Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 18
kebetulan memang persis seratus jurus." Yang benar pandangan matanya tidak mampu mengikuti
gerakan golok Beng Goan-cau, sampai akhirnya pandangannya menjadi kabur dan kepala terasa
pening, bahwasanya ia tidak menghitung lebih lanjut.
Beng Goan-cau sadar, dalam hati ia menghitung-hitung jurus-jurus permainan goloknya, betul
juga memang genap seratus jurus. Tanpa merasa ia menarik napas, pikirnya: "Dia menghadapi
golok cepatku, namun masih bisa pecah perhatian untuk menghitung jurus-jurus seranganku,
meskipun berakhir seri, seharusnya aku terhitung sudah kalah."
Sebagai laki-laki sejati yang jujur dan perwira, segera Beng Goan-cau berkata: "Pakkiong Bong,
ke-pandaianmu memang lebih tinggi dari aku orang she Beng. Beng Goan-cau mengaku kalah
saja!" "Beng Tayhiap," ujar Pakkioag Bong tertawa. "Tak usah sungkan kita hanya boleh dianggap
setanding, golok cepatmu aku amat mengaguminya. Tapi janji sudah kuberikan tadi, maka babak
selanjutnya biar aku mohon petunjuk Miao Tayhiap! Miao Tayhiap, sekarang kita masing-masing
sudah berhantam satu babak, tiada pihak yang mengambil keuntungan, marilah boleh segera
dimulai!" "Baik, Ciong-ling Tayjin, silakan sebutkan caranya," sambut Miao Tiang-hong.
"Kalau kau dapat mengalahkan aku, seperti apa yang kujanjikan kepada Beng Tayhiap tadi,
kurelakan kalian turun gunung, selanjutnya aku akan mengasingkan diri saja. Sebaliknya kalau
beruntung aku menang, silakan kalian ikut aku kembali ke kota raja."
Miao Tiang-hong yakin dirinya tidak akan terkalahkan, tapi urusan menyangkut jiwa empat
orang, tidak bisa dia ambil putusan sendiri, tengah ia ragu-ragu, Beng Goan-cau dan Cay Kin, Li
Kong-he berseru bersama: "Miao Tayhiap, kami akur saja akan pendapatmu!"
"Baik kalau aku kalah, terserah akan keputusanmu sendiri!" seru Miao Tiang-hong.
Pakkiong Bong terbahak-bahak, ujarnya: "Agaknya Miao Siansing menjadi jeri malah" Para
sahabatmu begitu percaya kepadamu, sebaliknya kau tidak berani memikul tanggung jawab ini,
bukankah menyia-nyiakan harapan mereka" Tapi kalau kau hanya berani mempertaruhkan dirimu
sendiri, sebagai tuan rumah aku selalu mengiringi kehendak tamuku, begitu pun baik!"
Cay Kin mendengus hidung, katanya pelan-pelan: "Pakkiong Bong, memangnya kau sangka
kami takut kepadamu?"
"Tidak berani, tidak berani. Ayahmu adalah tokoh piausu yang mendirikan Tin-wan Piaukiok,
terhadap tujuh puluh dua jurus Tay-kim-na-jiu dari keluarga Cay kalian sudah lama aku pun amat
kagum. Cay-piauthau, silakan katakan saja, bagaimana kehendakmu?" demikian tantang Pakkiong
Bong. "Pertandinganmu dengan Miao Tayhiap ini, sudah sebutkan pertaruhannya," demikian jawab
Cay Kin. "Sekarang biar kami yang bertaruh dengan kau, pertaruhan ini boleh dianggap ada
sangkut pautnya dengan Miao Tayhiap, boleh dikata pula tiada hubungannya!"
"O, pertaruhan bagaimana, aku masih kurang jelas, harap Cay-piauthau menjelaskan
sekedarnya." "Aku bertaruh bahwa kau tidak akan bisa mengalahkan Miao Tayhiap!"
"Bagaimana bila beruntung aku yang menang?"
"Sama dengan pertaruhan Miao Tayhiap, kami serahkan diri kami kepada keputusanmu. Kalau
Miao Tayhiap yang menang, kami pun tidak sudi terima budimu, biarlah kami sama-sama
mengandal kepandaian masing-masing untuk menentukan pihak mana lebih unggul."
Kata-kata Cay Kin ini memang diharapkan oleh Pakkiong Bong, ia tertawa kesenangan, ujarnya:
"Gagah benar dan memang pemberani! Bagus, ucapan seorang kuncu bagaikan kuda dipecut
membedal, baiklah begitu saja ketentuannya."
Ternyata Pakkiong Bong sendiri juga tidak yakin bisa mengalahkan Miao Tiang-hong. Bahwa ia
mempertaruhkan nasib kawan-kawan Miao Tiang-hong atas pertandingannya, adalah untuk
memberikan suatu tekanan batin dan tanggung jawab yang lebih berat bagi Miao Tiang-hong,
maka ia pasti harus berjuang untuk menang demi keselamatan teman-temannya. Dengan
demikian kesempatan dirinya untuk menang pastilah lebih banyak.
Kini apa yang dipertaruhkan oleh Cay Kin benar-benar jauh di luar keinginannya, peduli menang
atau kalah, hak atau kekuasaan membiarkan Cay Kin beramai pergi kini tergenggam di tangannya,
betapa hatinya tidak akan girang"
"Baik, aturan-aturan sudah sama kita tentukan. Ciong-ling Tayjin, cara bagaimana kau ingin
bertanding?" tantang Miao Tiang-hong lega.
"Sudah lama kukagum akan Thay-ceng-khi-kangmu, marilah kita bertanding dalam ilmu
pukulan saja. Tapi kita tidak perlu menggunakan cara-cara tabu seperti kelakuan kaum cupet."
"Terserah menurut keinginanmu, silakan mulai."
Tengah semua orang heran mendengar kata-kata terakhir Pakkiong Bong, dilihatnya Pakkiong
Bong sudah mulai pasang kuda-kuda dan menghimpun semangat, pelan-pelan ia hantamkan
telapak tangannya. Tapi pukulannya ini dilancarkan dari tempat yang jaraknya tiga tombak dari
tempat berdiri Miao Tiang-hong.
Sikap Miao Tiang-hong amat prihatin, pelan-pelan ia menghembuskan napas dan berseru
memuji: "He, kepandaian hebat!" Kedua telapak tangannya pelan-pelan ditepukkan ke depan, ia
balas satu jurus. Kedua kakinya seperti terpaku di tanah, dalam jarak tiga tombak itu, ia lontarkan
pukulannya tanpa bergeser kedudukan dari tempat semula.
Mendadak Pakkiong Bong terbahak-bahak tiga kali, ia pun berseru memuji: "Kepandaian
hebat!" --Semua orang menjadi bingung, karena apa orang tertawa.
Ternyata dasar pelajaran dari lwekang mereka justru berlawanan, Pakkiong Bong menempuh
jalan kekerasan, sebaliknya Miao Tiang-hong menggunakan daya kelunakan. Begitu Thay-cengkhikang dilancarkan, Pakkiong Bong lantas merasa silir seperti dihembus angin sejuk di musim
semi, sungguh nyaman dan segar sehingga rasanya menjadi mengantuk. Ketiga kali tawanya itu
adalah mengerahkan lwekang sendiri untuk mengembangkan keampuhannya, menggerakkan
semangat untuk menahan hawa murni lawan yang menyerang dirinya.
Miao Tiang-hong sendiri pun mengalami tekanan yang bukan ringan artinya, waktu Bik-khongciang
Pakkiong Bong dilontarkan, ia sudah mengerahkan Jian-kin-tui untuk memberatkan badan,
di samping menggunakan Thay-ceng-khi-kangnya untuk melawan, namun tak urung badannya
tergeliat tiga kali. Ternyata lwekang Pakkiong Bong benar-benar teramat keras dan ganas, tenaga yang
dilontarkan tersembunyi tiga gelombang kekuatan yang dahsyatnya seperti dam-paran ombak
mengamuk, gelombang demi gelombang semakin hebat. Miao Tiang-hong menyangka sudah
memunahkan pukulan lawan, sekonyong-konyong gelombang kedua sudah menerjang tiba
menggetarkan pertahanannya, belum lagi gelombang kedua lenyap, gelombang ketiga sudah
melanda tiba pula. Meskipun ajaran silat Miao Tiang-hong cukup tinggi dan luas, baru pertama kali
ini ia kebentur oleh lwekang yang keras dan hebat serta aneh ini. Namun ia hanya tergeliat tiga
kali tanpa tergeser posisi kakinya, dari sini pun dapat dinilai betapa kokoh pertahanan dan
lwekangnya. Sepihak tertawa tiga kali, pihak lain tergeliat tiga kali juga. Semua orang tidak tahu akan likuliku
yang tersembunyi dalam kehebatan ilmu kedua orang ini, semua orang sama menyangka
dalam gebrak pertama ini Pakkiong Bong sudah unggul seurat, sudah tentu mereka merasa kuatir
bagi Miao Tiang-hong. Hanya Pakkiong Bong sendiri yang maklum: "Thay-ceng-khi-kang memang tidak bernama
kosong. Lwekangnya yang ampuh ini, agaknya di atasku dan tidak mungkin lebih asor. Untung
kalau tidak sampai kena dikalahkan, untuk menang kukira amat sulit sekali!"
Sementara Miao Tiang-hong pun sedang membatin dalam hati: "Sebagai komandan Gi-lim-kun,
kiranya Pakkiong Bong memiliki kepandaaian yang berlainan dari kaum persilatan umumnya! Kalau
hari ini aku harus menang, mungkin harus melabraknya tiga ratusan jurus kemudian!"
Dalam kalangan persilatan umumnya sering dikatakan kelunakan sering mengatasi kekerasan,
tapi hal itu tergantung dari keyakinan atau latihan dari pribadi orang itu masing-masing, lwekang
latihan Pakkiong Bong yang mengutamakan kekerasan ini sudah dilatihnya mencapai tingkat yang
hampir sempurna, untuk mengalahkan Miao Tiang-hong harus tahap demi tahap menguras habis
tenaga murninya lebih dulu, di dalam keadaan sama bertahan dan akhirnya kehabisan tenaga
barulah dia bisa berhasil.
Dalam gebrak pertama tadi, kedua pihak sudah saling menjajaki tingkat kepandaian lawan,
setelah tahu sama tahu mereka tidak berani pandang enteng lawannya, masing-masing lantas
melancarkan ilmu pukulan simpanan yang dibanggakan dan lihay, di dalam jarak tiga tombak itu,
sejurus demi sejurus mereka bersilat saling serang.
Keduanya sama prihatin dan bermuka kereng. Tapi bagi penglihatan para penonton, seolaholah
mereka sedang berlatih sendiri, tidak begitu menarik seperti pertarungan Beng Goan-cau
yang sengit tadi. Tapi para penonton yang hadir adalah ahli-ahli silat tingkat tinggi juga, lambat
laun mereka menyadari juga akan kehebatan dan kemujijatan dari gerak-gerik kedua pihak itu.
Kelihatannya mereka sedang berlatih sendiri-sendiri, namun ilmu pukulan yang dilontarkan
masing-masing saling atas mengatasi saling serang. Kalau musuh menyerang aku membela diri,
musuh membela diri aku balas menyerang, keduanya sembabat dan setanding, pertandingan yang
aneh ini sebetulnya tidak berbeda dengan pertandingan umumnya, cuma di antara mereka terpaut
puluhan langkah jauhnya. Tapi bagi tokoh silat tingkat tinggi, jarak sedemikian jauh tidak menjadi persoalan. Pertama,
Bik-khong-ciang kedua pihak dapat mencapai sasarannya. Kedua, begitu permainan sendiri
menunjukkan lubang kelemahan, lawan segera bisa merangsak ke tempat lemah itu, apalagi jarak
tiga tombak cukup sekali lompat sudah tercapai. Malah tanpa kepalan tangan mengenai tubuh
lawan, kekuatan pukulannya saja cukup dapat melukai lawan dari kelemahan yang diperlihatkan
itu. Pertandingan macam ini bukan saja mengadu ilmu pukulan, sekaligus pun mengadu lwekang,
jauh lebih berbahaya dan sengit dari pertandingan silat umumnya.
Pertandingan lwekang sulit di kuti pandangan mata, namun ilmu pukulan yang dimainkan kedua
pihak para penonton dapat mengikuti dengan jelas, setiap kali mereka sama melontarkan ilmu
pukulan yang lihay, rumit dan mendalam, orang-orang dari kedua pihak lantas membatin sendirisendiri:
"Kalau aku yang menghadapi jurus serangan ini, cara bagaimana aku mengatasinya?"
Sering sebelum mereka mendapatkan jawaban, pertarungan di tengah gelanggang sudah
berubah, gerak-gerik dan pukulan-pukulan yang dimainkan oleh kedua orang yang bertanding
selalu jauh lebih menakjubkan dan lihay dari apa yang mereka simpulkan. "Oh, kiranya begitu cara
memunahkannya!" Lahirnya kelihatan tujuh bagian Pakkiong Bong menempatkan diri pada penyerangan, telapak
tangan membelah jari-jari menotok, setiap jurus permainannya amat ganas dan mematikan, yang
diarah selalu tempat-tempat penting di badan Miao Tiang-hong. Tapi Miao Tiang-hong berlaku
sigap, setiap jurus setiap serangan dapat ia punahkan dengan baik, sikap dan gerak-geriknya
malah jauh lebih wajar dan bebas dari Pakkiong Bong. Sekonyong-konyong Pakkiong
Bong menghardik bagai geledek mengguntur, pukulannya mendadak dipergencar lagi, "Wut,
wut" beruntun ia lontarkan tujuh pukulan berantai, satu tombak di sekitar gelanggang, batu pasir
beterbangan, orang yang berdiri dekat gelanggang pun, merasa sampukan angin keras pada
mukanya, rasanya seperti di ris pisau.
Badan Miao Tiang-hong tampak bergoyang gontai, seolah-olah sebuah perahu yang sedang
meronta di tengah gelombang badai samudra raya, timbul tenggelam tidak menentu. Namun
demikian ia masih tetap bertahan tidak sampai terjungkal oleh terjangan gelombang ombak yang
dahsyat. Ia masih tetap berdiri di tempatnya, seperti kedua kakinya itu sudah terpaku di atas
bumi, sesenti pun tidak tergeser.
Beng Goan-cau berpikir: "Nah inilah kejanggalan yang dinanti-nantikan" Setelah Miao-toako
memunahkan tujuh pukulan niusuh yang keras dan dahsyat ini, perubahan yang lebih
menguntungkan agaknya bakal didapatkan."
Tadi dengan golok cepatnya ia merabu Pakkiong Bong, beruntun Pakkiong Bong mundur tujuh
tapak untuk memunahkan rangsakannya. Kini Pakkiong Bong meniru perbuatan Beng Goan-cau
tadi menggempur Miao Tiang-hong, penyakitnya sama seperti keadaan Beng Goan-cau tadi.
Sebagai ahli silat sudah tentu Pakkiong Bong menyadari akan hal ini, lalu kenapa ia meniru
perbuatan Beng Goan-cau tadi" Itulah karena dia dipaksa oleh situasi, ia pikir kalau pertempuran
berjalan terlalu lama, dirinya tentu sulit mengambil keuntungan, maka terpaksa ia harus
menempuh suatu keberuntungan jalan pendek sambil menyerempet bahaya.
Betul juga setelah ketujuh jurus serangannya ini, jidat Pakkiong Bong sudah basah oleh
keringat, meskipun tidak sampai berketes-ketes, jelas kelihatan sudah terlalu banyak makan
tenaga. Sebaliknya sikap Miao Tiang-hong tetap wajar dan tenang seperti biasa.
Kalau Beng Goan-cau dapat melihat titik tolak ini, sudah tentu Sebun Soh, Hian-hong Tojin pun
dapat melihatnya. Mendadak Hian-hong membentak: "Waktu sudah berlarut, marilah kita tentukan
secara beramai saja. Pihak kalian empat orang, kami pun empat orang, masing-masing pihak tidak
dirugikan. Beng Goan-cau, biar aku mohon petunjuk golok cepatmu lagi." Dari pertandingan satu
lawan satu, keadaan menjadi ribut dan ramai dengan pertempuran kalang kabut, masing-masing
pihak sama mencari lawan sendiri-sendiri.
Miao Tiang-hong mendengus, jengeknya: "Ciong-ling Tayjin, bukankah kita belum ada
ketentuan kalah dan menang!"
"Cay-piauthau tadi sudah bicara, dia ingin ikut terjun dalam keramaian ini. Entah kapan baru
kita ada kesudahan kalah menang, kalau mereka menonton terlalu lama, kaki tangan tentu
menjadi gatal. Biarlah semua orang ikut meramaikan suasana saja. Toh jumlah masing-masing
sama, kalian toh tidak dirugikan. Po-siang Hoatsu, semua anak buahmu dilarang ikut campur, dan
kau boleh menjadi saksi saja"
Po-siang Hoatsu mengiakan lalu mundur ke sebelah belakang, segera ia pimpin anak buahnya
membentuk Chit-sat-tin, dari kejauhan mereka mengambil sikap mengepung.
Lwekang yang diyakinkan Pakkiong Bong menempuh jalan kekerasan, dalam berkata-kata itu,
tenaga pukulan yang dia lontarkan sedikit pun tidak menjadi kendor. Dalam hal ini Miao Tianghong
harus mengakui keunggulan lawan. Miao Tiang-hong hanya bicara di saat ia berkesempatan
ganti napas, lantas rangsakan lawan melanda pula membuat ia tidak berani memecah perhatian
lagi. Sebelumnya Pakkiong Bong sudah memperhitungkan bahwa pihak dirinya terang lebih unggul
dan pasti menang, maka sengaja ia berolok-olok. Memang perhitungan Pakkiong Bong tidak
meleset, tidak lama setelah pertarungan ramairamai ini berlangsung, pihaknya sudah unggul di
atas angin. Hian-hong Tojin menghadapi Beng Goan-cau sebagai lawannya, Beng Goan-cau menjengek
dingin: "Semalam cepat benar larimu ya!"
"Orang she Beng, jangan bermulut besar, hari ini akan kubuat kau lari pun tidak akan bisa
kabur!" "Memangnya kau mampu?" jengek Beng Goan-cau. "Lihat saja buktinya!" Sembari berkata
beruntun ia sudah membacok dan menyerang tiga puluh enam jurus! Bercekat hati Hian-hong
Tojin. "Dia masih kuasa melancarkan permainan goloknya yang begini cepat, apakah mataku salah
lihat?" Setelah bertempur beberapa waktu lagi, mendadak Beng Goan-cau rasakan lengan atasnya
rada-rada pegal linu, golok yang dilancarkan menjadi terganggu seolah-olah tenaga sulit
dikerahkan lagi. Walaupun masih lebih cepat dari permainan ilmu golok umumnya, tapi gerakgeriknya
tidak sehebat dan secepat tadi yang dapat bergerak menuruti kesukaan hatinya dan
wajar. Ternyata waktu bertempur dengan Pakkiong Bong tadi, di ujung pedangnya orang
menggunakan ilmu meminjam benda menyalurkan tenaga, lwekangnya dikerahkan di ujung
pedangnya, lwekang ini rada aneh, yaitu mengandung tenaga gelap yang dapat membokong di
luar tahu lawannya, adalah mending kalau Beng Goan-cau tidak lantas bergebrak, sekali ia turun
tangan, luka-luka yang diderita dari bokongan ini seketika kumat. Untung kepandaian sejatinya
memang jauh lebih unggul dari Hian-hong Tojin, maka ia masih kuat bertahan sampai setanding
saja dengan Hian-hong Tojin.
Kalau di sebelah sini Beng Goan-cau melabrak Hian-hong Tojin dengan sengit, di sebelah lain,
Yam-yam hwesio pun sudah bertarung melawan Cay Kin. Kedua pihak sama membekal ilmu
tunggal perguruan masing-masing, begitu bentrok lantas sama keluarkan keahlian yang
diandalkan. "Wut" kontan Yam-yam Taysu menyerang lebih dulu, angin pukulannya seolah-olah hawa
panas yang merembes keluar dari tungku yang membara, suhu panas seketika berkembang ke
empat penjuru. Dengan telapak tangan menghadap ke dalam Cay Kin gunakan sejurus Jiu-hwi-biba
(tangan memetik gitar), ia balas menyerang dengan pukulan Im-ciang. Yam-yam bertindak
terlalu berani, belum lagi ia menarik tangan kanannya, telapak tangan kiri sudah menyerang pula
secara berantai, dengan kekerasan ia main terobos ke kanan menerjang ke kiri. Permainannya ini
justru cocok akan hasrat Cay Kin, seketika ia berseru: "Serangan bagus!"
Telapak tangan ia rubah dengan kepalan, sementara kaki sekokoh tonggak tertanam dalam
tanah, ia mendesak maju, telapak tangan dan kepalan bekerja bersama, kelihatannya serangannya
ini hanya sejurus saja, bahwasanya mengandung enam tujuh gerak variasi yang lihay dari Tay-kinnajiu-hoat. Begitu Yam-yam Taysu lancarkan pukulan Bik-khong-ciang tahu-tahu ia rasakan angin kencang
menerjang mukanya, kiranya kepalan Tiang-kun Cay Kin sudah memukul tiba. Lekas Yam-yam
mengegos sambil miringkan badan, lalu diteruskan dengan gerakan Burung Hong Menganggukkan
Kepala, berbareng telapak tangan kiri didorong ke luar, dengan pukulan Im-ciang, telapak
tangannya memukul ke dada Cay Kin. Siapa tahu tujuh puluh dua Tay-kim-na-jiu Cay Kin dapat
bergerak begitu lincah serba mengandung variasi yang membingungkan, tiba-tiba berisi kadangkadang
kosong dan sulit diraba perubahannya, bukan saja hebat amat menakjubkan pula. Tibatiba
ia menghardik "Kena!" jari tangannya mengait balik, ia berhasil menggait perge-langan tangan
Yam-yam Taysu. Di saat Cay Kin hendak meneruskan mengembangkan Hun-kin-joh-kut-hoat memelintir putus
pergelangan tangan orang, tiba-tiba ia rasakan di mana telapak tangannya menyentuh sesuatu
benda yang panas membara, seolah-olah ia menangkap sebuah batang besi yang dibakar
membara. Lekas Cay Kin mengendorkan tangan dan mencelat mundur. Kedua pihak sama-sama
kaget oleh kepandaian masing-masing, sesaat mereka tidak berani bertindak gegabah dan
merangsak lagi dari jarak dekat.
Kiranya latihan ilmu Yam-yam Taysu adalah Hwe-liong-kang (kekuatan naga api), semacam
ajaran ilmu sesat dari aliran Mi-ciong di Tibet. Kalau ilmu ini diyakinkan mencapai tingkat tertinggi,
setiap tempat di atas badan seolah-olah bara api panasnya, bagi latihan Yam-yam Taysu sendiri
masih terpaut jauh mencapai tingkatan ini, ia harus menunggu bila musuh menyentuh badannya,
baru ia bisa kerahkan lwekangnya untuk menggempur ke tempat di mana menjadi sasaran
musuh. Tapi karena perlawanan ini toh Cay Kin cukup menderita, seketika ia rasakan bibir kering
dan tenggo-rokan gatal, rasanya amat panas sekali. Ternyata keahlian Cay Kin hanya di bidang
Tay-kim-na-jiu, dalam hal lwekang, memang latihannya terpaut rada jauh dari Yam-yam hwesio.
Tapi Yam-yam Taysu sendiri pun cukup menderita pula, walaupun kekuatan cengkeraman Cay
Kin tadi belum tersalur seluruh kekuatannya, sendi tulangnya toh sudah cedera sedikit, maka
lengan kanannya itu menjadi tidak leluasa gerak-geriknya.
Setelah kedua pihak sama-sama kaget dan mendapat rugi, maka dalam gebrak selanjutnya,
mereka meningkatkan kewaspadaan dan tidak berani bertindak tanpa perhitungan. Yam-yam takut
menghadapi Tay-kim-na-jiu orang, maka ia tidak berani merangsak terlalu dekat, mau tidak mau
Cay Kin harus berjaga-jaga akan Hwe-Iiong-kang lawan yang lihay, maka selalu ia menghindarkan
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diri bentrok secara kekerasan. Karena adanya kekuatiran ini, Cay Kin yang harus bertempur secara
beruntun, lama kelamaan terkuras tenaganya, akhirnya ia terdesak di bawah angin.
Pasangan terakhir adalah Li Kong-he melawan Sebun Soh. Sebun Soh adalah sute Pakkiong
Bong, meski kepandaiannya jauh dibanding suhengnya, tapi ia rada unggul sedikit dari Yam-yam
Taysu. Sebaliknya Li Kong-he merupakan lawan yang paling muda, sudah tentu bekal lwekangnya
pun paling rendah pula. Tapi seumpama kambing kecil yang tidak mengenal takut berhadapan dengan harimau, Li
Kong-he kembangkan ilmu pedangnya, bagaikan gelombang sungai besar bergulung ke depan,
menggunakan kelincahan dan kehebatan permainan ilmu pedangnya untuk menambal kekurangan
lwekangnya yang rendah, mau tidak mau Sebun Soh harus berhati-hati melawan ilmu pedangnya.
Beberapa kejap kemudian, terpaksa Sebun Soh melancarkan Hian-im-ci, segulung angin dingin
menyembur keluar dari jentikan jari tangannya, seketika Li Kong-he bergidik tanpa kuasa.
Sebun Soh girang, bentaknya: "Anak muda, lepaskan pedangmu!" Ia kira lawan sudah terkena
serangan hawa dinginnya yang beracun, terang orang tidak akan kuat bertahan. Tak nyana bukan
saja Li Kong-he tidak melepaskan pedangnya, malah sebat sekali ia balas menyerang, maka
tangan Sebun Soh yang terjulur hendak mencengkeram tulang pundaknya seakan-akan
disodorkan untuk ditabas oleh pedang Li Kong-he untung ia bergerak cukup sebat, lekas-lekas
menarik balik, hampir saja kelima jarinya terpapas kutung.
Ternyata Hian-in-ci latihan Sebun Soh ini merupakan pecahan dari ilmu Siu-lo-im-sat-kang,
sama-sama menggunakan hawa dingin beracun untuk melukai musuh, tapi tidak selihay Siu-loimTiraikasih Website http://kangzusi.com/
sat-kang sendiri. Memang latihan lwekang Li Kong-he belum matang, namun yang dilatihnya
adalah lwekang ajaran lurus yang murni. Malah kalau dinilai dari kemurnian, terang
Sebun Soh bukan tandingannya. Cukup ia kerahkan hawa murni tiga kali berputar dalam
badannya, maka hawa beracun yang mengendap masuk ke dalam badannya sudah berhasil dia
sapu bersih seluruhnya, maka ia hanya bergidik saja.
Sayang meski lwekangnya murni, bagaimana juga masih kurang latihannya, di samping harus
melawan hawa dingin beracun lawan, ia pun harus menghadapi jurus-jurus serangan lawan, maka
lama kelamaan ia terdesak di bawah angin.
Walaupun sedang bertempur sengit melawan Pakkiong Bong, mata kuping Miao Tiang-hong
dipasang dengan cermat, ia selalu perhatikan keadaan teman-temannya. Serta dilihatnya cuma
Beng Goan-cau yang mampu bertahan setanding melawan Hian-hong Tojin, meski dalam waktu
dekat Cay Kin dan Li Kong-he masih mampu bertahan, kalau bertempur terus akhirnya toh tidak
menguntungkan. Situasi tegang agak gawat bagi pihaknya.
Pertempuran tokoh-tokoh silat kelas tinggi mana boleh memencar perhatian atau konsentrasi,
di saat Miao Tiang-hong kuatir bagi keselamatan temannya, sekonyong-konyong Pakkiong Bong
menghardik mengguntur, kedua telapak tangannya menggenjot bersama, tenaga pukulannya
bagai gugur gunung melanda tiba, serta merta Miao Tiang-hong diterjang sampai tersurut mundur
dua tindak. Begitu Pakkiong Bong merangsak sambil menggerakkan langkahnya, lekas Miao Tiang-hong
pusatkan perhatiannya, ia balas menyerang dengan Thay-ceng-khi-kang. Jarak mereka semula
ada tiga tombak, kini Pakkiong Bong melangkah maju tiga tindak, maka jaraknya tinggal kira-kira
dua tombak, begitu tenaga pukulannya dilontarkan, seolah-olah membentur selapis dinding baja
yang tidak kelihatan. Kiranya lwekang latihan Pakkiong Bong yang mengutamakan kekerasan,
paling berguna untuk menyerang dari jarak jauh, sebaliknya lwekang Miao Tiang-hong yang
mengutamakan lunak khusus berguna bagi pertempuran jarak dekat. Kekuatan terjangan musuh
semakin kuat, pertahanan pantulan balik tenaga lawan pun semakin besar.
Mencelos hati Pakkiong Bong, segera ia berseru: "Buronan seharusnya ditangkap hidup-hidup,
tapi kalau tidak bisa dibekuk hidup, mati pun bolehlah! Kuijinkan kalian turun tangan membunuh
mereka bila perlu!" Yam-yam Taysu dan Sebun Soh yang berada di atas angin segera berseru mengiakan. Hanya
Hian-hong karena tertekan oleh kehebatan golok cepat Beng Goan-cau, maka tidak sempat ia bisa
membuka mulut. Pakkiong Bong memang licik dan licin, dengan gembar-gembornya ini, memang ia hendak
memecah perhatian Miao Tiang-hong. Sebisa mungkin Miao Tiang-hong pusatkan pikirannya, tapi
temannya selalu menghadapi marabahaya, bagaimanapun ia berlaku tenang akhirnya
konsentrasinya terpengaruh juga.
Di saat pertempuran semakin memuncak hampir dapat ditentukan pihak mana yang bakal
unggul, terang pihak Beng Goan-cau berempat tidak akan bisa meloloskan diri, sekonyongkonyong
gema genta terdengar bertalu-talu berkumandang di udara pegunungan nan sunyi dari
kelenteng Hu-hud-si. Begitu mendengar suara genta besar di kelenteng Hu-hud-si bertalu-talu, Po-siang dan para
Lama lainnya sama tercengang dan kaget, entah apa yang terjadi di sana"
Genta besar yang berada di dalam Hu-hud-si biasanya tidak boleh sembarangan dibunyikan,
kecuali ada perkara genting, siapapun dilarang membunyikan genta itu. Begitu bunyi genta
berkumandang seluruh Lama penghuni kelenteng harus segera berkumpul.
Para Lama Hu-hud-si yang ada sudah disebar menjadi dua kelompok, separuh di antaranya
tetap berada di tempat menjaga kelenteng, sementara yang berkepandaian rada tinggi sudah
meluruk datang semua, kini mereka sedang membentuk Chit-sat-tin di bawah komando Po-siang
Hoat-su sendiri mengepung musuh.
Kalau dalam keadaan biasa, begitu mendengar bunyi genta dipukul, para Lama itu harus segera
lari pulang, tapi sekarang dalam keadaan gawat, meski pihak Pakkiong Bong berada di atas angin,
namun seorang musuh pun belum berhasil dibekuk, kalau Chit-sat-tin mereka harus ditarik
mundur, sia-sialah kerja keras mereka selama ini.
Po-siang Hoat-su amat heran, "Kenapa justru saat segenting ini genta dibunyikan, memangnya
terjadi sesuatu?" Dari Hu-hud-si ke Ing-tho-gou hanya perjalanan beberapa li jauhnya, berpikir Posiang
Hoat-su, lebih baik kukirim seorang utusan menyirapi keadaan di sana lebih dulu, tapi kuatir
urusan terlalu penting, kalau pulang pergi tentu memakan waktu dan mungkin bisa membuat
urusan lebih runyam. Pulang atau tidak" Di saat ia ragu-ragu dan sulit berkeputusan itu, salah seorang Hu-hoat Lama
yang berjaga di dalam kelenteng tampak sedang berlari mendatangi dengan langkah tergopohgopoh
dan napas ngos-ngosan. "Ada apa sampai membunyikan genta?" segera Po-siang Hoatsu menegur.
Belum lagi napas Lama itu teratur, ia menjawab dengan suara sesak: "Ba... baginda berkunjung
ke kelenteng kita. Hoat-su, lekas, lekas kembali menyambut kedatangan beliau."
Bahwa baginda raja datang berkunjung, sungguh mimpi juga mereka tidak menduga. Bukan
saja Po-siang Hoatsu dan para Lama kaget, Pakkiong Bong dan para begundalnya yang sedang
bertempur ikut kaget dan heran, seketika pikiran mereka menjadi kalut dan tidak tentram.
Sebetulnya Cay Kin dan Li Kong-he sudah hampir kalah, di saat perhatian lawan terpencar inilah,
mereka bertindak cepat, dari membela diri kini mereka balik menyerang.
Bagaimana juga Pakkiong Bong jauh lebih berpengalaman dan cerdik, sekilas ia tertegun, kejap
lain ia lantas berseru: "Kukira ada sesuatu yang kurang beres!"
Po-siang Hoatsu sontak tersentak sadar, sekali raih mendadak ia cengkeram muka Huhoat
Lama itu, keruan Lama itu amat kaget, teriaknya: "Hoatsu, apa yang kau lakukan?"
Ternyata Po-siang Hoatsu mengira Lama ini adalah samaran Li-ma-cu, cengkeramannya ini
sekaligus akan membongkar dan membuktikan muka aslinya. Setelah jari-jari-nya menyentuh kulit
tubuh orang barulah ia sadar bahwa orang memang tulen adanya.
Po-siang tidak sempat memberi penjelasan, ia tarik tangannya terus bertanya: "Kenapa tidak
terdengar roda kereta dan derap lari kuda?"
Maklumlah kalau benar Baginda datang berkunjung, pastilah dia di ringi oleh sepasukan
berkuda dengan persenjataan lengkap melindunginya. Jarak Hu-hud-si tidak terlalu jauh, dari
tempat ini seharusnya lapat-lapat bisa mendengar derap kaki kuda dan menggelindingnya roda
kereta di tanah pegunungan. Kalau dikatakan baginda menyamar sebagai rakyat jelata untuk
bersembahyang di Hu-hud-si, sungguh kenyataan ini sulit dibayangkan akibatnya.
"Baginda belum tiba, tapi..." belum habis Hu-hoat Lama itu menerangkan, tampak dua orang
anggota Gi-lim-kun juga berlari mendatangi. Kedua perwira Gi-lim-kun yang berlari mendatangi ini
bukan lain adalah orang-orang yang pernah dilabrak oleh Beng Goan-cau di rumah Hun Ci-lo
tempo hari, yaitu Ha Ping dan Liau Hoan. Kepandaian kedua orang ini sih tidak begitu tinggi, tapi
pandai bekerja dan cermat bertindak, maka Pakkiong Bong sengaja tanam mereka untuk bertugas
di Hu-hud-si. Melihat mereka berlari datang, lekas Pakkiong Bong berseru tanya: "Apa benar Baginda
datang?" "Baginda sendiri belum tiba," sahut Ha Ping. "Tapi mungkin sebentar bakal tiba."
Liau Hoan ikut bicara: "Sat-congkoan dan Ong-kongkong sudah tiba di Hu-hud-si lebih dulu,
mereka akan menyiapkan segala sesuatunya di sana lebih dulu." Ong-kongkong yang mereka
maksudkan adalah abdi dalam yang berkuasa di dalam mengurus segala keperluan Baginda.
Pakkiong Bong sendiri cukup jelas segala seluk beluk di dalam istana, maka tidak perlu diberi
penjelasan panjang lebar.
Mendengar penjelasan Liau Hoan ini, barulah Po-siang paham duduknya urusan, kiranya Satcongkoan
dan Ong-kongkong datang lebih dulu hendak memberi tahu mereka untuk siap
menyambut, jadi baginda sendiri belum tiba "Tak heran tidak kedengaran roda kereta dan derap
ramai kaki kuda." Sebagai komandan Gi-lim-kun sudah tentu Pakkiong Bong jauh lebih paham segala aturan dan
tata keadatan serta prosesi kebesaran di dalam istana raja, setiap kali baginda mengadakan
inspeksi ke sesuatu daerah, boleh dikata merupakan suatu kejadian yang luar biasa, maka
diperlukan para pembesar terdekat yang sering mengiringi baginda jalan di depan sebagai pelopor,
mempersiapkan penyambutan secara kebesaran, supaya tidak terjadi sesuatu keganjilan yang bisa
menimbulkan bahan tertawa khalayak ramai. Maka meski ia merasa mendadak dan di luar
kebiasaan bahwa baginda datang sendiri ke Hu-hud-si, tapi rasa curiganya sudah lenyap sama
sekali. Pula didengarnya yang menjadi pelopor kedatangan baginda adalah Sat-congkoan dan Ongkongkong,
Sat-congkoan merupakan musuh bebuyutannya di dalam mengum-pak dan mengambil
hati sang baginda demi kepentingan masing-masing, mau tidak mau mencelos hatinya.
Dalam pada itu ia masih bertarung sengit melawan Miao Tiang-hong, mulut bicara sementara
kaki tangannya tetap bergerak tanpa menjadi kendor, karena tidak sempat berpikir, segera ia
berteriak: "Apa benar Sat Hok-ting tiba" Apakah dia tahu kalau aku sedang berada di sini
mengejar buronan?" "Mungkin mereka hanya mendapat kabar, belum tentu beliau tahu duduk perkara sebenarnya,"
demikian Ha Ping menjawab.
Liau Hoan pun ikut berkata: "Betul, Sat-congkoan kini berada di biara, sedang menunggu
kedatangan Tayjin." Sembari bicara diamdiam ia memberi kedipan mata kepada Pakkiong Bong.
Po-siang Hoatsu hanya sedikit tahu bahwa Pakkiong Bong dengan Sat Hok-ting memang ada
pertikaian yang mendalam, namun ia tidak tahu sampai di mana taraf permusuhan mereka,
katanya: "Pakkiong Tayjin, menyambut kedatangan baginda lebih penting, maka tidak perlulah
menuruti aturan kangouw segala, ijinkan kami ikut membantu untuk membekuk para buronan ini,
kebetulan nanti bisa mendapat pahala dari Baginda raja."
Lekas Liau Hoan berkata: "Kau sudah tahu menyambut kedatangan Baginda lebih penting,
kenapa harus main ulur-ulur waktu lagi, beranikah kau memikul dosa mengabaikan perintah raja?"
"Betul," sela Pakkiong Bong, "menangkap buronan meski penting, tapi biarlah hari ini
sementara kita lepas mereka pergi, kelak mereka tidak akan bisa lolos dari tanganku."
Kiranya yang dikuatirkan Pakkiong Bong adalah kehadiran Sat Hok-ting di sini, kalau ia berhasil
membekuk buronan, mungkin malah tidak menguntungkan bagi posisinya. Seperti diketahui untuk
memukul muslihat keji Sat Hok-ting, semalam Pakkiong Bong suruh Boh Cong-tiu menyamar
sebagai kaum pendekar, membantu Utti Keng menolong Li Kong-he, lalu menggunakan Boh Congtiu
pula untuk memancing Beng Goan-cau, dan tujuan terakhir adalah menjaring seluruh kaum
pendekar atau orang-orang gagah seluruh bulim yang melawan pemerintah. Rencananya ini boleh
dikata sekali sambit kena tiga. burung, muslihatnya cukup licin, keji dan telengas, tapi seluk beluk
rahasianya ini sudah tentu pantang diketahui oleh baginda raja.
Sampai detik ini ia belum bertemu Boh Cong-tiu untuk mendengar laporannya, bahwasanya ia
belum tahu bahwa yang menolong Li Kong-he dari tahanan sebetulnya adalah orang lain. Akhirnya
diketahui pula bahwa Li Kong-he melarikan diri ke rumah keluarga Cay dan di sana ada pula Beng
Goan-cau, hal ini betul-betul di luar dugaannya pula, maka rencananya mau tidak mau selalu
mengikuti situasi berubah dan berubah lagi, terpaksa akhirnya ia sendiri yang harus tampil untuk
menangkap Beng, Li dan lain-lain.
Tapi bagaimana cerdiknya ia mengubah siasatnya, ada satu hal tidak mungkin ia ubah lagi,
yaitu harus menguntungkan bagi dirinya. Berpikir Pakkiong Bong: "Sat Hok-ting adalah rase tua,
mungkin dia sudah curiga akan kejadian semalam. Siapa yang begitu hafal akan keadaan
istananya sehingga berhasil dengan gampang menolong keluar tawanan, bukan mustahil dia
sudah curiga kepadaku" Walau tidak kecil jasaku menangkap para buronan tapi kalau tiga pihak
diadu berhadapan di depan Baginda, mungkin bisa membawa akibat fatal bagi diriku sendiri."
Karena pertimbangannya ini, pelan-pelan Pakkiong Bong lantas menarik tangannya, serunya:
"Miao Tiang-hong, terhitung nasibmu mujur hari ini, oleh kedatangan Baginda, biar kalian hidup
beberapa hari lebih lama lagi."
Pakkiong Bong," kata Miao Tiang-hong dingin, "kau kan terhitung seorang tokoh, siapa menang
siapa kalah, hati masing-masing lebih jelas. Lain kali kalau kau kebentur di tanganku, mungkin
belum tentu kau bisa mendapat nasib semujur seperti hari ini."
Gerak golok Beng Goan-cau laksana kilat, di saat Hian-hong Tojin menarik serangan dan
melompat keluar kalangan, "sret" ia berhasil memapas separuh lengan bajunya, lalu jengeknya
dingin: "Bagus sekali, Pakkiong Bong, kalian hendak pura-pura menjadi pahlawan, biar kita
bertempur tiga ratus jurus lagi di hadapan rajamu."
Tiada tempo Pakkiong Bong adu mulut dengan mereka, setelah sekedar menyampaikan basabasi
demi menjaga gengsi, lekas ia tarik mundur begundalnya termasuk para Lama kembali ke Huhudsi. Miao Tiang-hong beramai cepat turun gunung pula dari jurusan yang berlawanan. Sungguh
mereka tidak menduga di dalam keadaan gawat, tahu-tahu mereka bisa lolos dari marabahaya,
sekian lama mereka berpikir-pikir sambil berjalan, namun tidak habis mengerti dan akhirnya sama
mereka-reka belaka. Kata Beng Goan-cau: "Urusan kali ini rada janggal, kalau toh benar baginda raja tiba,
seharusnya Pakkiong Bong bekerja lebih semangat, meski harus berkorban jiwa menangkap kita,
toh bisa mendapat jasa-jasa tinggi dari junjungannya, kenapa ia malah mengundurkan diri"
Katanya lebih penting menyambut kedatangan raja, terang hanya mengada-ada saja. Entah
terselip persoalan rumit apa di dalam kejadian ini."
"Rencana busuk apa yang dilaksanakan Pakkiong Bong, kita tidak usah peduli. Tapi bahwa
baginda mereka mendadak datang berkunjung, di situlah letak keanehannya," demikian ujar Miao
Tiang-hong. "Aku sebaliknya kuatir akan keselamatan Kwi-hwe-thio dan Li-ma-cu," demikian timbrung Cay
Kin. "Kalau mereka kebentur rombongan Sat Hok-ting bersama jago-jago bhayangkarinya,
mungkin sulit dapat meloloskan diri."
Beng Goan-cau menjadi kuatir, katanya: "Betul. Setelah tiba di bawah gunung, segera kita
harus menemukan mereka lebih dulu."
Mereka sama membekal ginkang yang tinggi, tanpa terasa tahu-tahu sudah tiba di bawah
Saysan, tiba-tiba di kaki bukit sana mereka melihat dua orang. Cay Kin kenal betul, satu di antara
kedua orang itu adalah komandan pasukan Bhayangkari Sat Hok-ting, seorang lain yang
berpakaian ala thaykam, mungkin adalah Ong-kongkong seperti yang disebut oleh Liau Hoan tadi.
Baru saja mereka merasa kaget, Sat Hok-ting itu bergelak tertawa, serunya: "Bagus ya, kalian
buronan yang bernyali setinggi langit, aku orang she Sat sejak tadi sudah menunggu kedatangan
kalian." Li Kong-he pernah tertawan dan dihina dan disakiti oleh Sat Hok-ting, kini mendadak melihat
musuh menghadang jalan, seketika berkobar amarahnya, "sret" kontan ia melolos pedang,
bentaknya: "Keparat, Sat Hok-ting, marilah tangkap aku ini!"
Beng Goan-cau cukup cermat, pikirnya: "Bukankah Sat Hok-ting sedang mempersiapkan segala
keperluan untuk menyambut kedatangan baginda, di Hu-hud-si, mana mungkin meninggalkan
tugasnya itu" Memang nyalinya setinggi langit berani membawa thaykam yang tidak pandai main
silat untuk menangkap buronan?" Waktu Li Kong-he melolos pedang dan hendak melabrak maju,
tiba-tiba tergerak hati Beng Goan-cau, teriaknya: "Kau Li-ma-cu atau Kwi-hwe-thio" Kelakar ini
sudah cukup dimainkan sampai di sini saja!"
Sat Hok-ting bergelak tertawa, sekali raih ke mukanya, tampak wajah orang yang asli burikan,
demikian juga thaykam itu kembali pada keadaan semula, bukan lain adalah samaran Kwi-hwethio.
Kaget dan girang pula Li Kong-he dibuatnya, diam-diam ia malu diri, katanya: "Untunglah Beng
Tayhiap berpandangan tajam, kita kena kalian kelabui!"
Beng Goan-cau tertawa, katanya: "Pakkkiong Bong berkata kita beruntung karena kedatangan
baginda, ucapannya itu agaknya memang betul. Di mana bagindanya?"
"Permainan ini bahwasanya hanya kami berdua saja yang menjadi peran utamanya, mana ada
baginda raja segala?"
Cay Kin paham, katanya: "Kiranya baginda datang berkunjung apa segala bahwasanya hanya
tipu muslihat saja!"
Li-ma-cu tertawa lebar, katanya: "Cukup dengan kedatangan Sat Hok-ting dengan seorang
thaykam pengurus kebesaran tiba di Hu-hud-si, meski mau tidak mau mereka harus anggap
kenyataan." "Cara bagaimana kalian bisa memerankan sandiwara ini" Bagaimana jalan ringkasan ceritanya,
aku masih belum paham," demikian tanya Beng Goan-cau.
"Gampang saja, aku menyaru Sat Hok-ting, dia menyamar jadi thaykam, dengan lenggang
kangkung kami tiba di Hu-hud-si dan menyampaikan perintah palsu, dengan kerjasama kami yang
cukup lihay, dengan mudah sekali kami tipu mereka mentah-mentah."
"Jadi setelah berhasil menipu kawanan Lama di Hu-hud-si memukul genta, lalu kalian
mengundurkan diri meninggalkan Hu-hud-si?" tanya Cay Kin.
"Betul-betul, sudah tentu kita tidak begitu bodoh menunggu kedatangan Pakkiong Bong untuk
membongkar kepalsuan kita," sahut Li-ma-cu.
"Lalu dari mana kalian bisa mendapatkan pakaian serba lengkap ini?" tanya Beng Goan-cau.
"Inilah jasa Thio-toako yang menunjukkan kesaktiannya," kata Li-ma-cu.
"Aku tahu di kampung berdekatan sana ada menetap seorang tokoh sandiwara yang sudah
terkenal main di atas panggung, sekarang dia mengajar saja kepada murid-muridnya. Di
rumahnya ada menyimpan banyak perlengkapan untuk main di panggung, seragam militer dan
pakaian thaykam ini hasil curianku di rumahnya itu." Semua orang terpingkal-pingkal mendengar
penjelasannya ini. Kata Cay Kin memuji: "Untunglah dalam waktu dua jam yang begitu singkat, kalian bisa
melakukan pekerjaan begitu banyak."
Tidak ketinggalan Miao Tiang-hong pun memuji: "Permainan sandiwara kalian ini sungguh
sukses dan menakjubkan."
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dalam sandiwara ini masih ada sandiwaranya pula," ujar Kwi-hwe-thio.
"Apa itu sandiwara dalam sandiwara?" tanya Beng Goan-cau.
"Itulah hasil karya Ma-cu-ko, biar dia sendiri yang menjelaskan."
Kata Li-ma-cu: "Di saat Kwi-hwe-thio pergi mencuri pakaian, kebetulan di tengah jalan aku
bertemu dengan sekawanan pengemis kelana, kuberikan mereka sekedar uang pesangon dan
kusuruh mereka mengadakan permainan."
"Coba kalian tebak permainan apa yang harus dilakukan oleh kawanan pengemis kelana itu?"
tanya Kwi-hwe-thio. Semua orang sama menebak, tapi tiada satu pun yang tepat. Akhirnya Li-ma-cu menerangkan:
"Kusuruh mereka main kejar-kejaran di jalan raya, saling melempar pasir dan tanah."
Li Kong-he melengak, katanya: "Bukankah kau suruh kawanan pengemis itu menjadi anak-anak
nakal" Itu kan permainan anak-anak nakal?"
"Ya, untunglah Ma-cu-ko mendapat akal permainan anak-anak nakal ini, sehingga muslihat
kami tidak kelihatan belangnya," kata Kwi-hwe-thio tertawa.
Sampai di sini Beng Goan-cau sudah paham, katanya tertawa lebar: "Tak heran Liau Hoan dan
Ha Ping yang biasanya cerdik dan cermat itu, juga percaya bahwa baginda benar-benar datang."
Li-ma-cu lantas menjelaskan kepada Li Kong-he: "Setiap kali baginda raja mengadakan
inspeksi, selalu di ringi pasukan besar sebagai pelindungnya, maka debu pasti mengepul tinggi di
jalan raya. Tapi dipandang dari puncak tinggi, dengan keadaan jalan gunung yang berliku-liku dan
naik turun lagi, betapapun tajam mata seseorang tidak mungkin bisa melihat jelas kereta atau
kuda dari tempat yang begitu tinggi, yang kelihatan hanyalah debu yang mengepul tinggi
terhembus angin." Tanpa terasa Li Kong-he tertawa terpingkal-pingkal, sambil memeluk perut mendengar cerita
lucu ini, katanya sesaat kemudian: "Akal yang bagus. Kedua orang anak buah Pakkiong Bong itu
setelah melihat debu membubung tinggi, lalu kelihatan Sat Hok-ting dan seorang thaykam, mana
mereka berani main curiga lagi."
"Sayang kita tidak bisa menonton permainan joget kera di Huhud-si selanjutnya," demikian ujar
Kwi-hwe-thio. "Meski tidak bisa lihat toh dapat kita bayangkan," demikian sela Beng Goan-cau. "Haha, Ciongling
Tayjin itu tunggu menunggu sang baginda tidak kunjung datang juga, mungkin gelisahnya
dengan mencak-mencak lebih menarik dari permainan joget kera."
"Pakkiong Bong kena kalian permainkan begini rupa, tentu hatinya gemas dan amat dendam.
Jelas kita tidak bisa menetap di Pakkhia lagi. Beng Tayhiap, ada urusan apa pula yang belum
sempat kau selesaikan?" demikian tanya Cay Kin.
Berkata Beng Goan-cau: "Yang paling kukuatirkan hanyalah keselamatan Utti Keng dan Lethocu."
"Aku bisa minta bantuan para sahabat dari Kaypang untuk mencari tahu jejak mereka. Apalagi
mereka berdua sama membekal ilmu silat yang tidak rendah, kukira, pasti tidak kurang suatu
apa," demikian ujar Cay Kin.
"Benar, harus segera kita rundingkan langkah-langkah kita selanjutnya. Cay-toako, kali ini kami
merembet dan membuat kau susah, sungguh hati kami tidak tentram," demikian timbrung Miao
Tiang-hong. "Miao-heng," kata Cay Kin tersipu-sipu. "Jangan kau berkata demikian, demi teman meski
rumah hancur dan badan cacat pun tidak menjadi soal, apalagi keluargaku memang sudah
kuungsikan lebih dulu. Sudah lama aku menetap di Pakkhia, sekarang saatnya aku keluar untuk
jalan-jalan." "Cay-toako hendak ke mana?" tanya Miao Tiang-hong.
"Ong-piauthau yang memimpin Tin-wan cabang Yang-ciu sudah lama tidak pernah jumpa,
bulan depan adalah hari lahirnya yang kelima puluh, kebetulan dengan kesempatan ini sekaligus
aku hendak menyambangi sahabat tuaku itu."
"Yang kau maksudkan bukankah Thian-lam-it-cu Ong Thian-thong?"
"Betul, jadi Miao-heng juga kenal padanya?"
"Kalau dikatakan aku malah masih hutang budi padanya. Tiga tahun yang lalu salah satu
piausu-nya mengawal separtai barang kawalan lewat di Hway-lam, seorang thaubak dari Hay-soapang
di Hway-lam yang baru saja datang dari daerah utara, tidak tahu asal-usul dari partai barang
kawalan itu, segera ia turun tangan merampas-' nya. Saking gusarnya, Ong-piauthau hendak
mencari perkara kepada Hay-soa-pang, akhirnya atas inisiatifku yang bertindak sebagai penengah,
dan untung dia suka memberi muka kepadaku, dengan jalan damai, akhirnya partai barang bisa
dikembalikan tanpa kurang suatu apa."
Cay Kin tertawa, katanya: "Ong-toako memang terkenal berdarah panas dan berangasan, kalau
urusan itu dapat diselesaikan secara damai tanpa membuat salah satu pihak dirugikan, sungguh
penyelesaian yang adil dan berkat jasa baikmu memang."
"Budi kebaikan yang kuterima dari dia belum lagi sempat kubalas, kali ini kebetulan bisa
seperjalanan ke Yang-ciu dengan kau, akan kusampaikan selamat ulang tahun kepadanya."
"Bagus, bagus sekali. Beruntung aku mendapat tuntunan jalan kau seorang tokoh kelana ini
sekaligus dapat tamasya di daerah Kanglam yang terkenal akan keindahan alamnya," demikian
ujar Cay Kin, lalu ia menoleh dan berkata kepada Beng Goan-cau: "Song Theng-siau dan
sumoaymu berada di Siong-hong-koan di Pat-tat-nia, mungkin aku tidak sempat memberi kabar
pula kepada mereka."
"Aku tahu mereka sedang mencari aku, biar segera kususul mereka ke sana," demikian ujar
Beng Goan-cau. Memang kejadian terakhir yang cukup gawat di kota raja Song Theng-siau dan Lu
Su-bi belum tahu, maka Beng Goan-cau harus lekas-lekas menyusul ke sana, supaya mereka tidak
masuk perangkap bila kembali ke kota raja.
Bahwa Cau, Miao dan Beng bertiga sudah punya tujuan masing-masing, maka Li Kong-he pun
segera berkata: "Aku akan mampir dulu ke cabang di Poting melihat keadaan di sana, lalu putar
balik menuju ke Tay-liang-san."
"Kalau ketemu gurumu Kang Tayhiap, harap sampaikan salamku," demikian ujar Cay Kin.
"Kwi-hwe-thio, Li-ma-cu, bagaimana pula rencana kerja kalian selanjutnya?" tanya Beng Goancau.
Kwi-hwe-thio menjawab sambil tertawa: "Aku sudah berjanji sama Ma-cu-ko, kami akan kerja
sama melakukan dagang tanpa modal, sampai di mana mencuri di mana. Beng-ya tidak perlu kau
mengurus diri kami."
Li-ma-cu tertawa, ia menimbrung: "Tapi, sekarang aku harus membubarkan kawanan pengemis
itu Supaya mereka tidak ditangkap."
Segera semua orang berpisah menurut tujuan masing-masing. Sementara lawan mereka yaitu
Pakkiong Bong masih berada di Hu-hud-si, mereka sudah siap-siap hendak menyambut
kedatangan sang baginda dengan pikiran muluk-muluk.
Keadaan Hu-hud-si sedang repot dan ribut, semua bekerja keras dengan suasana cukup
tegang. Dengan perasaan kurang tentram dan was-was Pakkiong Bong siap bertemu dengan Sat
Hok-ting. Setelah tiba di kelenteng baru ia tahu bahwa Sat Hok-ting dengan Ong-kongkong itu
sudah pergi lagi. Seorang Lama yang jaga kelenteng memberikan laporan: "Sat-congkoan dan Ong-kongkong
turun gunung menyambut kedatangan baginda, katanya kira-kira satu jam kemudian baginda pasti
sudah akan tiba di sini, harap Ciong-ling Tayjin menunggu di sini."
Pakkiong Bong lega hati, katanya: "Apa sudah kalian siapkan semua?"
"Ciong-ling Tayjin tidak usah kuatir," sahut Lama itu, "upacara penyambutan yang diajarkan
oleh Ong-kongkong sudah kanji pelajari dengan sempurna."
"Baik, kepada mereka yang baru kembali, kau harus perhatikan dan beri pelajaran kepada
mereka sekali lagi, setelah itu, semua segera harus berbaris siap menyambut kedatangan
baginda." Lama itu mengiakan sambil membungkuk-bungkuk, segera ia menjalankan perintah, Po-siang
juga hendak ikut mempelajari, Pakkiong Bong segera berkata kepadanya: "Hoatsu tidak usah
bingung, nanti aku berada di sampingmu, tiru saja segala petunjukku dan tidak akan nanti salah.
Marilah kita kembali ke kamar untuk istirahat, ingin aku bicara beberapa patah dengan kau."
Ternyata Pakkiong Bong hendak minta bantuan Po-siang supaya dalam memberikan keterangan
kepada Baginda soal buronan jangan dilaporkan seperti apa adanya sesuai kenyataan. Hanya
dikatakan saja bahwa buronan tidak berhasil dibekuk. Dia sendiri menjadi sandaran Po-siang
Hoatsu, dan dia pun harus menutupi kegagalannya dalam mengepung buronan dengan Chit-sattinnya,
maka dengan senang hati ia patuhi permintaan Pakkiong Bong. Maka mereka, lantas
mengarang suatu cerita bualan yang direncanakan lebih dulu, lalu keluar bersama. Waktu itu para
Lama sudah berjajar dalam dua barisan, dari Tay-hiong-po-tiam terus berbaris sampai di pintu
gunung, mereka siap menyambut kedatangan baginda raja.
Suasana tegang dan hening berlangsung sekian lamanya, tak nyana tunggu punya tunggu,
tanpa terasa satu jam sudah lewat, dua jam sudah berselang, hari sudah menjelang magrib,
namun sang baginda yang dinanti-nantikan belum juga kunjung datang.
Mau tidak mau timbul rasa curiga Pakkiong Bong, tanyanya kepada Ha Ping: "Apa betul tadi
kalian melihat debu mengepul tinggi di bawah gunung?"
"Tidak akan salah!" sahut Ha Ping dan Liau Hoan bersama.
Pakkiong Bong mengerut kening, katanya: "Seumpama baginda mendadak mengubah hasrat ke
lain tujuan dan tidak kemari lagi, Sat Hok-ting kan harus kembali memberi laporan, coba kalian
tengok ke sana!" "Kalau baginda sudah tiba di atas gunung, kepulan debu itu sudah tentu tidak kelihatan lagi,"
demikian jawab Liau Hoan.
Diam-diam Pakkiong Bong sendiri pun menggerutu, keadaan seperti ini memang serba salah.
Apalagi dilihatnya para Lama yang berbaris untuk menyambut baginda, yang membungkuk
pinggangnya sudah sakit, yang berdiri kakinya sudah linu sedang yang berlutut lutut dan
tangannya pun sudah perih, malah beberapa Lama yang tidak pernah berlatih silat, sudah tentu
kondisi badannya lebih lemah, kelihatan mukanya sudah pucat dan tergeliat hampir roboh.
Berbisik Po-siang Hoat-su: "Ciong-ling Tayjin, urusan agaknya rada ganjil, hari sudah hampir
petang, baginda belum lagi tiba, bagaimana baiknya" Tunggu lebih lanjut atau..."
Pakkiong Bong sendiri masih bingung dan belum bisa memberi putusan, tiba-tiba dilihatnya
seseorang berlari naik dengan tergesa-gesa. Po-siang Hoatsu berseru girang: "Nah, akhirnya ada
yang datang juga!" Dianggapnya orang utusan Sat Hok-ting atau salah satu thaykam pengiring
baginda. Tak nyana setelah orang itu berlari dekat, kelihatan adalah seorang kakek tua. Hian-hong
Tojin dan Pakkiong Bong berseru berbareng, seorang memanggil: "Susiok!?"Yang lain berteriak:
"Coh-losiansing, kiranya kau!"
Ternyata kakek tua ini bukan lain adalah Coh Thian-hiong yang pernah bertanding dengan Beng
Goan-cau di rumah keluarga Hun tempo hari. Guru Hian-hong Totiang adalah saudara angkatnya,
maka ia memanggilnya sebagai susiok.
Coh Thian-hiong segera memberi hormat kepada Pakkiong Bong, katanya: "Siau-loji (orang tua
kecil) sengaja menyusul kemari untuk melaporkan kejadian semalam, sungguh memalukan..."
Tingkat kedudukan Coh Thian-hiong amat tinggi, di dalam markas besar Pakkiong Bong ia
dianggap sebagai tamu agung, sudah tentu tidak disamakan dengan tetamu umumnya. Soalnya
Pakkiong Bong masih rada sangsi terhadap Boh Cong-tiu, maka semalam ia mohon bantuannya,
ikut mengawasi orang secara diam-diam, kalau terjadi sesuatu di luar dugaan, tentunya dia bisa
membantu secara langsung. Maklumlah sesuai dengan julukan Coh Thian-hiong yaitu Thong-thianhou
(rase menembus langit), otak cerdik banyak akalnya, ilmu silatnya pun tinggi, sudah tentu
hanya dia yang paling cocok menunaikan tugas rahasia macam ini.
Bahwa Li Kong-he kenyataan memang sudah tertolong keluar malah muncul di rumah keluarga
Cay bersama Beng Goan-cau dan lain-lain, sedang Boh Cong-tiu tidak kembali memberi laporan,
kedua pertanyaan yang selalu bergulat dalam benaknya ingin segera diketahui oleh Pakkiong
Bong. Tapi sekarang dia punya tugas penting yang harus segera diketahui pula, terpaksa kedua
pertanyaan ini sementara ia kesampingkan.
Tanpa menunggu Coh Thian-hiong habis bicara, lekas Pakkiong Bong menggoyang tangan,
katanya: "Kejadian semalam, nanti saja dibicarakan lagi. Coh-losiansing, ingin aku tanya sesuatu
kepada kau." Coh Thian-hiong melengak, tanyanya: "Ciong-ling Tayjin, kau ingin tahu apa?"
"Adakah di tengah jalan kau bertemu atau melihat baginda raja?"
Coh Thian-hiong kelihatan kaget, serunya: "Baginda keluar kota raja" Aku tidak tahu!"
"Kalau begitu apa kau melihat Sat Hok-ting bersama seorang thaykam?" Pakkiong Bong
bertanya lagi. "Tidak pernah kulihat! Sepanjang jalan ini, seorang yang pernah berpakaian rada perlente pun
tidak pernah kulihat, apalagi komandan Bhayangkari segala," Coh Thian-hiong menjawab dengan
heran dan tidak mengerti.
Kaget dan kebingungan Pakkiong Bong jauh lebih besar lagi, lekas ia bertanya pula: "Coba kau
pikir pula secara cermat, adakah tokoh-tokoh mencurigakan yang pernah kau lihat dalam perjalananan
kemari?" "O, ya ada!" setelah berpikir sebentar Coh Thian-hiong berseru menepuk paha.
"Ada apanya?" tanya Pakkiong Bong.
"Kulihat serombongan pengemis dalam jumlah besar sedang main kejar-kejaran seperti anakanak
di tengah jalan raya sambil melempar tanah dan pasir. Karena ada tugas penting kukira
hanyalah sekawanan pengemis kelana yang sedang membuat gaduh saja, waktu itu aku tidak
perhatikan mereka dan tidak ambil peduli. Kini kalau dipikir-pikir, kiranya kawanan pengemis itu
tentu adalah anak murid Kaypang!"
Pakkiong Bong sudah paham beberapa bagian, katanya: "Peduli mereka dari Kaypang atau
bukan, baik kita ringkus satu dua orang dulu untuk dikompes keterangannya. Sebun sute dan kau
Hian-hong Totiang harap kalian mengerjakan tugas ini." Sebun Soh dan Hian-hong segera mengiakan dan
pergi menunaikan perintah, adalah di luar tahu mereka kawanan pengemis itu sudah dibubarkan
oleh Li-ma-cu, ke mana mereka harus menangkap?"
Lalu Pakkiong Bong bertanya kepada Lama besar yang menunggu kelenteng: "Sat Hok-ting dan
Ong-kongkong yang kau lihat itu, adakah salah satu di antara mereka yang jalannya rada kurang
beres?" Lama besar itu berpikir, lalu sahutnya: "Betul, Ong-kongkong itu jalannya rada pincang, kaki
kirinya kelihatan rada timpang kalau berjalan."
Sampai sekarang baru Pakkiong Bong jelas duduknya perkara, katanya: "Kalian kena ditipu
mereka mentah-mentah. Ong-kongkong itu adalah samaran si maling Kwi-hwe-thio."
Ha Ping dan Liau Hoan terkejut, mereka malu dan menyesal, tanyanya bersama: "Jadi yang
menyaru jadi Sat-congkoan itu tentunya Li-ma-cu."
"Jadi kita tidak perlu menyambut kedatangan baginda lagi?" tanya Po-siang Hoatsu. Soalnya
Pakkiong Bong belum keluarkan perintah untuk membubarkan barisan, maka menurut aturan
terpaksa ia harus mengajukan pertanyaan ini.
Pakkiong Bong menjadi uring-uringan, lupa akan kelalaian sendiri, ia mendengus, katanya:
"Masih perlu menyambut baginda apa segala" Kalau kalian suka menyambut kawanan pengemis
boleh berdiri lagi sekian lama! Sudah jangan bikin malu orang saja, bubarkan semua!"
Bagai mendapat keringanan hukuman, para Lama masing-masing bubaran sambil mengelus
dada dengan lega. Pakkiong Bong ajak Coh Thian-hiong masuk ke sebuah kamar, katanya: "Baiklah, Cohlosiansing,
sekarang boleh kau katakan pengalamanmu semalam."
"Ciong-ling Tayjin, ada sebuah hal ingin aku bikin jelas dulu." "Tentang hal apa?" "Orang-orang yang pergi menolong Li Kong-he semalam, kecuali Boh Cong-tiu dan Utti Keng, apakah ada orang
ketiga yang kau utus ke sana?"
"Yang kuutus ke sana hanya Boh Cong-tiu seorang, Utti Keng sendiri tidak tahu latar
belakangnya. Tapi Utti Keng sendiri adakah mengundang bala bantuan, hal ini aku tidak tahu.
Kenapa Coh-losiansing bertanya demikian?"
"Sesuai dengan pesan Tayjin, semalam aku datang setengah jam lebih pagi dari waktu yang
ditentukan. Aku menyembunyikan diri di tempat yang berdekatan dengan markas Sat Hok-ting.
Untunglah aku datang lebih pagi, sehingga kebetulan bisa kupergoki di sana."
"Apa yang kau pergoki?"
"Belum lagi aku melihat Boh Cong-tiu masuk, tahu-tahu kulihat Li Kong-he sudah lari keluar
bersama seorang lain."
"Siapa dan orang macam apa dia?"
"Seorang yang tidak diketahui asal-usulnya dengan mengenakan cadar. Kulihat bayangannya,
jelas bukan Boh Cong-tiu adanya, tapi juga bukan Utti Keng, maka secara diam-diam lantas
kukuntit mereka." Pakkiong Bong melengak heran, katanya: "Mengandal ginkang Coh-losiansing, terang Li Konghe
bocah itu bukan tandinganmu. Akhirnya cara bagaimana sampai dia bisa lolos?"
Merah muka Coh Thian-hiong, katanya: "Adalah ginkang orang bercadar itu teramat tinggi,
untung dia membopong Li Kong-he sambil berlari, dengan susah payah masih dapat kukejar
mereka. Orang bercadar itu cukup licin, mungkin dia sudah tahu aku sedang menguntit jejaknya,
waktu tiba di sebuah pengkolan jalan panjang, tiba-tiba ia menghentikan langkah, aku tidak tahu
dan mengejar masuk ke sana, tak nyana, begitulah aku terkena bokongannya."
"Senjata rahasia apa yang dia gunakan?"
"Bukan senjata rahasia!" Pakkiong Bong mengamat-amati sebentar dengan seksama, akhirnya
manggut-manggut kepala, katanya: "Kukira Coh-losiansing terluka oleh hantaman Bik-khong-ciang
yang dilandasi dengan tenaga murni dari aliran lwekeh. Ou, lwekang orang itu amat kuat, tapi di
saat menyerang musuh, kekuatannya ia pusatkan pada satu titik tujuan saja. Waktu itu jarak
kalian mungkin masih tiga tombak bukan" Coh-losiansing, untung kau cukup waspada, lekas-lekas
melompat ke samping sehingga tidak terkena Hian-ki-hiat di dadamu, cuma Ih-khi-hiat di bawah
ketiak tersampuk oleh tenaga hantaman orang, sekarang mungkin masih rada sakit, benar tidak?"
Kiranya Pakkiong Bong pun seorang ahli dalam bidang ini, mendengar suara Coh Thian-hiong
yang rada bindeng seperti terserang penyakit demam, itulah tanda-tanda bahwa aliran jalan
darahnya tidak normal, maka ia dapat menebak jalannya keadaan waktu itu.
Melihat orang dapat bertutur sedemikian jelas dan tepat seperti melihat sendiri kejadian itu,
diam-diam mencelos hati Coh Thian-hiong. Mau tidak mau ia harus kagum juga akan pengetahuan
dan ketajaman pandangan Pakkiong Bong.
Segera Pakkiong Bong menghibur, katanya: "Coh-losiansing, tidak usah berduka, kalah menang
adalah jamak. Kalau aku sendiri yang menghadapi tokoh lihay yang belum diketahui tingkat
kepandaiannya, mungkin bisa juga kena dibikin terluka." Sembari bicara dengan kencang ia
genggam kedua tangan Coh Thian-hiong, segulung hawa hangat dari saluran tenaga murninya
segera merembes masuk ke badan Coh Thian-hiong, seketika Coh Thian-hiong merasa jalan
darahnya berjalan dengan lancar dan badan pun merasa segar dan enak nyaman.
Tanpa menunjukkan tanda-tanda Pakkiong Bong menyembuhkan luka-luka dalamnya, dan
melindungi muka dan gengsinya, inilah cara lihay yang sering ia lakukan untuk menarik hati dan
menarik orang ke pihaknya. Begitu licin akalnya ini, sehingga Coh Thian-hiong yang punya gelaran
Thong-thian-hou pun, bisa tidak bisa harus bekerja mati-matian bagi kepentingannya.
Terharu dan malu pula Coh Thian-hiong dibuatnya, segera ia berkata mengumpak: "Lolos
seorang Li Kong-he tidak menjadi soal, asal dapat meringkus seorang yang lebih penting dari dia."
"Apakah Beng Goan-cau yang kau maksud?" tanya Pakkiong Bong.
"Betul. Kabarnya tadi Ciongling Tayjin sudah bergebrak dengan dia."
"Dia bersama Miao Tiang-hong, Cay Kin dan Li Kong-he berempat, setelah pertempuran tadi,
pastilah mereka lari ke ujung langit dan sukar dicari lagi, betapa sulitnya untuk menangkap
mereka." ?" Kata-katanya ini mengandung dua arti, pertama, sulit menyelidiki jejak mereka,
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedua, sulit dipilih jago-jago silat kelas tinggi yang mampu menandingi mereka.
Berkata Coh Thian-hiong: "Asal-usul dan kedudukan keempat orang itu berlainan, mereka
punya tujuan masing-masing. Kukira pastilah di tengah jalan mereka akan berpisah, hal itu lebih
gampang untuk kita sergap mereka satu persatu."
"Maksudmu menghadapi Beng Goan-cau lebih dulu?"
"Ya. Dia datang dari Siau-kim-jwan, jaraknya dari Pakkhia paling jauh, kebetulan kali ini dia bisa
datang kemari, kukira tidak akan secepat itu ia kembali ke Siau-kim-jwan."
"Tapi cara bagaimana kita harus mencarinya?"
"Teringat olehku seseorang, dia dapat kita gunakan untuk menghadapi Beng Goan-cau."
Tergerak hati Pakkiong Bong, katanya: "Jadi orang yang kau maksud adalah..."
Baru saja ia hendak menyebut nama orang itu, seorang pengawal masuk memberi laporan:
"Nyo Bok datang menyampaikan selamat kepada Tayjin, Tayjin mau menemuinya tidak?"
"Kebetulan sekali," ujar Pakkiong Bong tertawa. "Baiklah, memang aku ingin bertemu dengan
dia, suruh dia masuk." Lalu ia berkata kepada Coh Thian-hiong: "Orang yang kau maksudkan
tentu dia bukan?" "Betul. Apa aku harus menyingkir?" tanya Coh Thian-hong.
"Sudah tentu dia harus menyembunyikan rahasianya, karena dia masih harus memalsu diri
sebagai golongan pendekar. Tapi dia sudah tahu kau bukan orang luar, tidak perlulah menyingkir.
Adanya kesempatan ini, kalian bisa membicarakan bersama persoalan kita lebih mendalam."
Nyo Bok masuk ke kamar rahasia, setelah memberi hormat kepada Pakkiong Bong, lalu
katanya: "Ternyata Coh-losiansing pun berada di sini."
"Kejadian semalam tentunya kau pun sudah tahu," kata Pakkiong Bong, "Coh-losiansing berotak
cerdik banyak akalnya, kebetulan kita bisa berunding bersama."
"Ya, entah Ciong-ling Tayjin menghadapi kesulitan apa?" tanya Nyo Bok.
"Dari pihak Sat Hok-ting sana ada berita apa, coba kau laporkan dulu."
Seperti diketahui wakil Pakkiong Bong yaitu Ciok Tio-ki adalah agen rahasia Sat Hok-ting. Nyo
Bok berhasil digaetnya menjadi kaki tangan pemerintah, tapi Ciok Tio-ki tidak tahu bahwa Nyo Bok
sudah diperalat oleh Pakkiong Bong. Maka di samping Nyo Bok memberikan laporan kepada
Pakkiong Bong, dia pun mengikat hubungan sama Sat Hok-ting. Barusan dia memang pulang dari
markas besar Sat Hok-ting.
Kata Nyo Bok: "Waktu kejadian semalam, Ciok Tayjin juga kebetulan di sana. Tapi sekali-kali
tidak berani curiga kepada Ciong-ling Tayjin."
Pakkiong Bong tersenyum penuh arti, katanya: "Seumpama Sat Hok-ting mencurigai, aku pun
tidak takut. Tapi selanjutnya kalian harus berlaku lebih hati-hati terhadap Ciok Tio-ki, sekali-kali
jangan sampai membocorkan rahasia kepadanya." Di mulut mengatakan tidak takut, sebetulnya
hatinya amat takut. Nyo Bok menjadi geli, namun ia pura-pura mematuhi pesan orang, katanya: "Ya, aku yang
rendah tahu. Tak perlu Tayjin berpesan lagi."
Pakkiong Bong menjadi lega, tanyanya lebih lanjut: "Apakah semalam kau melihat Boh Cong-tiu
dan Utti Keng?" "'Memang aku sedang heran, kedua orang ini tidak pernah muncul, yang membuat onar dan
gaduh di sana malah Le Lam-sing."
"'O, Le Lam-sing cong-thocu dari Ang-ing-hwe?"
"Ya, malah Ciok Tio-ki menderita sedikit luka di tangannya."
Mendengar Ciok Tio-ki terluka Pakkiong Bong menjadi senang, tanyanya tertawa: "Ilmu silat
Ciok Tio-ki kan cukup lumayan, terluka apanya dia?"
"'Ciok Tio-ki membantu petugas dari jago-jago Bhayangkari mengeroyok Le Lam-sing, namun
rambut di atas kepalanya terpapas rontok sebagian besar oleh pedang Le Lam-sing, untung tidak
sampai terluka. Sekarang setiap saat ia selalu mengenakan topi, tidak berani mencopot topinya
itu." Pakkiong Bong bergelak tertawa, serunya: "Terpapas sebagian rambutnya, bukankah menjadi
separuh hwesio. Ha, ha, nanti kalau dia pulang, ingin aku melihat keadaannya yang lucu."
Kata Nyo Bok: "Kabarnya Tayjin keluar kota hendak membekuk Beng Goan-cau?"
"Ya, tidak berhasil, lolos lagi. Sat Hok-ting sudah tahu kejadian di sini belum?"
'Semalam pasukan Gi-lim-kun menggerebek rumah Cay Kin memburu buronan, pihak mereka
sudah tahu. Kejadian hari ini mereka sedang mencari tahu, mungkin belum tahu secara jelas."
"O, lalu bagaimana sikap mereka selanjutnya?"
"Mereka sedang berusaha umuk memburu Beng Goan-cau."
Pakkiong Bong melengak, kejap lain tertawa tergelak-gelak, ujarnya: "Pandangan yang cocok
lagi. Barusan aku sedang berunding dengan Coh-losiansing, maksud kami pun demikian. Tapi
bagaimana mereka bisa tahu ke mana untuk menangkap Beng Goan-cau?"
Merah muka Nyo Bok, sahutnya: "Ciok Tio-ki tahu istri yang sudah kuceraikan itu dulu adalah
kekasihnya Beng Goan-cau, dia minta alamat dari perempuan jalang itu kepadaku, menurut
dugaan, Beng Goan-cau pasti pergi mencari tunangannya yang lama itu."
"Kita sudah pernah meluruk ke rumah keluarga Hun, Hun Ci-lo dan bibinya sudah tidak ada di
rumah lagi," demikian Coh Thian-hiong menerangkan.
"Justru karena Ciok Tio-ki sudah tahu kejadian ini, maka tidak kuberitahukan alamat
perempuan sundal itu kepadanya." Setelah membela kesalahan dirinya, ia melanjutkan: "Setelah
Sat Hok-ting dan Ciok Tio-ki berunding, mereka berkeputusan untuk main coba-coba saja. Pagi
hari ini sudah mengutus orang pergi ke Sam-ho, siap menunggu Beng
Goan-cau masuk ke jaringan yang mereka pasang di sana."
Coh Thian-hiong geleng-geleng kepala, katanya: "Beng Goan-cau dan Miao Tiang-hong sudah
pernah bergebrak denganku di rumah keluarga Hun, Beng Goan-cau kan bukan orang bodoh, dia
sudah tahu kalau Hun Ci-lo tidak berada di rumah, mana mungkin sudi masuk ke dalam
perangkap?" "Nah dalam hal ini Coh-losiansing hanya tahu satu tidak tahu kedua."
"O, lalu apa kedua yang kau maksud itu?" tanya Coh Thian-hiong.
"Perempuan sundal itu punya seorang bu inang, bertempat tinggal di dalam sebuah selokan
gunung di utara Sam-ho. Sering perempuan sundal itu menyinggung bu inangnya ini kepadaku,
dikatakan kecuali ibunya, dalam dunia ini bu inang inilah yang paling sayang kepadanya."
Pakkiong Bong mengunjuk rasa senang, katanya: "Jadi menurut pandanganmu, mungkin tidak
dia pergi menyembunyikan diri di rumah bu inangnya itu?"
"Di Sam-ho dia tidak punya famili lagi, bu inang itu adalah orang terdekat yang selalu
dikenangnya. Kini keadaan memaksa ia harus menyembunyikan diri, kemungkinan besar pasti
pergi ke rumah bu inangnya itu bersama bibinya."
"Kau tidak memberitahu soal bu inangnya ini kepada Sat Hok-ting bukan?" tanya Pakkiong
Bong. "Hamba hanya setia kepada Tayjin, pada pihak Sat-congkoan hanya sekedar memberikan
informasi supaya tidak menunjukkan belangku, alamat rumah keluarga Hun karena terpaksa baru
aku memberi tahu kepada mereka."
"Beng Goan-cau tahu tidak akan bu inangnya itu?"
Nyo Bok tertunduk, pikiran cemburu bagaikan ular jahat menggerogoti uluhatinya, katanya
dengan suara gemetar: "Perempuan sundal itu bisa memberi tahu kepadaku. Sudah tentu Beng
Goan-cau lebih mengetahui."
"Baik, terima kasih akan laporan sumber penyelidikanmu ini, kita bekerja lebih dulu di depan
Sat Hok-ting berusaha menangkap Beng Goan-cau. Tapi harus hati-hati bertindak supaya tidak
mengejutkan mereka lebih dulu." Sembari berkata matanya melirik kepada Nyo Bok.
Sebagai seorang cerdik, sudah tentu Nyo Bok tahu maksud kata-kata Pakkiong Bong, katanya:
"Nyo Bok sudi menjadi pelopor bagi gerakan Tayjin ini."
"Menurut hematku, cara bagaimana kau hendak bertindak?"
"Menggunakan akal lebih dulu, kalau akal tidak berhasil baru menggunakan kekerasan."
Pakkiong Bong tertawa: "Bila sebelumnya tahu bakal terjadi seperti ini, sebetulnya tidak pantas
menceraikan istrimu itu. Tapi betapapun kalian sudah delapan tahun menjadi suami istri, cukup
asal kau bicara halus dan lemah lembut."
"Ya," sahut Nyo Bok, rasa jelus semakin membakar hatimya. "Aku sudah mendapatkan sebuah
akal, sehingga mereka bisa terpancing semua. Begini dan begitu kita atur."
Pakkiong Bong manggut-mang-gut, katanya: "Baik, kuminta Coh-losiansing pergi bersama kau,
cuma Coh-losiansing jangan mengunjukkan diri bila belum tiba saatnya."
Setelah rencana dibicarakan dengan sempurna, Nyo Bok segera berangkat bersama Coh Thianhiong,
malam itu juga mereka langsung menyusul ke Sam-ho.
Ban-li-tiang-shia bagai seutas sabuk yang mengikat bumi terbentang di atas pegunungan
panjang yang tidak berujung pangkal. Di jalan raya yang menuju ke arah Pat-tat-nia, Beng Goancau
sedang melangkah lebar seorang diri. Setelah mengalami pertempuran hujan darah dan
hembusan angin amis, kini ia beranjak pada alam pegunungan yang indah permai berhawa sejuk,
perasaan yang bergolak seharusnya mulai tentram dan tenang. Namun justru hatinya sedang
berkecamuk oleh berbagai kenangan dan pikiran yang sulit ditekan.
"Theng-siau pasti tidak menduga aku bakal datang menemuinya" Em, demikian juga siausumoay,
melihat aku mendadak muncul, mungkin saking kegirangan dia bisa mencak-mencak
seperti bocah cilik, siau-sumoay pintar dan lincah, memang pasangan yang setimpal dengan Song
Theng-siau, mereka bergaul bersama, tentulah amat bergembira."
"Pat-tat-nia cuma sehari perjalanan dari Sam-ho, meski bersama siau-sumoay, pasti Theng-siau
masih kangen kepada Hun Ci-lo. Aku harus ajak mereka pergi menemui Hun Ci-lo, peduli setelah
bertemu, senang atau sedih segera berkumpul atau harus cepat-cepat berpisah lagi, ada baiknya
juga asal kami bisa berkumpul sehari saja."
Demikian sambil berjalan otak Beng Goan-cau bekerja dengan tidak tentram. Tanpa disadarinya
bahwa musuh sedang menunggu dia masuk ke dalam perangkap di Sam-ho. Dia pun belum tahu
bahwa Song Theng-siau dan Lu Su-bi sudah pernah bertemu dengan Hun Ci-lo lebih dulu.
Dengan harapan dan rasa haru bahwa sebentar bisa bertemu dan berkumpul dengan sahabat
lama, Beng Goan-cau beranjak terus menuju ke Pat-tat-nia.
Sementara di atas Pa-tat-nia, Song Theng-siau dan Lu Su-bi juga sedang membicarakan
dirinya. Memang apa yang dibayangkan Beng Goan-cau tidak meleset, mereka berdua memang bergaul
semakin erat dan intim serta gembira ria.
Karena menganggur, setiap hari mereka putar kayun bertamasya menikmati pemandangan
alam yang sejuk permai. Lu Su-bi paling suka bermain di Tam-jing-kiap mendengarkan gemericik
air yang berbunyi seperti petikan harpa Pagi hari itu, mereka tiba pula di tempat itu, sedemikian
asyiknya mereka bermain-main sampai lupa waktu lupa pulang.
"Song-suko, sayang seruling bambumu tidak kau bawa, lebih baik kau berdendang lagu saja
biar kudengar" Sudah beberapa tahun aku tidak mendengar suaramu," demikian pinta Lu Su-bi.
"Beberapa tahun sejak meninggalkan Siau-kim-jwan, aku sendiri pun tidak pernah bernyanyi
lagi, mungkin sudah kulupakan. Kau suka mendengar lagu apa?"
"Terserah kau suka nyanyi lagu apa. Cuma nyanyikan lagu-lagu ringan yang riang dan
gembira." Lalu Lu Su-bi bertepuk 'tangan sambil berjalan berlompat seperti orang menari mengiringi
nyanyian lincah yang dilagukan oleh Song Theng-siau. Bait demi bait lagu-lagu terus dinyanyikan
dengan riang dan lincah, mungkin sudah lelah lama kelamaan Lu Su-bi menghentikan gerakgeriknya,
lalu menikmati arti syair yang penuh arti menawan hati remaja dalam buaian asmara
dari lagu-lagu Song Theng-siau, lama kelamaan ia berdiri diam sambil melamun.
Entah mengapa Song Theng-siau sendiri pun akhirnya terpengaruh oleh lagu-lagu yang dia
bawakan sendiri, tiba-tiba terbayang olehnya kejadian delapan tahun lalu, waktu ia hendak
berangkat ke Siau-kim-jwan bersama Beng Goan-cau, di bawah hujan gerimis ia bicara dengan
Hun Ci-lo di bawah teras kembang. Entah berapa banyak kelopak kembang yang diremas-remas
hancur oleh Hun Ci-lo, akhirnya orang menolak ajakannya.
Song Theng-siau tertawa getir dalam hati, pikirnya: "Sungguh goblok aku, aku tidak tahu
bahwa dia sebelumnya jatuh hati kepada Beng-toako. Waktu itu aku masih berangan-angan terlalu
tinggi padanya." Setelah habis nyanyiannya baru ia sadar Lu Su-bi sedang mengawasi dirinya, roman mukanya
seperti menampilkan rasa geli dan tidak tertawa. Diam-diam Song Theng-siau malu diri, pikirnya:
"Siau-sumoay berada di hadapanku, bagaimana aku malah memikirkan perempuan lain." Merah
mukanya segera ia unjuk tawa lebar untuk menutupi sikapnya dan bertindak lebih dulu, katanya:
"Siau-sumoay, apa yang sedang kau pikir?"
Tak terduga merah jengah selebar muka Lu Su-bi lebih menyolok, sesaat baru dia menjawab:
"Aku sedang memikirkan satu hal."
"Hal apa" Boleh dibicarakan kepadaku" goda Song Theng-siau tertawa.
"Kalau kukatakan, jangan kau tertawakan aku," semakin merah selebar muka Lu Su-bi.
"Tahun lalu waktu aku menyusul Beng-toako ke Soh-ciu, kebetulan bentrok dengan Tiam-jongsiangsat, aku terluka oleh pukulan beracun Toan Siu-si. Di waktu aku terbaring sakit dengan
sadarkan diri, lapat-lapat aku seperti mendengar suara nyanyianmu di pinggir kupingku, yang
dinyanyikan adalah lagu ini juga. Waktu aku membuka mata, baru aku tahu kiranya adalah Bengsuko.
Aku menjadi heran, nada suara Beng-suko besar dan serak-serak basah, jauh berlainan
dengan suaramu, entah kenapa kuanggap dia sebagai kau. Tapi yang lebih aneh, begitu aku
teringat kepada kau, hatiku menjadi nyaman dan terhibur, luka-lukaku pun tidak terasa sakit lagi."
"Apa ya" Waktu di Siau-kim-jwan malah kukira kau hanya menyukai Beng-suko!"
"Benar, aku memang suka Beng suko. Tapi rasa sukaku ini jauh berlainan terhadap sukaku
kepada kau." "O, dalam hal apa perbedaannya?"
"Semula aku sendiri tidak tahu, baru sekarang aku jadi paham. Ternyata biasanya Beng-suko
anggap aku sebagai adik kecil, dan aku pun pandang dia sebagai Toako."
"Lalu kau anggap diriku siapa?"
"Meski aku panggil kau suko, namun di hadapanmu aku tidak begitu kikuk dan risi, apa yang
ingin kukatakan kuutarakan dengan bebas, meski aku rada nakal kau pun tidak menjadi soal, kau
seperti sahabatku terdekat yang sebaya, bicara terus terang, terhadap kau aku tidak merasa
hormat dan segan atau takut seperti terhadap Beng-suko."
Song Theng-siau bergelak tertawa, ujarnya: "Tapi aku lebih tua tujuh delapan tahun. Bengtoako
pun lebih tua setahun dari aku."
"Begitulah perasaanku, kau tidak salahkan sikapku yang tidak menghormatimu sebagai orang
yang lebih tua bukan?"
"Aku rela kau menyukai aku lebih banyak daripada kau menghormat dan takut padaku."
"Beng-suko memang harus dikasihani, dia suka Hun-cici, sebaliknya Hun-cici sudah menikah
dengan orang lain. Tapi sekarang dia sudah berpisah dengan suaminya, semoga mereka bisa rujuk
kembali." Song Theng-siau geleng-geleng kepala, katanya: "Sayang di antara mereka menyelip datang
pula seorang Miao Tiang-hong. Dari gelagat tempo hari itu, kukira hubungan pribadi Hun Ci-lo
dengan orang she Miao itu tidak lebih jauh dari hubungannya dengan Beng Goan-cau."
"Agaknya kau amat tidak menyukai sikap Hun Ci-lo ini?"
"Aku merasa penasaran bagi Beng Goan-cau. Tapi aku masih tetap anggap dia sebagai
temanku yang paling baik, kau..."
"Aku mengerti. Ai, entah Beng-suko sudah tiba di kota raja belum, kalau kita bisa bertemu
dengan dia, kita pergi bersama mencari Hun-cici, betapa baiknya."
Baru sampai di sini pembicaraan mereka, tiba-tiba terdengar derap orang berlari-lari saling
kejar. Song Theng-siau cukup berpengalaman, karuan hatinya kaget, katanya: "Ada orang sedang
berkelahi di sebelah sana, coba dengar, itulah suara pukulan Bik-khong ciang."
Kaget dan girang hati Lu Su-bi, katanya: "Bukan mustahil Beng-suko yang datang mencari
kita." "Bukan, Beng-toako menggunakan golok, kedua orang ini berkelahi tanpa menggunakan
senjata." "Mari kita ke sana menengoknya," ajak Lu Su-bi. Ia harap dugaannya tidak meleset.
Belum lagi mereka lewati sebidang hutan, tiba-tiba didengarnya suara melengking dari mulut
perempuan membentak: "Kau iblis ini hendak lari ke mana?" derap kaki yang saling kejar itu
mendadak berhenti. Lalu terdengarlah gelak tawa yang berkumandang di atas pegunungan seperti benturan bendabenda
keras, menusuk kuping, kata orang itu: "Perempuan bawel, kau kira aku takut kepadamu"
Soalnya di jalan raya kurang leluasa maka aku mengalah kepadamu, ya kalau kau memang tidak
tahu diuntung, berani mengejar sampai di sini, marilah kita bertanding di sini!"
Lu Su-bi terkejut, serunya: "Orang itu adalah Toan Siu-si yang melukai aku dengan pukulan
berbisanya." "Betul, dia adalah orang kedua dari Tiam-jong-siang-sat yang bernama Toan Siu-si. Anak Hun
Ci-lo memang merekalah yang merebut dari tanganku."
Dengan langkah cepat mereka memburu keluar dari hutan, tampak di bawah kaki tembok
sebelah sana, seorang nyonya pertengahan umur sedang menubruk ke arah seorang laki-laki
berpakaian sastrawan. Sastrawan pertengahan itu mengebaskan kipasnya, dia bukan lain memang Toan Siu-si, salah
satu dari Tiam-jong-siang-sat.
Walaupun sedang menghadapi serbuan lawan, sikap Toan Siu-si masih acuh tak acuh, dengan
kipasnya seenaknya saja ia menyampuk dan mengebas, memunahkan rangsakan si nyonya
pertengahan yang rumit dan gencar, godanya tertawa: "Orang sering bilang menonton balapan
kuda di atas tembok, marilah kita berkelahi saja di atas tembok, biar ditonton orang dari bawah, ia
menghadap ke arah datangnya Song Theng-siau, maka ia sudah melihat kedatangan mereka.
Bangunan Ban-li-tiang-sia rata, tinggi tembok ada tiga tombak, lebar dari tembok besar ini, lima
kuda dapat berlari berjajar bersama, jauh lebih lebar dari jalan raya di kota-kota besar umumnya.
Dengan gaya Burung Kuntul Menjulang ke Langit, Toan Siu-si melambung tinggi terbang ke atas,
gagang kipasnya menutul enteng di lamping tembok, lalu dengan ringan ia jumpalitan naik
hinggap di atas tembok. Perempuan itu membelakangi Song Theng-siau berdua, namun pendengarannya cukup tajam,
tahu kedatangan orang, hatinya rada kuatir, namun ia yakin akan kepandaian sendiri, maka tidak
menjadi jeri karenanya. Karena Toan Siu-si sudah melambung naik ke atas tembok, tidak sempat
menengok ke belakang, lekas ia melejit naik pula, jengeknya dingin: "Kalau keponakanku tidak
kau kembalikan, lari sampai ke ujung langit pun, jangan harap kau bisa lolos dari telapak
tanganku." "Kiranya memang perempuan bawel ini, tak heran dia berani mengejar Tiam-jong-siang-sat,"
demikian batin Song Theng-siau. Bahwa Toan Siu-si mendadak muncul di sini, sudah di luar
dugaannya, kini melihat perempuan bawel ini, lebih di luar dugaannya pula.
"Song-suko, siapakah perempuan itu?" Melihat ginkang orang yang lihay, maka ia bertanya
kepada Song Theng-siau. "Perempuan bawel ini adalah kakak Nyo Bok, Nyo-toakoh yang digelari Loak-jiu-koan-im itu."
Tahu orang adalah kakak Nyo Bok, berkerut alis Lu Su-bi, katanya: "Kabarnya kau pernah
berkelahi satu kali dengan dia, apakah dia pun sebejat Nyo Bok?"
"Meskipun tidak pernah melakukan kejahatan, namun tampangnya itu terlalu menyebalkan.
Mungkin tidak sebejat adiknya, namun mulutnya terlalu bawel dan membuat orang benci
padanya."
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di atas tembok besar, Toan Siu-si sudah saling labrak dengan Nyo-toakoh.
Kedatangan Nyo-toakoh ke Pakkhia adalah hendak mencari adiknya. Seperti diketahui Su-haysinliong Ki Kian-ya adalah paman suaminya, karena tidak mau turut mencampuri pertikaian rumah
tangga Nyo Bok, maka ia bujuk orang untuk menceraikan istrinya saja, lalu langsung ia pulang ke
rumah. Dari penuturan Ki Kian-ya, barulah Nyo-toakoh tahu bahwa adiknya belum mati,
sementara keponakannya terjatuh di tangan Tiam-jong-siang-sat.
Watak Nyo-toakoh terlalu sirik dan gampang dendam, sejak mula memang ia tidak menyukai
Hun Ci-lo, kini meski sudah tahu Hun Ci-lo tidak mencelakai adiknya, namun ia masih anggap Hun
Ci-lo sudah menghapus nama baik keluarga Nyo mereka, kuatir adiknya tidak kuasa menghadapi
Hun Ci-lo, maka sengaja ia menyusul datang ke kota raja hendak membantu kesulitan adiknya.
Tak nyana, di tengah jalan ia bentrok dengan Toan Siu-si.
Dari cerita Ki Kian-ya ia pun sudah tahu bahwa Nyo Bok pernah kena pukulan Toan Siu-si
sekali, ia pun maklum bahwa Toan Siu-si berkepandaian lebih tinggi dari suhengnya, seorang iblis
yang sudah terkenal. Oleh karena itu, meski ia membanggakan ilmu pukulannya, namun ia tidak
berani pandang enteng lawannya, maka begitu mulai bergebrak, kontan ia lontarkan pukulanpukulan
ganas yang mematikan. Yaitu ilmu warisan keluarga Nyo yang amat disegani oleh kaum
persilatan, Kim-kong-liok-yang-jiu.
Kekerasan pukulan Kim-kong-liok-yang-jiu sudah lama menggetarkan bulim. Sebetulnya
pukulan yang mengutamakan kekerasan dengan landasan tenaga positif tidak cocok dipelajari oleh
kaum perempuan, tapi Nyo-toakoh ini boleh diakui sebagai tunas harapan berbakat, dengan
kecerdasan otak dan pengalaman dan pengetahuan ilmu silatnya, ia berhasil menemukan jalan
lain dalam menciptakan ilmu pukulan yang dia kombinasikan dan diperbarui dengan berbagai
perubahan, sehingga di samping kekerasan yang diutamakan, ia berhasil melebur unsur-unsur
positif dan negatif. Dasar Kim-kong-liok-yang-jiu sendiri memang serba, rumit dan banyak perubahan, dalam jurus
tersembunyi jurus, tipu berada di dalam tipu, setiap pukulannya, di mana terkandung enam
macam gerak perubahan yang berlainan. Dengan hasil ciptaan Nyo-toakoh lebih lanjut, sekaligus
ia sudah dapat menggunakan tenaga keras dan lunak bersama, sehingga gerak perubahan dan
variasinya bertambah banyak dan sukar diraba, orang akan sering tertipu bila sedikit lena.
Begitu telapak tangan kedua pihak saling bentrok, seketika Toan Siu-si merasa seperti memukul
ke atas tumpukan kapas, tenaganya sirna tenggelam, keruan bercekat hatinya, tak nyana kejadian
selanjutnya justru lebih mengejutkan lagi, tumpukan kapas yang lunak itu, mendadak berubah
menjadi keras seperti tembok baja, sekaligus segulung tenaga besar bagai gelombang ombak
mendadak menerjang balik ke arah dirinya.
Lekas Toan Siu-si gunakan tenaga lengket, telapak tangan kanan ia dorong terus dituntun ke
samping, ia tangkis tenaga pukulan lawan menyeleweng ke samping, jengeknya dingin:
"Perempuan keji, kau mau adu jiwa ya?" Sementara kipas di tangan kirinya menotok ke Lau-kionghiat
di telapak tangan lawan. Jurus serangan ini membuat musuh kelabakan dan harus menolong
diri lebih dulu, sudah tentu Nyo-toakoh kaget, tak berani ia lontarkan seluruh kekuatannya, di
tengah jalan sigap sekali ia rubah jurus, batinnya: "Iblis ini memang tidak bernama kosong,
dengan seenaknya saja ia dapat memunahkan Kim-kong-ciang-latku!"
Di luar tahunya bahwa kelihatannya saja tangkisan Toan Siu-si itu dilakukan seenaknya saja,
sebetulnya dia sudah keluarkan seluruh kemampuan silatnya yang dia pelajari selama ini, diamdiam
hatinya pun mengeluh, apalagi bukan mustahil Song Theng-siau bisa mencari perkara
kepadanya. Setelah berada di atas tembok Nyo-toakoh pun sudah melihat kehadiran Song Theng-siau
berdua, malah ia pun ada mendengar pembicaraan mereka yang terakhir. Begitu mendengar suara
Song Theng-siau lantas ia mengenali bahwa orang itu adalah si orang berkedok yang merebut Nyo
Hoa dari tangannya. Keruan ia pun kaget dan kuatir, serta didengarnya Song Theng-siau memaki
dirinya bertampang keji dan perempuan bawel, gusarnya bukan main. Terpaksa ia harus
berkeputusan untuk segera mengundurkan diri karena gelagat tidak menguntungkan. Percakapan
Lu Su-bi dengan Song Theng-siau yang terdahulu tidak ia dengar, di luar tahunya bahwa
permusuhan Toan Siu-si dengan Song dan Lu berdua justru lebih besar dan mendalam dari
dirinya. Setelah berkeputusan untuk lari, tapi tidak gampang bagi Nyo-toakoh untuk menyingkir karena
ia menghadapi lawan setanding. Terpaksa Nyo-toakoh pergencar serangannya, ia mengharap bisa
mendesak mundur Toan Siu-si dan berkesempatan lolos.
Memang kedua pihak tidak suka melanjutkan pertempuran lebih lama, masing-masing merabu
dengan serangan lebih gencar, beruntun Toan Siu-si menghadapi beberapa serangan musuh
yang berbahaya, hatinya jadi berang, dan timbul ah maksud jahatnya, segera ia keluarkan Ci-soaciang.
Ci-soa-ciang dapat melukai urat nadi dan sendi-sendi tulang orang, merupakan ilmu sesat dan
berbisa yang amat lihay sekali, tempo hari Lu Su-bi pernah terluka cukup parah oleh pukulan
berbisa ini sampai rebah beberapa hari lamanya.
Nyo-toakoh adalah seorang yang berpandangan luas, begitu melihat telapak tangan Toan Siu-si
berubah merah seperti gincu. Hidungnya pun mengendus bau amis, keruan mencelos hatinya,
lekas ia kerahkan hawa murni untuk mengusir dan menahan serangan racun. Karena itu ia kena
terdesak oleh serbuan Toan Siu-si yang hebat, untuk lari lebih tidak mungkin lagi, keruan ia
mengeluh dalam hati. Waktu itu Song dan Lu berdua sudah tiba di kaki tembok, berkata Lu Su-bi: "Song-suko, pihak
mana yang harus kita bantu?"
"Iblis laknat she Toan itu adalah musuh besarmu, apa boleh buat, tentunya kita harus bantu
Nyo-toakoh lebih dulu."
"Perempuan bawel ini bersama adiknya menganiaya Hun-cici, melihat tampangnya aku jadi
sebal, lebih baik pihak siapapun tidak usah dibantu, biar mereka menentukan siapa lebih unggul
siapa kalah, baru nanti kita menuntut balas." Meski pengetahuan ilmu silatnya tidak setingkat Song
Theng-siau, setelah memperhatikan sebentar, ia tahu bahwa akhirnya Nyo-toakoh pasti dapat
dikalahkan oleh Toan Siu-si.
"Baiklah, mari kita menonton saja!'
"Wut, wut" pukulan Toan Siu-si mendesak Nyo-toakoh mundur ke pinggir tembok, jengeknya
dingin: "Kau selalu menuduh aku merebut keponakanmu, memang bocah itu bernama Nyo Hoa,
tapi belum tentu dia asli adalah darah daging keluarga Nyo kalian" Dan lagi Nyo Hoa kan bukan
kurebut dari tanganmu."
Kata-katanya ini sengaja ia ucapkan dengan suara keras supaya terdengar oleh Song Thengsiau.
Mendengar kata-katanya itu, Song Theng-siau memang heran, pikirnya: "Dari mana agaknya
dia tahu rahasia anak itu."
Keadaan Nyo-toakoh yang terjepit di pinggir tembok memang amat berbahaya. Lu Su-bi lantas
berteriak: "Wah, celaka, jiwa perempuan galak ini mungkin terancam. Meski menyebalkan,
dosanya tidak pantas terhukum mati. Song-suko, lekas kau bantu dia saja."
Belum habis ia bicara terdengarlah jeritan dari sebelah atas, bagai layang-layang putus
benangnya, badan Nyo-toakoh terjungkir jatuh dari atas. Tapi suara jeritan itu malah keluar dari
mulut Toan Siu-si. Ternyata pertempuran tokoh-tokoh silat kelas tinggi, begitu salah satu pihak terpencar
perhatiannya untuk bicara, sudah tentu pertahanannya kena terpengaruh. Kesempatan inilah yang
digunakan Nyo-toakoh mendadak melancarkan serangan keji.
Memang Toan Siu-si sudah berjaga-jaga orang akan bertindak nekad, lekas ia mengegos
miring, sementara kipasnya terjulur keluar menotok Hiat-tonya. Tapi walau ia bergerak cepat, tak
urung jari-jari Nyo-toakoh toh menyerempet di depan dadanya, untung tidak kena dengan telak.
Tapi Nyo-toakoh sendiri pun tidak mendapat keuntungan, baju di depan dadanya, terj ungkit
oleh ujung kipas, seolah-olah digigit semut, rasanya sedikit linu, entah terluka atau tidak, saking
gugup ia terus lompat ke bawah tanpa menghiraukan rasa sakitnya.
Setelah kaki hinggap di tanah dan ia menunduk, dilihatnya dadanya terbuka, di bawah
payudara sebelah kiri, terdapat sebuah titik merah, hanya terpaut setengah mili saja mengenai Yotohhiat. Ternyata totokan kipas Toan Siu-si juga tidak mengenai dengan tepat.
Diam-diam Nyo-toakoh bersyukur, namun malu dan naik pitam, makinya: "Toan Siu-si, Song
Theng-siau, jangan kalian senang, lonio belum lagi mampus, akan datang satu hari kubuat
perhitungan dengan kalian!"
"Siau-sumoay," kata Song Theng-siau. "Kau boleh berlega hati. Perempuan galak itu masih bisa
memaki orang sedemikian garangnya, kukira luka-lukanya tidak berat, sudah tentu jiwanya tidak
perlu dikuatirkan." Lu Su-bi geleng-geleng kepala, katanya: "Perempuan galak itu memang tidak punya aturan,
kita bermaksud baik, dia malah memaki kita habis-habisan."
Toan Siu-si sendiri pun hanya terserempet angin pukulan lawan, walau terasa sakit pedas,
sebetulnya tidak terluka apa-apa. Latihan lwekangnya sudah cukup tinggi, segera ia himpun hawa
murni dan disalurkan tiga putaran lantas badan segar kembali.
"Song-suko," kata Lu Su-bi pelan. "Entah iblis ini terluka tidak, kita harus melabraknya tidak?"
"Siau-sumoay, hatimu terlalu bajik," ujar Song Theng-siau tertawa. "Tempo dulu, dia melukai
kau dengan pukulan berbisa, memangnya dia menaruh belas kasihan kepada kau" Menghadapi iblis
laknat yang sesat ini, kenapa kita harus memenuhi aturan kangouw segala" Hayo labrak dia!"
Song Theng-siau tahu ginkang Toan Siu-si amat tinggi, sedikitnya tidak lebih rendah dari dirinya, malah
setingkat lebih tinggi dari Lu Su-bi, kuatir orang lari mengikuti jejak Nyo-toakoh, maka sambil memburu
naik ke atas, ia berteriak: "Orang she Toan, kalau kau berani jangan lari!" "
Toan Siu-si tergelak tertawa, ia melompat turun dari atas tembok, bukan saja tidak lari malah ia memapak
kedatangan Song Theng-siau berdua, serunya: "Kenapa aku harus lari, kalau bukan hendak mencari kau,
aku tidak akan datang kemari."
"Bagus, marilah sekarang selesaikan perhitungan lama," tantang Song Theng-siau.
"Tunggu sebentar!" tiba-tiba Lu Su-bi berteriak.
Song Theng-siau tertegun, serunya: "Siau-sumoay, apa kau tidak tega" Kulihat dia kan tidak terluka."
"Coba kau tanya dia dulu, cara bagaimana dia bisa tahu kita berada di sini?" ujar Lu Su-bi.
Toan Siu-si seperti tahu isi hatinya, katanya bergelak tertawa: "Song Theng-siau, aku bukan takut berkelahi, tapi kedatanganku kemari, terus terang bukan untuk menantang berkelahi dengan kalian.
Sudah tentu, kalau kau ingin berkelahi, aku pun suka melayani! Tapi berilah kesempatan dulu biar aku
bicara beberapa patah kata kepada kau."
"Baik, ada omongan lekas katakan, ada kentut lekas lepaskan. Ada perlu apa kau mencari
kami?" "Orang she Song, bicaralah sedikit aturan supaya mulutmu tidak kotor ya" Kalau kau ingin ribut
mulut, aku bisa maki kau lebih kotor dan beringas!" demikian damprat Toan Siu-si gusar.
Karena ditahan oleh Lu Su-bi terpaksa Song Theng-siau menahan sabar, katanya: "Baik, di saat
kau bicara, boleh aku anggap kau sebagai sahabat. Katakan!"
Toan Siu-si tidak hiraukan kata-kata orang yang mengandung arti lain, katanya pelan-pelan
sambil menggoyangkan kipasnya: "Song Theng-siau, sebenarnya aku tidak sengaja hendak
mencari kau. Yang kucari sebetulnya adalah Beng Goan-cau. Tiada orang yang bisa kutanyai
jejaknya, terpaksa kucari kabarnya dari kau. Tentang cara bagaimana aku bisa tahu kalian berada
di sini, kau tidak pandang aku sebagai sahabat, maka aku pun tidak perlu menerangkan."
Lu Su-bi merasa di luar dugaan, tak tertahan ia bertanya: "Untuk apa kau mencari Bengsukoku"
Apakah kau hendak menantang dia berkelahi?"
"Tidak, aku pun bukan ingin berkelahi sama dia, aku hanya ingin menyampaikan suatu urusan
kepadanya. Bicara soal urusan itu, tidak enak aku menerangkan kepada kalian."
"Memangnya kau lantas bermaksud baik kepada Beng-toako?" jengek Song Theng-siau.
"Benar, meski aku pernah dilukai oleh goloknya, namun rasa kagumku kepada dia jauh lebih
banyak daripadamu." "Aku tidak sudi kau kagumi, juga tidak percaya akan obrolan setanmu."
"Jadi kau tidak sudi memberi-tahu jejak Beng Goan-cau kepadaku?"
"Jangan kata aku tidak tahu, meski tahu juga tidak akan kube-ritahu kepadamu."
Toan Siu-si menghela napas, ujarnya: "Memang sudah kuduga kau tidak akan percaya
kepadaku. Apa boleh buat, terpaksa, marilah sekali lagi kita berkelahi saja."
"Nah, memang itulah yang kuinginkan. Siau-sumoay, cabut golokmu dan ayolah maju".
Sebaliknya Lu Su-bi menjadi bimbang dan ragu-ragu, dalam waktu dekat ia tidak berani
memastikan, apakah ucapan Toan Siu-si dapat dipercaya atau tidak. Siapa tahu belum lagi ia
mencabut pedang, tahu-tahu Toan Siu-si sudah turun tangan lebih dulu, dan yang diserang malah
dirinya. Keruan Song Theng-siau kaget, teriaknya kuatir: "Sumoay, awas!"
Lekas Lu Su-bi kembangkan ginkangnya Menyelinap Kembang
Mengitari Pohon, sekali berkelebat ia menyingkir. Dalam waktu sekejap itulah, tiba-tiba ia
merasakan angin menyampuk tiba, tusuk kun-dai yang terselip di atas sanggulnya tergetar
bergoyang dan bersuara "tring" rada lirih, tahu-tahu Toan Siu-si sudah berkelebat lewat di
sampingnya, malah sempat berpaling lagi ke arahnya.
Dilihatnya Toan Siu-si menjura kepadanya, katanya: "Tempo hari kesalahan tangan melukai
nona, sungguh amat menyesal dan mohon nona suka memberi maaf."
Baru sekarang Lu Su-bi sadar bahwa Toan Siu-si sengaja menaruh belas kasihan, untuk
menunjukkan maksud baiknya bahwa dia tidak punya tujuan bermusuhan. Maklum karena ia
kurang siaga, meski ginkangnya lihay toh terlambat juga bergerak. Jikalau Toan Siu-si betul-betul
hendak turun tangan jahat kepadanya pastilah batok kepalanya sudah dapat ditepuknya remuk.
Namun kejadian memang berlangsung teramat cepat, "sret" pedang Song Theng-siau pun
sudah menusuk tiba, bentaknya: "Kau bangsat ini memang kurang ajar, berani mempermainkan
sumoayku lagi!" Watak Lu Su-bi memang juga keras kepala dan suka menangnya sendiri, meski tahu lawan
menaruh belas kasihan, namun ia merasa sebal juga menghadapi permohonan maaf orang dengan
menjura dalam jarak yang begini dekat, dengan marah ia mencabut kedua golok, serunya sengit:
"Kau bisa bunuh aku tapi tidak membunuhku, bolehlah aku pun mengampuni jiwamu sekali. Tapi
kalau ingin aku menyudahi sampai di sini saja persoalan, betapapun tidak bisa!"
Toan Siu-si sendiri pun seorang yang tinggi hati, tidak perlu ia harus minta pengampunan dan
keringanan segala, katanya: "Aku sudah menyatakan isi hatiku, kalian masih tidak mau
memaafkan aku, ya apa boleh buat. Terpaksa aku orang she Toan mengiringi segala keinginan
kalian saja!" Kepandaian Song Theng-siau kira-kira setanding dan setingkat dibanding Toan Siu-si, masingmasing
membekal kepandaian silat khusus. Apalagi kalau Toan Siu-si mau melancarkan pukulan
beracunnya, pasti dapat di atas angin. Sebaliknya ilmu pedang Song Theng-siau jauh lebih unggul
dari ilmu totok dengan kipasnya.
Puluhan jurus kemudian, ilmu pedang Song Theng-siau dikembangkan semakin cepat, ujung
pedangnya bergerak amat lincah, tunjuk timur menusuk barat, tuding selatan menggempur utara,
ujung pedangnya selalu mengincar tempat-tempat mematikan di badan lawannya. Sementara
sepasang golok Lu Su-bi ditarikan naik turun timbul tenggelam, dikombinasikan dengan gerakgerik
ilmu ginkang-nya yang lincah pun tidak boleh dipandang ringan. Kini walau Toan Siu-si
mengandal kepandaiannya yang tinggi untuk main sergap lagi terhadapnya pun tidak akan bisa
memukul dia. Menghadapi Song Theng-siau seorang saja, Toan Siu-si sudah rada payah, apalagi harus
menghadapi ilmu golok Lu Su-bi lagi, lima puluh jurus kemudian, lambat laun mulai terdesak dan
hanya mampu membela diri saja tanpa bisa balas menyerang.
"Song-suko, pandanglah mukaku, jangan kau membunuh dia," seru Lu Su-bi.
"Aku tahu, apa yang pernah kau ucapkan tentu harus dipatuhi. Tapi hukuman mati bangsat ini
cuma bisa diperingan dengan hukuman hidup. Dia pernah melukai kau dengan pukulan beracun,
kalau aku tidak membunuh dia, ilmu silatnya harus kubuat cacat."
"Bagus ya!" damprat Toan Siu-si gusar. "Akan kulihat cara bagaimana kau hendak
memunahkan ilmu silatku." Di saat bicara tenaga dalamnya dikerahkan, seketika kedua telapak
tangannya berubah merah seperti gincu.
"Awas Song-suko, iblis ini hendak menggunakan pukulan beracun!" teriak Lu Su-bi
memperingatkan. "Song Theng-siau, memang kau memaksa aku harus adu jiwa terhadapmu!" demikian teriak
Toan Siu-si. "Baik, silakan kau berjuang setaker kekuatanmu, aku Song Theng-siau tidak takut menghadapi
ilmu sesatmu." Di mulut berkata tidak takut, sebetulnya hatinya sudah rada jeri.
Menyerang dulu adalah pertahanan yang paling baik. Teori ini amat berguna bagi pertempuran
tokoh-tokoh silat tingkat tinggi, Song Theng-siau tahu akan kelihayan pukulan beracun lawan,
maka ia pergencar serangannya.
Toan Siu-si menyimpan kipasnya, telapak tangannya ditarikan berputar-putar dengan gencar,
jengeknya dingin: "Song Theng-siau, paling-paling badanku kena kau lubangi ujung pedangmu,
memangnya kau yakin tidak akan kena sekali pukulan beracunku?"
Song Theng-siau gusar, dampratnya: "Seorang laki-laki memangnya takut kau gertak!" Belum
habis ia bicara bau amis tiba-tiba merangsang hidung, kuatir keracunan, terpaksa Song Theng-siau
tutup mulut. Lu Su-bi ayunkan goloknya bantu menyerang dengan sengit, Toan Siu-si kembangkan
kelincahan gerak badannya yang berkelebat ke sana kemari, menghindari sambaran sepasang
goloknya, khusus ia pergencar serangannya kepada Song Theng-siau.
Walaupun Song Theng-siau menggunakan cara menyerang untuk bertahan, namun ia sendiri
tahu, sulit untuk menghindarkan kedua pihak gugur bersama, dan untuk menang ia sendiri tidak
punya pegangan. Di saat ia menumpahkan perhatian untuk menghadapi pukulan beracunnya, tibatiba
dilihatnya warna merah di telapak tangan lawan semakin luntur dan bau amis pun
menghilang. Kiranya semula Toan- Siu-si sudah hampir nekad untuk adu jiwa, tapi akhirnya ia
berpikir: "Aku sudah pernah melukai nona cilik yang mungil ini, kenapa harus menambah
permusuhan melukai kekasihnya pula" Ai, permusuhan gampang di kat sukar dilerai, dosa yang
pernah kulakukan selama hidup ini sudah cukup banyak, apa halangannya aku terima terluka oleh
anak muda ini." Karena pikiran welas asih dan kesadarannya ini, serta merta pukulan beracunnya
lambat laun lalu berhenti digunakan.
"Sret, sret" beruntun beberapa kali pedang Song Theng-siau menusuk dan menabas dengan
gencar, jelas dalam waktu dekat ia bakal berhasil mendesak lawan kepayahan, tiba-tiba
didengarnya Lu Su-bi bersuara aneh, serunya: "Eh, kenapa tidak kau gunakan pukulan beracunmu
lagi?" Toan Siu-si tertawa getir, sahutnya: "Sayang aku tidak ketemu Beng Goan-cau, silakan kalian
bunuh aku saja, cuma ada beberapa patah kata kumohon kalian menyampaikan kepada Beng
Goan-cau..." Serta merta Lu Su-bi mengen-dorkan jurus-jurus serangan goloknya. Kata Song Theng-siau:
"Siau-sumoay, hati-hatilah orang menggunakan tipu muslihat!"
Lekas Lu Su-bi melintangkan golok melindungi badan, tanyanya: "Kabar apa yang ingin kau
titipkan kepadaku untuk Beng-toako?"
Toan Siu-si gusar, serunya: "Kalian masih tidak percaya, apa perlunya kukatakan!"
Baru saja Song Theng-siau tusukkan pedangnya, dari dalam hutan mendadak melompat keluar
seseorang, teriaknya: "Saudara Song, berhenti dulu!"
Kaget dan girang pula Lu Su-bi, teriaknya: "Beng-suko, kaukah itu" Iblis ini bilang hendak
mencarimu!" "Aku sudah tahu!" sahut Beng Goan-cau. "Toan Siu-si, ada persoalan apa silakan katakan saja
secara terus terang di hadapanku."
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kiranya sejak tadi ia sudah tiba, bukan saja mendengar ucapan Toan Siu-si, ia pun melihat
orang membatalkan menggunakan pukulan beracun di tengah jalan. Sebetulnya dia siap
membantu bila Song dan Lu berdua terdesak dan mengalami bahaya. Tapi karena Toan Siu-si
sudah membatalkan menggunakan pukulan beracunnya, maka ia tunda sementara waktu
menonton kelanjutan pertempuran ini, kini setelah melihat bahwa Toan Siu-si memang tidak
mengandung maksud jahat barulah dia memburu keluar.
"Beng Goan-cau," ujar Toan Siu-si. "Sebelumnya ingin kutanya kau dulu, apakah kau masih
ingin menuntut balas kepadaku?"
Beng Goan-cau bergelak tertawa, ujarnya: "Seorang laki-laki harus dapat membedakan dendam
dan benci, memang aku ada mengikat permusuhan dengan Toan-heng, dikata besar tidak kecil,
sebelum ini rasa benciku memang ada. Tapi waktu pertemuan besar di Thay-san tempo hari, aku
pun secara langsung pernah mendapat pertolongan dan bantuan Toan-heng, dendam dan budi ini
bolehlah dianggap impas, soal sakit hati sih boleh tidak perlu dibicarakan lagi!"
Adalah Song Theng-siau yang dibuat heran dan uring-uringan, hampir saja ia tidak percaya
akan pendengaran kupingnya sendiri. Soalnya dia tidak tahu bahwa di dalam pertempuran besar di
Thay-san tempo hari, Toan Siu-si pernah ikut bantu Beng Goan-cau membersihkan nama baiknya.
Bukan saja Beng Goan-cau berterima kasih bahwa orang sudi berpegang kebenaran demi
kepentingan dirinya, orang pun menjaga nama baik dan gengsi Hun Ci-lo, oleh karena itulah hari
ini ia rela membatalkan permusuhannya.
Selamanya Lu Su-bi menaruh hormat dan segan terhadap suko-nya ini, segera ia bicara juga:
"Di masa hidupnya ayahku pernah melukai kau, dan kau pun pernah melukai aku, sekarang aku
pun paham duduk perkara sebenarnya, tiada gunanya balas membalas, permusuhanku dengan
kau bolehlah dianggap impas juga."
Berkata Beng Goan-cau: "Saudara Song, harap pandanglah mukaku..."
Waktu ia hendak membujuk, Song Theng-siau sudah tertawa, katanya: "Kalian sendiri tidak
mengulur panjang urusan, memangnya aku harus mencari perhitungan dengan Toan-siansing?"
Toan Siu-si tertawa, katanya: "Beng-heng, terima kasih akan kebajikanmu ini, untuk membalas
kelalimanku. Tapi perlu kukatakan lebih dulu, bahwa kau tidak menuntut balas lagi kepada aku,
sebaliknya aku masih hendak menuntut sakit hatiku kepadamu!"
Kata-katanya ini seketika- membuat serruia orang tertegun, Beng Goan-cau bergelak tertawa,
serunya: "Orang she Beng hanya berpegang apakah aku berada di pihak yang betul, cukup asal
hatiku tentram dan dada lapang. Aku tidak perlu peduli bagaimana sikap orang lain terhadapku."
Toan Siu-si memuji: "Inilah pribadi seorang gagah yang perkasa. Beng-heng biarlah aku bicara
sejujurnya terhadapmu, dulu kau mengalahkan aku dengan golok cepatmu, aku masih tidak begitu
kagum kepada kau, sekarang barulah aku betul-betul tunduk lahir batin terhadap kau."
"Memangnya kenapa kau masih hendak menuntut balas kepada Sukoku?" tanya Lu Su-bi.
Berkata Toan Siu-si kalem: "Cara, tuntutan balasku ini sudah tentu lain daripada yang lain,
bukan maksudku hendak berkelahi sekali lagi dengan Beng-heng. Soal cara bagaimana aku akan
menuntut balas, Beng-heng, mohon maaf, sementara waktu aku belum bisa menjelaskan kepada
kau." Beng Goan-cau tertawa, ujarnya: "Terserah bagaimana kau hendak menuntut balas, aku tidak
perlu tahu. Tapi ada sebuah hal, tidak bisa tidak harus kutanyakan kepadamu!"
"Maksudmu soal Nyo Hoa bocah itu?" Waktu Toan Siu-si menyebut nama 'Nyo' sengaja ia
melirihkan suaranya. "Betul, dialah putra seorang teman baikku, tidak bisa tidak aku harus bertanya."
"Harap Beng-heng melegakan hati, bocah itu sekarang sudah menjadi murid kami Tiam-jongsiangsat, siapapun dilarang mengganggu seujung rambutnya."
Song Theng-siau menyela dengan jengekan dingin: "Waktu kalian merebut anak itu dulu,
memangnya kalian bermaksud hendak menjadikan dia sebagai murid kalian?"-Maklumlah ia masih
merasa penasaran karena bocah itu terebut oleh Tiam-jong-siang-siat dari tangannya.
"Memang bukan," sahut Toan Siu-si sejujurnya. "Bicara terus terang, tujuan kami merebut anak
itu semula memang mengandung maksud tidak baik. Kami hendak memperalat bocah itu untuk
mempersulit Beng Tayhiap. Tapi bocah itu memang amat mungil dan menyenangkan, sampai pun
suheng-ku yang bertabiat liar itu pun sekarang menjadi alim lantaran bocah itu. Begitu bocah itu
marah atau merengek-rengek, lantas dia menggoda dan berdaya upaya untuk menyenangkan
hatinya, tanggung tidak kalah dari seorang nenek yang pandai membujuk cucunya." Bicara punya
bicara, tanpa sadar ia tertawa lebar kesenangan.
Beng Goan-cau berlega hati, segera ia menjura kepada Toan Siu-si, katanya: "Demi bocah itu
Toan-heng sudah berjerih payah sedemikian rupa, sungguh aku orang she
Beng amat berterima kasih, soal ini pun tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Harap tanya Toanheng,
dari mana kau bisa tahu mencari aku kemari, untuk apa pula kau mencari aku?"
"Sebetulnya aku hanya ingin membicarakan soal bocah itu denganmu, kini aku kebentur urusan
lain pula yang harus kusampaikan kepada kau Beng Tayhiap, kau harus hati-hati terhadap
Suling Naga 2 Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Bara Diatas Singgasana 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama