Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pedang Dari Bu-tong 3

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 3


dengan cepat dia menjumpai bahwa dahan-dahan pohon itu
sedikitberbeda. Daun yang tumbuh pada ranting dan dahan yang berada tujuh
kaki dari permukaan tanah nampak tumbuh dengan suburnya, tapi
daun yang berada di bawahnya justru gundul tidak tersisa satu pun.
Daun yang tumbuh pada pohon yang sama mengapa bisa
berbeda" Bahkan mencolok sekali perbedaannya"
Mula-mula dia tertegun, tapi dengan cepat tersadar kembali, ini
bisa terjadi karena ada orang yang pernah berlatih ilmu pedang di
bawah pohon itu, itulah sebabnya daun yang tumbuh pada ranting
pohon berguguran hingga gundul karena terkena hawa pedang.
Tapi siapakah orang itu" Kenapa orang itu bukan berlatih pedang
di tempat lain melainkan mendatangi bukit yang terpencil dan
berlatih di situ" Rasa curiga, rasa tidak habis mengerti seketika
mencekam perasaan Put-coat.
Dia mencoba memeriksa lagi gundukan tanah di sebelah kanan,
lagi-lagi sebuah temuan baru dijumpai, bahkan temuan itu tidak
perlu dicerna terlalu dalam, sekilas pandang telah diketahui kalau
ada orang yang pernah berkunjung ke situ!
Seikat bunga putih tergeletak di atas gundukan tanah itu.
Keluarga Ho sudah putus keturunan, Ko Ceng-kim yang dahulu
pun sekarang sudah menjadi Put-ji yang sedang tertugas di wilayah
Liauw-tong, lantas siapa yang telah berziarah di depan kuburan Ho
Giok-yan" Darimana orang itu bisa tahu kalau Ho Giok-yan terkubur
di tempat itu" Makin dipikir Put-coat semakin pusing dan tidak habis mengerti,
akhirnya sambil menggeleng pikirnya, 'Ah, peduli amat siapa yang
pernah berkunjung kemari. Lebih baik segera kulaksanakan perintah
guru kemudian meninggalkan tempat ini.'
Berpikir sampai di situ, dia pun mulai menggali tanah gundukan
itu dengan menggunakan sekop yang dibawanya.
Dengan kekuatan tubuhnya yang besar, tidak sampai sebatang
hio habis dibakar, dia telah berhasil menggali liang yang telah
diratakan dengan tanah oleh Ko Ceng-kim itu menjadi bentuk
semula. "Cring!", ujung sekop mulai menyentuh selapis papan yang
digunakan untuk menutup di atas tulang jenazah.
Papan itu sesungguhnya sudah tertindih hancur oleh beratnya
urukan tanah, boleh dibilang sudah kehilangan manfaatnya sebagai
pelindung tulang belulang. Satu-satunya kegunaan yang masih
tersisa sekarang hanya melindungi bentuk tulang belulang di
bawahnya hingga seperti bentuk semula.
Buru-buru Put-coat menyingkirkan tanah di atasnya sambil
melompat turun ke dalam liang, dengan korek api yang digembol,
dia menerangi keadaan dalam liang dan memeriksa isinya.
Tapi sekali lagi dia berdiri tertegun.
Ternyata ada tiga sosok tulang manusia berjajar di dalam liang
kubur itu! Ternyata dalam perkiraan Ko Ceng-kim selama ini, andai
Ciangbunjin berniat memindahkan tulang belulang Bu-kek Tianglo
ke gunung Bu-tong, besar kemungkinan pelaksanaan tugas itu akan
diserahkan kepadanya. Sebagaimana diketahui lantaran terbakar
oleh api cemburu, dia tidak pernah mengebumikan jenazah Keng
King-si dalam satu liang dengan jenazah bininya, Ho Giok-yan.
Karena takut pandangan Suhu terhadap dirinya bakal berubah jika
mengetahui peris-tiwa itu, maka selama ini kejadian itu selalu
dirahasiakannya. Dari ketiga sosok kerangka manusia itu, Keng King-si berada di
ujung paling kiri, di sebelah kanan adalah kerangka Ho Liang, orang
tua dari keluarga Ho, sedang kerangka Bu-kek Tojin berada di
tengah. Setelah lewat enam belas tahun lamanya, jenazah yang dikubur
tanpa peti mati itu sudah hancur, kini yang tersisa hanya kerangka
tulang. Untung saja sejak kecil Put-coat memang sering berkumpul
dengan Bu-kek Tojin, dia pun pernah beberapa kali berkunjung ke
rumah keluarga Ho hingga dengan Ho Liang maupun Keng King-si
boleh dibilang cukup akrab.
Biar sudah tinggal kerangka tulang saja, namun tidak susah
untuk mengenali seseorang dari tinggi pendeknya kerangka yang
ada. Selain itu tulang orang tua pun beda dengan tulang orang
muda, semua ini tidak ada yang bisa lolos dari pengamatan Put-coat
yang jeli. Diam-diam dia menghela napas panjang, pikirnya, "Ternyata Putji
Sute tidak pernah menguburkan jenazah Keng King-si dalam satu
liang dengan Sumoynya...."
Tapi pikiran lain segera melintas, pikirnya lagi, 'Ehm, memang
tidak bisa menyalahkan dia, Sumoynya itu kan sebenarnya calon
bininya!" Ketika Keng King-si 'merayu dan membawa lari' Sumoynya tempo
hari, Put-coat bukannya tidak tahu, dia malah sempat ikut merasa
tidak puas dengan tindak-tanduk Keng King-si, perasaan
simpatiknya selalu diberikan ke pihak Ko Ceng-kim.
Kini, setelah menemukan kerangka tubuh Keng King-si, meski di
hati kecilnya tetap merasa masgul, namun tidak sampai
menimbulkan rasa heran dirinya.
Begitu dia menjumpai kerangka Ho Liang, perasaan terkejutnya
benar-benar tidak terkirakan.
Yang membuatnya terkejut bukan lantaran Ko Ceng-kim hanya
membuat dua buah liang dengan menguburkan jenazah Ho Liang
dan Bu-kek Tojin di dalam satu liang. Bagi Put-coat, hal semacam ini
masih bisa diterima akal sehat, apalagi demi menghemat waktu dan
tenaga. Selain itu, Put-coat pun bukan termasuk orang yang gila status
dengan membedakan kedudukan seseorang, baginya mengubur
seorang tua dari keluarga Ho dengan seorang Tianglo dari Bu-tongpay
dalam satu liang adalah satu kejadian yang lumrah.
Yang membuatnya terperanjat bercampur heran adalah tulang
kerangka Ho Liang, ternyata tulang belulangnya berwarna hitam
pekat. Hanya tulang belulang korban keracunan yang akan
meninggalkan bekas seperti ini!
Setelah dilakukan pemeriksaan yang cermat dan seksama,
akhirnya dia berhasil menemukan sebatang jarum Bwe-hoa-ciam
yang sangat lembut di antara tulang iga kerangka itu. Sebagai
seorang jagoan silat yang berilmu tinggi, dengan cepat dia dapat
menyimpul kan bahwa Bwe-hoa-ciam itu pasti sangat beracun dan
racunnya ganas serta mematikan!
Kini sebab kematian Ho Liang terungkap sudah, jelas terbukti
kalau kematiannya lantaran terkena serangan jarum beracun!
Sebab kematian telah terungkap, tapi muncul persoalan lain yang
membuatnya tidak habis mengerti.
Pertanyaan pertama, siapa yang telah melepaskan jarum beracun
itu" Menyusul kemudian pertanyaan kedua, mengapa harus
menggunakan jarum beracun untuk membunuh Ho Liang" Bukankah
Ho Liang hanya seorang pelayan tua yang tidak mengenal silat"
Untuk membunuhnya, siapa pun bisa melakukannya segampang
membalikkan telapak tangan, kenapa harus membokongnya dengan
jarum beracun" Tanpa terasa dia mulai membayangkan kembali Keng King-si,
orang itu dituduh sebagai pembunuh utamanya.
Menurut laporan yang diberikan Ko Ceng-kim kepada
Ciangbunjin, si pelayan tua itu Ho Liang tewas di tangan Keng Kingsi.
Namun kini Put-coat mulai curiga, semakin dipikir dia merasa
semakin sangsi dan ragu. Berdasarkan keterangan yang diberikan Ko Ceng-kim ketika
menuturkan peristiwa itu, Ho Liang tewas tergelincir karena
didorong Keng King-si. Ho Liang memang tidak memiliki kungfu hebat, sementara Keng
King-si waktu itu sedang dicekam rasa gusar dan emosi yang
meluap, kalau sampai dia salah tangan hingga menyebabkan
kematian Ho Liang, sebenarnya penjelasan ini sangat masuk akal.
Tapi penemuan terbaru yang dia temukan sekarang berbicara
lain, Ho Liang tewas karena terhajar jarum beracun!
Sekalipun Keng King-si berniat membunuh Ho Liang, baginya
tidak perlu menggunakan jarum beracun untuk melaksanakan
niatnya itu. Apalagi Bu-tong-pay sebagai sebuah perguruan kaum
lurus, peraturan yang ketat melarang setiap anggotanya
menggunakan senjata rahasia beracun.
Memang Keng King-si hampir setahun lamanya meninggalkan
perguruan, tapi dalam jangka waktu setahun yang amat singkat,
mustahil dia sanggup menguasai ilmu senjata rahasia yang demikian
hebat, apalagi dapat membunuh orang tanpa diketahui siapa pun.
Lalu kalau bukan Keng King-si, perbuatan siapakah itu"
Tentu saja Put-coat tidak bisa mencurigai Ko Ceng-kim. Sama
seperti Keng King-si maupun anggota perguruan Bu-tong-pay
lainnya, Ko Ceng-kim belum pernah mempelajari ilmu senjata
rahasia sebangsa Bwe-hoa-ciam, terlebih tidak cukup alasan baginya
untuk membunuh Ho Liang. Satu-satunya jawaban yang bisa diterima adalah pada saat yang
bersamaan ada seseorang bersembunyi di tempat kegelapan dan
melancarkan serangan bokongan itu.
Namun jawaban yang terpikir oleh Tut-coat ini bukan sebuah
jawaban yang dapat membuat orang puas.
Bwe-hoa-ci jm adalah satu jenis senjata rahasia yang amat
lembut dan enteng, bila ingin melukai orang dengan jarum bunga
Bwe ini, seseorang harus berscmbunyi di suatu tempat yang dekat
jaraknya dengan sang korban.
Padahal ketika Ho Liang terbunuh saat itu, mereka yang hadir di
tempat kejadian selain Keng King-si, di situ masih ada Ko Ceng-kim
dan Ho Giok-yan, ketiga orang itu tergolong jago yang cukup
tangguh. Bila ada orang melepaskan serangan Bwe-hoa-ciam dari jarak
dekat, mungkinkah perbuatannya itu dapat lolos dari pandangan
mata mereka" Put-coat benar-benar tidak habis mengerti, pikirnya, 'Aah, lebih
baik jangan kupikirkan dulu persoalan ini, yang penting aku harus
segera mengangkut ketiga sosok kerangka manusia ini dan balik ke
Bu-tong-san, selelah melaporkan peristiwa ini barulah kemudian
mengajak Put-ji Sute merundingkan persoalan ini."
Sesudah mengambil keputusan, dia pun mulai mengumpulkan
kerangka manusia yang ada.
Tiba-tiba dia merasa ada segulung hembusan angin tajam
'menindih' tiba dari atas kepala, dengan sigap Put-coat berkelit ke
samping sambil melompat mundur.
"Blaam!", diiringi suara gemuruh yang keras, tahu-tahu sebuah
batu raksasa telah meluncur ke bawah, begitu kerasnya timpukan
itu membuat ketiga sosok kerangka manusia itu hancur berantakan
seketika. Buru-buru Put-coat menyambar sekopnya sambil menjejakkan
kaki ke dinding liang kubur, kemudian dengan cekatan dia melejit ke
udara dan melayang ke permukaan tanah.
Kembali sebuah batu raksasa dilontarkan ke arah tubuhnya,
masih berada di tengah udara Put-coat segera mengayun sekopnya
ke muka. Dalam keadaan kritis dan terancam bahaya, dia kerahkan
segenap tenaga dalam yang telah dilatihnya selama tiga puluh
tahun ini untuk menyongsong datangnya sambaran itu.
"Traang....!", kali ini batu cadas itu berhasil ditangkis dengan
sekopnya hingga mencelat balik ke belakang.
Menggunakan peluang itu cepat sepasang kakinya menginjak
permukaan tanah. Pada saat itulah sang penyerang telah berganti senjata, kali ini
bukan batu cadas yang ditimpukkan ke arahnya melainkan sembilan
batang paku penembus tulang Tau-kut-ting yang meluncur tiba
berjajar dalam bentuk segi tiga.
Sungguh dahsyat tenaga timpukan orang itu, kesembilan batang
paku penembus tulang itu menyambar datang diiringi suara
desingan tajam yang begitu memekakkan telinga, seolah ada beribu
anak panah yang merobek gendang telinga.
Put-coat segera memutar sekopnya bagai balingbaling, dalam
waktu singkat kesembilan batang paku penembus tulang itu berhasil
dihajar hingga rontok ke tanah.
Meski semua Am-gi berhasil dijatuhkan, tidak urung secara
lamat-lamat dia merasakan juga pergelang-an tangannya kaku dan
kesemutan. Sebagai seorang jagoan yang berpengetahuan luas, begitu
sekopnya membentur Am-gi lawan, dia segera sadar kalau orang itu
telah mengerahkan tenaga dalam untuk melepaskan kesembilan
batang paku penembus tulang itu, dengan perasaan terkesiap
segera berpikir, 'Heran, kenapa tenaga dalam yang dilatih orang ini
mirip sekali dengan tenaga dalam Thay-khek-sinkang dari perguruan
kami?" Kalau dibilang ada perbedaan, maka perbedaan itu tipis sekali,
tenaga dalam yang dimiliki orang itu cenderung lebih kasar dan
ganas, sementara kekuatan yang terpancar lewat senjata rahasia
itupun seakan sebentar terputus sebentar muncul kembali, berbeda
jauh dengan kekuatan murni aliran Bu-tong-pay.
"Melukai orang dengan senjata rahasia, terhitung jagoan macam
apa kau ini?" bentak Put-coat nyaring, 'kalau memang bernyali,
ayoh cepat keluar!" Belum selesai dia berkata, terdengar seseorang menyahut
dengan logat luar daerah, menyahut sambil tertawa tergelak,
"Hahaha, Put-coat Totiang, aku tahu kau adalah ahli waris
Ciangbunjin Bu-tong-pay, kudengar tenaga dalammu sangat hebat
dan sakti, barusan aku hanya ingin menjajal sampai dimana
kemampuanmu itu...."
Orang itu adalah seorang lelaki yang mengenakan kain kerudung
muka. "Kalau memang ingin menjajal kepandaian silat-ku, kenapa harus
mengenakan kerudung muka?" jengek Put-coat.
"Hahaha, lagi-lagi tebakanmu keliru. Maaf, aku bukan ingin
menjajal ilmu silatmu saja, aku datang karena ingin membunuhmu!
Cuma aku memang tidak ingin membunuhmu dengan menggunakan
senjata rahasia, aku ingin membunuhmu dengan pedang. Awas!
Lihat pedang!" Dia memberitahu terlebih dulu sebelum melancarkan serangan,
artinya serangan ini bukan serangan bokongan.
Biar begitu, serangan yang dilancarkan orang berkerudung itu
benar-benar cepat bagaikan sambaran kilat, begitu kata "pedang"
meluncur keluar dari mulutnya, cahaya senjata bagai untaian rantai
emas telah menggulung tiba!
Sambil mencabut pedang, dia melambung ke udara dan
melancarkan serangan ke tubuh lawan, semuanya nyaris dilakukan
dalam satu tarikan napas, gaya maupun gerakannya terlihat indah,
lembut dan menawan. Put-coat segera merasa jurus serangan yang digunakan lawan
seakan pernah dikenal sebelumnya.


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekop miliknya berat dan kaku, begitu mengetahui jurus pedang
yang digunakan lawan, dia segera sadar kalau sulit baginya untuk
membendung datangnya ancaman itu.
Benar saja, tidak sampai beberapa gebrakan dia sudah tercecar
hebat hingga kalang-kabut. Kembali orang itu tertawa tergelak,
"Hahaha, kalau kesempatan untuk mencabut pedang pun tidak
kuberikan, mungkin kau bakal mati tidak...."
Belum selesai perkataan itu diucapkan, Put-coat dengan gerakan
Si-siung-kiau-boan-im (menyempitkan dada berjumpalitan di awan)
telah melompat mundur sejauh tiga depa lebih.
"Kau ingin membunuhku?" bentaknya nyaring, "aku rasa tidak
segampang apa yang kau perkirakan!"
Sepasang lengannya digetarkan keras, sekopnya diiringi deruan
angin dan guntur meluncur dari tangannya langsung membabat
pinggang orang itu. Kelihatannya orang itu tidak berani menyambut datangnya
ancaman dengan keras lawan keras, tubuhnya menyusup ke
samping, ujung pedangnya menutul pelan ke depan, dengan
menghimpun hawa murninya dia tangkis sekop itu hingga mencelat
ke samping. Put-coat terkesiap, dia kaget setelah melihat gerak serangan
yang digunakan orang itu.
Biarpun gerak serangan yang dilakukan orang itu lincah, tidak
urung gerakannya sedikit melamban juga. Pada saat itulah Put-coat
telah melolos senjatanya sambil membentak, "Kurang sopan kalau
kedatanganmu tidak di sambut selayaknya, lihat serangan!"
Pedangnya membacok ke depan dengan membuat gerakan
setengah lingkaran busur, ternyata orang itupun menyambut
datangnya ancaman dengan gerakan busur, hanya saja
rentangjaraknya jauh lebih besar dan melebar.
"Traang!", ketika sepasang pedang saling membentur satu
dengan lainnya, mata senjata orang itu ternyata tiga inci lebih
panjang ketimbang mata pedang Put-coat, hampir saja tubuh
pendeta muda itu terbabat luka.
Untung saja Put-coat cukup matang menguasai ilmu silatnya,
cepat dia rendahkan kuda-kuda sambil menarik bahu ke samping,
pedangnya diputar lalu menggulung ke arah depan.
Posisinya saat ini boleh dibilang 'dalam bagai air jeram, kekar
bagai bukit karang', dengan posisi tenang dia mengatasi perubahan
lawan. Tampaknya orang berkerudung itu cukup tahu akan kelihaian
lawannya, belum sampai jurus serangan digunakan hingga
puncaknya, buru-buru dia berganti gerakan.
Tampak bahunya sedikit diangkat, tungkai kakinya segera
meninggalkan permukaan tanah, pedangnya dibabatkan serong ke
samping, bagaikan seekor bangau putih yang sedang pentang
sayap, radius babatannya kali ini jauh lebih lebar dan besar
ketimbang babatan semula.
Bila bacokan pedang itu sampai mengenai pada sasaran, niscaya
seluruh lengan milik Put-coat akan terbelah jadi dua dan berpisah
dengan tubuhnya. Put-coat tidak mau unjuk kelemahan, dengan jurus yang sama,
Pek-hok-liang-ci (bangau putih pentang sayap), dia ciptakan garis
membujur yang lebarnya mencapai tujuh kaki. Seperti gelombang
samudra yang menakutkan, cahaya pedang berham-buran ke empat
penjuru. Sekali lagi orang berkerudung itu berganti jurus serangan, dia
tidak berani menyambut datangnya ancaman dengan keras lawan
keras. Put-coat semakin curiga, bentaknya, "He, darimana kau pelajari
kedua jurus ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat itu?"
"Hahaha, lucu amat kau ini, teori pedang saja boleh sama dan
banyak kemiripan apalagi gerakan ilmu pedang. Kau sangka hanya
ilmu pedang Thay-khek yang bisa memiliki kedua jurus serangan
itu?" Biarpun sedang berbicara, gerak tangannya sama sekali tidak
mengendor, selama pembicaraan masih berlangsung, secara
beruntun dia telah menciptakan tiga buah lingkaran hawa pedang
yang menggidikkan hati, rupanya dia sedang mengeluarkan jurus
Sam-coan-hoat-lun (memutar roda tiga lingkaran).
Sekali lagi Put-coat membentak gusar, "Sudah jelas jurus
serangan yang kau gunakan berasal dari Thay-khek-kiam-hoat,
mengapa masih ingin mungkir?"
"Terserah kalau kau bersikeras mengatakan jurus serangan yang
kugunakan berasal dari Thay-khek-kiam-hoat. Hehehe, jangan kau
anggap manusia di kolong langit hanya anak murid Bu-tong-pay
saja yang sanggup menggunakan ilmu Thay-khek-kiam! Jangan lagi
baru dua jurus, coba lihat serangan berikutku ini! Terima serangan!"
Begitu mengembangkan serangan pedangnya, hawa serangan
yang berbentuk lingkaran bersusun saling lapis dan susul menyusul
tiada habisnya, seakan gelombang ombak yang saling berkejaran di
tepi pantai, benar saja, semua jurus serangan yang digunakan
adalah jurus-jurus tangguh dari ilmu Thay-khek-kiam.
Bukan cuma itu, gerak serangan yang dilakukan orang ini
ternyata jauh lebih cepat ketimbang apa yang pernah diajarkan Busiang
Cinjin, bahkan kekuatan serangannya jauh lebih tangguh dan
ganas. Diam-diam Put-coat mulai sangsi dan berpikir, 'Heran, kenapa
aku seperti pernah kenal dengan gerakan jurus pedang ini" Aah,
betul, gerak serangannya sedikit agak mirip dengan ilmu pedang
ajaran Bu-si Susiok."
Hanya saja bila dibandingkan dengan Thay-khek-kiam-hoat aliran
lurus, maka jurus serangan orang itu seakan hanya mampu
mencapai 'bentuk' gerakannya saja dan tidak mampu mencapai
tingkatan paling 'puncak'. Namun kalau dibilang kehebatannya tidak
bisa mengungguli ajaran murni, rasanya hal itupun belum tentu.
Biarpun terdapat perbedaan antara keras dan lembut, namun
aliran ajarannya seakan berasal dari sumber yang sama. Janganjangan
seperti apa yang dikatakan gurunya, entah di tahun ke
berapa, ada seorang anggota Bu-tong-pay yang telah mengajarkan
ilmu pedang Thay-khek-kiam secara diam-diam kepada anggota
perguruan lain, setelah melewati tahun demi tahun, maka ilmu
pedang itu berhasil dilebur oleh jagoan itu menjadi sejenis ilmu
pedang lain yang lebih tangguh"
Sebagaimana diketahui ilmu pedang yang diyakini Put-coat
berasal dari petunjuk Bu-siang Cinjin, selama ini dia tidak pernah
belajar ilmu pedang dari Bu-si Tojin. Oleh sebab itu pandangannya
berbeda jauh dibandingkan dengan pandangan Put-ji.
Dia hanya merasa kalau ilmu pedang yang digunakan orang itu
ada beberapa bagian mirip dengan ilmu pedang Bu-si Tojin, tapi
kalau ditanya berapa bagian kemiripannya, apakah tiga bagian atau
empat bagian atau tujuh, delapan bagian" Dia tidak dapat memberi
penjelasan secara pasti. Kalau semula Put-coat dibuat kalang-kabut dan tercecar hebat
lantaran konsentrasinya buyar, begitu tersadar kembali akan
kondisinya dia pun segera berpikir, 'Kenapa aku melupakan petuah
yang pernah diberikah Suhu tempo hari, biarpun ada tekanan yang
datang menghimpit bagai tindihan bukit Thay-san, anggap saja
tekanan itu seenteng hembusan angin sejuk yang menerpa
wajah...." Berpikir sampai di situ, dia pun segera pusatkan konsentrasinya
untuk menghadapi lawan. Serangan yang dilancarkan orang itu makin lama semakin
bertambah cepat, sementara gerakan dia sendiri justru makin lama
semakin bertambah lambat, ujung pedangnya bagaikan ujung pensil
yang sebentar menuding ke timur sebentar menggores ke barat,
namun setiap goresan yang membentuk lingkaran itu segera
memunahkan sebagian tekanan yang dihasilkan oleh serangan
lawan. Sungguh aneh hasilnya, biarpun ruang lingkupnya makin lama
menyusut makin kecil, gerak pertahanannya pun makin lama
semakin melambat, namun betapa ganas dan dahsyatnya serangan
pedang yang dilancarkan orang berkerudung itu, tidak satu pun
yang berhasil menembus pertahanannya.
Tidak selang beberapa saat kemudian, gerak serangan orang
berkerudung itu seakan-akan terbendung alirannya, gerakannya
makin lama juga semakin bertambah lambat.
Sekali lagi lingkaran pedang yang diciptakan Put-coat dari
menyusut kembali mengembang lebar, tidak lama kemudian dia
telah mengurung seluruh tubuh orang berkerudung itu ke dalam
lingkaran pengaruh hawa pedangnya.
Baru saja Put-coat memainkan ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat
dengan makin lancar, tiba-tiba dia merasa lengan kanannya sedikit
agak kesemutan, tahu-tahu orang berkerudung itu dengan jums
Tay-mo-ku-yan (asap tunggal di tengah gurun) telah menyerbu
masuk ke dalam lingkaran hawa pedangnya, diikuti kemudian
dengan jurus Tiang-ho-lok-jit (matahari tenggelam di balik sungai),
dia ciptakan sebuah lingkaran pedang berbentuk bulat dan berbalik
mengurung seluruh tubuhnya.
Beberapa kali sepasang pedang itu saling membentur tanpa
menimbulkan sedikit suara pun, rupanya kedua belah pihak telah
menggunakan teknik melekat dengan menyalurkan tenaga
dalamnya ke ujung pedang untuk saling beradu fisik dengan lawan.
Pada mulanya Put-coat merasa kegirangan, pikirnya, 'Jika kau
mengajak aku bertarung menggunakan jurus serangan, dalam tiga
sampai lima puluh gebrakan kemudian pun belum tentu aku dapat
mengunggulimu, tapi sekarang kau mengajak aku beradu tenaga
dalam, hmm! Dengan jurus ini akan kusuruh kau sulit lolos dari
sergapan senjataku!"
Ternyata kesempurnaan tenaga dalam lawannya jauh di atas
kemampuan permainan pedangnya, lagi pula Put-coat sudah
menjajal tenaga dalam yang dimiliki lawan, ternyata masih jauh di
bawah kemampuannya. Tapi kenyataan di lapangan sama sekali berbeda dengan apa
yang dibayangkannya, bukan saja tidak segera selesai, sebaliknya
keadaan malah jauh di luar perkiraan. Ketika tenaga dalamnya
menembusi ujung pedang, dia bukan saja gagal menggeser
posisinya barang sejengkal pun, malah di balik pertahanan lawan
yang kokoh, secara lamat-lamat mengandung pula serangan balik
yang amat kuat. "Heran, kenapa tenaga dalamku hari ini bisa begini tidak becus?"
Yang membuatnya lebih terkejut lagi bukan cuma hal itu, kalau
tadi hanya sebagian tangannya yang terasa kaku dan kesemutan,
maka sekarang rasa kesemutan itu mulai menjalar naik ke atas.
Mula-mula ujung sikunya yang terasa kesemutan, maka sekarang
dari jalan darah Ci-ti-hiat mulai menjalar hingga ke jalan darah Ciankenghiat di pundak, terus yang menjalar ke arah bawah menyusup
sampai di Kwan-goan-hiat di dekat nadi kepalan, hal ini membuat
seluruh lengan kanannya jadi kaku, kesemutan dan kehilangan rasa.
Biarpun dengan mengandalkan tenaga murni dia bisa mencegah
lengan kanannya tidak sampai mati rasa, namun lengan yang mulai
kesemutan itu berpengaruh amat besar atas kelincahan gerakan
serangannya. Pada saat itulah tiba-tiba dari balik hutan berjalan keluar dua
orang, satu lelaki dan satu wanita.
Yang lelaki bertubuh tinggi kekar, Put-coat mengenalinya sebagai
seorang perampok ulung dari wilayah Lu-lan (Soa-tang) bernama
Ciu Hiong. Tiga tahun berselang, ketika dia sedang merampok seorang
saudagar kulit, kebetulan Put-coat sedang lewat di tempat kejadian,
dalam pertarungan yang kemudian berkobar, dia berhasil dihajar
oleh Put-coat hingga terluka dan melarikan diri.
Sementara yang wanita berusia liga puluh tahunan, biarpun
sudah setengah umur, namun dandanannya tidak kalah dengan
seorang gadis muda, alis matanya digambar tebal hingga mirip
bulan sabit, kening dan pipinya diberi bedak warna kuning muda,
bibirnya bergincu tebal sementara rambutnya dikepang dua, bukan
saja genit, bahkan cenderung jalang.
Put-coat merasa seolah pernah bertemu dengan wanita ini, tapi
lupa dimana. Terdengar Ciu Hiong tertawa tergelak, ejeknya, "Hahaha, hidung
kerbau, Tosu bau, kemana kaburnya semua kegagahanmu tiga
tahun berselang" Kau tidak menyangka bakal menghadapi nasib
seperti hari ini bukan?"
Sebaliknya wanita setengah umur itu tertawa cekikikan sambil
menutupi mulut sendiri, serunya, "Put-coat Totiang, tahukah kau
bahwa tadi kau telah salah memaki" Yang membokongmu tadi
bukan sahabat itu, melainkan aku! Cuma aku memang bukan
seorang lelaki sejati, jadi aku tidak kuatir kau maki. Bagaimana"
Jarum beracun kecilku tidak terlalu enak rasanya, bukan?"
Seperti baru sadar, Put-coat segera membentak nyaring, "Kau
adalah Cing-hong (si Lebah hijau) Siang Ngo-nio?"
Siang Ngo-nio adalah seorang Li-hui-cat (penyamun terbang
wanita) yang tersohor dalam dunia persilatan karena kepandaiannya
melepaskan senjata rahasia beracun, oleh sebab itu walaupun Putcoat
belum pernah bertemu dengannya, namun dia pernah
mendengar tentang wajah, dandanan serta asal-usulnya.
Konon dia adalah kekasih gelap Tong Siau, Jikongcu dari
keluarga Tong di Sucwan, senjata rahasia andalannya yang paling
lihai adalah Cing-hong-ciam (jarum lebah hijau), ilmu itu dia
dapatkan dengan jalan mencuri dari keluarga Tong.
Lebah hijau adalah sejenis lebah yang langka, racun sengatannya
jauh lebih mematikan ketimbang lebah kuning. Sesuai dengan
pepatah yang mengatakan, "racun ular hijau pada pagutan, racun
lebah kuning pada sengatan, sejahat apa pun racun mereka, lebih
beracun hati wanita".
Siang Ngo-nio adalah seorang Hui-cat yang keji, kejam dan
telengas, bukan saja dia tersohor karena mahir menggunakan
senjata rahasia, bahkan yang dipakai adalah jarum beracun, karena
kekejiannya itulah dia mendapat julukan si Lebah hijau.
Bila berada pada hari biasa, selihai apa pun jarum beracun milik
Siang Ngo-nio tidak nanti senjata itu mampu melukai dirinya, tapi
lantaran jarum beracunnya dilepas berbarengan ketika orang
berkerudung itu menyerang dengan paku penembus tulang, padahal
tenaga dalam orang berkerudung itu tidak di bawah kemampuan
Put-coat, ditambah lagi saat itu Put-coat sedang berkonsentrasi
menghadapi ancaman paku penembus tulang, tidak heran dia
termakan oleh serangan bokongan perempuan itu.
Terdengar Siang Ngo-nio tertawa terkekeh sambil mengejek,
"Hahaha, tidak kusangka seorang jagoan tangguh dari Bu-tong-pay
pun bisa mengenali nama Siauli, benar-benar satu keberuntungan
bagiku. Aku tidak ingin membalas kebaikanmu dengan tindakan
jahat, karenanya kuanjurkan kepadamu lebih baik cepatlah
menyerah kalah. Kalau tidak, jika kau memaksakan diri
mengerahkan tenaga dalam lagi, racun yang mengeram dalam
tubuhmu akan bekerja semakin cepat. Jika hawa racun sampai
menyusup ke dalam jantung, hehehe, biar tersedia obat penawar
racun pun jangan harap nyawamu dapat diselamatkan!"
Put-coat berlagak tuli, sikapnya seolah-olah sama sekali tidak
mendengar nasehat itu, tiba-tiba bentaknya nyaring, "Apakah kau


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga yang telah mencelakai Ho Liang dengan jarum beracun?"
"Hahaha, aneh benar manusia seperti kau," jengek Siang Ngo-nio
sambil tertawa, "kematian sudah di ambang pintu pun masih
sempat menyelidiki sebab kematian seorang pelayan tua! Hehehe,
kalau memang perbuatanku, mau apa kau?"
"Ternyata memang kau, akan kucabut nyawamu!"
"Hahaha Siang Ngo-nio tertawa terpingkal-pingkal, "Totiang yang
ganteng, selamatkan dulu nyawamu sebelum bicara lebih jauh."
Sementara itu Put-coat maupun orang berkerudung itu masih
tetap bertahan pada posisi masing-masing, bahkan kelihatan sekali
lagi posisi orang berkerudung itu sedikit di atas angin. Pedang
dalam genggaman orang berkerudung itu masih tegak bagai
sebatang pit, sementara pedang dalam genggaman Put-coat sudah
nampak mulai melengkung. Baru saja Siang Ngo-nio menghentikan gelak tawanya, mendadak
terdengar Put-coat membentak nyaring, tahu-tahu kedua batang
pedang itu sama-sama patah jadi dua bagian.
Ketika Put-coat menggunakan kekuatan tenaga dalamnya untuk
menggetar patah senjata lawan, pedang miliknya pun segera ikut
patah terhajar tenaga pantulan yang dihasilkan orang berkerudung
itu. Padahal saat itu Put-coat sudah keracunan hebat, tindakannya
mengerahkan tenaga dalam boleh dibilang merupakan pertaruhan
terakhirnya, tindakan itu bukan saja tidak pernah diduga oleh Siang
Ngo-nio, orang berkerudung sendiri pun sama sekali tidak
menyangka. Baru saja orang berkerudung itu berdiri melengak, Put-coat
dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat sudah melesat maju ke
depan, kutungan pedang dalam genggamannya sekuat tenaga
ditimpukkan ke arah Siang Ngo-nio.
Ciu Hiong yang berdiri di sisinya buru-buru menyambar tongkat
besi dan menangkis datangnya timpukan itu.
Sungguh cepat sambaran kutungan pedang itu, baru saja Ciu
Hiong menggerakkan toyanya, terdengar desingan angin tajam
menyambar lewat, begitu tajamnya sambaran itu membuat
sepasang matanya jadi perih dan nyaris tidak bisa dibuka kembali.
Menanti dia dapat membuka matanya kembali dan bersiap
mengayun toyanya, terdengar Siang Ngo-nio menjerit keras,
suaranya tinggi, tajam dan melengking.
Ternyata ayunan senjatanya sama sekali tidak berhasil
menangkis kutungan pedang itu, jangankan menangkis, menyentuh
pun tidak. Sebetulnya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Siang Ngo-nio
terhitung cukup hebat, sayang, betapa cepat dia berkelit pun masih
tetap tidak berhasil menghindarkan diri dari sergapan itu.
"Krakkkk!" Kutungan pedang itu melesat lewat dari sisi dagunya dan
langsung menghujam di bahunya.
Ternyata Put-coat melemparkan kutungan pedangnya itu dengan
ilmu berpusing, bagaikan sebuah bumerang, kutungan pedang yang
dilempar ke arah kiri tahu-tahu berbalik menyerang ke arah kanan.
Dia bukan saja telah memperhitungkan jarak kedua belah pihak
secara tepat, bahkan ke arah mana Siang Ngo-nio menghindar pun
telah diperhitungkan secara tepat.
Begitu kutungan pedang itu menghujam bahu Siang Ngo-nio,
tulang Pi-pe-kutnya langsung patah beberapa bagian, saking
sakitnya perempuan itu menjerit-jerit sambil bergulingan di atas
tanah, jerit kesakitannya tinggi, tajam dan menyayat hati, setelah
bergulingan beberapa kali, akhirnya tubuh wanita itu meluncur jatuh
ke bawah tebing, tidak jelas bagaimana nasibnya kemudian.
Biarpun Put-coat berhasil dengan serangannya itu, namun dia
sendiri segera terjerumus dalam kerubutan dua orang jago tangguh.
Orang yang berada di hadapannya adalah Ciu Hiong, ketika
tongkat besinya gagal menyampuk kutungan pedang itu, dia
langsung mengayun senjatanya menghajar batok kepala lawan.
Sementara orang berkerudung yang berada di belakang
tubuhnya menempel terus bagaikan bayangan setan, sambil
merangsek maju, telapak tangannya diselipi angin pukulan yang
kuat langsung dihantamkan ke punggung lawan.
Sungguh hebat Put-coat Tojin, biarpun tergencet dua musuh
yang mengancam perut serta punggungnya, dia sama sekali tidak
menjadi panik, sambil menekuk sedikit lututnya seraya berputar,
telapak tangannya dibabatkan perlahan ke samping, lalu dengan
teknik 'meminjam tenaga memukul lawan', dia dorong tangannya
kuat-kuat ke depan. Tubuh Ciu Hiong yang tinggi besar bagaikan sebuah pagoda baja
itu kontan tergetar oleh tenaga dorongan itu hingga kuda-kudanya
langsung tergempur dan tidak tahan tubuhnya maju beberapa
langkah dengan sempoyongan.
Karena tubuhnya tidak terkendali, hantaman toya bajanya yang
berat pun kehilangan arah, bukan hanya berganti posisi, malahan
secara kebetulan menghantam ke arah orang berkerudung itu.
Sebenarnya orang berkerudung itupun mengerti tentang ilmu Suliangbo-jian-cing (dengan empat tail memikul ribuan kati), tapi
sayang ketika itu dia sedang melancarkan pukulan dengan sepenuh
tenaga, bila Dia mesti berganti teknik serangan secara terburu-buru,
niscaya kekuatan tenaga pukulannya itu akan berbalik menghantam
ke tubuh sendiri. Tentu saja orang berkerudung itu enggan melukai diri sendiri
hanya demi menguatirkan keselamatan jiwa rekannya, tenaga
pukulannya yang dahsyat tetap dilontarkan ke muka, hanya saja di
balik pukulannya itu disertai pula sedikit teknik 'menggiring', hal ini
membuat tubuh Ciu Hiong sedikit miring ke samping, serta-merta
robohnya tubuh orang itupun demi melindungi keselamatan sendiri.
Dengan demikian sama artinya ada dua orang jagoan Thay-khek
yang sedang meminjam tubuh Ciu Hiong untuk saling beradu
kekuatan, begitu tubuh Ciu Hiong didorong oleh Put-coat ke
samping, segera tubuhnya berputar bagaikan sebuah gangsingan,
lagi-lagi dia didorong balik oleh kekuatan dahsyat orang
berkerudung itu. Akhirnya setelah berpusing beberapa kali, dia jatuh terjengkang
ke tanah dengan darah meleleh keluar dari lubang mata, hidung,
telinga serta mulutnya, seperti juga nasib yang dialami Siang Ngonio
tadi, badannya terguling dan meluncur cepat ke bawah bukit
sana. Ujar orang berkerudung itu kemudian dengan nada dingin,
"Membunuh orang harus dibayar dengan nyawa, itu yang kau
ucapkan sendiri tadi. Dalam pertandingan ilmu pedang, kita belum
berhasil menentukan siapa menang siapa kalah, ayoh sekarang kita
beradu lagi ilmu pukulan."
Waktu itu Put-coat sudah banyak kehilangan tenaga murni
sehingga tidak sanggup lagi mencegah menjalarnya hawa racun ke
dalam tubuh, bukan saja seluruh lengan kanannya sudah kesemutan
kaku hingga tidak sanggup digerakkan, separuh badannya juga
lambat-laun mulai kaku dan mati rasa.
Kini pandangan matanya mulai berkunang-kunang, kepalanya
mulai pening dan pandangannya mulai kabur dan dia tidak sanggup
memandang dengan jelas. Buru-buru dia menghimpun segenap sisa kekuat-an yang
dimilikinya untuk melindungi detak jantung, kemudian dengan
mengandalkan lengan kirinya dia hadapi serangan musuh yang
makin lama makin bertambah gencar itu.
Ketika sepasang tangan saling beradu, Put-coat seketika
merasakan tenaga lawan yang menghantam tiba bagaikan gulungan
ombak sungai Tiang-kang, lapis demi lapis datang silih berganti dan
tiada putusnya, tidak bisa disangkal itulah tenaga dalam aliran
perguruannya, hanya bedanya di balik kelembutan tenaga serangan
lawan mengandung kekerasan, sedikit tidak mirip dengan ajaran
Thay-khek-kun dari kaum lurus.
Dalam keadaan begini, Put-coat sudah mengesampingkan soal
mati hidupnya, sekarang dia hanya memusatkan seluruh
konsentrasinya untuk menghadapi pertarungan.
'Walaupun di depan mata ada musuh, dalam hati sebenarnya
tidak ada lawan', pikiran dan perasaannya kini dikembangkan
menuju ke ketenangan dan kelembutan.
Kembali serangkaian pukulan dilancarkan dengan jurus Samcoanhoat-lun (tiga kali memutar roda hukum), di balik lingkaran
terselip tenaga pukulan yang kuat.
Seketika tubuh orang berkerudung itu terseret ke dalam pusaran
angin pukulan, tidak kuasa tubuhnya ikut berputar dua lingkaran
seperti gangsingan, tapi pada setengah lingkaran ketiga, tiba-tiba
orang itu berhasil menghentikan gerakan tubuhnya dan lolos dari
pengaruh pusaran itu. "Aah, sayang!" pekik Put-coat dalam hati. Ternyata jurus Samcoanhoat-lun (tiga kali memutar roda hukum) itu mempunyai
kemampuan untuk memaksa tubuh orang itu terseret ke dalam arus
pusingan, jika dia sampai berputar tiga lingkaran, niscaya orang itu
akan mencelat dan jatuh terjengkang ke tanah.
Sayang racun jahat telah menyusup ke dalam tubuhnya, hawa
racun pun masih menjalar terus ke bagian tubuh yang lain, hal ini
membuat lengan kirinya mulai terasa kaku, kesemutan dan hilang
rasa. Memang patut disayangkan, andai kata dia masih memiliki sedikit
tenaga saja niscaya usahanya akan mendatangkan hasil, sayang
usahanya harus mengalami kegagalan di tengah jalan, dia hanya
mampu memaksa lawannya berputar dua setengah lingkaran.
"Hmm, kau memang tidak malu menjadi murid pertama ketua
Bu-tong-pay," dengus orang berkerudung itu dingin, "sayang
umurmu sudah tidak lama lagi. Mengingat tidak mudah untuk
mempelajari ilmu sakti itu, bagaimana kalau kita lakukan sebuah
transaksi yang saling menguntungkan?"
Saat itu hawa racun telah menjalar ke seluruh tubuh Put-coat,
dalam kondisi seperti ini pada hakikatnya dia sudah tidak ambil
peduli atas semua perkataan orang itu.
Terdengar orang berkerudung itu kembali berkata, "Kini kau
sudah keracunan hebat, mustahil kalau ingin pulih kembali seperti
sedia kala. Tapi bila ingin memperoleh obat penawar racun milik
Siang Ngo-nio, paling tidak kau masih bisa hidup sepuluh tahun lagi.
Begini saja, kau menyembah tiga kali kepadaku dan aku pun akan
mengijinkan kau mengambil obat pemunah dari saku Siang Ngo-nio.
Kalau tidak.... hmm! Hmm! Aku rasa kau pasti sudah mengerti, biar
ingin mengadu jiwa pun tidak mungkin kau bisa mengungguli diriku.
Selama aku tidak memberi kesempatan, darimana kau bisa
memperoleh obat penawar racun itu?"
Put-coat sadar, pihak lawan sedang berusaha membuat
amarahnya berkobar, maka dia berlagak seolah tidak mendengar
ejekan itu, dengan sekuat tenaga dia mencoba mengendalikan hawa
murninya yang sudah mulai buyar.
Gagal membangkitkan amarah lawan, kembali orang itu
mengejek sambil tertawa dingin, "Ya, apa boleh buat kalau kau
enggan menuruti nasehatku, terpaksa aku harus menyempurnakan
keinginanmu itu." Diiringi suara bentakan nyaring, sepasang telapak tangannya
melancarkan serangan bersama, dengan jurus Ya-be-hun-cong
(Kuda liar menyiak bulu) dia mengancam jalan darah Tay-yang-hiat
di kedua pelipis Put-coat bersamaan waktu.
Melihat datangnya ancaman, buru-buru Put-coat menggunakan
teknik 'membetot'. Dengan satu jurus Im-jiu (tangan awan) dia
berusaha mempengaruhi tubuh lawan dan membetotnya hingga
berputar, kali ini asal tubuh lawan bisa diputar satu lingkaran saja,
niscaya dia akan roboh terjerembab.
Sayang serangannya kali ini kehilangan kemampuan, begitu kuat
dan dahsyatnya tenaga pukulan orang itu sehingga teknik
'membetot' yang digunakan Put-coat hanya mampu mempengaruhi
setengah dari kekuatan musuh, sementara sisanya tahu-tahu hilang
dengan begitu saja. Waktu itu rasa kesemutan dan kaku sudah menjalar sampai
separuh badannya, karenanya walaupun separuh tenaga serangan
lawan berhasil dipunahkan, namun hasil yang diperoleh dari teknik
'membetot' itu hanya menyebabkan pihak lawan sedikit gontai.
Bukan saja gagal merobohkan lawan, sebaliknya Put-coat sendiri
malah dipaksa mundur tiga langkah dengan sempoyongan.
Ternyata orang itu tahu kalau kemampuannya menggunakan
ilmu pukulan Thay-khek-kun masih kalah jauh dibanding
kemampuan Put-coat, oleh sebab itu meski jurus Ya-be-hun-cong
(kuda liar menyiak bulu) yang digunakan sama seperti aslinya,
namun tenaga pukulan yang dipancarkan justru sama sekali
berbeda. Ilmu pukulan Thay-khek-kun, Thay-khek-ciang maupun Thaykhekkiam hampir semuanya mengutamakan kelembutan mengatasi
kekerasan, tapi tenaga pukulan orang berkerudung itu keras dan
ganas, bahkan datangnya bagaikan air bah yang jebol dari
bendungan, menggulung datang tiada habisnya, bukan saja
bertentangan dengan teori aslinya, bahkan terasa jauh lebih
tangguh. Bila pada hari biasa, dia pasti akan gembira jika menyaksikan
musuhnya melancarkan serangan dengan kekerasan. Tapi saat ini
luka beracunnya sudah mulai kambuh, separuh tubuhnya terasa
kaku, kesemutan dan hilang rasa, biarpun dia sudah menggunakan
ilmu tingkat tinggi dengan menggunakan kelembutan untuk
mengatasi kekerasan, sayang kemampuannya itu belum sanggup
menanggulangi keganasan lawan.
Dia hanya mampu membuyarkan separuh kekuatan musuh,
sementara separuh sisanya masih tetap menerjangnya hingga
membuat dia gontai, sempoyong-an dan terombang-ambing
bagaikan sebuah sampan kecil yang dipermainkan ombak samudra.
Melihat pukulan kerasnya memberikan hasil, kembali orang
berkerudung itu mengubah gaya serangan nya, kini dia menyerang
makin cepat, makin keras dan makin dahsyat.
Jurus pukulan yang digunakan pun sudah menyimpang dari ilmu
pukulan Thay-khek-ciang, ada kalanya dia membabat dengan
telapak tangan, ada kalanya menjojoh dengan ujung jari, di balik
jurus pukulan terselip juga jurus golok dan jurus pedang.
Menghadapi gempuran semacam ini, Put-coat mulai tercecar
hebat, kendalipun pengetahuan serta pengalamannya luas, untuk
sesaat sulit baginya untuk mengenali aliran jurus serangan lawan.
Tapi anehnya, biarpun dia tidak dapat menebak asal ilmu pukulan
lawan, namun gerakan jurusnya terasa seakan pernah dijumpainya
di suatu tempat. Tampaknya orang berkerudung itu dapat menebak kecurigaan
lawan, serunya sambil tertawa tergelak, "Hahaha, kau tidak mampu
mengenali asal-usul ilmu pukulanku bukan" Kelihatannya kalau tidak
kuberitahu, mungkin kau bakal mati tidak meram!"
Put-coat mendengus dingin, "Hmm, aliran sesat kaum iblis, tidak
ada harganya untuk dibicarakan!"
Maksud dari perkataan itu sangat jelas, dia menganggap jurus
serangan lawan berasal dari perguruan sesat yang tidak dikenal,
sehingga tidak pantas baginya untuk melacak asal-usulnya.
Orang berkerudung menggeleng kepala berulang kali, jengeknya
sambil tertawa tergelak, "Aliran sesat kaum iblis" Hehehe,


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelihatannya pelajaran kungfumu belum mencapai taraf yang hebat.
Masa hanya sedikit kuubah gerakannya, kau lantas tidak dapat
mengenalinya lagi?" Seperti baru mendusin dari mimpi, kontan Put-coat tertawa
dingin, "Hmm, ilmu pukulan apaan, kau tidak lebih hanya mencuri
ilmu pedang kelas dua dari partai kami, huuh, baru begitu juga
berani jual lagak di hadapanku" Walaupun ilmu pukulan dan ilmu
pedang perguruan kami saling berhubungan, sayang apa yang kau
ubah keledai tidak mirip keledai, kuda pun tidak mirip kuda. Masa
keliru kalau kukatakan kau berasal dari aliran sesat kaum iblis?"
Orang berkerudung itu mendengus dingin, "Hmm, tidak salah,
jurus pukulanku memang hasil gubahan dari Jit-cap-ji-jiu-lian-hoantohbeng-kiam-hoat, tujuh puluh dua jurus ilmu pedang berantai
pencabut nyawa partai Bu-tong, mau dianggap tidak mirip keledai
tidak mirip kuda terserah, mau dianggap ilmu kelas dua juga tidak
mengapa, yang penting kau toh tidak sanggup menghadapinya.
Hehehe.... baru menggunakan ilmu pedang kelas dua pun aku
mampu mengalahkan seorang jagoan tangguh yang menggunakan
ilmu Thay-khek-kiam-hoat kelas satu, sayang Bu-siang Cinjin tidak
hadir di sini, kalau dia sampai melihat murid pertamanya harus keok
di tangan seseorang yang hanya mencuri belajar ilmu pedangnya,
kujamin dia pasti muntah darah saking jengkelnya!"
Put-coat tahu, pihak lawan memang sengaja hendak memancing
hawa amarahnya, tetapi lagi-lagi satu pertanyaan muncul di dalam
benaknya, sebuah teka-teki yang sulit terjawab. Mengapa orang itu
seolah kuatir kalau dia sampai tidak tahu jika ilmu pukulannya itu
merupakan gubahan dari ilmu Jit-cap-ji-jiu-lian-hoan-toh-beng-kiamhoat"
Sambil mengertak gigi Put-coat bertarung habis-habisan, namun
akhirnya dia tidak sanggup menahan diri. Dadanya termakan satu
pukulan, darah segar pun muncrat menyembur dari mulutnya.
"Setelah situasi berubah jadi begini, masa kau belum juga mau
menyerah?" bentak orang berkerudung itu.
Put-coat terkesiap. "Bagaimanapun, aku tidak boleh terjatuh ke tangan bajingan ini!"
demikian dia berpikir. Setelah keadaannya terjerumus dalam situasi yang gawat, dia
sudah tidak kuatir lagi dibunuh pihak lawan, yang ditakuti justru bila
orang itu menggunakan cara yang licik dan keji untuk menyandera
dirinya serta kemudian dipakai untuk menekan pihak Bu-tong-pay.
Dengan cepat dia mengambil keputusan, dia harus bunuh diri
secepatnya agar tidak terjatuh ke tangan musuh.
Sayang langkah yang diambil terlambat satu tindakan, kini hawa
murninya telah buyar, pada hakikatnya dia sudah tidak memiliki
kekuatan lagi untuk memutus urat nadi sendiri.
Put-coat jadi bergidik, dia tidak menyangka ketenarannya selama
berkecimpungan dalam dunia persilatan harus berakhir secaralragis,
kini dia terjerumus dalam posisi yang amat pelik, mau hidup tidak
dapat, mau mati pun susah.
Di saat yang kritis itulah mendadak terdengar suara pekikan
nyaring bergema menembus pepohonan.
"Siapa itu?" bentak orang berkerudung.
Belum selesai dia menghardik, orang itu sudah berjalan keluar
dari balik hutan. Dia adalah seorang pemuda tampan yang bertubuh kekar,
sebilah pedang tersoreng di pinggangnya, sekilas pandang usianya
paling baru dua puluh tahunan.
Begitu muncul pemuda itu segera menegur sambil tertawa
dingin, "Hmm, beraninya tampil dengan wajah berkerudung,
seharusnya akulah yang mengajukan pertanyaan itu kepadamu!"
Sebenarnya waktu itu Put-coat sudah bersiap-siap menerima
pukulan terakhir yang mencabut nyawanya, dia tidak peduli siapa
yang bakal muncul di situ, namun setelah mendengar logat suara
pemuda itu seperti pernah dikenalnya, tanpa sadar dia
mendongakkan kepala dan menengok ke arah hutan.
Tampak pemuda itu terperanjat dan segera menjerit tertahan,
"Hah, bukankah kau.... bukankah kau adalah Put-coat Suheng?"
Put-coat ikut tertegun. "Kau.... kau adalah Bouw-su.... Sute-...." jeritnya.
Tiba-tiba dadanya terasa amat sakit bagai dihantam martil
raksasa, kontan kepalanya terasa pusing tujuh keliling.
Sebenarnya dia memang sudah tidak kuat menghadapi serangan
orang berkerudung yang bertubi-tubi, apalagi sekarang harus
memecah perhatian untuk berbicara.
Sementara orang berkerudung itupun enggan melepas peluang
emas itu begitu saja, tahu si pemuda adalah saudara
seperguruannya, kontan dia mempercepat serangan mautnya,
dengan satu babatan kilat dia menghantam tepat di hulu hati Putcoat
yang membuat musuhnya langsung tersungkur ke tanah.
Dalam keadaan setengah sekarat, sukmanya seakan sedang
berusaha menerobos keluar dari tubuh kasarnya, lamat-lamat dia
masih mendengar suara bentakan gusar pemuda itu, "Jangan kau
lukai Suhengku!" "Hahaha.... telanjur sudah, dia telah kulukai, mungkin bukan
cuma kulukai, pukulan tadi bisa jadi telah mencabut nyawanya,
kenapa" Mau apa kau?"
"Aku ingin kau mampus!" bentak pemuda itu nyaring.
Put-coat yang sudah tergeletak masih berusaha mengingatkan
diri, pikirnya, 'Aku tak boleh mati, kalau harus mati pun aku mesti
menunggu sampai Bouw-sute berhasil menghabisi nyawa bajingan
itu. Aku harus serahkan dulu pesan Suhu kepadanya!"
Terdorong oleh rasa tanggung jawab yang belum terselesaikan,
Put-coat berhasil mempertahan diri, sekuat tenaga dia mencegah
kelopak matanya terkatup. Akhirnya dia berhasil juga mengusir
malaikat elmaut datang mencabut nyawanya, meski dia pun sadar
malaikat maut dapat muncul lagi setiap saat, namun baginya bisa
hidup semenit berarti dia akan memperoleh satu bagian
pengharapan. Berbaring di atas tanah, dia sama sekali tidak mampu bergerak,
yang terdengar olehnya saat ini hanya deru angin pukulan dari
orang berkerudung itu, dia pun dapat melihat cahaya pedang yang
melesat lewat di hadapannya bagaikan sambaran petir.
Tentu saja cahaya pedang itu baru terlihat ketika secara
kebetulan sang pemuda itu berdiri di tempat yang terjangkau oleh
pandangan matanya. "Aah, Bouw-sute memang tidak malu menjadi pewaris ilmu silat
perguruan kenamaan, ilmu pedang yang diwarisinya dari Bu-si
Susiok ternyata jauh lebih hebat dan sempurna ketimbang
kemampuanku. Hahaha, bagus, bagus sekali, dengan menggunakan
kedua jurus serangan itu, dia bisa membalaskan dendam atas
perbuatanan yang telah dilakukan bajingan itu terhadapku....
hahaha.... sayang aku tidak dapat menyaksikan dengan jelas."
Put-coat cukup matang menguasai ilmu silat perguruannya,
dengan melihat dua jurus saja dia sudah tahu kalau ilmu pedang
yang dipelajari Sutenya berbeda jauh dibanding dengan apa yang
telah dipelajarinya. Ilmu pedang yang dipelajari pemuda ini cenderung melakukan
serangan dengan kecepatan bagaikan petir, bukan saja sangat
agresif bahkan ganas dan telengas, inilah ilmu pedang Thay-khekkiamhoat yang pernah diajarkan Bu-si Tojin kepada Put-ji.
Bila dibandingkan dengan apa yang dipelajari Put-coat, jelas ilmu
pedang Thay-khek-kiam ajaran Bu-si Tojin yang telah dikembangkan
dengan berbagai variasi dan perubahan itu memang jauh berbeda,
sebaliknya bila dibandingkan dengan ilmu pedang yang dipelajari
orang berkerudung itu justru menunjukkan banyak kesamaan.
Pedang milik orang berkerudung itu telah dipatahkan oleh Putcoat
tadi, kini dia hanya bisa menggunakan ilmu pukulan Thay-khekkun
untuk menghadapi Thay-khek-kiam pemuda itu.
Tatkala Put-coat mendengar deru angin pukulan yang dihasilkan
orang berkerudung itu masih tetap tangguh dan hebat, diam-diam
dia mulai merasa kuatir, pikirnya, 'Tenaga dalam yang dimiliki orang
berkerudung ini tidak di bawah kemampuanku, meski Bouw-sute
pernah dididik oleh tokoh perguruan, bagaimana pun usianya masih
muda, mampukah dia mengalahkan orang berkerudung itu?"
Rupanya pemuda itu bernama Bouw It-yu, keluarga Bouw
merupakan keluarga persilatan dengan sejarah paling lama dalam
perguruan Bu-tong-pay. Sejak Thio Sam-hong mendirikan perguruan hingga detik ini,
anak muridnya telah berkembang sebelas generasi, selama ini
hampir semua anggota perguruan menguasai tenaga dalam maupun
ilmu pedang, namun belum pernah ada murid preman yang mampu
mengungguli kemampuan murid-murid aliran To.
Dalam rangkaian sejarah itu, hanya satu kali terjadi pengecualian
yaitu di saat generasi ketiga, waktu itu ada seorang murid preman
bernama Bouw Tok-it yang bukan saja ilmu pedangnya mampu
mengalahkan seluruh rekan seperguruannya, bahkan mampu tampil
sebagai jago pedang nomor wahid di kolong langit.
Bouw Tok-it tidak lain adalah leluhur Bouw It-yu, sejak Bouw
Tok-it menjadi murid Bu-tong-pay, seluruh keturunan keluarga
Bouw turun temurun hampir semuanya menjadi murid Bu-tbng,
selama dua ratusan tahun lamanya tradisi ini belum pernah
terputus. Hanya saja, semenjak Bouw Tok-it belum pernah ada generasi
berikut yang sanggup berprestasi melebihi dirinya. Ayah Bouw It-yu
yakni Bouw Ciong-long, meski tersohor sebagai seorang ahli silat,
namun dibandingkan dengan Ji-ouw Tayhiap Ho Ki-bu, yakni guru
Put-ji, kemampuannya diperkirakan masih sedikit di bawahnya.
Tampaknya Bouw Ciong-long menyadari akan hal itu, dia selalu
berharap putranya dapat membangkitkan kembali prestasi
keluarganya, oleh sebab itu dia minta putranya untuk belajar ilmu
pedang dari Bu-si Tojin, jago nomor wahid dalam hal ilmu pedang
Bu-tong-pay. Bu-si Tojin berasal satu generasi dengan Bouw Ciong-long,
usianya malah jauh di bawahnya, dia hanya bersedia mewariskan
ilmu pedang kepada Bouw It-yu tanpa bersedia mengakuinya
sebagai murid. Setiap tahun dia tiga kali datang berkunjung ke rumah keluarga
Bouw, setiap kali bertandang paling tidak pasti akan berdiam
sepuluh hari sampai setengah bulan, padahal ilmu silat keluarga
Bouw memang dasarnya dari ilmu silat aliran Bu-tong, hanya selama
ini kemampuannya tidak sesempurna yang dimiliki Bu-si Tojin.
Dengan mendapat petunjuk dari Bu-si Tojin, maka biarpun dia
hanya datang dua-tiga kali setiap tahunnya, namun kunjungan itu
sudah lebih dari cukup. Selama ini Bouw It-yu pun pernah dua kali ikut Busi Tojin
berkunjung ke bukit Bu-tong, dua kali naik gunung untuk memberi
selamat panjang umur kepada Ciangbunjin.
Karena itulah Put-coat hanya tahu kalau kungfu yang dimiliki
murid paman gurunya ini tangguh, namun belum pernah
menyaksikan kehebatan ilmu pedangnya.
Put-coat yang berbaring di tanah merasa tubuhnya makin lama
makin bertambah kaku, dalam keadaan begini sulit baginya untuk
mengintip jalannya pertarung-an, yang bisa dia lakukan hanya
menanti dengan perasaan tidak tenang.
Tiba-tiba dia mendengar suara benturan keras, "Blukk!", seakanakan
ada benda berat yang terjatuh ke tanah.
Put-coat makin tercekat, dia sangka Bouw It-yu sudah terkena
serangan maut musuh dan roboh ke tanah.
Belum selesai ingatan itu melintas, kembali terdengar jeritan
ngeri yang menyayat hati diiringi suara langkah yang berat sedang
kabur menjauhi tempat itu.
Begitu mendengar kedua suara itu, seketika Put-coat merasa
sangat lega. Orang itu melarikan diri jelas karena menderita luka parah,
karena tidak sanggup mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnya,
maka suara langkah kakinya kedengaran berat.
Bila ada dua orang sedang bertarung sengit, jika salah satu di
antaranya sudah roboh terjungkal, mustahil orang kedua akan
melarikan diri, kendatipun dia sudah terluka sangat parah.
Sebab bila orang itu sudah roboh, sekalipun belum tentu
menemui ajalnya, paling tidak luka yang dideritanya pasti jauh lebih
parah ketimbang dirinya. Seharusnya dia menghabisi dulu nyawa
orang itu kemudian baru pergi meninggalkan tempat itu.
Ternyata dugaan Put-coat tidak salah, suara seperti orang roboh
yang terdengar olehnya ternyata bukan berasal dari tubuh
seseorang, yang terbanting keras ke tanah, hanya suara sebatang
dahan pohon sebesar lengan anak-anak yang terjatuh.
Orang yang melarikan diri adalah orang berkerudung itu, sedang
Bouw It-yu sama sekali tidak terluka.
Tatkala orang berkerudung itu menghajar patah sebatang dahan
pohon yang digunakan untuk menghantam tubuh Bouw It-yu,
secepat sambaran petir Bouw It-yu menghadiahkan sebuah tusukan
pedang yang membuatnya terluka parah.
"Sayang!" keluh Bouw It-yu sambil menghela napas panjang,
kemudian seraya berpaling katanya, "Suheng, orang berkerudung
itu telah kuhajar hingga melarikan diri, sayang Siaute tidak becus
hingga tidak berhasil membinasakan dirinya, tapi tusukan pedangku
tadi berhasil melukai jantungnya, kuyakin umurnya tidak bakal
panjang. Bagaimana dengan lukamu Suheng?"
Put-coat menggerakkan bibirnya seperti ingin mengucapkan
sesuatu, sayang suara yang keluar begitu lembut hingga
menyerupai bisikan nyamuk.
Buru-buru Bouw It-yu mengambil keluar sebutir Siau-hoan-wan
dan dijejalkan ke mulut Suhengnya, laki sambil menempelkan
telapak tangannya ke punggung dan menyalurkan hawa murni,
bisiknya lagi, "Suheng, beristirahatlah dulu, nanti kita baru berbicara
lagi." "Cepat.... cepat kumpulkan tulang belulang dari dalam liang,
kemudian cepat.... cepat serahkan kepada Ciangbunjin! Aku.... aku
sudah tidak mampu bertahan lagi, kau.... kau tidak usah membuang
tenaga de.... dengan percuma."
Selesai berkata kembali Put-coat memejamkan mata.
"Suheng, Suheng!" teriak Bouw It-yu.
Ketika tidak mendengar suara sahutan, cepat dia tempelkan
telinganya ke atas dada, saat itulah dia baru merasa bahwa detak
jantung Suhengnya masih bergerak, hanya saja karena dia sudah
keracunan hebat ditambah lagi terluka parah, namun harus
bertahan hingga pesan gurunya disampaikan kepada sang Sute,
maka hingga detik terakhir dia masih mempertahankan diri.
Biarpun napasnya belum berhenti, namun detak jantungnya
sudah lemah sekali, keselamatan jiwanya sudah berada di ujung
tanduk. Paras muka Bouw It-yu yang baru saja kembali cerah segera
berubah jadi gelap lagi, dengan alis mata berkernyit gumamnya,
"Tidak bisa, sekalipun bakal mati, kau baru boleh mati setelah
kembali ke bukit Bu-tong!"
Di bawah puncak Cian-ki-hong bukit Bu-tong terdapat telaga
kecil. Bunga teratai sedang mekar dengan indahnya pada
permukaan telaga, lamat-lamat terendus bau harum ketika angin
berhembus. Seorang gadis muda berdiri di tepi telaga, usianya lebih kurang


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

enam-tujuh belas tahunan, sepasang lesung pipit menghiasi
wajahnya, membuat paras muka nona itu nampak cantik menawan
hati (Gb 3). Telaga Giok-keng-ouw (cermin kemala) di bawah puncak Cian-kihong
merupakan salah satu tempat wisata yang terkenal di gunung
Bu-tong, tapi kehadiran nona cantik itu bukan untuk menikmati
keindahan alam, juga bukan untuk menikmati indah dan harumnya
bunga teratai. dia sedang mendongakkan kepalanya memandang bukit, apa
yang menarik dengan puncak bukit itu"
Puncak bukit Cian-ki-hong merupakan sebuah bukit berbatu
cadas yang keras dan tajam, bentuk bebatuannya sangat aneh,
seakan sebuah panji besar yang sedang berkibar terhembus angin.
Seandainya puncak bukit pun memiliki watak, maka Cian-ki-hong
seharusnya termasuk jenis bukit yang 'lugu, polos dan bersahaja",
itu kalau menggunakan kata-kata pujian, sebaliknya jika memakai
kata olokan maka bukit ini cenderung dikatakan 'kuno dan kolot'.
Mana mungkin ada seorang nona muda yang lincah dan cantik
menyukai sebuah puncak bukit yang 'kuno dan kolot'"
Di atas dinding tebing yang curam, lebih kurang enam-tujuh depa
dari permukaan, terlihat tumbuh sekuntum bunga merah yang amat
besar, bunga merah itu bergoyang ketika terhembus angin, warna
merah yang menyala mirip seorang nona agresif yang sedang
membawakan tarian panas. Mungkinkah nona itu tertarik kepada bunga merah besar itu"
Apakah dia sedang mencoba membandingkan siapakah yang lebih
cantik antara dia dengan bunga merah besar itu"
Tiba-tiba dia melesat ke tengah udara, dengan sekali lompatan
dia sudah mencapai ketinggian tiga depa lebih, ketika telapak
tangannya menekan di sisi batu cadas, kembali tubuhnya
melambung naik setinggi dua depa.
Tubuhnya segera berputar satu lingkaran di udara lagi, kemudian
secara tepat melesat lewat dari bawah bunga merah itu.
Tapi sayang tangannya masih belum berhasil menyentuh bunga
merah itu, sekali lagi dia memutar badan lalu bagaikan seekor
burung melayang turun lagi ke atas permukaan tanah.
"Cici, hebat amat ilmu meringankan tubuhmu!"
"Adik, tepat sekali kedatanganmu, cepat kemari, cepat kemari!"
Seorang pemuda yang usianya hampir setara dengan gadis itu
muncul di depan mata sambil tertawa ringan.
"Cici, persoalan apa yang membuatmu panik?"
"Adikku, tolong petikkan bunga merah itu!"
"Hahaha, ilmu meringankan tubuh milik Cici jauh melebihi
kemampuanku, kalau kau sendiri pun tidak sanggup, apalagi aku?"
sahut si adik sambil tertawa.
"Kau tidak perlu menghadiahkan kopiah kebesaran untukku,
siapa yang tidak tahu kalau kungfumu jauh melebihiku, bilang saja,
mau tidak kau petikkan untukku?"
"Cici, aku bukan sedang mengumpak dirimu, terus terang ilmu
meringankan tubuhku benar-benar tidak sebagus milikmu, paling
juga aku hanya mampu mencapai ketinggian tiga depa."
"Tidak mampu melompat ke atas" Bagus, kalau begitu
merangkak saja!" "Kenapa bukan kau sendiri yang merangkak naik?" protes sang
adik dengan mulut cemberut, "toh kau yang ingin bunga merah itu!"
"Siapa suruh kau jadi adikku" Baru Cici minta tolong sedikit saja,
kau sudah menolak dengan berbagai alasan. Hmm, aku kan seorang
nona, wajar kalau pemalu, takut baju robek, sedang kau seorang
lelaki, apa yang ditakuti?"
Dengan perasaan apa boleh buat sang adik mengangkatbahunya.
"Begitu kau berteriak, aku sudah tahu pasti akan disuruh
mengerjakan sesuatu," serunya, "padahal kalau cuma mengambil
bunga itu, kenapa mesti bersusah-payah merangkak naik?"
"Kurangajar, kau berani tawar menawar denganku?"
"Eeh.... belum mendengar jelas sudah mengumpat" Aku toh
cuma bilang tidak perlu merangkak naik, bukan berarti aku enggan
memetikkan bunga untukmu."
Sambil bicara dia mengeluarkan dua biji mata uang tembaga,
kemudian disambitkan ke arah bunga merah yang tumbuh di atas
dinding tebing itu. Kedua biji mata uang tembaga itu meluncur ke udara secepat
sambaran petir, belum sempat gadis itu melihat dengan jelas, tahutahu
"Triiing!", uang tembaga itu sudah menggesek di atas batu
cadas dan bunga merah itupun terjatuh ke bawah.
Ketika nona itu menyambutnya dengan kedua belah tangan,
tampak bunga itu terjatuh ke bawah dalam keadaan utuh, tidak satu
pun kelopak bunganya yang terlepas. Tidak kuasa lagi dia memuji
dengan penuh rasa gembira, "Adikku, hebat sekali ilmu senjata
rahasiamu!" "Hahaha, kepandaian senjata rahasiaku masih jauh dari
sempurna, coba kalau telah aku kuasai, tadi aku hanya butuh sebiji
uang tembaga saja." Rupanya bunga merah besar di atas tebing itu tumbuh dari balik
celah-celah bebatuan, akarnya sama sekali terbenam di balik celah
batu karang dan batangnya hanya muncul beberapa senti di atas
permukaan tanah. Itu berarti bila sambitannya melenceng sedikit saja, niscaya uang
tembaga itu akan menghancurkan kelopak bunga.
Selain itu, andaikata dia berhasil memangkas batangnya pun jika
penggunaan tenaga tidak sesuai, niscaya kelopak bunga akan
berguguran pula. Uang tembaga pertama yang dilontarkan pemuda itu persis
menancap di celah batu yang membuat batang bunga di bagian
bawah terpapas kutung, ketika mata uang itu membentur dinding
dan terpental balik, kebetulan tenaga pantulan itu membuat sang
bunga terpental meninggalkan dinding tebing, dengan begitu
sewaktu rontok ke bawah, kelopak bunga itu tidak sampai tergesek
rusak oleh ketajaman cadas.
Meski begitu, kecepatan saat meluncur ke bawah pun harus
dijaga sesuai kebutuhan, kalau tidak, kelopak bunga tentu ada yang
rontok. Sementara itu uang tembaga yang kedua dia lancarkan dengan
teknik 'menempel', menyusul sambit-an yang pertama, uang
tembaga itu meluncur ke udara persis di saat bunga merah itu
terpental meninggalkan dinding karang.
Teknik menempel yang dipergunakan membuat bunga merah itu
berputar di udara, gerakan memutar itu membuat kekuatan
meluncurnya jadi berkurang, karena sang bunga meluncur ke bawah
dengan kecepatan yang lembut, otomatis kelopak bunga pun
terjaga keutuhannya. Dari sini terbukti sudah bahwa pemuda ini memang cukup lihai,
sebab hanya dalam dua sambitan senjata rahasia, dia telah
mempraktekkan beberapa macam teknik ilmu silat tingkat tinggi.
Tiba-tiba nona itu menegur lagi dengan wajah cemberut,
"Apakah ayah angkatmu yang mengajarkan ilmu senjata rahasia itu
kepadamu?" "Bukan, Bu-liang Susiok yang mengajarkan. Guruku hanya
khusus melatih ilmu pedang, tidak melatih senjata rahasia. Eeei....
Cici, kenapa kau" Bukankah tadi wajahmu penuh senyuman, kenapa
secara tiba-tiba berubah jadi tidak senang?"
"Aku sedang berpikir...."
"Berpikir apa?"
"Aku sedang berpikir, nasib manusia memang sesuatu yang
sangat aneh!" Pemuda itu tertawa.
"Cici, aku lihat tindak-tandukmu hari ini sangat aneh dan
membingungkan! Bukankah semuanya lancar-lancar saja, kenapa
kau bisa punya perasaan seperti itu?"
"Memangnya bukan" Contohnya kita berdua saja, kita adalah
saudara kembar yang dilahirkan oleh ibu yang sama, bahkan sejak
dilahirkan sudah merupakan saudara kembar satu kandungan,
kenapa nasibnya justru beda sangatjauh!"
"Bukankah sekarang kau sama seperti aku?"
"Sejak kecil sudah berbeda, di rumah ayah dan ibu
menyayangimu, Tosu tua, Tosu sedang yang ada di To-koan pun
semuanya menyukaimu. Jangankan ayah angkat dan Suhu, bahkan
Bu-liang Totiang, Bu-si Tojin dua orang Tianglo pun sering memberi
petunjuk ilmu silat kepadamu. Setiap orang menyayangimu, setiap
hari ada saja keuntungan yang kau peroleh!"
"Kau belum tahu kalau Ciangbun Sucouw pun pernah memberi
petunjuk Sim-hoat tenaga dalam kepadaku," pikir sang pemuda
dalam hati, "kalau hal ini sampai kuceritakan, mungkin rasa
dengkimu akan semakin menjadi."
Tapi di luaran segera sahutnya sambil tertawa, "Tapi semua
kawanan Tosu cilik kan berebut menyanjungmu, berebut mendekati
dan membaikimu!" Bersemu merah sepasang pipi gadis itu.
"He, aku sedang bicara serius, siapa suruh kau setan cilik malah
balik menggodaku," protesnya, "kalau aku sih malas meladeni
kawanan Tosu hidung kerbau itu."
"Eeh.... ehh.... kenapa kau malah memaki semua Tosu yang ada
di Bu-tong" Jangan lupa, sekarang pun kau adalah murid seorang
Tosu perempuan!" "Aku tidak lebih hanya seorang murid 'pinjam nama' belaka,
mana bisa dibandingkan dengan kau sebagai murid langsung
didikan Ciangbunjin" Cuma bicara sejujurnya, adikku, jangan kau
salah sangka aku sedang dengki padamu. Kalau sang adik punya
kemampuan, tentu saja aku sang kakak ikut gembira. Yang
kulakukan sekarang tidak lebih hanya mengeluh atas ketidak adilan
nasib yang menimpa diriku."
"Kau jangan berkata nasibmu tidak baik. Kalau perkataan ini
sampai didengar ayah...."
Belum selesai perkataan itu diucapkan, buru-buru nona itu
menukas dengan cepat, "Aku tahu, Ayah pasti akan mengumpatku
sebagai manusia tidak tahu diri.
Dia sering bilang begini, "Siau Leng-ji wahai Siau Leng-ji, kau
benar-benar tidak tahu kalau sejak lahir sudah membawa hokki, biar
lahir sebagai anak orang miskin tapi kau bisa merasakan nasib yang
begitu baik dan lancar, ada Tosu Bu-tong-pay yang mau
memperhatikanmu, mengajarkan baca tulis, bahkan mewariskan
pula ilmu silatnya kepadamu. Dalam dua tahun belakangan, Tosu
yang bertugas mengurusi perkebunan pun khusus mengirim
beberapa orang Tosu cilik untuk membantu kita menanam sayuran,
dengan begitu kau bisa terbebas dari tugas menanam sayur,
keadaanmu sekarang tidak berbeda seperti anak emas. Cuma
herannya, aku belum pernah mendengar ayah membicarakan
persoalan semacam ini denganmu, kalau bicara soal hokki,
memangnya hokkimu tidak lebih bagus dari rejekiku" Aku tahu,
sesungguhnya aku mendapat hokki itu gara-gara mendompleng
dirimu." Setelah berpikir sejenak, pemuda itu merasa apa yang diucapkan
Cicinya memang tidak keliru, timbul perasaan heran di hati kecilnya,
kenapa sikap ayah ibu terhadapku berbeda sekali dengan sikap
mereka terhadap Cici. "Bukan hanya dalam soal ini saja, rasanya begitu juga
keadaannya dalam masalah lain. Ayah belum pernah memakiku,
sikapnya terhadapku seperti sikapnya terhadap tamu. Hanya saja,
mungkin dalam hal ini Cici belum merasakannya?"
Kecurigaan dan rasa tidak habis mengerti itu hanya disimpannya
dalam hati, sementara di luar dia berujar, "Setahuku, banyak orang
yang lebih menghargai anak lelaki daripada anak perempuan, Cici,
aku tahu, memang aku lebih banyak mendapat keuntungan dalam
hal ini. Tapi kau pun tidak perlu kesal, terus terang saja kukatakan,
bila kau ingin mempelajari sesuatu ilmu silat, asal aku mengerti
pasti akan kuajarkan secara diam-diam kepadamu."
"Kau tidak kuatir ditegur gurumu?"
"Bagaimanapun kau juga anggota Bu-tong-pay."
"Ilmu silat perguruan kita amat luas dan hebat, kelihatannya
hampir setiap anggota perguruan dari angkatan tua memiliki
kelebihan yang berbeda, namun sepertinya berlaku juga satu
peraturan, sebelum mendapat ijin dari Ciangbunjin, setiap orang
hanya boleh belajar dari guru masing-masing. Rasanya hanya kau
seorang terkecuali."
"Aku tahu, tapi aku bukan angkatan tuamu, membahas jurus
dengan anggota satu angkatan itu diijinkan. Kita bisa saja
melakukan latihan bersama, dengan kecerdasanmu rasanya tidak
susah untuk mencuri belajar dariku."
Gadis itu hanya menunduk tanpa menjawab.
"Cici, apa yang sedang kau pikirkan?" kembali pemuda itu
menegur. "Aku sedang membayangkan namamu."
"Namaku" Apa bagusnya?"
"Kemarin seorang Suci berkata kepadaku, andaikata dia tidak
kenal dengan kita berdua, kalau hanya mendengar nama kita
berdua, dia tidak bakal mengira kita adalah saudara kandung. Dia
memuji namamu yang indah dan berseni, Lan Giok-keng, persis
seperti nama seorang sastrawan kenamaan, halus dan terpelajar,
beda sekali dengan namaku yang berbau udik."
"Aku yakin Suci itu tidak bakal mengucapkan perkataan yang
terakhir bukan?" sela pemuda itu sambil tertawa.
"Biarpun tidak dikatakan, aku tahu di hati kecilnya dia berkata
begitu." Pemuda itu tertawa lebar, serunya, "Cici, justru aku merasa
namamu sangat indah dan lembut, Sui-leng.... Sui-Ieng.... siapa pun
yang mendengar nama ini, perhatiannya pasti akan tertuju ke
sepasang matamu." Ternyata pemuda ini bukan lain adalah bayi yang tempo hari
dititipkan Ko Ceng-kim kepada keluarga Lan Kau-san, dia adalah
putra yang ditinggalkan Keng King-si serta Ho Giok-yan.
Bocah ini sebenarnya bernama Keng Giok-keng, namun karena
Ko Ceng-kim punya kepentingan pribadi, dia tidak ingin bocah itu
kelak mengetahui siapa orang tuanya, maka dia minta Lan Kau-san
mengakuinya sebagai ayah kandungnya dan memberi nama Lan
Giok-keng kepadanya. Sementara gadis itu adalah putri kandung Lan Kau-san yang
bernama Lan Sui-leng. Put-ji yang punya nama asal Ko Ceng-kim, kini sudah merupakan
seorang Tosu dengan kedudukan terhormat dalam Bu-tong-pay,
dialah ayah angkat merangkap guru Keng Giok-keng.
Sementara Lan Sui-leng sendiri, karena hubungannya dengan
sang adik maka dia pun seringkali muncul dalam kuil, sama seperti
adiknya, dia pun sangat berminat berlatih ilmu silat.
Dalam perguruan Bu-tong terdapat pula Tosu perempuan,
seorang Tosu perempuan yang bernama Put-hui telah menerimanya
menjadi murid, tapi hanya murid atas nama.
Disebut atas nama karena bukan murid sesungguhnya, sebab
peraturan yang berlaku bagi para Tosu wanita jauh lebih ketat
daripada Tosu lelaki, sekali menjadi murid aliran To maka sulitlah
untuk menjadi preman lagi.
Lan Sui-leng tidak mengetahui rahasia asal-usul adiknya, oleh
sebab itu walaupun dia sayang kepada adiknya, namun sedikit


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak timbul juga perasaan 'tidak adil', dia merasa semua yang
terbaik selalu diperoleh adiknya, bahkan ayah ibunya pun seakan
menaruh kasih sayang khusus terhadap adiknya.
"Benar, Suci itu bahkan memuji ketampanan wajahmu. Katanya
tampangmu sebagus namamu, karena namamu memakai kata giok
(kemala), tidak heran kalau wajahmu halus bagaikan kumala. Aku
bilang sayang kau sudah keburu jadi pendeta, kalau tidak, siapa
tahu ada kesempatan menjadi adik iparku."
Sebenarnya perkataan itu diucapkan dengan wajah serius,
namun sampai di situ dia tidak kuasa menahan rasa gelinya lagi dan
dia tertawa cekikikan. "Namaku adalah pemberian ayah angkat, jadi dia mau memuji
namaku atau tidak, hal ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya
denganku." "Tapi raut muka itu toh tetap milikmu sendiri bukan?" kembali
Lan Sui-leng menyela, kemudian setelah menghela napas terusnya,
"tidak heran semua orang menyayangimu, sejujurnya dalam hal apa
pun kau memang lebih hebat dariku, tampangmu lebih menarik,
otakmu lebih cerdas, meski sang Suci hanya bergurau tapi aku pun
dapat merasakan juga...."
"Merasakan apa?"
"Mungkin perumpamaanku kurang tepat, tapi aku selalu merasa
kau adalah seekor burung hong yang dilahirkan dari sarang burung
gagak." "Perumpamaanmu sangat tidak tepat, kau pantas dihajar!
Dengan berkata begitu, bukankah kau persamakan orang tua kita
seperti burung gagak?"
"Ya, aku tahu perumpamaan ini agak keterlaluan, tapi sayang
pengetahuanku sangat cetek, aku tidak bisa menemukan
perumpamaan lain yang lebih tepat."
"Cici, tahukah kau apa saja yang dikatakan kawanan Tosu kecil
itu di belakangmu?" tiba-tiba Lan Giok-keng menyela.
"Apa yang mereka katakan?"
"Mereka pun menilaimu dengan satu perumpamaan, katanya kau
mirip sekali dengan bunga Botan (peoni) hitam yang mampu
berjalan! He, kau jangan marah dulu, mereka sedang memuji kau
sebagai cewek yang hitam tapi manis!"
"Kurangajar, jadi kau pun meniru kawanan Tosu bau itu
menertawakan Cici sendiri" Lihat saja, akan kurobek mulutmu."
"Plaakkk!", tahu-tahu pipi Lan Giok-keng sudah ditampar keraskeras.
Lan Giok-keng sama sekali tidak membalas, sepatah kata pun
tidak diucapkan, hanya dengan mata mendelong dia mengawasi
Cicinya tanpa berkedip. "Cici hanya bergurau denganmu, masa kau marah?"
"Tidak, aku tidak marah." Biarpun begitu namun sepasang
matanya masih mengawasi kakaknya tanpa berkedip.
"Hei, apakah kau sedang kerasukan setan" Kenapa menatapku
tanpa berkedip?" "Cici, sepasang matamu sungguh indah, selamanya mataku tidak
bakal bisa mengungguli keindahan matamu."
Bangga juga Lan Sui-leng mendengar adiknya memuji keindahan
sepasang matanya, ternyata menurut adat desa mereka, sepasang
mata yang besar dan indah milik seorang gadis dinamakan 'mata
yang bening', itulah sebabnya dia dinamakan Sui-leng, karena
matanya memang bening. Selama ini dia memang selalu beranggapan bahwa mata adiknya
tidak pernah bisa menyaingi keindahan sepasang matanya.
Kini setelah dipuji sang adik, dengan perasaan gembira gadis itu
berkata lagi, "He setan cilik, sejak kapan kau belajar merayu orang
dengan perkataan manis" Kalau disuruh kerja serius tidak becus,
tapi disuruh merayu, pintarnya setengah mati. Sudah setengah
harian kita kemari tetapi masih mengobrol saja, sudah waktunya
kau berlatih pedang."
"Cici, kau membawa cermin?" tiba-tiba Lan Giok-keng bertanya.
"Aku tidak pernah membawa cermin."
"Kalau begitu tengoklah di atas air!"
"Di atas air, ada apa?" tampaknya gadis ini curiga ada sesuatu
yang tidak beres dengan wajahnya.
Permukaan air sangat jernih bagaikan cermin.
"Di atas permukaan air tampak bayangan kita berdua," kata Lan
Giok-keng cepat. "Lantas kenapa?" tanya Lan Sui-leng makin kebingungan.
"Coba kau lihai, betapa cantiknya dirimu."
"He, ada apa denganmu hari ini" Kenapa selalu menggoda Cici?"
seru Lan Sui-leng sambil mencubit adiknya.
"Sayang ibu tidak ada di sini."
"Kenapa kau menginginkan ibu hadir di sini?" tanya si nona
keheranan. "Wajahmu maupun wajah ibu bentuknya seperti kwaci dengan
alis mata yang lembut."
"Buat apa kau jelaskan lagi kepadaku?"
"Bayangan yang membias dari permukaan air tidak bisa
menampilkan usia seseorang, kalau kau berdiri bersama ibu, dapat
dipastikan bayangan kalian yang muncul adalah bayangan dua
orang bersaudara." "Benar, semua orang memang bilang begitu, katanya wajahku
mirip sekali dengan wajah ibu," seru Lan Sui-leng bangga.
"Konon semasa mudanya dulu, ibu adalah seorang wanita yang
amat cantik." "Benar, seumur hidup kejadian yang paling membanggakan bagi
ayah adalah keberhasilannya menga-wini ibu sebagai bininya, cerita
ini entah sudah berapa ratus kali aku dengar."
"Aku ingin kau bercerita sekali lagi."
Dengan menirukan lagak ayahnya yang sedang mabuk, seru Lan
Sui-leng sembari menjulurkan lidah, "Sui-leng, tahukah kau bahwa
ibumu dulu adalah wanita paling cantik yang pernah kujumpai di
seputar wilayah desaku" Coba tebak, bagaimana ceritanya sampai
dia bersedia kawin dengan ayah" Ketika itu ayah sedang mabuk
arak dan berhasil membunuh seekor harimau.... hahaha.... kata
berikut tentu sudah kau dengar pula berulang kali, buat apa aku
mengulangnya lagi." "Kau telah melupakan satu hal yang paling penting."
"Melupakan" Melupakan bagian yang mana?"
"Sui-leng! Beruntung wajahmu tidak mirip aku, tapi mirip sekali
dengan ibumu." Mendadak seperti baru tersadar, kontan Lan Sui-leng
mengumpat, "Kurangajar, dasar setan cilik, ternyata kau sengaja
berputar satu lingkaran tujuannya hanya untuk menggoda Cici."
"Siapa bilang aku sedang menggodamu, kan kau sendiri yang
mengatakan kalau wajahmu mirip ibu, hanya saja...."
"Hanya saja kenapa?"
"Wajahku tidak mirip ibu juga tidak mirip ayah. Waktu masih kecil
dulu aku sering merasa keheranan, setiap kali ayah mengisahkan
cerita itu, kenapa hanya namamu yang disinggung, sekarang aku
mengerti, ternyata hal ini disebabkan aku tidak mirip ayah maupun
ibu." "Untuk apa kau singgung masalah itu?" tanya Lan Sui-leng
tertegun. "Bukankah kita adalah bocah kembar?"
"Hey, kenapa dengan kau" Masa kejadian inipun bohong?"
"Kalau memang bocah kembar, kenapa wajah kita berbeda?"
"Soal ini, soal ini...." Tadi dia masih sempat mengatakan kalau
dirinya adalah "burung hong yang dilahirkan dari sarang burung
gagak", ketika mengucapkan perkataan itu tadi, hal ini lebih
terdorong oleh perasaan 'tidak adil' karena dianggapnya dalam
segala hal adiknya jauh lebih hebat darinya, termasuk pula tampang
mukanya jauh lebih menawan.
Tapi sekarang, sesudah adiknya mengajukan pertanyaan itu, dia
ikut menjadi tertegun dan berdiri melongo.
Nada bicara maupun mimik muka adiknya tampak begitu aneh,
seakan merasa risau, tidak tenang, seperti juga menyimpan rasa
kesal yang sulit terlukiskan dengan kata, seolah dia merasa tertekan
batinnya. Selama hidup belum pernah dia menyaksikan mimik muka seperti
ini. Tanpa terasa dia ikut tertular, ikut merasa risau dan tidak
tenang. "Soal ini.... soal ini.... pepatah mengatakan, naga yang
melahirkan sembilan putra pun masing-masing putra memiliki wajah
yang beda, apalagi raut muka saudara kandung, kejadian seperti ini
adalah lumrah." Hanya perkataan semacam itu yang bisa dia gunakan untuk
mengurai kemurungan adiknya.
Cepat Lan Giok-keng menggeleng kepala.
"Tapi kita adalah saudara kembar! Orang bilang dari sepuluh
orang saudara kembar hampir semuanya memiliki wajah yang sama,
bukan hanya bentuk wajahnya sama bahkan pikiran dan perasaan
pun sama, umpama yang satu ingin mengungkap sesuatu maka
yang lain bisa mewakilinya untuk mengungkap, tapi kita berdua...."
Tidak usah dijelaskan pun sang Cici sudah mengerti apa yang
dimaksud. Wataknya memang beda jauh dengan watak adiknya, kalau dia
termasuk seorang gadis yang polos, apakah sedang girang atau
murung, biasanya orang dapat segera mengetahuinya sekali
pandang. Sebaliknya watak adiknya jauh lebih rumit, terkadang dia bisa
tampil dewasa tapi terkadang sangat emosional bahkan menjurus
licik dan licin. Perbedaan semacam ini bukan merupakan hasil pengamatannya
selama ini, semenjak masih kecil, secara lamat-lamat dia sudah
dapat merasakan perbedaan watak ini.
Setelah tertawa getir, katanya kemudian, "Adikku, aku benarbenar
tidak bisa menebak apa yang sedang kau pikirkan dalam hati,
tapi maukah kau beritahukan kepada Cici?"
"Cici, aku.... aku tanpa terasa sepasang matanya berubah jadi
merah. "Kita dilahirkan dari kandungan ibu yang sama, bila ada yang
membuatmu risau, katakan saja pada Cici! Biasanya kalau kerisauan
sudah diutarakan, hatimu akan terasa lebih lega. Kemampuan
kungfu Cici memang tidak bisa mengunggulimu, kalau soal berkelahi
mungkin Cici tidak banyak bisa membantu, namun paling tidak, Cici
masih bisa membantumu meringankan perasaan risau."
Sembari berkata dia tepuk bahu adiknya berulang kali, bergaya
seolah dia memang seorang 'Toa-cici' yang bisa diandalkan.
"Aku.... aku tidak tahu bagaimana harus bicara!"
"Apa saja yang ingin kau katakan, utarakan saja, masa dengan
Cici sendiri pun kau merasa ragu?"
"Cici, tadi kau singgung soal berkelahi, jadi kita mulai dari soal
berkelahi saja. Hampir saja aku berkelahi dengan mereka!"
"Mereka?" "Ya, mereka, kawanan hidung kerbau kecil yang kau maksud
tadi!" Yang dimaksud 'hidung kerbau kecil' tidak lain adalah kawanan
Tosu kecil yang seangkatan dengan mereka.
Kalau pada hari biasa, Lan Sui-leng niscaya akan tertawa
cekikikan setiap kali menyinggung soal sebutan itu, tapi sekarang
dia tidak mampu tertawa, sorot mata adiknya yang penuh amarah
dan rasa mendongkol membuatnya waswas.
"Kenapa kau berkelahi dengan mereka?" tanya Lan Sui-leng
kemudian. "Mereka sedang membicarakan aku, begitu melihat diriku
muncul, kontan mereka berhenti berbicara, tapi aku masih sempat
mendengar beberapa patah kata mereka."
"Apa yang mereka bicarakan tentang dirimu?"
"Kata mereka, aku adalah anak haram!"
"Siapa yang bilang begitu" Ayoh kita laporkan kepada gurunya!"
teriak Lan Sui-leng gusar.
Sambil menggeleng Lan Giok-keng tertawa getir.
"Mana boleh kita bikin besar masalah seperti ini, lagi pula hanya
soal omongan tidak keruan."
"Betul juga," sahut Lan Sui-leng setelah berpikir sejenak, "kalau
sampai memperbesar urusan kecil ini, mungkin saja orang tua kita
akan turut rikuh jadinya. Cuma biarpun kau tidak bisa balas
mengumpat mereka, tidak seharusnya memukuli orang-orang itu,
anggap saja tidak ada gading yang bisa tumbuh di mulut anjing,
tidak usah digubris lagi."
"Padahal kita memang tidak bisa menyalahkan mereka, terbukti
wajah kita berdua memang sama sekali berbeda, sedikitpun tidak
ada kemiripannya!" "Kalau orang lain yang bicara begitu masih lumrah, masa kau
sendiri pun curiga?" seru Lan Sui-leng terkejut.
"Aku.... aku.... aai, Cici, aku sendiri pun tidak tahu."
Berubah paras muka Lan Sui-leng.
"Adikku," katanya, "selama ini kau selalu pintar, kenapa secara
tiba-tiba berubah jadi begitu pikun?"
"Coba bayangkan sendiri, biarpun wajah kita berbeda tapi kita
adalah sepasang bayi kembar yang dilahirkan oleh seorang ibu yang
sama, kalau kau anak haram berarti aku pun anak haram juga
bukan" Mana mungkin aku adalah putri haramnya?"
Setelah berbicara sampai di situ, dia baru teringat kalau
perkataan itu tidak bisa diucapkan begitu saja, karena dia merasa
wajahnya mirip sekali dengan ibunya, tapi apakah dasar 'alasan' itu
saja sudah cukup" Maka dia pun berkata lebih jauh, "Kau boleh saja mencurigai soal
apa pun, tapi jangan sekali-kali kau curigai ibu sebagai wanita
jahat!" "Cici, berarti kau sendiri yang pikun. Tentu saja aku tidak akan
mencurigai ibu, mereka juga tidak mengatakan kalau aku adalah
anak haram ibu." "Lantas kau anak haram siapa?" Lan Sui-leng benar-benar dibuat
tidak habis mengerti. "Anak haram orang lain yang terbuang, kemudian ditemukan
ayah dan dipelihara hingga dewasa. Aku tidak tahu siapakah orang
itu, tapi aku yakin ayah pasti tahu."
"Kau benar-benar punya pendapat begitu?" seru Lan Sui-leng
sambil berusaha menamparnya, menggaplok saking jengkelnya.
"Cici, kau jangan marah, dengarkan dulu penjelasanku," seru Lan
Giok-keng sambil menahan tamparannya.
"Baik, kalau begitu cepat katakan."
"Aku tidak akan berpendapat begitu, tapi tidak bisa melarang
orang lain berpikiran begitu. Sebab dalam kenyataan sudah ada
banyak orang yang berkasak-kusuk tentang asal-usulku."
"Anggap saja perkataan mereka sebagai kentut."
Lan Giok-keng menghela napas panjang.
"Aai, tidak bisa menyalahkan mereka berpendapat begitu, siapa
suruh aku tidak mirip ayah maupun ibu."
Biarpun Lan Sui-leng jauh lebih polos dan sederhana, bukan
berarti dia adalah seorang nona bodoh, dari pembicaraan adiknya
dia tahu kalau pemuda itu sudah terkesan pendapat itu meski di
mulut masih berusaha membantah.


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dari sorot mata adiknya yang penuh kerisauan dan penderitaan,
dia tahu adiknya sudah banyak menderita dan tersiksa karena
masalah ini. "Adikku, menurut kau sayangkah ayah dan ibu kepadamu?"
tanyanya kemudian. "Tentu saja, aku bahkan merasa mereka kelewat menyayangiku."
"Itulah dia, bukankah hal itu merupakan bukti yang paling baik"
Kalau kau bukan anak kandung mereka, mana mungkin mereka
begitu menyayangimu?"
Dia tidak tahu, masalahnya justru muncul dari kata "kelewat
sayang" itu, oleh karena orang tuanya selalu menyayangi dia,
kelewat memanjakan dia, tidak pernah memukul dan memakinya,
hal inilah yang membuat dia jadi curiga.
Melihat adiknya tidak berbicara, dia sangka pemuda itu sudah
berhasil dibuat luluh hatinya, maka kembali dia berkata, "Kau tidak
usah masukkan perkataan kawanan hidung kerbau kecil itu ke
dalam hati, pembicaraan kita sudahi sampai di sini saja, selanjutnya
siapa pun dilarang mengungkit kembali. Ehh.... sudah waktunya kita
berlatih silat. Benar, aku belum memberitahu padamu, beberapa
hari berselang Suhu sudah mulai mengajarkan ilmu pedang Thaykhekkiam-hoat kepada-ku."
"Benarkah" Kalau begitu aku mesti mengucapkan selamat
kepadamu. Cici, tahukah kau, ilmu pedang itu adalah ilmu simpanan
perguruan kita yang biasanya jarang diajarkan kepada murid
preman. Padahal kau termasuk murid setengah resmi, sungguh
tidak sangka Suhumu bersedia mewariskan ilmu itu kepadamu."
"Bukankah kau telah mempelajarinya sejak awal?"
"Ini dikarenakan hubunganku dengan ayah angkat, sejak usia
tujuh tahun aku sudah mengangkat Gihu sebagai guruku.
Ciangbunjin pun melihat aku telah tumbuh dewasa, itulah sebabnya
tanpa harus memperkuat iman terlebih dulu aku sudah diajarkan
ilmu Thay-khek-kiam-hoat."
"Coba lihat, betapa besar rejekimu, tahukah kau hampir setiap
orang sedang iri kepadamu" Apa lagi yang membuatmu tidak puas?"
"Aah, masa ada orang iri padaku?"
"Kau sangka hanya Cici seorang yang iri padamu"
Suci yang kemarin juga bilang padaku, dia tidak habis mengerti
kenapa Put-ji Totiang begitu baik kepadamu?"
"Lantas apa jawabmu?" tanya Lan Giok-keng setelah tertegun
sejenak. "Setiap orang punya hokki dan jodoh yang berbeda, apa lagi
yang mesti dijelaskan," sahut Lan Sui-leng sambil tertawa, "eeei
adikku, kenapa kau" Masa kau pun mencurigai Gihu lantaran
sikapnya yang kelewat baik kepadamu?"
Selama ini Lan Giok-keng belum pernah memikirkan persoalan
itu, tidak urung timbul juga rasa curiganya setelah disinggung
Cicinya. "Benar juga," pikirnya, "menurut Cici, ayah dan ibu kelewat
memanjakan aku, anehnya kenapa Gihu pun sepertinya
memanjakan juga diriku" Benar dia adalah sobat karib ayah, tapi
bukankah Cici pun putri ayah" Kenapa selama ini sikap Gihu
terhadapnya acuh tidak acuh" Apakah lantaran aku adalah anak
lelaki?" Berpikir sampai di situ dia pun berkata, "Tidak, aku tidak
berpendapat begitu. Hanya terasa jalan hidupku sedikit agak
'istimewa', seolah-olah sejak dilahirkan, nasib baik sudah mengikuti
terus diriku." "Sudahlah, cukup sampai di sini saja, mari kita segera berlatih."
"Jangan terburu-buru, aku harus mencari sebilah pedang dulu."
"Bukankah pedangmu sudah kau bawa?" tanya Lan Sui-leng
tercengang. Lan Giok-keng tertawa lebar. "Aku tak boleh memakai pedang
sungguhan hari ini!" katanya sambil memotong sebatang bambu
dan menggunakannya sebagai pedang.
"Aneh, kenapa hari ini kau ingin menggunakan pedang bambu?"
"Semalam Gihu mengajarkan tujuh jurus pedang kilat, tahukah
kau, jurus Thay-khek-kiam-hoat yang aku pelajari jauh berbeda
dengan apa yang dipelajari kebanyakan orang, berpuluh kali lipat
lebih cepat. Tapi Gihu masih menganggap aku kurang cepat, maka
semalam dia sekali lagi mewariskan ketujuh jurus serangan itu
kepadaku, aku diminta mempelajarinya hingga mencapai taraf
kecepatan seperti dia. Bila ketujuh jurus itu berhasil aku kuasai, dia
baru akan mengajarkan tujuh jurus lagi."
"Sampai taraf kecepatan seperti apa sih Gihumu?" dengan
perasaan ingin tahu Lan Sui-leng bertanya.
"Aku sendiri pun sulit untuk melukiskan dengan perkataan, tapi
bisa kuberi sebuah kenyataan sebagai contoh. Dia suruh aku
memegang sebatang sumpit, kemudian tiba-tiba terlihat cahaya
pedang berkelebat, tahu-tahu sumpitku sudah terpapas kutung
tujuh bagian. Ternyata dia telah menggabung ke tujuh jurus
pedangnya dalam sekali tebasan."
Tidak tahan Lan Sui-leng menjulurkan lidah karena kagum,
sesaat kemudian dia baru berseru, "Wah, kalau secepat itu sih
susah dihadapi." "Biarpun kemampuanku "belum secepat Gihu, namun aku kuatir
salah tangan hingga melukaimu. Itulah sebabnya aku harus
memakai pedang bambu."
"Kalau begitu biar aku pun ikut memakai pedang bambu."
"Jangan buang waktu untuk menyiapkan sebilah pedang bambu
lagi, pakai saja pedang sungguhan."
Seperti baru sadar Lan Sui-leng segera tertawa.
"Aah betul juga, ilmu pedangmu jauh lebih hebat ketimbang
kemampuanku, tentu aku tidak mungkin salah melukaimu."
"Bagus, sekarang gunakan seluruh ilmu pedang ajaran gurumu
untuk menyerang, tidak usah ragu atau takut, asal dilatih beberapa
kali niscaya kau akan semakin paham kalau satu ilmu pedang yang
sama sesungguhnya memiliki banyak perbedaan."
Kakak beradik itupun mulai berlatih dengan saling menyerang,
ilmu pedang yang dimainkan Lan Giok-keng makin lama
berkembang makin cepat, pedang bambu dalam genggamannya
seolah telah berubah, dari satu perubahan berkembang jadi
perubahan lain, dari satu berubah jadi dua, dari dua berubah jadi
empat, dari empat jadi delapan....
Dalam waktu singkat Lan Sui-leng merasa ada selapis bayangan
pedang yang tebal dan rapat menyelimuti depan matanya, seakanakan
terdapat begitu banyak pedang bambu berwarna hijau yang
menusuk tubuhnya dari delapan penjuru, ujung pedangnya bergerak
mengikuti kedipan matanya, bayangan pedang terasa menyambar
lewat di sisi keningnya, deru angin tajam membuat rambutnya jadi
kacau dan kusut. Tidak kuasa lagi Lan Sui-leng menarik napas dingin, pikirnya,
'Mengerikan! Untung adik tidak memakai pedang sungguhan.'
"Cici, jangan gugup atau panik, hati-hatilah menghadapi
serangan Lian-hoan-jit-kiam (tujuh pedang berantai) ini!"
Tahu bakal menghadapi serangan yang ampuh, diam-diam Lan
Sui-leng berpikir, 'Biarpun ada tekanan seberat gunung Thay-san
yang menindih kepala, aku harus menganggapnya bagaikan angin
lembut berlalu!' Pandangan matanya seketika dikonsentrasikan ke ujung pedang,
memandang seolah tidak melihat, dia menggunakan ilmu Thaykhekkiam-hoat tingkat tinggi untuk menghadapi ancaman lawan.
Dari jurus Ji-hong-sip-pit (seperti menutup seperti merapat)
berubah jadi jurus Thiat-so-heng-kang (dengan baja mengunci
sungai lebar), sekuat tenaga dia hadapi ketujuh serangan berantai
dari adiknya yang dilontarkan bersamaan itu.
"Krakkk!", mendadak terdengar suara retak yang keras, tahutahu
ujung pedang bambu milik Lan Giok-keng sudah patah jadi
dua, menyusul kemudian pedang yang berada dalam genggaman
Lan Sui-leng iku t mencelat pula dari tangannya.
Tidak terlukiskan rasa girang Lan Sui-leng, pikirnya, 'Kali ini aku
berhasil juga memapas kutung ujung pedang bambunya, ini berarti
pertarungan bisa disudahi dengan seri...."
Berpikir sampai di situ tanyanya, "Adikku, apakah ke tujuh
pedang berantaimu belum semua kau gunakan" Kau takut melukai
Cicimu hingga tidak berani menggunakannya dengan sungguh hati?"
Terlihat adiknya sudah melompat lebih kurang tiga depa ke
samping dengan tangan kiri memegangi lengan kanan, ada
beberapa tetes darah segar nampak meleleh keluar lewat celah jari
tangannya, membuat seluruh jari tangannya berlepotan darah.
Dengan perasaan terkejut buru-buru Lan Sui-leng menghampiri
adiknya sembari berteriak, "Kauterluka?"
"Tidak apa-apa," Lan Giok-keng tertawa getir, "hanya tergores
kulit luarnya saja. Cici, ternyata Thay-khek-kiam-hoat yang kau
pelajari hebat sekali, sewaktu aku menggunakan jurus terakhir dari
tujuh jurus berantaiku yakni Pek-ho-liang-ci (bangau putih pentang
sayap), sebetulnya aku agak kuatir juga kalau sampai merobek
pakaianmu, siapa sangka...."
Tentu saja perkataan selanjutnya tidak usah dilanjutkan, bukan
pakaian Cicinya yang robek, justru ujung baju sendiri yang
tersambar ujung pedang Cicinya hingga robek.
Masih untung cepat dia menggunakan teknik 'melengket' untuk
menggiring pedang Cicinya hingga terlepas dari genggaman, kalau
tidak, mungkin tulang tangannya sudah tertembus.
Sayangnya, biarpun dia berhasil merontokkan pedang Cicinya,
namun kekuatan yang digunakan adalah tenaga dalam, jadi
berbicara soal adu pedang, dalam pertarungan kali ini dia tetap
kalah satu jurus. Lan Sui-leng mencoba memeriksa keadaan luka adiknya, ketika
melihat luka yang diderita memang ringan, dengan perasaan lega
dia pun berkata, "Kebetulan hari ini aku membawa jarum dan
benang, adikku, cepat lepaskan pakaianmu, biar kujahit bajumu
yang robek daripada ketahuan Suhumu nanti."
"Mana mungkin Suhu punya waktu untuk mengurusi masalah
tetek-bengek?" "Ooh, dia sedang sibuk apa?"
"Kali ini dia mendapat tugas pergi ke tempat yang jauh, pergi ke
wilayah Liauw-tong, bahkan selama tiga bulanan lamanya, sudah
pasti ada banyak persoalan yang perlu dilaporkan kepada Ciangbun
Sucouw. Sewaktu aku keluar tadi, dia sempat berkata kalau malam
ini tidak perlu menunggunya balik makan malam."
Lan Sui-leng menghela napas panjang.
"Ai, dia masih ada begitu banyak urusan yang mesti dilakukan,
padahal begitu kembali masih harus mengajar ilmu pedang
kepadamu, kau sungguh beruntung bisa mendapat seorang guru
dan seorang ayah angkat macam dia!"
"Ucapanmu tepat sekali. Semalam ketika dia mengajarkan ilmu
pedang kepadaku, kelihatan sekali kalau dia.... dia sudah...."
"Sudah apa?" "Sudah menunjukkan tanda-tanda keletihan, malah sampai pada
akhirnya dia seperti kehilangan konsentrasi."
Ternyata sewaktu gurunya mengajarkan ilmu pedang semalam,
dia kelihatan sedang dirundung banyak persoalan, selama dia
melatih diri, gurunya nampak duduk termangu-mangu bahkan tanpa
sebab yang jelas menghela napas berulang kali.
Sebetulnya dia ingin menggunakan istilah "pikiran yang kalut"
untuk menjelaskan keadaan gurunya, namun kuatir Cicinya malah
bertanya lebih jauh, terpaksa dia hanya berkata seadanya.
Tidak nyana Cicinya justru segera berseru, "Tidak heran kalau
hari ini kau tidak dapat berkonsentrasi secara baik, rupanya masih
kangen kepada Suhumu" Aai, dia sudah pergi sangat lama, tidak
salah kalau kau ingin berbincang dengannya." Lan Giok-keng
mengerti maksud Cicinya, dia pasti kuatir hatinya tidak nyaman
karena kekalahannya tadi sehingga mencari alasan baginya.
Benar, pikiran dan perasaan hatinya memang sedang tidak
tenang, apalagi setelah mendengar saudara seperguruannya
menuduh dia sebagai anak haram, namun meski demikian, tidak
seharusnya dia menderita kekalahan di tangan Cicinya yang baru
beberapa hari mempelajari Thay-khek-kiam-hoat.
"Aku dengar ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat yang dipelajari
Gihumu berasal dari Bu-si Tianglo?" tanya Lan Sui-leng lagi sembari
menjahit bajunya. "Semua orang juga mengetahui persoalan ini."
"Ilmu pedang yang dimiliki Bu-si Tianglo dianggap nomor satu
dalam perguruan kita, aku dengar ilmu pedang yang dipelajari
Gihumu berasal dari ajaran murni Bu-si Tianglo, malah konon
kehebatannya jauh di atas murid-murid Bu-si Tianglo sendiri,
menurutmu...." "Sebagai seorang murid mana berani aku mengkritik kemampuan
ilmu pedang guruku," sahut Lan Giok-keng sedikit keheranan, "Cici,
apa maksudmu bertanya begitu" Apakah kau tidak percaya dengan
perkataan mereka" Cici, ilmu pedang guruku tentu saja sangat
bagus, tidak perlu kau ragukan. Kekalahanku hari ini tidak lebih
hanya dikarenakan kemampuanku yang tidak becus."
Sejujurnya Lan Sui-leng memang agak sangsi, tetapi setelah
mendengar perkataan adiknya, dia pun merasa tidak leluasa untuk
melanjutkan kembali perkataannya. Benarkah masih ada orang yang
meragukan kemampuan Put-ji, guru Lan Giok-keng, sebagai 'jago
pedang nomor dua dari Bu-tong-pay'" ternyata memang ada.
Orang itu bukan lain Put-hui, guru Lan Sui-leng.
Sambil membantu adiknya menjahit pakaiannya yang robek, Lan
Sui-leng mulai membayangkan kembali peristiwa yang dialaminya
hari itu. Saat itu adalah hari ketiga sejak gurunya mengajarkan ilmu
pedang Thay-khek-kiam-hoat kepadanya.
Entah karena apa, hari itu gurunya nampak uring-uringan dan
sedikit tidak suka hati. Pelajaran yang diberikan sangat lamban,
sampai sore hari dia hanya mengajarkan tiga jurus pedang
kepadanya. Sampai dia mempraktekkan kembali ketiga jurus ilmu pedang itu,
sekulum senyuman baru mulai tersungging di ujung bibir gurunya.
"Jangan kau salahkan kalau aku mengajarkan kepadamu sangat
lambat, sebab pondasi harus dibina secara pelan dan tidak boleh
tergesa-gesa. Kau berlatih sangat bagus, asal mau berlatih dengan
sepenuh hati, di kemudian hari pasti akan menjadi seorang
pendekar pedang wanita kenamaan."
Lan Sui-leng termasuk gadis yang suka bicara blak-blakan, begitu
mendengar perkataan itu, tanpa berpikir panjang segera sahutnya,
"Aku tidak ingin menjadi jago pedang wanita, aku hanya ingin...."
"Apa yang kau inginkan?"
"Aku hanya ingin mengalahkan adikku."
"Hahaha gurunya langsung tertawa terbahak, "memangnya ilmu
pedang adikmu sangat hebat?"
"Dia mempelajari ilmu pedang itu langsung dari Put-ji Totiang,
tentu saja kemampuannya jauh lebih hebat daripada diriku."
"Ehmm, guru hebat akan menghasilkan murid hebat juga, ilmu
pedang Put-ji Suheng dipelajari dari Bu-si Tianglo, jago nomor
wahid dari perguruan kita, sekarang pun dia sudah dianggap jago
nomor dua, tentu saja kemampuannya jauh lebih hebat dari
kemampuan-ku." Merah dadu selembar wajah Lan Sui-leng, buru-buru katanya,


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Suhu, aku tidak bermaksud begitu, aku tidak lebih hanya
menggunakan adikku sebagai pembanding, jadi bukan...."
"Kau tidak usah panik," gurunya tertawa, "aku tidak berkata
kalau ucapanmu keliru. Aku tidak bakal berpikiran cupat. Hanya
saja, hmm! Bila kau belajar Thay-khek-kiam-hoat dariku, belum
tentu kemampuan-mu tidak dapat mengungguli adikmu.
Gurunya...." "Kenapa dengan gurunya?"
"Gurunya menganggap ilmu pedang itu seperti mustika, padahal
menurut penilaianku, watak gurunya tidak beda jauh dengan
diriku...." Melihat gurunya bicara terus tiada habisnya, Lan Sui-leng
semakin tercengang, tanyanya, "Suhu, kenapa tidak kau lanjutkan
perkataanmu?" "Suatu ketika, tanpa sengaja aku melihat Put-ji Suheng sedang
mengajari adikmu ilmu pedang, begitu tahu kehadiranku, dia
langsung berhenti mengajar, padahal aku tidak berniat mencuri lihat
ilmunya. Sayang, biar tidak ingin mencuri lihat pun aku sempat juga
menyaksikan beberapa jurus ilmu pedangnya."
"Menurut pandangan Suhu, bagaimana dengan ilmu pedang
ajaran Put-ji Supek?" tanya Lan Sui-leng dengan perasaan ingin
tahu. "Aah, dia adalah jago nomor dua dari perguruan, sementara ilmu
pedangku paling juga berada pada urutan belasan ke atas, mana
berani aku mengatakan kalau ilmu pedangnya jelek."
Ternyata Lan Sui-leng pintar juga, begitu mendengar perkataan
itu segera serunya sambil tertawa, "Suhu, kelihatannya kau sudah
tahu kalau di balik ilmu pedang milik Put-ji Supek terdapat titik
kelemahan, bolehkah kau ajarkan kepadaku secara diam-diam?"
"Aku tidak pernah berkata begitu, kau jangan sembarangan
menduga!" "Masa tebakanku keliru" Baiklah, kalau begitu biar kutanyakan
ucapan yang Suhu katakan itu kepada orang lain, coba lihat apakah
orang lain pun berpendapat begitu?"
"Bagus, rupanya kau si setan cilik ingin mengancam aku" Tidak
masalah kuberitahukan kepadamu, hanya takutnya...."
"Takutnya kenapa?"
"Takutnya kalau sampai terdengar guru adikmu."
"Suhu, justru ucapan ini bakal tersiar luas kalau kau tidak
memberitahukan kepadaku. Asal kau terangkan, tidak nanti
kukatakan kepada adik."
Terdorong karena pertama, dia tidak tahan direcoki terus oleh
muridnya, kedua, Put-hui merasa tidak puas dengan sikap Put-ji
yang menuduhnya mencuri lihat ilmu pedangnya, maka dia pun
berkata, "Tentu saja ilmu pedang Put-ji Supekmu sangat bagus,
hanya sayang kelewat banyak kembangan hingga tidak banyak
kegunaannya." Karena itu sewaktu hari ini Lan Sui-leng mengajak adiknya
bertanding, sedikit banyak dia membawa 'misi' untuk membuktikan
kebenaran itu. Dan sekarang, ketika dia mulai membayangkan kembali
perkataan gurunya itu, rasa curiga segera muncul di hati kecilnya,
pikirnya, 'Benarkah ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat yang
dipelajari adik hanya bagus dipandang namun tidak ada gunanya"
Tapi mengapa dia mampu merontokkan pedang bajaku hanya
mengandalkan kutungan pedang bambu" Kenapa kemampuan
semacam ini dibilang hanya indah dilihat tapi tidak berguna" Ehmm,
mungkin saja hal ini dikarenakan konsentrasinya sedang kalut hari
ini." Tentu saja dia tidak menyangka kalau keberhasilan adiknya
membuat pedangnya terlepas dari tangan bukan karena kelihaian
ilmu pedangnya, melainkan karena dia telah menggunakan tenaga
dalam ajaran Ciangbun Sucouwnya.
Oleh karena dia telah berjanji dengan gurunya untuk tidak
menceritakan rahasia ini kepada adiknya, terpaksa rahasia itu hanya
disimpan di dalam hati. "Ehh, Cici, apa yang sedang kau pikirkan?" tiba-tiba terdengar
Lan Giok-keng menegur. "Aah tidak apa-apa, aku sedang berpikir ilmu silat yang dipelajari
Ciangbun Sucouw adalah ilmu silat Bu-tong-pay yang paling murni,
kenapa kau tidak minta petunjuk beberapa jurus ilmu pedang
darinya." "Memangnya ilmu pedang milik Bu-si Tianglo bukan Thay-khekkiam
murni" Sewaktu Sucouw suruh aku belajar pedang dari Gihu,
dia justru berpendapat karena ilmu pedangnya belum bisa
menandingi kehebatan Sutenya. Aku rasa kegagalanku hari ini
hanya disebabkan latihanku kurang sempurna, biar nanti aku
tanyakan lagi ke Gihu, besok kita coba bertarung lagi."
Baru berbicara sampai di situ, mendadak terlihat ada seorang
Tosu muda berlarian mendekat dengan napas terengah-engah,
teriaknya, "Ternyata kalian berdua bersembunyi di sini, kalian tahu,
sudah terjadi peristiwa besar, tidak nyana kalian masih ada minat
bermain di sini!" Orang ini berasal satu angkatan dengan mereka berdua, bergelar
Bu-seng. Dalam anggapan Lan Sui-leng, Bu-seng masih terhitung salah
satu 'hidung kerbau kecil', di waktu biasa dia sering menggoda Tosu
cilik ini. Melihat kepanikan Tosu itu, Lan Sui-leng segera menegur dengan
nada tidak senang, "Peristiwa besar apa yang telah terjadi" Kenapa
kelakuanmu seperti orang panik?"
"Put-coat Supek telah kembali!"
"Dia toh bukan turun gunung untuk kembali ke kehidupan
preman, apa anehnya kembali ke gunung?"
"Karena dia pulang dengan digotong orang!"
"Kenapa dia kembali dengan digotong orang?" tidak tahan Lan
Sui-leng berseru dengan wajah melengak.
Bu-seng tertawa geli, sahutnya, "Nonaku, tentu saja karena dia
tidak mampu berjalan sendiri maka butuh digotong orang. Masa soal
begitu juga ditanyakan?"
"Dia terserang penyakit apa?"
"Nonaku, paling tidak ada dua alasan kenapa dia harus pulang
digotong, kesatu, karena terserang penyakit, kedua, karena terluka.
Darimana kau yakin kalau dia terserang penyakit?"
"Masa dia terluka?"
"Tepat sekali! Dia bukan terserang penyakit parah tapi menderita
luka parah!" Lan Sui-leng terperanjat.
Sebagaimana diketahui, Put-coat adalah murid pertama Bu-siang
Cinjin, Ciangbunjin partai Bu-tong, kehebatan ilmu silatnya tidak
terukur, mimpi pun Lan Sui-leng tidak pernah menduga kalau
Supeknya yang berilmu tinggi bakal terluka parah.
"Siapa yang telah melukai dia?"
"Darimana aku tahu, hanya kuketahui orang yang mengantarnya
kembali ke gunung adalah Bouw It-yu dari Yangciu. Begitu tiba di
gunung, Bouw It-yu langsung menghadap Ciangbunjin untuk
melapor, mana dia ada waktu untuk mengobrol dulu denganku.
Nonaku, kau...." Lan Sui-leng tahu kalau Tosu kecil ini suka menambah bumbu
pada ceritanya, tapi dia yakin peristiwa terlukanya Put-coat tidak
bakal dibumbui dengan cerita lain, tanpa terasa nona ini jadi gugup,
segera serunya, "Kau tidak usah merecoki aku lagi, ayoh kita segera
berangkat!" Sambil berkata dia serahkan pakaian yang sedang dijahit itu ke
tangan adiknya. "He Giok-keng Sute, kenapa baju barumu robek?" tanya Bu-seng
tanpa terasa. "Tidak usah cerewet, siapa suruh kau mencampuri urusan di
sini?" tukas Lan Sui-leng.
"Aku toh cuma bertanya, apa salahnya dijawab sambil berjalan?"
"Tadi aku suruh dia memetik bunga, pakaiannya robek karena
terkait duri." Biarpun nona ini polos namun bukan orang bodoh, dia tidak ingin
si hidung kerbau kecil ini tahu kalau secara diam-diam dia sedang
mempelajari ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat dari adiknya.
Lan Giok-keng yang membungkam selama ini tiba-tiba bertanya,
"Apakah Ciangbun Sucouw yang memerintahkan kau mencari kami
berdua?" Bu-seng tertawa tergelak.
"Hahaha, Lan-sute, kau sangka siapa sih dirimu?" serunya, "tidak
salah, di hari biasa Ciangbunjin memang sayang padamu, di saat
senggang mungkin beliau akan mencarimu untuk bermain catur,
tapi saat ini urusan sangat gawat, sekalipun akan mencari orang
untuk diajak berunding, rasanya tidak nanti akan mencari dirimu
bukan?" "Aku tahu, diriku hanya seorang bocah yang tidak tahu urusan.
Lalu kenapa kau tergopoh-gopoh menyu-ruh kami segera pulang?"
Bu-seng kembali tertawa. "Lan-sute," katanya, "kau tidak perlu marah kepadaku, semua
orang mengatakan kau pintar, mana aku berani menuduhmu tidak
tahu urusan. Cuma Put-coat Totiang adalah Supekmu, terlepas kau
tahu urusan atau tidak, setelah Supekmu terluka~parah,
sepantasnya kau segera pulang untuk menengoknya bukan" Masa
kau malah marah padaku, memang kau tidak mengkhawatirkan
keselamatan Supek?" "Siapa bilang aku tidak menguatirkan Supek, aku hanya ingin
tahu, siapa yang memerintahkan kau mencari kami berdua?"
"Sute, kenapa sih kau ngotot menyanyakan persoalan yang sama
sekali tidak penting?" Bu-seng makin keheranan.
"Mungkin kau anggap tidak penting, tapi urusan ini sangat
penting bagiku." "Kenapa?" "Aku harus tahu siapa yang bersikap baik padaku. Siapa yang
baik padaku, aku pun bersikap baik kepadanya."
Jawaban itu sangat kekanak-kanakan, jangankan Bu-seng, Lan
Sui-leng pun termakan oleh tipuan adiknya itu, dia sangka adiknya
benar-benar berpendapat begitu.
Maka kepada Bu-seng segera serunya, "Kenapa kau tidak
menggunakan kesempatan ini untuk menunjukkan jasamu?"
"Aku tidak berani merampas jasa Sucouw," sahut Bu-seng
tertawa. "Ooh, jadi kau mendapat perintah dari Ji-tianglo untuk datang
mencariku?" tanya Lan Giok-keng.
Yang dimaksud Ji-tianglo atau Tianglo kedua adalah Bu-liang
Totiang. Sebagaimana diketahui Toa-tianglo adalah Bu-kek Totiang
yang telah menemui ajalnya pada enam belas tahun berselang. Oleh
sebab itu meski Bu-liang Totiang berada pada urutan kedua, namun
di antara Tianglo yang masih ada sekarang, dia sudah menempati
posisi teratas. Sementara Bu-seng adalah murid Put-pay, murid pertama Buliang
Totiang. "Benar," kata Bu-seng, "dia orang tua memang sangat teliti dan
cermat, begitu tahu Put-coat Supek pulang gunung digotong orang,
dia segera teringat akan dirimu. Pertama, karena Put-coat Supek
adalah angkatan tuamu, kedua, dia pun kuatir gurumu kelewat
sedih lantaran kejadian ini, maka kau diminta mendampingi gurumu
serta menghiburnya."
Lan Sui-leng merasa sangat terharu sekali, ujarnya, "Terus
terang, Sucouwmu ini selalu mendatangkan perasaan aneh bagiku,
tidak disangka dia berpikir begitu cermat khususnya terhadap
angkatan yang lebih muda." Bu-seng tertawa.
Senopati Pamungkas I 16 Kisah Flarion Putera Sang Naga Langit Karya Junaidi Halim Kuda Besi 6

Cari Blog Ini