Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
284 "Tunggu!" bentak Liong-li sehingga orang itu terkejut dan
menahan langkahnya. "Tunggu sampai Pek-liong membuka dan
melihat isi buntalan!"
Dengan hati-hati dan sikap tenang Pek-liong membuka buntalan
itu dan merasa heran mendapatkan bahwa isinya adalah sehelai
baju anak-anak berwarna merah. Ketika lipatan baju dibuka, di
dalamnya terdapat sehelai kertas yang ditulis dengan huruf-huruf
besar: KAMI AKAN MENGGANTUNG CU KECIL KALAU KALIAN
TIDAK CEPAT DATANG MEMBUAT PERHITUNGAN.
Pek-liong sengaja membaca surat itu sehingga terdengar oleh
para sahabat dan pembantunya.
Terdengar jerit tertahan dan Su Hong Ing meloncat ke depan dan
mengambil baju kanak-kanak berwarna merah itu dari tangan
Pek-liong. Diamatinya baju itu dan iapun berteriak, "Ini baju Song
Cu, anakku!" Song Tek Hin juga maju dan merampas baju itu dari tangan
isterinya, mengamatinya, kemudian dia membalik dan
mencengkeram baju pembawa surat itu di bagian dadanya,
menariknya dan membentak marah.
"Hayo katakan, bagaimana anak kami dapat berada di sarang
kalian!" Orang itu menggeleng kepalanya. "Aku hanya utusan. Aku tidak
tahu bagaimana anak itu dapat berada di tangan pemimpin kami."
285 "Bagaimana keadaannya?" Su Hong Ing juga mendekati orang
itu. Utusan itu tersenyum mengejek. "Keadaannya baik-baik saja
sampai sekarang ini. Akan tetapi, aku tidak tahu apa yang akan
terjadi kepadanya kalau kalian tidak memenuhi permintaan
pimpinan kami." "Jahanam busuk!" bentak Su Hong Ing dan ia sudah
menggerakkan tangan hendak memukul orang itu. Akan tetapi
suaminya menangkap pergelangan tangannya dan menggeleng
kepala. Su Hong Ing menyadari bahwa ia tidak boleh menyerang
seorang utusan. Pek-liong dan Liong-li saling pandang dan mengerutkan alis
mereka. Tak mereka sangka sama sekali bahwa tiga orang datuk
itu akan bertindak sedemikian jauh, sedemikian liciknya sehingga
mereka sampai hati menculik seorang anak kecil untuk dijadikan
sandera. Song Tek Hin mendorong orang itu sehingga hampir terjengkang.
Orang itu memandang dengan senyum mengejek kepada Pekliong dan Liong-li, kemudian bangkit dan sebelum meninggalkan
tempat itu dia berkata kepada Liong-li dan Pek-liong.
"Pimpinan kami menyuruh kami meninggalkan pesan bahwa
kalau sampai matahari tenggelam hari ini kalian tidak datang
menemui mereka, anak itu akan dibunuh dan mayatnya
digantung di pintu gerbang sarang kami." Setelah berkata
demikian, dia pun meninggalkan tempat itu cepat-cepat.
286 Su Hong Ing menahan jerit tangisnya dan dia terkulai dalam
pelukan suaminya, menangis dengan muka pucat karena ia
merasa khawatir dan bingung sekali.
Hek-liong-li mengepal kedua tinju tangannya "Keparat, betapa
liciknya mereka! Tak kusangka mereka akan mempergunakan
kecurangan yang tak tahu malu itu!"
Pek-liong menarik napas panjang. "Kalau tidak licik dan curang,
bukan Kiu Lo-mo namanya. Kita harus menghadapi mereka
dengan kepala dingin."
Liong-li mengangguk dan segera sikapnya tenang kembali, tidak
terbakar emosi seperti tadi, lalu ia berkata kepada suami isteri
yang sedang panik karena mengkhawatirkan anak mereka itu.
"Kalian jangan gelisah. Kami berdua pasti akan datang dan
menemui mereka, minta agar anak kalian yang tidak tahu apaapa itu segera dibebaskan."
"Benar, kalian tenang sajalah. Mereka menawan anak itu hanya
untuk memaksa kami pergi kepada mereka. Anak kalian pasti
akan dapat dibebaskan," kata pula Pek-liong.
Mendengar ini, Su Hong Ing terisak lalu menjatuhkan dirinya
berlutut di depan kaki Pek-liong, "Tai-hiap, maafkan kami......
bukan maksud kami untuk membuat tai-hiap dan li-hiap terancam
bahaya maut..... tapi...... tapi kami..... aku tidak dapat hidup tanpa
anakku....." 287 "Sudahlah, kalian tidak bersalah, anak kalian juga tidak bersalah.
Memang Kiu Lo-mo amat curang, akan tetapi kami pasti akan
mampu menghajar mereka dan menyelamatkan anak kalian,"
kata Liong-li. "Sekarang juga kami akan berangkat ke sana untuk
membebaskan anak kalian."
"Sebaiknya kalau kalian delapan orang menunggu saja di sini dan
jangan berpencar. Tunggu sampai kami kembali ke sini," kata
Pek-liong kepada empat orang sahabat dan empat orang
pembantu itu. Kemudian bersama Liong-li dia berkelebat dan
lenyap dari situ. Setelah sepasang pendekar itu pergi.
Su Hong Ing menangis. "Tidak aku tidak dapat membiarkan
mereka terancam bahaya demi menyelamatkan anakku, dan aku
sendiri menunggu dan menganggur di sini. Aku harus mencoba
untuk menyelamatkan anakku!"
Melihat isterinya menangis seperti itu, Song Tek Hin
merangkulnya. "Tenanglah, memang akupun berpendapat seperti
itu, Sepantasnya yang mempertaruhkan nyawa untuk
menyelamatkan anak kita harus kita sendiri. Mari, mari kita ke
sana dan kita minta kepada mereka agar anak kita dibebaskan."
"Kami akan membantu kalian, Song-toako!" kata Kam Sun Ting
dan adiknyapun bangkit berdiri dan menggandeng tangan Su
Hong Ing. Suami isteri itu terkejut. "Aih, jangan! Kalian berdua sudah
menyelamatkan kami ketika kita melarikan diri melalui air, jangan
288 lagi kalian kini terjun ke dalam bahaya untuk membantu kami,"
kata Song Tek Hin yang merasa tidak enak sekali.
"Sebetulnya kami takut melanggar perintah li-hiap, akan tetapi
kalau kalian berempat pergi untuk menyelamatkan anak itu, kami
berdua pun tidak mau ketinggalan dan menunggu saja di sini.
Kami akan ikut pula membantu kalian merampas kembali anak
itu!" kata Ang-hwa, dan Pek-hwa mengangguk menyetujui.
"Kamipun bukan orang-orang takut mati. Biar tai-hiap akan
memarahi kami, akan tetapi kami juga akan membantu, sekalian
membalas dendam atas kematian empat orang rekan kami!" kata
pula dua orang pembantu Pek-liong dengan sikap gagah.
Mendengar pernyataan mereka semua itu, Song Tek Hin dan Su
Hong Ing merasa terharu sekali, akan tetapi juga girang karena
dengan bantuan enam orang itu, selain kedudukan mereka lebih
kuat, juga mereka berdelapan akan dapat membantu Pek-liong
dan Liong-li. Song Tek Hin segera memberi hormat kepada
mereka dengan merangkap kedua tangan depan dada.
"Terima kasih, terima kasih, cu-wi (anda sekalian) sungguh
merupakan sahabat-sahabat yang setia. Baiklah, mari kita
bersama-sama membantu Pek-liong dan Hek-liong-li menghadapi
para iblis kejam itu. Akan tetapi, kami percaya bahwa nona Anghwa dan nona Pek-hwa yang selama ini membantu Liong-li, tentu
lebih berpengalaman dan dapat menjadi pimpinan kita."
Ang-hwa dan Pek-hwa mengerling ke arah dua orang pembantu
Pek-liong dan berkata, "Aih, mana kami berani. Di sini terdapat
289 dua orang pembantu tai-hiap yang jauh lebih pandai dari pada
kami. Sepantasnya mereka itulah yang menjadi pimpinan kita."
Semua orang memandang kepada dua orang pria yang gagah itu.
Mereka berusia kurang lebih tigapuluh tahun. Yang berkumis tipis
memberi hormat kepada mereka dan dengan sikap yang serius
dia berkata. "Kami tidak berani mengatakan bahwa kami berdua yang paling
pandai, akan tetapi mengingat akan pentingnya tugas yang kita
hadapi, biarlah untuk sementara kami mewakili tai-hiap untuk
memimpin gerakan ini, dengan ketentuan bahwa kalian semua
harus membantu kami. Sebaiknya kalau kami memperkenalkan
diri. Aku bernama Gui Keng Hong dan ini adalah adikku sendiri
bernama Gui Keng Siu." Dia menunjuk kepada adiknya yang
alisnya tebal sehingga nampak gagah perkasa.
"Bagus, sekarang bagaimana kita harus bergerak" Harap kedua
saudara Gui suka mengatur siasat dan membagi tugas," kata
Song Tek Hin. "Pihak musuh teramat kuat. Bukan saja tiga orang datuk itu sakti,
akan tetapi empat orang pembantunya, yaitu sisa dari Thai-san
Ngo-kwi itu lihai bukan main. Kita bukanlah lawan mereka, dan di
sana masih diperkuat pula oleh anak buah yang puluhan,
mungkin ratusan orang banyaknya. Kami yakin bahwa
menghadapi lawan yang jaun lebih banyak dan lebih kuat, tentu
Pek-liong tai-hiap dan Hek-liong li-hiap akan menggunakan
siasat, tidak menyerang begitu saja dengan kekerasan.
290 "Oleh Karena itu, mari kita menyelundup ke sana dengan hatihati. Kita harus selalu bersatu, tidak berpencar agar lebih kuat.
Kalau ada penjaga yang melihat kita, kita bunuh mereka. Kita
mengintai ke sarang itu dan melihat keadaan dan perkembangan
selanjutnya, menanti sampai tai-hiap dan li-hiap turun tangan.
Dengan demikian, kita dapat membantu mereka semampu kita."
Berangkatlah delapan orang itu dengan penuh semangat,
meninggalkan bukit yang menjadi tanah kuburan para pembantu
Pek-liong dan Liong-li, menuruni bukit lalu mendaki Bukit Hitam
yang menjadi sarang gerombolan yang dikepalai Kiu Lo-mo.
"Y" Pek-liong dan Liong dapat menyusup ke sarang gerombolan itu.
Mereka melihat kenyataan betapa kini di luar sarang itu tidak
terdapat penjagaan, dan ketika mereka menuju ke sarang itu,
mendaki sejak dari kaki bukit, tidak menemui halangan, tidak
nampak seorangpun anggauta gerombolan. Hal ini agaknya
sengaja dilakukan oleh pihak musuh yang tidak ingin kebobolan
sehingga kini seluruh kekuatan dikerahkan untuk menjaga
sebelah dalam sarang. Matahari telah naik tinggi ketika Pek-liong dan Liong-li tiba di luar
sarang itu. Tadinya mereka hendak langsung saja menantang
tiga orang datuk, menantang untuk membuat perhitungan antara
mereka saja tanpa melibatkan orang lain dan agar mereka
membebaskan anak kecil yang ditawan. Akan tetapi, melihat
betapa seluruh kekuatan gerombolan dicurahkan ke dalam
sarang, mereka maklum bahwa kalau mereka melakukan
291 tantangan secara berterang, mereka tentu akan dikepung oleh
ratusan orang dan hal ini amat berbahaya. Maka, mereka lalu
memutuskan untuk menyelidiki terlebih dahulu sebelum turun
tangan. Ketika mereka mendapatkan tempat pengintaian dari balik pagar
tembok dan mengintai ke dalam, mereka melihat betapa sarang
itu sunyi seolah telah ditinggalkan penghuninya. Tidak terdengar
suara apapun. Akan tetapi ketika mereka memandang ke bagian
tengah, di sana terdapat sebatang pohon besar dan di bawah
pohon itu nampak seorang anak laki-laki yang sedang bermainmain seorang diri!
Seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga tahun, duduk di
atas tanah dan bermain-main dengan daun-daun dan rantingranting kering, sedangkan pada kaki kirinya terdapat sehelai tali
yang diikatkan pada batang pohon! Dan di sekeliling pohon itu,
seolah mengepung anak kecil itu, nampak puluhan ekor ular
besar kecil, siap untuk menyerang! Dan terdengar suara suling
lirih yang agaknya mengendalikan ular-ular itu.
"Jahanam......!" Liong-li memaki lirih. Ia dan Pek-liong segera tahu
apa artinya semua itu. Anak itu tentulah anak dari Song Tek Hin
dan Su Hong Ing yang entah bagimana telah diculik oleh Pek-bwe
Coa-ong dan jelas bahwa anak itu sengaja dibiarkan bermainmain di bawah pohon itu, dikurung ular-ular, dijadikan umpan
untuk menarik mereka berdua datang ke situ. Akan tetapi
merekapun tahu benar bahwa tempat yang nampaknya sunyi itu
sebetulnya diawasi banyak orang dan sekali mereka hadir di
sana, tentu akan muncul ratusan orang yang mengepung mereka.
292 Itu bukan cara terbaik untuk mencoba membebaskan anak itu,
pikir mereka. Sebelum mereka berhasil membebaskan anak itu, tentu mereka
telah dikepung dan akan sulitlah melawan mereka sambil
melindungi anak itu, apa lagi kalau tiga datuk itu muncul.
Menghadapi tiga orang datuk itu saja sudah merupakan hal yang
amat berat bagi mereka, apa lagi kalau harus melindungi seorang
anak kecil dan pihak musuh masih dibantu oleh ratusan orang
anak buah! Mereka sama sekali tidak takut mati, hanya takut tidak akan
berhasil menyelamatkan anak itu. Mereka telah kehilangan
banyak pembantu, dan mereka tidak ingin melihat orang lain
menjadi korban lagi karena sisa Kiu Lo-mo hendak membalas
dendam kepada mereka. "Kita tunggu saja, melihat perkembangannya," bisik Liong-li dan
Pek-liong menganggukkan kepala tanda setuju.
Biarpun mereka berdua mengintai ke dalam, namun pengintaian
itu dilakukan secara bergiliran. Seorang mengintai ke dalam akan
tetapi yang lain menebarkan pandangan ke arah luar sarang
sehingga mereka dapat mengamati seluruh jurusan dan tidak
sampai dibokong pihak musuh.
Setelah beberapa lama mereka mengintai dan belum juga ada
gerakan perubahan di dalam, dan anak kecil itu mulai bosan
dengan mainannya dan mulai bangkit berdiri, melangkah pergi
namun terjatuh karena kakinya diikat, menjadi bingung lalu
memandang ke kanan kiri, mulai menangis memanggil-manggil
293 ibu dan ayahnya, tiba-tiba terdengar teriakan dan nampak
sesosok tubuh melayang masuk dari pagar tembok.
Bayangan kedua menyusul dan Liong-li menggenggam tinjunya.
"Ah, mereka itu sungguh ceroboh!" Pek-liong mencela lirih ketika
melihat bahwa yang berloncatan masuk itu adalah Su Hong Ing
yang disusul pula oleh suaminya, Song Tek Hin. Agaknya ibu dan
ayah itu tidak dapat menahan diri ketika melihat keadaan anak
mereka dan sudah berloncatan masuk dengan nekat untuk
menyelamatkan anak mereka yang diikat di pohon itu.
Mata sepasang pendekar itu semakin terbelalak ketika berturutturut nampak enam bayangan orang berloncatan masuk pula dan
mereka itu bukan lain adalah Kam Sun Ting dan Kam Cian Li,
Ang-hwa dan Pek-hwa, juga Gui Keng Hok dan Gui Keh Siu, dua
orang pembantu Pek-liong!
Tentu saja kedua orang pendekar itu terkejut, saling pandang
akan tetapi mereka juga kagum karena ternyata empat orang
sahabat dan empat orang pembantu mereka itu adalah orangorang yang gagah perkasa dan setia kawan, siap dan rela
mempertaruhkan nyawa untuk menolong sahabat!
Namun, di samping kekaguman mereka, juga mereka kini
menjadi khawatir sekali. Mereka berdua saja masih belum berani
memasuki sarang itu, kini delapan orang itu dengan nekat masuk
Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perangkap yang di pasang musuh!
Tidak dapat terlalu disalahkan kepada Song Tek Hin dan Su
Hong Ing. Ibu yang mana di dunia ini tidak akan nekat untuk
294 menyelamatkan anaknya" Melihat anaknya di bawah pohon,
kakinya diikat, bermain seorang diri bahkan kini mulai menangis
memanggili ayah dan ibunya, dikepung oleh banyak ular pula,
bagaimana mungkin ia akan dapat bersabar dan berdiam diri"
Hong Ing sudah meloncat dan lari ke arah bawah pohon,
meloncati ular-ular itu. Melihat isterinya nekat, Tek Hin cepat
menyusul dan kini keduanya sudah berada di bawah pohon.
"Ibuuu......, ayaaahhh......!" Anak kecil itu girang bukan main
melihat ayah dan ibunya, akan tetapi karena dia berlari, kakinya
tertahan oleh tali dan diapun jatuh lagi.
Hong Ing cepat menyambar tubuh puteranya sedangkan Tek Hin
cepat memutuskan tali yang mengikat kaki anaknya. Ibu itu
memeluk anaknya sambil menangis saking gembiranya melihat
Song Cu dalam keadaan selamat.
Pada saat itu, kakak beradik Kam, dua orang pembantu Liong-li
dan dua orang pembantu Pek-liong sudah berloncatan pula,
meloncati ular-ular yang mengepung dan berkumpul dengan Tek
Hin dan Hong Ing untuk melindungi mereka,
Apa yang dikhawatirkan Pek-liong dan Liong- li segera terjadi.
Tempat yang tadinya sunyi itu tiba-tiba saja penuh dengan anak
buah gerombolan yang muncul dari tempat persembunyian
mereka. Bahkan kini suara suling yang tadinya lirih itu terdengar
nyaring dan semakin banyak ular berkumpul mengepung pohon
itu dan mereka mulai mendesis-desis'. Di luar lingkaran ular itu
nampak anak buah gerombolan mengepung pohon di bawah
295 mana delapan orang itu berkumpul, dalam jumlah yang puluhan
orang banyaknya. Turun tangan pada saat seperti itu akan membahayakan
keselamatan delapan orang dan anak itu, maka Pek-liong dan
Liong-li meloncat ke atas pagar tembok dan terdengar suara
Liong-li berseru nyaring.
"Pek-bwe Coa-ong! Kalau kalian bertiga hendak membuat
perhitungan dengan kami berdua, jangan bertindak curang.
Bebaskan delapan orang dan anak itu yang tidak ada
sangkutannya dengan urusan kita, dan mari kita mengadu
kepandaian seperti orang gagah!"
Kini nampaklah Pek-bwe Coa-ong, Kim Pit Siu-cai dan Ang I
Sian-li bersama empat orang dari Thai-san Ngo-kwi. Pek-bwe
Coa-ong masih meniup sulingnya untuk menguasai ular ularnya
yang mengepung pohon itu, dan Ang I Sian-li yang mewakilinya
menjawab sambil terkekeh genit.
"Hi-hik, Pek-liong dan Liong-li, kalau kalian mempunyai
keberanian dan kepandaian, coba kalian bebaskan mereka ini
dari tangan kami, heh-heh!"
Kim Pit Siu-cai sudah meloncat ke dalam kepungan ular itu dan
tubuhnya bergerak cepat, kipas dan mouw-pit (pena bulu) di
tangannya bergerak menyerang delapan orang itu. Mereka
mencoba untuk membela diri, namun tingkat kepandaian Kim Pit
Siu-cai terlalu tinggi bagi mereka.
296 Apa lagi Ang I Sian-li juga kini meloncat masuk dan dua orang itu
dalam waktu yang singkat saja telah berhasil menotok roboh
delapan orang itu. Mereka rebah malang melintang tak mampu
bergerak lagi dan anak kecil itu yang kini menangis karena dia
tadi terjatuh bersama ibunya yang memondongnya.
Melihat ini, sepasang pendekar itu maklum bahwa mereka tidak
mungkin dapat mundur lagi. Dengan gerakan seperti sepasang
garuda menyambar, mereka melayang turun dari atas pagar
tembok. Para anak buah gerombolan itu tanpa dikomando telah
menyambut maju dengan senjata mereka, agaknya mereka
berlumba ingin membuat jasa. Akan tetapi, terdengar teriakanteriakan mengaduh ketika Pek-liong dan Liong-li menggerakkan
kaki tangan mereka dan delapan orang anak buah gerombolan itu
terpelanting dan tidak mampu bangun kembali! Tentu saja yang
lain menjadi gentar. "Berhenti! Jangan serang, kepung saja!" teriak Pek-bwe Coa-ong
dan kini empat orang Thai-san Ngo-kwi sudah memerintahkan
orang-orangnya untuk menyeret tubuh delapan orang dan anak
kecil itu, membawa mereka ke tempat tahanan dan menjaga
dengan ketat. Lalu mereka berempatpun ikut mengepung Pekliong dan Liong-li.
Pek-liong tersenyum mengejek. "Sejak dahulu kami tahu bahwa
Kiu Lo-mo hanya namanya saja yang besar, akan tetapi mereka
itu bukan lain hanyalah gentong-gentong kosong yang nyaring
bunyinya. Mereka bukan orang-orang yang pantas menyebut diri
297 mereka datuk persilatan. Hanya mengandalkan pengeroyokan
banyak orang, curang dan pengecut-pengecut besar!"
"Hemm, dua orang bocah sombong yang bermulut besar!" teriak
Ang I Sian-li. "Kematian sudah di depan mata dan kalian masih
berani bicara sombong" Lihat saja, sebentar lagi kalian akan
kami tawan dan sebelum kami membunuh kalian, akan kami siksa
dulu, jantung kalian akan kami pergunakan untuk obat kuat,
kepala kalian kami jadikan korban sembahyangan terhadap
rekan-rekan kami......"
"Sian-li, biarkan kami yang menangkap Hek-liong-li! Ia telah
menewaskan Sam-kwi!" tiba-tiba Thai-kwi berseru dan tiga orang
adiknya juga mengeluarkan seruan marah.
Mereka berempat sudah mencabut golok masing-masing dan
sudah pula mengerahkan ilmu pukulan mereka yang ampuh,
yang membuat tangan kiri mereka nampak kemerahan. Di
samping ilmu golok yang lihai, empat orang ini, murid-murid
mendiang Siauw-bin Ciu-kwi ini memiliki ilmu pukulan Ang-hweciang (Tangan api merah) yang amat lihai. Mereka merasa yakin
bahwa kalau mereka berempat maju mengeroyok seorang Liongli, mereka pasti akan menang dan dapat membalaskan dendam
kematian guru mereka dan juga kematian Sam-kwi yang baru
beberapa hari ini tewas oleh Liong-li.
Tiga orang.datuk itupun sebenarnya merasa gentar menghadapi
Pek-liong dan Liong-li walaupun mengingat bahwa mereka
bertiga, mereka tidak takut dan yakin akan dapat menundukkan
dua orang musuh besar itu. Maka, kini mendengar permintaan
298 Thai-kwi, Pek-bwe Coa-ong mengangguk. Dia ingin pula melihat
sampai di mana kelihaian Liong-li agar dapat mengukur, pula
diapun ingin memperlihatkan bahwa mereka bertiga bukan
pengecut seperti dikatakan Pek-liong tadi dan memberi
kesempatan kepada Pek-liong dan Liong-li untuk membela diri,
tidak dikeroyok oleh anak buah mereka!
"Hemm, kami kira Liong-li tidak akan berani kalau maju seorang
diri menghadapi kalian berempat!" Pek-bwe Coa-ong mencoba.
Dia tidak tahu bahwa justeru inilah kesempatan baik bagi Liong-li
dan Pek-liong. Kalau mereka berdua dapat menyinggung rasa
kehormatan tiga orang datuk itu dan dapat memancing mereka
untuk bertanding secara jujur, besar kemungkinan sepasang
pendekar ini akan mampu meloloskan diri dan menolong delapan
orang tawanan itu. Setidaknya, kalau dapat menewaskan
sebagian dari mereka berarti sudah mengurangi kekuatan musuh.
Liong-li melangkah maju dan tertawa. Manis bukan main kalau
pendekar wanita ini tertawa, namun bagi yang sudah
mengenalnya, tawa semanis itu merupakan tanda bahaya bagi
musuhnya karena tawa itu hanya muncul kalau wanita perkasa itu
berada dalam keadaan siap siaga, seluruh syaraf di tubuhnya
sudah siap dan ia berada dalam kewaspadaan tertinggi.
"Memang kepalang tanggung kalau aku hanya membunuh Samkwi tanpa membunuh empat yang lain. Majulah kalian berempat,
akan kukirim kalian menyusul arwah guru kalian Siauw-bin Ciukwi dan Sam-kwi!"
299 Dari penyelidikannya, Liong-li sudah tahu bahwa Thai-san Ngokwi adalah murid Siauw-bin Ciu-kwi, seorang di antara Kiu Lo-mo
yang telah tewas di tangannya, ketika bersama Pek-liong ia
menentang iblis itu. Dan sengaja ia menyebut nama guru mereka
itu dan Sam-kwi untuk memanaskan hati mereka.
Usahanya berhasil. Empat orang itu gemetar saking marahnya
dan mereka sudah berlompatan maju mengepung Liong-li dari
depan, belakang, kanan dan kiri!
Pek-bwe Coa-ong, Kim Pit Siu-cai, dan Ang I Sian-li berdiri
menonton dan tempat pertandingan itu dikepung oleh anak buah
yang tidak kurang dari seratus orang banyaknya sehingga tidak
ada tempat untuk melarikan diri bagi kedua orang pendekar itu.
Pek-liong sendiri berdiri dengan sikap tenang, walaupun dalam
hati dia masih mencari jalan keluar bagaimana agar dia dan
Liong-li dapat menolong para tawanan kemudian lobos dari
tempat itu. Dia tahu bahwa kalau dia dan Liong-li dapat mengalahkan Thaisan Ngo-kwi dan tiga orang datuk itu, para tokoh sesat itu tentu
tidak sungkan untuk mempergunakan anak buah mereka yang
amat banyak untuk mengeroyok dia dan Liong-li. Walaupun dia
dan Liong-li tidak gentar menghadapi pengeroyokan demikian
banyaknya orang, namun bagaimana mereka berdua akan
mampu menolong delapan orang tawanan bersama anak kecil itu
keluar dari tempat tahanan"
Kini empat orang itu telah mengepung Liong-li yang masih
nampak tenang dan Pek-liong menyingkirkan dulu semua pikiran
300 karena dia harus memperhatikan jalannya pertandingan antara
Liong-li dan empat orang pengeroyoknya. Dia harus waspada dan
siap menolong Liong-li kalau sampai terancam bahaya.
Andaikata Liong-li sampai kalah dan terancam bahaya, dia tidak
merasa malu untuk membantunya, karena bukankah kini Liong-li
juga dikeroyok empat orang" Pula, dia tidak dapat percaya begitu
saja bahwa tiga orang datuk itu tidak akan turun tangan
membantu empat orang murid-murid keponakan mereka itu.
Sikap empat orang Thai-san Ngo-kwi itu memang menyeramkan.
Mereka adalah orang-orang yang sudah terbiasa melakukan
segala kekejaman mengandalkan kekuatan dan kepandaian, juga
mereka dalam keadaan marah sekali sehingga sinar mata
mereka sudah membayangkan kebuasan dan kekejaman.
Thai-kwi yang berusia empatpuluh lima tahun itu memimpin
penyerangan. Pria yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam ini
seperti raksasa, goloknya juga besar dan berkilauan saking
tajamnya. Thai-kwi berdiri di depan Liong-li, menghadapi Liong-li
sambil melintangkan goloknya di depan dada dan tangan kirinya
yang kemerahan itu diangkat ke atas kepala.
Ji-kwi, orang kedua yang bertubuh gendut pendek berusia
empatpuluh tiga tahun, juga melintangkan goloknya dan
mengangkat tangannya yang kemerahan ke atas kepala, berdiri
di belakang Liong-li. Su-kwi yang berusia empatpuluh tahun,
bertubuh tinggi besar dengan punggung agak bongkok, berdiri di
sebelah kanan Liong-li, sedangkan Ngo-kwi orang kelima yang
301 bertubuh sedang berusia tigapuluh lima tahun, berdiri di sebelah
kirinya. Empat orang Thai-san Ngokwi itu sudah siap dengan golok
mereka dan tangan merah mereka, dan pandang mata mereka
menyinarkan nafsu membunuh seperti empat ekor harimau
kelaparan mengurung seekor domba.
Liong-li bersikap tenang saja. Hek-liong-kiam masih berada di
sarungnya dan ia berdiri dengan tegak dan nampak santai,
namun setiap syaraf di tubuhnya bergetar, dari ujung rambut
kepala sampai ke tumit kakinya dalam keadaan siap waspada,
pandang matanya mengukur jarak, telinganya yang terlatih itu
dapat menangkap setiap gerakan lawan yang berada di belakang
dan tidak nampak, juga di kanan kiri sehingga sikapnya seolah ia
hanya menghadapi lawan yang berada di depan saja.
"Liong-li, engkau mampus sekarang!" terdengar Thai-kwi
membentak nyaring, akan tetapi dia tidak menggerakkan
goloknya. Sebaliknya, Ji-kwi yang gendut pendek dan berada di
belakang Liong-li itulah yang bergerak, menyerang dengan
membacokkan goloknya dari atas ke bawah seperti orang
membelah kayu, hendak membelah tubuh wanita perkasa itu dari
atas ke bawah. "Singggg......!!!" Golok itu berubah menjadi sinar menyambar dari
atas ke bawah, namun yang disambarnya hanya udara kosong
saja karena tubuh Liong-li sudah bergeser ke kiri. Ji-kwi yang
luput serangannya itu terus meloncat ke depan sedangkan Thaikwi kini membabatkan goloknya ke arah leher Liong-li.
302 Wanita ini kembali mengelak dengan loncatan dan kini Thai-kwi
dan Ji-kwi berganti kedudukan. Ji-kwi yang berada di depan
Liong-li sedangkan Thai-kwi di belakangnya. Dari arah kirinya,
Ngo-kwi menyerang dengan goloknya, dan berbareng pada saat
itu, dari kanan Su-kwi juga menyerang sehingga dua batang
golok mengguntingnya dari kanan kiri, yang sebatang menyambar
leher, yang kedua menyambar paha.
Nampak sinar hitam bergulung-gulung dan terdengar suara
nyaring dua kali ketika pedang Naga Hitam tercabut dan diputar
sedemikian rupa sehingga sekaligus menangkis serangan dari
kanan kiri itu. Trangg...... cringggg........!!"
Tidak nampak bagaimana Liong-li mencabut pedangnya, karena
pedang itu tiba-tiba saja sudah nampak menyambar, berubah
menjadi sinar bergulung-gulung hitam mengerikan dan sudah
menangkis dua serangan dari kanan kiri itu, sedangkan tubuhnya
sudah bergerak mundur. Golok di tangan Ngo-kwi dan Su-kwi
adalah golok mustika yang tajam dan kuat, namun ketika
tertangkis sinar hitam Hek-liong-kiam kedua batang golok itu
terpental dan kedua orang anggauta Thai-san Ngo-kwi terkejut
karena merasa betapa telapak tangan mereka tergetar, panas
dan hampir golok terlepas dari genggaman mereka. Cepat
mereka meloncat mundur. Setelah menangkis, Liong-li yang melangkah mundur, sudah
membalikkan tubuhnya dan bagaikan seekor naga, pedangnya
sudah meluncur dan menyerang orang yang tadinya berada di
303 belakangnya, yaitu Thai-kwi. Serangan tusukan pedang itu amat
cepatnya dan kalau bukan Thai-kwi yang diserang, kiranya akan
sulit1ah bagi lawan untuk menyelamatkan diri. Namun, Thai-kwi
merupakan orang pertama dari Thai-san Ngo-kwi, ilmu
kepandaiannya sudah tinggi dan diapun membuang tubuh ke
belakang, lalu bergulingan menjauh sedangkan Ji-kwi sudah
membantu suhengnya dengan serangan kilat dari belakang
Liong-li. Bahkan Su-kwi dan Ngo-kwi juga sudah menghadang
dengan serangan dari kanan kiri.
Liong-li terpaksa memutar tubuh dan mengerakkan pedang
melindungi diri sehingga tubuhnya tertutup gulungan sinar hitam
yang sulit ditembus senjata lawan. Pertandingan ini sungguh
menegangkan. Biarpun tingkat kepandaian Liong-li jelas lebih
tinggi dari mereka, akan tetapi karena mereka itu empat orang
maju bersama, dan mereka memiliki pengalaman perkelahian
keroyokan sehingga mereka dapat bekerja sama seperti barisan
golok, saling menunjang saling melindungi, maka tidak mudah
Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagi Liong-li untuk merobohkan seorang pun dari mereka.
Sebelum berhasil merobohkan seorang, yang tiga orang sudah
cepat menekannya sehingga terpaksa ia melepaskan orang yang
didesaknya itu. Sebaliknya, empat orang itupun tidak dapat
merobohkan Liong-li. Senjata mereka terasa sukar sekali untuk
dapat menembus sinar hitam dari Hek-liong-kiam, maka kini
mereka berempat hanya bertahan saling melindungi saja,
membentuk benteng dari empat golok yang amat sukar
dibobolkan. 304 Telah limapuluh jurus lewat, akan tetapi belum juga Liong-li
berhasil merobohkan seorangpun dari empat pengeroyoknya,
walaupun empat orang itu sudah terdesak dan bahkan jarang
sekali dapat membalas. Melihat ini, Ang I Sian-li menjadi tidak sabar lagi. Kalau sampai
empat orang murid keponakan itu kalah dan tewas, hal itu berarti
melemahkan pihaknya dan "memberi hati" kepada Pek-liong dan
Liong-li. Maka, tanpa banyak cakap lagi Ang I Sian-li mencabut
siang-kiam (sepasang pedang) dan melompat, langsung saja
menyerang Liong-li dengan dahsyatnya.
"Cring-trangg......" Liong-li menangkis dan kedua orang wanita
tangguh itu terhuyung ke belakang.
"Iblis betina curang!" bentak Pek-liong sambil melompat ke
depan. Akan tetapi dia sudah disambut Kim Pit Siu-cai dan Pekbwe Coa-ong yang sudah menyerang Pek-liong dengan senjata
mereka yang ampuh. Pek-liong cepat mencabut pedangnya dan begitu Pek-liong-kiam
diputar, nampak gulungan sinar putih yang menyambar-nyambar
dan menangkis sepasang mouw-pit di tangan Kim Pit Siu-cai dan
tongkat ekor ular putih di tangan Pek-bwe Coa-ong.
Tingkat kepandaian dua orang iblis tua itu sudah amat tinggi,
bahkan kalau seorang di antara mereka maju melawan Pek-liong
saja, tidak akan mudah bagi Pek-liong untuk menang. Kini
mereka maju berdua, tentu saja pendekar itu segera terdesak
hebat. 305 Keadaannya tidak jauh bedanya dengan Liong-li. Tingkat
kepandaian Ang I Sian-li juga seimbang dengan Liong-li, kini ia
maju membantu empat orang dari Thai-san Ngo-kwi, tentu saja
Liong-li segera terdesak hebat.
Sepasang pendekar itu tentu saja maklum bahwa tidak ada
gunanya mencaci maki atau mencela kecurangan lawan. Mereka
maklum pula bahwa pihak lawan tidak mungkin akan mau
melepaskan mereka berdua. Pihak lawan amat mendendam dan
membenci mereka, akan melakukan apa saja untuk dapat
menangkap dan membunuh mereka berdua.
Mereka tahu bahwa kalau mereka melawan terus, akhirnya
mereka akan kalah dan roboh juga. Tanpa kata ataupun isyarat,
keduanya yang sudah memiliki kepekaan terhadap satu sama
lain, segera mengatur langkah sehingga akhirnya mereka itu
dapat bersatu, beradu punggung dan saling melindungi.
Namun, hal inipun tidak akan menolong mereka. Pihak lawan
terlampau kuat. Baru tiga orang di antara Kiu Lo-mo itu saja
sudah merupakan lawan yang amat berat hagi mereka, apa lagi
ditambah empat orang dari Thai-san Ngo-kwi yang juga sudah
lihai sekali. Dan di situ masih terdapat kurang lebih seratus orang
anak buah gerombolan yang mengepung tempat itu.
Sebetulnya, keadaan ini membuat hati sepasang pendekar itu
menjadi gentar. Yang membuat mereka ragu dan bingung adalah
karena empat orang pembantu mereka, empat orang sahabat
mereka, dan seorang anak kecil telah menjadi tawanan musuh!
306 Kalau mereka berdua sampai roboh dan tertawan, atau tewas,
berarti tidak ada harapan bagi sembilan orang tawanan itu, dan
mereka semua tidak mungkin dapat terlepas dari tangan para
penjahat. Tentu mereka akan tewas dalam keadaan yang lebih
menyedihkan lagi. Karena memikirkan keselamatan sembilan
orang itulah maka Pek-liong dan Liong-li mengambil keputusan
untuk meloloskan diri, melarikan diri dari kepungan agar mereka
tetap hidup dan dapat menyusun siasat baru untuk menolong
sembilan orang tawanan itu.
Akan tetapi, tentu saja bukan hal yang mudah untuk dapat
meloloskan diri karena selain tiga orang datuk itu bersama empat
orang murid keponakan mereka mengepung ketat dan mendesak
dengan hebat, juga di situ terdapat lebih dari seratus orang anak
buah gerombolan itu mengepung dengan berbagai senjata di
tangan. Diam-diam Pek-liong dan Liong-li membuat perhitungan dengan
otak mereka yang cerdas. Kalau mereka melanjutkan perkelahian
itu, akhirnya mereka akan roboh dan tewas, demikian pula
sembilan orang tawanan itu tentu akan tewas.
Satu-satunya jalan adalah menerjang ke dalam barisan anak
buah gerombolan yang rapat kepungannya itu. Kalau mereka
dapat menyerbu dan terjun ke tengah-tengah mereka, tentu tiga
orang datuk dan empat orang murid keponakan mereka itu tidak
akan dapat mengeroyok. Ketika mendapat kesempatan dalam keadaan terdesak itu, Liongli berbisik kepada rekannya, "Kita terjun ke tengah?"
307 Pek-liong merasa girang karena memang dia mempunyai
pendapat yang sama. Dia mengangguk. "Engkau dulu, aku
melindungi!" bisiknya.
Pada saat itu, senjata para pengeroyok sedang gencar
menyerang. Liong-li dan Pek-liong memutar pedangnya dan
mereka mengatur sedemikian rupa sehingga pedang bersinar
putih di tangan Pek-liong yang menjadi semakin lebar melindungi
mereka berdua. Liong-li menggunakan gerakan tiba-tiba
menyerang ke kiri di mana berdiri Ngo-kwi, orang termuda dari
Thai-san Ngo-kwi. Serangannya dahsyat bukan main karena ia
mengerahkan seluruh tenaganya, sehingga Ngo-kwi terkejut
bukan main. Goloknya hampir terlepas dari tangannya ketika dia menangkis
dan dia terhuyung ke belakang. Kesempatan inilah yang
dipergunakan Liong-li untuk meloncat, melalui atas kepala Ngokwi, menuju ke arah kelompok anak buah yang mengepung dari
luar. Melihat ini, Pek-bwe Coa-ong marah.
"Kejar, kepung, jangan biarkan ia lolos!"
Akan tetapi, kekacauan timbul karena gerakan Liong-li itu dan
kesempatan ini dipergunakan oleh Pek-liong untuk menjatuhkan
diri ke lantai dan bergulingan sambil menggerakkan pedangnya.
Para pengepungnya terkejut dan terpaksa mundur. Melihat
kesempatan ini, Pek-liong juga cepat melompat sambil
mengerahkan tenaganya dan bagaikan seekor naga menerjang
308 awan, diapun terjun di tengah-tengah anak buah gerombolan
yang mengepung ketat. Gegerlah anak buah gerombolan itu ketika dua orang yang
tadinya dikeroyok dan didesak para pimpinan mereka tiba-tiba
saja meloncat dan terjun di tengah-tengah mereka. Mereka
menjadi panik seperti sekelompok domba yang tiba-tiba melihat
dua ekor harimau mengamuk di tengah-tengah antara mereka!
Tentu saja mereka berusaha untuk menggunakan senjata dan
menyerang kedua orang ini. Akan tetapi, serangan para anak
buah itu tidak ada artinya bagi Liong-li dan Pek-liong. Dengan
mudah mereka merobohkan setiap orang penyerang dan mereka
menyusup-nyusup di antara anak buah gerombolan sehingga tiga
orang Iblis Tua dan empat murid keponakan mereka sukar sekali
untuk dapat mengeroyok kedua orang musuh itu seperti tadi.
Mereka bertujuh terhalang oleh padatnya anak buah mereka
sendiri yang tadi mengepung tempat itu.
Bagaikan sepasang naga, Liong-li dan Pek-liong mengamuk.
Akan tetapi mereka bukan mengamuk untuk membunuh
sebanyak mungkin anak buah gerombolan, melainkan untuk
membuka jalan darah dan melarikan diri. Mereka harus melarikan
diri lebih dulu, kemudian baru mengatur siasat untuk
menyelamatkan sembilan orang yang ditawan musuh.
Kalau mereka nekat, mereka akhirnya akan tewas dan sembilan
orang itupun tidak akan tertolong lagi. Mereka yakin bahwa
selama mereka berdua belum tertawan atau tewas, sembilan
309 orang tawanan itu masih ada harapan dan tidak akan dibunuh
oleh tiga orang Iblis Tua.
Biarpun mereka sudah berhasil terjun ke tengah-tengah antara
anak buah gerombolan, namun masih tidak mudah untuk
membebaskan diri. Tiga orang iblis tua dan empat orang murid
mereka itu masih terus melakukan pengejaran, dibantu oleh anak
buah mereka yang banyak jumlahnya. Karena tidak dapat
melarikan diri ke jalan yang pernah mereka lalui karena
terhadang, terpaksa Liong-li dan Pek-liong lari ke arah barat, di
mana terdapat sebuah hutan.
Mereka sekali ini tidak mau berpencar. Dengan bersatu, mereka
jauh lebih kuat untuk saling melindungi.
"Lepas anak panah! Serang mereka dengan senjata rahasia!"
Tiga orang datuk itu mengejar sambil berteriak-teriak.
Anak buah mereka segera melepaskan anak panah dan berbagai
senjata rahasia. Liong-li dan Pek-liong terpaksa memutar pedang
melindungi tubuh mereka. Mereka lari sambil mundur dan
memutar pedang. Sepasang pendekar itu sama sekali tidak tahu bahwa sisa dari
Sembilan Iblis Tua itu sekali ini sudah bertekad untuk menawan
atau membunuh mereka. Sisa tiga orang dari Kiu Lo-mo itu sudah
lama merencanakan balas dendam ini. Mereka telah mengatur
segalanya dan begitu melihat Liong-li dan Pek-liong berhasil
melarikan diri, merekapun cepat mengatur siasat seperti yang
sudah mereka perhitungkan kalau-kalau menghadapi keadaan
seperti sekarang. 310 Kini mereka memilih tempat yang agak kering untuk duduk dan
mereka berdua pertama-tama menyelidiki keadaan di sekitar
mereka. Mereka memandang ke sekeliling dengan sinar mata
penuh selidik. Tempat itu terang karena biarpun sudah condong
ke barat, matahari masih tinggi dan terang.
Tengah hari telah lewat dua tiga jam, namun senja masih
beberapa jam lagi akan tiba. Dinding tebing itu curam dan tinggi
sekali sehingga bagian atasnya tidak nampak jelas. Diam-diam
kedua pendekar itu memuji syukur kepada Tuhan bahwa mereka
tidak tewas terjatuh dari tempat setinggi itu.
Untuk memanjat ke atas tebing merupakan hal yang tidak
mungkin. Tidak ada orang yang akan dapat mendaki atau
menuruni dinding tebing yang, terjal dan setinggi itu. Mereka lalu
memandang dan mengamati bagian lain.
Tebing itu memanjang dengan ketinggian yang sama. Tak
mungkin naik kembali. Di seberangnya, lereng itu menurun
melalui banyak jurang dan hutan liar. Hanya ke sanalah satusatunya jalan keluar, yang akan membawa mereka ke kaki bukit
sebelah sana. Mereka berdiri memandang ke arah bawah, lalu keduanya saling
pandang dan dua pasang mata itu bertaut, lalu Pek-liong dengan
sikap canggung dan tersipu berkata, lirih.
"Liong-li......" Dia tidak melanjutkan kata-katanya.
311 Liong-li yang menatap wajah Pek-liong, melihat keraguan itu dan
ia merasa heran. Biasanya, tidak pernah Pek-liong bersikap ragu
dan kaku seperti itu. "Ada apakah, Pek-liong?"
Kembali sepasang mata itu bertaut pandang dan kini Liong-li
dapat menyelami perasaan pria itu dan sungguh ia merasa heran
kepada diri sendiri karena mendadak ia merasa mukanya panas
dan iapun menyadari bahwa tentu mukanya berubah kemerahan.
Akan tetapi ia tetap menanti jawaban.
"Liong-li......, rasanya seperti dalam mimpi......"
"Tidak, Pek-liong. Engkau tidak bermimpi, akupun tidak. Kita baru
saja terlepas dari cengkeraman maut. Akan tetapi Tuhan belum
ingin kita mati, Pek-liong. Ketika aku, membawamu lari karena
engkau terluka dan pingsan, aku terjerumus ke dalam jurang,
yaitu tebing di belakang ini. Mestinya kita berdua mati terbanting
di dasar tebing, akan tetapi aku melemparkan tali sutera hitam
dan kebetulan dapat menyangkut akar pohon sehingga kita
berdua selamat." "Bukan itu, Liong-li."
Tentu saja Liong-li tahu, akan tetapi entah mengapa, sekali ini ia
sendiri menjadi tidak wajar, mempunyai rasa malu. Rahasia yang
terpendam amat dalam di hatinya, tadi terungkap dan ia merasa
malu kalau-kalau rahasia itu akan diketahui Pek-liong.
"Apa maksudmu......?" Ia tergagap.
312 "Engkau tadi....... menangis. Itu bukan engkau, Liong-li. Liong-li
tidak pernah seperti itu, menangis seperti anak kecil, seperti
seorang wanita lemah. Mengapa, Liong-li?"
"Dan engkau katakan bahwa mungkin dunia kiamat!" Liong-li
mencoba untuk memecahkan ketegangan di antara mereka
dengan kelakar. Akan tetapi Pek-liong menggeleng kepala
perlahan, tetap memandang tajam seperti hendak menjenguk isi
hati rekannya. "Selama kita berkenalan, belum pernah aku melihat engkau
menangis seperti itu, Liong-li, maka tanpa kusengaja aku
mengatakan bahwa tentu dunia sudah kiamat kalau Liong-li
menangis seperti itu. Sebenarnya, mengapa engkau menangis
seperti itu, Liong-li" Kita bukan penakut, kita tidak takut
menghadapi kematian, bahkan engkau lebih berani dari pada aku
menghadapi maut. Akan tetapi tadi, kenapa engkau menangis
seperti orang ketakutan?"
Mereka kembali saling pandang dan Pek-liong melihat betapa
bibir rekannya itu gemetar! Suatu tanda kelemahan perasaan
yang belum pernah dia lihat sebelumnya!
Kemudian terdengar jawaban Liong-li, dan suaranya mengandung getaran yang belum pernah didengar Pek-liong
sebelumnya. "Aku melihat dan menyangka engkau sudah menjadi
mayat. Melihat engkau tewas, aku kehilangan akal, dunia seperti
kiamat rasanya........"
Pek-liong merasa jantungnya berdebar. Sudah sering kali timbul
debaran jantung aneh seperti ini setiap kali dia teringat kepada
313 Liong-li, namun selalu dia berhasil menekan debaran aneh ini
dengan meyakinkan hatinya bahwa dia dan Liong-li adalah rekan
seperjuangan yang paling setia. Itu saja.
Kini, debaran jantungnya lebih kuat dari pada biasanya, sukar
untuk diredakan karena Liong-li berada di depannya dan pandang
mata Liong-li demikian aneh! Maka, diapun cepat mengalihkan
Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perhatian untuk memecahkan suasana yang mencekam hatinya
itu. "Liong-li, sembilan orang itu masih berada dalam cengkeraman
ke tiga Iblis tua! Kita harus cepat menolong mereka!"
Liong-li seperti dihentakkan dengan tiba-tiba, seperti diseret turun
dari, dunia lamunan yang amat indah, dan iapun terbelalak, lalu
mengerutkan alisnya dan pandang matanya kini berubah seperti
biasanya, mengandung kecerdikan dan kewaspadaan.
"Benar sekali! Bagaimana kita dapat melupakan hal itu" Cepat,
mari kita mencari jalan turun. Terpaksa kita harus mengitari bukit
ini tiba di seberang sana, mendaki dari bagian yang berlawanan.
Engkau sudah kuat berjalan cepat, Pek-liong?"
"Kurasa tenagaku sudah pulih kembali dan... eh, lihat itu!"
teriaknya gembira bukan main.
Liong-li menengok dan iapun melihat kilauan sinar pedang yang
menancap di atas tanah. Pedang Pek-liong-kiam! Agaknya, ketika
roboh pingsan oleh serangan jarum dan pukulan tangan Ang I
Sian-li, Pek-liong masih tetap memegang erat pedangnya, dan
ketika Liong-li memondongnya dan membawanya lari sampai
314 terjerumus ke dalam tebing jurang, pedang itu terlepas dari
pegangannya dan meluncur jatuh lebih cepat dari pada
badannya. "Pek-liong-kiam!" seru Liong-li dan iapun ikut bergembira.
Pek-liong segera mengambil pedangnya dan memeriksanya.
Tentu saja dia merasa girang sekali mendapatkan kembali
pedangnya dalam keadaan utuh dan tidak rusak. Dengan pedang
di tangan, semangat bertambah besar.
Mereka segera mencari jalan turun ke kaki bukit, untuk kemudian
mengitari bukit itu dan mendaki lagi menuju ke sarang
gerombolan yang di pimpin tiga orang dari Kiu Lo-mo itu. Dan di
sepanjang perjalanan ini, Pek-liong yang sudah mengalami
perkelahian melawan tiga orang Iblis Tua membicarakannya
dengan Liong-li, mencatat kelemahan-kelemahan dan kekuatankekuatan mereka agar kalau mereka berdua harus berhadapan
lagi dengan tiga orang Iblis Tua itu, mereka dapat lebih
mempersiapkan diri. "Kita harus waspada terhadap kipas lebar di tangan kiri Kim Pit
Siu-cai," kata Pek-liong mengingat-ingat. "Sepasang mouw-pit
(pena bulu) darinya memang berbahaya, akan tetapi pedangku
dapat menandinginya dan mengatasinya. Akan tetapi kalau dia
mencabut kipasnya dengan tangan kiri, kita harus berhati-hati.
Kipas itu dapat melepas jarum halus secara curang dan tidak
terduga sama sekali."
"Kalau begitu, kita harus mendahuluinya, sebelum sempat
mempergunakan senjata rahasianya, kita harus merusak kipas itu
315 dengan pedang. Kurasa jurus ke lima dari Sin-liong Kiam-sut kita
akan mampu melakukan itu," kata Liong-li dan rekannya
mengangguk. "Ang I Sian-li merupakan lawan paling lemah di antara mereka
bertiga, akan tetapi kita harus berhati-hati terhadap tangan
merahnya. Pukulan beracun itu dapat membahayakan kita kalau
kita tidak berhati-hati."
"Ang-tok-ciang (Tangan Beracun Merah) dari Iblis betina itu
tentulah dilatih dengan menghisap darah bayi seperti yang
pernah kita dengar dilakukan iblis betina itu. Ingin aku
membuntungi kedua tangan merahnya!" kata pula Liong-li gemas,
mengingat betapa tangan merah itu hampir menewaskan Pekliong.
"Tentang Pek-bwe Coa-ong, dia memang lihai dengan tongkat
ularnya. Akan tetapi dia kurang percaya kepada diri sendiri, lebih
sering mengandalkan ular-ularnya. Kalau kita sudah dapat
membasmi ular-ularnya, diapun menjadi gentar dan mudah
dihadapi," kata pula Pek-liong.
"Empat orang Thai-san Ngo-kwi juga selain golok mereka
mengandalkan pukulan tangan merah yang panas, akan tetapi
kiraku tidaklah seganas tangan merah Ang I Sian-li. Mungkin
mereka itu menguasai Ang-hwe-ciang (Tangan Api Merah) akan
tetapi bukan golok dan pukulan tangan merah itu yang membuat
mereka kuat melainkan to-tin (baris an golok) mereka berempat.
Kalau mereka maju berempat maka mereka dapat membentuk
316 barisan dan bersatu dengan amat kuatnya, kiraku tidak kalah kuat
dibandingkan seorang di antara Tiga Iblis Tua itu."
Pek-liong mengangguk-angguk. "Sekali ini, kita menghadapi
lawan yang berat dan berbahaya, apa lagi ditambah banyak anak
buah mereka. Kita harus berhati-hati, akan tetapi kitapun tidak
mungkin membiarkan sembilan orang itu menjadi tawanan
mereka." "Engkau benar, Pek-liong. Tidak boleh sembilan orang itu mati
karena kita. Kita harus dapat menyelundup ke sana secepatnya
dan menolong mereka."
Kini Pek-liong dan Liong-li sudah pulih kembali dari keadaan tidak
wajar ketika perasaan mereka dicengkeram suatu getaran aneh
yang membuat mereka hampir menjadi lemah. Kini mereka
kembali menjadi sepasang manusia yang seolah tidak lagi
mempunyai perasaan, penuh kewaspadaan dan penuh semangat
untuk mengalahkan musuh-musuh mereka! Dan kalau mereka
sudah seperti itu, sungguh tidak ada bahaya lebih besar dari pada
menentang sepasang naga ini! "Y" Kita tinggalkan dulu sepasang naga yang sedang mencari jalan
menuruni bukit untuk kemudian mendaki lagi dari lain bagian ke
sarang gerombolan dan kita tengok keadaan Cian Ciang-kun
(Panglima Cian) atau Cian Hui yang karena kecerdikannya
berhasil lolos dari perangkap yang dipasang tiga Iblis Tua
sehingga dia dan isterinya tidak sampai menjadi tawanan mereka
seperti halnya suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing berikut
317 putera mereka, Song Cu. Juga tidak seperti kakak beradik Kam
Sun Ting dan Kam Cian Li.
Ketika Pek-liong menemuinya dan mendengarkan semua
pengalamannya, kemudian Pek-liong meninggalkan rumahnya
dan pendekar itu menolak ketika dia hendak membantu dengan
pasukan, Cian Hui merasa tidak enak hati. Tidak mungkin dia
membiarkan saja para sahabatnya yang amat dikasihinya itu
menghadapi bahaya besar. Dia tahu bahwa sekali ini sisa Kiu Lo-mo pasti telah
mempersiapkan diri. Kalau mereka itu menghimpun banyak anak
buah, bagaimana mungkin Pek-liong dan Liong-li berdua saja
menghadapi dan melawan mereka" Pula, para datuk sesat itu
selain lihai juga curang dan tidak segan mempergunakan
kelicikan, maka tentu saja dia amat mengkhawatirkan
keselamatan kedua orang sahabatnya itu.
Setelah Pek-liong pergi, Cian Hui mengambil keputusan, bersama
Cu Sui In isterinya, mengajak belasan orang jagoan istana yang
menjadi sahabat-sahabat baiknya, pergi berangkat mencari
sarang gerombolan di bukit Hek-san lembah Huang-ho. Juga dia
mengerahkan pasukan sebanyak tigaratus orang, pasukan
pilihan, untuk berangkat ke sana karena dia menduga bahwa
sekali ini, para musuh Pek-liong dan Liong-li tentu telah
mempersiapkan anak buah yang cukup banyak maka mereka
berani menantang kedua orang pendekar itu secara terangterangan.
318 Karena membawa pasukan, tentu saja Cian Hui dan isterinya
tidak dapat secepat Pek-liong tiba di tempat itu. Dia lalu mengatur
pasukannya, disebarnya penyelidik dan setelah menemukan
sarang gerombolan, dia lalu mengepung tempat itu dengan
pasukannya. Dia sendiri bersama isterinya dan belasan orang
jagoan kota raja mendaki ke sarang gerombolan dengan hati-hati.
Seregu pasukan ahli penyelidik alat-alat rahasia jebakan, telah
lebih dahulu bergerak membersihkan dan membasmi jebakanjebakan yang ada. Semak-semak belukar yang mencurigakan
dibabat habis dan dibakar, dan dibuat jalan setapak yang aman
ke arah sarang untuk Cian Hui dan isterinya, sedangkan tigaratus
orang pasukan itu mendaki dengan posisi mengepung.
Pagi hari itu, para anak buah gerombolan sibuk mempersiapkan
sembahyangan di tepi tebing. Panggung itu mereka selesaikan
kemarin, dan segala persiapan untuk sembahyangan besar telah
dibuat. Semua anak buah gerombolan masih dalam suasana
berpesta gembira untuk merayakan kemenangan mereka atas
musuh besar mereka, yaitu Pek-liong-eng dan Hek-liong-li yang
telah terjatuh ke dalam tebing jurang yang amat curam itu.
Sembilan orang tawanan dalam keadaan terbelenggu telah
dikeluarkan dari dalam kamar tahanan dan diikat di batang pohon
dekat panggung. Song Tek Hin dan Su Hong Ing tidak takut
menghadapi kematian, tidak gentar terhadap keselamatan diri
sendiri, akan tetapi mereka gelisah sekali melihat Song Cu, anak
mereka yang menangis karena anak itupun diikat kaki tangannya
dan digeletakkan di dekat mereka.
319 Dapat dibayangkan betapa hancur rasa hati Su Hong Ing melihat
keadaan puteranya, akan tetapi karena ia sendiri terikat kaki
tangannya, ia tidak mampu berbuat apapun. Suaminya, Song Tek
Hin, mengepal tinju dengan marah sekali, akan tetapi juga tidak
berdaya. Kam Sun Ting dan adiknya, Kam Cian Li; diikat pada batang
pohon lain, demikian pula dua orang gadis pembantu Liong-li dan
dua orang pembantu Pek-liong. Delapan orang itu adalah orangorang yang berjiwa pendekar. Mereka tidak gentar menghadapi
kematian dan yang membuat mereka gelisah hanyalah Song Cu
anak berusia tiga tahun yang ikut menjadi tawanan, juga mereka
gelisah memikirkan keadaan Pek-liong dan Liong-li.
Semalam muncul Kim Pit Siu-cai dan tempat tahanan dan laki-laki
berusia enampuluh tahun yang masih tampan dan sikapnya halus
namun kejam sekali ini berusaha membujuk Su Hong Ing dengan
kata-kata yang kotor, tanpa memperdulikan tawanan lain yang
ikut pula mendengarkan. Kepada ibu muda itu, Kim Pit Siu-cai
menghampiri dan tersenyum-senyum. Bagi Kim Pit Siu-cai, Su
Hong Ing merupakan wanita tercantik dan paling menggairahkan
di antara empat orang wanita tawanan.
"Hemn, engkau cantik jelita, sungguh sayang kalau lehermu yang
putih mulus itu dipenggal besok pagi," katanya.
Su Hong Ing memandang tajam. "Aku tidak takut mati.
Penggallah, siksalah, aku tidak takut. Hanya kuminta, demi
prikemanusiaan, kalau kalian masih merasa menjadi manusia,
320 bebaskan anakku! Dia tidak tahu apa-apa, dia baru berusia tiga
tahun, bebaskan dia!"
Dan betapapun gagahnya, ibu muda ini tidak dapat menahan
kegelisahannya dan iapun menangis! Song Tek Hin yang ikut
mendengarkan dan melihat, tidak menyalahkan isterinya yang
menangis. Dia sendiri ingin menangis kalau melihat bahaya maut
mengancam puteranya yang masih kecil.
"Heh-heh-heh, nyonya manis. Mudah saja kalau engkau hendak
menyelamatkan puteramu. Bersikaplah manis kepadaku, layani
aku malam ini dan aku akan usahakan agar puteramu......"
"Jahanam busuk! Aku tidak sudi!" bentak Su Hong Ing dengan
muka kemerahan dan mata melotot.
"Ha-ha-ha, engkau suka atau tidak, apa sukarnya bagiku untuk
memondongmu ke kamarku, manis" Akan tetapi aku akan lebih
suka kalau engkau melayaniku dengan suka rela......"
"Tidak!" Keparat jahanam, iblis busuk! Kalau engkau jamah saja
diriku, aku akan bunuh diri dan kalau engkau membunuh anakku,
arwahku akan selalu mengejarmu dan mengganggumu!"
Mendengar ancaman ini, mau tidak mau Kim Pit Siu-cai bergidik
juga. Dia memandang kepada Kam Cian Li, juga kepada dua
orang pembantu Liong-li. Mereka bertiga ini juga cantik menarik,
akan tetapi pandang mata mereka kepadanya tidak ada bedanya
dengan pandang mata ibu muda itu, tidak ada rasa takut atau
menyerah sedikitpun dan dari pandang mata mereka saja tahulah
dia bahwa kalau dia ingin menguasai mereka, dia harus
321 menggunakan paksaan, harus memperkosa, dan kalau dia
melakukan ini, mereka tentu akan membunuh diri.
Bagi orang-orang yang ahli silat seperti mereka, tidak sukar
membunuh diri walau dalam keadaan terbelenggu sekalipun.
Dengan menggigit putus lidah sendiri, atau dengan menahan dan
menelan napas. Dan dia sendiri adalah seorang laki-laki yang angkuh, yakin akan
ketampanan dan kepandaiannya merayu wanita. Kalau sampai
ada wanita menolaknya dan dia harus memperkosanya, hal itu
akan merupakan pukulan bagi harga dirinya! Sikap empat orang
wanita itu sudah membuyarkan gairahnya dan malam itu lewat
tanpa gangguan terhadap empat orang wanita itu.
Setelah Kim Pit Siu-cai pergi, Kam Cian Li berkata, "Akupun akan
membunuh diri kalau dia berani menjamahku." Dua orang
pembantu Liong-li juga menyetujui sikap itu.
Pada keesokan harinya, setelah matahari naik, sembilan orang
tawanan itu sudah diikat di batang pohon dekat panggung tempat
sembahyang. Tiga orang Iblis Tua datang dan mereka
menghampiri para tawanan.
Kim Pit Siu-cai memandang empat orang wanita yang semalam
menolaknya dan dia pun tertawa. "Ha-ha-ha, akan kulihat apakah
kalian tidak meratap minta ampun kalau seorang demi seorang
kami siksa dan kami bunuh untuk korban sembahyangan
terhadap arwah para rekan kami."
322 "Hi-hik, biarpun anak itu bukan bayi lagi, darahnya masih cukup
bersih. Berikan kepadaku, biar kuhisap darahnya sampai habis!"
kata Ang I Sian-li dan Song Tek Hin bersama isterinya, merontaronta dalam ikatan mereka, namun sia-sia belaka. Ikatan itu
terlampau kuat. "Ang I Sian-li, dengarlah sumpah kami berdua, ayah ibu anak itu.
Kalau engkau melakukan apa yang kaukatakan itu, kami
bersumpah, setelah kami mati, arwah kami akan bersatu dan
mengganggu siang malam, sampai engkau menjadi gila, menjadi
tersiksa sedikit demi sedikit, sampai akhirnya engkau mampus
dan arwah kami tetap akan mengejar arwahmu!"
Suara Song Tek Hin ini terdengar penuh perasaan dan amat
menyeramkan bagi Ang I Sian-li sehingga wajah iblis betina ini
menjadi agak pucat juga. Pada jaman itu, orang-orang masih
amat tahyul dan percaya benar bahwa apa yang disumpahkan itu
tentu akan menjadi kenyataan. Tentu saja hal ini membuat Ang I
Sian-li merasa ngeri juga.
Pek-bwe Coa-ong kini berkata kepada para tahanan.
"Sebetulnya, secara pribadi kami tidak bermusuhan dengan
kalian semua. Akan tetapi, kalian adalah sahabat-sahabat baik
dari Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Kami tidak mendapatkan
kenikmatan menyaksikan penderitaan mereka ketika tewas
terjungkal ke dalam jurang. Maka, sebagai gantinya, kami ingin
Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melihat kalian menderita dalam siksaan ketika kami bunuh, dan
kami yakin bahwa arwah Pek-liong-eng dan Hek-liong-li juga akan
melihat kalian tersiksa dan menderita karena kalian mati karena
mereka!" 323 Pada saat itu , seolah-olah menjawab ucapan Pek-bwe Coa-ong,
terdengar teriak-teriakan dan robohnya banyak anak buah
gerombolan, disusul sorak sorai yang riuh rendah. Tiga Iblis Tua
itu menjadi terkejut, dan empat orang dari Thai-san Ngo-kwi yang
lebih dahulu melihat datangnya penyerbuan itu, berteriak.
"Pasukan pemerintah......! Mereka mengepung kita......!!"
Gegerlah seketika keadaan di sarang gerombolan itu. Anak buah
gerombolan menjadi panik karena dari semua jurusan datang
pasukan pemerintah yang besar jumlahnya.
Pek-bwe Coa-ong terkejut, akan tetapi bersikap tenang.
Bagaimanapun juga, kalau hanya menghadapi pasukan
pemerintah, dia tidak gentar.
"Semua tenang, lawan dan bunuh mereka semua! Kita tidak akan
kalah!" Dia sendiri bersama dua orang rekannya, juga empat
orang Thai-san Ngo-kwi, mengamuk dan begitu mereka bergerak,
mereka merobohkan perajurit-perajurit yang menyerbu dengan
mudah. Hal ini membangkitkan semangat anak buah mereka. Akan tetapi,
kini muncul Cian Hui, Cu Sui In, dan belasan orang jagoan istana
yang rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, sehingga tiga
orang Iblis Tua itu dan empat orang murid keponakan mereka
terkepung. Sementara itu, pasukan sudah bertempur melawan anak buah
gerombolan dan ternyata jumlah pasukan pemerintah hampir tiga
kali lebih besar sehingga anak buah gerombolan segera terdesak
324 hebat. Mereka tidak dapat lari, karena tempat itu telah terkepung
pasukan pemerintah. Melihat keadaan ini, Tiga Iblis Tua menjadi panik juga. Kim Pit
Siu-cai yang cerdik segera berkata, "Kita pergunakan tawanan
menjadi sandera! Cepat!"
Mereka bertiga lalu memutar senjata sehingga para pengeroyok
terpaksa mundur dan mereka segera berloncatan ke arah di
mana tadi sembilan orang tawanan itu mereka ikat. Akan tetapi
ketika mereka tiba di sana, mereka memandang dengan mata
terbelalak, seolah tidak percaya akan apa yang mereka lihat!
Pek-liong-eng Tan Cin Hay dan Hek-liong-li Lie Kim Cu telah
berdiri di situ, semua tawanan telah terlepas dari ikatan, bahkan
kini delapan orang tawanan dewasa telah memegang sebatang
pedang dan anak kecil itu telah berada dalam gendongan ibunya
dengan aman! Dan di sekitar tempat itu. belasan penjaga telah
roboh dan tewas! Memang ketika Pek-liong dan Liong-li tiba di tempat itu, setelah
melakukan perjalanan semalam suntuk, mereka mendengar
suara ribut-ribut orang bertempur. Cepat mereka lari naik dan
dengan girang mereka melihat bahwa Cian Hui telah menyerbu
sarang gerombolan itu dengan banyak sekali pasukan
pemerintah. Tentu saja mereka lebih mementingkan menolong para tawanan
lebih dahulu. Mereka melihat para tawanan itu diikat di batang
pohon dekat tebing jurang di mana telah dibangun sebuah
325 panggung tempat upacara sembahyang. Belasan orang anak
buah gerombolan menjaga tempat itu.
Dengan mudah mereka merobohkan belasan orang itu dengan
pedang mereka, membebaskan para tawanan, mengambil
pedang dari anak buah gerombolan yang roboh dan kini mereka
semua telah memegang senjata, siap untuk membasmi
gerombolan! Liong-li tersenyum manis ketika melihat Tiga Iblis Tua itu. Juga
Pek-liong tersenyum. Di lain pihak, tiga orang itu terbelalak dan
wajah mereka menjadi pucat. Mereka seperti bertemu setan di
tengah hari. Dua orang musuh besar yang tadinya mereka yakin
tentu mati terbanting remuk di dasar jurang, tiba-tiba kini muncul,
membebaskan semua tawanan dan berdiri menghadapi mereka
dengan pedang pusaka masing-masing di tangan!
Pada saat itu, terdengar suara Cian Ciang-kun membentak
dengan lantang sekali, terdengar oleh semua orang yang sedang
bertempur. "Kami telah mengepung tempat ini dengan ratusan orang
perajurit! Yang melawan akan ditumpas dan dibunuh habis!
Menyerahlah, dan kami tidak akan membunuh kalian, hanya
menangkap dan menghadapkan kalian ke pengadilan!"
Teriakan ini amat berpengaruh. Para anak buah gerombolan
memang sudah panik karena mereka melihat betapa pasukan itu
berjumlah besar sekali sehingga tiap orang anak buah
gerombolan dikeroyok tiga-empat orang perajurit. Kalau mereka
melawan terus, jelas mereka semua akan mati konyol. Oleh
326 karena itu, banyak di antara mereka yang melempar senjata dan
menjatuhkan diri berlutut, menakluk!
Empat orang Thai-san Ngo-kwi membentak-bentak memberi abaaba kepada anak buah mereka untuk melanjutkan perlawanan,
namun perintah mereka tidak dihiraukan lagi karena para anak
buah gerombolan itu tidak ingin mati konyol. Mereka yang
menakluk segera dilucuti senjatanya dan diborgol, dan kepungan
para perajurit di tempat itu menjadi semakin ketat.
"Cian Ciang-kun, terima kasih, engkau telah menyelamatkan para
tawanan!" kata Liong-li girang sekali.
Cian Hui hanya mengangguk, lalu sekali lagi membentak,
ditujukan kepada Tiga Iblis Tua dan empat Thai-san Ngo-kwi.
"Sekali lagi, menyerahlah kalian semua sebelum kami terpaksa
menggunakan kekerasan!"
Tiba-tiba Kim Pit Siu-cai tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kiranya
Pek-liong-eng dan Hek-liong-li hanyalah dua orang pengecut
yang mempergunakan kekuatan pasukan pemerintah untuk
mengepung dan mengeroyok kami!"
"Liong-li, kalau memang engkau benar pendekar wanita yang
memiliki keberanian, mari kita bertanding satu lawan satu, tidak
menggunakan keroyokan!" kata pula Pek-bwe Coa-ong.
Liong-li tertawa. "Hemm, Pek-bwe Coa-ong! Sekarang, dalam
keadaan terdesak dan tersudut, engkau mengeluarkan kata-kata
besar! Lupa bahwa kalian bertiga telah mempergunakan
kecurangan dan kelicikan tanpa mengenal malu, menangkapi
327 para sahabat kami yang tidak berdosa hanya untuk memancing
kami datang! Kemudian, setelah kami berdua datang, kalian
menggunakan pengeroyokan dan jebakan! Akan tetapi, kami
bukanlah orang-orang curang macam kalian. Kami menerima
tantanganmu untuk bertanding satu lawan satu dan aku akan
melawanmu, Coa-ong!"
"Aku akan menandingi Kim Pit Siu-cai!" kata Pek-liong sambil
maju pula dengan sikapnya yang tenang dan gagah.
"Hi-hik, dan siapa berani melawan aku?" kata Ang I Sian-li
dengan sikap sombong karena ia merasa yakin bahwa selain
Pek-liong dan Hek-liong-li, tidak akan ada yang mampu
menandinginya. "Biar aku yang mengatur!?" Liong-li berseru dan ia memandang
kepada Cian Hui dan isterinya, Cu Sui In. Ia maklum bahwa Cian
Hui memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup tangguh, dan
isterinya, murid Kun-lun-pai, lebih lihai lagi. Ia sudah mengukur
bahwa kalau suami isteri itu maju bersama, pasti Ang I Sian-li
tidak akan mampu menang. "Cian Ciang-kun, dan engkau enci Cu Sui In, maukah kalian
berdua mewakili kami melawan Ang I Sian-li?"
Suami isteri ini selain lihai juga cukup cerdik. Mereka maklum
sepenuhnya bahwa Liong-li tidak akan mencelakakan mereka.
Kalau Liong-li minta mereka berdua menghadapi iblis betina itu,
tentu Liong-li sudah mempunyai ukuran bahwa mereka akan
menang, maka mereka segera menyanggupi. Cian Hui sudah
328 memegang suling baja di tangan kanan, sedangkan isterinya, Cu
Sui In sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang).
"Hi-hik, sepasang suami isteri yang tampan dan cantik. Sayang
hari ini akan tewas di ujung pedangku," kata Ang I Sian-li. "Selain
kami bertiga, masih ada empat orang pembantu kami, yaitu Thaisan Ngo-kwi. Siapa yang akan menandingi mereka, Liong-li"
Suruh mereka maju sekarang karena Thai-san Ngo-kwi yang
akan maju lebih dahulu!"
Iblis betina ini memang cerdik. Ia sengaja menantang dan
menyuruh empat orang murid keponakan itu maju lebih dahulu
untuk memastikan bahwa mereka berempat tidak seperti anak
buah lainnya, menakluk kepada musuh!
Empat orang itu adalah, Thai-kwi, Ji-kwi, Su-kwi dan Ngo-kwi.
Mereka maklum bahwa menakluk pun bagi mereka pasti tidak
ada pengampunan, maka lebih baik melawan mati-matian.
"Kami tidak akan mengikut-sertakan pasukan pemerintah," kata
Pek-liong dengan suaranya yang tenang. "Di sini kami juga
mempunyai teman-teman yang setia, maka biarlah teman-teman
kami yang tadinya menjadi tawanan menghadapi mareka." Pekliong memaksudkan dua orang pembantunya, dua orang
pembantu Liong-li, kakak beradik Kam Sun Ting dan Kam Cian Li,
dan suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing.
Cian Ciang-kun mengerutkan alisnya. Dia maklum akan kelihaian
empat orang dari Thai-san Ngo-kwi. Biarpun delapan orang
pengeroyok yang menjadi sahabat-sahabat baik Pek-liong dan
Liong-li itu juga lihai, terutama empat orang pembantu mereka,
329 namun dia khawatir kalau-kalau ada di antara mereka yang
terluka, maka dia cepat berkata.
"Isteri saudara Song Tek Hin menggendong puteranya, tidak baik
kalau ia disuruh bertanding. Di antara para temanku ini ada yang
bukan anggauta pasukan pemerintah, maka biarlah dia yang
menggantikan nyonya muda itu! Liok-toako, harap kau suka
membantu kami menghadapi empat orang kepala perampok dari
Thai-san itu!" Seorang di antara jagoan istana yang bernama Liok San adalah
seorang ahli silat yang tangguh, bahkan tingkat kepandaiannya
lebih tinggi dari pada tingkat yang dimiliki Cian Hui. Inilah
sebabnya mengapa Cian Hui memilih dia untuk mewakill Su Hong
Ing yang menggendong puteranya. Dengan majunya Liok San ini,
otomatis keadaan mereka yang akan melawan ke empat Thai-san
Ngo-kwi senjadi jauh lebih kuat lagi!
Pek-liong juga maklum akan kecerdikan Cian Hui, maka diapun
mengangguk. "Nah, siapa yang akan bertanding lebih dulu, Kim Pit Siu-cai?"
tantang Pek-liong. Seperti juga Ang I Sian-li, Kim Pit Siu-cai tidak menghendaki
empat orang murid keponakan yang menjadi pembantu utama itu
menakluk kepada pihak musuh, maka diapun berkata, "Biarlah ke
empat Thai-san Ngo-kwi yang maju lebih dulu!"
330 Empat orang itu maklum bahwa tidak ada jalan keluar, maka
merekapun cepat melangkah maju dan membentuk barisan golok
dengan sikap mereka yang galak.
Liok San maklum bahwa kalau sahabatnya, Cian Hui menyuruh
dia membantu melawan empat orang tokoh sesat ini, tentu para
pembantu dan sahabat Pek-liong dan Liong-li tidak memiliki ilmu
setinggi dua orang pendekar itu. Maka, dia yang bukan hanya
memiliki ilmu silat, akan tetapi sebagai seorang jagoan istana dan
panglima, dia memiliki pula ilmu perang dan membentuk barisan,
dia segera mengambil komando atas tujuh orang rekannya yang
hendak maju mengeroyok empat orang penjahat itu.
"Kita serang mereka dengan berputar melingkari mereka!
Menyerang sambil membantu teman yang berada di kanan. Ingat,
yang kiri membantu yang kanan!"
Setelah berteriak demikian, Liok San mulai menyerang
sedangkan tujuh orang lainnya, yaitu kakak beradik Kam, dua
orang pembantu Pek-liong, dua orang pembantu Liong-li dan
Song Tek Hin sudah cepat mengurung dan mengelilingi empat
orang itu dan menyerang dengan senjata masing-masing.
Mereka semua maklum bahwa jagoan istana yang usianya sudah
limapuluhan tahun dan bertubuh tinggi kurus, bersenjatakan
pedang itu tentulah seorang yang lihai dan ahli mengatur barisan,
maka merekapun mentaati petunjuknya. Mereka menyerang
sambil siap membantu dan melindungi teman yang berada di
sebelah kanan. 331 Empat orang Thai-san Ngo-kwi itu mengamuk dengan golok
mereka, akan tetapi menghadapi barisan yang mengelilingi
mereka dan saling bantu itu, mereka tidak sempat mengatur
barisan golok mereka. Terjadilah perkelahian yang seru, akan
tetapi, biarpun empat orang Thai-san Ngo-kwi hendak
memaksakan dan mendesak seorang lawan, tetap saja usaha ini
gagal karena lawan lain akan membantu dan lawan itu akan terus
berputar menyerang musuh yang berada di sebelah kanan.
Dengan demikian, delapan orang itu berputar terus dan membuat
empat orang tokoh sesat itu merasa seperti dikeroyok masingmasing oleh delapan orang! Karena bingung, mereka melawan
dengan membuta mengandalkan gerakan golok mereka yang
cukup lihai. Akan tetapi karena siasat Liok San membuat delapan
orang itu dapat saling bantu dan saling melindungi, maka semua
serangan golok empat orang penjahat itu selalu dapat ditangkis,
dan sebaliknya, mereka dihujani serangan yang bertubi-tubi
datangnya. Tiga orang Iblis Tua melihat pertandingan itu dengan alis berkerut
dan hati gelisah. Akan tetapi mereka tidak dapat membantu, juga
tidak mungkin melarikan diri dari tempat yang terkepung ratusan
orang perajurit itu. Mereka hanya dapat mengambil keputusan
untuk melawan mati-matian.
"Hek-liong-li, tunggu apa lagi! Mari kita selesaikan perhitungan di
antara kita sekarang juga!"
Pek-bwe Coa-ong membentak dengan marah dan nekat. Dia
sudah melintangkan tongkat ularnya di depan dada, menantang
332 Liong-li. Tempat itu memang cukup luas untuk bertanding, maka
Liong-li sambil tersenyum menghampiri dengan Pedang Naga
Hitam di tangan. "Engkau tergesa-gesa ingin cepat menyusul saudara-saudaramu
yang telah mati lebih dulu" Baik, mari kuantar engkau dengan
pedangku!" kata Liong-li sambil melintangkan pedangnya di
depan dada. Pek-bwe Coa-ong merasa tidak akan ada gunanya menggunakan
ilmunya memanggil ular-ular di daerah itu. Tempat itu terkepung
ratusan orang perajurit. Ular-ular itu pasti tidak akan berani
datang, dan kalaupun ada yang berani, tentu akan diinjak-injak
lumat oleh para perajurit.
"Haiiiiittt......!!" Pek-bwe Coa-ong Gan Ki menyerang dengan
tongkatnya, gerakannya hebat bukan main, mendatangkan angin
Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keras dan tongkat itu menyambar dahsyat ke arah kepala Liong-li.
Namun, pendekar wanita ini dapat mengelak dengan mudah dan
pedangnya yang diputar menjadi gulungan sinar hitam itu
mencuat dengan tusukan balasan ke arah dada.
"Trakkk......!" Tongkat ular kering yang keras itu menangkis dan
keduanya segera terlibat dalam perkelahian yang seru dan matimatian.
"Pek-liong-eng, sambutlah senjataku!" Kim Pit Siu-cai juga
berteriak dan begitu Pek-liong melintangkan pedangnya, dia
sudah menyerang. 333 Pek-liong menggerakkan pedangnya dan kedua orang yang lihai
inipun sudah saling serang dengan sengitnya. Keduanya
menggunakan kecepatan sehingga tidak nampak lagi, yang
nampak hanya dua bayangan berkelebatan di antara gulungan
sinar putih dari pedang Naga Putih dan gulungan sinar kuning
dari sepasang mouw-pit. Melihat betapa kedua orang rekannya sudah turun tangan
menyerang lawan masing-masing, timbul perasaan ngeri di hati
Ang I Sian-li, takut kalau ia nanti tertinggal seorang diri. Maka
iapun menghampiri Cian Hui dan Cu Sui In, sambil tersenyum
manis berkata, "Apakah kalian suami isteri yang tampan dan
cantik sudah siap untuk mati?"
Cian Hui menoleh kepada para jagoan istana yang masih berdiri
menjadi penonton. "Kalian jangan mencampuri, akan tetapi kalau
mereka curang dan banyak tingkah, kerahkan pasukan dan
hancurkan mereka!" Dalam pesan ini tersembunyi isyarat bahwa kalau pihak Liong-li
dan Pek-liong bersama kawan-kawannya terancam bahaya,
mereka diminta turun tangan membantu dengan pengerahan
pasukan! Cu Sui In yang telah melintangkan sepasang pedangnya di depan
dada, berkata sambil tersenyum mengejek. "Ang I Sian-li,
seharusnya engkau berganti pakaian dulu, pakaianmu yang
merah itu diganti warna putih karena engkau akan mati dan
engkau sendiri yang akan herkabung atas kematianmu. Orang334 orang lain akan menyambut kematian seorang iblis betina jahat
kejam sepertimu dengan sorak sorai karena gembira."
Nyonya Cian Hui ini memang pandai bicara. Ang I Sian-li
memandang dengan alis berkerut. Ia sendiri biasanya pandai
bicara dan mengejek, akan tetapi keadaannya tidak
memungkinkan untuk dapat bersikap seperti itu.
"Lihat pedangku!" bentaknya dan iapun sudah menggerakkan
sepasang pedangnya menyerang. Serangannya ditujukan kepada
Cu Sui In karena diam-diam ia marah dan membenci wanita
cantik itu yang telah mengejeknya.
"Trang-tranggg......!!" Pedang kirinya ditangkis Cu Sui In, dan
pedang kanannya ditangkis suling baja di tangan Can Hui yang
melindungi isterinya. Mereka berdua membalas dengan serangan
kilat sehingga Ang I Sian-li harus bergerak cepat untuk
melindungi dirinya. Perkelahian antara iblis betina ini melawan
suami isteri itu pun terjadi dengan sengit dan serunya, membuat
kagum dan tegang hati mereka yang menjadi penonton.
Yang paling terdesak adalah empat orang Thai-san Ngo-kwi.
Delapan orang pengeroyok mereka terus mendesak, terutama
sekali dua orang pembantu Liong-li dan dua orang pembantu
Pek-liong. Mereka berempat ini agaknya mendendam karena
kematian rekan-rekan mereka dan kini dendam itu mereka
salurkan dan timpakan kepada empat orang dari Thai-san Ngokwi sehingga mereka menyerang mati-matian dengan sengit
sekali. 335 Thai-san Ngo-kwi, Lima Setan Thai-san yang kini tinggal empat
orang itu, dengan nekat berusaha untuk melindungi diri dan
memutar golok mereka diseling pukulan tangan kiri yang telah
berubah merah. Akan tetapi, semua pertahanan mereka bobol
karena datangnya serangan bertubi dan sambung-menyambung
dari delapan orang lawan mereka.
Akhirnya, pedang di tangan Liok San yang tangkas itu berhasil
melukai lutut kiri Thai-kwi. Orang pertama dari Thai-san Ngo-kwi
ini terpelanting dan segera para pengeroyoknya menghujankan
senjata mereka sehingga dia tidak dapat bangun kembali, tewas
dengan tubuh penuh luka! Melihat ini, tiga orang adiknya menjadi panik, juga marah dan
nekat. Namun, tentu saja mereka menjadi semakin lemah dengan
robohnya orang pertama dari mereka.
Ang-hwa dan Pek-hwa, dua orang pembantu Liong-li, yang paling
ganas di antara para pengeroyok itu karena merasa sakit hati
melihat rekan-rekannya tewas dalam keadaan menyedihkan,
segera berhasil merobohkan dua orang lagi, yaitu Su-kwi dan
Ngo-kwi yang begitu roboh juga menjadi makanan banyak senjata
sehingga merekapun tewas seketika. Tinggal Ji-kwi dan tentu
saja dia tidak mampu bertahan dan diapun roboh dan tewas
dengan tubuh rusak. Tewasnya empat orang dari Thai-san Ngo-kwi ini disambut sorak
sorai para perajurit, dan tentu saja tiga orang Iblis Tua menjadi
semakin gentar dan panik.
336 Pek-bwe Coa-ong yang melawan Hek-liong-li merasa gentar
bukan main. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya,
mengeluarkan semua ilmunya, namun gulungan sinar hitam dari
pedang Hek-liong-li hebat bukan main. Ilmu yang dia andalkan,
yaitu memanggil barisan ular untuk membantunya, saat itu tidak
dapat dia pergunakan. 09.26. . . . 09.26. Akhir Petualangan Sepasang Naga
. . . Kedua ujung tongkatnya yang terbuat dari ular berekor putih yang
sudah mengering dan keras, juga beracun, sudah retak-retak
beradu dengan pedang Hek-liong-kiam dan napasnya mulai
terengah. Biarpun tingkat kepandaiannya seimbang dengan
tingkat kepandaian Liong-li, namun usianya yang sudah cukup
tua itu membuat dia kalah dalam daya tahan dan sudah mulai
loyo dan terengah. Tiba-tiba, teringat akan senjata terakhir andalannya, tangan
kirinya merogo ke dalam baju, kemudian begitu tangan itu
bergerak, nampak sinar putih berdesis menyambar ke arah leher
Liong-li. Wanita perkasa ini terkejut karena benda itu menyambar
dari jarak dekat ke arah lehernya.
Ia mencium bau yang amis sekali dan saat itu, tongkat lawan
menusuk ke arah lambungnya. Cepat ia miringkan tubuhnya dan
pedangnya menyabet ke arah benda putih yang menyambar ke
arah lehernya itu. "Crakk!" Darah menetes dan benda itu putus menjadi dua potong.
337 Benda itu ternyata seekor ular sebesar jari kelingking. Potongan
bagian ekor jatuh ke bawah, akan tetapi bagian kepala terlempar
ke samping dan meluncur ka arah Cian Hui yang sedang
mengeroyok Ang I Sian-li.
Cian Hui dan isterinya belum berhasil mendesak Ang I Sian-li
yang amat lihai. Suami isteri ini terutama sekali harus berhati-hati
terhadap tangan kiri iblis betina itu yang tamparannya lebih
berbahaya dari pada sambaran pedangnya.
Kadang-kadang, iblis betina itu menyatukan kedua pedang di
tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menampar-nampar,
mengeluarkan hawa yang berbau busuk seperti bangkai dan
tangan itu berubah merah sekali. Karena maklum bahwa tangan
kiri itu mengandung racun berbahaya, maka Cian Hui dan Cu Sui
In berhati-hati sekali. Pada saat mereka berdua masih saling serang dengan Ang I
Sian-li, tiba-tiba ada benda putih menyambar ke arah Cian Hui.
Perwira itu terkejut, cepat menggerakkan suling baja di tangannya
menangkis atau memukul ke arah benda itu, memukul agar
benda yang tidak diketahuinya apa itu membelok ke arah
lawannya. "Plakk!" Tangkisannya berhasil dan benda itu dengan kecepatan
kilat kini menyambar ke arah Ang I Sian-li. Wanita ini tidak tahu
benda apa itu, maka ia yang sedang menggunakan tangan kiri
untuk menyerang kedua orang pengeroyoknya cepat menangkap
benda putih itu dengan tangan kirinya yang ampuh.
338 Tiba-tiba Ang I Sian-li menjerit dan roboh terjengkang! Kiranya
benda putih itu adalah potongan ular bagian kepala dan setengah
badannya, ketika ditangkapnya, ular yang bagian bawah dan
ekornya sudah buntung itu langsung menggigit tangan yang
menangkapnya. Begitu tergigit, hawa panas yang tak tertahankan
lagi menyusup ke dalam tubuh Ang I Sian-li dan iapun roboh,
menjerit-jerit dan berkelonjotan!
Cian Hui dan isterinya saling berpegang tangan dan hanya berdiri
memandang dengan mata terbelalak ngeri, namun siap dengan
senjata mereka menghadapi segala kemungkinan.
Akan tetapi, Ang I Sian-li tidak mungkin dapat menyerang mereka
lagi. Wanita itu berkelonjotan sambil terus menjerit-jerit seperti
orang gila, dan yang mengerikan sekali, tangan yang tergigit tadi,
yang tadinya berwarna merah sekali, kini berubah putih! Warna
putih menjalar naik dan akhirnya Ang I Sian-li tewas dengan
tubuh berubah putih seperti kapur!
Melihat betapa iblis betina itu tewas, tentu saja Kim Pit Siu-cai
dan Pek-bwe Coa-ong menjadi semakin panik dan gentar.
Terutama sekali Pek-bwe Coa-ong yang sudah kehilangan ular
putih yang ampuh tadi. Ular putih yang dijadikan senjata rahasia
itu, tidak dapat membunuh Liong-li, bahkan telah membunuh
rekannya sendiri, Ang I Sian-li.
Matinya Ang I Sian-li merupakan peristiwa kebetulan, dan
agaknya memang sudah tiba saatnya ia menerima hukuman atas
semua kejahatannya yang amat keji dan kejam. Mungkin saja ular
339 putih itu penjelmaan seorang di antara bayi-bayi yang dihisap
darahnya sampai habis olehnya.
Mungkin karena ngeri melihat kematian Ang I Sian-li, tiba-tiba Kim
Pit Siu-cai mengeluarkan kipasnya yang lebar. Justeru saat inilah
yang dinanti-nanti dengan penuh kewaspadaan oleh Pek-liong.
Begitu lawan mencabut kipas, sebelum kipas dikembangkan,
terutama sebelum kipas dapat. mengeluarkan jarum-jarum
beracunnya yang pernah melukai punggungnya, pedang Pekliong-kiam berkelebat dan menyambar dengan sangat cepat dan
dahsyat! Kim Pit Siu-cai menjadi terkejut dan karena pedang yang menjadi
sinar putih menyambar dari sebelah kiri, otomatis diapun
mengangkat kipas untuk menangkis.
"Crakkkk!" Kipas itu patah-patah menjadi beberapa potong!
Kim Pit Siu-cai terkejut dan cepat tangan kanannya bergerak.
Sebatang di antara kedua mouw-pit di tangan kanan itu meluncur
ke arah dada Pek-liong. Namun pendekar ini dapat melompat ke samping untuk
menghindarkan diri dan kesempatan itu dipergunakan oleh Kim
Pit Siu-cai untuk melompat pula ke atas panggung yang didirikan
anak buahnya dan yang sedianya akan dipergunakan untuk
melakukan sembahyangan besar dengan korban sembilan orang
tawanan itu. 340 Pada saat yang bersamaan, Pek-bwe Coa-ong yang sudah jerih
itupun melompat ke atas panggung mengikuti perbuatan
rekannya. Kini keduanya telah melompat ke atas panggung itu.
"Jahanam tua, kalian tak dapat lolos dari tangan kami!" bentak
Liong-li dan Pek-liong yang mengejar ke panggung.
"Ha-ha-ha, siapa bilang kami tidak dapat lolos" Mari, Coa-ong!"
kata Kim Pit Siu-cai dan kedua orang Iblis Tua itu berpegang
tangan lalu keduanya meloncat ke bawah tebing jurang di mana
kemarin Liong-li dan Pek-liong terjerumus!
"Ah, celaka, mereka dapat meloloskan diri!" kata Cian Hui sambil
menjenguk ke bawah. Akan tetapi Pek-liong dan Liong-li saling pandang dan tersenyum,
"Mereka tidak akan lolos, Ciang-kun. Sekarang juga mereka telah
tewas dengan tubuh remuk. Tebing jurang ini teramat dalam dan
kami berdua kemarin juga terjatuh ke situ, hanya Tuhan belum
menghendaki kami tewas, maka kebetulan saja kami dapat lolos
dari maut." Akan tetapi Cian Hui masih belum yakin, maka atas petunjuk Pekliong dan Liong-li, dia menyuruh seregu pasukan untuk
memeriksa di bawah sana, melalui jalan mengitari bukit.
Keadaan menjadi sunyi setelah pertempuran berakhir. Cian Hui
mengatur pasukan. Setelah menyingkirkan mayat-mayat, lalu
menggiring puluhan orang anak buah gerombolan sebagai
tawanan, kembali ke kota raja.
341 Ketika Cian Hui mengajak sepasang pendekar itu untuk ikut
berkunjung ke kota raja, mereka menolak dengan halus. "Harap
Ciang-kun pergi dulu, lain hari pasti kami berdua akan
berkunjung." Song Tek Hin dan isterinya, Su Hong Ing, dengan berbahagia
mengajak puteranya, Song Cu, pulang dan keluarga ini tentu saja
merasa berbahagia bukan main setelah terbebas dari ancaman
maut, terutama atas diri putera mereka. Mereka berpamit dari
Pek-liong dan Liong-li, dan meninggalkan tempat itu, bergabung
dengan pasukan agar lebih aman di dalam perjalanan.
Demikian pula dengan kakak beradik Kam. Dengan berat hati
mereka meninggalkan tempat itu setelah Pek-liong dan Liong-li
mengajak kakak beradik itu bicara berempat saja, dan sepasang
pendekar ini menasihatkan kepada kakak beradik itu untuk
membentuk rumah tangga dan mencari pasangan masingmasing.
"Harap kalian lenyapkan mimpi tentang diri kami berdua,"
demikian kata Pek-liong. "Dalam ke hidupan ini kami berdua tidak
dapat berjodoh dengan kalian berdua, mudah-mudahan saja
dalam kehidupan yang lain kita akan dapat saling berjodoh."
Terpaksa kakak beradik itupun pergi dan Kam Cian Li pergi
dengan kedua mata basah air mata. Namun kini mereka yakin
bahwa sepasang pendekar itu bukan jodoh mereka dan mereka
tidak perlu mengharapkan. Merekapun mengambil keputusan
untuk memilih jodoh mereka, karena sesungguhnya, banyak
sudah pemuda yang meminang Cian Li, dan banyak pula gadis342
gadis yang menaksir Sun Ting yang masih muda, gagah, tampan
dan kaya raya itu. Kini hanya tinggal Pek-hwa dan Ang-hwa, juga kedua orang
pembantu Pek-liong, yang masih berada di tepi tebing itu. Mereka
memandang kepada sepasang pendekar itu penuh pertanyaan
dan menanti perintah. Pek-liong kembali saling pandang dengan Liong-li. Pek-liong
Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkata kepada kedua orang pembantunya, suaranya
mengandung keharuan karena kini hanya tinggal dua orang itulah
pembantunya. "Kalian turunlah dulu, tinggalkan aku di sini."
Liong-li juga berkata cepat kepada kedua orang pembantunya.
"Pek-hwa dan Ang-hwa, kalian pulanglah dulu, tinggalkan kami
berdua di sini sejenak."
Empat orang itu agaknya memaklumi bahwa sepasang pendekar
itu ingin bercakap-cakap tanpa gangguan siapapun, maka
merekapun mengangguk dan segera mereka berempat menuruni
tempat itu. Matahari telah lewat tengah hari, mulai condong ke barat.
Suasana hening sekali setelah tadi tempat itu menjadi medan
laga. Pek-liong dan Liong-li masih berdiri memandang sampai
keempat orang pembantu mereka tak nampak lagi bayangannya.
Kemudian mereka saling pandang. Dua pasang sinar mata itu
saling pandang, seperti baru pertama kali mereka saling
pandang, pandang mata itu bertaut dan sungguh aneh, mereka
merasa betapa jantung mereka berdebar keras. Mereka seolah343
olah menemukan sesuatu dalam wajah mereka masing-masing,
sesuatu yang tak pernah mereka lihat atau rasakan.
"Liong-li......"
"Pek-liong......"
Keduanya berdiam diri lagi. Kemudian Pek-liong menghela napas
panjang, lalu berkata lembut. "Liong-li, mari kita duduk. Aku ingin
mengatakan sesuatu kepadamu."
Mereka duduk di atas batu, berhadapan, kembali saling tatap.
Liong-li mengangguk karena ia dapat merasakan apa yang
dirasakan Pek-liong. "Akupun ingin mengatakan sesuatu
kepadamu, Pek-liong."
"Liong-li, ada sesuatu yang terjadi dalam hati kita berdua.
Benarkah itu?" Liong-li hanya memandang dan mengangguk. Ah betapa mereka
sudah dapat membaca isi hati masing-masing! Sesungguhnya,
tanpa bicarapun mereka dapat merasakan apa yang dirasakan
pihak lain! "Sejak di dasar jurang itu?" Pek-liong ingin yakin.
Liong-li mengangguk. "Engkau menangisi aku, Liong-li?"
344 Liong-li mengangguk. "Melihat engkau mati, dunia seperti kiamat
bagiku, Pek-liong, dan aku menyadari bahwa tanpa engkau, aku
tidak mungkin dapat bertahan hidup. Perasaanku hancur lebur
melihat engkau yang kusangka mati."
Pek-liong mengangguk. "Dan ketika itu aku bermimpi, kita berdua
mendayung perahu, mengarungi samudera luas, hanya kita
berdua...... dan ketika aku sadar dan melihatmu, ahhh, aku
mengerti, Liong-li. Aku...... pada saat itu...... sampai sekarang
aku...... timbul cintaku melihatmu!"
"Aku mengerti, Pek-liong. Selama ini kita saling merindukan, akan
tetapi kita mencoba untuk melepas kerinduan itu melalui orang
lain. Betapa bodohnya kita ini, kita saling merasa malu untuk
mengakui kenyataan itu. Atau kita terlalu sombong?" Ia
tersenyum dan Pek-liong juga tersenyum.
"Kini terasa sekali olehku. Kita saling mencinta, Liong-li. Bukan,
bukan cinta yang kita paksakan seperti sebelum ini, kita
memaksa diri bahwa kita mencinta hanya sebagai sahabat setia,
sehidup semati, saling bantu dan saling melindungi. Tidak, kita
saling mencinta, lebih dari itu. Kita saling bersatu! Bukan begitu"
Seharusnya kita sejak dahulu bersatu......"
"Engkau benar, Pek-liong. Baru sekarang kusadari, atau pada
saat engkau kusangka mati kemarin. Seharusnya sejak dahulu
kita berani mengakui itu, saling mencinta sebagai seorang pria
dan seorang wanita. Andaikata dahulu demikian, kiranya kita
tidak menjadi petualang seperti sekarang, menanam banyak bibit
permusuhan, bahkan menyeret orang lain."
345 "Sudahlah, yang sudah biarkan lalu. Belum terlambat, bukan"
Nah, Hek-liong-li Lie Kim Cu, sebagai seorang yang sejak dahulu
jatuh cinta padamu, sekarang aku meminangmu. Maukah engkau
menjadi isteriku?" Mereka saling pandang, akan tetapi tidak seperti yang sudahsudah. Dalam pandang mata itu, selain saling pengertian,
terdapat kemesraan yang sedalam samudera dan kedua mata
Liong-li perlahan-lahan menjadi basah! Air mata berlinang di
matanya. Linangan air mata seorang wanita yang mendambakan
pria yang dicintanya. Ia menggangguk.
"Dengan bahagia aku mau menjadi isterimu, Pek-liong-eng Tan
Cin Hay!" Dan keduanya merasa geli, merasa lucu, lalu entah siapa yang
bergerak lebih dahulu, keduanya sudah saling rangkul dan
bertemu dan bersatunya kedua hati itu diwakili bibir mereka
dalam ciuman yang mesra. Betapa anehnya! Sepasang pendekar yang amat lihai, yang amat
cerdik, sebelum ini demikian bodohnya sehingga mereka tidak
pernah mau mengakui kenyataan bahwa mereka saling mencinta,
saling mendambakan, saling merindukan! Baru sekarang mereka
tahu bahwa masing-masing tidak pernah dapat mencinta pria
atau wanita lain, walaupun mereka coba untuk mencari
penggantinya. Menjelang senja, sambil bergandeng tangan, Pek-liong dan
Liong-li menuruni lembah Bukit Hek-san itu. Ketika mereka
melihat empat orang itu menghadang dengan sikap hormat,
346 mereka tidak merasa heran, juga tidak saling melepaskan
gandengan tangan mereka. Mereka memandang, dan ternyata
dua orang pembantu Pek-liong dan dua orang pembantu Liong-li
kini telah menjadi dua pasang!
"Eh, kalian belum pulang, Ang-hwa dan Pek-hwa ?" tanya Liongli.
"Harap li-hiap memaafkan kami. Kami telah mengambil keputusan
untuk tidak kembali ke rumah Li-hiap. Maafkan kami berdua......"
kata Ang-hwa, mewakili Pek-hwa yang hanya menunduk saja.
"Hemmm.....?" Liong-li tidak marah, melainkan memandang
kepada Pek-liong dan keduanya seperti dapat memaklumi.
"Tai-hiap, kami berdua juga mengambil keputusan untuk pulang
ke dusun kami masing-masing, tidak pulang ke rumah tai-hiap.
Maafkan kami," kata seorang di antara dua orang pembantu Pekliong.
"Kalian akan...... menikah?" Pek-liong dan Liong-li bertanya,
hampir berbareng. Dua pasang orang muda itu mengangguk dan menunduk, muka
mereka berubah merah sekali.
Pek-liong dan Liong-li tertawa bergelak, masih saling berpegang
tangan, tertawa geli dan juga bahagia.
347 "Kiong-hi (selamat)!" kata Pek-liong kepada dua orang
pembantunya, "Aku girang sekali mendengar berita ini dan tentu
saja aku setuju sepenuhnya."
"Akan tetapi, kalian tidak boleh mendahului kami, Ang-hwa dan
Pek-hwa. Aku ingin kalian menjadi pengapitku kalau aku
melangsungkan pernikahanku!" kata Liong-li.
Ang-hwa dan Pek-hwa terkejut dan cepat mengangkat muka,
memandang wajah nona mereka dengan mata terbelalak.
Pek-liong tersenyum dan berkata kepada dua orang
pembantunya. "Kalian berdua juga harus bersabar dan sebelum
menikah, harus lebih dulu menjadi pengapitku. Setuju?"
Kini mereka berempat mengerti. Ang-hwa dan Pek-hwa lupa
bahwa mereka adalah bekas pembantu dan pelayan Liong-li.
Keduanya menubruk dan merangkul nona mereka, menciumi
dengan air mata bercucuran akan tetapi sambil tertawa-tawa!
Juga kedua orang pembantu Pek-liong segera memberi selamat
kepada bekas majikan mereka.
Akhirnya, mereka saling berpisah. Seperti telah mereka sepakati
bersama, Pek-liong akan pulang ke rumahnya sendiri bersama
dua orang pembantunya, juga Liong-li akan pulang ke rumahnya
sendiri bersama Ang-hwa dan Pek-hwa. Akan tetapi Pek-liong
akan singgah di rumah Cian Ciang-kun karena hanya perwira
sahabat baik mereka itulah yang dapat mereka mintai tolong
untuk menjadi wali dan perantara, juga yang mengatur semua
keperluan pesta pernikahan antara Pek-liong-eng dan Hek-liongli!
348 Demikianlah, selesai sudah kisah petualangan Pendekar Naga
Putih dan Nona Naga Hitam itu. Mereka menjual rumah masingmasing, setelah menjadi suami isteri mereka pindah tinggal di
lereng sebuah bukit yang indah dan sunyi, dekat Telaga Barat,
hidup dalam keadaan tenteram dan penuh damai karena mereka
tidak lagi mencampuri urusan dunia kang-ouw yang penuh
dengan kekerasan dan permusuhan. Mereka seolah hendak
menebus semua kehilangan masa lalu dan tenggelam dengan
kebahagiaan mereka berdua.
Semoga kisah ini ada manfaatnya bagi kita semua dan sampai
jumpa di lain kisah. T A M Lereng Lawu, akhir September 1985.
A T 349 Bukit Pemakan Manusia 1 Serigala Dari Kunlun Long Cu Ya Sim Karya Kwao La Yen Misteri Lukisan Tengkorak 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama