Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana Bagian 5
besar Singasari itu telah sampai di Kademangan
Tasikmadu. Seribu prajurit yang dipimpin oleh Pangeran Ardharaja
yang lebih dulu sampai ternyata sudah membuat
beberapa barak darurat serta dapur umum yang
diperlukan "Selamat datang di Kademangan Tasik Madu", berkata Ki
Demang Tasik Madu menyambut kedatangan Raden
Wijaya dan rombongannya. Terlihat Raden Wijaya, Ranggalawe dan Kuda Cemani
tengah menaiki tangga pendapa rumah Ki Demang Tasik
304 Madu. "Selamat bergabung dan terima kasih telah membuat
persiapan awal", berkata Raden Wijaya kepada
Pangeran Ardharaja yang sudah ada dipendapa rumah
Ki Demang. "Hanya itu yang dapat kami lakukan sambil menunggu
tuan Senapati", berkata Pangeran Ardharaja yang
usianya lebih muda dari Raden Wijaya.
"Para prajurit harus beristirahat yang cukup hari ini agar
mereka siap menghadapi pertempuran besok", berkata
Raden Wijaya. "Para prajurit pengawal Kademangan siap ikut serta
bahu-menbahu dibelakang tuan Senapati", berkata Ki
Demang Tasik Madu kepada Raden Wijaya.
"Terima kasih, kepedulian penduduk Kademangan ini
sebuah jasa yang sangat besar, dan kami tidak akan
melupakannya", berkata Raden Wijaya kepada Ki
Demang. Sementara itu diwaktu yang hampir sama, di lereng
gunung Rejo telah berhamburan para prajurit Tanah
Gelang-gelang yang nampaknya begitu lelah setelah
melakukan perjalanan panjang.
"Kita buat barak perkemahan yang besar, agar mereka
menyaksikannya", berkata Patih Kebo Mundarang
kepada Senapati Jaran Guyang.
Terlihat Senapati Jaran Guyang memanggil beberapa
perwiranya untuk melaksanakan apa yang diperintahkan
Patih Kebo Mundarang untuk membuat barak
perkemahan yang besar. Demikianlah, beberapa prajurit Tanah Gelang-gelang
tanpa menghiraukan rasa lelahnya telah membangun
305 barak perkemahan yang cukup besar.
Dan semua itu tidak pernah luput dari pengamatan para
petugas telik sandi Singasari yang telah disebar untuk
mengamat semua gerak gerik pihak musuh.
"Mereka tengah membuat barak perkemahan yang cukup
besar, namun mereka tidak membawa persediaan
makanan yang cukup", berkata Kuda Cemani kepada
Raden Wijaya di pendapa rumah Ki Demang Tasik Madu.
"Mungkin mereka terlalu yakin dengan pasukannya yang
besar akan dapat dengan cepat memenangkan
pertempuran ini", berkata raden Wijaya memberikan
pandangannya. "Aku berpikir lain", berkata Kuda Cemani kepada raden
Wijaya. "Apa yang ada dalam pikiran Paman Kuda Cemani?",
bertanya Raden Wijaya kepada Kuda Cemani.
"Aku berpikir bahwa mereka tidak bermaksud berperang
di padang Kalimayit ini", berkata Kuda Cemani.
"Mereka telah menurunkan seluruh pasukannya di
Gunung Rejo, dan besok mereka telah siap tempur",
berkata Ranggalawe ikut memberikan pandangannya.
"Itu hanya pemikiranku, melihat dari jumlah gudang
makanan yang mereka miliki", berkata Kuda Cemani.
"Semua keputusan kuserahkan kepada tuan Senapati",
berkata kembali Kuda Cemani.
Terlihat Raden Wijaya mencoba berpikir semua
kemungkinan yang bisa saja terjadi sebagaimana yang
dikatakan oleh Kuda Cemani.
Sementara itu tidak ada yang melihat sepintas
perubahan wajah Pangeran Ardharaja yang sedikit
306 terkejut dan diam-diam membenarkan semua pandangan
Kuda Cemani. "Orang tua ini ternyata punya pandangan
yang sangat kuat, dapat membaca apa yang dipikirkan
oleh pihak musuh", berkata Pangeran Ardharaja dalam
hati. "Aku belum dapat melihat kemungkinan itu, sampai saat
ini mereka masih sepenuhnya di Gunung Rejo", berkata
Raden Wijaya kepada Kuda Cemani.
Terlihat Pangeran Ardharaja menarik nafas lega, meresa
gembira bahwa Raden Wijaya tidak berpikir sebagaimana yang dipikirkan oleh Kuda Cemani.
Tapi Ranggalawe ternyata punya kepekaan yang cukup
tinggi, diam-diam merasa curiga dengan sikap Pangeran
Ardharaja. Tapi semua hanya disimpan dalam hati saja.
Takut dugaannya hanya sebuah kecurigaan yang tidak
mendasar. Sementara itu langit diatas Rumah Ki Demang
Tasikmadu sudah merayap mendekati senja. Suasana
menjadi begitu bening dan teduh. Terlihat para prajurit
mencari tempat bergerombol dibeberapa tempat hanya
sekedar beristirahat, atau sekedar menghangatkan
badan dengan bercanda bersama. Meski begitu mereka
masih memperlihatkan kesiagaan dan kewaspadaannya.
Ada sedikit ketegangan diantara wajah mereka, tapi
semua ketegangan itu akhirnya larut bersama canda dan
tawa mereka. Sepertinya mereka saat itu tidak akan
menghadapi sebuah peperangan yang besar, sepertinya
mereka dalam sebuah tamasya bersama. Begitulah cara
banyak para prajurit melupakan ketegangannya.
Akhirnya malam dengan cepatnya telah datang
menyergap, menggulung segenap pandangan dengan
gelapnya. Langit diatas Rumah Ki Demang Tasikmadu
307 sudah berubah berawan kelabu kelam tanpa satupun
bintang diatas sana. Sebagai tanda bahwa hujan akan
turun dimalam itu. Dan hujan pun akhirnya turun seperti suara bah, hujan di
ujung pergantian musim kemarau, hujan yang sudah
lama ditunggu. Tiba-tiba saja muncul di balik kegelapan
malam seorang prajurit naik keatas pendapa.
"Prajurit telik sandi", berkata Kuda Cemani dalam hati
yang mengenali salah seorang anak buahnya datang
disaat hujan masih deras mengguyur bumi.
"Hamba mohon ampun bila kedatangan hamba tidak
pada waktu yang tepat", berkata prajurit itu sambil
menjura penuh hormat. "Duduklah bersama kami Ki Lurah Batiek, pasti
kedatanganmu membawa berita yang tidak bisa
dihentikan oleh petir sekalipun", berkata Kuda Cemani
kepada prajuritnya yang dipanggilnya sebagai Ki Lurah
Bateik. Maka setelah prajurit yang dipanggil Ki Lurah Batiek itu
sudah duduk, sambil mengatur nafasnya yang masih
memburu langsung menyampaikan sebuah berita yang
membuat semua yang hadir saat itu terkejut bukan
kepalang. "Kami telah melihat pihak musuh tengah membangun
sebuah lumbung persediaan makanan di selatan
Kotaraja Singasari", berkata Ki Lurah Batiek dengan
nafas masih memburu. "Mereka telah menjebak kita, menggempur Kotaraja
Singasari disaat para penjaganya jauh meninggalkan
sarangnya", berkata Kuda Cemani yang langsung
menebak keinginan pihak musuh.
308 "Paman Kuda Cemani sudah dapat membaca, sebelum
berita ini datang", berkata Ranggalawe membenarkan
pendapat Kuda Cemani. "Berapa jarak perjalanan antara Gunung Rejo ke
lumbung itu?", bertanya Raden Wijaya yang telah
berusaha menenangkan dirinya.
"Antara matahari terbenam sampai datangnya kembali
fajar keesokan harinya", berkata Ki Lurah Batiek
memperkirakan jarak perjalanan.
"Ki Lurah Batiek, pergilah bersama beberapa kawanmu
ke Gunung Rejo. Berapa sisa prajurit pihak lawan yang
mereka tinggalkan disana", berkata Kuda Cemani
memerintahkan Ki Lurah Batiek.
"Mohon pamit, kami akan segera menyusup di sekitar
perkemahan lawan", berkata Ki Batiek yang langsung
berdiri dan melangkah menuruni anak tangga pendapa
meski hujan saat itu masih belum reda betul, masih turun
dalam gerimis yang panjang.
"Aku yang muda ini mohon petunjuk Paman Kuda
Cemani, apa yang selayaknya kita lakukan", berkata
Raden Wijaya yang diam-diam telah mengagumi
kekuatan pikiran pihak lawan.
"Aku hanya berpikir seperti pikiran seorang musuh,
seperti itulah aku berpikir", berkata Kuda Cemani dengan
suara yang datar. "Tuan Senapati adalah pemimpin
tertinggi disini, tuanlah yang harus menentukan langkah,
aku tidak berani melampau apa yang ada dalam
pundakku", berkata kembali Kuda Cemani dengan wajah
tenang penuh senyum, membiarkan Raden Wijaya
belajar menjadi pemimpin yang sesungguhnya.
"Terima kasih Paman telah mengingatkan keberadaan
309 diriku, tapi aku masih merasa muda dan masih perlu
nasihat Paman Kuda Cemani yang sudah banyak
menikmati rasa garam kehidupan yang lebih dariku",
berkata Raden Wijaya kepada Kuda Cemani.
"Keputusan ada padamu wahai tuan Senapati, aku hanya
memberi gambaran bahwa saat ini Kotaraja Singasari
dalam keadaan kosong tanpa penjaga", berkata Kuda
Cemani tidak bermaksud ingin menggurui, tapi
menyerahkan semua keputusan kembali kepada Raden
Wijaya. Sementara itu hujan diluar halaman rumah Ki Demang
sudah mulai reda, langit malam sudah mulai terlihat biru
sedikit berawan dengan beberapa kerlip bintang mulai
bermunculan bersama cahaya redup bulan bulat yang
masih buram terhalang awan tipis. Terlihat seorang
prajurit naik keatas pendapa, ternyata adalah Ki Batiek
yang telah kembali dari pengamatannya.
"Katakan apa yang kamu lihat", berkata Kuda Cemani
kepada Ki Batiek yang sudah duduk bersama di pendapa
rumah Ki Demang Tasikmadu.
"Mereka hanya meninggalkan seribu prajurit di Gunung
Rejo", berkata Ki Batiek menyampaikan apa yang dilihat
dan diamati di perkemahan pihak musuh.
"Terima kasih Ki Batiek, sekarang kamu beristirahatlah",
berkata Kuda Cemani kepada Ki Batiek yang langsung
berdiri dan pamit diri. Setelah Ki Batiek turun meninggalkan Pendapa, suasana
diatas pendapa sepertinya menjadi begitu lengang,
nampaknya semua yang ada diatas pendapa tengah
berpikir keras atau ada dalam pikirannya masing-masing.
"Aku akan menghajar sisa musuh yang ada di Gunung
310 Rejo, sementara Pangeran Ardharaja kuharapkan dapat
kembali membawa pasukannya ke Kotaraja Singasari",
berkata Raden Wijaya memecahkan suasana keheningan diatas pendapa.
"Malam ini?", bertanya Pangeran Ardharaja cukup kaget
mendengar keputusan Raden Wijaya.
"Benar, bawalah seribu pasukanmu malam ini juga.
Kupercayakan pasukanmu dan pasukan yang masih ada
di Kotaraja untuk menahan musuh", berkata Raden
Wijaya kepada Pangeran Ardharaja."Kami akan datang
secepatnya setelah membantai pasukan musuh di
Padang Kalimayit itu", berkata kembali Raden Wijaya.
"Keputusan tuan Senapati adalah perintah, aku akan
membawa pasukanku ke Kotaraja", berkata Pangeran
Ardharaja sambil berdiri dan pamit diri melangkah
menuruni tangga pendapa rumah Ki Demang.
Demikianlah, tidak lama berselang terdengar riuh suara
prajurit yang berada dibawah pimpinan Pangeran
Ardharaja terlihat sudah mulai bergerak meninggalkan
Kademangan Tasik Madu. "Aku tidak percaya, apakah Pangeran Ardharaja dengan
suka hati menjaga Kotaraja", berkata tiba-tiba
Ranggalawe yang sepertinya merasa keberatan dengan
keputusan Raden Wijaya. Namun baru disampaikannya
setelah Pangeran Ardharaja tidak ada diatas pendapa
rumah Ki Demang Tasikmadu.
"Aku juga tidak mempercayainya, itulah sebabnya
kuminta dirinya untuk kembali ke Kotaraja", berkata
Raden Wijaya kepada Ranggalawe.
"Aku jadi semakin tidak mengerti", berkata Ranggalawe
kepada Raden Wijaya. 311 "Aku hanya tidak ingin pasukanku bercampur dengan
para prajurit yang pimpinannya sangat kuragukan
kesetiannya", berkata Raden Wijaya menjelaskan
keputusannya itu. "Ternyata kita punya penilaian yang sama atas Pangeran
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ardharaja, aku juga akan melakukan hal yang sama
seandainya berdiri sebagaimana dirimu", berkata Kuda
Cemani kepada Raden Wijaya.
"Paman Kuda Cemani pasti tidak hanya sekedar
menduga, pasti sudah mendengar lewat para telik sandi
siapa Pangeran Ardharaja dan pasukannya itu", berkata
Raden Wijaya kepada Kuda Cemani.
"Ternyata telinga Raden sangat tajam, kami memang
sudah lama membayangi pasukannya", berkata Kuda
Cemani kepada Raden Wijaya. "Pangeran Ardharaja
dengan kekayaannya telah membeli kesetiaan para
prajurit Singasari", berkata kembali Kuda Cemani dengan
wajah buram. "Begitu murahnya sebuah kesetiaan", berkata Ki Demang
Tasikmadu ikut memberikan pandangannya.
"Begitulah gambaran wajah para prajurit Singasari di
Kotaraja, mereka sudah begitu rapuh karena arah tujuan
hidup mereka telah berpaling, kemewahan sebagai
kebanggaan hidup, saling berlomba untuk mengumpulkan kekayaan sepertinya dunia abadi",
berkata Kuda Cemani memberikan gambaran tentang
kehidupan para prajurit dan penduduk di kotaraja
Singasari. "Semoga kami para orang desa tidak tercemar, bakti
kami pada junjungan kami Maharaja Singasari adalah
ungkapan rasa syukur kami atas limpahan alam dari
Gusti Yang Maha Tunggal, dan hati kami masih bersih
312 dan tidak akan terbeli oleh apapun", berkata Ki Demang
Tasikmadu. Sementara itu pasukan Pangeran Ardharaja sudah
semakin menjauh dari Kademangan Tasikmadu.
"Rencana kita untuk merusak pasukan Singasari tidak
terwujud", berkata orang kepercayaan Pangeran
Ardharaja berkata kepada Pangeran Ardharaja
disampingnya ketika mereka bersama pasukannya
meninggalkan Kademangan Tasikmadu.
"Ternyata Raden Wijaya seperti sudah dapat membaca
arah pikiranku", berkata Pangeran Ardharaja dengan
wajah penuh kecewa. "Tapi kita sudah dapat merusak persediaan makanan
mereka", berkata orang kepercayaannya itu kepada
Pangeran Ardharaja. "Jadi kamu telah melakukannya?", berkata Pangeran
Ardharaja kepada orang kepercayaannya.
"Kami telah melakukannya, mereka akan mati sebelum
sempat bertempur", berkata orang kepercayaannya itu
yang disambut oleh tawa yang panjang oleh Pangeran
Ardharaja. "Kita masih dapat berbuat yang lebih pahit lagi,
menghambat pasukan Senapati muda itu untuk tertahan
diperjalanan", berkata Pangeran Ardharaja kepada orang
kepercayaannya itu "Dengan cara apa?", bertanya orang kepercayaannya itu
menjadi penasaran "Nanti akan kujelaskan", berkata Pangeran Ardharaja
kepada kawannya itu sambil menghentakkan kakinya
keperut kuda agar berjalan lebih cepat lagi.
313 Terlihat orang kepercayaan Pangeran Ardharaja
memberi tanda kepada pasukannya untuk berjalan lebih
cepat lagi. Kabut drama sandiwara diatas bumi Singasari memang
telah begitu menghujam menyelimuti wajah Kotaraja
Singasari, kesetiaan menjadi barang murah. Keculasan
dan kelicikan para pejabat istana sepertinya telah
menambah carut-marut wajah Kotaraja Singasari.
Namun Gusti Yang Maha Agung ternyata masih menjadi
Sang Dalang Yang Maha Sempurna, telah menghadirkan
seorang prajurit muda yang masih bersih, masih punya
hati dan kesetiaannnya. Prajurit muda itu bernama Barayudha, seorang prajurit
muda yang baru saja lulus dari sebuah pendadaran. Dan
tidak satupun para penguji pendadaran itu yang
mengetahui bahwa sesungguhnya pemuda itu adalah
putra dari Sri Baginda Maharaja Kertanegara dari salah
seorang selirnya. Barayudha memang telah menyadari, bahwa dirinya tidak
punya hak apapan atas darahnya, hanya karena terlahir
dari seorang selir Raja, ibundanya yang sangat
mencintainya. Tanpa sepengetahuan Barayudha, ibundanya telah
mengatur Barayudha agar bergabung bersama pasukan
yang dipimpin oleh Pangeran Ardharaja, mungkin karena
ibundanya itu melihat para prajurit di bawah pimpinan
Pangeran Ardharaja lebih sugih, lebih makmur dari
prajurit di bawah kesatuan lainnya.
Demikianlah prajurit muda Barayudha akhirnya bersama
pasukan Pangeran Ardharaja itu ikut ke Kademangan
Tasikmadu. 314 Ketika pasukan itu meninggalkan Kademangan
Tasikmadu, prajurit muda Barayudha juga ikut bersama
diantara para prajurit yang sudah tidak punya kesetiaan
pada Singasari Raya. Hati dan perasaan prajurit muda Barayudha seperti
dalam kebimbangan, seperti tengah diaduk-aduk oleh
suasana hati seorang diri kemana mengarahkan
kesetiaannya. Namun prajurit Barayudha masih saja
tidak bisa keluar, masih terbawa langkah kakinya, masih
berada di kesatuannya. Akhirnya prajurit Barayudha mulai dapat memberontak,
sudah dapat menentukan kemana arah kesetiaannya
diabdikan. "Aku hanya putra seorang selir, tapi darahku tetap darah
Raja Singasari!!", berkata dalam hati Barayudha sambil
menggeretakkan giginya menyatukan semangat didalam
dirinya. Akhirnya dalam sebuah kesempatan, manakala
Pangeran Ardharaja menghentikan langkah pasukannya
di sebuah jalan yang diapit oleh sebuah hutan yang
cukup lebat. Parajurit muda Barayudha terlihat tanpa
sepengetahuan siapapun menyelinap di kekegelapan.
Kemana tujuan prajurit muda Barayudha itu"
Terlihat dikegelapan malam arah langkah kaki Barayudha
ternyata kembali kearah Kademangan Tasikmadu.
Hari memang sudah jauh larut malam ketika tiga orang
orang prajurit yang tengah meronda melihat seorang
lelaki muda berjalan di kegelapan.
"Aku mengenalmu sebagai prajurit dari kesatuan
pasukan Pangeran Ardharaja?", berkata salah seorang
dari prajurit yang meronda itu kepada seorang lelaki
315 prajurit yang tidak lain adalah Barayudha ketika mereka
sudah saling mendekat. "Aku memang prajurit dari kesatuan itu, aku membawa
berita yang amat sangat penting. Antarkan aku kepada
Senapatimu", berkata Barayudha kepada tiga orang
prajurit itu. Mendengar bahwa Barayudha membawa berita yang
amat sangat penting, tanpa bertanya apapun ketiga
orang prajurit Singasari itu telah membawa Barayudha
kehadapan Senapatinya, Raden Wijaya.
Beruntung bahwa Raden Wijaya masih belum
beristirahat, masih tengah terlihat berbincang-bincang
bersama Ki Demang, Ranggalawe dan Kuda Cemani.
Terlihat ketiga orang prajurit Singasari dan Barayudha
sudah memasuki halaman rumah Ki Demang Tasikmadu.
Namun hanya seorang saja dari ketiganya yang terus
berjalan bersama Barayudha ketika mereka sudah
mendekati anak tangga pendapa rumah Ki Demang
Tasikmadu. "Maafkan hamba, bersama hamba adalah seorang
prajurit pasukan Pangeran Ardharaja, katanya akan
menyampaikan berita yang amat sangat pentingnya",
berkata seorang prajurit itu yang datang bersama
Barayudha sampai keatas Pendapa rumah Ki Demang
Tasikmadu. Hanya mendengar pasukan Pangeran Ardharaja,
perkataan itu sudah cukup mengejutkan hati dan pikiran
semua yang ada diatas pendapa rumah Ki Demang
Tasikmadu itu. "Kembalilah ketempat tugasmu, biarlah prajurit ini sendiri
disini", berkata Ranggalawe kepada seorang prajurit
316 Singasari yang datang mengantar Barayudha.
Maka prajurit itupun terlihat pamit diri dan berdiri
melangkah kembali kearah tangga pendapa rumah Ki
demang Tasikmadu. "Berita peting apakah yang ingin kamu sampaikan",
berkata Raden Wijaya kepada Barayudha.
"Ampunkan hamba, bahwa sebenarnya hamba telah
melihat sendiri beberapa orang telah merusak dan
meracuni semua persediaan makanan", berkata
Barayudha kepada Raden Wijaya.
Bukan main terkejutnya semua yang ada di atas
pendapa rumah Ki Demang Tasikmadu itu.
"Aku akan membuktikan kebenaran ucapanmu wahai
prajurit", berkata Ranggalawe sambil berdiri dan
melangkah turun dari pendapa rumah Ki Demang
langsung menuju ketempat lumbung persediaan para
prajurit. Kehadiran Ranggalawe di lumbung tempat persediaan
makanan cukup menggegerkan para prajurit yang ada
disekitarnya. Maka bertambah gegerlah suasana malam itu ketika
Ranggalawe telah membuktikan kebenaran berita
Barayudha. "Bahan makanan ini telah tercemar racun, buang dan
jangan dipergunakan lagi", berkata Ranggalawe kepada
beberapa prajurit yang bertugas di dapur umum.
"Besok kita akan bertempur, dengan apa kita mengisi
perut kita?", bertanya seorang prajurit kepada kawannya
ketika Ranggalawe telah meninggalkan mereka kembali
kependapa Rumah Ki Demang Tasikmadu.
317 "Aku akan memerintahkan seluruh penduduk untuk
mengeluarkan lumbungnya malam ini juga", berkata Ki
Demang Tasikmadu kepada Raden Wijaya setelah
mendengar laporan dari Ranggalawe bahwa lumbung
persediaan untuk para prajurit sudah tercemar racun.
"Terima kasih Ki Demang, kami tidak akan melupakan
budi besar ini", berkata Raden Wijaya kepada Ki Demang
Tasikmadu. Sementara itu hujan diatas Kademangan
Tasikmadu nampaknya sudah benar-benar reda, hanya
menyisakan beberapa genangan ditanah becek dan
suara air jatuh dari daun-daun dan ranting ketika angin
menggoyangkannya. Demikianlah, beberapa prajurit terlihat hanya tidur ayam.
Mereka memang tidak dapat langsung terpulas, hati dan
pikiran mereka banyak ditujukan pada peperangan yang
akan mereka temui esok hari, hati dan pikiran mereka
seperti terus berjaga, sukar sekali untuk memejamkan
mata, apalagi tidur nyenyak.
Dan malam pun terus berjalan bersama langit dan bulan
pucat tersamar awan hitam yang terus berjalan ditiup
arah angin terburai atau bergabung menjadi bentuk awan
baru. Lama langit malam mencari datangnya warna pagi,
Akhirnya diujung sepi, terlihat semburat warna merah
mengintip di ujung timur lengkung langit. Tidak jauh dari
rumah Ki Demang Tasikmadu, beberapa prajurit yang
bertugas di dapur umum sudah lebih dulu bangun
mendahului kawan-kawannya yang baru merasakan
kantuk yang sangat setelah diawal dan sepanjang malam
begitu sulitnya untuk memejamkan matanya.
Dan pagi itu terdengar suara genderang, sebuah
pertanda bahwa seluruh prajurit yang ada di
318 Kademangan Tasikmadu untuk mempersiapkan dirinya,
mempersiapkan senjatanya masing-masing, juga mempersiapkan dirinya untuk siap menghadapi
pertempurannya, secara lahir dan bathin.
"Semalam aku bermimpi Juminten yang pernah menolak
cintaku datang meminta maaf", berkata seorang prajurit
kepada kawannya sambil menyarungkan pedangnya dan
meyakinkan bahwa sarung pedangnya telah terikat
dengan sempurna di pinggangnya.
"Bukankah kawannya. Juminten sudah menikah?", berkata "Namanya juga mimpi, mungkin besok bersambung
mimpiku dimana Juminten mengatakan cinta berat
kepadaku", berkata prajurit itu sambil tersenyum kepada
kawannya. "Benar, namanya saja mimpi. Bagaimana bila besok aku
yang bermimpi bersama Juminten?", berkata kawannya
itu dengan wajah menggoda.
"Kudatangi mimpimu, kuhajar kamu sampai babak belur",
berkata prajurit itu sambil mengepalkan tangannya ke
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
arah kawannya itu. Celoteh dua orang prajurit Singasari di Kademangan
Tasikmadu itu terhenti manakala terdengar suara
genderang kedua, sebuah tanda bahwa seluruh prajurit
sudah harus bergerak berkumpul dibawah kesatuannya
masing-masing. Dan jalan tanah di sepanjang Kademangan Tasikmadu
itu pun sudah dipenuhi para prajurit Singasari.
Dan ketika terdengar lagi suara genderang yang lebih
keras dan panjang, terlihat sebuah pasukan besar telah
berjalan menuju padang Kalimayit.
319 Pagi itu matahari seperti menjadi saksi di ujung timur
Padang Kalimayit, menyaksikan dua buah kubu pasukan
yang masing-masing sudah siap saling membentur. Dua
buah pasukan manusia yang berada berseberangan
jalan, berseberangan kepentingan. Namun sama-sama
mempertahankan pijakan yang sama, kehormatan
Rajanya. "Mereka menggelar perang Jaladri pasang", berkata
Raden Wijaya kepada Barayudha yang saat itu bertugas
sebagai pemegang rontek senapati, sebagai petugas
penyambung lidah senapati di saat peperangan.
"Persiapkan dirimu, kita akan segera merubah gelar
perang Diradameta menjadi Cakra Byuha disaat
benturan pertama", berkata kembali Raden Wijaya
kepada Barayudha yang melihat pasukan didepannya
tidak sebanding dengan jumlah bala prajurit Singasari
yang siap menggilas seperti sekumpulan gajah di padang
perburuan. "Mereka hanya menginginkan waktu kita tertunda menuju
peperangan yang sebenarnya", berkata Kuda Cemani
kepada Raden Wijaya yang saat itu berada
disampingnya. "Artinya kita harus menyelesaikan peperangan ini
secepatnya", berkata Raden Wijaya menanggapi
perkataan Raden Wijaya. Namun, secepat apapun Raden Wijaya untuk
menyelesaikan peperangan di padang Kalimayit itu,
semua sudah tidak ada artinya lagi. Karena di waktu
yang sama, Kotaraja Singasari sudah berubah porak
poranda, istana Singasari yang indah itu sudah berubah
menjadi tempat buangan sampah atas bangkai-bangkai
manusia yang bergelimpangan disana sini bersama bau
anyir darah yang bersimbah memenuhi setiap lorongnya.
320 Apa sesungguhnya yang telah terjadi di Kotaraja
Singasari" Ternyata Patih Kebo Mundarang adalah seorang yang
sangat cerdik, seorang yang punya kekuatan pikiran dan
siasat perang yang sangat cemerlang.
Patih Kebo Mundarang sudah dapat membaca pikiran
musuh yang telah memperkirakan pasukan yang
dibawanya dari Gunung Rejo baru akan tiba di awal saat
fajar. Kecemerlangan siasat Patih Kebo Mundarang adalah
mendahulukan lumbung persediaan makanan disebuah
tempat tidak jauh dari Kotaraja. Dengan cara itulah
perjalanan para prajuritnya menjadi ringan dan sangat
ringkas tanpa membawa apapun yang memberatkan.
Dan mereka telah tiba di selatan Kotaraja lebih cepat dari
apa yang diperkirakan siapapun, mereka telah tiba jauh
sebelum fajar tiba. Fajar masih mengintip lewat secercah noktah merah
diujung timur lengkung langit, disaat itulah bertebaran
seperti air bah para prajurit Tanah Gelang-gelang
dibawah pimpinan Kebo Mundarang masuk ke Kotaraja
dan memporok porandakan seluruh isi istana dimana
penghuninya masih terlelap tidur setelah semalaman
berpesta pora dalam sebuah upacara resmi.
Mimpi buruk !!, itulah yang dirasakan para penghuni
Kotaraja Singasari yang melihat kebiadaban para prajurit
Tanah Gelang-gelang yang mabuk kemenangan. Seluruh
harta penduduk di rampas dengan sesuka hati, rumahrumah mereka dibakar dibumi hanguskan.
Kotaraja Singasari telah berubah menjadi sebidang
padang hitam yang kering menyisakan puing-puing sisa
pembakaran, terlihat sebuah bangunan rumah kayu yang
321 hangus masih menyisakan sedikit asap dari sisa puing
kayu yang masih membara, disaat itulah Pasukan
Pangeran Ardharaja memasuki Kotaraja Singasari.
"Selamat datang wahai Pangeran Ardharaja, putra
junjunganku", berkata Patih Kebo Mundarang di istana
Singasari yang sudah dikuasainya.
"Aku meninggalkan pasukan Singasari dengan makanan
yang sudah kucemari racun, bila mereka masih hidup
setelah peperangan mereka di padang Kalimayit, aku
telah menyiapkan mereka hutan pembakaran yang akan
menghanguskan mereka sebelum tiba di Kotaraja
Singasari ini", berkata Pangeran Ardharaja kepada Patih
Kebo Mundarang tentang apa saja yang telah
dilakukannya guna menahan pasukan Raden Wijaya.
"Ayahmu pasti akan bangga dengan apa yang telah
kamu ciptakan, wahai anak harimau besar", berkata Patih
Kebo Mundarang kepada Pangeran Ardharaja dengan
penuh kebanggaan. "Dimana para keluarga Istana Singasari saat ini",
bertanya Pangeran Ardharaja kepada Patih Kebo
Mundaran. "Keluarga dan Raja Tumapel itu kami biarkan berada di
Pasanggrahan Ratu Anggabhaya, saat ini mungkin
mereka tengah menangis bersama", berkata Patih Kebo
Mundaran disertai tawanya yang meledak-ledak penuh
kebanggaan diri. "Aku akan kesana", berkata Pangeran Ardharaja kepada
Patih Kebo Mundarang yang masih tertawa panjang.
"Aku akan menunggu Pangeran, begitu seharusnya
seorang menantu mengunjungi orang tua mertua",
berkata kembali Patih Kebo Mundarang dengan masih
322 tertawa berkepanjangan. "Paman Patih menungguku untuk apa?", bertanya
Pangeran Ardharaja kepada Patih Kebo Ardharaja.
"Bukankah Pangeran telah membuat hutan pembakaran", disanalah kita akan melanjutkan pesta
terakhir kita", berkata Patih Kebo Mundarang kepada
Pangeran Ardharaja. "Jadi kita akan menyongsong mereka diluar Kotaraja?",
bertanya kembali Pangeran Ardharaja.
"Kita bermain dengan waktu dan nafas, disaat mereka
lelah dan tidak akan menyangka bahwa kita sudah
menunggu untuk membantai mereka di perjalanan",
berkata Patih Kebo Mundarang menyampaikan
siasatnya. "Sebuah siasat perang yang hebat, ayahku pasti bangga
punya patih seperti Pamanda", berkata Pangeran
Ardharaja sambil berpamit diri untuk menemui Ayah
mertuanya di Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Patih Kebo
Mundarang, seluruh keluarga istana saat itu memang
telah berkumpul di Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
Sebuah tempat di istana yang sangat disucikan oleh
semua orang. Konon ditempat itulah tersimpan segala
pusaka milik Raja Erlangga.
Terlihat Pangeran Ardharaja bersama beberapa
pengawalnya memasuki pintu gerbang Pasanggrahan
Ratu Anggabhaya. Di Pendapa utama Pasanggrahan
tengah berkumpul beberapa kerabat keluarga istana,
Ratu Anggabhaya, Lembu Tal serta Baginda Maharaja
Kertanegara. Pangeran Ardharaja sudah berada di bawah tangga
323 pendapa langsung menaiki anak tangga Pendapa Utama
Pasanggrahan Ratu Anggabhaya, sementara itu
beberapa pengawalnya terlihat berhenti sampai di anak
tangga pendapa utama. "Ampunkan ananda yang tidak mampu menjaga
keluarga", berkata Pangeran Ardharaja sambil duduk
bersujud dihadapan Baginda Maharaja Singasari.
"Harusnya saat ini kamu masih di Padang Kalimayit
bersama seluruh prajurit Singasari, membela kebesaran
dan harga diri Singasari Raya di Tanahnya sendiri",
berkata Maharaja Singasari dengan suara datar kepada
Pangeran Ardharaja yang masih bersujud dihadapannya.
"Raden Wijaya tidak menginginkan Ananda di
Peperangannya", berkata Pangeran Ardharaja memberikan alasan kenapa dirinya kembali ke Kotaraja
Singasari. "Raden Wijaya telah berlaku benar, itulah yang akan aku
lakukan seandainya aku berdiri sebagai seorang
Senapati di sebuah peperangan.
"Apakah Ayahanda tidak mempercayai ananda?",
berkata Pangeran Ardharaja yang masih bersujud
dihadapan Maharaja Singasari.
"Aku memang belum dapat mempercayai dirimu, itulah
sebabnya aku memintamu bersama pasukanmu keluar
dari kotaraja Singasari", berkata Maharaja Singasari
kepada Pangeran Ardharaja.
"Jadi Ayahanda belum dapat mempercayai ananda, anak
menantu sendiri?", berkata Pangeran Ardharaja sambil
mengangkat wajahnya memandang Maharaja Singasari.
"Aku belum dapat mempercayai anak menantuku dari
besanku yang juga saudaraku", berkata Maharaja
324 Singasari dengan mata tajam penuh kebencian menatap
Pangeran Ardharaja. "Sewajarnya Ayahanda membeci kami, karna kami juga
menginginkan kematian Ayahanda", berkata pangeran
Ardharaja kepada Maharaja Singasari yang terperanjat
mendengar perkataan dari pangeran Ardharaja. Namun
keterkejutan Maharaja Singasari semakin bertambah
manakala Pangeran Ardharaja dengan kecepatan yang
tidak diduga, dari tempat yang begitu dekat telah
mengeluarkan keris pusaka kayu hitamnya dan langsung
saat itu juga menembus jantung Maharaja Singasari.
Tidak seorangpun menyangka Pangeran Ardharaja telah
berani berbuat sekeji itu, tapi itulah yang telah terjadi.
Beberapa saat yang begitu pendek, semua mata yang
ada di Pendapa utama itu seperti terbelalak tidak percaya
dengan apa yang dilihatnya.
Namun saat itu juga Pangeran Ardharaja terkesiap
memandang wajah Maharaja Singasari yang sepertinya
tidak merasakan apapun, bahkan terdengar tawanya
yang begitu keras bergema.
"Akhirnya mimpi burukku telah digenapi, melihat istanaku
porak poranda oleh saudaraku sendiri, melihat keris kayu
hitam menembus jantungku sendiri, oleh anak
menantuku sendiri", berkata Maharaja dengan sebuah
tawa yang bergema seperti datang dari berbagai penjuru
arah angin. Terlihat Pangeran Ardharaja dengan wajah gugup berdiri
dan mundur beberapa langkah, peluh terlihat telah
membanjiri wajah dan tubuhnya, rasa takut yang sangat
telah memenuhi jiwanya. "Biarkan anak saudaraku itu keluar dari pandangannku,
325 biarkan dia hidup dalam beribu penyesalan", berkata
Maharaja Singasari sambil mengangkat sebuah
tangannya mencoba menghentikan langkah Pangeran
Lembu Tal yang telah menjadi begitu murka atas apa
yang dilakukan oleh Pangeran Ardharaja.
Ucapan Maharaja Singasari telah memberi peluang
kepada Pangeran Ardharaja yang telah bergeser
mendekati anak tangga pendapa.
Akhirnya dengan mata masih menatap wajah Maharaja
Singasari, Pangeran Ardharaja telah langsung lompat
turun dari pendapa, tanpa perkataan sedikitpun
Pangeran Ardharaja telah melangkah berlari yang diikuti
olah para pengawalnya keluar pintu gerbang
Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
"Saudaraku Pangeran Lembu Tal, mendekatlah", berkata
Maharaja Singasari yang masih tetap duduk tegap meski
sebuah keris menancap tepat dijantungnya.
Terlihat Pangeran Lembu Tal datang mendekat, Ratu
Anggabhaya juga sudah ikut datang mendekat, beberapa
kerabat yang ada saat itu juga ikut datang mendekat.
"Kebahagianku ada bersama kalian, wahai saudaraku.
Kutitipkan semua milikku kepada Raden Wijaya
sebagaimana Ayahandaku Maharaja Ranggawuni
pernah meninitipkannya. Aku akan hidup selamanya,
menjadi matanya memandang Singasari Raya lebih
besar dari yang kulihat saat ini. Itulah mimpiku dan mimpi
Ayahandaku Maharaja Ranggawuni", berkata Maharaja
Singasari kepada Pangeran Lembu Tal dengan mata dan
wajah penuh senyum kebahagiaan.
Itulah pesan terakhir dari Maharaja Singasari yang
didengar oleh semua yang ada di pendapa utama
Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
326 Dan perkataan itu pula tanda akhir dari kehidupan
Maharaja Singasari, terlihat tubuhnya telah limbung kekiri
dan rebah terlentang diatas papan kayu pendapa utama
Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Beliau telah menghembuskan nafasnya yang terakhir,
mendahului kita semua", berkata Ratu Anggabhaya yang
memeriksa tubuh Maharaja Singasari yang terlentang
tidak bergerak lagi. "Maharaja Singasari yang perkasa, pemersatu bumi
mengembuskan napasnya di tanah suci, ditempat para
leluhurnya menyimpan semua pusakanya", berkata
Pangeran Lembu Tal sambil menarik nafas panjang
menatap wajah Sri Baginda Maharaja yang diakhir
hidupnya telah melihat masa depan Singasari dalam
mata anaknya Raden Wijaya.
"Dan kita hanya menjadi saksi, sebatas saksi atas putra
Raden Wijaya yang saat ini tengah berada dalam
peperangannya. Dan kita para orang tua masih sangat
dibutuhkannya, sebagai cahaya kehidupannya, terus
membakar semangatnya merebut kembali Singasari
Raya", berkata Ratu Anggabhaya kepada semua yang
hadir diatas pendapa utama.
Sementara itu di Padang Kalimayit, api peperangan
sudah lama berkobar antara pasukan Singasari di bawah
pimpinan Raden Wijaya dengan pasukan dari Tanah
Gelang-gelang di bawah pimpinan Senapati Jaran
Guyang. Bukan main kagetnya Senapati Jaran Guyang ketika
dalam benturan pertama, tiba-tiba saja gelar perang
pasukan Singasari dengan cepat telah mengubah gelar
perangnya. "Cakra Byuha", berkata dalam hati Senapati jaran
327 Guyang dengan mata terbelalak. "Tugas kita dalam
peperangan ini adalah menahan pihak lawan,
bertahanlah sejauh kamu bisa", berteriak Senapati Jaran
Guyang memberi semangat para prajuritnya. Namun
dihati kecilnya menyumpah serapah kepada Patih Kebo
Mundarang yang menjadikan pasukannya sebagai
umpan lawan. Gelar perang Cakra Byuha memang sebuah gelar yang
luar biasa, sebuah gelar perang yang hanya dapat
dilakukan dan mengandalkan jumlah pasukan yang lebih
banyak dari jumlah lawan.
Terlihat para prajurit Singasari yang punya pengalaman
jauh lebih tinggi telah menunjukkan kemampuannya
dalam gelar perang Cakra Byuha. Pasukan dari Tanah
Gelang-gelang seperti kawanan burung emprit yang akan
turun bersama menghabisi pelataran sawah tiba-tiba saja
tergilas oleh lingkaran besar yang berputar membantai
siapapun yang datang mendekat.
Korban dari pihak prajurit Tanah Gelang-gelang jatuh
berguguran, sisanya berhamburan menyelamatkan
dirinya masing-masing. Demikianlah, pada benturan pertama pasukan Raden
Wijaya telah menunjukkan kemampuannya. Dan korban
di pihak pasukan Tanah Gelang-gelang terus bertambah
semakin mengurangi jumlah mereka, juga kekuatannya.
Ternyata para prajurit dari tanah Gelang-gelang adalah
para prajurit yang baru ditempa satu dua tahun yang
kebanyakan adalah para penyamun jalanan yang
diperam secara paksa mungkin dengan upah dan janji
oleh Raja Jayakatwang menjadi seorang prajurit. Mereka
belum memiliki jiwa seorang prajurit sebenarnya. Maka
melihat benturan pertama dan jumlah pihak lawan yang
328 berlipat ganda telah membuat mereka panik, tidak tahu
lagi arah dan paugeran yang seharusnya dilakukan oleh
sepasukan prajurit sebenarnya.
Dan Senapati Jaran Guyang sepertinya tidak dapat lagi
mengendalikan prajuritnya, mereka bertempur tanpa
arahan, mereka bertempur seperti ketika mereka
bertempur sebagai seorang penyamun, kasar dan tanpa
aturan. "Dasar penyamun jalanan", berteriak Senapati Jaran
Guyang merasa putus asa tidak mampu lagi
mengendalikan prajuritnya.
"Pertahankan gelar kalian, perang belum usai", berkata
Raden Wijaya yang diterjemahkan oleh Barayudha yang
memegang rontek senapati menyampaikannya kepada
para penghubung di arena pertempuran.
"Jangan keluar dari kesatuanmu", berkata seorang
prajurit tua Singasari kepada kawannya yang masih
muda yang nampaknya terpancing dengan cara prajurit
musuh yang bertempur dengan kasar dan ucapan yang
sangat kotor memanaskan telinganya.
"Terima kasih", berkata prajurit muda Singasari kepada
kawannya yang mengingatkannya.
Dan pertempuran antara dua kubu itupun sudah dapat
dipastikan siapa diantaranya yang akan keluar membawa
kemenangan, hanya masalah waktu.
"Raden Wijaya telah menguasai peperangannya",
berkata Arya Kuda Cemani yang melihat gerak secara
menyeluruh dari peperangan yang masih berlangsung
itu. "Pegang kendali Senapati ini wahai saudaraku
Ranggalawe, aku akan meredang orang itu", berkata
329 Raden Wijaya kepada Ranggalawe sambil langsung
mendekati salah seorang pihak lawan yang dilihatnya
begitu kuat sehingga sering dapat merusak barisan
prajuritnya. Ternyata orang yang didekati oleh Raden Wijaya adalah
Senapati Jaran Guyang. "Trang!!!", pedang Raden Wijaya sudah manahan sebuah
sabetan pedang Senapati jaran Guyang yang ditujukan
kepada seorang prajurit muda Singasari.
Bukan main kagetnya Senapati Jaran Guyang
merasakan tangannya tergetar ketika pedangnya
terbentur sebuah pedang Raden Wijaya.
"Akhirnya aku menemui kawan bertempur yang lumayan
tangguh", berkata Senapati Jaran Guyang mencoba
mengingkari perasaan kagetnya.
"Aku memang sengaja datang menemuimu", berkata
Raden Wijaya dengan wajah tenang menatap tajam
Senapati Jaran Guyang. "Kukira kamu akan terus berlindung dibalik barisan
prajuritmu", berkata Senapati Jaran Guyang dengan
wajah merendahkan setelah tahu dihadapannya adalah
seorang Senapati sebagaimana dirinya.
"Aku hanya tidak tega melihat dirimu sebagai orang
terakhir yang mati di padang Kalimayit ini", berkata
Raden Wijaya sambil tersenyum mencoba membakar
amarah Senapati Jaran Guyang.
"Kamu akan menyesal dengan semua yang kamu
katakan", berkata Senapati jaran Guyang dengan wajah
merah membara yang ternyata mudah terpancing
amarahnya. "Aku tidak akan menyesal membunuh seorang Senapati
330 tua sepertimu", berkata kembali Raden Wijaya dengan
sebuah senyuman dibibirnya merasa telah dapat
menyulut kemarahan lawan.
"Kamu benar-benar akan menyesal", berteriak Senapati
Jaran Guyang sambil menerjang Raden Wijaya seperti
seekor banteng ngamuk menghajar apapun didepannya.
Terlihat Raden Wijaya telah sedikit bergeser kekanan
menghindari serangan itu yang diketahuinya hanya
sebagai gebrakan awal yang mencoba menggertak
semangat lawannya. Namun diam-diam Raden Wijaya
mengukur kekuatan lawan lewat angin sambarannya.
"Ternyata orang ini mempunyai tenaga banteng", berkata
Raden Wijaya yang merasakan angin sambaran pedang
lawan yang dapat dihindari sambil langsung membalas
serangan lawan. Bukan main kagetnya Senapati Jaran Goyang yang
melihat begitu cepat dan mudahnya Raden Wijaya
mengelak serangannya bahkan sudah langsung
mengancam pertahanannya. "Gila!!", berkata Senapati jaran Guyang sambil melompat
mundur menghindari tusukan pedang Raden Wijaya yang
tiba-tiba saja sudah mengarah ke perutnya.
Ternyata Raden Wijaya tidak sedang ingin bermain-main,
yang ada dalam pikirannya adalah secepatnya
menyelesaikan pertempurannya, dalam benaknya hanya
terpikir suasana Kotaraja yang dalam keadaan bahaya
besar. Maka bukan main kagetnya Senapati Jaran
Guyang yang baru saja mundur mengelak sudah kembali
mendapatkan serangan. Terlihat Senapati Jaran Guyang harus melompat
kesamping menghindari tebasan pedang raden Wijaya.
331 Demikianlah pertempuran antara senapati dari dua kubu
yang berbeda telah berlangsung, terlihat Raden Wijaya
sepertinya tidak memberikan sedikitpun kesempatan bagi
Senapati Jaran Guyang untuk bernapas.
Serangan Raden Wijaya seperti ombak yang datang
bergulung-gulung. Namun ternyata Senapati Jaran
Guyang bukan orang kemarin sore dalam hal kanuragan.
Dapat dikatakan sebagai orang yang cukup berilmu
tinggi. Beberapa kali masih dapat balas menyerang.
Namun menghadapi Raden Wijaya yang ingin
secepatnya menyelesaikan pertempurannya, Senapati
Jaran Guyang seperti sebuah bunga kapuk yang
dipermainkan angin deras, terpuruk kesana kemari
melayang tanpa arah pasti.
Akhirnya, sebuah tendangan Raden Wijaya berhasil
menghajar pinggang Senapati jaran Guyang. Tubuh yang
besar itu seperti terlontar dihantam tendangan Raden
Wijaya yang dirangkapi tenaga cadangan, meski belum
sepenuh kekuatannya. Beng!!! Tubuh Senapati jaran Guyang yang besar dan berat itu
jatuh menghantam tanah keras.
Tapi ternyata Senapati Jaran Guyang punya kekuatan
banteng, secepatnya sudah bangkit berdiri dengan wajah
penuh angkara merah membara langsung memburu
Raden Wijaya dengan pedangnya.
Cratttt !!! Pedang Raden Wijaya berhasil melukai sebuah sisi yang
terbuka dari tubuh Senapati Jaran Guyang, sisi yang
terbuka itu dua buah paha kaki dari Senapati jaran
Guyang. 332 Terlihat tubuh Senapati Jaran Guyang seperti meluncur
terbawa tenaga serangannya sendiri dan terjerambat
kembali dengan benturan ketanah lebih keras dari
sebelumnya. Naas bagi Senapati Jaran Guyang, bukan cuma
tubuhnya yang terbanting menghajar tanah keras, tapi
kepalanya juga membentur sebuah batu keras.
Terlihat Senapati jaran Guyang langsung tidak bergerak
lagi. Ternyata nyawanya sudah pergi melayang bersama
benturan kepalanya yang terhantam batu cadas keras
yang banyak terhampar diatas padang Kalimayit.
"Perang belum berakhir, aku akan menyaksikan lebih
banyak lagi darah dan kematian", berkata Raden Wijaya
dalam hati sambil menarik nafas panjang.
Terlihat juga Raden Wijaya menyapu dengan matanya ke
seluruh arena peperangan.
"Para prajuritku sudah menguasi seluruh arena", berkata
kembali Raden Wijaya kepada dirinya sendiri.
Sebagaimana yang dilihat oleh Raden Wijaya, seluruh
pasukannya memang telah menguasai medan pertempuran. Terlihat beberapa orang prajurit musuh
telah melemparkan senjatanya tanda menyerah.
Sementara hanya tinggal beberapa orang terpisah masih
juga belum menyerah. "Orang bodoh, tidakkah kamu melihat kawanmu sudah
banyak yang mati dan menyerah?", berkata seorang
prajurit Singasari kepada seorang prajurit Tanah Gelanggelang yang sudah terluka namun masih juga tidak mau
menyerah. "Aku memilih mati di medan perang ketimbang menjadi
tawanan perang", berkata orang itu sambil memegang
333 senjata golok besarnya seperti takut terlepas dari
gemgamannya. "Orang bodoh!!", berkata salah seorang sambil maju
menghantam golok besar itu dengan pedangnya.
Trang!!, golok besar itu langsung
genggaman prajurit keras kepala itu
terlepas dari Plak, plak!!, dua kali prajurit keras kepala itu merasakan
kedua pipinya ditampar dengan keras hingga sempat
menanggalkan dua buah giginya.
"Ikat prajurit keras kepala itu", berkata orang yang
menggampar prajurit itu yang ternyata adalah
Ranggalawe. Terlihat dua orang prajurit Singasari mendatangi prajurit
keras kepala itu yang telah jatuh duduk lemas dengan
kepala terasa pening berputar-putar. Dan tidak ada
kekuatan apapun manakala kedua tangannya diikat
dengan kuatnya. Demikianlah, peperangan sudah hampir berakhir. Satu
persatu prajurit dari Tanah Gelang-gelang akhirnya
sudah dapat dikuasai. "Aku menyerah", berkata seorang prajurit dari Tanah
Gelang-gelang sambil melemparkan senjatanya yang
diikuti oleh beberapa kawannya.
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara itu matahari di atas padang Kalimayit terlihat
sudah bergeser dari puncaknya. Terdengar suara angin
berhembus diatas tanah padang kalimayit seperti suara
seruling kematian. Siapapun yang melihat pemandangan
disaat perang yang telah usai itu akan merasakan
sebuah jerit kengerian yang sontak bersama bulu kuduk
yang berdiri sebagai tanda sebuah kengerian yang
sangat. 334 Bagaimana tidak menimbulkan kengerian yang sangat
bagi siapapun yang memandang begitu banyaknya
mayat manusia yang bergelimpangan kaku mengisi
hampir setiap sudut Padang Kalimayit yang hanya
dipenuhi semak ilalang. "Para prajurit akan mengurus semua yang mati dan
terluka, perang telah usai", berkata Ranggalawe kepada
Raden Wijaya sambil mengajaknya kembali ke
Kademangan Tasikmadu. "Bagaimana menurut Paman, apakah para prajurit
Kotaraja masih dapat bertahan menunggu kedatangan
kita?", berkata Raden Wijaya penuh kekhawatiran
kepada Arya Kuda Cemani ketika mereka sudah berada
di Pendapa rumah Ki Demang Tasikmadu.
"Kotaraja dibentengi perbukitan, bila mereka siaga
musuh dari manapun tidak akan mudah masuk", berkata
Arya Kuda Cemani kepada Raden Wijaya.
"Musuh kita kali ini ternyata sudah dapat menahan satu
hari perjalanan pasukan kita", berkata raden Wijaya.
"Peperangan adalah permainan pikiran, sekuat apa kita
menjadi pengendali dari permainan itu, membaca apa
yang dipikirkan musuh dan menjebaknya pada langkah
akhir disebuah sudut", berkata Arya Kuda Cemani
kepada Raden Wijaya. "Artinya pihak musuh saat ini telah berhasil membaca
langkah kita?", bertanya Raden Wijaya kepada Arya
Kuda Cemani. "Juga telah dapat menghitung kapan kita datang ke
Kotaraja", berkata Arya Kuda Cemani.
"Apakah artinya kita selekasnya berangkat ke Kotaraja?",
bertanya Raden Wijaya kepada Arya Kuda Cemani.
335 "Benar, kita harus bergerak cepat", berkata Arya Kuda
Cemani. "Artinya kita berangkat dalam beberapa gelombang,
diawali pasukan berkuda yang paling dimungkinkan
dapat bergerak cepat, menyusul para prajurit pejalan kaki
yang akan disambung para prajurit yang telah
menyelesaikan merawat beberapa orang yang terluka di
Kademangan Tasimadu ini", berkata Raden Wijaya
kepada Arya Kuda Cemani sepertinya meminta
pertimbangannya. "Raden sudah mencoba sebuah langkah dari permainan
pikiran ini dengan segala macam pertimbangan dan
kemungkinan. Dan tugas seorang senapati adalah
membuat sebuah keputusan dengan mata dan pikiran
terbuka, siap menghadapi semua kemungkinan", berkata
Arya Kuda Cemani kepada Raden Wijaya.
"Aku sudah membuat keputusan", berkata Raden Wijaya
yang merasa sudah siap membuat sebuah keputusan,
sebuah keputusan secepatnya berangkat ke Kotaraja
dengan pasukan yang paling cepat bergerak, pasukan
berkudanya. Demikianlah, Raden Wijaya telah mengumpulkan
pasukan berkudanya untuk secepatnya berangkat Ke
Kotaraja. Sementara itu matahari diatas Kademangan Tasikmadu
belum jatuh sejajar batas jarak pandang mata,
cahayanya masih menyengat membakar tanah jalanan.
Disaat itulah pasukan berkuda Raden Wijaya terlihat
telah bergerak meninggalkan Kademangan Tasikmadu.
Dua ribu pasukan berkuda telah bergerak bersama
keluar dari regol gerbang Kademangan Tasikmadu.
336 Terlihat debu mengepul dibelakang setiap kaki kuda
yang langsung bergerak berlari dalam sebuah barisan
panjang. Demikianlah Raden Wijaya telah membawa pasukan
kudanya menuju Kotaraja Singasari. Arya Kuda Cemani
dan Ranggalawe terlihat berkuda mendampingi Raden
Wijaya. Akhirnya pasukan berkuda itu telah memasuki jalan
tanah yang cukup lebar, sehingga kuda-kuda mereka
dapat berlari lebih cepat lagi.
Terlihat Raden Wijaya menghentakkan perut kudanya
sebagai tanda agar kudanya dapat berlari lebih cepat
lagi. Melihat Senapati mereka memacu kudanya begitu cepat,
seluruh prajurit berkuda dibelakangnya sepertinya tidak
ingin tertinggal jauh, mereka ikut memacu kudanya.
Luar biasa!!, pasukan berkuda itu seperti barisan angin
hitam berlari diatas jalan tanah menimbulkan kabut debu
yang bertebaran dan berhamburan disepanjang jalan
yang mereka lalui. Terlihat beberapa gerobak pengangkut barang langsung
menepikan arah kuda mereka jauh dari tepi jalan agar
tidak terhempas langkah kaki kuda pasukan Raden
Wijaya yang berlari kencang seperti berburu angin.
Demikianlah, pasukan berkuda Raden Wijaya terus
memacu kudanya berlari menyusuri jalan tanah menuju
Kotaraja, hingga akhirnya mereka sudah tiba disebuah
jalan yang terhimpit dua buah hutan berbukit.
Bukan main terperanjatnya Raden Wijaya ketika mereka
melihat batang-batang kayu hutan malang melintang
memenuhi dan merintangi jalan mereka.
337 "Pasti ini perbuatan pasukan Pangeran Ardharaja",
berkata Raden Wijaya sambil memperlambat jalan
mereka. Bagian 3 Puluhan batang kayu yang malang melintang sepanjang
jalan itu memang telah memaksa pasukan berkuda
Raden Wijaya harus turun dari kudanya. Sambil
menuntun kuda-kuda mereka dan dengan susah payah
terus berjalan melewati rintangan batang kayu.
"Mereka telah masuk perangkap kita", berkata Patih
Kebo Mundarang kepada Pangeran Ardharaja yang saat
itu ternyata bersama pasukannya sudah melihat
kedatangan pasukan Raden Wijaya dari sebuah bukit
diatas jalan yang akan dilewati oleh pasukan berkudanya
Raden Wijaya. Langit diatas jalan itu terlihat sudah begitu teduh, sinar
matahari sudah rebah terhalang bukit yang membujur
tinggi. Terlihat barisan pasukan berkuda Raden Wijaya sudah
hampir seluruhnya melewati batang kayu hutan yang
merintangi jalan mereka. Namun baru saja mereka duduk diatas pelana kudanya
masing-masing, terdengar sebuah dengung panah
sanderan yang berdengung melesat disekitar mereka.
"Selamatkan diri kalian!!", berteriak Raden Wijaya
dengan suara lontaran yang dirangkapi tenaga murninya
didengar oleh semua prajuritnya.
Tapi teriakan peringatan Raden Wijaya untuk para
338 prajuritnya ternyata sudah terlambat.
Para prajurit berkuda memang langsung menghentakkan
kudanya berlari, namun sebuah hujan panah seperti
turun dari langit langsung bertebaran mencari sasaran
dan korbannya. Raden Wijaya, Rangga Lawe dan Arya Kuda Cemani
dengan ilmu dan kesaktian mereka mampu sambil berlari
dapat menghalau dan melindungi diri mereka dengan
mengibaskan pedang mereka yang seperti angin
mematahkan setiap anak panah yang meluncur
mengancam tubuhnya. Namun tidak juga untuk sebagian
para prajurit berkudanya, beberapa anak panah terlihat
berhasil menembus tubuh mereka yang langsung
terlempar dari kudanya. Ternyata bidikan anak panah itu tidak melulu ditujukan
kepada pasukan berkuda Raden Wijaya, diantaranya ada
anak panah berapi yang sengaja dibidik ke tumpukan
batang-batang kayu yang melintang dibelakang mereka,
juga dibeberapa titik hutan dikiri kanan jalan dimana
pasukan berkuda Raden Wijaya akan melewatinya.
Sungguh mengerikan suasana saat itu, hutan dikanan kiri
para pasukan berkuda terlihat mulai terbakar, sementara
itu batang-batang kayu yang melintang dibelakang
mereka sudah lebih dulu terbakar.
Asap mengepul ditiup angin yang cukup keras menutupi
segenap jalan, menutupi segala jarak pandang.Tidak ada
jalan lain dari pasukan berkuda Raden Wijaya selain
terus berlari kedepan. Setiap kali terdengar suara jerit prajurit Singasari yang
termakan oleh anak panah yang sudah menembus
tubuhnya. Atau jerit prajurit yang terlempar dari seekor
kuda yang terkejut berhenti karna tubuh kuda itulah yang
339 jadi korban anak panah yang datang seperti hujan
terjatuh dari atas langit.
Hati dan dada Raden Wijaya seperti merasakan
kepedihan yang begitu menyayat manakala mendengar
jeritan suara prajuritnya. Pada saat itu hatinya begitu
pedih tidak dapat menolong prajuritnya, karena saat itu ia
sendiri harus berjuang dari hujan panah yang terus
meluncur seperti tiada pernah berhenti sepanjang jalan
dan lari kudanya. Akhirnya pasukan berkuda itu telah berhasil melewati
lorong neraka itu, meraka sudah berada di jalan yang
terbuka ditengah padang ilalang.
"Musuh kita kali ini sepertinya sudah membaca setiap
langkah kita", berkata Arya Kuda Cemani kepada Raden
Wijaya yang terlihat begitu berduka memandang barisan
pasukan berkudanya yang semakin berkurang, hampir
setengahnya tertinggal di jalan penuh perangkap hujan
anak panah itu. "Mereka berhasil menjebak kita, memecah pasukan kita.
Itulah yang dapat kubaca dari pikiran seorang musuh",
berkata Raden Wijaya kepada Arya Kuda Cemani dan
Ranggalawe. "Kita tidak dapat kembali mundur, pasti mereka masih
menempatkan para pasukan pembidik panah disisi kiri
kanan jalan neraka itu", berkata Arya Kuda Cemani
memberikan pandangannya kepada Raden Wijaya.
"Saat ini pasti pasukan musuh sudah turun dari bukitbukit itu untuk menyerang pasukan kita dibelakang",
berkata Raden Wijaya kepada Arya Kuda Cemani dalam
suara orang yang putus asa tidak dapat berbuat apapun.
"Aku membaca kemungkinan lain", berkata Arya Kuda
340 Cemani kepada Raden Wijaya.
"Aku ingin mendengarnya wahai Paman Kuda Cemani",
berkata Raden Wijaya kepada Arya Kuda Cemani.
"Mereka sudah ada menunggu kita dijalan neraka itu,
sebagai tanda bahwa mereka telah menyelesaikan
tujuan utama mereka menaklukkan Kotaraja", berkata
Arya Kuda Cemani. "Kotaraja Singasari sudah mereka taktukkan?", bertanya
Raden Wijaya kepada Arya Kuda Cemani.
"Hanya perkiraanku, perkiraanku lainnya adalah bahwa
mereka tidak akan turun dari bukit untuk menyerang
pasukan kita yang saat ini mungkin sudah bergerak
menuju Kotaraja", berkata kembali Arya Kuda Cemani.
"Mengapa mereka tidak menyerang pasukan kita?",
bertanya Raden Wijaya kepad Arya Kuda Cemani.
"Pasukan kita dibelakang masih cukup besar, menurut
perkiraanku meraka ibarat sekumpulan srigala yang
hanya mencari mangsa yang lebih mudah untuk mereka
rebut", berkata Arya Kuda Cemani
"Pasukan kita yang saat ini masih berada di
Kademangan Tasikmadu ?", bertanya Raden Wijaya
kepada Arya Kuda Cemani. Kali ini Arya Kuda Cemani
menjawab pertanyaan Raden Wijaya hanya dengan
menganggukkan kepalanya. "Apa yang harus kita lakukan saat ini wahai pamanku",
bertanya Raden Wijaya kepada Arya Kuda Cemani yang
menurut pandangannya mempunyai kekuatan pikiran
sangat matang dan dapat diajak untuk bertukar pikiran.
"Menyelamatkan pasukan kita dari para pembidik yang
masih menunggu di antara dua bukit itu", berkata Arya
Kuda Cemani sambil menunjuk dua buah bukit yang
341 mengapit sebuah jalan yang dapat dikatakan sebuah
jalan neraka, sebuah jalan yang sangat berbahaya bagi
pasukannya. "Mari kita bagi dua pasukan kita, menyergap mereka
sebagaimana mereka telah menyergap pasukan kita",
berkata Raden Wijaya sambil turun dari kudanya
memanggil beberapa perwiranya untuk diajak berbicara.
Mari kita tinggalkan dulu pasukan Raden Wijaya yang
tengah mengatur siasat untuk menyelamatkan pasukannya dari para pembidik tersembunyi. Mari kita
dekati pasukan Tanah Gelang-gelang yang masih berada
di dua bukit yang tengah bergembira telah dapat
menjebak musuhnya, membantai musuh hampir
setengahnya dengan hujan panahnya.
"Kita telah memecah pasukan mereka, apakah kita akan
turun membantai pasukan kedua yang bergerak
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dibelakang mereka?", bertanya Pangeran Ardharaja
kepada Patih Kebo Mundarang.
"Biarlah pasukan pemanah kita yang akan membantai
mereka dari atas bukit ini, yang paling mudah saat ini
adalah membantai pasukan mereka yang menurut
perkiraanku masih tertinggal di Kademangan Tasikmadu", berkata Patih Kebo Mundarang kepada
Pangeran Ardharaja. Demikianlah, pasukan Patih Kebo Mundarang sudah
bergerak menuju ke Kademangan Tasikmadu. Mereka
berjalan agak melambung untuk menghindari pasukan
Raden Wijaya lapis kedua yang tengah berjalan menuju
Kotaraja Singasari. Di tempat yang berbeda, pasukan berkuda Raden Wijaya
terlihat tengah menyembunyikan kuda-kuda mereka,
meninggalkan beberapa orang untuk tetap menjaga
342 kuda-kuda itu. Sementara selebihnya sudah berpencar
menuju kedua bukit yang menghimpit jalan mencoba
menyergap para pembidik yang diperkirakan masih
bersembunyi di situ menunggu pasukan Raden Wijaya
lainnya. Akhirnya pasukan Raden Wijaya sudah dapat mendekati
dua bukit itu, dengan cara mengendap-endap akhirnya
mereka menemui para prajurit pembidik dari Tanah
Gelang-gelang yang memang tengah bersembunyi di
tempat yang begitu leluasanya memenuhi jarak bidik
panah mereka yang ditujukan siapapun yang lewat
dijalan terhimpit dua buah bukit itu.
Para prajurit pasukan berkuda Raden Wijaya merupakan
orang-orang pilihan yang telah mampu dan ahli
menggunakan berbagai senjata, juga sangat terampil
dalam olah kanuragan. Kali ini terlihat mereka tengah memperlihatkan
bagaimana membidik musuh dengan pisau pendek
mereka. Jep! Jep! Jep! Terlihat beberapa pisau pendek telah langsung
mengenai sasaran musuh ditempat persembunyian
mereka yang langsung rebah dengan pundak tembus
kedada terkena pisau pendek yang dilempar dengan
keras dan begitu titisnya.
Auuuuuwwww !!! Terdengar seorang prajurit musuh yang jatuh terlempar
dari sebuah dahan pohon yang cukup tinggi.
Ternyata suara itu telah membuat prajurit musuh lainnya
untuk sigap dan siaga atas serangan gelap itu. Langsung
mereka berbalik badan mencoba menyapu pandangan
343 mereka mencari dimanakah musuh mereka.
Satu dua orang prajurit Singasari telah menampakkan
dirinya dengan pedang menjuntai telah lepas dari
sarungnya. "Aku ingin melihat keperwiraan kalian bertempur ditempat
terbuka", berkata seorang prajurit Singasari sambil
mendekati salah seorang prajurit dari Tanah Gelanggelang yang telah melihat dirinya.
"Kamu kira hanya kamu yang bisa bertempur secara
terbuka?", berkata prajurit dari Tanah Gelang-gelang
sambil mendengus menantang.
Maka kedua prajurit itu sudah terlihat saling serang.
Dan dalam waktu yang begitu singkat sudah terjadi
perkelahian ditempat lain. Para prajurit dari dua kubu
berbeda sudah menemukan lawannya masing-masing.
Pertempuran pun terus berlangsung, para prajurit
Singasari telah memperlihatkan kemampuan mereka
yang ternyata berada diatas tataran rata-rata prajurit dari
Tanah Gelang-gelang. Terlihat Raden Wijaya, Arya Kuda Cemani dan
Ranggalawe berpindah dari satu tempat ketempat lain
setelah dengan cepatnya telah menyelesaikan pertempurannya. Dan pertempuran pun akhirnya sudah terlihat hampir
berakhir, hanya ada beberapa pihak lawan para prajurit
Tanah Gelang-gelang yang belum juga mau menyerah.
"Lepaskan mereka", berkata Raden Wijaya yang melihat
seorang prajurit dari tanah Gelang-gelang yang penuh
darah terluka masih terus bertempur. "Janganlah kamu
lepaskan segala amarahmu", berkata kembali Raden
Wijaya kepada seorang prajuritnya.
344 "Tangannya telah melumuri banyak nyawa sahabatku",
berkata prajurit itu dengan amarah belum juga hilang.
"Lepaskan dirinya, tujuan kita sudah tercapai untuk
menyelamatkan pasukan kita dari hujan panah
tersembunyi. Bila mengingat setengah dari pasukanku
yang terbantai, akupun berkeinginan mencincang tubuh
mereka. Tapi lepaskan mereka demi kehidupan, karena
dia pun punya hak yang sama sebagaimana kita punya
hak untuk tetap hidup. Berikan kehidupannya, dan
bebaskan dirimu dari amarah", berkata Raden Wijaya
kepada prajuritnya yang langsung mundur dari arena.
"Terima kasih telah memberikan aku untuk tetap hidup,
baru kali ini aku menemukan musuh seperti diri tuan",
berkata prajurit dari tanah Gelang-gelang itu yang
merasa heran telah dilepaskannya begitu saja.
"Kembalilah ke pasukanmu wahai prajurit, kami bukan
kaum biadab yang haus darah, tapi kami akan terus
memerangi siapapun yang telah mengambil hak kami,
hak atas tanah Singasari ini. Itulah yang harus kamu
sampaikan kepada pimpinanmu", berkata Raden Wijaya
kepada prajurit musuhnya itu.
Terlihat prajurit itu penuh rasa terima kasih
membungkukkan badannya, dan langsung berbalik
badan setengah berlari pergi menjauh menghilang
dikerepatan hutan. Demikianlah, pasukan Raden Wijaya telah berhasil
membersihkan dua bukit yang mengapit jalan itu dari
para pembidik yang tersembunyi.
"Sisakan beberapa orang untuk tetap menjaga bukit ini,
saatnya kita melanjutkan perjalanan kita yang tertunda
menuju Kotaraja Singasari", berkata Raden Wijaya
kepada para prajuritnya. 345 Ternyata apa yang telah di tanamkan oleh Raden Wijaya
untuk tetap menjunjung tinggi kemanusiaan dalam setiap
peperangan kepada semua prajuritnya, tidak berlaku
bagi para prajurit Patih Kebo Mundarang seperti yang
telah mereka lakukan disaat yang sama ketika telah tiba
di Kademangan Tasikmadu. Begitu biadabnya mereka membantai prajurit Singasari
yang tidak berbanding dengan pasukannya yang jauh
lebih banyak dari sisi jumlah dan segala kesiapannya.
Kala itu temaram langit masih diawal senja, tiba-tiba saja
seperti gemuruh air bah yang datang dari arah gerbang
Kademangan Tasikmadu ribuan prajurit Patih Kebo
Mundaran telah datang membanjiri setiap sisi jalan
Kademangan Tasikmadu. Bukan main terkejutnya para prajurit Singasari yang
tengah merawat beberapa orang yang terluka. Namun
jiwa prajurit mereka memang sudah mapan mendarah
daging untuk sigap dan tangguh menghadapi apapun.
Maka mereka pun dengan gagah berani langsung
menghadapi para prajurit musuh dengan jumlah yang
begitu besar. Apalah artinya jiwa keprajuritan mereka yang tangguh
apapun menghadapi jumlah prajurit dari Tanah Gelanggelang yang ribuan orang itu. Maka dalam waktu cepat
prajurit Singasari itu akhirnya menjadi korban
pembantaian dari ribuan prajurit Patih Kebo Mundaran
yang sepertinya telah disusupi api dendam kesumat yang
begitu menggelora untuk menghabisi tanpa kenal ampun
setiap prajurit Singasari.
Tanpa kenal ampun dan tanpa tersisa seorang pun,
seluruh prajurit Singasari di Kademangan Tasikmadu itu
menjadi korban pembantaian tanpa prikemanusiaan.
346 Ternyata para prajurit dari tanah Gelang-gelang itu tidak
hanya puas membantai semua prajurit Singasari, mereka
juga melampiaskan dendam mereka kepada para warga
Kademangan Tasikmadu yang tidak berdosa, rakyat
biasa yang tidak mengerti apapun tentang perang yang
tengah terjadi. Dan puncak dari kebiadaban para prajurit
dari Tanah Gelang-gelang adalah membakar seluruh
rumah yang ada di Kademangan Tasikmadu.
"Para arwah pasukan Senapati Jaran Guyang pasti
tengah tertawa melihat apa yang telah kita lakukan di
Kademangan Tasikmadu, membalas kekalahan mereka",
berkata Patih Kebo Mundarang sambil bergelak tawa
bersama Pangeran Ardharaja menyaksikan puluhan
rumah yang tengah berkobar diamuk api yang menjilatjilat diterpa angin.
Kala itu langit diatas Kademangan Tasikmadu sudah
diujung senja, namun kobaran api di setiap jengkal sudut
Kademangan Tasikmadu telah membuat langit disekitarnya seperti terang benderang.
Terdengar jeritan dan tangisan di beberapa tempat,
orang-orang tua, wanita dan anak-anak kecil yang tersisa
yang tidak dapat sempat untuk bersembuyi.
"Kotaraja Singasari telah kita porak-porandakan, saatnya
membawa seluruh pasukan menuju Kotaraja Kediri",
berkata Patih Kebo Mundarang sambil menepuk pundak
Pangeran Ardharaja. "Kita tidak kembali ke Tanah Gelang-gelang?", bertanya
Pangeran Ardharaja kepada Patih Kebo Mundarang.
"Kita Ke Kotaraja Kediri menyiapkan istana dan
singgasana untuk Ayahandamu, Maharaja Jayakatwang
pewaris Kerajaan Kediri yang sejati", berkata Kebo
Mundarang sambil tertawa bergelak memandang
347 Pangeran Ardharaja kegembiraan. yang ikut tersenyum penuh Patih Kebo Mundarang telah memerintahkan kepada
semua prajuritnya bahwa hari itu mereka bermalam di
Kademangan Tasikmadu. "Bersenang-senanglah kalian", berkata Kebo Mundarang
kepada beberapa perwiranya.
Demikianlah, seluruh pasukan Patih Kebo Mundarang
berpesta pora di sepanjang malam itu di Kademangan
Tasikmadu menumpahkan segala rasa kemenangan.
Tawa dan riuh kegembiraan mereka sepertinya
merampas jerit dan isak tangis yang begitu memilukan di
beberapa sudut kamar pengap dari beberapa wanita
yang terperangkap dalam ketidakberdayaan nasib,
korban sebuah peperangan.
Dan manakala Matahari sudah terang tanah, pasukan
besar Patih Kebo Mundarang terlihat sudah bergerak
kearah Kotaraja Kediri. Disepanjang perjalanannya, pasukan ini seperti wabah
yang menakutkan. Mereka telah melakukan sebagaimana telah mereka lakukan pada penduduk di
Kademangan Tasikmadu. Mereka telah menaburkan
penderitaan dan jeritan penuh pilu di sepanjang hampir
seluruh perjalanannya menuju Kotaraja Kediri.
Berita seperti angin yang berlari begitu cepat, berita
sebuah pasukan besar yang begitu menakutkan telah
terdengar hampir diseluruh Padukuhan-padukuhan yang
akan mereka lewati. Terlihatlah ratusan para pengungsi
yang bergerak pergi menghindari pasukan besar Patih
Kebo Mundarang yang begitu menakutkan. Beberapa
penduduk terlihat mengungsi untuk sementara di hutanhutan yang terdekat, atau ke beberapa Padukuhan yang
348 menurut mereka tidak dilewati oleh pasukan Patih Kebo
Mundarang. Berita seperti angin yang berlari begitu cepat, dan
akhirnya sampai juga ke Kotaraja Kediri. Tersebarlah
berita bahwa sebuah pasukan besar akan datang untuk
menguasai Kotaraja Kediri. Raja Kediri yang masih
keluarga Maharaja Kertanegara tidak berani untuk
menyambut pasukan besar Patih Kebo Mundaran
dengan pedang terbuka. Mereka memilih untuk
menyingkir menyelamatkan diri, menyelamatkan harta
dan keluarganya. "Tikus-tikus keluarga Tumapel telah pergi bersembunyi",
berkata Patih Mundarang kepada Pangeran Ardharaja
ketika bersama pasukan besarnya telah memasuki
Kotaraja Kediri dan melihat Istana Kediri yang telah
kosong tanpa penghuni. Sementara itu jauh dari Kotaraja Kediri, terlihat lima
orang berkuda tengah melarikan kudanya membelah
padang ilalang Kalimayit. Matahari diatas padang
Kalimayit saat itu baru bergeser sedikit dari kaki langit.
Wajah kelima orang berkuda itu nampak tersamar caping
bambu yang mereka kenakan. Namun dari kesigapan
mereka mengendalikan kekang kuda dapat dipastilan
bahwa mereka bukanlah orang sembarangan.
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita datang terlambat", berkata salah seorang dari
kelima orang berkuda itu ketika mereka telah memasuki
Kademangan Tasikmadu, melihat porak poranda dan
sisa-sisa abu dari rumah-rumah yang ternbakar.
"Apa yang telah terjadi di Kademangan ini", berkata
kawannya sambil memperlambat lari kudanya menyusuri
jalan Kademangan Tasikmadu yang telah sepi senyap
tanpa penghuni seorangpun.
349 Namun di sebuah rumah yang ada disebuah
persimpangan jalan, mereka telah melihat seorang lelaki
tua duduk di depan puing-puing sisa rumahnya yang
terbakar. "Lelaki tua itu mungkin dapat bercerita", berkata salah
seorang dari kelima orang berkuda itu.
Terlihat kelima orang berkuda itu telah menghentikan
kudanya tepat didepan rumah lelaki tua itu. Mereka telah
turun dari kudanya masing-masing dan menuntun
kudanya mendekati pagar rumah.
Kelima orang berkuda itu telah mengikat tali kuda
masing-masing di tonggak pagar rumah lelaki tua itu, dan
bersamaan pula telah membuka caping bambu yang
menutupi kepala dan sedikit wajah mereka.
Sinar matahari pagi yang terlihat hangat menyapu wajahwajah mereka. Wajah yang sudah tidak dilindungi caping
bambu itu nampak terlihat jelas. Ternyata kelima orang
berkuda itu tidak lain adalah orang yang tidak asing lagi,
lima orang ksatria yang baru saja datang kembali ke
Tanah Singasari, mereka tidak lain adalah Mahesa
Amping, Ki Bancak, Ki Sandikala, Gajah Pagon dan Ki
Sukasrana. Semula terlihat ada wajah penuh rasa takut dari lelaki tua
itu ketika melihat lima orang berkuda datang
mendekatinya. Namun setelah semakin mendekat terlihat
lelaki tua itu menarik napas lega. Kelima orang yang
mendekatinya sama sekali bukan orang yang
menakutkan dalam benak dan pikiran lelaki tua itu.
Kelima orang itu dilihatnya punya paras dan cahaya
wajah orang baik-baik, wajah yang menggambarkan
persahabatan. Terutama Mahesa Amping yang lebih dulu
mendekati lelaki tua itu, ada perbawa dalam sorot
350 matanya yang teduh ketika mata Mahesa Amping beradu
pandang dengan lelaki tua itu.
"Maaf Pak Tua, kami adalah para pengembara yang
kebetulan lewat. Dapatkah Pak Tua bercerita apa yang
telah terjadi di Kademangan ini", bertanya mahesa
Amping sambil membungkukkan badan dan merangkapkan kedua tangannya di dada sebagai
ungkapan rasa santun dan ikut berduka atas apa yang
telah terjadi. "Mereka bukan orang jahat", berkata dalam hati lelaki itu
melihat sikap dan ucapan Mahesa Amping yang teratur
dan penuh kesantuman. Maka dengan perlahan, lelaki tua itu bercerita apa yang
telah terjadi di Kademangan Tasikmadu. Mulai dari
peperangan antara Pasukan Raden Wijaya dengan
pasukan Senapati Jaran Guyang dari Tanah Gelanggelang di Padang kalimayit. Dan diakhiri dengan sebuah
cerita tentang sebuah hari penuh duka air mata, sebuah
serbuan pasukan besar Patih Kebo Mundarang yang
memporakporandakan bumi Kademangan Tasikmadu.
Menghangus bumikan Kademangan Tasikmadu. Sebuah
duka panjang yang akan menjadi cerita memilukan yang
akan diingat sepanjang masa oleh anak cucu mereka.
"Dimanakah saat ini orang-orang Kademangan
Tasikmadu ini yang masih selamat?", bertanya Mahesa
Amping kepada lelaki tua itu setelah mendengar semua
ceritanya. "Mereka masih belum berani kembali, sebagian masih
mengungsi di hutan-hutan terdekat", berkata lelaki tua itu.
"Mungkin ini berguna untuk Pak tua, kami berharap
semoga tidak akan pernah kembali kejadian ini dihari-hari
mendatang", berkata Mahesa Amping sambil 351 memberikan beberapa keping emas kepada lelaki tua itu
serta beberapa potong makanan bekalnya.
"Terima kasih", berkata lelaki tua itu dengan tangan
gemetar penuh rasa suka cita yang sangat.
"Mungkin di Kotaraja Singasari, kita akan mendapat
gambaran yang lebih jelas lagi", berkata Mahesa Amping
kepada keempat kawan seperjalanannya itu sambil
menghentakkan perut kudanya untuk memulai sebuah
perjalanan kembali menuju Kotaraja Singasari.
Terlihat lima orang berkuda ini telah meninggalkan
Kademangan Tasikmadu dengan hati yang menggiris
pilu. "Balidwipa dan Jawadwipa yang terpisah batas laut telah
disatukan menjadi satu keluarga, sementara saudara di
Tanah sendiri ingin memisahkan diri", berkata Mahesa
Amping dalam hati diatas kudanya yang berjalan
setengah berlari. "Tuan Senapati kita tengah berduka", berkata perlahan Ki
Sandikala kepada Ki Bancak yang terus mengikuti di
belakang langkah kaki kuda Mahesa Amping.
"Baru kali kulihat wajahnya begitu murung", berkata Ki
Bancak kepada Ki Sandikala juga dengan suara perlahan
untuk hanya didengar oleh Ki Sandikala.
Sementara itu dibelakang mereka, Gajah Pagon dan Ki
Sukasrana tidak berkata apapun, terus mengikuti langkah
kaki kuda di depan mereka.
Demikianlah, lima orang berkuda yang bercaping bambu
menutupi kepala dan sedikit wajah mereka terlihat telah
melarikan kudanya meninggalkan debu yang bertebaran
dibelakang kaki kuda mereka masing-masing.
Di sebuah jalan yang bersungai kecil, mereka beristirahat
352 sejenak sekedar memberi kesempatan kuda-kuda
mereka untuk merumput. Setelah itu mereka kembali
melanjutkan perjalanannya menuju Kotaraja Singasari
yang hanya berjarak sepertiga hari perjalanan lagi.
Ketika hari mendekati ujung senja, matahari telah rebah
lelah berbaring di tepi bibir kaki langit, terlihat lima orang
berkuda telah memasuki gerbang Kotaraja Singasari.
"Ternyata Kotaraja Singasari tidak lebih baik dari
Kademangan Tasikmadu", berkata Mahesa Amping
kepada Ki Sandikala yang berjalan beriring disampingnya
melihat sepanjang jalan rumah-rumah yang telah rata
dengan tanah menyisakan beberapa onggokan sisa kayu
yang hitam gosong terbakar.
Mahesa Amping dan keempat sahabatnya itu seperti
berjalan di tengah kota yang mati, tidak ditemuinya
seorang pun di sepanjang jalan Kotaraja Singasari itu
seperti waktu sebelumnya dimana selalu begitu ramai
dari hilir mudik beberapa orang yang punya berbagai
kepentingan, baik yang berjalan kaki atau berkuda dan
selalu diramaikan oleh gerobak-gerobak dagang para
saudagar yang datang dan pergi di Kotaraja Singasari.
Ketika mereka semakin mendekati jalan menuju istana, di
sebuah perempatan jalan mereka temui banyak bunga
sesaji berserakan memenuhi jalan.
"Ada orang besar yang hari ini telah disempurnakan
jenasahnya", berkata Mahesa Amping kepada Ki
Sandikala disampingnya. Terlihat Ki Sandikala tidak berkata apapun, hanya
menganggukkan kepalanya tanda ikut mengerti bahwa
baru saja di Kotaraja ini telah melakukan sebuah
penyempurnaan jenasah. 353 Ketika Mahesa Amping bersama keempat sahabatnya
tiba di regol gerbang Istana, seorang prajurit datang
menghampirinya. "Kami ada keperluan di Istana ini, semoga diperkenankan
bagi kami semua", berkata Mahesa Amping kepada
prajurit itu sambil membuka caping bambu yang
menutupi setengah wajahnya.
"Bukankah hamba saat ini berhadapan dengan Tuan
Senapati Mahesa Amping?", berkata prajurit itu sambil
tersenyum memandang wajah Mahesa Amping yang juga
tersenyum ramah. Ternyata prajurit itu salah seorang
pasukan Raden Wijaya yang sebelumnya bertugas di
Bandar Cangu. Tentu saja masih mengenali Mahesa
Amping yang dulu pernah bertugas sebagai pelatih
kanuragan para prajurit baru.
"Maaf, aku lupa dimana kita pernah bertemu?", bertanya
Mahesa Amping kepada prajurit itu.
"Wajar kalau tuan Senapati lupa kepada hamba, tapi
hamba tidak pernah lupa semua jurus yang pernah tuan
Senapati berikan kepada kami di Bandar Cangu", berkata
prajurit itu. "Ternyata kamu salah seorang prajurit dari Bandar
Cangu itu, aku melihat ada banyak sisa upacara melepas
atma di Kotaraja ini", bertanya Mahesa Amping kepada
prajurit itu. "Ternyata tuan Senapati belum mendengar kabar duka
itu, hari ini kami baru saja menyelesaikan upacara
ngabeni Maharaja Kertanegara", berkata prajurit itu
kepada Mahesa Amping. "Maharaja Kertanegara?",
seperti tidak percaya. berkata Mahesa Amping 354 Prajurit itu menganggukkan kepalanya sambil menarik
nafas panjang penuh duka.
"Mari kuantar tuan semua ke Pasanggrahan Ratu
Anggabhaya", berkata prajurit itu memecahkan
keheningan suasana hati masing-masing.
Terlihat prajurit itu memanggil beberapa kawannya untuk
membawa kuda-kuda Mahesa Amping dan empat orang
sahabatnya itu. Prajurit itu sendiri mengantar Mahesa
Amping dan rombongannya berjalan didepan sebagaimana tatacara yang seharusnya dilakukan untuk
menerima tamu Istana. "Maaf tuan Senapati, tugasku cuma sampai di pintu regol
ini", berkata Prajurit itu kepada Mahesa Amping ketika
mereka sudah berada di depan regol pintu masuk
Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
"Terima kasih telah mengantar kami", berkata Mahesa
Amping penuh senyum ramah kepada prajurit yang
mengantarkannya itu. Sambil membungkukkan badan dan merangkapkan
tangannya prajurit itu mempersilahkan Mahesa Amping
dan rombongannya terus masuk ke halaman
Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
Terlihat semua orang yang ada di pendapa utama berdiri
manakala melihat rombongan Mahesa Amping datang
mendekati anak tangga pendapa utama.
"Mahesa Amping!!", berucap sebuah nama dari bibir
seseorang yang ada di atas pendapa utama itu yang
tidak lain adalah Raden Wijaya yang merasa tidak
percaya dengan apa yang dilihatnya, kedatangan
Mahesa Amping, sahabat sejatinya yang juga telah
dianggap sebagai saudaranya sendiri.
355 Penuh haru biru menandai suasana pertemuan dua
sahabat itu yang sudah sekian lama tidak berjumpa.
"Kami datang disaat Tanah Singasari dipenuhi kabut ",
berkata Mahesa Amping setelah duduk diatas pendapa
utama selesai mendengar apa yang terjadi di Tanah
Singasari saat itu. Mahesa Amping akhirnya ikut bercerita tentang
kehadirannya kembali di Jawadwipa sebagai utusan dari
Rakyan Sasana Bungalan, sehubungan dengan
permintaan langsung dari Maharaja Kertanegara
mengirimkan bala bantuan dari Balidwipa.
"Adipati Rakyan Sasana Bungalan memerintahkan diriku
untuk menjawab langsung kesetiaan kami atas
kekuasaan tertinggi Maharaja Singasari, sebagai balasan
rontal resmi yang dikirimnya lewat utusan resminya
prajurit Gajah Pagon", berkata Mahesa Amping
menyampaikan tugasnya di Balidwipa ini. "Namun
kedatangan kami ternyata sudah terlambat", berkata
kembali Mahesa Amping kepada semua yang hadiri di
pendapa utama. "Kehadiran ananda belum terlambat, semoga kehadiran
Ananda Mahesa Amping sebagai pertanda bahwa sang
fajar telah hadir untuk sebagai kekuatan baru yang akan
mampu mengusir kegelapan kabut di bumi Singasari ini",
berkata Ratu Anggabhaya penuh senyum ikut merasa
gembira melihat kehadiran sahabat cucundanya itu.
"Semoga masih ada tempat untuk hamba untuk ikut
mengusir kegelapan ini", berkata Mahesa Amping sambil
merangkapkan kedua tangannya ditujukan kepada Ratu
Anggabhaya sebagai rasa terima kasih atas
penerimaannya. "Sedikit kelengahan kita adalah tidak menyangka bahwa
356 musuh berasal dari saudara sendiri. Sementara
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kekalahan kita yang terbesar adalah merasa punya
kemampuan diatas segala-galanya. Semua itu menjadi
cermin untuk kita kedepan, bahwa bukan kekuatan yang
kita utamakan, tapi kekuatan kecerdikan pikiran kitalah
yang dapat mengalahkan sebesar apa pun kekuatan
lawan", berkata Ratu Anggabhaya yang dapat diterima
oleh semua yang hadir diatas pendapa utama itu.
"Dari orang-orang yang masih setia kepada Singasari,
hamba mendapat berita bahwa Raja Jayakatwang telah
mengukuhkan dirinya menjadi Maharaja di Kediri. Mereka
telah mengutus kesemua Raja-raja di Jawadwipa untuk
patuh dan setia dibawah kekuasaannya. Segala upeti
dan bala mulai saat ini hanya ditujukan kepada penguasa
di Kediri", berkata Arya Kuda Cemani yang ikut hadir di
pendapa utama Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
"Mereka telah membuat gentar para raja di Jawadwipa
dengan segala bencana yang telah mereka tunjukkan
lewat kebiadaban pasukan Patih Kebo Mundarang.
Kesetiaan dari para raja di Jawadwipa adalah kesetiaan
yang semu. Diam-diam para Raja di Jawadwipa itu
memendam benih harapan agar hadir sebuah tandingan
yang dapat meruntuhkan Sang Raja Angkara", berkata
Pangeran Lembu Tal ikut memberikan pandangannya.
"Saatnya diri kita tampil kedepan menghidupkan benih
harapan dari semua para Raja di Jawadwipa. Tunjukkan
bahwa Kerajaan Singasari masih hidup", berkata Ratu
Anggabhaya dengan penuh semangat. "Itulah perang
yang harus kamu lakukan saat ini wahai cucundaku
Sanggrama Wijaya, menunjukkan bahwa kerajaan
Singasari sampai saat ini masih hidup", berkata Ratu
Anggabhaya yang ditujukan kepada Raden Wijaya.
"Artinya cucunda akan melakukan perang senyap,
357 datang menyerang secara tiba-tiba dan pergi menghilang
di kegelapan malam", berkata Raden Wijaya yang telah
menangkap maksud perkataan dari Ratu Anggabhaya.
"Hanya untuk menunjukkan kepada semua Raja di
Jawadwipa bahwa kita masih ada", berkata Ratu
Anggabhaya seakan membenarkan pengertian yang
ditangkap oleh Raden Wijaya. "Sebuah langkah awal
sebagaimana buyut kita Raja Erlangga mengambil
kembali haknya atas tanah ini dengan menjalankan
pusaka Empu Kanwa, Sama, bedha dan Danua", berkata
Ratu Anggabhaya kepada Raden Wijaya.
"Petuah Rama akan cucunda pusakai", berkata Raden
Wijaya penuh rasa terima kasih atas semua nasihat yang
diterimanya dari Ratu Anggabhaya, kakeknya.
"Mereka memang telah merebut tanah dan seluruh harta
pusaka kita, namun belum dapat menguasaai armada
kerajaan laut kita yang selama ini masih tetap berjaya di
samudera", berkata Arya Kuda Cemani. "Artinya kita
masih punya harta untuk membiayai seluruh pasukan kita
yang akan memulai perang senyap ini", berkata kembali
Arya Kuda Cemani. Ucapan Arya Kuda Cemani itu ternyata dapat
menggugah rasa percaya diri, juga semakin menambah
keyakinan baru bahwa rintisan yang mereka akan
lakukan akan berbuah kegemilangan.
"Perlu juga dipertimbangkan amarah musuh kita atas apa
yang telah kita lakukan, mereka akan datang kembali ke
Kotaraja Singasari, dan ada kemungkinan juga
menghancurkan armada jung Singasari", berkata
Ranggalawe ikut memberikan pandangannya.
"Pandangan Ranggalawe perlu dipertimbangkan, dulu
mereka masih menghormati diriku ini sebagai orang tua,
358 meski seluruh harta pusaka yang ada di Pasanggrahan
ini mereka rampas, tapi nyawa kami masih diberi
kesempatan untuk tetap hidup. Mungkin pada waktu
kedepan, kukira mereka punya pandangan yang berbeda
atas hidup keluarga istana ini", berkata Ratu Anggabhaya
membenarkan pandangan Ranggalawe.
"Artinya kita perlu mengamankan keluarga istana, juga
sebuah bandar sementara yang jauh diluar Jawadwipa
untuk tetap mengendalikan seluruh armada jung
Singasari, jauh dari pengaruh para pengasa Kediri",
berkata Raden Wijaya sambil pandangannya menyapu
satu persatu wajah dari semua yang hadir di pendapa
utama saat itu. "Ada sebuah tempat untuk keluarga ini, juga dapat
dijadikan sebagai bandar sementara untuk armada Jung
Singasari", berkata Mahesa Amping kepada Raden
Wijaya." Seandainya hari ini Paman Kebo Arema hadir
bersama kita, pasti beliau yang pertama menunjukkan
tempat ini", berkata kembali Mahesa Amping.
"Dimanakah Tanah yang aman itu wahai saudaraku",
bertanya Raden Wijaya yang merasa gembira dan
percaya bahwa Mahesa Amping pasti punya
pertimbangan yang sangat tepat.
"Dalam sebuah pelayaran untuk mencari tanah asal buah
Pala bersama Paman Kebo Arema, kami pernah singgah
disebuah pulau tanah kelahiran Paman Kebo Arema",
berkata Mahesa Amping diam sebentar menarik nafas
panjang sepertinya ada keraguan untuk melanjutkan
kata-katanya. "Ternyata Paman Kebo Arema ditanahnya adalah
seorang Putra Mahkota yang sangat dicintai oleh semua
penghuni pulau itu. Semoga Paman Kebo Arema
359 memaafkan diriku telah membuka jati dirinya yang
sebenarnya", berkata kembali Mahesa Amping sambil
menyapu pandangannya kesemua yang hadir saat itu.
"Pulau itu bernama Tanah Wangi-wangi", berkata
kembali Mahesa Amping menyelesaikan perkataannya.
"Apakah mereka dapat menerima orang asing?",
bertanya Ranggalawe yang baru kali ini mendengar
rahasia jati diri Kebo Arema yang sangat tertutup kepada
siapapun tentang asal usul dirinya.
"Kecintaan, nama besar dan kehormatan Paman Kebo
Arema adalah jaminan bahwa mereka akan menerima
keluarga Istana ini. Aku yang akan mengantar keluarga
istana ini kesana, karena mereka telah menjadikan diriku
ini sebagai saudara dan keluarga mereka", berkata
Mahesa Amping memberikan keyakinannya.
"Aku percaya kepadamu wahai saudaraku, sebuah
tempat yang aman untuk dua kepentingan yang
berbeda", berkata Raden Wijaya kepada Mahesa
Amping. Sementara itu langit malam di atas pendapa utama
Pasanggrahan Ratu Anggabhaya sudah terlihat sudah
semakin larut. Udara malam lewat angin dinginnya
seperti menyergap kulit, namun perbincangan diatas
pendapa utama itu justru menjadi semakin hangat.
Mereka tengah membicarakan sebuah awal perjuangan
yang mungkin sangat panjang. Sebuah perjuangan untuk
mengembalikan kejayaan Singasari raya.
Hingga akhirnya manakala malam sudah mendekati saat
pagi dimana udara yang tersapu angin semakin terasa
menusuk kulit, mereka baru saja menyepakati beberapa
hal yang dianggap sangat penting sebagai sebuah
persiapan awal. 360 "Kuserahkan harapan ini kepada kalian, harapan untuk
melihat kembali Kerajaan Singasari yang pernah kami
bangun, kami tumbuh kembangkan bersama darah dan
kecintaan, juga kesetiaan. Semoga aku dapat melihat
saat-saat kemenangan kalian, saat-saat dimana
kedamaian bumi ini kembali di bawah naungan pilar-pilar
Singasari Raya, meski tidak harus di Tanah Tumapel ini.
Aku yakin bahwa kalian yang hadir di bawah atap
pendapaku ini akan dapat berbagi selamanya dalam
kesetiaan, disaat perjuangan, disaat kemenangan dan
disaat masa kegemilangan. Bersatulah kalian dalam
kesetiaan, cinta dan persaudaraan", berkata Ratu
Anggabhaya setelah semua merasa sepakat untuk
sebuah rencana yang panjang dari sebuah perjuangan.
"Hari sudah pagi, tapi masih ada waktu yang cukup untuk
sedikit sekedar memejamkan mata dan meluruskan
badan", berkata Ranggalawe ketika bersama semua
yang hadir diatas pendapa utama itu menuruni anak
tangga pendapa untuk beristirahat di tempat yang telah
disediakan di pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
Dan pendapa utama itu akhirnya telah menjadi begitu
sepi hanya ditemani cahaya buram dari empat pelita
yang sudah mulai redup bergoyang ditiup angin dingin
diawal bayang-bayang pagi yang bening itu. Namun
pendapa utama itu seperti berjiwa telah menyimpan
setiap janji kata hati semua yang hadir di malam itu,
sebuah janji untuk bersatu dalam kesetiaan, cinta dan
persaudaraan. "Bersatulah kalian dalam kesetiaan, cinta dan
persaudaraan", kata-kata itu masih terus bergema di
telinga Mahesa Amping ketika tengah berbaring di
peraduannya mencoba memejamkan matanya.
Dan pagi yang indahpun seperti tidak sabar untuk
361 menata langitnya, meletakkan sang mentari di ujung bibir
bumi dengan cahaya kuning terang bertebaran seperti
jurai-jurai janur kuning hiasan pengantin bersama suara
ramai burung berkicau dan rumput, dahan dan daun
yang masih basah bermandikan embun pagi.
"Pagi yang indah", berkata Mahesa Amping dalam hati
sambil memandang taman yang tertata rapi mengitari
seluruh Pasanggrahan Ratu Anggabhaya ketika berjalan
menyusuri jalan setapak menuju ke pendapa utama.
"Namun sebentar lagi akan ditinggalkan penghuninya",
berkata kembali Mahesa Amping dalam hati sambil
menarik nafas panjang membayangkan taman yang asri
itu suatu waktu akan ditumbuhi ilalang dan semak liar,
akan menjadi sebuah tempat yang sepi dan terlantar
karna penghuninya entah sampai kapan baru dapat
kembali, atau tidak akan kembali menjenguknya lagi,
selamanya. "pagi yang indah, saudaraku", berkata Raden Wijaya
menyapa Mahesa Amping di pendapa utama.
"Udara di Pasanggrahan ini tidak pernah berubah, selalu
memberikan kesejukan", berkata Mahesa Amping penuh
senyum cerah sambil menaiki anak tangga pendapa
utama Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
"Terima kasih untuk kesedianmu membawa keluargaku
ketempat yang jauh dari hingar-bingar suara peperangan
yang sebentar lagi akan menggema mengisi hari-hari di
bumi ini", berkata Raden Wijaya diatas pendapa utama
kepada mahesa Amping. "Terpaksa kita kembali berpisah untuk waktu yang cukup
lama" berkata Mahesa Amping kepada Raden Wijaya.
"Kita sudah memilih tugas dan tempat yang berbeda,
meski aku banyak berharap kita ada di satu tempat yang
362 sama dalam peperangan ini", berkata raden Wijaya
kepada mahesa Amping. "Secepatnya aku akan segera kembali dari Tanah Wangiwangi, aku tidak ingin datang disaat perangmu telah
berakhir", berkata Mahesa Amping kepada Raden
Wijaya. "Kehadiranmu sangat aku harapkan, ada sebuah
kegembiraan berbagi lawan bersamamu", berkata Raden
Wijaya sambil tertawa yang diikuti oleh Mahesa Amping,
ikut tertawa bersama. "Ternyata aku terlambat bangun, semoga masih ada sisa
tawa untukku", berkata seseorang yang sudah berada
diujung anak tangga pendapa utama, yang ternyata
adalah Ranggalawe. "Silahkan dinikmati hidangan sarapan yang masih
hangat, pasti akan membuat semakin garing suara
ketawa kita", berkata Raden Wijaya kepada Mahesa
Amping dan Ranggalawe. "Masih ada waktu menjelang senja duduk menikmati
hidangan dan mendengar tawa kalian", berkata Mahesa
Amping sambil menuangkan minuman hangat wedang
sarenya. "Bila diberi kesempatan memilih, aku akan memilih
bersamamu, berlayar jauh menikmati angin laut,
sepanjang malam menatap bintang dan selalu berjaga
menunggu sang fajar mengintip diujung bibir laut datar",
berkata Ranggalawe kepada Raden Wijaya dan Mahesa
Amping. "Ada satu yang belum kamu sebut", berkata Mahesa
Amping sambil menyebarkan senyumnya.
"Semua sudah kusebut", berkata Ranggalawe penuh
363 penasaran kepada Mahesa Amping
"Yang belum kamu sebutkan adalah ketika badai angin
datang dan jung kita terpelanting digoyang ombak
setinggi gunung, dan wajahmu pucat menggigil memeluk
rapat tiang layar", berkata Mahesa Amping yang
ditanggapi tawa riuh Raden Wijaya.
Sementara itu Ranggalawe pura-pura tidak mendengarnya, mengangkat mangkuk minumannya.
"untuk yang satu itu, sudah terhapus didalam ingatanku",
berkata Ranggalawe setelah selesai menghirup minuman
hangatnya. "jadi masih ada keinginan berlayar bersamaku ?",
bertanya Mahesa Amping kepada Ranggalawe.
"Kutarik kembali pilihanku", berkata Ranggalawe dengan
wajah lucu malu langsung menyambar kembali mangkuk
minumannya.
Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Demikianlah, ketiga sahabat ini kembali bercerita tentang
masa-masa yang pernah mereka jalani bersama.
Sementara itu langit diatas Pasanggrahan Ratu
Anggabhaya sudah semakin terang, sang mentari
sepertinya begitu gelisah menatap puncak singgasana
dicakrawala langit biru menatap semua isi bumi.
Terlihat beberapa pelayan tengah mengemasi beberapa
barang yang akan dibawa bersama dalam perjalanan
keluarga istana mengungsi ke pulau Tanah Wangi-wangi.
"Kutitipkan pada kalian, Gajah Pagon, Ki Sukasrana dan
Ki Bancak. Mereka dapat diandalkan", berkata Mahesa
Amping kepada Raden Wijaya.
"Dan kamu hanya ditemani Tuan pendeta itu ?", bertanya
Raden Wijaya penuh rasa khawatir.
364 Mahesa Amping tidak langsung menjawab, hanya sedikit
tersenyum. "Berjalan ditemani bersama Ki Sandikala,
sama halnya diiringi sepuluh ribu prajurit tangguh",
berkata Mahesa Amping kepada raden Wijaya.
"Aku percaya kepadamu", berkata Raden Wijaya yang
langsung mempercayai ucapan Mahesa Amping. Terlihat
kabut kekhawatiran di wajahnya berangsung menghilang.
"Seluruh keluarga istana hari ini sudah bersiap diri,
menanti perintah dari sang Senapati", berkata Ratu
Anggabhaya dengan wajah ceria kepada Mahesa
Amping. Namun Mahesa Amping yang sudah peka
membaca pikiran orang dapat menangkap sebuah
kesedihan yang begitu mendalam. Kesedihan dari
seorang tua yang harus meninggalkan kampung
halamannya, meninggalkan semua kenangan manisnya
dan harus menerima semua keterbatasan hidup di
sebuah Tanah pengungsian.
"Semoga semua Keluarga istana sudah siap lahir dan
bathinnya, siap menghadapi perjalanan laut yang tidak
dapat berhindar manakala sang badai datang
menghampiri membawa kita jauh dari arah bintang.
Semoga siap juga dengan keterbatasan yang banyak
akan kita temui di tanah pengungsian", berkata Mahesa
Amping memberikan gambaran apa yang akan mereka
dapatkan dalam perjalanan pelayaran mereka, juga
suasana di tanah pengungsian.
Sementara itu matahari akhirnya telah merayap diatas
puncak cakrawala langit, namun udara yang sejuk di
lingkungan Kotaraja Singasari sebagai daerah perbukitan
yang hijau tidak membuat cahaya matahari menyengat
kulit. Dan angin yang bertiup masuk ke pendapa utama
365 Pasanggrahan Ratu Anggabhaya begitu menyejukkan,
semilirnya ketika menyentuh tubuh telah membuat
siapapun ingin berlama-lama duduk di pendapa utama
itu. Dan di pendapa utama saat itu sudah bertambah
beberapa orang, diantaranya adalah Gajah Pagon, Ki
Sukasrana dan Ki Bancak. Mereka memang sengaja di
panggil oleh Mahesa Amping untuk sebuah keperluan.
"kami perlu kalian sebagai pembuka jalur perjalanan
kami, meyakinkan bahwa tidak ada hambatan apapun di
depan perjalanan kami. Aku yakin kalian tahu apa yang
harus dilakukan, dan aku hanya percaya dengan kalian
bertiga", berkata Mahesa Amping kepada Gajah Pagon,
Ki Sukasrana dan Ki Bancak.
"Terima kasih bahwa tuan Senapati telah mempercayai
kami bertiga, yang kami butuhkan saat ini adalah
penjelasan tentang jalur perjalanan itu sendiri", berkata
Gajah Pagon kepada Mahesa Amping mewakili Ki
Sukasrana dan Ki Bancak. Maka dengan rinci Mahesa Amping menjelaskan jalur
perjalananya, antara lain dikatakan bahwa rombongan
pertama kali akan singgah di Bandar Cangu, melanjutkan
perjalanan lewat jalur air menyusuri Sungai Brantas dan
masuk ke anak sungai Sorong hingga keujung Muara
Sorong. "Dari Muara Sungai Sorong kami akan menyeberang ke
Balidwipa", berkata Mahesa Amping melanjutkan
penjelasannya mengenai jalur perjalanan mereka,
keluarga Istana. "kami akan menyiapkan beberapa jukung di Bandar
Cangu, juga menyiapkan beberapa perahu untuk
membawa keluarga istana menyeberangi Selat Bali",
366 berkata Gajah Pagon mencoba merinci hal lain yang
diperlukan dan akan menjadi tugas mereka bertiga untuk
menyiapkan segala sesuatunya.
"Ternyata aku berhadapan dengan seorang prajurit sandi
yang sudah tahu apa yang harus dilakukan", berkata
Mahesa Amping penuh gembira kepada Gajah Pagon.
"Tuan Arya Kuda Cemani sering menugaskan diriku
membuka jalur pengamanan disetiap perjalanan
Maharaja Kertanegara di manapun, terutama di hutan
perburuan yang belum pernah terjangkau. Dan terakhir
aku pula yang ditugaskan oleh Arya Kuda Cemani ketika
Ratu Anggabhaya dan Pangeran Lembu Tal akan
berangkat ke Tanah Gelang-gelang datang meminang
putra Jayakatwang", berkata Gajah Pagon mencoba
meyakinkan Mahesa Amping dengan tugas yang sama
yang pernah dilakukan. "Aku jadi semakin yakin bahwa ternyata aku memilih
orang yang tepat", berkata Mahesa Amping kepada
Gajah Pagon. "Tuan Senapati hanya menjelaskan perjalanan sampai di
Balidwipa, apakah boleh hamba bertanya kemana arah
rombongan keluarga setelah tiba di Balidwipa?", bertanya
Ki Bancak kepada Mahesa Amping.
Mahesa Amping tidak langsung menjawab, hanya
memperlihatkan senyumnya kepada Ki Bancak.
"Tugas kalian hanya sampai di Muara Sungai Porong,
sementara perjalanan di Balidwipa seperti berjalan di
halaman rumahku sendiri", berkata Mahesa Amping
masih menebarkan senyumnya kepada Ki bancak.
Sekejap, hanya sekejap terlihat ada perubahan di wajah
Ki Bancak. Tapi yang sekejap itu dapat dibaca oleh
367 Mahesa Amping apa yang dipikirkan oleh Ki Bancak
prajurit kepercayaannya itu yang selalu mendampingi
dirinya di semua hampir perjalanannya di Balidwipa.
"Setelah mengantar keluarga istana di tempat yang
aman, aku akan segera kembali ke Jawadwipa. Aku tidak
ingin datang sebagai seorang sahabat terakhir disaat
sebuah pesta sudah usai", berkata Mahesa Amping
sambil menatap Ki Bancak yang langsung terlihat garis
kecerahan di wajahnya. Demikianlah, Gajah Pagon, Ki Sukasrana dan Ki Bancak
terlihat pamit diri untuk mempersiapkan dirinya berangkat
lebih awal menjalankan tugas sebagai prajurit pembuka
jalan, mengamankan sepanjang jalur perjalanan keluarga
istana yang akan berangkat ke tanah pengungsian.
"Maaf, aku ada sedikit keperluan menemui Ki Brejo,
seorang pekatik", berkata Ratu Anggabhaya yang pamit
dari pendapa utama untuk menemui seorang pekatiknya.
Ketika Ratu Anggabhaya menuruni anak tangga, Mahesa
Amping terus mengikuti dengan pandang matanya
kearah Ratu Anggabhaya sampai menghilang terhalang
sudut sisi rumah panggung. Terlihat Mahesa Amping
menarik nafas panjang, begitu terharu hatinya
mengagumi sosok jiwa Ratu Anggabhaya, seorang
pembesar istana yang punya nama Agung masih peduli
kepada seorang pekatik. Demikianlah, menjelang hari jatuh di ujung senja,
rombongan keluarga istana Singasari terlihat sudah
berjalan beriring menuju regol pintu gerbang istana. Tiga
buah kereta kuda kencana terlihat sudah menanti
bersama dengan beberapa ekor kuda siap membawa
rombongan keluarga istana menuju Bandar Cangu.
Semua mata tertuju kepada sang permaisuri Maharaja
368 Singasari yang tengah menaiki kereta kuda kencana.
Terlihat seorang inang tua tidak tahan menahan isak
tangisnya memeluk seorang prajurit didekatnya yang
membiarkan inang tua itu melepaskan segala rasa
kesedihan yang begitu mendalam menyaksikan sang
permaisuri junjungannya yang begitu dicintainya harus
pergi ke sebuah tempat yang begitu jauh, entah kapan
baru dapat berjumpa kembali, atau"tidak akan pernah
datang berjumpa lagi. Seorang pelayan wanita juga ikut menangis berjongkok
menutupi wajahnya dengan kain panjangnya manakala
empat orang putri belia beriringan menaiki kereta kuda
kencana yang lain. Tiga kereta kencana bersama dengan sepuluh ekor kuda
terlihat mengiringi dibelakangnya meninggalkan regol
pintu gerbang istana diikuti ratusan pandangan mata
penuh duka. Kabut di atas Kotaraja diujung senja terlihat begitu tebal
menyelimuti pandangan mata, menutupi jalan-jalan
Kotaraja Singasari yang lengang, menutupi hampir
seluruh kerangka kayu rumah yang hangus tersisa
terbakar di kiri kanan jalan sepanjang jalan Kotaraja
Singasari. "KABUT DI BUMI SINGASARI", berkata Mahesa Amping
ketika menoleh kebelakang melihat sebuah bukit tempat
sebuah istana Singasari yang besar pernah berdiri
diatasnya, mengatur dunia.
(TAMAT) Selanjutnya, tunggu Tapak-Tapak Jejak Gajah Mada
369 Harimau Mendekam Naga Sembunyi 12 Pembalesan Seri Oey Eng Si Burung Kenari Karya Siao Ping Misteri Lukisan Tengkorak 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama