Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 5
Lembang Laut tersenyum. Lembang Laut merasa gagasan itu sangat masuk akal dan bisa dikerjakan. Namun, Lembang Laut juga melihat, mencoba menerobos masuk ke istana melalui lorong bawah tanah itu sangat berbahaya. Seandainya mereka terjebak di dalam lorong maka habislah mereka. Ada kemungkinan Ra Kuti menjaga lorong itu dengan ketat karena kecurigaan lorong bawah tanah itu akan dimanfaatkan Bhayangkara.
"Bagaimana?" tanya Gagak Bongol.
"Menyelinap lewat lorong bawah tanah itu sungguh berbahaya.
Jika kita terjebak di dalam lorong maka habislah kita. Akan tetapi, kurasa cara itu sangat menarik untuk dicoba."
Gagak Bongol dan Lembang Laut berlari lincah. Tubuh mereka murca entah ke mana.
Pasukan Bhayangkara adalah pasukan yang memiliki kemampuan luar biasa. Dalam pembentukannya, tidak sembarang orang bisa menjadi bagian pasukan ini. Diperlukan persyaratan-persyaratan khusus serta gemblengan yang keras sehingga secara pribadi prajurit Bhayangkara memiliki kemampuan melebihi kemampuan prajurit pada umumnya.
Di bayangan gelapnya malam tidak ada jejak yang mereka tinggalkan.
Sebaliknya, mereka memiliki ketajaman mata dan pendengaran tak kalah dari burung hantu. Maka yang kemudian terjadi adalah sebuah peristiwa yang mengagetkan.
Sekelompok prajurit kaki tangan Ra Kuti telah berbuat keji. Di sebuah rumah mereka tidak hanya menjarah. Seorang saudagar yang memiliki anak gadis menjadi bulan-bulanan perbuatan mereka.
Gadis malang itu diperkosa bergilir.
238 Gajahmada "Hanya binatang yang sanggup melakukan perbuatan itu,"
Bhayangkara Macan Liwung berbicara dalam hati.
Matanya yang tajam terus mengawasi sepak terjang prajurit pemberontak yang menjadi liar itu. Bhayangkara Macan Liwung tidak mampu menguasai diri lagi. Busur segera direntangnya. Warastra dengan ujung beracun dipasangnya dan kemudian direntang. Macan Liwung tak membutuhkan waktu terlampau lama untuk membidik. Demikian anak panah dilepas, prajurit petualang itu terjengkang sambil mendekap dadanya. Ambruk tanpa sempat berteriak.
Macan Liwung kembali merentang busur dan melepas anak panah.
Prajurit berikutnya yang menunggu giliran memerkosa gadis itu ambruk dengan mata melotot dan tidak sempat berteriak. Kemampuan bidik yang dimiliki Macan Liwung memang luar biasa. Anak panah itu melesak membenam di tenggorokannya. Prajurit terakhir yang dengan peluh berhamburan serta semangat menggebu menjarah kehormatan anak gadis saudagar kaya itu mati dengan kepala terpisah dari tubuh. Pedang panjang Macan Liwung membabat lehernya. Seorang lagi prajurit petualang muncul dari pintu. Macan Liwung melepas pisaunya. Sekali ayun pisau itu terbang dan melesat cepat ke arah sasarannya, menembus mata kanan.
Gadis malang anak saudagar kaya itu ketakutan. Macan Liwung merasa amat tersentuh permukaan hatinya. Macan Liwung segera mengambil pakaian dan dilemparkannya pada gadis itu.
Di rumah yang lain terjadi peristiwa mirip. Bhayangkara Singa Parepen benar-benar marah melihat sebuah rumah juga dijarah. Apalagi, Singa Parepen mengenal pemilik rumah itu dengan baik. Singa Parepen bahkan telah menganggapnya seperti orang tua sendiri. Tanpa ampun Singa Parepen mendendangkan tembang kematian. Lima orang prajurit yang mencoba merampok rumah itu dibabat habis. Setiap anak panah yang dilepasnya selalu berarti selembar nyawa. Dengan trengginas cekatan Singa Parepen menerobos masuk. Pada saat yang amat gawat Singa Parepen berhasil melepas pisau terbang. Seorang prajurit berjiwa rendah yang nyaris merenggut kehormatan salah seorang anak gadis pemilik rumah itu terjengkang saat pisau itu menembus punggungnya.
Gajahmada 239 Dengan bergegas Singa Parepen menolong pemilik rumah itu.
"Maafkan aku nyaris terlambat, Kiai!" kata Singa Parepen.
Pemilik rumah itu pucat pasi. Bencana yang mengerikan nyaris menimpa mereka. Untunglah pada saat yang gawat itu datang pertolongan menyelamatkan mereka.
Kemunculan orang-orang tidak dikenal, tetapi diyakini mereka adalah pasukan Bhayangkara membuat geger. Para prajurit pemberontak yang melakukan penggeledahan tidak berani berbuat semena-mena lagi.
Kemunculan Bhayangkara yang langsung menebar tembang maut memaksa para pemberontak berpikir dua kali untuk berbuat semena-mena.
Yang lebih menggegerkan lagi adalah saat terlihat api membubung dari arah tenggara, pasukan Jalayuda segera mendengar berita, bangsal kesatrian mereka dilalap api. Bangsal pasukan Jalayuda adalah bangunan yang amat besar. Di sanalah pangkalan prajurit Jalayuda yang selalu siap digerakkan ke medan peperangan mana pun. Kini, pasukan khusus Bhayangkara yang tersinggung dan sangat marah telah membakar bangsal itu.
Seorang prajurit menyampaikan berita itu kepada Rakrian Tanca yang langsung meneruskan berita itu kepada Ra Kuti. Ra Kuti tegang.
"Jadi, mereka sekarang muncul?" tanya Ra Kuti.
Ra Tanca memandang Ra Kuti dengan wajah sangat kelam. Ra Tanca yang rupanya masih memiliki hati nurani menyalahkan Ra Kuti yang dianggapnya harus bertanggung jawab terhadap ulah para prajurit yang berperilaku tidak ubahnya pagar memakan tanaman dan perampok.
"Mereka marah," berkata Rakrian Tanca, "pasukan Bhayangkara marah kepada pendukungmu yang menerjemahkan perintahmu dengan keliru."
Ra Kuti mencuatkan alis, "Apa maksudmu?"
"Penggeledahan yang kauperintahkan itu," lanjut Ra Tanca, "telah 240
Gajahmada berubah menjadi perampokan dan penjarahan, bahkan pemerkosaan.
Jika kaukeluar melihat apa yang terjadi, kauboleh membayangkan dari sekarang bahwa kau tidak berpijak pada akar yang kuat. Kawula tidak akan melihatmu sebagai pembebas, seorang raja yang mengayomi rakyat, tetapi melihatmu sebagai biang dari kekacauan, pimpinan perampok, penjarah serta pemerkosaan."
Merah padam wajah Ra Kuti, tetapi Ra Kuti tidak bisa menjawab.
"Bhayangkara marah," lanjut Ra Tanca. "Mereka sekarang bergerak untuk menyambut ulah para prajurit pendukungmu. Bangsal kesatrian Jalayuda dibakar."
Suasana tiba-tiba menjadi hening. Ra Kuti turun dari pembaringan dan berjalan mondar-mandir. Matanya agak lamur karena kepalanya pusing dan ngilu. Ra Kuti menebar pandangan menelusuri dinding ruangan. Kini Ra Kuti merasa bahwa ternyata untuk meraih cita-citanya tidak semudah membalik tangan. Meski Jayanegara tumbang belum dengan serta-merta dirinya menjadi raja. Masih ada duri dalam daging, masih ada bisul yang mengganjal pantat. Apalagi, kini pada malam pertama setelah ia berhasil mengusir Jayanegara dari istana, di luar sana Bhayangkara berkeliaran membuat kekacauan. Bahkan, Ra Kuti akhirnya merasa, di luar sana Bhayangkaralah yang berkuasa. Di dalam istana dirinyalah yang terjebak, tak bisa berbuat apa pun dengan leluasa.
"Untuk menjadi raja harus mendapat dukungan dan pengesahan, tidak sekadar menggulingkan Jayanegara. Apa artinya kau menjadi raja apabila rakyat memusuhimu. Mereka memusuhimu karena perasaannya kaulukai. Bagi mereka, pemerkosaan, perampokan, dan penjarahan yang terjadi adalah karena perintahmu. Segala macam bencana yang sedang mereka alami, bagi mereka, kau penyebabnya."
Ra Tanca berhenti sejenak untuk memerhatikan wajah Ra Kuti yang makin beku. Ra Tanca tersenyum agak sinis.
"Itu yang aku maksud, kau tak mengakar kuat," lanjut Tanca.
"Sebagai pohon kau hanya batang yang gampang tertiup angin.
Percayalah, jika kau tidak segera berbuat sesuatu maka akan tiba saatnya Gajahmada 241
gelombang datang menerjang. Bhayangkara akan mengadakan pembalasan, Bhayangkara tak akan tinggal diam."
Wejangan itu membuat Ra Kuti menggigil. Ra Kuti benar-benar marah karena merasa muak. Akan tetapi, Ra Kuti memang tidak bisa membantah kebenaran ucapan Ra Tanca. Meskipun tidak senang, Ra Kuti memang harus melihat kenyataan Sri Jayanegara lolos dari cengkeramannya. Karena Jayanegara masih hidup, rakyat masih berharap Jayanegara akan kembali menduduki kekuasaannya yang diwarisi dengan sah dari ayahnya, Sri Kertarajasa Jayawardhana. Ra Kuti juga tidak mungkin mengabaikan perasaan rakyat yang terluka. Segenap prajurit yang mestinya melindungi malah merampok dan memerkosa. Hal itu akan menjadi bumerang yang menyulitkannya di kemudian hari.
Rakrian Kuti merasa membutuhkan pengesahan. Kedudukannya sebagai raja baru Majapahit menggusur Jayanegara harus diakui dan disahkan.
Sesaat Ra Kuti seperti larut ke dalam lamunan yang entah datangnya dari mana. Tiba-tiba saja wajah dua gadis yang cantik jelita muncul dan membayang di kelopak matanya. Kedua gadis itu adalah anak Raden Wijaya atau Kertarajasa Jayawardhana yang terlahir dari Ratu putri Rajapadni Gayatri, mereka adalah Tribuanatunggadewi dan Dyah Wiyat Rajadewi. Terpikir oleh Ra Kuti untuk mengikuti jejak yang pernah dilakukan Raden Wijaya dengan mengawini semua anak Kertanegara sebagai jalan pengesahan atas kekuasannya, padahal masing-masing dari dua gadis itu telah memiliki calon suami, yaitu Cakradara dan Kudamerta, bersama Lembu Anabrang yang saat ini sedang berada di Bali mewakili raja menjalankan sebuah tugas negara.
"Jika aku mengawini Tribuanatunggadewi dan Dyah Wiyat,"
berkata Ra Kuti di dalam hati, "maka dengan sendirinya kekuasaan atas negara Majapahit akan jatuh ke tanganku. Lebih dari itu kedua gadis itu memang membuatku tergila-gila."
Ra Kuti membiarkan lamunannya larut.
"Bawa Tadah kemari!" tiba-tiba Ra Kuti berteriak.
242 Gajahmada Rakrian Tanca mengerutkan keningnya. Perintah itu tak ditujukan kepadanya. Dalam bilik itu hanya ada dirinya dan Ra Kuti.
"Apa maksudmu Ra Kuti?" Tanca bertanya.
Tetapi sekali lagi Ra Kuti berteriak, "Prajurit, bawa Mapatih Tadah kemari."
Dua orang prajurit yang berjaga-jaga di depan pintu bergegas masuk.
Ra Kuti yang menganggapnya terlalu lamban melotot.
"Kalian tidak mendengar apa perintahku ha" Aku ini maharaja baru yang berkuasa di bumi Majapahit ini. Aku menghendaki Mapatih Tadah dibawa ke sini. Kalian tidak mendengar?"
Tanpa banyak bicara, dua prajurit itu bergegas keluar untuk melaksanakan perintah yang diberikan itu. Dalam hati, kedua prajurit itu merasa Ra Kuti terlalu berlebihan. Mentang-mentang telah menjadi raja, Rakrian Kuti menjadi pemarah dan main bentak seenaknya.
Ra Tanca tak berkedip, tajam memandang Ra Kuti.
"Apa yang akan kaulakukan terhadap Mapatih Tadah?" bertanya Ra Tanca. "Kuingatkan kau untuk jangan bersikap berlebihan kepada Mahapatih Tadah. Orang tua itu dicintai orang banyak. Jika kau berbuat salah kepada Mahapatih Tadah, kau akan menuai badai."
Ra Kuti melotot. Dua bola matanya nyaris copot.
"Aku tidak butuh sesorahmu," teriak Ra Kuti, "dalam perubahan pemegang kekuasaan, wajar jika hal semacam itu terjadi. Perampokan, pemerkosaan, dan penjarahan itu masih wajar karena keadaan sedang kacau. Tetapi, nanti tatanan akan pulih kembali. Rakyat atau siapa pun akan melihat Ra Kuti memang pantas menjadi raja. Akulah Ra Kuti, Maharaja Majapahit, negara yang besar!"
Ra Tanca termangu diam. Ra Tanca melihat Ra Kuti larut pada keadaan yang baru diperolehnya. Rupanya jiwa Ra Kuti belum siap menerima keadaan yang baru didapatnya itu. Bahwa ia kini menjadi orang terpenting di Majapahit itu menyebabkan dadanya membusung terlampau besar.
Gajahmada 243 "Kau belum menjawab pertanyaanku," ulang Ra Tanca, "apa yang akan kaulakukan terhadap Mapatih Tadah?"
Ra Kuti berjalan mondar-mandir sesaat.
"Akan kuminta Paman Arya Tadah untuk mengesahkan kedudukanku. Aku minta Tadah untuk mengesahkan melalui wisuda besok siang. Aku tidak mau menunggu lagi. Aku harus mendapat pengakuan dan pengesahan."
Ra Tanca tidak bisa menahan. Ra Tanca tersenyum.
"Apakah Mapatih Tadah akan mau memenuhi permintaanmu?"
tanya Ra Tanca. "Bagaimana kalau Mapatih Tadah menolak?"
Ra Kuti meradang, "Mapatih Tadah tidak mungkin berani menolak jika ingin selamat."
Rakrian Tanca menggeleng-geleng kepala. Kelihatannya pengenalan Ra Kuti atas Mahapatih Arya Tadah hanya sebatas luarnya saja. Salah besar jika Mahapatih Tadah bakal ketakutan kemudian menuruti kemauan Ra Kuti. Arya Tadah bukan jenis orang yang gampang ketakutan karena diancam. Ra Tanca merasa yakin ancaman hukuman mati tidak mampu mengubah keteguhan Arya Tadah. Lebih dari itu, sebenarnya Arya Tadah tak mempunyai hak untuk mewisuda seseorang menjadi raja. Hak semacam itu ada pada pemuka agama, mereka yang memegang kedudukan sebagai para Kasaiwan Hyang Brahmaraja.
Ra Tanca bangkit dari tempat duduknya.
"Ada sebuah pertanyaan lagi," Ra Tanca melanjutkan, "apa Arya Tadah berhak mewisuda dirimu" Bukan Arya Tadah yang berhak mewisuda seseorang menjadi raja. Wisuda binatara itu hanya sah apabila dilakukan oleh para Kasaiwan Hyang Brahmaraja. Apakah kau akan memaksa mereka dengan senjata?"
"Aku tidak peduli," jawab Ra Kuti dengan ganas. "Bahkan, aku tidak peduli dengan wisuda. Aku tetap sah menjadi raja karena telah berhasil menggusur Jayanegara. Jika pemuka agama Kasaiwan Hyang Brahmaraja tidak bersedia mewisudaku menjadi raja, aku tidak butuh.
244 Gajahmada Aku hanya akan meminta Arya Tadah untuk mengumumkan kepada khalayak ramai bahwa akulah sekarang yang menjadi raja."
Ra Tanca kembali tertawa. Namun, Ra Tanca malas untuk mengemukakan isi hatinya lagi.
Adalah Mahapatih Arya Tadah yang telah ditangkap oleh kaki tangan Ra Kuti, dijebloskan ke penjara. Kesedihan yang berharga amat mutlak sedang mengharu biru isi dadanya melihat perkembangan keadaan Majapahit yang porak-poranda oleh ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Pemberontakan yang dilakukan Ra Kuti meminta korban nyawa dan harta benda yang tidak sedikit jumlahnya, tidak terhitung pula rusaknya tatanan, lahirnya orang-orang yang mendadak menjadi liar, menjarah, merampok, dan memerkosa, mumpung keadaan sedang kacau.
Arya Tadah dikeluarkan dari bangunan pakunjaran.
"Apakah sudah tiba saatnya Ra Kuti akan menghukum mati Arya Tadah?" tanya Mahapatih Arya Tadah.
Dua orang prajurit yang mendapat perintah Ra Kuti untuk mengeluarkan Tadah dan membawanya ke istana terlihat kebingungan.
Dua prajurit itu secara pribadi tidak bisa menghapus rasa hormatnya kepada Arya Tadah. Dua prajurit itu bahkan tidak tahu, apakah yang dikehendaki Ra Kuti dengan mengeluarkan Mahapatih Tadah dari penjara. Kedua prajurit itu bahkan terpengaruh oleh pertanyaan benarkah Tadah akan dihukum mati"
"Maafkan kami, Mapatih," jawab salah seorang prajurit, "kami hanya menjalankan tugas. Kami tidak tahu dengan maksud apa Tuanku Ra Kuti memerintahkan kepada kami untuk membawa Mapatih menghadap kepadanya."
Arya Tadah yang tua itu tak bisa menahan tawanya. Ada sesuatu pada kalimat prajurit itu yang membuatnya geli.
"Kau sudah memanggil Ra Kuti itu dengan sebutan Tuanku. Apa menurutmu Ra Kuti itu telah menjadi raja?" pancing Tadah.
Gajahmada 245 Dua prajurit itu bingung.
"Sudahlah," lanjut Tadah, "bawa aku ke hadapan Ra Kuti. Aku tidak takut kalau Ra Kuti akan membunuhku. Salah jika ada yang mengira aku takut mati."
Dengan dikawal dua prajurit bersenjata pedang panjang itu Arya Tadah berjalan dengan tenang menuju istana. Beberapa prajurit yang melihat Mapatih Arya Tadah digiring merasa bersalah di hati. Beberapa prajurit itu terpaksa memalingkan wajah, pura-pura tidak melihat atau pura-pura sibuk melakukan sesuatu. Ra Yuyu, Ra Pangsa, Ra Banyak, Ra Wedeng, yang mendengar Ra Kuti memanggil Mapatih Arya Tadah bergegas menuju bangunan induk istana untuk ikut mengetahui apa yang akan dibicarakan Ra Kuti dengan Mahapatih Arya Tadah itu.
Dengan ramah Rakrian Kuti menerima kehadiran Arya Tadah.
Mahapatih Arya Tadah mencuatkan alis. Kaget oleh keramahan yang dipamerkan Ra Kuti. Tetapi, justru karena itu Arya Tadah curiga. Ra Kuti tentu menyembunyikan sesuatu di balik keramahannya.
"Silakan duduk, Paman!" Ra Kuti mempersilakan.
Arya Tadah tidak menolak tawaran itu. Arya Tadah menebarkan tatapan matanya ke seluruh ruangan. Ada sepasang hiasan dinding yang terbuat dari gading menjangan, lalu hiasan kulit harimau loreng di dinding bersebelahan. Mahapatih Tadah tersenyum melihat meja batu di sudut ruang itu. Di bawah meja itu Mapatih Arya Tadah tahu, terdapat sebuah lorong bawah tanah yang tentu telah dimanfaatkan dengan baik oleh Gajahmada dalam upayanya menyelamatkan Sri Jayanegara yang di masa muda bernama Kalagemet. Sekian tahun yang lalu, Arya Tadah yang memiliki gagasan membangun terowongan penyelamatan itu. Arya Tadah pula yang memimpin pembangunannya, siapa mengira lorong bawah tanah itu terbukti harus dimanfaatkan oleh salah seorang Raja Majapahit menyelamatkan diri ketika terjadi pemberontakan.
Perhatian Arya Tadah kemudian beralih ke pembaringan. Tilam pembaringan terlihat acak-acakan. Arya Tadah berpikir, Ra Kuti tentu yang menjadikan tempat tidur itu acak-acakan sambil membayangkan 246
Gajahmada dirinya seorang raja, yang tidur dikipasi dengan elar merak, selalu dikelilingi oleh dayang-dayang yang siaga melaksanakan perintahnya dan siap memanjakannya. Perhatian Arya Tadah kemudian tertuju kepada kotoran tumpahan isi perut Ra Kuti yang diguncang mual.
Arya Tadah memandang Ra Kuti dengan tajam. Begitu besar wibawa yang dimiliki Arya Tadah itu sehingga untuk beberapa saat lamanya Ra Kuti harus membuang pandangan ke arah lain.
"Apa keperluanmu Ra Kuti?" Tadah bertanya memecah senyap.
Ra Kuti bangkit dan berjalan mondar-mandir. Rupanya Ra Kuti kebingungan untuk mengutarakan apa keperluannya. Di sudut ruang, Ra Tanca hanya memerhatikan.
Namun, Ra Kuti memang harus berbicara.
"Paman Tadah," berbicara Ra Kuti, "sebagaimana Paman Mapatih Arya telah mengetahui, hari ini aku menyelamatkan Majapahit. Aku menyelamatkan masa depan Majapahit yang suram karena berada di bawah pemerintahan orang yang tidak punya kemampuan membawa Majapahit ke masa depan yang cerah. Itu sebabnya, aku terpaksa menggusur Kalagemet dari singgasana."
Ada sesungging senyum mencuat di sudut bibir Tadah yang tua itu, meski sulit ditebak apa maknanya. Rangkaian ucapan panjang Rakrian Kuti terhenti oleh senyum itu. Sejenak Ra Kuti merasa terganggu, tetapi dengan segera Ra Kuti mengabaikannya.
"Karena aku berhasil menggusur Sri Jayanegara," Ra Kuti melanjutkan, "maka kini akulah yang menjadi raja. Aku berhak menduduki takhta Majapahit memegang tampuk pemerintahan."
Arya Tadah manggut-manggut. Meskipun demikian, tidak tampak ada perubahan pada raut wajahnya. Arya Tadah bahkan tersenyum lebar.
"Sudah?" bertanya Tadah.
Ra Kuti duduk sambil tidak mengalihkan perhatiannya.
"Setelah kauutarakan semua itu," berbicara Arya Tadah, "apa kauingin mengetahui bagaimana pendapatku?"
Gajahmada 247 Rakrian Kuti mengangguk. Tadah pun bangkit.
Semua yang hadir memusatkan perhatiannya kepada Arya Tadah.
Ra Wedeng, Ra Tanca, Ra Pangsa, Ra Banyak, Ra Yuyu, dan Ra Kuti tidak mengalihkan sejengkal pun pandangannya dari wajah Arya Tadah.
"Yang perlu aku sampaikan kepadamu Ra Kuti," berbicara Arya Tadah, "aku sungguh merasa kecewa dengan perbuatanmu. Seingatku, kehadiranmu di lingkungan keprajuritan Majapahit adalah karena mendiang Ramapati atau Mahapati. Semua tahu siapa Ramapati.
Ramapati seorang pejabat yang culas, tukang fitnah, dan menyebar adu domba. Ramapati rupanya mewariskan sifat-sifatnya itu kepadamu.
Semua Winehsuka yang hadir di sini adalah hasil binaan mendiang Ramapati. Jadi, tidak aneh kalau mereka memiliki sifat culas, licik, dan tidak tahu diri. Tidak seperti manusia lumrah pada umumnya, jika jantung para Winehsuka dibedah maka akan ditemukan bulu-bulu di sela-selanya."
Tenang dan tertata rapi rangkaian ucapan Mahapatih Arya Tadah, tetapi mampu membuat wajah Ra Kuti merah padam. Segenap Winehsuka lainnya kecuali Ra Tanca yang tetap tenang, merasa wajah mereka berlepotan kotoran. Barangkali selama ini para Winehsuka tak merasa kalau wajahnya berlepotan kotoran. Mereka baru sadar berlepotan kotoran setelah Tadah mem-belejeti-nya.
Namun, Ra Kuti tidak bermaksud memotong pembicaraan Arya Tadah. Dibiarkannya Arya Tadah tetap berbicara.
"Kenangan yang aku punya atas Ramapati adalah orang yang tegelan,"
lanjut Tadah. "Ramapati berusaha mencari pengaruh dengan berusaha menempatkan diri menjadi orang terdekat Sri Baginda Jayanegara. Untuk apa yang dilakukannya itu, Ramapati tidak segan-segan memfitnah orang lain. Termasuk akulah salah seorang korban fitnah keji yang disebar Ramapati itu. Kini, setelah sekian tahun lamanya apa yang dulu dilakukan Ramapati kelihatannya diwariskan kepada orang-orang hasil binaannya, mereka yang baru-baru ini diberi gelar Dharmaputra Winehsuka oleh Sri Baginda. Winehsuka melakukan tindakan makar tanpa rasa malu sama sekali. Keinginanmu menjadi raja kaubungkus dengan sebuah dalih 248
Gajahmada menyelamatkan masa depan Majapahit dari kemandekan. Kemandekan yang mana yang kaumaksud Ra Kuti?"
Ra Kuti benar-benar tidak senang. Ra Kuti beranjak bangkit.
Namun, dengan isyarat tangannya Arya Tadah meminta supaya Ra Kuti tetap duduk di bibir pembaringan itu.
Arya Tadah menyapu seluruh wajah mereka yang hadir. Sejenak pandangan Arya Tadah justru berhenti di wajah Ra Tanca yang menyunggingkan sekilas senyum. Ada kesan yang janggal diperoleh Arya Tadah dari wajah Ra Tanca yang tetap tenang itu Kembali Arya Tadah mengarahkan pandangan matanya kepada Rakrian Kuti.
"Kembali pada pendapatmu. Kau mengira, setelah kauberhasil menggusur Tuanku Prabu Jayanegara maka dengan serta-merta kau menjadi raja?" Tadah mencuatkan alisnya. "Yang bilang begitu siapa"
Tatanan mana yang kaugunakan" Keliru kalau kau mengira dirimu dengan serta-merta menjadi raja. Lihatlah apa kata orang di luar sana, yang melihatmu tidak lebih dan tidak kurang dari pimpinan penjarah.
Para prajurit yang kauperintahkan memburu Tuanku Jayanegara melakukan tindakan terkutuk dan biadab seperti bukan manusia lagi.
Mereka berubah menjadi orang-orang liar dan kaulah pimpinannya. Di mata para kawula kau tidak lebih dari pimpinan perampok dan penjarah.
Jadi, dasar mana yang kaugunakan mengangkat dirimu menjadi raja"
Apakah para kawula akan menerima keberadaanmu sebagai raja?"
Merah padam wajah Ra Kuti. Pimpinan Winehsuka itu tidak bisa menahan lagi. Wajahnya menebal serasa melebihi tebalnya dinding.
"Paman Tadah," suara Ra Kuti bergetar, "kini aku yang memegang kekuasaan. Siapa pun melihat bahwa akulah yang kini memegang kekuasaan itu. Kalagemet tidak lagi berkuasa karena seperti layaknya seorang pengecut, ia lari terbirit-birit meninggalkan istana. Siapa pun yang bisa menggunakan akal waras bisa melihat bahwa akulah yang sekarang berkuasa. Artinya, dengan kekuasaanku itu aku berhak mengangkat diriku menjadi raja. Karena kekuasaanku itu, tak seorang Gajahmada 249
pun yang bisa menolak apa yang menjadi kehendakku. Mengenai apa kata para kawula, untuk apa aku harus peduli pada mereka?"
Arya Tadah manggut-manggut. Arya Tadah kembali tersenyum.
"Sebuah pendapat yang menarik," berkata Tadah. "Pendapat itu memang layak diucapkan oleh orang yang keblinger, tidak mampu menggunakan isi otak dengan benar. Atau, jangan-jangan di batok kepalamu tidak ada lagi benda bernama otak itu."
Arya Tadah memandang Ra Kuti tajam. Tatapan mata lelaki tua itu memaksa Ra Kuti gelisah.
"Ra Kuti," ucap Tadah, "adanya raja itu karena ada rakyatnya.
Bagaimana kaubisa menjadi raja jika kau tidak mempunyai rakyat, bagaimana kaubisa memerintah jika tidak ada yang kauperintah" Jadi, bagaimana kaubisa mengabaikan pendapat rakyat?"
Akhirnya, Ra Kuti tambah menggigil.
"Aku tak peduli dengan suara mereka," jawab Ra Kuti tangkas.
"Sekali lagi aku katakan Paman bahwa dengan kekuasaan yang aku miliki, aku bisa membungkam semua mulut yang menolak kehendakku. Aku pun bisa membungkam mulut Paman Tadah. Paman Arya Tadah jangan hanya menyebut mereka yang menolakku, tetapi separuh lebih dari rakyat mendukungku. Aku harus memaksa mereka yang tidak mendukungku, bila perlu dengan tombak akan kubungkam mulut-mulut yang tidak bisa menerima kenyataan itu."
Arya Tadah harus menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawaban Ra Kuti.
"Kalau begitu," jawab Tadah tenang, "karena kau memaksa siapa pun dengan kekuasaanmu, kau bukan raja. Yang memaksa itu hanyalah perampok. Di mata siapa pun, kau yang bukan anak keturunan Tuanku Kertarajasa Jayawardhana hanyalah pimpinan perampok!"
Hening menggerayangi ruangan itu. Rakrian Kuti tidak sanggup lagi bersilat lidah menghadapi Tadah tua, tetapi semua ucapannya mementahkan apa pun yang dikatakannya. Napas pimpinan Winehsuka itu kembali tersengal.
250 Gajahmada "Paman Tadah," akhirnya Ra Kuti merasa tak ada gunanya lagi berbicara, "jika Paman ingin selamat maka aku minta Paman bekerja sama dengan aku. Aku hanya meminta besok di alun-alun Paman Arya Tadah menyampaikan kepada para kawula bahwa Ra Kutilah yang sekarang yang menjadi Raja Majapahit menggantikan Jayanegara yang tidak becus apa-apa itu."
Mapatih Arya Tadah terpaksa menelan senyum pahitnya.
"Aku harus mengumumkan itu?" tanya Tadah.
"Ya!" jawab Ra Kuti.
Tadah tersenyum sinis. "Kaupikir aku mau melakukan permintaan itu?" lanjut Tadah. "Aku tidak akan melakukan. Selama hidupnya Arya Tadah tidak akan mau diperintah perampok apalagi untuk pekerjaan bodoh mengumumkan pimpinan perampok sebagai raja baru. Jangan mimpi Ra Kuti."
Ra Kuti terpaksa menoleh kepada Ra Tanca. Namun, Ra Tanca tersenyum seperti menertawakannya. Ra Kuti yang dengan sekuat tenaga menahan diri itu memandang wajah Arya Tadah.
"Paman," suara Ra Kuti berubah serak dan bergetar, "aku pemegang kekuasaan saat ini. Aku bisa berbuat apa pun untuk memaksa Paman Tadah memenuhi keinginanku."
Arya Tadah malah tertawa mendengar ucapan itu.
"Kaumau apa" Kau mengancam akan membunuh Tadah atau bagaimana" Kalau kaumau membunuh Tadah, lakukan saja. Aku akan menghadapi kematian itu dengan tenang karena aku tidak mati berkhianat."
Kandas keinginan Ra Kuti. Arya Tadah berhati keras melebihi kerasnya batu. Rakrian Kuti yang juga mengenal Arya Tadah dengan baik sebenarnya sudah membayangkan jawaban itu. Agaknya untuk bisa duduk di atas dampar dengan tenang masih memerlukan perjalanan waktu yang amat panjang. Ra Tanca yang duduk tenang dengan permukaan wajah yang juga tenang bangkit dari tempat duduknya. Ra Tanca berjalan dengan santai kemudian berdiri di hadapan Arya Tadah.
Gajahmada 251 Tadah memerhatikannya. "Paman," Ra Tanca mengambil alih pembicaraan dari Ra Kuti. Ra Kuti membiarkannya. "Izinkan aku mewakili Ra Kuti untuk berbicara sebuah hal yang sangat penting. Bahwa Ra Kuti sendiri tidak menduga keadaan akan seperti ini. Tatanan menjadi kacau-balau. Para prajurit berbuat di luar kendali. Kami para Winehsuka kewalahan mengendalikan mereka. Perang ini menyebabkan jatuhnya korban amat banyak. Akan tetapi, di mana-mana perang memang akan selalu begitu. Perang menimbulkan banyak korban dan penderitaan, hal yang wajar. Pada saatnya nanti keadaan itu pasti akan pulih kembali. Supaya keadaan segera pulih, tatanan dan hukum kembali ditegakkan, kami minta Paman Tadah untuk membantu berbicara kepada rakyat. Sebab, suara Paman Tadah sangat didengar oleh para kawula."
Tanca menghentikan rangkaian panjang kalimatnya. Mahapatih Arya Tadah manggut-manggut dan selalu menebar senyum. Ternyata tidak hanya hanya Tadah yang manggut-manggut, Ra Kuti pun ikut manggut-manggut. Melalui tangan kanannya Tadah memberi isyarat pada Tanca untuk melanjutkan ucapannya.
"Keadaan kacau ini harus segera diakhiri. Jika Paman berkenan berbicara kepada segenap kawula Majapahit bahwa pemerintahan Sri Jayanegara telah berakhir, Paman minta kepada segenap kawula Majapahit untuk menerima Ra Kuti menjadi raja yang baru maka ketenteraman dan ketertiban akan pulih. Jika Paman bersikukuh menghendaki tetap Jayanegara menjadi raja, berarti Paman tidak melihat kenyataan Kalagemet telah tersingkir. Kami para Winehsuka yang sekarang tampil mengambil alih roda pemerintahan."
Rakrian Tanca merasa rangkaian kalimatnya sudah usai. Tanca duduk di sebelah Ra Kuti. Ra Banyak, Ra Wedeng, Ra Pangsa, dan Ra Yuyu semua beku menyimak pembicaraan itu.
"Jadi, menurutmu," berkata Tadah, "ketenteraman dan ketertiban Majapahit adalah hal yang paling mendesak dan penting?"
Ra Tanca tak perlu mengangguk.
252 Gajahmada "Aku sependapat denganmu. Pemulihan ketenteraman dan ketertiban memang hal yang sangat penting dan mendesak. Yang berbeda bagiku hanya caranya. Caramu, kau menghendaki Arya Tadah menyampaikan wara-wara pengumuman bahwa kisah tentang pemerintahan dari garis keturunan Sri Rajasa Jayawardhana berakhir di sini dan sekarang dimulai pemerintahan baru, pemerintahan Kuti. Sayang sekali, lidahku akan kaku jika harus melakukan hal itu. Sebaliknya, aku mempunyai gagasan lain. Aku justru berpendapat kekuasaan Tuanku Jayanegara itu harus dipulihkan. Para petualang yang mengacak-acak ketenteraman Majapahit dengan menjarah, merampok, dan memerkosa itu harus diadili termasuk pimpinannya maka kujamin negara akan tenang kembali. Bagaimana?"
Akhirnya, Ra Kuti benar-benar tidak mampu menahan diri lagi.
Bagi Ra Kuti, mulut Mapatih Arya Tadah itu terlampau lancip dan culas, itukah penyebabnya Jayanegara meminta Tadah mendampinginya sebagai orang kedua dalam pemerintahan karena lidahnya yang terlalu lentur dan lancip itu"
"Paman," Ra Kuti nyaris menggigil, "Paman menganggapku pimpinan perampok, terserah. Namun, apakah Paman lupa ada seorang perampok dari Padang Karautan yang mampu mendirikan dan jadi cikal bakal sebuah negara yang besar?"
Arya Tadah tertawa terkekeh. Tadah benar-benar geli.
"Kau akan membandingkan dirimu dengan perampok dari Karautan?" sergap Tadah dengan tertawanya yang terkial. "Kaupikir dirimu siapa Ra Kuti" Kau merampok Majapahit dengan berbekal keculasan dan kelicikanmu, mengadu domba semua pasukan yang ada.
Kaugunakan cara-cara yang digunakan Ramapati untuk meraih keinginanmu. Kau bermaksud membandingkan dirimu dengan Ken Arok" Ken Arok menggebuk Kediri melalui sebuah perang yang berlangsung secara jantan, perang antara si kecil Tumapel menggebuk Kediri yang besar. Dan, lagi Ken Arok itu siapa" Ken Arok, Sri Rajasa Batara Sang Amurwabhumi itu leluhur Tuanku Jayanegara. Bukan leluhurmu."
Gajahmada 253 Ra Kuti tambah menggigil seperti orang yang kedinginan.
"Dibanding Ken Arok," lanjut Tadah, "kau tidak ada apa-apanya Ra Kuti."
"Prajurit!" teriak Ra Kuti. "Jebloskan Tadah kembali ke penjara."
Ra Kuti yang merasa dipermalukan itu benar-benar tidak berani lagi bersilat lidah dengan Arya Tadah. Arya Tadah hanya tertawa saat dua orang prajurit memegangi kedua tangannya kemudian membawanya kembali ke gedung penjara.
Semua wajah yang masih hadir di ruangan itu kini memusatkan perhatiannya pada Ra Kuti. Ra Kuti ternyata membutuhkan waktu cukup lama untuk menenangkan diri. Kemarahan menyebabkan napasnya tersengal.
"Kalian semua mendengar?" berbicara Ra Kuti dengan melotot.
"Kalian mendengar betapa sombongnya Arya Tadah. Lelaki tua itu tidak tahu diri, tak sadar kalau dirinya sudah tua dan bau tanah. Mestinya kalau sudah merasa tua itu ngomongnya tidak seperti itu, bikin merah telinga saja. Dan, ini semua karena ketololan kalian semua yang tak bisa menangkap Kalagemet. Jika Kalagemet sudah mati tidak mungkin Tadah akan berani ngomong seperti itu. Hanya untuk sebuah pekerjaan kecil menangkap Jayanegara saja kalian tak mampu."
Ra Kuti nyaris tak berkedip. Matanya tetap melotot. Sesekali Ra Kuti tak hanya berbicara dengan mulutnya, bahkan tangan kanannya ikut bergerak mengayun menampar udara.
"Aku memberikan perintah untuk menangkap Kalagemet," Ra Kuti menekan. "Aku memberi perintah kepada kalian untuk menyebar mata-mata melacak jejak Bhayangkara yang membawa Sri Jayanegara.
Mengapa yang terjadi malah perampokan, penjarahan, dan pemerkosaan yang menjauhkan rakyat dariku. Goblok semuanya."
Ra Yuyu menunduk. Ra Pangsa akan bicara, tetapi mulutnya kembali terkunci. Ra Wedeng dan Ra Banyak memilih mengarahkan pandangan matanya ke arah lain.
254 Gajahmada Pada saat yang demikian itulah, suasana hening itu mendadak koyak oleh sebuah suara. Suara yang sebenarnya tak menarik perhatian, tetapi mempunyai arti yang besar bagi Ra Kuti beserta para Winehsuka yang lain. Suara itu adalah suara burung hantu.
Ra Kuti segera bangkit berdiri. Dengan bergegas Ra Kuti melangkah keluar dari bilik Jayanegara diikuti oleh Winehsuka yang lain.
Kembali suara burung hantu itu terdengar. Ra Kuti bergegas menuju Tatag Rambat. Orang yang menirukan suara burung hantu itu berada di sana. Ra Kuti tahu, orang itu akan menyampaikan sebuah berita sangat penting kepadanya. Sebenarnyalah, orang itu bagian dari pasukan Bhayangkara, tetapi berpihak kepadanya.
Sejenak kemudian orang itu muncul dari kegelapan malam.
"Maafkan aku," prajurit Bhayangkara itu berbicara, "aku mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari gerak pasukanku hingga baru kali ini aku bisa menyampaikan berita untukmu, yang harus kulakukan sendiri karena kini mata-mata yang tersisa tinggal aku, yang lain satu demi satu habis."
Ra Kuti tidak sabar. "Di mana Jayanegara?" bertanya Ra Kuti.
Prajurit itu hanya bisa menghela napas panjang.
"Di mana Jayanegara aku sendiri tak tahu. Bahkan, Bhayangkara yang lain juga tidak ada yang tahu. Bekel Gajahmada benar-benar selicin belut. Gajahmada memutuskan tidak akan mengawal Kalagemet itu beramai-ramai. Pengawalan atas Sri Jayanegara itu hanya ia lakukan sendiri. Yang lain ditugaskan menyesatkan kita. Bhayangkara yang lain bertugas mengawal kerabat istana ke Rimbi."
Ra Kuti merasa dirinya orang yang sangat licin selicin belut. Namun, ternyata masih ada orang lain yang tak kalah licin. Gajahmada bahkan mampu mengecohnya dengan sangat sempurna. Pasukannya ditipu dan dipancing untuk mengejar Jayanegara yang melarikan diri. Ternyata Jayanegara yang dikejar itu palsu.
"Jadi, apa gunanya kau sekarang menemuiku?" bertanya Ra Kuti dengan perasaan tidak senang.
Gajahmada 255 "Besok malam kesempatanmu untuk meringkus Kalagemet itu,"
berkata prajurit Bhayangkara yang berkhianat itu. "Kami akan mengadakan pertemuan di Krian. Siapkan pasukan untuk melakukan jebakan. Ingat pesanku, Gajahmada bukan orang yang bodoh. Pasukan yang bertugas menjebak itu sebaiknya kaususupkan mulai saat ini juga.
Keberadaan mereka harus kausamarkan sedemikian rupa. Jangan sampai mencurigakan."
Setelah semua dianggap cukup, prajurit itu segera minta diri.
"Ini kesempatan kita untuk meringkus Jayanegara," berkata Ra Kuti.
"Sekarang giliranmu Tanca. Yang lain telah mengalami kegagalan dalam menangkap Jayanegara. Aku ingin melihat, apa yang bisa kaulakukan.
Selama ini kau hanya mencemooh aku. Kini tunjukkan apa yang bisa kaulakukan."
Ra Tanca tak menjawab. "Bagaimana?" desak Ra Kuti.
"Ini jebakan!" jawab Ra Tanca tegas.
Ra Kuti penasaran, "Jebakan apa maksudmu?"
"Gajahmada sudah mengetahui di antara Bhayangkara ada yang berkhianat. Jika Gajahmada menyadari hal itu, tidak mungkin Gajahmada dengan mudah menyebut Krian. Kalaupun Krian itu disebut, tentulah agar telik sandi kita menyampaikan hal itu kepadamu. Gajahmada menyebut Krian untuk menyesatkan dirimu atau Gajahmada berupaya menjebak telik sandi kita."
Apa yang diucapkan Ra Tanca itu masuk akal, bahkan sangat masuk akal. Ra Kuti terpaksa harus memeras otak.
Pada kenyataannya, Bekel Gajahmada memang telah merepotkannya. Akal-akalannya mencipta Sri Jayanegara palsu telah menyesatkannya sedemikian rupa sehingga ia kehilangan banyak waktu.
Kini Gajahmada tentu tengah melempar umpan yang lain. Amat mungkin berita tentang Krian atau yang juga disebut Rakrian itu hanya sekadar akal-akalannya untuk makin menyamarkan jejak Jayanegara.
256 Gajahmada "Keparat!" Ra Kuti tidak kuat menahan umpatannya. "Jadi, bagaimana ini" Keterangan dan kemungkinan yang mana yang harus kupercayai?"
"Jika kau sependapat denganku," berkata Ra Tanca, "letakkan beberapa telik sandi di Krian mulai sekarang ini juga. Sebaliknya, siapkan pasukan di beberapa tempat di pedukuhan-pedukuhan atau desa-desa yang mengelilingi Krian yang selalu siap digerakkan kapan pun. Kurasa meletakkan pasukan di tempat itu sekarang juga, besar kemungkinan akan mengulang kesalahan yang sama. Ingat, Bekel Gajahmada bukan orang yang bodoh. Ia banyak akal dan sanggup melakukan hal yang tidak terduga. Dalam hal kemampuan telik sandi, orang-orang Bhayangkaralah biangnya. Kautempatkan pasukanmu sekarang, akan dengan gampang mereka ketahui."
Ra Kuti menyimak uraian itu dengan saksama.
"Mengenai aku," lanjut Tanca, "jangan kauserahkan tugas itu kepadaku. Aku banyak dibutuhkan orang di sini. Aku seorang tabib, aku harus mengobati banyak orang termasuk menjagamu. Serahkan kepada orang lain."
Masih banyak hal yang kemudian dibicarakan Ra Kuti dan para Winehsuka di pagelaran Tatag Rambat itu. Ra Kuti membagi-bagi tugas dengan penekanan upaya menangkap Jayanegara itu harus berhasil.
Setelah perang usai ternyata tidak dengan serta-merta semua persoalan usai. Semuanya akan selesai apabila Jayanegara bisa diringkus dan dijatuhi hukuman mati.
Pembicaraan itu juga melibatkan beberapa orang senopati pasukan Jalayuda. Dengan amat bersemangat, para senopati yang mendapat janji-janji muluk dari Ra Kuti, siap sedia mengerjakan perintah itu dengan sebaik-baiknya.
Ra Tanca kemudian memisahkan diri. Hati nurani Ra Tanca sebagai seorang pengobat tak bisa membiarkan banyak prajurit terluka. Mereka memerlukan bantuan tanpa memandang kawan atau lawan.
Kenyataannya memang aneh, demikian perang usai, permusuhan yang Gajahmada 257
pada pagi harinya berkecamuk luar biasa, lenyap tak ketahuan ke mana jejaknya. Semua orang kini merasa perihatin melihat keadaan menyedihkan yang menimpa Majapahit.
Sementara itu, dari kegelapan malam dan luput dari perhatian siapa pun, seseorang tengah membidik, merentangkan busur dan mengukur gerak anak panah yang akan dilepas. Anak panah itu tertuju tepat ke dada Ra Kuti. Setelah merasa amat yakin tidak akan meleset, anak panah itu pun kemudian dilepaskannya.
Nasib malang bagi seorang prajurit berpangkat senopati yang tengah berjalan tepat di garis lintasan anak panah. Dengan telak anak panah itu menghunjam ke lambung kanannya tembus ke lambung kiri.
Senopati itu terhenyak, tubuhnya terputar bersamaan teriakan sekaratnya untuk kemudian ambruk tepat di hadapan Ra Kuti. Ra Kuti kaget bukan kepalang dan dengan segera menjatuhkan diri ke lantai.
Anak panah yang kemudian berdesing menyambar deras, nyaris melubangi kepalanya. Merangkak dan berguling pimpinan Dharmaputra itu dengan gugupnya.
Para prajurit yang gaduh, serta teriakan-teriakan kacau-balau itu mengundang prajurit lain yang dengan segera berlarian datang. Ra Kuti tetap bertiarap bersama para Winehsuka yang lain yang tentu belum ingin mati.
Orang yang melepas anak panah itu adalah Lembang Laut.
Bhayangkara Lembang Laut dan Bhayangkara Gagak Bongol yang telah berhasil menyelinap ke dalam lingkungan istana itu tidak menemukan Ra Kuti di dalam bilik pribadi Jayanegara. Padahal, mereka berharap berhasil menemukan Ra Kuti di sana. Dengan menangkap dan menyandera pimpinan Winehsuka itu Gagak Bongol dan Lembang Laut bisa memanfaatkannya untuk mengakhiri perang dan mengembalikan Sri Jayanegara ke tampuk pemerintahan.
Gagak Bongol dan Lembang Laut yang tidak berhasil menemukan Ra Kuti segera keluar. Mereka tak mengalami kesulitan menyamar sebagai prajurit kaki tangan Ra Kuti. Di pendapa pagelaran Tatag Rambat Bale 258
Gajahmada Manguntur, Lembang Laut dan Gagak Bongol menemukan orang yang mereka cari.
"Berhasilkah kita?" bertanya Gagak Bongol.
"Aku tidak tahu," jawab Lembang Laut, "rasanya aku tidak berhasil.
Ada orang yang tiba-tiba berjalan menghalangi lintasan panahku."
"Kita berbaur dengan para prajurit. Kita menyelinap dengan diam-diam," tambah Gagak Bongol. "Waktunya segera tiba, kita harus segera berkumpul dengan para Bhayangkara yang lain di tempat yang telah ditentukan!"
Ra Kuti yang lolos dari pembunuhan itu tetap bertiarap. Para prajurit bergerak berusaha menemukan orang yang telah melepas panah itu.
Namun, upaya itu tidak membuahkan hasil. Di antara para prajurit yang kebingungan itu, Gagak Bongol dan Lembang Laut ikut-ikutan mencari.
Akhirnya, setelah kesempatan diperoleh Bhayangkara Gagak Bongol dan Lembang Laut menyelinap entah ke mana.
Ra Kuti mengumbar berbagai sumpah serapah. Ra Kuti terpaksa harus merasa bahkan di dalam istana pun ia tidak aman. Padahal, istana telah dijaga oleh prajurit berlapis-lapis, kenyataannya nyaris saja nyawanya berhasil dikail musuh.
"Keparat bangsat," umpat Ra Kuti. "Aku perintahkan, temukan orang yang melepas anak panah itu."
Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun, apa pun yang dilakukan para prajurit, setiap sudut istana diaduk sedemikian rupa, pelepas anak panah itu tak berhasil ditemukan.
Keadaan itu memunculkan dugaan, di antara para prajurit kaki tangan Ra Kuti telah disusupi mata-mata musuh.
Dengan diiring oleh segenap Dharmaputra Winehsuka, Rakrian Kuti kembali ke bangunan induk istana. Kini, Ra Kuti tidak bisa tenang lagi. Dari balik pohon tanjung dan rindang asoka serta semak perdu, juga dari balik dinding atau dari bayangan cahaya bulan, anak panah bisa saja menyambar jantungnya. Ra Kuti menggigil ngeri.
Dengan perasaan benar-benar tidak nyaman Ra Kuti membuka pintu kediaman raja. Namun, Ra Kuti terbelalak. Serentak Ra Kuti
Gajahmada 259 melangkah mundur. Para prajurit pengawal dan Winehsuka saling berebut melihat apa yang menyebabkan Ra Kuti kaget.
Pembaringan berlepotan darah dengan penggalan kepala anjing tergeletak di atasnya. Tidak hanya itu, di dinding melatari pembaringan ada sebuah peringatan dengan tulisan dari darah pula.
"Jaga endhas-mu, Ra Kuti," tertulis di dinding itu, "pada suatu ketika kelak kepala yang masih kami titipkan di tubuhmu itu akan kami ambil.
Dari kami, Bhayangkara."
Ra Kuti terhenyak. Tulisan itu benar-benar nyaris merontokkan jantungnya. Ra Kuti bertambah resah karena tulisan itu menunjukkan kenyataan, meski istana telah dijaga sedemikian rupa bagi Bhayangkara bukan wilayah yang tidak mungkin ditembus.
Bahkan, dalam bilik Jayanegara sekalipun! Para prajurit berloncatan memeriksa ruangan itu. Mereka tidak menemukan siapa pun. Barulah para Winehsuka masuk ikut mengadakan pemeriksaan. Perhatian Ra Banyak tertuju ke pintu lorong bawah tanah yang berada di bawah lempengan meja batu.
Ra Yuyu dan Ra Banyak manggut-manggut. Tidak terpikir sebelumnya lorong di bawah tanah itu akan dimanfaatkan oleh Bhayangkara untuk menyelinap masuk. Ra Yuyu dan Ra Banyak merasa sangat bodoh. Penjagaan itu tidak ada gunanya karena lorong yang tembus langsung ke dalam bilik pribadi Jayanegara yang akan digunakan Ra Kuti itu dibiarkan terbuka tidak terjaga.
"Mereka masuk melalui lorong bawah tanah," ucap Ra Yuyu pada Ra Kuti.
Ra Kuti masih terdiam. Kejengkelannya nyaris meretakkan isi dada, mencabik-cabik jantungnya.
"Sumbat lorong itu," berteriak Ra Kuti, "aku tidak ingin ada binatang jenis apa pun yang keluar masuk dari lorong itu. Juga bersihkan tempat ini!"
260 Gajahmada 31 Dalam pada itu, dengan cermat Bhayangkara Lembang Laut dan Gagak Bongol menyelinap ke sana kemari tanpa mengundang rasa curiga. Sesekali mereka harus mengendap-endap dan bertiarap. Sesekali pula mereka harus melenting dan melenyapkan tubuh di balik bayang-bayang pohon. Pengenalan mereka atas segenap sudut istana amat memudahkan gerakan mereka.
Akhirnya, keduanya sampai di gedung penjara.
"Siapa yang masuk?" bisik Gagak Bongol.
Kedua prajurit itu tersenyum dan saling pandang.
"Biar aku saja," jawab Lembang Laut, "aku yang masuk, amankan di luar."
"Baik!" jawab Gagak Bongol.
Dua Bhayangkara itu bergerak sangat gesit dan cekatan. Dua orang prajurit yang berjaga-jaga di depan pintu, bergelimpangan tanpa menyadari apa yang telah terjadi dan menimpa mereka. Waktu yang tersedia sangat sempit. Bhayangkara Lembang Laut harus memanfaatkan kesempatan itu dengan baik. Mapatih Tadah kaget ketika pintu besi yang mengurungnya dibuka orang.
"Mapatih!" bisik Lembang Laut.
Mahapatih Tadah tercekat.
"Kau?" Mahapatih Tadah kaget melihat siapa yang datang. Tentu saja Mahapatih Tadah mengenal Lembang Laut dengan baik sebagaimana mengenal Bekel Gajahmada sebagai prajurit Bhayangkara yang baik.
"Maaf aku terlambat Mapatih," berkata Lembang Laut. "Kakang Bekel Gajahmada memerintahkan kepadaku untuk menjemput Mapatih.
Mari Mapatih, kita harus segera meninggalkan tempat ini."
Gajahmada 261 Mapatih Tadah tersenyum. Arya Tadah memang telah menduga, Bhayangkara tak akan tinggal diam melihat Arya Tadah dijebloskan ke penjara. Pasukan Bhayangkara pasti sudah mendengar nasib yang menimpanya. Namun, Tadah tidak mengira akan secepat itu Bhayangkara bertindak. Tadah yakin meski istana telah dipagar betis dan tidak mungkin ditembus, bukan pekerjaan yang mustahil bagi pasukan Bhayangkara, pasukan yang dilatih agar cukat trengginas terampil menghadapi keadaan apa pun. Lebih dari itu, Bhayangkara juga dilatih untuk selalu menggunakan akal menyiasati keadaan yang mustahil.
Tak aneh kalau kini Tadah melihat Bhayangkara berada di hadapannya.
"Bagaimana dengan Sri Baginda?" bertanya Tadah.
Bagi Tadah berita mengenai Sri Jayanegara adalah hal paling penting melebihi keselamatannya sendiri.
"Jangan cemaskan Sri Baginda, Mapatih," jawab Lembang Laut.
"Kakang Bekel Gajahmada telah mengungsikan Tuanku Jayanegara ke tempat yang aman. Ra Kuti tak mungkin menjangkau Sri Baginda."
Apa yang disampaikan Bhayangkara Lembang Laut itu amat menenteramkan hati Arya Tadah.
"Syukurlah," kata Tadah, "sekarang hatiku merasa tenang. Kini terbuktilah bahwa ternyata lorong di bawah tanah yang kubangun itu bermanfaat. Ra Kuti yang sudah mengepung istana itu tentu kaget. Tidak mengira ada jalan hantu yang menghubungkan istana dengan kepatihan."
Sebelum meninggalkan pakunjaran, Arya Tadah memandangi sosok tubuh yang meringkuk tergeletak di sudut ruangan itu. Bhayangkara Gagak Bongol segera mengenali orang itu sebagai Temenggung Pujut Luntar. Gagak Bongol tak kuasa menahan rasa herannya karena tubuh yang meringkuk itu tanpa nyawa.
"Bukankah itu Pujut Luntar?" bertanya Bongol.
"Ya," jawab Arya Tadah. "Pujut Luntar masuk dalam jenis golongan orang yang tak punya kemampuan menerima keadaan. Kematiannya bukan karena luka-lukanya. Ia bunuh diri."
262 Gajahmada Dengan perhitungan yang sangat cermat dan didukung oleh persiapan yang matang, Bhayangkara Gagak Bongol bekerja sama dengan Lembang Laut berhasil menyelamatkan Mapatih Arya Tadah, orang kedua yang sangat berpengaruh di Majapahit setelah Jayanegara.
Hanya sejenak setelah Bhayangkara berhasil membebaskan Arya Tadah, barulah dua orang prajurit yang mendapat giliran menjaga penjara kaget melihat teman-temannya telah bergelimpangan menjadi mayat, tidak seorang pun yang masih hidup, semuanya mati. Prajurit itu lebih kaget lagi karena tidak menemukan Arya Tadah di penjara itu.
Dengan bergegas kedua prajurit itu melaporkan temuannya pada Ra Pangsa. Pangsa yang bertanggung jawab terhadap penjara kaget bukan kepalang. Dengan dikawal oleh beberapa prajurit, Pangsa segera melakukan pemeriksaan. Benar apa yang dilaporkan prajurit itu, Tadah memang telah hilang tak diketahui ke mana.
Ketika telah berhadapan dengan Ra Kuti, Ra Pangsa tidak tahu harus memulai laporannya dari mana. Laporan tentang lenyapnya Tadah tentu bukan laporan yang menyenangkan bagi Ra Kuti. Pangsa pasti kena damprat.
"Ada apa?" bertanya Ra Kuti dengan datar, tetapi sangar.
Ra Pangsa menengadah. "Maaf, Ra Kuti," Ra Pangsa akhirnya membuka mulut. "Ada sesuatu yang amat penting harus kulaporkan. Arya Tadah lenyap."
Ra Kuti terbelalak. Beberapa jenak matanya melotot. Beberapa jenak lamanya Ra Kuti harus berdamai dengan dirinya sendiri. Akan tetapi, berita lenyapnya Tadah bukanlah berita yang gampang didamaikan. Berita hilangnya Arya Tadah bisa menjadi sumber kesulitan di kemudian hari.
Jayanegara belum berhasil ditangkap, bisa menyebabkan kedudukannya sebagai raja yang baru belum dianggap sah. Lenyapnya Mapatih Arya Tadah diyakini akan makin menambah keruwetannya. Bisa saja Arya Tadah menggalang kekuatan untuk melawannya.
Ra Kuti pusing tujuh keliling. Ra Kuti ingin sekali membenturkan kepalanya ke dinding untuk menghilangkan pusing itu. Jika hal itu Gajahmada 263
dilakukan, pusing yang amat mengganggu itu mungkin lenyap bersamaan dengan kepalanya yang retak.
"Lenyap bagaimana?" Rakrian Kuti tersengal, sesak napasnya kumat.
Ra Pangsa menunduk. Laporan itu membuat Ra Kuti benar-benar tak senang. Lenyapnya Tadah itu juga membuat dirinya seperti orang yang paling bodoh di dunia. Hanya sebuah pekerjaan amat remeh, sekadar mengamankan Arya Tadah, ternyata Ra Pangsa tak berhasil melaksanakan pekerjaan itu dengan baik.
"Prajurit penjaga penjara ditemukan bergelimpangan mati. Pintu ruangan yang digunakan Arya Tadah terbuka. Arya Tadah tak ada lagi di sana. Lenyapnya Tadah jelas perbuatan Bhayangkara," tambah Ra Pangsa.
Ra Kuti benar-benar merasa terhantam. Seolah sebuah alugora yang amat besar diayun dengan deras menghajar dadanya. Betapa sakitnya harus dirasakan. Terlihat dan terasalah kini, meski Ra Kuti berhasil menggusur Jayanegara ternyata tidak dengan serta-merta kekuasaan yang mutlak sudah berada dalam genggaman tangannya. Meski istana berhasil dikuasai, dari kegelapan malam atau sudut-sudut bangunan istana, prajurit Bhayangkara bisa membidikkan panah atau melempar pisau menghunjam dadanya. Atau, bisa pula Bekel Gajahmada muncul, mencekik lehernya dan menghunjamkan keris yang amat beracun tembus ke perutnya.
"Keparat," desis Ra Kuti yang mulai ngeri membayangkan semua itu.
Rakrian Kuti gelisah memerhatikan beberapa orang prajurit yang bekerja keras menyumbat lorong bawah tanah yang tembus ke ruangan itu. Ra Kuti beranggapan istana masih belum aman sebelum lorong itu disumbat. Bahkan, Ra Kuti kemudian merasa yakin para Bhayangkara berhasil keluyuran di lingkungan istana dan mencuri Mahapatih Arya Tadah, mereka berhasil masuk melalui lorong bawah tanah itu. Ra Kuti yang kelelahan butuh tidur. Padahal, untuk bisa tidur dengan nyenyak dibutuhkan ketenangan. Bagaimana pikiran bisa tenang jika Bhayangkara
264 Gajahmada bisa dengan leluasa menyelinap ke dalam istana dan bisa jadi Bhayangkara menyelinap lalu membunuhnya saat terlelap.
Setelah lorong bawah tanah itu disumbat dengan kuat baru Ra Kuti yang gelisah itu merasa tenang. Ra Kuti segera berbaring untuk melupakan apa pun. Ia ingin melupakan Jayanegara, bahkan melupakan hasil kerja besar yang telah diperolehnya meski dengan cara sangat berdarah. Supaya Ra Kuti bisa tidur, bilik pribadi Sri Jayanegara itu dijaga dengan ketat.
Ra Banyak memerintahkan sekelompok prajurit dibekali perintah untuk berada dalam kesiagaan tertinggi. Ra Banyak juga mengirim prajurit untuk menjaga ujung lorong di pekarangan wisma kepatihan. Mereka juga dibekali tugas untuk menjaga wisma kepatihan dengan kesiagaan tertinggi. Padahal, sebenarnya para prajurit itu amat kelelahan.
32 Akibat perang yang terjadi dan kehadirannya nyaris tak terbayangkan siapa pun, kotaraja Majapahit benar-benar berubah menjadi kota mati. Majapahit seolah menjadi kuburan raksasa yang memberikan ruang amat luas berupa ketakutan kepada siapa pun. Sejak matahari tenggelam, tak ada lagi rumah yang masih terbuka. Bahkan, sebenarnya sejak pertempuran berkecamuk, tak seorang pun yang berani membuka pintu.
Malam menjadi gelap gulita dan mendung tebal memayungi langit.
Malam amat pekat karena tidak sebuah rumah pun menyalakan lampu ublik.
Dalam keadaan yang demikian itu yang sangat tersiksa adalah anak-anak kecil. Dengan susah payah orang tuanya berusaha menenangkan Gajahmada 265
anak-anaknya. Bagi anak-anak, di malam yang pekat seperti itulah hantu-hantu yang gemar memangsa bocah mulai bermunculan. Bocah dan anak-anak yakin di pekatnya gelap malam, hantu pocongan dan wedon bisa muncul dengan tiba-tiba untuk memangsa mereka. Bagi mereka tentu mengerikan sekali kalau dimangsa wedon, sejenis hantu tidak berkepala yang gemar menghisap darah. Jika seseorang mati karena darahnya habis diisap wedon maka akan tiba gilirannya orang itu juga menjadi wedon.
Ketakutan yang amat kental bercampur duka yang sempurna juga dirasakan oleh mereka yang kehilangan anggota keluarganya. Malam telah turun, tetapi sang anak yang telah beranjak dewasa belum pulang juga. Meski kedua orang tuanya gelisah, apalah yang bisa mereka kerjakan.
Untunglah mereka masih merasa mempunyai sandaran tempat untuk memanjatkan doa.
Di tempat yang lain lagi, seorang istri yang baru saja melahirkan anak pertama sangat gelisah karena belum memperoleh kabar nasib suaminya. Ibu muda itu hanya bisa menangis. Sebenarnya suami ibu muda itu termasuk di antara para prajurit yang terbunuh di medan peperangan. Hanya saja, belum ada yang mengabarkan berita itu kepadanya. Bila esok harinya nanti berita kematian suaminya sudah diperoleh, wanita itu akan menangis melolong dan pingsan berkali-kali.
Nasib serupa masih menimpa banyak perempuan lain, yang mendadak menjadi janda karena ditinggal suami untuk selamanya. Tanpa mimpi apa pun sebelumnya, tiba-tiba mereka kehilangan suami dan ayah yang selama ini menjadi pengayom keluarganya. Mereka yang kehilangan orang-orang yang dikasihi itu umumnya masih berharap apa yang terjadi itu hanyalah mimpi. Seburuk apa pun peristiwa yang terjadi dalam mimpi masih memberi kesempatan untuk terbangun dan bernapas lega.
Sayang sekali, perang berdarah yang menyentakkan Majapahit di pagi buta itu bukanlah mimpi. Perang itu benar-benar nyata. Jika nantinya mereka terbangun, keadaan yang mereka hadapi akan tetap sama. Suami yang tidak kembali itu akan tetap lenyap.
266 Gajahmada Dalam pada itu, para prajurit yang semula mendapat tugas melakukan penggeledahan dari rumah ke rumah berupaya menemukan Jayanegara, nyali mereka menciut saat mengetahui kabar teman-temannya yang bernasib celaka. Sebagian prajurit yang berjiwa rendah bermaksud memanfaatkan keadaan itu untuk bersenang-senang. Namun, kini mereka harus berpikir dua kali untuk melakukan penjarahan, apalagi pemerkosaan karena dari kegelapan malam anak panah tak bermata bisa saja menyambar tengkuknya.
Apa yang terjadi dan menimpa kawan-kawan mereka itu diyakini sebagai ulah Bhayangkara yang marah melihat perbuatan biadab yang mereka lakukan. Pasukan Bhayangkara yang ramping dan jumlahnya tidak banyak itu seolah mampu berada di mana-mana, membayangi apa pun yang mereka kerjakan. Jika sampai terjadi pasukan pemberontak itu menyakiti hati rakyat dengan melakukan pemerkosaan atau penjarahan maka bisa diyakini nasib mereka akan menjadi buruk. Apalagi, ternyata prajurit dari pasukan khusus Bhayangkara itu mampu menyusup ke lingkungan istana, membuat kalang kabut Rakrian Kuti dan membebaskan Tadah. Padahal, istana telah dijaga dengan ketat dan memustahilkan siapa pun untuk bisa menyusup ke dalamnya.
Sebenarnyalah, di malam yang pekat itu Bhayangkara malah mampu bergerak dengan leluasa. Bahkan, seolah-olah meski Ra Kuti berhasil menguasai istana, jalanan di dalam wilayah kotaraja mutlak berada dalam kekuasaan Bhayangkara. Dengan demikian, tidak ada lagi prajurit yang berani berkeliaran sendiri. Bahkan, berkelompok sekalipun mereka belum tentu berani karena mungkin saja dari kegelapan sebuah batu sekepalan tangan tiba-tiba menyambar kepala atau sebatang warastra menyambar tembus ke matanya.
Malam pun bergerak dengan pelan. Siapa pun akan merasa malam kali ini berjalan amat lamban. Banyak orang berharap malam akan segera berlalu digantikan oleh datangnya pagi. Namun, tidak kalah banyak pula yang berharap sang waktu berhentilah di situ. Jangan ada lagi pagi yang datang, jangan ada lagi kehidupan yang berjalan karena tidak ada gunanya.
Peristiwa mengerikan yang mereka alami menyebabkan mereka tak berharap melihat datangnya pagi. Sedemikian ngeri seorang gadis dalam Gajahmada 267
memandang masa depan yang amat suram karena dirinya telah dijamah, dikoyak-koyak oleh pemerkosa, gadis itu merasa tidak ada gunanya lagi hidup di dunia. Gadis itu mencoba mengakhiri hidupnya dengan membenamkan sebuah cundrik ke perutnya. Kedua orang tuanya terpaksa harus menjaga gadis itu supaya tidak kehilangan akal.
"Aku tidak kuat lagi," Sri Jayanegara yang berjalan terseok-seok itu akhirnya tidak tahan lagi.
"Kita harus terus berjalan, Tuanku," ucap Bekel Gajahmada.
"Tujuan kita sudah dekat. Tuanku nanti bisa beristirahat sepuas-puasnya."
Sri Jayanegara benar-benar mengalami keletihan yang luar biasa.
Sejak petang Bekel Gajahmada mengajaknya berjalan dan terus berjalan ke arah barat. Perjalanan yang nyaris tanpa ujung itu menyebabkan kedua kakinya ngilu, bahkan bengkak. Sebaliknya, Gajahmada merasa tempat itu terlalu dekat dengan kotaraja. Bisa saja sekelompok prajurit yang sedang nganglang memergoki mereka.
"Aku tak peduli akan kaubawa ke mana," lanjut Jayanegara. "Tetapi mestinya aku ditandu. Aku seorang raja, kauperlakukan Sri Jayanegara seperti ini."
Bekel Gajahmada memandang Jayanegara. Namun, raut wajah Raja Majapahit itu tidak terlihat karena gelap malam membungkusnya.
Sebagian langit berbintang, sebagian lagi terbungkus oleh mendung tebal.
Gemerlap bintang-bintang yang ada terlalu lemah untuk memberi cahaya menerangi wajah Jayanegara atau Gajahmada.
"Hamba Tuanku," Bekel Gajahmada berbicara dengan tenang.
"Apabila hamba memenuhi permohonan Tuanku untuk ditandu maka dengan sangat mudah Ra Kuti akan menemukan jejak Tuanku. Kalau ada seseorang ditandu melewati daerah ini, penduduk akan dengan mudah mengambil simpulan orang yang berada dalam tandu tentu orang penting."
Jayanegara tak lagi merajuk.
"Tempat ini masih terlalu dekat dengan kotaraja," Gajahmada melanjutkan. "Pasukan berkuda mempunyai daerah jelajah jauh lebih 268
Gajahmada luas dari tempat ini. Mereka bisa menjangkau Madiun di barat dan Pasuruhan Probolinggo di timur, bahkan bisa sampai di Benteng Pajarakan hanya dalam waktu sehari. Nasib malang dan amat buruk akan menimpa Tuanku jika tak segera menjauh dari kotaraja."
"Aku lelah sekali," jawab Jayanegara. "Aku benar-benar tidak mampu lagi berjalan. Terserah kalau kau akan menggendongku, kalau harus berjalan kakiku kaku semua."
Mendapat jawaban itu menyebabkan Gajahmada tidak bisa menahan tawanya. Apa boleh buat, meski cemas Gajahmada memang harus memberi kesempatan kepada Sri Jayanegara untuk beristirahat.
Namun, Gajahmada segera membayangkan keluhan yang lain.
"Nyamuk sialan," umpat Jayanegara. "Apakah nyamuk di tempat ini benar-benar sudah kelaparan hingga mereka berperilaku ganas seperti ini" Apakah mereka tidak tahu aku ini Jayanegara?"
Nyamuk-nyamuk memang tidak peduli siapa pun. Tak peduli raja atau orang biasa. Untuk pertama kalinya sepanjang hidupnya Jayanegara merasa sangat menderita. Sebagai raja ia disembah dan segala kehendaknya selalu dilaksanakan. Kini keadaan telah berubah sama sekali.
Ra Kuti telah menggusurnya hingga Jayanegara harus terlunta-lunta.
Nyamuk dan gatal di sekujur tubuhnya membuat Jayanegara sangat menderita. Jayanegara menjadi heran melihat Bekel Gajahmada tidak merasakan semua itu.
"Apakah kaukebal gigitan nyamuk?" tanya Jayanegara.
"Tentu tidak Tuanku," jawab Bekel Gajahmada. "Untuk menjadi prajurit lebih-lebih prajurit Bhayangkara harus melewati pendadaran yang sangat berat. Tubuh harus kuat, terampil menghadapi medan macam apa pun, terampil dalam olah peperangan. Dalam perang seorang prajurit harus mampu mempertahankan diri menghadapi keadaan macam apa pun termasuk keadaan ini. Perjalanan jauh, gigitan nyamuk, tidak ada artinya apa-apa. Prajurit digembleng sedemikian kerasnya adalah untuk bela negara dan melindungi keselamatan Tuanku.
Oleh karena itu, hamba berpendapat tidak ada salahnya jika Tuanku harus mampu berjalan. Meski Tuanku seorang raja, jangan mau kalah dengan prajurit."
Gajahmada 269 Jayanegara terdiam. Ucapan Bhayangkara Gajahmada itu mampu menggugah semangatnya. Jayanegara akan berdiri, tetapi kakinya benar-benar terasa nyeri. Jayanegara tak mampu bangkit.
"Aku tidak kuat!" suara Jayanegara lirih.
Gajahmada menghela napas.
"Hamba Tuanku," Gajahmada menjawab. "Sebenarnya Tuanku mampu. Hambatan yang Tuanku alami terletak pada kemauan.
Bangkitkan kemauan itu, bayangkan Ra Kuti di belakang sana dengan pasukan segelar sepapan tengah memburu Tuanku. Jika Tuanku berhasil ditangkap, Tuanku akan dijadikan pengewan-ewan. Tuanku akan dipermalukan di alun-alun. Setiap orang diwajibkan menghukum picis.
Keadaan itu sangat mengerikan. Oleh karena itu, kita harus berjalan.
Jika perlu sampai pagi kita harus terus berjalan."
Ucapan Bekel Gajahmada ternyata berhasil menggugah. Sri Jayanegara bangkit dan berdiri. Dengan langkah tegap Sri Jayanegara mengayun kaki. Gajahmada tersenyum ketika sejenak kemudian langkah tegap itu kembali berubah ke langkah lemas lunglai.
Meski lambat, Bekel Gajahmada dan Jayanegara terus bergerak makin jauh meninggalkan kotaraja. Sebisa-bisa Bekel Gajahmada berusaha menghindar jika berpapasan dengan orang. Jika perlu bersembunyi lebih dahulu. Namun, setelah melewati bulak panjang, sebuah perkampungan menghadang di depan. Para penduduk di kampung itu rupanya telah mendengar apa yang terjadi di istana.
Didorong oleh keinginan untuk menjaga dan mengamankan pedukuhan mereka sendiri, para pemuda dan bebahu pedukuhan mengadakan penjagaan.
"Kenapa berhenti?" bertanya Jayanegara yang merasa heran.
"Di depan banyak orang menghadang, Baginda," jawab Gajahmada. "Mungkin penduduk yang sudah mendengar kabar kotaraja Majapahit, mereka mengadakan pengamanan atas pedukuhan mereka."
Jayanegara yang tidak melihat apa pun merasa heran.
270 Gajahmada "Bagaimana kaubisa tahu di depan ada banyak orang?" tanya Jayanegara. "Aku tidak mendengar apa pun. Aku juga tidak melihat apa pun. Bagaimana kau bisa tahu Gajahmada?"
Sebagai prajurit, lebih-lebih prajurit Bhayangkara, Gajahmada dituntut selalu waspada dan mampu membaca keadaan.
"Tuanku," berkata Gajahmada.
Jayanegara mengusap wajahnya yang berdebu.
"Bagaimana?" balas Jayanegara.
"Kita akan menghadapi banyak pertanyaan dari orang yang punya rasa ingin tahu macam-macam. Untuk menghadapi pertanyaan itu kita harus menyediakan jawaban. Kita ini pengungsi karena kotaraja dilanda rusuh. Mohon jangan meninggalkan jejak dengan mengaku sebagai Sri Jayanegara."
"Kalau begitu, aku ini siapa?" potong Jayanegara.
"Nama Tuanku Dharma. Nama hamba Pahanggati. Kita berdua bersaudara dan tengah menempuh perjalanan mengungsi."
Jayanegara tertawa. "Enak saja kamu," berbicara Jayanegara. "Kaupilihkan sebuah nama yang jelek untukku kau sendiri memakai nama yang baik."
"Kalau begitu terserah Tuanku akan menggunakan nama apa."
Sebenarnyalah pintu pedukuhan itu telah dijaga dengan amat ketat oleh para pemuda yang tidak menginginkan kerusuhan dan kekacauan menjalar di pedukuhan mereka. Beberapa orang pemuda berloncatan mengepung. Senjata yang mereka gunakan telah telanjang bulat dari sarungnya.
Bekel Gajahmada kaget dan menggigil ketakutan.
"Siapa kalian?" bentak salah seorang pemuda.
Gajahmada bertambah gugup, "Saya tidak bersalah apa-apa Kisanak. Saya hanya akan lewat. Saya tidak punya maksud buruk di pedukuhan ini."
Gajahmada 271 Para pemuda yang lain berlarian mendekat.
"Kami tak percaya," salah seorang pemuda membentak. "Kalian tentu bermaksud buruk datang ke sini."
Jayanegara menggigil. Jayanegara yang seumur hidupnya belum pernah dibentak orang, tak bisa menerima perbuatan orang yang dianggapnya kurang ajar itu. Akan tetapi, Gajahmada segera menggamit kakinya. Jayanegara terdiam dan harus menyabarkan diri.
"Kami tidak punya maksud buruk apa pun Kisanak," jawab Gajahmada. "Kami hanya ingin lewat. Apakah daerah ini tertutup, tak boleh dilewati orang dari luar?"
Pertanyaan yang kedengarannya sederhana dan lugu itu membuat para pemuda itu terbungkam dan saling pandang. Seorang lelaki dengan usia lebih tua melangkah mendekat. Suaranya tenang dan bersahabat.
Seorang pemuda datang dengan obor di tangan. Dengan obor menyala mereka bisa mengamati wajah orang yang baru datang.
"Siapakah kalian berdua, Kisanak?" tanya orang itu. "Dari mana kalian berasal?"
Jayanegara akan membuka mulut, tetapi lagi-lagi Bekel Gajahmada menggamitnya.
"Namaku Pahanggati, Kisanak," jawab Bekel Gajahmada. "Dan ini saudaraku, Kakang Dharma. Kami dari kotaraja."
Bahwa dua orang pejalan di waktu malam itu menyebut kotaraja memancing rasa ingin tahu semua pemuda dan bebahu yang berjaga di mulut pedukuhan itu. Berita tentang kraman yang terjadi di kotaraja telah sampai pula di tempat itu dan dibicarakan dengan riuh oleh segenap penduduk.
"Jadi, kalian penduduk kotaraja?" kembali orang itu bertanya.
"Benar," jawab Bekel Gajahmada. "Kami penduduk kotaraja. Saat ini kotaraja sedang kisruh karena terjadi kraman. Perampokan, penjarahan, dan pemerkosaan terjadi di mana-mana. Karena merasa tidak aman, kami memilih pergi meninggalkan kotaraja. Seharian kami berjalan dalam 272
Gajahmada ketakutan. Kalau Kisanak semua tidak keberatan, berilah kami minum.
Kami benar-benar haus dan lapar."
Ucapan Gajahmada itu terdengar memelas dan langsung menyentuh hati nurani. Kecurigaan yang timbul seketika luntur. Seorang pemuda segera berlari menuju ke gardu parondan, ketika pemuda itu kembali telah membawa sebuah kendi. Tangan kanannya memegang nampan berisi singkong rebus. Bekel Gajahmada menerima kendi itu dan menyerahkannya kepada Jayanegara.
Tanpa berbasa-basi Jayanegara meneguk langsung dari kendi.
Sedemikian dahaganya Jayanegara, terlihat dari bagaimana ia minum.
Jayanegara juga menyantap singkong itu. Sejenak Jayanegara sempat terpesona oleh betapa lezatnya singkong itu. Rasa lapar dan dahaga yang luar biasa menyebabkan minuman dan makanan yang sederhana itu menjadi lezat luar biasa. Rasa haus dan lapar yang ditunjukkan kedua orang itu menyebabkan semua orang tersentuh hatinya. Mereka justru memberi kesempatan kepada keduanya untuk makan dan minum sepuasnya.
"Terima kasih," ucap Gajahmada. "Begitu laparnya kami, begitu hausnya kami menyebabkan kami lupa mengucapkan terima kasih."
"Ya," Kalagemet menambahkan, "maafkan kami lupa mengucapkan terima kasih."
Para peronda penjaga pedukuhan merasa senang karena kedua orang itu makan dan minum dengan lahapnya. Salah seorang dari mereka tiba-tiba ingat, di rumah ia punya pisang matang setandan. Ia segera berlari pulang ke rumahnya yang tidak jauh. Ketika kembali ia membawa pisang setandan itu dan langsung disuguhkan. Jayanegara seperti orang yang membalas dendam. Pisang itu pun disantapnya.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi di kotaraja?" tanya salah seorang penduduk.
Gajahmada bergegas menelan singkong rebus yang mengganjal lehernya.
"Apakah Kisanak semua sudah pernah mendengar nama Rakrian Kuti yang baru-baru ini dianugerahi gelar sebagai Dharmaputra Winehsuka oleh Sri Baginda Jayanegara?" Gajahmada bertanya.
Gajahmada 273 Para penjaga ketenteraman pedukuhan itu saling pandang.
"Apa yang dilakukan Winehsuka?" tanya salah seorang dari mereka.
Semua yang hadir menjadi tegang. Belum lama berlalu mereka mendapat kabar yang mengagetkan tentang kraman yang terjadi. Namun, mereka belum memperoleh gambaran yang utuh apa yang sebenarnya terjadi di kotaraja. Kini mereka akan memperoleh keterangan yang mencemaskan itu.
"Pagi tadi," berkata Gajahmada, "Winehsuka menggelar perang yang amat berdarah. Ra Kuti mbalela dan berusaha menggulingkan Tuanku Jayanegara. Perang pecah di kotaraja dan terus berlangsung sehari penuh. Tiga pasukan segelar sepapan yang dimiliki Majapahit, pasukan Jalayuda, Jalapati, serta pasukan Jala Rananggana saling gempur. Korban yang jatuh tak terhitung lagi. Sampai-sampai di langit penuh dengan burung pemangsa bangkai yang beterbangan."
Bekel Gajahmada memungut pisang dan mengupasnya. Semua perhatian tertuju kepadanya. Tak seorang pun peronda penjaga ketenteraman pedukuhan itu yang membuka mulut. Mereka semua diam, menyimak keterangan yang diberikan orang yang mengaku bernama Pahanggati itu dengan penuh perhatian. Salah seorang dari mereka tidak sabar.
"Bagaimana dengan nasib Tuanku Jayanegara?"
Kali ini perhatian tertuju kepada Dharma. Dharma yang perutnya sudah kenyang menggantikan Pahanggati untuk bicara.
"Gempuran yang dilakukan Ra Kuti itu tidak bisa ditahan," Dharma berbicara. "Dengan dikawal oleh prajurit Bhayangkara, Tuanku Jayanegara itu berhasil meloloskan diri. Segenap prajurit kaki tangan Ra Kuti saat ini disebar ke mana-mana untuk menangkap Jayanegara hidup atau mati."
Ketegangan itu makin memuncak.
"Jadi, yang menjadi raja sekarang Ra Kuti?"
Dharma terdiam. Pertanyaan yang sederhana itu terdengar risih di telinganya. Dharma agak kebingungan.
274 Gajahmada "Apakah menurut Kisanak semua, meskipun Ra Kuti berhasil menggusur Jayanegara, akan dengan serta-merta Ra Kuti menjadi raja?"
tanya Kalagemet. Pertanyaan itu sangat mengusik. Para peronda penjaga ketenteraman pedukuhan itu saling pandang. Pertanyaan yang dilontarkan Dharma itu memang mengganggu hati mereka.
Salah seorang dari mereka benar-benar terusik nuraninya.
"Ra Kuti itu siapa?" ucapnya dengan nada kurang begitu senang.
"Ra Kuti dan para Winehsuka itu tak punya andil apa-apa dalam membangun Majapahit. Raden Wijaya yang telah dengan susah payah membangun negeri ini. Jika Raden Wijaya yang mangkat mewariskan kekuasaannya kepada Tuanku Jayanegara itu karena Tuanku Jayanegara putranya. Ra Kuti itu siapa berani-beraninya melakukan kraman" Ra Kuti menjadi raja" Siapa yang sudi menerima Ra Kuti menjadi raja?"
Suasana kembali senyap. Jayanegara yang menggunakan nama Dharma itu kembali memungut singkong rebus. Masih dengan lahap Jayanegara yang merasa lapar itu mengunyahnya. Salah seorang pemuda yang semula lebih banyak diam tidak suka bicara batuk-batuk. Udara dingin malam mengganggu tenggorokannya. Akan tetapi, pemuda yang lebih suka membungkus tubuhnya dengan hangatnya kain itu tidak ketinggalan ikut menyuarakan isi hatinya.
"Bagiku, siapa pun yang menjadi raja, aku tidak peduli," ucap pemuda itu datar dan agak mengagetkan. "Siapa yang menjadi raja, apa itu Jayanegara atau Ra Kuti, aku tak peduli. Selama menjadi raja Sri Jayanegara belum pernah singgah atau punya kepedulian terhadap pedukuhan ini. Yang terjadi di kotaraja itu bukan urusanku. Ra Kuti mau menjadi raja, tidak ada salahnya kalau ia mampu membawa kesejahteraan bagi segenap rakyat."
Pendapat itu terdengar nyeleneh. Jayanegara sendiri kaget mendengar ucapan itu. Nyaris saja Jayanegara bangkit dan menampar orang itu, tetapi Bekel Gajahmada lagi-lagi menggamit lengannya. Jayanegara harus menyabarkan diri. Bekel Gajahmada memberi contoh menekan dada dan menarik napas panjang. Jayanegara mengikutinya.
Gajahmada 275 "Pendapatmu aneh sekali," terdengar seseorang bicara lirih.
Kini, semua perhatian tertuju pada pemuda sakit-sakitan yang berkemul sarung itu.
"Lihatlah apa yang terjadi pada Kediri," lanjut pemuda itu. "Pada saat itu yang menjadi raja Sri Baginda Kertajaya. Sebagai raja, Kertajaya tak memikirkan kesejahteraan rakyatnya, kelaparan di mana-mana.
Punggawa istana, para prajurit sampai bebahu pedukuhan tak segan-segan memeras rakyat, bahkan yang lebih gila menganggap dirinya titisan Tuhan atau para dewa di langit dan memerintahkan kepada para pemuka agama untuk menyembahnya sebagai titisan dewa itu. Pendek kata, kehidupan amat susah. Lalu muncul Ken Arok. Ken Arok yang berasal dari Pakuwon kecil Tumapel mampu menggusur Sri Kertajaya kemudian tampil sebagai seorang raja yang besar. Pamor pemerintahan Kediri menjadi tidak ada artinya sama sekali dibanding pemerintahan Singasari yang mampu memakmurkan kehidupan rakyatnya."
Merah padam wajah Jayanegara. Untung pada saat itu gelap gulita.
Dengan demikian, tak seorang pun melihat perubahan pada wajahnya.
Gajahmada menggamit Jayanegara, memberi isyarat untuk diam.
"Awalnya kawula Kediri mungkin bertanya-tanya dan sulit menerima, siapakah itu Ken Arok" Apa hak Ken Arok menjadi raja"
Ken Arok bukan keturunan Darmawangsa dan Airlangga. Ia bahkan bekas seorang perampok yang malang melintang di ujung selatan hingga ke utara, bahkan bagaimana dan dari mana asal usulnya tak seorang pun yang tahu. Namun, karena Ken Arok mampu membawa Singasari menjadi sebuah negara yang besar dan rakyat hidup makmur tidak seorang pun yang mempersoalkan dengan cara bagaimana Ken Arok meraih puncak tampuk pimpinan. Kurasa demikian pula dengan Ra Kuti. Kalau Ra Kuti mampu membuktikan dirinya pantas menjadi raja, apa salahnya?"
Gajahmada yang memakai nama Pahanggati itu manggut-manggut.
"Tampaknya Kisanak kurang begitu suka kepada Tuanku Jayanegara?" Gajahmada memancing.
276 Gajahmada "Tidak," jawab pemuda dengan kemul sarung itu, "selama ini aku belum pernah bertemu dengan Tuanku Jayanegara. Aku tidak punya alasan untuk membenci beliau. Menurutku, siapa pun yang menjadi raja, entah Ra Kuti atau Tuanku Jayanegara, harus ngayomi rakyat. Kalau Ra Kuti ternyata bisa tampil menjadi raja yang baik, tidak ada salahnya menerima Ra Kuti."
Pendapat itu ternyata mengusik temannya yang lain, seorang pemuda dengan ikat kepala terbuat dari kain wulung.
"Kurasa Ra Kuti itu ngawur," pemuda itu bicara pendek.
"Heh, ngawur bagaimana?" balas pemuda berkemul sarung.
"Negara ini punya tatanan," jawab pemuda dengan ikat kepala kain wulung itu. "Jika Ra Kuti dibenarkan menjadi raja setelah melakukan kraman maka di lain kali kalau kaumau boleh saja kau melakukan kraman.
Esoknya orang yang lain lagi mengibarkan bendera pemberontakan.
Lalu hidup makmur tenteram kerta raharjanya kapan?"
Sebuah pendapat yang menarik. Jayanegara yang menggunakan nama Dharma itu menyimak dengan saksama. Inilah untuk pertama kalinya Jayanegara mendengarkan langsung apa yang diinginkan rakyatnya, hal yang kelihatannya sepele dan luput dari perhatiannya.
"Lihatlah," lanjut pemuda berikat kepala itu, "kita di sini hanya rakyat kecil. Namun, apa pun yang terjadi di kotaraja, imbasnya pasti mengenai kita rakyat kecil. Kalau saat ini terjadi peperangan maka kita boleh mulai membayangkan dari sekarang, kekacauan akan mengamuk di mana-mana. Perampok yang selama ini bersembunyi mulai bermunculan. Kalau sudah begitu kita yang menderita. Yang kita inginkan hanyalah suasana yang aman, tenang, dan damai. Jika negara tenang, raja memerhatikan nasib rakyat dan rakyat mencintai raja, hidup serba kecukupan, sesama umat manusia hidup rukun dan damai tanpa permusuhan, setiap orang berpapasan selalu melempar senyum maka bayangkanlah betapa indahnya keadaan itu."
Suasana menjadi sunyi senyap. Sri Jayanegara sependapat betapa indahnya keadaan itu. Hidup rukun dan damai, negara aman tenteram.
Betapa indahnya keadaan itu. Akan tetapi, pemuda berikat kepala kain Gajahmada 277
wulung itu barangkali tidak pernah membayangkan betapa berat tugas seorang raja. Menjadi raja tidak hanya sebatas mewarisi takhta dari raja pendahulunya. Menjadi raja harus memikirkan bagaimana merangkum keinginan segenap kawulanya, sejumlah banyaknya manusia yang mengayom serta diayomi Majapahit.
Setelah makan dan minum sepuasnya Jayanegara mulai diserang kantuk. Justru karena itu Bekel Gajahmada segera menggamitnya.
"Kisanak semuanya," Bekel Gajahmada berkata, "aku mengucapkan banyak terima kasih atas sambutan yang sangat bersahabat ini. Sampai kapan pun kami berdua tak akan pernah melupakan kebaikan Kisanak semua. Kami yang nyaris mati merasa mendapat tambahan tenaga dan hidup kembali oleh singkong yang lezat luar biasa ini."
Para peronda itu tertawa. Seorang di antaranya bahkan terkekeh.
"Kami berdua mohon pamit. Kami harus melanjutkan perjalanan, kami berharap besok ketika matahari terbit, kami sudah sampai. Besok kami akan balas dendam dengan tidur sepuasnya."
Peronda yang usianya paling tua mewakili teman-temannya.
"Apakah tak sebaiknya kalian menginap saja," cegahnya. "Besok pagi kalian bisa melanjutkan perjalanan setelah beristirahat semalam.
Tidurlah di rumahku."
Jayanegara berbisik, "sebaiknya kita menginap saja."
Gajahmada menggeleng. "Terima kasih untuk tawaran yang sangat bersahabat itu. Tetapi, kami harus segera pergi."
Para peronda yang ramah itu tidak bisa memaksa. Mereka harus melepas kepergian dua pejalan kaki itu. Agar tidak ada masalah selama masih berada di pedukuhan itu, salah seorang peronda akan mengawal sampai batas pedukuhan.
Kembali Jayanegara merasa jengkel karena Gajahmada menolak tawaran untuk menginap menunggu pagi. Jika menginap, Jayanegara tentu bisa tidur dengan pulas dan tidak perlu berjalan kaki lagi. Letih yang dirasakan amat menggoda, tetapi Gajahmada selalu mengingatkan 278
Gajahmada bahaya yang membayangi mereka. Keberadaan mereka masih dekat dengan kotaraja. Kaki tangan Winehsuka bisa saja menemukan mereka di tempat itu.
Dengan tatapan mata, penduduk pedukuhan itu melepas perjalanan orang yang mengaku bernama Pahanggati dan Dharma itu dengan rasa kasihan. Sejenak kemudian mereka riuh dengan pembicaraan atas pemberontakan yang terjadi itu. Seorang di antara mereka yang mampu bercerita tentang silsilah Ken Arok berbicara riuh soal pemberontakan dan perang yang terjadi. Seorang lagi menimpali dengan kejadian yang belum lama terjadi, perang yang meruntuhkan pilar Singasari akibat gempuran Jayakatwang ketika istana tidak dilindungi prajurit, tetapi seorang di antara mereka tampak termangu, wajahnya tegang, alisnya bahkan mencuat saat dengan sekuat tenaga berusaha mengingat wajah yang pernah dilihatnya di Tralaya.
Mendadak wajah orang itu menjadi tegang. Mendadak orang itu tanpa sadar mencengkeram lengan temannya. Mendadak ia terbelalak dan sesak napas. Lehernya tercekik seperti terganjal singkong.
"Ada apa kau ini?" tanya pemuda yang tangannya dicengkeram.
"Aku ingat sekarang!" orang itu berteriak dengan perasaan meluap.
"Ingat apa?" bertanya yang lain.
Orang itu benar-benar gugup, gemetar, bahkan ketakutan, membuat temannya yang lain kebingungan.
"Kau ini kenapa?" tanya yang berkemul sarung.
"Orang itu tadi, maksudku orang yang bernama Dharma, orang itu adalah Sri Baginda."
Ada desir tajam yang datangnya tiba-tiba serta membungkam mulut semua yang hadir. Sepi yang merampok dengan tiba-tiba itu menghadirkan senyap yang penuh muatan pesona sihir, yang menyebabkan semua orang menjadi patung batu membeku.
"Jangan bikin hatiku deg-degan," berkata salah seorang di antara mereka.
Gajahmada 279 "Aku yakin sekali!" pemuda itu menjawab. "Saat pendadaran prajurit di Tralaya, aku menyaksikan dan berhasil melihat wajah Tuanku Kalagemet Jayanegara. Sekarang aku ingat, orang itulah Tuanku Jayanegara. Orang yang bernama Dharma itu Sri Baginda Jayanegara.
Aku yakin sekali, aku berani bersumpah kejatuhan kerbau atau ditabrak kuda larat, orang tadi itu benar-benar Sri Baginda!"
Maka gejolak yang aneh mengharu biru dan carut-marut di hati mereka.
Dalam pada itu, bintang-bintang gemerlapan di langit yang luas.
Mendung yang semula memayungi kini telah menjauh entah ke mana.
Meski dirasa lambat, jarak yang mereka tempuh makin jauh. Mendekati saat datangnya pagi, Bekel Gajahmada dan Jayanegara memasuki pedukuhan Mojoagung. Sebagaimana pedukuhan lain, penduduk pedukuhan Mojoagung juga sudah mendengar apa yang terjadi di kotaraja. Di pintu pedukuhan terlihat beberapa orang melakukan penjagaan, mengamankan pedukuhan Mojoagung dari kemungkinan buruk.
Gajahmada dan Sri Jayanegara memasuki pedukuhan itu tidak melalui jalan utama, tetapi memilih melewati sawah untuk kemudian mengendap-endap melewati pekarangan orang hingga akhirnya sampai di pekarangan Buyut Mojoagung.
Gajahmada yang telah berada di pekarangan itu bergegas menuju pintu butulan, sebuah pintu yang menghubungkan gandok belakang dengan pekarangan. Merasa keadaan aman, tidak ada orang yang memerhatikan, Bekel Gajahmada segera meloncat. Tubuhnya melenting melintasi dinding kemudian melayang turun. Dari dalam Gajahmada membuka pintu dan mempersilakan Jayanegara masuk.
Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gajahmada kemudian bersiul menirukan suara burung bence.
Beberapa saat Gajahmada menunggu. Ketika pimpinan Bhayangkara itu merasa tidak memperoleh jawaban, sekali lagi Gajahmada bersiul menirukan lengking burung bence. Siulan mirip burung itu menyentuh gendang telinga Ki Buyut. Ki Buyut terbangun kemudian membalas 280
Gajahmada suara itu dengan siulan yang sama. Dengan bergegas, Ki Buyut yang sudah tua usianya itu bangun dari pembaringan dan menuju pintu belakang. Dengan perasaan tegang Ki Buyut Mojoagung memerhatikan siapa yang datang.
"Selamat pagi, Ki Buyut," sapa Gajahmada ramah.
Ki Buyut Mojoagung tidak menjawab. Perhatiannya tertuju kepada orang yang datang bersama Bekel Gajahmada.
"Tuanku Baginda, Ki Buyut!" jelas Gajahmada.
"Oooh," Ki Buyut berdesis, "mari silakan Tuanku, mari."
Ki Buyut membawa kedua tamunya yang datang di pagi buta itu ke ruang tengah. Melihat sebuah dingklik panjang, Jayanegara tidak bisa menahan keinginannya membaringkan diri.
"Apa yang terjadi, Anakngger Bekel?" Ki Buyut tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. "Banyak orang bercerita tentang kerusuhan yang melanda kotaraja. Bagaimana Anakngger?"
Gajahmada menggamit Jayanegara untuk tidak berbaring.
Jayanegara yang mengalami letih luar biasa merasa betapa nikmat saat berbaring itu, nyaris saja Jayanegara lelap dalam mimpi.
"Ramalan yang pernah Ki Buyut katakan itu ternyata terbukti menjadi kenyataan," berkata Gajahmada. "Hari ini Rakrian Kuti berontak dan dengan amat terpaksa karena keadaan tidak aman, Tuanku Jayanegara meloloskan diri dari istana."
Dengan singkat, tetapi jelas Bekel Gajahmada menuturkan bencana yang menimpa istana. Buyut Mojoagung menyimak penuturan itu dengan cermat. Sebagai orang tua yang mempunyai daya linuwih, kewaskitaan yang melebihi orang kebanyakan, Ki Buyut Mojoagung selama ini dibayangi hal-hal buruk yang akan menimpa istana. Bayangan-bayangan yang selalu hadir di benaknya pada saat Ki Buyut mesu budi itu kini hadir dalam peristiwa nyata. Beberapa bulan sebelumnya, Ki Buyut menyampaikan ramalan itu kepada Bekel Gajahmada. Kini terbukti ramalan itu terjadi.
Gajahmada 281 "Ramalan apa?" Sri Jayanegara tidak bisa menahan rasa heran. "Kau tadi menyebut ramalan?"
Gajahmada mengangguk. "Hamba Tuanku," jawab Gajahmada. "Ki Buyut Mojoagung memiliki kemampuan meramal dan mengintip apa yang akan terjadi di waktu yang akan datang. Ki Buyut pernah menyampaikan kepada hamba kemungkinan terjadinya peristiwa buruk yang akan menimpa istana.
Terbukti apa yang diramalkan Ki Buyut itu benar."
Jayanegara termangu. Cerita itu sungguh menarik perhatiannya.
"Kalau begitu, bisakah Ki Buyut meramalkan untukku. Apakah aku akan bisa kembali memegang tampuk pimpinan Majapahit?"
Gajahmada menoleh kepada Ki Buyut.
"Hamba Tuanku," Ki buyut Mojoagung menjawab, "apa yang dikatakan Anakngger Bekel Gajahmada tak semua benar. Terlampau berlebihan jika dikatakan hamba mampu mengintip peristiwa di masa yang akan datang. Yang terjadi adalah hadirnya mimpi yang membuat hamba resah. Lalu hamba mencoba mengotak-atik makna dari mimpi itu. Ternyata perhitungan dan otak-atik itu benar, kini terbukti bencana sedang terjadi dan menimpa Majapahit."
Bekel Gajahmada menyembunyikan senyumnya. Sebenarnyalah Bekel Gajahmada sendiri pernah diramal oleh Ki Buyut Mojoagung itu bahwa di kemudian hari nanti ia akan menjadi orang yang besar.
Gajahmada menganggap apa yang dikatakan Buyut Mojoagung itu sebagai kelekar belaka. Gajahmada tidak pernah menyimpan angan-angan seperti itu.
Maka demikianlah. Di pagi buta itu rumah Ki Buyut telah disibukkan oleh para magersari yang segera turun ke dapur untuk menyiapkan hidangan. Para magersari sebenarnya bertanya-tanya dalam hati, siapa tamu yang tampaknya amat penting itu. Namun, Ki Buyut Mojoagung sama sekali tidak menyebut namanya. Bahkan, istri Ki Buyut juga penasaran. Namun, karena Ki Buyut bersikukuh untuk tak menyebut siapa tamunya maka Nyai Buyut tidak bertanya lagi.
282 Gajahmada Untuk pertama kalinya di sepanjang hidupnya, Sri Jayanegara merasakan betapa nikmatnya mandi pagi dengan air hangat. Juga betapa nikmatnya sarapan dengan lauk yang sebenarnya sederhana, tahu bacem dan pecel serta lalapan kemangi. Jayanegara makan dengan lahap.
Justru karena itu Ki Buyut Mojoagung merasa senang melihat tamunya berkenan dengan hidangan yang sangat sederhana itu.
Jayanegara yang kelaparan menelan sesuap demi sesuap hingga akhirnya Jayanegara lemas. Jika semula ia merasa lemas karena lapar, kini ia lemas karena kekenyangan.
Berbeda dengan Jayanegara, Gajahmada tidak memuasi diri dengan balas dendam makan sekenyang-kenyangnya. Dalam perjalanan hidup yang ditempuhnya Gajahmada selalu sarat dengan laku prihatin, tidak memanjakan diri dan makan sekadarnya dengan membiasakan diri berhenti makan sesaat sebelum kenyang. Bahkan, sebenarnya bukan berhenti makan sesaat sebelum kenyang karena amat mungkin yang dimakan tidak ada.
Fajar menyingsing di langit timur. Surya pagi hari menyapa ramah kepada siapa pun. Justru di saat fajar itu, ketika semua orang memulai kegiatan hidupnya mencari nafkah, Ki Buyut Mojoagung mempersilakan Kalagemet untuk beristirahat. Bahkan, Gajahmada memagari Jayanegara dengan peringatan keras untuk tidak keluar dari dalam bilik. Ki Buyut yang melihat Sri Jayanegara benar-benar letih segera mengundang dukun pijat. Pijatan itu terasa benar-benar nikmat. Dengan cepat Jayanegara terlelap dalam pelukan mimpi.
Di pendapa Kabuyutan yang sederhana, tetapi dikelilingi berbagai jenis tanaman yang asri, Ki Buyut dan Gajahmada berbincang.
"Apa rencana Anakngger selanjutnya?" bertanya Ki Buyut.
Bekel Gajahmada menyapu halaman dengan pandangan matanya.
"Aku akan kembali ke kotaraja, Ki Buyut," jawab Gajahmada. "Aku akan melihat perkembangan yang terjadi di kotaraja. Di samping itu, aku harus bertemu dengan anak buahku. Oleh karena itu, aku titipkan keselamatan Sri Baginda kepada Ki Buyut."
Gajahmada 283 Buyut Mojoagung mengangguk.
"Meski demikian aku tak berani menjamin Anakngger," jawab Ki Buyut. "Jarak antara Mojoagung dengan kotaraja bukan jarak yang jauh.
Para prajurit berkuda bisa menjangkau tempat ini dengan amat mudah.
Bahkan, semalam beberapa kali tempat ini dilewati orang yang berkuda.
Ratusan orang singgah dalam perjalanan mengungsi."
"Aku mengerti Ki Buyut," jawab Gajahmada. "Justru karena itu aku akan mengupayakan agar besok Sri Baginda sudah pergi meninggalkan tempat ini menuju ke tempat yang lebih aman."
Ki Buyut gelisah. Ki Buyut tidak mencemaskan keberadaan Jayanegara di rumahnya yang mungkin bisa menimbulkan masalah besar jika Ra Kuti sampai mengetahui. Kegelisahan Ki Buyut justru tertuju ke masa depan Majapahit. Gajahmada seperti bisa membaca kegelisahan itu.
"Bukankah Ki Buyut punya kemampuan meramal?" pancingnya.
Ki Buyut Mojoagung menggeleng.
"Yang aku bisa bukan meramal Anakngger. Aku hanya membaca tanda-tanda khusus. Aku melihat seperti ada pamor cerah menyelubungi tubuh Anakngger. Mungkin terjemahan yang paling mudah adalah kelak di kemudian hari Anakngger akan menjadi orang yang sangat berpengaruh. Sebaliknya, tidak demikian dengan Tuanku Jayanegara.
Aku melihat adanya bayang-bayang suram. Namun demikian, aku akan mencoba menelusurinya. Mulai hari nanti aku akan menyempatkan untuk melacak bayangan buruk itu."
Gajahmada diam. Meski Gajahmada merasa perlu menempatkan pendapat dan ramalan Ki Buyut Mojoagung itu menjadi bagian dari landasan pertimbangan-pertimbangannya, Gajahmada tak boleh menyerahkan semua yang akan terjadi hanya pada ramalan.
"Bagaimana dengan kerabat istana Anakngger?" tanya Ki Buyut lebih lanjut.
Pertanyaan itu memancing kegelisahan Gajahmada. Bekel Gajahmada telah menyerahkan tanggung jawab pada Lembu Pulung 284
Gajahmada dan kawan-kawannya. Apakah mereka mampu melaksanakan tugas dengan baik, menjadi pertanyaan yang masih belum ditemukan jawabnya.
Dalam keadaan kacau, bisa saja terjadi hal yang menyimpang dari rencana.
"Aku telah menugasi beberapa anak buahku untuk mengungsikan sekar kedaton. Apakah mereka berhasil melaksanakan tugas itu dengan baik, aku masih belum mengetahuinya. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin segera memperoleh laporan dan kabar dari mereka yang kuberi tugas itu," jawab Gajahmada.
Buyut Mojoagung manggut-manggut.
"Selanjutnya Anakngger," lanjut Buyut Mojoagung, "ini sebuah pertanyaan yang bagiku amat penting. Bagaimana menurut Anakngger, apakah Tuanku Baginda akan kehilangan takhta untuk selamanya" Apakah tindakan makar oleh Ra Kuti itu berarti dengan serta-merta menempatkan dirinya menjadi raja menggantikan Tuanku Jayanegara?"
Pertanyaan itu rupanya memang sangat mengganggu Ki Buyut Mojoagung. Namun, pertanyaan itu pula yang makin membakar dan menggugah Gajahmada untuk tidak tinggal diam melihat apa yang terjadi.
"Aku akan membalas Ki Buyut," jawab Bekel Gajahmada.
"Menurut perhitunganku, Ra Kuti tak akan memperoleh pijakan di Majapahit. Boleh saja kali ini Ra Kuti menggusur Tuanku Sri Jayanegara.
Namun, semua orang akan mempersoalkan ulahnya. Para kawula belum tentu bisa menerima Ra Kuti. Aku berharap, pada saatnya kelak aku akan kembali.Akan kugulung Ra Kuti bersama komplotannya itu."
Ki Buyut Mojoagung termangu. Gajahmada bangkit dari tempat duduknya. Pandangan matanya tajam menyapu halaman. Tangan pimpinan Bhayangkara itu mengepal, seolah dengan mengepalkan tangan begitu kukuh, apa pun akan dilakukannya.
Pagi beranjak, matahari memanjat naik. Buyut Mojoagung tidak bisa menahan senyumnya ketika melihat penampilan Bekel Gajahmada telah berubah. Gajahmada yang bermaksud kembali ke kotaraja itu tampil dengan wujud lain sama sekali. Nyaris saja Buyut Mojoagung Gajahmada 285
tidak mengenalinya, benar-benar sebuah penyamaran yang sangat sempurna. Bahkan, Ra Kuti pun belum tentu mengenali. Ki Buyut Mojoagung telah menyiapkan seekor kuda yang tegar untuk mempercepat perjalanan Bekel Gajahmada kembali ke kotaraja. Sejenak kemudian suara berderap menggema meninggalkan halaman Kabuyutan Mojoagung.
Para magersari yang mengabdi di kabuyutan itu kian penasaran.
Mereka bertanya-tanya dalam hati. Buyut Mojoagung terpaksa harus mempertimbangkan keadaan itu, apakah justru akan menimbulkan rasa ingin tahu yang bisa melebar lebih luas, menjalar ke para tetangga.
Akhirnya, Ki Buyut memanggil mereka. Para magersari itu diajak berbicara di gandok belakang. Termasuk istrinya ikut menyimak.
"Kalian sedang bertanya-tanya melihat tamu kita?" tanya Ki Buyut membuka pembicaraan.
Para magersari saling pandang.
"Kuminta apa yang aku ceritakan ini jangan sampai diperpanjang ke pada orang lain. Aku bercerita justru untuk meredam mulut kalian.
Kalau tidak aku ceritakan, mungkin kalian malah berbagi dengan tetangga. Oleh karena itu, aku tak keberatan kalian mengetahui siapa tamu kita. Namun, dengan catatan jangan bicara kepada siapa pun.
Jaga mulut kalian." Para magersari saling pandang.
"Apabila kalian sampai membocorkan," lanjut Ki Buyut Mojoagung, "aku akan sangat kecewa. Lebih dari itu, perbuatan itu bisa mengundang bencana ke rumah ini. Kalian ingin bencana yang kumaksud itu benar-benar terjadi?"
Salah seorang dari magersari itu bangkit.
"Kalau pemberitahuan Ki Buyut kepada kami mengenai siapa orang itu bisa mengundang bahaya, aku berpendapat sebaiknya Ki Buyut tidak perlu bercerita," ucap magersari lelaki itu.
"Benar Ki Buyut," tambah magersari yang lain.
286 Gajahmada Ki Buyut menggeleng. "Aku justru ingin memberi tahu kalian siapa tamu kita supaya kalian ikut bertanggung jawab menjaga rahasia ini. Jangan bocorkan kepada tetangga, bahkan jangan kepada anak kalian sendiri. Bocor kepada seorang saja, berita itu akan menjadi rahasia umum. Semua orang akan mengetahui bahwa pada saat ini Tuanku Jayanegara bersembunyi di rumah Ki Buyut."
Tersentak kaget para magersari. Bahkan, di antaranya gemetar karena amat gugupnya. Mereka tak mengira orang yang bersembunyi di rumah Ki Buyut itu benar-benar orang yang sangat penting, Raja Majapahit. Para magersari saling pandang. Wajah mereka benar-benar membeku dan tak berani menganggap persoalan yang dihadapi Ki Buyut persoalan yang remeh.
"Tuanku Jayanegara, Ki Buyut?" salah seorang menegaskan.
Ki Buyut mengangguk. Secara pribadi Ki Buyut merasa para magersari adalah orang-orang yang mengabdi kepadanya dengan ketulusan hati. Bahkan, hubungan yang terjalin antara Ki Buyut dan keluarganya dengan para magersari tidak ubahnya seperti keluarga sendiri. Dudu sanak dudu kadang, yenmati melu kelangan.
"Kabar mengenai pemberontakan yang kita dengar kemarin ternyata benar," Ki Buyut menambahkan. "Winehsuka mengerahkan pendukungnya melakukan tindakan makar, perang pun pecah. Karena serbuan pemberontak itu tak bisa diatasi, akhirnya dengan sangat terpaksa Sri Baginda diungsikan. Rumah kitalah yang dipilih untuk menyembunyikan Tuanku Jayanegara. Marilah sekarang kita membayangkan, bahaya macam apa yang akan menimpa rumah ini jika keberadaan Tuanku Jayanegara di sini sampai diketahui para tetangga.
Tetangga kita belum tentu mempunyai hati yang baik, setidak-tidaknya baik kepadaku. Jika mereka mengetahui kita menyembunyikan Sri Baginda, bisa saja orang yang tak suka itu justru melaporkan hal itu kepada Ra Kuti. Bagaimana?"
Gajahmada 287 Para magersari terdiam bungkam.
"Lalu, kisanak yang meminjam kuda tadi siapa?" kini magersari wanita bertanya.
"Di istana, ada sebuah pasukan khusus. Pasukan itu memiliki tugas khusus menjaga istana, mengamankan raja beserta segenap keluarganya.
Pasukan khusus itu bernama Bhayangkara. Nah, kisanak yang tadi pergi membawa kuda kita adalah pimpinan pasukan khusus Bhayangkara itu, Bekel Gajahmada namanya. Ia kembali ke kotaraja untuk melihat perkembangan terakhir."
Para magersari makin takjub. Di dalam hati mereka berjanji untuk menutup mulut rapat-rapat dan tak akan membocorkan berita luar biasa itu. Di satu sisi mereka merasa bangga karena mendapat kesempatan melihat langsung wujud Sri Jayanegara dan melayaninya, tetapi di sisi lain tumbuh pula kecemasan akan terjadi sesuatu yang membahayakan Ki Buyut dan keluarganya, bahkan akan berimbas kepada mereka.
33 Dalam pada itu, ketika surya terbit dan menyapa Majapahit, malam yang terasa amat panjang itu pun berakhir, tetapi bukan berarti kedamaian telah datang menyapa kotaraja dengan membawa ketenteraman. Resah masih terasa amat kental, ketakutan membayangi siapa pun.
Pagi yang biasanya ramai oleh mereka yang memulai kegiatan, mereka yang pergi ke pasar untuk berjualan atau untuk memenuhi kebutuhan dapur, mereka yang pergi ke sawah untuk bercocok tanam, 288
Gajahmada semua berubah menjadi sepi. Tidak ada orang yang berani keluar rumah jika tanpa tujuan. Akan tetapi, ketika hari beranjak siang, dengan terpaksa ada yang memberanikan diri untuk keluar rumah, terutama mereka yang kehilangan sanak atau saudaranya.
Kotaraja telah berubah menjadi kota mati. Suasana di mana pun sama, suram belaka. Banyak sekali orang yang ingin menangis meratapi kematian keluarganya, banyak pula yang ingin berteriak lantang menghempaskan kemarahannya, tetapi semua mulut itu terkunci. Mereka yang bernasib malang menjadi korban penjarahan, apalagi mereka yang bernasib malang menjadi korban pemerkosaan, terpaksa menahan kegetirannya. Sepahit apa pun harus ditelan tanpa boleh meneriakkan seperti apa pahitnya, seperti apa pula pedihnya.
Pendek kata, mendung suram dan tebal sedang memayungi kotaraja.
Pagi itu, Ra Kuti merasa sangat tidak sehat. Tubuhnya lunglai karena sisa racun anak panah yang melukai lengannya masih menggerataki darahnya.
Ra Kuti mengumpulkan segenap Dharmaputra Winehsuka, juga beberapa senopati pendukungnya. Para Winehsuka masing-masing memberikan laporannya, juga perkembangan yang terjadi di kotaraja.
Rupanya apa yang pernah diutarakan Ra Tanca bahwa untuk menjadi seorang raja harus memperoleh dukungan dari kawula, menjadi pertimbangan Ra Kuti. Laporan mengenai prajurit yang melakukan penjarahan dan pemerkosaan menyebabkan Rakrian Kuti merasa tercekik.
"Aku benar-benar kecewa," Ra Kuti membuka ucapannya. "Sebagai raja baru, aku didukung oleh para penjarah dan perampok. Aku menjadi raja dengan dikelilingi oleh pemerkosa yang berpesta pora. Bagaimana aku bisa langgeng duduk di singgasana ini kalau aku dijauhkan dari rakyatku. Bodoh sekali."
Semua yang hadir di ruangan itu membeku. Satu dengan yang lain saling pandang. Ra Wedeng dan Ra Banyak saling melirik, keduanya rupanya teringat dengan apa yang dilakukan semalam. Wedeng dan Banyak ada di antara mereka yang ditunjuk Ra Kuti itu.
Gajahmada 289 "Mulai kini," lanjut Ra Kuti, "aku tidak mau mendengar adanya penjarahan, perampokan, dan pemerkosaan lagi. Semua prajurit kuperintahkan bersikap baik dan ramah kepada siapa pun. Para prajurit harus menunjukkan jati dirinya sebagai seorang pengayom, bukan pagar makan tanaman. Jika sampai terulang kembali seperti yang terjadi itu, aku sendiri yang akan menebas lehernya."
Ra Kuti berhenti sejenak. Di sebelahnya Ra Tanca bersilang tangan sambil termangu. Amat sulit bagi siapa pun untuk menebak gejolak macam apa di balik wajah yang membeku itu.
"Sejak hari ini," lanjut Ra Kuti, "aku ingin tatanan dipulihkan seperti semula. Kehidupan yang mati segera digairahkan lagi. Jika kalian bersikap ramah dan bersahabat, para kawula akan melihat kita bukan sebagai penjarah, tetapi sebagai pengayom. Selanjutnya, aku juga menghendaki agar disebar pengumuman ke segala penjuru. Tempelkan pengumuman di pohon-pohon. Bacakan wara-wara di tempat ramai, pasar-pasar dan sebagainya bahwa pemerintahan sekarang beralih dari tangan Jayanegara ke Kuti. Kepada para kawula, diserukan untuk membantu pemerintahan yang baru. Siapa pun berkewajiban melapor kepada para prajurit jika melihat Jayanegara. Mereka yang bisa membantu memberi keterangan dan bahkan menangkap Jayanegara, Maha Prabu Kuti akan memberikan ganjaran besar. Sebaliknya, kepada siapa pun yang menyembunyikan atau memberikan perlindungan kepada Jayanegara, yang bersangkutan bisa mendapat hukuman mati. Terakhir, lakukan perburuan besar-besaran untuk menangkap Jayanegara dan Gajahmada."
Para Dharmaputra Winehsuka yang rata-rata bermuka masam keluar dari bilik itu. Hanya Ra Tanca yang tinggal karena Ra Kuti menghendakinya. Ra Kuti yang mulai terganggu oleh sisa racun merasa bergantung kepada Ra Tanca yang menguasai kemampuan olah pengobatan itu.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Ra Kuti. "Sebagai seorang raja baru yang bijak, apa aku sudah melakukan sesuatu yang benar?"
Ra Tanca tidak menjawab. Wajahnya tetap datar.
290 Gajahmada "Bicaralah," desak Ra Kuti.
Ra Tanca masih tetap bersilang tangan. Wajahnya menyapu halaman.
Banyak sekali sesuatu yang akan dikatakan, tetapi Ra Tanca malas mengutarakan. Ra Kuti kecewa melihat Ra Tanca tetap tidak mau bicara.
"Kau tidak sedang sakit gigi bukan?" tanya Ra Kuti datar.
"Berbicaralah. Aku memberikan perintah kepadamu untuk berbicara."
Ra Tanca tersenyum sinis.
"Singkat saja yang akan kukatakan kepadamu Kuti," jawab Ra Tanca. "Akan ada arus balik. Kalau kau tidak menyikapinya dari sekarang, arus balik itu akan menerjangmu. Yang kaulakukan tidak cukup sekadar perintah seperti yang kauberikan itu. Luka-luka yang timbul saat ini, itulah sasaran utama yang harus kausembuhkan. Aku tidak melihat kau melakukan apa pun yang kumaksud. Kau bahkan tidak melakukan penggalangan para prajurit, mengambil hati mereka agar bisa menerima kehadiranmu. Jika prajurit berbalik memusuhimu, apa yang bisa kaulakukan?"
Ra Kuti terpaksa termangu merenungkan apa yang diucapkan Tanca. Sebenarnyalah Ra Kuti merasakan kebenaran ucapan Ra Tanca.
Sri Jayanegara belum tertangkap dan ulah Bhayangkara seperti wudun semat, bisul yang belum pecah. Dan, wudun semat, siapa pun yang pernah mengalami pasti punya catatan, sakitnya bukan kepalang. Belum tertangkapnya Jayanegara meninggalkan persoalan yang rumit dan sulit diselesaikan.
Menindaklanjuti apa yang diperintahkan Ra Kuti, para prajurit segera bergerak. Pasukan berkuda dan telik sandi disebar untuk melacak jejak Sri Jayanegara. Prajurit berkuda disebar ke empat penjuru mata angin menyampaikan pengumuman pergantian kekuasaan kepada kawula Majapahit di mana pun mereka berada, di tempat-tempat ramai, bahkan mereka yang tengah berada di sawah mengolah tanah.
Di bagian yang lain, Ra Kuti juga menyiapkan perhatian yang sangat khusus pada Pedukuhan Krian, justru di tempat yang merupakan anugerah raja yang diberikan kepada para Dharmaputra Winehsuka Gajahmada 291
beberapa waktu sebelumnya, di sanalah, sebagaimana disampaikan oleh telik sandinya yang menyusup di antara pasukan khusus Bhayangkara, Gajahmada yang mengawal Jayanegara akan mengadakan pertemuan dengan segenap pasukannya. Rakrian Kuti harus memanfaatkan keadaan itu dengan sebaik-baiknya.
Tanpa menarik perhatian, sekelompok pasukan berkekuatan cukup besar telah dikirim ke Krian. Akan tetapi, pengiriman itu dilakukan dengan diam-diam dan tidak menarik perhatian. Para prajurit diperintahkan untuk tidak berangkat berkelompok, tetapi terpisah antara satu dengan yang lain. Mereka pun harus menyamarkan perjalanan mereka, ada yang berdandan tidak ubahnya seorang petani, ada pula yang menyamarkan diri seperti saudagar, bahkan ada yang berpenampilan seperti penduduk mengungsi.
Akan tetapi, pasukan khusus Bhayangkara tetap mampu menangkap gerakan mereka. Mereka menyamar macam apa pun, tetap tak akan bisa menyamarkan senjata tombak yang mereka bawa. Apalagi, secara pribadi para Bhayangkara mengenal para prajurit itu.
Bhayangkara Singa Parepen yang mendapat tugas mengawasi gapura utara telah bergabung dengan teman-temannya. Singa Parepen menyampaikan apa yang dilihatnya dengan jelas dan gamblang.
Bhayangkara yang lain menyimak dengan penuh perhatian. Tak jauh dari tempat mereka berkumpul melingkar, Bhayangkara Gajah Pradamba atau Gajah Enggon berdiri di atas dahan pohon nyamplung yang tinggi mengamati bulak luas di depannya. Jika ada gerakan sekelompok orang melintasi bulak itu, Pradamba akan dengan mudah mengetahui. Gerakan tersamar yang dilakukan kaki tangan Ra Kuti dalam balutan wajah pengungsi membuatnya sangat penasaran.
"Apa kira-kira yang dilakukan Ra Kuti?" Gajah Geneng memecah keheningan.
Sejenak para Bhayangkara senyap. Seperti bersepakat mereka semua berusaha memecahkan jawaban itu. Bahwa Rakrian Kuti telah menyebar prajurit memang gampang ditebak, mereka pasti mengemban tugas 292
Gajahmada untuk melacak jejak Sri Jayanegara. Akan tetapi, bahwa mereka masih mengaburkan perjalanan dengan penyamaran, hal itu segera memancing pertanyaan yang lain. Penyamaran biasanya dilakukan oleh prajurit telik sandi. Mengapa prajurit yang bukan mata-mata harus mengaburkan perjalanan mereka. Karena sebuah alasan, Gagak Bongol seorang yang merasa amat prihatin melihat perkembangan itu. Gagak Bongol yang meyakini ke mana gerakan pasukan Ra Kuti itu membenarkan apa yang disampaikan Gajahmada empat mata dengannya. Dengan demikian, kecurigaan Gajahmada bahwa ada pengkhianat di tubuh pasukan Bhayangkara memang benar. Dalam pergaulannya sehari-hari Gagak Bongol melihat segenap Bhayangkara memiliki kesetiaan yang tinggi, memiliki jiwa setia kawan yang kental, serta rela berkorban untuk melindungi Sri Baginda dan negara. Antara Bhayangkara satu dengan lainnya terjalin hubungan yang erat melebihi eratnya hubungan saudara.
Sangat sulit bagi Gagak Bongol untuk menerima kenyataan, ada yang berkhianat di antara mereka.
Bongol memerhatikan kawan-kawannya satu per satu serta memilah-milah mereka. Namun, tetap saja sulit baginya menjatuhkan rasa curiga.
Bahkan, Bhayangkara Panji Saprang, secuil pun Gagak Bongol tidak pernah menyangka ia kaki tangan Ra Kuti. Sedemikian sempurnanya Bhayangkara Panji Saprang dalam menyamar sampai-sampai Panji Saprang sendiri yang melepas anak panah melukai Ra Kuti. Untuk mengelabuhi Bekel Gajahmada, Saprang tidak merasa ragu melukai Ra Kuti karena Saprang yakin ada Rakrian Tanca yang pasti mampu menguasai masalah yang timbul.
"Sangat sulit menebak," berbicara Gagak Bongol di dalam hati, "siapa di antara mereka yang berkhianat itu. Tidak mungkin aku mencurigai Macan Liwung, aku mengenal Macan Liwung dengan baik. Tidak mungkin pula aku mencurigai Singa Parepen, Gajah Pradamba, Gajah Geneng, Riung Samudra, lebih-lebih Lembang Laut. Aku mengenal mereka dengan baik.
Yang lain rasanya juga tidak mungkin. Namun, pengkhianat itu jelas ada.
Pasukan dengan kekuatan yang cukup besar diberangkatkan Ra Kuti itu, aku rasa mereka pergi ke Krian. Artinya, di antara Bhayangkara ada yang sudah menyampaikan kepada Ra Kuti tentang pertemuan di Krian itu."
Gajahmada 293 Gagak Bongol gelisah. Gagak Bongol bahkan berkeringat karena merasa betapa tidak enak harus mencurigai teman-temannya sendiri.
Gagak Bongol bangkit. "Akan ke mana?" bertanya Singa Parepen.
"Ke sungai," jawab Gagak Bongol, "perutku sakit."
Tidak ada yang memerhatikan Gagak Bongol. Para Bhayangkara lainnya masih sibuk menebak dan menghitung gerakan apa yang akan dilakukan Ra Kuti. Akan tetapi, Gagak Bongol telah memberi isyarat pada Lembang Laut supaya mengikutinya.
Lembang Laut bangkit berdiri pula menyusul ke sungai.
"Ada apa?" Lembang Laut merasa amat heran.
Gagak Bongol menatap Lembang Laut seolah tembus dan mengkorek isi dadanya.
"Kaukah pengkhianat yang dimaksud Kakang Bekel?" bertanya Gagak Bongol dengan nada datar.
Lembang Laut terlonjak. Rona wajahnya berubah. Lembang Laut merasa tuduhan itu tidak sembarangan.
"Kau bercanda atau bersungguh-sungguh dengan pertanyaan itu?"
balas Lembang Laut. "Aku bersungguh-sungguh," Gagak Bongol menekan.
Bara Dendam Menuntut Balas 6 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Pendekar Lembah Naga 23
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama