Ceritasilat Novel Online

Eng Djiauw Ong 12

Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin Bagian 12


"Benar, Soen Loosoe, mari kita kejar dia!" Liong Jiang jawab.
Pikiran ini dapat kesetujuan umum, maka semua lantas
loncat naik keatas kuda mereka. Tetapi berbareng dengan itu, dari antara orang banyak ada terdengar sindiran
"Makhluk2 harus dihajar! Hm, murid2 orang gagah,
kiranya begini sewenang2 perbuatannya, pandang jiwa
manusia seperti rumput saja! Jikalau berani main gila pula, kau semua harus dihukum...."
Liong Jiang semua dengar itu, tetapi Liong Jiang sendiri yang berpaling dan mengawasi, ia tidak lihat tampang yang dikenal diantara orang banyak dari mana suara tadi itu datang.
"Sudahlah," kata ia kemudian. "Rupanya ini kembali
ada soe couwku. Agar orang tidak tertawakan kita,
marilah!" Belum Liong Jiang berangkat, atau ia lihat dari arah Ip Coei Lauw mendatangi Ngo Cong Gie dan rombongannya,
mereka tidak bicara satu dengan lain, mereka cuma saling mengasi tanda rahasia, lantas kedua pihak berangkat,
rombongannya Ngo Cong Gie jalan terlebih dahulu dan
menantikan diluar dusun. Kedua pihak bertemu ditempat yang sunyi, akan tuturkan pengalaman masing2.
"Sudah," Cong Gie bilang.
"Kita tak usah berlaku sungkan lagi. Entah siapa yang bayarkan uang makan kita...."
Lioe Hong Coen bengong. "Siapa yang bayarkan pihakmu?" ia tanya.
"Aku kira Ciok Soehoe," Cong Gie jawab sambil ia
awasi Liong Jiang. "Jongos bilang, pembayarnya ada satu anak muda. Kalau bukan kau, Ciok Soehoe, habis siapa?"
Kedua pihak tercengang. Tetapi Liong Jiang sendiri tidak terlalu heran, karena ia tahu baik kejenakaannya kedua soecouw nya atau kake guru.
"Sekarang kita waspada saja akan lihat siapa yang
sedang main2 kepada kita itu," kata Cong Gie kemudian. Ia melihat ada orang yang lagi mendatangi.
Kedua pihak lantas saja berangkat pula, dengan tetap ber pisahan. Sampai lohor baharu mereka tiba di Ceng liong ek, yang letaknya ditepi gunung, dekat dengan air, disekitarnya banyak pohon siong dan pek, jalan besarnya dua, depan dan belakang. Rombongannya Liong Jiang menuju kejalan belakang.
Hari sudah magrib, dusun ada ramai, banyak orang dan
kereta yang singgah. Ngo Cong Gie mencari hotel Jin Hoo, untuk sekalian
tengok hotel kenamaan itu. Ia dapatkan sebuah hotel besar, segala2nya bersih, kecuali papan mereknya, yang huruf nya mulai guram. Ia disambut dengan manis oleh dua jongos, yang rupanya segera kenali ia ada rombongan piauwsoe
yang mengantar "am piauw," piauw gelap.
Juga pekarangan dalam ada lebar dimana antaranya ada
meja dan kursi2 untuk tetamu2 berangin.
Cong Gie pilih ruangan kecil sebelah Timur, yang
suasananya sunyi, disitu ada lima buah kamar, sedang
Louw Kian Tong dan Teng Kiam segera periksa sekitarnya ruangan dengan ber pura2 me lihat2.
Semua peti piauw ditaruh di dua kamar Barat dan
Timur, masing2 terjaga separuh piauwsoe. Tukang kereta dan pegawai ambil dua kamar sebelah Timur. Kedua
saudagar ambil satu kamar sendiri.
Sehabisnya bersantap, Ke Siauw Coan tanya jongos apa
ia boleh menemui pemilik hotel yang kesohor jujur. Jongos bilang boleh tetapi rada sulit, sebab sudah sekian lama majikannya itu bertempat sendirian diruang belakang
dimana dia tuntut penghidupan sebagai orang suci, hingga sekalipun orang dalam jarang menemui padanya. Maka
jongos itu menghaturkan terima kasih saja. Siauw Coan pun tidak memaksa.
Malam itu selewatnya jam dua, Soe ma Sioe Ciang peryi keluar untuk meronda. Iapun naik ke genteng. Kemudian kembali kekamar, akan beritahukan Ngo Cong Gie bahwa
tidak tampak apa2 yang mencurigai.
Cong Gie berlega hati, tetapi kemudian ia utarakan
bagaimana ia telah persulit rombongan Hoay Yang Pay itu disebahkan gangguannya Cin tiong Sam Niauw.
"Jangan bilang begitu, Ngo Jieko," kata Chio In Po.
"Kit. ada dari satu kalangan, sudah sepantasnya saja kita saling bantu. Aku harap kau tidak sungkan. Pun mengenai sikap luar biasa dari kedua ketua Na, aku harap kau tidak sangsi...."
"Kau baik sekali, Chio Lo soe," kata Cong Gie.
Piauwsoe ini belum sempat bicara lebih jauh, atau dari luar kamar ia dengar orang tertawa dingin dan kata "Orang sho Ngo, kau benar. Si orang kati she Na tidak ada artinya!
Aku hendak pinjam suatu apa dari mu, mari kau keluar!"
Cong Gie semua terkejut. Tidak disangka, penjahat
berani datang pula. "Jaga piauw, jangan bergerak!" ia pesan setelah ia
segera, padamkan api. Cepat sekali, tanpa berisik, orang telah men jaga2.
Kemudian dengan jalan dari jendela belakang, Cong Gie pergi keluar, ia bekal sebatang toya. Ke Siauw Coan,
dengan bersenjatakan lian coe chio, turut keluar juga.
Tetapi mereka keluar dengan sia2, tidak ada musuh yang diketemukan. Maka akhirnya, mereka kembali kedalam.
"Nyalakan api!" kata Cong Gie ketika ia baharu sampai dijendeia.
Ke Siauw Coan tarik daun pintu angin.
Waktu itu, Teng Kiam dan Louw Kian Tong muncul
dari kamar Timur dan Barat, mereka bekal gegaman
masing2. Kedua pihak menuju kepertengahan dengan
berbareng. Dengan tiba2 ketiganya terperanjat. Kian Tong dan Teng Kiam pun berseru "Siapa kau?"
LX Duduk dikursi pertama dari meja patsianto ada satu
orang tua yang tubuhnya kurus, yang romannya dapat
dikatakan aneh. Tapi kapan ia sudah melihat tegas, Ke Siauw Coan cegah dua kawannya "Jangan turun tangan!
Orang sendiri!" Dan ia sendiri segera hampirkan orang tua itu didepan siapa ia memberi hormat sambil berlutut seraya mengucap "Tee coe tidak tahu soe siok datang, harap
maafkan." Louw Kian Tong dan Teng Kiam berdiri diam, mereka
heran. Itu waktu yang lain2 pun sudah lantas muncul, hingga
mereka bisa lihat orang tua itu masih duduk bercokol, tetapi dia sudah lantas goyang2 tangannya seraya kata "Bangun, jangan banyak peradatan!"
Siauw Coan berbangkit, ia lalu perkenalkan Cong Gie
dan Soe ma Sioe Ciang. "Loo cian pwee, maafkan kami," kata kedua piauwsoe,
yang lantas memberi hormat sambil berlutut juga.
"Jangan banyak peradatan, jiewie," kata si orang tua, yalah Ay kim kong Na Hoo. "Aku si orang tua memang
paling gemar bersenda gurau, maka itu harap kau maafkan aku bahwa tadi aku sudah main2...."
Kedua piauwsoe itu lekas berbangkit.
"Sebaliknya, loocianpwee," kata Cong Gie. "Sebaliknya, kami yang mesti menghaturkan terima kasih pada
loocianpwee, yang sudah sudi membantu kami. Kanyi tidak tahu apa salah kami terhadap Hauw Thian Hoei maka ia
sudah datang untuk mengganggunya. Selanjutnya kami
membutuhkan bantuan lebih jauh dari loocianpwee!"
Na Hoo bersikap tawar. "Masih saja kau berlaku sungkan," kata dia dengan
tajam. "Kita ada orang2 kang ouw, apabila kau pandang aku sebagai sesama, jangan kau sungkan2!"
Cong Gie bungkam. "Ngo Piauwtauw, harap kau mengerti," Siauw Coan
turut bicara. "Beginilah tabiatnya soe siokku yang gemar main2.
Memang kita tidak perlu pakai terlalu banyak adat
peradatan." Na Hoo tertawa. "Eh, boca, kau buka rahasiaku!" ia tegor keponakan
murid itu. "Hayo, kau beberlah semua rahasiaku!"
Orang semua berdiam, walaupun orang tua ini ngoce
saja. Soe ma Sioe Ciang sudah lantas menuangkan secangkir
teh, ia bawa itu kedepan Na Hoo, baharu saja cangkir ia hendak letaki, tiba ia lihat satu bayangan berkelebat turun didepan pintu angin, selagi yang lainnya terperanjat, ia sudah lantas menyambit dengan cawan teh nya. Sedetik
kemudian, cawan jatuh kelantai dan pecah disusuli dengan
ucapan dari luar "Sahabat, kau baik sekali, aku
menghaturkan terima kasih!"
Semua piauwsoe lainnya berlompat keluar, tapi Na Hoo
mencegah. "Jangan berisik," kata jago tua ini. "Si kunyuk tahu aku si tua bangka ada disini, tidak nanti dia berani main gila...."
Lalu ia menggape keluar, ia kata "Liongjie, kau masih belum mau masuk, kau tunggu apa lagi?"
"Aku niat masuk tetapi aku kuatir...." demikian jawaban dari luar.
Semua piauwsoe dan boesoe batal bergerak, mereka
mengawasi keluar dari mana segera muncul satu orang,
yalah Siauw hiap Ciok Liong Jiang, dibebokong siapa ada tergendol satu bungkusan persegi panjang.
Melihat bungkusan itu, hatinya Soe ma Sioe Ciang
bercekat. Itulah bungkusan mirip dengan yang telah tercuri penjahat. Tapi ia diam saja.
Liong Jiang lantas kasi hormat pada semua orang.
"Ciongwie loosoe, maafkan aku," ia kata.
Ngo Cong Gie dan Soe ma Sioe Ciang sebenarnya tidak
puas, tetapi mereka bersikap hormat dan manis. Mereka lihat Liong Jiang letaki bungkusan nya diatas meja. karena ini, mereka memikir untuk tanya dan tegasi itu.
"Ah, aku lupa!" tiba kata si orang tua seraya ia
berbangkit. "Eh, anak, mari aku kasi tahu supaya tidak gagal...." Ia lirik ke enam piauwsoe dan boesoe, lalu ia tambahkan "Inilah rahasia, mari ikut aku!"
Liong Di ang menyahuti "Ya," lantas ia ikut soe couw
itu kedalam. "Kau tinggalkan barang disitu, apa hatimu tenteram?"
tiba kata si orang tua, yang mengawasi bungkusan diatas meja.
Cucu murid itu tidak menjawab, ia hanya jemput
bungkusan itu. Mereka pergi ke dalam kamar ujung Timur.
Cong Gie berenam berdiri diam, mereka tidak berani ikut masuk, merekapun bungkam. Dari dalam kamar, mereka
dengar kata yang tidak jelas. Tidak lama, Na Hoo keluar pula bersama Liong Jiang, dia ini masih pegangi
bungkusannya. Thay kek Lioe Hong Coen tak dapat tahan sabar lagi.
"Soesiok," kata ia, "soesiok bilang kami harus tunggu di Tok siong kwan untuk dapatkan kembali barang yang
hilang, apakah barang itu telah soesiok dapatkan?"
"Benar," sahut Jie hiap Na Hoo. "Barang itu aku telah rampas pulang tetapi Hauw Thian Hoei tentu tidak mau
mengerti, dari itu aku ubah sikapku untuk suruh Liong jie kembalikan itu padamu. Begitulah aku datang sendiri.
Dugaanku benar, si kunyuk tidak mau mengerti, dia kuntit aku selama dua puluh lie. Sebetulnya Liong jie jalan
duluan, apamau, aku telah dulu ia sampai disini, ini anak makin lama makin malas...."
Liong Jiang tidak puas tapi dia diam saja.
"Ngo Piauwsoe," kata Na Hoo pada Cong Gie,
"sekarang aku telah ambil putusan untuk layani si kunyuk Twie hong Tiat cie tiauw Hauw Thian Hoei, aku ingin
pastikan dia sebetulnya kunyuk tulen atau kunyuk palsu, karena ini, barang ini aku antarkan separuh sebagai umpan, untuk pancing dia. Liong jie, sekarang kau buka bungkusan itu, kasi Ngo Piauwsoe dan Soe ma Piauwsoe periksa,
isinya cocok dengan daftar atau tidak. Barang berharga
sangat besar, kita sendiri ada si telur gundul, kita tidak sanggup mengganti. Bicara terus terang, sanak tinggal sanak, uang tinggal uang, sahabat tinggal sahabat, tetapi urusan mesti dibereskan secara umum. Kita merantau
dengan andalkan pundak kosong, meski demikian, nama
kita ada lebih berharga daripada emas, aku takut untuk orang punya mulut merah dan lidah putih, lidah bisa tindih orang sampai mampus! Benar tidak, Liong jie?"
Liong Jiang tahu maksud soe couwnya yang ngoce tak
keruan itu, ia ingin tahu, Ngo Cong Gie dan Soe ma Sioe Ciang dapat menerka atau tidak. Benar kedua piauwsoe itu ingin lihat isinya bungkusan, bukan karena mereka
sangsikan si orang tua, itu melulu ada keinginan belaka untuk memperoleh kepastian. Inipun ada perasaan umum
diantara orang yang menghadapi pengalaman sebagaimana mereka. Melainkan mereka tidak berani minta, mereka
kuatir si orang tua gusar dan pergi. Kalau itu sampai terjadi, mereka malu sekali. Bukankah mereka telah dibantu dan sekarang mereka tertolong dari kesukaran" Liong Jiang sudah lantas buka bungkusan itu. Mereka lihat, bungkusan ada rapi seperti asal nya.
"Ah, loocianpwee. mustahil kami tak percaya kau...."
kata Cong Gie sambil paksakan tertawa. "Kita ada orang kang ouw, kita mesti jujur satu dengan lain."
Ia jemput peti barang berharga itu, untuk dibawa masuk kedalam kamarnya, selagi memegang, ia mencoba men
timang2, beratnya sama atau tidak, kemudian hatinya jadi lega betul. Ketika ia balik keluar, ia hendak tanya si orang tua, bagaimana caranya dia rampas pulang peti itu dari tangannya Cin tiong Sam Niauw, tetapi Na Hoo dului ia kata pada Liong Jiang "Liong jie, lekas kembali, kehotel, suruh mereka segera siap, untuk pergi ke Tok siong kwan, akan berkumpul disana! Cin tiong Sam Niauw sudah
tantang aku, disana kau boleh menonton keramaian,
apabila kau terlambat, tak dapat aku menanti kan...."
"Kalau begitu, ijinkan tee coe berangkat lebih dahulu,"
kata Liong Jiang sambil manggut. Kemudian ia kasi hormat pada semua piauwsoe seraya bilang "Maafkan, ciong wie, tak dapat aku temani kau sekalian." Terus ia bertindak.
Soe ma Sioe Ciang menyusul untuk mengantarkan, tapi
ia bilang "Kau lelah, Ciok Soehoe! Belum lagi kau minum, bagaimana kau sudah mau berangkat pula?"
"Urusan ada penting, biar lain kali saja kita berkumpul dan minum2," sahut Liong Jiang. "Silahkan kembali, Soe ma Loosoe."
Ia kasi hormat pada piauwsoe ini, ia menindak keluar
pintu, akan lantas mencelat keatas genteng dimana ia
lenyap dalam sekejab. Soe ma Sioe Ciang terpaksa balik, bersama Ngo Cong
Gie ia tetap bingung memikirkan kelakuan aneh dari Ay Kim Kong.
"Silahkan duduk," kemudian Na Hoo undang semua
piauwsoe. "Ngo Piauwtauw, Cin tiong Sam Niauw coba
ganggu kau, apakah kau bisa terangkan padaku sebab2nya"
Apa memang ada ganjelan diantara kau kedua pihak atau mereka cuma temahai piauw yang berharga, hingga mereka lupai kehormatan kaum kang ouw?"
"Sebenarnya diantara kedua pihak tidak ada ganjelan
suatu apa," jawab Ngo Cong Gie "Kami bekerja di Selatan, daerahnya Cin tiong Sam Niauw di Soe coan dan Siamsay.
Aku percaya mereka hanya mengarah piauw belaka. Syukur loocianpwee telah tolong kami, tetapi walaupun demikian, kami sudah rubuh, maka itu, sehabis nya serahkan tugas ini,
kami hendak melepas undangan antara rekan2 untuk bikin perhitungan dengan mereka itu!"
"Jikalau asalnya tidak ada permusuhan, teranglah
mereka itu sangat menghina," berkata Na Hoo "Aku bisa mengerti kau bersakit hati, sahabat Ngo. Mereka telah tantang aku, biarlah aku wakilkan kau sekalian. Aku tidak akan kasi hati pada mereka itu. Umpama mereka tahu diri, mereka tidak datang ke Tok siong kwan, itu ada baiknya untuk mereka. Tetapi mereka pun angkat nama bukan
dengan gampang, aku masih pikirkan itu dari itu, aku harap aku tak di paksa nanti berbuat keterlaluan."
"Loocianpwee benar," bilang Cong Gie. "Kami tahu diri tidak berkepandaian tinggi, kami tidak berani ganggu siapa juga, tapi Cin tiong Sam Niauw keterlaluan, apabila kami diam saja mereka pasti akan pandang kami secara terlebih hina pula. Turut aku, silahkan loocianpwee layani mereka, kami yang bertanggung jawab, kami ikhlas umpama kami
mesti rubuh habis2an!"
"Kau benar, lauwhia," kata Ay Kim Kong sambil
tertawa. "Kita sebenarnya tidak niat ganggu orang tetapi orang ada berhati buruk, ini ada sama dengan halnya
manusia tidak niat celakai harimau, harimau ingin celakai manusia. Tentu saja, apabila terpaksa, kita mesti layani mereka...."--28
Teng Kiam niat sambut! kata nya orang tua itu ketika
dengan mendadak Na Hoo menjura ke pintu angin dan
manggut sambil berkata "Sahabat, kau datang terlambat!"
Menyusul mana, sebelah tangannya pun terayun, lalu
tertampak sebuah sinar perak melesat kejendela, menembusi jendela itu sambil menerbitkan suara nyaring, menerbitkan suara pelahan diluar, segera sirap. Setelah itu, segera jago tua ini goyangi tangan pada orang banyak untuk
mencegah mereka bergerak. Kemudian, meneruskan
gerakannya, dengan kibasan tangan, ia padamkan pelita.
Teng Kiam dan Louw Kian Tong tidak diam saja,
mereka bergerak untuk malindungi barang mereka.
Na Hoo telah berlompat kepintu, pintu baharu terbuka
sedikit atau ia sudah loncat keluar, mencelat ketembok diujung Selatan, gerak gerakannya adalah "Hoei yan coan lim" atau "Burung walet menembusi rimba."
Beberapa boesoe itu lompat menyusul, tetapi sesampainya diluar mereka telah kehilangan jago tua itu, maka diam2 mereka puji Ay Kim Kong, yang pantas berani malang melintang dan nyalinya luar biasa besar.
Ngo Cong Gie dan Soe ma Sioe Ciang lantas saja
melakukan penjagaan, mereka naik keatas genteng, akan memandang keempat penjuru dan men duga2 kemana
perginya si jago tua. Tiba2 mereka lihat satu bayangan berkelebat diarah Timur, gerakannya gesit sekali, kakinya tidak menerbitkan suara apa juga. Tidak tempo lagi Cong Gie loncat maju, akan dilain saat ia sudah berhadapan dengan bayangan itu, yang segera serang ia dengan
sebatang golok yang berkilauan. Ia berkelit kekiri, dengan sebelah kaki terangkat, dengan sikap "Kim kee tok lip" atau
"Ayam emas berdiri sebelah kaki" Berbareng dengan itu, selagi dengan dua jari kiri ia tekan senjata musuh, dengan ruyung lemasnya ia hajar senjata itu.
Si penyerang tak dikenal tarik pulang goloknya dengan diputar turun, untuk diteruskan membacok perut, atas mana Cong Gie berlompat pula" kembali kekiri, lalu sambil
berseru ia merabu pinggang musuh itu. Atas serangan
pembalasan ini, penyerang itu loncat tinggi sampai setum bak lebih, lantas ia turun disam ping.
"Bangsat, kau hendak lari kemana?" Cong Gie
membentak sambil merangsek.
Berbareng itu waktu, dari kaki tembok sebelah Barat, ada se ruan "Pundak rata, cucu benang ini bukan yang
menggantung beras, mari kita didepan kuda menyambut
saudara disana, untuk lihat dari mana barang lolos...." Atas ini, si penjahat mendiawab "Kalau begitu, biarlah dia ini merdeka!"
Ngo Cong Gie tahu artinya kata rahasia itu. Penjahat itu ajak kawannya undurkan diri, karena piauwsoe ini
bukanlah sasaran mereka, bahwa mereka baik susul lain kawannya. Karena ini, Cong Gie antap orang menyingkir.
Ia tahu orang ada punya kawan, ia tidak mau sembrono. Itu waktu pun ia lihat satu bayangan loncat keluar dari hotel menuju kepadanya, sambil ber kata dengan pelahan "Ngo Piauwtauw!" Ia lantas bersiap, karena ia belum tahu
bayangan itu kawan atau lawan.
"Oh, Chio Piauwtauw?" ia menegor, setelah ia dapat
melihat nyata. "Apa kabar?" Bayangan itu benar Chio In Po.
"Jangan kuatir, Ngo Jie tee," sahut piauwsoe itu. "Na Jie hiap sudah balik, ia suruh aku minta kau kembali, piauw telah dapat dirampas pulang, kau jangan kasi dirimu diakali musuh. Tadi penjahat gunai tipu daya memancing harimau turun gunung, syukur kita tak kena terjebak. Koe Soehoe pun tengah mencari Soe ma Soe tee."
Mendengar itu, hatinya Cong Gie jadi lega, maka tempo In Po tarik ia, ia lantas ikut. Ketika mereka mendekati pintu, yang separuh tertutup, mereka .dengar Na Hoo
sedang bicara sambil tertawa2, seperti juga ia bukan baharu saja melayani musuh liehay.
"Jiewie sudah kembali" Bagus!" jago tua itu menyambut dengan suaranya diantara pintu angin. "Kita jangan layani sebala kunyuk, segala maling ayam, biar mereka bikin onar sendiri! Aku si tua bangka memang pa ling bisa tahan sabar.
Kita toh tidak rugi seberapa. Mereka pu tar otak, mereka repot, sia2 mereka menjadi panca longok, mereka tak
peroleh hasil! Sekarang kau bisa saksikan wajahnya itu kawanan Rimba Hijau yang tak tahu malu! Sekaran kita
harus lekas berangkat dari sini, supaya kita tidak ganggu pemilik hotel dan sekalian tetamunya yang sedang enak tidur, agar kita tidak dicaci orang! Kita berangkat jam lima, segala urusan kita boleh bicarakan pula ditengah jalan."
Ngo Cong Gie dan Soe ma Sioe Ciang, begitupun yang
lain nya, bungkam atas kata2 yang nyerocos itu. Baharu kemudian Sioe Ciang tegasi, apa benar mereka harus
berangkat jam lima. "Musuh sembunyi disekitar kita, apa mereka ijinkan kita berangkat?" ia tanya pula Sepasang alisnya jago tua itu bangun.
"Jangan kuatirkan itu," kata ia. "Aku sudah lihat, tidak nanti mereka akan berani main gila pula!"
Tetapi sembari mengucap demikian, ia kedipi matanya.
Soe ma Sioe Ciang tidak banyak omong lagi, ia lantas
minta semua orang bersiap.
Ketika kentongan berbunyi lima kali, Na Hoo perintah
jongos sediakan air cuci muka dan air teh, sesudah mana, me reka bayar sewaan hotel. Mereka berangkat jam lima lewat tetapi cuaca masih remeng2, tetamu lainnya masih tidur nyenyak. Untuk persiapan, orang membutuhkan
lentera. Dalam rombongan ini, Jie hiap Na Hoo jalan dipaling be lakang, hingga dengan sendirinya ia jadi seperti piauwsoe pengan tar. Ia ada tenang. Tetapi kekuatirannya Cong Gie berbukti bahwa penjahat tidak mau sudah dengan begitu saja.
LXI Jalan besar ada sunyi, penduduk masih belum bangun
dari tidurnya. Selagi Keluar dari pekarangan hotel, Cong Gie dan beberapa kawannya tampak satu bayangan
berkelebat diatas genteng dirumah depan, tetapi memenuhi pesan Ay Kim Kong mereka diam saja, mereka cuma
bersiap2 sendirinya. Dengan sabar orang jalan bererot,


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cuma tindakan kaki kuda dan keledai yang terdengar nyata.
Ngo Cong Gie lihat Jie hiap tidak punya binatang
tunggangan, sedang semua orang tak jalan kaki seperti dia, ia mau mengalah dengan serahkan kudanya, tetapi Jie hian bersenyum, terus ia bersuit, menyusul mana dari
pepohonan lebat di tepi jalan lantas muncul seekor keledai hitam, yang sesampainya didepan orang tua itu, lantas berhenti. Menampak ini, Cong Gie semua jadi kagum dan tertegun.
Demikian orang berjalan, sampai cuaca pagi menjadi
terang, hingga satu lie kemudian, didepan mereka tampak gunung Thian Bak San.
Tinggi dan panjang adalah pegunungan Thian Bak San
itu, agung pemandangannya. Dikaki gunung ada sawah dan air. Hawa disitu membuat segar rombongan piauwsoe itu, yang tadi telah tidak tidur satu malaman.
Di depan mereka ada sebuah sungai kecil dengan
jembatan nya yang kecil juga. Dikali itu ada beberapa buah perahu, yang orang nya tengah asyik menangkap ikan.
Ke Siauw Coan jalankan kudanya dekat Jie hiap, siapa
bercokol diatas keledainya sebagai juga sedang tidur sambil berduduk. Tiba2 ia mendengar tindakan kaki kuda
disebelah kanannya, maka ia lantas menoleh, maka ia
tampak, dijurusan Timur selatan jauhnya setengah panahan dimana ada sebuah jalanan kecil, ada dua penunggang
kuda, sesampai ditempat yang berlumpur, kuda mereka
dikasi jalan pelahan. Seharusnya dua orang itu menyeberang dijembatan kecil itu, tapi ini mereka tidak lakukan, mereka seberangi kali disebelah depan, dibagian yang cetek airnya.
"Lihat, loocianpwee, mereka rupanya ada mata
penjahat," Siauw Coan kata pada Jie hiap.
"Buat apa perdulikan dia?" jawab si orang tua yang
bertalakkan matanya. Sampai dilain tepi, dua penunggang kuda itu kabur pula dengan kuda mereka itu.
Rombongan piauwsoe sudah lantas lewat jembatan.
tiba2 Jie hiap larikan keledainya kedepan, kearah dua penunggang kuda tadi, sedang baharu saja ia yang bilang, tak usah perdulikan mereka itu.
Kedua penunggang kuda masih muda, usianya belum
tiga puluh tahun, roman mereka gagah, di pelana mereka ada tergantung senjatanya masing2 . Mendekati mereka, Na Hoo kendorkan keledainya, sambil tunduk diam2 ia
perhatikan wajah kedua orang itu. Ia dapat kenyataan, walaupun mereka kelihatannya mengawasi dengan bengis
kepadanya, mereka tidak kenali ia, maka ia merasa girang.
Diam2 ia gencet perut keledainya, ia kedut les, atas mana
kedua kuping binatang itu lantas dikasi berdiri, menyusul bergeraknya empat kakinya dengan pesat, lari kabur
kedepan! Jalanan ada jalanan gili2 kali, lebarnya cuma enam atau tujuh kaki, dua pemuda didepan jalan sambil rendengkan kuda mereka sambil asyik pasang omong, dengan begitu, jalanan jadi sempit sekali. Keledainya si jago tua lari keras, seperti hendak menubruk dua orang itu.
Tindakan kaki keledai terdengar nyata, dari itu kedua penunggang kuda itu sudah lantas menoleh. Orang yang
dikanan keprak kudanya untuk dikasi loncat melewati
kawan nya, guna mengasi jalan. Nyata sekali ia pandai pegang kendali. Dengan demikian, jalanan jadi terbuka.
Tetapi Jie Hiap memang endak main2. Selagi keledainya yang bulunya hitam, datang dekat, sekonyong2 ia menjerit
"Eh! eh!" dan tangan kirinya dengan ujung baju
gerombongan, dikibaskan, hingga ujung baju mengenai
mata dari kuda sebelah kiri. Binatang ini kaget dan
kesakitan, dia berbenger. Kedua kakinya diangkat tinggi.
Syukur si anak muda pandai dan tabah, ia tidak meluncur jatuh dari kudanya itu, hanya celaka si kuda sendiri, sebab kakinya diangkat, terus saja dia nyelonong kebawah gili2
kesawah yang berair dimana dia berontak2 diantara
lumpur. "Pundak rata!" berteriak si pemuda, kepada kawannya.
"Binatang itu sengaja membuat aku jatuh, kejar dia, hajar padanya!"
Keledai hitam sementara itu sudah melewati lima atau
enam tumbak, Jie hiap sendiri, sambil menoleh, kata sambil tertawa dingin "Binatang, kau berani banyak tingkah"
Kalau kau bikin rontok saja selembar bulu keledaiku,
meskipun kau ganti dengan selembar rambutmu, aku masih tak sudi!"
Tetapi penunggang kuda yang dikanan tadipun gusar.
"Oh, binatang tua bangka!" dia berseru. "Kau berani
permainkan Jie thayya! Jangan lari!"
Ay Kim Kong tertawa dingin dan menyahuti "Kau tidak
merdeka lagi, boca! Jikalau kau tidak puas, mari ikut aku!"
Dalam murkanya, pemuda itu larikan kudanya, untuk
mengejar. Jie hiap larikan keledainya di sepanjang gili2 itu dimana belum ada banyak orang berlalu lintas, disebelah depan cuma ada dua orang desa. Kira sepanahan jauhnya, ia
kendorkan larinya keledainya. Selagi pengejarnya mendekati, ia lihat, kawannya pengejar itu, yang jatuh kesawah, sudah naik pula ke gili2 dan turut mengejar, kedua nya terus mencuci maki. Ia tunggu orang datang
lebih dekat, ia bukan tegur orang itu, ia hanya kata pada keledainya "Hek jie, sekarang aku hendak lihat kau! Orang ada terlebih besar daripada kau, dia tidak lihat mata padamu! Jangan kau main gila, nanti aku keset kulitmu!"
Keledai itu, Hek jie si Hitam, rupanya mengerti benar katas majikannya, ia memutar diri, ia lari, kearah
penunggang kuda yang sedang mendatangi itu untuk
ditabrak! Orang muda itu terperanjat, tetapi ia heran dan
mendongkol. "Belum pernah aku saksikan keledai berani lawan kuda...." pikir ia. Lantas ia berteriak "Binatang, kau berani cari mampus!" Ia terus ayun cambuknya, untuk hajar kepala keledai itu.
Hek jie berseru dengan bengerannya secara aneh, dia
berlompat kekiri, sambil berlompat, ekornya tak diantap diam saja, ekor ini mengebut, tepat, mengenai kepala
kudanya si anak muda, kebutan itu keras, sang kuda kaget dan kesakitan, dia berbenger keras, dia berjingkrak, loncat
kekanan, hingga kakinya turun disamping giri2. Maka tidak tempo lagi, bersama penunggangnya dia terjerunuk
kebawah, kesungai dimana keduanya kecebur hingga
terbitlah suara nyaring dan air muncrat! Syukur anak muda itu jepitkan keras kedua kakinya kepada perut kuda, kalau tidak, tentulah ia terlepas dan kelelap, sekarang ia cuma terpaksa tenggak air kali. Pun syukur, kali tidak dalam.
Diatas gili2, penunggang kuda yang ke dua telah
menyusul sampai, dia nampaknya tak keruan macam,
karena pakaiannya basah, kotor berlepotan lumpur. Ia
saksikan bagaimana kawannya terjun keair, hingga ia kaget.
Segera ia tahan kudanya, ia berniat berikan pertolongan kepada kawannya itu. Ia mengepal sebatang piauw. Ia gusar terhadap si orang tua, kepada siapa ia hendak lampiaskan hawa amarah nya.
Na Hoo lihat kawan orang itu sampai, ia putar
keledainya, sambil berpaling, ia kata pada orang itu "Boca, kau kenalkanlah aku si orang tua, yang tak dapat dibuat permainan! Kaupun pergilah turun mandi!"
Perkataan itu belum habis diucapkan, atau sebelah
tangannya, dengan ujung tangan baju yang gerombongan, sudah diayunkan, menyusul mana ada terdengar dua suara mengaung, dua potong uang tang chie terus menyamber
kearah pemuda itu. Dia ini kaget sekali, dia tidak bisa berkelit, sebab justeru dia hendak turun dari kudanya, sedang kedua senjata itu menyerang berbareng kepada perut kudanya, di satu tempat, mengenai jitu. Bahna kesakitan, binatang itu berjingkrak, loncat keluar dari gili2, hingga bersama penunggangnya kuda itu kecemplung dan kecebur kekali.
Na Hoo tonton orang berkecimpungan didalam air, ia
tertawa gelak2, kemudian sambil menuding ia teriaki
mereka, katanya "Aku si orang tua hendak berangkat
terlebih dahulu! Nanti saja kita bertemu pula!"
Benar2 ia kasi keledainya lari keras.
Dua anak muda itu mengawasi dengan melongo, hati
mereka panas. Tak dapat mereka mengejar, karena untuk bawa kuda mereka naik dari kali saja, ada sukar. Mereka juga tidak mampu pentang bacot untuk mendamprat,
karena mereka telah tenggak banyak air kali, sampai perut mereka kembung. Maka mereka cuma bisa mengawasi
saja". Ay Kim Kong, telah susul rombongan piauwsoe, yang
semua pada tertawa geli, karena puas sekali hati mereka menampak kedua orang jahat itu dipermainkan si jago tua.
Mereka melihat jago tua itu mendatangi, mereka hendak memapaki, tapi Na Hoo kaburkan terus keledainya
melewati mereka, maka terpaksa mereka lantas menyusul.
Mereka percaya, sikapnya orang tua ini mesti ada sebabnya.
Mereka sudah jalan lagi kira lima lie, kedua penjahat tadi tidak susul mereka. Masih saja si orang tua berdiam, Cong Gie heran atas kelakuan itu.
"Kenapa loocianpwee diam saja?" akhirnya ia tegur.
"Tidak apa, aku kebetulan ingat janjiku," sahut Jie hiap seraya ia menoleh. "Aku ada janjikan satu orang, temponya hari ini dan saat ini juga, apa mau aku telah mesti layani dua penjahat tadi, hingga aku lupa kepada janji itu.
Sekarang aku mesti tepati janji, aku mesti berangkat lebih dulu. Baiklah di depan saja, di Thio kauw hoo, tidak dua puluh lie dari sini, kita nanti berkumpul pula." Ia
memandang kebelakang, ia tambahkan "Penjahat itu kena dihajar, umpama
mereka menyusul, mereka akan ketinggalan satu perhentian, kawan2mu bakal mendahului sampai. Maka biarlah aku jalan lebih dulu...."
Tanpa tunggu jawaban, jago tua ini larikan keledainya.
Ngo Cong Gie heran tetapi ia diam saja. Orang tua itu benar2 aneh.
"Marilah!" ia ajak kawan2 nya.
Jie hiap kabur dengan keledainya kearah Timur selatan, kemudian dengan ambil sebuah jalan kecil, ia menuju ke Timur, ia lewati dua kampung, hingga ia tak terlihat lagi oleh rombongan piauwsoe. Disini ia putar haluan, akan kembali dan menuju ke Thian Bak San, akan mendaki bukit Ciat Hiang Nia. Karena liehaynya keledai hitam nya itu, ia telah lalui dua puluh lie lebih dan sampai dimulut jalan dari bukit Ciat Hiang Nia. Disini ia loncat turun dari atas keledainya, ia tepuk2 punggung keledainya sambil berkata
"Hek jie, inilah tanah datar dimana kau bisa memain dan makan dengan merdeka, tetapi ingat, aku larang kau naik keatas, disana ada banyak srigala dan harimau, kalau kau naik, pasti kau bakal digegares mereka!"
Keledai itu bernapas sengal2, tetapi empat kakinya
berdiam, ia seperti dengar dan mengerti pesan itu.
"Nah pergilah!" kata Jie hiap kemudian seraya
tangannya dikibaskan. Cepat sekali binatang itu lari kedalam tempat yang lebat dengan pepohonan, setelah mana, majikannya sendiri mulai mendaki bukit Ciat Hiang Nia itu. Jalanan disini penuh dengan pohon cemara. Diataspun banyak pepohanannya.
Dari situ, memandang kebawah, orang tampak pemandangan alam bagaikan gambar lukisan saja.
Na Hoo naik kepuncak paling tinggi, akan memandang
kesekitarnya, kepuncak gunung juga, kemudian ia ngoce sendirinya "Boca cilik, cara bagimana kau berani berlaku sembrono" Apa bila kau berbuat kesalahan, apa kau kira
jiwamu masih ada".... Dasar aku yang cari penyakit
sendiri" Boca ini bernyali terlalu besar" Kita berdua terlalu gemar campur urusan lain orang, kebetulan kita berkumpul bersama...."
Ia memandang pula kebawah, dimana kelihatan banyak
rumah penduduk, yang merupakan gubuk dan guha.
Teranglah sudah, penduduk situ hidup dari berburu atau bertani. Digunting
itu ada banyak beburonannya. Kemudian, ia mulai bertindak turun. Tanpa merasa, lama sudah ia lewatkan sang tempo, hingga sekarang ada
waktunya orang masak nasi untuk santapan malam. Dikaki bukit ia berpapasan serombongan pemburu yang habis
berburu, dengan beberapa rupa binatang sebagai hasilnya.
Anak isteri mereka menyambut dengan gembira, mereka
sambuti hasil perburuan itu dan simpan alat senjata
berburu, pemburu2nya sendiri lantas duduk beristirahat akan bercakapan, akan minum untuk melenyapkan dahaga.
Dilain pihak, orang2 tanipun sudah mulai pulang dari
sawah dan ladang mereka, akan berkumpul pasang omong
dengan si pemburu. Selama mendekati mereka, Na Hoo lihat orang
berkumpul diluar, lelaki dan perempuan, tua dan muda, untuk duduk bersantap. Nampak nyata sekali mereka hidup senang dan gembira walaupun hidup mereka serba
kekurangan. Mereka cuma bisa pakai lumayan, dahar
cukup, tubuh sehat, mereka tak punya kesenangan seperti orang kota. Toh mereka hidup puas. Maka itu, jago tua ini jadi kagum.
Setelah datang dekat, Na Hoo memberi hormat, lalu. ia tanya tempat itu apa namanya, apa disitu ada kuil atau tempat pondokan lainnya.
Satu pemburu umur empat puluh lebih, mukanya merah,
alis nya gomplok, menyahuti dengan balik tanya, tetamu ini
pesiar di gunung atau sedang lakukan per jalanan. Dia kata, disitu tidak ada kuil, ada juga di Barat utara, dipuncak Lok Gan Hong, kuil Ciat Ho Sie, pendetanya empat atau lima, kuilnya kaya dengan hasil perkebunan teh, maka siapa
mondok disana, boleh tak usah bayar apa2. Diapun
mengundang untuk minum teh dan dahar, sikapnya ramah
tamah sekali. Memang Ay Kim Kong merasa lapar dan haus, ia terima
undangan itu. Ia kata, pada lima tahun dulu, ia pernah datang ke Thian Bak San ini, cuma ia tidak datengi bagian ini hanya kesebelah Barat utara dimana katanya ada orang yang berjualan. Ia mengucap terima kasih, ia menimbrung diantara orang gunung itu dan dahar. Ia pun disuguhi arak.
"Kau beruntung sekali hidup cukup digunung ini!" ia
puji mereka. "Arak ini begini wangi, apa ini boleh beli dikota?"
"Kau keliru menerka, sahabat," kata si pemburu. "Kami dapat uang dengan menukar dengan jiwa, masakan kami
sudi menghamburkan uang" Arak ini ada buatan kami
sendiri. Kalau kau gemar minum, hayo minum lagi!"
"Ah, aku berlaku kurang hormat!" kata Na Hoo, yang
lalu tanya she dan nama orang.
Seorang yang romannya sebagai ketua, perkenalkan diri sebagai Ca Gie, dan kawannya itu, yang mengajaki minum bersama, katanya ada si setan arak Lioe Thong.
"Tanpa minum arak, dia tak. mau pergi berburu, sesudah minum, dia paling berani hadapi beburonan!" kata ketua itu.
"Ah, ketua, kenapa kau buka rahasiaku?" kata si setan arak itu. Kemudian iapun tanya she dan nama tetamunya.
"Aku she Na, anak ke dua," sahut Na Hoo. "Aku tidak
punya lain nama, orang biasa panggil aku Loo Jie. Maka kau pun baik panggil aku Loo Jie."
Mereka lantas minum. Ay Kim Kong suka bergaul
kepada Lioe Thong yang ramah tamah dan polos, usianya dua puluh lebih. Ia tidak sangka, dibelakang hari mereka berdua berjodo untuk bertemu pula satu dengan lain.
Habis dahar, Na Hoo pamitan. Tuan rumah tawarkan ia
menginap pada mereka tapi ia menampik dengan alasan ia hendak susul kawan. Iapun kasi selamat berpisah pada Lioe Thong.
Melanjutkan perjalanunnya ini, Na Hoo mesti jalan
dibawah sinarnya bintang2 dan rembulan, ia menuju kearah yang si pemburu tunjukkan. Jalanan yang sukar, tidak jadi rintangan baginya. Maka diakhirnya, ia mulai tampak
bayangan kuil. Ia tahu, itulah puncak Lok Gan Hong. Ia bertindak terus. Selagi ia jalan, tiba2 dari sebelah kanannya ia dengar helaan napas dan kata "Ah, sayang, satu jago kenamaan, pandainya cuma akali nasi dan arak orang! Dia harus ditabok!...."
Mendengar itu, jago tua ini terperanjat, tetapi tanpa bersangsi ia loncat kekiri, akan situ baharu loncat pula kekanan, akan lihat orang yang buka suara itu. Ia bergerak sangat gesit, akan tetapi ia tidak lihat siapa juga. Baharu sekarang ia heran, sebab ia tahu, ilmu entengi tubuh ada istimewa kali, sukar tandingannya.
"Kenapa disini aku ketemu orang liehay?" pikir ia. Ia tidak mau mencari lebih jauh, ia jalan terus, dengan masgul.
Baharu ia sampai dikaki puncak, disebelah kirinya ia dengar pula suara orang, suara yang dalam, katanya "Orang kate she Na, jangan kau tidak puas! Segera kau akan lihat!...."
Na Hoo jejak tanah untuk loncat naik keatas pohon
didepannya, ia injak cabang dari mana lantas ia mengawasi ke arah kiri, tetapi walaupun ia sudah bergerak gesit luar biasa, ia masih tidak dapat lihat orang yang buka suara itu.
Ia insaf akan liehaynya orang itu, tetapi iapun menduga bahwa orang niscaya tidak berniat jahat terhadapnya.
Hanya, kalau dia ada orang dari pihak Cin tiong Sam
Niauw, itulah sulit".
Lantas jago tua ini turun dari pohon, ia lanjutkan
perjalanan nya tanpa perdulikan lagi orang tidak dikenal itu, ia menuju langsung ke Ciat Ho Sie, yang segera juga mulai tertampak tegas. Dengan bertindak lebih cepat lagi ia sudah lantas sampai dikuil itu, disebelah Timur. Dari sini ia menuju kedepan, untuk perhatikan kuil itu. Selagi
bertindak, ia dengar suara cabang pohon disampingnya, disusul oleh ucapan "Orang kate, kenapa kau masih begini agungan" Kalau kau ayal lagi sedikit, jiwanya satu boca akan lenyap! Bagaimana kau nanti ada muka untuk ketemu orang?"
Mau atau tidak, Na Hoo kaget. Segera ia lompat
nyamping. "Siapa kau !" ia menegur. Tetapi ia tak peroleh jawaban.
Iapun tidak lihat orang. Cahaya rembulan melainkan menyinari pepohonan.
LXII Mau atau tidak jago tua ini menjadi ibuk juga. Ia, satu jago yang dimalui, sekarang menghadapi satu orang yang terang ada terlebih liehay daripada nya. Ia terutama
bingung karena tak tahu orang ada kawan atau lawan.
Tetapi ia tidak puas, hingga ia mau anggap orang itu adalah
musuh, musuh dengan siapa ia niat adu kepandaian! Maka diam ia siapkan dua batang Kim kong Yan bwee piauw
dalam genggamannya. "Apabila ia perdengarkan pula suaranya. aku nanti hajar pada nya," dia pikir. "Tak perduli ia terluka atau tidak, asal dia tak dapat sembunyi lebih jauh...."
Lantas ia mulai perhatikan keletakannya Ciat Ho Sie,
yang berkedudukan dipuncak paling tinggi dan ambil
tempat luas, banyak pepohonannya, siong, pek dan bunga2.
Pintu depan nampaknya angker.
Loncat naik keatas pintu, Na Hoo memandang ke Barat
dan Selatan. Ia bukan hendak menikmati keindahan sang malam, ia terus pergi kependopo. Disini ia mendekam akan awasi pendopo dalam, yang besar tetapi sunyi sekali, gelap seluruhnya, Iapun periksa pendopo kedua, yang gelap dan sepi seperti yang pertama. Adalah dibelakang toa thian, pendopo utama, ia tampak sinar api yang terang sekali. Itu bukannya hoed thian, ruangan pemujaan Buddha, hanya
kamar hongthio, pendeta kepala. Ruangan itu tidak sebesar pendopo depan.
Duduk ditengah ruangan, atas sebuah kursi bundar, ada satu hweeshio umur lima puluh lebih, tubuhnya besar dan gemuk, wajahnya keren, sebab alisnya gomplok, matanya gede. Pada kepalanya yang gundul ada enam tanda suci.
Ditengah sepasang alisnya ada tai lalat hitam. Jubanya abu2
memakai leher biru, dilehernya ada kalung dari seratus delapan pou tee coe. Dikedua sampingnya ada sepasang
siauw see bie atau kacung paderi usia empat dan lima belas tahun. Diapun didampingi lima hweeshio muda yang
semuanya menyekal golok kaytoo atau toya sian thung.
Rupanya pendeta beroman bengis itu baharu saja bercokol atas kursinya itu.
Na Hoo sembunyikan diri digenteng Timur, akan pasang
mata "Bawa binatang cilik itu kemari, aku mesti ketahui asal usulnya!" demikian suara bengis dari pendeta itu.
Salah satu hweeshio lantas pergi kesamping, terus
kebelakang. "Teranglah salah satu murid kaumku tertawan disini,"
pikir Na Hoo. "Aku janjikan Liong jie bertemu di Ciat Hiang Nia, ia tidak muncul, aku kuatirkan dia.
Mungkinkah dia yang terjatuh ditangannya pendeta ini?"
Ia tidak sempat menduga , kelihatan hweeshio tadi
kembali bersama dua hweeshia lain, yang mengiringi satu pemuda dengan rambut kusut dan muka kotor, kedua
tangannya ditelikung. Dia ini didorong kedepannya
hweeshio bengis itu. Benarlah dugaan Ay Kim Kong, pemuda itu adalah Ciok
Liong Jiang. Ia jadi sangat mendongkol. Ia sedang tempur Cin tiong Sam Niauw, siapa tahu sekarang cucu muridnya kena orang tawan. Tapi ia menahan sabar, ia pasang mata dan kuping. Ia ingin saksikan tingkah polanya si pendeta, ia ingin tahu sifatnya cucu murid itu.
Liong Jiang berdiri dengan tegak, tak sedikit pun
menunjukkan takutnya hati.
"Binatang!" si pendeta membentak. "Didepan Sang
Buddha kau tidak tekuk lutut, kurang ajar! Berapa kau punya batok kepala?"
"Kau murid Buddha kiparat!" Liong Jiang membalas.
"Kau langgar aturan suci, kau menawan orang baik2, kau merampas harta dan jiwa! Kau tidak takuti Thian, apakah juga kau tidak jerikan orang gagah?"
"Binatang, kau bernyali besar, kau berani ngaco belo
didepan Sang Buddha!" pendeta itu membentak pula.
"Buddhamu justeru sedang mewakilkan melakukan keadilan, untuk singkirkan orang jahat! Kau masih begini muda tetapi kau membawa harta besar, pasti kau peroleh itu dengan cara tidak halal! Lekas beritahukan she dan namamu dan asalnya kau dapati harta besar itu, nanti aku kasi ampun padamu! Jikalau kau tetap membandal, aku
nanti bikin tubuhmu menjadi abu!"
"Lekas bicara!, bicara!" kata beberapa hweeshio
dipinggiran. "Kawanan makhluk tak tahu malu!" kata Liong Jiang


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tetap tidak takut. "Pendekar cilikmu masih muda
tetapi dia sudah kenyang merantau, dia tak jerikan sungai besar dan gelombang dahsyat, maka bagaimana kau bisa
gertak aku" Hm!"
"Binatang, kau berani menghina Sang Buddha?" berseru
si pendeta bengis. "Apakah kau sangka Sang Buddha tak bisa bunuh padamu" Aku nanti beri penjelasan dulu, baharu aku akan suruh kau mampus! Sebenarnya aku sayang kau
sebab kau muda, boegeemu sudah liehay, aku ingin tolong kau, supaya kau menjadi murid Buddha, aku tanggung
dibelakang hari kau bakal menjadi kesohor. Tetapi apabila kau ngoce tak keruan, gampang untuk aku ambil jiwamu!"
Tetapi Liong Jiang tertawa menghina.
"Pendeta jahat, kaulah yang tak tahu diri!" dia
membaliki. "Pendekar cilikmu ada murid orang kenamaan, aku pandang kematian seperti rumput! Aku berani
merantau, itu artinya aku sudah tak pandang lagi jiwaku!
Aku telah terjatuh kedalam tanganmu, terserah padamu
untuk kau bunuh atau tidak! Baik kau segera bunuh aku, jikalau tidak, aku nanti caci maki padamu!"
"Binatang, kau benar tidak tahu diri!" pendeta itu murka besar. "Hajar dia seratus rotan!"
Perintah itu diturut. Liong Jiang digusur ketihang untuk diikat disitu. Satu hweeshio lain keluarkan sebuah cambuk rotan.
"Lekas kau minta ampun, atau aku nanti hajar kau!"
kata si hweeshio algojo. "Aku tak sempat ngobrol!" jawab Liong Jiang. "Kalau
kau masih ngoce, aku nanti damprat juga padamu!"
"Kau benar cari mampusmu!" menjerit hweeshio itu.
"Percuma jikalau aku tidak robek kulit dagingmu!"
Tidak ampun lagi, hweeshio itu ayun cambuknya, dia
gunai tenaga sekuatnya. Liong Jiang tutup matanya, ia tak pikirkan pula jiwanya.
Selagi cambuk terayun naik, pendeta itu berkaok
"Aduh!" cambuknya terlepas dan jatuh, tubuhnyapun
menyusul rubuh bergulingan, dari mulutnya terus keluar jeritan ter aduh2!
Semua pendeta itu kaget. Tapi pendeta yang tua segera berseru "Ada musuh! Bekuk dia!"
Dua hweeshio segera loncat keluar, buat terus lompat
naik keatas genteng, tetapi yang didepan disambut selembar genteng, dia tidak keburu berkelit, mukanya kena disamber, sambil menjerit ia jatuh dari genteng. Selembar genteng lain menyambut hweeshio yang ke dua, berbareng dengan itu
terdengar bentakan "Turunlah kau!" Benar2 hweeshio yang ke dua rubuh terguling, sebab genteng mampir didadanya.
Ia jatuh dengan menimpali menindihi tubuh kawannya
yang jatuh terlebih dulu, muka siapa mandi darah, ia sendiri patah tulang dadanya.
"Tangkap, tangkap!" pendeta pendeta lainnya berteriak2.
"Bangsat besar, kau berani ganggu tempat suci!" berseru si pendeta bengis. Dia samber sebuah golok besar dari tangan satu kacung, dengan bawa itu ia loncat pada Liong Jiang. "Sang Buddha mesti antar kau lebih dulu
kenirwana!" ia serukan.
Golok besar segera diayun, Liong Jiang sudah tidak
berdaya, darahnya tinggal muncrat saja, tatkala terdengar bentakan "Hei, kunyuk, keledai botak, anjing buta melek, awas!"
Dan selembar genteng menyamber hweeshio itu.
Dengan goloknya, si hweeshio tangkis timpukan itu,
hingga genteng tersampok pecah dan terbang berhamburan, suaranya nyaring.
"Manusia rendah!" hweeshio itu berseru seraya ia
memandang ke payon. "Kau berani datangi kuilku! Lekas kau turun untuk terima binasa!"
Menyusul suaranya pendeta ini, kelihatanlah satu
bayangan, hingga dilain saat, didepan dia lalu muncul satu orang seorang tua kate dan kurus melihat siapa, hatinya si pendeta tidak menjadi gentar, karena dia tidak kenal Yan tiauw Siang Hiap.
Sebaliknya adalah Ciok Liong Jiang, yang hatinya jadi lega,
sebab dengan datangnya kake guru ini, keselamatannya bakal terjamin. Malah ia segera keluarkan antero tenaganya, untuk berontak. Untung untuk ia, orang pun tidak ikat terlalu keras padanya dengan kerahkan
tenaga nya, sekejab saja ia bisai loloskan diri hanya ketika ia terus berlompat akan dekati Na Hoo, tubuhnya jadi
limbung. Inilah sebab setelah terbelenggu terlalu lama, darahnya tidak jalan dengan benar.
Pendeta itu melihat kurbannya kabur, ia berteriak
"Binatang, kau hendak kabur kemana?" terus loncat
mengejar. Jie hiap pun berseru "Liong jie, jaga dirimu! Lihat aku binasakan keledai kepala gundul ini!" Lantas ia melompat kedepan.
Menghadapi si orang tua, pendeta itu batal mengejar
Liong Jiang. "Tua bangka, kau berani ganggu urusan Sang Buddha,
aku terpaksa mesti langgar pantangan membunuh!" dia
berteriak. Jie hiap tertawa mengejok.
"Oh, keledai gundul!" ia jawab "Kau ada satu murid
Budha tapi kau berani bunuh orang dan merampas harta, kau justeru telah langgar pantangan dengan sengaja,
dosamu tambah satu tingkat! Bukankah kau tahu cara
bagaimana kau harus mam pus" Aku si tua gemar usilan, walaupun demikian, tanganku tidak berbau amis darah, apa pula kau adalah murid Buddha, yang biasa cia cay, yang berjuba suci, maka terhadap kau, aku suka berlaku murah hati! Aku inginkan kau mati sempurna, dan itu, pergilah kau gantung diri sendiri!"
Pendeta itu gusar bukan kepalang, sampai ia menyebut
"Omio tohoed! Binatang kau kurang ajar sekali terhadap Sang Buddha, mustahil aku tidak mampu bikin mampus
padamu?" Ia lantas lompat menyerang dengan goloknya.
Na Hoo berkelit kesamping.
"Keledai botak, kau berari mengganas!" ia berteriak.
Lantas dengan tangan kanan dipinggang, tangan kirinya dipakai menabas pundak kanan pendeta itu.
Melihat serangannya gagal, pendeta itu miringkan
tubuhnya kekiri, hingga ia lolos dari tabasan tangan lawan, setelah itu, ia berbalik badan dan membacok terlebih jauh, mengarah bebokong si orang tua. Ia bisa berbuat begini sebab kakinya telah digeser kedepan.
Jie hiap berlompat akan singkirkan diri dari bacokan, ketika ia injak pula tanah, jarak diantara mereka ada setumbak lebih.
Si pendeta ada sangat tangkas, begitu bacokannya lolos, ia lompat maju untuk menyusul dengan tikaman, kepada
belakang iga kanan lawannya.
Cuma dengan putar tubuhnya, Na Hoo terluput dari
ujung golok. Dengan demikian ia jadi berada disamping pendeta itu. Karena ini, ia leluasa mengulur kedua
tangannya akan menyerang dengan berbareng kepada jalan darah hoa kay hiat dan pundak kirinya si hweeshio.
Si pendeta insaf bahaya mengancam begitu lekas ia
dapati serangannya tidak memberi hasil, iapun mencelat kekanan, jauhnya setumbak lebih.
"Keledai gundul!" Jie hiap membentak. "Jikalau kau ada punya kepandaian, keluarkan itu semua! Aku si orang tua ingin saksikan, kepandaianmu ini sebenarnya guru mana yang ajarkan kepadamu!...."
Sembari mengejek demikian, Na Hoo lompat menyusul,
tangannya diulur kepada bebokong orang, gerakannya
adalah "Kim liong tam jiauw" atau "naga emas
menyengkeram" Dengan gunai gerakan "Auw tioe hoan sin" atau "Alap
alap jumpalitan" pendeta itu berkelit seraya putar tubuh, sembari berkelit goloknya menyamber dalam gerakan
"Hankoepay Hoed" atau "Ayam kedinginan memuja
Buddha" akan babat muka musuh. Sebenarnya ini ada
babatan yang berbahaya, tetapi Na Hoo tidak menghiraukannya, sambil egos tubuh, ia mengejek "Oh,
sebegini saja!" Pertempuran berlanjut dengan si orang tua terus memain dengan lidahnya yang lemas, hal mana ia membuat si
pendeta berkaok2 bahna mendongkolnya, hingga karena
kemurkaannya yang meluap2, dia jadi sengit dan berkelahi secara hebat. Inilah keinginannya si orang tua untuk paksa orang keluarkan antero kepandaiannya yang ia ingin
menyaksikannya. Ia terus berkelahi dengan tangan kosong menghadapi musuh yang bersenjatakan golok besar.
Permainan goloknya pendeta itu tidak lemah, dia
rupanya telah terlatih cukup, akan tetapi menghadapi si orang tua kate dan kurus, dia tidak mampu berbuat banyak, dia kewalahan dilayani dengan kegesitan, dia repot melihat orang seperti kitari padanya, saban2 datang pukulan atau totokan. Si empe ini mirip dengan seekor kera.
Dua puluh jurus sudah lewat, pendeta itu tetap berada dibawah angin, saking mendeluh, dia keluarkan ilmu
goloknya Ngo houw Toan boen too, yang jarang orang bisa gunai.
Menampak orang telah menjadi nekat, Jie hiap segera
keluarkan Jie sip sie Kiauwta Sin na, ilmu menangkap atau menyekal yang ada dua puluh empat jalannya, untuk
melayani, hingga ia bergerak2 dengan terlebih sebat dan tangkas pula.
Dalam sengitnya, si pendeta menyerang muka Jie hiap
dengan bacokan "Tan hong tiauw yang" atau "Burung
hong hadapi matahari kemudian selagi lawan berkelit
mundur, ia teruskan membabat dengan "Tiat so heng cioe"
atau "Dengan rantai besi melintangi perahu," mengarah pinggang musuh.
"Bangsat gundul, kau lihat!" kata Na Hoo dalam hatinya melihat ia didesak. Pertama dibacok ia mundur, begitu dibabat, ia lompat jumpalitan melewati kepalanya si
gundul, hingga ia turun dibelakang lawan itu, begitu
memutar tubuh, dua jari tangannya yang kanan, telunjuk dan tengah, mencari jalan darah leng tay hiat.
"Ayo!" menjerit si pendeta, dengan jeritannya yang
separuh tertahan, menyusul mana goloknya yang berat
terlepas dan jatuh ketanah, disusul terlebih jauh oleh tubuhnya yang besar, yang rubuh bagaikan tembok ambruk!
Jie hiap tidak berhenti sampai disitu, ia loncat kepada pendeta itu untuk ditotok terlebih jauh urat gagunya.
Kesudahan pertempuran itu membuat semua hweeshio
lainnya kaget dan takut, tidak tempo lagi mereka angkat kaki mereka untuk lari.
Melihat orang hendak sipat kuping, Jie hiap berlompat dengan gerakannya "Yan coe coan in" atau "Burung walet tembusi awan," sekejab saja ia sudah sampai dibelakangnya satu hwee shio, yang tubuhnya besar sekali, bebokong siapa ia jambak, untuk diangkat atau dilemparkan, hingga tubuh yang besar itu terangkat dan terlempar jatuh ketanah.
Walaupun ia ada kate dan kurus, tetapi diwaktu digunukan tenaganya telah jadi besar sekali.
"Siapa berani kabur?" ia segera membentak yang lain.
"Aku nanti banting kau semua!"
Empat hweeshio lainnya berdiri diam, mereka jeri akan melihat contoh kawannya itu, yang meringkuk sebagai
ketua mereka. Menampak orang sudah kena dipengaruhi, Na Hoo
hampirkan si pendeta. Dia ini tidak pingsan, dia cuma tidak mampu bergerak, tetapi pikirannya sedar seperti biasa.
Maka itu dia mengawasi lawannya dengan roman gusar
sekali. Jie hiap berbangkit, akan menghampiri hweeshio itu,
siapa ia totok pula untuk bikin darahnya jalan seperti biasa, maka begitu dia menjerit, hweeshio itu bisa bicara pula. Dia ada sangat mendongkol karena orang paksa dia berlutut, dia malu berbareng tawar hati saking tidak berdaya.
"Omie toohoed, siancay, siancay...." ia memuji. "Aku
tidak sangka bahwa aku bisa rubuh di tanganmu Tetapi
apabila kau menghina terlebih jauh, terpaksa aku nanti upat caci padamu "
Ay Kim Kong tertawa gelak.
"Apa kau bilang" Kau ingin jiwamu segera habis?" ia
tegaskan. "Tak usah kau minta itu! Kau sebenarnya mesti sesalkan diri karena tadi kau tidak mendengar nasihatku Sekarang kau jawab beberapa pertanyaan ku, apabila kau berlaku terus terang, tidak nanti aku bikin susah padamu, aku akan antap kau mati lengkap sempurna, supaya kau
bisa bunuh diri sendiri. Jikalau kau tidak tahu diri, aku tidak perdulikan apa juga, aku nanti hukum picis padamu, hingga neraka pun tak akan sudi terima kau!"
Pendeta itu bersangsi untuk melompat kabur, ia bisa
lakukan itu, tetapi ia sangsikan hasilnya. Ia insaf liehaynya si kate kurus itu, sedang Liong Jiang dengan goloknya ditangan, siap sedia disampingnya.
Memang, sambil mengawasi dengan mata tajam, Liong
Jiang telah pikir "Asal kau mencoba kabur, paling dulu aku akan tabas satu lenganmu!"
"Hayo, hweeshio, kau bicara lah!" Na Hoo kata pula.
"Kau memikir yang bukan2 apabila kau hendak main gila terhadap aku si orang tua."
"Aku rubuh ditanganmu, inilah rupanya sudah
takdirnya!" berkata si pendeta dalam murkanya. "Baik kau perkenalkan dirimu, supaya aku tahu siapa yang sudah
sempurnakan diriku. Kau ada satu orang kang ouw, pasti kau bukannya seorang tak ternama, apabila kau tetap tidak mau sebut namamu, sampai matipun aku nanti cuci maki
padamu! Sayang sekali aku, Kim too Lo han Gouw Seng
telah mesti terbinasa ditangannya satu anak haram,
sungguh sangat tidak berharga!
" Ah!" Pendeta itu belum sempat tutup mulutnya atau ia telah per dengarkan seruannya "Ah!" itu. Ucapannya "anak
haram" menyebabkan Liong Jiang gusar hingga segera
punduknya dikemplang dengan belakang goloknya sendiri.
Sekarang dia merasai sakit bukan main, sampai kesumsumnya Maka dia jadi sangat benci pada si
anak muda, yang dia hendak damprat.
"Keledai gundul!" membentak Na Hoo, yang mendahului pendeta itu. "Kau berani keluarkan perkataan kotor, aku nanti bunuh padamu!"
Bentakan ini membuat Gouw Seng, demikian nama suci
si pendeta, jadi bungkam, karena ia kena terpengaruh.
Dengan keluarkan kutukan tak nyata, ia lantas duduk diam saja.
Tetapi Na Hoo tidak buktikan ancamannya.
"Angkat dia bangun, kita tak dapat bunuh padanya!"
kata Jie hiap kemudian. Liong Jiang tercengang, hingga ia termangu mengawasi
kake guru itu. Dengan sendirinya iapun menjadi ragu2.
Jie hiap pandang cucu murid ini.
"Apakah kau belum puas?" dia tegur. "Kenapa kau tidak mau lantas letaki golokmu itu" Coba dia sebutkan siang2
bahwa dia adalah Kim too Lo han Gouw Seng, sekalipun
cuma satu kemplangan belakang golok, tak dapat kau
lakukan!" Mendengar ini baharulah pemuda itu sadar. Ia insaf,
rupanya gurunya ada punya suatu hubungan dengan
pendeta ini. Maka segera ia lemparkan golok yang
dipegangnya. Tetapi ia tetap mendongkol.
"Soe couw, aku mohon keterangan," kata ia pada kake
guru itu. "Apa mungkin kita dari Hoay Yang Pay yang
putih bersih ada punyakan suatu orang Rimba Hijau
sebusuk dia ini?" Ay Kim Kong tertawa gelak2.
"Boca cilik, pandai sekali kau menanya! Janganlah kau tempel catat pada muka kita!" kata ia. "Murid2 dari Lek Tiok Tong, Ceng hong po, tidak nanti ada yang merantau sebagai pendeta merangkap jadi begal berandal, aku larang kau ngoce tak keruan! Ingat, jangan kau menambahkan
kegusaranku!" Liong Jiang tahu benar adat nya soecouw ini, yang gusar dan girang tak dapat dibedakan, maka itu, lantas ia berdiri diam sambil turunkan kedua tangan nya.
Sekonyong2 pendeta itu angkat kepalanya.
"Omie toohoed!" ia memuji. "Loosoe, adakah kau dari
Hoay Yang Pay" Apakah kau bukannya hiapkek Yan tiauw
Siang Hiap?" Na Hoo tertawa berkakakan.
"Maaf, aku bukannya satu hiapkek!" jawab ia. "Aku si
tua bangka ada orang she Na nama Hoo. Malam ini aku
telah berdosa terhadap Lohan ya, tak dapat tidak aku bakal masuk ke dalam roda penitisan! Oh, Lohan ya, aku mohon pertolonganmu, harap kau mintakan keampunau kepada Jie Lay Hoed, jika lau tidak, tak dapat aku hidup lebih lama pula...."
LXIII Baharu sekarang Kim too Lo han Gouw Seng, Lo han
atau Arhat si Golok Emas, ketahui orang tua kate kurus itu ada Ay Kim Kong Na Hoo, Yan tiauw Siang Hiap yang ke
dua, tidak ayal lagi ia tekuk kedua kakinya, ia merayap maju satu tindak, dengan kedua tangan dirangkap untuk memberi hormat, dia manggut .
"Loo hiapkek, harap maafkan tee coe untuk kelancangan teo coe ini," ia memohon. "Aku harus mampus, aku ada
punya mata tetapi tidak ada bijinya, hingga aku tidak kenali kau. Loo hiapkek, terimalah hormat dan maafnya teecoe."
Lagi2 ia manggut. Na Hoo tidak gusar, ia hanya tertawa geli.
"Jangan kau tidak pakai aturan tata sopan," berkata ia.
"Kau adalah Lohan, dan aku Kimkong. Kimkong ada satu
pangkat yang rendah sekali, sebagai kimkong aku kena
pukul lohan yang sakti suci, apakah dengan begitu tidak harusnya aku disamber geledek?"
Masih si pendeta berlutut, tak berani dia berbangkit
berdiri. "Jangan godai aku, loocianpwee," memohon dia.
"Jikalau loocianpwee tidak mengasihani aku, pastilah aku bakal terbinasa dengan tak ada tempat untuk kuburanku!"
"Baiklah, Gouw Seng Soehoe." kata Ay Kim Hong
kemudian. "Bangunlah! Mari kita bicara. Sebenarnya aku bingung benar melihat kau. Kau ada murid Buddha, kau
letaki kitabmu, kau tak membaca doa, sebaiiknya, kau
menjadi begal! Apakah artinya ini" Mustahil gurumu sudah ubah cara hidupnya?"
"Loocianpwee, harap kau tidak godai aku pula," Gouw
Seng masih memohon. "Sebenarnya aku malu sekali
dengan pertemuan ini. Dalam halku ini, guruku tidak tahu menahu. Pada lima tahun yang lampau, karena nampak
bencana, guruku mendongkol, ia tinggalkan kuil Kim Hoed Sie dibukit Oey Liong Kong, ia pergi sembunyikan diri dicuram Cian Tiang Gay, puncak paling tinggi dari gunung Heng San, untuk meyakinkan lebih jauh ilmu silatnya. Ia sekarang sedang yakinkan suatu ilmu untuk mana ia
membutuhkan tempo latihan sedikitnya sepuluh tahun.
Sebelum peryakinan itu sempurna, soehoe tidak nanti turun gunung. Loocianpwee ketahui sendiri tabiatnya soehoe, perkataannya, niatnya selamanya mesti bisa diwujudkan.
Karena soehoe pergi, Kim Hoed Sie jadi tidak ada yang urus, aku dan dua saudaraku tidak dapat berdiam lebih lama disana, maka kami meninggalkannya pergi, kami
berpisahan. Aku telah sampai di Ciat Ho Sie ini. Menyesal disini aku tidak punya penghasilan, diakhirnya, dengan terpaksa aku tuntut penghidupan tersesat ini. Aku tahu kesalahanku tetapi aku terpaksa. Tadi pemuda ini datang kemari, aku dapat tahu dia bawa barang berharga, lantas kami tawan padanya. Kalau dia sebut2 nama loocianpwee,
tidak nanti aku berani ganggu padanya, dan pula kalau loocianpwee tidak bermurah hati, pasti siang aku telah terbinasa. Mengingat persahabatan loocianpwee dengan
guruku, aku mohon loocianpwee ampuni aku, terutama
terhadap guruku nanti, tolong loocianpwee menutupnya
akan hal ini. Mulai saat ini aku bersumpah akan bersihkan diri aku nanti ingat agamaku, aku akan yakin sendiri ilmu silat, supaya dibelakang hari aku bisa bantu guruku mencari balas. Sudah tentu aku tidak akan lupakan budinya
loocianpwee ini." Ay Kim Kong bersenyum dia anggguk kan kepala.
"Hweeshio bangsat, tak usah kau goyang pula lidahmu,"
kata dia dengan tidak sungkan. "Kita adalah bangsat
ketemu bangsat, siapa mainkan kunyuk, dia jangan menabu gembreng saja! Kau jual apa, aku lakukan apa! Biasanya aku berlaku terus terang, kau telah terjatuh kedalam
tanganku, kau mesti sesalkan dirimu sendiri. Bukankah kau pernah dengar bahwa aku biasa makan maling" Tidak


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernah aku melepaskan pula maling yang rubuh
ditanganku, maka kau juga tidak menjadi kecuali! Jikalau kau ingin aku tidak beber rahasiamu, kau mesti dengar aku, umpama kata aku perlu uang, kau mesti menyediakannya uang atau peraknya! Untuk makan dan minum, kau juga
mesti menyediakannya, apabila ada sedikit tak mempuaskan aku, kau mesti tahu sendiri! Kau selalu mesti hunjuk muka manis kepadaku, jangan kau sesali aku. Kalau aku sedang senang, bisa jadi aku nanti wakilkan gurumu membersihkan rumah tangganya! Kau mengerti, bukan?"
Liong Jiang melengos, ia hendak tertawa geli tetapi ia mesti tahan. Soecouwnya itu ada terlalu jenaka dan jail, perkataannya tak keruan tetapipun tajam.
"Loocianpwee, biar bagaimana aku mohon kau kasihani
aku," Kim too Lohan Gouw Seng lagi memohon. "Memang
sudah seharusnya aku rawati kau, dibelakang hari tidak nanti aku lupakan budimu ini...."
"Hweeshio bangsat, kau jangan takut!" Ay Kim Kong
potong. "Apakah kau kira aku si tua bangka mau diberi makan seumur hidupku olehmu" Walau pun kau bersedia
akan piara aku, aku sendiri tidak berkesempatan akan lari datang kemari! Aku ada seorang paling adil. Jikalau kau tidak celakai aku, aku tidak nanti celakai kau! Kita mesti berlaku jujur, siapapun jangan berhati jahat. Kau ber pura2
tolol kepadaku, akupun berpura2 tolol kepadamu! Kau
dengar terang, bukan?"
Mendengar demikian, bukannya Gouw Seng mendongkol atau gusar, ia justeru insaf kekeliruan atau kealpaannya. Ia memohon2 maaf tetapi satu hal ia lupai, yaitu peti berharga ia tidak pulangkan, ia tidak sebut2!
Tidak heran kalau Ay Kim Kong masih saja ngoce tak
keruan! Maka lekas ia berbangkit.
"Loocianpwee, tolong perintah siauwhiap ikut aku akan ambil peti berharga itu," ia kata.
"Asal kau mengerti, sudah cukup!" Jie hiap tertawa
"Buat aku, kau serahkan itu kembali atau tidak, bergantung kepadamu sendiri. Aku adalah seorang yang tak takut untuk orang curangi, karena aku tahu, akhirnya orang toh tak dapat mencurigai aku. Kan jangan sungkan diri, jikalau kau punyakan pikiran demikian, pergi kau ambil sendiri, tak usah kau di ikuti! Umpama kau memikinya buat lari, aku si tua bangka berani bertaruh denganmu. Aku biarkan kau lari lebih dahulu sepuluh lie jauhnya, lantas aku kejar kau, jikalau sebelum jam lima aku tak dapat candak padamu, kecewa aku disebut Yan tiauw Siang Hiap!"
"Oh loocianpwee, jangan kau curigai aku," kata Gouw
Seng dengan cepat. "Walaupun tee coe bernyali sangat
besar, tidak nanti teecoe berani berbuat demikian, sebab itulah berarti tee coe cari mampus sendiri...."
Lantas Kim too Lohan lari ke kamarnya, akan ambil peti berharga, yang mana dengan kedua tangannya, dengan
hormat sekail, ia serahkan pada si jago tua. Peti ada terbungkus dan terkunci, tetapi ia telah bikin rusak hingga tak dapat dibetulkan lagi. Dengan muka merah, bahna malu ia kata "Loocianpwee, tolong terima ini. Kalau ada yang kurang, teecoe bersedia untuk menggantinya."
Jie hiap Ay Kim Kong tertawa gelak gelak.
"Orang yang baik, kau salah mata!" berkata dia. "Buat apa aku periksa lagi" Kau jangan kuatir! Aku malah anggap kau telah tolong simpan dan jaga barang berharga ini.
Barang ini bukan kepunyaanmu, bukan juga kepunyaanku, tetapi mulai saat ini, apa yang kurang, kau yang mesti ganti!"
Gouw Seng menyahuti "Ya, ya," ber ulang2, karena ia
insaf, walaupun ia diejek, Ay Kim Kong omong dari hal yang benar. Memang dialah yang mesti bertang gung jawab untuk keutuhannya peti berharga itu.
Ay Kim Kong perintah Liong Jiang terima peti itu, untuk di bungkus pula dengan rapi.
"Gouw Soehoe," kemudian kata Na Hoo, dengan suara
sabar, "Kita ada orang2 kang ouw, dalam segala hal tak dapat kita saling salah menyalani atau mendendam, maka sekarang kau benar2 hendak ubah kelakuan atau cuma
bicara dimulut, semua itu bergantung kepadamu sendiri, aku si tua bangka tidak ingin terlalu memaksanya,
melainkan kau harus mengerti, apabila kau tetap masih main gila, didalam dunya kang ouw ada banyak orang2
pandai, gunung Thian Bak San ini pasti tidak akan menjadi tempat kediamanmu yang kekal!"
"Nasihatmu ini, loocianpwee, tidak nanti teecoe
abaikan," kata Gouw Seng dengan cepat.
"Baiklah kalau kau bisa bertobat," Na Hoo kata.
"Dibelakang hari aku rasa aku bisa dayakan agar kau bisa menetap di Ciat Ho Sie ini. Sekarang aku ada punya urusan penting dari kaumku sendiri, aku mesti pergi ke Gan Tong San di Ciat kang Selatan, tunggulah sampai urus anku
sudah selesai, aku nanti carikan kau keluarga hartawan untuk jadikan dia sebagai penunjangmu, hingga selanjutnya tak usah kau lakukan lagi pekerjaan tanpa modal ini. Aku dengan gurumu ada dari lain kaum tetapi aku sangat hargai kejujurannya, dia ada orang suci yang polos, yang cocok dengan tabiatku, walaupun aku cuma pernah bertemu dua kali, persahabatan itu lantas jadi kekal, hingga aku merasa, aku berhak mewakilkan gurumu membersihkan nama
baiknya dari perbuatanmu yang sesat ini. Aku telah bicara, terserah padamu, kau suka dengar atau tidak. Biarlah, dibelakang hari kita nanti bertemu pula."
"Kami guru dan murid telah terima kebaikan
locianpwee, sudah tentu teecoe tidak berani main gila," kata Gouw Seng. "Mulai saat ini, teecoe nanti tutup diri, untuk yakin saja agama dan ilmu silatku, tidak nanti teecoe bikin tercemar nama baiknya soehoe dengan perbuatan teecoe
yang sesat." Itu waktu, semua muridnya Gouw Seng, dengan tidak
diperintah lagi oleh gurunya, sudah lantas hunjuk hormat pada jago tua itu.
Na Hoo tidak bilang apa2, ia hanya lantas loncat keluar, diturut oleh cucu muridnya.
Gouw Seng dan murid nya mau mengantarkan, mereka
turut pada berlompat juga. Tetapi, baharu mereka dekat pada tembok kuil, mendadak Ay Kim Kong jumpalitan
mundur seraya tangannya digoyang dan mulutnya menitah
"Mundur!" Ketika itu, orang tua ini baharu injak tembok atas.
Liong Jiang turut gurunya, iapun jumpalitan. Gouw
Seng yumpalitan juga, tetapi dia bertubuh besar, tubuhnya limbung, dia jatuh mendeprok! Jie hiap sendiri tidak
berloncat turun, ia samber tembok pada mana ia
berpegangan, hingga ia bisa umpatkan diri ditembok itu.
Tak berani Gouw Seng buka mulut, ia berbangkit sambil menahan sakit, ia memikir untuk loncat naik pula
kegenteng, akan tanya Ay Kim Kong apa yang dapat
dilihatnya, tetapi sekarang, Jie hiap mendahului ia loncat turun.
"Gouw Soehoe, aku hendak tanya kau," kata jago tua
itu. "Apakah kau ada punya perhubungan dengan Cin tiong Sam Niauw?"
"Jago tua ini hebat," pikir Gouw Seng atas pertanyaan itu, mukanya bersemu merah sendiri nya. Tetapi ia lekas menyahuti, katanya "Loocianpwee, biar bagaimana, teecoe ada murid Sang Buddha, sekalipun sudah tersesat, tidak nanti teecoe bersahabat dengan orang2 Rimba Hijau
semacam Cin tiong Sam Niauw. Aku tahu, namanya Cin
tiong Sam Niauw ada tersohor sekali, terutama ketuanya, Twie hong Tiat cie tiauw Hauw Thian Hoei, ada sangat
liehay. Tetapi aku tidak kenal mereka."
"Kau tidak punya hubungan dengan mereka itu bagus,"
Na Hoo bilang. "Aku sedang berurusan dengan mereka itu, secara diam2 aku kedua fihak sedang adu kepandaian,
entah bagaimana kesudahannya nanti. Tadi dia datang
kemari, dia lewat terus kearah Timur. Aku tidak tahu, sikapnya ini disebabkan dia malui Ciat Ho Sie atau ia abaikan kuil ini. Gouw Soehoe tidak bersahabat dengan mereka, aku jadi bisa layani ia dengan merdeka. Nah,
Liong jie, mari kita pergi!"
Liong Jiang menyahuti, belum sempat ia bergerak, atau kake guru itu sudah mencelat naik tanpa injak tembok lagi, terus saja lewat kelain sebelah. Bersama Gouw Seng ia menyusul, segera ternyata mereka sudah ketinggalan lima enam tumbak jauhnya.
Gouw Seng tahu orang ada punya urusan penting, maka
ia cuma bisa kata pada Liong Jiang "Maaf, siauwhiap, tak dapat aku mengantar lebih jauh!"
"Lain hari aku nanti berkunjung pula!" membalas
pemuda itu sambil memberi hormat.
Gouw Seng awasi dua orang itu hingga lenyap diantara
pepohonan, baharu ia kembali kekuilnya untuk menetapkan janji akan sekap diri, untuk yakin saja ilmu silat dan perdalam keagamaannya.
Ay Kim Kong berjalan dengan cepat, sia2 Liong Jian
menyusul, ia tetap ketinggalan jauh, kemudian, setelah lewati jalanan curam yang berbahaya, baharu jago tua itu perlahankan tindakannya. Si anak muda menjadi heran.
"Sekarang, ditempat tak berbahaya, kenapa dia jalan
pelahan?" ia menduga duga seraya menyusul terus, untuk mengikuti.
Lagi sekian lama, Na Hoo menoleh kebelakang, ia lihat cucu muridnya, terus ia berhentikan tindakannya.
"Liong Jie, kau terus ikuti aku," ia pesan. "Jangan
kuatir, tetapi jangan alpa. Jalan malam bahayanya ada banyak. Kita pergi kepuncak depan sana, aku nanti kasi kau
lihat suatu apa hingga kau akan mengerti kenapa aku ajak kau berlari terus2an."
Liong Jiang tidak dapat terka maksud kake itu, ia hanya mengikuti terus.
Mulai mendaki, Na Hoo bertindak cepat, tetapi setelah hampir sampai, ia perlahankan tindakannya, ia jalan
sembunyi2 antara pepohonan. Selama itu. Liong Jiang
mengintil dengan turuti pesan. Tiba2 orang tua itu berhenti disuatu semak lebat, tangannya menggape. Maka sang cucu murid segera loncat menghampirkan.
Na Hoo segera menunjuk kebawah, dijalan kecil, disitu terlihat dua orang ber lari2 bagaikan bayangan.
"Liong jie, tahukah kau siapa mereka itu?" Jie hiap
tanya. "Kita terpisah sangat jauh, tak dapat aku kenali mereka."
Jawab Liong Jiang. "Melihat romannya mereka mirip
dengan kita berdua, yalah yang didepan sangat gesit, yang dibelakang lebih ayal. Sebenarnya, siapa mereka itu?"
"Yang didepan ada Hauw Thian Hoei, yang dibelakang
yalah konconya," Ay Kim Kong kasi tahu. "Aku hendak
susul mereka. Hauw Thian Hoei tahu kita satrukan mereka, dan aku telah rampas pulang permata curian nya, dia tidak puas, dia tak mau mengerti. Aku sengaja perintah kau
berangkat lebih dulu melulu untuk bikin dia bingung,
supaya dia tahu rasa! Dia jalan didepan, kita dibelakang, tidak nanti dia ketahui yang barang berharganya kita sudah bawa ke Thian Bak San, dia menyangka piauw tetap berada ditangan rombongan piauwsoe itu, karena mana, dia
menyusul malam2. Sekarang aku hendak permainkan dia,
kau sendiri pergi turun dari sana, di arah Barat selatan itu adalah puncak Ngo Cie Hong, selewat nya itu, tak usah kau
kuatir apa2, kecuali jalanannya sukar. Kesana nanti aku susul padamu."
Liong Jiang turut titah itu. Ia memang tahu, kalau ia berhadapan kepada Hauw Thian Hoei, pasti ia akan celaka.
Twie hong Tiat cie tiauw ada terlalu tangguh untuk ia.
"Baiklah," ia jawab. "Ngo Piauw tauw tentu sudah
memasuki Thian Bak San...."
"Memang! Kalau tidak, mustahil Hauw Thian Hoei
kesusu menyusul. Sekarang jangan banyak omong lagi,
lekas kau berangkat!"
Liong Jiang manggut, lantas ia memandang kearah yang
ditunjukkan untuk mulai perjalanannya.
Jie hiap pun lantas berlari turun dilain jurusan. Ia telah melalui kira2 lima lie lantas ia dapat candak Hauw Thian Hoei. Ia menguntit secara diam2. Selang lagi satu lie, tindakannya si Garuda Besi mulai jadi kendoran, diapun mulai main sembunyi2. Kemudian ternyata, dia sebenarnya sudah dapat susul rombongan piauwsoe, yang sekarang
berada dijalanan rata didalam sebuah lembah.
"Mungkin dia hendak turun tangan disini," Jie hiap
menduga duga. Karena ini, ia cepatkan tindakannya untuk datang lebih dekat kepada begal liehay itu.
Sementara itu, rombongan piauwsoe yang ke duapun
sudah lagi mendatangi, maka untuk cegah mereka ini dapat melihat padanya, Ay Kim Kong berlaku hati hati, ia
jauhkan diri. Kedudukan mereka itu jadi : Rombongan piauwsoe
pertama didepan, Hauw Thian Hoei dibelakangnya, Jie
hiap dibelakang Burung dari Siamsay ini, dan di belakang Jie hiap adalah rombongan piauwsoe ke dua.
Untuk memperoleh kepastian, dengan jalan samping Ay
Kim piauwsoe yang belakangan, hingga ia kenali Lioe
Hong Coen berenam. Segera ia ambil putusan untuk
bertindak. "Aku terpaksa," kata ia dalam hatinya. Ia lewati
rombongan piauwsoe itu, ia angkat sebuah batu besar berat tiga atau empat ratus kati, ia lemparkan batu itu kebawah, ketengah jalanan tepat disebelah depannya rombongan
piauwsoe, terpisahnya cuma setumbak lebih.
Dengan menerbitkan suara keras, batu besar itu jatuh
ketanah, lelatunya menyamber ke segala penjuru, hingga orang dan binatang kena tersamber, tetapi kawanan
piauwsoe itu, yang lebih dahulu telah dengar suara telah bisa lindungi diri, adalah kuda mereka yang kaget dan berjingkrak, sampai hampir Kim Hoo meluncur jatuh, baik nya Giok Kong dapat jambret padanya. Semua piauwsoe
kaget dan berseru, kuda mereka pada berbenger keras dan menjadi binal. "Jahanam, kau berani ganggu kami!" berseru Thay kek Lioy Hong Coen, yang ada sangat gusar. Ia loncat turun dari kudanya untuk manjat keatas.
Na Hoo puji orang she Lioe ini, yang bisa menduga
orang jahat diatas puncak. Ia lantas menjemput tiga potong batu kecil, tidak tunggu sampai orang dekati padanya, ia lantas menimpuk.
Lioe Hong Coen dengar suara angin, ia segera berkelit, tetapi berbareng dengan kelitannya itu, satu bayangan berkelebat, setelah dua tempat lebat dengan pepohonan. Ia penasaran, ia mau menyusul akan mencarinya. Ketika ia hendak lompat maju, tiba2 ia dengar suara bergerak
disemak beberapa tumbak disampingnya, lalu satu
bayangan berkelebat, lari turun kebawah dari tempat mana tadi ia memanjat.
"Tikus, kau hendak lari ke mana" Aku akan kejar kau!"
berteriak piauwsoe ini. Ia lantas loncat, mengejar, sembari lari ia teriaki kawan2nya untuk turun tangan.
Maka Kee Giok Tong beramal lantas bergerak.
Bayangan itu adalah Jie hiap Na Hoo, ia lari turun tanpa dapat dirintangi, ia naik kepuncak sebelah kiri, naik tinggi, dengan gerakannya yang gesit sekali, ia tinggalkan semua pengejarnya jauh dibelakang tanpa bikin orang dapat ketika akan kenali padanya. Karena arahnya ia lari itu, ia bikin kawanan piauwsoe itu tanpa merasa jalan balik. Kemudian ia awasi mereka sambil tertawa. Kemudian lagi, baharu ia susul pula Hauw Thian Hoei dan satu kawannya, siapa
sudah mulai mendekati rombongan piauwsoe yang
pertama. "Mereka tidak boleh dipandang enteng," pikir Jie hiap sambil memasang mata. Ia dapat kenyataan, kawannya
Thian Hoei pun ada gesit sekali. Sebab kawan itu adalah Coan thian Auw coe Lioe Seng si Alap2. Dia ini telah
merogo kedalam kantong kulit manjangan yang terkempit di bawahan ketiaknya.
Tiba2 Hauw Thian Hoei gapekan kawannya berdua
mereka jadi berkumpul. Waktu itu Soe ma Sioe Ciang bersama Ngo Cong Gie
dan piauwsoe lainnya lagi bicara satu sama lain.
Hauw Thian Hoei serukan Lioe Seng "Sekarang adalah
waktu nya, siapkan senjata rahasiamu!"
Na Hoo sembunyi didekat kedua penjahat itu,
mendengar seruan mana, ia kata dalam hatinya "Kunyuk, buatlah apa yang kau suka! Mari kita main2 senjata
rahasia!" Iapun lantas siap dengan pelurunya.
LXIV Hauw Thian Hoei ada liehay akan tetapi sekali ini ia
tidak engah ada orang bayangi padanya hingga ia mirip dengan sang cangcorang yang hendak tangkap tonggeret tak tahu dibelakang ada burung gereja. Inilah sebab ia ada sedang sangat mendongkol hingga ia terpengaruh hawa
amarahnya. Sambil menantikan rombongan yang hendak dicegatnya,
Thian Hoei dan Lioe Seng sembunyikan diri ditepi jalanan, dan Na Hoo pasang mata dari sebuah guha batu.
Tidak antara lama sampailah saat yang ditunggu Twie
hong Tiat cie tiauw. Mula2nya terdengar suitan nyaring, yang berkumandang diterigah lembah, lalu menyusul suara samberan angin beruntun2. Tiga batang paku shong boen teng dari Thian Hoei menyerang terutama boesoe Louw
Kian Tong, dan tiga butir batu hoei hong cio dari Lioe Seng menyerang Ngo Cong Gie, Soe ma Sioe Ciang dan Ke
Siauw Coan. Menyusul enam buah senjata rahasia itu,
terdengarlah suara lainnya saling susul, dari peluru2nya Na Hoo, yang diarahkan tepat pada enam senjata rahasia si begal, hingga lalu terdengar suara dari beradu nya masing2
enam senjata rahasia tersebut. Hingga dengan demikian, dua2 Thian Hoei dan Lioe Seng tak berhasil mencapai
maksud hatinya. Akan tetapi Hauw Thian Hoei, setelah menimpuk, sudah
lantas lompat keluar dari tempatnya sembunyi, ia lompat lebih jauh keatas kereta yang diduduki dua saudagar
Kwietang. Ia menyangka barang2 berharga ada ditangannya si saudagar sendiri, yang keretanya ia telah kenali.
Semua boesoe terperanjat mendengar suitan, mereka
sudah lantas bersiap dengan senjatanya masing2, dari kaget
mereka menjadi heran, sebab mereka dengar beradunya
pelbagai senjata rahasia, tetapi segera mereka insaf bahwa diam2 sudah ada orang yang tolongi mereka.
Ngo Cong ie melihat ada orang loncat kekcreta pemilik piauw, tidak tempo lagi ia pun lompat maju untuk rintangi orang jahat itu. Pcrbtiatann yi ini di telad oleh Soe ma Sioo Ciang, Louw Kian Tong, Ke Siauw Coan dan Teng Kiam,
yang meluruk kekereta untuk mengepung.
Thian Hoei gesit luar biasa, ketika Cong Gie sampai dan ia diserang dengan segera, dengan leluasa ia kelit diri, hingga bacokan jatuh ditempat kosong.
Cong Gie penasaran, ia hendak ulangi bacokannya,
tetapi dibelakang ia, Lioe Seng telah lompat mendekati akan terus membacok bebokongnya. Inilah hebat, sebab
gerakannya yang tanggung itu ia tak dapat menangkis atau berkelit. Dalam waktu berbahaya itu tiba2 terdengar seruan
"Menggelindinglah kau!" lantas tiga buah peluru mengaling diudara.
Lioe Seng dengar suara itu, ia luputkan diri dengan
loncat ke samping, tetapi walaupun demikian, peluru yang ketiga mengenai juga paha kanannya, cuma sebab lukanya tidak hebat, ia tidak rubuh, melainkan kaki kanannya jadi kurang merdeka. Karena pertolongan ini, Ngo Cong Gie
jadi luput dari bahaya. Hauw Thian Hoei tidak diam saja meskipun ada
rintangan, ia maju pula untuk samber peti berharga, yang ia kena jambret tambang pengikatnya hingga tambang itu
terputus dengan segera. "Celaka!" berseru Soe ma Sioe Ciang, yang lihat orang ada demikian berani dan liehay, tak ayal lagi ia loncat untuk merintangi. "Bangsat, awas!" ia membentak,
pedangnya lantas mencari sasaran dengan tikaman "Ciauw
hoe boen louw" atau "Tukang kayu menanya jalan"
Menyusul itu pun ada lain seruan "Awas!" hingga Sioe
Ciang mesti buru2 egos diri kekiri. Karena sepotong batu menyamber ia, terus jatuh ketanah.
Waktu itu Hauw Thian Hoei telah berhasil menyamber
peti barang, sambil kempit itu, ia lompat mundur, ketika ia sudah pisahkan diri beberapa tumbak, pelbagai senjata rahasia kawanan piauwsoe menyerang padanya, tetapi
dengan kegesitannya ia bisa selamatkan diri, sebentar saja ia mulai mendaki lamping jurang sebelah kiri.
-ooo0dw0ooo- Jilid 7 Soe ma Sioe Ciang bingung karena serangan senjata
rahasia yang berupa batu. Tadi ia ditolongi, sekarang ia sendiri yang diserang. Iapun tidak bisa bade, siapa si penolong. Tentu saja ia tidak dapat terka sepak terjangnya Na Hoo, yang pun bikin orang2 jahat turut ragu2.
"Untuk sementara biarlah kau hidup dengan jiwa
anjingmu, thay yamu tak sempat melayani kau sekalian!"
berseru Lioe Seng, yang turut saudara tuanya angkat kaki, sebab ia melihat toako itu sudah berhasil.
Sia2 saja semua piauwsoe mengejar, mereka tak dapat
menyandak. Pada waktu itu rombongan ke duapun telah berkumpul
pula sesudah mereka tak berdaya cari "penjahat" yang
melemparkan batu besar, justeru itu mereka dengar suara suitan disebelah depan, mereka menyangka pada orang
jahat. "Mari kita menyusul," Thay kek Lioe Hong Coen
usulkan. Sementara itu Ngo Cong Gie ada sangat mendongkol
dan pepat pikiran, hingga ia hendak tabas batang leher sendiri. Ia merasa sangat malu. Pertama kali, masih ada Ay Kim Kong yang menolongi, piauw dapat dirampas pulang, tetapi sekarang piauw itu lenyap pula. Ia kata ia malu sekali terutama untuk taruh kaki dalam kalangan kang ouw.
Tetapi semua piauwsoe lainnya membujuki.
Kedua saudagar Kwietang ada sangat ketakutan, mereka
tidak berani buka suara, napas mereka pun ditahan, adalah setelah dengar penjahat sudah pergi, baharu mereka berani buka mulut, lantas mereka panggil Ngo Cong Gie untuk
minta pertanggungan. "Tuan2 jangan ibuk!" Lioe Hong Coen kata kepada
kedua saudagar itu. Ia mencegah mereka berbicara kepada Ngo Cong Gie. "Jangan kuatir, disini bukan tempat bicara, mari kita jalan terus. Sebentar didusun diluar gunung ini nanti kita bicara sambil mengaso."
Dua saudagar itu berdiam. Maka orang pun lantas mulai berjalan.
Ngo Cong Gie tetap masih mendongkol dan masgul,
ketika ia jalankan kudanya, Lioe Hong Coen dan Teng
Kiam apit padanya. "Sekarang ini, percuma saja kita sibuki diri," Hong Coen membujuk. "Apa orang kasi, kita terima. Sebentar kita akan berdaya untuk dapatkan pulang barang kita...."
"Ya, sekarang tidak ada jalan lain," jawab Cong Gie.
"Aku nanti cari kawanan penjahat itu, saudara2 sendiri silahkan berangkat lebih dahulu. Aku" ber syukur atas kecintaan dan bantuan saudara semua."
Ketika itu Soe ma Sioe Ciang menghampirkan, Cong Gie
kata padanya "Jie tee, tak dapat kita ayal2an lagi! Penjahat ada demikian ganas, mereka tidak bisa diantap saja, apabila mereka dapat lolos, malu aku akan hidup diantara kaum kita! Saudara, mari kita susul mereka!"
Sioe Ciang tidak menjawab tetapi dia loncat turun dari kudanya.
Melihat sikap saudara itu, Ngo Cong Gie juga lantas
loncat turun. Hampir berbareng dengan itu, dari samping, ditempat


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang gelap, ada orang berkata2 "Kau pandang penjahat
terlalu tinggi. Jangan pusingkan diri tak keruan. Lekas pergi ke Tok siong kwan, akan tunggui aku disana!"
"Siapa?" teriak Cong Gie seraya lompat maju.
Pertanyaan ini tidak dijawab, melainkan satu bayangan mencelat dan lari.
Menampak demikian, Cong Gie tidak mengejar. Ia
segera ingat Jie hiap, yang tentu sedang layani Cin tiong Sam Niauw. Karena ini, hatinya jadi lega.
"Marilah!" kata ia, yang lantas ubah niatnya.
Semua piauwsoe mengerti, mereka menurut. Maka itu,
perja lanan sudah lantas dilanjutkan.
Orang yang bicara tadi, yang merupakan bayangan,
memang Jie hiap adanya. Sesudah kasi kisikan pada Ngo Cong Gie, untuk bikin lega hatinya piauwsoe ini, ia lantas susul Thian Hoei dan Lioe Seng, diarah Selatan barat. Ia lantas tampak bayangan mereka.
"Kawanan kunyuk, apakah kau anggap kemenangan
terakhir ada padamu" Kalau itu benar terjadi, kecewa aku
jadi Yan tiauw Siang Hiap!...." kata ia dalam hatinya seraya ia mengejar terus.
Setelah menyusul kira2 setengah lie, Na Hoo dapat dapat menyandak. Memang Thian Hoei kalah pesat, tambah pula ia mesti saban saban tunggui Lioe Seng sebab dia ini terluka kakinya. Kemudian, mereka berdua berhenti ditengah jalan.
Jie Hiap sembunyikan diri di tempat lebih tinggi, hingga leluasalah ia untuk mengawasi dua penjahat itu.
Lioe Seng telah turunkan bungkusan kecil dari
bebokongnya, rupanya mereka hendak buka bungkusan itu untuk diperiksa isinya.
"Kalau kejadian mereka buka itu, rusaklah tipu
dayaku...." pikir Ay Kim Kong. Ia lantas berkeputusan untuk mencegah. Disitu tidak ada batu besar, terpaksa ia jemput dua potong yang kecil, dengan apa terus ia
menimpuk kearah Thian Hoei berdua, lalu ia loncat kearah Timur, akan jalan mutar, pergi kelain tepi jalanan. Inilah daya untuk loloskan diri dari kejaran.
Thian Hoei dan Lioe Seng dengar suara melayangnya
batu, mereka berkelit, mereka terhindar dari timpukan itu.
"Pegang ini!" Thian Hoei serukan kawannya, hatinya
panas sekali. "Aku hendak lihat macam nya pit hoe yang memain dengan batu ini!" Setelah ia serahkan bungkusan ada Lioe Seng, ia lantas mencelat kesebelan Barat, akan manjat. Lekas sekali, ia akan mencapai puncak, tatkala dengan sekonyong ia dengar bentakan dari arah Timur
"Nah, kau rasakan pula ini satu!" Segera ia menoleh, ia mengulur sebelah tangannya akan sanggapi satu serangan, yang ada sepotong batu belaka. Ia berniat kirim pulang batu itu tetapi ia tidak melihat bayangan penyerangnya.
Tatkala itu Lioe Seng, yang telah rapikan bungkusan
tadi, sudah gendol pula itu dibebokongnya, ia turut manjat
akan bantu toakonya mencari orang yang ganggu mereka.
Mereka buang tempo dan tenaga dengan percuma, orang
tidak dikenal itu ini entah sudah pergi kemana.
Disekitarnya dengan diam2, Thian Hoei memberi tanda
pada kawannya untuk meninggalkan lembah itu.
Na Hoo tinggalkan dua penjhat itu yang mencari ia
ubek2an ia sudah lantas susul Liong Jiang akan tuturkan cucu murid itu bagaimana ia sudah permainkan Twie hong Tiat cie Houw
Coan thian Auw coe, hingga mereka
itu ambil jurusan balik kejalan dari mana mereka datang.
"Jikaliau demikian, soe couw, apa tidak baik kita susul rombongan Ngo Piauwsoe, untuk sekalian lindungi mereka, agar tidak sampai terbit lain gangguan ?" tannya sang cucu murid. I
"Jangan pandang mereka terlalu enteng, Liong jie," kata jago tua itu sambil tertawa.
Houe Thian Hoei liehay begitu juga dua saudara
angkatnya, __ Beng dan Yap Thian Lay. Tadi satu waktu aku bisa perdayai mereka, tetapi segera mereka insaf dirinya diperdayai.
Meskipun sebelum terang tanah tidak dapat
mereka datang menyandak kita. Aku percaya sebelum
mereka berhasil, tidak nanti mereka mau sudah. Buat kita yang penting adalah barang mesti segera sampai ditempat tujuan, maka aku nanti antar kau keluar dari Tok siong kwan, sehabis itu, aku akan layani terus pada mereka.
Sebenarnya tak niat aku bermusuh dengan mereka tetapi untuk lindungi nama baik Hoay Yang Pay, apa boleh buat."
Liong Jiang manggut. Kemudian ia ikuti kake guru ini
akan lanjutkan perjalanan mereka. Ia nampak kesulitan, sebab kake guru itu lari keras, mulanya ia masih bisa mengikuti, lama2 ia kewalahan juga, apapula ketika ia hadapi satu puncak tinggi, ia sangsi.
"Mari!" berseru Jie hiap apabila ia melihat cucu murid itu bingung.
Biar bagaimana, Liong Jiang mesti empos semangatnya,
maka dengan tenaga penghabisan, ia paksa naik dengan
berlompatan. Akhirnya, ia berhasil sampai di puncak tetapi dengan napas sengal sengal. Disebelah ia, sang kake guru tetap bersemangat seperti sediakala.
"Usia masih muda tetapi sudah tak punya guna," kata
sang soe couw. "Kau lihat puncak didepan itu, itulah
puncak Hoei Louw Hong. Selewatnya disana, kau akan
sampai ditanjakan Hong sie po, itu artinya kau sudah
sampai di Barat utaranya Tok siong kwan. Jalanan disini ada sangat sukar, nanti aku bawa kau...."
Liong Jiang jengah sendiri nya.
"Sebenarnya juga teecoe tak punya guna," ia mengakui.
"So couw sudah berusia lanjut tetapi ilmu entengi tubuh soe couw ada sempurna sekali, sesungguhnya soe couw bisa
bikin si muda mati sendiri karena malu...."
"Itulah sebabnya kenapa dibilang, untuk peroleh
kepandaian luar biasa, orang mesti berlatih berat," sang kake bilang. "Aku telah punyakan kepandaian karena
dahulu, selagi belajar aku mesti berani cape dan ulet.
Kepandaianmu sudah sempurna tetapi kau
masih membutuhkan latihan, terutama hatimu mesti kosong
bagaikan lembah, kau mesti berani memohon tambahan
kepandaian dari orang2 yang terlebih pandai. Guru cuma mengajarkan, hasilnya ada pada dirimu sendiri, latihan tidak ada batasnya. Maka ingatlah, jangan kau kasi lewat kata2ku ini sebagai angin belaka!"
Sehabisnya mengucap demikian, tanpa tunggu jawaban,
Na Hoo samber cucu murid itu untuk dikempit.
"Marilah!" ia berseru. Dan kakinya segera bergerak,
cepat sekali, berlari2 dijalanan gunung yang sukar dan berbahaya itu.
Liong Jiang heran bukan main. Tadinya ia masih hendak mencoba akan mengikuti, siapa tahu, kake ini benar2
buktikan perkataannya. Pun, baharu sekarang ia buktikan kekuatan dan liehaynya kake ini.
Tidak terlalu lama, Na Hoo telah sampai diatas sebuah puncak dimana ia berhenti berlari, kapan Liong Jiang dikasi turun, dia dapati dihadapannya ada lembah atau jurang yang dalam, sedang dibelakangnya, sinar matahari mulai berbayang samar. Ia merasakan sampokan angin dingin,
walaupun waktu itu ada di musim panas.
"Dibawah sana, Liong jie, ada Hong sie po," kata sang kake sambil menunjuk.
"Jadi ini ada puncak Hoei Louw Hong?" sang cucu
menegasi. "Benar, ini ada puncak Timur. Disebelah Utara sana,
jangankan manusia, sekalipun kunyuk dan lutung sulit
untuk mendaki nya. Lihat disana, penduduk gunung sudah mulai keluar rumah," Na Hoo kata pula. "Mereka adalah penduduk sederhana dan bebas, maka aku memikir, bila
nanti aku sudah undurkan diri, aku berniat hidup merdeka dan aman sebagai mereka itu."
Didalam hatinya Liong Jiang bersenyum. Sampai kapan
orang seperti soe couw ini bisa undurkan diri"
"Mari kita jalan terus," kata Na Hoo kemudian, seraya ia mendahului berjalan turun.
Gunung ada sunyi tetapi pemandangan alamnya indah
namun Liong Jiang tidak mempunyai kesempatan akan
menikmati itu. "Kita menuju ke Barat sana," kata Na Hoo ditengah
jalan. "Penduduk bisa curigai kita. Benar kita boleh tak takut tetapi kita harus singkirkan kesulitan yang tak ada perlunya. Dimulut jalanan ke Tok siong kwan kita bisa singgah, disana ada banyak warung teh dan arak."
Liong Jiang turuti kake ini, ia mengikuti terus.
Kira2 dua lie, mereka sampai dijalan kecil, yang
membawa mereka kejalan besar. Dari situ mereka tampak tembok kota Tok siong kwan. Ditepi jalan, dimana ada
banyak pohon bambu, lantas terlihat gubuk penjual teh dan arak. Disini kake
dan yucu itu berhenti untuk menghilangkan dahaga, akan tangsel perut juga.
"Marilah!" Jie hiap mengajak, apabila ia melihat
matahari sudah mulai naik. Ia bayar uang makan mereka.
Liong Jiang menurut, walapun lu masih ingin
beristirahat. Selagi mendekati tembok kota, sedangnya disamping
mereka tidak ada kereta atau orang lain nya. Jie hiap kata dengan pelahan "Mari bungkusan itu. Aku sebal kepada
pemeriksaan. Kau tunggui aku setelah kau lewati kota."
Liong Jiang serahkan peti berharga itu, Na Hoo masuk
kedadalam rimba, sesudah mana, Liong Jiong jalan terus.
Ditempat penjagaan, ia diperiksa, ia lewat dengan
gampang. Pemeriksaan diperkeras berhubung dengan huru hara kaum Rambut Panjang, tetapi siap tidak bawa
buntalan, ia tidak digeledah.
Lewat tidak jauh dari pintu kota ujung lainnya, selagi mendekati satu tempat dimana ada dua gubuk penjual teh dan makanan ia berniat singgah untuk menantikan
kakenya, Liong Jiong dibikin heran dengan mun culnya si kake dari antara beberapa kuli yang berkumpul diwarung.
Ia tidak mengerti, bagaimana caranya kake itu lewati kota sedang waktu itu ada siang hari bolong!
Na Hoo gapekan cucu murid nya, Liong Jiang
menghampirkan. "Aku telah sewakan kau keledai," kata Jie hiap. "Kau
naik keledai, jangan lambat lambatan, kau ikuti jalan besar ini. Situkang keledai tidak ikuti kau. Nanti di Cie kee tong, dua puluh lie lebih dari sini, ada tukang sewakan keledai lain, kau boleh tukar keledai. Lagi satu perhentian, kau akan sampai didusun Soe gie tin. Disana kau tukar keledai lagi. Sesampainya di Poan liong oeh, kau menukar lagi satu kali. Dalam tempo satu hari, kau akan sampai di Pak kwan, kota Utara dari Ie hang. Disana kau singgah dihotel See Kee Tiam, kau tunggui Ngo Piauwsoe untuk serahkan
barang ini kepadanya. Jangan berhenti ditengah jalan, kalau kau lapar, beli saja makanan, kau dahar itu sambil jalan.
Jalanan ini ada lebih jauh dua puluh lie daripada jalanan kecil tetapi jangan kau ambil jalan yang dekat itu. Jikalau kau potong jalan, apabila kau nampak bahaya, tidak ada orang yang menolongnya. Jikalau kau tidak dengar pesanku ini dan urusan menjadi gagal, aku nanti usir kau dari kaum Hoay Yang Pay! Jangan kau nanti sesalkan aku
keterlaluan!" Hampir Liong Jiang leletkan lidah bahwa hebatnya
pesan atau ancaman sang kake ini. Ia terima tugas itu tanpa banyak omong.
Ia sambuti bungkusan dan gendol itu dibebokongnya.
Satu tukang keledai pun lantas datang bersama
keledainya. "Anak, juallah tenagamu! Apabila kau berhasil, kau akan dikasi persen!" kata Na Hoo kemudian seraya ia tepuk2
pundak cucu muridnya itu.
Liong Jiang bersenyum. Didepan tukang sewakan
keledai, tak leluasa untuk ia berlutut.
"Terima kasih, soe couw!" kata ia. "Bukankah soe couw hendak wariskan aku Soe sat Hoen kin chioe?"
"Hm!" jawab sang kake guru.
Tapi ini adalah jawaban, maka itu, bukan main
gembiranya Liong Jiang, Ia tertawa, lantas ia keprak
keledainya untuk dikasi jalan.
Na Hoo mengawasi, lantas ia tinggal pergi si tukang
sewakan keledai, ia ambil jalannya sendiri.
LXV Rombongan piauwsoe telah lanjutkan perjalanannya
mengiringi empat buah kereta dengan kedua saudagar
Kwietang tetap duduk atas keretanya, tatkala hari mulai terang, mereka tiba dimulut jalanan Timur dari gunung, sampai dijalan umum. Jalanan ada belasan lie lagi untuk sampai di Tok siong kwan. Semua orang ada lelah dan
berdahaga, mereka lantas berhenti untuk beristirahat.
Disini sambil mengaso, kedua saudagar menanya
pelindungnya tentang kejadian tadi malam. Soe ma Sioe Ciang tahu tak dapat ia menjusta, maka ia berikan
keterangannya, tetapi ia segera tambahkan dengan suara keren "Tapi tuan2 jangan kuatir! Bukankah turut perjanjian aku mesti mengantar sampai di Ie hang" Sesampainya
disana, apabila ada sesuatu yang kurang, aku nanti ganti itu! Dalam hal ini ada menyangkut kehormatan dan
kehidupan kami, inilah kau harus ketahui. Selama ini, kejadian apapun yang kami hadapi, tuan2 jangan campur tahu, sebagai orang2 dagang, tuan2 tak bisa mencampuri urusan kami kaum kang ouw!"
Karena sikapnya keren, Soe ma Sioe Ciang bikin dua
saudagar itu bungkam. Tidak lama, mereka mulai berangkat pula. Di pintu kota Tok siong kwan mereka diperiksa keras tetapi surat2
mereka terang, karena ini, Liong Jiang lama telah dului mereka lewat.
Setengah lie lewat Tok siong kwan, jalanan terpecah dua dengan sebuah jalanan kecil. Untuk sampai ke Ie hang, jalanan kecil ini lebih dekat dua puluh lie. Tukang kereta, yang memberi keterangan, minta putusannya Ngo Cong
Gie akan memotong jalan atau tetap lempang. Piauwsoe
ini, setelah berdamai, ambil putusan memakai jalan kecil itu. Hanya setelah melalui dua puluh lie, kawanan
piauwsoe itu sesali si tukang kereta tidak menjelaskan bahwa jalanan sunyi sekali, tidak ada yang berlalu lintas, rumah2 pendudukpun sangat jarang, semuanya pondok
sementara. Rombongan jalan dengan pelahan, sampai
tengah hari, semua kehausan.
Ngo Cong Gie jalan didepan, untuk sekalian periksa
jalanan. Kuda dan keledai, yang tak tahan haus, memaksa pergi
minum tepi sawah, tinggal si pengiring semua, yang mesti tahan haus dan tahan panas juga, hingga muka dan kuping mereka bersemu merah. Cong Gie jadi sangat mendongkol.
Dengan paksakan diri, mereka jalan terus. Lioe Hong
Coen pun bilang, biar bagaimana sukar mereka mesti
melewati jalanan sunyi itu. Kalau disitu mereka ketemu musuh, sungguh hebat.
Jalan lebih jauh, Ngo Cong Gie dan Lioe Hong Coen
mengiring. Soe ma Sioe Ciang jalan didepan.
Jalan belum lama, didepan terdengar suara berisik,
tadinya Cong Gie menyangka jelek, tapi segera datang Sioe Ciang yang sambil tertawa "Soeheng, kita beruntung juga.
Didepan ada tukang arak dan makanan, mereka sudah
disuruh berhenti. Bagaimana kalau kita singgah disini."
Cong Gie dan Hong Coen setuju.
"Baik." kata mereka, yang terus larikan kuda mereka
akan pergi ke depan. Hong Coen lihat Giok Koen dan Giok Kong sudah turun
dari kudanya, semua kereta telah dipinggirkan, mereka itu sedang ___ dua tukang arak dan makanan, suara mereka
berisik. Bersama2 Ngo Cong Gie ia mendekati terus mereka turun dari kuda mereka.
"Ada apa demikian berisik?" tanya Hong Coen.
Semua orang mundur. "Mereka ini menjemukan," kata satu tukang kereta.
"Mereka jualan tetapi mereka takut jualkan kepada kita!"
Hong Coen awasi dua penjual arak dan makanan itu,
akan lihat yang satu berumur empat puluh lebih, yang lain tiga puluh lebih, yang satunya membawa dua guci besar termuat dalam sebuah keranjang, yang satunya lagi
memikul dua keranjang bambu. Mereka ini mengawasi
sambil jongkok, mata mereka terbuka lebar.
"Kau jual apa?" tanya Hong Coen.
"Kami jual arak dan makanan," sahut orang yang jual
arak. "Kami mau pergi berjualan dipasar di Tiat Hoed Sie Timur, disana kami sudah punyakan langganan tetap.
Barang ini yalan untuk langgananku itu, tak dapat kami menjualnya disini."
"Kau rada tolol," kata Hong Coen sambil tertawa.
"Jualan toh bisa dilakukan terhadap siapa juga"
Kami sedang bikin perjalanan, kami haus sekali, maka kau juallah arakmu pada kami, nanti kami membayar lebih mahal.
Kalau kau tetap tidak mau menjual, tidak apa, kami tidak akan berlaku keras, tetapi orang2ku ada bangsa kasar, apabila mereka memaksa, kami tak dapat mencegahnya."
Dua pedagang itu mengawasi satu pada lain, akhirnya,
yang satu kata pada Hong Coen "Baiklah, tuan. Disana
dibawah pohon cemara yang rindang dan lebar tempatnya, mari kita pergi ke sana."
Cong Gie lantas saja menyuruh semua orang pergi
kebawah pohon, maka dilain saat, orang telah duduk
mendeprok ditempat teduh.
"Seorang cuma boleh minum secawan arak," Cong Gie
kata pada semua tukang kereta. Semua tukang kereta itu menurut. Dengan dilayani kedua tukang jualan itu, orang lantas mulai minum dan dahar. "Sebenarnya aku tidak
gemar arak semacam ini, tetapi sekarang apa boleh buat,"
kata Cong Gie pada Hong Coen dan Teng Kiam,
sehabisnya ia keringi cawannya. "Di hari2 biasa, orang mengantar pun arak semacam ini tidak nanti aku minum.
Tapi kali ini hanya sebagai penahan dahaga saja...."
Sembari kata begitu, ia memandang kerombongan
tukang kereta yang asyik dahar. Satu tukang kereta
berbangkit, ia nyender dipohon, tetapi mendadak ia rubuh tanpa bergeming lagi.
Semua kawannya lantas tertawa, ada yang berkata
dengan nyaring "Thio A Sie biasa sombongkan diri kuat minum, rejekinya besar, umurnya panjang, tetapi sekarang baharu tenggak satu cawan, dia rubuh! Hayo bangunkan
dia, goyang2 supaya dia muntahkan apa yang dia
gegaras!...." Tukang kereta ini baharu mengucap demikian, atau ia
lantas angkat kedua tangannya dipakai merabah kepalanya.
"Eh, eh, kenapa aku...." kata ia. Dan, belum ia dapat lanjut kan kata2nya. iapun terus rubuh terguling.
Semua tukang kereta lainnya jadi terperanjat, mereka
pada berseru. "Inilah heran," kata Ngo Cong Gie pada Lioe Hong
Coen. "Mesti ada sebabnya!"
Menyusul ucapannya piauwsoe ini, Soen Giok Koen,
Siang too Kim Hoo dan Soe ma Sioe Ciang rubuh dengan
bergantian, tak kuat mereka pertahankan diri lagi.
"Habis sudah!" berseru Ngo Cong Gie, yang lantas insaf.
"Jahanam!" Ia menoleh pada kedua pedagang, mereka itu tidak
angkat kaki, hanya mereka kasak kusuk sambil mengawasi rombongan piauwsoe itu. Ia jadi sangat sengit hingga ia kertak gigi, tidak tempo lagi ia cekal keras senjatanya, untuk dipakai menyerang dengan sisa tenaganya yang masih ada.
Tetapi, justeru karena kegusarannya, pengaruh obat tidur bekerja semakin cepat, belum sampai ia mampu angkat
kaki, kepalanyapun pusing, lantas ia rubuh sendirinya.
Chio In Po dan Teng Kiam, kedua boesoe, mengerti
bahaya karena liciknya dua pedagang itu, mereka juga ingin mencoba saat terakhirnya, mereka lantas bergerak, akan tetapi seperti Cong Gie merekapun rubuh dengan segera.
Sin koeh Ke Siauw Coan lantas merogo kedalam
kantongnya, dia ada punya obat Hoay Yang Pay yang
disimpan dalam sebuah botol kecil, ia keluarkan itu, ia
lantas buka sumbatnya, terus mulut botol dibawa
kemulutnya. Ia mengerti yang ia tidak boleh terlambat. Akan tetapi sudah kasep, ia masih tak dapat susul bekerjanya obat tidur, belum empat obat masuk kedalam mulutnya, ia sudah
rubuh juga! Lantas menyusul rubuhnya Giok Kong dan yang
lainnya, hingga tinggal boesoe Kee Giok Tong. Dia ini
tidak gemar arak, tetapi tadi karena terlalu haus ia minum juga, cuma ia tidak minum banyak, dari itu, ia tidak segera terpengaruh obat tidur.
"Oh, bangsat bernyali besar!" Ia berseru seraya hunus goloknya. "Begini berani kau pedayai kami! Lihat, aku nanti bereskan kau berdua!" Ucapan ini ditutup bersama satu loncatan kepada kedua pedagang itu.
Ke dua pedagang itu tertawa lebar.
"Sahabat, kau tinggal sendirian, apa kau bisa bikin?"
kata mereka secara menantang.
Keduanya loncat kesamping waktu serangan datang,
hingga mereka lolos dari bahaya.
Obat tidur itu betul liehay, karena Gi ok Tong gusar dan gunakan tenaganya, ia cuma bisa loncat menerjang satu kali saja. Setelah itu, tidak ampun lagi ia rasakan kepalanya pusing, hingga dalam hatinya ia menjerit, "Celaka ?"
Selagi boesoe itu sempoyongan, dari samping ada


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muncul satu suara berseru "Pundak rata, nanti aku bereskan jahanam ini, dengan pesat sekali ia lari mendatangi.
Giok Tong baharu menoleh atau orang itu sudah datang
dekat padanya, ia hendak lakukan perlawanan, ia angkat goloknya, tetapi ia rasakan senjatanya itu jadi sangat berat,
baharu ia angkat sedikit, orang itu sudah dului serang ia dengan satu dupakan, sehingga tidak tempo lagi ia rubuh terguling. Pun karena pengaruh bekerjanya obat, guru silat ini tidak mampu bergerak pula.
Semua piauwsoe dan boesoe dan tukang keledai rebah
tak berdaya, meskipun demikian, mereka semua sedar,
pikiran mereka sehat seperti biasa. Ngo Cong Gie adalah yang paling menyesal dan mendongkol, karena ia tidak
sangka mereka bisa terpedaya secara demikian oleh
kawanan Cin tiong Sam Niauw demikian ketiga orang itu, sedang yang muncul belakangan adalah Hauw Thian Hoei
sendiri, si Garuda Besi. Piauwsoe ini mengharap bisa
samber goloknya untuk bunuh diri saja, sebab tak sanggup ia menderita malu karena rubuhnya ini secara sangat
mengecewakan. Setelah rubuhkan piauwsoe kepala itu, Hauw Thian Hoei periksa satu per satu korban2nya, paling akhir ia dekati Cong Gie untuk tertawa besar dan kemudian kata dengan ejekannya "Ngo Piauwtauw yang kesohor, jangan tidak
tahu diri! Aku Hauw Thian Hoei telah datang, kenapa kau tidak perdulikan aku" Kau semua telah rubuh rebah, jangan kuatir, aku ada murah hati, walaupun jiwamu semua
gampang diambil, sama gampangnya seperti membaliki
telapakan tangan, tidak nanti aku lakukan itu. Biarlah selanjutnya kita menjadi sahabat kekal". Sekarang
kau beristirahat saja disini, hawapun nyaman dan suasana
tenang tenteram, inilah kebahagiaan yang aku tak sanggup menerimanya...."
Semua orang tutup rapat mata mereka, mereka jemu
melihat romannya Thian Hoei.
"Apakah Lioe Loo jie dan Yap Loo sam masih belum
datang?" kemudian Thian Hoei tanya dua pedagang tetiron itu, yang sebenarnya ada orang2nya juga.
Mereka sudah datang menyahut salah satu konco itu.
"Tapi disini jalanan terpecah dua, mereka pergi kejalan yang satunya untuk menjaga disana, mereka kuatir
rombongan ini ambil jalanan itu. Aku rasa sekarang mereka sudah menarik diri."
Thian Hoei perdengarkan suitan dua kali. Tidak lama,
datanglah jawaban dari kejauhan, kemudian, muncullah
Lioe Seng dan Yap Thian Lay.
"Toako, jangan kita beraya, mari kita lantas bekerja!"
kata mereka itu, "Umpama ada datang bala bantuan
mereka, usaha kita ini akan jadi sia2 saja!"
Thian Hoei manggut. "Barangnya tentu ada dalam pauwhok mereka, mari kita
periksa dan cuci bersih!" ia men d yawab.
Lantas mereka itu bekerja. Thian Lay lantas hampirkan keretanya kedua saudagar untuk mencari dan menggeledah, tetapi sia2 saja, ia tidak dapatkan barang yang mereka maui hingga ia jadi sengit dan penasaran. ia geledah beberapa orang, hasil nya tetap sia2. Saking gusar, ia main dupak orang, sedang kuda dan keledai, ia hajar dengan belakang goloknya, hingga binatang itu menjadi kesakitan dan
terbitkan suara berisik. Hauw Thian Hoei gusar sekali apabila kemudian ia,
mendapat kenyataan, barang yang mereka cari tidak
kedapatan diantara piauwsoe itu, sambil tertawa dingin ia kata "Kau semua ada sangat licin, tetapi ini berarti kau mencari penyakit sendiri! Jikalau aku tidak kasi ajaran, mana kau ketahui liehaynya Cin tiong Sam Niauw" Yap
Loo sam, hayo periksa si orang she Ngo seorang! Aku
hendak lihat, sampai dimana kelicinannya!"
Yap Thian Lay sedang murka, titahnya toako itu
membuat ia puas, bersama Lioe Seng ia loncat kepada
Cong Gie. Mereka hendak mulai dengan siksaan mereka
untuk mengompes. Berbareng dengan itu, dari tempat lebat disamping
terdengar seruan nyaring dan panjang, lalu terdengar lebih jauh dampratan "Oh, kawanan kunyuk! Ber ulang2 kau
bertiga rubuh di tanganku, masih kau tidak insaf! Belum pernah aku ketemu orang kang ouw bermuka tebal sebagai kau ini! Kawanan kunyuk, sekarang ada saatmu yang
terakhir!" Hauw Thian Hoei menoleh dengan segera kearah dari
mana suara datang, maka ia lantas lihat, disebuah pohon besar, ada bercokol seorang tua yalah si orang tua kurus yang merintangi ia dengan membantui rombongan Cin Wie Piauw Kiok. Dengan murka ia lantas loncat untuk
Pendekar Pemetik Harpa 7 Bara Naga Karya Yin Yong Pendekar Sakti 20

Cari Blog Ini