Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pedang Dari Bu-tong 26

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 26


membantah atau berdebat lagi dalam masalah tersebut."
Bicara sampai disini dia pun berpaling, saling berhadapan dengan
Seebun Mu, menyongsong pandangan matanya yang dingin
bagaikan salju. "Seebun Mu, kau memang memiliki kelebihan yang patut
membuatku kagum, tapi juga membuat hatiku muak. Terlepas
kagum atau muak, aku tidak ingin kau mewakiliku untuk
menerimanya! Baiklah, Tonghong Liang, kalau toh kau ingin
mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, dengarkan
penjelasanku...." "Bouw Ciong-long," tukas Seebun Mu sambil tersenyum, "kau
bilang selain kagum kepadaku, kaupun muak padaku, hehehehe....
sejujurnya, aku pun mem punyai perasaan yang sama terhadap
dirimu! Baiklah, akupun ingin mengetahui duduk persoalan yang
sebenarnya waktu itu, coba kau katakan lebih dulu!"
"Persoalan ini harus dimulai dari dirimu," ujar Bouw Ciong-long
perlahan, "saat itu kau adalah seorang Liok-lim Bengcu yang hebat,
hampir semua orang mengagumi baik soal nyali, pengetahuan
maupun ilmu silat yang kau miliki, termasuk diriku sendiri. Tapi kau
pun memiliki kelemahan yang membuat orang jadi segan, kau
kelewat otoriter, dalam pandanganmu hanya ada kau seorang dan
seolah tidak ada orang lain, apalagi dikemudian hari kau berubah
makin jahat, telengas, buas, melanggar hukum dan membunuh
orang semau sendiri....!"
"Waah, benar-benar jiwa seorang pendekar sejati," tiba-tiba
Seebun Mu menukas dengan dingin, "aku cukup mengetahui
manusia macam apakah diriku, jadi tidak perlu kau memberi analisa
yang panjang lebar! Aku hanya ingin tahu apakah niatmu untuk
membunuh-ku waktu itu bukan muncul karena kepentingan pribadi."
Bouw Ciong-long sama sekali tidak menghindari tatapan
matanya, dia berkata lebih jauh, "Betul, aku juga memang bertindak
karena ada kepentingan pribadi, karena aku tidak ingin Beng-cu
menjadi bini seorang bandit macam dirimu hingga hidupnya susah
dan tidak pernah mendapat ketenang-an! Ketika Han Siang dan
sekelompok kalangan hitam menghianatimu, secara diam-diam
akupun telah membantu mereka."
Mendadak Tonghong Liang berteriak keras, "Sebenarnya siapa
yang telah membunuh ayah-ku?"
"Tonghong Liang, akupun akan memberitahukan keadaan yang
sebenarnya," sahut Seebun Mu, "walaupun ayahmu bukan terbunuh
oleh tanganku sendiri, tapi orang itu mempunyai hubungan yang
sangat erat denganku, jadi kau pun boleh anggap akulah yang telah
membunuhnya!" "Siapakah orang itu?" dengan perasaan setengah percaya
setengah tidak Tonghong Liang bertanya.
"Kau pernah mendengar nama Bok Ing-ing?"
"Bok Ing-ing?" "Dia adalah putri ke tujuh keluarga Bok di wilayah Liong-say
(Kainsiok), kehebatan senjata rahasia keluarga Bok dari Liong-say
sama tenarnya dengan keluarga Tong dari Suchuan. Dua puluh
tahun berselang nama besarnya sudah amat tersohor, jauh lebih
terkenal dari si Lebah hijau Siang Ngo-nio, orang persilatan
menghormatinya sebagai Bok Jit-koh "Jadi ayahku dibunuh
perempuan itu?" "Betul, ayahmu dibunuh oleh Bok Ing-ing."
"Kenapa dia membunuh ayahku?"
"Dia membunuh karena aku!"
"Maksudmu?" tanya Tonghong Liang sambil membelalakkan
matanya lebar-lebar. "Dia menjadi istriku setelah aku "mati", tapi bila aku "bangkit dan
hidup" kembali maka dia tidak bisa menjadi istriku. Waktu itu aku
merasa kecewa dan putus asa karena terjadi prahara dalam rumah
tanggaku, maka setelah terjadi pertarungan sengit akupun
melenyapkan diri dari peredaran dunia, semua orang menyangka
aku sudah mati. Tapi dia takut kalau aku berubah pikiran, karenanya
dia sengaja membunuh ayahmu agar aku tidak punya kesempatan
lagi untuk bangkit dan hidup kembali!"
Bini setelah "mati" walaupun merupakan sebuah ungkapan yang
lucu, tapi siapa pun dapat memahami maksudnya.
Tonghong Liang mengerti jauh lebih banyak lagi, dia tahu dalam
keadaan seperti ini, andaikata pamannya hidup kembali (maksudnya
tampil lagi dalam dunia persilatan) maka pertama-tama dia harus
membunuh Bok Ing-ing terlebih dulu untuk balaskan sakit hati
ayahnya, kalau tidak berbuat begitu, mana mungkin dia bisa
kembali ke keluarganya dan memperoleh pengerti-an dari istri serta
keponakannya" Dengan suara parau Tonghong Liang berteriak keras, "Mengapa
kau beritahu kejadian yang sebenarnya kepadaku?"
"Karena aku tidak ingin kau mati di tangan Bouw Ciong-long,"
jawab Seebun Mu hambar, "akupun tidak ingin Bouw Ciong-long
terluka oleh pedangmu. Sebab aku hendak menantang dia untuk
berduel. Sekarang tinggal menunggu keputusanmu, apakah saat ini
juga kau akan balas dendam?"
"Aku.... aku.... aku...." untuk sesaat Tonghong Liang tergagap,
tapi akhirnya sambil menggigit bibir katanya, "Aku tidak ingin Bouw
Ciong-long memperoleh keuntungan darimu, baiklah kita bicarakan
lagi masalah ini di kemudian hari!"
"Bagus, kalau begitu istirahatlah dulu!" kata Seebun Mu. Tibatiba
dia melancarkan sebuah totokan dengan kecepatan tinggi,
Tonghong Liang segera terkapar di tanah dan jatuh tidak sadarkan
diri. "Akulah yang telah bersalah kepadamu," kata Seebun-hujin
kemudian dengan nada sedih, "bila ingin membalas dendam,
hukumlah diriku, apa pun hukuman yang akan kau limpahkan
kepadaku, akan kuterima tanpa mengeluh!"
"Beng-cu, kau tidak boleh berkata begitu!" seru Bouw Ciong-long
cepat, "bila ada kesalahan, seluruh kesalahan ada pada diriku
seorang! Sebetulnya aku bisa mengawinimu sebagai istriku, bila
dulu aku tidak menuruti perkataan ayahku, mana mungkin akan
terjadi peristiwa hari ini" Tapi.... Seebun Mu, kaupun punya
kesalahan, aku berhubungan lebih dulu dengannya dan kau
bukannya tidak tahu akan hal ini, tapi setelah tahu, kaupun tetap
meminangnya menjadi binimu, apakah kau tidak pernah berpikir,
yang kau peroleh selama ini hanya tubuh kasarnya?"
Tentu saja dia tahu, perkataan ini pasti akan menimbulkan hawa
amarah Seebun Mu, tapi bagi jagoan yang bertarung, semakin bisa
mengkalutkan konsentrasi lawan, hal mana semakin
menguntungkan bagi posisi sendiri.
Betul saja, pancaran sinar berapi-api mencorong dari mata
Seebun Mu, tampaknya dia benar-benar sangat gusar dan
tersinggung oleh perkataan itu.
Cepat Bouw Ciong-long membuat persiapan, dia menunggu
sampai musuhnya bertindak lebih dulu, maka dia akan segera
melancarkan jurus pamungkas.
Dia yakin, jurus pedangnya pasti akan mencapai sasaran terlebih
dulu meski dilancarkan belakangan.
Siapa tahu kejadian sungguh di luar dugaan, gunung berapi yang
nyaris meletuk itu mendadak mereda kembali, bukan mereda, bukan
menjadi tenang, tapi dia tampil dengan mimik muka lain.
Tiba-tiba saja paras muka Seebun Mu yang diliputi hawa amarah
berubah menjadi amat sedih dan berduka.
Tidak tahan Seebun-hujin berteriak keras, "Sebenarnya apa yang
kau inginkan, cepat katakan!"
Dia sedang ketakutan, kalau harus ketakutan terus seperti ini,
biar Seebun Mu tidak gila pun, dia yang bakalan gila.
Akhirnya Seebun Mu buka suara, "Aku tahu, kalian memang
berpacaran lebih dulu sebelum kenal dengan diriku, akupun tahu,
Bouw It-yu adalah anak yang dilahirkan hasil hubungan dengan
dia!" "Waktu itu dia belum menjadi istrimu!" cepat Bouw Ciong-long
menyela. "Tapi saat itu kau sudah mempunyai orang lain sebagai istrimu,"
sambung Seebun Mu. "Oleh karena itulah aku mengakui bahwa disinilah letak
kesalahanku, lantas mau apa kau" Silahkan saja...."
Tiba-tiba Seebun Mu membentak nyaring, lalu teriaknya dengan
suara berat, "Tentu saja aku tidak bakalan melepaskan dirimu, tapi
sekarang aku sedang berbicara dengan istriku, kau tidak usah ikut
campur!" Tampaknya Seebun-hujin telah mengambil keputusan, dengan
berani dia sambut tatapan matanya.
Terdengar Seebun Mu berkata lagi, "Aku hanya ingin mengetahui
satu hal, apakah Seebun Yan adalah putriku?"
Biarpun Seebun-hujin telah mengambil keputusan, tidak urung
gelagapan juga setelah menghadapi pertanyaan dari bekas
suaminya itu, dia jadi tergagap dan tidak mampu menjawab.
"Jadi diapun putrinya?" desak Seebun Mu lagi.
"Benar, dia adalah putrinya," jawab Seebun-hujin sambil
menghindari tatapan matanya.
Tiba-tiba Seebun Mu mendongakkan kepalanya dan tertawa
kalap, keluhnya, "Selama ini aku selalu menganggap Seebun Yan
adalah putri kandungku, ternyata diapun bukan!
Hehehe.... hahahaha.... ternyata apa pun tidak kumiliki, percuma
aku pernah hidup sebagai suami istri denganmu!"
Ternyata salah satu tujuan kedatangannya kali ini adalah ingin
minta kembali putrinya. Seebun Mu tertawa kalap tiada hentinya, dia seolah ingin
melampiaskan keluar seluruh rasa gusar, kecewa dan
mendongkolnya lewat gelak tertawa itu.
"Kalau ingin bunuh, bunuhlah aku," jerit Seebun-hujin, "aku
harap kalian jangan berduel lagi karena aku!"
"Oooh, jadi kau takut dia mati di tangaku sehingga rela
mengorbankan diri sendiri?" ejek Seebun Mu, "sejak awal aku sudah
tahu kalau kau berselingkuh dengannya, kalau ingin membunuhmu,
kenapa harus menunggu hingga hari ini! Bukan saja aku tidak
pernah punya ingatan untuk membunuhmu, bahkan karena alasan
kau, akupun tidak ingin membunuhnya. Kendatipun aku tahu
dengan jelas kalau kau tidak setia, namun aku masih tetap tidak
tahan untuk mencintaimu, berusaha membuat kau gembira. Aaai,
ternyata kau sama sekali tidak tahu akan maksud hatiku ini, benarbenar
membuat hatiku pedih!"
Entah karena terharu oleh ucapan itu atau karena alasan lain, air
mata mulai berlinang membasahi wajah Seebun-hujin. Katanya lirih,
"Aku pun tidak ingin menyaksikan kau mati di tangannya."
Sekali lagi Seebun Mu tertawa tergelak.
"Hahahaha.... memang dia mampu membunuhku?" ejeknya.
"Kau pun belum tentu sanggup membunuhku!" sahut Bouw
Ciong-long sambil tertawa dingin.
"Perkataanmu itu ada benarnya juga. Sewaktu terjadi
pertempuran sengit di Toan-hun-kok dulu, dengan mengerudungi
wajah kau ikut serta menge-rubutiku, sebetulnya waktu itu kau
mendapat satu kesempatan untuk membunuhku, tapi kesempatan
tersebut kau lepaskan dengan begitu saja. Apakah lantaran saat itu
kau merasa terusik harga dirimu dan tidak ingin mencari
kemenangan dengan mengandalkan banyak orang?"
"Itu mah bukan, aku hanya merasa tiba-tiba saja tidak ingin
membunuhmu. Tapi aku tidak pernah menyesal telah melepaskan
dirimu waktu itu." "Tapi tahukah kau, disaat Tonghong Siau datang membantu aku
waktu itu, akupun mempunyai satu kesempatan untuk
membunuhmu?" ejek Seebun Mu sambil tertawa dingin.
"Aku tahu, akupun berterima kasih sekali karena waktu itu kau
telah melepaskan aku."
"Tidak, aku hanya tidak tega membiarkan Beng-cu sedih. Tidak
ada salahnya kubeberkan jalan pikiranku waktu itu, aku sudah tahu
kalau perasaan hatinya sudah bukan milikku, tapi akupun tidak tega
mebuatnya sedih, maka semua kekesalan dan amarahku
kulampiaskan kepada orang lain, pertama-tama yang menjadi
sasaran-ku adalah para bekas anak buahku yang berniat berkhianat.
Selama tahun-tahun itu, aku memang banyak membunuh orang
tidak bersalah. Tapi apa mau dikata hanya kau seorang yang paling
kubenci, aku pernah bersumpah akan membunuhmu, tapi tidak
pernah tega untuk turun tangan. Setelah pertempuran berdarah di
Toan-hun-kok, hatiku mulai patah arang, kecewa dan putus asa,
maka semenjak saat itulah aku melenyapkan diri, aku berharap
kalian berdua bisa jadian."
"Terima kasih banyak, tapi mengapa setelah 'kematian'mu
hampir dua puluh tahun lamanya, kini kau muncul kembali?" tanya
Seebun-hujin. "Tentu saja ada alasannya, karena aku menemukan kalau dia
telah melakukan hal yang tidak boleh dimaafkan terhadap dirimu."
"Kesalahan apa yang telah dia lakukan terhadapku?"
"Aaaaai, masa kau tidak tahu" Di samping merajut tali cinta
denganmu, ternyata secara diam-diam dia menjalin hubungan
dengan seorang gundik lagi, dan gundiknya tidak lain adalah
perempuan paling busuk dari dunia persilatan, Siang Ngo-nio!"
"Aku tahu," jawab Seebun-hujin hambar, "tapi kabut cinta
terlarang itu pada akhirnya putus sudah. Ketika dia menjalin
hubungan dengan Siang Ngo-nio, hubunganku dengannya belum
terjalin kembali. Tapi aku pun tidak ingin membelai dia, karena dia
telah menyalahi bininya sendiri. Aaaai.... bicara sejujurnya, kami
semua yang telah melakukan kesalahan terhadap istrinya!"
Seebun Mu tertawa dingin.
"Tidak salah, kami pun telah menyalahi dirimu," Seebun-hujin
menambahkan. "Beng-cu, aku kagum dengan kebesaran jiwamu, tapi sayang
Bouw Ciong-long bukan seseorang yang patut memperoleh
perhatian yang begitu besar darimu."
Tampaknya Seebun Mu masih mengetahui banyak perbuatan
busuk yang telah dilakukan Bouw Ciong-long, hanya saja dia enggan
untuk mengatakan. "Aaai, manusia mana yang tidak pernah melakukan kesalahan"
Yang sudah lewat biarkan saja lewat, kaupun tidak usah
mengungkitnya lagi. Engkoh Mu, akupun kagum dengan kebesaran
jiwamu, aku bersalah padamu, menyesal dan sedih karena kau
harus bersembunyi hampir dua puluhan tahun lamanya. Aku mohon
kepadamu...." "Tidak usah mohon kepadanya!" tukas Bouw Ciong-long tiba-tiba,
"walaupun selama hidup aku telah banyak melakukan kesalahan,
namun belum pernah membohongimu. Tapi hingga kini dia masih
tetap membohongimu!"
"Omong kosong!" bentak Seebun Mu gusar, "aku bohong soal
apa?" "Membohongi rasa simpatiknya!" dengus Bouw Ciong-long dingin,
"Hmm, kau bilang karena ingin memberi kesempatan kepada kami
berdua maka kau pura-pura mati, ucapan ini jelas kebohongan yang
paling besar! Seebun Mu, sungguh tidak disangka kecuali hebat
dalam hal ilmu silat, kepandaianmu bermain sandiwara pun luar
biasa!"

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Merah membara sepasang mata Seebun Mu saking gusar dan
mendongkolnya, dengan geram bentaknya, "Jadi kau menuduh
semua yang kulakukan di hadapan Beng-cu hanya sandiwara, bukan
bersungguh hati?" "Betul, kau telah menipunya, tapi di depan dia, kau justru
berlagak minta dikasihani!"
Agaknya Seebun-hujin pun menganggap ucapan ini sedikit
kelewat batas, segera teriaknya, "Cong-liong, jangan...."
Belum selesai dia berkata, mendadak terdengar Seebun Mu
membentak nyaring, "Selama hidup, belum pernah Seebun Mu
minta belas kasihan dari orang lain!"
Dalam waktu sekejap, baik Seebun Mu maupun Bouw Ciong-long
sama-sama menerjang ke arah lawannya dengan kecepatan luar
biasa. "Blaaaam!" sepasang tangan saling beradu, tubuh Bouw Cionglong
tergetar mundur tiga langkah, sementara tubuh Seebun Mu
hanya gontai sedikit. Cepat Seebun-hujin menerobos masuk ke tengah antara kedua
orang itu, jeritnya, "Bila kalian ingin turun tangan, bunuhlah aku
terlebih dulu!" Kemudian kepada Seebun Mu mintanya, "Engkoh Mu, lepaskan
kami berdua!" "Kau ingin aku sekali lagi menjadi orang mati?" tegur Seebun Mu
dingin. "Dua puluh tahun yang lalu pun kau rela berbuat begitu, kini kita
semua sudah tua, buat apa harus mengungkit kembali semua
dendam sakit hati di masa lalu?"
"Jadi kau ingin mengetahui alasannya?"
"Kau bersedia memberi tahu?"
Seebun Mu berpikir sejenak, kemudian sahutnya sambil
menggigit bibir, "Tidak!"
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seorang wanita
berseru, "Kau ingin tahu" Baik, akan kuberitahu, dia berbuat begitu
karena aku!" Kalau dilihat dari wajahnya, perempuan itu seharusnya telah
berusia diatas empat puluh tahunan, apa mau dibilang dia justru
masih berdandan seperti seorang gadis remaja. Hanya saja
walaupun dandanannya tidak genah namun masih tetap
memancarkan sifat liar yang menggairahkan.
"Jadi kau adalah Bok Ing-ing?" tanya Seebun-hujin.
"Tepat sekali dugaanmu, betul, aku adalah Bok Ing-ing.
Hehehe.... Seebun-hujin, sudah lama kudengar namamu!"
"Padahal kaulah yang seharusnya dipanggil Seebun-hujin!"
Sekali lagi Bok Ing-ing tertawa tergelak.
"Hahahaha.... lagi-lagi ucapanmu sangat tepat, memang
seharusnya hanya ada seorang Seebun-hujin!"
"Maka kau minta dia datang membunuhku?"
"Untuk ketiga kalinya ucapanmu tepat sekali! Bagaimanapun kau
memang seorang wanita, hanya wanita yang mengetahui jalan
pikiran wanita lain. Bagaimana pun juga aku toh tidak bisa
selamanya menjadi Seebun-hujin di belakang layar!"
"Aku rela menyerahkan gelar yang kusandang itu untukmu."
"Siapa suruh kau mengalah, terus terang saja aku yang minta dia
untuk membunuhmu, bukan saja karena kau adalah Seebun-hujin
yang sebetulnya, karena aku ingin kau lenyap untuk selamanya dari
dalam pikirannya!" "Aku mengerti. Kau minta dia membunuhku untuk membuktikan
rasa cintamu kepadanya!" kata Seebun-hujin sambil manggutmanggut.
Kemudian setelah berhenti sejenak kembali terusnya, "Ucapanmu
memang benar, aku memang seharusnya mati. Padahal kau tidak
perlu memohon dia untuk melakukannya, karena sejak awal aku
sudah rela mati di tangannya!"
"Beng-cu, jangan kau lakukan perbuatan bodoh!" hardik Seebun
Mu, "Ing-ing, aku tidak pernah menyanggupi permintaanmu itu,
mana boleh kau berbicara semaunya sendiri?"
"Aku bicara semauku sendiri?" Hmm, tampaknya kau sudah
melupakan semua perkataan yang pernah kusampaikan padamu!"
teriak Bok Ing-ing sambil tertawa dingin.
"Kapan aku pernah menyanggupi permintaanmu untuk
membunuh In Beng-cu?"
"Tapi kau pernah mohon bantuanku untuk membunuh Bouw
Ciong-long! Hehehe.... aku tahu, kau pasti akan mengabulkan
permintaanku!" Maksud lain dari perkataan itu adalah dia minta dia membunuh
In Beng-cu sebagai pertukaran syarat.
"Kau ingin membunuh, bunuhlah aku lebih dulu! Kenapa harus
membunuh Bouw Ciong-long?" kata Seebun-hujin.
"Kalau dia tidak sanggup membunuh Bouw Ciong-long, mana
mungkin punya wajah untuk muncul lagi dalam dunia persilatan"
Setiap orang tentu akan mentertawakan dirinya sebagai kura-kura
yang pandainya menyembunyikan kepala!" kata Bok Ing-ing.
Ketika berbicara sampai disitu, paras muka Seebun Mu telah
berubah jadi merah padam saking jengkelnya, namun dia masih
terbungkam dalam seribu bahasa.
Terdengar Bok Ing-ing berkata lebih lanjut, "Selama dia tidak
bisa muncul lagi dalam dunia persilatan, bukankah aku pun tidak
akan pernah mendapat kesempatan menjadi Seebun-hujin yang
resmi?" "Aku belum pernah punya rencana untuk mengambil kau sebagai
biniku!" bentak Seebun Mu.
"Jadi kau tidak butuh bantuanku untuk Bouw Ciong-long?"
"Tidak usah kau bantu, hmm! Kau sangka aku tidak tahu kalau
kau jauh lebih ingin menghabisi nyawa Bouw Ciong-long ketimbang
aku!" Ternyata semasa masih remaja dulu Bok Ing-ing pun pernah
mengejar Bouw Ciong-long, tapi kemudian lantaran ungkapan
cintanya tidak mendapat perhatian, dari cinta diapun berubah
menjadi benci. Bouw Ciong-long yang selama ini hanya membungkam tiba-tiba
membentak keras, "Seebun Mu, kau ingin membunuhku, padahal
aku lebih ingin membunuhmu!"
Seebun-hujin tampak sangat terperanjat, serunya, "Cong-liong,
bukankah kau pernah berkata tidak akan membunuhnya, kenapa
sekarang berubah pikiran" Engkoh Mu, kau.... tolong kau...."
Sementara itu Bouw Ciong-long telah tiba di depan Seebun Mu,
sambil menuding kearahnya dia berteriak, "Kau adalah pembunuh
yang telah membinasakan Bu-kek Tianglo!"
Seebun Mu tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... sekarang baru tahu?" ejeknya, "aku juga yang
telah membunuh Ting Hun-hok!"
"Bagaimana dengan Ji-ou Thayhiap Ho Ki-bu?"
"Kalau soal itu mah tidak ada sangkut pautnya dengan dia,
karena akulah yang membunuh Ho Ki-bu!" sela Bok Ing-ing sambil
tertawa dingin, "aku sengaja menyamar jadi muridnya, Keng King-si,
menggunakan kesempatan di saat dia terperanjat, akupun
membunuhnya! Hehehe.... kalau bukan ilmu merubah wajahku tiada
tandingan di kolong langit, mungkin tidak selancar itu aku berhasil
membunuhnya!" Biarpun Bok Ing-ing sengaja membesar-besarkan
kemampuannya, namun Bouw Ciong-long tahu kalau ilmu menyaru
muka yang dia miliki memang sangat hebat.
Sekarang Bouw Ciong-long baru paham, pikirnya: 'Tidak heran
kalau kata umpatan Ho Ki-bu menjelang ajalnya adalah: ternyata
kau si binatang!' Berpikir begitu, kembali dia membentak, "Bu-kek
Tianglo, Ho Ki-bu maupun Ting Hun-hok tidak punya dendam sakit
hati apapun dengan dirimu, kenapa kau turun tangan sekeji ini
terhadap mereka?" "Mereka memang tidak punya dendam denganku, tapi kau punya
dendam kesumat dengan aku!" jawab Seebun Mu dingin,
"hehehe.... sekarang kejadian telah berkembang jadi begini, akupun
tidak khawatir bicara sejujurnya. Kau sangka aku benar-benar iklas
menyerahkan Beng-cu kepadamu" Aku justru berlagak mati karena
ingin membalas rasa maluku karena kau telah merebut istriku!
Setelah pertempuran di Toan-hun-kok, aku sadar kalau tidak punya
kemampuan untuk membunuhmu, maka pura-pura mati adalah cara
menghindar yang paling tepat. Pertama bisa berlatih silat lebih
tekun, kedua dapat menghindari perhatianmu dan ketiga bila
kesempatan emas telah muncul, aku masih bisa menfitnah dirimu.
Setelah berlatih beberapa tahun, akupun berhasil melatih semacam
ilmu pukulan yang mirip Thay-kek-kun, akhirnya akupun menghajar
Bu-kek Tianglo hingga tewas termakan pukulanku.
Tidak banyak jago dikolong langit yang mampu melukai Bu-kek
Tianglo dengan tenaga pukulan semacam itu, apalagi jika ilmu yang
digunakan adalah ilmu pukulan Thay-kek-kun dari Bu-tong-pay."
"Kau berharap kecurigaan orang terhadap diriku jadi semakin
besar?" tanya Bouw Ciong-long.
"Hmm, tapi aku tidak menyangka kalau Bu-siang Cinjin begitu
menaruh kepercayaan kepadamu, meski tahu kalau kau sangat
mencurigakan, ternyata dia tetap menyerahkan jabatan Ciangbunjin
kepadamu." Bouw Ciong-long tertawa getir.
"Dia orang tua bukannya sama sekali tidak menaruh curiga
terhadapku," katanya, "dia memang mengangkat aku menjadi
Ciangbunjin, tapi pada saat yang bersamaan diapun memasang
Tojin bisu tuli untuk mengawasi semua gerak-gerikku. Ilmu
berakting dari Tojin bisu tuli jauh lebih hebat daripada aktingmu,
ternyata diapun berhasil membohongi dia orang tua. Masih untung
di saat yang kritis muncul Jit-seng-kiam-kek Kwik Tang-lay yang
membantu aku membongkar kedok mata-matanya!"
Berbicara sampai disini, tiba-tiba dia membentak keras, "Apakah
kau yang sengaja mengatur Ong Hui-bun sebagai Tojin bisu tuli dan
menyusupkan dia ke gunung Bu-tong sebagai mata-mata bangsa
Boan?" Mencorong sinar gusar dari balik mata Seebun Mu, teriaknya
marah, "Percuma aku bergaul selama belasan tahun denganmu,
ternyata kau berani mengucapkan kata-kata busuk semacam itu
kepadaku! Hmm, perbuatan macam apa pun berani kulakukan,
hanya perbuatan yang menjual negara tidak bakalan sudi
kukerjakan. Jika aku tahu Ong Hui-bun adalah mata-mata bangsa
Boan, sejak awal pasti sudah kubunuh dirinya!"
"Bagus, aku percaya dirimu. Tapi aku tidak yakin kau seorang diri
sanggup membunuh Bu-kek Tianglo!" kata Bouw Ciong-long.
Bok Ing-ing tertawa terkekeh.
"Bouw Ciong-long, ternyata kau memang sangat pintar, tapi
masih belum cukup cerdas. Seharusnya kau bisa menduga, tentu
saja aku telah menggunakan senjata rahasia untuk membantumu."
"Oooh, rupanya begitu. Baik, sekarang kalian boleh maju
bersama!" Dari nada pembicaraan yang semula tenang, tiba tiba saja
berubah jadi keras dannyaring.
Bok Ing-ing sama sekali tidak acuh, dengan senyuman dikulum
katanya santai, "Engkoh Mu, terlepas kau ingin aku membantumu
atau tidak, orang lain sudah menganggap kita memang
bersekongkol." Mendadak Seebun Mu mendorong tubuhnya hingga mundur, lalu
bentaknya, "Kau ingin melihat semua Enghiong hohan di kolong
langit mentertawakan diriku" Aku ingin duel satu lawan satu dengan
dirinya, kau tidak boleh ikut campur!"
Bentakan ini sangat menyinggung perasaan Bok Ing-ing, dia jadi
kikuk dan merasa serba salah, pikirnya, 'Hmm, dia tidak lebih hanya
ingin berlagak sok Enghiong di hadapan Beng-cu'
Hadnya merasa jengkel bercampur kecut, namun dia pun tidak
berani mengumbarnya keluar.
Terdengar suara burung mulai berkicau di tengah keheningan,
kemudian cahaya terang pun mulai menyelimuti menembusi
kegelapan. Tanpa disadari fajar telah menyingsing, cahaya matahari
mulai memancar masuk ke balik hutan pohon Bwee.
Cepat Seebun Mu merebut posisi yang lebih menguntungkan
dengan berdiri membelakangi cahaya matahari, bentaknya,
"Ayohmaju!" Sepasang lengannya direntangkan, sepuluh jari tangannya
bagaikan sepuluh batang pit baja langsung dihujamkan ke tubuh
Bouw Ciong-long. Menghadapi datangnya ancaman, cepat Bouw Ciong-long
membalikkan tubuh sambil berputar, pedang nya dilapisi cahaya
dingin menyongsong maju ke depan dan membabat pergelangan
tangannya. Seebun Mu membentak nyaring, dari jari tangan berubah jadi
pukulan, tenaga serangan yang kuat bagaikan gulungan ombak di
samudra langsung menyapu ke depan, menggetar ujung pedang
hingga miring ke samping.
Langkah kaki Bouw Ciong-long bagaikan lelaki mabok, pedangnya
bergoyang kacau, sepintas serangannya tampak tidak beraturan,
namun dalam perasaan Seebun Mu, seakan dari empat arah delapan
penjuru muncul pedang tajam yang menusuk ke arahnya.
Begitulah, kedua orang itu sama-sama mengerahkan segenap
ilmu yang dimilikinya untuk saling menggempur, pertarungan pun
makin lama makin seru. Di antara kilauan cahaya pedang dan bayangan tangan,
pertarungan kedua orang itu bagaikan sebuah pertempuran massal
yang melibatkan ribuan orang.
Seebun-hujin sadar, tidak mungkin dia bisa mencegah terjadinya
pertarungan itu, bahkan sebelum salah satu terluka atau tewas,
tidak mungkin pertarung-an sengit itu akan berhenti.
Merasa tidak tega menyaksikan akhir dari pertarungan itu, tidak
tahan dia menghela napas panjang, pikirnya, 'Terlepas siapa benar
siapa salah, semua musibah dan bencana ini timbul gara-garaku!'
Dengan membawa perasaan menyesal yang luar biasa, tiba-tiba
dia mencabut pedangnya lalu dihujamkan ke atas dadanya sendiri.
Biarpun jago-jago lihay itu sedang bertarung, namun pandangan
mata mereka masih awas terhadap sekeliling arena pertarungan,
Seebun Mu yang pertama-tama menyaksikan kejadian itu.
"Beng-cu jangan!"
Dalam situasi seperti ini, pada hakekatnya Seebun Mu sudah
tidak memperdulikan keselamatan dirinya lagi, nyaris dia telah
menggunakan seluruh kekuatan yang dimilikinya untuk meluncur ke
sisi arena, melewati dari atas kepala Bouw Ciong-long dan langsung
menerkam ke hadapan bekas istrinya.
Bouw Ciong-long melancarkan serangan secepat kilat, dengan
jurus Ki-hwee-liau-thian (angkat obor membakar langit) dia
tinggalkan sebuah mulut luka yang tipis memanjang di atas betis
lawannya. Tapi segera dia mengetahui juga akan peristiwa itu, sebab
walaupun posisi berdirinya membelakangi Seebun-hujin, namun
bayangan yang terbias dari tubuh Seebun-hujin tercermin jelas di
atas permukaan tanah dan terpampang di hadapannya.
Masih untung dia cepat menarik kembali serangan itu, kalau tidak
mungkin seluruh kaki Seebun Mu telah terpapas kutung.
Tanpa memperdulikan luka di kakinya Seebun Mu berlarian ke
depan.

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapa tahu belum mereda sebuah gelombang, timbul kembali
gelombang lain, kali ini yang mencipta gelombang baru ad alah Bok
Ing-ing. Dua orang lelaki, yang satu adalah pria yang pernah dicintainya
semasa masih muda dulu tapi sayang hanya bertepuk sebelah
tangan (Bouw Ciong-long), sedang yang lain adalah suaminya
sekarang (Seebun Mu), namun kini dua orang pria yang sedang
bertempur sengit segera menyelesaikan pertarungannya hanya
dikarenakan ingin menolong seorang wanita yang lain, bisa
dibayangkan bagaimana perasaan hatinya saat itu"
Terbakar oleh api cemburu yang berkobar, tanpa pikir panjang
dia sambitkan segenggam senjata rahasia ke arah Seebun-hujin.
Kebetulan saat itu Seebun Mu sedang berlarian mendekat, selisih
jaraknya dengan Bok Ing-ing masih cukup jauh.
Pada detik yang amat kritis itulah mendadak tubuh Seebun Mu
melambung ke udara, bagaikan seekor burung raksasa dia 'terbang'
lewat dengan cepatnya. Dia bukan termasuk orang yang hebat dalam ilmu meringankan
tubuh, tapi berhubung keadaan sangat kritis dan bahaya, terpaksa
dia pun harus mengeluarkan ilmu yang bukan andalannya itu.
Di saat tubuhnya sedang melambung, dia melepas kan juga
sebuah pukulan dahsyat, kemudian menyusul tubuhnya meluncur
turun, dia langsung mencengkeram pergelangan tangan Bok Inging.
Sebetulnya waktu itu Bok Ing-ing sedang melepaskan senjata
rahasianya berulang kali, tapi begitu pergelangan tangannya
dicengkeram, otomatis serangan nya tidak bisa dilanjutkan.
Sementara senjata rahasia yang telah terlanjur dilepaskan pun
segera tercerai berai dan rontok semua ke tanah akibat terjangan
pukulan dahsyat. Tidak terlukiskan rasa gusar Bok Ing-ing, jeritnya, "Aku tidak
mempermasalahkan bila kau tidak mau bantu aku untuk
membunuhnya, kenapa sekarang kau malah berbalik membantu dia
untuk menghadapi aku" Apa maksudmu?"
"Tidak ada maksud apa-apa," jawab Seebun Mu dengan nada
dalam, "sekali lagi kau berani mengusik seujung rambutnya, segera
akan kusayat kulit tubuh-mu!"
Bok Ing-ing menangis tersedu-sedu, teriaknya semakin keras,
"Bagus, ternyata dalam bayanganmu, aku lebih rendah dari seujung
rambutnya. Lelaki selingkuhannya ingin membunuhmu, tapi kau
tetap memandangnya sebagai istri tercinta! Cisss, selama hidup
belum pernah kujumpai lelaki hina dan tengik macam kau. Ternyata
selama banyak tahun aku mendampingimu, kau hanya berbohong
dan menipuku. Baiklah, aku akan adu nyawa denganmu...."
Dengan kuku jari tangannya yang tajam dan runcing, dia cakar
tangan Seebun Mu, begitu dalam dia mencengkeram hingga kuku
jari yang tajam terbenam ke dalam daging tangan suaminya. Dalam
keadaan begini, jelas tidak gampang baginya untuk melepaskan diri.
Seebun Mu ikut naik darah, bentaknya, "Aku tidak punya waktu
untuk ribut denganmu!"
Diam-diam dia kerahkan tenaga dalamnya kemudian sambil
merentangan sepasang lengan, dia lempar tubuh perempuan itu
jauh ke belakang. Sekalipun pada akhirnya dia berhasil melepaskan diri dari
cengkeraman Bok Ing-ing, namun Bouw Ciong-long pun telah
mendahuluinya dan tiba terlebih dulu di samping Seebun-hujin.
Jantung Seebun-hujin sedang gemetar, jari tangannya ikut
gemetar. Tapi untung dia sedang gemetar sehingga meski mata
pedang telah menghujam di atas dadanya, namun tidak sampai
menusuk jantungnya. Dengan cepat Bouw Ciong-long telah tiba di sisinya.
Dada Seebun-hujin yang dingin bagaikan es segera terasa
munculnya hawa panas, sekulum senyuman mulai menghiasi
wajahnya yang pucat. "Peluklah aku, jangan tinggalkan diriku!"
Suaranya halus bagaikan hembusan angin musim semi di atas
permukaan telaga. Seebun Mu ikut mendengar bisikan itu. Dia terperangah,
tertegun, seakan terkena tenungan secara tiba tiba, tubuhnya
berdiri kaku, sama sekali tidak mampu bergerak.
Tapi satu hal yang sama sekali tidak terduga, nyaris pada saat
yang bersamaan telah terjadi, terdengar suara lain yang memilukan
hati. "Criiiit!" diikuti kemudian "Triiiing....!" suara yang menusuk
telinga.... kemudian tampak Seebun-hujin merintih kesakitan.
Biarpun Seebun Mu bukan seorang ahli dalam ilmu senjata
rahasia, namun diapun tahu kalau mereka telah dibokong orang.
"Perempuan hina...." baru saja dia mulai mengumpat, mendadak
terdengar suara tertawa yang jalang telah bergema di udara, "Kau
telah salah menuduhnya, inilah senjata rahasia dari keluarga Tong,
masih selisih jauh bila dibandingkan senjata rahasia dari keluarga
Bok!" Dalam pada itu Bouw Ciong-long masih memeluk erat tubuh
Seebun-hujin, sambil mendengus bentaknya, "Lebih baik kau cepat
pergi, kalau tidak, jangan salahkan kalau aku segera akan mencabut
nyawamu!" Seebun-hujin yang berada dalam pelukannya segera berbisik,
"Apakah Siang Ngo-nio?"
Tidak salah, ternyata yang membokongnya adalah Siang Ngo-nio,
bukan Bok Ing-ing. Dia telah terhajar sebatang jarum Lebah hijau
milik Siang Ngo-nio. "Ampuni dia," pinta Seebun-hujin lirih, "bagaimana pun, dia
pernah terjalin hubungan cinta denganmu."
Saat itulah dari balik hutan pohon Bwee berkumandang suara
tertawa seram yang serak dan tua, kemudian terdengar orang itu
berseru, "Bouw Ciong-long, kau telah melakukan kesalahan
terhadapku, sudah lama aku ingin membunuhmu. Tapi sekarang
akan kuberi waktu selama setengah jam, karena kekasihmu masih
bisa bertahan hidup setengah jam lagi. Tapi bila kau tega
meninggalkan dia, sekarang juga maju lah untuk berduel
denganku!" Ternyata orang yang berbicara itu tidak lain adalah Tong Jisianseng,
jago senjata rahasia nomor wahid di kolong langit.
Tiba-tiba Seebun Mu membentak nyaring, "Tidak perlu
menunggu setengah jam lagi, sekarang juga aku akan menjajal
kehebatan senjata rahasia keluarga Tong!"
"Eeei, aneh sekali," ejek Tong Ji-sianseng sambil tertawa dingin,
"sejak lama In Beng-cu sudah tidak menganggapmu sebagai
suaminya lagi, bahkan sekarang pun dia sedang berbaring dalam
pelukan laki-laki lain, heran, kenapa kau malah membantu
gendaknya untuk beradu nyawa denganku?"
"Siang Ngo-nio sering selingkuh dengan lelaki lain, kenapa kau
pun selalu mendukungnya?" balas Seebun Mu ketus.
Diam-diam Tong Ji-sianseng berpikir, Andaikata kau belum
terluka, mungkin aku masih takut tiga bagian kepadamu, tapi
sekarang, hmmm, aku yakin kau bukan tandinganku lagi!'
Berpikir begitu segera bentaknya, "Bagus, kalau begitu rasakan
dulu kelihayan dari senjata rahasiaku!"
Seebun Mu segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk
melancarkan serangan berulang kali, angin pukulan yang menderuderu
dengan cepat merontokkan duri beracun, teratai baja, paku
pencabut nyawa, jarum bunga Bwee.... serta pelbagai macam
senjata rahasia lainnya yang tertuju ke tubuhnya, termasuk juga
senjata rahasia yang dilancarkan Siang Ngo-nio.
Bok Ing-ing cepat merangkak bangun, teriaknya, "Engkoh Mu,
jangan gugup, akan kubantu dirimu untuk menghadapi perempuan
siluman itu. Akan kulihat senjata rahasia keluarga Tong lebih lihay
atau senjata rahasia keluarga Bok lebih ampun?"
Siapa sangka, baru saja berlari dua langkah, mendadak
punggungnya terasa sangat dingin, sebilah pedang tajam telah
menembusi punggungnya hingga tembus ke ulu hati.
Ternyata orang yang membunuhnya adalah Tonghong Liang.
Rupanya kesempurnaan tenaga dalam yang dimiliki Tonghong
Liang masih jauh di atas perkiraan Seebun Mu, secara diam-diam
dia telah membebaskan diri dari pengaruh totokan.
Maka ketika Bok Ing-ing kebetulan lewat dari sisinya, dia pun
melompat bangun sambil melayangkan sebuah tusukan, tusukan
yang segera mengakhiri kehidupannya.
Selama ini, Bouw Ciong-long maupun Seebun-hujin seakan tidak
melihat mau pun mendengar pada pelbagai peristiwa yang sedang
berlangsung diseputar itu.
"Toako," bisik Seebun-hujin dengan nada lirih, "kau tidak perlu
membuang tenaga lagi untukku. Tapi ada satu hal yang terasa
mengganjal, aku harus mengatakannya padamu."
"Soal apa?" tanya Bouw Ciong-long.
Saat ini diapun mulai merasakan matanya berkunang-kunang dan
kepalanya pusing, sudah tiba pada saat dia tidak sanggup menahan
diri lagi. Rupanya meski dia dapat menggunakan tenaga murninya yang
melindungi tubuh untuk mementalkan senjata rahasia Tong Jisianseng,
namun ada juga sebagian senjata rahasia yang berhasil
merobek pakaiannya, bahkan melukai sedikit kulit tubuhnya.
Padahal senjata rahasia keluarga Tong sangat beracun, begitu
kena darah langsung mematikan, seandainya dia tidak menyalurkan
tenaga murninya untuk menolong Seebun-hujin, dengan dasar
lweekangnya yang lihay, luka tersebut tidak akan sampai menjadi
ancaman serius. Tapi kini sulitlah baginya untuk membendung menjalarnya hawa
racun dalam tubuhnya. Meski kondisi tubuhnya mulai kepayahan, namun dia tetap
berlagak seolah tidak terjadi apa-apa dan melayani Seebun-hujin
untuk bertanya jawab. "Masalah yang tadi akan kurundingkan denganmu," sahut
Seebun-hujin. "Ooh, kau maksudkan urusan perkawinan anak Yan" Baiklah, kita
bicarakan nanti saja setelah kau membaik."
"Kau tidak perlu membohongi aku lagi, aku tahu hidupku hanya
tinggal setengah jam. Aku merasa Keng Giok-keng adalah bocah
yang sangat baik, kalau memang Yan-ji tidak mungkin lagi kawin
dengan Tonghong Liang, aku minta tolong kau untuk menjodohkan
mereka berdua." "Bagus sih memang bagus, hanya saja...."
"Hanya saja kenapa?"
Bouw Ciong-long tidak ingin membuat hatinya sedih, maka
sahutnya, "Dia sudah pergi meninggalkan gunung Bu-tong,
seandainya sempat bertemu lagi, pasti akan kusampaikan
keinginanmu itu kepadanya. Sudah, yang penting sekarang adalah
mengeluarkan racun dari tubuhmu, tidak usah kau pikirkan masalah
lain lagi." Dia sangka nyawa sendiripun sukar dipertahankan, bisa jadi
selamanya tidak akan bertemu Keng Giok-keng lagi. Siapa sangka
belum habis ingatan itu melintas, segera terdengarlah suara dari
Keng Giok-keng. "Seebun-cianpwee, serahkan saja Tong Tiong-san bajingan tua
itu kepadaku, aku ingin membunuh sendiri musuh besar pembunuh
ayah dan ibu asuhku!"
Biar tidak dalam keadan terluka pun ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki Seebun Mu bukan tandingannya, apalagi saat ini dia
dihadang oleh sambitan senjata rahasia yang begitu gencar.
Belum sempat dia berbicara, Keng Giok-keng telah melesat maju
ke depan dan mengejar Tong Tiong-san.
Terdengar Tong Tiong-san tertawa dingin, ejeknya, "Yang
kubunuh tidak lebih hanya sepasang suami istri petani, tidak pernah
kupikirkan soal ini dalam hari. Bocah keparat, kau masih belum
pantas untuk membalas dendam kepadaku!"
Sambil berkata kembali dia sembitkan segenggam senjata rahasia
ke arah Keng Giok-keng. Dengan jurus Sam-coan-hoat-lun (tiga putaran roda hukum),
senjata rahasia yang menyusup masuk ke balik lingkaran cahaya
pedangnya seketika hancur lebur dan berubah menjadi bubuk.
Sekarang Tong Tiong-san baru terkesiap, pikirnya, 'Sungguh
tidak disangka baru berpisah beberapa bulan, ilmu pedang yang
dimiliki bocah ini telah maju sedemikian pesat'
Tidak sempat berpikir panjang, seluruh tubuhnya tahu-tahu
sudah terperangkap di balik lingkaran pedang yang dilancarkan anak
muda itu. Berada dalam keadaan begini, Tong Tiong-san hanya bisa
mengandalkan tenaga dalam yang dilatihnya selama puluhan tahun
untuk mempertahankan diri, dia tidak sanggup lagi melepaskan
senjata rahasia andalannya.
Terlepas dari hadangan senjata rahasia, dengan cepat Seebun
Mu menemukan Siang Ngo-nio berada tepat dihadapannya.
Tiba-tiba terdengar Siang Ngo-nio tertawa terbahak-bahak.
"Apa yang kau tertawakan?" tegur Seebun Mu.
"Selama ini kusangka orang yang ingin membunuhku adalah
Bouw Ciong-long, tidak tahunya ternyata dirimu, apakah hal ini tidak
lucu sekali?" "Hmm, sudah tahu kematian telah berada di depan mata, masih
bisanya tertawa tergelak, dasar makhluk aneh!" umpat Seebun Mu
dingin. "Aku memang makhluk aneh, keanehanku muncul karena dipaksa
oleh kalian!" teriak Siang Ngo-nio kalap, "orang pertama adalah
Tong Ji-sianseng, dia paksa aku untuk menjadi kekasih gelapnya,
orang kedua adalah Bouw Ciong-long, sebetulnya dia memberi
sedikit harapan, tapi pada akhirnya dia tetap mencampakkan diriku.
Lalu orang ketiga adalah dirimu, di saat kau sedang sedih dan patah
hati, semua napsu birahimu kau lampiaskan di atas tubuhku!"
Seebun Mu jadi tertegun, dia merasa, walaupun perempuan ini
memuakkan namun bagaimana pun memang patut dikasihani.
Bukankah dia sendiripun pernah melakukan pembantaian semau
hati hanya dikarenakan tertekan oleh sakit hati"
Sambil menggertak gigi ujarnya kemudian, "Perduli apa pun yang
kau katakan, karena kau telah melukai Beng-cu maka aku pun tidak
dapat mengampunimu!"
Sekali lagi Siang Ngo-nio tertawa kalap, di tengah tertawa diapun
menghela napas berulang kali, serunya, "Beng-cu, aku benar-benar
kagum padamu, ternyata ada dua orang lelaki yang rela mati demi
kau. Heeehehe.... hahaha.... tapi aku tidak pernah menyesal!
Bouw Ciong-long, biarpun aku tidak berhasil mendapatkanmu,
kau sendiripun tidak berhasil memperoleh apa apa! Dan kau,
Seebun Mu, kau jauh lebih mengenaskan lagi! Hahahaha.... kalian
dua orang Enghiong hohan sama-sama membenciku, tapi kalian pun
sama-sama tidak bisa berbuat apa-apa terhadapku!"
Mendadak di tengah gelak tertawa kalapnjra dia roboh terjungkal
ke tanah. Dalam waktu singkat selapis hawa hijau telah menyelimuti
wajahnya. Dia roboh ke tanah kemudian tidak pernah bergerak lagi,
ternyata perempuan itu telah bunuh diri dengan menelan obat
beracun. Tong Tiong-san yang sedang bertarung sengit melawan Keng


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Giok-keng segera menangkap suara tertawa Siang Ngo-nio yang
sangat aneh, dengan hati tercekat segera teriaknya, "Ngo-nio,
kenapa kau?" "Dia sudah mati!" jawab Seebun Mu dingin, "bukan aku yang
membunuhnya, kaulah yang mendesak dia untuk mati!"
Jago silat yang sedang bertempur, mana boleh mencabangkan
pikirannya" Apalagi pikirannya jadi kalut dan dicekam rasa duka
yang mendalam" Menggunakan kesempatan itu Keng Giok-keng segera
menggetarkan ujung pedangnya, maka sebuah lubang kecil telah
muncul pada tenggorokan Tong Tiong-san, diiringi pancaran darah
segar, tubuhnya roboh terjengkang ke atas tanah.
Seebun-hujin semakin lemas kondisinya, sambil berbaring dalam
pelukan Bouw Ciong-long, tiba-tiba katanya sambil setengah
pejamkan mata, "Aku seperti mendengar suara tertawa Siang Ngonio,
suara tertawanya terdengar begitu gembira, tapi juga begitu
sedih dan murung, apa yang terjadi dengan dirinya?"
"Dia sudah mati!" jawab Bouw Ciong-long. "Aaai, kasihan! Apa
yang dia katakan menjelang ajalnya"'
"Dia bilang dia sangat kagum dengan kebahagiaanmu!"
Sekulum senyuman manis kembali tersungging di bibir Seebunhujin,
katanya, "Benar, aku memang sangat bahagia, aku adalah
seorang wanita jahat, tapi kau tetap begitu baik kepadaku!"
Bouw Ciong-long benar-benar amat sedih, hatinya pilu, tapi
sambil tertawa paksa katanya, "Tidak, kau adalah wanita baik,
jangan berkata begitu!"
"Terima kasih Bouw toako, aaah.... jangan lupa, tolong
sampaikan kepada Seebun Mu, akupun amat berterima kasih
kepadanya!" Suaranya makin lama semakin lemah dan akhirnya dia
menghembuskan napas yang terakhir dalam pelukan Bouw Cionglong.
Dalam pada itu setelah Tonghong Liang membunuh Bok Ing-ing
dan membesut bekas darah di pedangnya, dia berjalan menuju ke
hadapan Seebun Mu dan mengangsurkan pedang tadi sambil
berkata, "Pedang mestika ini adalah pemberianmu, aku telah
menggunakan untuk membalas dendam atas kematian ayahku. Tapi
dengan senjata ini pula aku telah membunuh istrimu. Bila kau ingin
membalaskan dendam, ambillah kembali pedang ini dan gunakan
untuk membunuh aku!"
"Anak Liang, aku sudah merasa berterima kasih sekali karena kau
tidak membunuhku," kata Seebun Mu, "semoga kau bisa gunakan
pedang mestika itu untuk menggali masa depanmu!"
"Masa depan apa yang kumiliki?" tanya Tonghong Liang sambil
tertawa getir. "Sebagai seorang lelaki sejati, terhitung apalah sedikit
penderitaan yang telah kau alami?"
"Apakah aku masih pantas disebut seorang lelaki sejati?" pikir
Tonghong Liang dalam hati.
Tampaknya Seebun Mu dapat membaca suara hatinya, cepat dia
melanjutkan, "Kau pasti tahu tentang cerita Suma Cuan bukan"
Karena dikebiri maka dia lampiaskan kekesalannya dengan menulis
catatan sejarah, coba bayangkan, siapa yang tidak
menghormatinya" Begitu juga dengan ilmu silat, nah. Pergilah untuk
memperjuangkan masa depanmu!"
Walaupun ucapan itu disampaikan dengan lembut, namun bagi
pendengaran Tonghong Liang ibarat pukulan tongkat yang sangat
keras, segera serunya, "Terima kasih banyak atas nasehat paman."
Dia sarungkan kembali pedangnya dan segera beranjak pergi
meninggalkan tempat itu. Keheningan yang mencekam kembali menyelimuti hutan pohon
Bwee. Ketika Seebun Mu berpaling, dia melihat Bouw Ciong-long telah
membaringkan jenasah In Beng-cu keatas tanah kemudian ikut
bangkit berdiri. "Benar, aku hampir lupa, masih ada kau yang akan datang
mencari balas!" ujar Seebun Mu perlahan.
"Sebelum meninggal, Beng-cu berpesan agar aku ucapkan
banyak terima kasih kepadamu. Pertikaian pribadi antara kita
berdua telah berakhir, tapi sayang aku masih tetap seorang
Ciangbunjin dari Bu-tong-pay, untuk kematian Bu-kek Tianglo di
tanganmu, aku.... aku tidak bisa tidak harus...."
Kini racun dalam tubuhnya telah mulai bekerja, padahal dia
berniat ingin meminjam tangan Seebun Mu untuk menyelesaikan
kehidupannya. Dengan cara begini, meski dia harus mati, paling
tidak dia telah menyelesaikan pertanggungan jawabnya sebagai
Ciang-bunjin Bu-tong-pay.
"Aku tahu," tukas Seebun Mu, "tapi lebih baik simpanlah tenaga
untukmu sendiri!" "Apa maksudmu" Kau sangka setelah aku terkena senjata rahasia
keluarga Tong maka tidak sanggup mengalahkan dirimu?"
"Bukan, aku tidak bermaksud begitu, aku.... aku...."
Tiba-tiba Bouw Ciong-long mendengar suara letupan seperti
suara jagung yang meletus, dengan terperanjat teriaknya, "Seebun
Mu, apa yang kau lakukan?"
Seebun Mu tertawa getir, katanya, "Beng-cu telah mati, apa
artinya aku hidup terus di dunia ini?"
Ternyata suara letupan itu adalah suara dia ketika memusnahkan
tenaga dalam sendiri menjelang ajalnya.
Keng Giok-keng yang kebetulan muncul dari balik hutan Bwee
jadi tercekat hatinya setelah melihat kejadian itu.
"Anak Keng, kemari kau!" seru Bouw Ciong-long tiba-tiba.
Keng Giok-keng segera berjalan menghampiri.
"Ciangbunjin, ada perintah apa?" tanyanya.
"Sebetulnya aku ingin kau menggantikan aku jadi Ciangbunjin,
tapi sayang...." "Kau tidak perlu minta maaf, sejak awal telah kukatakan, aku
tidak berminat dengan tawaran ini."
"Bila kau tidak bersedia, kumohon bantulah It-yu, sekalipun
musuh dalam partai telah mati semua, namun kemungkinan besar
masih akan muncul badai yang lain."
"Walaupun tentu tidak bisa balik lagi ke perguru-an, paling tidak
masih tercatat sebagai anggota partai Bu-tong, tecu pasti akan
sekuat tenaga mendukung dan berbakti untuk kepentingan partai!"
"Siapa bilang kau tidak boleh kembali ke perguruan" Sekarang
juga kau boleh pulang ke atas gunung!" kata Bouw Ciong-long.
"Tapi di tengah perjalanan menuju kota Kim-leng, tecu telah
melakukan perbuatan yang menyalahi dua orang utusan kerajaan
itu." "Kau tidak perlu merisaukan masalah ini."
"Kenapa?" "Karena kedua orang utusan itu telah bersekongkol dengan
bangsa Boan, dengan kaburnya Kwik Bu, mereka pasti akan ikut
melarikan diri." "Kalau begitu tecu akan mentaati perintah. Tapi bagaimana
dengan kau sendiri Ciangbunjin?"
"Coba lihat, siapa yang datang?" seru Bouw Ciong-long tiba-tiba.
Baru saja Keng Giok-keng berpaling, dia seperti mendengar suara
senjata yang menusuk sesuatu. Cepat dia berpaling kemba li.
Tampak sebilah pedang telah menancap diatas dada Bouw
Ciong-long, terdengar ketua Bu-tong-pay itu berkata, "Sekarang aku
tidak perlu risau lagi setelah kau berjanji akan membantu
menjayakan Bu-tong-pay. Apa yang dikatakan Seebun Mu memang
benar, setelah Beng-cu mati, apalah arti hidup terus!"
Ternyata dia telah mencabut pedang yang menghujam di tubuh
Seebun-hujin itu kemudian menggunakannya untuk bunuh diri.
Pedang ini memang pedang kesayangan Seebun-hujin, dan kini
dia roboh terkapar di sisi jenasah Seebun-hujin, perempuan yang
paling dicintainya. Keng Giok-keng seakan baru mendusin dari impian buruk,
terburu-buru dia turun gunung.
Baru sampai di tanggul Pek-ti, terlihat seorang gadis muda
berlarian mendekat. Mula-mula gadis itu tampak tertegun, kemudian sambil tertawa
serunya, "Kau memang amat cerdas, aku kuatir kau tidak mengerti
arti lukisan peta yang berada di sapu tanganku, ternyata kau malah
sudah sampai disini. Tahukah kau Cici mu juga ikut datang?"
Ternyata gadis itu tidak lain adalah Seebun Yan.
"Mana Ciriku?" "Ada disana." Ternyata Tonghong Liang bergerak selangkah tiba lebih dulu.
Di saat semua orang belum memperhatikan, dia telah berjalan
menghampiri Lan Sui-leng.
"Nona Lan, aku merasa bersalah padamu, harap kau sudi
memaafkan," katanya.
"Aku telah putuskan untuk ikut Put-hui Suthay menjadi pendeta,
terima kasih banyak atas perhatian Sicu!" jawab Lan Sui-leng sambil
merangkap tangannya di depan dada, sementara setitik air mata
tampak jatuh berlinang. Walaupun dia belum mencukur rambutnya jadi pendeta, tapi
telah menyebut diri sebagai seorang Tokouw.
Di bawah deraian air mata gadis itu, Tonghong Liang beranjak
pergi meninggalkan tempat itu.
Bouw It-yu diangkat menjadi Ciangbunjin Bu-tong-pay
menggantikan ayahnya. Meski Keng Giok-keng sempat kembali ke gunung untuk
menyampaikan selamat kepadanya, namun diapun hanya berdiam
beberapa hari sebelum pergi lagi.
Dia bersikeras menampik jadi Ciangbunjin, selain karena sadar
kalau kemampuannya masih kalah dibandingkan Bouw It-yu, hal
lainpun dikarenakan dia merasa masih ada tugas lain yang lebih
bermanfaat harus segera dilakukan.
Ooo)*(ooO Thian-ci tahun ke enam Bulan satu, pasukan Manchu
menyeberangi sungai Liauw-ho dan menginvasi secara besar
besaran wilayah Liau-wan. Pasukan yang terlibat dalam
penyerangan itu mencapai tiga belas laksa orang.
Waktu itu pasukan Wan Tiong-huan yang menjaga wilayah
Liauw-huan hanya satu laksa orang. Tapi akhirnya Wan Tiong-huan
dengan jumlah yang kecil berhasil mengalahkan jumlah pasukan
musuh yang besar. Bukan saja dia berhasil memukul mundur serbuan pasukan
bangsa Mancu, bahkan membuat jenderal lawan, Nurhaci Khan
menderita luka cukup parah.
Pada tahun yang sama bulan tujuh, Nurhaci Khan tewas di
benteng Si-ki-po, lebih kurang empat puluh li di luar kota Shenyang,
waktu wafat, usianya baru mencapai enam puluh delapan
tahun. Konon dalam suatu pertempuran yang amat sengit, Nurhaci Khan
terluka oleh tusukan pedang seorang pemuda tanggung, jago
pedang muda itu tidak lain adalah Keng Giok-keng.
Tidak jelas apakah rumor itu benar atau tidak, tapi seringnya
jejak kependekaran Keng Giok-keng muncul di luar perbatasan
merupakan sebuah kenyataan yang tidak terbantahkan.
Tentu saja di sampingnya selalu terlihat pula seorang nona, dia
adalah Seebun Yan. Begitu hebat dan tersohornya pemuda itu memainkan ilmu
pedang aliran Bu-tong-pay, pada akhirnya hampir setiap orang pasti
akan mengacungkan jempolnya bila menyinggung tentang
kehebatannya. Semua orang memujinya sebagai Bu-tcng-it-kiam Pendekar
pedang dari Bu-tong. Pada saat bersamaan ketika Keng Giok-keng termashur di
wilayah luar perbatasan, di wilayah seputar Soatsay, Kamsiok, Cenghay
dan barat laut wilayah Hui muncul pula seorang jago pedang
muda yang lebih misterius jejaknya ketimbang Keng Giok-keng,
jarang sekali ada orang yang pernah melihat wajah aslinya.
Tapi menurut saksi mata, dia adalah Tonghong Liang.
Sementara partai Bu-tong sendiri, di bawah pimpinan Bouw It-yu
yang hebat dan luar biasa, makin hari makin bertambah jaya.
Mereka bertiga sama-sama melakukan pekerjaan yang berbeda,
namun ada satu hal yang sama diantara ketiga orang itu, ilmu silat
mereka hampir semuanya mengandung unsur ilmu pedang Bu-tongTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
pay. Tidak heran kalau dikemudian hari, banyak orang menyebut
mereka bertiga sebagai Bu-tong sam-kiam-khek, Tiga jago pedang
dari Bu-tong. TAMAT Bandung, 30 January 2009 Salam Hormat
(See Yan Tjin Djin) Pendekar Guntur 24 Panji Sakti Karya Khu Lung Puteri Es 3

Cari Blog Ini