Ceritasilat Novel Online

Kelana Buana 17

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 17


bingung dan tidak mampu membayar rekening. Hal ini menimbulkan keributan pula di antara para
tamu-tamu karena barulah mereka pun menyadari bahwa kantong masing-masing pun sudah
kebobolan, entah uang atau barang-barang penting di dalam saku mereka sama hilang."
"Suatu ketika lain, aku mendapat kabar dari seorang teman kelana kangouvv, barulah aku tahu
bahwa Li-coan-tong ini adalah maling atau pencopet yang amat terkenal dan disegani di daerah
barat laut. Karena di sana para opas mengejar-ngejar jejaknya, terpaksa dia melarikan diri ke
Soatang. Temanku itu juga bilang bahwa Li-coan-tong ini mempunyai keahlian lain yang khusus,
yaitu ia pandai meniru suara orang lain dan fasih bicara dalam berbagai bahasa daerah. Pernah
terjadi suatu peristiwa lucu, dia meniru suara seorang laki-laki yang kebetulan bepergian jauh,
kepada istrinya, laki-laki itu bilang hendak pergi selama tiga hari, Li-coan-tong lantas bertaruh
dengan orang lain bahwa dia dapat menipu istri orang itu, sehingga sang istri itu menyangka
dirinya sebagai suaminya yang pulang dari tempat jauh. Dan kenyataan dia berhasil menipu istri
orang itu membuka pintu."
Merah jengah selebar muka burikan Li-ma-cu, bukan saja malu kelihatan sikapnya pun amat
menyesal dan takut, ingin bicara tidak berani dan ragu-ragu. Diam-diam Beng Goan-cau sudah
dapat meraba isi hatinya, katanya dingin: "Bicaralah terus terang, jiwamu pasti kuampuni. Kalau
tidak, he, he, aku tidak akan bunuh kau, cukup kuhukum dengan tiga puluh enam cara siksaan."
Sembari bicara ia tepuk pelan-pelan punggung Li-ma-cu seketika ia rasakan seluruh badan seperti
dicocoki ribuan jarum, sakitnya bukan main, seperti pula ada beberapa ekor ular kecil merayap
dan saling terjang gigit menggigit di dalam badan. Saking kesakitan dan takut tak tertahan Li-macu
meratap minta ampun: "Beng-ya, aku akan bicara, mohon bebaskan dulu siksaanmu."-Beng
Goan-cau lalu menepuk ulang Hiat-to lain di punggungnya, katanya: "Sepatah kata pun jangan
kau bohong, atau kau akan merasakan siksaan lain macam yang lebih lihay."
"Siaujin mana berani berbohong. Soalnya aku... aku... aku dikejar-kejar olah kawanan opas,
suatu ketika kebetulan aku bertemu dengan seorang teman yang bekerja sebagai pembantu di
markas Gi-lim-kun, dengan bujuk rayu dia mengatakan bahwa Ciong-ling Tayjin amat kagum akan
kepandai-anku, maka beliau ingin minta ban-tuanku. Dikatakan bila aku sudah berada di Cionglinghu sebagai pembantu Pakkiong Tayjin, jangan kata para opas, jago-jago bhayang-kari pun
tiada yang berani mengganggu seujung rambutku, di samping bisa mengecap hidup foya-foya,
aku pun bisa mendapat pangkat. Memang otakku terlalu tumpul, ceroboh dan kemaruk harta dan
pangkat lagi, tanpa sadar aku kena dipelet dan diperalat oleh mereka."
Kata Cay Kin: "Jadi orang yang datang ke rumahku tadi siang dan pergi bersama Le-thocu kau
adanya?" "Benar, itulah aku," Li-ma-cu mengakui secara jujur dan menunduk kepala.
"Bahwa kau sudah terima diperalat oleh Pakkiong Bong, kenapa kau beberkan intrik Boh Congtiu
dengan Pakkiong Bong kepada kami?" tanya Cay Kin pula.
Adalah Beng Goan-cau lapat-lapat sudah meraba ke mana tujuan tipu muslihat musuh,
katanya: "Pakkiong Bong yang suruh kau menggunakan cara itu untuk menipu kepercayaan kami
kepada kau bukan" Bicaralah terus terang, aku tidak akan menyalahkan kau."
Terpaksa Li-ma-cu membongkar keadaan yang sebenarnya: "Betul. Sebab Pakkiong Bong tahu
setelah Kwi-hwe-thio melarikan diri dari Ciong-ling-hu dia lantas menemui Utti Keng, kuatirnya
pula bila Utti Keng sudah bertemu dengan kalian. Dengan menyamar sebagai Kwi-hwe-thio bila
omanganku tidak cocok dengan ucapan Utti Keng, bukankah bisa menimbulkan rasa curiga
kalian?" "Masakah Pakkiong Bong tidak takut setelah kami mengetahui rahasianya itu kami akan
membeberkan persekongkolannya itu kepada khalayak ramai?" tanya Cay Kin.
Seketika Li-ma-cu mengunjuk rasa bingung dan tergagap: "Ini, ini, apa maksud Pakkiong Bong,
aku, aku tidak begitu jelas."
Tiba-tiba Beng Goan-cau men-delikkan mata, katanya mengancam: "Li-ma-cu, kami ingin
memberi kelonggaran kepadamu, agaknya kau memang suka merasakan siksaan lain yang lebih
nikmat rasanya ya?" Suara Li-ma-cu gemetar, katanya: "Siaujin memang tidak tahu, dalam hal ini Pakkiong Bong
tidak pernah membicarakan kepadaku, tapi..."
"Tapi apa?" desak Cay Kin. "Tapi menurut pandangan siaujin yang rendah, mungkin Pakkiong
Bong yakin meski kalian sudah tahu akan rahasia itu, toh tidak akan ada kesempatan untuk
membeber persekongkolannya di luaran."
Cay Kin paham dan katanya: "O, mengerti aku. Bukankah Sebun Soh dan Ouwyang Kian bertiga
kau yang memancing kemari?"
"Siaujin memang harus mati, mohon Cay-toaya mengampuni," Li-ma-cu meratap.
Cay Kin tertawa dingin: "Pakkiong Bong tentu tidak menyangka bahwa orang-orangnya yang
diutus kemari akhirnya kita labrak sampai melarikan diri mencawat ekor. Bagus, bagus sekali, kau
mau mengaku terus terang, aku tidak menyalahkan kau!"
Tapi Beng Goan-cau tahu bahwa Li-ma-cu belum lagi bicara keseluruhannya secara jujur,
pikirnya: "Menghadapi orang macam demikian, harus kuperas dengan manis budi barulah dia akan
tunduk lahir batin." Maka segera ia merubah sikap, dengan suara halus dan lemah lembut dia
bertanya: "Kukira kau dan Pakkiong Bong tidak mengira bahwa malam ini aku kebetulan berada di
rumah keluarga Cay bukan?"
"Ya, memang kami tidak menduga sebelumnya!" sahut Li-ma-cu.
"Bagus," ujar Beng Goan-cau. "Tapi masih ada sebuah hal yang belum dapat kupahami, ingin
aku tanya kau. Dari mana kau bisa tahu hari-hari pertemananku dengan Kwi-hwe-thio tempo hari,
kau tahu pula akan hubungan pribadiku dengan Kwi-hwe-thio?"
"Kwi-hwe-thio sendiri yang mengatakan kepadaku," sahut Li-ma-cu.
"Bagaimana dia bisa memberi-tahu kepada kau?"
"Tidak lama sesudah ia berpisah dengan kau, dia tertangkap oleh Gi-lim-kun."
Kejadian ini sudah dalam dugaan Beng Goan-cau, tapi setelah ia dengar penjelasan langsung
akan kebenaran hal ini, toh dia masih merasa kaget dan marah katanya: "Pastilah Pakkiong Bong
menggunakan siksaan-siksaan kejam untuk mengompes keterangannya."
"Bukan begitu kejadiannya, Kwi-hwe-thio hanya diborgol kaki tangannya dan dikurung di dalam
sebuah kamar saja," demikian Li-ma-cu menjelaskan.
"Kalau begitu cara bagaimana dia bisa memberi tahu semua urusan itu kepada kau?"
"Sejak mula aku memang sudah kenal Kwi-hwe-thio, satu tahun yang lalu aku pernah
bertanding sama Kwi-hwe-thio di kota raja, kami sama menguji kepandaian mencopet siapa lebih
unggul. Caranya bertanding adalah, siapa yang lebih dulu berhasil mencuri serenteng mutiara dan
sebilah pedang pusaka milik kesayangan Ho-kun itu perdana menteri kerajaan sekarang, di mana
dia telah diberi hadiah oleh sang raja. Akhir pertandingan dinyatakan kami sama kuat dan
setanding, tapi sebenarnya akulah yang di pihak kalah!"
Semua orang menjadi tertarik oleh ceriteranya ini, walau mereka ingin segera tahu keadaan
Kwi-hwe-thio, tak urung mereka bertanya juga: "Kalau toh pertandingan itu mengutamakan siapa
dapat lebih dulu siapa menang, kenapa bisa dikatakan seri dan setanding?"
"Batas pertandingan tiga hari, pada malam kedua Kwi-hwe-thio sudah berhasil mencuri pedang
pusaka dan rentengan mutiara itu. Seharusnya aku mengaku kalah, tapi batas waktu yang
ditentukan belum lagi berakhir, maka kukatakan kepadanya: 'kau bisa mencuri kedua barang
mestika ini, maka aku pun sanggup mengembalikannya ke tempatnya semula di dalam waktu yang
ditentukan. Kau percaya tidak"' Kwi-hwe-thio berkata: 'Ho-kun kehilangan barang-barang
mestikanya, seluruh kota sedang ribut diadakan pemeriksaan, kau hendak mengantar kembali
barang-barang ini bukankah berarti menyerahkan diri sendiri ke dalam jaring musuh" Hehe, ini
berarti jauh lebih sulit dari caraku mencuri. Baik, kalau kau punya kemampuan dan keberanian ini,
biarlah aku bertaruh lagi kepada kau, kalau kau benar-benar mampu melakukan, anggap saja aku
kalah olehmu.' Kukatakan tidak usah kau mengaku kalah, anggap saja pertandingan ini seri dan
sama kuat. Aku bukan saja bisa mengembalikan barang-barang yang hilang itu, malah secara
demonstratif aku berjalan santai mengantar barang-barang itu masuk ke dalam istana."
"Cara apa yang kau gunakan?" tanya Cay Kin.
"Kalau dikatakan amat gampang," ujar Li-ma-cu tertawa bangga. "Aku tahu dan kenal seorang
pengawal pribadi dari Kiu-bun-te-tok (pengawas sembilan pintu kota) yang sering mondar-mandir
mengirim kabar dan memberi laporan, aku menyamar menjadi orang itu, pagi-pagi benar pada
hari ketiga aku memasuki istana dan kulaporkan bahwa semalam Kiu-bun-te-tok sudah berhasil
menemukan barang-barang yang hilang. Bukan saja Ho-kun tidak mengetahui penyamaranku,
malah aku diberi persen dan dinaikkan pangkatnya."
Cay Kin beramai merasa geli dan kagum pula, katanya tertawa:
"Kiranya begitu. Kepandaianmu mencuri memang tidak menang dibanding Kwi-hwe-thio, tapi
keberanian dan kecerdikan otakmu memang amat mengagumkan, kalau pertandingan dianggap
setanding dan seri memang cukup setimpal."
Sebaliknya Li-ma-cu tidak mengunjuk rasa senang dan bangga lagi, katanya: "Memang Kwihwethio bertindak amat bijaksana, dia anggap aku sebagai kawan yang setanding dan anggap
pertandingan seri. Tapi di dalam pandangan seorang ahli hasilku kali itu tidak lebih lantaran
mengandal kepandaianku menyamar dan kepandaianku meniru suara orang, tidak terhitung
kepandaian sejati. Maka kalau menurut putusan para ahli, tetap aku dianggap kalah, dia nomor
satu dan aku nomor dua!"
"Dan oleh karena itulah sedikit banyak kau lantas merasa sedikit jelus dan sirik kepadanya
bukan?" demikian sela Beng Goan-cau menyindir.
Kena dikorek isi hatinya, Li-ma-cu menghela napas, ujarnya: "Ucapan Beng-ya memang benar,
oleh karena itulah kali ini aku terima diperalat oleh Pakkiong Bong."
Kata Cay Kin: "Setiap orang tentu punya kesalahan, tahu salah lantas memperbaiki, itulah baru
perbuatan seorang Kuncu. Cara bagaimana Pakkiong Bong memper-alat kau, jelaskan, kami tidak
akan mempersulit kepada kau!'
"Dia suruh aku pura-pura menjadi penolong Kwi-hwe-thio yang berbudi, menolongnya keluar
dari tempat kuningannya," demikian Li-ma-cu menerangkan.
"Memang itulah muslihat Pakkiong Bong yang paling busuk," demikian ujar Beng Goan-cau.
"Tapi penjagaan di markas besar Gi-lim-kun amat keras dan ketat, kau dapat menolong Kwi-hwethio
keluar dari sana, masakan dia tidak menaruh kecurigaan?"
"Aku menggangsir bumi dan masuk ke kamar kurungannya, kepada Kwi-hwe-thio aku berkata,
bahwa aku punya seorang teman sebagai penjaga di Ciong-ling-hu, dari temanku itu aku
mendapat kabar bahwa dirinya terkurung di sini, maka kudatang menolongnya. Aku menyamar
teman itu dan mencuri pula tanda pengenal piket dari Ciong-ling-hu, kusembunyikan dia di dalam
kereta, lalu membawanya keluar. Kwi-hwe-thio tahu akan kepandaianku ini, maka dia tidak
menaruh kecurigaan."
"Tapi bagaimana dia bisa mem-beritahu akan hubungan pribadinya dengan aku kepada kau?"
tanya Beng Goan-cau. "Waktu terkurung di dalam penjara, Kwi-hwe-thio memang tidak mengalami siksaan, tapi waktu
dia tertangkap urat nadinya terluka oleh cengkeraman Hun-kin-joh-kut salah seorang jago Gi-limkun
yang mengeroyoknya, dalam jangka sepuluh hari atau setengah bulan terang luka-lukanya itu
tidak akan bisa sembuh!"
"Sekarang di mana kau sembunyikan dia?" tanya Cay Kin.
"Di rumah seorang pemburu di Saysan. Pemburu itu pun samaran seorang anggota Gi-lim-kun."
"Kwi-hwe-thio mengira Beng Tayhiap masih menetap di hotel kecil itu, dia suruh aku ke sana
memberi kabar, tapi kukatakan mungkin Beng Tayhiap tidak akan mau percaya kepadaku, maka
kuminta dia menguraikan beberapa persoalan yang hanya diketahui oleh Kwi-hwe-thio dan Beng
Tayhiap sendiri, Kwi-hwe-thio percaya kepadaku, lantas dia ceritakan beberapa soal pribadinya
kepadaku." "Ternyata begitu, tapi dengan hanya membekal beberapa soal pribadi yang kau ketahui itu, kau
lantas berani menyamar jadi Kwi-hwe-thio?" Beng Goan-cau menegas.
"Nyo Bok juga ada memberi sedikit tambahan mengenai beberapa persoalan mengenai
hubungan Kwi-hwe-thio dengan Beng Tayhiap. Dalam bergaul beberapa hari itu, sedikit banyak
kuketahui pula pengalaman perkenalannya dengan Beng Tayhiap. Kupikir sudah sepuluh tahun
Beng Tayhiap berpisah pergi ke Siau-kim-jwan, sekembali pulang hanya bertemu sekali saja,
paling cepat dalam waktu satu jam, mungkin aku masih sempat mengelabui kalian."
Tergerak hati Cay Kin, teringat olehnya suatu hal, katanya: "Li-ma-cu, kuanggap kau sebagai
sahabat, maka kau pun harus anggap aku sebagai sahabat, bukan?"
Li-ma-cu kelihatan kaget, katanya: "Cay-ya, kau sudah bermurah hati terhadapku, betapa
terima kasihku kepada kau. Sekali-kali aku tidak berani mengelabui apa-apa pula kepada kau."
"Bagus, kalau begitu bicaralah terus terang, rahasia dari jalan bawah tanah ini apakah Han Wibu
sudah tahu belum, adakah dia mengikat hubungan dengan Pakkiong Bong" Apakah mereka
yang berpesan supaya kau memancing kita memasuki jalan rahasia di bawah tanah ini?"
"Soal rahasia jalan tanah ini, Han Wi-bu hanya tahu secara samar-samar saja," demikian Li-macu
menerangkan. "Cay-ya, dua kecurigaanmu yang lain, kau pun hanya menebak benar separuh
saja." Cay Kin keheranan, sekilas dia melengak, lalu tanyanya: "Apa benar omonganmu?"
"Han Wi-bu hanya tahu adanya jalan rahasia di bawah tanah ini, tapi dia tidak tahu di mana
ujung lubang keluar masuknya."
"Cara bagaimana dia bisa tahu" Dalam piaukiok yang tahu akan adanya jalan rahasia ini hanya
tiga orang tua saja, ketiga orang tua itu amat patuh dan setia kepada ayahku almarhum, aku
percaya mereka tidak akan membocorkan rahasia ini."
"Menurut apa yang kutahu, memang bukan ketiga orang tua itu yang membocorkan. Meskipun
secara langsung Han Wi-bu sering mengorek keterangan mereka."
"Memangnya siapa yang kau maksud?"
"Kecuali ketiga orang tua itu, masih ada seorang lain yang termasuk orang lama di dalam
piaukiok. Kabarnya adalah kacung kecil yang dulu selalu melayani ayahmu. Kacung kecil dulu itu,
sekarang sudah diangkat sebagai piausu oleh Han Wi-bu."
"Kacung kecil ini sebetulnya pun tidak tahu adanya jalan rahasia di bawah tanah itu, tapi
sebagai kacung pribadi ayahmu yang selalu dekat dengan beliau, suatu malam dia saksikan sendiri
ayahmu malam-malam keluar pintu, tapi hari kedua pagi-pagi benar, sebelum pintu piaukiok
dibuka, tahu-tahu ia sudah melihat ayahmu muncul pula di dalam rumah, maka ia merasa curiga
adanya sebuah jalan rahasia yang menembus ke dalam piaukiok."
"Kiranya begitu. Bahwa Han Wi-bu tahu adanya jalan rahasia bawah tanah ini, tentu ia amat
curiga terhadapku dan sudah mencari tempat dan letak mulutnya?"
"Ya, begitulah. Han Wi-bu takut kau menggunakan jalan rahasia itu dan melakukan sesuatu
yang tidak menguntungkan dia, maka dia utarakan isi hatinya ini kepada Ouwyang Kian, mereka
berunding cara bagaimana untuk menghadapi kau."
"O, cara bagaimana mereka hendak menghadapi aku?"
"Semula Han Wi-bu tidak mau meminjam kekuatan pasukan pemerintah, tapi dia sendiri tiada
alasan untuk main geledah di rumahmu. Karena bila rekaannya meleset, kenyataan tiada jalan
rahasia yang dimaksud, bukankah menjadi buah tertawaan orang banyak?"
Beng Goan-cau mendekam di tanah menempelkan kuping ke bumi mendengarkan sebentar,
katanya: "Mereka sedang ribut memindah lemari membongkar peti, agaknya masih belum
menemukan jalan rahasia ini dan sedang menggeledah ke mana-mana. Li-ma-cu ceritamu kau
singkat saja, lekas kau paparkan bagaimana muslihat Ouwyang Kian, soal-soal yang kecil tidak
usah kau ceritakan."
Li-ma-cu mengiakan lalu menyambung: "Waktu Ouwyang Kian tahu akan perihal ini, karena
waktunya belum tiba, maka ia tidak akan membeberkan hubungan intimnya dengan Pakkiong
Bong kepada Han Wi-bu. Sekarang waktu yang dia tunggu-tunggu sudah tiba, maka dia hendak
menunggu kalian di piaukiok sana, masuk ke dalam perangkapnya."
Cay Kin menjadi paham, katanya: "O, jadi mereka menggunakan akal sekali panah dapat dua
ekor burung, kecuali mengirim pasukan menggerebek rumahku, kalau tidak berhasil tujuan
mereka menangkap aku, lalu paksa kita masuk ke jalan rahasia di bawah tanah ini."
"Han Wi-bu hanya akan menghadapi kau," demikian kata Li-ma-cu pula, "sebaliknya dia tidak
tahu bahwa ada beberapa sahabat penting dari tokoh-tokoh kosen kaum pendekar berada di
rumahmu. Maka itulah Cay-ya, tadi kukatakan bahwa rekaanmu apakah Han Wi-bu ada sekongkol
dengan Pakkiong Bong, hanja benar separuh saja."
Cay Kin tertawa getir, ujarnya: "Separuh pun baik, benar seluruh- " nya juga tidak menjadi
soal, bukankah akibatnya sama saja?"
Beng Goan-cau tertawa, tim-brungnya: "Menurut pendapatku justru tidak sama. Asal Han Wi-bu
tidak tersesat dan jatuh ke pihak musuh, berarti masih ada harapan kita menariknya ke pihak kita.
Meski tidak sampai sehaluan dengan kami, toh dia tidak akan sudi menjadi kaki tangan musuh
lagi." Cay Kin menjadi sadar, katanya: "Betul, walau Han Wi-bu tidak cocok dengan aku, aku pun
tidak ingin menjadi musuh kebuyutan dengan dia. Li-ma-cu, masih punya bukti apa lagi yang
dapat kau kemukakan bahwa Han Wi-bu tidak berpihak kepada Pakkiong Bong?"
"Menurut apa yang kuketahui, sampai detik ini Han Wi-bu masih belum tahu akan asal-usul dan
kedudukan Ouwyang Kian yang sebenarnya."
"Maksudmu tentang rahasia Ouwyang Kian diutus oleh Pakkiong Bong untuk menjadi agen di
dalam piaukioknya itu?"
"Betul. Dia hanya tahu bahwa Ouwyang Kian memang kenal dengan Pakkiong Bong, namun
belum tahu bahwa wakilnya itu sudah rela diperbudak menjadi cakar alap-alap pihak kerajaan."
Setengah percaya setengah tidak Cay Kin dibuatnya, katanya sangsi: "Lalu peristiwa malam
ini..." "Ouwyang Kian hanya membocorkan sedikit berita, belum ia kemukakan secara terangterangan
seluruhnya. Dia menipu Han Wi-bu, dikatakan dia menyogok petugas keamanan kota
untuk menggerebek ke rumahmu, sebagai muslihat untuk mendesak dan menjebak kau masuk ke
dalam jalan rahasia di bawah tanah itu.
Han Wi-bu sendiri hanya akan menghadapi kau, tidak suka merembet pihak pemerintah.
Dikatakan oleh Ouwyang Kian, justru dia bersekongkol dengan para opas ini, supaya Han Wi-bu
dapat meringkus kau dengan tangannya sendiri.- Dikatakan pula bahwa pihak pemerintah sudah
lama mencurigai kau, tipu yang dia gunakan ini hanyalah meminjam golok membunuh orang,
maka cara bagaimana nanti Han Wi-bu akan menjatuhkan hukumannya terhadap kau, pihak
pemerintah tidak akan turut campur. Sudah tentu omongannya ini hanya mengada-ada, dan
alasan belaka." "Bicara soal pinjam golok membunuh orang memang omongan Ouwyang Kian ini tidak salah.
Hm, sungguh tidak nyana bahwa sedemikian besar dan mendalamnya Han Wi-bu membenci aku,
meski lahirnya dia mengatakan tidak mau terseret dalam persoalan pemerintah, toh tanpa sadar
dia sudah diperalat oleh para pejabat!" demikian komentar Cay Kin.
Beng Goan-cau tertawa, katanya: "Dia tidak mau kerembet oleh persoalan pemerintah ini
menandakan bahwa dia masih punya kekuatiran dan tidak separah yang kita bayangkan
sebelumnya." "Ya," ujar Cay Kin, "tugas kita yang terpenting sekarang adalah mencari daya upaya, cara
bagaimana kita harus meloloskan diri dari tempat berbahaya ini. Kalau Ouwyang Kian sudah
memperalat Han Wi-bu dan menunggu kedatangan kita di sebelah sana, rasanya rada sulit untuk
membujuk atau memberi pengertian kepada Han Wi-bu."
Sejak tadi Beng Goan-cau sudah mendapatkan suatu akal, maka ia lantas berkata: "Li-ma-cu,
sukakah kau membantu kesulitan kami ini?"


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Asal kalian sudi mempercayai aku saja!"
"Kalau tidak percaya kau, memangnya kami berani menyerahkan tanggung jawab jiwa kami
beramai kepada kau?"
Li-ma-cu jadi terkejut, tanyanya menegas: "Beng-ya, bantuan apa yang harus kuberikan
kepada kalian?" "Harap kau menyamar sebagai Pakkiong Bong!"
Sudah tentu kata-katanya ini amat di luar prasangka semua orang. Kata Cay Kin: "Untuk apa
menyamar Pakkiong Bong?"
Betapapun Li-ma-cu seorang kangouw yang berpengalaman dalam bidangnya ini, setelah
melongo sebentar, cepat sekali ia sudah paham maksud Beng Goan-cau, katanya: "Apakah
maksud Beng-ya supaya aku menemui Han Wi-bu dan Ouwyang Kian?"
"Benar, tapi bukan aku yang ikut kau, Cay-toakolah yang akan menyertai kau!"
"Sebetulnya rencana apa yang sedang kau rancang?" tanya Cay Kin tertawa.
"Teka-teki dari rencanaku ini biar nanti saja kalian saksikan dari buktinya. Li-ma-cu, tiba
saatnya kau memperlihatkan kepandaian, kecerdikan dan kepercayaanmu."
"Menyamar sebagai Pakkiong Bong tidak menyulitkan bagi aku. Cuma di sini kami kekurangan
seperangkat pakaian dari seragam pasukan Gi-lim-kun."
"Pakkiong Bong keluar mengadakan pemeriksaan secara diam-diam, bukan inspeksi secara
resmi, maka tidak perlu dia mengenakan pakaian dinasnya," demikian Beng Goan-cau
menambahkan. Li-ma-cu tertawa, katanya: "Asal mukanya saja yang harus sama, terlalu gampang bagi aku!"
Segera ia mengeluarkan sebuah kantong sutra, dari dalamnya ia mengeluarkan sepotong malam
kuning dan sebotol air obat untuk rias, sebentuk kaca untuk bercermin. Disaksikan oleh Beng
Goan-cau beramai, segera ia mulai bekerja, sekejap saja, bentuk wajahnya sudah berubah sama
sekali dan persis benar dengan Pakkiong Bong.
"Aku masih membekal beberapa butir obat poles muka, tidak perlu kalian menyaru orang lain,
tapi setelah memoleskan bahan obat ini dapat merubah bentuk muka kalian, kalian boleh
menyamar sebagai pembantu dari piaukiok saja. Para kerabat Tin-wan Piaukiok jumlahnya ada
seratus lebih, di malam hari lagi, meski mereka merasa rada asing kepada kalian, dalam waktu
singkat kukira tidak akan mampu membongkar penyamaran kita."
"Bagus, sekarang kita bisa bekerja menurut akal ini. Cay-toako, begini dan begitu kami atur,
bagaimana menurut pendapatmu?" tanya Beng Goan-cau.
Cay Kin tertawa, sahutnya: "Meski akal ini radj^berbahaya, tapi dapat membawa hasil di luar
dugaan dan cepat, memang suatu akal yang amat bagus. Baik, segera kita laksanakan bersama!"
Di dalam sebuah kamar rahasia di Tin-wan Piaukiok, cong-piauthau Han Wi-bu dan wakilnya
Ouwyang Kian sedang menunggu-nunggu sambil menahan napas, agaknya mereka kurang tenang
dan gelisah. "Ouwyang-heng," ujar Han Wi-bu, "bisa tidak terjadi sesuatu keruwetan menurut
pendapatmu?" "Keruwetan apa?"
"Aku kuatir, perbuatan kita kali ini bakal menyalahi terhadap para sahabat bu-lim dari golongan
pendekar." "Urusan kali ini hanyalah menyelesaikan persoalan pribadi antara kau dengan Cay Kin, apa
sangkut pautnya dengan golongan pendekar" Yang terang tidak pantas dia membuat jalan rahasia
itu untuk menghadapi kau, kalau diributkan kebenaran berada di pihakmu!"
"Meski demikian, paling tidak dalam persoalan kali ini, kita sudah meminjam tenaga pasukan
pemerintah, kalau tersiar di luaran, mungkin bisa menimbulkan omongan iseng yang menusuk
kuping!" "Orang luar tidak akan tahu, dan lagi kalau Cay Kin masuk perangkap, merangkak keluar dari
lubang jalan tanah itu, kita bisa menuduhnya sebagai main terobosan di dalam piaukiok tanpa ijin,
orang lain tentu tidak akan menyalahkan tindakanmu."
Han Wi-bu manggut-manggut, katanya: "Kalau dia datang, cepat atau lambat pasti bisa kita
ketahui, soalnya, dia datang atau tidak?"
"Sekarang pasukan besar pemerintah sudah menggerebek ke rumah keluarga Cay, kukira dia
pasti datang." Belum habis mereka bicara, tiba-tiba didengarnya derap langkah kaki mendatangi, Han Wi-bu
membentak: "Siapa" Hah... oh!" Ternyata dua orang yang dibentak sudah mendorong pintu dan
melangkah masuk. Kedua orang ini, satu di antaranya adalah Cay Kin, yang lain adalah Li-ma-cu yang menyamar
sebagai Pakkiong Bong. Sebetulnya Han Wi-bu sudah siap begitu melihat Cay Kin lantas hendak turun tangan, namun
mimpi juga ia tidak menduga bahwa Cay Kin muncul bersama komandan Gi-lim-kun, sudah tentu
seketika ia berjingkrak kaget dan melenggong.
Ouwyang Kian jauh lebih kaget. "Masakah Pakkiong Bong tidak percaya lagi kepadaku, kenapa
dia harus meluruk datang sendiri" Dilihat gelagatnya, Cay Kin sudah digusur datang kemari,
apakah yang telah terjadi?"
Tanpa memberi kesempatan otaknya berpikir lebih lanjut, Pakkiong Bong sudah mendengus
keras-keras, terdengar suaranya dingin dan kereng: 'Han-congpiau-thau, maafkan kedatanganku
sebagai tamu tidak diundang ini." Setelah mohon maaf, tiba-tiba Pakkiong Bong putar badan dan
menje-ngek dingin kepada Ouwyang Kian: "Ouwyang Kian, baik ya perbuatanmu!"
Berjingkat Ouwyang Kian, serunya: "'Pakkiong Tayjin, apa maksudmu ini?"
"Kusuruh kau melakukan suatu tugas rahasia di piaukiok ini, memangnya aku suruh kau
menggunakan kedudukan wakil Cong-piauthau, secara diam-diam menyembunyikan buronanku di
dalam piaukiok ini?"
"Ini, dengan alasan apa kau bisa mengatakan demikian?"
"Cay Kin sudah mengaku terus terang, kau masih berani mungkir" Lekas katakan, di mana kau
sembunyikan Beng Goan-cau?"
Ouwyang Kian menjadi pucat dan mengeluh penasaran katanya: "Pakkiong Tayjin, jangan kau
percaya obrolan Cay Kin, dia memfitnah aku. Kira-kira satu jam yang lalu baru saja aku bertempur
dengan Beng Goan-cau di rumahnya, Sebun Soh dan Hian-hong Totiang bisa dijadikan saksi.'"
Pakkiong Bong memaki: "Kau hanya cari alasan dan hendak mengelabui mata^uping orang."
Maka Cay Kin segera menimbrung bicara: "Akhirnya, kau kembali seorang diri dan menggusur
Beng Goan-cau pergi lewat jalan rahasia bawah tanah lari ke piaukiok ini. Kaulah yang menjadi
biang keladinya, aku hanya sebagai alat pelaksana saja. Maaf, karena aku dikompes oleh Pakkiong
Tayjin, apa boleh buat aku terpaksa mengaku terus terang."
"Sontoloyo!"' maki Ouwyang Kian gusar. "Cay Kin, kau, kau, kenapa kau memfitnah orang
semena-mena?" Han Wi-bu berdiri di samping mendengarkan percakapan mereka, sungguh sukar dia
merasakan perasaan hatinya: "Ternyata Ouwyang Kian utusan Pakkiong Bong yang dijadikan agen
rahasia di dalam piaukiok. Celaka, celaka, kali ini aku dibuat serba salah, kalau tidak melanggar
hukum pemerintah, tentu aku menyalahi pergaulan bebas terhadap para sahabat kangouw."
Sungguh bingung, kaget dan takut, tapi dongkol dan marah pula, dalam keadaan yang fatal ini
terpaksa dia harus berlaku jujur dan membela Ouwyang Kian katanya: "Pakkiong Tayjin, dalam
waktu satu jam belakangan, Ouwyang Kian selalu berada di dalam kamarku ini. Belum pernah
kulihat siapa itu Beng Goan-cau."
"Setelah dia sembunyikan Beng Goan-cau baru dia menemui kau, dari mana kau bisa tahu?"
sanggah Cay Kin. "Pakkiong Tayjin," seru Ouwyang Kian, "harap ijinkan aku bertanya kepadanya."
"Baik," ujar Pakkiong Bong. "Cay Kin, kau maju dan jawab setiap pertanyaannya."
Saat mana Ouwyang Kian sudah rada mengendalikan perasaan dan menenangkan hati, baru
saja ia hendak membongkar banyak titik kelemahan tuduhan Cay Kin, mendadak Cay Kin sudah
mencengkeram dan menelikung lebih dulu.
Kalau dalam keadaan biasa, satu lawan satu terang Cay Kin bukan tandingan Ouwyang Kian.
Tapi karena kehadiran Pakkiong Bong, serta menghadapi fitnahan pula, ia tahu kepandaian sendiri
jelas bukan tandingan Pakkiong Bong, apalagi ia mengira'Cay Kin digusur datang oleh Pakkiong
Bong, dan kini Pakkiong Bong suruh mereka beradu muka, sudah tentu ia tidak menduga dan
berjaga-jaga bahwa Cay Kin bakal turun tangan secara kekerasan. Karena tidak siaga, dengan
gampang dia kena dibekuk oleh Cay Kin.
Hou-jiau-kim-na-jiu jang diyakinkan Cay Kin merupakan kepandaian tunggal dalam bulim,
begitu kena dicengkeram, seketika Ouwyang Kian tidak mampu berkutik lagi. Kejadian sclanjutnja
amat cepat, Pakkiong Bong pun melangkah maju dan mengidapkan telapak tangannya ke muka
Ouwyang Kian, seketika ia roboh pingsan.
Ternyata meskipun kepandaian silat Li-ma-cu teramat rendah, tapi dalam kalangan pencopet,
bahwa dia bisa sejajar dengan ketenaran Kwi-hwe-thio, sudah tentu mempunyai bekal-bekal
permainannya yang serba rendah dan rada kotor. Permainan rendah dan kotornya ini adalah dia
paling ahli menggguna-kan obat bius. Cukup telapak tangannya diulapkan di depan muka
Ouwyang Kian di mana ia sudah menggenggam sebuah sapu tangan yang sudah dia basahi
dengan obat harum pemulas kesadaran orang.
Begitu Ouwyang Kian jatuh pingsan, perubahan yang tak terduga ini karuan membuat Han
Wibu kaget dan melongo. Sesaat kemudian barulah Han Wi-bu bisa menenangkan hatinya,
terdengarlah ia bicara: "Pakkiong Tayjin, ini, apa sebetulnya yang terjadi?" Sebagai komandan Gilimkun yang tinggi kedudukan dan punya wibawa disegani lagi, ternyata orang menggunakan
obat bius yang biasanya suka digunakan oleh golongan rendah dan hina, sudah tentu dalam
pandangan Han Wi-bu, menjadi suatu kejadian yang luar biasa.
Li-ma-cu bergelak tertawa, katanya: "Han-congpiauthau, kau sudah salah lihat. Aku bukan
Pakkiong Tayjin segala, aku adalah si maling kecil Li-ma-cu." Nada bicaranya kini benar-benar
sudah berubah seperti suara aslinya semula.
Kaget dan gusar pula Han Wi-bu dibuatnya, dampratnya: "Li-ma-cu, kenapa kau hendak
mencelakai aku?" "Aku menolong kau membongkar seorang agen rahasia musuh yang menyelundup di dalam
piaukiokmu, masakah perbuatanku ini tiada pahalanya" Biarlah aku menebus kesalahanku ini
dengan pahala besarku ini, cukup setimpal bukan. Han-cong-piauthau, harap kau tidak
menyalahkan kepadaku lagi. He, he, malah ingin aku perkenalkan beberapa kawan kepada kau!"
Lebih terkejut pula Han Wi-bu mendengar ucapannya terakhir ini, tanyanya: "Masih ada siapa
lagi di pihak kalian?" Belum habis ia bicara Cay Kin sudah membuka jendela, seorang laki-laki
pertengahan umur memelihara jenggot kambing, di kuti laki-laki tiga puluhan tahun bertubuh
kekar bermuka kuning kehitam-hitaman rada legam dan yang terakhir adalah pemuda gagah yang
berwajah cakap berlompatan masuk ke dalam.
Berkatalah Cay Kin: "Han-congpiauthau, biar kuperkenalkan beberapa teman ini, dia tentu
sudah kau kenal Miao Tiang-hong Miao Tayhiap, saudara ini adalah tamu dari Siau-kim-jwan Beng
Goan-cau Beng Tayhiap, sedang anak muda ini adalah Hu-thocu dari Thian-te-hwe, murid
kesayangan Kang Hay-thian Kang-tayhiap, Li Kong-he Li-siauhiap."
Ketiga orang ini sama menggetarkan kangouw, merupakan tokoh-tokoh kosen yang punya
reputasi besar di kalangan pendekar. Terutama Li Kong-he, meski usianya paling muda, namun
gurunya adalah Kang Hay-thian yang diakui bersama oleh seluruh lapisan umat persilatan sebagai
tokoh silat nomor satu di seluruh dunia. Ketiganya, Han Wi-bu sama tidak berani mengusik
mereka. Diam-diam Han Wi-bu mengeluh dalam batin, namun lahirnya ia tetap bersikap ramah dan
berbasa-basi: "Selamat bertemu, selamat bertemu!"
Beng Goan-cau menjura dan berkata: "Kami sedang bertamu di rumah keluarga Cay, tak
terduga pasukan alap-alap musuh meluruk tiba, terpaksa malam begini kami menyelundup ke
piaukiokmu untuk menyingkir sementara. Harap Han-congpiauthau suka memaafkan keteledoran
kami ini!" Segera Cay Kin ikut menjelaskan: "Jalan rahasia yang dibuat oleh ayah almarhum, selamanya
tidak pernah kugunakan, hari ini keadaan memaksa untuk menggunakannya sekali, selanjutnya
tidak akan kami gunakan lagi."
"Urusan dalam Tin-wan Piaukiok aku sudah tidak turut campur, kini terjadi persoalan ini, jelas
aku tidak akan bisa menetap lagi di Pakkhia. Maka bolehlah Han-heng melegakan hati, dan tidak
perlu main curiga kepadaku lagi."
Han Wi-bu menyengir kecut, ujarnya: "Mana berani aku mencurigai Cay-heng. Cuma piaukiok
ini kukira bukan tempatnya untuk menghindari bahaya. Kalau Ouwyang Kian tidak kembali,
memangnya Pakkiong Bong tidak akan mengutus orang menggeledah piaukiok ini" Cay-heng,
hubunganmu jauh lebih erat pada Tin-wan Piaukiok daripadaku, kuharap kau pun suka memikirkan
nasib dan kehidupan dari merk Tin-wan Piaukiok selanjutnya."
Kata Cay Kin: "Han-heng tidak perlu kuatir, merk emas dari Tin-wan Piaukiok didirikan oleh
ayahku almarhum, masakah aku tega melihat Tin-wan Piaukiok disegel oleh pemerintah, sekaligus
mematikan mata pencaharian para pegawainya" Sekarang juga kami akan berlalu!"
"Kalau Pakkiong Bong datang kemari dan menanyakan kepadaku, bagaimana aku harus
memberi penjelasan?"
Li-ma-cu tertawa lebar, selanya: "Boleh kau limpahkan seluruh persoalan kepada aku si
Pakkiong Bong palsu ini!"
"Bagaimana pula dengan Ouwyang Kian?" tanya Han Wi-bu. -"Bajingan ini tidak akan kami
ampuni, cuma sekarang masih perlu meminjam tenaganya," demikian Cay Kin menjelaskan. "Hanheng
tidak usah kuatir, bangsat ini tidak akan bisa kembali ke Tin-wan Piaukiok untuk mencelakai
kau." Sebagai seorang kawakan kangouw, mendengar uraian Cay Kin, Han Wi-bu sudah paham
maksud kata-katanya itu, artinya Ouwyang Kian hendak digusur keluar dari piaukiok lalu akan
dibunuhnya supaya tutup mulut.
Tapi Han Wi-bu masih punya kekuatirannya sendiri, katanya: "Aku bisa melimpahkan segala
kesalahan kepada Li-ma-cu dengan hanya keterangan mulut saja tanpa bukti-bukti nyata, kalau
Pakkiong Bong tidak percaya, apa pula yang harus kulakukan?"
"Sebagai komandan Gi-lim-kun palsu ini, aku akan berlenggang dengan langkah kereng keluar
dari pintu piaukiokmu," demikian tutur Li-ma-cu.
Kata Han Wi-bu: "Orang-orang piaukiok memang sudah melihat kau, namun mereka belum bisa
dijadikan saksi utama. Dan lagi mereka bukan anak buah kepercayaan Pakkiong Bong, meski
pengakuan mereka sama, namun Pakkiong Bong masih bisa menuduh kami sebelumnya memang
sudah sekongkol." Li-ma-cu menyengir semakin lebar, ujarnya: "Saksi utama yang dapat dipercaya oleh Pakkiong
Bong sudah sejak tadi datang, masakah kau belum tahu?"
"Di mana" Dan siapakah dia"' tanya Han Wi-bu heran.
"Saksi utama sudah tentu bukan Ouwyang Kian, tapi adalah para perwira pasukan Gi-lim-kun,
malah bukan hanya seorang saja. Termasuk pasukan pemerintah paling tidak juga ratusan
banyaknya!" demikian kata Li-ma-cu.
Lagi-lagi Han Wi-bu amat terkejut dibuatnya, serunya menegas: "Pasukan Gi-lim-kun sudah
tiba?" "Tidak salah, sudah datang sejak tadi," ujar Li-ma-cu. "Mereka tersebar luas di sekeliling
piaukiokmu ini, cuma tidak meluruk masuk saja. Karena kuatir tidak setia dan bekerja tidak
sepenuh hati, maka Pakkiong Bong dan Ouwyang Kian sudah memendam pasukannya di luar
sana, cukup Ouwyang Kian memberikan tanda rahasia, mereka bakal menerjang bersama."
Kaget dan gusar pula Han Wi-bu, serunya: "Ouwyang Kian selalu pentang bacot tidak
merembet dan menggunakan kekuatan pemerintah, kiranya malah sudah mengatur rencana keji.
Hm, jikalau aku bekerja tidak menyenangkan seleranya, mungkin seluruh kerabat piaukiok ini
bakal dijaring semua olehnya."
"Hal itu sudah pasti. Tapi sekarang kau tidak perlu kuatir lagi, dengan keluar berlenggang
dengan lagak seorang pembesar, aku berani pastikan beberapa ratus pasang mata mereka itu
tidak akan dapat melihat titik kelemahan kami, malah secara hormat dan membungkuk-bungkuk
mereka akan mendengar perintahku. Bahwa ratusan mata orang-orang itu tidak melihat akan
penyamaran kami ini, masakah bisa menyalahkan kalian pula! Dengan demikian, maka kau pun
boleh melempar kesalahan ini kepadaku saja!" demikian Li-ma-cu menghibur.
Han Wi-bu segera menjura. katanya: "Cay-heng, Li-heng, kali ini aku orang she Han berkat
kepercayaan dan permainan kalian ini, seandainya bisa terhindar dari segala kesulitan, aku orang
she Han selama hidup akan berterima kasih atas pertolongan kalian." Bahwa pertikaian bisa
hapus, sudah tentu Cay Kin amat senang.
Beng Goan-cau lantas menimbrung: "Basa-basi tidak perlu diteruskan lagi. Han-congpiauthau,
terima kasih akan penghargaanmu terhadap kami, gunung tetap menghijau dan air tetap
mengalir, kita bertemu lain kesempatan, selamat tinggal!"
Li-ma-cu meneguk sekumur air dingin terus disemprotkan ke muka Ouwyang Kian, pelan-pelan
Ouwyang Kian membuka mata, walau sudah siuman namun kesadarannya masih samar-samar,
melihat Pakkiong Bong berdiri di depannya dengan mimik muka seperti tertawa tidak tertawa,
mendadak ia tersentak sadar dan berteriak: "Kau, kau bukan..."
"Ya, aku memang bukan Pakkiong Tayjinmu."
Bersama itu, Cay Kin cepat bertindak menotok Hiat-to bisunya. Jengeknya dingin: "Patuhi
segala petunjuk dan keluar bersama kami, biar kuantar kau pulang." Ketiga jarinya mencengkeram
urat nadinya, selintas pandang seperti mereka sedang jalan bergandengan tangan.
Mana Ouwyang Kian tahu dan menyadari maksud kata-kata "pulang" ucapan Cay Kin adalah
mengantar jiwanya ke akhirat, dalam hatinya masih bersyukur bahwa nanti dirinya bisa terhindar
dari malapetaka dan selamat pulang rumah. Ia sangka pula bahwa Cay Kin punya rumah punya
keluarga, dengan sebuah usaha besar pula di kota raja, tidak bisa tidak harus berpikir-pikir untuk
bertindak terhadap dirinya, karena jiwa terancam di tangan orang terpaksa ia patuh saja mengikut
Cay Kin beranjak keluar. Waktu beranjak dari kamar rahasia itu, mendadak Li-ma-cu ingat sesuatu, katanya berpaling
dengan suara lirih: "Orang yang membocorkan rahasia jalan bawah tanah itu, dengan murid Nyo
Bok yang bernama Bun Seng-liong, bukan orang baik-baik, kau harus hati-hati." Lalu ia ganti suara
dan berseru keras: "Sudah tiada urusan kalian, Han-congpiauthau, kalian pulanglah, tak perlu
mengantar lagi!" Serombongan orang dengan langkah lebar, tegap dan membusung dada keluar dari pintu
piaukiok, pasukan Gi-lim-kun yang dipendam di luar, mendadak melihat komandan mereka keluar
dari dalam piaukiok, sudah tentu mereka sama terkejut. Li-ma-cu segera meninggikan suara dan
membentak lantang: "Kalian keluar semua!"
Tampak puluhan bayangan orang sama berlompatan turun dari atap rumah-rumah sekitarnya,
ada pula yang keluar dari pengkolan jalan atau tempat-tempat gelap di sekitarnya, semua sama
maju dan menjura hormat secara kemiliteran. Han Wi-bu mengantar para tamunya sampai di
ambang pintu, waktu ia angkat kepala melongok keluar, tampak di luar pintu penuh berdesakan
kepala manusia, jumlah mereka tidak kurang dari lima ratusan orang. Keruan Han Wi-bu
mencucurkan keringat dingin, pikirnya: "Sungguh berbahaya, sungguh berbahaya! Kalau Li-ma-cu
tidak peroleh akalnya yang bagus ini, malam ini keadaanku betul-betul serba runyam."
Perwira yang memimpin pasukan Gi-lim-kun ini bersifat hati-hati, ia suruh anak buahnya
menyulut obor, di bawah cahaya obor dilihatnya Pakkiong Bong dan Ouwyang Kian berjalan di
tengah bergandeng tangan meski merasa heran akan munculnya atasannya, namun ia tidak berani
menaruh banyak curiga. Sementara Cay Kin, Beng Goan-cau, Li Kong-he dan Miao Tiang-hong
sudah merubah muka masing-masing disangkanya mereka adalah agen-agen rahasia yang


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditanam di dalam piaukiok, kalau toh Pakkiong Bong dan Ouwyang
Kian tidak palsu, maka terhadap orang-orang yang dibawa keluar oleh beliau, mereka tidak
berani bertindak kasar dan main tanya lagi. Sungguh mimpi juga takkan terpikir olehnya, bahwa
yang disangka tulen sebetulnya palsu adanya.
Dugaan Li-ma-cu memang tidak salah, ratusan mata manusia itu, ternyata tiada seorang pun
yang melihat kepalsuan dari samarannya.
Li-ma-cu segera memberi perintah: "Segera siapkan sebuah kereta untukku."
Perwira itu menjura sambil mengiakan lalu tanyanya: "Ciong-ling Tayjin, kau hendak ke markas
atau mau keluar kota?"
"Aku hendak keluar kota menyelesaikan urusan dinas, kalian tidak perlu ikut. Piaukiok ini sudah
kuperiksa. Bawa pasukan kembali ke markas!" demikian Li-ma-cu memberi perintah.
Perwira itu mengiakan lalu menyiapkan pasukannya tanpa berani banyak tanya lagi.
Sebentar saja dua utusan Gi-lim-kun sudah berhasil membawa sebuah kereta yang ditarik
empat ekor kuda pilihan. Li-ma-cu beramai segera naik ke dalam kereta dan perintahkan kusir
kereta segera membedal ke pintu barat. Kedua kusir kereta adalah dua perwira kelas rendah dari
Gi-lim-kun. Waktu sampai di pintu barat, hari masih terlalu pagi, kira-kira satu jam lagi baru terang tanah.
Tapi tentara piket yang jaga pintu kota melihat kereta yang dikendalikan perwira rendah Gi-limkun,
setelah ditanyakan baru diketahui bahwa di dalam kereta duduk komandan Gi-lim-kun, meski
mereka tidak pernah melihat Pakkiong Bong, namun kedua kusir itu mengenakan pakaian dinas
lengkap dengan pangkat mereka, salah seorang dikenal oleh penjaga pintu kota itu, sudah tentu
mereka tidak berani ayal dan segera membuka pintu membiarkan kereta itu membeda! kabur
keluar kota. Begitu berada di luar kota, Li-ma-cu perintahkan kusir melarikan kereta secepat-cepat-nya.
Kira-kira puluhan li kemudian, mereka sudah berada di jalan pegunungan sepi, Li-ma-cu lantas
memberi lirikan mata kepada Beng Goan-cau. Menggunakan Jiong-jiu-hoat Beng Goan-cau
menotok hiat-to mematikan di badan Ouwyang Kian dengan keras. Ouwyang Kian hanya
mendengus sekali dan melayanglah jiwanya.
Lekas Li-ma-cu berteriak: "Berhenti! Hentikan kereta!"
Kedua kusir kereta segera mengekang kendali menghentikan kereta, katanya: "Ciong-ling
Tayjin ada perintah apa?"
Kata Li-ma-cu: "Ouwyang Kian waktu berada di rumah Cay Kin sudah terluka, sekarang jatuh
pingsan. Kalian bawa dia pulang kembali ke markas!"
Kedua perwira rendah itu mengiakan bersama dan percaya saja tanpa curiga sedikit pun.
Li-ma-cu berkata lebih lanjut: "Kalian cari saja kuda lain untuk menarik kereta ini, keempat ekor
kuda ini akan kami pakai. Ouwyang Kian hanya pingsan saja, mungkin tidak begitu gawat."
Sudah tentu kedua perwira itu mengiakan berulang-ulang, mana mereka berani membangkang,
adalah celaka kalau sampai mereka menghambat pekerjaan atasannya.
Beng Goan-cau sama Li Kong-he menunggang satu ekor kuda, sementara Li-ma-cu, Miao
Tiang-hong dan Cay Kin masing-masing menunggang tiga ekor kuda yang lain, berlima empat
tunggangan, dengan kencang mereka bedal dan saling kejar dijalan pegunungan ke arah barat.
Setelah cukup jauh barulah Li-ma-cu bergelak tertawa, serunya: "Hadiah besar yang kita berikan
kepada Pakkiong Bong itu, cukup membuat dia mencak-mencak gusar seperti kebakaran jenggot!"
Berkata Beng Goan-cau: "Sekarang belum bisa dikatakan kita sudah lolos dari bahaya, setelah
berhasil menolong Kwi-hwe-thio dan meninggalkan tempat ini barulah boleh dikatakan aman."
Ternyata mereka keluar dari pintu barat, rencana semula memang langsung pergi ke Say-san
(gunung barat) untuk menolong Kwi-hwe-thio.
Tak lama kemudian cahaya memutih sudah mulai muncul di ufuk timur, angin pagi yang
menggerakkan dedaunan pohon seperti menyambut kedatangan mereka. Burung-burung sama
berkicau keluar dari sarangnya mencari makan. Kejap lain mereka sudah tiba di Say-san. Semalam
suntuk mereka bertempur dan melarikan diri dari kepungan hujan darah dan bau amis, setelah
tiba di tempat yang nyaman dan segar ini, seketika terbangkit semangat dan hilanglah rasa
lelahnya. Waktu mereka angkat kepala, jauh di puncak sana tampak ujung bangunan dari sebuah kuil
kuno yang berdiri megah di atas sana. Segera Cay Kin berkata: "Itulah Hu-hud-si yang amat
terkenal, sayang setelah berhasil menolong Kwi-hwe-thio kita harus segera meninggalkan tempat
ini, tiada kesempatan tamasya di puncak sana."
"Lebih baik tidak usah tamasya," demikian timbrung Li-ma-cu. "Bukan saja tidak enak melongok
ke Hu-hud-si itu, malah kita harus putar jalan supaya tidak lewat dari kuil itu."
"Memangnya kenapa?" tanya Beng Goan-cau tak mengerti. "Paderi-paderi lama penghuni kuil
itu baru-baru ini diusir semua, dan kini dihuni sekawanan Lama. Kawanan Lama itu, menurut apa
yang kuketahui, mereka ada sering berhubungan dengan Pakkiong Bong atau Sat Hok-ting."
"Kawanan Lama yang terima diperbudak pemerintah kerajaan yang menduduki kuil suci itu,
sungguh jahat dan amat membencikan!" demikian ujar Beng Goan-cau.
"Lalu di mana tempat tinggal Kwi-hwe-thio?" tanya Cay Kin.
"Di Ing-tho-gou sana," sahut Li-ma-cu.
"O, bukankah letaknya di kaki gunung di belakang Hu-hud-si itu" Jaraknya kira-kira tinggal tiga
li bukan?" Cay Kin menegas.
Di bawah petunjuk Li-ma-cu yang membuka jalan mereka beriring putar ke arah utara melewati
Hu-hud-si terus menerobos masuk ke dalam sebuah selokan datar jang dijepit dua lamping
gunung curam, sebelah luar lebar di dalamnya sempit, inilah yang dinamakan Tui-kok (lembah
mundur). Ujung selatan dari lembah mundur inilah yang dinamakan Ing-tho-gou (selokan pohon
tho). Memang untuk memasuki selokan ini, mereka dihadang oleh puluhan pucuk pohon buah tho
yang rimbun dan subur. "Jangan sekian banyak orang ini kita masuk bersama, mungkin bisa mengejutkan dan membuat
mereka curiga," demikian usul Li-ma-cu.
Beng Goan-cau manggut-mang-gut, katanya: "Benar, kedua cakar alap-alap itu melihat kau
membawa sekian banyak orang, tentu menaruh curiga, mungkin sebelum kita masuk, mereka
sudah meringkus Kwi-hwe-thio dijadikan sandera."
"Seorang diri apakah kau cukup mampu menghadapi mereka?" tanya Cay Kin.
"Seorang diri aku tidak akan mampu menghadapi mereka, tapi aku bisa membawa seorang
yang sudah mereka kenal betul, dalam waktu singkat, kukira belum sampai bisa membuat mereka
curiga," demikian kata Li-ma-cu.
"Dari mana kau bisa menggusur seorang yarg mereka kenal?" tanya Li Kong-he.
Li-ma-cu tertawa, ujarnya: "Aku toh bisa merubah seorang di antara kalian."
Beng Goan-cau yang secara langsung pernah berkenalan akan keahliannya itu segera
memberikan suaranya: "Bagus, biar aku ikut kau masuk."
"Baiklah, dengan Beng Tayhiap sebagai pengiringku, sudah lebih dari cukup untuk menghadapi
mereka." Segera ia mengelupas malam di mukanya lalu cuci muka di sungai kecil, dari wajah palsu
Pakkiong Bong kembali ke muka Li-ma-cu sendiri yang asli. Lalu menggunakan malam yang
dikelupasnya itu ia mulai merias muka Beng Goan-cau, kejap lain semua orang sama tertawa geli
melihat bentuk wajah Beng Goan-cau yang berganti rupa itu. Kiranya Beng Goan-cau sekarang
berubah menjadi salah satu perwira rendah salah satu dari kusir kereta tadi.
Cay Kin, Li Kong-he dan Miao Tiang-hong bersembunyi di Ing-tho-gou menunggu kabar baik,
sementara Li-ma-cu dan Beng Goan-cau yang menyamar itu langsung menuju ke rumah pemburu
di kaki gunung. Dua orang perwira yang menyamar jadi pemburu dan menjaga Kwi-hwe-thio itu ternyata
memang tidak curiga waktu melihat Li-ma-cu datang membawa seorang teman sejawatnya. Malah
tersipu-sipu mereka membuka pintu.
Salah seorang bertanya: "Bagaimana tugasmu semalam, apa sudah sukses?"
"Berkat doa dan puji syukur kalian, tugasku selesai dengan baik!"
Seorang yang lain bertepuk kegirangan, serunya tertawa: "Jadi sekarang kami boleh bicara
blak-blakan kepadanya?"
Dalam pada itu Kwi-hwe-thio sedang rebah di atas ranjang batu, hatinya sedang kesal dan
risau, entah persoalan apa yang sedang mereka bicarakan, maka terdengar Li-ma-cu berkata:
"Benar, memang perlu segera dibicarakan secara blak-blakan."
Belum habis ia bicara, Beng Goan-cau sudah turun tangan dengan kecepatan luar biasa, satu
tangan satu, ia cengkeram kedua pemburu palsu itu dan terus -menotok Hiat-to pelemasnya.
Kontan kedua orang itu terjatuh lemas dan berlutut ditanah.
Keruan Kwi-hwe-thio berjingkrak kaget, serunya: "Ma-cu-ko, apakah yang terjadi?"
"Siau-thio," teriak salah satu pemburu palsu itu, "berani kau permainkan kami begini rupa!"
perwira muda yang disamar Beng Goan-cau usianya memang lebih muda dan biasanya mereka
memanggilnya Siau-thio. Beng Goan-cau segera mengusap mukanya dan membentak ke-reng: "Kalian lihatlah biar jelas,
siapa aku sebenarnya?"-Kedua
orang pemburu palsu seketika melongo heran, sesaat kemudian baru bisa bersuara: "Kau, siapa
kau?" Kwi-hwe-thio sendiri hampir tidak percaya akan pandangan matanya, sesaat ia melenggong,
akhirnya berteriak kegirangan: "Beng Tayhiap, kiranya kau!"
Mendengar Kwi-hwe-thio menyebut Beng Tayhiap, barulah mereka tahu siapa laki-laki di
hadapan mereka ini, keruan kaget dan ketakutan seakan-akan arwah sudah terbang keluar badan,
seorang berteriak: "Li-ma-cu, kau, kau, kau memberontak ya!"Seorang yang lain insyaf, memaki pun tak berguna lagi, lekas ia mohon ampun dan minta
dikasihani: "Ma-cu-ko, pandanglah kami sudah merawat temanmu baik-baik, harap kau suka
ringan tangan mengampuni jiwa kami."
"Ya, memang aku hendak pinjam mulut kalian supaya menyampaikan kepada Pakkiong Bong,
katakan bahwa aku sudah berontak! Hm, menguntungkan kalian saja, biar kupersilakan kalian
tidur sepanjang hari ini." Sembari bicara ia ulapkan sapu tangannya yang dibasahi obat bius di
depan hidung mereka, kedua orang seketika roboh tak sadarkan diri.
Kaget dan curiga lagi Kwi-hwe-thio dibuatnya, tanyanya: "Siapakah kedua orang ini?"
"Mereka adalah anak buah Pakkiong Bong," sahut Li-ma-cu.
Kwi-hwe-thio berjingkat pula, serunya: "Kenapa kau pernah mengatakan mereka adalah
sahabat baikmu?" Merah malu wajah Li-ma-cu, katanya menyesal: "Thio-toako, siaute, aku, aku memang berbuat
salah kepada kau..."
Beng Goan-cau segera menukas kata-katanya: "Omongan itu kelak dibicarakan lagi. Lo-thio,
bagaimana luka-lukamu" Mari biar kuperikSebagai orang kangouw jang luas pengalaman, sedikit banyak Kwi-hwe-thio sudah maklum dari
rentetan kejadian yang ia saksikan sendiri, mendengar kata-kata Beng Goan-cau lagi, maka ia
lebih yakin dan pahamlah, katanya: "Ma-cu-ko, jiwaku ini adalah kau yang menolong, aku hanya
tahu kau adalah tuan penolongku. Urusan kecil lainnya yang tidak begitu penting, tak usah kau
singgung lagi!" Waktu Kwi-hwe-thio tertawan, ia kena dilukai urat nadinya menggunakan Hun-kin-coh-kut-hoat
oleh salah seorang jago Gi-lim-kun, untuk mengambil hati dan supaya Kwi-hwe-thio percaya, Limacu dan kedua pemburu samaran itu memang sudah membubuhi obat yang tulen, cuma kadar
khasiatnya dikurangi, sehingga sekian lama luka-lukanya belum sembuh seluruhnya.
Setelah memeriksa keadaan luka-lukanya, Beng Goan-cau berkata: "Masih untung hanya luka
urat nadinya tidak sampai mematahkan tulang. Aku punya obat Ko-giok-hou pemberian Siau Ciwan
Toako, kebetulan cocok untuk mengobati luka-lukamu ini, sebentar saja tentu luka-lukamu
bisa sembuh." Sebelumnya Li-ma-cu berdua sudah berjanji, setelah mereka masuk ke rumah sebentar segera
Cay Kin beramai akan segera menyusul datang.-Tapi saat mana mereka sudah menunggu
sesulutan dupa belum kelihatan mereka muncul, keruan hati mereka rada kuatir, katanya: "Bengya,
obatilah luka-luka Thio-toako, biar aku keluar menengok mereka."
Baru saja Li-ma-cu sampai di luar pintu, tiba-tiba didengarnya sebuah jeritan keras dari arah
tempat sembunyinya Cay Kin bertiga. Cepat Li-ma-cu memburu ke sana dan dilihatnya dua Lama
kecil rebah di atas tanah.
Ternyata, kedua Lama kecil ini baru saja keluar dari Hu-hud-si, mereka bertugas memata-matai
apakah ada orang-orang asing yang memasuki Ing-tho-gou, karena selama beberapa hari ini
mereka tidak menemukan sesuatu kejadian apa-apa, setelah tiba di Ing-tho-gou mereka terlalu
asyik bermain dan secara kebetulan jejak Cay Kin beramai ketahuan oleh mereka. Segera mereka
maju tanya ini tanya itu, akhirnya kena totok oleh Li Kong-he dan Cay Kin. Tapi satu, di antara
Lama kecil itu ada meyakinkan ilmu menyungsang balik jalan darah, justru latihannya masih
kepalang tanggung, maka begitu begitu tertotok oleh Li Kong-he, mulutnya masih menjerit
melengking baru jatuh semaput.
Kata Li Kong-he: "Sebetulnya sejak tadi kami sudah akan masuk ke sana, karena kedua Lama
cilik ini bermain di sini, sehingga membuat kami tertahan beberapa kejap lamanya, akhirnya toh
terpaksa harus sedikit melukai mereka. Kwi-hwe-thio tidak apa-apa?"
"Beng Tayhiap sedang memberi pengobatan, mungkin tidak perlu dikuatirkan. Cuma para Lama
dari Hu-hud-si mungkin sebentar bakal meluruk datang karena mendengar jeritan tadi, hal itu
harus kita jaga," demikian kata Li-ma-cu.
Segera Li Kong-he bertiga mengikuti di belakang Li-ma-cu memasuki gubuk reyot itu. Tampak
Kwi-hwe-thio sedang merambat belajar jalan, lalu menggerakkan kaki tangan melemaskan otot
dan tulang. "Bagaimana, bisa bergerak belum?" tanya Cay Kin.
"Obat ini memang mujarab bagai obat dewa," demikian ujar Kwi-hwe-thio. "Cuma untuk
memulihkan ginkangku semula, mungkin memerlukan beberapa hari lagi."
"Sudah tentu, meski Ko-giok-hou merupakan obat mujarab nomor satu di seluruh dunia,
betapapun bukan obat dewata," demikian timbrung Beng Goan-cau tertawa.
"Bcng-ya," kata Kwi-hwe-thio tertawa. "Coba pinjam golokmu sebentar!" "Untuk apa?"
"Biar kupinjam untuk membuat tongkat, sebentar lagi mungkin aku sudah bisa ikut kalian
meninggalkan tempat ini."
"Biarlah aku saja yang tolong membuatkan," demikian kata Beng Goan-cau, lalu ia menemukan
sebatang gagang kayu dari cangkul yang tidak terpakai lagi, serta dipapasnya licin menjadi
sebatang tongkat. Kata Cay Kin: "Para Lama dari Hu-hud-si mungkin sudah tahu kedatangan kita, marilah lekas
pergi!" Belum lenyap suaranya, dari luar terdengar sebuah suara serak seperti gema lonceng
membentak: "Kalian tidak akan bisa lolos lagi!" -Semula suaranya seperti masih berada di mulut
Ing-tho-gau sebelah sana, dalam sekejap saja, derap langkah kakinya sudah terdengar jelas.
"Yang datang semuanya tujuh orang," kata Cay Kin.
"Benar," kata Beng Goan-cau. "Mari kita labrak mereka! Li-ma-cu tinggal di dalam rumah
menjaga Kwi-hwe-thio."
"Tidak perlulah, dengan tongkat ini aku sudah bisa jalan," ujar Kwi-hwe-thio.
Sebetulnya pihak sini ada enam orang, dalam jumlah orang tidak dirugikan, sayang luka-luka
Kwi-hwe-thio belum sembuh seluruhnya, kepandaian Li-ma-cu terlalu rendah lagi, kuatir para
Lama Huhud-si bakal meluruk datang sebanyak-banyaknya, tidak bisa tidak mereka harus
memikirkan keselamatan mereka, maka Beng Goan-cau berkata: "Baiklah, kita terjang keluar,
kalian harus menyingkir lebih dulu!"
Di saat mereka bicara inilah kawanan Lama itu pun sudah tiba di depan pintu, suara keras
seperti gema lonceng itu membentak pula: "Kurcaci-kurcaci kecil lekaslah keluar dan menyerah,
memangnya harus diringkus keluar?"
Beng Goan-cau gusar, dampratnya: "Kepala gundul rasakan golokku!" Ia menerjang keluar
lebih dulu, sinar goloknya berkelebat laksana kilat, dengan jurus Ya-can-pat-hong ia kembangkan
goloknya berputar keempat penjuru, maka terdengarlah suara kerontangan yang riuh rendah, dua
batang tongkat padri yang bergelang sembilan kena disampuknya terpental ke samping.
Adalah seorang Lama gede yang berdiri tegak di tengah bermuka merah diam-diam saja tidak
ikut turun tangan, maka kedua Lama yang menyerang dan kena dipukul mundur itu segera
mundur ke samping si Lama gede itu, katanya: "Suhu, orang inilah Beng Goan-cau. Kemarin
Pakkiong ciong-ling pernah memperlihatkan gambarnya kepada kami."
Lama gede itu terloroh katanya:
"Beng Goan-cau, sampai di mana sih kehebatan golok cepatmu, tapi Hud-ya berada di sini,
meski kepandaianmu sepuluh lipat lebih tinggi, jangan harap bisa terbang meloloskan diri. Kalian
berenam satu pun tidak akan bisa lolos, kalau tahu diri lekas menyerah saja!" Suaranya keras dan
berkumandang seperti gembreng pecah, jadi Lama gede inilah yang tadi membentak dari
kejauhan. Kedua Thay-yang-hiat di kedua pelipis si Lama gede ini menonjol keluar, terang kalau
lwekangnya sudah teramat tinggi. Tergerak hati Miao Tiang-hong, katanya: "Apakah kau Po-siang
Hoatsu?" Po-siang Hoatsu mendengus, katanya: "Kau keparat ini kiranya tahu akan gelaran Hud-ya."
Sikapnya terlalu sombong dan angkuh.
Miao Tiang-hong tertawa, katanya: "Kau memang terkenal karena bermulut besar, sudah lama
kukenal martabatmu. Kabarnya kau tidak kuasa menancapkan kakimu di kuil Putala karena ilmu
silatmu tidak menang dibanding sutemu sendiri, benar tidak ucapanku?"
Ternyata kuil Putala di Tibet merupakan tanah suci pusat kaum Lama, merupakan bangunan
kuil terbesar dari segala biara kuil atau kelenteng pemuja Budha, demikian pula kedudukannya
paling tinggi. Po-siang dan sutenya Liang-siok Hoatsu sebetulnya adalah Huhoat (pelindung) dari
kuil Putala yang angker itu.
Bagi para Lama, yang setimpal menjabat Huhoat, di samping tingkat kedudukannya dalam
agama tinggi dan suci serta bijaksana, ilmu silatnya pun harus hebat dan tinggi, kedudukan
Huhoat tertua satu tingkat lebih rendah dari ketua kuil yang dinamakan Kam-si, atau boleh juga
dinamakan penguasa kuil. Tiga tahun yang lalu Kam-si yang sudah tua meninggal dunia, menurut
tingkat kedudukan sebetulnya Po-siang menjadi calon penggantinya dan menjadi ahli waris
tunggal. Demikian pula Po-siang Hoatsu beranggapan bahwa ilmu silatnya jauh lebih unggul dari
para Huhoat lainnya, pastilah tiada orang lain yang berani merebut kedudukannnya. Maka di
waktu Kam-si tua masih hidup dan penyakitnya bertambah berat, dia sudah mentang-mentang
anggap dirinya sebagai Kam-si yang akan datang.
Sudah tentu, karena sikap kasar dan sombongnya ini menimbulkan kebencian para Lama
penghuni Putala, biasanya Kam-si dipilih menurut suara umum dan dinobatkan sebagai pejabat
resmi secara terbuka. Maka di waktu pemilihan Kamsi tiba, sebagian besar hadirin mengemukakan
pendapat masing-masing, banyak di antara mereka berkata di hadapan panitia; menurut
kedudukan dan tingkatan walau Po-siang sebagai suheng, tapi kalau dinilai dari kepandaian ilmu
silat dan pribadi serta martabat atau tindak-tanduknya, jelas tidak lebih unggul dari sutenya, maka
mereka sependapat untuk menjunjung Liong-siok Hoatsu sebagai Kam-si, supaya pemimpin
pemilihan Kam-si (panitya) meluluskan suara bulat dari hadirin.
Sudah tentu Po-siang Hoatsu teramat murka mendengar penghinaan langsung terhadap gengsi
dan perbawanya ini, ia tuduh para hadirin banyak yang sirik dan jelus kepada dirinya, baik buruk
perbuatan seseorang, dia tidak suka meributkan dengan orang banyak, cuma ia minta supaya
panitia memberi keadilan kepadanya, soal ilmu silat dikatakan tidak unggul dari sutenya, sekali-kali
ia tidak mau terima penghinaan ini.


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Memang ketua panitia sebal dan keki juga melihat tingkah lakunya yang kasar, ingin dia
menghajar adat kepada orang, maka ia menjawab, menurut aturan tradisi di dalam kuil,
kedudukan Kam-si harus dijabat oleh salah seorang murid dari mereka yang ilmu silatnya paling
tinggi. Maka sekarang tidak perlu mempersoalkan sepak terjang atau tindak-tanduk dan martabat
segala, pendek kata mau tidak kau bertanding melawan sute"
Po-siang tidak menyangka ketua panitia bakal berkata demikian, sementara sutenya segera
mengiakan atas perintah ketua panitia untuk bertanding dengan suhengnya. Dalam gusarnya Posiang
terima tantangan sutenya dan bertanding seru, sayang karena terlalu terburu nafsu dan
diliputi kemarahan lagi, dia kena dikalahkan satu jurus. Saking marah, hari itu juga segera ia lari
dan meninggalkan kuil Putala. Begitulah dalam pelariannya ia tiba di Pakkhia, akhirnya atas
bantuan Pakkiong Bong secara kekerasan ia menduduki Hu-hud-si.
Walau Hu-hud-si merupakan biara kuno yang amat terkenal, tapi bila dibanding Putala, terpaut
teramat jauh sekali. Dan lagi Hu-hud-si sebenarnya rumah berhala yang memuja Budha, tidak
sealiran dengan agama Budha yang dipeluk para Lama.
Borok yang memalukan ini merupakan pantangan bagi Po-siang Hoatsu bila ada orang berani
menyinggungnya, kini di hadapan sekian banyak orang Miao Tiang-hong mengorek boroknya itu,
keruan membuat hatinya terbakar menggelegar seperti gunung berapi yang hampir meledak.
Bentaknya: "Berani kau memandang rendah Hud-ya, biar kau tahu kelihayan Hud-ya!"
"Baik sekali," ujar Miao Tiang-hong tertawa. "Memang aku ingin menjajal kepandaian Huhoat
besar dari Putala sampai di mana tingginya. Beng-heng, silakan kau berangkat lebih dulu!"
Belum habis ia bicara, tiba-tiba dalam cuaca terang benderang ini tiba-tiba berkembang
segumpal mega merah langsung menungkrup ke atas kepalanya. Ternyata Po-siang Hoatsu
menanggalkan kasa merah dan digunakan sebagai senjata menubruk ke arah dirinya.
Miao Tiang-hong kerahkan Thay-ceng-khi-khang, kedua telapak tangannya menyongsong ke
depan, terdengarlah suara "Bang, bang, bang!" seperti tambur ditabuh, suaranya keras
memekakkan telinga. Kasa merah Po-siang Hoatsu itu seperti layar perahu yang terhembus angin
kencang, mengandung daya tenaga memantul, maka pukulan Miao Tiang-hong itu seperti
memukul tambur saja. Keruan bercekat hatinya, pikirnya: "Tidak malu kurcaci ini dianggap tokoh
ketiga dari Putala, tidaklah heran kalau dia terlalu mengagulkan dirinya, lwekangnya memang
hebat!" Sebaliknya kejut Po-siang Hoatsu pun bukan kepalang, meski telapak tangan Miao Tiang-hong
tidak sampai mengenai badannya, terpaut selapis kasanya jang me-lembung besar itu, toh masih
membuat dadanya tergetar kesakitan, angin pukulan sebagian merembes masuk melalui celahcelah
lubang dari kasanya, sehingga Po-siang Hoatsu sekaligus merasakan seperti dihembus angin
musim semi yang nyaman sepoi-sepoi, tanpa sadar ia menguap dan merasa mengantuk, sulit
membangkitkan semangatnya.
Po-siang tersentak sadar dan menggigit lidah membangkitkan semangat, lekas ia kerahkan lwekang
murni ajaran Mi-ciong, kasa di tangannya ia tarikan sekencang roda kereta yang berlari
kencang, seluruh badannya atas bawah terlindung ketat dan rapat, seumpama hujan lebat pun
tidak akan. membasahi badannya, bentaknya: "Siapa kau?"
Miao Tiang-hong menyahut tawar: "Aku orang she Miao hanyalah kaum keroco, tokoh-tokoh
silat dari dunia persilatan di Tionggoan ini yang mampu mengalahkan aku tidak terhitung
banyaknya! Tidak berani aku mengatakan bertanding dengan Hoatsu, cuma Taysu harus kenal
betapa tinggi ajaran-ajaran ilmu silat dari Tionggoan!" Kata-katanya ini diucapkan secara wajar
saja, bahwasanya secara langsung ia menyindir akan pengetahuan dan pengalaman Po-siang
Hoatsu yang cupat dan cetek seperti katak di dalam sumur.
Kejut dan gusar pula Po-siang Hoatsu, bentaknya: "Kau she Miao, jadi kau inilah yang bernama
Miao Tiang-hong?" Dari Pakkiong Bong ia sudah tahu siapa Miao Tiang-hong adanya karena orang
pernah mengalahkan sutenya, yaitu Sebun Soh.
Miao Tiang-hong terbahak-bahak, katanya: "Benar, Miao Tiang-hong memang aku yang
rendah. Bahwa Taysu tahu nama rendahku, sungguh merupakan penghargaan dan
menggirangkan hatiku!"
Po-siang Hoatsu segera membentak ke belakang: "Bentuk Chit-sat-tin!"- Kasanya dia putar dan
sendai, tenaga pukulan Miao Tiang-hong dipukul balik, namun demikian tak urung badannya
tergeliat dan mundur selangkah.
Tatkala itu Beng Goan-cau, Cay Kin dan lain-lain sudah saling hantam dengan para Lama
lainnya. Golok cepat Beng Goan-cau bagai kilat, sigap sekali ia membacok dan merangsak kepada
kedua Lama yang membokongnya tadi, semula ia sangka sekali terjang pasti bisa membobol
kepungan musuh, tak terduga, tiba-tiba kedua Lama itu mendadak berpencar ke kedua samping.
"Trang!" tahu-tahu sebuah tongkat baja Lama yang lain sudah menyelonong masuk dari tengahtengah,
sementara kedua Lama itu serempak merangsak balik dari dua jurusan; kerja sama
mereka cukup serasi dan sedikit pun tidak kelihatan titik kelemahannya. Permainan golok cepat
Beng Goan-cau mau tidak mau teratasi oleh mereka.
Sebagai ahli silat, begitu tahu gelagat jelek tidak menguntungkan, lantas Beng Goan-cau insyaf,
tidak mungkin menggunakan kekerasan, apa boleh buat, terpaksa ia mundur beberapa langkah.
Ternyata Chit-sat-tin ini merupakan barisan tunggal dari ajaran Mi-ciong di Tibet, inti ajarannya
menggunakan rahasia teori perlawanan dari Ngo-hing yang dikombinasikan dan dikembang
luaskan dengan ajaran Mi-ciong sehingga terciptalah barisan ini. Ketujuh orang berbaris
memanjang seperti seekor naga, tiada lubang kelemahan yang dapat ditembus. Kerja sama dan
ketrampilan dari masing-masing orang adalah yang paling diutamakan, dengan tujuh orang
mereka dapat mengurung empat belas tokoh silat yang berkepandaian setingkat dengan mereka.
Dengan gabungan tenaga Miao dan Beng berdua, kira-kira masih kuasa menandingi ketujuh Lama
ini, namun begitu lawan membentuk Chit-sat-tin, sudah tentu sulit mereka menerjang keluar.
Tapi suatu kejadian yang justru di luar dugaan dan sulit dipercaya oleh pikiran sehat, bahwa
Miao Tiang-hong dan Beng Goan-cau yang berkepandaian paling tinggi tidak mampu menerjang
keluar, adalah Kwi-hwe-thio dan Li-ma-cu yang berkepandaian rendah, malah berhasil melarikan
diri tanpa kurang suatu apa.
Kiranya Kwi-hwe-thio mengandal ilmu ginkangnya yang luar biasa, soalnya dia dapat melihat
gelagat dan bertindak tepat pada waktunya, ia berhasil lolos keluar di saat Chit-sat-tin hendak
melingkar dan belum sempat menjadi bundaran.
Sebelum Chit-sat-tin merangkap bundar, dua pentungan padri terjulur berpadu dari kanan kiri,
merintangi di depan Kwi-hwe-thio, Kwi-hwe-thio terloroh-loroh, sedikit menutul tongkatnya,
"Tring", Lama di sebelah kiri menggunakan jurus Ki-hwe-liau-thian untung tidak sampai mengenai
Kwi-hwe-thio, malah kebetulan tongkat Kwi-hwe-thio berhasil menutul ujung tongkat lawan,
meminjam tenaga tolakan yang besar ini, Kwi-hwe-thio kembangkan ginkangnya, badannya
meluncur terbang bagai anak panah yang terlepas dari busurnya, ia lolos dengan melompat tinggi
dari atas kepala kedua Lama.
Tampak tanpa kaki menginjak tanah, bagai capung menutul di permukaan air, seperti burung
menukik masuk ke dalam hutan, dalam sekejap saja Kwi-hwe-thio sudah menghilang di dalam
hutan lebar sana. Keruan semua orang melongo dan terbelalak melihat kehebatan ginkang Kwi-hwe-thio yang
mampu lari hanya menggunakan tutulan tongkatnya di tanah, pikir mereka: "Memang tidak malu
Kwi-hwe-thio dijuluki maling sakti nomor satu di seluruh dunia, betapa tinggi ginkangnya itu,
mungkin tiada orang yang mampu menandinginya. Seumpama dia tidak menjadi maling, paling
tidak ia bisa menempati suatu kedudukan terhormat juga di kalangan persilatan."
Terlebih menyesal adalah Li-ma-cu, pikirnya: "Sungguh menggelikan, semalam aku berani
menyaru dia, sungguh tidak tahu diri. Tak heran kepalsuanku segera dapat diketahui oleh Beng
Goan-cau." Tapi meski ginkang Li-ma-cu jauh bukan tandingan Kwi-hwe-thio, namun dia pun dapat
mengikuti jejak Kwi-hwe-thio lolos dari kepungan Chit-sat-tin. Adalah dia menggunakan
keahliannya yang khusus dan rada sesat itu untuk meloloskan diri.
Di saat Kwi-hwe-thio melompat terbang lewat di atas kepala kedua Lama, waktu kedua Lama
me-lengak kaget itulah, tergerak hati Li-ma-cu, segera ia pun bertindak dengan cepat.
Walau kedua Lama ini tidak mampu merintangi Kwi-hwe-thio, betapapun mereka bukan kaum
lemah, sekilas pandang lantas mereka tahu bahwa ginkang Li-ma-cu jauh terbatas, melihat orang
juga hendak menerjang keluar dari posisi yang dijaganya, keruan mereka gusar, dampratnya:
"Kau bangsat kecil ini juga hendak lari?" Tongkat masing-masing melintang sementara tangan kiri
mereka terjulur hendak menangkap dan mencengkeram kepada Li-ma-cu.
Li-ma-cu tertawa, ujarnya: "Kepada hwesio gede seperti kalian ini, biarlah aku memberi hadiah
saja." "Maknya, memangnya kami suka terima sogokanmu?" damprat kedua Lama itu. Belum lagi
mulut mereka terkatup, mendadak bau harum merangsang hidung, seketika kepala terasa pusing
dan mata berkunang-kunang. Kejadian selanjutnya terlalu cepat untuk dituturkan dengan katakata,
tahu-tahu Li-ma-cu sudah menerobos keluar dari bawah tongkat mereka. Kiranya telapak
tangan Li-ma-cu sudah dibasahi obat bius. Kalau dalam keadaan biasa, kedua Lama ini terang
tidak segampang itu kena dikibuli olehnya, tapi saat itu kebetulan mereka sedang tercengang dan
terbelalak, maka usaha Li-ma-cu yang menerjang keluar dengan menempuh bahaya ini, di luar
dugaan berhasil dengan begitu gampang.
Kedua Lama ini punya latihan lwekang yang cukup ampuh, setelah hati tenang dan hawa murni
disalurkan, sekejap saja khasiat obat bius itu sudah tidak membawa akibat fatal bagi mereka.
Tapi, meski hanya sekejap, toh Li-ma-cu sudah lari jauh.
Lekas Po-siang Hoatsu membentak: "Jangan hiraukan maling-maling kecil itu, lekas
sempurnakan Chit-sat-tin! Lebih penting kita hadapi keempat buronan ini, jangan kasih mereka
meloloskan diri." Kedua Lama ini sadar dan menghentikan langkah. Cepat sekali Chit-sat-tin sudah
terbentuk dalam formasi membundar.
Miao Tiang-hong belum tahu akan kelihayan dari Chit-sat-tin ini, katanya tertawa dingin: "Ingin
aku lihat kawanan kepala gundul macam kalian ini mampu bermain apa?"
"Baik, biar kau rasakan kelihayan dari Chit-sat-tin," jengek Po-siang Hoatsu, begitu kasa
dikembangkan, ia menyerang dengan kasa terkembang menungkurup ke arah Miao Tiang-hong.
Tadi Miao Tiang-hong sudah melabraknya sampai puluhan jurus, kekuatan kedua pihak sama
setanding, walau Miao Tiang-hong tidak kuasa mengalahkan lawan, sedikitnya lebih unggul seurat.
Kini melihat orang tidak melancarkan ilmu silatnya yang aneh-aneh, maka sikapnya pun jadi acuh
tak acuh. "Hwesio gede," oloknya. "Memangnya hanya begini saja kemampuanmu" He, he,
agaknya kau sendiri sudah kehabisan bekal dan begini saja kemampuanmu." Thay-ceng-khi-kang
dikerahkan. "Wut, wut, wut!" beruntun tiga kali ia memukul secara berantai.
Tak nyana gebrak kedua kali ini kiranya jauh berlainan dibanding babak pertama tadi,
terdengar "Bum, bum, bum!" tiga kali suara bagai tambur raksasa di dalam biara dipukul bertalutalu,
tenaga pantul yang membalik pun lebih besar dan aneh, walau lwekang Miao Tiang-hong
sendiri cukup ampuh, tak urung ia terdesak mundur tiga tapak.
Miao Tiang-hiong heran. "Bagaimana mungkin lwekang kepala gundul ini bisa maju berlipat
ganda dalam waktu begini singkat?" Segera ia menyerang kembali sambil pasang mata dan main
selidik, kecermatan pikiran dan ketajaman pandangannya, akhirnya berhasil menemukan sebab
musababnya, ternyata waktu Po-siang Hoatsu berhantam dengan dirinya, dua Lama lain yang
berada di kiri kanannya pun membantu dengan pukulan Bik-khong-ciang.
Soalnya kasa merah lawan besar dan menutup pandangan Miao Tiang-hong, sementara
kawanan Lama itu bergerak hilir mudik dan simpang siur dengan cepatnya berputar, maka kalau
tidak diperhatikan, Miao Tiang-hong tidak akan tahu.
Tapi rasa bingungnya belum mendapat jawaban juga, karena kepandaian kedua Lama ini tadi
sudah ia saksikan sendiri, baru saja mereka kena dikalahkan oleh golok cepat Beng Goan-cau,
selintas pandang Miao Tiang-hong cukup mengetahui bahwa Iwekang mereka terbatas, terpaut
amat jauh dibanding Po-siang Hoatsu. Menurut kenyataan meski mereka membantu dengan
tenaga Bik-khong-ciang, tenaga tolak yang memantulkan hantamannya ternyata begitu besar,
sehingga sering bikin Miao Tiang-hong tergeliat mundur berulang-ulang.
Miao Tiang-hong memberi kedipan mata kepada Beng Goan-cau, laksana kilat golok cepat Beng
Goan-cau segera membacok ke arah Po-siang Hoatsu. Bersama dengan itu Miao Tiang-hong
berkesempatan membentang kedua tangannya menghantam kepada kedua Lama itu.
Sekonyong-konyong terasa olehnya dari depan dan belakang, dua jurusan yang berlawanan,
memberondong datang dua kekuatan dahsyat yang tidak kelihatan, menghadapi serangan dari
depan dan belakang ini, tersirap darah Miao Tiang-hong. Terpaksa ia urungkan serangan
pukulannya dan melindungi badan lebih utama, tapi tak urung badannya terseret melintir satu
lingkaran baru dapat berdiri tegak lagi. Kali ini Po-siang
Hoatsu sedang sibuk menghadapi rangsakan golok cepat Beng Goan-cau, kedua jalur tenaga
hebat yang menggencet Miao Tiang-hong itu, terang adalah pukulan gabungan dari keenam Lama
lainnya. Begitu golok Beng Goan-cau membacok, lapat-lapat ia rasakan tenaga perlawanan yang kuat
menolak tenaganya, sigap sekali Beng Goan-cau merubah serangan itu sebagai gertakan lalu
memutar tajam goloknya ke samping memapas Lama yang berada di samping Po-siang Hoatsu.
Tepat pada saat itu, tiba-tiba daya kekuatan barisan berubah secara total, tiga pentung padri
tahu-tahu sudah menyelo-nong tiba masing-masing menyerang kedua ketiak dan punggung Beng
Goan-cau. Tapi gerak golok cepat Beng Goan-cau pun dilancarkan melebihi kilat, sebetulnya ia
bisa mengambil jiwa Lama yang berada di tengah itu, tapi pertempuran adu jiwa macam ini,
terpautnya hanyalah beberapa mili saja, seumpama ia berhasil membunuh Lama itu, terang
dirinya pun pasti luka parah atau mungkin jiwa sendiri juga, tidak bisa diselamatkan. Bagi tokoh
silat tingkat tinggi, setiap menghadapi mara bahaya, di saat-saat menghadapi ketentuan hidup
atau mati, kadang kala secara reflek bisa berusaha untuk menyelamatkan diri. Ilmu golok Beng
Goan-cau sudah menurut keinginan hatinya, cepat sekali tahu-tahu ia sudah menarik goloknya,
dengan jurus Pat-hong-hong-ih, sinar goloknya mendadak bercerai berai ke empat penjuru
melingkupi badan sambil menahan serangan musuh. Ketiga tongkat padri itu bergerak mundur
bersama, dan bentuk barisan kembali seperti sediakala.
Ternyata keistimewaan dari Chit-sat-tin ini dapat menyatukan kekuatan dari ketujuh orang itu,
laksana lengan digunakan sebagai jari, namun dapat pula berpencar bekerja sendiri-sendiri
dengan rapi dan serasi, menghadapi dan melawan serangan musuh yang betapapun rumit dan
lihaynya. Oleh karena itu, meski Beng Goan-cau dan Miao Tiang-hong dua tokoh silat tinggi turun
tangan bersama, mereka toh tidak mampu menjebol kurungan dan menerjang keluar.
Beng Goan-cau sudah pernah mengalami pertempuran ratusan atau pun mungkin sudah ribuan
kali, pengalaman menghadapi musuh teramat luas, meski ia tidak tahu intisari dari rahasia Chitsattin ini, tiba-tiba tergerak hatinya, terpikir olehnya suatu cara baru untuk menahan dan
melumpuhkan serangan lawan.
Kata Beng Goan-cau: "Mereka punya Chit-sat-tin, mari kita pun membentuk Su-hong-tin!"
Nama Su-hong-tin sudah tentu hanyalah embel-embel saja, untunglah Miao, Cay dan Li bertiga
adalah ahli-ahli ilmu silat, mendengar seruannya, sekilas mereka lantas paham, cepat mereka
berempat beradu punggung menghadap ke arah mata angin, dengan posisi empat persegi ini,
mereka membendung dan melawan gempuran para Lama yang datang bertubi-tubi dengan deras
tak kenal putus seperti damparan ombak.
Akal yang mereka ambil untuk melawan gempuran musuh ini, membawa suatu manfaat, yaitu
dapat menghindari bokongan musuh dari sebelah belakang, jadi mereka khusus tumpahkan
seluruh perhatian untuk menghadapi serangan-serangan dari sebelah depan. Mereka berempat
memiliki kepandaian silat tunggal masing-masing, namun bisa kerja sama secara rapi dan ketat
serta serasi, bukan saja delapan belas macam alat senjata mampu mereka gunakan, malah
masing-masing mempunyai keahlian khusus masing-masing.
Miao Tiang-hong mengandal Thay-ceng-khi-kang, golok cepat Beng Goan-cau, dengan Kim-najiu
Cay Kin serta Thian-san-kiam-hoat Li Kong-he, merupakan ilmu tunggal kelas tinggi dari bulim
yang jarang ada tandingannya, meski para kawanan Lama itu sementara berada di atas angin,
mau tidak mau mereka harus memeras keringat dan lama kelamaan merasa waswas sendiri,
serangan semakin kendor dan tidak berani mendesak terlalu ketat.
Tapi kenyataan mereka tidak mampu menerjang keluar, meski dapat melawan sama kuat,
paling-paling hanya sedikit meredakan keadaan mereka yang terdesak tadi. Po-siang Hoatsu
terbahak-bahak, serunya: "Sampai kapan kalian kuat bertahan" Akhirnya toh tidak akan bisa
terbang meski kalian tumbuh sayap!"
Berpikir Beng Goan-cau: "Ucapannya itu memang tidak salah, kalau pertempuran dilanjutkan
dalam keadaan seperti ini, betapapun tidak menguntungkan bagi kami, terpaksa nekad adu jiwa
dengan mereka saja?"
Di tengah pertempuran yang berjalan sengit itu, tiba-tiba Li Kong-he seperti menyadari sesuatu,
gerak pedangnya menjadi lamban dan "Cras" sebatang tongkat lawan menyelonong tiba menusuk
dari arah samping dan membuat baju depan dadanya tersapu sobek sebagian, untung ia sempat
menekan dada, sementara kakinya tidak bergerak, badannya doyong ke belakang setengah kaki,
gerakan indah dengan gaya yang menakjubkan ini secara mudah meloloskan diri dari serangan
tongkat lawan. Sebat sekali Beng Goan-cau memiringkan badan, golok cepatnya pun ikut membacok, memukul
mundur Lama yang menyerang Li Kong-he ini. Dalam hati heran dan kaget pula, batinnya: "Aneh,
kenapa mendadak Li Kong-he begitu tidak becus. Tidak menjadi soal aku menerjang keluar dan
adu jiwa dengan mereka, tapi mungkin Li Kong-he bakal teringkus oleh musuh." Bahwa dia
bertekad hendak menerjang keluar adu jiwa adalah hendak mengorbankan diri sendiri demi
menyelamatkan jiwa sahabat, asal dia dapat merobohkan dua atau tiga Lama di antara mereka,
pastilah Chit-sat-tin akan pecah dengan sendirinya. Tapi setelah ia pikir pula lebih matang,
meskipun Chit-sat-tin diterjang pecah, Miao Tiang-hong dan Cay Kin terang dapat melarikan diri,
sementara dapatkah Li Kong-he meloloskan diri, masih merupakan rabaan yang sulit ditentukan.
Karena pertimbangan yang lebih cermat ini terpaksa ia batalkan niat semula.
Cay Kin menarikan sepasang tangannya dengan kencang, dengan ketat ia mendekat ke arah Li
Kong-he sambil melindungi orang, katanya memperingatkan: "Hiantit, hati-hatilah."
"Paman Cay, aku pikir..." belum selesai Li Kong-he bicara, serangan musuh sudah menerjang
tiba pula, posisi Li Kong-he sekarang lebih baik di bawah perlindungan Cay Kin, pedang
panjangnya terulur maju dengan jurus- Coh-tong-yu-ciat (terayun ke kiri menutup ke kanan),
"Trang, trang." Ia sampuk dua tongkat lawan ke samping.
Gemas dan geli pula Cay Kin dibuatnya, pikirnya: "Dalam keadaan mempertaruhkan jiwa ini,
apa saja yang sedang kau pikirkan, sungguh pikiran anak-anak." Tapi dalam pertempuran sengit
itu, ia tidak sempat banyak pikir dan beri peringatan lagi.
Belum lagi pikirannya lenyap, mendadak Li Kong-he melompat ke luar sembari berteriak: "Putar
ke Kan-bun dan terjang ke Sian-wi!"
Sekilas Cay Kin terheran-heran dan tidak mengerti, saking kagetnya ia berteriak: "Kong-he, apa
yang kau lakukan?" Bicara lambat, kejadian justru berlangsung teramat cepat, tahu-tahu Li Kong-he sudah
menerjang ke arah Po-siang Hoatsu, terang tidak sempat lagi Cay Kin untuk membantu
kesulitannya. Dalam tingkat ilmu silat yang paling tinggi ada semacam ilmu yang dinamakan Ih-sing-hoan-wi
(merubah bentuk berpindah tempat), yaitu semacam gerakan tubuh yang cepat dengan berpindah
posisi. Umumnya orang suka menggunakan arah mata angin untuk menentukan arah tujuan, tapi
posisi atau kedudukan dari ilmu tingkat tinggi ini justru jauh lebih rumit dan sukar dipahami,
karena secara teorinya mencangkok intisari dari kedudukan Pat-kwa.
Melihat Li Kong-he tiba-tiba melompat keluar dan menyuruh mereka memutar ke Kan-bun dan


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerjang Sian-wi, tergerak hati Beng Goan-cau, batinnya: "Mungkinkah dia sudah mendapat akal
untuk memecahkan barisan ini?" " " Sayang Beng Goan-cau hanya tahu adanya ilmu tingkat
tinggi macam ini, namun ia tidak tahu cara bagaimana melaksanakannya. Waktu berlangsung
amat cepat, Li Kong-he sudah menerjang ke arah Po-siang Hoatsu, kejap lain terang bakal saling
bentrok dengan kekerasan, mengandal bekal kepandaian Li Kong-he mana kuat menghadapi Posiang
Hoatsu" Saat mana seperti pula keadaan Cay Kin, hampir saja jantung Beng Goan-cau
serasa hampir melonjak keluar dari rongga dadanya.
Kejadian yang aneh justru berlangsung teramat cepat pula, terang mereka saling terjang secara
berhadapan, tapi entah bagaimana tahu-tahu keduanya melesat lewat berseliweran dari samping
badan masing-masing, dan tahu-tahu Li Kong-he sudah menempatkan dirinya di tengah antara
dua Lama. Menurut jalannya barisan kedua Lama ini seharusnya berpencar ke kanan kiri dan
bekerja sama saling bantu membantu, mendadak celah-celah yang kosong di antara mereka
mendadak diterobos dan diduduki orang, waktunya pun begitu tepat lagi, seketika gerak langkah
kaki mereka menjadi kalut dan pertahanan pun tercerai berai.
Perlu diketahui bahwa Li Kong-he punya seorang suheng yang bernama Yap Boh-hoa, mahir
dalam berbagai teori dan strategi militer, begitu pula terhadap berbagai teori barisan ia amat
tekun mempelajarinya, terutama Pat-tin-toh, itu ajaran gambar lukisan barisan dari ciptaan Cukat
Liang pada jaman Samkok, mungkin pada masa ini hanya dia seorang yang tahu paling jelas.
Yap Boh Hoa ini adalah murid Kang Hay-thian yang terbesar, sementara Li Kong-he justru
adalah murid terkecil, Yap Boh-hoa paling sayang kepada sutenya yang paling cilik ini, maka ia
pernah mengajarkan intisari dan perubahan dari berbagai gambar barisan terutama Pat-tin-toh itu
kepada Li Kong-he. Sudah tentu Li Kong-he tidak bisa paham seluruhnya, lima puluh persen sih
sudah tercakup di dalam benaknya.
Chit-sat-tin yang dibentuk oleh Po-siang Hoatsu ini, justru merupakan petilan dari bagian Pattintoh itu. Tapi barisan ini diciptakan oleh cosunya, dia sendiri tidak tahu bagaimana asal-usul dan
dari mana sumber ciptaan ini.
Betapa tinggi nilai dari hasil ciptaan Pat-tin-toh ini, belum tentu setiap orang bisa berhasil
menyadap intisarinya secara menyeluruh, maka Chit-sat-tin yang ditelorkan dari Pat-tin-toh tidak
lebih hanyalah kulitnya atau bulunya saja. Sebaliknya Li Kong-he sudah tahu beberapa bagian inti
ajaran Pat-tin-toh itu secara murni, namun bekalnya sudah jauh lebih unggul dari Po-siang Hoatsu
dalam bidang ini. Oleh karena itu setelah dia dapat meraba sampai di mana pentingnya hubungan
dua orang yang saling kerja sama itu, untuk memecahkan Chit-sat-tin menjadi teramat gampang
bagi dirinya. Tadi memang sudah ia perhitungkan secara tepat akan daya kerja dan hubungan
pion-pion yang mengerjakan barisan ini, maka Po-siang Hoatsu tidak akan mungkin bertabrakan
dengan dirinya. Tapi kalau hanya mengandal tenaganya seorang, meski tahu cara yang paling tepat untuk
memecahkan barisan ini, masih tidak akan berhasil. Untung pelajaran silat yang dipelajari Miao
Tiang-hong paling banyak ragamnya, walau ia pun tidak bisa menggunakan ilmu Ih-sing-hoan-wi,
namun ia paham akan penggunaan kedudukan dari Pat-kwa. Begitu mendengar Li Kong-he
meneriaki supaya putar ke Kan-bun dan terjang ke Sian-wi, sekilas tertegun, cepat sekali ia sudah
mengikuti seruan orang. Tapi karena sekilas tertegun itulah ia tidak bisa menggabung diri secara
tepat dan sedikit terlambat.
Begitu Chit-sat-tin diterjang oleh Li Kong-he, langkah-langkah barisan menjadi kacau, tapi
belum sampai kalut seluruhnya. Keruan Po-siang Hoatsu amat gusar, cepat sekali ia memutar balik
gerak putaran barisannya. Putar ke Tam-wi, terjang ke Kan-bun sembari putar badan ia sendai
kasanya menung-krup ke atas kepala Li Kong-he.
Meski Miao Tiang-hong terlambat setindak, namun kedatangannya tepat pada waktunya,
menuruti petunjuk Li Kong-he, saat mana ia sudah menceplos masuk di tengah-tengah Kan dan
Sian dua kedudukan penting dan kebetulan memapak kedatangan Po-siang Hoatsu.
Lwekang kedua orang ini setanding, Miao Tiang-hong sudah menduduki posisi yang paling
penting dan sentral dari barisan ini, sudah tentu kedudukannya jauh lebih menguntungkan,
celakanya dua Lama di kiri kanan Po-siang Hoatsu, karena kehadiran Miao Tiang-hong di antara
mereka, daya kerja sama yang saling bantu dan mengandal uluran kekuatan sesamanya menjadi
terputus, sehingga sulit mereka membantu Po-siang Hoatsu lagi, terdengarlah "Bum" pukulan
telapak tangan Miao Tiang-hong membentur kasa lawan, Po-siang Hoatsu tergeliat limbung, keadaannya masih
mending, sebaliknya dua Lama di kedua sampingnya, seperti diterjang air bah yang dahsyat, tak
kuasa lagi mereka tersurut mundur beberapa langkah.
Li Kong-he tahu saatnya memecahkan barisan ini sudah tiba, lekas ia berteriak: "Putar ke Le
buru ke Tin, rebut Siau-bun di tengah pusat!"-Perlu diketahui, Le, Tam, Sian, Kan dan lain-lain
adalah nama-nama rahasia dari Pat-kwa yang seluruhnya ada delapan pintu.
Beng Goan-cau dan Cay Kin memang tidak paham kedudukan Pat-kwa, namun mereka sebagai
ahli ilmu silat, daya kerja otaknya teramat cepat, lekas sekali mereka sudah mengikuti jejak Miao
Tiang-hong, masing-masing berputar dua kali menurut petunjuk Li Kong-he tadi di dalam barisan,
seketika seluruh langkah barisan Chit-sat-tin menjadi berentakan.
Dalam keadaan yang kritis ini kekuatan Chit-sat-tin sudah tidak bisa dikembangkan lagi,
terpaksa pribadi masing-masing dari para Lama itu harus berjuang sendiri-sendiri. Beng Goan-cau
melancarkan golok cepat penusuk Hiat-to yang paling dibanggakan, sinar goloknya bagaikan kilat
berputar, beruntun terdengarlah suara menguak saling susul, sekejap saja ada empat Lama yang
berhasil ter-totok Hiat-tonya oleh ujung goloknya, satu per satu roboh terkapar. Soalnya ia tidak
mau menurunkan tangan jahat sehingga para Lama itu hanya tertotok Hiat-tonya dengan sedikit
luka-luka saja. Dua orang Lama lainnya, yang satu dicengkeram oleh Cay Kin, lalu sendi-sendi tulang dan urat
nadinya ia lukai sedikit menggunakan Hun-kin-joh-kut. Seorang Lama yang lain kedua urat kakinya
kena ditusuk dan putus oleh ujung pedang Li Kong-he, maka tujuh Lama yang meluruk datang
dari Hu-hud-si, sekarang tinggal Po-siang Hoatsu seorang yang masih berjuang mati-matian.
Po-siang Hoat-su tidak menyangka pihaknya bakal gagal total, setelah menghela napas, ia
tarikan kasanya secepat kitiran, sehingga seluruh badannya seperti terbungkus oleh segumpal
awan merah, ia putar badan terus lari.
"Kepala gundal lari ke mana?" bentak Beng Goan-cau seraya membacokkan goloknya.
Sementara kedua telapak tangan Miao Tiang-hong menghantam bersama, memukul ke arah
kasanya yang melembung besar itu, sehingga terdengarlah suara gemuruh seperti tambur ditabuh
bertalu-talu, namun sekejap lain suara yang keras dan berkumandang itu menjadi sumbang
seperti kulit tamburnya pecah.
Ternyata Kasa Po-siang Hoatsu tidak kuasa menandingi gempuran dua tokoh silat tingkat tinggi
dengan pukulan dan bacokan golok, di mana golok cepat Beng Goan-cau berkelebat pergi datang,
kasa itu sudah terpapas sobek tujuh delapan lubang, seperti layar berkembang yang berlubang
tidak bisa digunakan lagi.
Tapi ilmu silat Po-siang Hoatsu memang tidak lemah, sedikit bertahan dan sendai ia lemparkan
kasanya itu, ia masih berkesempatan meloloskan diri. Waktu Beng Goan-cau melempar kasa orang
dari ujung goloknya, Po-siang Hoat-su sudah lari puluhan langkah dan tidak terkejar lagi.
Namun Beng Goan-cau masih hendak mengudak, segera Miao Tiang-hong mencegah: "Dia
sudah lari tidak perlu dikejar, biarlah ampuni jiwanya sekali ini!"
Maklum Hu-hud-si terletak tidak jauh di depan gunung sana, penghuni Lama dalam kuil itu
belum keluar semua, mau tidak mau mereka harus sedikit hati-hati dan bertindak dengan
perhitungan. Tak nyana belum lagi kata-kata Miao Tiang-hong habis diucapkan, mendadak terdengar
seseorang bergelak tertawa nyaring. Dari Ing-tho-gou di depan sana, tiba-tiba muncul ah empat
orang. Waktu Cay Kin angkat kepala, seketika tersirap darahnya, ternyata yang mendatangi paling
depan bukan lain adalah komandan Gi-lim-kun Pakkiong Bong adanya.
Tiga orang pengiringnya adalah sute Pakkiong Bong, yaitu Sebun Soh, Yam-yam hwesio dan
Hian-hong Tojin. Cay Kin beramai sebelumnya memang sudah menduga, musuh tentu akan mengejar tiba ke
tempat itu juga, namun mereka tidak menduga bahwa Pakkiong Bong sendiri bakal datang, malah lebih
cepat dari dugaan mereka.
Pakkiong Bong bergelak tertawa, ujarnya: "Di bawah kelopak mataku kalian ternyata bisa melarikan diri
dari kota Pakkhia, kagum, kagum. Sayang sayap kalian belum tumbuh subur, terbangnya tidak tinggi dan
tidak bisa jauh, akhirnya toh dapat kutemukan juga. He, he, walau kalian sebagai Sun-heng-cia yang
pandai berubah tujuh puluh dua kali, toh sekarang tidak akan bisa lolos dari telapak tangan Ji-lay-hud."
Beng Goan-cau menjengek dingin: "Angkuh benar sikapmu, sebentar biar kita buktikan siapa lebih unggul."
"Siapa orang' ini?" tanya Pakkiong Bong.
Hian-hong Tojin segera menjawab: "Dialah buronan yang datang dari Siau-kim-jwan itu, Beng Goan-cau
mengagulkan diri sebagai golok cepat tiada bandingan."
Sebetulnya Beng Goan-cau tidak pernah mengagulkan diri akan ilmu goloknya, istilah 'golok
cepat tanpa tandingan' hanyalah tambahan olok-olok Hian-hong Tojin di depan atasannya. Soalnya
semalam Hian-hong Tojin kena dikalahkan oleh golok, cepatnya, maka sekarang dia sengaja
mengagulkan kepandaian orang untuk membakar kemarahan Pakkiong Bong supaya segera
melabrak Beng Goan-cau. Pakkiong Bong menatap Beng Goan-cau, lalu pandangannya beralih kepada Miao Tiang-hong,
tanyanya kepada sutenya: "Orang ini pastilah Miao Tiang-hong yang pernah bergebrak dengan
kau itu bukan?" Sebun Soh mengunjuk rasa malu, sahutnya: "Benar, waktu ia bertanding dengan aku, dia
sudah tahu bahwa kau adalah suhengku!" ?" Tujuan kata-katanya ini sama dengan Hian-hong
Totiang, yaitu mengharap Pakkiong Bong membalaskan sakit hati mereka
Pakkiong Bong tidak ambil sikap mendengar kata-katanya, malah dia bersoja dan katanya:
"Golok cepat Beng Tayhiap sudah lama kukagumi, Miao-siansing sebagai kelana kangouw,
tersohor di seluruh jagat, aku pun sudah lama ingin berkenalan." Maklumlah sebagai Komandan
Gi-lim-kun, betapapun pribadi dan pandangannya jauh lebih tinggi dibanding orang-orang yang
berpandangan cupat dan picik, melihat pihak lawan adalah tokoh-tokoh yang terkenal, sudah tentu
ia harus bersikap lain dan tidak bisa tidak harus sekedar mengadakan basa-basi lebih dulu.
Adalah Beng Goan-cau tidak sudi main sungkan-sungkan terhadapnya, katanya dingin: "Aku
adalah buronan yang hendak kau tangkap, bahwa kau sudah lama mengagumi namaku, kukira
memang tidak beromong kosong."
Sebaliknya seperti tertawa tidak tertawa, lain pula sikap Miao Tiang-hong, katanya mengakak:
"Terima kasih akan tempelan lapisan emas di mukaku, tuan besar, sungguh aku orang she Miao
amat bahagia dan senang mendapat penghargaan ini."
"Dan di mana Li-ma-cu yang berani menyaru jadi diriku?" Pertanyaan ini ia tujukan kepada Posiang
Hoatsu. Seperti ayam jago yang sudah keok merah padam muka Po-siang Hoatsu, sahutnya: "Li-ma-cu
sudah lari lebih dulu!"
"Si maling kecil kenapa harus dirisaukan, sudah lari ya sudah, biar lain kali buat perhitungan
padanya," demikian jengek Pakkiong Bong. Maksudnya, maling kecil lari tidak menjadi soal,
penjahat besar ini sekali-kali jangan dibiarkan merat.
Tatkala itu para Lama dari Hu-hud-si sudah berbondong-bondong mendatangi, mereka sedang
sibuk menolong keenam Lama yang terluka itu di Ing-tho-gou.
"Ciong-ling Tayjin," kata Beng Goan-cau tertawa dingin, "apakah kau masih menunggu bala
bantuan?" Ia sudah tidak sabar lagi menunggu, maka ia tantang Pakkiong Bong lebih dulu.
Pakkiong Bong melirik sambil memicingkan mata, tidak menjawab pertanyaan Beng Goan-cau,
malah dia berkata kepada Miao Tiang-hong: "Miao-siansing, sute-ku pernah mendapat
petunjukmu, dia amat kagum terhadap Thay-ceng-khi-kangmu. Hari ini kebetulan kita bertemu,
aku pun ingin membuka mata dan menambah pengalaman menghadapi Thay-ceng-khi-kangmu
yang hebat itu." Miao Tiang-hong tertawa lantang: "Silakan Ciong-ling Tayjin sebutkan caranya, aku orang she
Miao pasti mengiringi setiap kehendakmu!"
Semua orang mengira Pakkiong Bong pasti segera akan bertanding melawan Miao Tiang-hong,
tak nyana ia berseru: "Nanti dulu!", berpaling lalu dengan suara sopan dan halus ia bertanya
kepada Po-siang Hoatsu: "Mereka harus menerjang keluar dari Chit-sat-tin-mu beberapa lama,
mungkin sudah menguras sebagian tenaga mereka bukan?"
"Chit-sat-tin sebetulnya sudah mengurung mereka, sayang para muridku belum matang
latihannya sehingga usaha kami gagal total. Tapi toh mereka berjuang mati-matian sampai
setengah jam lebih."
"Bagus, Po-siang Hoat-su, aku minta kau menjadi saksi," demikian ujar Pakkiong Bong.
Sudah tentu kata-katanya ini membuat Po-siang Hoatsu keheranan, tanyanya: "Menjadi saksi
apa?" Pakkiong Bong mengalihkan sorot matanya, katanya kepada Beng Goan-cau: "Beng Tayhiap,
biar aku belajar kenal dengan golok cepatmu lebih dulu!"
"Tepat, makan buah harus pilih yang empuk, memang lebih baik kau bertanding dulu dengan
aku," demikian cemooh Beng Goan-cau.
Berkata Pakkiong Bong pelan-pelan: "Di dalam Chit-sat-tin kalian sudah berjuang mati-matian,
aku Pakkiong Bong sudah tentu tidak sudi mengambil keuntungan ini." Sampai di sini ini ia
merandek, lalu menjawab pertanyaan Po-siang Hoatsu tadi: "Hoatsu, kuminta kau menjadi saksi,
Beng Tayhiap ini terkenal dengan ilmu goloknya, seratus jurus kukira tidak memerlukan waktu
terlalu lama, tidak menguras tenaga besar lagi. Biar pertandinganku melawan dia kubatasi seratus
jurus, dalam seratus jurus, bila aku tidak bisa mengalahkan dia, selanjutnya tidak akan mencari
perkara kepadanya!" "Kalau aku beruntung dapat mengalahkan kau?" jengek Beng Goan-cau.
Pakkiong Bong bergelak tertawa, ujarnya: "Kubatasi seratus jurus memang demi kebaikanmu.
Dalam seratus jurus asal kau sejurus saja menang, Pakkiong Bong sejak kini menutup pintu
menyimpan pedang, sudah tentu kedudukan dalam Gi-lim-kun ini pun tidak kujabat lagi. Kau dan
kawan-kawanmu boleh segera turun gunung, anak buahku pasti tidak akan membuat kesukaran
dengan kalian." Beng Goan-cau bergelak tertawa juga, ujarnya: "Ciong-ling Tayjin, taruhanmu ini tidak kecil
nilainya." Berkata Pakkiong Bong lebih lanjut: "Dalam seratus jurus kalau aku menang dari Beng Tayhiap,
Miao-siansing, biar nanti aku pun mohon belajar dengan Thay-ceng-khi-kangmu!"
Beng Goan-cau menjadi gusar, dampratnya: "Ucapan ini katakan nanti setelah kau betul-betul
dapat mengalahkan aku."
Berkata Pakkiong Bong tawar: "Bagus sekali, sebentar kita buktikan siapa lebih unggul!" Ia
balas menyindir menggunakan nada dan kata-kata Beng Goan-cau tadi.
Beng Goan-cau tersentak sadar akan sikapnya yang kasar dan terburu nafsu, katanya:."Baik,
marilah dibuktikan siapa lebih unggul."
"Hoatsu, harap hitunglah dengan tepat," kata Pakkiong Bong, pelan-pelan ia pun mencabut
sebatang pedang, gagang pedangnya dihiasi deretan permata yang berkilauan, ujung pedangnya
memancarkan sinar bintik-bintik seperti kunang-kunang.
Sebagai seorang ahli yang mengenal nilai sesuatu benda, sekali pandang saja Beng Goan-cau
tahu senjata orang merupakan sebilah ^pedang pusaka yang nilainya sama dengan sebuah kota.
Ternyata pedang Pakkiong Bong ini adalah anugerah dari baginda raja, dinamakan Ceng-liongkiam,
adalah salah satu cari tujuh pedang pusaka peninggalan jaman kuno dulu. Meskipun senjata
Beng Goan-cau sendiri pun sebilah golok pusaka, tapi dibanding dengan Ceng-liong-kiam terang
tidak setanding. Sejak menjabat sebagai komandan Gi-lim-kun jarang Pakkiong Bong
mengeluarkan pedangnya ini, adalah baru pertama kali ini ia menggunakan pedang ini untuk
bertanding dengan orang, maka dapatlah dibayangkan agaknya ia merasa segan menghadapi
Beng Goan-cau. Pedang diacungkan, cahaya hijau berkembang seperti setabir kerai, sementara sinar golok
berputar ceplok-ceplok seperti kembang salju, kedua orang sama mengacungkan pedang dan
golok, bagai panah yang sudah terpentang di atas busur, tinggal menunggu waktu untuk
dilepaskan. Tak nyana di luar dugaan semua orang, meski mereka sudah sama-sama siap dan
pasang kuda-kuda, namun tidak segera turun tangan.
Semua orang menunggu sambil menahan napas, tampak tangan Beng Goan-cau menekan
gagang goloknya, matanya mendelik mem-bundar, segala konsentrasi dipusatkan kepada lawan,
seakan-akan ia tidak pedulikan lagi situasi sekelilingnya, perhatian tertuju ke ujung pedang
Pakkiong Bong. Sementara Pakkiong Bong pentang kedua kakinya dengan lutut depan sedikit
tertekuk, ujung pedangnya tertuju ke perut Beng Goan-cau, sikapnya seperti acuh tak acuh.
Di antara hadirin, pengetahuan ilmu silat Miao Tiang-hong paling luas dan banyak ragamnya,
melihat Pakkiong Bong memasang kuda-kuda dan bergaya demikian rupa, diam-diam mencelos
hatinya. Pikirnya: "Pedang, pukulan dan lwekang Pakkiong Bong kabarnya diberi julukan Sam-ciat,
semula kukira hanya umpakan orang-orang rendah kepada atasannya saja, naga-naganya meski
Sam-ciat terlalu diagulkan, kiranya memang dia membekal ilmu tulen. Bagaimana lwekang dan
entah ilmu pukulannya, cuma gaya permulaan dari permainan ilmu pedangnya ini, sudah dapat
dipercaya akan puji sanjung mengenai keahliannya itu."
Kiranya gaya Pakkiong Bong ini diam-diam tersembunyi tujuh macam gerak perubahan.
Pedangnya bisa bergerak secara bebas untuk mengunci serangan lawan sambil melihat gelagat
dan situasi untuk balas menyerang kepada musuh. Begitu Beng Goan-cau melihat gaya kudakudanya
lantas ia tahu bahwa orang bersikap menunggu dan bergerak belakangan untuk
menundukkan lawan lebih dulu. Beng Goan-cau membelalakkan matanya, yang ditatap adalah
ujung pedang lawan, yang dicari dan dinantikannya adalah kesempatan dan titik lubang
kelemahan serta mempersiapkan diri untuk menyerang lawan. Begitulah setelah konsentrasi
terpusat dan perhatikan selama sesulutan dupa, otaknya bekerja keras menganalisa dan
memikirkan daya upaya, namun ia merasa pertahanan musuh cukup kokoh dan rapat, tiada
lubang untuk diserang. Karena menunggu sekian lama, hati Hian-hong tojin menjadi gelisah sendiri, jengeknya dingin:
"Golok cepat mengutamakan kecepatan, kalau golok cepat tidak berani menyerang, buang saja
golokmu dan pulanglah menjadi kura-kura saja!"
Belum lenyap suara olok-oloknya, mendadak dilihatnya sinar golok berkelebat cepat sekali,
hawa pedang mengembang- melebar, begitu cepat sampai sukar dilukiskan. Biasanya Hian-hong
Tojin mengagulkan pedangnya yang cepat, toh sekarang dia sendiri merasa kabur pandangannya.
Samar-samar ia hanya melihat agaknya pedang dan golok belum saling sentuh, namun deru dan
getaran tenaga yang tersalur di ujung pedang dan golok sampai membuat suara mendengung
keras memekakkan telinga.
Kenyataan permainan golok cepat Beng Goan-cau memang sukar dilukiskan dengan kata-kata
dan sulit di kuti dengan mata telanjang, semula Po-siang Hoatsu masih bisa memperhatikan
dengan seksama, di dalam hati ia menghitung: "Satu, dua, tiga, empat..." Namun hanya dalam
waktu sepersepuluh detik yang dilihatnya hanyalah sinar terang yang berkelebatan menyilaukan
mata, cahaya pedang simpang siur pergi datang, bahwasanya ia tidak tahu lagi berapa banyak
Beng Goan-cau sudah menyerang.
Tapi gerak pedang Pakkiong Bong sebaliknya dapat ia lihat amat jelas, kelihatannya ujung
pedang orang seperti dibebani barang berat, pedang melintang di depan dada, kadang kala hanya
mengiris atau menggaris ke sana memotong ke sini, yang dilancarkan hanyalah sejurus Heng-huntoanhong yang biasa dan sangat umum.


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Walaupun jurus ini teramat biasa dan umum, malah digerakkan dengan lamban seperti
bermalas-malasan, tapi getaran dari ujung pedangnya yang mengaung masih terdengar terus tak
putus-putus, para penonton menjadi risi dan tidak enak hatinya. Dan lagi setiap kali pedangnya itu
bergerak melintang atau lurus menegak, selalu menaburkan ceplok-ceplok sinar yang menembus
dari sinar golok, kelihatannya amat menyolok.
Di kala dia melancarkan jurus pedangnya ini, golok cepat Beng Goan-cau laksana hujan angin
yang deras, entah memberondong berapa kali dengan bacokan gencar dari depan, belakang atau
kanan kiri, namun tiada bacokan goloknya itu yang mengenai sasarannya. Setelah jurus
serangannya itu selesai, barulah ia menyurut mundur setapak.
Sambil menggigit bibir, Beng Goan-cau menubruk maju lagi. Pakkiong Bong tetap melayani
dengan gerakan lamban, dari Heng-hun-toan-hong dirubah Liong-kiam-kiu-gan, pedang
panjangnya hanya diobat-abitkan di depan dadanya. Di dalam pertahanan yang kokoh dan rapat
Heng-hun-toan-hong masih membawa gerak perubahan balas menyerang, sementara Liong-kiamkiugan adalah permainan pedang yang khusus untuk mempertahankan diri saja. Begitulah satu
mundur satu maju, beruntun Beng Goan-cau menubruk tujuh kali. Pakkiong Bong pun mundur
tujuh tapak. Melihat Pakkiong Bong didesak mundur oleh serangan gencar golok Beng Goan-cau, diam-diam
Hian-hong Tojin dan Sebun Soh sama gelisah dan kuatir.
Kalau begundal Pakkiong Bong sama kuatir bagi atasannya, adalah pihak Beng Goan-cau
sendiri, seperti Miao Tiang-hong, Li Kong-he dan Cay Kin pun sedang merasa was-was.
Sebetulnya kegelisahan kedua pihak sama tidak beralasan, kalau dibicarakan sesungguhnya
golok cepat Beng Goan-cau dan pedang lamban Pakkiong Bong masing-masing mempunyai
keunggulan dan kehebatannya sendiri-sendiri, setanding dan sama kuat. Cuma Beng Goan-cau
terburu nafsu melancarkan serangan gencarnya, meski serangannya amat bagus, pertahanan
lawan justru lebih menakjubkan, bahwa rangsakan Beng Goan-cau yang gencar itu tidak kuasa
membobol pertahanan musuh, secara tidak sadar ia sudah bertindak keliwat batas dan tanpa
perhitungan. Pakkiong Bong mundur tujuh tapak, baru ia berhasil memunahkan secara bertahap gelombang
rangsakan Beng Goan-cau yang gencar, pada langkah keenam, kakinya sudah berhenti dan tidak
mundur lagi. Tapi dasar posisi dan situasi pertempuran masih tetap seperti keadaan semula.
Sepihak menyerang gencar, sementara pihak lain bertahan dengan kalem.
Rangsakan Beng Goan-cau laksana kilat dan guntur menyambar, sedang pertahanan Pakkiong
Bong laksana lautan membungkus cahaya matahari. Yang satu mendampar bagai gelombang
pasang mengamuk, yang lain bertahan sekokoh gunung bercokol, sama-sama hebat dan
menakjubkan. Pandangan penonton menjadi silau dan kabur.
Sekonyong-konyong terdengar "trang" sekali, kembang api ber-percik, Beng Goan-cau mencelat
mundur tiga tindak, ia tarik goloknya dan diperiksa, tampak ujung goloknya tergumpi! sebuah
lekukan kecil, tapi hanya sebesar lubang jarum saja, selintas pandangan terang tidak kelihatan.
Kiranya meski golok pusaka Beng Goan-cau bukan tandingan pedang mustika Pakkiong Bong, tapi
karena serangan dan tarikan pedangnya dilakukan dalam waktu singkat dengari kecepatan luar
biasa, boleh dikata sekali sentuh lantas mundur, maka kalau Pakkiong Bong hendak memapas
kutung goloknya terang tidak bisa.
Di saat Beng Goan-cau melompat mundur itulah, Pakkiong Bong segera tertawa dan berkata:
"Beng Tayhiap, pertempuran ini boleh dihentikan saja bukan?"
"Kau melulu mengandalkan ketajaman pedangmu, memangnya aku dianggap kalah begini
saja?" damprat Beng Goan-cau gusar.
"Mana berani, mana berani. Dalam penarungan jurus terang aku tidak lebih unggul, tapi kau
sendiri pun tidak menang, betul tidak?"
"Kalau toh belum ada ketentuan siapa unggul, siapa kalah kenapa harus dihentikan?"
"Beng Tayhiap, kau kan tidak pikun. Tadi sudah dijanjikan pertempuran dibatasi seratus jurus,
sekarang kebetulan pas seratus jurus! Po-siang Hoatsu, kau sebagai saksi, tidak salah bukan
perhitunganku?" Diam-diam Po-siang Hoatsu malu diri, katanya tercekat: "Ya, ya, aku selalu menghitung,
Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 13 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Tongkat Rantai Kumala 8

Cari Blog Ini