Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 10
ketika pertama kali ia menerima permintaan itu. Hal itu terjadi
beberapa hari yang lalu, permintaan itu diabaikan tidak dituruti. Hal
yang menyebabkan istrinya ngambek, tidak mau makan. Sebagai Gajah
Enggon atau sebagai senopati dan sebagai seorang prajurit, Gajah
Enggon merasa aneh menghadapi permintaan itu. Namun, sebagai
Hamukti Palapa 497 suami, apalagi temanten baru, Gajah Enggon harus menuruti permintaan
Rahyi Sunelok itu. Kalau tidak, istrinya akan mogok, tak mau makan.
Gajah Enggon menyuapi istrinya sesuap dan akan disusul dengan
sesuap lagi, tetapi sesuatu menyentuh gendang telinganya, menyebabkan
Gajah Enggon bangkit berdiri dan mengarahkan pandangan matanya
mencari dari mana arah datangnya suara itu.
"Ada apa, Kakang?" tanya Rahyi Sunelok.
"Dengar?" balas suaminya.
"Kuda-kuda?" Gajah Enggon mengangguk. Tempat Gajah Enggon dan istrinya beristirahat setelah perjalanan
berputar-putar bagai tanpa arah yang ditempuhnya, berada di lereng
bukit, tetapi lebih ke bawah lagi terdapat sebuah jalan besar yang
menghubungkan Kota Singasari dengan pelabuhan Ujung Galuh.
Dari ketinggian tempatnya, Gajah Enggon melihat rombongan
orang berkuda terdiri lebih dari sepuluh orang, yang masing-masing
menggantungkan senjata di pinggangnya. Orang-orang itu berwajah
seram, padahal beberapa waktu sebelumnya, Gajah Enggon juga
memergoki pemandangan serupa. Jika rombongan orang berkuda
pertama sudah cukup membuat Gajah Enggon merasa heran, orangorang berkuda yang terlihat di ujung jalan mengundang penasarannya.
"Siapa sebenarnya mereka, Kakang?" tanya Rahyi Sunelok kepada
suaminya. Gajah Enggon tidak menjawab pertanyaan itu meski mendengarnya.
Maka, terpaksa Rahyi Sunelok menarik lengannya.
"Pertanyaanmu adalah pertanyaanku yang tadi aku lontarkan."
Artinya, Gajah Enggon sama tidak tahunya. Namun, sejenak setelah
berpikir, Gajah Enggon merasa menemukan jawaban yang sedang
dibutuhkan itu. Raut wajah suaminya yang berubah, terbaca oleh Rahyi
Sunelok, yang segera tertular ikut penasaran.
498 Gajah Mada "Bagaimana?" "Aku tahu ke mana mereka akan pergi," jawabnya.
"Ke mana?" tanya Rahyi Sunelok.
"Orang-orang itu bersenjata, yang tampaknya tidak berasal dari
Singasari. Mungkin mereka para penjahat yang menerima undangan
dari Keta." Jawaban itu menyebabkan Rahyi Sunelok termangu. Meski hanya
perempuan yang berasal dari pesisiran, Rahyi Sunelok memiliki otak yang
cukup encer dan mampu menebak ke mana arah pendapat suaminya.
"Keta dan Sadeng menghimpun kekuatan besar-besaran dengan
tidak cukup hanya menggembleng prajurit" Keta dan Sadeng merasa
perlu mengundang para penjahat untuk ikut bertempur?" tanya
istrinya. Senopati Gajah Enggon mengangguk.
"Janji apa yang diberikan oleh penguasa di Keta dan Sadeng, sampaisampai para penjahat mau bergabung?"
"Kau bisa membayangkan, janji apa yang akan diterima penjahat
itu jika berhasil memenangkan perang melawan Majapahit?"
Rahyi Sunelok menggeleng.
"Kekuasaan!" Jawaban itu memaksa Rahyi Sunelok terperanjat.
"Kekuasaan?" ulangnya.
"Ya!" jawab Senopati Gajah Enggon tegas.
"Misalnya, diberi wilayah kekuasaan atas suatu daerah?"
Gajah Enggon mengangguk. "Akan jadi apa negeri ini nantinya, Kakang?"
"Itulah," jawab suaminya, "sepak terjang Ma Panji Keta dan Adipati
Sadeng harus dihentikan. Aku dan Pradhabasu sepakat akan mengambil
Hamukti Palapa 499 arah ke sana sambil melacak jejak hilangnya payung dan cihna gringsing
lobheng lewih laka. Aku tidak tahu apakah rencana akan sesuai dengan
kenyataan." Rombongan orang berkuda yang telah melintas di arah bawah
itu bergerak makin lama makin jauh ke utara. Menurut dugaan Gajah
Enggon, nantinya mereka akan tiba di pesisir entah di mana, tetapi tak
mungkin di Ujung Galuh. Pasti lebih ke timur lagi, untuk melanjutkan
perjalanan dengan menggunakan perahu yang telah menunggu.
Senopati Gajah Enggon melanjutkan makannya, sementara istrinya
lupa dengan permintaan disuapinya.
"Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan lagi," kata Gajah Enggon.
"Ya," jawab Rahyi Sunelok. "Kita bahkan harus bergegas."
"Kenapa?" tanya Gajah Enggon.
"Di selatan mendung tebal."
Gajah Enggon terkejut. "Hah, mana?" Benar apa yang dikatakan Rahyi Sunelok. Di arah selatan, ke mana
tangan wanita cantik itu mengarahkan telunjuknya, tampak mendung
yang lumayan tebal. Mendung yang membentuk diri dengan bergegas
itu dengan segera mengundang kecurigaan Senopati Gajah Enggon.
Dengan tergesa-gesa, Gajah Enggon melompat ke atas punggung
kudanya, disusul oleh Rahyi Sunelok yang tak kalah cekatan dalam
berkuda. Ketika berangkat meninggalkan Ujung Galuh, Gajah Enggon
sempat merasa cemas, yang segera berubah menjadi takjub, melihat
kemampuan Rahyi Sunelok dalam berkuda ternyata tidak mengecewakan.
Bahkan, sama gesit dan tangkasnya dengan kemampuan prajurit berkuda
Majapahit dari kesatuan Bhayangkara sekalipun.
Bagai diburu waktu, pasangan suami istri itu beradu balap membelah
angin, beradu cepat memburu mendung, yang akan mengundang
turunnya hujan. Jika terlambat, akan makin sulit untuk bisa menemukan
500 Gajah Mada jejak dua benda pusaka yang dicarinya. Kuda milik Gajah Enggon
adalah kuda yang kekar, tegar, dan sangat gemar diajak membalap.
Apalagi, kuda itu masih berusia muda dan sedang amat gagahnya. Maka,
bagai anak panah lepas dari busur, kuda itu melesat cepat membelah
angin. Namun, soal ketangkasan berkuda, Gajah Enggon tak habis
mengerti terhadap istrinya yang mampu mengimbangi apa pun yang
dilakukannya. Kuda tunggangan istrinya pun tak kalah gagah. Kuda
yang meski berukuran sedikit lebih kecil dari kuda miliknya, mampu
mengayuh udara tak kalah cepat. Jika Gajah Enggon berkuda dengan
tak bersuara dan mata lurus memandang ke depan, Rahyi Sunelok yang
pemalu berubah menjadi riuh sekali. Teriakan-teriakannya membungkam
para burung yang ia lewati.
Di arah selatan, mendung telah membentuk. Gajah Enggon
mampu menandai ketidakwajaran mendung itu dengan jelas karena di
belakangnya, langit benar-benar amat bersih, demikian pula dengan
langit di sebelah barat dan di timur. Takut kehilangan jejak dan karena
tidak perlu mencemaskan istrinya dalam mengimbangi geraknya, Gajah
Enggon makin keras dalam menepuk pantat kudanya.
Setelah melewati tepian hutan, akhirnya mereka melintas bulak
panjang. Di jalanan yang lapang, kuda-kuda pilihan itu berderap kian
kencang dan menggila. Gajah Enggon terus berpacu dengan gelisah
karena merasa kekurangan waktu. Rahyi Sunelok mengimbangi dengan
tangkas sambil mulutnya tetap berteriak-teriak mengajak kudanya
berbicara. Bulak yang dilewati itu bukanlah bulak panjang. Gajah Enggon yang
telah beberapa kali melewati tempat itu tahu, mereka akan memasuki
sebuah perkampungan sama panjangnya, lalu kembali menerobos hutan.
Dulu, jalanan di tempat itu sulit dilewati sehingga perjalanan tidak
mungkin ditempuh dengan cepat, tetapi Majapahit menyempurnakan
jalan itu menjadi lebih lebar dan padat sehingga orang yang tergesagesa atau ketakutan karena merasa dikejar hantu, tak perlu mengurangi
kecepatan derap kudanya. Hamukti Palapa 501 Apa yang dicemaskan Gajah Enggon akhirnya menjadi kenyataan.
Gajah Enggon berharap mendung tebal itu tidak segera terbentuk.
Namun, dari garis-garis ke bawah yang muncul, menandakan hujan
telah turun. Dalam keadaan mendung belum terbentuk sempurna, amat
sulit menemukan jejak maling payung yang bisa digunakan memancing
turunnya hujan itu, apalagi jika hujan telah telanjur turun.
"Hujan sudah turun di sana, cepat!" teriak Gajah Enggon.
Di belakangnya, Rahyi Sunelok bagai mendapat tambahan kekuatan.
Jika beberapa saat sebelumnya, ia mengikuti di belakang dan tak mampu
memperpendek jarak, kini saatnya ia memacu dengan kecepatan penuh.
Gajah Enggon terkejut melihat istrinya membalap dan muncul dari
sebelah kirinya. Akan tetapi, menjelang memasuki pedukuhan berikutnya, Rahyi
Sunelok bergegas menarik kendali kudanya, menyebabkan kuda
tunggangan hadiah dari Kiai Medang Dangdi itu terlonjak dan berhenti
mendadak, dengan dua kaki depan terangkat bersama. Untung Gajah
Enggon melihat penyebab yang sama dan melakukan tindakan yang
sama sehingga mampu menghindari tabrakan.
Melihat hambatan yang tak terduga, Gajah Enggon menempatkan
diri di depan dan istrinya berlindung di belakangnya. Tajam Gajah
Enggon menatap serombongan orang yang menghadang di depan dan
mendadak keluar dari balik lebatnya pepohonan. Gajah Enggon akhirnya
melihat, ada beberapa ekor kuda yang disembunyikan di balik lebatnya
pohon jagung milik penduduk.
Senopati Gajah Enggon melihat kuda-kuda itu memakan tanaman
di ladang yang pasti ada pemiliknya.
"Jangan tergesa-gesa menempuh perjalanan, Kisanak," sapa salah
seorang pencegat. "Istirahatlah dulu, duduk-duduk dulu, makan jagung
muda dulu, dan mari berdagang."
Gajah Enggon menghitung rombongan pencegat itu ada delapan
orang berwajah sangar semua, dengan membiarkan jambang tumbuh
lebat dan kumis melintang sekepal, yang masing-masing bersenjata
502 Gajah Mada pedang melintang. Gajah Enggon segera mengambil simpulan,
rombongan ini sama dengan rombongan terdahulu yang hampir pasti
berniat menempuh perjalanan menuju Keta atau Sadeng.
Salah seorang dari delapan orang itu amat menarik perhatian Gajah
Enggon karena bekas luka melintang di wajahnya.
"Kalau boleh aku mengajakmu berkenalan, Kisanak berdua,"
bertanya orang dengan bekas luka melintang itu. "Siapakah namamu,
dari mana asalmu, dari mana pula kau dapat istri yang berwajah cantik
itu, dan berapa jumlah uang yang kaubawa?"
Gajah Enggon menoleh ke belakang untuk menenteramkan istrinya.
Namun, Gajah Enggon tidak melihat kecemasan apa pun di wajah Rahyi
Sunelok. Bahwa istrinya tidak cemas, hal itu menyenangkan hatinya.
Namun, bahwa Rahyi Sunelok beranggapan berada di tempat yang
terlindung, hal itu justru mencemaskan.
"Namaku Bandar Sarapati, aku berasal dari suatu tempat yang tak
jauh dari Lawor. Bekas luka di wajahku, aku tak mungkin bisa melupakan.
Kuperoleh bekas luka itu di alun-alun Bubat ketika ada pesta tahunan
yang digelar di tempat itu. Aku sedang menggelar bandar dadu dan
kalah. Aku tak mau membayar yang akibatnya terjadilah pengeroyokan
pada diriku." Sangat tenang Senopati Gajah Enggon membicarakan sesuatu yang
bagi Rahyi Sunelok membingungkan. Namun, orang yang memiliki wajah
cacat itu justru terdiam setelah memperoleh jawaban yang membuatnya
risih itu karena semua yang diucapkan orang di atas kuda itu adalah
mengenai dirinya. Dirinyalah pemilik nama Bandar Sarapati.
"Kau mengenalku rupanya?" kata Bandar Sarapati yang langsung
mencabut pedang yang menggantung di pinggangnya.
Apa yang dilakukan Bandar Sarapati itu segera diikuti oleh anak
buahnya. Dengan cepat, mereka bergerak membuat kepungan yang
rapat. Gajah Enggon bergegas membuat hitungan-hitungan.
Terhadap keselamatan diri sendiri, Gajah Enggon tidak perlu merasa
khawatir. Yang dikhawatirkan adalah keselamatan Rahyi Sunelok. Dengan
Hamukti Palapa 503 saksama dan cermat, Gajah Enggon merancang sebuah cara agar Rahyi
Sunelok bisa meloloskan diri dari kepungan itu. Dengan kemampuan
olah kanuragan 224 yang dimilikinya, Gajah Enggon berharap akan mampu
meredam sepak terjang orang-orang sangar itu meski jumlahnya lebih
banyak. "Siapa sebenarnya kau, ha?" bertanya Bandar Sarapati dengan suara
galak. Gajah Enggon balas memandang Bandar Sarapati dengan tatapan
mata tajam penuh wibawa, menyebabkan Bandar Sarapati terkejut,
apalagi ketika ia menyadari tatapan mata itu mengalahkannya.
"Apakah kau keberatan dengan semua jawabanku?"
"Kau menyindir, bagaimana kau bisa tahu semua hal tentang diriku
itu, Kisanak?" Gajah Enggon melompat turun dari kudanya dan mempersiapkan
diri menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi.
"Apakah itu berarti kau mengakui namamu Bandar Surapati?"
"Itu namaku!" bentak Bandar Sarapati sangar.
Namun, Bandar Sarapati terkejut melihat orang yang turun dari
kuda itu melangkah mendekatinya, menempatkan diri pada jarak yang
dekat. Betapa gugup Bandar Sarapati berhadapan dengan pemilik wibawa
yang sangat besar itu. "Kau mengakui itu namamu, kau mengakui berasal dari sebuah
tempat tak jauh dari Lawor?"
Bandar Sarapati bingung. Perdebatan yang mengagetkan dan keberanian penunggang kuda itu
menyebabkan anak buah Bandar Sarapati kebingungan. Apalagi, ketika
Gajah Enggon berbalik menyapu semua orang dengan pandangan mata
yang sangat tajam, mendekatkan wajahnya ke wajah orang-orang itu pada
224 Olah kanuragan, Jawa, ilmu silat
504 Gajah Mada jarak yang sangat dekat. Mata yang membelalak itu menjadi penyebab
utama runtuhnya keberanian mereka.
"Aku juga tahu kalian akan pergi ke mana!" tambah Gajah
Enggon. "Kalian akan pergi ke Keta atau ke Sadeng untuk bergabung
dengan dua tempat yang akan melakukan pemberontakan itu. Kalian
memperoleh janji-janji muluk dari Ma Panji Keta. Hal yang tidak
masuk akal karena kalian sebenarnya diumpankan tak ubahnya laron
yang dilemparkan ke kobaran api dalam pertempuran yang akan terjadi
melawan Majapahit." Maka, sempurnalah kebingungan yang dialami Bandar Sarapati dan
segenap anak buahnya. Mereka harus mengakui apa yang diucapkan
penunggang kuda yang dicegat di tepi bulak sawah itu benar adanya. Benar
soal Bandar Sarapati, benar pula soal undangan yang datang dari Keta.
Senopati Gajah Enggon menyapu wajah-wajah pucat itu sambil
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memerhatikan langit di arah selatan. Hujan lebat agaknya terjadi di
belakang pedukuhan dan akan segera bergerak mendekati tempat itu
karena angin sedang bergerak ke utara.
"Kau rupanya!" tiba-tiba Bandar Sarapati meletup.
Gajah Enggon mengembalikan arah pandangnya.
"Teman-teman, orang ini harus kita bunuh. Dia seorang senopati
yang memimpin pasukan khusus Bhayangkara. Kebetulan kita temukan
orang ini di tempat ini. Ayo, kita bunuh beramai-ramai."
Gajah Enggon mempersiapkan diri, tangannya merentang dengan
kepalan tangan tertekuk ke dalam, menyembunyikan pisau-pisau khusus
yang siap mematuk mencari sasaran.
"Rahyi, cepat pergi tinggalkan tempat ini, tetapi jangan jauh-jauh!"
perintah Gajah Enggon kepada istrinya.
Namun, rupanya Rahyi Sunelok sangat kebingungan karena tak
segera beranjak dari tempatnya, masih tetap mematung di atas kuda
yang menyebabkan dua orang anak buah Bandar Sarapati mempunyai
kesempatan bergerak melakukan penghadangan.
Hamukti Palapa 505 Gajah Enggon tak mau membuang waktu karena ia harus menjaga
keselamatan Rahyi Sunelok. Gerakan memutar yang dilakukan dua kali
adalah untuk mengayunkan dua buah pisau yang telah turun dari balik
lengan bajunya. Melesat pisau itu dan dengan amat telak menembus
dada dua anak buah Bandar Sarapati. Terjengkang berandal itu dengan
tidak memiliki kesempatan untuk berteriak. Pisau-pisau itu tenggelam
menembus belahan dada, menggapai jantung dan merusaknya,
menyebabkan teman-temannya sangat terkejut dan marah.
Bandar Sarapati tidak membuang waktu dan takut kedahuluan.
Dengan cepat, Bandar Sarapati melompat sambil mengayunkan
pedang panjangnya. Gajah Enggon menghindar, melompat sambil
berusaha mencari celah untuk kembali mengayunkan pisaunya. Namun,
kesempatan itu belum diperoleh karena sekali lagi, ayunan pedang
mengarah kepadanya, berasal dari anak buah Bandar Sarapati yang
menempatkan diri di belakangnya.
Gajah Enggon bingung karena dalam lirikan sekilas, ia melihat
istrinya berada dalam bahaya. Tiga orang telah mengepungnya dengan
rapat. Dalam gerakan yang sangat tangkas, Enggon memperoleh
kesempatan itu. Sebuah ayunan yang sangat deras berhasil dilakukan,
mengantarkan pisau dari tangannya melesat dengan sangat cepat
menjebol dada salah seorang yang berusaha meraih istrinya. Terjengkang
jatuh anak buah Bandar Sarapati untuk berkelejotan dan meregang
nyawa. Namun, Gajah Enggon benar-benar dibuat sibuk oleh Bandar
Sarapati dan dua anak buahnya yang lain, yang menyalurkan serangan
melalui ayunan susul-menyusul. Gajah Enggon sangat cemas ketika
melihat kuda tunggangan Rahyi Sunelok terlonjak, menyebabkan istrinya
terjatuh. Namun, Gajah Enggon melihat istrinya mampu bangkit dan
lari sekencang-kencangnya, disusul dua orang anak buah Bandar Sarapati
yang amat bernafsu meringkusnya. Apalagi, calon mangsanya kali ini
memiliki wajah yang sangat cantik dan menggairahkan.
Didorong oleh kecemasannya, Gajah Enggon mengamuk sejadijadinya. Amat tangkas, Gajah Enggon membagi serangannya beruntun
506 Gajah Mada kepada tiga orang yang mengeroyoknya. Akurat sambaran pedang yang
dilakukan Gajah Enggon, menyebabkan tertebas putus kepala salah
seorang anak buah Bandar Sarapati. Darah muncrat menyebabkan anak
buah Bandar Sarapati yang lain terhenyak kebingungan. Hal itu karena
darah muncrat menyembur ke wajahnya.
Gajah Enggon tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan gerakan
memutar untuk menambah tenaga, pisau yang muncul dari balik lengan
baju melesat menyambar calon korbannya. Terhenyak Bandar Sarapati
bersamaan dengan dua anak buahnya yang tersisa, saat masing-masing
pisau bergambar lambang pasukan khusus Bhayangkara melesat
menembus dada. Tembus ke jantung, menyayat beberapa otot.
Gajah Enggon berlari kencang menyusul istrinya. Demikian cemas
Senopati Gajah Enggon membayangkan nasib buruk yang akan menimpa
Rahyi Sunelok, sampai tak memerhatikan derap kuda yang muncul dari
pedukuhan yang menerobos keluar, dan melesat cepat ke utara.
Sosok penunggang kuda itu membawa sebuah payung yang
dipegang dengan tangan kirinya dan mengenakan ikat kepala yang bukan
sembarang ikat kepala karena benda berupa secarik kain itu dibatik
bercorak geringsing berwarna merah, dengan gambar bulat di tengahnya.
Namun, Gajah Enggon masih sempat menandai orang berkuda itu.
"Sial!" umpat Gajah Enggon.
Akan tetapi, Gajah Enggon memang harus memilih salah satu di
antara dua, antara menyelamatkan istrinya yang berada dalam bahaya
atau mengejar pencuri pusaka dari gedung istana. Tak berpikir panjang
Gajah Enggon dalam memilih karena maling pusaka itu bisa dilacak di
lain kesempatan, sementara istrinya membutuhkan pertolongan dengan
segera dan tak bisa ditunda.
Dengan ayunan kaki sangat lebar, Gajah Enggon mengikuti jejakjejak kaki yang masih bisa ditandai. Namun, Gajah Enggon terhenti
dengan segenap rasa herannya. Di depannya, sambil membersikan tubuh,
Rahyi Sunelok melangkahkan kaki.
"Mana mereka?" tanya Gajah Enggon.
Hamukti Palapa 507 "Itu!" balas istrinya sambil menunjuk ke dua sosok tubuh yang
teronggok. Gajah Enggon terbelalak melihat dua sosok tubuh yang masingmasing tergeletak lumpuh tak berdaya.
"Kau apakan mereka?"
Rahyi Sunelok tersenyum membuat penasaran. Namun, mendadak
Gajah Enggon teringat kepada penunggang kuda pencuri pusaka yang
terlihat melarikan diri ke arah utara. Maka, Senopati Gajah Enggon
merasa tak punya waktu untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Soal
menanyai istrinya, itu bisa dilakukan nanti.
"Maling payung itu ke utara!" teriaknya.
Gajah Enggon berlari disusul istrinya. Ternyata amat berbeda
dengan ketika beradu balap menggunakan kuda, berlari apa adanya
menempatkan Rahyi Sunelok bukan tandingan suaminya.
Gajah Enggon terpaksa harus menyesuaikan diri.
"Maling itu ke utara, kita harus mengejarnya!"
Namun, yang menjawab adalah gerimis yang mulai turun. Gajah
Enggon melihat langit tepat di atasnya bagai terbelah warnanya, sebelah
utara terlihat terang benderang, sebaliknya sebelah selatan gelap gulita.
Petir yang mewarnai menjadi pertanda, hujan yang akan turun tidaklah
main-main karena demikian pekatnya kelembapan udara yang akan turun
dalam bentuk hujan deras.
Ketika akhirnya Gajah Enggon dan Rahyi Sunelok telah sampai
ke kuda masing-masing, tak perlu menunda lagi, keduanya melompat
dan membalap balik arah. Tak sebagaimana saat mendatangi tempat itu,
Gajah Enggon memacu kudanya dengan amat cepat. Dalam pengejaran
yang dilakukan kali ini, Gajah Enggon dan Rahyi Sunelok berpacu lebih
dan lebih cepat lagi. Tak hanya Gajah Enggon yang tak sabar, Rahyi Sunelok kini yang
berteriak-teriak meminta kuda tunggangannya untuk berderap kencang.
Hal yang sama dilakukan oleh Gajah Enggon.
508 Gajah Mada "Ayo, cepat, cepat, dan lebih cepat lagi," teriak mantan pimpinan
pasukan khusus itu. Bayangan maling pencuri payung Kiai Udan Riwis dan cihna
gringsing lobheng lewih laka masih terlihat di kejauhan. Namun, akhirnya
Gajah Enggon tidak mampu lagi mengikuti jejaknya setelah maling itu
memasuki pedukuhan, lenyap bagai tenggelam ditelan hantu.
Gajah Enggon terus membalap beradu cepat dengan istrinya. Jarak
ke pedukuhan di depan yang telah dilewati sebelumnya makin dekat dan
makin dekat hingga akhirnya Gajah Enggon dan istrinya tiba di tempat
itu. Rupanya karena baru saja melintas orang berkuda yang berpacu bagai
kesetanan, memancing rasa ingin tahu para penduduk yang masingmasing keluar dari rumahnya.
Di perempatan jalan, Gajah Enggon dibingungkan ke mana harus
mengambil arah, apakah lurus ataukah berbelok.
Gajah Enggon segera berhenti.
"Aku Senopati Gajah Enggon dari pasukan khusus Bhayangkara!"
teriak Senopati Gajah Enggon sambil mengeluarkan lencananya. "Ke
mana arah orang berkuda yang baru saja melintas di tempat ini?"
Serentak para penduduk itu mengarahkan telunjuk ke kanan. Tanpa
mengucapkan apa pun, Gajah Enggon membedal kudanya sangat
kencang ke arah kanan. Melesat cepat bagai anak panah yang terlepas
dari busur, Rahyi Sunelok ikut terbang membelah angin.
"Tadi orang itu mengaku senopati dari apa?" berbisik salah seorang
penduduk. "Senopati Gajah Enggon, dari pasukan khusus Bhayangkara."
Orang itu terkejut karena pernah mendengar kebesaran nama
Bhayangkara dan juga pernah mendengar nama Gajah Enggon yang
dulu mengalami musibah, pingsan berhari-hari karena lemparan batu
yang mengenai kepalanya. Namun, belum lagi reda rasa kaget orang itu, suara guntur yang
meledak menggemuruh di langit menyebabkan keadaan ingar-bingar.
Hamukti Palapa 509 Para penduduk menyambut ledakan itu dengan tepuk tangan dan
sukacita. Apalagi, ketika mereka memerhatikan langit di selatan begitu
hitam dengan mendung yang tebal.
"Akhirnya, yang lama kita tunggu datang juga," teriak seseorang.
"Sesak napas itu berakhir!" tambah teriakan yang lain dengan amat
senang. Dengan penuh minat, penduduk yang telah lama merindukan
turunnya hujan itu memerhatikan langit yang menggelap di daerah selatan
dan mulai muncul mendung di bentangan langit lainnya. Gerimis yang
kemudian datang dan akhirnya disusul dengan hujan yang turun deras
disambut dengan tepuk tangan riuh beramai-ramai. Orang-orang yang
telah keluar rumah, dan bahkan disusul orang-orang yang masih berada
dalam rumah, juga perempuan dan anak-anak, menyambut turun hujan
itu dengan berbasah-basah.
Basah kuyup pula Gajah Enggon di atas pelana kudanya. Basah
kuyup, tetapi berhati gembira, Rahyi Sunelok yang terus mengimbangi
gerak langkah suaminya. Namun, derap kuda itu harus berhenti dan perjalanan tak mungkin
dilanjutkan lagi. Bukan karena jalan yang makin jelek, tetapi jalan itu
berakhir, buntu. Apalagi, ketika diperhatikan, tak ada jejak kuda menuju
arah itu. Di depan, sawah yang luas tanpa tanaman menghadang.
"Apakah ada belokan yang tidak kita sadari?" tanya Gajah Enggon
kepada istrinya. Rahyi Sunelok menggeleng.
"Ayo, kita cari. Maling payung itu berada di sekitar tempat ini."
Gajah Enggon dan istrinya balik arah. Kali ini tak perlu memacu
kudanya dengan kencang karena dilakukan hal itu sambil mencari jejak yang
mungkin masih bisa ditandai. Tikungan yang terlewat berhasil ditemukan
dan pantas jika terlewatkan karena tersamar pagar lamtoro yang rapat.
Di arah belokan itu terlihat jejak kuda yang masih baru. Cemas bakal
kehilangan buronannya, Gajah Enggon kembali mempercepat gerak
510 Gajah Mada kudanya. Rahyi Sunelok terus mengikuti dengan kecepatan yang sama.
Akan tetapi, istri Gajah Enggon yang cantik itu berkuda sambil mulai
memutar otaknya. Apalagi, ketika ditemukan sebuah jembatan putus.
"Siapa pun penunggang kuda itu, ia mengenali jalan-jalan kecil di
pedukuhan ini. Ia seperti berada di kampung halamannya sendiri," ucap
Rahyi Sunelok dalam hati.
Meski jembatan itu putus, masih ditemukan jejak di seberangnya.
Rahyi Sunelok menyaksikan bulak sawah lagi di depan, tetapi tak seberapa
panjang. Melihat suaminya bingung, Rahyi Sunelok memutar balik untuk
mengambil ancang-ancang. Gajah Enggon bergegas menepi ketika
dari jarak yang cukup , Rahyi Sunelok berpacu amat kencang, makin
kencang, dan bertambah kencang, untuk kemudian dengan penuh
keyakinan membawa kudanya melesat melompati sungai. Gajah Enggon
terbelalak menyaksikan ulah istrinya itu. Namun, Gajah Enggon tak
menimbang terlalu lama untuk mengikuti jejak istrinya karena Rahyi
Sunelok tidak menoleh dan terus memacu kudanya melacak jejak yang
masih samar. "Rahyi, tunggu!" teriak Gajah Enggon.
Gajah Enggon memutar kudanya untuk mengambil ancang-ancang
pula. Gajah Enggon tak merasa ragu mengikuti jejak istrinya yang
membuatnya bingung itu. Dua orang laki-laki anak buah Bandar Sarapati
yang membahayakan keselamatannya berhasil ia redam, hal yang belum
diketahui bagaimana penjelasannya. Kini, ditambah dengan kemampuan lain
yang tak kalah mencengangkan, yang juga membutuhkan penjelasan amat
mendesak, bagaimana ceritanya mempunyai semua kemampuan itu.
Kuda yang ditunggangi Gajah Enggon melesat cepat menerobos
hujan yang turun dengan deras, makin lama makin dekat hingga tibalah
saatnya Gajah Enggon mengambil keputusan melompat terbang
melintasi kali. Gajah Enggon merasa kepalanya seperti akan meledak
ketika ternyata berhasil melintas tanpa celaka. Dengan bergegas, Gajah
Enggon membalap mengejar istrinya yang telah berada jauh di depan.
Hamukti Palapa 511 Namun, Gajah Enggon tak harus terus mengejar karena Rahyi
Sunelok telah berhenti menunggunya. Gajah Enggon melihat Rahyi
Sunelok berhenti di pertemuan jalan yang jelek dengan jalan yang baik,
jalan yang entah menuju ke arah mana.
"Bagaimana?" tanya Gajah Enggon.
"Ada banyak jejak kuda yang membingungkan, Kakang," ucap
Rahyi Sunelok. Gajah Enggon memerhatikan jalan di kaki kudanya dengan cermat.
Benar apa yang dikatakan istrinya, ada banyak jejak kaki kuda di tempat
itu, baik ke arah kanan maupun ke kiri, yang akan segera lenyap jejak
itu karena hujan yang turun makin deras.
"Apa yang bisa kita lakukan, Kakang?" tanya Rahyi Sunelok.
Bagi Gajah Enggon, pertanyaan itu juga muncul dari dalam
hatinya. "Andaikata kau adalah maling itu atau menggunakan cara berpikir
maling itu, arah mana yang akan kauambil?"
Rahyi Sunelok masih memerhatikan perempatan jalan di depannya
dengan segenap rasa ingin tahu. Rahyi Sunelok yang basah kuyup itu
berbalik. "Menurutku, tiga kemungkinan yang tersedia sama kuatnya. Maling
itu bisa lurus, bisa belok ke kiri, dan bisa pula belok ke kanan, bergantung
kemauannya. Namun, yang jelas, maling pusaka itu pasti mengenali
daerah ini dengan baik."
Mencuat alis Gajah Enggon memperoleh jawaban itu.
"Bagaimana kamu bisa berpendapat seperti itu?"
"Ia tahu jalanan di daerah ini. Ia tahu ke mana harus membelok,
sementara kita lurus ke depan sampai ke jalan buntu. Ia tahu jembatan
yang akan dilewati rusak karenanya ia langsung mengambil ancang-ancang
untuk meloncat. Bisa jadi, penduduk yang kita temui tadi mengetahui siapa
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebenarnya orang itu. Setidaknya pasti ia mondar-mandir di sini."
512 Gajah Mada Gajah Enggon makin takjub dalam memandangi istrinya yang
ternyata memiliki kecerdasan yang tak terbayangkan, juga kemampuan
lain yang belum didapat jawabnya.
"Segera ambil keputusan ke mana arah kita, Kakang?" ucap Rahyi
Sunelok. "Bagaimana kalau lurus?" tanya Senopati Gajah Enggon.
"Aku sependapat, kita ambil jalan lurus."
Derap kuda dipacu tak lagi kencang karena hujan yang sangat deras
membuat jalanan tertutup genangan air di sana sini. Ketika melintasi
sebuah rumah terbengkalai yang agaknya tidak berpenghuni, Gajah
Enggon mengambil keputusan berteduh. Baginya bukan hal sulit untuk
terus berpacu dan tetap mengenakan pakaian basah. Akan tetapi, tentu
tidak baik bagi Rahyi Sunelok yang tidak memiliki ketahanan seperti
lelaki. Istrinya bisa terserang demam atau masuk angin. Sebagai seorang
suami yang sedang menikmati indahnya mempunyai istri, Gajah Enggon
tidak ingin istrinya jatuh sakit.
Di kesempatan yang diperoleh itu, Senopati Gajah Enggon tidak
perlu menunggu untuk menumpahkan rasa penasarannya.
"Tadi itu, bagaimana kamu bisa melakukan?" tanya Gajah Enggon.
Rahyi Sunelok sedang membasuh wajahnya.
"Melakukan apa" Yang mana?"
Gajah Enggon menatap tak berkedip.
"Aku mencemaskanmu. Aku mengira kamu pasti mengalami
bencana. Bagaimana kau bisa mengalahkan dua orang itu" Kau yang
hanya seorang perempuan, tetapi kau mampu mengalahkan dua orang
laki-laki" Rahyi Sunelok tersenyum. Menggunakan secarik kain kacu, ia
membasuh wajah suaminya. "Aku bisa berkelahi."
Gajah Enggon terkejut, tetapi sudah menduga.
Hamukti Palapa 513 "Kamu bisa berkelahi" Siapa yang mengajarimu?"
"Kakekku," jawab istrinya. "Salah besar yang dilakukan penjahatpenjahat tadi yang meremehkan aku. Tendangan yang aku lakukan
dengan keras ke bagian paling lemah menyebabkan mereka lumpuh,
menekuk tubuh pun mereka tak akan mampu."
Makin takjub Gajah Enggon memandang istrinya. Menyadari Rahyi
Sunelok ternyata memiliki banyak kelebihan yang tak dimiliki kaum
perempuan, membuat hati Gajah Enggon meluap penuh rasa bangga.
"Bagian mana yang kautendang?" tanya Gajah Enggon lagi.
Rahyi Sunelok tersipu. "Jawablah!" Senopati Gajah Enggon mengejar.
"Kutendang selangkangannya."
Gajah Enggon tidak mampu menahan untuk tidak tertawa. Sebagai
seorang istri, Rahyi Sunelok benar-benar istri yang bisa dibanggakan.
Terbukti ketika suaminya sedang tak mungkin melindunginya, ia
mampu melindungi diri sendiri. Bahwa Rahyi Sunelok terbukti bukan
perempuan sembarangan, tak banyak perempuan yang berani berkuda
dan tak banyak orang berkuda yang sanggup melompati sungai yang
sedemikian lebar. Bahkan, Gajah Enggon sendiri semula merasa ragu
apakah bisa melakukannya.
"Benarkah kau bisa berkelahi?" tanya Gajah Enggon.
Rahyi Sunelok mengangguk.
"Aku harus membuktikan?" tanya Rahyi Sunelok.
Gajah Enggon melangkah mundur ketika Rahyi Sunelok tiba-tiba
menggerakkan dua tangannya saling silang dalam kembangan silat yang
diakhiri dengan mempersilakan suaminya untuk menyerang. Gajah
Enggon mengerutkan dahi. Gerakan kembangan silat yang dilakukan
saling menyilang itu jelas membawa ciri-ciri tertentu yang rupanya ciri-ciri
khusus yang dimiliki oleh perguruan atau padepokan yang tidak hanya
mengajarkan olah batin, tetapi juga olah kanuragan.
514 Gajah Mada "Silakan Kakang menyerang, jangan ragu," kata istrinya.
Gajah Enggon yang dibuat penasaran itu mencoba menggertak
istrinya melalui sebuah serangan yang amat terukur agar jangan sampai
mencederai. Namun, yang dilakukan Rahyi Sunelok benar-benar mengagetkan.
Rahyi Sunelok mampu menggerakkan tangan menangkap pergelangan
tangan suaminya dan dengan memanfaatkan kekuatan lawannya, Rahyi
Sunelok membanting tubuh suaminya. Gajah Enggon yang terlambat
menyadari, merasakan nyeri sesaat setelah tubuhnya terbanting dengan
keras. Namun, dengan segera Rahyi Sunelok memeluknya.
"Maaf, Kakang. Maafkan aku," ucap Rahyi Sunelok sambil bergegas
menolong. Kini, sadarlah Gajah Enggon, masih banyak sisi lain istrinya yang
belum diketahuinya. Gajah Enggon merasa senang mendapati istrinya
mampu berkelahi. Dengan demikian, jika berada dalam bahaya, Rahyi
Sunelok bisa menjaga diri.
"Untuk melihat sejauh mana kemampuanmu berkelahi, aku akan
menyerangmu dalam gerakan lambat. Aku ingin melihat bagaimana
caramu mengatasi." "Boleh," jawab istrinya.
Gajah Enggon membuka kembangan. Itulah cara kelahi yang
ia pelajari selama menjadi bagian dari pasukan khusus Bhayangkara.
Dengan gerakan diperlambat agar jelas arahnya, Gajah Enggon
memiringkan tubuh sambil mengayunkan kaki dan tangannya dalam
gerakan menyapu mendatar yang bisa membahayakan lawannya. Akan
tetapi, dengan cepat Rahyi Sunelok menggeliat merendahkan tubuh
dan melanjutkan gerakan itu melalui geliat tak terduga karena dari balik
apa yang ia lakukan, cucu Kiai Mahisa Pawagal itu menyembunyikan
serangan yang mematuk selangkangan.
Melihat itu, Gajah Enggon terpaksa membatalkan serangannya.
"Gila," desis Gajah Enggon.
Hamukti Palapa 515 Rahyi Sunelok tertawa sambil mendekat dan memeluk suaminya.
"He, kenapa?" tanya Gajah Enggon.
"Aku malu," jawab istrinya.
"Malu kenapa?" tanya Gajah Enggon lagi.
"Aku seorang perempuan, tetapi gemar mempelajari bela diri."
Agak terbelalak Gajah Enggon.
"Mengapa harus malu" Aku senang kamu memiliki kemampuan
itu. Aku senang karena kau mampu menjaga diri sendiri."
Hujan makin gemuruh menumpahkan semua isi langit. Sungai
di depan rumah terbengkalai yang digunakan berteduh, yang semula
kerontang, dengan cepat terisi dan bahkan mulai meluap. Saat itu tengah
hari, tetapi gelap yang timbul serasa hari telah petang. Gajah Enggon
dan istrinya membutuhkan waktu cukup lama untuk menunggu hujan
yang telah berlangsung dua kali tabuh lamanya reda.
Hujan yang turun di wilayah Taretes benar-benar disambut dengan
sukacita oleh para penduduk. Para lelaki yang memiliki lahan sawah
tidak sabar menunggu hujan reda. Dengan cangkul di tangan, para lelaki
itu mengatur air yang menggenangi sawahnya. Air yang berlimpah itu
disambut dengan hati senang karena masa depan akan kembali cerah.
Hingga akhirnya setelah berlangsung cukup lama, hujan pun
mereda. Mendung yang semula begitu tebal kembali menipis, kemudian
berubah menjadi warna mega di sana sini. Justru karena hujan mereda,
suara-suara yang semula tidak didengar kini hadir menyentuh gendang
telinga, jenis suara yang mengagetkan.
"Ada orang berkelahi, Kakang!" bisik Rahyi Sunelok.
Gajah Enggon terkejut dan memerhatikan.
"Kau benar!" Rahyi Sunelok bangkit dan memerhatikan.
"Dari mana?" tanya suaminya.
516 Gajah Mada Rahyi Sunelok mengarahkan telunjuknya.
Tanpa mempertimbangkan apa pendapat suaminya, Rahyi Sunelok
berlari ke arah kudanya yang terikat di batang pohon nyamplung. Rahyi
Sunelok juga melepas ikatan kuda suaminya. Cekatan seperti sudah tahu
apa yang akan dilakukan, Rahyi Sunelok melompat ke punggung kudanya
dan berderap. Gajah Enggon yang tak keberatan segera mengikuti dari
belakang. Rupanya Rahyi Sunelok menyimpan kecerdasan yang sulit
dimengerti. Istri yang cantik itu memberi isyarat untuk berhenti seperti
lagaknya prajurit, dan melompat turun.
"Kita mengendap-endap mendekati tempat itu, Kakang."
Gajah Enggon tersenyum. Gajah Enggon segera mengikat kudanya
di tempat yang terlindung.
Dengan berjalan mengendap-endap dan menyibak lebatnya semak
perdu, Gajah Enggon menuntun Rahyi Sunelok mendekati sumber suara
yang terdengar makin jelas.
Akhirnya, dari tempat yang cukup dekat, terlihat apa yang terjadi.
Gajah Enggon melihat sebuah pertempuran yang sangat timpang.
Seorang lelaki dikeroyok oleh empat laki-laki. Hal yang paling menarik
perhatian Gajah Enggon, dan menyebabkan jantungnya berhenti
berdenyut adalah lelaki yang mengalami kesulitan luar biasa karena
harus menghadapi empat lawan itu, mengenakan ikat kepala yang amat
dikenalinya. Itulah secarik kain yang bukan benda sembarangan.
Gajah Enggon lebih terbelalak lagi melihat payung Kiai Udan Riwis
yang digunakan sebagai senjata. Di tangan kanan, orang itu menggunakan
payung dan mengubahnya menjadi bersifat tombak. Di tangan kirinya,
dengan kelincahan sama dengan tangan kanannya, pedangnya mengayun
menyambar-nyambar. Meski sendirian, orang itu mampu bertahan dengan baik, walau
entah sampai kapan. Berbekal kemampuan olah kanuragan tak ubahnya
kemampuan orang yang telah lama menjadi prajurit, dengan tangkas dan
Hamukti Palapa 517 trengginas orang itu mampu melayani segenap pengeroyoknya meski
dalam keadaan makin terdesak.
Namun, Gajah Enggon bingung dalam mengambil sikap. Saat ia
merasa harus melibatkan diri dalam pertempuran yang tidak seimbang
itu, segera muncul pertanyaan, pihak mana yang harus dibela.
Dalam melihat ketimpangan perkelahian macam itu, hati nuraninya
harus memihak kepada yang lemah. Padahal, yang lemah adalah maling
yang telah mencuri pusaka-pusaka penting dari Istana Majapahit.
Namun, Gajah Enggon merasa tak boleh terlalu lama membuat
pertimbangan. "Berhenti!" teriak Gajah Enggon mengagetkan mereka yang sedang
bertarung. Lima orang yang bertarung, seorang berkelahi dikeroyok oleh empat
orang yang lain itu, segera berloncatan mengambil jarak, tetapi tetap
dalam kesiagaan tertinggi. Orang yang menggunakan payung sebagai
senjata itu benar-benar merasa lolos dari lubang jarum. Kemampuan
kanuragan-nya yang sangat terlatih menyebabkan ia masih mampu
bertahan menghadapi empat orang sekaligus. Namun, ke depan,
sebenarnya hanya masalah waktu. Cepat atau lambat, ia akan kalah
karena kalah jumlah. Perhatian mereka yang berkelahi segera tertuju kepada Gajah
Enggon, yang dengan bergegas mengeluarkan dan mengacungkan
lencana. Itulah lencana yang menunjukkan ia adalah seorang pejabat
penting di Majapahit. "Aku Senopati Gajah Enggon dari pasukan khusus Bhayangkara.
Kuminta kalian hentikan perkelahian!" teriak Gajah Enggon sangat
lantang. Maling payung itu rupanya mengenali lencana itu, demikian juga
dengan empat orang pengeroyoknya.
"Jadi, kamu orang yang beberapa waktu lalu mencuri payung dan
cihna itu?" tanya Gajah Enggon tanpa berbasa-basi, ditujukan kepada
518 Gajah Mada orang yang demikian sembrono telah menggunakan payung sebagai
senjata. Pertanyaan yang dilontarkan Gajah Enggon itu menyebabkan
pemegang songsong itu bingung.
"Siapa namamu?" tanya Gajah Enggon.
Orang itu tak merasa perlu menyamarkan diri. Setelah berdiri tegak,
ia bersikap amat tenang, bahkan tersenyum.
"Namaku Branjang Ratus!" jawabnya. "Kuakui, aku orang yang
telah mencuri pusaka-pusaka ini dari ruang perbendaharaan pusaka.
Benda-benda ini kucuri karena aku tidak telaten melihat kesengsaraan
berkepanjangan yang dialami rakyat Majapahit, sementara aku tak melihat
langkah nyata dalam bentuk apa pun yang dilakukan para pejabat, yang
tak punya kepedulian dan tidak peka karena telanjur merasakan nyaman
berada di tempat duduk yang empuk."
Jawaban itu menyebabkan permukaan hati Senopati Gajah Enggon
bagai dirambati semut. "Kuakui, aku memang mencuri benda-benda pusaka itu, yang
kulakukan karena niat baik untuk menolong sesama dengan harapan,
kelak jika tiba saatnya, pasti kukembalikan ke tempat asalnya," lanjut
Branjang Ratus. Gajah Enggon tidak bisa mengelak atau mengingkari. Keadaan
di sekelilingnya yang kini basah kuyup memberi harapan kepada siapa
saja untuk kembali bertani setelah kegiatan itu tak mungkin dilakukan
karena kekeringan yang luar biasa. Gajah Enggon lalu menebar
pandangan mata ke empat orang yang lain. Gajah Enggon tidak
sabar ingin tahu apakah alasan empat orang itu sehingga melakukan
pengeroyokan. Gajah Enggon tiba-tiba menebak.
"Kalian berempat orang-orang dari Keta, bukan?"
Empat orang itu terkejut dan saling pandang antara mereka. Salah
satu dari mereka menempatkan diri mewakili teman-temannya.
Hamukti Palapa 519 "Bagaimana kautahu, kami dari Keta?"
Gajah Enggon sampai pada tebakan berikutnya.
"Hanya orang dari Keta yang merasa berkepentingan dengan dua
benda itu. Benda-benda yang menimbulkan anggapan ngawur, yang
tak sekadar salah kaprah, seolah benda-benda itu merupakan tempat
bersarangnya wahyu. Ma Panji Keta mungkin merasa akan lebih mantap
melakukan makar setelah bisa menguasai benda-benda itu."
Apa yang disampaikan Gajah Enggon menyebabkan empat orang
itu terkejut. Apa yang selama ini disembunyikan dan jangan sampai
Majapahit tahu agaknya bukan rahasia lagi. Untuk melakukan perlawanan
pada Majapahit, saat ini tengah dilakukan latihan perang besar-besaran
yang dilakukan di sebuah tempat tersembunyi. Dibangun sebuah
lapangan besar di tengah hutan. Di tempat itulah, Keta dan Sadeng
bersama-sama bersatu padu berlatih diri.
Bahwa seorang pejabat penting dari Majapahit, yang dapat ditandai
dari lencananya, telah menyebut rencana makar yang akan dilakukan Ma
Panji Keta, itu artinya gerakan senyap yang dilakukan Keta dan Sadeng
agaknya telah terendus oleh para telik sandi Majapahit.
"Kalau dugaanku benar apa adanya," kata Gajah Enggon, "siapakah
nama kalian, Kisanak, agar aku mengetahui dengan benar sedang
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berurusan dengan siapa. Atau, jika aku terpaksa menangkap kalian
untuk menegakkan hukum di Majapahit, aku tidak akan keberatan
menyampaikan kabar kematian kalian kepada keluarga kalian agar ada
yang menengok di penjara."
Ucapan Gajah Enggon yang disampaikan dengan tenang itu malah
disambut dengan tawa berderai. Empat orang itu tertawa semua.
"Apa saja yang telah kauketahui tentang apa yang dilakukan oleh
Ma Panji Keta, Kisanak Senopati Gajah Enggon?" tanya salah seorang
dari mereka. "Sebelum aku jawab," balas Gajah Enggon, "tolong sebut nama
kalian supaya aku tahu berbicara dengan siapa."
520 Gajah Mada Empat orang itu kembali saling pandang dengan sesama
temannya. "Namaku Udan Tahun, benar seperti yang kaukatakan, aku memang
berasal dari Keta. Tiga orang temanku, mereka adalah Bremoro, Lanjar
Manuraha, dan Panji Hamuk yang masih kerabat dengan Ma Panji
Keta." Gajah Enggon memerhatikan wajah Panji Hamuk dengan penuh
perhatian. Agak lama Gajah Enggon memerhatikan raut muka itu agar
kelak bisa menghafalnya jika bertemu lagi di lain kesempatan.
"Jujur pula aku katakan, Keta sedang membutuhkan dua benda
itu. Dua benda yang telah lebih dulu dicuri orang," Udan Tahun
melanjutkan. Memperoleh jawaban itu, seketika wajah Gajah Enggon berubah.
Dengan seketika, Gajah Enggon teringat pembakaran rumah dan
pembantaian-pembantaian yang dilakukan sekelompok orang di hari
pertama perjalanannya. "Jadi, kalian rupanya?" ucap Gajah Enggon dengan suara datar sambil
kedua tangannya ditekuk. Dengan tangan tertekuk seperti itu, tak seorang pun yang tahu
ada pisau-pisau yang telah turun dari lengan baju. Pisau-pisau yang
dirancang dengan amat khusus, yaitu beban beratnya terletak di ujung
bilah sehingga jika dilempar, arah pisau itu tak akan membalik. Pisau
yang demikian adalah senjata andalan orang-orang Bhayangkara yang
memiliki kemampuan bidik sangat terlatih.
Pertanyaan yang dilontarkan Gajah Enggon menyebabkan empat
orang pengeroyok Branjang Ratus itu saling pandang.
"Ada apa dengan kami?" tanya Udan Tahun.
"Kalian yang beberapa hari lalu membuat onar dengan membantai
orang-orang tak bersalah, kalian adalah buronan Majapahit."
Udan Tahun tertawa pendek, tetapi tidak dengan teman-temannya
yang langsung tertawa bergelak-gelak. Menandai sikap demikian, Gajah
Hamukti Palapa 521 Enggon menyimpulkan, orang-orang itu tak mungkin menyerah. Itu
sebabnya, Gajah Enggon segera mengambil keputusan yang tak diduga
siapa pun. Dari jarak yang amat cukup, Gajah Enggon memutar tubuh dan
mengayunkan senjata yang telah disiapkannya secara beruntun susulmenyusul dalam waktu tak lebih dari sekejap.
Pisau pertama melesat menuju dua mulut yang sedang terbuka
karena tertawa, dan pemilik mulut itu adalah Panji Hamuk dan Bremoro.
Malang nasib Panji Hamuk saat tiba-tiba merasa mulutnya diterobos
sebuah pisau yang langsung menancap ke mulutnya, menerobos
tenggorokan dan menancap di bawah tempurung. Terjengkang laki-laki
anak buah Kiai Wirota Wiragati itu dengan berkelejotan. Bremoro lebih
beruntung karena ia mampu menghindar meski tidak sepenuhnya. Pisau
yang melesat ke dadanya itu hanya menimbulkan luka kecil menggores
lengannya. Bremoro yang jatuh rupanya tak sekadar ambruk, tangannya
telah menggenggam batu. "Kurang ajar," berteriak Udan Tahun yang marah luar biasa.
Gajah Enggon mempersiapkan diri akan mengulang lemparan
senjata rahasianya. Kali ini Udan Tahun menempatkan diri amat
waspada sambil berloncatan mengambil jarak agar bisa menepis pisaupisau terbang itu. Hal yang sama dilakukan oleh Lanjar Manuraha yang
segera mengambil sikap. Ketika pisau terbang pertama mengayun ke
arah Udan Tahun, dengan cermat Udan Talun meliuk menghindari
arah lintasan pisau. Pisau itu pun berhasil dihindarinya yang segera
dibalasnya dengan cara yang sama. Udan Tahun memiliki waktu
yang cukup untuk meraih dua kepalan batu yang diayunkan susulmenyusul. Gajah Enggon meliuk menghindar sambil kedua tangannya
kembali berisi dua pisau tajam siap dilontarkan. Namun, Gajah Enggon
mendapatkan kenyataan yang tidak terduga, Bremoro yang juga
menggenggam batu mengayunkan batu itu sangat deras, bukan Gajah
Enggon yang menjadi sasarannya, tetapi istrinya. Gajah Enggon terpaksa
membelah perhatian. Namun, Gajah Enggon kemudian melihat istrinya
522 Gajah Mada telah menempatkan diri berlindung di belakang seekor kuda yang entah
milik siapa. Kuda itulah yang terhajar batu hingga terlonjak berdiri dengan kedua
kaki depan di atas. Berlari kencang kuda itu menyebabkan Udan Tahun,
Bremoro, dan Lanjar Manuraha berlarian menghindar.
Kesempatan yang amat longgar itu telah dimanfaatkan dengan baik,
ketika Gajah Enggon melirik, Ki Branjang Ratus telah melompat ke atas
punggung kudanya dan melesat kembali balik arah ke selatan.
"Sial," Gajah Enggon mengeluh.
Gajah Enggon dibingungkan atas langkah apa yang harus diambil.
Namun, lagi-lagi ia dan istrinya terlambat.
Udan Tahun tiba-tiba bersiul kuat sekali sebagai sebuah isyarat yang
harus dilakukan. Setidaknya Udan Tahun merasa, merampas payung dan
cihna gringsing lobheng lewih laka itu jauh lebih penting daripada melayani
Senopati Gajah Enggon, bahkan mengurus seorang temannya. Udan
Tahun dan dua temannya yang tersisa berlarian ke arah kudanya yang
telah bergerak setelah memperoleh panggilan lewat siulan melengking.
Sia-sia upaya Gajah Enggon mengayunkan pisau-pisau senjata
rahasianya karena jarak mereka telah jauh. Gajah Enggon dan istrinya
cemas kehilangan jejak para buronan itu karena kuda-kuda tunggangan
mereka disembunyikan jauh di belakang mereka.
Rahyi Sunelok ternyata berpikiran sama dengan suaminya. Rahyi
Sunelok berlari kencang disusul suaminya yang menyesali diri, jejak yang
semula sangat jelas itu menjadi samar lagi. Apa boleh buat, langkah yang
dilakukan berikutnya adalah kembali mengais-ngais jejak kaki kuda yang
untunglah terlihat jelas di jalanan yang becek itu.
Dengan apa yang dialaminya, sadarlah Senopati Gajah Enggon
bahwa ada beberapa pihak yang berkeinginan memiliki benda-benda
pusaka yang hilang itu. Bisa jadi, berita mengenai songsong Kiai
Udan Riwis dan cihna gringsing lobheng lewih laka telah menyebar ke
telinga pihak-pihak yang berkepentingan dengan benda itu. Siapa
Hamukti Palapa 523 saja mereka" Meski Gajah Enggon berpikir sekeras apa pun, tidak
menemukan jawabnya. 32 E sok harinya di kotaraja.
Matahari sedang bersinar terang ketika latihan perang gabungan
diselenggarakan di alun-alun Bubat, bukan di alun-alun depan
Purawaktra, setelah hampir tiga pekan tamu-tamu dari Dharmasraya
berada di Majapahit. Latihan perang itu digelar di lapangan Bubat untuk
memperoleh gambaran lebih jelas bagaimana hasil benturan berbagai
gelar perang. Juga bagaimana kelebihan sifat khusus gelar perang yang
dilakukan prajurit Swarnabhumi, yang menimbulkan gagasan bagi Gajah
Mada untuk merancang gelar perang baru yang ia beri nama Bayu Bajra.
Gelar perang Bayu Bajra itulah yang kini sedang ia coba.
Di sebuah panggung yang dibangun tinggi, Patih Gajah Mada
ditemani oleh pangeran pati calon pewaris Kerajaan Dharmasraya,
Aditiawarman, dan Senopati Gagak Bongol. Juga tampak hadir di
latihan perang itu suami para Prabu Putri, Raden Cakradara dan Raden
Kudamerta yang sangat menikmati geladi perang yang terjadi.
Pu Wira yang telah kembali dari Singasari dan bergabung dengan
Aditiawarman semula berada di panggung yang disediakan. Akan tetapi,
beberapa jenak kemudian, Aditiawarman tidak lagi melihat pamannya
yang rupanya lebih senang berbaur dengan para penonton yang
menyemut di pinggir lapangan.
Di panggungan yang lain, para pejabat penting Majapahit juga
diundang menikmati suguhan geladi perang. Para pejabat Panca
524 Gajah Mada Ri Wilwatikta hadir lengkap, tak seorang seorang pun yang tidak
tampak. Demikian juga dengan segenap mahamenteri katrini. Tampak
Mahamenteri Hino Dyah Janardana, Mahamenteri Sirikan Dyah Mano,
dan hadir pula Mahamenteri Halu Dyah Lohak.
Panggungan lain yang dari sana orang mampu melihat sampai ke
ujung lapangan, disediakan untuk para tandha, para menteri, dan tamutamu penting yang kebetulan hadir sehubungan besok harinya akan
digelar pasewakan. Dalam pasewakan itu juga datang penguasa Keta dan
penguasa Sadeng, yang meskipun pimpinannya tidak hadir, diwakili
oleh patih-patihnya. Ma Panji Keta diwakili patihnya, Panji Hyang
Rogasiwi, dan Adipati Sadeng diwakili patihnya pula, Gunadarma
Danaraja. Benar-benar dahsyat latihan perang yang digelar dengan cara
berbeda itu. Di sisi kiri dari arah panggungan, pasukan Jalapati
menggunakan gelar Cakrabyuha. Sementara itu, di sebelah kanan, pasukan
gabungan dari kesatuan Sapu Bayu dan sekitar empat ratus prajurit dari
Dharmasraya berada dalam gelar perang Bayu Bajra yang dirancang Gajah
Mada setelah memerhatikan dan memelajari cara perang orang-orang
Swarnabhumi itu. Latihan berlangsung dengan dahsyatnya bagai perang yang
sesungguhnya. Latihan dimulai setelah masing-masing mendapat
petunjuk dari para pimpinannya. Gajah Mada telah menunjuk Gagak
Bongol sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap
penerjemahan gelar perang baru, Bayu Bajra. Sementara itu, Senopati
Panji Suryo Manduro mengendalikan pasukan Jalapati yang sedang
kosong pejabat pimpinannya, dalam gelar perang Cakrabyuha.
Ketika sangkakala sebagai pertanda latihan perang besar-besaran
ditiup, riuhlah para penonton yang memadati tepi lapangan Bubat.
Tua, muda, laki-laki, dan perempuan penduduk kotaraja dan bahkan
jauh dari luar kotaraja tumplek blek 225 menonton pertunjukan yang luar
biasa itu. 225 Templek blek, Jawa, berkumpul berjejal-jejal
Hamukti Palapa 525 Tepuk tangan menggemuruh terdengar ketika lengking sangkakala
bernada tinggi itu bersambung dengan genderang berderap serta bende
yang dipukul bertalu-talu. Apalagi, bende yang menggetarkan udara kali
ini bukan bende sembarangan, itulah Kiai Samudra.
Pasukan di sebelah kanan yang menerjemahkan gelar perang Bayu
Bajra rupanya mampu memahami gagasan Gajah Mada. Bayu Bajra
adalah kekuatan angin yang bergelombang dengan sangat kuat, yang
adakalanya berubah bentuk menjadi lesus yang meliuk tajam dan selalu
meninggalkan kerusakan di mana-mana. Untuk meruntuhkan hati lawan,
genderang dipukul berderap langsung dari kedalaman gelar perang itu.
Derap yang menyebabkan orang berpikir tentang angin yang bertiup
amat deras. Gajah Mada merasa puas menilik semua isyarat perintah langsung
diterjemahkan dengan baik. Dengan demikian, Bayu Bajra bisa menjadi
salah satu pilihan gelar perang jika keadaan memungkinkan. Setidaknya,
jika perang itu berlangsung di ruang lapang. Gelar perang Bayu Bajra
mulai menampakkan kelebihannya dari sangat sedikitnya jumlah korban
yang jatuh karena rapatnya pertahanan yang dibangun.
Namun, Gajah Mada juga melihat, bukan perkara gampang melibas
kekuatan gelar perang Cakrabyuha, apalagi jika dilakukan oleh prajurit
yang sudah sangat terlatih dan amat mengenali sifat-sifat khusus yang
menjadi jiwa dari gelar perang itu. Maka, perang yang terjadi benar-benar
perang yang dahsyat. Sang waktu terus bergerak hingga pagi merambat siang. Segenap
prajurit terperas keringatnya sampai pada titik terakhir. Ketika matahari
makin menanjak, makin jelas ke mana arah perang yang terjadi, siapa
yang akan menjadi pemenang, dan siapa yang akan kalah.
Barangkali karena Bayu Bajra adalah gelar perang yang masih baru
dan belum benar-benar dihayati para prajurit yang menerjemahkannya,
yang ditandai di sana sini masih belum ada kesamaan pemahaman. Maka,
lambat laun gabungan pasukan dari Swarnabhumi dan Majapahit yang
menyatu dalam gelar Bayu Bajra itu akan berada di pihak yang kalah.
526 Gajah Mada Namun, Gajah Mada merasa puas melihat hasil latihan yang
kemudian berakhir oleh isyarat sangkakala sebagai tanda telah tiba waktu
untuk beristirahat. Meski gelar perangnya kalah, hal yang memang telah diperkirakan
oleh Gajah Mada, geladi perang yang diselenggarakan di lapangan Bubat
itu membuat Gajah Mada amat puas. Demikian pula dengan masingmasing suami para Prabu Putri.
Ada sebuah hal yang menyebabkan Patih Gajah Mada menyimpan
kepuasan tersendiri. Hal itu karena ia merasa yakin, entah berada di
sebelah mana atau mungkin berbaur dengan para penduduk yang
menyaksikan dengan mengepung tepung gelang 226 alun-alun Bubat, telik
sandi Keta dan Sadeng sedang mengamati latihan perang.
Senopati Gagak Bongol mendekat bersama Bhayangkara Kebo
Windet dan Haryo Muncar. Aditiawarman ikut menyimak pembicaraan
itu. "Bagaimana?" tanya Gajah Mada.
Pertanyaan itu tidak ditujukan kepada Gagak Bongol. Kebo Windet
yang ditanya sigap mempersiapkan diri.
" Telik sandi musuh berjumlah tujuh orang. Mereka menyebar di
antara penduduk dan akan kembali ke Keta malam ini. Demikian hasil
pengintaian yang bisa kami lakukan, Ki Patih!" jawab Kebo Windet.
Gagak Bongol meminta perhatian.
"Bagaimana?" tanya Gajah Mada.
"Bagaimana kalau aku siagakan orang untuk menyergap mereka?"
Ternyata Gajah Mada tidak sependapat.
"Jangan, biarkan saja orang-orang Keta itu mengamati kekuatan
yang dimiliki oleh Majapahit. Namun, tetap awasilah mereka dan jangan
sampai kelihatan. Kecuali jika mereka membuat onar seperti yang
226 Tepung gelang, Jawa, keliling
Hamukti Palapa 527 dilakukan Kiai Wiragati dan anak buahnya, kuizinkan untuk meringkus
mereka. Pendek kata, jangan ganggu telik sandi Keta itu. Kita akan lihat
bagaimana sikap utusan Keta dalam pasewakan besok. Orang itu sekarang
sudah hadir dan diinapkan di pesanggrahan bersama para tamu negara
bawahan yang lain." Gagak Bongol mengangguk. Mendengar semua itu, Aditiawarman menatap wajah Gajah Mada
dengan cara agak berbeda. Seolah melalui saling menatap seperti itu
masing-masing sedang menyetujui sebuah masalah. Dan oleh karenanya,
tiba-tiba Aditiawarman menyampaikan pertanyaan yang berbelok.
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana dengan apa yang telah aku sampaikan tadi, Kakang
Gajah Mada?" Gajah Mada membalas pandangan mata Aditiawarman. Gagak
Bongol sedikit bingung. "Bagian yang mana?" balas Gajah Mada.
"Sesuai dengan rencana, sore ini kami mohon pamit kembali ke
Swarnabhumi?" Gagak Bongol yang belum mendengar hal itu sebelumnya merasa
aneh. Aditiawarman merencanakan akan berada di Majapahit beberapa
bulan lamanya. Mengapa baru tiga pekan sejak kedatangannya,
Aditiawarman telah berpamitan akan kembali pulang"
Gajah Mada membaca apa yang tersirat di raut muka Gagak
Bongol. "Telah ada kesepakatan antara aku dengan Adi Aditiawarman,
bahwa ke depan, Dharmasraya dan Majapahit harus menjadi gabungan
kekuatan yang besar. Jika hal itu terwujud, negeri Tartar atau negeri
mana pun dari belahan bumi ini yang coba-coba meluaskan wilayahnya
sampai ke wilayah Nusantara ini, akan berpikir seribu kali. Oleh karena
itu, Adi Aditiawarman harus pulang lebih dulu ke Swarnabhumi untuk
mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu sehubungan dengan
semua rencana itu." 528 Gajah Mada Gagak Bongol memahami hal itu. Namun, tetap merasa ada yang
aneh karena tak ada pembicaraan apa pun sebelumnya. Rencana kembali
ke Swarnabhumi itu seperti disampaikan dengan mendadak.
"Jadi, besok Tuan akan kembali ke Dharmasraya?"
Aditiawarman mengangguk. "Tetapi, bukankah Tuan berencana tinggal lebih lama. Kemarin,
bahkan Tuan telah menyebut akan tinggal di Majapahit lebih lama,
setidaknya enam bulan."
Aditiawarman akan menjawab pertanyaan itu, tetapi Gajah Mada
mengambil alih untuk memberi jawaban.
"Ke depan, ada pekerjaan besar yang harus dilakukan Majapahit
jika ingin menjadi negara yang besar, yaitu harus memiliki armada
yang sangat besar. Untuk itu, nantinya kita akan mengirim orang-orang
Majapahit ke Swarnabhumi untuk belajar bagaimana cara membuat
kapal-kapal besar kepada para empu yang menguasai. Itu sebabnya,
Adimas Aditiawarman harus pulang lebih dulu untuk mempersiapkan
semua itu." Gagak Bongol manggut-manggut, tetapi hati kecilnya tetap merasa
ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang seperti disembunyikan.
Ternyata tak hanya Gagak Bongol yang terkejut, bahkan para
prajurit Swarnabhumi juga terkejut ketika memperoleh pemberitahuan
yang disalurkan kepada mereka bahwa sore itu pula mereka harus
mempersiapkan diri untuk kembali naik kapal. Ada yang bisa menerima
perintah itu. Namun, ada pula yang menyesalkan, terutama para prajurit
yang telah memperoleh teman atau sahabat di Majapahit. Juga para
prajurit yang merasa mulai dekat dengan gadis setempat.
Prabu Putri Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan adiknya
juga tak tercegah rasa herannya karena pamitan itu dilakukan mendadak.
Namun, untuk rasa terkejut Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani dan Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa, Gajah Mada
mampu memberikan penjelasan sehingga kedua Prabu Putri itu bisa
memahami. Meski demikian, Gajah Mada juga meminta kepada kedua
Hamukti Palapa 529 Prabu Putri untuk menyembunyikan alasan itu rapat-rapat, bahkan
Gajah Mada melarang kedua Prabu Putri bercerita kepada suami masingmasing. Ketika sore datang, latihan perang di alun-alun Bubat disudahi
tanpa prajurit Swarnabhumi. Pergerakan prajurit dari tanah seberang
yang telah berpamitan untuk kembali ke negaranya itu tidak lolos dari
perhatian mata-mata Keta dan Sadeng. Tak seperti ketika datang dengan
harus berjalan kaki dari Ujung Galuh, ketika mereka kembali, hampir
sebanyak lima puluh kereta kuda dan lebih dari dua ratus ekor kuda
dikerahkan untuk mengantar mereka kembali ke pelabuhan. Dengan
jumlah itu, prajurit Swarnabhumi terangkut semua.
"Akan ke mana mereka?" bertanya seorang telik sandi Keta kepada
temannya. "Mereka akan kembali ke Dharmasraya," jawab teman di sebelahnya.
"Gila," mata-mata pertama meletup tertahan.
"Kenapa?" "Jumlah kuda itu banyak sekali!" kata orang pertama. "Apakah itu
merupakan gambaran bahwa sejumlah itulah pasukan berkuda yang
dimiliki oleh Majapahit?"
Telik sandi di sebelahnya berpikir.
"Menurut taksiranmu, berapa jumlah kuda dikurangi kuda penarik
kereta yang tak perlu dihitung?"
"Mungkin dua ratusan, kenapa?"
"Jika hitunganku tidak salah, aku menduga hanya sebesar itu
jumlah kuda yang dimiliki Majapahit. Karena jika masih ada yang
tersisa, tentu tak diperlukan kereta kuda untuk mengantar tamu-tamu
dari tanah seberang itu. Dua ratusan ekor kuda, kurasa itu jumlah
yang belum menakutkan. Kurasa benar apa yang pernah disampaikan
oleh Ki Wirota Wiragati, kekuatan sebuah pasukan itu terletak pada
pasukan berkuda yang mempunyai kemampuan gerak dan jelajah yang
luar biasa. 530 Gajah Mada Pasukan segelar sepapan seperti yang hari ini kita lihat, akan tumpul
jika berhadapan dengan pasukan berkuda berjumlah seribu saja karena
kemampuan gerak dan jelajahnya yang luar biasa. Apalagi, jika dilakukan
gerakan pukul, lari, pukul, dan lari dengan hujan anak panah yang tiada
habisnya." Para telik sandi Keta yang telah menyusup ke Majapahit, yang
berbaur dengan segenap penduduk yang menyaksikan geladi perang
terus mengamati dan mengukur kemampuan prajurit Majapahit yang
ternyata demikian besar. Setelah melihat secara langsung latihan perang
yang terjadi, beberapa telik sandi mengambil simpulan, terlalu dini jika
Keta berharap akan mampu merobohkan pilar Istana Majapahit jika
kekuatan yang dimiliki masih seperti sekarang.
Gabungan telik sandi dari Keta dan Sadeng yang bersekutu itu sama
sekali tidak menyadari kalau gerak-gerik mereka sedang diawasi. Lebih
dari seratus orang prajurit sandi dari sandiyudha Bhayangkara mengamati
gerak mereka tanpa diketahui. Sayang, apa yang diperintahkan Gajah Mada
tegas dan tidak bisa dibantah. Para telik sandi dari wilayah yang mencoba
memberontak itu harus dibiarkan, apa pun yang mereka lakukan.
33 M alam benderang dengan bulan dan bintang ketika kapalkapal Swarnabhumi yang telah diisi dengan perbekalan berlimpah itu
mengangkat sauh dan mulai bergerak dibawa angin ke tengah. Pu Wira
merasa sangat tidak paham dengan kepulangan yang dilakukan mendadak
itu. Tak hanya Pu Wira, tetapi juga beberapa perwira tinggi.
Dari tepi pantai, segenap rakyat Majapahit yang melepas tamu-tamu
penting dari negara sahabat itu berangsur-angsur pulang. Pun demikian
Hamukti Palapa 531 dengan Senopati Gagak Bongol yang bertugas melepas perjalanan tamutamu itu. Jika semua pihak mengira kepulangan tamu-tamu itu sebagai hal
yang lumrah, tidak demikian dengan Gagak Bongol, yang tetap merasa
penasaran karena ia tahu persis tamu-tamu itu seharusnya tinggal lebih
lama, setidaknya sampai enam bulan ke depan.
Sayang sekali, Gagak Bongol langsung mengambil keputusan untuk
kembali setelah kapal-kapal tamu itu bergerak. Hal itu karena Gagak
Bongol harus bertanggung jawab pada keutuhan dan keselamatan kudakuda yang semula digunakan untuk mengantar pulang para tamu.
Andaikata Gagak Bongol mau bersabar barang dua tabuh, ia akan
melihat sebuah kejanggalan. Dalam kegelapan malam, tetapi masih bisa
dilihat dengan jelas, kapal-kapal itu tiba-tiba membelok tajam ke utara,
bahkan dalam gerakan yang amat terlihat sebagai balik arah. Bahwa
kapal-kapal besar Dharmasraya Swarnabhumi di bawah pimpinan
Aditiawarman itu bertindak aneh, terlihat dari perintah pemadaman
lampu. Selanjutnya, di utara Madura, kapal-kapal itu akan bergerak ke
arah timur. "Sudah waktunya kau memberikan penjelasan, Aditiawarman!"
berkata Pu Wira yang ditinggui pula oleh beberapa perwira yang juga
ingin mengetahui duduk persoalannya.
Aditiawarman yang duduk di kursi dalam ruang kemudi bangkit
dan berjalan mondar-mandir.
"Aku telah mengambil kesepakatan awal penting dengan Kakang
Gajah Mada, yang nantinya kesepakatan itu akan dikuatkan oleh
Ayahanda Raja di pihak Swarnabhumi dan saudara-saudaraku para Prabu
Putri di pihak Majapahit. Bahwa antara Majapahit dan Dharmasraya
mengikat diri dalam penggabungan kekuatan dan akan membangun
kekuatan armada besar-besaran, yang nantinya akan dipergunakan
membendung kekuatan dari arah barat, yang selama ini terus mengintai
dan mencari celah untuk menjajah wilayah ini."
Para perwira menyimak penuturan Aditiawarman. Jauh sebelumnya,
para perwira itu ikut terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan yang terjadi
532 Gajah Mada sehingga tidak merasa terkejut dan aneh dengan apa yang disampaikan
oleh pewaris kekuasaan Dharmasraya itu.
Namun, rupanya Pu Wira masih menyimpan ganjalan.
"Dalam bentuk bagaimana kedudukan bersama antara Majapahit
dan Dharmasraya itu?"
"Sama tinggi, Paman," jawab Aditiawarman. "Namun, tetap saja
kebersamaan itu harus ada yang memimpin. Dalam penggabungan
kekuatan itu, aku tak keberatan sama sekali Majapahit yang akan
memimpin. Semangat hubungan Swarnabhumi dan Majapahit haruslah
karena masih keluarga sehingga tidak perlu dipersoalkan siapa yang di
atas dan siapa yang di bawah. Semua semata-mata karena semangat
persatuan dan kesatuan. Selanjutnya, karena Paman telah melihat sendiri bagaimana keadaan
di Majapahit, Paman tidak perlu lagi berbicara soal siapa yang pantas
berhak menduduki dampar Istana Majapahit. Setelah saudara sepupuku,
Kalagemet, terbunuh, wajarlah jika Sri Gitarja dan Dyah Wiyat yang
diangkat menjadi penggantinya."
Dari wajah Pu Wira terbaca dengan jelas ketidakikhlasan terhadap
gagasan penggabungan kekuatan yang dirancang Gajah Mada dan
Aditiawarman. Bahwa Pu Wira sebenarnya berdarah Singasari, mestinya
hal itu menempatkan ia sebagai orang yang paling setuju dengan
penggabungan itu. Namun, rupanya setelah sekian tahun tinggal di
Dharmasraya, Pu Wira merasa lebih sebagai orang asli Dharmasraya
daripada orang Dharmasraya sendiri.
Aditiawarman mengedarkan pandangan matanya ke segenap wajah
para perwira yang mengelilinginya.
"Ada yang keberatan dengan keputusanku ini?"
"Tidak!" terdengar jawaban serentak dari para perwira itu.
"Aku sependapat dan mendukung sepenuhnya gagasan bersama
yang telah Tuanku rancang bersama Tuan Patih Gajah Mada itu.
Tak masalah kita menjadi negara besar secara bersama-sama karena
Hamukti Palapa 533 membutuhkan tenaga dan biaya yang sangat mahal untuk besar sendirian,"
berkata Hulubalang Hang Gurian.
"Ya, aku sependapat!" tambah Hulubalang Hang Banji yang
menerima penjelasan itu dengan semangat meluap-luap.
Hang Banji masih merasa dijejali semangat yang berkobar setelah
ikut dilibatkan dalam latihan perang bersama yang digelar berhari-hari
lamanya. Dalam latihan perang itu, Hang Banji dan beberapa perwira
lainnya banyak menyerap pengetahuan.
"Sekarang, kalau boleh aku tahu, Tuan, mengapa kita tiba-tiba
mengambil arah ke timur melalui belakang Pulau Madura?" bertanya
Hang Banji. Aditiawarman tersenyum. Sebelum menjawab, ia perhatikan
wajah Pu Wira yang terlihat agak aneh sebagai siratan kejengkelan dan
ketidaksepahaman. Namun, pewaris kekuasaan di Dharmasraya itu
lebih menempatkan Pu Wira sebagai paman yang telah mengasuh dan
mengajarinya banyak ilmu pengetahuan, tak lagi boleh lebih dari itu.
Kebijakan penting terkait hubungannya dengan Majapahit sekarang
sepenuhnya berada di tangannya. Pu Wira boleh saja memberi saran apa
pun, tetapi keputusan tetap berada di tangannya.
"Kita menempuh perjalanan ke timur untuk sebuah kesepakatan
yang aku ambil dengan Kakang Gajah Mada. Kita akan membayangi
sebuah wilayah bernama Keta."
Wajah-wajah hulubalang itu berubah menjadi sumringah. Apalagi,
manakala raja muda mereka menyampaikan penjelasan lebih rinci dan
jelas atas apa saja rencana yang harus diterjemahkan. Sementara itu, raut
muka Pu Wira sungguh sulit untuk ditebak, ada warna macam apa di
balik wajahnya yang membeku itu.
Di langit, bintang-bintang gemerlapan.
534 Gajah Mada 34 B ulan yang bersinar terang di langit yang bersih tanpa mendung
itu sungguh sangat memukau Dyah Menur, Sang Sekar Tanjung, yang
memandanginya dengan sangat takjub. Dyah Menur hanya sendirian
berdiri di halaman rumahnya dengan suasana sepi yang menyengat.
Malam memang dihiasi bintang-bintang yang bertaburan, yang
tidak seberapa meriah karena dikuasai perbawa rembulan. Namun, di
sekitarnya, Dyah Menur merasakan lebih meriah lagi. Suara cenggeret
yang menderit tak pernah berhenti karena demikian banyak binatang
mirip belalang berukuran besar itu, yang dengan bersama-sama dan
serentak menggetarkan sayapnya, menimbulkan suara riuh bersahutan,
tumpang tindih dan saling melengkapi.
Jika juga terdengar suara katak bersahutan, hal itu terjadi karena di
petang yang datang sebelumnya terjadi peristiwa yang luar biasa. Hujan
tiba-tiba turun sangat deras tanpa ada tanda-tanda awal. Karena sejak
sore Dyah Menur memerhatikan keadaan, ia menandai dengan saksama
bagaimana mendung terbentuk dengan agak tergesa seiring angin yang
berembus deras dan udara yang hangat.
Tak hanya dirinya yang takjub dan berharap cemas ketika melihat
mendung itu, tetapi juga semua orang. Ketika akhirnya gumpalan awan
itu berhasil mengubah diri menjadi gumpalan mendung dan berhasil
mengubah diri lagi menjadi turun hujan yang amat deras, kehadirannya
sungguh disambut dengan tepuk tangan.
Tak hanya anak-anak yang menyambut hujan itu dengan sukaria.
Dengan berlarian berbasah-basah, para orang tua pun berbuat tak
berbeda dengan anak-anak.
Sungguh hujan yang turun itu disambut dengan begitu gegap
gempita dan riuh oleh penduduk yang merindukannya tanpa seorang
pun yang peduli ada sesuatu yang terjadi di pedukuhan mereka yang
Hamukti Palapa 535 mestinya sanggup mengundang tanda tanya, yaitu oleh hadirnya orangorang berkuda yang melintas dengan kecepatan sangat kencang, seperti
ada pihak yang dikejar dan menempatkan pihak lain sebagai pihak yang
yang mengejar. Seperti maling yang dikejar beramai-ramai, atau seperti
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
puluhan anjing mengejar kucing.
Pihak yang dikejar ke mana-mana selalu membawa benda sepanjang
tongkat yang ujungnya dibungkus dengan kain. Itulah yang terjadi saat
sore sebelum petang itu. Kini malam harinya, langit kembali sangat
bersih. Bulan terlihat begitu gagah dan perkasa dalam menguasai malam.
Bintang-bintang menjadi redup kehilangan ingar-bingarnya.
Suara pintu yang berderit terbuka menyebabkan Dyah Menur
menoleh. Sang Prajaka yang membuka pintu, lalu melangkah mendekat
dengan tatapan mata tidak mengarah, seperti mata yang kehilangan
cahaya karena tertimpa kutukan. Walaupun telah berhadapan, pandangan
mata Sang Prajaka tampak selalu lurus, tidak bergerak ke kanan dan ke
kiri, yang jatuhnya entah ke mana.
"Kamu tidak tidur, Prajaka?" tanya Dyah Menur.
Sang Prajaka menggeleng. "Kenapa?" "Kangen Bapak."
Telah terjadi perubahan yang luar biasa sejak Sang Prajaka tinggal
bersama Dyah Menur yang dianggapnya sebagai ibunya sendiri. Dyah
Menur mampu memberi kasih sayang sebesar kasih sayang ibu mana
pun. Tanpa diganggu oleh siapa pun, Dyah Menur bisa menanamkan
pengaruh yang dapat digunakan untuk mengubah Sang Prajaka melalui
latihan berkesinambungan, yang meski berlangsung agak lambat, kini
terlihat perubahan luar biasa itu.
Prajaka yang semula batu, kini berubah menjadi bukan batu.
Walau arah tatapan matanya masih tersesat entah ke mana, remaja itu
bisa diajak berbincang, bisa menjawab seketika ketika ditanya, juga bisa
mengutarakan pendapatnya dengan jelas. Semua itu berasal dari sebuah
ketelatenan. 536 Gajah Mada "Jadi, kamu kangen ayahmu?" tanya Dyah Menur.
Sang Prajaka mengangguk. Dyah Menur bergegas meraih kepala
bocah itu dan membenamkan ke dalam pelukan dan kehangatan kasih
sayangnya. "Aku juga kangen dengan ayahmu," kata Dyah Menur yang hanya
diucapkan dalam hati. Pelan sekali Sang Prajaka menggerakkan kepalanya untuk menatap
bulan, hal yang juga dilakukan Dyah Menur yang demikian saksama
memerhatikan permukaan wajah penerang jagat raya di waktu malam
itu. Nun di sana, di wajah bulat itu tampak ada gambar pohon yang
tumbang, mirip bramastana dengan akar di atas.
Sangat menghayati Dyah Menur dalam memerhatikan permukaan
bulan itu sebagai pelampiasan hasrat dan rindu yang nyaris tidak tertahan
lagi, yang ditandai dengan air matanya yang bergulir membasahi pipinya.
Di dalam hidupnya, hanya ada dua lelaki yang mampu menumbuhkan
ingar-bingar kerinduan dalam hatinya. Yang pertama adalah seorang lelaki
yang tak lagi bisa digapai yang oleh karenanya harus dilupakan dengan
dianggap telah mati, atau pergi yang begitu jauh dan karenanya tak akan
pernah kembali. Yang kedua hanya seorang laki-laki biasa, laki-laki yang
tidak berdarah bangsawan, yang secara samar pernah mengutarakan
minat kepadanya. Hanya sayang, waktu itu Dyah Menur menggeleng, pilihan yang
belakangan amat disesalinya. Pradhabasu, entah di mana orang itu sekarang.
Ia merasa sangat rindu sebagaimana Sang Prajaka juga merasa rindu.
"Kapan Bapak pulang, Bibi?" tanya Prajaka.
"Entah, Prajaka," jawab bibinya. "Tetapi, simpan dengan kuat
kerinduanmu untuk kelak boleh kaulampiaskan ketika ayahmu pulang
setelah selesai menunaikan tugas suci bela negara."
Dyah Menur membimbing Sang Prajaka duduk berdampingan di
atas dingklik panjang sambil masih tetap mengarahkan tatapan matanya
pada terang cahaya rembulan.
Hamukti Palapa 537 Akan tetapi, sejatinya tidak hanya Dyah Menur dan Sang Prajaka
yang yang sedang melampiaskan kerinduan pada benderang bulat
sasadara itu. Nun jauh di tepi pantai wilayah Keta, Pradhabasu yang
telah lebih dari tiga pekan menempuh perjalanan, menatap bulan yang
sama dan tengah berharap orang-orang yang dirindukan melakukan
hal yang sama. "Sedang apakah Sang Prajaka saat ini" Juga sedang apakah Dyah
Menur sekarang?" Pradhabasu meletupkan keluh hatinya.
Tak ada yang memberi jawaban, angin pun tidak, tanah pasir tempat
kakinya berpijak juga tidak. Seharusnya sasadara-lah yang mewartakan
jawabnya bahwa di saat yang sama, orang-orang yang dirindukan itu
tengah menatapnya. Dyah Menur dan Sang Prajaka sedang menatap
dirinya, dan Pradhabasu yang berada di wilayah Keta juga sedang
menatap dirinya. "Mungkin mereka sedang tidur pulas," Pradhabasu berbicara untuk
diri sendiri. Berhari-hari sudah Pradhabasu melakukan pengintaian di Keta,
berbaur dengan rakyat setempat dengan menyamar melalui berbagai
cara. Misalnya, dengan berjualan berbagai makanan di alun-alun. Akan
tetapi, pada lain kesempatan, Pradhabasu berubah penampilan menjadi
pengemis yang berjalan dengan kaki pincang. Jika perjalanan jauh yang
ditempuh, misalnya saat melintas dari laut utara di Keta menuju laut
selatan di Sadeng, Pradhabasu menggunakan kuda.
Karena telah menjalin hubungan baik dengan seorang penduduk,
Pradhabasu memperoleh kesempatan untuk menitipkan kudanya
sekaligus pemenuhan semua kebutuhan kuda itu atas makanan berupa
rumput segar dan jamu telur, yang untuk itu Pradhabasu harus
mengeluarkan uang sebagai upahnya.
Melalui cara-cara itulah, Pradhabasu akhirnya berhasil mengetahui
banyak hal. Ia berhasil mengintip lagi dengan mata sendiri bagaimana
penggalangan kekuatan dan latihan perang yang diselenggarakan di
sebuah tanah lapang terbuka yang amat luas, nyaris dua kali luas lapangan
538 Gajah Mada Bubat yang dibangun di tengah hutan. Tanah lapang yang berada di
tengah hutan itu sebelumnya tak punya nama, tetapi karena kemudian
dibutuhkan sebuah nama untuknya, orang-orang memberinya nama
Alas Larang. Di tempat itu, Pradhabasu berhasil berhubungan dengan
Bhayangkara yang telah berhasil menyusup. Mereka adalah Bhayangkara
Kendit Galih dan Bhayangkara Mahisa Urawan, Bhayangkara muda yang
kemampuannya tak diragukan lagi.
Dari pandangan mata dengan cara langsung itulah, Pradhabasu
menemukan bukti yang tidak terbantah, Keta dan Sadeng benar-benar
sedang mempersiapkan diri melakukan makar, berontak dan berusaha
lepas dari kesatuan negara Majapahit. Sadeng dan Keta berupaya
menempatkan diri sebagai negara merdeka dan kalau bisa malah
menempatkan Majapahit sebagai negara bawahannya.
Telah berhari-hari Pradhabasu menempuh perjalanannya untuk
melihat dari dekat bagaimana persiapan Keta dalam menghadapi
peperangan. Juga bagaimana persiapan yang dilakukan Sadeng dalam
menghadapi keadaan serupa. Saat berada di Keta, beberapa kali
Pradhabasu mencoba mencari hubungan dengan sesama telik sandi,
tetapi anak panah yang dilepas ke udara sebagai panggilan sesama teman
tidak pernah berjawab. Barulah dua hari yang lalu kesempatan itu diperoleh. Anak panah
sanderan dengan nada khusus yang dilepas membubung ke udara dengan
suara melengking tinggi, berbalas. Tak berapa lama setelah apa yang
dilakukan, Pradhabasu memperoleh jawaban.
Dari arah yang agak membingungkan, Pradhabasu mengenali anak
panah sejenis. Manakala telah merasa yakin memperoleh hubungan,
dengan segera Pradhabasu kembali melepas anak panah berjenis sanderan
berapi untuk menandai di mana ia berada.
Pradhabasu menunggu beberapa saat sambil memerhatikan
barangkali akan ada jawaban. Ternyata benar, sejenak kemudian, dari arah
jauh di depannya terlihat anak panah panah sanderan yang membubung
Hamukti Palapa 539 tinggi pula. Setelah meyakini memperoleh hubungan dengan telik sandi
dari Majapahit, Pradhabasu bergegas berjalan ke arah asal anak panah
balasan itu terlihat, sambil sesekali menirukan lengking burung bence
yang menyayat sebagai isyarat.
Akhirnya, setelah beberapa jenak menyusur pantai yang terlihat
lengang, Pradhabasu melihat seseorang yang juga berjalan mengarah
kepada dirinya. Siapa pun orang itu, diyakini sebagai bagian dari pasukan
Bhayangkara karena mampu membalas isyarat yang dilepas.
Ketika telah berada dalam jarak yang cukup untuk saling menyapa,
tetapi masih belum menampakkan wajah masing-masing, Pradhabasu
berhenti. Tindakan yang juga dilakukan orang itu. Oleh karena diperlukan
untuk saling menukar kata sandi, Pradhabasu segera mengingat kata sandi
yang pernah dikatakan Senopati Gajah Enggon kepadanya.
"Boleh aku bertanya, Kisanak, kapan Pabanyu Pindah menari?"
Hening mengalir memberi celah.
"Itu terjadi pada saat Gunung Kampud menahan rindu!" jawab
orang itu. Merasa masing-masing telah menemukan jawaban yang benar. Tanpa
keraguan, Pradhabasu berjalan lebih mendekat.
Pradhabasu segera tersenyum lebar setelah mengenali siapa orang
itu, demikian pula dengan orang itu.
"Kamu?" Pradhabasu tertawa melihat orang itu terbelalak.
"Apa kabarmu, Jayabaya?" sapanya.
"Sudah berhari-hari kami melacak jejakmu, kenapa baru sekarang
muncul?" balas Jayabaya.
"Aku harus menempuh arah perjalanan menyesuaikan diri dengan
tugas yang aku kerjakan. Itu sebabnya, aku tiba agak terlambat. Rupanya
setelah Senopati Gajah Enggon berangkat, Kakang Gajah Mada melepas
kalian?" 540 Gajah Mada Bhayangkara Jayabaya mengangguk. Jayabaya memberikan pelukan
dan mereka saling memukul punggung ketika Pradhabasu merentangkan
tangannya. "Siapa saja yang Bhayangkara yang bersamamu?" tanya Pradhabasu.
"Lengkap Bhayangkara wredha yang masih tersisa, yaitu aku sendiri,
Lembu Pulung, Panjang Sumprit, dan Kartika Sinumping, ditambah
Riung Samudra, Gajah Geneng, dan Macan Liwung yang baru saja ikut
bergabung. Sebelumnya, mereka melakukan pengintaian di Alas Larang,
tak jauh dari Bondowoso."
Dengan langkah lebar, Pradhabasu mengayunkan langkah kaki
mengikuti Jayabaya yang mengajaknya bergabung dengan teman-teman
Bhayangkara lain di sebuah rumah yang disewa dari seorang penduduk
setempat, yang bisa dibungkam mulutnya lewat gemerincing sejumlah
uang. Para Bhayangkara yang sebagian sedang tidur, bergegas bangun
dan menyalami dengan penuh hangat kehadiran Pradhabsu, sahabat
lama mereka. Meski berkeputusan menempatkan diri di luar, karena
panggilan jiwanya, Pradhabasu tetap melakukan tindak perbuatan
sebagaimana layaknya prajurit Bhayangkara yang melihat negaranya
sedang terancam. Pradhabasu melakukan itu tanpa diperintah oleh siapa pun. Ia
lakukan itu semata-mata karena panggilan jiwanya.
"Berita penting apa yang kaubawa?" tanya Bhayangkara Kartika
Sinumping tanpa basa-basi.
Pradhabasu mengedarkan pandangan memerhatikan semua wajah
yang terarah kepada dirinya.
"Yang pertama soal Senopati Gajah Enggon," kata Pradhabasu.
"Aku punya berita yang sangat menyedihkan terkait ketidakhadirannya
bersama kita sekarang."
Raut muka para telik sandi pasukan Bhayangkara itu mendadak
berubah menjadi amat tegang.
Hamukti Palapa 541 "Senopati Gajah Enggon tidak bersama kita sekarang karena
berbulan madu!" Jawaban yang diucapkan Pradhabasu, dari yang semula dengan sikap
tegang, tetapi mendadak berubah amat santai berlepotan senyum membuat
terperangah semua yang hadir di rumah sewa yang amat dirahasiakan itu.
"Ada sebuah kejadian aneh di Ujung Galuh yang nanti akan aku
uraikan dengan rinci karena di tempat itulah Ibu Suri Rajapatni Biksuni
Gayatri memberi arah dan petunjuk yang harus kami tempuh. Ada
seorang kakek tua bernama Kiai Agal, yang ternyata sosok sangat penting
di masa lalu yang telah lama menghilang tak ketahuan jejaknya. Ki Agal
itu ternyata Mahisa Pawagal yang dulu bersama dengan Raden Wijaya
bahu-membahu melawan Gelang-Gelang. Kiai Pawagal memiliki seorang
cucu perempuan bernama Rahyi Sunelok. Dengan cucunya itulah, Gajah
Enggon ditodong dan tidak bisa menolak untuk dikawinkan. Dalam
pesta perkawinan yang digelar sederhana itu, hadir seseorang yang
keberadaannya bagaikan dongeng pula, Kiai Medang Dangdi."
Dengan jelas dan gamblang, Pradhabasu menuturkan apa yang
terjadi, dimulai sejak petunjuk aneh yang diterima dari Ibu Suri Rajapatni
Biksuni Gayatri. Lalu, menemukan jejak payung dan cihna gringsing lobheng
lewih laka yang hilang di Ujung Galuh yang berujung pada pertemuan
melalui cara yang aneh dengan Kiai Agal, yang memiliki cucu bernama
Rahyi Sunelok. Selengkapnya, Pradhabasu juga menjelaskan petunjuk
macam apa yang ia terima dari Kiai Medang Dangdi.
Senopati Gajah Enggon telah kawin, itu benar-benar merupakan
berita yang sangat mengagetkan dan menyenangkan. Tak seorang pun
yang tidak menyimak penjelasan yang diberikan Pradhabasu dan tak
seorang pun yang tak merasa gembira dengan perkawinan itu meski
melalui cara yang aneh dan agak sulit diterima nalar.
"Senopati bulus itu akhirnya ketemu jodohnya," ucap Bhayangkara
Lembu Pulung. Celetukan itu sontak disambut dengan tertawa bersama. Akan
tetapi, dengan segera Bhayangkara Gajah Geneng meletakkan jari di
bibir, meminta semua orang untuk jangan gaduh.
542 Gajah Mada "Jadi, Senopati Gajah Enggon pilih berbulan madu di saat macam
ini?" Pradhabasu menggeleng. "Tentu bukan itu jawabnya," jawab Pradhabasu. "Gajah Enggon
mungkin harus melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami barang
sehari dua hari lebih dulu. Setelah itu, ia akan melanjutkan perjalanannya
dengan bentuk sangat berbeda dengan perjalanan kita. Kita ada di sini
untuk mengamati gerak orang-orang Keta. Sebaliknya, Gajah Enggon
mengambil arah berbeda. Ia harus menemukan payung Kiai Udan Riwis
dan cihna nagara." Beberapa jenak hening menyelinap.
"Jadi, Saudara-Saudara," tiba-tiba Macan Liwung nyeletuk. "Senopati
Gajah Enggon harus melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami.
Tugas apakah itu?" Tidak seorang pun yang tidak tertawa mendengar apa yang
diucapkan Bhayangkara Macan Liwung itu. Kali ini, bahkan Gajah
Geneng tertawa paling keras dan tidak peduli meski tetangga akan
mendengar dan merasa heran atau bahkan terganggu.
"Bagaimana kecantikan istri Gajah Enggon itu?" tanya Kartika
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sinumping. Pradhabasu berbalik memandang orang di belakangnya.
"Cantik sekali," jawabnya. "Jika tidak cantik, tak mungkin Senopati
Gajah Enggon langsung mau menerima perjodohan macam itu."
Para telik sandi Bhayangkara itu sontak menjadi penasaran. Mereka
tak sabar ingin segera tahu, perempuan dengan kecantikan macam apa
yang telah menjadi istri mantan pimpinannya itu.
"Lebih cantik dari Tuan Putri Dyah Wiyat?"
Prabu Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa adalah anak mendiang
Sang Prabu Raden Wijaya yang sangat terkenal kecantikannya. Lebihlebih kakaknya yang kini juga menjadi Prabu Putri, bahkan sampai ujung
jagat semua tahu bagaimana kecantikannya. Namun, Pradhabasu merasa
Hamukti Palapa 543 kecantikan istri Gajah Enggon memiliki tempat tersendiri seperti halnya
kecantikan Dyah Menur yang telah mengisi seluruh ruang di rongga
dadanya. Bagi para suami, mungkin istrinyalah orang yang paling cantik.
Namun, bisa juga sebaliknya, para suami beranggapan istri tetangga
lebih cantik dari istrinya. Laki-laki sering tak puas dengan yang menjadi
miliknya. Halaman sendiri tampak indah, tetapi halaman orang lain
tampak lebih indah. "Tidak ada yang menandingi kecantikan kedua Prabu Putri,"
Pradhabasu menjawab. "Akan tetapi, menurut penilaianku, istri Senopati
Gajah Enggon memiliki kecantikan dan kelebihan yang oleh karenanya
Senopati Gajah Enggon layak berbahagia. Yang lain-lain, yang masih
belum mendapatkan jodohnya, sebaiknya segera mengakhiri masa
lajangnya. Jangan sampai Bhayangkara yang terkenal jantan gagah perwira
pilih tanding itu ternyata tak mampu mendapatkan istri."
Kembali semua orang yang berkumpul itu tertawa tergelak-gelak.
Namun, dengan segera pembicaraan berubah menjadi bersungguh-sungguh
setelah Bhayangkara Riung Samudra melontarkan pertanyaan penting.
"Bagaimana dengan hasil penyelidikanmu, Kakang Pradhabasu"
Apakah sempat sampai ke laut selatan?"
Selatan yang dimaksud adalah Sadeng. Pradhabasu mengangguk.
"Perang melawan Majapahit," kata Pradhabasu, "agaknya merupakan
sebuah gerak yang dengan sengaja dirahasiakan. Yang aku tangkap dari
penduduk di Keta dan Sadeng, para penduduk nyaris tidak ada yang
mengetahui akan ada rencana macam itu. Boleh jadi, rakyat Keta dan
Sadeng tidak sependapat dengan rencana yang digelar.
Akan tetapi, rencana makar itu benar-benar ada dan telah aku
peroleh sebuah bukti, yang aku harap ada di antara kalian yang mau
membawanya ke Tarik. Bukti itu kudapat dari Alas Larang setelah dua
hari melakukan pengintaian di sana.
Di Sadeng, aku memperoleh sebuah keterangan yang masih
belum jelas kebenarannya. Namun, amat perlu dicermati. Aku berhasil
544 Gajah Mada memancing keterangan dari seorang prajurit. Sadeng memiliki prajurit
amat khusus, pasukan gajah. Konon, jumlahnya sampai dua puluh lima
ekor. Namun, upayaku membuktikan tidak berhasil. Pasukan gajah
itu katanya disembunyikan di sebuah tempat yang dirahasiakan, sama
rahasianya dengan Alas Larang. Mengenai bukti yang aku peroleh, silakan
siapa yang akan membawanya sesegera mungkin ke Ibu Kota Majapahit,
yang akan bisa digunakan untuk membungkam mulut Patih Keta, Panji
Hyang Rogasiwi, dan Patih Sadeng, Gunadarma Danaraja."
Jayabaya memandang Pradhabasu dengan mata lurus dan tak
berkedip. "Berupa apa bukti itu?" tanya Jayabaya.
"Kalian nanti akan tahu," balas Pradhabasu. "Sebaliknya sekarang,
aku justru ingin tahu langkah apa yang akan kalian lakukan?"
Semua menoleh kepada Gajah Geneng. Agaknya telah terjadi
kesepakatan di antara para Bhayangkara wredha yang sedang melaksanakan
tugas mata-mata itu, yang menempatkan Gajah Geneng sebagai
pemimpin rombongan. "Ada yang luar biasa di Istana Keta, kalau kau mampu menyusup
masuk sampai ke bagian dalam. Bhayangkara yang paling mumpuni
bahkan tak akan mampu menerobos ke pintu gerbang bagian dalam
karena pengawalan istana yang luar biasa. Aku belum tahu apakah kau
sudah mengetahuinya atau belum!"
Mencuat sebelah alis Pradhabasu.
"Bagian yang mana yang kaumaksud?" balas Pradhabasu.
"Campur tangan Kiai Wirota Wiragati!"
Jawaban itu menambah Pradhabasu makin tidak mengerti.
"Kiai Wirota Wiragati?" tanya Pradhabasu. "Bukankah Kiai Wirota
Wiragati adalah salah seorang pendukung Raden Wijaya dalam perang
melawan pasukan Gelang-Gelang, dan ikut membangun berdirinya
Majapahit?" Gajah Geneng mengangguk. Hamukti Palapa 545 "Dialah orangnya," jawab Gajah Geneng, "yang menurut penjelasan
Kakang Patih Gajah Mada, mempunyai keterkaitan asmara dengan Tuan
Putri Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri, yang menyebabkan orang itu
merasa kecewa. Kekecewaan itu menjadi penyebab Kiai Wirota Wiragati
berbalik arah dan kini menempatkan diri berada di belakang makar yang
dilakukan Ma Panji Keta."
Pradhabasu mencoba mencerna penjelasan itu, tetapi ia masih
merasa belum paham. "Di hari pertama aku dan Gajah Enggon menempuh perjalanan ke
Ujung Galuh, aku menemukan jejak kekacauan dan onar yang dilakukan
oleh lima orang laki-laki yang menunggang kuda. Mereka membakar
rumah-rumah, dan bahkan melakukan pembunuhan. Oleh karena itu, kami
mengirim berita kepada Kakang Patih Gajah Mada. Siapa mereka?"
"Itulah mereka," jawab Gajah Geneng. "Kiai Wirota Wiragati dan
empat anak buahnya berusaha memancing prajurit Bhayangkara supaya
keluar dari istana dengan niat akan masuk dan melakukan pencurian di
gedung pusaka. Kami telah memasang jebakan, tetapi luput karena Kiai
Wirota Wiragati menggunakan ilmu maling, mengundang datangnya
kabut yang sangat tebal dan menebar sirep. Dalam peristiwa itu, istana
kembali kecurian. Mahkota yang pernah dipakai mewisuda Prabu Sri
Jayanegara hilang. Bahkan, Tuan Putri Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri
juga sempat ikut hilang."
Kini, berbalik Pradhabasulah yang menempatkan diri menyimak
cerita itu dengan saksama dan penuh perhatian. Gajah Geneng
menuturkan bagaimana kejadian itu melibas, menjadikan istana seolah
tak berdaya. Kabut sangat tebal disusul oleh kemunculan angin lesus yang
melibas kabut tebal itu, disusul pula oleh lenyapnya Ibu Suri Gayatri.
Bagai tercekik leher Pradhabasu menyimak semua cerita itu.
"Dengan kejadian itu akhirnya diketahui, maling yang telah mencuri
payung dan cihna tidak sama dengan maling yang datang lagi belakangan.
Maling berikutnya berhasil mencuri mahkota. Sebaliknya, maling pertama
tak kunjung diketahui entah siapa dan dari mana."
546 Gajah Mada Bekas Bhayangkara Pradhabasu makin penasaran. Selama ini,
Pradhasu meyakini bahwa tak ada wilayah mana pun dan pertahanan
serapat apa pun yang tidak bisa diterobos oleh pasukan khusus
Bhayangkara. Namun, rupanya hal itu tidak berlaku di Keta.
"Pertahanan seperti apa yang kausebut itu, sampai-sampai mustahil
Bhayangkara menerobos masuk ke Istana Keta?"
"Kabut!" jawab para Bhayangkara serentak.
Pradhabasu terperanjat. "Kabut?" "Ya!" jawab Bhayangkara Gajah Geneng. "Ketika Kiai Wirota
Wiragati dan para anak buahnya terjebak di gedung perbendaharaan
pusaka, kami semua dibingungkan oleh munculnya kabut amat tebal
yang bagai membungkus istana. Dengan cara menghadirkan kabut tebal
itulah, tamu-tamu tak diundang itu berhasil meloloskan diri dengan
membawa lari mahkota. Sekarang bayangkan jika Istana Keta dilindungi dengan cara itu yang
jika kita memaksakan diri menyelinap, akan disambut oleh anak panah
berhamburan seolah tidak berasal dari tangan manusia, tetapi dari para
hantu yang memegang gendewa. Sekarang cara bagaimana yang bisa kita
ambil untuk bisa menyelinap ke dalam istana jika berhadapan dengan
perlindungan yang aneh macam itu?"
Ketika pertama datang dan beberapa hari ia mengamati istana,
apa yang diceritakan Gajah Geneng itu belum terjadi. Sebelum menuju
Alas Larang dan melanjutkan langkah perjalanannya mengintip Sadeng,
Pradhabasu berkesempatan menyelinap masuk ke dalam lingkungan
Istana Keta serta mencatat bagaimana bentuk istana dan seluruh
bangunannya. Dengan demikian, pertahanan atau perlindungan aneh
yang membetengi Istana Keta itu terjadi setelah perjalanannya menuju
Alas Larang dan Sadeng. "Apakah sekarang kabut itu juga sedang membungkus Istana Keta?"
tanya Pradhabasu. Hamukti Palapa 547 "Ya!" jawab Gajah Geneng tegas. "Kiai Wirota Wiragati yang berada
di balik cara pertahanan yang aneh itu. Kalau kauingin melihat dari
dekat, silakan!" Sebenarnyalah apa yang dikatakan Gajah Geneng tengah berlangsung
di Istana Keta, di sebuah bangunan yang digunakan sebagai bangunan
utama mirip Istana Majapahit, tetapi kalah besar ukurannya. Istana yang
dibuat dengan halaman luas menghadap ke arah laut lepas itu sedang
dikemuli kabut tebal yang tak mau bergerak meski diterjang angin, kabut
membelit tiang saka, memenuhi pendapa dan semua ruang.
Kabut itu mengalir dan menggeliat di semua celah, menyusup
antara kasau dengan kasau, dan tampak mengepul di antara lubanglubang sela genting. Demikian tebal kabut itu seolah berasal dari asap
yang keluar dari dalam sekam, adakalanya berwarna putih, adakalanya
pula berwarna hitam. Tidak ada lampu di istana itu. Sangat berbeda dengan di sudutsudut halaman yang selalu dipasangi obor yang menyala siang dan
malam. Benar apa yang menjadi dugaan Gajah Geneng dan temantemannya, Kiai Wirota Wiragati berada di belakang perlindungan
aneh itu. "Lalu, apa yang akan kita lakukan?" tanya Pradhabasu.
"Kita mulai melaksanakan perintah-perintah yang diberikan
Kakang Gajah Mada. Besok, kita mulai melakukan gerakan penyusupan
untuk membangun dukungan dari rakyat setempat agar segera terjadi
penolakan. Lalu, kita lakukan penghambatan dengan menghancurkan
beberapa penyangga kekuatan. Lumbung-lumbung persediaan makanan
kita bakar. Jika memungkinkan, kita melakukan penculikan. Cara
menguasai kekuatan seekor ular mungkin harus dengan memegang
kepalanya. Untuk itulah aku punya usul, barangkali teman-teman setuju,"
kata Gajah Geneng. Perhatian segera tertuju kepada Gajah Geneng.
"Usulan macam apa?" bertanya Bhayangkara Macan Liwung yang
semula lebih banyak diam.
548 Gajah Mada "Untuk semua gerakan yang aku sebut tadi, terutama upaya penculikan
terhadap Ma Panji Keta, aku ingin Pradhabasu yang memimpin."
Pradhabasu terkejut. Para Bhayangkara wredha yang berkumpul
juga terkejut. Namun, usulan yang diucapkan oleh Bhayangkara Gajah
Geneng itu sangat menarik.
"Aku setuju," kata Macan Liwung.
"Aku juga setuju," tambah Lembu Pulung.
Pradhabasulah yang kemudian bingung.
"Aku sudah bukan Bhayangkara lagi," kata Pradhabasu.
"Itu Benar," jawab Gajah Geneng. "Akan tetapi, di jiwamu tetap
mengalir darah Bhayangkara. Ayolah, untuk kali ini, kami berharap
kau mampu memimpin gerakan ini. Kami semua akan patuh dan
melaksanakan pembagian tugas macam apa pun yang kauberikan."
Pradhabasu tidak mampu menjawab. Namun, Pradhabasu memang
mempunyai sebuah rencana yang patut diterjemahkan. Untuk menghindari
korban nyawa sia-sia sebagai akibat perang yang terjadi, salah satu caranya
adalah dengan menculik pucuk pimpinan pemberontak itu.
"Baiklah, aku bersedia. Kita mulai dengan meninggalkan jejak
tulisan yang kita tinggalkan di tempat-tempat penting, di dinding istana,
di pasar, dan di mana pun," kata Pradhabasu yang disambut dengan
senang hati oleh para Bhayangkara wredha yang menempatkan diri
sebagai telik sandi. Pembicaraan masih terus berlanjut dengan penuh semangat hingga
tak terasa, pagi berikutnya semua rencana telah diselenggarakan dengan
baik. Rakyat Keta terkejut ketika mendapati tulisan-tulisan di dinding
pagar, di sudut alun-alun, dan banyak tempat.
"Segenap rakyat Keta, persiapkan diri kalian untuk berperang
menghadapi penjajah Majapahit!" demikian bunyi tulisan yang
mengagetkan itu. "Sudah waktunya negeri Keta bebas dari cengkeraman kekuasaan
Majapahit!" Hamukti Palapa 549 Kalimat yang ditulis di pagar benteng itu menyebabkan semua
orang terperangah. Ketika semua orang merasa menjadi bagian tak
terpisahkan dari Majapahit maka terasa aneh ajakan untuk berperang
dan memisahkan diri itu. "Mari berlatih perang, mari mengangkat senjata! Siapa yang ingin
merdeka, marilah berlatih perang di Alas Larang," demikian bunyi
kalimat yang lain. Masih banyak kalimat mengherankan yang ditulis di bangku-bangku
taman di alun-alun, yang segera menjadi buah bibir banyak orang,
membelah dengan tegas antara mereka yang setuju dan yang tidak setuju.
Sekaligus tulisan-tulisan itu mengagetkan Ma Panji Keta yang menerima
laporan. Bagaimana tidak, semua gerakan dan latihan perang dilakukan
dengan sangat dirahasiakan. Maka, apa yang semula dianggap amat
rahasia itu kini bukan rahasia lagi.
"Siapa yang menulis semua itu?" tanya Ma Panji Keta kepada
prajurit itu. "Tak tahu, Ma Panji!" jawabnya. "Namun, penulisan kalimat-kalimat
itu dilakukan orang banyak dan dalam waktu serentak."
Ma Panji Keta tampak gusar dan sekaligus berpikir keras.
Ia mencoba menerka, siapa orang-orang Keta yang begitu tidak
sabar ingin segera mematangkan rencana yang bisa menimbulkan
perlawanan dari rakyatnya sendiri. Jika rakyatnya merasa satu hati,
tidak merupakan masalah. Namun, ada banyak sekali pihak yang
tentu tidak menginginkan Keta berontak karena mereka tak hanya
merasa menjadi bagian dari Keta. Lebih dari itu, merupakan bagian
dari negara Majapahit. Apa yang dicemaskan oleh Ma Panji Keta itu akhirnya menjadi
kenyataan karena ketika hari merambat siang, terlihat banyak orang yang
berkumpul di alun-alun depan pendapa menunggu penjelasan. Ma Panji
Keta menyampaikan hal itu kepada orang yang menjadi gurunya, orang
yang dianggap sebagai pendukung sangat kuat yang tak mungkin bisa
dilawan, Kiai Wirota Wiragati.
550 Gajah Mada "Demikianlah Bapa, saat ini aku sedang memerintahkan kepada
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segenap prajurit untuk menemukan siapa orang yang tak sabar dengan
menulis semua itu," kata Ma Panji Keta.
Kiai Wirota Wiragati memandang warna putih di depannya. Meski
pandangan mata orang itu telah jauh berkurang dan hanya menangkap
wujud yang samar-samar, kelemahan itu ditutup oleh kelebihan lainnya.
Ketajaman mata hatinya mampu melihat apa yang orang lain tidak
melihat. Dalam keadaan buta seperti itu, Kiai Wirota Wiragati masih
mampu berkuda asal dilakukan bersama-sama.
"Kaupikir siapa yang membuat tulisan-tulisan itu?" berkata Kiai
Wirota Wiragati dengan suara serak.
Ma Panji Keta sedikit mengerutkan dahi.
"Aku tidak percaya ada orang-orangmu yang tidak sabar ingin
segera menggilas Majapahit. Aku yakin semua itu hasil pekerjaan telik
sandi Majapahit!" Ma Panji Keta tidak menampakkan perubahan raut muka apa
pun. Namun, tatapan matanya sangat bersungguh-sungguh. Jauh di
halaman depan istana, terlihat orang-orang yang berdatangan makin
banyak, yang agaknya masih akan bertambah banyak. Ke hadapan
segenap rakyatnya itu, Ma Panji Keta harus bisa meyakinkan bahwa
makar merupakan pilihan yang paling tepat yang harus diambil jika
ke depan Keta ingin menjadi sebuah negara yang besar, yang tidak
perlu menghadap ke Istana Majapahit setiap tahun dengan membawa
upeti. "Semua itu perbuatan telik sandi Majapahit?" ulang Ma Panji.
"Ya!" Kiai Wirota Wiragati menjawab tegas. " Telik sandi Majapahit
melakukan itu karena ingin bisul yang membengkak di Keta segera
matang. Dengan tulisan-tulisan itu, jelas telik sandi Majapahit bermaksud
memecah belah Keta agar terjadi benturan keras antara yang setuju dan
yang tidak setuju. Lebih dari itu, kemunculan telik sandi Majapahit itu
berarti tak berapa lama lagi, Majapahit akan mengerahkan kekuatannya
untuk menyerbu." Hamukti Palapa 551 "Aku rasa, apa pun bentuk akhir dari kekuatan yang kauhimpun
bahu-membahu dengan negeri Sadeng yang sekarang sedang berlatih di
Alas Larang, harus segera kautarik ke Keta. Bisulmu sudah akan pecah!
Perangmu sudah berada di depan mata. Pasukan yang telah berlatih
keras itu harus disiagakan daripada kedahuluan kedatangan pasukan
dari Majapahit," lanjutnya kemudian.
Akan tetapi, Ma Panji Keta tidak dengan segera memercayai apa
yang disampaikan Kiai Wirota Wiragati. Majapahit tidak akan mudah
menuduh Keta melakukan makar. Apalagi, dalam hari-hari terakhir ini
patihnya tengah berada di Majapahit dalam rangka hadir sebagai wakil
Keta di Pasewakan Agung yang digelar di Tatag Rambat Bale Manguntur
Majapahit. "Tetapi, saat ini Patih Panji Hyang Rogasiwi sedang berada di
Kotaraja Tarik, Kiai!" kilah Ma Panji Keta.
Kiai Wirota Wiragati tersenyum aneh. Matanya yang dilapisi warna
putih bergerak dalam raut muka yang sulit ditebak.
"Kalau Majapahit telah mendapatkan bukti yang tidak terbantah,
orang-orang yang kaukirim ke Majapahit bisa jadi tak akan pernah pulang
untuk selamanya," kata Kiai Wirota Wiragati.
Berdesir isi dada Ma Panji Keta memperoleh perintah itu. Namun,
Ma Panji Keta merasa tak mungkin mundur selangkah sekalipun. Di
tubuhnya mengalir darah Madura dan berkerabat dengan Ranggalawe
yang juga berdarah Madura. Kematian Ranggalawe, Adipati Tuban, tak
bisa diterimanya. Sebesar itu pengabdian yang diberikan Ranggalawe,
nyatanya Majapahit tega menggilasnya tanpa melihat bagaimana
jasanya. Akhirnya, Ma Panji Keta memang tak punya pilihan selain menemui
orang-orang yang makin banyak berkumpul di alun-alun. Dengan
pengawalan yang kuat, Ma Panji Keta turun menemui orang-orang yang
membutuhkan jawaban. Para pengawal itu tidak main-main jumlahnya,
nyaris lima puluh orang menempatkan diri melindungi Ma Panji Keta
dari segala kemungkinan bahaya. Amat sadar telik sandi Majapahit akan
552 Gajah Mada menyerang menggunakan anak panah, beberapa prajurit bertameng
membuat pagar betis. "Kalau kita mau, orang itu bisa kita curi jantungnya. Maka,
berakhirlah ketegangan ini dan Keta akan kembali ke pangkuan ibu
pertiwi," bisik Riung Samudra.
"Jangan," balas Pradhabasu. "Kita lihat apa yang akan disampaikan
oleh pemimpi itu." Para Bhayangkara yang menyusup dan menyatu menjadi bagian tidak
terpisah dari orang-orang yang berkumpul di alun-alun depan istana itu,
segera menyesuaikan diri. Tak seorang pun yang menggagas melakukan
serangan secara sembunyi-sembunyi.
Hanya dengan menunjukkan jari kelingking, masing-masing telah
paham apa arti perintah itu. Pradhabasu yang telah ditunjuk sebagai
Pedang Tanpa Perasaan 6 Serigala Dari Kunlun Long Cu Ya Sim Karya Kwao La Yen Golok Bulan Sabit 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama