Ceritasilat Novel Online

Sepasang Naga Penakluk Iblis 10

Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


"Jahanam, kalian agaknya sudah bosan hidup!" bentaknya lirih agar
jangan membuat gaduh. Empat orang itu menengok dan melihat pemuda berpakaian putih itu,
mereka lalu melompat dan melarikan diri! Pek-liong tersenyum dan
melakukan pengejaran. Memang dia ingin menggertak mereka agar
pergi dari situ dan dia akan menghajar mereka di tempat sunyi, bukan
di rumah penginapan itu yang akan mengejutkan semua orang,
termasuk Cian Li. Dia tidak ingin menjadi pusat perhatian orang.
Seperti yang diharapkannya, empat orang tinggi besar itu melarikan
diri keluar kota. Untung pada malam itu udara bersih, bulan bersinar
terang sehingga dia dapat terus membayangi empat orang itu. Dia
sudah cukup berhati-hati. Karena maklum bahwa dia bermain dengan
api yang besar, dan setiap saat ada bahaya mengancam, maka sejak
meninggalkan rumah Cian Li, dia selalu meninggalkan tanda rahasia
sebagai jejaknya. Siapa tahu, Hek-liong-li mungkin akan
membutuhkan tanda-tanda itu!
Empat orang itu membelok memasuki pekarangan sebuah kuil tua
yang tidak dipergunakan lagi. Kuil itu besar dan kuno, namun kotor
641 karena memang sudah tidak terawat dan tidak dipergunakan,
merupakan bangunan kuno peninggalan sejarah.
Ketika Pek-liong tiba di pekarangan kuil kuno itu, empat orang yang
dibayanginya telah memasuki kuil. Selagi dia mengamati ke arah kuil
dengan hati-hati, tiba-tiba dari kanan kiri bermunculan tujuh orang
dan mereka itu bukan lain adalah empat orang penjahat tadi, kini
ditambah dengan tiga orang yang tubuhnya lebih besar dari pada
mereka berempat. Tiga orang ini dapat disebut sebagai raksasa-raksasa yang
menyeramkan! Mereka bertiga berdiri di depan pintu kuil dan seorang
di antara mereka, yang mukanya penuh cambang bauk dan berewok,
berseru kepada empat orang penjahat untuk menyerang.
Empat orang itu dengan penuh semangat sudah menggerakkan senjata
di tangan mereka, ada yang memegang pedang, ada yang memegang
golok dan ada pula yang membawa ruyung besi. Dari empat jurusan,
mereka membacok dan menusuk ke arah Pek-liong. Namun, Pekliong-eng sudah waspada. Gerakan mereka itu tidak ada artinya
baginya, mereka hanya mengandalkan tenaga otot saja.
Dengan amat mudahnya, dia mengelak dari sambaran senjata itu,
kemudian dengan gerakan amat cepat, dia sudah berkelebatan ke
empat penjuru dan empat orang pengeroyok itu terpelanting roboh
terkena tamparan dan tendangannya. Sekali ini, mereka roboh
pingsan, ada yang menderita tulang patah dan luka dalam yang cukup
membuat mereka selama beberapa hari tidak akan dapat berkelahi
lagi! 642 Melihat ini, tiga orang raksasa itu menjadi marah. "Bagus, kiranya
engkau memiliki kepandaian lumayan juga, orang muda! Pantas saja
engkau berani menentang kami!" kata si berewok. Mereka kini maju
menghadapi Pek-liong dan pemuda ini memandang kepada mereka
penuh perhatian. Sinar bulan cukup terang untuk dapat mengamati wajah mereka.
Seorang di antara mereka yang hrewok itu memegang sebatang golok
gergaji yang besar dan mengerikan. Orang kedua berkepala botak dan
memegang sebatang pedang pendek. Adapun orang ketiga yang
menyeringai dan memperlihatkan mulut ompong, memegang sebatang
rantai baja. Ketiganya tinggi besar dan usia mereka kurang lebih
empatpuluh tahun. "Hemm, apakah kalian ini yang berjuluk Po-yang Sam-liong?" tanya
Pek-liong dengan sikap tenang.
"Benar sekali. Kamilah Po-yang Sam-liong. Namaku Poa Seng, ini
adikku Poa Leng dan itu adikku Poa Teng. Engkau siapa, orang muda
dan mengapa engkau membela kakak beradik penyelam itu dan berani
menentang kami di wilayah kami sendiri?"
"Namaku Tan Cin Hay. Tentu saja aku menentang setiap perbuatan
busuk dan jahat. Kakak beradik Kam itu tidak berdosa, mengapa
kalian hendak membunuh mereka" Dan mengapa pula Tiong Tosu dan
Yong Hwesio itu dibunuh" Bukankah kalian juga ikut campur dalam
pembunuhan itu" Bukankah kalian disuruh oleh majikan kalian, yaitu
Beng-cu yang berjuluk Siauw-bin Ciu-kwi" Hayo katakan terus
terang, atau aku akan memaksa kalian mengaku!"
643 Tiga orang raksasa itu terbelalak, saling pandang lalu si berewok
tertawa bergelak, diikuti oleh dua orang adiknya.
"Ah, kiranya engkau sudah tahu terlampau banyak, karena itu engkau
harus mampus! Engkau hendak memaksa kami mengaku" Ha-ha-ha,
alangkah lucunya! Seekor cacing hendak menggertak tiga ekor naga!"
Tiga orang raksasa itu kini mengepung dalam bentuk segi tiga, senjata
mereka siap di tangan. Pek-liong-eng maklum bahwa kini para
pengepungnya tidak boleh disamakan dengan empat orang tadi.
Mereka ini telah membuat nama besar di Po-yang dan tentu mereka
telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi.
Dari gerakan mereka saja sudah dapat diduga bahwa mereka
setidaknya memiliki tenaga yang amat kuat, karena itu, tiga macam
senjata mereka itu cukup berbahaya. Sekarang belum waktunya untuk
membunuh mereka, pikirnya. Masih banyak yang harus dikorek dari
mereka untuk mengetahui rahasia itu. Rahasia beng-cu mereka dan
rahasia peta Patung Emas.
Dia menduga bahwa tentu ada hubungannya dengan semua
pembunuhan yang diceritakan oleh Yong Hwesio mengenai perebutan
peta Patung Emas dengan beng-cu mereka itu. Maka, dia hendak
menggunakan siasat. Kalau mereka maju bertiga, baginya terlalu
berbahaya kalau tidak merobohkan mereka dengan keras, kalau perlu
membunuh mereka. Sukar menaklukkan tiga orang kuat ini kalau
hanya menundukkan saja. "Hemm, kiranya yang bernama besar Po-yang Sam-liong bukanlah
naga-naga sejati, melainkan ular-ular belang yang licik dan curang,
644 beraninya hanya main keroyok seperti pencoleng-pencoleng pasar
saja!" katanya dengan nada mengejek.
Mendengar ini, tiga orang tokoh sesat itu menjadi marah sekali. Marah
dan malu. Muka mereka berubah merah dan si berewok menghardik.
"Siapa hendak mengeroyok" Sam-te, kautangkap bocah sombong
lancang mulut ini!" Si berewok memerintah adiknya, yaitu Poa Teng
yang bermulut ompong dan bersenjata rantai baja.
Si ompong ini segera melangkah maju menghadapi Pek-liong. Rantai
baja itu diputar-putar dan mengeluarkan suara angin bersiutan. Makin
lama, putaran rantai itu semakin kuat dan cepat, dan rantai itupun
diulur semakin panjang. "Bocah sombong, mampuslah!" tiba-tiba si ompong membentak dan
ujung rantai bajanya menyambar ke arah muka Pek-liong.
Pemuda ini cepat mengelak dengan langkah ke belakang. Akan tetapi,
rantai itu membalik dan kini menyambar ke arah pinggangnya. Pekliong kembali mengelak dengan loncatan ke samping, ujung rantai
yang lain kini menyambar, dari bawah ke atas mengarah perut!
Memang hebat sekali gerakan Poa Teng itu. Rantai bajanya dapat
bergerak cepat, menyerang secara bertubi dari arah yang berlawanan
dan tidak terduga-duga. Bukan hanya satu ujung rantai saja yang
bergerak, melainkan juga ujung yang lain.
Namun, Pek-liong cukup waspada. Dengan langkah-langkah yang
amat cepat, loncatan?loncatan ringan, dia selalu dapat mengelak.
Sampai belasan jurus dia terus mengelak karena rantai itu kini
menyerang bergantian dengan kedua ujungnya. Tiba-tiba, ketika Pek645
liong melompat agak jauh ke belakang, rantai itu menyerang dan
terulur panjang! Saat inilah yang dinanti-nanti oleh Pek-liong.
Dengan terulur panjang, berarti rantai itu hanya dapat dipergunakan
satu ujungnya saja, sedangkan ujung yang lain menjadi gagang atau
tempat berpegang pemiliknya. Begitu melihat ujung rantai panjang itu
menyambar, Pek-liong kini tidak mengelak lagi melainkan menangkis
dengan lengannya! "Plak!" Rantai itu melibat dan memang ini dikehendaki oleh Pekliong. Tangannya cepat ditekuk dan dia sudah berhasil menangkap
ujung rantai, lalu dia mengerahkan tenaga menarik! Betapapun
kuatnya Poa Teng, dia tidak mampu bertahan dan tubuhnya ikut
tertarik ke depan! Namun, dia mengerahkan tenaga dan bertahan.
Terjadilah tarik menarik dan tubuh Poa Teng yang berat itu
bergantung ke belakang agar tarikannya lebih kuat lagi. Tiba-tiba Pekliong melepaskan ujung rantai yang dipegangnya, bahkan
melontarkannya ke arah pemiliknya.
Tak dapat ditahan lagi, tubuh Poa Teng terjengkang keras dan begitu
dia terbanting, ujung rantai yang dilontarkan Pek-liong datang
menimpa dadanya. "Bukkk!!" Poa Teng mengaduh dan sejenak dia tidak mampu bangkit
karena dadanya terasa nyeri bukan main dan berdarah.
"Keparat, berani engkau menghina adikku!" bentak Poa Leng.
Si botak ini sudah menyerang dengan tombak pendeknya, tombak itu
menusuk ke arah pelipis Pek-liong dan ketika pemuda itu mengelak
646 dengan menarik kepala ke belakang, tombak itu sudah menyambar
lagi ke arah tenggorokannya. Pek-liong terkejut, Si botak ini lihai
juga, pikirnya sambil merendahkan tubuhnya ke belakang lagi,
kakinya bergeser dan sekali melangkah, dia telah berada di sebelah
kanan lawan. Namun, tombak itu sudah menyambar lagi dan kini
diikuti oleh gerakan tangan kiri yang mencengkeram ke arah
lambung! Pek-liong meloncat ke kiri dan tiba-tiba ada angin keras menyambar.
Kiranya golok gergaji di tangan Poa Seng si berewok telah
menyambar. Dia cepat mengelak dan rantai baja Poa Teng kini juga
ikut mengeroyoknya. Dia dikeroyok tiga!
Dengan kelincahan tubuhnya, Pek-liong berloncatan ke sana-sini dan
mencari kesempatan untuk merobohkan lawannya satu demi satu.
Kalau dia menghendaki, tentu saja dia dapat mempergunakan pukulan
yang ampuh untuk membunuh mereka, atau kalau dia mengeluarkan
pedang pusaka Naga Putih yang disembunyikan di balik bajunya,
dengan sekali serang saja dia akan mampu membuat patah semua
senjata di tangan mereka. Akan tetapi dia tidak ingin membunuh
karena dia masih membutuhkan mereka, dan diapun merasa mampu
menandingi mereka tanpa senjata.
Mendadak terdengar bentakan nyaring, "Tahan semua senjata! Samliong, mundurlah! Pek-liong-eng, menyerahlah! Lihat siapa yang
berada di tanganku!"
Tiga orang raksasa itu menahan senjata lalu mundur dengan patuh.
Pek-liong menoleh dan dia terkejut melihat Kam Cian Li sudah
ditelikung kedua tangannya ke belakang oleh seorang pemuda tampan,
647 dan pemuda itu menempelkan pedangnya di leher gadis itu!
Maklumlah dia bahwa dia telah tertipu. Dia hendak memancing,
malah terpancing! Kiranya empat orang tinggi besar tadi sengaja datang ke rumah
penginapan untuk memancingnya keluar dari rumah penginapan,
meninggalkan Kam Cian Li seorang diri dan pemuda tampan itu telah
menawannya! Diapun menjadi lemas, merasa tertipu dan tidak
berdaya! Akan tetapi, dia teringat kepada Hek-liong-li dan tiba-tiba
saja Pek-liong membuat lompatan jauh dan diapun menghilang di
samping kuil. Para musuhnya menjadi terkejut dan sejenak tidak tahu harus berbuat
apa. Akan tetapi tak lama kemudian, pemuda berpakaian putih tu telah
muncul pula di atas wuwungan genteng kuil tua itu, berdiri tegak
sambil bertolak pinggang, suaranya terdengar penuh wibawa ketika
dia berseru, "Kalian orang-orang rendah dan pengecut! Lepaskan
gadis tak berdosa itu dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!"
Po-yang Sam-liong diam saja, juga empat orang pembantunya yang
tadi dipukul roboh oleh Pek-liong dan kini sudah bangkit kembali,
hanya berdiri dan tidak banyak cakap. Pemuda yang menawan Cian Li
itulah yang menjawab setelah tertawa mengejek.
"Pek-liong-eng Tan Cin Hay, tidak perlu bersikap gagah-gagahan.
Turunlah dan mari kita bicara. Kalau engkau menyerah dengan damai,
baik sekali. Kalau tidak, apakah engkau ingin melihat aku
menyembelih gadis ini di depan matamu?"
Pek-liong mengukur dengan matanya. Kalau dia menggunakan jurus
dari Pek-liong Sin-kun dan menyambar dari bawah menyerang
648 pemuda yang menawan Cian Li itu, terlalu berbahaya bagi Cian Li.
Dia belum tahu sampai di mana kelihaian pemuda itu, dan dia tidak
boleh mempertaruhkan keselamatan nyawa Cian Li.
"Hay-koko, jangan mau menyerah! Biar mereka membunuhku, jangan
kau menyerah!" Gadis itu berteriak dan mendengar teriakan ini, si
pemuda itu lalu menggunakan tangan kirinya menotok.
Sekali totok, tubuh gadis itu menjadi lemas dan ia tidak dapat meronta
atau mengeluarkan suara lagi. Gerakan totokan ini saja sudah cukup
bagi Pek-liong untuk mengetahui bahwa pemuda itu lihai bukan main!
Akan celakalah keselamatan nyawa Cian Li kalau dia mencoba-coba
untuk menyerang. Diapun menarik napas panjang.
"Hemm, sobat. Engkau lihai akan tetapi licik dan curang bukan main.
Baiklah, aku akan turun dan bicara denganmu!" Diapun melayang
turun ke depan pemuda itu dan keduanya kini saling berhadapan dan
saling pandang dengan penuh perhatian.
Pek-liong tidak mengenal pemuda itu. Seorang pemuda yang tidak
begitu muda lagi, sedikitnya tentu ada tigapuluh lima tahun usianya.
Wajahnya tampan, matanya tajam dan senyumnya genit. Pakaiannya,
sungguh aneh sekali, juga serba putih seperti pakaiannya sendiri.
Hanya bedanya, kalau pakaiannya yang putih itu terbuat dari kain
yang kuat dan kasar, berpotongan sederhana saja, sebaliknya pakaian
putih pemuda itu terbuat dari sutera halus dan disulam.
"Sobat, engkau sudah mengenalku, akan tetapi aku belum pernah
bertemu denganmu dan belum mengetahui siapakah engkau ini, dan
mengapa pula engkau mempergunakan akal busuk ini untuk memaksa
649 aku menyerah?" tanya Pek-liong dengan senyum mengejek. Orang itu
mengamatinya dan ada sinar kagum membayang di matanya.
"Sungguh mengagumkan sekali. Kukira yang berjuluk Pek-liong-eng
adalah seorang yang sudah matang dan sudah cukup umur. Kiranya
seorang pemuda yang belum dewasa benar! Pek-liong-eng, aku
bernama Ciong Koan dan orang menyebut aku Pek I Kongcu (Tuan
Muda Pakaian Putih)."
"Ah, kiranya murid Kun-lun-pai yang murtad itu?" Pek-liong berseru
karena dia sudah pernah mendengar nama ini, "Seorang kongcu, yang
curang dan tidak pantas disebut kongcu, juga wataknya amat hitam
walaupun pakaiannya dari sutera putih!"
Sepasang alis yang tebal hitam itu berkerut dan mata itu kini
memancarkan kemarahan. "Cukup, Pek-liong-eng! Engkau menyerah
dengan damai atau harus ku bunuh dulu gadis ini?"
Tahu bahwa orang itu marah dan menjadi berbahaya sekali bagi
keselamatan Cian Li, Pek-liong lalu menarik napas panjang kembali.
"Baiklah, aku menyerah. Akan tetapi, apa artinya semua ini" Aku
berkenalan dengan Tiong Tosu dan Yong Hwesio, dan kalian
membunuh mereka tanpa sebab! Kemudian, aku berkenalan dengan
gadis penyelam itu dan kalian juga berusaha membunuhnya. Ada
apakah di balik semua permainan kotor ini?" Pertanyaan ini diajukan
dengan suara penasaran seolah-olah dia memang merasa penasaran
sekali. Kini Pek I Kongcu Ciong Koan tersenyum mengejek. "Tidak perlu
banyak cakap. Engkau menyerah saja, membiarkan kedua tanganmu
dibelenggu dan engkau bersama gadis ini akan kami hadapkan kepada
650

Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beng-cu! Di sana baru engkau boleh bicara. Tugas kami hanya
menawan kalian berdua!"
Cian Li memandang pemuda yang dikaguminya itu. Wajahnya pucat
sekali, matanya terbelalak seperti mata kelinci yang dicengkeram
harimau. Mata itu indah sekali, Pek-liong masih sempat kagum. Dan
gadis itu menggeleng-geleng kepalanya kepada Pek-liong, seolah-olah
hendak memintanya agar dia tidak mau menyerah.
Akan tetapi, kalau dia tidak menyerah, belum tentu dia akan mampu
menyelamatkan Cian Li, pikir Pek-liong. Pula, kiranya hanya dengan
jalan menyerahkan diri saja dia akan dapat menyelidiki dengan baik
untuk membongkar rahasia mereka.
"Baiklah, aku menyerah...... tapi......" Dia nampak meragu karena tibatiba dia teringat bahwa Pedang Naga Putih berada di balik jubahnya.
Kalau dia menyerahkan diri, sudah pasti sekali orang-orang sesat itu
akan merampasnya dan hal ini amatlah berbahaya.
"Nanti dulu, aku khawatir, jangan-jangan kalian ini bertindak curang.
Biar aku memberitahu dulu kawanku sehingga kalau kalian curang
dan membunuh aku dan nona Kam Cian Li, kawanku itu yang akan
membalas dendam dan menumpas kalian!"
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja dia meloncat jauh dan dalam
beberapa detik saja bayangannya lenyap dari situ. Tentu saja Pek I
Kongcu Ciong Koan menjadi terkejut, akan tetapi diapun menjadi
ragu-ragu karena tidak dapat menduga apa yang sesungguhnya
dikehendaki oleh Pek-liong-eng yang dia tahu amat lihai itu.
651 Untuk melakukan pengejaran dia tidak berani. Maka dia hanya dapat
mengerutkan alisnya dan memandang kepada Kam Cian Li yang
masih bersikap tabah dan tenang itu.
"Nona, kebohongan dan akal busuk apakah yang sedang dilakukan
oleh Pek-liong-eng itu?"
Gadis itu tersenyum mengejek. "Pek-liong-eng tidak pernah
berbohong dan tidak pernah menggunakan akal busuk! Kalau dia
mengatakan mempunyai kawan baik, hal itu memang benar. Kawankawannya adalah bangsa malaikat dan dewa yang tentu kelak akan
menumpas kalian kalau kalian bertindak curang!"
Tentu saja Pek I Kongcu bukan seorang bodoh dan tahyul yang mudah
saja digertak dan dibohongi. Akan tetapi sebelum dia bicara lagi, tibatiba terdengar suara Pek-liong-eng.
"Ucapan nona Kam Cian Li memang benar!" Dan muncullah Pekliong-eng yang tersenyum-senyum.
Pek I Kongcu memandang penuh perhatian, akan tetapi tidak melihat
perubahan apapun pada diri pendekar itu yang dapat dicurigai. Tentu
saja dia tidak tahu bahwa sebatang pedang pusaka ampuh yang
tadinya tersembunyi di balik jubah, kini telah tidak ada lagi.
"Nah, aku menyerah dan cepat bawa kami menghadap pemimpin
kalian!" kata Pek-liong-eng Tan Cin Hay sambil menjulurkan kedua
lengannya ke depan. 652 Pek I Kongcu memberi isyarat kepada Po-yang Sam-liong yang
menjadi pembantunya, "Belenggu kedua lengannya, satukan dengan
gadis ini!" katanya.
Karena memang sudah diatur terlebih dahulu, mereka sudah
mempersiapkan pula sebuah rantai panjang yang kuat dan di ujung
rantai itu terdapat belenggu-belenggu yang kuat pula. Tanpa melawan,
Tan Cin Hay membiarkan kedua pergelangannya yang disatukan itu
dibelenggu, kemudian belenggu di ujung rantai yang lain
dipergunakan membelenggu kedua tangan Cian Li.
Gadis itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan ia tersenyum
girang ketika ia berdiri berdampingan dengan Pek-liong-eng. Rantai
itu menyatukan mereka, membuat mereka tak dapat saling berpisah
jauh dan selalu berdampingan, seperti sepasang pengantin! Pek-liongeng sendiri sampai merasa heran sekali melihat gadis manis itu
tersenyum-senyum demikian gembiranya!
Setelah melihat Pek-liong-eng dibelenggu, Ciong Koan sendiri lalu
menggeledah dan memeriksa tubuh Pek-liong-eng untuk mencari
senjata yang disembunyikan. Akan tetapi dia tidak menemukan apaapa dan diam-diam Pek-liong-eng merasa bersyukur bahwa pada saat
terakhir dia teringat kepada pedang pusakanya dan masih sempat
mengelabuhi mereka dan menyimpan senjata itu di tempat
persembunyian yang hanya dia sendiri mengetahuinya.
"Ha-ha, orang she Ciong. Kalau engkau mencari uang dan emas,
engkau tidak akan mendapatkannya padaku!" Pek-liong berkata
sambil tersenyum mengejek.
653 Wajah Pek I Kongcu Ciong Koan menjadi kemerahan. Ucapan itu
sama dengan mengatakan bahwa dia adalah seorang yang suka
mencopet atau merampas barang orang! Dia dianggap sebagai seorang
penjahat pasar yang kecil saja. Akan tetapi, dia tidak mampu
membalas karena bagaimanapun juga "kemenangannya" sekali ini
adalah kemenangan yang tidak boleh dibanggakan.
Dia memaksa Pek-liong menyerah bukan dengan mengalahkannya
dalam perkelahian, melainkan memaksanya dengan menyandera gadis
itu. Sebetulnya, diapun ingin sekali menguji kepandaian pendekar itu
sampai tuntas dan dia harapkan sekali waktu akan mampu membuat
pendekar itu menyerah di bawah todongan pedangnya yang ampuh.
"Mari kita pergi!" Hanya demikian dia mendengus untuk
melampiaskan kedongkolan hatinya, memberi isyarat kepada Po-yang
Sam-liong. Dua orang tawanan itu digiring oleh Po-yang Sam-liong,
diikuti pula oleh Pek I Kongcu, dan empat orang anak buah mereka
yang telah luka-luka itu menyusul di belakang sambil terpincang dan
terhuyung. Kam Cian Li menengok ke kanan kiri, ke belakang, dan ia tersenyumsenyum, nampak gembira sekali. Melihat ini, tentu saja Pek-liong
menjadi heran dan khawatir. Jangan-jangan saking takutnya dan
gelisahnya, gadis manis ini menjadi sinting, pikirnya.
"Cian Li. kenapa engkau senyum-senyum begini gembira?" Tak dapat
dia menahan keinginan tahunya dan dia bertanya dengan suara
berbisik. Dengan wajah berseri dan mulut tersenyum sehingga nampak semakin
manis, gadis itu menoleh kepada Pek-liong yang berjalan di samping
654 kirinya. "Hay-ko, apakah engkau tidak merasa seperti yang
kurasakan?" Berbalik ditanya, Pek-liong mengerutkan alisnya dan menjawab.
"Yang kurasakan sama sekali bukan kegembiraan. Kita menjadi
tawanan, tidak ada alasannya untuk bergembira. Apa sih yang
membuatmu begini gembira?"
"Koko, kita berjalan bersanding seperti ini, di belakang kita ada para
pengikut kita. Aku merasa seperti menjadi sepasang pengantin!
Bukankah menggembirakan sekali?"
Sejenak Pek-liong terbelalak, akan tetapi dia lalu tersenyum, diamdiam dia memuji ketabahan hati gadis manis ini dan ada keharuan
karena dia dapat melihat bahwa gadis manis ini agaknya telah jatuh
cinta kepadanya. Hanya seorang gadis yang jatuh cinta saja yang
menjadi begitu gembira membayangkan dirinya menjadi pengantin
dengan pria yang dicintanya, tentu saja!
"Aih, engkau ini ada-ada saja, Li-moi!" katanya sambil tertawa, akan
tetapi dia berbisik lirih sekali, menggunakan khi-kang sehingga
suaranya hanya dapat didengar oleh telinga gadis itu sendiri. "Engkau
harus pandai mengulur waktu dan bersikap sabar sampai munculnya
kakakmu dan Liong-li......"
"Apakah...... ia akan benar-benar muncul?" balas Cian Li berbisik
lirih. "Sudah pasti, jangan engkau gelisah."
"Siapa gelisah" Aku gembira malah, koko!"
655 Pek-liong mengatupkan mulutnya agar tidak bicara lagi. Gadis ini
amat pemberani, dan saking beraninya, jangan-jangan malah akan
merusak siasat dan rencananya. Dia membiarkan diri ditawan bukan
semata untuk menyelamatkan Cian Li, melainkan terutama sekali agar
dia dapat mengetahui dengan jelas keadaan gerombolan yang
dipimpin seorang di antara Kiu Lo-mo itu.
Dia tahu bahwa dia telah melakukan permainan berbahaya,
mempertaruhkan nyawanya. Andaikata dia tidak mengatur rencana
siasat, tidak merasa yakin bahwa tentu Hek-liong-li akan muncul,
tentu dia tidak akan melakukan permainan gila ini. Menyerah kepada
seorang datuk sesat seperti Siauw-bin Ciu-kwi yang baru dikenal
namanya saja, seorang di antara datuk-datuk besar Kiu Lo-mo,
sungguh merupakan suatu kenekatan dan nyawanya berada dalam
ancaman bahaya. Setelah mereka tiba di kaki Bukit Merak, tidak jauh dari Telaga Poyang, Pek I Kongcu Ciong Koan menyuruh Po-yang Sam-liong untuk
mengikatkan kain hitam di depan mata kedua orang tawanan itu.
Selanjutnya, Poa Teng, orang ketiga dari Po-yang Sam-liong
memegang rantai diantara dua orang tawanan dan dengan demikian
menarik dan menuntun mereka yang tidak dapat melihat itu untuk
mendaki Bukit Merak. Biarpun kedua matanya ditutupi kain hitam dan dia sama sekali tidak
dapat melihat, namun diam-diam Pek-liong memperhatikan jalan yang
dilaluinya, tanjakan-tanjakannya, macam tanah yang diinjaknya, baru
tumbuh-tumbuhan di kanan kirinya dan mencatat semua itu dalam
ingatannya. 656 Dia tahu bahwa mereka melalui tebing jurang sebanyak lima kali,
memasuki hutan cemara dua kali, hutan pohon-pohon liar dua kali dan
menyeberang sungai kecil dua kali. Juga dia dapat mengetahui dari
pendengarannya yang tajam bahwa ada lima lapis penjagaan sebelum
mereka akhirnya tiba di depan rumah besar yang menjadi tempat
tinggal Siauw-bin Ciu-kwi.
Penutup mata hitam itu baru dibuka setelah mereka memasuki sebuah
ruangan. Biarpun mereka berada di dalam ruangan, ketika tutup mata
itu dibuka, Pek-liong dan Cian Li mengejap-ngejapkan kedua mata
beberapa kali sebelum mampu membukanya karena ruangan itu masih
terlalu terang bagi mata mereka yang untuk beberapa lamanya tadi
ditutup kain hitam. Mereka merasa silau melihat cahaya matahari
masuk ruangan itu melalui jendela-jendela ruangan yang dibuka lebar.
Pek-liong mengamati ruangan itu. Mereka berada di sebuah ruangan
yang luas sekali, dan tidak banyak perabot terdapat di situ. Tentu
sebuah lian-bu-thia (ruangan bermain silat), pikir Pek-liong, melihat
adanya sebuah rak besar terisi bermacam senjata di sudut ruangan.
Dia dan Cian Li berdiri berdekatan, dan mereka menghadapi beberapa
orang yang duduk di atas kursi-kursi berjajar, dengan meja di depan
mereka. Banyak cawan dan beberapa guci arak berada di atas meja.
Sepasang mata Pek-liong mengamati orang-orang itu satu demi satu.
Mula-mula pandang matanya bertemu dengan pandang mata kekanakkanakan dari seorang laki-laki berusia kurang lebih limapuluh tahun.
Tubuhnya gendut sekali, dan bentuknya pendek sehingga nampaknya
bulat seperti bola. Kepalanya yang botak gundul itu juga bulat seperti
657 bola. Mukanya lucu, seperti muka kanak-kanak yang lugu dan murni,
selalu tersenyum. Kalau tidak melihat sinar matanya yang kadang-kadang mencorong
kejam itu, tentu orang akan merasa heran melihat orang yang
kelihatan begitu "baik budi" berada di sarang gerombolan penjahat itu.
Pek-liong tidak pernah mengenal orang ini dan sama sekali tidak tahu
bahwa justeru orang berwajah kekanak-kanakan itulah dia Siauw-bin
Ciu-kwi, seorang di antara Kiu Lo-mo.
Orang keduanya yang duduk di sebelah kanan si gendut itu adalah
seorang wanita cantik manis yang tubuhnya menggiurkan, matanya
genit penuh daya pikat, mulutnya dengan bibir yang merah basah dan
rongga mulut merah, deretan gigi putih dan ujung lidah merah jambu
yang kadang-kadang menjilat bibir itu penuh gairah. Pakaiannya juga
pesolek indah, tangan kiri mengebut-ngebutkan sebuah kipas bulu
yang indah. Wanita berusia kurang lebih tigapuluh tahun ini memandang kepada
Pek-liong dengan sinar mata penuh gairah dan bibir tersenyum manis.
Ialah Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si dan Pek-liong diam-diam dapat
menduga siapa adanya wanita cantik ini. Ia pernah mendengar tentang
iblis betina ini, apa lagi melihat kipas bola itu, iapun menduga bahwa
mungkin wanita yang belum pernah dijumpainya inilah yang berjuluk
Tok-sim Nio-cu itu. Ketika dia bertemu pandang dengan Lim-kwi Sai-kong, diapun segera
dapat menduga siapa adanya kakek berusia enampuluh tahun yang
bertubuh tinggi besar dengan muka persegi seperti muka singa, penuh
658 cambang bauk, matanya lebar, pakaian serba hitam ini. Maka diamdiam dia mencatat dalam hatinya.
Dia sudah mendengar akan kelihaian Tok-sim Nio-cu, juga Lim-kwi
Sai-kong dan di samping kedua orang ini, di situ masih ada Pek I
Kongcu yang tentu amat lihai pula, yang dibantu oleh Po-yang Samliong yang biarpun tidaklah selihai tokoh-tokoh sesat ini namun harus
diperhitungkan pula karena tiga orang raksasa itu amat kejam dan
bertenaga besar. Dan di samping Pek I Kongcu Ciong Koan, masih ada pula seorang
pria tinggi kurus yang kulit mukanya hitam, mukanya yang buruk
bengis itu dingin seperti topeng dan usianya empatpuluh lima tahun.
Dia tidak tahu siapa orang ini, namun dapat menduga tentu lihai pula
mengingat dia duduk pula di situ, sejajar dengan yang lain.
Biarpun belum pernah mengenalnya, dengan mudah Pek-liong-eng
dapat menduga siapa adanya Siauw-bin Ciu-kwi. Siapa lagi kalau
bukan si gendut bundar itu, pikirnya. Dia sudah pernah mendengar
tentang keadaan diri datuk besar ini, namun setelah kini berhadapan,
dia diam-diam merasa terkejut dan heran.
Tak disangkanya bahwa seorang di antara Kiu Lo-mo belum tua benar
dan wajahnya seperti seorang kanak-kanak yang berhati wajar dan
bersih. Namun dia sudah mendengar bahwa seperti para datuk lain
yang disebut Kiu Lo-mo, si gendut ini amat lihai, memiliki kesaktian
dan merupakan lawan yang amat tangguh. Apa lagi di sampingnya
terdapat demikian banyaknya pembantu yang lihai. Yang nampak saja
di situ empat orang tokoh sesat, belum lagi Po-yang Sam-liong dan
tentu saja banyak anak buah mereka. Sungguh merupakan lawan yang
659 amat tangguh. Akan tetapi apakah yang sedang mereka cari" Rahasia
Patung Emas" Tiba-tiba terdengar suara ketawa terpingkal-pingkal. Yang tertawa
adalah si gendut Siauw-bin Ciu-kwi. Dia tertawa seperti melihat
sesuatu yang lucu. Para pembantunya hanya ikut tersenyum karena
tidak tahu apa yang ditertawakan oleh Beng-cu mereka. Si gendut
mengakhiri ketawanya, lalu menuding ke arah Pek-liong-eng dan
tertawa lagi walaupun tidak separah tadi.
"Ha-ha-ha-ha, heh-heh, inikah yang disebut Pek-liong-eng" Ha-ha-ha,
seorang pemuda yang masih hijau! Lihat, masih ada ingusnya di
bawah hidungnya! Dan bocah ini yang membasmi Hek-sim Lo-mo
dan kawan-kawannya" Ha-ha-heh-heh-heh, sungguh sukar dipercaya.
Tentu Hek-sim Lo-mo kini sudah menjadi terlalu tua bangka dan
sudah pikun dan lemah sehingga mudah saja dikalahkan seorang
bocah ingusan. Heh, Pek liong-eng Tan Cin Hay! Benarkah engkau
memiliki kemampuan untuk mengalahkan mendiang Hek-sim Lomo?" Sepasang mata dari wajah kekanak-kanakan itu kini mencorong
bengis ketika memandang kepada Pek-liong.
Pek-liong maklum bahwa namanya telah menggemparkan dunia kaum
sesat dan agaknya mereka itupun menjadi gentar pula kepadanya.
Maka, dia lalu mengambil sikap angkuh, membusungkan dadanya dan
dia memandang kepada si gendut itu dengan pandang mata tajam
penuh tantangan. "Engkau agaknya Siauw-bin Ciu-kwi yang disebut Beng-cu. Ciu-kwi,
tidak perlu banyak bertanya, kalau engkau ingin mencoba
kepandaianku, silakan, aku sudah siap sedia!"
660 Mendengar ucapan yang nadanya menantang ini, semua orang
terbelalak, dan para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi memandang marah.
Akan tetapi si gendut itu sendiri tertawa geli walaupun sinar matanya
semakin mencorong berbahaya.


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cian Li kagum bukan main kepada Pek-liong. Ia tentu saja merasa
gelisah dan takut, akan tetapi karena di dekatnya ada Pek-liong, semua
rasa takut lenyap dan dara ini bahkan merasa berbahagia sekali bahwa
ia dapat menghadapi pengalaman berbahaya itu berdua dengan Pekliong.
"Hay-koko, engkau sungguh hebat!" katanya tanpa mengecilkan
suaranya, tidak perduli bahwa semua orang mendengarnya. "Aku
berani bertaruh seekor babi muda bahwa engkau yang akan keluar
sebagai pemenang!" Melihat sikap yang luar biasa tabahnya dari gadis itu, Pek-liong juga
kagum. Gadis ini tidak berapa hebat kepandaiannya, namun memiliki
keberanian yang mengagumkan. Pada hal, ketika pertama kali bertemu
dia melihat gadis ini tidaklah begitu tabah.
"Li-moi, apakah engkau mempunyai babi?" tanyanya, berkelakar,
untuk mempertahankan wibawanya sebagai seorang tawanan yang
lain, yang sama sekali tidak takut bahkan menantang pimpinan
gerombolan! "Tentu saja aku mempunyai peliharaan seekor babi muda, dan belasan
ekor ayam dan..... aihh, celaka, siapa yang akan memberi makan
mereka" Babiku dan ayam-ayamku tentu mati kelaparan! Uh, mereka
ini sungguh jahat, menyebabkan babi dan semua ayamku kelaparan!"
661 SIKAP kedua orang tawanan yang sama sekali tidak menghormati
Beng-cu mereka, bahkan pemuda itu berani secara terbuka menantang
Beng-cu mereka! "Beng-cu, biarkan aku mematahkan tulang punggung bocah sombong
ini," Lim-kwi Sai-kong berteriak marah.
"Hemm, akupun ingin menghancurkan kepala manusia sombong ini,
Beng-cu. Serahkan saja kepadaku!" Hek-giam-ong Lok Hun juga
berseru garang. "Aku yang lebih dulu menemukannya dan membawanya ke sini.
Beng-cu tentu akan membiarkan aku mewakilinya untuk menghajar
bocah lancang ini!" kata Pek I Kongcu.
Mendengar kesanggupan para pembantunya, Siauw-bin Ciu-kwi
tertawa gembira, lalu tiba-tiba dia menoleh kepada Tok-sim Nio-cu
Lui Cin Si yang duduk di sebelahnya. Dia melihat betapa wanita
cantik itu sedang mengamati Pek-liong dengan penuh selidik, dan dia
merasa seolah-olah pembantu utamanya itu sedang menaksir seekor
kuda jantan untuk dibelinya.
"Dan engkau bagaimana, Nio-cu" Sanggupkah engkau menandingi
Pek-liong-eng?" Tanpa menoleh kepada Beng-cu itu, Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si masih
mengamati Pek-liong dari kepala sampai ke kaki, menjawab, "Hemm
sebelum membunuhnya, aku ingin melihat kejantanannya lebih dulu.
Nampaknya dia jantan......"
662 Siauw-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. Biarpun pembantu utamanya ini
juga menjadi kekasihnya, namun dia mengenal benar watak
pembantunya ini yang cabul, genit dan gila pria, maka dia tidak
pernah merasa cemburu kalau melihat pembantunya ini mengeram
laki-laki muda di dalam kamarnya. Dan wanita itupun tak pernah
menyembunyikan "hobby" itu dari siapa saja.
Bahkan dengan Pek I Kongcu Ciong Koan iapun sudah melakukan
hubungan mesra tanpa memperdulikan Beng-cu yang juga hanya
menyeringai saja. Kalau melihat seorang pria muda yang tampan dan
gagah, wanita ini seketika bangkit gairahnya, maka jawabannya itupun
tidak mengejutkan semua rekannya.
"Ha-ha-ha, kalau tiba saatnya kita akan membunuh dia, tentu lebih
dulu kau akan kuberi kesempatan untuk menghisap darahnya sampai
habis, Nio-cu. Ha-ha-ha!" kata Siauw-bin Ciu-kwi, "Akan tetapi
sekarang belum boleh, aku ingin bicara dengan dia. Hei, Pek-liongeng, aku minta engkau bicara terus terang atau terpaksa kami akan
membunuh engkau dan gadis itu setelah menyiksa kalian!"
Pek-liong membusungkan dadanya. "Siauw-bin Ciu-kwi, engkau
adalah seorang datuk besar yang amat terkenal sebagai seorang di
antara Kiu Lo-mo, dan engkau di sini dibantu pula oleh banyak tokoh
yang lihai, banyak pula memiliki anak buah. Akan tetapi sungguh
tidak kusangka bahwa engkau demikian penakut sehingga tidak berani
menerima aku tanpa membelenggu tanganku. Apakah engkau
khawatir kalau aku memberontak dan membunuh kalian semua?"
Kembali ucapan Pek-liong ini membuat semua anak buah Beng-cu
menjadi marah, kecuali Tok-sim Nio-cu yang mengangguk-angguk
663 kagum. Seorang pria segagah Pek-liong belum pernah terjatuh ke
dalam pelukannya dan kini ia memandang penuh kagum.
Diam-diam Cian Li sejak tadi memperhatikan wanita itu, apa lagi
setelah mendengar ucapannya tadi. Ia cemberut dan marah bukan
main, diam-diam membenci wanita cantik genit itu. Perasaan cemburu
meledak-ledak di hatinya dan kalau saja ia diberi kesempatan, mau
rasanya ia menyerang dan mencakar muka cantik yang genit itu!
"Beng-cu, dia terlalu menghina Beng-cu. Biar kuhajar mampus dia!"
kata Hek-giam-ong Lok Hun sambil mengamangkan ruyungnya.
"Ha-ha, belum waktunya, Hek-giam-ong. Pek I Kongcu, kau lepaskan
belenggu tangan mereka berdua agar Pek-liong-eng melihat bahwa
aku sama sekali tidak takut kepadanya!"
Pek I Kongcu tentu saja juga tidak takut. Kalau tadi dia
mempergunakan Cian Li untuk memaksa Pek-liong menyerah adalah
karena dia tidak ingin repot-repot, pula dia tidak mempunyai teman
yang boleh diandalkan kecuali Po-yang Sam-liong.
Sekarang, rekan-rekannya lengkap, ada pula Beng-cu, tentu saja dia
tidak takut kalau tawanan itu akan dapat lolos. Dia lalu memberi
isyarat kepada Po-yang Sam-liong. Poa Seng, orang tertua dari tiga
raksasa Po-yang itu, segera melangkah maju dan menggunakan kunci
membuka belenggu tangan yang disambung rantai mempersatukan
Cian Li dan Pek-liong itu.
Pek-liong tersenyum, juga Cian Li menjadi lega, menggosok-gosok
pergelangan tangan bekas belenggu. "Terima kasih, Siauw-bin Ciu664
kwi. Sikapmu ini saja membuat engkau semakin pantas menjadi Bengcu, tidak berjiwa penakut," kata Pek-liong.
Senyum ketua itu makin melebar, agaknya senang juga dia kini dipuji
oleh pendekar yang pernah membasmi kelompok yang dipimpin
seorang rekannya yang lebih tua, yaitu Hek-sim Lo-mo.
"Ha-ha-ha, duduklah, Pek-liong, dan kau juga, nona penyelam! Kami
dapat menjadi tuan rumah bagi seorang tamu dan sahabat yang baik,
Pek-liong, akan tetapi juga dapat menjadi seorang musuh yang amat
bengis. Terserah kepadamu engkau ingin menjadi tamu dan sahabat,
ataukah menjadi seorang musuh. Tergantung dari jawabanjawabanmu."
Dengan sikap tenang sekali Pek-liong mengambil tempat duduk di
atas kursi, dan Cian Li, walaupun hatinya terasa kecut dan tidak
senang, ikut pula duduk di samping kiri pemuda itu.
"Siauw-bin Ciu-kwi...... atau lebih baik kusebut Beng-cu karena
engkau telah diterima sebagai Beng-cu di sini. Nah, Beng-cu, kau
ajukanlah pertanyaan-pertanyaan itu, tentu akan kujawab sebagaimana
mestinya." "Ha-ha-ha, bagus, bagus! Lebih dulu terimalah ucapan selamat datang
dari kami dengan secawan arak, Pek-liong!"
Akan tetapi sebelum Beng-cu itu menuangkan secawan arak, lebih
dahulu Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si bangkit dan menghampiri Pekliong, dengan gaya yang lembut dan menawan ia menuangkan arak
dari guci ke sebuah cawan. Kemudian dengan senyum manis sekali ia
665 menyerahkan cawan arak itu kepada Pek-liong sambil berkata dengan
suara merdu seperti orang bernyanyi.
"Pek-liong-eng, sudah lama sekali aku mengagumi kegagahanmu.
Terimalah secawan arak dari Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si!"
Pek-liong tak dapat menolak dan ketika dia menerima cawan arak itu,
tangannya bertemu dengan tangan wanita itu yang sengaja memegang
tangannya, dan terciumlah keharuman keluar dari dada wanita itu
ketika tangan Pek-liong bersentuhan dengan tangan yang berkulit
lembut dan hangat. Cian Li bangkit dengan muka merah dan gerakannya itu membuat
kursi yang didudukinya terpelanting jatuh.
"Li-moi, engkau kenapakah?" Pek-liong bertanya heran. Gadis itu
bersungut-sungut lalu membuang muka dan mendengus marah.
"Huh, muak aku......!"
Melihat ini, Beng-cu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kiranya nona
penyelam ini adalah pacarmu, Pek-liong" Ha-ha-ha, bagus sekali......"
Pek-liong mengerutkan alisnya. Diapun kini tahu bahwa Cian Li
marah-marah karena sikap Tok-sim Nio-cu tadi, kemarahan yang
timbul dari cemburu. Dia tahu bahwa gadis itu agaknya telah jatuh
hati kepadanya. Akan tetapi andaikata hal ini henar, merupakan
kenyataan yang amat berbahaya kalau diketahui oleh Beng-cu, karena
ikatan batin itu dapat dipergunakan Beng-cu untuk memaksakan
kehendaknya dengan mengancam seorang di antara mereka.
666 "Beng-cu, harap jangan bicara sembarangan! Aku baru saja mengenal
nona Kam Cian Li ini, kami sama sekali bukan pacaran!"
"Ha-ha, setidaknya ia mencintamu, Pek-liong. Sudahlah, terimalah
ucapan selamat datang dengan minum cawan arak kita. Mari!"
Tuan rumah itu minum araknya dan sebagai penerimaan
penghormatan itu, mau tidak mau Pek-liong juga minum habis arak
yang disuguhkan Tok-sim Nio-cu. Cian Li sudah duduk kembali
dengan mulut cemberut. "Pek-liong, kami tahu bahwa engkau tinggal di daerah Telaga Seeouw. Akan tetapi kini engkau berada di Po-yang" Nah, katakan
kepadaku, apa keperluanmu berkeliaran di daerah Po-yang" Engkau
bersama-sama dengan Tiong Tosu dan Yong Hwesio, kemudian
engkaupun bersama-sama dengan kakak beradik Kam ahli penyelam.
Nah, apa maksudmu berada di sini!"
"Aku hanya melancong ke Po-yang," jawab Pek-liong dengan cepat
dan jawabannya itu memang bukan bohong. "Hanya secara kebetulan
saja aku bertemu dengan tosu dan hwesio itu, juga kebetulan saja aku
bertemu dengan kakak beradik Kam. Sekarang, aku yang ingin
berbalik bertanya, Beng-cu. Kenapa engkau menyuruh bunuh Tosu
dan Hwesio itu, dan kenapa pula orang-orangmu mengganggu kakak
beradik Kam" Aku tadi sudah menjawab sejujurnya, maka kuharap
engkaupun suka menjawab sejujurnya."
Beng-cu itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, sikapmu memang angkuh
sekali, Pek-liong. Engkau memancing keinginan tahuku sampai di
mana sesungguhnya kehebatan ilmu silatmu maka engkau berani
mengambil sikap seperti ini. Sekarang, jawablah, karena pertanyaanku
667 belum habis. Engkau sebagai tawanan tidak berhak mengajukan
pertanyaan. Nah, pertanyaan selanjutnya. Engkau selama ini bekerja
sama dengan Hek-liong-li, kenapa sekarang ia tidak ikut datang" Di
mana Hek-liong-li?" Pek-liong tersenyum. "Ha, jangan khawatir, Beng-cu. Kalau aku
terancam bahaya di sini, sudah pasti ia akan muncul dan
membasmimu." Beng-cu itu mengerutkan alisnya. "Hemm, aku tahu. Kakak nona ini
tidak nampak bersama kalian. Tentu dia kausuruh memanggil Hekliong-li, bukan?"
Diam-diam Pek-liong terkejut juga dan memuji kecerdikan si gendut
itu. Seorang lawan yang bukan saja tangguh, akan tetapi juga amat
cerdik, pikirnya. "Kalau engkau sudah menduganya, tentu engkau tidak akan berani
sembarangan mengganggu kami, Beng-cu. Dengar baik-baik. Engkau
tentu tahu bahwa aku menyerah kepada pembantumu yang tampan itu
bukan karena aku telah dikalahkan, melainkan karena dengan curang
dia telah menawan nona Kam Cian Li. Akan tetapi, kalau aku
menghendaki, aku dapat saja melarikan diri dari sini. Paling-paling
kalian akan membunuh nona Kam. Akan tetapi kalian akan menerima
pembalasan kami, yaitu aku dan Liong-li! Sebaiknya, kau bebaskan
kami karena sesungguhnya kami tidak mempunyai urusan dengan
kalian." "Hemm, Pek-liong. Engkaupun dengar baik-baik. Saat ini engkau
adalah tawanan kami. Tak perlu engkau mengancam. Kalau aku
menghendaki, sekarangpun kami akan dapat mengeroyok dan
668 membunuhmu. Akan tetapi tidak, aku membutuhkan bantuanmu,
membutuhkan bantuan kalian. Pek-liong, katakan saja, bukankah
engkau sudah mendapatkan sepotong dari peta rahasia Patung Emas
itu?" Pek-liong mengerutkan alisnya dan dia melihat betapa Cian Li
memandang kepadanya dengan sinar mata penuh pertanyaan. Dia
menggeleng kepala. "Peta rahasia Patung Emas" Aku sama sekali
tidak tahu tentang itu, Beng-cu. Bagaimana engkau menduga bahwa
aku sudah mendapatkan sepotong dari peta itu?"
Kini mulut Beng-cu tidak tersenyum, melainkan cemberut. "Semua
orang memperebutkannya. Kalau engkau berkeliaran di sini, apa lagi
yang kaulakukan kalau tidak ikut memperebutkan" Pek-liong, demi
keselamatanmu dan keselamatan gadis ini, lebih baik engkau bekerja
sama dengan kami. Terus terang saja, yang sepotong lagi berada di
tanganku. Sudah lama aku mencari potongan yang lain dari peta itu.
"Mula-mula berada di tangan Loan Khi Hwesio, hwesio tolol itu telah
menyerahkan peta itu kepada Thio Kee San. Akan tetapi, orang she
Thio itupun menyerahkan lagi peta itu kepada pelacur Bi Hwa.
Sampai mampus, Bi Hwa tidak mengaku di mana adanya peta itu.
Kami mencurigai Tiong Tosu dan Yong Hwesio yang mengadakan
penyelidikan terhadap kami, dan kami mencurigai kakak beradik Kam
yang pekerjaannya menyelam dan mengumpulkan batu-batuan.
"Nah, karena engkau berada bersama mereka, maka sudah pasti
engkau telah menemukan peta itu. Mengakulah saja, Pek-liong dan
mari kita bekerja sama, kalau berhasil mendapatkan harta karun itu,
kita bagi rata......"
669 "Beng-cu, sungguh mati aku tidak pernah menemukan peta itu,
melihatnyapun belum pernah. Bagaimana aku dapat menyerahkannya
kepadamu?" "Beng-cu, dia bohong! Kalau dia muncul di sini, pantas saja peta itu
lenyap. Tentu dia yang telah mengambilnya dari tangan pelacur itu.
Biarkan aku menyiksa dan memaksanya agar dia mengaku!" Hekgiam-ong Lok Hun sudah meloncat ke depan dengan ruyung di
tangan. Si gendut itu bangkit berdiri dan tertawa pula, lalu melangkah
mendekati Pek-liong. "Engkau keras kepala, Pek-liong. Akan tetapi,
kalau memang engkau memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, engkau
boleh menjadi pembantuku. Pasti engkau akan memperoleh bagian
kalau usahaku berhasil, seperti para pembantu lain. Maka, aku ingin
sekali mengujimu!" Tiba-tiba saja, luar biasa cepat gerakannya sehingga sama sekali tidak
sepadan dengan tubuhnya yang gendut bundar, dia sudah menerjang
dan mengirim pukulan bertubi ke arah tubuh Pek-liong. Pukulan
berantai itu memang hebat, selain cepat sekali, juga mengandung
tenaga dahsyat. Pek-liong mengenal serangan berbahaya, maka diapun
cepat menggeser kakinya dan menghindarkan diri dengan mundur
untuk memasang kuda-kuda dan siap balas menyerang. Akan tetapi,
tiba-tiba saja si gendut tertawa dan di lain saat, dia telah menangkap
lengan Cian Li. Gadis ini menjerit, meronta, namun sama sekali tidak
mampu berkutik. "Ha-ha-ha, Pek-liong. Sudah kukatakan bahwa aku hanya ingin
mengujimu, menguji kepandaianmu, oleh karena itu engkau tidak
670 boleh membunuh seorang di antara para pembantuku. Hek-giam-ong,
kini engkau boleh mencoba dia!" Berkata demikian, Beng-cu itu
duduk kembali dan mendorong Cian Li kearah Pek I Kongcu yang
menyambutnya, menotok tengkuknya dan mendudukkan gadis yang


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah lemas tak mampu meronta itu ke atas sebuah kursi.
"Beng-cu, engkau selalu curang!" bentak Pek-liong marah.
"Hem, tenanglah. Aku hanya ingin menguji kepandaianmu. Kalau
kuanggap pantas menjadi pembantuku, kau akan kuangkat menjadi
pembantu. Kalau tidak, engkau akan mati sekarang juga. Kalau
engkau membunuh orangku, gadis ini akan kami bunuh dulu sebelum
kami keroyok dan bunuh engkau!"
Hek-giam-ong Lok Hun sudah mengeluarkan suara menggereng
seperti seekor biruang. Dia tidak khawatir, karena kalau dia menang,
dia boleh menyiksa dan membunuh pemuda berpakaian putih itu.
Sebaliknya, andaikata dia kalah, pemuda itu tentu tidak akan berani
membunuhnya. Hatinya menjadi besar, apa lagi memang dia memandang remeh
kepada pemuda itu. Ruyung di tangannya diputar sehingga
membentuk lingkaran seperti payung, dan terdengar suara angin
bersiutan saking cepatnya senjata yang berat itu terputar.
Namun, Pek-liong menghadapinya dengan sikap tenang saja.
Sementara itu otaknya berputar keras. Melihat gerakan lawan, dia
merasa yakin bahwa tidak sukar baginya untuk membunuh si tinggi
kurus yang kulitnya hitam kasar ini. Bahkan dia dapat mengamuk dan
membunuh banyak orang di tempat itu. Akan tetapi dia maklum
671 bahwa orang-orang jahat itu tentu akan membunuh Cian Li dan dia
tidak akan mampu mencegahnya.
Tidak, gadis itu tidak boleh dibunuh. Dia terpaksa harus menyerah,
sambil menanti munculnya Hek-liong-li. Dia merasa tidak berdaya
dan baru dia merasa betapa dia amat membutuhkan Hek-liong-li.
Wanita itu amat cerdik dan memiliki banyak akal dan muslihat. Kalau
ada Hek-liong-li tentu wanita itu akan mampu mencari akal yang baik
menghadapi penekanan Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya.
Kini, yang terpenting, menjaga agar Cian Li tidak dibunuh. Dia harus
dapat mengalahkan mereka semua tanpa membunuh! Dan tentu saja
hal ini membuat dia menghadapi tugas yang amat sukar. Mereka itu
menyerangnya dengan niat membunuh, sebaliknya dia tidak boleh
membunuh. Tentu akan amat sukar, namun dia tidak menjadi gentar
dan merasa yakin akan mampu menaklukkan lawan tanpa membunuh.
"Wirrrr......!" Ruyung itu menyambar dari atas ke bawah. Kalau
terkena sambaran ruyung yang amat berat dan kuat itu, tentu akan
pecah kepalanya. Diapun mengelak dengan mudahnya. Ruyung
menyambar lagi setelah menghantam lantai dan menimbulkan
muncratnya bunga api, kini memantul ke atas dan menyambar ke arah
kakinya! Pek-liong melompat ke samping dan ruyung itu lewat
dengan cepat. "Wuuuttt......!" Kembali ruyung itu sudah menyambar lagi dengan
dahsyatnya dan ketika Pek-liong mengelak, tiba-tiba kaki Hek-giamong menendang dari samping.
"Siuuuuttt......!" Hampir saja lambung Pek-liong terkena tendangan.
Namun, pemuda ini memang sengaja memperlambat gerakannya,
672 namun dia sudah memperhitungkan sehingga tendangan itupun luput.
Sampai belasan kali dia tetap mengelak. Ketika ruyung itu menyambar
lagi, dia miringkan tubuh dan begitu ruyung lewat, dia menangkap
lengan kanan lawan yang memegang ruyung, memutarnya dan tangan
kanannya menampar pundak.
"Plakkk......!" Tubuh yang tinggi kurus itu terpelanting dan terbanting
ke atas lantai. Akan tetapi, Hek-giam-ong yang tidak terluka parah itu
menjadi marah lalu meloncat lagi dan menyerang membabi-buta!
Pek-liong mendongkol sekali. Kalau dia menghendaki, tamparan itu
menjadi lebih keras bahkan dapat naik mengenai tengkuk atau kepala
dan lawan itu akan mampus, akan tetapi dia hanya menggunakan
sedikit tenaga, hanya untuk menunjukkan bahwa Hek-giam-ong sudah
kalah. Siapa kira, orang itu nekat, bahkan kini menyerang dengan dahsyat,
sedangkan Beng-cu juga diam saja. Pada hal, sudah jelas bahwa dia
tadi memperlihatkan keunggulannya!
"Lim-kwi Sai-kong, majulah!" terdengar suara Beng-cu itu dan kini
raksasa bermuka singa itu mengeluarkan suara seperti harimau
mengaum dan dia sudah meloncat ke dalam medan pertandingan,
tangan kanannya memegang sebatang golok besar yang gagangnya
diikat dengan sebatang rantai baja yang panjang.
Memang raksasa muka singa ini memiliki senjata yang amat lihai dan
ampuh. Golok itu dapat dimainkan dengan tangan kanan, sedangkan
tangan kiri memutar rantai baja. Atau, golok itu dapat menjangkau
jauh, seperti terbang kalau rantai itu dimainkan dan golok menjadi
ujung rantai. Dan raksasa ini lihai sekali dalam permainan senjata itu.
673 Pek-liong mengerutkan alisnya. Beng-cu itu memang licik sekali. Dia
yang bertangan kosong harus menghadapi dua orang lawan yang
bersenjata berat, dua orang yang seperti binatang haus darah, yang
menyerangnya untuk membunuh. Dan dia harus membela diri dengan
syarat tidak boleh membunuh lawan, dengan ancaman kalau dia
membunuh, maka Cian Li akan dibunuh lebih dulu sebelum dia
dikeroyok! Setelah Lim-kwi Sai-kong menerjangnya dengan dahsyat, membantu
Hek-giam-ong yang juga marah sekali karena tadi dirobohkan, Pekliong terpaksa harus memperlihatkan kepandaian yang sesungguhnya!
Tubuhnya berkelebatan, lenyap bentuk tubuhnya berubah menjadi
bayangan yang amat gesitnya, bagaikan seekor burung walet
beterbangan di antara gulungan sinar senjata kedua orang
pengeroyoknya! Melihat ini, Siauw-bin Ciu-kwi mengangguk-angguk
kagum dan berbisik, "Pantas saja Hek-sim Lo-mo kalah olehnya......"
Dan diapun maklum betapa berbahayanya mempunyai seorang musuh
seperti Pek-liong-eng. Orang ini harus ditarik sebagai sekutu atau......
dihancurkan sekarang juga! Terlalu berbahaya kalau menjadi lawan,
pikir Beng-cu yang cerdik itu.
"Pek I Kongcu, majulah engkau!" katanya dan diapun berpindah ke
kursi dekat Cian Li. Gadis itu masih duduk tak mampu berperak. Sekali si gendut
menggerakkan jari tangan menyentuh tengkuk, gadis itu dapat
bergerak kembali, akan tetapi karena si gendut itu berada di dekatnya,
iapun tidak berani bergerak. Ia hanya memandang ke arah perkelahian
674 itu dan matanya terbelalak penuh kekhawatiran. Apa lagi setelah kini
Pek I Kongcu maju mengeroyok dengan pedangnya.
Pek-liong memang mulai repot menghadapi pengeroyokan tiga orang
itu. Pedang di tangan Pek I Kongcu Ciong Koan amat berbahaya,
bersama dua orang pengeroyok pertama, pedang itu sungguh
merupakan ancaman maut! Ilmu pedang Kun-lun-kiam-sut memang
hebat dan Pek I Kongcu sudah menguasai ilmu pedang itu dengan
baiknya. Pedang itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung,
mengeluarkan suara berdesing.
"Singgg......!" Sebagian ujung rambut kepala Pek-liong berhamburan
terkena sambaran sinar pedang. Pek-liong terkejut. Kalau dia
memegang pedang pusakanya, walaupun dia tidak boleh membunuh,
kiranya dia akan dapat melindungi dirinya dengan baik dan membuat
para pengeroyoknya tidak berdaya dengan mematahkan senjata
mereka. Akan tetapi, jangankan Pek-liong-kiam yang sudah
disembunyikannya itu, bahkan senjata biasapun dia tidak punya.
Dia harus menghadapi pengeroyokan tiga orang yang lihai ini dengan
tangan kosong! Dan diapun dapat melihat betapa Cian Li duduk dekat
dengan Siauw-bin Ciu-kwi, maka dia tidak berdaya, tidak mungkin
dapat membawa lari gadis itu. Sekali dia melakukan gerakan
mencurigakan, betapa mudahnya si gendut itu membunuh Cian Li!
Menghadapi pengeroyokan tiga orang tokoh sesat yang ilmunya sudah
tinggi itu, dengan tangan kosong menghadapi senjata-senjata mereka,
dan tidak boleh membunuh, sungguh merupakan hal yang amat sukar.
Pek-liong sudah mengerahkan seluruh gin-kangnya, mempergunakan
kecepatan gerakan tubuhnya untuk menyelinap di antara sinar senjata
675 yang menyambar-nyambar, namun dia tidak memperoleh kesempatan
untuk merobohkan mereka tanpa melukai parah atau membunuh.
"Crattt......!" Tiba-tiba ujung pedang Pek I Kongcu menyerempet
pangkal lengan kirinya dan bajunya terobek berikut kulit dan sedikit
daging bahunya. Darah mulai mengucur membasahi bajunya. Melihat
darah, agaknya tiga orang pengeroyoknya menjadi semakin buas.
Sambil bergerak cepat dan kuat, mereka menghujankan serangan
sambil kadang-kadang mengeluarkan gerengan atau teriakan dahsyat!
"Bukkk!" Ruyung itu menghantam punggung Pek-liong.
Pemuda ini sempat melindungi diri dengan sin-kang, akan tetapi
hantaman yang amat kuat itu tetap saja membuat dia terpelanting.
Selagi dia roboh, golok berantai itu menyambar ke arah lehernya. Pekliong masih dapat menggulingkan tubuhnya sehingga terlepas dari
cengkeranan maut, namun kaki Pek I Kongcu menendang dan
mengenai pahanya sehingga tubuhnya bergulingan semakin cepat.
Melihat betapa pria yang dikaguminya itu dikeroyok dan kini menjadi
bulan-bulan serangan tiga orang pengeroyoknya, lebih lagi melihat
darah membasahi baju Pek-liong-eng, tiba-tiba Cian Li menutupi
mukanya dengan kedua telapak tangan dan dengan suara merintih
iapun berseru, "Cukup......! Hentikan itu....! Aku tahu di mana peta itu......!"
Mendengar ini, Beng-cu itu bangkit berdiri dan mengangkat tangan ke
atas, suaranya mengguntur ketika memerintahkan para pembantunya.
"Berhenti! Jangan menyerang lagi!"
676 Lim-kwi Sai-kong, Hek-giam-ong dan Pek I Kongcu tentu saja merasa
kecewa sekali. Lawan mereka sudah mulai terdesak hebat dan dalam
waktu dekat tentu mereka bertiga akan dapat menyiksa dan
membunuhnya. Akan tetapi mereka tidak berani membangkang
terhadap perintah Beng-cu, apa lagi merekapun mendengar seruan
gadis itu dan merasa tertarik sekali. Mereka semua lalu mendekati
Beng-cu, akan akan tetapi Beng-cu berkata kepada mereka bertiga.
"Pek-liong harus dibelenggu dulu kaki tangannya dengan belenggu
rantai yang paling berat. Pek-liong, aku sudah melihat kepandaianmu
dan aku suka menerimamu sebagai pembantu. Akan tetapi, karena
kami belum percaya benar, terpaksa engkau kami belenggu dan gadis
ini menjadi jaminan bahwa engkau tidak akan melarikan diri dan
memberontak!" Pek-liong hanya mengangguk dan membiarkan kaki dan tangannya
dibelenggu dengan belenggu rantai yang memungkinkan dia berjalan
dengan melangkah perlahan-lahan, juga kedua lengannya dapat
bergerak karena rantainya cukup panjang, akan tetapi tentu saja tidak
mungkin dia memberontak karena gerakan kaki tangannya akan
terhalang oteh belenggu-belenggu rantai. Dia lalu melangkah perlahan
menghampiri sebuah kursi dan duduk, matanya tiada hentinya
menatap ke arah wajah Cian Li.
Diam-diam dia merasa menyesal sekali mengapa gadis itu tidak dapat
menahan diri dan mengaku. Kiranya, gadis itu malah yang tahu akan
rahasia peta itu! Sungguh sama sekali tidak disangkanya!
"Nah, nona manis, sekarang ceritakan yang betul tentang peta itu.
Kami memang sudah menaruh kecurigaan kepada engkau dan
677 kakakmu, dan ternyata benar. Di mana peta itu" Serahkan kepada
kami! Ah, tidak, lebih dulu ceritakan tentang peta itu, dari mana
engkau mendapatkan peta itu?"
Wajah kekanak-kanakan itu nampak kegirangan bukan main dan
agaknya dia ingin menikmati kegirangan ini sedikit demi sedikit, tidak
langsung menerima peta itu dari Cian Li. Dia persis seperti seorang
kanak-kanak yang mendapatkan sebuah kembang gula, lalu makan
kembang gula itu sedikit demi sedikit, menjilat-jilati dan tidak
langsung memakannya. Cian Li mengangkat muka, memandang kepada Pek-liong. Ketika
melihat pandang mata pemuda itu penuh penyesalan, ia menarik napas
panjang. Apa lagi hanya mengorbankan peta itu, biar harus
mengorbankan apapun ia tentu akan berikan untuk menyelamatkan
pendekar itu! Aih, tidak tahukah engkau betapa aku mau
mengorbankan apapun untukmu, betapa aku mencintaimu" Demikian
hatinya berbisik. Akan tetapi sinar mata pendekar itu tetap penuh
penyesalan dan iapun menundukkan mukanya.
"Aku mendapatkan peta itu dari seorang wanita cantik," demikian ia
berkata dengan muka menunduk.
"Pada suatu siang ketika aku dan kakakku mencari batu-batu telaga,
ketika kakakku menyelam dan aku berjaga di perahu, lewat sebuah
perahu lain. Seorang wanita cantik menyuruh tukang perahunya
mendekati perahuku, kemudian ia menyerahkan sebuah guci yang
tertutup rapat. Ia menyerahkan guci itu kepadaku dan berkata bahwa ia
titip barang itu kepadaku karena dikejar orang jahat hendak dirampas.
Tentu saja aku bertanya apa adanya benda itu. Ia berterus terang
678 mengatakan bahwa barang yang berada di dalam guci itu adalah
sebuah peta rahasia Patung Emas......"
"Ah, tentu si pelacur Bi Hwa!" seru Siauw-bin Ciu-kwi dengan girang
sekali dan Pek-liong-eng yang ikut mendengarkan menjadi semakin
menyesal. Tak disangkanya bahwa datuk sesat itu akan mendapatkan
peta itu semudah itu! Dan semua itu karena seorang gadis sederhana
menaruh hati cinta kepadanya, suka menyerahkan benda berharga itu
demi untuk menyelamatkannya!
"Di mana sekarang guci itu" Nona manis, di mana benda itu
kausimpan?" Siauw-bin Ciu-kwi bertanya dengan penuh nafsu,
suaranya terdengar ramah dan manis.
"Kusimpan di dasar telaga......" katanya lirih.
Mendengar ini, di dalam hatinya Pek-liong bersorak. Bagus, Cian Li,
teriaknya dalam hati. Keteranganmu itu tentu akan memaksa mereka
membawamu keluar dari tempat ini, dan kalau nasib baik, diapun akan
terbawa. Kalau mereka berada di luar sarang ini, tentu akan lebih mudah untuk
meloloskan diri, dan lebih mudah lagi untuk dapat herhubungan
dengan Hek-liong-li. Menurut perhitungannya, paling lambat besok
siang Hek-liong-li tentu sudah tiba di Telaga Po-yang!
Mendengar keterangan itu, Siauw-bin Ciu- kwi mengerutkan alisnya,
dan senyumnya menghilang. Agaknya dia seperti dapat membaca isi
hati Pek-liong. Dia memegang kedua pundak gadis itu dan
membentak, "Engkau berani membohongi aku?"
679 Gadis itu terkejut karena merasa betapa pundaknya seperti ditindih
benda yang luar biasa beratnya. Ia terbelalak, wajahnya pucat dan ia
menggeleng kepala. "Aku tidak berbohong!"
Siauw-bin Ciu-kwi melepaskan kedua tangannya. "Bagus, dan engkau
tentu memberitahukan kakakmu?"
"Tidak! Wanita itu memesan agar aku tidak memberitahukan siapapun
dan aku sudah berjanji padanya. Aku selalu memegang teguh janjiku."
"Jadi jelas bahwa hanya engkau sendiri yang tahu di mana tempat
kausembunyikan guci itu?"
Cian Li mengangguk. "Di mana tempatnya?"
"Di tengah telaga, di mana kami suka mencari kerang hijau."
"Bagus! Sekarang juga kita pergi ke sana! Dan awas engkau, nona
manis, kalau engkau berbohong kepada kami, kalau engkau tidak
berhasil mendapatkan guci itu, engkau akan menyesal bahwa engkau
pernah hidup! Kami akan menyiksamu dan membikin engkau mati
perlahan-lahan dalam keadaan tersiksa lahir batin! Mari kita
berangkat!" Dia mengangkat muka memandang kepada para pembantunya.
"Siapkan kereta dan perahu, kita berangkat sekarang juga ke telaga!"


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak mungkin diambil sekarang!" tiba Pek-liong berkata, suaranya
seperti sambil lalu dan acuh tak acuh.
680 "Apa maksudmu?" Siauw-bin Ciu-kwi yang gendut itu sekali
menggerakkan tubuh sudah tiba di depan Pek-liong yang terbelenggu
dan duduk di kursi. Tangan kirinya bergerak menyambar,
"Plakkk!" Tamparan itu keras sekali, membuat pipi kanan Pek-liong
menjadi kebiruan dan ada sedikit darah di ujung bibirnya. Cian Li
mengeluarkan jeritan lirih melihat betapa pria yang dikasihinya itu
ditampar. "Hati-hati kau dengan mulutmu, Pek-liong, atau mungkin tangan ini
menyeleweng ke arah kepalamu dan engkau akan tewas seketika!"
bentak Siauw-bin Ciu-kwi.
Biarpun hatinya mendongkol bukan main, namun Pek-liong, masih
dapat tersenyum ketika dia mengangkat mukanya memandang kepada
orang yang menamparnya. "Tentu saja aku sudah berhati-hati, Beng-cu. Sayang engkau yang
bodoh. Kalau memang ingin mengadu ilmu, lepaskan belenggu ini dan
kita sama lihat siapa yang lebih lihai di antara kita, jangan main
tampar selagi aku tidak dapat melawan.
"Kalau engkau mendengarkan omonganku, maka engkau juga yang
akan mendapat untung. Kau tahu, orang menyelam mencari sesuatu di
dasar telaga haruslah di waktu siang hari, karena membutuhkan sinar
matahari yang cukup kuat sehingga sinar itu dapat menerangi
permukaan telaga. "Sekarang sudah hampir sore, bagaimana mungkin adik Kam Cian Li
dapat menemukan benda itu di dasar telaga" Pula, perlu apa tergesagesa. Besok siang baru bisa dilakukan penyelaman itu. Pula, kakaknya
681 baru pada hari lusa akan pulang, tidak perlu kau takut akan
kedatangan Hek-liong-li!" Ucapan itu sekaligus mengandung
kebenaran akan tetapi juga ejekan bahwa Beng-cu itu takut kalau
kalau Hek-liong-li muncul sebelum dia memperoleh peta itu.
Cian Li mendengar ucapan itu berpikir. Pendekar itu pernah
memberitahu kepadanya bahwa menurut perhitungannya, kakaknya
dan Hek-liong-li akan dapat tiba di telaga besok siang! Kenapa
pendekar itu mengatakan bahwa Hek-liong-li baru akan dapat muncul
lusa" Ia seorang gadis cerdik, dan tahu bahwa ucapan itu merupakan
isyarat baginya. Ia harus dapat mengulur waktu mendapatkan peta itu
sampai Hek-liong-li dan kakaknya muncul.
"Dia berkata benar, Beng-cu," kata gadis itu. "Memang penyelaman
baru dapat dilakukan setelah matahari naik tinggi, bahkan setelah
lewat tengah hari karena tempat penyimpanan itu menghadap ke barat
dan tempatnya sukar, merupakan daerah yang berlubang-lubang.
Tanpa penerangan matahari yang kuat, sukar untuk menemukan
tempat itu kembali."
"Hemm, begitukah?" Sepasang mata dari wajah kekanak-kanakan itu
kini mengamati wajah Pek-liong dan Cian Li dengan tajam penuh
selidik. Akan tetapi karena Cian Li tidak berbobong, maka iapun
berani menentang pandang mata itu dengan tabah sehingga akhirnya
Beng-cu itu merasa puas. "Baiklah, kalian malam ini menjadi tamu kami dan besok baru kita
lihat apakah keterangan nona ini benar," katanya lalu berkata kepada
Tok-sim Nio-cu, "Kau persiapkan kamar untuk mereka. Dan jangan
engkau main gila dengan Pek-liong, Nio-cu. Sebelum urusan ini
682 selesai, aku tidak ingin melihat siapapun mempermainkan Pek-liong
dan nona Kam ini. Mereka harus dijamu dengan baik, dijaga ketat dan
tidak boleh diganggu!"
Berkata demikian, sepasang mata Beng-cu itu ditujukan dengan penuh
ancaman kepada Tok-sim Nio-cu dan Hek-giam-ong. Dia tahu benar
bahwa wanita itu adalah seorang yang haus laki-laki, sedangkan Hekgiam-ong memiliki suatu kekejaman istimewa terhadap wanita. Tentu
kedua orang tawanan itu bagi mereka merupakan daging-daging segar
yang menimbulkan gairah dan membangkitkan selera aneh mereka.
"Tidak perlu khawatir, Beng-cu. Aku cukup sabar menanti. Akhirnya
dia akan kuuji kejantanannya!" kata Tok-sim Nio-cu sambil melirik ke
arah Pek-liong dengan matanya yang genit. Sedangkan Hek-giam-ong
memandang ke arah Cian Li dengan senyum dingin menyeramkan.
"Marilah, Pek-liong dan kau juga, nona penyelam. Mari kalian ikut
dengan kami ke kamar kalian. Tapi tidak boleh sekamar, ya"
Berbahaya kalau sekamar!" kata Tok-sim Nio-cu sambil tertawa genit.
Bukan hanya wanita ini yang sudah bangkit dengan pedang terhunus
di tangan untuk mengawal dua orang tawanan itu, melainkan atas
isyarat Beng-cu, Lim-kwi Sai-kong, Pek I Kongcu, Hek-giam-ong dan
tiga orang Po-yang Sam-liong juga ikut mengawal dengan senjata siap
di tangan. Pek I Kongcu cepat berjalan di antara Pek-liong dan Cian
Li, memisahkan kedua orang itu sehingga agak berjauhan. Hal ini saja
menunjukkan betapa cerdiknya pembantu Beng-cu itu.
Juga kamar mereka terpisah, walaupun berdampingan dan biarpun
kaki dan tangan Pek-liong sudah dibelenggu kuat, namun para
pembantu Beng-cu itu masih bergilir menjaga di depan kamarnya
683 bersama belasan orang anak buah. Yang berjaga di luar kamar Cian Li
hanya ketiga Po-yang Sam-liong, namun mereka itu sudah jauh
melebihi cukup untuk membuat gadis itu tidak berani keluar kamar
walaupun ia tidak dibelenggu lagi.
Setelah mereka mendapatkan hidangan makan dan minum yang cukup
dan enak, keduanya merebahkan diri mengaso. Pek-liong sengaja
mengaso untuk memulihkan tenaga, karena dia tahu bahwa dia
membutuhkan tenaga yang segar untuk sewaktu-waktu menghadapi
gerombolan penjahat yang amat lihai itu.
"Y" "Kita berhenti di sini, malam terlalu gelap untuk melanjutkan
perjalanan," kata Hek-liong-li sambil menahan kudanya.
Kam Sun Ting juga menahan kudanya dan dia memandang ke
sekeliling. Mereka tiba di tepi hutan yang amat sunyi. Memang malam
gelap sekali. Langit merupakan dasar hitam yang ditaburi bintangbintang, seperti beledu hitam yang dihias jutaan buah permata. Indah
sekali. Tempat itu sunyi.
Tak nampak seorangpun manusia kecuali mereka berdua. Tidak
sebuahpun rumah di sekitarnya. Hawa udara teramat dinginnya,
sehingga dia sendiri sejak tadi sedang menggigil. Namun dia tahu,
perjalanan masih amat jauh, mungkin besok pagi atau siang baru tiba
di Telaga Po-yang. "Akan tetapi, li-hiap. Bagaimana mungkin kita melewatkan malam di
tempat seperti ini?" tanyanya ragu sambil menoleh ke arah gadis itu.
684 Biarpun cuaca hanya remang-remang, namun dari garis-garis wajah
dan tubuh gadis itu, dia dapat melihat jelas wajah yang amat jelita,
tubuh yang amat menggairahkan, yang sudah amat dikenalnya karena
telah tergores ke dalam kalbunya itu!
Gadis itu tersenyum. Keremangan tidak mampu menyembunyikan
kilatan gigi yang putih rapi itu. "Engkau takut?"
Dengan tegas Sun Ting menggeleng kepalanya. "Tidak, aku tidak
takut, lihiap. Apa lagi, dengan adanya lihiap di sini, apa yang harus
kutakutkan" Akan tetapi...... tempat ini..... tidak ada rumah, tidak ada
tempat tidur, di tempat terbuka yang gelap, dan hawa udara begini
dinginnya, bagaimana lihiap dapat melewatkan malam di sini" Bagiku
sih tidak mengapa, aku laki-laki dan sudah biasa hidup menghadapi
kesukaran. Akan tetapi bagimu, seorang wanita muda belia yang......!"
Sun Ting tidak melanjutkan kata-katanya karena Liong-li kini tertawa
sambil melompat turun dari atas punggung kudanya. "Hi-hi-hik,
engkau lucu sekali, saudara Kam Sun Ting! Kaukira aku ini orang
macam apa" Seorang puteri istana yang tidak biasa menghadapi
kesukaran" Turunlah, kita mencari tempat yang enak untuk
melewatkan malam!" Sun Ting terpaksa meloncat turun dari atas kudanya. Tak lama
kemudian mereka telah mendapatkan sebuah tempat yang enak, di
bawah sebatang pohon besar, bertilamkan rumput hijau yang tebal.
Mereka menambatkan tali dua ekor kuda mereka pada akar pohon dan
membiarkan kedua binatang itu makan rumput.
685 "Sekarang kita membagi tugas," kata Liong-li sambil tersenyum.
"Engkau mengumpulkan kayu bakar untuk membuat perapian, dan
aku mengumpulkan daun kering untuk alas duduk dan tidur."
"Sudahlah, lihiap. Engkau duduk saja beristirahat, biar aku yang akan
mengumpulkan semua itu. Ini pekerjaan laki-laki!" kata Sun Ting
gagah. Tanpa menanti jawaban diapun segera pergi mencari barang yang
mereka butuhkan. Sebentar saja dia sudah mengumpulkan kayu kering
yang cukup banyak. Akan tetapi ketika dia tiba kembali ke tempat itu,
ternyata rumput yang tebal, lunak dan basah itu telah tertutup daundaun kering sehingga mereka dapat duduk di situ dengan enak. Seperti
orang duduk di atas kasur saja. Kiranya wanita jelita itu telah
mengumpulkan daun kering dan menutupi rumput hijau yang basah
dengan daun-daun kering. "Bagus, sebegini sudah cukup," kata Liong-li.
Dengan cekatan ia lalu membuat api unggun, dibantu oleh Sun Ting
dan melihat kecekatan wanita itu, percayalah Sun Ting bahwa
memang pendekar wanita itu agaknya tidak asing dengan kehidupan
di tempat terbuka seperti ini. Sebentar saja, mereka duduk di atas
rumput yang ditilami daun kering, menghadapi api unggun yang
hangat, nyaman sekali rasanya sehabis melakukan perjalanan jauh
yang melelahkan. Mereka duduk saling berhadapan, terhalang api unggun, dapat saling
pandang dengan jelas karena wajah mereka diterangi cahaya api
unggun yang kemerahan. Beberapa kali Sun Ting terpesona. Cahaya
686 api yang hidup itu, bermain pada wajah yang jelita, membuat wanita
itu nampak seperti bukan manusia, seperti seorang bidadari!
Rambut yang agak kusut itu, mata yang bersinar-sinar, bibir yang
merah basah, bagian kedua pipi di bawah mata, nampak kemerahan.
Betapa indahnya! Betapa cantik jelitanya!
Pada saat Liong-li mengangkat muka, pandang matanya bertemu
dengan pandang mata Sun Ting yang kebetulan menatap padanya
dengan pandang mata terpesona.
"Hemm, kenapa engkau memandang kepadaku seperti itu" Apa yang
aneh pada mukaku?" tanya Liong-li sambil meraba pipi dengan tangan
kirinya, takut kalau-kalau mukanya terkena kotoran.
"Lihiap......, maafkan aku....." Sun Ting menundukkan lagi mukanya
yang berubah kemerahan. Dia tidak tahu betapa wanita itu memandang kepadanya dengan
senyum aneh, dan betapa sepasang mata itu memandang kepadanya
dengan kagum. Seorang pemuda yang hebat, pikir Liong-li. Begitu
penuh perhatian, begitu romantis, begitu sopan! Dan kekaguman yang
terpancar dari sepasang mata itu, kekaguman bercampur rasa sayang,
begitu jelas membayang, membuat hatinya berdebar kencang dan
girang. "Saudara Sun Ting, berapakah usiamu sekarang, dan berapa pula usia
adikmu itu" Bagaimana keadaan keluarga kalian?" Ia bertanya dan
diam-diam Sun Ting bersyukur karena pertanyaan itu membuka jalan
untuk percakapan, dan mengusir pergi perasaan tidak enak dan salah
687 tingkahnya tadi karena dia tertangkap basah ketika memandang penuh
pesona. "Usiaku duapuluh dua......"
"Aih, kalau begitu, aku lebih tua dua tahun darimu!" Liong-li
memotong. Kini Sun Ting memandang tajam, lalu menggeleng kepalanya. "Aku
tidak percaya, lihiap!"
Liong-li mengerutkan alisnya. "Tidak percaya" Engkau tidak percaya
padaku?" "Eh, maksudku...... aku tidak percaya bahwa usiamu sudah duapuluh
empat tahun!" Lenyap kerutan itu dan kini Liong-li tersenyum semakin lebar,
sehingga wajahnya menjadi cantik manis sekali, gemilang di bawah
timpaan cahaya api unggun yang bermain di wajahnya. "Hemm, lalu
kaukira berapa semestinya usiaku?"
"Menurut penglihatanku, engkau tidak akan lebih dari sembilanbelas
tahun, lihiap!" Dan wanita itu tertawa. Tertawa lepas bebas, tidak seperti wanita lain
yang kalau tertawa menjadi tersipu, menutupi mulut dan tertawa
dengan sembunyi-sembunyi. Wanita ini tertawa lepas, wajahnya agak
tengadah, mulutnya terbuka sehingga nampak rongga mulut yang
kemerahan, gigi yang berderet putih, lidah yang ujungnya runcing dan
688 merah jambu, dan ketawanya mengeluarkan suara merdu seperti
nyanyian. Kembali Sun Ting terpesona. Akan tetapi hanya sebentar Liong-li
tertawa, lalu mulut itu tertutup kembali akan tetapi masih tersenyum
manis, dan mata itu semakin bercahaya dan berseri penuh
kegembiraan. "Saudara Kam Sun Ting, apakah engkau tidak tahu bahwa setiap
orang wanita dewasa selalu menyembunyikan jumlah usianya, dan
kalau terpaksa mengaku selalu mengurangi jumlahnya" Tidak ada
wanita yang menambah jumlah usianya dalam pengakuannya,
demikian pula aku. Tidak mungkin aku menambah tua usiaku,
walaupun aku tidak suka pula menguranginya. Aku memang sudah
berusia duapuluh empat tahun!"
"Sungguh sukar dipercaya, lihiap!"
"Percaya atau tidak, itulah kenyataannya. Dan sudah tiba saatnya
engkau tidak menyebut lihiap kepadaku. Ketahuilah bahwa aku dan
Pek-liong-eng bukan hanya sahabat, melainkan lebih erat dari pada
saudara sekandung. Engkau sudah dipercaya olehnya, berarti kini
menjadi sahabat baik, maka sudah sepatutnya engkau menyebut enci
(kakak perempuan) padaku, dan aku menyebut engkau...... namamu
saja karena engkau pantas menjadi saudara mudaku!"
Akan tetapi Sun Ting mengerutkan alisnya. Setelah saling pandang
beberapa lamanya, diapun menarik napas panjang dan tersenyum.
"Baiklah...... enci, walaupun aku akan lebih suka kalau boleh
menyebutmu...... adik!"
689 Liong-li tersenyum lebar. Pernyataan ini semakin menyenangkan
hatinya. "Tidak boleh! Kalau engkau menyebut aku moi-moi (adik
perempuan), dalam pandanganku engkau menjadi agak kurang ajar.
Nah, apakah engkau ingin aku memandangmu sebagai seorang yang
tidak tahu aturan?" Sun Ting terkejut, lalu cepat bangkit berdiri dan memberi hormat
kepada Liong-li dengan merangkap kedua tangan depan dada lalu
membungkuk. "Maafkan, maafkan aku, enci yang baik."
Melihat ini, Liong-li tertawa lagi. Sun Ting juga tertawa dan mereka
merasa semakin akrab. Ketika Sun Ting duduk kembali, tiba-tiba
Liong-li tertawa lagi, sekali ini tertawa geli sambil menudingkan
telunjuknya ke arah Sun Ting.
"Ih, engkau sungguh tidak tahu malu, Sun Ting!"
"Ehh?" Pemuda itu mulai terkejut. "Aku" Tidak tahu malu" Kenapa,
li.... eh, enci?" "Bukan engkau yang tidak tahu malu, kumaksudkan perutmu!"
"Perutku" Mengapa perutku......?" Sun Ting memandang ke arah
perutnya. "Perutmu berkeruyuk tadi, sungguh tak tahu malu!"
Sun Ting terbelalak dan mukanya lalu berubah merah. Memang


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perutnya tadi berkeruyuk akan tetapi bagaimana wanita ini mampu
690 mendengarnya" Melihat pemuda itu menjadi salah tingkah karena
malu, Liong-li tertawa lagi
"Bukan hanya perutmu yang berkeruyuk Sun Ting. Perutku juga!
Apakah engkau tidak mendengarnya" Hi-hik, perut kita memang tak
tahu malu!" Tentu saja ucapan ini mengusir rasa malu yang diderita Sun Ting, dan
teringatlah dia bahwa sejak sebelum tengah hari tadi sampai sekarang
mereka belum makan apa-apa. Pantas saja perutnya lapar, dan perut
Liong-li juga! Kasihan sekali!
"Ah, aku tadi lupa membeli bekal makanan. Bagaimana ini" Kalau
saja kita berada di dekat telaga atau sungai, tentu aku akan mampu
menangkap beberapa ekor ikan untukmu, enci. Aku lupa bahwa
engkau belum makan malam. Bagaimana ini" Biar aku akan pergi
mencari makanan untukmu." Dia bangkit berdiri, siap untuk pergi ke
mana saja untuk mencari makanan.
"Sstt...... jangan bergerak, jangan berisik, Sun Ting! Duduklah lagi
dan jangan bergerak......!"
Tentu saja pemuda itu terkejut sekali dan diapun duduk kembali,
memandang kepada pendekar wanita itu penuh pertanyaan.
Liong-li menunjuk ke atas pohon. "Di sana ada makanan!"
Sun Ting terbelalak dan memandang kepada gadis itu dengan sinar
mata heran dan khawatir. Sintingkah wanita ini, pikirnya. "Di mana"
Di atas pohon?" bisiknya.
691 Liong-li mengangguk. "Ada daging burung panggang di sana.... ssstt,
diam saja kau....." Sepasang mata pemuda itu menjadi semakin lebar, dan
kekhawatirannya bahwa gadis ini menjadi sinting semakin membesar.
Mana mungkin ada daging burung panggang di atas pohon" Akan
tetapi tiba-tiba Liong-li memandang ke atas, kedua tangannya
bergerak dan nampak sinar-sinar hitam kecil berkelebat ke atas.
Kiranya ia sudah menyambitkan beberapa potong kayu ke arah pohon
besar itu. Sun Ting memandang heran dan...... berbareng dengan suara
ketawa Liong-li, dari atas pohon meluncur jatuh dua ekor burung,
sejenis burung kepodang yang besarnya seperti ayam muda, dan dua
ekor burung itu telah tewas dengan tubuh tertusuk kayu meruncing!
Kini mengertilah Sun Ting dan dia kagum bukan main. Kiranya bukan
daging burung panggang yang dimaksudkan pendekar wanita itu,
melainkan burung yang setelah tertangkap, tentu saja nanti akan
menjadi daging burung panggang!
Dia bersorak dan cepat menyambar dua ekor burung itu,
mengamatinya dengan penuh kagum. "Aih, lihiap...... eh, enci yang
baik! Bagaimana engkau bisa tahu di sana ada burung dan bagaimana
pula dapat menyambit jatuh mereka ini, pada hal burung-burung itu
tidak nampak dari sini?"
Dia menengadah. Pohon itu nampak gelap karena semua sinar bintang
tertangkis oleh daun-daun lebat sebagai perisai, juga sinar api unggun
tidak mencapai ketinggian pohon.
692 Liong-li tersenyum, "Pengalaman hidup di alam bebas yang
mengajarkan aku, Sun Ting. Sudahlah, mari kita cepat membuat
daging burung panggang, perut kita sudah lapar, bukan?"
Mereka bekerja dengan gembira, mencabuti semua bulu burung,
kemudian mengeluarkan isi perutnya dan memanggang dagingnya
setelah Liong-li menyulap keluar bumbu-bumbu yang dibawanya
dalam buntalan pakaiannya. Segera tercium bau sedap yang membuat
perut mereka kini berkeruyuk tanpa malu-malu lagi"
Dan tak lama kemudian, perut mereka itupun menjadi tenang dan lega
setelah semua daging burung yang lunak, segar dan sedap itu masuk
ke dalamnya, didorong oleh anggur manis yang kembali disulap
keluar dari dalam buntalan pakaian pendekar wanita itu
"Nah, sekarang engkau beristirahatlah, Sun Ting. Biar aku yang
berjaga di sini agar api unggun tidak padam. Nyamuk dan mungkin
binatang hutan akan datang mengganggu kalau api unggunnya padam.
Engkau beristirahat dan tidurlah."
Pemuda itu mengerutkan alisnya." Aih, enci, sungguh engkau terlalu
memanjakan aku, membuat aku malu saja. Aku bukan seorang anak
kecil yang perlu dilayani dan dijaga. Aku seorang laki-laki, enci! Dan
engkau biarpun engkau lebih tua sedikit dariku, dan biarpun engkau
seorang wanita perkasa yang berkepandaian tinggi, engkau tetap saja
seorang wanita, sehingga sudah sepatutnya kalau engkau yang
beristirahat dan tidur, sedangkan aku sebagai laki-laki yang berjaga!"
Melihat sikap tegas dan jantan itu, mau tidak mau Liong-li
memandang kagum lagi. Sun Ting ini memang seorang laki-laki
693 pilihan, pikirnya dengan hati senang. Iapun tersenyum manis sekali,
lalu mengangguk. "Baiklah, Sun Ting. Aku akan beristirahat sebentar dan nanti
kugantikan engkau berjaga. Kita perlu mengaso dan menyimpan
tenaga karena siapa tahu, besok kita akan menghadapi pekerjaan sukar
dan lawan tangguh." Wanita itu lalu merebahkan diri miring membelakangi api unggun dan
Sun Ting, pemuda itu duduk menghadap api unggun dan mengamati
tubuh itu dengan hati penuh kekaguman. Sungguh seorang wanita
yang hebat! Belum pernah selama hidupnya dia merasa kagum
terhadap seorang wanita seperti perasaan hatinya terhadap Liong-li ini.
Dia tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada pendekar wanita ini. Dan
dia tahu pula bahwa dirinya sungguh tidak berharga, sungguh tidak
sepadan dengan Liong-li, bagaikan burung gagak merindukan burung
Hong! Betapa mungkin seorang laki-laki seperti dia, miskin dan yatim piatu,
tidak memiliki apa-apa dan bahkan hanya seorang laki-laki lemah
kalau dibandingkan Liong-li, dapat mengharapkan balasan cinta dari
seorang pendekar wanita sehebat ini" Kenyataan ini membuat dia
berulang kali menarik napas panjang, sedih.
Hidup tak mungkin bebas dari pada nafsu. Nafsu adalah pelengkap
hidup. Nafsu adalah pemberian dan anugerah Tuhan yang terbawa
lahir oleh kita. Merupakan pelengkap karena hidup ini takkan dapat
berlangsung tanpa adanya nafsu. Nafsu yang memelihara badan ini
sehingga dapat menjadi sehat dan hidup.
694 Nafsu pula yang membuat kita manusia mampu menemukan banyak
rahasia alam, membuat barang-barang yang berguna bagi kehidupan
lahiriah. Nafsu yang kita dapat menikmati hidup melalui panca indra
kita. Bahkan nafsu pula yang mendorong manusia memungkinkan
berkembang biakan. Nafsu merupakan seorang pembantu yang amat baik, merupakan
kebutuhan hidup yang mutlak dan penting sekali. Akan tetapi, nafsu
juga dapat menjadi majikan yang amat jahat, kejam dan menyeret kita
ke dalam lumpur kesengsaraan!
Oleh karena itu, kita membutuhkan berkah dan bimbingan Tuhan
sebagai Sang Maha Pencipta dan Sang Maha Kasih, agar kita tidak
sampai diperalat oleh nafsu, sebaliknya kitalah yang memperalat nafsu
demi kesejahteraan hidup, demi memenuhi semua kebutuhan hidup,
yaitu kepentingan lahiriah! Kalau sampai kita yang diperalat nafsu,
maka mulailah kita menjadi permainannya, dan timbullah segala
macam kesengsaraan yang menenggelamkan kita ke dalam duka!
Hati dan akal pikiran kita sudah bergelimang nafsu yang timbul dari
daya-daya rendah. Apapun yang menjadi hasil pikiran, sudah pasti
mengandung nafsu. Satu-satunya jalan untuk membebaskan jiwa dari
cengkeraman nafsu daya rendah hanyalah penyerahan diri kepada
Tuhan Yang Maha Esa! Pikiran, dengan sejuta akalnya, tidak mungkin dapat membebaskan
jiwa dari belenggu, karena pikiran hanya alat, sama dengan nafsu.
Hanya kekuasaan Tuhan jualah yang dapat membebaskan jiwa dari
belenggu. Hanya kekuasaan Tuhan yang akan mampu membersihkan
jiwa sehingga tidak lagi menjadi abdi nafsu, melainkan menjadi bebas,
695 sedangkan nafsu yang tadinya menjadi penguasa, lalu hanya sekadar
menjadi alat pelengkap saja.
Kembali Sun Ting menghela napas panjang. Gairah berahinya bangkit
ketika dia melihat lekuk lengkung tubuh yang rebah miring itu. Betapa
akan bahagianya dia kalau dapat mencurahkan cinta kasihnya kepada
wanita luar biasa itu! Tiba-tiba dia terkejut sendiri. Celaka, ada hasrat
yang demikian kuat mendorong agar dia mendekat, agar dia meraba,
membelai dan mendekap tubuh itu.
Dan kesadarannya memperingatkannya bahwa kalau hal itu dia
lakukan, maka dia akan menghadapi seorang pendekar wanita yang
tentu akan marah sekali. Mungkin dia akan dihajarnya, bahkan
mungkin dibunuhnya! Maka, dengan cepat dia membuang pandang
matanya, menunduk dan melupakan Liong-li dengan memikirkan
keadaan adiknya yang dia tinggalkan bersama Pek-liong.
Dia tidak tahu bahwa ucapan terakhir dari Liong-li tadi, bahwa
mungkin besok mereka akan menghadapi pekerjaan sukar dan lawan
tangguh, ternyata menjadi ramalan yang benar-benar akan terjadi!
"Y" Perahu besar itu meluncur ke Telaga Po-yang. Tidak ada perahu lain
berani mendekat perahu besar itu, bahkan perahu-perahu nelayan dan
pelancong yang tadinya berada di tengah telaga, segera menyingkir
cepat-cepat, ketika perahu besar itu meluncur datang. Yang membuat
semua orang menyingkir ketakutan adalah ketika mereka melihat tiga
orang laki-laki bertubuh raksasa berdiri di kepala perahu.
696 Mereka itu bukan lain adalah Po-yang Sam-liong, tiga orang tokoh
sesat yang menguasai seluruh telaga itu. Tidak ada orang yang tidak
gentar melihat mereka, maka perahu-perahu lain menyingkir karena
mereka merasa lebih baik menjauhi tiga orang tokoh besar itu. Karena
ketakutan dan cepat menyingkir ini, maka tidak ada orang lain melihat
siapa yang berada di dalam perahu besar, yang terlindung oleh atap
perahu. Pada hal, yang berada di dalam perahu besar itu adalah tokoh-tokoh
yang lebih menyeramkan dari pada Po-yang Sam-liong. Mereka
adalah Siauw-bin Ciu-kwi sendiri bersama para pembantunya lengkap,
yaitu Tok-sim Nio-cu, Lim-kwi Sai-kong, Pek I Kongcu dan Hekgiam-ong. Mereka berlima ini mengepung Pek-liong dan Cian Li.
Pek-liong masih dalam keadaan dibelenggu kaki tangannya,
sedangkan Cian Li duduk dengan bebas. Gadis itu sejak tadi cemberut,
mukanya sebentar pucat sebentar merah dan matanya tiada hentinya
melirik ke arah Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si dengan penuh kebencian.
Wanita cantik genit ini memang sejak tadi duduk di dekat Pek-liong.
Tanpa menghirau- kan orang lain, wanita ini duduk mepet dan
lengannya merangkul pinggang atau kadang juga naik ke pundak Pekliong. Sikapnya merayu dan memikat, beberapa kali jari-jari
tangannya meraba leher dan dagu pendekar itu yang diam saja.
Sikap wanita ini tidak dihiraukan oleh Siauw-bin Ciu-kwi dan para
pembantu yang lain. Juga Pek-liong, biarpun hatinya merasa
mendongkol sekali atas sikap tak sopan dan tak tahu malu wanita iblis
itu, mendiamkannya saja karena dia tidak mau mencari keributan
hanya soal kecil seperti itu. Akan tetapi yang paling menderita
697 karenanya adalah Cian Li. Ia marah sekali, muak dan benci, akan
tetapi iapun merasa tidak berdaya dan hanya dapat bersikap cemberut
saja. "Kam Cian Li, sekali ini engkau harus bekerja dengan benar-benar
dan sama sekali tidak boleh membohongi kami. Ingat, kalau engkau
menyelam nanti, Pek-liong berada di sini bersama kami. Engkau tidak
ingin melihat dia disiksa sampai mati, bukan?" demikian Tok-sim
Nio-cu berkata sambil meraba ke arah leher terus turun ke dada Pekliong dengan sikap merayu dan membelai.
"Huhh!" Cian Li membuang muka, mendengus marah.
Akhirnya perahu tiba di tempat yang dimaksudkan oleh Cian Li dan
perahu dihentikan, jangkar dilempar. "Nona Kam, bersiaplah untuk
menyelam, dan sekali lagi kuperingatkan, jangan engkau membuat
ulah yang bukan-bukan, jangan mencoba untuk melarikan diri atau
menipu kami, karena selain akhirnya engkau akan dapat kami
tangkap, juga Pek-liong akan tersiksa sampai mati kalau engkau
melarikan diri!" kata Siauw-bin Ciu-kwi. Gadis itu mengangguk dan
sudah bangkit berdiri. "Nanti dulu, Li-moi!" Tiba-tiba Pek-liong berkata.
Gadis itu cepat menoleh kepadanya, dan semua orang juga
memandang pendekar itu, dan mereka sudah siap dengan senjata
mereka untuk menjaga kalau-kalau pendekar itu akan memberontak
walaupun kaki dan tangannya sudah terbelenggu dengan rantai yang
kuat. 698 "Peraturan ini sungguh tidak adil!" kata Pek-liong sambil memandang
kepada Siauw-bin Ciu-kwi. "Li-moi, jangan engkau mau menyelam
sebelum Beng-cu berjanji bahwa engkau akan segera dibebaskan
begitu menemukan peta rahasia itu! Itu hakmu dan jangan takut.
Mereka ini membutuhkanmu, Li-moi. Mereka tidak akan
mengganggumu sebelum engkau memperoleh peta itu!"
Siauw-bin Ciu-kwi marah sekali, akan tetapi tepat seperti yang
dikatakan Pek-liong, dia tidak berani bermain kasar, takut kalau-kalau
gadis itu menjadi nekat dan tidak mau mengambilkan petanya.
"Hemm, Pek-liong, engkau tidak percaya kepada kami" Apa
maksudmu mencegah nona Kam bekerja?"
"Tidak! Lebih dulu engkau harus berjanji bahwa kalau nona Kam
sudah mengambil peta itu dan menyerahkan kepadamu, engkau akan
membebaskannya! Beng-cu, hanya dengan janji itulah nona Kan, mau
menyelam!" Pek-liong kini memandang kepada Cian Li dan gadis itupun
mengangkat muka dan berkata dengan sikap angkuh dan tegas.
"Benar sekali! Biar kalian menyiksa atau membunuh aku, aku tidak
akan sudi mengambilkan peta itu sebelum kalian berjanji bahwa
setelah peta itu kuserahkan, kalian akan membebaskan aku dan Pekliong!"
Siauw-bin Ciu-kwi mengerutkan alisnya. "Dengan Pek-liong" Tidak
bisa! Engkau akan kubebaskan setelah tugasmu selesai, nona, akan
tetapi Pek-liong harus menebus kebebasannya dengan lebih dulu
mengalahkan kami!" 699 "Bagus! Tantangan itulah yang kunanti-nanti, Beng-cu. Kalau
memang engkau seorang laki-laki sejati, Beng-cu, aku menantangmu
sekarang juga!" kata Pek-liong, "Setidaknya, engkau harus berani
memberikan janjimu kepada nona Kam dan tidak akan melanggarnya,
demi nama baikmu!" Wajah yang biasanya ramah kekanak-kanakan itu kini nampat muram,
"Hem, engkau sombong, Pek-liong. Sekali waktu, pasti kita akan
berhadapan sebagai lawan. Sekarang ada pekerjaan yang lebih
penting. Aku telah memberikan janjiku bahwa aku akan
membebaskan nona Kam tanpa mengganggunya setelah tugasnya
selesai! Nah, nona Kam, engkau lakukanlah tugasmu!"
Karena tidak ada janji bahwa Pek-liong akan dibebaskan pula, Cian Li
memandang kepada Pek-liong. Pendekar ini mengangguk karena tidak
mungkin dia dibebaskan begitu saja mengingat bahwa dia pernah
membasmi seorang di antara Kiu Lo-mo dan tentu saja hal ini
mendatangkan dendam di hati Siauw-bin Ciu-kwi.
Biarpun di situ banyak orang, Cian Li tidak perduli dan ia lalu
menanggalkan pakaiannya. Di sebelah dalam, ia telah mengenakan
pakaian yang pernah membuat Pek-liong mengira ia telanjang bulat.
Pakaian yang tipis ketat dan kini kembali Pek-liong memandang
dengan sinar mata penuh kagum. Lekuk lengkung tubuh gadis itu


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demikian sempurna, demikian indahnya sehingga dia memandang
terpesona. Dari kaki yang panjang itu sampai kepala yang tegak dan
anggun, sungguh merupakan pemandangan yang amat indah dan
menarik hati. 700 "Aih, Pek-liong, kenapa engkau memandangnya seperti itu"
Percayalah, tubuhku tidak kalah indah oleh tubuhnya. Engkau tidak
percaya" Biar sekarang juga aku berdiri telanjang bulat di
depanmu......" Tok-sim Nio-cu bangkit dan mulai menanggalkan
kancing bajunya sehingga mulai nampak kulit dada yang putih mulus.
"Sudahlah, Niocu. Mari kita bekerja, nona Kam!" kata Siauw-bin Ciukwi tak sabar melihat tingkah Tok-sim Nio-cu yang dianggapnya
mengganggu pekerjaan penting itu.
Mereka semua bangkit dan berdiri di kepala perahu. Tok-sim Nio-cu
masih merangkul Pek-liong, bahkan kini lengan kirinya melingkari
pinggang Pek-liong dan jari-jari tangannya dengan mesra meraba
perut pemuda itu. Melihat ini, wajah Cian Li menjadi marah bukan
main. "Nah, engkau menyelamlah, nona Kam!" kata Beng-cu itu dengan hati
tegang karena dia sudah membayangkan akan dapat menemukan
potongan peta yang akan membuat petanya lengkap, yaitu peta tentang
Patung Emas yang selain akan membuatnya kaya raya, juga akan
memberi obat panjang usia yang akan membuat dia dapat berusia
sampai beratus ratus tahun!
"Baik, aku akan menyelam!" kata Cian Li dan gadis ini lari ke pinggir
perahu, akan tetapi tanpa disangka oleh siapapun juga, ia telah
menabrak tubuh Tok-sim Nio-cu yang berdiri di tepi perahu pula.
"Ihhh......!" Tok-sim Nio-cu tidak sempat mengelak sehingga
tubuhnya terjungkal bersama Cian Li keluar dari perahu. Pada saat itu,
Lim-kwi Sai-kong mengulur lengannya yang panjang, mungkin untuk
menyambar tubuh Tok-sim Nio-cu atau untuk menghantam ke arah
701 tubuh Cian Li. Melihat ini, Pek-liong menyambut dengan dorongan
tangannya. "Dukkk......!" Dua tangan bertemu dan akibatnya, Pek-liong merasa
tubuhnya tergetar dan sebaliknya, Lim-kwi Sai-kong terdorong
muodur dua langkah! "Byuurrrr......!" Air telaga muncrat ketika tertimpa tubuh dua orang
wanita itu. Tok-sim Nio-cu boleh jadi lihai sekali di atas daratan, akan
tetapi begitu tubuhnya menimpa air, ia gelagapan karena ia tidak
pandai renang! "Uuuppp...... tolong..... aeppp... tolong......!!" Ia menjerit-jerit, akan
tetapi tiba-tiba matanya terbelalak karena kakinya ada yang
menangkap dari bawah dan tubuhnya ditarik ke bawah permukaan air!
Tentu saja yang melakukan penyerangan ini bukan lain adalah Cian
Li! Sejak tadi gadis ini menahan-nahan perasaan cemburu, marah dan
bencinya terhadap Tok-sim Nio-cu. Ia maklum bahwa ia tidak berdaya
di atas perahu atau di darat, akan tetapi begitu tiba di air, ia
memperoleh kesempatan untuk membalas dan melampiaskan semua
kemarahan dan kebenciannya kepada wanita genit itu!
Dipegangnya pergelangan kaki Tok-sim Nio-cu dan dibawanya wanita
itu menyelam! Ketika Tok-sim Nio-cu meronta-ronta, ia lalu
menangkap rambut yang riap-riapan itu dan menjambak rambutnya,
terus menarik ke bawah! "Keparat!" Lim-kwi Sai-kong marah dan sudah mencabut golok
besarnya. 702 "Sudah, jangan berkelahi!" Beng-cu itu membentak, lalu meneriaki
Po-yang Sam-liong. "Kalian selamatkan Nio-cu! Dan biarkan nona
Kam bekerja, jangan ganggu dan bawa Nio-cu kembali ke perahu!"
Tiga orang raksasa itu lalu meloncat ke luar perahu. Mereka adalah
tiga orang tokoh Telaga Po-yang, tentu saja mereka pandai renang dan
pandai menyelam, walaupun tidak sehebat Kam Cian Li atau
kakaknya. Mereka menyelam dan mereka melihat betapa Tok-sim
Nio-cu meronta-ronta, akan tetapi rambutnya yang panjang sudah
dijambak oleh Cian Li yang bergerak seperti ikan saja, dan tubuh Toksim Nio-cu terus ditarik ke bawah!
Tiga orang ini cepat mengejar dan dengan pengerahan tenaga tiga
orang, barulah mereka dapat memaksa Cian Li melepaskan rambut
Tok-sim Nio-cu, Po-yang Sam-liong lalu menyeret Tok-sim Nio-cu
yang sudah mulai lemas itu naik ke permukaan air telaga.
Setibanya di permukaan air, Tok-sim Nio-cu terengah-engah dalam
keadaan setengah pingsan dan perutnya yang ramping itu kini
menggembung karena terlalu banyak minum air telaga! Ia lalu
ditolong, diangkat ke perahu dan ditelungkupkan, punggungnya
ditekan-tekan sehingga air dari perut keluar melalui mulutnya.
Melihat keadaan Tok-sim Nio-cu, diam-diam Pek-liong tertawa geli.
Sungguh Cian Li merupakan seorang gadis yang hebat dan tabah
sekali, pikirnya. Akan tetapi diapun khawatir karena seorang wanita
iblis macam Tok-sim Nio-cu tentu tidak akan membiarkan saja dirinya
dihina seperti itu, bahkan nyaris tewas konyol di dalam air!
703 Sementara itu, tak jauh dari situ, dua pasang mata sejak tadi mengintai
sejak perahu besar itu membuang jangkar di tempat itu. Mereka
adalah Kam Sun Ting dan Hek-liong-li!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Sun Ting dan Liong-li
melakukan perjalanan cepat dan setelah terpaksa melewatkan malam
di tepi hutan, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali telah
melanjutkan perjalanan membalapkan kuda mereka. Pada tengah hari,
mereka tiba di Telaga Po-yang.
"Kita berhenti di sini dan titipkan kuda kita kepada seorang penduduk
di sini yang kaukenal," kata Hek-liong-li. Ia sendiri tidak ikut
menitipkan kuda karena ia tidak ingin kehadirannya di Po-yang
diketahui orang. Setelah kuda dititipkan, ia mengajak Sun Ting untuk mendekati
telaga. Sun Ting menjadi petunjuk jalan dan lebih dahulu mereka
pergi ke rumah Sun Ting. Ketika tiba di rumah, Sun Ting terkejut
sekali melihat rumah itu dalam keadaan kacau, bahkan ada sebagian
yang bekas terbakar. Barang-barang dijungkir balikkan, dan yang
membuat dia terkejut dan khawatir adalah lenyapnya adiknya yang
tidak meninggalkan bekas!
Melihat kebingungan dan kegelisahan pemuda itu, Liong-li yang sejak
tadi bersikap tenang saja lalu berkata, suaranya tidak lagi ramah
seperti biasa, melainkan tegas dan berwibawa sehingga Sun Ting
merasa terkejut. "Sun Ting, bukankah ketika engkau pergi, adikmu yang bernama Cian
Li itu bersama dengan Pek-liong-eng?"
704 Walaupun terkejut melihat perubahan sikap ini, Sun Ting menjawab
dan merasa seolah-olah kini dia berhadapan dengan seorang
pemimpin. "Benar sekali......, enci Cu!"
Biasanya, sudah begitu enak menyebut wanita itu enci Kim Cu atau
enci Cu begitu saja, akan tetapi melihat sikap wanita itu sekarang, dia
merasa akan lebih enak kalau menyebutnya lihiap.
Mendengar jawaban itu, Liong-li lalu melakukan penyelidikan,
meneliti seluruh keadaan rumah itu, kemudian ia keluar dan
termenung di luar rumah. Ia melihat tanda-tanda perkelahian di rumah
itu, bahkan dia melihat bekas banyak sekali darah di kamar. Ada yang
luka parah atau terbunuh agaknya. Dan Cian Li lenyap. Bahkan Pekliong juga lenyap.
Kalau Pek-liong ada dan masih bebas, tentu sekarang sudah
menyambut kedatangannya. Tidak adanya Pek-liong menyambut,
berarti bahwa Pek-liong tidak mampu melakukannya, terhalang oleh
hal yang amat penting atau...... tertawan musuh!
"Mari kita selidiki di rumah-rumah penginapan! Siapa tahu Pek-liong
berada di sana atau setidaknya pernah bermalam di sana," katanya
dengan sikap memerintah. "Baik, ......lihiap."
Mendengar sebutan ini, Liong-li menatap wajah pemuda itu, akan
tetapi tidak menegurnya. Agaknya ia berpikir bahwa dalam keadaan
serius seperti itu, sebaiknya kalau pemuda ini menganggapnya sebagai
seorang atasan atau pemimpin agar ada keseriusan di antara mereka.
Tidak sukar bagi Sun Ting untuk menyelidik dan menemukan rumah
705 penginapan di mana adiknya dan Pek-liong bermalam, malam
kemarin. "Mereka berdua pergi meninggalkan kamar tanpa pamit," kata
pengurus rumah penginapan. "Entah ke mana. Akan tetapi buntalan
pakaian mereka masih ada."
Mendengar ini, Sun Ting yang sudah mengenal pemilik rumah
penginapan, lalu mendekatinya dan bertanya dengan suara lirih,
"Toako, katakanlah terus terang, apakah pada hari-hari kemarin
engkau tidak melihat mereka?"
Pemilik rumah penginapan itu mengamati wajah penanyanya, lalu
balas berbisik, "Siapa yang kau maksudkan dengan mereka?"
"Maksudku Po-yang Sam-liong...... toako, jangan takut, engkau
mengenal aku, bukan" Katakan apa engkau atau orang-orangmu
pernah melihat mereka......"
"Ada hubungannya dengan adikmu yang kaucari-cari ini?" tanyanya,
juga berbisik. "Jangan kau khawatir, adikmu di sini bersama seorang
pemuda tampan. Hemm, pacarnyakah itu" Kapan menikahnya?" Suara
pemilik rumah penginapan itu terdengar pahit. Kiranya dia pernah
tergila-gila kepada Kam Cian Li, mengajukan pinangan namun ditolak
oleh gadis itu. "Tidak, hanya teman. Toako, katakanlah tentang mereka itu......" Kam
Sun Ting mendesak. "Hemm, siapa memperdulikan mereka" Akan tetapi pernah kemarin
dulu aku melihat mereka di kuil tua di luar kota itu."
706 "Kuil tua tak terpakai di luar kota sebelah utara?" tanya Sun Ting
kepada si pemilik rumah penginapan.
Yang ditanya mengangguk dan kini Liong-li segera berkata.
"Sun Ting, mari kita pergi!" Dan ia mendahului pemuda itu pergi
meninggalkan rumah penginapan. Sebelum Sun Ting menyusul pergi,
pemilik rumah penginapan itu memegang lengannya.
"Hei, Sun Ting, siapakah itu" Pacarmukah" Begitu cantik jelita!"
katanya kagum sambil memandang bayangan gadis cantik berpakaian
serba hitam itu. "Hssss, hanya teman," jawab Sun Ting dan diapun berlari
meninggalkan temannya yang masih bengong, mengejar Liong-li.
Setelah tiba di luar kota, payahlah Sun Ting yang harus mengerahkan
seluruh tenaganya mengejar Liong-li yang berjalan dengan cepat
sekali. Sambil berjalan cepat, Liong-li memperhatikan sekitar tempat
itu, bahkan memperhatikan jalan yang dilaluinya.
Setibanya di luar kuil, Liong-li tiba-tiba berhenti dan matanya
memandang ke arah tembok kuil.
"Lihiap, bagaimana dengan penyelidikanmu! Kaupikir apa yang telah
terjadi dengan adikku! Ia tidak berada dalam bahaya, bukan?"
Pendekar wanita itu mengerutkan alisnya, tidak menjawab, bahkan ia
lalu menghampiri kuil dan mengamati bagian yang agak tersembunyi
dari dinding kuil. Ada semak-semak di dekat dinding, akan tetapi
agaknya ia melihat sesuatu lalu menyingkap semak-semak itu.
707 Sun Ting ikut pula melihat apa yang terdapat di balik semak-semak
itu. Hanya coretan dengan bata, coretan kasar menggambarkan sebuah
bukit yang ditumbuhi sebatang pohon dan di bawah pohon ada garis
menurun. Bagi orang lain, gambar itu tidak ada artinya, juga bagi Sun
Ting yang menganggap coretan itu hanya coretan yang dilakukan
anak-anak iseng, mungkin anak penggembala kerbau yang iseng.
Akan tetapi pendekar wanita berpakaian serba hitam itu
mengamatinya dengan penuh perhatian.
"Ada apakah, lihiap?" Sun Ting bertanya lirih.
Akan tetapi seperti juga tadi, wanita itu tidak menjawab dan sungguh
aneh, alisnya berkerut dan dahinya penuh peluh! Dia sama sekali tidak
tahu bahwa memang terdapat hubungan yang amat aneh antara Pekliong-eng dan Hek-liong-li. Seolah-olah jalan pikiran kedua orang
sakti ini memiliki jalur atau gelombang yang sama sehingga apa yang
dimaksudkan oleh seorang, mudah dimengerti yang lain.
"Sun Ting, adakah bukit terdekat di sini?"
"Kita ini berada di lereng sebuah bukit, lihiap."
"Katakan cepat, apakah ada sebatang pohon besar di sini, pohon besar
yang berdiri sendiri, pohon tua dan rindang daunnya?"
Biarpun merasa terheran-heran, Sun Ting mengingat-ingat. Dia sudah
hafal akan keadaan bukit itu, maka cepat dia dapat menjawab,
"Memang ada, lihiap. Pohon tua dan besar, tak jauh dari sini, letaknya
di belakang kuil, dari sini tidak nampak, terhalang rumpun bambu."
"Mari cepat antar aku ke sana!"
708 Biarpun merasa heran dan tidak mengerti, Sun Ting yang maklum
bahwa semua itu tentu amat penting dan agaknya ada hubungannya,
dengan lenyapnya Cian Li, dia mengangguk dan cepat menjadi
penunjuk jalan. Tak lama kemudian tibalah mereka di bawah pohon
besar itu. Makin heran hati Sun Ting ketika melihat bahwa gadis itu sama sekali
tidak memperhatikan pohon, bahkan melongok ke bawah, ke sebuah
jurang yang berada di dekat pohon. Pohon raksasa itu tumbuh di
tebing jurang yang amat curam.
"Sun Ting, engkau menungguku di sini dulu. Kalau ada orang
melihatmu dan bertanya, kau cari alasan, akan tetapi jangan katakan
bahwa aku menuruni jurang ini."
Sun Ting terbelalak. "Menuruni jurang" Lihiap, betapa bahayanya itu!
Mau apa menuruni jurang?"
"PENTING! Belum saatnya bicara sekarang. Kau tunggu di sini!" Dan
tiba-tiba saja tubuh yang ramping itu sudah bergantung pada akar
pohon dan sebentar saja lenyap ke bawah tebing yang amat curam!
Wajah Sun Ting menjadi pucat, jantungnya berdebar penuh
kekhawatiran. Akan tetapi dia tidak berani menjenguk ke tepi tebing
jurang, karena selain dia merasa terlalu ngeri, juga dia takut kalau ada
orang melihat dia menjenguk ke bawah. Maka, diapun pura-pura
kepanasan dan membuka baju, duduk seperti orang berteduh di bawah
pohon itu. Akan tetapi matanya hampir tak pernah berkedip
memandang ke tepi jurang ke mana pendekar wanita itu tadi lenyap.
709 Ternyata tidak lebih dari dua menit Liong-li menuruni jurang. Dua
menit yang bagi Sun Ting sama dengan dua jam! Dan wajah pendekar
wanita itu berseri, mulutnya terhias senyuman yang membuat
wajahnya menjadi semakin manis. Tanpa setahu Sun Ting, kini di
pinggangnya terselip dua batang pedang.
Kalau tadinya ketika menuruni jurang ia hanya membawa pedangnya
sendiri, yaitu Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam) yang agak
pendek, kini setelah muncul dari jurang ia membawa pula Pek-liongkiam (Pedang Naga Putih) yang lebih panjang di pinggangnya. Selain
itu, juga ia mengantongi sehelai kertas yang memuat tulisan singkat.
Bunyi surat tulisan Pek-liong itu seperti berikut:
"Terpaksa menyerah karena gadis
Entah akan dibawa Cari Po-yang Sam-liong."
itu mereka ke tawan. mana. Hanya itulah isi tulisan, tanpa disehut namanya atau nama pengirim.


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi baginya sudah jelas sekali. Sahabatnya itu dipaksa
menyerah kepada pihak musuh karena mereka telah menawan gadis
she Kam adik Sun Ting itu! Dan ia harus mencari Po-yang Sam-liong.
Hal ini berarti bahwa di antara para musuh itu terdapat Po-yang Samliong yang tentu akan dapat membawa ia ke sarang gerombolan
musuh. Gawat! "Bagaimana, lihiap?"
Melihat kekhawatiran dan ketegangan membayang pada pandang mata
pemuda itu, Liong-li berpendapat bahwa sebaiknya pemuda itu
diberitahu akan keadaan yang sebenarnya. Dia perlu ketenangan agar
dapat merupakan pembantu yang berguna.
710 "Mari kita berjalan menuju ke telaga, Sun Ting. Benarkah dugaanku
bahwa untuk mencari Po-yang Sam-liong, sebaiknya kita pergi
melakukan penyelidikan ke Telaga Po-yang?"
Pemuda itu mengangguk, hatinya penuh ketegangan dan mereka lalu
meninggalkan tempat itu, menuruni bukit menuju ke telaga yang
nampak dari lereng itu. "Sun Ting, tenangkan hatimu. Mereka, Pek-liong-eng dan adikmu itu,
telah menjadi tawanan musuh."
"Ah! Tentu Po-yang Sam-liong dan kawan-kawannya!" Sun Ting
mengepal tinju. "Akan tetapi Pek-liong-eng demikian lihainya,
bagaimana mungkin dia dapat tertawan?"
"Mereka lebih dulu menawan adikmu dan memaksa Pek-liong-eng
untuk menyerah. Kita tidak tahu mereka dibawa ke mana, dan hanya
Po-yang Sam-liong yang mengetahuinya. Maka, kita harus mencari
mereka secepat mungkin. Mari kita menyewa perahu."
"Nanti dulu, lihiap. Untuk melawan Po-yang Sam-liong dan kawankawannya amatlah berbahaya. Akan tetapi kalau berada di air, biar
dikeroyok mereka bertiga, aku sanggup mengalahkan mereka. Lihiap
sebaiknya membawa bekal perlengkapan renang dan menyelam, untuk
persiapan kalau-kalau semua itu lihiap perlukan."
Karena ia sendiri bukan seorang ahli renang yang hebat, hanya
sekedar dapat mencegah tenggelam saja, Liong-li menurut. Yang
dibawa oleh Sun Ting adalah sepasang sepatu yang lebar seperti cakar
bebek, dan sebuah pipit lemas kecil yang panjang. Pipa lemas ini
dapat dipergunakan untuk bernapas di dalam air selagi menyelam,
711 karena ujungnya diberi pengapung sehingga pipa itu ujungnya akan
selalu berada di atas permukaan air dan dapat menyalurkan udara baru
kepada si penyelam. Setelah membawa perlengkapan dan mengajarkan kepada Liong-li,
bagaimana mempergunakan benda-benda itu, mereka lalu naik sebuah
perahu kecil, tidak menyewa, melainkan perahu milik Sun Ting
sendiri. Untuk menyembunyikan diri, mereka berdua mempergunakan
caping yang lebar sekali, yang biasa dipergunakan para nelayan untuk
melindungi muka mereka dari terik matahari kalau mereka mencari
ikan di telaga. Caping lebar itu diberi tali yang dikalungkan di bawah dagu sehingga
tidak terbang terbawa angin. Mereka mendayung perahu sambil
menyembunyikan muka di balik caping, berputar-putaran dan
akhirnya dari jauh mereka melihat perahu besar yang ditumpangi Poyang Sam-liong! Melihat mereka, Sun Ting cepat mendayung
perahunya menjauh. "Itulah mereka......!" bisiknya kepada Liong-li.
Wanita perkasa ini melihat ke arah Sun Ting menunjuk dan melihat
perahu besar itu. Yang nampak dari situ hanyalah tiga orang laki-laki
raksasa yang berdiri di kepala perahu. Dengan otaknya yang cerdik
dan cekatan sekali, Liong-li bertanya.
"Mereka yang disebut Po-yang Sam-liong?"
"Benar." 712 "Hemm, tentu ada banyak orang lain di sana. Mari kita mendekat, Sun
Ting." Sun Ting menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin mendekat.
Mereka akan curiga dan kita akan ketahuan."
"Ah, bukankah telaga ini tempat umum dan kita sudah menyamar
dalam pakaian nelayan" Caping ini dapat menyembunyikan muka
kita." "Engkau tidak mengerti, enci." Dia berhenti sebentar, tergagap dan
Liong-li tersenyum dan dapat mengerti apa yang menyebabkan
pemuda itu tergagap. "Sun Ting, engkau boleh saja menyebut lihiap
atau enci, seenak mu sajalah, bagiku sama saja. Nah, teruskan
keteranganmu." Sun Ting bernapas lega. Memang, dalam keadaan tegang, dia merasa
sukar menyebut enci, lebih suka menyebut lihiap karena sebutan ini
selalu mengingatkan dia bahwa wanita ini memiliki kesaktian, lihai
sekali dan boleh dipercaya, boleh diandalkan. Namun, dalam keadaan
tenang, dia memang lebih sering menyebut enci, sebutan yang lebih
akrab. "Begini, enci. Coba kaulihat di sana itu. Semua perahu, besar atau
kecil, yang bertemu dengan perahu besar itu, pasti menyimpang dan
menyingkir jauh-jauh. Kalau perahu kita mendekat, hal itu akan
nampak luar biasa sekali dan pasti menarik perhatian Po-yang Samliong. Kita sama sekali tidak boleh mendekatkan perahu, hal itu akan
menggagalkan penyelidikan kita."
713 Liong-li mengangguk girang. Pemuda inipun pandai mempergunakan
otaknya! "Habis, kalau tidak mendekatkan perahu, bagaimana kita
akan dapat melakukan penyelidikan?"
Pemuda itu tersenyum, senyum kemenangan karena baru sekarang dia
merasa "lebih" dibandingkan Liong-li. Dan wanita perkasa itu,
memandang dengan sinar mata kagum. Bukan main gantengnya
Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 14 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Gelang Kemala 4

Cari Blog Ini