Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
locianpwe," jawab anak itu dan diam-diam si muka setan kagum
melihat sikap sopan dan baik dari anak itu. seorang anak yang
terdidik baik, pikirnya. 204 "Kalau begitu, engkau ikutlah denganku." berkata demikian, Bu
Beng Kwi membalikkan tubuhnya dan terus melangkah pergi.
Sampai beberapa lamanya dia melangkah, kemudian membalik
dan menatap ibu dan anak itu.
"Aku hanya mengajak anak ini untuk menjadi muridku."
Mendengar ini Sheila dan Han Le kembali menjatuhkan diri
berlutut. "Taihiap, sampai matipun kami tidak dapat saling berpisah. Di
dunia ini aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi, bagaimana
mungkin Henry anakku akan dipisahkan dariku " Taihiap, kalau
anakku kau ambil murid, aku berterima kasih sekali akan tetapi
biarkanlah aku ikut pula ...... "
Wajah yang buruk sekali itu nampak semakin buruk ketika dia
mengerutkan alisnya. "Akan tetapi ...... aku tidak membutuhkanmu ...... "
"Aku mengerti, taihiap. Akan tetapi biarlah aku berdekatan dengan
anakku, aku tidak akan mengganggumu, aku bahkan akan
bekerja apa saja, menjadi pembantu rumah tanggamu,
mengerjakan semua pekerjaan rumah ...... tapi jangan pisahkan
aku dari anakku karena hal itu berarti membunuhku ...... "
"Suhu, kalau benar suhu ingin mengambil teecu sebagai murid,
teecu baru mau kalau ibu juga diperbolehkan ikut serta. Ibu tidak
mempunyai keluarga lain dan teecu sampai matipun tidak tega
untuk meninggalkan ia hidup seorang diri saja." kata pula Han Le
dengan sikap yang tegas. 205 Kembali sinar kekaguman terpancar keluar dari pandang mata Bu
Beng Kwi. Seorang anak yang mencinta ibunya, berbakti dan
keras hati. diapun mengalihkan pandang matanya, menatap
kepala berambut keemasan yang menunduk itu dan dia menarik
napas panjang, wajahnya yang buruk itu tergores penuh
penyesalan dan iba membayang di sinar matanya.
"Baiklah, asal engkau tahu saja bahwa aku adalah seorang yang
hidup miskin dan mengasingkan diri dari dunia ramai. Akan tetapi,
nyonya, perjalanan menuju ke tempat tinggalku terlampau jauh
dan sulit kalau ditempuh dengan jalan kaki biasa. Karena itu
maafkanlah kelancanganku !" Tiba-tiba saja Sheila dan Han Le
merasa betapa tubuh mereka terangkat naik kemudian meluncur
dengan amat cepatnya. Mula-mula, mereka terkejut bukan main
dan terutama sekali Sheila yang merasa betapa tubuhnya
dipanggul di pundak kanan orang itu. Melihat ke bawah, ternyata
orang itu membawanya berlompatan jauh dan cepat sekali
sehingga ia menjadi pening dan ngeri, cepat-cepat ia
memejamkan kedua matanya. Akan tetapi Han Le yang mulamula takut, kini tidak merasa takut lagi melihat dirinya dipanggul
di pundak kiri. Dia malh membuka matanya lebar-lebar dan
bersorak gembira. "Wahhh, aku terbang ! Suhu sungguh hebat, kelak harap ajarkan
ilmu terbang ini kepada teecu !"
Bu Beng Kwi memnggul tubuh ibu dan anak itu dan kedua kakinya
berlari amat cepatnya seperi terbang saja. Jurang- jurang
diloncatinya dan dengan ilmu berlari cepat yang luar biasa ini,
pada keesokan harinya tibalah dia di puncak sebuah bukit yang
206 sunyi dan jauh dari dusun-dusun. Di puncak bukit itu, di antara
pohon-pohon besar, nampak sebuah pondok sederhana terbuat
dari kayu-kayu besar dengan kokoh kuat dan cukup luas,
dikelilingi ladang yang penuh dengan tanaman sayur-mayur dan
pohon-pohon buah. Bu Beng Kwi menurunkan ibu dan anak itu
dari pundaknya. "Kita telah tiba di rumah."
Ibu dan anak itu menggeliat karena tubuh mereka terasa penatpenat dan kaku setelah semalam suntuk dipanggul dan dibawa
lari cepat. Akan tetapi Han Le sudah melupakan kelelahannya dan
anak ini sudah berlari-lari di sekitar rumah itu, nampaknya
gembira sekali. Di lain saat dia telah memanjat pohon buah per di
mana bergantungan banyak buah yang sudah tua dan masak.
Melihat ini,legalah hati Sheila dan wanita ini merasa bahwa ia dan
puteranya kini berada di tempat aman, dan suasana di tempat itu
tenang dan tenteram, juga indah sekali pemandangannya.
Bu Beng Kwi memandang ke arah Han Le sambil tersenyum,
kemudian dia menghadapi Sheila. "Lihat, aku hidup di sini
sendirian saja dan makan dari hasil ladang dan kebun.
Bagaimana seorang seperti engkau dapat hidup di tempat seperti
ini ?" Sheila tersenyum, senyum yang manis sekali. "Taihiap, aku
adalah seorang wanita yang sudah banyak mengalami kehidupan
yang serba pahit dan penuh dengan kekerasan dan kesulitan.
Tempat ini indah, rumahmu juga cukup besar. Apalagi dengan kebun dan ladang sedemikian luasnya, apalagi
207 yang dikehendaki " Andaikata tempat tinggalmu tidak sebaik ini
sekalipun, aku akan hidup berbahagia."
Bu Beng Kwi menundukkan mukanya, tidak berani menentang
pandang mata yang kebiruan dan jernih itu. Teringat dia betapa
tadi tubuh yang berkulit lembut, halus dan hangat itu
dipanggulnya, betapa bau badan wanita itu semalam membuat
dia harus mengerahkan tenaga batin untuk melawan rangsangan
yang sudah bertahun-tahun tak pernah dirasakannya.
"Engkau ...... engkau seorang wanita yang tabah, dan puteramu
adalah seorang anak yang baik, berbakti, mencinta ibunya dan
gagah perkasa." "Tentu saja, taihiap, karena mendiang ayahnya juga seorang
pendekar gagah perkasa, seorang pejuang yang berjiwa
pahlawan," kata Sheila dengan suara mengandung kebanggaan
ketika dia teringat kepada mendiang suaminya, yaitu pendekar
Gan Seng Bu. Mendengar ini, Bu Beng Kwi memundukkan mukanya lebih
dalam, lalu memutar tubuh membelakangi Sheila, agaknya
hendak pergi, akan tetapi kakinya ditahannya dan dia berkata
dengan suara lirih, "Di dalam pondok terdapat dua buah kamar,
kamar depan adalah kamarku, dan kamar belakang yang besar
boleh kaupakai bersama puteramu. Di belakang terdapat dapur
dan perabotnya yang lengkap. kau dan puteramu tentu sudah
lapar, kalau hendak membuat makanan, di gudang dekat dapur
terdapat semua bahan keperluannya."
208 "Terima kasih, taihiap. Jangan khawatir, aku akan mengerjakan
itu semua, dan aku akan membersihkan pondok ini, kelihatan
agak tidak terawat," kata nyonya itu sambil menyambar sebuah
sapu yang bersandar pada dinding tembok depan.
"Oh.. ya, siapa nama puteramu itu ?" Tiba-tiba Bu Beng Kwi yang
sudah melangkah masuk ke dalam rumah itu tiba-tiba bertanya
tanpa menengok, hanya menahan langkahnya.
"Namanya Henry," Han Le, taihiap, aku sendiri menyebutnya "Han Le, nama yang bagus !" kata Bu Beng Kwi sambil
melanjutkan langkahnya masuk ke dalam rumahnya.
"Shenya Gan, taihiap !" Sheila menambahkan.
"Hemmm...... !" hanya itulah jawaban Bu Beng Kwi dan dia sudah
menghilang ke dalam kamarnya.
Demikianlah, mulai hari itu, Sheila dan Han Le tinggal di dalam
rumah itu, dan Sheila segera bekerja keras untuk membersihkan
rumah itu, mencuci, memasak dan semua pekerjaan rumah
dikerjakannya dengan baik. Rumah itu nampak bersih semenjak
Sheila tinggal di situ, dan makin lama Sheila semakin betah
tinggal di situ karena Bu Beng Kwi jarang sekali mengajak dia
bicara, bahkan jarang bertemu dengannya. pendekar yang
bermuka buruk itu hanya keluar untuk melatih ilmu silat kepada
Han Le, dan tidak pernah mengganggu Sheila, bahkan seolah209 olah Bu Beng Kwi menjauhkan diri dari Sheila, seperti orang yang
takut ! Hal ini membuat Sheila menjadi heran bukan main. setelah
berbulan-bulan tinggal di rumah itu, biarpun berada di bawah satu
atap, namun ia jarang sekali dapat bertemu tuan rumah.
Bahkan kalau ia sengaja menemuinya untuk melaporkan bahwa
makanan siang atau malam sudah sedia, Bu Beng Kwi nampak
seperti orang gugup dan membuang muka ! Sheila merasa amat
kasihan kepada pria itu. Apakah pria itu malu kepadanya karena
mukanya yang demikian buruk " Namun, betapapun buruk
wajahnya, seperti setan, orang itu jelas memiliki watak yang amat
baik, pikir janda ini. Belum pernah selama hidupnya dikenalnya
seorang pria seperti itu baik dan sopannya. dan selain memberi
latihan-latihan dasar ilmu silat tinggi kepada Han Le, juga Bu Beng
Kwi melatih ilmu membaca dan menulis kepada anak itu, di
samping gemblengan moral melalui nasihat-nasihat tentang
kehidupan, tentang baik dan buruk dan tentang sifat-sifat seorang
pendekar yang gagah perkasa dan menjunjung tinggi kebenaran
dan keadilan. Waktu luangnya setelah memberi latihan kepada
Han Le, masih dipergunakannya untuk bekerja di ladang dan
kebun-kebun dengan amat rajinnya. Setiap hari betapapun
paginya Sheila bangun tidur untuk menyapu dan memasak air, ia
selalu melihat bahwa tuan rumah telah bangun terlebih dulu, dan
telah sibuk di ladang belakang rumah ! Kadang-kadang Sheila
merasa terharu sekali melihat kehidupan Bu Beng Kwi ini. Ada
rahasia yang tersembunyi di balik wajah yang buruk itu, pikirnya,
rahasia yang tentu amat menyedihkan sekali. Sinar mata yang
kadang-kadang mencorong itu seringkali nampak demikian penuh
210 kepedihan hati, Bahkan penuh penyesalan, demikian sayu dan
tidak bercahaya lagi. dan agaknya Bu Beng Kwi menanam diri
dalam kesibukan sehari-hari, agaknya hendak melupakan ssuatu.
dan jelas sekali menjauhkan diri darinya, seolah-olah takut
berhadapan dengan dirinya. Semua ini merupakan teka-teki yang
amat menarik bagi Sheila, membangkitkan gairahnya untuk
menyelidiki rahasia apa gerangan yang tersembunyi di balik
wajah yang amat buruk itu. Ia merasa telah diselamatkan nyawanya, juga nyawa puteranya,
dari ancaman maut dan bahkan mungkin lebih mengerikan
daripada maut. Bukan hanya sampai di situ ia berhutang budi,
bahkan Bu Beng Kwi telah memberi kehidupan yang lebih
cemerlang dan tenteram kepada ia dan puteranya. Mendidik Han
Le dengan ilmu tinggi, kesusasteraan dan pendidikan rohani. Hal
ini ia ketahui semua karena setelah malam tiba dan puteranya
rebah tak jauh darinya di dalam kamar itu, ia selalu mengorek
keterangan dari puteranya tentang semua pelajaran yang
diterimanya dari Bu Beng Kwi. Bahkan dari anak itu ia
menanyakan semua kata-kata yang diucapkan Bu Beng Kwi pada
siang harinya, dan apa saja yang ditanyakan penolong itu kepada
anaknya. Dari Han Le ia mendengar bahwa Bu Beng Kwi pernah
bertanya kepada Han Le tentang semua pengalaman Han Le dan
ibunya semenjak ditinggal mati ayahnya. Tentu saja Han Le
hanya mampu menceritakan apa yang dapat diingatnya saja,
karena semenjak lahir dia sudah tidak lagi dapat melihat ayahnya.
Ada sesuatu yang sangat menarik dalam pribadi Bu Beng Kwi
bagi Sheila. Wajah yang amat buruk itu, tubuh yang cacat itu, kini
sama sekali tidak lagi mendatangkan rasa serem, takut atau jijik
bagi Sheila, bahkan mendatangkan perasaan iba yang
211 mendalam. Ia merasa kasihan dan juga penasaran mengapa
seorang manusia yang memiliki budi pekerti demikian baiknya
menerima hukuman dari Tuhan dengan tubuh yang sedemikian
penuh cacat dan keburukan. Bukan itu saja, ia juga dapat
merasakan betapa penolongnya itu hidup dengan batin
menderita, entah apa dan mengapa.
Pada suatu malam terang bulan Sheila tak dapat tidur. Han Le
sudah sejak tadi tidur nyenyak. Anak itu agaknya lelah sekali
karena selain harus berlatih silat, juga anak itu oleh ibunya
diharuskan membantu pekerjaan Bu Beng Kwi di ladang, Sheila
gelisah tak dapat tidur walaupun sudah sejak tadi ia rebah di atas
pembaringannya. Sudah setahun ia tinggal di situ bersama
puteranya, namun ia masih merasa asing terhadap Bu Beng Kwi.
Selama setahun itu, hanya beberapa kali saja ia sempat
berhadapan dengan penolongnya, lebih jarang lagi bercakapcakap karena kalau ia memancing percakapan, selalu Bu Beng
Kwi menghindar. bahkan untuk makan siang atau malam pun, Bu
Beng Kwi minta kepada Han Le untuk mengantar makanan ke
dalam kamarnya. Mengapa dia selalu menjauhkan diri dariku " Apakah dia tidak
suka kepadaku " Jangan-jangan dia membenci aku karena aku
seorang wanita kulit putih! Pikiran ini terus menerus menganggu
hati Sheila, membuatnya gelisah bukan main. Ia sudah berusaha
sedapat mungkin untuk menyenangkan hati Bu Beng Kwi,
membersihkan pondok itu sehingga menjadi tempat yang enak
ditinggali, menanam bunga-bunga indah di depan rumah dan di
luar jendela kamar Bu Beng Kwi, mencuci bersih pakaian-pakaian
serba putih dari orang itu, dan membuat masakan yang selezat
212 mungkin. Bahkan kini, dengan bantuan puteranya yang cekatan,
ia berhasil menangkapi kelinci dan membuat peternakan kelinci
sehingga ia mampu menghidangkan masakan daging kelinci yang
sedap, bukan sekedar sayuran saja seperti sebelum ia dan
puteranya datang ke situ.
Aih, apakah kesalahanku kepadanya" Sheila merasa nelangsa
dan rasanya ingin ia menangis ! Gila, mengapa pula menangis "
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia cepat menghapus dua titik air mata yang sudah berkumpul di
sudut matanya dan untuk mengusir kekesalan hatinya, ia turun
dari pembaringannya lalu menghampiri jendela. Dibukanya tirai
jendela dan nampaklah sinar bulan purnama di luar kamarnya.
Betapa indahnya bulan purnama. Hijau kekuningan dan nampak
sejuk dan damai hening di luar.
Ia menutup kembali tirai jendela dan menurutkan dorongan
hatinya ia melangkah keluar, menutupkan kembali pintu kamar
dengan hati-hati agar Han Le jangan sampai kaget dan
terbangun. Ketika dengan langkah hati-hati ia keluar dari dalam pondok
menuju ke belakang untuk memasuki kebun dan menikmati
keindahan bulan purnama, tiba-tiba ia menahan langkahnya dan
cepat bersembunyi di balik tiang rumah bagian belakang. Tiang
itu terbuat dari batang pohon besar dan ia bersembunyi di balik
tiang. mengintai ke dalam kebun. Di sana, di atas bangku panjang,
ia melihat Bu Beng Kwi duduk seorang diri dan ia terbelalak
memandang karena melihat betapa penolongnya itu menangis !
Benar-benar menangis seperti anak kecil, dengan suara
213 sesenggukan dan kedua pundak berguncang, kedua tangan
menutupi mukanya ! Dengan mata terbelalak, dan jantung
mengintai dan mendengar suara Bu
ulang, suara yang mengandung isak
penyesalan. "Ya Tuhan, ampunilah
ampunilah saya ...... "
berdebar kencang Sheila Beng Kwi yang diulangtangis, menggetar penuh
saya, ampunilah saya, Sambil menangis, orang aneh itu terus minta ampun kepada
Tuhan, kadang-kadang menjambak-jambak rambutnya penuh
penyesalan. Sheila terbelalak dan hatinya dipenuhi rasa haru. Ia
tidak tahu mengapa orang sebaik itu kini menangis dan minta
ampun kepada Tuhan, entah dosa apa yang penah dilakukannya,
dosa yang kini membuatnya demikian penuh penyesalan. Melihat
orang yang amat dikaguminya itu, orang yang dihormatinya dan
dijunjungnya tinggi karena perbuatannya, karena sikapnya itu kini
menangis dan minta-minta ampun kepada Tuhan seperti itu,
Sheila merasa demikian terharunya sehingga tanpa disadarinya,
air matanya menetes turun di sepanjang pipinya. Ia seperti
terpukau di tempat itu, tidak mampu bergerak. Hatinya ingin sekali
menghampiri dan menanyakan, menghibur Bu Beng Kwi, namun
kedua kakinya tidak dapat ia gerakkan. Juga ada perasaan segan
dan takut untuk mengganggu orang yang sedang tenggelam
dalam kedukaan yang amat besar itu.
Berjam-jam Bu Beng Kwi menangis, meratap dan minta ampun
kepada Tuhan. Berjam-jam pula Sheila berdiri di balik tiang
melakukan pengintaian. Akhirnya, seperti orang kelelahan, Bu
Beng Kwi menjatuhkan diri rebah di atas bangku panjang, masih
214 menangis akan tetapi makin lama, tangisnya makin lirih dan
akhirnya diapun tertidur di atas bangku panjang di dalam kebun
itu ! Beberapa kali nampak tubuhnya terguncang oleh isak
sebagai tangisnya, akan tetapi dari pernapasannya dapat
diketahui bahwa dia benar-benar telah tidur nyenyak, agaknya
terlau lelah oleh penyiksaan batinnya sendiri tadi.
Sheila melangkah perlahan-lahan menghampiri dan dalam jarak
dua meter ia berdiri mengamati orang itu. Tidur pulas dengan
lengan kanan melintang di atas dahi, tangan kiri tertumpang di
dada. Napasnya penjang-panjang halus, kadang-kadang masih
terisak, kedua kakinya yang panjang itu tergantung di ujung
bangku Hawa udara dingin bukan main di malam terang bulan purnama
itu. Sheila menggigil dan ia merasa kasihan sekali melihat Bu
Beng Kwi yang tidur pulas di atas bangku itu, di dalam kebun
dalam hawa dingin sepeti itu. Ia lalu kembali ke dalam rumah,
mengambil sehelai selimut tebal dan dengan hati-hati ia
menghampiri tubuh yang pulas itu dan menyelimutinya dari leher
sampai ke kaki. Tubuh itu bergerak lemah akan tetapi tidak
tergugah. Kalau saja tidak sedang tenggelam ke dalam kedukaan
dan penyesalan sehebat itu sehingga membuat seluruh tubuhnya
lemas dan hatinya lelah dan kepulasan telah menelannya bulatbulat. Tentu Bu Beng Kwi yang memiliki tubuh terlatih itu sudah
terbangun ketika diselimuti Sheila. Namun kedukaan membuat
orang menjadi lemah sekali. tenaga yang dibuang sia-sia sewaktu
berduka amatlah besarnya.
215 Sheila lalu kembali ke kamarnya dan ia tidak tidur, teringat akan
keadaan Bu Beng Kwi dan beberapa kali, setiap kali teringat ia
menitikkan air matanya karena iba dan haru. Ah, ia mau
melakukan apa saja demi untuk menghibur dan membahagiakan
hati pria ini, pria yang demikian bijaksana dan budiman, yang telah
memberi segala-galanya kepada ia dan puteranya tanpa pamrih,
tanpa minta imbalan apapun, bahkan yang selalu menghindar
agar tidak menerima sikap manis dan berterima kasih darinya.
Pada keesokan harinya, ketika Han Le sedang sibuk bekerja di
ladang, ketika Sheila sedang membawa pakaian kotor untuk
dicuci di pancuran air di sebelah kanan rumah, ia berpapasan
dengan Bu Beng Kwi. Pria itu berhenti dan memandang
kepadanya, sedangkan Sheila juga berhenti dan memandang
penuh perhatian. Tidak nampak lagi tanda-tanda kedukaan yang
hebat itu pada wajah yang tidak pernah dapat memperlihatkan
perasaan hati itu, akan tetapi pandang mata itu tetap saja sayu
dan bagaikan matahari tertutup awan hitam.
Bu Beng Kwi mengeluarkan segulung selimut dan
memberikannya kepada Sheila sambil berkata, "Terima kasih atas
kebaikan hatimu, nyonya. Maaf, aku telah membikin repot saja.
Harap lain kali jangan perdulikan diriku, karena seorang seperti
aku ini tidak pantas menerima kebaikan dan penghormatan
seperti itu." Begitu Sheila menerima gulungan selimut, Bu Beng
Kwi membalikkan tubuh dan pergi.
"Taihiap ...... tunggu dulu ...... !" Sheila berlari mengejar, dan Bu
Beng Kwi menghentikan langkahnya, menghadapi Sheila dengan
muka ditundukkan. 216 Kini mereka saling berhadapan dan Sheila memandang tajam,
berusaha untuk menguak tirai yang menyembunyikan rahasia di
balik wajah yang cacat itu. "Taihiap ...... namaku adalah Sheila
dan aku adalah pelayanmu, ibu dari muridmu, tidak perlu engkau
menyebutku nyonya. Dan mengapa taihiap kelihatan
membenciku" Harap taihiap berterus terang agar aku dapat
mengerti akan kesalahanku dan dapat memperbaikinya, dan
taihiap ...... mengapa demikian berduka ...... ?"
"Nyonya, engkau adalah seorang wanita yang bijaksana,
terhormat dan mulia, jauh bedanya dengan aku yang hina ini, dan
tentang sikapku ...... ah, aku tidak apa-apa, harap nyonya jangan
perdulikan aku lagi ...... " Dan diapun cepat melangkah pergi
menuju ladang, meninggalkan Sheila yang berdiri melongo
dengan hati penasaran. Penolongnya itu demikian merendahkan
diri, dan kata-katanya demikian penuh keprihatinan. Apa saja
yang membuat orang itu bersikap seperti itu" Apakah karena
wajah dan tubuhnya menjadi penuh dengan cacat seperti itu lalu merasa rendah diri "
Beberapa hari kemudian, ketika pagi-pagi sekali Sheila sedang
menyapu lantai di pekarangan depan dan Bu Beng Kwi masih
bersamadhi di dalam kamarnya setelah pagi-pagi tadi dia
mengamati Han Le yang berlatih silat, muncul dua orang laki-laki
muda yang usianya sekitar dua puluh lima tahun, berpakaian
sederhana namun berwajah tampan dan bersikap gagah. Dua
orang laki-laki muda itu demikian terkejut ketika melihat seorang
wanita kulit putih berambut kuning keemasan dan bermata biru,
mengenakan pakaian sederhana sedang menyapu di situ
217 sehingga mereka berdua terbelalak dan terpukau, hampir tidak
percaya kepada pandang mata mereka sendiri.
Melihat dua orang pemuda itu seperti terkejut, bingung dan heran,
Sheila lalu menghampiri mereka dengan sapu di tangan, dan
menegur dengan sikap halus dan bahasa yang sopan.
Dua orang muda itu saling pandang, dengan sinar mata bertanyatanya siapa gerangan wanita kulit putih ini. Sheila juga
memperhatikan mereka. Seorang di antara mereka bertubuh
tinggi besar dengan muka gagah berbentuk persegi empat dan
mukanya yang masih muda itu mulai ditumbuhi brewok yang
lebat, sepasang matanya lebar dan tajam. Orang kedua bertubuh
tinggi kurus, mukanya putih seperti muka perempuan namun
tampan dan sepasang alisnya tebal sekali, tebal dan hitam lebat.
"Kami adalah murid dari tuan rumah ini," kata pemuda tinggi
besar. "Siapakah engkau?" sambung pemuda tinggi kurus.
"Aih, kiranya ji-wi adalah murid-murid taihiap !" Sheila berseru
kaget dan girang. "Aku bernama Sheila dan aku ......aku pelayan
dari taihiap ...... "
"Apa" Suhu mempunyai pelayan seorang wanita kulit putih"
Rasanya tidak mungkin !" kata pemuda tinggi besar.
Pada saat itu terdengar suara nyaring dari sebelah dalam, suara
yang keluar dari dalam kamar Bu Beng Kwi. "Kok Han dan Hong
Can, kalian baru datang ?"
218 Mendengar suara ini, dua orang pemuda gagah perkasa itu lalu
menjatuhkan diri berlutut menghadap ke dalam rumah dan
berkata penuh hormat, "Suhu .......
Muncullah Bu Beng Kwi , diikuti oleh Han Le yang diajak latihan
samadhi di dalam kamar gurunya itu. Sepasang mata orang aneh
itu memancarkan sinar berseri ketika dia memandang kepada dua
orang muda yang berlutut.
"Han Le dan kau, nyonya, ketahuilah bahwa yang baru datang ini
adalah murid-muridku bernama Ceng Kok Han dan Li Hong Cang
yang sudah hampir dua tahun turun gunung.Kok Han dan Hong
Cang, anak ini adalah Gan Han Le, sute kalian, dan wanita ini
ibunya, Gan Toanio (nyonya Gan).Bangkitlah dan beri hormat
kepadanya," kata Bu Beng Kwi memperkenalkan.
Diam-diam dua orang pemuda itu merasa heran. Guru mereka
mengambil murid anak seorang wanita kulit putih dan biarpun sute
mereka yang masih kecil itu berwajah biasa, namun sepasang
matanya yang bening tajam itu kebiruan seperti mata orang kulit
putih ! Mereka lalu menjura dengan hormat kepada wanita kulit
putih yang pandai berbahasa daerah itu dan menyebutnya Gan
Toanio. Sheila membalas penghormatan mereka selayaknya.
Sebagai seorang anak yang terdidik baik, oleh gurunya dan oleh
ibunya, Han Le lalu menjura pula kepada mereka.
"Ji-wi suheng (kakak seperguruan), aku Gan Han Le memberi
hormat pada ji-wi dan mohon bimbingan ilmu silat."
219 Ceng Kok Han dan Li Hong Cang memandang gembira. Kiranya
sute mereka itu, biar anak wanita kulit putih, biar masih kecil,
namun nampak cerdik dan pandai membawa diri. Mereka
merangkul dan mengelus rambut kepala Han Le dan merasa
akrab dan sayang. Mereka semua kecuali Sheila yang merasa sungkan dan juga ia
harus menyediakan minuman untuk dua orang muda yang baru
tiba, segera masuk ke dalam rumah dan tak lama kemudian, Bu
Beng Kwi sudah bercakap-cakap dengan serius bersama dua
orang murid yang baru datang itu disaksikan oleh Han Le yang
mendengarkan saja. Mereka bicara tentang hal- hal yang belum
dimengertinya benar, tentang perjuangan, pemberontakan, dan
perang. Kiranya dua orang muda perkasa itu, atas persetujuan guru
mereka, seperti para pendekar lain, telah pergi meninggalkan
tempat perguruan dan ikut membantu perjuangan Ong Siu Coan
yang memimpin balatentara Tai Peng pada bulan-bulan terakhir
sampai pasukan itu dapat menduduki Nan-king dan daerah
selatan sungai. Akan tetapi, akhirnya mereka berdua menjadi muak melihat
betapa pasukan-pasukan Tai Peng mulai melakukan
penyelewengan dan kejahatan dan agaknya tingkah laku mereka
itu dibiarkan saja oleh Ong Siu Coan. Seperti juga banyak para
pendekar lainnya, dua orang murid Bu Beng Kwi ini meninggalkan
Tai Peng dan pulang ke tempat tinggal guru mereka.
220 "Demikianlah, suhu. Teecu berdua meninggalkan pasukan tai
peng, melihat penyelewengan dan kejahatan yang dilakukan oleh
pasukan itu. seperti para pendekar lain yang tadinya membantu
pasukan Tai Peng sehingga gerakan itu berhasil, teecu berdua
juga sudah berusaha untuk melakukan protes dan laporan kepada
Ong-bengcu sebagai pimpinan. namun, semua laporan tidak
diperhatikan, bahkan pernah Ong-bengcu mengatakan bahwa
sudah sewajarnya kalau para perajurit mendapatkan sedikit
kesenangan setelah semua jerih payah dan taruhan nyawa dalam
perang." Ceng Kok Han menutup ceritanya.
Bu Beng Kwi mengangguk-angguk. "Sudah kuduga semua itu,
Dan aku sudah mendengar desas-desus tentang sepak terjang
mereka sehingga diam-diam aku mengkhawatirkan kalian.
Apalagi ketika terjadi malapetaka yang menimpa para pengungsi
yang diganggu oleh pasukan Tai Peng, termasuk sutemu ini dan
ibunya, makin yakinlah aku bahwa Ong Siu Coan dan pasukannya
bukanlah pejuang-pejuang yang dapat diharapkan akan
mengangkat nasib rakyat jelata."
"Benar, suhu. Para perajurit Tai Peng kemasukan banyak orangorang jahat. Mereka memang mengaku sebagai tentara rakyat,
dan mengaku bahwa mereka berjuang demi rakyat, untuk
membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan. Mereka
mengatakan bahwa perjuangan mereka murni, namun nyatanya
mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang jahat, merampok,
membunuh dan memperkosa, tidak memiliki perikemanusiaan
seperti binatang-binatang buas yang hanya mengenal hukum
rimba. Kini jelas dapat dilihat betapa rakyat yang hidup di daerah
kekuasaan Tai Peng bahkan menderita lebih hebat daripada
221 sebelum daerah itu dibebaskan. Mereka menjadi penguasapenguasa yang lebih kejam daripada penjajah Mancu sendiri !"
kata pula Li Hong Cang. Percakapan mereka terhenti ketika Sheila masuk ke ruangan itu
membawa hidangan minuman bagi mereka semua. Bu Beng Kwi
sejenak memandang wanita itu dan setelah Sheila kembali ke
dapur, dia berkata kepada Han Le, "Han Le, engkau bantulah
ibumu. Kami akan membicarakan urusan penting yang tidak kau
mengerti." Han Le mengangguk dan bangkit tanpa membantah. setelah tiba
di dapur, dia dihujani pertanyaan oleh ibunya. Han Le memberi
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keterangan sebisanya dan mendengar bahwa dua orang suheng
dari puteranya itu baru saja pulang berjuang membantu
balatentara Tai peng yang kini menduduki sebagian dari daerah
selatan, Sheila menarik napas panjang.
"Negara ini dilanda perang saudara tiada hentinya. Aih, Henry,
mendiang ayahmu dahulu juga seorang pejuang yang amat
gagah perkasa." Han Le mengerutkan alisnya. "Ibu, apakah ayah juga membantu
pasukan Tai Peng menentang pasukan Mancu?"
"Ya, memang tujuan mereka sama, yaitu menghapuskan
penjajah, akan tetapi ayahmu tidak membantu Tai Peng."
222 "Tentu ayah tidak seperti orang-orang Tai Peng yang jahat itu, ibu.
Kedua suhengku itupun meninggalkan Tai Peng karena orangorang Tai Peng berobah jahat sekali !"
"Kau benar, anakku. Engkau belajarlah baik-baik, agar kelak
dapat menjadi seorang gagah perkasa, seorang pendekar yang
menentang kejahatan."
"Seperti ayah, ibu?"
"Ya, seperti ayahmu, seperti gurumu yang gagah perkasa dan
budiman itu." Sementara itu, Bu Beng Kwi masih bercakap-cakap secara serius
dengan kedua orang muridnya..
"Perjuangan seperti yang dipimpin oleh Ong Siu Coan itu tidaklah
sehat lagi," kata Bu Beng Kwi. "Perjuangan Tai Peng yang tadinya
diharapkan untuk dapat membebaskan rakyat daripada
cengkeraman penjajah, ternyata bahkan membuat rakyat menjadi
semakin celaka, seperti terlepas dari mulut harimau masuk dalam
cengkeraman serigala." "Memang demikianlah, suhu." kata Ceng Kok Han. "Dan kini
terjadi pemberontakan di selatan, Suku Bangsa Nien-fei, bahkan
teecu mendengar bahwa suku Miau di Kwei-couw juga mulai
bangkit dan memberontak. Kalau begini, berarti bangsa kita
bahkan akan terpecah belah tidak karuan."
"belum lagi diingat ancaman bangsa kulit putih dari pantai timur,"
kata pula Li Hong Cang. "Suhu, kalau dibiarkan pemerintah
223 dihantam dari kanan kiri dan keadaan menjadi semakin kacau,
maka rakyatlah yang akan menderita hebat. Terutama sekali
harus dicegah penberontakan Tai Peng itu sampai dapat
menaklukkan semua daerah, karena bangsa kita akan mengalami
nasib lebih mengerikan lagi di bawah memuasaan orang-orang
yang kini memimpin Tai Peng, yang terdiri dari penjahat-penjahat
yang bersembunyi di balik agama baru dan perjuangan."
Bu Beng Kwi mengangguk-angguk. "Para pendekar sudah
meninggalkan Tai Peng, berarti bahwa mereka sudah melihat
kenyataan akan kejahatan orang-orang Tai Peng dan tidak mau
membantu gerakannya. Kiranya hanya para pendekar yang dapat
bersatu dan bangkit menentang Tai Peng."
"Teecu kira hal itupun tidak mudah dilakukan, suhu." kata Ceng
Kok Han. "Tai Peng telah merupakan balatentara yang amat
besar dan kuat. Kalau para pendekar bersatu, berapa besar
kekuatan mereka " Pula, karena mereka datang dari berbagai
aliran yang mempunyai pendapat berbeda, kiranya tidak mudah
mempersatukan mereka."
"Hemm, beralasan juga kata-katamu. Lalu, bagaimana baiknya"
Orang-orang muda seperti kalian, tidak mungkin akan berpangku
tangan saja melihat kelaliman Tai Peng."
"Teecu berdua sute telah bersepakat untuk minta pendapat dan
perkenan suhu. Teecu berdua ingin mengajak kawan- kawan
seperjuangan, antara para pendekar untuk bersama-sama
membangkitkan semangat rakyat di pedesaan, perlahan-lahan
menyusun kekuatan dengan mendirikan lascar yang kuat yang
224 bertujuan menyelamatkan tanah air dan bangsa. Kalau perlu,
laskar kami akan membantu pemerintah Mancu untuk
memadamkan semua pemberontakan yang sifatnya hanya
pengejaran ambisi tanpa mementingkan penderitaan rakyat,
karena pemberontak-pemberontak macam Tai Peng dan lain- lain
itu bahkan menjadi penghambat perjuangan menumbangkan
kekuasaan penjajah."
"Membantu pemerintah Mancu, bekerja sama dengan pemerintah
penjajah?" Bu Beng Kwi berseru kaget dan memandang dua
orang muridnya itu. "Maksud suheng hanya untuk sementara, suhu," kata Li Hong
Cang. "Untuk dapat menghancurkan kekuatan yang berbahaya seperti
Tai Peng, dibutuhkan pasukan besar dan sukarlah membentuk
laskar sekuat itu untuk menentang Tai Peng. Maka, untuk
sementara, sebaiknya kalau menggunakan kekuatan pasukan
pemerintah untuk menghancurkan Tai Peng dan para
pemberontak suku bangsa lain. Setelah itu, barulah kekuatan
disusun sepenuhnya untuk menumbangkan kekuasaan penjajah
dari tanah air." Bu Beng Kwi mengangguk-angguk, "Mungkin kalian benar.
Terserah kepada kalian. Yang penting bagi kita adalah bahwa
sepak terjang kalian haruslah murni, tanpa pamrih demi
keuntungan pribadi, sepenuhnya ditujukan demi menyelamatkan
rakyat dan bangsa kita. Akan tetapi, kalau cita- cita kalian
demikian besar, kalian perlu membelaj ari ilmu memimpin
225 pasukan, ilmu perang, bukan sekedar ilmu silat. Dan agaknya aku
masih menyimpan sebuah kitab kuno tentang ilmu perang, ilmu
pusaka peninggalan Jenderal Gak Hui. Boleh kalian miliki dan
pelajari bersama ilmu perang melalui kitab kuno itu."
Bu Beng Kwi lalu masuk ke dalam kamarnya, mengambil sebuah
kitab tebal yang sudah amat tua, menyerahkannya kepada dua
orang muridnya yang menjadi gembira bukan main. Sejenak
keduanya tenggelam ke dalam kitab itu, membuka-buka
lembarannya dan membaca beberapa bagian penuh kekaguman,
Kemudian Ceng Kok Han menyimpannya.
"Maaf, suhu. Teecu percaya semua tindakan suhu tentu sudah
dipertimbangkan semasaknya dan setiap perbuatan suhu
berdasarkan kebijaksanaan. Akan tetapi terus terang saja, teecu
dan sute tadi merasa terkejut dan terheran-heran melihat suhu
telah mengambil murid seorang anak dari wanita kulit putih. Teecu
berdua ingin sekali mendengar sebab dan alasannya, kalau suhu
tidak keberatan." Bu Beng Kwi mencoba untuk tersenyum, namun wajahnya yang
kaku itu agaknya sudah terlalu lama tidak tersenyum maka
gerakan mulutnya tidak cukup untuk menunjukkan sebuah
senyuman. "Pertanyaan kalian memang pantas dan sudah sepatutnya aku
memberi penjelasan. Ibu dan anak itu adalah pengungsipengungsi yang ketika pegi mengungsi bersama penduduk
dusun, dicegat oleh pasukan kecil Tai Peng yang mengganggu
mereka. Pasukan itu melakukan perampokan, pembunuhan dan
226 perkosaan, maka aku turun tangan menyelamatkan para
pengungsi dan membasmi para penjahat yang berkedok pejuang
itu. Anak itu terluka dan pingsan. Ketika aku hendak
mengobatinya, aku melihat bakat yang baik sekali pada tubuhnya,
dan aku kasihan kepadanya. Ibunya tidak mau berpisah dari
anaknya dan nekat untuk ikut ke sini, bekerja menjadi pelayan
walaupun aku tidak menganggapnya sebagai pelayan. Sudah
hampir setahun mereka di sini dan Han Le ternyata memang
cerdik dan berbakat, sedangkan ibunya juga seorang wanita yang
amat rajin. Lihat saja, bukankah pondok kita ini menjadi bersih dan
taman itu penuh dengan tanaman bunga yang indah ?"
Dua orang murid itu sudah cukup mengenal watak suhu mereka.
Biasanya, suhu mereka sama sekali tidak perduli akan keadaan
rumah, apalagi bunga dalam taman. Tentu ada sesuatu yang
mendorong suhunya menerima wanita kulit putih itu tinggal di situ.
Mereka memandang dengan sinar mata bertanya-tanya dan
agaknya Bu Beng Kwi dapat menduga bahwa kedua orang
muridnya ini masih meragukan kehadiran Sheila dan
keterangannya tadi belum memuaskan hati mereka.
"Baiklah kalian ketahui hal lain yang mendorong aku untuk
menerima ibu dan anak itu di sini. Ketahuilah bahwa mendiang
ayah dari anak itu bernama Gan Seng Bu, seorang pendekar dan
pahlawan yang pernah berjuang bersama para pendekar untuk
menentang penjajah dan juga orang kulit putih yang menjual
madat." "Gan Seng Bu ...... ?" Li Hong Cang berseru.
227 "Ah, ketika teecu membantu Tai Peng bersama para pendekar,
teecu pernah mendengar nama ini disebut-sebut dengan
kekaguman. Kiranya sute cilik itu puteranya" Dan wanita kulit
putih ...... " "Ia adalah isteri mendiang Gan Seng Bu. Pendekar itu pernah
menyelamatkan wanita itu ketika ia masih gadis melarikan diri
bersama orang tuanya dan diserbu oleh para pemberontak.
Hampir ia menjadi korban orang-orang yang tidak bertanggung
jawab. Ayah ibunya tewas dan Gan Seng Bu menolongnya.
Mereka saling jatuh cinta dan semenjak itu, ia hidup di dusun di
antara para pejuang dan menikah dengan pendekar itu."
Kini kedua orang murid itu mengerti dan merekapun maklum
mengapa guru mereka menerima ibu dan anak itu.
Bahkan diam-diam merekapun merasa setuju sekali.
bagaimanapun juga, biarpun rambutnya seperti benang emas dan
matanya seperti warna lautan yang dalam, tidak seperti orangorang kulit putih yang merusak hidup rakyat dengan penyebaran
racun madat. Bahkan wanita itu telah hidup belasan tahun
lamanya di antara para pejuang, hidup seperti orang dusun dan
kini bahkan bekerja keras seperti seorang pelayan saja
membersihkan pondok dan memperindah suasananya. Diamdiam mereka merasa kagum sekali.
Setelah beberapa hari tinggal di situ, dua orang muda itu segera
menjadi akrab sekali dengan Han Le dan mereka memberi
bimbingan kepada anak itu dalam latihan ilmu silat. Han Le
merasa girang sekali dan bangga mempunyai dua orang suheng
itu. Bukan hanya dengan Han Le, bahkan kedua orang muda itu
228 bersikap manis terhadap Sheila. Janda muda ini adalah sorang
kulit putih, tentu saja iapun mudah menjadi akrab dengan mereka
karena baginya tidak ada pantangan dalam keakraban pergaulan
antara pria dan wanita. Apalagi melihat betapa dua orang muda
itu adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa, seperti
mendiang suaminya, dan mereka bersikap demikian baik
terhadap puteranya. Akan tetapi ada satu hal yang membuat Sheila merasa kurang
enak hati. belum sampai sebulan dua orang muda itu berada di
situ, akhir-akhir ini sinar mata mereka terhadap dirinya terasa lain
olehnya. Biasanya hanya ada keramahan dan penghormatan,
namun akhir-akhir ini ia dapat menangkap dengan naluri
kewanitaannya betapa dalam sinar mata mereka terkandung
kekaguman yang berlebihan dan mendekati kehangatan dan
kemesraan. Pandang mata mereka penuh arti, juga senyum
mereka tidak wajar lagi ! Sheila cukup berpengalaman sebagai
seorang janda muda yang sering digoda orang untuk dapat
menangkap perasaan kagum dan suka dalam hati kedua orang
muda itu yang terpancar melalui sinar mata mereka. Tentu saja
hal ini membuatnya merasa kurang enak, walaupun tentu saja ia
tidak mau menyatakan sesuatu dan bersikap wajar saja di depan
mereka. Lebih tidak menyenangkan hatinya lagi ketika ia mendapat
menyataan bahwa sejak dua orang muridnya itu pulang, Bu Beng
Kwi jarang sekali keluar dari dalam kamarnya sehingga ia jarang
bertemu dengan penolongnya itu. Akan tetapi sebaliknya, ia
sering bertemu dengan dua orang muda yang nampaknya kini
makin suka mendekatinya. 229 Pada suatu sore, ketika Sheila sedang membersihkan daun- daun
kering dari taman di depan rumah, tiba-tiba muncul Ceng Kok Han
yang tanpa banyak cakap lalu membantu pekerjaannya
memunguti dan menyapu daun-daun kering itu.
"Aih, sudahlan, Ceng-sicu. Tidak perlu kaubantu, ini pekerjaanku
sehari-hari, nanti tangan dan pakaianmu menjadi kotor saja." kata
Sheila menolak dengan lembut dan tersenyum manis.
"Tidak mengapa, toanio, aku suka membantumu karena aku
merasa kasihan kepadamu," jawab Ceng Kok Han.
Sheila menunda pekerjaannya dan memandang kepada pemuda
itu sambil tertawa kecil. "Engkau sungguh aneh, sicu. Kenapa
kasihan kepadaku" Aku senang melakukan pekerjaan di sini."
"Toanio, orang cantik dan sepandai engkau ini sungguh tidak
selayaknya hidup sederhana ini, bekerja keras seperti pelayan
...... " "Harap jangan berkata demikian, sicu !" Sheila berkata cepat
memotong dan suaranya mengandung penasaran. "Ketahuilah bahwa selama bertahun-tahun ini, baru sekarang aku
merasakan hidup penuh kedamaian, ketenteraman dan
kebahagiaan. Aku suka sekali melakukan semua pekerjaan ini,
jadi, kalau engkau merasa kasihan, hal itu tidak tepat bahkan lucu
sekali." "Toanio, engkau dahulu isteri seorang pendekar perkasa yang
terkenal. Sekarang, selayaknya kalau engkau menjadi seorang
230 isteri dan ibu rumah tangga yang terhormat dan hidup serba
kecukupan. Akan tetapi sebaliknya engkau malah hidup di tempat
yang amat sunyi, jauh tetangga jauh masyarakat. Toanio, kenapa
sejak suamimu meninggal dunia, sudah belasan tahun lamanya,
engkau tidak ...... tidak menikah lagi?"
Mendengar pertanyaan ini, wajah yang masih cantik dan nampak
jauh lebih muda dari usianya yang sudah tiga puluh tahun lebih
itu berubah kemerahan. Sheila yang sudah mengenal pemuda ini
karena sering bercakap-cakap, tahu bahwa Ceng Kok Han adalah
seorang pemuda yang gagah perkasa yang berwatak terbuka dan
jujur, suka mengeluarkan isi hatinya melalui mulut tanpa sungkan
lagi. Oleh karena itu, iapun tidak merasa tersinggung, lalu
tersenyum lebar memandang pemuda itu.
"Wah, Ceng-sicu, engkau ini aneh-aneh saja. Siapakah orangnya
yang suka dengan sungguh-sungguh mengawini aku" Seorang
janda dengan seorang anak, perempuan kulit putih pula yang
pada umumnya dianggap musuh. Kalau ada, mereka itu hanya
berniat untuk mempermainkan aku saja. Karena itu aku tidak
pernah menerima lamaran mereka, sicu. Aku harus menjaga
kebahagiaan hidup anakku satu-satunya orang yang kumiliki di
dunia ini." "Engkau terlalu merendahkan diri, toanio. Engkau seorang wanita
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang biarpun berkulit putih, namun amat cantik, bijaksana dan
tidak kalah dibandingkan dengan wanita pribumi yang manapun."
Wajah itu menjadi semakin merah, dan hatinya terasa tidak enak
karena pujian dari pemuda yang jujur itu semakin berlebihan.
231 "Sudahlah, sicu, harap jangan bicara tentang itu. Buktinya,
sampai sekarang aku hidup berdua saja dengan anakku dan aku
tidak pernah mengeluh."
"Akan tetapi, tanio, kalau sekiranya toanio ingin merubah
kehidupan yang penuh dengan kesepian ini, kalau saja toanio
sudi menerimanya, ada seorang pria yang dengan sepenuh hati,
dengan sungguh-sungguh ingin membahagiakanmu, ingin
mempersuntingmu sebagai isteri tercinta, bukan sekedar mainmain seperti yang kukatakan yadi."
Sepasang mata yang biru itu terbelalak memandang Ceng Kok
Han penuh selidik. "Sicu ..... ! Apa ...... apa maksudmu
...... " Siapa siapa yang kau maksudkan itu?"
"Akulah pria itu, toanio. Kalau sekiranya engkau sudi menerima,
aku ..... aku meminangmu untuk menjadi isteriku."
Sapu itu terlepas dari tangan Sheila. Matanya masih terbelalak
memandang dan bibirnya yang setengah terbuka itu gemetar
namun tidak dapat mengeluarkan suara. Kemudian ia
memejamkan matanya, tidak tahu harus tertawa atau menangis
karena hatinya ingin melakukan keduanya. Ia ingin tertawa karena
geli hatinya bahwa seorang pemuda seperti Ceng Kok Han
menyatakan cinta kepadanya melalui pinangan, dan ia ingin
menangis karena merasa terharu mengetahui bahwa pemuda
perkasa seperti Kok Han ini dapat dipercaya kata- katanya dan
tentu sungguh-sungguh merasa suka dan kasihan kepadanya,
bukan sekedar tertarik dan bermaksud mempermainkan
terdorong oleh nafsu berahi semata. Akan tetapi ia cukup
232 bijaksana untuk tidak melakukan keduanya, tidak menangis dan
tidak tertawa, hanya memejamkan matanya sejenak dan
menguatkan hatinya. Kemudian ia membuka matanya memandang. pemuda itu masih
berdiri di depannya, tegak dan gagah, dengan sikap menanti
penuh kesabaran, menanti jawabannya. Ah, terasa benar olehnya
kasih sayang yang hangat terpancar keluar melalui sinat mata
pemuda itu dan iapun tahu benar bahwa hidup sebagai isteri
pemuda ini tentu membawa ketenangan dan ketenteraman,
terlindung dengan baik. Akan tetapi satu hal ia tahu pasti, yaitu
bahwa ia tidak memiliki cinta kasih terhadap pemuda perkasa ini,
walaupun ia merasa kagum dan suka.
"Ceng-sicu, harap engkau maafkan aku. Aku adalah seorang
wanita yang tidak muda lagi, usiaku sudah hampir tiga puluh lima
tahun. sedangkan engkau baru berusia paling banyak dua puluh
lima tahun. Bukan hanya selisih usia ini saja yang membuat aku
tidak berani menerima pinanganmu, sicu, melainkan karena aku
...... aku ...... " "Engkau telah menaruh hati kepada orang lain, mencinta orang
lain?" Sungguh seorang laki-laki yang terbuka dan terus terang, pikir
Sheila. Maka iapun mengangguk setelah mengamati hatinya
sendiri. Benar, ia telah jatuh cinta kepada orang lain. Baru
sekarang kenyataan ini nampak benar olehnya. Ia telah jatuh cinta
kepada Bu Beng Kwi, kepada penolongnya, penyelamatnya,
kepada pendekar besar yang buruk rupa dan cacat tubuhnya itu !
233 Maka, dengan penuh keyakinan iapun mengangguk untuk
menjawab pertanyaan pemuda itu.
Ceng Kok Han menerima pengakuan wanita itu dengan gagah.
Dia memang merasa hatinya tertusuk kekecewaan, namun dia
menerimanya tanpa mengeluh. "Toanio, katakanlah, dia ...... dia
berada di sini?" Karena ia berhadapan dengan seorang pria yang jujur dan gagah
perkasa, Sheila meras tidak perlu menyembunyikan rahasianya
dan iapun mengangguk. "Apakah dia ...... sute Li Hong Cang?" Sheila tersenyum lemah
dan menggeleng kepala. Sejenak Ceng Kok Han tertegun dan terbelalak memandang
wajah wanita itu, kemudian dia menundukkan mukanya dan
pandang matanya berpancar kekaguman dan keharuan. Dia lalu
menjura dengan dalam dan penuh dengan hormat. "Ah, toanio,
aku semakin kagum kepadamu. sungguh engkau seorang wanita
yang berbudi luhur, seorang wanita yang akan dapat menjadi
cahaya terang dalam kehidupan seseorang dengan cinta kasihmu
yang suci murni. Maafkan kelancanganku tadi, toanio." Dia
menjura lagi. Sheila membalas penghormatan itu dengan hati terharu.
"Engkaulah yang harus memaafkan aku, sicu, karena aku telah
mengecewakan hatimu. Semoga engkau kelak dapat bertemu
dengan jodohmu yang sepadan dengan kegagahan dan
kebaikanmu." 234 Pemuda itu membalikkan tubuh dan meninggalkan Sheila yang
masih berdiri termenung. kemudian iapun melanjutkan
pekerjaannya, diam-diam merasa kagum kepada murid tertua Bu
Beng Kwi itu. Penglaman yang menegangkan hati Sheila terulang kembali pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali. Ia baru saja mandi dan
berganti pakaian, terus pergi membawa pakaian kotor menuju ke
pancuran air di mana ia biasanya mencuci pakaian. baru saja ia
mulai mencuci, terdengar suara lirih memanggil namanya.
"Sheila ...... !"
Tentu saja ia merasa terkejut sekali karena selama berada di situ,
belum pernah ada orang menyebut nama kecilnya begitu saja. Ia
cepat menoleh dan terbelalak melihat bahwa yang memanggilnya
adalah Li Hong Cang, murid kedua dari Bu Beng Kwi. Pemuda
tinggi kurus dengan muka putih dan alis tebal itu telah berdiri di
dekatnya dan memandang kepadanya dengan sinar mata
memancarkan kekaguman. "Eh, Li-sicu ! Engkau mengejutkan orang saja !" kata Sheila sambil
tersenyum cerah, memaksa diri untuk bersikap biasa dan
menekan debar jantungnya. "Engkau nakal sekali. Darimana engkau mengetahui nama
kecilku, sicu?" Akan tetapi pancingannya untuk mencairkan suasana dengan
senda gurau tidak ditanggapi oleh Hong Cang yang masih saja
bersikap serius dan pandang matanya yang penuh kagum itu
235 tidak berubah. "Aku tahu dari anakmu. Sheila, engkau sungguh
cantik jelita pagi ini, seperti dewi pagi yang gemilang. Alangkah
indahnya rambutmu itu, seperti benang sutera emas .......
Sheila merasa bulu tengkuknya meremang mendengar pujian ini.
Ia tahu akan gawatnya suasana. Pemuda ini tidak main-main dan
seperti juga apa yang dilakukan Ceng Kok Han kemarin, pemuda
ini berterang memujinya dan memperlihatkan perasaan kagum
dan cintanya ! Karena tidak tahu harus berbuat apa, Sheila tetap saja bersikap
sendau gurau. "ih, sicu, jangan memuji berlebihan. Aku hanyalah
seorang perempuan tua. Anakku yang menjadi sutemu itu sudah
hampir dewasa !" Ucapannya ini dimaksudkan untuk
mengingatkan dan menyadarkan kembali Hong Cang dari
maboknya. Akan tetapi agaknya pagi itu Li Hong Cang sudah mengambil
keputusan, sudah nekat untuk mengaku cintanya kepada wanita
yang membuatnya tergila-gila ini. "Sheila ...... aku memujimu dari
lubuk hatiku, setulus cintaku. Aku cinta padamu, Sheila, dan kalau
engkau sudi meneimanya, aku ingin hidup bersamamu sebagai
suamimu. Akan kuajak engkau tinggal di kota, hidup yang layak
dan aku akan membahagiakanmu, Sheila. Sudikah engkau
menerima cintaku", Hampir saja Sheila tak dapat menahan ketawanya. ia merasa
seperti berada di panggung saja, seperti sedang bermain
sandiwara. Baru saja kemarin kok Han menyatakan keinginannya
hendak meminang, kini hong cang menyatakan cintanya ! Akan
236 tetapi tentu saja ia tidak berani mentertawakan pemuda yang
nampaknya serius sekali itu. Maka iapun mengambil keputusan
untuk menolaknya dengan halus namun tegas untuk
membuyarkan khayal yang membuat pemuda itu bersikap
demikian romantis. "Li-sicu, maafkan aku dan harap jangan menyesal kalau aku
terpaksa mengecewakan hatimu. Aku tidak mungkin membalas
cintamu, tidak mungkin dapat menerima pinanganmu, pertama
karena engkau jauh lebih muda dariku, kita tidak pantas menjadi
suami isteri. Dan kedua karena aku sudah mencinta laki-laki lain.
Nah, maafkanlah aku, sicu."
Alis yang hitam tebal itu berkerut dan muka yang putih itu menjadi
semakin pucat, "Sheila, engkau ...... engkau memilih suheng" jadi
engkau mencinta suheng Ceng Kok Han?"
Sheila menggeleng kepala, "tidak, bukan dia yang kucinta."
Sepasang mata pendekar itu terbelalak dan mukanya menjadi
kemerahan. Tiba-tiba dia lalu menjura dengan sikap hormat,
"Toanio, maafkan kelancanganku ...... engkau sungguh seorang
wanita yang luar biasa, toanio." Li Hong Cang lalu memberi
hormat lagi dan pergi meninggalkan Sheila.
Dua hari kemudian semenjak dua orang pemuda itu menyatakan
cintanya, mereka pergi meninggalkan pondok itu. Mereka berpamit kepada Sheila dengan sikap hormat, seperti
sikap mereka ketika pertama kali datang. Tidak nampak lagi
tanda-tanda bahwa mereka pernah mengaku cinta, Sinar mata
237 mereka kini sungkan dan hormat, dan sikap merekapun tetap
ramah ketika mereka minta diri. Sheila pun besikap biasa dan
menghaturkan selamat jalan kepada mereka. Baru setelah
mereka pergi, ia merasa kehilangan karena bagaimanapun juga,
kehadiran dua orang muda itu sedikit banyak mendatangkan
perubahan di tempat yang amat sunyi itu. Setelah mereka pergi,
baru ia berani bertanya kepada Han Le ke mana mereka pergi
dan apa yang hendak mereka lakukan.
"Kedua orang suhengku itu berangkat ke kota besar untuk mulai
dengan perjuangan mereka menentang pemberontak Tai Peng,
ibu. Kelak kalau aku sudah besar, akupun ingin mengikuti jejak
mereka." kata Han Le dengan sikap gagah.
Dan pada sore hari itu, ketika Sheila duduk di serambi belakang
seorang diri, tiba-tiba muncul Bu Beng Kwi di depannya. "Toanio,
kenapa engkau menyia-nyiakan kesempatan baik dan rela
mengubur dirimu di tempat sunyi ini?"
Pertanyaan yang tiba-tiba itu mengejutkan hati Sheila.
"Taihiap, maafkan aku, akan tetapi apa maksud pertanyaan
taihiap ini" Aku tak mengerti ...... "
"Engkau telah menolak cinta kasih dua orang muda seperti Ceng
Kok Han dan Li Hong Cang !"
Sheila memandang dengan mata terbelalak kaget. "Taihiap ......
tahu akan hal itu ?"
238 "Mereka mengaku kepadaku tentang cinta mereka kepadamu dan
minta perkenanku untuk meminangmu. Aku memberi perkenan,
akan tetapi mereka hari ini pergi dengan hati patah. Toanio,
kenapa engkau tidak memilih seorang di antara mereka dan
meninggalkan tempat yang sunyi ini, membangun kehidupan baru
yang penuh bahagia dengan seorang di antara kedua muridku
itu" Bukankah mereka itu adalah orang-orang muda yang gagah
perkasa, berjiwa pendekar dan akan sanggup melindungimu
selamanya ?" Baru sekali ini Sheila mendengar orang ini bicara demikian
banyak, dan bicara dengan suara demikian bersemangat. Akan
tetapi kata-kata yang panjang dan bersemangat ini sama sekali
tidak menyenangkan hatinya, bahkan baginya merupakan benda
runcing yang menusuk perasaannya. Tak terasa lagi Sheila yang
biasanya tabah itu kini menutupi mukanya untuk menyembunyikan air mata yang bercucuran keluar dari sepasang
matanya yang biru. Namun, Bu Beng Kwi telah melihatnya dan
dengan suara mengandung keheranan namun lembut dia
bertanya. "Toanio, kenapa engkau menangis ?"
Sheila menghapus air matanya. Lalu ia memandang kepada lakilaki itu. Hanya sebentar mereka bertatap pandang karena Bu
Beng Kwi, seperti biasanya segera menundukkan mukanya.
"Taihiap, demikian bencikah taihiap kepadaku?"
239 Bu Beng Kwi terkejut, sejenak mengangkat muka, matanya
mencorong memandang wajah Sheila akan tetapi lalu menunduk
kembali. "Apa maksudmu?"
"Taihiap selalu menjauhiku, dan sekarang dengan halus
mengusirku. mengapa taihiap membenciku " Apakah karena aku
seorang perempuan kulit putih" Ataukah aku memberatkan
penanggungan taihiap di sini" Kalau benar demikian, katakanlah
saja, taihiap dan aku ..... aku akan pergi bersama anakku, aku .....
tidak ingin menyusahkan taihiap yang sudah demikian baik
kepada kami ...... "
"Aku tidak membencimu, toanio. Jangan salah mengerti. Dua
orang muridku itu tertarik dan jatuh cinta kepadamu. Mereka terus
terang di depanku dan minta perkenan dariku untuk
meminangmu. Tentu saja aku memperbolehkan karena aku lihat
bahwa engkau cukup berharga untuk menjadi isteri orang yang
bagaimanapun juga. Akan tetapi engkau menolak mereka,
memilih hidup bersunyi diri di sini" Mengapa ?"
Sheila merasa betapa jantungnya berdebar kencang. Ingin
mulutnya meneriakkan bahwa ia tidak mungkin dapat
meninggalkan pria ini, bahwa ia tak mungkin berpisah dari tempat
ini, dari Bu Beng Kwi. Akan tetapi tentu saja ia tidak seberani itu,
karena Bu Beng Kwi sedikitpun tidak memperlihatkan tanda-tanda
keramahan kepadanya, bersikap dingin, bahkan selalu
menjauhkan diri. Malah orang yang diam-diam dipujanya,
dijunjung tinggi dan dicintanya ini seperti menyuruh dua orang
muridnya untuk meminangnya !
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
240 "Aku sudah merasa senang dan berbahagia sekali di sini, taihiap.
Aku tidak ingin pergi ke manapun juga. Bukankah anakku juga
berada di sini" Kami merasa suka dan merasa aman tenteram
hidup di sini, dan kesunyian di sini bahkan merupakan keheningan
yang menyejukkan hati."
"Benarkah yang kau katakan itu, toanio /"
Sheila memandang kepadanya dengan sinar mata berkilat dan
wajah berseri. "Perlukah aku bersumpah, taihap" Semenjak suamiku meninggal
dunia, baru sekarang aku merasakan kehidupan yang penuh
dengan kedamaian dan ketenteraman, dan aku berbahagia sekali
tinggal di sini, taihiap. Kalau boleh, aku ingin tinggal di sini,
selamanya, sampai aku mati."
Kembali Bu Beng Kwi mengangkat muka memandang dengan
sinar mata mencorong ketika mendengar ucapan ini, akan tetapi
dia lalu membalikkan tubuhnya dan berkata, "Aku girang sekali
mendengar ini, toanio'. Dan seperti orang tergesa-gesa diapun
pergi meninggalkan Sheila.
"Ya Tuhan, ampunkan semua dosaku ...... ya Tuhan, ampunilah
saya ...... " Sheila tak berani bergerak dan kini kedua pipinya basah oleh air
matanya yang mengalir turun. Sejak tadi ia mengintai dan timbul
dugaannya bahwa tentu Bu Beng Kwi seringkali meratap dan
menangis seorang diri seperti itu di waktu malam, walaupun baru
241 dua kali ini ia mengintai dan melihatnya. Sekali ini, ratap tangis Bu
Beng Kwi yang minta-minta ampun kepada Tuhan akan dosadosanya itu diseling doa-doa dalam bahasa yang tidak
dimengertinya, doa yang biasanya diucapkan oleh para hwesio.
Kiranya Bu Beng Kwi ini pandai pula berdoa seperti pendeta,
pikirnya penuh keharuan. Dosa apa gerangan yang pernah
dilakukan orang ini sehingga kini dia menyesali diri sedemikian
rupa" Sukar untuk dipercaya bahwa seorang gagah perkasa dan
budiman seperti Bu Beng Kwi ini pernah melakukan dosa yang
membuat dia begitu menderita dalam penyesalan. Ingin sekali
Sheila meloncat dan berlari keluar untuk merangkul dan
menghibur, menyusuti air mata orang itu, akan tetapi tentu saja ia
tidak berani. "Akulah yang telah membunuh ...... akulah yang telah merusak
kehidupannya, terkutuklah perbuatanku itu ...... ya Tuhan,
ampunilah hambamu ini ...... aku sudah cukup menyiksa diri,
menderita, namun hukuman ini masih belum cukup untuk
menebus dosa-dosaku ...... "
Bu Beng Kwi meratap dan menangis, bahkan menjambak
rambutnya sendiri dan ketika dia menjatuhkan diri berlutut, dia
membentur-benturkan kepalanya pada tanah sampai terdengar
bunyi berdebukan yang mengerikan hati Sheila.
Akhirnya dengan suatu keluhan panjang, tubuh Bu Beng Kwi itu
terguling roboh dan rebah terlentang tak bergerak lagi.Sheila
memandang dengan bingung dan gelisah. Tertidurlah orang itu "
Ataukah jatuh pingsan " Jangan-jangan dia jatuh sakit, pikirnya.
Selagi ia merasa bimbang dan ragu, menghampiri ataukah tidak,
242 dan merasa serba salah, tiba-tiba nampak bayangan dua orang
berkelebat datang dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang
laki-laki. Mula-mula Sheila mengira bahwa yang datang itu adalah
Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, akan tetapi karena malam itu
bulan hanya muncul sepotong dan cuaca remang-remang, ia tidak
dapat melihat jelas. Baru setelah dua orang itu nampak
menggerakkan tangan memukul tubuh Bu Beng Kwi, ia tahu
bahwa mereka bukanlah dua orang muda itu dan iapun menjerit
melihat Bu Beng Kwi dipukul.
'"Desss .....!" .
Jerit yang keluar dari mulut Sheila itulah yang menarik kembali Bu
Beng Kwi ke dalam alam sadar, akan tetapi dia telah terkena
pukulan yang keras sekali pada dadanya, yang membuat
tubuhnya terbanting keras dan bergulingan. Sheila menggigil dan
tak kuat berdiri, berlutut dan memandang dengan mata terbelalak
penuh rasa gelisah. Akan tetapi, setelah menerima pukulan hebat pada dadanya dan
disusul tendangan keras yang membuat tubuhnya terlempar, Bu
Beng Kwi yang terkejut mendengar jeritan Sheila tadi, dapat
meloncat bangun kembali. Tubuhnya yang tinggi itu nampak
bergoyang-goyang sedikit ketika dua orang lawannya sudah
berloncatan datang mendekat.
"Ha, lihat mukanya ! Tentu dia ini orangnya !" terdengar seorang
di antara mereka, yang tubuhnya gendut, berkata
dengan suara parau dan dalam.
243 "Benar, Toako, tentu dia orangnya. Hei, benarkah engkau yang
berjuluk Bu Beng Kwi ?" kata yang bertubuh tinggi besar dan
kedua lengannya panjang sepeti lengan orang hutan.
Bu Beng Kwi menarik napas panjang, merasa betapa dadanya
nyeri. Pukulan orang berlengan panjang tadi mengandung
sinkang yang kuat dan dia tahu bahwa dia telah menderita luka
cukup parah di dalam dadanya. Bahkan mulutnya sudah
merasakan darag ! akan tetapi, Bu Beng Kwi bersikap tenang
ketika dia melangkah maju menghampiri dua orang itu.
"Siapakah kalian ini, orang-orang pengecut yang tidak tahu malu
menyerang orang yang tidak bersiaga ?" tanyanya, suaranya
tenang namun berwibawa. "Bu Beng Kwi, ingatkah engkau ketika engkau membunuh
pasukan Tai Peng dan juga Tung-hai Siang-liong" Kami adalah
rekan-rekannya, kami tokoh-tokoh Tai Peng yang datang untuk
menghukummu. Berlututlah agar kamu menyerah dan kami bawa
menghadap pimpinan kami di Nan-king," kata yang berperut
gendut. Kini Bu Beng Kwi sudah dapat memulihkan tenaganya dan
pandang matanya sudah terang kembali. Dia melihat bahwa dua
orang itu ternyata mengenakan jubah pendeta, dan rambut
mereka digelung seperti biasa para tosu menggelung rambutnya.
Akan tetapi, dia melihat gambar pat-kwa di dada mereka dan
tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan dua orang tokoh Patkwa-pai yang terkenal sebagai pemberontak yang gigih dan
memiliki banyak orang pandai.
244 "Hemm, kiranya dua orang tosu Pat-kwa-pai !" katanya dengan
senyum di kulum. "Pantas Tai Peng melakukan penyelewengan,
kiranya dibantu oleh orang-orang dari Pat-kwa-pai yang terkenal
berkedok agama dan perjuangan untuk mengelabui rakyat jelata.
Benar, aku telah membasmi pasukan kecil Tai Peng yang
melakukan perampokan dan pembunuhan terhadap para
pengungsi, dan kemudian Tung-hai Siang-liong yang
menyerangku juga roboh binasa. Lalu kalian mau apa?"
"Hemm, manusia sombong. engkau sudah terluka parah dan
menghadapi maut, masih saja membuka mulut besar dan tidak
cepat berlutut menyerahkan diri?" bentak si lengan panjang.
"Hiante, tak perlu banyak cakap, bunuh saja dia !" kata yang
berperut gendut dan diapun cepat menerjang ke depan, mengirim
tendangan ke arah perut Bu Beng Kwi. Si gendut ini agaknya
memang ahli tendang yang amat lihai. Biarpun perutnya gendut
sekali, namun kakinya dapat terangkat tinggi, cepat seperti kilat
menyambar dan mengandung tenaga yang kuat sekali ketika dia
menendang. Tendangan ini tadi pernah membuat tubuh Bu Beng
Kwi terlempar jauh. Akan tetapi sekali ini Bu Beng Kwi telah siap
siaga. Kemarahan membuat darahnya seperti mendidih dan
melihat datangnya tendangan, dia bukan mengelak bahkan
melangkah maju menyambut tendangan itu. Dengan kecepatan
yang tak dapat diikuti dengan mata, tahu-tahu dia telah
menangkap tumit kaki yang menendang itu, terus mendorong kaki
itu ke atas dengan kekuatan penuh, sedangkan tangan kanannya
memukul ke arah perut gendut itu dengan tangan terbuka.
245 "Hukkk !!" Tubuh si gendut itu terlempar jauh ke belakang setelah
perutnya dimasuki tangan itu. Tubuh yang gendut itu terbanting
keras di atas tanah dan si gendut itu tidak dapat bangun, hanya
mengaduh-aduh memegangi perutnya yang terasa mulas dan
kepalanya yang benjol-benjol karena ketika terbanting tadi,
kepalanya bertemu dengan batu yang keras.
Si tinggi besar menyerang pada detik berikutnya, tidak mampu
menolong temannya dan kedua lengannya yang panjang itu
sudah menyambar, yang kiri mencengkeram ke arah kepala Bu
Beng Kwi sedangkan yang kanan menghantam ke arah lambung.
Serangannya dahsyat dan kuat bukan main sampai terdengar
suara angin bercuitan ketika kedua lengan panjang itu bergerak.
Akan tetapi Bu Beng Kwi yang sudah marah bukan main itu tidak
memberi kesempatan kepada lawan kedua ini. Sebetulnya, kalau
saja Bu Beng Kwi tidak terluka karena serangan gelap ketika dia
dalam keadaan tidak sadar tadi, mungkin dia tidak akan
menurunkan tangan besi karena tingkat kepandaian dua orang itu
masih jauh di bawah kalau dibandingkan dengan tingkatnya.
Begitu melihat lengan yang tadi memukulnya menyambar, dia
memapaki dengan tangan kanannya, menangkap tangan yang
mencengkeram ke arah kepalanya. Dua tangan yang jari-jarinya
terbuka itu saling bertemu dan saling cengkeram, sedangkan
lengan kiri Bu Beng Kwi menagkis tangan yang menghantam
lambung, dan meneruskan tangkisan itu dengan mendorong dada
lawan dengan telapak tangan yang menangkis itu.
"Aughhhh ...... !" Si tinggi besar menjerit kesakitan karena lima
buah jari yangan kirinya yang saling cengkeram dengan tangan
kanan lawan itu terasa nyeri dan terdengar tulang-tulang lima
246 jarinya patah-patah, kemudian setelah pukulannya pada lambung
tertangkis, tiba-tiba telapak tangan Bu Beng Kwi sudah mengenai
dadanya. "Desss ....... Tubuhnya terlempar dan menimpa tubuh si gendut !
Dua orang tokoh Pat-kwa-pai itu adalah orang-orang yang sudah
cukup tinggi tingkatnya di perkumpulan mereka, karena mereka
adalah tokoh tingkat tiga. Maka dapat dibayangkan betapa
terkejut hati mereka ketika menghadapi Bu Beng Kwi, dalam
segebrakan saja mereka telah menderita luka parah. Mereka
menjadi ketakutan dan sambil setengah merangkak dan saling
bantu, keduanya bangkit melarikan diri tinggang langgang tanpa
pamit lagi. Bu Beng Kwi tidak melakukan pengejaran, melainkan berdiri
tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, gagah dan
menakutkan lawan. diam-diam Sheila yang nonton semua
peristiwa itu, merasa kagum. Pahlawannya, penolongnya itu
memang hebat bukan main ! Akan tetapi, wanita ini menjerit ketika
melihat betapa tiba-tiba tubuh yang jangkung itu terkulai dan
roboh di atas tanah di dalam kebun itu ! Sheila melupakan semua
rasa sungkan dan takut, lalu ia berlari menghampiri. Melihat Bu
Beng Kwi rebah miring, ia lalu berlutut dan memeriksa. ketia
dalam cuaca remang-remang itu ia melihat wajah yang pucat itu,
dan darah berlepotan mengalir keluar dari mulutnya, ia menjadi
panik. "Taihiap ...... !" Ia menubruk dan mengguncang-guncang pundak
Bu Beng Kwi. "Ahh, taihiap ...... sadarlah ...... ! Taihiap ...... !"
247 Melihat betapa ketika diguncang itu Bu Beng Kwi sama sekali
tidak bangun, bahkan kepalanya nampak lemas terkulai seolaholah dia sudah tidak bernyawa lagi, Sheila menjadi khawatir
sekali. Diguncang-guncang tubuh itu, didekapnya kepala itu,
dipanggil- panggilnya, namun tetap saja Bu Beng Kwi tidak
bergerak. "Ibu, ada apakah, ibu?"
"Ahh, Henry, cepat bantu aku. gurumu telah berkelahi dan dia
terluka parah. Mari kita angkat tubuhnya ke dalam pondok," kata
Sheila ketika melihat munculnya Han Le yang terkejut dan
terbangun dari tidurnya mendengar jerit ibunya tadi.
Han Le terkejut, hampir tak dapat percaya bahwa gurunya dapat
terluka patah dalam perkelahian. namun dia tidak bertanya lebih
lanjut, membantu ibunya dan dengan sudah payah mengangkut
tubuh Bu Beng Kwi yang berat itu, setengah menyeret dan
setengah mendukungnya, masuk ke dalam rumah dan erus k
dalam kamar Bu Beng Kwi. Setelah tubuh itu direbahkan di atas pembaringan dan Sheila
menyalakan lma batang lilin, ia semakin gelisah melihat betapa
wajah yang buruk itu nampak sama sekali tidak memperlihatkan
tanda-tanda hidup. Hanya ketika ia meraba dadanya, jantungnya
masih berdetak dan napasnya, walaupun lambat, masih berjalan.
"Cepat, kau masakkan air, Henry !" kata Sheila.
Anaknya itu tanpa bertanya apapun cepat melaksanakan perintah
ibunya. Sheila menyuruh Han Le karena ia sendiri tidak sampai
248 hati meninggalkan Bu Beng Kwi. Ia mempergunakan kain putih
yang dibasahi dengan arak yang menghapus darah yang
berlepotan di mulut Bu Beng Kwi.
Hati Sheila takut bukan main tajut bukan main, khawatir kalaukalau penolongnya itu tewas. membayangkan betapa
penolongnya itu tewas, tak terasa lagi air matanya bercucuran
dan iapun menangus sambil merangkul leher yang kokoh kuat itu.
Ia menyandarkan mukanya di dada yang bidang itu sambil
menangis. Ketika Han Le masuk membawa air panas, dia melihat ibunya
menangis dalam keadaan seperti itu dan diam-diam anak ini
merasa heran, juga terharu. Dia sendiri amat sayang kepada
gurunya, akan tetapi tak pernah ia melihat ibunya demikian dekat
dengan gurunya. Diapun membantu ibunya mencuci muka, kaki
dan tangan gurunya dengan air panas, terutama sekali
menggunakan kain yang direndam air panas untuk
memebersihkan dada dan tubuh atas yang telah ditelanjangi
karena ketika Sheila memeriksa, dia melihat tanda tapak tangan
menghitam pada dada yang bidang itu.
Bu Beng Kwi memang terluka parah dan kalau saja dia tidak
memiliki tubuh yang terlatih dan amat kuat, tentu pukulan dahsyat
yang dilakukan lawan ketika dia dalam keadaan tidak sadar itu
sudah menewaskannya. Dia belum tewas, akan tetapi luka parah
itu membuat dia tidak sadar selama tiga hari tiga malam ! Dan
selama itu, Sheila tak pernah meninggalkannya lama-lama.
Bahkan wanita ini hampir tidak makan, juga tidak pernah tidur
walaupun puteranya membujuknya. Sheila merawat Bu Beng Kwi,
249 menyuapkan air bubur encer ke dalam mulut yang masih mampu
menelan dalam keadaan setengah sadar namun masih selalu
memejamkan mata dan tak pernah mengeluarkan suara itu.
Pada hari keempat, pagi-pagi sekali Bu Beng Kwi menggerakkan
pelupuk matanya, tubuhnya tergetar sedikit, dan diapun membuka
kedua matanya. Dilihatnya Sheila tertidur sambil bersandar pada
kursi di dekat pembaringan, sambil berlutut di bawah
pembaringannya, Sedangkan Han Le duduk di tepi pembaringan.
Anak itu tadinya melenggut karena kantuk, akan tetapi agaknya
dia merasa bahwa gurunya bergerak, maka diapun cepat
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendekatkan mukanya. "Suhu ...... !" katanya lirih.
"Ssttt ...... " Bu Beng Kwi memberi tanda agar anak itu tidak berisik
sambil melirik ke arah Sheila yang tidur pulas bersandarkan kursi.
"Jangan ribut, ibumu sedang tidur."
Sambil berbisik Han Le berkata, "Benar, kasihan ibu. sudah tiga
hari dua malam ia tidak tidur dan baru malam ini saking lelahnya
ia tertidur dan teecu menggantikannya menjaga suhu."
Bu Beng Kwi terkejut. "Tiga hari tiga malam " Kau maksudkan aku
pingsan selama itu ...... ?"
"Benar, suhu. Dan ibu selama itu menjaga suhu, menyuapkan air
bubur, membersihkan tubuh suhu ...... " katanya dengan bangga.
"Ahhh ...... !" Bu Beng Kwi membuang muka agar anak itu tidak
melihat betapa kedua matanya menjadi basah. seringkali dia
250 merasa heran mengapa semenjak bertemu dengan Sheila,
seringkali dia tidak dapat menahan mengalirnya air matanya,
bahkan menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Padahal,
dahulu dia tidak pernah mengenal tangis ! Walaupun pernah dia
menyesal secara mendalam, namun baru setelah dia bertemu
Sheila saja dia banyak menangis. Hatinya diliputi keharuan yang
mendalam dan iapun memejamkan matanya kembali, seperti
hendak mengusir bayangan betapa wanita itu selama tiga hari tiga
malam menjaganya tanpa tidur, mungkin tanpa makan,
merawatnya penuh perhatian. Bayangan ini seperti pedang
berkarat yang menghunjam dan menembus jantungnya, membuat
napasnya menjadi sesak dan kesehatannya yang belum pulih
kembali itu tidak kuat menerimanya, membuat dia terkulai dan
pingsan lagi. Han Le mengira suhunya tertidur, maka dengan hati lega karena
suhunya sudah sadar dan bicara, diapun duduk melenggut dan
akhirnya diapun terkulai dan tertidur di tepi pembaringan.
Ketika Sheila terbangun, dilihatnya puteranya tertidur pulas di tepi
pembaringan, dan Bu Beng Kwi masih seperti malam tadi, rebah
seperti orang pulas atau pingsan. Akan tetapi dengan hati agak
lega dilihatnya betapa tarikan napas Bu Beng Kwi sudah panjangpanjang dan lancar, juga ketika ia menyentuhnya, kaki tangannya
sudah hangat dan merah, tidak pucat dingin seperti kemarin.
"Henry, bangunlah dan cepat masak air dan masak bubur,"
katanya menggugah puteranya.
251 Han Le terbangun. "Ibu, semalam suhu telah sadar dan bicara
sebentar denganku." "Ah, benarkah" Atau engkau hanya bermimpi" Buktinya engkau
tertidur pulas." Han Le menjadi ragu sendiri. Benarkah dia melihat suhunya
sadar" Ataukah hanya mimpi belaka" Diapun cepat turun dan
pergi ke dapur, sementara Sheila pergi mencuci muka dan
membersihkan badan. Ia melakukan hal itu cepat-cepat karena
tidak tega meninggalkan Bu Beng Kwi terlalu lama. Ia sudah
kembali berlutut di tepi pembaringan dan melihat betapa orang itu
masih juga belum sadar, ia memegang tangan Bu Beng Kwi.
"Taihiap, sembuhlah, taihiap. Kasihanilah aku, karena hanya
engkau seoranglah gantungan harapanku, engkau seoranglah
yang dapat membahagiakan hidupku, dapat membimbing dan
mendidik puteraku. Taihiap, kasihanilah aku dan segera
sembuhlah ...... " Dengan girang Sheila merasa betapa ada hawa panas menjalar
dari telapak tangan yang lebar itu ke dalam tangannya, dan ia
merasa pula betapa jari-jari yangan itu gemetar sedikit. ketika ia
melihat perlahan-lahan Bu Beng Kwi lepaskan pegangannya,
kemudian membuka matanya, Sheila girang bukan main.
"Taihiap ...... ! Engkau telah sembuh, bukan?"
Bu Beng Kwi membuka matanya, memandang kepada wajah
Sheila sampai beberapa lamanya, kemudian dia menarik napas
252 panjang dan bangkit duduk. Ketika Sheila hendak merangkulnya
dan membantunya duduk, dengan tangannya dia menolak dan dia
duduk sendiri. "Gan, toanio, lukaku parah juga, perlu pengobatan. Akan tetapi
aku sudah mampu megobati diri sendiri sekarang, dan banyak
terima kasih atas kebaikanmu selama aku sakit, toanio. Sekarang,
beristirahatlah dan biarkan muridku Han Le yang melayaniku.
Keluarlah, toanio." Tentu saja ada perasaan kecewa di hati wanita itu yang ingin terus
melayani sampai orang itu sembuh benar. Akan tetapi,
mendengar suara yang berwibawa itu, yang bersungguhsungguh, dan sinar mata yang mulai mencorong itu, iapun tidak
berani membantah. Pula, ia harus bertukar pakaian dan
membersihkan diri benar-benar karena selama beberapa hari ini
ia tidak sempat. Juga makan. Ia harus makan kalau tidak ingin
jatuh sakit. "Baiklah, taihiap, semoga engkau lekas sembuh."
"Terima kasih toanio."
Setelah sekali lagi menatap wajah buruk itu dengan sinar mata
penuh kebahagiaan karena kini orang itu sudah sadar, dan
wajahnya juga agak pucat karena kurang makan dan tidur itu
berseri, Sheila meninggalkan kamar itu. Ia segera menuju dapur
terlebih dahulu untuk membantu puteranya memasak bubur encer
dan air teh, kemudian menyuruh puteranya melayani Bu Beng Kwi
sebaik mungkin. 253 "Layanilah dia baik-baik, anakku. Dia telah sadar dan tentu akan
sembuh kembali. Ingat, kalau ada apa-apa cepat beritahu aku.
Aku ingin sekali melihat dia sembuh kembali seperti sediakala."
"Ibu, susah benarkah hatimu ketika suhu sakit?" Han Le tiba-tiba
bertanya, tangan kanan memegang panci bubur dan tangan kiri
cerek teh. "Tentu saja, bukankah kasihan melihat dia menderita?"
"Ibu sangat mencinta suhu, ya" Seperti juga aku."
"Tentu, Henry. Dia orang baik."
"Dia orang baik, ibu. Apakah ayah dulu juga sebaik suhu"
Suhu selalu bercerita bahwa ayahku adalah orang yang paling
baik dan paling gagah di dunia ini, dan selalu berpesan kepadaku
agar aku kelak menjadi orang gagah seperti ayahku."
Sheila menelan ludah untuk menekan keharuan hatinya.
"Ayahmu juga orang baik sekali, akan tetapi, gurumu juga tidak
kalah baik. Engkau boleh menjadi seperti ayahmu kelak, atau
seperti gurumu. Sama saja. Mereka berdualah orang-orang yang
paling baik di dunia ini bagiku."
"Ibu, berapakah usia ayah ketika dia meninggal dunia?"
Sheila menatap wajah anaknya dengan alis berkerut, tidak tahu
apa yang terkandung di hati puteranya dengan pertanyaan itu,
namun ia menjawab juga, "Masih muda sekali, Henry, baru dua
puluh tahun lebih ...... "
254 Anak itu memandang ibunya dengan sinar mata tajam yang
mengandung penasaran dan keheranan. "Ayah masih begitu
muda kenapa meninggal" Ibu hanya mengatakan bahwa ayah
tewas sebagai pahlawan, seorang pejuang yang gagah perkasa.
Akan tetapi bagaimana matinya, ibu" Apakah dalam
pertempuran?" Ibu muda itu menggeleng kepala. memang ia belum menceritakan
tentang kematian suaminya kepada Han Le, akan tetapi diamdiam, janda ini tidak pernah dapat melupakan orang yang telah
membunuh suaminya secara kejam. Koan Jit ! Nama itu tak pernah dapat terlepas dari ingatannya, nama yang
berlumuran darah suaminya, yang diingat dengan kebencian yang
sedalam lautan dan setinggi langit. Koan Jit pembunuh suaminya
yang tercinta, Koan Jit manusia yang dianggapnya paling keji dan
paling jahat di dunia ini. Walaupun ia mendengar betapa
kemudian Koan J it tewas dalam perjuangan sebagai seorang
gagah perkasa yang mengorbankan nyawa demi keselamatan
para pimpinan pejuang yang ditawan musuh, seperti yang
didengarnya dibicarakan oleh para pejuang rakyat, namun
kebenciannya tak pernah dapat terhapus dari dalam hatinya.
semula memang ia bercita-cita untuk mengusahakan agar
puteranya belajar ilmu silat sampai mencapai tingkat tinggi agar
dapat membalaskan kematian ayahnya dan agar puteranya itu
kelak dapat membunuh Koan Jit yang jahat. Akan tetapi setelah
mendengar kematian Koan Jit, iapun merasa kecewa dan
menyesal, dan mengambil keputusan untuk tidak bercerita
tentang musuh besar yang sudah tewas itu kepada anaknya. Kini
cita-citanya berubah dengan sendirinya, dan ia hanya
mengharapkan puteranya kelak akan menjadi seorang gagah
255 perkasa, seorang pendekar dan pahlawan bagi rakyatnya.
Akan tetapi kini, tiba-tiba saja puteranya bertanya tentang
ayahnya. Ia tidak mungkin menyembunyikan lagi dan memang
merupakan hak mutlak puteranya untuk tahu akan keadaan
mendiang ayahnya yang belum pernah dilihatnya itu karena
ayahnya tewas selagi Henry berada dalam kandungan.
"Tidak, anakku. Ayhmu tidak tewas dalam pertempurn dan hal ini
memang membuat hatiku penasaran bukan main. Kalau ayahmu
tewas dalam perjuangan, selagi bertempur dengan musuh, maka
kematiannya itu akan mengharumkan namanya. Akan tetapi tidak,
ayahmu tewas karena perbuatan seorang manusia iblis yang
amat jahat, seorang manusia yang berhati kejam melebihi iblis,
yang dengan curang telah membunuh ayahmu."
"Siapakah orang itu, ibu?"
"Namanya Koan Jit, dan dia sebetulnya adalah suheng dari
ayahmu sendiri." "Ah! Ah, kenapa suheng membunuh sutenya" Di mana orang
kejam itu sekarang, ibu?"
Wanita itu menarik napas panjang, merasa menyesal sekali.
"Dia telah mati, anakku."
"Ahh ! Bagaimana dia sampai membunuh ayah, ibu" Aku ingin
sekali mendengarnya."
Sheila lalu menceritakan tentang Gan Seng Bu, ayah puteranya
yang menjadi seorang pendekar dan pejuang yang gagah
256 perkasa. Thian-tok, seorang di antara datuk-datuk kaum sesat
yang terkenal dengan sebutan Empat Racun Dunia, mempunyai
tiga orang murid. Murid pertama adalah Koan Jit yang menjadi
amat lihai dan mewarisi kejahatan gurunya, menjadi seorang
tokoh yang ditakuti seperti iblis saking jahat, cerdik dan lihainya.
Murid kedua adalah Ong Siu Coan yang sekarang menjadi
pemimpin barisan pemberontak Tai peng yang amat terkenal dan
telah menguasai seluruh Nan-king dan daerahnya itu. Murid
ketiga adalah Gan Seng Bu. ternyata tiga orang murid itu
mempunyai watak yang berbeda-beda. Koan Jit menjadi seorang
yang jahat dan palsu di samping kelihaiannya. Ong Siu Coan
menjadi seorang yang memiliki.ambisi besar ingin menjadi kaisar.
Gan Seng Bu berwatak sederhana dan gagah perkasa. Biarpun
gurunya seorang datuk sesat, namun dia sendiri menentang
kejahatan dan menjadi seorang pendekar, bahkan pejuang yang
gagah perkasa. di dalam perjuangannya ini, dia menyelamatkan
Sheila yang kemudian menjadi isterinya.
Ketika Koan Jit menyusup dan mengekor kepada bangsa asing
kulit putih, menjadi seorang perwira dari orang barat, dia
menggunakan muslihat untuk mendatangkan Gan Seng Bu dan
Sheila yang sedang mengandung ke markas pasukan barat. Di
sini Gan Seng Bu ditangkap dan dibujuk oleh orang kulit putih
untuk membantu mereka seperti Koan Jit. Namun Gan Seng Bu
tidak sudi dan akhirnya dia oleh orang kulit putih diserahkan
kepada Koan Jit. Koan Jit mengajak sutenya itu mengadu
kepandaian, Gan Seng Bu melawan, namun ketika Koan J it
terdesak, dia mempergunakan pistol dan tewaslah Gan Seng Bu
di tangan Koan Jit yang licik itu.
257 "Demikianlah, anakku. Aku membawa jenazah ayahmu ke dusun
dan engkau sudah melihat kuburannya," kata Sheila
menghentikan ceritanya. Han Le mengangguk-angguk.
Kuburan itu sudah dikenalnya dengan baik, Kuburan ayahnya dan
dalam benaknya, kalau dia mengingat tentang ayahnya, yang
nampak hanyalah gundukan tanah itu saja.
"Lalu bagaimana matinya Koan Jit manusia jahanam itu, ibu?"
tanyanya dengan suara mengandung kebencian.
Sheila menarik napas panjang. "Tuhan agaknya tidak
menghendaki agar kita membalas dendam kematian ayahmu,
Henry. Entah apa sebabnya, aku mendengar berita bahwa
manusia jahanam itu telah berubah sama sekali. Dia bahkan
membantu para pejuang, dan demi menyelamatkan para
pimpinan pejuang yang tertawan, dia rela mengorbankan
nyawanya. Dia tewas dalam usahanya yang berhasil, yaitu
membebaskan para pimpinan pejuang yang tertawan musuh."
"Jadi kalau begitu, di antara tiga orang murid dari kakek Thian-tok
itu, yang dua orang telah tewas dan tinggal seorang lagi yang
bernama Ong Siu Coan itu, ibu" Kalau begitu, dia adalah paman
guruku. Kaukatakan tadi bahwa dia telah menjadi pemimpin
pasukan besar yang berhasil?"
"Dia juga jahat sekali !" Sheila berkata. "Tahukah engkau siapa
pasukan yang telah membuat kita lari mengungsi, bahkan yang
hampir mencelakakan kita pada waktu kita lari mengungsi itu"
Dan siapa pula orang-orang yang telah menyerang gurumu
sehingga terluka" Mereka itu adalah pasukan Tai Peng, dan
258 orang-orang yang menyerang gurumu itu adalah tokoh-tokoh Tai
Peng, anak buah dari Ong Siu Coan itulah !"
"Ahhh ...... !" Anak itu tebelalak, merasa kecewa sekali.
"Kalau begitu, dua orang suheng dari mendiang ayah itu jahat
semua, yang baik hanya ayah seorang, sayang dia telah
meninggal dunia." "Benar, anakku. Akan tetapi, sekarang ada suhumu, dia seorang
yang berilmu tinggi dan berwatak baik sekali, Henry.
Jadikanlah dia sebagai contoh, baik dalam belajar ilmu silat
maupun wataknya. Bukankah kedua orang suhengmu itu juga
menjadi pejuang-pejuang dan pendekar-pendekar yang gagah
perkasa" Engkau bahkan harus dapat melebihi mereka, anakku,
maka belajarlah yang giat dan taati semua perintah gurumu."
"Tentu saja, ibu, karena di dalam dunia ini hanya ada dua orang
yang kutaati dan kucinta sepenuh hatiku, yaitu ibu sendiri dan
suhu. Bagiku, suhu merupakan pengganti ayah dan aku selalu
mentaatinya." Sheila diam saja akan tetapi merasa betapa ada kebahagiaan
menyelinap di dalam hatinya karena penyataan anaknya ini.
Menjadi pengganti ayahnya ! Dan iapun memejamkan kedua
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
matanya, melamun dan membiarkan semangatnya melayanglayang.
Langit di barat itu merah sekali. Mugkin inilah yang menyebabkan
bukit di mana tinggal Bu Beng Kwi itu olehnya diberi nama Bukit
259 Awan Merah. Setiap senja, langit di barat menjadi merah seperti
terbakar, membentuk segala macam bentuk aneh-aneh, dan
warna merah itu dihias warna perak dan kebiruan di sana-sini,
membat pemandangan yang luar biasa indahnya.
Bu Beng Kwi seringkali menikmati senja di puncak uang amat
sunyi, dimana terdapat lapangan rumput dihias batu-batu hitam
menonjol di sna-sini. seperti biasa, dia duduk di atas sebuah batu
yang halus dan datar, menghadap ke barat. Akan tetpi sekali ini,
dia tidak menikmati keindahan matahari terbenam seperti
biasanya, melainkan duduk melamun. telinganya masih
berdengung dan suara Sheila dan puteranya masih bergema di
dalam telinganya, yaitu percakapan yang dilakukan ibu dan anak
iru beberapa hari yang lalu. Dan sejak mendengar percakapan itu,
Bu Beng Kwi lebih banyak termenung di puncak ini, seperti orang
kehilangan semangat. dan seperti juga hari-hari kenarin, setiap
kali duduk termenung seorang diri di tempat itu, dia seperti orang
linglung, bicara sendiri dan kadang-kadang mengepal tinju dan
memukul tanah di depannya !
"Harus, aku harus !" Dia menggumam. "Soalnya hanya ada dua,
gidup atau mati ! Hasil atau gagal ! Aku tidak boleh menjadi
seorang pengecut selama hidupku!"
Demikianlah, Bu Beng Kwi bicara seorang diri, tanpa
memperhatikan pemandaangan yang amat indahnya di kaki langit
sebelah barat saja. Akan tetapi ketika ada bayangan orang
mendaki buki menghampirinya, dia dapat melihatnya dan seketika
sikapnya berobah. Dia cepat membereskan pakaiannya, duduk di
atas batu bersila dan bersikap biasa, walaupun dia merasa betapa
260 jantungnya berdebar keras sehingga terdengar nyaring berdegup
di telinganya. "Taihiap, kenapa masih di sini" Sejak tadi makanan malam telah
saya persiapkan, juga kemarin malam dan kemarin dulu malam,
akan tetapi tauhiap selalu tidak menyentuh makanan itu. Sudah
beberapa hari tauhiap tidak pernah makan. kenapakah, tauhiap"
Apakah engkau masih sakit ?"
"Tidak, nyonya. Saya sudah sembuh."
Sheila datang mendekat, dan duduk di atas batu yang lebih
rendah tak jauh dari batu yang diduduki Bu Beng Kwi. Sejenak
wanita itu nampak canggung dan ragu, akan tetapi ia selalu
menelan ludah dan memaksa diri menyatakan isi hatinya.
"Taihiap, maafkan kelancanganku, akan tetapi ...... aku merasa
seolah-olah taihiap selalu menjauhkan diri dariku. Karena itu,
timbul keraguan di hatiku, timbul perasaan takut kalau-kalau aku
telah melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan hatimu.
Taihiap, katakanlah terus terang, apakah kehadiranku di tempat
ini sebetulnya tidak kaukehendaki" Apakah ...... apakah
sebetulnya taihiap membenci aku" Katakanlah terus terang,
kebetulan kita mendapat kesempatan untuk bicara berdua di sini."
Semua ini memang sudah lama berkecamuk di dalam hati Sheila
dan baru sekarang ua kemukakan karena ia merasa tidak tahan
tersiksa oleh dugaan-digaan ini.
261 "Dijauhkan Tuhan aku dari perasaan tidak senang, apalagi benci
terhadap dirimu, Gan-toanio."
"Kalau begitu, kenapa engkau selalu menjauhkan diri dariku,
seperti ...... seperti orang yang tidak suka bertemu denganku,
taihiap" Padahal aku ...... aku ...... selalu berusaha untuk
menyenangkan hatimu ...... "
Bu Beng Kwi turun dari atas batu itu dan diapun duduk
berhadapan dengan Sheila, di atas batu yang rendah dan lebat.
sepasang matanya yang mencorong sinarnya itu menatap wajah
Sheila penuh selidik, akn tetapi Sheila juga memandang
kepadanya, tanpa ragu-ragu dan tidak menundukkan pandang
matanya. sejenak mereka saling pandang dan terdengar Bu Beng
Kwi berkata, suaranya gemetar.
"Gan-toanio, harap engkau suka berterus terang kepadaku.
kenapa engkau ...... demikian baik kepadaku" Engkau bukan saja
menyerahkn anakmu dengan tulus ikhlas, akan tetapi engkaupun
bekerja mati-matian di sini untuk menyenangkan hatiku. bahkan
ketika aku erluka, engkau ...... ah, tidakkuat aku menerima semua
kebaikan itu. Kenapakah, toanio" Kenapa engkau lakukan semua
kebaikan itu" Kenapa engkau begini baik terhadap diriku?"
Sheila menghadapi pertanyaan ini dengan tabah dan iapun
memandang dengan senyum dan wajah berseri, "Taihiap, mulamula aku sendiripun tidak mengerti. Mula-mula karena aku
berterima kasih kepadamu bahwa engkau telah menyelamatkan
kami dari orang-orang Tai Peng itu. Kemudian, setelah berada di
sini, aku merasa berterima kasih dan kagum kepadamu, dan
262 akupun mersa amat iba kepadamu, taihiap. Rasa iba ini yang
membuat aku mau melakukan apa saja untukmu karena aku ......
aku sayang kepadamu, aku suka kepadamu, aku kasihan
kepadamu dan aku cinta kepadamu, taihiap." Sebagai seorang
wanita barat, walaupun merasa kikuk, Sheila tentu saja jauh lebih
terbuka daripada wanita umumnya, dan dalam hal cinta mencinta,
ia merasa berhak pula mengemukakan isi hatinya dengan terus
terang. Ucapan terakhir itu seperti pukulan yang menghantam kepala Bu
Beng Kwi. Dia tersentak dan kepalanya terdorong ke belakang,
kedua matanya dipejamkan dan ada rintihan halus keluar dari
dadanya, tertahan di kerongkongannya. sejenak dia memejamkan
mata dan tidak menjawab. Sheila memandangnya dan wanita ini
merasa terharu. "Taihiap, aku adalah seorang wanita asing, berkulit putih dan
myngkin engkau berjiwa pejuang benci kepada kulit putih. Akan
tetapi, kasihanilah aku karena di tempat ini aku menemukan
kebahagiaan yang selama ini tak pernah kurasakan semenjak
suamiku tewas. Aku merasa bahwa di sinilah tempatku, di sisimu,
dan aku ingin melayani semua kebutuhanmu selama hidupku,
taihiap. Hanya engkau seorang yang dapat kegantungi nasib
kami, aku merasa aman tenteram, bahagia dan tidak kekurangan
sesuatu." Terdengar Bu Beng Kwi menarik napas panjang dan bibirnya
berbisik, "Ya Tuhan, godaan dan siksaan apalagi yang harus
hamba derita sebagai hukuman dosa hamba ...... ?"
263 Karena bisikannya lirih sekali dan tidak terdengar oleh Sheila,
wanita ini bertanya, "Taihiap, apa yang kau katakan?"
Inilah saatnya, pikir Bu Beng Kwi. selama beberapa hari ini,
bahkan lebih lama lagi, dia tersiksa oleh keputusan yang harus
diambilnya. memang membutuhkan keberanian yang amat besar,
dan bahkan mungkin akan mengorbankan seluruh sisa hidupnya,
mengorbankan harapannya, kebahagiaannya dan segalagalanya. Ini putusan untuk membukanya sekarang juga.
"Sheila ...... "
Panggilan yang baru pertama kali keluar dari mulutnya itu kaku
dan asing, namun terdengar merdu bagi Sheila yang memandang
dengan wajah berseri. betapa ia sudah lama mengharapkan
pendekar itu akan menyebut namanya begitu saja, bukan nyonya
atau Gan-toanio seperti biasanya, dengan sikap hormat dan
dingin sekali. "Ya, taihiap ...... ?" jawabnya dengan suara gemetar pula penuh
harap cemas. "Selama hidupku, aku bergelimang dengan dosa,
bahkan aku tidak pernah mengerti, tidak pernah dapat merasakan
apa artinya cinta. Yang ada padaku selama itu hanyalah nafsu
semata, kejahatan, kebencian dan kekejaman. Akan tetapi
sekarang, setelah aku menjadi tua, setelah aku menjadi buruk,
menjadi cacat, aku ...... aku telah jatuh cinta ...... kepadamu ahhh
......" Akan tetapi Sheila tersenyum dan iapun mendekat, memegang
tangan pendekar itu. "Taihiap ! Betapa bahagianya hatiku
264 mendengar itu, taihiap ! Apa salahnya kalau orang yang semulia
engkau ini jatuh cinta?"
"Akan tetapi aku sudah tua, usiaku sudah setengah abad".
"Cinta tidak mengenal usia, taihiap, cinta itu kekal dan suci
"Tapi, aku yang begini buruk, seperti setan ...... siapapun merasa
jijik melihatku, apalagi seorang wanita sehalus dan selembut
engkau ...... " "Tidak, taihiap ! Engkau seorang laki-laki sempurna, engkau mulia
dan cacatmu hanyalah cacat lahiriah belaka, hanya sedalam kulit.
Siapa jijik kepadamu" Aku tidak ! Aku cinta padamu, aku kasihan
kepadamu ...... siapa bilang jijik...... ?" Dan dalam
kebahagiaannya mendengar bahwa pria yang dipujanya ini
ternyata juga mencintanya, hal yang sama sekali tak pernah
dibayangkannya, bahkan agak mengejutkan karena tadinya ia
mengira bahwa pria itu benci kepadanya, Sheila lalu merangkul
dan mencium bibir Bu Beng Kwi dengan penuh perasaan cintanya
! Sedu sedan keluar dari dalam dada Bu Beng Kwi, tertahan di
tenggorokannya dan menjadi rintihan ketika dia merasakan bibir
yang lembut dan hangat wanita itu menyentuh bibirnya.
Ingin dia meronta dan menolak, namun seluruh badannya seperti
lumpuh dan dia tidak dapat menahan kedua lengannya yang
penuh gairah merangkul dan mendekap, kemudian menekan
muka wanita itu ke dadanya, seolah-olah dia ingin menyimpan
tubuh wnita itu seluruhnya ke dalam hatinya. Akan tetapi, dia
265 sadar dan dengan cepat, namun lembut, dia melepaskan
rangkulannya, bahkan melepaskan diri dari rangkulan Sheila,
bangkit berdiri dan melangkah mundur lima langkah.
"Sheila, jangan ...... jangan lagi sentuh diriku ...... ah, aku mohon
padamu, jangan engkau siksa hatiku lagi ...... lebih baik engkau
bunuh aku sekarang juga, Sheila ...... " Dan tiba-tiba Bu Beng Kwi
menjatuhkan diri berlutut dan mengeluarkan sebatang pedang
dari balik jubahnya, menyerahkan pedang itu kepada Sheila,
mengulurkan gagangnya ke arah wanita itu.
Sheila juga bangkit berdiri dan memandang terbelalak, mukanya
pucat dan iapun cepat menjatuhkan diri berlutut di depan pria itu.
"Taihiap, apa artinya ini ...... ?" tanyanya, penuh tuntutan karena
ia sama sekali tidak mengerti akan sikap pria itu.
"Sheila, aku seorang laki-laki yang buruk rupa, cacat, dan usiaku
sudah lenjut, sudah setengah abad lebih dan engkau masih
muda, baru tiga puluh tahun lebih, dan engkau cantik jelita. Aku
tidak berhak menyeretmu ke dalam ketuaan dan keburukan. Dan
engkau berbudi agung dan mulia, sebaliknya aku ..... ah, engkau
tidak tahu orang macam apa aku ini ...... "
"Aku tahu, taihiap. Engkau adalah seorang pria yang mulia, yang
gagah perkasa, dan dibalik kecacatanmu itu engkau
menyembunykan cinta kasih yang suci, engkau sorang berilmu
tinggi, penentang kejahatan. Aku memujimu, taihiap, aku
mengagumimu dan aku mencintaimu ...... "
266 "Tidak ...... ! Tunggu dulu, Sheila. buka matamu baik-baik dan
lihatlah siapa aku ...... !"
Suara itu menggetar dan tidak jelas, dan tangan kiri Bu Beng Kwi
meraba mukanya, kemudian jari-jari tangannya mengupas atau
menarik kulit muka itu dan ...... muka itu berobah. Kiranya muka
yang seperi setan itu, yang buruk sekali pletat-pletot, yang
matanya besar sebelah, hidungnya nyerong dan mulutnya miring,
telinganya kecil, semua itu hanyalah semacam topeng yang amat
tipis, seperti kulit dan kini setelah topeng itu dilepas, nampaklah
wajah yang tidak dapat dibilang buruk, tidak cacat, dengan kulit
muka agak gelap. Begitu melihat muka ini, sepasang mata yang sudah lebar dari
Sheila itu terbellak menjadi semakin lebar, mukanya menjadi
pucat seperti tidak ada darahnya lagi, bapasnya terhenti dan
bibirnya berkemak-kemik, " ...... kau ...... kau ...... Koan ...... Koan
...... Koan Jit ...... !" tiba-tiba ia menjerit nyaring sekali dan
tubuhnya terkulai. "Ibuuuu ...... ibuuuu ...... !" dari jauh terdengar suara Han Le
memanggil. Karena tidak meliht ibunya dan gurunya, anak ini
mencari-cari dan akhirnya dia tiba di kaki bukit dan memanggilmanggil.
Bu Beng Kwi mengenakan lagi topengnya, lalu mengurut tengkuk
dan punggung Sheila yang tadi disambarnya dengan tangan
sehingga wanita itu tidak sampai jatuh terbanting ketika terkulai
pingsan. Begitu siuman, Sheila terisak dan teringat, lalu menutupi
mulut yang hendak menjerit lagi, kini terbelalak melangkah
267 mundur sambil menatap wajah yang sudah mengenakan topeng
setan itu lagi. "Mimpi ...... mimpikah aku ...... " Taihiap ...... kau ...... kau
"Engkau tidak mimpi, aku bukanlah pendekar budiman seperti
yang kau sangka, Sheila. Aku adalah manusia terkutuk pembunuh
suamimu, perusak kebahagiaan hidupmu, akulah manusia iblis
yang amat kejam dan jahat itu. Nah, tusuklah dada ini dengan
pedang, terimalah pedang ini dan balaslah kematian suamimu
agar lega hatimu, lega pula hatiku. Aku siap menerima hukuman
di tanganmu ...... "
Kini tanpa ragu-ragu lagi Sheila menerima pedang itu,
digenggamnya erat-erat. Wajahnya masih pucat dan di dalam
keremangan malam yang mulai tiba karena matahari sudah sejak
tadi tenggelam, ia siap menusukkan pedang itu. Ia mengangkat
muka memandang wajah itu, wajah yang amat buruk, wajah yang
mendatangkan rasa iba dan kasih sayangnya, dan tiba-tiba
tangan yang memegang pedang itu gemetar. Akan tetapi ia
menguatkan hatinya, mengingat bahwa di balik wajah itu yang
hanya sehelai topeng terdapat wajah musuh besarnya, wajah
yang amat dibencinya, wajah Koan Jit pembunuh suaminya.
Tangannya menjadi kuat "Ibuuuu ...... !" Tiba-tiba terdengar teriakan Han Le tak jauh di
belakangnya, dan seketika tangan itu menjadi lemas kembali.
Hampir saja ia membunuh orang yang menjadi penolongnya,
penolong puteranya, guru puteranya, dan laki-laki yang dicintanya
! Kembali Sheila mengeluarkan suara menjerit, suara yang
268 melengking karena keluar dari dalam hatinya, suara lengkingan
yang mengandung rasa nyeri bukan main, pedih perih dan duka,
dan dibuangnya pedang itu seperti membuang seekor ular yang
menjijikkan. Kemudian, sambil terisak ia membalik.
"Ibu ...... ! Ada apakah ...... ?" Han Le sudah tiba di situ dan
memegang tangan ibunya. "Henry ...... Oohhh ...... Henry anakku ...... !" Sheila merangkul
anaknya dan menangis tersedu-sedu.
"Ibu, ibu ...... ada apakah ...... ?" Han Le mengguncang tangan
ibunya dan menjadi bingung, juga penuh kekahawatiran. Dia
melihat gurunya hanya berdiri sambil menundukkan mukanya,
seperti patung.
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Suhu ada Akan tetapi suhunya tidak menjawab.
apakah ?" "Henry, mari kita pergi dari sini. sekarang juga !" Tiba-tiba Sheila,
sambil masih terisak, memegang lengan anaknya dan ditariknya
anaknya, diajaknya lari menuruni bukit itu.
"Bu, pergi ke mana" Ada apa" Mengapa ?"
"Diam ! Kau taati saja kata-kataku. Kita pergi sekarang juga !"
Dan sambil berlari-lari Sheila menarik tangan puteranya, diajak
pergi dari situ, pergi meninggalkan pegunungan itu, tanpa tujuan
tertentu, kemana saja asal pergi jauh meninggalkan tempat itu,
meninggalkan Bu Beng Kwi. 269 Dan di sepanjang perjalanan yang semalam suntuk tanpa pernah
mau berhenti, Sheila terus menerus menangis, membuat Han Le
menjadi bingung dan khawatir sekali.
Berulang kali dia bertanya kepada ibunya. "Ibu, apakah yang telah
terjadi" Kenapa kita harus pergi meninggalkan suhu seperti ini"
Begini tiba-tiba dan kita meninggalkan semua pakaian kita ?"
Ibunya diam saja, hanya terisak sambil berjalan terus, tersaruksaruk.
"Ibu, kita hendak pergi ke manakah?" Kembali tidak ada jawaban.
" Apakah ibu bertengkar dengan suhu" Apakah suhu melakukan
sesuatu yang membuat ibu marah" Ibu, kenapa ibu memisahkan
aku dari suhu" Aku sayang kepadanya, aku ingin belajar silar
darinya. Ibu, kenapakah, ibu" Apa yang telah terjadi?"
Namun ibunya diam dalam seribu bahasa, hanya menangis dan
terus menarik tangannya. hal ini membuat hati kecil Han Le
menjadi penasaran sekali. Dia berhenti melangkah.
"Ibu, berhentilah. Aku tidak ingin pergi, ibu, aku tidak mau
meninggalkan suhu." Melihat ini, Sheila berhenti dan menahan isaknya, Di malam yang
diterangi bintang-bintang sejuta di langit itu, hatinya masih penuh
dengan perasaan marah dan kecewa, bingung dan gelisah. Sikap
anaknya menambah perasaan marahnya. "Henry, dengarkan baik-baik. Engkau boleh pilih, ikut aku atau
270 gurumu. Kalau engkau berat kepada gurumu, kembalilah dan
biarkan aku pergi sendiri, biarkan aku hidup atau mati sendiri ......
" "Ibu ...... !" Henry menubruk dan merangkul pinggang ibunya
sedangkan wanita itu menangis lagi.
"Ibu, tentu saja aku akan ikut engkau. Akan tetapi setidaknya,
katakanlah mengapa kita harus pergi malam-malam begini,
dengan mendadak, meninggalkan suhu" Apakah ibu bertengkar
dengan suhu/" "Ya "Apa sebabnya ?"
...... " "Engkau ...... engkau anak kecil, tidak boleh tahu dan tidak
mengerti. Jangan tanyakan sebabnya. Mari, kita lanjutkan
perjalanan." Melihat kenekatan ibunya, Han Le tidak berani membantah lagi,
namun diam-diam hatinya penuh dengan rasa penasaran.
Sambil melangkah, setelah mereka berdiam diri dan terus
berjalan sampai lama sekali, dia akhirnya mengeluarkan isi
hatinya yang ditahan-tahan sejak tadi, dengan hati-hati.
"Ibu, begitu besarkah kesalahan suhu sehingga ibu tidak dapat
memaafkanya?" "Aku tidak dapat memaafkannya."
"Kenapa ?" 271 "Jangan tanyakan itu."
"Tapi, kata ibu, suhu adalah seorang yang paling mulia di dunia
ini ..... " "Henry !" Sheila setengah menjerit. "Jangan bicarakan akan hal
itu lagi, jangan sebut-sebut dia didepanku !"
Han Le tidak berani bicara lagi dan mereka melanjutkan
perjalanan, dan fajar telah mulai nampak di ufuk timur.
Sementara itu, setelah Sheila dan Han Le pergi
meninggalkannya, Bu Beng Kwi merasa seolah-olah seluruh
tubuhnya menjadi lumpuh. Dia roboh berlutut dan menangis
seperti anak kecil, sesenggukan dan sama sekali dia tidak mampu
mengendalikan perasaannya. Segala hal yang terjadi di masa
lalu, terbayanglah dan membuat hatinya semakin tertusuk dan
perih. Sudah lama sekali dia menyesali diri, sudah lama sekali dia
kembali ke jalan benar, berubah sama sekali dari jalan hidupnya
yang lalu. Namun, belum pernah kejahatannya di masa lalu
membuat dia demikian menyesal seperti saat ini !
Belasan tahun yng lalu, dia terkenal sebagai Hek-eng-mo (Iblis
Bayangan Hitam), ketika namanya masih Koan Jit, murid pertama
dari datuk sesat Thian-tok. Dia tidak mau kalah oleh gurunya
dalam kesesatan. kejahatannya membuat dia ditakuti dan
disegani orang. Tidak ada kejahatan yang tidak dilakukannya.
Sampai akhirnya dia menghambakan diri kepada orang kulit putih
untuk mencari kedudukan. Dia diangkat menjadi perwira dan
memperoleh kepercayaan dan kamuliaan. Kemudian dia
272 membunuh Gan Seng Bu, sutenya sendiri yang dianggap sebagai
orang berbahaya baginya. Dibunuhnya dengan curang ketika dia
tidak mampu mengalahkannya, yaitu dalam perkelahian dan dia
mempergunakan pistolnya. Akan tetapi akhirnya, semua citacitanya gagal. Dia kehilangan harta bendanya yang diambil oleh
gurunya sendiri bersama Ong Siu Coan, kehilangan semua
pusaka termasuk Giok-liong-kiam.
Bahkan dia kehilangan kedudukannya, dan dalam keadaan putus
asa ini, dia bertemu dengan Siauw-bin-hud, kakek sakti tokoh
besar Siauw-lim-pai, dan kakek inilah yang menyadarkannya,
memberinya sebuah ilmu silat yang berdasarkan ayat-ayat suci
dari kitab suci Agama Buddha. Dan dalam menghafal isi ayat-ayat
inilah dia tersadar dan seluruh kehidupannya berubah sama
sekali. Dia menyadari semua dosanya, menyesal dan bertaubat.
bahkan dia lalu turun tangan menolong ketika para pimpinan
pejuang ditawan oleh pasukan pemerintah Ceng dan pasukan
kulit putih. Dia rela mengorbankan nyawanya untuk
menyelamatkan para pimpinan pejuang itu, membiarkan jalan
terowongan menuju ke tempat tahanan itu runtuh menimpa
dirinya untuk menutup terowongan itu sehingga pasukan musuh
tidak mampu melakkan pengejaran terhadap para pimpinan
pejuang yang meloloskan diri.
Dia masih teringat akan semua peristiwa itu. Tentu orang- orang,
baik dari pihak para pendekar pejuang maupun dari pasukan
musuh, merasa yakin bahwa dia sudah tewas, tubuhnya hancur
dan rusak teruruk terowongan yang runtuh itu. Akan tetapi,
agaknya Tuhan belum ingin mencabut nyawanya. Ledakan alat
peledak itu entah bagaimana, tidak membuat di mati, juga ketika
273 terowongan itu runtuh, ada batu- batu besar yang runtuh terlebih
dahulu dan batu-batu inilah yang menyelamatkannya karena
batu-batu ini menahan semua reruntuhan dari atas. Biarpun
tubuhnya luka-luka, lengannya patah-patah sehingga menjadi
bengkok dan kakinya juga patah-patah sehingga kini dia
terpincang-pincang, namun akhirnya dia dapat lolos dan membuat
lubang keluar dari tumpukan batu-batu itu dan membebaskan diri!
Sampai berbulan-bulan dia rebah kesakitan, menderita antara
mati dan hidup. Namun akhirnya diapun sembuh. Lengan kirinya bengkokbengkok, kakinya pincang sebelah dan punggungnya bongkok.
Untung bahwa mukanya tidak cacat, akan tetapi dia tidak mau lagi
dunia mengetahui bahwa orang yang bernama Koan Jit masih
hidup. Diam-diam diapun merasa menyesal mengapa dia tidak
mati saja. Terpaksa dia lalu mempergunakan sebuah topeng yang
tipis dan seperti kulit, untuk menutupi mukanya dan muncullah
tokoh Bu Beng Kwim sedangkan tokoh Koan Jit sudah dianggap
tidak ada kagi di dunia ini. Bahkan ketika dia mengambil dua
orang murid yang berbakat, yaitu Ceng Kok Han dan Li Hong
Cang, dia adalah Bu Beng Kwi dan dua orang murid inipun tidak
pernah melihat wajah suhu mereka sebagai Koan Jit ! Dia sudah
mengambil keputusan yang tetap, bahwa dia akan mati sebagai
Bu Beng Kwi dan selamanya tidak akan pernah membuka
kedoknya. Namun, agaknya Tuhan menhendaki lain! Secara kebetulan
sekali, hari itu dia melihat pasukan Tai Peng menganggu para
pengungsi. Dia turun tangan dan dia dihadapkan dengan Sheila
dan puteranya ! Tentu saja dia mengenal Sheila dan sudah ingin
274 meninggalkannya. Akan tetapi kembali Tuhan menghendaki lain.
Putera Sheila itu terluka dan wanita itu mohon kepadanya untuk
mengobatinya. Terpaksa dia tidak dapat menolaknya, mengobati Han Le dan
melihat bakat baik pada diri Han Le, timbul keinginannya untuk
mengambil anak itu menjadi murid. Bagaimanapun juga, anak itu
adalah keponakannya sendiri. Bukankah anak itu putera dari
sutenya, Gan Seng Bu, yang mati di tangannya sendiri " Biarlah
dia menebus dosanya dengan mewariskan seluruh kepandaiannya kepada Han Le ! Demikanlah maksudnya, dan
tidak ada maksud lain. Bahkan ketika terpaksa menerima Sheila
yang tidak dapat terpisah dari puteranya, dia tidak mempunyai
niat lain. Biarkan ibu itu menemani puteranya dan setelah tamat
belajar, Han Le tentu akan pergi bersama ibunya. Itu
kehendaknya. Namun, Tuhan menghendaki lain !
Tanpa diduganya sama sekali, dia telah jatuh cinta kepada Sheila
! Dahulu sekali, ketika Sheila menjadi isteri dari sutenya, yaitu Gan
Seng Bu, pernah dia memandang wanita itu dengan kagum.
Namun, ketika itu, yang timbul dalam perasaannya hanyalah
nafsu saja, nafsu berahi seperti kalau dia melihat wanita cantik
lainnya. Akan tetapi sekarang lain lagi ! Dia benar-benar jatuh
Peristiwa Merah Salju 7 Kitab Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Heng Thian Siau To 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama