Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 21
ini." Utti Keng mengerutkan kening, katanya: "Memangnya dia menyangka Ong Thian-thong sudi
menerima permintaannya itu?"
"Ong Thian-thong punya perusahaan punya keluarga, dia pun memberikan janjinya supaya Ong
Thian-thong lepas tangan tidak mencampuri urusan ini, sehingga tidak tersangkut perkara,
menurut dugaannya, tidak bisa tidak Ong Thian-thong pasti menurut akan segala petunjuk dan
kehendaknya." "Kukira belum tentu Ong Thian-thong menjadi manusia serendah seperti yang diperkirakannya
itu?" "Aku pun bilang demikian. Tapi Cong Sin-liong mendesak supaya aku mencoba-coba."
"Lalu kau menerima permintaannya itu?"
"Ayah mertuaku kena diancam, terpaksa menerima permintaannya itu. Memangnya apa pula
yang harus kulakukan" Kecuali aku tidak peduli akan isteri dan mertuaku pula."
Lau Khong menyeletuk: "Lalu sekarang kau tidak takut istri dan keluarga mertuamu ikut
terembet perkara?" Han Bing tertawa kecut, sahutnya: "Sekarang mereka sudah hendak mengambil jiwaku, apa
pula yang kutakuti?"
. "Kau tidak usah takut," Utti Keng membujuk. "Akan kucarikan akal bagi kau, sehingga anak
binimu tidak tersangkut urusan. Siapakah buronan yang dimaksud" Apakah Cong Sin-liong pernah
mem-beritahu kepada kau?"
"Mana dia mau memberi tahu aku" Sudah tentu aku pun tidak berani tanya kepadanya."
Diam-diam berpikir Utti Keng: "Mungkinkah buronan itu adalah aku" Tapi cara bagaimana Con
Sin-liong bisa tahu bila aku akan datang ke Yangciu untuk menyampaikan selamat hari ulang
tahun kepada Ong Thian-thong?" Segera ia berkata: "Baiklah, terima kasih akan pemberitahuan
akan rahasia ini kepada kami. Luka-lukamu belum sembuh, tidak perlu banyak menca-paikan diri,
di sini aku punya obat mujarab, setelah menelan obat ini tidurlah baik-baik."
Begitu menelan pil obat itu, kejap lain tiba-tiba Han Bing meloso jatuh. Lau Khong melihat
orang tidak mirip tidur, segera ia ulur tangan memegangnya, badan orang dingin, napas pun
berhenti. Keruan terkejutnya bukan kepalang, serunya: "Utti Tayhiap, dia sudah mengakui
kesalahan dan bertobat terhadap kita, kenapa kau membunuhnya?"
"Kalau tidak menggunakan cara ini, mana bisa anak bininya tidak tersangkut perkara" Kau
jangan kuatir, dia tidak mati betul-betul," Utti Keng menerangkan.
"Hah, obat apakah yang kau berikan kepadanya?"
"Obat itu bisa menghentikan pernapasannya, selintas pandang seperti sudah ajal betul-betul.
Tapi ia hanya terpulas tiga hari, tiga hari kemudian dia akan siuman sendiri."
Miao Tiang-hong menyela bicara: "Nyo Bok pun pernah pura-pura mampus, mungkin tidak
akalmu ini terbongkar oleh Pakkiong Bong?"
"Meskipun aku pernah menggunakan akal yang digunakan Nyo Bok, tapi pura-pura mati yang
kugunakan kali ini jauh berlainan dengan cara Nyo Bok. Peti mati Nyo Bok di dalamnya di si batu,
tidak berani diperlihatkan kepada orang lain. Sebaliknya di dalam peti matiku ini adalah jenazah
Han Bing betul-betul. Lau-heng, kau tahu tidak di mana ia tinggal di kota Yangciu ini?"
"Tahu. Dia menetap di rumah pedagang garam yang ada hubungan dengan ayah mertuanya."
"Besok belilah sebuah peti mati, antarlah jenazahnya ke rumah pedagang garam itu, katakan
saja mendadak ia terserang angin duduk dan meninggal. Pedagang garam itu pasti kaget, gugup
dan ketakutan, kau boleh mengajukan diri, untuk mengantarkan jenazahnya pulang ke rumahnya.
Kupikir Cong Sin-liong pasti akan mengutus anak buahnya melayat ke rumah pedagang garam itu
mencari tahu, boleh kau sengaja membuka peti matinya, supaya mereka membuktikan bahwa
jenazahnya memang betul-betul terbaring di dalamnya."
"Tipu muslihatmu ini memang baik, cuma keramaian di rumah keluarga Ong aku jadi tidak bisa
ikut menyaksikan!" demikian kelakar Lau Khong.
Setelah segala sesuatunya diatur beres, hari kedua mereka lantas bekerja menurut rencana.
Lau Khong membeli sebuah peti mati, dinaikkan ke atas kereta jenazah terus diangkut ke rumah
pedagang garam yang dimaksud. Sementara Utti Keng dan Miao Tiang-hong berdua menuju ke
Tin-wan Piau-kiok cabang Yangciu, menyampaikan selamat hari ulang tahun kepada Ong Thianthong.
Sepanjang jalan tampak banyak orang gagah dari kaum persilatan berlalu lalang, hilir mudik
tidak putus-putus. Berkata Utti Keng sambil tertawa: "Meskipun Ong Thian-thong hanya memimpin
sebuah cabang piaukiok saja, namun pergaulannya teramat luas, keramaian hari ini agaknya
cukup besar juga. Sayang ketinggalan seorang teman karib, kalau tidak suasana tentu lebih
ramai." "Teman yang kau maksud adalah..."
"Temanku itu juga temanmu. Terhadap dia boleh dikata sekali ketemu lantas akur dan
bersahabat kental, sifat dan sepak terjang kami pun cocok saru sama lain."
Miao Tiang-hong mengerti maksud orang, katanya: "O, yang kau maksud kiranya Beng Goancau."
"Betul, yang kumaksud memang Beng Goan-cau. Soh-ciu adalah kampung halamannya kedua,
kalau dia berada di Soh-ciu, pasti dia pun akan datang ke Yangciu ini ikut dalam keramaian ini."
"Aku pun amat kangen kepadanya, tapi sekarang dia jauh berada di Siok-ciu, jelas tidak
mungkin bisa bertemu di sini."
"Aku mengharap bisa berkumpul sama dia, bicara tinggal bicara, sebetulnya aku malah
mengharap dia tidak datang saja. Sama seperti aku, dia pun seorang buronan pemerintah Boan."
Berkata Miao Tiang-hong serius: "Pakkiong Bong sudah tahu bahwa Beng Goan-cau menuju ke
Siok-ciu, tidak mungkin dia mengutus Cong Sin-liong pula, tapi kukira buronan yang dimaksud itu
adalah orang lain. Kalau tidak, orang jalan malam itu semalam pasti menggeledah kamarku juga."
"Sayang aku belum setimpal menjadi buronan, Cong Sin-liong pun belum kenal kepadaku.
Kejadian semalam,.mungkin karena aku bergaul sama Lau Khong dan mengalahkan mereka dalam
adu minum arak, maka timbul rasa curiga mereka, sehingga hendak mencari tahu asal-usul
pribadiku." Utti Keng menepekur sebentar, katanya: "Kukira tidak segampang itu!" Tapi siapakah
sebenarnya 'buronan' yang sesungguhnya, dia sendiri pun masih bertanya-tanya.
---ooo0dw0ooo--- Betul-betul di luar dugaan mereka, bahwa sebetulnya Beng Goan-cau dan Lim Bu-siang hari itu
sudah tiba di Yangciu juga. Di saat Beng dan Lim tiba di Yangciu, kebetulan pula mereka
berangkat menuju ke rumah keluarga Ong.
Beng Goan-cau melihat cuaca masih terlalu pagi, katanya: "Lebih baik kita datang malam hari
saja, setelah tamu-tamu banyak yang pulang, supaya tidak menarik perhatian mereka."
"Benar, yang terang kita masih sempat menyampaikan selamat hari ulang tahun kepada beliau
tepat pada hari ini juga, kukira tidak menjadi soal terlambat sedikit. Tapi waktu masih setengah
harian, ke mana enaknya menghabiskan waktu?"
"Tempat tamasya di Yangciu tidak kurang banyaknya, sisa waktu ini bisa kita habiskan untuk
tamasya ke mana kita suka, ada satu tempat tidak bisa tidak kita kunjungi!"
"Tempat apa itu?" tanya Lim Bu-siang.
"Su-kong-se!" "Su-kong yang dimaksud bukankah pahlawan pada jaman dinasti Song yang gugur dalam
memperjuangan kota Yangciu bersama Su Khek-hwat?"
"Kalau bukan patriot bangsa ini, mana bisa rakyat Yangciu sudi mendirikan tugu peringatan
bagi beliau" Aku sendiri pun tidak akan sudi menyambangi ke tempat tugu pahlawannya itu untuk
berziarah di pusaranya."
"O, jadi di Yangciu sini ada didirikan tugu dan pusara Su Khek-hwat" Memang setelah tiba di
sini, tidak bisa tidak kita harus ke sana."
Ternyata pada dinasti Ceng di dalam kekuasaan Kian Liong, menggunakan politik pemerasan
dan merangkul sekaligus, waktu pertama kali pasukan kerajaan Ceng menyerbu ke Tionggoan
terjadilah pembantaian besar-besaran terhadap bangsa Han yang terkenal dengan peristiwa
sepuluh hari di Yangciu dan tragedi di Kating.
Untuk menentramkan kemarahan rakyak maka Kian Liong mengijin-kan rakyat mendirikan tugu
peringatan bagi Su Khek-hwat di Yangciu.
Letak dari tugu peringatan itu, tiada orang Yangciu yang tidak mengetahuinya, maka dengan
gampang saja mereka menemukan tempat itu. Aula tempat pemujaan saat mana sedang sepi dan
kosong tidak ada orang jaga, keadaan hari itu memang sepi dan mereka berdua saja yang menjadi
pengunjung. Dasar hobby mereka sama suka membaca syair, maka dari satu ke lain tempat mereka asyik
menilai dan membedakan bait-bait syair satu kepada yang lain.
Begitulah tengah mereka berada di dalam gedung pemujaan itu, tiba-tiba didengarnya derap
langkah kaki orang di luar, tapi jaraknya masih cukup jauh. Berkata Beng Goan-cau: "Kita sudah
datang setengah harian, akhirnya ada dua orang pelancongan lainnya kemari juga. Em, orang
yang berani melihat-lihat di gedung pemujaan ini, patut dipuji keberaniannya."
Ternyata kedua orang itu tidak masuk gedung. Terdengar mereka bertepuk dua kali di luar.
Segera terdengar sahutan tepukan tangan pula dua kali di tempat yang rada jauh. Diam-diam
Goan-cau mengerut kening, katanya perlahan: "Kali ini yang datang tiga orang, mungkin ada
beberapa tokoh kangouw yang hendak mengadakan pertemuan rahasia di sini."
"Kalau begitu, lekas kita bersembunyi, jangan sampai kepergok oleh mereka."
Beng Goan-cau menerawang sebentar, katanya: "Mendengar pembicaraan rahasia orang
memang merupakan pantangan bagi kaum persilatan, tapi kalau mereka dari kalangan sehaluan,
bukankah kita kehilangan kesempatan untuk berkenalan dengan mereka?"
Tengah mereka bicara, derap langkah di luar sudah berhenti, orang-orang dari kedua pihak
sudah bertemu dan berkumpul bersama. Terdengar salah seorang ber-kakakan, sebaliknya
seorang lain tertawa kering pula dengan suara rendah dan sumbang.
Mendengar kedua suara tawa ini, terkejut hati Beng Goan-cau, terasakan keduanya sudah amat
dikenalnya, dilihatnya pula roman muka Lim Bu-siang berubah, lalu berbisik di pinggir telinganya:
"Kedua orang ini adalah Cong Sin-liong dan Boh Cong-tiu."
Beng Goan-cau segera berkepu-tusan, katanya: "Mereka sekarang masih berada di dalam hutan
Siong di luar sana, kita bisa keluar dari pintu belakang, mari dengarkan pembicaraan mereka."
Kedua orang berjalan merunduk-runduk meringankan langkah, melewati pusara Su Khek-hwat
terus-naik ke lereng bukit. Berkata Lim Bu-siang: "Biar aku masuk melihat keadaan, sementara
kau sembunyi di sini saja. Bila jejakku ketahuan mereka, kau boleh keluar."
Ginkang Beng Goan-cau terpaut jauh dibanding Lim Bu-siang, Beng Goan-cau tahu orang kuatir
jejaknya ketahuan oleh musuh. Apalagi kepandaian Cong Sin-liong dan Boh Cong-tiu teramat
lihay, sekali ketahuan oleh mereka, pasti sulit untuk meloloskan diri.
"Baiklah, tapi kau sendiri jangan pergi terlalu jauh," demikian pesan Beng Goan-cau.
Lim Bu-siang melayang naik ke atas pohon siong yang daunnya lebat, dengan pusatkan
perhatian ia pentang mata memandang ke sana, dilihatnya Cong Sin-liong sedang mendatangi ke
arah Boh Cong-tiu. Orang yang datang bersama Boh Cong-tiu kiranya bukan lain adalah wakil
komandan Gi-lim-kun Ciok Tio-ki adanya.
Setelah mengeluarkan suara tawa serak rendah dan sumbang, berkata Cong Sin-liong: "Boh
Cong-tiu, kukira di dalam matamu sudah tiada aku ini sebagai paman gurumu."
Seorang tua di belakang Cong Sin-liong segera unjuk tawa, katanya: "Kalian sebetulnya dari
satu perguruan, kini sebagai kolega dalam satu tugas pula, harap sukalah pandang muka Coh
Thian-hiong dan Ciok-tayjin, pertikaian dulu, sedapat mungkin anggap tiada saja."
"Baik sekali ucapan Coh-losian-sing, Cong-susiok, sekarang kita sama dalam satu tugas satu
tujuan demi kepentingan masing-masing, maka aku suka menerima bujukan Ciok Tayjin dan
Cohlosiansing mengakurkan persoalan ini, agaknya kau tidak setulus hati, ya apa boleh buat."
Ciok Tio-ki lekas campur bicara: "Kuharap kita mementingkan tugas dinas, tidak perlu bicara
ngelantur." Cong Sin-liong terbahak-bahak, ujarnya: "Kupandang panggilan susiokmu ini, urusan lama
boleh dianggap tiada saja. Baiklah, marilah kita bicarakan urusan itu."
"Nanti dulu!" cegah Ciok Tio-ki. "Saudara Gui, coba. kau masuk ke gedung pemujaan,
periksalah dulu, ada tidak orang di sana!"
Seorang laki-laki kurus bermuka kuning tertawa, katanya: "Kalau ada orang di dalam gedung
pemujaan, kiranya tidak akan bisa mendengarkan pembicaraan di sini."
"Tapi lebih baik kita hati-hati," ujar Ciok Tio-ki. "Siapa tahu kalau ada orang-orang kangouw
yang pandai mendengar suara dengan mendekam di tanah."
Orang tua she Coh itu ikut bicara: "Kabarnya hari ini adalah hari ulang tahun Ong Thian-thong,
kaum persilatan yang berada di Yangciu pasti meluruk ke rumahnya. Tapi berlaku hati-hati
memang ada baiknya, nah cobalah kau masuk memeriksanya sebentar."
"Setiap pelancong yang- kau temukan, bunuh saja habis perkara," Ciok Tio-ki memberikan
perintahnya. Berdiri bulu kuduk Lim Bu-siang, batinnya: "Orang-orang yang punya pangkat kenapa selalu
berhati telengas! Ai, sungguh tak nyana piauko bisa bergaul dan sehaluan dengan orang-orang
macam begituan." Sementara Beng Goan-cau pun kaget dibuatnya, sambil mendekam mendengarkan suara dari
bumi, meski tidak jelas pembicaraan mereka, namun ia sudah tahu siapa saja orang-orang yang
berkumpul itu, kecuali Ciok Tio-ki, Cong Sin-liong, Boh Cong-tiu, orang tua yang lain adalah Coh
Thian-hiong yang pernah bentrok di rumah Hun Ci-lo tempo hari, sementara orang she Gui itu
bukan lain adalah Gui Khing yang adu arak melawan Lau Khong itu, Beng Goan-cau belum pernah
bertemu dengan Gui Khing, tapi ia tahu orang itu adalah tokoh persilatan juga. Pikirnya: "Hanya
Cong dan Boh dua orang saja aku belum tentu bisa menang, ketam-bahan tiga tokoh kosen lagi,
dari mana aku mampu melawan" Jarak Bu-siang sedemikian dekat, semoga tidak sampai ketahuan
oleh mereka." Setelah Gui Khing pergi, Coh Thian-hiong pun berkata: "Biar aku meronda di bagian luar, boleh
kalian bicarakan urusan penting itu."
Berkata Boh Cong-tiu: "Cong-susiok, aku tahu kau datang hendak membekuk buronan.
Keadaan hari ini memaksa kita untuk kerja sama kalau tidak mau menemui kegagalan."
"Kabarnya semalam kau ada bentrok dengan musuh tangguh, siapa dia?" tanya Cong Sin-liong.
"Roman muka dan ilmu silat orang itu sudah kuberi tahu kepada Coh-losiansing, menurut
katanya, mungkin orang ini adalah pendekar kelana yang kenamaan, yaitu Miao Tiang-hong!"
Cong Sin-liong manggut-mang-gut, ujarnya: "Demikian juga dugaanku. Masih ada lawan
tangguh yang lainnya tidak?"
"Kabar yang kami dengar, katanya 'kakap' gede incaran kita itu, hari ini pasti sudah akan tiba di
Yangciu, dia akan datang bersama Kim Tiok-liu."
Cong Sin-liong kaget, katanya: "Apa benar berita yang kau peroleh ini?"
"Cong-susiok, kau tidak perlu kaget, sedikit banyak aku masih punya hubungan baik dengan
Kim Tiok-liu, pada waktunya aku akan berusaha memancing harimau dari sarangnya, seumpama
rencanaku ini gagal, toh ada Coh-losiansing dan Ciok-tayjin membantumu, kukira masih
berkecukupan untuk menghadapi Kim Tiok-liu."
Cong Sin-liong mendengus, jengeknya: "Kalau begitu, jadi kau hendak berpeluk tangan di luar
kalangan?" Berkata Bok Cong-tiu tawar: "Aku mendapat perintah dari Pak-kiong Tayjin, terpaksa tidak bisa
unjuk muka di muka umum."
Ciok Tio-ki menyeringai sinis, sindirnya: "Pakkiong Tayjin memang berpandangan jauh, itulah
yang dinamakan mengulur benang panjang memancing ikan besar! Hehe, betul, betul. Boh-heng,
memang kau lebih baik tidak unjukkan diri."
"Baiklah, terima kasih akan laporanmu ini. Asal kau memancing Kim Tiok-liu pergi, setelah kita
berhasil membekuk buronan 'kakap' itu, kau pun mendapat sebagian pahala."
Berkata Boh Cong-tiu tawar: "Aku tidak mau terima jasa tidak mau mendapat pangkat. Kaitan
jangan kuatir, jasa apapun akan menjadi milik kalian sendiri, aku orang she Boh pasti tidak minta
bagian." "Memangnya apa yang kau inginkan?" tanya Cong Sin-liong.
"Cong-susiok kan orang cerdik, masakah jalan pikiranku dapat mengelabui kau."
"Oh, ya, semakin tua semakin goblok aku ini, benar, kau ingin menjadi ciangbun Hu-siang-pay,
benar tidak?" "Aku hanya ingin menjunjung perguruan dan mengembangkan ajaran silat. Kini jabatan
ciangbun kena dicaplok oleh budak cilik yang tidak tahu urusan, Cong susiok, kukira kau pun tidak
terima bukan?" "Baik, kau bantu kesulitanku, pastilah aku akan bantu kepen-tinganmu. Cuma di hadapan
Pakkiong tayjin..." "Sudah tentu aku bantu bicara demi kepentingan kalian, akan kusampaikan bakti kalian
terhadapnya. Dan lagi akan kujelaskan bahwa jasa-jasa baik kali ini adalah berkat kerja berat
kalian berdua saja."
"Bicara terus terang," demikian Ciok Tio-ki berkata, "Pakkiong Tayjin rada salah paham
terhadapku. Boh-heng, mendapat bantuanmu yang amat berharga sungguh aku orang she Ciok
berhutang budi kepadamu."
"Orang sendiri kenapa harus main sungkan segala. Kelak aku pun pasti mohon bantuan kalian."
"Ya, ya, kalau begitu silakan kalian paman dan keponakan berunding lebih masak. Di mana
memerlukan tenagaku, aku orang she Ciok pasti tidak akan menolak."
"Menurut apa yang kutahu," ujar Cong Sin-liong, "Hu-siang-pay pasti akan mengutus orang
menyampaikan selamat ulang tahun kepada Ong Thian-thong."
"Siapa yang akan datang?"
"Ciok Heng suami isteri!"
"Boh Cong-tiu mendengus hina, katanya: "Apa Ciok Heng dan Siang Ceng" Hm, suami istri ini
semula adalah pembantuku, tak nyana pada pertemuan besar di Thay-san tempo hari, mereka
menghianati aku." "Kau tidak perlu marah, juga tidak perlu muncul. Dengan alasan mencuci bersih nama baik
perguruan, biar nanti kubereskan mereka sekalian."
"Budak itu menyuruh aku menjadi Jan-bau-tong Tongcu segala, murid-murid baru dari
perguruan kita sebagian besar adalah murid didikku sendiri, tidak berbeda sebagai pengikutku
juga. Tapi enam suheng yang tingkatannya lebih tinggi, cuma Ciok Heng dan Siang Ceng yang
terang gamblang menentang aku, empat suheng lainnya, entah susiok bisa menarik dua di antara
mereka tidak?" "Jangan kuatir, bicara terus terang, dua di antaranya semula karena terpaksa baru mau ikut
padamu, tapi secara diam-diam ada hubungan dengan aku. Sekarang kita sama-sama dalam satu
barisan, sudah tentu akan kusuruh mereka menjunjungmu."
"Bagus, kalau begitu aku lebih yakin. Tapi di saat aku merebut jabatan ciangbun ini lebih baik
susiok jangan ikut campur."
"Aku tahu. Kau masih harus menempatkan diri di dalam golongan orang-orang yang
menamakan diri sebagai pendekar, sudah tentu kau tidak akan bergabung secara terang-terangan.
Tapi dengan alasan apa kau hendak merebut kedudukan ciangbun budak busuk itu?"
"Di karesidenan Sam-ho aku pernah bertemu dengan Beng Goan-cau, kini dia sedang dalam
perjalanan ke selatan, budak busuk itu terang mencari jejaknya, mungkin sekarang seperjalanan.
Bukankah Beng Goan-cau pun salah seorang buronan kerajaan?"
Ciok Tio-ki paham, katanya: "Baik, soal ini serahkan kepadaku. Biar kusuruh orang mencari
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jejak mereka, sekaligus meringkus budak busuk itu, maka kau pun tidak perlu memeras otak
untuk kedudukannya segala."
"Seumpama tidak berhasil meringkusnya, cukup asal orang-orangmu bentrok dengan mereka,
aku sudah punya cukup alasan. Malah mungkin tidak perlu aku sendiri yang turun tangan."
"Betul. Hu-siang-pay mendirikan pangkalan mengembangkan ajaran silat perguruan kita, bukan
mencampuri politik kerajaan. Budak itu hubungan begitu intim dengan buronan, bukankah
merugikan nama baik dan kepentingan Hu-siang-pay kita" Kalau urusan sudah terlanjur, cukup
salah seorang murid dari perguruan kita, pasti dapat menumbangkan kedudukannya."
"Ya, pasti akan ada orang yang menumbangkan kedudukannya itu. Tapi pasti juga ada orang
yang menentangnya," demikian Ciok Tio-ki memperingatkan.
"Kalau begitu terpaksa aku harus suruh mereka mendirikan perguruan lain," ujar Boh Cong-tiu.
"Baik, orang-orang yang kau usir dari Hu-siang-pay itu aku bisa bantu kau untuk
memberantasnya satu persatu," kata Ciok Tio-ki bergelak tertawa.
Semakin giris bulu kuduk Lim Bu-siang, batinnya: "Untunglah secara kebetulan aku memergoki
pertemuan mereka di sini, sehingga aku mendengar tipu daya mereka yang keji dan telengas itu."
Mereka bertiga berbareng berka-kakan, kata Boh Cong-tiu sesaat kemudian: "Cong-susiok,
Ciok-tayjin, terima kasih akan janji bantuan kalian. Biar sekarang kuucapkan terima kasihku lebih
dulu." "Bantuan yang kau berikan kepada kami pun tidak kecil artinya, oh, ya, aku punya sebuah
kabar baik yang belum sempat kuberitahu kepada Lo-siansing."
"Kabar baik apa?" tanya Cong Sin-liong.
"Bukankah semalam kau mengundang Han Bing untuk bertemu?" Boh Cong-tiu bertanya.
"Benar, dari mana kau bisa tahu" Tapi sampai sekarang dia belum muncul juga."
"Han Bing hendak membocorkan rahasiamu kepada Lau Khong, semalam sudah berhasil
kulukai." Lalu Boh Cong-tiu menceritakan kejadian di Ji-cap-si-kio semalam kepada Cong Sin-liong.
Kata Cong Sin-liong: "Kemarin waktu meninggalkan rumah makan itu, Han Bing tidak mau
berangkat bersama kami, aku sudah timbul curiga, ternyata dia mengingkari janjinya terhadapku.
Hm, kalau begitu seharusnya kau bunuh dia untuk menutup mulutnya."
"Dia memang sudah mati! Meski tidak mati seketika setelah kena sambitan panah dahan
pohonku, sebelum ajal kukira dia tidak akan kuasa buka mulut lagi."
"Kau sudah tahu betul dia sudah mati?" Cong Sin-liong menegas.
"Lau Khong mengantar peti jenazah ke rumah langganan garam ayali mertua Han Bing di kota
Yangciu ini, orang-orang kita sudah memeriksa sendiri peti jenazah itu, pasti tidak akan salah."
"Bagaimana dengan Lau Khong?"
"Satu jam yang lalu dia sudah meninggalkan Yangciu sambil membawa peti jenazah itu kembali
ke Tiang-loh." "Bagus, kalau begitu lawan-lawan kita hari ini rada enteng. Tapi urusan menjadi kurang leluasa
tanpa adanya Han Bing, tiada orang perantara untuk memberi selamat kepada Ong Thian-thong."
"Kau tidak perlu kuatir, aku sudah mencarikan perantara lain, malah jauh lebih cocok dibanding
Han Bing," ujar Ciok Tio-ki sambil tertawa penuh arti.
"Siapa orang yang kau maksud?"
"Setelah berada di rumah keluarga Ong, kau akan tahu sendiri."
"Tapi masih ada urusan yang belum bisa kita selesaikan," ujar Boh Cong-tiu memperingatkan,
"Lau Khong itu pun perlu dibunuh untuk menutup mulutnya."
"Baik, akan kusuruh Ngo Hong, Gui Khing, Kim Toa-king dan Sebun Hou berempat mengejar
dan membunuhnya." "Kepandaian Lau Khong cukup tinggi, apakah Ngo Hong berempat mampu membunuhnya?"
Boh Cong-tiu menyangsikan.
"Aku sendiri pernah menjajal kepandaian Lau Khong, dalam seratus jurus Gui Khing pasti kuat
bertahan melawan dia, tiga orang yang lain masing-masing membe-kal kepandaian tunggal,
secara keroyokan pasti dapat mengalahkannya," Cong Sin-liong menjelaskan.
Kata Ciok Tio-ki: "Kalau begitu Gui Khing harus cepat-cepat diserahi tugas ini. Eh, kenapa dia
belum datang juga?" Baru saja kata-kata Ciok Tio-ki selesai, tampak Gui Khing tengah mendatangi sambil berlari-lari
kecil dengan muka gugup. Cong Sin-liong kaget, tanyanya dari kejauhan: "Gui Khing, kenapa kau?"
Berbareng Boh Cong-tiu pun bertanya: "Siapa yang kau temukan di sana?"
"Dalam gedung pemujaan tiada orang. Hehe, tapi sudah kulihatnya, mereka berlari ke arah
sini!" "Di mana mereka?" bentak Cong Sin-liong.
"Besar benar nyalinya, siapa mereka?"
"Seorang laki-laki dan seorang perempuan!" Gui Khing menjawab pertanyaan Ciok Tio-ki lebih
dulu lalu memberi tanda lirikan kepada Cong Sin-liong dan Boh Cong-tiu.
Seketika Boh Cong-tiu paham, katanya: "Susiok tidak usah ribut, kawan baik kalau toh sudah
datang, cepat atau lambat toh akan bertemu juga. Kita pasti akan menerimanya pula dengan adat
kesopanan. Hehe kawan, silakan kalian keluar sendiri!"
Gui Khing berdiri di atas batu nisan menjaga jalan ke bawah gunung, matanya menjelajah
keempat penjuru, serunya lantang: "Betul, kawan, silakan keluar! Lari, jelas tidak akan mampu
lolos, memangnya kalian ingin kami Seret keluar?"
Lim Bu-siang ragu-ragu, pikirnya: "Setelah kita keluar baru dia masuk, cara bagaimana jejak
kami diketahui olehnya" Mendengar nada bicaranya, seolah-olah sudah mengetahui jejak
persembunyian kami?"
Sebaliknya sebagai kawakan kangouw, semula Beng Goan-cau memang terkejut, tapi cepat
sekali dia lantas berpikir: "Hm, mereka hanya gembar-gembor menggertak saja agaknya memang
sudah menemukan jejak orang lain yang mencurigakan, tapi toh belum mendapat kepastian
apakah benar kami bersembunyi di sini."
Dugaan Beng Goan-cau memang tidak meleset. Ternyata waktu beranjak masuk ke dalam
gedung pemujaan, sekali-kali tidak pernah terpikir oleh Beng dan Lim untuk menyembunyikan diri
dari bentrokan dengan musuh, maka mereka berjalan seperti biasanya, tidak mengembangkan
ilmu ringan tubuhnya. Undak-undakan batu yang berlumut dan basah oleh air hujan,
meninggalkan tapak kaki mereka.
Gui Khing pun seorang kelana kangouw yang berpengalaman, orangnya cukup cerdik dan
cermat lagi, dengan jelas ia dapat membedakan besar kecil tapak kaki orang, terang itulah tapak
kaki seorang perempuan. Arah tapak kaki menjurus ke dalam dan berjalan ke luar secara diamdiam
ke pintu belakang. Tapi di belakang pintu tiada tapak kaki, maka' ia menduga kedua orang
ini pasti memiliki ginkang yang cukup tinggi. Pintu belakang menembus ke hutan Siong, maka
segera ia berani memastikan, bahwa kedua orang ini pasti sembunyi di sini mencuri dengar
pembicaraan mereka. Lim Bu-siang sedang bimbang, apakah keluar atau tetap sembunyi di tempatnya menunggu
perkembangan selanjutnya, didengarnya Boh Cong-tiu tiba-tiba tertawa dingin, jengeknya: "Lim
Bu-siang, kita adalah saudara misan, memangnya kau sudah takut bertemu dengan piaukomu"
Lekas keluar bersama Beng Goan-cau!"
Seruan Boh Cong-tiu ini hanya coba-coba saja, sebetulnya dia sendiri belum yakin bahwa kedua
orang itu pasti adalah Bu-siang dan Goan-cau. Soalnya Gui Khing mengatakan laki dan
perempuan, sehingga menimbulkan rasa curiganya saja.
Beng Goan-cau amat kuatir: "Bu-siang, jangan begitu gampang kau kena ditipu oleh mereka!"
Sayang kata-katanya ini tidak bisa dia sampaikan kepada Lim Bu-siang.
Belum hilang kekuatirannya, terdengar suara Lim Bu-siang sudah berteriak: "Memang, inilah
aku! Aku hanya seorang diri!"
Begitu melompat turun dari pucuk pohon, Lim Bu-siang lantas berlari bagai terbang. Arah
larinya berlawanan dengan tempat persembunyian Beng Goan-cau. Ternyata dia ingin mengandal
kemahiran ginkangnya hendak memancing musuh-musuh tangguh ini.
Sayang pengalaman kangouw-nya terlalu cetek, kata-kata "Aku hanya sendirian!" secara tidak
langsung sudah memberi tahu kepada musuh bahwa ada orang lain pula yang sembunyi di situ,
kelihatanlah belangnya. Kejadian berlangsung amat cepat, bagai anak panah yang melesat dari busurnya Coh Thianhiong
yang berada di dalam hutan segera mengejar dengan kencang. Demikian juga bagai
bayangan mengikuti bentuknya, Boh Cong-tiu ikut mengejar dengan kencang.
Cong Sin-liong juga akan mengejar, cepat Ciok Tio-ki berseru: "Jangan kena tipu budak busuk
itu, pasti masih ada orang lain!"
Sembari lari Boh Cong-tiu berseru: "Betul, lekas kalian mengge-bah Beng Goan-cau keluar.
Budak ini sudah di sini, memangnya Beng Goan-cau mau ketinggalan?"
Belum kata-katanya selesai diucapkan, Beng Goan-cau betul-betul sudah unjukkan diri. "Nih
Beng Goan-cau berada di sini, memangnya mata kalian sudah buta?" N
Tatkala itu jarak Gui Khing paling dekat dengan Beng Goan-cau, dengan membelakanginya,
sebetulnya Beng Goan-cau bisa menyerangnya secara mendadak dan merobohkannya. Tapi
sebagai seorang ksatria, Beng Goan-cau tidak mau kehilangan muka dengan cara membokong,
maka ia bersuara lebih dulu lalu menubruk ke arahnya.
Dengan bersuara itu, maka kesempatan yang baik sudah dia abaikan demikian saja. Ilmu silat
Gui Khing tidak lemah, begitu mendengar sambaran golok di belakang kepalanya, bandulan
rantainya segera terayun ke belakang menangkis. Benturan kedua senjata memercikkan kembang
api. Gui Khing tersuruk maju sempoyongan beberapa langkah, meski gentayangan tapi dia tidak
sampai roboh. "Aku ini orang buronan, kalian boleh menangkap aku saja!" bentak Beng Goan-cau sambil
menyerang pula. Ciok Tio-ki bergelak tertawa: "Bagus, hari ini biar kita tentukan siapa betina siapa jantan!"
Tatkala itu Coh Thian-hiong sudah tidak kelihatan, sementara Boh Cong-tiu masih ketinggalan
beberapa langkah, kebetulan ia berpaling memandang ke arah Beng Goan-cau. Beng Goan-cau
segera membentak: "Boh Cong-tiu, kau manusia rendah hina dina ini! Kalau berani ayo kembali
duel dengan aku, aku tidak takut kalian keroyok bersama!"
Cong Sin-liong berteriak: "Bocah she Beng ini jelas tidak akan bisa lolos, kalian boleh legakan
hati mengejar budak cilik itu!"
Boh Cong-tiu jadi sadar, pikirnya: "Walau Beng Goan-cau seorang buronan, tapi hubungan
budak ini jauh penting bagi diriku." Segera ia terbahak-bahak, serunya: "Memangnya Boh Cong-tiu
suka main keroyok, masih banyak kesempatan untuk berduel dengan aku. Silakan kau minta
petunjuk kepandaian Ciok Tayjin dulu." Mulut bicara, kaki tidak berhenti berlari, sekejap saja ia
sudah berlari jauh dan tidak kelihatan lagi.
Ciok Tio-ki tarikan sepasang Boan-koan-pitnya naik turun, beberapa jurus sudah ia melabrak
Beng Goan-cau. Cong Sin-liong dengan kalem menghampiri gelanggang, katanya sinis: "Aku
mendapat perintah untuk membekuk buronan, tidak perlu harus mematuhi aturan kangouw
segala!" Pedang segera dilolos, dengan jurus San-hoan-tau-gwat (tiga gelang tergantung di atas
rembulan), ia menusuk hiat-to besar di belakang punggung Beng Goan-cau. Tajam pedangnya
mengiris turun sambil dipelintir, sementara gagang pedangnya ia tusukkan ke Ih-gi-hiat di
pinggang orang. Golok cepat Beng Goan-cau bagai sambaran kilat, tanpa berpaling, "Sret, sret sret" tiga
bacokan berantai ia menyerang balik ke belakang, sekaligus memunahkan sejurus tiga tipu
serangan pedang Cong Sin-liong. Waktu golok menyambar pula ke depan masih sempat mengetuk
minggir sepasang boan-koan-pit Ciok Tio-ki.
Melihat ada kesempatan, sebat sekali Cong Sin-liong menukikkan ujung pedangnya ke bawah
dengan jurus Bing-tho-jian-Ii, yang ditusuk adalah tumit kaki Beng Goan-cau. Ternyata Beng
Goan-cau biarkan saja serangan orang, mendadak ia menghardik bagai geledek mengguntur,
goloknya terayun membacok turun. Cong Sin-liong sedang menekuk pinggang menyerang kakinya,
sehingga orang dapat balas menyerang dari atas ke bawah dengan leluasa, kalau bacokan ini
mengenai sasarannya, bukan mustahil batok kepalanya terbelah menjadi dua" Sebetulnya tusukan
Cong Sin-liong bisa mengenai sasarannya lebih dulu, tapi berani ia menempuh resiko besar ini"
Terpaksa ia cepat-cepat merubah permainannya, ujung pedangnya terjungkit naik, dengan jurus
Ya-poan-hong-yam, ia sanggah golok pusaka Beng Goan-cau.
Tidak menanti serangannya selesai dilancarkan, tajam goloknya mendadak menggelincir miring
terus berputar balik, sementara totokan sepasang boan-koan-pit Ciok Tio-ki sudah hampir
mengenai sasaran, lekas Beng Goan-cau gunakan jurus Heng-hun-toan-hong, ia mendesak maju
malah, menusuk lambung lawan. Serangan ini mengincar sasaran telak yang membuat lawan
harus menyelamatkan jiwa sendiri sebelum berhasil melukai musuh, memang Ciok Tio-ki dipaksa
untuk menarik mundur kedua senjatanya untuk menyelamatkan diri lebih dulu.
Cong Sin-liong berseru: "Bocah keparat ini hendak adu jiwa, mari kita kuras habis tenaganya."
"Setuju, memangnya dia mampu lolos terbang dari telapak tangan kita!"
Dinilai dari tingkat kepandaian kedua pihak, bila sama-sama mencurahkan kepandaian, jelas
Beng Goan-cau setingkat lebih unggul dari Ciok Tio-ki, paling-paling hanya setanding lawan Cong
Sin-liong. Untung mereka tidak berani adu jiwa, maka dalam waktu singkat terang tidak mudah
mengambil kemenangan. Tapi Beng Goan-cau sendiri pun tidak akan mudah untuk menjebol
keroyokan mereka berdua. Cong Sin-liong menggunakan ilmu pedang yang dilandasi kekuatan
lemah untuk menundukkan kekerasan, rangsak-an golok cepat Beng Goan-cau yang hebat dan
kuat itu semua berhasil dipunahkan dengan baik. Lambat laun ia merasa tenaga terkuras habis.
Semula Gui Khing pernah menjadi begal besar, selama hidupnya entah berapa kali pernah
mengalami pertempuran sengit mengadu jiwa, tapi kapan pernah melihat pertempuran adu jiwa
yang sengit dan seru seperti ini, jantungnya terasa hampir melonjak keluar dari rongga dadanya,
bandulan rantainya hanya ditenteng saja berdiri di luar kalangan tanpa berani maju membantu.
"Gui Khing, tenagamu tidak diperlukan di sini," seru Cong Sin-liong. "Lekas pulang, ajaklah Ngo
Hong dan lain mengejar dan bunuh Lau Khong. Dia mengawal peti jenazah, jalannya tentu tidak
cepat. Kalian pasti dapat mengejarnya." Perintah ini amat kebetulan malah bagi Gui Khing, tanpa
diperintah kedua kalinya, segera ia berlari pergi sambil mengiakan.
Ciok Tio-ki tertawa dingin, ejeknya: "Kakap gede itu belum lagi terjaring, kini berhasil
meringkus seorang buronan lebih dulu, pahalanya tidak kecil juga. Lau Khong pun seorang Hiangcu
dari Thiante-hwe, semoga Gui Khing beramai berhasil meringkusnya hidup-hidup, manfaatnya
tentu lebih besar." "Satu lawan empat, kukira Lau Khong pun tidak akan dapat melarikan diri. He, he, seorang
buronan ditambah seorang Hiang-cu dari Thian-te-hwe, kukira nilainya tentu lebih berharga dari
'kakap gede' yang kita incar itu."
Mendengar percakapan mereka, seolah-olah sudah anggap dirinya ikan dalam jaringan, Beng
Goan-cau menjadi murka, dampratnya: "Orang she Beng hanya punya satu jiwa, kalau ingin yang
mati ada, dan akan kuberikan, kalau ingin yang hidup, jangan harapkan." Dengan sejurus Ya-canpathong, sinar goloknya memantul ke empat penjuru. Batinnya: "Aku dapat ajal di pekuburan Su
Khek-hwat, mati pun tidak perlu menyesal. Semoga Bu-siang berhasil meloloskan diri."
Lim Bu-siang berlari bagai terbang, melihat yang mengejar di belakangnya cuma Coh Thianhiong
dan Boh Cong-tiu saja, ia rada kecewa. Tapi dia tidak tahu bahwa Beng Goan-cau sudah
terkepung, maka ia berpikir kepandaian kedua orang ini paling tinggi, dapat memancing mereka
pergi, berarti memberi kesempatan Beng Goan-cau melarikan diri. Maka tanpa menoleh lagi ia
berlari semakin kencang, ia berharap dapat memancing mereka semakin jauh.
Dari kejauhan Boh Cong-tiu berseru: "Bu-siang aku tidak akan bikin susah padamu, kami piauhengmoay lebih baik bicara damai saja."
Jengkel dan dongkol pula hati Lim Bu-siang, diam-diam hatinya bersedih, katanya: "Siapa
bilang aku punya piauko, piaukoku sudah mati."
Boh Cong-tiu menyengir tawa, katanya: "Kau tidak punya piauko, memangnya siapa aku ini!"
Kata Lim Bu-siang kertak gigi: "Kau adalah sampah perguruan kita, di antara kita sudah tiada
ikatan dan tidak perlu bicara soal kekeluargaan segala."
Ginkang Coh Thian-hiong tidak lebih rendah dari Lim Bu-siang. Karena hati tidak tenteram,
membuka suara lagi sehingga gerak langkahnya sedikit lambat. Coh Thian-hiong kembangkan Patpohkan-sian, tanpa ganti napas ia tancap gas mengejar tiba di belakang Lim Bu-siang.
Merasakan sambaran angin dari belakang, kontan Lim Bu-siang lancarkan sejurus serangan
pedang membalik ke belakang. Insyaf akan kelihayan musuh, maka jurus serangan ini ia gunakan
ilmu pedang yang berhasil dia pelajari di dinding dalam gua di puncak Thay-san itu, ajaran tunggal
dari ciptaan cikal bakal perguruan sendiri, yaitu Cosu Jan-bau-khek.
Sayang Coh Thian-hiong terlalu pandang ringan, dianggapnya nona cilik yang masih muda
belia, betapa tinggi sih kepandaiannya, begitu mengejar tiba di belakang orang, tanpa kuatir
sedikit pun dengan gegabah lantas ia ulur tangan mencengkeram ke tulang pundaknya. Tak
nyana, tiba-tiba terasa sinar pedang kemilau menyilaukan mata, tahu-tahu sambaran pedang Lim
Bu-siang yang menyerang membalik itu sudah menusuk datang dari arah yang tidak terduga
sebelumnya. Terdengar "Cras", di mana sinar golok menyambar, gelungan rambut ubanan Coh Thian-hiong
terpa-pas rontok beterbangan sebatas ujung akarnya. Tapi baju Lim Bu-siang kena tercakar sobek
sebagian juga oleh cengkeraman jarinya. Kedua pihak sama kaget, begitu merasa kepala silir dan
dingin, rasa terkejut Coh Thian-hiong lebih besar. Gebrakan kali ini, kedua pihak boleh dikata
menyerempet marabahaya. Di saat pedang Lim Bu-siang berhasil memapas rontok rambut Coh
Thian-hiong, kebetulan pula jari-jari Coh Thian-hiong berhasil mencakar sobek baju Lim Bu-siang,
waktunya hanya terpaut seperseratus detik. Kalau Coh Thian-hiong tidak terkejut lebih dulu,
pastilah cengkeramannya itu berhasil meremukkan tulang pundaknya, demikian pula bila Lim Busiang
tidak dibuat kaget, pedangnya pasti sudah berhasil mengurungi batok kepalanya.
Kejadian berlangsung teramat cepat, tahu-tahu Lim Bu-siang sudah melancarkan tusukan
pedang pula. Bagai terbang Boh Cong-tiu sudah menyusul tiba, serunya: "Menuju ke Kan-bun,
putar ke Sian-wi, serang bagian bawahnya!"
Coh Thian-hiong berbuat menurut petunjuknya ini, betul juga dengan mudah ia memunahkan
serangan pedang Bu-siang.
Bu-siang terkejut, pikirnya: "Bagaimana mungkin dia pun tahu akan ilmu tunggal ciptaan Cosu
yang sudah putus turunan itu ?"
Ternyata Boh Cong-tiu memang berotak encer, sejak pertandingan pedang dan dikalahkan oleh
Lim Bu-siang di puncak Thay-san dulu, setiap waktu senggang ia membayangkan kembali gerakan
jurus-jurus permainan ilmu pedang yang dilancarkan Lim Bu-siang, lalu mendalami serta dianalisa
satu persatu, akhirnya berhasil juga ia temukan beberapa jurus ilmu pedang pemunahnya. Tapi
yang dapat diselaminya paling-paling adalah beberapa jurus ilmu pedang yang pernah dimainkan
oleh Lim Bu-siang saja. Masih banyak jurus-jurus lain yang lebih hebat dan menakjubkan yang
belum pernah dia lihat, maka tidak mungkin ia bisa mempelajarinya menyeluruh.
Berkata Boh Cong-tiu tertawa: "Kau tidak mengakui aku sebagai piaukomu, buat aku tidak
menjadi soal. Kita sama-sama adalah murid dari Hu-siang-pay, ilmu pedang 'tunggal ciptaan Cosuya,
marilah kita pelajari dan praktekkan bersama, masing-masing pihak tentu memperoleh
manfaatnya." Mulut bicara langkah kakinya dipercepat, sekejap saja pasti ia sudah menyusul
datang. Lim Bu-siang tahu sekali musuh berkesempatan bergabung, dirinya pasti tidak akan mampu
melarikan diri pula. Segera ia lancarkan jurus serangan pedang kilat, ketiga jurus serangan ini,
belum pernah dilihat semua oleh Boh Cong-tiu. Sesuai dengan nama julukan Thong-thian-hou,
watak Coh Thian-hiong ini memang licin, demikian pula gerak geriknya tangkas dan lincah,
kepandaian sejatinya memang di atas Lim Bu-siang, mengandal bekal ilmu silatnya, ia hadapi tiga
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serangan berantai yang hebat ini. Walau kena terdesak oleh Lim Bu-siang, namun Lim Bu-siang
pun tidak berhasil melukai lawan. Kejap lain Lim Bu-siang sudah berkesempatan lari pula.
Coh Thian-hiong tidak tahu bahwa Boh Cong-tiu hanya mengenal kulitnya saja akan ilmu
pedang Lim Bu-siang, dia anggap Boh Cong-tiu sengaja hendak membuat dirinya serba runyam,
maka tiga serangan terakhir ini dia tidak memberi petunjuk untuk mengatasinya. Sebagai tokoh
silat yang tenar, berkedudukan tinggi pula, kini rambutnya yang sudah ubanan kena digunduli oleh
seorang lawan nona cilik yang begitu muda, keruan malu dan gusar pula dibuatnya, saking marah
dan penasaran, ia berpikir: "Ilmu pedang budak ini memang rada aneh, asal aku tidak pandang
ringan, pastilah tidak semudah itu dikalahkan. Hm, Boh Cong-tiu sengaja hendak membikin malu
diriku, aku pun tidak sudi minta bantuannya, setelah aku berhasil meringkusnya, kalau dia ingin
merebut kedudukan ciangbunnya, biar dia minta kepadaku!"
Ginkang Coh Thian-hiong dan Lim Bu-siang memang setanding, tapi jauh lebih tinggi dari Boh
Cong-tiu. Selanjutnya Coh Thian-hiong tidak berniat merintangi, begitu Lim Bu-siang lari, dia
hanya mengejar dengan kencang, sekejap saja Boh Cong-tiu kembali ketinggalan jauh di
belakang. Jarak Boh Cong-tiu semakin jauh, diam-diam hatinya jadi masgul dan uring-uringan, tahu
dirinya tidak akan bisa mengejar kedua orang itu, ia lalu berpikir: "Rase tua ini kuatir aku merebut
pahalanya, ataukah hendak memeras aku setelah berhasil membekuk budak itu"
Pahala aku tidak perlu minta bagian, hendak memeras aku pun jangan harap. Tapi kukejar
terus pun tiada gunanya. Entah Cong Sin-liong bertiga berhasil tidak membekuk Beng Goan-cau,
lebih baik aku putar balik saja melihat keadaan mereka. Kalau mereka masih bertempur, aku
masih sempat bantu mereka. Cong Sin-liong dan Ciok Tio-ki setujuan dan sehaluan dengan aku.
Bila berhasil meringkus Beng Goan-cau, aku bisa ajak mereka berunding cara bagaimana untuk
menghadapi rase tua ini."
Sedang ia uring-uringan dan belum lagi berkeputusan, tiba-tiba didengarnya ada orang
berteriak kepadanya: "Boh-heng, ternyata kau berada di sini!"
Begitu mendengar suara orang ini, kaget Boh Cong-tiu bukan kepalang, pikirnya: "Kalau dia
sampai ketemu budak busuk itu, urusan pasti celaka!" Ternyata pendatang yang memanggilnya ini
bukan lain adalah Kim Tiok-liu, tokoh kosen yang diakui sebagai jago silat kelas wahid di seluruh
ja-gad. Orang yang jalan berjajar adu pundak sama Kim Tiok-liu adalah laki-laki berbadan kekar
tinggi dan gagah. Berdebur jantung Boh Cong-tiu, namun lahirnya bersikap wajar, sapanya: "Kim-heng, bukankah
kau hendak ke rumah keluarga Ong . untuk menyampaikan selamat ulang tahun" Kawan ini
adalah..." Kim Tiok-liu tertawa, katanya: "Biar kuberi tahu, kawan ini adalah Leng-toako yang datang dari
Siau-kim-jwan, jangan kau beritahukan kepada orang luar lho!"
Kejut Boh Cong-tiu lebih besar pula, ternyata 'kakap' gede yang harus mereka ringkus sesuai
dengan perintah Pakkiong Bong dan Sat Hok-ting itu, sebelumnya memang sudah diketahui
sebagai buronan yang datang dari Siau-kim-jwan, tapi ia tidak tahu bahwa buronan atau kakap
gede yang di ncar itu adalah Leng-toako ini.
Di dalam laskar gerilya di Siau-kim-jwan ada dua pemimpin tinggi yang amat penting
berkedudukan sejajar, kedua orang ini adalah Siau Ci-wan dan Leng Thiat-jiau. Orang yang bisa
bersama Kim Tiok-liu dan dihormati sebagai Leng-toako, sudah tentu orang itu adalah Leng Thiatjiau.
Berkatalah Kim Tiok-liu: "Leng-toako tidak ingin muncul terlalu pagi di rumah keluarga Ong,
maka dia minta aku mengiringi dia main-main dulu di tanah perkuburan Su Khek-hwat yang
termasyhur itu." Melihat orang tidak menyinggung Lim Bu-siang, berpikir Boh Cong-tiu: "Kalau dia sudah
bertemu dengan Lim Bu-siang, pastilah sikapnya sekarang tidak akan seriang seperti ini." Tiba-tiba
tergerak hatinya, katanya: "Aku memang datang dari Su-kong-se sana, sebetulnya aku harus ikut
bersama kalian, sayang aku kebentur urusan penting yang perlu segera kuse-lesaikan."
"Ya, aku memang ingin tanya, waktu kami datang tadi, dari kejauhan terdengar beradunya
senjata, apakah ada orang sedang berkelahi di sana?" tanya Kim Tiok-liu.
Memang Boh Cong-tiu sedang menunggu pertanyaan ini, segera ia menjawab: "Benar, aku dan
sumoay Bu-siang tadi kepergok dengan beberapa kawanan anjing alap-alap, beruntung dia
berhasil lolos tapi ada beberapa orang yang mengejarnya."
"Wah, kenapa tidak kau katakan sejak tadi?" seru Kim Tiok-liu prihatin. "Siapa saja kawanan
anjing alap-alap itu" Kenapa hendak menangkap dia?"
"Aku hanya kenal satu di antaranya yang bernama Ciok Tio-ki, seorang lagi adalah Cong Sinliong.
Mereka menuduh Bu-siang ada sekongkol dengan Beng Goan-cau yang menjadi buronan
itu." Sebetulnya Kim Tiok-liu masih ada beberapa pertanyaan yang disangsikan, tapi sudah tidak
sempat bertanya lebih lanjut, katanya: "Ilmu silat kedua orang ini tidak lemah, sekali-kali kami
tidak bisa membiarkan Bu-siang terjatuh ke tangan mereka, ke arah mana mereka lari?"
Sahut Boh Cong-tiu sambil menuding: "Ke arah sana!" Arah yang ditunjuk justru berlawanan
dengan arah lari Lim Bu-siang.
"Baik, mari sekarang kau bersamaku menyusulnya! Leng-toako, sementara kau tidak usah
unjuk diri, pergilah kau ke Su-kong-se menunggu teman itu, sebentar aku menyusul ke sana."
Dugaan Boh Cong-tiu memang tidak meleset, Leng-toako yang datang dari Siau-kim-jwan ini memang
bukan lain adalah pimpinan laskar gerilya Leng Thiat-jiau adanya. Ia tahu sampai di mana kepandaian
Kim Tiok-liu, meskipun kepandaian Cong Sin-liong dan Ciok Tio-ki tidak lemah, rasanya Kim Tiok-liu
masih cukup berkelebihan menghadapi mereka, apalagi masih ada Boh Congtiu yang bisa memberikan
bantuan juga, maka tidak perlu ia ikut mencampuri, katanya sambil manggut-manggut: "Silakan kalian
lekas menyusul ke sana!" Tanpa ambil perhatian lagi, dengan lega ia langsung berlari ke arah Su-kongse. Kalau Leng Thiat-jiau tidak ambil perhatian, adalah Boh Cong-tiu menjadi gugup dan gelisah dibuatnya,
pikirnya: "Semoga Cong Sin-liong dan Ciok Tio-ki sudah berhasil membekuk Beng Goan-cau, kalau tidak
bila sampai kepergok oleh orang she Leng ini, pasti celakalah mereka.
Kepandaian Cong dan Ciok berdua sebetulnya tidak lebih asor dari Beng Goan-cau, dengan dua lawan
satu berselang sekian lamaanya, tentulah mereka sudah berhasil meringkusnya dan meninggalkan
tempat itu." Demikian pikir Boh Cong-tiu menghibur diri.
Sementara lahirnya tetap bersikap wajar sembari berlari ia berkata: "Ginkangku tidak berhasil
menyusul sumoay, kawanan anjing alap-alap itu menunggang kuda mengejar Bu-siang!"
Kim Tiok-liu rada gelisah katanya: "Baiklah, biar kususul lebih dulu, segera kau menyusul ke
sana." Melihat Kim Tiok-liu kena ditipunya, legalah hati Boh Cong-tiu, dalam hati ia tertawa geli
pikirnya: "Bila kau sadar bahwa aku menipu kau, aku sudah tidak perlu takut bermusuhan dengan
kau." Tapi Boh Cong-tiu tidak berani langsung kembali ke Su-kong-se, pertama ia kuatir Kim Tiok-liu
berpaling melihat dirinya, kedua ia kuatir Cong dan Ciok sudah meninggalkan tempat itu, kalau dia
kembali ke Su-kong-se kepergok oleh Leng Thiat-jiau, bukankah terbongkar omongan bohongnya"
Ia sendiri belum yakin dirinya pasti dapat mengalahkan Leng Thiat-jiau satu lawan satu.
Kalut dan gundah pikiran Boh Cong-tiu, setelah memeras otak sekian lamanya, akhirnya terpikir
olehnya suatu akal, kalau toh tidak kembali ke Su-kong-se dan tidak mengejar jejak Kim Tiok-liu
lebih baik langsung masuk kota menuju ke rumah Ong Thian-thong .menyampaikan selamat ulang
tahun kepadanya. Perhitungan Boh Cong-tiu memang terlalu muluk, pikirnya: "Tiok-liu mengejar ke arah yang
berlawanan, jelas dia tidak akan bertemu dengan Bu-siang. Sedang Beng Goan-cau dan Lim Busiang
yang tahu ada perangkap di rumah Ong Thian-thong pasti hadir dalam perjamuan ulang
tahun itu. Seumpama Tiok-liu akhirnya kembali dan menyusul ke rumah keluarga Ong, aku bisa
mencari alasan, kukira omongan bohongku tidak selekas itu bisa diketahui olehnya. Bukan
mustahil karena tidak berhasil menemukan jejak. Bu-siang dia mencari ke mana-mana sampai
kehabisan waktu, hari ini mungkin tidak hadir dalam perjamuan. Tapi Leng Thiat-jiau melihat dia
belum pulang, tentu akan berangkat lebih dulu. Tatkala itu, biarlah Ciok Tio-ki dan Cong Sin-liong
berdua yang menghadapinya, hakikatya aku boleh tidak usah mengunjukkan diri."
Tapi analisanya ini masih merupakan spekulasi, yaitu di waktu Leng Thiat-jiau tiba di Su-kongse,
Cong dan Ciok berdua sudah berhasil membekuk Beng Goan-cau, sudah meninggalkan Sukongse atau Beng Goan-cau sudah melarikan diri, Cong dan Ciok pergi mengejar. Pendek kata
jangan sampai LengThiat-jiau dan Beng Goan-cau bertemu di Su-kong-se. Sudah tentu ini
merupakan satu pertaruhan, cuma di dalam jalan pikirannya, mengandal kepandaian Cong dan
Ciok berdua mengeroyok Beng Goan-cau, jelas pasti menang dengan gampang, malah tidak perlu
memakan waktu yang panjang. Kini setengah jam sudah berselang sejak ia meninggalkan Sukongse itu, kiranya perkelahian di sana tentu sudah berakhir. Sembilan puluh persen dalam
pertaruhan ini boleh dikata kemenangan berada di tangannya, karena analisanya ini, maka dengan
lega hati ia tinggal pergi.
Dengan mempertaruhkan jiwa, Beng Goan-cau lawan kedua musuhnya mati-matian, kira-kira
setengah jam sudah berselang, tenaganya makin lemah, kepandaian ilmu goloknya sebetulnya
mengutamakan kecepatan, sekarang meski gerakan goloknya masih belum kalut, tapi
serangannya sudah jauh lebih lamban, seolah-olah tenaga sudah tidak memadai tekad juangnya
yang berkobar-kobar. "Beng Goan-cau," olok Cong Sin-liong. "Hendak mengadu jiwa pun kau tidak akan mampu lagi,
mengingat kita sama-sama sealiran dari kaum persilatan, lemparlah golokmu dan ikut kami pergi
saja. Aku berjanji memohonkan sedekah bagi jiwa dan ragamu di hadapan Pakkiong Tayjin."
Beng Goan-cau murka, hardiknya: "Cong Sin-liong, kau ini sampah persilatan, siapa sealiran
dengan kau. Meski Beng Goan-cau mati di tanganmu, jangan harap aku mau tunduk kepala
terhadap kau." "Baiklah, mampuslah kalau begitu!" jengek Cong Sin-liong, pedangnya melingkar, seketika
bayangan Beng Goan-cau terkekang di dalam kilatan sinar pedangnya. Jurus ini dinamakan Samcoanhoat-lun, salah satu tipu serangan yang paling dia banggakan. Setelah menjajal tenaga Beng
Goan-cau sudah cukup lemah dan hampir tidak kuat bertahan lagi, baru dia berani merangsak
maju melancarkan serangan mematikan. Di saat sinar goloknya berputar membelenggu, sepasang
potlot Ciok Tio-ki berbareng menusuk tiba dari samping kiri Beng Goan-cau, sekaligus ia terserang
dari depan dan belakang. Di saat-saat yang kritis bagi jiwa Beng Goan-cau itulah, sekonyong-konyong terdengar sebuah
hardikan keras bagai guntur menyambar. "Bangsat penghianat jangan mengganas!" Datang
suaranya datang pula orangnya bagai angin puyuh menerjang tibalah seorang laki-laki bertubuh
tinggi kekar, ternyata Leng Thiat-jiau tiba tepat pada waktunya.
Cong dan Ciok berdua sebelumnya, tidak menduga bahwa buronan 'kakap' gede yang dimaksud
adalah dia, melihat orang mendadak muncul, tak terasa mencelos hati mereka.
Seketika terbangkit semangat Beng Goan-cau, dengan sejurus Heng-sau-liok-hap, sinar
goloknya terkembang, kedua potlot Ciok Tio-ki tertangkis di luar gulungan sinar goloknya, baru
saja ia hendak mengubah permainannya, mencari lubang kelemahan yang lain, tiba-tiba terasa
sambaran senjata tajam yang menderu ke arahnya, kiranya sebilah golok besar yang berpunggung
tebal dinamakan Bian-to Leng Thiat-jiau sudah membacok ke arah dirinya.
Tiada tempo melukai musuh, terpaksa Ciok Tio-ki harus menyelamatkan jiwa sendiri. Sebat
sekali kedua potlotnya sudah terpentang kedua sasaran, yang kiri menotok Ki-bun-hiat, sementara
yang kanan menotok Hoan-thiat-hiat, kedua hiat-to ini termasuk jalan darah mematikan dan jalan
darah pelemas tubuh, di saat dirinya diserang, ia masih sempat balas menyerang dengan ganas,
sasaran totokannya pun amat tepat sekali. Sayang di dalam kesibukannya itu ia salah pikir, di luar
tahunya bahwa lwe-kang Leng Thiat-jiau bahwasanya masih lebih tinggi dari Beng Goan-cau,
kalau kedua potlotnya ia rangkap menjadi satu kemungkinan masih kuat bertahan, begitu
senjatanya terbagi dua, meski gerakannya cukup baik, namun ia tidak kuasa bertahan lagi.
"Trang" lelatu api berpercik, potlot di tangan kanannya tergumpil besar, sementara tusukan potlot
kiri pun mengenai tempat kosong karena tergetar oleh gempuran tenaga lawan. Gerakan Leng
Thiat-jiau justru tidak berubah, goloknya masih membacok turun.
Sinar golok Cong Sin-liong sudah berhasil membendung gerak-gerik Beng Goan-cau, tapi
sekarang terpaksa ia harus menolong kesulitan temannya, ilmu pedangnya mengutamakan tenaga
lunak dan keras. Lwekangnya kira-kira setan-ding dengan Leng Thiat-jiau, dengan sejurus Pek-hocanci, tajam goloknya mengiris miring ke bawah, ia tuntun Bian-to Leng Thiat-jiau menyelonong
ke samping. Beruntung Ciok Tio-ki terhindar dari kematian, tak urung keringat dingin sudah
membasahi seluruh badan. Leng Thiat-jiau tertawa dingin, jengeknya: "Jadi kau inilah Ciok Tio-ki yang menjadi wakil
Ciongling Tayjin, dan kau tentunya adalah Cong Sin-liong yang satu sarang dengan Boh Cong-tiu
seperti tikus dan ular itu?" Memang asalnya Ciok Tio-ki bekas seorang begal tunggal, sudah lama
Leng Thiat-jiau mengenalnya, terhadap Cong Sin-liong baru sekarang ia bertemu.
Cong Sin-liong menggunakan nama Sin-liong (naga sakti), paling pantang bagi dia di baratkan
sebagai ular, keruan ia menjadi gusar: "Bagus ya, Leng Thiat-jiau, memangnya aku sedang
mencari kau." Tapi dia hanya berani marah dan kaget pula. Kata-kata Leng Thiat-jiau tadi secara
tidak langsung memberi tahu kepadanya, bahwa ia sudah tahu akan tipu muslihatnya yang
sekongkol dengan Boh Cong-tiu.
Maka terdengar Beng Goan-cau bertanya: "Leng-toako, jadi kau sudah tahu semua?"
"Ya, karena aku tahu Boh Cong-tiu hendak mencelakai kau dengan berkomplot dengan kedua
bangsat kurcaci ini, maka kususul kau ke sini!"-Sebetulnya setelah Leng Thiat-jiau melihat Cong
dan Ciok, baru dia insyaf akan omong kosong Boh Cong-tiu yang menipu dirinya. Tapi sengaja ia
berkata demikian untuk menggertak kedua musuh ini.
Kaget dan girang pula Beng Goan-cau dibuatnya, sambil ayun golok menangkis kedua potlot
Ciok Tio-ki, sembari bertanya: "Ke mana Boh Cong-tiu bocah keparat itu?"
"Kau kan tahu aku datang bersama Kim Tayhiap, sekarang Kim Tay-hiap sudah mengejar
kunyuk itu." Kata-katanya ini seketika membuat kaget dan ciut nyali Cong Sin-liong dan Ciok Tio-ki.
Lwekang Leng Thiat-jiau memang amat kuat, cuma permainan goloknya tidak selincah dan
secepat Beng Goan-cau, sebetulnya Cong Sin-liong tidak lebih asor melawan dia, tapi ia toh tahu
bahwa dirinya tidak yakin dapat mengalahkan musuh, setelah mendengar Kim Tiok-liu mengejar
dan menangkap Boh Cong-tiu, kuatir orang berhasil meringkus Boh Cong-tiu dan kembali ke sini
lagi, mana dia berani bertempur lebih lanjut"
Dengan ilmu pedang yang mengutamakan tenaga lunak Cong Sin-liong punahkan semua rangsakan
golok Leng Thiat-jiau, begitu putar tubuh terus ngacir sipat kuping, lekas Ciok Tioki'menggertak
dengan serangan pura-pura, cepat sekali ia sudah berlari tunggang langgang di
belakang orang. Leng Thiat-jiau terbahak-bahak, serunya: "Tidak usah dikejar, biarkan saja lari!"-Bahwasanya
Beng Goan-cau pun sudah kehabisan tenaga setelah melawan kedua musuhnya mati-matian,
kalau kedua musuh itu tidak kena gertak dan lari ketakutan, pihak mana bakal menang masih
belum bisa diramalkan. Sejak berpisah tiga tahun yang lalu, kini bersua di tempat ini, kedua orang sama punya banyak
omongan yang perlu disampaikan, sesaat mereka kemekmek tidak tahu dari mana mereka harus
mulai pembicaraan ini. "Beng-lote," ujar Leng Thiat-jiau. "Apakah kau datang bersama dengan Lim
Lihiap ciang-bunjin baru dari Hu-siang-pay?"
Memang Beng Goan-cau ingin lekas-lekas tahu keadaan Lim Bu-siang, cepat ia bertanya:
"Benar, apakah kalian ada bertemu dengan dia?"
"Boh Cong-tiu anak keparat itulah yang memberi kisikan kepada kami, hm, dia menggunakan
akal bulus menipu kami berdua!"
Beng Goan-cau kaget, katanya: "Boh Cong-tiu dengan Coh Thian-hiong mengudak Lim Busiang,
kukira kebetulan kebentur dengan kalian, maka Kim Tayhiap mengejar Boh Cong-tiu.
Apakah yang telah terjadi?"
"Kim Tayhiap pergi mengejar jejak musuh, tapi bukan mengejar Boh Cong-tiu. Mendengar
katamu ini, kiranya Kim Tay-hiap kena ditipu olehnya." Lalu ia menceritakan pertemuannya di
dalam hutan dengan Boh Cong-tiu, barulah Beng
Goan-cau tahu, Leng Thiat-jiau ingin segera bicara dengan dirinya, maka sengaja ia
menggertak Cong dan Ciok itu melarikan diri.
Kata Beng Goan-cau dengan gegetun: "Licik dan licin benar bocah keparat itu, pastilah dia
semba-rangan menunjuk sesuatu arah, menipu Kim Tayhiap mengejar sia-sia." Tapi ia pun berlega
hati, karena mengandal kepandaian Lim Bu-siang sekarang, rasanya tidak gampang dikalahkan
hanya oleh Coh Thian-hiong seorang.
"Kedua keparat itu sudah pecah nyalinya, kukira tidak akan berani kemari lagi. Biarlah kita
tunggu kedatangan Kim Tayhiap di sini saja."
"Ya, Leng Toako, kenapa kau mendadak meninggalkan Siau-kim-jwan, apa keperluanmu datang
kemari?" "Apakah kau hendak menyampaikan selamat ulang tahun kepada Ong Thian-thong?" tanya
Leng Thiat-jiau. Beng Goan-cau mengiakan. "Demikian pula aku. Tapi aku sendiri belum kenal dengan Ong Thian-thong, terpaksa aku ajak
Kim Tayhiap untuk mengiringi aku."
Heran Beng Goan-cau, tanyanya: "Bukankah situasi di Siau-kim-jwan cukup tegang?"
"Ya, justru untuk menolong keadaan gawat dari kepungan musuh atas Siau-kim-jwanlah maka
aku meluruk kemari."
Beng Goan-cau tidak tahu seluk beluk kata-kata orang, katanya sambil membelalakkan mata:
"Meski pergaulan Ong Thian-thong amat luas, tapi untuk menolong situasi .gawat di Siau-kimjwan,
kukira masih belum cukup mampu?"
"Sudah tentu aku tidak hanya mengharap bantuannya, aku hanya ingin pinjam tempatnya saja,
untuk menemui seorang kawan. Apa kau pernah dengar Hay-soa-pang Pang-cu Lo Kim-ou yang
berkedudukan di Yangciu ini?"
"Aku tahu akan ketenarannya, tapi apa pula hubungan kegawatan di Siau-kim-jwan dengan
orang ini?" "Beng-lotte, sudah lama kau meninggalkan pangkalan, banyak urusan yang mungkin belum kau
ketahui, biarlah secara ringkas kupaparkan situasi terakhir ini."
"Kerajaan Ceng sekarang sedang menyiapkan pasukannya untuk menyerbu kita secara besarbesaran,
kita pun sedang berusaha untuk merintangi atau menggagalkan usaha mereka, supaya
mereka tidak begitu mudah untuk menggempur Siau-kim-jwan."
Sembari bicara dengan goloknya Leng Thiat-jiau membuat peta di atas tanah, katanya pula:
"Jalan dari sebelah barat daya ini ada bercokol laskar gerilya yang dipimpin oleh Tiok Siang-hu, di
sini ada tempat-tempat berbahaya pula sepanjang puluhan li dari gunung-gunung bersalju,
pasukan Ceng jelas tidak mudah untuk melewati daerah ini."
"Yang perlu dikuatirkan hanyalah pasukan musuh yang masuk dari Jwan-tang tapi untung pula
di Yang-gan dan Ban-sian dua tempat, terdapat kekuatan delapan sindikat yang sudah tergabung
menjadi satu, terbagi pada kedua tempat itu berusaha memutus pengiriman ransum pasukan
musuh." Yang-gan terletak di timur laut propinsi Ouwpak, dan di sebelah selatannya adalah Ih-jiang dan
Saput dua tempat penting untuk memasuki Jwan-tang. Sementara Ban-sian berada di perbatasan
antara Su-jwan dan Ouwpak, merupakan pintu terdepan untuk menjaga posisi Jwan-tang yang
amat penting."
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Senang hati Beng Goan-cau, katanya: "Bagus sekali, seumpama tidak berhasil menahan musuh
di luar daerah Siau-kim-jwan, cukup asal dapat merintangi pasukan induk musuh terlambat
beberapa hari lamanya, situasi pasti akan membawa perubahan besar yang bermanfaat bagi kita."
"Saudara-saudara dari dua Pang-hwe di sana bulan yang lalu pernah menang perang, berhasil
merampas banyak ransum dan perbekalan perang musuh. Sekarang pasukan Ceng sedang
berusaha mengumpulkan ransum pula, siap dikirimkan melalui Yang-ciu, untuk menolong bala
tentara di kedua tempat itu .yang sudah kelaparan sekian hari ini. Kalau ransum ini dikirim melalui
jalan air, para saudara dari Pang-hwe di tanah daratan menjadi sulit untuk membegalnya di
tengah jalan." "Ah, aku paham sekarang. Jadi kau hendak minta bantuan Hay-soa-pang Pangcu Lo Kim-ou
untuk merampas kiriman rangsum itu!"
"Betul, biasanya Hay-soa-pang melakukan dagang garam gelap di sepanjang sungai Tiangkang,
mereka memiliki banyak kapal-kapal yang dapat dipergunakan, setiap anak buahnya pandai
berenang lagi." "Tapi ini merupakan pergerakan yang memberontak terhadap pemerintah, berdagang garam
meski melanggar undang-undang, kalau tertangkap belum tentu dihukum mati. Apakah Lo Kim-ou
sudi menjual jiwa untuk membantu kita?"
"Dua puluh tahun yang lalu," demikian Leng Thiat-jiau menjelaskan, '"waktu Lo Kim-ou pertama
kali kelana di kangouw, pernah aku membantu kesulitannya, soal ini tiada orang luar yang tahu.
Waktu itu ia pernah bersumpah untuk membalas budi kebaikanku akan pertolongan jiwanya.
Sebagian besar para saudara Hay-soa-pang ada punya ikatan erat dengan para saudara Pang-hwe
di Jwan-tiong, maka asal Lo Kim-ou menganggukkan kepala, seluruh anak buah Hay-soa-pang bisa
berubah menjadi orang-orang kita sendiri."
"Tapi seperti juga yang laute katakan, soal ini menyangkut jiwa dan keluarga yang besar
resikonya, maka aku sendiri yang harus membujuk dan minta kepada Lo Kim-ou. Apa bisa
terlaksana, aku sendiri tidak punya keyakinan tapi toh harus kucoba-coba. Itulah sebabnya kenapa
aku harus meluruk kemari sekaligus menyampaikan selamat hari ulang tahun kepada Ong Thianthong."
' Jadi kita meminjam tempat tinggal Ong Thian-thong untuk merundingkan soal ini dengan Lo
Kim-ou, apakah Ong Thian-thong sendiri tidak takut kerembet perkara?"
"Ong Thian-thong punya usaha punya keluarga, sudah tentu kita yang berusaha supaya dia
tidak ikut kena perkara. Tapi toh perundingan di tempatnya itu harus mendapatkan ijinnya. maka
bersama Kim Tayhiap kami sudah mencari akal untuk mengatur jalan mundurnya."
"Benar, kita sendiri tidak kenal kepadanya, dengan adanya Kim Tayhiap sebagai perantara,
pastilah dia akan percaya kepada kita. Tapi jalan belakang apa yang sudah kau atur?"
"Kalau Lo Kim-ou setuju untuk' membantu, paling cepat dalam tujuh delapan hari baru
bisa.mulai turun tangan. Kim Tayhiap berjanji sebelumnya melindungi keluarga Ong Thian-thong
meninggalkan Yangciu lebih dulu, semua harta benda dan kerugian usahanya, kita ganti
semuanya." "Dengan demikian, maka jabatan congpiauthau dari cabang Yangciu ini sudah tentu tidak bisa
dipertahankan, tapi dia pun seorang bulim cianpwe yang menjunjung keadilan dan setia kawan,
demi pergerakan besar ini, sedikit banyak dia pasti menderita kerugian, kulihat dia pasti rela dan
menerima dengan setulus hati."
"Dalam persoalan ini perlukah kita mencari seseorang yang rasanya cocok untuk memberi
kisikan kepadanya lebih dulu" Kalau tidak, di saat upacara besar hari ulang tahunnya berlangsung,
tahu-tahu kita datang bersama Kim Tayhiap, di hadapan umum terang kita tidak leluasa bicara
kepadanya," demikian usul Beng Goan-cau.
"Beng-lote, pikiranmu amat cermat, di sini memang aku sedang menunggu seorang teman
untuk menjadi perantara itu."
"Siapa orang itu" Apa aku kenal?"
"Sebelum ini kau belum penah lihat dia, entah kau pernah mendengar namanya tidak, dia
bernama Han Bing." .
"Han Bing?" teriak Beng Goan-cau kaget. "Kenapa kau bisa mendapatkan orang itu?"
Leng Thiat-jiau melengak, tanyanya: "Memangnya dia harus diragukan?"
"Menurut apa yang kuketahui, bahwasanya dia bukan orang sehaluan dengan kita."
"Dia punya seorang teman baik bernama Lau Khong, seorang Hiangcu dari Thian-te-hwe. Dulu
dia pun berkecimpung dalam golongan kependekaran di kangouw, beberapa tahun terakhir baru
ganti obyek menjadi pedagang garam, hubungannya amat baik dengan beberapa pedagang garam
terbesar di kota Yangciu. Seorang kawan yang dapat dipercaya di Yangciu ini yang mengatur
pertemuanku ini di sini dengan dia."
"Leng-toako, untung kau hari ini baru datang, kalau kemarin kau bersama dengan dia, urusan
pasti menjadi panjang."
"Kenapa, dia tidak dapat dipercaya?"
"Untuk membocorkan rahasia kita sih kukira dia tidak berani, tapi bila kemarin mungkin dia
tidak akan berani menemui kau. Biar kuberitahu, kau ingin minta dia sebagai perantara, sebaliknya
Cong Sin-liong sudah bertindak satu hari lebih cepat dari kau, kemarin dia sudah menarik Han
Bing ke pihaknya supaya menjadi perantara untuk hadir dalam perjamuan hari ulang tahun Ong
Thian-thong!" "Ada kejadian itu?" Leng Thiat-jiu menegas. "Kukira sebagai teman baik Lau Khong, orang ini
dapat dipercaya, siapa tahu bahwa dia ternyata seorang yang berpijak pada dua perahu."
"Lau Khong pun berada di Yangciu, cuma mungkin dia belum tahu akan persoalan ini. Tapi
peristiwa ini terjadi kemarin. Hari ini Han Bing sudah menjadi orang pihak kita. Dan yang harus
disayangkan bahwa Han Bing sekarang sudah rebah di dalam peti mati, mungkin sudah
meninggalkan Yangciu."
Lebih kejut pula Leng Thiat-jiau, katanya: "Apa, Han Bing sudah mati" Dari mana saja kau bisa
mengetahui kejadian ini?"
Beng Goan-cau menceritakan rahasia apa yang dicuri dengarnya tadi, katanya lebih lanjut:
"Menurut omongan Cong Sin-liong dan Boh Cong-tiu, karena Han Bing mengkhianati mereka,
maka Boh Cong-tiu membunuhnya dengan sambitan senjata rahasia. Lau Khong mengirim peti
mati itu ke utara, hari ini terang tidak akan muncul di perjamuan Ong Thian-thong. Cong Sin-liong
mengutus Gui Khing dan lain-lain untuk mengejar dan membunuh Lau Khong."
Sesaat lamanya Leng Thiat-jiau terlongong, akhirnya menghela napas, ujarnya: "Kalau begitu,
terpaksa kita harus berani menyerempet bahaya."
Tatkala itu sang surya sudah bercokol tinggi di tengah cakrawala, hari sudah menjelang lohor.
Beng Goan-cau berkata: "Maksudmu tidak menunggu Kim Tayhiap lagi?"
"Entah kapan Kim Tayhiap baru akan kembali, sekarang sudah tengah hari. Han Bing belum lagi
memperkenalkan diriku, Lo Pangcu dari Hay-soa-pang belum tentu bermalam di rumah keluarga
Ong, kalau kita datang terlambat, bilamana dia sudah tinggal pergi, bukankah urusan bakal
terbengkalai?" "Aku berjanji pertemuan di sini dengan Han Bing, Kim Tayhiap tahu, namun dia belum tahu bila
Han Bing menemui kecelakaan, bila dia kembali ke sini tidak menemukan aku, tentu dia
menyangka Han Bing sudah membawa aku ke rumah keluarga Ong."
Beng Goan-cau manggut-mang-gut, ujarnya: "Betul, nona Lim dan Kim Tayhiap suami istri
adalah kenalan kental, Kim Tay-niap kalau tidak menemukan dia pasti akan mencarinya ke manamana"
Di saat ia insyaf dirinya kena tipu, mungkin waktunya sudah terlambat. Demi menjaga
segala kemungkinan, biarlah kita meluruk ke rumah keluarga Ong menyerempet bahaya. Tapi,
Leng-toako, orang yang kenal dirimu mungkin tidak sedikit jumlahnya, apa kau tidak perlu
menyamar saja?" "Aku sudah mempersiapkan segalanya, nah inilah obat rias yang kudapat dari pemberian Hoasanih-un Hoa Thian-hong, tidak perlu menyamar, dengan obat ini aku dapat merubah roman
mukaku, nih, kau pun menggunakan sebutir."
Kedua orang sama memoleskan obat rias itu ke muka masing-masing, keduanya saling
berpandangan, terlihat muka mereka memang sudah berubah dalam bentuk lain, tak terasa
mereka tertawa geli sendiri. Kata Beng Goan-cau: "Kecuali teman yang amat kenal baru bisa
mengenali kita, dengan bercampur di antara para tamu-tamu, kukira dengan gampang kita akan
bisa masuk." "Baik, mari berangkat. Tapi kau pun tidak usah menunggu nona Lim itu kembali, perlukah kau
meninggalkan pesan beberapa patah kata kepadanya di sini?"
"Begitu pun baik." Lalu dengan goloknya Beng Goan-cau mengukir 'selamat' di atas pohon di
tempat di mana tadi mereka sembunyi. Katanya: "Mungkin dia tidak akan balik, kalau kembali
melihat huruf 'selamat' ini, pastilah dia bisa menduga aku sudah berangkat ke rumah keluarga
Ong." Ia tahu ginkang Lim Bu-siang tidak lebih rendah dari Thong-thian-hou, kalau tidak bisa lolos,
kiranya dia pun tidak perlu amat dikuatirkan, namun demikian hatinya kurang tentram.
---ooo0dw0ooo--- Memang ginkang Lim Bu-siang setanding dengan Coh Thian-hiong, namun kekuatan Iwekangnya
lambat laun tak kuasa bertahan lama, bagai naik awan menunggang angin mereka kejar
mengejar, jarak keduanya lambat laun semakin dekat. Tiba-tiba Lim Bu-siang sadar, pikirnya: "Biar
aku lari ke arah kota, coba berani tidak ia mengejarku?"
Melihat orang berlari ke arah jalan raya, Coh Thian-hiong lantas tahu maksud hatinya, sekali
melejit ia melambung maju tiga tombak lebih dekat, bentaknya tiba-tiba: "Budak setan, lari ke
mana" Ayolah rebah!" Sekali ayun tangan, dengan gaya Lau-hay-say-kim-che (Lau Hay menyebar
uang mas) ia tim-pukkan segenggam uang tembaga.
Tanpa berpaling, Lim Bu-siang membalikkan pedangnya, sekaligus ia lancarkan ilmu pedang
tunggal yang dia pelajari dari dalam gua, sinar pedangnya bagai kilat menyambar, terdengarlah
suara tang tang ting ting, segenggam uang tembaga itu kena dia sampuk jatuh semua.
Kepandaian menimpuk senjata rahasia dengan gaya Lau Hay Menyebar Uang Mas ini,
sebetulnya merupakan kepandaian khas Coh Thian-hiong, mimpi pun ia tidak nyana ilmu pedang
Lim Bu-siang ternyata sedemikian lihay dan menakjubkan, semula ia menyangka, paling tidak dua
atau tiga uang tembaganya pasti dapat mengenai sasaran, siapa kira ujung baju orang pun tidak
berhasil disentuhnya. Namun karena rintangan ini, jarak mereka menjadi lebih dekat lagi. Coh Thian-hiong
membentak: "Budak busuk, kau tidak akan bisa lolos!" Bagai harimau menerkam mangsanya, ia
melompat terbang ke depan sembari menimpukkan segenggam uang tembaga pula.
Kalau Lim Bu-siang tarikan pedangnya untuk memukul jatuh semua uang tembaga itu, pasti
dirinya bisa teringkus oleh lawan, dalam keadaan yang mendesak itu, ia kembangkan ilmu
ginkangnya yang hebat sekali, dengan gaya Burung Dara Jumpalitan, badannya seenteng capung
melesat miring beberapa tombak jauhnya.
Tepat pada saat itu, kebetulan ada orang berlari mendatangi dari jalan raya sana, Kim-chi-piau
Coh Thian-hiong tidak mengenai Lim Bu-siang, namun ada sebuah yang menyerempet lewat di
atas jidat orang itu, seketika orang itu membentak gusar: "Lagi-lagi kau si rase tua bangka
kebentur di tanganku, diberi tidak membalas kurang hormat, nih, kau pun rasakan senjata
rahasiaku." Seketika seperti hujan salju, senjata rahasia yang ditim-pukkan orang ini adalah
butiran kecil bundar yang berkilauan, mendadak meledak pecah di tengah udara, menjadi
segulung kabut putih yang dingin, Coh Thian-hiong seketika terbungkus dalam kabut tebal dingin
itu, meski ia memiliki lwekang yang kuat, tak urung bergidik kedinginan juga.
Ternyata pendatang ini bukan lain adalah putra Kanglam Tayhiap Tan Thian-ih, yaitu Tan Kongsi
adanya, senjata rahasia yang dia timpukkan adalah Ping-pok-sin-tan ajaran tunggal
keluarganya. Tempo hari Tan Kong-si pernah bergebrak sekali melawan Coh Thian-hiong di rumah Hun Ci-lo,
waktu itu ia pun pernah menimpukkan tiga butir peluru esnya, tidak berhasil melukai Coh Thianhiong,
malah dia sendiri yang mendapat sedikit kerugian. Kini kebentur di tengah jalan, sekaligus
ia lantas timpukkan dua belas butir banyaknya.
Setelah menimpukkan pelurunya, Tan Kong-si lantas berteriak: "Ayah, lekas kemari!"
Baru saja Coh Thian-hiong hendak menubruk maju, mendengar teriakannya ia melengak, lalu
katanya mendengus: "Kau hendak menggertak lohu dengan nama ayahmu?"
Tan Kong-si menanggapi tawar: "Bukankah kau pernah berkata ingin bertanding dengan
ayahku" Hari ini kutanggung kau berhasil memenuhi keinginanmu."
Rumah tinggal Tan Thian-ih berada di Soh-ciu. Soh-ciu dan Yang-ciu sama berada dalam
wilayah Kiang-soh, di sini Coh Thian-hiong kebentur dengan Tan Kongsi tidak berani tidak ia harus percaya omongannya. Pikirnya: "Meski Ong Thian-thong hanya cong-piautau dari cabang Tin-an Piaukiok, tapi pergaulannya amat luas, bukan mustahil Kanglam Tayhiap membawa anaknya datang hendak
menyampaikan selamat hari ulang tahun kepadanya."
Karena kabut dingin yang membekukan itu, meski Coh Thian-hiong tidak terluka apa-apa, tapi toh lebih
menderita dari tempo hari, hawa murninya banyak berkurang untuk mempertahankan diri. Dia berpikir
seumpama Tan Thian-ih tidak datang, dirinya juga tidak akan ungkulan melawan Lim Bu-siang dan Tan
Kong-si berdua, jika Tan Thian-ih betul-betul berada di belakang, bila keburu menyusul datang, pasti
dirinya bisa celaka. "Lebih baik percaya meski itu hanya gertakan
daripada konyol." Begitu rasa jeri timbul, seketika Coh Thian-hiong putar badan terus lari sipat kuping.
Lim Bu-siang kegirangan, serunya: "Tan-jikongcu apakah ayahmu juga datang?"
"Aku hanya menggertak rase tua itu! Nona Lim kenapa seorang diri kau datang kemari?" tanya Tan Kongsi tertawa. Memang Lim Bu-siang sedang menguatirkan keadaan Beng Goan-cau, kalau bisa menggertak lari Cong
Sin-liong dengan meminjam ketenaran Tan Thian-ih baik juga. Maka ia tuturkan kejadian sesungguhnya.
Katanya: "Bersama Beng Goan-cau aku sedang tamasya di Su-kong-se, tak nyana di sana kami bentrok
dengan kawanan anjing alap-alap."
Tan Kong-si terperanjat, tanyanya: "Lalu bagaimana dengan Beng-toako?"
"Dia sembunyi di atas bukit, sengaja kupancing musuh mengejarku, entah bagaimana keadaannya sekarang."
"Siapa saja kawanan anjing alap-alap itu?"
"Kecuali Thong Thian-hou masih ada Ciok Tio-ki, Cong Sin-liong dan Boh Cong-tiu. Coh Thianhiong dan
Boh Cong-tiu sama mengejar aku, sementara Ciok Tio-ki dan Cong Sin-liong masih berada di tempat itu."
Lebih kaget pula Tan Kong-si katanya: "Ayolah lekas susul ke sana untuk membantunya!"
Sebelum mereka tiba di Su-kong-se, di bawah bukit, mereka sudah mendengar beradunya benturan
senjata berat dari dalam hutan.
Kaget dan girang pula Lim Bu-siang dibuatnya, katanya: "Ada tiga orang yang bertempur, pastilah seorang diri Beng-toako melawan keroyokan kedua musuhnya. Kedengarannya dia sudah terdesak di
bawah angin, tapi belum begitu gawat."
Mulut bicara kedua kakinya sudah melesat bagai terbang, ia kembangkan Pat-poh-kan-sian terus
menerjang masuk ke dalam hutan, suara benturan senjata semakin jelas. Setelah dekat barulah Lim Busiang merasa heran, maklumlah golok lebih berat dari pedang, suara golok cepat
bila beradu dengan senjata musuh berlainan dengan pedang. Lim Bu-siang mendengar dua orang
menggunakan pedang, sementara seorang yang lain agaknya bersenjata semacam senjata ruyung yang
lemas. Belum lagi ia tiba di dalam hutan, tiba-tiba didengarnya seseorang membentak: "Rase tua, kalau berani
jangan kau lari!" Suara orang ini jelas bukan Beng Goan-cau.
. Kejap lain terdengar Coh Thian-hiong berkata dingin: "Kalau berani mari kalian kejar aku!
Kalian main keroyok, maaf aku tidak sudi melayani."
Kejadian itu benar-benar di luar dugaan Lim Bu-siang, semula ia kira Beng Goan-cau melawan
dua musuhnya, tak nyana pihak musuh hanya Coh Thian-hiong seorang, memangnya siapakah
lawan tangguh Coh Thian-hiong"
Lim Bu-siang merasa seperti amat kenal suara itu, namun sesaat ia tidak ingat siapakah orang
itu. Pada saat itu juga, didengarnya Tan Kong-si sudah berteriak dari belakang: "Song-toako, kau
pun sudah datang!" Maka tampak Song Theng-siau dengan seorang gadis baju putih sudah melabrak Coh Thianhiong
ke luar hutan. Gadis baju putih itu bukan lain adalah sumoay Beng Goan-cau, Lu Su-bi
adanya. Ternyata Coh Thian-hiong tidak tahu bila Cong dan Ciok sudah kena dikalahkan oleh Beng
Goan-cau dengan Leng Thiat-jiau, tidak berhasil menangkap Lim Bu-siang, ia pikir kembali saja
bantu menangkap Beng Goan-cau, tak nyana baru saja ia tiba, kebetulan terbentur dengan Song
Theng-siau dan Lu Su-bi. Sip-hun-kiam-hoat warisan keluarga Song Theng-siau teramat aneh dan hebat, dibanding golok
cepat Beng Goan-cau, masing-masing punya kelebihannya sendiri-sendiri, dibanding kepandaian
sejati Coh Thian-hiong tidak terpaut terlalu jauh. Lwekang Lu Su-bi rada lemah, tapi gerak badan
Menyusup Kembang Mengitari Pohon juga teramat lincah dan gesit, serta rumit dan sukar dijajaki
pula, paling tidak setingkat lebih rendah dibanding ginkang Coh Thian-hiong. Maka Coh Thianhiong
tidak akan mampu mengggunakan keunggulan sendiri untuk menyerang kelemahan kedua
lawannya, sudah tentu lama kelamaan ia terdesak di bawah angin oleh keroyokan kedua
lawannya. Semula Coh Thian-hiong masih mengharap Cong Sin-liong dan lain-lain masih berada di sekitar
sini, mendengar pertempuran di sini lantas menyusul datang, tak nyana Cong Sin-liong dan Ciok
Tio-ki yang diharapkan tidak kunjung tiba, malah Lim Bu-siang yang sudah menyusul datang.
Kebetulan Lim Bu-siang bertemu dengan Coh Thian-hiong yang sedang lari keluar dari hutan,
segera ia menghardik: "Rase tua, lari ke mana?" Badannya melesat terbang ke depan, pedangnya
bergerak selincah baling-baling berputar, dengan sejurus Heng-kang-cay-to ia cegat jalan lari Coh
Thian-hiong. "Kau budak ini juga berani menghina aku," damprat Coh Thian-hiong gusar.
Lim Bu-siang malah mengolok lagi: "Rase tua menjadi anjing tercebur air, orang lain tidak mau
menghajar anjing basah kuyup, biar aku saja yang menghajarnya."
"Sret, sret" beruntun ia melancarkan serangan ilmu pedang berantai yang ganas dan cepat,
sehingga Coh Thian-hiong mencak-mencak mundur kerepotan.
Betapa gusar dan malu Coh Thian-hiong, namun ia tidak berani berkutat terlalu lama melawan
Lim Bu-siang. Sebentar lagi Song dan Lu pasti memburu keluar, terpaksa ia harus lekas-lekas
melarikan diri. Kalau tidak gugup sih mending, saking jeri dan kebingungan, dia lebih menderita
rugi. Ilmu silatnya semestinya lebih tinggi dari Lim Bu-siang kini malah dia yang terserang gencar
oleh rangsakan Lim Bu-siang, untuk lolos rasanya bukan soal gampang.
Kejap lain Lu Su-bi sudah menyusul tiba lebih dulu, "Sret" langsung ia menusuk dengan
goloknya. Saking gugup Coh Thian-hiong berjingkrak menubruk ke arah Lim Bu-siang, sebat sekali
Lim Bu-siang meliukkan pinggang bergerak gemulai bagai dahan pohon Liu, pedangnya bergerak
membalik menggaris sebuah bundaran. Begitu menubruk tempat kosong Coh Thian-hiong sudah
mengeluh celaka. Tiba-tiba cahaya terang menyilaukan mata, tajam pedang Lim Bu-siang tahutahu
sudah memapas tiba di depan mukanya. Baru saja kaki depan Coh Thianhiong menyentuh
tanah, belum lagi ia berdiri tegak, kakinya menendang ke belakang. Kebetulan di belakangnya ada
sebatang pohon, tendangan ke belakang seperti ini seolah-olah di belakang punggungnya tumbuh
mata, telak sekali tendangannya, dengan meminjam tenaga tendangan ini, badannya bergerak
miring ke arah lain dan mencelat jauh.
Meski ia bergerak cepat dan lincah, badan tidak sampai terluka, yang celaka adalah jenggotnya.
Di mana cahaya pedang menyambar terasa dagunya nyaman dingin, jenggot panjangnya yang
amat disayang dan setiap hari dipeliharanya ini, kena terpapas bersih oleh pedang Lim Bu-siang.
Belum lagi hatinya tenang, Liu-yap-to Lu Su-bi tahu-tahu sudah membacok datang pula dari
sebelah depan. Ternyata Lu Su-bi memperhitungkan letak dari jejak kakinya, mencegat maju dan
menunggu orang menyongsong datang.
Keruan Coh Thian-hiong gusar, dampratnya: "Baik, biar lohu adu jiwa dengan kau!" Segera ia
kembangkan Khong-jiu-jip-peh-to, Tangan Kosong Merebut Senjata Lawan, dia merangsak masuk
ke dalam lingkaran kilatan sepasang golok Lu Su-bi, meski dirinya harus terkena bacokan, ia
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertujuan membekuk orang dijadikan sandera.
Perhitungannya terlalu muluk, di luar dugaan bahwa gerak-gerik Menyusup Kembang Mengitari
Pohon Lu Su-bi teramat lihay dan lincah sekali, di antara sambaran sinar golok dan bayangan
angin pukulan, cengkeraman Coh Thian-hiong terasa menangkap tempat kosong, terdengarlah
suara sobekan kain yang panjang, ternyata baju di depan dadanya sudah tergores sobek
memanjang oleh golok Lu Su-bi. Gebrakan kali ini kedua pihak sama melancarkan jurus-jurus yang
amat berbahaya, begitu serangan Coh Thian-hiong tidak mengenai sasaran, ia miringkan badan
menerobos maju tiga tindak, waktu ia menunduk melihat pakaiannya, kaget dan gusar pula
dibuatnya. Sebaliknya dengan permainan kombinasi kedua goloknya, Lu Su-bi tidak mampu
melukai orang, diam-diam ia amat gegetun. Maklum karena lwekangnya rada lemah, tergentak
oleh kekuatan pukulan lawan, dada terasa sesak seperti tertimpa benda berat, hatinya pun amat
kaget. Song Theng-siau kuatir sang sumoay cedera, dengan langkah lebar ia memburu datang
bentaknya: "Rase tua, ke mana kau hendak lari?" Belum orangnya datang, ia timpukkan senjata
rahasia lebih dulu, senjata yang dia gunakan pun uang tembaga.
Kim-chi-piau sebenarnya adalah senjata rahasia keahlian Coh Thianhiong, kini Song Theng-siau
menyerang orang dengan keahlian orang itu sendiri, sudah tentu Coh Thian-hiong pandang
rendah, jengeknya dingin: "Anak ingusan berani bertingkah di hadapan seorang ahli!" Baru saja ia
hendak kembangkan kepandaian menyambut Kim-chi-piau, tak nyana tiba-tiba terasa angin
berkesiur dari belakang batok kepalanya, hawa dingin menyusup ke tulang. Ternyata Tan Kong-si
sudah mengejar tiba. Kim-chi-piau memang gampang ditangkap, adalah Ping-pok-sin-tan sulit ditangkis, kalau Honghuhiat di belakang batok kepala Coh Thian-hiong tertimpuk telak oleh Ping-pok-sin-tan, hawa
dingin merembes ke dalam otaknya, betapapun tinggi lwekangnya, seketika pasti akan menjadi
sinting dan linglung. Apa boleh buat dalam keadaan yang serba terdesak ini, terpaksa Coh Thianhiong
membalikkan telapak tangannya memukul jatuh Ping-pok-sin-tan dengan Bik-khong-ciang,
sambitan Kim-chi-piau Song Theng-siau malah didiamkan saja.
"Plak, plak, plok" beruntun tiga kali ketiga Kim-chi-piau sambitan Song Theng-siau mengenai
musuh dengan telak, kontan Coh Thian-hiong tertimpuk luka dan bocor kepalanya. Di sebelah
sana dilihatnya pula Lim Bu-siang sedang memburu mendatangi pula, demi jiwa sendiri ia tidak
menghiraukan lagi segala gengsi dan nama, lekas ia menjatuhkan badan, terus bergelundungan
dari atas bukit ke bawah gunung, begitu merayap bangun terus lari pontang-panting! Jenggot
terpapas bersih, pakaian hancur, muka bengap, bibir biru, kepala bocor keluar kecap, darah
membasahi seluruh badan, ditambah rambut kepalanya terpapas sebagian pula oleh pedang Lim
Bu-siang. Coh Thian-hiong sudah puluhan tahun angkat nama, belum pernah mengalami
kekalahan sekonyol ini. Song Theng-siau bergelak tertawa: "Senang, sungguh menyenangkan!"
Coh Thian-hiong malu dan gusar pula, namun langkah kakinya tidak menjadi kendor, sudah
tentu tiada tempo dia berpaling adu mulut saling maki dengan lawan.
"Anjing kuyup itu cukup konyol hari ini, nona Lim, sudah tidak usah kau pukul dia," demikian
ujar Tan Kong-si. "Saudara Song ini adalah sahabat Beng-toako, nona Lim ini adalah ciangbunjin
Hu-siang-pay, sebelum ini kalian belum pernah berkenalan bukan?"
Song Theng-siau segera maju mendekat, sapanya: "Kiranya Lim-ciangbun, selamat bertemu,
selamat bertemu!" Sementara dalam hati ia membatin: "Ilmu silat dan kecantikan nona Lim ini
agaknya tidak lebih asor dibanding Hun Ci-lo." Segera ia menambahkan: "Nona Lu ini adalah siausumoay
Beng Goan-cau." "Aku pernah bertemu dengan nona Lu," ujar Lim Bu-siang tertawa.
Song Theng-siau melengak, tanyanya: "Kenapa aku tidak tahu?"
"Dua bulan yang lalu, waktu kalian berada di karesidenan Sam-ho, akulah yang minta nona Lu
supaya tidak memberitahu kepada kau."
Lu Su-bi kegirangan, katanya: "Jadi semula kalian memang sudah bersama."
"Ya, tadi pagi kami bertamasya di Su-kong-se ini, tak nyana kebentur anjing alap-alap, tadi
kami sudah saling labrak dengan mereka," demikian tutur Lim Bu-siang.
Song Theng-siau cukup cerdik, mendengar ceritanya itu ia lantas paham, katanya: "Cong Sinliong,
Ciok Tio-ki dan lain-lain sudah tidak kelihatan, tentunya Beng-toako mesti sudah pergi juga."
"Marilah coba kita cari di tempat semula," demikian ajak Lim Bu-siang.
Sambil berjalan, berkata Song Theng-siau tertawa: "Nona Lim, bicara kejadian tempo hari, aku
belum sempat berterima kasih kepada kau."
Lim Bu-siang melengak, katanya: "Untuk apa kau hendak berterima kasih kepadaku?"
Song Theng-siau melenggong, katanya: "Hari itu kami kepergok musuh tangguh, ada orang
membantu kami secara diam-diam, memang bukan kau orang itu?"
Lim Bu-siang tertawa geli, "Orang itu pun pernah membantuku dan Beng Goan-cau secara
diam-diam, malah bukan hanya sekali saja, sampai sekarang aku masih belum berhasil tahu
siapakah dia sebenarnya."
Tengah bicara, mereka pun sudah tiba di tempat di mana tadi Beng Goan-cau menyembunyikan
diri, Lu Su-bi yang lebih dulu menemukan huruf peninggalan Beng Goan-cau, teriaknya: "Hai, lekas
kemari di atas pohon ini ada diukir 'selamat', inilah gaya tulisan Beng-suko."
Lim Bu-siang pun berlega hati, katanya: "Kalau begitu, Beng-toako sudah berlalu. Marilah kita
cari dia di rumah keluarga Ong."
"Benar! " ujar Tan Kong-si. "Mungkin dia kuatir menggagalkan urusan besar, maka berangkat
ke rumah Ong Thian-thong lebih dulu."
"Jadi kalian pun hendak pergi ke rumah Ong-cong-piauthau untuk menyampaikan selamat hari
ulang tahunnya?" demikian tanya Song Theng-siau.
"Benar, dan kau?" balas tanya Tan Kong-si.
"Kami pun ingin ke sana menyampaikan selamat ulang tahun, kebetulan bertemu kalian di sini."
"Aku mewakili ayah menyampaikan kado kepada paman Ong, biarlah kalian berangkat bersama
aku saja. Ong-lothau paling suka terima tamu, tamu-tamu seperti kalian dan Beng-toako, justru
paling disukai, tentu beliau amat girang berkenalan dengan kalian," demikian kata Tan Kong-si.
Ternyata dalam perjalanan Song Theng-siau berdua kembali ke Siau-kim-jwan, karena sudah
lama meninggalkan rumah dan kangen kepada keluarga, maka dalam perjalanan ke selatan ini
sengaja ia putar ke jurusan Soh-ciu untuk mampir ke rumah, Leng Thiat-jiau seperti sudah
menduga akan jalan pikirannya. Maka begitu ia berke-putusan berangkat ke Yangciu bersama Kim
Tiok-liu, lantas dia titip kabar kepada seorang anggota Kaypang yang kebetulan bertempat tinggal
di Soh-ciu pula, diharap orang memperhatikan jejak Song Theng-siau. Begitu Song Theng-siau tiba
di rumah, lantas dia mendapat kabar yang dibawa anggota Kaypang itu. Kabar yang dititipkan oleh
Leng Thiat-jiau itu adalah mengharap kedatangan Song Theng-siau ke rumah Ong Thian-thong
itu. Yangciu merupakan daerah yang subur dan makmur, Tin-wan Piaukiok cabang Yangciu pun
cukup besar, Ong Thian-thong bertempat tinggal di dalam piaukiok itu pula, sebelah depan
sebagai kantor, tempat tinggalnya berada di belakang. Hari itu pagi-pagi sekali, semua kerabat
Tin-wan Piaukiok sama menyibukkan diri mempersiapkan perayaan hari ulang tahunnya yang ke
enam puluh, suasana serba riang gembira.
Tak lama kemudian para tamu berbondong-bondong mulai berdatangan, semua adalah tamutamu
dekat atau warga kota Yangciu pula, mereka adalah angkatan lebih muda, jadi tidak perlu
dia sendiri yang harus menyambut mereka.
Tiba-tiba muridnya yang terbesar Ong Giu masuk melaporkan: "Busu ternama dari Siok-ciu Nyo
Bok datang." Ong Thian-thong tertawa senang, katanya: "Nyo Bok adalah famili dekat Su-hay-sin-liong Ki
Kian-ya, dari jauh dia sudi datang, jangan kita kurang adat terhadapnya. Entah Ki-Iocianpwe ikut
datang tidak?" Sembari bicara dia berdiri terus keluar.
Ong Giu tertawa, sahutnya: "Su-hay-sin-liong tidak datang, malah orang piaukiok kita sendiri
yang mengiring kedatangannya. Suhu, tidak perlu kau orang tua keluar menyambutnya, mereka
akan masuk kemari menghadap kepadamu."
Tata tertib Tin-wan Piaukiok amat keras, piausu yang rada rendahan berkunjung ke cabang
piaukiok yang lain, menurut biasanya tidak perlu cong-piauthau sendiri yang keluar
menyambutnya malah angkatan muda itu sendiri yang harus masuk menghadap ke dalam.
Ong Thian-thong melengak sebentar, hatinya semakin girang, katanya: "Untunglah Han Congpiauthau masih ingat hari ulang tahunku, siapa yang dia utus kemari" Tapi Nyo Bok boleh
dianggap sebagai tamu kehormatan, adalah pantas aku keluar menyambutnya."
"Orang itu adalah murid Nyo Bok. Dengan kukuh dia minta di jinkan masuk ke dalam untuk
menghadap kepada kau orang tua, ini pun demi gengsi dan kebaikan kau orang tua, kami tidak
enak merintanginya."
Tengah mereka bicara, tampak Bun Seng-liong sudah mengiringi gurunya masuk ke dalam.
Sapa Nyo Bok berseri tawa: "Ong-loyacu, hari ini hari bahagiamu, Nyo Bok membawa muridku
menyampaikan selamat ulang tahun kepada kau orang tua."
"Terima kasih," Ong Thian-thong balas menghormat. Lalu ia terima penghormatan setengah
berlutut Bun Seng-liong, dan membimbingnya bangun, katanya tertawa lebar: "Kabarnya usaha
piaukiok di pusat amat maju. Han-congpiau-thau tentu amat sibuk. Beruntung dia masih ingat hari
ulang tahunku. Apakah cong-piauthau baik-baik saja?"
"Baik. Cong-piauthau berkata kau orang tua adalah pimpinan yang paling berbudi dan luhur di
antara cabang-cabang lain, besar jasa dan andilnya kepada piaukiok, beliau tidak bisa datang
kemari sendiri untuk menyampaikan selamat hari ulang tahun ini, sungguh amat menyesal dan
mohon dimaafkan." Sanjung puji yang muluk ini membuat hati Ong Thian-thong terlalu girang, katanya: "Ucapan
Han-congpiauthau terlalu berlebihan, beliau menempel emas di mukaku, sungguh aku tidak berani
terima. Ai, aku sedang pikir..."
"Apakah Ong-loyacu ada pesan yang perlu perlu kusampaikan kepada Han-congpiauthau?"
tukas Bun Seng-liong. "Benar. Selama puluhan tahun ini, aku pimpin Tin-wan Piaukiok cabang Yangciu, entah berapa
kali mengalami marabahaya, untunglah sampai sekarang masih tetap sehat walafiat. Sekarang
usiaku sudah tua, mungkin tak kuasa memikul tanggung jawab berat ini. Kupikir mohon lote nanti
pulang lapor kepada Cong-piauthau, biarlah aku mengundurkan diri menurunkan beban,
secepatnya mengutus seorang pengganti untuk pegang pimpinan cabang di sini."
Bun Seng-liong tersenyum, katanya: "Ong-loyacu- ingin mengundurkan diri, kukira Han-congpiauthau
tidak akan mau menerima permohonan ini. Saat ini ada sebuah urusan besar, beliau
minta supaya aku berunding dengan kau orang tua."
Ong Thian-thong tertegun, pikirnya: "Agaknya Han-congpiauthau terlibat urusan penting, maka
dia utus Bun Seng-liong kemari untuk menyampaikan perintahnya. Aih, sungguh memalukan, aku
malah sangka dia hendak menyampaikan selamat ulang tahun kepadaku." Segera ia berkata:
"Bun-Iote, jangan kau sungkan-sungkan. Han-congpiauthau ada pesan apa lekas katakan."
"Han-congpiauthau terbentur sebuah urusan yang serba menyulitkan, hal ini..." Sambil bicara
mata Bun Seng-liong melirik kepada murid Ong Thian-thong terbesar, Ong Giu yang berdiri di
samping. Sebagai seorang tua yang berpengalaman, Ong Thian-thong segera berkata: "Ong Giu, pergilah
kau menyambut tamu di luar." Setelah muridnya keluar lalu ia bertanya lebih lanjut: "Hancongpiauthau
kebentur urusan apa yang menyulitkan, masakah begitu penting sampai orang lain
tidak boleh tahu!" Bun Seng-liong unjuk seri tawa, katanya: "Ong-suheng tentunya bukan orang luar, tapi
congpiau-thau ada pesan, soal ini hanya boleh dibicarakan dengan kau orang tua. Harap kau
orang tua tidak berkecil hati." .
Nyo Bok ikut menimbrung: "Soal itu, Han-congpiauthau pun pernah berunding dengan aku, tapi
aku sendiri sih tidak berani ambil putusan." Maklumlah dia adalah orang luar, terpaksa harus
mencari alasan ini, sehingga bisa ikut dalam perundingan ini.
"Bun-lote," ujar Ong Thian-thong tertawa, "kau tidak perlu banyak curiga, aku sudah hidup
setua ini, memangnya tidak tahu urusan, silakan katakan saja!"
"Siapakah Ciok Tio-ki itu kukira kau orang tua tentu mengenalnya?" tanya Bun Seng-liong.
Sekilas Ong Thian-thong me-lengak, katanya mengerut kening: "Ciok Tio-ki" Dulu dia menjadi
begal tunggal besar di kalangan kangouw, kabarnya terakhir menjabat wakil komandan Gi-lim-kun,
kenapa kau menyinggung orang itu?"
"Ong-loyacu kau orang cukup tahu, kita tidak takut pejabat hanya takut tersangkut perkara,
kantor pusat Tin-wan Piaukiok kita didirikan di kota raja, maka Kiu-bun-te-tok dan pihak Gi-lim-kun
ada hak mengawasi kita, tidak bisa tidak Han-congpiauthau harus memberi sedikit muka kepada
orang she Ciok itu."
"Hal itu sih aku tahu, dulu aku minta supaya dimutasikan di garis luar, maksudku supaya tidak
selalu dilibat rasa jengkel oleh para pejabat itu. Tapi kau menyinggung soal ini, memangnya orang
she Ciok itu sekarang mempersulit kedudukan piaukiok kita?"
"Betul. Pada suatu hari orang she Ciok ini berkunjung ke piaukiok kita berunding dengan Hancongpiauthau,
dia minta congpiauthau bantu dia menangkap seorang maling terbang."
"Maling terbang" Maling terbang apa" Piaukiok kita hanya mengurus perlindungan kiriman
barang, toh bukan opas."
"Ya, congpiauthau pun bilang demikian. Tapi Ciok Tio-ki berkata, 'bantuan' yang dia maksudkan
bukan berarti minta anggota piaukiok kita turun tangan menangkap maling itu, dia cuma minta
supaya kita tidak menghalang-halangi mereka menunaikan tugas. Karena maling terbang itu
mencuri barang warisan mustika Seng-cin-ong maka beliau menugaskan Gi-lim-kun mengejar balik
barang-barang itu dan menangkap maling itu untuk dihukum setimpal. Sebetulnya tugas ini
merupakan urusan pihak Kiu-bun-te-tok, tapi komandan Gilim-kun Pakkiong Bong tidak berani
menolak permintaan Seng-cin-ong." Lalu ia menyambung dengan tertawa: "Pakkiong Bong terlalu
jaga gengsi dan kedudukan, setelah mendapat persetujuan dari Seng-cin-ong, dia suruh Ciok Tioki
yang bertanggung jawab menyelesaikan persoalan ini."
"Aku tidak perduli permainan sandiwara pihak pejabat pemerintah, tapi ucapan Ciok Tio-ki itu
rada menyangsikan, mereka menunaikan tugas mereka, memangnya apa sangkut pautnya dengan
pihak Tin-wan Piaukiok, kenapa kita harus menghalang-halangi?"
"Beginilah persoalannya, soal maling terbang itu, mereka ada mendapat kabar, katanya sudah
lari ke Yangciu, bukan mustahil hari ini dia akan muncul memberikan selamat ulang tahun kepada
kau orang tua." Sudah tentu Ong Thian-thong kaget, tanyanya: "Siapakah maling terbang itu?"
"Ciok Tio-ki tidak mau menyebut siapa orang itu. Menurut dugaan Han-congpiauthau, mungkin
kau orang tua ada kenal baik dengan maling terbang itu."
"Soal ini sungguh menyudutkan posisiku, kalau benar maling terbang itu betul datang ke
rumahku, bagaimana menurut pendapat congpiauthau supaya aku bertindak"'
"Ciok Tio-ki minta Cong Sin-liong sebagai pembantunya, nanti sebentar mereka bakal datang
menyampaikan selamat kepadamu. Sudah tentu menyampaikan selamat sebagai alasan, tujuan
yang sebenarnya adalah menangkap maling terbang itu. Dia sudah menjelaskan, cuma mengharap
supaya kau tidak melindungi orang yang hendak mereka tangkap. Congpiau-thau sendiri tidak
berani memberi keputusan kepada kau, tapi beliau mengharap supaya kau bertindak demi
kepentingan piaukiok."
Bertaut alis Ong Thian-thong, katanya: "Sudah tentu aku harus lebih mementingkan usaha
piaukiok, tapi congpiauthau kan harus melindungi gengsi dan namaku!"
Bun Seng-liong tidak berani memberi komentar.
Kata Ong Thian-thong pula: "Semua orang yang datang ke rumahku memberi selamat
kepadaku semua kuanggap tamuku, sebagai tuan rumah mana bisa aku berpeluk tangan
menonton tamu itu ditangkap oleh mereka?"
"Kiranya Ong-loyacu hanya menguatirkan hal ini. Dalam hal ini congpiauthau juga pernah
memikirkannya," ujar Bun Seng-liong.
"Apa yang dia katakan?"
"Kata congpiauthau, sudah tentu tidak akan membiarkan kau orang tua kehilangan muka, maka
beliau ada merundingkan suatu akal dengan Ciok Tio-ki, anggap saja sebagai permusuhan pribadi
dari sesama kaum- persilatan, maling terbang itu digebah keluar dari piaukiok, barulah Ciok Tio-ki
akan turun tangan setelah berada di luar."
"Itu hanya alasan tidak masuk akal seperti orang mencuri kelin-tingan dengan pura-pura
menutupi kuping sendiri."
"Kalau maling terbang itu betul datang menyampaikan selamat kepadamu, tidak lebih hanya
ingin mendapat perlindunganmu. Belum tentu pasti teman baikmu. Seumpama kau memang
mengenalnya, namun dia hendak menimpakan bencana kepada piaukiok, terang maksud
tujuannya harus diragukan."
Setelah uring-uringan lambat laun mereda dan tenang pula hati Ong Thian-thong, pikirnya:
"Sulit juga posisiku sekarang, kalau aku bertindak menurut isi hatiku, Tinwan Piaukiok cabang
Yangciu bakal tutup pintu. Bagaimana aku harus bertanggung jawab kepada Han-congpiauthau"
Sebaliknya kalau aku bantu memberi fasilitas kepada pihak pejabat, nama besarku selama hidupku
ini bakal ludes dalam sekejap saja"
Nyo Bok segera menyela bicara: "Soal ini memang menyulitkan Ong-loyacu, aku malah punya
akal untuk mengatasi kesulitan ini."
Ong Thian-thong girang, katanya: "Pengetahuan Nyo-busu memang lebih luas dari lohu, mohon
suka memberi petunjuk."
"Tidak berani. Kupikir Ong-loyacu sebetulnya bisa cuci tangan sehingga tidak terlibat dalam
persoalan ini." "Hari ini adalah ulang tahunku, bagaimana aku bisa cuci tangan?"
Tengah mereka berunding belum mendapat kesesuaian pendapat itu, tiba-tiba murid Ong
Thian-thong, Ong Giu, masuk ke dalam kamar. Sebelumnya Ong Giu sudah bersuara memanggil
guru lebih dulu di luar pintu.
Nyo Bok berdua segera tutup mulut, adalah Ong Thian-thong menjadi kikuk, katanya mengerut
alis: "Untuk apa kau masuk pula?"
Ong Giu lapor: "Ada dua tamu mohon bertemu dengan suhu."
"Memangnya kau tidak mewakili aku menyambut mereka" Katakan aku sedang menerima
tamu, nanti sebentar kutemui mereka."
"Tidak, tidak, kedua tamu itu ingin benar menemui kau orang tua."
Ong Thian-thong naik pitam, katanya keras: "Siapa kedua tamu itu?"
Kata Ong Giu tersendat: "Ini, inilah kartu nama mereka. Silakan suhu melihatnya!"
Dia tidak berani menyebut nama kedua tamu itu, sebagai kawakan kangouw Ong Thian-thong
tahu pastilah bukan tamu sembarang tamu, segera ia keluarkan kartu nama dari sampul masingmasing,
sekilas ia melihatnya terus memasukkan pula, katanya tertawa dibuat-buat: "Kiranya
mereka berdua." Meski sedapat mungkin ia bersikap tenang, roman mukanya toh sudah berubah.
Keruan timbul rasa curiga Nyo Bok berdua, sebagai orang licik, kuatir membuat gaduh dan
menggagalkan urusan, dia diam saja tidak menunjukkan sikap. Sebaliknya Bun Seng-liong tidak
tahan, tanyanya: "Siapakah kedua tamu itu?"
Ong Thian-thong menenangkan hati, sahutnya: "Dua temanku lama, sering bantu aku dalam
usaha garam, mungkin hendak tanda tangan kontrak pula dengan aku." Maksudnya bahwa kedua
tamunya ini bukan kaum persilatan, maka tidak perlu dia memberitahu nama mereka. Waktu Ong
Thian-thong bicara diam-diam Nyo Bok memberi kedipan mata kepada muridnya, sebagai orang
cerdik, Bun Seng-liong segera tahu maksud hati gurunya, ia tidak bertanya lebih lanjut.
Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena berbohong hati Ong Thian-thong kurang tentram, katanya lebih lanjut: "Nyo-heng soal
itu biar nanti kita bicarakan lagi. Seng-liong, bantulah aku menyambut tamu di luar, jikalau kedua
tamu yang kau maksudkan itu tiba, beritahukan kepada Ong Giu. Ong Giu sekarang kau keluar,
antarlah kedua tamu itu ke dalam kamar bukuku!"
Setelah memberikan pesannya, Ong Thian-thong minta diri: "Nyo-heng, maaf aku tidak
menemani kau lebih lanjut."
Nyo Bok tertawa dipaksakan, ujarnya: "Kita kan orang sendiri, kenapa main sungkan segala"
Adalah pantas bersama Seng-liong aku bantu kau menerima tamu." Sementara dalam hati ia amat
curiga, batinnya: "Ong Thian-thong mengundang mereka ke dalam kamar rahasia, naga-naganya
bukan saja takut diketahui oleh kami, juga kuatir diketahui oleh tamu-tamu yang lain. Siapakah
kedua orang itu?" demikian ia bertanya-tanya.
Siapakah kedua orang itu" Ternyata mereka bukan lain adalah Utti Keng dan Miao Tiang-hong.
Miao Tiang-hong adalah pendekar kelana yang terkenal di kangouw, perkara yang dia lakukan
di kota raja belum sampai diketahui Ong Thian-thong, maka ia tidak begitu kaget. Tapi jauh
berlainan dengan kunjungan Utti Keng ini.
Utti keng adalah begal besar yang sudah terkenal di seluruh dunia sebagai pelanggar hukum,
pernah membegal kado ulang tahun komandan Bhayangkari pula, namanya tercantum dalam
daftar buronan penting, melihat kartu namanya, keruan Ong Thian-thong amat terkejut. Terutama
setelah bicara dengan Nyo Bok tadi, terpikir olehnya: "Mungkinkah maling terbang yang mereka
maksudkan itu adalah Utti Keng?"
"Kalau benar mereka hendak menangkap Utti Keng, bagaimana aku harus bersikap" Ya, bukan
saja aku tidak ingin piaukiok ini disegel, tapi aku pun tidak bisa menjual teman!" Tak terasa
jantung Ong Thian-thong berdebar bagai samudra mengamuk.
Nyo Bok dan Bun Seng-liong ikut Ong Giu menuju ke ruang tamu di depan, baru saja mereka
tiba di pekarangan luar, terdengarlah seseorang tengah bicara keras di dalam ruang tamu.
"Harap tuan berdua tunggu sebentar, suhu sedang ada urusan, setelah urusan beres, beliau
pasti akan keluar." "Kami punya urusan yang amat penting, kami harus segera bertemu dengan gurumu, tolonglah
kau masuk laporkan kepadanya."
"Siapakah she dan nama besar tuan berdua, paling tidak toh aku harus tahu!"
"Setelah bertemu dengan kami Ong-lopiauthau pasti tahu siapa kami berdua."
Nyo Bok terkejut, pikirnya: "Logat tamu itu amat kukenal, mungkinkah dia" Masakah begitu
besar nyalinya?" Tiba-tiba ia teringat seseorang, keruan hatinya kaget dan murka.
Mendengar sutenya sedang ribut dengan tamu, Ong Giu pun merasa heran dan curiga.
Pikirnya: "Masakah kedapatan tamu yang tidak tahu aturan, mungkin ada orang sengaja hendak
cari gara-gara." Kebetulan ada orang keluar dari dalam, dia adalah sute nomor empat. Ong Giu segera
memanggilnya, tanyanya dengan suara perlahan: "Apa yang terjadi di dalam?"
Sutenya menjawab: "Kedua tamu itu amat aneh. Sam-suko menanyakan nama mereka, mereka
tidak mau memperkenalkan diri. Minta kartu nama pun tidak punya. Tadi kau ada berpesan, suhu
sedang menemui tamu di kamar buku, sementara tidak mau menerima tamu lain. Maka
bagaimanapun Sam-suko tidak mengijinkan mereka masuk."
"Baik, biar aku masuk melihatnya. Panggil ah Ji-suko kemari, jangan kita membikin kaget suhu,"
demikian pesan Ong Giu. Bun Seng-liong menimbrung: "Kedua tamu ini berani bikin ribut di sini, Ong-suheng, kalau kau
hendak turun tangan, biar nanti kubantu kau."
"Biar nanti melihat gelagat saja."
Di saat mereka beranjak masuk ke ruang tamu, terdengar salah seorang tamu berkata:
"Baiklah, barang ini boleh kau bawa masuk sebagai kartu namaku." Itulah sebuah buntalan
panjang dari kain merah. Melihat Toa-suhengnya datang, Sam-sute Ong Giu itu merasa lega "dan berkata: "Toa-suheng,
kebetulan kau datang. Lihatlah kartu nama ini..."
"Baik, berikan kepadaku!" Ong Giu segera menerima barang itu, sekali raba lantas ia tahu itulah
sebatang panah, seketika berubah roman mukanya, katanya dingin: "Apa-apaan maksud kalian
ini?" Di samping sana, Nyo Bok dan salah seorang tamu yang lain pun berubah air mukanya.
Ternyata kedua tamu ini adalah Leng Thiat-jiau dan Beng Goan-cau.
Beng Goan-cau sudah merubah muka menyamar orang lain, tapi logat suaranya toh dikenal
oleh Nyo Bok. Mimpi pun Beng Goan-cau tidak menduga di tempat ini Nyo Bok bakal muncul,
betapapun tabah dan tenang hatinya, tak urung berubah juga air mukanya.
Baru saja Ong Giu hendak membuka buntalan merah itu, tiba-tiba Beng Goan-cau merebut
balik dari tangannya, katanya: "Saudara Ong begini curiga, kalau begitu kartu nama ini tidak usah
kau berikan kepada gurumu."
Ternyata buntalan kain merah itu berisi Ling-cian (panah mandat), merupakan panah yang
sering digunakan oleh Siau Ci-wan dan Leng Thiat-jiau, dua pimpinan tertinggi dari pasukan laskar
gerilya di Siau-kim-jwan, dulu Ong Thian-thong pernah mengantar barang di daerah Sujwan,
begitu melihat panah itu pasti dia kenal siapa pemiliknya.
Tapi sekarang Nyo Bok hadir di hadapan mereka, sudah tentu Beng Goan-cau tidak
mengijinkan Ong Giu membuka buntalan merah itu, memperlihatkan panah kepada umum.
Memanah Burung Rajawali 1 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Istana Kumala Putih 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama