Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pedang Dari Bu-tong 9

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 9


malam setelah Bu-siang Cinjin meninggal dunia, ayahnya telah
memberitahukan alasan tersebut kepadanya.
"Menurut apa yang kuketahui, Bu-siang Suheng pernah membuat
sebuah catatan atas semua penelitian dan hasil latihannya selama
puluhan tahun, dalam kitab catatan itu bukan saja mencakup Simhoat
tenaga dalam tingkat atas, bahkan berisikan juga ilmu rahasia
yang diwariskan Couwsu Thio Cinjin dimasa lampau yang kemudian
dirapikan dan diurai olehnya dalam sebuah teori pedang. Sekarang
aku telah mewarisi semua benda miliknya, namun hanya kitab
pusaka itu yang tidak nampak."
"Hah" Mungkinkah kitab pusaka itu disembunyikan Tojin bisu
tuli?" tanya Bouw It-yu terperanjat.
"Tojin bisu tuli sudah puluhan tahun mengabdi dan melayani Busiang
Suheng, dia setia dan dapat diandalkan, aku percaya akan
kejujuran hatinya." "Lantas kenapa bisa hilang?"
"Menurut 'penuturan' Tojin bisu tuli, kelihatannya Bu-siang Cinjin
pernah menyerahkan sebuah gulungan kertas kepada Lan Giokkeng,
bila aku tidak salah mengartikan 'bahasa isyarat' nya,
kemungkinan besar gulungan kertas itu berisikan Sim-hoat dan teori
pedang yang ditulis Bu-siang Suheng.
"Aku tidak habis mengerti mengapa Bu-siang Suheng begitu
buru-buru menitahkan Giok-keng segera turun gunung, apalagi
menyerahkan semua hasil penelitian yang dibuatnya selama puluhan
tahun ke tangan seorang bocah yang belum dewasa, kalau
sampai.... kalau sampai benda ini terjatuh ke tangan orang luar,
bukankah kondisi kita jadi sangat berbahaya!"
Karena alasan inilah ayahnya menyerahkan sebuah tugas rahasia
kepadanya untuk menemukan Lan Giok-keng dan menanyakan hal
tersebut hingga jelas. Bila ternyata sim-hoat dan teori pedang
benar-benar dibawa Lan Giok-keng, maka benda-benda tersebut
harus segera diminta kembali dan dibawa pulang ke gunung Butong.
Tentu saja dia tidak menyangka kalau Lan Giok-keng telah
mendapat perintah dari Sucouwnya untuk memusnahkan kitab
catatan itu. Kendatipun alasannya sudah jelas, pelbagai keraguan dan
kecurigaan belum juga lenyap dari benaknya.
Betul, kitab pusaka milik Bu-siang Cinjin memang sangat penting
dan merupakan masalah serius, tapi cepat atau lebih lambat
memperolehnya kembali paling hanya selisih pada resiko yang harus
dihadapi. Berbicara soal untung rugi, apakah berharga pihak Bu-tong-pay
membebaskan Siang Ngo-nio dari segala tuntutan hanya
dikarenakan ingin memperoleh sebuah berita" Tidakkah transaksi
semacam ini kelewat menguntungkan perempuan itu"
Bukan saja Siang Ngo-nio dicurigai terlibat dalam pembunuhan
atas Put-coat, bahkan besar kemungkinan titik terang tentang kasus
pembunuhan atas Bu-kek tianglo maupun Ho Ki-bu sekeluarga bisa
dilacak dan diperoleh dari mulut perempuan ini.
Bila transaksi tidak seimbang semacam ini sampai ketahuan
anggota perguruan lainnya, apakah hal ini tidak bakal menimbulkan
gelombang masalah baru" Apakah ayahnya tidak kuatir posisinya
sebagai ciang-bunjin bakal digoyang orang"
Memang betul, kemungkinan besar para anggota partai bisa
memaklumi "kesulitan" yang dihadapi ketuanya, namun kewibawaan
serta kepercayaan mereka terhadap Ciangbunjin apakah tidak akan
tercoreng gara-gara kasus tersebut" Mengapa ayahnya harus
mengambil resiko dengan menyerempet bahaya yang begitu besar"
Sekalipun terjadi kemungkinan yang terburuk....
kitab pusaka itu benar berada di tangan Lan Giok-keng, garagara
tidak memperoleh petunjuk Siang Ngo-nio, dia gagal
menemukan bocah itu hingga kitab pusaka berhasil dirampas orang.
Apakah hanya dikarenakan persoalan ini lantas kekuatan Bu-tongpay
jadi bertambah lemah"
Bukankah ilmu silat yang dimiliki ayahnya masih setingkat diatas
kehebatan Bu-siang Cinjin" sekalipun orang lain berhasil merampas
kitab pusaka itu, paling banter orang itu hanya bisa melatih diri
hingga setaraf kemampuan Bu-siang Cinjin.
Tentu saja kesemuanya itu hanya berdasarkan pemikiran Bouw
It-yu, namun pemikiran tersebut justru telah menambah kecurigaan
serta keragu-raguannya. Dia tidak berani mencurigai ayahnya mempunyai tujuan pribadi,
tapi diapun tahu kalau ayahnya bukan termasuk orang kolot yang
susah berubah pikiran, terkadang diapun menggunakan sedikit akal
dan siasat untuk mencapai tujuan, namun hal semacam ini tidak
mengurangi kepercayaannya bahwa sang ayah adalah seorang lelaki
sejati. Selama ini dia menjadikan ayahnya sebagai idola, sebagai
panutan, kalau berbicara soal "melakukan langkah sesuai keadaan"
dia yakin kemampuan sendiri bahkan jauh melampaui orang tuanya.
Atau mungkin karena alasan lain" Namun sebagai seorang anak,
tidak mungkin dia mengintrogasi ayahnya, tentu saja kecuali
ayahnya mau bercerita sendiri.
Dalam kebingungan dan kemurungannya, entah mengapa, tibatiba
dia teringat kembali ibunya yang telah meninggal dunia,
teringat perkataan ibunya sesaat menjelang ajalnya tiba.
Ibunya sudah meninggal pada delapan tahun berselang, waktu
itu dia sudah berusia tujuh belas tahun, kalau dibilang sudah
dewasa memang telah dewasa, kalau dibilang masih kecil pun dia
memang masih kecil. Namun paling tidak dia sudah mengerti urusan
dan paham pelbagai masalah.
Ayah dan ibunya selalu saling mencinta dan menyayang, mereka
tersohor dalam dunia persilatan sebagai sepasang suami istri yang
harmonis. Orang lain mungkin tidak tahu tapi dia dapat merasakan bahwa
pada dua tiga tahun terakhir sikap serta hubungan kedua orang
tuanya sedikit mengalami perubahan.
Mula-mula dia menjumpai kalau senyuman yang biasanya
menghiasi wajah ibunya lambat laun semakin jarang dijumpai,
kemudian ibunya semakin jarang berbicara. Bahkan terkadang tanpa
sengaja dia jumpai wajah ibunya seolah dilapisi oleh salju yang
tebal, setiap kali ayahnya tertawa dihadapannya, ibunya baru
menunjukkan secerca senyuman.
Ayahnya adalah Tiong-ciu Tayhiap, pergaulannya sangat luas,
tidak dapat disangkal dia harus sering melakukan perjalanan dalam
dunia persilatan. Kalau dulunya, meski sang ayah sering keluar rumah, namun hari
hari berada dirumah jauh lebih banyak, maka sejak dua, tiga tahun
menjelang kematian ibunya, keadaan justru kebalikan, hari-hari
ayahnya berada dirumah dalam setahun terkadang hanya tiga,
empat bulan saja. Malah pernah dalam setahun dia seolah lupa
untuk merayakan tahun baru di rumah.
Pada saat ibunya wafat, dia sedang duduk menemaninya di
pinggir ranjang, waktu itu ayahnya sedang memasak obat diluar.
Tiba-tiba ibunya mengucapkan kata-kata yang sangat
membingungkan, "Sebenarnya ayahmu tidak terlalu jahat, kau harus
percaya kalau dia adalah orang baik!"
Padahal sejak tahu urusan, ayah adalah idolanya, belum pernah
dia mencurigai ayahnya sebagai orang jahat.
Ketika ibunya selesai menyampaikan perkataan itu, tidak lama
kemudian dia lalu putus nyawa. Yang tersisa pun hanya sebuah
teka-teki yang tidak terjawabkan.
Segulung angin gunung berhembus lewat menyadarkan dia dari
lamunan, pikirnya, "Ehh.... kenapa aku jadi teringat urusan itu?"
Mendadak satu ingatan yang sangat mengejutkan melintas lewat
dalam benaknya, lamat-lamat dia dapat merasakan bahwa apa yang
diucapkan ibunya menje-lang mati, seolah ada sangkut pautnya
dengan tindakan ayahnya 'membebaskan' Siang Ngo-nio kali ini.
"Aaaai, mengapa aku punya pikiran begitu" Tentu saja demi
kepentingan umum ayah baru membebaskan perempuan siluman
itu, kenapa pikiranku jadi melan-tur!"
Sementara dia masih murung bercampur bimbang, mendadak
terdengar ada orang sedang memanggil namanya.
"Bouw-susiok, Bouw-susiok!" tahu-tahu orang itu sudah muncul
dihadapannya. Dia adalah seorang pemuda kurus ceking yang berwajah bersih,
sepasang mata yang hitam jeli sangat menarik perhatiannya.
Dia seakan merasa kalau pemuda itu pernah dijumpai di suatu
tempat, namun untuk sesaat tidak teringat siapakah dia. Maklum,
anggota perguruan seusia pemuda ini memang ratusan orang
jumlahnya di gunung Bu-tong.
"Kau murid dari Suheng yang mana?" sapa Bouw It-yu.
"Aku pun tidak tahu apakah memanggil susiok kepadamu
kelewatan atau tidak, aku hanya seorang murid tidak resmi dari Puthui
Suthay." "Gurumu adalah Put-hui Suthay?" tanya Bouw It-yu melengak.
Tiba tiba pemuda itu tertawa cekikikan, serunya, "Benar, aku
bernama Lan Sui-leng, encinya Lan Giok-keng."
Seketika Bouw It-yu teringat kembali dengan gadis itu, katanya
kemudian, "Tidak heran kalau terasa sangat dikenal, ternyata kau
adalah nona Lan!" Lan Sui-leng memang polos dan nakal, dia merasa sangat girang
melihat susiok kecilnya tidak bisa membedakan kalau dia adalah
gadis yang menyamar jadi lelaki, ujarnya lagi, "Untuk menghindari
ketidak leluasan sewaktu berkelana seorang diri di dunia persilatan,
maka aku sengaja menyaru sebagai seorang pria. Bouw-susiok,
menurutmu mirip tidak penyamaranku ini?"
"Mirip, mirip sekali," tak tahan Bouw It-yu ikut tertawa geli,
"kalau semisal suaramu sedikit lebih kasar, mungkin penyaruanmu
jauh lebih sempurna."
"Terima kasih atas petunjuk susiok!" seru Lan Sui-leng, kemudian
ujarnya lagi dengan suara parau, "Bouw-susiok, tahukah kau
mengapa aku harus menyaru sebagai seorang pria dan turun
gunung?" Sebetulnya Bouw It-yu sudah dapat menduga beberapa bagian,
tapi sengaja tanyanya, "Aku justru ingin bertanya kepadamu."
"Aku turun gunung karena hendak mencari adikku, entah apa
sebabnya tiba-tiba adikku pergi meninggalkan rumah, aku jadi
sangat kuatir. Bouw-susiok, tahukah kau...."
"Aku tahu tentang kepergian adikmu itu, hanya saja tidak
mengetahui apa sebabnya."
Berhubung pemuda itu adalah putra Ciangbunjin baru, Lan Suileng
boleh dibilang menaruh kepercayaan penuh kepadanya,
karenanya meski ada kecurigaan dan keraguan, dia tidak berani
mengungkapnya keluar. Diam diam pikirnya, "Heran, bukankah Bu-siang Cinjin telah
menyerahkan kedudukan Ciangbunjin kepada ayahnya, masa diapun
tidak tahu penyebab kepergian adikku" Rasanya kalau ingin tahu
kejadian yang sebenarnya, aku harus bertemu dulu dengan adikku."
Sesudah berpikir sejenak, kembali tanyanya, "Bouw-susiok,
kenalanmu pasti banyak, apakah kau berhasil mendapat kabar
tentang dirinya?" "Terus terang, aku sendiripun sedang menjalankan perintah
ayahku untuk melacak jejak adikmu, tapi hingga kini masih belum
berhasil menemukan kabar beritanya."
Karena telah berbohong, dalam hati kecilnya segera muncul
perasaan menyesal, tapi pikiran lain segera melintas, bagaimana
pun kaum wanita tidak boleh memasuki kuil Siau-lim, daripada gadis
itu mencari masalah, bukankah lebih baik dipaksa pulang dulu ke
gunung. Berpikir begitu, diapun kembali berkata, "Nona Lan, biarpun
hingga sekarang belum ada kabar berita tentang adikmu, tapi
kaupun tidak usah kuatir. Dalam dunia persilatan dia tidak punya
musuh, lagipula dasar kungfunya sudah terhitung bagus, aku yakin
dia tidak akan menjumpai mara bahaya. Kini sudah ada Bu-si tianglo
dan aku yang pergi mencarinya, kurang leluasa bila kau berkelana
seorang diri dalam dunia persilatan, menurutku, lebih baik baliklah
dulu ke gunung sambil menunggu kabar berita kami."
"Siapa bilang tidak ada" Dia punya musuh besar. Pada hari kedua
setelah dia turun gunung, rumah kami kedatangan seorang
perempuan siluman yang bernama Siang Ngo-nio, perempuan itu
sedang mencari jejaknya pula."
"Darimana kau bisa tahu kalau perempuan siluman itu bernama
Siang Ngo-nio?" "Suhuku yang bilang, malah beliau sempat bertarung melawan
perempuan siluman itu."
Agar bisa memaksa gadis itu pulang ke gunung, Bouw It-yu pun
berpikir, "Ada baiknya aku beritahu kejadian yang sebenarnya, biar
hatinya lebih tenteram."
Maka ujarnya, "Kau tidak usah kuatir, Siang Ngo-nio sudah tidak
bakal mencari adikmu lagi."
"Kenapa?" "Dia adalah istri simpanan Tong Ji-sianseng, kau tahu bukan
siapakah Tong Ji-sianseng itu" Dia adalah jago senjata rahasia yang
paling lihay di seantero jagad, ketika mengetahui Siang Ngo-nio
melakukan keonaran di gunung Bu-tong, dalam gusarnya dia telah
menghajar nya hingga mati."
"Aku pernah mendengar Suhu bercerita tentang Tong ji-sianseng,
apa yang dimaksud istri simpanan?" Bouw It-yu tertawa lebar.
"Kau tidak perlu tahu apa arti istri simpanan, pokoknya Siang
Ngo-nio sudah mati," katanya.
"Aaah, kalau benar demikian, aku pun merasa sangat lega!" seru
Lan Sui-leng kegirangan. "Tentu saja benar, Bu-si tianglo menyaksikan dengan mata
kepala sendiri." "Bukannya aku tidak percaya, tapi akupun berharap bisa
menemukan adikku." "Kami pasti dapat mencarinya kembali, lebih baik kau pulanglah
lebih dulu." Diam-diam Lan Sui-leng berpikir, "Ayah angkat adik Keng
menaruh niat jahat terhadapnya, Suhu pernah berpesan agar tidak
semba-rangan menyinggung masalah ini. Aku lihat meski Bouwsusiok
baik orangnya, mungkin akupun tidak boleh memberitahukan
hal ini kepadanya." Menyaksikan gadis itu termangu-mangu, apalagi melihat
wajahnya yang lucu dan menggemaskan, tidak tahan Bouw It-yu
berkata lagi sambil tertawa, "Hey, apa lagi yang kau pikirkan dalam
otak kecilmu itu?" "Tidak apa apa. Aku hanya berpikir, dengan susah payah
akhirnya bisa keluar rumah, paling tidak aku harus bermain satudua
hari dulu sebelum pulang."
"Baiklah, kelihatannya aku susah membujuki orang binal macam
kau, bermainlah barang satu dua hari lagi, tapi jangan sampai lupa
pulang ke gunung." "Bouw-susiok, aku lihat kau mirip sekali dengan adikku," seru Lan
Sui-leng sambil tertawa. "Mirip adikmu?" tanya Bouw It-yu tercengang.
"Tahukah kau, biarpun dia adalah adikku, tapi jauh lebih cerdas
dan sering mengurusi aku."


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bouw It-yu tidak kuasa menahan rasa gelinya, dia tertawa
terbahak-bahak. "Hahahaha.... bukannya aku ingin mengurusi dirimu, takutnya
orang tuamu jadi kuatir. Aku mengerti, yang kau sebut dua hari
pasti bohong, tapi aku tidak berharap kau kelayapan di luar melebihi
dua puluh hari." "Sudah tahu susiok cilik!" seru Lan Sui-leng, mendadak tanyanya
lagi, "susiok cilik, kau sendiri hendak ke mana?"
Tentu saja Bouw It-yu tidak dapat memberitahukan tujuannya ke
kuil Siau-lim-si, cepat katanya, "Aku hendak melaksanakan sebuah
tugas penting, maaf kalau tidak bisa membawa serta dirimu."
"Aku tidak pernah mengatakan akan ikut denganmu, hanya ingin
tahu saja, mungkin kalau kita searah."
"Aku hendak menuju ke utara, kebetulan bertolak belakang
dengan arah menuju gunung Bu-tong."
Tiba tiba terdengar seseorang berkata dingin, "Sungguh tidak
nyana putra seorang Ciangbunjin Bu-tong-pay berani membohongi
seorang boanpwee, tidak tahu malu!"
Bersama dengan selesainya perkataan itu, seseorang telah
muncul dihadapan mereka, dia bukan lain adalah Tonghong Liang
yang pernah naik bukit Bu-tong untuk menantang berduel.
Sambil tertawa dingin Bouw It-yu segera berkata, "Lebih baik kau
tidak usah mencampuri urusan partai Bu-tong kami. Tentu kau tahu
dengan jelas bukan bahwa keberhasilanmu pergi meninggalkan
bukit Bu-tong dengan selamat bukan lantaran mengandalkan
kemampuanmu! Bukannya kami mengharapkan rasa terima
kasihmu, harapannya adalah jangan kau recoki terus murid-murid
perguruan kami!" Di balik perkataan tersisip perkataan lain, dengan gamblang dia
menunjukkan kalau diapun tahu bila Tonghong Liang telah
'merecoki' Lan Giok-keng.
Tonghong Liang segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... maaf sekali, kebetulan aku termasuk orang yang
tidak tahu diri. Aku paling tidak tahan menyaksikan ada orang
berani membohongi seorang nona yang masih polos, lagipula yang
mengalahkan aku di gunung Bu-tong waktu itupun bukan dirimu!"
Dari malu Bouw It-yu jadi naik pitam, bentaknya, "Baiklah, kalau
begitu aku harus menjajal sehebat apa kepandaian silatmu!"
"Sangat kebetulan! Tapi bagaimana kalau kau kalah?" ejek
Tonghong Liang sambil tertawa.
"Kita bicara lagi setelah kalah nanti!" bentak Bouw It-yu semakin
gusar. "Hahahaha.... lebih baik ditetapkan sekarang saja. Aku hanya
berharap kau bicara sejujurnya dengan nona cilik ini!"
"Ngaco belo, nona Lan, kau jangan termakan hasutannya!"
bentak Bouw It-yu cepat. "Hahahaha.... ketahuan bohongnya!"
"Tentu saja aku tidak akan mempercayainya!" seru Lan Sui-leng
tiba-tiba, "Bouw-susiok, lebih baik cepat usir orang ini! Jangan
biarkan dia bicara sembarangan lagi disini!"
"Sudah dengar belum perkataannya!" hardik Bouw It-yu, "jangan
banyak bicara lagi, ayoh menyerang!"
Dalam pada itu dia sudah meloloskan pedangnya.
Tonghong Liang sama sekali tidak mencabut pedangnya, sambil
mengayunkan sarung pedang di hadapan Bouw It-yu, katanya,
"Tidak kusangka kau begitu bandel dan mau menang sendiri,
hmmm, setelah menderita kekalahan nanti, jangan salahkan kalau
aku bakal menuntut lebih banyak."
"Kurangajar, kau kelewat menghina aku!" seru Bouw It-yu sangat
gusar, "terserah apa pun yang akan kau perbuat, aku tetap akan
melayaninya!" Karena sadar kalau lawannya sangat lihay, begitu turun tangan
dia langsung menggunakan jurus jurus pamungkas dari ilmu pedang
Lian-huan-toh-mia-kiam-hoat.
Tonghong Liang sama sekali tidak menarik tangannya walaupun
menyaksikan mata pedang lawan menusuk ke arah pergelangan
tangan kanannya, sarung pedangnya dibabat ke bawah
menciptakan bunga pedang, langsung menusuk kaki musuh.
Jangan dilihat pedangnya masih dalam sarung, seandainya
sampai tertusuk, niscaya kaki itu bakal cacat seumur hidup dan
menjadi pincang. Sebetulnya ilmu pedang Lian-huan-toh-beng-kiam-hoat
mengandalkan gerakan cepat, tidak disangka jurus serangan yang
digunakan Tonghong Liang jauh lebih cepat, biarpun menyerang
belakangan ternyata ancamannya tiba duluan.
Pertarungan antara dua jago tangguh, selisihnya terkadang
memang amat minim. Serangan Tonghong Liang ini merupakan
ancaman serius yang memaksa musuh harus menyelamatkan diri,
terpaksa Bouw It-yu menarik kakinya, permainan pedangnya pun
tiba-tiba berubah, dengan membentuk lingkaran busur dia berbalik
menggulung kaki lawan. Dari ilmu pedang Lian-huan-toh-beng-kiam,
kini dia menyerang dengan jurus Thay-kek-kiam-hoat.
Kalau ilmu pedang Lian-huan-toh-beng-kiam-hoat mengandalkan
kecepatan maka ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat justru
mengandalkan ketenangan untuk mengatasi gerak, dengan lembut
mengatasi keras, teori serta sifatnya sama sekali bertolak belakang.
Perubahan yang dilakukan secara mendadak ini ibarat seekor
kuda yang sedang berlarian kencang tiba-tiba saja memperlambat
gerak langkahnya, dapat dibayangkan tingkat kesulitan yang
dihadapi. Dengan mata terbelalak lantaran kagum Lan Sui-leng berseru,
"Hebat, hebat, sungguh luar biasa, inilah yang benar-benar disebut
perubahan tidak terduga!"
Belum habis ingatan itu melintas lewat, tampak Tonghong Liang
nyaris menyatu dengan pedangnya, bagai sebuah bianglala tahutahu
sudah menerobos masuk ke balik lingkaran. Bukan saja gerak
jurusnya sangat berbahaya, kegarangannya tidak terkirakan.
Bila kedua belah pihak sama-sama tidak merubah gerakan
serangannya, bagi Tonghong Liang paling-paling lengan kanannya
akan menderita luka, tapi jurus serangan Pek-hong-koan-jit
(Bianglala putih menembus matahari) yang dia lancarkan segera
akan menembusi tenggorokan Bouw It-yu.
Tidak terkirakan rasa kaget Lan Sui-leng menyaksi kan kejadian
ini, sakit ngerinya dia sampai tidak mampu berkata-kata.
"Tiap-cui-hu-kim (Tumpukan lembayung hijau mengapung)!"
tiba-tiba terdengar Tonghong Liang membentak nyaring.
Sambil memutar tubuh dan melangkah melingkar, mata pedang
Bouw It-yu berkelebat miring ke samping, ujung senjatanya
bergetar keras menciptakan berkuntum kuntum bunga pedang,
seketika cahaya hijau menyelimuti angkasa. Benar saja, dia
menggunakan jurus Tiap-cui-hu-kim (Tumpukan lembayung hijau
mengapung). Padahal Bouw It-yu memang berniat menggunakan jurus
serangan ini, sebab hanya jurus itu yang bisa memunahkan
ancaman serangan musuh yang dahsyat.
Tapi sebelum dilakukan ternyata Tonghong Liang telah berteriak
duluan, bagi orang awam kejadian ini malah memberi kesan seakan
dia sedang mendapat petunjuk.
Selain terperanjat Bouw It-yu merasa mendongkol sekali. Dia
terperanjat karena tidak menyangka kalau pihak lawan begitu
menguasai ilmu pedangnya, mendongkol karena sikap lawan
memberi kesan seolah seorang guru sedang memberi petunjuk
kepada muridnya. Sudah jelas pihak lawan menggunakan akal licik
itu untuk membuatnya jengkel, apa daya biar punya mulutpun saat
ini dia tidak sanggup berkata apa-apa.
Sementara itu Tonghong Liang kembali melancarkan serangkaian
serangan sambil berseru berulang kali, "Hian-nio-hua-sah (Burung
hitam mengayuh pasir), Kua-hau-teng-san (Menunggang harimau
mendaki bukit), So-chin-pi-kiam (So Chin memikul pedang)...."
Hampir setiap gerak serangan yang akan digunakan Bouw It-yu
telah dia teriakkan terlebih dulu.
"Aku sengaja tidak mau ikuti teriakanmu!" pikir Bouw It-yu
dengan perasaan jengkel. Serangan yang seharusnya menggunakan jurus So-chin-pi-kiam
tiba-tiba saja dirubah menjadi jurus Thio-siong-sian-toh (Thio Siong
mempersembahkan peta), kalau jurus yang pertama harus
membalikkan pedangnya maka jurus yang kedua justru merupakan
serangan lurus, biarpun hampir mirip gerakannya, berbeda sekali
manfaat serta kegunaannya.
"Breeet....!" tidak sampai Tonghong Liang meloloskan
pedangnya, ujung baju Bouw It-yu tahu-tahu sudah tersayat
sebagian. "Nah itu dia akibat kalau tidak menurut!" bentaknya, "mencari
penyakit buat diri sendiri!"
Bouw It-yu mendengus. "Hmm, katak dalam tempurung tapi lagaknya sok luar biasa,
akan kusuruh kau rasakan kelihayan ilmu silat Bu-tong-pay kami!"
serunya. Tanpa memperdulikan lagi teriakan Tonghong Liang yang
menyebutkan nama jurus serangannya, dalam waktu singkat dia
telah melancarkan tujuh lingkaran cahaya.
Inilah jurus serangan hasil ciptaan Bouw Ciong-long, ayahnya,
yang disebut Ciong-biau-ci-bun (Pintu dari semua kecerdasan). Dia
telah menyatukan teori pedang yang diwariskan Thio Sam-hong
dengan semua inti kehebatan Tay-kek-kiam ke dalam jurus tersebut.
Ke tujuh lingkaran cahaya itu ada yang besar ada yang kecil, ada
yang mulus ada pula yang melengkung, dibalik lingkaran terdapat
lingkaran lain, perubahannya tidak terhingga.
"Wah, ternyata kemampuan yang dimiliki putra Bouw Ciong-long
hebat juga!" seru Tonghong Liang memuji.
Lan Sui-leng ikut gembira menyaksikan kejadian itu, sambil
bertepuk tangan dan tertawa serunya, "Sekarang sudah tahu
lihaynya bukan, hmm, mau kulihat obrolan apa lagi yang hendak
kau sampaikan?" Biarpun sedang bertarung sengit, Tonghong Liang sama sekali
tidak kelewatan setiap ucapan Lan Sui-leng, jawabnya sambil
tersenyum, "Hmm, tidak seberapa hebat!"
Tiba-tiba permainan pedangnya kembali berubah, sama seperti
musuhnya, dia pun menciptakan enam buah lingkaran. Hanya
bedanya serangan yang dia gunakan merupakan kebalikan sehingga
lingkaran pedang yang muncul pun bergerak terbalik, otomatis
kekuatannya pun bergerak ke arah yang berlawanan.
Sebetulnya ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang dipelajari Lan
Sui-leng baru permulaan, pengetahuannya soal ilmu pedang ini
masih sangat minim, biar begitu dia dapat melihat dengan jelas
kalau jurus pedang yang digunakan kedua orang itu mesti satu
dengan yang lain berbalik, namun semuanya tidak terlepas dari arti
pedang yang termakna dalam Thay-kek-kiam-hoat.
Malah secara lamat-lamat diapun dapat merasakan: meski satu
berputar searah jarum jam dan yang lain kebalikannya, namun
masing-masing memiliki kehebatan sendiri-sendiri. Hanya saja kalau
ditanya dimana letak kehebatannya, dia tidak mampu menjawabnya
dengan pasti. Satu perasaan aneh segera terlintas dalam benaknya, pikirnya,
"Aneh, kenapa jurus yang mereka gunakan begitu mirip, ibarat dua
saudara kembar saja" Lelaki yang bernama Tonghong Liang ini
benar benar-amat cerdas, tampaknya dia bukan sekedar menirukan
gerakan lawan dengan begitu saja, begitu Bouw-susiok
mengeluarkan jurusnya, dengan cepat dia sudah dapat meraba
makna pedang yang terkandung."
Belum selesai ingatan tersebut melintas, menang kalah sudah
ketahuan hasilnya. Sebetulnya kedua sistim ilmu pedang itu masing-masing memiliki
keistimewaan sendiri, namun mimpi pun Bouw It-yu tidak
menyangka kalau pihak lawan pun pandai menggunakan jurus
tersebut, dalam posisi tenaga dalamnya yang masih kalah jauh dari
Tonghong Liang, hatinya jadi terkesiap.
"Traaang....!" tahu-tahu pedangnya sudah terlepas dari
genggamannya. Terdengar Tonghong Liang tertawa terbahak-bahak,
"Hahahaha.... sebetulnya jurus ciptaan ayahmu terhitung hebat
juga, sayang kemampuan dan kcma-tanganmu masih jauh
ketinggalan bila dibandingkan ayahmu!"
Menurut peraturan yang berlaku, senjata yang terlepas dari
genggaman sudah dianggap sebagai pihak yang asor. Siapa tahu
tiba-tiba Bouw It-yu melambung ke udara, sebelum pedangnya
terjatuh ke tanah dia telah menyambarnya kembali, kemudian baru
tubuhnya melayang turun ke bawah.
"Aaaah!" jerit Lan Sui-leng kaget, dia seolah baru tersadar
kembali dari lamunannya. Ternyata jurus serangan yang digunakan Bouw It-yu tidak lain
adalah Pek-hok-liang-ci. Ketika bertarung melawan adiknya di
gunung Bu-tong tempo hari, selagi menggunakan jurus Pek-hokliangci inilah nyaris adiknya terluka ditangannya.
Tapi sekarang, ketika jurus itu digunakan Bouw It-yu ternyata
menghasilkan daya serangan yang luar biasa, tidak tahan didalam
hatinya berpekik, "Oooh, ternyata beginilah cara menggunakan
jurus Pek-hok-liang-ci!"
Gerakan yang dilakukan kedua belah pihak amat cepat,
sementara nona itu masih memuji akan kehebatan jurus Pek-hokliangci yang digunakan Bouw It-yu, Tonghong Liang telah
melancarkan serangan balasan, jurus yang digunakan pemuda itu
seketika membuatnya terbelalak dan tidak mampu berbicara.
Ternyata jurus serangan yang digunakan Tonghong Liang pun
jurus Pek-hok-liang-ci! Bahkan gaya dan gerakannya mirip sekali
dengan gerakan yang digunakan adiknya waktu itu.
"Traaanngg....!" diiringi dentingan nyaring, terlihat percikan
bunga api berhamburan kemana-mana.
Kali ini, pedang milik Bouw It-yu berhasil dipatahkan oleh senjata
Tonghong Liang yang belum sampai diloloskan dari sarungnya. Dan
Lan Sui-leng segera dapat merasakan kalau jurus itu agaknya telah
dilakukan sedikit perubahan oleh Tonghong Liang.
Sayang waktu berlangsung amat singkat, belum lagi dia dapat
memastikan apa yang diduga, tiba-tiba dari balik kegelapan malam
terlihat cahaya kilat berkelebat lewat, belum sempat melihat dengan
pasti benda apakah itu, tahu-tahu bayangan yang buram itu sudah
lenyap dari depan mata. Perubahan itu muncul sangat mendadak dan perubahan yang
terjadi di depan mata tidak memberi kesempatan baginya untuk
kesemsem oleh kehebatan ilmu pedang. Pada hakekatnya tiada
peluang lagi baginya untuk mengasah diri.
Bagaikan sebuah layang-layang yang putus benang tubuh Bouw
It-yu terpental sejauh beberapa kaki lebih. Meskipun tidak sampai
menjadi bule-bule yang menggelinding di tanah namun sewaktu
ujung kakinya menyentuh tanah, dia sudah tidak sanggup
mengendalikan tubuhnya lagi yang gontai dan sempoyongan persis
seperti api lilin yang dipermainkan angin.
"Kau pasti bisa membayangkan bukan apa akibatnya bila aku
tidak menahan diri dalam permainan jurus ini," ujar Tonghong Liang
dingin, "hmm! Mengapa belum juga kau bicara jujur dengan nona


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cilik itu?" "Bagi seorang lelaki sejati lebih baik mati daripada dihina," kata
Bouw It-yu dengan suara parau, "lebih baik bunuhlah aku!"
Tonghong Liang tertawa dingin.
"Seorang lelaki sejati" Hmm, seorang lelaki sejati pun berbohong
terhadap nona cilik?" ejeknya.
"Kau tidak usah memaksa susiokku, aku tidak bakal percaya
dengan omongan setanmu!" jerit Lan Sui-leng.
"Nona cilik, kelewat dini kau mengucapkan perkataan semacam
itu. Masalahnya saja belum jelas, dari mana bisa kau pastikan kalau
ucapanku bohong semua" Tapi aku pun tidak akan memaksamu
sekarang, mau percaya boleh, tidak percaya pun terserah."
Bicara sampai disitu diapun berpaling kembali, katanya lebih
lanjut setelah mendengus, "Seorang lelaki sejati tahu membedakan
mana budi mana dendam, akupun tidak akan menyangkal akan
semua kenyataan. Benar, disaat aku berada di gunung Bu-tong
tempo hari, ayahmu telah memberi kesempatan hidup kepadaku.
Mengingat budi ayahmu itu, tentu saja akupun harus membiarkan
kau pergi dengan selamat."
Hijau membesi paras muka Bouw It-yu, tiba-tiba dia
memuntahkan darah segar. Dengan perasaan terkejut buru-buru Lan Sui-leng berlari
mendekat, tanyanya cemas, "Susiok, kenapa kau?"
Bouw It-yu sama sekali tidak ambil perduli, dia membalikkan
tubuh dan beranjak pergi dari situ.
Kini tinggal Lan Sui-leng seorang masih berdiri termangu dengan
perasaan rikuh, serba salah dan bimbang.
"Nona Lan," ujar Tonghong Liang kemudian, "kau mau percaya
boleh, tidak mau percaya pun tidak mengapa, sebenarnya aku
adalah sahabat karib adikmu. Bila ingin mengetahui kabar berita
tentang adikmu, mari kita melakukan perjalanan bersama."
"Cisss, tidak tahu malu!" umpat Lan Sui-leng, "yang kuketahui
kau adalah telur busuk, apapun yang kau ucapkan tidak bakalan
kupercaya. Siapa sudi melakukan perjalanan bersama telur busuk
macam kau?" Kemudian teriaknya keras keras, "Bouw-susiok, tunggu aku!"
Sayang Bouw It-yu sudah pergi jauh.
Tonghong Liang tertawa terbahak-bahak, katanya, "Perkataanmu
ada benarnya juga, aku memang telur busuk, tapi Bouw-susiok mu
itu jauh lebih busuk ketimbang aku! Hahahaha...."
Bicara sampai disini mendadak dia meninggikan nada suaranya
seraya membentak, "Bouw It-yu, dengarkan baik-baik! Aku jamin
kau bisa pulang dengan selamat, tapi hanya mengijinkan kau
kembali ke gunung Bu-tong dan melarang mu menuju kuil Siau-limsi!
Bila kau tidak menuruti perkataanku, hmm, kalau sampai
bertemu lagi di kemudian hari, jangan salahkan kalau aku tidak
menjamin keselamatan-mu!"
Tiada jawaban dari kejauhan, entah Bouw It-yu sempat
mendengar teriakan itu atau tidak"
Tapi Lan Sui-leng dapat mendengar semua teriak-an itu dengan
jelas, pikirnya, "Aneh, mengapa dia menyinggung soal kuil Siau-limsi?"
"Nona Lan," kembali Tonghong Liang berkata, "perkataanku
sudah kusampaikan dengan jelas, harap kau pikirkan sekali lagi...."
"Tidak usah dipikirkan lagi, cepat menggelinding dari harapanku!"
Kembali Tonghong Liang menghela napas panjang.
"Aaaai, baik-baik diberi petunjuk, kau malah tidak percaya. Yaa
sudahlah, kalau enggan mengikuti aku, biar aku pergi sendiri."
"Cepatlah pergi mampus!"
Setelah mengumpat Tonghong Liang, timbul perasaan takut di
hati kecilnya, dia kuatir Tonghong Liang secara tiba-tiba
menangkapnya, maka tergopoh-gopoh kabur meninggalkan tempat
itu. Biarpun di mulut dia berkata "tidak akan memikirkannya" namun
dalam hati kecilnya nona itu tetap memikirkan apa yang barusan
didengar. "Mengapa dia menyinggung soal kuil Siau-lim-si" Jangan-jangan
adikku memang berada di Siau-lim-si" Tapi mau apa adik pergi ke
sana" Dia adalah cucu murid kesayangan Ciangbunjin, seharusnya
dia lebih memahami urusan perguruan ketimbang aku, kenapa
malah tidak memikirkan soal pantangan dan tabu?"
Berpikir sampai disitu diam-diam dia mengumpat kebodohan
sendiri, pikirnya lebih jauh, "Ahh, dasar budak busuk, kau tolol
amat. Sudah jelas tahu kalau perkataan itu merupakan omongan
setan Tonghong Liang, buat apa kau harus peras otak untuk
memikirkannya?" Dia berlarian tanpa tujuan, lari dengan pikiran bingung, namun
tanpa disadari arah yang dituju sama dengan arah yang diambil
Bouw It-yu, bagaimana pun dia tetap menguatirkan keselamatan
susiok kecilnya ini. Sekalipun dia tahu kalau kepandaian silat yang dimiliki Bouw Ityu
jauh lebih tinggi dari kemampuannya, diapun tidak terlalu
berharap dapat menyusul Siau-susioknya. Namun berhubung
pikirannya terbebani banyak masalah hingga tanpa terasa diapun
berjalan menuju ke arah yang sama.
Tidak disangka setelah berlarian beberapa saat, dia menjumpai
Bouw It-yu berada persis di depannya.
Begitu melihat Bouw It-yu berjalan sempoyongan seolah
menderita luka parah, buru-buru Lan Sui-leng berlari
menghampirinya dan menegur dengan perasaan terkejut, "Siaususiok,
kenapa kau?" "Tidak apa apa, mau apa balik kemari?"
"Siau-susiok!" seru Lan Sui-leng cemberut, "pertanyaanmu lucu
sekali, kalau bukan balik bersamamu, memangnya harus pergi
bersama orang itu" Siau-susiok, kau tidak berbohong bukan, kau
benar-benar tidak terluka?"
Bouw It-yu tertawa paksa.
"Orang itu menuduhku tukang bohong, apakah kau anggap aku
benar-benar suka berbohong?"
"Siau-susiok, aku sama sekali tidak bermaksud begitu!" buru-buru
Lan Sui-leng berseru. "Akupun tahu kalau kau tidak bermaksud begitu. Berarti kau
seharusnya percaya juga bahwa aku sama sekali tidak terluka,
hanya saja.... hanya saja...."
"Hanya saja kenapa?" kembali Lan Sui-leng merasa panik.
"Tampaknya dia menggunakan semacam ilmu sesat, gara-gara
kurang berhati-hati sekarang aku kena dipecundangi. Luka mah
tidak, hanya untuk sementara waktu aku tidak dapat menggunakan
ilmu meringankan tubuhku."
"Hah" Masa ada kepandaian sesat seaneh itu?"
"Tidak ada gunanya kujelaskan tentang kehebatan ilmu silat
tersebut karena kau tidak bakal mengerti. Tapi kaupun tidak perlu
kuatir, setelah beberapa saat kemudian kemampuanku akan- pulih
kembali seperti sediakala."
Ternyata pada bentrokan yang terakhir tadi, tiga buah jalan
darahnya berhasil ditusuk Tonghong Liang.
Penggunaan tenaga dalam yang dilakukan Tonghong Liang
ternyata sangat pas, bukan saja dia tidak menyumbat jalan darah
lawan, namun cukup membuat jalan darah lawannya menjadi kaku
dan kesemutan, hal ini berakibat selama tiga hari dia tidak mampu
lagi mengerahkan tenaga dalamnya.
Karena tenaga dalam tidak dapat digunakan, dengan sendirinya
ilmu meringankan tubuh pun tidak dapat digunakan.
Lan Sui-leng merasa amat tidak tenang, pikirnya, "Kelihatannya
dia agak kesulitan untuk berjalan, dalam keadaan begini perlu ada
seseorang untuk merawat dirinya."
Berpikir begitu, diapun berkata, "Siau-susiok, kesemuanya ini
gara-gara aku...." "Tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu, kau pergilah."
"Aku tidak ingin pergi ke mana-mana, Siau-susiok, mari kuhantar
kau pulang gunung." "Bukankah kau hendak mencari adikmu, dan orang itupun sudah
memberitahukan kepadamu, kenapa kau tidak menanggapi?"
"Orang itu adalah musuh besar perguruan kita, kenapa aku harus
percaya dengan perkataannya" Lagipula dia pun tidak
memberitahukan apa-apa kepadaku, dia hanya mengajakku untuk
pergi bersama. Huuh, aku toh bukan bocah berusia tiga tahun,
memangnya aku mau ditipu dengan begitu saja?"
"Bukankah di dalam ucapannya secara diam-diam dia sudah
memberitahu kalau adikmu berada di kuil Siau-lim-si" Kau tidak
ingin pergi sendiri ke Siau-lim-si untuk melakukan pelacakan?"
"Tidak mungkin, pasti tidak mungkin!"
"Kenapa?" "Suhu pernah bercerita, Sucouw perguruan kita Thio Sam-hong
dulunya pernah menjadi kacung kecil di kuil Siau-lim-si, kemudian
dia meninggalkan kuil dan mendirikan partai sendiri. Dalam kuil
Siau-lim-si terdapat sekelompok hwesio yang cupat pikirannya dan
berjiwa sempit, selama ini mereka menganggap Couwsu sebagai
murid murtad yang berhianat. Sekalipun mereka tidak berani
menuntut Bu-tong-pay secara terang terangan, namun semenjak
Thio Cinjin mendirikan perguruan hingga kini, antara murid Siau-lim
dengan murid Bu-tong selalu terjangkit ganjalan besar. Anak murid
Siau-lim-pay tidak pernah menginjakkan kakinya di bukit Bu-tong,
tentu saja murid Bu-tong pun tidak bakalan menginjakkan kakinya
di kuil Siau-lim-si."
"Sebetulnya masalah tersebut hanya timbul dari ganjalan yang
kemudian berubah jadi semacam tradisi, padahal kedua belah pihak
belum pernah membuat peraturan yang melarang anggota masingmasing
perguruan saling berkunjung atau menyambangi, menurut
apa yang kuketaui, Ciangbunjin generasi ke tiga perguruan kita
pernah berkunjung satu kali ke kuil Siau-lim-si, tentu saja kejadian
ini sudah berlangsung pada seratusan tahun berselang."
Ciangbunjin generasi ke tiga dari Bu-tong-pay tidak lain adalah
leluhurnya yang bernama Bouw Tok-it, satu-satunya Ciangbunjin
yang berasal dari murid preman.
Lan Sui-leng segera berkata, "Adikku tidak lebih hanya seorang
murid tidak ternama dari Bu-tong-pay, mana mungkin bisa
dibandingkan peran seorang Ciangbunjin. Apalagi mau apa dia
datang ke kuil Siau-lim?"
"Oleh karena itu kau tidak percaya dengan perkataan Tonghong
Liang?" "Tentu saja tidak percaya!"
Seakan memikirkan sesuatu, beberapa saat kemudian Bouw It-yu
baru berkata lagi, "Tapi siapa tahu apa yang dia katakan memang
benar!" Lan Sui-leng membelalakkan matanya lebar-lebar, diawasinya
Bouw It-yu dengan wajah tercengang dan bingung.
Buru-buru Bouw It-yu berkata lagi, "Bukannya aku sudah
mengetahui sesuatu, aku hanya berpikir, Tonghong Liang toh sudah
tahu kalau antara Bu-tong-pay dan Siau-lim-pay terdapat ganjalan
hati, kalau memang dia sedang berbohong, mengapa bukan tempat
lain yang dipilih sebaliknya justru menunjuk kuil Siau-lim-si" Banyak
kejadian di dunia ini seringkali berkembang menuju ke arah yang
diluar nalar, oleh sebab itu meski pada mulanya aku kurang
percaya, tapi sekarang perasaan hatiku jadi bimbang dan mulai
curiga." "Sekalipun adikku benar-benar sedang berada di kuil Siau-lim-si,
tidak nanti aku akan ke situ."
"Kenapa?" "Pertama aku takut termakan rencana busuk Tonghong Liang,
kedua dalam kuil Siau-lim-si penghuni nya rata-rata hwesio semua,
aku dengar peraturan yang berlaku di sana amat ketat, mereka
tidak akan mengijinkan seorang wanita memasuki kuil."
"Betul, dalam kuil Siau-lim memang berlaku peraturan tersebut."
"Dan ketiga, aku pikir, meskipun antara Bu-tong dan Siau-lim
terganjal masalah, aku percaya kawanan hwesio itu tidak nanti akan
mencelakai adikku, jadi akupun tidak perlu kuatir lagi."
Biarpun gadis ini polos dan tidak banyak tahu urusan dunia,
namun ke tiga alasan yang dikemukan sangat cengli dan masuk
akal. "Siau-susiok," kembali Lan Sui-leng berkata, "akupun tidak ingin
bermain ke tempat lain lagi, mari kutemani pulang ke gunung."
"Kau takut aku tidak mampu melanjutkan perjalanan hingga
memutuskan untuk tetap tinggal merawat-ku?" tanya Bouw It-yu
sambil tertawa. Merah jengah selembar wajah Lan Sui-leng.
"Biarpun aku tidak punya kemampuan untuk merawatmu, paling
tidak toh lebih baik bila ada seseorang menemanimu sepanjang
jalan," katanya. Padahal sejak awal dia memang berniat begitu.
Dia merasa kekalahan yang dialami Bouw It-yu kali ini semuanya
gara-gara ulah dirinya, sekalipun Bouw It-yu mengatakan tidak
terluka, namun bukankah dalam dua tiga hari mendatang tenaga
dalamnya belum dapat pulih kembali"
Itulah sebabnya dia merasa mempunyai kewajiban untuk
'merawat' paman guru kecilnya ini.
Apalagi "kekalahan yang-diderita Siau-susiok kali ini pasti akan
mendatangkan rasa duka yang mendalam, bila menemaninya
sepanjang perjalananm, bukankah aku bisa menghibur hatinya?"
Bouw It-yu merasa sangat senang, sambil tersenyum kemudian
katanya, "Nona Lan, ternyata kau memang sangat baik, betapa
bahagia hatiku bila mempunyai seorang adik macam kau."
"Akupun berharap mempunyai seorang kakak," sela Lan Sui-leng
sambil tertawa pula, "tapi kalau sampai begitu, kaulah yang berada
dipihak yang dirugikan, dari dulunya seorang paman guru berubah
jadi sederajat dengan aku."
"Padahal usiaku hanya beberapa tahun lebih tua darimu,
bukankah selama ini kaupun memanggilku Siau-susiok?"
"Mau susiok kecil atau bukan, kau tetap paman guruku. Baiklah,
kalau kau tidak suka dengan panggilan ku itu, biar kubuang kata
siau di depannya." Kembali Bouw It-yu tertawa.
"Sekarang kau hanya murid tidak resmi dari Put-hui suci, bila
kumohon ayahku menerimamu sebagai murid, bukankah kaupun
akan berubah menjadi Sumoy ku."
"Mana boleh begitu, bukankah urutan tingkatannya jadi kacau?"
"Peraturan adalah buatan Ciangbunjin, apalagi kau belum pernah
secara resmi mengangkat Put-hui suci sebagai gurumu. Asal kau
membuat jasa untuk perguruan, apalagi kalau ayahku bersedia
menerimamu sebagai muridnya, bukankah kedudukan kita pun jadi
seimbang?" "Aaah, ucapanmu makin lama semakin...." sambil tertawa Lan
Sui-leng tidak melanjutkan kembali kata-katanya.
"Semakin apa?" tanya Bouw It-yu.
Tentu saja Lan Sui-leng tidak berani mengatakan dia kelewat
"ngawur", karena itu ucapan yang sudah berada di bibir segera
ditelan kembali dan diganti dengan kata lain.
"Semakin memikirkan yang bukan-bukan! Aku tidak lebih hanya
seorang murid tidak resmi, hampir semua Suheng suci memiliki
kungfu yang jauh lebih hebat daripada diriku, dengan kemampuan
apa aku bisa membuat jasa untuk perguruan" Susiok, kau tidak


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

usah meledek aku lagi, mari kita segera pulang."
"Aku tidak ingin kau temani aku pulang gunung," ujar Bouw It-yu
dengan wajah serius, "kini, aku hanya memohon kepadamu untuk
melaksanakan satu hal."
Dengan perasaan terkejut buru-buru Lan Sui-leng menyahut,
"Apa pun yang dapat kulakukan pasti akan kulaksanakan, Siaususiok,
perintahkan saja." "Mungkin hanya kau seorang yang dapat melak- sanakan tugas
ini. Aaai.... bagaimana aku harus menerangkannya kepadamu....?"
Dengan tenang Lan Sui-leng menunggu paman gurunya memberi
penjelasan. Selang beberapa saat kemudian Bouw It-yu baru berkata lagi,
"Sebelum kita menyinggung pokok persoalan, terlebih dulu aku ingin
bertanya satu hal kepadamu, tidakkah kau merasa bahwa ilmu
pedang yang dimiliki Tonghong Liang sangat aneh?"
"Benar, memang sedikit agak aneh, sewaktu dia membuat onar
di gunung Bu-tong tempo hari, akupun pernah ikut menyaksikan
permainan ilmu pedangnya, tapi sepertinya jauh berbeda dengan
ilmu pedang yang dia gunakan tadi?"
"Dimana letak perbedaannya?"
"Jurus serangan terakhir yang dia gunakan rasanya mirip sekali
dengan jurus pedang yang kau gunakan."
"Bukan hanya jurus itu saja, ilmu pedangnya telah menyerap
seluruh inti sari ilmu pedang perguruan kita!"
Dalam terperanjatnya Lan Sui-leng berseru tanpa terasa, "Tidak
heran kalau dia mampu mengalahkan dirimu. Tapi, bagaimana
mungkin hal ini bisa terjadi?"
"Inti sari ilmu pedang perguruan kita tidak mungkin bisa kau
pahami tanpa petunjuk dari guru, menurut pendapatku, pasti ada
orang yang secara diam diam mengajarkan rahasia itu kepadanya."
"Tapi, bukankah dia musuh besar perguruan" Saudara
seperguruan mana yang telah mengajarkan ilmu pedang tersebut
kepadanya?" "Aku curiga orang itu adalah adikmu."
Lan Sui-leng semakin terperanjat.
"Tapi.... mana mungkin adikku dapat mengajarkan ilmu pedang
perguruan kepada orang lain" Adikku jauh lebih tahu urusan
ketimbang aku yang menjadi cicinya, kalau aku saja tidak mau
percaya perkataan bohong orang itu, mana mungkin dia bertindak
begitu tolol?" "Mungkin kau telah melupakan sebuah kenyataan yang sangat
penting, adikmu turun gunung sehari sebelum Tonghong Liang
datang menantang berduel, berarti dia sama sekali tidak tahu kalau
Tonghong Liang adalah musuh bebuyutan perguruan kita."
"Sekalipun begitu bukan berarti pelakunya pasti dia! Atas dasar
bukti apa kau menuduh dialah pelakunya?"
"Ada orang pernah melihat mereka jalan bersama."
"Aku tetap tidak percaya kalau adikku telah melakukan perbuatan
setolol itu!" gumam Lan Sui-leng.
Sekalipun dimulut mengatakan tidak percaya, namun perasaan
hatinya sudah mulai goyah.
"Tentu saja paling baik kalau tidak sampai terjadi peristiwa
semacam itu," kata Bouw It-yu lagi, "tapi apa salahnya kalau kita
berjaga-jaga." Karena kehabisan daya Lan Sui-leng pun bertanya lagi, "Menurut
kau, apa yang harus kita lakukan?"
"Tonghong Liang adalah seorang yang cerdas. Menurut
dugaanku, eeeh.... Cuma kau jangan marah dulu yaa. Seandainya
adikmu benar-benar telah melakukan perbuatan tolol, dengan
kecerdasan yang dimiliki Tonghong Liang, sudah pasti dia berhasil
memperoleh rahasia ilmu pedang kita, tapi aku yakin tidak banyak
yang berhasil dia peroleh. Karena itulah dia ingin berusaha
menipumu." "Tapi apa sangkut pautnya dengan aku?" tanya Lan Sui-leng
tertegun. "Dia ingin memperalat dirimu untuk mencari adikmu."
"Berarti kau percaya dengan perkataannya, adikku telah menuju
kuil Siau-lim-si?" "Sudah kukatakan sejak awal, seringkali masalah bisa terjadi di
luar kebiasaan, oleh sebab itu bukan tiada kemungkinan tersebut."
"Sekalipun ada kemungkinan ke sana, bukankah peraturan Siaulimsi melarang kaum wanita memasukinya" Masa dia tidak tahu
akan hal ini?" "Sekalipun tidak boleh masuk, bukan berarti tidak bisa titip
perkataan lewat orang lain. Bila seorang cici mencari adiknya, jelas
orang lain tidak bakalan curiga."
"Mengapa bukan dia sendiri yang masuk dan mencarinya?"
"Biarpun antara Siau-lim dan Bu-tong terganjal masalah, namun
mereka sama-sama merupakan perguruan besar kaum lurus. Dalam
masalah masalah serius, kedua partai tetap akan bekerja sama
untuk menanggulanginya. Peristiwa Tonghong Liang mengacau di
bukit Bu-tong terjadi pada sepuluh hari berselang, mana mungkin
pihak Siau-lim tidak mengetahuinya" Jadi menurut pendapatku,
sebesar apa pun nyali Tonghong Liang, tidak nanti dia berani
mengacau di kuil Siau-lim-si hanya untuk mencari seorang murid
Bu-tong-pay." "Jadi maksudmu, kau menyuruh aku pergi memberitahukan
masalah ini kepada adikku...."
"Bila ingin mencegah dia jangan sampai tertipu lagi, rasanya
inilah cara pencegahan yang terpaksa harus kita lakukan!"
"Bagaimana cara mencegahnya?"
"Bunuh dia!" ucap Bouw It-yu sepatah demi sepatah kata!"
Lan Sui-leng terkesiap, setelah termangu beberapa saat dia baru
bergumam, "Membunuhnya?"
Sementara dihati kecilnya dia berpikir, "Sekalipun dia telah
menipu adikku, rasanya dosa semacam ini tidak perlu sampai
dihukum mati!" "Kau tidak berani?" terdengar Bouw It-yu bertanya lagi.
"Selama hidup aku belum pernah membunuh orang, aku.... aku
tidak tahu apakah sampai waktunya tega melakukan tugas ini.
Benarkah kita harus menghabisi nyawanya?"
"Setiap anggota partai wajib melindungi perguruannya, menjaga
wibawa serta nama baik perguruan. Karena hal itu jauh melebihi
apapun. Mengerti kau?"
"Aku mengerti," sahut Lan Sui-leng bimbang.
"Tahukah kau kalau Tonghong Liang sedang menjalankan
perintah dari Sucouw dan Suhunya untuk mengalahkan partai Butong
kami?" "Aku tahu." "Kalau sampai ilmu pedang perguruan kita terjatuh ke
tangannya, menurut kau berbahaya tidak kejadian ini?"
"Tapi hingga sekarang dia belum pernah mencelakai atau
membunuh anggota perguruan kita, betul dia telah mencuri belajar
ilmu pedang kita, toh hal tersebut tidak menjamin dia pasti sanggup
mengalahkan jago-jago andalan kita."
"Kalau harus menunggu sampai ada anggota perguruan kita yang
dicelakai atau terbunuh, mungkin keadaan sudah terlambat.
Sekarang, baru saja dia berhasil mencuri belajar sedikit ilmu pedang
perguruan kita dan sudah membuat aku tidak sanggup
mengalahkan dirinya. Bila keadaan dibiarkan berlarut sampai tiga,
lima tahun lagi, atau bahkan berlarut sampai delapan, sepuluh
tahun lagi, waktu itu dia pasti sudah sangat menguasai rahasia ilmu
pedang perguruan kita, padahal pihak kita sendiri sama sekali tidak
tahu menahu tentang ilmu pedang perguruannya.
"Saat itu dia bukan saja menguasai kepandaian sendiri bahkan
menguasai pula kepandaian kita, jangan lagi kita semua, mungkin
ayahku pun belum tentu mampu mengalahkan dirinya. Apalagi usia
dia tiga puluh tahun lebih muda daripada usia ayahku, andaikata...."
Biarpun dia tidak melanjutkan kata-katanya, namun Lan Sui-leng
mengerti apa yang dimaksud, pikirnya, "Betul juga, bila Bu-beng
Ciangbun sampai meninggal, siapa lagi yang mampu menghadapi
serbuan agresor?" Terdengar Bouw It-yu berkata lebih lanjut, "Apalagi orang ini
tidak jujur pikirannya, di kemudian hari bisa menjadi seorang
bajingan laknat. Sekalipun dia tidak sampai mencelakai anggota
perguruan kita, namun kalau sampai mencelakai orang lain dengan
menggunakan ilmu pedang perguruan kita, bukankah hal ini sama
seperti perguruan kita yang menciptakan musibah?"
Dia sama sekali tidak menjelaskan apa alasannya menuduh
Tonghong Liang punya pikiran tidak jujur, dia pun tidak
menerangkan mengapa bisa menyimpulkan kalau di kemudian hari
orang itu bakal jadi bajingan laknat, biarpun begitu, karena sejak
awal dihati kecil Lan Sui-leng sudah tertanam kesan bahwa
Tonghong Liang adalah musuh bebuyutan perguruannya, maka
secara tidak sadar dia pun mempercayai semua perkataan Bouw Ityu
dengan begitu saja. Kembali Bouw It-yu berkata, "Selain itu, seperti telah kukatakan
tadi, kemungkinan besar ilmu pedang Bu-tong-pay yang
dipelajarinya berasal dari adikmu, bila kita tidak menggunakan
kesempatan ini untuk melenyapkannya, bila sampai di usut di
kemudian hari, bukankah adikmu akan menjadi seorang
pengkhianat partai" Memangnya kau ingin melihat nama baik
adikmu hancur berantakan gara-gara urusan ini?"
Begitu menyinggung soal adiknya, mau tidak mau Lan Sui-leng
terkesiap juga, segera pikirnya, "Benar juga. Boleh saja aku tidak
usah mencam-puri urusan kejayaan perguruan, toh ada begitu
banyak Supek, susiok, suci dan Suheng yang berjuang keras
membelanya, lagipula akupun hanya seorang murid yang masih
berilmu cetek. Tapi nama baik adikku.... bagaimana pun aku harus
berusaha membelanya, aku tidak boleh membiarkan namanya
hancur dan busuk. Apalagi Tonghong Liang memang orang jahat,
apa salahnya kalau aku berusaha pergi membunuhnya?"
Melihat nona itu mulai tergerak hatinya, cepat Bouw It-yu
berkata lagi, "Bagaimana" Sudah memahaminya?"
"Siau-susiok, aku bersedia melaksanakan tugas ini demi
perguruan. Tapi kepandaianku masih selisih jauh bila dibandingkan
kemampuan Tonghong Liang, mana mungkin aku bisa
membunuhnya?" "Pepatah kuno mengatakan: serangan tombak yang datang
terang-terangan gampang dihadapi, bokongan panah gelap justru
susah dihindari. Selama melakukan perjalanan bersama dia, kau
harus berlagak amat mempercayainya, membuat dia gembira,
lambat laun kewaspadaannya terhadapmu akan semakin kendor,
begitu dia percaya kepadamu maka akan muncul banyak
kesempatan bagimu untuk turun tangan."
"Jadi kau suruh aku membokongnya?"
"Sebenarnya membokong bukan perbuatan yang pantas bagi
seorang murid perguruan kenamaan, tapi kita harus membedakan
mana urusan serius dan mana bukan, demi kejayaan nama
perguruan, demi nama baik adikmu, kau tidak usah gubris urusan
tetek bengek seperti itu. Asal dapat membunuhnya, terserah cara
apapun yang akan kau gunakan. Asal kau telah berjasa bagi
perguruan, tidak bakalan ada orang yang berani bicara banyak lagi."
Seakan bani tersadar dari mimpi, Lan Sui-leng manggutmanggut.
"Aku mengerti sekarang," katanya.
Padahal dia belum benar-benar mengerti.
Bouw It-yu merasa puas sekali, katanya kemudian, "Baiklah,
sekarang kau boleh pergi. Bila pulang dengan keberhasilan, aku
pasti akan wujudkan janjiku, minta ayahku menerima kau sebagai
murid terakhir." "Aku harus tegaskan dulu, kulakukan tugas ini bukan karena
kemaruk sesuatu tapi demi adikku."
"Aku tahu kau adalah seorang nona yang baik!" seru Bouw It-yu
sambil tersenyum, "tapi tampaknya kau tidak begitu suka menjadi
siau Sumoyku" Bila kau sudah menjadi Sumoyku, bukankah diantara
kita sudah tidak ada batasan lagi."
Dasar watak kanak-kanak Lan Sui-leng memang belum hilang,
begitu mendengar perkataan itu, segera pikirnya, "Ternyata watak
Siau-susiok cukup mengesankan, kalau sudah tidak terhalang
tingkat kesenioran, bukankah aku bisa bersahabat dengannya?"
Berpikir begitu, diapun berkata, "Terlalu awal untuk berkata
begitu, apalagi dalam perjalanan nanti belum tentu aku bertemu
Tonghong Liang." "Asal kau berjalan menuju ke arah Siau-lim-si, kujamin pasti akan
bertemu dengannya." Setelah memberitahukan arah yang benar kepada Lan Sui-leng,
mereka berdua pun berpisah.
Melanjutkan perjalanan seorang diri, Lan Sui-leng merasakan
pikirannya amat kalut. Sebentar dia berpikir manusia jahat macam
Tonghong Liang memang pantas dibunuh, tapi begitu terbayang
seorang manusia hidup bakal mati terbunuh di tangannya, dia
seolah-plah sudah melihat seseorang yang berpelepotan darah
roboh terkapar di hadapannya, timbul perasaan takut yang luar
biasa. Sesudah bersin berulang kali, pikirnya, "Siau-susiok toh bukan
dewa, darimana dia bisa tahu kalau aku pasti bertemu dengan
Tonghong Liang" Aah, paling juga pengharapan dia saja. Gerakan
tubuh Tonghong Liang jauh lebih cepat ketimbang aku, lagipula dia
sudah berjalan duluan, belum tentu aku bisa bertemu dengannya....
yaa, belum tentu bisa ketemu."
Bayangan yang timbul dalam benaknya mendadak berubah,
sekarang bukan bayangan tubuh Tonghong Liang yang bermandikan
darah melainkan wajah Siau-susiok yang sedang memandangnya
dengan senyum tidak senyum.
Dia merasa Siau-susiok seolah sedang berkata demikian
kepadanya, "Tentu saja kau berpikir begitu karena memang tidak
ingin membunuhnya, tidak heran bila kau berharap jangan sampai
bertemu lagi dengannya! Tapi kenapa kau tidak berpikir untuk
adikmu, bila orang ini tidak mati, kemungkinan besar adikmu akan
musnah di tangannya!"
Senyuman Siau-susiok seolah-olah berubah jadi tekanan yang
menindih dadanya, kini dia sendiripun tidak tahu dikarenakan ingin
"melindungi" adiknya atau karena tekanan yang semakin
menghimpit dadanya, tanpa terasa dia berjalan lebih cepat lagi.
Cahaya matahari kian condong ke barat, kini dia sudah melewati
tempat dimana tadi berjumpa dengan Tonghong Liang. Pikirnya,
"Entah masih butuh berapa hari lagi perjalanan dari sini menuju ke
kuil Siau-lim-si" Kalau hingga tiba di depan pintu gerbang kuil aku
belum juga menjumpai dirinya, bukankah aku bisa segera pulang
untuk memberikan pertanggungan jawab kepada Siau-susiok?"
Kemudian ia berpikir kembali, "Hey, aneh, kenapa aku bisa
menggunakan kata pertanggungan jawab?"
Padahal berbicara sejujurnya, dia benar-benar tidak ingin bersua
dengan Tonghong Liang. Sayangnya, seringkali kenyataan belum tentu sesuai dengan
pengharapan, di saat dia sedang berjalan dengan pikiran kalut itulah
tiba-tiba terdengar seseorang menyapa, "Nona Lan, sudah kuduga
kau pasti akan balik kemari!"
Ternyata orang yang muncul di hadapannya tidak lain adalah
Tonghong Liang.

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku berjalan sesuai keinginan hatiku, apa urusannya dengan
kau" Kenapa kau menghadang jalan pergiku?" seru Lan Sui-leng.
"Apakah kau hendak pergi ke kuil Siau-lim?"
Tiba-tiba Lan Sui-leng teringat kembali dengan pesan paman
guru kecilnya, maka dengan nada yang lebih lembut sahu tnya,
"Kalau betul kenapa" Kalau tidak betul kenapa?"
"Bila kau hendak menuju kuil Siau-lim-si, berarti ada sedikit
hubungan denganku." "Kenapa?" "Pertama, karena akulah yang menyinggung masalah kuil Siaulimsi, maka timbul ingatanmu untuk pergi ke sana. Kedua karena
adikmu adalah sahabatku, maka aku merasa tidak tega membiarkan
kau pergi ke Siau-lim-si seorang diri dalam keadaan seperti ini."
"Apa yang kau maksud dalam keadaan seperti ini?"
"Maksudku dalam keadaan lelaki bukan, perempuan pun tidak!"
sahut Tonghong Liang lagi.
Kemudian setelah tertawa, lanjutnya, "Kelihatannya baru
pertama kali ini kau menyaru sebagai pria. Coba bayangkan, kalau
aku saja dapat membongkar penyaruanmu dalam sekali pandang,
mana mungkin kau bisa mengelabuhi para hwesio yang sudah
banyak pengalaman" Menurut peraturan yang berlaku di kuil Siaulimsi, kaum wanita dilarang memasuki kuil mereka. Jadi kau hanya
ada dua jalan yang bisa dipilih, ke satu pulih dalam dandanan
aslimu sebagai perempuan dan menyambangi kuil mereka secara
resmi, atau kau hanya bersembunyi diatas gunung sambil
menunggu adikmu keluar. Hehehe.... tentunya kau tidak ingin
menimbulkan lelucon yang tidak lucu bukan?"
"Mau lelucon atau bukan, itu urusanku."
"Kuil Siau-lim-si seringkali disambangi tokoh-tokoh dunia
persilatan, padahal kebanyakan orang persilatan suka mencampuri
urusan orang lain, kalau sampai ketahuan mereka, huuuh, gurauan
ini bisa berkembang jadi tidak sederhana, khawatirku justru
kesulitan lebih besar yang bakal kau jumpai!"
"Mau ada kesulitan atau tidak, itu kan urusanku!" kembali Lan
Sui-leng berseru jengkel.
"Kesulitan itu ada yang besar, ada pula yang kecil, jika mereka
menganggap kau hanya makhluk aneh, urusan mah gampang
diselesaikan, kuatirnya yang kau jumpai adalah manusia macam
Siang Ngo-nio, kalau sampai kau dibekuk lantas bagaimana" Apalagi
kalau orang yang kau jumpai itu adalah pria yang sifatnya seperti
Siang Ngo-nio, hmmm, hmmm, bukankah bakal lebih celaka lagi?"
Mula-mula Lan Sui-leng agak tertegun, namun dia bukan orang
bodoh, setelah berpikir sejenak langsung saja dia mengerti apa yang
dimaksud pria seperti Siang Ngo-nio.
Tidak kuasa lagi merah jengah selembar wajahnya, perasaan
gugup dan panik pun mencekam hatinya. Tapi dia tetap keras
kepala, serunya ngotot, "Lebih baik kau lewati jalanan Yang-kwan-to
mu sementara aku menyeberangi jembatan Tok-bok-kiau ku.
Mau mati, mau hidup, sama sekali tidak ada sangkut pautnya
denganmu!" "Salah besar kalau kau sampai berkata begitu, bukankah garagara
mempercayai ucapanku, kau baru mendatangi kuil Siau-lim"
Kenapa mengatakan tidak ada sangkut pautnya dengan aku?"
"Huuh, tidak usah sok gaya, siapa yang percaya dengan dirimu?"
"Kalau bukan aku yang mengungkit soal kuil Siau-lim,
memangnya kau bakalan ke sana" Sudah terbukti jelas kalau kau
percaya bahwa adikmu berada disana."
Lan Sui-leng mendengus dingin, tanpa bicara lagi ia membalikkan
tubuh dan beranjak pergi.
Dengan gerakan cepat Tonghong Liang menghadang di
hadapannya. "Nona Lan, mau apamu?" tegurnya.
"Seharusnya akulah yang bertanya kepadamu, mau apamu"
Masa batal ke kuil Siau-lim-si pun tidak boleh?"
Tonghong Liang sama sekali tidak berbicara, tiba-tiba dia
mencabut keluar pedangnya kemudian memainkan jurus Pek-hokliangci (Bangau putih pentangkan sayap), setelah itu disusul jurus
Ji-hong-si-pit, lalu berubah jadi jurus Thi-suo-heng-kang (Baja
merantai bentangan sungai).
Begitu cepatnya jurus serangan itu dimainkan membuat Lan Suileng
seketika dibuat berdiri bod oh.
"Tempo hari, kalian kakak beradik pernah bertarung di tepi telaga
Giok-keng-ou di bawah bukit Thian-ki-hong, akhirnya adikmu
berhasil kau kalahkan ketika menggunakan jurus Pek-hok-liang-ci,
bukankah begitu?" tanya Tonghong Liang.
Tentu saja dia tidak dapat mengatakan "tidak benar", sebab
bukan saja pihak lawan dapat menyebutkan urutan jurus yang
mereka gunakan waktu itu secara tepat, bahkan jurus Pek-hokliangsi yang digunakan Tonghong Liang saat inipun masih disertai
titik kelemahan seperti semula. Menyusul kemudian dua jurus
berikut seperti Ji-hong-si-pit dan Thi-suo-heng-kang, semuanya
merupakan jurus serangan yang dia gunakan untuk mematahkan
serangan Pek-hok-liang-ci dari adiknya.
"Apa maksudmu memperlihatkan ke tiga jurus serangan itu
dihadapanku?" tegur Lan Sui-leng.
"Tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin membukti kan kepadamu
bahwa aku tidak berbohong."
Sesudah berhenti sejenak, sambil tersenyum kembali Tonghong
Liang melanjutkan, "Setelah menyaksikan ke tiga jurus serangan itu,
tentunya kau sudah percaya bukan kalau aku adalah sahabat karib
adikmu?" Untuk beberapa saat lamanya Lan Sui-leng termangu mangu,
tapi dia segera teringat kembali dengan pesan Bouw It-yu, "Kau
harus berlagak seolah-olah percaya dengannya, menyukai dia."
Tapi sekarang dia tidak perlu berpura-pura lagi, paling tidak
dalam satu hal ini, dia dapat mempercayai semua perkataan dari
Tonghong Liang sebagai perkataan yang sesungguhnya.
Bila adiknya tidak menganggap dia sebagai sahabat karib,
mengapa secara jelas dan terperinci adiknya bisa menceritakan
semua jurus serangan yang dipakai sewaktu kakak beradik sedang
bertanding" Tapi dengan adanya kejadian ini, bukankah semakin
membuktikan kalau adiknya pernah mengajarkan ilmu silat
perguruannya kepada orang lain"
Dari perubahan mimik mukanya, Tonghong Liang segera tahu
kalau gadis itu mulai percaya dengan perkataannya, sambil tertawa
kembali ia melanjutkan, "Aku tahu, meskipun terkadang kau iri
terhadap adikmu, iri kenapa adikmu lebih disayang ayah ibumu,
padahal kau pun sama seperti orang tuamu, sangat menyayangi
adikmu. Bukan begitu?"
"Jadi adikku telah menceritakan semua masalah pribadi itu
kepadamu?" tanya Lan Sui-leng sambil membelalakkan matanya
lebar lebar. "Hahahaha, kan adikmu memanggil aku Toako," sahut Tonghong
Liang sambil tertawa tergelak.
"Ciss, kau sangka akupun akan memanggil Toako kepadamu?"
jengek Lan Sui-leng sambil membuang muka, "mungkin saja kau
bisa menipu adikku sehingga begitu percaya kepadamu, tapi suruh
aku memanggilmu Toako" Jangan mimpi!"
Kembali Tonghong Liang tertawa tergelak.
"Tidak masalah jika kau enggan memanggil aku Toako. Tapi
tentunya kau masih menghendaki adikmu bukan" Kini kau sudah
tahu kalau aku tidak membohongi mu, buat apa kau masih ingin
balik ke gunung Bu-tong?"
"Baik, aku akan mengikutimu pergi ke kuil Siau-lim, hanya
saja...." sambil berkata gadis itu menundukkan kepala
memperhatikan sekejap pakaian lelaki yang dikenakan.
"Selama menempuh perjalanan, lebih leluasa bila kau menyamar
sebagai seorang pria, mari ikuti aku lewat jalan pegunungan, di
sana banyak pepohonan dan jarang bertemu orang lain."
"Tapi bagaimana setelah tiba di kuil Siau-lim" Katamu
penyaruanku tidak sempurna?"
Tonghong Liang tertawa. "Aku pasti akan mengajarkan bagaimana cara menyamar yang
baik. Setibanya di kuil Siau-lim nanti, biar aku yang melakukan
kontak bicara dengan kawanan hwesio itu. Apakah masih ada
pertanyaan lain?" "Tidak ada." "Baiklah, kalau begitu mari kita berangkat!"
Baru maju selangkah, sambil tertawa kembali Tonghong Liang
berkata, "Oh yaa, langkah kaki kaum lelaki seharusnya lebih lebar.
Ehmm, bagus, benar begitu, tapi harus lebih kasar dan berat. Aah,
dalam beberapa gerakan kecil, kau harus memperhatikan dengan
seksama." Begitulah, sambil melakukan perjalanan bersama, Tonghong
Liang mulai mengajarkan bagaimana cara berjalan, cara bertingkah
bahkan cara bersikap yang benar.
Sambil tertawa Lan Sui-leng pun berkata, "Sungguh tidak nyana
kau ternyata sangat penyabar bahkan ramah sekali."
"Kau sangka aku adalah siluman aneh berwajah hijau, bertaring
panjang yang pandai menggigit manusia?"
"Ketika berkunjung ke Bu-tong tempo hari, kulit manusia yang
kau kenakan sungguh menyebalkan, selain kaku dan dingin, bahkan
mau tertawa pun seolah susah."
"Hal ini disebabkan pada saat itu aku mengenakan topeng kulit
manusia, jadi mau tertawa pun sulit. Tapi sayang pada akhirnya
topeng kulit manusia itu berhasil dirobek Ciangbunjin
perguruanmu." "Kau masih memiliki topeng kulit manusia semacam itu?"
"Kau menginginkan selembar?"
"Setelah mengenakan topeng kulit manusia, kita seolah sudah
berganti menjadi orang lain, sungguh menyenangkan. Kalau kau
mempunyai lebih, berikan selembar untukku."
"Kalau aku yang mengenakan topeng macam itu mah mungkin
kalian merasa menarik, tapi kalau kau yang mengenakan, hmm,
belum tentu jadi menarik."
"Kenapa?" "Kalau seorang nona cilik cantik jelita mendadak berubah jadi
sesosok mayat hidup, memangnya bisa menarik?"
"Hey, aku sedang bicara serius, kau malah anggap
pembicaraanku sebagai gurauan...." tegur Lan Sui-leng cepat.
Namun setelah mendengar pujiannya yang mengatakan dia cantik,
tidak urung nona itu merasa senang sekali.
Terdengar Tonghong Liang berkata lagi, "Bicara sejujurnya,
benar-benar terasa tidak nyaman ketika kita mengenakan topeng,
kulit manusia. Apalagi bahan kulit manusia susah diperoleh, terlebih
menemukan tukang yang ahli membuat topeng kulit manusia, jadi
biarpun kau bisa menahan siksaan pun jangan harap bisa
mendapatkan topeng semacam ini."
Kemudian sambil tertawa lanjutnya, "Padahal sebagai seorang
manusia, paling baik bila kita bisa tampil dengan wajah sebenarnya,
kalau sudah mengenakan topeng kulit manusia, aku rasa
penampilan kita jadi sama sekali tidak berarti."
Lan Sui-leng dapat merasa kalau perkataan itu mendalam sekali
artinya, tak tahan iapun tertegun.
"Memangnya dia sedang menyinggung aku?" demikian dia
berpikir, tapi segera tertawa dan berujar, "Lalu mengapa kau
mengenakannya?" "Aku terpaksa harus berbuat begitu. Bayangkan saja, seandainya
hari itu aku tidak menyaru sebagai guruku, memangnya Ciangbunjin
perguruanmu sudi memberi petunjuk kepadaku?"
"Jadi maksudmu hanya ingin menjajal ilmu pedang dari Bu-tongpay?"
"Tentu saja akupun menyimpan niat untuk mencari kemenangan.
Cuma, kalau tiada persaingan, darimana bisa diperoleh kemajuan"
Bukan begitu?" Tanpa terasa Lan Sui-leng manggut manggut.
"Tampaknya perkataanmu sangat masuk diakal, hanya saja...."
"Hanya saja kenapa?"
Sebetulnya Lan Sui-leng ingin berkata, "Hanya saja caramu
mencuri belajar ilmu pedang aliran lain jelas merupakan tindakan
yang keliru." Tapi dia segera teringat kembali dengan pesan Siau-susioknya,
"Kau harus bersikap lembut, agar lambat laun dia semakin
mempercayaimu, semakin menyukaimu."
Teringat akan hal itu, maka diapun berkata, "Saling menjajal ilmu
memang akan memberikan manfaat dan keuntungan bagi kedua
belah pihak, tapi kalau lantaran kejadian ini lantas kedua belah
pihak jadi saling bermusuhan, aku rasa hal ini sangat tidak patut
dan salah besar." "Kalau masalah ini mah tergantung kebesaran jiwa masingmasing
pihak. Kalau bagiku mah berharap bisa mendapat lebih
banyak sahabat dari perguruanmu."
Setelah mengucapkan perkataan itu, timbul juga perasaan
menyesal dihati kecilnya, "Padahal mana mungkin aku punya jiwa
sebesar itu?" Hanya saja apa yang dikatakan pun bukan seratus persen
bertentangan dengan jalan pikirannya, paling tidak, terhadap dua
bersaudara keluarga Lan dia memang sangat berharap bisa
mengikat tali persahabatan.
Jalan yang mereka lalui adalah sebuah jalan pegunungan yang
naik turun tidak rata, namun baru berjalan satu jam lebih, Lan Suileng
sudah dipaksa bermandikan keringat walaupun ilmu
meringankan tubuh merupakan ilmu andalannya selama ini.
"Hey, bagaimana kalau kau perlambat sedikit langkahmu?" teriak
Lan Sui-leng kemudian. "Kau ingin tidak bisa lebih menghemat tenaga namun bisa
mengikuti kecepatan langkahku?" tanya Tonghong Liang sambil
tertawa. "Wah, lebih bagus lagi kalau bisa begitu. Tapi apakah aku bisa
berhasil mempelajarinya dalam waktu singkat?"
"Kita coba saja. Kau pernah belajar ilmu menotok jalan darah?"
"Belakangan ini baru mulai belajar dari guruku, sering kugunakan
adikku sebagai kelinci percobaan, terkadang manjur terkadang tidak
manjur. Cara menotokpun belum terlalu hapal, jadi jauh dari
keberhasilan." "Tapi kau tahu bukan letak ke tiga puluh enam buah jalan darah
penting di tubuh manusia?"
"Tahu!" "Itu sudah lebih dari cukup. Akan kuajarkan sebuah cara
mengerahkan tenaga dalam, cara ini tidak perlu dilatih dengan cara
duduk bersila seperti pada lazimnya. Asal selama menggunakan ilmu
meringankan tubuh kau salurkan hawa murni dalam tubuh sesuai
dengan cara yang kuajarkan, membagi ke tiga puluh enam buah
jalan darah penting jadi tiga bagian dan dialiri hawa murni dengan
caraku, dijamin sewaktu berlarian selain lebih cepat, tenaga mu pun
semakin hemat." Dengan perasaan setengah percaya setengah tidak kata Lan Suileng,
"Suhuku pernah berkata, hawa murni baru bisa terhimpun bila
tenaga dalam kita sudah terlatih hingga mencapai kesempurnaan.
Padahal saat ini aku sendiri-pun tidak tahu apakah hawa murniku


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah timbul atau belum."
"Itulah sebabnya aku hanya suruh kau membayangkan seolaholah
dalam tubuhmu terdapat segumpal hawa murni, jangan kau
perdulikan apakah hawa murnimu sudah timbul atau belum."
Lan Sui-leng pun segera berpikir apa salahnya untuk dicoba,
maka sesuai dengan ajarannya dia pun mencoba, begitu dijajal
seketika itu juga dia merasakan tubuhnya menjadi segar kembali,
semua rasa letih dan lelah hilang lenyap tidak berbekas.
Setelah dicoba berulang kali, secara lamat-lamat dia dapat
merasakan kalau hawa murni di tubuhnya seolah muncul seolah
lenyap. Ternyata dari cara nona itu menggunakan ilmu meringankan
tubuh, Tonghong Liang sudah dapat menilai sampai tingkatan
manakah tenaga dalam yang dimiliki nona itu, meski hawa murninya
saat ini masih sangat cetak, namun asal tahu cara menyalurkan
maka tenaga murni tersebut masih dapat ditonjolkan keluar.
Sebaliknya gadis itupun sudah memiliki dasar sim-hoat tenaga
dalam dari perguruan Bu-tong-pay, begitu diberi petunjuk, hasil
yang dicapaipun segera kelihatan.
Setelah dicoba belasan kali, Lan Sui-leng segera merasakan ada
begitu banyak ular kecil tanpa wujud yang sedang bergerak dalam
jalan darahnya. Di saat mencapai suatu taraf tertentu, betul saja,
bukan saja dia tidak perlu mengerahkan tenaga lebih banyak
bahkan kecepatannya jauh lebih meningkat.
Karena baru mempelajari sejenis ilmu baru, nona itu jadi sangat
bersemangat, sepanjang perjalanan dia berlarian terus tanpa
berhenti, tanpa terasa tengah malam pun sudah menjelang tiba.
"Kini malam sudah larut," tegur Tonghong Liang tiba-tiba sambil
trtawa, "kalau sudah merasa lelah, mari kita beristirahat dulu."
Seolah baru tersadar kembali, tanya Lan Sui-leng, "Malam ini kita
akan menginap di mana?"
"Sekarang kita sudah melewati rumah peng-inapan, padahal
tempat ini jauh dari dusun maupun rumah penduduk, rasanya kita
harus menginap semalam dalam hutan."
Menyaksikan hutan belantara yang begitu gelap, Lan Sui-leng
merasa agak takut. Tapi dia pun sadar, bila harus berjalan sendirian,
hatinya pasti akan semakin takut. Terpaksa diapun mengintil di
belakangnya memasuki dalam hutan.
Setelah tiba dibalik pepohonan lebat, Tonghong Liang membantu
gadis itu mengumpulkan kayu kering dan dibuatnya sebuah api
unggun, lalu ujarnya, "Hewan liar paling takut melihat api, asal kita
membuat api unggun, mereka tidak bakal berani mendekat. Kau
tidak usah takut, aku pergi sebentar saja dan segera kembali."
"Kau hendak ke mana?"
"Kau adalah tamuku, masa aku membiarkan tamuku kelaparan?"
Berhubung selama melakukan perjalanan konsentrasi Lan Suileng
tertuju mempraktekkan ilmu meringankan tubuhnya, maka
untuk sementara dia seakan melupakan urusan lain. Tapi kini
setelah beristirahat, apalagi mendengar ucapan itu, kontan saja dia
mulai merasakan perutnya kelaparan hebat.
"Kau tidak perlu sungkan-sungkan, aku bisa menangsal perut
dengan ransum kering," ucap nona itu.
"Hahahaha.... aku saja sudah bosan makan ransum kering, masa
kau si nona kecil cantik terbiasa dengan makanan seperti itu?"
"Hmmm, aku bukan nona bangsawan yang terbiasa manja, aku
adalah putri petani, sudah biasa hidup sederhana."
"Kalau tahu kau gadis bangsawan, tidak nanti akan kuundang
kau untuk makan," sahut Tonghong Liang sambil beranjak pergi.
Cahaya api bergoyang tiada hentinya ketika terhembus angin
malam, biarpun tidak ada hewan liar yang berani mendekati cahaya
api, namun dari kejauhan dapat terdengar suara teriakan monyet
dan raungan hewan liar yang terasa menyeramkan.
Diam-diam Lan Sui-leng merasa amat tidak tenang, apalagi
teringat kalau malam ini harus menginap bersama seorang lelaki
asing. Sekalipun begitu, entah mengapa diapun berharap pemuda itu
dapat segera kembali. Benar saja, tidak lama kemudian Tonghong Liang sudah muncul
kembali sambil membawa dua ekor ayam alas, ujarnya sambil
tertawa, "Ternyata rejekimu terhitung bagus juga, malam ini aku
akan mengundangmu untuk mencicipi sejenis hidangan langka....
hidangan ini bernama ayam pengemis."
"Ayam pengemis pun terhitung hidangan langka?"
"Tentu saja, cara memanggang ayam ini diwarisi dari kaum
pengemis, meski namanya kurang sedap namun rasanya ditanggung
luar biasa. Malah di rumah makan Thian-hiang-lo dikota Hang-ciu,
ayam pengemis merupakan menu utama yang paling mahal
harganya. Jangan kau sangka aku sedang membual."
Mula-mula dia bungkus ayam alas itu dengan selapis lumpur
kemudian dipanggangnya hingga kering, setelah lapisan lumpur
yang kering itu dikupas, ternyata semua bulunya ikut terkelupas
juga. Betul saja rasa dagingnya selain manis juga sangat gurih.
"Tidak kusangka cara memasaknya amat sederhana tapi rasanya
hebat," puji Lan Sui-leng kemudian sambil tertawa, "tidak nyana kau
mempunyai ilmu sehebat ini."
"Aku mempelajainya dari seorang pengemis, kau tahu, aku
adalah seorang pengembara, jadi mereka anggap aku satu golongan
dengan mereka." Mendengar gurauannya yang lucu, tidak tahan Lan Sui-leng
tertawa cekikikan, pikirnya, "Ternyata orang ini tidak seburuk dan
sejahat apa yang dibayangkan Siau-susiok!"
"Hey apa yang kau tertawakan?" tegur Tonghong Liang.
"Ternyata ayam pengemismu sangat lezat, akupun ingin belajar
darimu." "Tahukah kau, ayam pengemis baru lezat rasanya bila diperoleh
dengan cara mencuri. Kau mengerti cara mencuri ayam?"
"Aku belum pernah mencoba, tapi kau boleh ajarkan kepadaku
bukan?" "Tidak bisa," sahut Tonghong Liang serius, "aku khawatir Siaususiokmu
akan menuduh aku mengajarkan yang tidak benar
kepadamu." Tidak tahan kembali Lan Sui-leng tertawa cekikikan.
"Siau-susiok ku memang menganggap kau orang jahat. Tapi
kalau aku hanya berhasil mempelajari ilmu mencuri ayam darimu,
mungkin orang lain malahan memuji kau sebagai orang baik."
"Aduh mak, rupanya dalam pandangan Siau-susiokmu, aku
adalah manusia yang begitu jahat" Terima kasih banyak kau
bersedia ikut aku naik ke kuil Siau-lim."
Tanpa terasa Lan Sui-leng teringat kembali dengan pesan SiauTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
susioknya, perintah membunuh Tonghong Liang dengan cara apa
pun, tanpa terasa diapun terbungkam, perasaan hatinya seolah
tertindih dengan batu karang yang berat.
Tonghong Liang bersantap sangat cepat, dalam waktu singkat dia
telah menghabiskan seekor ayam alas. Katanya kemudian, "Kau
bersantaplah pelan pelan."
Diambilnya sebatang ranting pohon dan disulutnya sebagai
sebuah obor. "Kau hendak ke mana lagi?" buru-buru Lan Sui-leng menegur.
"Mencarikan tempat tinggal untukmu."
Tidak lama kemudian dia sudah kembali sambil berkata,
"Rejekimu memang bagus, aku telah menemukan sebuah gua kecil
yang cukup untuk memuat tubuhmu. Lantai gua telah kusapu
hingga bersih." "Buat apa kau repot-repot begitu?" seru Lan Sui-leng dengan
perasaan sungkan. Tonghong Liang tertawa lebar.
"Perubahan cuaca sukar diramalkan, jangan kau sangka saat ini
rembulan bersinar terang, bintang bertaburan di angkasa,
seandainya tiba-tiba turun hujan, bisa repot keadaannya. Kalau ada
gua, paling tidak kau punya tempat untuk berteduh."
Yang dimaksud sebagai gua ternyata hanyalah sebuah celah
yang berada di tengah dua batu besar yang saling berdempetan,
namun bentuknya memang mirip sekali dengan sebuah gua.
Walaupun kecil bentuknya namun masih cukup untuk memuat
dua tiga orang. "Bagaimana dengan kau sendiri?" tanya Lan Sui-leng. Tapi begitu
ucapan tersebut diutarakan, dia segera merasa kurang pas.
Memangnya dia akan mengundangnya untuk bermalam bersama
dalam gua sekecil ini"
Untung Tonghong Liang adalah seorang lelaki yang cukup
sensitif, sahutnya sambil tertawa, "Aku sudah terbiasa tidur di udara
terbuka, lagipula ogah untuk mencari gua yang lain. Kau boleh tidur
dengan tenteram, aku akan berjaga-jaga diluar sana."
Menanti Lan Sui-leng sudah masuk ke dalam gua, diapun
memasang sebuah api unggun dimulut gua sebelum pergi
meninggalkan tempat itu. Ooo)*(ooO JILID KE TIGA BAB VIII Dalam lembah menerima putri angkat
Cuci tangan di baskom emas
Cahaya api yang memancar dari tumpukan api unggun itu sudah
mulai mengecil, tampaknya sebentar lagi akan padam, Tonghong
Liang tidak menambah dengan kayu bakar baru, dia membiarkan
cahaya yang lirih menyinari kegelapan malam yang semakin pekat.
Tonghong Liang berdiri menghadap api unggun, bayangan
punggungnya secara lamat-lamat dapat terlihat dari kejauhan.
Lan Sui-leng menyaksikan dia berdiri disitu cukup lama, lama
sekali tanpa bergerak, seakan sebuah patung arca terbuat dari batu.
Kerlipan cahaya api di tengah hutan gelap menimbulkan
perasaan 'misterius' di hati Lan Sui-leng, namun terhadap tokoh
yang satu ini, dia merasakan jauh lebih misterius ketimbang
kegelapan yang mencekam. Di samping perasaan misterius, diapun merasakan pula sebuah
perasaan lain. Semacam perasaan aman tenteram, semacam perasaan hangat.
Kehangatan dan ketenteraman yang membaur jadi satu.
Api yang menyala dimulut gua membara dengan kuatnya dan
mendatangkan kehangatan di dalam gua. Tapi gadis itu bukan
tubuhnya saja yang merasa hangat, perasaan hati pun ikut terasa
hangat, perasaan yang selama hidup baru kali pertama muncul saat
ini. Perasaan yang muncul dalam hatinya merupakan perasaan yang
nyata. Siang tadi, sewaktu berpisah dengan Siau-susioknya, saat itu
sinar matahari menyinari seluruh jagad, namun perasaan hatinya
saat itu justru terasa begitu dingin dan menggidikkan hati.
Entah mengapa, secara tidak sadar ternyata dia telah
membandingkan Tonghong Liang dengan Siau-susioknya.
Betul, Bouw It-yu memang perintahkan dia untuk membunuh
Tonghong Liang, tapi apa yang terpikir olehnya sekarang bukanlah
bagaimana cara melaksanakan pembunuhan itu, atau dengan kata
lain, bukan dikarenakan urusan ini dia membandingkan kedua orang
tersebut. Dia hanya membuat satu perumpamaan yang sederhana atas
kedua orang ini. Usia Bouw It-yu serta Tonghong Liang tidak terpaut jauh,
berbicara soal ketampanan, jelas Bouw It-yu jauh lebih tampan.
Bouw It-yu adalah angkatan tuanya, namun selama berjalan
bersamanya, dia tidak pernah memandang Bouw It-yu sebagai
angkatan tuanya. Keakraban Bouw It-yu terhadap dirinya hanya
sebatas menganggap dia sebagai adik kecilnya, diapun senang
kumpul bersama Siau-susioknya.
Namun selama berkumpul dengan Siau-susiok, di balik
kegembiraan diapun merasakan sedikit rasa takut dan ngeri.
Baginya Bouw It-yu mendatangkan semacam daya tarik, tapi
memberikan pula suatu kekuatan tekanan yang membuatnya
gelagapan dan merasa tidak tenang.
Bila dibandingkan maka ketika kumpul bersama Tonghong Liang,
dia justru merasakan hatinya lebih ringan dan lega. Biarpun baru
bergaul satu hari namun perasaan was-was, perasaan ngeri dan
takut yang pada mulanya masih menyelimuti hatinya, tanpa sadar
kini sudah hilang lenyap bagaikan asap yang menguap di udara.
Mengapa bisa timbul perasaan seperti ini...."
Segulung angin dingin berhembus lewat, menggoyangkan lidah
api diatas api unggun. Tiba-tiba dia bergidik, umpatnya dalam hati,
"Mana boleh kubandingkan dia dengan Siau-susiok" Siau-susiok
berasal dari perguruan kaum lurus, dia berbuat begitu karena demi
kebaikan adikku. Sebaliknya dia adalah musuh besar perguruan, dia
berniat mencelakai adikku!"
Lan Sui-leng mencoba melongok keluar dari lubang gua yang
sempit, Tonghong Liang masih berdiri bagai patung, apa yang
sedang dia pikirkan"
Tentu saja dia tidak akan tahu jalan pikiran pemuda itu, jangan
lagi pikiran orang lain, terhadap jalan pikiran sendiri pun dia merasa
bimbang dan tidak menentu.
Sepanjang hidup belum pernah pikirannya sekalut ini, sebentar
dia berpikir begini, "Kelihatannya dia tidak mirip orang jahat,
mungkinkah dia akan mencelakai adikku" Jangan jangan tuduhan ini
muncul karena pikiran Siau-susiok yang kelewat sensitip?"
Tapi sebentar kemudian dia berpikir lain, "Lebih baik percaya ada
daripada percaya tidak ada. Pengetahuan Siau-susiok jauh lebih
tinggi daripada kemampuanku. Darimana aku bisa tahu kalau
kecurigaannya tanpa dasar?"
Dari sisi telinganya dia seolah mendengar lagi peringatan Siaususioknya
yang dingin, "Bencana besar memang belum terjadi, tapi
dia terbukti sudah mencuri belajar ilmu pedang perguruan kita dari
adikmu, apakah kau berani menjamin dia tidak akan
menggunakannya untuk melakukan kejahatan" Kalau harus
menunggu sampai nama baik adikmu hancur berantakan, hmmm,
mau menyesal pun sudah terlambat!"
Tiba-tiba suara guntur menggelegar memecahkan keheningan,
membuat gadis itu tersadar kembali dari lamunannya.
Ketika halilintar berkilat, tiba-tiba diapun teringat kembali dengan
Put-ji Totiang, ayah angkat adiknya.
Dari cerita adiknya, konon Put-ji paling takut melihat kilatan
halilintar, setiap musim hujan tiba, dia sering marah marah tanpa
alasan dan penyebab yang jelas.
"Aneh, ilmu silat yang dimiliki Put-ji Totiang sangat hebat,
latihannya pun amat bagus, kenapa orang semacam dia bisa takut
dengan kilatan halilintar?"
Yang lebih mengherankan lagi adalah, "Put-ji Totiang begitu
menyayangi adikku, mengapa dia justru mengajarkan ilmu pedang
yang salah" Apakah dia berniat ingin mencelakainya?"
Membayangkan kalau kemungkinan besar Put-ji Totiang berniat
mencelakai adiknya, apakah dia harus percaya dengan Tonghong
Liang, orang yang baru saja dikenalnya"
"Tapi.... bila ilmu pedang yang dipelajari adikku keliru, kenapa
dia bisa mengajarkan ilmu pedang tingkat tinggi kepada Tonghong
Liang?"

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berpikir sampai disini, dia pun mulai mencurigai ucapan Bouw Ityu,
benarkah ilmu pedang tingkat tinggi yang dimiliki Tonghong
Liang adalah hasil ajaran adiknya"
"Jangan-jangan dia mempelajari dari orang lain?" demikian gadis
itu berpikir, "ehmm, toh aku sedang dalam perjalanan menuju kuil
Siau-lim, setelah berjumpa adikku, bukankah semuanya akan jadi
jelas?" Di antara halilintar yang menyambar, pikirannya ikut bergolak
tidak tenang bahkan berubah ubah secepat sambaran petir.
Sayang sekali, walaupun gadis itu sudah berpikir kian kemari
namun hasil yang diperoleh hanya kegelapan yang makin pekat.
Suara guntur kembali menggelegar diikuti hujan pun turun
dengan derasnya. Api unggun di depan gua pun ikut padam.
Di antara kilat yang menyambar, lamat lamat dia dapat melihat
bayangan punggung Tonghong Liang, ternyata dia masih berdiri di
tengah hujan tanpa bergerak.
Tidak tahan lagi Lan Sui-leng berteriak keras, "Tonghong Toako,
hujan turun sangat deras...."
Setelah teriakan itu muncul, dia baru tersadar kembali, ternyata
panggilan 'Toako' yang ditujukan kepada Tonghong Liang
diutarakan dengan begitu wajar.
Tapi setelah "hujan turun sangat deras", apa yang akan dia
lakukan" Gadis itu tertegun, kata selanjutnya pun tak tahu
bagaimana harus dilanjutkan.
"Betul, hujan turun sangat deras," terdengar Tonghong Liang
menyahut, "hati-hati jangan sampai basah."
Sekali lagi Lan Sui-leng tertegun, biarpun berdiri di tengah hujan
badai, ternyata dia masih mengkhawaatirkan kesehatan tubuh
sendiri. "Tonghong Toako, kau...." kembali Lan Sui-leng tak sanggup
melanjutkan perkataannya.
Agaknya Tonghong Liang dapat menebak suara hatinya, sambil
tertawa dia menyahut, "Aku sudah terbiasa berdiri di bawah terik
matahari atau basah oleh hujan badai. Biar hujan turun selama tiga
hari tiga malam pun kau tidak usah kuatir aku jadi sakit gara-gara
ini." Lan Sui-leng benar benar merasa amat rikuh, tapi kalau ingin
suruh dia berteduh dari hujan, sebetulnya gua dimana dia beradalah
merupakan tempat yang paling sesuai, tapi.... walaupun gua ini bisa
menampung dua orang sekaligus, dia pun merasa rikuh untuk
berdiri saling berdempetan dengan pemuda itu.
Karenanya setelah mendengar sahutan tadi, diapun tidak
berbicara lebih jauh. Kini pikirannya semakin kalut, dari kilat yang menyambar dia
terbayang akan Put-ji Totiang, dari Put-ji Totiang diapun
membayangkan Siau-susiok, kemudian dari Siau-susiok diapun
membayangkan Tonghong Liang yang kini berdiri dihadapannya,
membayangkan panggilan "Toako" yang tanpa sadar ditujukan
untuk Tonghong Liang. "Seandainya kuceritakan kisah pengalamanku malam ini kepada
Siau-susiok, mungkinkah Siau-susiok akan berubah jalan pemikiran
sendiri dan mengakuinya sebagai orang baik" Ehmm, aku tidak
boleh menuruti dugaan Siau-susiok dan membinasakan seorang
baik...." Dia bahkan membayangkan pula kawanan tosu kecil yang setiap
hari sering menggodanya, dia merasa bayangan punggung
Tonghong Liang tampak jauh lebih tinggi dan besar.
"Bila dibandingkan kawanan tosu bau yang kotor mulutnya, pada
hakekatnya dia jauh lebih gagah, jauh lebih mirip lelaki sejati. Tapi,
btikankah Put-ji Totiang pun tinggi besar dan gagah" Aaai.... tidak
seharusnya Tonghong Toako menjadi seorang lelaki sejati gadungan
macam Put-ji Totiang...."
Hujan masih turun dengan derasnya, tiba-tiba hawa dingin
serasa berkecamuk dan menyelimuti tubuhnya. Biarpun hujan tidak
membasahi tubuhnya, namun perasaan hatinya seolah dibasahi air
hujan, makin lama dia merasa semakin kedinginan dan akhirnya gigi
pun mulai saling gemerutukan.
Tiba-tiba cahaya kilat berkelebat, dia melihat tubuh Tonghong
Liang mulai bergerak, menembusi hujan yang deras dia sedang
berjalan mendekati mulut gua.
Ketika kilat menyambar lewat, kegelapan kembali mencekam
seluruh jagad, perasaan hatinya serasa ikut tenggelam ke dalam
jeram yang dalamnya tak terhingga.
"Mau apa dia berjalan mendekat?"
Sesaat sebelumnya dia masih mengkhawatirkan dia tidak ada
tempat berteduh, tapi sekarang muncul perasaan takut yang luar
biasa, dia kuatir pemuda itu berniat jahat terhadapnya.
Tonghong Liang berhenti setibanya didepan gua, ujarnya, "Aku
tahu kau sangat kedinginan, sayang dalam keadaan begini tidak
bisa membuat api unggun, sementara akupun tidak membawa
pakaian yang terlalu banyak."
Lan Sui-leng jadi semakin gugup.
"Aku tidak dingin, aku tidak kedinginan!" buru-buru serunya.
"Bagaimana pun kau toh tidak bisa tidur, mari kita berbincang
bincang saja. Tentunya kau tahu tentang delapan nadi utama dalam
tubuh kita bukan?" Sungguh aneh, dalam suasana seperti ini ternyata dia masih
begitu berminat untuk membicarakan ilmu silat"
"Pernah mendengar nama itu," jawab Lan Sui-leng.
Keng-luo atau jaringan nadi merupakan sebuah keistimewaan
dalam ilmu pertabiban China, sebetulnya ilmu ini tidak termasuk
rahasia, penjelasannya amat sederhana.
Jaringan nadi atau Keng-luo adalah jalan raya dimana peredaran
darah manusia berlangsung, jaringan utama disebut "Keng"
sementara jaringan cabang disebut "Luo". Pertemuan antara Keng
dan Luo membentuk jaringan bebas hambatan yang
menghubungkan seluruh jaringan yang berada dalam tubuh
manusia. Jaringan Keng-luo terbagi lagi menjadi Ceng-keng (nadi lurus)
dan Khi-keng (jaringan samping). Cengkeng terdiri dari dua belas
jaringan yang terbagi kiri dan kanan yakni Jiu-ka-sam-yang-keng
(tiga nadi positip tangan dan kaki) yakni Tay-yang, Ce-yang dan
Sau-yang. Serta Jiu-ka-sam-im-keng (tiga nadi negatip tangan dan
kaki) yakni Im-beng, Sau-im dan Tay-im yang bilamana digabung
menjadi dua belas buah nadi.
Sementara itu Khi-keng atau jaringan samping terdiri dari
delapan nadi yaitu Tok-meh, Jin-meh, Jiong-meh, Tay-meh, Im-wimeh,
Yang-wi-meh, Im-kiau-meh serta Yang-kiau-meh. Masingmasing
nadi mempunyai kegunaan yang berbeda.
Ilmu pengetahuan ini bukan saja mempunyai nilai yang tinggi di
bidang pengobatan, termasuk juga dasar utama yang harus
dikuasahi untuk melatih tenaga dalam.
Lan Sui-leng ibarat seorang pelajar yang sedang menghadapi
ujian disekolah, dia harus menghapalkan semua nadi penting itu di
luar kepala. Kembali Tonghong Liang bertanya, "Tahukah kau jalan darah apa
saja yang dilalui setiap nadi itu dan dimana saja letak jalan darah
penting di tubuh manusia?"
Sambil menjulurkan lidahnya dan tertawa sahut Lan Sui-leng,
"Suhu pernah menjelaskan satu per satu, tapi mana mungkin aku
bisa menghapalkan sebanyak itu?"
"Di antara delapan nadi yang masuk dalam kelompok Khi-keng,
Tok-meh disebut orang sebagai jalan bebas hambatan dari Yangkeng
dan merupakan kunci yang vital, tahukah kau apa sebabnya?"
"Tok-meh bisa disebut nadi pengawas karena dia mempunyai
kemampuan mengawasi seluruh nadi yang ada dalam jaringan
Yang-meh. Jangan kau sangka aku sama sekali tidak kenal masalah
Keng-meh!" seru Lan Sui-leng sedikit kurang senang, "mungkin
secara keseluruhan aku tidak hapal, namun kalau hanya jalur yang
satu itu, rasanya aku tidak bakalan lupa. Bukankah jalur nadi ini
dimulai dari jalan darah Tiang-jiang-hiat yang berada diujung paling
bawah tulang ekor hingga jalan darah Yin-ciau-hiat di luar gusi
gigi?" "Tepat sekali. Mari kuajarkan sebuah cara untuk melawan hawa
dingin, gunakanlah cara mengatur napas yang kuajarkan siang tadi
dengan menembusi jalan darah Keng-ciang-bun, Tiong-wan, Thamtiong,
Li-ih, Yang-leng, Toa-su, Suan-tiong, Yay-ciu kemudian
terhimpun di Tan-tian, dari sana giring hawa murni mengelilingi
Tok-meh satu lingkaran. Begitulah kau ulangi latihan beberapa kali,
kujamin pasti ada hasilnya."
Selesai berkata dia beranjak pergi dan kembali ke tempat
semula. Sepeninggal pemuda itu, Lan Sui-leng segera melatihnya
berulang kali, benar saja segera timbul hawa hangat yang mengusir
semua rasa dingin ditubuhnya.
Dengan perasaan girang pikirnya, "Ternyata Tonghong Toako
memang seorang guru yang baik, bukan saja ajarannya bagus
bahkan sangat bermanfaat. Dengan mempelajari ilmu tersebut
akupun tidak usah kuatir dinginnya salju lagi."
Padahal darimana dia tahu kalau Tonghong Liang memberi
petunjuk karena sudah mengetahui tingkatan tenaga dalam yang
dimiliki. Bukan saja dia telah mengajarkan cara mengusir hawa
dingin, bahkan merupakan semacam Sim-hoat tenaga dalam tingkat
atas. Begitu merasakan tubuhnya hangat, tanpa terasa Lan Sui-leng
pun terlelap tidur. Ketika mendusin dari tidurnya, mendadak dia mendengar ada
orang seperti sedang ribut dengan Tonghong Liang, terdengar suara
seorang perempuan sedang berteriak, "Hmm, diam-diam kabur
keluar, kau tidak menyangka aku bakal menemukan dirimu bukan?"
"Aku sedang menjalankan perintah dari Suhu untuk mengunjungi
gunung Bu-tong!" Tonghong Liang menyahut.
"Tapi jalanan ini bukan menuju gunung Bu-tong!"
"Aku telah berkunjung ke gunung Bu-tong."
"Lantas kenapa tidak langsung pulang?" bentak perempuan itu
nyaring, suaranya makin lama semakin keras.
"Karena masih ada sedikit urusan yang harus diselesaikan."
"Urusan apa" Tidak dapat kau jelaskan kepada-ku?"
Kelihatannya Tonghong Liang takut sekali terhadap perempuan
itu, dengan perasaan apa boleh buat terpaksa dia menjawab, "Aku
mau berkunjung ke kuil Siau-lim, mencari seorang teman."
Perempuan itu kembali tertawa dingin.
"Mana mungkin kau punya teman di kuil Siau-lim" Aku pun belum
pernah dengar kalau gurumu punya hubungan dengan seseorang di
kuil Siau-lim, memangnya kau sangka para hwesio bau yang sok
memimpin dunia persilatan bakal memandang sebelah mata
kepadamu?" "Sahabatku bukan anak murid Siau-lim-pay, dia hanya bertamu di
kuil itu." "Siapakah temanmu itu" Mengapa bertamu di kuil Siau-lim!"
"Maaf, urusan pribadi sahabatku bukan urusanku, jadi aku tidak
pernah banyak bertanya."
Maksud dari perkataan itu jelas, dia tidak suka perempuan itu
terlalu banyak mencampuri urusannya.
Kelihatannya perempuan itu tidak menyangka kalau dia bakal
balas menyindir, setelah membungkam sesaat kembali tanyanya
sambil tertawa dingin, "Apakah semalam kau menginap dalam hutan
seorang diri?" "Bisa dibilang begitu, bisa juga tidak."
"Apa maksudmu?"
"Aku mempunyai seorang teman lain, semalam diapun berada
dalam hutan ini. Hanya saja berada di tempat yang berbeda, hutan
ini toh sanga t luas."
Sebenarnya perempuan itu tidak tahu apakah "sahabat" nya itu
pria atau wanita, tapi begitu mendengar di balik jabawannya terselip
sesuatu yang seolah dirahasiakan, kontan saja timbul perasaan
curiga. Sambil memutar biji matanya, sengaja dia berteriak dengan
suara lebih keras, "Ooh, jadi sahabatmu itu tidak berani bertemu
orang" Suruh dia keluar, ingin kulihat sahabat babi teman anjing
macam apa yang telah berkenalan dengan-mu."
Lan Sui-leng yang mendengar ucapan itu jadi sangat
mendongkol, tidak tahan dia berjalan keluar dari dalam gua sambil
menyahut, "Akulah sahabatnya, aku bukan babi, juga bukan anjing,
justru aku lihat kaulah yang mirip seekor macan betina!"
"Kurangajar, kau berani mengatakan aku macan betina?" teriak
perempuan itu gusar, "baiklah, akan kusuruh kau rasakan kelihayan
dari si macan betina!"
Tiba-tiba tubuhnya melambung bagaikan seekor burung, dalam
sekejap mata dia sudah tiba dihadapan Lan Sui-leng dan langsung
menghadiahkan sebuah tempelengan.
"Piau-moy, jangan ngawur!" bentak Tonghong Liang.
Secara reflek Lan Sui-leng menggunakan kungfu Bu-tong-pay
untuk menghadapi datangnya ancaman, dengan jurus Sam-huan-togwee
(tiga lingkaran mencekal rembulan) dia berbalik
mencengkeram pergelang-an tangan lawan.
Siapa tahu mendadak tangan perempuan itu sedikit miring ke
samping, perubahan itu dilakukan cepat bagaikan sambaran kilat,
Lan Sui-leng hanya merasakan kulit kepalanya tersambar angin
dingin, bukan saja topinya sudah tersambar lepas, saputangan
pengikat rambut pun sudah terbabat hingga robek.
"Hahahaha.... ternyata seorang bocah perempuan!" seru
perempuan itu, "Tonghong Liang, mau bilang apa kau sekarang?"
"Piau-moy, jangan salah paham...."
Belum selesai bicara, perempuan itu kembali menukas, "Salah
paham" Hmm! Setelah rase kecil ketahuan ekornya, kau baru
mengatakan salah paham!"
"Perempuan busuk!" umpat Lan Sui-leng gusar, "senang amat
memaki orang lain. Aku suka menyaru laki atau perempuan, apa
urusannya dengan dirimu?"
"Tutup mulut!" bentak perempuan itu gusar. Dengan sekali
sodokan, dia totok jalan darah Lan Sui-leng.
"Piau-moy," buru-buru Tonghong Liang berkata, "sejak kecil
hingga dewasa kita kumpul bersama, masa kau masih belum paham
dengan watakku" Bila kau menuduh dan mencurigai aku semaunya,
sama artinya kau sedang menghinaku!"
Sembari berkata sengaja dia mengibaskan ujung bajunya.
Sebagaimana di ketahui, semalam pakaiannya basah kuyup oleh
air hujan, nyaris air telah merembas hingga ke dalam tubuhnya,
dengan mengibaskan ujung baju, butiran air pun segera
berhamburan ke mana mana.
Begitu perempuan itu menyaksikan pakaian Lan Sui-leng yang
masih kering dan bersih, seketika itu juga dia mengerti penjelasan
dari kakak misannya itu. Kendatipun begitu, dia tidak rela mengaku salah, selain itupun
merasa tidak lega membiarkan kakak misannya melakukan
perjalanan bersama perempuan lain, tanpa bicara lagi dia segera
menarik tangan Lan Sui-leng dan diajak pergi meninggalkan tempat
itu. "Piau-moy, jangan ngawur, apa yang hendak kau lakukan?" tegur


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tonghong Liang. Perempuan itu kembali mendengus.
"Hmm, coba lihat kepanikanmu itu, memangnya dalam
pandanganmu dia jauh lebih penting daripada aku?"
"Bukan begitu maksudku, dia adalah sahabatku, aku tidak ingin
kau mencelakai dia!"
"Hmmm!" perempuan itu tertawa dingin, "aku belum lagi
menyentuh seujung rambutnya, kau sudah menuduhku yang bukanbukan.
Aku justru mau lihat...."
Kelihatannya Tonghong Liang cukup mengerti akan tabiat
saudara misannya itu, buru-buru ancamnya, "Kalau kau sampai
melukainya, aku...."
"Mau apa kau?" "Selama hidup aku tidak akan bertemu kau lagi!"
Begitu selesai mengucapkan ancamannya, dalam hati dia
menghela napas panjang, untuk menghadapi adik misannya yang
temperamen, mau tidak mau dia harus mengeluarkan "gertakan"
yang paling besar untuk meredam ulahnya.
"Huuuh, aku pun tidak butuh kau!" sahut perempuan itu cepat,
tapi kemudian sambil tertawa cekikikan tambahnya, "Kau tidak usah
takut, aku pasti akan melayaninya sebagai seorang sahabat. Aku
akan mengajaknya pulang ke rumah, memperlakukan dia sebagai
tamu agung. Puas bukan?"
Kali ini Tonghong Liang benar-benar dibuat menangis tidak bisa,
tertawa pun sungkan, katanya, "Darimana kau tahu kalau dia
bersedia menjadi tamumu?"
"Dia tidak bersedia pun harus bersedia! Kenapa kau ngotot ingin
melakukan perjalanan bersamanya?"
"Karena aku ada urusan ingin bersamanya mengunjungi kuil
Siau-lim-si." Sambil mendengarkan penjelasan itu, perempuan tadi tertawa
dingin tiada hentinya. Melihat itu, Tonghong Liang jadi tidak suka hati, tegurnya,
"Semua yang kukatakan adalah perkataan yang sejujurnya, apa
yang kau tertawakan?"
"Aku pernah mendengar orang bercerita, katanya dalam kuil
Siau-lim berlaku peraturan bau, melarang kaum wanita masuk ke
dalam, apakah berita itu benar?"
"Benar sekali. Cuma...."
Tapi berhubung alasan yang sebenarnya tidak mungkin bisa
dijelaskan dalam waktu singkat, lagipula dia enggan mengemukakan
di hadapan adik misannya, maka sesudah berbicara sampai separuh
jalan, dia pun berhenti berbicara.
Tidak menunggu pemuda itu berpikir lebih jauh, kembali
perempuan itu berkata sambil tertawa dingin, "Hmm, akupun tahu
kalau budak cilik ini tidak bakal membantu apa-apa terhadapmu,
kalau ingin ke kuil Siau-lim, pergilah sendiri."
Selesai bicara ia segera menarik Lan Sui-leng dan berlalu dari
situ. "Piau-moy, kau jangan tidak tahu aturan!" teriak Tonghong
Liang. Perempuan itu tertawa dingin.
"Terhadapmu aku sudah kelewat sungkan, ternyata kau masih
juga tidak tahu diri. Kalau aku benar-benar sudah tidak pakai
aturan, hehehe...." "Baiklah," akhirnya Tonghong Liang menghela napas, "anggap
saja aku memang takut kepadamu. Kalau ingin kau ajak dia pergi,
bawalah sana. Tapi jangan lupa, apa yang telah kukatakan
selamanya tidak bakal kupungkiri lagi!"
"Aku masih ingat," perempuan itu tertawa, "tidak usah kuatir. Di
saat kau pulang ke rumah, saat itu juga kubebaskan dirinya, tidak
nanti akan kulukai seujung rambutpun!"
Lan Sui-leng yang dikempit di bawah ketiaknya sama sekali tidak
mampu bergerak, dia hanya merasa deruan angin serta bayangan
pohon bergerak cepat disisinya, saat ini dia seakan sedang terbang
melayang ditengah awan tebal.
Tidak tahan diam-diam dia merasa kagum sekali dengan
kehebatan perempuan itu, pikirnya, "Sambil mengempit tubuhku
pun dia masih bisa berlarian secepat ini. Padahal Suhu pernah
memuji kehebatan ilmu meringankan tubuhku, namun bila
dibandingkan kehebatannya, ternyata aku masih ketinggalan jauh!"
Tidak selang beberapa saat kemudian, perempuan itu sudah tiba
di bawah bukit. Di kaki gunung sudah menunggu sebuah kereta
yang dihela seekor keledai, kusirnya adalah seorang kakek tua.
Ketika berjumpa dengan perempuan itu, si kakek hanya
membungkukkan badan memberi hormat, tidak sepatah kata pun
diucapkan. Sambil membopong tubuh Lan Sui-leng, perempuan itu berjalan
masuk ke dalam kereta, menurunkan tirai kemudian menotok bebas
jalan darahnya. "Orang tua itu bisu lagi tuli," perempuan itu menerangkan, "jadi
apa pun yang kau katakan, dia tidak bakalan tahu. Hey, aku ingin
bertanya, siapa namamu?"
Lan Sui-leng merasa sangat mendongkol, dia tidak menjawab.
"Ooh, masih marah kepadaku yaa?" ejek perempuan itu.
Diambilnya sehelai handuk sutera, lalu disekanya wajah Lan Sui-leng
hingga bersih, kemudian serunya lagi sambil tertawa, "Waaah, nona
kecil yang amat cantik!"
Lan Sui-leng sadar, mau berkelahi, dia bukan tandingan lawan,
mau mengajaknya ribut mulut pun belum tentu dia bisa berbuat
apa-apa, maka dia putuskan untuk membungkam tanpa bergerak,
pikirnya, "Perduli amat, mau meledek aku dengan cara apa pun, aku
akan menganggap kau seperti orang mampus."
Kembali gadis itu berkata dengan nada lebih lembut, "Aku
bermarga Seebun bernama Yan. Tonghong Liang adalah kakak
misanku, aku memang punya tabiat jelek, sejak kecil tidak senang
melihat kakak misanku bergaul dengan perempuan lain. Bila tadi
telah menyalahimu, harap kau jangan marah."
Tiba tiba saja sikap gadis itu berubah lebih lembut dan hangat,
seolah dua orang yang berbeda dibandingkan saat tadi.
Sesungguhnya Lan Sui-leng pun seorang bocah yang berhati
luhur dan lembut, melihat gadis itu sudah bicara terus terang,
bahkan sudah minta maaf pula, rasa mendongkol dihatipun jauh
berkurang. "Bukankah dimatamu aku hanya seekor babi, seekor anjing"
Mana berani kuterima permintaan maaf-mu?" sindir Lan Sui-leng.
Seebun Yan segera tertawa.
"Aku telah memakimu dan kaupun telah memaki aku, malah
akupun sudah minta maaf, masa cara ini masih belum cukup" Bila
hatimu masih mendongkol, apa salahnya untuk mengumpat aku lagi
sebagai macan betina" Padahal dalam kenyataan aku tidak segalak
apa yang kau bayangkan, setelah kumpul bersamaku, di kemudian
hari kau pasti akan tahu sendiri. Sekarang bersediakah kau
memberitahukan namamu?"
"Kau telah menyebutkan namamu, kalau aku tidak
memberitahukan namaku, tentu akan kau anggap aku mencari
untungnya sendiri. Baiklah, aku beritahu namaku, aku she-Lan
bernama Sui-leng." "Lan Sui-leng" Ehmm, sebuah nama yang indah!"
"Apanya yang indah?"
"Sepasang biji matamu bening menawan, sungguh indah dan
menarik hati. Nama Lan Sui-leng memang sesuai dengan orangnya."
Bagaimana pun, kaum wanita memang paling suka mendengar
orang lain memujinya cantik, begitu juga dengan Lan Sui-leng,
kesannya terhadap Seebun Yan pun otomatis menjadi lebih lunak.
"Padahal kau sendiripun amat cantik," katanya, "masa kakak
misanmu tidak pernah mengatakan hal ini kepadamu?"
"Kakak misanku memang pernah memujiku, tapi aku selalu
menganggap dia hanya berniat menyanjung, karena itu tidak pernah
percaya kalau dia bicara jujur."
"Tapi sekarang akulah yang mengatakannya, tentu kau sudah
percaya bukan" Hanya saja...."
"Hanya saja kenapa?"
"Sewaktu sewot dan marah-marah, rasanya kau tidak secantik
sekarang. Aku bicara sejujurnya."
"Terima kasih atas kejujuranmu."
"Padahal namamu juga indah!" kembali Lan Sui-leng
menambahkan. "Dimana letak keindahannya?"
"Kau bermarga Seebun (pintu barat) sementara dia bermarga
Tonghong (arah timur), satu timur yang lain barat, bukankah kalian
sepasang yang serasi?"
Tidak kuasa Seebun Yan tertawa cekikikan.
"Kalau yang satu menuju timur yang lain menuju barat,
bukankah semakin lama jaraknya semakin jauh?"
"Tempat tidak bisa bergeser, manusianya yang bisa bergerak.
Biarpun kau berada di barat, dia toh bisa berangkat dari timur untuk
menjumpai dirimu." "Waah, ternyata mulutmu yang kecil pandai sekali berbicara!"
seru Seebun Yan sambil tertawa.
"Ciri, bagaimana kalau kau bebaskan aku?"
"Kau masih ingin pergi ke kuil Siau-lim?"
"Benar, tapi aku tidak akan pergi bersama-sama kakak
misanmu." "Kenapa kau bersikeras ingin ke sana?"
"Karena adikku berada disana."
"Ooh, jadi adikmu hwesio kuil Siau-lim-si?"
"Bukan, dia murid Bu-tong-pay."
"Siapa gurunya?"
"Put-ji tootiang."
"Put-ji Totiang?" tampaknya Seebun Yan merasa agak
tercengang, "bukankah dia adalah murid penutup dari Bu-siang
Cinjin, ketua bu-tong-pay yang lalu" Aku dengar baru saja dia
diangkat menjadi tianglo dari partai Bu-tong?"
"Tepat sekali perkataanmu."
"Menurut apa yang kuketahui, rasanya Bu-siang Cinjin
mempunyai dua orang murid, murid pertama bernama Put-coat tapi
belum pernah menerima murid."
"Betul, dan Put-ji tootiang pun hanya menerima adikku sebagai
muridnya." "Kalau begitu, adikmu adalah saru satunya cucu murid Bu-siang
Cinjin"' "Benar, dia memang paling disayang oleh Sucouw," Lan Sui-leng
membenarkan dengan perasaan bangga.
"Kalau begitu urusan jadi lebih aneh, aku pernah dengar orang
bercerita bahwa antara Bu-tong-pay dengan Siau-lim-pay rasanya
sama-sama diganjal oleh penyakit hati, adikmu sebagai ahli waris
Ciangbunjin Bu-tong-pay sebelumnya, mengapa bisa mendatangi
kuil Siau-lim-si?" "Aku sendiripun tidak tahu. Kakak misanmu yang
memberitahukan hal ini kepadaku. Konon dia dengan adikku pun
belum lama berkenalan."
"Bagaimana dengan kau sendiri" Sejak kapan kau berkenalan
dengan dia?" "Aku" Baru berkenalan kemarin."
"Kalau begitu kau kelewat percaya dengan perkata annya!" sindir
Seebun Yan dengan senyum tidak senyum.
Lan Sui-leng enggan banyak bicara dengannya, tukasny, "Sudah
selesai pertanyaanmu" Sekarang aku boleh pergi dari sini bukan?"
"Jadi kau enggan menjadi tamuku?"
"Bukannya tidak mau, tapi aku ingin menemukan adikku lebih
dulu." "Baiklah, kalau merasa punya kepandaian, pergi-lah sana!"
Lan Sui-leng tidak tahu kalau dibalik perkataan itu masih
tersimpan perkataan lain, segera pikirnya, "Aku toh bukan berniat
mencari hwesio-hwesio Siau-lim-si untuk diajak berkelahi,
memangnya aku tidak sanggup berjalan sendiri?"
Tanpa pikir panjang dia segera menyingkap tirai kereta dan siap
melompat keluar. Siapa tahu belum sempat kakinya menempel tanah, mendadak
terasa desingan angin berhembus lewat, tahu-tahu pinggangnya
terasa mengencang, rupanya Seebun Yan telah melepaskan sebuah
ikat pinggangnya dan dilontarkan ke depan untuk menggulungnya
kembali. Kini Lan Sui-leng terjatuh kembali di posisinya semula, biarpun
lantai kereta beralaskan permadani tebal hingga pantatnya tidak
terasa sakit, namun tindakan ini cukup membuat hatinya sangat
mendongkol. "Nona Lan, kau tidak usah marah, aku mengundangmu dengan
hati tulus untuk menjadi tamu ku."
Lan Sui-leng mendengus. "Belum pernah kujumpai ada orang menggunakan cara begini
untuk mengundang tamunya, kau hanya tahu asal diri sendiri
senang, kenapa tidak ditanyakan dulu apakah orang lain bersedia
atau tidak." Seebun Yan tertawa cekikikan. "Perkataanmu tepat sekali,
memang beginilah watak jelekku, dari dulu hingga sekarang belum
juga bisa dirubah, oleh sebab itu kecuali kau punya kemampuan
untuk mengalahkan diriku, kalau tidak kau tetap harus menjadi
tamuku." "Sudah, sudahlah, biar aku terima nasib, bertemu orang macam
kau anggap saja memang sedang sial."
"Tahukah kau, sikapku terhadapmu boleh dibilang sudah luar
biasa baiknya, coba kalau berganti orang lain, kecuali terhadap
kakak misanku, bila ada orang enggan menuruti perkataanku,
mungkin aku sudah mematahkan sepasang kakinya."
"Terima kasih atas kebaikanmu!" seru Lan Sui-leng.
Sengaja kata "kebaikanmu" ditandasnya dengan nada berat,
sudah jelas kata itu mempunyai arti yang berlawanan.
"Padahal tidak ada salahnya kau menjadi tamuku, ke satu aku
Perjodohan Busur Kumala 25 Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Badai Laut Selatan 19

Cari Blog Ini