Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
Retna Wilis kembali memaki.
Purwoko melototkan matanya karena dimaki hantu coro
sehingga banyak orang menertawakannya. Ingin ia sekali
gebrak menelan bocah itu bulat-bulat. "Kalau memang
betul, biarlah semua orang menjadi saksi. Hayo, perlihatkan
kepandaian-mu, bocah edan!"
"Seranglah dia, muridku."
Suara Ki Datujiwa ini menambah semangat Retna Wills
yang memang sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya
kepada gurunya. Bukankah ketika menghadapi tiga orang
jahat Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, dan Raden
Warutama kemarin dulu itupun dia telah mendapat
kemenangan hanya karena kepercayaannya kepada gurunya" "Baik, Eyang," jawabnya dan tubuh yang kecil itu lalu
menerjang maju, mengirim pukulan ke perut Purwoko. Si
Hantu Kelabang itu hanya menyeringai dan tidak mengelak
maupun menangkis. Perlu apa menangkis pukulan bocah
cilik ini" Akan tetapl mukanya yang menyeringai itu
mendadak berubah masam ketika kepalan kecil itu tepat
mengenai perutnya, "Bukkk!" Memang tidak amat sakit, '
akan tetapi yang membuat ia kaget sekali adalah karena
pada saat la hendak mengerahkan tenaga dalam ke perut,
tenaganya itu molos dan tidak dapat dikerahkan!
Retna Wills yang berhasil menghantam perut itu menjadi
girang. Ia melompat ke atas dengan gerakan ringan karena
memang terlatih baik oleh ibunya semenjak kecil sehingga
ia dapat mencapai muka Si Hantu Kelabang, lalu
menghantamkan kepalan kanannya ke arah hidung si
gundul. "Punggg .......... !!"
Kembali Purwoko meringis. Kulit perutnya masih tebal
sehingga biarpun ia tidak dapat mengerahkan kekebalan ke
arah perut, pukulan bocah itu tidak terasa nyeri. Akan tetapi
hidungnya yang dipukul terasa nyeri juga, apalagi yang
terkena adalah tulang muda hidung di ujung. Seperti akan
patah rasanyal Tadi kaki tangannya sama sekali tidak dapat
digerakkan ketika bocah itu memukul, dan baru sekarang
dapat ia gerakkan ketika ia menggosok-gosok hidungnya
dengan mata merah dan mulut pringisan.
"Wah, badanmu baul Tanganku jadi kotorl" kata Retna
Wilis sambil mengipat-ngipatkan tangan, lalu bocah ini
menyambar sepotong kayu pecahan papan dan kembali ia
menerjang, kini menggunakan kayu itu, dipukulkan
sekenanya bertubi-tubi. "Plak-plek-prok .......... !!"
Kasihan sekali Si Hantu Kelabang. Ia mulai bergidik
ketakutan. Ngeri dia karena setiap kali bocah ini
menyerang, tubuhnya tak dapat digerakkan dan hawa sakti
di tubuh tak dapat ia kerahkan sehingga ia harus mandah
saja dijadikan bulan-bulan gebukan. Biarpun tidak terlalu
sakit, akan tetapi amat memalukan karena para penonton
kini bersorak-sorak melihat dia berjingkrakan tidak karuan
dihujani gebukan bocah setan itu. MulaiIah otaknya yang
kental mengerti bahwa semua ini adalah perbuatan si kakek
petani dan ia bergidik ngeri. Orang dengan kesaktian seperti
itu tadi ia olok-olok dan ia tantang! Mengerti pula dia
bahwa kekalahan Endang Patibroto adalah kekalahan
wajar. "Masih tidak mengaku kalah" Plenggg! Dessss .......... !"
Retna Wilis meloncat tinggi dan muka Purwoko menjadi
korban hantaman dan kini si gundul ini benar-benar merasa
tobat. Muka dan kepalanya mulai mengeluarkan darah
karena kulitnya ada yang pecah dihantam potongan papan
yang runcing. "Sudah .......... sudah .......... tobatt .......... aku
kalah.......... '" katanya dan baru setelah Purwoko
menyatakan tobat, Retna. Wilis menghentikan serangannya
dan mundur, berdiri gagah di dekat Ki Datujiwa.
Purwoko berdiri terbungkuk di depan kakek sakti itu.
"Siapa .......... siapakah gerangan andika ..........
Ki Datujiwa berkata perlahan, "Purwoko, kau pandang
baik-baik. Lupakah engkau kepadaku" Setelah aku memberi
ampun kepadamu di hutan Muria, ternyata engkau .kini
berani lagi menambah kekacauan dunia .........!!"
"Oohhhh .......... celaka awakku .......... sial dangkalan
.......... Ki Datujiwa kira-nya .......... Walah tobat .......... !"
Si Hantu Kelabang lalu melompat turun dan lari pergi tanpa
pamit. Kiranya belasan tahun yang lalu, Purwoko ini
pernah roboh di tangan Ki Datujiwa ketika melakukan
kejahatan dan diampuni kakek sakti ini. Dalam
kesombongannya, tadi ia pangling maka berani ia
memandang rendah yang mengakibatkan ia mendapat malu
di depan orang banyak. Larinya Si Hantu Kelabang diikuti oleh perginya para
pengikut sayembara dan para penonton karena sesungguhnya sebagian besar di antara mereka tidak jadi
memasuki sayembara dan hanya menjadi penonton.
Mereka diantar oleh rombongan anak buah Padepokan
Wilis yang dipimpin oleh Limanwilis dan dua orang
adiknya. Di sepanjang perjalanan tiada hentinya mereka
:mempercakapkan peristiwa hebat dalam sayembara
tanding itu. Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih lalu dinikahkan
beberapa hati kemudian di puncak Wilis. Upacara
pernikahan yang sederhana kalau diingat bahwa yang
menikah adalah seorang Pangeran Jenggala, akan tetapi
cukup meriah selain dihadiri oleh seluruh anggauta
Padepokan Wills, juga dihadiri pula oleh para penduduk di
sekitar Wills. Pula, apakah yang lebih membahagiakan hati
sepasang mempelai kecuali pertalian cinta kasih di antara
mereka" Malam itu, setelah mereka hanya berada berdua
saja di dalam kamar mempelai, merupakan malam terindah
daripada hidup mereka. Malam pencurahan kasih sayang
yang semesra-mesranya, penuh kemurnian, di mana dua
hati terlekat menjadi satu, diikat sumpah saling setia sampai
mati, senasib sependeritaan suka sama dinikmati, duka
sama diderita. Di malam pengantin ketika sepasang pengantin sedang
bermesra-mesraan memadu kasih, dan Retna Wilis sudah
tidur nyenyak saking kelelahan setelah sehari berpesta, dan
Ki Datujiwa duduk bersamadhi dengan heningnya di dalam
kamar yang disediakan untuknya, Endang Patibroto
seorang diri menangis di kamarnya. Ia membenamkan
muka di bantal untuk menahan isak tangisnya, dan hanya
bantal itu yang menjadi basah kuyup. Endang Patibroto
tidak hanya teringat dan merasa rindu kepada Tejolaksono,
juga ia teringat kepada Raden Sindupati. Teringat akan aib
dan penghinaan yang ia derita dari Sindupati baru-baru ini,
membuat hatinya hancur dan kini di samping derita merana
dan rindu kepada Tejolaksono yang dicintanya, juga
dendam dan sakit hati terhadap Sindupati merupakan duri
yang menusuk di hatinya. Ingin ia mencari Sindupati
sampai dapat, untuk melaksanakan sumpahnya merobek
dada mencabut jantung musuh besarnya.
Akan tetapi setelah Setyaningsih menikah, tentu adik
kandungnya itu akan pergi bersama suaminya. Bagaimana
la tega untuk meninggalkan Retna Wills, hanya ditemani Ki
Datujiwa" Ia harus bersabar sampai beberapa tahun lagi,
sampai Retna Wills sudah agak dewasa sehingga ia tega
untuk meninggalkannya. "Aduh Kakangmas Tejolaksono ........." berulang-ulang
ia mengeluh. "Si keparat engkau Sindupati .......... kau tunggu saja
pembalasanku .......... !" Ia memaki dan menjadi beringas.
Akan tetapi segera ia menangis kembali, teringat akan nasib
ibunya yang malang, teringat akan nasib sendiri, kemudian,
melihat kepada Retna Wilis, ia menangis sambil memeluk
anaknya itu sampai ia tertidur di samping Retna Wilis.
Pada hari-hari berikutnya, kesedihan hati Endang
Patibroto yang disembunyi-sembunyikan agak terhibur
melihat betapa adik kandungnya, Setyaningsih, hidup amat
mesra dengan Pangeran Panji Sigit. Mereka berdua itu
bagaikan sepasang merpati, tak pernah berpisah, begitu
rukun dan amat damai, setiap pandang mata, senyum, katakata dan gerak tubuh sepenuhnya diselimuti cinta kasih
yang mendalam. Sampai satu bulan lamanya pengantin
baru itu tinggal di puncak Wilis. Kemudian mereka
menghadap Endang Patibroto, menyatakan bahwa mereka
hendak pergi ke Jenggala.
Endang Patibroto yang sedang duduk bercengkerama
dengan Ki Datujiwa, dihadiri pula oleh Retna Wilis,
berdebar jantungnya dan ia berkata,
"Bukankah lebih baik kalian tinggal di sini saja" Aku
mendengar bahwa keadaan Jenggala sedang kacau. Pula,
menurut penuturanmu sendiri, Adi Pangeran, di sana
ramandamu berada dalam cengkeraman selir jahat dan
ponggawa-ponggawa tidak jujur. Mengingat pengalamanmu yang tidak baik dengan selir ramandamu itu, apakah
pulangmu ke sana tidak akan mendatangkan hal-hal yang
tidak enak?" "Sesungguhnyalah apa yang dikatakan Ayunda itu, dan
memang tepat dan benar sekali," jawab Pangeran Panji
Sigit. "Akan tetapi, setelah saya pikir secara mendalam,
bahkan keadaan seburuk itulah yang mengharuskan saya
berada di dekat kanjeng rama. Kanjeng rama tentu akan
berbahagia sekali kalau melihat bahwa saya telah berjodoh
dengan Setyaningsih, adik kandung Ayunda sendiri. Dan
saya bersama Adinda Setyaningsih akari berusaha
menyadarkan kanjeng rama, dan kalau perlu membela
beliau apabila terancam bahaya."
Endang Patibroto menggeleng-gelengkan kepala dan
menarik napas panjang. "Sejak dahulu, keadaan Jenggala
sungguh tak dapat dikatakan baik. Alangkah jauh bedanya
dengan Panjalu. Adi Pangeran, sang prabu di Panjalu juga
masih uwamu sendiri. Apakah tidak lebih baik Adi
bersuwita di sana?" Pangeran Panji Sigit menggeleng kepala. "Kalau hal-hal
itu saya lakukan, berarti seolah-olah saya melarikan diri
daripada kesulitan, Ayunda."
Kembali Endang Patibroto menghela napas panjang.
"Aku hanya khawatir ....., ah, Eyang Datujiwa, bagaimana
baiknya" Mohon petunjuk Eyang."
Endang Patibroto kini telah mengenal siapa adanya Ki
Datujiwa dan makin segan serta hormatlah ia terhadap
kakek sakti mandraguna ini. Bahkan ia merasa berbahagia
sekali puterinya mendapatkan seorang guru seperti kakek
ini yang berarti bahwa kelak puterinya akan menjadi orang
yang lebih sakti daripada dia sendiri.
Ki Datujiwa yang selalu diam saja kalau tidak diajak
bicara itu lalu berkata dengan suaranya yang tenang dan
mendatangkan rasa tenteram di hati,
"Menurut pendapat saya, wawasan Angger Pangeran
tadi memang banyak kebenarannya. Angger adalah seorang
Pangeran Jenggala, berdarah satria utama, keturunan Sang
Sakti Prabu Airlangga. Sudah menjadi kewajiban seorang
satria untuk melakukan tridharma bakti, tiga kebaktian
utama. Pertama, berbakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa,
ke dua berbakti kepada rama ibu, dan ke tiga berbakti
kepada negara dan bangsa. Kalau keadaan negara sedang
makmur ikut menikmati, akan tetapi kalau negara sedang
kacau lalu menjauhkan diri mencari kesenangan dan
keselamatan pribadi, itu bukanlah watak seorang satria
utama, Angger. Memang, dalam keadaan Kerajaan
Jenggala seperti sekarang ini, bukan tidak ada bahayanya
kalau Angger berdua pergi ke Jenggala. Akan tetapi, bahaya
itu terdapat di mana-mana dan bahaya yang terbesar
terdapat dalam pribadi sendiri. Adapun selamat, sakit
sampai pun mati sepenuhnya mutlak menjadi wewenang
Sang Hyang Widhi. Karena itu Angger, dengan dasar dan
iktikad baik, seorang satria tidak akan gentar menghadapi
apa pun juga karena biar hidup maupun mati, ia menjadi
pengemban kebenaran dan keadilan. Seribu lebih baik tewas
sebagai seorang satria daripada hidup sebagai seorang
durjana." ( Bersambung jilid ke XXV )
Jilid XXV ENDANG Patibroto makin tunduk dan yakin bahwa
kakek ini bukanlah orang sembarangan, maka ia pun
terpaksa merelakan kepergian adik kandungnya, Setyaningsih bersama suaminya. Segera para anggauta
Padepokan Wills mempersiapkan segala perbekalan
pengantin baru In!, segala perbekalan untuk dipakai dalam
perjalanan. Dua ekor kuda pilihan yang besar disediakan.
"Paman Pangeran dan Bibi yang baik, Kelak kalau aku
sudah tamat belajar kepada Eyang Guru dan sudah dewasa,
aku akan menyusul Paman dan Bibi. Aku ingin sekali
melihat kerajaanl" kata Retna Wills.
Setyaningsih memeluk dan menciumi muka keponakannya yang diasuhnya semenjak lahir itu. Ia
menitikkan air mata, hal yang jarang sekali terjadi pada diri
Setyaningsih.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Iihhh, kenapa Bibi menangis" Apakah tidak girang pergi
bersama Paman Pangeran?" Pertanyaan ini memancing
keluar leblh banyak air mata lagi. Melihat ini, Endang
Patibroto yang tidak suka kalau puterinya kelak juga
menjadi seorang yang cengeng cepat berkata,
"Bibimu menangis karena girang, Retna. Sudahlah,
Ningsih, ada waktunya berkumpul tentu ada waktu untuk
berpisah. Ada saat berpisah tentu disusul pula saat
pertemuan kembali. Berangkatlah dengan hati lapang,
adlkku sayang, karena engkau pergi mengikuti suamimu.
Itulah kewajiban pertama bagi seorang isteri." Demikian
Endang Patibroto berkata menghibur. Akan tetapi
Setyaningsih yang sudah menganggap ayundanya ini seperti
lbunya sendiri, yang dicintanya sepenuh hati, menjadi
makin terharu dan menubruk ayundanya, berlutut
merangkul kaki dan menangis.
"Ayunda Endang .......... selamat tinggal .......... semoga
kita dapat cepat berkumpul kembali, Ayunda ?"."
Melihat keadaan isterinya ini, dengan penuh kasih
sayang Pangeran Panji Sigit lalu merangkulnya, mengangkatnya bangun lalu menuntunnya ke tempat di
mana dua ekor kuda mereka sudah menunggu. Kemudian
mereka lalu melompat ke atas punggung kuda dan
berangkatlah suami isteri ini, diikuti pandang mata sayu
dari Endang Patibroto, sinar mata bersinar-sinar dari Retna
Wills, dan pandang mata melamun dari Ki Datujiwa.
Beberapa kali Setyaningsih menengok dan melambaikan
tangan, dibalas oleh tiga orang ini yang terus berdiri
memandang sampai bayangan kedua suami isteri itu lenyap
di sebuah tikungan. -oo0dw0oo- Sudah terlalu lama kita meninggalkan Bagus Seta yang
kelak akan menjadi tokoh terpenting di samping Retna
Wills dalam cerita ini. Seperti telah kita ketahui, ketika
berusia sepuluh tahun, Bagus Seta dibawa oleh Ki
Tunggaljiwa, atau lebih tepat, anak itu yang datang naik di
punggung Sardulo pethak, menemui Ki Tunggaljiwa dan
diangkat sebagai muridnya. Telah dicerltakan pula betapa
ramandanya, Adipati Tejolaksono dan isterinya, Ayu
Candra, menyusul ke Gunung Merapi di mana Bagus Seta
yang berusia sepuluh tahun itu digembleng oleh KI
Tunggaljiwa. Akan tetapi akhirnya Tejolaksono dan
isterinya merelakan puteranya menjadi murid sang pertapa
sakti untuk digembleng selama lima tahun!
Waktu berjalan dengan amat cepatnya dan Bagus Seta
yang berdarah satria perkasa itu berlatih dengan penuh
ketekunan. Memang hebat latihan yang diberikan oleh Ki
Tunggaljiwa. Tidak hanya berendam air dingin dan kadangkadang air panas sampai semalam suntuk, juga anak ini
dilatih bersamadhi dan berpuasa sampai berhari-hari
lamanya. Kadang-kadang disuruh mainkan jurus-jurus
gerak sIlat yang telah ia pelajarl dari ayahnya. Ternyata Ki
Tunggaljiwa mengenal belaka semua jurus ilmu itu dan
mulaIlah memberi petunjuk-petunjuk sehingga cepat sekali
ilmu silat Bagus Seta meningkat. Tubuh anak ini menjadi
kuat sekali, dan gerakannya cepat ringan mengagumkan.
Temannya berlatih adalah harlmau putih yang sesungguhnya jauh berbeda dengan harimau-harimau biasa.
Harimau ini terlatih melalui aji kesaktian Ki Tunggaljiwa
sehingga memiliki kecerdikan luar biasa seperti manusia.
Sungguhpun akal budinya seperti manusia tidak ada,
namun Sardulo pethak mempunyai kelebihan daripada
manusia, yaitu nalurinya yang amat kuat. Sampai tiga
empat tahun kemudian, biarpun dalam latihan akhirnya
Bagus Seta dapat menangkan harimau itu, namun ia harus
mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, dan setelah
berkali-kali memukul mendorong dan membanting ia baru
dapat menundukkannya. Akan tetapi ia sendiripun lecetlecet dan napasnya terengah-engah, peluhnya membasahi
seluruh tubuh. Baru setelah genap lima tahun, ia benar-benar dapat
menundukkan Sardulopethak tanpa banyak sukar lagi. Kini
Bagus Seta telah berusia lima belas tahun, telah menjadi
seorang pemuda tanggung yang bertubuh tegap, bahunya
bidang, dadanya menonjol membayangkan tenaga dahsyat,
wajahnya tampan dan pandang matanya seperti dapat
menembus dada orang. Namun sikapnya lemah lembut,
bahkan gerak-geriknya kelihatan lamban, tidak tampak
ketangkasannya di waktu biasa. Namun, kalau orang
menyaksikan dia berlaga dalam latihan menghadapi
Sardulo-pethak, orang akan kagum dibuatnya.
Pagi hati itu, terdengar suara Sardulo-pethak mengaumaum, menggetarkan puncak Merapi. Beginilah kalau
harimau itu sedang bersemangat dan bergembira dan
biasanya hal itu terjadi kalau dia sedang bergurau atau
berlatih dengan Bagus Seta. Pagi hari itupun Bagus Seta
mengajaknya bertanding dalam latihan.
Pemuda remaja dan harimau itu sudah berdiri
berhadapan di lapangan rumput di bawah puncak.
"Paman Sardulo, kemarin dulu aku mengalahkanmu
dalam sepuluh jurus. Kini aku telah menemukan akal yang
baik sekali dan kurasa aku akan dapat membuatmu tidak
berdaya kurang dari sepuluh jurus!"
Harimau Itu sudah biasa dlajak bercakap-cakap oleh
Bagus Seta. Entah dia mengerti atau tidak, hal ini tak
pernah dapat dibuktikan. Akan tetapi begItu mendengar
ucapan Bagus Seta, ia lalu mengaum berkali-kali seperti
menantang atau mentertawakan ucapan Bagus Seta yang
hendak menundukkannya kurang dari sepuluh jurus!
Bagus Seta yang sudah lima tahun setiap hati bergaul
dengan harimau ini dapat membedakan auman marah,
senang, atau bahkan mengejek mentertawakan. Maka ia
lalu memasang kuda-kuda, kedua kakinya terpentang lebar,
tubuhnya agak merendah dengan kedua lutut ditekuk, kedua lengannya dikembangkan dengan jari-jari tangan terbuka,
lalu ia berkata, "Kau mentertawakan dan tidak percaya, Paman Sardulo" Hayo kita mulai!
Awas jurus pertama!"
Setelah berkata demikian, tubuh Bagus Seta menubruk ke depan. Sardulopethak itu adalah seekor harimau yang lain daripada harimau biasa, memiliki kecerdikan dan mendekati kecerdikan manusia.
Setelah lima tahun menjadi kawan berlatih Bagus Seta,
apalagi setelah akhir-akhir ini ia selalu dikalahkan, harimau
putih inl maklum bahwa kalau dia yang menubruk dan
menyerang, dia akan dapat dirobohkan dengan mudah.
Tentu saja ia tidak tahu dan tidak mengerti mengapa bisa
demikian. Dia tidak tahu bahwa dalam setiap penyerangan,
berarti membuka kelemahan pertahanan sendiri. Dia hanya
tahu karena pengalaman kalah berkali-kali dan kekalahan
ini selalu terjadi karena dia terlalu bernafsu menyerang.
Maka akhir-akhir ini ia tidak lagi mau menyerang, hanya
menanti serangan dan memusatkan perhatian pada
pertahanan. Bagus Seta tentu saja tahu akan siasat harimau itu, maka
ia pun tidak mau ragu-ragu lagi untuk menerjang.
Terjangannya dahsyat sekali. Melihat perawakannya, Bagus
Seta yang berusia lima betas tahun itu tidaklah dapat
disebut tinggi besar. Perawakannya sedang saja, bahkan
kulit lengannya halus, kelihatannya lemah lembut. Namun
di bawah kulit itu tersembunyi hawa sakti yang dapat
menciptakan tenaga dahsyat dan mujijat akibat gemblengan
Ki Tunggaljiwa yang sakti mandraguna. Kulit yang halus
itu memiliki kekebalan luar biasa, tidak dapat tergores kuku
cakar harimau. Daging di bawah kulit dapat mengeras
seperti baja, tidak mempan gigitan taring harimau.
Biasanya, kalau menyerang Sardulo-pethak, Bagus Seta
mempergunakan aji pukulan dan tendangan, namun tubuh
harimau itu pun sudah kebal dan kuat sekali sehingga
dalam latihan biasa, setelah sepuluh jurus baru ia membuat
harimau putih itu roboh dan kalah.
Ketika Bagus Seta menerjang maju, Sardulo-pethak
menggereng dan berdiri di atas kedua kaki belakang.
Cakarnya dengan kuku-kuku meruncing itu segera bergerak
ke depan, tidak hanya untuk menangkis pukulan Bagus
Seta, melainkan terutama sekali untuk mencengkeram ke
arah dada. Kalau saja ia berhasil mencakar robek baju
lawan, hal ini sudah merupakan sebagian kemenangan
baginya. Mulutnya sudah dibuka lebar dan siap menggigit
pundak atau leher. Kalau hal ini dapat dilakukan, ia dapat
menekan tubuh lawan itu ke bawah, menindih dengan berat
tubuhnya, mencengkeram dan menggigit sehingga Bagus
Seta takkan dapat bangun kembali!
Terdengar Sardulo-pethak mengaum penuh kegirangan.
Tidak seperti biasanya, menggunakan kecepatan gerak
tubuh pemuda itu menghindar, kali ini malah Bagus Seta
menerima tangkisan dan cakaran lawan, kemudian kakinya
terpeleset dan tubuhnya roboh terlentang di depan Sardulopethak. Harimau itu mengaum gembira dan cepat
menubruk untuk menindih tubuh kawan yang menjadi
lawan berlatih. Kalau saja ia dapat bicara, tentu ia bersorak
karena kemenangan yang sudah membayang di depan mata
ini. Akan tetapi, biarpun tubuhnya sedang rebah terlentang,
gerakan Bagus Seta lebih cepat lagi. Tiba-tiba si harimau
kehilangan lawannya yang bagaikan seekor belut telah
melesat melalui bawah perutnya. Ketika Sardulo Pethak
yang kebingungan itu membalikkan tubuh, ia sudah
terlambat. Bagus Seta kini sudah menubruk dari belakang,
memiting leher-nya dengan kedua lengan dengan erat
sekali, melekat seperti seekor lintah menempel di punggung
kerbau. Sardulo Pethak mengeluarkan gerengan yang menggetarkan lembah gunung. Gerengan ini hebat bukan
main, sampai semua binatang di hutan-hutan daerah
Merapi lari ketakutan, harimau-harimau menyembunyikan
diri tak berani berkutik, burung-burung yang sedang
berteduh di pohon-pohon terbang kacau-balau dan
ketakutan. Harimau putih ini berusaha menghempaskan
tubuh yang menempel di punggungnya itu, menggerakgerakkan kepala ke kanan kiri dalam usahanyamenggigit
muka lawan. Akan tetapi Bagus Seta memiting kuat-kuat
dan kepalanya sendiri menempel di belakang telinga
Sardulo Pethak..Kedua kakinya tergantung di kanan kiri
perut harimau. Betapapun harimau itu berusaha untuk
melepaskan diri dari pitingan, Bagus Seta tak pernah
mengendurkan kempitannya, bahkan memperhebat pitingan, memperkuat tenaga sampai harimau itu terengahengah karena lehernya terjepit. Akhirnya, setelah Bagus
Seta mengerahkan aji kekuatannya, harimau itu tidak kuat
bertahan lagi dan roboh miring, terus ditunggangi Bagus
Seta, dipiting dan tidak dapat berkutik lagi.
"Nah, apa kataku, Paman Sardulo" Aku dapat
menjatuhkanmu dalam satu dua jurus. Tidak percayakah
Paman sekarang?" tanya Bagus Seta sambil melepaskan
pitingan dan meloncat bangun dengan wajah berseri.
Harimau putih itu bangkit dan menengadahkan
kepalanya, mengaum dengan suara panjang. Bagus Seta
yang sudah dapat membedakan suara harimau itu lalu
merangkulnya dan menempelkan plpinya di dekat telinga
harimau yang disayangnya.
"Ah, Paman Sardulo, kau merasa sudah tua" Tidak,
Paman. Aku dapat mengalahkanmu berkat latihan yang
berkali-kali bersamamu, berkat bantuanmu! Kalau melawan
lawan lain, ahhh, tidak banyak lawan akan dapat
mengalahkan-mu, Paman Sardulo."
Harimau itu menggereng dan Bagus Seta menjadi kaget.
Inilah gerengan tanda marah! la mempererat rangkulannya
dan berkata penuh sesal, "Ah, engkau marah kepadaku
karena kekalahan dalam dua jurus, Paman" Benarkah
Paman bisa marah kepadaku .......... ?"
Akan tetapi ketika ia memandang, ternyata harimau itu
telah berdiri dan pandang mata ,harimau itu sama sekali
tidak ditujukan kepadanya, melainkan ke arah kiri. Ia
menoleh dan bulu tengkuknya berdiri karena ngeri. Di situ,
hanya tiga empat meter jauhnya, tahu-tahu telah berdiri tiga
orang. Kedatangan mereka itu begitu tiba-tiba seperti setan
saja sehingga telinganya yang terlatih sama sekali tidak
dapat menangkap kedatangan mereka. Apalagi ketika ia
mengenal dua orang di antara mereka bertiga itu adalah
Sang Biku Janapati dan Sang Wasi Bagaspati, ia menjadi
khawatir sekali. Dua orang ini bukanlah sahabat, melainkan
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang-orang yang pernah datang dan menantang gurunya,
Ki Tunggaljiwa. Akan tetapi melihat yang ke tiga, ia makin
ngeri. Orang ini adalah seorang nenek yang hanya bentuk
tubuhnya saja dapat dikenal sebagai seorang manusia, atau
lebih tepat sebagai seorang wanita tua bertubuh tinggi
kurus, masih tegak, pakaiannya serba hitam dan lengannya
memakai gelang emas. Kulitnya yang sudah keriputan itu
masih berwarna putih bersih, pakaiannya bersih dan rapi.
Akan tetapi mukanya sukar dikenal karena muka ini
terlindung oleh sinar atau uap hitam, sehingga kepala dan
muka itu hanya kelihatan bayangan saja, bayangan seorang
wanita tua yang usianya sudah seratus tahun lebih, namun
masih jelas tampak raut wajah yang cantik! Dari pribadi
wanita tua ini keluar getaran wibawa yang amat luar biasa,
yang membuat harimau putih menggereng-gereng marah
dan gentar, dan yang membuat bulu tengkuk Bagus Seta
berdiri! Tiba-tiba Sardulo Pethak mengeluarkan guman seperti
orang menjerit dan tubuh yang besar dan kuat itu melompat
maju menubruk ke arah nenek yang mengerikan itu,
"Paman Sardulo.......... ! Jangan..........!"
Bagus Seta berseru akan tetapi terlambat sudah.
Terdengar suara terkekeh nyaring disusul gerengan Sardulo
Pethak yang tiba-tiba saja terbanting dari tengah udara
sebelum mampu menyentuh nenek itu. Bagus Seta hanya
melihat nenek itu menudingkan telunjuk kiri ke arah
Sardulo Pethak dan harimau putih itu terbanting dari
tengah udara, roboh di atas tanah dan tak dapat bangkit
kembali! "Paman Sardulo 1" Ia menubruk harimau itu dan
alangkah kagetnya mendapat kenyataan bahwa harimau
putih itu sudah tidak bernapas lagi, dari mulut, hidung,
telinga dan matanya mengalir darah menghitam! Harimau
itu telah tewas secara aneh. Dengan hati penuh kedukaan
dan kemarahan, Bagus Seta bangkit berdiri perlahan-lahan,
memandang ke arah nenek itu. Ia cukup terlatih dan dapat
menekan perasaannya, namun mengingat akan kematian
harimau yang dianggapnya sebagai keluarga sendiri,
hatinya terasa sakit sekali.
"Andika .......... kejam sekali .......... Apakah dosanya
Paman Sardulo maka andika tega menurunkan tangan maut
dan merenggut nyawanya?"
Akan tetapi nenek itu hanya memperdengarkan suara
tertawa perlahan dan berdiri diam tak bergerak seperti
patung. Bagus Seta berusaha mengerahkan tenaga batinnya
untuk menembus uap hitam yang menutupi wajah nenek
itu, namun tak berhasil, bahkan jantungnya berdebar seperti
terkena pengaruh mujijat yang amat berwibawa. Betapapun
juga, pemuda remaja ini adalah keturunan satria utama dan
murid seorang sakti mandraguna, maka pengaruh mujijat
itu tidak membuatnya menjadi gentar. Sebaliknya, ia
menduga bahwa nenek ini tentulah seorang tokoh yang
jahat seperti iblis, lebih jahat daripada dua orang kakek
yang pernah memusuhi gurunya dan yang kini berdiri
sambil tersenyum lebar. Maka ia lalu melangkah maju dan
berkata dengan suara nyaring,
"Boleh jadi andika seorang tokoh yang ternama dan
memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa, namun perbuatan
andika membunuh paman Sardulo yang tidak berdosa
memaksa saya memberanikan diri untuk membalas. Jagalah
seranganku!" Setelah berkata demikian, Bagus Seta
mengerahkan semua aji kekuatan tubuhnya, lalu mengayun
tubuh ke depan dengan Aji Bayu Tantra. Selama belajar
kepada Ki Tunggaljiwa, dia hanya melatih semua ilmu yang
ia pelajari dari ayahnya, dan gurunya ini hanya
menyempurnakan latihan-latihannya di samping "mengisi"
tubuhnya dengan gemblengan untuk mendapatkan hawa
sakti yang kuat. Karena itu, loncatannya ke depan amat
cepatnya bagaikan gerakan seekor burung garuda, dan
ketika kedua tangannya bergerak menampar dengan Aji
Pethit Nogo, terdengar bersiutnya angin pukulan yang amat
dahsyat. Namun nenek itu sama sekali tidak bergerak,
bahkan menangkispun tidak. Masih untung bagi Bagus
Seta, karena kalau nenek itu menggerakkan tangannya
sedikit saja, seperti halnya ketika menghadapi Sardulopethak tadi, tentu tubuh Bagus Seta akan roboh tak
bernyawa pula! Klni nenek itu tidak menangkis, tidak
mengelak dan terjangan Bagus Seta agaknya akan mengenai
sasaran. Melihat lawan tidak membela diri, sifat satria
timbul dan pemuda remaja itu cepat-cepat merubah sasaran
pukulannya. Kalau tadinya jari tangan kiri menampar
pelipis dan jari tangan kanan menusuk leher, kini kedua
tangannya hanya menampar ke arah kedua pundak lawan
yang sama sekali tidak membela diri itu.
Sifat satria inilah yang sesungguhnya menolong nyawa
Bagus Seta. Kalau ia teruskan serangan mautnya, tentu
lawannya yang aneh itu akan membalas. Akan tetapi
melihat pemuda remaja itu merubah sasaran, nenek itu
mengeluarkan suara mendengus aneh dan tiba-tiba Bagus
Seta mengeluh, tubuhnya seperti membentur dinding baja,
kedua tangan yang menampar tadi bertemu dengan uap
hitam, membalik dan membuatnya terpelanting roboh di
samping mayat harimau putih! Kepala terasa pening dan
matanya berkunang. Bagus Seta menggoyang-goyang
kepalanya dan hatinya girang ketika akhirnya peningnya
hilang dan ia melihat Ki Tunggaljiwa telah berdiri di situ
dengan sikapnya yang tenang! Ia bangkit berdiri dan
mundur, tidak berani sembarangan mengeluarkan kata-kata
karena maklum bahwa gurunya menghadapi orang-orang
yang berilmu tinggi dan yang menurut firasat hatinya
datang bukan dengan maksud yang bersih.
Sejenak Ki Tunggaljiwa memandang ke arah muridnya
dengan penuh perhatian, kemudian menunduk dan
memandang mayat Sardulo Pethak, lalu menarik napas
panjang dan berkata sambil memandang Biku Janapati dan
Wasi Bagaspati,- "Andika berdua, terutama Sang Wasi
Bagaspati, telah menyebar malapetaka di antara rakyat
jelata. Masih tidak puaskah nafsu itu" Kini andika datang
ke tempat yang tenteram ini, menyebar maut kepada seekor
harimau. Apakah sesungguhnya yang tersembunyi di balik
perbuatan keji ini?"
"Ha-ha-ha-ha! Ki Tunggaljiwa, sampai sekarang engkau
masih bersikap sombong! Kalau mau tahu tentang kematian
harimau ini, kau tanyalah saja sendiri kepada dia yang
melakukannya, kalau saja matamu masih saja buta untuk
tidak mengenal siapa adanya tokoh yang kini berkenan
hadir di hadapanmu!" Wasi Bagaspati menuding dengan
ibu jarinya ke arah nenek yang berselimutkan uap hitam di
depan mukanya itu. Uap atau sinar hitam itu seolah-olah
selalu keluar dari bagian atas tubuhnya dan hawa di
sekitarnya menjadi panas, padahal hawa udara di puncak
itu amatlah dinginnya. Ki Tunggaljiwa bukan seorang yang sempit pandangan.
Bahkan ia sudah dapat menduga siapa adanya tokoh ini,
namun dia sekali-kali bukan seorang sombong seperti yang
dikatakan Wasi Bagaspati. Bahkan sebaliknya. Kalau dia
tidak menyatakan kenal, hal ini sudah membuktikan
kerendahan hatinya yang tidak hendak menonjolkan
kewaspadaannya yang membuat ia seolah-olah dapat
melihat segala peristiwa di dunia ini. Kini setelah Wasi
Bagaspati mengalihkan perhatiannya kepada nenek itu, ia
lalu mengangkat kedua tangan, dirangkap seperti sembah
depan dada, sambil membungkuk ia berkata,
"Sadhu-sadhu-sadhu, mohon maaf kiranya apabila saya
yang lebih muda tidak menyambut andika seorang yang
lebih tua sebagaimana mestinya. Sebutan saya KI
Tunggaljiwa dan sudah seringkali saya mendengar nama
besar Nini Bumigarba yang dulu terkenal sebagai Sang
Dewi Sarilangking. Namun karena belum pernah mendapatkan kehormatan bertemu muka, maafkan kalau
saya keliru menduga. Benarkah andika yang bernama Nini
Bumigarba?" Tubuh nenek itu bergerak sedikit dan terdengar
suaranya, halus melengking dan aneh. Bagus Seta yang
menonton dengan mata terbelalak mendengar suara nenek
Itu seolah-olah datang dari atas, dari mendung hitam di
angkasai "Tunggaljiwa, andika bukan anak kecil, dan kita samasama tahu akan rahasia perputaran segala peristiwa di
dunia, yang lampau maupun yang akan datang. Akan tetapi
berkali-kali andika menentang kehendak alam, mengandalkan sedikit kesaktian yang andika miliki. Apakah
andika merasa lebih kuasa dan sakti daripada alam?"
"Sadhu .......... Semua dewata menjadi saksi! Saya yang
picik dan kecil ini, bagaimana berani menentang kehendak
alam" Nini Bumigarba, harap andika jelaskan, bilamana, di
mana, dan bagaimana saya menentang kehendak alam?"
Terdengar kekeh tawa nyaring dan merdu seperti suara
ketawa wanita muda remaja, disambung kata-kata yang
dingin suaranya namun panas isinya,
"Tunggaljiwa, andika berhadapan dengan aku yang tahu
akan segala hal. Menyangkal dan berpura-pura tiada
gunanya. Di jaman Mataram dan Kahuripan dahulu,
engkau sudah berfihak, membela orang-orang Mataram.
Kini, kau pun tIdak buta dan tentu sudah dapat melihat
masa depan bahwa keutuhan Kerajaan Panjalu dan
Jenggala tidak dapat dipertahankan lagi. Biku Janapati dan
Wasi Bagaspati hanya membantu pelaksanaan kehendak
alam, mempercepat runtuhnya kerajaan-kerajaan itu,
terutama Jenggala, akan tetapi kembali andika turun tangan
`menentang dan membela keturunan Mataram, padahal
sudah tahu bahwa alam menghendaki runtuhnya kerajaan
itu. Bukankah itu berarti menentang kehendak alam yang
menjadi kehendak para dewara pula?"
Ki Tunggaljiwa tersenyum dan mengelus jenggotnya.
"Sadhu-sadhu-sadhu ..........
"Maaf, Nini Bumigarba, kalau saya berani mengatakan
bahwa andikalah orangnya yang menentang kehendak Sang
Hyang Widhi! Kewaspadaan mata batin adalah anugerah
Sang Hyang Widhi, dan sekalikali bukan dipergunakan
untuk mendahului kehendak alam! Betapapun pandainya
manusia, takkan dapat merubah kehendak alam! Betapapun
pandainya manusia, dia tidak berhak untuk mencampuri
rahasia Sang Hyang Widhi. Manusia mempunyai tugas
kewajibannya sendiri, yaitu bertindak sesuai dengan
kebajikan, menjauhkan kejahatan dan kemaksiatan.
Adapun yang menjadi kehendak Hyang Widhi, baik
maupun buruk bagi yang menerimanya, haruslah diterima
dengan penuh kesadaran bahwa segala kehendak Hyang
Widhi akan terjadi! Saya selalu bertindak menurutkan
hukum-hukum peri-kemanusiaan, tidak mencampuri kehendak alam, tidak menentang tidak membantu. Orangorang dari Sriwijaya dan Cola, bukan sekali-kali membantu
pelaksanaan kehendak alam seperti yang andika katakan,
melainkan bertindak untuk menurutkan dorongan nafsu
duniawi, nafsu aluamah angkara murka, mengejar
kesenangan pribadi. Namun semua itu termasuk kehendak
Sang Hyang Widhi pula, juga kematian-kematian yang
disebar orang-orang itu telah dikehendaki Hyang Widhi.
Kalau Sang Hyang Widhi tidak menghendaki, jangankan
membunuh orang lain, menyedot napas sendiripun tidak
mungkin dapat dilakukan Sang Biku Janapati maupun Sang
Wasi Bagaspati." "Ihhhh I Manusia sombong engkau, Ki Tunggaljiwa!
Manusia adalah pembantu utama dari para dewata! Kalau
aku menghendaki, bocah bagus ini tadi sudah kubikin
mampus! Sebaliknya kalau aku tidak menghendaki,
bagaimana harimau putih itu bisa mati?"
"Nini Bumigarba, sayang sekali bahwa terpaksa saya
berlancang mulut. Yang sombong bukanlah saya. Andika
hanya menjadi lantaran kematian Sardulo Pethak, akan
tetapi, kalau Sang Hyang Widhi tidak menghendaki,
jangankan membunuh Sardulo Pethak, menggerakka jari
tanganmu saja andika tidak mampu. Kalau muridku Bagus
Seta ini tadi tidak tewas di tanganmu, itupun atas kehenda
Hyang Widhi!" "Babo-babo! Apakah engkau hendak mengatakan bahwa
aku tidak akan dapat membunuhmu, Ki Tunggaljiwa?"
bentak Wanita tua yang luar biasa itu........... !" Ki
Tunggaljiwa tetap tersenyum tenang dan menggelenggeleng kepalanya. Bagus Seta makin sayang dan kagum
menyaksikan sikap gurunya dan mendengar ucapanucapannya yang ia anggap jauh lebih bijaksana daripada
ucapan Nini Bumigarba yang sombong itu. Sepasang mata
Ki Tunggaljiwa mengeluarkan sinar terang ketika ia
memandang wajah Nini Bumigarba yang tertutup uap
hitam, kemudian suaranya terdengar tegas,
"Saya sudah mendengar akan kesaktian andika yang
sudah mencapai tingkat yang sukar diukur kepandaian
manusia, dan saya mengerti bahwa saya bukanlah
tandingan andika. Akan tetapi, jangan mengira bahwa saya
takut akan ancaman andika, karena saya merasa yakin
bahwa apabila Sang Hyang Widhi tidak menghendaki,
andika pasti tidak akan dapat membunuhku, Nini
Bumigarba. Andaikata saya terbunuh olehmu, hal ini hanya
terjadi atas kehendak Sang Hyang Widhi!"
"Hi-hi-hik! Hendak
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kulihat sampal di mana kepandaianmu!" kata Nini Bumigarba dan tiba-tiba wanita
tua itu menggerakkan tangan kanannya, dengan jari-jari
terbuka menampar ke bawah, ke arah tanah di depannya.
"Pyaarrr .......... I" Terdengar suara nyaring dan ..........
tanah di depannya itu seperti kayu terbakar, mengeluarkan
asap menghitam. Sambil berdiri, Nini Bumigarba miringkan
tangan di depan dada, melakukan gerakan mendorong.
Asap hitam dari tanah itu seperti tertiup angin, bergerak ke
arah Ki Tunggaljiwa! "Sadhu-sadhu-sadhu .......... !" Ki Tunggaljiwa maklum
akan kehebatan dan kedahsyatan ilmu nenek tua ini, maka
cepat la menjatuhkan diri bersila di atas tanah, lalu
mengerahkan seluruh tenaga batin dan hawa saktinya,
melakukan gerakan mendorong ke depan dengan kedua
tangan terbuka. Asap hItam yang tadinya bergerak ke
arahnya itu kini tertahan dan berputaran.
Terjadilah adu tenaga sakti yang amat hebat, ditonton
oleh Bagus Seta yang berusaha bersikap tenang sambil
menekan guncangan perasaan hatinya karena ia maklum
bahwa gurunya berjuang matI-matIan sekali ini. Sang Biku
Janapati dan Sang Wasi Bagaspati juga menonton dengan
kening berkerut, diam-diam mereka mengharapkan kematIan Ki Tunggaljiwa yang merupakan penghalang bagi
cita-cita mereka. Akan tetapi betapapun Ki Tunggaljiwa mengerahkan
tenaga, kedahsyatan nenek itu sungguh jauh melampaui
kekuatannya. Nenek itu bukanlah manusia biasa, dan pada
dewasa itu, kiranya sudah mencapai tingkat tertinggi dalam
ilmu aji kepandaian. Biasanya, nenek ini tidak pernah
menampakkan diri di dunia ramai, dan munculnya nenek
ini merupakan pertanda bahwa memang akan terjadi
kegemparan. Asap hitam itu masih berputar-putar, di
tengah-tengah antara kedua orang sakti itu, namun lambat
laun, perlahan akan tetapi past!, asap itu mulai bergerak
mendorong ke arah Ki Tunggaljiwa.
Bagus Seta memandang dengan mata terbelalak.
Sungguhpun tingkat ilmu yang dipelajarinya belum
sedemikian tingginya, namun
dia yang tergembleng aji kesaktian sejak kecil, maklum
atau dapat menduga apa artinya mendoyongnya asap
hitam ke arah gurunya. Tak
terasa lagi kaklnya melangkah tIga kali, mendekat di belakang gurunya dan memandang dengan mata terbelalak, wajahnya pucat. Kini asap itu
sudah makin dekat dengan Ki
Tunggaljiwa yang masih duduk bersila, kedua tangannya terjulur ke depan dengan
jari tangan terbuka, matanya tajam memandang lawan,
sedikitpun tidak tampak gentar, bibir yang tersembunyi di
balik kumis dan jenggot masih tersenyum, seolah-olah
kakek ini melihat datangnya cengkeraman maut sebagai
satu hal yang wajar dan tidak aneh.
"Aiihhh"!" Terdengar Nini Bumigarba berseru, tangan
kanannya bergerak dan menggetar keras. Kini asap itu
makin cepat bergerak, seperti mendung tertiup angin
menghampiri Ki Tunggaljiwa. Mula-mula asap hitam itu
menyentuh ujung jari tangan Ki Tunggaljiwa dan seketika
ujung jari-jari tangan kakek itu menjadi hitam! Makin dekat
asap itu menghampiri Ki Tunggaljiwa, makin banyak pula
bagian lengannya menjadi hitam. Ki Tunggaljlwa tetap
tenang, menanti datangnya maut. Kedua lengannya kini
sudah menjadl hitam semua, dijalari hawa beracun yang
hebat. Kini dada dan mukanya tersentuh, juga lututnya
yang kesemuanya menjadi hitam, dan akhirnya, tak lama
kemudian, tubuh Ki Tunggaljiwa telah menjadi hitam
semua. Namun kakek itu masih duduk bersila, seperti telah
berubah menjadi sebuah arca yang terpahat dari batu hitam!
"Nenek jahat! Perbuatanmu sungguh keji di luar batas
perikemanusiaan!" bentak Bagus Seta yang sudah melompat
maju di samping gurunya dan mengerahkan tenaga,
menerjang dengan lompatan Bayu Tantra hendak
menggunakan pukulan dengan Ali Pethit Nogo yang
ampuh. Akan tetapi begitu ia menerjang asap hitam,
tubuhnya seperti terbakar rasanya dan ia roboh terguling.
Asap hitam itu menggulung-gulungnya diiringi suara gelak
tawa Sang Wasi Bagaspati dan sebentar saja tubuh Bagus
Seta juga menjadi hitam semua. Pemuda remaja ini seperti
cacing terkena abu, seluruh tubuhnya panas dan kepalanya
pening. Hanya dengan tekat luar biasa saja ia berhasil
bangkit duduk bersila, kemudian tubuhnya menjadi kaku
dan panasnya makIn tak tertahankan.
"Hi-hik, Ki Tunggaljiwa. Katakan sekarang apakah Sang
Hyang Widhi tIdak menghendaki andika mati di
tanganku?" Pada saat itu, terdengar suara melengking halus, dibarengi datangnya angin bertiup dari arah kanan Ki
Tunggaljiwa. Angin yang membawa datang hawa dingin,
lalu tampak ampak-ampak (halimun) putih berarak. Ketika
halImun ini nyentuh tubuh Ki Tunggaljiwa dari kanan,
bagian tubuh yang tersentuh lalu berubah menjadI bersih
kembali. Halimun putIh itu terus bergerak dan perlahanlahan tubuh Ki Tunggaljiwa dan Bagus Seta yang tersentuh
uap putih itu menjadI bersIh daripada warna hitam! Nini
Bumigarba dan kedua orang kawannya memandang dengan
mata terbelalak. Ki Tunggaljiwa yang masih duduk bersila
itu lalu tersenyum dan berkata,
"Kehendak Sang Hyang Widhi takkan dapat diubah oleh
siapapun juga, Nini Bumigarba. Apalagi andika, para
dewata sekalipun tidak kuasa mengubahnya. Buktinya,
Sang Hyang Wldhi belum .menghendaki saya dan Bagus
Seta mati, maka pada saat terakhir kami berdua terbebas
daripada bencana maut dengan hadirnya seorang manusia
yang maha sakti!" Setelah berkata demikian, Ki
Tunggaljiwa memutar tubuh ke kanan lalu menyembah.
Bagus Seta mencontoh perbuatan gurunya, menyembah ke
arah kanan. Adapun Nini Bumigarba, Biku Janapati dan Wasi
Bagaspati juga telah memandang ke jurusan itu. Akan tetapi
tidak ada seorangpun manusia tampak. Betapa-pun juga,
tiba-tiba Nini Bumigarba mengeluarkan seruan tertahan
ketika hawa yang dingin mengusap wajahnya, mendesak
dan medorong hawa panas yang keluar dari tubuhnya
sebagai akibat pengerahan aji kesaktiannya tadi. Kalau saja
orang dapat menembus kabut uap hitan, yang menyelimuti
nenek ini, tentu akan melihat betapa nenek ini
membelalakkan mata dan wajahnya berubah pucat,
bibirnya yang sudah keriputan namun masIh membayangkan bentuk yang cantik itu kin! menggigil
seperti orang menahan tangis, dan terdengar bisikannya
penuh kekecewaan, "Engkau .......... engkau masih tidak
suka mengalah kepadaku ......?" Bisikan ini bercampur
dengan isak dan tubuh nenek itu membalik, kemudian pergl
dari situ dengan langkah gontai. Melihat ini, Biku Janapatl
dan Wasi Bagaspati menjadi gentar. Mereka tidak melihat
siapa-siapa, tidak tahu siapa yang telah menolong Ki
Tunggaljiwa, akan tetapi jelas bahwa Nini Bumigarba
sendiri agaknya gentar menghadapi lawan ini. Mereka
menarik napas panjang, lalu pergi pula mengejar Nini
Bumigarba. Setelah tiga orang itu pergi, dari dalam halimun putih itu
muncul keluar seorang kakek, atau lebih tepat lagi, halimun
putih itu menipis seperti tirai diangkat dan tampaklah .ujud
seorang kakek tua renta berdiri di situ. Ketika Bagus Seta
mengangkat muka memandang, ternyata kakek inipun
terselimuti wajahnya seperti halnya Nini Bumigarba tadI,
hanya bedanya kalau muka nenek itu terselimut uap hitam,
kakek ini wajahnya terbungkus uap putIh.
"Duh Eyang Bhagawan .......... sungguh besar kebahagiaan yang dilimpahkan para dewata kepada hamba
sehingga saat ini hamba dapat bertemu dengan Eyang
Bhagawan!" Terdengar Ki Tunggaljiwa berkata sambil
menyembah. Mendengar ini, Bagus seta tercengang.
Gurunya adalah seorang kakek yang sudah amat tua, sukar
ditaksIr berapa usianya. Akan tetapi gurunya maslh
menyebut kakek luar blasa yang datang ini sebagai Eyang
Bhagawan! "Baik sekali, Tunggaljiwa. Andika telah memperoIeh
kemajuan dan tidak menyeleweng daripada garis yang
lurus. Aku datang karena berjodoh dengan muridmu ini
yang kelak akan menggantikan dan mewakili kita
memberslhkan anasir-anasir sesat dari Nusantara."
"Aahhhhh .......... !" Sukar ditaksir apa arti seruan yang
keluar dari dada Ki TunggaljIwa ini. MungkIn saking kaget
dan herannya, atau saking girangnya, namun yang sudah
pasti kakek ini cepat-cepat memegang lengan muridnya dan
berbisik, "Kulup, lekas menghaturkan terima kasih kepada Eyang
Guru!" Namun Bagus Seta yang sudah tergembleng sejak kecil
tetap berpegang kepada kewaspadaannya. Ia membalas
dengan bisikan pertanyaan,
"Siapakah gerangan Eyang ini?"
"Beliau adalah Sang Bhagawan Ekadenta, juga Sang
Bhagawan Jitendrya dan boleh juga disebut Sang Bhagawan
Sirnasarira!" Tiga nama yang memiliki arti dalam ini agaknya cukup
bagi Bagus Seta yang cepat menghadap dan menyembah di
depan kakek tua luar biasa itu sambil berkata,
"Hamba menghaturkan terima kasih kepada Eyang yang
berkenan hendak memberi bimbingan kepada hamba. Akan
tetapi, lima tahun yang lalu Eyang Guru Tunggaljiwa
berjanji kepada ramanda bahwa hamba hanya akan belajar
selama Ilma tahun dan kini telah tiba saatnya hamba
kembali kepada orang tua hamba. Kalau hamba tldak
pulang, bukankah hal ini berarti menyalahi janji dan amat
tidak baik bagi Eyang Guru Tunggaljiwa?"
Sang Bhagawan Ekadenta tersenyum di balik tabir uap
putih, dan sepasang mata yang bersinar-sinar itu
mengeluarkan cahaya lembut. "Ah, dasar keturunan satria!
Jangan khawatir, Angger, memegang teguh janji bukan
hanya menjadi kewajiban para satria, melainkan kewajiban
setiap orang manusia, termasuk para pertapa seperti kami.
Kalau andika suka menjadi muridku, sekarang juga aku
akan membawa andika menemui ayahanda sebagai
pelaksanaan daripada janji Ki Tunggaljiwa."
Bagus Seta menoleh ke arah gurunya dengan pandang
mata penuh pertanyaan. Betapapun juga, selama lima tahun
ia digembleng oleh kakek ini dan ia merasa terharu kalau
harus meninggalkan guru-nya yang dikasihinya. Namun
gurunya tersenyum kepadanya dan berkata,
"Berangkatlah, Angger, dan doa restuku selalu mendampingimu." Bagus Seta lalu menyembah ke arah Bhagawan
Ekadenta, "Baiklah, ,Eyang. Hamba siap untuk pergi
bersama Eyang." "Bagus! Kau ikutlah aku, Angger. Ki Tunggaljiwa,
sampai jumpa pula!" Tubuh kakek itu bergerak, diselubungi halimun putih
dan Bagus Seta cepat-cepat menyembah ke arah Ki
Tunggaljiwa..- sebagai tanda pamit, lalu bergegas mengikuti
halimun putih itu yang meninggalkan puncak bukit. Ki
Tunggaljiwa bangkit berdiri, memandang kepergian
muridnya dengan mulut tersenyum. Hatinya lega dan puas
karena ia telah melaksanakan tugasnya selama lima tahun
dan diam-diam ia berdoa semoga sinar terang selalu akan
mengatasi kegelapan yang mengancam dunia, semoga
kebenaran akhirnya akan unggul sehingga dunia menjadi
tempat tinggal manusia
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang penuh damai dan ketenteraman. Clta-cita inilah yang menjadi kandungan hati
setiap orang pertapa, sungguhpun Ki Tunggaljiwa sendiri
maklum bahwa segala peristiwa telah diatur oleh Sang
Hyang Widhi, dan bahwa manusia, betapapun pandainya,
tidak kuasa mengubahnya. Dia maklum pula bahwa sudah
menjadi kehendak alam bahwa dua sifat yang saling
bertentangan, baik dan buruk, akan desak-mendesak, gantimengganti, berkuasa di dalam kehidupan manusia. Bahwa
selama masih ada yang disebut kebaikan, maka di
sampingnya akan selalu ada pula keburukan. Bahwa selama
manusia mengenal kebajikan, manusia takkan bebas
daripada kejahatan, karena, sesungguhnya baik dan jahat,
seperti halnya dua unsur berlawanan di dunia ini, adalah
saudara kembar yang tak terpisahkan. Betapapun juga,
manusia berkewajiban untuk berikhtiar, manusia berakal
budi dan sadar akan perbedaan antara kedua unsur
berlawanan itu. Dan ia mengerti pula bahwa kalau Sang
Bhagawan Ekadenta sampai "turun" ke dunia ramai, hal ini
hanyalah merupakan kewajibannya sebagai manusia rraha
sakti, untuk meng imbangi "turunnya" seorang tokoh sepert
Nini Bumigarba! Ki Tunggaljiwa menggeleng-geleng
kepalanya dan mengheia napas panjang.
"Panjalu dan terutama Jenggala akan geger .......... dan
bocah itu telah terpilih menjadi orang yang akan
menanggulangi dan mengimbangi kekuatan-kekuatan sesat.
Alangkah berat tugasnya .......... !"
Kakek inipun menggerakkan kaki, perlahan-lahan
menghampiri mayat Sardulo Pethak dan dikuburnya mayat
binatang yang derajatnya sudah mendekati manusia itu
dengan penuh kasih sayang.
Tanpa berkata-kata, kakek yang tubuhnya diselubungi
halimun putih itu berjalan terus, dlikuti oleh Bagus Seta.
Setelah mereka turun dari bukit, kakek itu menoleh,
memegang tangan Bagus Seta, digandengnya dan Bagus
Seta tertegun. Kini ia berada di dalam halimun putih dan
tubuhnya terasa ringan sekali. Tampaknya saja mereka
berjalan lambat-lambat, akan tetapi ia maklum bahwa
sesungguhnya mereka melakukan perjalanan dengan
kecepatan yang tak dapat ia bayangkan, karena mereka
bukan berjalan biasa, melainkan bergerak maju didorong
hawa sakti yang amat mujijat.
Seperti telah diceritakan dalam jilid terdahulu dari cerita
ini, pada waktu itu Sang Adipati Tejolaksono sedang
memimpin barisan Panjalu mengadakan pembersihan
terhadap anak buah Sang Wasi Bagaspati. Telah diceritakan
pula betapa Adipati Tejolaksono menyerbu ke Gunung
Merak dan di gunung inilah dia terjebak, roboh oleh Sang
Wasi Bagaspati dan tentu akan tewas di ujung senjata
nenggala mIlik KI Kolohangkoro kalau saja tidak muncul
Sang Bhagawan Ekadenta yang datang bersania Bagus Seta.
Nyawa TejoIaksono tertolong dan baru pertama kali itu
Sang Bhagawan Ekadenta menampakkan diri sehingga
kelihatan oleh Wasi BagaspatI dan Biku Janapati, bahkan
oleh para anak buah mereka. Pihak lawan ter usir dan
Tejolaksono dapat bertemu d ngan puteranya yang telah
pergi selama lima tahun lebih. Telah diceritakan pula
betapa dalam pertemuan ini Bagus Seta memberikan
setangkai bunga cempaka putih dengan pesan agar
diberikannya bunga itu kepada ibundanya, kemudian Bagus
Seta mengikuti gurunya meninggalkan ramandanya yang
memandang penuh kagum dan haru.
Oleh kakek yang maha sakti itu, Bagus Seta dibawa ke
puncak Gunung Mahameru, gunung yang tertinggi di
seluruh Nusantara. Puncak gunung ini tertutup awan putih
dan samar-samar tampak asap yang tak pernah berhenti
mengepul dari kawah di puncak. Dapat dibayangkan betapa
dinginnya puncak yang selalu diselimuti halimun tebal itu,
akan tetapi juga dapat diduga betapa panasnya kawah yang
selalu mengepulkan asap. Namun, di antara pertemuan
kedua hawa yang bertentangan ini, Bagus Seta dituntun
Sang Bhagawan Ekadenta memasuki kawah di puncak
Gunung Mahameru untuk memulai dengan gemblengan
yang akan dIterima-nya sebagai murid sang sakti! Mulai
saat Itu, terbebaslah Bagus Seta daripada dunia ramai,
hidup menggembleng diri seperti hidup di alam khayal,
seolah-olah ia telah menjadi sebagian daripada puncak
Mahameru, menjadi sebagian daripada alam.
-oo0dw0oo- Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik maupun
buruk, manis maupun pahit bagi manusia, sesungguhnya
bukan lain adalah akibat-akibat daripada sebab-sebab yang
dibuat oleh manusia itu sendiri. Nafsu merajalela dalam diri
manusia, menanggulangi kelemahan manusia sehingga
manusia menjadi boneka-boneka atau hamba-hamba nafsu
yang hidup semata-mata untuk melampiaskan dorongan
nafsu. Nafsu membuat manusia menjadi makhluk yang
paling mementingkan pribadi (egois) dan yang selama
hidupnya bersandar kepada sifat ini sehingga tanpa
disadarinya setiap pikiran, setiap perbuatan, setiap ucapan
selalu merupakan penonjolan daripada sifat egoistik ini.
Mari kita renungkan dan bersiap-siap mengenal kelemahan
kita sendiri. Pandangan baik dan buruk, adil dan tidak,
semua dipengaruhi watak kita yang egoistik. Biarpun orang
sekampung menganggap seorang itu jahat, kalau si orang
itu selalu baik terhadap anda, dapatkah anda menganggap
orang itu jahat" Sebaiknya, andaikata orang se kampung
menganggap seseorang itu baik, kalau si orang Itu menjadi
musuh anda, dapatkah anda menganggapnya seorang baik"
Demikian pula tentang anggapan tentang adil atau tidak.
Kalau adil untuk kita, maka kita anggap adil-lah! Atau lebih
tepat, kalau MENGUNTUNGKAN kIta, maka kita anggap
adil. Kalau MERUGIKAN, maka itu tidak adil namanya!
Memang kita (manusia) adalah makhluk-makhluk yang
amat lemah, badut-badut yang selalu menimbulkan lelucon
yang hambar. Hari hujan, Bibi penjual makanan mengeluh,
Paman tani bersorak. Yang seorang menganggapnya buruk
dan tidak adil, yang lain menganggapnya baik dan adil,
sesuai dengan sifat-sifat egoisme masing-masing. Baik atau
tidakkah hari hujan" Adil atau tidakkah" Tidak baik tidak
buruk. Hujan ya hujan! Wajar dan sudah semestinya begitu.
Berbahagialah dia yang dapat menerima segala sesuatu
yang terjadi atas dirinya SEBAGAI SUATU KEWAJARAN! Kerajaan Jenggala diliputi mega mendung yang gelap.
Suasana menjadi keruh oleh pengumbaran nafsu yang
melanda istana. Semua keadaan berbalik karena merajalelanya nafsu. Yang putih nampak hItam, yang
hitam diputihkan. Akibat daripada olah manusia penghamba nafsu yang dipelopori oleh sang prabu di
Jenggala, yang menjadi gelap mata batinnya tanpa
disadarinya, tenggelam ke dalam belaian nafsu yang
digelorakan rayuan Suminten. Kalau kepalanya menyeleweng, tentu ekornya juga terbawa menyeleweng.
Kalau pimpinannya tersesat, pembantu-pembantupya tentu
ikut-ikutan tersesat, karena jalan menuju kemaksiatan
amatlah menyenangkan! Sang prabu mabuk oleh belaian
nikmat, tenggelam dalam pelukan Suminten, tidak
memperdulikan keadaan pemerintahan, bahkan menyerahkan segala urusan kepada selir yang terkasih ini.
Pangeran Kukutan diangkat menjadi putera mahkota,
orang-orang macam Tumenggung Wirokeling dan Tumenggung Sosrogali dijadikan ponggawa tinggi. Bahkan
satu demi satu para ponggawa tinggi digeser dan diganti
oleh orang-orang kepercayaan Pangeran Kukutan sehingga
akhirnya hanya tinggal Ki Patih Brotomenggala yang masih
mempertahankan kedudukannya. Masih berat hati sang
prabu untuk mengganti patihnya yang sudah mengabdi
semenjak pemuda. Namun ki patih. sendiri maklum betapa
ia telah dikurung oleh musuh-musuh yang berbahaya.
Menghadapi musuh yang terang-terangan menentangnya
dengan senjata di tangan, ki patih yang perkasa ini tidak
akan undur selangkah-pun. Namun kini musuh-musuhnya
bergerak secara halus, dan inilah yang amat berbahaya.
Hanya karena kesetiaannya kepada sang prabu saja yang
membuat ki patih masih memaksa diri mengabdi di
Jenggala, untuk melindungi dan membela junjungannya.
Makin besar pengaruh Suminten terhadap sang prabu,
makin berani pula wanita ini mendesak dan memperbesar
kedudukan dan kekuasaannya. Dan ternyata bahwa
Suminten bukan hanya seorang wanita yang gila akan
kedudukan tinggi dan kekuasaan, juga gila akan pria-pria
yang tampan. Untuk menutup ketidakpuasannya bersuamikan seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih
seperti Sang Prabu Jenggala, Suminten tidak saja menarik
Pangeran Kukutan yang muda dan tampan sebagai
kekasihnya, juga pangeran-pangeran lain yang menjadi
sekutu mereka banyak yang ia pikat untuk melayani nafsu
berahinya yang tak kunjung padam! Pengeran Kukutan
tentu saja tahu akan hal ini akan tetapi dia yang telah jatuh
ke dalam kekuasaan Suminten, tidak berani cemburu.
Apalagi kalau diingat bahwa kegilaan pria yang menjadi
watak Suminten ini merupakan semacam senjata yang
ampuh pula untuk menundukkan dan menarik para
pangeran itu menjadi sekutu sehingga kedudukan mereka
menjadi makin kuat! Suminten dan Pangeran Kukutan, sebagai pucuk
pimpinan komplotan yang bercita-cita menguasai Kerajaan
Jenggala ini, maklum bahwa kekuasaan mereka sudah
cukup besar. Sebagian besar para ponggawa tinggi adalah
kaki tangan mereka sehingga sebagian besar perajurit
barisan Jenggala otomatis berada di bawah kekuasaan
mereka. Kalau mereka bergerak dan terjadi bentrokan,
mereka akan menang. Akan tetapi Suminten yang cerdik
tidak mau mempergunakan kekerasan.
"Jangan terburu nafsu, Pangeranku yang gagah!" katanya
mencela sambil membelai rambut Pangeran Kukutan yang
merebahkan kepala di atas pangkuan sepasang paha yang
bulat lunak Itu. "Betapapun kuat kedudukan kita, masih ada
rintangan yang amat besar, yaitu Ki Patih Brotomenggolo
dan antek-anteknya. Mereka ini masih memiliki pasukan
pilihan yang masih bersetia kepada raja."
"Kita tidak perlu takut, Dewiku yang jelita," kata
Pangeran Kukutan - sambil melingkari pinggang ramping
yang sudah amat dikenalnya itu dengan lengannya,
"Kalau sampai terjadI perang, pasukan kita lebih banyak
dan kawan-kawan kita bergerak dari dalam, mudah saja
menguasai istana dalam waktu singkat. Adapun Si tua
bangka itu, aku sendirI sanggup untuk mencekiknya sampai
mampus." "Hiss .......... !" Suminten menunduk dan menggunakan
sepasang bibirnya yang merah dan manis itu untuk
menutup mulut kekasihnya. Sejenak mereka berciuman.
Kemudian Suminten mengangkat mukanya dan berblsik,
"Jangan bodoh, Pangeran. KIta tidak boleh terlalu
mengandalkan kekerasan. Mungkin kita bisa menang
menghadapi pasukan Jenggala yang masih setia kepada
sang prabu. Akan tetapi kita harus waspada dan ingat
kepada Panjalu. Apakah engkau kira Panjalu akan diam
saja kalau Jenggala direbut dengan kekerasan" Dan kita
tahu. betapa kuatnya Panjalu, apalagi setelah Adipati
Tejolaksono menjadi patih muda di sana. KIta tentu akan
dipukulnya dan akan hancur sebelum sempat menikmati
kemenangan kita .......... "
Wajah Pangeran Kukutan menjadi pucat dan ia bangkit
duduk. "Ah, kau benar juga, Dewiku .......... " Pangeran
hanya gagah kalau menghadapi lawan yang lemah,
sebetulnya dia seorang pengecut yang belum apa-apa sudah
mundur ketakutan menghadapi lawan yang kuat. "Habis,
bagaimana baiknya?" "Tenanglah, Pangeran Pati! Engkau kan sudah menjadi
putera mahkota, perlu apa tergesa-gesa" Kalau kekuasaan
itu berpindah ke tangan kita, hal itu harus berlangsung
secara wajar dan tanpa ada kekerasan sehIngga Panjalu
akan menerimanya pula dengan baik. Sekarang kita harus
bersabar dan memperbesar dukungan. Hanya ki patih dan
antek-anteknya yang masih menjadi duri dalam daging
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
.......... dan .......... sang permaisuri!"
"Memang ki patih dan ibunda permaisuri agaknya
memusuhi kita. Akan tetapi mereka itu terlalu kuat
kedudukan mereka dan ramanda prabu terlalu sayang
kepada mereka. Betapa mungkin menghalau mereka keluar
Istana?" "Eh, wong bagus, mengapa bingung" Serahkan saja
mereka Itu kepadaku, dan kelak akan tiba masanya mereka
jatuh ke tangan Suminten! Hanya Panjalu yang kukhawatirkan .......... " Suminten menghentikan katakatanya karena pangeran itu kembali telah memeluknya
dan membelainya, yang membuatnya sesak napas.
Napasnya selalu menjadi sesak oleh dorongan nafsu apabila
tubuhnya dibelai tangan-tangan pria muda yang sekaligus
menghapus kekecewaan dan kemuakannya dalam melayani
sang prabu yang sudah tua. Kedua orang yang sudah
dimabuk nafsu ini mengadakan pertemuan di dalam kamar
Suminten. Kini mereka lebih berani, tidak lagi mengadakan
pertemuan rahasia di taman sari, karena selain mereka
yakin bahwa malam Itu sang prabu yang makIn lemah
tubuhnya tidak akan datang ke kamar Suminten, juga
andaikata sang prabu datang, tentu lebih dulu mereka akan
diperingatkan oleh para emban dan pengawal yang menjaga
ketat. Pendeknya, mereka itu terjaga dan aman oleh para
abdi yang sudah mereka percaya penuh. Setiap mengadakan pertemuan, mereka bermain cinta semalam
suntuk dengan hati tenteram di dalam kamar yang indah
dan mewah itu. Dapat dibayangkan betapa kaget
hati kedua orang khianat ini ketika
tiba-tiba terdengar suara ketawa di
luar jendela kamar yang tadi
sengaja mereka buka karena hawa
udara malam hari itu agak panas.
Mereka yakin bahwa tidak akan
ada seorangpun abdi yang akan
berani mendekatI jendela karena
hal itu berarti mempertaruhkan
nyawa. Akan tetapi sekarang tiba-tiba ada orang tertawa di
luar jendela, disusul suara seorang laki-laki yang halus
penuh ejekan, "Dua orang muda yang masih hijau hanya mengandalkan kenekatan dan keberanian, tanpa menggunakan kecerdikani Jika tidak kubantu, mana
mungkin tercapai cita-cita dan dapat menanggulangi
Panjalu" Ha-ha-ha!"
Pangeran Kukutan terkejut dan cepat melepaskan
pelukannya, menyambar sebatang tombak di sudut kamar
lalu meloncat keluar jendela itu sambil membentak,
"Keparat! Siapa berani kurang ajar?"
Akan tetapi terdengar suara gedobrakan dan tubuh
Pangeran Kukutan terpelanting kembali ke dalam kamar
karena ada tangan yang amat kuat mendorongnya dari luar
jendela, kemudian disusul melayangnya sesosok tubuh
seorang pria yang tampan dan gagah. Pangeran Kukutan
yang terbanting ke atas lantai, cepat meloncat berdiri, dan
bersama Suminten dia memandang orang itu dengan mata
terbelalak. Orang itu adalah seorang laki-laki berusia antara
empat puluh tahun, tampan dan gagah, sikapnya tenang
sekali, wajahnya berseri, senyumnya memikat dengan
kumisnya yang tipis menghias di atas bibir. Sungguh
seorang pria yang tampan dan gagah, dan pandang matanya
yang ditujukan kepada Suminten membuat wanita ini
berdebar karena pandang mata itu demikian penuh
pengertian dan penuh daya tarik. Seorang pria yang jantan
dan matang! Akan tetapi Pangeran Kukutan yang amat marah itu
berseru keras, tombak-nya bergerak menusuk dada yang
telanjang itu. Pria itu hanya tersenyum memandang, sama
sekali tidak mengelak. "Desss! Krakkk .......... "
Tombak yang menusuk dada yang bidang itu meleset
kemudian gagangnya patah! Terbelalak Pangeran Kukutan
memandang gagang tombak yang berada di tangannya,
wajahnya pucat sekali dan Suminten menahan jerit
menutupi mulut dengan tangan. Laki-laki itu tersenyum
lebar dan berkata, "Kalau sekarang kutangkap kalian berdua, lalu kuadukan
kepada sang prabu, nasib apakah yang akan menanti kalian"
Dibakar hidup-hidup" Atau dipenggal leher?"
Makin pucat wajah Pangeran Kukutan, teringat ia akan
pengawalnya, maka ia lalu membuka mulut berseru
memanggil para pengawal. Akan tetapi malam tetap sunyi,
tidak ada jawaban para pengawal. Pria itu tersenyum dan
menggeleng-geleng kepala, melangkah ke pintu kamar dan
sekali dorong pintu kamar terbuka.
"Lihatlah. Seluruh pengawal dan abdimu telah pulas.
Percuma andika berteriak Pangeran. Dan hentikan terlakteriakanmu. Bagaimana kalau yang datang itu pengawal
istana dan melihat kalian di dalam kamar ini" Apalagi kalau
ki patih yang banyak memasang mata-mata sampai
mengetahui pertemuan rahasia ini. Hemm .......... akan
ramai!" Pangeran Kukutan makin ketakutan dan hendak nekat
melarikan diri, akan tetapi Suminten sudah menyentuh
lengannya, kemudian wanita ini meiangkah maju
menghampiri pria itu yang sudah menutupkan kembali
daun pintu di depan mana para pengawal telah tidur pulas
dalam keadaan tidak wajar, ada yang duduk dan ada yang
berdiri bersandar dinding!
"Siapakah andika" Dan apa maksud kedatangan andika
seperti ini?" Sebelum menjawab laki-laki itu memandang ke arah
Suminten. Kamar itu diiterangi oleh sebuah lampu yang
dibung:us sutera merah sehingga sinarnya kemerahan.
Dengan pakaiannya yang kusut, Suminten kelihatan cantik
jelita di dalam cahaya kemerahan. Laki-laki Itu memandang dengan pandang mata tajam penuh selidik.
Suminten membalas pandang mata itu dan merasa betapa
bulu-bulu di tubuhnya bergerak merinding. Pandang mata
laki-laki itu menjelajahi seluruh tubuhnya, seolah-olah jarijari tangan yang membelai dan menyentuh mesra. Belum
pernah ia bertemu dengan pria yang dapat membelainya
hanya dengan pandang matanya, dan dapat membuat
jantungnya berdebar, kulit tubuhnya merinding hanya
dengan ulasan pandang mata!
"Cantik jelita! Hati siapa takkan tergila-gila" Pantas
.......... , memang patut, dilabuhi pati (dibela sampai mati)
setiap orang pria! Andika yang bernama Suminten, bukan"
Dan dia ini adalah Pangeran Kukutan, yang kini menjadi
putera mahkota" Ketahuilah, saya bernama Raden
Warutama dari Bali-dwipa."
"Maksud kedatanganmu seperti ini?" kata Suminten,
sikapnya tenang sekali. Wanita ini memang hebat. Dalam
keadaan seperti itu, sebentar saja ia telah dapat menguasai
dirinya dan dapat bersikap tenang, berbeda dengan
Pangeran Kukutan yang menjadi gellsah sekaIi. DIam-diam
Raden Warutama menjadi kagum sekali dan mengertilah ia
mengapa wanita ini dapat menguasai keadaan di dalam
istana Jenggala, kiranya memang bukan wanita sembarangan. "Maksud kedatanganku" Tidak lain hendak membantu
cita-citamu! Kalian tadi mengatakan jerih menghadapi
Panjalu, jerih menghadapi Tejolaksono. Tanpa bantuanku,
cita-cita kalian takkan terlaksana. Akulah orangnya yang
akan dapat membuat Pangeran Kukutan kelak menjadi raja,
andika menjadi permalsurinya, dan aku .......... ha-ha, aku
menjadi patihnya. Bukan hanya Raja Jenggala, melainkan
Raja Jenggala dan Panjalu menjadi satu!"
Suminten mengerutkan alisnya yang menjelirit (kecil
panjang hitam), memandang tajam dan berkata, "Raden
Warutama, ucapanmu yang muluk-muluk hanya membayangkan kesombongan yang tak berIsi. Mungkin
andika memiliki sedikit kedigdayaan sehingga sanggup
mengalahkan Pangeran Kukutan, akan tetapi andika terlalu
memandang remeh Panjalu. Apakah dengan sedikit
kedigdayaanmu dan sikap menarlkmu itu Panjalu akan
dapat ditundukkan dengan mudah" Hendaknya andika
jangan menjual !agak di sini, karena aku bukanlah seorang
wanita yang mudah roboh oleh bujuk rayu!"
Makin kagum Raden Warutama. Wan!ta hebat seperti
ini jarang dapat ditemukan dan akan menjadi sekutu yang
amat berguna. "Bagus sekali, memang tepat apa yang paduka katakan,
wahai Sang Dyah Ayu. Dan paduka sang pangeran, harap
maafkan kelancangan saya tadi. Kini, mari kita bicara
dengan sungguh-sungguh, karena kedatanganku membawa
amanat penting sekali yang akan menguntungkan kita
bersama." Pangeran Kukutan masih ragu-ragu, akan tetapi
Suminten yang maklum bahwa mempergunakan kekerasan
terhadap orang ini tidak akan ada gunanya, apa-lagi karena
semua abdl dan pengawal telah terkena sirep yang amat
ampuh, lalu tersenyum ramah dan berniat untuk
menghadapinya dengan jalan halus. "Silahkan, Raden.
Mari kita bicara dengan sungguh-sungguh. Duduklah."
Mereka bertiga kini sudah duduk berhadapan. Raden
Warutama dan Pangeran Kukutan di atas bangku-bangku
terbungkus sutera halus, adapun Suminten sendiri duduk di
atas pembaringan yang lunak dan halus bertilam sutera
merah jambon. "Sebelum bicara tentang persekutuan, hendaknya paduka
berdua mengetahui bahwa sesungguhnya saya adalah
seorang anak kemenakan mendiang Sang Patih Narotama."
"Ahhh .......... I" Seruan ini keluar dari mulut Pangeran
Kukutan yang dalam hal menekan perasaan masih kalah
jauh oleh Suminten yang tetap tenang. Seruan ini adalah
seruan kaget, karena Pangeran Kukutan yang sesungguhnya
bukan keturunan Sang Prabu Jenggala, mengira bahwa
keponakan Narotama yang- setia kepada raja itu tentu saja
akan membela sang prabu. la lupa dalam kegugupannya
bahwa Warutama tentu saja .tidak tahu bahwa dia
bukanlah keturunan sang prabu.
Bagi Warutama sendiri, seruan disangkanya seruan kaget
dan girang maka ia tersenyum dan berkata kepada
Pangeran Kukutan. Jilid XXVI "NAH, paduka kini mengerti bahwa di antara paduka
dan saya terdapat pertalian yang dekat, Pangeran. Paman
Narotama adalah seorang ponggawa yang amat setia
kepada mendiang Sang Prabu Airlangga, bukankah sudah
tepat sekali kalau kelak Paduka, sebagai cucu Sang Prabu
Airlangga, mempunyai seorang patih seperti hamba" Dan
karena saya keturunan Narotama itulah yang membuat
saya datang jauh-jauh dari Bali- dwipa untuk menghambakan diri kepada bekas Kerajaan Mataram.
Namun, setelah tiba di Jenggala, saya menyaksikan
kenyataan yang amat mengecewakan. Bekas Mataram telah
terpecah dua, dan dlrajai oleh keturunan Sang Prabu
Airlangga yang ternyata tidak dapat mengurus kerajaan
sehingga selalu terjadi kekacauan-kekacauan. Setelah saya
mendengar akan cita-cita mulia paduka 'berdua, saya
melihat cahaya terang. Pangeran Kukutan, sebagal calon
raja, paduka adalah keturunan Sang Prabu Airlangga, dan
kelak padukalah, dengan bantuan saya, yang akan
mengembalikan keutuhan Kahuripan, kembali seperti di
masa jaman Mataram."
Lega hati Pangeran Kukutan, Akan tetapi Suminten
cepat bertanya, "Raden, andika belum menerangkan betapa caranya
untuk menundukkan kedua kerajaan. Jenggala sudah jelas
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan dirajai oleh Pangeran Kukutan, akan tetapi Panjalu
.......... ?" "Ha-ha-ha, Sang Dyah Ayu Suminten jangan khawatir.
Saya telah mempunyai rencana yang amat bagus dan sudah
pasti akan berhasil. Kita harus dapat memperkuat
kedudukan dan pengaruh di Jenggala leblh dahulu sehingga
segala sesuatu berIangsung dengan wajar, tidak menimbulkan kecurigaan Panjalu. Kelak, kalau Sang Prabu
Jenggala .......... , maaf, yaitu suami dan junjungan paduka
sang puterl, telah meninggal dunia dan paduka pangeran
telah menjadi raja di sini, barulah kita gempur Panjalu.
Untuk itu, kalau saya yang menjadi patihnya, sungguh
gampangnya seperti membalik telapak tangan sendiri saja.
Ketahuilah bahwa bala tentara Sriwijaya dan Cola sudah
siap, dan para pemimpinnya yang maha sakti adalah
sahabat-sahabat baik saya?""."
"Sriwijaya dan Cola .......... " Musuh-musuh besar itu
.......... ?" kata Pangeran Kukutan, wajahnya berubah pucat.
"Ha-ha-ha! Itulah namanya siasat, Pangeran! Menjadikan musuh sebagai kawan dalam menghadapi
musuh baru, itulah siasat yang amat baik dan sukar.
Pendeknya, paduka serahkan saja kepada hamba, baik
sekarang dalam perkembangannya maupun kelak kalau
sudah tercapai cita-cita pertama paduka. Tidak percuma
hamba menjadi keponakan sang bijaksana Narotama,
Pangeran!" "Hemmm, kami baru saja berjumpa dengan andika
malam ini. Betapa kami dapat menjenguk isi hatimu, dapat
membuktikan kesetiaanmu dan iktikad baikmu?" kata pula
Pangeran Kukutan. Raden Warutama tersenyum sambil melIrik ke arah
Suminten yang masih diam saja, kemudian menjawab,
"Hamba sudah membuktikan iktikad baik hamba dengan
mengajak paduka bersekutu, andaikata hamba berniat
buruk, apa sukarnya bagi hamba untuk membunuh paduka
dan menculik sang puteri" Ha-ha-ha, hendaknya paduka
dapat mempertimbangkan hal ini dengan kecerdikan."
Pangeran Kukutan membungkam. Memang ada benarnya ucapan ini. Sudah jelas bahwa orang ini amat
digdaya dan kalau mempunyai niat buruk, sukar baginya
meloloskan diri. Kini Suminten yang berkata, suaranya
penuh kesungguhan dan sekalIgus merupakan tuntutan.
"Iktikad baik sudah terbukti, namun kesetiaan dan
kejujuran masih harus dibuktikan. Bagaimanakah rencana
andika untuk dapat kami percaya?"
"Sudah ada rencana saya yang amat baik. Untuk
membuktikannya, saya akan menjalankan siasat agar Ki
Patih Brotomenggala yang tua itu dapat disingkirkan dari
Jenggala, bahkan dihukum mati oleh sang prabu sendiri,
dan sang prabu akan dengan suka hati menerima saya
sebagai seorang ponggawa yang dipercayai".
"Bagaimana caranya?"
Raden Warutama tersenyum, kemudian mendekat dan
berbisik-bisik didahului kata-kata yang ia tujukan terhadap
Suminten, "Dalam hal ini, hanya dengan bantuan paduka
akan berhasil." Kemudian dia membisikkan rencana
siasatnya yang didengarkan oleh kedua orang itu dengan
wajah berseri. Diam-diam Suminten memuji orang ini
sebagaI seorang pembantu yang amat berharga, apalagi
yang memiliki daya tarik hebat sebagai seorang pria yang
sudah matang segala-galanya. Pangeran Kukutan juga
kagum, akan tetapi diam-diam pangeran ini mengambil
keputusan di dalam hatinya untuk kelak mengenyahkan
orang yang baginya amat berbahaya. Maka berundinglah
tiga orang ini dan menjelang pagi barulah Raden Warutama
keluar dari dalam kamar itu. Di luar pintu ia menengok
kepada Suminten dan berbisik,
"Bilakah saya dapat mengharapkan anugerah dari
paduka pribadi atas jasa saya?"
"Tidak ada anugerah jasa diberikan sebelum jasa itu
sendiri dilaksanakan."
"Paduka tidak akan mengingkari janji?"
"Bagaimana diingkari kalau janji itu sendiri merupakan
bayangan yang amat menyenangkan?"
"Terima kasih." Setelah bertukar senyum, Warutama
berkelebat lenyap di dalam gelap.
"Dia .......... dia sakti dan berbahaya .......... " kata
Pangeran Kukutan. Suminten menoleh kepadanya, kemudian menggandeng
lengannya, diajak memasuki kamarnya. "Makin banyak
orang sakti membantu, makin baiklah bagi kita. Tentang
bahaya .......... apakah engkau cemburu, wahai kekasihku?"
"Tidak .......... ! Tidak, Wong Ayu. Tidak cemburu
.......... , karena aku tahu bahwa betapapun juga, kau tetap
butuhkan aku seperti aku membutuhkanmu!"
"Ucapan bijaksana, patut diberi ganjaran. Jangan pulang
dulu, malam masih panjang, dan pagi ini dingin sekali ...."
Mereka berpelukan sambil memasuki kamar. Pintu kamar
ditutup dan sunyilah yang menyusul.
-oo0dw0oo- Rombongan yang megah itu di sepanjang jalan
mendapat sambutan rakyat. Timbullah pula harapan rakyat
yang tadinya merasa gellsah dan putus asa karena selama
sang prabu di Jenggala tidak mengacuhkan pemerintahannya, mereka ini hidup tertindas dan tertekan
oleh para penguasa setempat. Sudah terlalu lama sang
prabu hanya tinggal di dalam istana, tidak pernah keluar
dan tidak pernah mengurus soal-soal yang menyangkut
pemerintahan dan tidak pula memperdulikan nasib
rakyatnya. Kini, melihat rombongan sang prabu yang hendak
melakukan perburuan ke hutan, hati rakyat menjadi lega
dan mengira bahwa tentu kini sang prabu sudah tidak
"mengasingkan diri" lagi. Selama ini, para petugas dan
penjabat selalu mendesas-desuskan bahwa karena usianya
sudah tua, sang prabu mulai tekun bertapa maka tidak lagi
mengurus pemerintahan. Berduyun-duyun rakyat keluar
menyambut dan hati mereka terharu menyaksikan tubuh
tua kurus dan muka pucat tak bersemangat itu. Juga mereka
kagum menyaksikan kemudaan dan kesegaran yang
terpancar dari wajah Suminten, selir terkasih yang amat
terkenal dan yang kini menjadi orang paling berkuasa di
dalam istana. Atas bujukan dan desakan Suminten, akhirnya sang
prabu yang sudah tua itu berkenan memerintahkan para
pengawal membuat persiapan karena sang prabu hendak
berpeslar bersama selirnya dan pergi berburu binatang di
hutan. Tadinya Ki Patih Brotomenggala sendlri hendak
mengantarkan dan mengawal junjungannya, akan tetapi dia
dicegah oleh Pangeran Kukutan yang berkata dengan suara
tegas, "Tak usah Paman Patih mengawal, karena Paman
sendiri sudah sepuh (tua). Biarlah saya sendiri mengawal
ramanda prabu! Tidak ada bahaya mengancam ramanda
prabu, yang lebih penting menjaga keamanan istana. Harap
Paman Patih menjaga di istana, sedangkan saya yang
mengepalai para pengawal."
Di dalam hatinya, Ki Patih Brotomenggala merasa
khawatir sekali. Kiranya di antara semua ponggawa, hanya
dia seoranglah bersama sang permaisuri yang dapat
mengenal kepalsuan Pangeran Kukutan dan Suminten.
Akan tetapi sang prabu telah menyambut ucapan Pangeran
Kukutan dan memerintahkan agar pengawalan dilakukan
oleh sang pangeran, dia tidak berani membantah.
Betapapun juga, Ki Patih Brotomenggala bukan seorang
bodoh. Diam-diam dia telah memerintahkan pasukan
pilihannya yang terdiri dari dua belas orang pilihan dan
dlgdaya untuk membayangi kepergian sang prabu, secara
sembunyi melindungi keselamatan junjungannya.
Hati ki patih agak lega ketika barisan pengawal yang
berjumlah tiga puluh orang itu adalah pengawal-pengawal
istana yang ia percaya merupakan orang-orang yang masih
setia kepada sri baginda dan belum "terbeli" oleh Suminten
dan Pangeran Kukutan. Maka patih yang setia dan sudah
berusia tua ini mengantar keperglan sang prabu dengan
penuh harapan mudah-mudahan kalau sang prabu
menyaksikan rakyatnya dari dekat, hal in! Akan
menggugahnya. Tak dapat disangkal lagi, sang prabu menjadi amat
terharu menyaksikan keadaan rakyat yang dilanda
kemiskinan, melihat tubuh rakyatnya kurus-kurus dan
melihat wajah yang kurus pucat dengan sinar mata
mengandung penuh harapan ditujukan kepadanya. Suminten yang cerdik pandai itu sengaja membawa bekal
uang receh (kecil) beberapa kantung dan dibagi-bagikan
uang itu kepada rakyat di sepanjangn jalan. Melihat ini,
sang prabu menjadi girang dan memuji kemurahan hati
selirnya yang terkasih. Juga Pangeran Kukutan membagibagi uang kepada rakyat sehingga rakyat bersorak gembira
dan segera menjadi buah tutur mereka betapa murah hati
adanya selir sang prabu dan Pangeran Pati Kukutan.
Iring-iringan itu memang megah dan indah. Karena sang
prabu sudah tua dan sudah tidak setangkas dahulu sehingga
mengkhawatirkan kalau menunggang kuda dan memburu
binatang, dan terutama sekali sang prabu membawa
selirnya yang tak boleh dipisahkan dari sisi sang prabu,
maka dalam perjalanan ini sang prabu dan selirnya
menggunakan kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda.
Sang prabu mengenakan pakaian berburu dan di
punggungnya tampak busur dan anak panah, di
pinggangnya tergantung sebatang pedang dan tombak
bersandar di dalam kereta. Adapun Suminten yang
mendapat kesempatan keluar istana, tidak menyianyiakan
kesempatan bersolek sebagus-bagusnya sehingga rakyat
memandangnya dengan mata terbelalak kagum. Pangeran
Kukutan yang tampan dan gagah menunggang seekor kuda
putih yang tinggi besar, juga berpakaian pemburu dengan
senjata lengkap di tubuh. Tiga puluh orang pengawal itu
rata-rata bertubuh tinggi tegap, merupakan pasukan
pengawal yang kuat dan terpercaya.
Pada masa itu, hutan tempat berburu sang prabu
merupakan daerah terlarang. Tidak ada seorang pun berani
melakukan perburuan di hutan ini. Karena sudah bertahuntahun sang prabu tidak pernah berburu, maka hutan itu
penuh dengan binatang-binatang yang berkembang biak dan
begitu rombongan memasuki hutan, mereka ini menjadi
amat gembira menyaksikan banyaknya binatang di hutan
itu. Rombongan kijang yang gemuk-gemuk lari cerai-berai,
kancil, kelinci, harimau, dan babi hutan merupakan sasaran
yang lunak. Juga banyak sekali burung-burung besar yang
menantang bukti kemahiran para pemanah. Pangeran
Kukutan segera menghujankan anak panahnya dengan
amat gembira. Juga sang prabu timbul kegembiraannya,
teringat masa mudanya dan raja yang sudah tua ini berkalikali melepas anak panah dari dalam kereta, dipuji-puji oleh
Suminten setiap kali anak panah ada yang mengenai
sasaran, merobohkan seekor kijang atau kelinci.
Ketika ada seekor harimau gembong terjebak masuk ke
dalam kurungan para pengawal yang berbaris mengelilinglnya dengan tombak di tangan, sang prabu
menjadi amat gembira sehingga dia turun dari kereta,
membawa tombaknya dan ikut mengeroyok harimau itu
yang akhirnya roboh tewas dengan tubuh penuh luka-luka
karena ke manapun ia lari, mata tombak yang runcing
menghunjam ke tubuhnya. Sorak-sorai para pengawal
membuat burung-burung hutan terbang ketakutan.
Tiba-tiba terdengar jerit-jerit kesakitan, disusul teriakanteriakan marah dan keadaan menjadi kacau-balau. Dalam
sekejap mata, para pengawal sudah berperang tanding
melawan serbuan banyak sekali orang-orang yang berkepala
gundul! Melihat ini, Pangeran Kukutan cepat melompat
turun dari kudanya, membawa sang prabu kembali ke
dalam kereta, di mana sang prabu memandang dengan
wajah pucat, berdekapan dengan Suminten yang menggigil
ketakutan. "Jangan khawatir, Ramanda Prabu. Hamba menjaga di
sini!" kata Pangeran Kukutan dengan sikap gagah, berdiri
melindungi kereta sambil melintangkan tombaknya setelah
cepat-cepat ia melepaskan empat ekor kuda yang menarik
kereta karena takut kalau-kalau empat ekor kuda itu
menjadi ketakutan dan membalapkan kereta.
"Tenanglah, Manis. Tenanglah ........., jangan takut. Para
pengawal kita akan membasmi pengacau-pengacau itu!"
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sang prabu menghibur sambil merangkul leher kekasihnya.
"Entah siapakah mereka yang begini kurang ajar berani
menggangguku!" Karena bersembunyi di dalam kereta, sang prabu tidak
dapat menyaksikan pertandingan yang mati-matian antara
pasukan pengawal dan orang-orang berkepala gundul yang
jumlahnya lebIh dari tiga puluh orang itu. Tidak melihat
betapa pasukan pengawal yang setia itu membelanya matimatian, namun kalah kuat oleh para penyerbu yang ratarata memiliki tubuh kebal dan keberanian yang luar biasa.
Kalau hanya terpukul dan tertusuk tombak menimbulkan
lecet kulit dan pecah daging saja tidak membuat mereka
undur, dan mereka yang tertusuk sampai keluar ususnya
atau tertembus tubuhnya, roboh berkelojotan dan mati,
barulah menghentikan amukannya. Menghadapi serbuan
orang-orang nekat seperti ini, para pengawal terdesak hebat.
Tiba-tiba muncul dua belas orang gagah perkasa yang
berpakaian serba hitam. Mereka ini bukan lain adalah
pasukan pilihan yang diutus ki patih untuk diam-diam
melindungi sang prabu. Munculnya dua belas orang pilihan
ini merubah keadaan. Mereka ini mainkan golok mereka
dengan tangkas dan para penyerbu yang berkepala gundul
itu segera terdesak, banyak di antara mereka roboh
termakan golok. Akan tetapi, segera terdengar bentakanbentakan buas dan muncul .tiga orang yang amat hebat
sepak-terjangnya, bahkan dengan tangan kosong tiga orang
ini menyambut dua belas orang pengawal baju hitam. Yang
seorang adalah seorang laki-laki yang tampan dan gagah,
yang ke dua seorang licki-laki bertubuh raksasa dan yang ke
tiga seorang wanita cantik. Cepat dan ampuh sekali pukulan
mereka ini sehingga dalam waktu singkat, sebelas orang
pengawal baju hitam roboh tewas dan hanya seorang di
antara mereka yang tempat melarikan diri menggondol luka
pukulan tangan Ni Dewi Nilamanik yang membuat separuh
dadanya menjadi gosong menghitam. Ya, tiga orang itu
bukan lain adalah Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro,
dan Raden Warutama sendiri! Setelah kedua belas orang
pengawal baju hitam itu terbasmi habis, mereka bertiga pun
cepat menyelinap bersembunyi, membiarkan barisan gundul
itu berperang tanding melawan para pengawal kerajaan.
Perang tanding yang amat hebat, yang seru dan liar buas.
Para pengawal bertanding mati-matian, melawan musuh
yang lebih banyak dan lebih kuat. Koran-korban kedua
fihak berjatuhan. Sejam mereka berperang tanding dan
akhirnya, orang penghabisan fihak pengawal menjerit
dengan perut robek. Tiga puluh orang pengawal itu tewas
semua dan di fihak penyerbu, hanya bersisa sepuluh orang
gundul yang seluruh tubuhnya berlepotan darah, sedikit
darah mereka sendiri yang keluar dari luka-luka di tubuh,
sebagian besar darah lawan yang mereka robohkan dan
tewaskan. Kini sepuluh orang itu dengan roman buas dan
golok di tangan menghampiri kereta!
Pangeran Kukutan dengan sikap gagah menerjang maju
ketika sepuluh orang itu mengurung kereta. Ia disambut
oleh empat orang gundul dan terjadilah pertempuran hebat
ketika pangeran itu dikeroyok. Sedangkan enam orang
gundul yang lain menghampiri sang prabu dan Suminten.
Raya yang tua itu bangkit semangatnya melihat bahaya
mengancam. Ia sudah melolos pedangnya, lengan kiri
memeluk pinggang Suminten, tangan kanan memegang
pedang siap melakukan perlawanan. Tiba-tiba Suminten
merenggut dirinya terlepas dan berdiri menghadang di
depan sang prabu. "Jangan bunuh.......... ! Kami menyerah .......... !"
teriaknya, kemudian ia memegang lengan kanan sang prabu
dan berbisik, "Harap paduka melepas pedang, tiada
gunanya melawan. Lebih baik menyerah."
Sang prabu mengerling ke arah Pangeran Kukutan dan
ternyata pangeran itu telah kehilangan tombaknya dan kini
sudah ditangkap oleh para pengeroyoknya. Sang prabu
menarik napas panjang dan melempar pedang, akan tetapi
berdiri dengan sikap agung dan angkuh. Orang-orang
gundul itu menangkap sang prabu dan Suminten dan
mereka bertiga telah dlikat kedua tangan mereka di
belakang tubuh, lalu digiring keluar dari tempat itu. Dengan
sikap kasar sepuluh orang gundul itu lalu mengikat tubuh
mereka pada batang pohon, masing-masing terpisah dua
meter. "Kalian siapakah" Mengapa menyerbu dan menangkap
kami?" Sang prabu bertanya, suaranya keras dan sama
sekali tidak kelihatan takut.
Seorang di antara orang-orang gundul itu menghampiri
sang prabu dan tertawa menyeringai. Kemudian, dengan
suara yang parau ia menjawab,
"Kami anak buah Brotomenggala!"
"Tidak mungkin.......... !!!" Sang prabu membentak dan
membelalakkan mata penuh kekagetan dan keheranan.
"Ha-ha-ha, Brotomenggala yang memerintahkan kami
menangkap Paduka. Paduka dan Pangeran Mahkota akan
kami sembelih dan wanita ini dihadiahkan kepada kami.
Ha-ha!" "Bohong! Kalian ini perampok-perampok laknat yang
bohong!" Sang prabu membentak penuh kemarahan.
"Bohong" Paduka saksikanlah!" Si gundul yang tinggl
besar ini lalu menghampiri Suminten, tangan kirinya
meraih dan menarik keras-keras, "Brettt .......... !"
Bagian depan pakaian atas yang dipakai Suminten robek
sehingga tampak sebagian dadanya. Suminten menjerit dan
merintih perlahan, menangis.
"Tahan .......... !" Sang prabu membentak dan berusaha
meronta-ronta. Juga Pangeran Kukutan meronta-ronta.
Dua orang gundul menghampiri mereka dan menodongkan ujung golok ke dada mereka penuh ancaman. "Jangan bergerak!" Dua orang ini membentak. "Tahan .......... jangan
lakukan itu .........! Aku
berjanji, demi kedudukanku sebagai Raja Jenggala. Kalau kalian membebaskan kami, aku akan memberi hadiah apa saja yang kalian minta!"
"Ha-ha-ha!" Si gundul yang menjadi pemImpin mereka
bergelak. "Ki Patih Brotomenggala sudah menjanjikan
hadiah terbesar bagi kami. Lebih baik kami sembelih kalian
ayah dan putera terlebih dahulu agar jangan mengganggu
kesenangan kami!" Si gundul kini mengangkat golok
menghampiri sang prabu. Betapapun tabahnya, kini sang
prabu menjadi pucat. "Tunggu sebentar .......... !" katanya perlahan. "Aku tidak
takut mati, akan tetapi sebelumnya katakan mengapa
Kakang Patih Brotomenggala melakukan penghianatan ini!"
"Paduka masih bertanya lagi" Ha-ha-ha! Sudah bertahuntahun paduka menyakitkan hati Ki Patih Brotomenggala.
Paduka membunuh putera mantunya, dan paduka memilih
putera mahkota yang tidak dikehendakinya! Apakah
paduka kira ki patih tidak mempunyai cita-cita" Ha-ha-ha
.........!" "Brotomenggala penghianat ?".!" Pangeran Kukutan
memaki marah. "Sudah hamba katakan berkali-kali, akan tetapi paduka
tak percaya .......... " kata pula Suminten di antara isaknya.
Sang prabu menghela napas panjang. "Aahhh, siapa
mengira.......... ! Kakang Patih Brotomenggala ?""! Ah,
Kisanak. Lakukanlah tugasmu. Kamu hanya petugas. Nah,
aku siap menerima kematian akibat penghianatan seorang
manusia durhaka!" Si gundul itu tertawa lagi lalu mengangkat goloknya
tinggi-tinggi. Sang prabu membela-lakkan mata, bersikap
seperti seorang di saat terakhir. Akan tetapi sebelum golok
itu menyambar turun, tiba-tiba si gundul menjerit aneh dan
tubuhnya roboh terjengkang, sebatang anak panah
menancap di tenggorokannyal Pada saat berikutnya,
sesosok bayangan berkelebat seperti seekor garuda
menyambar dan begitu bayangan ini menggerakkan kaki
tangannya, dua orang gundul kembali roboh, yaitu mereka
yang menjaga Pangeran Kukutan dan Suminten. Orang ini
bukan lain adalah Raden Warutama!
Sang prabu memandang dengan heran dan kagum
kepada pria perkasa yang kini mengamuk, dikeroyok tujuh
orang gundul yang bersenjata golok. Bagaikan seekor
burung srikatan saja tubuhnya cepat berkelebatan,
sedikitpun tidak memberi kesempatan kepada para
pengeroyoknya. Tiba-tiba sinar hijau berkelebat dan
ternyata itu adalah sebatang keris luk tujuh yang bersinar
hijau dan dipegang oleh pria itu. Begitu sinar itu berkelebat,
secara berturut-turut robohlah lima orang gundul. Pria itu
masih mengamuk, akan tetapi tiba-tiba Pangeran Kukutan
berseru, "Ksatria yang perkasa, harap tawan hidup-hidup dua
orang itu!" Pria itu menoleh, tersenyum, lalu kakinya bergerak
menendang. Dua orang gundul terguling roboh, golok
mereka mencelat dan setelah menyimpan kerisnya, pria itu
lalu menelikung lengan mereka ke belakang, mengikat
tangan mereka mempergunakan robekan pakaian mereka
sendiri. Kemudian dengan sikap penuh hormat ia
melepaskan belenggu sang prabu, Suminten, dan Pangeran
Kukutan. "Mohon ampun bahwa hamba agak terlambat sehingga
paduka mengalami banyak kaget, Gusti." kata pria itu
sambil bersimpuh dan menyembah penuh kehormatan.
Setelah mengelus-elus pergelangan tangan yang terasa
sakit, sang prabu memandang pria itu, kemudian berkata,
"Andika telah menyelamatkan kami, sungguh merupakan budi yang amat besar. Kalau tidak salah
pandanganku, agaknya aku pernah melihatmu, ksatria yang
perkasa. Siapakah gerangan andika?"
Raden Warutama menyembah dan menekan debar
jantungnya. "Ampunkan, Gusti. Sesungguhnya, baru
pertama kali ini hamba mendapat kehormatan menghadap
paduka. Hamba bernama Warutama dan datang dari Balidwipa. Akan tetapi, tidaklah terlalu keliru perkiraan paduka
kalau diingat bahwa paman hamba Narotama dahulu
adalah abdi setia dari Sang Prabu Airlangga .......... "
"Ahhh, kiranya Andika ini anak kemenakan Paman
Patih Narotama" Sungguh besar kekuasaan Dewata! Kami
bersyukur bahwa yang menolong kami adalah keturunan
Paman Patih Narotama .......... "
Hemm, sungguh awas pandang mata kakek yang sudah
tua ini, pikir Warutama setelah hatinya lega kembali. Ia
cepat bangkit dan berkata, "Seyogianya paduka cepat-cepat
kembali ke istana, Gusti. Siapa tahu kalau-kalau penjahatpenjahat ini masih banyak kawanny Biarlah hamba
mencarikan kuda yang telah lari itu." Ia lalu melesat cepat
dan tak lama kemudian sudah kembali menuntun empat
ekor kuda. Dua ekor ia pasangkan di depan kereta sri
baginda yang ia persilahkan memasuki kereta bersama
Suminten. "Biarlah hamba mengawal paduka sampai ke istana."
Dua orang gundul yang menjadi tawanan itu lalu diikat
di belakang kereta. Kemudian berangkatlah kereta itu
dikawal oleh Warutama dan Pangeran Kukutan, kembali ke
istana meninggalkan hutan yang mtngerikan itu, di mana
berserakan puluhan mayat manusia.
Di dalam kereta yang kudanya dituntun dari depan oleh
Warutama yang juga menunggang kuda sedangkan
Pangeran Kukutan mengawal di belakang kereta, Suminten
Menangis sambil memeluk sang Ptabti., "Aduh, junjungan
hamba .......... betapa ngeri .rasa hati hamba kalau teringat
akan peristiwa tadi .........! Yang hamba khawatirkan adalah
paduka, Gusti ?"."
Sang prabu menjadi terharu dan mencium tengkuk
wanita yang menelungkupkan muka di atas pangkuannya
itu. "Dewata masih melindungi kita, Suminten kekasihku."
"Untung muncul Raden Warutama itu, kalau tidak
.......... " "Dia amat berjasa. Harus kita beri anugerah yang
sepadan dengan jasanya yang besar."
"Dia keponakan mendiang Ki Paitih Narotama yang
amat setia. Kalau paduka mempunyai seorang patih seperti
dia, setia dan sakti mandraguna, barulah akan aman
tenteram rasa hati hamba .......... "
"Mengangkat dia menjadi patih?" Sang prabu meragu.
"Jasanya besar, kesetiaannya sudah terbukti .......... "
"Akan tetapi .......... patih adalah warangka raja!"
"Dia jauh lebih setia dan lebih baik daripada penghianat
Brotomenggala." "Aahhh .......... !" Sang prabu menghela napas ketika
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nama ini disebut. "Tak tahu aku mengapa Kakang
Brotomenggal. menjadi begitu kejam dan curang. Dia
sampai tega mengarah kematianku."
"DIa harus dihukum berat, seberat beratnya agar
menjadI contoh bagi para ponggawa lain!" kata Suminten
penuh semangat. Sang prabu hanya dapat mengangguk angguk dengan
lemas dan berduka. Sesungguhnya hatinya merasa berat
sekali harus menghukum patihnya yang begitu setia sejak
muda, akan tetapi dosanya sudah terbukti dan dosa ini
melampaui batas. "Betapa hatiku tak akan remuk" Di begitu setia .......... "
"Paduka jangan terlalu lemah! Perasaan pribadi harus
dikalahkan dan kepentingan kerajaan harus dikemukakan.
Kalau orang berdosa seperti dia, yang sudah berkhianat,
mengarah kematian junjungannya tidak dibasmi sampai ke
akar-akarnya tentu akan timbul lain penghianatan yang
lebih kejam lagi!" Sang prabu mengelus lengan yang berkulit halus lembut
itu. "Engkau selalu benar, Suminten. Sudah berkali-kali
engkau memperingatkan aku akan kepalsuan patihku,
namun .......... ah, siapa mengira" Aku menyerahkan
pelaksanaan hukuman kepadamu."
"Biarlah, Paduka jangan ikut-ikut. Biar hamba yang akan
membalas kejahatannya! Kalau dia hanya membenci
hamba dan mengusahakan kematian bagi hamba, hal ini
tidak hamba perduli dan hamba menganggap hal yang tidak
penting. Akan tetapi .......... dia berani hendak menyuruh
bunuh Paduka! Paduka raja besar junjungan rakyat seluruh
Jenggala! Penghlanat macam dia harus dibasmi sampai
seluruh keluarganya. Ijinkanlah hamba menyuruh pengawal
menangkap penghianat itu bersama seluruh keluarga dan
semua abdinya, dan menjatuhkan hukuman gantung di
alun-alun agar semua ponggawa menjadi takut melakukan
penghianatan." Gegerlah seluruh isi istana ketika rombongan sang prabu
yang berangkat dengan megah itu kini pulang dalam
keadaan yang mengejutkan. Apalagi Ki Patih Brotomenggala sendiri yang sedang bersiap-siap untuk
menyambut pulangnya junjungannya, tiba-tiba kedatangan
serombongan pasukan pengawal yang sertamerta menangkap dia dan seluruh keluarganya.
Sebagai seorang patih yang berwibawa dan berkuasa,
tentu saja Ki Patih Brotomenggala menjadi marah dan
membentak, "Kalian ini mau apa" Sudah berbalikkah dunia ini
sehingga barisan pengawal hendak menentang atasannya?"
Komandan pasukan itu hanya menjawab singkat, "Kami
mengemban tugas gusti sinuwun yang memerintahkan
untuk menangkap dan membawa Paduka sekeluarga
menghadap gusti sinuwun!"
Hujan tangis terjadi di dalam kepatihan. Namun, sekali
ini Pangeran Kukutan tidak mau sembrono dan karena
perintah penangkapan itu sebetulnya datang dari Suminten,
tentu saja pengawal yang diutus untuk menangkap keluarga
kepatihan adalah pasukan pengawal kepercayaannya.
Biarpun keluarga kepatihan meratap dan menangis,
pasukan pengawal ini sedikit pun tidak menaruh kaslhan
dan memaksa seluruh keluarga, berikut beberapa orang
anak-anak yang menjadi cucu dan buyut Ki Patih
Brotomenggala, juga semua pelayan, dipaksa untuk ikut
menjadi tahanan. Jumlah semuanya ada tiga puluh enam
orang! Hanya ada seorang anggauta keluarga kepatihan
yang secara kebetulan saja lobos dari penangkapan ini. Dia
itu adalah seorang cucu luar ki patih, seorang gadis berusia
Sembilan belas tahun yang bernama Widawati. Pada saat
penangkapan terjadi, gadis ini sedang keluar dari kepatihan
untuk berlatih tari-tarian di rumah seorang sahabatnya yang
menjadi puteri pelatih tarian. Begitu mendengar akan
malapetaka yang menimpa keluarganya, Widawati dibujuk
dan dinasehati kawankawannya untuk melarikan lolos dari
dalam istana dengan bantuan para ponggawa yang setia dan
yang menaruh kasihan kepada sang puteri.
Ketika para tahanan dihadapkan kepada raja, mereka itu
berlutut dan tidak kedengaran lagi isak tangis. Keluarga
kepatihan yang sudah terlatih ini menahan semua perasaan
dan berlutut sembah dengan penuh kekhidmatan kepada
sang prabu yang menjadi junjungan mereka. Bahkan yang
kecil-kecil pun tahu akan sopan-santun istana ini. Di dalam
hatinya, sang prabu merasa seperti ditusuk pisau berkarat
menyaksikan wajah patihnya yang setia itu, yang kini
berlutut dengan wajah tua keriputan di depan kakinya,
dengan pandang kosong terheran-heran.
"Brotomenggala!" bentak sang prabu, melenyapkan
sebutan "kakang patih". "Di depanku, disaksikan oleh
semua ponggawaku yang kini hadir, ceritakanlah penghianatanmu dan usaha kejimu yang gagal agar semua
mendengar betapa seorang penghianat keji sepertimu patut
dijatuhi hukuman!" Patih yang tua itu mengangkat kepala memandang
junjungannya dengan sepasang mata yang penuh kejujuran
dan kesetiaan, kemudian menyembah dan berkata,
suaranya lantang, "Sesungguhnya, Gusti junjungan hamba, tidak ada
seujung rambut pun usahakeji penghianatan di dalam hati
dan pikiran hamba, baik di masa lampau, sekarang maupun
di masa datang. Bahkan hamba masih belum tahu mengapa
hamba sekeluarga ditangkap. Mohon kebijaksanaan dan
keadilan paduka, Gusti."
"Brotomenggala, lidahmu bercabang seperti lidah ular!
Semua penghianat selalu bersuara merdu! Bukti sudah
nyata, saksi pun banyak, masih hendak menyangkal?"
Suminten berseru marah. "Aku sendiri menjadi saksi, aku
yang hampir terbunuh bersama pangeran. pati dan terutama
sekali gusti sinuwun. Tentu penghianatanmu akan berhasil
membunuh kami bertiga kalau saja tidak datang
pertolongan dari satria ini!"
Terbelalak mata Ki Patih Brotomenggala dan keluarganya. "Apa .......... apa yang telah terjadi .......... ?"
tanya patih tua itu tergagap.
"Brotomenggala, kalau kamu bersandiwara, sungguh
kamu merupakan pemain yang amat pandai," kata sang
prabu yang kemudian berkata kepada Pangeran Kukutan,
"Puteraku, ceritakanlah semuanya agar didengar oleh para
ponggawa dan oleh si penghianat ini sendiri."
Pangeran Kukutan yang memang sudah bersiap-siap
untuk bertindak sebagai jaksa penuntut, sengaja belum
berganti pakaian sehingga kini ia maju dengan pakaiannya
berburu yang masih koyak-koyak dan dengan beberapa luka
kecil babak dan lecet pada lengan dan pahanya. Ia bangklt
dari lantai, kini berdiri 'dan menentang pandang mata para
ponggawa yang hadir. Ia maklum bahwa para ponggawa itu
sebagian besar adalah kaki tangannya, akan tetapi di antara
mereka masih terdapat orang-orang yang pro ki patih, maka
kepada mereka inilah ia menujukan pandang matanya.
Kemudian ia berpaling kepada Ki Patih Brotomenggala,
mulutnya tersenyum mengejek secara terang-terangan
kepada musuhnya ini, lalu mulai bercerita,
"Ketika Ramanda Prabu dan para pengikut sedang
berburu dengan gembira di dalam hutan, tiba-tiba terdengar
teriakan-teriakan, dan beberapa orang pengawal roboh.
Tahu-tahu, entah darimana datangnya, kami telah
terkurung oleh puluhan orang tinggi besar berkepala gundul
yang ganas dan liar, bersenjata golok!" Sang pangeran
berhenti dan kembali menoleh ke arah Ki Patih
Brotomenggala yang mendengarkan dengan sikap tenang
dan pandang mata penasaran. Para ponggawa menahan
napas karena mereka pun belum tahu apa sesungguhnya
yang telah terjadi sehingga sang prabu pulang dari
perburuan tanpa dikawal pasukan pengawal.
"Para pengawal kami mengadakan perlawanan dengan
gagah berani, sedangkan aku sendiri cepat melindungi
Ramanda Prabu dan Ibunda Selir yang berlindung di dalam
kereta. Perang tanding seru terjadi, akan tetapi sungguhpun
para pengawal yang gagah berhasil menewaskan musuh,
jumlah musuh terlalu besar dan akhirnya para pengawal
kami yang tiga puluh orang itu roboh tewas semua."
Kemball pangeran Kukutan berhenti sebentar dan para
pendengarnya menahan napas, bahkan ada yang mengeluarkan ;eruan tertahan.
"Gerombolan penjahat gundul itulah menyerbu kereta.
Kami melakukan perlawanan sekuatnya, akan tetapi karena
dikeroyok banyak orang yang liar, akhirnya Ramanda
Prabu, ibunda Selir, dan saya sendiri tertawan dan diikat
pada pohon. Nyaris kamI bertiga terbunuh apalagi
Ramanda Prabu yang sudah ter ancam dengan golok musuh
siap membacok. Pada detik terakhir, muncullah satria
perkasa ini, Seorang satria dari Bali dwlpa bernama Raden
Warutama yang sebetulnya bukanlah orang lain karena
Raden Warutama ini anak keponakan mendiang Sang Patih
Narotama yang sakti mandraguna dan setia! Dengan
kesaktiannya, para penjahat itu dapat dibunuh semua,
kecuali dua orang yang sengaja ditawan hidup-hidup untuk
menjadi saksi." Para ponggawa kini memandang ke arah Warutama
yang masih duduk bersila dengan tenang itu, memandang
penuh kagum. Siapa tidak akan kagum kala mendengar
bahwa pria yang tampan d perkasa itu adalah keponakan
Sang Narotama yang perkasa" Apalagi pria ini telah
membebaskan sang prabu daripada ancaman maut.
"Ramanda Prabu sendiri yang bertanya kepada para
penjahat itu ketika beliau ditangkap, menanyakan kehendak
mereka dan siapa yang menyuruh mereka. Dan apa jawab
mereka" Secara terang-terangan mereka mengatakan bahwa
mereka adalah anak buah Brotomenggala!"
"Bohong .........!". Ki Patih Brotomenggala berseru keras.
Namun Pangeran Kukutan tidak memperdulikannya dan
melanjutkan kata-katanya dengan suara lantang, "Tadinya
pun kami bertiga tidak percaya akan pengakuan mereka.
Akan tetapi berkali-kali mereka mengaku bahwa mereka itu
hanya melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh
Brotomenggala yang menurut pengakuan mereka menaruh
dendam kepada Ramanda Prabu atas kematian mantunya
beberapa tahun yang lalu."
"Bohong! Fitnah belaka! Gusti Sinuwun, percayakah
Paduka akan fitnah keji seperti itu" Hamba sama sekali
tidak tahu-menahu, bahkan mengenal mereka pun tidak!
Hendaknya Paduka menyelldikl dengan seksama sebelum
menjatuhkan keputusan. Bukan sekali-kali karena hamba
mementingkan keselamatan sendiri, hanya hamba mengkhawatirkan langkah yang Paduka ambil sebelum
mengadakan pemeriksaan secara teliti. Hamba hanya berani
mengatakan dengan sumpah bahwa sesungguhnya hamba
tidak tahu-menahu dengan terjadinya peristiwa keji di
dalam hutan itu." Wajah sang prabu menjadi merah, "Brotomenggala!
Telingaku sendiri mendengar pengakuan setan-setan gundul
itu! Mataku sendiri melihat betapa mereka membunuhi
semua pengawalku, hendak .......... menghina selirku. Dan
Andika masih menyangkal" Seret dua orang gudul itu
masuk!" Dua prang pengawal menyeret dua orang tinggi besar
yang gundul itu masuki ruangan. Biarpun tubuh mereka
penuh luka, namun kedua orang itu sama sekall tidak
memperlihatkan kelemahan dan ketakutan. Mata mereka
masih terbelalak memandang ke depan, dan mereka itu
sama sekali tidak kelihatan menderita, seolah-olah semua
ini tidak terasa oleh mereka. Kedua tangan mereka
dibelenggu dan setelah kedua orang pengawal itu menekan
dan memaksanya, barulah mereka itu roboh dan berlutut di
depan sang prabu. Karena bangkit kemarahannya ketika
melihat dua orang ini, sang prabu memberi isyarat kepada
Pangeran Kukutan untuk mewakilinya memeriksa tawanan.
"Hei, kalian dua orang yang sudah melakukan dosa!
Katakan sebenarnya, siapa yang menyuruh kalian dan
gerombolan kalian untuk menyerang rombongan gusti
sinuwun!" kata Pangeran Kukutan dengan suara lantang.
Seorang di antara mereka yang pipinya terluka
mengangkat muka dan menjawab, suaranya dingin penuh
ejekan, "Pasukan kami diperintah oleh Ki Patih
Brotomenggala untuk menghadang rombongan Gusti
Sinuwun dalam hutan, untuk membunuh Gusti Sinuwun
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan Gusti Pangeran Pati, serta menculik Sellr Gusti
Sinuwun." Sunyi senyap keadaan ruangan itu setelah terdengar
pengakuan ini, dan muka para ponggawa yang menjadi
sahabat ki patih menjadi pucat, mata mereka memandang
ke arah patih tua itu dengan keheranan dan pertanyaan.
Terdengar isak tertahan di antara keluarga yang berlutut di
belakang Ki Patih Brotomenggala.
"Penghianatan keji yang tiada taranya! Sudah sepatutnya
kalau si penghianat keji sekeluarganya dihukum gantung
sampai mati di alun-alun!" Tiba-tiba terdengar suara
Suminten, lantang memecah kesunyian dan ketegangan,
menimbulkan ketegangan baru. Melihat wajah dan keadaan
ki patih sekeluarga, semua hati para ponggawa terharu dan
kasihan, namun mengingat akan dosanya yang amat hebat,
tak seorang pun berani membantah tuntutan yang keluar
dari mulut terkasih sang prabu yang dalam peristiwa itu
mengalami pula ancaman dan penghinaan.
Tiba-tiba Ki Patih Brotomenggala dari tempat ia bersila
meloncat ke depan dan di lain saat kedua tangannya sudah
men-cengkeram leher dua orang tawanan gundul itu,
mukanya merah dan matanya melotot, mulutnya mendesiskan kata-kata penuh kemarahan,
"Jahanam! Hayo katakan siapa yang menyuruh kalian
menjatuhkan fitnah atas diri sayal"
Dengan sikap tenang saja dua orang gundul itu berkata,
"Kami diperintah oleh Ki Patih Brotomenggala .......... !"
"Krakkki" Ki Patih Brotomenggala menggerakkan kedua
lengannya, dua kepala yang gundul itu beradu keras dan
pecah berantakanl Semua orang terkejut, Pangeran Kukutan
meraba gagang keris, para pengawal sudah siap dengan
tombak mereka untuk mengeroyok ki patih yang agaknya
hendak memberontak. "Brotomenggala! Berani engkau melakukan hal ini di
hadapanku?" Bentakan ini keluar dari mulut sang prabu
yang sudah bangkit berdiri dari tempat duduk. nya.
Kl Patih Brotomenggala yang tadinya tak dapat
mengendalikan kemarahannya, ketika mendengarkan bentakan ini menjadI lemas seluruh sendi tulangnya, dan Ia
menjatuhkan diri berlutut di depan junjungannya.
"Ampunkan hamba .......... hamba tidak berani ..........
akan tetapi semua ini adalah fitnah .......... fitnah .......... ,
Renjana Pendekar 14 Hancurnya Sian Thian San Seri Pengelana Tangan Sakti Seri Ke Iv Karya Lovelydear Dendam Empu Bharada 30
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama