Ceritasilat Novel Online

Hartanya Penghianat 1

Hartanya Penghianat Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping Bagian 1


" Serial OEY ENG si Burung Kenari
HARTANYA PENGHIANAT Karya: Xiao Ping Penyadur: OKT (Oey Kim Tiang)
"..... Sudah sampai!"
"Mana dia rumahnya" "
Si nona menunjuk ke bawah, ke kali yang airnya lagi mengalir. Ia tertawa!
Berbareng dengan itu Hoe Gan merasai aneh pada tangannya.
Tangannya itu tidak lagi memegang uang perak yang keras.
Ia lekas menarik keluar, untuk dilihat, atau ia mendapatkan itulah uang kertas timah orang mati, sama seperti yang ia lihat pada si pelayan!
Hartanya Pengkhianat I Pemuda Lie Hoe Gan baru saja keluar dari Dancing hall yang mewah dan ramai. Ia bertindak di sisi kiri jalan besar, tindakannya perlahan. Ia mau pulang ke rumahnya. Inilah kebiasaannya setiap malam, kecuali turun hujan. Ia memang gemar sekali berjalan kaki. Itulah jalan Haike Road yang diwaktu tengah malam biasa sepi dan sunyi, kadang-kadang cuma dua atau tiga buah kendaraan lewat di situ. Sukar menemui orang yang berlalu-lintas.
Malam ini Hoe Gan tak seperti biasanya. Ia berjalan sambil berpikir. Memikiri Sie Mei Mei, nona penari, yang menampik berdansa dengannya. Maka itu ia berjalan tanpa memperhatikan jalanan atau keadaan di sekitarnya.
Belum seberapa jauh, tepat di dekat sebuah pohon wutung asal Perancis, sekonyong-konyong muncul seorang nona seperti juga nona itu turun dari langit atau muncul dari dalam tanah!
"Kau habis dari Venus Dancing hall" " sapa nona itu.
Hoe Gan tercengang, ia mengawasi.
Nona itu berusia kira-kira dua puluh lima tahun, mukanya potongan biji kwaci, sepasang matanya jeli sekali. Di pipi kirinya ada sebuah tai lalat yang kecil, dan di bibir kanannya ada sebuah yang lain, yang lebih besar sedikit, tetapi kecantikannya tak lenyap karena kedua tai lalat itu, bahkan sebaliknya, ia menjadi tambah manis. Cuma dandanannya sedikit kurang mengikuti jaman.
Bajunya panjang sampai di kaki, wamanya hitam, pinggangnya langsing. Itulah pakaian untuk musim rontok, yang memakai gigi balang putih. Kantungnya bergigi-balang putih juga. Begitupun sepatunya, yang hitam, yang pinggirannya putih. Anting-antingnya dari batu hitam dan putih, sedangkan rambutnya, yang hitam mengkilat, digelung seperti huruf " S ".
Itulah pakaian dari tiga atau empat tahun yang lalu, yang sekarang orang tidak gemarkan lagi. Kundainya pun sudah tidak tepat. Seorang nona muda toh memelihara rambut panjang. Ketika itu cuma orang tua, atau nenek-nenek, yang masih panjang rambutnya. Nona-nona, dan nyonya-nyonya muda, semua sudah memotongnya pendek. Toh anak muda ini ketarik melihatnya.
"Bukankah kau baru dari Venus Dancing hall" " si wanita muda menanya pula.
"Oh... ya..." sahut Hoe Gan, sembarangan. Ia tengah kelelap dengan gaun dan kundai orang...
"Eh, kau lagi pikirkan apakah" "
"Oh... tidak!" "Apakah karena dandananku tak menurut jaman" "
"Oh...bukan!" " Aku menerka benar, aku dapat melihatnya dari air mukamu. Untukku aku merasa dandananku ini paling modern!"
"Benar! Kau mempunyai pandanganmu sendiri!" kata Hoe Gan, tertawa.
" Apakah kau melihat seorang sahabatku di dalam tempat dansa itu" " si nona tanya. Itulah pertanyaan gelo.
"Maaf," kata Hoe Gan, alisnya berkerut. "Aku tidak kenal kau, nona, mana aku kenal sahabatmu itu" "
"Kau tidak kenal, tidak apa. Tadinya aku mengira kau kenal aku dan sahabatku itu juga."
Agaknya si nona kurang puas tetapi suaranya sedap didengarnya.
"Aku hendak meminta sesuatu yang kecil, maukah kau meluluskannya" "
"Permintaan yang kecil, nona" "
"Ya. Belum pernah aku masuk dalam Dancing hall. Maukah kau menemani aku,. untuk duduk sebentar saja di sana" "
Ia menatap, sinar matanya menggiurkan.
"Untuk mencari sahabatmu itu" "
"Inilah permintaan tak berarti. Tak menyulitkan kau, bukan" "
"Oh... tidak! Hanya, apakah ini tak menyebabkan sahabatmu keliru menganggap" "
"Keliru anggap bagaimanakah" Tak lebih tak kurang, cuma sahabat! Sekarang ini, bukankah kau sahabatku" " Ia tertawa. Sangat menarik hati tertawanya itu.
Seorang penggemar tempat dansa, siapakah yang tidak ketarik menghadapi nona manis seperti ini, tak peduli si nona ialah seorang nona asing"
"Sudikah kau memberitahukan aku she dan namamu" "
Hoe Gan tanya. "Aku, Tong Soat Koan. Kau" "
"Aku she Lie. Orang memanggil aku Siauw Lie. Nona Tong, mari!"
Hoe Gan memutar tubuhnya, untuk berjalan kembali ke Dancing hall.
Sudah belasan tindak pemuda ini berjalan, ia tidak mendengar tindakan kaki dibelakangnya. Ia lantas menoleh.
Untuk herannya, si nona sudah tidak ada.
"Ah!" serunya, matanya melihat ke sekitarnya.
Tak ada nona itu! "Ah!" serunya pula.
"Tuan Lie, kau lagi menantikan siapa" " demikian pertanyaannya, yang merdu bagaikan musik, datangnya dari belakangnya.
Dengan cepat Hoe Gan membalik tubuhnya. Maka ia melihat si nona berada di depannya, sejauh tiga puluh tindak, lagi berdiri menantikan. Ia heran, ia melongo,
hingga ia mengucak-ucak matanya. "Nona Tong, kapannya kau melewati aku" " tanyanya, saking heran.
"Pikiranmu lagi melantur, Tuan Lie!"
"Mungkin!" sahut Hoe Gan, yang terus meng-hampirkan.
Si nona tertawa. Ia mengangkat sebelah tangannya, akan menggandeng tangan si pemuda. Maka sekarang mereka berjalan bersama, dengan berendeng.
Di ambang pintu, pelayan menyambut pasangan ini, yang dia terus pimpin ke sebuah meja dekat tembok. Dia lantas menyuguhkan teh wangi.
Ketika itu musik lagi mendengarkan "Blue Danube" .
"Senang aku dengan lagu ini," kata si nona.
"Oh! Apakah nona pandai dansa" "
"Sedikit," sahut si nona.
"Maukah kau mencobanya" "
Nona itu mengangguk. Hoe Gan membantu membukai baju luar nona itu, maka di dalamnya, ia melihat sebuah chipao, yaitu Shanghai-dress yang indah dan bahannya bahan mahal, bahkan mungkin itu baju yang baru pertama kali ini dikenakannya. Cuma anehnya, chipao itu panjang sekali dan lehernya pun tinggi, tanda dari lewat jaman.
Lantas juga si pemuda mendapatkan kawannya itu pandai berdansa, indah gerak gerik tubuhnya yang langsing dan halus, cuma aneh ialah harum air wanginya. Pada bau harum itu tercampur bau lembab tanah atau rumput.
Pasangan ini menarik perhatian para hadirin, bahkan Sie Mei Mei nampak rada sirik berbareng memandang hina...
Selagi lagu mendekati akhirnya, Hoe Gan pun melihat leher si nona bergelang seperti bekas libatan tambang. Maka itu, tempo mereka kembali ke meja mereka, pikirannya terus berada pada bau harum dan tanda di leher itu.
"Kembali kau memikirkan sesuatu," kata si nona sambil menatapnya.
"Oh... tidak!" Hoe Gan menyangkal. "Sebaliknya, aku kira, kaulah yang memikirkan sesuatu. Benarkah" "
"Ah, kau cerdas!"
"Apakah yang kau pikirkan itu" "
"Akulah wanita yang nasibnya buruk. Sudahlah, jangan kau tanya..."
Justeru orang menampik, Hoe Gan jadi semakin ketarik.
"Sahabatmu itu, ada atau tidak dia di sini" "
"Tidak. Mungkin dia menyalahi janji. Sebenarnya dia berjanji akan turut ke rumahku, buat membantui aku memecahkan satu soal."
"Sulitkah soal itu" "
"Soal itu mudah, siapa pun dapat memecahkannya, cuma aku yang bingung karenanya..."
"Mungkin sahabatmu sedikit terlambat. Dia sudah berjanji, mustahil dia gagal."
Nona itu melihat arloji tangannya. Ia menggeleng kepala.
"Aku kira dia tidak bakal datang. Kalau dia tidak datang, malam ini susah aku pulang..."
"Susah pulang" " tanya Hoe Gan, heran.
"Ya." "Sebenarnya, soalmu itu soal apakah" "
"Seperti sudah aku bilang, setiap pemuda dapat memecahkannya."
"Setiap pemuda" Nona Tong, apakah kau maksudkan juga aku" "
"Benar. Soalnya ialah, kau berkasihan terhadap aku atau tidak..."
Hoe Gan lantas menduga, si nona tentu bunga raya kurungan yang dikuasai dan diperlakukan kejam mak peropotnya, sedikit saja dia menentang tentu dia disiksa...
"Aku bersimpati terhadapmu. Aku harap kau tuturkan dulu kesulitanmu itu padaku."
Pemuda ini terpincuk kecantikan dan terharu untuk nasib buruknya nona itu.
"Bagaimana dapat aku membuka mulut" " kata si nona, yang memalingkan mukanya. "Asal kau berada di rumahku, kau tentu akan mengarti sendiri."
Hoe Gan memastikan sangkaannya itu. Terus ia memanggil pelayan.
"Aku yang akan membayar," katanya.
"Jangan sungkan, biarkan aku," kata si nona. Ia membuka tasnya, untuk mengeluarkan sepotong perak.
Ia lempar itu di atas nampan hingga terdengar suaranya yang nyaring. "Selebihnya untukmu!"
"Terima kasih!" kata si pelayan.
Hoe Gan heran. Orang demikian tangan terbuka. Tapi ia membantui orang memakai baju dan lalu berjalan keluar sambil berendeng seperti tadi diwaktu masuknya.
Selagi mereka ini turun di tangga depan, pelayan tadi lari mendatangi bergegas-gegas sambil memanggil-manggil, "Tuan Lie! Tunggu dulu, hendak aku bicara!"
"Nona Tong harap tunggu sebentar. Pelayan itu mau bicara."
"Baik, aku tunggu di depan pintu luar."
Hoe Gan menghampirkan pelayan, yang mengajaknya ke lorong di mana ada kamar tamunya kuasa Dancing hall.
" Ada apakah" " tanyanya heran. "Sikapmu aneh..."
"Tuan Lie, apakah nonamu itu sahabatmu" "
Pelayan ini agak gugup, suaranya pun tidak lancar.
"Tentu saja sahabatku!"
"Sahabat barukah" "
"Perlu apa kau menanya begini" "
Pemuda ini menjadi tidak puas.
"Tuan, sahabatmu itu... dia, dia bukan orang benar..."
"Peduli apa! Apakah sangkut pautnya denganmu" " ia jadi gusar. "Biar dia bunga raya, dia tidak ada hubungannya denganmu!"
"Bukan, bukan aku maksudkan kelakuannya, tuan..." kata si pelayan, agak sukar bicaranya. "Aku mau bilang, soalnya, dia manusia atau bukan..."
"Apa" Mungkinkah dia bukan manusia" "
"Tuan toh lihat tadi uang perak yang dia taruh atas nampanku" " .
"Ya. Habis" Aku dengar suara gentringnya!"
"Barusan aku bawa uang itu pada kasir. Dia kebetulan keluar, aku menantikan. Selagi menanti, aku ambil uang itu dan meletakinya di atas meja. Aku mendengar suara nyaringnya. Itulah benar uang perak, bukan timah atau tembaga. Tak lama, datanglah kasir. Ia ambil uang itu dan notanya, uangnya ia lemparkan ke dalam laci, lalu..."
"Lalu apa" "
"Lalu terjadi hal aneh!"
"Hal aneh apakah itu" "
"Uang itu tiba-tiba berobah menjadi uang kertas timah, yang biasa dibakar untuk dibekali pada orang mati..."
"Toh aku dengar sendiri uang itu berbunyi nyaring! Baru saja kau bilang, waktu kau letaki di meja, bunyinya nyaring juga!"
"Ya, tuan! Justeru karena itu, aku dan kasir heran bukan main. Kenapa uang itu bertukar sifat dalam sekejap" Apakah nona itu bukannya setan" Maka itu aku susul kau, untuk memberitahukan agar kau tidak sampai terpincuk setan..."
"Kau baik hati, tetapi aku tidak dapat percaya kau. Inilah ocehan belaka!"
Hoe Gan menjadi gusar. "Habis, nota itu, tuan" " kata si pelayan. Ia mengangsurkan notanya berikut uang kertas timah itu. "Inilah uangnya itu..."
Hoe Gan periksa uang kertas itu, terus ia masuki ke dalam sakunya. Ia membayar nota, lantas ia pergi keluar, guna menyusul si nona.
Di lorong ia bertemu dengan Phoa Djoe Hin, kuasa tempat dansa itu. Sebagai langganan, ia dikenal baik. Djoe Hin menyapa sambil tertawa.
Dalam sengitnya, Hoe Gan tuturkan keanehan uang itu.
Djoe Hin pandai berusaha. Ia panggil pelayannya, yang ia tegur, sedang uangnya Hoe Gan, ia pulangi.
Dengan begitu, baru gusarnya si pemuda reda. Lekas-lekas ia pergi keluar. Ia dapatkan si nona lagi jalan mundar mandir di depan pintu.
"Nona Tong, kau menunggu lama!" katanya sambil menghampirkan.
"Tidak apa," sahut si nona, yang terus menyantel lengan orang. "Rumahku di ujung Haike Road itu, dari sini cuma kira tiga lie, mari kita jalan kaki saja, tidak sampai sepuluh menit, kita akan sudah di sana."
Hoe Gan mengangguk. Ia bersedia menemani berjalan kaki. Ia tidak percaya si nona setan tetapi sekarang ia tidak merasa lega sebagaimana tadinya.
Pertama-tama si nona menjadi kenalan di tengah jalan, dan baru saja, dan lalu timbul soal uang kertas orang mati itu. Ia turut karena hatinya sangat tertarik, ingin mendapat tahu urusan sampai diakhirnya...
"Tuan Lie kau sudah menikah atau belum" " tanya Soat Koan.
"Belum." "Bagus sekali!"
"Bagus bagaimana" "
"Urusan sudah beres separuhnya!"
" Aku tidak mengarti!" kata si pemuda, heran.
"Sekarang kau tidak membutuhkan keterangan," kata si nona. "Setibanya di rumahku, kau bakal mengerti sedikit."
Nona ini sangat menggiurkan hati, toh kata-katanya itu aneh sekali. Otaknya Hoe Gan jadi bekerja keras. Ia ingat di ujung Haike Road itu cuma terdapat beberapa rumah buruk atau gubuk, lainnya ialah tegalan serta tanah pekuburan.
Mendadak ia ingat leher si nona, yang ada tandanya bekas libatan serta bau dirinya yang luar biasa itu, bau lembab tanah dan rumput. Ia pun ingat lakon si pelayan serta nasihatnya pelayan itu.
Benarkah ia ada bersama satu setan" Ia tidak percaya takhayul akan tetapi sedikitnya, ia terpengaruhi juga. Lantas ia mengasah otaknya.
"Nona Tong," katanya, "kau mempunyai dua potong uang perak atau tidak" Hendak aku menunjuki suatu permainan kepadamu."
Si nona merogo sakunya, ia memberikan dua potong uang perak yang diminta. Selagi menyambuti uang itu, sengaja Hoe Gan membenturkan satu pada lain. Ia mendengar suara nyaring.
Teranglah itu perak tulen.
Lantas ia kata, "Bukankah uang ini nyaring" Tapi sebentar, kalau kau benturkan satu pada lain, suaranya bakal lenyap..."
"Benarkah itu" " tanya si nona.
"Kau tunggu saja!"
halaman 12 dan 13 ga ada "Ini... ini soal sangat sukar! Maaf, tak dapat aku membantu kau..."
"Tak sukar sama sekali! Asal kau suka nyebur ke kali ini...".
"Tidak. . . tidak?"
"Jikalau kau tidak mau nyebur sendiri, akan aku tarik padamu!"
Hoe Gan takut bukan main, ia meronta, meloloskan tangannya, terus ia lari naik di tangga jembatan itu, untuk turun di bagian baratnya. Baru saja ia mendekati kaki jembatan tahu-tahu si nona sudah menghadang di depannya!
Maka ia memutar tubuh, untuk lari balik ke bagian timur. Ia berhasil melintasi jembatan yang panjangnya belasan kaki itu.
Disaat ia menindak turun di tangga empat atau lima undak, ia melihat si nona muncul di depannya, lagi menindak naik di tangga itu!
Tidak dapat tidak, Hoe Gan lari kembali ke barat. Atau di sana si nona kembali lagi menantikannya! Bukan main bingungnya, apapula setelah ia lari bolak balik sampai tujuh atau delapan kali.
Nona itu bergerak sangat cepat, tanpa suara tindakannya.
Selagi Hoe Gan sudah bernapas memburu, dia tak letih sedikit juga, dia tidak seperti lari memegat berbalik-balik itu.
Dalam takut dan bingung, si anak muda terus lari balik-balik, sampai kakinya lemas, lalu mendadak ia terpeleset, hingga tidak ampun lagi, ia jatuh tergelincir ke dalam kali. Ia kaget, hendak ia berteriak, atau air sudah masuk ke dalam mulutnya...
**dw** Kapan kemudian Hoe Gan sadar, ia mendapatkan dirinya rebah di atas sebuah pembaringan putih, tubuhnya memakai pakaian putih juga serta dikerobongi selimut putih lagi, sedangkan di sisinya berdiri seorang nona juru rawat. Ia heran sekali.
"Kenapa aku ada di sini" " tanyanya.
"Ada empat orang desa menolongi kau dari kali," sahut nona itu. "Air di dalam perutmu telah dikasi keluar, kau tetap pingsan maka itu, kau digotong ke mari. Sekarang kau sudah mendusin, ancaman bahaya sudah tidak ada lagi. Kau rebahlah tenang, nanti aku pergi mengundang dokter."
Berkata begitu, si nona bertindak keluar. Hanya sebentar, ia sudah kembali bersama dokter jaga.
"Bagaimana rasamu sekarang" " tanya dokter itu.
"Nyaman" "
"Ya, dokter. Tidak kurang suatu apa."
"Kau she apa" "
"She Lie. Namaku Hoe Gan."
"Kenapa kau buang diri ke kali" "
" Aku... aku... kena..."
Sekarang ia ingat pengalamannya.
"Taruh kata kau terdesak penghidupanmu, tak dapat kau membunuh diri," kata si dokter, menghibur. "Kau mempunyai sanak atau tidak" "
"Ada lima orang kakak serta empat ipar, isteri-isterinya kakak-kakakku itu." Ia hendak membantah, dengan memberikan keterangannya, tetapi ia membatalkannya. Ia percaya dokter itu tak bakal menganggap segala keterangannya itu.
Maka ia terus tanya, "Dokter, apa sekarang aku boleh keluar dari rumah sakit ini?"
"Menurut aturan di rumah sakit, kalau ada perkara percobaan bunuh diri, perkara ini mesti dilaporkan kepada polisi. Maka itu besok pagi lebih dahulu kau mesti memberikan keteranganmu pada polisi, baru kau dapat pulang. Sekarang ini kau perlu memberi kabar dahulu kepada sanakmu."
"Tidak, itulah tidak perlu."
Kebetulan sekali besoknya pagi, polisi yang mengurus perkara itu ialah sebawahannya Detektip To Tjie An, kepala merangkap polisi rahasia. Dialah di detektip gemuk A Poan. Dia sahabatnya Hoe Gan, dari itu, dengan bantuan si gemuk, mudah saja ia keluar dari rumah sakit, bahkan si sahabat yang mengantarnya.
II "Siauw Lie, apakah ceritamu ini benar" " tanya A Poan selagi mereka sama-sama naik kereta roda tiga menuju ke ujung Haike Road.
"Tak mungkinkah kau telah mencoba bunuh diri karena gagal dalam urusan asmara tetapi kau malu membeber itu padaku maka kau mengarang dongengmu ini" "
"A Poan, penuturanku itu benar-benar pengalamanku sendiri," kata Hoe Gan. "Tidak ada niatku membunuh diri."
"Kalau begitu, benar kejadian itu sangat aneh!" kata si gemuk. Dia tak percaya takhayul tetapi dia toh terpengaruhkan kesangsian.
"Aku tahu benar, di dalam kali itu, selama setengah tahun ini, sudah ada empat peristiwa membunuh diri..."
"Jumlah itu akur, cocok dengan kenyataannya."
"Akur kau bilang?"
"Ya. Setan air yang cantik itu telah memberitahukan aku bahwa ia baru mendapatkan empat orang penggantinya. Sekarang ia lagi mencari lima orang sekurang-kurangnya."
Mereka berhenti di ujung Haike Road, habis membayar sewaan kereta, mereka berjalan kaki tiga-empat lie untuk sampai di jembatan batu.
"Inilah jembatannya..." kata Hoe Gan.
"Aku tahu jembatan ini," sahut A Poan. "Bersama-sama Tuan To aku turut sendiri memeriksa perkara bunuh diri empat korban air yang terdahulu itu. "
Mereka jalan terus, sampai di ujung jembatan sebelah timur. Tiba-tiba Hoe Gan berseru tertahan.
" A Poan, lihat kuburan itu!" serunya sambil menunjuk.
Di tepi jalan, antara rumpun rumput, ada sebuah kuburan dengan bengkung baru serta baru nisannya berukiran kata-kata, "Tong Soat Koan". Di bawah itu, dengan huruf-huruf halus, ada tahunnya, "1944, musim dingin"
"Benar-benar cocok! Dia memang mati pada tiga setengah tahun yang lalu!"
"Dimana hidupnya, orang macam apakah dia" "
"Cuma Tuhan yang tahu!"
" Apakah kamu datang untuk menyambangi kuburan" "
Itulah pertanyaan tiba-tiba, yang datangnya dari belakang mereka.
Hoe Gan kaget, lantas ia mengangkat kaki, untuk pergi lari. Tapi A Poan menahannya. Setelah mereka menoleh, mereka melihat seorang desa umur lima puluh, yang memikul dua buah keranjang sayuran yang kosong. Dia itu berdiri di sisi jalan.
"Bukan," sahut A Poan. "Apakah kau penduduk sini" "
"Ya," sahut orang tua itu. "Aku tinggal di sana, dua lie jauhnya dari jembatan ini. Sudah beberapa puluh tahun aku tinggal di sana. Tempat ini dipanggil Tsing-shih Chiao."
"Tahukah kau kuburan ini kuburan siapa" " A Poan tanya.
"Kenapa tidak" Tong Soat Koan menjadi gundiknya Touw Eng Djin. Dia tak tahan siksaan madunya, dia membuang diri ke kali ini sampai mati. Di sebelah barat sana ada villanya Touw Eng Djin, itulah tempat menyimpan nona-nona manis. Semasa hidupnya, Tong Soat Koan tinggal di sana..."
"Touw Eng Djin hartawan hidung belang, dia telah mati satu tahun yang lalu."
"Benar. Katanya dia mati masuk angin. Sejak matinya Tong Soat Koan, villanya itu kosong terus, cuma dijaga oleh seorang bujang tua, si A Wong."
"Apakah di sini atau dekat-dekatnya tidak pernah terjadi sesuatu yang aneh" " Hoe Gan tanya.
"Apakah tuan maksudkan kejadian yang berhubungan dengan Tong Soat Koan" Katanya ada yang pernah melihat diwaktu malam seorang nona dengan mengenakan chipao dengan gigi balang putih berdiri menangis di sisi jembatan dan yang lainnya menemukan di villa sana, seorang nona menangis di jendela..."
"Terima kasih," kata A Poan. "Villa itu toh jauh dari sini, bukan" Ingin aku menemui A Wong, untuk bicara sebentar dengannya."
"Cuma dua lie dari sini, tuan," kata si orang tani.
A Poan mengangguk. Ia berlalu dengan mengajak sahabatnya.
Villa itu, tempat menyimpan si cantik manis, terletak dalam sebidang tanah luas kira-kira satu bau, bangunannya indah, cuma sekarang sudah tidak terawat betul.
Lama A Poan berdua Hoe Gan mengetuk pintu, baru muncullah seorang tua yang sudah melengkung punggungnya.
"Kaukah A Wong penunggu rumah ini" "
"Kamu datang buat urusan apa" "
"Kami ingin minta sedikit keterangan mengenai Tong Soat Koan."
"Dia sudah mati tiga setengah tahun yang lalu. Apa yang perlu diterangkan lagi" "
Nampak orang tua itu heran.
"Kami tahu dia telah mati. Hanya kami ingin ketahui sesuatu mengenai hal-hal semasa hidupnya dan tentang kematiannya itu."
"Siapakah kamu" "
A Poan perlihatkan tanda kepangkatannya.
"Oh, orang polisi! Silahkan masuk!"
A Poan bersama Hoe Gan masuk ke dalam, terus ke ruang yang ditinggali A Wong, yang sempit. Seluruh rumah menyatakan gedung itu sudah lama kosong.
"Perkara bunuh diri itu sudah berjalan tiga tahun setengah, kenapa baru sekarang diperiksa" " tanya A Wong, romannya heran dan sedikit mendongkol. "Sejak dia bunuh diri, setiap hari aku berharap-harap datangnya orang polisi untuk memeriksanya, tetapi aku menanti dengan sia-sia belaka. Sebenarnya aku penasaran mengenai kematiannya nona itu. Rupanya polisi takuti Touw Eng Djin seperti dia melihat ular maka polisi seperti tidak mendengar dan melihat!"
"Apakah kamu bersanak dengan Tong Soat Koan" " tanya A Poan.
"Aku bujangnya Keluarga Touw dan dia budak perempuannya. Dia sebatangkara, dari itu aku ambil dia sebagai anakku. Dalam usia dua puluh tahun, bukan saja dia cerdas, dia pun elok sekali. Lantas dia menarik perhatiannya Touw Eng Djin dan dipaksa jadi gundik, dikeram di dalam gedung ini. Belum setengah tahun, perbuatan serong Touw Eng Djin diketahui Kiang Kiauw Tin, isterinya. Pada suatu hari, bersama orang-orangnya, Kiang Kiauw Tin datang kemari. Soat Koan ditangkap dan diikat, lalu digantung dan dipukuli. Masih Kiauw Tin tidak puas, dia menyuruh orangnya menjirat lehernya Soat Koan sampai mati. Syukur itu waktu datang seorang gundalnya Eng Djin, maka Soat Koan ketolongan. Leher Soat Koan bercacad, bertanda bekas jiratan itu. Malam itu juga, saking putus asa, dia pergi membuang diri ke kali sampai mati. selang dua tahun setengah, Touw Eng Djin mati terkena angin jahat. Kiauw Tin lantas mengangkangi warisan suaminya itu. Kabarnya, didalam satu tahun, dia telah menghabiskan warisan itu, sampai dia menjual rumah pribadinya, yang uangnya habis dipakai spekulasi."
"Habis bagaimana dengan villa ini" "
"Villa jatuh kedalam tangannya Touw Siang Lim, keponakannya Touw Eng Djin. Anak itu lagi bersekolah di lain tempat, maka sekarang aku yang mengurus villa ini."
"Kau masih ingat atau tidak, waktu Soat Koan membuang diri, dia pakai baju apa" "
Orang tua itu berpikir sejenak.
"Kalau tidak salah itulah chipao hitam dengan gigi balang sutera putih perak dan memakai giwang permata hitam putih.
Semasa hidupnya dia paling gemar mengenakan chipao hitam bergigi-balang putih atau putih perak itu dan rambutnya sengaja dipiara panjang, digelung merupakan huruf S."
"Dapatkah kau melukiskan romannya" " A Poan tanya pula.
"Mukanya potongan biji kwacie, pipi kirinya ada tai lalatnya kecil dan di ujung-ujung mulut kanan ada tai lalat yang besar. Karena dia sangat cantik, dia menggiurkan hatinya si hartawan jahat, sampai akhirnya dia menerima kematiannya yang menyedihkan itu. Sebenarnya Kiang Kiauw Tin bukan cuma menganiaya Tong Soat Koan. Dia pernah menyiksa banyak budak lainnya, sampai satu diantaranya, Tjoei Go, saking tak tahan, telah mati menggantung diri di dalam kamar mandi. Apakah tuan-tuan hendak membelai Soat Koan dan Tjoei Go" "
"Mungkin..." sahut A Poan, ragu-ragu.
"Jikalau benar tuan-tuan hendak membelai, dapat kamu minta keterangan jelas dari Tan Tek Seng, bekas tukang uangnya Touw Eng Djin..."
"Tan Tek Seng" " kata Hoe Gan. "Rasanya nama itu aku kenal..."
"Bagus kalau tuan kenal 'Fan Tek Seng. Rumahnya Kiang Kiauw Tin dijual padanya, tapi kemudian, dia menjualnya pula kepada enam saudara Lie, katanya rumah itu tidak aman..."
"Eh, ya... bukankah di samping rumahnya Kiang Kiauw Tin ada lapangan tenisnya yang persegi panjang dan lebar" "
"Benar. Di bagian bawah rumah itu ada kamarnya yang besar. Di tingkat kedua dan ketiga, masing-masing ada tiga buah kamarnya, dan setiap kamar ada kamar mandinya..."
A Poan melirik Hoe Gan. "Celaka!" kata si pemuda. "Kami membeli rumah dari tangan Tan Tek Seng, kiranya itulah rumahnya Kiang Kiauw Tin."
Terus dia tanya A Wong, "Tadi kau bilang Tjoei Go mati menggantung diri. Adakah itu di kamar mandi tingkat dua atau tingkat tiga" "
"Tingkat tiga."
"Oh, Tuhan...!"
Sekarang A Poan merasa bahwa keterangannya Hoe Gan bukan karangan belaka.
Hoe Gan pun lantas kata, "A Poan, kau sekarang tentu percaya bahwa aku bukan lagi berkhayal. Celakanya", sekarang muncul lain soal... Di dalam kamarku itu ada lagi setan yang menggantung diri... Kalau setannya Tjoei Go muncul seperti setannya Soat Koan..."
"Hal itu jangan kau percaya seluruhnya, meski benar tak dapat kau tidak percaya sama sekali." A Poan memberi nasihat.


Hartanya Penghianat Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia mengangkat pundak. "Baik kau jangan bergelisah, jangan bingung tidak keruan.
Tidak semua setan penggantungan dapat munculkan dirinya.
Berlebihan jikalau kau takut tidak keruan. Mau atau tidak aku antar kau pulang" "
"Tidak, tak usah, A Poan. Aku dapat pulang sendiri.
Cuma aku minta, jangan kau beritahukan hal ini kepada lima kakakku itu. Mereka pasti tidak akan mau percaya bahkan munakin mereka akan tertawakan atau menegur aku! Jadi ada o lebih baik buat membiarkan mereka tidak mendapat tahu!"
A Poan mengangguk. Setelah itu ia pulang ke kantornya.
Hoe Gan pulang dengan hatinya tidak tenteram.
**dw** Lewat satu minggu, rumahnya Hoe Gan tenang saja. Ia pun tetap setiap malam pergi ke Venus Dancing hall, diwaktu pulangnya, tak pernah ia bertemu pula dengan si setan air yang cantik. Maka itu, lambat laun hatinya tenang pula.
Pada malam kedelapan, seperti biasa, Hoe Gan berada di dalam Dancing hall. Tak jauh dari mejanya, ada berduduk seorang pria setengah tua yang tubuhnya gemuk. Ia merasa seperti kenal orang itu tetapi tidak ingat. Ketika ia mengawasi, orang itu bersenyum dan mengangguk kepadanya.
Bersenyum dan mengangguk itu bukti dari perkenalan.
Maka Hoe Gan berpikir keras. Sekian lama ia memeras otak, akhirnya ia ingat juga. Itulah Liok Djin Kiat, sahabatnya Tan Tek Seng.
Orang itulah perantara waktu pembelian rumahnya Touw Eng Djin. Karena itu, di benak otaknya, muncul pula hal Tjoei Go mati menggantung diri di kamar mandi itu. Tiba-tiba timbul keinginannya buat mencari tahu. Tidak ayal lagi, ia berbangkit menghampirkan orang itu.
"Masihkah kau mengenali aku" " sapanya.
"Rasanya aku kenal..." sahut Djin Kiat sambil berpikir.
"Oh, ya, ya. Dengan beberapa saudaramu, sering aku bertemu, tetapi dengan kau, tuan, baru satu atau dua kali. Maaf, aku tidak lantas ingat kau. Silahkan duduk!"
"Terima kasih!"
Hoe Gan mengambil kursi. Segera juga mereka mulai memasang omong, sampai kemudian, pemuda ini menggeser persoalan.
"Tuan Liok, tahukah kau bahwa di rumah yang kami diarni itu pernah terjadi peristiwa menggantung diri" " tanya dia.
Djin Kiat mengangguk. "Benar," sahutnya. "Tapi itu toh tak ada artinya, bukan"
Bukankah tuan semua senang tinggal di sana" "
"Ya." "Bagus!" "Hanya aku dengar, ketika Tan Tek Seng tinggal di sana, dia tidak merasa tenteram. Itulah sebabnya kenapa dia jual rumahnya itu..."
"Kau sendiri enak tinggal di sana, buat apa kau pikirkan Tek Seng senang atau tidak" "
"Tapi, tapi, aku tahu, tak senang Tek Seng tinggal di sana..."
"Kau tidak tahu sebabnya, buat apa kau pikirkan" Jangan kau mengacau diri sendiri."
Agaknya tak ingin Djin Kiat menuturkan sebab tak tenteram hatinya Tek Seng itu.
"Tuan Liok, aku minta kau suka menutur sedikit," Hoe Gan meminta. "Aku ingin ketahui apa yang dulu telah terjadi di rumah itu..."
"Jikalau kau menghendaki juga, nanti aku jelaskan sedikit. Itu sebabnya tidak aneh. Tek Seng yang bercerita sendiri kepadaku. Sering diwaktu malam yang sunyi, ia terjaga dari tidurnya sebab tiba-tiba ia dikejutkan tangisan yang menyedihkan, atau ia mendengar suitan lagu 'Keluarga yang berbahagia' yang datangnya dari kamar mandi. Pada suatu malam ia pergi ke kamar mandi itu, ia tidak melihat orang, hanya cuma bersilir angin yang dingin, yang mendatangkan rasa mengkirik. Ia ingat, semasa hidupnya Tjoei Go, pernah nona itu memberikan dia nyanyian itu. Selagi senggang, Tjoei Go sendiri suka melagukannya. Karena itu, lama-lama Tek Seng menjadi tidak tenang sendirinya. Sampai sebegitu jauh, dia terpaksa berdiam di rumahnya itu..."
"Itu artinya, setannya Tjoei Go suka muncul di dalam rumah itu..." kata Hoe Gan, yang terus merasa tidak enak hati.
Djin Kiat melihat roman orang.
"Pikiranmu sama dengan pikiran Tek Seng, tuan," katanya.
"Aku menganggapnya lain. Tidak heran kalau Tek Seng suka ingat Tjoei Go. Ia kenal nona itu dan bergaul erat dengannya, setelah mengingatnya diwaktu jauh malam nan sunyi. Sebenarnya Tek Seng berkhayal, ia menyusahkan dirinya sendiri!"
"Apakah ada lain peristiwa lagi selain itu" "
"Cuma inilah apa yang aku ketahui."
"Pernahkah kau bertemu dengan Tjoei Go" "
"Satu atau dua kali. Dia berkulit hitam dan rabit mukanya. Tuan, kaulah anak muda, kau terpelajar, jangan percaya segala takhayul, atau kau bakal menyusahkan dirimu sendiri!"
"Ya, Ya," sahut Hoe Gan, yang tak mau menentang. Ia percaya ada setan ataupun malaikat, kalau tidak, tidak nanti orang yang sudah mati tiga tahun yang lalu telah muncul dan mau menyeretnya nyebur kekali!
Malam itu, Hoe Gan pergi ke tempat dansa, sepulangnya, ia masuk ke kamar tidurnya. untuk mengunci pintu, untuk memasang palangnya, hingga sekalipun dengan anak kunci, orang dari luar tak akan dapat membukanya.
Masih ia belum puas, ia mengganjal lebih jauh dengan sebuah meja dan dua buah kursi. Walau pun begitu, waktu ia sudah merebahkan diri di atas pembaringannya, meski juga ia sudah kantuk sekali, tidak dapat ia lekas-lekas tidur pulas.
Ia ingat lakonnya dikejar-kejar setannya Soat Koan, ia ingat juga keterangannya Djin Kiat tentang setannya Tjoei Go bcrsiul...
Kamar tidur pemuda ini berada di tingkat ketiga di sebelah utara. Kamar mandinya di sisi kamar tidur itu, terpisah hanya dengan sebuah gang. Sungguh hebat kalau Tjoei Go datang ke kamarnya itu!
Dapatkah Tjoei Go memasuki kamarnya"
" Ah, tidak!" pikirnya.
Kamar sudah dikunci, dipalang dan diganjal.
Baru ia berpikir begitu, yang menenangkannya, atau dilain detik, goncang pula hatinya. Tiba-tiba ia ingat, setan itu dapat datang dan pergi tanpa terlihat, tanpa bekas, tak ada sesuatu yang dapat menghalanginya...
Dari tak tenang hati, lama-lama Hoe Gan menjadi berkuatir. Menyusul itu, ia seperti mendengar siulan, mulanya jauh, lalu mendekati. Hatinya berdebaran. Ia mengenali, itulah lagu "Keluarga yang berbahagia"
Selagi memandang ke jendela, ia melihat di kusen jendela, yang berlapis berkaca, ada dua buah sepatu sulam, bergerak mundar mandir. Tak tampak betis atau kakinya. Inilah sepasang sepatu wanita. Tiba-tiba tubuhnya bergemetar. Adakah itu khayal" Apakah penglihatannya kabur" Ia ingat Tjoei Go...
Hanya sebentar, lenyaplah sepatu itu tak terdengar siulan tadi.
Ia menarik lacinya meja kecil. Di situ ada satu peles obat tidur, ia keluarkan sebutir dan menelannya. Dengan pengaruhnya obat tidur itu, akhirnya ia tidak ingat apa-apa lagi. Ia tidur nyenyak sekali.
Besoknya, ia mendusin sesudah jauh pagi. Ia mendapatkan segala apa tenang seperti biasa. Lantas ia ingat kejadian semalam. Adakah ia bukan dipengaruhkan rasa takutnya sendiri"
Malamnya, seperti biasa, Hoe Gan pergi ke tempat dansa, guna menghabiskan waktunya yang luang. Seperti biasa juga, ia berjalan pulang tengah malam, kira-kira jam satu. Ia membekal anak kunci, maka ia membuka pintu sendiri. Secara diam-diam ia terus masuk ke dalam.
Diwaktu begitu, semua penghuni rumah sudah tidur. Ia tidak mau ganggu mereka. Ia pun tidak ingin pulangnya diketahui beberapa saudaranya, yang tabiatnya berlainan darinya. Di dalam gelap, ia bertindak naik tangga. Ringan tindakannya.
Tiba di tingkat ketiga, ia menjadi heran. Ia merasa tangannya, yang dipakai berpegangan pada loneng tangga mengenakan sesuatu yang kotor.
Dengan mendongkol ia mencaci dalam hati, "Dasar bujang malas, loneng sampai tidak dibersihkan!"
Cacian saja tidak menolong. Ia mesti pergi ke kamar mandi, untuk mencuci tangannya. Begitu ia memikir buat pergi ke kamar mandi, begitu ia ingat urusan Tjoei Go yang menggantung diri. Segera juga, secara tiba-tiba, hatinya menjadi tidak tenang.
"Tolol!" ia menegur dirinya sendiri. Ia membesarkan hati, dengan perlahan, ia menuju ke kamar mandi. Ia pikir, kalau ada sesuatu, ia dapat pergi lari...
Di depan pintu kamar mandi, ia memasang telinga. Tidak ada siulan. Dengan perlahan ia menolak daun pintu. Kamar itu gelap. Tiba-tiba ia melihat samar-samar dari bergeraknya satu bayangan orang.
"Jangan tolol!" ia menegur dirinya sendiri, dalam hatinya.
Maka ia meluncurkan tangannya ke sisi pintu, guna memencet kenop listrik.
Begitu api menyala Hoe Gan melihat sesuatu yang mengagetkan dan menakutkan padanya. Di hadapannya tampak tubuh seorang lagi bergelantungan. Orang itu berambut kusut, bajunya kuning, celananya panjang, sepatunya belang. Itulah seorang wanita yang berkulit hitam, yang mukanya bertanda bekas penyakit cacar! Dan dia lagi tergantung!
Saking kaget, Hoe Gan berdiri menjublak. Tak dapat ia berteriak, tak bisa ia lari. Matanya mengawasi tubuh yang menggantung diri itu. Hanya sedetik ia berpikir, ia keliru melihat, matanya kabur, atau ia lagi berkhayal..."
Selagi mengawasi itu, ia melihat Tjoei Go turun dari penggantungan. Leher, atau kepalanya, lolos dari tambang gantungan, tubuhnya melompat turun. Dia menggapai, dia menunjuk tambang gantungannya itu. Dia seperti menyuruh ia pun naik di tambang itu untuk menggantung dirinya...
Hanya secara tiba-tiba saja, Hoe Gan menggerakkan tubuh berbalik dan lari. Ia lari masuk ke kamarnya sendiri, , segera menutup'pintu dan menguncinya, ia memalangnya dan mengganjal juga dengan meja dan kursi, seperti malam tadi.
Setelah itu, ia berdiam diri. Ia mencoba menggunai otaknya.
Dengan tangannya, ia menyeka peluh di dahinya. Baru setelah itu, ia menekan kenop listrik. Tapi, begitu api listrik
menyala, hingga kamarnya jadi terang, kembali ia kaget, lagi-ia menjublak semangatnya terbang.
Duduk diatas pembaringannya adalah Si budak perempuan Tjoei Go dengan baju kuning dan celana panjangnya!
"Oh, Tuhan!" serunya. Ia tidak mengerti, kenapa Tjoei Go dapat mendahului ia masuk kedalam kamarnya. Ia tidak lagi menjublak lama seperti di kamar mandi tadi. Lantas ia periksa pintu kamar. Pintu tetap terkunci dan terganjal, hingga ialah yang sekarang terhalang untuk lari keluar...
Tapi ia memaksa, akhirnya ia keluar juga. Ia lari turun di tangga lauwteng. Selagi mendekati tingkat kedua, di sana, pada lonengnya tangga, telah menanti si budak yang tadi menggantung diri itu, kulitnya hitam, bajunya kuning, celananya panjang!
Tanpa merasa, ia berteriak. Lantas ia lari balik lagi ke atas.
Segera ia sampai di depan kamarnya Lie Hoe Tie, kakaknya yang nomor empat.
Hoe Tie, yang sedang tidur nyenyak bersama isterinya, terjaga dengan kaget sekali. Itulah sebab pintu kamarnya digedor dengan sangat keras. Ia lompat bangun sambil menyambut bajunya, untuk dipakai. Dengan sama cepatnya, ia membuka pintu.
"Eh, kau, adikku!" serunya. "Tengah malam begini kau mengetuk pintu, kau mau apa" "
Suara kakak ini separuh menegur atau menyesalkan.
Ketika itu muncul juga kakaknya yang nomor tiga, disusul kakaknya yang paling tua, yang nomor dua dan
yang nomor lima, bersama masing-masing isterinya. Mereka itu terjaga karena berisiknya gedoran pintu itu.
Semua saudara itu lantas menanya si adik ada urusan apa.
"Tjoei Go perlihatkan diri..." kata Hoe Gan bingung.
"Tjoei Go" Tjoei Go siapa" "
"Tjoei Go, budak yang mati gantung diri... Dia menggantung diri di kamar mandi, dia memegat aku di tangga lauwteng, dia duduk bercokol di atas pembaringanku..."
Semua saudara itu heran. Hoe Djin dan Hoe Cie, kakak-pertama dan kedua, lantas lari ke tangga tingkat dua dan pertama, untuk memeriksa. Hoe Lee dan Hoe Tie lari masing-ke kamar mandi dan kamarnya Hoe Gan, untuk memeriksa juga. Sebaliknya, keempat ipar, atau enso itu, menanyakan si encek, atau paman, sebenarnya telah terjadi apa.
Hoe Sin, si kakak nomor lima, berdiri diam saja.
Tidak lama, maka keempat kakak itu sudah kembali, muka mereka merah, pertanda hati mereka panas.
"Di kamar mandi tidak ada tambang penggantungan, tidak ada setan yang mengganh.:lng diri!"
"Di dalam kamarmu juga tidak ada setan yang mati gantung diri!" suara mereka itu, keras demikian.
"Di tingkat kedua dan terbawah tidak ada setan ataupun penjahat!" kata si kakak tertua. "Sebenarnya kau melihat apa" Di dalam dunia ini dimana ada setan" Rupanya sengaja kau mengacau!"
Hoe Gan menetapkan hatinya.
"Benar-benar aku melihatnya," katanya, "di kamar mandi, di tangga dan di dalam kamarku..."
"Kalau begitu, pergi kau lihat sendiri!" kata Hoe Djin dan Hoe Ci, mendongkol.
"Tidak. Dia menantikan aku di sana..." Adik ini takut.
Beberapa saudara itu penasaran.
"Mari!" katanya. Separuh direjang, adik ini dibawa ke kamar mandi. Kamar mandi itu kosong, tidak ada setannya, tidak ada tambang penggantungannya. Di tangga pun tidak, demikian juga di dalam kamar tidur.
"Mana si setan" " bentak kakak yang paling tua. Dia memang keras sikapnya, sebagai ayah saja.
"Aku... aku..."
Tidak dapat sang adik bicara terus. Hanya ia ingat, dengan tangannya pernah ia menyeka dahinya. Tentu dahi itu kotor pikirnya.
Sang kakak pun kata, "Lekas pergi cuci mukamu, habis itu, kau tidurlah! Lain kali, jangan kau mengacau pula!"
III Nona Ouw A duduk tenang sekali di kepala sebuah perahu kecil. Ia mengenakan baju pendek dan celana panjang, sabuk dan sepatu, yang semuanya berwarna hitam, hingga ia nampak gelap seluruhnya. Ia duduk sambil memandang keindahan sang alam. Di sisinya terletak sebuah kopor kulit besar serta sebuah kantung terpal peranti piknik.
Ketika gurunya, yaitu nyonya tua Louw Kioe Ma menderita sakit dan keadaannya sudah berat sekali, guru itu
telah menulis sepucuk surat untuk In Hong yang berada di Shanghai.
Dia memesan muridnya, Ouw A, bahwa setelah dia menutup mata, Ouw A mesti membawa surat untuk In Hong itu. Ouw A dipesan untuk membantu In Hong melakukan segala apa untuk kebaikan masyarakat dan bahwa ia mesti membantu dengan sungguh-sungguh, bahwa ia mesti dengar kata terhadap kakak seperguruan itu.
Sekarang guru itu telah meninggal dunia, maka ia mentaati pesan, berlayar ke Shanghai. Dari dusun Louw Kee Tjoen di Peiling, ia naik perahu kecil ke Chungking, dari sini baru ia akan naik pesawat terbang. Banyak pesan gurunya dan ia mengingatnya baik-baik.
Ouw A bebal, ilmu silatnya tak semahir In Hong dan Kat Po, akan tetapi ia bertenaga besar sekali, surup dengan tubuhnya yang tinggi dan besar. Ia pun berkulit hitam, hingga tak ada sifatnya perempuan. Ia mempunyai potongan muka persegi panjang, hidungnya lebar, telinganya besar, bibirnya tebal. Sepasang matanya, yang besar, tak bercahaya jeli. Ia kuat dahar. Ketika tukang perahu menyuguhkan ia makanan buat dua kali, ia menghabisinya sekali sarapan!
Pada suatu hari perahu singgah di sebuah tempat. Awak perahu membawa uang untuk berbelanja. Dia mendarat.
"Sudah sampai di Chungking" " Ouw A tanya.
"Belum, belum sampai," sahut awak perahu. "Aku mau mendarat untuk membeli bahan barang makanan. Kau tunggu di sini, jagai barangmu sekalian menjagai perahuku ini, supaya jangan ada yang curi!"
"Nah, kau pergilah! Akan aku duduk nantikan. Siapa berani mencuri" "
Benar-benar nona ini duduk mematung, menjagai barang dan perahu. Tidak lama maka datanglah seorang dengan usia setengah tua, yang berbaju biru.
"Nona she apa" " tanya dia, ramah. Dia berdiri di tepian.
"Aku Ouw A dari Peiling," sahut si nona, hormat. "Kau" "
"Aku she Ma," sahut orang itu.
"Nona mau pergi ke Chungking" "
"Ya. Dari Chungking terus ke Shanghai."
"Bagus, bagus! Rupanya nona baru pertama kali ini membuat perjalanan" Nona harus berhati-hati. Dalam pelayaran ini ada banyak orang jahat, lebih-lebih di setiap pelabuhan disaat perahu singgah!"
"Aku duduk di perahuku, menjaga!" kata Ouw A. "Tak nanti penjahat berani mencuri barangku!" Ia tertawa.
"Tapi aku telah menyaksikan satu pencurian, kemarin!" kata orang itu. "Sebuah perahu berlabuh di sini, pemiliknya duduk menjaga seperti kau, tetapi penjahat toh bekerja tanpa ketahuan! Maka itu, nona, kau harus waspada."
"Heran! Pemilik itu menjaga, kenapa dia toh kecurian."
"Jikalau nona tidak percaya, akan aku beri contohnya," kata orang she Ma itu.
"Nah, kau cobalah!" kata Ouw A, tak percaya. Toh ia ketarik hati.
"Pencuri itu menjejak tanah, lantas tubuhnya mencelat ke perahu," kata orang itu, mulai bercerita dan dia benar-benar mencelat ke perahu Nona Ouw. "Lantas dengan cara begini dia mengambil barangnya si pemilik..."
Dia pun memegang kopor besar dan kain terpalnya Ouw A.
"Habis itu, dia menjejak perahu, dia mencelat kembali ke darat."
Dan dia pun melompat ke tepian, untuk segera berkata pula, "dan dengan cara begini, penjahat itu pergi lari!"
Dan larilah dia! "Hahaha...!" Ouw A tertawa. Ia duduk tak bergerak ia merasa lucu sekali. "Kenapa peilik itu demikian tolol" "
Justeru itu, awak perahu telah kembali.
"Eh, Nona Ouw, mana barang-barangmu" " tanya dia, heran. "Ada seorang setengah tua yang lagi mempertunjuki caranya orang jahat mencuri barang," sahut Ouw A. "Dia telah membawa barang-barangku. Sebentar dia akan kembali."
Awak perahu itu heran sekali.
"Bagaimanakah duduknya hal" " tanyanya, menegaskan.
Ouw A memberikan penuturannya sejak semula si orang setengah tua datang padanya, untuk "dengan hati" memberi nasihat padanya.
"Oh, nona!" berseru di anak perahu. "Kau kena tipu! Dialah si penjahat sendiri! Ah, kenapa kau kasi barangmu dibawa pergi" "
"Apa" Dia pencuri" " tanya Ouw A, kaget. "Nanti aku susul!"
"Kemana nona mau menyusul dia" Dia toh sudah tak nampak sekali pun bayangannya!"
Awak perahu itu mengeleng-gelengkan kepala.
"Habis bagaimana" " tanya si nona, melongo.
"Bagaimana lagi" Nona harus menyesali diri sendiri apes..."
"Ya, aku apes... Tapi koperku itu terisi pakaianku, tak dapat dia pakai, dia curi juga percuma! Syukur uangku ada di sakuku."
"Syukur!" kata si tukang perahu, yang terus berkemas, untuk mulai berlayar pula.
Tidak ada gangguan lagi buat Ouw A. Ia tiba di Chungking, terus naik pesawat terbang, yang membawanya ke Shanghai, dari mana sebuah kereta roda tiga mengantarkannya ke Hung-yao Road, ke rumahnya In Hong.
Tepat itu waktu, Kat Po lagi mundar mandir di dalam pekarangan rumah.
"Eh, Kat Po!" panggilnya. "Aku datang!"
Kat Po lagi melatih kakinya, yang belum sembuh seluruhnya habis ia jatuh dari gunung (sebagaimana dituturkan dalam cerita "Serba Hijau"). Kadang-kadang ia merasa ngilu terutama disaat hawa udara demak atau dingin. Atas panggilan, ia segera menoleh.
"Oh, kau, Ouw A!" serunya. "Kau datang" " Ia lantas membukai pintu pekarangan, untuk menuntun adik seperguruan itu masuk kedalam.
"Encie Oey Eng!" Ouw A memanggil, keras. " Aku datang!"
"Jangan memanggil Oey Eng," kata Kat Po. "Itu kurang sedap didengarnya. Kau panggil dia In Hong."
"Memangnya dia bukan encie Oey Eng" " tanya Ouw A, tak puas.
"Di sini lain, kau tahu. Kau mesti panggil dia In Hong.
Kau tahu tidak" "
"Tidak!" "Sudah, Kat Po!" tiba-tiba In Hong muncul. "Belakangan saja kau kasi dia mengarti... Ouw A, hayo duduk!"
"Duduklah di sofa itu," kata Kat Po.
Baru saja Ouw A berduduk, atau ia sudah berjingkrak bangun.
"Tak mau aku duduk di kursi ini!" katanya. "Dia dapat menelan aku!"
"Ini bukannya kursi, hanya sofa," Kat Po mengasi keterangan. "Di bawahnya ada pernya, yang bisa melesak dan membal. Kau duduklah, jangan takut, kau tak akan ditelan!"
"Ouw A, suhukah yang menyuruh kau datang kemari" "
In Hong tanya. "Ya," sahut Ouw A singkat.
" Apakah suhu baik" " In Hong tanya pula.
"Tidak!" sahutnya, tetap singkat.
"Kalau tidak, kenapa kau tinggalkan" " tanya Kat Po.
"Suhu telah meninggal dunia..."
"Oh!" seru In Hong, juga Kat Po. Bukan main mereka terkejut. Mereka jadi sangat berduka.
"Mari kita mengheningkan cipta tiga menit," kata In Hong kemudian, suaranya perlahan.
Maka berdiri diamlah mereka selama beberapa menit itu.
Disaat mereka habis menyatakan kedukaannya itu, selagi mereka mulai bicara pula, muncullah Hiang Kat, yang baru pulang. Maka nona itu lantas menemui saudara yang baru datang dari Peiling.
"Ouw A, ada pesan apa dari suhu untuk kami" " tanya In Hong kemudian.
Ouw A merogo sakunya mengeluarkan sesampul surat.
"Pesan suhu berada dalam suratnya ini," sahutnya. "Suhu kata aku tolol mirip kerbau hingga aku tidak dapat bicara banyak untuk menyampaikan kata-katanya..."
Mau atau tidak, In Hong bertiga bersenyum. Tapi hanya sebentar, mereka lantas berdiam pula.
Kat Po yang membacanya surat gurunya.
Pesannya Louw Kioe Ma tidak banyak tetapi penting. Itulah anjuran supaya murid-muridnya tetap menjadi hamba masyarakat. Terutama supaya In Hong semua memperhatikan Ouw A, si soemoay, atau adik seperguruan, yang tolol itu.
"Dalam suratnya ini, suhu bilang kau membawa dua rupa barang," kata In Hong, "kenapa sekarang kau berlenggang kangkung" Mana barang-barangmu itu" "
"Selama di dalam perahu, orang telah curi....
"Bagaimana itu terjadinya" "
Ouw A memberikan keterangannya.
Mau atau tidak, Kat Po dan Hiang Kat tertawa. Cuma In Hong, yang tetap tenang.
"Nanti aku pergi membeli cita, untuk membuatkan kau pakaian," kata Kat Po kemudian.
Semua saudara itu mendongkol terhadap si penipu tetapi mereka merasa lucu juga. Itulah bukti bodohnya saudara seperguruan In!.
Selang beberapa hari, diwaktu pagi, In Hong mendapat kunjungan dua orang tetamu. Merekalah Detektip To Tjie An bersama pembantunya, si terokmok A Poan.
"Nona In," berkata detektip gemuk itu, "jikalau kau mempunyai kegembiraanmu, suka aku memberitahukan kau bahwa telah terjadi pula satu perkara yang menarik hati, yang menantikan usahamu untuk membikin menjadi terang! Perkara aneh sekali!"
"Bagaimana anehnya itu, sahabatku" " In Hong tanya.
"Di ujung Haike Road, beberapa lie jauhnya," sahut A Poan, ada sebuah jembatan model kuno, yang penduduk setempat menyebutnya jembatan Tsing-shih, selama setengah tahun ini, sudah terjadi perkara jiwa dengan jalan menerjunkan diri ke dalam kali di situ..."
"Bagaimana kau ketahui itulah perkara membuang diri" " In Hong memotong.
"Itulah karena Tuan To yang menduganya," sahut A Poan. "Dan pagi ini di sana sudah terdapat mayatnya seorang setengah tua yang gemuk. Perkara itu disampaikan ke pusat oleh polisi setempat, yang bicara dengan telepon. Segera kami, yaitu Tuan To dan aku, pergi melakukan pemeriksaan. Menurut penglihatan kami, itulah perkara mati kelelap, yang sama sifatnya seperti empat perkara yang terdahulu. Kami mendapatkan sakunya si korban kosong, sampai namanya pun tidak ada..."
"Jadi keadaan mayat sama seperti empat peristiwa yang lain" "
"Ya." "Bagaimana tentang yang empat itu" "
"Keempat korban ketahuan siapa sesudah berselang heberapa hari. Itulah keluarga mereka datang melapor sanaknya lenyap. Kami tunjukan mereka itu keempat mayat. Dua korban yang pertama, anak-anak muda usia lebih kurang dua lima tahun, menjadi anak-anak muda hartawan yang biasa berkeluyuran di tempat-tempat dansa. Korban ketiga, usianya belum dua puluh tahun, menjadi pegawainya seorang tuan tanah. Korban keempat ialah keponakannya seorang saudagar obat-obatan, usianya kira-kira tiga puluh tahun. Katanya mereka itu, sebelum mereka membuang diri ke sungai, telah ada seorang wanita yang meneleponnya mengajak mereka keluar untuk jalan-jalan..."
"Tahukah keluarga mereka siapa wanita yang menelepon itu" "
"Tidak. Mereka mengatakan begitu sesudah mereka mengingat-ingat, rasanya ada seorang perempuan yang menelepon korban itu masing-masing."
"Jikalau begitu," kata In Hong, "si pemegang peranan ialah si wanita yang bicara di telepon itu, yang belum ketahuan siapa."
"Ya, nona. Mestinya dialah seorang wanita yang cantik sekali..."
"Jadi mayat tadi menjadi korban yang kelima. Apa kata pemeriksaan tabib" "
"Katanya paru-paru mereka mengandung air yang ada lumpurnya. Tidak ada lukanya sama sekali. Karena itu, mereka dianggap mati kelelap. Tentang mayat yang kelima ini, tabib belum memeriksanya."
"Jadinya, Tuan To, sebagai kesudahannya pemeriksaan yang sederhana itu kau mengambil kesimpulan orang membunuh diri dengan jalan terjun ke sungai" "
"Memang, pemeriksaan mayat sampai pembedahan padanya itu sudah cukup guna menarik kesimpulan." Detektip To Tjie An memastikan.
Selagi mereka bicara di ruang tamu, Hiang Kat dan Ouw A lagi bekerja di dapur. Ouw A ingin ketahui, siapa kedua tetamu itu, ia minta keterangan dari Hiang Kat.
Maka Hiang Kat memberitahukan hal Tjie An dan A Poan sekalian menutur tentang segala sesuatu mengenai kedua orang polisi rahasia itu.
Dari keterangan itu, otak sederhana dari Ouw A menarik kesimpulan, A Poan itu baik dan Tjie An buruk. Lalu tanpa berkata apa-apa, ia ngeloyor keluar.
"Eh, Ouw A, mau pergi kemanakah kau" " Hiang Kat lanya.
"Suhu menyuruh aku membantu orang baik dan menghajar orang busuk," sahut saudara itu. "Sejujurnya, aku pergi keluar melabrak si telur busuk itu!"
"Hus, jangan sembrono!" kata Hiang Kat, yang menarik tangan orang. "Orang baik ada banyak macamnya begitu juga orang busuk..."
Ouw A mengibaskan tangannya hingga cekalannya Hiang Kat terlepas.
Detektip To sedang enak-enaknya duduk menyender pada sofa yang lunak tempo ia melihat seorang wanita muda bertubuh besar dan berkulit hitam datang ke depannya dan tahu-tahu mengangkat tangannya, mencekuk ia, yang terus diangkat tinggi-tinggi, hendak dilemparkan!
"Eh, eh, eh!" serunya. "Nona In, apakah artinya ini" "
"Lepas, Ouw A!" In Hong berkata. "Itulah Tuan Detektip To, jangan kurang ajar!"
Ouw A tidak takuti Hiang Kat dan lainnya tetapi ia jeri terhadap In Hong. Ia meletaki Detektip To ke tempat duduknya, lantas ia ngeloyor pula masuk ke dalam.
Detektip To tidak terluka tetapi dia kaget sekali. Dia pun sangat mendongkol.
"Siapakah si hitam dan liar itu" " tanyanya pada nona rumah, suaranya bernada menegur. "Dia sangat kurang ajar!"
Selagi sep-nya gusar, A Poan bersenyum. Ia menutupi mulutnya. Kat Po pun menahan hati, untuk tidak tertawa. Ia berpura batuk-batuk.
"Maaf, tuan," kata In Hong. "Dialah adik seperguruanku yang paling muda, yang baru datang dari Peiling. Dia belum tahu aturan, harap kau tidak buat kecil hati."
"Oh, begitu! Dia kasar sekali hingga dia membuat orang kaget. Dia perlu dididik..."
"Akan aku didik dia," kata In Hong, nada suaranya berarti.
"Hanya dia itu, terhadap segolongan orang, dia sangat tahu aturan dan hormat sekali..."
"Eh, A Poan," Kat Po menanya si gemuk, untuk mengalihkan pembicaraan mengenai Ouw A, "mengapa kau ketahui wanita yang menelepon itu cantik sekali" "
"Sebenarnya wanita cantik itu bukan manusia hanya setan air..." sahut A Poan, yang terus menuturkan pengalamannya malam itu bersama Lie Hoe Gan serta tentang cerita yang mereka dengar.
"Maka itu aku pikir lama, perkara buang diri ke air itu tak dapat dipisahkan dengan halnya Tong Soat Koan, nona dengan baju hitam bergigi-balang putih yang suaranya merdu itu," akhirnya ia menarik kesimpulan. "Dan wanita yang menelepon itu juga Tong Soat Koan adanya."
In Hong berdiam. Agaknya ia tengah memikirkan perkara itu.
"Jadinya, A Poan," kata Kat Po, "kau percaya bahwa kelima korban itu menjadi pengganti jiwa yang diminta Tong Soat Koan yang telah mati pada tiga tahun dahulu itu" "
"Kecuali itu, tak dapat aku memikir apa-apa lagi!" sahut A Poan. "Aku tahu, sungai itu bakal menelan lagi empat korban lainnya..."
"Kenapa cuma empat, bukannya enam atau tujuh orang lagi" " tanya Kat Po.
"Oleh karena Tong Soat Koan telah memberitahukan Lie Hoe Gan bahwa dia meminta sembilan orang pengganti jiwanya. Sekarang dia sudah dapat lima. Bukankah itu berarti masih kurang empat" "
"Tuan To, bagaimana pandanganmu" " Kat Po tanya si detektip.
"Pemeriksaan tabib menyatakan semua orang itu mati karena kelelap," sahut orang yang ditanya. "Di dalam kota besar seperti ini juga tidak aneh kalau ada terjadi kecelakaan semacam itu. Maka itu sekarang, aku percaya sembilan puluh mereka membunuh diri dan sepuluh persen mereka diganggu setan air seperti katanya A Poan..."
"Tuan To hendak menyelesaikan perkara ini dengan alasan membunuh diri itu," A Poan mengasi tahu, "akan tetapi Tuan Pok Thong, wakil kepala kami ini datang
kepada kau, Nona In Hong, untuk mendapatkan pikiranmu. Demikian sekarang Tuan To berada di sini. Ia datang terpaksa dan juga bukan terpaksa..."
Detektip To mendelik terhadap sebawahannya itu. In Hong melihat itu tetapi ia berlagak pilon.
"Jikalau begitu, mungkin inilah semacam pembunuhan yang direncanakan..." kata Kat Po.
"Tetapi korban-korban ini tidak kenal satu pada lain, mereka tak ada hubungannya masing-masing," kata Tjie An.
"Tubuh mereka juga tidak memberikan tanda-tanda pembunuhan. Nona Kat, terkaanmu tidak ada dasarnya. Nona In, bagaimana pendapatmu" "
"Menurut aku, perkara ini mesti ada hubungannya dengan Tong Soat Koan, nona berbaju hitam bergigi-balang putih yang suaranya merdu bagaikan musik itu..." sahut In Hong.
"Kalau begitu, Nona, pandanganmu sama dengan pandanganku," kata A Poan. "Sebenarnya bukan cuma Tong Soat Koan yang main gila tetapi masih ada seorang lain lagi yaitu setan yang menggantung diri di rumahnya Lie Hoe Gan itu. Kemarin aku ketemu Hoe Gan dan dia menceritakan aku lakon gangguannya si Tjoei Go..."
"Apakah kau maksudkan Tjoei Go yang mati gantung diri sebab diperlakukan kejam oleh Kiang Kiauw Tin sebagaimana katanya si A Wong penunggu villa di desa itu" " In Hong tanya.
"Benar!" sahut A Poan, yang terus memberikan keterangannya tentang pengalamannya Lie Hoe Gan.
"Pasti urusannya Tjoei Go itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan orang yang mati kelelap itu," kata Kat Po.
"Memang tidak!" membenarkan A Poan. "Aku cuma sekalian menyebutnya saja."
"Aku sebaliknya menganggap, kedua perkara itu tidak dapat dipisah-pisahkan" kata In Hong sebaliknya. "Setannya Tjoei Go yang mati menggantung diri dan setannya Tong Soat Koan yang mati kelelap itu mesti ada hubungannya satu dengan lain. Tuan To menganggap itulah perkara bunuh diri, teranglah dia telah kena terpedayakan."
"Nona In," kata Tjie An, "kau jadinya tidak dapat menyelesaikan perkara itu sebagai perkara bunuh diri, sebaliknya, kau sama pendapat dengan A Poan" Oh, sungguh suatu pandangan yang luhur!"
Terang detektip ini menjadi tidak puas.
In Hong tidak melayani pembesar polisi itu, ia hanya tanya A Poan, "A Poan, apakah kau sahabatnya Lie Hoe Gan" "
"Sudah sejak banyak tahun aku mengenalnya, kita sering bergaul," sahut si gemuk.
"Kalau begitu, mari kita pergi dulu ke jembatan Tsing-shih, untuk melihat-lihat, dari sana baru kita pergi ke Hoe Gan untuk aku minta keterangannya sendiri mengenai halnya dia diganggu setan air dan setan penggantungan itu."
"Buat apakah kau cari Hoe Gan, In Hong" " tanya Kat Po.
"Aku mempunyai kepandaian menangkap siluman," sahut In Hong. "Aku mau pergi ke sana guna menawan setan penggantungan itu!"
"Oh, Nona In!" kata Tjie An, suaranya mengejek, dia pun tertawa, "kau yang berpendidikan modern, kapannya kau belajar dari Raja Setan Thio Thian Sioe ilmu menangkap setan atau siluman" "


Hartanya Penghianat Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ilmuku menangkap setan atau siluman tak sama dengan ilmunya Thio Thian Sioe yang menggunai surat azimat segala untuk menipu atau bergurau dengan orang!" kata si nona, tertawa. "Kau tunggu saja, kau nanti dapat melihat bagaimana aku melakukan penangkapan! Sekarang kita pergi ke jembatan Tsing-shih. Kau setuju" "
A Poan segera berbangkit, sedangkan detektip To mengikuti. In Hong pergi dengan diturut Kat Po. Selagi mereka mau naik di atas oto, Ouw A lari keluar sambil berkaok-kaok, "Oey.... ayo In Hong! Aku ikut...!"
"Oey... ayo! Siapakah dia" " tanya Tjie An, mengejek.
"Sebenarnya Oey ayo!" kata In Hong, tawar. "Itulah bahasa daerah di propinsi Sucoan yang artinya mirip dengan eh.. eh"
"Terima kasih!" kata Tji. An, mengejek. "Hari ini aku dapat belajar bahasa daerah dari Sucoan, mungkin nanti aku akan dapat lebih banyak pula!"
"Kau tinggal di rumah membantui Hiang Kat!" kata Kat Po pada Ouw A, matanya melotot.
"Biarlah dia turut, supaya dia dapat melihat!" kata In Hong sebaliknya.
Dengan girang luar biasa, Ouw A masuk ke dalam oto, yang terus dilarikan keras.
Mereka berhenti di ujung Haike Road dan berjalan kaki menuju ke jembatan Tsing-shih.
Di situ, di tepi sungai, terletak satu tubuh mayat yang pakaiannya kuyup dan sejumlah orang berkerumun menonton sambil berbicara berisik.
Seorang polisi setempat menjagai mayat itu, melihat detektip To, dia lantas memberi hormat, kemudian dia mengundurkan orang banyak.
"Lihat, Nona In, bukankah dia ini mati kelelap" " kata Tjie An. "Seperti empat korban yang terdahulu, dia mati tanpa luka-pada tubuhnya!"
In Hong memeriksa sebentar.
"Aku pikir mayat ini perlu pemeriksaan lebih jauh," katanya kemudian.
"Mayat ini mau diangkut ke rumah sakit," kata Tjie An, "sekalian menantikan keluarganya datang mengenali, dia dapat sekalian diperiksa."
Ketika itu A Poan mengangguk kepada salah seorang penonton.
"Siapakah dia" " In Hong tanya.
"Dia adalah seorang penduduk setempat yang berdagang sayuran," sahut A Poan. "Ketika aku datang bersama Lie Hoe Gan, dia yang menuturkan aku halnya Tong Soat Koan membuang diri di sungai."
"Karena itu maka kamu pergi ke villa di dusun itu menemui si A Wong" " tanya In Hong. "Benar, bukan" "
Si gemuk mengangguk. Ia kata, "Tong Soat Koan gagal menyeret Lie Hoe Gan maka dia ganti menyeret ini orang setengah tua, yang tubuhnya besar, buat dijadikan korban yang nomor lima."
"Entah dia ada keluarganya atau tidak," kata In Hong.
"Kalau tidak dan dia tidak ada yang akui, Tuan To, bukankah buat selama-lamanya kau bakal tidak tahu she dan namanya korban ini" Pasti akan tak ketahuan juga sebabnya dia membunuh diri!"
"Karena sembilan puluh dalam seratus bagian dia mati bunuh diri, tak perlulah lekas-lekas orang ketahui siapa dirinya dan kenapa dia mati," sahut Tjie An, tenang, suatu tanda perkara jiwa ini tidak menarik perhatiannya secara sungguh-sungguh.
Inilah sebab dia mengakui bahwa orang telah nekad membunuh diri dan karenanya tak perlu dipandang luar biasa. Kalau toh ia pergi kepada In Hong, itu cuma sebab desakan Pok Thong.
"Laginya aku belum mendapat jalan untuk lantas mencari tahu tentang dirinya dan segalanya yang menyangkut dengannya."
"Lihat, bagaimana barunya jas orang ini," kata In Hong.
"Terang inilah pakaian yang baru saja dibikin. Di tangan bajunya pun merek Tailor Ong Hin Tjiang, maka itu, dapat kau menitahkan A Poan pergi memanggil salah seorang pegawainya, untuk mengenalinya. Asal dia langganan lama, dia tentu dikenal baik. Atau mungkin orang masih mengenalnya taruh kata dialah langganan baru."
"Ah, gila!" kata A Poan, tertawa. "Kenapa selagi memeriksa mayat ini kita lupakan merk penjahit itu" Nah, kamu tunggulah, sekarang juga aku pergi pada Tailor Ong Hin Tjiang, untuk memanggil salah seorang pegawainya itu."
"Lekas pergi lekas kembali, A Poan!" kata Tjie An, tak sabaran.
A Poan menurut, ia melarikan keras keretanya menuju ke Haike Road.
IV "Oey... ayo..." demikian suaranya Ouw A, yang biasa memanggil In Hong, sang suci atau kakak seperguruan, dengan nama Oey Eng. Itulah kebiasaannya selama mereka diam bersama dalam rumah perguruan.
In Hong, Kat Po dan Hiang Kat telah memesannya wanti-wanti, toh disaat mau bicara, saban-saban dia melupakannya.
Dia baru ingat selekasnya kata-kata "Oey" sudah keluar, sehingga dia meneruskan dengan "ayo". Baru setelah itu, lekas-dia merobahnya.
"Eh, In Hong, mayat orang ini orang baik atau orang busuk" " Dia pun bicara keras sekali. Atau mendadak, "Aduh!
Eh, Kat Po, kenapa kau cubit aku" "
"Sekarang aku masih belum tahu dia orang baik atau orang jahat," sahut In Hong cepat.
"Jikalau dia orang baik, mati kita lekas cari pembunuhnya, guna membalaskan sakit hatinya!" kata pula si sembrono, yang polos. "Kalau dia orang jahat, biarlah dia mampus, supaya dunia ini makin kurang seorang jahatnya!"
"Hm kembali bahasa daerah Sucoan!" Detektip To , mengejek pula. Dia tersenjum tawar. "Nona In, bahasa daerah nona ini lambat laun bakal membikin gagal juga usahanya si orang she Oey...!"
"Ouw A dibesarkan di desa di propinsi Sucoan, sudah selayaknya saja dia bicara dengan bahasa yang dicampur dengan bahasa daerah," kata In Hong, tenang. "Tapi satu hal sudah pasti, bahasanya itu tidak bakal merusak urusan siapa juga, tak peduli urusan besar atau urusan kecil."
"Aku berani memastikan," kata pula Tjie An, tetap mengejek, "selanjutnya saban Nona Ouw ini bicara, dia tentu akan dicubit Nona Kat Po!"
Detektip ini tidak mau melewatkan ketika mengejek In Hong. Inilah karena di depan dia, In Hong tetap menyangkal ialah Oey Eng si Burung Kenari.
In Hong kata, ialah In Hong.
"Tuan Hun... Hun... Hun To To!" mendadak suaranya Ouw A mengguntur, hingga telinganya Tjie An menggetar, sedang jeriji tangannya melayang ke hidung orang.
"Kat Po mencubit aku, ada apakah sangkut pautnya dengan kau" "
Dalam kagetnya, Detektip To mundur. Ia kuatir si sembrono nanti menghajar padanya.
"Ouw A, jangan kau panggil Tuan To dengan Tuan Hun To To" kata In Hong. "Itulah kurang manis dan tidak enak didengarnya..."
"Kalau dia bukan Tuan Hun To To, apakah dia Tuan Hun Tan " Ouw A tanya. "Biar aku tetap panggil dia Hun To To!"
"Hun To To" berarti "tolol" dan "Hun Tan" ialah "telur busuk."
"Mari lihat!" Kat Po memanggil, memegat bicara orang. Inilah karena ia, yang memeriksa rumpun rumput, mendapatkan kuburannya Nona Tong Soat Koan.
Semua orang menghampirkan dan melihat, semua merasa her an, hingga masing-masing menjadi berpikiran menduga-duga.
Sementara itu, dengan lewatnya sang waktu, kembalilah A Poan bersama seorang pegawai penjahit.
"Apakah kau kenal orang ini" Pakaiannya itu buatan kamu bukan" " tanya A Poan seraya menunjuki mayat tak dikenal itu.
Pegawai itu mengawasi muka mayat dan pakaiannya. Ia mengangguk.
"Ya, aku kenal," sahutnya. "Dia Tuan Ong, cuma aku tidak tahu nama serta alamatnya. Ketika pakaian ini baru selesai dikerjakan, aku ingat, ada seorang kawanku yang dikirim ke rumahnya untuk mencobanya..."
"Kalau begitu, kawanmu itu tentu tahu nama dan alamatnya," kata In Hong. "Dia dapat diteleponkan untuk menanyakan keterangannya."
"Sekarang dia kebetulan pulang ke Tung-hsiang lagi menjenguk anaknya, paling cepat sebentar sore jam enam atau jam tujuh dia kembali."
"Jikalau begitu, begini saja" kata A Poan. "Kalau sebentar dia pulang, kau tolong tanyakan dia, lantas kau menelepon ke kantor kami."
"Baik, tuan." "Sekarang kau boleh pulang. Kami telah mengganggu padamu, terima kasih."
Seberlalunya pegawai penjahit itu, dengan roman tak puas, Detektip To kata pada sebawahannya, " A Poan, pergi kau temani Nona In melihat Lie Hoe Gan di
rumahnya. Aku ada urusan, perlu aku lantas kembali ke kantor. Nona In, maaf, sampai bertemu pula!"
Lantas dia ngeloyor pergi dengan otonya.
A Poan menurut, bersama Nona In semua, dengan berjalan kaki, ia pergi ke Rue de Petain, ke rumahnya Hoe Gan.
Justeru itu waktu Hoe Gan lagi keluar, yang ada hanya lima orang saudaranya.
"Apa nona mau bicara dengan mereka itu" " si gemuk tanya. "Aku kenal baik mereka semua."
"Tak usah. Aku cuma mau bicara dengan Hoe Gan sendiri. Lain kali saja kita datang pula."
"Baiklah. Kalau nanti aku sudah terima warta dari Si pegawai penjahit, akan aku meneleponmu," kata A Poan.
"Baiklah. Sampai jumpa pula!"
Demikian, In Hong bertiga pulang ke Hung-yao Road dan A Poan ke kantor polisi.
Lebih kurang jam 6 magrib, telepon In Hong mendering.
"Benar. Kaukah A Poan" " si nona menyambuti.
"Ya. Aku telah peroleh kabar. Katanya orang she Ong itu bernama Sie Koen, tinggalnya di Kiao-chow Road 770, kamar nomor 303, tingkat 3, Kang Tsing Building. Tuan To sendiri tak dapat datang."
"Ada urusan apakah Tuan To itu" "
"Dia mau melakukan penangkapan terhadap beberapa orang jahat dan dia mengajak aku pergi bersamanya, maka dia minta tolong nona yang melakukan penyelidikan sendiri. Hal yang benar ialah dia menganggap perkara sudah selesai dan tak usah diurus lebih jauh. Dia kata pula,
nona dapat menaklukkan siluman dan menangkap setan, maka itu baik nona dibiarkan pergi menawan sendiri setan yang menggantung diri serta setan yang mati kelelap itu. Nona, benarkah kau dapat menangkap setan" Aku kuatir..."
"Kau aneh, A Poan! Kau percaya setan, kau takut juga! Aku dapat menangkap setan! Aku tidak takut setan apa juga, maka kau jangan kuatir. Nanti aku pergi sendiri mengurus perkara Ong Sie Koen itu."
Habis meletaki alat pendengar telepon, In Hong mau pergi sendiri ke Kang Tsing Building.
"Aku turut!" kata Kat Po.
"Aku turut juga!" kata Ouw A.
"Ouw A, buat apa kau turut" " kata Hiang Kat. "Sebelum kakiku sembuh seluruhnya, hendak aku berjalan-jalan..."
"Kota ini begini ramai, apa kau tak mengijinkan aku melihat-lihat" " Ouw A tanya.
Si sembrono tak dapat dicegah, maka Hiang Kat berjalan-jalan seorang diri, untuk melatih kakinya. In Hong bertiga pergi langsung ke Kiao-chow Road.
Selagi In Hong mendekati Kang Tsing Building, dari arah depan mendatangi enam orang dengan pakaian cara Barat.
Di tempat yang ramai, biasa orang berpapasan hampir rapat satu pada lain, bahkan pun menempel tubuh, hanya bedalah enam orang itu, dari yang mana yang lima jalan lebih dahulu.
Tangan kanan orang yang keenam berada di dalam saku celananya, mencekal pisau belati. Yang lima lewat terus.
Yang keenam mendadak mengeluarkan tangan kanannya, begitu ia lewat setindak, begitu ia membalik tubuh dan menikam punggung kiri si nona. Dia bergerak sangat cepat dan diluar dugaan.
In Hong liehay, matanya jeli, tubuhnya gesit. Ia biasa bercuriga. Ia melirik ketika mereka berpapasan, maka ia mendapat lihat aksi orang yang keenam itu. Dengan sebat ia berkelit, kaki kanannya menggeser sedikit, kaki kirinya terangkat naik. Maka robohlah penyerangnya itu, yang gagal menikam, hingga tak sempat dia membela diri.
Tempat itu sepi dan gelap. Menyusul itu, belasan orang lompat keluar dari tepi jalan, masing-masing membekal kapak, toya, thie-cio atau siku tiga dan pisau belati, lantas mereka mengurung dan menyerang ketiga nona itu.
Tempat itu sepi tetapi bukan berarti tidak ada orang yang lewat di situ, beberapa orang yang kebetulan lewat, semua tidak mau usil, rupanya tak berani mereka campur tahu. Karena itu, pertempuran itu berlangsung terus tanpa gangguan.
Kaki sebelah kirinya Kat Po tak leluasa bergerak, maka ia tak selincah semestinya.
Ouw A kurang liehay tetapi dia bertenaga besar dan berani, cara berkelahinya pun istimewa. Saban dia mau menyerang, lebih dahulu dia kasi tahu musuhnya anggauta mana yang hendak dia serang, selamanya, dia buktikan itu.
Inilah kebiasaannya, yang sulit untuk dia robah.
Di Peiling, orang menyebut cara berkelahinya itu cara jantan, dan sekali pun musuh turut memujinya. Maka juga, ia berkelahi seperti lagi main-main.
"Binatang, awas batok kepalamu!" ia membentak, terus kepalannya menyambar.
Cara berkelahi itu pun mengherankan lawan. Tiga musuh mengepung dia, yang dua roboh dengan cepat. Syukur kawan yang ketiga itu cukup tangguh, baru dia mengangkat kaki setelah dia melihat dua kawannya merayap bangun dan dapat kabur.
In Hong berdua Kat Po melayani sepuluh orang lebih.
Separuh dari mereka itu telah kena dibikin tidak berdaya, yaitu senjatanya kena dihajar, hingga terlepas, atas mana, yang separuhnya lagi kalah hati, lantas bersama-sama mereka mengangkat kaki juga, serabutan keempat penjuru yang gelap petang itu.
Kat Po dan Ouw A mau menyusul tetapi In Hong mencegah.
"In Hong, rombongan buaya darat ini rupanya ada sangkut pautnya dengan perkara jiwa Ong Sie Koen," Kat Po mengutarakan dugaannya.
"Memang," sahut In Hong. "Kejadian ini juga menambah pengalaman kita. Sudah beberapa kali terjadi, selagi kita mengurus dan meraba-raba sebuah perkara, lantas ada penjahat yang menyerang kita dan itu justeru membuat kita memperoleh keterangan. Demikian juga perkara ini. Mari kita pergi ke tempatnya Ong Sie Koen, untuk berbicara dengan keluarganya, mungkin kita akan memperoleh keterangan yang jelas."
Lalu mereka percepat jalan mereka.
Kang Tsing Building ialah sebuah flat atau rumah besar dan modern yang bertingkat lima, dan setiap tingkatnya mempunyai sepuluh ruang rumah.
Lebih dulu di gedung terbawah In Hong bertiga memeriksa daftar penghuni, yang dipancang di tembok, setelah itu mereka bertindak naik undakan tangga batu
sampai di tingkat ketiga, ruang nomor 303. Di muka pintu tampak namanya Ong Sie Koen, maka itu, setelah merasa pasti, In Hong memencet bel.
Seorang pelayan wanita, yang masih muda, lantas muncul di muka pintu seraya terus menanya nona-nona itu mencari iapa.
"Bukankah ini rumahnya Tuan Ong Sie Koen" "
"Benar. Hanya tuan kami tidak ada di rumah."
"Siapa saja yang ada di rumah" "
"Nyonya kami, Wie Menny."
"Dapatkah kau tolong memberitahukan bahwa kami mempunyai urusan penting untuk dibicarakan dengan nyonya itu" "
"She nona" "
"In." "Harap nona menanti sebentar," kata si pelayan, yang terus masuk kedalam.
Dengan cepat dia kembali dan kata, "Silahkan masuk, nona-nona!"
In Hong bertiga memasuki sebuah kamar tetamu yang indah perlengkapannya.
"Silahkan duduk," kata lagi pelayan itu, yang mengundurkan diri. Di tembok tergantung foto setengah tubuh dari Ong Sie Koen.
Selagi In Hong mengawasi foto itu, pelayan tadi muncul pula dengan tiga buah cangkir teh. Dia mengundang minum seraya memberitahukan bahwa sang nyonya akan segera keluar.
Tidak lama, muncullah seorang nyonya muda yang usianya baru dua puluh lebih. Dialah seorang wanita modern, tubuhnya sedang, romannya cantik, badannya langsing.
Rambutnya, yang hitam mengkilat, dipotong pendek seperti rambut pria. Tubuhnya yang ramping itu berpeta dengan bajunya, baju chipao, atau Shanghai-dress hitam dan bergigi-balang putih perak. Sepatunya juga berwama hitam.
"Yang mana Nona In" " sapanya lantas.
"Aku," In Hong jawab. "Nyonya, kaukah Nona Wie Menny atau nyonya Ong Sie Koe!"
Nyonya itu mengangguk. "Benar," sahutnya. "Rasanya kita belum pernah berkenalan, karena itu, nona mempunyai urusan apakah yang penting yang hendak dibicarakan dengan aku" "
Nyonya Ong cantik dan manis akan tetapi suaranya serak.
"Kapankah Tuan Ong keluar" "
"Kira jam 6 magrib kemarin."
"Ia pulang atau tidak tadi malam" "
"Tidak. Ia telah membilangi aku bahwa ia tidak akan pulang: Ia telah berjanji dengan dua orang sahabatnya untuk pergi ke Soochow untuk menagih hutang. Besok barulah dia akan pulang. Ada apa nona menanyakan tentang suamiku itu" "
"Harap kau tidak kaget, nyonya. Kami hendak menyampaikan suatu kabar buruk..."
In Hong berkata begitu sebab ia lihat si nyonya kaget.
"Kabar apakah itu" " Nyonya Ong mendesak. "Lekas bilangi aku! Apakah telah terjadi sesuatu atas dirinya Sie Koen?"
"Ya, nyonya," sahut In Hong perlahan. "Ia telah menutup mata..."
"Oh...!" berseru nyonya itu, tertahan. "Nona In, bagaimana kau ketahui itu" "
"Menyesal, nyonya, aku telah melihat jenazahnya," sahut pula In Hong, yang terus menuturkan hal diketemuinya mayat Sie Koen di kali di dekat jembatan Tsing-shih.
Menny menjerit menangis. "Dia tentu dianiaya dua sahabatnya itu!" teriaknya kemudian.
In Hong membujuki, buat membikin orang bersabar.
"Kenapa nyonya tahu kedua sahabat itu yang mencelakainya" "
"Sebab merekalah dua orang buaya darat besar dari Shanghai Timur!" sahut Nyonya Ong. "Mereka mempunyai murid dan tukang pukul sejumlah beberapa ratus orang, yang semua terdiri dari bangsa luntang-lantung dan buronan. Dua orang itu tukang melepaskan uang panas akan tetapi mereka sendiri tidak mempunyai uang, biasanya mereka pinjam dengan paksa dari sahabat-sahabatnya. Umpama Sie Koen, dia telah dipinjam lima potong emasnya, sudah sering mereka ditagih, belum juga mereka mau bayar pulang. Kata mereka, orang yang berhutang pada mereka masih belum membayar kepada mereka. Itulah sebabnya kenapa mereka mengajak suamiku pergi menagih ke Soochow. Menurut dugaanku, hutang itu telah dibayarkan kepada mereka. Karena sudah terang, tidak ada
yang berhutang kepada mereka yang berani main gila atau membayar ayal-ayalan. Beberapa sahabat lainnya dari Sie Koen juga telah dipinjam uangnya dan sampai sekarang masih belum dibayar pulang. Maunya mereka ialah hutang itu dianggap sebagai sudah hanyut di sungai Whang-poo. Siapa diam saja, yaitu tidak memaksa menagih, dia selamat, sebaliknya, siapa mendesak padanya, mereka tak segan-segan menurunkan tangan jahat! Membunuh orang bagi mereka adalah hal umum.
Mereka itu jahat tetapi Sie Koen menganggapnya baik. Sie Koen tidak mau percaya keteranganku. Oh, Sie Koen..."
Nyonya ini menangis sesenggukan "Nyonya kenal dua buaya darat itu" " tanya Kat Po. "Siapa nama mereka" Di mana tinggalnya mereka" "
"Yang satu A Hok dan yang lain A Kin," sahut si nyonya.
"Aku tidak tahu di mana mereka tinggal tetapi aku tahu mereka membuka sebuah warung teh di dekat Yangtze-poo dan setiap hari jam duabelas tengah hari tentu mereka berada di sana mengepalai perjudian. Pernah aku naik oto bersama Sie Koen lewat di sana-Chun-kung Road-dan ia menunjuki aku warung teh itu."
"Dapatkah kau memberitahukan aku namanya warung teh itu serta letaknya yang tepat" "
"Aku tidak tahu tetapi aku ketahui keletakannya."
"Sekarang begini," kata In Hong, "sebagai Nyonya Ong, dapatkah kau mengajak kami ke warung teh itu" Kau sendiri, kau dapat sekalian menanyakan tentang suamimu."
"Buat guna Sie Koen, dapat aku menunjuki kau," kata Menny. "Cuma kita bangsa lemah dan mereka itu bangsa
kasar, kalau kita lancang masuk, kita dapat diperhina ataupun nanti dilukakan mereka! Paling benar kita melaporkan dahulu pada polisi, supaya polisi turut bersama kita..."
"Hm! Kami bangsa lemah" " Kat Po berseru mendongkol.
"Aku bilang terus terang kami tidak takut buaya darat atau cabang atas! Hayo kau antarkan kami, jangan kau takut! Minta bantuan polisi" Hm! Detektip To menganggap kematian suamimu sebagai perkara bunuh diri, dia tidak ingin menyelidiki lebih jauh!"
"Benarkah polisi demikian dungu hingga dia tidak mau mengurus perkara jiwa ini" " tanya si nyonya, heran dan penasaran.
"Aku kasi tahu padamu!" Ouw A campur bicara. "Aku seorang diri, aku dapat melawan puluhan buaya darat, maka itu, kami bertiga, kenapa kami mesti jeri pada kawanan penjahat itu" Dia ini ialah Oey... ayo... In Hong yang berkenamaan!"
"Oh, kiranya Nona In Hong!" kata Menny. "Maaf, maaf!"
"Sebenarnya bukan melainkan suamimu seorang yang kena dibikin celaka," In Hong kata. "Masih ada beberapa korban lainnya. Itulah sebabnya kenapa kami hendak mencari tahu perkara ini. Kau mengarti sekarang" "
"Ya, nona. Kalau begitu, mari aku antar kau!"
Nyonya ini menepas airmatanya.
"Chun-kung Road di Yangtze-poo itu jauh dari sini," kat a Kat Po. "Kita harus menyewa oto!"
"Tak usah," kata Menny. "Aku mempunyai sebuah kereta tua yang dapat membawa kita kesana. Modelnya saja sudah lewat jaman, mesinnya masih baik sekali dan pasti memuaskan!"
Tak jauh dari Kang Tsing Building, di tepi jalan, berdiam sebuah sedan model kuno wama kuning, setelah Menny memasuki kuncinya, mesinnya kendaraan itu lantas berbunyi.
"Silahkan naik!" si nyonya mengundang ketiga tetamunya sambil ia turun untuk membukai pintu.
Ouw A naik paling dulu, Kat Po menyusul. In Hong baru menaruh sebelah kakinya ketika ia bertanya, "Mana sopirmu, Nona Menny" "
"Sudah beberapa hari dia terserang malaria, karenanya saban keluar, terpaksa aku mengendarai sendiri sedan ini," sahut Nyonya Ong.
Selekasnya In Hong berada di dalam kereta, pintu oto segera ditutup dan anak kunci diputar pula, maka menggeleserlah sedan itu di jalan yang sunyi itu.
Sedan itu sudah tua, hanya sudah salin rupa menjadi putih. Di bagian depan, tempat sopir kapnya sudah tidak ada, sebagai gantinya dipasanglah kap model gubuk. Tempat duduk terpisah dari tempat sopir, di sisinya ada sebuah pipa, kalau si penumpang mau menyuruh sesuatu kepada sopir, dia mesti bicara dimulut pipa itu.
In Hong menanyakan sopir sebab ia melihat, sangat tak surup Menny yang demikian modern mengendarai oto kuno itu. Ia heran, meski ia tidak bercuriga sesuatu. Jawaban Menny masuk di akal.
Hanya setelah berada di dalam oto, kecurigaannya timbul.
Caranya Menny menutup pintu tak wajar, dan gerakannya naik ke tempat duduk sopir, cepat luar biasa. Demikian pun caranya dia melarikan oto itu.
Kat Po dan Ouw A sebaliknya tidak menyangsikan apa juga.
Segera juga kecurigaan In Hong berbukti. Ia meraba pintu oto, untuk kagetnya, ia tidak memegang kunci. Tanpa pegangan pintu oto tidak dapat dibuka, dan itu berarti, mereka sukar keluar dari dalam oto itu!
"Kat Po, kita terpenjara di dalam oto tua ini!" kata si nona, sabar dan tenang, walaupun mereka sudah terjebak, artinya mereka tengah terancam bahaya.
"Apa" " tanya Kat Po, kaget. Ia pun segera mendapat kenyataannya.
"Bukankah dia bergurau maka dia mengurung kita dalam oto ini" " tanya Ouw A, tertawa.
"Mari kita hajar pecah jendela kacanya!" kata Kat Po.
"Kita harus bekuk perempuan busuk itu!"
"Aku menduga kepada kaca yang tak dapat retak," kata In Hong tawar. "Kau cobalah!"
Kat Po meloloskan sebelah sepatunya, dengan itu dia menghajar kaca oto. Ia mendapat bukti dari dugaan In Hong.
Kaca kuat dan tak pecah. Ketika ia mencoba ke kaca samping dan belakang, sama juga kesudahannya.
"Coba putar kacanya," kata Kat Po.
"Percuma, putarannya juga sudah disingkirkan," kata In Hong, tetap tenang.
"Habis, apakah kita mesti berdiam saja, untuk menantikan sang maut" " tanya Kat Po, yang panas hati berbareng bingung.
"Apakah kamu ada membawa sesuatu alat atau barang besi yang kecil" " In Hong tanya L
Ia menduga bahwa Ouw A dan Kat Po tak akan membawa barang yang disebutkan itu tetapi ia toh menanya, sekedar untuk memenuhkan pengharapan, kalau-kalau...
"Tidak," sahut Kat Po, masgul. "Cuma pisau lepit serba guna..."
"Baik," kata In Hong. "Mari kasikan itu padaku!"
Kat Po merogoh sakunya dan mengeluarkan pisaunya itu.
In Hong menarik keempat macam alat serba guna itu, untuk dicoba satu demi satu, dimasuki ke dalam liang kunci, untuk diputar atau dipakai mengorek. Ia mencoba berulang-ulang, ia mengorek pergi pulang. Ia mesti menggunai tempo dan otaknya, memikir pelbagai cara mengorek itu.
Daun jendela tak terbuka tetapi berkisar sedikit. Sementara itu oto sudah melintasi jembatan dan mengkol ke Pailao-huai Road, rodanya terus berputar dengan cepat.
"Ah, In Hong..." kata Kat Po, berduka, "asal jendela ini terbuka sekaki setengah saja, dapat kita nyeplos keluar. Kalau tidak, kita pasti bakal terus terkurung sampai mati..."
In Hong tidak menjawab. Ia berdiam mengawasi jendela itu. Ia memikiri daya untuk membuka terus.
Kat Po menjadi putus asa. Daun jendela berkisar naik, lalu turun pula ke tempat asalnya.
Ketika oto sampai di dekat Yangtze-poo dan membelok ke Chun-kung Road di sepanjang sungai Whang-poo, Menny meluncurkannya sekeras-kerasnya di jalan yang sepi dan gelap.
Tak ada lain kereta atau orang di situ. Segera dia mendekati Woosung.
Kat Po melihat kedepan. Tampak air sungai Whang-poo bergelombang. Tampak juga seorang polisi bermotor lagi mcndatangi, hanya jaraknya masih sangat jauh.
In Hong terus bungkam akan tetapi tangannya bekerja semakin keras.
Tepat itu waktu, Menny mengangkat sebelah tangannya dan menarik sesuatu, atas mana tendanya lantas terangkat.
Maka oto itu menjadi oto tanpa kap. Habis itu dia berjongkok di tempat duduknya.
Kat Po heran. Mau apa nyonya itu" Dan, kemana dia mau pergi melarikan otonya itu demikian keras" Saking mendongkol, ia mencaci di antara pipa saluran bicara itu.
Dilain ujung terdengar tertawa nyaring dan dingin dari Menny, disusul dengan kata-katanya ini, "Kamu menyangka aku Wie Menny" Hm! Aku bukannya Nyonya Ong Sie Koen! Hm! Hm!"
"Habis, siapakah kau" " Kat Po tanya.
"Akulah Tong Soat Koan!" jawab si nyonya. "Kamu tahu siapa Tong Soat Koan" Hahaha!"
Sekarang ini suara wanita itu tak serak lagi hanya merdu, sedap didengarnya.
"In Hong," kata Kat Po, "dia bilang, dialah Tong Soat Koan..."
Oey Eng memotong, "Keadaan kita berbahaya sekali! Kau dengar kata-kataku! langan..." '\
Kata-kata In Hong dipegat suara tertawa di lain sebelah, tertawa keras sekali, diiringi kata-kata ini, "Nona-nona, kamu bertiga, hayo kamu turut aku pergi ke dalam sungai Whang-poo!"
Begitu ia berkata, begitu si nyonya memutar kemudi otonya, diarahkan ke sungai yang lagi bergelombang dahsyat itu.
Maka lantas juga terdengar suatu mencebur yang berisik sekali dan air muncrat tinggi dan jauh, dan tempo air muncrat itu sirap, oto tak nampak pula, terlihat melainkan sang ombak...
V Hari itu pagi, kira jam 09.00, A Poan di dalam kantornya menerima telepon dari seksi polisi Yangtze-poo yang berkedudukan di Chun-kung Road, "Tadi malam lebih kurang jam 11.00, seorang anggauta kami yang pulang habis bertugas di Woosung, menemui suatu kecelakaan. Dia sedang bersepeda, dia mau pulang ke Shanghai. Dia berkendaraan di sepanjang tepian sungai Whang-poo. Tiba-tiba dia melihat sebuah oto dilarikan sangat keras ke arahnya. Ketika kedua belah pihak mendatangi semakin dekat, tiba-tiba oto itu seperti lepas dari kendali, memutar arah, terus terjun kesungai. Dia lantas berhenti, dia lari ke tepian. Dengan lampu sepedanya dia menyoroti tetapi tidak melihat apa-apa lagi. Di waktu malam dan gelap seperti itu, dia tidak bisa dapat pertolongan siapa juga. Ketika dia pulang, dia membuat laporannya. Baru tadi pagi-pagi kami pergi ke tempat kejadian. Kami juga tidak melihat apa-apa, tanda kecelakaan pun tidak."
"Apakah agen itu melihat nomor otonya" " tanya A Poan.
"Nomor itu tidak kelihatan, cuma otonya sedan kuno, rodanya putih. Tempat duduk sopir dan penumpang terpisah kotaknya."
"Ya, itulah oto model ku\o yang sudah sangat jarang nampak. Apakah warnanya" "
"Warnanya pun tak tampak tegas, kira-kira kuning telur."
"Baiklah, kalau ada pengaduan atau laporan, akan aku urus perkara ini."
Habis berkata, A Poan menyampaikan laporan itu kepada bagian kendaraan.
Selagi A Poan berniat menelepon In Hong, untuk menanyakan si nona tentang hasil kunjungannya ke rumah Ong Sie Koen, ia didatangi Lie Hoe Gan, yang terus saja berkata padanya, "Oh A Poan, celaka betul! Gangguan memedi di rumahku bertambah hebat! Tak tahu aku harus bikin apa...!"
Dia menjatuhkan diri di kursi di samping meja, sepasang alisnya rapat, romannya sangat berduka.
"Kalau begitu, kau pindah saja!" kata A Poan.
"Tidak dapat. Itulah rumahku sendiri. Pindah pun sangat berabe. Laginya saudara-saudaraku tak ingin pindah dari rumah yang sangat menyenangkan itu."
"Apakah tetap Tjoei Go si setan penggantungan yang mengganggumu" "
"Ya. Kemarin malam aku pulang dari Venus Dancing hall kira jam 01.00. Lantas aku pulang masuk tidur. Sebelum aku pulas, aku melihat setan wanita itu yang
mengenakan baju pendek dan celana panjang dengan sepatu sulamnya, rambutnya kusut, kulit mukanya hitam. Dialah Tjoei Go yang mati menggantung diri. Di lehernya masih ada tambang gantungannya. Dia berayun-ayun di luar jendela sebelah utara, sembari bersuit, memperdengarkan lagu hantunya... Hanya satu kelebatan, dia menghilang, akan muncul di sebelah depan, lagi berjalan di tembok."
"Ha" Dia jalan di tembok" " sela Detektip To, yang duduk di meja di ruang tengah kantornya.
"Ya, tuan, setan itu jalan di tembok," Hoe Gan tegaskan.
"Bagaimana dia dapat jalan di tembok" " kata si detektip, bingung.
"Dia jalan di tembok sama seperti orang jalan di tanah rata! Dia jalan secara begini!"
Hoe Gan mengambil dua batang pena, ia bawa ke tembok, lalu ia lintangkan itu.
"Kau maksudkan setannya Tjoei Go jalan dengan menghadap ke atas sembari rebah" " Detektip To tanya.
"Benar. Dia melintang, cuma kakinya nempel pada tembok. Dia jalan seperti kita berjalan di tanah. "
"Tak mungkin! Mana dapat orang jalan dengan tubuh direbahkan" Tentu tubuhnya roboh!"
"Harap jangan lupa, tuan, dialah setan!" kata A Poan.
"Untuk setan tak ada rintangan apa juga! Dia dapat menembusi tembok atau terbang di udara! Tinggal terserah kepadanya, dia mau rebah, mau terbang atau mau bagaimana!"
"Kemudian bagaimana" " tanya Tjie An, yang menjadi tertarik.
"Aku lantas lari keluar dari kamarku, akan menggedor kamarnya kakakku yang nomor empat. Aku panggil kakak dan iparku datang ke kamarku itu. Ketika itu setannya Tjoei Go sudah jalan sampai di tembok gudang, mendekati tingkat keempat. Tiba-tiba cahaya terang lenyap, lenyap juga Tjoei Go. Hanya di lain saat, dia terlihat pula diluar jendela utara, tengah main ayunan dengan lehernya yang tergantung..."
"Berapa jauhnya jendela utaramu itu dengan tembok gudang di tingkat keempat itu" "
"Sedikitnya dua puluh kaki lebih. Tjoei Go itu, sebentar dia bergelantungan diluar jendela utara, sebentar dia jalan di tembok. Dapatkah manusia biasa melakukan itu" Iparku takut hingga dia menjerit. Kakakku membuka jendela utara, dia mau pergi menangkap setan itu..."
"Berhasilkah dia menangkapnya" " tanya Tjie An.
"Bukan saja dia tidak berhasil, dia malah disembur air hitam oleh setan itu!"
"Habis, setannya" "
"Setannya menghilang pula!"
"Kemudian" "
"Tadi malam aku pulang kira jam 01.00 juga. Selagi aku melewati tingkat kedua dan mau menindak ke tingkat ketiga, dalam gelap gulita, aku membentur setan penggantungan itu! Aku kaget dan takut sekali, aku kabur turun pula..."
"Bukankah setannya Tjoei Go menantikanmu di tengah tangga" " A Poan tanya.
"Tidak. Tiba di mulut tingkat kedua, aku menyalakan lampu listrik. Lantas aku menoleh kebelakang. Aku
menjadi kaget dan heran. Yang menggantung diri bukan Tjoei Go hanya kakakku yang nomor lima! Lantas aku berteriak-teriak minta tolong! Semua saudaraku lainnya terjaga dengan kaget, semua lari kepadaku. Kami lantas menolongi saudaraku itu, yang telah pingsan. Kami mencoba menyadarkannya. Setelah itu kami tanya, kenapa dia menggantung diri. 'Tidak ada niatku membunuh diri', kata saudara kami itu. 'Disaat aku mau pulas, aku memandang ke jendela utara. Di sana aku melihat seorang lagi bergelantungan pada lehernya. Dialah seorang wanita dengan baju kuning yang bawahnya bergaris hijau, sepatunya sepatu sulam, rambutnya awut-awutan dan kulitnya hitam. Ketika aku membuka jendela, untuk melihat tegas, dia lenyap dengan tiba-tiba. Lantas aku naik ke pembaringan. Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi. Tak tahu kenapa aku jadi menggantung diri.' Keempat iparku jadi sangat ketakutan, hingga mereka mengajaki pindah, supaya rumah kami itu dijual, buat uangnya dipakai membeli rumah lain. Keempat kakakku menentang. Karena itu pagi ini dua iparku, yang ketiga dan keempat, pulang ke rumah orangtuanya, buat sementara waktu saja. Ipar kesatu dan kedua masih dapat memberanikan diri.
Demikian soal kepindahan kami tinggal soal saja."
"Kemarin Nona In Hong pergi ke rumahmu, kau kebetulan keluar," A Poan kasi tahu. "Nona itu ingin bicara denganmu, ia mengharap nanti dapat membebaskan kau dari gangguan setan itu. Mari kita pergi menjenguknya di Hung-yao Road. Nona In Hong kata dia dapat menaklukkan siluman dan menawan setan, lebih-Iebih dalam hal menangkap setan!"
"Siapa itu Nona In Hong" " Hoe Gan tanya.
"Dialah Lie-hiap In Hong, pendekar wanita yang kesohor," A Poan menerangkan.


Hartanya Penghianat Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, dia!" kata Hoe Gan. "Baik, mari sekarang kita pergi padanya!"
A Poan sudah lantas bersiap, maka pergilah mereka bersama. Di pintu pekarangan In Hong, mereka memencet bel.
Hanya sebentar, muncullah seorang nona dengan pakaian biru seluruhnya.
"Nona Hiang Kat, satu di antara ketiga nona gagah itu," A Poan membisiki kawannya.
"Sungguh cantik!" Hoe Gan memuji.
"Kau belum melihat Nona In Hong," A Poan bilang. "Dia lebih cantik lagi!"
Segera juga pintu pekarangan dibuka A Poan heran. Sikap si nona tak gembira seperti biasanya.
"Selamat pagi, Nona Hiang Kat!" ia menyapa. Ia terus memperkenalkan Hoe Gan, untuk kemudian menanya, "Nona In Hong ada di rumah atau tidak" "
"Ia belum pulang."
"Apakah ia pergi semenjak tadi pagi" "
"Bukan. Ia pergi sejak kemarin magrib kira jam 06.30. Ia pergi bersama Kat Po dan Ouw A."
"Tahukah nona kemana perginya mereka" "
"Mereka pergi kemarin setelah kami menerima telponmu.
Mereka pergi ke Kang Tsing Building di Kiao-chow Road, buat mengunjungi keluarga Ong Sie Koen. Setelah itu, entah kemana lagi perginya mereka..." A Poan terkejut.
"Mungkinkah terjadi sesuatu" " tanyanya, ragu-ragu.
"Entahlah..." "Bagaimana kalau sekarang kita pergi bersama ke Kang Tsing Building untuk melihat-lihat" " A Poan sarankan.
"Baiklah. Memang aku berniat pergi ke sana. Kamu tunggu, hendak aku masuk dulu sebentar." Ia masuk ke dalam, akan membekal sebuah revolver, untuk menutup jendela dan pintu. Ia pun mengunci pintu pekarangan.
Tidak lama, mereka sudah berada di muka Kang Tsing Building. Mereka naik ke tingkat tiga dari flat itu, untuk di muka kamar nomor 303 memencet bel pintu.
Sampai sekian lama, meski beberapa kali mereka menekan kenop, tidak ada orang yang menjawab atau membukai pintu.
Maka akhirnya mereka mencari penjaga flat, untuk meminta keterangan.
"Bukankah di sini ada tinggal seorang setengah tua bernama Ong Sie Koen" "
"Apakah dia yang tubuhnya gemuk" "
"Benar ." "Dia menempati rumah nomor 303, tingkat tiga."
"Dia berkeluarga atau tidak" "
"Dia tinggal bersama isterinya. Mereka menikah belum dua bulan."
"Sudah berapa lama dia tinggal di sini" "
"Tiga bulan." "Kecuali Ong Sie Koen, apa ada lain orang yang tinggal di dalam rumahnya" "
"Tidak. Cuma mereka sepasang suami isteri."
"Bagaimana Nyonya Ong itu" "
"Dialah Nona Wie Menny yang sangat terkenal gemar bergaul," sahut si penjaga rumah, suara dan sikapnya memandang rendah. "Buat apa kau menanyakan begini melit" "
"Aku mempunyai tugas meneliti keadaannya," sahut A
Poan, yang terus perkenalkan diri sebagai orang polisi. Ia juga memperlihatkan surat keterangannya.
"Tadi kami membunyikan bel pintu rumah nomor 303 itu tetapi Kami tidak memperoleh jawaban. Tahukah kau, Nyonya Ong ada di rumahnya atau tidak" "
"Oh," kata penjaga pintu itu. "Di dalam flat ini sama sekali ada lima puluh pintu, orang yang datang atau pergi, yang keluar masuk, tak hentinya, tak dapat aku memperhatikan mereka satu demi satu. Karena kamu telah membunyikan bel dengan sia-sia, mungkin Nona Wie Menny serta suaminya itu, tuan Ong Sie Koen, kebetulan lagi keluar."
"Kau lihat atau tidak kalau-kalau kemarin magrib ada tiga orang nona datang kemari" " tanya Hiang Kiat. "Mereka..."
"Yang datang kemarin magrib bukan cuma tiga orang perempuan," memotong si penjaga pintu.
"Kau belum dengar habis perkataanku," kata Hiang Kat, sabar. "Ketiga nona itu mudah diingat, sebab pakaian mereka beda satu dari lain. Nona yang satu mengenakan kemeja warna kuning muda dengan celana jas panjang kuning muda juga. Yang satu lagi serupa pakaiannya, cuma warnanya putih mulus. Dan yang ketiga, bajunya pendek hitam dan celananya panjang hitam juga..."
" Aku tidak merasa pasti. Kemarin aku pergi menyampaikan laporan kepada pemilik flat ini," sahut si penjaga pintu. "Hanya ketika aku kembali, aku melihat tiga nona yang pakaiannya luar biasa bersama-sama seorang wanita berpakaian Shanghai dress hitam bergigi-balang putih perak tengah berjalan turun di tangga..."
"Apa" " tanya Hoe Gan, terperanjat. "Nona dengan Shanghai-dress hitam yang bergigi-balang putih perak" Oh, kalau begitu, Nona In Hong beramai pun bertemu dengan Tong Soat Koan...!"
"Eh, Lie, jangan kau bingung tidak keruan!" tegur A Poan.
"Tak mestinya asal wanita berpakaian hitam dengan bergigi-balang putih perak lantas dialah Tong Soat Koan!"
"Bukankah wanita itu berpotongan muka kwacie" " Hoe Gan tanya si penjaga pintu.
"Benar." "Bukankah dia tak tinggi dan tak kate dan tubuhnya langsing serta romannya sangat cantik" " Hoe Gan menegaskan.
"Benar," penjaga pintu itu mengangguk.
"Oh, Thian, tak salah lagi!" Hoe Gan berseru, mengeluh.
"Pastilah Nona In Hong bertemu dengan Tong Soat Koan...!"
Dengan lantas dia jadi bergelisah.
"Tahukah kau, kemana perginya mereka itu" " Hiang Kat tanya.
"Mereka pergi naik sebuaht oto di tepi jalan sana. Itulah sebuah oto tua sekali. Tempat duduk sopir dan penumpang
terpisah. Si wanita dengan Shanghai-dress hitam yang menutup pintu oto, lantas dia lompat naik ke depan, untuk segera menjalankan mesinnya. Sudah lama aku tidak pernah melihat oto semacam itu."
"Bagaimanakah macamnya" "
"Oto dengan ban putih, bagian depannya tanpa kap, cuma ditutup tenda."
"Warnanya" " tanya A Poan, tegang hatinya.
"Kuning muda!" "Oh, celaka!" seru si detektip terokmok. "Oto itu sudah tenggelam di dasarnya sungai Whang-poo di dekat Woo sung..."
"Sabar, A Poan," kata Hoe Gan. "Tak semua oto tua dapat terjun ke sungai..."
"Tapi inilah benar. Tadi pagi datang laporan dari polisi Chun-kung Road bahwa seorang polisi setempat telah menyaksikan sendiri oto semacam itu tercebur ke sungai di Woo-sung itu, begitu kecemplung lantas lenyap..."
"Habis, siapakah wanita yang duduk di depan itu" "
"Entahlah. Mungkin dia Tong Soat Koan..."
"Kau masih menyebut mungkin! Toh sudah terang, tak dapat disangsikan lagi, bahwa dialah Tong Soat Koan si setan yang kelelap di dalam air!"
"Nona Hiang Kat," kata A Poan kemudian, "kelihatannya mungkin Nona In Hong bertiga telah mendapat kecelakaan kecemplung di dalam sungai Whang-poo. Kalau benar..."
Detektip terokmok ini lantas jadi sangat lesu.
"Aku numpang bertanya," kata Hiang Kat pada si penjaga pintu. "Nona Wie Menny itu, atau Nyonya Ong Sie Koen, bagaimana roman atau potongan tubuhnya" " Ia bersikap tenang sedangkan sebenarnya hatinya sangat gelisah.
"Dialah seorang wanita biasa saja. Tubuhnya kate dan kecil, mukanya bundar, matanya kecil juga," sahut si penjaga pintu.
"Kau tahu atau tidak kalau-kalau wanita dengan Shanghai dress hitam itu ada hubungannya dengan Nona Wie Menny" " Hiang Kat tanya pula.
"Aku tidak tahu," sahut si penjaga. Dia menggeleng kepala. "Belum pernah aku melihat wanita itu. Dia bukan penghuni flat ini dan juga bukan sanak atau kenalan salah seorang penghuni."
"A Poan, inilah aneh," kemudian Hiang Kat kata pada si gemuk, "In Hong menjenguk Sie Koen dan wanita dengan Shanghai dress itu bukan anggauta keluarganya Sie Koen, kenapa mereka dapat bertemu satu dengan lain dan lalu pergi bersama" "
"Inilah soal sulit, nona," kata Hoe Gan. "Tong Soat Koan bukan manusia, dialah setan, bahkan setan air, mana dapat dia diselidiki" Dia memang mau mencari pengganti jiwanya, maka dia melakukan pelbagai tipu untuk mengakali orang..."
"Nona Hiang Kat," kata A Poan, "sekarang baik kita pulang dulu, di rumah baru kita memikirkannya..."
Hiang Kat setuju, bahkan ia pulang sendiri ke Hung-yao Road. Segera ia berdandan, menukar pakaian dan menyalin muka. Selesai itu, dengan membekal revolver, ia kembali ke
Kiao-chow Road, ke dekat-dekat Kang Tsing Building, untuk membuat penyelidikan.
A Poan, yang pulang ke kantor, terus mengasi laporan pada sep-nya.
"Apa" " tanya Tjie An, heran. "Benarkah In Hong, Kat Po dan Ouw A diceburkan ke sungai oleh Tong Soat Koan" " Ia bersangsi. Tapi cuma sejenak, terus ia tertawa terbahak.
Terhadap In Hong, ia jelus dan dengki, selagi panas hati, Ia menjumpai si nona mati. Sekarang pengharapannya itu kesampaian.
Maka ia kata pada sebawahannya, "A Poan, sebentar aku jamu kau, setelah itu, kita pergi ke tempat dansa semalam suntuk! Hendak aku memberi selamat buat kematiannya In Hong!"
Tapi hati A Poan panas. "Kematian In Hong berarti kehilangan tuan penolong bagi masyarakat", kata ia. "Kematian itu harus disesalkan dan dibuat duka, kenapa kau justeru mau berpesta-pora karenanya" Aku menolak undangan kau ini, tuan! Kau pergilah berpesta seorang diri!"
Tjie An tertawa pula. "Bukankah dia kata dia dapat menaklukkan siluman dan menangkap setan" " katanya, sangat puas. "Bukankah dia menyuruh kami menanti dan menyaksikan dia menawan setan" Nah, sekarang dialah yang dibekuk setan! Bersamanya, dia kehilangan juga Kat Po dan Ouw A!"
VI Kat Po dan In Hong melihat gerak gerik si wanita dengan Shanghai-dress hitam itu yang menyetir oto yang
mereka tumpangi. Wanita itu membuka tenda oto dan berjongkok. Kat Po tidak curiga apa-apa, dia cuma heran.
In Hong sebaliknya. Nona ini terkejut, ia bercuriga. Tiba-tiba ia dapat menerka bahwa mereka mau dicemplungkan ke dalam sungai! Itulah akal sangat licik dan jahat.
Orang dikurung di dalam kereta yang tak dapat dibuka pintu dan jendelanya, yang kacanya tidak dapat dipecahkan juga. Itulah sangat berbahaya.
Sekali kecemplung ke sungai, pasti orang akan mati napas sesak dan menenggak banyak air hingga perutnya kembung! Tak dapat orang meloloskan diri!
Semenjak tadi, In Hong terus berusaha membuka jendela. Ia berhasil pula menurunkan sampai satu kaki lebih tiga atau empat dim. Justeru itu, ia melihat ancaman maut itu.
"Lekas!" ia berseru. "Kamu turut aku!"
Segera nona ini menggunai kepandaian dan kesebatannya. Sambil membalik tubuh menjadi celentang, ia menceploskan kepalanya di renggangan jendela, kedua tangannya menyusul keluar.
Tangannya itu dipakai menjambret ke atas, untuk menarik tubuhnya. Dibantu tolakan kedua kakinya, ia membikin tubuhnya nyeplos keluar, hingga ia jadi berada di atas oto. Ia bekerja cepat dan tanpa suara apa-apa.
Si penyetir oto tidak dapat melihat apa yang orang lakukan di dalam oto itu. Dia justeru tertawa terbahak-bahak karena saking puas hatinya. Dia cuma pikir untuk mereka bersama-sama nyebur ke dalam sungai...
Setelah lolos, In Hong membantui Ouw A, lalu Kat Po.
Tak mudah buat Kat Po dapat nyeplos, tubuhnya jauh lebih besar. Dalam keadaan sangat mendesak itu, In Hong mendapat akal. Ia cekal kedua tangan Kat Po, ia menarik dengan kedua kakinya menjejak samping oto.
Ketika itu, oto sudah terjun ke sungai, masuk ke dalam air.
Ouw A mental sendirinya. Kat Po lolos juga tetapi dia pingsan, tempo In Hong menariknya muncul di muka sungai, dia diam bagaikan mayat.
Keluar dari dalam air, In Hong dapat bernapas lega. Ia mesti terus menolongi Kat Po, tak sempat ia mencari Ouw A. Ia berkuatir kalau ia ingat Ouw A belum mahir ilmu renangnya.
Dalam malam gelap, rembulan dan bintang-bintang tak bersinar. Gelombang tetap mendampar-dampar. Sukar untuk melihat sesuatu.
In Hong pandai berenang tetapi berat tugasnya memegangi Kat Po, supaya orang tak usah kemasukan air dari mulut, hidung dan telinganya. Sambil mencoba berenang ke arah pinggiran, ia pun memikirkan Ouw A...
Hampir si Burung Kenari membuka mulutnya, akan memanggil-manggil Ouw A tatkala matanya melihat suatu sinar kuning remang-remang yang bergerak-gerak jauh di sebelah depannya.
Ia tidak tahu bahwa itulah sinar lenteranya si orang polisi, yang berdiri di tepian menyoroti ke muka sungai, mencari-cari oto yang tercebur dan tenggelam itu.
Ia tidak mau membuka suara, karena ia bercuriga kalau-cahaya api itu datang dari kawannya si nyonya yang jahat yang mengenakan Shanghai-dress hitam bergigi-balang putih perak itu...
Tidak lama, lenyaplah sinar api itu. Tapi sinar itu menolong nona ini. Ia jadi ketahui mana arah tepian. Maka sambil menyeret Kat Po, ia berenang ke tepian. Sang gelombang membantu menolak tubuh mereka. Lalu, terus memegangi tubuh Kat Po, ia mulai memanggil, "Ouw A! Ouw A! Kau di mana" "
"Aku di sini!" datang penyahutan cepat. "Aku di sini...
Oey Eng... aku tidak dapat bertahan... tenagaku... sudah... habis... aku... bakal lekas tenggelam..."
In Hong girang berbareng berkuatir. Ia masih memegangi Kat Po, tidak dapat ia segera menolongi adik seperguruan yang termuda itu.
"Lekas kau celentang, Ouw A!" ia berseru. "Kau geraki kedua kaki dan tanganmu. Tak nanti kau kelelap! Gerakilah kaki dan tanganmu, walaupun perlahan! Saban-saban kau mesti memanggil aku!"
"Aku di sini... Aku di sini..." demikian suara Ouw A tetap lemah.
Oleh karena tidak dapat ia menyia-nyiakan ketika, sambil menyeret tubuh Kat Po, In Hong berenang selekasnya bisa ke arah Ouw A. Di tempat segelap itu, sukar mencari orang.
"Ouw A, kau di mana" " berulang-ulang kakak seperguruan menanya.
"Aku di sini..." sahut Ouw A. Suaranya masih jauh dan sangat lemah.
Kemudian... "Ouw A, kau di mana" "
Tidak ada jawaban... "Ouw A, kau di mana" "
Kembali tidak ada jawaban...
Ouw A kuat tetapi mungkin dia kehabisan tenaga.
Mungkin, habis mengeluarkan tenaga terlalu banyak, dia menjadi lelah, sedangkan diwaktu tercebur tadi tentulah dia menenggak juga air sungai.
Dengan oto nyemplung pesat, mestinya dia terbanting ke muka air dan kaget, lalu terus tenggelam, hingga sekian lama, baru dia muncul dan ngambang, untuk berenang sebisa-bisanya.
Berenang di dalam gelombang pun meminta tenaga berlebihan. Mungkin dia telah tenggelam dan kelelap...
"Ouw A, kau di mana" " ;
"Aku... aku... di sini... lekas" lekas..."
Itulah suara si sembrono, yang biasanya keras, tetapi sekarang menjadi sangat lemah. Hanya sekarang suara terdengar lebih dekat.
Terus In Hong berenang secepatnya bisa.
Syukurlah, ia lantas dapat mendekati adik seperguruan itu. Ouw A berenang dengan tengkurap, kedua tangan dan kakinya bergerak-gerak, perlahan dan kacau, tak teratur lagi.
Itulah disebabkan keletihannya, karena dia masih mencoba sebisa-bisanya. Lagi beberapa detik, tentulah dia akan sudah tenggelam.
Begitu ia kena pegang tubuh orang, begitu In Hong membalikinya.
Syukur Ouw A masih sadar, dia dapat bernapas pula.
Inilah menolong padanya. Dengan ditahan In Hong, bisa dia berenang pula dengan kedua kaki dan tangannya.
Sekarang In Hong yang paling berat tugasnya. Ia mesti berenang dengan mengandalkan kaki saja. Kedua tangannya mesti memegangi tubuh Kat Po dan Ouw A. Ia menarik dua saudara itu menuju ke tepian. Celakanya mereka masih berada di tengah sungai.
Sementara itu jauh di sebelah depan nampak setitik sinar lerang. Mestinya itu apinya sebuah kendaraan air.
"Sebuah perahu lagi mendatangi," kata In Hong pada Ouw A.
Adik seperguruan itu girang.
"Tolong! Tolong!" mendadak dia berkaok-kaok. Tapi suaranya tetap lemah.
"Orang tak dengar suaramu!" kata In Hong.
Ouw A tidak menghiraukan, ia berteriak pula berulang-ulang. Sinar api tadi mendatangi semakin dekat. Itulah sebuah perahu layar. Penghuni perahu sudah lantas mendapat dengar teriakan minta tolong. Perahu dilajukan lebih cepat.
Lalu tibalah saatnya kedua pihak datang dekat satu pada lain.
In Hong melepaskan tubuh Ouw A, ia menjambret pinggiran perahu, lantas ia menolak, mengangkat Kat Po. Dari atas beberapa orang lantas menyambuti, mengangkat naik Kat Po.
In Hong girang, hatinya lega sekali. Ia jadi mendapat tenaga baru. Ia menyambar pula tubuh Ouw A, untuk terus diangkat.
Lagi sekali awak perahu menolongi, maka Ouw A pun tiba diatas perahu seperti Kat Po.
In Hong lantas menyusul. Ia dapat naik sendiri. Selekasnya ia mengucap terima kasih, ia meminjam lentera angin, untuk menyuluhi Kat Po, yang masih pingsan.
Ia melihat sebuah benjol pada kepalanya adik seperguruan itu. Itulah terang akibat kepala membentur oto.
"Apakah kamu mempunyai arak kao-liang" " In Hong tanya. "Kalau ada, tolong bagi sedikit."
"Ada" sahut orang Yang diajak bicara, seorang setengah tua. "Syukurlah aku setan arak, selamanya aku sedia air kata-kata."
Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebotol whisky merek Kuda Putih.
In Hong menyambuti, tanpa ayal lagi, ia membuka mulutnya Kat Po dan menuang isi botol itu ke dalamnya, kira-kira satu cangkir, kemudian dengan lekas ia berdaya menolongi. Ia tahu caranya bagaimana harus menolongi orang kelelap.
Perahu sementara itu dilajukan terus.
Beberapa awak perahu tidak dapat menanya In Hong, maka mereka menanya Ouw A kenapa bertiga mereka berada ditengah sungai.
"Kami ditipu telur busuk, kami dicemplungkan ke dalam sungai," jawabnya, sengit.
"Ditipu" " tanya seorang. "Inilah aneh! Coba ceritakan bagaimana tipunya si telur busuk" "
Awak perahu itu tahu, si telur busuk ialah orang jahat.
"Aku tidak bisa bercerita," kata Ouw A. "Aku juga kurang jelas. Baiklah kau tanya nona itu, Nona Oey... ayo... In Hong!"
"Nona In Hong" " awak perahu itu mengulangi "Oh inilah Nona In Hong" "
"Benar!" kata salah seorang awak, yang tubuhnya besar dan kepalanya gundul. Dia seperti kenal nama In Hong.
"Oh, Nona In Hong! Tolong kau tuturkan caranya kau ditipu! Sudikah, nona" "
"Nanti aku tolongi dahulu kawanku ini," sahul In Hong sambil bekerja terus. "Sebentar setelah dia sadar, dapat kita memasang omong. Kami pun harus menghaturkan terima kasih kepada kamu."
Terus kakak seperguruan ini mengangkat pergi datang kedua tangannya Kat Po, yang tubuhnya ia rebahkan celentang di depannya. Ia masih bekerja terus meskipun dada si soemoay, adik seperguruan, sudah mulai bergerak. Ia baru berhenti selekasnya soemoay itu sadar.
Mulanya Kat Po bingung, lantas ia ingat segala apa.
In Hong membekal uang kertas tetapi uang itu rusak bekas kerendam dan tidak dapat dipakai lagi, maka itu, guna membalas budinya awak perahu, ia meloloskan jam tangannya, bersama sebotol whiskey, ia angsurkan kepada salah satu awak perahu sambil ia berkata, "Aku mengucap terima kasih untuk pertolongan kamu, harap kamu sudi terima ini barang tidak berharga."
Tukang perahu itu menyambut, ia mengawasi jam tangan itu sekian lama. Nampak ia sangat girang.
"Ah, inilah jam tangan yang dapat berjalan sendiri!" katanya. "Kau baik sekali, nona!" Lantas ia masuki benda itu ke dalam sakunya.
Selama itu, perahu berlayar terus masuk ke wilayah sungai Yangtze.
"Kamu ini mau pergi kemana" " In Hong tanya kemudian.
"Ke Liuho!" Liuho tidak terpisah jauh dari Shanghai. In Hong suka mendarat di sana.
Tiga awak perahu lainnya, yang melihat gerak gerik In Hong dan kawan itu, menghampirkan.
"Tjoei Loojie, kau simpan apa itu dalam sakumu" " mereka tanya.
Panggilan "Tjoei Loojie" itu berarti, "Loojie, si nomor dua, tukang mabuk arak."
"Nona ini memberikan aku jam tangan selaku tanda mata," sahut Loojie, yang tahu tak dapat ia mendusta. "Kamu jangan banyak berisik, supaya yang lain-Iain tidak tahu. Nanti, setelah aku jual, uangnya kita bagi rata berempat!"
"Begitu pun baik, cuma, coba kasi kami lihat dulu jam tangannya," kata satu diantara tiga kawan itu, yang agaknya kurang percaya.
Tjoei Loojie mengasi lihat jam tangannya. Dan mereka itu melihatnya di pojok lain dari perahu itu secara diam-diam.
Didalam gelap, mereka tetap menggunai lentera angin mereka.
In Hong bertiga duduk-berkumpul. Ada tempat luang untuk mereka. Hanya Ouw A, tak peduli bajunya kuyup, dia sudah lantas rebah dan tidur pulas dengan menggeros keras.
"In Hong," tanya Kat Po, "ketika tadi kau dapat keluar dari dalam oto, kenapa kau tidak lantas hajar setan perempuan yang jahat itu atau kau membekuknya" Aku sangat benci dia, ingin aku memuaskan hatiku!"
Memang, ingat si jahat, hawa amarahnya nona ini meluap.
"Dia memang jahat akan tetapi untuk menghajar dia masih banyak waktunya," kata In Hong. "Tak dapat aku menyerang atau membekuk dia selagi oto kabur sehebat itu. Umpama kita jatuh dari oto dan bertempur, bagaimana dengan kau dan Ouw A" Mana bisa kamu keluar dari dalam oto" Tidakkah itu berbahaya" "
Kat Po mengangguk! "Ya, aku tidak memikir sampai disitu," katanya. "Aku heran akan wanita itu, tak peduli dia Tong Soat Koan atau bukan! Kenapa dia seperti telah mengetahui terlebih dahulu bahwa kita bakal datang ke Kang Tsing Building" Kenapa dia telah siap menantikan kita, bahkan dia dapat menyediakan juga otonya yang istimewa dan kuat itu" "
"Itulah bukan soal yang sederhana," sahut In Hong. "Aku mencurigai satu orang. Dialah si tukang sayur yang mengangguk dengan A Poan ketika tadi pagi kita pergi ke jembatan Tsing-shih melihat mayatnya Ong Sie Koen. Tempo A Poan dan Lie Hoe Gan pergi ke jembatan itu, dia telah menantikan mereka dan dia dengan sengaja menuturkan hal ikhwalnya Tong Soat Koan serta menganjuri mereka pergi ke villanya Touw Eng Djin untuk membuktikan penuturannya mengenai Tong Soat Koan.
Itulah sebabnya A Poan kenal padanya. Disini orang telah membuat rencana sedari siang-siang. Tadi pagi itu si tukang sayur tetap mematai-matai kita. Dia melihat kita menanyakan keterangan si tukang jahit, dia pasti telah menduga bahwa kita bakal mengetahui halnya Ong Sie Koen dan akan pergi membuat penyelidikan, maka dia lantas pulang untuk memberi laporan pada orang dibelakang layar itu, orang mana sudah lantas mengatur tipu dayanya yang liehay itu untuk membunuh kita. Sayang kau tidak dari tadi-tadinya mencurigai tukang sayur itu."
"Mungkinkah Nona Wie Menny isterinya Ong Sie Koen serta si wanita berpakaian Shanghai-dress hitam itu berkonco satu dengan lain" " tanya Kat Po. "Atau mungkinkah wanita itu Wie Menny sendiri" "
"Entahlah." "Menurut aku, mestinya mereka berkonco. Kalau tidak, tidak nanti dia berada di rumah Wie Menny dan mengaku menjadi Wie Menny sendiri..."
"Entahlah. Tak dapat aku sembarang menerka."
"Dia bicara dari halnya dua orang buaya darat, si A Hok dan si A Kin, yang meminjam uangnya Ong Sie Koen dan tidak dibayar pulang. Benarkah itu" "
"Pastilah itu kedustaan belaka. Hanya dia menceritakannya sempuma sekali serta dia menghubunginya dengan tempat peristiwa di jembatan Tsing-shih itu, hingga kita percaya empat korban itu benar menjadi korban-korbannya orang jahat. Aku tidak memikirkan itu dalam-dalam maka aku kena terpedayakan. Sekarang aku bisa menerka. Dari antara keempat korban itu, yang dua yaitu keponakannya si saudagar obat-obatan mungkin benar terlibat dalam urusan uang, akan tetapi korban yang keempat, pegawainya si tuan tanah, sebagai
pegawai, mana dia mempunyai uang dalam jumlah besar" Aku duga Ong Sie Koen dan empat korban itu, mereka bukan terbinasa lantaran urusan hutang, mesti didalamnya ada satu urusan lain, yang sekarang "Urusan apakah itu" " Kat Po tanya.
"Sekarang ini belum dapat aku menerka..."
Ketika itu, di langit tampak samar-samar sinar putih. Rupanya sang fajar lagi mengintai. Ketika itu pula di dalam gubuk perahu, seorang setengah tua yang jangkung dan kurus, telah mendusin dari tidurnya dan memanggil seorang pembantunya, ialah seorang berkepala botak yang tubuhnya besar.
"Malam tadi kita bekerja dengan sia-sia belaka," kata dia pada pembantunya itu. "Sebentar malam kita akan mencoba pula. Sesampainya di Liuho, kau titahkan mereka bubaran buat sementara waktu, nanti jam empat lohor, baru kita pergi."
Si jangkung kurus itu ini menjadi kepala penyelundup.
"Ya," sahut si pembantu, yang mengangguk, lalu terus ia berkata pula, "tadi di sungai Whang-poo kami menolongi tiga orang wanita muda, nama satu diantaranya aku rasa mengenal baik sekali. Dia mengenakan sweater dan wol kuning muda serta celana panjang kuning muda juga. Rasanya kau pernah menyebut namanya..."
"Bukankah dia bernama In Hong" " tanya orang itu "Benar."
"Kenapa ingatanmu tumpul sekali" " tegur si pemimpin.
"In Hong itu musuh besar kita, musuh hidup dan mati! Dialah yang membekuk adikku, Tam Pit Seng, serta beberapa kawannya, dan mendesak polisi untuk menghukumnya! Aku memang mau membalaskan sakit
hati adikku itu, kebetulan sekarang aku bertemu dengannya! Di mana adanya mereka sekarang" "
Si jangkung kurus ini bernama Tam Pit Eng. Dialah kakaknya Tam Pit Seng.
"Mereka berada di kepala perahu kita. Bagaimana kau hendak turun tangan" "
"Hendak aku menggunai senjata api," sahut Pit Eng.
"Akan aku keluar secara diam-diam, untuk menembaknya secara diam-diam juga..."
"Jangan, itulah tidak sempurna," kata si pembantu, yang diantara kawan-kawannya kesohor paling cerdik. "Pernah aku dengar kau membilang bahwa In Hong gagah dan cerdas, sedang kepandaian menembakmu biasa saja. Tak dapat kita menggeprak rumput membikin ular kaget."
"Habis, apakah dayamu" " Pit Seng tanya.
"Tjoei Loojie mempunyai racun tikus yang ia dapat dari seorang sahabatnya, katanya siapa kena makan itu, dalam satu atau dua menit saja, jiwanya bakal melayang, maka aku pikir, haik aku minta itu dari dia, nanti kita campur di dalam arak, kita kasi mereka bertiga minum. Mereka itu tengah kedinginan, melihat alkohol, tentu mereka girang sekali. Kau lihat, akal ini baik atau tidak" "
"Bagus! Nah, pergilah kau minta racun itu!"
Si botak keluar, untuk menghampirkan Tjoei Loojie.
"Di perahu kita ada tikusnya," katanya, "aku minta sedikit racun untuk membasminya. Dapatkah kau membagi racunmu sedikit" "
"Tentu!" kata Tjoei Loojie sambil merogo sakunya dan mengeluarkan sebuah peles kecil. "Hanya awas, racun ini keras sifatnya, kau pakai sedikit saja sudah cukup. Jaga
supaya jangan kau sentuh, atau kau mesti lekas-lekas mencuci tangan!"
"Aku tahu!" kata si botak.
Dia menyambuti, lantas dia kembali ke dalam gubuk perahu. Di sini dia lantas bekerja. Dia mengambil sebotol brandy bersama empat buah cawan. Yang secawan ia isikan brandy dan terus tenggak. Ke dalam botol brandy ia mengeteskan racun tikusnya. Karena ia kuatir racun itu kurang kuat, ia menambah lagi. Habis itu ia bawa brandy itu serta tiga cawan kosong keluar, ke tempatnya In Hong bertiga.
"Nona-nona duduk di kepala perahu, tempat yang terbuka, tentunya kamu merasa dingin," kata dia, bersenyum.
"Terima kasih, dapat kami bertahan," kata In Hong. Sebenarnya ia merasa dingin tetapi tak sudi ia meminta ini atau itu.
"Aku mempunyai setengah botol brandy cap Kapak yang tersohor, silahkan nona-nona minum untuk melawan hawa dingin," katanya pula. "Terserah pada nona-nona hendak membayar berapa padaku. Kalau tidak, brandy ini bakal habis dicuri Loojie si pemabukan..."
Kata-kata yang terakhir itu ialah alasan untuk orang tidak cunga. Ouw A rebah kedinginan, mendengar ada brandy, ia mendahului lompat bangun.
"Kalau ada arak, mari bagi aku!" katanya. "Aku bisa mati kedinginan!"
Kat Po juga menyatakan suka minum arak.
Cuma In Hong yang berlaku tenang.
"Silahkan minum!" kata si botak, yang terus mengisikan tiga buah cawan.
Paling dulu ia mengangsurkan cawan pada In Hong, baru pada Kat Po dan Ouw A. Ia pun menenggak pula cawannya, yang berisi brandy tanpa racun.
In Hong minum satu hirupan, atau lantas ia mengerutkan alis.
Ouw A dan Kat Po menenggak habis isi cawannya.
"Rasanya brandy ini lain..." kata In Hong.
Tapi Kat Po berteriak, "Celaka! Brandy ini ada racunnya!"
Itulah sebab ia lantas merasakan perutnya panas.
"Aku merasa brandy ini keras dan memusingkan kepala," kata Ouw A.
"Kita terjebak!" seru Kat Po. "Oh, rasanya sakit sekali, mungkin aku tidak dapat bertahan..."
Si botak mengawasi dan mendengari, dia bersenyum. Dia percaya ketiga nona itu bakal roboh binasa dalam tempo satu atau dua menit, atau paling lama, tiga atau empat menit...
VII In Hong mengawasi Kat Po dan Ouw A.
" Aku merasa tubuhku tak enak sekali," kata Kat Po.
" Aku tidak merasakan apa juga," kata Ouw A.
In Hong sebaliknya mendadak lompat kepada si botak yang bertubuh besar itu sambil sebelah tangannya mencekuk leher orang.
" Aku minta kau minum secawan ini!" katanya.
"Oh... tidak!" kata si botak kaget. "Aku tidak kuat minum... Sudah aku minum satu cawan, tak dapat aku minum lagi..."
Di dalam hatinya, dia heran sekali. Kenapa kedua nona ini tidak kurang suatu apa.
"Kau mesti minum!" kata In Hong memaksa. Ia masih memegangi leher orang. Bukan main bingungnya si botak. Dia pun tidak berani melawan. Dia merasa tangan si nona menjepit keras sekali.
"Kau mau minum atau tidak!" bentak In Hong.
"Biar mati, tidak..." sahut si botak.
Dia sendiri yang menaruh racun, sudah tentu tak sudi dia minum itu.
"Jikalau begitu, pasti arak ini ada racunnya!" kata In Hong, yang memperkeras cekelannya.
Lalu, dengan menyuruh Kat Po memencet hidung orang, ia paksa mencekoki. Baru setelah araknya kena tertelan, ia memperkendor cekalannya.
Si botak susah bernapas. Itulah sebabnya, mau atau tidak, ia telah kena minum araknya itu. Dia pun tidak dapat meronta.
Maka sekarang dia mengharap-harap racunnya tidak bekerja...
In Hong melepaskan tangannya begitu lekas arak sudah masuk ke dalam perut orang.
"Kenapa kau menaruh racun dalam arak ini" " tanyanya.
"Karena kau menangkap Tam Pit Seng," sahut si botak, meringis. "Kakak dia, Tam Pit Eng, hendak membalaskan sakit hati adiknya itu. Sekarang aku bakal mengikut kamu mati bersama..."
"Obat apa itu yang kau pakai" " tanya In Hong, dingin.
"Racun tikus..."


Hartanya Penghianat Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa, racun tikus" " seru Kat Po. "Oh...!" Ia kaget bukan main. Ia tahu hebatnya racun itu.
In Hong segera mengawasi mukanya Kat Po dan Ouw A bergantian. Ia percaya racun bukan racun hebat seperti dikatakan si botak. Kalau tidak, Kat Po dan Ouw A mestinya sudah roboh atau binasa dan ia sendiri tentu bakal roboh juga. Ia jadi heran.
"Sebenarnya kau gunakan obat apa" " ia desak si botak.
"Racun tikus!" si botak memastikan. "Itulah racun jahat yang segera akan membunuh mati siapa yang meminumnya!"
Justeru itu muncullah Tjoei Loojie si pemabukan, yang jalannya limbung.
Melihat kawan itu, si botak berkata, "He, Loojie, aku minta kau pulang ke kampung untuk memberitahukan isteriku jikalau aku mati, dia mesti menanti sampai satu atau dua tahun, baru dia boleh menikah pula, jikalau tidak..."
"Kau tidak bakal mati, sahabatku!" kata si pemabukan.
"Tadi kau minta racun padaku dengan mengatakan kau hendak meracuni tikus, aku merogoh ke dalam sakuku dan memberikan racun yang kau minta itu, akan tetapi sekarang aku dapat kenyataan bahwa aku telah salah memberikannya. Racun itu masih ada padaku, yang tadi
aku berikan padamu melainkan vitamin bubuk. Sekarang mari kembalikan vitaminku itu."
"Oh, Thian, terima kasih, terima kasih!" si botak berseru, kegirangan. "Aku ketolongan! Aku ketolongan!" lantas dia lompat berjingkrakan.
Hati In Hong lega sekali. Inilah kesudahan yang tak pernah ia sangka. Jadinya Kat Po itu merasa tak enak akibat dari getaran asabatnya. Selekasnya ia merasa seperti biasa pula.
Justeru itu pada saat itu terdengar suara, "Tar! Tar!" demikian dua kali letusan senjata api saling menyusul dan peluru mendesing lewat di sisi nona In.
Ketika In Hong menoleh dengan segera maka ia melihat, bersembunyi dibelakang layar, seorang jangkung kurus yang menembaknya. Kedua tangan orang itu masing-masing mencekal sebuah pistol dan dia mengulangi menembak!
Di situ tidak ada tempat berlindung, sambil berlompat berkelit, In Hong memberikan tanda rahasia agar kedua kawannya terjun ke air.
Maka bertiga, bergantian mereka lompat ke sungai, akan selulup berenang di dalam air, akan timbul dan selulup pula, untuk berenang lebih jauh. Dengan cara demikian, mereka menyingkir dari serangan lebih jauh berulang-ulang dari penembaknya itu.
Selagi cuaca mulai terang, perahu lenyap dari pandangannya In Hong bertiga. Mereka menyingkir ke arah pinggiran.
Ouw A dibantu dua saudara seperguruannya itu sampai di tepi di mana mereka mendarat dengan tidak kurang suatu apa.
Diwaktu lohor lebih kurang jam tiga, mereka telah berhasil sampai dirumah mereka di Hung-yao Road. Setelah menderita sepuluh jam lebih, baru sekarang mereka bisa bernapas lega. Paling dulu mereka salin pakaian dan dandan.
Sementara itu, Hiang Kat tidak ada di rumah.
"Dia keluar, tentu dia pergi mencari kita," Kat Po mengutarakan dugaannya. "Coba terka, In Hong, kemanakah dia pergi" "
"Tentu dia pergi ke Kang Tsing Building," In Hong menjawab.
"Kalau begitu, mari lekas kita menyusul dia!" kata Kat Po, yang tidak biasa dapat mengendalikan dirinya. "Dia bisa terjebak penjahat!"
In Hong setuju, maka itu, bertiga mereka lantas pergi pula.
Tak jauh dari flat mendadak mereka dihampirkan seorang wanita setengah tua, yang tubuhnya kate, yang muncul dari sebuah gang yang gelap sambil terus berseru, "Eh, kamu mau pergi kemana" "
"Hiang Kat! Kami justeru mencari kau!" seru Kat Po.
"Oh, Hiang Kat, kenapa kau menyamar begini rupa" " tegur Ouw A. "Kau nampak jadi lebih tua dua puluh tahun!"
"Menurut katanya A Poan, kamu telah diseret Tong Soat Koan ke dalam sungai," kata Hiang Kat.
"Memang kami menempuh bahaya," sahut In Hong, yang terus memberikan keterangannya.
"Oh, begitu," kata Hiang Kat, yang menuturkan keterangannya penjaga flat itu. "Baru saja lima menit yang
lalu aku melihat Wie Menny, wanita bermuka bundar bermata kecil itu, yang tubuhnya kate dan kecil juga, masuk ke dalam flat yang besar di Kiao-chow Road itu. Nampaknya dial sangat gugup. Aku sedang memikirkan akal apa harus dipakai untuk dapat masuk ke sana, ketika barusan aku melihat kamu."
"Perempuan itu memincuk kami dan mencemplungkan ke dalam sung ai, dengan dia buat apa kita banyak bicara lagi" "
Ouw A pun kata sengit, dan tak sudi dia memikirkan soal yang sulit itu. "Kita hajar saja dia sampai tubuhnya hancur luluh!"
"Buat apa kau memikirkannya lagi" " kata Kat Po. "Kita pergi padanya, kita bekuk, sebelum kita minta keterangannya, kita hajar dulu! Biar dia tahu rasa"
"Biar bagaimana, kita harus bekerja dengan melihat selatan," In Hong turut bicara.
Lantas berempat mereka bertindak ke arah flat. Penjaga pintu kaget melihat orang-orang dengan warna pakaiannya berlainan itu, dia lantas mengangkat kaki.
"Dia tentu takut sebab dia mengira kamu setan-setan air," kata Hiang Kat.
Segera mereka tiba di tingkat ketiga, di muka pintu nomor 303. Bel pintu sudah lantas ditekan.
Payung Sengkala 6 Sembilan Pusaka Wasiat Dewa Pengelana Tangan Sakti Karya Lovely Dear Wanita Iblis 1

Cari Blog Ini