diidamkan. Dari para ibu dan gadis-gadis tak jarang terdengar suara tawa riang, demikian juga 169 Nggegirisi, Jawa, luar biasa
360 Gajah Mada dengan para lelaki sering terdengar suara tawa yang meledak. Seorang dari mereka rupanya pintar melucu dan memiliki pengalaman yang menggelikan. Itu sebabnya, yang mendengarkan tertawa terpingkal-pingkal. Saat sebagian besar orang bekerja dengan riang dan bersungguh-sungguh, ada pula yang bekerja tanpa bicara. Bukan pekerjaan yang sulit untuk membangun sebuah candi, yang agak rumit justru pembuatan arca yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan keahlian khusus. Orang yang berkemampuan demikian disebut empu.
Semua riang, semua gembira. Namun, salah seorang perempuan yang ikut terlibat dalam kegiatan menyediakan makan untuk mereka yang sedang bekerja, perempuan pemilik wajah cantik itu tak banyak bicara. Setiap kesempatan yang dimiliki digunakan untuk mencuri perhatian pada seorang lelaki yang ikut menyumbangkan tenaga sekadarnya dan tak bisa bekerja keras karena luka di dadanya. Orang yang menjadi perhatiannya adalah Raden Kudamerta, bangsawan tampan bertubuh gagah yang kini tak bisa lagi digapai. Perempuan itu bahkan merasa, untuk mengangankan pun tak lagi berhak.
Berantakan hati perempuan itu oleh kerinduan, oleh rasa ingin menggapai tak bisa tercapai. Ia suami yang juga menjadi suami orang lain. Orang lain itu bukanlah orang sembarangan karena ia adalah Sekar Kedaton Majapahit yang punya peluang amat besar menjadi ratu.
Sayang sekali Raden Kudamerta tidak membalikkan badan.
Andaikata itu ia lakukan maka ia akan menemukan wajah yang juga membuat hatinya gelisah. Dalam dua hari terakhir, cemas dan gelisah itu menyesaki dadanya. Apalagi manakala ia tak berhasil menemukan jejak perempuan itu. Rumah yang ditinggalinya kosong, tak ada jejak apa pun yang bisa digunakan untuk melacak ke mana perginya. Ke mana sang istri pergi, atau sedang melakukan apa, juga bagaimana dengan anaknya, pertanyaan-pertanyaan macam itu sungguh amat mengganggu.
Gajah Mada yang mengedarkan pandangan mata terkejut saat sebuah tepukan menyentuh pundaknya. Gajah Mada berbalik.
"Kamu?" Di belakangnya Pradhabasu tersenyum. Pradhabasu tidak sendiri, di sebelah kirinya berdiri Bhayangkara Kendit Galih dan sebelah Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 361
kanannya berdiri Bhayangkara Riung Samudra. Demikian sempurna penyamaran ketiga orang itu sampai Gajah Mada nyaris tidak mengenalinya. Apalagi dalam penyamarannya, Pradhabasu berjalan dengan terpincang seolah kakinya panjang sebelah atau pendek sebelah.
Gajah Mada nyaris tak bisa menahan geli melihat wajah Pradhabasu dihiasi borok menjijikkan. Itu bukan borok yang sebenarnya. Bila dikelupas, di balik borok itu ada wajah bersih.
Meski Pradhabasu telah berhadapan dengan Gajah Mada, perhatian bekas prajurit Bhayangkara itu tertuju ke arah lain. Di arah yang menjadi perhatiannya, seorang bocah sedang sibuk dengan diri sendiri. Hanya dua hari Pradhabasu berpisah dari bocah itu, namun rasanya waktu berlalu setahun lamanya. Rasa kangen membelit hatinya.
"Gagak Bongol berhasil mengendalikannya," kata Gajah Mada.
Pradhabasu mengangguk. "Bagaimana rasanya berpisah dari Sang Prajaka dalam dua hari ini?"
tanya Gajah Mada. Pradhabasu tersenyum lebar, "Seperti setahun lamanya."
Menyadari ada hal penting yang akan dilaporkan, Gajah Mada membawa tiga orang itu keluar dari dinding pagar makam Antawulan.
Tak hanya dalam lingkungan pagar yang tercium bau wangi bunga semboja, yang sebenarnya bergantung kepada ke mana arah angin bergerak, juga karena di luar dinding pagar pun pohon semboja itu ditanam. Bau wangi itu terasa enak di hidung, namun bau wangi yang demikian akan menyebabkan orang ketakutan bila angin membawanya datang berkunjung di malam hari. Sewangi apa pun bau itu amat khas kuburan.
Duduk di bawah pohon semboja tua masing-masing bersandar pagar dinding, Gajah Mada siap menerima apa yang dilaporkan Pradhabasu kepadanya. Merayap pada dahan semboja, seekor garengpung menggetarkan sayapnya. Kalau saja garengpung itu bisa berbahasa manusia tentu ia akan ikut menyimak pembicaraan yang terjadi. Patih Daha tentu keberatan bila ada yang mendengar pembicaraan 362
Gajah Mada itu, hanya sayang Gajah Mada sama sekali tidak menyadari, tepat di belakangnya, di balik dinding yang sama beradu punggung pula, seseorang tanpa sengaja ikut menyimak. Singajaya orang itu, ia hanya seorang penduduk biasa dan sedang memberikan sumbangan tenaganya.
Keringat terperas dari tubuhnya dan karenanya ia memerlukan beristirahat barang sejenak bersandar dinding.
Pembicaraan yang disimaknya yang menyebabkan wajah seseorang menyelinap terbayang. Ia seorang Dharmaputra Winehsuka bernama Rakrian Kembar, pemilik mimpi dan cita-cita yang sangat muluk.
"Berhasil kautemukan perempuan itu, Pradhabasu?" tanya Gajah Mada.
"Rupanya Kakang Gajah memandangnya sebagai simpul yang amat penting," jawab Pradhabasu.
"Tentu," jawab Gajah Mada. "Karena pagi ini ia berencana membunuh Sekar Kedaton kiri. Untung tidak berhasil. Perempuan itu merupakan mata rantai simpul tak terpisahkan dari kejadian yang lain. "
Pradhabasu terbelalak. Pradhabasu punya alasan untuk tidak sependapat.
"Dyah Menur, melakukan apa?"
"Ia menyamar sebagai seorang laki-laki. Ia datang ke istana kiri mengirimkan sekeranjang buah mangga yang menyembunyikan tiga ekor ular dari jenis mematikan semua. Ular weling, ular sendok, dan ular bandotan."
Pradhabasu memandang Gajah Mada dengan alis sebelah
dimiringkan. "Tidak mungkin Menur."
"Kenapa?" "Aku tidak kehilangan jarak sejengkal pun dari perempuan itu sejak semalam. Ia tidak bisa berkuda, ia juga takut pada ular. Ia sekarang berada di antara para ibu yang sibuk menyediakan makan itu."
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 363
Gajah Mada terkejut. "Orang yang berencana membunuh Sekar Kedaton itu orang lain, bukan Dyah Menur yang malang. Aku yang menjadi jaminannya."
Patih Daha Gajah Mada terdiam untuk beberapa saat.
"Apa alasanmu?" tanya Gajah Mada.
"Raden Kudamerta dan perempuan itu pasangan yang saling
mencintai. Kalau Kakang percaya kepadaku, Raden Kudamerta sama sekali tidak berkeinginan membuat repot istana dengan menyembunyikan rahasianya. Raden Kudamerta melakukan itu karena ada pihak yang memaksa. Bahkan dengan menyandera istrinya. Untung Dyah Menur mampu meloloskan diri dan untung pula aku berhasil menemukan jejaknya."
Patih Daha Gajah Mada tak bisa memahami.
"Siapa yang memaksa?"
"Kalau saja Lembang Laut masih hidup, Lembang Laut pasti bisa menjawab. Sayang sekali, Lembang Laut keburu mati. Ketika beberapa bulan lalu kusampaikan temuanku kepada Lembang Laut, ia memutuskan untuk menyelinap masuk ke dalam kekuatan yang bahkan berniat melakukan makar itu. Sayang, Lembang Laut tewas dipatuk ular dengan kematian yang menyesatkan pandangan orang."
Gajah Mada merasa jawaban itu masih samar-samar.
"Soal Lembang Laut namanya harus dibersihkan, pada saatnya nanti aku akan melakukannya. Semua orang harus tahu apa yang dilakukan Lembang Laut," berkata Patih Daha Gajah Mada.
Gajah Mada menoleh dan memberikan perhatiannya kepada Kendit Galih.
"Dan kamu Bhayangkara Kendit Galih, apa yang akan kausampaikan?"
Kendit Galih mempersiapkan diri menyampaikan laporannya.
"Ada sebuah kekuatan yang perlu diwaspadai, Ki Patih," kali ini Kendit Galih yang berbicara. "Penyelidikanku terhadap pisau yang 364
Gajah Mada digunakan membunuh Kinasten dan Arya Surapati membawaku ke pandai besi Panji Sindura di Kademangan Tegal Sari. Pandai besi Panji Sindura mengenali pisau buatannya yang menurutnya pisau itu dipesan oleh seseorang bernama Rubaya dan tinggal di Karang Watu.
Penelusuranku di Karang Watu membentur pada hal yang benar-benar tidak terduga. Di tempat itu telah disiapkan sebuah pasukan dengan kekuatan yang mengkhawatirkan. Yang kecil bisa menjadi besar. Yang kecil itu bahkan bisa menjelma menjadi kekuatan makar."
Kali ini Gajah Mada tidak bisa lagi menganggap laporan itu sebagai hal kecil.
"Apa yang kaulihat di tempat itu?" tanya Gajah Mada.
"Sebuah latihan perang yang dilakukan setiap hari, siang dan malam.
Mereka jelas merencanakan sesuatu. Mereka memiliki rencana jangka panjang, terlihat dari lambang yang mereka miliki."
"Lambang apa?" tanya Gajah Mada.
"Seekor ular membelit buah maja."
Gajah Mada memandang wajah Bhayangkara Kendit Galih dengan mata tak berkedip. Gajah Mada segera mengalihkan pandangan matanya ke pohon semboja di depannya, pohon itu bergoyang keras oleh tanah yang serasa bergerak diguncang oleh gempa.
"Seekor ular membelit buah maja?" Gajah Mada menegas.
"Ya," jawab Kendit Galih.
Dengan segera Gajah Mada teringat pada apa yang dilaporkan Gagak Bongol tentang bagaimana pertemuannya dengan Nyai Ra Tanca.
"Siapa pemimpin pergerakan orang-orang itu" Rangsang Kumuda?"
Kendit Galih agak terkejut, "Ki Patih sudah mendengar nama itu?"
"Ia yang memimpin kegiatan yang berlangsung di Karang Watu?"
Ternyata Kendit Galih menggeleng.
"Rangsang Kumuda memang salah seorang pimpinan. Akan tetapi, masih ada pimpinan yang lebih tinggi. Orangnya masih muda dan Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 365
tampan. Orang itu nantinya yang akan menduduki dampar singgasana bila pilar Majapahit berhasil dirobohkan."
"Dan siapa nama orang itu?" tanya Gajah Mada.
"Raden Rukmamurti. Ada pula yang menyebut Raden Panji
Rukmamurti." Lalu hening. Pradhabasu tak berbicara, Kendit Galih ikut diam memberi ruang kepada Gajah Mada untuk berpikir. Saat manggut-manggut, Gajah Mada melakukannya dengan perlahan.
"Dan kamu, apa yang akan kamu laporkan, Samudra?"
"Apa yang akan kulaporkan adalah hal yang ringan saja, Kakang Gajah Mada," jawab Riung Samudra. "Aku ingin Kakang mewaspadai gerakan yang dilakukan Ra Kembar."
Gajah Mada agak termangu.
"Ada apa dengan Ra Kembar?"
"Di mana-mana dan dalam setiap kesempatan, Ra Kembar
menjelek-jelekkan Kakang Gajah Mada. Di setiap kesempatan ia selalu berusaha merusak nama Kakang. Aku tidak tahu untuk dendam yang mana Ra Kembar melakukan itu."
Ra Kembar atau Rakrian Kembar adalah salah satu dari mereka yang oleh Sri Baginda Jayanegara diberi anugerah gelar Dharmaputra Winehsuka Rakrian Kembar. Ra Kembar bersahabat akrab dengan para Rakrian yang lain. Ketika pemberontakan dilakukan oleh Ra Kuti dan komplotannya, Ra Kembar sedang tidak berada di Ibukota Majapahit.
Ra Kembar sedang mendapat tugas mengunjungi Sungeneb di Madura.
Andai Ra Kembar berada di ibukota boleh jadi Ra Kembar akan terlibat pula dalam makar yang dikendalikan Ra Kuti.
Terakhir Ra Kembar bersahabat dengan kekuatan makar yang tersisa, Tanca. Kematian Ra Tanca tertikam keris Gajah Mada mungkin menjadi penyebab ulah Ra Kembar.
"Bagaimana, Kakang?"
366 Gajah Mada "Biar saja apa pun yang ia lakukan. Yang harus kita lakukan sekarang adalah melakukan persiapan menggempur Karang Watu. Sebagai pimpinan Bhayangkara, aku yang mengambil alih karena Gajah Enggon masih belum siuman, akan kukendalikan langsung penyerbuan ke Karang Watu."
Betapa terperanjat Pradhabasu, Kendit, dan Samudra mendengar ucapan itu.
"Senopati Gajah Enggon kenapa?" tanya Riung Samudra.
Dengan jelas dan ringkas Gajah Mada menuturkan peristiwa yang telah terjadi. Pradhabasu lebih terperanjat lagi ketika Gajah Mada juga bercerita tentang Raden Cakradara yang diduga terlibat dalam rencana makar yang akan menggoyang pilar Istana Wilwatikta itu. Gajah Mada menguraikan dengan jelas siapa sosok Rangsang Kumuda dan siapa pula sosok di balik nama Pakering Suramurda.
"Apabila mau menengok Gajah Enggon, silakan. Ia dalam
perawatan di Bale Gringsing, tetapi sebelumnya apa saranmu" Apa yang sebaiknya aku lakukan pada perempuan itu" Aku ingin ia pergi sejauh-jauhnya dari Raden Kudamerta dan jangan pernah muncul lagi. Aku tidak ingin ketenangan rumah tangga Rajadewi Maharajasa terganggu."
Pradhabasu menatap raut wajah Gajah Mada seperti mencari sesuatu di balik wajah itu. Bahwa Gajah Mada bisa bersikap demikian bukan hal yang perlu membuat dirinya merasa heran karena Pradhabasu sangat mengenal Gajah Mada .
"Jika melihat masalahnya secara utuh, sebaiknya Raden Kudamerta yang harus ditanyai. Kakang sudah melakukan itu?"
"Sudah," jawab Gajah Mada. "Namun, kesempatan yang kumiliki terputus. Aku akan mengulang lagi menanyakan itu, yang sebaiknya aku lakukan setelah mendapat petunjuk dari Ibu Ratu Gayatri. Baiklah, sekarang tunjukkan kepadaku yang mana orang itu."
Patih Daha Gajah Mada kembali masuk ke lingkungan makam
mengikuti kaki Pradhabasu, Kendit Galih, dan Samudra. Penampilan tiga orang itu dalam penyamaran sulit dikenali. Bahkan Gagak Bongol Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 367
sekalipun tak lagi mengenalinya. Gagak Bongol yang memerhatikan dari kejauhan tidak menyangka orang yang berjalan terpincang-pincang bersama Patih Daha Gajah Mada adalah Pradhabasu.
"Yang mana?" bertanya Gajah Mada.
"Kaulihat dua orang yang berdiri, yang seorang nenek memutar susur di mulut dan yang seorang gemuk?" tanya Pradhabasu.
"Ya?" balas Gajah Mada. "Tak mungkin yang nenek-nenek, aneh juga kalau Raden Kudamerta beristri perempuan gemuk itu."
"Tentu bukan," jawab Pradhabasu. "Perhatikan perempuan yang memegang pisau di belakang perempuan gemuk itu dan perhatikan pula ke mana arah matanya dalam memandang."
Gajah Mada memerhatikan wajah perempuan itu dengan saksama.
Rupanya perempuan bernama Dyah Menur itu juga melakukan
penyamaran menilik upayanya menyembunyikan jejak kecantikannya melalui wajah yang dibuat kotor dan pakaian yang lusuh. Wajahnya terlihat kotor yang pasti memang disengaja supaya kotor. Bila wajah itu dikembalikan bersih, jelas ia seorang perempuan yang cantik.
"Kaulihat perempuan itu, Kakang Gajah?"
"Ya. Aku melihatnya. Aku melihat arah pandangnya. Raden
Kudamerta yang menjadi sasaran perhatiannya. Wajahnya tampak amat tertekan. Lalu, mana anaknya?"
"Anaknya sedang dititipkan."
Sebenarnyalah perempuan itu adalah Dyah Menur yang membawa hati remuk. Beberapa jengkal di depannya, Raden Kudamerta yang merasa sakitnya kumat bahkan berdarah. Raden Kudamerta terlihat menyeringai menahan sakit. Melihat keadaan itu Dyah Menur yang merasa tertikam, seolah dadanya yang terluka berdarah. Perempuan itu amat tak sabar ingin segera mengurus keadaan suaminya sebagaimana selama ini ia lakukan.
"Kakang Kudamerta, ini aku di sini, Kakang. Ini aku Dyah Menur, istrimu," jerit perempuan malang itu.
368 Gajah Mada Akan tetapi, jerit itu hanya menggema dalam hati. Dyah Menur tidak mungkin berteriak atau memanggil namanya, tidak mungkin berlari menghambur mendekat, bahkan tidak mungkin lagi berharap Raden Kudamerta tetap suaminya. Dyah Menur amat gelisah melihat dada suaminya yang berdarah. Bila mungkin Dyah Menur amat ingin melepas selendang penutup kepalanya untuk membalut luka itu.
Perlahan Dyah Menur melepas kerudung yang dikenakannya.
"Kaulihat Raden Kudamerta terluka?" ucap Dyah Menur dalam nada bisik kepada perempuan di sebelahnya.
"Ya," jawab perempuan yang sebaya dengannya itu.
"Tolong kauberikan selendang ini kepadanya," kata Dyah Menur.
Perempuan sebaya yang dimintai tolong itu terkejut, bahkan berubah menjadi heran. Raden Kudamerta telah beristri dan istrinya bukanlah orang sembarangan. Istri Raden Kudamerta adalah Sekar Kedaton Majapahit. Berani-beraninya perempuan yang berada di depannya itu berniat mencuri perhatian. Memberikan sehelai selendang, apa artinya itu kalau bukan mencuri perhatian"
Perempuan yang dimintai tolong itu memandang Dyah Menur tanpa berkedip. Dyah Menur tak mengalihkan perhatiannya dari Raden Kudamerta. Betapa cemas Dyah Menur melihat pakaian suaminya yang berdarah. Dyah Menur baru menoleh ketika perempuan di depannya menggamit tangannya.
"He, kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan?" tanya perempuan itu.
"Aku hanya merasa kasihan, dada Raden Kudamerta berdarah. Aku tak punya maksud apa pun. O ya, namaku Dyah Menur. Siapa namamu?"
Sikap Menur yang ramah tidak meluruhkan rasa heran perempuan itu.
"Namaku Prabarasmi," jawab perempuan itu. "Aku emban yang mengabdi di istana kiri."
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 369
"Adi Prabarasmi," kata Dyah Menur, "tolong bantulah aku. Aku tak berniat mencuri perhatiannya. Berikan saja selendang ini untuk membalut lukanya."
Prabarasmi takjub dan bagai tersihir. Prabarasmi yang bagai kehilangan akal menerima selendang itu, selendang yang dimanfaatkan sebagai kerudung menutupi wajah dari sengatan matahari.
"Tolong berikan, lihat dadanya berdarah."
"Ya." Apa yang terjadi itu tak luput dari perhatian Gajah Mada yang mengikuti lewat pandangan matanya. Prabarasmi yang berjalan mendekati Raden Kudamerta juga tak lepas dari perhatiannya. Adalah Raden Kudamerta yang merasakan nyeri itu makin menggigit tulang, berdiri bersandar pohon semboja sambil membasuh keringat ketika Emban Prabarasmi datang mendekat.
Emban Prabarasmi adalah emban yang melayani istrinya. Emban yang datang mendekat itu dengan sendirinya dikenalinya. Raden Kudamerta terheran-heran ketika emban itu menyerahkan sehelai kain.
"Apa ini?" tanya Raden Kudamerta.
"Untuk membalut luka Raden," jawab Emban Prabarasmi.
Raden Kudamerta terheran-heran, dan dengan segera rasa heran itu berubah menjadi terbelalak saat mengenali selendang itu. Raden Kudamerta nyaris tidak sadar akan mengguncang lengan Emban Prabarasmi. Satu dua orang pada jarak yang dekat melihat apa yang terjadi.
"Mana dia?" tanya Raden Kudamerta dengan suara diredam.
Prabarasmi terkejut melihat Raden Kudamerta terkejut. Rupanya selendang itu memiliki makna luar biasa bagi Raden Kudamerta.
Prabarasmi membalikkan badan, tetapi perempuan penitip selendang itu telah lenyap.
"Cepat katakan di mana orang yang menitipkan selendang ini?"
tekan Raden Kudamerta. 370 Gajah Mada Prabarasmi melongok mencari-cari, namun yang dicari lenyap. Pun demikian dengan Raden Kudamerta, mengedarkan pandangan matanya.
Namun, tak tampak bayangan istrinya di antara para perempuan yang sedang bahu-membahu menyiapkan makanan. Dyah Menur yang dalam penyamaran sulit dikenali, apalagi Dyah Menur telah dengan sengaja menghilang.
"Mana dia?" tanya Raden Kudamerta dengan amat panik.
Emban Prabarasmi bingung.
Selendang itu merupakan jejak nyata yang ditinggalkan istrinya.
Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Artinya, Dyah Menur berada di tempat itu pula. Tetapi mana dia" Mana Dyah Menur yang dalam beberapa hari membuatnya gelisah itu" Dengan bergegas Emban Prabarasmi kembali setelah melihat perempuan pemberi selendang itu ternyata terlihat penting bagi Raden Kudamerta.
Namun, Emban Prabarasmi harus terheran-heran melihat perempuan yang baru dikenalnya itu telah menghilang. Emban Prabarasmi telah memutar tatapan matanya menyusur seorang demi seorang, tetapi Emban Prabarasmi memang harus merasa kecewa, terlebih-lebih Raden Kudamerta.
Sebingung apa pun Raden Kudamerta masih memiliki kesadaran agar gelisah dan kebingungannya itu tak menyolok perhatian. Raden Kudamerta yang juga melakukan apa yang diperbuat Emban Prabarasmi memilih sambil bersandar di batang pohon semboja. Satu per satu perempuan yang bekerja diperhatikannya. Akan tetapi, makin terguncang-guncang ayunan jantung Raden Kudamerta karena tidak menemukan jejak istrinya.
"Siapa orang tadi, Raden?" tanya Emban Prabarasmi setelah mendekat.
Raden Kudamerta memandang Prabarasmi. Raden Kudamerta
makin gelisah. Menghadapi pertanyaan Emban Prabarasmi yang demikian, betapa amat ingin Raden Kudamerta menjawab dengan serta-merta bahwa perempuan itu istrinya. Akan tetapi, tak mungkin Raden Kudamerta melakukan itu.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 371
"Emban Prabarasmi, bisakah kau menolongku?" tanya Raden
Kudamerta tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.
Hati Emban Prabarasmi runtuh oleh suara yang memelas itu.
"Aku akan menolongmu, Raden."
"Dan bisakah kau menjaga rahasia, berjanjilah di hadapan Hyang Widdi kau tidak akan membocorkan rahasia?"
"Aku berjanji, Raden."
"Cari perempuan itu," kata Raden Kudamerta. "Lalu ajaklah tinggal bersama. Bila ada yang bertanya, katakan saja ia saudaramu. Aku tak akan pernah melupakan jasamu sampai kapan pun."
Prabarasmi mengangguk. Emban Prabarasmi mengangguk lebih dalam ketika Raden Kudamerta melepas gelang yang dipakai. Gugup Emban Prabarasmi menerima gelang yang pasti berharga sangat mahal itu.
"Cari dia sampai kautemukan. Aku akan sangat kecewa kalau kau tidak bisa menemukannya. Hanya kamu yang bisa aku andalkan."
Emban Prabarasmi mengangguk. Meski samar, ia berhasil
menangkap mata Raden Kudamerta yang membasah, petunjuk sangat nyata adanya hubungan antara Raden Kudamerta dengan perempuan itu. Apalagi ketika Raden Kudamerta mengelus selendang itu dengan semua getar perasaannya, amat terbaca betapa rindu bangsawan dari Pamotan kepada pemilik selendang itu.
"Baik, Raden. Aku akan berusaha menemukan."
Emban Prabarasmi mengakhiri pertemuannya dengan Raden
Kudamerta dan bergegas kembali sambil membawa segumpal
pertanyaan, siapa perempuan yang tak dikenalnya itu, yang terbukti demikian berarti di depan Raden Kudamerta. Jawaban rasa penasaran itu agaknya tidak mungkin dengan menanyai Raden Kudamerta, tetapi bisa diperoleh dari Dyah Menur andai ia berhasil ditemukan.
Ke mana Dyah Menur" Rupanya Dyah Menur memang telah
menyiapkan diri sebaik-baiknya, bahkan Gajah Mada yang memerhatikan 372
Gajah Mada dari kejauhan kehilangan jejaknya. Dyah Menur yang berganti baju dan mengurai rambutnya berubah menjadi sosok lain lagi. Apalagi ketika Dyah Menur berjalan dengan tubuh agak ditekuk.
Gajah Mada menggamit Pradhabasu.
"Mana perempuan itu?" tanya Gajah Mada.
Pradhabasu mengedarkan pandangan matanya ikut mencari.
"Awasi gerak-gerik perempuan yang baru menemui Raden
Kudamerta itu," kata Gajah Mada.
Pradhabasu tersenyum, rupanya ada sesuatu yang ia sembunyikan dalam hati.
"Baik, Kakang," jawabnya. "Serahkan tugas itu kepadaku."
Pradhabasu melaksanakan tugas yang diberikan Gajah Mada
kepadanya dengan sepenuh hati atau bisa pula tidak perlu tugas itu mendapatkan perhatian sepenuhnya karena Pradhabasu tahu bagaimana cara menemukan perempuan itu, bahkan ke mana bisa bertemu dengannya. Perhatian Pradhabasu justru tersita ke arah lain, di seberang sana seorang bocah sedang bermain tanah. Andaikata Sang Prajaka itu menoleh.
Dari tempatnya Pradhabasu memerhatikan bagaimana Gagak
Bongol masih menyempatkan diri memberikan perhatian kepada bocah itu. Akan tetapi, sebagaimana Pradhabasu amat mengenal Sang Prajaka, bocah itu tak menoleh. Tangannya bermain tanah, namun tatapan matanya tak bergeser dari satu arah.
Di langit matahari berpendar-pendar menyemburatkan cahayanya yang gilang-gemilang terang benderang. Gajah Mada yang sedang memerhatikan biru langit harus memberikan perhatian kepada seorang prajurit penghubung yang berlari-lari mendekati dirinya.
"Ada apa?" tanya Gajah Mada.
"Ki Patih diminta menghadap para Ratu sekarang juga," kata prajurit itu.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 373
Gajah Mada mengerutkan keningnya. Gajah Mada merasa telah tiba waktunya untuk melaporkan hasil penyelidikannya. Dengan para Ratu memanggilnya, akan ia gunakan kesempatan itu untuk menyampaikan laporan dan pendapatnya. Tidak perlu menunda-nunda. Makin cepat Makin baik.
"Ke mana aku harus menghadap?" tanya Gajah Mada.
"Bale Shakuntala, Ki Patih."
31 Singajaya nama laki-laki itu. Ia merasa berita yang diterimanya sangat penting sehingga tak sabar menunggu geladi perang di alun-alun itu berakhir. Tubuhnya basah kuyup oleh keringat yang diperas setelah berlari kencang dari makam Antawulan ke alun-alun. Singajaya yang merasa tidak sabar bahkan memutuskan menyibak segenap prajurit yang sedang menerima taklimat dari pimpinan masing-masing. Ra Kembar melihat apa yang diperbuat orang itu. Bergegas Ra Kembar meneriakinya.
"Ada apa?" bertanya Ra Kembar setelah Singajaya berada di depannya.
"Aku punya berita sangat penting untukmu," jawab Singajaya.
Ra Kembar mencuatkan sebelah alisnya.
"Berita sangat penting apa?"
Rupanya Singajaya cukup jeli untuk mengukur berapakah nilai berita yang ia miliki. Kuda milik Ra Kembar sungguh sangat menarik perhatiannya.
374 Gajah Mada "Hargai berita yang kubawa ini senilai seekor kuda."
Ra Kembar terpancing rasa penasarannya. Untuk berita sepenting apa sampai harus merelakan kudanya"
"Mengapa kamu beranggapan berita yang kaubawa untukku
demikian tinggi nilainya dan pasti akan kubeli?" tanya Ra Kembar.
"Karena," jawab Singajaya, "berita yang aku miliki ini bisa mengantarmu ke jenjang lebih tinggi. Kamu merasa tak senang kepada Gajah Mada, inilah saatnya kau melakukan sesuatu atas nama rasa tidak senangmu itu. Kamu punya kesempatan amat besar untuk menarik perhatian para Ibu Ratu. Kedudukanmu yang sekarang berada di bawah senopati bisa melesat dan siapa tahu akan melampaui Gajah Mada.
Kuberikan keterangan penting ini untukmu, tetapi ada keterangan ada uang. Berita amat penting yang kumiliki ini kuberi nilai sama dengan seekor kuda."
"Dasar mata duitan," ucap Ra Kembar.
Singajaya tertawa pendek, "Bagaimana?"
"Ceritakan dulu, keterangan apa yang akan kauberikan itu."
Singajaya bersadar punggung pada pohon bramastana, matanya sedikit disipitkan berhadapan dengan cahaya matahari yang menyapu wajahnya.
"Keterangan ini kudengar langsung dari pembicaraan antara Gajah Mada dan anak buahnya. Mereka berbicara di luar dinding Antawulan dan aku mendengar dari dalam dinding. Pembicaraan mereka kutangkap dengan jelas tanpa satu kalimat pun yang tercecer. Beberapa telik sandi Bhayangkara yang kukenali namanya, antara lain mantan Bhayangkara Pradhabasu, Bhayangkara Kendit Galih, dan Bhayangkara Riung Samudra melaporkan adanya pihak tertentu akan melakukan pemberontakan, bahkan Bhayangkara Riung Samudra melaporkan sepak terjangmu yang menjelek-jelekkan Gajah Mada di setiap kesempatan."
Berubah tegang wajah Ra Kembar.
"Riung Samudra melaporkan aku menjelek-jelekkan Gajah Mada?"
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 375
Singajaya mengangguk. "Bukankah itu yang kaulakukan selama ini?" tanya Singajaya.
"Sikap Gajah Mada bagaimana?"
"Gajah Mada tidak menganggap laporan Riung Samudra itu sebagai hal yang penting dan perlu ditanggapi. Namun, laporan Bhayangkara Kendit Galih mengenai adanya pihak yang akan melakukan makar yang justru menarik perhatian Gajah Mada. Kurasa bakal akan ada perang.
Masalahnya perang ini apakah milik Gajah Mada yang dengan demikian akan makin melambungkan namanya atau menjadi perangmu yang akan melambungkan namamu" Kudengar desas-desus, bahkan Empu Krewes menjagokan Gajah Mada kelak menggantikan kedudukannya. Nah, kalau sampai Gajah Mada menjadi mapatih kamu akan mendapatkan
kedudukan apa" Setinggi apa pun pangkatmu, kau hanya akan menjadi bayang-bayang Gajah Mada. "
Empu Krewes yang dimaksud adalah nama lain Arya Tadah,
pengganti Patih Kala Yudha. Kala Yudha adalah mahapatih di Majapahit menggantikan Nambi. Ra Kembar harus mengakui apa yang dikatakan Singajaya itu. Pada sebuah pertemuan, secara terbuka Arya Tadah pernah mengemukakan harapannya bahwa kelak Patih Daha tak hanya akan menjadi patih kecil di Daha, namun amangkubumi di kotaraja.
Rasa ingin tahu Ra Kembar tak bisa dikendalikan lagi. Ra Kembar membawa Singajaya menjauh agar bisa berbicara leluasa tanpa harus berbisik-bisik. Di bawah pohon Bramastana berikutnya mereka berbincang.
Di alun-alun, setelah taklimat yang diberikan masing-masing pimpinannya, pasukan segelar sepapan yang beristirahat sejenak itu mempersiapkan diri untuk kembali berlatih. Tambur dipukul dengan berderap menjadi pembakar semangat. Suara tambur kemudian dilanjutkan dengan bunyi sangkakala yang melengking tinggi membelah udara. Suara anak panah yang dilepas ke langit susul-menyusul merupakan perintah yang harus dipahami karena tidak mungkin perintah diberikan hanya dengan berteriak. Dan ketika bende Kiai Samudra ditabuh dalam latihan berkekuatan segelar sepapan itu, suaranya 376
Gajah Mada menggetarkan udara dari ujung ke ujung. Bila ada yang berani berada pada jarak amat dekat ketika bende itu dihantam pemukulnya akan merupakan jaminan bakal jebol gendang telinga orang itu.
"Lanjutkan," kata Ra Kembar.
Singajaya tertawa pendek.
"Senilai kuda."
Apa boleh buat, Ra Kembar harus merelakan kudanya.
"Ambil kudaku."
Singajaya memerhatikan kuda hitam yang sedang merumput dengan diikat di pohon kesara. Kuda milik Rakrian Kembar benar-benar kuda yang membuatnya iri. Kini kuda itu akan menjadi miliknya.
"Ada sebuah kekuatan yang diam-diam mempersiapkan diri
melakukan makar di sebuah tempat bernama Karang Watu. Mereka membangun kekuatan yang kelak akan digunakan untuk memberontak.
Menurut pembicaraan itu disimpulkan, kekuatan makar itu ada hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan yang terjadi kemarin.
Kekuatan makar itu menggunakan lambang buah maja yang dibelit ular, dipimpin oleh seorang pemuda bernama Raden Panji Rukmamurti. Gajah Mada akan menyerbu kekuatan itu, tetapi menurutku, kau mempunyai kesempatan untuk mendahului. Jika kau berhasil mematahkan kekuatan pemberontakan itu, artinya apa yang kaulakukan menyamai apa yang dilakukan Gajah Mada ketika meredam Ra Kuti. Tak menutup kemungkinan pangkat dan jabatanmu akan melesat membelah langit."
Wajah Ra Kembar sangat berseri-seri. Kesempatan yang diidam-idamkan itu kini telah berada di depannya. Tidak ada ruginya ia menjalin persahabatan dengan Singajaya meskipun ia mata duitan.
"Karang Watu?" tanya Ra Kembar.
Singajaya mengangguk. "Kautahu tempat itu?" balas Singajaya.
Ra Kembar meliukkan badan, melemaskan otot-otot.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 377
"Ya. Sebuah pedukuhan yang terlindung oleh tebing tinggi dan sungai meliuk. Menurutku sangat masuk akal bila pedukuhan itu dijadikan tempat kegiatan macam itu. Jika pintunya yang berbentuk leher angsa dijaga ketat maka tak seorang pun yang akan tahu apa kegiatan yang terjadi di sana."
"Rupanya ada rencana makar di sana?" gumam Kembar.
"Itulah yang kudengar dari pembicaraan itu."
"Baiklah," ucap Ra Kembar. "Aku sangat menghargai keterangan yang kamu jual kepadaku. Sebagaimana saranmu, aku akan bertindak cepat. Akan aku kumpulkan teman-temanku. Cukup hanya dengan mereka dan para anak buahku, tempat yang kausebut itu akan bosah-baseh. Tak perlu menunggu besok, tengah malam ini juga akan kugempur mereka yang berani coba-coba berniat makar itu. Akan kulihat bagaimana raut wajah Gajah Mada setelah melihat sepak terjangku."
Dengan hati gembira Singajaya pulang dengan membawa kuda. Ra Kembar tidak kecewa harus berpisah dengan kudanya karena sepadan dengan keterangan penting yang ia peroleh. Di samping itu, Kembar masih memiliki seekor kuda lain yang tidak kalah kekar dari Kiai Srubut, demikian nama yang ia berikan pada kudanya yang berwarna hitam.
Meski telah merencanakan untuk mendahuli menyerbu Karang Watu tengah malam nanti, Ra Kembar tidak merasa perlu tergesa-gesa.
Ra Kembar kembali menyatu dengan pasukan yang berlatih keras menerjemahkan perintah. Beberapa kali dilakukan perubahan gelar perang dari Diradameta menjadi gelar Cakrabyuha, namun hasilnya masih kurang memuaskan. Itu sebabnya, latihan itu diulang dan diulang lagi.
Suara tambur yang menjadi isyarat, suara bende yang menjadi perintah, dan lengking sangkakala yang menuntun perubahan bentuk gelar, dipukul berderap dan beruntun menyatu dengan sangkakala yang menggetarkan udara.
Ra Kembar memanfaatkan latihan sebaik-baiknya. Barangkali gelar perang itu akan dibutuhkan ketika penyerbuan ke Karang Watu dilakukan.
378 Gajah Mada "Aku akan libatkan Kakang Singa Darba dan Kakang Ajar Langse.
Gabungan kekuatan yang aku miliki ditambah kekuatan mereka kurasa cukup untuk menghajar orang-orang yang akan melakukan makar itu.
Para Ratu akan terperangah melihat apa yang kukerjakan dan benar apa kata Singajaya, tak ada ruginya aku kehilangan kuda," kata hati Ra Kembar.
Di kejauhan, sedang memimpin pasukan dalam satuan kecil, prajurit bernama Singa Darba dan Ajar Langse juga sedang terlibat dalam latihan perang yang terjadi.
Sang waktu terus bergerak menapaki kodratnya. Matahari di langit memanjat makin tinggi dan makin membakar keringat mereka yang sedang terlibat geladi perang segelar sepapan itu. Matahari juga mengantarkan mereka yang bekerja keras di makam Antawulan. Gagak Bongol yang menyempatkan memberi perhatian kepada anak angkatnya merasa bangga melihat kerja keras tanpa pamrih itu.
"Sang Prajaka, lihat aku."
Namun, Sang Prajaka tak menggeser pandangan matanya dari satu titik. Wajah pamannya mengusik simpul kerinduannya. Sang Prajaka tidak tahu, bahkan Gagak Bongol juga tidak tahu, di kejauhan seorang lelaki dengan langkah dibuat terpincang-pincang memerhatikannya.
32 Gajah Mada merasa tak memiliki waktu yang cukup karena
demikian banyak masalah yang dihadapinya. Belum tuntas sebuah masalah, muncul masalah yang lain. Persoalan yang dilaporkan Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 379
Bhayangkara Kendit Galih cukup banyak menyita pikiran. Sayang sekali, Gajah Enggon tak bisa diandalkan lagi. Gajah Enggon masih tersesat ke dunia lain belum siuman juga. Keadaan Gajah Enggon yang demikian memberikan kecemasan tersendiri, jangan-jangan Gajah Enggon kebablasan.
Persoalan yang ditangani demikian pelik dan menempatkan Gajah Mada ke dalam keadaan serba salah. Terhadap perbuatan Raden Cakradara yang nyaris bisa diyakini terlibat secara langsung atau tak langsung dalam pembunuhan-pembunuhan dan rencana makar yang terjadi, Gajah Mada belum bisa bertindak. Pun demikian terhadap perbuatan Raden Kudamerta, Gajah Mada tidak bisa melakukan apa-apa. Itu sebabnya, Patih Daha Gajah Mada memutuskan untuk melaporkan secara lengkap semua hasil penyelidikannya. Kebetulan para Ibu Ratu memanggilnya.
Gajah Mada yang melintas Bale Manguntur tiba-tiba membelokkan langkah ke Bale Gringsing, terpikir olehnya untuk menengok keadaan Gajah Enggon. Namun, tidak ada perubahan apa pun pada Gajah Enggon. Senopati pimpinan pasukan Bhayangkara itu masih pada keadaan semula. Apabila ada perubahan adalah wajahnya makin bersih.
Hal itu karena dengan telaten Nyai Lengger merawatnya. Untuk menjaga agar Gajah Enggon masih tetap bertenaga, setetes demi setetes air gula diminumkan ke mulutnya. Yang menarik perhatian Gajah Mada adalah beberapa jenis buah-buahan yang ditata rapi di meja. Ada belimbing, pisang, dan mangga.
"Siapa yang membawa buah-buahan ini, Nyai?" tanya Gajah Mada.
Nyai Lengger yang terkantuk-kantuk terkejut dan bergegas bangkit.
"Tuan Putri Sekar Kedaton, Ki Patih," jawab Nyai Lengger.
"Sekar Kedaton ada dua," jawab Gajah Mada.
"Dua-duanya." Gajah Mada tersenyum, "Apakah para Tuan Putri tidak berpikir, buah itu tidak ada artinya. Buah itu untuk Gajah Pradamba bukan?"
"Benar, Ki Patih," jawab Nyai Lengger.
380 Gajah Mada "Bagaimana Gajah Pradamba bisa makan jika keadaannya seperti itu?" ucap Gajah Mada.
Pikiran serupa ada dalam benak Nyai Lengger. Namun, hal itu bukan berarti Sekar Kedaton tak melihat kiriman buah-buahan itu tidak ada artinya. Yang benar adalah bahwa para Sekar Kedaton memiliki perhatian pada keadaan Gajah Enggon. Bahkan Sekar Kedaton Dyah Wiyat berniat hendak menjaga dan merawat secara langsung yang akan dilakukan malam nanti.
Patih Daha Gajah Mada keluar dari ruangan itu untuk melanjutkan rencananya menghadap para Ibu Ratu. Tepat di depan pintu, Gajah Mada berpapasan dengan Singa Darba dan Ajar Langse. Dua prajurit berpangkat lurah itu segera memberikan hormat dan memekarkan senyum.
"Mau ke mana kalian?" tanya Gajah Mada.
"Menengok Senopati Enggon," jawab Ajar Langse.
"O ya, silakan."
Tak ada pembicaraan apa pun karena Gajah Mada merasa tergesa.
Dengan kaki mengayun langkah lebar, Gajah Mada menuju bagian belakang istana utama. Ayunan langkahnya tak terganggu meski di kejauhan Gajah Mada melihat Ra Kembar menuju tempat ia berada.
Gajah Mada segera teringat pada apa yang dilaporkan Riung Samudra.
Apabila menuruti panasnya hati, bisa berantakan wajah Ra Kembar melalui hantaman kepalan tangannya. Akan tetapi, Gajah Mada membuang jauh rasa jengkel itu. Apa yang dilakukan Ra Kembar tidak lebih hanya ulah anak kecil yang berusaha mencari perhatian.
"Tidak ada gunanya meladeni bocah kemarin sore itu," ucapnya untuk diri sendiri.
Gajah Mada melintas halaman belakang, beberapa orang prajurit yang sedang beristirahat serentak berdiri memberikan penghormatannya.
"Silakan, Ki Patih, para Tuan Putri sudah menunggu," kata salah seorang di antara mereka.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 381
"Di mana para Tuan Putri?" tanya Gajah Mada.
"Di ruang Shakuntala," jawab salah seorang prajurit. "Patih Arya Tadah juga berada di sana."
"Para Tuan Putri lengkap?"
"Lengkap," jawab prajurit itu lagi.
Patih Daha Gajah Mada yang hendak melanjutkan langkah
menyempatkan memerhatikan keadaan di tempat itu. Melihat pemandangan yang kurang elok Patih Daha bertolak pinggang, sontak matanya mendelik. Dengan segera para prajurit yang sedang berkumpul membaca kemarahan di wajah Gajah Mada.
"Siapa yang membuang kotoran itu?"
Pertanyaan itu mengagetkan para prajurit. Mereka saling pandang di antara mereka sendiri. Namun, dengan segera mereka merasa di hadapan Gajah Mada tidak ada gunanya saling menyalahkan. Apalagi, semua mempunyai andil terhadap kotoran daun-daun pembungkus nasi bungkus itu. Nasi bungkus yang diambil dari makam Antawulan.
"Bersihkan, jangan membuang kotoran seenaknya," kata Gajah Mada tegas.
Enam orang prajurit itu merasa beruntung karena Gajah Mada tidak memberi hukuman pada mereka. Dengan bergegas sampah yang berceceran dipunguti dan dibuang ke tempat semestinya.
Akan tetapi, di antara prajurit itu ada yang suka iseng. Di belakang Gajah Mada yang berjalan makin jauh ia menjulurkan lidah sambil memutar-mutar pantatnya. Ia bermaksud melucu di depan teman-temannya. Celaka nasib prajurit itu karena dengan tiba-tiba Gajah Mada menoleh dan melihat perbuatannya.
Gajah Mada berjalan berbalik, pucat pasi prajurit itu.
"Apa yang kamu lakukan itu?" teriak Gajah Mada.
Prajurit itu mendadak merasa tidak lagi memiliki mulut dengan wajah pucat sepucat mayat. Teman-temannya terbelalak melihat kejadian yang tidak terduga sama sekali.
382 Gajah Mada "Apa yang tadi kamu lakukan?"
Prajurit konyol berpangkat rendahan itu gemetar ketakutan.
"Aku minta maaf, Ki Patih," ucapnya mengiba. "Aku hanya
bercanda. Aku minta maaf."
Gajah Mada jengkel sekali dan merasa dilecehkan.
"Jadi, seperti itukah sikap prajurit di belakangku?"
Pertanyaan yang menyengat pantat itu tidak ada yang berani menjawab.
"Lepas baju kalian semua," teriak Gajah Mada.
Tak perlu diperintah lagi para prajurit yang bernasib sial secara bersama-sama harus menanggung ulah temannya itu melepas baju.
"Berlari mengelilingi lapangan dua puluh lima kali."
Perintah telah dijatuhkan dan tidak lagi bisa ditawar. Geladi perang baru saja mereka selesaikan dan itu amat menguras tenaga. Kini, Gajah Mada memberi hukuman berlari dua puluh lima kali. Tanpa perlu diulang lagi perintah itu, para prajurit yang yang sedang apes itu berhamburan menuju alun-alun.
Sepeninggal mereka, Gajah Mada tersenyum dan kembali mengayunkan langkah kakinya menuju Bale Shakuntala. Di sana sebagaimana niatnya, di hadapan para Ratu ia akan beberkan semua hasil penyelidikannya tanpa harus ada yang ditutup-tutupi. Tindakan apa yang nantinya diberikan kepada Raden Cakradara atau Raden Kudamerta, sepenuhnya akan diserahkan pada para Ibu Ratu.
Ibu Ratu Gayatri tentu menganggap persoalan yang akan dibicarakan sangat penting menilik telah mengundang para Ratu lengkap dihadiri pula oleh Arya Tadah. Pertemuan itu belum bisa dimulai karena harus menunggu Gajah Mada. Tidak mungkin ada pembicaraan tanpa melibatkan Gajah Mada. Seorang abdi dalem pelayan bagian dalam bergegas membukakan pintu saat melihat Gajah Mada datang.
"Silakan, Ki Patih Daha," ucap abdi dalem itu mempersilakan. "Para Ratu sudah lengkap menunggu!"
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 383
"Terima kasih," jawab Gajah Mada.
Adakah ruangnya yang murung atau para Ratu sedang murung menyebabkan ruang Bale Shakuntala tampak berbeda dari biasanya, terlihat ikut suram. Para Ratu duduk lengkap di atas dampar masing-masing. Ibu Ratu Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuaneswari tak berbicara apa pun. Pandangan matanya yang jatuh ke satu titik tak bergeser ke arah lain meski mendengar pintu dibuka dan Gajah Mada masuk. Hal itu menjadi pertanda betapa Ibu Ratu Tribhuaneswari sangat prihatin pada perkembangan keadaan yang tidak terduga.
Gajah Mada yang beringsut mendekat melihat betapa layu Ratu Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, tampak lunglai menjadi pertanda keprihatinannya yang mendalam. Duduk di tengah, sangat sulit menebak apa yang ada di benak Ibu Ratu Sri Jayendradewi Dyah Dewi Rajapatni Biksuni Gayatri dengan wajahnya yang datar-datar saja. Bahkan Ibu Ratu Sri Jayendradewi Dyah Dewi Pradnya Paramita terlihat lebih tegas dalam menampakkan warna hatinya melalui butiran-butiran air mata yang bergulir di pipi.
Empu Krewes biasanya mendapatkan kursi tersendiri. Akan tetapi, untuk kali ini Empu Krewes yang juga memiliki nama Arya Tadah itu memilih duduk bersila di atas hamparan permadani yang lebih empuk di pantat daripada kursi. Apalagi, Tadah duduk bersila dengan bersandar pada tiang saka.
Gajah Mada segera mendahului berbicara.
"Hamba Patih Daha telah menghadap, para Ratu!" ucapnya.
Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri agaknya mengalami kesulitan memulai pertemuan itu menilik meskipun telah beberapa jenak belum sekalimat pun keluar dari mulutnya. Ibu Ratu Tribhuaneswari yang terlihat tidak sabar.
Akhirnya, Ratu Gayatri mulai membuka pembicaraan.
"Gajah Mada," Ratu Gayatri menyebut nama.
Gajah Mada segera merapatkan kedua telapak tangannya dan membawanya ke ujung hidung. Penghormatan itu dibalas dengan anggukan.
384 Gajah Mada "Hamba, Tuan Putri," dalam sikap itu Gajah Mada menjawab.
"Apakah kamu sudah merasa siap melaporkan hasil
penyelidikanmu?" tanya Ratu Gayatri. "Kalau sudah, bicaralah tanpa harus ada yang disembunyikan. Sebagian dari yang akan kaulaporkan sudah kami dengar dari Kakang Arya Tadah."
Gajah Mada yang duduk bersila menegakkan sikap duduknya.
Mahapatih Arya Tadah mengangguk pendek ketika Gajah Mada meliriknya. Namun, tidak ada senyum dari bibir kakek tua yang biasanya murah senyum itu.
"Apabila hamba boleh tahu, keterangan apakah yang telah
didahulukan oleh Paman Arya Tadah?" tanya Gajah Mada.
Ratu Gayatri menyempatkan memandangi wajah para kakaknya.
"Tribhuana menyampaikan pesannya yang ditujukan kepada kami melalui Paman Arya Tadah mengenai ketidaksediaannya diangkat menjadi ratu. Tribhuanatunggadewi merasa memiliki alasan yang kuat untuk tidak mau dipilih dan lebih menganjurkan agar Dyah Wiyat yang diangkat menjadi ratu menggantikan Jayanegara."
Gajah Mada tidak merasa perlu tergesa menjawab. Gajah Mada memilih menunggu Ratu Gayatri melanjutkan ucapannya.
"Kau sudah memiliki keterangan, penyebab apa yang mendorong Sri Gitarja mengambil keputusan macam itu?"
"Hamba hanya bisa menebak, Tuan Putri," jawab Gajah Mada.
"Mohon Tuan Putri berkenan melengkapi."
Ratu Gayatri merasa yakin Gajah Mada sudah mengetahui, mengapa Tribhuanatunggadewi mengambil keputusan yang demikian.
Pengetahuan itu tentu didukung oleh jaringan telik sandi Bhayangkara yang mampu menjangkau ke wilayah paling tersembunyi.
"Menurut Sri Gitarja, suaminya terlibat dalam pembunuhan-pembunuhan yang terjadi kemarin. Semalam di tengah malam Sri Gitarja mencuri dengar pembicaraan suaminya dengan orang yang dipanggil dengan panggilan paman di kandang kuda. Bagaimana menurutmu?"
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 385
Gajah Mada sebagaimana sikap dan sifatnya yang tegas dan tanpa tedheng aling- aling melaporkan semua hasil penyelidikannya. Para Ratu menyimak dengan saksama saat Gajah Mada mengajak mengenang sepak terjang pembesar Majapahit yang dihukum mati karena fitnahnya.
Dengan segera para Ratu teringat Mahapati atau Ramapati, pemilik wajah celingus yang jahatnya minta ampun. Melalui kenangan itu Gajah Mada menggiring para Ratu untuk mengenang Brama Ratbumi, sosok yang lebih jahat yang telah menghilang lama tidak diketahui jejaknya. Brama Ratbumi yang adalah tangan kanan Ramapati langsung lenyap tak terdengar jejaknya bersama berakhirnya hidup Ramapati yang dijatuhi hukuman ditebas lehernya dengan pedang.
Melalui mengenang nama itulah Gajah Mada menceritakan siapa orang-orang yang terbunuh yang masing-masing adalah para pendukung Raden Kudamerta. Para korban dan bahkan termasuk Raden Kudamerta harus disingkirkan karena adanya pihak yang berniat merebut kekuasaan.
Bagaikan berhenti berdenyut jantung para Ibu Ratu ketika Gajah Mada menguraikan kemungkinan Raden Cakradara benar terlibat di belakang semua kejadian itu. Gajah Mada menguraikan bahwa di belakang suami Sri Gitarja ada nama yang sangat layak dicurigai, orang itu adalah Pakering Suramurda yang berhasil disadap pembicaraannya dengan Raden Cakradara oleh Bhayangkara. Gajah Mada melengkapi ceritanya dengan orang lain yang berada di belakang Raden Kudamerta bernama Panji Wiradapa, yang terbunuh dan amat mungkin adalah kehadiran kembali Brama Ratbumi yang telah murca sekian lama itu.
Gajah Mada juga melengkapi ceritanya dengan adanya sosok bernama Rangsang Kumuda yang masih belum tuntas diketahui siapa sesungguhnya.
Isi dada segenap Ratu selanjutnya bagai porak-poranda ketika penjelasan Patih Daha Gajah Mada menguraikan sisi lain diri Raden Kudamerta yang ternyata memang benar telah beristri. Makin hening Bale Shakuntala itu ketika Gajah Mada bercerita tentang sepak terjang orang-orang yang berebut takhta yang ternyata telah bertindak lebih jauh dengan menghimpun kekuatan di sebuah tempat bernama Karang 386
Gajah Mada Watu. Tak lupa Gajah Mada juga melaporkan perkembangan keadaan Gajah Enggon yang belum menampakkan keadaan membaik.
"Demikianlah apa yang bisa hamba laporkan, Tuan Putri," kata Gajah Mada.
Hening yang menggerataki Bale Shakuntala itu menyudutkan para Ratu tak bisa berbicara apa pun. Ratu Tribhuaneswari merasa sangat kecewa manakala mengenang, ia yang dulu menggagas hubungan antara Sri Gitarja dengan bangsawan dari Singasari itu. Raden Cakradara yang diunggulkan dan dipuji-puji itu ternyata menyembunyikan bulu-bulu di jantungnya.
Sebaliknya, Ibu Ratu Gayatri berusaha mengendapkan rasa
kecewanya dengan menggunakan cara pandang takdir. Bahwa setiap orang memiliki suratan nasib sendiri-sendiri. Penguasa jagat raya telah menggariskan nasibnya. Demikian agaknya yang harus dialami Dyah Wiyat yang ternyata bersuamikan lelaki yang telah memiliki istri. Dengan cara pandang yang demikian, Ratu Gayatri berusaha menerima kenyataan itu dengan ikhlas.
"Gajah Mada," terdengar suara Ratu Pradnya Paramita.
Patih Daha Gajah Mada sedikit memutar sikap duduknya mengarah kepada Ratu Pradnya Paramita. Rupanya istri ketiga mendiang Prabu Kertarajasa Jayawardhana itu berbicara sambil memejamkan mata.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Gajah Mada tegas.
"Bagaimana dengan pendapatmu sendiri?"
Gajah Mada kembali merapatkan kedua telapak tangannya dan membawanya ke ujung hidung.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Gajah Mada. "Dalam hal siapa yang berhak atas dampar kencana, hamba hanya melihat para Sekar Kedaton tanpa harus melihat siapa Raden Cakradara dan siapa pula Raden Kudamerta, yang ternyata punya kekurangan itu. Tepatnya keputusan untuk mengangkat ratu, apakah itu Tuan Putri Sri Gitarja atau Tuan Putri Dyah Wiyat tidaklah dengan tujuan memberi peluang kepada orang Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 387
lain menjadi raja. Menjadi suami ratu bukanlah dengan sendirinya menjadi raja," jawab Gajah Mada.
Udara mengalir sedikit gerah karena di luar matahari sedang merajalela dan ganas-ganasnya. Arya Tadah yang semula lebih banyak diam itu akhirnya meminta perhatian. Arya Tadah beringsut dan menyembah.
"Apa pendapatmu, Paman Arya Tadah?" tanya Ratu Gayatri.
"Hamba mohon izin untuk bertanya sesuatu kepada Gajah Mada,"
jawab Empu Krewes Arya Tadah.
"Silakan, Paman Tadah," jawab Ratu Gayatri.
Gajah Mada mempersiapkan diri mengarahkan perhatiannya kepada Arya Tadah.
"Sekar Kedaton Gitarja menceritakan kepadaku, suaminya tak terlibat secara langsung. Yang bernafsu menguasai takhta itu pamannya, bagaimana menurutmu?"
Gajah Mada beringsut untuk bisa berhadapan langsung dengan Arya Tadah.
"Mungkin benar apa yang dikatakan Sekar Kedaton Gitarja, namun Raden Cakradara melakukan kesalahan dengan menyembunyikan apa yang ia ketahui. Siapa yang mengetahui rencana kejahatan dan tidak melaporkan rencana itu, orang itu bisa dianggap salah, Paman! Namun, untuk lebih jelasnya aku harus berhasil menangkap dan memeriksa Pakering Suramurda. Apabila Pakering Suramurda sudah berhasil ditangkap maka rangkaian cerita pembunuhan yang menjadi bagian dari rencana makar itu akan terkuak dengan gamblang."
Arya Tadah kembali mengarahkan tatapan matanya kepada Ratu Gayatri.
"Bagaimana, Paman Tadah?" tanya Gayatri.
"Apakah Tuan Putri sudah berencana akan memanggil Raden
Cakradara dan Raden Kudamerta dan menanyai persoalan mereka?"
388 Gajah Mada Ratu Gayatri menggeleng. "Aku serahkan persoalan itu sepenuhnya kepada Gajah Mada. Bila Gajah Mada sudah menuntaskan pekerjaannya, barulah aku akan memanggil mereka. Atau, apakah Paman Tadah mempunyai pendapat?"
Sigap Arya Tadah menjawab, "Hamba sependapat dengan Tuan Putri Gayatri. Hamba hanya ingin menekankan pendapat Gajah Mada.
Ketika Para Tuan Putri telah mengambil keputusan mengangkat ratu, harus ditegaskan bahwa suami ratu hanya menyandang kedudukan sebagai suami dan tak berhak menduduki dampar mengatasnamakan istrinya. Yang menyelenggarakan pemerintahan adalah ratu. Suami ratu bukanlah raja. Hal tersebut perlu diundangkan agar semua pihak, termasuk mereka yang berangan-angan merebut kekuasaan itu mengetahui hal itu."
Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri memejamkan mata untuk
menimbang semua hal menggunakan kejernihan mata hatinya. Dua wajah, apakah Sri Gitarja dan Dyah Wiyat, satu di antara mereka harus mengalah untuk memberi kesempatan kepada salah satu yang terpilih.
Lalu siapa yang harus ditunjuk untuk mengemban tugas demikian berat itu" Sri Gitarja" Dyah Wiyat" Siapa yang harus dikalahkan dari dua nama itu"
Manakala Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri membuka mata bukan karena telah mengambil keputusan, tetapi oleh ketukan di pintu.
Seseorang berani mengetuk pintu mengganggu pertemuan itu tentulah karena membawa persoalan yang sangat penting. Pintu terbuka perlahan.
Bhayangkara Macan Liwung menampakkan wajahnya.
"Ada apa, Bhayangkara Macan Liwung?" tanya Gajah Mada.
"Minta izin melaporkan sebuah peristiwa penting, Kakang Gajah."
"Peristiwa apa?" tanya Gajah Mada.
Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pembunuhan terjadi lagi, kali ini di Bale Gringsing."
Betapa terkejut Gajah Mada yang dengan seketika terbayang kepada Senopati Gajah Enggon.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 389
"Siapa yang terbunuh di Bale Gringsing?"
"Lurah Prajurit Ajar Langse," jawab Bhayangkara Macan Liwung.
Gajah Mada menarik napas lega setelah mengetahui bukan Gajah Enggon yang terbunuh di Bale Gringsing. Akan tetapi, bahwa pembunuhan itu terjadi di tempat itu membuat Gajah Mada penasaran.
Apalagi yang terbunuh adalah Ajar Langse yang belum lama berpapasan dengannya.
"Tadi aku berpapasan dengannya, sekarang sudah mati. Bagaimana peristiwa itu terjadi?"
"Aku tidak tahu, Kakang Gajah. Tak seorang pun tahu siapa yang membunuh Lurah Prajurit Ajar Langse. Pisaunya sendiri menancap di dadanya," Bhayangkara Macan Liwung menjawab.
Gajah Mada mengarahkan perhatiannya kepada Ratu Gayatri.
"Mohon izin, Tuan Putri. Hamba harus memeriksa Bale Gringsing."
"Kamu punya penjelasan awal, mengapa ada pembunuhan di Bale Gringsing, Gajah Mada?" tanya Ratu Gayatri.
"Belum, Tuan Putri," jawab Gajah Mada. "Hamba berpapasan dengan Ki Lurah Ajar Langse dan Ki Lurah Singa Darba ketika dalam perjalanan kemari. Sekarang tiba-tiba saja hamba menerima kabar Ajar Langse terbunuh."
"Apakah pembunuhan terakhir ini masih ada hubungannya dengan kejadian belum lama sebelumnya" Apakah Ajar Langse juga pendukung Raden Kudamerta?"
Gajah Mada menyembah. "Hamba belum bisa menarik simpulan apa pun," jawab Gajah Mada.
"Baiklah, Gajah Mada, kuizinkan kamu meninggalkan tempat ini.
Kamu lebih dibutuhkan untuk menguak peristiwa itu."
Setelah memberikan penghormatannya kepada masing-masing
Ratu, Patih Daha bergegas menuju Bale Gringsing yang berada tidak 390
Gajah Mada jauh dari Bale Shakuntala. Patih Daha melihat tempat itu telah ramai oleh orang-orang yang mengerumuni mayat Ajar Langse. Di antara yang menyaksikan bahkan terlihat Raden Kudamerta dan Raden Cakradara.
Beberapa saat kemudian dari salah satu pintu penghubung hadir pula Sekar Kedaton Dyah Wiyat yang terusik pula rasa ingin tahunya. Di sudut ruang tak jauh dari Sekar Kedaton Dyah Wiyat, Nyai Lengger tampak gemetaran. Perempuan tua itu mengalami kesulitan meredam kekagetannya.
Bhayangkara Jayabaya dan Riung Samudra bergegas menjemput Patih Daha.
"Apa yang terjadi?" tanya Gajah Mada.
"Kejadiannya seperti terjadi begitu saja. Dari kejauhan aku melihat Ki Ajar Langse berkelahi dengan entah siapa. Ketika aku berlari mendatangi, Ki Ajar Langse mati dengan pisau tertikam di perutnya.
Pelakunya menghilang ke sana atau mungkin ia melompati dinding.
Pelakunya tidak mengenakan pakaian, ia bertelanjang dada," jawab Bhayangkara Jayabaya.
Gajah Mada mencari-cari wajah seseorang. Pemilik wajah yang dicarinya tak mampu menguasai diri. Nyai Lengger yang mendapat tugas merawat Gajah Enggon meringkuk bersandar dinding.
"Tolong semua keluar, tinggalkan tempat ini," perintah Gajah Mada terdengar amat lantang.
Semua tak terkecuali, tanpa perintah itu diulang kembali bergegas keluar dari ruangan itu. Nyai Lengger yang juga hendak keluar dicegah oleh Gajah Mada. Betapa takut Nyai Lengger, terbaca dari tangannya yang gemetar hebat. Untuk menenangkan Nyai Lengger, Gajah Mada menepuk-nepuk pundaknya. Gajah Mada bahkan memberi pelukan yang ternyata mampu menenteramkan perempuan itu. Beberapa jenak Patih Daha bersirobok pandang dengan Dyah Wiyat. Gajah Mada
mengangguk perlahan dan Dyah Wiyat berbalik.
"Apa yang Nyai Lengger lihat?"
"Aku tidak tahu, Ki Patih. Bagaimana ceritanya Ki Lurah Langse terbunuh aku sungguh tidak tahu, kejadiannya begitu cepat. Semula Ki Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 391
Ajar Langse dan Ki Singa Darba datang menengok, aku masih menunggui Senopati Gajah Enggon. Lalu datang lagi Rakrian Kembar ikut menengok. Aku terpaksa menjauh ketika Rakrian Kembar bergabung."
Gajah Mada mencuatkan alisnya.
"Kenapa?" "Karena Rakrian Kembar tidak ingin aku ikut mendengar
pembicaraannya," jawab Nyai Lengger.
"Lalu?" Gajah Mada memberi tekanan.
"Sepertinya terjadi perselisihan pendapat antara mereka bertiga.
Tak jelas apa yang mereka bicarakan meski aku sudah berusaha menajam-najamkan telingaku. Aku melihat Ki Singa Darba keluar lebih dulu dari ruangan ini. Beberapa jenak antara Ki Ajar Langse dan Ra Kembar masih terjadi pembicaraan sambil berbisik-bisik. Kemudian aku lihat Rakrian Kembar keluar sehingga yang tinggal hanya Ki Ajar Langse dan Senopati Gajah Enggon."
Gajah Mada memandang Nyai Lengger langsung menusuk ke bola matanya. Gajah Mada masih menunggu Nyai Lengger melanjutkan kata-katanya, namun Riung Samudra datang mendekat meminta perhatian.
"Kutemukan sebuah jejak, Kakang Gajah," kata Riung Samudra.
"Orang yang membunuh Lurah Ajar Langse melompati dinding, ada jejak darah di tembok ketika pelaku pembunuhan itu berusaha meninggalkan tempat ini."
Gajah Mada tidak memberikan jawaban untuk laporan itu,
perhatiannya terarah kepada Nyai Lengger.
"Lanjutkan ceritamu, Nyai," kata Gajah Mada.
Nyai Lengger menarik napas amat panjang untuk menenangkan diri.
"Sayang sekali saat itu aku terganggu oleh keinginan kencing yang tidak bisa aku tahan. Aku pun pergi ke kulah. Saat aku kembali, Ki Lurah Ajar Langse tergeletak di dekat pintu dalam keadaan tak bernyawa."
392 Gajah Mada Gajah Mada bangkit dan mengedarkan pandangan matanya ke tiap sudut Bale Gringsing, mungkin bisa menemukan jejak apa pun yang tertinggal. Patih Daha Gajah Mada hanya bisa berandai-andai, andaikata kepada Senopati Gajah Enggon bisa diajukan pertanyaan, andaikata Gajah Enggon tidak dalam keadaan pingsan. Dengan penuh perhatian Gajah Mada memerhatikan pisau yang menancap di dada Ki Lurah Ajar Langse. Pisau itu dicabut dan diamati.
"Bhayangkara Riung Samudra dan kamu, Bhayangkara Jayabaya,"
Gajah Mada menyebut nama meminta perhatian.
Bhayangkara Riung Samudra dan Bhayangkara Jayabaya mendekat.
"Samudra, kamu panggil Lurah Singa Darba. Perintahkan ia menghadap aku sekarang juga di Balai Prajurit. Jayabaya, panggil Ra Kembar. Kutunggu di Balai Prajurit. Dan kamu, Macan Liwung, cari tahu apakah Ajar Langse adalah salah seorang pendukung Raden Kudamerta sambil kamu cari bukti pisau ini milik siapa. Jika diduga milik Ajar Langse sendiri harus dibuktikan senjata ini benar-benar miliknya."
"Baik, Kakang," balas Jayabaya, Riung Samudra, dan Macan Liwung serentak.
Dengan langkah lebar Gajah Mada melangkah ke halaman belakang.
Sejenak setelah itu seekor kuda terdengar berderap meninggalkan halaman belakang istana menuju Balai Prajurit. Sekelompok prajurit yang bertugas menjaga pintu belakang serentak bangkit dan memberikan penghormatannya. Beberapa orang prajurit atas perintah Gajah Mada segera memindahkan mayat Ajar Langse dan mengabari sanak kadang-nya. Darah yang menggenang pun dibersihkan. Para prajurit itu masih sempat memerhatikan keadaan Senopati Gajah Enggon yang seperti mati. Napasnya sangat perlahan, tak terbaca di ayunan dadanya. Bahwa tangan Gajah Enggon yang dipegang terasa hangat, hal itu menjadi pertanda Gajah Enggon masih hidup.
Namun, seorang prajurit merasa penasaran.
"Apakah menurutmu, Senopati Gajah Pradamba masih hidup?"
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 393
Yang lain ikut memerhatikan.
"Tentu." "Tetapi, mana napasnya?"
Sepeninggal para prajurit yang memindahkan mayat dan membersihkan darah yang menggenang, Sekar Kedaton berniat masuk ke Bale Gringsing. Akan tetapi, ia batalkan niat itu ketika dilihatnya suaminya dan Raden Cakradara memasuki Bale Gringsing melalui pintu lain. Sekar Kedaton Dyah Wiyat memiliki waktu untuk melenyapkan diri ke balik dinding dan memasang telinga.
Tahu diri bahwa tidak baik ikut mendengarkan pembicaraan orang, apalagi mereka adalah Raden Cakradara dan Kudamerta, Nyai Lengger segera menyingkir. Nyai Lengger terheran-heran melihat Sekar Kedaton Dyah Wiyat melekat di balik tembok. Namun, Sekar Kedaton menempelkan jari ke bibir dan memberi isyarat kepadanya untuk pergi menjauh.
Rupanya Raden Kudamerta merasa risih menahan-nahan. Beban itu kini tidak bisa ditahan lagi.
"Aku tidak mengira Kakang Cakradara sanggup melakukan itu,"
ucap Raden Kudamerta. "Cara yang terlalu kasar dan melukai perasaan.
Jika Kakang berkeinginan menduduki dampar, mengapa Kakang tidak sampaikan saja tanpa harus menumpas orang-orangku. Atau bila Kakang Raden Cakradara seorang laki-laki jantan, aku akan menerima tantangan Kakang di mana pun dan kapan pun. Aku tak akan mundur meski selangkah."
Raden Cakradara sedikit kebingungan. Perbuatan Pakering
Suramurda telah menempatkan dirinya di kedudukan yang serba salah.
"Aku tidak melakukan seperti yang kautuduhkan itu, Adi
Kudamerta. Semua yang terjadi memang ulah pamanku, namun bukan berarti semua itu kehendakku. Salah besar tuduhanmu itu."
Raden Kudamerta tersenyum sinis. Alasan yang dikemukakan pesaingnya itu amat sulit untuk diterima akal sehat. Setidaknya Raden 394
Gajah Mada Kudamerta telah kehilangan sebagian dari para pendukungnya. Orang-orang yang mati terbunuh, dari Panji Wiradapa sampai yang terakhir, sahabat baiknya, Ki Ajar Langse ikut mati pula.
"Aku tidak akan membiarkan perbuatanmu, Kakang Raden
Cakradara. Kelak kita harus selesaikan urusan ini secara jantan," Raden Kudamerta mengancam dengan suara bergetar.
Raden Kudamerta merasa tak ada gunanya berlama-lama di tempat itu. Raden Kudamerta segera mengayun langkah lebar kembali ke istana kiri. Dengan berhati-hati agar jangan menimbulkan jejak suara, Dyah Wiyat bergegas meninggalkan Bale Gringsing dan menyelinap jalan sempit pemisah bangunan utama dan bangunan di belakangnya.
"Semua ini gara-gara ulah Paman Pakering Suramurda, aku
terperosok dalam keadaan yang sulit seperti ini," Raden Cakradara mengeluh.
Raden Cakradara duduk di sudut pembaringan sambil memerhatikan wajah Senopati Gajah Enggon yang pucat. Benjolan di kening Gajah Enggon telah pulih seperti sediakala, hanya meninggalkan jejak luka yang mengering. Benturan macam itu bila mengenai bagian tubuh yang lain tidaklah terlalu berbahaya, namun karena yang terkena adalah kening yang di dalamnya ada otak untuk berpikir, guncangan di dalam otak menyebabkan kemampuan berpikir itu lenyap, kesadaran pun hilang dan lunglai tubuhnya.
Raden Cakradara memerhatikan ruang itu. Hanya dirinya dan Gajah Enggon tanpa ada orang lain. Ketika Raden Cakradara memutuskan akan kembali ke istana kanan, ia batalkan niatnya melihat Gemak Trutung berlari-lari mendatanginya. Abdi dalem Gemak Trutung berusaha sekuat tenaga mengendalikan napasnya.
"Aku mencari Raden sampai ke makam," ucap Gemak Trutung.
Raden Cakradara berbicara dengan suara berbisik.
"Kau berhasil bertemu dengan Paman Pakering Suramurda?"
Gemak Trutung mengangguk.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 395
"Aku berhasil, Raden. Sudah aku sampaikan semua pesan Raden kepadanya, juga keinginan Raden untuk bertemu di alun-alun. Akan tetapi, Ki Pakering meminta Raden menemuinya tengah malam ini di Padas Payung."
Raden Cakradara termangu.
"Di Padas Payung?" ulang Raden Cakradara.
"Benar, Raden," jawab Gemak Trutung dengan tegas.
"Baiklah, terima kasih atas jasamu, Gemak Trutung. Tolong kausimpan rapat-rapat apa pun yang kaudengar."
Gemak Trutung mengangguk, namun sejatinya ia merasa cemas.
33 Mega-mega mengapung di angkasa yang menempatkan diri
laksana laut luas tanpa tepi. Masih di hari yang sama, Rajadewi Maharajasa menikmati ketidaknyamanan hatinya. Dyah Wiyat sungguh sangat sadar untuk melupakan kegelisahan hatinya. Akan tetapi, makin ia berusaha melakukan itu, bayangan itu makin melekat sulit dienyahkan, serasa menjadi bayangan tubuh yang akan mengikuti ke mana pun ia pergi.
"Ada yang tidak beres pada diriku. Mengapa aku mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan" Mengapa aku mengalami kesulitan menggunakan akal waras. Aku membuang-buang waktu tidak ada guna.
Aku seharusnya memandang ke depan. Namun, bagaimana harus memandang ke depan, berhadapan dengan kenyataan lain yang tidak bisa kuhindari. Aku bersuami, aku tak bebas lagi. Aku telah mengikatkan 396
Gajah Mada diriku kepada seorang lelaki yang telah beristri. Aku telah menggadaikan kebahagiaanku. Ke depan hidupku akan sia-sia."
Dyah Wiyat duduk termangu di kursi ayunan, kursi yang terbuat dari batang penjalin. Tak ada siapa pun yang menemaninya karena Dyah Wiyat tak menghendaki. Tidak seorang pun di antara para emban berani mendekati walau untuk menyajikan wedang sere atau wedang jahe kegemarannya. Perkawinan yang dijalani tak membuat Sekar Kedaton gembira. Perkawinan itu bahkan merupakan neraka.
Di bilik pribadinya yang luas Dyah Wiyat merasa dadanya terimpit.
"Kira-kira ada apa, ya?" bertanya seorang emban.
"Sekar Kedaton tidak mencintai Raden Kudamerta," jawab emban yang lain.
"Kok tahu?" "Aku punya cerita sangat rahasia, tetapi jangan bercerita kepada orang lain, ya?" kata emban kedua.
"Cerita tentang apa?"
"Hubungan antara Sekar Kedaton dengan Rakrian Tanca," jawab emban yang lebih muda.
"Ahhh, kalau itu aku sudah tahu."
Kisah asmara antara Sekar Kedaton Dyah Wiyat dengan Rakrian Tanca nyaris semua emban menggunjingkan. Akan tetapi, sebagian besar hanya sebatas katanya atau ceritanya. Tak seorang pun di antara mereka yang menandai secara langsung adanya hubungan asmara itu. Ra Tanca memang sering datang ke istana dan selalu datang saat keluarga raja ada yang sakit. Namun, tak sekalipun ada yang melihat Ra Tanca datang ke keputren khusus dengan niat menemui Dyah Wiyat.
Emban Prabarasmi yang melongokkan kepalanya dari salah satu pintu terlihat ragu. Namun, Emban Prabarasmi membulatkan niatnya untuk menghadap.
"Ada apa?" tanya Dyah Wiyat.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 397
"Hamba, Tuan Putri," ucapnya. "Hamba mohon izin
menyampaikan sesuatu. Apakah Tuan Putri berkenan menerima?"
Agak lama Sekar Kedaton memerhatikan wajah bulat emban itu.
"Apa yang ingin kamu sampaikan?" tanya Sekar Kedaton.
"Ada seorang saudara hamba yang baru datang dari desa, saudara hamba itu amat ingin mengabdikan diri di istana menjadi emban dan melayani Tuan Putri, lalu hamba teringat beberapa hari yang lalu Tuan Putri berkeingian mendapatkan emban baru. Apakah Tuan Putri masih membutuhkan?" tanya Emban Prabarasmi.
Dyah Wiyat tersenyum sejuk, senyum Sekar Kedaton memang selalu bagitu. Para emban merasa senang karena Sekar Kedaton bersikap ramah kepada siapa pun.
"Siapa namanya?" tanya Dyah Wiyat.
"Saudara hamba itu bernama Tanjung, Tuan Putri."
Nama yang disebut itu menarik perhatian Sekar Kedaton.
"Tanjung?" "Hamba, Tuan Putri, selengkapnya Sekar Tanjung. Ia telah memiliki seorang putra, namun tak lagi bersuami karena tak ada kabar beritanya."
Dyah Wiyat tidak perlu menimbang terlampau lama.
"Sekar Tanjung itu sudah berada di sini?"
Emban Prabarasmi mengangguk.
"Baiklah, hadapkan Sekar Tanjung kepadaku sekarang juga."
Emban Prabarasmi ternyata telah mempersiapkan Sekar Tanjung di luar pintu. Dengan kepala menunduk dan sikap sangat santun, Sekar Tanjung mengikuti langkah Emban Prabarasmi. Meski telah berusaha tenang, Sekar Tanjung tak mampu menipu diri bahwa hatinya tak tenang, terbaca hati gelisah hal itu dari keningnya yang berkeringat.
Dyah Wiyat memandang Sekar Tanjung dengan mata tak berkedip dan sedikit rasa takjub. Perempuan bernama Sekar Tanjung itu memiliki tubuh yang sangat bagus dengan lekuk pinggang yang indah dan ramping.
398 Gajah Mada Wajahnya yang lugu tidak mampu menyembunyikan kecantikannya. Bila Sekar Tanjung mendapat kesempatan berdandan sebagaimana dirinya tentu kecantikannya tak akan kalah dari kecantikannya.
"Kamu Sekar Tanjung?"
"Hamba, Tuan Putri," jawab Sekar Tanjung sangat santun.
Sekar Tanjung ternyata mampu melaksanakan petunjuk singkat mengenai apa saja yang harus dilakukan dan bagaimana dalam bersikap di hadapan Sekar Kedaton. Dyah Wiyat tidak perlu menimbang terlampau lama untuk memutuskan menerima pengabdian Sekar Tanjung.
"Apakah kau bisa memasak, Sekar Tanjung?" tanya Dyah Wiyat.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Sekar Tanjung. "Hamba bisa memasak, namun jenis masakan biasa. Hamba akan belajar banyak untuk memasak jenis masakan yang belum hamba kenal sebelumnya."
Dyah Wiyat termangu sejenak.
"Dan, kau bisa memijat jika tubuhku sedang pegal?"
"Hamba bisa, Tuan Putri," jawab Sekar Tanjung.
"Baik, Sekar Tanjung, kuterima permohonanmu. Kebetulan aku sedang lelah, atau mungkin hatiku yang lelah menyebabkan tubuhku demikian lunglai."
Sekar Kedaton Dyah Wiyat segera bangkit dari kursi ayun dan membaringkan diri di tempat tidur. Amat santun Sekar Tanjung dalam melaksanakan tugasnya. Sekar Kedaton Dyah Wiyat amat menikmati pijatan tangan itu. Sekar Tanjung mengerjakan tugasnya dengan berhati-hati, jangan sampai melampaui batas kesopanan. Mungkin oleh kantuk karena semalaman sulit tidur, Dyah Wiyat langsung pulas. Tarikan napasnya mengayun lembut bahkan agak sedikit mendengkur.
Sekar Tanjung terus menggerayangi punggung Sekar Kedaton dengan jarinya yang lentik sambil memerhatikan ruangan itu dengan rasa takjub. Ruangan yang kini ia lihat benar-benar merupakan ruang Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 399
yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Dinding ruang tidak tampak tertutup oleh ukir-ukiran berbentuk daun yang menjalar ke mana-mana. Tempat tidur berkelambu berbahan kayu jati dengan ukiran memet. Di sudut-sudut ruang ditempatkan tanaman hidup yang diletakkan pada tempayan. Di sudut yang lain ada tempayan lebar penuh air yang penuh dengan ikan hias dan pohon teratai berdaun lebar dan berbunga besar. Kamar itu menjadi lebih menyenangkan lagi karena bau wangi bunga melati menguasai seluruh ruang. Dari jendela terbuka Sekar Tanjung bisa menyaksikan halaman yang luas dengan deretan pohon kesara dan pohon tanjung yang tengah berbunga. Sementara nun jauh di sana barisan pohon kelapa melambai-lambaikan daunnya ditiup angin, namun pohon bambu lebih liar dalam bergerak karena tiupan angin.
Di tempat tidur yang mewah itulah Sekar Tanjung membayangkan bagaimana Raden Kudamerta menjalani kehidupan rumah tangganya setelah mengawini Sekar Kedaton calon Ratu Majapahit. Betapa perih Sekar Tanjung merasakan di ulu hatinya membayangkan hal itu.
Tiba-tiba pintu terbuka. Nyaris berhenti ayunan otot yang menjadi penggerak jantungnya ketika Sekar Tanjung melihat siapa orang yang berdiri di tengah pintu. Pun demikian, betapa terperanjat orang itu melihat Sekar Tanjung berada di ruang itu melayanani istrinya dengan memijiti tubuhnya.
Orang itu adalah Raden Kudamerta, bingung yang melibasnya menempatkan dirinya pada tak tahu harus bersikap bagaimana. Dengan mata terbelalak bangsawan dari Pamotan sekaligus pewaris kuasa wilayah Wengker itu menatap Sekar Tanjung. Jantungnya berhenti berdetak dengan wajah serasa disiram air mendidih, sebaliknya meskipun Sekar Tanjung telah siap jiwa raga menghadapi kemungkinan bertemu dengan Raden Kudamerta sewaktu-waktu, tetapi ternyata perjumpaan itu masih juga mengguncangkan jiwanya.
Namun, pintu yang terbuka itu membangunkan Dyah Wiyat.
Perlahan-lahan Raden Kudamerta menutup pintu dan meninggalkan ruang itu dan membatalkan niatnya untuk berbicara dengan istrinya.
400 Gajah Mada Semula Raden Kudamerta telah mengambil keputusan berbicara blak-blakan dan siap menghadapi apa pun. Akan tetapi, niat itu terpaksa ditunda lagi.
Dyah Wiyat kembali memejamkan mata.
"Pijatan tanganmu enak sekali," ucap Sekar Kedaton.
Sekar Tanjung tidak menjawab. Dengan terampil seolah memang memiliki kemampuan memijat, Sekar Tanjung terus mengurut dan menggerataki kaki Dyah Wiyat untuk kemudian mengantarkannya kembali tidur pulas. Dengan susah payah Sekar Tanjung berusaha menguasai diri. Kerinduan hatinya nyaris tidak bisa dikuasai.
Pertemuannya kembali dengan Raden Kudamerta setelah beberapa hari berpisah membuat hatinya benar-benar berantakan, padahal perpisahan itu baru beberapa hari yang lalu, namun serasa telah setahun lamanya.
Lebih berantakan lagi hati perempuan itu manakala mengingat, ke depan suaminya bukan lagi suaminya. Sekar Tanjung tak memiliki kekuatan yang memadai untuk berhadapan dengan Dyah Wiyat, pesaing yang kini tidur lelap di depannya.
Pesona yang meluluhlantakkan, atau semacam sihir yang sulit dienyahkan menyergap Raden Kudamerta, menempatkannya menjadi orang yang paling bingung di istana. Tak ada kekagetan yang melebihi terkejut melihat Dyah Menur memijiti Sekar Kedaton di dalam biliknya.
Dyah Menur, Dyah Menur Hardiningsih istrinya.
"Benar-benar gila!" desis Raden Kudamerta.
Namun, Raden Kudamerta tidak mau berlama-lama dengan rasa bingungnya. Raden Kudamerta bergegas mencari, yang dicari rupanya sedang menunggunya.
Prabarasmi tersenyum. "Apa yang telah kaulakukan?" tanya Raden Kudamerta dengan meluap.
"Raden sudah tahu?" balas Prabarasmi.
"Ya," jawab Raden Kudamerta. "Istriku berada di bilik " istriku."
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 401
Prabarasmi tersenyum lebar.
"Telah kusulap istri Raden dengan nama panggilan baru. Raden mengenalinya sebagai Dyah Menur, di sini namanya Sekar Tanjung."
Raden Kudamerta berusaha sekuat tenaga mengendalikan diri, namun pesona sihir itu memang terlalu kuat untuk dilawan. Rasa meluap bertemu kembali dengan istrinya masih ditambah oleh alasan yang lain, rindu yang tidak tertahankan kepada anaknya.
"Lalu anakku mana?"
"Sudah ada yang mengatur, Raden," jawab Prabarasmi.
"Siapa?" tanya Raden Kudamerta.
"Putra Raden saat ini berada dalam perlindungan Kakang
Pradhabasu." Rasa kaget yang datang beruntun itu menyebabkan Raden Kudamerta merasa telapak tangannya membeku. Raden Kudamerta yang memejam menyempatkan diri mengerataki rambutnya. Akan tetapi, tetap saja apa yang dialaminya itu tidak berubah, bukan dari jenis mimpi yang bisa menghilang ketika kesadaran datang.
"Jagat Dewa Batara," desis Raden Kudamerta.
Prabarasmi menempatkan diri menunggu Raden Kudamerta
berbicara. Namun, betapa bingung Raden Kudamerta.
"Kau sudah mengetahui persoalan macam apa yang kuhadapi, Prabarasmi?" tanya Raden Kudamerta.
"Sudah, Raden," jawab Prabarasmi. "Istri Raden telah menceritakan semuanya kepadaku dan aku berjanji tidak akan membuka mulut.
Namun, Raden sendiri juga harus berhati-hati dalam menyimpan rahasia.
Aku akan mengatur bila Raden ingin bertemu dengan istri Raden."
Raden Kudamerta mengangguk, namun ia merasa wajahnya masih tetap tebal.
"Kalau begitu, kapan aku bisa bertemu dengan istriku, bagaimana cara kamu mengatur?" tanya Raden Kudamerta.
402 Gajah Mada Prabarasmi tersenyum sambil mengambil jarak karena dua orang prajurit dan seorang emban akan melintas.
"Tenang, Raden. Silakan Raden bersabar," jawab Emban Prabarasmi.
Raden Kudamerta nyaris tak membalas saat dua orang prajurit yang melintas memberikan penghormatan kepadanya. Ketika memandang ke langit langsung ke arah benderangnya matahari, Raden Kudamerta masih merasa takjub. Jejak pesona sihir pertemuannya dengan Dyah Menur di bilik Sekar Kedaton benar-benar mengagetkan. Kecuali bila pertemuan itu terjadi di tengah pasar atau di jalan, yang ini istrinya ada di bilik istrinya yang lain.
"Aku tidak percaya, aku benar-benar tidak percaya. Aku bertemu istriku di bilik Sekar Kedaton," gumam Raden Kudamerta untuk diri sendiri.
34 Gajah Mada berjalan mondar-mandir dengan segala rasa
ketidaksabarannya. Telah lama ia menunggu Bhayangkara Riung Samudra, Bhayangkara Macan Liwung, dan Bhayangkara Jayabaya.
Mereka belum kembali, padahal cukup lama waktu telah berlalu. Waktu yang ada bahkan telah ia gunakan untuk menemui istri Ra Tanca untuk mengajukan sebuah pertanyaan penting.
Beberapa saat yang lalu, Nyai Ra Tanca menyongsongnya di halaman ketika Patih Daha Gajah Mada mendatanginya. Lebar senyum Nyai Tanca dalam menerima kehadiran Gajah Mada menyebabkan Patih Daha Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 403
merasa heran karena sama sekali tak melihat guratan kesedihan di wajah perempuan itu. Atau, apakah karena demikian pintarnya Nyai Tanca menyembunyikan warna hati yang sebenarnya, warna nestapa karena ditinggal suami untuk selamanya.
"Masalah apa yang membawa Ki Patih datang ke sini?" Nyai Tanca langsung mengajukan pertanyaan.
Namun, yang dihadapinya adalah Patih Daha Gajah Mada, orang yang paling tidak suka berbasa-basi.
"Benar sebagaimana yang dikatakan Gagak Bongol kepadaku, kaulah orangnya yang membuat lambang ular membelit buah maja itu."
Tak ada ketakutan atau cemas sedikit pun di muka wajah Nyai Tanca.
"Ya," jawab Nyai Tanca. "Aku yang membuat lambang itu."
"Kalau begitu kamu pasti tahu siapa Panji Rukmamurti?"
Pertanyaan yang diajukan dengan menohok itu sama sekali tak menyebabkan raut muka Nyai Tanca berubah, tidak ada cemas tak ada gelisah. Jika ia berpura-pura tak tahu padahal sebenarnya tahu maka istri mendiang Ra Tanca itu sungguh punya kemampuan bersandiwara yang bagus. Nyai Tanca bahkan tersenyum lebar, pamer barisan gigi-giginya yang berbaris putih mengilat dan rapi. Dengan sengaja Nyai Ra Tanca membetulkan rambutnya, dengan demikian makin menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya.
"Aku pernah mendengar nama itu," jawabnya.
Gajah Mada menunggu beberapa jenak, namun Nyai Tanca tidak menyambung kata-katanya.
"Siapa orang itu?" kejar Gajah Mada.
Nyai Tanca masih mengumbar senyum lebarnya. Gajah Mada
kesulitan dalam menebak warna hati macam apa yang disembunyikan di balik senyum berlepot teka-teki itu.
"Aku hanya pernah mendengar nama itu," jawab Nyai Ra Tanca.
"Suamiku pernah menyebut nama itu. Akan tetapi, tidak pernah menjelaskan ia siapa. Hanya itu jawaban yang aku miliki, Ki Patih."
404 Gajah Mada Gajah Mada curiga dan sangat meyakini kecurigaan itu bahwa Nyai Ra Tanca benar menyembunyikan sesuatu.
"Ceritakan lambang ular membelit buah maja itu. Kau yang menggagasnya atau suamimu. Lalu, apa tujuan di balik pembuatan itu!"
Gajah Mada menambahkan. Dengan mengumbar senyum Nyai Ra Tanca bertindak kelewatan.
Ia berjalan mengelilingi Gajah Mada yang berdiri. Gajah Mada tak suka diperlakukan seperti itu. Akan tetapi, dipilihnya sikap membiarkan apa pun yang dilakukan Nyai Ra Tanca, juga saat Nyai Ra Tanca mendorong tubuhnya dengan dorongan yang menggoda.
"Lambang itu milik Kakang Ra Tanca," jawabnya.
Namun, Gajah Mada segera menyergap, "Gagak Bongol
mengatakan, kamulah yang merancang dan pemilik gagasan."
Nyai Tanca tertawa sedikit terkekeh dan dengan tiba-tiba ia berhenti tertawa.
"Pemilik jiwa lambang itu adalah Kakang Rakrian Tanca. Memang benar aku yang merancang, namun ibarat aku hanya kulitnya, Kakang Ra Tanca jiwanya."
Gajah Mada amat terganggu oleh jawaban yang agaknya masuk akal itu. Akan tetapi, Gajah Mada ingat bahwa berapa tahun surya yang lalu pernah menonton pagelaran sandiwara yang disuguhkan dalam acara maleman bulan Caitra dan bahkan pada saat Srada. Di panggung dengan disaksikan banyak penonton, Nyai Ra Tanca berhasil menguras air mata pemirsa melalui peran yang dibawakannya.
"Kuulangi, Nyai Tanca," ucap Gajah Mada menegas. "Kau pernah mengenal nama Panji Rukmamurti."
Trengginas Nyai Tanca menjawab, "Pertanyaan itu lagi, Ki Patih. Aku sudah menjawab, aku pernah mendengar nama itu karena suamiku menyebutnya."
"Siapa sebenarnya orang itu?" Gajah Mada mengejar.
"Aku tidak tahu."
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 405
Gajah Mada terpaksa menarik napas panjang, gambaran kejengkelannya.
"Kapan kamu terakhir ke Karang Watu?"
Nyai Ra Tanca yang semula membelakangi, berbalik dan memandang wajah Patih Daha dengan raut muka sangat heran.
"Karang Watu, kenapa kamu berpikir aku pernah pergi ke sana"
Untuk urusan apa aku harus ke Karang Watu" Kalau mengajukan pertanyaan, ajukanlah yang aku bisa menjawab. Jangan yang membuatku bingung seperti itu."
Akhirnya, Patih Daha Gajah Mada terpaksa meninggalkan Nyai Tanca tanpa berhasil mengorek keterangan apa pun. Nyai Ra Tanca tertawa mbranyak ketika orang yang membunuh suaminya itu akhirnya pergi meninggalkannya. Pintu rumah yang semula tertutup lalu terbuka.
Seorang prajurit berbadan gagah berdiri di tengah pintu.
Prajurit itu, ia bernama Kendar Kendara, ia seorang Bhayangkara yang semula hanya mendapat tugas untuk menjaga dan mengamankan rumah Nyai Ra Tanca dari amuk orang yang marah. Akan tetapi, Kendar Kendara telah mengolah tugasnya itu menjadi bentuk tugas yang menyenangkan dirinya. Bhayangkara Kendar Kendara memeluk Nyai Tanca dari belakang. Yang dipeluk menggeliat dan berbalik, mirip ular yang ia lakukan. Dengan ganas Nyai Tanca mematuk.
Gajah Mada memacu kudanya bagaikan orang yang takut kehilangan waktu. Di langit matahari telah bergulir dari titik ketinggiannya dengan sedikit doyong ke arah barat. Bayangan tubuh yang semula tepat berada di bawah kaki kini agak doyong ke arah timur. Tanpa mengurangi kecepatan, Gajah Mada berbelok ke halaman Balai Prajurit. Seorang prajurit dengan sigap menjemput dan menerima penyerahan tali kuda ketika Gajah Mada meloncat turun.
"Mana Riung Samudra?" tanya Gajah Mada.
"Belum datang, Ki Patih," jawab prajurit yang menerima kendali kuda itu.
406 Gajah Mada Gajah Mada naik ke pendapa dan berjalan mondar-mandir. Namun, Gajah Mada tak perlu menunggu terlalu lama, nyaris bersamaan terlihat tiga ekor kuda berderap dari arah selatan dan seekor kuda datang berderap dari utara. Bersusulan ketiga orang yang memacu kuda bagai dikejar setan membelok ke Balai Prajurit. Para Bhayangkara yang mendapat tugas telah kembali, orang yang ke empat adalah Singa Darba.
"Apa kabarmu, Lurah Singa Darba?"
"Kabarku baik, Ki Patih," jawab Singa Darba.
Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gajah Mada memandang Jayabaya, "Mana Rakrian Kembar?"
Jayabaya melengkapi jawabannya dengan mengangkat dua telapak tangannya.
"Aku terlambat, Kakang Gajah Mada. Ra Kembar dengan anak buahnya sekitar empat puluh atau lima puluh orang berangkat menuju Karang Watu!"
Agak terperanjat Gajah Mada. Namun, melihat Singa Darba
mengangguk, itu berarti Singa Darba tahu untuk keperluan apa Ra Kembar ke Karang Watu.
"Dan kamu?" pertanyaan Gajah Mada ditujukan kepada Macan Liwung.
Bhayangkara Macan Liwung menempatkan diri. Dari sabuk yang membelit, Macan Liwung mengeluarkan pisau.
"Pisau ini benar milik Ajar Langse," kata Macan Liwung. "Dan benar dugaan Kakang Gajah Mada, ada yang memberi kesaksian Ki Ajar Langse adalah salah satu pendukung Raden Kudamerta. Ki Ajar Langse sering terlihat berdua dengan Raden Kudamerta."
Patih Daha Gajah Mada terbungkam mulutnya beberapa jengkal waktu sambil mengunyah keterangan yang ia terima dari masing-masing Bhayangkara.
"Untuk keperluan apa Rakrian Kembar dan sekitar empat puluh orang anak buahnya pergi ke Karang Watu" Untuk bergabung dengan orang-orang yang berniat melakukan makar itu atau bagaimana?"
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 407
Perhatian Gajah Mada kali ini dialihkan kepada Lurah Singa Darba.
"Bukan untuk bergabung, Ki Patih, tetapi untuk menyerbu mereka yang sedang membangun kekuatan di Karang Watu," jawab Singa Darba.
Kembali Gajah Mada terdiam beberapa jenak, bahkan kali ini ia lakukan sambil memejamkan mata. Perintah yang diberikan kepada Bhayangkara Macan Liwung, ia lakukan masih sambil memejamkan mata.
"Macan Liwung, lepas isyarat sanderan. Aku membutuhkan
kehadiran segenap senopati pimpinan pasukan."
"Baik, Kakang," jawab Macan Liwung.
Hanya sejenak setelah itu terdengar suara melengking susul-menyusul. Kali ini tidak hanya sebatang anak panah sanderan yang dilepas membubung memanjat langit membelah angkasa, namun lima batang anak panah sekaligus. Suara anak panah susul-menyusul itu mengagetkan beberapa prajurit yang melakukan tugas jaga di bangsal kesatrian Jalapati dan bangsal Sapu Bayu, masing-masing dipimpin Senopati Haryo Teleng dan Senopati Panji Suryo Manduro, dua sosok pilih tanding yang memiliki kemampuan gelar perang dan olah kanuragan yang menonjol. Sejak pemberontakan yang dilakukan para Dharmaputra Winehsuka, tidak ada lagi pasukan Jala Rananggana dan Jalayuda. Dua pasukan itu dihapus dan dilebur menjadi hanya dua pasukan berkekuatan besar dan berkemampuan pukul luar biasa, yaitu pasukan Jalapati menggunakan umbul-umbul changka atau kerang bersayap dan pasukan Sapu Bayu menggunakan lambang candrakapala.
Kisah Pedang Bersatu Padu 18 Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama