Ceritasilat Novel Online

Eng Djiauw Ong 9

Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin Bagian 9


Tukang perahu telah masak air untuk seduh teh,
meminum mana, Eng Jiauw Ong berempat jadi merasa
segar sekali. Sebentar kemudian, ketua ini pergi kemuka perahu, akan memandang keseputarnya. Ia dapat kenyataan, sang fajar telah mendatangi. Tanpa merasa, mereka telah melewatkan sang malam dengan melek mata ditengah sungai sambil
hadapi ancaman bahaya elmaut".
Kira2 satu lie jauhnya mereka berlayar, matahari sudah mulai muncul, memperlihatkan sinar nya yang indah.
Disini ada sejumlah nelayan yang sedang bekerja. Ditepian Timur terlihat sawah ladang dan pohon murbei. Dikedua tepi saban2 kelihatan rumah gubuk penduduk.
"Tuan, itulah Gan Tong San Utara!" kata tukang
perahu, yang menunjuk kedepan.
Eng Jiauw Ong berempat memandang kearah gunung
yang ditunjuk itu. "Tinggal belasan lie akan sampai disana, bukankah?"
Hoay siang Tay Hiap tanya.
"Masih kira2 tiga puluh lie, tuan! Inilah yang dibilang, kuda mampus kalau kita berjalan dengan melihat gunung saja."
Eng Jiauw Ong tidak menanya lebih jauh, perahu pun
berjalan terus. Kira2 jam Sin sie, jam tujuh atau delapan pagi, sampailah mereka di sebuah pelabuhan dibagian
Timur dari Gan Tong San. Ramai disini dengan banyak
perahu, besar dan kecil, perahu saudagar dan nelayan.
Didaratpun banyak orang serta suaranya yang berisik.
Eng Jiauw Ong mengajak tiga kawannya mendarat, ia
bayar uang sewa perahu diberikuti presenan dan
penggantian bocor, hingga kedua nelayan itu jadi sangat berterima kasih. Benar2 tak sia2 kekagetan dan ketakutan mereka, akhimya mereka kegirangan".
"Inilah pasti bukannya Hoen coei kwan." pikir Eng
Jiauw Ong yang berjalan dijalan yang ramai, akan melihat keadaan dan suasana. Dari banyaknya toko, ia percaya
tempat ini ada subur sekali.
"Mari kita dahar dahulu, sebentar baharu kita cari
keterangan," kata Eng Jiauw Ong kemudian.
Kam Tiong bertiga setuju, mereka manggut.
Disebelah Barat ada sebuah restoran dengan merek Bong Kang Lauw, artinya Loteng Memandang Sungai, kesitu
mereka masuk, mereka naik keatas loteng, yang jendelanya benar2 menghadapi sungai, memberi pemandangan yang
merawankan hati. Itu waktu, karena masih pagi, tetamu belum banyak.
Sembari menyambut, jongos tanya tetamunya inginkan
teh atau arak. "Teh dan barang santapan juga, kami hendak dahar
disini," sahut Eng Jiauw Ong. "Lebih dahulu bawakan
kami air teh." Jongos itu segera melayani.
Dekat jendela sudah ada dua tetamu lain asyik minum
arak. Eng Jiauw Ong pesan satu poci arak keluaran setempat
yang kesohor, ia ingin, dengan tenggak air kata2, ia bisa lupai pengalamannya satu malam tadi.
Didepan sang ketua, Kam Tiong bertiga tidak berani
turut minum. Tee lie touw doyan sekali arak, ia ngiler, maka dengan satu alasan, ia turun dari loteng, ia panggil satu jongos kesamping.
"Tolong ambilkan aku dua poci, mulutku kering sekali,"
kata ia. "Jaga supaya tuan tua di atas tidak dapat tahu. Dia adalah guruku, dia larang aku minum arak...."
"Ah, jangan main2, tuan!" kata sang jongos sambil
tertawa. "Arak kami berbau keras, tuan tua toh bakal tahu juga. Kalau sebentar kau ketahuan, jangan salahkan aku sekongkol!"
"Cukup!" Hee houw Eng memotong. "Jangan takut,
paling juga aku ditegur. Sekarang ambillah arak!"
Jongos itu tertawa melihat akan ketagihannya orang.
"Baiklah," sahut ia, yang terus ambilkan dua poci.
Seorang diri Hee houw Eng duduk dibawah loteng
menenggak susu macan. Satu poci habis dengan cepat,
walaupun tidak ada teman sayurnya, ia minum dengan
napsu. Ketika ia telah habiskan poci yang ke dua, ia minta pula dua poci lagi.
"Hati2, tuan," si jongos peringatkan. "Arak kami ada
arak simpanan lama, sekarang kau tidak merasakan suatu apa, sebentar kau akan sinting. Awas, nanti kau ditegur gurumu!"
Untuk sesaat, Hee houw Eng lupai ketuanya, ia
mendesak meminta pula, hingga bahna kewalahan, jongos itu mengambilkan satu poci. Tetapi pun poci ini kering dengan sekali cegluk, sesudah mana, pemuda ini naik pula keatas loteng.
Eng Jiauw Ong lihat Tee lie houw seperti habis minum
arak, memang tidak melarang, ia cuma mencegah karena ia tahu, arak bisa bikin gagal urusan dan anak2 muda harus bisa perbiasakan diri. Tetapi disitu ada dua saudara Kam, ia kuatir mereka ini mengiri, maka terus ia kata "Aku tahu kau gemar akan arak, sekali ini aku mengecualikan, tetapi lain kali, jangan kau minun diam2!"
Mukanya Hee houw Eng merah, malu sendirinya. Ia
diam saja lantas tuangkan arak gurunya, buat ia sendiri ia isi satu cawan, yang ia terus minum.
Itu waktu ditangga loteng terdengar tindakan, lantas
muncul satu tetamu yang diiring jongos siapa berkata2 pada tetamunya "Eh, sinshe, kenapa kau naik juga keloteng"
Bukankah mayikanku melarang kau selagi disini ada
tetamu, supaya kau tidak mengganggu?"
Tetapi orang itu naik terus.
Eng Jiauw Ong lihat tetamu ini ada satu tukang tenung, cuma sikapnya tidak seperti siang mia sinshe yang
kebanyakan. Orang itu berumur kurang lebih lima puluh tahun, bajunya panjang. Sepasang matanya tajam sekali.
Dikain mereknya ada bertuliskan "Pandai meramalkan dan tepat!" Dibawah itu ada tambahan lagi "Aku telah wariskan kepandaian orang sakti, tepat aku melihati peruntungan orang atau nasib, yang sudah atau yang bakal datang. Aku juga pandai mengobati pelbagai macam penyakit."
Ditangannya, diapun menyekal dua potong papan kan
poan. Eng Jiauw Ong mengetahui, di Kanglam memang ada
banyak tukang tenung semacam dia ini. Kelihatan sinshe ini tak puas dengan sikapnya jongos, sambil berdiri dan muka muram, ia kata "Apakah kau bukannya berusaha" Jangan
kau mata duitan! Kenapa kau bukannya layani aku" Apa
Bong Kang Lauw ada membeda2kan dan tidak jual barang
makanan kepada orang sebangsaku?"
"Jangan gusar, sinshe, karena kau bawa2 merekmu, aku
jadi menduga kau sedang berusaha," sahut si jongos.
"Sekarang silahkan duduk. Sinshe mau minum teh atau
arak?" Tukang tenung merangkap tabib itu duduk dimeja dekat
jendela, mereknya disenderkan dijendela. Ketika ia pesan arak dan makanan, ia bawa sikap bukannya sabagai seorang miskin.
Ketarik perhatiannya Eng Jiauw Ong melihat orang
punya sikap dan mata yang tajam itu, ia merasa pasti orang ada berkepandaian tinggi, bahwa orang berpelabi saja
menjadi tukang tenung. Tiba2 tukang tenun itu tepuk meja, hingga cangkir pada berlompatan.
Hee houw Eng sedang angkat cawarmya ketika ia
terkejut mendengar tepukan pada meja itu. Itu waktu
pengaruh arak sudah mulai bekerja. Araknya lantas saja
ngeplok, menyiram tangan bajunya. Pasti sekali ia jadi gusar.
"Eh, orang edan atau orang mau mampus?" ia berseru.
"Apa kau bikin" Hayo minum arakmu!" Eng Jiauw Ong
segera menegur. Kee houw Eng takut, ia berdiam.
Jongos sementara itu datang menghampirkan si tukang
tenung. "Kau minum terlalu banyak, sinshe," kata ia, karena
arak pun tumpah. "Kau mabok...."
"Apa" Mabok?" membentak sinshe itu, matanya
melotot. "Arak toh masuk kedalam perut orang, bukan
keperut anjing" Aku tidak tahu apa itu mabok!"
"Apa kalau bukannya mabok?" kata jongos itu seraya
sekal meja. Orang tua itu menghela napas.
"Tidak apa, aku melainkan sesali segala boca, yang ada matanya tetapi tidak ada bijinya. Dia lihat aku si orang tua tetapi dia tidak memperdulikannya, dia tidak mau menegur aku, hingga aku jadi mendongkol...."
"Ah, sinshe, siapakah sudah ganggu kau" Harap sinshe
tidak terbitkan onar" Kami ada orang yang berusaha, kami tidak berani bikin tetamu gusar"."
"Tidak apa2, aku tengah memikiri urusanku yang ruwet, aku sampai lupa segala apa," kata si tukang tenung, yang bicaranya putar balik. "Dengan kau toh tak ada
sangkutannya, bukan" Kau jangan takuti lain2 tetamu. Aku sedang pikiri dua anak muda dari pihakku, dia baharu
belajar sedikit, lantas dia bertingka, dia bikin rusak namaku.
Aku sekarang hendak tunjuki mereka supaya jangan
tersesat, tetapi mereka itu -anak2 itu- tidak mau mengarti!
Mereka sengaja hendak bentur tembok! Mereka tidak mau terima ajaranku! Apa dengan begitu mereka tidak bikin aku mendeluh?"
Jongos itu menganggap orang ada sangat lucu.
"Tak perlu kau mendeluh, sinshe," kata ia. "Itu cuma
urusanmu sendiri. Tapi umpama kata kau bikin rusak meja kami, apa kau tidak nanti bakal mengganti?"
"Apa, mengganti?" tukang tenung itu membentak,
matanya melotot. "Apakah kau hendak usil aku?"
Dalam murkanya itu, tukang tenung ini menyamber
cawan arak dan seblok mukanya si jongos, hingga dia ini menjerit "Aduh!" dan mundur dua tindak, tangannya repot dipakai mengusap mukanya. Ia gelagapan. Tentu saja ia jadi gusar.
"Ha, kau berani serang orang, sinshe?" ia berseru.
Si tukang tenung tetap tertawa.
"Manusia tak berbudi!" ia kata. "Aku baik hati tawarkan kau minum arak, kenapa kau menyerit" Eh, apakah bukan dimukamu tambah daging?"
Dengan sebenarnya, mukanya yongos menjadi bengap,
tidak heran kalau ia merasakan sakit. Ia tentu tidak
tahu bahwa ia telah diserang dengan satu macam pukulan ___ khie kang.
Eng Jiauw Ong tidak tahan sabar melihat perbuatannya
si tukang tenung itu. sedari tadi ia memang sudah mendeluh tetapi ia kendalikan diri. Lantas saja ia menegor.
"Sahabat, kau keterlaluan! Kenapa kau layani segala
jongos dengan kepandaianmu ini" Kau benar2 kurang
kesabaran!" Kemudian ia lanjutkan pada si jongos "He,
jongos, kau tidak tahu diri! Kenapa kau layani sin she ini"
Aku kuatir kau nanti mati dengan tak ada tempat untuk kubur mayatmu! Hayolah kau mundur!"
Sin she itu tertawa tawar.
"Tuan, apa kau bilang?" ia tegaskan. "Aku tidak
mengerti kata2mu! Dia ini bangsa rendah, dia cuma tahu duit, sekarang ada ketikanya yang baik untuk aku hajar adat kepadanya, supaya dia tidak pandang orang secara ___!
Tuan, kau memandang terlalu tinggi kepadaku, cuma
dengan kepandaianku yang tidak berarti ini aku merantau keempat penjuru lautan, dimana saja aku anggap sebagai rumahku, kebetulan aku ada punya kepandaian yang
berarti, tidak nanti aku kesudian hidup sebagai sekarang ini!"
Eng Jiauw Ong sementara itu sudah hadapi jongos.
"Sudah, sudah!" kata ia. "Pergi kau tambahkan arakku
satu poci lagi!" Melihat orang mencegah ia, jongos itu berlalu seraya
usap pula mukanya. Ia ada sangat mendongkol.
"Lauw hia, kau she apa dan apa nama besarmu?"
kemudian Eng Jiauw Ong tanya si tukang tenung. "Aku
lihat lauwhia tidak melainkan mengerti ilmu meramalkan tetapi juga pandai ilmu silat yang melebihi lain orang.
Lauwhia, aku yang rendah suka sekali menerima
pengajaran dari kau...."
Sinshe itu cepat2 goyangi tangan, ia tertawa.
"Kau memain saja, tuan." kata dia. "Dengan kepandaian ku ini yang tidak berarti, aku jalan merantau untuk
lewatkan sisa2 hidupku. Mana aku mengerti ilmu silat"
Apa yang aku bisa cuma dua tiga jurus, yang aku pakai untuk mengajar menipu murid2. Tentang namaku yang
hina, tak berharga untuk disebut itu. Aku she Ouw,
dikalangan kang ouw orang panggil aku Ouw Poan Tian si Setengah Edan hingga karenanya aku sampai lupakan
namaku!" Selama itu, Hee houw Eng sedang kendalikan diri. Ia
jemu akan lihat tingkah polanya orang itu, ia gusar karena tadi ia kena kecipratan arak, melulu lantaran ada ketua Hoay Yang Pay, ia menahan sabar. Tetapi apabila ia dengar orang mengatakan lupa akan namanya, hawa amarah nya
meluap. Ia anggap orang hinakan Eng Jiauw Ong. Siapa
manusia yang sampai lupa nama sendiri"
"Aku lihat kau ber pura2 saja!" akhirnya ia campur
mulut. "Kau sengaja menganggap sepi pada kami! Belum
pernah aku ketemu orang kang ouw semacam kau!
Sekarang baharu kau lupai namamu, apabila nanti kau
lupai juga shemu, apa tidak celaka" Seorang tanpa she, apa dia bisa hidup! Sahabat, kau sebenarnya ngaco belo saja!
Aku berkasihan kepadamu, aku nasihatkan lain kali jangan kau ngaco saja, hingga kau bikin orang pentang bacot
mempertontonkan giginya yang besar! Benar apa tidak apa yang aku katakan, sahabat baik?"
Ucapannya anak muda ini ada serupa makian, akan
tetapi Ouw Poan Tian tidak jadi gusar karena itu, dia cuma tertawa dingin.
"Kau mencaci aku, sahabat, kau menghina orang!" kata
ia. "Jikalau aku layani kau, kecewa aku menjadi orang kang ouw. Kau galak sekali, terang kau andalkan boegeemu,
tetapi baiklah kau ketahui, aku Ouw Poan Tian tidak takut sedikitpun terhadap mu! Kecewa aku apabila aku kasi
diriku kena digertak! Selama merantau diseluruh negeri, bukan sedikit aku telah menemui orang2 gagah kaum
Rimba Persilatan, bangsat terbang, kepala rampok,
hartawan jahat dan cabang atas, ular berbisa, harimau buas,
segala siluman dan hantu, tanpa kepandaian untuk
menghadapi mereka, maka sekarang ini, jangan kata
tubuhku tulang2 dan batok kepalaku juga pastilah sudah hancur luluh!" "Kau sendiri, sahabat, ada sebaliknya. Kau tertakdir
banyak menderita, sekarang kau sedang menghadapi ancaman malapetaka hebat, walaupun jiwamu
tidak bakal lenyap, kau toh bakal setengah mati dan
setengah hidup, maka kenapa kau berani demikian galak terhadap aku Ouw Poan Tian" Sebenarnya aku boleh tutup mulut, membungkam, tetapi sengaja aku hidup merantau
dengan kepandaianku meramalkan ini, dari itu tak dapat aku, tahu tetapi tidak bicara, dan sekali bicara, aku mesti bicara dengan jelas! Aku tak mau telad segala manusia biasa yang cupat pandangannya, yang karena kegusaran tidak
berarti lalu melupai pri kemanusiaan" Tapi, kau percaya aku atau tidak, terserah!"
"Kau jangan bujuki aku!" Hee houw Eng membentak.
"Aku memangnya tidak percaya segala ocean! Aku
mengarti semua segala akalmu. Tentang peruntungan, itu sudah tertakdir, tak dapat orang bikin dirinya sengsara atau hartawan seperti yang dia inginkan!"
"Ah, sahabat, jangan kau menyindir aku!" Ouw Poan
Tian kata. "Aku tidak sangkal aku ada orang kang ouw, akan tetap aku lain dari pada yang lain, aku bukan tukang cari duit dan nama belaka! Aku, semakin orang tak percaya aku, semakin aku ingin bikin dia percaya! Aku bukannya menipu, aku bukan orang jahat, dengan baik aku hendak kasi nasihat padamu, kenapa kau keluarkan kata2 kasar"
Kau jadinya memandang satu ksatria dengan hatinya si
orang rendah, kau keterlaluan...."
Selagi dua orang itu adu mulut, Eng Jiauw Ong
mengantap saja ia cuma pesan secara diam2 pada dua
saudara Kam untuk mereka ini tutup mulut, buat waspada
saja, untuk jangan turun tangan umpama mereka toh
berkelahi. Ia sudah lihat, tukang tenung itu bukan orang biasa saja. Ia cuma siap apabila Hee houw Eng dapat
celaka. Ouw Poan Tian hirup araknya, ia berlaku tenang.
"Sahabat, aku tidak percaya kau tidak insaf," kata ia pula, kemudian. "Bukankah semut juga sayang nyawanya"
Apapula manusia! Nanti barulah kau tahu, sesudah kau
berada dijalan buntu". Untuk kau ada tinggal dua jalan.
Dikiri lebih dekat enam atau tujuh puluh lie, tetapi disana ada mendekam banyak ular berbisa dan binatang , siapa jalan disitu, dalam sepuluh, sembilan tentu bakal dibikin celaka binatang2 liar Itu! Kekanan lebih jauh enam atau tujuh puluh lie, tetapi jalan disana rata dan aman, maka sahabat, kau pilih yang mana" Umpama kau anggap dirimu seperuntungan celaka, ambillah jalanan yang banyak
binatang nya itu, supaya kau kasi dirimu diyadikan umpan makanannya! Aku percaya, sesudah sampai waktunya,
baharu kau tak dapat bicara!"
Hee houw Eng jadi sangat gusar.
"Aku lihat kau benar2 edan !" ia berseru. "Jikalau benar ada bermaksud baik, maka kau bicara! Tetapi kita mesti janji dahulu, aku nanti hajar kau apabila kau cuma ngaco belo! Menurut aku, lebih baik kau jangan cari penyakit?"
"Ah, kau aneh!" Ouw Poan Tian kata sambil tertawa.
"Tukang tenung mau tolong orang tetapi mau dihajar!
Inilah pengalamanku yang pertama pula. Kau harus
singkirkan kebiasaan kau mesti belajar manis kata supaya kau luput dari malapetaka. Aku lihat wajahmu sangat
suram, itulah alamat jelek, umpama gunung meletus kau akan terus hidup menderita kau akan terus menghadapi
ancaman elmaut. Tetapi asal kau berlaku baik kau bakal
selamat. Aku telah bicara sahabat, sekarang terserah
padamu !" "Menurut kau, aku bakal berumur pendek !" kata Hee
houw Eng. "Itulah aku tak pastikan sahabat! Aku lihat kau masih ada harapan tertolong ancaman ada banyak, maka itu,
haruslah kau jangan temaha". Aku sudah bicara segala apa tinggal dibelakang hari ?"
Hee houw Eng bengong. Ia benar sudah sinting, tapi ia masih ingat memang sampai sebegitu jauh ia hidup dalam perantauan. Ia menderita sejak umur tujuh atau delapan belas tahun. Jadi kata2nya si tukang tenung ada ___ juga".
Itu waktu sin she itu sedang kekumur, ia cuci mukanya.
Jongos mengawasi saja dari kejauhan. Jongos ini, lebih dahulu dari itu, sudah panggil dua kawannya untuk siap sedia.
Begitu lekas orang telah selesai, jongos itu menghampirkan, untuk minta pembayaran. Sama sekali si tukang tenung minum arak buat dua renceng uang.
"Kau catat saja itu atas namaku!" tiba2 jawab si sinshe, dengan enak saja.
Jongos itu melengak, kemudian ia tertawa.
"Apa" Catat saja"
Ah, sinshe, kau main2!" kata ia
"Lihat, sinshe, sekarang sudah siang, segera bakal datang banyak tetamu, aku tidak sempat layani kau seorang.
Tolong kau bayar, sinshe!"
Sinshe itu buka matanya lebar lebar.
"Benar jongos dari Bong Kang Lauw beda dari jongos
lainnya!" kata ia. "Aku bicara benar2, kenapa kau katakan
aku main" Jikalau tempomu mahal, kenapa sekarang kau
menjublek saja?" Habis berkata begitu, ia ulur tangannya, akan ambil


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereknya. "Sinshe," kata si jongos sambil mencegah, "kau benar2
permainkan aku! Kita tidak kenal satu sama lain,
bagaimana kau datang2 hendak meninggalkan bon saja"
Habis minum, tidak mau membayar, apakah artinya itu"
Kalau semua tetamu sebagai kau, pasti majikan kami tidak sanggup pelihara anak bininya! Tolong bayar, sinshe! Untuk menganglap, Itulah jangan pikir. Kami disini berusaha dengan memakai modal. Catat saja nama mu memang
gampang, tetap nanti kemana aku mesti cari kau?"
"Itulah gampang, sahabat!" jawab tukang tenung Itu.
"Kenapa kau seperti tidak pentang matamu" Aku Ouw
Poan Tian memang tukang merantau, walaupun demikian,
dipelabuhan Bong kang ini, aku akan singgah sedikitnya beberapa bulan. Mustahil karena uang tidak seberapa, aku hendak sia2kan tempa ramai ini" Kalau kau kuatir aku
kabur, baiklah, aku tinggal saja sekalian disini, kau tolong urus juga barang makananku, aku jadi tidak berabe lagi!"
Jongos itu mendelu. Terang sekali, orang hendak gegares tanpa bayar. Ia lantas kedipi dua kawannya.
"Sinshe, kau seperti tak punya muka!" kata ia, sambil maju mendekati. "Sinshe, keluarkanlah uangmu!"
Jongos itu tak dapat kendalikan diri lagi, tahu2 sebelah tanganya melayang kemuka orang.
"Benar2 tak tahu malu!" Ia tambahkan.
Atas serangan itu, si tukang tenung egos kepalanya,
hingga si jongos serang tempat kosong. Tetapi yang bikin si jongos terkejut adalah, sinshe itu lantas lenyap dari
hadapannya, hanya tahu2 bebokongnya ada yang tolak,
hingga tubuhnya lantas ngusruk kemeja didepannya.
Melihat demikian, dua jongos yang lain lantas lompat
maju, akan serang tukang tenung yang dianggap tukang
anglap itu. Disitu ada beberapa tetamu lain, mereka berbangkit,
rupanya untuk memisahkan.
"Tuan2 jangan campur," berkata Ouw Poan Tian, yang
sikap nya tenang saja. "Siapa pisahkan jongos2 ini, dia mau cari perkara!"
Tiga jongos sementara itu sudah menyerang, kepalan
mereka melayang saling ganti, akan tetapi tidak ada satu yang bisa menyerang jitu. Tubuhnya si tukang tenung ber gerak2 sebat sekali, menyingkir dari sesuatu serangan.
Ruangan itu memang ada cukup lebar dua tumbak persegi.
Karena itu, sering mereka saling tabrak sendiri, hingga si sinshe tertawai mereka.
Eng Jiauw Ong duduk menonton sambil bersenyum.
Tapi Hee houw Eng tak dapat menahan sabar.
"Kau terlalu!" dia berseru. "Sudah menganglap, kaupun permainkan orang!"
Anak muda ini loncat kesampingnya Ouw Poan Tian,
tidak tempo lagi ia menyerang. Ia tidak pernah mau
pikirkan, tukang tenung itu orang macam apa.
XLIII Hee houw Eng tinggal di Lek Tiok Tong, Ceng hong po,
akan tetapi dia bukannya murid Hoay Yang Pay. Semua
orang yang tinggal di Ceng hong po mengerti silat,
demikianpun Hee houw Eng, selanjutnya dia dipimpin oleh
Cie Too Hoo, hingga kepandaiannya jadi lumayan, hanya berhadapan kepada si tukang tenung, ia kalah jauh. Dalam gusarnya ia serang lawan itu dengan ilmu pukulan "Hek houw touw Sim" atau "Harimau hitam mencuri jantung".
"Ha, iblis pemabokan. Kau berani turun tangan?" Kata si tukang tenung sambil tertawa tawar. Ia berkelit lantas kepalannya penyerang itu lewat tubuhnya kedepan, saking sengitnya serangan _____ ___, tubuhnya si tukang tenung ini melesat kebelakangnya si penyerang.
Berbareng dengan serangannya Hee houw Eng, dua
jongos pun menerjang dan ____, karena Ouw Poan Tian
berkelit, mereka ini juga serang tempat kosong, karena tubuh mereka maju, sendirinya mereka bertiga jadi saling tabrak. Lebih celaka, sambil berkelit Poan Tian sekalian tarik tubuhnya jongos itu.
Kedua jongos mendengus kesakitan, tak tahan mereka
membentur tubuhnya Hee houw eng. Selagi mereka rubuh
ditanah, si tukang tenung tertawa berkakakanseraya tepuk tangan dengan nyaring.
Kam Tiong dan Kam Houw jadi sangat gusar, tak dapat
mereka tahan sabar lagi. Tapi juga Eng Jiauw Ong telah merasa cukup ___ ____ dua saudara Kam ____ ia
mendahului berkata. "Sahabat, jangan ____ bertingkah !" kata ia. "____ aku si orang she Ong ____ pengajaranmu !"
Dengan kedua tangan ___kan meja, tubuhnya ketua
Hoay yang Pay mencelat dari tempat duduknya kedalam
kalangan. "Aha! Si anak dihajar, si orang tua tak puas, dia keluar!"
berseru Ouw Poan Tian, yang pun segera mencelat, tetapi
bukannya maju akan sambut ketua dari ceng hong po, dia hanya menuju kemulut loteng.
"Kemana kau hendak pergi?" Eng Jiauw Ong
membentak, seraya kembali mencelat akan menyusul,
gerakannya seumpama menyambernya sang naga.
Ouw Poan Tian sampai dimulut loteng untuk tidak
loncat turun ketangga, dari situ ia mencelat kejendela, dengan gerakan "Auw coe coan thian" atau "Burung elang serbu langit," ketika lawannyapun kejar padanya, dengan berani ia loncat keluar jendela, dengan ceploskan tubuh dilobang jendela itu!
Kam Tiong dan Kam Hauw hendak mengejar, tapi
"Jangan!" serukan ketua mereka. "Kita bukannya hamba
negeri, tak dapat kita berbuat sesukanya!"
Dua saudara itu dengar kata, mereka tidak jadi bergerak.
Merekapun lantas insaf, si tukang tenung, sebagai orang jahat boleh berlari2an dengan merdeka tetapi mereka, tidak.
Ketiga jongos tapinya penasaran sekali, sudah mereka di anglap, merekapun dibikin sakit tubuhnya, maka itu,
mereka lantas saja ber teriak2 "Kejar! kejar padanya!"
"Sudah, jangan berisik," kata Eng Jiauw Ong sambil
tertawa pada mereka itu. "Anggap saja kau bertiga sedang apes! Mana kau bisa uber dia itu, satu penjahat besar, yang larinya sangat keras" Lekas bebenah! Jangan kuatir, aku yang nanti ganti kerugianmu, supaya kau tidak usah sampai dicomeli majikanmu."
Ketiga jongos itu berdiam, hati mereka lega. Memang,
mana mereka bisa kejar si tukang tenung, yang pandai
loncati jendela. Lantas mereka bekerja. Selagi mereka bebenah, ditangga loteng terdengar tindakan kaki ramai, kemudian kelihatan dua jongos lain.
. "Sudah, tidak apa2!" kata mereka itu. "Pergi kau layani tetamu seperti biasa!"
Setelah berkata begitu, kedua nya lantas turun pula.
Tiga jongos itu berdiam, tetapi tempo mereka lihat
mereknya si tukang tenung, yang disenderkan dijendela, hati mereka panas. Satu diantaranya samber merek itu, untuk dirobek.
"Jangan," Eng Jiauw mencegah. "Jangan rusakkan
nama majikanmu karena kesembronoanmu?"
"Tetapi, tuan...." kata jongos itu. "Lain orang boleh anglap makanan dan menghina kami, sebaliknya kenapa
kami tak boleh rusaki melainkan merek nya. Tuan terlalu takut...."
"Aku bukannya takut, jikalau aku takut, tidak nanti tadi aku layani padanya," Eng Jiauw Ong jawab. "Kau mesti
ingat, ditempat umum seperti ini, pantangan nya banyak.
Kesini biasa datang pelbagai macam orang apapun orang2
kaum kang ouw, seperti si tukang tenung tadi. Jikalau mereka, atau dia ini, sakit hati apa kau bisa bikin" Biar dia beraksi, kita jangan layani padanya. Kita mesti jaga agar jangan dia sampai bisa ganggu kita."
Ketiga jongos itu dapat dikasi mengarti.
"Terima kasih, tuan," kata mereka. "Karena gangguan
ini, tuan belum dahar benar, maka nanti kami tambahkan barang santapan yang baru...."
"Tidak, tidak usah," Eng Jiauw Ong melarang. "Kami
hendak lanjutkan perjalanan, baik aku perhitungkan saja berapa aku mesti membayar."
Baharu satu jongos hendak lihat perhitungan, atau satu jongos lain ber lari2 naik ditangga, begitu lekas sampai
diatas, segera ia kata dengan nyaring "Benar2 aneh! Inilah lelucon yang aku belum pernah alami! Eh, Tan Jie, dasar kita yang lamur"." Rupanya tukang tenung itu ada kenal baik tuan tetamu kita dan dia asyik berguyon! Jangan kau jangan terima pembayaran lagi dari tuan ini, semua2 sudah dibayar oleh sinshe tadi !"
Jongos itu melengak, tidak terkecuali Eng Jiauw Ong,
Kam Houw dan Hee houw Eng, hingga mereka semua
awasi jongos yang baharu naik itu.
"Jangan Berisik, mari!" Eng Jiauw Ong lantas
memanggil. Ia tak kasi dirinya dipengaruhi oleh kejadian aneh itu. "Coba kau terangkan duduknya hal. Siapa yang bilang aku knal baik sin she itu ?"
"Ah tuan, kau jail sekali!" sahut si jongos itu. "Sin she itu pintar sekali bersandiwara! Kau telah bertengkar, kau telah bertempur akan akhirnya sinshe itu bayar semua2!
Adalah kami yang lacur kena kau permainkan! Kau
berpura2 berkelahi tetapi yang celaka adalah aku. Coba tuan lihat mukaku ini!"
Dan ia unjukkan mukanya yang lecet.
"Sudah, kau jangan omong saja!" Eng Jiauw Ong
memotong. "Tentang dia sahabatku atau bukan, nanti saja kita bicarakan pula. Sekarang kasi tahu aku, sinshe itu sudah pergi atau belum" Bagaimana dia membayarnya?"
Jongos itu lihat orang seperti gusar, dia tidak berani membanyol pula.
"Dia sudah pergi, tuan," sahut ia dengan cepat. "Tadi baharu saja aku turun lantas majikan panggil aku untuk ditanya kejadian diatas loteng. Aku terangkan segala apa dengan jelas. Majikan bilang syukur kalau tidak ada
kerusaan hebat. Dia bilang, si sinshe sudah pergi setelah
bayar semua, sedang kelebihannya serenceng dari lima ratus chie, dia presenkan kepada kami bertiga. Majikan kata, sinshe itu menerangkan bahwa tuan, Ong Loosoe, sedang sinting, karena mana loncat turun dari jendela. Syukur dia tidak jatuh mampus, ia tidak berani naik lagi keloteng, ia hendak berangkat lebih dahulu. Tapi ia meninggalkan
sepotong surat untuk Ong loosoe. Ia pesan, biarlah
mereknya dititipkan dahulu disini, lain hari ia nanti datang pula untuk mengambil nya."
Sembari mengucap demikian, jongos itu angsurkan surat yang ia maksudkan.
Eng Jiauw Ong menyambuti seraya segera lihat
alamatnya "Kepada Loosoe Ong Too Liong yang
terhormat." Ia lantas sobek sampulnya, akan tarik keluar sepotong kertas, hingga ia lantas dapat baca bunyinya
"Hormat nya Hio coe Ouw Giok Seng dari Lwee Sam Tong
dari Cap jie Lian hoan ouw." Ia sebenarnya heran tetapi surat itu ia lantas kasi masuk kedalam sakunya, sambil bersenyum ia kata pada jongos itu "Benar2 aku tidak ingat pada kawan sendiri! Dia memang gemar sekali bersenda
gurau! Aku ketahui sinshe itu pada belasan tahun yang lampau, ketika
bertemu dirumahnya satu sahabat, melainkan itu waktu kami tidak berbicara satu dengan lain.
Sekarang aku bertemu dia disini, dia sengaja main2. Aku menyesal, karenanya kami jadi bikin pusing pada kau
sekalian...." Setelah berkata begitu, ia keluarkan uang dua tail dari sakunya, ia sodorkan itu pada si jongos seraya tambahkan
"Ini dua tail untuk kau pergi minum arak!"
Jongos itu dan kawannya jadi girang sekali, hingga
mereka anggap, bolehlah mereka diganggu, penggantian itu lebih daripada memuaskan mereka.
"Tuan, kau baik sekali!" Kata dia. "Sudah si sinshe
keluarkan uang, kaupun rogo sakumu pula. Terima kasih, tuan, terima kasih banyak2!"
"Jangan bilang terima kasih, tidak apa," kata Ong Too Liong. "Tolong serahkan mereknya si sinshe kepadaku, aku hendak bawa itu untuk dikembalikan padanya."
Jongos itu tidak keberatan akan serahkan merek itu
walaupun si sinshe sendiri menitipkannya.
Eng Jiauw Ong loloskan merek itu dari galah kecilnya, ia lipat, ia masukkan kedalam saku.
Ketika itu sudah tengah hari, tetamu lainnya mulai
datang saling susul, ia lantas ajak tiga kawannya
meninggalkan Bong Kang Lauw, akan jalan disepanjang
jalan besar, terus sampai disatu tempat yang sepi. Disini dua saudara Kam dan Hee houw Eng tak dapat bersabar
lagi. Sedari tadi mereka memang ingin sekali ketahui, siapa si sinshe khoamhia dan apa yang dia itu tulis dalam surat nya. Lantas mereka tanya ketua nya, sinshe itu sebenarnya siapa.
"Hal adalah diluar sangkaan kita," jawab Eng Jiauw
Ong. "Ouw Poan Thian itu adalah Hio coe Ouw Giok Seng dari Lwee Sam Tong dari Cap jie Lian hoan ouw dari Hong Bwee Pang. Dibawahnya Liong Tauw Pang coe, dia adalah salah satu dari tiga pemimpin yang paling berkuasa dalam rombongan mereka itu. Lwee Sam Tong dari Hong Bwee
Pang itu adalah Thian Hong Tong, Ceng Loan Tong dan
Kim Tiauw Tong. Mereka adalah orang2 pilihan dari
seluruh to coe, yang terpilih oleh Boe Wie Yang sendiri, dari itu bisa dimengerti jikalau Ouw Tio coe semua ada punya kepandaian silat yang istimewa, yang melebihi
kebanyakan orang lain. Ouw Hio coei sampai muncul
sendiri, ini menyatakan yang Boe Wie Yang kerahkan
seantero tenaganya untuk menghadapi kita. Kita sekarang harus waspada, sama sekali tak dapat kita memandang
enteng kepada mereka itu."
Kam Tiong bertiga tercengang. Tidak heran kalau Ouw
Poan Thian demikian liehay, kiranya itu ada salah satu hio coe, pemimpin besar dari Cong to, Pusat Umum, dari Hong Bwee Pang.
Eng Jiauw Ong melihat Hee houw Eng sudah terlepas
dari pengaruh susu macan, lantas sembari jalan, ia kasi nasihat pada pemuda itu agar lain kali kendalikan diri, jangan ia sembrono dan lancang minum arak, karena arak bisa merugikan diri sendiri dan terutama menggagalkan urusan besar.
Pemuda itu insaf kesalahannya, memohon maaf, ia
mengucap terima kasih buat nasihat itu.
Selama itu mereka sudah jalan sampai diluar dusun dari pelabuhan Bong kang. Diluar sangkaan mereka, mereka
dapati tempat ada permai, sawah2 ke hijau2an dan
dikejauhan, puncak nya gunung Gan Tong San seperti
saling susun. Sungainya mengalir laksana seekor naga
perak, yang airnya mengalir juga kearah sawah2. Disekitar gunung, yang seperti terkurung
sungai, kelihatan kain2 layar, suatu tanda dari ramainya perhubungan dimuka air.
Eng Jiauw Ong menghampirkan satu tukang air teh,
yang bergu___ kecil ditepi jalan, untuk menanyakan
jalanan. Tukang air teh itu mengawasi dahulu, baharu ia
menyahut "Jikalau tuan hendak pesiar di Gan Tong San, baiklah dari sini menyewa kereta ke Ngo liong peng, disana pemandangan adalah paling indah. Tuan bisa juga sewa
perahu akan tetapi perahu mesti mutar keujung Pak Nia,
bukit sebelah Utara. Tak menarik berpesiar dengan sia2kan waktu"."
Eng Jiauw Ong tidak perhatikan jawaban itu, ia sudah
berjalan terus ketika mendadak ia memutar tubuh dan tanya pula "Apakah kau tahu dimana letaknya Hoen coei kwan?"
Orang itu melengak. "Oh, Hoen coei kwan?" kata ia, suaranya tak tedas.
"Aku tak ingat jelas, boleh jadi didekat gunung sana. Baik kau tanya saja tukang kereta
"." Eng Jiauw Ong bisa menduga orang itu bukannya tak
tahu hanya takut, dari itu, ia berjalan terus. Ia jalan sampai ia melihat serombongan belasan tukang sewa keledai. Yang aneh adalah belasan keledai mereka itu semua hitam warna bulunya, hitam semua. Tukang2 sewakan keledai itu
berumur antara dua puluh lebih sampai empat puluh lebih, mereka tengah bersenda gurau dengan asyiknya.
"Sudah, jangan memain saja ada tetamu!" kata satu
orang apabila dia lihat Eng Jiauw Ong berempat.
"Tuan hendak pesiar ke Gan Tong San?" menegur satu
tukang keledai. "Silahkan naik keledai! Sewanya murah jalannya cepat keledainya pun pandai pula jalan ditempat bagaimana berbahayapun, tak usah tuan turun dan berjalan kaki. Dilain terapat tak dapat tuan sewa keledai seperti disini. Keledai kami semua tahu jalanan, malah bisa juga jalan diatas jembatan sebatang, dengan kedua matanya
ditutup dia bisa jalan terus!"
"Dia tidak boleh dilayani," pikir Eng Jiauw Ong, yang melihat orang pandai bicara, dan bicara nya pun melebihi batas agaknya.
"Keledaimu demikian liehay, sungguh langka!" kata Hee houw Eng. "Menurut katamu, walau keledaimu tak dapat
dikatakan keledai sakti, sedikitnya dia ada keledai nabi!
Coba kau persembahkan keledaimu kepada Sri Baginda
Raja, pasti kau akan pangku pangkat!"
Kam Tiong dan Kam Houw tertawa.
Si tukang keledaipun turut tertawa.
"Kau bisa sekali menyindir, tuan!" kata dia. "Jikalau aku sanggup menjadi pembesar negeri, tak nanti aku hidup
begini menderita". Apakah tuan2 hendak pesiar ke Gan
Tong San?" Eng Jiauw Ong awasi Hee houw Eng, ia kata "Tak
biasanya aku tunggang keledai. Jikalau diadu, keledai pun tak dapat lari sekuat manusia...."
"Katanya keledai mereka cerdik," Hee houw Eng kata.
"Jangan kuatir, kepandaian lain aku tak punya, tetapi mengendalikan keledai binal, aku sanggup!"
Lantas ia tanya harga sewanya kepada tukang keledai.
Kam Tiong dan Kam Houw akur, ditempat demikian,
mereka senang menunggang keledai. Merekapun tidak tahu berapa jauh jalan yang akan dilampaui. Mereka lantas
mendekati tukang keledai itu.
"Kami nanti pilihkan keledai nya," kata si tukang
sewakan keledai. "Bukankah kau bekerja sama2?" Hee houw Eng tanya.
"Benar. Keledai kami yang mana pun, ada sama saja."
Hee houw Eng pilih seekor untuk Eng Jiauw Ong, tetapi diam2 ia kata pada dua saudara Kam "Kau pilih sendiri masing2, aku tak campur tahu, kau mesti terima untung kepada pilihan sendiri."
Dalam hatinya, dua saudara Kam berkata "Masa bodoh!
Toh bukan kau yang pilih!" Dan mereka lalu memilihnya.
Hee houw Eng telah pilih seekor keledai yang
nampaknya gagah sekali. "Jangan pilih ini, tuan, aku tak tanggung," kata si tukang keledai. "Keledai ini sangat keras larinya, jangan kau gunai cambuk terhadapnya, kalau kau mencambuknya, dia bakal kabur, tak dapat kau tahan dia, atau kau bakal kena dibikin diyatuh"Dia baharu akan berhenti kabur sesudah dia
sampai ditempat tujuannya. Baik tuan pilih yang lain...."
"Aku tidak takut," kata Hee houw Eng dengan jumawa.
"Kau juga jangan takut, tidak nanti kami bawa kabur
keledaimu ini. Kami nanti tunggui kau di Ngo liong peng."
"Tuan2 hendak pergi ke Ngo Hong peng, itulah bagus."
kata tukang keledai itu. "Tempat hentian kami memang di sana. Belasan keledai kami ini, walau dikemplang sampai matipun tidak akan pergi sendiri kelain tempat. Disana tuan lakukan pembayaran pada kawan kami, jangan kuatir tuan nanti dimintakan lebih. Kami ada punya aturan sendiri."
"Kalau aku membayar kurang, apakah kawanmu disana
ketahui" Apa keledaimu bisa bawa kabar" Apa kawanmu
disana mengerti bahasanya keledai?" tanya Hee houw Eng.
"Ah, tuan, kau memaki kami! Sekejab saja kami semua
jadi binatang!...." "Bukannya begitu, tetapi aku heran karena dengar
omonganmu?" "Omong saja tak ada bukti nya, nanti sesampainya
disana, tuan akan ketahui sendiri," terangkan si tukang keledai. "Um uua kami minta lebih, ataupun luiiang, tuan boleh ambil keledai .ini inil"
"Jikalau benar katamu, aku akan bayar dua lipat!" Hee houw Eng bilang.
"Cukup, tuan!" kata tukang sewakan keledai itu.
Eng Jiauw Ong, yang sudah mulai bertindak, mendengar
pembicaraan mereka. "Kau kena terpedaya!" kata Ia pada Hee houw Eng.
Hee houw Eng berdiam, ia merasa aneh. Ia naik atas
bebokong keledai pilihannya.
"Apa Hoen coei kwan terletak liat Ngo liong peng?"
tanya ia dengan acuh tak acuh. "Pernah aku pergi kesana dengan ambil jalan air, tetapi sekarang aku tak ingat lagi...."
Tukang menyewakan keledai itu tercengang.
"Hoen coei kwan?" dia ulang. "Oh, jauh sekali! Untuk
pergi kesana, tak dapat dengan jalan darat, mesti dengan naik perahu" Aku belum pernah pergi kesana...."
Dia menoleh kepada kawan2nya dia buat main bibirnya.
Hee houw Eng jalan terus akan susul tiga kawannya.
Semua leher keledai disini digantungi kelenengan,
sembari berjalan alat itu perdengarkan suaranya tak
hentinya. Semua mereka bisa jalan cepat, malah
nampaknya kenal benar jalanan. Tak ada satu tukang
keledai itu yang mengikuti mereka.
Eng Jiauw Ong berempat tidak mengenal jalanan,
mereka antap keledai jalan sendiri. Untuk mereka, gunung Gan Tong San ada jadi pedoman.
Setelah lewat sedikit jauh Eng Jiauw Ong kata pada Hee houw Eng "Kau sudah biasa merantau, kenapa kau tak tahu akalnya si tukang sewaan keledai?"
Mukanya tee lie houw menjadi merah.


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar2 tee Tcoe tak tahu Po coe," ia menyahut.
"Tentang jumlah uang sewaan itu, mereka bikin tanda
ditali les atau lainnya yang kita sukar cari, atau kalau toh kita bisa dapatkan, kita tak dapat terka artinya," terangkan ketua itu. "Di Utara atau di Selatan demikian memang kebiasaan kaum mereka."
"Terima kasih, po coe," kata Hee houw Eng.
"Bagaimana sekarang tentang Hoen coei kwan" Kita tanya2
orang tetapi semua menjawab tak tahu atau orang agaknya tak sudi memberi keterangan. Tee coe percaya, rupa nya pengaruh Hong Bwee Pang disini ada sangat besar...."
"Untuk dapat mengetahui dimana letaknya Hoen coei
kwan, kita harus berdaya sendiri. Aku percaya Hoen coei kwan ada sarangnya Cap jie Lian hoan ouw. Kelihatannya, makin banyak kita tanya orang, makin banyak orang
curiga." Mereka berjalan terus, antaranya dijalanan yang buruk, dan beberapa kali mereka menyeberangi jembatan sebatang, atau jembatan kecil, benar saja keledai bisa lewat dengan tak kurang suatu apa.
"Nyata tukang sewakan keledai itu bukan omong besar
belaka," kata Kam Tiong pada Hee houw Eng.
Setelah jalan lima atau enam lie, rombongan ini
menghadapi sebuah kampung yang dikurung sebuah kali,
diluar dusun ada terdapat banyak pohon murbei dan jie.
Tiga orang kelihatan bercokol sedang berangin dibawah sebuah pohon.
Hee houw Eng lintasi jembatan dikali itu, tetapi ia tidak memasuki dusun hanya berjalan ditepinya. Kebanyakan
dialah yang jalan dimuka, karena keledainya ada yang
tergesit. Ia sangat sengit terhadap keledai itu, yang ada kalanya, disabat tak mau lari, diantap dia kabur.
"Aku nanti hajar kau, baharu kau ngerti!" kata Hee
houw Eng pada keledainya, yang kembali mau ngadat,
maka sembari lewat, ia samber patah secabang yanglioe untuk dijadikan cambuk.
Keledai itu benar bandal, dia loncat dan lari, tanpa dapat ditahan.
"Benar2 kurang ajar binatang ini!" berseru Hee houw
Eng. Dan ia menyambuk. Keledai itu loncat berdiri, kedua kakinya diangkat naik, karena kesakitan dicambuk dua kali. Dia lari berputaran, berulang2 dia perdengarkan suara keras. Hee houw Eng
cekal keras lesnya, ia menghajar pula. Keledai itu kemudian lari kearah Timur. Justeru itu ia dengar tindakan kaki binatang dan kelenengan, waktu ia menoleh, dari mulut dusun kelihatan lari keluar seekor keledai belang hitam putih, pakaiannya reboh, dan penunggangnya ada satu
nyonya umur kira2 tiga puluh tahun, romannya cantik,
kepalanya di bungkus saputangan yang ujungnya ditekuk lepit merupakan kupu2, bagian belakangnya diantap
terlepas panjang, pakaiannya ada baju dan celans sutera biru. Dibebokongnya ada tergendol satu bungkusan, yang terang mesti senjata adanya. Dengan tangan kiri ia
menyekal les, dengan tangan kanan ia ayun cambuknya.
Dimatanya Hee houw Eng, nyonya muda itu ada satu
bunga berjiwa atau tukang main dangau. Menyolok adalah pakaiannya yang menyalahi iklim.
Selagi mereka berdekatan satu dengan lain, nyonya itu lirik Tee lie touw, si Peta Bumi, matanya bersinar galak.
Hee houw Eng niat menahan keledainya, tetapi apamau
nyonya itu telah dului melewati padanya, hingga sekarang ia mesti menyual. Nyonya itu berpaling dan meliuk
padanya, kemudian dia larikan keledainya kejalan kecil di desa bagian Timur. Ia kagum melihat pesatnya larinya
keledai itu dan nyonya itu agaknya pandai sekali
menunggang keledai itu. Tempo ia mencambuk keledai nya yang ia belum kenal adat itu lantas keledainya berlompat, sampai hampir saja Tee lie touw ___ dibikin terlempar. Ia gusar akan dapatkan keledai itu berloncatan dua tiga kali, lantas ia menyabet tiga kali, atas mana, binatang, itu tidak lagi berloncatan hanya dia kabur, ke tempat dimana ada pepohonan, Hee houw Eng mendongkol berbareng ibuk.
Jikalau ia dibenturkan pada pohon, celakalah ia. Maka untuk tolong diri, sengaja tarik sebelah les, hingga satu kali, si keledai sendiri yang terjang pohon,hingga binatang itu berhenti berlari.
Justeru itu Eng Jiauw Ong dan dua saudara Kam dapat
mengetahui. Dua saudara Kam tertawa melihat apa yang
dialami oleh temannya itu.
"Apa aku kata!" kata Eng Jiauw Ong "Aku hendak
jawab kau pandai sewa keledai. Aku takutkan kau nanti dibikin celaka binatang ini. Kalau binatang ini terluka, yang punya tentu minta semua ganti kerugian! Sudah, kau turun, mari kita jalan kaki saja!"
Hee houw Eng telah mandi keringat.
"Po coe, binatang ini sedang ngadat," kata ia. "Dia mesti di ajar adat, supaya dia menjadi jinak."
Eng Jiauw Ong pun melihat, binatang itu beroman binal.
"Nah, kau hati2lah, kami bertiga jalan lebih dahulu,"
kata ia kemudian. Hee houw Eng ditinggalkan untuk dia layani keledai
yang ngadat itu. Tapi Eng Jiauw Ong bertiga jalan
pelahan2. Hee houw Eng lihat keledainya telah mandi
keringat dan mulutnya berbusa. Itulah tanda binatang
itupun telah lelah ini ada baik nya, sebab selanjutnya, keledai itu tidak terlalu binal lagi.
Hee houw Eng melihat kejalan kecil, ia awasi juga Eng Jiauw Ong bertiga, setelah mana, ia larikan keledainya kejalan kecil, untuk susul si nyonya muda. Dengan cepat ia dapat lihat nyonya itu. Tetapi keledainya, beberapa kali masih tabrak tubruk pohon.
Tidak lama keduanya sudah jalan dekat satu dengan lain.
Si nyonya muda saban2 menoleh dan mainkan matanya
yang tajam pada pemuda dibelakangnya ini, hingga Hee
houw Eng percaya betul, ia sedang berhadapan dengan
seorang perempuan nakal. "Dia bukan orang baik2, tidak ada halangannya untuk
aku main dengan dia," pikir Tee lie touw. Tapi selagi ia memikir, tiba2 keledainya berlompat, maka tidak tempo lagi ia rubuh. Tetapi ia ada sangat gesit, lekas juga ia lompat pula loncat naik kebebokongnya keledai itu.
"Bagus!" tertawa si nyonya muda.
Mendongkol Hee houw Eng, mendongkol kepada
keledainya, kepada si nyonya muda juga, tetapi ia tak sempat berpikir lama, ia lantas coba susul nyonya itu, yang keledainya sudah lari meninggalkan dia. Dalam sengitnya.
dia kata "Aku mau lihat, kau hendak lari kemana!"
Sementara itu Eng Jiauw Ong dan dua saudara Kam
terlihat disebelah kiri, ditepi empang, mereka menjalankan keledainya pelahan2, rupanya mereka sedang menunggui.
Adalah selagi si nyonya muda menuju ketepi empang,
mendadak Eng Jiauw Ong memasuki rimba dimana ada
sebuah jalan kecil. "Heran," pikir Hee houw Eng "Apa po coe salah ambil
jalan" Mustahil...."
XLIV Selagi Tee lie touw pikir untuk susul ketua itu, ia lihat dua saudara Kam dengan banyak susah memaksa keledai
mereka ikuti ketua itu. Iapun lantas lihat si nyonya muda sampai dijalanan mulut rimba itu, dan jalan terus lempang saja.
Dengan berpikir keras Hee houw Eng berjalan terus. Ia pikir akan tanya keterangannya ketua itu. Justeru ia sampai dimulut jalanan kecil, Kam Tiong muncul didepannya
seraya mendahului berkata "St! jangan bicara keras! Po coe suruh kau kuntit perempuan itu, jangan bikin dia lolos. Dia adalah Lie touw hoe Liok Cit Nio, yang lolos dari Liok kee po. Dia tak kenal kau, baik kau dayakan supaya dari
mulutnya, kau ketahui letaknya Cap jie Lian hoan ouw.
Hati2 agar dia tidak curigai kau."
Hee houw Eng heran, ia menoleh pada si nyonya, yang
baharu saja membiluk. "Kalau begitu, tak tahu aku kemana aku bakal sampai,"
kata ia pada Kam Tiong. "Kami akan singgah di Ngo liong peng, maka kau,
berhasil atau tidak, perlu kau kirim kabar kepada kami disana," Kam Tiong bilang.
"Baiklah! Kasi tahu po coe, aku tak akan bikin dia lolos,"
Lantas Tee lie touw melarikan keledainya akan susul si nyonya, sedang Kam Tiong pun terus susul ketua dan
saudaranya. Sesampainya Hee houw Eng di tikungan tadi, dari situ ia dapat lihat si nyonya muda didepan kembali kasi
keledainya berjalan pelahan2.
"Nyata mataku tak salah lihat, kiranya dia si perempuan cabul...." kata pemuda ini dalam hatinya. "Sekarang aku boleh tak usah ragu2 lagi...."
Ia lantas menyusul, hingga sebentar kemudian keduanya sudah datang dekat pula satu dengan lain. Tetapi nyonya itu tidak pernah melirik lagi, malah sambil mengawasi kelain arah, terdengar oceannya sendiri "Ah, binatang, kenapa kau tidak mau dengar kata" Jangan binal, atau aku nanti keset kulitmu! Hati2, jangan bikin nyonyamu gusar!
Kau nanti merasakan jikalau aku sudah masukkan kau
kedalam kwali air panas!"
Mendengar demikian, Hee houw Eng tepuk leher
keledainya dan berkata dengan nyaring "Binatang, oh
makluk rendah! Jikalau kau main gila pula, aku nanti kasi rasa padamu! Lihat saja, apabila aku senang, aku akan bikin kau senang, kalau tidak, tak nanti kau dapat rumput! Aku nanti cangcang padamu, hingga sekalipun rumput hutan, kau tak akan dapat makan!"
Habis mengucap demikian, ia tertawa dingin.
Nyonya itu menoleh, matanya terbuka lebar, lalu ia
berjalan terus. Baharu lima enam tindak, ia tahan
keledainya, mulutnya mengucap "Ah, ikat pinggangnya
kendor...." Dan ia loncat turun.
Kerena orang berhenti, keledainya Hee houw Eng datang mendekati dengan lekas, justeru kepala keledainya
mendekati ekornya keledai si nyonya, sekonyong2 nyonya itu loncat naik ke atas keledainya sambil berseru. "Jalan!"
cambuknya pun diayun, untuk dibunyikan. Karena ini,
sebab mereka terpisah dekat satu dengan lain, belakang kupingnya Tee lie touw kena kecambuk hingga balan.
"Manusia buta!" berseru Hee houw Eng dengan gusar.
Nyonya itu kabur dengan keledai nya, tak sekali juga ia berpaling.
"Kurang ajar!" Hee houw Eng berseru pula, sekali ini ia lantas mengejar.
Maka keduanya menjadi seperti balap.
Gan Tong San nampaknya jadi semakin dekat, tinggal
sepuluh lie. Selagi Hee houw Eng hampir menyandak, Cit Nio
kelakuan keledainya lebih keras hingga kembali mereka terpsah cukup jauh. Selagi begitu, Hee houw Eng pun
terperanjat. Ia melihat jalanan yang diambil bukannya menuju ke Ngo lion pang. Ia bingung. Kalau ia mengeyar lebih jauh, bagaimana nanti ia bisa menyampaikan kabar ke ketua nya" Iapun dipesan jangan mengasih lolos si nyonya itu ".
Tujuannya si nyonya muda ada arah Barat-Utara,
menghampiri sungai yang menu ke Barat yang makin jauh jadi makin lebar, kendaraan air Nampak makin banyak.
Disebelah depan ada lagi jalan persimpangan, satu ke
Timur-Utara, rupanya untuk ke Ngo liong peng, dan yang satunya ke Barat-Utara, entah kemana jalan air ke Barat. Itu terang ada untuk Pak Nia, bukit Utara dari Gan Tong San.
Dijalan Barat-Utara menuju ke sebuah dusun besar.
Ada lagi yang bikin Hee houw Eng bingung. Sampai
disitu, keledai nya tidak mau berjalan lebih jauh. Keledai itu
tetap berdiam walaupun dia dicambuk, dia tadi nya mau bertindak kearah Ngo liong peng. Jadi benar katanya si tukang sewakan keledai, binatang nya itu pintar, tahu jalanan. Dahinya Hee houw Eng bermandikan keringat.
Selagi bingung ia melihat Cit Nio sudah sampai dimukka dusun. Karena ia percaya nyonya itu hendak singgah, ia dapat harapan, ia menjadi girang. Lantas ia berloncat turun dari keledainya, akan tuntun binatang itu. Ia terus awasi si nyonya muda dari keledainya, ia tuntun binatang itu.
Liok Cit Nio kelihatan turun. Lantas ia loncat turun dari keledai kesebuah warung arak. Dari warung itu muncul satu boca umur kira2 lima belas tahun, yang kuncirnya ngacir, dia menyambuti keledainya si nyonya, atas mana nyonya itu bertindak kesebuah rumah makan diluar dusun, ditepi sungai.
"Satu tempat bagus untuk musim panas," pikir Hee
houw Eng. Ruangan rumah makan ada luas, dari situ orang bisa
memandang kesungai dimana tertampak pelbagai perahu,
juga parahu2 kecil, mundar mandir. Merek rumah makan
itu "Geng Coen," artinya, menyambut musim semi.
Hee houw Eng segera mengambil keputusan. Ia masuk
ketempat lebat, lalu ia menyalakan api cian Lie hwee, untuk membakar cabang itu, hingga dilain saat ia dapat dua
batang potlot. Ia keluarkan selembar kertas dari sakunya, ia bentangkan itu dan menulis, untuk Eng Jiauw Ong, untuk kasih keterangan hal ia sedang menguntit terus si nyonya muda. Setelah lepit rapih surat Itu, ia selipkan digelang.
Kemudian ia rapihkan les. Akhirnya, dengan satu tepukan keras pada bebokong keledainya, ia kaburkan binatang itu kearah Ngo liong peng. Setelah itu, dengan tindakan
tenang, ia menuju kedusun. Ia lihat keledainya si nyonya masih diangon diluar dusun itu.
"Aku numpang tanya, tempat ini apa namanya?" ia
tanya si boca, sesudah ia datang dekat. Ia tampak orang agaknya cerdik. "Berapa jauh dari sini ke Ngo liong peng, Gan Tong San" Apa disini ada pondokan?"
"Tempat ini dipanggil Hong hong toen," boca itu
menjawab apabila ia sudah awasi orang yang tanya ia.
"Untuk pergi ke Ngo liong peng ada jauh, jalannya mutar.
Jalanan ini untuk ke Pak Nia, jauhnya tinggal enam lie lagi, apabila kita ikuti kali, kalau lempang, cuma empat lie lebih."
Hee houw Eng usap2 keledai orang.
"Keledai ini bagus," kata ia, "pantasnya dia bisa lari cepat, satu hari sampai dua atau tiga ratus lie...."
"Aku tak tahu, keledai ini bukan kepunyaanku," kata
anak itu. "Jikalau tuan hendak cari pondokan, mari aku yang antar, aku tanggung kau tidak kena dipermainkan, tidak akan diketok."
"Sekarang aku tidak niat singgah, aku hendak cari orang di Gan Tong San, baliknya nanti baharu aku ingin
mampir," jawab nya Hee houw Eng. "Eh, saudara kecil,
apa kau tahu jalanan terdekat untuk Hoen coei kwan?"
"Oh, tuan tak niat singgah?" boca itu menegasi, agaknya ia tercengang. "Tuan mau cari orang di Hoen coei kwan?"
Hee houw Eng girang mengetahui orang ketahui Hoen
coei kwan. "Benar," ia memastikan. "Dimana letaknya Hoen coei
kwan?" "Aku tidak tahu," jawab boca itu.
Jawaban itu menerbitkan si anak muda heran berbareng
kecele, ia jadi mendongkol.
"Kau aneh!" kata ia. "Kau sebut Hoen coei kwan,
akhirnya kau bilang tidak tahu...."
"Aku cuma dengar saja, aku belum pernah pergi
kesana," menerangkan boca itu. "Harap tuan tak kecil hati, tuan tanya saja lain orang...."
"Jangan gusar saudara, aku sebenarnya sedang sibuk cari orang," Hee houw Eng putar lagu. "Rupanya Hoen coei
kwan ada suatu tempat kecil dan letaknya barangkali
didalam gunung". Keledai ini siapa punya?"
"Satu nyonya, tuan. Di Hong hong toen ini, aku biasa
jagai binatang tunggangan dan kereta atau angkuti barang tetamu, siapa senang hati, dia persen aku beberapa boen, atau kalau orang tak punya uang rece, aku pun senang tak peroleh presenan. Karena ini, disini tidak ada yang tidak kenal Ho Siauw pian si kuncir Kecil. Belum pernah aku bikin salah atau bikin hilang barang orang. Nyonya yang punya keledai ini ada didalam rumah makan Geng Coen
disana, aku kurap dia sebentar akan upahi aku satu
renceng...." "Aku tidak sangka, kau begini kecil tapi kau cerdik
sekali," kata Hee houw Eng. "Aku telah ganggu tempomu, nah ambil ini dua ratus chie, aku persen padamu"
Boca itu jadi sangat girang, sebab cuma dengan diajak bicara, ia dapat persen. Ia bersenyum berseri2, ia sambuti uang persenan itu, ber ulang2 ia haturkan terima kasih.
"Tuan, silahkan mampir di warung arak sana," kata ia.
"Warung itu kepunyaan paman ku. Sambil beristirahat
disaini, aku nanti haturkan kau dua cawan arak."
Selagi orang ngoce seraya simpan uangnya, diam2 Hee
houw Eng keluarkan pisaunya, akan iris ikat pinggang
keledai itu, supaya jalan belum ada satu lie, ikat pinggang
itu akan putus sendirinya. Ia memang berdiri disamping keledai, iapun bekerja sangat cepat, tanpa terlihat oleh si boca.
"Kau baik sekali, saudara kecil. Aku memang niat
minum teh. Kau tak usah perdulikan aku, pergi tunggui keledai itu yang harganya mahal, nanti kau dapat upah gede...."
Ia bertindak kemulut dusun, disana ada tiga buah
warung arak bergubuk, ia hampirkan satu yang sebelah
Timur, yang ada alingannya merupakan selembar kain
tebal. Duduk disitu, ia bisa mengawasi kearah Liok Cit Nio tanpa orang bisa lihat padanya.
Warung itu jual teh dan arak, mejanya bersih. Tempat
duduk adalah beberapa buah bangku. Diatas meja ada
belasan poci dan tehkoan.
Ia minta teh. Kebetulan disitu tidak ada tetamu lainnya, ia ajak tukang warung itu bicara. Kemudian ia tanya apa ada jalanan untuk memasuki gunung Gan Tong San.
Tukang Warung itu cuma menerangkan jalanan ke Ngo
liong peng, Timur dan Utara, mengenai jalanan sebelah Barat ia bungkam, ia simpangkan itu kepada lain hal.
"Bukankah puncak Barat paling indah?" Hee houw Eng
ber pura2. "Katanya sinar fajar dan layung disana paling permai, pemandangan pepohonannya pun menarik hati. Sayang aku tak dapat lekas2 sampai disana. Sahabatku bilang, Gan Tong San pun berbahaya tapi disebelah Barat, semua
jalanannya rata begitupun jalan tanjakannya. Kau ada
penduduk sini, tuan, kau tentu ketahui baik keadaan
ditempatmu ini. Dapatkat kau menunjukkan jalan sebelah Barat itu kepadaku?"
"Ah, tuan, kau dipermainkan sahabatmu!" kata si tukang warung sambil tepuk2 tangan dan tertawa dengan tiba2.
"Jangan kau dengarkan sahabatmu itu! Gan Tong San
memang besar dan kesohor, pemandangan alamnya permai, hasil buminya subur, tapi mengenai puncak Barat, kau
disesatkan. Keadaan disana justeru paling berbahaya! Kaki Barat dari Gan Tong San terkurung sungai beberapa lie lebarnya, jangankan jalan darat, walaupun menggunai
perahu, tak nanti orang bisa manjat disana. Disini semua orang tahu berbahayanya puncak Barat, tak ada orang yang berani mendekati nya...."
Kebetulan waktu itu, didepan gubuk melewat seorang
berbaju dan bercelana pendek, bersepatu rumput tanpa kaos kaki, umurnya pertengahan. Melihat orang itu, si tukang warung lantas bungkam. Dan ketika orang mampir, ia
lantas menyuguhkan secawan arak.
Hee houw Eng percaya, tukang warung ini ketahui lebih banyak tentang Hoen coei kwan. Iapun menduga, letaknya tempat Itu mesti disebelah Barat. Lantas ia tanya pula
"Bukankah letaknya Hoen coei kwan ada disebelah Barat?"
"Ah, tuan, percuma kau menanyakan, tak nanti kau
sampai kesana kendatipun kau berangkat dari pagi2!
Kenapa cari susah sendiri" ...."
Orang itu menyahut dengan ogah2an, air mukanyapun
lantas berubah likat. "Tentu ada hubungannya dengan orang ini," Hee houw
Eng menduga, terhadap orang yang baharu datang itu.
Diam ia menyesal. Ia bergelar Tee lie touw, si Peta Bumi, tapi pengetahuan nya tentang ilmu bumi, rendah sekali.
Kebetulan, selagi ia berpikir, ia lihat Lie touwhoe keluar dan menggapekan Ho Siauw pian, dan boca itu lantas
menghampirkan seraya menuntun keledainya si nyonya.
Iapun lihat boca itu dikasih uang persenan. Sebelumnya menunggangi keledainya, si nyonya celingukan seperti
mencari sesuatu. Kemudian dia menuju ke Hong hong toen.
"Cuma dua lie kau bisa jalan, selanjutnya kau tak nanti lolos dari tanganku," pikir Hee houw Eng. "Kecewa aku apabila tak sanggup menguntit kau...."
Lantas ia berbangkit, akan membayar uang teh. Untuk
melenyapkan kecurigaan tukang warung itu dan tetamunya, ia jalan pelahan, setelah berada jauh, baharu ia bertindak cepat akan menyusul. Ia dapatkan Hong hon toen ramai, tapi ia tak perhatikan itu.
Ia lewati sebuah hotel, dihotel yang kedua, satu jongos papaki ia akan minta ia singgah, katanya, untuk pesiar kegunung, waktu itu sudah terlambat, digunung tak ada tempat penginapan. Pun katanya, jalanan kegunung masih lima atau enam puluh lie.
Waktu itu Hee houw Eng masih belum melihat Liok Cit
Nio, ia ibuk juga. Tapi ia lantas dapat akal.
"Aku memang niat bermalam disini," katanya. "Aku
tidak bersendirian, aku ada punya satu kawan perempuan.
Apa kau dapat lihat satu nyonya dengan keledai nya
belang" Tadi dia mendahului aku, bisa jadi dia sudah ambil lain hotel...."
"Ya, barusan ada nyonya dengan keledai seperti yang
tuan sebutkan, baharu saja dia lewat disini," sahut jongos itu. "Dia tentu belum lewat jauh...."
"Ya, tentu dia!" Hee houw Eng benarkan. "Kami akan
singgah di Hong hong toen ini buat tengok sahabat, lalu kami akan pesiar dua hari di Gan Tong San. Baiklah, aku hendak susul dia, nanti pulangnya kami singgah disini."
Lantas ia bertindak tanpa menunggu jawaban si jongos, ia jalan seperti lari, untuk menyusul Liok Cit Nio. Tidak lama ia telah keluar dari Hong hong toen, ia dapati tanah tegalan yang sepi. Ia lihat gundukan kampung, yang saling terpencil, setiap kampung cuma terdiri dari belasan rumah.
Kemudian jauh2 ia lihat si nyonya muda sedang berdiri mengawasi perut keledainya, rupanya ikat pinggangnya
binatang itu telah putus. Karena ini, untuk mendekati, ia jalan di balik2 pepohonan, agar ia tak terlihat nyonya itu.
Rupanya Liok Cit Nio mendongkol sekali, kemudian
kelihatan ia jalan sambil menuntun keledainya.
Kira2 seperjalanan dua lie, sang sore mendatangi.
Orang2 tani tertampak berjalan pulang ke masing2
rumahnya. Cit Nio jalan terus, melewati beberapa kampung.
Rupanya ia kenal baik tempat itu.
"Aku akan ikuti kau kemana juga kau pergi," pikir Hee houw Eng, yang menguntit terus. Ia hanya heran, sekarang ia tak lihat puncaknya Gan Tong San. Tapi segera ia
merasa, tentunya sudah berada dekat gunung itu, yang
teraling dengan pepohonan.
Sekarang jalanan ada buruk. Lagi dua kampung dilewati, lantas Hee houw Eng merasa ia seperti memasuki sebuah kwali. Ia tahu itu adalah suatu lembah. Disitu ada beberapa solokan, malang melintang, beserta jembatannya masing2.
Diwaktu magrib, ia tak dapat melihat terlalu jauh. Ia bersangsi tetapi ia maju terus, akan menguntit si nyonya. Ia pun men duga2 mungkin itu ada Cap jie Lian hoan ouw.
Lie touwhoe gampang terlihat, karena bersama ia, ia


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terus tuntun keledainya. Didepan ada sebuah kali, di pinggirannya setiap
setumbak lebih, ada tercangcang sebuah perahu kecil, dan digili2, saban2 ada gubuk dimana kedapatan jaring, jala dan alat penangkap ikan lainnya. Air mengalir ke Barat utara.
Semuanya gubuk berjumlah tiga puluh lebih. Selewatnya itu baharulah, jarang2, ada rumah2 gubuk, dan disetiap
samping rumah ada empang yang airnya didapat dari kali.
Hee houw Eng menguntit terus sampai tiba2 ia lihat
sebuah rumah besar, ya sebuah gedung, yang bertembok
kate, yang seperti dikurung pepohonan. Gedung itu madap ke Timur, dibelakangnya berdekatan dengan kali, dimana ada berlabuh dua buah perahu. Didepan ada lima buah
pohon hoay yang besar. Liok Cit Nio berdiri didepan gedung, ia melihat
kesekitarnya, lantas ia ketok pintu, yang terbuka dengan cepat, dari dalam muncul seorang lelaki yang sudah tak terlihat nyata romannya. Dia ini menyambuti keledai untuk dituntun masuk. Cit Nio turut masuk juga.
XLV Hee houw Eng melihat kelilingan, lantas ia maju lebih jauh mendekati gedung itu. Ia perhatikan gedung dan
sekitar nya. Disitu tidak ada orang lain, ia bisa
memperhatikan dengan leluasa. Ia jalan kekiri dan kanan, samar2 ia mendengar suara orang memanggil. Kemudian ia hampirkan sebuah pohon yang rindang, untuk duduk
bercokol menghadapi pintu depan, supaya ia bisa melihat kalau ada orang keluar masuk. Sambil berduduk, ia
beristirahat, tetapi otaknya tetap bekerja, menduga2 gedung itu gedung siapa, kenapa dibangunnya mencil sendirian ditempat sunyi itu. Hartawan siapa sudi tinggal disitu"
Kenapa Cit Nio bisa masuk dengan gampang" Kalau itu
bukan suatu sarang Hong Bwee Pang, itu mesti ada gedung orang2 jahat.
Kira2 jam dua, diwaktu mana pikirannya pun sudah
tetap, Hee houw Eng bangkit berdiri untuk rapikan
pakaiannya, dibikin singset, dengan golok menggemblok dibebokong ia hampirkan gedung. Karena keadaan tetap
sunyi, ia terus loncat naik keatas tembok. Disini ia pasang kuping dan mata, ia tampak banyak pohon cemara. Ia
dapatkan rentetan rumah kate, rupanya jelek. Untuk loncat turun kedalam, lebih dahulu ia menimpuk ketanah, setelah tidak mendengar gerakan apa juga, baharu ia loncat turun.
Disebelah Timur, dimana ada pintu, ada suara orang.
Kesana pemuda ini menuju. Jalanan disitu merupakan
gang, panjangnya enam tujuh tumbak. Dikiri kanan pintu besar ada dua kamar samping. Dijendela sebelah utara ada cahaya api, kesitu Hee houw Eng menuju, dimuka jendela sekali, ia pasang kuping. Kebetulan kertas jendela bolong di tiga empat tempat, ia mengintai kedalam.
Tiga orang lelaki berada didalam kamar itu. Yang dua
berumur kira2 empat puluh tahun, yang satu masih muda, dua pu luh tahun lebih. Satu yang tua sedang mendongkol, ia obral kemendongkolannya itu kepada si anak muda, yang dipanggil Siauw Han, Han si Kecil, yang ia nasihatkan untuk bersabar dan jangan lancang bicara, sebab, katanya, sulit untuk orang hidup dikalangan kang ouw, sedang ia, ia sudah kenyang makan garam.
"Umpama katamu tadi berhubung dengan datangnya Lie
tauwhoe Liok Cit Nio dari cabang Barat di Liang Seng
San," dia tambahkan. "Coba ada kawannya yang dengar,
kau bisa terancam bahaya kematian. Kegenitan dan
kecabulannya Liok it Nio sudah kesohor sekali, mustahil tak ada hio coe kita yang mengetahuinya, akan tetapi tetap malang melintang, itu terbukti dia mempunyai tulang
punggung yang kuat. Kau lihat juga Siang tauw niauw
Kiang Hio coe, bagaimana dia gagah, berapa tahun ia telah mengabdi, tetapi dia terbinasa hukum picis! Belum pernah ada lain orang yang terbinasa lebih mengenaskan
daripadanya. Inipun mengunjukkan bagaimana, dalam satu hal, aturan perkumpulan telah dijalankan. Kau mengarti sekarang?"
Nampaknya si anak muda itu sangat ketarik.
"Kim Loosoe, kata katamu ini sangat berfaedah untuk
aku yang masih hijau," berkata ia. "Tetapi aku masih
muda, adatku keras, apa saja yang rasanya menyolok mata, tak bisa aku diamkan. Lihat saja perkaranya Ciangto
Loosoe Tio Goan Kwie dari barisan Kah soet twie dari Cap it to dan Soenkang twie dari Hoen coei kwan, karena
mabuk arak, dia hajar Hek Biejin si bungaraya. Itu ada perkara sangat kecil, tetapi ketika urusan sampai di Congto, tak ampun lagi ia dihukum rangket empat puluh rotan,
sampai kulit dagingnya pecah dan ber darah2. Karena
hukuman itu, Tio To coe dapat sakit, hampir ia tewas
karenanya, ini yang dinamai pelanggaran main perempuan.
Maka aneh, Lie touwhoe justeru ada merdeka untuk ber
genit2an dan bercabulan! Adakah ini adil" Apakah
perbuatannya itu tidak memalukan" Bagaimana bila ada
musuh yang jail, yang tegur itu kepada Pang coe?"
Mendengar perkataan anak muda ini, yang masih panas
hatinya, orang yang ketiga, yang duduk disebelah kanan, menggoyangi tangannya.
"Sudah," katanya, "sejak saat ini, siapa saja diantara kita, jangan timbulkan pula urusan Liok Cit Nio ini. Kita mesti jaga kupingnya orang2 yang jail. Baiklah kita urus diri masing22 supaya kita tidak lakukan pelanggaran tanpa kita ingin"."
Ia lantas tekuk tiga jari telunjuknya, jempol dan tengah, untuk dijadikan huruf "tujuh" (cit), lalu ia tambahkan "Dia ada cabul dan kejam, siapa bentur dia, jiwanya bisa celaka, maka justeru dia tak akan berdiam lama disini, tak perlu kita gubris padanya...."
Berbareng dengan ucapnya itu, pintu Selatan terpentang, hingga sinar api mensorot keluar, disusul berkelebatnya satu bayangan. Saking kesusu, Hee houw Eng mendekam
ditanah. Ia tak dapat lagi ketika untuk menyingkir dari bawah jendela. Ia keluar keringat dingin setelah orang itu lewat tanpa mempergoki ia. Setelah ini, ia sangat menyesal yang ia tak punya kepandaian mengentengi tubuh, untuk loncat melesat dengan pesat. Walaupun begitu sesudah
orang itu lewat, ia berdiri pula, akan kembali pasang mata dan kuping.
Ia lihat, orang yang baharu masuk itu, berumur kurang lebih tiga puluh tahun, matanya besar, alisnya gomplok, suaranya keras. Dia berkata "Menurut warta dari Hio coe, besok lewat tengah hari akan datang Cee To coe dari pusat di Sam siang, untuk menghadap Pang coe, dari itu, kau nyambut, tak boleh kau bikin gagal."
Tiga orang didalam itu bangun berdiri, tangannya
masing2 diturunkan, tandanya mereka terima tugas dengan cara hormat.
Melihat demikian, Hee houw Eng tidak berani berdiam
lebih lama pula dibawah jendela itu, ia lekas2 menyingkir untuk mencegah dirinya kepergok. Ia lompat kepintu Utara, ia tolak itu dengan pelahan, lantas ia ceploskan diri masuk kedalamnya. Ia baharu masuk, atau si orang umur tiga
puluh tahun ini sudah keluar pula, maka ia merasa hatinya lega bukan main. Ia sekarang bisa meneliti ruangan dalam dimana ia berada, yalah sebuah ruangan, atau pekarangan dalam, dimana ia dapati dua belas kamar, antara mana,
separuhnya ada cahaya apinya yang menembusi jendela. Ia dapat kenyatan bagaimana bedanya gedung ini dengan
kebanyakan gedung di Utara.
Dengan hati2 ia hampirkan sebuah jendela, yang ada
apinya. Ia mendengar suara orang, ia coba bikin sebuah lobang kecil didaun jendela, untuk mengintai kedalam, sebuah kamar yang besar.
Didalam, selain dua baris, ada lagi dua orang lain.
Seorang tua umur lima puluh lebih sedang berduduk, yang satunya lagi berdiri didepannya, antara sebua meja. Dia ini nampaknya gagah matanya tajam. Dia merangkapkan
kedua tangannya kearah orang tua itu, ia mengucap sepatah dua kata, atas mana, si orang tua mendelikkan matanya, tangannya menggebrak meja, romannya jadi bengis sekali.
"Hauw Kie, manakah liangsim mu?" demikian dia
membentak. "Kau jadi to coe, bukannya kau bersetia, kau justeru
telan uang perkumpulan! Memang aku tahu kau bukannya
satu sahabat, melulu sebab sama2 bernaung dibawah
bendera Hong Bwee Pang, aku tidak pikir untuk membeber keburukanmu ini! Karena inilah kau anggap aku sebagai Hio coe yang dapat dipermainkan. Berulang ulang kau
melakukan korupsi, maka sekarang, kau keluarkanlah itu, supaya urusan jadi beres, supaya aku bisa tutup
kebusukanmu!...." Karena suaranya keras, Hee houw Eng mendengar
nyata. "Nyata mereka sedang bentrok," pikir ia. "Biar
bentrokan jadi hebat, mungkin aku dapat kesempatan turun tangan...."
Orang yang dipanggil Hauw Kie itu tertawa dingin.
"Lo Hio coe, sebagai atasan jangan kau tindih
sebawahan jangan kau cemarkan aku!" Begitu dia berkata.
"Aku hidup dalam dunya kang ouw bukan baru setengah
atau satu tahun, pernah aku lihat uang banyak, nah sekali aku kemaruk karena nya. Aku ada lebih berharga dari uang delapan belas ribu tail! Lo Hio coe, kau pandang aku terlalu rendah!"
Lo Hio coe itu menggebrak pula meja, matanya
mendelik, menandakan ia sangat gusar.
"Hauw Kie, kau ada jadi boen kang to coe dari Hoen
coei kwan, kau mesti taat kepada aturan kita!" ia
membentak. "Jikalau kau keluarkan mulut kotor seperti perempuan dusun, awas, kau nanti rasai tangannya aku si orang she Lo. Kau aku darimu laki2, tapi tak bisa kau sangkal ketekoranmu. Kau bawa enam ribu tujuh ratus tail, terdiri dari seratus tiga puluh enam goan po, tapi sekarang bukan nya kau telah telan dua ratus lima puluh delapan tail!
Apakah ini namanya satu laki2" Kau suka mengabdi untuk banyak tahun, jumlahnya uang ada kecil, boleh kau tak usah ditarik panjang, hanya aku kuatir, apabila aku diam saja, nanti lain orang lain telad perbuatanmu ini, apabila itu sampai terjadi, celakalah aku si orang she Lo yang jiwanya sudah tua. Tapi aku masih hendak berbuat baik kepadamu.
Sekarang kau tutup ketekoranmu semua, lantas aku tutup mulut, aku percaya lain orang tidak nanti berbuat usilan.
Aku janji tidak akann timbulkan pula urusan ini. Umpama kau berlaku licin, Hauw Kie, awas, terpaksa aku jalankan aturan!"
Dari suaranya, Lo Hio coe ini seperti menyayangi Hauw Kie, akan tetapi ia bicara dimuka orang banyak, ia seperti bongkar kejelekan orang, hingga orang bisa dapat anggapan buruk terhadap dirinya. Dari itu, Hauw Kie jadi gusar.
"Lo Hio coe, kau simpanlah kebaikan hatimu!" kata ia
seraya perdengarkan suara dihidung. "Aku Hauw Kie
bukan boca umur tiga tahun yang tak mengerti tipu
muslihatmu ini, membunuh orang tanpa mengucurkan
darah. Aku masuk dalam kalangan kang ouw sejak umur
tujuh belas, aku ada satu laki2 apa yang aku kerjakan, apa yang aku katakan, aku berani pikul tanggang jawabnya.
Sedikitnya aku sudah punyakan pengalaman belasan tahun, hingga aku sudah mengerti segala apa. Aku tahu kau
memang sangat benci aku, kau tak berdaya untuk
melampiaskan itu, sekarang kau mencoba memfitnah aku, supaya kau bisa cabut paku dimatamu! Tentu saja kau
keliru. Kecewa kau menjadi satu Hio coe, satu sahabat kau pandang sebagai satru. Aku telah dengar apa yang umum katakan, aku sampaikan itu kepadamu. Keponakanmu, Lie touw hoe Liok Cit Nio, namanya berbau busuk sekali,
maka kau sebagai paman mesti lekas kendalikan padanya, supaya dia tidak jadi semakin binal, sebab bila dia
diantapkan saja, perbuatannya bisa merusak nama baiknya Hong. Bwee Pang kita. Jikalau itu sampai terjadi, Hio coe, bisakah kau mengangkat kepalanmu" Aku tidak sangka,
maksud baikku kau anggap sebagai hinaan terhadapmu,
kau gunai itu untuk membalas dendam. Apa yang akan
terjadi malam ini, siang2 aku telah duga, tetapi jikalau kau hendak celakai aku si orang she Hauw, aku tak puas, tak nanti aku mau menyerah! Kau tuduh aku menggelapkan
uang perkumpulan, aku tak senang! Nah, sudah, tak perlu kita banyak omong lagi, nanti saja di Pusat Umum kita bikin perhitungan!"
Lo Hio coe itu gusar hingga ia berteriak.
"Ha, kau pandang aku tak berkuasa" Kau berani sangkal kecuranganmu" Semua uang aku telah timbang, kau
menyangkal! Kau benar terlalu berani! Jikalau aku tidak
kasi rasa padamu, percuma perkumpulan ada peraturannya!
Hayo, lekas atur meja sembahyang!"
Hio coe ini hendak berbangkit ketika orang2 dikiri
kanan, semua to coe, mintakan keampunan bagi Hauw Kie, siapa sebaliknya tak takut, malah dengan nyaring dia
berkata "Kau jadi Hio coe, kau tidak adil! Melulu karena membelai sanak, kau tak hargai lain orang. Aku mendapat belas kasihannya Liong Tauw Pang coe, maka orang
sebagai kau, tak sudi aku layani lebih lama! Kau tuduh aku korupsi uang perkumpulan, baik, di Pusat Umum nanti kita bereskan itu! Nah, aku pergi!"
Lantas Hauw Kie putar tubuhnya, untuk berlalu dari
ruangan itu. Lo Hio coe gusar hingga ia berbangkit seraya dengan
kedua tangannya menolak meja hingga meja itu jadi
terbalik, perabot tulisnya dan lain2 pada jatuh berarakan.
"Tangkap padanya!" dia berteriak, dengan titahnya.
"Siapa kasih dia lolos, aku anggap dia sekongkol!"
Dipintu ada empat penjaga, mereka lantas menghalau.
Tetapi mereka sangsi untuk turun tangan.
"Kau berani langgar perintah?" Lo Hio coe tegur mereka itu. "Tangkap padanya!"
Hauw Kie tertawa dingin. "Kau jangan jadi rase yang menggertak bagaikan
harimau!" kata ia. "Aku telah saksikan gunung golok dan rimba pedang, tak nanti aku si orang she Hauw angkat kaki!
Jikalau aku mau pergi, tidak nanti kau mampu mencegah.
Kau ada jadi Hio coe, kau pegang kekuasaan, akan tetapi aku ada punya dosa besar bagaimana maka kau berani
hendak lancang mengatur meja sembahyang untuk
memeriksa aku" Tapi hayolah, kau hendak bunuh aku atau
tidak, terserah, jikalau aku kerutkan saja dahiku, kau boleh anggap aku rubuh ditanganmu!"
Dan ia segera kebelakangkan kedua tangannya.
Empat pengawal itu lantas maju akan telikung to coe she Hauw ini, sedang meja lantas ada lain orang yang angkat bangun, akan diatur pula dengan rapih. Semua to coe
lainnya pada saling mengawasi.
Lo Hio coe duduk pula untuk segera menuding.
"Sekarang aku si orang she Louw hajar lebih dahulu
pada mu!" kata ia, "Baharu nanti aku kirim kau ke Pusat Umum! Disana kalau kau ada punya kepandaian, kau boleh pertunjukkan itu !" Ia bersenyum ewa, lalu ia tambahkan
"Rangket!" Menampak orang ada demikian gusar, beberapa
chungteng itu tidak berani tidak menurut perintah, mereka lantas hampirkan to coe itu.
Hauw Kie sudah mengambil keputusan, karena ia tahu
benar, permusuhannya dengan hio coe she Lo itu telah jadi hebat sekali. Ia sengaja menyerahkan diri, untuk melihat orang berani bertindak bagaimana terhadap dirinya. Iapun mau percaya, lain2 rekan nya nanti datang sama tengah, mengingat persahabatan mereka tadinya. Tapi orang
ternyata tak dapat meredakan hawa amarahnya Hiocoe itu, maka itu, tentu saja ia tidak sudi kasih dirinya dihajar.
Waktu itupun Lo Hiocoe masih belum mengatur hio to,
meja sembahyang, hingga apabila ia bikin perlawanan, ia tidak akan dituduh melawan perkumpulan. Pasti sekali, iapun malu jikalau terjadi sampai ia kena dirangket. Maka itu, sebelum orang hajar dia, dia berseru "Orang she Lo, kau tidak adil! dengan alasan umum palsu, kau hendak
puaskan dirimu pribadi! Tidak, Hauw Jie ya tak sudi layani kau lebih lama!"
Menyusul seruan itu, Hauw Kie geraki kedua tangannya, hingga tambang belengguan putus semuanya, lalu dengan satu enjotan tubuh ia loncat kearah pintu.
"Kau berani kabur?" membentak Lo Hio coe, yang pun
berbangkit seraya tekan tangan kanannya pada meja, hingga tubuhnya turut mencelat melewati meja itu, untuk
mengejar. Dengan satu loncatan lagi, Hauw Kie sudah sampai
diluar, disamping. Ketika ia sampai disitu Lo Hio coe sampai didepan pintu. Untuk ketiga kalinya ia enjot pula tubuhnya, untuk mencelat naik keatas genteng. Di saat kakinya akan menginjak payon, hio coe itu membentak
pula "Kemana kau hendak lari?" Seraya tangan kanannya diayun, suatu barang berkeredepan melesat menyamber!
Hauw Kie ada gagah, gerakan nya gesit, kupingnya
dengar samberan angin dari senjata gelap, tetapi apa mau ketika itu ia sedang berlompat, kakinya belum lagi
mengenai sasarannya, walaupun ia berniat berkelit, ia tidak sanggup lakukan itu. Maka piauw lantas mengenai kaki
kanannya, berbareng merasa sakit dan kaget, tubuhnya
rubuh. Lo Hio coe, yang ada Siang chioe Kim piauw Lo Sin,
tersohor sekali kepandaiannya menggunai piauw dengan
dua2 tangan nya, tidak heran kalau to coe itu tak bisa meluputkan diri. Tapi Hauw Kie benar gagah, walau pun ia sudah jatuh, ia bisa lantas loncat bangun pula, ia mundur tiga tindak, ia niat loncat lagi, hanya sayang, tenaga kaki nya habis, hingga tidak tempo lagi ia rubuh pula.
"Ringkus dia!" demikian titahnya Lo Sin.
Maka sekali lagi, to coe ini kena dibelenggu.
XXVI Darah keluar dari tempat yang terluka, mukanya Hauw
Kie pucat, karena ia merasa sangat sakit berbareng gusar, saking menahan hawa amarah, ia tutup mulut. Ia dibawa kedepan meja, disini orang terus rangket ia empat puluh rotan hingga kempolannya terluka dan darahnya mengalir keluar. Ia tetap bungkam, ia tidak mengeluh sakit, ia tak sudi minta ampun.
Beberapa to coe lainnya maju akan mintakan ampun,
sesudah itu, baharu tertampak Lo Hio coe jadi lebih sabar.
Tapi ia beri titahnya lebih jauh, dengan bentakannya "Bawa dia mundur! Dia mesti dibawa ke Cong to, supaya Liong Tauw Pang coe nanti memberkian keputusannya!"
Hee houw Eng telah umpatkan diri ketika orang saling
kejar, kemudian ia mengintai pula. Ia telah menyaksikan segala apa. Selagi Hauw Kie digiring keluar, iapun
bersembunyi pula sambil terus mengintai, hingga ia tahu to coe itu dibawa kemana. Begitulah, waktu si pengiring balik untuk melaporkan tugasnya, ia cepat pergi ketempat
tahanan, sebuah kamar dibagian Utara. Sekitar itu gelap, tetapi didalam kamar ada apinya yang sinarnya suram. Ia hampirkan jendela, kebetulan sekali daun jendela tidak dikunci. Didalam tidak ada suara lain kecuali suara helaan napas. Kapan ia sudah pecahkan kertas jendela, ia dapati Hauw Kie seorang diri diatas pembaringan, dengan
tertelikung, begitupun kedua kakinya. Penerangan adalah pelita minyak. Orang tawanan itu gelisah, beberapa kali ia bulak balikkan tubuhnya.
"Rupanya orang anggap tempat ini ada sarangnya sendiri dan aman, maka juga disini tidak ada penjagaan, jendela dan pintu pun tidak dikunci," pikir Hee houw Eng. Ia
girang, karena ia ada merdeka. Yang bikin ia magsul adalah kepandaiannya sendiri masih sangat rendah, hingga ia
sangsi buat menolong to coe ini. Tapi ia niat berikan bantuannya. Dari itu ia lantas mencari jalan dahulu, untuk keluar. Kebetulan ada tiga orang yang membawa lentera, ia bisa melihat penerangan disekitamya. Ia terus mengumpat.
Ia melihat dua orang datang dari lain jurusan, berlima mereka berkumpul jadi satu.
"Coei To coe, kejadian malam ini hebat sekali,"
demikian seorang antara yang berdua, berbicara kepada satu dari yang bertiga, suaranya sangat pelahan. "Aku lihat, urusan tak akan habis sampai disini. Hauw Lauw sio telah bersikap terlalu keras, hingga ia dapat malu. Nyata sekali, biang penyakit adalah itu perempuan...."
"Ah, kau banyak omong," kata satu kawan yang lainnya.
"Kalau omonganmu ini dapat didengar dia itu, meski ia tidak bisa ganggu kau, toh ganjalan akan timbul. Baiklah kita lihat saja harimau berkelahi, tapi jangan kita banyak omong...."
"Ah, saudara Lauw, hatimu kecil!" kata orang yang
pertama itu. "Dia telah membelai keponakan perempuannya yang manis itu! Dia tak pandang lagi pada Liong Tauw Pang coe, inilah terlalu. Kalau ia muin gila terhadap aku, tidak nanti aku berlaku tolol seperti Hauw Lauw sie! Dia mesti dirubahkan didepan Pang coe?"
Sampai disitu, mereka itu keluar dari pintu belakang.
Hee houw Eng menduga orang tentu pergi keperahu.
Kemudian muncul dua chungteng, yang membawa
lentera. "Baiknya tugas kita habis sampai disini," kata satu
diantaranya. Mereka ini tutup pintu, lantas mereka menuju kedepan.
Menduga bahwa pasti tidak akan ada orang keluar
masuk lagi, Hee houw Eng keluar dari tempatnya
sembunyi. Ia hendak kembali kekamar tahanan, tapi ia
sengaja melewat disebuah kamar dari mana tertampak sinar api. Ia hampirkan jendela untuk mengintai kedalamnya, tapi belum lagi ia pecahkan kertas jendela, kupingnya sudah mendengar suara orang.
"Anak, lain kali kau mesti perbataskan diri," demikian suara itu. "Benar didalam ada tunjangan ayah angkatmu dan di luar, pamanmu, tetapi kau mesti tahu diri. Lihat tadi bagaimana pamanmu sudah perhinakan Hauw Kie. Hauw
Kie ada satu laki2, mana dia mau diam saja orang
perhinakan padanya" Aku percaya, satu waktu dia akan
membalas dendam. Pamanmu pun berhati keras, ia biasa
terlalu menuruti suara hatinya. Aku kuatir, nanti kaulah yang akan ketimpa mara bahaya. Jangan kau sangka tidak akan ada orang yang merah matanya. Aku bermaksud baik, inilah kau mesti mengerti. Sekarang baharu satu dua orang musuhi kau, bagaimana bila jumlah itu sudah bertambah"
Jikalau kau tetap bandal, lain kali jangan kau sesalkan pe hoe dan pe bomu...."
Mendengar demikian, Hee houw Eng segera mengintai.
Maka dalam kamar itu ia lantas melihat Liok Cit Nio
bersama satu nyonya umur kira2 enam puluh, siapa
rupanya ada isterinya Lo Sin, atau pe bo, bibinya si nyonya cabul ini.
Atas nasihat itu, dari tunduk, Cit Nio angkat kepalanya, mukanya merah.
"Pe bo, kau dengar ini semua dari siapa?" tanya ia,
dengan suara yang menyatakan tidak senang. "Aku telah tersesat, biarlah, tapi permulanya adalah salahnya pe hoe sendiri. Sekarang aku jadi begini, biar tetap aku jadi janda.
Pe hoe sayang aku, sebenarnya dia bikin aku celaka. Kalau
pe bo kuatir terembet2 biar aku pergi" Cuma satu malam ini aku menumpang, besok pagi aku akan angkat kaki!"
"Ah anak, kau terlalu keras hati," kata si nyonya tua, yang agaknya terkejut. "Baharu aku bicara sedikit, kau sudah gusar. Kau tahu, aku adalah bersatu darah daging dengan kau. Berapa besar maluku akan mendengar orang
diluaran berbicara jelek mengenai dirimu" Tapi kau sudah besar, baik selanjutnya aku tidak akan bicarakan lagi tentang kelakuanmu"."
Hee houw Eng mendengar sampai disitu, lantas Ia
menyingkir. Ia percaya, malam itu Liok Cit No tidak akan angkat kaki. Ia terus pergi kekamarnya Hauw Kie. Ia
mengintai dijendela, ia dapati orang tawanan itu separuh rebah, tubuhnya nempel pada tembok. Disitu tidak ada lain orang, keadaanpun sunyi. Setelah melihat tempat kemana ia bisa menyingkir, umpama orang pergoki ia, Hee houw Eng hampirkan pintu, yang ia terus tolak, tubuhnya
nyelusup masuk. Hauw Kie sedang meram melek, ia terperanjat melihat
ada orang masuk, tapi Hee houw Eng segera goyangi
tangan seraya terus berkata dengan pelahan "St, jangan bicara! Aku datang untuk menolong kau. Jangan kau
curiga." Hauw Kie mengawasi, ia tetap bercuriga.
"Tolong kau perkenalkan diri dahulu," ia meminta.
"Maafkan aku, sahabat," jawab Hee houw Eng. "Aku
kebetulan lewat disini, aku anggap Lo Hio coe itu
keterlaluan, selagi Liok Cit Nio ada perempuan busuk, dan sebaliknya kau ada laki2 sejati, dari itu aku ingin menolong kau. Sayang apabila kau terjatuh dalam tangan mereka.
Aku dengar, Liong Tauw Pang coemu ada jujur, cuma
dengan dapat lolos ke Cap jie lian hoan ouw, kau akan
dapat pertolongan. Apa kau ingin meloloskan diri" Aku bisa bantu kau. Umpama kau tak sudi terima bantuan orang
asing, terserah padamu...."
"Kau baik sekali, sahabat," kata Hauw Kie sambil
mengawasi dengar tajam. "Tak bisa aku sia2kan
kebaikanmu. Tapi kau harus insaf, tempat ini tempat apa.
Aku tak ingin kau hadapi bencana karena aku. Biar
bagaimana, si orang she Lo tak nanti lancang

Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membinasakan aku. Lagipun peraturan perkumpulanku ada bengis sekali, aku sangsi untuk berontak terhadapnya.
Sahabat, terima kasih, biarkan saja Siang chioe Kim piauw Lo Sin nanti ketemu bagiannya sendiri!"
Hee houw Eng tambah kagum mendengar perkataannya
orang itu. Benar Hauw Kie ini satu laki2. Ia lantas
melongok keluar, kemudian ia menghampirkan sampai
dekat sekali. "Aku lihat, walaupun kau ada orang Rimba Persilatan,
namun ada harganya untuk kau dijadikan sahabat," kata ia.
"Baiklah aku perkenalkan diriku. Aku adalah Hee houw
Eng dari Hoay Yang Pay, aku sedang ikuti ketuaku untuk memenuhi undangan Hong Bwee Pang untuk datang di
Cap jie Lian hoan ouw. Di Liok kee po digunung Liang
Seng San, aku telah ketahui sifatnya Liok Cit Nio, maka kami hendak singkirkan perempuan busuk itu. Aku pergoki dia disini, aku kuntit padanya, aku tidak sangka dia adalah keponakannya Lo Hio coe. Lebih kebetulan pula, akupun ketemu kau, yang sedang satrukan perempuan busuk itu.
Aku hanya tidak mengerti Lo Sin. Dia ada gagah, dia ada orang kang ouw ulung, diapun ada hio coe dari Hong Bwee Pang, kenapa dia membelai keponakannya itu sampai
untuk itu ia rela memfitnah dan mencelakai kau" Kau gagah sahabat, aku ingin bantukan. Kau ada orang Hong Bwee
Pang, aku dari Hoay Yang Pay, walaupun demikian, tidak
ada halangannya untuk aku bantu kau, agar kita jadi
sahabat. Perkumpulan toh tidak melarang kita bersahabat, bukan?"
Hee houw Eng awasi orang tawanan itu, untuk
menunggu jawaban. Soen kang To coe Hauw Kie awasi orang asing ini.
"Kau baik sekali, sahabat, Hauw Kie tak bisa tak hargai itu," ia bilang. "Baiklah, aku akan terima bantuanmu. Asal aku bisa keluar dari gedung ini, aku __ aku akan tak lagi berada dalam pengaruhnya Lo Sin. Budimu ini tidak nanti aku bisa lupakan.
Hee houw Eng girang, lantas ia bukakan belengguan.
Hauw Kie geraki kedua tangannya, lantas ia berbangkit, akan tetapi ketika ia mau me__ ia tak kuat mengangkat kaki kanannya. Itulah kaki yang terluka kena piauw.
Hee houw Eng juga melihat darah dikaki celana kanan.
Ia ingat pada obat lukanya, yang ia bekal, lantas ia
keluarkan itu. "Coba pakai obat ini, sahabat," kata ia. "Obat ini tidak manjur tetapi asal lukamu tidak terkena angin, bahaya sudah tidak ada lagi."
Houw Kie terharu. Ia percaya melihat romannya, Hee
houw Eng bukan orang kang ouw ternama, hatinya ada
mulia sekali. Dari sinipun ia bisa lihat, rombongan Hoay Yang Pay
terdiri dari orang macam apa. Musuh sampai mau tolong ia, itulah luar biasa.
"Aku percaya obatmu akan menolong aku, lauw hia,"
kata ia. "Tolong kau lekasan obati aku, aku kuatir nanti keburu ada orang datang kemari."
Hee houw Eng pun mengerti, maka ia lantas bekerja. Ia keluarkan obatnya, ia robek celana orang dibagian yang luka, setelah sekai darahnya, ia lantas mengobati. Itulah satu luka yang berat. Habis itu, ia bungkus luka itu.
"Sekarang mari kita pergi!" kata ia akhirnya.
Hauw Kie mengawasi, agaknya ia sangsi.
"Jangan kecil hati, lauwhia, tapi aku ingin omong terus terang," ia kata. "Aku bukannya hendak pandang tak mata padamu, kau bisa masuk kemari, kau pasti bisa keluar, tetapi tidak demikian dengan aku, yang sebelah kakiku seperti mati, hingga tak dapat aku menggunai ilmuku
mengentengi tubuh. Pintu belakang dikunci, itu tidak
menjadi soal. Dibelakang sana, selain perahuku, ada perahu lainnya. Maka itu, perlu kita panjat tembok. Gagal jikalau kita sampai kepergok atau sebelum kita pergi cukup jauh, musuh bisa mendului kita. Apakah lauwhia ada bawa
tambang hoei jiauw, untuk kita menggaet tembok?"
Mukanya Hee houw Eng menjadi merah dengan tiba2,
sekarang ia insaf sukarnya orang bekerja apabila
kepandaian tak cukup. Ia jengah sendirinya.
"Aku ada punya tambang hoei jiauw, saudara," ia jawab dengan pelahan. "Kepandaianku memang sangat berbatas, kita mesti pakai tambang. Baiklah, mari kita coba. Jangan lauwhia kuatir aku nanti bekerja setengah jalan."
"Bagus, asal ada tambang hoei jiauw, kita akan bisa
keluar," Hauw Kie bilang. Ia terus padamkan api pelita.
Hee houw Eng ulur tangannya, untuk menuntun.
"Tak usah, aku masih bisa berjalan," kata to coe Hong Bwee Pang itu.
"Jangan sungkan, lauwhia. Kau terluka, jangan
paksakan diri." Hauw Kie ulur tangan kanan nya, akan menekan pundak
kiri Hee houw Eng, dengan begitu ia ikut pemuda itu
bertindak keluar dari kamar tahanan itu. Hee houw Eng insaf keadaan luka orang, karena Hauw Kie tekan ia keras sekali, sampai ia tak leluasa dengan tindakannya.
Hee houw Eng niat mengambil jalan yang ia sudah
periksa, tapi Hauw Kie tarik ia, ajak ia pergi ke Barat, kebelakang, didekat pintu, disana ada sebuah jalanan kecil.
"Awas ronda," Hauw Kie peringatkan dikuping orang.
Hee houw Eng berlaku waspada. Ia jalan dengan hati.
"Disini saja kita mencoba," Hauw Kie berbisik pula,
sesudah mereka sampai ditembok buntu, yang tidak
seberapa tinggi. Hee houw Eng lihat tembok itu, ia maju dengan cepat
tiga tindak, ia enjot tubuhnya akan loncat naik. Ia tidak bisa loncat tinggi, tapi tangannya dapat jambret tembok, hingga tubuh nya membentur dengan keras. Walaupun begitu, ia bisa terus merayap naik.
"Kau sembrono," pikir Hauw Kie, yang kaget, kuatir ada orang ronda mendengar suara berisik itu. Tapi ia puji keberanyan kawan yang baharu ini.
Dengan berduduk diatas tembok, Hee houw Eng
melepas turun tambang bandringan.
Hauw Kie menghampirkan, akan memegang keras
tambang itu. Ia malu sendirinya, karena sekarang terpaksa ia mesti menggunai tambang untuk panjat tembok tinggi sebegitu. Ia mencoba akan menarik2.
"Jikalau kau sangsi, aku nanti bantu," kata Hee houw
Eng, yang keliru menyangka.
"Tak usah, pegang saja biar keras, aku masih kuat,"
Hauw Kie bilang. Mulai dengan tangan kiri, to coe ini menarik tambang, sedangkan tangan kanannya ia terus menyekal tambang.
Benar2 sulit untuk ia menggunai kaki kanan kepada
tembok, tetapi ia paksa terus.
Baharu tiga kali enjot, belum ia sampai keatas tembok, atau Hauw Kie segera mendengar suara kentongan, empat kali, menyusul mana, disebelah Timur berkelebat cahaya api. Ia kaget sekali, begitupun kawannya.
Mereka ini tidak menyangka peronda muncul demikian
lekasnya. Segera Hauw Kie menggunai antero tenaganya untuk
merayap naik, hingga ia lantas berada di atas tembok. Ia sudah pikir akan mendekam, supaya peronda tak melihat ia, atau kalau ia kepergok, ia hendak berlaku nekat menyerang peronda itu. Tapi, selagi jalan mendekati, tiba2 peronda menjerit, tubuhnya lantas terguling. Entah kenapa dia keserimpat.
"Eh, kenapa, tak keruan2 kau yatuh?" menegor
kawannya, yang lantas membungkuk akan mengangkat
bangun kawan itu. "Betul sial!" kata si peronda yang jatuh itu. "Setahu kenapa aku merasa kakiku ada yang sengkilit dan tubuhku ada yang joroki, hingga aku jatuh sendiri" Ada setan
barangkali?" "Barangkali benar," kawannya bilang. "Aku pun rasakan kulit kepalaku panas". Mari lekas!"
Melihat orang hendak kembali, hatinya Hee houw Eng
jadi sangat lega. Akan tetapi peronda yang pertama
mendadakan berkata pula "Tidak, kita tak dapat kembali!
Kita mesti menjalankan tugas, atau kita nanti mendapat susah. Lihat, Hio coe sedang gusar, kita tidak boleh
menerbitkan kegusarannya"."
Sang kawan kena terpengaruh kata2 itu. Maka lantas saja mereka membunyikan pula kentongan mereka, empat kali.
Menampak demikian, Hee houw Eng hunus goloknya,
siap sedia akan menyerang kedua peronda itu, apabila ia sampai kepergok. Ia pasang mata tajam terhadap mereka itu.
Dua peronda itu bertindak menuju ke Barat.
Baharu orang jalan beberapa tindak, atau dengan se
konyong2 Hee houw Eng tampak satu bayangan berkelebat dibelakangnya peronda yang kedua, yang jalan belakangan, atas mana peronda itu rubuh tengkurap, sedang bayangan itu melesat terus keatas tembok. Bayangan itu ada kecil dan kate, gerakan nya sangat gesit. Kelihatannya bayangan itu hendak rintangi tukang ronda maju kedepan.
Tukang ronda yang rubuh itu menjadi kaget, tidak
terkecuali kawannya, yang kena ia tubruk, hingga dia turut jatuh juga. Nyata mereka ada bandel, walaupun demikian, tanpa kata apa, mereka masih jalan terus. Rupanya mereka jeri betul pada Lo Sin hingga mereka tak berani abaikan tugas.
Tiba2 terdengar satu suara keras dari sebuah batu besar, yang terjatuh disebelah belakangnya kedua tukang ronda.
Mereka ini terkejut, lantas mereka berpaling. Terang
mereka curiga, mereka lantas jalan balik.
Tiba2 ronda yang jalan duluan rubuh sendirinya, ia jatuh tengkurap, hingga ia kena tubruk batu, atas mana, dia menjerit "Aduh!" kemudian ia tambahkan "Inilah hebat!
Kalau kena ketimpa batu ini, orang bisa menghadap Raja Akherat"."
Kawannya turut kaget dan heran juga.
"Mari!" kata ronda yang jatuh itu yang lantas berjalan dengan cepat, sekarang ia menuju ke Timur, kawannya
ikuti ia. Selama itu, Hee houw Eng lihat pula berkelebatnya
bayangan tadi bayangan yang kecil dan kate. Maka ia lantas duga, nyata sekali orang sedang bantu ia, dengan
merintangi kedua peronda itu. Ia heran, sebab ia tak kenal bayangan itu. Tetapi ia insaf ancaman bahaya, maka tanpa pikir panjang lagi ia bantu Hauw Kie akn merosot turun keluar pekarangan, kemudian ia menyusul.
Dua orang ini melihat kedepan. Malam ada gelap.
Beberapa chungteng didepan tidak lihat mereka. Kemudian Hauw Kie menunjuk kearah Barat selatan begitu lekas
penolongnya sudah simpan tambangnya. Hee houw Eng
memandang kearah yang di tunjuk, ialah tempat lebat
dengan pepohonan. Hauw Kie bertindak dengan susah ketempat pepohonan
itu. Disitu ia berdiam sebentar, napasnya memburu, ia lelah agaknya.
"Kita masih belum selamat disini," kata ia pada Hee
houw Eng. "Asal Lo Sin ketahui buronku, kita tak bisa terlolos dari tangannya. Syukur kita tidak meninggalkan bekas apa2. Kau sudi bantu aku, lauwhia, aku berterima kasih kepadamu. Tetapi kita cuma ada empat buah tangan, keadaan masih sulit bagi kita. Untuk lolos dari bahaya mari kau turut aku. Percayakah kau kepadaku?"
Hee houw Eng memang sedang bikin penyelidikan, cara
bagaimana bisa ia tak taruh kepercayaan" Maka ia lantas menjawab "Lauwhia, maskipun aku ada seorang tak berarti dari Hoay Yang Pay, aku toh taat pada kaumku itu, maka itu tak bisa aku berhenti setengah jalan dalam usahaku menolong kau ini. Kau percaya aku, aku percaya padamu."
Hauw Kie manggut2. "Bagus!" kata ia. "Kita akan menuju ke Timur selatan, disana ada satu kampung bernama Siang kauw chee,
dimuaranya itu ada perahu dengan apa kita bisa menyingkir lebih jauh. Andaikata disitu tidak ada, kita akan menuju ke Timur, akan jalan mengidar, nanti kita sampai di Ceng liong kio. Disana pasti ada perahu. Sesampainya disana, umpama kita dapat dikejar, kita bisa bikin perlawanan dimuka air."
Men duga2 arah, Hee houw Eng percaya dia bakal
pergikan suatu tempat yang pisahkan ia makin jauh dengan Cap jie Lian hoan ouw, juga dengan Ngo liong peng,
karena itu, ia agak bersangsi.
"Apakah lauwhia ada punya jalan lain?" tanya Hauw
Kie, yang melihat orang ragu2.
Hee houw Eng tahu, to coe ini ada sangat cerdik, dari itu, ia mesti jaga agar orang tak merasa dipengaruhi ia, apabila orang ini curigai ia, urusan bisa gagal. Karena ini, ia segera ambil ketetapan.
"Aku girang asal kau dipapak kawanmu, lauwhia," ia
lekas kata. "Nah, mari kita berangkat ke Siang kauw chee."
Hauw Kie tidak menyahuti, tetapi ia jalan, maka Hee
houw Eng lantas mengikuti.
Tee liet ouw sudah mengambil keputusan, sama sekali ia tak pikirkan bahaya lagi, ia percaya benar to coe Hong Bwee Pang ini.
XLVII Malam ada sunyi, cuma suara angin yang dapat
terdengar. Sembari jalan sering2 Hee houw Eng berdua
menoleh kebelakang. Mereka tidak melihat ada orang yang mengejar mereka, hatinya lega juga. Disitu pun mereka tidak dapati kampung. Kalau ada gubuk, mereka sengaja jauhkan diri mereka. Adalah disitu, Hee houw Eng berani mulai bicara, akan tanya sahabat itu perihal Hiong Bwee Pang.
Hauw Kie ada cerdik sekali, ia suka bicara, tetapi yang mengenai Hong Bwee Pang ia kesampingkan, karena ini,
sendirinya Hee houw Eng menjadi tidak puas. Ia sudah
berlaku terus terang tetapi sahabat ini masih simpan
rahasia. Lantaran ini, ia tidak menanyakan lebih jauh.
Hauw Kie kosen, dengan didapatnya obat dari
penolongnya, ia tidak merasakan terlalu sakit lagi, tetapi ia mesti berjalan cepat dan jauh, ia sudah lantas mandi
keringat, maka selang tidak lama, dia membutuhkan
bantuan nya tuan penolongnya itu, yang mesti pegangi
ia. Secara susah demikian, mereka akhirnya sampai juga di Siang kauw chee. Disitu ada sungai, tetapi perahu tak ada sebuah juga.
"Ah." mengeluh Hauw Kie, yang lantas duduk untuk
beristirahat. Ia memandang langit, ia percaya, itu waktu sudah hampir jam lima.
Hee houw Eng mulai berduka pula, ia kuatir musuh
nanti menyusul dan dapat menyandak mereka. Kalau itu
sampai terjadi, sia2lah pertolongannya. Tetapi ia menghibur kawan itu.
"Jangan ibuk, sahabat," ia bilang. "Kita benar jalan
pelahan, umpama kata orang kejar kita, tentulah kita sudah kecandak. Disini tidak ada orangmu, mari kita pergi Ke Ceng liong kio. Justeru hari belum terang, kita masih ada punya tempo."
Hauw Kie memanggut, ia terus berbangkit. Sedikitnya ia sudah menghilangkan lelah. Apa mau, justeru ia
beristirahat, tenaga nya jadi berkurang, maka untuk berjalan ia paksa, kuatkan hati dan tenaga. Yang hebat, jalanan disitu pun bertambah sukar.
Hee houw Eng mesti bermandi keringat, akan bantu
sahabat ini. Mereka mesti melalui tiga lie tetapi rasanya seperti melintasi lima enam lie saja. Syukur mereka lantas melihat sebuah jembatan panjang yang melintang atas satu sungai yang lebarnya belasan tumbak. Sebenarnya itu ada muara, karena sungainya melintang lagi sedikit jauh.
Itulah jembatan Ceng liong kio.
Hee houw Eng terus pegangi Hauw Kie untuk
menyeberangi jembatan itu. Tanpa jembatan, mereka mesti jalan mutar lagi tiga lie, karena muara ada panjang. Mereka berjalan disepanjang gili2, sesudah jauhnya sepanahan, baharu mereka melihat sebuah perahu sedang berlabuh di tepian. Dikepala perahu sebelah kiri ada menyala sebuah tengloleng merah. Tidak kelihatan orang diperahu itu.
Dari sakunya Hauw Kie jemput keluar serupa barang,
segera terdengar satu suara nyaring, menyusul mana, dari dalam kendaraan air itu muncul dua orang.
"Saudara siapa disana?" salah satunya tanya. "Kembali kepusat?"
"Yang urus bendera bintang matahari kuda!" sahut
Hauw Kie. "Datang untuk periksa perahu dan air!"
Dua orang itu perdengarkan suara mereka, lantas yang
satu melongok kedalam perahu.
"Nyalakan api! Sambut to coe!" ia kata.
Segera muncul empat orang lain, dua antaranya
memegang lentera, lantas mereka ini mendarat akan dengan cara hormat menyambut to coe she Hauw itu. Mereka
heran mendapati to coe itu berada bersama seorang asing dan mukanya si to coe pucat pias. Tetapi mereka tidak berani menanya apa2.
Sebentar kemudian, Hauw Kie sudah duduk atas
pembaringan dalam perahu itu, yang Hee houw Eng
melihat ada bersih dan terawat rapi. Ia duduk didepan to coe itu.
Lalu anak buah2 perahu itu datang kedepan Hauw Kie
untuk memberi hormat, tetapi dia ini ulapkan tangannya seraya segera tanya "Mana Thio Kim Siang?"
"Dia sedang kuntit sebuah perahu cepat, yang tadi kira2
jam tiga lewat disini, rupanya itu ada perahu cucu kuku garuda...." sahut salah satu orang. Dengan "yucu kuku garuda" diartikan kaki tangan hamba negeri.
Hauw Kie tidak menanya lebih jauh tetapi ia kata "Aku mesti pulang ke Cong to untuk satu urusan penting, lekas angkat jangkar, jangan ayal!"
Orang2 itu bersangsi, karena pemimpin perahu mereka
belum balik. Hauw Kie lihat kesangsian itu, ia kerutkan dahi, lalu ia kata "Apakah kau tidak mampu mengemudikan sendiri"
Apakah aku mesti menantikan?"
Mendengar begitu, anak2 perahu itu lantas bekerja,
mengangkat jangkar. Hauw Kie ada sangat letih, tetapi ia paksa kuatkan hati.
Iapun telah disuguhkan air teh.
"Lauwhia, aku sangat berterima kasih padamu,"
kemudian to coe ini kata pada penolongnya, "Tidak saja kau sudah tolong loloskan aku tetapi kaupun pepayang aku sampai disini. Kau telah terjang ancaman bahaya dan pun bercape lelah. Tidak berani aku janji akan balas budimu, tetapi untuk antap kau pergi seorang diri, aku merasa malu, maka itu aku ingin undang kau datang kepusatku, buat
berdiam disana sedikitnya beberapa hari. Satu hal aku mohon, yaitu jangan kau sebut2 tentang Hoay Yang Pay, atau aku nanti terpaksa jadi tak berbudi, nanti aku balas kebaikan dengan kejahatan. Lagi pula perjalanan ini masih belum ada kepastiannya. Mungkin Lo Sin belum puas
hingga aku membutuhkan bantuanmu lebih jauh untuk kita sama2 melakukan perlawanan. Maka dalam segala hal,
harap lauwhia suka maklum kepadaku."
"Jangan kau menyebut demikian, saudara," Hee houw
Eng jawab dengan cepat. "Walaupun kita ada dari lain
golongan, akan tetapi begitu melihat kau, aku ketarik padamu, karena kau ada satu laki2, malah aku girang yang kau sudi bersahabat dengan aku, seorang
yang tidak berarti. Aku suka sekali membantu kau, saudara, tentang itu kau jangan buat pikiran. Disebelah itu, aku ingin sekali tengok pusat saudara. Mengenai ini, aku tidak berani
memajukan permohonan kepadamu, aku kuatir kau nanti
bercuriga, aku tak ingin dikatakan hendak memaksanya.
Sekarang saudara ajak aku, aku gembira sekali, aku
beruntung bisa melihat pusatmu yang kesohor. Apa benar2
kau niat ajak aku kesana?"
Hauw Kie bersenyum. "Sebenarnya," kata ia "jangan kata orang luar, sekalipun orang dalam, siapa tanpa tugas, dia tidak diperbolehkan melangkah masuk satu tindakpun juga, tetapi kau ada lain.
Kalau nanti kita sudah sampai dipusat, harap lauwhia
jangan sembarang keluar dari perahu, nanti orang pergoki kau, karena kau cuma bisa masuk sampai dimulut Cap jie Lian hoan ouw, lebih dalam lagi, tidak. Setelah aku
menghadap pada Pang coe dan selesai bereskan urusanku dengan Lo Sin, aku segera keluar pula untuk ajak kau
berlalu. Aku minta lauwhia berlaku hati2, sebab bila kau kepergok, bukan melainkan kau, juga aku sendiri bisa turut celaka!"
"Terima kasih, saudara," kata Hee houw Eng dengan
cepat. Ia ada sangat girang tetapi ia tidak utarakan itu pada tampang mukanya. "Kau baik sekali. Aku nanti ingat baik2
pesanmu ini, aku tak akan bikin gagal. Kau terluka dan habis jalan jauh, sekarang silahkan kau beristirahat."
"Aku masih cukup kuat," Hauw Kie sahuti penolongnya
itu. Kemudian ia melongok keluar kendaraan air, yang
ketika itu sudah digayu dengan cepat. Ia berbangkit, dengan pelahan2 ia pergi keluar.
Hee houw Eng merasakan perahu miring kekanan,
kemudian ia dengar suara orang bicara dengan pelahan2, separuh berbisik. Ia kenali seperti suaranya Hauw Kie tetapi ia tidak dengar tegas, iapun tidak memperdulikannya.
Tak lama, soenkang to coe itu sudah kembali. Oleh
karena ingin melihat ke luar, Hee houw Eng berbangkit, akan tetapi, baharu ia bertindak, sambil bersenyum Hauw Kie kata padanya "Jangan keluar, saudara. Angin dan
ombak besar, cuaca pun gelap sekali, tak ada apa2 yang bisa dilihat. Silahkan duduk. Aku telah pesan arak untuk kau minum satu dua cawan."
"Jangan bikin berabe, saudara," kata Hee houw Eng,
yang batal pergi keluar, "tak usah kau perhatikan aku. Kau terluka dan lelah, perlu kau mengaso."
Hauw Kie benar pesan makanan, terdiri dari empat rupa sayur yang sudah dingin. Ia undang habat itu dahar dan minum. Ia sendiri dahar sedikit, ia tidak minum, karena ia sedang terluka.
Hee houw Eng tidak menampik, tapi ia merendahkan
diri. Ia baharu keringkan dua cawan ketika ia rasakan perahu bergerak sedikit, ia tidak memperhatikan. Tidak demikian dengan Hauw Kie, yang sedang nyender, lantas saja dia geraki tubuhnya untuk melongok keluar dari pintu.
Didepan, dua orang asyik menggayu, dibelakang,
pengemudi taat dengan kewajibannya, mereka tetap
mengawasi kedepan, nampaknya tak ada kejadian apa juga.
Tetapi Hauw Kie bercuriga, ia keluar untuk memeriksa
lebih jauh, cuma ia tidak hunjuk sikap tegang. Tidak lama ia kembali kedalam. Kali ini, baharu ia berduduk, atau diluar segera terdengar jeritan "Tolong!...." Suara ada tajam dan cuma satu kali.
Hee houw Eng menyangka pada pembajakan, tidak
demikian dengan Hauw Kie, yang kenal baik daerah itu, maka tanpa perdulikan luka dikakinya, ia loncat kepintu perahu seraya berseru "Ada apa" Siapa yang menjerit minta tolong?"
"Ada orang kecemplung!" ada jawaban satu anak buah.
Justeru itu, satu tubuh orang kelihatan muncul dimuka air.
"Tolong...." terdengar suara nya orang itu, suara yang tertahan, lantas tubuhnya terdampar air hingga mendekati perahu.
Tukang2 perahu sudah angkati penggayu mereka untuk
menolongnya, atau mereka tiba2 bersangsi.
"Lauwhia, tolongi dia!" berkata Hee houw Eng, yang
turut keluar dan lihat tubuh orang ampukan diatas air.
"Tolongi dia," Hauw Kie mengasi perintah. Tetapi,
didalam hatinya, ia heran. Dari mana datangnya orang
kecemplung disungai ditempat demikian sunyi dan diwaktu malam"
Seperti orang yang memangnya mau mendapat
pertolongan, tubuh orang itu menempel kepinggiran perahu tidak lagi terdampar arus, maka itu, setelah tubuhnya itu digaet dengan galah, dengan gampang ia dapat diangkat ke atas perahu. Ia nampaknya pingsan.
Diantara cahaya api, kelihatan orang itu berumur lima puluh lebih, orang lelaki dengan tubuh kurus kecil dan kate, kumisnya sedikit.
"Dia belum tenggak banyak air," kata satu anak buah,
yang rabah perutnya orang itu. "Jantungnyapun masih


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memukul." Lantas tukang perahu itu berikan pertolongan, hingga
sebentar saja orang tua itu muntahkan air seperti disemprot, sampai air mengenai Hauw Kie, yang kebetulan
menghadapi dia. Sebenarnya to coe ini berkelit, tidak urung ia kena juga.
"Sial...." kata ia, yang terus sekai mukanya. Ia tidak gusar.
Sehabis muntahkan air, orang tua itu menjerit "Aduh!"
lantas ia sadar. Perahu berhenti karena mesti tolongi orang tua ini, layar telah dikasi turun.
Hee houw Eng girang melihat orang tua itu ketolongan.
Ia lihat pakaian orang basah kuyup, ia lantas berkata pada tukang perahu "Siapa diantaramu yang ada punya pakaian lebih, tolong kasi dia pinjam, supaya dia bisa salin."
Pendekar Lembah Naga 1 Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong Hati Budha Tangan Berbisa 16

Cari Blog Ini