Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
mengerahkan aji kesaktlannya, berlari turun dari lereng.
Hari sudah malam ketika ia tiba di hutan dan bertemu
dengan para pengawal yang mencari-cari mereka dengan
gelisah. Para pengawal menjadi girang sekali dan pulanglah
rombongan itu naik kuda yang telah dapat dikumpuikan
oleh para pengawal. Adipati Tejolaksono memberi perinta h agar semua hasil
buruan itu dibagi- bagi di antara petani di luar kadipaten
yang jarang sekali dapat merasai nikmatnya daging
kijang. Para pengawal hanya saling.......... dan melongo,
namun tak seorangpun berani membantah.
Ketika tiba di kadipaten, sang adipati dan puteranya
disambut dengan penuh kelegaan hati oleh keluarganya.
Kemudian sang adipati bersama puteranya bercerita di
depan isteri dan kedua bibinya. Mendengar cerita
suaminya bahwa kakek sakti bernama Tunggaljiwa ini
hendak mengambil Bagus Seta menjadl murid, wajah Ayu
Candra berubah pucat. Akan tetapi di depan kedua
bibinya, ia tidak berkata sesuatu kepada suaminya.
Kartikosari mengerutkan keningnya. "Serasa pernah aku
mendengar nama Ki Tunggaljiwa ini. Dahulu ketika aku
masih bersama ayah di Bayuwisma dekat pantai, pernah
ayah menyebut nama ini sebagai satu-satunya tokoh sakti
yang tak pernah mau mencampuri urusan dunia, hanya
hidup sebagai petani biasa di puncak Merapi. Siapa kira,
hari ini kalian berjumpa dengannya, bahkan beliau hendak
mengambil Bagus sebagai murid. Hemmm.......... ..........
Kartikosari memandang kepada Ayu Candra dan tidak
melanjutkan kata-katanya, akan tetapi sang adipati
maklum dari pandang mata bibinya itu bahwa bibinya
menganggap hal itu amat baik dan menguntungkan.
"Orang yang dapat memelihara seekor harimau putih
yang besar, tentu seorang yang memiliki kesaktian luar
biasa. Tapi aku sendiri belum pernah mendengar nama Ki
Tunggaljiwa," kata pula Roro Luhito.
Malam hari itu, ketika berada di dalam kamarnya berdua
dengan isterinya, Ayu Candra menangis. Setelah tidak
ada orang lain, barulah dia berani menumpahkan segala
kekhawatirannya. Adipati Tejolaksono memeluk isterinya. "Eh-eh,
kenapa kau menangis, nimas?"
Ayu Candra merebahkan kepala di dada suaminya,
tempat yang aman di seluruh dunia ini baginya, dan makin
sesenggukan. "Kakangmas.......... aku.......... aku khawatir
sekali, kakangmas., ...... "
Adipati Tejolaksono merangkul dan membelai rambut
isterinya. "Apa yang kau khawatirkan, nimas" Tentang ana
k kita si Bagus Seta?"
isterinya mengangguk. "Tentang kata-kata Ki Tunggaljiwa itu.......... bahwa akan tiba hukuman kalau
anak kita tidak d ibawanya.......... ah,
aku ngeri, kakangmas." Adipati Tejolaksono yang amat mencinta isterinya,
segera menghibur dan menciumi untuk mengusir kekhawatirannya. "Apa yang ditakutkan" Ada aku di sini,
nimas. Kalau aku berada di sini, siapakah yang akan dapat
mengganggu Bagus atau kita" Di samping aku, engkaupun
bukan seorang ibu yang boleh dipandang rendahi Belum
lagi bicara tentang bibi Roro Luhito yang galak, dan bibi
Kartikosari yang sakti mandraguna. Siapa berani mainmain hendak mengganggu anak kita?"
"Tapi.......... tapi.......... " suara Ayu Candra sudah
tidak begitu takut lag i dan bahkan gemetar bukan oleh
takut, melainkan oleh rasa mabuk yang selalu datang
apabila suaminya sudah menciumi tengkuk dan lehernya
seperti itu. "........ kalau benar kakangmas pergi seperti
dikatakan kakek itu.......... "
"Ah, pergi ke mana" Agaknya, Ki Tunggaljiwa
melihat bakat baik dan kebersihan diri anak kita, saking
inginnya mengambil murid lalu menakut-nakuti aku..........
" Akan tetapi, di sudut hatlnya, kekhawatiran besar yang
timbul sejak pertemuannya dengan Ki Tunggaljiwa tak
dapat juga diusirnya. Karena itu, ia mencari perlindungan
kepada isterinya, kepada orang yang paling dicintanya di
seluruh dunia ini, tenggelam ke dalam pelukannya,
membiarkan diri terseret oleh arus nikmat cinta kasih.
Mereka tak bercakap-cakap lagi, tidak ada yang perlu
dipercakapkan pada saat itu. Malam menjadi sunyi,
sunyi yang mengamankan hati dan semua kekhawatiran
di dalam hati, lenyap tak terpikirkan lagi. Bahkan dunia
ini seakan-akan hanya berisi mereka berdua.
Alangkah kecil dan lemah manusia ini kalau dibandingkan dengan kebesaran dan kekuasaan alam yang begini
hebat dan kuat. Manusia yang banyak akal dan sudah
merasa amat maju dengan pelbagal ilmu kepandaian,
merasa bahwa dia telah menguasai dan mempermainkan
segala apa di alam dunia.
Alangkah piciknya pendapat
demikian itu. Menguasai alam. Menundukkan alam. Sungguh mentertawakan, menggelikani Banyak orang
dalam kepicikannya tidak sadar bahwa manusla hidup di
dunia bagaikan hidup di atas panggung sandiwara. Dunia
bagaikan panggung di mana manusia bermain dalam
peran masing-masing yang tanpa dapat dikuasainya
telah diserahkan dan diatur, diharuskan oleh Sang
Sutradara yang tidak nampak namun yang kekuasaan-Nya
amat mutlaki Manusia berebut untuk merampas peran yang
paling tinggi kedudukannya, yang paling mulia dan paling
penting menurut anggapan manusia. Sungguh banyak orang
lupa diri, mengira bahwa peranannya, yang paling penting.
Padahal bukanlah kedudukan peranan yang diperhatikan
penonton, yakni manusia-manusia lainnya di dunia,
melainkan cara ia mernainkan peranan itulahi Jauh leblh
baik men jadi seorang pemegang peran abdi dengan
permainan yang ba ik daripada menjadi pemegang peran
raja namun dengan permainan yang amat buruki Dengan
kata-kata yang lebih jelas lagi : Jauh lebih baik hidup
sebagai manusia miskin yang kaya akan kebajikan daripada
seorang kaya yang miskin akan kebajikan, sebagai manusia
miskin yang merasa cukup daripada sebagai manusia kaya
yang tak pernah merasa cukup. Jauh lebih baik hidup
sebagai manusia berkedudukan rendah namun berkepribadian dan berbudi tinggi
daripada sebagai manusia berkedudukan tinggi dengan kepribadian yang
rendahi Adipati Tejolaksono adalah seorang manusia
gemblengan lahir batin. Bukan hanya ia sakti mandraguna,
murid terkasih dari Rakyana Patih Kanuruhan Sang
Narotama, bahkan telah menerima pula aji-aji linuwih
dari mendiang Sang Prabu Airlangga sendiri, akan tetapi
juga adipati yang masih muda ini memiliki pribudi yang
tinggi dan mengabdi kebesaran, keadilan dan kebajikan.
Betapapun juga sang adipati yang bijaksana dan sakti itu
tiada lain pun juga seorang manusia biasa. Manusia biasa
yang harus tunduk kepada kehendak Sang Sutradara,
seorang manusia yang hanya merupakan mahluk lemah,
yang kedua kakinya terikat oleh belenggu yang amat kuat,
yaitu belenggu cinta kasih kepada isteri dan puteranya. Di
dalam pelukan isterinya yang mencintanya sepenuh jiwa
raga, Adipati Tejolaksono tenggelam ke dalam madu
cinta, menyeret pula isterinya sehingga Ayu Candra
akhirnya lupa pula akan segala kekhawatirannya. Mereka
berdua untuk kesekian kalinya mabuk oleh cinta mesra
masing-masing yang tak pernah mengecil apalagi padam
dan akhirnya tertidur pulas dalam pelukan masing-masing,
lupa kekhawatirannya dan tidur tanpa mimpi.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dengan wajah
berseri-seri dan segar, suami isteri ini sedang duduk
menghadapi sarapan pagi ketika tiba-tiba pengawal datang
menghadap dan mengabarkan bahwa sepagi itu telah
datang utusan dari Kerajaan Panjalu.
Berdebar jantung Adipati Tejolaksono. ia menyuruh
pengawalnya keluar dan agar mempersilahkan utusan itu
menanti di pendopo. ia lalu bertukar pandang dengan
isterinya. Perasaan hati mereka meraba sesuatu, sehubungan dengan perasaan khawatir yang mereka
bicarakan kemarin. Namun, tanpa mengeluarkan katakata, Ayu Candra mempersiapkan pakaian untuk suaminya,
karena menerima utusan raja harus mengenakan pakaian
kebesaran. Dalam hal pakaian dan makan, adipati muda ini
tidak pernah mau dilayani orang lain kecuali isterinya,
sebaliknya, Ayu Candra juga tidak membiarkan
suaminya dilayani orang laini Setelah selesai berpakaian,
Adipati Tejolaksono pergi keluar menemui utusan.
Makin berdebar rasa jantung adipati itu ketika mendapat
kenyataan bahwa pengunjungnya, utusan Kerajaan
Panjalu itu bukanlah sembarang utusan, melainkan Ki
Patih Suroyudo sendiri, patih dalam sang prabu di
Panjalui Tergopoh Adipati Tejolaksono menyambut patih
yang sudah putih rambutnya, mempersilahkannya duduk.
Kalau sang prabu sampai mengutusnya, seorang patih
kerajaan, untuk datang sendiri ke kadipaten, tak dapat
diragukan lagi tentu ada urusan yang amat gawati Setelah
berlangsung salam-menyalam seperti telah menjadi tradisi
kebudayaan nenek moyang yang tak pernah meninggalkan
tata susila dalam hidup bangsa kita, barulah Ki Patih
Suroyudo menyampaikan tugas yang dibebankan ke
pundaknya oleh sang prabu junjungannya. Mula-mula Ki
Patih Suroyudo menceritakan kepada Adipati Tejolaksono
tentang segala petistiwa yang terjadi, yaitu tentang
kematian-kematian ajaib yang menimpa beberapa orang
perwira dan senopati pilihan di Panjalu.
"Menurut pemeriksaan para ahli pengobatan di kota
raja, kematlan para ponggawa tinggi itu bukanlah karena
serangan semacam penyakit," demlkian Ki Patih Suroyudo
melanjutkan ceritanya. "Para empu dan ahli mengatakan
bahwa mereka itu tewas akibat ilmu hitam yang amat jahat,
namun tak seorangpun di antara mereka dapat
menangkap penyerang pengecut itu. Kematian para
ponggawa semua terjadi dalam waktu cepat, tak tersangkasangka sehingga kami tidak tahu siapa-siapa yang akan
menjadi korban berikutnya."
Sang Adipati Tejolaksono mengerutkan keningnya
yang hitam tebal. Sepasang matanya yang tajam itu
memancarkan sinar aneh. Kemudian terdengar ia
bertanya, "Menurut penuturan paman patih tadi, gejalagejala yang tampak pada jenazah-jenazah para ponggawa
adalah pendarahan yang keluar begitu saja dari kaki tangan
dan dada tanpa ada luka di bagian-bagian tubuh itu?"
"Benar, anakmas. Tidak ada luka sedikitpun, namun
darah bercucuran dari kaki, tangan dan terutama sekali dari
ulu hati seakan-akan bagian-bagian itu ditusuk dengan
keris. Mereka itu, rekan-rekan kita yang malang, tewas
tanpa dapat melakukan perlawanan, juga tidak tahu siapa
musuh yang melakukannya. Karena inilah, maka sang
prabu mengutus saya untuk datang ke Selopenangkep dan
mengundang anakmas datang ke Panjalu menghadap sang
prabu setelah anakmas berhasil menangkap penjahat dan
pembunuh itu. "Setelah saya berhasil menangkap nya?" Adipati
Tejolaksono menegas. "Benar, anakmas. Sang prabu
berpendapat bahwa hanya anakmas yang akan dapat
membikin terang perkara gelap ini karena menurut
pendapat umum, menurut pula desas-desus yang
menyelinap masuk sampai ke istana, pelaku daripada
semua pembunuhan yang terjadi di Panjalu, juga di
Jenggala, adalah.......... hem m.......... puteri mantu sang
.prabu di Jenggala .......... "
Terbelalak mata yang tajam itu ketika memandang
kepada tamunya, "Paman.......... paman maksudkan. .....
isteri Gusti Pangeran Panjirawit, diajeng Endang Patibroto?"?" Ki Patih Suroyudo yang tua itu mengangguk- anggukkan kepalanya perlahan.
"Demikianlah bunyl desas-desu s, anakmas adipati.
Menurut penuturan para ahli kami di Panjalu yang sudah
tua-tua, di jaman dahulu yang pandai akan ilmu hitam
seperti itu hanyalah tokoh dari Kerajaan Wengker,
kerajaan siluman itu. Dan mengingat bahwa.......beliau
adalah murid Ki Dibyo Mamangkoro.......hemm.......dan
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesaktiannya sudah tersohor di kedua kerajaan, maka
bukan hanya semua orang, bahkan sang prabu sendiri
berkenan menyatakan kekhawatiran dan dugaan beliau
bahwa agaknya memang benarlah isi desas-desus itu.
Kemudian sang prabu menyatakan bahwa hanya anakmas
adipati seoranglah yang akan dapat mengatasl urusan ini,
maka paman diutus untuk menyampaikan semua ini
kepada anakmas." Adipati Tejolaksono mengangguk-angguk. Hatinya
merasa tidak enak sekali. Mengapa nasib selalu hendak
mempertemukannya dengan Endang Patibroto" Terbayanglah semua pengalamannya dahulu dengan wanita
sakti itu, dan terbayang pula pertandingannya melawan
Endang Patibroto yang mati- matian (baca cerita Badai
Laut Selatan). Harus ia akui bahwa selama hidupnya,
belum pernah ia bertemu tanding sehebat dan sesakti
Endang Patibroto. Boleh dikatakan bahwa tingkat ilmu
kesaktian mereka seimbang, tidak berbeda jauh. Dan kini,
setelah bertahun-tahun ia hidup dalam keadaan aman
tenteram, tiba- tiba saja ia dihadapkan perkara yang
akan mengharuskan ia lagi-lagi berhadapan dengan Endang
Patibrotoi "Baiklah, paman Patih Suroyudo. Hamba
menerima tugas ini dengan ketaatan. Harap paman sudi
menyampaikan penghaturan sembah bakti saya kepada
gusti sesembahan kita di Panjalu dan akan hamba
usahakan sekuat tenaga untuk menyelidiki perkara ini
kemudian menangkap pelakunya."
Setelah beramah-tamah dan menikmati hidangan, Ki
Patih Suroyudo minta diri dan berangkat kembali ke
Panjalu diiringkan pasukan pengawalnya. Adipati Tejolaksono termenung sejenak ketika tamunya sudah lama
pergi dan barulah sadar daripada lamunannya ketika
sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya. ia
menoleh dan melihat bahwa Ayu Candra sudah berdiri di
situ. Lengannya lalu meraih pinggang yang langsing itu,
menariknya duduk di atas kursi di depannya. Karena
mereka duduk di pendopo yang terbuka, maka sang adipati
menahan hasrat hatinya membelai isterinya. ia hanya
tersenyum dan memandang wajah isterinya yang kelihatan
khawatir itu. "Nimas, kau pergilah menemui kedua bibi dan minta
mereka suka datang bercakap-cakap di ruangan dalam. Ada
urusan penting yang ingin kusampaikan kepada mereka,
bahkan hendak kumintai pertimbangan mereka."
"Ada apakah, kakanda" Ki Patih tadi ...... membawa
kabar apakah?" tanya Ayu Candra dengan alis berkerut.
Adipati Tejolaksono menangkap tangan isterinya dan
meremas-remas jari tangannya.
"Jangan kau khawatir, isteriku sayang. Dan sebaiknya
kalau adinda suka memanggil kedua bibi agar bersama
dapat membicarakan urusan yang dibawa ki patih tadi."
Biarpun hatinya diliputi kekhawatiran, namun melihat
wajah suaminya yang tenang, Ayu Candra tidak mendesak
lagi. Memang, betapapun juga besar cinta kasih dan
kemanjaannya, ia tetap taat akan segala yang diminta dan
dikatakan suaminya. ia mengangguk, lalu pergilah ia masuk
ke dalam. Dari belakangnya, Adipati Tejolaksono
memandang tubuh belakang isterinya dengan hati gembira.
Biarpun sudah menjadi ibu dan usianya sudah bertambah,
tiada perbedaan terjadi pada tubuh Ayu Candra. Dan ia
tersenyum karena maklum bahwa pendapat ini
menambah tebal cinta kasihnya.
Sang adipati lalu masuk ke ruangan dalam. Ketika
isterinya kembali bersama dua
orang bibi,yaitu Roro Luhito dan Kartikosari yang memandangnya dengan sinar
mata penuh pertanyaan dan dugaan, barulah Adipati
Tejolaksono teringat akan perintah sang prabu dan sikapnya
menjadi sungguh-sungguh. ia mempersilahkan kedua orang
wanita setengah tua itu duduk, kemudian mulailah ia
bercerita yang didengarkan dengan penuh perhatian
oleh Ayu Candra, Kartikosari, dan RoroLuhito. Ketika ia
menceritakan tentang pembunuhan-pembunuhan mengerikan dan aneh yang terjadi atas diri banyak
ponggawa-ponggawa Panjalu dan Jenggala, tiga orang
wanita itu saling pandang dengan perasaan ngeri. Mereka
bertiga bukanlah orang-orang lemah, terutama sekali
Kartikosari. Akan tetapi, peristiwa pembunuhan seaneh
dan sengeri itu baru sekarang ia pernah mendengarnya.
"Demikianlah, bibi. Karena kejadian aneh itu menimpa
para ponggawa dan tidak dapat diduga semula siapa-siapa
yang akan menjadi korban berikutnya, keadaan di Panjalu
menjadi geger dan dicekam suasana ngeri dan takut. Sang
prabu mengutus paman Patih Suroyudo untuk
memerintahkan saya pergi menanggulangi perkara itu,
menyelidiki dan kemudian menangkap si jahat yang
melakukan pembunuhan-pembunuhan secara pengecut dan
keji." Menggigil tubuh Ayu Candra. Adipati Tejolaksono tahu
benar akan hal ini melihat dari pandang mata serta gerak
leher isterinya. "Aahhh.......... bagaimana seorang manusia dapat
melawan iblis" Kurasa hanya iblis sendiri yang dapat
melakukan pembunuhan-pembunuhan keji seperti itu."
kata Ayu Candra. Adipati Tejolaksono tersenyum. ingin sekali hatinya
menceritakan tentang desas-desus yang tertiup angin di
Kerajaan Panjalu tentang dugaan umum siapa pelaku
pembunuhan-pembunuhan itu, akan tetapi Adipati Tejolaksono adalah seorang yang bijaksana. Endang
Patibroto adalah anak kandung bibi Kartikosari. Bagaimana
ia dapat menyebut nama Endang Patibroto di depan
bibinya ini" Tidak, ia tidak akan menceritakan hal itu,
apalagi nama Endang terbawa dalam peristiwa itu hanya
sebagai desas-desus yang belum ada buktinya. Kecuali
kalau memang kemudian ternyata bahwa Endang Patibroto
yang melakukan hal itu, dan ini sama sekali tidak
dipercayainya, tentu saja ia tidak akan menutupinya.
"Bukan iblis bukan siluman, yayi, melainkan
seorang tukang tenung, seorang dukun lepus ahli ilmu
hitaml Dan kalau dapat kuselidiki dan kutemui orangnya,
tentu akan kuhajar diai Seorang yang melakukan perbuatan
seperti itu bahkan lebih kejam daripada iblis sendiri."
"Tapi..... tapi dia tentu memiliki kesaktian yang amat
hebat...." Kembali Ayu Candra berkata penuh kekhawatiran sambil memandang suaminya, wajahnya agak
pucat. "Ayu, mengapa engkau kini menjadi begini penakut"
Mana kegagahanmu yang dahulu, cah-ayu" Ahhhh, benarbenar cinta kasih bisa membuat orang menjadi penakut,"
tegur Roro Luhito kepada Ayu Candra. Memang Roro
Luhito kalau bicara jujur tanpa tedeng aling-aling lagi.
"Kau tahu bahwa suamimu memiliki kesaktian yang
dapat mengatasi musuh-musuhnya, apalagi hanya
seorang dukun lepus. Jangan kau khawatir, seperti bukan
wanita gemblengan sajai"
"Betul ucapan bibimu Luhito, anakku. Tidak perlu
khawatir jika kali ini suamimu melaksanakan tugas dan
perintah junjungan. Memang ini sudah menjadi
kewajibannya. Apalagi, aku yakin benar bahwa pelaku
pembunuhan- pembunuhan itu bukanlah seorang yang
benar-benar sakti mandraguna. Bukanlah seorang sakti
yang suka melakukan perbuatan pengecut seperti itu,
melainkan seorang lemah dan penakut. Yang tidak berani
menghadapi akibat perbuatannya. Jangan kau khawatir,
anakku, suamimu tidak akan menemui bahaya."
Mendengar hiburan kedua orang tua itu, agak legalah
hati Ayu Candra. Alangkah bangga dan besar hati Adipati
Tejolaksono. Untung ada kedua orang bibi ini yang seratus
prosen boleh diandalkan. Kalau tidak ada mereka, agaknya
iapun akan ragu-ragu dan khawatir meninggalkan isteri
tercinta sendirian di rumah bersama puteranya. Kalau tidak
ada kedua orang bibinya yang boleh dipercaya ini,
agaknya ia akan "mengantongi" isteri dan anaknya itu
dan membawanya serta ke manapun ia pergi.
"Saya mohon perhatian dan bantuan bibi berdua, bukan
untuk menghadapi urusan pembunuhan di Panjalu,
melainkan ".. hemm ".. Bagus Seta ".."
Jilid V KARTIKOSARI mengangguk. "Ki Tunggaljiwa?" Wanita ini sudah dapat menduga apa yang dipikirkan sang
adipati. Tejolaksono mengangguk. "Saya tIdak. menyangka
bahwa orang tua itu mempunyai niat buruk. Akan tetapi,
hemm.............. , keadaannya juga amat aneh. Oleh karena
Itulah sepeninggal saya ke Panjalu, saya harap bibi berdua
sudi membantu Ayu untuk mengamat-amati Bagus Seta.
Tentu saja hal Ini sudah dan akan bibi lakukan tanpa saya
minta, akan tetapi.. ..... , hati saya akan lega dalam
perjalanan kalau saya sudah membicarakan hal ini secara
berdepan begini dengan bibi yang saya percaya dan hormati
setingginya." Kartikosari tersenyum. Biarpun Roro Luhito lebih
pandai bicara daripadanya, akan tetapi menghadapi segala
urusan, selalu dia yang menjadi dan penentunya. Roro
Luhito hanya akan mengikuti semua jejaknya. "Anakku
adipati, kami mengerti perasaanmu setelah pengalamanmu
bersama Bagus Seta di dalam hutan. Dan bukan hal yang
kebetulan saja ucapan Ki Tunggaljiwa kepadamu yang
meramalkan bahwa dalam waktu singkat anaknda akan
pergi dari Selopenangkep. Oleh karena itu, harap engkau
waspada dan hati-hati dalam perjalanan menunaikan tugas
yang dibebankan oleh sang prabu kepadamu. Adapun
tentang keadaan di Selopenangkep sepeninggalmu, harap
legakan hati dan jangan khawatir. Isterimu, Ayu Candra
bukan seorang anak?anak melainkan seorang ibu yang tentu
akan dapat menjaga putera dan rumah tangga sebaiknya.
Adapun kami, kedua bibimu ini, tentu saja akan
mengamat?amati kesemuanya dan akan membela Selopenangkep seisinya dengan taruhan nyawa."
Ucapan Kartikosari yang tenang dan mantap ini
membuat hati Adipati Tejolaksono menjadi lega. Lapang
rasa dadanya dan ia dapat pergi dengan tenang. Ayu
Candra juga sadar bahwa ketidakrelaannya yang diperlihatkan atas kepergian suaminya, amatlah tidak baik.
Suaminya adalah seorang yang sakti mandraguna. Kalau
hanya menghadapi seorang penjahat pengecut saja,
memang tidak perlu dikhawatirkan sama sekali.
Demikianlah, pada pagi hari itu juga, Adipati
Tejolaksono meninggalkan Selopenangkep, menunggang
seekor kuda berbulu dawuk yang besar dan kuat, membawa
perbekalan dan tidak lupa membawa senjata pusakanya,
yaitu keris Megantoro, sebatang keris berlekuk tujuh yang
mengeluarkan sinar keputihan seperti awan. Hatinya tenang
karena kepergiannya diantar senyum penuh kepercayaan
oleh isteri dan kedua biblnya, dan dibekali peluk cium
puteranya, Bagus Seta. Akan tetapi ketenangan hati Adipati Tejolaksono lenyap
seperti awan ditiup angin ketika perjalanannya membawa ia
makin mendekatl Kerajaan Panjalu. Ia melakukan
perjalanan ini seorang diri, tidak berpengawal karena
apakah artinya pengawal bagi seorang sakti seperti adipati
muda ini" Apalagi, perjalanannya kali ini adalah perjalanan
untuk melakukan penyelidikan dan mencari seorang
penjahat sakti sehingga perlu ia lakukan dengan diam-diam.
Hatinya makin gelisah setelah ia dekat dengan Kerajaan
Panjalu karena santer terdengar olehnya akan desas-desus
tentang pembunuhan-pembunuhan itu. Apalagi setelah
pada suatu pagi ia tiba di luar kota raja, kagetnya bukan
main mendengar berita bahwa di Kota Raja Panjalu terjadi
geger yang hebat sekall. Yaitu tentang penyerbuan Endang
Patibroto ke istana Pangeran Darmokusumo yang gagal.
Berita ini membuat ia terkejut dan termenung di atas
kudanya yang ia hentikan di tepi jalan agar mendapat
kesempatan makan rumput hijau. Endang Patibroto
menyerbu dan berniat
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membunuh Pangeran Darmokusumo" Inilah hebat! Untung, menurut berita itu,
bahwa penyerbuan itu dapat digagalkan oleh pasukanpasukan Panjalu yang memang sudah berjaga?jaga. Nyaris
Endang Patibroto tertangkap, demikian berita itu.
Penasaran memenuhi hati Adlipati Tejolaksono. Mengapa
Endang Patibroto melakukan hal itu" Bukankah wanita ini
telah menjadi seorang isteri berbahagia dari Pangeran
Panjirawit dan hidup mulia di Kerajaan Jenggala"
Bukankah Pangeran Darmokusumo itu masih saudara
iparnya sendiri karena isteri Pangeran ini adalah adik
kandung Pangeran Panjirawit" Ah, hampir tak dapat ia
mempercayail berita aneh itu. Akan tetapi, bukan hanya
dari satu dua orang ia mendengar berita ini! Ia harus segera
ke Jenggala, sekarang juga! Ia harus bertemu sendiri dengan
Endang Patibroto dan bercakap-cakap dengan adik
angkatnya itu. Sebelum melihat bukti dan mendengar
keterangan dari mulut Endang sendiri, ia tidak akan
mengambil tindakan tergesa-gesa dan harus amat berhatihati karena ia sudah cukup mengenal watak Endang
Patibroto yang boleh dikatakan sejak kecil selalu menjadi
musuhnya (baca cerita Badai Laut Selatan).
Tanpa memasuki Kota Raja Panjalu, Tejolaksono lalu
membedal lagi kudanya berangkat menuju ke Jenggala.
Melalui jalan-jalan yang amat dikenalnya ini terkenang
lagilah sang adipati akan masa mudanya, terkenang akan
segala peristiwa yang terjadI pada dirinya belasan tahun
yang lalu dan terkenanglah ia kepada Endang Patibroto,
gadis sakti mandraguna yang amat galak terhadapnya
dahulu itu. Endang Patibroto, yang sejak kecil selalu benci
kepadanya, yang merupakan lawan terberat baginya,
bahkan yang telah membunuh ibu kandungnya! Wanita
yang amat dikasihaninya, dikaguminya akan tetapi juga
pernah dibencinya karena telah membunuh ibunya. Namun
karena ibu kandungnya menjadi pembunuh ayah kandung
wanita ini, maka kesadaran hatinya telah menyudahi rasa
bencinya, dan berbalik ia menjadi kasihan kepada Endang
Patibroto, apalagi setelah ia hidup berkecimpung di dalam
kebahagiaan cinta kasih dengan isterinya, Ayu Candra. Dan
hatinya ikut girang dan bahagia ketika ia mendengar berita
bahwa Endang Patibroto juga hidup bahagia di samping
seorang suami yang amat rnencintanya, yaitu Pangeran
Panjirawit. Akan tetapi sekarang muncul peristiwa yang amat aneh
ini. Mula-mula terjadi pembunuhan-pembunuhan gelap,
kemudian timbul desas-desus bahwa Endang Patibrotolah
orangnya yang melakukan perbuatan pengecut dan keji ini.
Dan sekarang, yang amat mengejutkan adalah berita
tentang penyerbuan Endang Patibroto seorang diri di
malam gelap untuk membunuh Pangeran Darmokusumo.
Mana ia bisa percaya"
Hari telah menjadi malam ketika Adipati Tejolaksono
memasuki Kota Raja Jenggala yang dahulu amat
dikenalnya itu. begitu ia menuntun kudanya memasuki
pintu gerbang, lima orang penjaga menghadang dan
memandangnya penuh kecurigaan. Akan tetapi sebelum
mereka sempat menegurnya, seorang di antara para penjaga
yang sudah tua usianya memandang Tejolaksono penuh
perhatian, kemudian ia menudingkan telunjuknya ke arah
adipati inI dan berkata gagap,
"Bukankah.............. andika ini.............. Raden Bagus
Joko Wandiro ...... ?""
Tejolaksono tersenyum. Sebetulnya ia, tidak ingin
memperkenalkan diri, karena ia ingin diam-diam mengunjungi Pangeran Panjirawit dan menemui Endang
Patibroto, tidak mau memberitakan tentang kedatangannya
ke Jenggala kepada orang lain. Akan tetapi karena penjaga
tua ini mengenalnya, ia tidak dapat menyangkal lagi dan
mengangguk. "Benar, paman. Aku ingin pergi mengunjungi Gusti
Pangeran Panjirawit ...... "
Tejolaksono menghentikan ucapannya ketika melihat
perubahan muka kelima orang penjaga itu yang tampak
nyata di bawah sinar lampu di pintu gerbang. Mereka itu
terbelalak, jelas kaget sekali mendengar disebutnya nama
pangeran itu. Ia menyangka pasti ada hal yang hebal terjadi,
maka cepat ia bertanya, "Ada terjadi apakah, paman?"
Penjaga tua itu bertanya, "Benarkah paduka ini Raden
Bagus Joko Wandiro yang kini sudah menjadi gustl adipati
di Selopenangkep?" Kembali Tejolaksono mengangguk tak sabar. la tidak
mempersoalkan dirinya, melainkan ingin mendengar
tentang Endang Patibroto. Melihat orang muda ini
mengangguk, lima orang penjaga itu lalu memberi hormat.
Yang empat adalah penjaga-penjaga muda yang belum
pernah melihat Joko Wandiro atau Adipati Tejolaksono,
akan tetapi sudah mendengar nama besar ksatria yang sakti
mandraguna ini. "Maafkan hamba berlima tadi berlaku kurang hormat,
gusti adipati.............. !
"Ah, bangkitlah, paman dan harap suka menceritakan
apa yang telah terjadi."
Dan Tejolaksono melongo keheranan ketika mendengar
penjaga tua itu bercerita. Makin banyak ia mendengar,
wajahnya makin keruh. Keheranan bercampur dengan
kegelisahan dan tidak percaya.
Bagaimana ia bisa percaya mendengar betapa Endang
Patibroto benar?benar telah membunuh-bunuhi para
ponggawa Jenggala dan Panjalu dengan ilmu hitam,
kemudian betapa wanita sakti yang oleh para penjaga
disebut "iblis betina" itu telah menyerbu istana Pangeran
Darmokusumo, kemudian betapa Pangeran Panjirawit yang
membela nama isterinya itu ditangkap sendiri oleh
ayahnya, sang prabu di Jenggala lalu dipenjarakan. Betapa
kemudian, iblis betina itu secara hebat dan seorang diri
telah menyerbu penjara yang terjaga amat kuatnya,
menyamar sebagai pria, sebagai penjaga kemudian berhasil
melarikan suaminya itu dari penjara.
"Iblis itu hebat bukan main, gusti adipati. jelas bahwa dia
bukan manusia biasa, melainkan iblis. Kalau manusia biasa,
bagaimana bisa berhasil merampas gusti pangeran yang
terjaga oleh ratusan orang prajurit dan pengawal" Bahkan
dikerocok (dihujani) anak panah, masih berhasil melesat
pergi seperti terbang saja dan keluar dari kota raja, entah ke
mana, hanya setan yang tahu"
Adipati Tejolaksono hanya bisa mengeluarkan suara
"ahh!" berkall-kali, kemudian ia mengucapkan terima kasih
dan pergi dari situ, meninggalkan para penjaga sambil
menuntun kudanya, berjalan perlahan seperti orang mimpi
melalui jalan yang amat gelap itu. la memang merasa
seperti mimpi mendengar semua itu. Ia tersenyum kalau
teringat akan keheranan para penjaga yang menceritakan
tentang perbuatan Endang Patibroto membebaskan suaminya. Ia tidak heran mendengar itu. Seorang sakti
seperti Endang Endang Patibroto tentu saja mampu
melakukan hal itu, bahkan yang lebih daripada itu
sekalipun! Ia tersenyum kalau membayangkan betapa
Endang Patibroto mempermainkan ratusan orang prajurit
itu, membakari sebagian istana dan menyamar sebagai
perajurit, kemudian melarikan diri, dikeroyok puluhan
orang pengawal dan menangkis semua anak panah yang
datang bagaikan hujan. Ia sudah tahu akan kesaktian
wanita itu. Iblis betina" Ah, ia cukup tahu akan watak
Endang Patibroto. Kalau sedang marah memang melebihi
iblis, akan tetapi sebetulnya mempunyai dasar watak satria
puteri utama! Akan tetapi, tidak habis keheranannya
mendengar semua peristiwa itu. Endang Patibroto
membunuhi para ponggawa dengan ilmu hitam yang
mujijat" Memang hal inipun tidak aneh dan bisa saja
Endang Patibroto melakukannya, mengingat bahwa dia
adalah murid Dibyo Mamangkoro yang jahat dan sakti
seperti iblis sendiri. Akan tetapi, ia yakin bahwa tanpa
alasan yang amat kuat, tak mungkin Endang Patibroto mau
melakukannya, apalagi sebagai isteri Pangeran Panjirawit
yang terkenal berbudi bawa-laksana!
Kalau begitu, apa sebabnya" Mengapa terjadi semua itu"
Mengapa" Dan ke mana ia harus mencari Endang
Patibroto" Ia tidak akan menjatuhkan sesuatu pendapat
atau penilaian atas peristiwa semua itu sebelum ia
mendengar sendiri dad orang yang bersangkutan, dalam hal
ini Endang Patibroto dan suaminya. Ia harus mencari
Endang Patibroto dan Pangeran Panjirawit. Ia menyesal
mengapa tidak datang lebih pagi. Peristiwa penyerbuan
penjara oleh Endang Patibroto itu baru terjadi dua hari yang
lalu! Adipati Tejolaksono memeras otaknya. Di dalam gelap,
ia berhenti berjalan, lalu duduk bersila, merenung dan
mengerjakan otaknya. Peristiwa ini terlalu aneh, tidak
mungkin terjadi tanpa dasar yang amat kuat. Ia merasa
yakin bahwa tentu ada sesuatu yang menggerakkan semua
itu, sesuatu yang memaksa Endang Patibroto melakukan
perbuatan-perbuatan hebat itu, yakni menyerbu istana
Pangeran Darmokusumo dan kemudian menyerbu penjara
membebaskan suaminya, melawan perajurit-perajurit mertuanya sendiri, Sang Prabu Jenggala! Dan, satu-satunya
hal yang mungkin terjadi adalah bahwa tentu penggerak itu
merupakan musuh besar Kerajaan Jenggala dan Panjalu.
Siapa" Kadipaten Nusabarung merupakan musuh besar
terakhir dari Jenggala, akan tetapi kadipaten itu telah
dihancurkan. Siapa lagi yang dapat memusuhi Jenggala dan
Panjalu" Memang banyak kerajaan-kerajaan kecil yang
tidak tunduk kepada kedua kerajaan ini, akan tetapi mereka
itu tak mungkin dapat melakukan hal yang amat hebat ini.
Kemudian ia teringat. Bukankah kerajaan Adipati
Nusabarung mempunyai sekutu yang amat besar dan kuat"
Adipati di Blambangan! Ya, kiranya Kadipaten Blambangan inilah merupakan satu?satunya musuh besar
yang termasuk kuat dan berbahaya. Akan tetapi bagaimana
Blambangan dapat mempengaruhi Endang Patibroto"
Inipun kiranya tak masuk di akal karena setahunya,
hubungan Endang Patibroto dengan pengaruh-pengaruh
luar hanya dengan Dibyo Mamangkoro yang telah
meninggal dunia, pula, Kerajaan Wengker di mana dahulu
Dibyo Mamangkoro menjadi senopati besarnya, kini telah
tiada pula. Adipati Tejolaksono bangkit berdiri, menuntun kudanya,
kemudian melompat naik ke punggung kudanya.
"Dawuk, satu-satunya peganganku hanya Blambangan.
Semoga tidak salah perhitunganku. Kita ke Blambangan!"
Ia menarik kendali kudanya dan mulailah ia melakukan
perjalanan, menuju ke timur. Ke Blambangan!
Pada malam ke dua tibalah ia di lembah Sungai
Menjangan setelah melewati Gunung Semeru. Tiba-tiba
kudanya Si Dawuk mengeluarkan ringkik perlahan.
Tejolaksono menjadi waspada, cepat meloncat turun dan
membiarkan kudanya terlepas di dekat sungai di mana
terdapat banyak daun dan rumput hijau gemuk. Kemudian
ia berjalan ke sebelah kira ke mana tadi kudanya menoleh
ketika mengeluarkan ringkikan. Ia percaya akan ketajaman,
ke enam yang amat tajam dari binatang tunggangannya.
Kalau Si Dawuk meringkik seperti itu, tentu ada apa-apa
yang tidak wajar di sebelah kiri itu. Berindap-indap Adipati
Tejolaksono berjalan dan matanya tajam meneliti keadaan
sekelilingnya, siap menghadapi segala kemungkinan.
Malam itu bulan purnama menerangi jagat raya dan
biarpun keadaan remang-remang namun Tejolaksono dapat
melihat dengan terang. Tiba-tiba ia merighentikan langkahnya.
Ada suara mengerang perlahan, agak jauh dari tempat ia
berdiri. Agaknya suara itulah yang tadi mengejutkan
kudanya. Suara itu terdengar memang aneh, bukan seperti
suara manusia, akan tetapi juga tak pernah ia mendengar
ada binatang yang suaranya seperti itu. Cepat ia melangkah
maju ke arah suara. Kiranya suara itu terdengar dari sebuah
jurang atau sumur tua yang dalamnya kurang lebih tiga
meter. Dan di atas sumur itu, ia melihat sesuatu bergerakgerak. Cahaya bulan tidak mencapai dasar sumur sehingga
keadaan amat gelap. "Kisanak, siapakah andika yang berada di dasar jurang?"
tanya Tejolaksono sambil berjongkok di pinggir jurang.
Lama ia menanti jawabannya. Namun tidak ada jawaban.
Kemudian terdengar suara merintih lagi, kini jelas suara
manusia mengaduh. Ada manusia yang membutuhkan pertolongan! Adipati
Tejolaksono yang berjiwa satria, tentu saja tidak membuang
waktu untuk meragu di mana tenaganya dibutuhkan orang
lain. Ia segera lari ke arah serurnpun bambu yang tumbuh
tak jauh dari situ. Dengan pengerahan tenaga saktinya,
tangan kanannya membabat ke bagian bawah sebatang
pohon bambu dan .............. "krakkkI" pohon itu jebol dan
tumbang. Dia lalu menyeret pohon yang amat panjang itu,
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diturunkan perlahan ke dalam sumur. Ternyata pohon baru
itu cukup tinggi sehingga dapat mencapai dasar sumur.
Merayaplah Adipati Tejolaksono turun ke dalam sumur
melalui batang pohon bambu.
Keadaan di dasar sumur gelap, remang-remang namun
setelah matanya biasa dengan kegelapan itu, Tejolaksono
dapat melihat sosok tubuh seorang laki-laki tinggi besar
rebah miring sambil mengerang kesakitan. Ia meraba, lalu
mengangkat tubuh itu dan memanggulnya. Perlahan ia
memanjat batang bambu ke atas, kemudian mengerahkan
tenaganya meloncat keluar lubang sumur.
"Aduh.............. aduhh.............. I" Laki-laki tinggi besar
itu ternyata tubuhnya berlumur darah. Ketika memeriksanya di bawah sinar bulan, tampak oleh
Tejolaksono gagang sebatang keris tersembul keluar dari
dadanya. Keris itu menancap di dada sampai ke hulu
kerisnya. "Paman, siapakah andika dan mengapa berada dalam
sumur dalam keadaan begini?" Tejolaksono bertanya
setelah melihat bahwa laki-laki tinggi besar itu adalah
seorang kakek yang bertampang gagah dan bertubuh kuat
sekali. Ia sudah terheran-heran mengapa kakek ini belum
tewas oleh luka di dadanya yang hebat itu. Tahulah ia
bahwa orang ini bukan orang sembarangan, karena kalau
tidak berkepandaian tinggi tentu tak dapat bertahan.
Itu mernbelalakkan matanya, mengerang lagi perlahan
lalu berkata, "Terima kasih....... terima kasih. ....
aduhhh....... kasihan kau, gusti puteri Endang Patibroto.......
aduhh, Gusti Dlbyo Mamangkoro.. ..... maafkan hamba......., Maafkan hamba tidak dapat melindungi murid
paduka ...... . auugggghhh.......!"
Adipati Tejolaksono terkejut sekali. Cepat ia menyentuh
punggung orang itu, rnengerahkan aji kesaktian sehingga
hawa panas keluar dari pusarnya melalui tangan dan
menembus kulit punggung. Orang itu mengeluarkan seruan
perlahan, agaknya terheran, kemudian napasnya yang
terengah-engah itu mulai tenang.
"Kau....... kau siapa.. ...?" Agaknya kakek iniheran
menyaksikan betapa orang yang mengangkatnya keluar dari
sumur ini memiliki ilmu yang demikian hebat. Tadinya ia
mengira bahwa yang menolongnya hanyalah seorang petani
biasa. "Paman, aku adalah saudara Endang Patibroto! Ke mana
dia" Dan apakah yang telah terjadi dengannya" Katakanlah,
pamanI" "Uuhh....... siapa kau.......?"
AdIpati Tejolaksono berpikir sebentar. orang ini
menyebut-nyebut nama Dibyo Mamangkoro, tentu anak
buah guru Endang Patibroto itu. Kalau ia menyebut
namanya yang sekarang, tentu tidak mengenalnya. Maka ia
lalu berkata, "Paman, namaku adalah Koko Wandiro......."
Tiba-tiba orang Itu berseru dan tangannya yang besar itu
melayang, menghantam ke arah muka Adlpati Tejolaksono.
Tentu saja dengan mudah Tejolaksono mengelak dan orang
itu kembali mengerang kesakitan.
"Aduh, keparat. ...... ! Kau.... kau pembunuh gusti
senopati Dibyo Mamangkoro.............. !
Memang Adipati Tejolaksono dahulu telah membunuh
manusia iblis itu (baca cerita Badan Laut Selatan). "Paman,
betapapun juga, aku adalah saudara Endang Patibroto.
Kalau engkau gagal menolongnya, barangkali aku yang
akan dapat menolongnya!"
"Benar.............. uuhh, benar.............. nah, dengarlah
orang muda." Kakek itu bukan lain adalah Ki Brejeng, bekas anak buah
Dibyo Mamangkoro. Seperti telah kita ketahui di bagian
depan cerita ini, Ki Brejeng telah menjadi anak buah Raden
Sindupati pemimpin pasukan Blambangan dan telah ikut
menjalankan siasat membujuk dan mempengaruhi Endang
Patibroto sehingga wanita yang bernasib malang itu
terbujuk ikut dengan rombongan itu ke Blambangan. Ketika
rombongan tiba di lembah Sugai Menjangan, malam telah
tiba dan mereka membuat pesanggrahan darurat di situ.
Malam harinya, Raden Sindupati yang tak dapat menahan
lagi nafsu hatinya yang sudah tergila-gila akan kecantikan
Endang Patibroto, diam-diam dibantu oleh beberapa orang
anak buahnya hendak menyergap wanita itu dengan
menggunakan racun memabukkan dalam makanan yang
dihidangkan kepada wanita itu. Akan tetapi, Ki Brejeng
yang merasa sayang kepada murid bekas junjungannya,
tahu akan hal ini dan segera mencegahnya. Dia diam-diam
masih amat setia kepada Dibyo Mamangkoro dan karena
itu setia pula kepada Endang Patlbroto. Biarpun ia mau
diajak menipu Endang Patibroto, namun diam-diam ia
selalu memasang mata dan bersiap melindungi puteri yang
dikasihinya ini. "Demikianlah, raden.............. aku mengganti makanan
yang disuguhkan gusti puteri sehingga usaha keji Raden
Sindupati itu tak berhasil. Akan tetapi ...... . mereka
mengetahui perbuatanku ini maka ketika malam itu aku
tidur, mereka menyergap. Sia-sia aku melawan. Mereka
sakti dan akhirnya aku roboh tertikam kerisku sendiri yang
terampas oleh Raden Sindupati,. Setelah sadar, aku
mendapatkan diriku di dalam sumur sampai tiga hari tiga
malam. Kebetulan kau dapat menolongku keluar..............
Adipati Tejolaksono terkejut dan diam-diam ia makin
kagum. Kakek ini hebat sekali. Terluka begitu parah masih
dapat bertahan untuk hidup selama tiga hari tiga malam di
dasar sumur! "Akan tetapi, paman. Mengapakah paman Brejeng
berada dalam rombongan Sindupati dan mengapa pula
Endang Patibroto ikut bersama kalian?"
Dengan napas terengah-engah Ki Brejeng menceritakan
riwayatnya, kemudian ia mulai menceritakan semua
peristiwa yang terjadi, semua siasat Blambangan yang
mempergunakan Wiku Kalawisesa untuk menyebar maut di
antara para ponggawa kedua kerajaan dan betapa siasat itu
selanjutnya menimpakan kesalahan di pundak Endang
Patibroto, menyebar desas-desus kemudian betapa Enbang
Patibroto tertipu oleh penuturan Wiku Kalawisesa untuk
mengadu domba dia dengan Pangeran Darmokusumo.
Adipati Tejolaksono terheran-heran dan bukan main
marahnya mendengar semua siasat jahat Blambangan itu.
"Demikianlah..............
dia.............. dia terbujuk.............. ikut ke Blambangan dan . ..... . dan ......
ah, nasibnya tentu ..... tertimpa bencana hebat di
sana.............. aku.............. aku tak berhasil..............
aaaahhhhh!" Tubuh tinggi besar itu mengejang lalu lemas
dan habislah riwayat Ki Brejeng karena nyawanya telah
meninggalkan badannya. Adipati Tejolaksono bangkit berdiri, mengepal tinju. Tak
salah dugaannya. Blambangan yang berdiri di belakang
semua peristiwa di Jenggala dan Panjalu itu, dan Endang
Patibroto yang menjadi korban. Ia menyesal sekali mengapa
Ki Brejeng keburu tewas sehingga ia tidak dapat bertanya
lebih jelas. Ia tidak tahu bagaimana jadinya dengan
Pangeran Panjirawit, Endang Patibroto. Dalam erita yang
singkat dan terputus-putus tadi, Ki Brejeng tidak menyebutnyebut.nama Pangeran Panjirawit dan dia sendIri yang
pikirannya penuh dengan Endang Patibroto tidak ingat pula
untuk menanyakannya. Kalau Endang Patibroto terkena
bujukan orang-orang Blambangan, ia masih dapat
menerimanya karena ia tahu bahwa Endang Patibroto yang
tentu marah sekali karena dituduh melakukan pembunuhan-pembunuhan itu kemudian diadu domba
dengan fihak Panjalu, tentu marah kepada kedua kerajaan
itu dan mudah dihasut oleh orang Blambangan. Akan
tetapi, mengapa Pangeran Panjirawit tidak mencegahnya"
Tentu pangeran itu tidak sudi melakukan pengkhianatan,
tidak sudi bersekutu dengan Blambangan. Apakah pangeran
itu tidak bersama Endang" Kalau begitu, ke mana gerangan
perginya setelah berhasil diselamatkan Endang Patibroto
dari dalam penjara" "Tidak perlu bingung, paling perlu mengejar dan
menyusul ke Blambangan!" pikirnya. "Endang Patibroto
harus ditolong, kemudian bersama wanita itu datang
menghadap kedua kerajaan untuk memberi laporan tentang
keadaan sebenarnya yang telah terjadi." Setelah berpikir
Adipati Tejolaksono menggali sebuah lubang dan mengubur
mayat Ki Brejeng. Ia melakukan hal ini karena mengingat
akan jasa dan budi Ki Brejeng terhadap Endang Patibroto.
Setelah selesai, menjelang pagi ia melanjutkan perjalanan.
Ke Blambangan. Endang Patibroto merasa menyesal dan kecewa sekali
mendengar penuturan Raden Sindupati bahwa Ki Brejeng
semalam telah melarikan diri.
"Memang selama di Blambangan, dia selalu gelisah dan
agaknya tidak kerasan. Dia yang sejak dahulu suka hidup
bertualang dan bebas, agaknya tidak tahan hidup bermalasmalasan di Blambangan. Hanya karena ia merasa berhutang
budi kepada Gusti Adipati Blambangan sajalah agaknya
yang membuat kakek itu segan meninggalkan pekerjaannya.
Akan tetapi, semenjak ia ikut bersama rombongan kami,
makin tampak sifatnya yang suka akan alam bebas.
Semalam, betapapun kami berusaha mencegahnya, ia tetap
tidak mau mendengar dan melarikan diri. Kami tidak dapat
menahannya dengan paksa. Kasihan orang tua itu, kalau
memang dia ingin hidup bebas, biarlah," demikian antara
lain keterangan Raden Sindupati kepadanya. Endang
Patibroto dapat menerima keterangan ini karena iapun
mengenal watak seorang bekas anak buah gurunya seperti
Ki Brejeng itu. Akan tetapi, sedikit banyak kepergian Ki
Brejeng mempengaruhi hatinya, membuat ia kurang
senang. Namun, karena ia harus membalas dendam hatinya
kepada Kerajaan Jenggala dan Panjalu, ia harus mencari
sekutu dan untuk menghadapi kekuatan barisan kedua
kerajaan itu, maka Kadipaten Blambangan merupakan
sekutu yang baik. Selama dalam perjalanan, Raden Sindupati memperlihatkan sikap yang amat baik, sopan dan
menghormat kepadanya sehingga senang juga hati Endang
Patibroto. Ia mengambil keputusan bahwa kalau Adipati
Blambangan kurang baik sikapnya, masih belum terlambat
baginya untuk pergi dari Blambangan dan menuntut balas
seorang diri saja. Akan tetapi, ternyata bahwa Adipati Blambangan
menyambut kedatangannya dengan sikap yang amat baik.
Adipati itu seorang tinggi besar, mukanya penuh cambang
bauk, kedua lengannya yang kuat dan besar itupun penuh
rambut yang panjang seperti lengan monyet besar. Matanya
lebar-lebar dan suaranya parau kasar, suka tertawa akan
tetapi sikapnya yang kasar itu malah menyenangkan hati
Endang Patibroto, mengingatkannya kepada mendiang
gurunya, Dibyo Mamangkoro.
Adipati Blambangan itu bernama Adipati Menak
Linggo, dahulunya seorang adipati-yang diangkat oleh raja
di Bali, akan tetapi yang kemudian memberontak dan
berdiri sendiri tidak mengakui kedaulatan Raja Bali
maupun Kerajaan Jenggala dan Panjalu. Berkali-kali
Kerajaan Bali mengirim pasukan untuk menyerang, namun
selalu dipukul mundur oleh barisan Kadipaten Blambangan
yang kini menjadi kuat dan memiliki banyak panglimapanglima yang sakti. Adipati Menak Linggo yang tinggi besar dan tubuhnya
penuh bulu itu memiliki kekuatan yang dahsyat. Kabarnya,
ketika gajah putih Dwipangga Seta yang didapatnya sebagai
hadiah dari barat pada suatu hari mengamuk, kepalan
tangan kanan Adipati Menak Linggo inilah yang
menundukkannya, dengan sekali pukulan membikin pecah
kepala gajah yang mengamuk itu sehingga tewas seketika!
Di samping tenaganya yang dahsyat, adipati ini wataknya
keras dan dengan tangannya sendiri, ponggawanya yang
bersalah akan dipukulnya mati sekali pukul! Akan tetapi, di
samping kekerasan terhadap yang salah, adipati ini terkenal
royal dan pandai mengambil hati ponggawa-ponggawa
yang pandai dan berjasa sehingga para ponggawa yang
pandai suka mengabdi kepadanya. Sebagal contoh akan
keroyalannya, karena melihat kesetiaan dan kepandaian
Raden Sindupati, ia tidak saja membiarkan Raden
Sindupati bermain gila dengan selir-selirnya yang cantikcantik dan banyak jumlahnya, bahkan ia menyerahkan
seorang di antara puteri-puteri sellrnya yang baru berusia
lima belas tahun untuk diselir oleh Raden Sindupati yang
tak pernah mempunyai isteri.
Banyak sekali senopatl-senopati yang sakti mandraguna
dan pandai memimpin tentara bekerja di Blambangan.
Selain Raden Sindupatl yang selain sakti juga amat pandai
bersiasat dan
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dua bersaudara Klabangkoro dan Klabangmuko yang kuat dan setia, masih terdapat banyak
senopati-senopati yang sakti, di antaranya yang paling
menyolok adalah Ki Patih Kalanarmodo, Patih Blambangan yang masih tunggal guru dengan Adipati
Menak Linggo. Kalau sang adipati berusia lima puluh
tahun dan bertubuh tinggi besar, ki patih ini usianya lebih
tua lima tahun, tubuhnya tinggi kurus dan kelihatan seperti
orang berpenyakitan. Akan tetapi kalau orang , sudah
menyaksikan tandangnya (sepak terjangnya), dia akan
terkejut sekali. Ki patih ini adalah seorang yang amat ahli
dalam air. Ia pandai berenang seperti seekor ikan hiu, kuat
sampai lama sekali menyelam dalam air dan pandai
mengatur barisan yang bergerak di atas perahu-perahu.
Berkat kepandaian ki patih inilah maka beberapa kali
barisan Bali yang menyerang melalui laut, selalu mengalami
kegagalan. Selain ahli dalam hal itu, juga ki patih ini
memiliki tubuh yang licin seperti belut. Kabarnya, dia tidak
dapat dibelenggu, tidak dapat dirantai. Betapapun kuat
orang merantai dan mengikatnya, tubuhnya yang licin
seperti belut itu pasti akan dapat terlepas dalam waktu
singkat! Orang ke dua yang terkenal sekali dalam barisan
senopati Blambangan adalah Mayangkurdo. Senopati
Blambangan ini adalah seorang peranakan Bali, tubuhnya
besar sekali akan tetapi pendek sehingga kelihatan persegi
empat! Kekuatannya amat mengagumkan dan selain kuat,
iapun kebal tidak termakan senjata tajam dan runcing.
"Huah-hah-ha-ha-ha! Bagus, bagus ...... ! Aaahh, wong
denok ayu yang gagah perkasa! Endang Patibroto yang.
sakti -manraguna! Aha, sudah lama sekali aku mendengar
tentang dirimu yang amat mengagumkan! Bagus, andika
suka datang bersama Sindupati senopatiku yang setia.
Bagus sekali! Sudah kudengar pelaporan juru berita tentang
malapetaka yang menimpa dirimu. Waaahhh! Memang
Raja Jenggala itu seorang manusia tak berjantung! Tega
membunuh putera sendiri dan menjatuhkan fitnah keji
kepada seorang puteri mantu yang begini denok, begini
perkasa! Keparat! Dan apa pula itu Raja Panjalu! Halus
mulus seperti wanita! Tidak patut! Tidak patut! Harus
dihancurkan Jenggala dan Panjalu, dibumihanguskan
disamaratakan dengan bumi. Eh, sang puteri, Endang
Patibroto. Katakanlah, apa kehendakmu sekarang setelah
andika menghadap di depanku, heh?"
Ucapan sang adipati ini kasar sekali, akan tetapi Endang
Patibroto sudah biasa dengan sikap dan ucapan kasar.
Gurunya dahulu, Dibyo Mamangkoro, lebih kasar daripada
adipati ini. Dahulu, dalam pergaulannya dengan gurunya
dan anak buah gurunya, semua laki-laki itu kasar dan tidak
sopan, akan tetapi di dalam kekasaran mereka itu ia melihat
suatu keindahan, yaitu keindahan daripada sikap jantan
yang terus terang dan jujur polos! Karena itulah maka kini
ia menilai sang adipati dengan kesan yang baik pula,
menganggap bahwa Adipati Menak Linggo inipun tentu
seorang kasar yang jujur! Endang Patibroto sama sekali
tidak tahu bahwa kekasaran sikap seorang laki-laki tidak
dapat dijadikan ukuran bahwa ia jujur dan setia! Ia sama
sekali tidak tahu, bahkan mendugapun tidak bahwa di balik
kekasaran watak Sang Adipati Blambangan ini tersembunyi
kecerdikan dan kepalsuan yang mengerikan!
Teringat akan persamaan watak adipati ini dengan
gurunya, Endang Patibroto tersenyum. Disebut wong denok
ayu oleh seorang bersikap seperti ini tidaklah menyakitkan
hati, bahkan menyenangkan karena ia tahu bahwa di balik
sebutan yang amat bebas dan berani ini tidak tersembunyi
maksud buruk. Andaikata orang lain yang menyebutnya
demikian, dengan sikap mencumbu atau berkurang ajar,
tentu tanpa banyak cakap lagi ia akan turun tangan
menghajarnya, mungkin membunuhnya!
"Adipati Menak Linggo, hatikupun lega melihat dan
bertemu denganmu. Kau bertanya tentang kehendakku
datang ke Blambangan dan bertemu denganmu" Sudah jelas
dan agaknya Raden Sindupati sudah menyampaikan
pelaporan kepadamu bahwa aku ingin sekali membalas
dendam atas kematian suamiku dan atas pencemaran nama
baikku. Karena itu, mendengar bahwa engkau berhasrat
hendak menyerang Jenggala, maka aku ingin bekerja sama
denganmu. Aku ingin menjadi senopati jika bala tentaramu
menyerang Jenggala."
"Huah-ha-ha-ha-ha! Hebat engkau! Hebat sekali! Siapa
menyangka bahwa dalam tubuh yang denok ayu, di balik
wajah yang cantik jelita, seperti -Dewi Sri, bersembunyi
semangat yang membara! Bagus, bagus! Mulai saat ini,
anggaplah dirimu sendiri sebagai senopatiku! Ha-ha-ha-ha!
Di mana di dunia ini ada seorang adipati yang mempunyai
seorang senopati begini hebat, begini bahenol (denok)" Eh,
senopatiku yang denok, tahukah engkau syarat menjadi
senopati?" "Adipati, di waktu aku baru berusia belasan tahun, aku
sudah pernah menjadi senopati Kerajaan Jenggala! Tentu
saja syarat seorang senopati harus pandai mengatur barisan,
harus memiliki kesaktian dan keberanian, dan harus setia."
Tentu saja Sang Adipati Menak Linggo tahu akan
kesemuanya itu. Ia tahu betul siapa wanita di depannya ini.
Tahu bahwa wanita sakti inilah yang menggegerkan
Kerajaan Jenggala dan Panjalu. Wanita inilah yang
membunuhi orang orang perkasa, dan yang amat
menyakitkan hatinya adalah terbunuhnya pamannya, yaitu
Bhagawan Kundilomuko di tangan wanita ini! Akan tetapi
semua ini hanya terkandung di dalam hati Sang Adipati
Menak Linggo, sedangkan pada wajahnya yang penuh
cambang bauk itu tidak tampak sesuatu kecuali ketawa
riang gembira. "Heh-heh, bagus-bagus! Memang ltulah syaratnya, akan
tetapi bagaimana aku tahu bahwa kesaktianmu yang
tersohor luar biasa itu benar-benar dapat mengatasi semua
senopatiku" Ha-ha-ha, ketahuilah, Endang Patibroto
senopatiku, di Blambangan ini aku mempunyai banyak
sekali senopati yang sakti mandraguna! Dan perang
terhadap Jenggala dan Panjalu adalah perang besar yang
tidak ringan. Aku sendiri harus maju dan tentu saja yang
menjadi senopati beryuda (berperang) harus yang terbaik di
antara semua senopatiku!"
Merah kedua pipi yang halus seperti lilin itu. Endang
Patibroto yang masih berdiri di depan Adipati Menak
Linggo yang duduk, kini menyapu ruangan paseban itu
dengan pandang matanya. Ia memandang setiap orang yang
hadir, yang duduk bersila di atas lantai. Mereka yang
bertemu pandang dengan mata Endang Patibroto, melihat
sinar mata yang tajarn seperti ujung keris pusaka, yang
mengandung cahaya panas berahi, yang amat berwibawa
dan yang jelas membayangkan keberanian yang mengerikan. Banyak di antara para ponggawa yang hadir,
tak dapat lama-lama menentang pandang mata seperti itu,
ada yang menunduk, dan ada pula yang memaksa bertahan
untuk akhirnya berkedip-kedip!
"Adipati Menak Linggo! Untuk membuktikan kesanggupanku, aku bersedia melayani semua senopatimu
untuk bertanding kedigdayaan!"
"Huah-hah-hah-hah!" Adipati Menak Linggo menoleh ke
kanan kiri, memandangi para senopatinya. sambil terkekehkekeh. "Para senopatiku ditantang! Ditantang bertanding
kedigdayaan oleh seorang wanita cantik jelita! Hah-ha-haha, apakah ini tidak menggelikan" Hayo, siapa yang
berani?"" Seorang di antara para senopati Blambangan itu adalah
seorang yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun,
wajahnya tampan, tubuhnya sedang akan tetapi wajahnya
agak pucat dan matanya kemerahan penuh nafsu berahi.
Pemuda ini seorang senopati yang terkenal pandai bermain
panah, namanya Haryo Baruno. Di samping ahli bermain
panah, juga dia seorang ahli bermain asmara! Semacam
Raden Sindupati akan tetapi lebih parah lagi. Kalau Raden
Sindupati mencari korban nafsunya di antara para puteri,
adalah Haryo Baruno ini begitu mata keranjangnya
sehingga siapa saja, asal dia wanita masih muda dan tidak
cacad, tentu tidak terlepas daripada incaran dan godaannya.
Semenjak tadi ia melihat tubuh belakang Endang Patibroto
dan jantungnya sudah jungkir-balik tidak karuan. Berkalikali kalamenjingnya bergerak turun naik ketika ia menelan
ludah saking besarnya dorongan hasrat dan gairah nafsu
berahinya. Baru melihat bentuk pinggul itu saja, ia sudah
tergila-gila, apalagi ketika Endang Patibroto memutar tubuh
dan tampak wajahnya. Haryo Baruno melongo dan pandang matanya seakan
hendak menelan Endang Patibroto bulat-bulat! Ia baru
sekali ini melihat dan mendengar nama Endang Patibroto
maka tentu saja akan kesaktian yang dipuji-puji setinggi
langit oleh Adipati Menak Linggo, ia sama sekali tidak
memandang sebelah mata. Kini, begitu melihat kesempatan
untuk mempermainkan Endang Patibroto seperti yang biasa
ia lakukan terhadap setiap wanita, berkatalah ia cepat-cepat
sebelum lain orang ada yang mendahuluinya,
"Gusti adipati, hamba rasa amatlah sayang kalau kulit
yang begitu halus menjadi lecet dalam bermain yuda!
Hamba berani menantangnya mengadu kelincahan. Kalau
dia dapat mengelak semua usaha hamba untuk memeluk
dan menciumnya, hamba akan mengaku kalah dan tidak
berkeberatan dia menjadi senopati perang, yaitu setelah
lima kali hamba menubruknya. Akan tetapi, kalau sampai
dapat terpeluk dan tercium oleh hamba sang dewi yang
jelita ini harus menemani hamba, tidur selama..............
aaauuuuggghhh .............. !!" Tahu-tahu tubuh Haryo
Baruno terlempar sampai menabrak dinding ruangan itu
dan ketika tubuhnya terbanting ke atas lantai, darah
mengalir dari telinga, mulut, hidung dan mata. Kepalanya
telah pecah dan tewas seketika!
Semua orang melongo, terbelalak dan kaget sekali.
Mereka tadi hanya melihat tubuh Endang Patibroto
bergerak ke arah Haryo Baruno dan tangan kanan wanita
itu bergerak menghantam. Tahu-tahu senopati muda itu
telah terlempar dan tewas dalam keadaan begitu
mengerikan. Bahkan Adipati Menak Linggo sendirl merasa
kaget dan ngeri. Bukan main hebatnya wanita ini. Pantas
saja pamannya yang sakti, Bhagawan Kundilomuko, tewas
di tangan wanita ini. Juga sekutu utusannya, Sang Wiku
Kalawisesa juga tewas di tangannya!
"Eh....... hoh-hoh?"?"?"" kenapa.. ..... " Kenapa kau
membunuh seorang senopatiku begitu saja di hadapanku,
Endang Patlbroto?" Baru sekali ini sejak tadi sang adipati
tidak tertawa, mukanya yang penuh cambang bauk itu
kemerahan, matanya melotot lebih lebar lagi dan air
ludahnya muncrat-muncrat ketika ia menegur.
Endang Patibroto yang tadi menghajar mampus Haryo
Baruno dengan gerak Bayu Tantra dilanjutkan pukulan
Pethit Nogo kemudian secepat kilat melayang kembali ke
tempatnya yang tadi, perlahan-lahan memutar tumit
kakinya menghadapi sang adipati. Bibir yang manis itu
tersenyum dan orang yang sudah mengenal watak Endang
Patibroto sebelum menjadi isteri Pangeran Panjirawit,
senyum ini amat mengerikan. Makin manis senyum
Endang Patibroto seperti itu, makin berbahayalah dia
karena senyum ini menyembunyikan gelora hati yang
marah! "Adipati Menak Linggo, maafkan kalau aku telah
mengotori ruangan persidanganmu, akan tetapi aku tidak
bisa membiarkan seorang macam dia menghinaku.
Siapapun orangnya, kalau berani mengucapkan kata-kata
kotor menghina seperti itu kepadaku, tentu akan kubunuh,
di manapun ia berada dan bilamanapun!"
Adipati Menak Linggo termenung sebentar, mengerutkan alisnya yang tebal sekali, kemudian bertanya,
"Kalau ada senopati hendak mengujimu, apakah kaupun
akan turun tangan membunuhnya?"
Endang Patibroto menggeleng kepala. "Tentu saja tidak.
Bertanding mengadu kedigdayaan bukanlah pertandingan
mengadu nyawa. Penghinaan berbeda lagi, harus dibalas
dengan kematian. Sampai di mana harga diri seorang
wanita kalau membiarkan dirinya diperhina laki-laki seperti
yang dikeluarkan dari mulut lakilaki keparat itu tadi?"
Adipati Menak Linggo mengangguk-angguk, kemudian
sudah menyeringai tertawa lagi, menggerakkan tangan
kepada para pengawal, "Sudah, lekas bawa keluar mayat
itu!" Para senopati yang hadir di situ diam-diam menjadi
marah sekali terhadap Endang Patibroto. Kemarahan yang
tadinya timbul oleh rasa iri hati menyaksikan betapa
junjungan mereka memuji-muji dan menghormat Endang
Patibroto secara berlebihan. Semua senopati menghadap
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambil duduk di lantai, akan tetapi wanita ini berdiri saja
dan sama sekali tidak menghormat Adipati Menak Linggo.
Kemarahan mereka makin menjadi oleh pembunuhan yang
dilakukan Endang Patibroto terhadap Haryo Baruno. Akan
tetapi, melihat kesaktian yang mengerikan itu, sebagian
besar para senopati sudah kuncup hatinya, hilang
keberaniannya untuk menentang wanita sakti itu.
"Huah-ha-ha-hal Kehebatanmu membuat hati laki-laki
menjadi kecil, Endang Patibroto. Eh, Mayangkurdo,
apakah engkau juga tidak berani menguji kedigdayaan
Endang Patibroto?" Mayangkurdo mengangkat mukanya, memandang kepada Endang Patibroto. Senopati Blambangan berusia
empat puluh tahun ini tidak pernah mengenal takut. Di
dalam perang ia terkenal sebagai penyerbu terdepan dan
jika pasukan terpaksa mengundurkan diri, selalu berada
paling -belakang. Dia adalah tokoh nomor dua di antara
para senopati yang dikepalai oleh Ki Patih Kalanarmodo
sendiri sebagai tokoh nomor satu. Kematian Haryo Baruno
tadi tidak menimbulkan perasaan sesuatu dalam hatinya
karena Mayangkurdo menganggap Haryo Baruno sebagai
seorang bawahan yang tiada artinya. Dan di antara para
senopati, yang tahu bahwa Endang Patibroto ini sebetulnya
musuh besar sang adipati yang harus dibunuh, mengerti
pula bahwa sang adipati menggunakan siasat halus,
hanyalah Ki Patih Kalanarmodo, Mayangkurdo, dan
Raden Sindupati bersama tangan kanannya, yaitu kakak
beradik Klabangkoro dan Klabangmuko. Oleh karena itulah
maka ia tidak merasa iri hati menyaksikan betapa Adipati
Menak Linggo memuji-muji Endang Patibroto.
"Hamba bersedia untuk menguji kesaktian wanita
perkasa Endang Patibroto!" katanya, maklum bahwa sang
adipati selain hendak menyuruhnya menguji kesaktian, juga
kalau mungkin membunuh wanita inil
"Ha-ha-ha, bagus sekali, Mayangkurdo. Memang
engkaulah yang pantas menandingi Endang Patibroto!" kata
sang ,adipati girang. Ruangan persidangan itu cukup luas untuk bertanding
ilmu dan para senopati sudah mundur untuk memberi
tempat yang luas bagi kedua orang yang hendak mengadu
ilmu. Endang Patibroto tersenyum, memandang calon
lawannya dengan sinar mata penuh selidik. Melihat bentuk
tubuh orang itu, ia dapat menduga bahwa Mayangkurdo
memiliki tenaga yang amat besar, dan sikap orang ini yang
tenang, pandang matanya yang tajam juga membayangkan
kekuatan dalam yang tak boleh dipandang ringan. Namun
tentu saja ia tidak takut dam sambil tersenyum ia berkata
kepada calon lawannya, "Majulah, Mayangkurdol"
"Baiklah, Endang Patibroto, kau hati-hatilah akan
seranganku!" kata pula Mayangkurdo yang sudah
menyembah sang adipati kemudian sekali tubuhnya
bergerak, ia sudah meloncat dan berhadapan dengan
Endang Patibroto. Mayangkurdo sudah memasang kuda-kuda. Kedua
kakinya bersilang, lutut ditekuk sedikit sehingga tubuhnya
yang pendek menjadi makin rendah, tangan diangkat
melengkung melindungi kepala, tangan kanan dengan jari
dikepal ditaruh di depan dada kiri, sebagian mukanya
terhalang oleh lengan kiri dan sepasang matanya mengintai
lawan dari bawah lengan kiri itu. Kuda-kudanya ini amat
kuat dan kedudukan kedua lengannya merupakan perisai
yang setiap saat dapat bergerak menangkis, akan tetapi juga
mudah dirubah untuk menjadi gerak serangan dari atas dan
bawah. Karena tubuhnya pendek, maka kuda?kuda inipun
merupakan kuda-kuda segi empat yang kokoh kuat. Lawan
akan sukar mencari lowongan atau sasaran yang mudah
"dimasuki". Melihat kuda-kuda lawan ini, Endang Patibroto diamdiam memuji. Orang ini bertenaga kuat dan agaknya sudah
menduga akan kesaktiannya maka memasang kuda-kuda
yang menitikberatkan kepada pertahanan itu. Karena tidak
mau gagal Endang Patibroto tidak tergesa-gesa. Pertandingan kali ini adalah pertandingan untuk menguji
kedigdayaan, bukan perkelahian merebut kemenangan
dengan taruhan nyawa. Kalau dalam perkelahian, ia tidak
akan berlaku terlalu sungkan atau mengalah, tentu sudah
digempurnya dengan gerak cepatnya, seperti yang telah ia
lakukan pada diri Haryo Baruno tadi. Kemenangan sekali
ini harus ia dapatkan tanpa membunuh lawan, paling-paling
hanya merobohkan dan melukainya tanpa membahayakan
keselamatan nyawa. Maka iapun lalu memasang kuda-kuda
yang amat indah dipandang. Indah dan gagah. Ia berdiri
miring dengan lawan di sebelah kanannya. Kaki kanan
diangkat dengan paha lurus kedepan, lutut ditekuk, kaki
lurus ke bawah. Kaki kiri tegak dan teguh. Lengan kanan
diangkat, tangan kanan dengan jari-jari terbuka dan
dikembangkan menghadap musuh, telapak tangan di atas
dengan ibu jari ditekuk ke dalam. Tangan kiri dikepal,
menempel di siku kanan. Matanya melirik ke kanan, ke
arah lawan. Tubuhnya tak bergerak sama sekali, teguh dan
kokoh kuat, namun indah seperti sebuah patung batu
pualam, bibirnya yang merah membasah tersenyum
mengejek. Para senopati memandang tegang. Adipati Menak
Linggo juga memandang penuh perhatian, mulutnya
menyeringai matanya melotot, tubuhnya agak condong ke
depan karena ia tidak ingin melewatkan sedikitpun gerakan
pertandingan ini. Ruangan menjadi sunyi sekali, seakan
tiada manusianya. Tiba-tiba Mayangkurdo bergerak, mula-mula yang
tampak hanya getaran pundak dan betis, lalu terdengar ia
berseru keras dan tubuhnya sudah menerjang maju
bagaikan angin badai. "Haaaaahhhhh!!" Tubuhnya yang segi empat itu seperti
sebuah peluru menyambar ke depan, tangan kiri
mencengkeram pundak lawan, tangan kanan menyusul
dengan pukulan keras sekali ke arah perut.
"Hyaaaaattt II" Seruan nyaring inl keluar dari mulut
Endang Patibroto dan tubuhnya itu sudah melejit seperti
seekor burung walet, menghindar ke kiri Dengan
membanting kaki kanan ke depan dan membalikkan tubuh,
kini kaki kiri yang berbalik di depan. Ketika membalikkan
tubuh tadi, cengkeraman lawan terelakkan, akan tetapi,
pukulan lawan ditangkis dengan kepretan jari-jari tangan
kiri yang menyambar dari atas ke bawah, menampar lengan
kanan yang memukul perut itu dari atas ke bawah.
"Plakkk.............. !!"
"Aiiihhh I" Tubuh Mayangkurdo seperti diseret dan
hampir saja ia terbanting kalau tidak cepat-cepat ia
meloncat dan mematahkan tenaga yang mendorongnya.
Kepretan jari-jari tangan yang lentik halus itu bukan
sembarangan kiranya! Bukan sembarang tamparan, melainkan tamparan dengan jari-jari kecil halus yang penuh
berisi "setrum" Aji Pethit Nogo! Mayangkurdo menjadi
merah mukanya. Lengan kanan di bagian pergelangan yang
tercium jari-jari tangan wanita itu terasa pedas dan panas.
Ia sudah memasang kuda-kuda lagi, kini tubuhnya makin
merendah sehingga kepalanya kira-kira setinggi dada
Endang Patibroto. Di lain fihak, Endang Patibroto juga tertegun. Kepretan
jari tangannya tadi hebat sekali dan jarang ada lawan dapat
menahannya. Ia tadinya menaksir bahwa dengan pengerahan tenaga sakti Pethit Nogo, ia akan berhasil
mematahkan lawan, atau setidaknya membuat lengan
lawan keselio. Akan tetapi ternyata lawan ini hanya berseru
kesakitan saja. Ketika ia memandang, pergelangan lawan
itu jangankan patah, lecet atau bengkak pun tidak! Tahulah
ia bahwa ia berhadapan dengan lawan yang memiliki aji
kekebalan yang lumayan kuatnya. Kembali ia memasang
kuda-kuda, menanti lawan menerjang. Hanya dengan cara
inilah ia mengharapkan dapat merobohkan lawan tanpa
membunuhnya. Kalau dia yang mendahului menerjang, ia
tidak percaya kepada dirinya sendiri, tahu bahwa aji-ajinya
terlampau hebat untuk dibuat main-main. Ia khawatir kalau
ia yang menyerang, lawannya ini akan terpukul mati dan
hal ini sama sekali tidak ia kehendaki karena ia benar-benar
ingin bersekutu dengan Blambangan agar maksud hatinya
membalas dendam tercapai.
Mayangkurdo seorang senopati yang tidak mengenal
takut. Akan tetapi, gebrakan pertama membuat ia berhatihati sekali, dan tidak mau gegabah menerjang lagi seperti
tadi. Ia hanya memasang kuda-kuda, kemudian melihat
lawan tak bergerak sedikitpun, ia merubah kuda-kuda
sambil melangkah maju setindak mendekat. Endang
Patibroto tersenyum. Ia maklum bahwa perubahan kudakuda lawan ini menempatkan ia dalam posisi terbuka dan
lemah. Namun ia sengaja tidak merubah kuda-kudanya
yang amat sederhana, yaitu kedua kaki lurus, tangan kiri
miring di depan dada dengan jari terbuka, tangan kanan
menempel di pusar, juga dengan jari terbuka. Kuda-kuda ini
seperti kedudukan tangan orang yang sedang bersamadhi
berlatih pembinaan tenaga dalam. Karena kini Mayangkurdo sudah merubah kuda-kud? dan menggeser
ke sebelah kirinya, maka tentu saja kedudukan Endang
Patibroto menjadi lemah. Kuda-kuda wanita sakti ini hanya
menutup bagian depan tubuh, kalau lawan berada di
kirinya, tentu saja lambung, dan leher sebelah kirinya
menjadi terbuka dan tidak terjaga. Namun ia sengaja diam
saja untuk memberi kesempatan kepada lawan agar suka
menyerang karena iapun dapat menduga bahwa lawan
menjadi hati-hati dan tidak mau menyerang secara
sembrono seperti tadi. Saat yang dinanti-nantinya datang.
Lawan menerjang dengan dahsyat sekali dan amat cepatnya
sehingga dalam gebrakan ini, Mayangkurdo sudah
menyerangnya dengan tiga serangan hampir sekaligus, yaitu
dengan kedua tangan menyerang lambung dan leher,
disusul sabetan kaki kanan menyerimpung kakinya!
"Haiiiiittttt ......!!" Mayangkurdo berkelebat cepat sekali
ketika menyerang sehingga bagi yang tidak dapat mengikuti
gerakannya, melihat seolah-olah kedua lengannya lenyap
menjadi bayangan menyambar.
"Iiiiihhhh!!" Endang Patibroto berseru perlahan dan.............. bagi Mayangkurdo, tubuh lawannya itu tibatiba saja lenyap sehingga tiga serangannya mengenai angin
kosong! Barulah ia tahu ketika ada angin menyambar dari
atas, cepat ia menangkis, namun kalah cepat karena
pundaknya tiba-tiba disambar sesuatu yang lunak namun
beratnya seperti Gunung Semeru menindih pundak. Ia
merasa pundaknya seperti ambleg dan kedua kakinya
menggigil dan tak dapat ia pertahankan lagi sehingga ia
mendeprok berlutut! Kepalanya terasa pening, pandang
matanya berkunang?kunang akan tetapi senopati yang
tangguh ini belum juga roboh!
Bagi orang lain yang menonton, mereka melongo ketika
tadi melihat betapa tiba-tiba tubuh Endang Patibroto yang
diserang dahsyat itu melambung tinggi melewati atas kepala
Mayangkurdo dan dari atas, Endang Patibroto menggunakan tangan kirinya menghantam pundak lawan.
Biarpun kelihatannya hanya menepuk perlahan, namun
sesungguhnya telapak tangan kiri wanita sakti ini
menggunakan Aji Gelap Musti yang ampuhnya menggila
dan hebatnya seperti kilat menyambar. Sengaja Endang
Patibroto tidak menggunakan Aji Pethit Nogo karena
khawatir kalau-kalau ia akan meremukkan tulang pundak
dan hal ini terlalu berat bagi lawan. Memang ada perbedaan
antara semua aji yang dimiliki Endang Patibroto.
Aji Pethit Nogo (Ekor Naga) keistimewaannya adalah
hawa sakti yang memenuhi ujung-ujung jari tangan. Aji ini
didapatnya dari kakeknya, Resi Bhargowo. Karena terdapat
di ujung-ujung jari, maka digunakan sebagai tamparan atau
kepretan dan jari-jari yang berubah menjadi sekuat ekor
naga ini dapat meremukkan tulang-tulang yang tertampar.
Adapun aji pukulan Gelap Musti (Tinju Petir) ini dapat
dipergunakan dengan tangan terkepal atau hanya dengan
telapak tangan yang penuh dengan getaran tenaga yang
timbul dari hawa sakti. Pukulan ini selain terasa berat
seperti tindihan gunung, juga mengandung hawa panas
yang melumpuhkan lawan, akan tetapi sifatnya tidak
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"tajam" sehingga tidak membahayakan tulang seperti
halnya Aji Pethit Nogo. Ada lagi ilmu pukulan hebat luar
biasa yang dimiliki Endang Patibroto, yaitu yang disebut
Aji Pukulan Wisangnala (Hati Beracun). Pukulan ini hanya
dapat digunakan jika ia berada dalam keadaan marah dan
sakit hati, jika ia bermaksud untuk membunuh lawan
karena kemarahan yang hebatlah yang menjadi pendorong
pukulan ini hingga menjadi pukulan beracun yang dapat
menghanguskan isi rongga dada Iawan! Ilmu-ilmu yang
hebat ini ia dapatkan dari gurunya si manusia iblis Dibyo
Mamangkoro! Kembali Endang Patibroto tertegun. Pukulan yang ke
dua itu, Gelap Musti, amat kuat dan ia tadinya
mengharapkan memukul pingsan lawan. Akan tetapi siapa
kira, lawannya hanya jatuh terduduk dan pening sejenak,
terbukti dari kedua matanya yang dipejamkan. Kemudian
tubuh pendek besar itu sudah meloncat bangun lagi seakanakan tidak pernah terpukul aji yang ampuh!
"Hebat.............. !!" katanya di dalam hati. Kiranya
Blambangan memiliki senopati-senopati yang begini kuat.
Ia tahu bahwa dalam hal kekebalan, Mayangkurdo ini tentu
jauh lebih menang daripada Raden Sindupati, sungguhpun
dalam hal ilmu silat, si pendek besar ini masih kalah
setingkat. Pada saat itu, Mayangkurdo yang sudah menjadi marah
sekali, telah menerjangnya secara bertubi-tubi dan hebat.
Kali ini, dari kerongkongan Mayangkurdo terdengar suara
menggereng-gereng seperti seekor harimau terluka. Namun
serangan yang cepat ini malah menggirangkan hati Endang
Patibroto. Makin cepat lawan menyerang, makin baik
baginya karena jangankan hanya dengan gerak cepat yang
dimiliki Mayangkurdo seperti itu, andaikata Mayangkurdo
memlliki yang berlipat ganda, takkan dapat menandingi
gerak cepatnya dengan aji Bayu Tantra ditambah gerakangerakan burung walet dan camar yang ia pelajari dahulu di
waktu kecilnya darI ibunya, Kartikosari! Makin cepat
Mayangkurdo menyerang, makin cepat pula tubuh Endang
Patibroto bergerak mengelak sehingga lenyaplah bentuk
tubuhnya, berubah menjadi bayangan yang kerkelebat ke
sana ke mari! Mayangkurdo menjadi pening kepalanya,
pandang matanya berkunang-kunang karena ia merasa
seakan-akan bertanding melawan bayangannya sendiri.
Para senopati, termasuk juga Adipati Menak Linggo,
memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.
Gentarlah rasa hati mereka. Kecuali Raden Sindupati yang
menonton dengan pandang mata penuh kekaguman dan
dengan hati makin berdebar penuh rasa cinta berahi. Ia
harus mendapatkan wanita ini! Harus! Belum pernah
selama hidupnya ia mendapatkan seorang kekasih seperti
Endang Patibroto ini, dalam mimpipun tidak pernah. Ia
harus menggunakan akal, la harus berhasil memiliki tubuh
denok ayu yang penuh dengan hawa sakti itu! Harus!
Pertandingan berjalan makin seru dan gerakan Endang
Patibroto makin cepat sehingga akhirnya Mayangkurdo
menyerang secara ngawur. Ke manapun ia melihat
bayangan berkelebat, ke sanalah ia mengirim tinjunya..
Akan tetapi karena bayangan itu makin lama makin banyak
dan berkelebat di sekeliling tubuhnya, iapun ikut berputaran
sambil menghantam sana sini sampai akhirnya ia roboh terguling pingsan dalam keadaan mata ter-belalak dan napas
hampir putus, tubuhnya-kejang-kejangl
Endang Patibroto berhenti bergerak, dan melihat
keadaan lawannya, ia kaget sekali. Ia tahu bahwa biarpun ia
tadi tidak memukul, namun keadaan Mayangkurdo kini
lebih berbahaya lagi. Lawannya ini telah mengalami akibat
daripada tenaga sendiri yang membalik, ditambah pening
dan kemarahan meluap-luap sehingga kalau dibiarkan
dalam keadaan seperti ini, ada bahaya akan putus
napasnya. Cepat ia menepuk pundak lawan yang segera
lenyap kejangnya, tubuhnya lemas dan pingsan, akan tetapi
napasnyapun tidak magap-megap seperti. tadi. Dan ketika
menotok pundak orang itu, diam-diam Endang Patibroto
terkejut dan kagum karena baru ia tahu sekarang bahwa
orang ini memiliki ilmu kekebalan yang setingkat dengan
ilmu kekebalan gurunya, Dibyo Mamangkoro. Pantas saja
kuat menahan pukulan-pukulan ampuh.
Kini berisiklah ruangan persidangan itu. Para senopati
saling berbisik dan rata-rata mereka itu memuji kehebatan
ilmu kesaktian Endang Patibroto. Bahkan Adipati Menak
Linggo sampai lama tertegun, kemudian setelah melihat
Mayangkurdo bergerak dan bangkit duduk sambil
mengeluh, barulah ia tertawa terbahak.
"Ha-ha-ha-ha! Engkau benar hebat, Endang Patibroto!"
Endang Patibroto menghadapi Adipati Menak Linggo,
hatlnya merasa puas. "Memang sejak kecil aku digembleng.
untuk menjadi senopati, adipati! Kalau engkau masih belum
yakin, boleh mengajukan penguji lagi." Ia menoleh ke
sekelllingnya dan kali ini semua yang bertemu pandang
dengannya, cepat?cepat menundukkan muka. "Masih ada
lagikah senopati gemblengan yang hendak main-main
sebentar dengan aku?"
Kembali sunyi senyap di situ. Ketegangan timbul karena
tantangan Endang Patibroto ini. Adipati Menak Linggo
sendiri menjadi malu karena senopatinya seperti serombongan kelinci melihat munculnya seekor harimau
buas. Bagaimanakah para jagoannya yang biasanya galakgalak itu kini menjadi seperti orong-orong terpijak, tidak
ada suaranya sama sekali"
Terdengar orang batuk-batuk, batuk buatan yang
dimaksudkan mengusir keheningan yang mencekam. "Gusti
adipati, kalau paduka menghendaki, biarlah hamba sendiri
yang menguji kesaktian Sang Puteri Endang Patibroto."
Inilah suara Ki Patih Kalanarmodo yang tadi batuk-batuk.
Semua mata memandang kepada patih yang tua ini. Semua
senopati maklum bahwa setelah Mayangkurdo kalah,
memang tidak ada lain orang lagi yang patut menandingi
Endang Patibroto. Ki patih ini adalah saudara seperguruan
sang adipati sendiri, sungguhpun tingkat kepandaiannya
masih kalah sedikit kalau dibandingkan dengan Adipati
Menak Linggo, namun ia sakti sekali dan ada
kemenangannya terhadap sang adipati, yaitu ilmu di dalam
air. "Kau, kakang patih" Ahhh, tidak usah, tidak perlu lagi..
Aku sudah percaya akan kesaktiannya. Endang Patibroto,
engkau kuterima menjadi senopati perang. Memang kau
tepat untuk memimpin bala tentaraku menyerbu Jenggala
dan Panjalu. Akan tetapi, penyerbuan itu tidak perlu
dilakukan secara tergesa?gesa, karena sekali bergerak, kita
harus jangan sampai gagal. Kau boleh melatih dulu
pasukan-pasukan istimewa yang akan menjadi penggempur
terdepan. Sementara itu, kau tinggallah di sini, dan
senangkan dirimu. Jangan khawatir, takkan lama lagi
Jenggala dan Panjalu kita gempur, kita bikin karang abang
(lautan api) dan kau boleh memuaskan hatimu membalas
kematian suamimu, ha-ha-ha-ha!"
Demikianlah, sejak saat itu, Endang Patibroto menjadi
senopati di Blambangan. Ia diberi tempat tinggal mewah, di
sebuah bangunan mungil indah di sebelah kiri istana, lebih
indah dan lebih mewah daripada istana mendiang
suaminya. Segala keperluannya disediakan oleh Adipati
Menak Linggo dan tampaknya saja Endang Patibroto hidup
senang, mewah dan mulia. Akan tetapi, di samping
kesibukannya menggembleng pasukan penyerbu yang
istimewa dan segala kemewahan yang menyelimuti
hidupnya, di waktu malam seorang diri di dalam kamarnya
Endang Patibroto menangis tersedu-sedu, menangisi
suaminya dengan hati penuh kedukaan.
Jilid VI DARI Adipati Menak Linggo sampai semua hulubalang,
terutama sekali Raden Sindupati, semua amat menghormat
dan ramah tamah kepadanya sehingga Endang Patibroto
sama sekali tidak menyangka bahwa di belakang
punggungnya, sang adipati seringkali berkasak-kusuk
membuat rencana-rencana jahat dengan para pembantunya
dan terutama sekali Raden Sindupati yang diserahl tugas
untuk "membereskan" Endang Patibroto.
"Menurut pendapat hamba, kita harus dapat menarik
keuntungan sebanyaknya dari wanita iblis itu," demikian
antara lain Sindupati mengemukakan siasatnya kepada sang
adipati, "pertama-tama kita harus membiarkan dia
menggembleng dan melatih pasukan Blambangan, kemudian setelah waktunya tiba, barulah diusahakan
pembunuhan atas diri iblis betina itu untuk membalas
dendam paduka. Hamba sanggup melakukan hal itu, malah
................ malah menurut pendapat hamba, ada cara untuk
membalas dendam yang lebih memuaskan hati, yang lebih
hebat daripada membunuhnya begitu saja."
"Heh-heh, cara bagaimana itu, senopatiku yang baik?"
Wajah tampan Sindupati tersenyum, matanya mengerling penuh arti. "Paduka tentu dapat mengira sendiri
apa yang lebih hebat bagi seorang wanita!"
Sejenak adipati itu merenung, mengangkat alis,
kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Huah-ha-ha-ha-ha, dasar kau tak boleh melewatkan
batuk kelimis (wanita cantik) begitu saja. Aku mengerti
......... ha-ha-ha-ha, aku mengerti......... , memang dia hebat,
denok ayu seperti puteri Bali. Ha-ha-ha!"
Beberapa pekan kemudian, Blambangan kedatangan
seorang yang wajahnya tampan namun membayangkan
kebodohan seorang dusun. Laki-laki ini usianya tiga
puluhan tahun, pakaiannya sederhana sekali, pakaian
petani yang miskin. Wajahnya biarpun tampan tampak
bodoh, terutama sinar matanya yang seperti orang bingung.
Laki-laki ini memasuki kota raja dan menawarkan tenaga
kepada siapa saja yang suka memberinya makan.
Akhirnya, pada suatu hari ia diterima menjadi tukang
pemelihara kuda karena ia rajin dan pandai mencari
rumput-rumput gemuk. Seorang perwira menerimanya dan
menempatkannya di kandang kuda di mana dipelihara
empat puluh ekor kuda tunggangan para perwira Kerajaan
Blambangan. Laki-laki ini pandai sekali memelihara kuda
dan semua kuda yang bagaimana binal sekalipun selalu
menurut kalau dituntun dan dibersihkan tubuhnya oleh
Sutejo, laki-laki ini. Dari pagi sampai petang Sutejo bekerja giat dan rajin,
mencari rumput, memberi makan kuda, membersihkan
mereka, dan membersihkan pula kandang. Para perwira
suka kepada pelayan baru ini yang mengaku berasal dari
dusun Cempa di kaki Gunung Tengger.
Akan tetapi kalau malam tiba, lewat tengah malam pada
saat semua orang sudah tidur, tampak bayangan hitam
berkelebat ke atas atap kandang dan kemudian lenyap
ditelan kegelapan malam untuk kemudian berkelebatan pula
di atas atap istana! Dialah Sutejo si tukang kuda yang bukan
lain adalah Koko Wandiro atau lebih tepatnya sekarang
bernama Tejolaksono, adipati di Selopenangkep!
Seperti telah kita ketahui, Tejolaksono melakukan
perjalanan ke Blambangan dan di tengah jalan la bertemu
dengan Ki Brejeng yang membuka rahasia segala peristiwa
yang terjadi di Jenggala dan Panjalu. Ia melakukan
perjalanan untuk mengejar dan mencari Endang Patibroto
yang menurut Ki Brejeng, telah ikut bersama rombongan
pasukan Blambangan menuju ke Blambangan di mana
tersedia perangkap untuk mencelakakan Endang Patibroto.
Setibanya di daerah Blambangan, Tejolaksono lalu
menitipkan kudanya pada seorang penduduk gunung,
kemudian ia berjalan kaki memasuki kerajaan atau
Kadipaten Blambangan dengan menyamar sebagai seorang
petani bodoh yang mencari pekerjaan ke kota raja.
Dapat dibayangkan alangkah heran dan cemas hatinya
ketika ia mendapat kenyataan bahwa Endang Patibroto kini
telah menjadi seorang senopati besar dari Blambangan! Ah,
Endang......... Endang ?".. pikirnya di hati, mengapa
sampai sekarang engkau masih seperti dulu juga" Mengapa
sudi menjadi Senopati Blambangan dan metnbiarkan
dirimu tertipu" Ia makin cemas karena tidak mendengar
akan diri Pangeran Panjirawit! Menurut penyelidikannya,
Endang Patibroto datang ke Blambangan.bersama dengan
pasukan dan tanpa Pangeran Panjirawit suaminya yang
telah dibebaskannya dari penjara lenggala. Apa artinya ini"
Ia mendengar pula penuturan beberapa orang perwira
tentang sepak terjang senopati wanita itu yang telah
mengalahkan para senopati gemblengan dari Blambangan
dan kini diperbolehkan tinggal di dalam istana Sang Adipati
Menak Linggo sendiri! Sudah beberapa malam ia melakukan penyelidikan ke
istana, namum belum juga ia mendapat kesempatan untuk
bertemu dengan Endang Patibroto. Dalam penyamarannya
sebagai tukang kuda seperti sekarang ini, tentu saja tidak
mungkin baginya untuk berjumpa secara berterang dengan
Endang Patibroto, bahkan di waktu senopati wanita itu
melatih pasukan di alun-alun, iapun hanya dapat menonton
dari jauh saja. Hatinya terharu kalau melihat wanita itu dari
jauh. Tidak banyak perubahan dalam bentuk tubuh wanita
itu, pikirnya. Masih langsing dan cantik jelita, tangkas
seperti
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dahulu! Makin, trenyuh hatinya kalau mengenangkan nasib wanita itu dan makin besar keinginan
hatinya untuk segera dapat berbicara dengan Endang
Patibroto. Akan tetapi jangan sampai diketahui orang lain
di Blambangan karena hal itu akan menjadi berbahaya
sekali. Malam itu ia sudah mengambil keputusan bulat untuk
memasuki kamar Endang Patibroto. Sebagaimana lajimnya
tempat tinggal seorang senopati, rumah di samping istana
itu terjaga oleh para pengawal. Ia harus menemui Endang
dan kalau perlu, ia akan menggunakan aji penyirepan atau
kalau terpaksa akan merobohkan para. pengawal.
Dengan aji keringanan tubuh Aji Bayu Sakti, bagaikan
seekor burung garuda saja Tejolaksono berlontatan di atas
atap istana yang amat tinggi. Andaikata secara kebetulan
ada penjaga yang melihatnya, tentu penjaga itu akan
mengira bahwa yang dilihatnya adalah bayangan burung
malarn atau kalong, demikian cepatnya bayangan itu
berkelebat. Tak lama kemudian Tejolaksono sudah berada
di atas sebuah bangunan mungil yang menjadi tempat
tinggal Endang Patibroto. Ia mengintai dari atas dan
melihat dua orang pengawal peronda. Tanpa melalui dua
orang pengawal ini; tak mungkin ia dapat turun mencari
kamar Endang Patibroto, pikirnya. Maka cepat ia
menyambar dari atas, kedua tangannya bergerak dan dua
orang pengawal itu roboh pingsan tanpa mereka tahu
mengapa mereka begitu! Cepat sekali pukulan Tejolaksono
tadi menampar di belakang telinga dua orang pengawal.
Kemudian Tejolaksono berindap-indap menyelinap ke
pinggir bangunan dan tiba-tiba ia mendengar isak tertahan.
Cepat ia menyelinap dekat dan mengintai dari celah-celah
daun jendela. Dilihatnya Endang Patibroto menelungkup di
atas pembaringan sambil menangis! Yang tampak hanyalah
belakang tubuh wanita itu, pinggulnya yang menyendul dan
pundaknya yang bergerak-gerak ketika terisak-isak memeluk
bantal. Tejolaksono terpaku seperti berubah menjadi arca.
Endang Patibroto menangis! Selama hidupnya belum
pernah ia melihat Endang Patibroto menangis. Gadis yang
dahulu menantang maut dengan keberanian yang tiada
taranya, gadis yang keras hati keras kepala, yang berhati
baja, kini menangis terisak-isak memeluk bantal seperti
kebiasaan wanita-wanita cengeng. Apa artinya ini"
Namun, biarpun agaknya Endang Patibroto telah
kehilangan kekerasan hatinya, jelas bahwa kewaspadaannya
tidak berkurang. Hal ini diketahui terlambat oleh
Tejolaksono ketika tiba-tiba dari dalam kamar itu, dari arah
pembaringan Endang Patibroto, menyambar sinar terang
menuju ke arah jendela, menerobos celah jendela dan tentu
akan tepat mengenai muka Tejolaksono yang mengintai
tadi kalau saja dia. tidak cepat miringkan muka dan
mengulur tangan menyambar benda bersinar itu yang
ternyata adalah sebatang anak panah. Panah tangan
beracun senjata rahasia Endang Patibroto yang dahulu amat
ditakuti lawan! Senjata rahasia ini pulalah yang dahulu
pernah melukai Ayu Candra, isterinya (baca Badai Laut
Selatan)! Tejolaksono terkejut dan hendak melompat ke
dalam memperkenalkan diri, akan tetapi dari dalam kamar
itu sudah terdengar bentakan suara Endang Patibroto,
"Pengawal! Tangkap penjahat!!"
Adipati Tejolaksono hendak melompat ke atas atap,
akan tetapi tiba-tiba menyerbulah tiga orang pengawal. Dia
cepat melompat ke tempat gelap dan seketika tiga orang
pengawal itu menyerbu dengan senjata di tangan, ia
mendorong dengan kedua tangan ke depan, melakukan
pukulan jarak jauh. Tiga orang itu terpelanting roboh.
Tejolaksono cepat menghampiri seorang di antara mereka
dan dengan .cepat ia menampar dada orang itu
dengan......... Pethit Nogo, dengan tenaga sedemikian rupa
sehingga pukulan ini tidak mematikan orang, melainkan
hanya meninggalkan bekas tapak lima buah jari tangan
yang menghanguskan baju dan menembus kulit sehingga
pada dada orang itu kini terdapat tanda tapak tangannya!
Dia sengaja melakukan hal ini untuk memperkenalkan diri
kepada. Endang. Patibroto. Ramailah suara para pengawal,
akan tetapi ketika mereka menyerbu ke situ, Adipati
Tejolaksono telah tiada. Tak seorangpun sampai melihat
wajahnya, bahkan Endang Patibroto sendiripun tidak
sampai melihatnya. Untung Endang Patibroto yang tidak
ingin terlihat orang lain bahwa ia habis menangis itu,
terlambat keluar karena harus mencuci muka lebih dulu.
Endang Patibroto tadinya terheranheran mendapat
kenyataan bahwa ada seorang maling yang dapat
menghindarkan diri daripada anak panah tangan, senjata
rahasianya yang ampuh itu. Bukan hanya dapat mengelak,
bahkan dapat menangkap dan merampas anak panah
tangan itu karena buktinya anak panahnya lenyap tak
berbekas. Akan tetapi keheranannya berubah menjadi
kemarahan ketika ia melihat tapak lima jari tangan di atas
dada seorang pengawalnya. Aji Pethit Nogo! Dan sekaligus
ia dapat menduga siapa orangnya yang mengintai
kamarnya tadi, Joko Wandiro! Siapa lagi kalau bukan pria
yang sakti mandraguna, musuh besarnya semenjak ia kecil
itu" Apa maunya Joko Wandiro datang ke Blambangan dan
mencarinya" Di dalam kamarnya, Endang Patibroto termenung. Ia
tahu bahwa Joko Wandiro kini telah diangkat menjadi
Adipati Tejolaksono, adipati di Selopenangkep yang
termasuk wilayah Panjalu. Hemmm, tak salah lagi, tentulah
ini kehendak sang prabu di Panjalu, atau mungkin si
keparat Pangeran Darmokusumo yang memerintahkan
Adipati Tejolaksono untuk mengejar dan mencarinya.
"Setan kau Joko Wandiro," gumamnya gemas di dalam
hatinya. "Kau datang hendak menangkap aku" ,Hemm,
kaukira aku takut kepadamu, keparat!"
Ia teringat bahwa 'Joko Wandiro atau Adipati
Tejolaksono itu hidup bahagia, demikian berita yang pernah
ia dengar dari suaminya, hidup di samping isterinya yang
tercinta, Ayu Candra! Masih teringat ia akan Ayu Candra,
masih ada rasa tidak suka mernbara di hatinya kalau ia
teringat akan Ayu Candra. Tidak suka yang timbul karena
sebab yang ia sendiri. tidak tahu mengapa. Mungkin karena
iri hati" Pernah ia dahulu mengira, atau mengharapkah"
Mengira bahwa Joko Wandiro mencinta dirinya. Joko
Wandiro yang oleh mendiang ayahnya telah dijodohkan
dengannya. Kemudian Joko Wandiro malah mencinta Ayu
Candra dan menjadi suami Ayu Candra. Hal ini sebetulnya
sama sekali terlupa olehnya ketika ia masih berdampingan
dengan suaminya. Tidak perduli itu semua selama
suaminya masih berada di sampingnya. Akan tetapi,
sekarang suaminya telah tiada! Dan Joko Wandiro masih
berdua dengan Ayu Candra!
Endang Patibroto tidak dapat menahan air matanya yang
panas membasahi pipinya. Keparat Ayu Candra! Keparat
Joko Wandiro! Sekarang datang hendak menangkapnya"
Boleh coba! "Keparat, jangan lari kau!!" Tiba-tiba Endang Patibroto
yang marah sekali tak dapat lagi menahan kemarahannya.
Tubuhnya melesat keluar dari jendela dan tak lama
kemudian tampaklah bayangannya, berkelebat di atas atapatap rumah di sekitar Kerajaan Blambangan. Dia mencaricari sampai hampir pagi tanpa hasil sehingga ia menjadi
makin mendongkol dan gemas.
Tiba-tiba ada bayangan lain berkelebat dari bawah dan
tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang laki-laki yang
tampan. Endang Patibroto sudah siap irienerjangnya, akan
tetapi ia menjadi lemas lagi ketika melihat bahwa yang
datang bukanlah Adipati Tejolaksono melainkan Sindupati
yang sudah membawa sebatang keris telanjang di
tangannya. "Aku......... aku mendengar tentang penyerbuan orang
jahat di tempatmu ...... , aku khawatir kalau-kalau andika
akan rnengalami celaka maka cepat-cepat mencari ketika
tak dapat mendapatkan andika di istana. Adinda
Dewi......... , tidak apa-apakah andika......... ?"
Raden Sindupati cepat melangkah maju dan menangkap
tubuh Endang Patibroto yang terhuyung-huyung dan
memegang dahi dengan tangan kirinya. Wanita ini menjadi
pening karena terlalu berduka bercampur marah dan
kecewa menjadi satu, ditambah lagi tidak tidur sernalam
suntuk dan lelah. Kedukaan hampir membuat Endang
Patibroto hampir pingsan dan pada saat seperti itu, setiap
kata-kata halus yang menghiburnya membua hatinya
trenyuh. Sejenak ia rnembiarka dirinya dirangkul pundaknya dan ia menyandarkan kepalanya di atas pundak
Raden Sindupati. la membutuhkan hiburan dan kawan
pada saat seperti itu dan karena selama ini sikap Sindupati
amat baik terhadap dirinya, halus dan ramah penuh
kesopanan, ia menganggap orang ini sebagai seorang
sahabat. Ia terisak perlahan dan baru ia sadar ketika merasa
betapa tangan Sindupati dengan halus dan mesra membelai
rambut kepalanya. Begitu sadar.. ia merenggut lepas dari
pelukan, akan tetapi tidak terlalu kasar karena ia tidak ingin
menyinggung orang yang sudah begitu baik terhadap
dirinya. Ia cukup maklum melihat sikap Sindupati selama
ini bahwa senopati ini diam-diam mencinta dirinya.
"Ahhh......... , maafkan......... aku......... aku sejenak
kehllangan akal......... " katanya menahan isak.
"Kasihan engkau, diajeng. Engkau telah banyak
menderita. Kalau saja aku bisa mendapat kehormatan
untuk menghibur......... ah, aku bersedia mengorbankan
nyawaku untuk mengusir kedukaanmu. Diajeng Endang
Patibroto, apakah yang telah terjadi" Aku tadi mendengar
dari para pengawal bahwa ada orang jahat menyerbu
tempat tinggalmu dan kemudian melarikan diri. Melihat
engkau tidak berada di sana, aku tahu bahwa engkau
menge)ar penjahat itu lalu menyusul dan mencari. Apakah
diajeng tidak dapat menangkapnya?"
Merah kedua pipi Endang Patibroto mendengar senopati
ini menyebutnya diajeng. Akan tetapi ia tidak marah dan
hanya menghela napas panjang. Diam-diam ia merasa
kasihan kepada orang ini yang mencintanya dengan sia-sia.
Sia-sia belaka karena ia tahu bahwa tidak mungkin ia
membalas perasaan itu. "Aku tidak dapat menangkapnya, akan tetapi aku tahu
atau dapat menduga siapa orangnya."
"Ah......... begitukah" Siapakah dia gerangan?" la tertarik
sekali karena merasa terheran-heran. Di seluruh Kerajaan
Blambangan, kiranya hanya sang adipati saja yang
menganggap wanita sakti dan jelita ini sebagai musuh besar
yang harus dibunuh. Dan yang tahu akan hal ini hanyalah
dia, Ki Patih Kalanarmodo, Mayangkurdo dan kedua kakak
beradik Klabangkoro dan Klabangmuko. Siapa lagi yang
mempunyai niat buruk bahkan berani menyerbu tempat
kediaman ini" "Hanya dugaanku saja, akan tetapi aku sendiri masih
ragu-ragu......... "Engkau agaknya kurang sehat. Tidak baik berdiam di
sini. Marilah kita kernbali dan bicara yang enak di
gedungmu, diajeng. Percayalah, siapapun adanya si keparat
itu, aku Sindupati akan menyediakan segenap jiwa ragaku
untuk membelamu dan menangkap orang itu sampai
dapat." Diam-diam Endang Patibroto tertawa di dalam hatinya.
Kalau betul dugaannya bahwa orang itu adalah Joko
Wandiro atau Adipati Tejolaksono, jangankan baru
Sindupati seorang, biarpun dikerahkan semua senopati di
Blambangan, tak mungkin akan dapat menangkapnya!
Akan tetapi ia tidak berkata sesuatu dan menurut saja diajak
pulang. Mereka melompat turun dari atas atap lalu berjalan
berdampingan menuju ke istana.
Ketika tiba kembali di gedung tempat tinggal Endang
Patibroto, para pengawal yang dirobohkan pingsan -tanpa
mereka tahu apa yang terjadi bersama tigat orang pengawal
yang bertanding melawan "penjahat" itu dipanggil
menghadap. Setelah mendengar cerita mereka yang aneh,
yaitu bahwa penjahat itu amat sakt, sehingga mereka
keburu roboh tanpa diberi kesempatan melihat wajahnya.
Endang Patibroto lalu menyuruh pengawalnya yang
terpukul itu membuka baju sehingga dadanya yang terdapat
tanda tapak lima jari tangan itu tampak nyata seperti
dibakar besi panas! KemudIan Endang Patibroto menyuruh
para pengawal itu mundur dan dia berkata kepada Raden
Sindupati. "Kau melihat sendiri, raden. Tanda tapak lima jari
tangan di dada pengawal tadi adalah tanda bekas pukulan
Pethit Nogo. Seperti ini!" Endang Patibroto mengayun
telapak tangan kirinya menghantam lantai, perlahan sekali
dan tampaklah jelas tapak jari tangannya di lantai batu itu!
"Aihhh......... ! Kalau begitu sama dengan aji pukulan
yang dimiliki diajeng ..... ......!"
Endang Patibroto mengangguk. "Benar begitu, dan
karena itulah maka aku dapat menduga siapa adanya orang
itu." "Siapa, diajeng Endang Patibroto?"
"Di dalam dunia ini, yang mempunyai ilmu pukulan itu
hanya dua orang, aku sendiri dan adipati di Selopenangkep,
Adipati Tejolaksono."
Biarpun belum pernah bertemu dengan Adipati
Tejolaksono, namun Raden Sindupati sudah mendengar
tentang Adipati Selopenangkep yang sakti mandraguna itu,
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maka berubahlah air mukanya ketika berseru, "Yang dahulu
bernama Joko Wandiro........."
"Betul, dialah orangnya, dan aku merasa yakin akan hal
ini." "Tapi.......... tapi......... mengapa.......?" Sindupati terheran, "Apakah dia musuhmu, diajeng?"
"Dahulu memang musuh besarku, akan tetapi selama
sepuluh tahun di antara kami tidak ada permusuhan, tidak
ada hubungan apa-apa lagi." Ia diam sebentar, termenung.
Memang tidak ada permusuhan di antara mereka.
Bagaimana bisa bermusuh" Ibunya sendiri, ibu kandungnya, tinggal bersarna Adipati Tejolaksono! "Agaknya......... aku tahu bahwa dia tentulah menjadi
utusan Kerajaan Panjalu untuk mencariku, menangkapku
atau membunuhku......... "
Raden Sindupati meloncat bangun dari kursinya,
wajahnya yang tampan menjadi merah padam, matanya
bersinar-sinar penuh kemarahan. "Babo-babo ' Si keparat
Tejolaksono! Berani dia datang Seorang diri di Blambangan
dengan niat yang begitu keji" Mernbunuhmu" Huh, harus
dapat menyempal bahuku kanan harus melangkahi mayat
Sindupati dahulu baru dapat menyentuh ujung rambut
Endang Patibroto!" Endang Patibroto tersenyum pahit. Ia terharu menyaksikan tingkah pria ini, tingkah seorang yang menjadi
korban asmara, akan tetapi alangkah lucunya kalau pria ini
hendak menantang kesaktian Joko Wandiro! Dia sendiri
sudah beberapa kali harus mengakui keunggulan Adipati
Selopenangkep itu. "Raden Sindupati, dia itu amat sakti mandraguna, tidak
mudah dikalahkan." "Aku tidak takut! Diajeng Endang Patibroto, lihatlah
sinar mataku, lihatlah wajahku. Masih tidak percayakah
adinda bahwa aku akan membelamu dengan mernpertaruhkan seluruh jiwa ragaku" Akan kukerahkan
seluruh pasukan Blambangan! Biar Tejolaksono bersekutu
dengan dewa sekalipun, tak mungkin dia dapat menandingi
pasukan Blambangan seorang diri saja!"
Endang Patibroto menghela napas panjang. Sukar
berdebat dengan orang yang sudah mabuk cinta. Ia tidak
tega untuk membuyarkan harapan, merusak hati laki-laki
ini. Masih banyak waktu untuk membuka mata Sindupati
kelak bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cintanya.
Tidak mungkin! Wajah suaminya tak pernah meninggalkan
hatinya, biar sedetik sekalipun. Di siang hari terbayang di
depan pelupuk mata, di malam hari menjadi kembang
mimpi. "Cobalah kau usahakan, raden. Kurasa Adipati
Tejolaksono bersembunyi di sekitar kota raja. Aku cukup
mengenalnya dan tahu bahwa orang seperti dia tidak akan
mundur sebelum tercapai cita-citanya, sebelum terpenuhi
tugasnya. Kadipaten Selopenangkep termasuk wllayah
Panjalu. Tentu dia menjadi jago sang prabu di Panjalu
untuk menangkap saya. Amat lelah tubuhku, aku ingin
tidur." "Aduh kasihan diajeng yang bernasib malang. Kau
beristirahatlah dan jangan khawatir, akan kukerahkan
pasukan sekarang juga untuk mencari di seluruh kota raja.
Dan tentang keselamatanmu, aku yang menjamin dan aku
sendiri yang akan memimpin para pengawal menjaga
tempat tinggalmu ini!" Setelah berkata demikian, dengan
sikap mengasih dan gagah Raden Sindupati memberi
hormat lalu pergi meninggalkan Endang Patibroto yang
duduk termenung. Laki,laki yang baik, pikirnya. Sayang
aku terpaksa akan :menghancurkan hatinya dengan
penolakan cinta kasihnya. Dan Adipati Tejolaksono! Joko
Wandiro! Ah, mengapa ia terbayang akan semua
pengalamannya di masa dahulu, sepuluh tahun yang lalu"
Teringat akan masa dahulu, terbayang pula pangalarnan
yang tak dapat dilupakan,--pengalaman yang amat pahit,
yang amat menusuk perasaannya, yang membuatnya
membenci Joko Wandiro dan -mernbenci pula Ayu Candra!
Terbayang ia betapa .pada waktu dipeluk dari belakang oleh
Joko Wandiro, dibelai dan dicium tengkuknya, penuh kasih
sayang, penuh kemesraan. Pada waktu itu, ia belum ada
hati sedikitpun juga terhadap Pangeran Panjirawit dan
ketika itu dengan sepenuh jiwa raganya ia menyerahkan
diri, hangat hatinya menyambut- cinta kasih Joko Wandiro,
orang yang oleh ayahnya telah dijodohkan kepadanya!.
Akan tetapi, 'bagaikan halilintar menyambar kepalanya,
mulut Joko Wandiro membisikkan nama Ayu Candra.
Kiranya Joko Wandiro bukan memeluk dan membelainya,
melainkan mengira bahwa dia adalah Ayu Candra. Bukan
dia yang dicinta Joko Wandiro, melainkan Ayu Candra
(baca Badai Laut Selatan)! Maka timbullah bencinya yang
hebat terhadap dua orang itu, benci yang tanpa ia sadari
sendiri didasari oleh cinta kasih yang dikecewakan, oleh
cemburu dan iri hati! Sampai akhirnya datang obat penawar
yang sangat manjur, yaitu limpahan cinta kasih Pangeran
Panjirawit yang akhirnya dapat menyembuhkan sakit
hatinya.......... Kini......... suami tercinta telah meninggal dunia.
Dan......... tanpa disangka-sangkanya, muncul pula Joko
Wandiro dalam hidupnya, muncul sebagai Adipati
Tejolaksono, sebagai utusan musuh besarnya, Pangeran
Darmokusumo yang datang dengan niat jahat, menangkap
atau membunuhnya! Ia mengerutkan kening, jantungnya
seperti ditusuk oleh duka, kecewa dan dendam, lalu
terhuyung memasuki kamarnya di mana ia membanting diri
di atas kasur, menangis sampai ia tertidur pulas dengan
bantal basah air mata. Biarpun sepekan lamanya Raden Sindupati mengerahkan
semua pasukan untuk mencari Adipati Tejdaksono, namun
hasilnya sia-sia belaka. Orang yang dicari-carinya itu masih
enak-enak bekerja sebagai tukang kuda yang rajin dan
menyenangkan para perwira.
Namun Endang Patibroto tidak memperdulikan hal itu.
Ia tidak perduli apakah penyerbu itu tertangkap atau tidak,
tidak perduli siapa penyerbu itu, benar Joko Wandiro
seperti yang disangkanya ataukah bukan. Ia sudah dapat
mengatasi kedukaan hatinya yang amat hebat di malam
munculnya penyerbu itu, dan kini ia melakukan tugasnya
kembali seperti biasa, melatih pasukan karena cita-citanya
hanyalah untuk dapat menyerbu Jenggala, membalas
dendam kematian suaminya.
Raden Sindupati setiap hari sedikitnya satu kali tentu
datang menjenguknya untuk memberi laporan tentang
usaha mencari penjahat itu, dan dalam kesempatan ini
selalu senopati muda itu memperlihatkan sikap manis,
ramah tamah, menghiburnya dan tak lupa membawa apa
saja untuk menyenangkan hatinya. Buah-buahan yang
sukar didapat di Blambangan, sutera-sutera tenun yang
indah, perhiasan emas permata. Pendeknya, makin jelas
tampak sikap Raden Sindupati yang rnencintanya,
sungguhpun belum pernah menyatakan perasaan -hatinya
melalui mulut. Endang Patibroto tak dapat mengelak, tak
dapat menolak semua pemberian tanda cinta itu, karena ia
tidak mau menyakitkan hati satu-satunya orang yang pada
saat itu dianggapnya sebagai seorang sahabat baik. tetapi ia
sudah mengambil keputusan untuk dengan halus menolak
apabila Sindupati menyatakan cinta kasihnya dengan katakata. Dan agaknya, saatnya tentu akan tiba sewaktu-waktu,
melihat sikap yang makin mendesak itu.
Pada pagi hari itu, seperti biasa setelah bangun pagipagi" Endang Patibroto mandi lalu berganti pakaian, merias
diri secara sederhana dan sudah siap untuk melakukan
tugasnya setiap hari. Pada hari itu ia akan mulai dengan
melatih barisan anak panah kepada pasukan istimewa yang
digemblengnya. Dan sebelum berangkat ke alun-alun, lebih
dulu ia duduk menghadapi meja di ruangan depan untuk
sekedar mengisi perut dengan sarapan pagi yang disediakan
oleh seorang pelayan. Endang Patibroto yang tidak
mencurigai sesuatu, tidak tahu bahwa sejak sebelum ia
bangun dari tidur tadi, sepasang. mata telah mengawasi
setiap gerak-geriknya. Sepasang mata Raden Sindupati.
Kini, pada saat ia menghadapl meja untuk minum kopi dan
makan ketan kelapa yang disediakan. Raden Sindupati juga
sudah menyelinap ke depan dan bersembunyi.
Endang Patibroto hendak mulai sarapan pagi dengan
menghirup kopi panes. Akan tetapi baru saja cangkirnya
menempel bibir, tiba-tiba terdengar suara nyaring,
"Diajeng, jangan diminum itu.........
Endang Patibroto menoleh dan melihat Sindupati sudah
ada di belakangnya. Wajah yang tampan dan biasanya
tersenyum-senyum kepadanya itu kini tampak gelisah dan
bersungguh-sungguh, bahkan wajahnya agak pucat.
Endang Patibroto meletakkan kembali cangkir kopinya
yang belum ia minum isinya, ke atas meja. "Ada apakah,
kakang SIndupati?" Sudah beberapa hari ini, atas
permintaan Sindupati yang berkali-kali, ia menyebut kakang
kepada senopati ini. "Engkau belum makan ketan itu dan belum minum kopi
itu, bukan?" Endang Patibroto menggeleng kepala. "Belum. Mengapakah?" "Coba diajeng panggil pelayan yang menyediakan makan
minum ini dan diajeng akan menyakslkan sendiri," jawab
Raden Sindupati, mukanya masih pucat.
Endang Patibroto bertepuk tangan. Seorang pelayan
muncul dan pelayan ini disuruh memanggil pelayan yang
menyediakan sarapan pagi. Tak lama kemudian muncullah
seorang pelayan, wanita yang setengah tua.
"Kaukah yang menyediakan sarapan pagi untuk diajeng
Endang Patibroto?" Sindupati bertanya, suaranya keren.
"Betul seperti apa yang paduka katakan, raden. Memang
tugas hamba untuk menyediakan semua makanan dan
minuman gusti puteri.........
"Bibi, kalau begitu, coba kau makan ketan itu dan
minum kopinya!" kata pula Sindupati sambil menudingkan
telunjuknya ke atas meja di mana terdapat sepiring kecil
ketan kelapa dan secangkir kopi hitam.
"Tapi......... tapi......... " Wanita pelayan itu terbelalak
memandang. Tentu saja la terheran dan tidak berani
melakukan hal ini. Sarapan itu adalah persediaan untuk
sang puteri, bagaimana ia berani minum dan memakannya"
Juga beberapa orang pelayan yang tertarik oleh ribut-ribut
dan berada di situ, terbelalak memandang heran.
Sumpah Palapa 25 Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long Pecut Sakti Bajrakirana 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama