Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pedang Dari Bu-tong 15

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 15


keadaan disitu. Atau dengan perkataan lain, dalam hal penglihatan,
kini dia memperoleh keuntungan besar.
Sambil menempelkan tubuhnya diatas dinding, perlahan-lahan
dia menggeser tubuhnya tanpa menimbulkan sedikit suara pun. Dia
bersiap melancarkan serangan tiba-tiba untuk membunuh Han
Siang. Kini selisih jaraknya dengan Han Siang hanya sekitar tiga tombak,
walaupun tubuhnya bergeser sangat lambat, namun tidak selang
beberapa saat kemudian jangkauan pedangnya sudah cukup untuk
menusuk tubuh Han Siang. Tapi disaat dia siap melakukan tindakan itulah tiba-tiba terdengar
Hwee-ko Thaysu berkata, "Giok-keng, Han-kokcu hanya mengajakku
bergurau, kau jangan menganggapnya serius!"
Lan Giok-keng melengak, ketika diperhatikan tampak Hwee-ko
Thaysu sudah bangkit berdiri, begitu berdiri diapun menepuk bahu
Han Siang sambil berkata, "Sobat lama, terima kasih kau bersedia
datang ke penjara untuk menjengukku, sudah terlalu lama aku
duduk disini, baiklah, kasur itu kuberikan untuk kau tempati."
Oleh karena selama dua hari terakhir makanan yang dikirim sama
sekali tidak dicampuri bubuk pelemas tulang, saat ini tenaga dalam
yang dimiliki Hwee-ko Thaysu telah pulih tiga bagian. Andaikata
harus bertarung melawan Han Siang pun belum tentu pemilik
lembah pemutus nyawa ini sanggup menghadapinya. Saat itu jalan
darah Ih-khi-hiat di tubuhnya justru sudah ditotok oleh pendeta itu.
Tepukan yang barusan dilakukan kendatipun telah membebaskan
Han Siang dari pengaruh totokan, namun dalam kondisi seperti ini,
mana berani dia berkutik lagi" Tanpa sadar dia pun duduk diatas
kasur itu dan tidak bersuara lagi.
Kejut bercampur girang Lan Giok-keng segera bertanya, "Hweeko
Thaysu, apa yang sebenarnya telah terjadi?"
"Bukankah telah kukatakan, Han-kokcu hanya mengajak aku
bergurau." Lan Sui-leng maju menghampiri, tanyanya dengan penuh rasa
kuatir, "Hwee-ko Thaysu, kau benar-benar tidak bermasalah?"
"Bila kau tidak percaya, lihatlah sendiri!" sahut Hwee-ko Thaysu
sambil tertawa. Setelah berdiri tegak, diapun mulai memukul sambil menendang,
jurus yang dimainkan adalah ilmu pukulan Lohan-kun dari Siau-limpay.
Lo-han-kun merupakan ilmu ilmu pukulan wajib yang harus
dipelajari setiap anggota Siau-lim, karena ilmu pukulan itu bisa
dipakai untuk melancarkan peredaran darah dan menyehatkan
rubuh. Hwee-ko Thaysu tidak bermaksud mencuri belajar ilmu silat aliran
biara Siau-lim, tapi ilmu pukulan itu wajib dipelajari setiap hweesio
yang hidup dalam biara. Dia sebagai seorang hwesio juru masak
yang kedudukannya paling rendah dalam biasa, lagipula ketua
bagian dapur Liau-huan hweesio tidak tahu kalau dia punya asal
usul hebat, secara khusus mewariskan ilmu pukulan itu kepadanya,
tujuannya tidak lain agar dia bisa tetap sehat dan segar.
Sudah hampir sebulan lamanya dia terkurung dalam ruang
penjara itu, untuk melancarkan peredaran darah dan menyegarkan
tubuh maka diapun meninggalkan ilmu silat perguruan sendiri
dengan berlatih Lo-han-kun dari biara Siau-lim terlebih dulu.
Jangan disangka ilmu pukulan itu hanya sebuah ilmu sederhana,
begitu dimainkan pendeta itu segera terasalah deruan angin pukulan
yang memekikkan telinga, begitu hebatnya sampai Lan Giok-keng
termangu-mangu dibuatnya.
"Ternyata ilmu pukulan paling dasar dari biara Siau-lim pun
mengandung begitu banyak teori ilmu silat, rasanya tidak jauh
berbeda bila dibandingkan ilmu pedang Lian-huan-toh-beng-kiamhoat
dari partai Bu-tong kami."
Sementara Lan Giok-keng menghela napas karena kagum, Han
Siang jauh lebih kaget lagi, dia tidak mengira pendeta itu begitu
tangguh. Ketika memainkan sampai jurus yang terakhir, Hwee-ko Thaysu
melontarkan kepalannya menghajar dinding batu, membuat
bebatuan pun hancur berserakan.
Han Siang amat ketakutan, dengan jantung berdebar pikirnya,
'Ternyata tenaga dalam yang dimiliki hwesio tua ini luar biasa
hebatnya, sampai bubuk pelumat tulang pun tidak mampu berbuat
banyak, bisa jadi dia telah berlatih hingga ke taraf otot kawat tulang
baja. Rupanya selama sebulanan ini dia hanya berlagak kehilangan
ilmu silat! Aaai, aku masih menyangka dia paling gampang
ditangkap, semisal dia ingin membunuhku tadi, pasti bisa
dilakukannya segampang membalikkan telapak tangan!'
Han Siang mana tahu kalau kesemuanya ini bukan dikarenakan
Hwee-ko Thaysu berhasil melatih tubuhnya hingga mencapai
tingkatan otot kawat tulang baja, sebaliknya karena Liangsim
Tonghong Liang tersentuh, dia sangka Hwee-ko Thaysu benar-benar
jatuh sakit sehingga dalam dua hari terakhir tidak mencampuri
hidangan mereka dengan racun.
Sambil menarik kembali jurus serangannya ujar Hwee-ko Thaysu,
"Bagaimana" Kalian percaya bukan kalau aku tidak apa-apa?"
"Hwee-ko Thaysu!" seru Lan Sui-leng, "ternyata kungfu mu
sangat hebat. Tapi apa pun yang kau katakan, aku tidak percaya
kalau Han-kokcu adalah orang baik."
"Aku memang tidak mengatakan kalau dia orang baik, tapi tiada
manusia yang sempurna di dunia ini, siapa berani mengatakan kalau
dirimu sepanjang hidup tidak pernah melakukan kejahatan?"
"Meski begitu, toh harus dibedakan. Misalnya kalau ada orang
ingin mencelakai sanak keluargaku, tentu saja aku tidak boleh
mengampuninya lagi."
"Nona Lan, apa maksud perkataanmu itu?" tanya Hwee-ko
Thaysu agak tertegun. "Hwee-ko Thaysu, bukankah dalam biara Siau-lim kau
mempunyai seorang murid yang menjadi hwesio tukang pikul air?"
"Benar. Dia bernama Liau-wan, seorang murid tidak resmiku.
Bukankah telah kukirim dia untuk menyampaikan kabar dari
Tonghong Liang untuk Seebun Yan. Oooh, juga pesan dari
adikmu...." "Betul," tukas Lan Giok-keng cepat, "tadi aku tidak sempat
memberitahukan kepadamu, akupun pernah titip pesan kepadanya.
Jadi kalian telah bertemunya?"
"Dia tidak datang ke Pek-hoa-kok, tapi berjumpa kami di tengah
jalan." "Bagaimana keadaannya?"
"Dia sudah mati dicelakai orang! Sewaktu bertemu kami berdua,
dia sedang dikerubuti dua orang, salah satu diantaranya
menggunakan ilmu Ki-na-jiu-hoat dari Han-kokcu. Sayang
kedatangan kami terlambat selangkah, meski terluka parah kedua
orang bajingan itu sempat melarikan diri, sedang Liau-wan terluka
sangat parah, dia hanya sempat menyampaikan pesan saja dan
belum sempat berpesan apa-apa, dia.... dia telah meninggal dunia!"
Han Siang menundukkan kepalanya makin rendah, katanya,
"Orang itu adalah keponakanku bernama Han Seng, luka yang
dideritanya pun tidak enteng, kini sudah menjadi orang cacat."
"Sudah sepantasnya kalau orang jahat macam dia jadi cacat
seumur hidup!" seru Lan Sui-leng, "aku ingin tanya, kenapa kau
utus orang untuk membunuh murid Hwee-ko Thaysu?"
"Aku sama sekali tak tahu kalau dia adalah murid Hwee-ko
Thaysu, yang kuketahui dia adalah kurir pembawa berita.
"Han Seng hanya mendapat perintah dariku untuk melarang
siapa pun berangkat ke Pek-hoa-kok untuk menyampaikan berita.
Sebab kami sedang bermusuhan dengan kelompok yang dipimpin
Liok Ki-seng, kawanan jago itu adalah bekas anak buah suami
Seebun-hujin dari Pek-hoa-kok semasa masih hidup dulu, oleh
karenanya kami harus meningkatkan kewaspadaan dan sementara
waktu menghentikan semua berita yang akan masuk ke Pek-hoakok.
Tapi aku tidak menyangka bakal.... Han Seng, dia.... ternyata
dia...." Lan Giok-keng sendiripun menaruh kesan baik terhadap Liauwan,
serunya dengan jengkel, "Kau tidak menyangka" Hmmm! Kau
anggap perkataanmu itu bisa membohongi siapa" Bukankah
kesemuanya ini disebabkan karena kau ingin menjadi Liok-lim
Bengcu" Sudah jelas kaulah yang perintahkan keponakanmu untuk
melakukan kejahatan, masih berani menyangkal dan berkelit?"
"Mau disangka atau tidak menyangka, yang pasti murid Hwee-ko
Thaysu telah mati karena ulahmu," ujar Lan Sui-leng pula, "buat apa
kau masih menyangkal" Hmmm, disangka dengan alasan yang
macam-macam maka dia orang tua akan mengampuni nyawamu."
Sejak awal Han Siang memang tidak percaya kalau Hwee-ko
Thaysu bakal mengampuni kesalahannya, maka sahutnya lantang,
"Betul, Hwee-ko Thaysu! Apapun yang akan kukatakan, kematian
muridmu memang tidak bisa terlepas dari sangkut paut diriku. Mau
dibunuh, mau dicincang, terserah keputusanmu!"
Hubungan Hwee-ko Thaysu dengan Liau-wan selama ini ibarat
ayah dan anak, begitu mendengar kabar duka ini, meski dia telah
berusaha mengendalikan gejolak emosi pun tidak urung basah juga
sepasang matanya karena air mata.
Lan Giok-keng pun menaruh kesan baik dengan Liau-wan,
membayangkan bagaimana hwesio yang jujur dan setia itu tewas
secara mengenaskan gara-gara menyampaikan beritanya, kemudian
membayangkan pula penderitaan yang dialaminya hampir sebulan
lebih dalam penjara, tanpa terasa sama seperti kakaknya, dia mulai
meraba gagang pedangnya sambil melotot gusar ke arah lawan.
Waktu itu sepasang mata Han Siang sudah mulai dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan gelap disekelilingnya,
menghadapi sorot mata gusar dari Lan Sui-leng kakak beradik,
bergidik juga hatinya di samping dia pun merasa jengkel bercampur
gusar. Tiba tiba ujarnya sambil tertawa mengenaskan, "Gara gara
keponakanku membunuh orang, kalian datang membuat
perhitungan denganku, sementara keluargaku mati dibunuh orang,
kepada siapa aku harus membuat perhitungan?"
"Siapa yang telah membunuh keluargamu" Kau...."
Sebetulnya Lan Sui-leng ingin bilang, "siapa yang membunuh
keluargamu, bikinlah perhitungan dengan orang itu", tapi sebelum
dia menyelesaikan perkataannya, dengan dingin Han Siang telah
menukas, "Nona Lan, buat apa kau berlagak pilon?"
Lan Sui-leng melengak, serunya, "Aku tidak pernah kenal
dengamu, darimana bisa tahu urusan keluargamu?"
"Bukankah kau menyebut saudara dengan Seebun Yan?"
"Kalau benar lantas kenapa?"
"Orang yang membunuh istri dan anakku adalah ayahnya,
Seebun Mu. Seluruh anggota keluargaku tewas ditangannya, hanya
tersisa seorang keponakanku itu saja."
"Seebun Mu sudah lama mati!"
"Apakah dengan kematiannya maka semua dendam kesumat
dianggap selesai" Dia sudah mampus, tapi toh masih punya seorang
anak perempuan." "Seebun Yan sama sekali tidak tahu akan persoalan ini."
"Darimana kau tahu kalau dia tidak mengetahui persoalan ini?"
"Masa kau akan membuat perhitungan dengan dirinya" Dia tidak
pernah membunuh anggota keluargamu!"
"Murid Hwee-ko Thaysu pun bukan mati di tanganku!"
"Mana boleh kau bandingkan dengan cara begitu?"
"Di dalam pandanganku tidak ada perbedaan yang kelewat besar,
penyebab kematian memang berbeda, tapi semua orang
mempunyai orang terdekatnya yang mati terbunuh."
Lan Giok-keng tertawa dingin.
"Hmmm, bicara pulang pergi, intinya kau hanya ingin Hwee-ko
Thaysu mengampuni jiwamu," jengeknya.
"Kau keliru besar. Kalau persoalannya pun sudah kupahami, buat
apa lagi minta ampun kepada Hwee-ko Thaysu?"
Lan Sui-leng sedikit tercengang, dengan perasaan tidak habis
mengerti katanya, "Tadi kau masih berusaha menyangkal dengan
alasan yang berbelit, kenapa secara tiba-tiba sudah merasa
paham?" "Tahukah kau apa yang kupahami?"
"Katakan!" "Yang kupahami adalah hukum rimba, siapa kuat dia menang,
siapa lemah dia tersingkirkan. Kepandaian silatku kalah jauh dari
Seebun Mu, selain mempunyai banyak teman, ilmu silatnya pun jauh
diatas kemampuanku. Karena itu bukan saja semasa hidupnya dulu
aku tidak bisa membalas dendam, setelah matipun sulit bagiku
untuk menyudahi perselisihan ini. Tapi Hwee-ko Thaysu bila ingin
membunuhku, hal ini bisa dia lakukan segampang membalikkan
tangan. Kalau toh di dunia ini berlaku hukum rimba, jangan lagi aku
tidak pakai aturan, tahu aturanpun hanya bisa mandah dia bunuh."
"Sebuah pemahaman yang ngawur dan tanpa dasar!" umpat Lan
Giok-keng, "tidak bakal Hwee-ko Thaysu termakan oleh siasat
busukmu itu." Tiba-tiba Hwee-ko Thaysu merangkap tangannya di depan dada
sambil berkata, "Tubuh akan berubah pada saat yang telah
ditentukan, segala sesuatunya berjalan cepat bagaikan cahaya kilat,
bagai curahan air, untuk apa kau pikirkan selalu.
"Mati dan hidup akan selalu berputar, tiada awal tiada akhir,
jangan kau pikirkan, karena semuanya kosong!"
Mendengar perkataan itu Lan Giok-keng tertegun, tanyanya
tanpa sadar, "Hwee-ko Thaysu, jadi kau tidak akan membalaskan
dendam atas kematian muridmu?"
"Kau membunuh orang, orang membunuhmu, dendam sakit hati
silih berganti, sampai kapan semuanya akan berhenti" Ajaran
Buddha mengutamakan cinta kasih, selamatkan umat manusia dari
segala dosa. Sekalipun aku bukan hidup dalam biara, namun
perasaan hatiku tetap berada dalam ajaran Buddha."
Han Siang nyaris tidak percaya dengan pendengar an sendiri,
tanpa terasa teriaknya, "Barusan saja aku ingin melukaimu, apakah
kau tidak mempermasalahkan kejadian itu?"
"Hudcouw mengiris daging sendiri untuk memberi makan burung
elang, bukankah tujuannya adalah menyelamatkan semua
kehidupan di dunia ini" Tentu saja latihanku belum bisa mencapai
ke taraf seperti itu, tapi niat dan pikiranku sudah tertuju ke sana."
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Dendam
kesumat, saling membunuh, balas dendam merupakan peristiwa
yang sukar dihindari dalam dunia persilatan. Aku tidak berani
mengatakan siapa benar siapa salah dalam perselisihanmu dengan
Seebun Mu, tapi tindakan Seebun Mu yang telah membasmi habis
seluruh anggota keluargamu jelas merupakan satu perbuatan yang
kelewat batas. Aku dan Seebun Mu adalah sahabat karib, karena
aku tidak berusaha menghalangi perbuatannya dimasa lalu, jelas
akupun turut berdosa dalam hal ini. Han-kokcu, bersediakah kau
memandang diatas wajahku dengan menyelesaikan semua dendam
kesumat itu sampai disini saja?"
Han Siang kegirangan setengah mati, serunya, "Hwee-ko Thaysu,
terima kasih banyak kemuliaan hatimu, selembar nyawa ku pun
hasil pemberian darimu, mana mungkin aku tidak akan mentaati
perintahmu" Justru yang aku kuatirkan adalah aku bersedia
menyelesaikan masalah ini, belum tentu Seebun-hujin bersedia


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengakhirinya." "Aku akan berusaha membujuk Seebun-hujin. Namun masalah
Liok Ki-seng dan komplotannya bersedia menuruti perkataan
Seebun-hujin atau tidak, aku tidak berani menjamin seratus persen."
Han Siang jadi kegirangan setengah mati.
"Asal Seebun-hujin tidak lagi memberi perlindungan kepada
mereka, aku masih mampu untuk menghadapi orang orang itu!"
Dari ucapan tersebut Hwee-ko Thaysu segera dapat mengambil
kesimpulan kalau ambisi Han Siang belum padam, dalam kenyataan
dia belum bersedia lepas tangan dengan begitu saja. Namun diapun
tidak berkata apa-apa lagi.
"Han-kokcu," ujar Lan Giok-keng dingin, "Hwee-ko Thaysu telah
mengampuni jiwamu, sekarang tentunya kau bisa segera membuka
pintu penjara dan membiarkan kami pergi bukan?"
Kini sepasang mata Han Siang pun lambat laun sudah terbiasa
dengan kegelapan, setelah merasa gembira tadi, kembali ujarnya
sambil tertawa getir, "Hwee-ko Thaysu, padahal kau hendak
membunuhku atau tidak, sama saja!"
"Apa maksud Kokcu berkata begitu?"
"Biarpun kau tidak membunuhku pun, nyawaku sulit untuk
dipertahankan. Semisal aku mati pun tidak masalah, tapi akibatnya
kalian pun jadi ikutan terseret."
"Kenapa bisa begitu?"
"Kita hanya bisa keluar dari gua ini bila memanjat lewat mulut
gua diatas sana, sekarang batu raksasa itu telah menyumbat
kembali, tidak sembarangan orang dapat menggesernya!"
"Kenapa Tonghong Liang bisa masuk keluar semau sendiri?"
tanya Lan Giok-keng. "Itu dikarenakan akulah yang menggerakkan alat rahasia dari
luar." "Masa kau tidak bisa menyuruh orang diluar untuk membukakan
pintu?" seru Lan Giok-keng sambil tertawa.
Han Siang segera tertawa getir.
"Tadi akulah yang membuka pintu gua itu, tapi segera
menyumbat nya kembali, padahal penyumbatan itu bukan berasal
dari perintahku. Mengertikah kau sekarang?"
Hwee-ko Thaysu memang sudah menduga sampai ke situ, segera
katanya, "Han-kokcu, maksudmu ada anak buahmu yang telah
berkhianat?" "Mungkin orang itu adalah orang yang paling kupercaya!" sahut
Han Siang sambil menghela napas.
Baru saja berkata sampai disitu, betul saja, dari luar gua sana
terdengar suara keributan.
Mula-mula terdengar ada orang membentak nyaring, "Dilarang
menuju ke sana!" Menyusul kemudian terdengar suara ribut dan caci maki dari dua
kelompok manusia. "Kenapa kami tidak boleh ke sana?"
"Pan-kokcu bakal memberi penjelasan kepada kalian, harap
jangan gelisah dan bertindak gegabah, segera kalian akan tahu."
"Han-kokcu belum lagi mati, darimana datangnya Pan-kokcu?"
"Kita semua adalah sesama saudara, kenapa harus saling ribut"
Tapi kalau ada yang enggan memberi muka kepadaku, hahaha....
jangan salahkan kalau aku pun tidak akan sungkan sungkan
kepadanya!" Suara orang itu nyaring bagai suara genta, ketika bicara sampai
disitu tiba-tiba hardiknya, "Barang siapa berani melewati pembatas
batu itu, panah sampai mampus!"
Begitu ancaman diucapkan, suasana yang semula ribut pun
seketika jadi tenang kembali.
"Siapakah orang itu?" tanya Lan Giok-keng kemudian.
Han Siang tertawa getir. "Dia adalah wakil Kokcu ku bernama Pan Toa-cau, tampaknya dia
berencana hendak merebut kekuasaanku, tapi untung saja masih
ada kelompok lain yang membantuku...."
Belum habis dia berkata, terdengar seseorang telah berseru
sambil tertawa dingin, "Bagus, Pan Toa-cau, kalau berani bunuhlah
aku!" "Orang ini adalah wakilku yang lain," cepat Han Siang
menjelaskan, "dia bernama Be It-tong. Aduh.... celaka!"
Dia tempelkan telinganya di atas dinding batu, terdengar suara
desingan anak panah bergema membelah angkasa, lalu terdengar
Be It-tong berteriak, "Melukai orang dengan panah gelap, terhitung
manusia...." Belum selesai perkataan itu diucapkan, tiba-tiba suaranya
terhenti dan suasana pun berubah jadi sunyi kembali.
Tidak terlukiskan rasa kaget Han Siang, mungkinkah Pan Toa-cau
dengan komplotannya benar-benar bertindak brutal dengan
memanah mati Be It-tong dan konco-konconya"
Tiba-tiba terdengar Pan Toa-cau berkata lagi dengan nada
dingin, "Pentang mata mu lebar-lebar, apakah kau ter-luka" Hmmm,
sejak awal sudah kukatakan, barang siapa berani melewati
pembatas batu itu, panah sampai mampus. Hmmm, kalau benarbenar
sampai terpanah pun jangan salahkan kalau aku melepaskan
panah gelap!" Ternyata dua orang anak buah Be It-tong berusaha ikut melewati
pagar pembatas batu itu, namun anak panah segera menyambar
lewat dari sisi tengkuknya, membuat mereka jadi kaget, ketakutan
dan buru-buru mundur kembali.
Saat itu Be It-tong sudah melewati pagar pem-batas, ketika
berpaling dan melihat kedua orang kepercayaannya tidak terluka,
dia pun merasa lega. Kembali Pan Toa-cau berkata, "Lo-sam, harap kau kendalikan
anak buahmu, kali ini, memandang kita berdua masih tetap
bersaudara, aku masih berlaku sungkan, tapi kalau sampai berani
melanggar lagi, jangan salahkan kalau aku bertindak tegas!"
"Mengapa kau berani melawan atasan sendiri dengan mengurung
Han-kokcu dalam penjara bawah tanah?" tegur Be It-tong.
"Losam, kau jangan marah dulu, tahukah kau Tonghong Liang
telah pergi?" "Apa sangkut pautnya kepergian dia dengan Toan-hun-kok?"
"Sebenarnya Tonghong Liang telah menyanggupi permintaan
Kokcu untuk membantunya, tapi dengan kepergiannya, apa lagi
yang bisa diharapkan Kokcu?"
"Memang lebih baik bila mendapat bala bantuan dari luar, namun
tidak mendapat bantuan dari luar pun bukan berarti kita tidak berdiri
sendiri. Menurut pendapatku, dengan hilangnya bantuan dari luar,
kita semua seharusnya lebih bersatu padu untuk menghadapi setiap
persoalan bersama-sama. Kenapa gara gara kepergian Tonghong
Liang, kau malah timbul niat untuk memberontak?"
Setelah melihat situasi tidak menguntungkan pihaknya, nada
bicara Be It-tong jauh lebih melunak, dia berharap bisa membujuk
Pan Toa-cau agar mengurungkan niatnya memberontak.
"Sayang ambisi Lotoa bukan hanya ingin menancapkan kaki saja
dalam rimba hijau," kata Pan Toa-cau.
"Semisal kau kurang setuju dengan rencana Lotoa, toh kita bisa
duduk bersama sambil merundingkan kembali persoalan ini!"
"Hmm, kau bukannya tidak tahu bagaimana watak Lotoa,
tampilannya saja nampak halus dan lembut, padahal dia tidak
pernah mau mendengar masukan dari orang lain. Hanya saja,
sekarang akupun tidak ingin berdebat lagi denganmu mengenai
pandanganku yang berbeda dengan Lotoa. Aku hanya ingin
memberitahukan satu hal kepadamu, diantara dua orang gadis yang
datang barusan, salah satu diantaranya adalah putri Seebun Mu!"
"Aku sudah tahu akan hal ini. Lantas kenapa?"
"Hal ini menunjukkan kalau rencana Kokcu semula yang ingin
menggunakan jasa Tonghong Liang untuk mencari penyelesaian
damai dengan Seebun-hujin sudah tidak mungkin terlaksana lagi!"
"Seebun-hujin pun belum tentu mampu menyapu rata Toan-hunkok
kita!" tukas Be It-tong.
Pan Toa-cau tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha,.... Losam, di hari biasa kau selalu hati- hati dan
berbobot kalau bicara, kenapa perkataan-mu hari ini kehilangan
nalar sehat. Untuk menghadapi Liok Ki-seng dan gerombolannya
saja kita sudah kewalahan dan tidak sanggup menghadapi, kau
sangka dengan kekuatan yang kita miliki masih mampu menghadapi
musuh tangguh lain?"
Biarpun Be It-tong telah berusaha mengendalikan diri, akhirnya
habis sudah kesabarannya, dengan suara keras teriaknya,
"Bagaimana pun juga, kau tidak seharusnya mencelakai Kokcu
sendiri!" "Bukan aku yang mendorongnya, Kokcu sendiri yang terjatuh ke
dalam penjara batu itu. Losam, kau jangan terburu napsu,
bagaimana kalau dengarkan lagi pendapatku?"
"Oooh, pendapat apa lagi yang hendak kau sampaikan?"
"Berbicara soal kekuatan, kita tidak akan mampu melawan
kekuatan Liok Ki-seng dan komplotannya, apa salahnya bila kita
berbagi daerah kekuasaan saja dengan mereka dan biarkan dia
menjadi Liok-lim bengcu wilayah utara...."
Be It-tong segera mendengus, tukasnya, "Lantas siapa yang akan
menjadi Liok-lim Bengcu wilayah selatan?"
Kembali Pan Toa-cau tertawa tergelak.
"Mau kau atau aku sama saja, yang penting bukan Lotoa yang
memangku jabatan tersebut! Dendam kesumatnya dengan keluarga
Seebun sudah terlanjur mendalam, bila dia yang menjadi Bengcu,
sudah pasti Liok Ki-seng dan komplotannya tidak bakal setuju!"
Be It-tong segera tertawa dingin, sindirnya, "Oooh, ternyata
sejak awal kau telah berunding dengan Liok Ki-seng" Hmmm,
hmmm, apakah kau ingin menggunakan kesempatan baik pada hari
ini untuk melenyapkan Lotoa?"
"Hey, jangan kau bayangkan aku begitu kejam dan berhati buas,
jelek-jelek begini aku masih mempunyai hubungan persaudaraan
hampir dua, tiga puluh tahun dengannya, tidak mungkin aku
gunakan kesempatan ini dengan mendorongnya masuk penjara."
"Lalu kenapa kau melarangku membebaskan dirinya keluar dari
sana?" "Masalah ini adalah masalah tersendiri, bila kau membebaskan
dirinya, Liok Ki-seng dan komplotannya tidak bakalan melepaskan
kita semua!" "Kalau begitu kau akan membiarkan dia mati di dalam penjara"
Hmmm, bukankah sama saja artinya!"
"Aku pun tidak akan membiarkan dia mati sendiri. Bukan aku
yang tidak mau, tapi orang lain tidak akan membiarkan dia hidup."
"Maksudmu masih ada orang lain yang hendak membunuhnya"
Siapakah mereka?" "Orang-orang yang semula terkurung dalam penjara."
Kontan saja Be It-tong tertawa dingin, katanya, "Tenaga dalam
yang dimiliki hwesio tua dari biara siau-lim itu sudah punah,
sementara Lan Giok-keng si bocah cilik itu, hmmm, kau sangka dia
sanggup membunuh Lotoa kita?"
"Hampir setiap hari dia berlatih pedang dengan Tonghong Liang,
sedikit banyak Tonghong Liang pasti akan menyisakan dua, tiga
bagian tenaga dalam untuknya bukan" Siapa tahu saat ini Lotoa
sudah mati dibunuh bocah itu. Karenanya kuanjurkan lebih baik kau
sedikit hemat tenaga. Kalau ingin membuka pintu gua pun lebih baik
menunggu beberapa hari lagi."
"Kenapa?" "Kita tunggu saja sampai bocah itu kelaparan setengah mati, bila
matanya sudah berkunang dan kepalanya pening, kita akan
membekuknya dengan lebih gampang. Kalau tidak, bila sekarang
juga kau membuka pintu gua secara sembarangan, andai bocah itu
sampai kabur, hmmm, bukan saja kau tidak dapat membalaskan
dendam bagi Lotoa, malah sebaliknya akan terluka oleh pedang Lan
Giok-keng!" Be It-tong semakin naik pitam, teriaknya, "Bila kau pandang
rendah diriku, aku masih bisa menerimanya, tapi kau berani
memandang rendah kemampuan Lotoa" Jangan lagi tenaga dalam
bocah itu baru pulih dua, tiga bagian, biar sudah pulih semua pun
belum tentu Lotoa bakal kalah ditangannya. Jika dia berani turun
tangan, Lotoa pasti akan membunuhnya lebih dulu.
"Aku rasa belum tentu begitu! Kau tidak hadir sewaktu Lan Giokkeng
datang hari itu, kau pun belum pernah menyaksikan ilmu
pedangnya, tapi aku pernah melihatnya. Oleh sebab itu aku tidak
setuju dengan tindakanmu yang mengambil resiko, apalagi
melepaskan harimau kecil keluar kerangkeng dalam keadaan
begini!" Be It-tong benar-benar amat gelisah, segera bentaknya, "Jadi
berbicara pulang pergi, kau tetap berniat mengulur waktu dengan
membiarkan Lotoa mati terkurung di dalam penjara! Hmmm,
sekalipun benar seperti yang kau katakan, Lotoa tidak mampu
menandingi bocah kecil itu, sudah seharusnya kita lebih cepat
masuk ke dalam gua untuk membantunya!"
"Losam, aku tidak bisa membiarkan saudara saudara kita
mengalami kerugian gara-gara keputusan-mu, bila kau bersikeras
dengan kehendakmu, jangan salahkan kalau aku tidak akan
mengingat lagi hubungan persaudaraan di masa lalu."
Berubah paras muka Be It-tong.
"Kalau sampai Lotoa pun berani kau celakai, sudah kuduga, kau
pun tidak akan membiarkan aku hidup terus!"
Han Siang yang berada dipenjara bawah tanah hanya bisa
mendengar suara bentrokan senjata yang lamat-lamat
berkumandang datang, ujarnya kemudian dengan sedih,
"Seandainya Be It-tong tidak terburu napsu, mungkin dia masih bisa
bertahan dua, tiga ratus gebrakan, tapi begitu terdorong napsu,
mungkin sebelum seratus gebrakan pun selembar nyawanya sudah
bakal hilang di tangan Pan Toa-cau."
"Bila Be It-tong sampai mati, bukankah tidak ada orang lagi yang
akan melepaskan dirimu?" tanya Lan Giok-keng.
Han Siang tertawa getir. "Benar, kecuali aku yang mengetahui cara menggerakkan tombol
rahasia itu, hanya Pan dan Be berdua saja yang tahu."
"Kenapa kau tidak ajarkan saja cara membuka alat rahasia itu
kepada Lan Giok-keng?" tiba tiba Hwee-ko Thaysu berkata.
"Tentu saja boleh. Tapi alat rahasia itu baru bisa dibuka bila kita
berada diluar sana."
Sementara dalam hatinya berpikir, "Bila bocah ini bisa keluar,
berarti akupun bisa keluar. Apa gunanya bicara tidak bermakna
seperti itu?" Siapa tahu belum habis ingatan itu melintas lewat, terdengar
Hwee-ko Thaysu telah berkata lagi, "Orang lain mungkin susah
untuk keluar, tapi Lan Giok-keng punya harapan untuk keluar dari
sini. Maksudku, biar dia seorang yang keluar terlebih dahulu,
kemudian menggunakan cara yang kau ajarkan untuk membuka
penyumbat mulut gua itu."
"Tapi aku tidak mempunyai kemampuan untuk menggeser batu
besar penyumbat gua itu!" seru Lan Giok-keng terperanjat.
"Apa kunci utama ilmu silat aliran Bu-tong-pay kalian?" tanya
Hwee-ko Thaysu. "Dengan tenang mengatasi gerak, bertindak belakangan
mencapai sasaran duluan."


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Selain itu?" "Meminjam tenaga memukul tenaga, dengan tenaga empat tahil
menggeser beban seribu kati."
"Nah itulah dia, berapa besar kekuatan yang kau miliki" Seratus
kati tentunya ada bukan?"
"Seharusnya ada," jawab Lan Giok-keng seolah baru menyadari
akan hal itu. "Kalau kekuatan empat tahil pun bisa menggeser beban seribu
kati, coba hitunglah seratus kati itu beberapa kali lipat dari empat
tahil?" "Menurut teori ilmu silat perguruanku memang berkata begitu,
Cuma, ke satu, aku masih jauh dari tingkatan sehebat itu, ke dua,
batu besar yang menyumbat gua itu adalah benda mati, tidak bisa
meminjam kekuatan dari situ, lagipula akupun tidak mempunyai
tempat untuk berpijak."
"Menurut penilaianku, pertama, kemampuan ilmu silatmu sudah
mencapai tingkatan dimana kau sendiripun tidak menduga, dengan
kemampuan yang kau miliki sekarang, mungkin saja masih belum
mampu untuk menyingkirkan batu penyumbat gua itu, tapi bukan
berarti tidak bisa menggesernya sedikit dari posisi semula. Ke dua,
batu raksasa itu bukan batu alam yang sejak jaman dulu sudah
berada disana, melainkan dipindahkan orang dari tempat lain,
dengan perkataan lain batu itu tidak berhubungan langsung dengan
mulut gua diatas. Inilah yang dikatakan ajaran Cuang-cu sebagai
"tempat luang". Meski tidak bisa meminjam kekuatannya, kau toh
bisa manfaatkan tempat luang itu untuk menggesernya ke
samping!" Bagaikan orang kebingungan yang tiba-tiba memperoleh
petunjuk, pikiran Lan Giok-keng langsung menjadi cerah kembali,
ujarnya, "Pagi tadi, sewaktu bertanding pedang melawan Tonghong
toako, aku telah menggunakan teori "sang koki menjagal sapi"
untuk memecahkan jurus Pek-hok-liang-ci dari Tonghong toako. Aku
tidak tahu apakah teori yang sama dapat pula digunakan untuk
menggeser batu raksasa diatas mulut gua."
"Ajaran ilmu silat adalah penggabungan dari pelbagai sumber
dan teori, aku tidak tahu apakah sewaktu Thio Cinjin menciptakan
Thay-kek-kun, dia mendapat pencerahan dari ajaran Cuang-cu, tapi
Sim-hoat tenaga dalam perguruanmu sangat sesuai dengan ajaran
dari Chuang-cu, dengan bakat dan kecerdasan yang kau miliki,
rasanya tidak sulit untuk memahami teori itu."
Ucapan tersebut segera membangkitkan kembali pengharapan
dalam hati Han Siang, katanya pula, "Betul sekali, berhasil atau
tidak, apa salahnya untuk dicoba" Bila kau hanya kuatir karena tidak
punya tempa t berpijak, aku dapat membantu usahamu itu."
Sambil berkata tubuhnya melambung ke udara, ilmu Tay-engjiaulek kebanggaannya segera digunakan, dengan ke lima jarinya
yang kuat bagaikan kaitan dia cengkeram dinding batu dan
menciptakan sebuah lekukan di atas dinding keras itu, lekukan yang
persis digunakan untuk tempat berpijak.
Demikianlah dia mengulang hal tersebut sebanyak tiga kali,
dalam waktu singkat dia telah menciptakan tiga buah tempat
pijakan untuk bocah itu. Lan Giok-keng kegirangan, serunya, "Han-kokcu, terima kasih
banyak untuk bantuanmu. Aku segera akan mencobanya."
"Kini harapan hidupku sudah kusandarkan padamu, buat apa kau
malah berterima kasih" Tapi tunggu sebentar, biar kuajarkan dulu
cara untuk membuka tombol rahasia itu."
Ternyata caranya tidak terlampau rumit, hanya saja karena area
tempat alat rahasia itu disembunyikan terlalu luas sehingga untuk
sesaat sulit baginya untuk menerangkan hingga jelas.
Dalam keadaan begini, terpaksa dia hanya bisa membiarkan Lan
Giok-keng bertindak lebih dulu kemudian baru beradu nasib.
Lan Giok-keng menaiki tempat berpijak paling bawah, lalu
dengan tangan menempel diatas dinding dia mulai merayap naik
keatas menggunakan jurus Sun-jiu-tui-cho (Mengayun tangan
mendorong sampan). "Aku selalu bertindak hati-hati dengan tingkatkan kewaspadaan,
pusatkan pandangan ke satu titik, gerakan semakin melambat,
ketika menggerakkan pisau pun sangat ringan."
Dia segera memusatkan seluruh kekuatannya dengan
mengalihkan konsentrasi ke arah celah yang terdapat diantara batu
cadas itu. Lalu dengan menggunakan Sim-hoat perguruannya
"tenaga empat tahil menyingkirkan ribuan kati" dia dorong ringan
batu itu ke samping, benar saja batu raksasa itu segera bergeser
sedikit. Celah itu tidak terlalu besar, orang dewasa sudah pasti tidak bisa
melewatinya, tapi untuk perawakan tubuh bocah seperti Lan Giokkeng,
dengan paksakan diri dia masih bisa menerobos keluar.
Jika dilihat sepintas lalu, kemampuannya menggeser batu cadas
itu seakan tidak menggunakan tenaga yang terlampau besar,
padahal sudah merupakan puncak ilmu silat yang bisa dicapainya
dewasa ini. Han Siang pun terhitung seorang ahli ilmu silat, sekarang dia
baru mengerti apa maksud Hwee-ko Thaysu dengan mengatakan
hanya Lan Giok-keng seorang yang bisa menerobos keluar.
Waktu itu anak buah Pan Toa-cau sudah tersebar memenuhi
tanah perbukitan, namun berhubung Pan Toa-cau sudah
memperingatkan sejak awal, maka siapa pun tidak ada yang berani
mendekati pembatas batu. Pan Toa-cau sedang bertarung sengit melawan Be It-tong,
padahal jarak dari pembatas batu hingga mulut gua berkisar lebih
kurang satu li, ini berarti lingkaran di dalam jarak tersebut kosong
tidak ada penghuninya. Ketika Lan Giok-keng menerobos keluar dari dalam gua, dia sama
sekali tidak mendapat halangan apapun. Namun dalam keadaan
terburu-buru dia tidak berhasil menemukan letak tombol rahasia
seperti yang dikatakan Han Siang tadi.
Be It-tong berdiri membelakangi pembatas batu dan menghadap
ke arah gua, dialah yang pertama tama menyaksikan kemunculan
Lan Giok-keng. Dia hanya tertegun sejenak kemudian segera tersadar kembali.
Dia dapat menebak maksud Lan Giok-keng, pikirnya, 'Perduli bocah
ini musuh atau teman, lebih baik biar kupertaruhkan pada dirinya'
Cepat dia mengambil keputusan dan segera teriaknya, "Berjalan
ke arah Jian berputar ke posisi Sun, tujuh langkah melintang,
jongkok, jejakkan kaki...."
Pan Toa-cau yang mendengar teriakan itu kontan membentak
keras, "Permainan setan apa yang sedang kau lakukan?"
Saat itulah terdengar anak buahnya ramai-ramai berteriak keras,
"Hey, ada anak kecil menerobos keluar dari bawah!"
"Aduh, dia adalah bocah she-Lan itu!"
"Kalau bocah itu bisa menerobos keluar, berarti Kokcu sudah
mati dibunuh olehnya."
Kembali Poan Toa-cau membentak nyaring, "Kenapa kalian masih
berdiri mematung disana, cepat lepaskan anak panah, bidik bocah
itu sampai mampus!" Lan Giok-keng sama sekali tidak ambil perduli dengan hujan
panah yang tertuju ke arahnya, mengikuti langkah yang diajarkan
Be It-tong, dia segera bergerak menuju arah Jian lalu berputar ke
posisi Sun dan bergeser tujuh langkah ke samping.
Be It-tong sudah tahu posisi bocah itu setelah keluar dari gua
kemudian baru memberikan komandonya, boleh dibilang
petunjuknya sesuai dengan keadaan dilarang, hasilnya sudah pasti
jauh lebih manjur ketimbang petunjuk Han Siang ketika masih
dalam gua. Cepat dia bergeser tujuh langkah, jongkok dan menjejakkan
kakinya...."Traaang! Ternyata dia menendang sebuah lempengan
baja, tombol rahasia pun segera ditemukan.
Kembali terdengar Be It-tong berteriak: "Dengarkan, di sisi atas
papan besi sebelah kiri terdapat...."
Belum selesai dia berteriak, selapis kulit lengan kirinya sudah
tersayat robek oleh senjata kaitan dari Poan Toa-cau.
Lan Giok-keng mempunyai perawakan tubuh yang kurus kecil,
sambil berbaring ditanah, dia gunakan batu cadas sebagai
penghadangnya untuk menjalankan tombol rahasia.
Terdengar suara dentingan nyaring yang memekik kan telinga,
hujan panah yang dibidikkan ke arahnya sebagian besar menghajar
diatas batu besar sementara sebagian kecil rontok di tengah jalan
karena kekuatan yang tidak memadahi. Hanya beberapa batang
saja sempat mencapai tubuh Lan Giok-keng, namun dengan sebuah
ayunan pedang, dia berhasil merontokkannya secara mudah.
"Losam!" bentak Poan Toa-cau, "kau sangka aku benar-benar
tidak berani membunuhmu!"
Sepasang senjata kaitannya ditegakkan lalu ditarik, dia telah
mengeluarkan jurus pamungkas terkeji dan terkejam untuk
menghadapi saudaranya. Ilmu silat yang dimiliki Be It-tong pada dasarnya memang masih
berada di bawah kemampuannya, di tambah lagi sekarang dia
sudah kehabisan tenaga, bagaimana mungkin dia bisa membendung
serangan ganas yang begitu hebat"
Tampak darah segar berhamburan kemana-mana, lambung Be
It-tong tersayat sepasang senjata kaitan itu hingga robek sepanjang
tujuh, delapan inci, seketika itu juga dia roboh tidak sadarkan diri.
Tapi pada saat itu pula terdengar suara gemericit, pintu gua
sudah terbuka lebar. Sambil meraung keras Han Siang melompat keluar dari dalam
penjara. Sejak awal dia sudah membuat persiapan, ketika hujan
panah diarahkan ke tubuhnya, dengan sepasang tangan dia sambar
panah-panah itu. Sebagaimana diketahui, ilmu yang dia yakini adalah ilmu cakar
elang, ketika batang panah tersentuh tangannya, panah-panah itu
seketika patah jadi dua bagian. Caranya menghadapi ujung panah
pun sangat lincah dan cekatan.
Sebagian besar anak buah Poan Toa-cau selama ini mengira
Kokcu mereka tidak mungkin bisa lolos lagi dari penjara, karena itu
mereka baru berani ikut Poan Toa-cau untuk memberontak, ketika
secara tiba-tiba melihat pemimpin mereka telah tampil lagi di
hadapan mereka, sembilan dari sepuluh orang diantaranya seketika
berdiri terbelalak dan tidak berani melepaskan panah lagi.
Dengan suara nyaring Han Siang pun membentak."
"Aku tahu kalian semua sudah ditipu Poan toa-cau, untuk
peristiwa ini aku tidak ingin mengusutnya lebih jauh. Asal kalian
bersedia tunduk kepadaku, kalian semua masih merupakan
saudaraku. Yang enggan mengikuti aku lagi, tidak masalah, kalian
boleh segera mengambil sangu dan tinggalkan tempat ini."
Begitu ucapan tersebut diutarkan, sebagian besar pemberontak
serentak menyatakan sumpah setianya kepada Kokcu mereka.
Buru-buru Poan toa-cau ikut berseru, "Lotoa, kesemuanya ini
hanya salah paham. Kusangka kau sudah dibunuh bocah she Lan
itu...." Han Siang mendengus dingin, tukasnya, "Orang yang ingin
mencelakai aku bukan orang lain. Semua pembicaraanmu tadi sudah
kudengar sangat jelas, jadi tidak perlu kau ulangi lagi."
Dia membiarkan Poan toa-cau berdiri melongo di sisi arena,
dihampirinya Be It-tong yang terluka parah, sambil memeluknya
kembali dia berkata, "Saudaraku, semuanya salahku, salah aku
datang terlambat." Cepat dia mengambil obat luka dan membubuhkan sendiri obat
itu di seputar luka Be It-tong, tapi mulut luka masih mengeluarkan
darah segar, hingga untuk ke tiga kalinya dia bubuhkan obat luka,
darah segar baru berhenti memancar.
Han Siang segera perintahkan orang untuk menggotong pergi Be
It-tong, kemudian baru berpaling sambil ujarnya dingin, "Poan Toacau,
apa lagi yang hendak kau katakan?"
"Lotoa, aku merasa bersalah kepadamu, kau tidak usah turun
tangan, biar aku menyelesaikan diriku sendiri."
"Bagus, punya nyali untuk bunuh diri, kau memang tidak malu
disebut seorang Hohan, apakah kau masih ada pesan terakhir?"
"Aku hanya berharap Lotoa mau mengingat hubungan
persaudaraan kita hampir puluhan tahun lamanya, setelah
meninggal nanti, tolong dirikan batu nisan dengan tulisan Toan-hunkok
Hu-kokcu Poan Toa-cau, tolong jangan anggap aku sebagai
penghianat." Dia berbicara dengan nada yang begitu tulus dan bersungguhsungguh.
Tampaknya Han Siang terharu dibuatnya, dia mengangguk.
"Baik, aku kabulkan permintaanmu, berangkatlah dengan hati
tenang." "Terima kasih atas pemberian lotoa, siaute mohon pamit!" sambil
berkata dia menjatuhkan diri berlutut dan menyembah berulang
kali. Semua orang menyangka pada detik-detik terakhir ini, dia
berharap Han Siang mau berubah pikiran dengan mengampuni
selembar jiwanya. Siapa tahu menyembah adalah kamuflase baginya untuk
melancarkan serangan bokongan.
Pada saat dia berlutut itulah tiba-tiba dari balik bajunya
menyambar keluar tiga batang panah pendek.
Selama hidup Poan Toa-cau belum pernah menggunakan senjata
rahasia, selama puluhan tahun berkumpul dengannya Han Siang
tidak pernah tahu dia menggunakan panah dari sakunya.
Ke tiga batang panah saku itu sama sekali berbeda bila
dibandingkan hujan panah itu, serangan kali ini benar-benar
merupakan serangan bokongan.
Pepatah mengatakan: serangan tombak secara terang-terangan
gampang dihindari, serangan panah gelap susah dihadapi. Apalagi
serangan itu dilancarkan Poan Toa-cau pada detik terakhir
menjelang ajalnya, saat terakhir ketika dia berbicara dengan penuh
penyesalan. Kendatipun Han Siang memiliki ilmu Toa-lek-eng-jiaukang
yang hebat pun sulit rasanya untuk terhindar dari kematian.
Pada detik yang amat kritis itulah terlihat cahaya putih berkelebat
lewat lalu...."Triiing, triiiing, triiiiing!
Diiringi dentingan nyaring, ke tiga batang panah pendek itu
sudah terpapas kutung dan rontok ke tanah.
Ternyata Lan Giok-keng telah menggunakan ilmu pedang kilatnya
untuk menyelamatkan jiwa Han Siang.
Begitu ke enam potongan panah itu menempel di atas
rerumputan, kontan rerumputan hijau itu berubah jadi kuning, jelas
panah panah gelap itu mengandung racun yang sangat jahat.
Menyaksikan serangannya gagal total, Poan toa-cau tertawa
getir, diambilnya sepotong kurungan panah lalu ujarnya, "Padahal
kita semua setali tiga uang, hanya nasib-ku tidak sebagus nasibmu!"
"Bruuuk!" dia hujamkan kutungan panah itu ke atas dada sendiri,
dalam sekejap mata paras mukanya berubah jadi kelabu, darah
kental mengucur dari tujuh lubang inderanya, tanpa menimbulkan
suara dia roboh dan mati keracunan.
Han Siang seakan baru terpental keluar dari pintu neraka, bulu
kuduknya pada bangun berdiri. Setelah berhasil mengendalikan rasa
kagetnya dia baru berkata, "Lan Siauhiap, terima kasih banyak kau
telah selamatkan jiwaku, aku.... aku benar-benar menyesal, tapi
bukan dikarenakan aku ingin mencelakaimu, bencana dan musibah


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang kau alami sekarang bukan atas ide ku, dalangnya adalah
Tonghong Liang. Apakah kau ingin mengetahui kejadian yang
sebenarnya?" "Aku tidak mau mendengarnya!" seru Lan Giok-keng dengan
emosi yang bergejolak, "akupun tidak ingin terlibat dalam pertikaian
kalian. Aku hanya melakukan pekerjaan yang seharusnya ku
lakukan, kau tidak perlu menaruh perasaan menyesal, juga tidak
perlu berterima kasih."
Dalam pada itu Hwee-ko Thaysu dan Lan Sui-leng telah keluar
dari mulut gua. "Han-kokcu," Hwee-ko Thaysu segera berkata, "Lolap sudah
hampir sebulan lamanya mengganggumu, sekarang sudah
seharusnya mohon pamit!"
Han Siang sangat rikuh, sahutnya, "Thaysu, aku jadi malu sendiri
apalagi kau tidak mempermasalahkan kesalahanku waktu lalu.
Sebetulnya aku ingin menahan mu beberapa hari lagi, biar kutebus
semua kesalahanku." "Banyaklah berbuat kebajikan untuk menebus kesalahanmu itu.
Tidak perlu melayani aku sihwesio dengan arak dan daging. Rejeki
atau bencana datang karena ulah manusia. Han-kokcu, baik-baiklah
menjaga diri." "Nona Lan, aku pun minta maaf kepadamu."
"Tidak perlu minta maaf, aku hanya ingin mencari kabar tentang
seseorang." Sebelum Han Siang menjawab, Lan Giok-keng segera menyela
lebih dulu, "Ciri, asal dapat lolos dari bahaya, itu sudah lebih dari
cukup, tidak perlu banyak urusan lagi."
Lan Giok-keng tertegun, serunya, "Kenapa kau mengatakan aku
banyak urusan" Tahukah kau, orang ini berniat mencelakaimu!
Adikku, tahukah di dalam dunia persilatan terdapat seorang wanita
siluman yang disebut orang sebagai Si Lebah hijau Siang Ngo-nio?"
Pada mulanya Lan Giok-keng menyangka orang yang dimaksud
kakaknya adalah Tonghong Liang, setelah tahu kalau Siang Ngo-nio
yang dimaksud, perasaan hatinya menjadi tidak setegang tadi lagi,
ujarnya, "Jadi kaupun pernah bertemu dengan siluman wanita itu,
darimana bisa tahu kalau dia berniat mencelakaiku?"
"Panjang untuk diceritakan, nanti saja akan kuberitahukan secara
perlahan. Han-kokcu, aku dengar siluman wanita itu berada disini,
benarkah begitu?" Sambil tertawa Lan Giok-keng menyela, "Kau hanya mendengar,
sedang aku malah pernah bertarung melawannya disini. Tentu saja
benar. Aaah iya, Han-kokcu, aku pun ingin bertanya...."
"Tidak usah kau tanyakan pun aku akan memberitahukan
kepadamu, Siang Ngo-nio telah pergi. Pada saat kau bertarung
melawan dia itulah, di saat kau tidak sadarkan diri, dia pun pergi
dari sini." "Bukankah dia bermaksud menangkap aku" Kenapa setelah
berhasil mendapatkan aku, dia malah pergi secepat itu?"
"Soal ini.... soal ini...."
"Han-kokcu, apakah kau merasa kesulitan untuk berbicara"
Hmmm, begitu masih bilang mau membalas budi adikku, ternyata
kau malah berusaha melindungi musuh besarnya."
Kan Siang tertawa getir, sahutnya, "Karena kau sudah
menegurku, terpaksa aku harus bicara terus terang. Kehadiran
Siang Ngo-nio adalah atas undangan Tonghong Liang, tapi
Tonghong Liang pula yang mengusirnya pergi. Tampaknya dia
punya rahasia yang berada dalam genggaman Tonghong Liang
hingga tidak berani membangkang perkataannya. Lan Siauhiap,
berhubung kau sudah berpesan duluan, melarang aku
menyinggung...." "Betul," tukas Lan Giok-keng dengan suara tidak jelas, "aku tidak
senang mendengar orang lain membicarakan kejelekan Tonghong
Liang.... eei, cici. Kenapa kau?"
"Tidak apa-apa," jawab Lan Sui-leng dengan wajah pucat pasi,
"kalau memang siluman perempuan itu tidak ada disini, mari kita
pergi saja." Sementara Lan Giok-keng masih kebingungan, terdengar Hweeko
Thaysu telah berbisik, "Yang itu adalah sebuah gara-gara, yang
inipun sebuah gara-gara, cepat tinggalkan tempat gara-gara, tidak
usah menanyakan masalah gara-gara...."
Lan Giok-keng segera tersadar kembali, sahutnya, "Thaysu,
perkataanmu memang benar. Mari kita segera pergi."
Sesudah meninggalkan Toan-hun-kok, tiba-tiba Lan Sui-leng
berkata, "Akupun tidak percaya kalau Tonghong Liang adalah orang
jahat." "Bukankah kau berkenalan dengannya belum terlalu lama?" tanya
Lan Giok-keng tertegun. Lan Sui-leng menggeleng. "Sejak kau pergi, sudah banyak terjadi peristiwa besar, aku jadi
tidak tahu harus berbicara dari mana."
"Baiklah, kalau begitu biar aku yang bercerita lebih dulu," secara
ringkas bocah itupun menceritakan semua pengalamannya kepada
cicinya. Lambat laun paras muka Lan Sui-leng berubah jadi lebih baik,
katanya, "Kalau begitu, kendatipun Tonghong Liang pernah
membuat kau tertipu namun diapun pernah memberikan kebaikan
kepadamu bukan?" "Betul, kalau dia tidak mengajakku berlatih pedang, mana
mungkin aku bisa memperoleh kemajuan seperti hari ini?"
"Tapi ada orang bilang dia sedang mencuri belajar ilmu pedang
Thay-kek-kiam-hoat mu."
"Pada dasarnya dia sudah mengerti ilmu pedang Thay-kek-kiamhoat.
Sekalipun yang dipelajari berbeda, paling banter hanya bisa
dibilang kita saling bertukar pikiran."
"Tapi yang paling ditakuti adalah omongan orang, lebih baik
dikemudian hari kau tidak usah berhubungan lagi dengannya!"
"Yang ditakuti omongan orang?"
"Masa kau belum tahu kalau dia adalah musuh perguruan kita"
Pada saat kau turun gunung, dia telah mendatangi gunung Bu-tong
dan menantang berduel, malah gurumu telah menderita kekalahan
di tangannya." "Bu-si Tojin telah menceritakan kejadian ini kepadaku. Tapi aku
ingin tahu yang dimaksud "omongan orang" itu orang yang mana"
Anggota Bu-tong-pay mana yang begitu hebat beritanya hingga
tahu kalau aku pernah berhubungan dengannya?"
Lan Sui-leng termenung tanpa bicara, agaknya diapun sedang
memikirkan satu persoalan yang sangat berat.
"Eeei cici," tegur Lan Giok-keng, "kau jadi orang selalu terbuka
dan bicara blak-blakan, kenapa sekarang nampak ragu untuk
bicaraa" Apakah terhadap adik sendiri pun ada masalah yang tidak
boleh disampaikan?" "Baik, kalau begitu aku beritahu. Ketika turun gunung mencari
kau tempo hari, di tengah jalan aku telah bertemu Siau-susiok."
"Siau-susiok yang mana?" Lan Giok-keng tertegun.
"Siapa lagi kalau bukan Bouw It-yu yang menghantar Put-coat
supek pulang ke gunung, kini ayahnya sudah menjadi Ciangbunjin
kita, karena itu aku memanggilnya Siau-susiok. Aku sendiripun tidak
tahu darimana dia bisa tahu kalau kau ada bersama Tonghong
Liang, Cuma, kaupun tidak perlu mengusutnya lebih jauh."
Biar masih muda, Lan Giok-keng pintarnya luar biasa, dia pandai
melihat perubahan wajah orang, dari perubahan mimik muka cicinya
dia segera tahu kalau ada suatu rahasia yang sulit diucapkan, maka
katanya, "Dengan kedudukannya sekarang, dia memang seharusnya
memberi peringatan kepadaku. Tapi kalian tidak usah kuatir,
selewat hari ini, biarpun aku masih ingin berhubungan terus dengan
Tonghong Liang pun, aku rasa dia pasti akan berusaha untuk
menghindari aku." Membayangkan kembali keadaan Tonghong Liang sewaktu
tergopoh gopoh meninggalkan tempat kejadian, tanpa terasa Lan
Sui-leng menunduk sedih. "Cici, sekarang tiba giliranmu untuk bercerita," kata Lan Giokkeng.
Lan Sui-leng tertawa getir.
"Aku pun tidak tahu harus mulai berbicara dari mana!"
"Kalau begitu berceritalah mulai kau turun gunung mencari aku."
Lan Sui-leng berpikir sejenak, kemudian ujarnya sambil tertawa,
"Sebenarnya terdapat tiga alasan, tapi salah satu alasan yang paling
penting sekarang justru telah berubah jadi tidak penting."
"Kenapa bisa begitu?" tanya Lan Giok-keng tercengang.
"Aku rasa sekarang kaupun sudah tahu, ilmu pedang Thay-kekkiamhoat yang diajarkan ayah angkat mu itu padahal sama sekali
tidak berguna." "Oooh, rupanya kau hendak memberitahukan soal ini. Apakah
Put-hui Suthay yang berhasil mengetahuinya?"
"Betul. Aku justru takut bila kau masih belum mengetahuinya,
bila sampai bertemu musuh tangguh dan kau gunakan ilmu pedang
ajaran ayah angkatmu, bukankah keadaanmu bakal celaka. Tapi
sekarang kau berhasil melatih ilmu pedangmu jauh diatas
kemampu-an ayah angkatmu. Tentu saja aku tidak perlu
menguatirkannya lagi. Sejujurnya, bukan ilmu pedangmu yang
kukuatirkan, aku justru lebih menguatirkan ayah angkatmu...."
Lan Giok-keng merasa sangat gundah, katanya sembari
menggelengkan kepalanya, "Semenjak lahir, Gihu nyaris selalu
bersikap sangat baik kepadaku. Aku tidak tahu apa sebabnya dia
tidak mengajarkan ilmu pedang yang murni, tapi aku tidak ingin
menduga atau mencuriga dirinya."
"Aku sendiripun tidak percaya kalau ayah angkatmu berniat
mencelakaimu, tapi dalam peristiwa ini, jangan lagi aku, siapa pun
tidak habis mengerti dibuatnya," kata Lan Sui-leng.
Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya, "Tadi kau
pernah bercerita, telah bertemu Si Lebah hijau Siang Ngo-nio
ditengah jalan, berarti kau sudah dapat menduga bukan apa
alasanku ke dua ingin cepat cepat menemukan dirimu."
"Ingin beritahu kalau Si Lebah hijau Siang Ngo-nio bermaksud
mencelakai aku?" "Hari kedua setelah kau turun gunung, siluman wanita itu telah
datang menyatroni ke rumah kita, mengancam ayah, ingin
merampas dirimu. Kemudian secara kebetulan aku pulang ditemani
guru, karena itulah dia berhasil di usir lari...."
Di hati kecilnya kembali Lan Giok-keng berpikir, "Siluman wanita
ini berulang kali ingin aku memanggilnya ayah angkat, aku rasa
masalahnya bukan sesederhana itu, tidak mungkin dia hanya berniat
mencelakai aku." Tapi pikir punya pikir dia tetap merasa tidak habis mengerti,
tanyanya kemudian, "Hwee-ko Thaysu, tahukah kau akan asal usul
si Lebah hijau Siang Ngo-nio?"
"Tentu saja aku tahu. Tapi, aku rasa lebih baik lagi bila kau tidak
mengetahuinya." "Kenapa?" "Sebab dibelakangnya terdapat sebuah tulang punggung yang
maha dahsyat, selain itu dia pun mempunyai hubungan khusus
dengan banyak tokoh terkenal dalam dunia persilatan."
"Ooh, kau kuatir aku akan mencari gara-gara dengannya?"
"Bukan begitu. Aku rasa sejak saat ini dia tidak bakalan datang
merecokimu lagi, selama dia tidak datang merecokimu, lebih baik
kaupun tidak usah merecoki dirinya."
Lan Giok-keng dapat merasakan kalau ucapan Hwee-ko Thaysu
bermaksud lain, tampaknya tulang punggung di belakang Siang
Ngo-nio justru hanya masalah kedua, sedang masalah utama yang
harus diperhatikan adalah tokoh-tokoh terkenal persilatan yang
punya hubungan khusus dengan perempuan itu.
Satu ingatan segera melintas dalam benaknya, pikirnya,
'Mungkinkah ada tokoh Bu-tong-pay yang terlibat dalam kelompok
yang dimaksud"' Berpikir sampai disitu, dia pun merasa kurang leluasa untuk
bertanya lebih jauh. Dalam pada itu Lan Sui-leng telah berkata lagi, "Tanpa harus
kukatakan pun aku rasa kau pasti mengetahui alasanku yang ke
tiga. Adik, ayah dan ibu paling menyayangimu, atas kepergianmu
secara tiba tiba, mereka berdua merasa amat kuatir dan rindu.
Banyak kecurigaan dan rasa bingung berkecamuk dalam benak
mereka berdua. Adik, aku masih ingat suatu kali kau pernah
menyinggung masalah isu santer yang beredar diluaran, aku minta
kau berterus terang kepadaku, benarkah kepergianmu
meninggalkan rumah kali ini ada sangkut pautnya dengan isu santer
yang pernah beredar diluaran?"
Yang dimaksudkan isu santer itu tidak lain adalah teka-teki
seputar asal-usul Lan Giok-keng.
Pertanyaan itu langsung menyentuh luka perih yang selama ini
Lan Giok-keng sembunyikan dalam hati kecilnya, hingga sekarang
dia sendiripun masih melacak dan meraba dibalik kabut kegelapan,
apakah harus dia katakan kepada cicinya"
Setelah termenung sesaat, diapun berkata, "Aku turun gunung
karena mendapat perintah dari Sucouw, cici, tolong sampaikan
kepada ayah dan ibu, minta mereka jangan berpikir yang bukanbukan
lagi." "Sucouw suruh kau melakukan apa?" timbul perasaan ingin tahu
dihati kecil Lan Sui-leng, "ehmm, kalau boleh dikatakan, katakanlah,
tapi kalau tidak boleh dikatakan, aku tidak memaksamu untuk
menjawab." "Sucouw perintahkan aku untuk mencari seorang tokoh dunia
persilatan yang sedang hidup mengasingkan diri, jadi tidak bakalan
menghadapi ancaman bahaya apapun, hanya saja aku memang
tidak tahu sampai kapan baru bisa pulang ke rumah. Pulanglah dan
beritahu ayah dan ibu, minta mereka tidak usah kuatir. Aaah benar,
cici, kau masih belum menceritakan kisah pengalamanmu, bukankah
tadi kau datang bersama nona Seebun" Aku dengar dia pun
sepertinya memang-gil Tonghong Liang sebagai Piauko, benar
bukan" Bagaimana ceritanya sampai kau bisa jalan bersamanya?"
"Selama beberapa bulan ini, akupun sudah mengalami banyak
kejadian yang diluar dugaan," secara ringkas dia pun menceritakan
semua pengalamannya kepada Lan Giok-keng.
Selesai mendengar penuturan itu, dengan perasa-an terperanjat
seru Lan Giok-keng, "Jadi ibunya Seebun Yan juga pandai ilmu
pedang Thay-kek-kiam-hoat?"
"Aku tidak tahu apakah ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang
dipelajarinya bersumber dari Bu-tong-pay, tapi rasanya terdapat
perbedaan yang sangat besar dengan ilmu pedang Thay-kek-kiamhoat
yang kau pelajari." "Ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang kupelajari berasal dari
hasil gubahan Bu-si Tojin, jadi tidak bisa dianggap ilmu pedang yang
murni." "Aku sendiri meski belum pernah diajari ilmu pedang Thay-kekkiamhoat dari guruku, tapi seringkali kulihat dia berlatih diri.
Rasanya ilmu pedang guruku pun jauh berbeda dengan ilmu pedang
Thay-kek-kiam-hoat yang digunakan ibu angkatku. Eeei...."
Melihat paras mukanya tiba-tiba berubah aneh, dengan nada
tercengang Lan Giok-keng segera bertanya, "Cici, apa yang telah
kau ingat" Kenapa tidak kau lanjutkan perkataanmu?"
"Tiba-tiba saja aku teringat akan sesuatu, ada seseorang memiliki
ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang mirip sekali dengan ilmu


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang yang dipelajari ibu angkatku."
"Siapa?" "Bouw It-yu!" Lan Giok-keng tidak habis mengerti, dia tidak paham apa
sebabnya gadis itu dibuat terperanjat oleh hasil penemuannya, baru
saja akan ditanyakan kepada cicinya, suatu peristiwa diluar dugaan
telah memotong niatnya itu.
Saat itu mereka semua telah berjalan keluar dari Toan-hun-kok,
tapi selagi masih menelusuri jalan perbukitan, tiba-tiba dari atas
gunung terlihat ada sekelompok manusia sedang bergerak
mendekat. Sebagai pemimpinnya adalah seorang siucay tua, begitu
mendekat, orang itu segera menyapa sambil menggoyangkan kipas
lipatnya, "Hwee-ko Thaysu, kita sudah berpisah selama tiga puluhan
tahun lebih, kau orang tua tentu tidak menyangka bakal bertemu
aku lagi bukan" Yang ini tentunya nona Lan bukan" Masih ingat
denganku" Kita pernah bersua dalam Pek-hoa-kok yang didiami
Seebun-hujin?" Ternyata orang ini tidak lain adalah Im-kian-siucay, Si Pelajar dari
alam baka yang pernah dua kali mengunjungi lembah seratus
bunga. Liok Ki-seng! "Sudah kuduga, cepat atau lambat pasti akan berjumpamu. Aku
malah sedikit tercengang ketika di saat harus bertemu, ternyata aku
tidak menjumpaimu," sahut Hwee-ko Thaysu.
Berputar sepasang biji mata Liok Ki-seng, seakan sudah
memahami maksudnya, dia pun berkata, "Ooh, berarti Han Siang
pernah mengadu kepada Thaysu bahwa selama ini aku selalu
menganiaya dan menekannya!"
"Dia tidak pernah mengucapkan kata-kata jelek tentang dirimu,
Cuma dia beritahu kepadaku kalau Toan-hun-kok nya selalu berada
di bawah pengawasan-mu."
"Oleh karena Tonghong Siauya disekam dalam Toan-hun-kok
nya, terpaksa aku harus melakukan tindakan ini," Liok Ki-seng
menerangkan. Maksud dari perkataan itu sangat jelas, andaikata mereka tidak
kuatir akan mengancam keselamatan jiwa Tonghong Liang, sejak
awal Toan-hun-kok telah mereka serbu.
"Tonghong Liang sama sekali tidak pernah di sekap dalam Toanhunkok," Hwee-ko Thaysu menjelaskan.
"Kalau bukan disekap, mengapa dia mengendon hampir dua
bulan lamanya di dalam Toan-hun-kok?"
"Bukankah dia sudah keluar dari lembah" Masa tidak lewat
ditempat ini" Kau tidak bertanya kepadanya?"
"Sejak satu jam berselang dia sudah pergi melewati tempat ini,
tapi dia berlarian sangat cepat, sama sekali tidak memperdulikan
kami." "Kalau dia sendiripun enggan memberitahukan kepada kalian,
berarti akupun tidak boleh mewakilinya memberi penjelasan. Tapi
ada satu hal aku perlu memberitahukan kepada kalian, bila dua ekor
harimau saling bertarung, salah satunya pasti akan terluka. Aku
telah membujuki Han Siang agar tidak lagi merajalela dalam rimba
hijau, karena itu bila kalian toh tidak mungkin dari musuh berubah
jadi teman, paling tidak seharusnya air sungai tidak melanggar air
sumur." "Jika Han Siang tidak datang mengusik kami, tentu saja kamipun
tidak akan banyak berulah."
"Kalau memang begitu tunjukkan dulu niat baik kalian, sekarang
bubarkan semua pos penjagaan yang ada di seputar sini."
Kelihatannya Liok Ki-seng merasa sangat keberatan, namun
setelah berpikir beberapa saat akhirnya dengan terpaksa dia
menyanggupi. Saat itulah Lan Sui-leng baru berkesempatan untuk bertanya,
"Apakah kalian melihat Seebun Yan?"
"Nona Lan, aku memang hendak memberitahukan kepadamu.
Nona besar memang lewat dari tempat ini, tapi dia meninggalkan
pesan yang minta aku untuk menyampaikan kepadamu. Dia minta
kami menghantarmu balik ke Pek-hoa-kok."
"Bagaimana dengan dia sendiri?"
"Kelihatannya dia sedang terburu-buru mengejar Tonghong
Siauya, hanya pesan itu yang ditinggalkan."
"Aku tidak berniat kembali ke Pek-hoa-kok."
"Mana boleh begitu" Pesan yang telah disampaikan Toa-siocia
tidak berani kami bangkang!"
Lan Sui-leng jadi naik darah, teriaknya, "Aku bukan budaknya,
bukan anak buahnya, jika kalian mau turuti perkataanya, itu urusan
kalian. Apa hak kalian semua mau mengurusi diriku?"
"Kami harap nona Lan mau memaklumi kesulitan kami sebagai
orang bawahan," desak Liok Ki-seng.
"Liok sianseng!" Lan Giok-keng menegur ketus, "jadi gara-gara
ingin berebut posisi Liok-lim Bengcu dengan Han Siang, kau tidak
malu merendahkan dirimu sendiri?"
"Ayah Seebun siocia memang majikan lama kami, apa yang
kulakukan sekarang pun hanya untuk menghormati majikan lama
kami, jadi tidak bisa dibilang merendahkan derajat sendiri. Saudara
cilik, kau tidak mengerti peraturan dunia persilatan...."
"Mungkin saja aku tidak mengerti peraturan yang berlaku dalam
dunia persilatan, tapi aku tahu, tidak seorangpun di dunia ini yang
boleh memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan yang tidak
dia inginkan. Kami kakak beradik mempunyai rumah sendiri,
sekarang ciciku ingin pulang ke rumah sendiri, jadi tidak seorangpun
di dunia ini yang boleh menghalangi niatnya!"
Sambil berkata dia mengayunkan tangannya, gerakan tangan
yang digunakan pun tanpa disadari merupakan sebuah jurus
pedang, seketika itu juga sebatang pohon besar yang tumbuh di
hadapannya telah tersambar patah batangnya hingga roboh ke
tanah. Dengan perasaan terperanjat Liok Ki-seng berkata, "Aku tidak
berani memaksa nona Lan untuk kembali ke Pek-hoa-kok, tapi kami
berharap nona Lan mengijinkan kepada kami untuk mengutus orang
menghantarmu sampai ke rumah."
"Aku bisa berjalan sendiri," tukas Lan Sui-leng.
"Jadi nona akan pulang ke rumah bersama adikmu?"
Lan Sui-leng memandang adiknya sekejap, kemudian
menggeleng. "Tidak!" "Nona Lan, aku tahu kungfu yang kau miliki sangat tangguh, tapi
sebagai seorang gadis remaja, rasanya tidak leluasa bukan bila
harus melakukan perjalanan seorang diri. Disini kami telah siapkan
sebuah kereta kuda, akan kusuruh orang menggunakan kereta
untuk menghantarmu pulang, dengan begitu sepanjang perjalanan
pun ada orang yang melayani kebutuhanmu."
"Aku bukan seorang nona orang kaya atau gadis anak hartawan,
tidak perlu orang untuk melayani kebutuhanku."
"Maaf, rupanya aku belum menerangkan lebih jelas lagi. Yang
kuberikan untuk melayani kebutuhanmu bukanlah anak buah biasa.
Aku pun mempunyai anak buah wanita, akan kusiapkan seorang
taubak perem-puan yang kaya pengalaman dunia persilatan untuk
menghantarmu pulang."
Kemudian sambil tertawa lanjutnya, "Nona Lan, kau adalah anak
angkat ibu majikan kami, sesungguhnya sudah terhitung setengah
majikan kami. Hanya saja, bila kau tetap enggan dianggap majikan,
tidak ada salahnya kau anggap dia sebagai petunjuk jalan saja."
Melihat ketulusan hati orang itu, Lan Sui-leng pun berpikir, 'Apa
yang dia katakan memang merupakan kenyataan, aku sama sekali
tidak punya pengalaman dalam dunia Kangouw, kalau bukan
Seebun Yan yang selama ini menemani perjalananku, entah berapa
banyak lelucon lagi yang sudah kualami selama ini."
Berpikir begitu diapun menjawab, "Terima kasih banyak atas
maksud baik Toucu, hanya saja aku tidak berani menerima bila
secara khusus kau harus mengutus pentolan dari markas kalian."
"Semua pos penjagaan yang kuatur untuk mengawasi Toan-hunkok
segera akan kububarkan. Hong-hiocu yang kumaksud berasal
dari wilayah Ouwpak, rencananya dia sendiripun ingin pulang
kampung, jadi aku dapat menyuruhnya sekalian menghantarmu
pulang ke gunung Bu-tong!"
Sesungguhnya Lan Giok-keng sendiripun merasa rada kuatir
dengan nasib cicinya yang tidak begitu paham dunia Kangouw,
sebab dia tahu mustahil bagi dirinya untuk menghantar pulang
cicinya itu, pikirnya kemudian, 'Orang she Liok ini sudah mengetahui
hubungan-ku dengan Hwee-ko Thaysu, kalau dibilang dia bukan
melihat diatas wajah Seebun-hujin, rasanya diapun tidak bakal
berani membohongi ciriku'
Berpikir sampai disitu diapun menyahut, "Bila Liok-tuocu memang
berniat baik, baiklah, kami akan menuruti permintaanmu."
"Aaaah, ternyata Lan Siauhiap memang lebih bijaksana," puji Liok
Ki-seng. Segera dia perintahkan orang untuk memanggil Honghiocu.
Menggunakan kesempatan ini, Lan Giok-keng segera mengajak
cici nya untuk berbicara.
"Ciri, tolong sampaikan kepada ayah dan ibu, katakan apa pun
yang bakal terjadi dikemudian hari, kau masih tetap adalah ciriku
yang tersayang." Dari nada pembicaraan itu dia seolah hendak memberi kisikan
kepada cicinya kalau kepergiannya kali ini adalah untuk menyelidiki
rahasia asal usulnya. Sepasang mata Lan Sui-leng segera berubah jadi merah, sambil
menahan lelehan air matanya dia mengangguk.
"Pergilah dengan perasaan lega."
"Persoalan yang paling membuatku sedih adalah tidak bisa ikut
menghantar kepergian Sucouw, aku dengar waktu upacara
penguburan telah dirubah, benarkah begitu?"
"Benar, seharusnya sudah ditetapkan pada hari pehcun, tapi
ketika masih di Pek-hoa-kok, aku dengar waktunya telah dirubah
jadi pertengahan bulan tujuh."
"Sucouw minta aku pergi mencari seorang tokoh persilatan yang
sudah lama hidup mengasingkan diri, Hwee-ko Thaysu tahu kalau
saat ini dia berada di wilayah Liauw-tong. Semisal aku sedang
mujur, setibanya di wilayah Liauw-tong aku dapat segera
menemukannya hingga masih ada waktu bagiku untuk kembali ke
gunung dan mengikuti upacara penguburan Sucouw, tapi semisal
kurang beruntung, sulitlah aku untuk bicara."
"Asal kau tidak menyia-nyiakan pengharapan Sucouw, lakukanlah
apa yang harus dilakukan. Adikku, sewaktu turun gunung, apakah
pikiranmu dipenuhi pelbagai kecurigaan dan teka teki?"
Lan Giok-keng manggut-manggut.
"Aku rasa, kau pun sama seperti aku bukan?"
"Adikku, kau jauh lebih cerdas dan tahu urusan ketimbang diriku,
tapi akupun mempunyai pemikiran yang bodoh, menurutku, lebih
baik cari tahulah terlebih dulu semua kecurigaan dan teka-teki itu
hingga jelas sebelum kembali ke rumah."
"Cici, aku memahami maksudmu, sekembali ke gunung Bu-tong
nanti, bila menjumpai persoalan yang menurutmu susah dihadapi
atau sukar dipecahkan, pergilah mencari Bu-si Tianglo untuk
mendiskusinya. Dia baik orangnya, jauh lebih baik daripada Bu-liang
Totiang." "Aku tahu." Ketika berbicara sampai disitu, terlihat sebuah kereta kuda
bergerak mendekat dari jalan perbukitan, tidak lama kemudian telah
berhenti di hadapan mereka.
Dari atas kereta melompat turun seorang perempuan setengah
baya. Liok Ki-seng segera berkata, "Dia adalah Hong-hiocu, usianya
sudah cukup dewasa, cara kerja pun cekatan dan hebat. Saudara
saudara kami semua memanggilnya Hong Toaci. Hong Toaci,
kuserahkan nona Lan kepadamu!"
Lan Sui-leng segera maju menghampiri sambil memanggil "Hong
Toaci", kontan saja perempuan paruh baya itu berseri-seri saking
girangnya, buru-buru sahutnya, "Siaumoy-cu, kau memang hebat
dan cantik, dengar-dengar kau adalah putri angkat Seebun-hujin,
sungguh suatu keberuntungan bagiku dapat melayani seorang nona
macam kau. Aku bernama Si-hu, kau panggil saja namaku."
"Hong Toaci," kata Liok Ki-seng pula, "aku hampir saja sudah
melupakan nama gadismu."
"Tidak berani," Lan Sui-leng merendah, "Hong Toaci, aku boleh
dibilang tidak tahu urusan apa-apa, selanjutnya mohon petunjuk
darimu." Orang yang bertindak sebagai kusir kereta adalah seorang lelaki
gemuk pendek, sambil tertawa Si-hu segera berkata, "Nona Lan,
tidak perlu sungkan-sungkan. Aku ingin menguji ketajaman
matamu, coba kau lihat dia adalah seorang lelaki atau seorang
wanita?" Wajah maupun suara orang itu mirip sekali dengan seorang pria,
tapi dari nada pembicaraan Hong toaci, Lan Sui-leng sudah tahu
kalau dia adalah wanita yang menyamar menjadi pria, sahutnya
sambil tertawa, "Belum pernah kujumpai perempuan menyaru
sebagai pria yang begitu mirip dan persis."
"Suaminya berasal dari keluarga Peng, saudara semua biasanya
memanggil dia Peng-toaso," Hong-sihu menjelaskan, "tapi harap
diingat, bila sedang berada di depan orang banyak, kau harus
memanggilnya Peng Toa-siok."
"Harap nona jangan mentertawakan," ujar sang kusir, "sejak lahir
tampangku memang sudah begini, tanpa menyamar pun orang
sudah menyangka aku adalah seorang lelaki bertampang jelek."
"Justru karena itulah Liok Toucu sangat menghargai
kemampuanmu dan memilih kau yang melaksana kan tugas ini,"
sambung Hong-sihu sambil tertawa.
Kusir kereta itu tertawa, dengan suara parau serunya, "Silahkan
nona naik ke dalam kereta!"
Suaranya keras bagaikan gembrengan rusak, membuat Lan Suileng
tersentak kaget. Baru saja gadis itu berpaling hendak berpamitan kepada Hwee-ko
Thaysu, tiba-tiba terlihat pendeta itu berjongkok sambil mengambil
segumpal tanah liat. Dengan perasaan keheranan dan ingin tahu Lan Sui-leng berjalan
menghampirinya. "Hey Hwee-ko Thaysu, apa yang sedang kau lakukan?" tegurnya,
"aku hendak pamitan denganmu."
"Tunggu sebentar!" seru Hwee-ko Thaysu, setelah membuat
sebuah patung manusia dari tanah liat, katanya lebih lanjut,
"tentunya kau kenal bukan dengan tosu bisu tuli yang selama ini
melayani kebutuhan Bu-siang Cinjin?"
"Dia bisu lagi tuli, aku tidak bisa dibilang kenal baik dengannya,
setiap kali berjumpa paling hanya menganggukkan kepala saja."
"Kalau begitu serahkan patung tanah liat ini kepadanya. Bila
dikemudian hari kau menjumpai masalah, mintalah bantuan
darinya." Lan Sui-leng jadi tercengang, ujarnya keheranan, "Konon Totiang
bisu tuli itu sudah puluhan tahun datang ke gunung Bu-tong, selama
ini belum pernah ada orang yang datang mencarinya, jadi kau
adalah sobat lamanya?"
"Aku rasa boleh dibilang begitu," sahut Hwee-ko Thaysu hambar,


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"hanya kau saja yang boleh tahu, jangan sekali-kali beritahu kepada
orang lain." Lan Sui-leng memperhatikan sekejap patung manusia itu, patung
itu mirip sekali dengan wajah seorang pria muda, bahkan raut
mukanya lamat-lamat seperti pernah dikenalnya, pikirnya
keheranan, 'Hadiah ini sungguh aneh.... '
Tapi dia tahu Hwee-ko Thaysu pasti punya maksud lain dengan
pemberiannya itu, karena merasa kurang leluasa untuk bertanya
lebih jauh maka diapun menyimpannya ke dalam saku.
"Ciri, kau harus baik-baik jaga diri," kata Lan Giok-keng
kemudian. "Tidak usah kuatir," sela Hong-sihu sambil tertawa, "kemampuan
lain mungkin aku tidak punya, tapi selama melakukan perjalanan di
dunia Kangouw, belum sekalipun pernah terjadi peristiwa diluar
dugaan. Selama aku yang menghantar pulang cicimu, tanggung tidak
bakalan dia kehilangan sekerat rambut pun."
Peng-toaso pun membentak nyaring, sambil mengayunkan
pecutnya dia jalankan kereta kuda itu meninggalkan tempat
tersebut. Ooo)*(ooO BAB XII Bertemu musuh ditengah jalan
Timbul curiga melihat bayangan di telaga beku.
Setelah berjalan selama beberapa hari, Lan Sui-leng merasakan
kalau udara makin lama semakin dingin, padahal dari Toan-hun-kok
menuju gunung Bu-tong seharusnya dari arah utara menuju selatan,
sedang saat itu adalah peralihan musim semi ke musim panas,
sepatutnya bila suhu udara makin hari makin bertambah hangat.
Hari itu kereta mereka berjalan di tengah sebuah tanah datar
yang sangat luas, Lan Sui-leng merasa makin dipikir keadaan
semakin tidak beres, sementara dia masih ragu dan penuh
kesangsian tiba tiba terlihat ada dua orang penunggang kuda
berjalan melalui samping keretanya.
Usia kedua orang itu tidak terlalu tua, lebih kurang berusia dua
puluh tahunan, salah seorang diantaranya berdandan sebagai
seorang pelajar. Kelihatannya keadaan hati orang berdandan sastrawan itu
sedang sangat gembira, sepanjang perjalanan dia seringkali
bergurau, hanya saja Lan Sui-leng tidak terlalu menaruh perhatian
apa saja yang sedang mereka bicarakan.
Pada saat itulah terdengar sastrawan itu bersenandung dari atas
pelana kudanya, "Beraneka ragam tumbuhan obat menghiasi
halaman depan, bunga teratai tampak suci di atas kolam, hanya
bunga Botan indah menawan, di saat mekar menggetarkan
kotaraja." Kemudian ujarnya, "Besok kita sudah akan tiba di kota Lokyang,
tampaknya kedatangan kita saat ini tepat saat bunga Botan di
kebun Kim-kok-wan sedang mekar."
Rekannya segera menyahut sambil tertawa, "Keindahan bunga
Botan di kota Lokyang memang tiada keduanya di kolong langit,
justru karena aku tahu kalau kau sangat menggemari bunga Botan,
maka sengaja mengundangmu untuk berkunjung ke sana. Hanya
saja aku merasa tujuan kedatanganmu kali ini bukan Cuma ingin
menikmati keindahan bunga di kebun, tapi sudah tertarik oleh
kecantikan si bunga botan hitam yang sudah tersohor di kolong
langit?" Kedua ekor kuda itu berlari sangat cepat, hanya terdengar
sastrawan itu berseru, "Dasar omonganmu tidak benar...."
Kata selanjutnya tidak sempat lagi terdengar jelas.
Lokyang merupakan ibu kota di masa lampau, ketika jaman
dinasti Ciu, kota itu disebut Tong-tok, kemudian pada jaman Cankok
baru berubah menjadi Lokyang. Sejak dinasti Ciu takluk, dinasti
Han, Gui, Cing, Sui, Tong, Liang, Tong akhir dan Song utara hampir
semuanya pernah menggunakan kota itu sebagai kotaraja.
Lan Sui-leng tidak tahu manusia macam apakah si Bunga botan
hitam itu, namun dia tahu dengan jelas kota Lokyang berada
dimana. Ternyata setelah menempuh perjalanan selama empat, lima
hari, mereka telah memasuki wilayah Holam. Itu berarti mereka
hanya bergeser dari wilayah tenggara menuju ke arah barat laut.
Dalam kagetnya Lan Sui-leng segera menghardik, "Hentikan
kereta!" Peng-toaso seolah tidak mendengar, kereta kuda dilarikan makin
cepat. "Adikku," Hong-sihu berbisik sambil menekan bahu Lan Sui-leng,
"tidak usah gelisah, berbicaralah secara baik-baik."
"Mengapa kalian membohongiku?"
"Tidak!" "Masih mengatakan tidak" Bukankah kalian berjanji akan
menghantarku balik ke Bu-tong" Mengapa kalian ingkarjanji?"
"Bukan kami sedang membohongimu, Seebun siocia yang
meminta kau untuk kembali ke lembah Pek-hoa-kok!"
Tidak terlukiskan rasa gusar Lan Sui-leng, serunya sambil melotot
besar, "Bukankah sejak awal sudah kukatakan, aku tidak akan
kembali ke lembah Pek-hoa-kok! Kokcu menyuruh kalian
menghantarku kembali ke gunung Bu-tong, bukankah kau pun telah
menyatakan kesanggupan."
Hong-sihu tertawa. "Nona Seebun adalah majikan muda kami, sedang Kokcu tidak
lebih hanya pemimpin kelompok kami. Perintah majikan tentu lebih
berbobot daripada perintah pemimpin kelompok, oleh karena itu
terpaksa kami hanya mengikuti perintah nona Seebun."
"Kurangajar!" umpat Lan Sui-leng gusar, "cepat hentikan kereta
dan bebaskan aku!" Peng-toaso dipaksa untuk menghentikan keretanya, hanya saja
bukan Lan Sui-leng yang memaksanya untuk berhenti.
Yang memaksanya mau tidak mau harus menghentikan larinya
kereta adalah lima orang penunggang kuda yang datang dari
depannya, salah seorang diantara ke lima penunggang itu,
seseorang yang mengerudungi wajahnya dengan kain hitam
menghadang jalan lewatnya (Gb 12).
Sambil melompat turun dari kereta Peng-toaso maju
menghampiri orang itu, tegurnya dengan suara yang nyaring
bagaikan gembrengan bobrok, "Kalian adalah sobat-sobat dari aliran
mana?" Lelaki yang menjadi pemimpin itu tertawa.
"Dasar manusia aneh yang laki bukan perempuan pun bukan,
siapa kesudian bersahabat denganmu?" ejeknya.
Ternyata dia sudah mengetahui asal-usul dari Peng-toaso.
"Dasar bajingan cilik tidak punya mata!" bentak Peng-toaso
semakin gusar, "tahukah kalian siapa kami?"
"Perduli amat siapa kalian, yang jelas kami akan borong
semuanya!" Istilah 'borong' adalah istilah rahasia yang berlaku di kalangan
hekto, maksudnya mereka menghendaki orangnya juga
menghendaki harta kekayaannya.
Penyamun yang berada di sampingnya segera menyela sambil
tertawa, "Toako, perkataanmu sedikit kurang benar."
"Bagian mana yang tidak benar?"
"Perempuan genit yang ada di dalam kereta mah masih
mencocoki seleraku, sedang si jelek ini....
hahahaha.... biar kau hadiahkan kepadaku pun belum tentu aku
mau!" Biarpun Peng-toaso menyamar sebagai seorang kusir kereta,
dalam kalangan hek-to dia merupakan seorang tokoh yang cukup
berbobot, selama ini dia sudah terbiasa malang melintang menuruti
suara hati sendiri. Pepatah kuno mengatakan: merusak mulut orang pantang
merusak mulut cawan. Orang itu telah menggunakan kejelekan
wajahnya sebagai bahan olok olokan, sudah pasti Peng-toaso tidak
sanggup menahan emosinya lagi.
"Bocah keparat!" umpatnya, "kulihat kau sudah bosan hidup!"
Sambil mengayunkan cambuk kudanya dia hajar kuda
tunggangan orang itu. Cambuk kuda itu merupakan cambuk rotan ular yang terbuat dari
serat besi baja, dibalik kelembutannya terkandung ketajaman yang
luar biasa, bahkan bentuknya jauh lebih panjang daripada cambuk
biasa. Begitu cambuk itu menghajar kaki depan kuda tunggangan itu,
kontan saja sang kuda meringkik panjang sambil mengangkat tinggi
kedua kaki depannya. Sambil tertawa terbahak bahak kembali orang itu mengejek,
"Ngaco belo tidak karuan, hey manusia jelek, rupanya kau sudah
edan karena mikirin lelaki!"
Walaupun masih sempat mengejek, namun mau tidak mau dia
harus melompat turun juga dari punggung kudanya.
Dengan jurus Hui-hong-sau-liu (pusingan angin menyapu pohon
Liu) Peng-toaso segera membelit pinggang orang itu sambil
menghardik, "Aku menginginkan nyawamu!"
Buru-buru orang itu mengayunkan goloknya untuk menahan
lilitan cambuk rotan ular.
"Buat apa saling menarik saling membetot, memang kau sangka
kalau ingin mendapatkannya lantas kau segera memperolehnya?"
seru orangitu sambil tertawa.
"Lepaskan golokmu!" dengan tenaganya yang besar dan kuat
Peng-toaso membentak nyaring.
Siapa tahu biarpun orang itu berbadan kurus kecil, namun
sepasang kakinya seolah terpantek mati diatas tanah, Peng-toaso
sama sekali tidak mampu menggoyahkan tubuhnya.
Dengan perasaan terkesiap Peng-toaso berpikir, "Ternyata
tenaga dalam yang dimiliki bangsat ini masih jauh lebih tangguh
ketimbang aku!" Cepat cambuk ularnya disentak ke belakang kemudian dengan
jurus Hui-hong-sau-liu, lagi-lagi dia babat tubuh bagian bawah
orang itu. "Lepaskan cambukmu!" tiba-tiba orang itu membentak keras.
Goloknya secepat kilat membabat cambuk ular yang sedang
menyambar tiba. Dalam keadaan begini, seandainya Peng-toaso
tidak melepaskan cambuknya, niscaya jari tangannya akan terpapas
kutung. Peng-toaso cukup telengas, sambil melepaskan cambuknya
dengan dua jari tangannya dia tusuk sepasang mata orang itu.
Ternyata dia mempertaruhkan tubuhnya terkena bacokan dengan
niat membuat buta orang itu lebih dahulu.
"Nenek jelek, buas amat kau!" bentak orang itu, sambil
membuang goloknya dia tangkis tusukan lawan dengan telapak
kanannya melintang ke atas.
"Kraakkkk!" dua jari tangan Peng-toaso seketika terhajar hingga
patah tulangnya. Dalam keadaan begini, Peng-toaso sama sekali tidak mengeluh
kesakitan ataupun mengernyitkan alis matanya, telapak tangan kiri
segera di bacokkan ke ubun ubun lawan.
Sambil tertawa dingin orang itu mengejek, "Hanya kerbau gila
yang mengandalkan tenaga."
Telapak tanganya segera disodok ke depan, seketika itu juga
Peng-toaso roboh terjengkang ke tanah sambil muntahkan darah
segar. Perlu diketahui, biarpun Peng-toaso memiliki tenaga alam yang
luar biasa, dia masih kalah jauh bila dibandingkan dengan orang
yang pernah berlatih tenaga dalam, ketika orang itu meminjam
tenaganya untuk kemudian mengirim balik pukulan itu ke arahnya,
seketika itu juga Peng-toaso terhajar telak hingga menderita luka
parah. Belum puas dengan tindakannya, sambil mendengus kembali
orang itu berseru, "Perempuan busuk, kau ingin membuat cacat
mataku" Hmmm, baik, akan kusuruh kau rasakan dulu bagaimana
rasanya bila kehilangan kedua mata!"
Diambilnya kembali golok dari atas tanah kemudian siap
ditusukkan ke arah mata Peng-toaso.
Pada saat itulah buru-buru Hong-sihu berteriak keras, "Tunggu
sebentar!" Sambil melompat turun dari kereta, dia maju menghampiri sambil
ujarnya lagi, "Air bah menenggelamkan kuil raja naga, jangan
sampai merusak hubungan dari orang kalangan sendiri!"
"Kalangan sendiri" Kau punya hubungan gelap dengan anggota
kami yang mana?" ejek orang itu sambil tertawa dingin.
Sambil menahan gejolak emosinya ujar Hong-sihu, "Harap toako
jangan menggoda, tentunya kalian pernah mendengar nama Liok Kiseng,
Liok-tuocu kami bukan" Aku adalah salah seorang hiocu di
bawah pimpinan Liok-tuocu."
Lelaki yang menjadi pemimpin rombongan itu segera tampil ke
depan dan tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... nama besar Liok Ki-seng tidak bakalan membuat
kami ketakutan. Betul, kamipun tahu kalau dia adalah tokoh yang
ingin merajai rimba persilatan, tapi sayang kemampuannya tidak
becus, untuk menghadapi Han Siang yang sudah terkurung dalam
Toan-hun-kok saja tidak mampu, huuh, kalau sekarang mah sang
harimau sudah berubah jadi seekor kucing penyakitan."
Hong-sihu terkesiap, pikirnya, 'Cepat amat kabar berita yang
diketahui orang orang ini' Cepat dia berseru, "Aku rasa kalian hanya
tahu satu tidak tahu keduanya....?"
Tidak menunggu dia menyesalkan perkataannya, pentolan bandit
itu telah menukas sambil tertawa, "Aku tidak ambil perduli satu atau
dua, aku hanya tahu Liok-tuocu kalian itu kini sudah menjadi
Buddha tanah liat yang menyeberangi sungai, melindungi diri
sendiripun sudah tidak mampu. Hanya saja, bila kau telah menjadi
anggota kami, mungkin urusan masih bisa dirundingkan lagi."
Seorang rekannya segera menimpali, "Kami adalah lima orang
saudara angkat, empat orang telah beristri dan tinggal seorang yang
belum berkeluarga. Hong-hiocu, aku dengar suamimu sudah mati.
Kami orang persilatan mah tidak pernah pantang memperistri janda,
asal kau bersedia menjadi enso angkat kami, itu berarti kita semua
sudah menjadi orang sendiri."
Selesai bicara kembali dia tertawa terbahak-bahak.
Hong-sihu mana tahan menghadapi ejekan dan penghinaan
semacam itu, kontan dia tertawa dingin.
"Hmmm, aku hanya ingin menyapa kalian menu-rut aturan yang
berlaku di kalangan hitam. Memang kau sangka aku mudah
dipermainkan dengan begitu saja?"
"Aku toh bermaksud baik dengan mencarikan jodoh untukmu,
siapa bilang sedang mempermainkan?" jengek orang itu sambil
tertawa. "Dasar lelaki busuk, mulut anjing memang tidak bakalan tumbuh
gading!" bentak Hong-sihu, "aku tidak bakalan takut meskipun
kalian akan mengandalkan jumlah banyak, ayoh maju saja bersamasama!"
Pentolan bandit itu mendengus, ujarnya dingin, "Kau sangka
kami sedang bergurau" Saudara Suma, ayoh tampil ke depan!"
Begitu mendengar kata "Suma", Hong-sihu tampak melengak.
Terlihat manusia berkerudung itu sudah melepaskan kain
kerudungnya dan melangkah maju ke hadapannya.


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hong Toa-siocia, masih mengenali aku?" sambil memandang
dengan mata jalang lelaki itu menegur.
Sementara itu Lan Sui-leng masih mendongkol karena Hong-sihu
telah membohonginya, dia berniat berpangku tangan saja
membiarkan sesama kalangan Hek-to itu saling menggempur.
Namun dari atas kereta dia dapat melihat suasana di tengah
arena dengan sangat jelas, begitu melihat lelaki itu melepaskan kain
kerudung hitamnya, hampir saja dia menjerit keras saking kagetnya.
Ternyata paras muka orang itu dipenuhi bekas luka yang sangat
rapat, lukanya seperti rel kereta api saja, malang melintang tidak
beraturan, selama hidup belum pernah Lan Sui-leng saksikan paras
muka manusia seburuk dan seseram ini.
"Suma Cau," Hong-sihu segera menegur ketus, "ternyata kau
belum mampus, hmmm! Tidak nyana masih punya muka untuk
tampil kembali di hadapan-ku!"
Begal yang tadi menjadi mak comblang itu segera gelengkan
kepalanya berulang kali seraya berkata, "Biarpun saudara Suma
tahu kalau kau telah kawin dengan orang, tapi dia masih
menggunakan panggilan lama untuk menyebutmu sebagai Toasiocia,
ini menunjukkan kalau cintanya kepadamu tidak pernah
terlupakan, tapi balasannya, kau malah mengumpatnya,
mengutuknya, aaai.... dasar perempuan busuk yang tidak punya
perasaan!" "Hong-sihu," kata lelaki jelek itu, "ketika aku meminangmu dulu,
seandainya kau menampik pun tidak menjadi masalah, kenapa kau
melukai aku hingga berubah jadi begini rupa" Hmmm, apa yang
kuderita sekarang merupakan hasil pemberianmu, biar tidak punya
muka pun aku tetap akan menjumpaimu!"
Kalau dilihat tidak punya muka, lelaki itu benar benar tidak punya
kulit muka, karena kulit mukanya sudah tidak utuh lagi.
Sikap Hong-sihu masih tetap tenang seolah tidak terjadi apapun,
katanya angkuh, "Huuh, manusia macam kaupun ingin meminang
aku" Masih untung kalau tempo hari aku tidak sampai menghabisi
nyawamu, sekarang apa yang kau inginkan?"
Dengan satu gerakan cepat Suma Cau meloloskan pedangnya
dari sarung, katanya dingin, "Tidak ingin berbuat apa-apa, aku
hanya ingin membuat wajahmu mirip dengan apa yang kuderita!
Hhehehe.... dulu, kau telah menghadiahkan enam belas buah
bekas bacokan diwajahku, sekarangpun aku ingin meninggalkan
enam belas bacokan luka di wajahmu, modal balik modal, tidak usah
bayar bunganya!" Sudah banyak tahun dia memendam rasa benci dan dendam,
hawa amarah, kebencian dan dendam kesumat yang terpancar dari
wajah lelaki jelek itu membuat Hong-sihu bergidik tanpa sadar, bulu
kuduknya pada berdiri, dia tidak berani saling bertatap muka
dengan lawan. Tampak kulit muka yang penuh codet itu mengejang berulang
kali, membuat tampangnya terlihat makin menakutkan dan
menggidikkan, sementara pedang yang berada dalam
genggamannya berkilauan bagai lidah ular berbisa.
Hong-sihu berusaha keras menenangkan gejolak hatinya, sambil
mundur dua langkah bentaknya, "Tunggu sebentar!"
"Perempuan bajingan, apa lagi yang hendak kau sampaikan?"
teriak Suma Cau. Lelaki yang berhasil membuat Peng-toaso terluka parah tadi
segera ikut menimbrung, "Suma-heng, jangan kelewat awal
mengumpatnya, siapa tahu dia bersedia menjadi binimu. Kalau
sekarang kau mengumpatnya sebagai perempuan bajingan,
bukankah dirimu sendiri pun jadi ikut termaki?"
"Hmm! Biar dia berlutut dan menyembah, aku pun tidak bakalan
aku akan menikahinya!" sumpah Suma Cau penuh kebencian.
Habis sudah kesabaran Hong-sihu, tiba-tiba serunya dengan nada
melengking, "Sedikit banyak Liong-bun-pang masih punya nama
dalam kalangan hitam, aku tidak ingin menganggap kalian sebagai
manusia tengik kelas tiga. Siapakah Liong-pangcu" Silahkan tampil
untuk berbicara!" Darimana perempuan ini bisa mengetahui asal usul kelompok
manusia itu" Ternyata sewaktu dia berhasil melukai Suma Cau waktu itu,
walaupun kejadian mana tidak sampai tersimpan dalam hatinya,
namun ada orang yang pernah menyampaikan kabar mengenai
Suma Cau. Dia mendapat tahu kalau semenjak tiga tahun berselang
Suma Cau telah bergabung dengan perkumpulan Liong-bun-pang.
Oleh karena itulah setelah berhasil mengenali identitas Suma
Cau, otomatis asal usul ke empat orang rekannya diketahui pula
dengan sangat jelas. Dalam perkumpulan Liong-bun-pang terdapat seorang pangcu
dan tiga orang hiocu, mereka berempat mengikat diri sebagai
saudara dengan julukan Liong-bun-su-pa (empat manusia bengis
dari pintu naga). Ketuanya bernama Liong Pa-thian, sementara ke tiga orang hiocu
nya adalah In Thian-tek, The Thian-hau danLi Bun-kiat.
Semenjak Suma Cau menggabungkan diri, julukan mereka pun
berubah menjadi Liong-bun-ngo-pa (lima manusia bengis dari pintu
naga). Pentolan bandit itu segera menyahut sambil tampil ke depan,
katanya memperkenalkan diri, "Akulah Liong Pa-thian, apakah
Hong-hiocu ada petunjuk?"
Berhubung Hong-sihu telah membongkar rahasia asal-usulnya,
mau tidak mau Liong Pa-thian harus bersikap lebih sopan dan
hormat terhadap lawannya.
"Baik buruk kita berasal dari aliran yang sama," ujar Hong-sihu,
"menurut aturan kalangan hitam, aku perlu bertanya dulu kepada
Liong pangcu, kedatangan-mu kali ini dikarenakan masalah dinas
ataukah karena urusan pribadi?"
"Bagaimana kalau urusan dinas" Bagaimana pula kalau urusan
pribadi?" "Bila kehadiran kalian dikarenakan menerima permintaan dari
Han Siang untuk menghadapi diriku, ini berarti yang kita bicaralah
adalah urusan dinas, jadi kitapun tidak perlu bertindak mengikuti
peraturan." Liong Pa-thian tidak mengakui pun tidak menyangkal, tanyanya
lebih jauh, "Coba terangkan lagi, bagaimana jika lantaran urusan
pribadi?" "Bila dikarenakan urusan pribadi, ini berarti urusan hari ini adalah
masalah pribadiku dengan salah seorang hiocu dari perkumpulan
kalian. Jadi peraturan mana yang harus dilaksanakan, aku rasa tidak
perlu dijelaskan pun Liong pangcu tentu lebih jelas ketimbang aku.
Tapi, bila kalian tetap tidak mau mengikuti peraturan dunia
persilatan pun tidak menjadi masalah, paling banter aku Hong-sihu
harus mengorbankan selembar nyawaku, kalian boleh maju
bersama-sama!" Mendengar ucapan itu, Liong Pa-thian segera tertawa terbahakbahak.
"Hahahaha.... terus terang saja kukatakan, aku memang merasa
tidak senang melihat ulah Liok Ki-seng si bocah keparat itu, tapi
tidak bakalan sampai kubekuk seorang hiocu nya hanya dikarenakan
ingin memberi hadiah untuk Toan-hun Kokcu."
"Itu berarti urusan hari ini adalah masalah pribadi?" sela Hongsihu
sambil menghembuskan napas lega.
"Lagi-lagi kau keliru besar, urusan kali ini adalah urusan dinas
dan urusan pribadi, tapi bukan urusan dinas dan urusan pribadi
seperti apa yang kau maksudkan."
"Apa maksud ucapanmu itu?"
"Aku tidak perlu memberi hadiah untuk Han Siang, tapi anak
buah Liok Ki-seng yang bertemu aku, kecuali dia bersedia menyerah
kepada kelompokku, kalau tidak aku tidak bakalan melepaskan dia
dalam keadaan hidup. Bila mau menyerah, berarti dia harus
mentaati semua perkataan dan perintahku!"
"Bagus! Kalau begitu silahkan Liong pangcu turun tangan!"
"Kenapa musti terburu napsu" Aku toh belum selesai berbicara.
Betul, persoalan ini adalah urusan pribadi saudara Suma, namun
tidak bisa dikatakan kalau seratus persen adalah urusan pribadinya,
jangan lupa, dia bukanlah seorang anggota biasa dalam
perkumpulan Liong-bun-pang, dia adalah saudara angkat kami."
"Bagus sekali!" seru Hong-sihu semakin gusar, "kalau memang
Liong-bun-pang kalian tidak kuatir ditertawakan orang, silahkan
maju bersama sama!" "Lagi-lagi kau keliru besar, aku tidak ingin membunuhmu, hanya
berharap keinginan saudara Suma dapat terkabulkan. Jangan kau
anggap saat ini mulutnya ketus, jika rasa mendongkolnya sudah
terlampiaskan, semisal kau memohon lagi kepadanya, kujamin dia
pasti akan langsung mengawini dirimu. Tapi jika kau tidak menurut,
terpaksa Toako yang menjadi mak comblang itu akan menggunakan
cara tirani untuk memaksakan kehendaknya!"
Kontan saja Hong-sihu mengernyitkan alis matanya rapat rapat,
bentaknya, "Aku menghormati dirimu sebagai ketua satu
perkumpulan, karenanya mengajak kau untuk membicarakan
peraturan dunia persilatan. Siapa sangka kalian semua sama-sama
satu kwalitas, sampah busuk, hmmm! Biar aku hanya seorang
wanita, aku lebih rela kehilangan nyawa daripada harus takluk
kepada kalian semua! Sudah, tidak usah banyak mulut lagi, ayoh
maju saja bersama-sama!"
Sebetulnya Lan Sui-leng benci sekali dengan perempuan ini, tapi
sehabis mendengar perkataannya itu, tanpa terasa timbul juga rasa
hormatnya, dia berpikir, 'Meskipun sepak terjangnya telengas dan
kejam, namun ucapannya yang gagah perkasa, pantang takut,
pantang menyerah, jauh mengungguli kaum lelaki!'
Sementara itu terdengar Suma Cau telah berseru dengan nada
lantang, "Maksud baik Toako biar kuterima dalam hati, yang
kuinginkan sekarang hanya membuat perempuan jadah ini berubah
seperti tampang wajahku!"
Sambil berkata dia langsung melancarkan sebuah tusukan ke
depan. Senjata yang digunakan Hong-sihu adalah sepasang golok Wanyoto yang satu panjang satu pendek. Golok panjang digunakan
untuk melindungi tubuh sedang golok pendek dipakai untuk
menyerang musuh, jurus serangan yang digunakan hampir
semuanya kejam, ganas dan telengas.
Tapi setelah bertarung berapa gebrakan, diam diam perempuan
itu mulai merasa terkesiap, pikirnya, 'Sungguh tidak disangka ilmu
silat bajingan ini sudah jauh lebih maju daripada kemampuannya
dimasa lampau, aku tidak boleh kelewat pandang enteng dirinya'
Ditengah pertarungan sengit akhirnya Suma Cau berhasil
menemukan kesempatan, cepat pedangnya diputar lalu menyapu ke
pinggang lawan. Dalam babatan kali ini dia sertakan tenaga sebesar
sepuluh bagian, kedahsyatannya benar-benar mirip sapuan angin
puyuh dan sambaran geledek.
Siapa tahu Hong-sihu memang sengaja membuka titik kelemahan
untuknya, di saat yang amat singkat itulah golok panjang dan golok
pendeknya serentak melancarkan serangan pula, begitu benturan
nyaring bergema, pedang di tangan Suma Cau seketika terpapas
kutung jadi dua. Ternyata walaupun tenaga dalamnya tidak bisa mengungguli
pihak lawan, namun caranya menggunakan waktu sangat tepat
hingga tidak sulit baginya untuk mematahkan senjata lawan.
Pepatah kuno mengatakan: semakin keras semakin gampang
patah. Walaupun Suma Cau telah mendapat petunjuk dari Liong Pathian,
namun cara menggunakan tenaga yang kurang tepat
menyebabkan pihak lawan justru memanfaatkan kesempatan itu.
Hanya saja sistim menggunakan tehnik mengatasi kekuatan
harus digunakan tepat waktu, sedikit saja salah perhitungan sudah
pasti usaha semacam ini akan mengalami kegagalan, itulah
sebabnya ketika menggunakan jurus tersebut, boleh dibilang Hongsihu
telah melakukannya dengan menyerempet bahaya.
Di dalam pelajaran ilmu silat partai Bu-tong terdapat juga cara
meminjam tenaga untuk melawan tenaga, dengan pengetahuan
yang dimiliki Lan Sui-leng saat ini, dia pun segera berpikir, "Tentu
saja kemampuan kungfu yang dilakukan Hong-sihu kali ini tidak bisa
dibandingkan dengan kehebatan kungfu perguruan sendiri, namun
kalau hanya berbicara terbatas masalah penggunakan tehnik, aku
rasa banyak sekali anak murid para supek, Susiok dari angkatan
"Put" yang belum mampu menandingi kehebatan perempuan ini."
Tapi dengan cepat dia harus bermandikan peluh dingin karena
menguatirkan keselamatan Hong-sihu.
Rupanya si pentolan bandit Liong Pa-thian telah ikut turun
tangan. Begitu seorang jagoan tulen turun tangan, orang akan segera
mengetahui kehebatannya, Liong Pa-thian tidak menggunakan
senjata tajam, dia hanya mengandalkan sepasang kepalan kosong,
tapi begitu turun tangan, posisi Hong-sihu langsung terkurung dan
mati kutu. Dia sama sekali tidak ambil perduli ketika golok pendek Hongsihu
mengancam tenggorokannya, dengan membalikkan telapak
tangannya dia justru bermaksud merebut senjata andalannya itu.
Belum lagi urat nadi Hong-sihu kena di cengkeram, dia sudah
merasakan kesakitan yang luar biasa, tidak ampun sepasang
goloknya segera berhasil direbut musuh.
Sambil tertawa terbahak bahak ujar Liong Pa-thian, "Hahahaha....
saudara Suma, sekarang kuserahkan perempuan itu kepadamu. Aku
telah membantumu mencabut gigi taring harimau betina ini, kau
suka berbuat apa lakukan saja sekehendak hatimu!"
Dengan hilangnya sepasang golok, keadaan Hong-sihu benarbenar
ibarat harimau yang kehilangan gigi taring, bahkan kekuatan
tubuh yang dimiliki pun sudah terkuras habis sewaktu dipakai untuk
melawan Liong Pa-thian, hal ini membuat keadaannya bukan saja
mirip harimau tanpa taring, bahkan tidak jauh berbeda dengan
seekor macan yang sedang sakit parah.
Dengan gemas dan keji Suma Cau mengayunkan cambuknya
berulang kali, setiap ayunan cambuknya segera meninggalkan
sebuah luka memanjang yang mengucurkan darah segar.
Dalam sekejap mata, pakaian yang dikenakan Hong-sihu sudah
tercabik-cabik dan beterbangan bagaikan kupu-kupu, kini seluruh
punggungnya sudah berada dalam keadaan bugil.
Lama kelamaan tidak tega juga Lan Sui-leng setelah menyaksikan
kejadian ini, namun diapun merasa bahwa kesalahan pertama
memang berada dipihak Hong-sihu, hingga dia memang
sepantasnya memperoleh ganjaran hukuman seperti ini.
"Ke dua belah pihak sama-sama bukan orang baik, buat apa aku
musti mencampuri urusan mereka?" demikian dia berpikir.
Cepat gadis itu membalikkan tubuh dan tidak memperhatikan
keadaan mereka lagi. Tidak lama kemudian seluruh tubuh Hong-sihu sudah penuh
dengan luka-luka berdarah, namun perempuan itu sama sekali tidak
mengaduh, mengeluh pun tidak, tubuhnya terguling-guling sampai
ke tepi kereta kuda, namun dia masih berusaha untuk merangkak
naik ke atas kereta. Sambil tertawa dingin jengek Suma Cau, "Hehehe.... kau sangka
dengan merangkak naik ke atas kereta lantas sanggup melarikan
diri?" "Taaar, taaar...." dua ayunan cambuk membuat kaki ke dua ekor


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuda penarik kereta tersambar hingga pincang, kereta pun seketika
teronggok roboh ke samping.
Berada dalam keadaan begini, terpaksa Lan Sui-leng harus
menyingkap tirai kereta sambil melompat keluar.
Mula-mula Suma Cau nampak agak tertegun, menyusul kemudian
serunya sambil tertawa tergelak, "Hahahaha,.... ternyata diatas
kereta masih ada seorang budak cilik yang amat cantik!"
"Kau telah melampiaskan semua rasa benci dan dendammu,
sekarang ampunilah jiwanya!" pinta Lan Sui-leng.
"Mengampuni dia" Enak benar, memang disangka segampang
itu?" jengek Suma Cau sambil tertawa licik, "hehehehe.... aku ingin
bertanya, apa hubunganmu dengan dia" Adik angkatnya atau anak
jadahnya" Buat apa kau mintakan ampun baginya!"
Sampai sebesar ini belum pernah Lan Sui-leng mendengar
ucapan sekasar dan sekotor itu, hatinya jadi sangat mendongkol,
serunya, "Aku bukan sedang mintakan ampun baginya, aku hanya
merasa sangat terganggu dengan ulahmu yang kelewatan batas,
letakkan kembali cambukmu!"
Suma Cau tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... lucu, sungguh amat lucu," jengeknya, "budak
ingusan macam kaupun ingin memberi pelajaran kepadaku, Hmm!
Rupanya kau pun ingin mencicipi bagaimana rasanya dicambuk?"
"Kau ingin mencambukku" Aku khawatir tidak segampang yang
kau bayangkan," dengus Lan Sui-leng sambil tertawa dingin, "kalau
tidak percaya, coba saja!"
Suma Cau bertemperamen tinggi, selain itu dia pun kasar dan
berangasan, habis sudah kesabarannya setelah mendengar ucapan
itu, "Sreeet!" sebuah ayunan cambuk langsung dilontarkan sambil
bentaknya, "Bagus, akan kusuruh kau cicipi bagaimana rasanya
disambar cambuk kulit."
Belum habis dia bicara, mendadak terlihat cahaya tajam
berkelebat bagai sambaran petir, menyusul kemudian terdengar
serentetan suara letupan seperti jagung berondong yang sudah
matang dan meletup, dalam sekejap mata cambuk rotan ular yang
berada dalam genggaman Suma Cau telah putus menjadi berkeping
keping, yang tersisa pun hanya sepotongan kecil saja.
"Hahahaha.... ilmu pedang bagus, ilmu pedang hebat," puji Liong
Pa-thian sambil tertawa terbahak-bahak, "nona cilik, apakah kau
berasal dari Bu-tong-pay?"
"Kau tidak usah perduli aku berasal dari perguru-an mana, kalau
kau tidak puas karena aku telah melukai anak buahmu, ayo maju
saja." "Hmm! Membunuh ayam buat apa harus menggunakan golok
penjagal kerbau," sela In Thian-tek tiba tiba, "nona cilik, biar aku
saja yang melayanimu."
Dia adalah loji atau orang kedua di dalam Liong-bun-su-pa,
kepandaian silatnya masih sedikit di bawah Liong Pa-thian, orang
inilah yang tadi menghajar Peng-toaso hingga terluka parah.
Waktu itu Peng-toa-so sudah mulai memperoleh kesadarannya
kendatipun belum sadar seratus persen, sambil berbaring diatas
tanah teriaknya dengan suara parau, "Hong-hiocu, kau harus
balaskan dendam bagiku!"
Dia mana tahu kalau "Hong-hiocu" nya saat itu sudah tergelepar
pula ditanah dengan sekujur tubuh penuh luka.
Kembali Lan Sui-leng berpikir, Teng Toaso memang orang yang
memuakkan, tapi orang ini jauh lebih menyebalkan, sekalipun aku
tidak bisa membalaskan dendam baginya, paling tidak harus kuberi
hukuman yang setimpal untuk bajingan tengik ini'
Sementara itu In Thian-tek sudah melangkah maju sambil
berkata dingin, "Buat seorang lelaki rimba persilatan, kehilangan
batok kepala ibarat muncul bisulan. Kalau kemampuannya hebat
akan mampu membunuh orang lain, kalau kemampuannya tidak
becus paling dibunuh orang. Nona cilik, kalau memang merasa
punya kemampuan, ayoh bunuh saja aku!"
"Aku tidak ingin membunuhmu, bukankah kau senang menusuk
mata orang hingga buta" Baiklah, aku pun akan membuat cacat
papan nama mu." Bagi orang persilatan, istilah "papan nama" berarti sepasang
mata. Bukannya gusar In Thian-tek malah tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... nona cilik, kau ingin membuat cacat papan
namaku" Hehehehe.... yang kuketahui selama ini, dalam partai Butong
terdapat Bu-si Tojin yang sangat lihay ilmu pedangnya,
tampaknya aku benar benar punya mata tidak kenal Thay-san."
"Kalau hanya untuk membuat cacat papan nama mu, tidak perlu
dia orang tua musti repot-repot turun tangan sendiri!"
"Bagus, kalau begitu dipersilahkan untuk mencoba nya!"
Senjata yang digunakan adalah sepasang senjata kaitan Hau-taukou,
sambil memutar sepasang senjatanya segera dia lancarkan
serangan ke arah gadis itu.
Dengan jurus Giok-li-tou-so (gadis remaja melempar jarum) Lan
Sui-leng melancarkan serangan balasan.
"Bagus!" bentak In Thian-tek keras.
Kaitan sebelah kiri menekan ke bawah sementara kaitan
disebelah kanan mengait ke atas. Tusukan pedang Lan Sui-leng
seketika tertangkis hingga miring ke samping, coba dia tidak
berubah jurus dengan cepat, hampir saja pedangnya terkena tehnik
"menggiring" hingga terlepas dari cekalan.
Ternyata di antara sekian banyak senjata tajam, senjata kaitan
Hau-tau-kou memiliki sifat untuk mengendalikan keganasan golok
dan pedang, Lan Sui-leng sebagai anak kemarin sore yang belum
lama terjun ke dalam dunia persilatan, mana mungkin dia
memahami akan hal itu"
Tidak heran kalau begitu bertarung, dalam hal senjata tajam dia
sudah menguntungkan pihak musuhnya.
Berhasil dengan serangan pertama, In thian-tek segera meneter
lebih jauh, sepasang kaitannya segera mengembangkan tehnik
menggunting, mengikat, menelan, memuntahkan, menggaet,
mengunci, mencabut, membuyar.
Ibarat dua ekor ular berwarna perak, dia menempel terus di
sekitar cahaya pedang Lan Sui-leng. Biarpun ilmu pedang Lianhuantoh-beng-kiam-hoat yang dikembangkan gadis itu cepat bagai
sambaran kilat, namun begitu dikendalikan sepasang kaitan lawan,
lambat laun permainannya semakin tidak mampu berkembang, jurus
pedang pun makin lama semakin melambat.
Sementara In Thian-tek merasa bangga dengan keberhasilannya,
tiba-tiba Lan Sui-leng mengubah permainan pedangnya, perlahanlahan
dia membentuk satu lingkaran busur, bukan saja sepasang
senjata kaitan In Thian-tek tidak mampu "mengunci" ujung
pedangnya, sebaliknya tanpa disadari senjata kaitannya mengikuti
gerakan pedang lawan dan turut berputar satu lingkaran.
Rupanya ilmu pedang yang dikembangkan Lan Sui-leng dari sifat
keras berubah menjadi sifat lembek, kini dia menggunakan ilmu
pedang Thay-kek-kiam-hoat.
Hanya sayang kematangan Lan Sui-leng belum mencapai pada
puncaknya, dia masih jauh dari kondisi "mengerahkan tenaga sesuai
dengan kehendak", perubahan hanya bisa dia lakukan perlahanlahan,
coba kalau bukan begitu, niscaya senjata kaitan In thian-tek
sudah patah sejak tadi, bahkan lawanpun sudah menderita luka
parah. In Thian-tek segera menggetarkan sepasang senjata kaitannya,
baru saja lolos dari kurungan gadis itu, tiba tiba dia menyaksikan
Lan Sui-leng telah melambung ke tengah udara.
"Loji, hati-hati!" Liong Pa-thian segera berteriak memperingatkan.
Belum habis teriakan itu, Lan Sui-leng dengan jurus Pek-hokliangci telah membabat turun ke bawah.
Sekalipun ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang diyakininya
belum mencapai kematangan, namun sudah berulang kali dia
menyaksikan perubahan yang berbeda dari Tonghong Liang, Bouw
It-yu serta adiknya ketika menggunakan jurus serangan itu, boleh
dibilang jurus ini merupakan jurus yang paling disukai, biar masih
selisih jauh bila dibandingkan adiknya, namun sudah cukup
membuat In Thian-tek tidak sanggup menahan diri.
Dalam waktu singkat In Thian-tek merasakan cahaya pedang
berkilauan didepan mata, begitu dekatnya sambaran itu hingga
kelopak matanya dapat merasakan desingan hawa dingin dari mata
pedang. Dalam terkejut bercampur ngerinya, dia sangka Lan Sui-leng
benar-benar hendak menusuk sepasang matanya, tanpa sadar dia
pejamkan matanya rapat-rapat.
Tidak terasa sakit, tidak terasa pedih, ternyata pihak lawan hanya
menempelkan pedangnya nyaris menempel di atas matanya.
Terdengar Lan Sui-leng berkata dengan nada dingin, "Oleh
karena sepasang mata Peng-toaso tidak sampai kau bikin buta,
anggap saja hari ini adalah hari mujurmu!"
In Thian-tek membuka matanya, ternyata tidak buta. Tapi
dihadapan matanya terlihat ada segumpal alis matanya yang sedang
beterbangan terhembus angin. Dia dapat melihat amat jelas, bulu
alis yang lebih lembut dari rambut, alis matanya yang semula tebal,
kini pun terasa sedikit agak aneh.
Ketika coba diraba dengan tangan, dia baru merasakan kalau alis
matanya yang semula tebal, kini sudah terpangkas hingga bersih
dan licin, rupanya bulu alis mata miliknya yang sedang beterbangan
di depan mata. Alis mata terpangkas jauh lebih mengenaskan daripada rambut
yang terpangkas, biasanya orang persilatan menyebutnya sebagai
"alis mata terpangkas".
Keadaan semacam ini sama artinya dengan satu peristiwa yang
sangat memalukan, bahkan sebuah kejadian yang paling kehilangan
muka. Tidak kuasa lagi In Thian-tek meraung gusar, jeritnya, "Toako,
siaute benar-benar telah jatuh pecundang. Aku tidak punya muka
lagi untuk mengikutimu!"
Cepat dia melompat naik ke atas punggung kudanya dan
menceplak pergi dari situ.
Liong Pa-thian tertawa terbahak-bahak, ujarnya, "Kalah menang
adalah kejadian yang lumrah dalam dunia kangouw, Loji, pikiranmu
kelewat sempit. Baiklah, nona cilik, biar aku yang menjajal
kehebatan-mu!" Tidak menanti Lan Sui-leng menyahut, dia sudah melancarkan
serangan dahsyat. Jika dibandingkan In Thian-tek, sudah jelas kungfu yang dimiliki
Liong Pa-thian jauh lebih hebat dan tangguh. Dengan tangan
kosong dia bertarung melawan pedang Lan Sui-leng.
Begitu Lan Sui-leng melancarkan tusukan, Liong Pa-thian segera
maju sambil miringkan tubuh, tangan kanan menyapu secara
melintang sementara tangan kiri dibabat ke muka, dalam sekejap
mata dia telah melancar kan dua jurus serangan balasan.
Tusukan pedang Lan Sui-leng segera tergetar miring oleh tenaga
pukulan lawan, bukan saja tidak mampu menusuknya, malah
sebaliknya nyaris terhajar serangan lawan.
Ketika segulung angin sejuk berhembus lewat, tiba tiba Lan Suileng
teringat dengan teori ilmu silat perguruannya, "Berat bagaikan
tindihan bukit Thay-san, ringan bagaikan hembusan angin sejuk,"
tanpa terasa dia pun berpikir, 'Intisari ilmu silat perguruan adalah
meminjam tenaga untuk melawan tenaga, dengan kelembutan
mengatasi kekerasan, mengapa aku bisa melupakannya"'
Teori tentang "Meminjam tenaga melawan tenaga, dengan
lembut melawan keras" memang sangat dipahaminya, hanya saja
ketika berada di gunung Bu-tong, dia hanya bisa menggunakannya
dalam permainan ilmu pukulan, biarpun dalam ilmu pedang pun
dapat menggunakan cara yang sama, namun selama ini dia belum
pernah mencobanya. Begitu ingatan tersebut melintas, jurus pedangnya segera
berubah, dia mengikuti gerakan pukulan dari Liong Pa-thian
perlahan-lahan menciptakan sebuah garis busur yang melingkar,
benar saja, tujuh bagian tenaga kekuatan lawan segera berhasil
Bukit Pemakan Manusia 11 Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong Kemelut Blambangan 9

Cari Blog Ini