Ceritasilat Novel Online

Perawan Lembah Wilis 11

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 11


merasa heran terhadap diri ayundanya. ini. Mengapa
ayundanya ini sikap dan wataknya berubah-ubah seperti
keadaan Laut Selatan" Ia menganggap watak ayundanya ini
kurang tenang, sehingga mudah terguncang, mudah
dipengaruhi keadaan yang menimpa diri. Namun, ia merasa
amat prihatin dan kasihan kepada ayundanya sehingga
mempertebal rasa kasihnya terhadap saudara kandungnya
ini. Setelah melakukan perjalanan turun gunung dan masuk
keluar hutan sampai berhari-hari, pada suatu pagi hari yang
cerah kedua orang wanita kakak beradik ini tiba di Gunung
Wilis. Mereka mendaki lereng Wilis yang sunyi itu dan
keduanya merasa heran mengapa gunung ini begitu sunyi,
berbeda dengan gunung-gunung lain yang selalu dijadikan
tempat tinggal orang-orang yang bertani di lereng gunung,
akan tetapi gunung Wilis sunyi tidak ada dusunnya.
Betapapun juga, hal ini malah menyenangkan hati mereka
berdua karena terutama sekali Endang Patibroto selalu
menghendaki kesunyian dan menghindari pertemuan
dengan orang-orang lain. Apalagi pemandangan di Gunung
Wilis amat indahnya, hawanya sejuk dan tanahnya amat
subur, terbukti dengan padatnya tetumbuhan beraneka
warna. "Kita mengaso di sini dulu, Ningsih."
Setyaningsih mengangguk. Ketika Endang Patibroto
duduk bersila di bawah pohon jeruk yang teduh, mulai
mengheningkan cipta untuk bersamadhi seperti yang selalu
dilakukan wanita sakti ini tiap kali beristirahat untuk
memulihkan tenaga, Setyaningsih pergi mencari air yang
banyak terdapat di sekitar lereng, yaitu air yang memancar
keluar dari celah-celah batu. Airnya jernih dan dingin
sekali, yang dltampungnya dengan dua buah batok kelapa
yang sengaja mereka buat di tengah perjalanan.
Setelah meletakkan sebatok air jernlh di depan
ayundanya dan dia sendiri minum sedikit air untuk
membasahi kerongkongannya yang kering, Setyaningsih
juga meniru ayundanya, duduk bersila melepaskan lelah.
Sikap duduk mereka itu adalah yang disebut Padmasana
atau sikap duduk bentuk bunga teratai. Duduk bersila
dengan kedua kaki tertumpang di paha masing-masing,
kedua tangan telentang dan terletak di antara kedua tumit,
dibawah pusar, tulang punggung dari kepala sampai ke
pinggul tegak lurus. Duduk dengan sikap seperti ini lalu
mengatur pernapasan sesuai dengan ajaran Pranayama,
sebentar saja dapat menyehatkan tubuh dan memulihkan
tenga kembali. Kedua orang kakak beradik ini sama sekali tidak tahu
bahwa semenjak tadi ketika mereka mulai mendaki dari
kaki gunung, gerak-gerik mereka selalu diikuti oleh puluhan
pasang mata yang mengintai dari atas. Dan kini, setelah
mereka duduk melepas lelah, hanya Endang Patibroto yang
tahu bahwa ada orang-orang yang berindap-indap
menyelinap di antara pohon-pohon mendekati tempat
mereka mengaso, akan tetapi Endang Patibroto masih
duduk diam melanjutkan samadhinya tanpa memperhatikan gerakan orang-orang itu. Setyaningsih tidak
tahu dan masih tekun dalam samadhi, makin lama makin
halus keluar masuknya napas dari lubang hidungnya dan
makin tenang bayangan pada wajahnya yang cantik.
Endang Patibroto biarpun dengan ketajaman pandangan
dan pendengarannya dapat mengetahui kedatangan puluhan orang itu, namun ia tidak dapat menduga siapa
mereka. Ia tidak tahu bahwa Gunung Wilis dihuni oleh
segerombolan perampok yang sudah bertahun-tahun
merajai pegunungan ini dan menyebut diri mereka
Gerombolan Wilis. Gerombolan ini besar juga jumlahnya,
kurang lebih seratus orang dan mereka membentuk sebuah
perkampungan perampok di dekat puncak, di mana para
perampok ini hidup dengan keluarga mereka. Pekerjaan
mereka selain bertani dan memburu binatang hutan, juga
merampok! Siapa saja yang lewat di wilayah Wilis, tentu
menjadi korban perampok, bahkan kadang-kadang mereka
tidak segan-segan untuk menyerbu kampung yang
berdekatan sehingga lama-lama tidak ada lagi orang berani
tinggal di sekitar daerah Wilis. Inilah sebabnya mengapa
pegunungan ini begitu sunyi, tidak ada dusunnya.
Gerombolan Wilis ini dipimpin oleh tiga orang
bersaudara yang semenjak merajai Wilis lalu menyebut diri
mereka sebagai Limanwilis, Lembuwilis, dan Nogowilis!l
Tiga orang kakak-beradik ini usianya sudah empat puluhan
lebih, dan mereka terkenal memiliki ilmu kepandaian
tinggi, memiliki kedigdayaan dan kekebalan sehingga
beberapa tahun kemudian, nama Gerombolan Wilis amat
terkenal dan ditakuti orang.
Ketika mendapat pelaporan para penjaga di kaki gunung
bahwa ada dua orang wanita mendaki gunung, tiga orang
kepala gerombolan ini terheran-heran dan memberi perintah
agar mendiamkan saja dua orang wanita itu mendaki
karena mereka bertiga hendak menyaksikan sendiri siapa
gerangan dua orang wanita yang amat berani itu.
Sedangkan puluhan orang pria masih akan berpikir-pikir
dahulu sebelum mendaki Wilis, bagaimana kini ada dua
orang wanita tanpa pengawal berani naik" Keluarlah tiga
orang kepala rampok ini dari pondok mereka dan diamdiam mereka ikut mengintai. Alangkah kagum hati mereka
ketika mendapat kenyataan bahwa yang mendaki gunung
mereka itu seorang wanita yang luar biasa cantiknya, seperti
Sang Bathari Komaratih sendiri, berusia paling banyak tiga
puluh tahun, bersama seorang gadis cilik belasan tahun
yang juga cantik jelita sukar dicari keduanya. Mereka
bertiga melongo. Sebagai orang-orang kasar, belum pernah
mereka menyaksikan kecantikan wanita yang bagi mereka
tampak agung itu. Akan tetapi ketika mereka melihat
betapa dua orang wanita itu beristirahat dan duduk
bersamadhi, mereka makin bengong terlongong. Sebagai
orang-orang yang telah mempelajari ilmu kesaktian, tentu
saja mereka mengenal sikap duduk dua orang wanita itu
dan dapat menduga bahwa dua orang wanita itu tentu
bukan wanita-wanita sembarangan atau wanita-wanita
lemah. Karena inilah maka Limanwilis yang tertua di
antara tiga kepala rampok, memberi isyarat agar anak
buahnya jangan turun tangan secara kasar. Kemudian ia
memberi isyarat lagi. Bergeraklah anak buahnya melakukan
pengurungan sehingga tempat di mana dua orang wanita itu
duduk bersamadhi telah dikelilingi barisan perampok yang
jumlahnya hampir seratus orang, terdiri dari laki-laki yang
bertubuh kuat-kuat dan sudah biasa berkelahi. Sekali lagi
Limanwilis memberi isyarat dan majulah para perampok
Itu, memperkecil lingkaran dan keluar dari tempat,
persembunyiannya, juga mereka kini bebas mengeluarkan
suara. Endang Patibroto tentu saja dapat mengetahui semua
gerakan ini biarpun kedua matanya masih dipejamkan.
Dengan ketajaman pendengarannya saja, ia sudah dapat
mengikuti seluruh gerakan mereka. Setyaningsih mendengar gerakan dan suara mereka, maka gadis cilik ini
membuka kedua matanya. Betapapun tenang wataknya,
gadis cilik ini terkejut juga ketika memandang ke sekeliling
dan melihat puluhan laki-laki tinggi besar kasar, rata-rata
brewok, berpakaian serba hijau semua, di pinggang mereka
tergantung bermacam-macam senjata tajam, dipimpin oleh
tiga orang laki-laki tinggi besar, telah mengurung tempat
itu. Anak perempuan ini melirik ayundanya dan melihat
ayundanya masih duduk bersamadhi dengan tenang sekali,
kedua mata dipejamkan. Ia menjadi tenang kembali
menyaksikan sikap ayundanya, dan tahu bahwa ayundanya
menghendaki dia melayani orang-orang yang datang
mengganggu mereka ini. Tenang-tenang saja Setyaningsih
bangkit berdiri, mengebut-ngebut kainnya dari tanah debu,
kemudian baru ia mengangkat muka menghadapi tiga orang
laki-laki tinggi besar yang ia dapat diduga tentulah
pimpinan mereka karena tiga orang laki-laki ini biar hijau,
namun pakaian mereka lebih mewah dan sikap mereka juga
membayangkan kepemimpinan. Pula, mereka bertiga itulah
yang berdiri, paling dekat, sedangkan puluhan orang yang
lain hanya berjajar dalam barisan mengurung sambil
menyeringai dan bersikap menanti perintah.
Setyaningsih melangkah maju tiga tindak sampai ia
berdiri berhadapan dengan tiga orang pimpinan Gerombolan Wilis itu. Setelah memandang penuh selldik
dengan sepasang matanya yang tajam bersinar, berkatalah
Setyaningsih, suara-nya lantang, sikapnya angkuh, jangankan kelihatan gentar, bahkan seperti orang memandang rendah, "Siapakah andika bertiga ini" Dan apa sebabnya andika
memimpin anak buah andika mengurung tempat ini dan
mengganggu aku dan ayundaku yang sedang beristirahat?"
Sejenak tiga orang kepala rampok itu melongo. Sungguh
tak pernah mereka sangka akan mendengar teguran yang
keluar demikian tenangnya dari mulut bocah ini. Kemudian
mereka bertiga saling pandang dan tak dapat menahan
ketawa mereka. "Huah-ha-ha-ha! Toblis-toblisl Luar biasa sekali bocah
ini! Begini muda, masih kanak-kanak sudah membayangkan kecantikan seperti bidadari kahyangan, dan
keberaniannya seperti seekor singa betina! Anak baik, bocah
denok ayu, calon puteri pilihan yang patut menjadi garwaku
(isteriku), siapakah namamu cah ayu (anak cantik)?" kata
Limanwilis sambil tersenyum-senyum ramah dan wajah
yang penuh brewok itu berseri-seri, kemudian ia menuding
ke arah Endang Patribroto dan melanjutkan pertanyaannya,
"Dan siapakah wanita cantik jelita seperti Sang Hyang
Komaratih itu" Siapa namanya, mau pergi ke mana, dan
apa keperluannya datang ke Gunung Wilis?"
Setyaningsih mengerutkan alisnya yang kecil hitam,
matanya menyinarkan kemarahan, kepalanya dikedikkan,
tubuhnya ditegakkan, tangan kiri bertolak pinggang dan
telunjuk tangan kanan menuding ke arah muka Limanwilis.
"Eh, paman tual Mengapa engkau begini tidak tahu tata
susila" Kalianlah yang lebih dahulu mengganggu kami yang
tidak mempunyai sangkut-paut dengan kalian, maka sudah
semestinya kalau kalian mengaku siapa kalian ini dan
mengapa mengganggu kami berdua. Jawab-lah pertanyaanku, kalau kalian tidak mau menjawab, lebih baik
lekas pergi dan jangan ganggu kami sebelum terlambat!"
"Heh-heh-heh, bocah yang berhati singa! Sebelum
terlambat katamu" Apa maksudmu?" tanya Lembuwilis
yang juga kagum menyaksikan ketabahan Setyaningsih,
sambil mendekat. "Karena kalau ayundaku sampai marah dan bangkit,
kalian takkan dapat mencari tempat untuk menyembunyikan nyawa kalianl"
"Babo-babo, bocah sombong sekali!" Nogowilis membentak. Di antara tiga orang bersaudara ini, Nogowilis
yang termuda dan yang paling berangasan (pemarah). "Kau
mundur dan suruhlah ayundamu maju. Aku enggan
melawan anak-anak!" "Hush, adi Nogo, sabarlah. Anak ini menarik sekali, dan
aku yakin dia ini bukan bocah sembarangan," kata Limanwills menyabarkan adiknya lalu menghadapi Setyaningsih
lagi, sikapnya masih ramah dan sabar. "Eh, perawan cilik
yang berani mati, biarlah engkau mengenal kami. Aku
adalah Limanwilis, dia adikku Lembuwilis dan yang itu
adik bungsu Nogowilis. Kami bertiga kakakberadik yang
menjadi pimpinan dari Gerombolan Wilis yang sudah
kondang-kaonang-onang (terkenal sekali), disegani kawan


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditakuti lawan! Gunung Wilis dan wilayahnya adalah
tempat kekuasaan kami, siapapun tidak boleh lewat
sebelum mendapat ijin dari kami! Pagi hari ini kalian
berdua lewat daerah kami, tentu saja merupakan
pelanggaran. Akan tetapi, karena engkau begini tabah dan
ayundamu begitu cantik jelita, biarlah kami ampunkan
kalian asalkan kalian suka tinggal bersama kami, menjadi
keluarga kami. Ha-ha-ha!"
"Hem m, wawasanmu lancang sekali, Limanwilis!
Engkau kira kami ini orang macam apa untuk kaujadikan
anggauta keluargamu" Sudahlah, lebih baik menyingkir dari
sini dan biarkan kami melanjutkan perjalanan."
"Waduh-waduh, sombongnya!" Nogowilis membentak
lagi. "Kakang Liman, kok sabar-sabarnya itu, lho! Biar
kupondong dan ciumi mulutnya biar dia kapok dan tidak
membuka mulut lebar lagi!"
"Huah-ha-ha-ha! Sabar .......... sabar .......... adi Nogo.
Masa kita harus bertengkar dan bertanding melawan
perawan cilik" Alangkah memalukan! Eh, perawan cilik,
kau panggil saja ayundamu biar dia yang bicara dengan
kami." Setyaningsih menoleh ke arah Endang Patibroto yang
masih samadhi, lalu ia menggoyang kepala keras-keras.
"Tidak, ayunda sedang samadhi, tidak boleh diganggu!"
"Biar aku yang membangunkannya!" kata Lembuwilis
yang sudah melangkah maju.
"Tahan .......... !" Sekali meloncat, tubuh Setyaningsih
berkelebat dan sudah berada di depan Lembuwilis,
menghadang dengan keris di tangan kanan! "Siapapun tidak
boleh mengganggu ayunda, kecuali melalui mayatku!"
Lembuwilis mundur sampai tiga langkah dengan mata
terbelalak. Demikian heran dan kagum hatinya sampai ia
melongo, tak dapat bicara. Limanwilis juga kagum sekali,
lalu menarik tangan Lembuwilis mundur. "Biarlah kita coba
dia, adi Lembu. Heh, Dayun, kau majulah dan coba
kaulayani perawan cilik ini bertanding!"
Seorang laki-laki tinggi besar akan tetapi masih muda,
rambutnya panjang riap-riapan meloncat maju dari dalam
barisan perampok. Dia ini anak buah perampok, akan tetapi
merupakan seorang yang kuat dan menjadi pembantu
utama tiga orang pimpinan itu. Dayun melangkah maju,
tersenyum menyeringai lebar.
"Waahhh, kakangmas Limanwilis, betapa memalukan
melawan seorang bocah, apalagi kalau dia perempuan dan
begini halus .......... ! Heh-heh!"
"Huah, tak usah banyak cerewet. Kau ujilah dia, ingin
aku melihat apakah dia setangkas mulutnya. Akan tetapi
cukup kalau kau merobohkan dia, jangan sampai melukai
dia. Sayang kalau terluka, begitu denok!"
"Baiklah!" Dayun melangkah maju menghadapi Setyaningsih yang memandangnya dengan marah. "Marilah
bocah ayu, mari kita main-main sebentar. Kau tusukkanlah
kerismu yang sebesar daun padi itu ke dadaku ini. Nah,
kubuka dadaku, tusuklah, sayang. Heh-heh-heh!" Dayun
memasang lagak, membusungkan dadanya yang . berbulu
dan membusung kuat sekali. Setyaningsih tidak menjawab, melainkan menyarungkan kerisnya kembali. "Eh-eh .......... kau
.......... kau menyimpan kembali kerismu" Haha-ha, jadi engkau takut dan mengaku kalah, man's" Bagus,
lebih baik begitu dan .......... auuugghh!!"
Tubuh Dayun yang tadinya bicara sambil tertawa itu terpelanting dibarengi teriakannya ketiga
Setyaningsih setelah menyimpan kerisnya tadi lalu
menampar dadanya dengan pukulan tangan yang disertai
Aji Pethit Nogo! Biarpun baru berusia sebelas tahun,
namun Setyaningsih telah menerima gemblengan ibunya
semenjak kecil, dan kalau diingat ibunya adalah wanita
sakti Kartikosari, maka tidaklah mengherankan kalau
tamparan-nya tadi membuat Dayun terpelanting dengan
dada serasa remuk! "Manusia sombong! Baru ditampar saja sudah roboh,
apalagi kalau ditusuk keris! Bangkitlah!" kata Setyaningsih
yang berdiri tegak dengan sikap gagah.
Semua mata melongo, terutama sekali mata ketiga orang
kepala rampok itu. Mereka tahu bahwa biarpun dalam hal
kesaktian Dayun belum seberapa, namun Dayun termasuk
seorang yang kuat sehingga kalau hanya pukulan seorang
laki-laki dewasa saja mengenai dadanya, tentu akan dapat
ditahannya. Akan tetapi bagaimana sekarang tamparan
tangan anak kecil perempuan itu dapat merobohkannya"
Dayun meringis dan menggosok-gosok dadanya, napasnya menjadi sesak seperti orang kumat penyakit
menginya, kemudian ia bangkit berdiri dengan muka
sebentar pucat sebentar merah. "Kakang Limanwilis,
perkenankan aku menghajar bocah setan ini!" dengusnya.
Limanwilis yang kini yakin benar bahwa anak
perempuan ini memiliki kesaktian tinggi, mengangguk
dengan pandang mata tak pernah pindah dari Setyaningsih.
Setelah mendapat perkenan dari Limanwilis, Dayun
menggereng seperti seekor harimau marah, kemudian ia
mengembangkan kedua lengannya yang besar panjang dan
berbulu, dengan jari-jari tangan yang sebesar pisang raja itu
ia menubruk, maksudnya hendak mencengkeram dan
memeluk tubuh anak perempuan itu.
"Iiihhhhh Dayun terhuyung karena ia telah menubruk angin
kosong, sedangkan Setyaningsih tadi telah melesat sambil
berseru nyaring, menggunakan Aji Bayu Tantra seperti
ajaran mendiang ibundanya. Aji Bayu Tantra adalah aji
keringanan tubuh yang membuat gerakannya menjadi gesit
sekali, cepat dan seperti terbang saja ketika ia mengelak dan
meloncat menghindarkan cengkeraman lawan. Akan tetapi,
karena tadi merasa ngeri juga menyaksikan sikap lawan
yang hendak memeluknya, Setyaningsih meloncat terlalu
jauh sehingga kini kembali ia berdiri tegak menghadapi
Dayun yang sudah membalikkan tubuh, mengembangkan
kedua lengan, melangkah perlahan-lahan seperti seekor
monyet besar menari. "Heeengggg .......... ke mana kau
hendak lari?" kembali Dayun menubruk, lebih cepat
daripada tadi. Setyaningsih yang cerdik kini masih tetap mengerahkan
Aji Bayu Tantra, akan tetapi bukan untuk meloncat jauh
menghindarkan diri, melainkan ia menggunakan keringanan tubuhnya untuk menyelinap melalui bawah
lengan kiri lawan yang menyambar sehingga kembali
Dayun menubruk angin. Sebelum Dayun sempat membalikkan tubuh, Setyaningsih sudah mendahuluinya,
melompat ke atas mengayun tangan dan .......... "plakk!"
tengkuk Dayun sudah dipukulnya dengan jari-jari tangan
yang mengandung Aji Pethit Nogo!
"Aduhhh .......... tobaaaattt.......... !I" Dayun terjungkal
dan bergulingan, mengeluarkan suara seperti orang
menangis sambil meraba-raba tengkuknya yang serasa
patah-patah. Kembali semua anak buah gerombolan memandang
dengan mata terbelalak. Mereka terlalu heran dan kagum
sehingga melongo, dan ada yang mengeluarkan seruanseruan kaget. Akan tetapi Dayun mempunyai tubuh yang
kuat, di samping itu, memang tenaga Setyaningsih yang
baru berusia sebelas tahun itu belum cukup kuat untuk
merobohkan seorang laki-laki tinggi besar seperti Dayun.
Maka sebentar saja Dayun sudah bangkit berdiri lagi dan
sekali tangan kanannya bergerak, ia telah mencabut
goloknya, sebuah golok yang besar, tebal dan amat kuat,
lagi mengkilap saking tajamnya. Diamang-amangkan golok
ini dengan sikap menakutkan sekali sambil melangkah maju
menghampiri lawannya, mukanya beringas dan penuh
kemarahan. Kali ini ia tidak minta perkenan lagi dari
pemimpinnya, dan sebaliknya tiga orang pimpinan
Gerombolan Wills itupun tidak mencegahnya.
Melihat lawannya datang lagi membawa golok,
Setyaningsih tidak menjadi gentar. Bahkan ia marah sekali
dan tangan kanannya sudah mencabut kerisnya, tangan kiri
yang sudah diisi Aji Pethit Nogo siap dikembangkan.
Matanya yang jeli dan bagus itu menatap lawan dan
mengikuti gerak-geriknya tanpa berkedip. Pada saat itu,
telinga Setyaningsih mendengar suara bisikan yang jelas
sekali, dan ia mengenal suara ayundanya, Endang
Patibroto, yang berkata lirih, "Ningsih, jangan bunuh dia
.......... " Setyaningsih tidak heran menyaksikan kesaktian luar
blasa ayundanya ini. Biarpun tidak sekuat ayundanya,
mendiang ibunya juga dapat mengirim suara dari jauh
seperti itu, yang dapat dilakukan hanya dengan dasar
tenaga sakti yang sudah amat kuat.
Pada saat itu, Dayun menggereng keras, goloknya
terayun, tampak sinar golok berkilau, disusul suara angin
menyambar. Setyaningsih hanya menggeser kaki dan
menundukkan kepala, namun gerakan ini sudah cukup
membuat sambaran golok ke arah lehernya tidak mengenai
sasaran. Dayun penasaran sekali, juga makin kaget.
Goloknya yang membabat angin kosong itu la putar
membalik dan kini sudah menyambar lagi, bukan
merupakan bacokan melainkan menyerang dengan tusukan
ke arah dada Setyaningsih dengan kecepatan seperti anak
panah menyambar dan kekuatan serudukan tanduk seekor
banteng! Semua orang menatan napas, karena biarpun gadis
cilik itu adalah lawan dari teman mereka Dayun, namun
mereka semua tentu saja tidak menganggapnya sebagai
musuh. "Wuuuuutttt .......... cusss .......... plakkk .......... !
Aduuhhhh .......... !!" Cepat sekali terjadinya gebrakan itu.
Ketika golok menyambar ke arah dada, Setyaningsih tidak
merubah kedudukan kakinya, melainkan cepat ia berjongkok sehingga golok lawan meluncur lewat di atas
kepalanya. Pada saat itu, kerisnya cepat menusuk pangkal
lengan kanan Dayun, sedangkan tangan kirinya yang sudah
siap itu menampar lutut. Tak dapat dicegah lagi, golok
terlepas dari tangan Dayun dan tubuh yang tinggi besar itu
terguling roboh, tak dapat bangun berdiri lagi karena selain
pangkal lengan kanannya terluka tusukan keris, juga
sambungan lutut kanannya terlepas! Ia hanya dapat
mengerang kesakitan, tangan kanan memegang lutut,
tangan kiri meraba luka di pangkal lengan.
Rasa heran dan kagum dari para anak buah Gerombolan
Wilis berubah menjadi kemarahan ketika mereka menyaksikan robohnya Dayun dalam keadaan terluka.
Segera mereka maju mengepung Setyaningsih tanpa
menanti komando lagi, masing-masing mencabut senjata,
hendak mengeroyok anak perempuan yang luar biasa itu.
Akan tetapi pada saat itu terdengar seruan nyaring,
"Tikus-tikus tak tahu diri!" Maka tampaklah bayangan
berkelebat, amat cepat sehingga sukar diikuti pandangan
mata, apalagi oleh mereka yang mengurung terdekat karena
tiba-tiba saja mata mereka menjadi gelap, tampak seribu
bintang di kala kepala mereka seperti meledak dan nanar
seketika. Dalam waktu sekejap mata dua puluh orang lebih,
yaitu mereka yang mengurung paling dekat dengan
Setyaningsih, telah roboh, senjata mereka beterbangan ke
sana-sini dan mereka mengaduh-aduh, memegangi kepala
dan dada. Ketika tiga pimpinan Gerombolan Wilis memandang
terbelalak, kiranya wanita cantik jelita yang tadi duduk
bersamadhi, kini telah berdiri di dekat bocah itu, berdiri
tegak dan memandang ke sekeliling dengan senyum manis
mengejek, mata bersinar-sinar dan suaranya nyaring penuh
wibawa ketika berkata, "Hayoh, siapa lagi yang berani boleh maju! Kalian ini
tikus-tikus tak tahu diri! Kalau adikku menghendaki, dia ini
sudah menggeletak mampus dengan perut robek, dan kalau
aku menghendaki, likuran (dua puluh lebih) orang ini sudah


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggeletak mampus dengan kepala remuk dan dada
pecah!" "Babo-babo!! Wanita yang sepak terjangnya seperti
halilintar menyambar-nyambar, sumbarmu seakan-akan
dapat menjebol puncak Gunung Wins! Apakah yang andika
kehendaki maka andika mengacau di wilayah kami?" tanya
Limanwilis dengan suara menggeledek, sedangkan anak
buahnya dengan hati gentar hanya dari lingkaran yang
makin menjauh, giris hati mereka menyaksikan tandang
Endang Patibroto yang luar biasa tadi.
Endang Patibroto menoleh dan menghadapi Limanwilis.
"Bukan kami kakak beradik yang mengacau, melainkan
kalian yang tidak tahu diri. Dengar balk-baik,- kalian
Gerombolan Wilis, aku dan adikku suka sekali dengan
keadaan di sini dan hendak menetap, tinggal di puncak
Gunung Wills. Kalian harus bersedia melayani kami
sebagai pimpinan kalian kalau hendak tinggal di daerah
Wills, kalau tidak, lebih baik kalian sekarang juga mlnggat
semua dari sini, karena sekali lagi berani mengganggu kami,
sudah pasti kalian akan kubunuh dan kulempar-lemparkan
ke dalam jurang menjadi makanan srigala dan burung
gagak!" "Waduh-waduh .......... Bukan main sumbarmu, wanita
perkasa! Ketahuilah, kami bertiga kakak beradik Wilis.
Kalau kau dapat mengalahkan kami bertiga, barulah akan
kami bertimbangkan ucapan-mu tadi!" kata pula Limanwilis
menantang. Kepala gerombolan ini tadi sudah menyaksikan
sepak terjang Endang Patibroto dan ia sudah cukup
maklum bahwa wanita cantik yang berdiri tegak di
depannya ini adalah seorang yang sakti mandraguna.
Namun tentu saja dia dan adik-adiknya tidak akan
mengalah begitu saja. "Bagus! Majulah kalian bertiga, atau boleh ditambah
seluruh gerombolanmu, aku tidak akan undur selangkah!"
jawab Endang Patibroto sambil berdiri tegak, siap menanti
pengeroyokan dengan kedua tangan kosong. Setyaningsih
sudah melangkah mundur, tidak mau mengganggu
ayundanya, berdiri di pinggiran dengan keris siap di tangan.
"Heh, wanita perkasa, jangan bersombong! Betapapun
juga, kami Limanwilis, Lembuwilis, dan Nogowilis
bukanlah laki-laki pengecut! Kau kalahkan dulu kami kakak
beradik bertiga, baru kita bicara lagi" bentak Limanwilis
yang marah juga mendengar tantangan Endang Patibroto.
Dia sudah mencabut goloknya, demikian pula kedua
adiknya, lalu membentak lagi,
"Keluarkan senjatamu, wanita perkasa!"
Endang Patibroto tersenyum, di dalam hatinya girang
melihat bahwa tiga orang kepala gerombolan ini biarpun
orang-orang kasar, namun memiliki sifat gagah sehingga
tidak sia-sialah dia dan Setyaningsih mengampuni dan tidak
membunuh anak buah mereka.
"Untuk menghadapi tiga batang golok-mu, tidak perlu
aku bersenjata, Liman-wilis. Kalian majulah!"
Ucapan ini menambah kemarahan tiga orang kepala
gerombolan itu. Sambil mengeluarkan bentakan hebat,
Limanwilis sudah menerjang maju, diikuti oleh kedua
orang adiknya dalam detik-detik berikutnya. Serangan
mereka luar biasa cepatnya, dan suara berdesing yang
keluar dari tiga batang golok itu membuktikan bahwa
ketiganya memiliki tenaga yang amat besar. Setyaningsih
yang sudah mempelajari ilmu silat, dapat mengerti akan
kedigdayaan mereka dan diam-diam ia menjadi khawatir
sekali, memandang dengan mata terbelalak sambil
menggigit bibir, siap untuk nekat menerjang kalau sampai
ayundanya terdesak. Maklumlah, anak ini biarpun sudah
mendengar dari mendiang ibunya akan kesaktian ayundanya, namun belum pernah ia menyaksikannya
dengan mata- sendiri. Tadi sekelebatan la menyaksikan
amukan ayundanya yang dalam sekejap mata saja
merobohkan likuran orang, dan karena gerakan Endang
Patibroto terlampau cepat, ia hanya mendapat bukti bahwa
ayundanya telah menguasai ilmu bergerak cepat, yaitu Aji
Bayu Tantra sampai mendekati kesempurnaan. Hanya
rakandanya Tejolaksono saja yang agaknya mampu
menandingi gerak cepat seperti itu tadi........... "
Memang hebat bukan main sepak terjang Endang
Patibroto ketika ia dikeroyok tiga orang kepala rampok itu.
Wanita muda ini sedang mengandung dan Ia bertangan
kosong saja, akan tetapi tiga orang kepala rampok yang
bertenaga besar itu sama sekall tidak berdaya menghadapi
kecepatan gerak Endang Patibroto yang seolah-olah
merupakan seekor burung garuda betina yang marah dan
menyambar-nyambar dahsyat!
Limanwilis, orang pertama dari ketiga kepala rampok
itu, merasa yakin benar bahwa mereka berhadapan dengan
seorang wanita yang memiliki kesaktian luar biasa, maka ia
berlaku hati-hati dan tidak berani berlaku lengah atau
menyerang secara sembrono. Tidak demikian dengan
Nogowilis dan Lembuwilis. Kedua orang laki-laki tinggi
besar ini menjadi penasaran betul. Mereka bertiga terkenal
sebagai tokoh-tokoh gagah perkasa yang jarang menemui
tanding, ditakuti semua orang. Kini mereka mengeroyok
seorang wanita yang halus gerak-geriknya, bertangan
kosong. Masa mereka akan kalah" Rasa penasaran
membuat gerakan mereka menjadi beringas dan liar, seperti
singa-singa kelaparan. Nogowilis dan Lembuwilis menggerakkan golok, menyerbu dari kanan kiri dengan
suara menggereng menyeramkan. Golok mereka sampai
mengeluarkan suara berdesing dari kanan kiri. Adapun
Limanwilis yang melihat kenekatan kedua orang adiknya, bersiap dengan goloknya untuk mencari kesempatan baik merobohkan lawan tangguh ini. Endang Patibroto merasa kesal hatinya. Kalau ia menghendaki, dengan hantaman-hantaman maut tentu sejak tadi ia telah mampu merobohkan ketiga orang lawannya. Akan tetapi ia tidak menghendaki kematian mereka. Orang-orang kasar Ini
harus ditundukkan karena mereka akan dapat menjadi
pembantu-pembantu yang baik. Inilah sebabnya mengapa
Endang Patibroto tidak segera merobohkan mereka dan
sekarang, melihat betapa dua orang kepala rampok dengan
nekat menerjangnya dari kanan kiri, Ia mendapat
kesempatan baik. la sengaja berlaku lambat, seolah-olah
membiarkan dua batang golok dari kanan kiri itu
menggunting tubuhnya. Akan tetapi pada detik terakhIr,
tiba-tiba tubuhnya menyelinap secepat kilat ke belakang,
sehingga tak dapat dicegah lagi dua batang golok dari kanan
kiri saling bertemu di udara.
"Cringgggg .......... !!"
Keras sekali pertemuan kedua batang golok itu sehingga
muncratlah bunga api dan dua batang golok itu terlepas dari
pegangan tangan kedua orang kepala rampok. Kakak
beradik ini memiliki tenaga yang seimbang dan karena tadi
mereka mengeluarkan seluruh tenaga, maka begitu kedua
batang golok bertemu, mereka merasa betapa lengan kanan
mereka lumpuh dan tidak kuat memegang golok masingmasing. Pada saat mereka menjadi kaget dan menyesal
mengapa golok mereka beradu dengan golok saudara
sendiri, tiba-tiba Nogowilis dan Lembuwilis berteriak keras,
merasa kepala mereka disambar petir yang membuat kepala
terasa panas dan pening, mata berkunang dan bumi yang
diinjak serasa berputaran. Mereka terhuyung, mempertahankan diri, namun tidak kuat dan akhirnya
kedua orang kepala rampok yang kuat ini roboh terguling,
memegangi kepala yang kena tampar Aji Pethit Nogo tadi
sambil mengerang kesakitan.
Limanwilis cepat menyerbu, membacokkan goloknya ke
arah kepala Endang Patibroto. Wanita sakti ini tidak
bergerak dari tempatnya, berdiri tegak dan begitu golok
meluncur datang, ia hanya miringkan tubuh dan dari arah
samping, tangan kirinya dengan jari-jari penuh Aji Pethit
Nogo menyambar ke arah golok.
"Krakkk!!" Golok di tangan Limanwilis itu tinggal
sepotong, patah terkena tangkisan Aji Pethit Nogo.
Limanwilis terbelalak kaget, heran dan kagum. Ia
membuang sisa goloknya, menoleh ke arah kedua orang
adiknya yang sudah bangun dan duduk melongo
menyaksikan kekalahan kakak mereka, kemudlan membungkuk-bungkuk memberi hormat kepada Endang
Patibroto sambil berkata,
"Kepandaian andika memang hebat, kami mengaku
kalah. Wanita perkasa, kalau boleh kami mengetahui,
siapakah gerangan andika?"
"Namaku Endang Patibroto dan ini adikku Setyaningsih." Mendengar disebutnya nama ini, tiga orang kepala
rampok, dan juga anak buah mereka, mengeluarkan seruan
kaget dan memandang dengan mata terbelalak.
"Endang Patibroto .......... senopati puteri dan juga puteri
mantu Jenggala yang sakti mandraguna dan telah
menggegerkan jagat (dunia) itu ..........
Endang Patibroto tersenyum masam, lallu mengangguk.
"Bekas senopati dan bekas puteri mantu Jenggala, sekarang
tidak lagi. Sekarang aku menjadi pemilik Gunung Wills dan
kalian menjadi anak buahku. Ataukah .......... kalian tidak
mau dan lebih baik minggat pergi dari sini?"
Limanwilis dan kedua orang adiknya sudah menjatuhkan diri berlutut dan menyembah Endang
Patibroto. Demikian pula semua anak buah perampok
sudah menjatuhkan diri berlutut. Limanwilis mewakili
semua temannya berkata, "Harap paduka suka memberi ampun kepada kami
semua. Sungguh kami tidak menyangka bahwa paduka
adalah Gusti Puteri Endang Patibroto yang sudah terkenal
sejak dahulu. Kalau memang paduka berkenan hendak
berdiam di Wilis, tentu saja kami siap untuk mentaati segala
perintah paduka dan kami menyerahkan jiwa raga kami ke
dalam kekuasaan paduka. Percayalah gusti, kami Gerombolan Wills bukanlah sembarangan perampok dan
tahu akan arti setia."
Endang Patibroto tersenyum girang, dan menganggukanggukkan kepalanya. "Bagus sekali, kakang Limanwilis
dan hatiku amat girang mendengar kesanggupan kalian.
Ketahuilah kalian semua! Aku bersama adik kandungku ini
sekarang tiada keluarga lagi dan seperti kukatakan tadi, aku
senang sekali melihat keadaan Gunung Wilis, maka kami
berdua mengambil keputusan untuk menetap di tempat ini.
Kalau kalian suka menjadi anak buahku, baiklah. Aku akan
tinggal di puncak, buatkan pondok untuk kami. Tempat ini
akan kunamakan Padepokan Wilis yang wilayahnya
meliputi seluruh daerah Gunung Wilis. Kalian semua
adalah anak buah Padepokan Wills, bukan Gerombolan
Wilis lagi yang mulai saat ini kububarkan! Kalian bukan
perampok-perampok dan aku bukan kepala rampok! Kalian


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulai saat ini adalah satria-satria Wilis yang tidak boleh
merampok. Daerah Wilis ini amat luas dan amat subur, kita
dapat hidup bertani dan berburu binatang hutan. Penduduk
pegunungan ini tidak boleh diganggu karena mereka adalah
rakyat kita! Kita harus mengangkat Padepokan Wilis
sehingga dunia akan tahu bahwa di sini adalah tempat
tinggal orang-orang gagah perkasa. Kalian semua selain
menjadi anak buah Padepokan Wilis, juga akan menerima
gemblengan yang akan kuturunkan melalui ketiga kakang
Wilis. Mengerti?" Semua orang bekas perampok yang jumlahnya hampir
seratus orang itu bersorak gembira.. Siapa orangnya tidak
akan berbesar hati kalau sekaligus derajat mereka diangkat
dari "perampok" menjadi "satria?"
Beramai-ramai para bekas perampok ini lalu membangun
padepokan untuk Endang Patibroto dan Setyaningsih, juga
membuat pondok-"pondok untuk mereka di lereng bawah
puncak. Kemudian mereka membuka hutan, mengerjakan
sawah, mencangkul dan bercocok tanam.
Mulai saat itu, lahirlah Padepokan Wilis di mana
Endang Patibroto hidup dengan tenang dan tenteram
bersama adik kandungnya, memimpin seratus orang lakilaki yang amat setia. Beberapa bulan kemudian, terlahir
pula anak yang dikandung Endang Patibroto, seorang anak
perempuan yang sehat dan mungil, yang tangisnya
mengejutkan para laki-laki gagah anak buah Padepokan
Wilis karena amat nyaring, yang rambutnya hitam panjang
dan subur, dengan sepasang mata yang mengeluarkan sinar
tajam sebagai tanda bahwa anak ini bukan-lah anak biasa.
Para anak buah Padepokan Wilis menyambut kelahiran
anak ini dengan penuh kegembiraan, dengan pesta reog dan
tari-tarian. Keluarga bekas perampok yang kini otomatis
juga tinggal di lereng dan menjadi anggauta-anggauta
Padepokan Wilis, menyelenggarakan pesta itu sehingga
cukup meriah, dikunjungi pula oleh penduduk sekitar Wilis
yang tidak berapa banyak jumlahnya. Maka terlahirlah
Retno Wilis, demikian nama anak itu. Retno Wilis, anak
Gunung Wilis, yang sejak kecil oleh ibunya telah diberi
pakaian serba hijau warnanya, sesuai dengan namanya dan
tempat tinggalnya karena Wilis berarti Hijau.
-oo0dw0oo- Suminten menghadapi cermin, berhias sambil rengengrengeng (bersenandung). Hatinya merasa puas sekali
dengan kemajuan-kemajuan yang dicapainya. Ia telah
berhasil baik dengan bantuan Pangeran Kukutan yang
menjadi pembantu amat setia. Ia maklum bahwa Ki Patih
Brotomenggala dengan kawan-kawannya merupakan ancaman dan musuh berbahaya baginya. Namun, dengan
bantuan Kukutan, ia telah mulai dapat menanam
kecurigaan dan ketidakpercayaan sang prabu terhadap para
pembesar ini. Beberapa hari yang lalu, rencananya bersama
Kukutan telah berhasil baik sekali. Dua orang di antara
pembantu ki patih yang merupakan orang-orang kuat dan
berbahaya, yaitu Adipati Wirabayu mantu Ki Patih
Brotomenggala dan Empu Adisastra, telah ditangkap dan
dijebloskan dalam tahanan!
Suminten menatap bayangan wajahnya yang manis di
dalam cermin. Digosok-gosoknya pipinya yang terhias tahi
lalat hitam kecil di sebelah kiri, di atas mulut, sampai kedua
pipiyang halus itu menjadi kemerahan seperti jambu
matang. Digerak-gerakkan bibirnya sehingga dapat membentuk mulut yang menggairahkan, bibir yang
menantang dan yang ia tahu akan menundukkan hati sang
prabu. Diaturnya sinom (anak rambut) di dahi dan depan
telinga. Rambutnya yang hitam panjang itu disanggul lepaslepas di belakang tengkuk, seperti lingkaran ular yang
malas, dan dihias bunga melati setelah ia gosok dengan sari
kembang melati sehingga berbau harum wangi.
Bunga air mawar yang tadi ia pakai untuk mandi dan
mencuci tubuh, membuat tubuhnya berbau sedap dan segar
seperti setangkai mawar yang semerbak harum. Suminten
tersenyum, mengagumi wajahnya sendiri di dalam cermin,
lalu melirik ke arah tubuhnya dengan pandang mata
bangga. Memang tubuhnya patut dibanggakan, tubuhnya
yang muda, belum dua puluh tahun, padat dan amat
dikagumi sang prabu. Ia tersenyum lagi penuh kebanggaan
dan kepuasan, lalu menarik kain penutup buah dada agak
ke bawah agar lebih banyak lagi bagian buah dada yang
sebelah atas tampak. Kali ini ia harus benar-benar
mempergunakan seluruh keindahan wajah dan tubuhnya
untuk mengalahkan sang prabu, untuk mencapai tujuannya.
Ia harus dapat membuat sang prabu mabuk, lebih mabuk
daripada yang sudah-sudah agar segala yang dimintanya
akan dikabulkan. Suminten bangkit berdiri. Kini tampak betapa tubuhnya
benar-benar amat menggairahkan. Tinggi semampai dengan
lekuk-lengkung sempurna, padat berisi, semua bagian
tampak halus lunak namun mengkal berisi seperti buah
mangga muda matang ati. Sekali lagi ia meneliti keadaan
dirinya, memandangan bayangan tubuhnya dari segala
jurusan, berputaran di depan cermin, lalu ia tersenyum puas
dan bertepuk tangan memberi isyarat kepada pada abdinya
bahwa mereka kini boleh memasuki kamarnya. Tiga orang
emban yang muda-muda dan cantik-cantik akan tetapi
kelihatan sederhana kalau dibandingkan dengan Suminten
yang gemilang, memasuki kamar itu dengan langkah
gemulai dengan tersenyum-senyum genit. Mereka itu tanpa
diperintah lalu sibuk mengelilingi junjungan mereka, ada
yang membetulkan letak kain, ada yang hendak
memperbaiki letak rambut dan mulut mereka memuji-muji
dengan sikap menjilat. "Hish, jangan lancang! Rambut dan riasanku sudah baik
semua, jangan diganggu! Kalian ini merusak saja, selera
kalian mana cocok dengan seleraku?"
Suminten adalah bekas seorang emban, abdi dalem
mendiang Pangeran Panjirawit dan isterinya. Karena inilah
agaknya maka setelah kini menduduki tempat tinggi di
samping sang prabu, ia masih belum dapat melenyapkan
sifatnya yang suka bersendau-gurau dengan para abdinya
seperti terhadap kawan-kawan sendiri. Hal ini amat
menyenangkan hati para abdinya yang membuat mereka
makin cinta dan setia. Memang pandai sekali Suminten
mengambil hati para pembantunya.
Para emban yang ditegur itu tersenyum-senyum dan
melontarkan kata-kata pujian yang bukan penjilatan semata
karena memang pada saat itu Suminten tampak amat cantik
manis menarik hati. Jumlah para emban yang mengabdi
kepada Suminten ada tujuh orang dan mereka ini
kesemuanya telah bersumpah setia kepada Suminten.
Mereka ini pula yang tempo hati telah membuat kesaksian
palsu untuk menjatuhkan Puteri Sekarmadu. Mereka yakin
bahwa hidup mati mereka, suka-duka mereka, bahagia
sengsara mereka terletak di tangan Suminten, oleh karena
itu mereka amat setia dan ingin sehidup semati dengan
junjungan ini yang mereka percaya penuh keyakinan pasti
akan menanjak kedudukannya dan menjadi seorang yang
paling berkuasa di Jenggala kelak. Dengan demikian, nasib
mereka pun sudah boleh dipastikan akan menjadi makin
baik. Siapa tahu kelak mereka itupun akan diangkat
menjadi puteri-puteri yang terhormat seperti halnya
Suminten yang dahulupun hanya seorang emban seperti
mereka. "Sudahlah, simpan segala puji-pujian itu untuk lain kali,
emban. Lebih baik lekas kalian pergi menemui pengawal
pribadi yang menjaga' kamar peraduan sang prabu, katakan
bahwa aku hendak menghadap sang prabu sekarang juga."
Tiga orang emban yang cantik itu tersenyum-senyum.
Mereka selalu merasa girang kalau disuruh menemui para
pengawal yang gagah-gagah dan ganteng-ganteng itu, dan
kesempatan-kesempatan seperti itu tentu akan mereka
pergunakan sebaik-baiknya untuk bersendau-gurau dengan
para pengawal. Berlari-larilah mereka seperti anak-anak
nakal keluar dari kamar Suminten untuk menyampaikan
perintah junjungan mereka.
Memang amat besar kekuasaan Suminten. Belum pernah
sebelumnya seorang isteri selir dapat menghadap sang
prabu begitu saja tanpa dipanggil, setiap saat yang
dikehendakinya! Bahkan sang permaisuri sekalipun tidak
pernah atau jarang sekali mempergunakan kekuasaan
seperti ini. Hebatnya, bukan hanya sang prabu sendiri yang
selalu menurut dan menerima kunjungan selirnya ini
dengan kedua tangan terbuka dan hati gembira, dalam
keadaan bagaimanapun, juga para pengawal sang prabu
tidak seorang pun berani membantah. Hal ini adalah berkat
kecerdikan Suminten yang merengek-rengek dan membujuk-bujuk sang prabu dengan alasan bahwa sejak
peristiwa Sekarmadu, istana harus dijaga oleh pengawalpengawal yang benar-benar dapat dipercaya dan untuk
memilIh para pengawal ini, ditunjuk Pangeran Kukutan
"yang setia" oleh Suminten. Dan seperti yang sudah-sudah,
karena mabuk dalam pelukan dan belaian Suminten, sang
prabu meluluskan atau menyetujuinya. Kini para pengawal
pribadi sang prabu adalah orang-orang pilihan Pangeran
Kukutan dan sebagai anak buah pangeran itu, tentu saja
dengan sendirinya mereka itu tunduk dan taat kepada
Sumintenl Demikianlah, malam hari itu, biarpun bukan waktunya
sang prabu memanggilnya, Suminten memasuki kamar
peraduan sang prabu dengan langkah perlahan. Para
pengawal yang menjaga di luar, menelan ludah ketika
melihat sang puteri ini lewat. Para pelayan yang tadi
melayani sang prabu, telah diperintahkan ke-luar dari
kamar oleh raja yang tua ini. Setiap kali selirnya yang
tercinta ini datang, mendadak saja sang prabu yang tua itu
seolah-olah kembali menjadi muda, dikuasai nafsu berahi.
Tadi sebelum mendengar akan permintaan Suminten untuk
menghadap, sang prabu benar-benar menikmati masa
tuanya, seperti orang-orang tua yang lain dia suka duduk
bermalasan di kursi yang lunak, dilayani para emban,
dipijiti lengan dan kakinya, sambil makan hidangan yang
serba lezat dan empuk tidak melelahkan mulut yang sudah
ompong, mendengarkan. emban bersenandung dengan
suaranya yang merdu, kadang-kadang minum minuman
yang hangat dicampuri jahe membuat tubuh terasa hangat
dan enak, meram melek seperti seekor lembu menjerum
(mendekap dalam lumpur). Akan tetapi begitu mendengar
bahwa Suminten akan datang, tiba-tiba saja si lembu
berubah menjadi singa! Sinar mata yang tadinya tenang
tenteram merem melek, kini terbuka lebar, bersinar-sinar
dan wajah yang tua Itu berseri penuh nafsu. Dengan tak
sabar sang prabu lalu menggunakan kata-kata dan isyarat,
mengusir semua emban dan membersihkan semua bekas
hidangan. Ia sendiri lalu duduk di kamar kosong, duduk di
atas kursi empuk, memandang dengan penuh kegembiraan
ke arah pintu, semua urat syaraf di tubuh menegang seperti
biasanya kalau ia akan didekati Suminten!
Jilid XX PANDANG mata sang prabu makin bersinar dan kini
mata itu terbelalak penuh kagum ketika selirnya tercinta
memasuki kamar dari pintu yang terbuka dari luar. Daun
pintu tertutup kembali dan Suminten menjatuhkan diri
berlutut dan menyembah dengan gerakan lemah gemulai
sehingga mempertontonkan keindahan tubuhnya dengan
jelas oleh gerakan-gerakan terlatih.
"Bangunlah ......... bangunlah......... dan berjalanlah
......... perlahan-lahan ke sini, juitaku. Aku ingin melihat
engkau melenggang ......... " Sang prabu menggerakgerakkan kedua lengannya seperti hendak mengangkat
Suminten bangun. Suminten menengadah sehingga wajahnya tampak
sepenuhnya oleh sang prabu. Mulut yang semringah merah
segar itu agak terbuka, mengarah senyum, mata mengerling
penuh hasrat, hidung kecil mungil itu agak bergerak
cupingnya kemudian Suminten menyembah dan bangkit
berdiri. Tidak sembarangan saja ia bangun ini, melainkan
diaturnya, seperti bangkitnya seorang penari, memakai
irama, memakai aturan sehingga setiap gerak, setiap
perubahan tubuh tampak menarik menggairahkan. Kemudian wanita cantik manis yang amat cerdik ini
melangkah maju, dengan langkah-langkah kecil, setiap
melangkah kaki menyilang ke depan, tumit diangkat, maka
tampaklah penglihatan yang mempesonakan. Tubuh dari
pinggang ke atas tegak dan kelihatan agung, akan tetapi dari
pinggang ke bawah, seluruhnya merupakan pergerakan
yang seratus prosen menonjolkan sifat kewanitaan yang
halus lunak, lemas dan memikat. Karena tumit diangkat
melangkah, maka buah pinggul meninggi, dan karena kaki
menyilang ke depan setiap langkah, pinggul itu melenggang-lenggok seperti pinggul harimau, inggang yang


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ramping itu mematah ke anan kiri seolah-olah tidak
bertulang, seperti tubuh ular, ayunan lengan, tapak semua
mengandung keindahan seni menggairahkan, ditambah
suara ujung kain perlahan-lahan setiap melangkah, seperti
daun-daun bambu bersendau-gurau membislkkan janji-janji
yang muluk membakar nafsu berahi.
Sebetulnya sang prabu yang sudah tua itu merasa
tubuhnya lelah dan matanya mengantuk. Akan tetapi
melihat Suminten, lenyap rasa kantuknya seperti mencuci
muka dengan air wayu, timbul seleranya seperti orang
mengandung melihat rujak jeruk yang masam manis dan
pedas! Diam-diam sang prabu merasa amat heran mengapa
setelah menyelir wanita ini sampai bertahun-tahun, setIap
kali melihat Suminten selalu timbul hasratnya, tak pernah
merasa bosan, bahkan makin lama makin terpikat dan
melekat, seperti orang ketagihan candu.
"Duhai Suminten, wong ayu denok montok, kedatanganmu seperti munculnya matahari di musim
hujan, seperti jatuhnya hujan di musim kering! Ke sinilah,
manis, mendekatlah agar terobat rasa rindu hatiku!"
Suminten mencibirkan bibir bawahnya yang penuh
merah dengan sikap manja dan centil, mengerling dan
kemudian tersenyum. "Duh, sinuhun pujaan hamba! Baru
dua malam yang lalu hamba menemani paduka, akan tetapi
entah mengapa, dua malam berpisahan dengan paduka
hamba tidak dapat tidur barang sekejap mata, tersiksa hati
rindu rendam." Suminten lalu menjatuhkan diri di dekat
kaki sang prabu, menyembah.
Raja tua itu mendekap kepala itu, menariknya ke atas
pangkuannya, lalu menggunakan kedua telapak tangan
memegang pipi yang kemerahan, menengadahkan muka
yang manis itu, terpesona oleh keindahan yang dilihatnya,
kemudian sang prabu menunduk, membungkuk dan
mencium kening yang menjelirit indah, penuh kemesraan
dan kasih sayang. "Wahai, manisku yang tercinta, kalau
sudah mendengar ucapanmu, meraba kulitmu,menciummu,
aku lupa bahwa aku sudah tua dan agaknya aku tidak akan
mau mati sampai seribu tahun lagi!"
Suminten memeluk pinggang junjungannya dan membenamkan mukanya di atas pangkuan. la muak, seperti
pada malam pertama ia diperisteri raja tua ini. Muak ia
kalau dicium dan merasa betapa jenggot dan kumis
panjang, kasar dan beruban itu mengusap-usap kulit
mukanya yang halus lunak. Di dalam pangkuan, ia berjebi,
dan kali ini bukan berjebi manja, melainkan berjebi
sungguh-sungguh karena hatinya mengkal dan mencemoohkan. Hatinya berbisik gemas, "Huh, tua
bangka, siapa sih yang ingin melihat engkau tidak segera
mampus" Akan tetapi jangan kau mampus dulu karena
hanya melalui kebodohanmu saja-lah cita-citaku akan
tercapai. Kalau sudah tercapai, tidak ingin mampus pun
akan kuusahakan supaya kau segera mampus, kau tua
bangka menjemukan!" Akan tetapi, ia segera dapat menindas perasaan hatinya
ini dan dengan muka penuh keharuan dan penuh cinta
kaslh ia menengadah, memandang wajah sang prabu, dua
titik air mata yang jernlh tergantung pada bulu mata yang
lentik panjang. "Aduhai, gusti junjungan hamba! Mengapa paduka
bicara tentang mati" Hambalah orang pertama yang siang
malam berdoa dan memohon kepada para dewata semoga
paduka dianugerahi panjang usia dan takkan berpisah dari
sisi hamba selama hamba masih hIdup."
"Wah ......... , adindaku, jantung hatiku yang tiada
keduanya di dunia ini! Betapa besar rasa syukur dan terima
kasihku kepada para dewata yang menganugerahi aku di
hati tuaku dengan seorang den ayu seperti engkau!" Sang
prabu yang masih kuat itu menarik tubuh Suminten,
didudukkannya wanita itu di atas pangkuannya dan
mulailah mereka bercumbu dan berkasih mesra. Pandang
mata sang prabu berpesta menjelajahi tubuh yang denok
montok itu, yang memang sengaja ditonjol-tonjolkan
bagian-bagian yang menarik oleh Suminten dl kala ia
berdandan tadi. Suminten yang semuda itu sudah amat ahli
dalam merayu, membuat sri baginda mabuk dengan
belaian-belaian sepuluh jari tangannya yang halus dan
hidup merayap-rayap, membelai dan mengusap penuh
kasih, dengan pelukan-pelukan ketat, dengan ciumanciuman manja dan panas bernafsu sampai raja tua itu
terengah-engah dibakar nafsunya sendiri kemudian memondong tubuh selirnya dibawa ke peraduan yang
dibuat daripada emas bertilam sutera dan berbau harum.
Suminten pandai menyimpan rahasianya, juga pandai
menekan perasaan. Ia melayani sang prabu seperti seorang
selir yang benar-benar mencinta. Ia menanti saat dan
kesempatan baik, dan sampai jauh malam setelah sang
prabu merem melek menikmati pijatan jari-jari tangan halus
itu pada kedua kaki tuanya yang lelah, Suminten masih
belum menyampaikan hasrat yang terkandung di hatinya,
sesuai dengan rencana yang dibuatnya sejak siang tadi ia
melakukan perundingan rahasia dengan Pangeran Kukutan.
Rencananya dilakukan semenjak tadi ia berdandan
mempersolek diri, merupakan sebagIan siasatnya untuk
menjatuhkan hati sang prabu.
Melihat betapa tekunnya wanita cantik manis itu
memijati betis dan pahanya, sang prabu menghela napas
penuh kepuasan, lalu berbisik, "Suminten, betapa aku
mencintamu ......... "
Saat yang amat baik telah tiba dan Suminten menahan
isak, kemudian kedua tangannya berhenti memijati kaki
dan digunakan untuk menutupi mukanya. Ia terisak dan air
mata mengalir dari celah-celah jari tangannya.
Sang prabu terkejut dan cepat bangun, merangkul leher
kekasihnya. "Eh, eh, ada apakah, Suminten" Mengapa
engkau meruntuhkan waspa (air mata), kekasihku?"
Suminten makin sesenggukan, menyembunyikan mukanya di dada sang prabu. "Hati hamba amat terharu
......... dan justeru karena kekalnya cinta kasih antara kita
......... menimbulkan hal-hal yang tidak enak ......... karena
mereka menjadi iri hati"."
"Eh, siapakah" Siapa iri hati kepadamu?"
"Paduka tentu maklum. Sudah terbuktl desas-desus yang
dikeluarkan oleh mulut kurang ajar Adipati Wirabayu dan
Empu Adisastra ......... "
"Hemm, tenangkan hatimu. Bukankah mereka telah
kutangkap dan dijebloskarr . dalam penjara?"
"Benar, gusti hamba yang tercinta. Akan tetapi apa
gunanya" Mereka itu malah makin mendendam .........
hamba orang yang hina-dina dan celaka ......... dibenci oleh
banyak orang karena iri hati?"."
"Eh, siapa pula berani" Aku sendiri akan melindungimu,
kekasih manis. Siapa-pun dia yang membencimu akan
berhadapan dengan aku sendiril" seru sang prabu dengan
nada menantang dan marah.
"Ah, gusti sesembahan hamba yang hamba cinta dengan
seluruh jiwa raga hamba ......... , tidak sedetikpun hamba
meragukan kasih sayang paduka ......... akan tetapi, mereka
itu orang-orang terpenting, termasuk Ki Patih Brotomenggala yang menjadi orang pertama dengan antekanteknya, para tumenggung dan adipati ......... dan bahkan
beberapa orang pangeran juga membenci hamba ......... di
bawah lindungan gusti ayu ratu sendiri?".."
"Hemmm, hanya dugaanmu saja, Suminten. Mereka
tidak membencimu!" "Hamba seorang wanita. Perasaan hamba dapat
mengetahui, biarpun mereka tidak secara berterang
menyatakan benci karena takut kepada paduka. Akan tetapi
cara mereka memandang hamba, dan desas-desus di luaran,
para abdi sudah mengetahui semua ......... ah, betapa akan
lega hati hamba kalau hamba dapat membalas mereka
semua!" Sang prabu benar-benar terkejut. Dipegangnya pundak
kekasihnya dan dipaksanya wanita itu memandangnya.
"Suminten! -.Apa yang kaukatakan ini" Mereka .........
mereka adalah keluargaku, isteriku dan putera-puteraku,
dan ponggawa-ponggawa tinggi yang setia ......... !"
Suminten menangis makin mengguguk, kemudian ia
melepaskan rangkulan sang prabu, melorot turun sambil
menangis lalu berlutut di depan pembaringan sambil
menyembah-nyembah. "Ampunkan hamba, gusti. Sungguh
hamba tidak tahu diri! Mereka adalah orang-orang berjasa
dan setia dan pandai, sedangkan hamba" Ah, hamba hanya
orang sudera, rendahan hina, bodoh dan canggung. Hamba
tidak punya apa-apa, hanya punya cinta kasih, hamba
merelakan badan dan nyawa ini ......... paduka bunuh saja
hamba sekarang juga, agar paduka tidak menjadi pusing
karena urusan mereka membenci hamba ......... " Suminten
terisak-isak. "Hushhh ......... hushhhh ......... kau kekasihku, omongan
apa ini" Ke sinilah dan hentikan tangismu ......... " Sang
prabu menarik tubuh kekasihnya, merangkul dan memangkunya. Diusapnya air mata yang membasahi pipi
yang montok, diciumnya mulut yang terisak, lalu sang
prabu tersenyum, bertanya, "Suminten, habis apa yang kau
ingin kulakukan" Menangkapi mereka semua" Kakang
patih, permaisuri, para adipati dan tumenggung, bahkan
para pangeran?" Suminten menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata
dengan nada sedih, "Hamba bukan seorang yang tidak tahu
diri, gusti. Tidak, hamba tidak menghendaki sejauh itu.
Hanya tentu saja hamba merasa sengsara hidup ini kalau
dijadikan bahan percakapan mereka yang membenci,
padahal di dalam hati hamba, tiada rasa benci kecuali
keinginan hendak melayani paduka sepenuh cinta kasih,
membahagiakan paduka dengan setia ......... "
Sang prabu mengecup bibir yang mengeluarkan ucapan
semanis itu. "Habis, apa kehendakmu sekarang, Suminten?"
"Dua orang bedebah itu, gusti Si Wirabayu dan Adisatra
......... , mereka membuat desas-desus bahwa hamba telah
menjatuhkan guna-guna atas diri paduka, bahwa hamba
meracuni hidup paduka, melemahkan Kerajaan Jenggala.
Untung ada putera paduka yang amat setia dan berbakti,
anak Pangeran Kukutan yang dapat membongkar kejahatan
mereka. Kalau tidak, dan sampai rakyat mempercaya desasdesus itu, bukankah mencelakakan hamba dan merendahkan nama paduka?"
"Mereka sudah ditangkap, manis?".."
"Tidak, mereka harus dihukum mati, gusti. Mereka telah
menghina paduka dan kalau mereka tidak dihukum mati di
alun-alun, yang lain-lain tidak akan menjadi takut!
Kewibawaan paduka akan terancam dan untuk memulihkan kewibawaan paduka, jalan satu-satunya hanya
menghukum mati mereka yang telah menghina paduka."
Berubah wajah sang prabu. "Tapi ......... tapi .........
Wirabayu adalah anak mantu kakang Patih Brotomenggala
......... dan ......... dan kakang Empu Adisastra banyak
jasanya dalam kesenian ......... "
Kembali Suminten menangis. "Sudahlah, hendaknya
paduka bunuh saja hambamu ini, gusti ......... sudah hamba
katakan tadi, hamba tiada jasa, hamba tiada guna ......... ,
silahkan paduka tusuk saja dada ini dengan pusaka paduka
........." Suminten menarik penutup dadanya, menantang.
Akan tetapi perbuatan ini bahkan membuat sang prabu
terpesona. Tiada bosannya sang prabu mengagumi tubuh
yang muda dan indah itu. Ia memeluk mesra.
"Baiklah, kekasihku ......... baiklah memang kau benar,
mereka harus dijadikan contoh untuk mengembalikan
kewibawaanku, agar tidak ada orang berani Iagi
menghinamu ......... !!"
"Menghina paduka, bukan hamba ...... " kata Suminten


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manja sambil memeluk dan kembali dengan pandainya
wanita ini mencumbu sehingga sang prabu menjadi makin
mabuk. Jin setan dan iblis brekasakan yang meliar di malam
hari itu berpesta pora, bersorak gembira melihat hasil
kemenangan nafsu kejahatan ini.
-oo0dw0oo- Alun-alum penuh rakyat, berjejal-jejal. hendak menyaksikan hukuman mati atas diri Adipati Wirabayu dan
Empu Adisastra. Bagian pengawal menjaga di sekeliling
alun-alun, mencegah rakyat mendekati tempat pelaksanaan
hukuman: Tak jauh dari tempat pelaksanaan hukuman ini
terdapat sebuah panggung dan di situ duduk sang prabu
bersama Suminten. Keruh wajah sang prabu karena
sesungguhnya pelaksanaan hukuman inl tidak berkenan di
hatinya, terpaksa diperintahkan untuk tidak mengecewakan
hati Suminten! Wajah tua itu tampak makin berkerut-merut,
makin tua, pandang matanya sayu. Berbeda dengan raja tua
ini, Suminten tampak gilang-gemilang dalam cahaya
mudanya, cantik jelita dan sikapnya tenang, agung dan
angkuh dalam kemenangannya.
Biarpun alun-alun itu penuh dengan manusia berjajaran,
namun suasananya sunyi. Semua orang merasa prihatin dan
gelisah. Memang ada banyak pula yang tersenyum-senyum
puas, mereka ini adalah orang-orang yang memang
mempunyai rasa permusuhan terhadap dua orang yang
akan dijatuhi hukuman mati, dan terutama mereka yang
telah menjadi kaki tangan Pangeran Kukutan.
Keluarga kedua orang hukuman yang diharuskan hadir,
termasuk Ki Patih Brotomenggala, berkumpul di sudut dan
di antara mereka, terutama kaum puterinya, menangis
terisak-isak. Suasana makin mengharukan ketika dua orang
hukuman itu digiring memasuki alun-alun.
Mereka tidak muda lagi, lima puluhan tahun uslanya.
Terutama Empu Adisastra sudah kelihatan tua dengan
jenggotnya yang panjang. Mereka sudah mendengar akan
keputusan raja dan menerima keputusan ini dengan tenang.
Mereka memasuki lapangan digiring oleh para algojo
dengan kedua tangan terikat di belakang punggung, dan
berjalan dengan langkah tenang dan dada terangkat. Dalam
menghadapi kematian, kedua orang ini sama sekali tidak
merasa takut. Dan mereka tahu bahwa mereka mati untuk
kebenaran. Mereka telah menyebarkan kritik dan cela
terhadap sang prabu dan Suminten,bukan sekali-kali karena
dendam pribadi, melainkan karena dasar kebaktian
terhadap kerajaan dan bangsa. Mereka melihat betapa
Kerajaan Jenggala terancam kehancuran karena sang prabu
tergila-gila kepada seorang wanita yang tidak baik. Mereka
ditangkap karena fitnah yang dijatuhkan Pangeran Kukutan
ketika pangeran ini mendengar di suatu pesta tentang kritik
dan cela mereka, difitnah sebagai penyebar desas-desus
yang .menghina raja ! Dua orang ini dihadapkan kepada sang prabu. Mereka
memandang ke arah Suminten dengan mata melotot penuh
kebencian, kemudian berlutut ke arah sang prabu. Sang
prabu meramkan mata, lalu mengangkat tangan ke atas
memberi isyarat algojo menarik kedua orang itu, dibawa ke
dekat lubang yang telah digali untuk menampung darah
mereka, kemudian disuruh berlutut.
Pada saat itu, terdengar jerit tangis. Mereka mengangkat
muka memandang dan ketika melihat keluarga mereka
menangis menjerit-jerit, panggilan isteri dan anak-anak
mereka, tak dapat lagi mereka menahan air mata. Bukan air
mata karena takut, melalnkan air mata karena sedih bahwa
mereka harus meninggalkan keluarga yang tentu akan
menjadi berduka dan berkabung.
"Algojo, lakukan tugasmu!" kata Adipati Wirabayu.
Sang algolo lalu mengangkat goloknya ke atas mengertak
gigi dan tampak sinar berkelebat dua kali berturut-turut.
Putuslah leher kedua orang terhukum itu. Darah
menyemprot ke atas dan beberapa orang anggauta keluarga
roboh pingsan. Di antara para penonton terdengar isak
tertahan. Sang prabu lalu bangkit, wajahnya agak pucat dan
Suminten cepat bangkit pula, menggandeng lengan raja dan
dituntunnya raja itu turun dari panggung, memasuki tandu
dan cepat-cepat pergi meninggalkan tempat mengerikan itu,
memasuki istana. Hanya karena pandainya Suminten
menghibur saja maka dalam waktu singkat sang prabu telah
melupakan peristiwa menyedihkan di alun-alun itu.
Semenjak hari Itu, sang prabu makin tenggelam ke dalam
pelukan dan bujuk rayu Suminten sehingga raja yang tua itu
mengabaikan tugasnya, tidak memperdulikan lagi bermalam di dalam kamar para selir lainnya, juga tidak lagi
bermalam di kamar permaisuri. Amat pandainya Suminten
mengambil hati dan amat pandai pula ia mencari-cari
perkara sehingga tampak jelas olehnya siapa mereka yang
membencinya dan memusuhinya agar dengan mudah ia
dapat menjatuhkan fitnah kepada mereka dan turun tangan
terlebih dahulu menghalau orang-orang yang sekiranya
akan dapat menjadi penghalang bagi cita-citanya.
"Mengapa paduka kelihatan murung, gusti" Bukankah
kematian kedua orang laknat itu berarti melenyapkan dua
orang pemberontak yang tidak setia?"
Sang prabu menghela napas panjang, namun dalam
kekecewaannya ia masih tidak dapat terlepas daripada daya
tarik yang keluar dari gerak-gerik dan tubuh Suminten.
Ditariknya selir terkasih itu, dipangku dan dielus rambut
yang halus panjang itu. "Engkau tidak tahu, Suminten. Mereka berdua itu adalah
orang-orang yang pandai. Aku telah kehilangan dua
pembantu, yang cakap."
"Ahhh, sinuwun, apakah artinya pembantu yang cakap
dan pandai kalau dia tidak setla" Mencari orang pandai
tidaklah sukar, akan tetapi, mencari orang setia adalah
paling sukar. Dengan para pembantu macam ki patih dan
antek- anteknya, paduka dikelilingi oleh musuh- musuh
rahasia dan kedudukan paduka amatlah berbahaya. Akan
tetapi, hendaknya paduka tenang dan percayalah bahwa
selama hamba berada di sini, dibantu oleh puteranda
Pangeran Kukutan yang berbakti dan setla, hamba berdua
akan dapat menghalau semua bahaya yang mengancam
paduka." Sang prabu menggunakan kedua tangan untuk memegang kepala yang terasa pening. Ia menggeleng-geleng
kepalanya dan berkata, "Ah, aku bingung ......... aku
bingung......... Minten. Betapa mungkin patihku yang setla
memusuhiku ......... Kakang PatIh Brotomenggala adalah
patihku sejak dahulu ......... dia ......... dia?"."
"Betapa dapat mengukur isi hati manusia, gustl"
Dalamnya bengawan dapat diselami, tingginya gunung
dapat didaki, akan tetapi dalamnya hati manusia dan
tingginya cita-cita manusia sukar diukur. Mungkin dahulu
dia setia, akan tetapi sekarang ......... hemm, dia berani
membujuk-bujuk sang permaisuri ......... dan menurut
penyelidikan hamba dan Pangeran Kukutan, ki patih kini
secara rahasia telah mengadakan kontak dengan para
adipati dan bupati, agaknya siap-siap untuk memberontak
apabila saatnya tiba."
Wajah sang prabu menjadi pucat. Terbelalak ia
memandang Suminten dan berkata, "Benarkah itu ......... "
Adakah bukti-buktinya ......... "!
Suminten tersenyum manis. "Belum ada, gusti. Kalau
sudah ada tentu hamba akan turun tangan. Akan tetapi
bukti itu sewaktu-waktu tentu dapat kita cari asalkan
paduka sudah mengetahuinya terlebih dahulu. Hamba
mendengar bahw ki patih dan teman-temannya sudah pula
memilih-milih calon putera mahkota di antara para
pangeran, tentu saja pangeran yang bersekutu dengan
mereka memusuhi paduka."
"Aahhhh ......... ......... bagaimana baiknya Minten?"
"Harap paduka tenang dan serahkanlah kepada hamba.
Suminten akan melindungi dan membela paduka sampai
titik darah terakhir! Menurut pendapat hamba, sebaiknya
sekarang menggantikan kedudukan kedua orang pemberontak yang sudah di hukum mati. Menurut petunjuk
anaknda Pangeran Kukutan, sebaiknya mengangkat
Tumenggung Wirokeling dan Tumenggun Sosrogali
menggantikan kedua orang itu."
Sang prabu mengangguk-angguk. Dua orang tumenggung itu adalah orang-orang kasar yang bodoh dan
hanya tahu peran saja, akan tetapi bukankah tadi Suminte
mengatakan bahwa yang penting mencar orang-orang setia"
"Baiklah, aku setuju. Biar besok kuperintahkan kepada.ki
patih." Suminten girang sekali. Memang ia sudah merencanakan
semua ini dengan Pangeran Kukutan beberapa hari yang
lalu ketika mereka mengadakan pertemuan kasih mesra,
bermain cinta di taman. Kedua orang tumenggung itu
adalah kak i tangan Pangeran Kukutan yang boleh
dipercaya. Saking girangnya, ia lalu merangkul dan
menciumi jenggot putih sang prabu.
"Duhai, gusti sesembahan hamba. Amat besar hati
hamba melihat betapa paduka menaruh kepercayaan
kepada hamba." Sang prabu memeluk tubuh padat itu, kepercayaannya
makin mendalam. "Suminten, hanyalah engkau satusatunya orang di dunia ini yang masih dapat kupercaya,
berdasarkan cinta kasihmu yang telah kaubuktikan selama
ini." Setelah beberapa lama mencumbu rayu junjungannya
yang sudah tua dan yang sesungguhnya memuakkan
hatinya, Suminten lalu berkata halus,
"Gusti sinuwun, hamba rasa untuk melawan usaha
mereka memilih seorang putera mahkota untuk menggantikan paduka kelak kalau-kalau mereka berhasil
menggulingkan paduka, sebaiknya kalau sekarang juga
paduka mengumumkan pengangkatan seorang putera
mahkota, seorang pangeran pati yang paduka tentukan
sebagai calon pengganti raja kelak."
Sang prabu mengangguk-angguk. Memang sudah lama ia
mempunyai keinginan seperti ini. Sayang bahwa permaisuri
tidak mempunyai anak laki-laki dan biarpun banyak ia
mempunyai putera, namun para pangeran itu adalah anakanak dari selir. "Aku menanti sampai Panji Sigit cukup dewasa dan
matang." Suminten diam-diam mengerutkan keningnya. Ia tahu
bahwa di antara para pangeran putera selir, Pangeran Panji
Sigit adalah seorang yang paling dicinta sang prabu. Bahkan
semua selir dan ponggawa istana suka belaka kepada
pemuda itu. Siapa pula orangnya yang tidak mencinta.
Pemuda itu tampan sekali seperti Arjuna, sikapnya halus
dan selalu ramah, tidak sombong, tidak mencari muka,
pendeknya seorang pemuda yang benar-benar menyenangkan hati. Dia sendiri, sudah beberapa kali
menelan ludah kalau bertemu pemuda remaja yang hebat
inI dan sekarang nama ini disebut sang prabu sebagai calon
putera mahkota! Pangeran Panji Sigit akan jauh lebih
menyenangkan hatinya daripada Pangeran Kukutan yang
biarpun tampan dan gagah juga akan tetapi tidak setampan
dan sehalus Pangeran Panji Sigit, bahkan agak kasar dalam
bermain cinta. Akan tetapi, pangeran remaja yang halus
dan jujur bersih itu mana mungkin dapat ia ajak bersekutu"
Pangeran Kukutan jauh lebih memenuhi syarat dengan
sifat-sifatnya yang cerdik dan pandai bersandiwara. Namun,
kalau dia bisa menarik Pangeran Panji Sigit menjadi
pembantunya, wah ......... hatinya akan puas sekali!
"Memang benar sekali wawasan paduka, gusti. Anaknda
Pangeran Panji Sigit memang amat tepat, akan tetapi pada
dewasa ini, hamba juga mengira dia masih terlampau
muda. Padahal para pengkhianat itu selalu menanti
kesempatan dan kiranya Pangeran Panji Sigit akan mudah
terjebak ke dalam perangkap mereka ......... "
Sang prabu mengangguk-angguk. "Habis, menurut
pendapatmu bagaimana, Suminten?"
"Mohon beribu ampun kalau pendapat hamba keliru,
gusti. Paduka mempunyai banyak putera, akan tetapi
hamha lihat bahwa para putera pangeran itu hanya
mengejar foya-foya dan kesenangan belaka, tidak ada yang
memperhatikan urusan pemerintahan, kecuali yang sudah


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbukti, hanya anaknda Pangeran Kukutan. Maka, biarpun
hamba setuju apabila paduka mengangkat Pangeran Panji
Sigit, akan tetapi sementara ini, untuk menghadapi usaha
busuk para pengkhianat, alangkah baiknya kalau paduka
mengangkat Pangeran Kukutan sehagai putera mahkota.
Hanya Pangeran Kukutan seorang yang tahu akan sifat-sifat
para pengkhianat dan dapat menghadapi mereka, sehingga
dia tali yang akan dapat menyelamatkan kerajaan paduka
daripada pemberontakan."
Sejenak sang prabu termenung. Terhadap Pangeran
Kukutan, tidak ada getaran kasih sayang yang kuat dari
hatinya, sungguhpun selama ini Pangeran Kukutan tidak
pernah memperlihatkan watak tidak baik, bahkan telah
membuktikan kesetiaannya. Dia tidak menghendaki
Pangeran Kukutan yang kelak menjadi raja menggantikannya. Akan tetap, kalau betul seperti wawasan
Suminten bahwa ada usaha gelap para musuh rahasia untuk
menggulingkannya, memang perlu sekali adanya seorang
pangeran mahkota. Betapapun juga, pengangkatan seorang
pangeran pati atau putera mahkota bukanlah hal
sembarangan, maka ia lalu menunda urusan ini sampai
beberapa hari untuk memikirkannya masak-masak.
Sementara itu Suminten yang merasa gelisah kalau-kalau
sang prabu akan menjatuhkan pilihannya atas diri Pangeran
Panji Sigit, siang hari telah bersiap-siap. Sore hati itu ia
hersolek keras, menaburi tubuhnya yang padat menarik itu
dengan sari bunga. Selesai bersolek, ia lalu menyuruh
emban kepercayaannya untuk mencegat Pangeran Panji
Sigit dan mohon kepada pangeran itu untuk memenuhi
panggilan selir termuda sang prabu ini.
Pangeran Panji Sigit adalah seorang putera selir, akan
tetapi selir raja itu telah meninggal dunia ketika Pangeran
Panji Sigit masih kecil. Karena tidak beribu lagi, maka
Pangeran Panji Sigit diasuh oleh seorang inang pengasuh
yang setia dan karena dialah satu-satunya pangeran yang
tidak dimanja oleh seorang ibu yang memperebutkan
kedudukan, maka sifat-sifatnya menjadi amat baik. Inang
pengasuh yang setia itu mentaati pesan terakhir ibu
pangeran ini dan mendidiknya dengan hati-hati dan baik.
Pangeran Panji Sigit dilatih belajar kesusasteraan dan juga
ilmu olah keperajuritan sehingga dia menjadi seorang
pemuda yang gagah perkasa, lemah lembut dan rendah hati,
tidak memandang rendah para kawula, juga tidak menjilat
atasan, tidak menginginkan kedudukan dan tidak memperebutkan kekuasaan. Hal inilah yang membuat
Pangeran Panji Sigit disuka oleh semua orang, bahkan sang
prabu sendiri yang kagum melihat ketampanan dan
kehalusan budi puteranya ini, amat mengasihinya.
Karena tidak menghiraukan kekuasaan dan kedudukan
inilah yang membuat Pangeran Panji Sigit sama sekali tidak
mencampuri urusan pemerintahan dan tidak tahu-menahu
tentang politik dalam istana. Ia hanya tahu dan mendengar
betapa ayahandanya tergila-gila kepada selir termuda yang
baru, dan hal ini hanya membuat dia tersenyum saja. Dia
sudah membaca dari kitab-kitab lama betapa seorang pria
tidak akan dapat melepaskan diri daripada nafsu kejantanan
yang akan mengejar dan menguasainya sampai nyawa
meninggalkan badan, dan hanya dengan kekuatan batin dan
kemauan sajalah seorang pria dapat menguasai nafsunya
sendiri. Ramandanya lemah, akan tetapi apa salahnya kalau
seorang raja menikmati kesenangan duniawi yang sudah
menjadi haknya" Pangeran Panji Sigit biarpun telah berusia delapan belas
tahun, tidak suka mengganggu wanita, tidak suka
menurutkan nafsu bermain cinta seperti yang dilakukan
saudara-saudaranya, para pangeran lainnya yang telah
mengumbar nafsu semenjak berusia empat lima belas tahun!
Pangeran Panji Sigit lebih suka pergi mencari guru-guru
ilmu silat yang pandai-pandai di antara para panglima dan
pendeta, kemudian pergi berburu ke hutan-hutan seorang
diri saja sehingga tubuhnya yang kelihatan halus gerakgeriknya itu menjadi amat kuat.
Senja hari itu karena cuaca amat baik, Pangeran Panji
Sigit yang baru saja selesai mandi sehabis berlatih pencak
silat dan berjalan-jalan di dalam taman istana yang luas dan
indah menghirup hawa sejuk, tiba-tiba melihat seorang
emban berlari-lari menghampirinya dan berjongkok sembah
di depannya sambil berkata,
"Ampunkan hamba yang berani mengganggu, gusti
pangeran. Akan tetapi hamba hanya melaksanakan perintah
ibunda selir paduka yang minta agar paduka sudi datang
menghadap." Pangeran Panji Sigit termenung sejenak. Ia
tidak pernah mendekati selir-selir ramandanya yang ia tahu
masih muda-muda, apalagi selir termuda Suminten yang
terkenal cantik jelita dan yang menghebohkan seluruh
istana. Akan tetapi pemuda ini dapat mengekang
perasaannya karena ia merasa tidak sopan kalau menolak,
maka ia bertanya dengan halus,
"Emban, ibunda yang manakah yang memerintahkan
aku datang menghadap?" Emban itu masih muda, belum
tiga puluh tahun usianya, cantik berkulit halus dan bermata
jeli. Ketika ditanya, ia kelihatan terkejut dan sadar daripada
lamunannya. Tadi ia menengadah dan memandangi wajah
pemuda itu sambil menahan napas dan menelan ludah,
kagum akan ketampanan wajah Sang Pangeran Panji Sigit.
"Eh ......... ohh ......... maaf, gusti ......... ibunda paduka
yang termuda ......... "
Jantung pemuda itu berdenyut keras akan tetapi cepat
ditekannya. Hatinya-merasa tidak enak, akan tetapi betapapun ia tidak berani menolak karena setiap orang selir
ramandanya adalah ibundanya pula. Ibu kandungnya yang
telah tiadapun seorang selir, sehingga biarpun ia seorang
pangeran, namun derajatnya tidaklah lebih tinggi daripada
selir ramandanya karena iapun putera selir.
"Baiklah, emban. Tentu ada hal yang amat penting maka
ibunda memanggilku."
Maka pergilah Pangeran Panji Sigit diantar oleh emban
itu, langsung menuju ke bangunan mungil dekat taman sari
yang khusus ditinggali Suminten. Begitu memasuki
bangunan yang tak pernah ia kunjungi ini, diam-diam
Pangeran Panji Sigit tertegun dan kagum. Amat indahnya
perabot-perabot di bangunan ini, jauh lebih indah daripada
tempat-tempat tinggal para selir yang lain. Jelas bahwa
berita yang ia dengar benar adanya yaitu bahwa selir
termuda ini amat dikasihi ramandanya.
Sunyi di bangunan mungil itu. Sambil tersenyum emban
tadi menunjuk ke arah sebuah kamar dari mana terpancar
cahaya lampu kemerahan, kemudian tanpa berkata sesuatu
emban itu pergi meninggalkan ruangan itu. Selagi Pangeran
Panji Sigit berdiri termangu, tiba-tiba terdengar suara halus
dari dalam kamar itu, "Anaknda pangeran, mari masuklah saja. Ibu berada di
sini, masuklah jangan ragu-ragu, pangeran."
Makin berdebar jantung Pangeran Panji Sigit. Ia harus
taat akan perintah selir ramandanya, namun kesopanan
yang telah mendarah daging di hatinya, membuat kakinya
terasa berat untuk melangkah memasuki kamar. Baru
beberapa langkah dan baru sampai di depan pintu yang
tertutup, ia berhenti dan berkata,
"Maafkan saya, ibunda. Biarlah saya menanti di sini saja
sampai ibunda selesai untuk kemudian mendengarkan
perintah ibunda yang akan disampaikan kepada saya."
Sunyi sejenak dari dalam kamar, kemudian terdengar
lagi suara yang halus merdu, "Iihhh, puteranda Panji Sigitl
Apakah engkau merasa sungkan dan malu" Hii-hik, masa
seorang putera meragu dipanggil masuk kamar oleh
ibundanya" Kalau begitu, engkau mengandung pikiran yang
kotor ......... " "Sama sekali tidak, ibunda!"
"Kalau tidak masuklah, jangan seperti kanak-kanak. Aku
mau bicara urusan penting denganmu, berdua saja, kalau di
luar khawatir terdengar orang. Marilah, pangeran."
Ditegur seperti itu, Pangeran Panji Sigit bingung
kemudian menggigit bibir dan memberanikan hatinya
mendorong daun pintu. Bau yang harum menyambutnya
dan ia melihat selir ramandanya yang muda dan cantik itu
duduk di atas pembaringan membelakanginya, menghadap
cermin dan agaknya sedang membereskan rambutnya. Ia
makin berdebar dan hatinya tidak enak. Biarpun disebut
ibunya, wanita ini masih amat muda, sebaya atau sedikit
saja lebih tua daripadanyal
"Maaf, ada keperluan apakah, ibunda?"
Suminten menengok dengan gerakan indah, matanya
yang menjadi hiasan paling indah di samping mulutnya,
mangerling tajam, mulutnya tersenyum lalu merekah
merah, apalagi disinari lampu yang dibungkus kertas
merah, lebih indah lagi. "Mendekatlah sini, pangeran. Engkau terhitung anakku,
bukan" Aku ibumu, mengapa mesti malu-malu" Ke sinilah
dan tolonglah engkau pasangkan hiasan rambut ini. Jengkel
sekali hatiku, memasang sejak tadi tidak mau sempurna
juga." Betapapun tidak enak hati Pangeran Panji Sigit, namun
ia terdesak oleh kata-kata itu dan terpaksa ia melangkah
maju dan berhenti di belakang punggung yang tampak
bagian atas setengahnya itu. Halus seperti batu pualam.
"Mana mungkin saya bisa memasangnya, ibunda .........
"Ihh, anak bodoh. Masa tidak bisa. Lihat, rambutku
masih terurai, kaupasangkan hiasan ini, seperti sisir,
sisipkan saja di atas kepalaku, di tengah ......... hi-hik
canggung benar kau ......... , nanti dulu, memang tidak akan
tepat kalau dari belakang, biar dari depan ......... " Sambil
tertawa-tawa Suminten lalu membalikkan tubuhnya dan
duduk menghadapi Pangeran Panji Sigit.
Pangeran itu terkesiap dan menahan napas. Ingin ia
melompat pergi dan lari dari situ. Kiranya baju Suminten
tidak beres! Kemben yang menutup tubuh atas bagian
depan itu amat longgar sehingga tampaklah membayang
gumpalan daging yang merangsang.
Jari-jari tangan Suminten menangkap kedua tangan
pangeran itu dan suaranya agak serak penuh getaran nafsu
dan cumbu rayu, "Kenapa, pangeran" Tidak senangkah engkau melihat
aku" Tidak cantikkah aku dalam pandanganmu, wong
bagus?" Pangeran Panji Sigit merasa seolah-olah ada halilintar
menyambar kepalanya. Ia bukanlah kanak-kanak lagi,
sudah dewasa dan tahu apa artinya ini semua. Ia maklum
bahwa kini keadaannya benar-benar dalam bahaya, tidak
hanya dugaan belaka atau kekhawatiran seperti tadi. Ia
merasa seperti seekor kijang terjeblos dalam perangkap yang
ia tidak tahu pergunakan untuk apa. Cepat ia menjatuhkan
diri berlutut di depan wanita itu dan berkata,
"Ampunkan saya, ibunda. Harap ibunda sudi melepaskan saya dan membiarkan saya pergi dari sini ......... Akan tetapi sebagai jawaban, tiba-tiba Suminten mendekap kepala itu dan menariknya sehingga muka si pangeran terbenam ke dadanya! Pangeran Panji Sigit terkejut bukan main ketika merasa betapa mukanya terbenam ke dalam kelembutan yang harum. Kalau ia tidak terlatih batinnya, tentu ada dua kemungkinan buruk, yaitu pertama, ia akan roboh
dalam buaian kenikmatan nafsu berahi, dan ke dua ia akan
lupa dan memberontak lalu menghantam wanita ini sampai
tewas di saat itu juga. Untung ia waspada dan dapat
menguasai dirinya. Dengan halus namun kuat sekali ia
menarik mukanya, sekali tangannya bergerak terlepaslah ia
daripada dekapan dan begitu tubuhnya berkelebat, pemuda
ini telah melompat dan lenyap dari dalam kamar.
Suminten bengong, menatap api lampu yang bergoyanggoyang oleh angin ketika pemuda itu meloncat, hatinya


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penuh kekecewaan dan juga penasaran. Betapa mungkin
seorang pemuda dapat menolak cinta kasihnya" Dapat
menolak tubuhnya" Ia masih tidak mau percaya dan
menganggapnya seperti sebuah mimpi buruk. Disangkanya
bahwa semua pria di dunia ini pasti akan bertekuk lutut di
depannya untuk mendapatkan cintanya, seperti halnya sang
prabu yang sudah tua dan Pangeran Kukutan yang masih
muda dan tampan. Sekali ini ia kecelik dan setengah sadar
bahwa yang dialaminya bukan mimpi buruk, wanita ini
bangkit berdiri, mengepal tinju dan berjalan mondar-mandir
di depan kamarnya, mencari akal untuk mengenyahkan
Pangeran Panji Sigit! Tadinya ia menggunakan siasat bujuk
rayu ini untuk menundukkan pangeran ini sehingga kalau
kelak pangeran ini benar-benar dijadikan putera mahkota, ia
dapat mempengaruhinya. Siapa sangka, ia ditolak mentahmentahl Hal ini berarti bahwa pangeran ganteng ini tidak
bisa ajak kerja sama, dan berarti pula bahwa pangeran ini
adalah musuhnya yang harus dienyahkan!
Malam itu Suminten tidak dapat tidur dan ia mengatur
siasat namun belum juga ia mendapatkan siasat yang cukup
baik untuk menjatuhkan pangeran muda yang ganteng itu.
Alangkah sukarnya menjatuhkan seorang yang begitu baik
dan ramah terhadap siapapun juga itu. Amat sukar mencari
kesalahan untuk Pangeran Panji Sigit dan ia harus berhatihati sekali karena sang prabu amat sayang kepada
puteranya ini. Apa yang harus ia lakukan" Suminten belum
juga dapat menemukan jalan yang baik dan menjelang pagi
baru ia dapat pulas dengan sebuah keputusan yang keji,
yaitu bahwa jalan satu-satunya untuk melenyapkan
"musuh" ini hanya ......... membunuhnyal Untuk ini akan ia
rundingkan dengan Pangeran Kukutan. Tentu pangeran ini
akan melaksanakannya dengan baik, apalagi kalau ia takuttakuti bahwa ada kemungkinan Panji Sigit terpilih sebagai
putera mahkota. Akan tetapi ternyata pada keesokan harinya dia tidak
usah melanjutkan rencananya yang kejam ini karena segera
ia mendengar bahwa Pangeran Panji Sigit pada keesokan
harinya, pagi-pagi sekali telah meninggalkan istana! Hal ini
ia dengar sendiri dari sang prabu yang sepagi itu telah
datang kepadanya untuk mencari hiburan. Sang prabu yang
sudah tua itu benar-benar sekali ini membutuhkan hiburan
Suminten. Wajahnya muram, alisnya berkerut dan berkalikali ia menghela napas. "Ahhh, sungguh menyedihkan ......... puteraku yang
paling kuharapkan, tak dapat kutahan. Ia berpamit dan
dengan paksa ia menyatakan hendak pergi merantau .........
ah, Panji Sigit ......... benar-benar mengecewakan hatiku
......... " Suminten yang sudah cepat-cepat memeluk dan
mencumbit sang prabu, menghibur dengan kata-kata dan
perbuatan, mengajak sang prabu agar beristirahat dan
rebah-rebahan di atas pembaringan yang lunak bersih dan
harum, cepat-cepat menyuguhi minuman dan memijit-mijit
kaki tangan sang prabu dengan kedua tangannya sendiri
dengan sikap mesra dan gerakan halus, lalu bertanya,
"Apakah sebabnya puteranda pangeran pergi merantau
secara mendadak, sinuwun" Apakah alasannya?"
Raja tua itu menggeleng kepala. "Entahlah, dia tidak
menyatakan sebab-sebabnya, hanya berpamit dan menyatakan bahwa ia hendak mencari guru yang pandai
dan memperdalam ilmu-ilmu kesaktian. Sudah kukatakan
bahwa aku ingin mengangkatnya menjadi putera mahkota,
akan tetapi ia tetap hendak pergi dengan alasan bahwa
untuk menjadi putera mahkota ia harus memiliki ilmu
kepandaian yang cukup. Ahhh, Suminten, betapa kecewa
hatiku ......... " "Duh gusti sesembahan hamba! Mengapa harus
berduka?" Suminten menghibur dan hatinya lega karena
ternyata pangeran muda itu tidak menyinggung-nyinggung
tentang dia. "Hamba dapat mengerti dan membenarkan
pendapat puteranda Pangeran Panji Sigit yang amat baik
dan tepat itu. Harap paduka tenangkan hati dan biarlah
sang pangeran memperluas pengalaman dan memperdalam
ilmu karena memang seorang calon raja yang bijaksana
harus memiliki bekal yang cukup. Bukankah puteranda
pangeran itu adalah cucu mendiang Gusti Prabu Airlangga
yang sakti mandraguna dan ahli tapa pula?"
Senang hati sang prabu yang tua ini mendengar kata-kata
Suminten yang sedap didengar ini. Ia mulai terhibur,
memeluk dan memperlihatkan cinta kasihnya dengan
belaian dan rabaan jari-jari tangannya.
"Engkau selalu benar, Suminten. Memang, agaknya
puteraku Panji Sigit itu mewarisi watak eyangnya yang suka
bertapa dan memupuk ilmu dan aji kesaktian."
"Nah, karena itu harap paduka tenang saja. Adapun
untuk menghadapi perbuatan khianat, menurut usul hamba
tempo hari, sebaiknya paduka mengangkat puteranda
Pangeran Kukutan sebagai putera mahkota."
Sang prabu terlihat mengangguk-angguk. "Memang
sudah kupikirkan hal ini. Akan tetapi aku sendiri masih
kuat menghadapi segala macam pemberontakan atau
pengkhianatan, apalagi dengan adanya engkau di dekatku,
sayang. Aku merasa menjadi muda kembali dan siap
menghadapi apa-pun jugal" Sang prabu memeluk dan
mencium. Suminten menyembunyikan muka di dada sang
prabu untuk menyembunyikan rasa tidak puas dan tidak
senang hatinya. Tua bangka tak tahu diri, pikirnya. Namun
ia bukan seorang wanita yang bodoh dan hanya
menurutkan perasaan saja. Tidak, Suminten adalah seorang
wanita yang cerdik sekali, yang pandai menggunakan
pikiran, yang pandai menguasai perasaan hatinya dan
segala geralc-geriknya telah ia perhitungkan masak-masak.
Ia tahu bahwa ia tidak boleh terburu nafsu, harus hati-hati
dan sedikit demi sedikit menyeret sang prabu agar tunduk
dan menuruti segala kehendaknya. Biarpun Pangeran
Kukutan belum diangkat menjadi putera mahkota, namun
kekuasaan Pangeran Kukutan makin lama makin besar
karena selalu mewaklli sang prabu dalam urusan
pemerintahan. Ada-pun di sebelah dalam istana untuk
semua urusan dalam, seluruhnya telah berada dalam
kekuasaan Suminten! Kepergian Pangeran Panji Sigit melegakan hati
Suminten. Pertama, karena jelas bahwa pangeran itu tidak
menceritakan kepada sang prabu tentang peristiwa
penolakan cinta kasih di malam Itu. Ke dua, karena
kepergian ini memang diharapkan oleh Suminten yang
ingin menghalau pangeran itu keluar darI istana. Suminten
dan juga Pangeran Kukutan yang kehilangan seorang
saingan, merasa lega dan gembira. Akan tetapi tidaklah
demikian dengan mereka yang menjadi musuh-musuh
Suminten. Ki Patih Brotomenggala yang sudah tua dan
beberapa orang hulubalang yang setia kepada Kerajaan
Jenggala, menjadi gelisah. Apalagi ketika secara diam-diam
Ki Patih Brotomenggala dipanggil menghadap oleh sang
permaisuri dan mendengarkan sendiri laporan emban tua
yang menjadi inang pengasuh Pangeran Panji Sigit sejak
kecil, mereka makin marah. Kiranya dalam duka dan
bingungnya setelah berhasil lari dari cengkeraman
Suminten, Pangeran Panji Sigit yang sudah tiada beribu lagi
dan menganggap emban tua itu sebagai pengganti ibunya,
telah menceritakan apa yang telah ia alami di kamar selir
ter-muda ayahandanya itu dan adalah emban tua ini pula
yang melihat bahaya mengancam dan menganjurkan agar
sang pangeran yang dikasihinya seperti putera kandungnya
sendiri untuk pergi merantau menjauhkan diri dari bahaya
yang mengancam. Karena maklum bahwa sang permaisuri
juga menderita karena Suminten, maka emban ini lalu
menghadap dan melaporkan peristiwa itu kepada permaisuri. "Hemmm, sungguh keji dan tak tahu malu perempuan
itu!" Ki Patih Brotomenggala menyumpah ketika mendengar pelaporan emban tua. Ia tak pernah berhenti
menyesali diri sendiri tentang Suminten karena dialah
sendiri yang dahulu menghadapkan Suminten kepada sang
prabu. Semenjak dahulu itu, Suminten telah menimbulkan
malapetaka. Bukankah pelaporannya tentang Endang
Patibroto telah membuat sang prabu makin curiga terhadap
mantunya itu" Bukankah Suminten telah berusaha untuk
mencelakakan Pangeran Panji Rawit dan Endang Patibroto
dengan laporannya itu" Siapa kira bahwa pelayan kecil itu
kini dapat menguasai sang prabu sedemikian rupa!
"Kakang patih, aku hanya mengkhawatirkan keadaan
sang prabu. Ada perasaan tidak baik di dalam hatiku
seolah-olah ada sasmita gaib yang membisikkan bahwa
kalau wanita itu tidak dienyahkan dari sini, Kerajaan
Jenggala akan mengalami kehancuran. Ah, kakang,
bagaimana baiknya ......... ?" Sang permaisuri menahannahan perasaan akan tetapi tak dapat ia menahan
runtuhnya beberapa tetes air mata.
Ki Patih Brotomenggala menggigit bibirnya, menahan
kemarahan hatinya. "Gusti, hal ini memang tidaklah
mudah untuk diatasinya. Kalau saja Jenggala diserbu
musuh, dada Patih Bratomenggala inilah yang akan
menjadi perisai, dan hamba rela untuk membela kerajaah
sampai titIk darah terakhir! Akan tetapi, persoalannya kini
lain lagi. Gusti sinuwunlah yang tergoda dan apa yang
dapat hamba lakukan" Apalagi ......... apalagi menurut para
penyelldik hamba, yang menguasal sang prabu bukan hanya
wanita itu, melainkan dengan kerja sama antara wanita itu
dan Pangeran Kukutan."
"Aku tahu, kakang patih. Karena itu, carilah jalan.
Pasanglah mata-mata di antara para embah. Kita
mengetahui kelemahan wanita itu, bahkan dia main gila
dengan Pangeran Kukutan, bahkan mungkin dengan
pangeran-pangeran lain kalau diingat bahwa dia berani
menggoda Pangeran Panji Sigit. Akan tetapi kita harus
dapat memiliki buktinya, harus dapat menangkap basah.
Usahakanlah agar dapat menyadarkan sang prabu. Kurasa,
jika sang prabu melihat sendiri bukti akan penyelewengan
dan perjinahan selirnya yang terkutuk itu, tentu beliau akan
sadar. Kalau sang prabu sudah sadar dan tahu betapa cabul,
kotor dan jahat adanya iblis betina itu, tentu dia akan
dibasmi dan Jenggala akan selamat."
Ki Patih Brotomenggala mengangguk-angguk. "Baiklah,
gusti. Akan hamba usahakan dan mudah-mudahan Sang
Hyang Wisesa membantu hamba menandingi perempuan
yang palsu dan curang itu."
Ah, betapa kedua orang bangsawan ini memandang
rendah kepada Suminten si bekas emban! Boleh jadi Ki
Patih Brotomenggala memiliki kedigdayaan dahsyat dan
pandai mengatur siasat perang dan tata negara. Boleh jadi
sang permaisuri merupakan seorang wanita yang boleh
dicontoh dalam hal keluwesan, kehalusan, kesenian,
kesusilaan dan kebudayaan. Namun, dalam hal kecerdikan
bersiasat, mereka itu jauh tertinggal oleh Suminten. Mereka
tidak tahu bahwa demIkian hebat pengaruh dan kecerdikan
Suminten sehIngga pintu dan jendela saja bertelinga dan
siap membantunya! Di antara semua emban yang melayani
semua selir raja dan terutama sang permaisuri, pasti
terdapat mata-mata yang men jadi kaki tangan Suminten.
Mereka tidak tahu betapa percakapan mereka tadi
tertangkap oleh sepasang telinga milik seorang emban muda
yang bersembunyi di balik daun pintu dan betapa emban itu
kemudian secara rahasia menghadap dan melapor kepada
Suminten, menceritakan semua percakapan antara sang
permaisuri dan Ki Patih Brotomenggala!
"Hi-hi-hik, he-he-heh, tibalah saatnya kalian harus
lenyap, sang permaisuri dan patih dungu!" Suminten
tertawa terkekeh-kekeh setelah memberi hadiah kepada
emban itu dan menyuruhnya pergi. Kini rencana musuhmusuhnya itu telah berada di tangannya dan hal ini saja
sudah merupakan sebuah kemenangan baginya. Ia harus
cepat-cepat mengatur siasat dengan Pangeran Kukutan dan
malam hari itu juga, seperti biasa dengan dalih
"berhalangan" ia berhasil menjauhkan diri dari sang prabu
yang menyangka dia tidur sendiri di kamarnya, padahal
Suminten tidur dalam pelukan Pangeran Kukutan sambil
berbisik-bisik mengatur siasat di seling permainan cinta
mereka yang tak kunjung dingin.
-oo0dw0oo- Semenjak Endang Patibroto berdiam di puncak Gunung
Wilis, memimpin kurang lebih seratus orang yang tadinya
terkenal sebagai Gerombolan Wilis yang kemudian
mendirikan Padepokan Wilis, maka daerah Gunung Wilis
ini menjadi daerah yang "angker" dan terkenal sekali
sampai jauh. Mulailah daerah ini dikenal oleh para orang
gagah, disegani dan Padepokan Wilis dianggap sebagai
sarang orang gagah, sebuah perguruan di mana terdapat
murid-murid Wilis yang berilmu tinggi! Tentu saja berita
yang disampaikan orang selalu berlebihan, akan tetapi yang
jelas sekali, berita-berita itu amat terkenal dan membuat
orang segan untuk melewati daerah Wilis. Tidak seorang
pun perampok berani memperlihatkan hidungnya di daerah
Wilis ini, bahkan di seluruh daerah pegunungan ini tidak
pernah ada terjadi kejahatan, tidak ada maling, tidak ada
perampok, dan juga tidak ada orang melakukan maksiat


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengandalkan kekuatannya. Hal ini adalah karena setiap
kali terjadi hal-hal maksiat, tentu penjahatnya tertangkap
dan dibunuh oleh para "satria" Wilis, demlkianlah sebutan
untuk bekas anak buah gerombolan Wilis!
Siapa pun juga orangnya yang melakukan perjalanan dan
terpaksa melalui daerah Wilis, harus tunduk akan peraturan
para penjaga dan harus rela membayar "tanda hormat"
kepada para satria Wilis. Namun mereka rela membayar,
karena selain pembayaran itu disesuaikan dengan keadaan
mereka, juga mereka akan terjamln keselamatan mereka,
takkan ada yang berani mengganggu selama mereka berada
di wilayah Wilis. Endang Patibroto memimpin bekas gerombolan Wilis
dengan tangan besi. Dia tahu bahwa orang-orang yang
dipimpinnya adalah bekas perampok-perampok yang kasar
dan setengah liar, maka ia harus menundukkan mereka
dengan kekerasan pula. Kemudian setelah mereka itu benarbenar tunduk terhadap kesaktlannya dan menjadi pengikutpengikut setia yang membuta akan semua perintahnya,
barulah Endang Patibroto melatih mereka, yaitu melalui
tiga orang pembantu-pembantunya Limanwilis, Lembuwilis, dan NogowiIlis. Dia menurunkan beberapa
ilmu kesaktian kepada tiga orang gagah ini yang kemudian
melatih anak buah mereka sehingga makin kuatlah barisan
satria Wilis. Selain itu, keadaan keluarga mereka lebih
teratur setelah Endang Patibroto memimpin mereka.
Pondok-pondok dibuat, tanaman dan pertanian diperbanyak dan dibagi-bagllah tugas di antara mereka. Ada
yang bertani, berburu hewan, menjala ikan, ada pula yang
bertugas sebagai tukang kayu, sebagai pandai besi, dan lain
pekerjaan yang dapat memenuhi mereka. Endang Patibroto
bahkan tidak melupakan hiburan bagi mereka, maka
diadakan pulalah bagian kesenian, gamelan dan lain
sebagainya. DI samping semua kesibukannya sebagai pemimpin
Padepokan Wilis, Endang Patibroto selalu meluangkan
waktu untuk memberi gemblengan kepada adiknya yaitu
Setyaningslh yang berlatih dengan tekun, giat, dan sungguhsungguh. Juga semenjak lahir, Retno Wilis menerima
gemblengan ibunya, di "dadah" oleh jari-jari tangan sakti
ibu kandungnya! Karena gemblengan-gemblengan hebat ini
yang diberikan secara rapi selama lima tahun, kini
Setyaningsih yeng sudah berusla enam belas tahun atau
tujuh belas tahun telah menjadi seorang dara remaja yang
cantik jelita namun juga gagah perkasa, sakti mandraguna.
Juga Retno Wilis, dalam usia lima tahun ini merupakan
seorang anak luar biasa yang jarang dapat ditemukan
keduanya. Di antara keluarga para anggauta Padepokan Wilis,
terdapat banyak pula gadis-gadis yang sebaya dengan
Setyaningsih dan dara perkasa ini tidak bersikap pelit,
melainkan dengan senang hati pula melatih ilmu pencak
silat kepada teman-temannya sehingga sebagian besar para
gadis di situ adalah gadis-gadis perkasa belaka, cantik-cantik
dan gagah perkasa, demikian pula pemuda-pemudanya.
Namun terutama sekali gadis-gadisnya karena tentu saja
Setyaningsih lebih suka melatih ilmu kepada temantemannya. Maka terkenallah Padepokan Wilis sebagai
tempat perawan-perawan jelita yang perkasa, dan orangorang gagah di seluruh daerah itu mulai membicarakan
tentang Perawan Lembah Wilis dengan kagum di hati.
Pada pagi hari itu cuaca amatlah cerah. Pemandangan di
lembah Gunung Wilis amat -entakjubkan, indah cemerlang
disinari matahari pagi. Dilihat dari atas, tamasya alam di
bawah seperti diselaput emas. Sinar matahari keemasan
menyinari daun-daun pohon yang ujungnya digantungi
butir-butiran embun berkilauan seperti butiran-butiran
intan. Burung-burung berlompatan di antara pohon-pohon,
beterbangan bersenda-gurau dan bercumbuan sambil
berkicau riang gembira. Binatang-binatang hutan menyambut matahari pagi dengan penuh keriangan pula,
ada yang berjemur sinar matahari, ada yang makan rumputrumput hijau segar, ada pula yang berkeliaran di sepanjang
sungai gunung yang mengalirkan air jernih sambil
berkericik seperti suara gelak tawa dara-dara remaja
bersenda-gurauan. Kalau didengar dengan teliti, bukan hanya kericik air
sungai yang menimbulkan suara itu, melainkan suara gelak
tawa yang merdu dari beberapa orang dara remaja yang
sedang mandi di sungai. Ada sebelas orang dara-dara jelita
berada di sungai itu, berendam di air jernih dengan bertapih
pinjung (sehelai kain menutup sebatas dada), mencuci
pakaian, mandi keramas, sambil bersendau-gurau tertawatawa. Mereka ini bukan lain adalah Setyaningsih dan
sepuluh orang temannya, yaitu dara keluarga Padepokan
Wilis. Setiap pagi mereka mandi di sungai jernih ini sambil
mencuci pakaian. Kecantikan Setyaningsih amatlah menonjol di antara
mereka itu. Setyaningsih berkulit halus dan putih
kekuningan, rambutnya tebal hitam berikal mayang, dilepas
dan terurai sampai ke lutut. Biarpun sepuluh orang temantemannya juga merupakan gadis remaja yang seperti
kembang sedang mekar, cantik-cantik menarik, namun
dibandingkan dengan mereka Setyaningsih tampak seperti
seekor merak di antara ayam-ayam hutan. Juga dara ini
amat pendiam, hanya tersenyum-senyum kecil mendengar
sendau-gurau teman-temannya. Biarpun dia itu adik
kandung Endang Patibroto yang menjadi "ketua" atau
pemimpin Padepokan Wilis, bahkan boleh dikatakan ia
menjadi "guru" para gadis temannya itu, namun
Setyaningsih tidaklah bersikap sombong atau tinggi hati.
Dia mandi bersama, bahkan mencuci pakaiannya sendiri
sehingga selain disegani dan dihormati, juga ia amat dicinta
oleh gadis-gadis lainnya di situ.
Dara-dara jelita itu bekerja sambil mandi dan
bergembira. Ada yang bertembang saling sahut, saling goda
saling menjodohkan dengan pemuda-pemuda sebaya di
padepokan, ada yang saling siram air jernih, tertawa-tawa.
Dalam kegembiraan mereka, bahkan Setyaningsih sendiri
sampai lengah, tidak tahu bahwa ada seorang laki-laki
mengintai dari balik semak-semak, memandang ke arah
mereka dengan mata terbelalak dan mulut ternganga,
terpesona dan seolah-olah tidak percaya akan pandang mata
sendiri Laki-laki ini masih muda belia, paling banyak sembilan
belas tahun usianya, tubuhnya sedang, berkulit bersih dan
tampak ciri-ciri kebangsawanan pada pakaian dan gerakgeriknya, wajahnya tampan sekali seperti Sang Harjuna.
Pandang mata laki-laki muda ini tadi menyapu semua gadis
yang berada di sungai, kemudian berhenti pada diri
Setyaningsih, melekat di situ dan makin dipandang, makin
tertegunlah dia, seperti lupa diri, lupa bergerak, bahkan lupa
bahwa perbuatannya ini merupakan sebuah pelanggaran
susila. Tentu saja ia lupa segala, bahkan bernapaspun
hampir lupa, demikian terpesona pemuda ini melihat
Setyaningsih. Banyak sudah ia melihat wanita, bahkan
bertemu dengan puteri-puteri istana yang cantik-cantik
jelita, namun selama hidupnya, ia merasa belum pernah
melihat seorang dara seperti Setyaningsih yang sekaligus
telah menerobos masuk melalui matanya, langsung ke
dalam dada dan merampas hati dan semangatnya.
Setelah pemuda itu mulai sadar daripada keadaan pesona
yang membuatnya seperti lupa akan dirinya, mulailah ia
menarik napas panjang berkali-kali. Sungguhpun hanya
elahan napas, namun hal ini cukuplah bagi Setyaningsih
yang berpendengaran tajam dan terlatih. Dara perkasa ini
mengangkat tangan memberi isyarat kepada temantemannya sambil meruncingkan bibirnya yang merah
mungil, "Ssttt ......... " kemudian ia menoleh ke arah semaksemak. Pandang matanya yang tajam segera dapat . melihat
gerakan di belakang semak-semak, bukan gerakan yang
diakibatkan oleh burung atau binatang hutan. Mulutnya
segera membentak, halus namun nyaring dan penuh
wibawa, "Siapakah engkau yang berani menonton kami mandi
sambil bersembunyi" Hayo keluarlahl!"
Bagi para gadis itu, tidak mengapa andaikata ada
pemuda-pemuda atau orang-orang Padepokan Wilis
kebetulan lewat di dekat situ dan melihat mereka mandi.
Ditonton orang lain selagi mandi di sungai bukanlah hal
yang tidak boleh dilakukan, apalagi kalau yang melihat itu
orang-orang Padepokan Wilis sendiri yang tentu saja
menganggap pemandangan ini biasa. Akan tetapi ditonton
orang, biarpun dia seorang anggauta padepokan sendiri,
yang bersembunyi, hal ini merupakan pantangan, karena
bersembunyi berarti tidak wajar dan mengandung niat
buruk! Semak-semak itu bergoyang dan muncullah seorang
pemuda dari balik semak semak, berdiri dengan wajahnya
yang tampan masih terpesona, bahkan kemudian pemuda
itu menggunakan punggung tangan kanan untuk menggosok-gosol kedua matanya karena melihat Setyaningsih berdiri di dalam air sebatas ping-gang, dengan
kain yang membungkus, dada yang padat itu basah kuyup
sehingga seolah-olah menjadi kulit ke dua ia makin kagum
dan tidak percaya bahwa di dunia ini ada seorang manusia
sehebat dara yang menegurnya itu.
"Duhai ......... mimpikah aku ........" Pemuda itu berkata,
suaranya halus dan kini matanya yang bersinar tajam itu
memandang para gadis yang juga memandangnya. "Segala
puja-puji kepada para dewata yang agung. Kalau andika
sekalian ini bidadari-bidadari kahyangan yang sedang
mandi, mana gerangan pelangi yang menjadi anda (anak
tangga) untuk andika sekalian turun ke bumi" Andaikata
andika sekalian ini sebangsa peri, mengapa di balik kulit
andika terbayang darah daging dan urat halus" Betapapun
juga ......... kalau benar andika bidadari, tunjukkan di mana
andika menyimpan kemben antakusuma andika agar dapat
hamba curi......... !"
Terdengar kekeh tawa para gadis itu. Tadinya mereka ini
tertegun dan marah melihat seorang pemuda yang sama
sekali tidak mereka kenal, akan tetapi ketika mendapat
kenyataan betapa pemuda itu amat tampan dan ganteng
melebihi semua pria yang pernah mereka jumpai, mereka
terpesona. Jilid XXI KINI mendengar ucapan yang keluar dari mulut pemuda
ganteng itu, mereka merasa lucu sekali, bahkan merasa
mendapat pujian yang amat berbeda dengan pujIan yang
biasa mereka dengar. "......... tampan sekall dia ......... "
"......... sikapnya tidak kurang ajar ?"."
"......... pakaiannya indah sepertI putera bangsawan
......... " "......... tapi pecengas-pecengis seperti monyet ......... "
"......... jangan-jangan miring dia, sayang kalau begitu
......... " "........ hi-hi-hik ......... "
"......... heh-he-heh ......... "
Demlklanlah, para gadIs itu berbIslk-bisik, tersenyumsenyum dan terkekeh geli. Hanya Setyaningsih yang tidak
tertawa tidak mengeluarkan suara, matanya memandang
tajam penuh selidik, mulutnya yang berbentuk indah itu
membayangkan kemarahan. Setyaningsih adalah seorang
dara yang pendiam, selalu serius dan berpemandangan luas.
Wataknya adil dan keras hati biarpun sikapnya selalu
ramah den halus. la tidak mengenal takut dan oleh
ayundanya selalu ditanamkan watak berani karena benar.
Wajahnya membayangkan keagungan, bahkan kadangkadang membayangkan wajah seorang puteri yang
berwibawa dan tinggi hati sungguhpun ia sama sekali tidak
memiliki watak sombong. Kini, melihat pemuda itu, ia
menjadi marah dan ia sendirI tidak mengerti mengapa
kemarahannya itu berdasarkan kecewa. Ia kecewa melihat
betapa seorang pemuda seperti itu, dengan wajah dan
bentuk tubuh yang hebat dan menarik, ternyata hanya
seorang yang memiliki watak rendah, suka mengintai
wanita-wanita sambil bersembunyi! Baru sekali ini ia marah
dengan dasar kecewa. Akan tetapi sebelum Setyaningsih dapat mengeluarkan
kata-kata, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras,
"Tangkap penjahat ......... ......... !"
"Tangkap si keparat yang masuk tanpa ijin!"
Lima orang anak buah Padepokan Wilis yang tinggi
besar dan kuat telah mengurung lalu menubruk maju
hendak menangkap pemuda itu.
"Wuuuutt ......... dess ........aiihhh?".. !!"
Semua orang terkejut. Sungguh tak disangka oleh lima
orang satria Wilis itu maupun oleh para gadis yang sedang
mandi. Lima orang tinggi besar itu menubruk dan hendak


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menangkap, akan tetapi mereka itu kelima-limanya
terbanting ke belakang pada saat pemuda itu dengan wajah
berseri menggerakkan kaki tangannya! Marahlah lima orang
tinggi besar itu dan mereka meloncat berdiri dengan muka
merah, lalu maju mengurung pemuda yang masih berdiri
sambil tersenyum. Para gadis yang sedang mandi kini sudah
keluar dari dalam air dan berserabutan pergi karena mereka
itu dalam keadaan setengah telanjang atau dengan kain
basah yang mencetak tubuh. Mereka adalah gadis-gadis
perkasa, tentu saja tidak takut akan musuh, akan tetapl
karena keadaan pakaian mereka dan karena lima orang
yang menghadapi pemuda itu adalah tokoh-tokoh tua yang
berilmu tinggi, maka mereka tidak ada yang berani untuk
mencampuri pertempuran. Sebagian ada yang pergi untuk
melapor, ada pula yang pergi untuk berganti pakaian.
Setyaningsih sendirI lalu pergi menyelinap ke dalam
gerombolan pohon dan cepat ia sudah bertukar tapih
pinjung yang basah kuyup itu dengan pakaian kering.
Setelah selesai berpakaian dan menyanggul rambutnya yang
panjang, Setyaningsih lalu meloncat keluar dan lari
mendekati tempat pertempuran. Kiranya pemuda itu benarbenar hebat gerakan-gerakannya. Lima orang satria Wilis
yang mengeroyoknya dengan serbuan dahsyat, dengan
pukulan dan cengkeraman, selalu dapat dlelakkan dengan
sigapnya. Agaknya pemuda tampan yang halus gerakgeriknya itu memiliki aji keringanan tubuh yang sudah
mahir sekali sehingga ia dapat berkelebat lincah dan gesit
bagaikan seekor burung yang sukar ditangkap. Sementara
itu, mulut pemuda itu tiada hentinya mencela.
"Kalian ini orang-orang apakah" Tiada hujan tiada angin
mengganggu orang yang tidak berdosa. Salahkah aku
menonton bidadari-bidadari yang sedang mandi" Aku tidak
sengaja, hanya kebetulan lewat ......... aih, galak amat.........
!" Kembali pemuda itu menghindarkan diri dari terjangan
tiga orang sekaligus, meloncat tinggi dan berjungkir balik ke
belakang dengan gerakan indah sampai tiga kali sehingga
ketika ia turun, ia berada di jarak empat tombak lebih dari
para pengeroyoknya. Melihat betapa lima orang tinggi besar itu kini mencabut
golok masing-masing, pemuda itu merubah sikapnya yang
tertawa-tawa dan kini dengan wajah sungguh-sungguh dan
berwibawa ia berkata, "Kallan masih nekat dan bahkan tega untuk berniat
membunuh seorang yang tidak bersalah?"
Seorang di antara pengeroyok itu membentak, "Manusia
sombong! Engkau masih berpura-pura tidak mengaku
salah" Di manakah kau berada sekarang" Di lembah
Gunung Wilis dan kau datang ke tempat ini tanpa setahu
dan seijin kami! Tidak ada seorangpun manusia boleh
melanggar perbatasan Wilis tanpa ijin, keparat!"
"Hemmm, apakah Gunung Wilis ini kallan yang
membuat dahulu" Apakah anak sungai itu kalian yang
menggalinya" Batu-batu inipun kalian yang membuatnya
dan pohon-pohon dalam hutan serta rumput-rumput ini
kalian yang menanam?"
"Cerewet! Orang sombong seperti engkau harus
mampus!" teriak lima orang itu dan mereka menyerbu
dahsyat dengan golok di tangan.
"Kalian orang-orang kasar perlu dihajar!" Pemuda itu
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 20 Senyuman Dewa Pedang Karya Khu Lung Golok Naga Kembar 3

Cari Blog Ini