Ceritasilat Novel Online

Hamukti Palapa 5

Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 5


tinggal, belajar, dan bergaul dengan orang Onin. Namun, apa pun daya
upaya yang aku lakukan, aku tak mampu memahami bahasa mereka."
Hening menggeratak membuat senyap itu bertambah senyap. Apa
yang dituturkan Pancaksara makin memancing minat Gajah Mada untuk
141 Bedahulu, Lo Gajah, dan seterusnya, nama-nama negara di sebelah timur Jawa yang nantinya menjadi bawahan Majapahit pada zaman keemasannya sebagaimana ditulis Prapanca dalam Negarakertagama pupuh XIII dan XIV.
142 Serit, Jawa, jenis sisir yang begigi amat rapat biasanya digunakan membersihkan kutu rambut.
Hamukti Palapa 219 bisa mengunjungi daerah itu secara langsung dan mempersatukannya
dalam sebuah ikatan yang tidak terpisah. Angan-angan untuk bisa
menyatukan semua negara di wilayah Nusantara itu tidak sekadar
mengusik hatinya, tetapi menjadi mimpi abadi yang akan selalu
mengunjunginya setiap tidur, menyelinap tiap melamun.
Kembali Gajah Mada terdiam. Mimpi yang membenam di benaknya
membuatnya gelisah. "Seberapa jauh kau menjelajah ke arah timur" Masih adakah timur
lagi?" tanya Gajah Mada.
"Perjalananku hanya sampai di Seran dan Onin!" Pancaksara
membalas. "Tetapi, yang paling menarik bagiku adalah sebuah pulau
yang banyak sekali dihuni oleh kadal besar. Dari Bali ke timur ada
Penida, Lombok, dan terus ke Taliwang, dan ke timur lagi, di tempat
itulah binatang aneh itu tinggal. Tak ada manusia di sana karena habis
dimakan binatang itu."
Gajah Mada penasaran. Seekor kadal, Gajah Mada tentu tahu, tetapi
kadal raksasa yang mampu memakan manusia, itu berarti kadal itu harus
berukuran jauh lebih besar dari manusia. Padahal, kadal-kadal yang sering
dilihat dan ditemuinya berukuran kecil saja, paling besar seukuran tokek
atau dua kali jempol kakinya.
"Adakah kadal yang lebih besar dari manusia?" tanya Gajah Mada
heran. "Aku melihatnya sendiri. Yang paling besar bisa setinggi kerbau
berdiri dengan panjang lebih panjang dari buaya, lebih kekar dan
mengerikan dari buaya!" Pancaksara menjawab.
Seberapa hebat dan dahsyat binatang bernama komodo itu bukan
hal yang sangat menyita perhatian Gajah Mada, tetapi seberapa luas
wilayah yang ia sebut Nusantara itu. Minatnya untuk mengetahui
sebarapa luas, membentang dari mana ke mana, dan berapa waktu yang
diperlukan untuk mengelilinginya, pertanyaan-pertanyaan macam itu
yang sedang ia butuhkan jawabnya.
220 Gajah Mada Jika menengok ke belakang, Singasari yang demikian besar ternyata
harus kelabakan menghadapi Tartar. Maka, Majapahit harus bisa lebih
besar lagi. Seluruh negara di Jawa harus disatukan. Lalu, seluruh negara
di wilayah Hujung Medini juga diikat menjadi satu kesatuan. Demikian
pula dengan semua negara yang berada di daerah matahari terbit dan
matahari terbenam. Dengan kebesaran macam itu maka negeri Tartar
atau negeri mana pun harus berpikir seribu kali jika berniat melebarkan
wilayah sampai ke wilayah Nusantara.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Majapahit macam apa yang
kelak kauinginkan?" Pancaksara mendahului bertanya sebelum Gajah
Mada bertanya. Pandangan Gajah Mada menerawang serasa mengintip jauh ke masa
depan, ke wilayah mimpi yang hendak diraih.
"Tak ada salahnya aku berangan-angan," ucap Gajah Mada.
"Kelak Majapahit akan menjadi negara yang besar, lebih dari sekadar
negara besar, tetapi sangat besar. Aku berangan-angan, Majapahit nanti
menguasai wilayah seluruh Nusantara mulai dari ujung barat ke ujung
timur, ke semua wilayah yang kausebut itu, bahkan andai masih ada lagi
wilayah yang belum tersebut. Aku bermimpi Majapahit kelak membawahi
mereka. Itulah sebabnya, Majapahit harus memiliki angkatan perang
yang kuat dan armada yang besar."
Gajah Mada menghentikan ucapannya sejenak untuk menarik
napas. "Jika Swarnabhumi mampu membuat kapal-kapal dengan ukuran
besar sebagaimana kaugambarkan," lanjut Gajah Mada, "tidak ada
salahnya Majapahit berguru ke Swarnabhumi. Jika perlu, kita datangkan
empu pembuat kapal itu, atau kita kirim para pembuat kapal kita ke
Swarnabhumi untuk belajar. Ke depan, aku bermimpi, Majapahit tidak
hanya negeri yang besar, tetapi sekaligus kaya raya yang semua rakyatnya
hidup makmur, murah sandang dan murah pangan, hidupnya tenteram,
tenang, dan damai." Pancaksara termangu, terjebak antara rasa takjub dan heran, atau
mungkin geli melihat Gajah Mada berangan-angan demikian tinggi.
Hamukti Palapa 221 Angan-angan yang sungguh tidak masuk di akal. Namun, Pancaksara
yang baru saja kembali dari perjalanan panjang itu tak bisa mengendalikan
rasa takjubnya oleh banyak kemajuan yang terjadi, jalan-jalan dibuat rata
dan halus dengan pembangunan saluran-saluran air dan bendungan.
Hanya sayang, kemarau panjang yang terjadi kali ini memang sulit
disiasati. "Kulihat ada banyak kemajuan yang terjadi," ucap Pancaksara.
"Perubahan yang mana?" balas Patih Gajah Mada.
"Kulihat pembangunan maju pesat. Yang aku dengar, hubungan
Majapahit di pusat dengan sebelas negara bawahan sangat lancar karena
jalan-jalan baru dibangun dan dipadatkan, hilir mudik perdagangan
tak seperti beberapa tahun yang lalu. Ada perubahan pejabat-pejabat
penting. Yang menempati kedudukan penting berasal dari kalangan
muda, bukan para kakek lagi kecuali ayahku!" Pancaksara mengakhiri
rangkaian ucapannya sambil tersenyum.
Pada dasarnya ketenteraman berhubungan erat dengan perdagangan.
Jika negara Majapahit dalam keadaan tenteram dan tak banyak gangguan
dari para penjahat, bukan hanya di dalam negeri saja yang lancar,
perdagangan melalui pintu gerbang pelabuhan Ujung Galuh dan Tuban
bahkan terjalin amat erat dengan para saudagar dari Jambudwipa,
Kamboja, Yawana, Cina, Siam, Goda, sampai di Karnataka.143
Di Jawa, tak habis-habisnya Gajah Mada mengupayakan hubungan
antara satu wilayah negara bawahan dengan negara bawahan yang
lain dan pusat berjalan lancar. Untuk kebutuhan hubungan itu telah
dibentuk pasukan berkuda khusus, yang bekerja sambung-menyambung
menghubungkan semua negara bawahan, atau bahkan dengan cara
yang lebih cepat lagi melalui burung merpati yang sangat berjasa dalam
menyalurkan perintah atau undangan untuk hadir di istana.
Patih Gajah Mada juga memanfaatkan jalur laut sehingga perintah
yang harus dikirim ke Blambangan yang terletak di ujung timur Jawa
143 Karnataka, Mysore, India
222 Gajah Mada bisa sampai ke tujuan tak lebih dari dua hari. Perahu kecil dengan layar
lebar terkembang yang melesat didorong angin bisa jauh lebih cepat dari
seekor kuda yang berderap di daratan, kecuali untuk negara bawahan
yang berada di kedalaman, ke Singasari misalnya.
Majapahit memiliki sebelas negara bawahan dan lima mancanagara.144
Sebelas negara bawahan itu adalah Daha yang masih menempatkan Prabu
Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa sebagai pemangkunya, Wengker
diperintah oleh Prabu Wijaya Rajasa, suami Prabu Putri Dyah Wiyat,
sebagai pemangku wilayah itu. Kemudian Matahun, Lasem, Pajang,
Paguhan, dan Kahuripan yang meski Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani telah menjadi Prabu Putri, masih menjadi pemangku
wilayah tersebut. Negara-negara bawahan yang lain adalah Singasari, Mataram,
Blambangan, Pawanuhan, dan Pamelekehan. Khusus Pamelekehan
memperoleh perhatian khusus dari Istana Majapahit karena peran
sertanya yang paling menonjol untuk urusan apa pun. Demikian pula
dengan penyerahan upeti, nilainya tak pernah tertandingi oleh negara
bawahan mana pun. Kedekatan Raja Pamelekahan dengan kedua Prabu
Putri menyebabkan anaknya, Rakrian Kembar, memperoleh kedudukan
khusus di keprajuritan. Walau ia beberapa kali melakukan kesalahan,
selalu mendapat ampunan. Untuk mengatur pemerintahan agar berjalan lancar, dikuasakan
kepada lima orang pejabat utama yang disebut Sang Panca Ri Wilwatikta.
Dalam menunjuk siapa orang-orang yang mengisi kedudukan Sang
Panca Ri Wilwatikta, Gajah Mada yang tidak sabar ingin segera meraih
kemajuan, mengusulkan orang-orang yang masih muda dan sanggup
bekerja keras. Demikian pula pada tingkat jabatan mantri wredha 145 yang
lain, yang berasal dari para tandha pilihan, termasuk para mahamenteri
144 Mancanagara, ketika hanya berkuasa di Jawa, di samping memiliki sebelas negara bawahan, Majapahit memiliki lima wilayah khusus yang bisa disetarakan dengan provinsi pada zaman sekarang, yang dibagi menurut arah kiblat, yaitu timur, selatan, barat, utara, dan pusat (bandingkan dengan DKI Jakarta) yang masing-masing diperintah juru pengalasan bergelar rakrian. Di samping juru pengalasan, mancanagara juga bisa dipimpin seorang adipati. Pada zaman sekarang mancanagara berarti luar negeri.
145 Mantri wredha, menteri senior
Hamukti Palapa 223 Katrini. Di samping jabatan-jabatan penting itu, masih ada tujuh orang
Uppapati. "Ketika aku berangkat menempuh perjalanan panjang setelah
kematian Prabu Sri Jayanegara, yang menjabat Rakrian Menteri Hino
masih Paman Dyah Sri Rangganata, yang memangku jabatan Rakrian
Menteri Sirikan adalah Paman Dyah Kameswara. Sementara itu, yang
memangku Rakrian Menteri Halu adalah Paman Dyah Wismanata.
Saat aku pulang, semua nama itu telah lengser, padahal menurut
penilaianku, Paman Dyah Wismanata masih cukup muda dan tangkas,"
kata Pancaksara. Gajah Mada belum segera menjawab, tatapan matanya yang
menerawang menjadi pertanda ia sedang teringat sesuatu.
"Sudah tahu siapa Rakrian Menteri Hino sekarang?" tanya Gajah
Mada. Pancaksara mengangguk. "Dyah Janardana," jawab Pancaksara. "Yang lain aku belum!"
"Kedudukan orang-orang pada jabatan penting itu memang hasil
campur tanganku dan Sang Prabu Putri menyetujui. Kepada kedua
Prabu Putri, aku menyarankan untuk menempatkan Dyah Mano sebagai
Rakrian Menteri Sirikan dan Dyah Lohak untuk menduduki kursi Rakrian
Menteri Halu. Mereka semua terbukti orang-orang yang bisa bekerja
keras. Boleh dikata, kemajuan yang kausebut karena hasil kerja keras
orang-orang itu." Pancaksara takjub. Pancaksara sependapat bahwa dalam beberapa
hal, orang tua lamban dalam bekerja, apalagi orang tua yang sudah terlalu
lama menduduki jabatan dengan kursi empuk, yang menjadikannya tidak
peka terhadap tuntutan perubahan dan keinginan orang banyak.
Hening yang mengalir menemani dua sahabat itu membawa sang
waktu menukik kian tajam.
Gajah Mada dan Pancaksara mendadak tersadar, suara kentongan
yang semula telah mereda kini bergema lagi. Berada pada jarak cukup
224 Gajah Mada dekat dari Candi Brahu, tampak api menjilat-jilat, asapnya membubung
tinggi. Serpih kayu yang terbakar, apinya ikut terbang ke langit terbawa
angin. "Malam ini kami akan kedatangan tamu tidak diundang. Jika
ingin mendapatkan bahan untuk semua catatanmu, jangan jauh-jauh
dariku." 16 A pi yang menyala membakar sebuah rumah tak jauh dari Candi
Brahu akhirnya padam dengan sendirinya. Sekitar sepuluh orang
prajurit yang mendatangi lagi-lagi hanya menemukan jejak. Gerakan
serombongan orang yang membuat kekacauan itu rupanya sangat cepat
dan trengginas dan pasti dilakukan oleh orang yang sangat terlatih.
Siapa pun mereka, yang jelas berkesanggupan melakukan tindakan yang
sangat kejam. Nyawa orang yang menjadi korban tak ada artinya. Hal
itu menumbuhkan pertanyaan, latar belakang macam apa yang dimiliki
sehingga seseorang mampu berbuat seperti itu"
"Rumah siapa yang terbakar?" tanya pimpinan prajurit yang
mendatangi. "Rumah Ki Rangga Surya, Tuan," jawab tetangga pemilik rumah
yang malang itu. "Mana Ki Rangga Surya?" tanya prajurit itu lagi.
"Mati, Tuan, mayatnya dilempar ke dalam api."
"Berapa orang pelakunya?"
"Dua orang, Tuan!"
Hamukti Palapa 225 Jawaban itu berbeda dari keterangan yang sebelumnya diperoleh
bahwa tindakan kejam itu dilakukan oleh serombongan terdiri atas lima
orang. Seorang di antaranya laki-laki yang berusia sangat tua, yang meski
tua, cukup tangkas berkuda. Menilik dugaan, orang yang paling tua
itulah yang melepas kekuatan sirep. Kemampuan sirep harus dilandasi
oleh laku kebatinan yang umumnya dikuasai oleh orang yang makin tua
usianya. Penguasaan kemampuan yang demikian membutuhkan waktu
yang lama, sampai bertahun-tahun.
Laporan itu segera sampai ke telinga Senopati Gagak Bongol yang
disimak pula oleh Gajah Mada.
"Dua orang membuat kekacauan untuk mencuri perhatian, tiga
orang yang lain mungkin berada tak jauh dari tempat ini. Apakah menurut
Kakang Gajah Mada, aku perlu mengirim makin banyak orang untuk
memburu mereka?" tanya Gagak Bongol.
Gajah Mada tak segera menjawab. Ia perhatikan suasana malam
dengan udara yang mengalir aneh itu.
"Ada dua hal yang harus kaucermati dengan baik, Gagak Bongol,"
kata Gajah Mada. "Bahwa tujuan kekuatan sirep itu dilepas adalah agar
para prajurit tertidur. Kalau kaukirim lebih banyak prajurit keluar, orang
yang melepas getar kekuatan aneh di udara ini akan berpikir sirepnya
gagal. Kebakaran itu dilakukan untuk menguji sejauh mana kekuatan
sirep itu bekerja. Menurutku, sebaiknya kauperintahkan kepada segenap
prajurit untuk tetap baris pendhem, jangan sampai terlihat. Beberapa orang
di pintu Purawaktra dan di Waringin Lawang, tak ada salahnya berpurapura tertidur. Kamu tidak perlu mengirim prajurit keluar."
Gagak Bongol sependapat dan tak merasa harus menunda lagi
perintah itu. Para prajurit yang menyalurkan perintah tidak boleh
menggunakan kuda dan harus berjalan kaki agar tak tampak jejak
kehidupan sama sekali. Para prajurit penghubung itu sudah amat tahu
apa yang harus dikerjakan. Bagai bayangan hantu, mereka menyalurkan
perintah tanpa melalui membubungnya panah sanderan memanjat
langit. 226 Gajah Mada "Ada perintah yang harus dikerjakan!" kata prajurit penghubung
yang telah tiba di gerbang Purawaktra.
"Apa?" tanya pimpinan prajurit yang mengawal pintu gerbang.
"Senopati Bongol memerintahkan supaya prajurit di pintu gerbang
berpura-pura tidur. Maksudnya supaya orang yang menyebar sirep itu
mengira kekuatan sirep yang disebar mengenai sasaran."
"Wah, kita disuruh tidur?" prajurit yang lain nyeletuk sambil
menguap. "Ya!" "Kalau kebablasan bagaimana?"
"Kepalamu akan dipenggal penjahat itu!"
Sebenarnyalah di suatu tempat tak jauh dari Purawaktra, seorang
lelaki tua sedang menunggu empat lelaki lain yang menyebar. Yang
seorang kemudian datang dan disusul dengan yang seorang lagi. Lelaki
tua itu tak memiliki sisa rambut yang berwarna hitam, semuanya


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah memutih dan dibiarkan terurai tidak digelung keling. Yang agak
mengerikan dari penampilannya, bulatan mata sebelah kiri lelaki tua itu
telah memutih. Untuk melihat, ia hanya mengandalkan mata kanannya
yang agak kabur. Yang luar biasa dimiliki orang itu adalah kemampuannya
memerhatikan apa pun yang terjadi dengan menggunakan ketajaman
telinganya. Untuk menempuh perjalanan panjang dengan kuda, lelaki tua
itu harus dibantu. Berkuda sendirian tak mungkin dilakukan. Berkuda
harus ia lakukan dengan berombongan.
"Apa yang kaulihat, Bremoro?" tanya lelaki yang paling tua.
Orang kedua yang dipanggil dengan nama Bremoro tidak menunda
waktu untuk menyampaikan pendapatnya.
"Sirep yang Kiai Wiragati lepas rupanya terlalu kuat untuk dilawan.
Aku lihat beberapa prajurit di pintu gerbang barat sudah bergelimpangan.
Agaknya dengan sangat mudah istana memang sudah bisa dimasuki,"
kata Bremoro. Hamukti Palapa 227 Lelaki tua yang dipanggil dengan nama Wiragati itu tidak dengan
segera menelan laporan itu. Perhatiannya diberikan kepada orang ketiga,
orang yang datang belakangan yang meski malam terasa dingin, tubuhnya
bersimbah keringat. "Kamu, Udan Tahun?"
"Aku melihat di tempat lain juga demikian, Kiai," jawab Udan
Tahun. "Aku tidak mendengar suara anak panah, juga tidak ada isyarat
menggunakan tiruan suara burung. Kebakaran dan pembantaian yang
kita timbulkan tidak memancing para prajurit keluar. Di Waringin
Lawang, kulihat sepi sekali. Beberapa prajurit mondar-mandir, beberapa
yang lain bergelimpangan. Yang mondar-mandir itu nantinya akan segera
menyusul tertidur." Namun, Wiragati yang berusia lebih dari tujuh puluh tahun itu
tidak menerima laporan itu begitu saja. Wiragati tahu dan sangat yakin,
di dalam lingkungan istana ada orang yang mampu mementahkan
pengaruh sirepnya dengan mudah. Orang itu adalah Ibu Suri Gayatri,
yang dengannya ia merasa perlu berurusan.
Sirep yang dilepas akan menyebabkan orang yang menjadi sasaran
merasa mengantuk dan tertidur. Akan tetapi, jika kekuatan sirep itu
menyentuh simpul saraf perasa Ibu Suri Gayatri, hal itu justru akan
membangunkannya. Sebagai seorang biksuni yang telah terbiasa dalam
olah semadi, bukan hal yang sulit baginya untuk mementahkan sirep dan
bahkan mengembalikan dalam bentuk serangan balik.
Waktu mengalir dengan sangat lambat bagi mereka yang sedang
menunggu dan terlalu cepat bagi mereka yang sedang memadu kasih.
Di langit, bintang-bintang dengan jumlah tak terhitung beradu jernih.
Bulan sepenggal yang muncul sejak senja telah tak tampak jejaknya sama
sekali. Setelah menunggu beberapa saat lamanya, dua orang lagi yang
telah lama ditunggu datang bergabung. Menilik mereka datang berjalan
kaki, berarti kudanya disembunyikan di tempat yang aman.
Suara melengking terdengar di langit tinggi.
"Suara apa itu?" tanya Kiai Wiragati.
228 Gajah Mada Dua orang yang baru datang, Panji Hamuk dan Lanjar Manuraha,
ikut menyimak. "Nah, itu!" kata Kiai Wiragati sekali lagi.
"Itu cataka, Kiai!" jawab Lanjar Manuraha.
Suara yang melengking di langit itu benar milik cataka dan hal itu
menyebabkan Kiai Wiragati menjadi tidak nyaman. Cataka berteriak
karena ia memiliki mata yang amat tajam dan mungkin melihatnya.
Apalagi, cataka itu terbang sangat rendah, tidak sebagaimana
kebiasaannya. Orang yang mampu menandai kebiasaan cataka akan
segera menarik simpulan adanya orang yang melakukan perbuatan tak
sewajarnya. Terhadap maling atau rampok yang akan menggarong orang,
cataka akan dengan senang hati memberi tahu keberadaan orang-orang
dengan niat jahat itu. Anehnya, cataka tidak akan berteriak terhadap
orang-orang yang tidak berniat jahat. Melihat orang sibuk di sawah saat
tengah malam, cataka tidak mau menyumbangkan suara lengkingannya.
Sebaliknya dengan burung bence, burung jenis ini bahkan akan berteriak
meski yang dilihat hanya seekor kucing yang sedang mengendap-endap
akan memangsa tikus. "Bagaimana, Kiai. Sudah waktunya kita masuk ke dalam istana?"
tanya Lanjar Manuraha. "Kita tunggu beberapa saat lagi!" jawab Kiai Wiragati.
Waktu yang bergeser sejengkal dipergunakan oleh Kiai Wiragati
untuk menguji keadaan. Kekuatan sirep yang dilepas ke udara makin
tajam. Pada ukuran itu, Kiai Wiragati yakin, tak seorang pun yang mampu
memberi perlawanan. Orang setangguh apa pun pasti ambruk.
Di dalam lingkungan istana, dengan berdebar-debar, Gajah Mada
menunggu apa yang akan terjadi. Gajah Mada yang kini berhadapan
langsung dengan jenis kekuatan sirep itu akhirnya tak lagi menyalahkan
kehilangan yang terjadi atas dua benda pusaka yang dianggap penting
beberapa hari yang lalu. Keadaan yang dihadapi memang tidak sewajarnya.
Hamukti Palapa 229 "Ternyata ada orang yang menguasai ilmu aneh macam ini," gumam
Gajah Mada. Namun, Gajah Mada mampu menguasai rangsang kantuk
yang mengganggunya. Pada awalnya rangsang kantuk itu memang
mengganggu. Namun, pada akhirnya Gajah Mada mampu membebaskan
diri dengan sempurna. Jika Gajah Mada yang kukuh tanggon harus
berjuang sekuat tenaga untuk melawan, lalu bagaimana dengan prajurit
yang lain" Gajah Mada cemas memikirkan hal itu.
Dalam keadaan yang demikian, seorang berlari-lari melintas.
"Apa yang kaulaporkan?" tanya Gajah Mada.
"Aku berhasil!" jawab Bhayangkara Jayabaya.
"Berhasil bagaimana?" tanya Gagak Bongol.
"Aku berhasil menemukan orang-orang itu!" jawab Bhayangkara
Jayabaya. "Di mana orang-orang itu?" tanya Gagak Bongol.
"Mereka terdiri atas lima orang. Masing-masing dimulai dari yang
paling tua bernama Wiragati, lalu ada anak buahnya yang bernama Udan
Tahun, Panji Hamuk, dan Lanjar Manuraha, juga ada yang bernama
Bremoro. Keterangan itulah yang aku peroleh, selebihnya apa urusan
dan latar belakang mereka menyanyikan tembang onar, aku juga ingin
segera mengetahuinya."
Gajah Mada dan Gagak Bongol merasa takjub. Sebagai telik sandi,
Bhayangkara Jayabaya memang memiliki kemampuan mengendus
melebihi ketajaman lidah ular dan ketajaman mata jauh lebih tajam dari
mata milik kalangkyang. Sebagai seorang telik sandi, Jayabaya seolah diberi
anugerah panggrahita yang tajam.
"Bagaimana kamu bisa mengetahui sampai sejauh itu?" tanya
Gagak Bongol. "Karena aku berhasil mendekati para pelaku onar itu sampai pada
jarak yang amat dekat. Aku bisa mendengar pembicaraan mereka dengan
amat jelas," tambah Jayabaya dengan sikap sigap.
230 Gajah Mada "Di mana sekarang mereka berada?" tanya Gagak Bongol.
"Di utara, di belakang pagar rumah Kakang Gajah Mada!"
Gajah Mada benar-benar terkejut.
"Di belakang rumahku?" tanya Gajah Mada.
"Ya!" jawab Bhayangkara Jayabaya.
Keterangan yang diberikan Bhayangkara Jayabaya itu benar-benar
menyebabkan Gajah Mada terkejut. Semula Gajah Mada mencoba
menerka di mana orang-orang yang akan membuat onar di lingkungan
istana itu mempersiapkan diri. Gajah Mada menduga, mereka di suatu
tempat entah di mana, tetapi bisa mengawasi pintu gerbang Purawaktra
dengan leluasa. Ternyata, justru persiapan itu dilakukan di belakang
rumahnya yang sedang dibangun kembali setelah runtuh diguncang
gempa dahsyat. "Langkah apa yang akan kaulakukan?" tanya Gajah Mada kepada
Bongol. "Bagaimana kalau kusiapkan pasukan untuk menyerbu?" balas
Gagak Bongol. Gajah Mada ternyata menggeleng.
"Aku punya saran," ucap Gajah Mada.
"Bagaimana, Kakang Gajah Mada?" balas Gagak Bongol.
"Siapkan jebakan. Biarkan orang-orang itu menganggap kita semua
tertidur dan berhasil masuk ke dalam gedung perbendaharaan pusaka.
Bikin mereka bisa masuk, tetapi tak bisa keluar."
Gagak Bongol yang termangu itu kemudian tersenyum.
"Baik, aku salurkan perintahku."
Perintah telah tersalurkan sampai ke ujung. Puluhan prajurit
Bhayangkara ditata bergelimpangan di mana-mana, tetapi sebenarnya
tak jauh dari gedung perbendaharaan pusaka dan bisa bergerak cepat
untuk membuat kepungan saat perintah dijatuhkan. Demikian juga para
Hamukti Palapa 231 prajurit pengawal khusus yang bertugas mengamankan istana Prabu
Putri Sri Gitarja dan istana Prabu Putri Dyah Wiyat. Penambahan
kekuatan pengamanan dua istana itu berasal dari para prajurit yang
ditarik dari Tatag Rambat dan dari beberapa tempat yang berdasar
perhitungan tidak akan didatangi oleh orang-orang yang membuat
onar itu. Pun demikian pengawalan terhadap istana Ibu Suri Gayatri dan Ibu
Suri Tribhuaneswari, para prajurit diatur bergelimpangan sedemikian rupa
seolah-olah tidak seorang pun yang mampu bertahan tetap melek.
"Tamu itu akan segera datang?" Mapatih Arya Tadah meminta
keterangan dari Gajah Mada.
"Benar, Paman," jawab Gajah Mada.
Rupanya ada sesuatu yang membebani pikiran Arya Tadah.
"Tiba-tiba aku mempunyai dugaan yang meresahkan atas siapakah
sesungguhnya tamu yang akan datang ini, Gajah Mada. Oleh karena itu,
kuminta tangkap semua hidup-hidup," kata Arya Tadah.
Gajah Mada mencuatkan alis. Gajah Mada yang semula membelakangi
Mapatih Arya Tadah itu kemudian berbalik.
"Maksud, Paman?" tanya Gajah Mada.
"Aku sependapat dengan Adi Dharmadyaksa Kasogatan yang
mempunyai dugaan siapa orang yang berbuat tidak terpuji ini. Bisa jadi,
aku memang mengenalnya. Andaikata dugaanku benar, ia tamu yang
benar-benar luar biasa. Bahkan boleh dikata, ia manusia yang sudah
mati dan bangkit kembali dari kuburnya. Menurut dugaanku, ia tidak
hanya bermaksud menyusup ke dalam gedung pusaka untuk mengambil
entah pusaka apa, kau harus memperkuat pengawalan istana Ibu Suri
Gayatri melebihi yang lain. Ibu Suri Gayatri mungkin salah satu sasaran
yang akan didatangi orang ini. Orang ini dulunya pahlawan besar bagi
Majapahit, tetapi oleh sebuah alasan, sikapnya berubah."
Gajah Mada mencuatkan alis, wajahnya berubah.
"Apa urusan orang-orang itu dengan Ibu Suri?"
232 Gajah Mada "Ini ada kaitannya dengan sebuah kisah yang terjadi di masa silam,
apakah kau masih punya waktu untuk mendengarkan?" Mahapatih Arya
Tadah bertanya. Namun, Gajah Mada tak punya waktu untuk menyimak apa yang
akan dituturkan Mahapatih Arya Tadah karena telah menerima
laporan bahwa tamu yang tak diundang itu akan segera memasuki
pintu gerbang Purawaktra. Dalam waktu yang sangat mepet itu,
Gajah Mada menyalurkan perintah penguatan pengamanan terhadap
istana Ibu Suri Gayatri kepada Senopati Gagak Bongol. Dengan
tergesa-gesa, penambahan kekuatan dilakukan terhadap istana Ibu
Suri Gayatri. Beberapa orang prajurit yang ditempatkan di istana itu bergelimpangan
seolah sedang tidur. Sebagian dengan sikap duduk bersandar, sebagian
lagi berbaring meringkuk, tetapi tak seorang pun yang tangannya tidak
melekat pada gagang senjatanya, pada gagang pedang, pada gagang
trisula, gagang tombak bertangkai pendek, atau langkap dan anak
panahnya sekaligus. Dalam siraman cahaya obor, akhirnya terlihat tamu yang kehadirannya
didahului dengan membuat onar itu berjalan memasuki pintu Purawaktra
dengan penuh keyakinan. Dari tempat persembunyiannya, Gajah Mada
melihat orang yang berada di tengah adalah seorang kakek tua yang
dalam berjalan tubuhnya agak tertekuk bungkuk. Di sebelah kiri dan
kanannya, masing-masing empat orang pengawalnya menyiagakan diri
dengan senjata yang siap mematuk. Anak panah akan lepas dari busur
empat orang itu jika ada gerakan yang mencurigakan.
Kiai Wiragati berhenti di tengah pintu gerbang.
"Mereka semua tidur lelap, Kiai!" kata Udan Tahun menerjemahkan
apa yang ia lihat dan rasakan.
"Apakah sebaiknya kita bantai mereka semua, Kiai?" pertanyaan
itu terlontar dari mulut Bremoro.
"Jangan!" jawab Kiai Wiragati. "Bawa aku ke gedung benda-benda
pusaka." Hamukti Palapa 233 Udan Tahun mencabut sebuah obor yang menyala di sudut pintu
gerbang. Hal yang sama dilakukan oleh Bremoro yang memerlukan
obor untuk menerangi keadaan. Tamu-tamu tak diundang itu mendapati
kenyataan, kekuatan sirep yang disebar oleh orang yang mereka kagumi
benar-benar dahsyat. Sampai pada tingkat tertentu, ilmu maling itu
benar-benar berdampak sangat mengerikan.
"Bukan main, semua orang seperti mati," gumam Lanjar Manuraha.
Menggunakan obor yang dipegang, Lanjar Manuraha menerangi
wajah seorang prajurit yang dengan sepenuh tenaga bertahan tetap
berpura-pura tidur. Obor yang didekatkan ke wajahnya menyebabkan
panas yang nyaris membakar kulit. Prajurit itu tak perlu bangkit
untuk memberikan perlawanan dan bersikap tetap seperti semula
setelah pemegang obor itu mengarahkan apinya ke prajurit yang lain.
Prajurit berikutnya itu mengumpat dalam hati karena panas yang harus
ditahan. Gajah Mada dan Gagak Bongol yang telah turun dari Bale Manguntur,
meninggalkan Mapatih Arya Tadah yang dikawal beberapa orang dan
bersembunyi di balik rana 146 yang membatasi dua buah ruang.
Gajah Mada dan Gagak Bongol terus mengikuti gerakan orangorang itu dengan menempatkan diri tengkurap di lekuk tanah yang
terletak di belakang barisan mandapa di sisi jalan yang membelah antara
alun-alun dengan deretan bangunan para abdi yang melayani Breh
Wengker. Melekat pada dinding yang berada di belakangnya, puluhan prajurit
telah menyiagakan diri siap menghadapi keadaan macam apa pun. Di
sudut yang lain, beberapa prajurit terus mengamati dengan mengubah
diri tak ubahnya gundukan batu, begitu ada kesempatan, gundukan batu
itu merayap bagai kadal. Dengan penuh keyakinan, lima orang pembuat kekacauan itu
melintasi alun-alun menuju gedung pusaka yang berada di belakang.
146 Rana, Jawa, penyekat ruang yang terbuat dari ukir-ukiran, benda seperti ini banyak diproduksi di daerah ukir Jepara.
234 Gajah Mada Dengan amat bangga dan dipenuhi rasa takjub, mereka menyaksikan


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh-tubuh yang bergelimpangan. Empat orang pengikut dan
pendukung tindakan Kiai Wiragati itu merasa, betapa hebat peristiwa
itu. Dalam keadaan macam itu, sungguh betapa mudah untuk
menghancurkan Majapahit, semudah mijet wohing ranti.147
Namun, tiba-tiba pimpinan rombongan itu berhenti. Kiai Wiragati
menyempatkan memerhatikan keadaan.
"Ada apa, Kiai?" tanya Udan Tahun.
Kiai Wiragati menelengkan telinganya. Dengan ketajaman
panggrahita,148 laki-laki tua, tetapi masih menyimpan semangat makantarkantar 149 tidak kalah dari mereka yang masih muda itu memerhatikan
keadaan. "Benarkah keadaan di sekeliling kita senyap?" tanya pimpinan
rombongan itu. "Keadaan benar-benar aman, Kiai," jawab Bremoro.
Kiai Wiragati merasa tidak puas memperoleh jawaban itu.
"Coba perhatikan keadaan dengan lebih cermat!" ucap Kiai
Wiragati. Udan Tahun memerhatikan keadaan dengan saksama. Lanjar
Manuraha sedikit mengalami kesulitan untuk menandai keadaan itu
karena pendengarannya yang kurang begitu bagus. Sebaliknya, Bremoro
merasa yakin, kekuatan sirep itu memang menidurkan orang sekotaraja.
Hanya Panji Hamuk yang curiga keadaan tidak sebagaimana diduga.
Panji Hamuk merasa ada yang aneh melihat para prajurit yang tidur
sambil memeluk senjata. "Mengapa mereka berhenti" Gagak Bongol yang mengawasi
berbisik. 147 Mijet wohing ranti, peribahasa Jawa, semudah memencet buah tomat. Artinya, pekerjaan yang sangat mudah yang bocah kecil pun mampu melakukan.
148 Panggrahita, Jawa, mata hati atau bisa diidentikkan dengan indra keenam
149 Makantar-kantar, Jawa, berkobar
Hamukti Palapa 235 "Tentu ada persoalan yang sedang mereka perbincangkan. Mungkin
mereka tahu kita telah menyiapkan penyambutan yang meriah setimpal
dengan onar yang mereka buat," kata Gajah Mada.
"Bisa jadi, mereka akan membatalkan niatnya memasuki gedung
pusaka," kata Gagak Bongol.
"Jika itu terjadi, langsung kepung mereka. Ingat apa yang
disampaikan Paman Arya Tadah, orang yang menjadi pimpinannya harus
ditangkap hidup-hidup. Kita harus tahu siapa orang itu, yang menurut
Paman Tadah, berasal dari masa silam, dan membawa latar belakang
macam apa sampai-sampai mereka sanggup melakukan tindakan bengis
tanpa menghargai nyawa sama sekali."
Namun, rombongan berlima yang berhenti itu kembali bergerak
melanjutkan ayun kaki yang tertunda. Makin lama makin mendekati
halaman Tatag Rambat Manguntur, menyisir Paseban yang berada di
sebelah kiri Balairung. Tepat berada di belakang istana Prabu Putri
Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani, di tempat itulah gedung
penyimpan benda pusaka berada, yang berada segaris dengan Bale
Gringsing dan Bale Jene yang sama-sama menghadap ke arah barat.
Tanpa setahu rombongan lima orang itu, para prajurit yang semula
menjaga pintu gerbang Purawaktra bangkit dari tidurnya. Sebagian kecil
tetap berbaring, tetapi sebagian yang lain bergerak gesit tanpa suara,
mengendap-endap seperti kucing untuk nantinya bersama-sama dengan
yang lain akan membuat kepungan manakala maling-maling itu tidak
masuk ke dalam gedung pusaka. Di sudut yang lain, para prajurit yang
baris pendhem menyerupai onggokan tanah atau onggokan batu beringsut
seperti kadal yang siap siaga menerkam mangsanya.
Di luar dinding istana, Senopati Haryo Teleng dan Senopati Panji
Suryo Manduro, yang masing-masing adalah pucuk pimpinan pasukan
Jalapati dan Sapu Bayu, tidak mau ketinggalan. Pasukan dalam jumlah
secukupnya dikerahkan untuk memberi dukungan kepada pasukan
Bhayangkara. Namun, kewenangan pasukan dari dua kesatuan yang
berasal dari leburan pasukan Jalapati, Jalayuda, dan Jala Rananggana,
hanya boleh menempatkan diri di luar istana. Sepanjang luar dinding
236 Gajah Mada diawasi dengan cermat tanpa memberi secuil celah pun untuk mereka
yang berniat meloloskan diri melalui memanjat atau menjebol.
Akhirnya, rombongan itu telah sampai di depan pintu bangunan
tempat penyimpanan benda-benda pusaka. Namun, pintu bangunan
penyimpan harta dan benda pusaka itu tidak hanya tertutup, pintu
itu dilengkapi dengan kunci dan rantai besi. Seorang prajurit yang
tertidur bersandar dinding dengan obor menyala di dekatnya segera
menarik perhatian karena serenteng kunci berada dalam genggaman
tangannya. "Buka pintunya!" terdengar perintah Kiai Wiragati setelah mendengar
suara gemerincing kunci yang telah diambil.
Bremoro bertindak cekatan, menggunakan kunci yang ternyata
sesuai, pintu pun kemudian berhasil dibuka. Menggunakan obor yang
dicabut dari halaman, ruangan yang gelap itu diterangi. Bremoro
menempatkan diri masuk pertama kali, disusul oleh Kiai Wiragati.
Udan Tahun, Lanjar Manuraha, dan Panji Hamuk masih menyempatkan
memerhatikan keadaan sebelum akhirnya memutuskan masuk.
Ketika akhirnya terlihat pintu gedung pusaka itu tertutup, serentak
para prajurit yang semula melakukan baris pendhem berlarian merapat
dan melakukan kepungan. Kiai Wiragati adalah orang yang memiliki
indra pendengaran amat tajam sebagai pengganti matanya yang agak
kabur. Kiai Wiragati menengadah.
"Kedatangan kita sudah diketahui," ucap orang itu.
Empat orang pengiringnya terkejut. Serentak mereka memasang
anak panah ke busur. Bremoro bergegas mengintip dari celah jendela.
Bremoro terkejut. "Gila!" desisnya.
"Bagaimana mungkin?" tambah Lanjar Manuhara.
"Ternyata kita salah, kedatangan kita sudah diketahui. Kita
terkepung sekarang," tambah Panji Hamuk.
Hamukti Palapa 237 Empat anak buah Kiai Wiragati bergegas meyakinkan diri untuk
memastikan perkembangan yang tidak terduga itu. Mereka mengintip dari
semua celah yang ada dan mendapati kenyataan, tempat itu benar-benar
telah dikelilingi oleh para prajurit. Prajurit yang tidur bergelimpangan itu
kini tak ada jejaknya. Tempat itu pun kemudian menjadi terang benderang
karena puluhan obor telah dinyalakan untuk mengepung gedung pusaka
itu dengan amat rapat. "Para prajurit yang bergelimpangan itu ternyata menipu kita,"
tambah Bremoro. Namun, Kiai Wiragati tidak peduli meski tempat itu telah terkepung
dengan tidak memberi kemungkinan secuil celah pun untuk meloloskan
diri. "Cepat cari dua benda itu, payung Udan Riwis dan cihna gringsing,"
perintahnya dengan tegas.
Cekatan empat orang pendukung Kiai Wiragati melaksanakan
tugasnya. Isi ruang itu diubek untuk menemukan benda-benda yang
dicari. Bremoro dan kawan-kawannya mendapati ada banyak benda
berharga yang amat menggoda, keris-keris bermata berlian dan timang
yang gemerlapan. Akan tetapi, benda sederhana yang dicari itu tidak
berhasil ditemukan. Udan Tahun yang tak berhasil mendapatkan benda
yang dicari mulai merasa gelisah oleh kesadaran, di luar gedung itu sudah
penuh prajurit yang membangun pagar betis, yang masing-masing telah
merentang gendewa dengan anak panah terarah.
Malam mulai berkabut meski masih lamat-lamat. Tidak ada yang
merasa aneh dengan kemunculan kabut itu menilik sudah sejauh ini
belum turun hujan. "Bagaimana?" "Tidak ada, Kiai," jawab Panji Hamuk.
"Gila! Tak mungkin benda itu tidak ada. Cari sekali lagi."
Panji Hamuk kembali melakukan pemeriksaan dengan menggunakan
obor yang dipegangnya. Demikian pula dengan Udan Tahun dan Lanjar
238 Gajah Mada Manuraha, dengan amat bernafsu berusaha menemukan benda-benda
yang dicari. Tak ada cihna yang dicari dan tak ada pula songsong
Udan Riwis. Sebaliknya, sebuah mahkota berhias permata yang
memantulkan cahaya gemerlap ditimpa cahaya obor, dengan segera
mencuri minat. Bremoro mengangkat benda itu.
"Mahkota milik mendiang Kalagemet," gumam Bremoro.
Udan Tahun yang mengintip ke luar melalui jendela bergegas
melaporkan keadaan itu. "Kiai, di luar telah dilakukan pengepungan yang amat rapat.
Bagaimana cara kita meloloskan diri dari ruangan ini" Depan, belakang,
dan samping telah dipagari prajurit yang semua memegang anak panah!"
kata Panji Hamuk. Kiai Wiragati justru tersinggung oleh ucapan Panji Hamuk. Panji
Hamuk didorongnya hingga terjengkang.
"Kamu meremehkan aku!" bentak Kiai Wiragati dengan suara
parau. "Janganlah coba-coba meremehkan aku kalau tidak ingin aku
kutuk menjadi butiran kacang hijau!"
Tak jelas alasan yang manakah yang langsung menyebabkan mulut
Panji Hamuk terbungkam, apakah karena segan atau karena percaya Kiai
Wiragati benar-benar mempunyai kemampuan mengutuknya menjadi
kacang hijau. Sekian lama Panji Hamuk mengabdi dan mengikuti sepak
terjang Kiai Wiragati, telah berulang kali ia mendengar caci maki kutukan
macam itu, tetapi belum sekalipun kutukan itu diwujudkan menjadi
kenyataan. "Betapa tidak bermartabatnya kalau aku berubah menjadi kacang
hijau!" ucap Panji Hamuk hanya untuk diri sendiri dan diucapkan dalam
hati. "Bagaimana" Ada benda itu?" tanya Kiai Wiragati.
"Benar-benar tidak ada, Kiai," jawab Udan Tahun.
Hamukti Palapa 239 Hening yang kemudian terjadi adalah karena, baik yang berada
di luar maupun di dalam masing-masing menempatkan diri saling
menunggu. Patih Gajah Mada menempatkan diri mendampingi Gagak
Bongol dan menyerahkan sepenuhnya penyelesaian peristiwa itu kepada
pimpinan pasukan Bhayangkara. Mahapatih Arya Tadah yang semula ikut
berada dalam baris pendhem keluar dan bergabung dengan mereka yang
melakukan kepungan. Dengan penuh perhatian, Arya Tadah mengamati
apa yang akan dilakukan oleh yang muda-muda. Menerka siapa orang
yang membuat onar itu, Mapatih Arya Tadah merasa gelisah.
Dua orang prajurit penghubung terlihat berlari kencang, masingmasing menuju ke istana Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani dan Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa.
Didampingi oleh suami masing-masing, kedua Prabu Putri terus
memantau perkembangan yang terjadi. Pengawalan terhadap dua raja
perempuan itu sangat ketat dilakukan oleh prajurit Bhayangkara yang
telah menelanjangi semua pedang.
Di salah satu sudut, Pancaksara dengan penuh minat mengikuti
perkembangan yang terjadi, bagaimana serombongan tikus yang
masuk ke dalam lumbung itu akan ditangkap beramai-ramai. Kitab
Undang-Undang Kutaramanawa menyebut dengan tegas, siapa yang
melakukan kejahatan akan mendapatkan hukuman setimpal dengan
akibat kejahatannya. Padahal, orang-orang itu tidak hanya membakar
rumah-rumah, tetapi telah melakukan rajapati 150 dengan membunuh
beberapa orang di sepanjang jejak onarnya.
"Kalian yang berada di dalam, kalian telah terkepung!" tiba-tiba
terdengar sebuah teriakan yang sangat melengking.
Suara melengking sangat keras itu menggoyang udara yang semula
datar. Burung-burung dara di mandapa 151 terkejut setelah sebelumnya
gelisah karena pendengarannya yang tajam mampu menandai ada gerakan
dan ayunan langkah yang dilakukan dengan senyap. Meski teriakan itu
150 Rajapati, idiom Jawa untuk pembunuhan
151 Mandapa, Jawa Kuno, sangkar burung dara, orang Jawa sekarang menyebutnya pagupon 240
Gajah Mada dilontarkan dengan suara sangat keras, tidak cukup memberi alasan
burung-burung itu ketakutan dan beterbangan.
Pada dasarnya para burung dara itu dibiarkan hidup bebas, tidak
boleh diganggu karena dilindungi undang-undang. Oleh karena itu,
burung-burung itu tidak takut pada manusia, bahkan akrab dengan
manusia. Hal itu bisa terjadi karena kedua Prabu Putri menjadikannya
sebagai klangenan. Di setiap pagi, bahkan Prabu Putri sendiri yang
memberi makan dengan menebarkan remah jagung, yang kemudian
diikuti oleh para prajurit dan para abdi dalem. Maka, lambat laun
terbentuklah keakraban antara manusia dan burung dara itu.
Dengan tegas Prabu Putri mengancam, "Biarkan burung-burung
dara ini hidup dan berbagi ruang dengan kita. Jangan biarkan rasa takut
muncul, dan biarlah mereka menganggap manusia sebagai sahabatnya.
Jika ada yang mengganggu dan menyebabkan rusaknya perilaku jinak
burung itu, aku sendiri yang akan menjatuhkan hukuman!"
Akan tetapi, suara teriakan itu dijawab lain oleh pasangan harimau
yang berada dalam kerangkeng di sudut halaman. Kebetulan harimau
itu merasa belum kenyang dan membutuhkan tambahan makanan. Rasa
jengkel itu telah ditahan cukup lama dan butuh penyaluran.
Maka, ketika tiba-tiba ada teriakan yang demikian keras, dibalasnya
teriakan itu dengan suara jauh lebih menggelegar. Auman salah satu dari
pasangan harimau yang masih menyimpan kenangan memangsa mayat
manusia ketika terjadi huru-hara Ra Kuti itu menyebabkan para burung
dara yang terkejut tambah terkejut.
Harimau kedua yang sedang hamil tua ikut menyumbangkan suaranya yang tak kalah menakutkan. Udara yang kembali datar bergetar lagi.
"Kalian yang berada di dalam gedung pusaka, segera keluar dengan
mengangkat tangan," teriakan itu terdengar lagi.
Gajah Mada dan Gagak Bongol menunggu orang-orang yang telah
terjebak dalam kepungan rapat itu keluar sambil mengangkat tangan di
atas kepala. Ke depan, Patih Gajah Mada telah membayangkan sidang
pembunuhan yang jarang-jarang dilakukan pasti digelar.
Hamukti Palapa 241 Orang dengan kejahatan pembunuhan brutal macam itu jelas telah
tersedia ganjaran hukuman yang tidak bisa ditawar, bahkan dengan
hukuman penjara diberangus kebebasannya seumur hidup sekalipun.
Atau, hukuman untuk mereka adalah hukuman mati.
Kabut yang semula melayang tipis itu sedikit menebal. Jika para
prajurit yang mengepung gedung pusaka itu menyadari, mereka akan
merasakan udara sedikit agak dingin.
"Bagaimana, Kiai" apa yang harus kita lakukan?" tanya Bremoro
yang akhirnya merasa cemas.
Orang yang ditanya tidak menjawab. Panji Hamuk justru
menggamitnya, meminta supaya Bremoro tidak mengganggu apa yang
sedang dilakukan Kiai Wiragati. Dalam diam, rupanya Kiai Wiragati
tidak sedang diam. "Untuk apa memperkuat kekuatan sirep itu, tidak ada gunanya"
Kekuatan sirep yang dibangga-banggakan itu telah dimentahkan," Lanjar
Manuraha berbicara dalam hati.
Akan tetapi, Lanjar Manuraha tak berani mengeluarkan isi hatinya
melalui kata-kata yang terlontar dari mulut. Jika Kiai Wiragati mendengar
ucapan yang tidak berkenan di hatinya, segala caci maki akan terlontar


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari mulutnya, bahkan jenis caci maki yang paling tidak pantas diucapkan
manusia. Kiai Wiragati memejamkan mata, entah apa yang sebenarnya
dilakukan. Boleh jadi, karena tidak ada lagi jalan yang bisa digunakan
untuk melarikan diri maka yang bisa dilakukan hanya menunggu sampai
para prajurit itu masuk menyerbu ke dalam gedung perbendaharaan
pusaka. "Kalian yang berada di dalam, kalian semua pasti mendengar
suaraku. Aku Gagak Bongol, senopati pimpinan pasukan khusus
Bhayangkara yang bertanggung jawab atas keamaan istana dan semua
isinya. Apa yang kalian lakukan adalah sebuah kejahatan terhadap negara.
Oleh karena itu, harus kalian pertanggungjawabkan. Silakan kalian keluar
dengan mengangkat tangan di atas kepala tanpa senjata. Selanjutnya,
242 Gajah Mada kalian akan diadili untuk mempertanggungjawabkan kejahatan kalian
pada negara!" Udara yang sempat bergolak itu kembali datar. Gagak Bongol
merasa aneh karena entah apa yang ada di benak orang-orang itu, yang
tidak menjawab pertanyaan dan juga tidak keluar.
Mungkin agak terlambat bagi para prajurit Bhayangkara yang
membuat kepungan rapat melalui pagar betis itu. Juga agak terlambat
disadari oleh Gajah Mada karena pusat perhatian sedang tertuju pada
pintu gedung perbendaharan pusaka. Udara yang bergerak perlahan itu
makin jelas ke mana arahnya. Udara yang semula hangat, bahkan gerah,
bergerak ke sejuk, makin sejuk, makin sejuk, dan mengarah ke dingin.
Juga luput dari perhatian, kabut yang amat tipis itu melayang makin
merata. Meski perlahan, juga jelas arahnya. Kabut tipis itu makin menebal
dan makin menebal, membentuk lapisan dan gumpalan, sebagian tipis
sebagian tebal, sebagian tenang, tetapi di arah yang lain bergolak.
Gagak Bongollah yang justru paling awal menyadari keadaan
itu. Gajah Mada merasa heran melihat Gagak Bongol berputar dan
mendongak. "Ada apa?" tanya Gajah Mada.
"Kakang Gajah Mada merasakan?"
Gajah Mada mengerutkan kening.
"Merasakan apa?"
Gajah Mada berusaha menandai keadaan, tetapi belum paham.
"Udara dingin," bisik Gagak Bongol.
Gajah Mada memerhatikan keadaan, tetapi apa anehnya dengan
udara dingin" Di arah barat Ibu Kota Majapahit, ada sebuah wilayah
bernama Ponorogo. Dulu ketika berusaha menyelamatkan Prabu
Jayanegara dari kejaran Ra Kuti, Gajah Mada pernah berencana
membawa Prabu Jayanegara ke Ponorogo, tetapi karena keberadaan
mata-mata kaki tangan Ra Kuti yang belum berhasil diendus, dilakukan
Hamukti Palapa 243 perubahan rencana yang bahkan anak buahnya tidak ada yang tahu.
Perjalanan Prabu Jayanegara dibelokkan ke arah yang sama sekali
tidak terduga dan tidak masuk akal, menusuk ke kedalaman wilayah
Bojonegoro yang di sana ada Lurah Bedander yang bisa dimintai
pertolongan perlindungan.
Tempat bernama Ponorogo itu mirip dengan wilayah Tarik, tetapi
mampu menyajikan sifat udara yang aneh. Di musim kemarau, umumnya
jika siang terasa panas. Namun, malam hari biasanya menjanjikan
bediding 152 yang mampu membekukan minyak klentik.153 Namun, keadaan
itu tidak tentu karena bisa pula malam pun mendidih. Jadi, apa anehnya
jika malam itu udara yang semula panas tiba-tiba berubah menjadi
dingin. Perubahan yang demikian bergantung pada udara macam apa
yang sedang mengalir di wilayah itu.
"Apakah menurutmu ada yang aneh?" tanya Gajah Mada.
Gajah Mada melihat, kabut mulai melayang di mana-mana. Kabut
itu memang tak mengganggu pandangan mata, kehadirannya justru
membuat hatinya senang karena hujan yang ditunggu akan segera
datang. "Keluarlah kalian, ini peringatan yang terakhir," Gagak Bongol
kembali berteriak. Namun, sekeras apa pun Gagak Bongol berteriak, tidak ada
jawaban dari gedung pusaka yang telah dimasuki maling itu. Jawaban
yang menggelegar justru dari kandang macan karena penghuninya
yang berjalan mondar-mandir merasa lapar. Jatah daging yang harus
mengganjal perutnya masih kurang, seekor kijang pun dirasa masih
belum cukup mengganjal perut.
Sejenak kemudian, nyala api obor yang digunakan menerangi ruang
bangunan pusaka itu bahkan padam. Udan Tahun yang memegang obor
itu mematikannya. 152 Bediding, Jawa, malam yang terasa dingin di musim kemarau
153 Klentik, Jawa, minyak kelapa
244 Gajah Mada Karena peringatan telah diberikan, tetapi maling yang memasuki
gedung pusaka itu tidak memberikan jawaban, Gagak Bongol harus
menggunakan cara lain. Jika orang-orang itu tak mau melaksanakan
perintah dengan sukarela, tinggal paksaan pilihan yang tersisa.
Gagak Bongol segera mengumpulkan pimpinan kelompok yang
menjaga depan, belakang, samping kiri, dan kanan. Kepada mereka
rancangan tindakan disampaikan dan harus diterjemahkan dengan
sebaik-baiknya. Lima orang berkemampuan amat khusus disiagakan
di bawah kendali Bhayangkara Kendit Galih. Mereka adalah pelempar
pisau yang tak pernah meleset dari sasaran dengan kemampuan lebih
cepat dan akurat daripada menggunakan anak panah.
Taklimat yang diberikan Gagak Bongol disimak dengan cermat.
"Pintu belakang dan jendela akan digedor sebagai pengalih
perhatian, seolah jendela dan pintu itu akan dibuka dengan paksa. Pada
saat demikian, kalian berlima harus bisa masuk dan melumpuhkan
mereka lewat samping kiri."
Gajah Mada merasa perlu menambah, "Lumpuhkan mereka, bukan
membunuh." Lima orang Bhayangkara itu mengangguk penuh keyakinan.
"Ayo, kita mulai," kata Gagak Bongol.
Akan tetapi, rupanya telah tiba waktunya Gajah Mada dan
Gagak Bongol harus terkejut melihat perkembangan keadaan yang
membingungkan dan sulit dipahami. Gajah Mada berbalik, tapi kabut
berada di mana-mana. Kabut melayang di seluas tanah lapang halaman
Tatag Rambat Bale Manguntur, membelit tiang saka, dan menyelinap ke
setiap sekat antara bangunan-bangunan yang rapat, termasuk bangunan
istana kediaman raja. "Apa yang terjadi?" tanya Gajah Mada.
Bagai kehadiran hantu yang mulai tampak di kejauhan,
kehadirannya belum menarik perhatian. Makin lama hantu itu makin
dekat dan makin dekat. Gajah Mada mulai mengernyitkan dahi ketika
Hamukti Palapa 245 menyadari betapa tebal kabut yang datang. Jika awal terbentuknya
terasa lamban, manakala telah mengarah, kabut itu bergulung menyapu
apa pun. "Kabut, ada kabut!" seorang prajurit meletup.
Perhatian terbelah, kemunculan ampak-ampak pedhut 154 berwarna
putih itu jelas menyita sebagian perhatian dan memecahnya.
"Semua siaga! Jangan ada yang bersuara!" teriak Gajah Mada.
Suara yang diteriakkan dengan keras itu amat dikenali sebagai
suara Gajah Mada. Perintah itu jauh lebih berwibawa daripada perintah
Senopati Gagak Bongol. Dengan saksama, para prajurit mempersiapkan
diri menghadapi segala bentuk kemungkinan yang bisa terjadi. Namun,
perintah itu sebagian memahami, sebagian yang lain tidak jelas dengan
maksudnya. "Kaudengar perintah Ki Patih tadi?"
"Ya, kita diminta bersiaga!"
"Kita dilarang bersuara juga, kan?"
"Benar." "Apa maksudnya?"
Prajurit kedua yang memperoleh pertanyaan rupanya juga bingung.
Prajurit yang ketiga justru mampu memberi jawaban yang masuk
akal. "Kita tidak bisa melihat apa pun, kita harus mengandalkan telinga."
"Ooo." Keadaan segera berubah menjadi senyap. Lima orang prajurit yang
disiagakan untuk melakukan gempuran pertama tak bisa melaksanakan
tugasnya. Kabut yang datang itu makin lama makin tebal dan makin
tebal, yang ditandai pula dengan udara dingin yang meraba dengan
154 Ampak-ampak pedhut, Jawa, gumpalan-gumpalan kabut
246 Gajah Mada kasar ke segala penjuru. Beberapa prajurit mulai bertanya-tanya,
adakah kabut yang datang itu kabut yang sewajarnya atau kabut yang
tidak lumrah. "Gajah Mada!" terdengar sebuah bisikan.
Gajah Mada terkejut. Gajah Mada tidak menyangka, Arya Tadah
telah berada di belakangnya.
"Ada apa, Paman?" tanya Gajah Mada.
"Hati-hatilah dengan orang ini," ucap Arya Tadah. "Pengenalanku
atas orang ini, ia orang yang sangat berbahaya."
Gajah Mada tak mampu menahan rasa ingin tahunya.
"Siapa orang ini, Paman?"
"Kalau aku tidak salah menduga, orang itu adalah Kiai Wirota
Wiragati, mantan maling yang pernah malang melintang di zaman
Singasari. Kau pernah mendengar nama itu, bukan?"
Merinding punggung Gajah Mada.
"Kiai Wirota Wiragati?" ulang Gajah Mada. "Mengapa ia sedemikian
marah dan melakukan tindakan seperti itu" Bukankah Kiai Wirota
Wiragati adalah salah seorang pendukung mendiang Prabu Wijaya?"
"Ya, dan ia juga yang menyelamatkan Ibu Suri Gayatri. Agaknya
apa yang ia lakukan menjadi jelas jika dikaitkan dengan pergolakan yang
terjadi sekarang," bisik Mahapatih Arya Tadah.
Gajah Mada masih merasa belum paham.
"Pergolakan yang mana?" tanya mantan Patih di Kahuripan dan
Daha itu. "Wirota Wiragati berasal dari Keta, dan mungkin sekali menjalin
hubungan dengan Sadeng!"
Nama Keta dan Sadeng disebut, menyebabkan Gajah Mada bagai
dirambati puluhan ekor semut di sekujur tubuhnya. Gajah Mada masih
akan meminta penjelasan lebih lanjut, tetapi apa yang tengah berlangsung
Hamukti Palapa 247 di depannya lebih membutuhkan penanganan. Gajah Mada menjadi
cemas melihat kabut menghadang pandangan matanya sampai pada
jarak mengkhawatirkan. Wajah Gagak Bongol yang berada di depannya
terlihat kabur. "Tadi kekuatan sirep, sekarang kabut tebal. Apakah semua ini
keadaan yang wajar atau dengan sengaja dibuat?" tanya Gajah Mada.
Pertanyaan itu bagai ditanyakan kepada diri sendiri. Itu sebabnya,
Gagak Bongol yang berdiri bingung di depannya tak menjawab.
"Mereka akan memanfaatkan keadaan ini," kata Gajah Mada.
"Menurutku, kau harus merapatkan barisan sampai melekat agar jangan
sampai ada celah yang bisa dimanfaatkan untuk meloloskan diri."
"Baik, akan aku salurkan," jawab Gagak Bongol.
Perintah yang disalurkan diterjemahkan dengan sebaik-baiknya.
Ketika prajurit yang dibutuhkan dirasa kurang, anak panah sanderan
pun segera dilepas sebagai isyarat permintaan tambahan bantuan. Sigap
para prajurit yang masih menyebar memenuhi panggilan itu. Sigap pula
pimpinan pasukan Jalapati dan Sapu Bayu yang sedang siaga mengelilingi
istana bergerak memberi dukungan.
Waktu bergerak amat lambat, tetapi waktu pula yang dirasa bergerak
amat cepat. Udara dingin yang menyengat tulang rupanya merupakan
bahan baku terbentuk dan datangnya kabut. Gajah Mada menandai hal
itu. Udara yang terasa makin dingin menjadi penyebab kabut putih kian
menggila. Batas pandangan mata yang semula masih mampu melihat
sejengkal ke depan, makin menyempit. Gajah Mada yang berusaha
menandai telapak tangannya, diperlukan jarak yang lebih dekat.
"Gila, aku seperti orang buta!"
Waktu terus bergerak, tetapi sampai sejauh itu masih belum
terdengar suara-suara yang menandai adanya upaya meloloskan diri
dari gedung perbendaharaan harta pusaka. Gagak Bongol merasa
cemas. Dalam keadaan yang demikian, sebenarnya terlalu mudah bagi
orang-orang yang membuat onar di sepanjang siang sebelumnya untuk
248 Gajah Mada membongkar kepungan. Para prajurit yang telah dibutakan matanya itu
pasti akan mengalami kesulitan menandai mana kawan dan mana lawan.
Sungguh sangat rawan untuk menyerang orang yang tidak jelas. Boleh
jadi, serangan itu akan mengenai kawan sendiri.
Ketika kabut menjadi tebal sempurna, tak ada lagi yang bisa
diharapkan selain menunggu. Para prajurit memanfaatkan perhitungannya
sendiri. Mereka lebih senang mengacungkan tombak yang bergagang
panjang. Jika orang-orang terkepung itu akan meloloskan diri, mereka
harus menyibak acungan tombak itu lebih dulu. Lebih celaka jika para
pembuat onar itu menyebar anak panah, menghadapi keadaan yang
demikian, tidak ada yang bisa dilakukan.
Kemungkinan terakhir itulah yang sangat dicemaskan Gagak Bongol
dan bahkan diyakini pasti akan terjadi. Masalahnya kini hanya soal
menunggu waktu, kapan hal itu akan terjadi. Menyadari kemungkinan
buruk macam itu, Gagak Bongol segera memberi perintah, yang
disalurkan melalui teriakan secara langsung.
"Lindungi diri di balik tameng. Mereka mungkin akan melepas
anak panah." Teriakan itu mengagetkan dan dengan segera menyadarkan segenap
prajurit untuk tidak hanya membentuk pagar betis. Tak semua prajurit
membawa tameng, tetapi hampir separuh lebih membawanya. Mereka
yang membawa tameng itu menempatkan diri di depan untuk melindungi
diri dan melindungi teman-temannya. Dalam melakukan kepungan yang
rapat, para prajurit yang semula memagar betis dengan berdiri berubah
ke berjongkok. Sang waktu terus bergerak tanpa terjadi apa-apa. Semua jantung
dipacu seiring dengan keadaan yang tidak nyaman. Jarak pandang yang
sangat pendek menyebabkan napas menjadi sesak. Namun, sampai
sejauh itu, orang-orang yang terjebak di gedung perbendaharaan pusaka
itu belum melakukan tindakan apa pun. Dari gedung itu tidak terdengar
suara apa pun, tidak ada suara pintu yang berderit, juga tak ada cahaya
obor. Hamukti Palapa 249 "Apa yang sedang mereka lakukan di dalam sana?" berbisik seorang
prajurit kepada prajurit yang lain.
"Buang hajat," jawab prajurit yang lain sekenanya.
Jawaban itu memancing prajurit pertama ingin tertawa, tapi
rangsangan itu harus dikendalikan dengan sebaik-baiknya.
"Apakah menurutmu kabut ini wajar?" prajurit yang lain lagi
berbisik. "Apanya yang aneh" Malam menjelang pemberontakan Ra Kuti,
kabut macam ini muncul. Di musim penghujan, kabut setebal ini sering


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga datang dan membungkus," terdengar prajurit lain lagi.
"Maksudku," ucap prajurit sebelumnya. "Bukankah saat ini udara
sedang panas-panasnya?"
"Bisa jadi, sekarang ini merupakan awal dari musim penghujan yang
telah lama ditunggu-tunggu. Mungkin mau hujan. Kehadiran kabut ini
seharusnya disyukuri," jawab prajurit sebelumnya.
Pembicaraan para prajurit yang saling berbisik itu terhenti, demikian
juga segenap prajurit yang lain, tersita perhatiannya oleh perkembangan
susulan. Kabut dan udara yang dingin bukanlah dua hal yang berjauhan,
termasuk dengan munculnya angin. Semua itu berlangsung dengan
alami, tak ada yang aneh. Munculnya kabut bukan hal yang aneh, udara
yang berubah menjadi dingin juga bukan hal yang aneh, termasuk
datangnya angin juga bukan peristiwa yang aneh. Manusia yang sering
menganggapnya aneh karena terjadi di saat yang dianggap aneh dan
berhubungan dengan peristiwa yang juga aneh. Apalagi, hal itu terjadi
bersamaan dengan orang-orang sedang terjebak di gedung pusaka yang
sebelumnya diriuhkan oleh hadirnya kekuatan sirep.
Angin berembus dari barat ke timur. Dari bagian muka istana ke
arah belakang, pohon kesara yang daunnya kering makin rontok, pun
daun tanjung dan bramastana, kembang-kembang semboja berguguran.
Angin berembus kencang bukan peristiwa yang luar biasa. Penduduk
Majapahit tentu telah terbiasa dengan keadaan itu. Jika terjadi hujan
250 Gajah Mada dihiasi angin, juga bukan hal yang luar biasa, lumrah terjadi di manamana. Termasuk di daerah dingin seperti di kaki Gunung Kawi di arah
selatan maupun lereng-lereng Gunung Lawu di Magetan arah barat. Di
wilayah Magetan atau lereng-lereng Kalisoro, kabut tebal disertai angin
jelas bukan hal yang aneh.
Akan tetapi, tidak bisa bersikap demikian Gajah Mada yang sedang
menunggu perkembangan yang terjadi. Tidak bisa menganggap sebagai
hal yang lumrah Senopati Gajah Enggon, termasuk segenap pasukan
Bhayangkara yang sedang melakukan baris pendhem, setelah beberapa kejap
kemudian suara angin itu makin keras dan makin menderu, yang disusul
oleh munculnya suara tak sewajarnya. Suara yang mampu meliuk dengan
nada tinggi. Burung-burung sejenis emprit yang bersarang di puncak
pinang berhamburan menyelamatkan diri, padahal sedang malam hari.
Mereka pasti akan mengalami kesulitan untuk mencari tempat hinggap.
Burung hantu yang terbelalak di sepanjang malam makin terbelalak
melihat sesuatu meliuk di depannya.
"Suara apa itu?" bertanya seorang prajurit.
"Entah," jawab prajurit yang lain.
Prajurit itu, meski ia seorang prajurit, menyimpan rasa takut.
"Suara apa sebenarnya itu?"
"Gemeresak seperti puluhan orang menyeret daun kelapa yang
ditarik terbalik," jawab prajurit di sebelahnya.
Suara itu makin keras dan makin keras, makin lama menimbulkan
suara yang melengking tinggi. Bahkan, Gajah Mada tidak mampu
menahan rasa herannya. Bahkan, Gagak Bongol pun tak bisa menduga
suara apa yang sangat menakutkan itu. Karena tak mampu melihat,
Gajah Mada dan Gagak Bongol hanya bisa menandai dengan ketajaman
telinga. "Bongol," panggil Gajah Mada.
"Ya," jawab Gagak Bongol yang ternyata telah bergeser tempatnya.
"Suara apa itu?" tanya Gajah Mada.
Hamukti Palapa 251 "Aku tidak tahu," jawab Gagak Bongol.
"Aku tahu," tiba-tiba terdengar sebuah jawaban.
Suara itu milik Mahapatih Arya Tadah.
"Paman Tadah tahu, suara apa itu?"
"Beliung sedang mengisap kabut. Mungkin orang lain lagi pelakunya!"
jawab Mapatih Arya Tadah.
Gajah Mada dan Gagak Bongol tersadar dan mampu mengenali,
suara gemeresak yang demikian itu memang suara pusaran angin yang
lazim disebut beliung. Gajah Mada dan Gagak Bongol telah membalikkan
tubuh membelakangi gedung perbendaharaan pusaka karena suara angin
berputar yang amat deras itu berasal dari belakang. Gajah Mada tahu
karena pernah menyaksikan dengan mata dan kepala sendiri betapa
beliung memiliki kekuatan yang sangat besar.
Pusaran angin itu bahkan mampu menggilas, memorak-porandakan
sebuah rumah. Rumah diterjang rumah terlempar, kerbau diterjang
kerbau terlempar, apalagi yang sekadar kambing, ayam, angsa, dan
semut-semut kecil, semua beterbangan. Yang punya kesadaran betapa
berbahaya angin lesus itu, lari tunggang langgang menyelamatkan diri
dari pencabutan nyawa dengan cara kasar.
Akan tetapi, gerakan liar angin lesus itu rupanya berdampak. Selapis
demi selapis kabut tebal yang membatasi jarak pandang itu di sap dengan
kekuatan begitu besar dan disemburkan ke atas. Gajah Mada menyadari
hal itu dari jarak pandang yang melonggar dan mulai mampu mengenali
benda-benda pada jarak yang agak jauh.
Apa yang terjadi itu berlangsung cepat dan seolah bukan tanpa
maksud karena ketika pusaran angin itu bubar, dengan sendirinya
mengembalikan keadaan pulih seperti semula. Pada saat yang demikian,
segenap prajurit ternyata masih bergeming di tempat masing-masing,
masih samapta. Tidak seorang pun yang bergeser dari tempatnya. Semua
masih saling melekat satu sama lain dalam pagar betis yang rapat.
Gagak Bongol tak mau menunda waktu lagi dan segera
mengesampingkan pesona yang masih ditinggalkan oleh rangkaian
252 Gajah Mada peristiwa aneh itu. Rencana yang semula tertunda pun segera
dilaksanakan. "Kerjakan sekarang!" ucap Gagak Bongol.
"Baik," jawab Bhayangkara Kendit Galih dengan sigap.
Tak perlu lagi tawaran susulan. Karena tawaran untuk menyerah
telah ditolak, rencana penyergapan pun dilakukan. Beberapa prajurit
dengan serentak menggedor-gedor pintu belakang dan jendela
samping kanan. Ketika kegaduhan itu terjadi, dengan cermat saksama
Bhayangkara Kendit Galih berhasil menjebol jendela menggunakan
linggis dan hanya butuh waktu sekejap untuk berlompatan masuk. Kendit
Galih dan pendukungnya tidak mengalami kesulitan memasuki setiap
ruang yang ada, pisau terbang di tangannya siap mengayun jika korban
memberi perlawanan. Belakangan Kendit Galih bingung. Disusul Gajah Mada, Gagak
Bongol, dan para Bhayangkara bingung ketika pintu terbuka. Bhayangkara
Kendit Galih dan empat orang pendukungnya keluar tanpa siapa pun,
tanpa membawa sekelompok orang yang diduga masih bertahan di
bangunan itu. "Ada apa?" tanya Gajah Mada.
"Mereka sudah tidak ada," jawab Bhayangkara Kendit Galih.
Para prajurit berlompatan masuk dan melakukan pemeriksaan
menggunakan obor. Namun, empat buah ruang di gedung pusaka itu
kosong melompong. Orang-orang yang semula terjebak di tempat itu
lenyap. Gajah Mada bergegas mendatangi Arya Tadah.
"Mereka tidak ada, Paman!" kata Gajah Mada dengan muka amat
kaku. "Dengan cara bagaimana mereka meloloskan diri dari gedung
perbendaharaan pusaka?"
Arya Tadah tidak butuh waktu terlampau lama untuk menarik
simpulan. "Ibu Suri Gayatri!" Mapatih Arya Tadah meletup cemas.
Hamukti Palapa 253 Gajah Mada tak perlu termangu lebih lama. Dengan langkah
lebar, bahkan dengan berlari-lari dan di kuti oleh para prajurit yang
kebingungan, semua bergegas menuju istana Ibu Suri Rajapatni Biksuni
Gayatri. Kepanikan segera terjadi dan menjadi-jadi ketika para prajurit
yang mendatangi istana Ibu Suri Gayatri tidak menemukan wanita yang
sangat dihormati itu. Patih Gajah Mada merasakan derajat kepanikannya
makin meningkat. Dengan langkah lebar dan amat bergegas, Gajah Mada
memeriksa ruangan demi ruangan di istana Ibu Suri. Bahkan, kolong
tempat tidur telah diperiksa. Ibu Suri Gayatri memang tak ada.
"Siapa yang memimpin pengawalan di sini?" tanya Gajah Mada.
"Aku," jawab Macan Liwung sigap. "Aku yang mengambil alih
kendali." "Apa yang terjadi?" tanya Gajah Mada.
"Justru aku yang butuh jawaban, apa yang terjadi?" jawab Bhayangkara
Macan Liwung. Ibu Suri Gayatri lenyap dari istananya. Hal itu membuat Gajah
Mada benar-benar cemas. Laporan susulan segera masuk, bahwa Ibu
Suri Tribhuaneswari ternyata tidak apa-apa, bahkan sedang amat nyenyak
dalam menikmati tidurnya. Demikian pula dengan kedua Prabu Putri,
Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi dan Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi
Maharajasa dalam keadaan selamat, masing-masing didampingi oleh
suami. Dengan bergegas, Patih Gajah Mada menyalurkan perintahnya
melalui anak panah sanderan berapi yang memanjat langit susulmenyusul sampai lima kali. Suaranya yang melengking dan warnanya
yang kebiruan segera menarik perhatian. Segenap prajurit Majapahit
memahami apa makna perintah itu, bahwa perintah yang harus
dilaksanakan itu berasal dari Patih Gajah Mada, ditujukan tak hanya
kepada pasukan khusus Bhayangkara, tetapi juga dua bregada 155 kesatuan
yang lain. Semua prajurit tidak terkecuali, siapa pun harus memerhatikan
155 Bregada, Jawa, satuan kekuatan, dalam dunia militer setara dengan korps
254 Gajah Mada keadaan di sekelilingnya. Segenap prajurit juga diminta untuk menyebar
ke segala penjuru. Pimpinan pasukan Jalapati dan Sapu Bayu ikut menerjemahkan
perintah khusus itu dan segera membagi perintah susulan kepada para
lurah prajurit di bawahnya. Bagai ada maleman di tanah lapang Bubat,
anak panah sanderan berapi susul-menyusul dilepas memanjat langit.
Kegaduhan segera terjadi. Prajurit berkuda disebar ke manamana. Semua pintu gerbang ditutup dan semua orang yang lalu-lalang
di jalan langsung didekati. Akan tetapi, kekuatan sirep yang demikian
besar menyebabkan semua penduduk di kotaraja terlena. Tak seorang
pun penduduk yang masih terjaga dan berada di jalanan, kecuali ketika
isyarat-isyarat yang dilepas bergeser tak sekadar menggunakan anak
panah sanderan, tetapi juga kentongan yang dipukul bertalu-talu.
Isyarat itu segera bersambung dan membangunkan mereka yang
tidur, bersambung dan bersambung lagi, menyebabkan semua orang
keluar rumah dan saling mencari tahu. Namun, tidak seorang pun bisa
memberi jawaban yang benar.
Berita yang beredar simpang siur, tetapi hampir semua orang
menghubungkan dengan huru-hara yang terjadi di siang sebelumnya.
Apa yang terjadi sejak siang bersambung ke petang, disusul rangkaian
peristiwa yang terjadi di gedung perbendaharaan pusaka, meninggalkan
jejak kesan yang sangat mendalam dan membingungkan. Tidak seorang
pun yang mampu memberikan penjelasan berdasar nalar.
Gajah Mada yang dihantui penasaran serasa tak sabar ingin meminta
penjelasan dari Mahapatih Patih Arya Tadah. Namun, lenyapnya Ibu
Suri Rajapatani Biksuni Gayatri meminta perhatian yang amat mendesak.
Demikian cemas Gajah Mada, ia telah berada di atas punggung kudanya
dan berderap menyisir jalan.
Bhayangkara Pring Cluring dan Bhayangkara Raga Jampi adalah
Bhayangkara yang tidak ikut melakukan pengejaran karena masih
disibukkan oleh kebingungannya. Demikian kuat kesan yang tertinggal
mencekam benaknya, Pring Cluring masih berdiri bersandar dinding.
Hamukti Palapa 255 "Berilah aku penjelasan yang paling masuk akal, dengan cara
bagaimana mereka meloloskan diri?" tanya Pring Cluring.
Bhayangkara Raga Jampi juga masih sibuk dengan diri sendiri.
Bhayangkara berbadan gempal itu rupanya sedang tidak terpusat
perhatiannya. Bhayangkara Pring Cluring menggamit lengannya. Raga
Jampi yang tersesat di dunia lamunan itu menoleh.
"Ada apa?" "Kamu tidak mendengar pertanyaanku?"
"Kamu tadi bertanya apa?"
"Beri aku penjelasan yang masuk akal," kata Bhayangkara Pring
Cluring. "Dengan cara bagaimana orang-orang yang sudah dipagari
kepungan rapat, benar-benar rapat dan berlapis, ternyata masih
bisa meloloskan diri" Apa mereka ambles ke bumi atau dengan cara
bagaimana?" Amat perlahan Bhayangkara Raga Jampi menggeleng, dengan
pandangan mata jatuh di kejauhan, melintasi puncak candi Buddha yang
tampak dari tempatnya. "Aku tak tahu," jawabnya. "Tetapi, tadi aku merasa seperti ada
setan lewat yang terasa dingin sekali melintas di atasku! Mereka mungkin
melarikan diri dengan cara terbang."
Pring Cluring tidak bisa menerima kilah itu.
"Tak ada manusia yang bisa terbang," kata Pring Cluring. "Yang
kamu rasakan itu angin dingin."
Demikian bingung dan takjubnya Bhayangkara Raga Jampi yang
meskipun telah memeras otak, tak mampu mendapatkan penjelasan yang
paling masuk akal. Tak ada celah karena demikian rapat kepungan yang
dilakukan, rapat berlapis, nyatanya orang-orang yang menyelenggarakan
onar itu mampu meloloskan diri.
"Mula-mula sirep itu, lalu kabut tebal, angin, terakhir muncul angin
lesus sangat deras yang mengisap kabut, serba kebetulankah semua itu?"
256 Gajah Mada Bhayangkara Pring Cluring membeku.
"Mereka hilang karena menghilang," bisiknya.
Bhayangkara Raga Jampi terhenyak oleh kemungkinan yang sama
sekali tidak terduga itu. Pring Cluring benar, orang-orang itu lenyap.
Lenyap itu artinya hilang, dan hilang itu bisa jadi karena menghilang.
"Adakah orang berkemampuan menghilang?" bisik Raga Jampi.
Bisik-bisik atas nama kebingungan senada dilakukan oleh para
prajurit, terutama mereka yang terlibat dalam pengepungan secara
langsung. Rasa heran itu makin menjadi manakala peristiwa susulan
telah terjadi, sungguh peristiwa susulan yang mencemaskan karena
menyangkut keselamatan Ibu Suri Gayatri. Ibu Suri Gayatri tidak
diketahui keberadaannya. Bagaimana nasib Ibu Suri Gayatri dan berada
di mana ia" Pertanyaan itu memancing waktu bergerak terlampau cepat,
semua cemas, semua gelisah memikirkan. Cemas dan kegelisahan
yang berujung ke ketakutan adalah bahan baku yang menyebabkan
waktu terasa bergerak sangat cepat. Bagi orang yang karena tindak
kejahatannya harus menjalani hukuman mati, baginya waktu bergerak
amat cepat, kalau diizinkan orang yang dihukum mati ingin waktu
bahkan berhenti. Sampai sejauh itu upaya untuk menemukan Ibu Suri Gayatri masih
belum menemukan titik terang. Kecemasan yang serasa merontokkan
jantung itu dialami oleh Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani dan Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa.
Bagaimana kecemasan tidak dialami anak manakala sang ibu hilang tidak
ada kabar beritanya"
"Di mana Patih Gajah Mada?" Sri Gitarja melontarkan rasa


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cemasnya. Di depannya, Bhayangkara Lembu Pulung sigap memberikan
penghormatannya dan siap memberi keterangan apa pun yang
dibutuhkan. Hamukti Palapa 257 "Hamba, Tuan Putri, Kakang Patih Gajah Mada saat ini sedang
memburu maling-maling itu dan segenap prajurit dikerahkan untuk
itu," jawabnya. Betapa cemas Prabu Putri Sri Gitarja dan Prabu Putri Dyah Wiyat.
Dua raja wanita itulah yang berada di puncak kecemasannya. Prabu
Putri Sri Gitarja yang berusaha untuk bertahan berdiri akhirnya jatuh
terduduk. Prabu Putri Dyah Wiyat rupanya memiliki daya tahan lebih
kuat dan lebih tegar, tetapi kecemasannya tetaplah kecemasan seorang
anak yang memikirkan keselamatan ibunya yang terancam dalam bahaya
dan amat mungkin merenggut nyawanya.
"Ibu harus diselamatkan," kata Dyah Wiyat dengan rahang bergetar.
"Jika perlu, kerahkan pasukan segelar sepapan untuk mencarinya. Aku tidak
peduli alasan apa pun yang mereka punyai untuk membuat onar dan
berani-beraninya menculik ibuku. Mereka harus dihukum mati dengan
hukuman dipenggal lehernya di alun-alun. Tak perlu orang lain, aku
sendiri yang akan memimpin pelaksanaan hukuman mati itu, bahkan
aku yang akan menjadi jagalnya."
Berdesir amat tajam dada Bhayangkara Lembu Pulung mendengar
dan melihat tindakan dan ucapan Prabu Putri Dyah Wiyat, yang dalam
banyak hal memiliki sikap lebih tegas dan lebih menonjol dari kakaknya.
Sikap yang dalam keadaan tertentu justru lebih dibutuhkan sebagai
seorang raja, yang harus tegas, yang harus mampu menempatkan diri
sebagai sumber hukum, sabda pandita ratu, tan kena wola-wali, sepisan ngucap
sepisan dadi.156 "Ada berapa ribu jumlah prajurit dari semua kesatuan yang kita
miliki, Kakang Bhayangkara Lembu Pulung?" tanya Prabu Putri Dyah
Wiyat. Pertanyaan itu mengagetkan Bhayangkara Lembu Pulung karena
tidak memiliki jawabnya. Lembu Pulung seketika merasa bodoh dan
156 Sabda pandita ratu, tan kena wola-wali, sepisan ngucap sepisan dadi, Jawa, ucapan raja tak ubahnya ucapan pendeta, tak boleh berubah-ubah, sekali bicara langsung jadi
258 Gajah Mada menyesal, mengapa hanya untuk pertanyaan yang demikian sampai tidak
tahu jawabnya. Berapa jumlah prajurit dari semua kesatuan"
Jumlah prajurit kesatuan pasukan Jalapati dan Sapu Bayu, ia
tidak tahu karena pasukan itu telah menggelembung demikian besar,
mungkin lebih dari lima belas ribu orang, yang ditandai dengan alun-alun
menjadi penuh sesak ketika diselenggarakan upacara tanggap warsa 157 atas
berdirinya negara, yang telah digelar belasan kali sejak ditemukannya
tanah Tarik berbarengan dengan hari didapatnya buah maja yang
dimakan terasa pahit. Penambahan jumlah kekuatan itu terjadi sejak Patih Gajah Mada
memberi perintah penerimaan dan pendadaran prajurit baru untuk
makin memperkuat negara dan untuk keperluan menghadapi musuh
sebagaimana dulu pernah dialami Jayakatwang yang amat kewalahan
menghadapi musuh dari seberang lautan.
Jika yang ditanyakan adalah jumlah pasukan Bhayangkara, Lembu
Pulung tahu sampai ke nama-namanya, jumlah Bhayangkara saripati
kini tinggal sepuluh orang. Mereka itu adalah Bhayangkara Lembu
Pulung, Bhayangkara Panjang Sumprit, Bhayangkara Kartika Sinumping,
Bhayangkara Jayabaya, dan Pradhabasu yang meskipun telah berada di
luar, masih tetap dianggap keluarga Bhayangkara dengan pintu tetap
dibuka lebar jika sewaktu-waktu Pradhabasu mau kembali bergabung.
Lalu, masih ada lagi Bhayangkara Riung Samudra, Bhayangkara Gajah
Geneng, Bhayangkara Gajah Enggon, Bhayangkara Macan Liwung, dan
Bhayangkara Gagak Bongol yang kini menjadi pimpinan pasukan khusus
yang memiliki kemampuan luar biasa dan pilih tanding itu.
Pemekaran juga dilakukan terhadap pasukan khusus Bhayangkara,
yang dilakukan dengan menyaring melalui cara yang sangat ketat terhadap
ribuan prajurit yang berminat, juga dari para pemuda yang mengajukan
diri. Latihan pun dilakukan dengan sangat keras dan ketat yang bahkan
dalam latihan itu terpaksa harus jatuh korban. Menilik pasukan khusus
Bhayangkara memiliki kemampuan yang begitu luar biasa, agak sulit
157 Tanggap warsa, Jawa, ulang tahun
Hamukti Palapa 259 dipahami, mengapa Gajah Mada membatasi jumlah mereka hanya sekitar
seratus orang. Sebagai pasukan khusus yang bersifat khusus, pasukan Bhayangkara
tidak dibekali beberapa jenis pakaian sebagaimana pasukan yang lain.
Mereka hanya memiliki satu pakaian seragam, yang terdiri atas jarik 158
dengan corak mirip sidomukti 159 dengan beskap landung 160 berwarna hitam dan udeng 161 dari kain bercorak geringsing. Lencana Bhayangkara yang
terbuat dari perak bakar dipasang di dada kiri dan senjata pedang panjang
bergagang panjang tergantung di pinggang sebelah kiri. Pada setiap bilah
pedang tertulis kalimat yang menjadi sesantinya, hanyaken angkara!162
Jika dalam keadaan siaga, prajurit Bhayangkara tidak memerlukan
pakaian seragam lain. Cukuplah dengan menyingsingkan kain panjang
dan melepas pakaian luar yang menyembunyikan pakaian dalam tanpa
lengan berwarna hitam. Bhayangkara hanya memiliki satu jenis saja pakaian yang diseragamkan.
Pakaian itu hanya untuk keperluan tertentu dan hanya boleh dikenakan di
lingkungan istana. Bahwa pasukan Bhayangkara lebih bersifat sandi dan
serangan dadakan maka di luar dinding istana, pakaian seragam itu tidak
begitu diperlukan dan mereka boleh menggunakan pakaian apa saja.
Namun, masih ada beberapa cara khusus untuk menandai
keberadaannya, yaitu dari kalimat sandi tertentu. Jika ucapan sandi yang
tiap pekan selalu diubah tidak berbalas, berarti seseorang yang ngotot
mengaku-aku Bhayangkara tidak lebih dari Bhayangkara palsu. Pada
malam hari, untuk bisa saling mengenali dan bisa berhubungan, kalimat
sandi macam itu sangat diperlukan.
"Berapa jumlah prajurit itu, Kakang Lembu Pulung?" ulang Dyah
Wiyat dengan mulut terkatup dan tangan gemetar, bukan gemetar gugup
158 Jarik, Jawa, kain panjang sebagaimana sering dipakai perempuan desa Jawa
159 Sidomukti, Jawa, nama corak batik kain panjang
160 Beskap landung, Jawa, baju khas Jawa yang masih bisa kita lihat jejaknya dalam acara adat 161 Udeng, Jawa, ikat kepala yang di zaman selanjutnya berkembang menjadi blangkon 162 Hanyaken angkara, Jawa Kuno, mengusir musuh/kejahatan
260 Gajah Mada tangan itu. Akan tetapi, gemetar karena menahan amarah yang nyaris
meretakkan dada. Jika ada batu dalam genggaman, batu itu akan diremas
sampai hancur. "Dua puluh lima ribu, Tuan Putri," jawab Bhayangkara Lembu
Pulung sekenanya. Prabu Putri Dyah Wiyat perlahan turun ke pelataran dan menebarkan
pandangan matanya ke hitam malam.
"Aku berikan perintah padamu, Kakang Lembu Pulung, dan
salurkan ke segenap prajurit yang dimiliki negara ini untuk turun semua
mencari ibuku. Mereka menerima gaji untuk pekerjaan yang demikian,
bukan" Cari ibuku sampai ketemu dan temukan orang-orang yang tidak
tahu diri itu, tangkap mereka hidup atau mati."
Lembu Pulung sigap memberikan penghormatannya, lalu
meninggalkan tempat itu dengan membawa perasaannya yang meluap.
Jika selama ini Lembu Pulung menyimpan keraguan pada kemampuan
rajanya, sangsi itu kini mulai terkikis. Dengan langkah lebar, Lembu
Pulung meninggalkan ratu kembar yang berada dalam pengawalan
sangat ketat itu. Akan tetapi, Lembu Pulung segera bingung, dengan
cara bagaimana ia harus menyalurkan perintah itu karena kewenangan
untuk melakukannya tidak berada di tangannya.
Bhayangkara Lembu Pulung mengangkat jemparing 163 dan
menyalakan ujung anak panah sanderan-nya ke obor yang menancap di
halaman. Perlahan Bhayangkara Lembu Pulung mempersiapkan diri
menarik busur dan melepas gagang warastra. Tali busur telah ditarik
sampai menekuk langkap. Jika pegangan atas gagang warastra dilepas,
akan melesat anak panah yang ujungnya menyala.
Seorang prajurit memerhatikan apa yang akan dilakukan Bhayangkara
Lembu Pulung dan menerka perintah apa yang akan dibawa anak panah
yang melesat memanjat langit itu.
"Ibu Suri telah kembali!" tiba-tiba terdengar sebuah teriakan.
163 Jemparing, Jawa, busur lengkap dengan anak panahnya
Hamukti Palapa 261 Bhayangkara Lembu Pulung terkejut dan segera membatalkan
niatnya. Suara teriakan dari kejauhan itu berasal dari pintu gerbang
Purawaktra. Maka, ke sanalah Bhayangkara Lembu Pulung berlari dengan
sekuat-kuatnya. Bhayangkara Lembu Pulung merasa lega bukan kepalang
saat melihat segenap prajurit dalam sikap jongkok, memberi hormat
kepada Ibu Suri yang melangkah perlahan.
Berita itu akhirnya sampai pula ke telinga kedua Prabu Putri. Sri
Gitarja yang lemas kehilangan kekuatan untuk berdiri malah bertambah
lemas memperoleh berita yang melegakan itu. Berbeda dengan Dyah
Wiyat yang dibimbing suaminya, Prabu Putri kedua itu justru berlari-lari
turun ke halaman. Raden Cakradara yang bergelar Sri Kertawardhana itu berusaha
menenteramkan istrinya. "Ayo, kita jemput Ibu," ucap Sri Kertawardhana sambil mengangkat
bahu istrinya. Dari tengah alun-alun, Lembu Pulung mempersiapkan lima buah
anak panah sekaligus yang memiliki sifat sangat berbeda dengan anak
panah sanderan sebelumnya. Ketika melihat isyarat panah sanderan dengan
warna kebiruan berganda, Gajah Mada yang memacu kudanya karena
merasa harus berbalap dengan waktu segera balik arah, debu mengepul
dari perputaran gerak kuda yang tegar itu.
Betapa lega Gajah Mada ketika makin mendekat ke Purawaktra
mendengar teriakan-teriakan yang diucapkan para prajurit.
"Ibu Suri telah kembali!" teriak seorang prajurit.
"Apa kaubilang?" balas prajurit yang lain.
"Ibu Suri telah kembali, Ibu Suri telah ditemukan."
Tanpa mengurangi kecepatan, Gajah Mada melintas masuk
Purawaktra. Para prajurit jaga yang mengenalinya berloncatan menepi,
memberi jalan. 262 Gajah Mada 17 M anakala kabut demikian tebal membutakan mata, adalah waktu
mundur ketika pengepungan terhadap gedung pusaka sedang berlangsung
demikian rapat, tanpa seorang prajurit pun yang menyadari kepungan itu
sia-sia karena orang yang terjebak di dalam telah meloloskan diri. Tidak
sekadar meloloskan diri, mereka bahkan berhasil mencuri mahkota dan
melakukan perbuatan lain yang lebih dari itu.
Pintu yang terbuka perlahan adalah gerak yang tidak menimbulkan
suara, serasa ada kekuatan yang menyerap suara itu dan lenyap entah
ke mana. Itulah sebabnya, Bhayangkara Macan Liwung dan segenap
Bhayangkara anak buahnya yang mengawal istana kediaman Ibu
Suri tidak menyadari, para maling tindak durjana itu telah memasuki
bangunan istana yang paling dihormati itu.
Tak seorang pun yang menyadari ketika Ibu Suri dipaksa jengkar dari
kediamannya. Dengan kebersihan hatinya, Ibu Suri Gayatri tak merasa
perlu memberikan perlawanan, bahkan andaikata orang-orang jahat itu
berniat mengambil nyawanya. Empat orang pengikut Kiai Wiragati tidak
bisa memaksanya berjalan lebih cepat. Masalah yang mengganggu justru
berasal dari Kiai Wiragati yang tidak lagi didukung napas yang panjang.
Kiai Wiragati yang tersengal meminta berhenti beberapa kali untuk
mengendalikan denyut jantung yang melebihi batas kekuatannya.
Ke tengah lapangan Bubat yang masih jauh dari tempat kudakuda disembunyikan, Ibu Suri Gayatri dibawa. Jika Kiai Wiragati tidak
berhadapan dengan masalah yang timbul di paru-parunya, barangkali
perjalanan itu masih harus berlanjut lebih jauh lagi.
Terus tersengal-sengal napas orang itu sehingga membutuhkan
waktu lebih panjang untuk mengendalikan diri. Dalam gelap malam,
Sri Jayendradewi Dyah Dewi Rajapatni Biksuni Gayatri memerhatikan
wajah-wajah di depannya. Salah satu di antaranya sangat ia kenali terkait
Hamukti Palapa 263 rangkaian peristiwa yang berhubungan dengan dirinya di bentangan
waktu sekitar empat puluhan tahun yang silam. Waktu yang telah
berlalu lama sekali. Ketika itu, ia masih salah seorang sekar kedaton di
Istana Singasari. Pengenalannya terhadap Kiai Wirota Wiragati tidaklah
sembarangan karena ada jalinan asmara yang mengikat dirinya dengan
orang itu. Ada janji yang tidak bisa ditepati dan muncul dendam sebagai
tebusannya. Tidak seorang pun dari empat orang pengikut Kiai Wiragati yang
berbicara. Mereka menempatkan diri menyimak pembicaraan yang akan
terjadi antara dua orang yang amat saling mengenal di masa silam itu.
Namun, entah mengapa kali ini justru Kiai Wiragati mengalami kesulitan
untuk berbicara. Ratu Biksuni Gayatri yang memulai.
"Bagaimana kabarmu, Kakang Maling?" tanya Gayatri yang tidak
mampu menyembunyikan semacam kerinduan.
Kiai Wirota Wiragati merasa ada bongkahan biji kedondong yang
mengganjal tenggorokan dan sulit untuk dikeluarkan maupun ditelan.
Setelah sekian lama laki-laki tua itu memendam sakit hati, inilah
kesempatan baginya untuk membongkar bongkahan dendam dan sakit
hati itu. "Kau menculikku tentu bukannya tanpa maksud, Kakang Maling?"
tanya Gayatri dengan suara sangat sejuk.
Ternyata benar sebagaimana diduga oleh Mapatih Arya Tadah, Kiai
Wiragati adalah Wirota Wiragati, tokoh yang menyumbang peran cukup
besar dalam membantu Raden Wijaya menyelamatkan diri dari serbuan
pasukan Gelang-Gelang, yang merupakan kepanjangan perjalanan
sejarah negara Kediri. Sayang, mantan maling itu memiliki sifat kejam
dan perilaku yang sering kurang terpuji.
Kiai Wirota Wiragati yang makin tua mulai kabur pandangan
matanya. Ia mencermati keadaan di sekitarnya dengan lebih mengandalkan
ketajaman indra telinganya. Pandangan matanya tak mampu menandai
bagaimana wujud Gayatri sekarang.
264 Gajah Mada "Kaubohongi aku, Gayatri!" Kiai Wirota Wiragati meletup.
Gayatri menghirup tarikan napas amat panjang. Gayatri merasa
harus menyesali sebuah hal, dalam usianya yang sudah sangat senja,
ternyata masih harus terbelit masalah duniawi. Terhadap laki-laki
yang kini berada di depannya, Gayatri tidak menyalahkan apa yang
diperbuatnya. Gayatri merasa dirinya bersalah karena ia yang membuat janji,
tetapi tak mampu memenuhi. Bukan karena adanya niat mengingkari,
tetapi lebih karena suratan nasib. Hyang Widdi yang telah menggariskan
nasib semua manusia. Lebih jauh, boleh dikata, Gayatri berutang nyawa
kepada orang itu. Tak hanya menyelamatkan nyawanya, Kiai Wirota
Wiragati bahkan menyelamatkannya dari ancaman paling nista yang
akan menghantui perempuan mana pun, diperkosa.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?"
Kiai Wirota Wiragati harus menahan sesak napasnya. Terhadap
perempuan yang kini berada di depannya dan meski empat puluhan
tahun telah berlalu, perasaannya sama sekali tidak berubah.
Dengan susah payah, Kiai Wirota Wiragati berusaha mengusai diri.


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Laki-laki tua itu membiarkan Gayatri menyentuh tangannya.
"Kalian menjauhlah, jangan ada yang ikut menyimak pembicaraan
kami!" ucap Kiai Wirota Wiragati ditujukan kepada pengikutnya yang
tak hanya menempatkannya sebagai guru, tetapi sekaligus lambang
kekuatan perjuangan. Udan Tahun, Panji Hamuk, Bremoro, dan Lanjar Manuraha tidak
perlu menunggu perintah itu diulang kembali. Keempat lelaki yang
masing-masing bertubuh kekar dan berhati beku itu menjauh dan
menempatkan diri mengamankan tempat itu. Ada sesal di hati mereka
karena tidak bisa mengikuti pembicaraan yang tengah berlangsung.
Hanya Bremoro yang mempunyai kesibukan tersendiri, tangannya
meraba mahkota yang berada dalam pelukannya. Mahkota yang
dikenakan mendiang Prabu Sri Jayanegara itu pastilah berharga mahal
karena pada bagian tertentu berhias intan permata.
Hamukti Palapa 265 "Sudah berapa lama kita tidak bertemu?" tanya Kiai Wirota Wiragati
datar. Pertanyaan itu bagai melemparkan Gayatri ke pertemuan terakhir
yang terjadi di masa silam.
"Lama sekali!" jawab Gayatri.
"Lama sekali itu berapa tahun?" ulang Kiai Wirota Wiragati.
"Mungkin empat puluh tahun, lebih atau mungkin kurang," jawab
Gayatri. Kiai Wiragati memerhatikan warna hitam di depannya. Laki-laki tua
itu berdiri lurus dan tepat di depan perempuan yang selama ini dengan
begitu sempurna membuat gelisah hatinya. Namun, Kiai Wiragati yang
berusaha keras mengenang, sama sekali tidak berhasil mendapatkan
wajah yang membuatnya mampu berbuat apa pun di masa lalu itu.
Wajah cantik yang selalu menghiasi mimpinya itu bahkan melenyap. Sulit
menghadirkan kembali meski hanya di wilayah lamunan.
"Bagaimana wujudmu sekarang?" tanya Kiai Wirota Wiragati.
Pertanyaan itu sungguh membuat Ibu Suri Gayatri terhenyak. Gayatri
sangat tahu, mengapa Kiai Wirota Wiragati bertanya soal wujudnya
sekarang. Di rentang waktu yang telah demikian lama, sikap maling yang
menggegerkan di zaman Singasari itu sama sekali tidak berubah.
"Aku seorang perempuan tua, Kakang. Aku sudah disebut neneknenek meski aku belum memiliki cucu. Usiaku berada di angka enam
puluhan tahun," jawab Gayatri.
Jawaban itu membungkam mulut Kiai Wirota Wiragati. Ibu Suri
Gayatri tidak menolak dan membiarkan apa yang dilakukan Kiai Wirota
Wiragati yang menggerayangi wajahnya, menelusuri lekuk-lekuk keriput
kulit mukanya, dan berhenti di kepalanya yang gundul. Sebagai orang
yang terganggu pandangan matanya, hanya itulah cara tersisa yang bisa
digunakan Kiai Wiragati untuk mengenali wujud orang lain.
"Kamu tua sekali dan sekarang kamu seorang biksuni?" Kiai Wirota
Wiragati bertanya. 266 Gajah Mada "Ya!" jawab Rajapatni Gayatri. "Aku telah menyerahkan jiwa dan
ragaku untuk kehidupanku Sang Buddha."
"Sebenarnya aku ingin membawamu, tetapi dengan keadaan dan
jalan hidupmu sekarang, aku tak akan membawamu."
Kiai Wirota Wiragati termangu beberapa jenak, dan manakala
laki-laki tua itu manggut-manggut, bukanlah dalam rangka memahami
keadaan, tetapi lebih karena menyesali perjalanan waktu yang demikian
panjang dan nyaris sia-sia.
"Maafkan aku, Kakang Wirota," ucap Gayatri yang merasa bersalah.
Kiai Wirota Wiragati merasa gatal di tenggorokannya yang akhirakhir ini sering terasa, muncul lagi. Bagaimanapun, Kiai Wirota Wiragati
hanyalah manusia yang memiliki banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna. Walaupun angan mumbul setinggi langit, tak ada seorang
pun manusia yang mampu menghentikan ketuaan. Di usia yang sangat
tua, orang akan akrab dengan segala macam penyakit, kesehatan pun
menurun dan rentan terhadap gangguan. Padahal, gangguan itu banyak
sekali. Hati tidak senang pun bisa menjadi gangguan.
Saat batuk, Kiai Wirota Wiragati sampai terbungkuk-bungkuk.
Melihat batuk yang demikian menyiksa, menggelitik rasa belas kasihan di
hati Ibu Suri Gayatri yang bergegas memberi pertolongan. Pijatan yang
diberikan di bagian punggung dan leher sedikit meredakan gangguan itu.
Sentuhan yang dilambari hati sangat bersih itu juga menenteramkan hati
Kiai Wirota Wiragati yang demikian lama memendam rasa kecewa.
"Mengapa kauingkar janji, Gayatri?" tanya Kiai Wirota Wiragati.
Gayatri tidak perlu mengunyah lebih dalam pertanyaan itu.
"Aku sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk menentukan
nasibku sendiri, Kakang Wirota! Pepesthen 164 yang lebih banyak bicara
dan membelitku," jawab Gayatri.
164 Pepesthen, Jawa, takdir
Hamukti Palapa 267 Jawaban itu sungguh menyebalkan, tetapi Kiai Wirota Wiragati tidak
mungkin mengingkarinya sebagai sebuah kenyataan, bahwa sebagian
penyebab kekacauan adalah pada dirinya. Wirota Wiragati muda terlalu
lama menghilang tidak ada jejaknya. Waktu yang panjang itu ia buang
untuk memuasi rasa ingin tahunya dengan menyeberang ke beberapa
negara di seberang lautan, khususnya untuk melihat negeri Tartar dari
jarak dekat yang ternyata tidak kesampaian. Ketika Wirota Wiragati
muncul kembali, keadaan telah telanjur tak bisa diperbaiki. Gayatri
yang menunggunya dengan sebuah janji itu telah menjadi istri Wijaya,
sebagaimana tiga orang saudaranya yang lain.
"Apakah demikian mudah kau melupakan apa yang terjadi,
Gayatri?" tanya Kiai Wirota Wiragati.
Gayatri tersenyum. "Bagian mana yang Kakang Wirota ingin aku mengenang kembali.
Apa yang aku alami ketika besan ayahku menyerbu istana dan aku
terpisah dari keluargaku" Aku tidak mungkin lupa pada semua tindakan
yang Kakang ambil untuk menyelamatkan aku. Apa yang terjadi itu
serasa baru berlangsung kemarin petang. Bau ruangan pengap Keputren
Gelang-Gelang tempat aku nyaris terjamah nista itu bahkan serasa masih
melekat di hidungku."
Kiai Wirota Wiragati merasa punggungnya berdesir.
"Benarkah kau merasa baru terjadi kemarin petang?"
"Karena aku tak mampu melupakan sampai ke bagian-bagian yang
paling kecil, terutama apa yang akan dilakukan Mahisa Mundarang
kepadaku! Aku tidak akan lupa dengan alunan seruling yang
membingungkan itu, juga ular-ular yang bermunculan entah dari
mana yang menyebabkan lebih dari sepuluh orang prajurit kehilangan
nyawanya, juga nyaris membunuh Prabu Jayakatwang. Semua kejadian
itu menancap di benakku menjadi kenangan yang tak mungkin bisa
dihapus begitu saja."
Kiai Wiragati tiba-tiba tersenyum. Untuk sebuah hal, Kiai Wiragati
merasa Gayatri benar. 268 Gajah Mada "Sama, aku juga merasa seperti baru kemarin petang," gumamnya.
"Mengenang bakar-bakaran istana yang dilakukan orang-orang dari
Gelang-Gelang, aku merasa bagai baru terjadi kemarin petang. Di
Mameling, aku membuat kekacauan luar biasa, membuat pimpinan
pasukan Gelang-Gelang bernama Jaran Guyang demikian marah.
Aku dikejar-kejar yang untunglah aku bertemu dengan Raden Wijaya,
yang kemudian menempatkan aku sebagai pahlawan dan sahabat. Aku
tidak mungkin melupakan tindakan apa saja yang aku lakukan saat itu.
Aku memanfaatkan kesempatan untuk memancing di air keruh. Aku
kuras habis harta orang-orang kaya yang melarikan diri sehingga aku
memperoleh satu peti perhiasan, sekaligus aku melaksanakan perintah
dari Raden Wijaya untuk menemukanmu. Aku berhasil menemukanmu
di saat yang tepat."
Rajapatni Biksuni Gayatri menunduk, apa yang disampaikan Wirota
Wiragati itu merupakan wilayah kenangan yang amat buruk, bahkan
menjadi mimpi buruk abadi yang selalu menyelinap di tiap tidurnya.
Bermula dari serbuan dan bara api yang membakar istana, menjadi
penyebab kocar-kacir seluruh keluarganya. Sang Prabu Sri Kertanegara
pralaya karena berusaha mempertahankan istana, terpanggang di dalam
panasnya bara dahana. Dalam pelarian menyelamatkan diri dari serbuan penjarah Gegelang
atau Gelang-Gelang yang menuntut balas dendam lama atas apa yang
pernah dialami Kediri, yang pernah diserbu Tumapel yang di kemudian
hari berubah menjadi Singasari, Gayatri terpisah dari para saudaranya
yang lain dan tertangkap oleh pasukan musuh.
Prabu Jayakatwang adalah besan ayahandanya karena salah seorang
anaknya yang bernama Ardaraja dikawinkan dengan adik bungsunya.165
Itu sebabnya, selama ia berada dalam kekuasaan Gegelang, ia diperlakukan
dengan baik. Akan tetapi, tidak demikian sikap Mahisa Mundarang. Patih
Gelang-Gelang itu demikian bernafsu dan berniat memperkosa dirinya.
165 Sampai sejauh ini penulis masih belum menemukan referensi siapa nama anak terakhir Prabu Kertanegara, beberapa sumber hanya menyebut adik kandung Gayatri ini dikawinkan dengan Ardaraja, anak Jayakatwang dari Gelang-Gelang.
Hamukti Palapa 269 Untung pada saat yang demikian genting, muncul Wirota Wiragati
yang mampu merebut dan menyelamatkannya. Ketika merasa berutang
budi dan telah diselamatkan nyawanya, dalam keadaan yang demikian
Gayatri sama sekali tidak keberatan membuka hatinya kepada maling
yang tidak pernah tertangkap itu. Hanya karena imbauan Raden Wijaya,
Wirota Wiragati menghentikan pekerjaannya yang tidak terpuji.
Namun, sebuah hal yang sulit dimengerti dan Gayatri tidak
tahu jawabnya adalah mengapa setelah peristiwa itu, Wirota Wiragati
menghilang seperti ditelan bumi untuk waktu yang demikian panjang,
menjanjikan penantian tanpa ujung yang menjadi penyebab Gayatri
menyetujui ajakan saudara-saudaranya yang lain untuk bersuamikan satu
orang yang sama, Raden Wijaya.
"Aku sudah tua dan ke manakah akan pergi orang yang makin
renta seperti aku ini" Sebaiknya aku tak perlu membangun rumah
mimpi dan segera terbangun. Kembalilah, aku tak akan memaksamu
menumbuhkan kembali rambut gundulmu!" kata Kiai Wirota Wiragati
dengan suara parau. Ucapan laki-laki yang pernah dikecewakan dan entah mengapa
belum larut meski usianya telah merambah tua itu, menyebabkan Gayatri
merasa sangat tidak nyaman.
Rajapatni Biksuni Gayatri merasa masih belum cukup alasannya
bersembunyi di balik takdir karena seharusnya jika hatinya kukuh, tentu
masih ada kesetiaan dan oleh karenanya sebenarnya bukan masalah
pepesthen. Apa yang terjadi mungkin memang berada di bingkai garis
hidup, tetapi bisa pula tidak, karena bisa jadi hanya berada di wilayah
antara ingkar janji atau menepati janji.
"Kembalilah. Aku akan mengembalikan kesadaranku bahwa aku
telah renta. Aku sudah tidak muda lagi yang oleh karenanya tak perlu
berangan-angan, atau sejujurnya aku harus mengatakan, perasaan yang
dulu pernah meluap itu kini telah tak ada jejaknya. Keinginan orang
yang sudah renta seperti diriku tidak seperti mereka yang muda-muda.
Aku hanya ingin berbuat sesuatu sebelum kematian menjemputku. Aku
ingin masih ada orang yang mengenang namaku."
270 Gajah Mada Gayatri mengangguk. "Rupanya Kakang Wirota masih menyimpan keinginan dan hasrat
dalam bentuk lain. Kalau boleh tahu, apakah Kakang mempunyai
keturunan?" "Keturunan?" balas Kiai Wirota Wiragati terkejut.
"Barangkali," tambah Rajapatni Biksuni Gayatri. "Keturunan
yang akan Kakang wisuda menjadi seorang raja dengan memanfaatkan
benda-benda yang Kakang curi itu, mungkin dengan lambaran duduk
cihna gringsing lobheng lewih laka, dipayungi songsong Udan Riwis, dan
mengenakan mahkota, yang entah mengapa banyak orang menganggap
benda-benda itu bertuah."
Kiai Wirota Wiragati tertawa karena menganggap pertanyaan
Gayatri itu lucu. Namun, justru karena itu batuknya kembali terpingkalpingkal dan susul-menyusul. Ibu Suri Gayatri segera bertindak. Sama
sekali tidak risih, Ratu Biksuni Gayatri menelusuri leher Kiai Wirota
Wiragati melalui sentuhan simpul saraf yang meredakan batuk.
"Kau sebenarnya sudah tahu jawaban dari pertanyaanmu itu!" jawab
Kiai Wirota Wiragati. "Jika demikian, untuk apa kau mencuri mahkota milik mendiang
Anakmas Prabu Sri Jayanegara itu" Apakah dengan demikian, Kakang
berniat mewisuda seseorang untuk menjadi raja di wilayah Majapahit?"
tanya Gayatri. Kiai Wirota Wiragati terdiam untuk beberapa saat lamanya.
Pertanyaan itu tidak segera dijawab. Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri
masih menunggu dengan sabar. Namun, Kiai Wirota Wiragati belum
berbicara juga. Gayatri kembali memecah keheningan.
"Bagaimana, Kakang" Bolehkah aku mengetahui ada maksud
apakah di balik apa yang Kakang lakukan" Sekadar meminta dan
mengambil kembali benda yang dulu pernah Kakang hadiahkan atau
benda itu memang akan digunakan untuk mewisuda seseorang yang ada
Hamukti Palapa 271 kaitannya dengan suasana menghangat di Keta dan Sadeng" Jika benar,
tidakkah Kakang berpikir, hal itu akan mengoyak keutuhan negara dan
menjadi simpul penyebab terjadinya perang?"
Pertanyaan itu menyebabkan Kiai Wirota Wiragati merasa tidak
nyaman. Ada rasa jengah ketika berbicara soal itu dengan Gayatri.
Sebaliknya, Kiai Wirota Wiragati yang tua itu bisa bersemangat berkobarkobar ketika berbicara dengan orang lain, apalagi jika yang dibicarakan
adalah masa depan Keta. "Sebenarnya bukan mahkota itu yang mengundangku untuk datang
ke gedung perbendaharaan pusaka. Namun, dua benda yang lain yang
saat ini sedang aku butuhkan, tetapi tidak aku temukan di ruangan itu. Di
mana cihna gringsing lobheng lewih laka yang asli dan songsong Udan Riwis"
Apakah dua benda itu telah jengkar dari istana" Aku tidak merasakan
baunya di ruangan itu!" ucap Kiai Wirota Wiragati.
Ibu Suri Gayatri kembali membantu meredakan melalui pijatan di
punggungnya ketika Kiai Wirota Wiragati amat terganggu oleh batuknya
yang beruntun. Amat bersusah payah Kiai Wirota Wiragati berusaha
mengusai diri. "Kita sudah tua, Kakang Wirota," ucap Rajapatni. "Di usia tua,
sebaiknya kita beristirahat dan biarlah yang muda-muda berkiprah
dengan penuh semangat. Namun, rupanya dengan kesehatan yang seperti
ini, Kakang Wirota masih memaksa diri berkuda menempuh perjalanan
jauh yang mungkin Kakang lakukan berhari-hari dari Keta menuju
tempat ini. Bahkan, mungkin Kakang juga menempuh perjalanan lebih
jauh lagi dan tak masuk akal, misalnya begitu jauhnya sampai Nusa Bali"
Aku pernah mendengar, ada prajurit yang menemukan jejak Kakang.
Konon, Kakang berada di Bali. Lupakan semua hasrat, Kakang. Tiba
saatnya kini Kakang mempersiapkan diri menunggu hari yang penting itu
tiba, menunggu kedamaian ketika raga tidak lagi dihuni oleh nyawa."
Nasihat yang mestinya mengena ke hati yang apalagi diberikan oleh
Gayatri itu, ternyata tak menyebabkan Kiai Wirota Wiragati mengendap.
Nasihat itu malah menjadi api yang disiram oleh minyak. Dengan
bersusah payah, Kiai Wirota Wiragati berusaha mengendalikan diri.
272 Gajah Mada

Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak mau membuang waktu sia-sia. Sebelum kematian
menjemputku, aku harus mewujudkan apa yang aku inginkan," jawabnya.
"Untuk melihat berdirinya negara baru?" pancing Rajapatni
Gayatri. Kiai Wirota Wiragati kembali memegang tangan Gayatri dan
menelusurinya hingga ke wajah. Kiai Wirota Wiragati sangat ingin tahu,
bagaimana raut muka Gayatri ketika ia berbicara itu. Jika Kiai Wirota
menduga dari wajah tua itu akan terbaca kemarahan atau hal-hal yang
masih menyiratkan keduniawian, Kiai Wirota Wiragati salah.
Sejak memutuskan diri menjadi seorang biksuni, Rajapatni Gayatri
benar-benar tidak lagi mengikat diri terlampau kuat pada semua urusan
duniawi. "Bagaimana, Kakang?" kejar Gayatri dengan sejuk.
"Aku ingin tahu, di mana dua benda itu disimpan?" kejar Kiai
Wiragati yang tak menanggapi pertanyaan Gayatri.
Gayatri mempersiapkan diri menjawab.
"Ingat gempa bumi yang terjadi beberapa waktu yang lalu?"
Ratu Gayatri berkata dengan suara datar. "Bersamaan dengan malam
terjadinya gempa itu, dua benda yang Kakang persoalkan itu hilang.
Ada maling yang juga merasa berkepentingan dengan benda itu dan
mendahului mengambil. Sebelum Kakang Wirota Wiragati datang, telah
ada maling yang mendahului mencuri benda-benda itu."
Kiai Wirota Wiragati terkejut.
"Benda itu dicuri orang?" kejar Kiai Wirota Wiragati yang masih
dibelit oleh rasa kaget. "Kakang tidak percaya?" balas Gayatri.
"Ya, aku percaya!" balasnya. "Aku tentu percaya, kau tidak pernah
berbohong kepadaku kecuali satu hal."
Apa yang diucapkan Kiai Wirota Wiragati itu menyebabkan Biksuni
Gayatri harus tersenyum kecut.
Hamukti Palapa 273 Jauh-jauh dari Keta, tempat asalnya, Kiai Wirota Wiragati datang ke
Ibu Kota Majapahit untuk mencuri benda-benda yang dianggap sebagai
pusaka. Namun, rupanya telah ada orang yang mendahului mencuri dua
benda itu. Pencurian yang dilakukan oleh pihak lain mendahului apa yang
akan dilakukannya itu seketika memunculkan pertanyaan, untuk maksud
apa pihak lain itu mencuri benda-benda itu" Adakah sama dengan latar
belakang niatnya yang dibawa jauh-jauh dari pesisir Keta"
"Kau bisa menerka pihak mana yang melakukan pencurian dua
Sebilah Pedang Mustika 6 Pantang Berdendam Serial Tujuh Manusia Harimau (1) Karya Motinggo Boesye Wanita Iblis 19

Cari Blog Ini