Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin Bagian 8
gurunya, iapun terima pelajaran langsung dari dua jago tua dari Hoay Yang Pay itu. Kalau Siang hiap pesiar, Hee Leng diperintah tunggu rumah, Liong Jiang adalah yang biasa diajak, dari itu muda usianya, cucu murid ini sudah
berpengalaman, hingga dalam tempo tiga empat tahun
nama nya sudah turut terkenal, hingga dia disebut Siauw Hiap Ciok Liong Jiang si Jago Muda. Memang ia jarang
bertemu anggauta2 lainnya dari Hoay Yang Pay. Liu Tong pun lihat, dari romannya, pemuda itu telah terlatih baik.
Kemudian Eng Jiauw Ong tanya kesehatan guru dan
sucouwnya. "Terima kasih, suhu dan su couw berdua ada baik" sahut Liong Jiang. "Suhupun titahkan teecu sampaikan hormat nya kepada supe. Sekarang ini su couw belum balik dari Kauw pak, karena ada urusan mengenai kehormatannya
Hoay Yang Pay kita, suhu kirim aku untuk supe perintah.
Suhu sendiri telah berangkat ke Kauw pak untuk
menyampaikan kabar pada su couw, maka teecu percaya,
sucouw pun bakal lekas datang menyusul"
Eng Jiauw Ong angguk2kan kepala, ia menyatakan
bagus. Setelah itu, Liong Jiang di perkenalkan kepada semua
hadirin kepada siapa ia memberi hormat satu persatu.
Kemudian lagi, Eng Jiauw Ong undang kedua
tetamunya berduduk dan Cie Too Ho segera perintah
orangnya menyuguhi air teh.
Ke Siauw Coan dan Liu Hong Cun meminta keterangan
tentang duduknya persengketaan dengan Hong Bwee Pang, dan Eng Jiauw Ong telah memberikan keterangannya
dengan jelas, tak lupa ia menyebut tersangkutnya See Gak Pay.
"Ong Loosu, tahukah kau dimana letaknya pusat Hong
Bwee Pang itu?" kemudian Ke Siauw Coan tanya.
"Sampai sebegitu jauh kami belum mengetahuinya"
jawab Ong Too Liong. "Kau, Ngo tee, apakah kau pernah pergi ke Cap jie Lian hoan ouw?"
Ke Siauw Coan hendak jawab pertanyaan itu tetapi
chungteng kebetulan datang dengan barang hidangan,
pembicaraan jadi tertunda.
Itu waktu pun Sin Wie Pang belum muncul, Eng Jiauw
Ong lirik Liu Tong, lantas ia gapekan Cie Too Hoo, ia ucapkan beberapa perkataan dengari pelahan. Too Hoo
mengawasi Liu Tong, ia manggut, kemudian ia kata "Ban Suheng, apa Sin Loo enghiong sudah bangun" Nanti aku
undang ia bersantap sama."
"Kau baik sekail, sutee," sahut Liu Tong. "Sin Loo
piauwsu ada terlalu polos hingga ia tak bisa bicara dengan ramah tarnah. Kalau sutee mau undang dia, pergilah."
"Tetapi ini ada kewajibannya tuan rumah, suheng," kata Too
Hoo sambil bersenyum. sesudah mana, ia mengundurkan diri dengan lekas, yang tidak lama
kemudian ia telah kembali bersama Siang ciang Tin
kwansee. Ke Siauw Coan ada bersahabat kekal dengan piauwsu
tua itu, melihat orang she Sin ini, ia segera berbangkit untuk menyambut.
"Benar, manusia hidup dimana pun bisa bertemu!" kata
ia. "Aku tidak tahu lauwko sudah sampai terlebih dahulu disini!"
Sin Wie Pang girang sekali, ia cekal keras tangannya
sahabat itu. "Girang lihat kau disini, lauwtee!" kata ia.
Siauw Coan perkenalkan sahabat ini pada Liu Hong
Cun. Kemudian Eng Jiauw Ong mengundang semua
tetamunya duduk bersantap.
Sehabis meminum tiga edaran. Ke Siauw Coan
menjawab pertanyaan nya Eng Jiauw Ong. Ia kata
perkenalannya dengan orang Kang lam ada sangat berbatas, kecuali satu saudara angkat yang jadi tongtay barisan pembasmi penyelundup garam di Ciatkang Selatan. Dia itu pernah beberapa kali berbentrok dengan pihak Hong Bwee Pang, tetapi pusatnya perkumpulan rahasia itu masih belum diketahui, melainkan diduga terletak didekat Hun sui kwan.
Ia percaya, nama Cap jie Lian hoan ouw adalah nama baru, buatan Hong Bwee Pang sendiri, hingga orang luar tak
mengetahui jelas. Maka itu aku pikir, untuk kita minta bantuannya saudara angkatku itu," kata Siauw Coan
akhirnya. "Dia ada punya mata2 yang bisa dipakai tenaga nya."
Ban Liu Tong tidak berkeberatan atas pikiran ini, tetapi beberapa orang tidak mupakat, sebagai orang kang ouw
mereka malu minta bantuan hamba negeri.
Eng Jiauw Ong tidak lantas mengambil putusan, ia
tanyakan pendapatnya Khu Beng dan Ciong Gam. "Sutee,
kau ada ketua Hoay Yang Pay, segala hal kau boleh
putuskan sendiri," jawab Khu Beng. "Aku dan Ciong Sutee sudah lama meninggalkan Lek Tiok Tong, kami menjadi
asing. Kami turut segala pengaturan mu."
"Suheng terlalu merendahkan diri," kata Eng Jiauw Ong, yang lantas menanya pikiran Hauw Tay, piauwsu dari
Shoatang Selatan dan Sin Wie Pang.
Tetapi juga dua tetamu itu bersedia akan turut segala pengaturan nya tuan rumah itu.
"Dengan datangnya si orang she Bin, yang kirim
undangannya, aku percaya muridku In Hong dan murid See Gak Pay, Siu Beng, sudah diculik sampai di Cap jie Lian hoan ouw," nyatakan Eng Jiauw Ong, "karena itu, aku
lihat tidak ada lain jalan daripada bersikap keras terhadap Hong Bwee Pang. Cu In Am cu serta empat muridnya janji akan bertemu disini, untuk kita berangkat sama2, akan tetapi sampai sekarang ia masih belum sampai, aku percaya ia sudah mendahului pergi langsung kesarang musuh. Maka itu, lebih perlu pula kita perlekas keberangkatan kita.
Bagaimana tiu wie pikir apabila kita berangkat sehabisnya dahar?"
Kim too souw Khu Beng dan yang lain2 nyatakan akur.
"Sampai sekarang ini, masih ada orang2 undangan yang
belum tiba," Eng Jiauw Ong kata pula, "diantaranya, Kee Pin, murid ketiga dari Ban Sutee, masih belum balik. Maka aku pikir akan minta Ban Sutee ber sama2 Ke Ngotee dan Liong Jiang menantikan untuk sementara disini, buat
tunggui mereka yang terbelakang. Tidak perduli berapa jumlahnya yang datang belakangan, mereka boleh diminta segera menyusul ke jalanan Auw hay too di Ciat kang
Selatan, untuk berkumpul di hotel terbesar di Tong peng pa diluar kota Lok ceng sebelah Timur. Dihotel mana kita singgah, disitu tentu kita akan memberi tanda daun bambu dengan kapur. Dan kau, Cie Sutee, setiap kali ada datang tetamu, aku meminta kau suka sambut dan layani mereka dengan baik, terutama, tidak perduli mereka punyal bekal cukup atau tidak, kau mesti berikan setiap orangnya seekor kuda pilihan dan uang tiga puluh tail. Kau pesan untuk mereka lekas menyusul ke Lok ceng."
"Jangan kuatir, suheng, serahkan itu padaku," Cie Too Hoo menjawab.
"Bagus, sutee. Sekarane tolong kausiapkan belasan kuda, tentang pelananya, tak usah yang mewah, asal yang kuat.
Kaupun harus bekalkan aku uang lima ratus tail perak, lebih baik semua perak hancur, kau pecah itu dalam empat
bungkus, supaya gampang di bawanya. Dan jangan lupakan bulu angsa."
Too Hoo memberikan penyahutan nya, lantas ia
mengundurkan diri. Eng Jiauw Ong menghadapi orang banyak untuk kasi
tahu, perjalanan akan dilakukan didarat, karena jalanan air, walaupun lebih aman tetapi ada sangat lambat. Ia minta maaf, selagi orang baharu sampai dan perlu beristirahat, ia mesti minta orang berangkat dengan segera, dengan
tunggang kuda. Ia hunjuk, tujuan pertama adalah kota
Hongtay. Karena bisa jadi mereka akan berpapasan dengan tentera negeri atau pemberontak, ia usulkan untuk mereka menyamar sebagai rombongan piauwsu saja. Untuk itu
mereka bisa pakal bendera Gie Seng Piauw Kiok dari
Hongyang hu. Ia tanya, orang akur atau tidak dengan usul penyamaran itu.
"Jangan loosu pikirkan kami," kata beberapa orang.
"Kami memang datang untuk membantu."
Hauw Tay pun nyatakan, jangankan orang yang
diundang, walau yang tidak diundang pun, bersedia akan memberikan tenaganya. Ia hanya tanya apa bukan lebih bak memakai saja benderanya sendiri. Ia memang ada bawa
benderanya bendera dari Hoay Yang Piauw Kiok. Ia telah tutup piauwkioknya, ia ingin undurkan diriy benderanya itu, sedianya ia hendak simpan di Lek Tiok Tong.
"Begitupun baik" Eng Jiauw Ong nyatakan setuju.
"Sekarang segala apa sudah selesai, hari ini kita berangkat"
Tidak lama, Too Hoo balik bersama dua chungteng yang
bawa nenampan arak pocie dan cangkirnya. Too Hoo
nyatakan, karena ia tidak bisa ikut, ia hendak kasi selamat jalan saja sambil mendoakan hasil mereka. Kemudian,
paling dulu ia haturkan secawan pada Sin Wie Pang.
Melihat sikap orang yang ramah tamah itu, piauwsu tua ini keringkan cawan itu sambil menghaturkan terima kasih.
Diam2 ia telah janji akan gunakan sisa umurnya untuk
kebaikannya Hoay Yang Pay, supaya orang she Cie ini
saksikan akan kesungguhannya. Tak pernah ia menyangka, ia sebenarnya sedang menghadapi ancaman bencana
hebat". Kemudian Cie Too Hoo haturkan selamatnya pada yang
lain2, sedang mereka yang lebih muda usia dan
tingkatannya, menyambutnya sambil mendahulukan berdiri siang2.
Dengan begitu, beberapa waktu telah dilewati, sampai
kira2 jam sembilan atau sepuluh siang baharu orang selesai dan siap untuk berangkat. Eng Jiauw Ong masih tinggalkan pesan pada orang tua dari sebelas desa, yang datang untuk mengasi selamat jalan padanya.
Sama sekali telah disiapkan tujuh belas ekor kuda,
kecuali buntalan sendiri, setiap kuda di bekalkan bungkusan rangsum kering dan air dan seikat rumput, untuk
perbekalan ditengah jalan. Melihat itu, Liu Hong Cun ___
keterlitiannya Cie Too Hoo, ia puji pengaturan sempurna dari Eng Jiauw Ong.
Kepada suhengnya, Cie Too Hoo menyerahkan
segumpal bulu angsa, sedang kepada sesuatu orang, ia
kasikan dua batang, keperluannya yalah sebatang untuk dipakai diwaktu malam, guna kenali kawan sendiri, dan yang sebatang lagi untuk disimpan kuatir ada yang hilang.
Eng Jiauw Ong telah ajak Kam Tiong dan Kam Hauw
serta Tee lie touw Hee houw Eng, Congtauwbak dari
barisan rondaan Lek Tiok Tong. Dia ini, walaupun belum berumur tiga puluh tahun tetapi sejak usia sembilan belas sudah masuk kedalam dunya kang ouw, dalam perusahaan
piauw, hingga ia mendapat banyak pengalamannya. Ia
masuk dalam rombongan Lek Tiok Tong ___ ia tidak puas terhadap sikap kawan2nya, yang tak mau pandang ia. Di Lek Tiok Tong ia unjuk kepandaiannya ____ hingga dari chungteng biasa Too Hoo angkat dia jadi Lauwbak kepala.
Sebagai bekas orang piauwkiok, ia kenal banyak tempat. Ini sebabnya kenapa ia dapat gelarannya Tee lie ___ si Peta bumi.
Diakhirnya, setelah berikan pesan terakhir pada Too
Hoo, yang antar ia sampai di jembatan gantung, Eng Jiauw Ong dan rombongannya semuanya tujuh belas orang,
berangkat meninggalkan Ceng hong po.
XXXVII Baharu melalui tiga puluh lie dari Ceng hong po, jalanan sudah tak "licin" lagi. Dimana mana ada kedapatan tentera pemberontak. Hanyalah karena ada bendera piauw dari
Hauw Tay, tidak pernah mereka dapat rintangan. Adalah setelah sampai didaerah perhentian Ang sim ek, mereka mulai pusing kepala. Disini ada daerah tentera negeri, saban2 menemui pos tentera mereka ditanya ini dan itu, ada kalanya mereka menemui tentera yang melit. Eng Jiauw
Ong menjadi tidak puas, karena perjalanannya jadi
terlambat satu jam lebih.
"Kenapa gusar, suheng?" Ciong Gam memperingatkan.
"Biar bagaimana, mereka ada tentera negeri. Jangan kita melayani mereka. Bukankah urusan kita ada sangat
penting" Memang kita dalam rombongan belasan dan
semua bekal senjata, bisa mendatangkan kecurigaan orang.
Bagaimana bila kita memecah diri jadi dua atau tiga
rombongan?" "Didepan ada Teng wan ek, mulai dari sana saja kita
pecah diri," Eng Jiauw Ong nyatakan akur.
Mereka melarikan kuda mereka, lewat lagi enam atau
tujuh lie, mereka sampai diperhentian Teng wan ek, suatu tempat yang ramai, banyak penduduknya, ada banyak juga kendaraan dan kuda. Disini Hee houw Eng jalan didepan, ia lewati beberapa hotel, untuk cari rumah penginapan dengan merek An Seng, yang ia kenal baik.
"Ah, tuan Hee houw!" menyambut satu jongos sambil
tertawa. "Kemana saja tuan pergi" Hampir satu tahun tuan tak
pernah datang kemari! Tuan bersendirian atau berkawan?"
Dia lantas sambuti kudanya Hee houw Eng.
"Aku berombongan" sahut Tee lie touw. "Apa masih
sedia banyak kamar?" Jumlah kami semuanya tujuh belas"
"Ada, ada, tuan! Diruangan Timur ada lima kamar
kosong," jawab jongos itu, yang terus teriaki dua
kawannya, Thio Sam dan Thio A Sie, untuk menyambut
tamu. Ketika itu, Eng Jiauw Ong beramaipun telah sampai.
Melihat tetamu ada demikian banyak, jongos minta
empat kacung yang suka membantunya untuk bantui
mereka menyambuti kuda. "Jaga baik kuda kami" Hee houw Eng pesan, "kalau ada
yang hilang, kau tidak akan mampu menggantinya!" .
"Jangan kuatir, tuan, anak2 ini dapat dipercaya"
Meski demikian, Hee houw Eng masih mengancam juga
empat boca itu, sesudah mana, mereka masuk kedalam
diantar oleh A Sie, hingga mereka memenuhi ruangan
Timur. Waktu itu sudah magerib, sebentar lagi orang akan
nyalakan api. Selagi bertindak masuk, Eng Jiauw Ong
sengaja jalan ayal2an, untuk perhatikan hotel itu. Ia percaya, hotel ini benar hotel tua. Ruangan ada besar dan terawat baik.
"Jongos, kunci pintu!" begitu Liu Tong dengar selagi ia lewat. Ia lantas menoleh, hingga dari kamar nomor tiga disebelah Barat ia lihat satu toosu atau imam muncul
dimuka pintu.Dia bertubuh tinggi dan besar, rambutnya dikonde dan ditusuk dengan sebatang tusuk konde pualam, mukanya merah, sepasang alisnya gomplok, dua biji
matanya bersinar tajam, hidungnya besar seperti hidung singa, mulutnya lebar, romannya bengis. Dia pakai juba biru dengan leher hijau, ikat ping gangnya kuning oranye.
Diatas sepatunya ada kaos kaki putih. Dan tangannya
memegang kebutan. Sekelebatan saja Liu Tong melihat, ia percaya imam itu bukan imam suci. Tentu saja, tak dapat ia perdulikan imam itu. Ia hanya lihat imam itupun perhatikan padanya. Ia diam saja.
Sesampainya diruangan Timur, rombongan ini memecah
diri, kaum tua dengan kaum tua, dan kaum muda seturunya didua kamar, yang belakangan ini adalah Su touw Kiam, Coh Heng, Hang Lim, dua saudara Phang-Yok Bun dan
Yok Siu- dua saudara Kam-Tiong dan Hauw- dan Hee
houw Eng. Jongos sudah lantas menyuguhkan teh, kemudian merek
memasang api. Kam Tiong dan Kai Hauw bersama Hee
houw Eng pergi memeriksa kuda mereka, ketika mereka
kembali kekamar sudah waktunya bersantap malam,
bersantap sama2 dikamar utara. Sehabisnya dahar, Eng
Jiauw Ong timbulkan soal memecah rombongan menjadi
dua saja yang kemudian dapat kelompokan, rombongan
pertama sendiri Eng Jiauw Ong bersama Hauw Tay dan Sin Wie Pang serta Su touw Kiam, Hang Lim, Hee houw Eng
dan Coh Heng, dan rombongan ke dua Ban Liu Tong
bersama Khu Beng, Ciong Gam, Wie Siu Bin dan Kam
Jiang serta Phang Yok Siu, Kam Tiong, Kam Tiong, Kam
Hauw dan Ciok Bin___. Pada permulaan jam pertama, jongos datang untuk
tambah pembaringan darurat, maka ada kemudian orang
bisa merebahkan diri untuk beristirahat. Kemudian , lewat jam dua hotel ini sepi kebanyakan tetamu ini sudah tidur.
Ban Liu Tong merasa hatinya sudah tenteram, ia teringat kepada si imam roman bengis. Seorang diri ia keluar dari kamar nya akan periksa ruangan luar, akan lihat kamarnya anak2 muda. ____ semua sudah tidur kecuali dua saudara Phang dan Su touw Kiam asyik pasang omong. LiuTong
pesan mereka akan awas terhadap api dan supaya tidur
siang2, karena besok mereka akan berangkat pagi2.
Ketiga anak muda itu menyawab akan perhatikan pesan
itu, setelah mana, Siok beng Sin Ie keluar pula. Ia pergi kelain ruangan dimana ia tidak tertampak orang
pekaranganpun gelap. Ia jalan terus sampai kesebelah depan dimana masih ada beberapa tetamu asyik bicara sambil
hadapi teh. Kemudian ia pergi keruangan Barat dimana
sengaja ia melewati jendela hingga ia tampak, dalam kamar nomor tiga, masih ada cahaya api suram, hingga tak dapat diketahui, si imam sudah balik atau belum. Ia hentikan tindakannya, ia pasang kuping. Ia dengar suara gerakan orang yang meniup api.
"Dia tentu mau keluar," ia pikir, terus ia mengenjotkan tubuhnya keatas payon genteng Utara di wuwungan mana
ia mendekam, akan sembunyikan diri sambil pasang mata.
Ia tidak berani sembrono, karena ia duga si imam tentunya liehay.
Segera ia lihat berlompatnya satu bayangan, sangat
cepat, ke Timur, keatas rumah, akan menuju kesudut Utara.
"Disini tentu ada kecampuran orang jahat," Liu Tong
men duga2. "Mungkin mereka sedang menguntit rombonganku. Baik aku lihat imam ini, apa dia mau?"
Ia lalu bergerak, untuk menguntit.
"Dia bernyali besar," kata ia dalam hatinya, apabila ia tampak bayangan itu -bayangan si imam- yang turun
kebawah. "Orang masih belum tidur semua, dia berani mengintai, baik aku kasi rasa padanya?"
Liu Tong pergi ke Utara, kesudut Timur dari kamar,
akan menguntit terus. Imam itu sedang mengintai di jendela kamar Timur, lalu di jendela kamar Utara, diapun rabah pedangnya, akan
tetapi dia tidak mencabut itu.
"Asal kau turun tangan...." pikir Siok beng Sin Ie.
Imam itu tidak berbuat apa2, ia loncat naik keluar hotel.
Liu Tong heran, tadinya ia niat kisiki suhengnya, tapi segera ia ubah pikiran. Ia anggap, baik ia coba menguntit.
Maka itu la lantas menyusul. Ia lihat si imam naik
kegenteng rumah penduduk, jalan diatas itu ke Timur,
sampai dimulut desa. Disini, dia belok ke Timur utara.
Lompatan nya, jalannya, ada gesit dan cepat sekali.
Terus Liu Tong mengikuti sampai diluar Teng wan ek.
Disitu ada daerah rawa. Mengikuti jalan kecil imam itu menuju terus ke Timur utara, sampai ditegalan sawah, yang terseling pepohonan teh dan murbei. Disini tidak ada
tempat sembunyi, terpaksa Liu Tong mengikuti dari
kejauhan. Jalan jauhnya tiga lie lebih, mereka sampai disebuah
dusun. Terang si imam kenal baik jalanan, tidak ia
hampirkan mulut desa, ia hanya loncat naik atas sebuah rumah diarah Barat.
"Jikalau dia bukan hendak kerja disini dia mesti ada
punya kawan," Liu Tong duga. Tanpa ada maksud, orang
mesti jalan kitari dusun itu.
Menunggu sampai si imam sudah lewati belasan rumah,
Liu Tong baharu loncat naik kegenteng untuk terus menjadi bayangannya si imam. Dilihat dari genteng rumah, ia
percaya dusun ini ada dusun berbahagia. Justeru ia awasi genteng, ia berlaku sedikit alpa, si imam lenyap dari pengawasannya. Ia penasaran, ia maju dengan cepat.
Menghadapi jalan besar, hatinya lega. Disitu ia tampak pula si imam yang sedang bertindak terus. Teranglah imam itu ada kandung sesuatu maksud.
Berjalan dijalan besar, imam itu menuju ke Timur,
kemulut desa. Sekarang dia berjalan pelahan, matanya
senantiasa mengawasi kerumah2 sebelah utara. Rupanya ia perdatai tembok. Tiba2 ia berhenti didepan sebuah rumah besar, ia awasi tembok samping, setelah itu, ia loncat naik keatas tembok itu.
Liu Tong mengerti, imam itu pasti cari tanda rahasia.
Ketika iapun loncat naik kegenteng untuk menguntit, ia lihat si imam pergi kebelakang rumah itu, yang terdiri dari beberapa undakan. Ia heran melihat orang seperti kenal baik gedung itu.
Setelah lewat dua pekarangan dalam, si imam memasuki
Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang ke tiga dimana ada tiga buah kamar, gang terpecah empat, disaban gang ada pot kembang dan tanah berumput.
Untuk desa, jarang ada rumah dengan bahagian dalam
seperti itu. Si imam hampirkan sebuah kamar, ia dekati jendela
Timur, untuk melobangi kertas jendela dan mengintai
kedalam. Melihat duduknya kamar, Liu Tong percaya jendela itu
mesti ada jendela belakang, maka lekas2 ia memutar kekiri akan mencari jendela belakang itu. Ia tidak perdulikan lainnya, ia terus cari jendela itu. Selagi ia mengintai, ia bercekat sendirinya. Itu mesti ada kamarnya satu nona.
"Aku ada pemimpin Hoay Yang Pay, cara bagaimana
aku bisa intai orang punya gadis remaja"." pikir ia dalam kesangsian. "Baik aku pancing saja si imam keluar dari sini, untuk tanya maksudnya sebenar nya?"
Ia baharu memikir sampai disitu, atau ia lihat satu nona umur delapan atau sembilan belas tahun diiring satu bujang perempuan usia lima atau enam belas tahun. Nona itu
cantik tapi lesu, romannya seperti sedang sakit, rupanya dia habis menangis. Sang bujangpun lesu dan berduka.
Nona itu masuk kedalam kamar untuk terus duduk atas
pembaringan, agaknya ia letih, hadapi tiga batang lilin diatas meja didepan jendela, hingga kelihatan nyata
wajahnya, wajah dari satu nona toapan. Tiba2 si nona
merabah perutnya, alis dirapati pula, air matanya lantas meleleh turun.
Satu budak sedang gunting sumbu lilin ketika ia menoleh dan
lihat nonanya menangis, ia perdengarkan suara
tertahan. Segera ia melepaskan guntingnya dan lari pada nona itu.
"Nona, kenapa kau tidak dapat legakan hati?" kata ia.
"Itulah berbahaya. Kenapa nona tidak sudi dengar aku"
Buat apa pergi kekamar nyonya besar" Baik diam saja
dalam kamar sambil sendiri, jangan perdulikan apa yang dia bilang. Dasar nona malang, nona peroleh penyakit
semacam ini". Apa daya" Tapi nona tidak bersalah, tak usah nona takut. Dibelakang hari rahasia tentu akan
terbuka. Aku ada satu budak, tetapi nona tak pandang hina
padaku, maka aku nanti berdaya akan cuci malu nona ini!
Oh, imam jahat itu, dialah si celaka! Dia rupanya ada musuh nona dari penitisan yang lalu! Tentu dia telah bilang suatu apa pada tuan dan nyonya besar. Sekarang sabar, jangan nona keluar, kalau nanti tuan besar datang, aku nanti membantui nona. Kita mesti minta tuan undang tabib untuk periksa penyakit nona. Ia sebagai ayah, mustahil ia tak sayangi nona" Nona, aku bersedia korbankan jiwa
untuk menolong bersihkan namamu. Belum pernah aku
tinggalkan nona, aku tahu nona ada putih bersih!"
Nona itu menyeka air matanya.
"Adik Kiok, kau baik sekali" ia bilang. "Bukannya aku tidak suka mendengar kau. Tapi nyonya besar ada seperti musuhku, dia sangat benci kepadaku, sekarang dia dapat alasan, bagaimana dia tidak gunai itu" Tak dapat aku tak menemui dia, dia pasti akan mengarang cerita yang bukan2.
Benarlah pembilangan ada punya ibu tiri seperti punyakan ayah tiri. Aku bingung. Duluan telah diundangi tabib, karena dia tidak sanggup mengobati, nyonya besar semakin keras tuduh aku. Aku tak beruntung, biar dimuka Raja
Akherat saja aku minta keadilan. Aku ada satu nona
terhormat tetapi nasibku tak dapat membandingi si gemuk gadisnya Heng Ah si bujang sawah, dia anak petani melarat tapi dia bergembira dan hidup manis dengan orang
tuanya...." Mendengar kataanya itu, Liu Tong bisa duga si nona ada korbannya ibu tiri. Ia hanya heran melihat perut si nona yang besar. Melihat wajahnya, mustahil nona itu main gila.
Kalau dia main gila, mustahil dia jadi demikian berduka.
Tapi mukanya si nona ada kuning pucat.
"Dia mesti dapat penyakit luar biasa dan orang sangka dia hamil...." pikir ia. "Disini ada mengenai jiwa, perlu aku campur tahu...."
Ia dengar si budak menghibur pula, katanya "Sudah,
nona, kau bersabar saja. Sekarang ini kita tak dapat berbuat suatu apa, cukup asal kita tahu diri kita putih bersih. Aku ingat pepatah yang membilang, orang suruh orang mati, Thian tidak memperkenankannya, Thian suruh orang mati, apakah susah nya" Demikian dengan nona, kita baik
peserah kepada Thian saja. Halnya si imam, apabila dia datang pula, tidak perduli nyonya besar sangat percaya dia, nona sendiri jangan perdulikan padanya, umapama nyonya besar paksa ajak dia datang, nona boleh kuncikan pintu, jangan kasi dia masuk, pada nyonya besar bilang saja nona takut, apabila dia memaksanya, nona pun tetap menolak!
Apa dia bisa bikin?"
Budak itu sekai air mata nonanya.
Si nona hendak sahuti budak nya, atau tahu2 imam
diluar telah berdiri dimuka pintu kamar.
"Bu liang hud!" imam itu memuji. "Pousat perempuan,
jangan takut, couwsuyamu datang untuk tolongi kau, untuk membebaskan dirimu. Mustahil kau
masih belum menginsafi maksudku?"
Dua2 perempuan itu kaget, tapi si budak membesarkan
hati. "Kau" kau" kau!" ia membentak. "Kau seorang suci,
kenapa tengah malam buta rata kau memasuki kamar satu gadis remaja" Lekas pergi, atau aku nanti berteriak!"
Imam itu tidak berlalu, dia malah tertawa besar.
"Budak!" kata ia. "Kau cuma satu budak, mengapa kau
banyak omong" Couwsuya murah hati, tak mau aku bunuh
orang, tapi jikalau kau tetap banyak bacot, jangan kau nanti sesalkan aku...."
Liu Tong mengawasi, ia gusar melihat sikapnya imam
itu. Justeru itu, si nona berbangkit, dia tolak budaknya, dia awasi imam itu, sepasang alisnya berdiri, kedua biji
matanya terbuka lebar. "Tooya!" kata ia, suaranya menyalakan kemarahannya.
Teranglah bahwa ia tak takut lagi. "Kemarin ibuku paksa ajak kau kemari, untuk periksa penyakitku, tetapi entah kau ngoce apa kepada ibu, dia lantas tuduh aku! Ibu sangat benci aku, dia seperti ingin aku segera binasa! Sekarang malam kau datang kekamarku, nyata kau menghina sangat padaku! Aku tidak perdulikan maksud kedatanganmu,
tetapi aku hendak tanya, apakah kamarku ada tempat yang kau bisa masuki sesuka hatimu" Lekas kau keluar! Kau
ketahui rumah tanggaku, jikalau aku berteriak, apa kau bisa keluar dengan baik dari sini?"
"Ah lie pousat," kata si imam dengan wajahnya yang
keren. "Apakah kau hendak balas budi dengan kejahatan"
Bu liang hud, siancay, siancay! Lie pousat, di depanku jangan kau gunai lidahmu yang tajam, couwsumu sudah
ketahui baik wujudnya penyakitmu ini. Aku ketahui itu waktu pertama kali aku melihat nya! Aku berkasihan
kepadamu, aku tidak hendak membuka rahasia untuk
menolong dirimu, guna lindungi kehormatan keluargamu.
Aku ada seorang suci, aku hendak menolong kau. Jikalau aku tidak menolong kau, kau selamanya terancam bahaya ternoda, apabila sampai selang sepuluh bulan, rahasia akan terbongkar dengan sendirinya. Apa yang kau bisa
sembunyikan lagi" Kau akan menyesal sesudah kasep!
Disini aku ada punya sebutir pil mustajab, asal kau makan ini, cuma setengah jam kau bakal keguguran, nanti aku bawa pergi daging dalam perutmu itu. Couwsuyamu ini
membutuhkan itu, kau tahu" Kau ini tertolong, juga nama baik keluargamu!"
Tapi si nona gusar hingga tubuhnya gemetaran.
"Sayang, sebagai murid Sam Ceng, kau salah mata!" ia
menegur. "Kenapa kau ngaco belo" Aku ada satu
perempuan terhormat cara bagaimana kau anggap aku
sebagai binatang" Aku sudah cukup menderita, jangan
ganggu aku, atau kau bunuh saja aku dengan pedangmu!"
Ia berbangkit, agaknya ia hendak tubruk imam itu.
"Kau duduk!" imam itu mem bentak, agaknya iapun
gusar. "Aku hendak tolong kau, kenapa kau tidak mau
mengarti" Baik aku terangkan padamu aku pandai membuat obat pules, untuk itu aku membutuhkan cie hoo cia. Selama banyak tahun ini, aku telah dapatkan dua puluh lebih, tak pernah aku salah lihat. Aku hendak tolong kau, dengan obat aku hendak keluarkan kandunganmu yang sudah tiga bulan
ini. Kenapa kau tolak maksud baik dari couwsuyamu?" Ia rabah pedang dibebokongnya. "Lihat,
jikalau aku hendak bunuh kau, itu ada terlebih gampang daripada ambil kandunganmu ini! Tapi aku ada murah hati, maka jangan kau sia sia kebaikan ku...."
Imam itu kelihatan bengis luar biasa, tetapi si nona tetap tidak takut.
"Kau ngaco belo!" ia membentak. "Aku ada putih
bersih, dari mana datangnya kandungan" Aku mengarti
surat, aku ada dari keluarga terhormat, bagaimana kau berani cemarkan kehormatanku" Sebenarnya aku sedang
sakit! Kau seorang yang beribadat, jangan kau melupakan karma!...."
"Tooya" budak Siauw Kiok campur bicara, "jangan
harap kau bisa ganggu nona! Kami berdua lemah tetapi
kami tak takut mati! Nona sedang sakit, orang cuma fitnah dia, jangan kau turut menodainya! Baik kau jangan
mengganggunya, kami suka memberikan uang dan barang
perhiasan untuk kau"." Kemudian ia tambahkan pada
nonanya "Nona, mari anak kuncimu!"
Matanya si imam bercahaya ketika ia lihat dua teromol di ujung pembaringan, ia menyengir, kemudian ia hunus pedangnya, yang bersinar berkeredupan.
Melihat senjata tajam itu, Liu Tong terkejut. Diluar
dugaannya, satu imam cabul, tukang ambil kandungan
muda cie hoo cia, ada punya pedang mustika. Pedang ini nampaknya bisa menangi pedang Lui im kiam dari Tiat So Toojin dan pedang Tin hay hok po kiam dari Cu In Am cu.
"Tak dapat aku bikin dia lolos," pikir jago Hoay Yang Pay ini, yang terus memasang mata, pikirannya sudah
tetap. "Aku tak membutuhkan uang dan barang permata," kata
si imam. "Asal aku mau, dengan gampang aku bisa ambil itu, tak perduli kau simpan rapi. Lihat!"
Ia gunai pedangnya akan bacok kunci kuningan dari
teromol itu, kunci itu lantas putus dan rusak!
Si nona dan budaknya kaget.
"Kau lihat, bukan?" kata si imam. "Sekarang, kau
hendak minum obatku atau kau hendak tunggu aku turun
tangan sendiri" Jangan kau ayala2n, nanti aku habis sabar!"
Alisnya nona itu berdiri pula.
"Kau benar kejam!" kata ia. "Kita rupanya ada musuh
turunan! Nah, mari obatmu itu!"
Imam itu tertawa, tertawa iblis, bahna puas hatinya. Ia masukkan pedangnya kedalam sarung, ia tertawa pula,
kemudian dari dalam cupu cupunya, yang tutupnya ia buka, ia jemput sebutir pil merah. Ia sodorkan itu pada si nona, tetapi Siauw Kiok yang sambuti.
"Nona, aku nanti ambil air" kata budak yang setia ini. Ia lantas bertindak kemeja dimana ada thekoan teh.
Si nona, dengan air mata bercucuran, duduk atas
pembaringannya. "Ibu, aku tak berdaya akan lindungi lebih jauh
kehormatan mu...." ia mengeluh. Ia menangis sangat sedih.
Sebelah tangannya merabah kebawah kasur, dari mana ia keluarkan satu gunting.
"He, kau hendak bikin apa?" menegur si imam, ia kaget.
Tapi cepat sekali, si nona sudah tikam tenggorokannya, menyusul jeritannya yang tertahan, darah muncrat,
tubuhnya rubuh atas pembaringannya itu.
XXXVIII Walaupun ia kaget, imam itu berlompat untuk samber
tubuhnya si nona, akan tetapi berbareng dengan itu, si budak sudah jemput ciaktay dengan tiga batang tancapan lilin nya, dengan itu, budak ini dengan berani, dengan sekuat tenaganya, sudah menimpuk sambil membentak
"Jahanam, aku adu jiwaku denganmu!"
Siauw Kiok kaget melihat kenekatan nonanya, tetapi ia lebih kaget menampak si imam bergerak, maka itu, untuk tolong nonanya, ia samber ciaktay dan menimpuk.
Ternyata ia ada punya keberanyan dan ketabahan hati.
Mereka berada terlalu dekat satu dengan lain, si imam juga tidak menyangka jelek pada budak ini, jitu sekali ciaktay mengenai mukanya tanpa ia keburu menangkis atau berkelit. Ia menoleh ketika Siauw Kiok damprat ia, justeru ia menoleh, ciaktay samber matanya yang kanan.
"Aduh!" ia menjerit seraya bekap matanya.
Siauw Kiok tidak berhenti sampai disitu, ia samber
tehkoan dengan apa ia hajar alisnya si imam, tapi sekarang, meskipun terluka, imam itu insaf, de ngan menahan sakit ia mencaci "Oh, budak celaka!" Segera ia hunus pedangnya akan tabas budak itu.
Siauw Kiok tahu bahaya, ia meramkan matanya.
Dalam detik yang berbahaya itu, Liu Tong sudah loncat turun dari genteng dan lari menghampirkan. Ia sampai tepat selagi pedang terhunus, dengan cepat ia cekal lengannya imam itu.
Imam itu terkejut, apapula cekalan itu mendatangkan
rasa sakit yang hebat, ia lantas putar tubuh untuk membela diri, akan tetapi ia kalah sebat, pundak kanannya kena ditotok, atas mana, sakit dan kesemutan lengan kanannya dia, pedangnya terlepas sendirinya. Menyusul itu, satu totokan lagi pada jalan darahnya Khie jie hoat
menyebabkan dia rubuh, rubuh duduk ditanah tanpa bisa kutik lagi.
Siauw Kiok kaget ketika la melihat kejadian itu, ia dapati orang yang datang masuk secara tiba2 itu ada seorang tua, ia sampai menjerit "Ai!"
"Lekas!" kata Liu Tong pada budak itu. "Lihat nonamu, Ia masih bisa ditolong atau tidak!"
Karena ia mengetahui orang bermaksud baik, Siauw
Kiok tidak takut. Ia lari kepembaringan, air matanyaber cucuran.
"Siocia, siocia!" ia berseru, kapan ia lihat darah
berhamburan. "Ah...."
"Ambil api," Liu Tong menyuruh si budak, yang putus
asa itu. Kemudian ia suluhi si nona. "Jangan kau
menangis" ia kata. "Kau rabah dada nonamu, kalau napasnya masih ada,
aku bisa tolong padanya...."
Siauw Kiok rabah dada nonanya itu.
"Jantungnya masih memukul!" ia berseru.
Air mukanya Liu Tong menjadi terang.
"Pergi panggil majikanmu. aku hendak menolongi
nonamu," kata ia pada budak itu. "Imam inipun perlu
diurus" "Tuan dan nyonya ada, tetapi sulit...." sahut Siauw Kiok yang bersangsi. "Kecelakaannya nona pun bukan melulu
disebabkan imam jahat ini, umpama kata dia tidak datang, jiwa nona memang sukar untuk ditolongi"."
"Aku tak tahu urusan rumah tanggamu, tetapi aku bisa
mengira ngira," kata Liu Tong. "Sekarang lekas kaupanggil tuan dan nyonyamu itu, aku kuatir nonamu tidak keburu ditolong!"
Siauw Kiok rupanya mengarti, maka ia lantas berlari
keluar. Liu Tong loloskan pedangnya si imam, untuk diselipkan dibebokongnya, kemudian ia duduk dijendela untuk
menantikan. Ia tidak usah menunggu lama akan dengar
suara berlari lari. Siauw Kiok yang muncul paling dulu.
"Loosuhu, tuan datang," ia kasi tahu.
Dan tuan rumah segera muncul. Dia berumur kurang
lebih lima puluh tahun, mukanya merah, romannya agung, pakaian nya pun rapi. Dibelakang dia ada satu nyonya
muda yang dandanan nya perlente dan romannya genit.
Dibelakang mereka ada beberapa bujang perempuan dan
lelaki, semuanya berdiam.
"Tayhiap, aku telah dengar keterangannya Siauw Kiok,"
berkata tuan rumah sambil terus kasi hormat pada Liu
Tong, nampaknya ia kaget dan heran. "Imam ini telah
mengganas, terima kasih untuk pertolonganmu. Apakah
tayhiap suka perkenalkan dirimu kepadaku?"
"Aku Ban Liu Tong dari Kwie in po di Kian San," Liu
Tong jawab. "Kebetulan aku lewat disini, aku pergoki
imam ini, aku lantas menawan padanya."
Tuan rumah itu manggut. "Aku sendiri ada Tan Hong Kie," ia perkenalkan
dirinya. "Dulu pernah aku menjabat pangkat, tetapi
sekarang aku hidup bertani dikampung halamanku ini. Aku menyesal atas buruknya nasib keluarga kami, aku telah dapatkan anak put hauw ini yang menodai nama baikku.
Sebenarnya lebih baik anak ini mati saja...."
Liu Tong tidak senang mendengar kata2 tuan rumah itu.
"Harimau jahat tidak makan anaknya!" kata ia.
"Lauwhia, kau seorang terpelajar, kau pernah pangku
pangkat, kenapa pemandanganmu cupat seperti satu pit hu"
Jikalau begini sikapmu, baik, aku tidak sudi campur pula urusanmu, dan imam ini, kau mau bebaskan atau serahkan pada pembesar negeri, masa bodo kau! Aku hendak pergi sekarang!"
Liu Tong terus putar tubuhnya.
Tan Hong Kie kaget. "Tunggu, tayhiap!" ia mencegah. "Maafkan aku, karena
aku pusing, bicaraku tidak. keruan. Kejadian ada terlalu hebat bagiku, hingga aku tak bisa berpikir. Harap tayhiap tolong kami"."
Melihat orang insyaf, Liu Tong urung berlalu.
"Jikalau kau masih menyayangi puterimu, aku suka
berbuat apa yang aku bisa untuk tolong puterimu itu," ia bilang. Dari sakunya ia ambil obat, bubuk, ia serahkan itu pada Siauw Kiok seraya berkata "Kau pakaikan obat ini pada luka nonamu, lantas luka itu dibungkus biar rapi.
Kemudian kau sediakan gula pasir serta air matang."
Selagi Siauw Kiok sambuti obat, Tan Hong Kie perintah lain budak ambil gula dan air yang diminta.
"Sebenarnya, aku mengarti sedikit tentang ilmu tabib,"
Liu Tong berkata pada tuan rumah. "Kalau lauwhia tidak hadir, aku sangsi tolongi si nona, tapi didepanmu aku nanti mencobanya"
Lantas Liu Tong ajarkan Siauw Kiok bagaimana mesti
obati lukanya si nona. Budak itu bekerja menuruti ujarannya tabib ini.
Selagi si nona mulai sedar dari pingsannya, Liu Tong
periksa nadinya si nona. "Tidak apa," nyatakan ia. "Lukanya enteng sekali. Dia pingsan itu karena pepat pikiran disebabkan hawa amarah yang meluap."
Gula pasir dan air telah disiapkan, maka Liu Tong lantas aduk itu dalam satu cawan. yang mana ia minumkan pada si nona. Kemudian, seraya keluarkan jarum
emasnya, tabib ini berkata pada tuan rumah "Tolong lauwhia jelaskan padaku tentang sakit nya puterimu ini."
Mukanya Tan Hong Kie menjadi merah, ia tergugu.
"Ban Tayhiap, sebagai seorang lelaki, tak dapat aku
tuturkan tentang penyakitnya anak ini," ia
jawab dengan susah. "Biar isteriku saja yang menceritakan nya."
Ia lantas menoleh pada si nyonya muda disampingnya dan kata. "Terangkanlah pada Ban tayhiap tentang penyakit Siang Houw."
Nyonya cantik itu awasi Ban Liu Tong, lantas ia kata
"Sebenarnya aku malu akan tuturkan keburukan rumah
tangga kami, tetapi karena terpaksa, biarlah aku
menerangkannya. Seyak bulan pertama, aku sudah
merasakan aneh tentang anak ini tapi sebagai ibu tiri aku tidak berani banyak omong. Kemudian, ketika aku usulkan mengundang tabib dia menampik. Seorang perempuan,
apapula satu nona, mesti putih bersih, akan tetapi dia punyakan penyakit ini, apa aku tak ikut malu?"
"Penyakitnya si nona memang ada memalui keluarga,"
kata Liu Tong. "Memang benar tentang penyakit ini tidak dapat diuwarkan. Tapi disebelah itu, orang perlu bukti. Si nona nampaknya sebagai sedang mengandung, tetapi
sebagai orang luar, aku tidak berani memastikannya. Bukti harus ditunggu sampai saatnya hamil cukup bulannya. Ada hal yang menerbitkan penasaran, si nona bilang sekarang ia disangka telah main gila. Dalam hal ini, aku ingin lauwhia berdua suami isteri suka berlaku hati2."
Muka Hong Kie bersemu merah, saking jengah.
"Ban Giesu, sekarang aku cuma bisa sesalkan diri," ia akui. "Sebenarnya anakku ini sejak masih kecil aku
pandang sebagai anak laki2 mulai umur sembilan tahun aku suruh ia ikuti tukang uangku belajar surat, karena ia berotak
"terang" kemudian aku undang satu guru sendiri untuk didik ia lebih jauh, selagi belajar, aku panggil dua anaknya dua keluarga hartawan akan belajar sama2. Diantara dua anak itu adalah anaknya tetanggaku, Liok Kian Tek yang paling akur dengan anakku ini, hingga aku menyangka diantara mereka ada janji suatu apa. Ada bujang2 perempuan yang lihat, mereka berdua kadang2 suka bersikap tidak
sewajarnya, dan kemudian lagi, setelah berhenti sekolah, mereka suka juga tempo bikin pertemuan. Semua bujang
tidak ada yang berani omong apa padaku. Aku tidak sangka kejadiannya seperti ini, hingga cerita telah teruwar. Pasti sekali aku jadi sangat malu. Ban Giesu, kau sekarang telah menangkap si imam jahat, kau pun hendak coba obati
anakku, oh, Giesu tidak nanti aku melupai budimu ini.
Tentang anakku ini, Giesu, terserah pada dia sendiri!" Liu Tong manggut2 .
"Tan lauwhia, aku mengarti harapanmu dari anakmu,
maka aku mengarti juga bila sekarang hatimu jadi tawar,"
kata ia, "tetapi mengenai puterimu ini, aku harap kau pikir pula. Melihat tampangnya, tak mestinya ia ber batin buruk.
Aku sudah berpengalaman, aku telah lihat banyak orang.
Aku harap, puterimu benar2 ada punya penyakit."
Hong Kie ada sangat masgul, ia diam saja.
" Ban Giesu, jikalau kau bisa mencuci kehormatan kami, kami akan sangat bersyukur padamu," kata nyonya Tan
yang dandannya perlente itu.
Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku harap saja, nyonya," Liu Tong kata sambil
manggut. Lantas, dengan mengajak bujangya, nyonya Tan
undurkan diri. Liu Tong lihat gerak geriknya si nyonya, dari situ ia bisa mengarti keadaannya rumah tangga keluarga Tan ini. Tapi
ia diam saja. Ia hanya dekati pembaringan akan awasi
Siang Kouw. Ia percaya nona itu akan dapat ditolong.
"Sekarang aku hendak mengurus dulu imam ini, segera
aku kembali," kata ia pada tuan rumah.
"Dia belum sadar, apa Giesu bisa bawa dia pergi?" tanya Hong Kie.
"Gampang!" sahut Liu Tong sambil tertawa, terus ia
dekati si imam, yang lantas ia angkat dan kempit, buat dibawa keluar dari kamar.
Diluar ada beberapa bujang lelaki, melihat tenaga besar dari si tuan penolong, mereka kaget.
Liu Tong tidak perdulikan mereka, ia loncat naik keatas genteng, untuk keluar dari pekarangan rumah, akan pergi sampai diluar dusun itu, yang ada dusun Tiong hoo tin. Ia baharu berhenti sesampainya ditempat banyak pepohonan yang sunyi. Disitu ia turunkan si imam, yang ia segera totok, hingga dia itu menjerit dan lantas sedar akan dirinya.
Segera imam ini insaf akan duduknya hal. Tetapi ia ada kepala besar, ia diam saja tidak niat ia untuk mohon
ampun. "Kau ada murid dari Sam Ceng, kenapa kau begini
jahat?" Liu Tong segera menegur. "Apakah kau tidak insaf bahwa perbuatanmu ada merusak peri kemanusiaan" Kau
telah ketemu aku, kau harus merasa beruntung. Menghadapi lain orang, jiwamu pasti lenyap sekejab.
Apakah kau insaf sekarang" Maukah kau bertobat" Kau
harus ketahui, dengan mengganas terus, kalau kau tidak terkutuk, mesti ada orang yang hukum padamu!"
Imam itu berdiam, ia menunduk, karena mana, Liu Tong
tepuk pundaknya, hingga dengan cepat ia angkat kepalanya.
Segera matanya dapat lihat pedangnya sendiri dibebokong musuh itu. Tiba2 jadi gusar, hingga ia bersenyun ewah.
" Sahabat, jangan berjuma!" kata ia dengan nyaring. Aku tahu, siapa menang dia raya, siapa kalah dia pemberontak!
Aku telah terjatuh kedalam tanganmu, terserah padamu, maka itu, tak usah kau nasihat kan aku, jangan kau ber pura2 murah hati! Jikalau kau merdekakan aku, kau
tunggulah hari nya yang kita nanti bertemu pula, jikalau kau takut, kau bunuhlah aku sekarang! Aku me___kan ingin ketahui namamu!"
Sambil mengucap demikian, imam itu mengawsi, seperti
henda k kenali orang. "Aku bermaksud baik, kau tak sudi terima," Liu Tong
bilang. "Kau pun memikir untuk mencari balas. Kalau
begitu, baik kau bawa dirimu sendiri, kematianmu.
Umpama kau niat car I aku, seumur hidupku aku
bersedia menantikan kau di Kwie in po di gunung Kian
San. Aku adalah Siok beng Sin Ie Ban Liu Tong dari Hoay Yang Pay."
Imam itu tertawa dingin. "Ban Liu Tong, kau telah menanam bibit permusuhan,
pasti aku nanti menuntut balas!" kata dia dengan berani.
"Aku Hui In Too Hang Lie Pwee Kie dari kelenteng Hian Touw Koan dari Hian Touw Pay, kau kenali aku! Tapi,
jikalau kau suka kembalikan pedangku, aku suka bikin
habis permusuhan ini! Kau pilihlah!"
"Jahanam, kau jadinya ada ___nya Hian Touw Pay!"
kata Liu Tong. "Tapi aku telah lepas kata, aku tetap akan merdekakan kau. Kau baiklah bertobat, atau kalau tidak, tiga bulan kemudian, aku bersedia akan nantikan
kedatanganmu. Pedangmu ini aku hendak pinjam, karena
inilah alat kejahatanmu. Untuk dapat pulang senjatamu ini, itu bisa terjadi diharian kau mencari balas!"
Setelah mengucap demikian, Liu Tong tinggalkan Imam
ini, akan kembali kerumahnya Tan Hong Kie, selagi ia
baharu bertindak, ia dengar tertawa mengejek dan
ancamannya imam itu "Jikalau couwsuya tidak bakar ludas pada Kwie in po, aku sumpah kecewa aku jadi kaum Hian Touw Pay!"
XXXIX Walaupun Liu Tong dengar ancaman itu, namun ia tidak
perdulikan. Ia telah totok jalan darah orang, untuk sembuh dari itu, ada butuhkan tempo seratus hari, dari itu,
sebelumnya tempo itu tidak nanti si imam dapat datangi Kwie in po, ia pasti akan keburu pulang dari Cap jie Lian hoan ouw. Ia berjalan terus, ia ber lari2, ketika ia sampai didalam rumah, ia dapati Hong Kie sedang menanya Siauw Kiok tentang kejadian yang sebenarnya, dan budak itu telah menuturkan semua dengan jelas. Karena ini, tidak lagi Hong Kie benci puteri nya itu, apalagi Liu Tong pun
hendak mengobatinya. Melainkan nyonya Tan yang tidak puas dengan
perbuatannya Siok beng Sin Ie, tetapi tentang perasaannya ini, ia sembunyikan.
Hong Kie sambut tuan penolong itu, ia minta supaya
anaknya ditolong. "Jangan kuatir lauwhia," Liu Tong beri kepastian. "Aku melainkan minta, selagi aku mengobati, supaya isterimu suka turut menyaksikan. Nama puterimu telah tercemar, itu harus dipulihkan. Disini, kecuali Siauw Kiok, tidak ada yang percaya puterimu sebenarnya sakit. Setelah aku
mengobati, aku meminta semua anggota keluargamu nanti bersihkan nama puterimu itu."
Mukanya Hong Kie merah tapi ia manggut.
"Kalau nanti aku telah mengobati puterimu, dia harus
dapat rawatan teliti, sedikitnya satu bulan," Liu Tong kata pula. "Dia ada sangat lemah, dia perlu terus memakan obat dan makanan yang menguatkan tubuh. Selama dirawat, dia mesti dapat perlakuan baik, dan kau, sebagai ayah, kau bertanggung jawab untuk keselamatannya. Aku hendak
kembalikan kebersihan diri si nona, tapi aku kuatir, selagi aku telah sembuhkan dia, nanti ada orang jahat yang diam2
mencelakai pula padanya, kalau itu sampai terjadi, sia2
pertolonganku, pasti aku tak mau sudah, tentu aku akan bunuh orang yang berbuat jahat itu!"
Selagi mengucap demikian, Liu Tong memperlihatkan
sikap yang keren sekali. Tan Hong Kie berjanji akan juga baik dan melindungi
puteri nya, untuk itu, ia segera kasi mengarti pada semua orangnya, yang pun berbareng ia mengancam.
"Sekarang, lauwhia, mari antar aku kekamar puterimu,
dia perlu lekas ditolong," berkata Liu Tong.
"Silahkan, Giesu," kata tuan rumah. "Aku ada bekas
orang militer yang kasar, dalam segala hal sukalah Giesu maafkan aku."
"Aku tahu," sahut Liu Tong sambil manggut.
Lalu, dengan ia sendiri yang tengteng tengloleng, Hong Kie jalan dimuka, akan pimpin penolong itu masuk
kekamarnya Siang Kouw. Siauw Kiok sambut majikan nya itu seraya sambuti juga tenglolengnya.
"Bagaimana dengan nonamu?" Liu Tong menanya si
budak. "Ia ada baik, cuma ia letih," Siauw Kiok jawab.
Liu Tong ambil lilin, ia hampirkan pembaringan untuk
menyuluhi dan awasi muka si nona, setelah mana, ia
manggut2, hati nya lega karena ia menampak pipi si nona mulai bersemu merah.
"Kita tunggu sebentar," ia bilang pada Hong Kie, siapa lalu mengangguk.
Keduanya duduk menantikan.
Tidak lama, nyonya Tan muncul.
Dengan tak banyak omong lagi, Liu Tong suruh Siauw
Kiok kasi bangun nonanya, untuk ia periksa nadinya,
sesudah mana ia beritahukan Hong Kie, sakitnya si nona asal mulanya disebabkan hati jengkel, lalu datang bulan nya tak cocok, hingga darah mengumpul dan menjadi besar.
"Darah itu bisa dibikin hancur, tetapi dengan
mengandalkan obat makan saja, dia membutuhkan puluhan bungkus, maka sekarang aku hendak coba dengan lain
daya," berkata tabib dari Kwie in po. "Kita lihat saja nanti peruntungannya si nona...."
Hong Kie tidak bisa berkata apa2, ia turut saja tabib itu.
Liu Tong suruh Siauw Kiok minta nonanya rebah
celentang, agar pakaiannya dirapikan. Dalam keadaan
seperti itu, ia tidak perdulikan lagi pantangan "lam ___ siu put cin" lelaki dan perempuan tak dapat berpegang tangan.
Ia lantas menyiapkan jarum emasnya. Pertama ia tusuk
yalan darah kwan goan hiat, lalu menyusul thay it hiat, dan ___ hay hiat. Kemudian dengan
batang jarum yang lebih besar ia tusuk jalan darah ___ tay hiat, im kauw hiat, ___
ciong hiat dan hee wan hiat.
"Sekarang aku minta nyonya sudi mengawasi," kata
tabib ini pada nyonya Tan atau ibu tiri yang dengki itu.
"Kau juga, jagalah baik2," ia pesan Siauw Kiok. "Dalam tempo setengah jam asal perutnya perdengarkan suara, itu artinya tusukan
sudah bekerja. Kalau nona ke___kan
darah, jangan kasi ia ___ tubuhnya. Kau, nyonya,
harap jaga jarumnya, supaya tidak copot!"
Lantas tabib ini mengajak Hong ___ keluar, untuk duduk menantikan dikamar tulis. Disini mereka pasang omong.
Didalam kamar, Siauw Kiok dan nyonya Tan
menantikan dengan diam saja, keduanya terus awasi Siang Kouw.
Lama rasanya sang tempo berjalan. tetapi tak sampai
setengah jam perutnya si nona bergeriyukan dua kali, lalu sepasang alisnya bergerak.
"Bagaimana, nona?" Siauw Kiok mendekati. "Kau rasai
apa2 dalam perutmu?"
Sambil diam terus, si nona manggut sedikit. Tetapi ia segera lihat ibu tirinya.
"Rupanya aku ingin buang air, minta nyonya keluar
dulu," ia kata pada budaknya itu.
Siauw Kiok percaya, nyonya itu memang tak betah
berdiam didalam kamar itu, tetapi pesannya Liu Tong
menahan padanya. Ia jawab nonanya itu "Diam, nona
jangan bergerak, ini pesan Ban Giesu. Jarum di tubuhmu masih belum dicabut. Biarnya nona buang air, tetap diam saja. Untuk kesembuhan dirimu, nona mesti tahan segala apa! Nyonya sedang taati pesannya Ban Giesu, dia tidak boleh berlalu dari sini....."
Selagi sang budak bicara Siang Kouw merasakan
perutnya mulas, sakit sekali, hingga ia mengeluh, kemudian ia menjerit karena hampir ia tak dapat bertahan, waktu ia hendak pukai dua tangannya akan tekan perut, Siauw Kiok mencegah, adalah bujang ini bersama si nyonya yang
tolongi merabah. Pucat mukanya si nona saking menahan sakit. Keempat batang jarum telah ber gerak2 sendirinya.
"Kiok, lihat, lihat itu dibawah, apa". kenapa ...."
Cuma sebegitu suaranya Siang Kouw, ia terus pingsan.
Siauw Kiok memegangi terus nonanya, sampai tubuhnya
diam. Ketika ia melihat kebawah, ia terperanjat. Disitu bertumpuk gumpalan darah, yang merah dan hitam
warnanya. Ia jadi melongo.
Nyonya Tan pun terkejut, tapi mukanya jadi merah
sendirinya bahna jengah, hatinya lantas berkedutan. Ia tuduh si nona hamil, sekarang buktinya bukan. Maka ia pun terbengong.
Siauw Kiok sedar paling dulu.
"Thaythay, jangan diam saja," ia tegur nyonyanya. "Aku ada seorang perempuan muda, aku tidak tahu apa2.
Bagaimana kita mestinya bertindak?"
Nyonya itu sedar, lalu dengan terpaksa ia tolongi Siang Kouw. Sekarang, tak malu2 lagi ia minta Siauw Kiok nanti bicara baik tentang dirinya.
Siauw Kiok terharu, hingga air matanya berlinang.
"Thaythay, aku ada satu budak, bagaimana aku berani
banyak omong mengenai rumah tangga thaythay," sahut ia.
"Tapi aku berkasihan terhadap nona, yang nama baiknya dicemarkan, yang jiwanya terancam. Sekarang syukur ia telah tertolong, kehormatannya telah dipulihkan. Thaythay
jangan kuatir. Siocia sendiri, meskipun ia telah dipersakiti, tidak nanti ia mendendam dihatinya."
Nyonya Tan tak enak hati, sebab walaupun budak itu
berjanji, tetapi kata2nya ada mengandung sindiran.
Sementara itu Siang Kouw sudah sedar akan dirinya. Ia merasa sangat lemah sekujur tubuhnya. Ia merasa perutnya dirasakan kosong.
Siouw Kiok keluar akan memberi laporan pada
majikannya, terutama pada Liu Tong didepan siapa ia
berlutut "Giesu, kau adalah penolong nona. Ia sekarang sudah baik, cuma ia masih lemah. Coba giesu longok
padanya," ia kata. Budak ini paykui sampai tiga kali.
"Sudah, jangan pakai peradatan!" kata Liu Tong sambil tertawa. "Untuk kau sudah cukup asal kemudian kau rawat baik2 nonamu"
Hong Kie, yang girang sekali, haturkan terima kasih
pada tabib itu. "Mari kita lihat," ia lalu mengajak.
Bukan kepalang malunya Nyonya Tan apabila ia melihat
suami nya bertindak masuk bersama sama Liu Tong, ia
menunduk terus. Liu Tong bisa mengarti malunya si nyonya, sebagai
orang terhormat, ia membiarkan saja. Ia terus hampirkan Siang Kouw untuk periksa nadinya, sesudah mana, ia cabut semua jarum.
"Aku tidak sangka aku dapat menolong begini cepat,"
kata ia pada Hong Kie dan isterinya. "Sekarang sudah
mendekati fajar, aku masih punya urusan, aku mesti lekas kembali. Si nona tinggal membutuhkan perawatan, disini
aku tinggalkan surat obat, untuk ia makan sampai sepuluh bungkus. Untuk selanjutnya, asal makannya dijaga dan
jangan bikin ia berduka atau gusar, ia akan lantas pulih kesehatan nya seperti sediakala"
Liu Tong terus minta kertas, pit dan bak, lalu ia tulis resep nya.
Selagi Orang menulis resep, diam2 Hong Kie siapkan
seratus tail perak, kemudian dengan ke___ tangannya ia haturkan itu, seraya ia kata "Sekarang ada
tengah malam, walaupun aku berniat menghadiahkan sesuatu
kepada giesu, tak dapat aku cari barangnya, dari itu tolong giesu simpan ini saja. Sebenarnya aku berlaku kurang
hormat, maka harap giesu maafkan aku"
"Lauwhia, kau berlebihan" kata Liu Tong sambil
bersenyum. "Aku jadi tabib tidak untuk na___ dan uang.
Biarlah kita jadi sahabat saja, harap dibelakang hari kita nanti bertemu pula. Harapanku yang utama adalah kau
serumah tangga hidup rukun dan berutung, supaya ada ibu yang mencinta dan puteri yang berbakti, dengan begitu tak sia2 pertolonganku ini"
Mukanya Hong Kie dan isteri jadi merah pula, mereka
jengh sekali, tetapi mereka mengucap terima kasih.
Siang Kouw dengar orang mau pergi, dengan lemah ia
paksakan berkata "Inkong, budimu ini ada sangat besar, aku tak dapat balas, biar dilain penitisan saja aku balas itu...."
"Jangan kau pikirkan itu, nona. Kau ada seorang sadar, aku percaya kau mengarti dengan baik. Sayang ibumu telah meninggal dunya, tetapi sekarang ada ibu tirimu, asal kau berbakti terhadapnya, dia ada seperti ibu kandung. Semoga kau semua akan hidup rukun dan manis."
Siang Kouw menangis, "Aku nanti ingat baik2 pesanmu ini inkong," kata ia.
Liu Tong memandang kejendela, ia lihat mendatangnya
sang fajar, maka ia tidak berayal pula.
"Sampai ketemu pula!" kata ia, yang lantas bertindak
keluar. Hong Kie bertindak akan mengantar. Baharu sampai
didepan pintu "Cukup, lauwhia, aku pergi!"
Itulah suara Liu Tong, yang tubuhnya mencelat keatas
genteng dan lenyap. Hong Kie kagum, ia tercengang.
Liu Tong berjalan pulang dengan hati lega dan girang, pertama2 ia sudah tolong satu jiwa, kedua ia telah peroleh pedang, yang barangkali ada gunanya nanti di Cap jie Lian hoan ouw. Tidakkah itu ada sebuah pedang istimewa" Itu waktu belum ada orang berlalu lintas, ia lantas gunai ilmunya lari cepat, maka ketika matahari mulai muncul, ia telah sampai dihotelnya. Pintu hotel sudah dibuka, jongos sedang nyapu. Selagi ia bertindak kearah kamar, Ciong Gam bersama Wie Siu Bin dan Kim Jiang justeru bertindak keluar.
"Kemana kau pergi, suheng?" ia memapaki.
"Ah, sutee!" kata Tiongciu Kiam kek. "Kenapa kau pergi tanpa bilang2 lagi" Satu malam kau tidak kembali, kau bikin, kami memikiri kau..."
"Maaf, suheng," kata Liu Tong. "Aku telah peroleh
pengalaman, hingga aku jadi seperti si nelayan yang peroleh untung" Mari kita bicara didalam"
Ia ajak tiga kawan itu kembali, akan masuk kedalam
kamar dimana yang lain2 pun asyik harap2 padanya,
hingga hati mereka itu jadi lega. Mereka ini heran lihat kawan itu punyakan sebatang pedang lain serta air
mukanya terang sekali. "Aku percaya kau, sutee," kata Eng Jiauw Ong. "Tapi,
di sebelah itu kita pun insyaf, pihak Hong Bwee Pang ada sangat licin dan licik, mereka berbahaya sekali. Bukankah panah gelap sukar dilawan" Apakah pengalamanmu, coba
tuturkan?" Liu Tong duduk dulu, baharu ia loloskan pedangnya.
"Lihat, suheng, bukankah perjalananku tak sia2 belaka?"
kata ia sambil sodorkan pedang itu. "Aku telah dapatkan senjata ini. Bisakah ini dipandang mustika?"
Lalu ia pun tuturkan pengalamannya itu.
Ong Too Liong cabut pedang itu, diantara suara
nyereset, iapun lihat sinar berkilau, hingga ia kagum, kemudian ia pandang adik seperguruannya, sesudah mana, ia awasi lama pedang itu. Ia lihat guratan2 naga terbang dengan dari mulutnya nyembur hawa bagaikan asap, yang merupakan dua huruf "Tee Sat"
"Sutee, sungguh tidak surup Hui In Tootiang Lie Pwee
Kie memiliki pedang ini!" kata Su heng ini kemudian. "Dia adalah sisa Hian Touw Pay, dia suka ambil cie ho cia untuk membuat obat pules, tetapi dia punyakan pedang ini, aku rasa dia ada punya asal usul yang beriwayat. Aku anggap, dengan mengasi ampun padanya, sekali Ini kau bertindak keliru. Orang sebangsa dia mesti disingkirkan dari dunya.
Sekarang kau tanam tibit permusuhan, dibelakang hari dia bisa jadi bencana besar"
Mendengar perkataan suheng ini, Liu Tong insyaf. Ia
memang tahu, imam itu akan menuntut balas dan bisa jadi ancaman di belakang hari. Tetapi ia tidak takut.
"Kau benar, suheng, aku menyesal," ia akui.
"Sekarang tak lain, kau harus berhati hati, sutee," Eng Jiauw Ong kata pula. "Biar bagaimana, dia tak boleh
dipandang ringan. Mengenai pedang ini, aku tidak tahu pasti ini benar Tee sat kiam atau bukan! Apa sutee ketahui riwayatnya?"
"Akupun asing mengenai pedang ini," sahut Liu Tong.
Pedang itu lantas pindah tangan silih berganti, untuk sesuatu kawan melihatnya.
"Aku ketahui sedikit tentang pedang ini, hanya ini ada Tee sat kiam atau bukan, aku tak berani memastikannya,"
kemudian kata Kim too souw Khu Beng sesudah ia periksa pedang itu. "Nama yang lengkap adalah Tee sat Cian liong kiam, yang berarti pedang Naga Tersembunyi. Pemiliknya ada Kim Sie Tootiang Thio Ham Ceng dari berhala Thian Hong Koan di Bu Tong San. Ini ada pedang pelindung
berhalanya itu. Kim Sie Tootiang ada berilmu tinggi dan jujur, ada aneh senjatanya bisa jatuh kedalam tangan orang jahat. Syukur pedang ini didapat oleh Ban Sutee. Apa bisa jadi didalam Thian Hong Koan ada murid yang murtad"
Apa yang aku tahu, orang disana semuanya sujut,
aturannya pun keras, didalam kalangan kang ouw sukar
untuk menemui imam itu atau murid2nya. Ya, mesti ada
sebabnya maka pedang ini tak berada dikuilnya"
"Mungkin sekali Lie Pwee Kie bukan murid Thian Hong
Koan," nyatakan Eng Jiauw Ong.
"Baiklah pelahan saja kita selidiki halnya pedang ini"
Khu Beng serahkan pedang itu pada Liu Tong.
Karena didapatnya pedang ini berarti keuntungan besar bagi pihak Hoay Yang Pay, Khu Beng lantas meminta
jongos lekas menyajikan meja perjamuan, untuk memberi
selamat pada Ban Liu Tong. Orang telah bersantap dengan gembira sekali. Habis dahar, sesudah lakukan pembayaran rombongan ini lanjutkan perjalanan mereka, tetap terbagi dua.
XL Perjalanan kali ini dilakukan berhari hari, tanpa sesuatu rintangan, maka pada suatu hari kedua rombongan sampai di Tong peng pa, diluar kota Lok sebelah Timur, di Ciat __
Selatan. itu ada satu dusun besar, jalan besarnya dua ___
panjangnya dan ramai. Memang Tong peng pa jadi jalan
___ diantara belasan distrik disekitarnya, baik didarat mau pun diair. Distrik Lok ceng sanggup mencukupi kesuburan nya ibu kota propinsi.
Rombongannya Ban Liu Tong yang sampai lebih
dahulu, setelah berdamai dengan Khu Beng,mereka pilih hotel Eng Hoo, untuk singgah. Satu orang disuruh
menantikan dimulut desa, akan tunggui rombongannya Eng Jiauw Ong, maka rombongan inipun ambil sebuah hotel
bersama. Mereka ambil lima kamar tengah dan dua kamar samping. Hotel itu besar dan pekarangan nya luas, bisa muat banyak kereta dan kuda.
Selagi duduk beristirahat, Eng Jiauw Ong tanya jongos yang melayani mereka kalau jongos ini tahu dimana
letaknya Cap jie Lian hoan ouw.
Jongos itu agaknya heran.
Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nama tempat itu pernah aku dengar" sahut ia dengan
ayal ayalan, "aku hanya tidak tahu dimana letaknya.
Barangkali adanya disekitar Gan Tong San". Gunung ini hias daerahnya"
Karena orang tidak tahu, Eng Jiauw Ong tidak menanya
melit, sekeluarnya jongos itu, ia berunding kepada
kawan2nya. Ia anggap mereka harus bikin penyelidikan
sendiri, main tanya saja tidak akan ada hasilnya.
Ditetapkan, besok mereka akan mulai kerja, dari itu,
sebentar kemudian, sehabis bersantap, mereka masuk tidur siang2.
Keesoknya pagi, begitu lekas terang tanah, Eng Jiauw
Ong bangun paling dulu. Segera ia dapat lihat selembar kertas merah diatas meja. Itulah sepotong karcis nama dengan bunyi nya "Hormatnya Bu Wie Yang" Ia lantas
periksa pintu dan jendela, ia tidak dapati bekas apa2.
Diam2 ia ada sangat gusar.
Liu Tong bangun sebagai orang ke dua, pada2 sutee ini Eng Jiauw Ong serahkan karcis nama itu.
Yang lain2 pun bangun saling susul, sama2 mereka lalu melihat karcis nama itu.
"Kita tidak alpa, suheng, karcis nama ini aneh," Liu
Tong nyatakan. "Apa mungkin ada orang Hong Bwee Pang
yang bisa datang tanpa bayangan dan pergi tanpa
bekas2nya bagaikan orang sakti" Aku anggap perlu kita pasang mata terhadap orang hotel sendiri. Jangan lupa kita sudah berada dalam daerah kaum itu, yang pasti kaki
tangannya tersebar luas"
"Kau benar, sutee," Eng Jiauw Ong manggut. "Kemarin
sikapnya jongos yang layani kita ada mencurigai. Apa ini bukan permainan sunglapnya?"
Ciong Gam dan Khu Beng pun menduga si jongos yang
berbuatnya. "Memang kita harus waspada," nyatakan Loopiauwsu
Hauw Tay. "Tidak cuma orang hotel, semua kereta dan
perahu juga mesti dicurigai"
Eng Jiauw Ong anggap itu benar. Untuk mencari
keterangan, ia lalu pecah kawannya jadi empat rombongan.
"Biarlah bersama muridku aku berangkat lebih dulu,"
Sin Wie Pang kata pada ketua Hoay Yang Pay. "Umpama
kata kami berhasil memasuki Cap jie Lian hoan ouw, sudah pasti aku akan mengirim kabar padamu, Ong Suheng. Aku telah berjanji untuk membantu, dari itu tak lagi aku
pikirkan akan keselamatan diriku"
"Kau baik sekali, lauwko, terima kasih," kata Eng Jiauw Ong, begitupun Ban Liu Tong. "Biar bagaimana, aku minta lauwko jangan sembrono. Tiga kali Hong Bwee Pang kirim undangannya, dia toh berlaku sangat licin, sampai kita sudah datang sekarang, dia masih belum hendak tunjukkan alamat nya, dia sengaja persulit kita dengan mengantap kita yang mencari sendiri. Aku percaya, apabila kemudian
terbukti kita tidak mampu mencari Cap jie Lian hoan ouw baharu Bu Wie Yang akan kirim wakilnya untuk papak
kita. Aku pikir baik lauwko tidak sembarangan utarakan cita2mu, dengan demikian bisa dicegah Bu Wie Yang gusar terhadapmu. Dengan Bu Wie Yang tidak ketahui hati
lauwko apabila nanti kita masuk ke Cap jie Lian hoan ouw, lauwko bisa bantu kami secara diam2. Jagalah agar rahasia lauwko tidak terbuka"
"Jangan kuatir, loosu, aku bisa bekerja dengan hati2,"
Wie Pang berikan kepastian.
Sampai disitu, Sin Wie Pang bersama muridnya, Hui
thian Giok niauw Hang Lim, lantas pamitan, untuk
berangkat terlebih dahulu.
Eng Jiauw Ong tugaskan Su touw Kiam dan Coh Heng
buat menunggu dihotel, kemudian, dengan berpecahan
merekapun berangkat saling susul - pergi dengan
berpencaran. Eng Jiauw Ong pergi ber sama2 dua saudara Kam, Tiong dan Hauw, dan Tee he touw Hee houw Eng.
Paling dulu mereka berpesiar dijalan besar umum, untuk lihat keadaan atau kebiasaan penduduk. "Kota" Tong peng pa ini ada ramai sekali. Kemudian mereka masuk dalam
rumah teh dengan merek Kun Cu Kie. Disini ruangan ada lebar, segala apa ada bersih dan terawat baik. Eng Jiauw Ong mengharap bisa melihat dan mendengar apa2 yang
penting ditempat umum ini.
Baharu Eng Jiauw Ong pilih meja, dari luar kelihatan
ada masuk satu tetamu umum kurang lebih tiga puluh
tahun, muka nya merah, alisnya gomplok, kuncirnya yang besar yang berbenang wol hijau, dilibatkan dileher nya. Dia pakai thungsha abu2, di bebokongnya tergendol pauwhok kuning. Diatas sepatunya yang putih, pada libatan kaos kaki, ada diselipkan masing2 sebatang cagak tajam, hingga dapat diduga dia ada orang kaum kang ouw. Dia telah pilih tempat dimeja kedua disampingnya Eng Jiauw Ong.
Jongos lantas sediakan tehkoan teh dan cawannya.
"Tolong ambilkan aku satu cangkir lagi," kata orang itu pada jongos, "aku hendak cepat2 lanjutkan perjalananku, perlu aku dinginkan air teh."
"Baik, tuan," sahut jongos sambil bersenyum. "Disini
ada rumah teh tetapi disinipun tuan bisa dapat barang santapan dan singgah juga."
Tetamu itu bicara dengan lagu suara orang San co, Shoa tang. Untuk Ciatkang, ia kelihatannya tolol, akan tetapi jongos melayani ia dengan ramah tamah. Diam2 Eng Jiauw Ong perhatikan orang ini, maka itu ia dapat lihat
bagaimana dia geser cangkir yang jongos letaki depannya sekali. Tehkoanpun di ditolak kepojok. Kedua cangkir
digeser demikian rupa, hingga bersama tehkoan, merupakan bintang tiga, Didepan jendela, ada duduk satu tetamu lain, umur kira2 empat puluh tahun, dandannya rapi, romannya sebagai satu sasterawan, gerak2annya halus. Setelah si orang Shoatang geser tehkoan dan cangkirnya, ia lantas berbangkit dan menghampirkan, ketika ia memberi hormat, kelihatan tangan kanannya diangkat sedikit.
"Apakah lauwhia hendak sewa perahu?" dia tanya.
"Sahabat, aku datang dari sungai, kesungai aku hendak pergi," jawab si orang Shoatang itu. "Tapi apa disini ada perahu yang bisa turuti angin dan air?"
"Turuti angin dan air" Ada, tuan! Satu kali kau naik
perahuku, kau tidak akan ingin naik lagi perahu lain orang!
Berapa banyak kawan tuan dan barang tuan juga?"
"Hanya tiga orang serta barang dua belas potong."
"Perjalanan tiga hari lamanya berarti kira2 sertus dua puluh lie, bukan?"
"Benar, sahabat," manggut si orang Shoatang. "Silahkan duduk!"
Dan ia menolak satu cangkirnya, cangkir yang pertama.
Dua saudara Kam dan Hee houw Eng dengar
pembicaraan kedua orang itu, yang tidak ketahuan
junterungannya, mereka menduga dua orang itu ada orang2
kang ouw. Karena tidak mengarti, mereka nampaknya
heran. Eng Jiauw Ong lihat sikap nya tiga anak muda itu yang bisa mendatangkan kecurigaan orang, segera ia ketok meja dengan pe lahan, atas mana tiga pemuda itu tunduk atau menengok kelain arah, sambil bicara. Tapi diam2
mereka terus perhatikan si orang Shoatang dan sasterawan itu, yang sekarang sudah duduk berhadapan.
"Coba kau perkenalkan dirimu!" terdengar si sasterawan, walaupun suaranyaada pelahan sekali.
Si orang Shoatang menyahuti nya dengan terlebih
pelahan iagi, hingga tak terdengar tegas apa yang ia bilang.
Hanya dikuping nya Eng Jiauw Ong, samar2 orang itu
menyebut bahwa ia baharu untuk pertama kali datang
kepusat umum, untuk mengunjungi suatu Hio cu.
Keduanya pun sebut2 Gan Tong San Utara dan Selatan.
"Selagi bicara, si orang mirip sasterawan, yang ada
penduduk setempat, memasang mata kesekelilingnya,
kemudian mereka memesan barang santapan pada jongos.
Sehabisnya minum, Eng Jiauw Ong juga memesan
beberapa rupa barang makanan, ia dahar bersama tiga
kawannya. Habis dahar, ia lantas membayar, ia lalu ajak tiga kawannya keluar. Dua saudara Kam agaknya ogah
ogahan, mereka masih ingin pasang mata.
Tanpa sangsi Eng Jiauw Ong pergi keluar.
"Po cu, dua orang itu mencurigai," kata Hee houw Eng.
"Apa tidak baik kita kuntit mereka?"
Eng Jiauw Ong berpaling, apabila ia metidak, lihat
orang, yang sikapnya mencurigai, ia jawab pemuda she Hee houw itu "Mereka berdua adalah orang Hong Bwee Pang.
Mereka itu, siang menggunai tanda gerakan tangan, dan malam mereka nyalakan hio, yaitu hio tin. Orang Shoatang itu ada orang baru, dia tak tahu dimana adanya pusat
umum, dari itu, dia tanya si orang mirip sasterawan itu, yang ada penduduk sini. Tadi mereka berkenalan dengan gerakan cangkir teh. Kita justeru belum tahu dimana
adanya sarang mereka, inilah kebetulan, kita jadi boleh
kuntit mereka. Hanya kau bertiga lain kali jangan suka unjuk perhatian yang mencolok mata, itu bisa membikin bocor rahasia kita tanpa diinginkan. Hati2lah, disini ada tersebar orang2nya musuh!"
Mereka berbicara sambil berjalan, mereka sudah lantas melalui separuh dari jalan umum yang panjang itu. Ketika mereka menoleh, mereka lihat si orang Shoatang dan
kawannya masih belum muncul.
Eng Jiauw Ong hampirkan seorang tua umur enam atau
tujuh puluh tahun, yang jual buah2an ditepi jalan, orang mana berkumis putih dan nampaknya jujur, ia terus
memberi hormat seraya tanya "Sahabat, kami adalah orang pelancongan, numpang tanya, untuk pergi ke Gan Tong
San apakah mesti pakai perahu" Dimana letaknya
pelabuhan disini" Berapa kira nya uang sewa perahunya?"
Orang tua itu lekas berbangkit.
"Tuan mau pergi ke Gan Tong san Selatan atau Utara?"
ia tegasi. "Gan Tong San Selatan ada jauh sekali, enam atau tuyuh ratus lie dari sini. Gan Tong San Utara tidak jauh, tetapi ada hampir seratus lie. Leluasa apabila
menggunakan perahu. Jikalau kita menyewa perahu dari
sini kita bisa pergikan dua2 Gan Tong San itu"
"Apa benar Hun cui kwan itu letaknya di Gan Tong San
Utara" Sebenarnya kami mau pergi ke Hun cui kwan"
Agaknya tukang buah itu terheran, tetapi lekas ia
menyahuti, katanya "Dari sini tuan menuyu ke Timur, kira kira setengah lie akan sampai dipelabuhan, disana ada banyak perahu sewaan, yang memuat barang dan rang. Itu adalah pelabuhan Tong peng pa. Mengenai tukang2 perahu asal tuan bisa mengira ngira tidak nanti tuan dapat
gangguan...." "Apakah mereka kurang ajar ?" " Eng Jiauw Ong tanya.
"Tidak semuaya. Tetapi mereka ___ satu dengan lain,
kalau per mereka bisa mengeroyok. Tuan sudah ada umur, tak usah tuan layani mereka. Disana, perahu2 nelayan pun suka menambat.
Baik tuan sewa perahu sendiri jadi
merdeka. Sewaan perahu cuma dua renceng chie satu
harinya" Eng Jiauw Ong mengucap terima kasi, ia mengajak tiga
kawannya berlalu Mereka dapat kenyataan, makin dekat
kepelabuhan, keadaan diyadi tambah ramai, ada lebih
banyak orang dagang. Sepanahan jauhnya dari pasar sudah lantas tertampak banyak layar serta tihangnya. Disini mereka bertindak pelahan, merekapun tidak langsung
menuju kesungai hanya berjalan dulu. Dengan demikian
mereka justeru dapat tunggui dua orang tadi dirumah teh ketika kedua orang itu mendatangi, mereka sembunyi,
kemudian mereka menguntit orang menuju kepelabuhan.
Sesampainya ditepi sungai, dua orang itu naik sebuah
perahu, agaknya mereka tidak bicara harga lagi, karena itu Eng Jiauw Ong lekas menyusul. Ia melihat dua tukang
perahu sudah siap untuk berangkat, perahunya ada cukup besar untuk muat lima atau enam penumpang.
"Apakah ini ada perahu sewaan?" tanya ia, dengan
sebelah kakinya segera injak papan yang menjadi jembatan perahu. " Kami ingin turut!"
"Awas!" kata tukang perahu, yang berlidah Keng pak
dan tubuhnya besar, romannya bengis. "Jangan sembarang injak papan, nanti terbalik! Orang sudah tua tetapi masih belum tahu urusan! Untuk sewa perahu, pergi cari perahu lain, perahu kami sudah diborong!"
Eng Jiauw Ong tidak perdulikan tegoran itu, ia justeru raenginjak dengan kedua kakinya.
"Omong manis sedikit, sahabat!" kata ia. "Kalau aku
kecemplung, aku nanti sesalkan umurku yang pendek, tak usah kau kuatirkan aku! Jikalau muatan kau sedikit, kami hendak turut untuk serintasan saja, kebetulan kau hendak berangkat! Apakah kita tak dapat berempuk?"
"Ah, kau jangan menggerecoki aku!" kata tukang
perahu, yang kasar sikapnya itu. "Aku sudah kasi tahu, perahuku ini diborong! Jikalau kau menengil, nanti aku ceburkan kau kesungai!"
Eng Jiauw Ong tidak senang.
"Tukang perahu, kenapa kau begini galak?" ia tegur.
"Kau memangnya punya kekuasaan apa disini?"
Tukang perahu itu masih hendak melawan tetapi salah
seorang penumpangnya muncul.
"Sabar," kata ia. "Tuan, apa kau tak dapat cari lain
perahu?" "Apakah kau pemilik perahu ini?" Eng Jiauw Ong tanya.
"Pegawairnu ini tidak pandai bicara, aku hendak ajar adat padanya!"
"Tuan, seorang besar tak melayani orang kecil," kata
orang ini. "Dengan sebenarnya perahu ini sudah diborong.
Tuan lihat, disana ada banyak perahu lang lainnya, baik tuan sewa lain perahu saja"
"Hm Baik, aku mengampuni padanya!" kata Eng Jiauw
Ong, yang lantas loncat kedarat.
Hee houw Eng bertiga mendongkol, mereka ingin hajar
tukang perahu itu, tapi karena ada Eng Jiauw Ong, mereka terpaksa sabarkan diri, cuma mereka mendelik mengawas si tukang perahu itu.
"Po cu, binatang itu kurang ajar, apakah tak boleh kita ajar adat padanya?" tanya Kam Tiong selagi mereka
bertindak pergi. Eng Jiauw Ong tidak menyahuti, ia hanya berjalan terus.
Tidak jauh dari situ, didarat ada beberapa tukang perahu, dua tiga orang diantaranya lantas menghampiri.
"Apa tuan hendak sewa perahu?" tanya yang satu.
"Pakailah perahu kami, perahunya bersih, kamipun bisa segera berangkat"
"Aku tidak mau sewa perahu, aku sedang mencari
orang" sahut Eng Jiauw Ong sambil goyangkan tangan, ia jalan terus seraya ajak tiga kawannya.
Mereka jalan terus ditepi, sampai digubuknya satu
tukang arak, disini mereka mutar kebelakang gubuk, hingga mereka dapat mengintai perahu tadi sedang mulai
berangkat. Disebelah Utara ada belasan perahu nelayan, yang kecil dan enteng, yang lajunya mesti pesat. Eng Jiauw Ong pikir akan sewa sebuah perahu untuk kuntit perahu tadi, yang ia percaya akan menuju kesarang Hong Bwee Pang. Ketika ia nampak perahu tadi sudah mulai keluar dari mulut
pelabuhan, ia hampirkan sebuah perahu nelayan. Ia tanya, apa perahu itu disewakan.
"Ya, tuan," sahut tukang perahu. "Apa tuan cuma
berempat?" "Benar." "Tapi perahu kami adalah perahu nelayan, kami tak
dapat pergi jauh." "Kami pun hendak pakai cuma seharian saja," jawab
Eng Jiauw Ong. "Kami memang mencari perahu yang laju.
Asal kau menggayu lebih cepat dari biasanya, kami akan membayar padamu dua kali lipat. Kami mau ke Gan Tong
San Utara. Umpama kau kemalaman ditengah jalan,
terpaksa kami mesti menginap diperahumu ini. Perkara
persenan, kau jangan takut."
Nelayan itu akur, maka bersama seorang kawannya ia
lantas siap. "Kita perlu lekas, po cu, nanti bisa ketinggalan," Kam Tiong membisiki Eng Jiauw Ong. Ia lihat perahu didepan sudah meninggalkan pelabuhan.
"Jangan kuatir," sahut ketua Hoay Yang Pay. "Perahu
mereka besar dan berat, kita akan dapat candak padanya.
Mari kita naik." Ketika itu tukang perahu tanya apa boleh lantas
berangkat. Eng Jiauw Ong membenarkan
"Aliran air disini begini rupa, apa kau bisa pakai layar?"
"Tuan tentu kurang mengerti
tentang perlayaran. Jangan takut walaupun angin tak lurus dijurusannya, kami dapat ja menyamping. Kita berduapun masih kuat
menggayuh, tidak kalah cepatnya dengan layar"."
"Baiklah kau boleh mulai berangkat !"
Berdua tukang perahu lantas angkat jangkar, mereka
segera ___ menggayu akan keluar dari mulut pelabuhan.
Disini sungai lebih lebar, maka layar segera dipasang.
Angin meniup ke Tenggara, dan tujuan perahu adalah Barat daya. Sebenarnya angin tidak lurus tetapi kedua tukang perahu itu benar pandai.
Eng Jiauw Ong puas melihat anak buah itu, yang saban2
bikin perahunya melombai yang lain2 atau mengelak dari tabrakan.
Jarak perahunya dan perahu didepan ada kira2 dua
panahan, karena masih terdapat beberapa tikungan, Eng Jiauw Ong pasang mata. Ia percaya, asal orang menuju ke Gan Tong San, ia akan berhasil menguntit. Perahu didepan itupun tidak laju pesat.
Kam Tiong dan Kauw Hauw hendak pergi kekepala
perahu, tetapi Eng Jiauw Ong melarang mereka. Ia kuatir orang curigai mereka. Karena itu, dua saudara ini hanya mengintai dari muka perahu.
Eng Jiauw Ong merasa senang dengan pemandangan
alam disepanjang sungai. Sesudah melalui kira2 empat puluh lie, hari sudah kira jam lima lewat lohor. Disebelah depan ada pelabuhan,
disana banyak perahu berlabuh. Karena anggap boleh tak usah jalan malam, kedua tukang perahu hendak singgah, mereka menurunkan layar.
"Eh, siapa suruh kau berhenti?" tanya Eng Jiauw Ong.
"Lihat itu perahu besar didepan yang jalan terus, mari kita ikuti dia. Kami ada urusan dengan perahu itu, yang perlu dibereskan. Kalau kau tidak bisa menyandak, uang sewanya nanti aku kurangi!"
"Oh, kau salah mengarti, tuan," sahut tukang perahu
sambil tertawa. "Kami tidak tahu urusan tuan. Kami pikir akan berlabuh, agar kita tak kemalaman ditengah jalan.
Memang sulit untuk berlabuh bukan dipelabuhan. Bagi
kami berdua, ber hari2 boleh diam terus diatas perahu, tapi bagaimana dengan tuan2" -Apakah tuan hendak kejar
perahu didepan itu?"
"Ah, sebenarnya bukan urusan terlalu penting," Eng
Jiauw Ong membaliki. "Sebenarnya tadi kami hendak sewa perahu itu, rupanya sebab kami ada seorang asing, kami hendak "diketok". Kami biasa pelesir di Cin Hoay Hoo, tapi sewaannya tak semahal yang dimintanya. Aku tidak puas, dari itu, aku pilih perahumu ini untuk melumbai padanya!"
Tukang perahu itu agak ragu2.
"Kami pasti dapat menyusul perahu itu, tuan," kata ia.
"Tapi aku harap tuan sabar. Masih syukur tuan ketemu
mereka yang minta sewaan tinggi, kalau tuan naik perahu yang anak buahnya nakal, tuan bisa diganggu ditengah
jalan. Harap tuan jangan ladeni segala tukang perahu."
"Aku perhatikan apa katamu, tapi tolonglah kau susul
dia!" jawab Eng Jiauw Ong.
Tukang perahu itu menyahuti "Ya," ia jalankan terus
perahu nya, tapi sekarang ia mau percaya, penumpangnya ini ada dari kalangan polisi.
Lagi tujuh lie sudah dilalui. Selewatnya pelabuhan tadi, kendaraan air sudah jarang sekali.
Perahu didepan jalan terus, selagi mendekati satu
tikungan, dari situ muncul sebuah perahu cepat, yang cuma bisa muat satu orang, kecuali anak buahnya. Perahu kecil ini menyusul perahu didepan, sesudah itu, dia kembali ketikungan tadi, terus lenyap.
Matahari sudah turun, tapi sinarnya yang merah masih
ber bayang dan memain dipermukaan air. Kecuali suara
angin, yang keras juga, suasana sungai sangat sunyi.
Selang lagi satu lie, lantas cuaca menjadi gelap. Disitu tinggal dua perahu, yang besar didepan, yang kecil
dibelakang, keduanya laju cepat. Jarak mereka ada
sepanahan jauhnya. Diperahu kecil, Hee houw Eng dan
kawan2nya muncul dimuka perahu.
"Po cu," kata Hee houw Eng kemudian, "disini tidak ada kendaraan air lain, aku percaya mereka itu curigai kita.
Karena mereka mestinya licin, kita mesti waspada untuk kecurangannya."
Eng Jiauw Ong bersenyum tawar.
"Jikalau aku takut, tak nanti aku kuntit padanya!" dia menjawab.
Sementara itu, permukaan sungai kelihatan jadi lebih
besar. Untuk jalan malam, tanda ancaman bahaya ada lebih banyak.
Eng Jiauw Ong sedang mengawasi kesekitarnya, ketika
tahu2 dari ilir mendatangi sebuah perahu layar besar, sama seperti yang didepan. Kendaraan itu muncul dengan se
konyong2 dijarak dua puluh tumbak lebih. Nyatalah,
walaupun menempuh air, perahu itu laju pesat.
"Sudah malam begini masih ada perahu lain, inilah
aneh, po cu," kata Hee houw Eng, yang terlebih
Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpengalaman daripada dua saudara Kam.
Sementara itu perahu didepan memperdengarkan
beberapa kali suara suitan.
Selagi Eng Jiauw Ong mengawasi perahu dibelakang
yang mendatangi semakin dekat, ia terperanjat. Nyatalah perahu itu diarahkan keperahunya.
Dilain pihak, perahu didepan pula ke susul semakin
dekat. "Hei, awas!" teriak tukang perahu, yang melihat
ancaman bahaya. "Apakah kau buta, tidak melihat
perahuku?" Tukang perahu ini kuatir sebab perahunya ditabrak, ia jadi gusar.
"Jagan kau perdulikan dia!" Eng Jiauw Ong kata pada
tukang perahunya. "Tetapi, tuan," sahut tukang perahu itu, dengan mata
melotot, "Keluarga kami beberapa jiwa hanya mengandal pada perahuku ini. Kalau perahuku ditubruk, berarti
hancurlah mangkuk nasi kami!
"Tapi kitapun tidak boleh pertaruhkan jiwa kita!" Eng Jiauw menjawab.
Mendengar demikian, hatinya tukang perahu itu dua2nya- lega juga. Akan tetapi, meskipun demikian,
mereka masih tegasi k endaran air dibelakang itu supaya mengubah haluan untuk mencegah tubrukan.
Kam Tiong, Kam Hauw dan Hee houw Eng pun
bingung, mereka tahu ketua Hoay Yang Pay pandai
berenang, akan tetapi apabila tabrakan terjadi ditengah sungai yang lebar itu, makan ikanlah yang bakal berpesta pora".
Eng Jiauw Ong sendiri, dengan tenang mengawasi
datang nya perahu dibelakang itu, yang tak gubris segala teriakan untuk mengubah haluan. Tiba2 ia singkap
thungshanya, sebelah tangannya merabah kedalam saku,
kemudian ia maju setindak ke kepala perahu, sesudah
mana, tangan kanannya terayun beberapa kali, disusul oleh suara angin yang halus.
Baharu dua kali ketua Ceng hong po geraki tangannya,
diperahu sana sudah lantas terdengar jeritan dari kesakitan, disusul dengan tergulingnya satu tubuh, yang tercebur dalam air.
Selagi begitu, perahu besar itu sudah datang demikian dekatnya, hingga tubrukan tinggal tunggu detik2 terakhir saja.
Dalam keadaan sebagai itu, Eng Jiauw Ong samber
sebatang galah kejen (") dari tangannya tukang perahu, sambil berbuat demikian, ia teriaki pengemudi perahu
"Belokkanlan perahu kekiri! Jangan takut, tenang saja!"
Kemudian, cepat luar biasa ia menggunahkan galahnya,
akan menolak perahu dibelakang itu tolakan itu menyebabkan perahu berubah haluannya kekanan, hingga
tabrakan dapat dihindarkan.
Dengan matanya yang celi, Eng Jiauw Ong melihat dua
orang diatas perahu itu. Mereka berdua nampaknya gugup atau tercengang.
"Mereka jahat sekali, po cu, baik kita bereskan mereka !"
kata Kam Tiong, yang gusar sekali.
"Cukup mereka dikasih rasa kim chie piauw!" sahutnya
Eng Jiauw Ong. "Bukannya kebiasaan kita untuk
membasmi sebangsa mereka ini"
Benar saja, setelah minggir perahu itu tak mutar balik, akan mencoba menabrak pula.
Hee houw Eng bertiga kagum menyaksikan ketangkasannya ketua mereka, tapi mereka tak setuju
dengan kemurahan hatinya ketua ini. Mereka kuatir, musuh nanti tak mau berhenti. Maka diam2 mereka pasang mata.
Kedua tukang perahu, yang hatinya lega bukan main,
pun sangat kagum. Maka dengan tenang mereka jalankan
terus perahunya. Lagi tiga empat lie, sang puteri malam muncul dilangit yang luas. Bintang2pun mulai berkelak kelik, bulan sisir cahayanya masih suram.
Perahu didepan terlihat menuju kesuatu tikungan.
"Kejar!" Eng Jiauw Ong menitah. "Jangan kasih dia
lolos!" "Jangan kuatir, tuan, dia tak akan lolos!" sahut tukang perahu, yang sekarang nampak nya siap akan mendengar
sesuatu perintah, rupanya ia percaya betul penumpangnya ini adalah orang2 yang sedang bertugas.
Perahu didepan itu kelihatan jalan lebih pelahan.
Selagi Eng Jiauw Ong semua pasang mata, tiba tiba
muncul sebuah perahu lain, yang tahu dengan cepat melalui perahu mereka sendiri. Dalam perahu itu tak dapat dilihat penu pangnya, melainkan selagi lewat, ada terdengar suara tertawa dingin yang pelahan. Ketua Hoay Yang Pay
menjadi curiga, tapi ia tidak beraksi.
Perahu didepan sekarang kelihatan menurunkan layar,
agaknya mau berlabuh. "Mungkin si penjahat hendak mendarat dan lari," Kam
Tiong membisiki Eng Jiauw Ong.
"Tidak mungkin," sahut Engi Jiauw Ong sambil goyang
kepala. "Disini kemana mereka hendak lari" Lagipun kita bukan
hendak tempur mereka, buat apa mereka menyingkir" Bisa jadi mereka sudah lolos duluan...."
Kam Tiong bertiga tidak percaya yang orang sudah
mendahului menyingkir. "Pelahan saja tapi jangan berhenti." Eng Jiauw Ong
perintahkan tukang perahu. "Kita cuma hendak lewat
disamping nya." Waktu itu perahu didepan sudah menempel ditepi,
hamipr berbareng penerangan menyala di kepala perahu, ditengah dan belalakang, menyusul mana terdengar
suaranya satu orang "Eh, Lauw Sam, kau lihat tidak,
malam ini kita diikuti segala setan mati kelaparan dan setan mati kelelap! Biar bagaimana, mereka tak dapat diusir pergi!
Baik kita beristirahat disini saja untuk kita membeli kertas dan gincu serta membakarnya sekali, supaya semua iblis itu suka mabur"."
Eng Jiauw Ong tahu pembicaraan itu ditujukan
kepadanya ia tidak ambil pusing, hanya yang menarik
perhatiannya, di dalam perahu itu sudah tak ada kedua penumpangnya!
"Oh, tikus2 itu!" kata dia dengan sengit. "Benar2 mereka kabur dengan menggunakan tipu ____ emas meloloskan
kulit. Tapi tak nanti mereka dapat lolos terus menerus!
XLI "Lihat, benar atau tidaknya dugaanku !" jago Hoay
Yang Pay itu kemudian kata pada dua saudara Kam dan
Hee houw Eng. "Mereka telah mengancam kita, mereka
mengganggu, lantas mereka angkat kaki. Tapi aku sangsi lihat mereka! Sekarang kita putar perahu, kita susul perahu kecil tadi!"
Yalah yang dimaksudkan perahu yang tadi muncul
dengan tiba2, yang telah mendekati perahu besar di depan kemudian sudah lantas berlalu pula.
Tukang perahu bingung akan perintah itu.
"Bagaimana tuan?" tanya ia. "Bisa bolak balik tak
ke____ Juga - harap tuan tidak gusar- kelakuan kita ini malah tak selayaknya. Disini memang ada merdeka, dari itu, tak dapat mereka diperlakukan sembarangan. Kami
hanyalah nelayan kecil, kami tak berani mengganggu
tambangan, mereka tak dapat dibuat permainan, sedang
kami masih ingin hidup dimuka mereka"."
"Budak, jangan kau banyak omong !" Eng Jiauw Ong
memotong. "Kau turuti perkataanku. Apabila ada teryadi sesuatu, selain uang sewanya aku tambah,
segala kerugianmu akan kuganti! Sekarang kau tidak berkuasa lagi, jangan menggagalkan tugas kami, atau kau nanti tahu
sendiri " Tukang perahu itu bungkam, lantas saja mereka putar
kemudi, akan menyusul perahu cepat tadi.
"Bisa jadi penjahat sudah kenali po cu dan mereka
sengaja lari balik," Kam Hau menyatakan dugaannya.
"Kau barangkali benar," Eng Jiauw Ong jawab. "Aku
percaya mereka tidak sudi menyerah kalah, mungkin
mereka atur lain daya. Karena kita hendak cari sarang mereka, biar kita layani terus mereka itu."
Bertiga mereka masuk akan beristirahat, Hee houw Eng
duduk dimuka perahu. Tapi tidak lama Tee lie touw telah memanggil .
"Lihat disana!" kata ia, setelah mereka berada diluar dan mengawasi ke ilir, dari mana terlihat tiga buah perahu maju menempuh air, dan angin membantu padanya.
"Waspada," Eng Jiauw Ong memesan, seraya ia
mengawasi terus. Selagi mendekati, tiga buah perahu itu kelihatan maju berbaris tiga satu ditengah, dua dikiri dan kanan. Yang ditengah terbelakang kira2 dua tumbak, jarak mereka
bertiga pun terpisah kira2 sama jauhnya.
"Mereka kejam sekali!" tiba2 Eng Jiauw Ong kata
dengan sengit. "Jikalau aku biarkan kawanan tikus itu
berhasil percuma aku dijuluki Hoay siang Tay Hiap!" "Jago dari sungai Hoay."
-ooo0dw0ooo- Jilid 5 Tukang perahu didepanpun kaget.
"Hei, awas !" ia teriakkan tiga perahu yang sedang
mendatang itu. "Tak dapat aku tahan perahuku ini! Eh, eh, kenapa kau tak mampu pegang kemudi?"
Sia sia tukang perahu ini ber kaok2, tiga perahu didepan laju terus, mendekati.
Mau atau tidak, tukang perahu ini coba menggayuh
kekanan, tapi apa mau, perahu didepan pun bergerak kekiri untuk menghadapi terus. Jadi teranglah, tiga perahu itu hendak menabrak perahu nelayan ini.
"Celaka tuan, mereka hendak tubruk kita!" tukang
perahu itu mengeluh pada Eng Jiauw Ong. "Kita bakal
ditubruk dan dicegat, kita tidak bisa meluputkan diri"
Perahu kita kecil, kita bakal hancur...."
Bahna ketakutan, pucatlah muka nya kedua tukang
perahu itu. Tapi Hoay siang Tay Hiap tertawa ter gelak2.
"Teranglah sudah kau kurang pengalaman!" kata ia pada kedua tukang perahu itu. "Siapa ditakdirkan mati dikali, dia mesti kelelap! Nasib ada ditangan Thian, buat apa kau bingung" Kalau benar mereka niat hancurkan perahu kita, belum tentu niat mereka tercapai!"
Tukang perahu itu berdiam, tapi mereka sudah pikir,
kalau tubrukan terjadi, mereka akan tolong diri sendiri saja.
Eng Jiauw Ong maju kedepan sekali, akan melihat
letaknya ketiga perahu itu.
"Siapa diantara kau yang bawa senjata rahasia?" ia tanya Kam Tiong dan Kam Kauw yang mengapit ia.
"Kami sedia sam leng piaw dan panah tangan," sahut
Kam Tiong. "Mari kasi piauw berikut kantongnya padaku," Eng Jiaw Ong minta.
Kam Tiong berikan piauwnya, itu kepada ketuanya,
yang lantas digantung dipinggangnya sebelah kiri.
"Tukang perahu, tetap tenang! Jangan takut," kemudian Eng Jiauw Ong menghiburkan anak buahnya "Ada aku
disini, aku tanggung keselamatanmu berdua !"
Kedua tukang perahu berdiam, mereka tidak mengarti
dan bingung. Tapi mereka lantas turunkan layar, Eng Jiauw Ong mengawasi kedepan, kepada ketiga perahu yang tetap mendatangi dengan cepat. Lalu dengan tiba2 ia ber lompat kedepan. dalam gerakan "Ceng teng sam ciauw soei" atau
"Capung menyamber air" dan lompatan "Yan coe hoei in
ciong" atau "Burung walet terbang keawan." Dapat
dikatakan sekejab saja ia sudah loncat naik keperahu yang dikanan di mana ia mencelat ketihang layar, yang ia cekal dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya membetot putus tambang layar, hingga dengan jatuhnya layar itu, lajunya perahu itupun jadi terhalang.
Beberapa anak buah perahu itu jadi kaget, hingga mereka berteriak.
Eng Jiauw Ong masih tetap berdiam diatas tihang layar itu, untuk melihat kedua perahu lain dan perahunya sendiri.
Ia dapat kenyataan, karena berisiknya anak2 perahhu itu, disitu tidak ada yang jadi pemimpin. Ia lantas mengawasi
perahu satunya yang menyusul itu. Lalu ia menyerang
dengan sebatang piauw. Jitu serangan itu, tambang layar kena telak dan putus dengan segera, maka layarnyapun jatuh hingga perahu itu jadi terhalang lajunya.
Segera Eng Jiauw Ong kasi dengar suara nyaring kepada perahunya "Lepas jangkar!"
Kam Tiong bertiga dengar seruan itu, Hee houw Eng
lantas dului tukang perahu akan menjemput jangkar, untuk dilempar kemuka air, hingga dengan begitu, juga perahu ini lajunya jadi pelahan2.
Hee houw Eng dan kawan2nya bingung bukan main,
baharu sekarang mereka saksikan kepandaian yang luar
biasa dari ketua Ceng hong po.
Pihak sana sekarang tinggal perahu yang ketiga, yang
ditengah yang tadi laju belakangan, perahu itu dapat susul dua kawannya yang terhalang, dengan begitu, dia jadi
datang dekat. Juateru itu, turun dari tihang layar Eng Jiauw Ong gunai kepandaiannya entengi tubuh akan loncat
keperahu ketiga ini, untuk loncat naik dikepalanya perahu.
Menyusul menaiknya ketua Hoay Pang Pay keatas
perahu ketiga itu, dari dalam perahu loncat keluar satu orang, tetapi dia bukannya menghampirkan musuh, dia
hanya terus terjun keair.
Dalam sekelebatan, Eng Jiauw Ong masih bisa lihat rupa orang, ia seperti ingat pernah lihat orang itu, hanya ia lupa entah dimana. Iapun tidak sempat bepikir. Dari dalam
perahu, kembali keluar dua orang, yang satu berusia lebih kurang tiga puluh tahun, yang lain kira2 dua puluh tahun.
Pakaian mereka ini ringkas dan tangan mereka bersenjata,
"Orang tua, kau ada sahabat dari mana?" demikian yang
satu menegur. "Kenapa kau bikin jatuh layar kami" Apakah kau ada orang baharu, yang ingin berusaha didaerah ini?"
Eng Jiauw Ong tertawa dingin.
"Sahabat, jangan kau bersandiwara terhadap Ong Too
Liong!" sahut ia dengan keren. "Apa yang kau kerjakan, itulah yang aku perbuat juga. Kalau benar sahabat kaum kang ouw, walaupun sampai diujung langit, dia harus
perlihatkan mukanya. Kau harus ketahui, aku sedang
memenuhi undangan Hong Bwee Pang, maka kenapa aku
dirintangi ditengah jalan" Ini adalah perbuatan tidak manis!
Aku ingin sekali ketahui namamu, to coe?"
Orang yang usia pertengahan menjawab "Masing2 orang
toh urus jalannya sendiri! Diwaktu malam mengendarai
perahu, orang harus andalkan kepandaiannya sendiri.
Perahu masih belum bertabrakan, kau sudah hunjukkan
kepandaianmu, kau menghina kami orang2 dagang yang
jujur! Sahabat, kau tidak hendak undurkan diri, kau hendak tunggu apa"...."
Orang ini belum tutup mulut nya atau si anak muda
dului ia berlompat maju sambi berseru "Turunlah kau!"
Dan tangannya sampai, menyusul tubuhnya. Dia telah
menyerang dengan kedua tangan, dengan tipu pukulan
"Hek houw sin yam!" atau "Harimau hitam mengulet"
Gesit dan hebat adalah serangan itu .
"Bagus!" berseru Eng Jiauw Ong, yang tertawa
menghina. Ia tidak berkelit, hanya ia tunggu sampai kedua tangan hampir mengenai tubuhnya, ia segera geraki kedua tangannya dalam gerakan "To hoan kim kauw cian" atau
"Membaliki gunting emas." Dengan tangannya itu ia tekan kedua tangan musuh, lalu dengan dua jari telunjuk dan tengah ia barengi mencari jalan darah sam lie hiat. Ia berhasil, karena si anak muda tidak keburu tolong diri,
maka tidak tempo lagi pemuda itu berdiri diam dengan
kedua tangannya dikasi turun.
"Oh, kau berani lukai orang?" membentak orang yang
satunya, yang lantas lompat kesamping sambil menerjang.
Melihat ia diserang, Eng Jiauw Ong bikin dua gerakan
dengan berbareng, dengan tangan kanan ia tolak rubuh
tubuhnya si anak muda, dengan tangan kiri ia menangkis, ujung jarinya dipakai mencari jalan darah leng tay hiat dari musuh.
Penyerang itu mengerti ancaman bahaya hebat, lekas ia tarik pulang tangannya sambil tubuhnya pun ditarik pulang, lalu dengan satu kali jumpalitan, ia nyebur keair. Ini ada jalan satu2nya untuk luputkan diri dari bahaya. Ia selulup sebentar, lantas ia timbul dimuka air sambil menantang.
"Sahabat, jikalau kau ada punya kepandaian, mari main2
diair dengan to coemu! Marilah turun untuk beradem!"
"Baik kau rasai ini dahulu!" ada jawabannya Eng Jiauw Ong seraya tangannya diayun.
Orang Hong Bwee Pang itu selam, untuk tidak muncul
pula. Eng Jiauw Ong tidak mau berdiam lama diperahu
musuh, ia angkat tubuh si anak muda, yang ia kempit,
sesudah mana, ia lantas loncat keperahunya sendiri, yang sudah datang dekat kepada nya.
Kedua perahu penjahat sudah lantas kembali, yang satu terhanyut sendirinya, karena tidak ada yang kemudikan, yang dua, digayu cepat, rupanya untuk pulang.
"Lekas angkat jangkar, pasang layar! Kita mesti
lanjutkan perjaianan kita!" begitu ada titahnya Eng Jiauw Ong sesampainya ia diperahunya sendiri.
Kedua tukang perahu, yang kagum untuk keliehayannya
Eng Jiauw Ong jadi tunduk benar, tanpa banyak omong
mereka kerek layar untuk berangkat pula.
Kam Tiong dan Kam Hauw telah sambuti orang
tawanan mereka, untuk dibelenggu.
"Bagaimana sekarang?" kemudian mereka tanya.
"Letaki dia dikepala perahu," menitah Eng Jiauw Ong.
"Didalam Hong Bwee Pang, dia tentu tidak punya arti.
Sebentar di waktu kita berlabuh, dia boleh dipakai
sembahyangi Hay Liong Ong!"
Anak muda itu, yang sadar gusar sekali karena dia
dianggap orang tak berarti.
"Pit hoe picak!" ia berseru."Kau anggap aku Heng kang Hong Coei Loen orang macam apa" Yang harus disesalkan adalah to coemu ini sudah memandang terlalu enteng
hingga dalam segebrak saja dia kena dirubuhkan! Sekarang terserah
padamu, aku hendak dibinasakan
Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau bagaimana!" Eng Jiauw Ong puas mengetahui orang ini ada satu
pemimpin sedang tadinya ia sangka dia anggauta biasa saja.
Iapun dapat harapan. "Oh sahabat, kiranya kau ada satu to coe!" kata ia.
"Sekarang baiklah kau insaf, mati atau hidupmu ada
bergantung pada kawan2mu sendiri! Syukur jikalau mereka tidak ganggu pula kami apabila sebaliknya, terpaksa kami akan bunuh kau!"
Eng Jiauw Ong perintah dua saudara Kam menjagai,
terutama untuk jaga orang she Coei ini yang punyakan
gelaran "Naga Melintangi Sungai" ( Heng __ liong), nanti terjun keair.
Selama itu, perahu mereka laju dengan pesat. Sekali ini, mereka tak dapat halangan suatu apa dan merekapun tidak ketemukan lain2 kendaraan air lagi. Tiga perahu dibelakang telah ketinggalan jauh, nampaknya sebuah titik hitam saja.
Disebelah depan ada sebuah selat yang dikiri kanannya lebat dengan pohon gelaga. Menampak tempat demikian,
Eng Jiauw Ong pesan tiga kawannya untuk waspada.
Tidak antara lama, dari depan kelihatan dua buah
perahu, yang layarnya tidak dipasang. Kelihatan masing2
perahu mempunyai enam anak buah, yang terbagi dikiri
dan kanan dengan masing2 penggayunya. Kedua perahu itu laju pesat, jalannya berendeng. Inilah hebat untuk
perahunya Eng Jiauw Ong. Ditempat demikian sempit, sulit untuk tiga buah perahu lewat berbareng, tidak ada tempat untuk yang satu mengalah dan minggir.
Selagi kedua pihak mendatangi semakin dekat satu
kepada lain, sedangnya kedua anak perahunya Eng Jiauw Ong pikir kearah mana mereka harus mengalah, tiba2 dari darat terdengar suitan dua kali beruntun.
"Turunkan jangkar!" Eng Jiauw Ong perintahkan
dengan mendadak, karena mana, perahunya pun jadi
berhenti dengan tiba2. Segera dari tepian sebelah Timur, diantara gombolan
gelaga, muncul dua orang dengan pakaian malam, dengan berlompat mereka ini naik keperahu didepan, kemudian
yang berdiri disebelah kiri, perdengarkan suara nya "Kau jangan pikir untuk maju lebih jauh! Disini kami bikin perhitungan!"
Menyusul itu, terdengar suara mencebur be runtun2,
seperti dua tiga orang terjun keair.
"Sahabat, apa maksudmu dengan mencegat kami?" Eng
Jiauw Ong menegur. "Sahabat, disini aku si orang she Ong, berilah pengajaran kepadaku!"
"Sahabat, kau terlalu jumawa!" kata pula orang yang
didepan. "Kau telah andalkan kepandaian mu, kau telah rusaki
perahu dan tawan juga orangku! Sekarang merdekakanlah orang itu, lantas kau akan hidup untuk beberapa waktu lagi, jikalau tidak, jangan menyesal!"
"Aku Ong Too Liong datang untuk menemui orang2
gagah yang ada mukanya, maka kenapa kau, bangsa boe
beng siauw coet, berani banyak laga" Cuma2 kau sebaliknya cari celaka sendiri!"
Baharu Eng Jiauw Ong tutup mulutnya, lalu terdengar
suara air dikiri dan kanan perahunya, dimana timbul
masing satu orang tangan siapa lantas pegangi pinggiran perahu, keduanya segera menantang. "Tua bangka, jangan bertingkah! Jikalau kau benar punyakan kepandaian, mari turun akan main dengan kami! Disini adem!"
"Nyatalah benar dugaanku," pikir Ong Too Liong, yang
lantas membentak "Kawanan tikus, karena pandai
berenang, kau berani menghina aku si orang tua! Hayo, jikalau kau tidak mundur, jangan katakan aku tidak pakai aturan!"
Selagi ketuanya bicara, Kam Tiong dan Kam Hauw
berseru seraya masing2 menyerang dengan piauw dan
panah tangan mereka, atas mana, kedua orang didalam air itu selam dengan cepat, kemudian mereka timbul pula,
ditempat enam kaki jauh nya.
"Oh, boca, kau gunai senjata rahasia!" mereka itu
menegor. "Jikalau kami tidak berdaya akan bikin kau
tenggak sedikit air, kecewa kami telah tancap kaki
dikalangan kang ouw!"
"Keluarkanlah kepandaianrnu jikalau kau mampu!" Eng
Jiauw Ong sambut tantangan itu. Ia membungkuk akan
angkat tubuh orang tawanannya, kemudian ia kata pula
pada dua orang itu "Kawanan tikus, aku sudah ketahui akal busukmu sekalian! Bukankah kau hendak rusaki dan
terbaliki perahuku" Asal kau berani rabah perahuku, lebih dahulu aku nanti bikin habis jiwanya Coei To coemu ini!
Aku nanti tukar jiwanya dengan perahuku, jangan katakan aku kejam!"
Ancaman ini mempan, dua orang itu nampaknya
bersangsi. Juga dua orang, yang berada diatas perahu, sudah lantas berdamai satu dengan lain. Mereka dapat kecocokan akan kurbankan Coei Loen. Heng kang liong dianggap ada
anggauta baru, sebenarnya dia belum berhak untuk menjadi to coe, tetapi karena ada andalan didalam Pusat Umum, Congto, ia diangkat jadi soen kang to coe bahagian Barat.
Memang biasanya dia kepala besar, hingga dia tak disukai oleh sesama kawannya. Kedua orang diperahu itu hendak gunai ketika ini akan lampiaskan dendaman mereka.
Mereka sudah lantas amibil putusan, setelah mana, yanyi satu lantas serukan "Para pundak rata, turun tangan! Coei To coe ada enghiong kita, untuk dia kematian tak ada
harganya! Kita terbaliki perahu mereka itu, urusan
dibelakang!" Kemudian ia tambahkan pada lain kawannya.
"Siapa bisa berenang, semua mesti menyebur kesungai !"
Atas ini, lima orang lantas loncat keair saling susul, hingga air sungai muncrat dan perdengarkan suara nyaring dan berisik.
"Lekas bantui tukang perahu pinggirkan perahu kita!"
Eng Jiauw Ong titahkan Kam Tiong dan Kam Hauw. Ia
lihat musuh sudah jadi nekat. Iapun beritahukan tukang perahu untuk jangan berkuatir, dia akan ganti harga perahu kalau sampai perahu itu karam dan hancur.
"Celaka, mereka sudah bor perahu," mendadak tukang
perahu menjerit. Eng Jiauw Ong sebaliknya malah tertawa besar.
"Kawanan kurcaci ini sangat menghina aku!" ia berseru.
Terus ia angkat tinggi tubuhnya Coei Loen pada siapa ia kata "Sahabat aku Ong Too Liong tidak mau bunuh kau,
tetapi kawan2mu itu tidak perdulikan kau mati atau hidup, maka aku tidak bisa berbuat lain, tak dapat aku kasi kau lolos lagi...."
Adalah niatnya Eng Jiauw Ong akan banting musuh itu
di muka perahu, tetapi selagi ia hendak ayun tangannya, dari hilir muncul sebuah perahu yang lajunya cepat
bagaikan ikan berenang, setelah datang dekat, dari perahu ada seruan "Orang Hoay Yang Pay tahan! Mari kita bicara
!" Suara itu disusul dengan loncatnya satu orang dari
perahu ___ itu, pindah keperahu yang ___ ke atas gubuk, sambil dia terus berkata dengan nyaring,
"Atas titahnya Pang coe, Soen kang to coe bahagian
Barat diharuskan membiarkan Ceng hong po Po coe, ketua dari Hoay Yang Pay, datang untuk memenuhi undangan!
Semua pusat bay hok dilarang mencegat dan mengganggu, siapa melanggar perintah dia akan dihukum!"
Dua orang diatas perahu lantas menjura pada orang yang baharu datang ini, sikapnya sangat menghormat.
Eng Jiauw Ong yang dapat dengar itu, ia batal
membanting Coei Loen, tubuh siapa ia turunkan pula.
Semua anggota Hong Bwee Pang, yang berada diair,
sudah lantas dikasi tanda dengan suitan, untuk menghentikan aksi mereka, sedang kedua anak buahnya
Eng Jiauw Ong lantas cepat menambal perahunya.
Eng Jiauw Ong dengan sikap yang keren, mengawasi ke
arah musuh. Orang yang baharu datang itu loncat turun dari gubuk
perahu ia hadapi ketua Ceng hong pay seraya rangkap
kedua tangan memberi hormat, terus berkata "Hoaysiang Ceng hong Po coe, aku yang rendah Giok Lan Sian Wan
Tam Eng Sioe. Atas titahnya Pang coe aku datang
menyambut. Silahkan Po Coe lekas berkunjung kepusat
kami, disana Pang coe kami sudah lama menantikan! Disini ada sehelai karcis nama, silahkan Po coe tengok!"
Selagi mengucap demikian , Tam Eng Sioe si Monyet
Muka Kumala, mundur setindak, lalu ia enjot tubuhnya
akan loncat mencelat kekepala perahunya ketua dari Hoay Yang Pay.
Eng Jiauw Ong tidak undurkan diri, ia malah bersikap
hendak menyambuti karcis nama itu, sebelah tangan
diangsurkan ke depan, sebelah tangan lagi dipakai
melindungi diri. "Inilah karcis namanya Pang coe, harap po coe terima!"
kata orang she Tam itu, begitu lekas kakinya menginjak perahu nelayan dan tangannya sebelah lantas diulur
kedepan. "Dipihak kami, Pang coe dan semua orang
sebawahannya telah siap sedia untuk menyambut Po coe.
Apakah Ong Tayhiap bersedia akan merdekakan orangku
yang tertawan itu. Mengenai ini, terserah pada tayhiap, kami tidak akan minta secara paksa. Karena kami mesti
segera pulang untuk memberi laporan, tolong tayhiap lekas membalas kabar."
Eng Jiauw Ong sambuti karcis nama itu, ia tidak
membaca teliti, lantas ia berikan jawabannya "Aku si orang she Ong tidak biasanya bertindak bengis, adalah karena sangat terdesak dan terpaksa, aku telah ambil tindakanku ini. Kau kenal aturan kang ouw, sahabat, maka itu cara bagaimana akupun bisa tak menggunai aturan" Silahkan
kau bawa pulang saudara ini! Mengenai halku, yang mesti bertentangan dengan Hong Bwee Pang, tentang siapa yang salah dan siapa yang benar, silahkan kau tanya saudara ini, nanti kau ketahui sendiri."
Eng Jiauw Ong tutup kata2 nya dengan ia sendiri
meloloskan belengguannya Coei Loen, siapa sudah lantas geraki kaki tangan nya, untuk kasi darahnya jalan setelah itu, ia pandang ketua Ceng hong po.
"Tak akan aku lupa kejadian kita malam ini," ia kata.
"Sekarang ada titahnya Pang coe, maka untuk sementara kita menunda dahulu. Nah, sampai bertemu pula!"
Lalu, dengan putar tubuhnya ia meloncat keperahu
kawannya. Tam Eng Sioe memberi hormat pula pada Eng Jiauw
Ong seraya kata "Cap jie Lian hoan ouw menantikan Po
coe dengan segala kehormatan, maka sekarang ijinkan aku undurkan diri!"
Dengan loncatan "Koay bong hoan sin," Giok bin Sin
Wan pun loncat keperahunya sendiri. Selagi berloncat, ia geraki kedua tangannya dengan bergantian.
Melihat aksinya orang itu, Eng Jiauw Ong tahu Tam
Eng Sioe gunai gerakan "Liong heng coan chioe ciang"
atau "Seling tangan berupa naga." Itu adalah salah satu
gerakan liehay dari ilmu silat "Pat kwa Yoe sin ciang."
Karena ini ia jadi dapat tahu, orang she Tam ini ada liehay.
Cuma ia agak asing dengan orang kang ouw ini, yang ia tidak tahu ada dari golongan mana.
Diperahu kawannya sendiri, orang itu diperlakukan
dengan hormat sekali, rupanya mereka itu ada mengatakan suatu apa, karena terdengar suaranya yang nyaring "Sudah, jangan banyak omong! Lekas kembali ke masing2
tempatmu!" Setelah itu, Eng Sioe loncat keperahunya
sendiri, yang segera digayu pergi dengan cepat sekali, perbuatan mana lantas dituruti oleh kedua perahu perintang itu.
Maka diakhirnya, sungai itu menjadi sunyi pula.
XLII Kedua tukang perahu menjadi sangat lega hatinya.
"Tuan, terima kasih," kata mereka. "Jikalau rejeki kita tidak besar, tentu kita celaka. Apa disebelah depan masih ada ancaman bencana lainnya?"
"Kau jangan kuatir," Eng Jiauw Ong jawab. "Didepan
sudah tidak ada bahaya lagi. Aku tidak nanti sia2kan
kagetmu ini, malah aku akan perlipat harga sewa perahumu ini, akupun akan memberi presen, aku akan kasi
penggantian untuk bocornya perahumu. Cukup bukan?"
"Terima kasih, tuan," kata kedua tukang perahu, yang
bersyukur sekali. Lantas Eng Jiauw Ong masuk kedalam perahu, diikuti
oleh ke tiga anak muda. Hee houw Eng sudah lantas
menyalakan api, hing ketua Ceng hong po bisa lantas lihat
karcis nama musuh, yang berbunyi "Hormatnya Boe Wie
Yang." Ia masukkan itu ke dalam sakunya.
"Tuan, apa tuan bermusuh dengan kawanan tadi atau
kebetulan tuan ketahui mereka ada orang2 jahat?" tanya tukang perahu. Mereka gelap dalam hal ini.
"Inilah hal yang sudah lewat, tidak usah kau tanyakan,"
sahut Eng Jiauw Ong. "Lagipun urusan ini tidak ada faedah nya bagimu. Sekarang lekas gayu perahumu menuju Gan
Tong San!" Kedua tukang perahu itu lantas keluar.
Kam Tiong bertiga lantas tanya ketua itu, bagaimana
mereka harus bersikap bila nanti mereka sudah memasuki sarang musuh.
"Kau harus bersabar dan waspada, turut saja aku," Too Liong bilang.
Kereta Berdarah 5 Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Peristiwa Bulu Merak 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama