Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 25
Mendadak Tojin bisu tuli membusungkan dadanya, sambil angkat
kepala katanya, "Tentu saja aku ada alasannya, tapi rasanya tidak
ada kepentingan untuk disampaikan kepada kalian."
Begitu dia membusungkan dadanya, seketika itu juga seakan
berubah menjadi dua orang yang berbeda. Sikapnya yang semula
layu dan kusut hilang lenyap seketika. Meski rambutnya tetap
beruban namun semangatnya terlihat segar sekali.
Ada berapa orang Bulim cianpwee yang berusia lanjut nampak
terperanjat setelah melihat wajahnya, serentak mereka berteriak
hampir berbareng, "Kau.... bukankah kau adalah orang kedua dari
Siau-ngo-gi yang tersohor pada tiga puluh tahun berselang, Ong
Hui-bun, Ong-thayhiap?"
"Sebutan Thayhiap tidak berani kuterima. Betul, aku memang loji
dari Siau-ngo-gi." Siau-ngo-gi atau lima sekawan sudah amat tersohor sejak dulu,
sekalipun dikemudian hari losu Seebun Mu dan longo Tonghong
Siau masuk kalangan hek-to, namun kejadian tersebut sama sekali
tidak mempengaruhi nama baik ke tiga orang lainnya.
Tiga orang yang lain (Jit-seng-kiam-kek Kwik Tang-lay, Hwee-ko
Thaysu serta Ong Hui-bun) pun secara beruntun lenyap dari
peredaran dunia persilatan tanpa diketahui jejaknya lagi.
Mereka yang mengetahui peristiwa itupun tanpa terasa berpikir,
"Tampaknya alasan Ong Hui-bun menyusup masuk ke dalam tokoan
di gunung Bu-tong sama seperti alasan Hwee-ko Thaysu menyusup
masuk ke biara Siau-lim dan hidup sebagai juru masak. Bisa jadi
mereka sedang menghindari kejaran musuh tangguh, atau bisa juga
karena ingin menghindari masalah yang ditimbulkan Seebun Mu."
Dalam dunia persilatan memang sering terjadi tokoh persilatan
yang tiba-tiba hidup mengasingkan diri. Apalagi para tamu yang
hadir pun rata-rata pernah mendengar nama besar Ong Hui-bun,
tanpa terasa orang orang itupun mempercayai perkataannya.
Terdengar Ong Hui-bun berkata lebih lanjut, "Aku sudah tiga
puluh tahunan hidup disisi Bu-siang Cinjin, walaupun dulunya bukan
anggota Bu-tong-pay, tapi sekarang rasanya aku sudah termasuk
salah satu bagian dari partai ini. Selama ini aku telah banyak
berhutang budi kepadanya, untuk membalas budi kebaikannya,
sudah menjadi kewajibanku untuk membela dan melindungi Butongpay
dari pelbagai masalah. Masa kaliapun masih menganggap
aku sebagai orang luar?"
Bu-liang Totiang mendehem berulang kali, lalu katanya, "Dengan
kedudukannya serta hubungan yang erat selama ini dengan
perguruan kita, aku rasa sudah seharusnya kita memberi
kesempatan kepadanya untuk berbicara."
"Terus terang saja, aku telah mendapat pesan dari Bu-siang
Cinjin menjelang ajalnya untuk secara khusus mengawasi
seseorang. Orang ini adalah murid partai yang paling dia kagumi
juga ingin dia bina untuk disiapkan menerima tanggung jawab yang
lebih besar. "Tapi berhubung orang ini mempunyai rahasia yang takut
diketahui orang, apalagi jika rahasia ini sampai terjatuh ke tangan
orang lain, bisa jadi dia akan berada di bawah ancaman orang
tersebut hingga melangkah ke jalan yang salah. Dan kini aku telah
menemukan titik-titik yang mencurigakan dari orang itu...."
"Kecurigaan apa?"
"Dia berniat menghancurkan perguruan sendiri bahkan akan
menjerumuskan perguruan ke dalam kondisi yang berbahaya!"
Sebuah tuduhan yang berat untuk suatu pelanggaran, tidak
heran para murid Bu-tong-pay saling berpandangan dengan
perasaan kaget bercampur heran.
Bila didengarkan secara seksama atas perkataan dari Ong Huibun
tadi, bisa disimpulkan kalau "orang tersebut" adalah Keng Giokkeng,
karena bocah ini paling mencurigakan, tapi bisa juga yang
dimaksud adalah Bu-beng Cinjin. Tentu tidak seorang pun berani
mencurigai Bu-beng Cinjin.
Maka terdengar seseorang bertanya, "Lebih baik bicara secara
blak-blakan saja, apakah orang yang kau maksud adalah Lan Giokkeng?"
"Kau hanya mengatakan benar untuk dua per tiganya. Nama
yang kau sebut betul, tapi sebutan marganya salah, dia she-Keng,
bukan dari marga Lan!"
"Mana mungkin, bukankah dia adalah putra Lan Kau-san, petani
sayur itu?" berapa orang anggota Bu-tong-pay segera membantah.
"Bukan," Ong Hui-bun menggeleng, "dia adalah putra Keng Kingsi!"
"Betul, ayahku memang Keng King-si, lantas kenapa?" teriak
Keng Giok-keng. Tiba-tiba terdengar Bu-liang Totiang menghela napas panjang,
ujarnya, "Sungguh tidak nyana, selama ini aku tidak tahu kalau dia
ternyata adalah putra Keng King-si!"
Begitu Bu-liang Totiang menghela napas, ada banyak diantara
anggota Bu-tong-pay yang segera berpikir.
Sebagaimana diketahui, selama ini Keng King-si dicurigai sebagai
mata-mata bangsa Boan sehingga akhir nya tewas diujung pedang
kakak seperguruannya, Ko Ceng-kim (yang kemudian menjadi Put-ji
Tojin), sekalipun peristiwa ini merupakan rahasia besar yang tidak
disiarkan keluar, namun ada banyak anggota Bu-tong-pay yang
mengetahui kejadian ini. Khususnya para murid dari angkatan "Put."
Bu-liang Totiang berlagak iba, dengan pandangan penuh rasa
kasihan dia tatap Keng Giok-keng, kemudian setelah menghela
napas katanya lagi, "Apakah hingga sekarang kau belum tahu, aaai.
Sebetulnya aku tidak ingin mengatakannya, tapi setelah kejadian
berkembang jadi begini rupa, sekalipun tidak ingin kukatakan pun
rasanya tidak mungkin lagi, ayah kandungmu Keng King-si
sesungguhnya adalah seorang mata-mata bangsa Boan!"
"Omong kosong!" teriak Keng Giok-keng dengan amarah yang
meledak, "ayahku bukan mata-mata bangsa Boan!"
Sebetulnya mengumpat seorang Tianglo dengan kata "omong
kosong" sudah merupakan satu tindakan yang tidak sopan. Tapi Buliang
Totiang berlagak sok bijaksana dan berbesar hari, katanya lagi,
"Anak membelai orang tua memang hal yang sangat jamak, aku
tidak menyalahkan dirimu. Tapi kau harus menunjukkan bukti,
darimana bisa tahu kalau ayahmu bukan mata-mata bangsa Boan?"
Perkataan itu kontan saja membuat Keng Giok-keng tidak mampu
menjawab, dia hanya bisa berteriak berulang kali, "Aku tahu, aku
tahu!" Mendadak Ong Hui-bun berkata, "Aku mempunyai sepucuk surat,
harap Tianglo sekalian memeriksanya."
Bu-liang Totiang menerima surat itu, dibaca sebentar lalu tanpa
bicara menyerahkan kepada Bu-si Tojin. Ketika selesai membaca
surat tersebut, paras muka Bu-si Tojin nampak diliputi keraguan dan
sangsi, kemudian dia serahkan surat tadi ke tangan Put-po, Tianglo
yang baru saja diangkat. Begitu selesai membaca, Put-po segera berteriak, "Aaah, tidak
ada apa-apanya, Cuma berisi sepucuk surat biasa dari seorang
teman Keng King-si."
"Surat biasa" Sudah kau periksa lebih jelas?" dengus Ong Huibun
dingin. "Kalau seorang teman memberi kabar tentang keadaannya, itu
mah lumrah, tidak ada yang istimewa."
"Di sana tertulis tanda tangan-temannya, coba dibaca siapa nama
itu?" Put-po memeriksanya lebih seksama, kemudian katanya, "Huo
Bu-tuo! Ehmm, nama ini memang agak istimewa, rasanya tidak
mirip nama bangsa Han."
"Siapakah Huo Bu-tuo" Ada yang tahu?" dengan suara lantang
Ong Hui-bun segera berteriak.
Seorang busu yang berasal dari luar perbatasan segera
menjawab, "Banyak tahun berselang, rasanya orang ini pernah
menjadi pengawal pribadi Nurhaci Khan dari bangsa Boan."
"Apakah orang inipun pernah berdiam di sebuah kota yang
bernama Uh-sah-tin?"
"Rasanya benar, hanya waktu itu aku dengar dia merahasiakan
identitasnya, di kota tersebut bekerja sebagai juragan ikan."
Seorang jago yang datang dari peternakan di luar perbatasan
ikut menimbrung, "Menurut apa yang kuketahui, penampungan ikan
itu sesungguhnya dibuka oleh anak buah Nurhaci Khan. Hanya saja
kejadian ini telah berlangsung pada dua puluh tahunan berselang,
waktu itu Nurhaci Khan masih seorang kepala suku."
"Apakah hingga sekarang tempat itu masih ada?"
"Rasanya masih ada. Juragannya masih tetap juragan yang
lama." "Delapan belas tahun berselang, sewaktu Keng King-si pulang
dari luar perbatasan, seorang murid preman kami yang tinggal di
kota Kim-leng, Ting Hun-hok mendapat kabar bahwa disaku Keng
King-si terdapat sepucuk surat rahasia yang ditulis seorang mata
mata bangsa Boan, sebetulnya dia ingin mengejar dan melacak
kebenaran itu kemudian berusaha merampas surat rahasia tadi dari
tangan Keng King-si. Siapa tahu belum sempat meninggalkan kota
Kim-leng, secara misterius dia telah mati dibunuh orang. Setelah dia
terbunuh, keluarganya sempat datang ke gunung Bu-tong untuk
melaporkan kejadian ini kepada Bu-siang Cinjin, tentunya Tianglo
berdua masih ingat bukan?"
Bu-si Tojin tidak menjawab, sementara Bu-liang Totiang segera
menyahut, "Betul, memang ada kejadian seperti ini. Bisa jadi matamata
bangsa Boan yang dimaksud adalah Huo Bu-tuo."
Dengan perasaan terkejut Put-po Tojin segera berseru, "Waaah,
kalau begitu surat ini tidak boleh dianggap sebagai surat biasa, Huo
Bu-tuo mengatakan kalau dia sudah menjadi pembesar di kota Kimleng
dan minta Keng King-si pergi menjumpainya!"
Dengan suara keras Ong Hui-bun segera berseru, "Kini sudah
terbukti kalau Keng King-si mempunyai hubungan yang sangat
akrab dengan Huo Bu-tuo, coba menurut kalian apakah pantas kalau
dia dicurigai sebagai mata-mata juga?"
"Perkataanmu tepat sekali," seru Bu-liang Totiang, "sejak
mendapat tahu peristiwa ini dari keluarga Ting Hun-hok, aku sudah
mulai curiga kalau Keng King-si adalah seorang mata-mata."
Tanya jawab yang dilakukan kedua orang ini mirip sebuah
tontonan opera, kontan saja membuat Keng Giok-keng gusar bukan
kepalang, akan tetapi dia pun tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi
membelai ayahnya. Harus diketahui, Huo Bu-tuo memang punya identitas ganda, dia
pun pernah berjumpa Huo Bu-tuo sewaktu di kota Kim-leng. Jangan
lagi dia memang tidak bisa membocorkan identitasnya sebagai Kwik
Bu, sekalipun dia katakanpun siapa yang bakal percaya kalau dia
hanya pura-pura jadi mata-mata bangsa Boan, sedang identitas
yang sesungguhnya adalah melawan bangsa Boan"
"Dengan cara apa surat ini bisa terjatuh ke tanganmu?" tanya
Bu-si Tojin dingin. "Biarpun aku berada di Bu-tong, bukan berarti dalam dunia
persilatan tidakmemiliki teman."
Maksud dari perkataan itu, surat tersebut diperoleh dari seorang
temannya tapi dia enggan menerangkan hal ini secara terperinci
kepada Bu-si Tojin. Seandainya berganti orang lain, Bu-si Tojin pasti akan mengejar
terus hingga jelas, tapi pertama karena Ong Hui-bun sudah tersohor
sejak dulu, kedua diapun sudah tiga puluh tahunan melayani Busiang
Cinjin, dengan sendirinya kurang leluasa baginya untuk
memperlihatkan perasaan curiganya, apalagi merecoki dirinya terus
menerus. Walau begitu, Bu-si Tojin tetap berkata juga, "Terlepas Keng
King-si seorang mata-mata atau bukan, apa sangkut pautnya
dengan putra dia" Ketika Keng King-si mati terbunuh, putranya baru
saja lahir!" Ong Hui-bun segera berpaling ke arah Keng Giok-keng, tanyanya
tiba-tiba, "Bukankah kau pernah berkunjung ke Uh-sah-tin di luar
perbatasan?" "Benar. Aku kesana karena ingin mencari keterang an yang
sejelasnya tentang kematian ayahku."
"Tapi kenyataannya kau tidak berhasil menemukan bukti untuk
membersihkan tuduhan atas diri ayahmu, sementara orang orang
yang pernah ada hubungan dengan ayahmu di masa silam masih
tetap berada disana!"
Tidak perlu ditambahi bumbu pun semua orang juga bisa
mendengar kalau dia tetap menuduh Keng Giok-keng melanjutkan
usaha ayahnya, paling tidak sukar terlepas dari kecurigaan sebagai
mata-mata. Keng Giok-keng benar-benar naik darah, dengan penuh amarah
teriaknya, "Siapa yang jadi mata-mata" Suatu saat aku pasti dapat
membuktikan!" "Tapi bukan sekarang, bukan?" ejek Ong Hui-bun sambil tertawa
dingin. "Dengan berkata begitu, apakah sekarang kau telah menemukan
saksi yang berhubungan dengan kejadian itu?" tanya Bu-liang
Totiang tiba-tiba. Mendadak Ong Hui-bun menghela napas panjang, katanya,
"Sejujurnya aku sangat tidak ingin berbicara, tapi aku pun tidak bisa
untuk tidak harus bersuara."
Sepasang mata Ong Hui-bun tampak basah oleh air mata, mimik
mukanya kelihatan begitu sedih seakan baru saja ditinggal mati
anak kandungnya. "Kalian semua juga tahu bahwa akulah yang menyaksikan Giokkeng
si bocah ini tumbuh jadi dewasa," katanya, "dia cerdas dan
cepat tanggap dalam pelajaran, asal usulnya pun amat
menyedihkan, rasa cinta dan sayangku terhadapnya tidak akan
berada di bawah siapa pun. Semasa hidupnya dulu, yang paling
dikuatirkan Bu-siang Cinjin adalah dia, di kemudikan orang lain
setelah mengetahui rahasia asal-usulnya hingga tersesat ke jalan
tidak benar. Aaaai, sungguh tidak nyana apa yang beliau kuatirkan
kini menjadi kenyataan, bila dia orang tua dialam baka
mengetahuinya, rasa sedihnya pasti tidak kalah dengan perasaan
pedihku sekarang! Namun demi nama baik dan mati hidupnya BuTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
tong-pay, demi juga pesan terakhir Bu-siang Cinjin menjelang
ajalnya, walau aku tidak ingin bicarapun tetap akan kukatakan!"
Benarkah sebelum ajalnya tiba Bu-siang Cinjin telah
meninggalkan begitu banyak pesan kepadanya" Yang sudah mati
tidak dapat dimintai sebagai saksi, siapa pun tidak tahu apakah dia
jujur atau bohong, tapi semua orang memang tahu kalau dimasa
lalu dia memang sangat menyayangi Keng Giok-keng.
Tanpa terasa para murid Bu-tong-pay berpikir, "Dia berbicara
dengan begitu sedih, rasanya tidak mungkin sedang menfitnah
Giok-keng." Yang paling diperhatikan Bu-beng Cinjin adalah perkataan
"dikemudikan orang lain", dia sangat paham, Ong Hui-bun sedang
memaksanya untuk menumpukkan kartu. Jika dirinya tidak
melaksanakan seperti apa yang dia harapkan, maka ujung tombak
itu sudah pasti akan ditudingkan ke arahnya.
Apabila Keng Giok-keng tidak mengetahui ter-lebih dulu kedok di
balik wajah aslinya, saat ini dia pasti akan dibuat terharu sekali oleh
perkataan itu. "Hmmm, ilmu silatnya belum tentu nomor wahid di kolong langit,
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tapi kemampuannya berakting benar-benar tiada duanya di dunia
ini!" Kini, selain tertawa dingin di dalam hati, hanya satu pertanyaan
yang masih menggelitik hatinya, "Benarkah sepanjang hidupnya Busiang
Cinjin telah ditipu habis habisan oleh orang ini" Mungkinkah di
saat menjelang ajalnya tiba-tiba dia orang tua menyadari kalau
Tojin bisu tuli yang telah melayaninya hampir tiga puluh tahunan
patut dicurigai bahkan kemungkinan besar akan mencelakai aku
sehingga aku segera diperintahkan untuk segera meninggalkan
gunung?" Selama ini dia memang tak habis mengerti kenapa sehari
menjelang ajal, Sucouwnya memerintahkan dia turun gunung.
Dulu, rasa curiganya dilimpahkan pada ayah angkatnya, Put-ji
Tojin, sebab Put-ji Tojin telah mengajarkan ilmu pedang aspal
kepadanya dan hal ini diketahui Sucouwnya.
Tapi sekarang mau tidak mau dia harus melimpah kan
kecurigaannya pada Ong Hui-bun, si Tojin bisu tuli gadungan.
Sikapnya yang risau dan tidak tenang segera terlihat oleh Put-po
Tojin yang polos, gerak-gerik itu seketika menimbulkan perasaan
curiganya. "Jangan-jangan bocah ini benar-benar telah melakukan
pelanggaran besar?" demikian dia berpikir.
Maka dia pun berkata, "Paman guru bisu tuli, aaaah, maaf, aku
sudah terbiasa memanggilmu dengan sebutan tersebut hingga
untuk sesaat sukar untuk dirubah. Kalau didengar dari nada
pembicaraanmu, tampaknya kau telah mempunyai bukti atas
penghianatan Keng Giok-keng terhadap perguruan, karena masalah
ini besar, lebih baik cepat kau beberkan!"
"Baik, kalau begitu pertama-tama ijinkan aku untuk mengundang
seseorang sebagai saksi."
"Siapa?" "Dia tidak lain adalah Put-ji Tianglo, orang yang menjadi gurunya
sekaligus menjadi ayah angkatnya!"
"Hah" Bukankah Put-ji telah jatuh sakit karena kelelahan" Masa
kau tidak mendengar penjelasan dari Ciangbunjin?"
"Tenaga dalam yang dimiliki Put-ji sangat hebat, sekalipun
kelelahan tidak mungkin jatuh sakit hingga tidak mampu bangkit,
sekalipun sakit parah, untuk berbicara saja tentu masih sanggup
bukan?" "Kalau tenaga untuk bicara saja tidak punya, berarti dia sudah
sekarat. Seharusnya tidak sampai separah itu."
"Tepat sekali, biarpun dia tidak sanggup bangkit dari tempat
tidurnya, toh kita bisa menggotongnya keluar!"
"Baik, kalau begitu ijinkan aku untuk menggotongnya kemari.
Toh dia memang tinggal dalam kompleks pemakaman ini, tidak
butuh banyak waktu."
"Tidak seharusnya kau yang pergi!" cegah Ong Hui-bun.
"Ooh, maksudmu...."
"Aku bilang seharusnya Keng Giok-keng sendiri yang pergi
menjemputnya, pertama karena dia adalah anak angkat Put-ji,
kedua Put-ji adalah saksi paling penting dalam kasus ini, tapi terus
terang aku sendiri-pun tidak tahu apa yang bakal dia berikan dalam
kesaksiannya nanti, bila ucapannya menguntungkan bagi Keng Giokkeng,
maka Keng Giok-keng pun akan bebas dari segala tuduhan,
serta merta dia pun dengan lancar dapat diangkat menjadi
Ciangbunjin berikut. Jelas berita ini merupakan sebuah berita
gembira, seharusnya kita undang kehadiran ayah angkat sekaligus
gurunya ini untuk turut merayakan hari kegembiraan ini, bukan
begitu?" Begitu mendengar ucapannya itu, semua orang segera tahu
kalau dia sedang berbicara "kebalikan"nya, tanpa terasa pikirnya,
'Tampaknya dia sangat yakin dan sudah menduga kalau kesaksian
yang diberikan Put-ji bakal menguntung kan dirinya, jika
menguntungkan Keng Giok-keng, tidak nanti dia akan minta Put-ji
tampil sebagai saksi' Hanya Put-po Tojin yang polos mempercayai perkataan itu dan
mengira dia berkata tulus, maka sambil garuk-garuk kepalanya dia
berkata, "Betul, perkataanmu memang masuk diakal. Aku benarbenar
pikun, masa hal semacam inipun tidak pernah kubayangkan."
Sementara itu Ong Hui-bun telah menatap lagi Keng Giok-keng
dengan wajah dingin, katanya, "Semua orang berpendapat kaulah
yang paling pantas mengundang keluar ayah angkatmu, kenapa
belum juga berangkat?"
Selama ini Keng Giok-keng telah menahan sabar hingga
mencapai pada puncaknya, tiba-tiba bagaikan gunung berapi yang
meletus, dia mencabut keluar pedangnya sambil membentak, "Kau
telah membunuh ayah angkatku, bajingan tua, akan kucabut
nyawamu!" Entah darimana datangnya kekuatan, sekali melompat dia sudah
mencapai beberapa tombak, pedang diiringi desingan angin tajam
langsung ditusukkan ke tubuh Ong Hui-bun.
Diantara anggota Bu-tong-pay, hanya Bu-beng Cinjin dan Bouw
It-yu berdua yang tahu kalau Put-ji Tojin telah meninggal, tidak
heran kalau semua orang tertegun dibuatnya setelah mendengar
berita yang sangat mengejutkan itu muncul dari mulut Keng Giokkeng.
Dengan kecepatan luar biasa ujung pedang Keng Giok-keng yang
memancarkan cahaya kehijauan menusuk ke tubuh Ong Hui-bun.
"Jangan!" bentak Bu-si Tojin keras.
Tapi tubuh Keng Giok-keng sudah keburu roboh terjungkal ke
tanah. Sambil mengebaskan jubahnya Ong Hui-bun menghela napas
panjang, katanya, "Percuma kusayangi bocah ini selama belasan
tahun, aaai! Sungguh tidak kusangka dia benar-benar menginginkan
kematianku. Aaai.... tapi aku tidak boleh melayani kebrutalannya.
Kini bocah itu hanya jatuh pingsan, kalian tidak perlu kuatir."
Orang-orang yang berdiri di seputar sana dapat melihat dengan
jelas, di atas bajunya telah muncul tujuh buah lubang kecil yang
berderet membentuk tujuh bintang bujur utara.
Pak-to-jit-seng atau tujuh bintang bujur utara merupakan salah
satu jurus pamungkas dari Bu-tong-pay, Bu-siang Cinjin lah yang
berhasil mempersatukan dengan jurus Lian-huan-toh-beng-kiamhoat,
lurus dan berlawanan saling menumbukan, keras dan lembek
saling beriring, dalam Bu-tong-pay hanya Bu-si Tojin seorang yang
menguasahi junis itu secara sempurna.
Tampak Bu-si Tojin terkejut bercampur girang setelah
menyaksikan Keng Giok-keng dapat menggunakan jurus itu dengan
begitu sempurna, dia sadar bahwa kesempurnaan jurus bocah itu
jauh diatas kemampuannya.
Tapi justru karena itu, semua anggota Bu-tong-pay semakin
percaya bahwa apa yang dikatakan Ong Hui-bun memang tidak
salah, karena dengan jurus pamungkas itu Keng Giok-keng jelas
berkeinginan untuk mencabut nyawanya.
Setelah suasana kalut menjadi tenang kembali, Bu-si Tojin
membimbing bangun Keng Giok-keng. Namun bocah itu
memejamkan matanya rapat-rapat dan belum tersadar kembali.
"Kini Giok-keng sutit sudah jatuh tidak sadarkan diri, lantas....
lantas bagaimana baiknya?" tanya Put-po.
"Akupun tidak menyangka kalau persoalan bisa berubah seperti
ini," kata Bu-beng Cinjin, "tampaknya masalah regenerasi harus
ditunda sementara waktu, nanti saja kita bicarakan lagi."
Ong Hui-bun tertawa dingin, jengeknya, "Sekalipun dia telah
jatuh tidak sadarkan diri, toh penyelidikan masih bisa diteruskan
hingga menjadi jelas semua!"
"Maksudmu...." "Sebenarnya Put-ji telah meninggal atau belum! Persoalan ini
yang pertama-tama harus diperjelas lebih dahulu!"
"Benar! Kita harus memperjelas dahulu masalah ini," Put-po
segera mendukung. Baru selesai dia berkata, terlihat dua orang tosu telah
menggotong keluar tubuh Put-ji yang telah meninggal. Kedua orang
tosu itu tidak lain adalah murid ketiga dan murid ke empat dari Buliang
Totiang, Put-bo dan Put-yok.
Sambil mendengus kembali Ong Hui-bun berkata, "Coba kalian
periksa, apa penyebab kematian Put-ji" Tentunya ada orang yang
dapat mengenalinya bukan?"
Cepat Bu-liang Totiang menyahut, "Diantara alis matanya lamatlamat
muncul warna hijau, eeei, tampaknya dia tewas keracunan
karena terkena jarum Lebah hijau!"
"Swan-sianseng, coba kau periksa!" teriaknya kemudian.
Swan Ji-cing adalah seorang tokoh yang ahli dalam ramuan obat
obatan, pengetahuannya terhadap pelbagai senjata rahasia beracun
pun sangat luas. Begitu diperiksa, dengan wajah berubah segera serunya, "Betul,
memang terkena jarum Lebah hijau!"
Jarum lebah hijau merupakan senjata rahasia andalan Siang Ngonio,
seketika ada banyak anggota Bu-tong-pay yang mulai
mengumpat, "Lagi lagi perbuatan siluman wanita itu!"
Diantara mereka, khususnya Put-hui Suthay yang paling
membencinya hingga merasuk ke tulang sumsum, sambil
menggertak gigi makinya, "Perempuan siluman ini pernah
menggunakan jarum Lebah hijau untuk mencelakai Put-coat suheng
kita, kemarin pun pernah menggunakan jarum Lebah hijau untuk
membumkam mulut Lian Heng, hmm! Sungguh tidak nyana dia
berani bersembunyi digunung kita bahkan lagi-lagi mencelakai Put-ji
Tianglo dengan jarum Lebah hijaunya. Hmmm! Apabila berhasil
membekuknya, aku bersumpah akan mencincangnya hingga hancur
berkeping!" "Belum tentu orang yang mencelakai Put-ji adalah siluman wanita
itu sendiri!" sindir Ong Hui-bun dengan nada dingin.
"Memangnya kau sangka perbuatan dari Giok-keng si bocah itu?"
seru Put-hui Suthay. Tiba-tiba Put-bo, murid ke tiga dari Bu-liang Totiang berseru,
"Oooh, aku teringat akan satu hal, tahun berselang perempuan
siluman itu pernah naik ke gunung Bu-tong, bukan saja dia pernah
mengunjungi rumah keluarga Lan Kau-san, bukankah Giok-keng pun
pernah dilarikan" Put-hui suci, kalau tidak salah pada hari itu...."
Put-hui Suthay adalah seorang tokoh yang temperamen dan tidak
sabaran, segera sahutnya, "Benar, kebetulan hari itu aku bertemu
dengan siluman wanita itu, kebetulan Giok-keng sedang turun
gunung, sedang dia lagi mengancam encinya Giok-keng yakni
muridku Lan Sui-leng. Aku yang berhasil mengusir siluman wanita
itu, tapi akibatnya aku ter-sambar pula jarum beracunnya hingga
nyaris kehilangan nyawa."
"Aku dengar Siang Ngo-nio hendak mengangkat Giok-keng
menjadi anak angkatnya?"
"Hmm, itu mah pikiran gila siluman wanita itu, mana mungkin
Giok-keng mau mengakuinya sebagai ibu angkat?"
"Tapi bagaimanapun juga, siluman wanita itu jelas mempunyai
sedikit hubungan dengan Giok-keng, kalau tidak, mengapa dia
bukannya merampas orang lain tapi justru mengincar Giok-keng?"
seru Put-bo Tojin lagi. "Apa maksud perkataanmu itu?" teriak Put-hui Suthay gusar,
"kau sangka Giok-keng bersekongkol dengan siluman wanita itu
untuk mencelakai ayah angkatnya sendiri" Aku yakin Giok-keng
tidak bakal melakukan perbuatan semacam itu!"
Put-bo Tojin sengaja tidak berbicara lagi, dia hanya tertawa
dingin tiada hentinya. "Put-hui Suthay," kata Ong Hui-bun kemudian dengan nada
hambar, "persoalannya sekarang bukan bisa dipercaya atau tidak,
terbukti jelas kalau Put-ji tewas keracunan karena terkena jarum
Lebah hijau, mengapa Keng Giok-keng harus merahasiakan kejadian
ini dan mengatakan ayah angkatnya hanya menderita sakit tidak
bisa bangun" Bahkan setelah kenyataan semakin jelas, kenapa dia
malah mengumpat dan menyerangku" Siapa pun tahu kalau jarum
Lebah hijau adalah senjata rahasia andalan Siang Ngo-nio, padahal
aku sendiri tidak pernah memakai senjata rahasia, kini kenyataan
sudah terbukti didepan mata, apabila dia bukan sedang melindungi
Siang Ngo-nio, pastilah dia telah meminjam jarum lebah hijau dari
tangan perempuan siluman itu!"
Uraian tersebut disampaikan secara detik dengan didukung fakta
yang kuat, Put-hui Suthay seketika tertunduk dan tidak mampu
berbicara lagi, pikirnya, 'Mungkinkah bocah ini termakan hasutan
orang jahat setelah mengetahui rahasia asal-usulnya hingga
melakukan tindakan bodoh"'
Sementara dia masih berpikir, Put-po yang polos kembali telah
berseru, "Sebenarnya akupun tidak percaya kalau Giok-keng bakal
berubah sejahat ini, aaaai, tapi sekarang, sekalipun tidak berani
percaya pun mau tidak mau harus mempercayainya juga. Bu-sisusiok,
Put-hui-suci, menurut pendapatku, tidak sepantasnya bila
kita kelewat melindungi bocah ini, mending kita bersama-sama
mohonkan ampun kepada Ciangbun Cinjin, mengingat dia hanya
bertujuan membalaskan dendam atas kematian ayahnya maka
tanpa mengetahui masalah yang sejelasnya telah melakukan sebuah
kesalahan besar." Put-hui Suthay tidak bicara, sebaliknya Bu-si Tojin dengan kening
berkerut berkata, "Aku lihat di balik kesemuanya ini mungkin masih
ada hal lain yang mencurigakan, lebih baik kita tunggu dulu sampai
Giok-keng sadar lalu menginterogasi dirinya sebelum menjatuhkan
hukuman." "Kenyataan telah terpampang didepan mata, buat apa kita
bertanya lagi kepadanya" Apa yang dikatakan Supek bisu tuli benar,
kalau bukan dia yang melakukan...."
"Semua perkataannya telah kudengar dengan sangat jelas, tidak
perlu kau ulang lagi," tukas Bu-si Tojin cepat.
"Kalau begitu mohon tanya, menurut kau ucapannya masuk akal
atau tidak?" desak Put-po.
"Aku tidak tahu. Sebab masih masih membutuhkan lebih banyak
bukti sebelum memutuskan, hingga saat ini aku tetap merasa
kejadian ini mencurigakan!"
Sebetulnya Bu-si Tojin termasuk orang yang simpatik, tapi
berhubung jalan pikiran dan pandangan sebagian besar anggota Butongpay sama seperti apa yang dipikirkan Put-po, menganggap
Keng Giok-keng telah melakukan kesalahan karena ingin membalas
dendam atas kematian ayahnya, maka tanpa terasa sikap mereka
terhadap putsi pun ikut berubah, untuk sesaat suasana berubah jadi
gaduh. "Put-ji Tianglo telah memeliharanya hingga dewasa, selain ayah
angkatnya, diapun gurunya, budi kebaikan yang telah diberikan
lebih tinggi dari bukit, ayah kandungnya mati karena kesalahannya
memang pantas menerima ganjaran tersebut, sekalipun ayahnya
benar tewas dibunuh Put-ji Tianglo dimasa lalu, tidak seharusnya
dia melakukan pembunuhan sekeji ini!"
"Kalau hanya berniat balas dendam mah masih mending, jangan
lupa, dia pun masih dicurigai sebagai mata-mata yang berhubungan
dengan bangsa Boan!"
"Betul, sekalipun tuduhan sebagai mata-mata belum terbukti, tapi
persekongkolannya dengan siluman wanita Siang Ngo-nio sudah
jelas terbukti. Peristiwa ini pantas diselidiki hingga tuntas!"
"Sudah cukup, harap kalian tenang!" teriak Put-po kemudian,
"menurut aku, lebih baik kita nantikan keputusan dari Ciangbun
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cinjin, bagaimana pun dia adalah seorang bocah berbakat luar
biasa, sekalipun telah melakukan perbuatan bodoh, namun....
namun...." Bu-beng Cinjin mendeham berulang kali, kemudian katanya,
"Seandainya dia benar-benar telah melanggar dosa seperti yang
dituduhkan Ong Hui-bun, tentu saja kesalahan tersebut harus
dijatuhi hukuman yang setimpal!"
Semua orang menyangka Keng Giok-keng sudah tidak mungkin
lolos dari semua tuduhan itu, ada yang merasa sayang dengan
bakatnya yang bagus, ada pula yang kasihan karena usianya masih
muda, semua orang berharap Bu-beng Cinjin dapat menjatuhkan
hukuman yang ringan hingga bocah itu terbebas dari siksaan.
Siapa tahu pada saat itulah muncul seseorang yang membantu
Keng Giok-keng berbicara, bahkan orang itu tidak lain adalah Buliang
Tianglo. "Apa yang diucapkan Put-po-sutit memang betul," kata Bu-liang
Totiang, "Giok-keng masih muda, rasanya tidak mungkin dia bisa
melakukan perbuatan dengan begitu berpengalaman, bahkan pada
saat yang bersamaan melakukan beberapa perbuatan sekaligus!"
Begitu mendengar ada orang membantu berbicara, bahkan yang
berbicara pun merupakan ketua Tianglo, Put-po merasa sangat
bangga, segera ujarnya, "Betul juga, baru saja dia pergi ke luar
perbatasan untuk bersekongkol dengan bangsa Boan, kemudian
sekembalinya ke daratan bersekongkol pula dengan perempuan
siluman, padahal dia hanya seorang pemuda berusia tujuh, delapan
belas tahunan! Jika ke dua perbuatan ini bisa terbukti, waaah....
perbuatannya benar- benar sedikit di luar dugaan siapa pun!"
"Dosa memang tidak mungkin bisa dicuci bersih," sela Ong Huibun,
"hanya saja...."
"Hanya saja kenapa?"
"Hanya saja aku duga di belakangnya masih ada aktor lain yang
mendalangi kesemuanya ini!"
Bu-liang Totiang menghela napas, ujarnya, "Dalam hal inipun
telah kubayangkan, kalau hanya mengandalkan kemampuannya,
tidak mungkin bisa dia lakukan perbuatan jahat sebanyak ini, justru
dalang yang menjadi otak itulah merupakan penjahat sesungguhnya
yang harus kita selidiki. Aku rasa Giok-keng hanya seorang
pembantu saja!" Walaupun Put-po berharap dapat membantu Keng Giok-keng
untuk meringankan dosanya, namun perkataan yang barusan
didengar merupakan satu kejadian yang sama sekali tidak terduga
sebelumnya. Dengan perasaan terkesiap teriaknya, "Kalau didengar dari nada
pembicaraanmu, seolah orang yang berada dibelakangnya adalah
seseorang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam Bu-tong-pay?"
"Aaaai, pada hakekatnya mereka tidak bisa sebanding, jangan
lagi kedudukannya jauh diatasnya, bahkan jauh diatas posisimu
juga!" Saat ini kedudukan Put-po Tojin adalah seorang Tianglo, mana
ada orang lain yang mempunyai kedudukan jauh lebih tinggi
daripada dirinya" Dalam waktu singkat perasaan hati semua murid Bu-tong-pay
jadi terkesiap, tentu saja mereka tidak berani mengatakan siapa
gerangan orang yang telah diduga itu.
Put-po biarpun kasar ternyata dia cukup teliti, sengaja katanya,
"Aku dengar sewaktu Giok-keng turun gunung tahun berselang, dia
mendapat perintah dari mendiang Ciangbun Cinjin."
"Apakah kau dengar dengan mata kepala sendiri Bu-siang Cinjin
berkata begitu?" tanya Ong Hui-bun.
"Tidak!" sahut Put-po, sebenarnya dia ingin mengatakan kalau
mendengar dari Bu-beng Cinjin, tapi akhirnya dia tidak berani
mengutarakannya keluar. "Kalau memang tidak, darimana kau bisa buktikan kalau perintah
itu memang berasal dari Bu-siang Cinjin" Apalagi setelah dia pergi
jauh ke luar perbatasan, semakin menyimpulkan kalau perintah itu
bukan berasal dari Bu-siang Cinjin."
"Berarti pada waktu itu orang tersebut sudah berada diatas
gunung Bu-tong," kata Put-po lagi.
"Tentu saja, kalau tidak mana mungkin bisa menurunkan
perintah?" Jawaban ini sudah menjelaskan segala sesuatunya secara
gamblang, disaat Keng Giok-keng turun gunung, pada hari itu juga
Bu-beng Cinjin tiba di atas gunung Bu-tong.
Kini, hampir semua pandangan mata tertuju ke diri Bu-beng
Cinjin! Paras muka Bu-beng Cinjin sama sekali tidak berubah, dengan
tenang katanya, "Kalau begitu kau sudah tahu siapakah dia?"
"Benar!" "Kenapa tidak kau katakan?"
"Pertama, karena urusan ini menyangkut keadaan yang sangat
besar, ke dua jelek-jelek orang itu tetap merupakan seorang tokoh
persilatan kelas satu, asal dia tahu kesalahannya dan bersedia
menuruti bujukan, bahkan penampilannya dalam melaksanakan janji
memang bisa dipercaya, aku tidak ingin merusak nama baiknya."
Maksud lain dari perkataan itu adalah mengingatkan Bu-beng
Cinjin: bila kau tidak melaksanakan sesuai yang kuinginkan, aku
segera akan membuat nama baikmu tercoreng!
Bu-beng Cinjin segera berkata pula, "Aku pun berharap orang itu
jangan melanjutkan perbuatannya yang terkutuk, tapi harus
diketahui seseorang yang semula baik, dengan gampang bisa
berubah jadi jahat, tapi kalau dari jahat susahlah untuk menjadi
baik. Kami pun tidak berharap menaruh pengharapan pada hal yang
kosong, kita harus mengetahui lebih dulu apa gerangan masalah
yang sebenarnya." Setelah berhenti sejenak, dia berpaling ke arah Ong Hui-bun lalu
bertanya, "Kau mengatakan dibelakang Keng Giok-keng ada dalang
yang mengatur semua rencana, boleh tahu apa rencananya?"
"Menguasai seluruh Bu-tong-pay dalam genggamannya!"
"Yang kau maksudkan sebagai 'nya' apakah sekelompok
penghianat bangsa?" "Benar! Maka dari itu...."
"Maka dari itu bila rencana busuk mereka berhasil, itulah saat Butongpay musnah dari dunia persilatan!" sambung Bu-beng Cinjin
cepat. "Memang begitulah!"
Setelah terjadi adu debat diantara kedua orang ini, kini sekalipun
orang yang paling bodoh dengan otak paling sederhana pun dapat
menangkap kalau ujung tombak dari Ong Hui-bun ditujukan
langsung kepada Bu-beng Cinjin.
Bu-beng Cinjin minta Keng Giok-keng untuk meneruskan
jabatannya sebagai Ciangbunjin, sementara Keng Giok-keng pun
dicurigai sebagai mata-mata, bukankah hal ini sama artinya seperti
apa yang dikatakan Ong Hui-bun tadi, ingin menguasai seluruh Butongpay" Paras muka Bu-beng Cinjin tetap tidak berubah, namun nada
suaranya lebih berat dan serius, katanya, "Karena urusan sudah
menyangkut mati hidupnya perguruan kita, hal ini tidak bisa
diselesaikan hanya mengandalkan emosi! Sekarang aku masih
seorang Ciangbunjin, aku perintahkan kepadamu untuk berbicara
sejujurnya!" "Tapi harus dapat menunjukkan saksi dan bukti yang otentik!"
Bu-si Tojin menambahkan. Dia kuatir Ong Hui-bun mengandalkan hubungan eratnya dengan
Bu-siang Cinjin dan menyampaikan firman palsu yang justru
merupakan khayalannya. "Ciangbun Cinjin," kata Ong Hui-bun kemudian, "bolehkah aku
tampilkan seorang saksi penting!"
Sejak awal Bu-beng Cinjin sudah tahu siapa yang hendak
ditampilkan, namun dia tetap bertanya, "Tentu saja, siapa saksi
penting itu?" "Siang Ngo-nio!" jawab Ong Hui-bun sepatah demi sepatah kata.
Begitu nama itu disebut, suasana dalam arena pun terjadi
kegaduhan. Serentak para murid Bu-tong-pay bertanya, "Memangnya siluman
wanita itu masih di atas gunung?"
"Dia adalah musuh besar partai kita, mana mungkin bersedia
tampil sebagai saksi?"
"Dia telah kutangkap hidup-hidup!" ujar Ong Hui-bun.
Seketika itu juga berita ini menghebohkan seluruh arena, seluruh
anggota Bu-tong-pay jadi gaduh dan saling berbisik bahkan ada
yang mulai berteriak, minta Ong Hui-bun segera tampilkan siluman
perempuan itu. Ong Hui-bun membuat gerakan tangan menekan bibirnya dengan
kedua belah tangan, setelah kegaduhan menjadi tenang kembali,
dia baru berkata, "Tapi kalian harus berjanji dulu untuk
mengampuni jiwanya, kalau tidak, bisa jadi dia malah langsung
ingin mati daripada tampil sebagai saksi."
Semua orang mulai mempertimbangkan usulan itu, untuk sesaat
siapa pun tidak berani bersuara.
"Berarti siluman wanita itu telah memberikan pengakuannya
kepadamu?" tanya Bu-si Tojin.
"Betul. Daripada aku yang membeberkan, lebih baik biar dia saja
yang mengakui dihadapan jakuab senya."
"Tapi kita pun harus mengampuni nyawa siluman perempuan ini,
aku tidak tahu bagaimana perhitungan siepoa dalam hal ini?" seru
Put-po Tojin, "kalau memang dia sudah mengaku semua,
seharusnya.... seharusnya...."
Belum selesai dia berkata, kembali ucapannya ditugas oleh
seruan orang agar dia membungkam.
Perlu diketahui, dalam hati sebagian besar orang yang hadir saat
ini, kebanyakan mereka hanya ingin nonton keramaian, kalau Siang
Ngo-nio belum tampilkan diri, bagaimana mungkin hal tersebut bisa
memuaskan hati mereka semua"
Ong Hui-bun menggelengkan kepalanya berulang kali, kepada
Bu-si Tojin katanya, "Lebih baik biar Siang Ngo-nio mengaku sendiri.
Kalau tidak, takutnya ada orang akan curiga kalau semuanya itu
hanya karangan aku sendiri."
Tentu saja ucapan ini sengaja ditujukan untuk menyindir Bu-si
Tojin yang minta dia mengusung keluar bukti dan saksi.
Bu-si Tojin segera mendengus dingin. "Hmm, ucapan siluman
wanita mana boleh dipercaya?"
"Kita mengundangnya untuk tampil sebagai saksi tentu saja
bukan hanya mendengar perkataan dia seorang. Tapi akan kita adu
muka dengan orang yang berada di belakang Keng Giok-keng. Di
saat mereka saling bertemu, tentunya dari tanya jawab mereka
berdua kita bisa menarik kesimpulan yang lebih jelas dan
menentukan mana yang dia katakan itu benar dan mana yang
salah." Kembali Put-po Tojin garuk-garuk kepalanya.
"Ehmm, masuk akal juga perkataan ini," katanya.
"Apabila dari pengakuan siluman wanita itu kita benar-benar bisa
membuktikan kalau dalam partai kita tersusup penghianat, aku rela
mengampuni nyawa perempuan itu!" seru Put-hui Suthay dengan
nada serius. Di antara sekian banyak orang yang hadir, permusuhan Put-hui
Suthay dengan Siang Ngo-nio terhitung paling dalam, setelah dia
berjanji begitu, tentu saja orang lain pun tidak banyak komentar.
"Baik, kalau begitu persilahkan kau untuk mengundang keluar
Siang Ngo-nio!" "Aku telah mengurungnya di dalam sebuah gua di atas tebing
bukit seberang sana dan menguncinya di dalam sebuah peti besi.
Silahkan Ciangbun Cinjin mengutus dua orang murid untuk
menggotong kemari peti besi itu."
"Bagus, tidak nyana cara kerjamu sangat cermat dan teliti," kata
Bu-beng Cinjin. Orang pertama yang mengajukan diri adalah Put-po Tojin, dia
bersama murid Bu-liang Totiang pergi menggotong peti besi itu.
Gua itu terletak tidak jauh dari kompleks pemakaman, tidak
butuh waktu terlalu lama, peti besi itu sudah digotong ke depan Bubeng
Cinjin. Kehadiran peti besi itu segera menarik perhatian semua orang,
terutama anggota perguruan Bu-tong-pay, tanpa sadar serentak
mereka meluruk maju ke depan, setiap orang membawa perasaan
ingin tahu dan perasaan gembira yang meluap, semua orang
berharap peti besi itu segera dibuka dan menunggu permainan
sandiwara apa lagi yang bakal ditayangkan.
Bahkan Bu-beng Cinjin sendiripun merasakan hatinya berdebar
keras, walaupun permainan ini sudah berada dalam dugaannya,
bahkan diapun telah memikirkan cara untuk menghadapinya. Tapi
siapa tahu apakah aktor dari permainan ini bakal berubah pikiran
atau tidak di tengah jalan.
Kalau ditinjau dari sikap Ong Hui-bun, sudah jelas dialah sang
sutradara, atau dengan perkataan lain, segala sesuatunya berjalan
mulus sesuai dengan rencana nya, dan tidak perlu ditebak pun
sudah bisa diduga permainan macam apa yang sedang dia
laksanakan. Tapi sikapnya saat ini sama seperti orang lain, tidak dapat
menutupi perasaan tegang yang mencekam hatinya, bahkan terselip
pula berapa bagian rasa heran dan tercengang.
Karena orang yang masuk ke dalam arena telah berkurang
dengan seseorang. Sesuai dengan skenario yang telah dirancang,
seharusnya saat ini masih ada seseorang lagi yang mengikuti di
belakang Put-po dan Put-bo yang menggotong peti besi itu dan
bertindak sebagai orang yang membebaskan kurungan.
"Sebetulnya inilah kesempatan paling baik baginya untuk
menampilkan diri, akupun dengan niat baik telah menyiapkan tugas
ini kepadanya dan berniat mempromosikan dirinya setelah rencana
ini berhasil. Kenapa dia malah menyembunyikan diri" Hmm,
tampaknya dia kuatir mendapat satu tapi kehilangan yang lain, takut
aku tidak sanggup mengungguli Bouw Ciong-long maka di saat
terakhir berubah pikiran dan pilih jadi cucu kura-kura" Hmm, betulbetul
tidak tahu diri, yaa sudah, biarlah semau dia! Demikian Ong
Hui-bun berpikir. Walaupun sebelum acara pembukaan dimulai, dia sudah
kehilangan seorang pemain, namun untungnya yang menyingkir
hanya seseorang yang tidak penting peranannya. Tanpa diapun
sandiwara masih bisa dilangsungkan. Oleh karena itu meski dalam
hati kecilnya Ong Hui-bun sedikit merasa tidak senang hati, namun
dia tidak terlalu masukkan ke dalam hati.
"Lapor Ciangbun Cinjin, siluman perempuan itu telah digotong
kemari," lapor Put-po.
"Bagus, segera buka peti besi itu!" perintah Bu-beng Cinjin.
Ong Hui-bun segera mengeluarkan anak kunci dan diserahkan
kepada Put-bo, dengan membawa anak kunci itu Put-bo Tojin pun
membuka gembokan di depan peti besi.
Entah dikarenakan gembokan besar lagi kuno itu sukar dibuka
atau dikarenakan perasaan hatinya kelewat tegang, terlihat jari
tangannya gemetaran keras, sampai lama kemudian dia masih juga
belum berhasil membuka kunci gembokan itu.
Habis sudah kesabaran Put-po, sambil mencengkeram rantai
gembokan itu dia menariknya kuat-kuat, katanya, "Merusak sebuah
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gembokan tidak terhitung apa-apa, Supek bisu tuli, kau pasti tidak
menyalahkan aku karena merusak gembokanmu bukan!"
Karena betotannya yang kuat, rantai berikut gembokan itu
segera terbetot patah jadi beberapa bagian.
Dia langsung membuka tutup peti, mencengkeram tubuh
seseorang dari dalam peti dan melemparnya ke atas tanah.
Mungkin karena bantingan itu kelewat keras, orang itu segera
menjerit kesakitan. Dalam waktu singkat beberapa ratus pasang mata dibuat
terperana, dibuat bodoh setelah melihat wajah orang itu.
Ternyata orang itu bukan Siang Ngo-nio. Melainkan seorang tosu
tua dan tosu tua itu sudah dikenal oleh setiap anggota Bu-tong-pay
yang berada disana. "Eeei, Put-huang suheng!" teriak Put-po, "bukannya berada di
istana Ci-siau-kiong, mau apa kau bersembunyi dalam peti?"
Ternyata Tojin itu adalah seorang pengurus rumah tangga di
istana Ci-siau-kiong dengan gelar Put-huang. Usianya lebih tua
sedikit daripada Put-po, "menjadi pengurus" di istana Ci-siau-kiong
pun sudah mencapai tiga puluh tahunan.
Ilmu silat yang dimiliki orang ini biasa saja, tapi orangnya jujur
bahkan sangat pandai bekerja, oleh sebab itu mendapat
kepercayaan penuh dari Bu-siang Cinjin.
Selama berperan sebagai Tojin bisu tuli dan bertugas di istana Cisiaukiong, dia adalah atasan langsung Ong Hui-bun.
Bu-liang Totiang tampak amat cemas, bentaknya nyaring, "Coba
periksa lagi, apakah dalam peti masih terdapat orang lain?"
"Tii.... tidak ada!" sahut Put-po agak gemetar.
"Put-huang, apa yang sebenarnya terjadi?" hampir pada saat
yang bersamaan Bu-beng Cinjin dan Ong Hui-bun membentak
bersama. Kini Put-huang Tojin telah bangkit berdiri, pandangan matanya
dialihkan ke wajah Ong Hui-bun, tampaknya rasa kaget masih
mencekam perasaannya bahkan kelihatan sekali kalau dia takut
ditegur karena kelalaiannya.
Dengan badan menggigil ujarnya kemudian, "Bukannya aku tidak
menjaga dengan sepenuh tenaga, tapi aku.... aku tidak mampu
melawannya...." Dengan ucapannya itu maka semua orang pun segera memahami
apa yang telah terjadi, ternyata dia mendapat perintah dari Ong
Hui-bun untuk menjaga Siang Ngo-nio.
Namun kalau ditinjau dari kedudukan mereka berdua, rasanya
saat ini justru terjadi kebalikannya. Kalau dilihat dari mimik
mukanya yang begitu ketakutan, seolah Ong Hui-bun adalah
atasannya saja. Diantara murid angkatan "Put", usianya terhitung paling tua
namun kedudukannya paling rendah. Oleh sebab itu selama ini
semua murid Bu-tong-pay tidak terlalu memperhatikan dirinya,
otomatis tidak ada yang menaruh perhatian apakah dia ikut
menghadiri upacara penguburan atau tidak.
Namun setelah mendengar tanya jawabnya dengan Ong Hui-bun
barusan, semua orang pun menaruh pandangan yang berbeda
terhadapnya. Pikir mereka, "Ternyata sejak awal dia sudah
mengetahui asal usul Tojin bisu tuli yang sebenarnya!"
Kini Ong Hui-bun sudah merasa tidak perlu untuk merahasiakan
hubungan mereka lagi, segera bentaknya, "Bagaimana aku
perintahkan dirimu, sekalipun kau tidak berdaya untuk melawan,
begitu bertemu orang asing, kau seharusnya segera berteriak minta
tolong!" Sebetulnya hal ini bukan dikarenakan kecerobohan Ong Hui-bun,
pertama karena letak gua itu memang sukar diketahui orang, kedua
dia telah menyiapkan berapa jenis senjata rahasia paling lihay untuk
Put-huang menghadapi musuh dan ketiga letak gua itu tidak terlalu
jauh dari kompleks pemakaman, asal Put-huang berteriak, dia dan
Bu-liang Totiang segera akan menyusul ke situ.
Perasaan bingung kembali menyelimuti wajah Put-huang Tojin,
katanya, "Aku.... aku.... aku tidak tahu...."
"Tidak tahu apa....?"
"Tidak tahu apakah dia adalah dirimu?"
Apa maksud perkataan itu" Semua orang tertegun dan dibuat
tidak habis mengerti. Namun paras muka Ong Hui-bun segera
berubah sangat hebat. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seseorang tertawa nyaring,
disusul kemudian serunya, "Kalian tidak perlu gelisah, aku telah
mengundang datang saksi mu itu!"
Bersama dengan bergemanya perkataan itu, semua orang
kembali dibuat tertegun. Ternyata jagoan yang muncul adalah
seorang tokoh silat yang tidak pernah diduga siapa pun, tapi dia
mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam dunia persilatan.
Terdengar Pa-san-kiam-kek Kok Thiat-cing berseru tertahan,
teriaknya, "Bukankah kau adalah Kwik Thayhiap" Tidak disangka
dapat bertemu dengan kau disini, selama banyak tahun kau
bersembunyi di mana saja?"
Pun-bu Thaysu, ketua Tianglo ruang Tatmo dari biara Siau-lim
merangkap pula tangannya memberi hormat, sapanya, "Aku masih
ingat ketika Kwik Thayhiap datang berkunjung ke biara Siau-lim dan
berbincang tentang ilmu pedang dengan pinceng, mungkin kita
sudah berpisah hampir tiga puluh tahunan bukan?"
"Betul, tiga puluh dua tahun," jawab orang itu sambil tertawa.
Biarpun hanya beberapa orang diantara para pelayat dan murid
Bu-tong-pay yang mengetahui orang itu, namun setelah mendengar
Kok Thiat-cing serta Pun-bu Thaysu menyebutnya sebagai Kwik
Thayhiap, hampir setiap orang segera mengetahui siapakah dirinya.
Ternyata orang ini tidak lain adalah pemimpin kelompok lima
setiakawan Siau-ngo-gi di masa lalu, jit-seng-kiam-kek Kwik Tanglay.
Dialah orang pertama yang lenyap dari peredaran dari antara
kelompok Siau-ngo-gi, disusul kemudian Ong Hui-bun dan Hwee-ko
Thaysu ikut lenyap dari dunia persilatan, sejak itu pula kelompok
lima setiakawan Siau-ngo-gi lenyap ditelan bumi.
Teka-teki tentang hilangnya mereka dari dunia persilatan
merupakan misteri yang tidak pernah terjawab selama tiga puluh
tahunan, siapa pun tidak mengira mereka bakal bermunculan pada
hari yang sama diatas gunung Bu-tong.
Seandainya Kwik Tang-lay datang dengan 'tangan kosong' pun
sudah cukup menghebohkan, apalagi sekarang dia muncul sambil
menggendong sebuah karung yang terbuat dari kulit.
Kantung kulit itu panjang lagi besar, dengan ketinggian badannya
yang mencapai tujuh kaki (lebih kurang 2,3 meter), ternyata
kantung kulit yang dipikulnya masih menyentuh permukaan tanah.
Selain Kok Thiat-cing yang maju menyambut, masih ada seorang
lagi yang ikut maju, dia adalah busu tua Chin Ling-hun.
Dengan wataknya yang suka bicara terus terang dan mempunyai
perasaan ingin tahu yang besar, Chin Ling-hun segera tampil ke
depan dan langsung menegur, "Kwik Thayhiap, apa isi kantung kulit
itu?" "Tidak usah terburu napsu," jawab Kwik Tang-lay sambil
tersenyum, "nanti toh kau akan tahu dengan sendirinya."
Sembari bicara dia telah berjalan sampai didepan kuburan Busiang
Cinjin, saat itulah dia baru menurunkan kantung kulit itu,
kemudian sambil bersujud memberi hormat di depan batu nisan,
katanya, "Cinjin, di masa hidupmu, aku tidak berkesempatan
mendapat petunjuk darimu, hal ini merupakan satu kejadian besar
yang paling membuat aku kecewa. Hari ini aku khusus datang untuk
membalas budi atas kebaikanmu."
Seluruh anggota Bu-tong-pay, termasuk juga Bu-liang Totiang,
todak ada yang tahu tentang persoalan ini, tanpa terasa mereka
saling bingung dan menduga-duga. Mereka tidak tahu apa
sebenarnya yang dia maksudkan sebagai balas budi itu.
Dalam pada itu Ong Hui-bun telah maju memberi hormat sambil
menyapa, "Toako, aku dengar kau sudah hidup mengasingkan diri di
luar perbatasan, sungguh bukan pekerja an yang gampang untuk
jauh-jauh datang kemari!"
Desa kelahiran Kwik Tang-lay ada di kota Lokyang, tapi Ong Huibun
sengaja mengubahnya menjadi "mengasingkan diri di luar
perbatasan", tujuannya jelas sedang memperingatkan dia, "Kau
mengetahui urusanku, akupun mengetahui urusanmu, jika kau
bongkar rahasiaku, akupun tidak akan sungkan-sungkan
menghadapi dirimu." "Hmmm!" Kwik Tang-lay mendengus dingin, ujarnya hambar,
"sudah hampir tiga puluhan tahun kau berada di gunung Bu-tong,
kalau kau bisa datang, kenapa aku tidak bisa kemari?"
Bu-beng Cinjin segera maju memberi hormat, katanya pula,
"Waktu aku berada di kota Hangciu, ternyata saat itu tidak ada
kesempatan untuk berjumpa dengan toako, hal ini benar-benar
membuatku menyesal. Ada satu hal aku harus melaporkan
kepadamu...." Kwik Tang-lay tertawa terbahak-bahak, tukasnya, "Aku sudah
tahu mengenai urusanmu, tapi sekarang kau telah menjadi
Ciangbun Cinjin, buat apa harus mempersoalkan adat kaum awam?"
"Ciangbun-sute, apakah kau tidak merasa pertanyaan mu itu
sedikit menggelikan!" ejek Bu-liang Totiang tiba-tiba.
"Bagaimana menggelikannya" Tolong dijelaskan."
Sambil menuding ke arah Ong Hui-bun ujar Bu-liang Totiang,
"Untuk mempermudah komunikasi, aku tetap menggunakan nama
panggilannya dulu. Siapa pun tahu kalau Tojin bisu tuli bertugas
melayani keperluan mendiang Ciangbunjin, bila dia pergi
meninggalkan gunung, memangnya Bu-siang Cinjin tidak akan
mengetahui akan hal ini?"
"Masuk diakal juga perkataanmu itu," Bu-beng Cinjin manggut
manggut, "tapi aku tetap ada pertanyaan yang perlu diajukan. Puthuang,
aku tetap mempercayai perkataanmu tadi, dia tidak pernah
meninggalkan gunung, tapi dalam beberapa hari itu apakah telah
terjadi sesuatu kejadian yang istimewa atas dirinya" Semisal
kedatangan tamu asing yang mengunjunginya, atau menderita
sakit." "Belum pernah ada yang datang mencarinya, sedangkan
mengenai sakit.... soal ini.... soal ini...."
"Kenapa?" "Kejadiannya sudah lewat cukup lama, aku tidak teringat lagi."
"Hmm! Lebih baik pikirkan lagi dengan cermat," dengus Kwik
Tang-lay. "Rasanya.... rasanya...." Put-huang bergumam tiada hentinya
namun tidak muncul jawaban.
Tiba-tiba Put-po memukul benak sendiri sembari berseru, "Aaah,
aku teringat sekarang, benar, beberapa hari sebelum keluarga Ho
tertimpa kejadian, rasanya paman guru bisu tuli pernah menderita
sakit yang cukup parah."
"Bagaimana mungkin daya ingatanmu begitu jelas?" seru Buliang
Totiang. "Ketika Ji-ou Thayhiap Ho suheng terbunuh, aku pernah datang
ke istana Ci-siau-kiong, waktu itu kudengar dia sedang sakit dan
sempat mendatangi kamarnya untuk menjenguk. Mengapa aku bisa
teringat begitu jelas, karena selewat beberapa hari kemudian ada
orang naik ke gunung untuk melapor kepada Ciangbun suheng
katanya di saat Ho suheng terbunuh, katanya aku terlihat hadir juga
di tempat kejadian. Maka setelah pembawa berita itu pergi, akupun
sempat bertanya kepada Put-huang, apakah sakit Tojin bisu tuli
telah sembuh. Dia bilang belum."
"Betul," kini Put-huang Tojin baru berkata, "aku pun teringat
sudah, beberapa hari itu dia memang sakit."
"Siapa pun dapat terserang sakit setiap saat, apa yang perlu
diherankan," sela Ong Hui-bun.
"Ilmu silatmu begitu bagus, kau menderita penyakit apa?" tanya
Bu-beng Cinjin. "Kejadian itupun sudah berlangsung tujuh belas tahun berselang,
mana mungkin aku masih ingat sakit apa yang kuderita waktu itu?"
Jawaban itu seketika menimbulkan perasaan curiga dari para
anggota Bu-tong-pay. Perlu diketahui, dalam ingatan mereka, Tojin bisu tuli jarang
sekali sakit, mungkin sakitnya waktu itu merupakan satu-satunya
sakit yang pernah diderita, mana mungkin dia bisa tidak teringat"
Sorot mata banyak orang mulai dialihkan ke tubuh Put-po.
Terdengar Put-po Tojin berkata lagi, "Aku menengoknya ketika
dia berada dalam kamar, memang dia, bukan orang lain."
"Hmm, masih ada yang hendak kalian katakan?" jengek Ong Huibun
sambil tertawa dingin. "Masih!" jawab Kwik Tang-lay.
"Sebelum Ji-ou Thayhiap Ho Ki-bu dibunuh orang, telah terjadi
pembunuhan misterius terhadap Ting Hun-hok, seorang murid
preman perguruan kita di kota Yan-keng, disusul kemudian Bu-kek
Tianglo dibokong orang hingga menderita luka parah sewaktu dalam
perjalanan menuju kotaraja, dari pelbagai gejala yang tampak, jelas
ada sekawanan penghianat yang berniat mencelakai perguruan. Bukek
Tianglo meninggal setelah beberapa hari menderita luka parah,
tapi terus terang saja sebelum dia tewas, aku telah mendapat kabar
kalau seorang murid Ho Ki-bu telah bersekongkol dengan bangsa
Boan di luar perbatasan, bahkan sedang dalam perjalanan pulang ke
selatan. Waktu itu aku kuatir sasaran ke tiga yang bakal dibunuh
para penghianat adalah Ho Ki-bu, oleh sebab itu aku memohon
kepada Bu-siang Cinjin agar segera mengutus orang untuk memberi
kabar kepada keluarga Ho."
"Darimana kau bisa memperoleh berita yang sangat penting itu?"
tanya Bu-si Tojin. "Biarpun aku hidup mengasingkan diri dan bersembunyi di atas
gunung Bu-tong, akan tetapi di tempat luaran aku masih
mempunyai banyak sekali mata-mata. Kabar itu kuperoleh lewat
Put-huang saat dia naik ke gunung Bu-tong waktu itu. Karenanya
akupun langsung melapor kepada Bu-siang Cinjin, atas seijin
Ciangbunjin, akupun meminta kakakku untuk menggantikan aku
berlagak sakit, sementara aku turun gunung melakukan
penyelidikan akan sepak terjang para penghianat! Jadi sebenarnya
sejak awal Bu-siang Cinjin maupun Put-huang sudah mengetahui
identitas-ku yang sebenarnya."
Diantara para murid Bu-tong-pay meski ada juga yang curiga
kalau pengakuannya tidak jujur, namun Bu-siang Cinjin maupun
Ong Hui-sin (kakak Ong Hui-bun) telah meninggal, orang yang
sudah mati memang tidak bisa dimintai kesaksian!
Yang lebih sukar dibantah lagi adalah semua persoalan dia
limpahkan atas nama Bu-siang Cinjin, kalau bukan mengatakan hal
ini telah dilaporkan kepada Bu-siang Cinjin, dia pasti beralasan ide
tersebut muncul atas saran Bu-siang Cinjin, tapi memang dalam
kenyataan dia telah melayani Bu-siang Cinjin hampir tiga puluh
tahunan lamanya. Bila ada yang menunjukkan sikap curiga, bukankah hal ini sama
artinya tidak menaruh hormat kepada Bu-siang Cinjin" Paling tidak
Bu-siang Cinjin pun tersangkut dalam kesalahan ini"
Padahal segenap anak murid Bu-tong-pay menaruh sikap yang
sangat hormat terhadap Bu-siang Cinjin, sekalipun timbul
kecurigaan tersebut, mereka pun tidak berani mengutarakannya
keluar. Sambil tertawa dingin kata Bu-si Tojin, "Benarkah Keng King-si
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memiliki kemampuan yang begitu hebat sehingga mampu
mencelakai seluruh anggota perguruannya?"
"Perkataanmu tepat sekali!" seru Ong Hui-bun cepat, "yang
kumaksudkan sebagai sang penghianat tentu saja bukan Keng Kingsi,
Keng King-si tidak lebih hanya merupakan kuku garudanya.
Padahal Ho Ki-bu sendiripun tewas di tangan penghianat itu, tentu
saja dia bisa masuk ke rumah keluarga Ho dengan mulus lantaran
mendapat bantuan dari Keng King-si."
"Waah, kau mengetahui kejadian ini dengan begitu jelas,
tampaknya saat itupun kau berada disana?" sindir Bu-si Tojin.
"Waktu itu kedatanganku terlambat selangkah, yang kulihat
hanya bayangan punggungnya. Kepandai-an yang dimiliki orang itu
jauh diatas kemampuanku dan aku yakin masih bukan
tandingannya, oleh karena itu aku hanya bisa menghindari
'memukul rumput mengejutkan ular'. Ehm, kalau dibicarakan
sesungguhnya sangat memalukan, waktu itupun aku kelewat egois,
terus terang, dengan orang itu aku pernah mempunyai hubungan
yang cukup akrab, lagipula orang itupun merupakan seorang jago
dengan bakat alam yang hebat, karena muncul dari perasaan
sayang maka aku berharap dia dapat bertobat dan kembali ke jalan
yang benar. Aku pikir jika tujuannya hanya ingin merebut kekuasaan
dalam partai, apa salahnya kalau aku bantu dia untuk
merahasiakannya sementara waktu sambil melihat perkembangan di
kemudian hari!" Begitu ucapan tersebut diutarakan, maka jelas sudah kalau orang
yang dia tuduh sebagai "penghianat" tidak lain adalah Bu-beng
Cinjin. "Kalau begitu mengapa tidak segera kau sebutkan, siapakah
penghianat itu?" kata Bu-beng Cinjin dingin.
Ong Hui-bun tertawa dingin.
"Kau benar-benar menyuruh aku untuk mengatakannya?"
ejeknya. Tiba tiba terdengar seseorang tertawa dingin, dengan suara yang
lebih nyaring serunya, "Kalau begitu biar aku saja yang mewakilimu
untuk mengatakan, penghianat itu tidak lain adalah kau!
Pengkhianat bangsa yang telah menjadi mata-mata bangsa Boan
pun adalah kau!" Tentu saja orang yang mengucapkan perkataan itu tidak lain
adalah Jit-seng-kiam-kek Kwik Tang-lay!
Kejut bercampur gusar Ong Hui-bun segera membentak, "Kau...."
"Kau, kau apa?" tukas Kwik Tang-lay, "aku mah tidak seperti
dirimu, kau sangka karena yang mati tidak dapat bersaksi maka kau
boleh bicara sembarangan" Hmmm! Kalau aku berbicara disertai
dengan bukti yang jelas!"
Keder juga perasaan hati Ong Hui-bun setelah mendengar kata
kata itu, namun dia enggan menyerah dengan begitu saja, pikirnya,
'Kenapa aku tidak mengajaknya berduel sampai titik darah
penghabisan"' Berpikir begitu segera bentaknya, "Mana buktinya?"
"Disini telah hadir saksi-saksi hidup!"
Mendadak Bu-beng Cinjin seperti tersadar kembali, segera
ujarnya pula, "Benar, tadi kau mengatakan semuanya ada tiga
orang saksi, saksi pertama adalah Put-huang, saksi kedua adalah
Ong Hui-seng, saksi ke tiga adalah...."
"Saksi ke tiga adalah aku!" sambung Kwik Tang-lay dengan nada
lantang. "Kau jangan ngaco belo!" bentak Ong Hui-bun.
"Bukti penghianatanmu dengan bangsa Boan telah terjatuh ke
tanganku, apakah harus kubacakan surat itu di depan orang banyak
sebelum kau mau mengakuinya?"
"Aneh," sambil keraskan kepala Ong Hui-bun berseru,
"seandainya benar benar ada bukti bahwa aku telah bersekongkol
dengan bangsa Boan, seharusnya bukti itu rahasia sekali, mana
mungkin bisa terjatuh ke tanganmu" Kalau bukan barang palsu,
kecuali kau adalah...."
Belum selesai ia berkata, Kwik Tang-lay telah menukas lebih
dulu, "Betul sekali, kau adalah mata-mata bangsa Boan, aku pun
mata-mata bangsa Boan. Tapi aku adalah mata mata gadungan
sementara kau adalah mata-mata beneran! Selama banyak tahun
meski kau belum pernah bertemu aku, tapi kau seharusnya tahu,
sesungguhnya akulah atasanmu selama ini!"
Tampaknya Ong Hui-bun telah terdesak hingga seakan hewan
buas yang terperangkap dan tidak mampu melarikan diri lagi, tibatiba
dia menerkam ke arah Kwik Tang-lay.
Tampak cahaya pedang berkelebat, di tengah gulungan
bayangan telapak tangan, ujung baju yang dikenakan Ong Hui-bun
telah terpapas kutung sebagian dan kebetulan hancur menjadi tujuh
keping, ke tujuh keping hancuran kain itu bagaikan tujuh ekor kupu
kupu yang terbang dan menari di tengah hembusan angin.
Serentak Bu-si Tojin serta Put-po Tojin bersorak memuji, "Ilmu
pedang tujuh bintang yang hebat!"
Kedua orang ini sama-sama merupakan jagoan kelas satu dalam
dunia persilatan, menurut peraturan yang berlaku, bila dua orang
jagoan sedang bertarung, Orang lain tidak diperkenankan ikut
campur, sekalipun ingin campur tanganpun belum tentu dapat
mencampurinya. Ong Hui-bun segera merangkap tangannya di depan dada,
dengan tangan kiri membetot tangan kanan menarik, gerak
pukulannya mantab bagaikan batu karang, tapi juga ringan bagai
selembar bulu angksa. Pada serangan pertama meski Kwik Tang-lay berhasil mendesak
musuhnya namun pada serangannya yang ke dua ujung pedangnya
seolah terjerumus dalam pusaran angin yang tidak berwujud,
cahaya pedang mesti bergerak berulang kali namun tidak satu pun
berhasil menusuk ke arah tubuhnya.
Menyaksikan kehebatan ini, tanpa terasa ada orang yang
berteriak memuji, "Bagus sekali.... ba...."
Mendadak ucapan itu terhenti ditengah jalan, agaknya secara
tiba-tiba dia teringat kalau Tojin bisu tuli telah terbukti merupakan
penghianat yang menyusup ke dalam perguruan mereka, masa dia
harus memuji seorang mata-mata"
Kwik Tang-lay bergerak cepat bagaikan bayangan setan, dimana
cahaya pedangnya melintas seketika terciptalah beratus ratus
perubahan yang luar biasa.
Sebaliknya sepasang tangan Ong Hui-bun berputar bagaikan
gelang, jurus demi jurus dilancarkan dengan membetuk lingkaran
bulat. Lingkaran besar, lingkaran kecil, lingkaran kiri, lingkaran kanan,
lingkaran lurus, lingkaran serong, dalam lingkaran terdapat
lingkaran lain. Kalau dibicarakan memang sungguh aneh, betapa pun ganas dan
cepatnya permainan pedang Kwik Tang-lay, ternyata tidak satu
jurus pun yang mampu mendekati tubuhnya.
Lingkaran pedang itu bagaikan pusaran air yang tidak berwujud,
menggiring ujung pedang Kwik Tang-lay menjadi serong kesanakemari
tidak beraturan. Terdengar desingan angin tajam menderu-deru, dedaunan yang
berada pada pepohonan di seputar mereka berguguran tiada
hentinya, bila diperhatikan, dapat dilihat setiap daun yang rontok
semuanya telah terbelah menjadi tujuh keping.
Bu-si Tojin benar-benar kesemsem dibuatnya, tiada hentinya dia
bergumam, "Menyerang belakangan mencapai tujuan duluan,
meminjam tenaga memukul tenaga, Thay-kek berputar bular,
bersambungan tiada putus. Aaah, aku mengerti sekarang apa
maksud dari teori ini, tapi alangkah sulitnya untuk bisa mencapai
tingkatan seperti ini."
Tiba-tiba terdengar Keng Giok-keng berbisik lirih, "Walaupun
tidak berbentuk, juga tidak nampak sakti, misalkan seratus langkah
baru dilewati sembilan puluh. Sama seperti semula, sama sekali
tiada daya cipta." Waktu itu Bu-si Tojin sedang memusatkan seluruh perhatian
untuk mengikuti jalannya pertempuran, dia tidak memperhatikan
kalau saat itu Keng Giok-keng telah tersadar kembali.
Terkejut bercampur gembira Bu-si Tojin segera bertranya,
"Maksudmu ilmu pukulan Thay-kek-kunnya masih terdapat banyak
titik kelemahan?" Keng Giok-keng mengangguk.
"Benar, dia itu tebal tapi tidak lentur, kesempurnaan yang dicapai
sesungguhnya belum mampu melebihi dirimu."
"Kau bukan sedang memuji aku bukan" Tenaga dalamnya jauh
lebih hebat dariku, jurus serangannya juga lebih lihay daripada
diriku." "Nah, titik kelemahannya justru terletak pada kata lihay!"
Bu-si Tojin seperti mengerti tapi tidak paham, namun berhubung
pertarungan antara Kwik Tang-lay dengan Ong Hui-bun makin lama
berlangsung makin sengit, diapun tidak ada waktu lagi untuk
berpikir lebih jauh. Berbicara tentang tenaga dalam, sesungguhnya kemampuan
Kwik Tang-lay jauh lebih hebat daripada Ong Hui-bun, hanya saja
karena terkendali oleh pukulan Thay-kek-kun lawan maka daya
kemampuan yang dimiliki Jit-seng-kiam-hoat jadi terhambat dan
sukar untuk dipancarkan keluar.
Walau begitu, dengan ketajaman matanya yang bisa mengawasi
empat penjuru dan pendengarannya yang bisa menangkap suara di
delapan arah, kendatipun ucapan dari Keng Giok-keng sangat lirih,
namun setiap patah kata dapat didengarnya amat jelas, dalam
waktu singkat diapun memahami maksud dari perkataan itu.
Sebagaimana diketahui, Ong Hui-bun baru setengah jalan masuk
menjadi pendeta dan hidup melayani kebutuhan Bu-siang Cinjin
selama hampir tiga puluhan tahun lamanya, meskipun dia telah
memperoleh ajaran ilmu silat tingkat tinggi dari Bu-tong-pay, namun
ilmu silat asalnya telah mendarah daging hingga sulit baginya untuk
membuang semuanya. Ilmu silat yang semula dipelajarinya tergolong ilmu silat
bertenaga keras, setelah melalui latihan hampir tiga puluhan tahun,
dia mengira dirinya berhasil membaurkan sifat keras dari ilmu silat
asalnya dengan sifat lembut dari ilmu silat Bu-tong-pay, padahal
justru karena hal inilah dia jadi gagal mencapai tingkatan yang lebih
sempurna. Ketika keadaan tersebut jatuh dalam pandangan mata Keng
Giok-keng, diapun menganggap hal ini sebagai "Tebal tapi tidak
lentur". Di tengah pertempuran sengit yang sedang berlangsung, tibatiba
terdengar suara...."Criiiit!" bahu kiri Ong Hui-bun telah terkena
sebuah tusukan, namun tusukan itu tidak sampai mengucurkan
darah, hanya pakaiannya yang tertembus oleh ujung pedang.
Menyusul kemudian "Buuuk!" Kwik Tang-lay terhajar pula oleh
sebuah pukulan hingga mundur berapa langkah sebelum dapat
berdiri tegak. Tampaknya luka yang diderita pun tidak terlampau berat, namun
bagaimanapun juga jelas diapun menderita kerugian yang cukup
besar. Sesudah termangu berapa saat mendadak Bu-si Tojin menari-nari
sambil berteriak, "Anak Keng, perkataanmu memang benar, aku
mengerti, aku mengerti sudah! Tebal tapi tidak lentur, kelihatan
kuat padahal lemah, tidak masuk sarang harimau mana mungkin
bisa memperoleh anak macan!"
Orang yang berada di sampingnya, kecuali Keng Giok-keng, tidak
seorang pun mengerti apa yang dia katakan.
"Susiok, kau mengerti soal apa?" tanya Put-po cepat.
"Coba lihat, begitu besar titik kelemahannya!" teriak Bu-si Tojin
lagi. Put-po mencoba mengawasi tengah arena, tapi segera katanya
sambil garuk-garuk kepala, "Titik kelemahan siapa" Mengapa aku
tidak melihatnya?" Saat itu Kwik Tang-lay telah merangsek maju lagi setelah mundur
sejenak, jurus serangannya makin cepat dan ganas, bunga pedang
yang berkuntum-kuntum ibarat bintang yang bertaburan di tengah
kegelapan malam dan berguguran ke atas bumi.
Begitu sengitnya pertarungan yang sedang berlangsung,
membuat Put-po Tojin terbelalak lebar, dalam keadaan begini
diapun tidak sempat lagi berbicara dengan Bu-si Tojin.
"Hey, hei, kau paham tidak?" teriak Bu-si Tojin lagi, "kalau tidak
masuk sarang harimau, bagaimana bisa memperoleh anak macan!"
Walaupun serangan yang dilancarkan Kwik Tang-lay makin cepat
dan makin garang, namun tenaga serangannya telah berkurang
banyak sekali. Diam-diam Ong Hui-bun kegirangan, dia sangka pukulan yang
disarangkan ke tubuhnya tadi meski tidak sampai menimbulkan luka
yang sangat parah, namun bisa diduga kalau lukanya pun tidak
ringan. Cepat dia gunakan jurus Huan-tiong-po-gwat (dalam rangkulan
memeluk rembulan), gerak pukulannya menciptakan satu lingkaran
yang besar sekali dan segera mengurung seluruh tubuh Kwik Tanglay.
Menanti Kwik Tang-lay menarik kembali pedangnya, pukulan
yang semula tipuan pun berubah jadi pukulan nyata, biar
menyerang belakangan namun tiba disasaran lebih dulu, dia berniat
mencabut nyawa Kwik Tang-lay.
"Aaaai, kau...." Bu-si Tojin menghela napas panjang.
Tiba-tiba dia menyaksikan sekulum senyum kegirangan melintas
di wajah Keng Giok-keng, Bu-si Tojin jadi tercengang, pikirnya,
'Bukankah Kwik Tang-lay telah menunjukkan gejala kalah, kenapa
dia malah tampak kegirangan" Jangan-jangan diapun berharap Ong
Hui-bun yang berhasil meraih kemenangan"'
Belum habis ingatan tersebut melintas, mendadak terdengar Kwik
Tang-lay berseru, "Terima kasih banyak atas petunjukmu!"
Mendadak tubuhnya merangsek maju ke depan, dengan jurus
Pek-hong-koan-jit (bianglala putih menembusi matahari), ujung
pedangnya langsung menusuk ke dalam lingkaran pukulan yang
diciptakan Ong Hui-bun. "Benar sekali!" seru Bu-si Tojin kegirangan.
Tiba-tiba dia menyaksikan paras muka Keng Giok-keng berubah
jadi pucat pias, perasaan gelisah mencekam seluruh wajahnya,
senyuman girang yang semula menghiasi bibirnya, kini hilang lenyap
tidak berbekas. Dengan cepat Bu-si Tojin tersadar kembali, teriaknya, "Aaaai,
masih tetap keliru! Cepat, cepat mundur....!"
Belum habis dia berteriak, tampak tusukan pedang Kwik Tang-lay
telah menusuk masuk ke dada Ong Hui-bun, tapi dengan cepat
senjata itu berhasil direbut lawannya, menyusul kemudian sebuah
pukulan dahsyat membuatnya roboh terjungkal ke tanah.
Ternyata yang dimaksud "sarang harimau" oleh Busi Tojin adalah
lingkaran yang diciptakan oleh pukulan Ong Hui-bun, apabila telah
dilatih hingga mencapai puncak kesempurnaan, lingkaran tersebut
seharusnya merupakan tempat yang paling kuat mengandung
tenaga merekat. Ketika tusukan pedang menembusi lingkaran pukulan itu, sudah
pasti pedang tersebut akan dirampas nya, tapi berhubung dia
masuk jadi pendeta di tengah jalan, maka yang dipelajarinya pun
jadi tebal tapi tidak lentur, tenaga dalam yang terkandung dalam
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lingkaran pukulannya jadi menyebar ke empat penjuru, dengan
begitu akan terbukalah sebuah titik kosong.
Tadi, Kwik Tang-lay tidak memahami teori tersebut, karena itu
ketika melihat ujung pedangnya selalu tergiring ke sana kemari
setiap kali mendekati tubuh lawan, maka diapun hanya bisa mundur
dan tidak berani meneter lebih jauh.
Tapi sayang walaupun pada akhirnya dia memahami petunjuk
dari Bu-si Tojin, namun tenaga serangannya tidak sesuai dengan
kehendak hatinya, dia hanya memburu maju tapi lupa meninggalkan
sisa kekuatan untuk perlindungan, kecepatan tusukan pedangnya
pun tidak mencapai pada posisi yang tepat.
Akibatnya walaupun dia berhasil melukai lawan, namun luka yang
dideritanya justru jauh lebih berat.
Baru saja Bu-si Tojin hendak berteriak, mendadak terlihat sekilas
cahaya pedang meluncur ke arahnya dengan kecepatan tinggi,
ternyata Ong Hui-bun gemas karena dia banyak bicara, maka
dengan menggunakan pedang hasil rampasan dari Kwin Tang-lay,
dia timpuk ke arahnya. Cepat Bu-si Tojin mencabut pedangnya untuk menangkis,
"Trannng!" percikan bunga api menyebar ke empat penjuru, pedang
tersebut terbang lewat nyaris menempel di atas jidatnya.
Bu-si Tojin tidak menyangka kalau Ong Hui-bun dalam keadaan
terluka parah ternyata masih memiliki tenaga dalam yang begitu
kuat, buru-buru teriaknya, "Anak Keng, hati-hati!"
Keng Giok-keng segera menempelkan tangan kirinya diatas
pedang yang sedang meluncur ke arahnya, begitu gagang
pedangnya sedikit ditarik, tahu tahu senjata itu sudah jatuh ke
tangannya. Entah darimana datangnya kekuatan itu, dari menerima pedang
sampai melesat ke muka, semua gerakan dilakukan hampir
bersamaan waktu dan secara tepat menghadang jalan pergi Ong
Hui-bun. "Tidak salah," ejek Ong Hui-bun dengan suara sinis, "akulah yang
telah membunuh ayah angkatmu, ayoh, kalau berani turun tangan!"
Tidak seorangpun yang percaya kalau dia akan menyerah dengan
begitu saja, segera terdengar teriakan orang-orang itu, "Cepat
mundur! Cepat mundur!"
Bu-si Tojin jauh lebih gelisah, bentaknya nyaring, "Kalau berani
melukai anak Keng, aku orang pertama yang tidak akan melepaskan
dirimu!" Belum selesai dia berkata, Keng Giok-keng telah melancarkan
sebuah tusukan ke depan. Dalam waktu sekejap, hampir setiap orang mengkhawatirkan
keselamatan jiwa Keng Giok-keng, mereka khawatir sebelum ujung
pedangnya sempat menyentuh lawan, dia sudah dihajar mati duluan
oleh tenaga pukulan musuh.
Perlu diketahui, Keng Giok-keng baru saja ter-sadar dari
pingsannya, tenaga dalam yang dimilikinya sekarang nyaris telah
tiada, sementara Ong Hui-bun selain pandai menggunakan ilmu
pukulan pedang dari Bu-tong-pay, meski diapun sudah terluka
namun bagaimana pun juga kondisinya masih jauh lebih prima
daripada Keng Giok-keng. Tapi semua kejadian hanya berlangsung dalam waktu singkat,
belum habis mereka mengkhawatirkan keselamatan Keng Giokkeng,
kini hampir semuanya berubah jadi tercengang, kaget dan
terperangah. Ternyata dari sisi alis mata, tengah kening, sepasang tulang Pipakut pada bahunya serta dua puting susu di dada Ong Hui-bun
telah muncul butiran darah sebesar beras, setetes demi setetes
meleleh keluar tiada hentinya.
Tiada reaksi dari Ong Hui-bun, juga tidak ada serangan balasan,
hanya sepasang matanya terbelalak lebar-lebar, mengawasi Keng
Giok-keng tanpa berkedip. Yang lebih aneh lagi, ternyata sinar
matanya memancarkan perasaan girang bercampur kaget.
Pa-san-kiam-kek Kok Thiat-cing yang mempunyai gelar dewa
pedang pun berseru tertahan, dengan suara lirih tanyanya kepada
Put-po Tojin yang berdiri disisinya, "Kenapa diapun bisa
menggunakan Jit-seng-kiam-hoat?"
Tampaknya Put-po sendiripun berdiri tertegun, entah apakah
lantaran dia tidak mendengar pertanyaan itu atau karena hal lain,
dia hanya terbungkam dalam seribu basa.
"Bagus, ilmu pedang yang bagus!" terdengar Ong Hui-bun
berkata pelan, "jurus Pak-to-jit-seng (tujuh bintang busur utara) mu
sudah jauh mengungguli Bu- siang Cinjin! Aaai, tidak sia-sia aku...."
Bagaikan orang yang kehabisan tenaga hingga untuk berbicara
pun tidak mampu, belum selesai dia berkata, tubuhnya sudah roboh
lemas dalam pelukan Keng Giok-keng.
Pak-to-jit-seng merupakan jurus hasil ciptaan Bu-siang Cinjin,
sepintas memang mirip dengan ilmu pedang jit-seng-kiam-hoat,
padahal jurus ini merupakan gubahan dari ilmu pedang Thay-kekkiamhoat, dibandingkan Jit-seng-kiam-hoat berbeda sekali.
Mendengar perkataan itu Kok Thiat-cing semakin tercekat,
pikirnya, 'Sekalipun Ong Hui-bun masih mempunyai kekuatan untuk
melancarkan serangan balasan pun, rasanya sulit bagi dia untuk
menghindari jurus serangan yang maha dahsyat ini!'
Ong Hui-bun tergeletak lemas dalam pelukan Keng Giok-keng, di
tubuhnya terdapat tujuh buah mulut luka, yang besar seperti mata
uang dan yang kecil seperti mata jarum, darah masih meleleh terus
tiada hentinya. Kini semua kegarangan dan keangkerannya telah musnah, mimik
mukanya telah pulih kembali seperti mimik muka Tojin bisu tuli yang
sudah sering dilihat Keng Giok-keng.
Walaupun ucapan terakhirnya hanya disampaikan separuh kata,
namun Keng Giok-keng mengetahui dengan jelas apa yang hendak
dia katakan. Pertama kali belajar Thay-kek-kiam-hoat, Keng Giok-keng belajar
dari ayah angkatnya Put-ji, yaitu mempelajari ilmu pedang Thaykekkiam-hoat aspal, asli tapi palsu.
Orang pertama yang menunjukkan kesalahan pada permainan
pedangnya adalah Tojin bisu tuli, waktu itu dia mencoba
memperagakan jurus pedangnya di hadapan Bu-siang Cinjin.
Kemudian Bu-siang Cinjin baru meminta Bu-si Tojin untuk
mengajarkan ilmu pedang Bu-tong-pay kepadanya dan terakhir Busiang
Cinjin mewariskan Kiam-boh serta Sim-hoat tenaga dalam
miliknya kepada bocah itu, sebelum akhirnya berhasil mencapai
taraf seperti hari ini. Jadi kalau ditelusuri kembali, Tojin bisu tuli sesungguhnya masih
terhitung gurunya yang pertama.
Ucapan terakhirnya yang belum sempat disampaikan adalah,
"Tidak sia-sia aku pernah mengajarimu!" mungkin saja orang lain
tidak paham, tapi Keng Giok-keng sangat memahaminya.
Apalagi sama seperti Bu-siang Cinjin serta Bu-si Tojin, rasa cinta
kasih Tojin bisu tuli terhadapnya boleh dibilang sangat tulus dan
benar-benar menaruh perhatian.
Untuk berapa saat Keng Giok-keng mengenang kembali masa
masa kecilnya dulu, benar, orang yang mencintainya masih ada lagi
ayah dan ibu asuhnya, hanya mereka amat jarang menemaninya
bermain. Bu-si Tojin hanya mengajarkan ilmu pedang, diapun amat jarang
menemaninya bermain, apalagi Bu-siang Cinjin.
Selama ini yang menemaninya bermain selain 'cici'nya Lan Suileng,
hanya Tojin bisu tuli inilah teman bermain sejatinya. Bahkan
boleh dibilang Tojin bisu tuli adalah satu-satunya 'sahabat' karib dia
yang tidak mungkin bisa terlupakan.
Tapi sekarang 'sahabat tua'nya telah terluka oleh ujung
pedangnya, bahkan segera akan tewas di dalam pelukannya.
Keng Giok-keng terhitung seseorang yang gampang terpengaruh
oleh emosinya, dalam waktu itu juga dia seolah sudah lupa kalau
Ong Hui-bun telah membunuh kedua orang tua asuhnya, dia seakan
sudah lupa dengan dendam kesumatnya.
Sambil memeluk Tojin bisu tuli, serunya sambil berisak, "Aku....
sebenarnya aku tidak ingin berbuat begitu...."
Sekulum senyuman segera tersungging diujung bibir Ong Huibun,
katanya lirih, "Kau sudah seharusnya berbuat begini, tidak
perlu menyesal, aku lebih suka mati ditanganmu daripada harus
mati di tangan Kwik lotoa! Ehmm, ada satu hal kau harus.... harus
percaya kepadaku!" Berbicara sampai disini, napasnya sudah bertambah lemah dan
setiap saat seakan bakal putus.
Terpaksa Keng Giok-keng menempelkan telinganya disisi bibir
Ong Hui-bun. Terdengar dia berbisik, "Bukan aku yang membunuh
kakek luarmu! Dia.... dia...."
Buru-buru Keng Giok-keng mengurut dadanya sembari bertanya,
"Siapakah dia?"
Tapi akhirnya Ong Hui-bun tidak sanggup menyebutkan nama
orang itu, dia keburu menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Meledaklah isak tangis Keng Giok-keng.
Tiba-tiba terdengar Bu-beng Cinjin berteriak memanggil, "Keng-ji,
cepat kemari!" Ternyata jit-seng-kiam-kek Kwik Tang-lay sudah mendekati saat
ajalnya. Luka yang diderita Kwik Tang-lay jauh lebih berat daripada Ong
Hui-bun, isi perutnya telah hancur sebagian karena termakan
pukulan berat yang dilepaskan Ong Hui-bun tadi.
Saat ini Bu-beng Cinjin telah membangunkan dirinya, dengan
tangan sebelah menempel dipunggungnya, dia menyalurkan
segulung hawa murni ke dalam tubuhnya lewat jalan darah diatas
punggung. Perlahan-lahan Kwik Tang-lay membuka kembali matanya dan
menggerakkan bibir. Cepat Bu-beng Cinjin menempelkan telinganya, terdengar Kwik
Tang-lay dengan suara yang amat lirih berbisik, "Aku.... aku telah
melepaskan dirinya."
Tentu saja Bu-beng Cinjin tahu "dirinya" yang dimaksud adalah si
Lebah hijau Siang Ngo-nio.
Tampaknya sejak awal Kwik Tang-lay sudah tahu kalau persoalan
inilah yang paling menguatirkan dirinya, sehingga ucapan
pertamanya adalah membebaskan semua kerisauan hatinya.
Selain terharu dan berterima kasih, Bu-beng Cinjin merasa juga
amat malu bercampur menyesal, untuk sesaat dia sampai tidak tahu
apa yang harus dikatakan.
Kembali Kwik Tang-lay berkata, "Manusia mana yang tidak
pernah melakukan kesalahan, kesalahan yang kulakukan jauh lebih
besar darimu, hanya saja...."
Berbicara sampai disini dia mulai terengah-engah hingga tidak
mampu melanjutkan kembali perkataannya, terpaksa dia berhenti
sambil mengatur napas. Bu-beng Cinjin segera menguruti dadanya, beberapa saat
kemudian napas Kwik Tang-lay baru bisa teratur kembali, ujarnya
lebih jauh sambil menghela napas, "Sebenarnya watak Hui-bun tidak
terlampau jahat, hanya sayang ambisinya untuk memperoleh nama
dan pahala kelewat besar, dia iri padamu dan lo-ngo, itulah
sebabnya sampai terjebak dalam perangkap orang lain dan berakhir
secara tragis, aku.... aku...."
Bu-beng Cinjin tahu, yang dimaksud sebagai lo-ngo adalah Lioklim
Bengcu wilayah utara Tonghong Siau, hanya saja dia tidak tahu
kerelaan Ong Hui-bun menjadi mata-mata bangsa Boan kenapa bisa
berhubungan dengan Tonghong Siau. Tentu saja dalam keadaan
seperti ini dia tidak sempat lagi untuk banyak bertanya.
Dalam berapa saat kemudian sepasang mata Kwik Tang-lay
kembali kehilangan cahaya, ketika Bu-beng Cinjin menempelkan
tangan di punggungnya, terasa hawa murni yang berada di dalam
tubuhnya telah semakin kacau hingga mencapai keadaan yang
sukar dikendalikan lagi. Bagi seorang jago dengan tenaga dalam yang sempurna, bila
hawa murninya telah kacau hingga mencapai taraf seperti itu,
sekalipun terdapat pil dewa juga sulit untuk menyembuhkannya
kembali, setiap saat jiwanya bisa melayang.
Padahal masih terdapat banyak persoalan yang ingin ditanyakan
Bu-beng Cinjin, sadar kalau keadaan sudah makin mendesak,
terpaksa dia pun bertanya, "Toako, apakah kau masih ada pesan
terakhir yang hendak disampaikan?"
Sementara itu Keng Giok-keng telah membaringkan Ong Hui-bun
yang berada dalam pelukannya dan berlari menghampiri Jit-sengkiamkek Kwik Tang-lay. Saat itu napas Kwik Tang-lay sudah semakin lirih, namun masih
bisa memaksakan diri untuk berbicara, "Keng-sauhiap, aku mohon
satu hal...." "Kwik-locianpwee," buru-buru Keng Giok-keng menyahut dengan
perasaan terperanjat, "ketika masih berada diluar perbatasan, aku
pernah menerima budi pertolonganmu, kalau ada pesan silahkan
diperintahkan." "Konon kau pernah berkunjung ke kota Kim-leng dan bertemu
dengan anakku?" Keng Giok-keng manggut-manggut.
"Benar, sewaktu berada di kota Kim-leng, kebetulan putramu
Kwik Bu baru datang dari kotaraja. Aku sempat berjumpa muka
dengan dirinya." Dia sengaja menyebut nama Kwik Bu agar orang lain tahu kalau
Kwik Bu yang dituduh Bu-liang Totiang sebagai mata-mata bangsa
Boan meski mempunyai nama Boan sebagai Huo Bu-tuo,
sesungguhnya dia tidak lain adalah putra Jit-seng-kiam-kek Kwik
Tang-lay. Terdengar Kwik Tang-lay berkata lagi, "Tolong sampaikan semua
kejadian yang berlangsung hari ini kepadanya, suruh dia secepatnya
hidup mengasingkan diri, makin jauh bersembunyi semakin baik.
Kau.... kau.... kaupun harus...."
Agar tidak terlalu payah untuk berbicara, buru-buru Keng Giokkeng
menukas, "Aku mengerti. Aku akan segera berangkat selesai
upacara penguburan ini dan berusaha menyampaikan kabar ini
kepadanya sebelum berita tersebut terkirim ke luar perbatasan."
Sebagaimana diketahui, peran Kwik Bu adalah seorang spion
ganda, dalam tampilan dia seolah sedang bekerja untuk bangsa
Boan, padahal kenyataannya adalah kebalikan.
Kini identitas Kwik Tang-lay telah terbongkar, tentu saja kejadian
ini besar kemungkinan akan mempengaruh peran putranya. Begitu
bangsa Boan memperoleh berita ini, mereka pasti akan mengutus
sekawanan jago lihay untuk membunuh Kwik Bu.
Tadi, Kwik Tang-lay ingin berkata " kaupun harus secepatnya
menyampaikan kabar ini, makin cepat makin baik", namun setelah
mendengar jawaban Keng Giok-keng, sekulum senyum kepuasan
pun tersungging di bibirnya. Kini dia alihkan sinar matanya ke wajah
Bu-beng Cinjin. Pikiran dan perasaan hati Bu-beng Cinjin saat itu dipenuhi
dengan keraguan, mengikuti rencananya semula, dia ingin Keng
Giok-keng menjabat sebagai Ciangbunjin baru, kalau memang
begitu, mana boleh dia melakukan perjalanan jauh"
Tapi hari ini Kwik Tang-lay telah membantunya membongkar
kedok penghianat yang menyusup dalam partainya, jasa yang dia
lakukan terhitung sangat besar, apalagi permintaan itu merupakan
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
permintaan terakhirnya, mana boleh dia tampik permintaan orang"
Maka setelah ragu sejenak diapun berkata, "Toako tidak usah
kuatir, walau ada urusan sepenting apa pun, aku pasti akan
mengijinkan anak Keng untuk menyelesaikan pesan mu itu."
Kwik Tang-lay merasa sangat lega, perlahan-lahan dia pejamkan
matanya. Tiba-tiba Keng Giok-keng berteriak keras, "Kwik locianpwee, ada
satu persoalan aku ingin bertanya kepadamu!"
Bu-beng Cinjin segera menyalurkan kembali tenaga dalamnya ke
tubuh Kwik Tang-lay. Tampak Jit-seng-kiam-kek membuka matanya, ketika melihat
kegelisahan yang mencekam wajah Keng Giok-keng, tidak
menunggu pemuda itu buka suara, dia sudah berkata lebih dulu,
"Aku tahu apa yang ingin kau tanyakan, apa yang dia katakan
tentang persoalan itu?"
"Dia bilang kakek luarku bukan dia yang bunuh."
Mendadak Kwik Tang-lay melototkan sepasang matanya semakin
besar, dia seakan bimbang juga oleh jawaban tersebut.
Bu-beng Cinjin sendiripun mempunyai satu persoalan penting
yang ingin ditanyakan kepada Kwik Tang-lay, dia tahu nyawa Kwik
Tang-hay sudah berada diujung tanduk, saat ini dia bisa
melanjutkan hidup karena dukungan hawa murninya, jelas keadaan
seperti ini tidak akan berlangsung lama.
Dia tidak ingin Kwik Tang-lay menggunakan tenaga kelewat
besar, maka segera selanya, "Masa kau percaya dengan perkataan
seorang penghianat?"
Kwik Tang-lay menggeleng, katanya tiba-tiba, "Tidak, bila
seseorang hendak meninggal, ucapannya pasti jujur dan benar. Aku
mulai curiga kalau pada malam itu...."
"Bayangan punggung yang kau jumpai malam itu...." buru-buru
Keng Giok-keng bertanya. "Aku selalu mengira sebagai dia. Tapi kalau memang dia berkata
begitu, besar kemungkinan masih ada pembunuh lain. Apakah dia
tidak beritahu siapakah orang itu?"
"Belum sempat mengatakannya dia sudah keburu pergi. Tapi
kalau didengar nada suaranya, ilmu silat yang dimiliki orang itu
rasanya masih jauh diatas kemampuannya bahkan sangat mahir
menggunakan senjata rahasia. Jangan-jangan dia adalah Tong
Tiong-san?" "Tidak mungkin perbuatan Tong ji-sianseng. Aaai, jangan-jangan
dia adalah.... aaah tidak benar.... rasanya tidak.... tidak benar."
"Kalau memang tidak ingat, lebih baik kita bicarakan persoalan
yang lain...." sela Bu-beng Cinjin.
Tapi keadaan Kwik Tang-lay ibarat lentera yang kehabisan
minyak, belum sempat Bu-beng Cinjin mengutarakan persoalan
yang lain, kepalanya sudah terkulai lemas. Sekali lagi sepasang
matanya terpejam rapat-rapat.
Kali ini meski Bu-beng Cinjin ingin menyalurkan tenaga murninya
pun tidak akan bisa memperpanjang usianya lagi.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Put-po berseru kaget, lalu
teriaknya, "Kemana perginya Bu-liang Tianglo?"
Sebetulnya persoalan yang ingin Bu-beng Cinjin tanyakan kepada
Kwik Tang-lay adalah urusan yang menyangkut Bu-liang Tianglo.
Sejak awal Bu-liang Totiang dan Ong Hui-bun telah bersekongkel
sudah merupakan satu kenyataan yang tidak perlu disangsikan lagi.
Tapi apakah dia pun musuh dalam selimut" Apakah dia pun
penghianat bangsa" Atau karena kemaruk nama, kekuasaan dan
kedudukan sehingga dia dimanfaatkan Ong Hui-bun"
Bersamaan dengan teriakan Put-po, Bouw It-yu menemukan pula
satu kejadian aneh, ternyata ke dua orang utusan kerajaan To Jiansik
serta Tio Thay-khong ikut lenyap dari tempat upacara.
Kalau mengikuti keadaan biasa, tidak mungkin tokoh penting
seperti ini dapat kabur secara diam-diam tanpa diketahui siapa pun.
Tapi sayang perhatian hampir seluruh orang yang ada disana
sedang tercurahkan ke tubuh Jit-seng-kiam-kek Kwik Tang-lay dan
Tojin bisu tuli Ong Hui-bun yang sedang sekarat sehingga tidak
seorang pun dari mereka yang memperhatikan perginya para utusan
itu. Karena utusan penobatan gelar sudah menghilang, terpaksa Bubeng
Cinjin pun sementara waktu mengesampingkan niatnya untuk
melepaskan kedudukan Ciangbunjin. Katanya kemudian, "Persoalan
regenerasi rasanya harus ditunda dulu perundingannya sementara
waktu. Mari kita cari dulu Bu-liang Tianglo!"
Bu-liang Totiang berhasil ditemukan, dia berbaring di bawah batu
Lo-kun dengan wajah menunjukkan perasaan kaget, ngeri dan rasa
takut yang mencekam, di atas alis matanya terdapat sebuah titik
merah bekas lubang jarum. Dia sudah tewas sejak tadi.
Keng Giok-keng telah tiba di kota Hangciu, tinggal di sebuah
penginapan di tepi telaga See-ouw.
Pemandangan alam di telaga See-ouw memang indah menawan,
konon berapa tempat pesiar yang terkenal adalah: menikmati
suasana musim sepi di tanggul Siok-ti, mendengarkan kicauan
burung di tengah ombak pohon liu, menikmati ikan di bandar
Hoakong, melihat teratai di ruang Ci-wan, menyaksikan sepasang
puncak yang menembus awan, menikmati cahaya rembulan di
telaga sam-than, menikmati rembulan musim gugur di telaga Pengouw,
mendengarkan suara lonceng dari Lam-pin....
Sayang Keng Giok-keng tidak punya selera untuk menikmati
semua pemandangan alam dan tempat pesiar terkenal itu.
Kedatangannya karena satu urusan dan bukan untuk mengagumi
keindahan telaga See-ouw.
Cicinya adalah putri angkat Seebun-hujin, sedang Seebun-hujin
pun jarang datang ke daratan Tionggoan, apalagi untuk
mengunjungi tempat tempat kenangan lama.
Karena orang tua Lan Sui-leng telah meninggal, maka selama ini
diapun menemani ibu angkat dan adik angkatnya berpesiar
diseputar telaga See-ouw.
Dia tahu jarak antara kota Kim-leng dengan Hangciu hanya
berapa hari perjalanan, maka dia minta adiknya seusai
menyampaikan pesan dari Kwik Tang-lay di kota Kim-leng untuk
datang berkunjung ke Hangciu.
Sayang dia tidak mengetahui alamat lama Seebun-hujin berada
dimana, sewaktu terburu-buru turun gunung hari itu, dia tidak
sempat bertanya secara jelas kepada Seebun-hujin. Padahal biarpun
ditanya, mungkin Seebun-hujin sendiripun tidak dapat memberi
petunjuk yang jelas. Karena waktu itu dia tinggal di rumah Cihu nya
dan peristiwa pun telah berlangsung pada tiga puluh tahun
berselang. Apakah alamat lama masih tetap seperti dulu" Hal inipun masih
menjadi tanda tanya besar.
Keng Giok-keng hanya berharap sewaktu sedang berpesiar di
telaga, dia dapat bertemu dengan mereka.
Sudah hampir tiga hari dia tinggal disana, semua pemandangan
indah di telaga See-ouw pun telah habis dijelajahi, namun dia belum
berhasil menemukan mereka.
Malam ini seperti kebiasan sehari-hari, dia duduk bersemedi
sambil mengatur pernapasan. Di saat seperti ini, apalagi ketika
pikirannya terlepas dari segala pikiran, pendengarannya boleh
dibilang luar biasa tajamnya. Di tengah keheningan tiba-tiba dia
mendengar suara orang sedang berbincang.
Suara pembicaraan itu berasal dari dua kamar tamu di seberang
kamar tidurnya, disana ada dua orang tamu sedang berbisik-bisik,
begitu lirihnya suara bisikan mereka hingga bagi orang biasa, walau
kau berdiri di depan pintu kamar pun tidak bakal mendengar suara
apa-apa. Kebetulan Keng Giok-keng menangkap suara pembicaraan lirih
itu, "Ssst.... perlahan sedikit suaramu, benarkah Lo-tangkee telah
datang?" Begitu mendengar istilah "Lo-tangkee", Keng Giok-keng segera
tahu kalau mereka adalah orang persilatan, maka dia pun
menghimpuin tenaga dalamnya dan memasang telinga lebih tajam.
"Aaah, ini mah rahasia yang luar biasa besarnya!"
"Justru karena rahasia yang luar biasa besarnya, maka kita harus
berlagak seolah olah tidak tahu!"
"Pangcu, kau tidak ingin menggunakan kesempatan ini untuk
minta kepada Lo-tangkee...."
Kata berikut tidak dipahami Keng Giok-keng karena
menggunakan istilah dunia persilatan, tapi dia dapat menduga
artinya kalau dia sedang minta Pangcunya kembali ke pangkuan Lotangkee.
"Jangan, jangan sampai begitu, bila Lo-tangkee sampai
memanfaatkan kita, dia.... dia tentu...."
"Dalam berapa hari ini pasti akan terjadi peristiwa besar, ingat,
jangan sekali-kali kau bocorkan rahasia ini di luaran. Tidak, mulai
sekarang pun kau tidak boleh menyinggung masalah ini kepada
siapa pun, termasuk juga jangan kau singgung lagi sebutan Lotangkee!"
"Baik, aku tidak akan menyingging soal Lo-tangkee, tapi boleh
kan kalau bicara soal seorang nona cilik?"
"Nona cilik yang mana?"
"Siang tadi bukankah kita telah bertemu dengan seorang pemuda
tampan di seputar bukit Sang-ku-san" Toako, mungkin kau tidak
perhatian, tapi aku telah memperhatikan dengan seksama, aku
yakin delapan puluh persen bocah muda itu adalah penyamaran dari
seorang budak." "Kalau memang nona lantas kenapa?"
"Dia mempunyai sepasang mata yang besar!"
"Apa anehnya kalau mempunyai sepasang mata yang besar?"
"Sepasang mata besarnya begitu bening dan indah, hahaha....
asal kau dikerling oleh mata besarnya itu, hehehehe...."
"Kenapa" Apakah kau merasa nyawamu terbetot oleh kerlingan
matanya" Hmmm, dasar manusia yang tidak punya otak, kembali
kau terjangkit penyakit lama!"
"Toako, kau hanya benar setengah, budak liar itu memang
benar-benar pandai membetot sukma, tapi yang digunakan adalah
pedang, buka mata! Sebetulnya akupun bukan berniat ingin Cay-hoa
(memetik bunga), aku hanya ingin membantu lo-ngo melampiaskan
rasa jengkelnya!" Kelihatannya si Toako terperanjat, segera ujarnya,
"Jadi kau curiga kalau budak itu adalah budak yang telah membantu
si wanita iblis Hong Si-hu memusuhi kita?"
"Betul, aku lihat sembilan puluh persen pasti dia! Tempo hari kita
Liong-bun-ngo-pa menguntit mereka dari Toan-hun-kok hingga di
tebing Ki-sik-hong dengan maksud akan merebut Hong Si-hu untuk
dijadikan bini lo-ngo, baru saja akan berhasil, budak itu sudah
datang mengacau, bukan Cuma lo-ngo dan kita semua menderita
kerugian besar, bahkan sampai Toako, kau.... kau sendiripun...."
Sang Toako segera mendengus.
"Benar, akupun sudah menderita kerugian. Tapi bukan karena
kemampuan budak itu. Aku sudah tahu kalau ada orang lain yang
secara diam-diam membantunya."
Keng Giok-keng yang mencuri dengar pembicaraan itu jadi
terkejut bercampur girang, pikirnya, 'Kalau didengar dari
pembicaraan mereka, tampaknya nona yang menyamar sebagai
pemuda tampan itu pastilah Ciri!'
Dia bukannya kuatir Liong-bun-ngo-pa mencari Cicinya untuk
balas dendam, tapi dia memang ingin secepatnya menemukan
cicinya itu. Maka tanpa membuang waktu lagi dia tinggalkan rumah
penginapan dan malam itu juga menyambangi bukit Ku-san.
Baru tiba di kaki bukit dia sudah mendengar suara seruling yang
mengalun lembut. Bukit Ku-san merupakan sebuah tempat dengan pemandangan
paling indah di seputar telaga See-ouw, tempat itupun merupakan
tempat paling bagus untuk menikmati pemandangan alam di telaga,
di sisi timur laut terdapat sebuah hutan bunga Bwee, konon
merupakan tempat tinggal penyair terkenal dari jaman Song, Lim
Ho-cing. Konon Lim Hon-cing senang menanam bunga Bwee sambil
memelihara bangau, itulah sebabnya orang orang di jaman itu
menyebutnya sebagai bini bunga Bwee, anak bangau. Artinya dia
memperistri bunga Bwee dan mempunyai anak burung bangau.
Setelah dia meninggal, orang pun membangun sebuah gardu Bweeteng
dan gardu Hok-teng untuk memperingati dirinya, (kini disebut
Hong-hok-teng). Selain itu orang pun menanam beratus batang pohon Bwee
hingga arena hutan Bwee saat ini jauh lebih luas dan lebar daripada
hutan bunga Bwee di jaman Lim Ho-cing dulu.
Suara seruling berasal dari balik hutan bunga bwee.
Diantara suara seruling yang sebentar terdengar sebentar
menghilang, tiba-tiba terlihat seorang wanita cantik muncul dari
balik pepohonan. Si peniup seruling segera maju menyongsong sambil menyapa,
"Beng-cu, akhirnya aku berhasil menemukan dirimu!"
Nada ucapan itu selain murung, terselip juga rasa kagum.
Ternyata orang yang meniup seruling itu adalah Bouw Cionglong,
sedangkan wanita cantik setengah umur itu adalah Seebunhujin.
Keng Giok-keng sama sekali tidak menyangka kalau Ciangbunjin
nya bakal muncul disana bahkan muncul dalam keadaan seperti ini,
dia semakin tidak berani menampakkan diri.
Tampak Seebun-hujin berkata sambil tertawa getir, "Aaaai,
Ciong-long, kau tidak seharusnya datang kemari!"
"Kenapa?" "Karena dia pun telah datang!"
"Dia...." siapakah dia?" dengan pandangan tertegun Bouw Cionglong
mengawasi sinar matanya, kemudian dengan hati tergoncang
jeritnya, "Kau maksudkan dia" Dia.... bukankah dia.... dia telah...."
"Ternyata dia tidak mati!" jawab Seebun-hujin dengan suara
gemetar, "aku.... aku pun baru tahu belakangan ini!"
"Jadi kau telah bertemu dengannya?" paras muka Bouw Cionglong
bertambah pucat. "Belum, tapi aku tahu dia pun telah kemari!"
Setelah sempat tergoncang, lambat laun Bouw Ciong-long dapat
menenangkan kembali hatinya, sesaat kemudian ujarnya sambil
tertawa getir, "Betul-betul satu kejadian yang sama sekali tidak
disangka, tidak heran kalau kau mengatakan aku tidak seharusnya
datang. Tapi aku tidak bakalan menghindar!"
"Kau ingin bertemu dengannya?"
Bouw Ciong-long menghela napas panjang.
"Aku tidak tahu apakah perbuatan yang kulakukan dulu benar
atau salah, tapi sejujurnya akupun berharap dia masih tetap hidup.
Tapi keinginanku tetap berada bersamamu merupakan hal yang lain.
Aku menyesal kenapa dulu tidak punya keberanian untuk
memberitahukan hubungan kita berdua kepadanya, dan sekarang
aku rasa merupakan saat yang tepat untuk menjelaskan segala
sesuatunya!" "Aku kuatir bila kalian saling bertemu maka ada seorang
diantaranya bakal roboh, kalau bukan kau pastilah dia!"
"Aku tidak akan membunuhnya!"
"Tapi kaupun tidak rela dibunuh olehnya bukan?"
Bouw Ciong-long tampak sangat murung dan masgul, dia tidak
tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu, terpaksa katanya,
"Bagaimana pun, persoalan ini toh harus ada penyelesaian!"
"Aku tidak ingin kehilangan kau, tapi akupun tidak tega melihat
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia mati sekali lagi," ujar Seebun-hujin sedih, "Cong-liong, lebih baik
tinggalkan saja tempat ini untuk sementara waktu!"
"Akupun tidak tega membiarkan kau susah, baiklah, apa yang
kau ingin kulakukan, akan kulakukan. Tapi dengan susah payah
akhirnya aku baru dapat berjumpa denganmu, paling tidak biarkan
aku berada sejenak di sampingmu. Beng-cu, coba pikirlah sejenak,
apa yang hendak kau katakan kepadaku?"
Seebun-hujin seperti ada yang dipikirkan, sejenak kemudian
katanya, "Kedatanganmu memang ada baiknya juga, aku memang
ada satu masalah yang ingin kurundingkan denganmu. Tapi bukan
masalah kita berdua, melainkan.... melainkan...."
"Masalah anak anak kita?" sela Bouw Ciong-long.
"Anak Yu cerdas dan pandai bekerja, aku tidak perlu
mengkhawatirkan dirinya. Justru yang membuat hatiku khawatir
adalah Yan-ji." "Apa yang kau khawatirkan?"
"Aku mengkhawatirkan masalah perkawinannya."
"Bukankah kau telah menjodohkannya kepada Tonghong Liang"
Meskipun karena urusan perguruan Tonghong Liang harus
berhadapan denganku sebagai lawan, sejujurnya akupun sangat
mengagumi dirinya. Lagipula Yan-ji memang amat menyukainya.
Padahal perselisihan dari generasi sebelumnya tidak susah untuk
dihapus, asal aku mengalah sejurus saja masalah pasti sudah
beres." "Tonghong Liang memang lumayan, diapun satu satunya
keponakanku, boleh dibilang semakin merekatkan persaudaraan.
Tapi sayang...." Dia berhenti sejenak kemudian baru melanjutkan, "Tahukah kau
ilmu silat tingkat tertinggi dari perguruannya harus dilatih dengan
dasar ilmu jejaka?" "Ooh, kau takut lantaran hal ini maka dia enggan mempunyai
bini" Tapi dia ingin berlatih ilmu silat tingkat tinggipun tidak lebih
hanya akan digunakan untuk menghadapiku. Aku bisa saja
memberitahu kepadanya, biar dia berhasil melatih ilmu tingkat tinggi
itupun belum tentu sanggup mengalahkan aku. Dari-pada susahsusah,
lebih baik biar kuajarkan sejenis ilmu tenaga dalam yang lain.
Dijamin ilmu tersebut dapat mengalahkan ilmu sakti dari
perguruannya." "Aku tahu, tenaga dalam aliran lurusmu memang jauh lebih
hebat, tapi ada satu hal yang tidak kau ketahui, tahukah kau
masalah apa yang paling dirisaukan Siang Thian-beng, guru
Tonghong Liang?" "Mana mungkin aku tidak tahu kalau dia ingin melatih ilmu sakti
yang bisa mengungguli ilmu pedang Bu-tong-pay, hmmm! Pada
hakekatnya hanya bermimpi!"
"Belum tentu sedang bermimpi," kata Seebun-hujin, "misalnya
saja bila dia dapat mempersatukan ilmu Hui-eng-kiam-hoat dengan
Thay-kek-kiam-hoat, apa yang bakal terjadi?"
"Sekalipun berhasil menyatukan dua jenis ilmu tersebut, belum
tentu dia mampu mengungguli ilmu pedang Bu-tong!"
"Kalau belum tentu berarti masih ada harapan. Tapi untuk
mencapai pengharapan itu, dia harus melatih ilmu tenaga dalam
aliran sesat itu!" "Kita toh bisa membujuknya agar tidak melakukan latihan itu...."
kata Bouw Ciong-long. Tiba-tiba dia menangkap perubahan aneh di wajah Seebun-hujin,
sesudah tertegun sejenak, tanyanya, "Apakah sudah terjadi
penyimpangan untuk melatih ilmu tersebut, atau masih ada kejadian
lain...." Mendadak paras muka Seebun-hujin berubah jadi merah padam,
tapi akhirnya berkata juga, "Dia telah menyetujui maksud gurunya,
mengebiri diri untuk berlatih pedang!"
Bouw Ciong-long tampak tertegun, tapi dengan gusar ujarnya
kemudian, "Kurangajar, Siang Thian-beng si bedebah tua itu telah
memaksanya untuk berbuat begitu" Biar kucari dia untuk membuat
perhitungan!" "Belum tentu dia dipaksa."
"Memangnya dia melakukan dengan sukarela?"
Seebun-hujin hanya membungkam tanpa menjawab, sedang
Bouw Ciong-long seolah teringat akan sesuatu, paras mukanya dari
gusar berubah jadi bimbang dan panik, pikirnya, 'Kalau begitu
masalahnya tidak sesederhana hanya ingin merebut nama baik
untuk perguruannya saja. Entah berapa banyak yang dia ketahui
tentang kejadian di waktu itu, takutnya dia hanya tahu setengah
setengah hingga tidak jelas'
Sementara Bouw Ciong-long masih diombang ambingkan dengan
pelbagai pikiran, tiba-tiba terdengar Seebun-hujin berteriak, "Aaah,
coba lihat, dia.... dia telah datang!"
"Baiklah, kalau begitu biar aku berbicara yang jelas dengan
dirinya!" Dalam dugaannya, orang yang muncul adalah "dia" yang paling
ditakuti Seebun-hujin, cepat dia berpaling dan menatapnya tajam.
Ternyata orang yang telah muncul dihadapannya bukanlah "dia",
melainkan Tonghong Liang.
Mimik muka Tonghong Liang tampak sangat aneh, sorot matanya
dipenuhi cahaya kegusaran, dia menatap Bouw Ciong-long tanpa
berkedip. Biarpun disana hadir Seebun-hujin yang merupakan bibinya, dia
bersikap seolah-olah tidak melihat.
"Anak Liang, kenapa kau?" teriak Seebun-hujin.
Jangankan berpaling, melirik ke arah Seebun hujin pun tidak,
Tonghong Liang langsung menegur Bouw Ciong-long, "Bouw Cionglong,
aku tahu ilmu pedangku bukan tandinganmu. Tapi biarpun aku
ditakdirkan harus mati diujung pedangmu, aku tetap akan
melakukan penyelesaian terakhir dengan dirimu!"
"Dendam sakit hati apa yang terjalin diantara kita berdua"
Kenapa kau harus beradu nyawa denganku?" tanya Bouw Cionglong.
"Bouw Ciong-long, kau tidak usah berlagak pilon!" bentak
Tonghong Liang penuh kegusaran, "apa yang pernah kau lakukan
dimasa lalu tentunya sudah kau ketahui dengan jelas!"
"Terlalu banyak perbuatan yang pernah kulakukan dimasa lalu,
kasus mana yang kau maksudkan?"
"Kau telah membunuh pamanku, kemungkinan besar ayahku pun
sudah tewas di tanganmu!" teriak Tonghong Liang.
"Anak Liang, kau salah!" jerit Seebun-hujin.
"Yang salah mungkin kau, jangan panggil aku anak Liang lagi,
kau tidak pantas menjadi bibiku!" dengus Tonghong Liang sinis.
Sambil berusaha menahan rasa pedih dan sakit kembali Seebunhujin
berkata, "Aku tidak ambil perduli bagaimana jalan pikiranmu,
aku hanya ingin beritahu satu hal kepadamu, pamanmu masih
hidup!" Tonghong Liang tampak sangat terperanjat, mendadak kembali
dia tertawa dingin, "Hmm, hanya setan yang bakal mempercayai
kebohonganmu itu, paman adalah seorang Enghiong sejati, semisal
masih hidup, kau sangka dia rela hidup sebagai kura-kura hampir
dua puluhan tahun lamanya?"
"Mau percaya atau tidak terserah dirimu sendiri. Sedangkan
tentang ayahmu...." Kembali Tonghong Liang tertawa dingin, tukasnya, "Akulah yang
mengangkut balik peti jenasah ayahku, sebelum dikuburkan aku pun
sempat membuka tutup peti mati dan melihat wajah terakhirnya,
tentu kau tidak akan mengatakan dia belum mati bukan?"
Rupanya Tonghong Siau pulang ke rumah dari tempat luaran
dengan membawa luka yang sangat parah, tapi sebelum
menginjakkan kakinya di gerbang rumah, dia sudah tewas lebih dulu
di tepi jalan. "Ayahmu memang tewas karena dibokong orang," Seebun-hujin
membenarkan, "tapi orang yang mencelakainya bukan Bouw Cionglong!"
"Lalu siapa?" tanya Tonghong Liang.
"Aku sendiripun tidak tahu, tapi aku percaya bukan
perbuatannya." "Dia, dia, dia, mesra amat panggilan itu!" ejek Tonghong Liang
dengan wajah sinis, "Hmm, aku jadi bingung, seharusnya tetap
memanggilmu bibi atau seharusnya memanggilmu Bouw hujin?"
Seebun-hujin benar-benar mendongkol bercampur jengkel, dia
hanya bisa melelehkan air mata dan tidak sanggup mengucapkan
sepatah kata pun. "Tonghong Liang!" Bouw Ciong-long segera membentak gusar,
"jangan kau pojokkan bibimu, terus terang saja aku beritahu, bukan
aku yang membunuh ayahmu...."
"Sudah kuduga kau bakal berkata begitu!" kembali Tonghong
Liang mengejek. Bouw Ciong-long tidak menggubris ejekan itu, kembali lanjutnya,
"Walaupun bukan aku yang bunuh, tapi orang itu memang
mempunyai hubungan dengan diriku, dan aku pun tidak ingin lari
dari tanggung jawab ini."
"Hmmm, tidak ingin lari dari tanggung jawab?" Tonghong Liang
tertawa dingin, "aku ingin bertanya, kalian mengatakan pamanku
masih hidup, lantas dimana dia sekarang" Kalau bukan kau yang
membunuh ayahku, lalu siapakah dia" Bila kau tidak dapat
menjawabnya...." Bouw Ciong-long tertawa terbahak-bahak, tukasnya, "Walaupun
selama hidup aku belum pernah berbohong, tapi untuk menghadapi
anak muda macam kau, aku belum merasa perlu untuk
membohongi dirimu! Kalau memang tidak percaya, silahkan saja
bunuh diriku!" Belum habis dia tertawa, mendadak terdengar seseorang dengan
suara yang tinggi melengking dan menusuk pendengaran telah
menyela, "Apa yang dia katakan memang tidak salah, aku masih
hidup! Yang membunuh ayahmu juga bukan dia!"
Dalam waktu singkat, Bouw Ciong-long maupun Seebun-hujin
berdiri tertegun saking kagetnya, ternyata tokoh misterius yang
muncul secara tiba-tiba itu bukan lain adalah Seebun Mu yang
sudah "mati" semenjak dua puluh tahun berselang, atau dengan
kata lain, dia adalah suami In Beng-cu (Seebun-hujin).
Biarpun Bouw Ciong-long maupun In Beng-cu sudah tahu kalau
dia masih hidup, namun kemunculannya yang secara tiba-tiba tetap
membuat mereka terperangah dan kaget.
Tonghong Liang ikut tertegun, lalu teriaknya, "Paman, kau....
kau.... katakan kepadaku, siapa yang telah membunuh ayahku?"
Walaupun dia dicekam perasaan kaget dan keheranan, namun
dia tidak ambil perduli akan hal itu. hal terpenting yang paling ingin
diketahui olehnya Saat ini adalah kematian sebenarnya yang
menimpa ayahnya dulu. "Aku!" jawab Seebun Mu dengan wajah tanpa emosi.
Tonghong Liang kembali terperangah, dia seolah tidak berani
mempercayai pendengaran sendiri. "Paman, apa kau bilang?"
"Aku bilang, akulah yang telah membunuh ayahmu!"
Kali ini Tonghong Liang benar-benar yakin kalau dia tidak salah
mendengar. Setelah termangu beberapa saat, teriaknya, "Tidak
benar, aku tidak percaya! Bukan saja kau masih ada hubungan
saudara dengan ayahku, kalian pun merupakan sahabat yang paling
karib, mengapa kau harus membunuhnya" Tadi pun Bouw Cionglong
telah mengaku, dia yang telah membunuh ayahku, aku tidak
mengerti, mengapa kau harus memikul tanggung jawabnya?"
"Dia hanya mengatakan kau boleh menganggap dialah yang
membunuh," dengan suara rendah Seebun-hujin segera
mengingatkan. Bouw Ciong-long tertawa getir, selanya, "Kita tidak perlu
Bara Naga 4 Senyuman Dewa Pedang Karya Khu Lung Kemelut Di Majapahit 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama