Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Naga Langit 1

Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


KISAH SI NAGA LANGIT Asmaraman S Kho Ping Hoo MAO-MAO-SAN (Gunung Mao-mao)
menjulang tinggi sekitar empat meter
dan puncaknya menembus awan."
Gunung ini terletak di sebelah dalam
Tembok Besar, di dekat perbatasan
sebelah utara Propinsi Gan-su dan
Mongo-lia Dalam. Biarpun pegunungan ini terletak di perbatasan, namun pegunungan ini
tidak sepi benar. Kota Tian-ju dan Gu-lang terletak di kakinya
sebelah barat dan utara, sedangkan dl kaki baglan timur
terdapat kota Jing-tai. Pegunungan Inl mempunyal tanah yang
subur, maka di kaki pegunungan dan di lereng-lereng bagian
bawah terdapat banyak dusun pertanian di mana rakyat petani
hidup cukup makmur, dalam arti kata tidak pernah kekurangan
makan. Akan tetapl di bagian lereng sebelah atas sampal ke
puncak, Mao-mao-san jarang dikunjungi orang karena daerah ini
penuh dengan hutan belantara yang dihuni banyak binatang
buas. Para pemburu binatangpun hanya berani mencari untung
sampai di lereng pertengahan saja. Cerita tahyul beredar di
kalangan rakyat petani bah wa di dekat puncak Mao?mao-san
terdapat seekor naga siluman yang amat jahat. Kabarnya
banyak pemburu yang beranl naik lebih tinggi, lenyap tanpa
menlnggalkan jejak dan dikabarkan men Jadi mangsa naga
slluman. Semenjak cerlta Itu terslar, tidak ada seorangpun
1 pemburu berani nalk pertengahan gunung. mendakl lereng yang berada dl Pagi itu hari dlmulal dengan cuaca yang amat cerah. Matahari
pagl bebas memuntahkan cahayanya, membangunkan segala
sesuatu yang malas terblus malam dingin. Embun pagi
membubung dari hutan-hutan kemudian lenyap dibakar sinar
mataharl yang mulal terasa hangat. Burung-burung mulal sibuk,
berkicau sallng memberi salam, berloncatan darl dahan ke
dahan, merontokkan embun yang tadinya tergantung di
ujung?ujung daun-daunan. Mereka ttu dengan riang gembira
menyambut sinar matahari dan bersiap-siap melakukan
pekerjaan mereka mencari makan. Binatang-binatang hutan juga
mulai meninggalkan sarang mereka untuk mencari makan bagl
dlri sendirl dan bagl anak-anak mereka. Bunga-bunga
bermekaran. Kupu-kupu beterbangan. Awan putlh tipis berbagai
bentuk berarak di angkasa. Semua bekerja! Matahari, awan,
pohon-pohon, bunga, embun, burung, kupu-kupu dan semua
binatang hutan. Mereka semua mulal sibuk bekerja mencari
makan, Memang sesungguhnya lah. Hidup adalah gerak dan
gerak yang pallng balk dan bermanfaat adalah be-kerja. Seluruh
alam dan Isinya tiada henti-hentinya bekerja. Kekuasaan Tuhan
selalu bekerja, tak pernah berhenti sedetikpun juga. Kalau
berhenti sedetik saja, akan kiamatlah dunia ini.
Dari lereng dekat puncak, masih di bawah awan, klta dapat
melihat panorama yang teramat Indah. Sukar dllukiskan
kebesaran dan kelndahan alam. Sawah ladang terbentang luas
dl bawah kaki kita. Di sana-sini tampak air berkilauan
memantulkan sinar matahari seperti cermin-cermin. Mata dapat
menikmati pemandangan yang amat indah. Telinga juga dapat
2 menikmati suara-suara merdu, kicau burung, desah angin di
puncak-puncak pohon, gemercik air. Hidung juga dapat
menikmati aroma yang amat segar, sedap dan alami. Bau hutan,
bunga, tanah basah, semua itu demikian dekat dan dikenal
penciuman kita. Udara demikian sejuk segar, mengalir deras
memenuhi paru-paru, membawa kesehatan dan kenyamanan
perasaan. Indah dan nikmatnya hidup ini!
Di lereng bawah puncak yang amat sunyi itu dan yang hampir
tidak pernah dikunjungi orang, pada pagi hari itu terjadl hal yang
tldak seperti biasanya. Terdapat seorang lakl-lakl berjalan
seorang dlri menuruni puncak! Lakl-laki itu melangkah seperti di
luar kesadaran nya. Dia seolah bersatu dengan alam di
sekitarnya, matanya melahap semua yang tampak, mata yang
bersinar penuh bahagia, mulutnya tersenyum. Pada saat seperti
Itu, dia seperti kehilangan jati dirlnya karena sudah bersatu
dengan alam. Dia adalah bagian dari pohon-pohon Itu, bagian
dari ratusan burung yang terbang di angkasa, bagian dari
sekumpulan kupu-kupu yang mencari madu diantara bungabunga, sebagian dari embun yang masih bergantung di
ujungujung daun. Dia ber hentl melangkah. Di depannya
terdapat sebuah jurang ternganga. Di bawah kaki nya, sinar
matahari membentuk bayang?bayang memberi gairah
kehidupan kepada segala sesuatu. Orang itu agaknya baru
sadar akan dirinya dan dlapun menghirllp napas dalam-dalam
sehingga dada dan perutnya mengembang. Seperti dengan
sendirinya dia berdongak ke langit, dan mulutnya berbisik.
"Terpujilah nama Yang Maha Kasth, yang menclptakan semua
inl." 3 Dia lalu melangkah lagi, perlahan-lahan, dengan santai. Dia
seorang lakl-laki berusla kurang lebih lima puluh tahun.
Rambutnya yang panjang digelung ke atas masih hitam semua.
Wajahnya halus belum ada kerut tuanya. Sepasang matanya
mencorong tajam namun lembut sekali. Hidungnya mancung
dan mulutnya selalu tersenyum ramah dan penuh kesa-baran
dan pengertian. Wajahnya berbentuk bulat dengan dagu
meruncing. Tubuhnya sedang saja, tampak lemah. Pakaiannya
sederhana sekali, hanya se helai kain panjang kuning yang
dilibatlibatkan tubuhnya. Dia memakai sepatu kain tebal yang
bawahnya dilapisi besi sehingga awet sekali. Di punggungnya
tergendong sebuah buntalan kuning yang besar dan tampaknya
berat. Pria itu di waktu mudanya bernama Tiong Lee, seorang ahli
sastra yang mendalami tentang pelajaran Khong-hu-cu, Lo-cu
dan yang terakhir pelajaran Agama Buddha. Seperti telah
menjadi kebudayaan Cina di waktu abad ke sebe las, ketlga
agama ini berbaur dan filsafat tiga agama Ini dlpilih yang cocok
untuk menjadl dasar kehldupan 'til Clna. Semenjak usla dua
puluh lima tahun, Tiong Lee yang tertarik untuk mendalaml
pelajaran Agama Buddha, melakukan perjalanan ke India seperti
pernah dilakukan oleh pendeta Hsuan Tsang pada abad ke
tujuh. Di negara pusat Agama Buddha itu Tiong Lee mempelajari
Aga-ma Buddha secara mendalam, dan selaln itu, dia
mempelajari pula tentang ilmu Yoga dan pembangkitan kekuatan
sakti dalam tubuh yang disebut Kundalini Yoga. Juga dari para
pertapa Hindu yang memiliki kesaktian yang luar biasa, dia
mempelajari banyak ilmu sihir bersih yang berlawanan dengan
ilmu "sihir hitam yang biasanya dipergunakan untuk melakukan
4 kejahatan. Biarpun dia telah menjadi seorang ahli dalani Agama
Buddha, Tiong Lee tidak mencukur rambiltnya, tidak menjadi
hwesio (bhikkhu). Hanya pakaiannya saja sederhana seperti
pakai-an para pendeta. Rarnbutnya digelung dan diikat dengan
pita kuning. Karena ke manapun dia pergi, dia mengajarkan
tentang kehidupan yang benar dan baik, maka dia selanjutnya,
setelah berusia lima puluh tahun, mendapat sebutan Tiong Lee
Cin-jin. Setelah berusia lima puluh tahun dan sudah dua puluh
lima tahun merantau ke India dan Tibet, akhirnya
Tiong Lee Cin-jin melakukan perjalanan ke timur untuk pulang ke
Cina. Dia membawa banyak kitab-kitab suci, baik darl Agama
Buddha maupun Agama Hindu, dengan maksud untuk dibawa
pulang ke negerinya dan diterjemahkannya agar dapat dipelajari
banyak orang di negerinya.
Pada pagi hari itu, perjalanannya dari dunia barat tiba di
pegunungan Mao-mao. Tertarik oleh keadaan gunung itu, dia
mendaki sampai ke puncak dan tinggal semalam di puncak. Pagi
itu dia menuruni puncak dan menikmati keindahan alam. Dalam
pesona kebesaran alam seperti itu, teringatlah dia akan kalimat
bijaksana yang sukar dimengerti akan tetapi mudah dirasakan
dalam keadaan seperti keadaannya di saat itu. Kalimat itu
berbunyi: "Tidak memiliki apapun berarti memiliki segalanya!"
Kata memiliki yang pertama berarti kemelekatan kepada sesuatu
yang dipunyai, dan kemelekatan kepada sesuatu, baik sesuatu
itu orang, barang ataupun nama dan kedudukan, pasti mendatangkan sengsora kehilangann. Adapun kata memlliki yang
kedua berarti manunggal, bersatu dengan segalanya. Kita da-pat
menikmati merdunya kicau burung di pohon dan indah harumnya
5 bunga tanpa takut kehilangan. Akan tetapi sekali kita memiliki
burung itu dan mengurungnya dalam sangkar, atau memilikl
tanaman bunga itu dan mengelilinginya dengan pagar, sekali
waktu kita akan menderita kalau burung Itu hilang atau bunga itu
dipetik orang. Tiong Lee Cln-jin tersenyum dan menundukkan mukanya seolah
menghitung langkahnya satu-satu. Mempunyai akan tetapi tldak
memilikl, itulah seninya kehidupan. Mempunyat hanya secara
lahiriah saja. Batin ttdak memilikt dan tidak melekat sehingga
tldak merasa takut atau duka kalau kehilangan apa yang dipunyainya. Hanya Yang Maha" 'iKuasa yang wenang memiliki
segala apa yang ada. Kita tidak memiiiki apa-apa. Semua yang
ada pada kita hanyalah pinjaman belaka. Bahkan badan inipun
bukan milik kita. Kita tldak kuasa atasnya. Bahkan klta tldak
kuasa untuk menghentikan tumbuhnya kuku atau sehelai
rambut. ADA yang menumbuhkan. Itulah Tao. Itulah kekuasaan
Tuhan yang tidak pernah berhenti bekerja walau sedetikpun.
Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, tampak dua bayangan
orang berkelebat dan tahu-tahu di depan Tiong Lee Cin-jin
berdiri dua orang pria tua. Ke munculan mereka yang seperti
pandai menghilang atau terbang Itu menyadarkan Tiong Lee
Cin-jin bahwa dia berhadapan dengan dua orang yang memlliki
ilmu kesaktian tinggi. Melihat dua orang itu, dia memandang
penuh perhatian. Orang pertama adalah seorang laki-laki yang usianya tentu
sudah enam puluh tahun lebih. Kumisnya yang putih itu pendek
saja, akan tetap! jenggotnya yang juga su'dah putih itu tumbuh
dari bawah tellnga kiri sampa! ke bawah telinga kanan, lebat
6 sekali. Rambut dan alls nya yang tebal Juga sudah putih semua.
Akan tetapl kulit mukanya yang banyak kerutan ttu maslh
nampak kemerahan dan scgar. Dla mengenakan sebuah topl
dari bulu blnatang yang bentuknya seperti peci sederhana. Dari
potongan baju dan celananya yang juga sederhana, Tiong Lee
Cin-jln yang sudah banyak pengalaman itu tahu bahwa pria itu
ada lah seorang bersuku bangsa Uigur. Orang kedua adalah
seorang laki-laki yang lebih tua lagl. Usianya tentu sekitar tujuh
puluh tahun dilihat dari mukanya yang penuh keriput. Matanya
sipit, kumisnya tipis saja, akan tetapi jenggotnya lebih tebal
daripada jenggot orang pertama, dan berwarna kelabu.
Kepalanya memakai kain kepala berwarna putih yang dibelitkan
seperti sorban. Dilihat dari cara dia berpakalan Tiong Lee Cin-jin
menduga bahwa kakek kedua ini tentu bersuku , bangsa Hui,
yang sebetulnya adalah bangsa Han juga, akan tetapi yang
sudah berabad-abad tinggal di Mongolia Dalam. Dllihat dari
sorban di kepalanya, dapat diduga bahwa kakek Hul Ini
beragama Islam. Memang suku bangsa Hul sebagian besar
adalah Muslim. Mellhat dua orang yang leblh tua darlnya dan mereka berdua Itu
agaknya sengaja menghadang dl depannya, Tiong Lee Cin-jin
cepat memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan
dada, lalu membungkuk dan berkata dalam bahasa Han dengan
ramah sambil tersenyum. "Selamat berjumpa, seudara tua yang baik! Semoga Yang Maha
Kuasa selalu memberkahi kalian berdua."
Kakek suku bangsa Uigur itu terkekeh dan dia menggerakgerakkan tongkatnya yang ternyata adalah seekor ular cobra
7 yang dlkeringkan ke atas lalu menjawab. "Selamat bertemu,
sobat!" katanya dalam bahasa Han.
Kakek suku bangsa Hul memukui-mukulkan tongkatnya yang
terbuat darl se macam bambu yang disebut Bambu Sislk Naga
ke atas tanah lalu berkata lantang. "Mualaikum salaam, serooga
Allah memberkahi anda! Bukankah anda yang ber nama Tiong
Lee Cin-jin?" kata pula kakek suku bangsa Hui itu dengan
bahasa Han yamg lancar pula.
Tiong Lee Cin-jin tersenyum. Dia ttdak merasa heran kalau
kedua orang ini mengenal namanya, Bagi dia, tidak ada yang
aneh di dunia ini karena segala sesuatu itu pasti ada alasan dan
sebabnya. "Benar sekali, saya adalah Tiong Lee Cin-jin.
Sebaliknya, siapakah ji-wi (anda berdua), datang darl mana
hendak ke mana?" "Aku bernama Ouw Kan datang dari Sin-kiang barat." Kakek
suku Uigur yang memegang tongkat ular berkata.
"Dan aku adalah Ali Ahmed dari pedalaman Mongol. Kami
berdua memang sengaja datang hendak bertemu denganmu,
Tiong Lee Cin-jin. Kami mendengar' bahwa engkau baru pulang
dari india dan akan lewat di daerah ini, maka, karni sengaja
datang menghadangmu," kata kakek suku Hui.
Kembali Tiong Lee Cin-jin memberi hormat dengan merangkap
kedua tangan depari dada lalu berkata sambil tersenyum.
"Sungguh merupakan penghormatan besar sekali bagiku.
Setelah sekarang kita berjumpa di sini, apakah kiranya yang
dapat suya bantu dan lakukan untuk ji-wi?"
8 "Heh-heh-heh, bagus sekali. Kiranya nama besar Tiong Lee CinJin sebagai seorang yang baik hati dan pemurah bukanlah kabar
kosong belaka!" kata Ouw Kan sambil menggerakgerakkan
tongkat ular cobranya. "Anda memang dapat membantu kami, Tiong Lee Cin?jin, yaitu
berikan dan tinggalkan buntalan yang kau gendong itu untuk
kami." Tiong Lee Cin-jin mengerutkan alis-nya. "Sahabat berdua, isi
buntalan ini hanya beberapa potong pakaian pengganti dan
kitab-kitab yang saya bawa dari India. Kalau ji-wi menghendaki,
silakan mengambil pakaian dan sedikit bekal uang emas yang
berada di buntalan, ke?mudian membiarkan saya melanjutkan
perjalanan saya." Suaranya masih tetap lembut; dan ramah
karena baginya, kehilangan pakaian dan uang emas tidak
menimbulkan masalah. "Heh, Tiong Lee Cin-jin! Jangan bicara seenaknya saja kamu!
Apa kau kira kami berdua ini hanya sebangsa perampok hina?"


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bentak Ouw Kan marah sam-bil menudingkan tongkat ular
cobranya ke arah dada Tiong Lee Cin-jin.
"Lalu apa yang kau kehendaki, saudara Ouw Kan?" tanya Tiong
Lee Cin-jin. "Tiong Lee Cin-jin, kami tidak menginginkan harta benda
milikmu. Haram bagiku untuk mengambil harta orang lain. Kami
hanya menghendaki agar engkau meninggalkan kitab-kitab itu
kepada kami!" kata Ali Ahmed sambil menunjukkan telunjuknya
ke arah buntalan yang berada di punggung Tiong Lee Cin-jin.
9 "Aneh sekali permintaanmu itu, Saudara Ali Ahmed. Kitab-kitab
yang kubawa dari India ini adalah kitab-kitab Agama Buddha dan
Hlndu sedangkari engkau adalah seorang Muslim. Apa gunanya
kitab-kitab ini baglmu?" tanya Ttong i Lee Cln-jin.
"Kami tidak Ingln mempelajari agama, akan tetapi kami tahu
bahwa banyak i kitab suci yang kaubawa itu mengandung
pelajaran tentang ilmu silat tinggi dan itmu sihir. Bahkan ada
sebuah kitab peninggalan Sang Budhi Dharma menge-nai
pelajaran silat yang sakti. Aku Sangat membutuhkan kitab 'itu."
kata Ouw Kan garang. "Kitab peninggalan Tat Mo Couwsu (Budhi Dharma) itu menurut
surat wasiat guru besar itu diperuntukkan biara Siauw-lim di
Gunung Sung-san. Para fiwesio Siauw?lim-pai yang berhak atas
I kitab itu dan aku harus menyerahkannya kepada mereka. Amat
tidak baik meng-ambil hak milik orang lain."
"Tidak perduli. Tinggalkan buntalan itu!" bentak Ouw Kan dan Ali
Ahmed! berbareng. Tiong Lee Cin-jin tersenyum dan ,menghela napas panjang.
Kemudian, per-lahan-lahan dia melepaskan ujung kaln buntalan
yang diikatkan di depan dadanya, melepaskan gendongannya.
Kemudian di-turunkan gendongan itu dan diletakkan di atas
tanah, di depannya. Melihat ini, dua orang itu berpencar, melangkah maju
menghampiri dari kanan kirl. Tiba-tiba Ali Ahmed menudingkan
tongkat bambunya ke arah buntalan kain kuning sambil berseru,
"Terbanglah ke Sini!"
10 Tiba-tiba saja buntalan kain kuning itu melayang ke atas seperti
ada tangan tak tampak yang mengangkatnya. Buntalan itu
melayang perlahan ke arah Ali Ahmed.
Pada saat itu, Ouw Kan juga meng angkat togkat ular cobranya
dan. ber-teriak "Kembali kepadaku!" Tongkapya ditudingkan ke
arah buntalan yang sedang melayang ke arah Ali Ahmed dan
tlba-tiba saja buntalan itu beralih arah, kini melayang ke arah
Ouw Kan. Ali Ahmed mengeluarkan suara menggeram. Tongkat bambu di
tangan kanannya tetap menuding ke arah buntalan dan kini
tongkat itu bergetar keras.
"Ke sini!" bentaknya . dari buntalan kain kuning ini kembalt
beralih arah, membalik ke arah kakek bersuku bangsa Hui itu.
"Ke sini!" berrtaky Ouw Kan dan tong-kat ular cobranya Juga
tergetar hebat. Kini buntalan itu bergerak ke kanan kirl seolaholah
terbetot oleh dua kekuatandahsyat yang memperebutkanhya. Tiong Lee Cin-jin yang menonton adu kekuatan sihir ini
tersenyum. "Sungguh sayang sekali!" katanya lirih akan tetapi suaranya
mengandung ke kuatan sehingga dapat terdengar jelas 61eh
dua orang yang sedang memperebutkan buntalan kain kuning
dengan mengadu tenaga sihir itu. "Kalian telah bersusah payah
membuang waktu bertahuntahun untuk menghimpun tenaga
sakti. Ternyata hari ini tenaga sakti itu hanya ka lian pergunakan
untuk menuruti nafsu Setan! Tidak sadarkah kalian bahwa begitu
11 kalian menuruti keinginan, berarti kalian telah membiarkan diri
dicengkerarn nafsu setan dan akan menjadi permainannya"
Sadarlah, wahai kedua orang saudaraku, sebelum terlambat
terjebak bujukan iblis yang akan menyeret kalian ke dalam dosa
dan kesengsaraan!" Mendengar ucapan Tiong Lee Cin-jin itu, kedua orang seperti
melepaskan bun-talan yang mereka perebutkan sehingga
buntalan itu meluncur ke bawah dan jatuh ke atas tanah di
depan Tiong Lee Cin-jin yang sudah duduk bersila di atas
rumput. "Tiong Lee Cin-jin, kata-katamu menyesatkan. Aku ingin
mendapatkan kitab-i^ kitab untuk menemukan cara menyempurnakan diri mencapai penerangan dan kebahagiaan
sejati!" kata Ouw Kan.
"Aku juga ingin mendapatkan ilmu agar kelak aku dapat masuk
sorga!" kata Ali Ahmed. "Aih, saudara-saudaraku yang baik!
Insaflah akan kesesatan kalian. Sadarilah bahwa semua
pelajaran dalam agama apapun juga pada dasarnya sama, yaitu
membiarkan jiwa yang rindu kepada sumbernya seperti air rindu
kepada samudera, melalui pikiran, ucapan dan perbuatan yang
baik dan benar, yang sifatnya membangun tidak meruntuhkan,
menjaga tidak merusak, membahagiakan dan tidak menyengsarakan sesama hidup. Kita mempersiapkan diri setiap
saat untuk menjadi alat yang membantu pekerjaan Kuasa Yang
Maha Mulia pencipta alam semesta dan semua isinya.
Bagaimana kita dapat melaksanakan semua ini" Melalui hati
akal pikiran" Tidak niungkin. Hati akal pikiran telah dijadikan
12 sarang nafsu setan yang selalu ingih mendapatkan sesuatu.
Apakah itu harta, atau nama besar, atau juga yang
diinginkannya itu yang dinamakan kesempurnaan, sorga dan
sebagainya lagi, semua itu sama saja. Yang diinginkan hati akal
pikiran itu ada lah yang diinginkan nafsu setan, yaitu
kesenangan! Baik itu dinamakan kesempurnaan atau kebahagiaan atau
sorga, kalau sudah diinginkan, dicari, maka se-mua itu tiada lain
hanyalah kesenangan. Kita membayangkan kesenangan dalam
s6rga atau kesempurnaan itu. Kesenangan itul.ah yang menarik
kita untuk mengejar dan memperolehnya dan ini merupakan
keinginan nafsu daya rendah. Me-nuruti keinginan nafsu daya
rendah ini menyeret kita ke dalam kesesatan karena demi
mencapai apa yang kita inginkan kita akan melakukan apapun
juga tanpa mempertimbangkan apakah cara yang ki ta pakai itu
baik atau sesat." "Heh-heh, Tiong Lee Cin-jin, penda-patmu itu bahkan
menyesatkan! Kalau kita tidak mempergunakan hati akal pikiran,
mengisinya dengan pengertian, ba-gaimana mungkln kita dapat
membedakan antara yang benar dan yang salah" Tanpa
pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk, bagaimana kita
akan mam-pu melawan daya pengaruh nafsu?" kata Ouw Kan.
"Hati akal pikiran memang merupakan anugerah khusus bagi
manUsia karena tan. pa itu klta akan hidup tiada bedanya
dengan hewan. Hati akal pikiran memang perlu dipergunakan
untuk menimba ilmu pengetahuan lewat pengalaman dan
pelajaran karena kehidupan manusia di dunia ini secara lahlriah
membutuhkan ilmu pengetahuan. Akan tetapi kalau ilmu
13 pengetahuan atau kalau hati akal pikiran kita pergunakan untuk
melawan daya pe-ngaruh nafsu, kita akan kecelik! Coba
kumpulkan seluruh maling di dunia ini , dan tanya, apakah ada
seorang saja di antara mereka yang tidak tahu atau tidak
mengerti bahwa perbuatan mencuri itu adalah perbuatan jahat
dan tidak baik" Semua, tidak terkecuali, tentu mengertl melalui
hati akal plkirannya. Akan tetapi, pengetahuan dan pengertian
melalui hati akal pikiran itu tidak dapat menghentikan perbuatan
mencuri itu! Sebaliknya malah. Hati akal pikiran yang sudah
menjadi sarang bagi nafsu daya rendah itu bahkan menjadi pembela perbuatan mencuri itu dengan membisikkan berbagai
alasan. Aku terpaksa melakukan ini, demi keluargaku, orang lain
juga melakukan malah lebih besar daripada aku. Demikian hati
akal pikir-an membisiki sehingga semua maling ti-dak merasa
menyesal, tidak bertobat malah semakin menjadi-jadi."
"Hemm, agaknya engkau sama sekali tidak memberi jalan
kepada orang yang berbuat dosa untuk bertaubat. Kalau begitu,
apakah yang harus dilakukan nianusia untuk tidak melakukan
kesesatan?" Ouw Kan mengejar.
"Apapun yang diusahakan untuk mengu bah, semua usaha itu
masih dalam lingkungan hati akal pikiran, masih dalam lingkaran
kekuasaan nafsu daya rendah yang selalu menginginkan
sesuatu yang lebih baik! Pamrih-pamrih ini yang menje bak kita
sehingga terjadi lingkaran setan. Ingin lebih baik, iogin lebih
menyenangkan, ingin ini ingin itu yang akhirnya menyeret kita ke
dalam kesesatan-kesesatan baru yang lain lagi. Tidak ada usaha hati akal pikiran yang akan berhasil.
14 Hanya ada satu saja kekuatan yang akan mampu menundukkan
nafsu daya rendah. Kekuatan itu bukan lain adalah Kekuasa-an
Yang Maha Kasih. Dengan kekuasaan inilah kita akan dapat
menalukkan natsu setan yang bagaimana licik dan jahat-pun!
Kekuasaan ini akan memberi kekuatan kepada kita, akan
menuntun kita. Kekuatan ini muncul kalau kita menyerah kepada
Yang Maha Kuasa secara mutlak. Kalau hati sanubari kita
kosong dan terbuka, Kekuasaan Mutlak itu akan masuk,
membangkitkan jiwa kita, memberi-nya kekuatan dan nafsunafsu daya ren dah akan kembali menduduki tugasnya semula,
yaitu menjadi pelayan kita, menjadi hamba kita, bukan menjadi
majikan kita." "Semua uraianmu itu terdengar muluk-muluk dan indah. Akan
tetapi aku merasa tidak setuju ketika engkau menyebutkan
bahwa mencari sorga sama dengan mencari harta. Semua
orang, dari agama apa-pun juga, merindukan sorga. Kenapa
eng-kau berani merendahkan sorga sedemiki-an rupa sehingga
kausamakan dengan har-ta benda?" Ali Ahmed bertanya sambil
rnengerutkan alisnya yang tebal.
"Saudaraku yang baik. Sorga atau har-ta benda memang tidak
ada bedanya ka-lau keduanya itu dibayangkan sebagai se suatu
yang akan mendatangkan kesenang-an lalu dikejar-kejar. Yang
mengingin-kan kesenangan dan mengejar-ngejarnya adalah
nafsu daya rendah. Memang sifat nafsu itu demikian, mencari
kesenangan. Coba kita bertanya kepada diri sendiri. Andaikata
sorga itu dibayangkan sebagai sesuatu tempat yang tidak enak,
tidak menyenangkan, bahkan menyakitkan, apa-kah kita masih
akan mengejarnya" Kurasa tidak akan ada seorangpun manusia
mengejarnya! Kalau klta membayangkan kesenangan, apapun
15 bentuknya, jelas bah-wa itu ulah, nafsu duniawi dan kedagingan,
karena segala macam bentuk kesenangan adalah bentuk
keenakan yang dapat dirasakan 'jasmani selagi berada di dunia.
Dan selama ada kesenangan, disitu pasti ada pula kesusahan,
saudara kembarnya yang tak terpisahkan."
"Wah, Tiong Lee Cin-jin ini serigaja banyak bicara untuk
mengalihkan perhati-an kita dari buntalan kitab-kitab itu, Ali
Ajimed. Jangan dengarkan dia lagi!" kata Ouw Kan dengan
marah dan dia su dah bersiap dengan tongkat ular cobranya.
Ali Ahmed juga melompat ke bela-kang dan mengerutkan
alisnya. "Benar, dia bahkan ingin mempengaruhi, kita de ngan
ajaran-ajaran sesat! Tiong Lee Cin-jin kauserahkan atau tidak
kitab-kitab itu" Ataukah kami harus menggunakan kekerasan?"
Orang bersuku bangsa Hui itu mengancam dengan tongkat
bambunya, yang diacungkan ke atas.
Tiong Lee Cin-jin yang masih duduk bersila itu tersenyum dan
melambaikan tangan kanannya ke arah buntalan yang terletak di
atas tanah di depannya. "Sudah sejak tadi kulepaskan dari
gendongan. Di antara kalian berdua, entah siapa yang berjodoh
memiliki kitab-kitab itu."
"Aku yang berjodoh!" tiba-tiba Ouw Kan berseru dan dia
menggerakkan tangan kanan yang memegang tongkat ular
cobra. Dengan tongkatnya itu dia hen dak mengambil buntalan
kitab. Akan te tapi tongkat bambu di tangan Ali Ah-med juga
meluncur dan menangkis tong kat ular cobra.
"Tidak, . aku yang berjodoh!" Orang Hui itu berseru.
16 "Trakkk!" Tongkat mereka bertemu dan sungguh hebat sekali.
Tongkat ular cobra kering dan tongkat bambu itu keti-ka saling
bertemu, terdengar suara nyaring dan tampak bunga api berpijar
seo-lah-olah yang bertemu itu adalah benda yang terbuat
daripada baja murni. Dari kenyataan ini saja sudah dapat
diketahui bahwa dua orang Itu adalah orang-orang yang memilikl
kesaktian. Ouw Kan me nyerang dengan gerakan silat yang
aneh bagi Tiong Lee Cin-jin. Gerakan Ouw Kan yang bertubuh
sedang dan tegap ini meliuk-liuk seperti gerakan seekor ular,
cocok sekali dengan senjatanya, yaitu sebatang tongkat ular
cobra kering. Hebatnya, gerakannya yang cepat dengan
serangan yang tidak terduga-duga datangnya itu diseling dengan
suara mendesis-desis yang keluar dari mulutnya yang
diruncingkan, presis seekor ular yang menyemburkan uap
beracun. Namun, lawannya, Ali Ahmed ternyata juga memiliki
gerakan silat yang hebat. Gerakan ke-dua kakinya jelas
dipengaruhi oleh ilmu Siauw-lim-pai Utara. Tongkat bambunya
menyambar-nyambar, diseling kedua kakinya silih berganti yang
tidak kalah bahayanya bagi lawan dibanding tongkainya. Mereka
bergerak cepat dan tangkas, tong kat ular cobra dan tongkat
bambu itu lenyap bentuknya berybah menjadi gulungan sinar
hitam dan hijau. Hanya kadang-kadang kedua sinar Itu bertemu
dan meledaklah bunga api berpljar menyilaukan mata.'
Tlong Lee Cin-Jin masih tetap duduk bersila. Buntalan kain
kuningnya yaog kini diperebutkan orang itu masih terletak di atas
tanah, di depannya, Sejak tadi Tiong Lee Cin-jfn menonton
pertandingan itu dan diam-diam dia harus mengakui bahwa
tingkat kepandaian silat dya orang itu sudah tinggi. Pantasnya
iriereka itu datuk-datuk persilatan di darah mereka sendiri. Dia
17 tidak merasa heran bahwa ada orang-orang dunia per silatan
mengetahui bahwa dia pulang ke Cina membawa kitab-kitab
pusaka. Orang orang dunia persilatan itu selalu haus akan


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pusaka-pusaka yang sekiranya da-pat membuat mereka menjadi
semakin llhai, seperti senjata-senjata ampuh atau kitab-kitab
pelajaran ilmu yang tinggi.
Perkelahian antara Ouw Kan dan Ali Ahmed itu menjadi semakin
seru. Kini keduanya tidak hanya mengandalkan ilmu silat untuk
saling serang, akan tetapi juga mempergunakan ilmu sihir.
Ketika Ouw Kan mengeluarkan teriakan aneh, dari mulut ular
cobra kering yang menjadi tongkatnya itu menyambar uap hitam
yang berbau amis ke arah lawan! AU Ahmed tidak ingnjadi
gugup. Tangan kirinya terbuka mendorong ke depan dan
keluarlah uap putih dari telapak tangannya yang menyambut uap
hitam. Keduanya terdorong ke belakang dan terhuyung. Akan
tetapi mereka sudah dapat mengatur keseimbangan tubuh
mereka kembali dan sudah siap untuk saling gempur,
melanjutkan pertandingan tadi. Akan tetapi tiba-tiba keduanya
tersentak kaget keti-ka mendengar suara tawa bergelak yang
datangnya seolah dari atas kepala mereka. Suara tawa bergelak
itu datang berge lombang, makin lama makin kuat mengan dung
daya serangan yang amat kuat menerobos telinga mereka dan
menjalar ke arah jantung! Dua orang kakek itu kini berdiri,
bersedakap, memejanikan kedua mata mereka dan
mengerahkan seluruh tenaga sakti mereka untuk melindungi diri
mereka dari serangan suara tawa yang amat kuat itu. Suara
tawa seperti itu yang mengandung tenaga khi-kang yang amat
kuat, dapat merusak jantung atau setidaknya akan dapat
18 mengacau jaringan syaraf di otak sehingga dapat membuat
orang menjadi gila! Tlong Lee Cin-jin juga merasakan kehebatan pengaruh suara
tawa itu. Na-mun dengan wajah tetap sabar dan te-nang,
dengan bibir masih tersungging se nyuman lembut, dia
memejamkan kedua matanya dan tenggelam ke dalam alam
semesta. Suara tawa itu sama sekali tidak mengganggunya
karena dia seolah telah bersatu dengan suara itu, hanyut
bersama suara itu, sedikitpun tidak menentang sehingga suara
itu sama sekali tidak mengganggu bahkan dia dapat mera sakan
keindahan dalam suara tawa yang bergelak-gelak dan bergema
itu. Inilah keadaan yang dinamakan "melebur dan membaur
dengan segala" sehingga tidak terjadi pertentangan, seperti
sebatang pohon liu (cemara) yang tidak menentang datangnya
badai sehingga meliuk-liuk menurutkan dorongan angin dan
sama sekali tidak patah dahannya, tidak rontok daunnya, dan
tetap utuh sampai badai berlalu. Tidak seperti pohon siong yang
kokoh menyambut badai dengan mengandalkan kekuatannya
dan akhirnya tumbang dan roboh oleh hantaman badai yang
jauh lebih kuat daripada dirinya!
Tak lama kemudian, muncullah seorang kakek lain.
Kemunculannya aneh. Mula-mula tampak asap putih bergulunggulung, kemudian ketika asap membubung dan menghilang,
tampak kakek itu. Dia seorang kakek berusia kurang lebih enam
puluh tahun. Jubahnya seperti ju-bah seorang hwesio, dari kain
kuning ber-kotak-kotak merah. Kepalanya memakai sebuah peci
kuning pula, menutupi kepala nya yang gundul. Tubuhnya tinggi
besar, perutnya gendut dan kancing jubahnya bagian dada
terbuka sehingga tampak dadanya yang gempal dan bidang dan
19 di atas ulu hatinya tumbuh rambut hitam keriting. Kepala gundul
yang tertutup peci kuning itu besar dan bulat. Mukanya bundar
dan segala anggauta tubuh pendeta ini serba bundar. Sepasang
matanya lebar dan bulat, hidungnya juga besar, demikiap pula
mulutnya, lebar dan selalu menyeringai. Kedua daun telinganya
panjang dah lebar. Melihat pakaian kuning berkotak?kotak
merah dan tongkat panjang berkepala naga itu, Tiong Lee Cin-jin
tahu bahwa pendeta itu adalah seorang pendeta Lama dari
Tibet. Setelah memperlihatkan diri, pendeta itu berdiri tegak, tangan
kirinya meme-gang tongkat kepala naga yang tingginya sama
dengan tinggi tubuhnya, dan dia masih tertawa bergelak, akan
tetapi tawanya wajar, tidak lagi mengandung khi-kang yang
memiliki daya serang dahsyat seperti tadi.
"Hua-ha-ha-ha, kiranya ada dua ekor anjing dari Sin-kiang dan
Mongol yang saling berebutan tulang di sini! Kalian ini orang
Uigur dan Hui, bukan?"
"Setan jahanam!" Ali Ahmed memaki marah karena dikatakan
anjing oleh pendeta itu. "Aku memang benar datang dari
Mongolia Dalam, namaku Ali Ahmed. Siapakah engkau, manusia
sombong?" "Dan aku adalah Ouw Kan dari Sin-kiang. Engkaii ini pendeta
Lama harap jangan mencampuri urusan kami," bentak Ouw Kan.
"Ha-ha-ha, aku Jit Kong Lama nie'-mang suka mencampuri
urusan orang la-in kalau urusan itu menyangkut diriku.
Ketahuilah kalian, kitab-kitab dari Barat itu hanya aku yang
berhak memiliki dan tidak boleh diambil siapapun Juga. Kali-an
20 berdua lebih baik segera mengelinding pergi dari sini sebeluni
kepala kali-an yang meiiggelinding terpisali dari tubuh kalian!"
kata pendeta yang bernama Jit Kong Lama itu. Namanya
sungguh besar karena Jit Kong berarti Sinar Matahari.
Ouw Kan dan An Ahmed yang tadi saling serang itu marah
sekali. Mereka untuk sementara melupakan permusuhun di
antara mereka dan bagaikan mondapat komando, keduanya
membanting tongkat mereka ke alas tanah. Terdengar dua kali
ledakan, asap mengepul, tongkat le nyap dan berubah menjadi
dua ekor bina tang yang menyeramkan. tongkat ular cobra milik
Ouw Kan kini telah menjadi seekor ular cobra yang besar dan
panjang, yang mengangkat kepala dan lehernya ke atas
sehingga tegak, moncongnya agak terbuka, rnendesis-dcsis dan
ada uap hitam tersembur keluar dari moncongnya, lidahnya
keluar masuk adan sepasang matanya seperti berapi. Ular cobra
ini bergerak maju hendak menyerang Jit Kong Lama. Adapun
tongkat bambu milik Ali Ahmed berubah menjadi seekor
kelabang yang juga besarnya hampir sa ma ular cobra itu,
kulitnya berwarna merah darah, kakinya yang amat banyak itu
bergerak-gerak, sungutnya meraba-raba dan moncongnya juga siap untuk mehggigit. Banyak kaki yang
bergerak-gerak itu membawa tubuh yang besar itu maju dengan
cepat ke arah Jit Kong Lama.
Melihat dua orang lawannya menyihir tongkat mere^a mepjadi
ular dan kela-bang yang akan menyerangnya, Jit Kong Lama
roenyeringat dan memandang rendah.
21 "Ha-ha-ha, permainan kanak-kanak seperti itu kalian pamerkan
kepadaku?" katanya dan sekali dla melempar tongkat kepala
naga itu ke atas, tampak asap mengepul dan tongkat Itu sudah
ber ubah menjadi seekor burung raJawali besar. Burung itu
dengan ganas dan buas nya sudah menyambar ke bawah dan
menyerang ular cobra dan kelabang itu dengan patuk dan
cakarnya. Ular cobra dan kelabang itu melawan mati-matian.
Akan etapi segera mereka menjadi kewalahan karena burung
rajawali itu menyambar nyambar dari udara sehingga sukar bagi
mereka untuk menyerangnya, sebaliknya burung itu dapat
menyerang kedua lawan-nya dengan leluasa dari atas.
Tiong Lee Cin-jin tahu siapa Kong Lama itu. Ketika
meninggalkan dia dan kembali ke Cina, dia singgah di Tibet dan
mengadakan pertemuan dengan para pendeta Lama, bahkan
selama satu jam dia diberi kesempatan untuk mengha-dap Dalai
Lama. Dari para tokoh pende ta Lairia di Tibet, dia mendengar
bahwa ada beberapa orang pendeta Lama di Ti-bet yang
melakukan penyelewengan. Mengumpulkan harta benda dari
rakyat untuk kepentlngan dlri sendiri dan melakukan
pelanggaran pantangan berdekatan dengan wanlta. Jtt Kong
Lama merupa-kan seorang di antara para pendeta La-ma yang
melakukan penyelewengan itu bahkan dia merupakan seorang
tokoh besarnya, Melihat adu kekuatan sihir antara pendeta Lama
Itu melawan datuk darl suku bangsa Uigur dan Hul, tahulah dia
bahwa Jit Kong Lama jauh lebih kuat daripada dua orang
lawannya. Dugaannya memang benar. Ketika Ouw Kan dan Ali Ahmed
melihat ular dan kelabang jadijadian milik mereka itu kewalahan
menghadapi serangan gen-car burung rajawali, keduanya lalu
22 meng-angkat tangan kanan ke atas dan mengerahkan tenaga
sihir mereka. Ular dan kelabang itu tiba-tiba terbang ke belakang dan setelah tiba di tangan mereka, berubah kembali
menjadi tongkat ular cobra dan tongkat bambu yang sudah lecetlecet.
Sambil tertawa Jit Kong Lama ju-ga memanggil burung rajawali
jadi-jadi-an itu. Burung itu terbang ke tangannya dan berubah
pula menjadi tongkat pan-jang berkepala naga.
"Kalian masih juga belum minggat darl sini?" tegurnya dengan
nada meman-dang rendah kepada dua orang lawannya
itu' Akan tetapi Ouw Kan dan Ali Ahmed adalah dua orang yang
di daerah tempat tinggalnya terkenal sebagai datuk-datuk yang
sukar dicari tandingannya. Maka tentu saja mereka tidak mudah
nie nyerah kalah. Biarpun tadi dalam adu kekuatan sihir mereka
harus mengakui keunggulan Lama dari Tibet itu, namun mereka
masih beluin mau mundur. Sete-lah saling bertukar pandang,
seperti me-nyatukan keinginan untuk menandingi pen deta Lama
yang hendak menghalangi me reka mengambil kitab-kitab
pusaka, dua orang itu serentak bergerak maju, cepat sekali
mereka menerjang dan menyerang Jit Kong Lama. Serangan
mereka ini bukan sekedar serangan dengan mempergu-nakan
ilmusilat, namun serangan yang diperkuat dengan ilmu sihir.
Tubuh mere ka lenyap dan hanya tongkat ular cobra dan tongkat
bambu itu saja yang tampak menyerang dan seperti terbang ke
arah tubuh Jit Kong Lama!
Namu pendeta dari Tibet itu tidak menjadi gentar. Dia sendiri
adalah seo-rang ahl! silat dan ahli sihir yang sudah mencapai
23 tingkat tinggi, maka diapun mengeluarkan suara membaca
mantram dan tiba-tiba tubuhnya juga lenyap dan yang tampak
hanya tongkat panjang berkepala naga itu yang bergerak cepat
me-nyambut serangan dua batang tongkat yang mengeroyoknya
itu. Kalau saja di situ terdapat orang bia-sa yang menyaksikan
pertandingan itu, tentu akan bengong terlongong saking
herannya melihat ada dua batang tong-kat pendek "berkelahi"
mengeroyok seba-tang tongkat panjang! Namun, Tiong Lee Cinjin adalah seorang yang telah menda-patkan gemblengan
bermacam ilmu sela-ma dua puluh lima tahun merantau ke
daerah barat, yaitu ke daerah Bhutan, India, Nepal, Tibet dan
bertahun-tahun merantau ke daerah Himalaya dan berte-mu
dengan banyak pertapa-pertapa sakti, mempelajari banyak
macam ilmu. Oleh karena itu, biarpun tiga orang itu
mempergunakan ilmu sihir dan menghi-lang, dia masih dapat
melihat mereka ketika mereka bertanding memperguna kan
tongkat mereka. Dia melihat deng-an jelas pertandingan itu. Ouw
Kan dan Ali Ahmed memainkan tongkat, pendek mereka seperti
seorang bermain pedang, sedangkan Jit Kong Lama memainkan
tongkatnya yang panjang seperti orang bermain silai tongkat
dengan kedua ta-ngan. Pertandingan itii seru dan dahsyat sekali.
Ternyata ketiganya merupakan ahli-ahli silat tingkat i tinggi.
Terutama sekali Jit Kong Lama. Ilmu silatnya dahsyat sekali.
Ketika de'ngan kedua tangan dia memainkan tongkat kepala
naganya, tiada ubahnya dia ba^aikan seekor naga yang
melayanglayang dan setiap gerak-an tongkatnya mendatiangkan
.angin yang menyambar kuat!
24 Dua orang yang mengeroyok itupun memiliki ilmu silat yatig
tinggi. Gerakan :mereka lincah dan tangkas, serangan me-reka
cepat dan mengandung tenaga sin-kang yang kuat. Namun,
setiap- kaJi tong-kat ular cobra atau tongkat bambu berte Inu
tongkat panjang berkepala naga, dua tongkat yang Jlebih,
pe^ndek itu terpental kuat.
Tiong Lee Cin-jin mengikuti jalannya pertandingan dengan
penuh perhatian. Lambat laun, kedua orang pengeroyok itu mulai terdesak hebat.
Kini tiga tong ! kat itupun sudah lenyap bentuknya. Yang tampak
hanya dua gulungan sinar pendek mengeroyok segulung sinar
panjang. Namun tentu saja pandang mata Tiong Lee Cin-jin
yang tajam terlatih itu dapat mengikuti jalannya pertandingan
dengan baik. Suatu saat dia melihat tongkat ular cobra
menyambar dengan tusukan atau totokan ke arah leher Jit Kong
Lama. Tusukan itu berbahaya sekali kare-na ujung tongkat yang
menyerupai mu lut ular cobra yang terpentang itu meng andung
racun ular cobra yang amat am puh. Tergores sedikit saja, racun
akan memasuki tubuh lewat luka goresan dan kalau racun sudah
mencapai jantung, ma tilah orang itu! Pada detik-detik berikut
nya, tongkat bambu di tangan Ali Ahmed juga sudah menyambar
dan melakukan totokan ke arah jalan darah di lam-bung Jit Kong
Lama! Inipun merupakan serangan maut, karena kalau jalan
darah itu sampai terkena totokan tongkat yang dialiri sinkang
(tenaga sakti) itu maka pendeta Lama itu tentu akan boh dan
tewas seketika. Tiong Lee Cin-jin maklum betapa deta Lama itu berada dalam
ancaman maut. Akan tetapi pendeta gendut itu masih
25 menyeringai. Tiba-tiba, secara ti-dak terduga dan cepat sekali,
tangan kirinya menangkap ujung tongkat ular cobra dan kaki
kirinya mencuat dalam teii dangan kilat ke arah lengan tangan ka
nan Ouw Kan yang memegang tongkat. Begitu cepatnya
tendangan itu sehingga terpaksa Ouw Kan menarik tangarinya
dan pada saat itu Jit Kong Lama menge-rahkan tenaga
membetot tongkat ular cobra sehingga terlepas dari pegangan
Ouw Kan. Pada saat itu, tongkat bambu datang meluncur ke
arah lambung. jit Kong Lama tidak sempat menangkis atau
mengelak. Akan tetapi dia sedikit memutar tubuhnya sehingga
tongkat yang tadlnya meluncur dan menyerang lambung, kini
menusuk ke arah perut yang gendut itu!
"Cappp !" Tongkat bambu itu me-nancap di
perut Jit Kong Lama yang gendut. Ali Ahmed sudati
rnengeluarkan seruan gembira karena mengira tongkatnya telah
memasuki perut lawan. Akan teta pi Tiong Lee Cin-jin
berpendapat lain. Jit Kong Lama menyeringai lebar, tangan kirinya melontarkan
tongkat ular cobra ke arah Ouw Kan. Tongkat melun-cur seperti
anak panah menyambar, ke arah dada pemiliknya. Ouw Kan
terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi tetap saja ujung
tongkat menyerempet pundaknya.
"Aduh !" Ouw Kan terhuyung. Pada saat itu, Jit
Kong Lama berseru nyaring, "Pergilah!" Tiba-tiba perutnya


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergerak mengembung dan tongkat bambu yang masih
dipegang oleh Ali Ahmed Itu sepertl dldorong keras. Tubuh
orang suku Hui itu Ikut terdorong sehingga ia roboh terjengkang.
26 Cepat dia bangkit dan mukanya menjadi pucat, di ujung biblrnya
tampak darah sehingga mudah diketahul bahwa Ali Ahmed telah
menderita luka dalam. Sementara itu, Ouw Kan cepat menelan
pel obat penawar racun tongkat ular cobranya sendiri yang telah
melukai pundak dan meracuninya. Dua orang itu kini maklum
mereka tidak mungkin akan mampu menandingi Jit Kong Lama,
maka keduanya tanpa berun-ding lagi sudah berloncatan jauh
meninggalkan lereng itu! "Hua-ha-ha-ha-ha! Cacing-cacing ta nah seperti itu berani
menjual lagak hendak memiliki kitab-kitab pusaka yang su ci! Jit
Kong Lama tertawa dan setelah berkata demikian, di& memutar
tubuh-nya dan menghampiri Tiong Lee Cin-Jin. Setelah
mengamati pria yang masih du duk bersila itu sesaat lamanya,
kemudi-an dia memandang ke arah buntalan kain kuning di
depan orang itu, Jit Kong Lama bertanya, "Engkaukah yang
berna ma Tiong Lee Cin-jin dan yang telah berhasil
mengumpulkan banyak kitab pusa ka penting untuk kaubawa ke
Ttonegoan (Cina)?" Tiong Lee Cin-jin perlahan-lahan bangkit berdiri. mengebutkan
kain yang membalut tubuhnya bagian bawah yang kotor terkena
debu, kemudian mengangkat kedua tangan kedepan dada
menyembah sebagai salam. "Selamat berjumpa, Jit Kong tLama, semoga Yang Maha Kasih
memberkatimu!" "Hua-ha-ha! Tentu saja Yang Maha Kasih selalu memberkati
aku. Buktinya baru saja aku dapat mengalahkan dap mengusir
dua orang jahat itu!"
27 "Bukan, sayang sekali bukan kekuasaan Yang Maha Kasih yang
tadi menibantumu mengalahkan Ouw Kan dan Ali Ahmed, Jit
Kong Lama. Yang membantumu adalah ilmuilmumu sendiri
yang, didorong oleh nafsu setan yang menguasai dirimu," kata
Tiong Lee Cinjin dengani sikap tenang dan suaranya terdengar
lem-butpenuh kesabaran. Sepasang mata yang besar bulat itu mencorong, alis yang tebal
itu berkerut, lubang hidung yang lebar itu kembang kempis. "Apa
kaubilang" Apa maksudmu mengatakan bahwa kemenanganku
tadi didorong nafsu setan" Jangan seenaknya engkau bicara,
Tiong Lee Cin?jin!" "Tindakan dua orang tadi yang hendak menggunakan kekerasan
untuk merampas kitabkitabku jelas terdorbng nafsu setan, ingin
memiliki barang yang sama sekali bukan hak mereka. Lalu
engkau muncul dan engkau menentang mereka, bertanding dan
mengalahkan mereka. Bukiankah perbuaianmu itupun terdorong
nafsu yang sama, ingin memiliki kitabkitab-ku seperti yang
kaukatakan kepada mereka tadi?"
Jit Kong Lama tertawa bergelak se-hingga perutnya yang gendut
itu bergo-yang-goyang. "Hua-ha-ha-ha! Engkau keliru, Tiong Lee
Cin-jin. Aku memang menginginkan beberapa buah kitab, akan
tetapi bukan dengan cara merampok atau merampas, melainkan
sebagai imbalan. Aku telah menyelamatkan engkau dari
perampokan yang dilakukan dua orang tadi, maka tentu saja aku
berhak mem-peroleh imbalan darimu. Aku tidak min-ta imbalan
apa-apa kecuali beberapa bu-ah kitab yang akan kupilih di
antara ki-tab-kitabmu, Tiong Lee Cin?jin. Ha-ha-ha-ha!'
28 "Menolong dengan pamrih memperoleh imbalan itu bukan
pertolongan namanya, melainkan pemerasan," kata Tiong Lee
Cin-jin lembut, seperti memberl nasihat kepada muridnya.
"Ha-ha-he! Sebaliknya ditolong akan tetapi tidak mau memberi
keuntungan kepada si penolong, itu namanya tidak mengenal
budi! Sudahlah, aku akan me-nulih sendiri kitab-kitab mana yang
akan kuambil sebagai imbalan pertolonganku tadi, Tiong Lee
Cin-jin." Tiong Lee Cin-jin melangkah maju dan dengan tangan kanannya
dia mengusap buntalan kain kuning berisi kitab?kitabnya.
"Semua kitabku berada di dalam buntalan ini, Jit Kong Lama,"
katanya. "Akan kupilih, yang mana kusukai akan kuambil!" kata -Jit Kong
Lama. Dia menancapkan tongkat kepala naganya di atas tanah
lalu berjongkok untuk mern buka empat ujung kain kuning yang
disimpulkan di atas tumpukan kitab itu. Akan tetapi terjadi
keanehan. Jari-jari kedua tangannya yang kuat sekali itu ti-dak
mampu membuka ikatan keempat ujung kain kuning yang
disimpulkan secara sederhana itu! Betapapun dia rnengerahkan
tenaga mencobanya, tetap saja jari-jari .tangannya tidak mampu
membukanya, seolah-olah semua jari tangannya kehilangan
tenaganya dan menjadi kaku atau lumpuli! Jit Kong Lama
menjadi heran lalu penasaran dan marah sekali. Dia
mengerJlikan sin-kang (tenaga sakti) sekuatnya, namun tetap
saja jari-jarinya seperti mogok, tidak dapat membuka simpul
Kemudian dia mengerahkan ke-kuatan sihirnya. Sama saja. Jarijari kedua tangannya seolah-olah memang tidak mau membuka
simpul itu. 29 "Keparat!" Dia melompat bangun, ber-diri
menghadapi Tiong Lee Cin-jin. "Eng-kau mempergunakan ilmu siluman mencegah aku membuka
buntalan kain ini!" bentaknya marah, matanya melotot dan
mukanya berubah merah. "Jit Kong Lama, aku sama sekali tidak mempergunakan .ilmu
apa-apa. Aku hanya menyesuaikan diri, menerima keadaan
dengan penyerahan kepada Yang Maha Kuasa. Kalau Yang
Maha Kuasa tidak menghendaki engkau membuka buntalan itu,
biar engkau mempergunakan kekuatan apapun yang ada di
dunla engkau tidak akan mampu membukanya," kata Tiong Lee
Cin-jin dengan tenang dan penuh kesabaran.
"Tiong Lee Cin-Jin, engkau menantang aku, Jit Kong Lama"
Apaknh aku. harus mempergunakan kekerasan terhadapmu
untuk memiliki kitab-kitab ini".
"Tidak ada yang menantangmu selain nafsumu sendiri, Jit Kong
Lama. Orang hanya memetik hasil yang ditanamnya. Menanam
kekerasan akan memetik sendirl akibatnya."
"Sombong! Lihat naga hitamku menerkammu!" Setelah
membentak demikian Jit Kong Lama melontarkan tongkat kepala
naga itu ke atas. Terdengar bunyi ledakan. Tongkat itu berubah
menjadi asap hltam dan dari asap hitam itu mun-cul seekor naga
yang menyeramkan. Matanya berkilat, moncongnya terbnka me
nyemburkan api, kedua lubang hidungnya mendengus
mengeluarkan asap, cakar kedua kaki depannya siap inenerkam
dan naga itu meluncur turun menerjang Tiong Lee Cin-jin
30 dengan buas itu serta masih ditambah suara gemuruh yang
keluar dari mulut naga itu sehingga dapat meng getarkan dan
menakutkan hati orang yang paling tabah sekalipun.
Namun Tiong Lee Cin-jin adalah seorang yang sudah mencapai
tingkat ke-jiwaan yang amat tinggi. Dalam keadaan
bagaimanapun dia sudah menyerah total kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa. Penyerahan sedemikian mutlak sehingga
meniadakan akunya, mengesampingkan nafsu-nafsunya dan
yang bekerja pada dirinya pada saat itu bukan lagi hati akal
pikirannya melainkan sepenuhnya diisi oleh Kekuasaan Tuhan
yang n-ienga-lir masuk ke dalam jiwa raganya. Kalau sudah
demikian, maka bukan lagi dia se bagai manusia dengan hati
akal pikiran-nya, melainkan Roh Kekuasaan Tuhan yang bekerja
menanggulangi apa saja yang datang menimpa dirinya.
Tiong Lee Cin-jin yang diserang oleh naga hitam jadi?jadian itu
membungkuk, tangan kanannya mengambil segenggam tanah
lalu melontarkan tanah itu kepada naga hitam yang hendak
menerkamnya, mulutnya berkota lembut namun penuh wibawa yang
menggetarkan, "Berasal dari tanah keinbali kepada tanah!"
Segenggarn tanah itu meluncur tepat mengenai kepala naga
yang sedang menerkam itu.
"Blarrrr !" Terdengar ledakan disusul asap hitam
bergulung-gulung. Naga', itu terjatuh ke atas tanah dan begitu
tiba di atas tanah naga hitam itu telah berubah kembali menjadi'
tongkat berkepala naga milik Jit Kong Lama.
31 Pendeta Lama itu terkejut dan marah bukan main. Diarnbilnya
tongkatnya dan ditancapkan tongkatnya itu ke atas tanah lalu dia
membentak, "Tiong Lee Cin-jin, apa engkau menghendaki " aku
membunuh mu dengan tanganku ini" Lihat, apakah kepalamu
lebih kuat daripada batu ini?" Dia menggosok-gosok kedua
telapak tangannya. Uap putih mengepul dari kedua tangannya
yang kini, menjadi keme-rahan seperti bara api. Dia lalu meng
hampiri sebuah batu sebesar kerbau yang terletak tak jauh dari
situ. Dia mengangkat kedua tanganhya, berganti menghantam
ke arah batu. "Darr-darrr!" Batu sebesar kerbau itu hancur berkeping-keping
terkena hantam-an kedua tangannya. Sungguh sebuah kekuatan
yang amat dahsyat! "Nah, Tiong Lee Cin-jin! Kauserahkan baik-baik semua kitab itu
kepadaku atau aku harus menghancurkan dulu kepalamu
dengan tanganku?" bentaknya sambil mengharnpiri Tiong Lee
Cin-jin. "Aku tidak menghalangi engkau meng ambil kitab, namun
kuperingatkan bahwa kitab-kitab ini bukan hak milikmu dan kalau
engkau hendak nekat mengambilnya, hal itu sama saja dengan
perampas-an dan tentu saja hal itu amat ttdak baik dan tidak
patut dilakukan seorang pendeta sepertimu, Jit Kong Lama.
Sepuluh ribu ayat kitab suci engkau hafal kan, namun satu saja
tidak kaulaksanakan, apakah artinya semua jerih payahmu itu?"
"Manusia sombong, engkau patut dihajar!" bentak Jit Kong Lama
dan dia lalu mengayun tangan kanannya , yang merah seperti
bara api, menampar ke arah muka Tiong Lee Cin-jin. Dapat
32 dibayangkan betapa kepala itu akan hancur lebur dihantam
tangan yang telah membuat batu besar pecah berkeping-keping
ketika dipukul tadi! Namun, Tiong Lee Cin-jin sedikitpun tidak
membuat gerakan mengelak atau menangkis, melainkan diam
saja, hanya matanya meman-dang dengan sinar lernbut tajam
kepada penyerangnya. "Wuuuutttt !" Terjadi keanehan yang luar biasa.
Tangan itu menyambar ke arah pelipis kiri kepala Tiong Lee Cinjin. Rambut kepala Tiong Lee Cin-jin sudah berkibar tertiup angin
pukulan dahsyat itu. Akan tetapi ketika tangan itu sudah
mendekati kepala, tinggal sejengkal lagi, tiba-tiba saja tangan itu
luncurannya menyimpang dan membelok tidak mengenai
sasarannya! Jit Kong Lama terkejut dan heran. Dia merasa
seolah tangannya itu tertolak atau tertangkis oleh 'hawa yang
lunak namun berat dan kuat bukan main, merasa seolah
tangannya digerakkan dalam air. Dia menjadi penasaran dan
tangan kiirinya menyusul, kini tangan kiri itu menyodok atau
menusuk dengan jari-jari terbuka ke arah dada lawan.
"Wuuuuttt !" Kembali yang dlserang diam saja,
hanya memandang dengan senyumnya yang lembut.
Untuk kedua kalinya tangan Jit Kong Lama tidak mengenai
sasaran. Tusukan tangan itupun seolah meleset karena tertepis
hawa yang lunak berat dan kuat.
Jit Kong Lama melangkah mundur, matanya yang sudah besar
itu dilebarkan terbelalak. Dia adalah seorang yang sudah
mempelaj'ari banyak ilmu dan sudah mempunyai banyak
33 pengalaman ber tanding melawan orang-orang sakti. Akan tetapi
belum pernah dia mengalami hal seperti ini! Kalau Tiong Lee
Cin-jin mem buat gerakan mengerahkan tenaga sakti untuk
menangkis serangannya, bahkan kalau Tiong Lee Cin-jin,
menggunakan ilmu kekebalan untuk menerima serangan?nya,
hal itu tidak akan mengherankannya. Akan tetapi lawannya ini
tidak membuat gerakan apapun, juga tidak melakukan sihlr, tidak
membaca mantera, bahkan sama sekali tidak mengeluarkan
tanda-tanda melawan serangannya. Akan tetapi, dua kali
pukulannya yang dia tahu amat ampuh itu tidak dapat
menyentuh tubuh lawan. Dia merasa seperti ada dinding hawa
yang aneh menyelimuti tubuh Tiong Lee Cin-jin, atau seolah
tangannya yang tidak mau memukul orang itu!
"Keparat! Lawanlah aku dengah ilmumu, jangan menggunakan
ilmu siluman!" bentaknya marah.
Tiong Lee Cin-jin tersenyum dan menjawab dengan suara yang
halus. "Jit Kong Lama, semua ilmu menjadi ilmu siluman yang jahat
kalau dipergunakan untuk berbuat sewenang?wenang,
menyerang untuk menyakiti atau membunuh orang yang sama
sekali tidak bersalah. Renungkanlah itu dan sadarlah. Mari kita
berpisah sebagai saudara, bukan sebagal musuh."
Akan tetapi bagi Jit Kong Lama yang ?is belum pernah
dikalahkan orang, belum pernah pula mengalah terhadap orang
lain, ucapan Tiong Lee Cin-jin dianggap sebagai ejekan yang
merendahkan atau mengliinanya. Orang yang menganggap' diri
sendiri terlalu tinggl dan terlalu penting selalu mudah
34 tersinggung. Dia menyambar tongkat kepala naga yang tadi
ditancapkan di atas tanah dan membentak.
"Kita berpisah sebagai saudara kalau engkau menyerahkan
kitab-kitab itu ke-padaku! Kalau tidak, kita tetap akan berpisah
sebagai musuh dan sebelum berpisah, aku akan
menghancurkan dulu ke-palamu!" ucapan ini ditutup oleh sambar
an tongkat kepala naga itu. Terdengar bunyi desir angin mengiuk
dan ujung tongkat menyambar ke arah kepala Tiong Lee Cin-jin.
Seperti tadi Tiong Lee Cin-ji" tidak menangkis maupun mengelak
melainkan diam saja, hanya memandang dengan sorot rnatanya
yang lembut dan mulutnya fersenyum penuh kesabaran.
Tongkat menyambar dan tampaknya sekali ini ujung tongkat
akan mengenai sasaran. Akan tetapi setelah hantaman tongkat
itu tiba dekat kepala, hanya beberapa senti meter lagi jaraknya,
tiba-tlba tongkat itu membalik seolah bertemu dengan benda tak
tampak yang amat keras dan kuat. Tongkat itu membalik dengan
kekuatan yang sama dan memukul ke arah kepala Jit Kong
Lama sendiri"' Jit Kong Lama terkejut dan cepat menggerakkan
tongkat sehingga luput menghantam kepalanya sendiri.
"Segala sesuatu kembali ke asalnya semula. Kekerasanpun


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali kepada kekerasan. Lupakah engkau akan kenyataan itu,
Jit Kong Lama?" Jlt Kong Lama berdiri terbelalak. Mukanya berubah pucat. Kini
terbukatah matanya. Yang melindungi Tiong Lee Cin-Jin Itu
bukanlah semacam ilmu yang dapat dlpelaJarl manusia.
Teringatlah dia akan dongeng yang pernah didengarnya tentang
kesaktian Sang Budhi Dharma atau yang dikenal sebagai Tat Mo
35 Couwsu. Menurut dongeng, Sang Budhi Dharma juga memiliki
kesaktian seperti yang dthadapinya sekarang ini. Tanpa
bergerak menangkis atau mengelak, Sang ,Budhi Dharma dapat
terhindar dari segala macam serangan berupa kekerasan yang
datang dari luar dirinya. Ada sesuatu yang melindunginya
sehingga se-mua . serangan tidak dapat menyentuh dirinya.
Menurut dongeng, sikap Sang Budhi Dharma itu disebut
"Menyatu de-ngan Alam". Dengan tidak mengadakan
perlawanan, maka dia terlindung oleh KEKUATAN GAIB yang
menggerakkan seluruh alam maya pada ini. Kekuatan yang
menumbuhkan segala sesuatu, ke-kuatan yang mengguncang
air samudera, kekuatan yang menggerakkan awan-awan,
kekuatan yang mengatur segala sesuatu yang tampak maupun
yang tidak tampak. Kalau Kekuatan seperti itu melindungi
seseorang, maka kekuasaan apakah yang akan mampu
menyentuh orang itu"
Teringat akan ini, Jit Kong Lama mengerutkan alisnya,
memandang kepada pria setengah tua yang berdiri dengan
senyum lembutnya itu dengan gentar. Kemudian, dengan tangan
kanan meme-gang tongkat kepala naga, dan tangan kiri
dimi'ringkan ke depan dada, dia ber-kata, "Tiong Lee Cin-jin,
biarlah sekali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi ingat, aku
adalah seorang yapg tidak dapat begitu saja menerima
kekalahan. Tunggulah saatnya aku menemuimu atau muridmu
untuk membalas kekalahan hari ini!" Setelah berkata demikian,
tanpa menantl jawaban, tubuhnya melompat dan terdengar
bunyi ledakan. Asap mengepul tebal dan ketika asap membuyar,
pendeta Lama itu sudah tidak tampak lagi bayangannya!
36 Tlong Lee Cin-jin menghela napas panjang, mengambil buntalan
kain kuning dan menggendongnya kembali dengan sikap tenang
dan tidak tergesa-gesa. Kemudian dia menghela napas panjang
lagl dan berkata seorang diri, lirih. "Sayang, orang-orang yang
telah menguasai banyak ilmu setinggi itu tidak mempergunakan
ilmunya untuk menyebar benih kebaikan di dunia. Sungguh
sayang !' Dia lalu melangkah menurum lereng seolah tidak pernah terjadi sesuatu.
Ketika melangkah ini, kcpalanya bergoyang-goyang perlahan,
matanya menerawang jauh dan dia sendiri mendengar detak
jantungnya berbisik "Tuhan - Tuhan
Tuhan " tiada henti-hentinya.
Anak-anak laki-laki itu berusia seki-tar sepuluh tahun. Dia duduk
di atas punggung seekor kerbau betina dengan santai sambil
meniup sebatang suling bambu. Lagunya lagu kanakkanak
dusun yang sederhana. Namun karena ditiup di lereng pegunungan yang sunyi itu, terde
ngar mengalun indah. Di tempat yang sunyi hening seperti itu,
suara anjing menggonggong di kejauhanpun terdengar
menyenangkan hati. Bahkan suara daun dl puncak pohon
bergoyanggoyang me-nlmbulkan desah gemerisikpun terdengar
merdu menenangkan hati. Tubuh anak itu sedang saja, kulitnya yang tampak pada tubuh
bagian atas yang telanjang itu karena dia hanya mengenakan
celana hitam sebatas lutut, tampak kecoklatan terbakar terik
matahari. Rambutnya dipotong pendek. Kepalanya dilindungi
sebuah caping lebar sehingga mukanya teftutup bayangan
37 caping. Wa-jah anak itu tampan dan cerah, berben-tuk bulat telur
dengan dagu agak meruncing. Sepasnng alis matanya hitam
tebal melindungi sepasang mata yang bersinar terang dan yang
memandang dunia ini dengan berseri, sepasang mata yang
putihnya jernih dan hitamnya legam. Hidung nya mancung dan
mulutnya membayangkan kemauan yang kuat. Seperti
kebanyakan anak dusun, anak inipun membayangkan kejujuran
dan keterbukaan sehingga tampak bodoh.
Dia meniup suling dan tenggelam dalarn suara sulingnya sendiri
sehingga dia seperti lupa akan keadaan dirinya, membiarkan
kerbau yang ditungganginya itu berjalan sendiri. Anak kerbau di
belakangnya mengikuti induk kerbau sambil terkadang
berloncatan dan mencoba segala macam rumput dan daun-daun
yang ditemui di jalan. Tiba-tiba anak itu menghentikan tiupan sulingnya. Kerbau induk
itu berhenti dari makan rumput yang amat subur dan gemuk
yang tumbuh di situ. Anak ltu terbelalak memandang ke kanan
kiri. Baru dia menyadari bahwa dia dlbawa kerbaunya sampai ke
tepi hutan! Hutan yang ditakuti semua penduduk dusun di kaki
pegunungan. Hutan terlarang dan yang kabarnya dihuni oleh
para siluman. Pimpinannya adalah seekor naga siluman yang
amat jahat! JILID 2 "Belang, cepat klta turun, klta kemball!" Anak Itu menendangnendang dengan kakinya ke perut kerbau. Akan tetapi dia
melihat anak kerbau itu berloncatan dan berlari memasuki hutan.
38 "Heii, Kecil! Cepat kembali, jangan masuk ke sana!" teriaknya
dan dia melompat turun dari punggung kerbaunya dan berlari
mengejar anak kerbau yang berloncatan dan berlari masuk ke
dalarn hutan seperti anak kecil yang manja dan nakal.
Tiba-tiba anak yang mengejar' kerbaunya itu terbelalak dan
tersentak, berhenti darl larinya, memandang dengan wajah
|pucat ke depan. Tangan kirinya masih menggapai ke depan
untuk memanggll kerbaunya dan tangan kanannya menutup
mulut agar tidak mengeluarkan teriakan. Apa yang dilihatnya
mendatangkan kengerian hebat dalam hatinya.
Selagi anak kerbau itu berloncatan, tiba-tiba dari atas pohon
besar yang tumbuh di situ, meluncur kepala seekor ular yang
luar biasa besarnya. Ular itu tergantung pada dahan pohon,
tubuhnya yang besar itu terjulur ke bawah dan moncongnya
yang terbuka lebar itu me nyambar dan menggigit leher anak
kerbau yang mengeluarkan suara parau penuh kesakitan dan
ketakutan. Ular yang menggigit anak kerbau itu menarik nya ke
atas dan anak kerbau itu meronta ronta lemah dengan keempat
kakinya. Anak itu hampir berhenti bernapas. Ular itu besar sekali.
Panjangnya belasan meter dan tubuhnya sebesar pohon siong.
Setelah anak kerbau itu dibawa sampal ke atas dahan, tubuh
ular itu segera melingkarinya dan menghimpitnya dengan kuat.
Agaknya anak kerbau Itu tewas seketlka oleh tekanan hlmpitan
yang kuat Itu dan tidak bersuara lagi, hanya ada dua kaki
belakangnya yang masih tampak itu berkelojotan dalam sekarat.
39 Anak itu menangis dan berlari keluar dari hutan, naik ke atas
punggurig induk kerbau dan turun lagi seperti yane kebingungan,
lalu menarik tanduk kerbau itu dan diajaknya beriari cepat
memng-galkan tepi hutan menuruni lereng sambil menangis
sesenggukan. Setelah menuruni sebuah lereng, anak itu melihat seorang lakilaki setengah tua berdiri di tengah jalan setapak sambil
memandangnya. Melihat ada orang dewasa, anak itu
menghentikan lari kerbaunya, menghampiri orang itu dan berkat
dengan suara bercamlpurtangls.
"Paman, tolonglah saya, paman .... tolonglah anak kerbau
saya...;" Laki-laki itu adalah Tiong Lee C!n-Jin. Dia baru saja turun dari
lerene bagian atas setelah ditinggal pergl Jit Kong Lama. Mellhat
seorang anak laki-laki berlari-larl menuntun kerbaunya sambil
menangls, dia cepat menghadang. Mendengar ucapan anak itu
yang minta tolong, dia menjulurkan tangan, mengelus kepala
anak itu dan bertanya dengan suara lembut.
"Tenanglah, anak yang baik. Apa yang terjadi dengan anak
kerbaumu?" "Anak itu menengok ke belakang lalu menuding ke arah hutan
yang berada di lereng sebelas atasnya. "Ada
naga jahat naga Itu menangkap anak kerbau saya
dl sana, di hutan itu !" 40 "Naga,..?" Tlong Lee Cln-Jln mengu-lang sambil tersenyum.
Mana mungkln ada naga di hutan itu atau di mana sa-ja"
Sepanjang pengetahuannya, naga hanya terdapat dalam
dongeng jaman dahulu, beribu tahun yang lalu. Lalu dia
menduga. "Maksudmu ular?"
"Bukan, bukan ular, akan tetapi naga. Mana ada ular yang
besarnya seperti itu" Paman, tolonglah saya. Kalau saya tidak
membawa pulang anak kerbau itu, tentu majikan akan
membunuh saya...." "Hemm, mari kita lihat ke sana. Tambatkan saja kerbaumu di
slnl," kata Tiong Lee Cin-jin, Karena tidak ingin kehllangan Induk
kerbaunya, anak itu lalu mengikat kerbau itu kepada sebatang
pohon. Setelah Itu, bersama Tiong Lee Cin-j'in dia mendaki
lereng menuju ke hutan tadi.
Ular itu masih berada dl atas dahan pohon. Moncongnya terbuka
lebar-lebar seperti akan 'robek dalam usahanya me nelan badan
anak kerbau yang terlampau besar untuk moncongnya Itu.
Tubuh ker-bau liu sudah tertelan setengahnya dan. sedlklt dcini
sedikit badan anak kerbau Itu tergeser masuk. Agaknya akan
makan waktu lama sebelum anak kerbau itu dapat masuk
seluruhnya ke dalam perut ular. Tampak lehernya, di mana
bagian badan anak kerbau itu masuk, menggem-bung besar.
Anak itu menudingkan 'telunjuknya ke atas. "Itu dia! Naga jahat
itu mulai me nelan anak kerbauku! Tolonglah anak kerbauku,
paman!" 41 Tiong Lee Cin-Jln memandang dan dia merasa kagum. Ular itu
memang be-sar sekali, jarang dia melihat ular sebe-sar itu dan
gambar dan warna kulitnya indah.
"Itu bukan naga, itu seekor ular kembang," katanya.
Rasa ngeri lenyap dari hati anak itu ketika mendengar bahwa
binatang yang makan anak kerbaunya itu bukan naga melainkan
ular. Pada masa itu, naga merupakan mahluk keramat bagi
rakyat, mahluk yang dihormati dan ditakuti, maka ketika tadi
anak itu menduga bah-wa anak kerbaunya dimakan naga, dia
menjadi ketakutan setengah mati. Seka-rang setelah dia
mendengar bahwa yang makan anak kerbaunya itu hanya
seekor ular, walaupun besar sekali, dia menjadi berani dan
marah. "Ular" Ular keparat, ular jahat, lepaskan anak kerbauku!
Kubunuh engkau!" Dia mengambil sebuah batu sebesar kepalan
tangannya dan menyambitkan batu itu ke atas, mengarah ular
yang tampak nya sama sekall tidak bergerak Itu, Sambltan itu
luput dan anak itu sudah me ngambll sebuah batu lagl. Akan
tetapi Tiong Lee Cln?jin memegang lengannya.
"Sabarlah, anak baik. Jangan ganggu dia! Lihat, dia sedang
menikmati makannya, mengapa diganggu" Andaikata eng kau
sedang makan masakan daging ayam lalu datang seekor ular
mengganggumu, bagaimana?"
Anak itu tercengang mendengar ucapan yang dianggapnya aneh
ini. Dia segera membantah. "Akan tetapi, paman. Ular itu jahat
sekali! Dia makan anak kerbau-ku, dia kejam buas daft jahat!"
42 Tiong Lee Cin-jin tersenyum. "Bagai-mana kalau ular itu
mengatakan kepada-mu ketika engkau sedang makan daging
ayam, 'Manusia itu jahat, kejam dan buas sekali. Dia
menyembelih ayam dan memasak lalu makan dagingnya!' Nah,
bagaimana jawabmu?" "Akan tetapi, paman. Ayam meniang makanan manusia!"
"Begitukah" Dengar, anak baik. He-wan-hewan kecil seperti
anak kerbau, kijang, kelinci dan yang lain-lain itu me-;gs mang
makanan ular itu. Kalau dia. tidak mendapatkan makanan itu, dia
akan mati kelaparan karena dia tidak dapat makan rumput atau
buah atau daun-daunan. Dia makan anak 'kerbaumu bukan
karena buas, kejam, rakus atau jahat. Sama sekali tidak,
melainkan dia makan anak kerbaumu itu karena memang itulah
jenis snakanannya dan dia makan itu agar dia tidak mati
ketaparan. Ular, singa, harimau dan sejenisnya hidup karena
makan binatang lain yang lebih lemah dan kecil. Lembu, kerbau,
gajah dan sejenisnya makan rumput dan sayur-sayuran. Kera,
tupai dan sejenisnya makan buah-biiahan. 'Sudah demikian
kehendak Yang Menciptakannya. Kalau tidak mendapatkan
makan-an khas mereka, mereka akan mati kela-paran. Coba
ingat baik-baik, hanya ma-nusla yang rakus, karena hampir
semua tumbuh-tumbuhan, semua buah-buahan, semua binatang
yang ada di dunia ini menjadi makanannya, baik yang berada di
darat, di udara, maupun di laut. Siapa yang lebih buas dan
kejam?" Anak itu menjadi bengong dan sejenak lupa akan anak
kerbaunya. Dia menatap wajah Tiong Lee Cin-jln dengan
pandang mata polos dan penuh keheranan.
43 "Akan tetapi engkau sendiri makan apa, paman?"
Tiong Lee Cin-jin tertawa. Suara tawanya lembut dan sopan,
tidak terbahak. "He-he-he, anak baik. Aku juga seorang
manusia, tentu saja makananku sama dengan manusia-manusia
lainnya." , "Kalau begitu mengapa paman men cela makanan manusia?"
"Aku tidak bermaksud mencela, hanya ingin mengingatkan
engkau agar tidak menganggap ular itu jahat dan buas ka-rena
dia sudah makan apa yang semestl nya dia makan. Dia tidak
akan doyan makan bakmi atau cap-jai!"
"Akan tetapi dia mengambil anak kerbau milik saya! Bukankah
itu berarti dia telah nnerampas dan merampok?"
"Dia tidak mengenal Istllah hak milik, anak baik. Semua hewan
yang ber-ada di hutan, yang dapat menjadi mangsa nya, bukan
millk siapa-siapa. Dia tentu menganggap anak kerbau itu bukan
mi-lik siapa-siapa dan sudah Sewajarnya ka-lau menjadi
mangsanya untuk mencegah dla kelaparan." Jadl sesungguhnya
kesa-lahanmu sendlrl mengapa engkau meng-gembalakan
kerbau dl hutan Inl, anak baik. Tempat inl penuh. blnatang llar,
bu-kan tempat Juntuk menggembala ternak."


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anak itu termanggu, lalu mengerutkan alisnya dan dia
menjatuhkan dirinya duduk di atas tanah, tampak bingung dan
sedih. 44 Tiong Lee Cin-jin juga ikut duduk di atas sebuah batu tidak jauh
dari anak itU. Diarii-diam dia memperhatikan. Seorang bocah
yang berwajah tampan, membayangkan watak yang jujur dan
bersih, seperti sebuah batu mulia asell yang belum digosok.
Sinar mata dan le-kukan mulut itu menandakan bahwa anak ini
mempunyai dasar watak yang baik. Tubuhnya juga
membayangkan tubuh yang sehat, berdarah bersih. Perawakannya tegak lurus, dadanya bidang dan pundaknya rata.
"Akan tetapi, paman. Biarpun sekarang saya dapat mengerti
bahwa ular itu ! memang sudah sewajarnya makan anak kerbau
saya dan dia tidak dapat dipersa-lahkan, bahwa hal ini terjadi
karena kesalahan saya sendiri, akan tetapi perbuatannya itu
menimbulkan korban. Korbannya adalah diri saya sendlri.
Karena dla menjadlkan anak kerbau itu sebagal mangsanya,
maka sayalah yang akan me-nanggung akibatnya, kalau tidak
mati saya sedikitnya akan mengalami dan siksaan. Bahkan
mungkin sekaii leblh. daripada itu. Akibatnya dapat pula
menyengsarakan kehidupan nenek saya yang sudah tua itu."
"Bagaimana bisa begitu?" tanya Tiong Lee Cin-jjn.
"Saya hanya bekerja sebagai penggembala kerbau milik kepala
dusun kami, paman. Kalau nanti saya pulang tidak membawa
anak kerbau itu, majikaiN saya tentu akan marah sekali. Dia
seorang yang amat, galak dan keras, mem-punyai banyak
tukang pukul. Saya tentup akan disiksa dan mungkin dibunuh.
Nenek saya juga bekerja sebagai tukang cu-lP ci di rumah
majikan saya itu tentu akan menanggung akibatnya pula. takut
untuk pulang, paman." Anak tidak menangis lagi, akan tetapi
meng-ll gunakan punggung tangan kirinya untuk mengusap
45 beberapa tetes air mata yang meizgallr keluar darl pelupuk
matanya. Hemm, dan ayah ibumu?"
"Mereka sudah tiada, paman. Ayah aan ibu telah meninggal
sejak saya berusia lima tahun dan sejak itu saya hanya hidup
berdua dengan nenek saya."
Tiong Lee Cin-jin menghela napas panjang. Betapa banyaknya
manusia yang hidup menderita karena kemiskinan di dunia ini,
disamping hanya beberapa gelintir orang yang hidup berlebihan.
Padahal, manusia diciptakan hidup di dunia ini seharusnya dapat
mengisi hidupnya dcngan saling mengasihi, saling membantu,
menjadi alat dari Kekuasaan Tuhani agar bermanfaat bagi
orang-orang lain. Yang pandai rhembantu yang bodoh dengan
pemiklran, yang kuat membantu| yang lemah dengan kekuatan,
sedangkan yang kaya membantu yang miskln dengan hartanya.
Akan tetapi apa yang dilihatnya sejak dari India ke Cina" Yang
pintar menipu yang bodoh, yang kuat menindas yang lemah,
yang kaya memperbudak yang mlskin.
"Sekarang bagalmana" Engkau harus pulang, setidaknya untuk
mengembalikan kerbau ini kepada pemiliknya."
"Memang seharusnya begitu, paman. Akan tetapi saya tidak
berani pulang karena saya pasti akan dipukuli, mungkin dibunuh
oleh para tukang pukul Lurah Coa, bahkan nenekku tentu tidak
akan luput dari hukuman pula."
"Jangan khawatir. Mari kuantar kau piilang darr aku yang akan
menjadi saksi bahwa anak kerbau itu dimakan ular. Hayolah!"
46 Biarpun masih takut, mendengar ucapan dan melihat sikap
Tiong Lee Cin-jin yang meyakinkan hatinya itu, dia menganggyk
dan mengikuti orang tua itu keluar dari hutan. Beberapa kali dia
menenggok dan memandang ke arah ular besar yang berusaha
dengan tenahg un-tuk menelan anak kerbau yang terlalu be-sar
untuk moncongnya itu. Setelah tiba di lereng di mana tadi mereka berjumpa, anak itu
melepaskan Ikatan kerbaunya dan menuntunnya menuruni
lereng bersama Tiong Lee Cin-jin. Pemandangan di bawah sana
maslh tetap indah mempesona, Sawah ladang yang luas hijau
menguning terbentang di bawah sana dan dari atas itu tampak
rumah-rumah dusun sederhana di antara pohon-pohonan.
Tiong Lee Cin-jin memandang ke a-tas dan dia tersenyum,
matanya bersi-nar, wajahnya berseri. Dia melihat awan putih
yang membentuk seekor naga sedang terbang melayang,
seperti seekor Naga Langit yang perkasa.
"Anak baik, siapa namamu?" tanya-nya sambil berjalan di
samping anak itu nieniti jalan setapak menuruni lereng.
"Marga saya Souw dan nairfa saya Thian Liong, paman."
Pria setengah tua itu melebarkan matanya dan berdongak ke
atas memao-dang awan yang berbentuk naga itu. "Thian Liong
(Naga Langit)" Souw Thian Liong....?" Betapa kebetulan. Dia
meli-hat Naga Langit di angkasa yang dibentuk oleh awan dan
nama anak ini berarti Naga Langit pula!
"Ya benar, paman. Dan paman sendiri, siapa nama paman?"
tanya Thian Liong. 47 "Orang menyebutku Tiong Lee Cin-jin. Kulihat engkau
mempunyai sebatang suling yang terselip di ikat pinggangmu.
Maukah engkau meniupnya dan memainkan sebuah lagu
untukku, Thian Liong?"
Anak itu memandang ke arah suling di pinggangnya dengan
sedih, lalu berdo-ngak memandang laki-laki itu dan berka-ta,
"Paman, bagaimana aku dapat rneniup suling kalau hatiku sedih
dan dihimpit perasaan takut seperti ini?"
Tiong Lee Cin-jin mengelus kepala Thian Liong. "Jangan
bersedih dan jangan takut, anak baik. Segala urusan yang tidak
mampu kau atasi, serahkan saja se-penuhnya kepada
kekuasaan Tuhan. Keku-asaan Tuhan yang akan mengaturnya
dan tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang dapat
mengubah apa yang telah diatur dan ditentukan oleh Tuhan'"
"Tuhan" Slapakah Itu Tuhan, paman?" Mereka sallng .pandang
dan slnar mata Tlong Lee Cln-jln bertemu dengan sinar mata
yang demikian polos dan Jernih. Dia tersenyum. Ketidaktahuan
yang murni dan suci. Seperti seorang bayi. Manusia lahir tanpa
disertai pengetaj"ii-an, bahkan tidak mengenal Tuhan. Setelah
pikirannya bekerja, mulailah dia bertanya-tanya dan Jalan
plkirannya dlpe-ngaruhl darl pemberltahuan dari luar.
"Tuhan adalah Yang Maha Kuasa, yang telah menciptakan bumi,
langit, angin, tumbuhtumbuhan, mahluk hidup, bulan, matahari
dan bintang. Segala yang ada, segala yang tampak dan tidak
tam-pak, semua ini adalah ciptaan Tuhan. Bahkan engk'au dan
aku inipun ciptaan-Nya, Thian Liong, Mengertikah engkau?"
48 Thian Liong menggaruk kepalahya dan mengerutkan alisnya,
meniandang heran. "Akan tetapi orang-orang bercerita kepa-da
saya bahwa semua itu ada dewa yang menjaganya, paman. Ada
dewa mataharl, dewa bulan, dewa bintang, dewa gunung, dewa
sungal dan seterusnya, demiklan yang saya dengar.
Tiong Lee Cln-jln mengangguk-aiiy-guk. Dia harus memberi
Jawaban yang se-suai dengan apa yang telah didengar dan
dipercaya anak ini, agar tidak mem-bingungkan hatinya.
"Katakanlah bahwa ada para dewa dan para malaekat yang
menjaga semua itu, akan tetapi mereka itu adalah, pelaksana
dari kekuasaan Tuhan, Thian Liong. Mereka adalah hulubalang,
pembantu dan hamba Tuhan."
"Ah, paman. Kalau begitu Tuhan itu seperti Rajanya dan para
dewa itu para perajuritnya!"
Tiong Lee Cin-jin tersenyum dan mengangguk. Biarlah, anak
yang masih polos ini menganggopnya begitu agar pi-kirannya
tjdak menjadi bingung. "Ya, begitulah kira-kira. Tuhan adalah. Raja dari segala raja,
penguasa langit dan bumi serta sekalian isinya."
Mereka tiba di dusun dan mulailah Thian Liong merasa takut
lagi. WaJahnya pucat dan dia tampak kebingungan. Melihat ini,
Tiong Lee Cin-jin berhenti di depan dusun itu dan bertanya,
"Thian Liong, takutkah engkau akan ancaman majikanmu?"
"Paman, aku tidak perduli akan keadaan diriku sendiri. Biarlah
kalau dia mau merighukum aku, menyiksa atau membunuh
sekalipun. Akan tetapi aku khawatir kalau nenek yang sudah tua
49 i-tu akan dihukumnya pula. Aku kasihan .kepada nenekku, satusatunya orang yang kumiliki?"
Tiong Lee Cin-jin mengelus kepala anak itu. "Jangan takut,
Thian Liong. Ingatkah engkau akan Raja di atas sega-la raja
tadi?" "Maksud paman.... Tuhan?"
"Benar. Serahkan segalanya kepada Tuhan yang Maha Kuasa,
Maha Adil Maha Kasih dan Maha Murah. Dia yang akan
melindungi engkau dan nenekmu kalau engkau mau berserah
kepadaNya." "Benarkah itu, paman?"
"Tentu saja benar dan aku yang akan menanggung bahwa hal
itu benar adanya. Kalau engkau percaya dan berserah diri,
Tuhan tentu akan mengutus para dewa itu untuk melindungimu
dari gangguan orang jahat."
Wajah anak itu tampak lega dan sinar matanya tidak ketakutan
iagi. "Kalau begitu, aku akan berserah di-ri kepadanya, paman."
"Engkau tidak takut lagi?"
"Tidak, bukankah paman ada bersamaku" Dan para Dewa
diutus Tuhan untuk melindungi aku dan nenek. Aku tidak takut
lagi". "Kalau begitu mari kita masuk dan menemui majikanmu."
Mereka me-masuki dusun. Thian Liong menuntun kerbaunya
berjalan di depan sebagai penunjuk jalan.
50 Majikan anak itu adalah Lurah Coa Lun, seorang laki?laki
berusia lima pu-luh tahun. Lurah Coa ini seolah menja-di
seorang raja k6cil di dusunnya, meru-pakan orang paling kaya di
situ. Semua orang di dusun itu takut kepadanya, bahkan
kehidupari mereka bergantung kepada lurah ini. Hal itu karena
semua pen-duduk telah terikat hutang kepada lurah Coa. Ketika
tiba musim kemarau panjang, para petani itu terpaksa berhutang
kepada Lurah Coa untuk dapat menyambung hidup dan sejak
itu, hutang mere-ka tidak pernah dapat terlunasi karena
bunganya yang tinggi. Pencicilan hutang dan bunganya
berkejaran. Karena itu, semua penghuni dusun itu seolah-olah
telahy berada dalam cengkeraman tangan Lurah Coa dan
karena itu mereka semua mera-sa takut dan hanya dapat
menaati semua perintah sang lurah. Selain itu, Lurah Coa juga
memperkuat kedudukannya dengan memelihara dua belas
orang jagoan tukang pukul sehingga tidak ada yang berani
mencoba untuk menentangnya.
Lurah Coa mempunyai tiga orang isteri. Akan tetapi tiga o.rang
isteri ini agaknya masih belum mampu memuas-kan nafsunya.
Dia seorang mata keran-jang yang gila akan wanita muda dan
cantik. Karena itu, kehidupan para wani-ta muda yang memiliki
wajah cantik di dusun itu, balk ia masih gadis maupun sudah
menjadi isteri orang, tidak aman. Siapa yang diincer dan
dikehendaki sang lurah, pasti akan menjadi mangsanya. Secara
halus maupun kasar, lurah bejat moral itu pasti akan
mendapatkan wani-ta itu untuk beberapa lama sampai dia
merasa bosan dan melepaskannya kemba-li. Karena itu, banyak
suami yang mera-sa memiliki isteri muda dan manis, di-am-diam
pergi mengungsi, pindah dari dusun itu. Juga banyak keluarga
51 yang memiliki anak gadis cantik, mengungsi-kan gadis itu keluar
dusun. Hampir semua sawah ladang yang berada (H ciusun Itu dan
sekltarnya, su-dah menjadi milik Lurah Coa. Mereka yang
dibebani hutang yang semakin mem-bengkak, terpaksa
merelakan tanahnya disita oleh sang lurah dan mereka hanya
menjadi buruh tani sang lurah saja sehingga kehidupan mereka
semakin ber-gantung kepada sang lurah.
Ayah Souw Thian Liongbernama Souw Ki sudah meninggal.
dunia sejak Thian Liong berusia lima tahun. Juga ibu anak itu
sudah meninggal dunia. Kedua orang suami Isteri itu meninggal
dalam keadaan miskln dan terserang penyaklt perut yang waktu
Itu menjadl wabah cH dusundusun sekltar daerah pegunungan
Itu. Mereka terserang penyaklt dan me-nlnggal dunia secara
berturut?turut. Yang selamat hanya' Thlan Liong dan nenek nya,
yaitu Nenek Souw ibu dari
mendi-ang Souw Ki. Sejak itu, dalam usia lima tahun, Thian
Liong hidup bersama neneknya. Nenek Souw yang sudah amat
itu bekerja keras untuk dimakan berdu^ aengan cucunya. Ia
bekerja sebagai tukang cuci pakaian di rumah keluarga Lu-rah
Coa, dan setelah Thian Liong beru-sia delapan tahun, Nenek
Souw minta-kan pekerjaan untuk cucunya itu kepada sang lurah.
Kebetulan lurah itu baru me-nyita seekor kerbau dari seorang
warga dusun yang tidak mampu membayar hu-tangnya, maka
Thian Liong diberi peker-jaan menggembala kerbau itu.
Sebelumnya, Lurah Coa tidak memelihara" kerbau karena dia
telah iriempunyai banyak buruh tani yang bekerja di sawah dan
tidak memerlukan kerbau lagi.
52 Kerbau itu dipelihara dengan baik o-leh Thian Liong, gemuk dan
sehat. Thian Liong amat menyayang kerbau itu dan lebih-lebih
lagi ketika kerbau itu melahirkan seorang anak kerbau. Karena
Itu, dapat dlbayangkan betapa sedlh dan ju-ga takut rasa hatl
Thlan Llong menghadapi kemarahan Lurah Coa ketika kerbaunya yang kecil dimakan ular raksasa. Dia amat
mengkhawatirkan nasib nenek-nya. Apalagi kalau neneknya
sampai dihukum, bahkan baru dipecat saja kehl- i dupan mereka
berdua akan terancam bahaya kelaparan!
Lurah Coa menjadi marah sekali ke-tika dia dilapori bahwa Thian
Liong pu- jj lang tanpa anak kerbaunya. Dia segera melangkah
keluar dan matanya terbuka " lebar, .mukanya menjadi
kemerahan keti- | ka dia rhelihat Thian Liong berdiri di halaman
rumah sambil menuntun induk kerbau tanpa anak kerbau dan
ditemani seorang laki-liaki setengah tua yang ber-pakaian
seperti seorang pendeta, menggendong sebuah buntalan besar.
"Thian Liong, mana anak kerbaunya?" tanya sang lurah dengan
suara bentakan dan matanya meiotot. Lurah itu bertubuh tinggi
kurus, matanya sipit, daun telinganya kecil seperti telinga tikus,
hidungnya pesek dan mulutnya lebar, dihias kumis kecil panjaftg
menggantung di kanan kiri mulut dan jenggotnya hanya
beberapa helai saja. Karena setiap kali diharuskan memberi penghormatan yang
berlebihan ter- | hadap Lurah Coa, maka Thian Liong lalu
menjatuhkan diri berlutut menghadap sang lurah. "Ampunkan
saya, tai-jin (tuan besar), anak kerbau itu dimakan ular di
hutan...." 53

Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ajaa," Dimakan ular di hutan" Gila kamu! Mana bisa anak
kerbau dimakan ular ..di hutan. Memangnya kamu
menggembala kerbau di dalam hutan?"
"Ampun, taijin. Anak kerbau itu ber-lompatan dan berlari
memasuki hutan. Ketika saya mengejarnya, tahu-tahu ada ular
menangkapnya dan memakannya."
"Bohong! Mana ada ular bisa makan anak kerbau yang begitu
besar" Tentu engkau sudah menjual anak kerbau itu atau
kausembunyikan! Hayo mengaku sa-J'a atau dicambuki lebih
dulu agar mau mengaku?"
Pada saat itu, dari dalam rumah tampak berlari keluar seorang
nenek yang sudah tua. Rambutnya sudah putih semua,
tubuhnya kurus kering seperti je-rangkong, pakaiannya tua dan
lusuh. Usianya tentu sudah hampir delapan puluh tahun. la lari
menghampiri Thian Liong yang berlutut dan menubruk anak itu
sambil menangis. "Adub cucuku Thian Liong ! Apa yang telah rerjadl"
Orang bllang anak kerbau yang kaugembalakan hilang dimakan
ular" Betulkah itu, cucuku....?"
"Benar, .nek," kata Thian Liong mengangguk sambil
memandang wajah neneknya yang sudah basah air mata itu
dengan sedih. "Aduh celaka, Thian Liong !" la lalu berlutut di dekat
kakl Lurah Coa dan berkata dengan suara gemetar. "Taijin....
ampunkan hambamu ini.... ampunkan cu-cu
54 hamba Thlan Liong ! Dia maslh kecll, dia masih
bodoh..., ampunkan dla taljin...."
"Mingglr kau! Thian Liong harus mengembalikan anak kerbau itu
atau aku akan mencambukinya sampai dia mengaku di mana dia
menyembunyikan anak kerbau itu!" hardlk Lurah Coa dengan
geram. "Thian Liong !" Nenek Souw menjerit dan menubruk
cucunya. Akan tetapiil ia bergulingan dan roboh. Thian Liong
cepat merangkul neneknya.
"Nenek !" Anak itu berseru bingung melihat
neneknya megap-megap seperti ikan dilempar di daratan.
"Thian Liong.... jaga.... dirimu.... ba-ik..,. baik...." lapun terkulai
lemas da-lam rangkulan cucunya.
"Nenek...,?" Thian Liong berteriak.
Tiong Lee Cin-jin mendekati anak itu, berjongkok dan
dia meraba leher,Nenek Souw.
meninggal...." katanya terharu.
"Thian Liong, nenekmu "Me... .ninggal....?" Thian Llong me-mandang wajah Tiong Lee
Cin-jin terbelalak. Tiong Lee Cin-jin mengangguk. "la meninggal karena jantungnya
lemah. la mati karena memang ia sudah tua dan lemah, Thian
Liong." 55 "Nenek ! Ahh, nenek ! !" Thian Liong menubruk
dan menanglsi neneknya, meratap-ratap.
Lurah Coa mengerutkan.. alisnya dan menjadi semakin marah.
Kematian nenek itu saja amat merugikannya! Selain kehilangan
tenaga kerja, diapun terpaksa harus mengeluarkan uang untuk
me-ngubur Jenazah nenek itu. Semua ini gara-gara Thian Liong
yang melenyapkan anak kerbaunya!
"Beri hukuman anak keparat ini de-ngan dua puluh kali
cambukan!" bentak-nya kepada dua belas orang tukang
pukulnya yang sudah berkumpul di situ. Dua orang di antara
mereka melangkah ma-ju. Mereka adalah dua orang algojo yang
sudah biasa melaksanakan per.infah untuk mencambuki orang.
Mereka berdua me-nyeringai dan masing-masing memegang
sebatang cambuk yang besar. Melihat ini, Tiong Lee Cin-jin
melangkah maju. "Nanti dulu!" tegurnya dengan suara yang lembut namun penuh
wibawa. "Coa-chung-cu (Lurah Coa), anak kerbau itu memang
benar dimakan seekor Coa (u-lar), kenapa anak ini yang
dipersalahkan dan hendak dicambuk" Dicambuk dua pu-luh kali
dia akan mati. Sepatutnya eng-kau sendiri yang dicambuk!"
"Apa kaubilang" Keparat, berani engkau menghinaku?" Lurah itu
merasa di-sindir seolaholah orang berpakaian pende-ta, itu
mengatakan bahwa dia yang telah memakan anak kerbaunya.
Nama marganya Coa memang berbunyl sepertl huruf ular.
"Kalau begitu, blar engkau yang menanggung setengahnya.
56 Hayo, ka-lian hukum cambuk mereka berdua, maslng-masing
sepuluh kali cambukan. Yang kuat agar pecah-pecah kulit
punggung ' mereka biar tahu rasa!"
Dua orang algojo itu mengangkat cambuk mereka, siap untuk
memukul Thian Liong dan Tiong Lee Cin-Jin de-ngan cambuk
mereka. "Tar-tarrr! !" Dua batang cambuk me-ledak dl udara lalu turun
menyambar de-ngan cepat ke arah.... Lurah Coa!
"Pratt! Pratt!! Aduh.... aduhh, gila kalian! Kenapa aku yang
dicambuk?" Lu-rah Coa mengaduh dan berloncatan, akan tetapi
cambuk-cambuk itu terus mele-cutinya dan dua orang algoJo itu
mele-cut penuh semangat! "Aduh-aduh.... bunuh mereka! Bunuh mereka!" Lurah Coa
memerintahkan se-puluh orang jagoannya yang lain untuk
bertindak sambil dia menggeliat-geliat kesakitan.
Sepuluh orang tukang pukul itupun merasa terheran?heran
melihat dua orang rekan mereka malah mencambuki majikan
mereka. Mendengar perintah itu, mereka menjadi bingung. Ada
yang menganggap perintah itu untuk membunuh dua orang
rekan mereka, ada pula yang mengang-gap perintah itu untuk
membunuh Thian Liong dan Tiong Lee Cln-jin. Mereka, sepuluh
orang, serentak bergerak. Mereka menganggap bahwa dengan
tangan kosong saja mereka akan mampu membereskan orangorang yang harus dibunuhnya. Sepuluh orang itu serentak
menerjang maju akan tetapi kembali terjadi keanehan luar biasa
yang disaksikan oleh orang-orang yang sudah mulai berkumpul
di halaman rumah Lurah Coa meli-hat keributan itu. Sepuluh
57 orang itu sama sekali tidak menyerang Thian Liong dan Tiong
Lee Cin-jin, juga tidak menyerang dua orang algojo yang
masihaii mencambuki Lurah Coa, melainkan mereka itu saling
gebuk dan saling tendang di antara mereka sendiri! Terdengar
su-ara bak-bik-buk dan teriakan-teriakan kesakitan dan
kemarahan menjadi satu, hiruk pikuk dan para penonton
terbelalak keheranan. Sementara itu, dua orang algojo masih
asyik menggerakkan cambuknya ke arah tubuh Lurah Coa
sambil menghitung. "Tarr-tarrr! Ke enam! Tar-tarrr! Ke tujuh! Tar-tarrr!! Ke delapan !!"
Pemandangan itu sungguh luar biasa sekali. Thian Liong masih
merangkul dan menangisi neneknya. Tiong Lee Cin-jin masih
berjongkok dekat anak-anak itu dan menoleh memandang
orang-orang yang sedang sibuk sendiri itu. Lurah Coa masih
mengaduh-aduh dan menggeliatgeliat, bajunya robek-robek dan
punggung?nya beriepotan darah karena kulit punggungnya
pecah?pecah oleh cambukan. Teriakannya sudah melemah dan
kini dia mengaduh sambil menangis. Sedangkan sepuluh orang
itu saling genjot, saling tonjok dan saling tendang. Ramai sekali
keadaannya, ramai dan kacau.
"Tarr-tarrr! Ke sembilan! Tarr-tarrr!! Ke sepuluh ! !" Setelah dua
orangalgo-jo itu masingmasing memukul sepuluh kali,
merekapun menghentikan cambukan mereka. Kinl mereka
berdlri memandang kepada Lurah Coa dengan mata terbelalak
seolah tldak percaya kepada pandangan mata mereka sendlrl,
Lurah Coa Itu bergulingan di atas tanah dengan tubuh
berkelopotan darah dan agaknya mereka berdua baru
58 menyadarl dengan kaget sekali bercampur heran dan blngung
bahwa mereka tadi telah meneambukl Lurah Coa!
Sementara Itu, sepuluh orang yang sallng gebuk Itu kinipun
sudah lemas. Muka mereka benJol-benjol dan matang biru, tidak
ada seorangpun yang masih utuh karena tadi mereka saling
gebuk tanpa memilih kawan maupun lawan. Sia-pa saja yang
berada dl dekatnya diserang. Dengan sendirinya mereka semua
kebagian pukulan atau tendangan. Dan anehnya, berbareng
dengan berhentinya dua orang tukang cambuk tadi, sepuluh
orang itupun berhenti saling serang dan mereka mengerang
kesakitan dengan mata terbelalak keheranan karena baru
sekarang mereka menyadari bahwa mereka tadi telah sallng
pukul antara rekan sendiri!
Lurah Coa sekarang telah bangun. Melihat dua orang yang tadi
mencambukinya berdiri dengan menundukkan muka dan tampak
ketakutan, kemarahannya me-muncak. Biarpun seluruh
tubuhnya nyerh dan pedlh perlh, dia lalu merampas sebatang
cambuk di tangan seorang di antara dua algojo itu dan dia lalu
mengayun cambuk, mencambuki mereka berdua sekuat
tenaganya! "Tar-tar-tarrr ! !" Dia terus mencambuki sekuat
tenaga, mencambuki dua" orang tukang pukulnya
sekenanya, muka, kepala, dada sehfhgga dua orangl ,itu.
itu menggeliat-gellat dan meUndungl muka mereka dengan kedua
tangan. Bajir mereka berdua cablk-cablk dan kullt mereka
pecah-pecah, darah mulal mewarnai baju mereka.
59 "Ampun, taijin.... ampun
!" Mereks berdua meratapratap akan tetapl Lurahj Coa mencambuki ferus sampai dla
kehabisan tenaga dan napasnya hamplr putur barulah dia
berhenti karena tidak kuat' lagi. Dia melempar cambuknya dah
dengan tubuh lunglai dia menjatuhkan dirinya duduk di atas
sebuah kursi. Kini dia menyadari keadaan sepenuh-nya. Biarpun masih tiada
habis herannya melihat peristiwa yang telah menimpa dirinya
dan dua belas orang jagoannya, namun kini dia mencurahkan
seluruh pbr-hatiannya kepada Thian Liong dan Tiong Lee Cin-jin.
Dia masih belum menyadfarij bahwa kehadiran pendeta asing
itulah yang menimbulkan peristiwa aneh tadi.
"Thian Liong! Engkau telah membikin ig hilang anak kerbauku,
untuk itu engkau akan dihukum! Dan engkau pendeta a-sing,
engkau inemasuki dusun kami dan membuat onar di sini,
membela anak yang bersalah ini. Mungkin engkau telah
bersekongkol dengan dia untuk mencuri anak kerbauku. Karena
itu engkaupun a-kan dihukum!
"Lurah Coa, engkau masih belum me-nyadari sikapmu yang
sewenang-wenang itu" Perbuatanmu yang suka menytksa orang
kini berballk menimpa dirimu sendiri dan engkau masih juga
belum jera?" kata Tiong Lee Cin?jin kepada kepala dusun itu.
Akan tetapi kepala dusun yang sudahj terlanjur merasa seperti
seorang raja kecil di dusunnya dan tidak pernah ada o-rang
berani menentangnya, menudingkan telunjuknya kepada Tiong
Lee Cin-jin dan Thian Liong, lalu berseru kepada anak buahnya.
60 "Hayo kalian tangkap dua orang ini! Cepat!!"
Akan tetapi dua belas orang tukang pukul yang masih belum
hilang kaget mereka dan masih merasa nyeri-nyeri seluruh tubuh
mereka itu, hanya meman-dang dan tidak ada yang berani
berge-rak. Mereka adalah orang-orang yang se-dikit banyak
sudah mempunyai peng-alaman di dunia kang-ouw dan mereka
kini sudah dapat menduga bahwa orang berpakaian seperti
pendeta itu tentu seo?rang sakti maka terjadi peristiwa anehaneh seperti yang tadl mereka alaml. Maka, mendengar perlntah
majlkan me-reka Itu, tidak ada seorangpun dl antara mereka
yang beranl bergerak. "Hayo tangkap dua orang inl! Apakah kalian semua sudah tuli?"
bentak lagi lurah yang masih menggigit bibir menahan rasa nyeri
yang terasa di seluruh tubuhnya.
Mendengar perintah ulangan ini, dur belas orang tukang pukul
tidak bet'ani membangkang lagi dan mereka sudah meraba
gagang .golok yang tergantung di pinggang.
Melihat ini, Tiong Lee Cin-jin memandang kepada mereka dan
berkata, "Kalian ini sebetulnya adalah penjaga keamanan dusun,
menjaga keamanan semua penduduk dusun, bukan
melaksanakan pe-rintah Lurah Coa untuk memukul dan
menyiksa orang. Apakah kalian masih be-lum mau bertaubat
dan hendak melan-jutkan perkelahian di antara kalian sendiri
menggunakan golok?" Mendengar ucapan Tiong Lee Cin-jin itu, dua belas orang
tukang pukul klni yakln bahwa tadi mereka bergontok-gontokan
sendiri adalah karena dlpengaruhl pendeta Inl, Mereka menjadl
61 Jerlh, meng-geleng kepala dan otomatis melepaskan lagl
gagang golok mereka. Mereka membayangkan betapa ngerinya
kalau mereka saling serang seperti tadi, kini mem-pergunakan
golok. Tentu akan banyak di antara mereka yang luka parah
atau bahkan tewas. "Kalian masih belum turun tangan?" bentak pula Lurah Coa.
"Lurah Coa, engkau sudah mendengar pengakuan kami bah'wa
anak kerbau itu dimakan ular dan engkau masih belum mau
percaya. Sekarang lihatlah sendiri, juga kalian para tukang
pukul! Ular raksasa itu kini datang memperlihatkan diri kepada
kalian agar kalian dapat percaya!"
Tiong Lee Cin-jin menggapai dengan tangannya dan Lurah Coa
bersama dua belas orang tukang pukulnya terbelalak, muka
mereka pucat dan tubuh mereka menggigil. Mereka melihat ada
seekor ular yang besar sekali, sebesar batang po-hon siong,
merayap datang menghampiri mereka! Para penduduk dusun
yang berkumpul di sltu tldak melihat ular Ini. Mereka menjadl
terheran-heran melihat dua belas orang tukang pukul itu meng- i
gigil ketakutan menghampiri Lurah Coa lalu berdiri di
belakangnya. Lurah itupun menggigil ketakutan. Mereka mundurmundur dan akhirnya menjatuhkan dirl berlutut,
"Ampun.... ampunkan 'aaya...." Lurah Coa meratap.
"AmpunRan kaml.... kaml tldak berani lagl...." Dua belas orang
Itupun berse-ru ketakutan, menghadap ka arah Tiong Lee Cinjln.
62 Tlong Lee Cin-jln menglbaskan ta-ngannya dan ular itupun
lenyap. Dla ia-lu bertanya kepada Lurah Coa dan anak buahnya.
"Benarkah kalian semua telah bertaubat dan tidak akan
mengulangi lagi sikap dan perbuatdn kalian yang me-nindas
rakyat dusun ini?" "Saya tidak berani ....". ratap lurah Coa.
"Kami bertaubat...." Dua belas orang tukang pukul itu serempak


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berseru ketakutan. "Bagus. Bertaubat berarti membuka pintu yang menuju jalan
kebenaran. Na" mun bertaubat tidak ada artinya sama sekall
kalau hanya dlucapkan dengan mulut, melainkan harus
me.nei'nbua k@ dalam hati sanubari dan tercermin dalam perbuatan. Tanpa pelaksanaan dalam perbu-atan, bertaubat hanya
merupakan pema-nis bibir dan palsu belaka. Lurah 'Coa,
seorang lurah bukan seorang peinbesar yang hanrya
memperbesar perut sendiri, juga bukan seorang penguasa yang
mempergunakan kekuasaannya untuk menindas orang lain dan
mencari enaknya dan be-narnya sendiri' Sedrang lurah adalah
seo-rang pemimpin rakyat yang berkewajiban iintuk membimbing
rakyatnya ke arah pembangunan dusun demi kesejahteraan
rakyatnya, inenjadi seorang bapak yang selalu memberi
tauladan kepada rakyat, kalau becdiri di depan memberi
tauladan, kalau berdiri di tengah bekerja sama de-ngan rakyat,
kalau di belakang menga-wasi dan memberi pengarahan. Ingat,
eng-kau bisa menjadf lurah karena ada rakyat dusun, tanpa
mereka engkau bukan apa-apa. Mulai sekarang, jadilah pemimpin rakyat yang baik. Kembalikan sawah ladang mereka.
Bebaskan hutang-hutang mereka. Ulurkan tangan dan bantulah
63 kalau ada rakyat yang kekurangan. Kalau sudah begitu, seluruh
rakyat di dusun akan cinta dan taat kepadamu, bukaa taati
karena terpaksa dan takut. Sanggupkah engkau membuktikan
rasa bertaubatmu dengan semua anjuran itu?"
"Saya sanggup," jawab Lurah Coa sambil menundukkan
kepalanya. Entah mengapa, mendengar ucapan yang lembut
namun penuh wibawa dan menggores hatinya itu, Lurah Coa
terlngat akan se-mua tindakannya yang lalu, sadar akan semua
perbuatannya yang sewenangwenang dan diam-diam dia
menangis. "Dan kalian, orang-orang gagah yang tadinya dianggap sebagai
tukang-tukang pukul anak buah Lurah Coa. Kalian adalah orangorang yang sudah mempelajari ilmu silat, orang-orang yang
memiliki tenaga yang kuat. Akan tetapi sayang, kalian
meinpergunakan kelebihan ttu untuk mendukung kesewenangwenangan Lurah Coa. Kalian menakut-nakutt rakyat dusun,
kalian bahkan tidak segan untuk memukuli dan menylksa
mereka. Kalau benar-benar kallan sudah bertaubat, mu-lai
sekarang jadilah pembantu lurah yang balk. Menjadl penjaga
keamanan dusun, keamanan rakyat dusun sehingga kehidupan.
di sini menjadi aman tenteram tidak ada perbuatan kejahatan.
Dengan demi-kian kalian akan menjadi sahabat bahkan saudara
dari rakyat dan mereka akan me-rasa sayang dan segan kepada
kalian, bu kan takut lagi. Mereka tidak akan mellhat lagi kalian
sebagai iblis-iblis menggang-gu, melatnkan sebagai malaikatmalaikat pelindung. Nah, sanggupkah kalian menjadi pelindung
rakyat?" "Kami sanggup!" seru dua belas orang itu serentak.
64 "Bagus, senang dan suka sekali hatiku mendengar kesanggupan
kalian semua. Sekarang aku hendak bertanya kepadamu, Lurah
Coa. Engkau tahu bahwa Thian Liong hanya hidup berdua
dengan neneknya dan keadaan mereka miskin se-kali. Mereka
mengandalkan makan seharihari dari hasil bekerja mereka di
rumahmu. Sekarang Nenek Souw telah me-ninggal dunia, apa
yang akan kaulakukan?"
Lurah Coa mengangkat mukanya dan Tiong Lee Cin?jin melihat
berapa muka yang masih ada bilur-bilur bekas cambukanitu kini
tampak cerah dan tidak tertutup hawa gelap seperti tadi.
"Sebelum saya menjawab, bolehkah kami semua mengetahui
lebih dulu siapa sebenarnya saudara pendeta ini?"
"Orang menyebutku Tiong Lee Cin Jin seorang perantau yang
kebetulan lewat di sini."
Lurah Coa merangkap kedua tangan depan dada memberi
hormat lalu bang-kit berdiri. "Kiranya Cin-jin seorang pen-deta
yang sakti dan bijaksana. Maafkan kami sekalian yang telah
bersikap kurang hormat dan telah berani bertindak jahat. Saya
sudah bertaubat dan menyadari do-sa-dosa saya, Cin-jin. Saya
akan mengu-rus penguburan jenazah Nenek Souw se-baikbaiknya. Adapun mengenai Thian Liong, saya akan memberinya
pekerjaan dan menganggap seperti anak angkat saya."
Tlong Lee Cin-jln mengangguk-ang-guk. "Bagus, terima kasih
atas kebaikan-rriu, Lurah Coa. Kalau untuk selanjutnya engkau
bersikap dan Berbuat seperti ini aku percaya bahwa engkau
akan dapat mencuci kotoran yang timbul dari perbuatanmu yang
sudah-sudah dengan perbuatan baikmu yang akan datang. Nah,
65 selamat tinggal, aku hafus melanjutkan perjalananku." Setelah
berkata demillian Tiong Lee Cin-jin membahkan tubuhnya dan
melangkah keluar dari pekarang-an rumah Lurah Coa.
Akan tetapi tiba-tiba Thian Liong lari menghampiri dan
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Tiong Lee Cin-jin. "Suhu,
perkenankanlah saya ikut suhu!" katanya sambil membenturbenturkan dahinya di atas tanah.
"Thian Liong, jenazah nenekmu masih belum dikebumikan," kata
Tiong Lee Cin-jin. "Sudah ada Lurah Coa yang menyanggupi untuk mengurusnya,
suhu. Biarkan saya ikut suhu."
"Akan tetapi aku hanyalah seorang perantau yang tidak tentu
tempat ting-galnya. Engkau akan lebih senang ting-gal di sini"
kata pula Tiong Lee Cin-jin.
"Benar Thian Llohg. engkau tlnggal-lah di sini bersama kaml.
Aku akan flienganggapmu sebagai anak angkatku," kata Lurah
Coa. "Tidak, suhu. Satu-satunya orang yahg kumiliki di dunia ini
hanyatah nenekku. Sekarang ia sudah meninggal dunia. Suhu
telah menyelamatkan saya, maka sekarang saya ingin ikut dan
melayant su-hu untuk selamanya. Saya bersedia hi-dup melarat
bersama suhu." Anak itu meratap.
Tiong Lee Cln-jin mengangguk-angguk dan tersenyum. Dia
sudah merasa bahwa anak ini berjodoh dengannya dan amat
baik kalau menjadi muridnya.
66 "Baiklah, engkau boleh ikut denganku, Thian Liong."
"Terima kasih, suhu!" Thian Liong lalu bangkit dan lari
menghampiri jenazah Nenek Souw dan berlutut di sampingnya.
"Nenek, perkenankan aku ikut dengan su-hu Tiong Lee Cln-jin.
Jangan khawatir, nek, jenazahmu akan diurus sebaiknya oleh
Lurah Coa. Selamat tinggal, nek." Setelah mencium muka
neneknya, dia lalu bangktt dan berlarl mengejar Tlonga ' Lee
Cln-jin yang sudah berjalan mening-galkan pekarangan itu.
Lurah Coa mengikuti mereka dengan pandang matanya sampai
dua orang itu tak ta,mpak lagi. Dia lalu inemerintah-kan orangorangnya untuk mengurus jenazah Nenek Souw baik-baik dan
dia ma-suk ke dalam rumah untuk mengobati lu-ka-Iuka lecutan
di tubuhnya. Semenjak hari Itu, Lurah Coa berubah sama sekali.
Dla berubah menjadi seorang lurah yang baik dan kehidupan
rakyat di du-sun itu menjadi benar-benar sejahtera dan
berbahagla. Dua belas orang jagoan Itu kinl menjadi sahabat
rakyat, menja-di penjaga keamanan dalam arti yang sebenarnya.
Setelah mengubah sama sekali jalan hidup mereka, kini mereka
mendambakan suatu kebahagiaan yang tak pernah mereka
rasakan sebelumnya. Mereka merasa aman tenteram dalam
hi?dup mereka, slkap dan pandang mata se-mua peududuk
terhadap mereka demiki-an ramah? tulus dan hormat yang tidafc
dibuat-buat. Baru sekarang mereka merasakan betapa membikin
senang orang lain jauh lebih menyenangkan daripada membikin
susah orang lain. *** 67 Setelah berpuluh tahun berada dalam kekacauan dan
pertentangan karena Ci-na dikuasai Lima Dinasti yang saling
berperang dan berebutan kekuasaan, akhirnya pada tahun 960
lahirlah Dinastl Sung yang berhasil mempersafukan Cina
kembali. Pendiri Dinasti Sung adalah seorang panglima dari
,satu di antara dinasti?dinasti yang pada jaman Lima Di-nasti
berkuasa di Cina, yaitu Dinasti Chou. Panglima ini bernama
Chao Kuang Yin. Panglima Chao Kuan Yin ini men-Jadi kaisar
yang mendirikan Dinasti Sung dengan cara yang unik, a"eh dan
lucu. Pada masa itu, Dinasti CHou membutuhkan seorang yang
tepat untuk menjadi kaisar karena kaisarnya yang sudah tua
berada dalam keadaan sakit payah. Yang ditunjuk sebagai
penggantinya adalah se?orang pangeran yang masih kecil,
seorang anak-anak! Hal ini mendatangkan rasa penasaran dan
tidak puas dalam ha-ti para perwira, Mereka lalu diamdiam '
mengadakan perundingan dan mengada-kan pemilihan siapa
kiranya yang pantas diturijuk untuk menjadi kaisar baru. Me-reka
dengan suara bulat memilih Pangli-ma Chao Kuang Yin yang
mereka kenal sebagai seorang panglima besar ahli pe-rang yang
pandai dan yang juga bijaksa-na dalam pergaulannya dengan
para pembesar lainnya. Pada suatu malam, selagi Panglima Chao Kuang Yin masih
tidur, para per" wira bawahannya dan para pejabat tinggi
memasuki kamarnya dan membangunkannya.
Panglima itu terbangun dan merasa kaget dan heran sekali
melihat para per-wira dan pembesar mengerumuninya.
"Heii, apa-apaan ini" Apakah terjadi. Mau apa kalian menggugah
ku?"" tanya Panglima Chao Kuang Yin yang lalu duduk di atas
68 kursi, meman-dang kepada mereka semua. Ternyata mereka
telah menyalakan lampu sehingga kamar itu menjadi terang.
Dengan heran dia melihat bahwa semua perwlra tinggi yang
menjadi pembantunya berada di situ, juga para pejabat tinggl
yang berkedudukan penting di pemerintahan.
Seorang perwira yang paling tinggl kedudukannya di antara
Dewi Ular 4 Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen Pendekar Bodoh 1

Cari Blog Ini