Ceritasilat Novel Online

Perawan Lembah Wilis 12

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


membentak dan tubuhnya berkelebat ke depan menyambut
terjangan lima orang lawannya. Gesit sekali, kaki
tangannya menyambar jauh lebih cepat daripada lawanlawannya. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan disusul
bunyi golok-golok terlempar dan jatuh berkerontangan
menimpa batu. Lima orang tinggi besar itu terhuyung
mundur, meringis kesakitan sambil meraba-raba bagian
tubuh yang kena gempur pemuda itu.
"Paman sekalian mundurlah!" Tiba-tiba terdengar
bentakan nyaring dan tubuh Setyaningsih berkelebat maju,
tahu-tahu gadis remaja ini telah berhadapan dengan
pemuda yang perkasa itu. Si pemuda terkesiap, melongo keheranan dan penuh
kekaguman. Gerakan itu saja sudah menjadi bukti cukup
baginya bahwa dara remaja yang telah merebut hatinya itu
ternyata selain cantik jelita seperti bidadari kahyangan, juga
memiliki kesaktian hebat I
"Heh keparat yang tak tahu susila! Siapakah andika,
berani bermain gila di Wilis" Apakah menganggap andika
seorang yang memiliki kegagahan di dunia ini?"
Melihat dara itu menudingkan telunjuk kiri ke arah
mukanya, berdiri dengan sikap gagah, wajah yang marah
itu kemerahan dan pandang matanya agung, mendengar
suaranya yang merdu halus penuh kemarahan itu, si
pemuda makin tertegun. Kalau tadi ia merasa penasaran
dan marah terhadap lima orang tinggi besar yang kasar, kini
kemarahannya sirna seperti uap tipis tertiup angin. Ia hanya
berdiri bengong, memandang ke arah mulut yang baru saja
menegurnya, seolah-olah pandang matanya lekat pada bibir
itu, tak dapat dilepas kembali.
"Tulikah andika" Ataukah gagu?" Setyaningsih membentak, mukanya terasa panas dan warna merah naik
ke pipi dan lehernya karena pandang mata pemuda itu
terasa benar pada bibirnya, seperti mengandung getaran
yang menggelikan. Pemuda itu terkejut, lalu tersenyum. "Duhai Bathara
yang maha sakti! Mengapa hamba menjadi begini?" Ucapan
ini halus dan seperti berbisik, kemudian ia menatap wajah
dara itu dan berkata, "Wahai, sang dyah ayu, harap andika
sudi memaafkan aku. Sesungguhnya bukan sekali-kali aku
ingin berkurang ajar dan tidak tahu akan susila menerjang
wilayah .kediaman orang lain. Akan tetapi secara tidak
sengaja aku memasuki daerah ini dalam pengembaraanku,
tiada maksud buruk, tiada pamrih mengacau. Tadi karena
heran dan kagum melihat andika dan teman-teman andika
bergembira di sungai, aku yang bermaksud mandi tidak
berani memperlihatkan diri. Kemudian tiada hujan tiada
angin orang-orang ini menyerangku. Mereka itu agaknya
perampok-perampok liar. Kalau boleh saya bertanya,
mengapa seorang seperti andika ini berada di antara para
perampok?" Diam-diam Setyaningsih dapat menerima alasan pemuda
ini, akan tetapi karena nada bicara itu menegur dan
menyalahkan, ia menjadi makin marah dan membentak,
"Hati-hatilah kalau bicara! Para paman ini adalah satriasatria Padepokan Wilis, bagaimana kau berani menyebut
mereka perampok" Ketahuilah, daerah ini berada dalam
kekuasaan kami, orang-orang Padepokan Wilis. Siapapun
juga tidak boleh lewat tanpa perkenan kami! Agaknya
andika mengandalkan kepandaian untuk melanggarnya!
Hemm, apakah kau kira aku takut menghadapi-mu?"
Pemuda itu makin kagum. Dara ini benar-benar gagah
perkasa dan pemberani. Ingin benar ia mencoba
kepandaiannya. Dan hatinya merasa geli mendengar bahwa
lima orang tinggi besar yang kasar itu adalah "satria-satria
Wilis"! "Mereka ini satria-satria" Ha-ha-hal Sungguh hebat! Dan
engkau agaknya pemimpin mereka?" Ia bertanya dengan
suara tidak percaya. "Ayundakulah yang menjadi pemimpin. Tak perlu
banyak cerewet lagi, kau sudah berani merobohkan lima
orang -pamanku, sekarang rasakanlah hajaranku!" Setelah
berkata demikian, Setyaningsih menerjang maju, mengirim
pukulan dengan jari tangan terbuka, menggunakan Aji
Pethit Nogo. "Wuuuttt ......... wuuuuttt." Dua kali Setyaningsih
menampar. "Plakk ......... plakk ......... !!" Dua kali pemuda itu
mengangkat kedua lengannya menangkis.
"Wahhhh ......... II" Pemuda itu terhuyung-huyung ke
belakang seperti ditiup angin badai. Ia tidak roboh karena
cepat meloncat ke atas dengan gerakan ringan sekali dan ia
berdiri dengan mata terbelalak penuh kekaguman. "Bukan
main......... ! Adakah andika ini benar-benar seorang dara
yang tinggal di hutan" Aku tidak percaya! Tentu andika ini
seorang bidadari, atau dewi kahyangan, ataukah Srikandi
yang menitis dalam diri andika" Mana ada wanita cantik
jelita memiliki tangan yang ampuhnya menggila" Aduhai,
bocah ayu, aku ......... aku mengaku kalah ......... andika
hebat sekali, kasihanilah diriku ........" Pemuda itu benarbenar terpesona dan hatinya makin jatuh, tidak ingin ia
bertanding dan menjadi musuh dara yang hebat ini.
Akan tetapi Setyaningsih menjadi makin marah dan
penasaran karena pukulan Aji Pethit Nogo yang ampuh itu
dapat ditangkis dan pemuda itu tidak roboh karenanya.
lapun maklum bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan, maka iapun tidak mau berlaku ceroboh.
"Heh keparat yang bermulut manis! Mengakulah siapa
nama andika dan apa kehendakmu datang mengacau di sini
sebelum mati tanpa nama!"
"Wahai dewi jelita, sungguh mati, demi para dewata, aku
tidak bermaksud buruk. Aku hanya kebetulan saja lewat
dan karena fihak andika yang lebih dulu menyerangku,
sudah sepatutnya kalau andika lebih dulu memperkenalkan
diri." "Hemm, benar manusia sombong. Baiklah, agar engkau
tidak mati penasaran namaku Setyaningsih. Engkau siapa?"
Pemuda itu tertegun. "Setyaningsih ......... " Setyaningsih
......... " Alangkah indahnya namamu dan tepat sekali, amat
merdu terdengarnya! Setyaningsih berarti kesetiaan cinta
kasih; aduh, memang seorang dewi seperti andika ini tentu
amat setia dalam kasih sayang ......... duhai dewata, hamba
takkan penasaran hidup di dunia ini kalau bisa
mendapatkan kesetiaan cinta kasihnya ......... !"
"Ngaco belo seperti burung jalak makan cabe! Hayo
mengaku siapa namamu!" bentak Setyaningsih yang merasa
heran terhadap dirinya sendiri mengapa hatinya menjadi
senang mendengar ucapan-ucapan gila ini!
"Namaku adalah Panji Sigit?"".."
"Ah, engkau seorang pangeran ...... ?"" tanya
Setyaningsih dan para gadis yang masih berada di situ
menonton menjadi berisik mendengar bahwa jejaka bagus
itu adalah seorang pangeran!
Pemuda itu membelalakkan matanya yang jernih dan
tajam. "Bagaimana andika bisa tahu?"
"Engkau pangeran dari Jenggala?"
Kembali pemuda itu tertegun. Memang dia adalah
Pangeran Panji Sigit dari Jenggala. Seperti telah diceritakan
di bagian depan, Pangeran Panji Sigit lolos dari istana
setelah memaksa minta diri dari ramandanya karena
hatinya geIisah dan marah oleh peristiwa semalam itu di kamar ibu tirinya, selir termuda
ramandanya, Suminten. Semenjak kecil pangeran muda ini memang telah menggembleng diri dengan ilmu kesaktian. Banyak orang gagah di Kerajaan Jenggala dan karena para senopati yang perkasa itu semua suka belaka kepada pangeran ini, maka dengan rela mereka menurunkan ilmu mereka sehingga Pangeran Panji Sigit memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi. Terutama sekali ia mahir akan aji
meringankan tubuh yang ia pelajari dari Empu Handoko,
seorang empu pembuat keris yang terkenal di Jenggala.
"Eh, eh ......... bagaimana andika bisa ......... tahu semua
......... " Akan tetapi Setyaningsih kini menjadi marah sekali.
Dicabutnya kerisnya dari ikat pinggang dan ia melangkah
maju. "Bagus! Pantas saja engkau sombong dan kurang ajar,
kiranya engkau seorang pangeran Jenggala! Semua orang
Jenggala jahat dan keji belaka!"
Gadis ini memang mempunyai rasa benci terhadap
Jenggala karena ia anggap bahwa ayundanya, Endang
Patibroti menerima perlakuan tidak selayaknya dari
kerajaan itu. Tadi begitu mendengar nama Panji Sigit, maka
ia segera menduganya bahwa pemuda ini seorang pangeran
dari Jenggala. Setelah mendapat kenyataan bahwa
dugaannya benar, ia menjadi marah, mencabut kerisnya
dan langsung menerjang maju!
"Aduhai, adinda dewi yang cantik jelita dan sakti
mandraguna, Setyaningsih! Mengapa andika memusuhiku"
Aku tidak pernah bersalah kepadamu dan aku datang bukan
membawa niat jahat. Kalau andika tidak percaya, ini
dadaku. Hendak membunuh aku" Silahkan! Aku bukan
seorang pengecut yang takut mati. Biarlah ......... aku rela
mati di tangan halus seorang seperti adinda dewi .........
tusuklah ........." Pangeran Panji Sigit yang sudah tergilagila itu malah maju dan membuka bajunya bagian depan,
memperlihatkan dadanya yang bidang dan berkulit bersih
halus, wajahnya berseri, mulutnya tersenyum, matanya
memandang dengan pancaran kasih sayang.
Tangan yang memegang keris itu gemetar, kemudian
lunglai dan keris itu menurun ke bawah. Seperti naik sedusedan ke atas kerongkongan Setya-ningsih dan ia lalu
membuang muka, berkata kepada lima orang laki-laki tinggi
besar, "Tangkap dia, bawa menghadap ayunda!"
Tangan-tangan yang kasar menangkap kedua tangan
Pangeran Panji Sigit dan digiringlah pangeran ini memasuki hutan, diiringkan oleh Setyaningsih dan beberapa
orang gadis temannya. Setelah para satria Wilis tahu bahwa
pemuda ini adalah seorang Pangeran Jenggala, mereka
tidak berani berbuat sembrono. Mereka maklum bahwa
pimpinan mereka, Endang Patibroto, adalah bekas mantu
Jenggala. Mereka menangkap dan meng-giring pemuda ini
hanya karena perintah Setyaningsih yang tentu saja mereka
taati. Belum juga tiba di pusat Padepokan Wilis yang berada di
puncak, di mana terdapat pondok utama tempat tinggal
pimpinan Padepokan Wilis, di bawah puncak rombongan
yang menawan Pangeran Panji Sigit ini bertemu dengan
Endang Patibroto yang dilkuti oleh beberapa orang gadis
yang tadi mandi bersama Setyaningsih dan melapor.
Endang Patibroto menjadi marah ketika mendengar bahwa
ada seorang pemuda asing datang dan menimbulkan
kekacauan, mengintai Setyaningsih dan teman-temannya
yang sedang mandi. Ketika ia mendengar betapa pemuda
itu dengan mudahnya mengalahkan lima orang anak
buahnya, ia terheran dan makin penasaran, maka ia lalu
meninggalkan pondoknya, menyuruh Retna Wilis melanjutkan latihan samadhi seorang diri dan turun dari
puncak. Dari jauh Pangeran Panji Sigit sudah melihat datangnya
rombongan wanita turun dari atas itu. Tertegun ia melihat
wanita yang berjalan paling depan, wanita berusia tiga
puluh tahun lebih, cantik dan agung, langkah dan geraknya
mengandung wibawa dan kegagahan luar biasa dan
beberapa orang gadis yang -mengiringkan wanita itu
tampak penuh hormat. Ia merasa kenal dengan wanita yang
turun dari atas Setelah kedua rombongan bertemu dan lima
orang laki-laki tinggi besar

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beserta semua gadis menjatuhkan diri berlutut di depan wanitaitu, kecuali
Setyaningsih yang tetap berdiri, muncul pula banyak sekali
laki-laki yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan bersikap
kasar. Mereka ini semua pun menjatuhkan diri berlutut lalu
bersila atau berjongkok di atas tanah, tak seorangpun
mengeluarkan kata-kata. Kini yang berdiri hanya tiga orang. Wanita itu yang
bukan lain adalah Endang Patibroto, Setyaningsih, dan
Pangeran Panji Sigit. Kini jelas tampak oleh pangeran muda
itu bahwa dugaannya tadi tidak keliru. Wanita ini, yang
berdiri dengan sikap angkuh dan tenang, yang dihormati
oleh semua anak buahnya seperti seorang ratu, bukan lain
adalah kakak iparnya, Endang Patibroto isteri mendiang
kakak tirinya Pangeran Panjirawit! Enam tujuh tahun telah
lewat namun kakak iparnya ini masih tidak berubah, masih
tetap cantik dan tidak kelihatan tua, hanya bedanya, kalau
dahulu manis dan ramah, kini kelihatan angker dan galak!
"Puji syukur kepada para Dewata ......... Kiranya
Ayunda yang berada di sini ......... !" Pangeran Panji Sigit
melangkah maju dan berseru. Akan tetapi sinar tajam yang
menyambar keluar dari pandang mata Endang Patibroto
membuatnya terhenti dan memandang ragu.
"Apa yang telah dilakukan oleh keparat ini?" Suara
Endang Patibroto seperti biasa amat halus dan merdu,
namun di dalamnya terkandung hawa dingin yang
menyeramkan. Pertanyaan itu ditujukan kepada adiknya,
Setyaningsih, akan tetapi karena ia tetap menatap wajah
pangeran itu, maka seolah-olah ia bertanya kepada si
pangeran sendiri atau kepada diri sendiri.
"Ayunda ......... bukankah paduka ini......... Ayunda
Endang Patibroto ......... " Duhai Ayunda ......... sudah
lupakah kepadaku?"?"
Memang Endang Patibroto sudah lupa kepada pangeran
muda ini. Tujuh tahun yang lalu, pangeran ini masih
merupakan seorang pemuda cilik yang belum dewasa, baru
tiga belas tahun usianya, sedangka kini telah menjadi
seorang pemuda de wasa yang tampan dan gagah.
"Ningsih! Siapakah dia ini?" Kini Endang Patibroto
menoleh kepada adiknya. "Menurut pengakuannya, dia bernama Panji Sigit,
pangeran dari Jenggala," jawab Setyaningsih sambil melirik
ke arah pemuda itu. Tidak berani ia memandang secara
langsung karena pandang mata pemuda itu demikian terus
terang memancarkan cinta kasih kalau memandangnya.
Bahkan menyebutkan nama Panji Sigit saja jantungnya
berdebar dan suaranya gemetar.
Endang Patibroto kembali menghadapi pangeran itu,
wajahnya tidak berubah, masih tenang angker dan pandang
matanya dingin. "Hemm ......... " Mau apa engkau datang
ke sini ......... ?"
Pangeran Panji Sigit terkejut dan diam-diam merasa
serem. Ia tidak tahu betapa Endang Patibroto sekarang
sudah jauh berubah kalau dibandingkan dengan dahulu
ketika masih menjadi isteri Pangeran Panjirawit. Pukulan
batin yang menimpanya secara bertubi-tubi semenjak
suaminya tewas, telah membuat hati wanita yang keras ini
menjadi makin keras. Keras dan pahit.
"Ayunda ......... Secara tidak sengaja aku tersesat sampai
ke Wilis dalam perantauanku meninggalkan istana. Aku
tidak betah lagi tinggal di istana yang makin lama makin
panas dan makin kacau. Tanpa kusengaja aku memasuki
daerah Wilis dan siapa menduga bahwa daerah ini dikuasai
oleh Padepokan Wilis yang ternyata Ayunda sendiri yang
pimpin. Ah, betapa bahagia hatiku?"."
"Cukuplah, Panji Sigit. Engkau datang tanpa kausengaja,
itu masih amat baik. Sekarang kau pergilah cepat-cepat
meninggalkan Wilis!"
Terbelalak sepasang mata Panji Sigit. "Ahhhh .........
bagaimana ini, Ayunda" Aku ......... aku tidak berniat buruk
?"..dan ......... di sini aku berjumpa dengan ?""..
Setyaningsih ini ......... adakah dia adik kandung Ayunda"
Terus terang saja, ?"".Ayunda, aku ......... aku jatuh
cinta kepada Setyaningsih dan aku hendak meminangnya
menjadi isteriku ......... "
"Wuuuuutttt ......... , plakkk......... !!"
"Aduhhh Tubuh Pangeran Panji Sigh terbanting ke atas tanah
ketika pundaknya ,kena tampar tangan Endang Patibroto
yang memiliki keampuhan menggirlskan. Pangeran inl
merasa seluruh tubuhnya lumpuh dan kepalanya pening,
bumi terasa bergelombang dan ia hanya dapat memandang
ke arah Endang Patibroto dengan mata terbelalak dan
mulut ternganga. Endang Patibroto agaknya marah sekalli.
mendengar pernyataan sejujurnya dari pangeran itu. Setelah
menampar, tubuhnya berkelebat ke arah seorang anggauta
Padepokan Wilis yang duduk terdekat dan tahu-tahu ia
telah mencabut golok orang itu, kemudian sekali melompat
ia telah berada di dekat tubuh Pangeran Panji Sigit yang
masih rebah di atas tanah.
"Terimalah kematianmu, ,kau ........." Golok Itu
diangkat ke atas dan siap dl-ayunkan memenggal leher
Pangeran Panji Sigit yang tak dapat berbuat apa-apa lagi
karena tubuhnya masih belum pulih dari tamparan tadi.
"Ayunda Endang ......... Jangan ......... !!"
Endang Patibroto tertegun ketika merasa betapa dua
buah tangan Setyaningsth merangkulnya dan memegang
kedua lengannya dari belakang. Ia menoleh dan makin
heranlah hatinya ketika melihat wajah adiknya itu pucat
pasi., matanya basah oleh air mata, tubuhnya menggigil dan
bibirnya bergerak-gerak seperti mau menangis.
"Ehh, Setyaningsih, mengapa kau ...?"
"Ayunda, jangan bunuh dia ......... , jangan ......... ! Dia
......... dia tidak bersalah apa-apa ......... "
"Tapi dia ......... dia berani mengucapkan kata-kata
kurang ajar......... !"
"Ayunda, salahkah kalau ada orang mencintaiku"
Salahkah kalau ada orang meminangku" Tidak! Kalau
Ayunda membunuhnya, berarti dia mati karena aku. Lebih
baik Ayunda membunuh aku saja yang menjadi garagara?""." Endang Patibroto terbeleilak. Ia maklum akan kesungguhan hati adiknya ini "Hemm ......... hemmm .........
!" Sejenak tubuhnya menegang seolah-olah ia masih ragu,
kemudian ia menghela napas, melepaskan rangkulan
adiknya, lalu dengan jari-jari tangannya ia mematahmatahkan golok yang tadinya hendak dipergunakan
memenggal leher Pangeran Panji Sigit. "Kau sudah tidak
berkeberatan dipinang orang" Baiklah, Setyaningsih, aku
akan mengadakan sayembara!" Tanpa menanti jawaban
adiknya, juga tanpa memperdulikan Pangeran Panji Sigit
yang kini sudah bangkit dan duduk, masih tegang
menghadapi ancaman maut yang baru saja lolos, Endang
Patibroto lalu meloncat ke atas sebuah batu yang tinggi,
kemudian dengan lantang ia berkata,
"Di mana adanya ketiga Kakang Wilis?"
Dari rombongan mereka yang kini makin banyak
memenuhi tempat itu dan menonton tanpa mengeluarkan
kata-kata, berdirilah tiga orang laki-laki raksasa. Mereka ini
bukan lain adalah Limanwilis, Lembuwilis dan Nogowilis.
"Hamba berada di sini!"
"Kakang Wilis bertiga, dengar baik-baik pengumumanku
ini! Kalian umumkan ke seluruh penjuru agar diketahui
oleh seluruh orang gagah, para satria, pangeran dan
bangsawan, juga rakyat dan siapa saja yang menaruh minat,
bahwa mulai sekarang Padepokan Wilis mengadakan
sebuah sayembara. Sayembara tanding! Adikku Setyaningsih hendak, memilih jodoh dengan syarat
sayembara tanding, yaitu siapa yang dapat menangkan
adikku dalam pertandingan, dan walinya menangkan aku
dalam pertandingan, dialah yang dianggap menang dalam
sayembara dan berhak meminang adikku Setyaningsih!
Umumkan sekarang juga, Kakang, dan sayembara akan
diadakan tepat sebulan sesudah hati ini, pada hati Respati
dimulai pagi-pagi!" "Baiklah, Gusti puteri, akan hamba umumkan!" jawab
Limanwilis. Endang Patibroto tidak memperdulikan adiknya yang
kini berdiri menjauh sambil menundukkan muka. Ia
memandang kepada Pangeran Panji Sigit yang sudah berdiri
dengan muka pucat, lalu berkata "Nah, Panji Sigit, engkau
sudah mendengar sendiri! Adikku adalah seorang wanita
terhormat, seorang puteri sejati, tidaklah dapat diperoleh
secara mudah. Kalau engkau memang ingin meminangnya,
engkau harus menang dalam sayembara tanding, harus
dapat mengalahkan dia dan walimu harus dapat
mengalahkan aku. Nah, sekarang pergilah, aku tidak suka
melihat engkau mengacau lebih lama lagi di sini!"
Pangeran Panji Sigit merasa terpukul hatinya dan
berduka sekali. Ia adalah seorang yang biasanya gembira
dan jenaka, tidak mudah murung, akan tetapi sekali ini ia
benar-benar merasa prihatin. Ia menoleh ke arah
Setyaningsih, akan tetapi dara itu hanya menundukkan
muka, tidak bergerak. Ia menghela napas dan kemudian
menjura ke arah Endang Patibroto, berkata,
"Baiklah, Ayunda. Tentu saja aku akan memasuki
sayembara, dan sekiranya aku yang tidak mempunyai wall
ini kelak mati di tangan adinda Setyaningsih atau di tangan
Ayunda, aku rela." Endang Patibroto hanya mendengus tanpa menjawab,
maka pangeran itu setelah melempar pandang yang sayu
sekali lagi ke arah Setyaningslh, lalu melangkah pergi
meninggalkan tempat itu. Hatinya terasa berat sekali, kedua
kakinya seperti lumpuh, namun ia memaksa diri pergi
menuruni lereng Gunung Wilis, terhuyung-huyung dan
terbungkuk-bungkuk. Pangeran Panji Sigit menekan batin untuk mengurangi
rasa duka yang menindih hatinya. Ia berkali-kali mencela
diri sendiri mengapa sekali ini begini lemah. Semenjak kecil
ia hidup mewah dan senang di istana ramandanya, bertemu
dengan banyak puteri-puteri cantik jelita, bahkan ia tahu
betapa banyaknya dara-dara ayu dan puteri-puteri jelita
gandrung (tergila-gila) kepadanya, mengharapkan cinta
kasihnya, namun ia tidak pernah tertarik, bahkan ketika
Suminten selir ramandanya yang masih muda dan cantik
menarik itu merayunya, la sama sekali tidak tertarik malah
menjadi jijik dan takut sehingga ia meninggalkan istana!
Mengapa sekarang, sekali bertemu dengan Setyaningsih ia
menjadi gandrung wuyung, tergila-gila dan hatinya penuh
oleh cinta kasih yang amat mendalam"
Mengapa begitu melihat wajah perawan Wilis itu, begitu
bertemu pandang, ia jatuh cinta sedemikian rupa sehingga
la rela untuk mengorbankan nyawa" Mengapa jiwa
mudanya bergelora seperti laut selatan mengamuk begitu ia
bertukar '' pandang dengan Setyaningsih" Adakah Ini
menjadi akibat daripada rayuan Suminten yang seolah-olah
membangkitkan gelora darah mudanya"
"Ahhh ......... , Panji Sigit, mengapa engkau begini
lemah?" Ia mengeluh kepada diri sendiri. Ketika bayangbayang wajah Setyaningsih tampak tersenyum di depan
matanya, ia mengeluh lagi. "Adindaku Setyaningsih .........
sudahkah dikehendaki Hyang Widdhi bahwa engkau
adalah jodohku" Kalau begitu, betapa mungkin" Sayembara
tanding itu amat berat. Melawanmu mungkin aku masih
ada harapan karena mungkin sekali, melihat pembelaanmu
tadi ketika aku akan dibunuh, engkau akan suka mengalah
terhadap aku. Akan tetapi, kekasihku, juwitaku .........
betapa mungkin aku dapat melawan ayunda Endang
Patibroto" Ahh, kalau dia kehendaki, sekali pukul saja aku
akan tewas di dalam tangannya. Setyaningslh ......... mana
ada harapan bagiku untuk dapat bertanding denganmu,
sayang ......... " Demikianlah, seperti orang gila karena merasa tergoda
asmara, Pangeran Panji Sigit berjalan terus, terhuyunghuyung dan tanpa tujuan, kadang-kadang ia bicara seorang
diri, kadang-kadang tersenyum-senyum mesra, kadangkadang seperti orang hendak menangis. Betapa besarnya
kekuasaan asmara, hanya dapat diakui oleh mereka yang
telah merasakannya. Betapapun sengsara hatinya oleh siksaan asmara yang
mengamuk di hatinya, namun Pangeran Panji Sigit adalah
seorang keturunan mendiang Sang Prabu Airlangga yang
sakti mandraguna dan bijaksana. Sedikitnya, darah satria
utama mengalir di dalam tubuhnya, tekad seorang jantan
telah menjadi wataknya. Setelah seharl semalam menuruni
puncak dan lereng Wilis, akhirnya Panji Sigit masuk ke
dalam sebuah hutan kecil yang amat liar. Hutan itu
kelihatan menyeramkan sekali, penuh pohon-pohon raksasa
dan penuh dengan alang-alang dan duri sehingga sukar
dilalui manusia. Keadaannya yang gelap dan rungkut amat
mengerikan dan menyeramkan, karena hutan seperti ini
amat angker, jarang atau tak pernah dimasuki karena
banyak bahaya mengancam, bukan hanya bahaya yang
datangnya dari ancaman binatang-binatang hutan yang
buas, melainkan terutama sekali gangguan jin setan iblis
dan siluman yang sepatutnya menjadi penghuni sebuah
hutan seperti itu. Akan tetapi Pangeran Panji Sigit sudah tidak perduli lagi
akan keselamatan dirinya. Hatinya yang perih membuat ia


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nekat, bahkan timbul tekadnya untuk bertapa di dalam
hutan ini sambil menanti datangnya hari sayembara
tandang. Ia bertekad untuk bertapa di dalam hutan yang
angker ini selama sebulan! Setelah memasuki bagian yang
paling dalam, paling gelap dan paling rungkut, sang
pangeran lalu menjatuhkan diri duduk di bawah sebatang.
pohon besar; pohon asem yang entah sudah berapa abad
usianya. Ia duduk bersila, mematikan raga, mengheningkan
cipta dan menyatukan pancaindra, didasari keprihatlnannya
memohon petunjuk dan pertolongan Sang Hyang Widdhi,
Tuhan Yang Maha Kuasa. Segera ia tenggelam ke dalam
samadhinya, seolah-olah telah berubah menjadi arca batu,
tidak terasa lagi olehnya betapa ada seekor semut angkrang
(semut merah besar) merayap-rayap di sepanjang lengannya. -oo0dw0oo- Begitu sayembara tanding itu diumumkan gegerlah dunia
orang gagah. Nama Padepokan Wilis sudah amat terkenal
dan semua orang sudah tahu belaka, sedikit-nya mendengar
berita betapa Padepokan Wilis adalah sarang atau tempat
berkumpulnya wanita-wanita yang cantik-cantik seperti
bidadari dan berilmu tinggi. Juga telah banyak disinggung
orang tentang "Perawan Lembah Wilis", yaitu dara cantik
jelita namun yang berilmu tinggi sehingga sukar dilihat
sukar dikenal. Tidak ada yang tahu siapa sesungguhnya
yang mereka sebut-sebut sebagai Perawan Lembah Wilis
itu, karena terlalu banyak dara remaja yang jelita di situ dan
setiap kali ada seorang dara Padepokan Wilis yang
kebetulan bertemu dengan orang luar, tentu orang luar ini
menganggapnya sebagai orang yang disebut Perawan
Lembah Wilis. Kini ada pengumuman bahwa di puncak Wilis diadakan
sayembara tanding untuk mempersunting perawan lembah
Wilis yang bernama Setyaningsih dan di dalam pengumuman disebut sebagai adik kandung pemimpin
Padepokan Wilis sendiri. Betapa tidak akan gempar orangorang muda yang mendengar pengumuman ini. Jauh
sebelum diadakannya sayembara tanding tiba, sudah
berbondong-bondong orang datang mengunjungi Gunung
Wilis dan memondok di dusun-dusun sekitar kaki Gunung
Wilis, karena sebelum hari Respati yang ditentukan tiba,
tidak ada yang diperbolehkan naik ke lereng Gunung Wilis.
Bermacam-macam orang dari segala golongan berdatangan,
dan mereka ini pada umumnya adalah orang-orang yang
berkepandaian tinggi, karena Padepokan Wilis sudah
terkenal sebagai kedung (pusat) orang-orang pandai maka
tentu saja pemimpinnya juga seorang yang sakti
mandraguna. Hal ini membuat mereka yang kurang tinggi
ilmunya, tidak berani main-main betapapun inginnya hati
mereka mempersunting kembang Wilis yang disohorkan
amat cantik jelita melebihi puteri kerajaan itu.
Satria-satria yang perkasa dan tampan berdatangan,
bersama dengan wali mereka yang terdiri dari guru-guru
mereka, para pertapa, pendeta, dan empu empu
gemblengan yang selain datang untuk membela muridmurid mereka, juga ingin melihat siapa gerangan pimpinan
Padepokan Wilis yang terkenal sakti mandraguna akan
tetapi tak pernah dapat ditemui orang luar itu.
Sementara itu, di Padepokan Wilis, Setyaningsih
melewatkan hari-hari dengan hati gelisah. Tentu saja ia
tidak berani membantah ayundanya yang mengadakan
sayembara tanding, bahkan ia merasa bangga karena
dengan adanya sayembara ini, derajatnya menaik tinggi,
tidak kalah dengan derajat seorang puteri istana! Sayembara
tanding itu telah mengangkat kehormatan dan harga dirinya
tinggi sekali, apalagi ditambah syarat bahwa si peminang
harus mempunyai wali yang dapat menandingi kesaktian
ayundanya! Dengan sayembara ini, maka ia tidak akan
salah pilih lagi, pemenangnya tentu seorang yang sakti
mandraguna dari murid atau putera seorang yang lebih sakti
daripada ayundanya. Benarkah tidak akan salah pilih"
Apakah kebaikan seorang suami dapat diukur dari
kedigdayaannya" Bagaimana kalau yang muncul sebagai
pemenang seorang kaum sesat yang berilmu tinggi"
Mengingat akan hal ini, Setyaningsih bergidik ngeri. Akan
tetapi hatinya terhibur oleh kepercayaan dan kesaktian
ayundanya. Tentu ayundanya pandai memilih dan kalau
yang muncul seorang dari golongan sesat, ia sendiri akan
bertanding mati-matian mempertaruhkan nyawa, sedangkan ia percaya ayundanya tentu juga akan berbuat
demikian. Akan tetapi, tetap saja hati Setyaningsih risau kalau ia
teringat akan Pangeran Panji Sigit. Ia tidak dapat
menyangkal dan menipu hatinya sendiri. Semenjak pertama
kali beradu pandang mata, hatinya sudah tertarik dan
biarpun selama hidupnya ia belum pernah mengalami,
namun perasaan wanitanya dapat menduga bahwa ia jatuh
cinta kepada pangeran muda itu. Kalau pemuda itu maju
menandinginya, tidak mungkin ia tega hati untuk
mengalahkannya sungguhpun belum tentu pula dapat
menang dalam pertandingan wajar. Hal ini mudah saja
diatasi, akan tetapi kalau ia teringat bahwa pangeran itu
harus membawa seorang wali yang dapat mengalahkan
ayundanya, hatinya menjadi risau dan bingung. Ia hanya
berdoa kepada dewata semoga pemuda idamannya itu
mempunyai wali yang sakti mandraguna sehingga dapat
menandingi kesaktian ayundanya.
Makin risau dan bingunglah hati Setyaningsih ketika darI
para penjaga dan penyelidik bahwa di antara sekian banyak
orang-orang yang berkumpul dl kaki gunung, tidak tampak
si pangeran muda! Padahal, sayembara akan diadakan tiga
hati lagi! Benar-benarkah pangeran itu tidak akan muncul"
Begitu penakutkah melihat beratnya syarat yang diajukan"
Sesungguhnya, apa yang dirisaukan hati Setyaningsih
tidaklah benar sama sekali. Pangeran Panji Sigit bukanlah
seorang penakut, bukan lagi seorang yang mudah putus asa.
Sebaliknya daripada itu, Pangeran Panji Sigit mewarisi
watak kakeknya, mendiang Sang Prabu Airlangga yang
bijaksana dan sakti, mewarisi watak satria yang pantang
undur dalam melaksanakan kewajiban dan dalam mengejar
tercapainya cita-cita. Rawe-rawe rantas, malang-malang
putung, demikianlah pendiriannya. Apapun yang menjadi
penghalang, betapa beratpun, akan ia terjang dan hadapi
Pangeran Panji Sigit amat tekun dalam samadhinya,
dalam bertapa mohon petunjuk dewata, menyerahkan jiwa
raga ke dalam kekuasaan Hyang Wadhi. Pemuda remaja
yang tampan ini seolah-olah telah berubah menjadi arca
batu di bawah pohon asem raksasa itu, sama sekali tidak
bergerak. Hanya naik turunnya dada yang amat jarang dan
halus itu saja yang menjadi tanda bahwa "arca" ini
bukanlah terbuat daripada darah daging, bukan benda mati
melainkan seorang manusia hidup.
Hutan itu memang amat angker dan liar, pantasnya
menjadi tempat tinggal raja setan dengan kawulanya yang
terdiri daripada iblis brekasakan. Dan memang blasanya,
orang yang bertapa selalu digoda oleh mahluk-mahiuk halus
ini yang sesungguhnya hanyalah penciptaan nafsu-nafsu
badani yang berada di tubuh manusia itu sendiri. Godaan
mahluk-mahluk halus ini amatlah beratnya bagi seorang
pertapa, dan banyaklah orang yang gagal dalam tapanya,
jauh lebih banyak daripada mereka yang berhasil. Sama
banyaknya dengan kegagalan orang-orang yang mengejar
cita-cita, namun tidak dapat mengatasi rintangan di tengah
jalan. Setiap pelaksanaan dalam mengejar cita-clta selalu
pasti akan menimbulkan rintangan-rintangan, halangan dan
godaan yang akan menyelewengkan orang itu daripada titik
tujuan sehingga cita-cita itu gagal tercapai. Hanya orangorang yang berjiwa satria saja yang akan mampu mengatasi
segala macam rintangan ini, betapapun berat dan pahitnya,
dan hanya mereka ini yang akan dapat mencapai apa yang
dicita-citakan. Demiklan pula dengan orang bertapa, hanya
dia yang dapat menghadapi godaan bayangan setan
sehingga imannya tidak terguncang, daya ciptanya tetap
membubung ke atas menuju Yang Satu tak pernah goyah,
dialah yang akan memetik buah hasil tercapainya cita-cita.
Amat berat memang keadaan bayangan ini. Ketika
Pangeran Panji Sigit bertapa dan duduk bersila sampai pada
malam ke tiga, bayangan wajah Setyaningsih selalu
menggodanya sehingga ia hampir-hampir tidak kuat
bertahan. Setelah ia dapat mengatasi bayangan wanita yang
dikasihinya itu, muncul bayangan lain yang agaknya timbul
daripada nafsu berahinya sebagai seorang pria muda.
Muncullah bayangan wanita-wanita cantik yang menanggalkan pakaian mereka satu per satu di depannya,
kemudian dengan tubuh telanjang menggairahkan dan
dengan gaya memikat, mencumburayunya. Semalam
suntuk ia digoda oleh wanita-wanita cantik yang melakukan
segala usahanya untuk merayu dan mencumbunya, untuk
menyelewengkan perhatiannya. Namun, sang pertapa muda
ini tetap tidak bergeming imannya, tidak goyah batinnya,
keadaannya seperti sikap dalam samadhi yang pernah ia
pelajari sebagai wejangan seorang di antara guru-gurunya
Pancadriya wus gineleng tunggil
mung sajuga kang sinidhikara.
kinarya nut pangesthine, Catur warna binesut pinarwasa ajwa ngribedi mring lenging tyas sopana, jwa keron pandulu marang luguning parasdya kang kaesthi muhung dumununging Gusti panuksmane Hyang Suman. (Dandanggendis) Bagi seorang pria, apalagi kalau ia masih muda remaja
seperti Pangeran Panji Sigit, amatlah beratnya godaan yang
merupakan bayangan wanita-wanita cantik ini yang timbul
daripada nafsu-nafsunya sendiri yang kadang-kadang dapat
menggoda setiap orang pria dengan lamunan-lamunan.
Namun sang pangeran lulus daripada ujian dan cahaya di
wajahnya makin gemilang ketika pada keesokan harinya
bayang-bayang para wanita itu lenyap tanpa bekas. Bagi
pandangan seorang yang sidik paningal (awas mata
batinnya) akan tampaklah teja (cahaya) bersinar dari kepala
sang pangeran tanda bahwa samadhinya amat mendalam
dan tekadnya bulat, sudah bersatu jiwa dan raga, dikatakan
mati tapi hidup karena jantungnya masih berdenyut,
dibilang hidup keadaannya seperti orang mati, tak bergerak
tak merasa tak berpikir. Tiga hari menjelang hari sayembara tanding, samadhinya
pangeran muda ini mencapai puncaknya dan mulailah
terujud semua nafsu-nafsu badani berbentuk setan iblis
brekasaan yang mengerikan. Kepala tanpa badan bergulingan di sekitar lututnya sambil tertawa bergelak,
banaspati yang berambut dan bernapas api menggodanya
dengan ancaman hendak membakar, gendruwo yang
mengerik dan bertanduk, memedi pocongan seperti mayat
terbungkus kain yang hidup kembali, tengkorak-tengkorak
hidup yang mengejek dan mentertawakannya, wewe
gombel, kuntianak, tuyul dan thethekan, semua bentuk iblis
yahg pernah digambarkan orang bermunculan dan menggoanya. Namun wajah sang pange-ran yang sudah mencorong
(bercahaya) itu nampak tenang dan tenteram saja, penuh
damai dan keheningan, wajah yang tampan itu makin
tampan, bibirnya mengarah senyum penuh kesabaran dan
peng-ampunan, kakinya bersila, kedua lengannya bersedakap, napas-nya satu-satu dan panjang-panjang
hampir tidak nampak gerak dadanya. Tidak seekorpun
nyamuk atau semut berani mengganggu kulit sang
pangeran, seolah-olah ada hawa dan getaran gaib yang
melindunginya. Bahkan bayang-an para setan dan iblis itu
akhirnya mundur-mundur keta-kutan dan kepanasan.
Tubuh sang pangeran agak kurus, wajahnya agak pucat,
namun cahaya yang menyelubungi tubuhnya di pagi hari
esoknya amatlah terangnya dan wajah yang pucat karena
terlalu lama berpuasa itu makin berseri, samadhinya makin


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hening karena kini tiada.. lagi bayangan-bayangan
mengganggunya. Pada pagi hari itu tampak seorang kakek tua berjalan
terbungkuk-bungkuk memasuki hutan di mana Sang
Pangeran Panji Sigit bertapa. Kakek ini tidak kelihatan luar
biasa, pakaiannya serba hitam seperti pakaian petani
miskin, kotor berlepotan tanah dan lumpur, kakinya
telanjang juga berlepotan lumpur. Tubuhnya kecil dan kate,
mukanya penuh keriput menandakan usia tua, akan tetapi
rambutnya masih hitam, gemuk dan kaku, bercerongatan ke
sana-sini, sedangkan sepasang matanya sama sekali tidak
kelihatan tua atau lamur bahkan seperti sepasang mata
seekor harimau! Tiba-tiba kakek itu seperti orang tersentak kaget,
menoleh ke kanan-kirI kemudian pandang matanya lekat ke
arah kiri mulutnya mengeluarkan suara, "Hemmmm .........
" dan kakinya lalu membelok ke kiri, langsung menuju ke
arah kiri di mana Pangeran Panji Sigit duduk bertapa tidak
jauh dari situ. Tak lama kemudian kakek ini sudah tiba di depan
Pangeran Panji Sigit. Ia memandang sejenak, lalu
mengangguk-angguk dan kemudian menggeleng-geleng,
menarik napas panjang dan menggumam lirih, "Pantas
......... pantas ......... jantungku berdebar, kakiku tersandung,
kiranya ada seorang yang begini tekun bertapa, tejanya
sampai bercahaya kebiruan. Hemmm, orang muda, sayang
akan jasmanimu kalau dilanjutkan ......... " Setelah
menggumam demikian, kakek itu lalu berdiri tegak, kedua
lengan bersedakap, mukanya menunduk, matanya dipejamkan dan ia melakukan aji kesaktian "merogoh
sukma" untuk menyadarkan pemuda yang sedang
tenggelam dalam lautan .keheningan itu. Hanya dengan
cara Itu saja agaknya pemuda yang tekun bertapa ini akan
dapat disadarkan. Kakek itu bergerak kembali, mengangkat muka
memandang ke arah Pangeran Panji Sigit yang juga mulai
bergerak-gerak, pelupuk matanya yang mulai gemetar,
kemudian terdengar pemuda itu menghela napas, urat-urat
syaraf di tubuhnya mulai bergerak, kulitnya berdenyutdenyut. "Duhai, Angger, Kulup yang sedang prihatin, sadar dan
bangkitlah, hentikan keprihatinanmu dan mari kubantu
andika mengupas persoalanmu."
Bagaikan tangun dari mimpi, Pangeran Panji Sigit
membuka kedua matanya dan memandang ke arah kakek
itu. Mulutnya bergerak dan ia menggigit bibir ketika terasa
betapa seluruh tubuhnya lemas, perutnya perih dan uratnya
kaku-kaku sehingga kalau tidak kuat-kuat ia bertahan tentu
ia akan roboh pingsan. Teringatlah ia akan segala halihwalnya, teringat akan keprihatinannya dan ia dapat
menduga bahwa tentu kakek sederhana dengan sinar mata
seperti bintang ini yang telah menggugahnya dari samadhi.
Naik sedu-sedan dari dadanya dan ia lalu memaksa diri
yang lemas itu bangun dan menghadap kakek itu dengan
sikap menghormat. "Aduhhh, Eyang......... , mengapa Eyang menyadarkan
saya" Saya telah menyerahkan jiwa raga kepada para
dewata dan kalau para dewata tidak menolong saya, biarlah
saya tidak akan sadar lagi dari-pada samadhi ......... "
Ucapan ini seolah-olah ia katakan kepada diri sendiri,
setengah berbisik setengah mengeluh, namun kakek itu
agaknya dapat mendengarnya dan ia tersenyum.
"Wahai, Angger bocah bagus! Memang seorang satria
utama harus tahan tapa, berani menghadapi kurang makan
kurang tidur, akan tetapi bukanlah watak satria untuk
berkecil hati dan berputus asa! Hidup adalah perjuangan
dan sudah sewajarnya dan lumrah kalau dalam berjuang
manusia menghadapi kegagalan atau-pun hasil baik,
mengalami jatuh bangun. Kalau jatuh, bangkitlah kembali
dan pergunakan kejatuhan sebagai pelajaran untuk
mengatur langkah selanjutnya. Kalau sedang bangun
janganlah menyombongkan diri dan berhati-hatilah agar
jangan jatuh. Kalau sedang berhasil baik dan menang
janganlah menjadi mabuk namun selalu waspadalah bahwa
di balik kemenangan, kekalahan selalu mengintai.
Sebaliknya, kalau sedang kalah dan gagal, jangan berkecil
hati, jangan hilang semangat, landasan prihatin harus
dipimpin oleh ikhtiar yang tak kunjung henti, oleh
semangat yang tak kunjung padam. Ketahuilah, Kulup
bahwa tidak ada peristiwa, betapapun pahit dan sukarnya,
yang takkan dapat diatasi oleh manusia, asalkan dia
bermodal iktikad baik."
"Aduh Eyang yang bijaksana, mohon jangan kepalang
memberi penerangan kepada saya. Apakah yang dimaksudkan dengan iktikad baik?"
"Kulup, iktikad baik ditujukan keluar, terhadap orang
lain, berdasarkan kejujuran, keadilan dan keberanian. Kalau
hanya baik bagi diri pribadi namun tidak baik untuk orang
lain, hal ini bukanlah iktikad baik namanya. Pamrih yang
bermaksud merusak terhadap orang lain, mendatangkan
sengsara terhadap orang lain, pasti pada akhirnya akan
gagal dan akan mencelakakan diri pribadi. Sebaliknya,
kalau cita-cita itu tidak bersifat merusak orang lain maupun
diri pribadi, sudah lurus melalui jalan kebenaran, harus
terus dipegang oleh seorang satria, kegagalan hanya
merupakan tempaan dan gemblengan untuk memperkuat
semangat demi tercapainya cita-cita itu. Segala rintangan
dan kegagalan pasti akan dapat diatasi. Batu yang
dilontarkan ke atas sudah pasti akan jatuh kemball ke
bawah, demikian pula, semua pamrih akan membawa
akibat dan akibat pasti akan menimpa diri pribadi. Kalau
pamrihnya baik, akibatnya sudah pasti baik, sebaliknya
pamrih buruk juga akan berakibat buruk. Inilah keadilan
namanya, Kulup." Pangeran Panji Sigit mengangkat muka memandang
wajah kakek itu, jantungnya berdebar girang dan pandang
matanya terang. Ia mengerti bahwa ia berhadapan dengan
seorang yang bijaksana dan sakti mandraguna. Tanpa raguragu ia menyembah dan berkata,
"Mohon petunjuk selanjutnya, Eyang. Bagaimana saya
dapat mengatasi kekecewaan dan keraguan, apalagi
kegagalan. Saya hanya seorang manusia biasa, Eyang,
manusia yang lemah dan tak berdaya menghadapi
kesengsaraan karena kegagalan."
"Heh-heh-heh, anak baik. Pengakuan-mu ini saja sudah
membuktikan bahwa engkau berjalan di atas jalan yang
benar. Orang yang setulus-tulusnya mengaku bahwa dia
bodoh dan lemah, gudang kesalahan, dia adalah orang yang
sadar dan dapat diharapkan menjadi manusia yang baik.
Ketahuilah bahwa di dalam hidup ini segala sesuatu ada
kebaikannya, segala sesuatu mempunyai dwi muka (dua
muka) yang berlawanan. Susah dan senang adalah saudara
kembar yang tak terpisahkan. Siapa menikmati kesenangan,
dia takkan kebal terhadap kesusahan. Siapa menderita
kesusahan, sekali waktu akan merasakan kesenangan.
Karena itu, jangan kita tertipu, Kulup. Kita harus waspada
dan harus dapat mengatasi saudara kembar ini. Baik
kesenangan mau-pun kesusahan, jika sudah mencengkeram
dan memperbudak kita, akan membuat kita lupa diri. Yang
mabuk kesenangan akan lupa sehingga sekali kesusahan
tiba, ia amat menderita. Yang mabuk kesusahan akan lupa
sehingga sekali kesenangan tiba, ia akan menjadi adigangadigung-adiguna. Akan tetapi apabila kita dapat mengatasi
sepasang saudara kembar ini, menghadapi mereka dengan
hati lapang, dengan kesadaran penuh. Setiap peristiwa, baik
menyusahkan maupun menyenangkan, akan dihadapi
sebagai suatu kenyataan yang sudah semestinya. Segala
peristiwa terjadi sebagai akibat dari sebab, maka
kesemuanya wajar belaka. Susah atau senang tergantung
kepada kita sendiri, bagaimana kita menerimanya. Diterima
susah, maka susahlah kita. Diterima senang, akan
senanglah kita." "Duh Eyang ......... betapa sukarnya manusia menghadapi kedua perasaan itu. Selama masih hidup di
dunia ramai, terlibat terikat segala urusan duniawi, betapa
mungkin kita dapat membebaskan diri daripada kedua
perasaan itu, Eyang?"
"Benar, Angger. Belum tiba saatnya bagi seorang muda
seperti andika untuk membebaskan diri daripada ikatanikatan itu. Yang kumaksud hanyalah agar supaya andika
sadar dan berdiri di atas perasaan-perasaan itu. Hadapilah
segala peristiwa yang menimpa dirimu, senang mau-pun
susah, sebagai suatu kewajaran dan dengan hati yang
tenang dan. waspada. Kenyataan yang pahit harus diterima
sebagai sesuatu yang pahit, wajar bagi seorang yang belum
bebas daripada ikatan duniawi, dan boleh saja engkau
prihatin, namun di dalam keprihatinan ini, jangan sekalikali andika putus asa, berikhtiarlah sekuat mungkin karena
ini merupakan wajib, jangan menjadi keruh budi sehingga
melakukan hal-hal yang nekat dan menyeleweng daripada
kebenaran. Sebaliknya, kenyataan manis boleh saja diterima
dengan gembira dan senang, akan tetapi di dalam
kesenangan ini, jangan sekali-kali lupa diri dan mabuk
kesenangan sehingga mengurangi atau menghilangkan
kewaspadaan yang dapat menjerumuskan kita ke dalam
kesombongan. Bersikaplah seperti air telaga yang dalam.
Boleh saja ada angin bertiup menimbulkan keriput-keriput
pada permukaannya, namun keriput itu tidak mendalam
sampai ke dasarnya. Mengertikah, Kulup?"
"Duhai Eyang, serasa terangkat puncak Gunung Wilis
yang menindih hati saya! Serasa tersiram air sewindu
kekeringan hati saya karena duka! Terima kasih, Eyang,
dan mohon ampun akan ketidaksopanan saya sehingga saya
sampai terlupa untuk menanyakan nama Eyang yang
mulia." Kakek itu tersenyum. Girang hatinya melihat betapa
pemuda ini dapat menerima wejangannya, menerima
sampai mendalam, terbukti dari wajah yang berseri dan lega
itu. "Angger, sebutanku adalah Ki Datujiwa. Sebaliknya,
siapakah andika dan kalau boleh seorang tua seperti aku
mengetahui, mengapa gerangan andika menyiksa raga di
dalam hutan ini?" "Eyang, nama saya adalah Panji Sigit"
"Hemmm ......... , melihat bentuk wajah, sikap, dan
pakaianmu, aku dapat menduga bahwa andika tentulah
seorang putera bangsawan. Benarkah, Angger?"
"Tidak salah dugaan Eyang, sungguh pun dalam
keadaan menderita batin seperti sekarang ini, apakah
bedanya antara bangsawan dan orang biasa" Eyang
sesungguhnya ramandaku adalah sang prabu di Jenggala
......... " "Aahhh ......... , pantas! Kiranya paduka adalah
Pangeran Jenggala, keturunan mendiang Sang Prabu
Airlangga yang bijaksana! Apakah yang membuat paduka
sampai terlunta-lunta di tempat ini?"
Dengan penuh keprihatinan, Pangeran Panji Sigit lalu
menceritakan persoalannya dengan Setyaningsih, betapa
pinangannya ditolak dan dia dihadapkan pada keputusan
sayembara tanding yang akan diadakan di puncak Wilis.
"Eyang, betapa saya dapat menangkan sayembara itu"
Menghadapi adinda Setyaningsih saja, belum tentu saya
dapat menang, apalagi harus mempunyai seorang wali yang
akan mampu mengalahkan ayunda Endang Patibroto!
Betapa hati saya yang sudah terlanjur jatuh cinta kepada
adinda Setyaningslh ini akan dapat terobati" Itulah
sebabnya, Eyang, dalam keadaan bingung karena tiada
harapan, saya lalu bertapa di hutan ini, mohon bantuan
dewata." Ki Datujiwa mengangguk-angguk dan tersenyum.
"Memang, Endang Patibroto seorang wanita hebat!
Semenjak dahulu ketlka mudanya sampai kini, selalu
memutuskan sesuatu dengan ukuran kesaktian. Angger,
pangeran muda, harap jangan berduka. Bukan kebetulan
saja agak-nya kita dapat saling berjumpa di sini. Dewata
telah menghendaki agaknya. Bangkitlah, Angger dan
marilah kuantar paduka ke puncak Wilis. Biarlah aku yang
sudah tua ini menjadi walimu, siapa tahu kalau memang
paduka berjodoh dengan nini Setyaningsih, tentu Endang
Patibroto akan suka mengalah terhadap seorang tua macam
aku." Bukan main girangnya hati Pangeran Panji Sigit. Ia
belum melihat bukti kesaktian kakek ini, namun hatinya
telah merasa yakin. Kakek ini bukan orang sembarangan,
dan kalau sudah mengenal ayundanya tentu sudah
mengenal pula kesaktian ayundanya itu. Kalau sudah
berani menjadi walinya, tentu kakek ini mempunyai
kesaktian yang boleh diandalkan. Serta-merta ia menyembah dan menghaturkan terima kasihnya.
"Aduh, Eyang, betapa besar rasa syukur dan terima kasih
saya. Budi kebaikan Eyang berlimpah-limpah jatuh kepada


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saya seperti air di musim hujan! Bukan hanya wejanganwejangan yang dapat meringankan batin, juga bahkan
Eyang sudi menjadi wali saya, menambah budi dengan
perbuatan nyata. Betapa saya akan dapat membalas budi
Eyang yang demikian besarnya?"
"Ha-ha-ha, jangan bicara tentang budi, angger pangeran.
Segala macam sifat kebaikan terhadap orang lain yang
dilakukan seseorang tiada lain hanyalah kewajiban hidup
semata. Pula, belum tentu orang tua macam aku ini akan
dapat menandingi kesaktian seorang puteri sakti mandraguna seperti ayundamu Endang Patibroto itu, ha-haha!" Karena waktu diadakannya sayembara tanding sudah
mendekat, maka setelah memulihkan kelemahan tubuhnya
dengan makan buah-buahan dan minum, Pangeran Panji
Sigit lalu pergi bersama Ki Datujiwa menuju ke puncak
Wilis. -oo0dw0oo- Pada waktu itulah, seperti yang telah dicerltakan
terdahulu, di Selopenangkep terjadi perang yang akhirnya
memaksa Adipati Tejolaksono dan isterinya melarikan diri
ke Panjalu. Oleh karena perang kemudian dilanjutkan dengan
bantuan barisan Panjalu, maka sayembara tanding ini tidak
terdengar oleh para satria dan pangeran di Kerajaan Panjalu
maupun Jenggala yang saat itu sedang lemah dan
tenggelam akibat permainan Suminten yang membuat
rajanya tidak memperdulikan urusan pemerintahan.
Di dalam hutan di lereng Gunung Wilis sebelah timur,
berkelebat bayangan dua orang. Bayangan ini berkelebat
cepat sekali sehingga mencurigakan dan menyeramkan bagi
pemandangan orang biasa. Seperti bayangan setan-setan
saja. Apalagi kalau dapat melihat orangnya, tentu akan
lebih menyeramkan. Yang seorang adalah laki-laki tinggi
besar seperti raksasa, telinganya terhias anting-anting emas,
matanya terbelalak lebar, usianya kurang lebih lima puluh
tahun. Adapun orang kedua adalah seorang wanita yang
cantik, gerak-geriknya mengandung kegairahan, genit dan
sepasang matanya jalang, jelas terbayang nafsu berahi
bersembunyi di balik pandang mata yang memikat, senyum
dan cuping hidungnya yang bergerak-gerak. Namun di balik
kegenitannya ini, bersembunyi kekejaman yang mengerikan. Mereka ini bukan lain adalah Ki Kolohangkoro, pimpinan kaum penyembah Bathara Kala,
dan Ni Dewi Nilamanik, kepala kaum penyembah Bathari
Durga! Usianya sudah empat puluh tahunan namun ia
masih kelihatan muda dan menarik sekali.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, dua orang
tokoh yang menjadi anak buah Sang Wasi Bagaspati ini
telah mengalami kegagalan dalam perang menghadapi
barisan Panjalu. Mereka kehilangan anak buah mereka
yang terbasmi oleh perajurit-perajurit Panjalu yang
dipimpin oleh Tejolaksono. Kemudian, setelah Sang Wasi
Bagaspati dan Sang Biku Janapati ditundukkan oleh kakek
sakti mandraguna yang dikenal sebagai Bhagawan
Ekadenta, Bhagawan Jitendrya atau juga Sirnasarira, mereka semua
mundur dan sekaligus siasat telah diubah sama sekali.
Mereka membubarkan anak buah yang ditarik ke barat dan
hanya mempergunakan tenaga-tenaga ahli, yang cerdik
pandai dan memiliki kesaktian, untuk
melakukan penyelundupan dan menyusup ke dalam kota raja, berusaha
untuk menggulingkan kerajaan dari sebelah dalam tanpa
kekerasan perang! Demikianlah, kedua orang anak buah Wasi Bagaspati itu
kini tiba di lereng Wilis sebelah timur dalam perjalanan
mereka menunaikan tugas baru, yaitu mencari orang-orang
pandai untuk diajak bersekutu. Di sepanjang jalan melalui
daerah Wilis mereka telah mendengar akan adanya
sayembara tanding yang terjadi di puncak Wilis beberapa
hari lagi. Tentu saja mereka menjadi girang sekali karena
memang Ni Dewi Nilamanik berniat pergi ke puncak Wilis
menemui Endang Patibroto -yang ia dengar berada di
tempat itu menjadi kepala Padepokan Wilis yang mulai
terkenal. Mula-mula Ki Kolohangkoro menentang keras akan niat
hati Ni Dewi Nilamanik yang ingin mengajak Endang
Patibroto bersekutu ini: "Bagaimana kita dapat bersekutu dengan wanita iblis itu,
Bunda Dewi" Dia adalah musuh besar kita dan aku akan
lebih setuju kalau kita pergi mencari dia untuk
membunuhnya, membalaskan dendam akan kematian
kakang Wiku Kalawisesa! Dan bukankah belasan tahun
yang lalu, paman Bhagawan Kundilomuko juga tewas di
tangan Endang Patibroto (baca cerita Badai Laut Selatan)"
Dia adalah musuh kita, betapa mungkin diajak bersekutu?"
Ni Dewi Nilamanik tersenyum. "Memang benar, dialah
yang telah membunuh kedua orang saudara kita itu. Akan
tetapi, engkau harus belajar mempergunakan kecerdikan,
mempergunakan akal, Kolohangkoro! Manusia tak dapat
hidup dengan berhasil hanya mengandalkan okol (kekuatan) seperti engkau. Kadang-kadang kita lebih
membutuhkan akal daripada okol."
"Akal yang bagaimana yang akan kita pergunakan
terhadap Endang Patibroto, Bunda Dew!?"
( Bersambung Jilid ke XXII )
Jilid XXII "SERAHKAN saja kepadaku. Endang Patibroto bukanlah seorang lawan yang boleh dipandang ringan.
Dalam kedigdayaan, mungkin dia lebih berbahaya daripada
Tejolaksono sendiri. Kita harus berhati-hati, karena
bukankah sang wasi telah berpesan agar kita menghemat
tenaga dan tidak lagi menggunakan kekerasan" Kita tahu
bahwa Endang Patibroto berbeda dengan Tejolaksono.
Wanita itu ganas dan keras hati, beberapa kali
menimbulkan geger di kedua kerajaan, tidak setia seperti
Tejolaksono, malah dia adalah murid Sang Dibyo
Mamangkoro yang menjadi datuk golongan hitam.
Alangkah baik dan menguntungkan kalau kita dapat
menempel dan membujuknya.
Selain itu, tentu dalam sayembara tanding yang diadakan
kita akan bertemu banyak orang pandai. Kesempatan sebaik
ini tidak harus dilewatkan saja. Akan besar jasa kita kalau
kita berhasil membujuk mereka menjadi sekutu, maka kita
harus bersikap halus, tidak menggunakan kekerasan."
"Bagaimana kalau tidak berhasil?" tanya Ki Kolohangkoro yang tidak biasa bersikap halus dan selalu
haus darah ini. "Kita lihat saja nanti dan serahkan semua akal
kepadaku." Setelah Kl Kolohangkoro menerima banyak petunjuk
dari Ni Dewi Nilamanik, akhirnya kedua orang ini dengan
gerak cepat mereka mendaki Gunung Wilis dari lereng
sebelah timur. Pagi itu mereka sudah memasuki hutan dan
terus mendaki. Gerakan mereka amat menyeramkan karena
tidak seperti manusia lumrah, seperti setan penghuni hutan
saja, seolah-olah kedua kaki mereka tidak menyentuh
tanah. Ketika mereka tiba di lereng yang tinggi, keduanya
berhenti karena Ki Kolohangkoro menunjuk ke arah utara.
Mereka memandang sambil berdiri di atas puncak kecil
itu, di daerah yang penuh dengan batu-batu gunung yang
besar-besar. "Lihat, Bunda Dewi. Banyak sudah orang berkumpul di
sana!" Si raksasa menudingkan telunjuknya.
"Kau benar. Akan ramai agaknya sayembara ini. Lihat,
gerakan merekapun tangkas. Banyak pemuda-pemuda yang
tampan ......... hemmm ......... "
"Wah, Bunda akan banyak senang, akan tetapi aku
......... ?" "Hushhh, siapa ingin bersenang-senang" Apakah kalau
aku melihat pemuda tampan harus mendapatkannya" Dan
kau boleh menahan nafsu dulu, Kolohangkoro. Kita
menghadapi tugas penting sekali. Kalau berhasil akalku
menarik Endang Patibroto dan orang-orang sakti sebagai
sekutu, hal itu baik sekali. Andaikata tidak berhasil, barulah
kita mencari akal untuk membalas dendam kepada Endang
Patibroto atas kematian Wiku Kalawisesa dan Bhagawan
Kundilomuko!" "Ha-ha-ha! Bicara itu mudah, namun pelaksanaannya
yang sukar!" Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro terkejut sekali
dan bagaikan disambar petir mereka cepat meloncat dan
membalikkan tubuh. Tahu-tahu di belakang mereka telah
berdiri seorang laki-laki yang bertolak pinggang dan
tersenyum-senyum. Karena terkejut melihat betapa ada
orang mengintai dan mendengarkan percakapan tadi, Ni
Dewi Nilamanik tidak membuang waktu lagi, melainkan
cepat menubruk maju mengirim pukulan dengan tangan
kirinya yang ampuh. "Desss ......... !"
Dewi Nilamanik menahan pekik karena sakit dan kaget.
Pukulannya telah ditangkis dan ternyata lengan tangan
orang itu ampuh sekali, membuat ia terlempar ke belakang
sampai tiga tombak lebih, sedangkan orang itu hanya
terhuyung sedikit sambil tertawa.
"Ha-ha-ha, sungguh nama Ni Dewi Nilamanik bukan
nama kosong belaka! Selain sakti mandraguna, juga amat
cantik jelita seperti bidadari kahyangan, ha-ha-ha!"
Merah wajah NI Dewi Nilamanik. Ucapan orang ini
bukan seperti seorang musuh. Ia menahan kemarahan dan
memandang penuh perhatian. Laki-laki itu usianya kurang
lebih empat puluh tahun, wajahnya tampan dan gagah
sekali dengan kumis dan jenggotnya yang pendek
terpelihara rapih. Sepasang matanya tajam dan penuh
kecerdikan dengan kerling yang menyambar-nyambar.
Pakaian yang menutupi tubuhnya indah dan mewah,
sedangkan tubuh laki-laki itu juga tegap dan kekar namun
gerak-geriknya halus seperti seorang bangsawan. Seorang
pria yang sudah "matang", dan sekaligus hati Ni Dewi
Nilamanik tertarik. Laki-laki ini jelas memilikI kedigdayaan, tampan dan gagah, kaya dengan pengalaman,
pandai merayu. Benar-benar merupakan seorang calon
sahabat baik dan menyenangkan!
Akan tetapi Ki Kolohangkoro tak dapat menahan
kemarahannya lagi. Jelas bahwa orang ini penyelidik
musuh dan sudah berani menghina Ni Dewi Nilamanik.
Sambil mengeluarkan gerengan keras Ki Kolohangkoro
sudah menerjang maju dengan pukulan tangannya yang
sebesar buah kelapa, menyambar ke arah kepala laki-laki
itu. "Werrrr ......... !"
Dengan amat mudahnya laki-laki itu mengelak,
kemudian dari bawah tangannya dengan jari-jari terbuka
menyambar ke arah siku lengan Ki Kolohangkoro yang
memukul. Raksasa ini kaget, maklum bahwa sambungan
sikunya terancam bahaya, maka cepat ia menarik kembali
lengannya dan melindunginya dengan tangkisan lengan kiri
didorong ke depan. "Dukkk ......... Dua buah tangan yang sama kuatnya
bertemu, saling dorong dan akibatnya tubuh Ki Kolohangkoro terjengkang dan hampir roboh kalau saja
kakek raksasa yang digdaya ini tidak cepat meloncat ke
belakang. Laki-laki Itu bertolak pinggang dan tertawa.
"Ha-ha-ha, Ki Kolohangkoro, engkau-pun hebat dan
kuat!" Ki Kolohangkoro kaget. Orang ini sudah mengenal Ni
Dewi Nilamanik dan dia. Juga tenaganya amat kuat.
Musuh yang tangguh ini perlu cepat-cepat ditewaskan
sebelum mendatangkan bahaya. Maka cepat ia sudah


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang
nenggala yang menyeramkan, kemudian menubruk maju
sambil mengeluarkan suara menggereng.
Melihat ini, Ni Dewl Nilamanik hendak mencegah, akan tetapi ia mengurungkan niatnya karena ia ingin melihat sampai di mana kehebatan laki-laki ini sebelum ia mengambil keputusan untuk menjadikannya teman atau lawan. Ia hanya berdiri tenang dan diam- diam telah menge- luarkan kebutannya, dipegang di tangan kanan, siap-siap mem- bantu temannya kalau sampai terdesak. "Bagus! Akupun memang ingin menguji kalian!" laki-laki
itu berkata lagi, masih tersenyum-senyum dan begitu
nenggala itu menerjang dengan sebuah tusukan ke arah
dadanya, ia cepat miringkan tubuh sambil mencabut
sebatang keris dari pinggangnya. Gerakan orang itu cepat
bukan main, tahu-tahu tubuhnya yang miring sudah
meloncat ke atas dan turun ke sebelah kanan Ki
Kolohangkoro, kerisnya menusuk lambung dengan cepat
dan mendatangkan angin dingin. Ki Kolohangkoro bukan
seorang lemah, ia tahu bahwa ia berhadapan dengan lawan
tangguh, maka sambil memutar tubuh ke kanan,
nenggalanya bergerak menangkis keris lawan yang
meluncur ke arah lambung.
"Tranggg ......... !" Bunga api berpijar, keris dan nenggala
terpental ke belakang, meluncur maju lagi dan bertemu lagi
mengakibatkan suara nyaring berkali-kali, "trang .........
trang ......... cring?"".!" Dan bunga api muncratmuncrat menyilaukan mata.
Ki Kolohangkoro terkejut dan juga penasaran. Senjatanya adalah senjata wasiat yang ampuh, pula amatlah
berat. Sebaliknya, senjata lawan hanya sebatang keris yang
ringan. Bagaimana setiap kali beradu, tangannya yang
memegang nenggala menjadi amat panas telapaknya dan
lengannya seolah-olah akan lumpuh" Ia makin marah dan
sambil menggerenggereng la memutar nenggalanya,
menerjang lawan dengan gerakan cepat dan kuat. Namun,
ternyata lawannya itu memiliki keringanan tubuh yang
mentakjubkan. Tubuh itu berkelebatan seperti burung
srikatan terbang saja, tak pernah dapat tersenggol ujung
senjata nenggala. Sebaliknya, setiap kali Ki Kolohangkoro
berseru kaget karena tahu-tahu keris lawan sudah dekat
sekali dengan tubuhnya dan hanya karena kewaspadaannya
saja ia berhasil menghindar.
Dengan kemarahan meluap Ki Kolohangkoro menubruk
maju, mengirim serangan dahsyat, nenggalanya meluncur
ke arah dada lawan dan tangan kirinya mencengkeram
mengikuti gerakan nenggala.
"Bagus ......... !" Laki-laki Itu masih dapat tersenyum
tenang, tubuhnya miring ke kemudian pada saat kerisnya
menangkis nenggala, kakinya terayun keduanya, susulmenyusul, yang kanan menangkis cengkeraman tangan
lawan, yang kiri menendang dan tepat mengenaI
pergelangan tangan kanan lawan membuat nenggala itu
terlepas dan terlempar karena Ki Kolohangkoro merasa
tangan kanannya lumpuh! "Kepandaianmu hebat, Ki Kolohangkoro, andika patut
menjadi sahabat dan sekutuku!" kata laki-laki itu.
Akan tetapi Ki Kolohangkoro marah sekali. Wajahnya
yang seperti wajah raksasa liar itu menjadi merah, matanya
yang lebar melotot dan tiba-tiba tubuhnya merendah,
seperti berjongkok, kedua lengannya dikembangkan ke
kanan kiri, seluruh tubuh menggigil dan dari dalam
perutnya keluar suara aneh, seperti suara tangis anak kecil.
Melihat ini laki-laki itu tercengang dan mundur dua
langkah. Sedangkan Ni Dewi Nilamanik terkejut sekali dan
cepat ia maju. Wanita inl maklum bahwa Ki Kolohangkoro
sudah menjadi nekat dan hendak mempergunakan ajinya
yang baru, yaitu Aji Kolokrodo yang sedang dilatihnya,
hasil dari ajaran Sang Wasi sagaspati. Untuk menyempurnakan Aji Kolokrodo inilah maka Ki Kolohangkoro suka makan bocah hidup-hidup, diminum
darahnya dan diganyang dagingnya! Ni Dewi Nilamanik
makium betapa dahsyatnya ilmu ini, dan karena belum
dilatih sempuma, maka kalau gagal, berarti akan
menewaskan Ki Kolohangkoro sendiri. Cepat ia meloncat
maju ke depan Ki Kolohangkoro dan berkata halus,
"Kolohangkoro, simpanlah kembali ajimu dan jangan
menurutkan nafsu amarah yang hanya akan merugikan
dirimu sendiri. Biarlah aku menghadapi orang ini." Di
dalam kehalusan suara Ni Dewi Nilamanik terkandung
wibawa yang menggetar dan menyadarkan Ki Kolohangkoro yang dapat menekan perasaannya. Sambil
bersungut-sungut raksasa ini kembali bangkit, memungut
nenggalanya dan mundur berdiri di pinggir.
Ni Dewi Nilamanik melangkah maju dan menghadapi
laki-laki itu dan berkata, suaranya halus, diiring kerling
tajam dan senyum manis, "Eh, satria perkasa, siapakah nama andika yang sudah
mengenal kami dan apa pula kehendakmu menghadang
perjaIan kami?" "Ni Dewi Nilamanik yang cantik manis, namaku adalah
Raden Warutama, tempat asalku dari Bali-dwipa. Aku tidak
berniat buruk terhadap andika berdua, melainkan tadi
mendengar akan percakapan kalian yang cocok sekali
dengan hasrat hatiku, maka aku ingin berkenalan dan
bersahabat dengan kedua orang sakti mandraguna seperti
kalian." "Hemmm, tidak saja engkau digdaya, Raden Warutama,
juga engkau pandai sekali bicara, kata-katamu mengelus
hati melalui telinga. Kami tidak tahu sesuatu tentang
andika, sebaliknya apakah yang andika ketahui tentang
kami?" Laki-laki yang bernama Raden Warutama itu tertawa
dan tampak deretan giginya yang masih utuh, kuat dan
putih mengkilat. "Ni Dewi, biarpun aku seorang bodoh,
seorang pengembara yang sedang berkelana, namun sudah
banyak aku mendengar akan segala peristiwa di dunia ini.
Bukankah andika berdua ini adalah pemimpin-pemimpin
dari barisan yang datang dari Cola, dibawah pimpinan Sang
Wasi Bagaspati, yang baru-baru ini berperang melawan
Kerajaan Panjalu dan dikalahkan" Bukankah andika berdua
kalah dalam perang melawan Adipati Tejolaksono" Ahhh,
tentu saja kalah karena untuk dapat berhasil seharusnya
menggunakan cara yang halus ......... "
Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro terkejut
sekali. Kiranya orang ini benar-benar telah mengenaI
mereka dan tahu pula akan keadaan mereka. Ni Dewi
Nilamanik maklum akan bahayanya orang ini, maka ia
cepat mengerahkan ajinya, memasang aji Guna Sakti untuk
menguji dan kalau mungkin mengalahkan orang ini agar
tunduk di bawah pengaruhnya.
Dengan kerling mata yang mengelus hati dan senyum
yang manis mengalahkan madu, suaranya halus menggetar
penuh hawa sakti yang mengandung aji guna-guna, Ni
Dewi Nilamanik berkata, "Duhai sang bagus yang perkasa, andika benar-benar
amat mengagumkan hatiku! Sudah dua kali andika
mendebar2 kan jantungku dengan menyebut aku orang
wanita yang cantik jelita dan manis. Benarkah itu, Raden
Warutama" Pandanglah wajahku baik-baik. Benarkah aku
cantik jelita" Pandang mataku, lihat baik-baik, tidakkah
andika melihat sesuatu dalam sinar mataku" Tidakkah
melihat cinta kasih ......... "
Raden Warutama memandang, tersenyum dan mengangguk. "Andika memang cantik jelita, matamu hebat
......... " "Aduh, Raden ......... adakah andika mencintaku ......... "
Kembali Warutama tersenyum lebar. "Alangkah mudahnya mencinta seorang wanita seperti andika ......... "
"Engkau mencintaku?"
"Aku mencintamu."
Diam-diam hati Ni Dewi Nilamanik girang bukan main,
juga bangga. Betapa-pun saktinya lawan, kalau dia itu
seorang pria, jarang yang akan mampu melawan aji
pengasihannya dan jelas bahwa laki-laki inipun sudah
tercengkeram oleh ajinya yang ampuh.
"Raden Warutama, kalau benar engkau mencintaku,
tentu engkau akan suka melakukan segala permintaanku,
bukan" Engkau akan tunduk kepadaku" Melakukan segala
perintahku?" Warutama menunduk dan mengangguk.
"Tentu, kalau saja perintah itu menyenangkan, misalnya
......... diperintah menciummu!"
Ihh, dasar laki-laki pemogoran, demikian Ni Dewi
Nilamanik mengumpat di dalam hatinya. Sudah terpengaruh juga masih ceriwis! Akan tetapi ia tetap
tersenyum dan memperkuat getaran aji pengasihan Guna
Sakti-nya......... "Tentu saja boleh! Orang mencinta tentu boleh mencium.
Dan kau boleh menciumku, Raden Warutama, akan tetapi
sesudah mencium engkau harus berlutut menyembah di
depan kakiku, mengerti?"
Laki-laki itu tersenyum dan mengangguk sambil
melangkah maju. Ni Dewi Nilamanik menjulurkan mukanya, agak
berpaling, memberikan pipi kirinya. "Nah, kau boleh
mengambung pipi kiriku, lalu berlututlah, Raden Warutama! Engkau akan menurut segala perintahku!"
Perintah ini dikeluarkan dengan suara menggetar penuh
hawa sakti yang akan menundukkan hati setiap orang pria.
Warutama melangkah makin dekat, lalu memeluk tubuh
Ni Dewl Nilamanik yang ramping dan padat, kemudian ia
menundukkan mukanya mencium mulut wanita itu dengan
mesra dan penuh nafsu! Kagetlah Ni Dewi Nilamanik. Gerakan ini sama sekali
bukan gerakan orang yang telah tunduk dan terpengaruh aji
pengasihan! Cepat ia menggerakkan kedua tangan hendak
mendorong, akan tetapi betapa kagetnya ketika ia mendapat
kenyataan bahwa kedua pergelangan tangannya telah
dipegang oleh Warutama dan sama sekali tidak dapat ia
gerakkan lagi! Ia hendak meronta dan berseru, akan tetapi
mulutnya telah tercium, bibirnya tergigit mulut Raden
Warutama sehingga ia hanya dapat menahan nafas dan
terpaksa mandah saja membiarkan laki-laki itu menciumnya sepuas hatinya. Sampai terengah-engah Ni
Dewi Nilamanik ketika Warutama melepaskan ciumannya,


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lalu menatap wajahnya dengan pandang mata yang tajam
melebihi ujung pedang dan yang mengandung sinar aneh
sekali, langsung menembus jantungnya.
Terdengar oleh Ni Dewi Nilamanik bisikan-bisikan
mesra laki-laki itu dan suara-nya halus penuh getaran hawa
sakti, "Ni Dewi Nilamanik, kau telah membuktikan betapa
kuatnya aku, betapa nikmatnya ciumanku, engkau jatuh
cinta kepadaku dan akan melakukan segala perintahku.
Beranikah engkau menyangka!" Engkau mencintaku,
bukan?" Bagaikan telah luluh semua kemauannya, Ni Dewi
Nilamanik yang memandang wajah pria itu dari balik bulu
matanya yang setengah terpejam, mengangguk.
Raden Warutama tertawa dan melepaskan pelukannya.
"Ni Dewi yang manis, kekasihku kau berlutut dan
menyembahlah kepadaku!"
Ni Dewi Nilamanik menjatuhkan diri berlutut di depan
Raden Warutama yang tertawa bergelak. Ia hendak
menyembah, akan tetapi Ki Kolohangkoro sudah meloncat
maju dan membentak keras,
"Bunda Dewi! Sadarlah, andika terkena guna asmara!!"
Bentakan Ki Kolohangkoro bukanlah sembarang
bentakan, melainkan bentakan yang dilakukan dengan
pengerahan tenaga batin sehingga mengandung getaran
amat kuat. Ni Dewi Nilamanik tersentak kaget, membuka
matanya dan ketika ia melihat betapa ia berlutut di depan
kaki Raden Warutama yang tertawa bergelak, ia memekik
nyaring dan melompat bangun, cepat mencabut bulu
merahnya dan hendak menerjang maju.
Akan tetapi Raden Warutama sudah mendahuluinya,
cepat menyambar dan memegang ujung kebutan sambil
berkata, suaranya berbeda dengan tadi, kini berpengaruh
dan sungguh-sungguh, "Ni Dewi Nilamanik! Hentikan main-main ini terhadap
aku! Engkau tahu bahwa aku bukan sembarang orang yang
boleh dibuat main-main. Sudah kubuktikan bahwa aku
tidak kalah olehmu dalam kesaktian. Juga andika, Ki
Kolohangkoro, simpan senjatamu dan mari bicara secara
baik-baik. Kalau kalian berkeras, biarpun aku belum tentu
akan mudah menang, akan tetapi jangan harap andika
berdua akan mudah mengalahkan Raden Warutama!
Kesudahannya kita bertiga akan rugi, apalagi kalau
ketahuan oleh Endang Patibroto. Mari kita bicara secara
sahabat, maukah?" Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro saling
pandang. Warutama lalu memberi isyarat, "Mari ikut
bersamaku, kita bicara di tempat sembunyi agar jangan
terlihat dan terdengar orang lain."
Pergilah mereka berdua mengikuti laki-laki perkasa itu
memasuki semak-semak dan tak lama kemudian mereka
sudah bercakap-cakap di dalam sebuah guha yang terdapat
di balik semak-semak itu. Mereka bicara dengan serius
samba berbisik-bisik. "Ketahuilah kalian, aku bukanlah lawan kalian,
melainkan sekutu karena kita mempunyai hasrat yang sama
sungguhpun dengan alasan lain. Kalian ingin membujuk
Endang Patibroto menjadi sekutu menghancurkan Panjalu
dan Jenggala" Akupun ingin mendapatkan Endang
Patibroto si janda jelita perkasa itu sebagai kekasih! Kalian
ingin membunuhnya kalau gagal" Demikian pula aku yang
mendendam kepadanya! Kalian ingin melaksanakan tugas
atasan kalian untuk menjatuhkan kerajaan-kerajaan keturunan Mataram" Aku juga! Dan kini tiba saatnya untuk
kita bergerak. Akan tetapi, kalian harus selalu menurut dan
tunduk atas petunjuk-petunjukku ......... "
Melihat kedua orang itu mengerutkan kening, Raden
Warutama cepat menyambung, "Harap kalian jangan raguragu, Aku lebih mengetahui keadaan Endang Patibroto, aku
lebih mengetahui pula keadaan kerajaan-kerajaan itu.
Menggunakan kekerasan terhadap Endang, amat berbahaya
dan takkan berhasil. Tak usah kau berkecil hati, Ki
Kolohanghoro. Ketahuilah, dahulu kakak seperguruan
andika, mendiang Wiku Kalawisesa, adalah seorang
pembantuku pula." Mendengar ini, kedua orang ini makin percaya. Apalagi
setelah kini Ni Dewi Nilamanik yakin bahwa pria ini benarbenar menarik, selain pandai dan tampan, juga ahli dalam
soal-soal yang disukainya, yaitu bermain cinta.
"Raden Warutama, katakanlah bagaimana rencanamu,
kalau memang baik tentu kami tidak akan berkeberatan
untuk membantumu." Warutama bangkit kembali kejenakaan dan kenakalannya terhadap wanita. "Andika memang cantik
manis, Dewi, dan aku percaya, di antara kita berdua pasti
akan dapat dibangun kerja sama yang mesra dan erat, yang
akan membawa kita berdua ke arah hasil gilang-gemilang di
kemudian hari. Percayalah, aku Raden Warutama adalah
seorang yang sudah tergembleng bertahun-tahun, sudah
mengunjungi semua pendeta-pendeta sakti di Bali-dwipa
untuk memperdalam ilmu, dan ketahuilah pula, bahwa aku
adalah keturunan dari mendiang Ki Patih Narotama yang
sakti mandraguna." "Ahhh ......... ?"?" Kedua orang itu terkejut sekali, akan
tetapi Raden Warutama tidak memberi kesempatan mereka
mengeluarkan kata-kata. "Nenekku adalah adik misan Ki Patih Narotama, akan
tetapi sudahlah, hal itu tidak ada pentingnya dibicarakan.
Yang terpenting sekarang, bagaimana kita dapat menundukkan Endang Patibroto. Jangan lupa, dia itu sakti
luar biasa. Aku mengenal segala ilmunya yang dahsyat. Ajl
Pethit Nogo dan Wisangnala yang menyeramkan, apalagi
pukulan Gelap Musti yang mengerikan. Belum lagi panah
tangan yang beracun dan semua itu ditambah gerakangerakannya yang amat lincah. Dalam hal kesaktian, dia
tidak berada di sebelah bawah tingkat Adipati Tejolaksono.
Karena itu, kita harus mempergunakan akal. Syukur-syukur
kalau selain dapat membujuknya, juga dapat menarik
sebagian orang-orang gagah yang memasuki sayembara
agar suka menjadi sekutu kita."
"Bagaimana siasatmu, Raden?" tanya Kolohangkoro
yang diam-diam bergidik ngeri juga mendengar akan
kesaktian Endang Patibroto, pemimpin Padepokan Wilis
yang sudah lama ia dengar namaya itu. Apalagi kalau ia
teringat bahwa Endang Patibroto adalah murid Sang Dibyo
Mamangkoro, belum apa-apa tengkuknya sudah terasa tebal
dan mengkirik. "Kita harus dapat bersabar dan melihat gelagat.
Sebaiknya kalau kita turun tangan sebelum sayembara
diadakan tiga hari lagi. Kalian temuilah Endang Patibroto
di puncak, dan cobalah kalian membujuknya untuk suka
bekerja sama. Bangkitkan hatinya, ingatkan kepadanya
akan perlakuan Jenggala terhadap dirinya agar ia timbul
rasa marah kepada Jenggala. Ingat, sasaran yang paling
lunak adalah Jenggala. Panjalu merupakan negara yang
kuat tidak boleh dibuat main-main, apalagi Tejolaksono
berada di sana. Sebaiknya kita mencurahkan perhatian
kepada Jenggala yang pada dewasa Ini sedang lemah sekali
dan aku kelak akan mencari jalan untuk mendapatkan
kedudukan dan pengaruh di sana. Nah, kalau dia terpikat
dan suka bersekutu, syukurlah dan kita akan menentukan
sikap dan siasat selanjutnya."
"Kalau dia menolak?" tanya Ni Dewi Nilamanik.
"Kalau dia menolak, kita harus dapat mengambil
keuntungan pula dari penolakan ini. Kalian tantang dia
bertanding dan aku akan muncul membantunya!"
"Hah ......... !" Ki Kolohangkoro melompat ke atas,
memandang marah. Raden Warutama mengangkat tangannya dan tersenyum. "Duduklah, Ki Kolohangkoro dan simpan dulu
kemarahanmu. Aku membantunya hanya siasat belaka.
Tentu saja akan kuusahakan agar kalian berdua lolos dan
selanjutnya aku yang akan membujuk-bujuknya. Tentu
lebih mudah bagiku setelah aku membantunya melawan
kalian. Malamnya, aku datang ke tempat ini dan kalian
harap menanti di sini."
Ni Dewi Nilamanik mengangguk-angguk, juga Ki
Kolohangkoro mulai mengerti dan diam-diam mereka
merasa kagum bukan main orang ini. Siasatnya demikian
harus, akan tetapi seperti sebatang pedang yang tajam pada
kedua pinggirnya. Kalau bujukan berhasil berarti untung,
atau dltolakpun dapat untung.
"Kapan kami berdua harus menjumpainya?" tanya Ni
Dewi Nilamanik, suaranya jelas mengandung kepercayaan
sepenuhnya. "Jangan sekarang. Nanti saja menjeang senja kita
mendaki puncak dan berpencar sehingga andaikata gagal
dan terpaksa kalian bertanding, akan mudah untuk
meloloskan diri di dalam gelap," kata Raden Warutama
sambil meraih lengan Ni Dewi Nilamanik yang mandah
saja sehingga tubuhnya roboh di pangkuan Raden
Warutama yang memeluknya.
"Senja nanti masih terlalu lama. Sekarang masih pagi,"
Ki Kolohangkoro membantah.
"Memang masih banyak waktu. Aku dan Dewi hendak
bercakap-cakap mempererat perkenalan. Kalau andika !apar
di hutan ini banyak kancil dan kijang, boleh sekalian
tangkap dan bakar daging-nya untuk kami," kata Raden
Warutama sambil mendekap dan mencium Ni Dewi
Nilamanik yang membalas belaiannya dengan senyum
gembira. Laki-lakI ini benar-benar menyenangkan hatinya.
Tampan, gagah perkasa, juga penuh wibawa, pandai pula
merayu. Ki Kolohangkoro bersungut-sungut, akan tetapi tubuhnya yang tinggi besar itu bangkit dan tak lama
kemudian ia menyusup semak-semak, meninggalkan kedua
orang itu yang sedang bercinta dengan mesra. Tentu saja
seorang yang sakti seperti Ki Kolohangkoro, dengan
mudahnya dapat membunuh seekor kijang besar, kemudian
merobek tubuh binatang itu dan membakar dagingnya.
Untuk memuaskan nafsunya, Ki Kolohangkoro menjilatjilat darah kijang dan mengunyah daging mentah yang
dipilihnya dari bagian yang paling lunak. Agak redalah
kekesalan hatinya melihat dua orang itu bermesraan tanpa
memperdulikan dirinya, dan daging mentah serta darah
kijang Itu membangkitkan semangatnya kembali.
-oo0dw0oo- Endang Patibroto berada di taman bunga di puncak
Wilis bersama puterinya. Retno Wilis telah berusia hampir
enam tahun, dan anak ini benar-benar amat luar biasa.
Sudah jelas tampak betapa tubuhnya padat dan di balik
kulitnya yang kuning halus itu membayang urat-urat
membaja. Terutama sekali keluar-biasaannya tampak pada
sinar matanya yang jernih namun tajam bagaikan dapat
menembus dada setiap orang yang dipandangnya.
Wajahnya cantik manis dan mungil sekali, namun jelas pula
tampak membayang kekerasan hati dalam tarikan bibir dan
lekuk dagunya seperti yang dimiliki Endang Patibroto.
Taman itu indah bukan main. Taman alam yang hanya
diatur dengan penambahan tanaman bunga di sana sini oleh
Endang Patibroto dan Setyaningsih. Pada saat itu, Endang
Patibroto sedang melatih puterinya. Latihan yang amat
berat dan amat aneh. Retno Wilis tengah berdiri tegak di
depan ibunya, yang juga berdiri menghadapi puterinya itu,
di bawah sebatang pohon nangka yang besar.
"Retno, mulai senja hati ini sampai semalam suntuk, kau
harus berlatih samadhi seperti seekor kalong. Tahukah
engkau apa yang harus kau lakukan?"
Bocah ini mengangguk. "Seperti yang ibu ajarkan, aku
harus menggantungkan kaki di cabang pohon, menggantung dan melemaskan seluruh urat di tubuh,
menyatukan semua pikiran dan perasaan, memusatkannya
di pusar dan ......... "
"Cukup. Baik kalau kau masih ingat semua. Ketahuilah
bahwa bertapa seperti ini merupakan tapa brata yang amat
berat, namun mengandung kemujijatan luar biasa dan
amatlah gaib. Seorang manusiapun harus bertapa seperti itu
dalam kandungan ibu sebelum dapat terlahir sebagai
manusia. Ulatpun baru dapat menjadi kupu setelah bertapa
secara menggantung. Maka, latihan samadhi dengan
menggantung ini hebat sekali hasilnya, Anakku. Tekunlah
engkau berlatih agar kelak engkau menjadi pendekar yang
tiada bandingnya di seluruh jagat ini! Ingat apapun yang
terjadi malam ini, sebelum aku menyadarkanmu, engkau
tidak sekali-kali boleh melepaskan samadhimu. Mengerti?"


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik, Ibu. Akupun ingin sekalI menjadi wanita paling
sakti di dunia ini, seperti ibu!"
"Ahhh, tidak seperti ibu, Retna Wills, melainkan jauh
lebih sakti daripada ibumu."
Setelah berkata demikian, Endang Patibroto menyambar
lengan puterinya dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah
meloncat ke atas dan mereka sudah berada di atas cabang
pohon nangka itu. Endang Patibroto dengan penuh
perhatian dan kasih sayang lalu memberi petunjuk dan
akhirnya, bergantunglah tubuh Retna Wilis dengan kedua
kaki mengait cabang pohon! Setelah melihat betapa mata
anaknya tidak bergerak-gerak lagi dan napasnya mulai
teratur, Endang Patibroto melayang turun dengan ringan
sehingga cabang itu tidak bergoyang sedikitpun.
Latihan anaknya amat berat dan biarpun Endang
Patibroto tampaknya keras dalam mengajar anaknya,
namun sesungguhnya ia merasa amat sayang dan kasihan
kepada Retna Wills. lapun tidak tega meninggalkan
puterinya, melaInkan duduk bersila di bawah pohon,
menjaga. Tiba-tiba Endang Patibroto bangkit berdiri dan
menoleh ke kanan, lalu terdengar suaranya, halus namun
penuh wibawa, "Siapa berani lancang memasuki taman mengganggu
anakku berlatih?" Endang Patibroto yang berpendengaran
tajam telah mendengar gerakan orang di sebelah kanan di
balik semak-semak, dan mengira tentu ada anak buah
Padepokan Wills yang datang.
Akan tetapi alis yang kecil panjang dan amat hitam itu
berkerut ketika ia melihat bahwa yang muncul dari balik
semak-semak adalah dua orang yang sama sekali tidak
dikenalnya. Seorang wanita cantik dan seorang laki-laki
tinggi besar muncul keluar dan sekali pandang saja
maklumlah Endang Patibroto bahwa dua orang ini
bukanlah orang sembarangan, maka ia lalu bersikap
waspada dan memandang tajam. Setelah tahu bahwa dua
orang itu ternyata bukan anak buahnya, ia bersikap angkuh
dan diam, hanya memandang dan menanti, sesuai dengan
sikap seorang kepala padepokan yang ternama dan
berwibawa. Ni Dewi Nilamanik memandang Endang Patibroto
dengan kagum. Sudah lama ia mendengar nama wanita
sakti ini yang pernah menggegerkan Kerajaan Jenggala dan
Panjalu, yang kabarnya memiliki kedigdayaan yang
menggiriskan dan jarang bertemu tanding dan yang kini
menjadi pemimpin Padepokan Wills dan berhasil menggembleng Gerombolan Wilis menjadi satria-satria
Wilis yang terkenal. Ia tidak menyangka bahwa wanita
hebat itu ternyata begitu cantik jelita dengan sepasang mata
yang luar biasa tajam dan beningnya, sinar mata yang
mengandung hawa dingin membuat bulu tengkuk
meremang. Adapun Ki Kolohangkoro yang tidak sewaspada temannya karena memang raksasa ini agak
sombong mengandalkan kesaktian sendiri memandang
rendah lawan, kini lebih tertarik kepada Retno Wills, anak
perempuan yang kini sedang menggantung dengan kepala
di bawah seperti seekor kalong di cabang potion itu.
Raksasa yang sedang melatih diri dengan aji kesaktian
dahsyat Kolokroda dan yang masih belum sempurna itu,
kini melihat seorang anak seperti Retna Wilis, tentu saja
mengilar sekali dan tanpa dapat menguasai hatinya lagi
mulutnya berseru, "Eaduh, toblas-toblas! Bukan main bocah ini ......... ,
darah daging dan tulangnya ......... , waah, hebat, tiada
keduanya di dunia ini........."
Ni Dewi Nilamanik melirik tajam ke arah Ki
Kolohangkoro, khawatir kalau-kalau Endang Patibroto
akan menjadi tak senang hati menyaksikan dan mendengar
ucapan kasar itu. Akan tetapi ia tidak tahu bahwa Endang
Patibroto, sebagai murid mendiang Sang Dibyo Mamangkoro dan tinggal di Pulau Iblis bertahun-tahun
lamanya bersama gurunya, sudah biasa akan sikap
kekasaran kaum sesat ini. Bahkan melihat bentuk tubuh Ki
Kolohangkoro yang tinggi besar, melihat sikap kasar dan
kata-kata yang kasar pula, timbul rasa senang di hatinya
dan girang bahwa puterinya dipuji-puji, biarpun pujiannya
amat kasar. Orang yang sekali pandang dapat melihat
keadaan puterinya, tentunya seorang yang memiliki
kepandaian. Maka tersenyumlah Endang Patlbroto dan
lenyaplah sikapnya yang angkuh, malah dengan ramah ia
mendahului berkata, "Terima kasih atas pujian andika terhadap puteriku
Retna Wilis. Siapakah gerangan andika berdua dan apakah
maksud kunjungan andika yang tiba-tiba ini?"
Girang hati Ni Dewi Nilamanik melihat sikap wanita
sakti itu yang tadi membuat hatinya tergetar. Cepat ia
memberi hormat, membungkuk dan dengan suara ramah
dan sikap hormat ia cepat mendahului Ki Kolohangkoro
sebelum si raksasa kasar itu menjawab,
"Kami berdua mohon maaf sebanyaknya kalau kami
dapat mengganggu andika yang sedang melatih puteri
andika. Karena telah lama mendengar nama besar andika,
mengagumi kebesaran Padepokan Wilis, apalagi mendengar akan diadakannya sayembara tanding, kami
memberanlkan diri lancang memasuki puncak ini dengan
harapan dapat bertemu dan berwawancara dengan andika
yang kami kagumi. Kami berdua adalah saudara-saudara
seperguruan, nama saya Dewi Nilamanik, sedangkan dia ini
adik seperguruanku bernama Kolohangkoro. Harap
maafkan sikapnya yang kasar karena memang demikianlah
wataknya." Endang Patibroto diam-diam mengingat-ingat. Tidak
pernah ia mendengar dua nama ini sungguhpun ia merasa
yakin bahwa mereka berdua ini bukan orang sembarangan,
melainkan orang-orang yang sakti dan yang ia belum tahu
apa kehendaknya. "Andika berdua terlalu memujiku dan terlalu merendahkan diri. Memang aku mengadakan sayembara
tanding sebagai syarat adik kandungku mencari jodohnya,
akan tetapi sayembara dimulai dua hati lagi. Andika datang
terlampau pagi." Ni Dewi Nilamanik tersenyum dan kilatan giginya yang
putih membuka mata Endang Patibroto yang dapat
menangkap sebuah gaya yang tidak menyenangkan hatinya
pada diri wanita ini. Genit dan senyum serta pandang
matanya membayangkan watak cabul, pikirnya dengan
waspada. "Maaf, kedatangan kami sama sekali bukan untuk
sayembara tanding itu. Sama sekali bukan. Adik
seperguruanku ini sudah terlalu tua untuk memikirkan soal
itu. Kami datang untuk mengajak andika berwawancara,
untuk menawarkan persekutuan dalam menghadapi dan
menghancurkan musuh kita bersama."
Berdebar jantung Endang Patibroto. Hem, apa yang
dimaksudkan orang-orang ini" Musuh bersama" Siapa"
Akan tetapi karena maklum bahwa dua orang ini ingin
membicarakan urusan penting, maka ia lalu menggerakkan
tangan kanan mempersilahkan mereka duduk di atas tanah
sambil berkata, "Aku sedang menjaga puteriku berlatih. Silahkan andika
berdua duduk, kita dapat bercakap-cakap di sini."
Ni Dewi Nilamanik mengerutkan kening dan menengadah, memandang ke arah tubuh kecil yang
menggantung pada cabang pohon. Melihat kesangsian
wanita itu, Endang Patibroto cepat berkata,
"Harap andika tenangkan hati karena puteriku dalam
keadaan hening, tidak akan dapat mendengarkan percakapan kita." Ki Kolohangkoro yang juga memandang ke atas,
kembali berseru, "Waahh, sekecil itu sudah dapat menutup
panca indra dan hening dalam samadhi dengan keadaan
seperti itu ......... bukan main ......... II"
Mereka duduk di bawah pohon itu, saling berhadapan.
Sejenak Endang Patibroto menyapu wajah kedua orang
tamunya penuh selidik, kemudian berkata,
"Nah, silahkan andika berdua keluarkan apa yang
menjadi isi hati andika."
Sikap Endang Patibroto amat berwibawa dan angker
sehingga diam-diam Ni Dewi Nilamanik merasa betapa
jantungnya berdebar. "Telah lama kami mendengar nama besar andika," ia
memulai. "Bahkan kami telah mendengar akan segala
peristiwa yang menimpa andika di Kerajaan Jenggala.
Kami telah mendengar pula betapa suami andika yang
mulia, Sang Pangeran Panjirawit, tewas karena kejahatan
Jenggala, sehingga kini andika yang tadinya hidup mulia
sebagai mantu raja, sampai berada di puncak gunung yang
sunyi ini sebagai ketua Padepokan Wilis."
"Hemmm, kalau sudah demikian, mengapa" Harap
andika lanjutkan." Di dalam suara Endang Patibroto
terkandung pengaruh yang dingin dan menyeramkan,
membuat Ni Dewi Nilamanik menelan ludah dan
memberanikan hati untuk melanjutkan,
"Karena kami mengetahui keadaan andika inilah maka
kami mempunyai harapan untuk dapat menarik andika
sebagai seorang kawan seperjuangan. Kerajaan Jenggala
amat buruk keadaannya, rajanya tidak bijaksana, tergila-gila
oleh selir barunya yang bernama Suminten dan yang ingin
merebut kekuasaan "Suminten ......... ?" Endang Patibrot" bertanya kaget,
teringat ia akan bekas pelayannya.
"Benar, mengapakah" Apakah andika mengenalnya?"
Endang Patibroto menggeleng kepala. Tak mungkin,
pikirnya, tentu hanya namanya saja yang kebetulan sama.
"Tidak apa-apa, harap teruskan."
"Karena itu, terus terang saja kami sebagai anak buah
Sang Wasi Bagaspati utusan Kerajaan Cola, melihat
kesempatan baik untuk merobohkan Jenggala dari dalam.
Dan untuk ini kami membutuhkan bantuan dan kerja sama
orang-orang sakti, terutama sekali andika. Bukankah hal ini
merupakan kesempatan baik sekali bagi andika untuk
membalas dendam kematian suami andika Pangeran
Panjirawit" Percayalah, jasa andika akan dihargai dan Sang
Wasi Bagaspati adalah seorang yang selain sakti
mandraguna, juga amat bijaksana."
Akan tetapi Ni Dewi Nilamanik menghentikan
bujukannya karena melihat betapa Endang Patibroto
menggeleng kepala dengan gerakan yang tegas, kemudian
terdengar suaranya yang dingin,
"Tidak, aku tidak dapat menerima ajakan andika. Aku
tidak sudi mengikatkan diri dengan persoalan luar, di luar
dari Padepokan Wills. Kedatangan andika berdua sia-sia
kalau hanya untuk maksud itu. Soal ini tidak perlu
dilanjutkan lagi, tidak perlu dibicarakan dan kuharap
andika berdua suka meninggalkan tempat ini."
Ucapan ini sudah jelas, tegas dan singkat yang berarti
penolakan penuh untuk bekerja sama! Baik Ni Dewi
Nilamanik maupun Ki Kolohangkoro maklum bahwa
membujuk wanita dingin ini tidak akan ada gunanya lagi.
Ki Kolohangkoro meloncat bangun dan berkata sambil
tertawa, "Ha-ha-ha, Bunda Dewi, sudah kukatakan bahwa
percuma saja mengajak bicara! Eh, Endang Patibroto, soal
kerja sama tidak perlu kita bicarakan lagi, akan tetapi
setelah tiba di depanmu, aku Ki Kolohangkoro tidak akan
merasa puas kalau belum mencoba sampai di mana
kedigdayaanmu sehingga engkau berani bersikap begini
sombong dan dingin terhadap kami berdua!"
Endang Patibroto mengerling ke arah Ni Dewi
Nilamanik, bibirnya bergerak dan terdengarlah pertanyannya, tenang dan dingin, "Apakah begini pula
pendirianmu?" Ni Dewi Nilamanik tak dapat menghindari lagi, maka
sambil tersenyum mengejek ia mencabut kebutannya dan
bangkit berdiri, "Begitulah, Endang Patibroto. Kami tidak


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin pulang dengan tangan kosong. Tidak berhasil bekerja
sama, setidaknya kami ingin menguji sampai di mana
kepandaianmu:" Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan muncullah tiga orang tinggi besar diikuti oleh belasan
orang. Mereka muncul dari dalam gelap, seperti iblis-iblis
hutan. "Tidak perlu paduka yang bergerak, Gusti Puteri.
Biarkan hamba menghancurkan kepala dua orang kurang
ajar ini!" Endang Patibroto memandang mereka dengan kening
berkerut. "Kakang Limanwilis, Lembuwilis, dan Nogowilis.
Mundurlah kalian dan bawa saudara-saudara kita pergi dari
sini. Biarkan aku sendiri menghadapi dua orang tamuku.
Perkuat penjagaan dan aku tidak memerlukan bantuan
kalian di sini. Tak seorangpun boleh turun tangan, bahkan
tidak boleh masuk taman. Mengerti?"
Tiga orang laki-laki tinggi besar itu memberi hormat dan
sekali berkelebat belasan orang itu lenyap di dalam gelap.
Melihat ini, Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro
diam-diam menjadi lega hatinya. Akan tetapi mereka
tersenyum mengejek lalu berkatalah Ki Kolohangkoro,
"Mengapa mereka disuruh pergi, Endang Patibroto"
Biarkan mereka mengeroyok kamI agar enak aku
membabat! mereka. Ha-ha-ha!"
"Hemm, kalian menantang aku seorang. Apa kamu kira
aku takut, Kolohangkoro" Biar ada sepuluh orang lawan
macam kalian, aku tidak akan undur selangkah! Majulah
kalian kalau sudah bosan hidup."
"Babo-babo . ..... sumbarmu seperti dapat memecahkan
Gunung Mahameru! Endang Patibroto, biarpun andika
telah berhasil menewaskan ......... eh, banyak orang sakti,
jangan memandang ringan Ki Kolohangkoro!" teriak Ki
Kolohangkoro yang masih sempat menahan diri dan tidak
menyebut-nyebut nama Wiku Kalawisesa dan Bhagawan
Kundilomuko yang sudah hampir terluncur keluar dari
mulutnya tadi. "Terserah bagaimana wawasanmu," jawab Endang
Patibroto dengan suara dingin dan sikap tenang
memandang rendah, "kalau kalian berani dan menantangku, majulah. Kalau tidak, minggatlah dari sini
jangan banyak tingkah lagi!"
"Phuaaahhh, sombongnya!" bentak Ki Kolohangkoro,
agak tertegun karena belum pernah selama hidupnya ada
orang berani memandang rendah kepadanya seperti sikap
dan kata-kata wanita tokoh Padepokan Wills ini.
Juga Ni Dewi Nilamanik menjadi merah telinganya. Ia
mendenguskan napas dari hidungnya, menggerak-gerakkan
pengebut di depan dada lalu berkata, "Tajam sekali
lidahmu, Endang Patibroto! Ingin aku melihat apakah
kepandaianmu juga sehebat mulutmu!" Baru saja habis
kata-kata ini keluar dari mulut Ni Dewi Nilamanik, tokoh
pemuja Bathari Durga ini sudah menerjang maju. Cepat
bukan main gerakannya ketika ia meloncat, tahu-tahu
sudah berada di depan Endang Patibroto dan kebutannya
menyambar ke arah leher, sebuah pukulan maut yang
mendatangkan angin pukulan panas!
"Wuuuuutttt ......... plakkkk ......... !!"
"Aihhh ......... !" Ni Dewi Nilamanik merintih perlahan
dan terhuyung mundur. Ketika ujung kebutannya tadi menyambar, Endang
Patibroto diam saja dengan tenang. Baru setelah ujung
kebutan hampir menyentuh lehernya, secara tiba-tiba ia
mengelak dan tangan kirinya dengan jari terbuka mengirim
pukulan bawah mengarah perut Ni Dewi Nilamanik! lnilah
gerak tipu yang amat, hebat dan amat curang, sesuai
dengan ilmu tata kelahi kaum sesat dan yang sama sekali
tidak pernah disangka-sangka oleh Ni Dewi Nilamanik.
Begitu melihat perutnya terancam pukulan maut yang tak
mungkin dapat ia tahan, Ni Dewi Nilamanik cepat
menggerakkan tangannya pula menerima dorongan telapak
tangan lawan yang ampuh itu dengan telapak tangannya
sendiri. Akibatnya, ia terhuyung mundur, wajahnya pucat,
isi dadanya seperti ditusuk-tusuk pisau dingin dan ia
merintih. Akan tetapi tentu saja Ni Dewi Nilamanik yang
.sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi itu tidak dapat
dirobohkan hanya dengan pertemuan telapak tangan.
Karena merasa kalah dalam segebrakan, Ni Dewi
Nilamanik menjadi marah bukan main, tubuhnya sampai
menggigil. Pada saat itu, Ki Kolohangkoro sudah maju pula
menubruk, menggerakkan senjata nenggala menghunjam ke
arah pelipis kiri Endang Patibroto, disusul dengan kepalan
tangan kirinya yang sebesar buah kelapa itu menghantam
dada lawan. "Hemmm i" Endang Patibroto hanya mendengus
pendek, tubuhnya berkelebat ke belakang, sengaja
memperlambat gerakannya sehingga kedua serangan itu
hampir mengenainya dan membesaran hati Ki Kolohangkoro yang cepat mengejar ke depan. Inilah yang
diharapkan Endang Patibroto. Tubuhnya tadinya agak
terhuyung, akan tetapi begitu melihat gerakan lawan
mengejar maju, tiba-tiba sekali kakinya bergerak dengan
kecepatan yang tak dapat diduga sebelumnya, tahu-tahu
kedua kakinya sudah melakukan tendangan berantai
mengarah bawah pusar Ki Kolohangkoro, bagian paling
lemah bagi seorang pria! "Ougghhhh ......... !!" Ki Kolohangkoro terkejut setengah
mati. Tubuhnya sudah condong ke depan, maka secepat
kilat mengenjotkan kakinya meloncat mundur. la terbebas
daripada bahaya maut, akan tetapi tidak cukup cepat untuk
,menghindarkan diri sama sekali dari tendangan berantai.
"Trokkkk!!" "Aduhhh ......... tohobaatt ......... !" Ki Kolohangkoro
yang meloncat mundur masih kena disambar tulang
keringnya oleh tendangan Endang Patibroto. Biarpun ia bertubuh kebal, akan tetapi tulang keringnya serasa remuk-remuk, sumsum di dalamnya rontok, kiut-miut nyerinya sampai menusuk ulu hati. Ia berjingkrak-jingkrak mengangkat kaki yang tertendang dan mengelus-elus tulang kering yang tampak membiru. Setelah rasa nyeri agak mengendur, ia menjadi marah, matanya terbelalak sebesar jengkol,
mukanya merah seperti yuyu dipanggang.
Seperti dikomando saja, Ni Dewi Nilamanik dan Ki
Kolohangkoro lalu menyerbu ke depan, senjata nenggala
berseling dengan kebutan merah, merupakan cakar-cakar
maut yang hendak merenggut nyawa Endang Patibroto.
Wanita perkasa ini cukup maklum bahwa ia menghadapi
lawan-lawan berat. Kalau satu lawan satu, dalam waktu
pendek ia masih akan sanggup merobohkan lawan. Akan
tetapi setelah mereka maju berdua, ia tidak mau bersikap
sembrono dan menghadapi senjata-senjata dengan tangan
kosong lagi. "Cattt ......... catttt......... !!"
Dua sinar menyambar ke arah Ni Dewi Nilamanik dan
Ki Kolohangkoro yang menjadi terkejut dan cepat
menggunakan senjata menyampok runtuh dua batang anak
panah tangan itu. Akan tetapi alangkah terkejut hati dua
orang ini ketika melihat tubuh Endang Patibroto sudah
menyambar ke depan, sebatang keris luk tujuh menusuk ke
arah dada Ki Kolohangkoro sedangkan tangan kiri wanita
sakti ini menampar ke arah muka Ni Dewi Nilamanik.
Demikian ganas dan dahsyat serangan itu sehingga sukar
bagi kedua orang lawannya untuk mengelak lagi. Ki
Kolohangkoro menangkis keris dengan senjata nenggalanya, adapun Ni Dewi Nilamanik menangkis
sambil menyabetkan kebutan ke arah tangan kiri yang
menghantamnya. "Tranggg ......... Bunga api berpijar ketika kedua senjata
itu bertemu. Ujung kebutan yang menangkis, dapat
dicengkeram oleh Endang Patibroto, lalu dihentakkan ke
kiri. Akibatnya, tubuh Ni Dewi Nilamanik terhuyung dan
hampir terbanting ke kiri, sedangkan tubuh Ki Kolohangkoro terjengkang ke belakang saking hebatnya
tenaga yang tersalur melalui keris. Keadaan dua orang itu
dalam bahaya karena posisi mereka yang terhuyung itu
dalam keadaan terbuka. Kalau saja Endang Patibroto
melanjutkan serangan dengan susulan, tentu mereka akan
celaka. Akan tetapi pada saat itu, tampak bayangan
berkelebat cepat disusul bentakan,
"Sungguh tak tahu diri berani mengacau puncak Wilis!"
Bayangan itu bukan lain Raden Warutama yang sudah
mendahului Endang Patibroto, menerjang ke arah dua
orang itu dengan gerakannya yang cepat seperti burung
menyambar. Dua kali kakinya menendang dan ......... tubuh
Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik terkena
tendangan sampai roboh bergulingan. Namun kedua orang
ini bergulingan sampai jauh dan terus melompat, melarikan
diri! Saking heran dan kagetnya, Endang Patibroto berdiri
memandang laki-laki itu, tidak memperdulikan larinya Ni
Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro. Memang ia tidak
ingin bermusuhan dengan mereka. la heran dan kaget
melihat betapa laki-laki ini sekali serang saja berhasil
menendang roboh kedua orang yang ia tahu bukan orangorang lemah itu. Alangkah sigap dan cepatnya. Tentu
bukan sembarang orang, pikirnya sambil menentang wajah
yang gagah dan tampan itu. Jantungnya berdebar dan
otaknya diperas untuk mengingat-ingat. Ia merasa pernah
mengenal, pernah melihat orang ini, atau orang yang mirip
dengan pria ini. Hatinya tidak senang seperti telah menjadi
wataknya, bahwa ia tadi dibantu dalam perkelahian, akan
tetapi setelah kini menjadi seorang pemimpin padepokan,
Endang Patibroto cukup dapat menahan perasaannya dan
dengan sikap angker ia bertanya,
"Andika ini siapakah dan siapakah pula yang
memperkenankan andika datang ke puncak dan mencampuri urusanku, tanpa diminta membantuku"
Apakah andika mengira bahwa aku jerih melawan kedua
orang itu dan bahwa hanya andika yang memiliki
kedigdayaan sehingga perlu mengalahkan mereka?"
Raden Warutama tersenyum, wajahnya yang tampan
membayangkan kesabaran dan keramahan, kemudian ia
membungkuk penuh hormat sambil berkata,
"Mohon maaf sebesarnya atas kelancangan saya berani
melanggar wilayah kekuasaan andika yang saya telah
dengar adalah ketua Padepokan Wilis yang sakti
mandraguna, dan bukan sekali-kali pula saya merendahkan
kesaktian andika. Akan tetapi karena saya menaruh rasa
curiga terhadap kedua orang itu yang saya jumpai di lereng,
maka diam-diam saya mengikuti mereka ke sini dan melihat
kekurangajaran mereka, saya sampai lupa diri dan
menyerang mereka. Sekali lagi, mohon maaf dan baiklah
saya memperkenalkan diri. Saya adalah Raden Warutama
dari Bali-dwipa." Endang Patibroto mengerutkan keningnya. Siapapun
adanya pria ini, merupakan hal yang tidak menyenangkan
hatinya kalau ada orang berani naik ke puncak begitu saja,
dengan alasan apapun juga dan mengganggu puterinya
yang sedang berlatih keras. Ia melirik ke atas dan melihat
bayangan anaknya masih tergantung di pohon. Malam
mulai tiba dan keadaan mulai gelap.
"Apakah kedatangan andika ke Wilis ada hubungannya
dengan sayembara tanding yang kami adakan besok lusa?"
"Memang sebenarnyalah, karena mendengar tentang


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sayembara tanding itu maka saya datang ke Wills."
"Kalau andika datang untuk itu, mengapa tidak menanti
di kaki Wilis seperti orang-orang lain?"
"Maaf, sudah saya ceritakan sebabnya. Pula, kedatangan
saya tidak ingin memasuki sayembara tanding."
"Habis, untuk apa?"
Raden Warutama tersenyum lebar. "Terus terang saja
saya katakan bahwa saya harus mengawasi dan melindungi
andika sekeluarga. Ketahuilah bahwa saya masih terhitung
anak keponakan darI mendiang Sang Sakti Narotama."
Diam-diam Endang Patibroto terkejut. Memang dia
sudah tahu bahwa baik Sang Prabu Alrlangga maupun Ki
Patih Narotama adalah orang-orang dari Bali-dwipa. Halhal mengenai raja .dan patihnya yang sakti Itu banyak ia
dengar dahulu dari suaminya, yaitu mendiang Pangeran
Panjirawit yang terhitung cucu Sang Prabu Airlangga. Jadi
pria ini adalah keponakan Ki Patih Narotama yang sakti"
Pantas saja gerakan-gerakannya tadi hebat. Berkuranglah
kemarahannya, akan tetapi ia masih mendesak,
"Apa hubungannya itu dengan kami?"
Warutama kelihatan tertegun, akan tetapi kemudian ia
menjawab tenang, "Mungkin bagi andika tidak ada hubungannya, akan
tetapi bagi saya amat-lah penting artinya. Hendaknya
diketahui bahwa kami keturunan Sang Sakti Narotama
adalah orang-orang yang mementingkan arti kata setia
terhadap raja. Sayapun mengikuti jejak Sang Narotama
yang amat setia terhadap Sang Prabu Airlangga. Andika
adalah cucu mantu Sang Prabu Airlangga. Biarpun
sekarang telah menjadi janda, akan tetapi puteri andika itu
......... " la menudingkan telunjuknya ke arah tubuh Retna
Wills yang menggantung, "adalah keturunan Sang Prabu
Airlangga. Tentu saja andika dan puteri andika harus saya
lindungi sekuat tenaga saya. Demikianlah sebabnya, begitu
mendengar bahwa andika membuka sayembara tandang
untuk memilihkan jodoh adik kandung andika, saya
langsung mengunjungi Wills."
Hati Endang Patibroto tertusuk. Pria ini belum tahu
bahwa Retna Wills bukan-lah puteri Pangeran Panjirawit,
melainkan puteri Tejolaksono! Akan tetapi ia tidak
menyalahkannya, karena memang jarang ada yang
mengetahuinya dan iapun tidak perduli. Hanya kIni
pandangannya terhadap prla ini berubah dan tidak mungkin
lagi Ia bersikap kasar setelah mengetahui latar belakang
sikap orang Ini. "Kalau begitu, ternyata andika bermaksud baik dan
biarlah saya menghaturkan terima kasih kepada iktikad baik
andika. Andika saya terima sebagai seorang tamu dan
sahabat, dan marilah, persilahkan mengaso di pondok
kami." Endang Patibroto mengajak tamunya untuk meninggalkan tempat itu menuju ke pondok. Warutama
girang sekali, akan tetapi dengan ragu-ragu ia berkata,
"Akan tetapi ......... puteri andika
Endang Patibroto tersenyum. "Biarkan saja. Dia sedang
berlatih dan baru akan selesai besok pagi. Sudah biasa dia
berlatih begitu. Marilah, Raden Warutama, silahkan."
Raden Warutama menggeleng-geleng kepala penuh
kagum. "Hebat sekali puteri andika, sungguh tidak
mengecewakan menjadi cucu buyut mendiang Sang Prabu
Airlangga yang sakti mandraguna.'
Ibu mana di dunia ini yang tIdak akan menjadi senang
hatinya mendengar pujian terhadap anaknya" Endang
Patibroto senang sekali dan makin suka ia kepada pria yang
gagah perkasa dan ramah serta halus budi bahasanya ini. Di
dalam pondok, para pelayan lalu mengeluarkan hidangan
dan dijamulah Raden Warutama oleh Endang Patibroto,
kemudian dipersllahkan ke ruangan dalam di mana mereka
berdua lalu bercakap-cakap dengan asyiknya. Dalam
percakapan inilah dengan cerdik sekali Raden Warutama
menyinggung-nyinggung soal Kerajaan Jenggala.
"Sungguh sayang sekali," demikian katanya sambil lalu,
"usaha baik Sang Prabu Airlangga dirusak oleh penyelewengan puteranya yang menjadi raja di Jenggala.
Saya banyak mendengar tentang kekacauan di Jenggala,
gara-gara penyelewengan sang prabu yang hanya memikirkan kesenangan diri pribadi saja. Seyogyanya,
orang-orang yang memiliki sedikit kepandaian seperti saya,
terutama sekali; seorang sakti mandraguna seperti andika,
turun tangan dan ikut menyelamatkan keadaan Kerajaan
Jenggala yang terancam keruntuhan. Bagaimana pendapat
andika?" Endang Patibroto menghela napas panjang. "Dunia ini
penuh dengan orang-orang yang saling memperebutkan
kedudukan. Memang banyak sekali yang mula-mula
didasari iktikad baik, menyelamatkan negara dan rakyat.
Akan tetapi sekali mereka sudah mencapai kedudukan
tinggi, negara dan rakyat dilupakan, bahkan lebih buruk
lagi, negara dan rakyat dipergunakan sebagai modal untuk
mencarl kesenangan pribadi! Karena itulah, Raden, aku
tidak sudi mencampuri urusan kerajaan. Ni Dewi
Nilamanik dan Ki Kolohangkoro tadipun membujukku
untuk membantu mereka memusuhi Jenggala, akan tetapi
sudah bulat tekad dan pendirlanku, aku tidak akan sudi
mencampuri urusan Jenggala dan tidak perdull siapa pula
yang menang atau kalah, siapa pula yang menjadi raja."
Daiam suara wanita sakti ini terdengar jelas oleh Raden
Warutama kekerasan yang tak mungkin dapat dibelokkan
lagi. Sia-sia belaka menarik Endang Patibroto untuk
bersekutu menghadapi Jenggala. Takkan berhasil semua
bujukan, maka iapun tidak mau membujuk terus, khawatir
kalau-kalau Endang Patibroto menjadi curiga kepadanya,
kemudian tamu ini dipersilahkan mengaso dalam sebuah
kamar yang bersih dan indah. Endang Patibroto sendiripun
lalu beristirahat di kamarnya. Peristiwa-peristiwa yang
dialami tadi membuat ia agak lengah, sejenak melupakannya kepada Retna Wilis yang berlatih seorang
diri tanpa penjaga. -oo0dw0oo- Peristiwa yang terjadi itu membuat Endang Patibroto
teringat akan semua pengalaman hidupnya yang lalu.
Apalagi peristiwa mendatang, yaitu sayembara tanding
yang akan terjadi dua hari lagi, membuatnya terkenang
akan ibunya, kepada Tejolaksono, dan membuatnya merasa
kesunyian dan merana. Benarkah ia sudah begitu hampa
perasaan hatinya sehingga ia tidak sudi mencampuri urusan
kerajaan maupun urusan orang lain" Ataukah hal ini hanya
timbul karena kekosongan hatinya, karena kesunyian
hidupnya dan karena kekecewaannya setelah ia gagal
mencapai rumah tangga bahagia bersama Tejolaksono yang
dikasihinya" Pertanyaan-pertanyaan ini ada dalam hatinya,
namun ia sendiri tidak dapat menjawab. Hatinya yang
sudah mengeras seperti baja itu mendadak menjadi cair dan
tak dapat dikuasainya lagi wanita sakti yang dingin dan
keras hati ini menitikkan air mata sehingga membuatnya
menjadi lemas dan akhirnya Endang Patibroto tertidur di
atas pembaringannya, lupa kepada puterinya.
Memang tepatlah kata-kata para cerdik pandai bahwa
manusia harus dapat mengatasi pengaruh perasaan.
Bentrok Rimba Persilatan 2 Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung Suling Emas 7

Cari Blog Ini